PEMBANGUNAN YANG BERORIENTASI DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP (KASUS PULAU JAWA)
I. PENDAHULUAN Pembangunan nasional perlu memperhatikan aspek berkelanjutan secara seimbang. Hal ini sesuai dengan hasil Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup yang diadakan di Stockholm tahun 1972 dan Deklarasi Lingkungan Hidup KTT Bumi di Rio de Janeiro tahun 1992, yang keduanya menyepakati prinsip bahwa pembangunan harus memperhatikan dimensi lingkungan dan manusia. Demikian pula pada KTT Pembangunan Berkelanjutan di Johannesburg tahun 2002, membahas dan mengatasi kemerosotan kualitas lingkungan hidup dunia.
Ikhwanuddin Mawardi
Kontribusi terbesar yang diandalkan Indonesia dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi dan sumber devisa serta modal pembangunan adalah dari sumberdaya alam. Sumberdaya alam mempunyai peranan penting dalam perekonomian Indonesia baik pada masa lalu, saat ini maupun masa mendatang sehingga, dalam penerapannya harus memperhatikan apa yang telah disepakati dunia internasional. Di lain pihak keberlanjutan atas ketersediaan sumberdaya alam sering diabaikan dan begitu juga aturan sebagai landasan melaksanakan pengelolaan suatu usaha dan atau kegiatan mendukung pembangunan dari sektor ekonomi sering dilanggar. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang tidak dilakukan sesuai dengan daya dukungnya dapat menimbulkan krisis pangan, air, energi dan lingkungan. Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir seluruh jenis sumberdaya alam dan komponen lingkungan hidup di Indonesia cenderung mengalami penurunan kualitas dan kuantitasnya dari waktu ke waktu.
62
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
Dalam era otonomi daerah, pengelolaan lingkungan hidup selain mengacu pada Undang-undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga pada Undangundang No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan kewajiban pemerintah untuk menerapkan sustainable development sebagai solusi untuk memperbaiki kerusakan lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Undang-undang ini memandang dan menghargai arti penting hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi warga negara. Landasan filosofi tentang konsep pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam rangka pembangunan ekonomi adalah sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional, karena persoalan lingkungan kedepan akan semakin kompleks. Persoalan lingkungan adalah persoalan semua, baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat pada umumnya. Permasalahan lingkungan hidup yang saat ini sering dihadapi adalah kerusakan lingkungan di sekitar areal pertambangan seperti pencemaran lingkungan yang semakin meningkat. Terjadi kecenderungan bahwa permasalahan lingkungan tidak semakin ringan namun justru akan semakin berat. Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup harus ditingkatkan kualitasnya dengan dukungan penegakan hukum yang adil dan tegas, sumberdaya manusia yang berkualitas, perluasan penerapan etika lingkungan serta asimilasi sosial budaya yang semakin mantap. Penerapan prinsip pembangunan berkelanjutan dalam pembangunan nasional memerlukan kesepakatan semua pihak untuk memadukan pilar pembangunan secara proposional. Konsep pembangunan berkelanjutan timbul dan berkembang karena timbulnya kesadaran bahwa pembangunan ekonomi dan sosial tidak dapat dilepaskan dari kondisi lingkungan hidup. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia memerlukan sumberdaya alam, yang berupa tanah, air dan udara dan sumberdaya alam lain yang termasuk ke dalam sumberdaya alam yang terbarukan maupun yang tak terbarukan. Namun demikian harus disadari bahwa sumberdaya alam yang kita perlukan mempunyai keterbatasan di dalam banyak hal, baik menurut kuantitas maupun kualitasnya. Sumberdaya alam tertentu juga mempunyai keterbatasan menurut ruang dan waktu. Oleh sebab itu diperlukan pengelolaan sumberdaya alam yang baik dan bijaksana. Antara lingkungan dan manusia saling mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Keberadaan sumberdaya alam, air, tanah dan sumberdaya yang lain menentukan aktivitas manusia sehari-hari. Manusia tidak dapat hidup tanpa udara dan air. Sebaliknya aktivitas manusia mempengaruhi keberadaan sumberdaya dan lingkungan di
63
sekitarnya. Kerusakan sumberdaya alam banyak ditentukan oleh aktivitas manusia. Banyak contoh kasus-kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran udara, pencemaran air, pencemaran tanah serta kerusakan hutan yang kesemuanya tidak terlepas dari aktivitas manusia, yang pada akhirnya akan merugikan manusia itu sendiri. Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam, namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. Banyak faktor yang menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan serta kerusakan lingkungan yang dapat diidentifikasi dari pengamatan di lapangan, oleh sebab itu dalam makalah ini dicoba diungkap secara umum sebagai gambaran potret lingkungan hidup, khususnya dalam hubungannya dengan pengelolaan lingkungan hidup di era otonomi daerah. Pemerintah daerah seakan-akan dengan kewenangan dan otonomi yang dimilikinya untuk mengurus dan mengatur rumah tangga daerahnya sendiri bebas melakukan kebijakan tanpa harus memperhatikan kelestarian lingkungan. Banyak daerah mengeluarkan kebijakan yang sangat eksploitatif serta berpotensi merusak lingkungan. Suatu penelitian mengatakan, bahwa dari 287 peraturan daerah di Jawa terkait dengan pengelolaan sumber daya alam, ternyata 148 diantaranya justru eksploitatif dan merusak lingkungan hidup, sehingga meningkatkan risiko bencana. Hal ini tentulah sangat merugikan dan berpotensi merusak lingkungan hidup Indonesia. Dengan adanya ketentuan baru melalui UndangUndang nomor 32 tahun 2009, dengan memberikan pembagian tugas dan wewenang yang jelas kepada masing-masing pihak dengan menegaskan bahwa tidak hanya pemerintah pusat yang mempuyai tugas dan wewenang melindungi lingkungan, namun juga Pemerintah Daerah harus memperhatikan dan melindungi lingkungan hidup.
II. PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAN LINGKUNGAN HIDUP Dalam mengatasi berbagai permasalahan di atas telah ditetapkan perangkat hukum perlindungan dan pengelolaan terhadap lingkungan hidup, yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam Undang-undang ini, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan: (1) Kebijakan Perencanaan; (2) Kebijakan Pemanfaatan; (3) Kebijakan Pengendalian; (4) Kebijakan Pemeliharaan; (5) Kebijakan Pengawasan; (6) Penegakan Hukum.
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
Peraturan Presiden nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN tahun 2010-2014 menyatakan bahwa untuk pengembangan kapasitas pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup perlu dilakukan berbagai upaya seperti menyusun, menyempurnakan, dan mengkaji peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, meratifikasi konvensi internasional di bidang lingkungan hidup dan instrumennya, mengalokasikan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi lingkungan, meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup untuk menciptakan “check and balances” melalui pola kemitraan, kegiatan adiwiyata, kegiatan aliansi strategis masyarakat peduli lingkungan, mengembangkan Debt for Nature Swaps (DNS) bidang lingkungan hidup, menyusun panduan ekonomi ekosistem lahan basah, melakukan kajian ekonomi ekosistem terumbu karang dan ekosistem padang lamun; program insentif lingkungan; kerangka Indonesia Environment Fund Stategy; dan proposal pendanaan lingkungan dari luar negeri dan integrasi instrumen lingkungan dalam perbankan nasional, serta menyusun buku panduan penyusunan PDRB Hijau.
b. Penetapan Wilayah Ekoregion Penetapan wilayah ekoregion dilaksanakan dengan mempertimbangkan kesamaan : (1) karakteristik bentang alam; (2) daerah aliran sungai; (3) iklim; (4) flora dan fauna; (5) sosial budaya; (6) ekonomi; (7) kelembagaan masyarakat; dan (8) hasil inventarisasi lingkungan hidup. c. Penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) RPPLH disusun oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya dan secara hierarkhis. Acuan penyusunan RPPLH adalah : (1) RPJMN (nasional); (2) RPJMD (Prov, Kab/Kota). RPPLH diatur dengan Peraturan Pemerintah (nasional) atau Peraturan Daerah (provinsi dan kabupaten/ kota). PENETAPAN WILAYA EKOREGION
2.1 Perencanaan Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup
INVENTARISASI LINGKUNGAN HIDUP
Perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui tahapan inventarisasi lingkungan hidup, penetapan wilayah ekoregion, dan penyusunan RPPLH.
PENYUSUNAN RPPLH PENENTUAN :
DAYA DUKUNG DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP CADANGAN SUMBERDAYA ALAM
a. Inventarisasi Lingkungan Hidup
1. RTRW 2. RP JM/RPJP 3. Dok Perencanaan Lainnya
Gambar 1. Tahapan Penyusunan RPPLH
Kegiatan inventarisasi lingkungan hidup dilakukan dengan tujuan lebih mengetahui potensi sumber alam di darat, laut maupun di udara berupa tanah, air, energi, flora, fauna dan lain sebagainya serta produktifitasnya yang diperlukan bagi pembangunan. Inventarisasi lingkungan hidup dilaksanakan untuk memperoleh data dan informasi mengenai sumberdaya alam : (1) Potensi dan ketersediaan; (2) Jenis yang dimanfaatkan; (3) Bentuk penguasaan; (4) Pengetahuan pengelolaan; (5) Bentuk kerusakan; (6) Konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan. Contoh kegiatan dalam inventarisasi ini adalah antara lain: (1) pemetaan dasar wilayah darat dan wilayah laut, (2) pemetaan geologi dan hidrogeologi, (3) pemetaan agroekologi, (4) pemetaan vegetasi dan kawasan hutan, (5) pemetaan kemampuan tanah, (6) penatagunaan sumber daya alam seperti hutan, tanah dan air, (7) inventarisasi dan pemetaan tipe ekosistem dan (8) kegiatankegiatan pendidikan dan latihan, penelitian dan pengembangan teknologi. Inventarisasi lingkungan hidup di tingkat wilayah ekoregion dilakukan untuk menentukan daya dukung dan daya tampung serta cadangan sumber daya alam.
2.2 Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Hidup Pemanfaatan sumber daya alam dilakukan berdasarkan RPPLH. Mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Apabila RPPLH belum tersusun, pemanfaatan sumberdaya alam dilakukan berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup dengan mempehatikan : (1) keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup; (2) keberlanjutan produktifitas lingkungan hidup; dan (3) keselamatan, mutu hidup, dan kesejahteraan masyarakat. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup ditetapkan oleh Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangannya. 2.3 Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup. Adapun tahapannya adalah sebagai berikut : (1) Pencegahan; (2) Penanggulangan; (3) Pemulihan.
64
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
a. Pencegahan, Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Instrumen pencegahan kerusakan lingkungan hidup terdiri atas : (1) KLHS; (2) Tata ruang; (3) Baku mutu lingkungan hidup; (4) Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; (5) Amdal; (6) UKL-UPL; (7) Perizinan; (8) Instrumen ekonomi lingkungan hidup; (9) Peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; (10) Anggaran berbasis lingkungan hidup; (11) Analisis risiko lingkungan hidup; (12) Audit lingkungan hidup; (13) Instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan. b Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau program, maka sesuai amanat UU No. 32 tahun 2009 bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah diwajibkan untuk membuat Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Adapun dalam KLHS sedikitnya harus memuat : 1. Kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup; 2. Perkiraan mengenai dampak dan risiko lingkungan hidup; 3. Kinerja layanan/jasa ekosistem; 4. Efisiensi pemanfaatan sumberdaya alam; 5. Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap perubahan iklim; 6. Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati. 2.4 Penanggulangan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Penanggulangan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk menghentikan meluas dan meningkatnya kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup serta dampaknya. Pemberian informasi peringatan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup kepada masyarakat
Pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
Pemulihan kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup adalah upaya untuk mengembalikan fungsi hutan dan atau lahan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan sesuai dengan daya dukungnya, adapun upaya pemulihan dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
Gambar 3. Tahapan Pemulihan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup 26. Pemeliharaan Lingkungan Hidup Pemeliharaan lingkungan hidup adalah upaya yang dilakukan untuk menjaga pelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya penurunan atau kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh perbuatan manusia. Pemeliharaan lingkungan hidup dilaksanakan melalui konservasi dan pencadangan sumberdaya alam serta pelestarian fungsi atmosfer. Konservasi sumberdaya alam meliputi kegiatan pencadangan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam. Pencadangan sumberdaya alam merupakan sumberdaya alam yang tidak dapat dikelola dalam kurun waktu tertentu. Pelsetarian sumberdaya alam meliputi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, perlindungan lapisan ozon, dan perlindungan terhadap hujan asam.
III. DAYA DUKUNG DAN DAYA TAMPUNG LINGKUNGAN HIDUP (KASUS PULAU JAWA)
Setiap orang yang melakukan pencemaran wajib melakukan penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup Penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup
25. Pemulihan Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup
Pulau Jawa dengan luas 7 persen dari total daratan wilayah Indonesia hanya memiliki potensi air tawar 4,5 persen dari total nasional, selain itu pulau ini dihuni oleh sekitar 65 persen total penduduk Indonesia. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa potensi kelangkaan air yang sangat besar akan terjadi di pulau Jawa.
Cara lain sesuai perkembangan iptek
Gambar 2. Tahapan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup
65
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
Perhitungan ini sangat masuk akal, mengingat pada tahun 1930, Pulau Jawa masih mampu memasok 4.700 meter kubik per kapita per tahun. Namun, saat ini total potensinya tinggal sepertiga atau sekitar 1.500 meter kubik per kapita per tahun. Jadi kalau berpegang pada perhitungan ini, diperkirakan tahun 2025 total potensi air akan menjadi berkurang hingga 1.200 meter kubik per kapita per tahun. Dan kalau diperhitungkan secara kelayakan ekonomi air, yang hanya 35 persen saja yang layak pakai, berarti potensi aktualnya yang hanya tinggal 400 meter kubik per kapita per tahun. Angka tersebut jauh di bawah standar Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), yaitu 1.100 meter kubik per kapita per tahun.
Banjir dan Kekeringan dalam Siklus Hidrologi. Dalam siklus hidrologi sering terjadi dua hal yang ekstrim yitu kekeringan dan banjir. Untuk memahami keadaan kedua ekstrim tersebut diperlukan pemahaman bagaimana air dapat disimpan dengan baik didalam maupun dipermukaan tanah dan bagaimana agar siklus air bekerja secara alamiah. Beberapa faktor yang menjadi penyebab banjir, ternyata bukan hanya disebabkan karena curah hujan yang tinggi, akan tetapi juga diakibatkan karena kondisi iklim global yang menyebabkan naiknya air laut, sehingga air hujan tidak dapat mengalir dengan lancar ke laut. Musim kemarau utamanya di Pulau Jawa selalu mengalami kekeringan dan kesulitan air. Jumlah wilayah yang menderita kekeringan dari tahun ketahun terlihat semakin meningkat dan meluas. Hal ini diakibatkan tidak hanya oleh rusaknya lingkungan di daerah tangkapan air, akan tetapi juga diakibatkan oleh pesatnya pembangunan fisik serta rendahnya tingkat kesadaran masyarakat dalam penggunaan air yang tidak diikuti dengan upaya menjaga dan melestarikan sumber daya air.
3.1. Permasalahan Pengelolaan Sumberdaya Air di Pulau Jawa Kebutuhan Air Semakin Meningkat. Meskipun Indonesia termasuk 10 negara di dunia yang mempunyai sumber daya air besar, hal itu tidak menjamin akses terhadap sumber daya tersebut secara mudah dapat diperoleh. Masalahnya, krisis air di Indonesia merupakan masalah kronis karena hampir selalu terjadi setiap tahun. Penyebabnya karena distribusi ketersediaan air di Indonesia tidak merata. Pulau Jawa tergolong pulau yang kritis air (water stress area) dimana setiap penduduk di Jawa hanya terpenuhi kebutuhan airnya dalam satu tahun sebesar 1.750 meter kubik per kapita. Suatu wilayah masuk dalam kategori kritis air karena pemenuhan kebutuhan airnya sudah di bawah 2.000 meter kubik per kapita per tahun yang dipersyaratkan.
Menurut Badan Meteorologi dan Geofisika setidaknya terdapat 30 kabupaten yang mengalami kesulitan air, dan tergolong parah adalah yaitu di 13 kabupaten di provinsi Jawa Timur, 12 kabupaten di Jawa Tengah, 3 di Jawa Barat, 2 di DI. Yogyakarta, dan 2 kabupaten di provinsi Banten. Sedangkan menurut data BPS tahun 2000, desa yang rawan air bersih meliputi desa-desa di kabupaten Serang, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Indramayu, Cirebon, Garut, Sukabumi, Grobogan, Demak, Blora, Rembang, Brebes, Wonogiri dan Cilacap.
Perubahan Penutupan Lahan. Hasil penafsiran citra landsat tahun 2005, hutan alam di pulau Jawa tinggal lebih kurang 400.000 hektar, sedangkan total penutupan lahan oleh vegetasi (hutan, perkebunan, mangrove dan lain-lain) hanya mencapai 21 persen sehingga lebih rendah dari yang disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yaitu setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) minimal 30 persen harus berupa hutan dan pada daerah perkotaan 30 persennya berupa Ruang Terbuka Hijau (RTH). Luas penutupan sawah tinggal 2,63 juta hektar (20,8 persen) yang dalam kurun waktu 15 tahun telah terjadi penurunan luas sawah sebesar 7 persen.
Penurunan Kualitas Air. Penggundulan hutan yang semakin lama semakin ke arah hulu sungai membuat kemampuan DAS menyerap air berkurang. Jumlah air permukaan yang mengalir menjadi lebih banyak. Dengan menggunakan istilah run off coefficient, yaitu jumlah air yang mengalir dibanding jumlah air hujan yang turun sebagai indikasi dari rusaknya hutan. Curah hujan yang tidak merata sepanjang tahun, kondisi DAS yang rusak dapat dikendalikan dengan pembangunan saluran irigasi. Namun, kondisi prasarana irigasi yang dibangun pemerintah serta waduk dan saluran irigasi banyak yang rusak parah. Dari total jaringan irigasi di pulau Jawa seluas 3,28 juta hektar, 379,761 ribu hektar rusak. Kerusakan sebesar lebih dari 10 persen ini amat mengganggu. Upaya untuk menyeimbangkan debit maksimum dan minimum rasionya dapat dilakukan dengan pembangunan waduk. Hujan yang jatuh di hulu karena kondisi DAS rusak semua mengalir ke bawah, ditampung waduk yang pada musim kemarau dapat sebagai cadangan air untuk irigari, air baku, dan kebutuhan lainnya.
Perubahan alih fungsi lahan di Jawa memang tidak dapat di hindari terkait dengan tekanan jumlah penduduk dan tuntutan kebutuhan kehidupan yang terus meningkat. Upaya moratorium alih fungsi lahan misalanya melalui Instruksi Presiden tentang pelarangan konversi lahan irigasi teknis tidak sepenuhnya berhasil, malah dalam kenyataan sebaliknya terutama terjadi di daerah hinterland perkotaan. Hasil perhitungan Jejak ekologi menunjukkan daya dukung lahan di semua provinsi di jawa sudah terlampaui yaitu baik menggunakan standar kebutuhan lahan sangat sederhana (0,256 hektar/kapita), atau dengan standar kebutuhan lahan sedang (0,78 hektar/kapita).
Pencemaran Air. Pencemaran air pada umumnya diakibatkan oleh kegiatan manusia. Besar kecilnya pencemaran akan tergantung dari jumlah dan kualitas limbah yang dihasilkan. Sampah organik yang dibuang ke sungai menyebabkan
66
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
berkurangnya jumlah oksigen terlarut, karena sebagian besar digunakan bakteri untuk proses pembusukannya. Apabila sampah anorganik yang dibuang ke sungai, cahaya matahari dapat terhalang dan menghambat proses fotosintesis dari tumbuhan air dan alga, yang menghasilkan oksigen. Penggunaan deterjen secara besar-besaran juga meningkatkan senyawa fosfat pada air sungai atau danau. Fosfat ini merangsang pertumbuhan ganggang dan eceng gondok. Pertumbuhan ganggang dan eceng gondok yang tidak terkendali menyebabkan permukaan air danau atau sungai tertutup sehingga menghalangi masuknya cahaya matahari dan mengakibatkan terhambatnya proses fotosintesis. Kerusakan Pesisir dan Pantai. Secara ekologis berpotensi sebagai perlindungan terhadap wilayah pesisir dan pantai dari ancaman sedimentasi, abrasi, dan intrusi air laut. Kawasan mangrove di pantai utara Jawa Tengah pada umumnya tergolong rusak berat dan rusak sedang dengan luas masing-masing 43.903 hektar dan 32.502 hektar. Penyebab kerusakan adalah terjadinya alih fungsi hutan mangrove menjadi perumahan, tambak, polusi laut, reklamasi, serta kawasan wisata pantai. Potensi kawasan mangrove di wilayah DKI Jakarta saja pada tahun 1939 tercatat 1.210 hektar, saat sekarang tercatat tinggal 310,50 hektar. Dari potensi luasan tersebut, 168 hektar diantaranya berada di pantai Jakarta, meliputi: (a) kawasan Hutan Lindung (44,0 hektar), Suaka Alam (25,0 hektar), dan hutan wisata mangrove (99,0 hektar). Kerusakan lingkungan yang dialami wilayah pesisir utara Pulau Jawa, makin lama makin parah, penyebabnya adalah terjadinya abrasi, pengikisan daratan oleh air laut. Diperparah lagi, tanaman bakau dan terumbu karang yang menjadi pertahanan pantai utara ikut hancur. Akibat abrasi berbagai infrastruktur rusak, lingkungan hancur, ekosistem berubah. Dan secara sosial ekonomi juga menciptakan bencana terhadap penduduk. Pencemaran industri dan abrasi yang jadi penyebabnya. Bencana alam di daerah itu, seperti rob dan pencemaran lingkungan semakin tak terelakkan. Sekitar 84 kilometer bibir pantai di bagian utara Jawa Tengah mengalami kerusakan akibat abrasi yang melanda kawasan pesisir. Panjang bibir pantai utara Jawa Tengah yang mencapai 441 kilometer, membanting dari wilayah Brebes hingga Rembang, telah mengalami kerusakan 3.2. Perhitungan Daya Dukung Lingkungan Perhitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan dilakukan melalui 3 pendekatan yaitu : (1) Pendekatan Jejak Ekologi; (2) Pendekatan Sumberdaya Air; (3) Perhitungan PDRB Hijau. a. Pendekatan Jejak Ekologi Setiap manusia membutuhkan lahan untuk memenuhi kebutuhannya seperti untuk makan, perumahan, energi, transportasi, penyediaan air dan lain-lain. Standar kebutuhan lahan adalah:
Rata-rata dunia (baku) Standar indonesia (normal) Kebutuhan sangat sederhana
= 4,18 ha/kapita = 0,780 ha/kapita = 0,256 ha/kapita
Hasil perhitungan daya dukung lahan dengan pendekatan jejak ekologi untuk kasus Pulau Jawa pada tahun 2025 disajikan pada Tabel 1.1 Sedangkan proyeksi kelebihan penduduk disajukan pada Tabel 2. Tabel 1. Kondisi Daya Dukung Lahan Berdasarkan Jejak Ekologi di Pulau Jawa Tahun 2025 No.
1 2 3 4 5 6
Jumlah Penduduk (Orang)
Provinsi
Banten DKI Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur JUMLAH
11.864.478 22.280.445 62.888.800 33.962.344 4.678.880 45.836.483 181.511.430
Luas Wilayah (Ha)
Ketersediaan Lahan (Ha/Orang)
916.070 740.280 3.481.696 3.254.820 318.580 4.792.200 13.503.646
Kebutuhan Lahan Sangat Sederhana (0,256 Ha/Orang)
Kebutuhan Lahan Sedang (0,78 Ha/Orang)
Kelebihan Kekurangan Kelebihan Jumlah Kekurangan Penduduk Lahan Jumlah Penduduk Lahan (Orang) (Ha/Orang) (Orang) (Ha/Orang)
0,08 0,03 0,06 0,10 0,07 0,10 0,07
-0,18 -0,22 -0,20 -0,16 -0,19 -0,15 -0,18
8.286.080 19.388.726 49.288.425 21.248.203 3.434.427 27.116.952 128.762.813
-0,70 -0,75 -0,72 -0,68 -0,71 -0,68 -0,71
10.690.029 21.331.368 58.425.087 29.789.498 4.270.444 39.692.637 164.199.063
Sumber: Mawardi, Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, BPPT, Jakarta, 2 Desember 2009.
Tabel 2. Proyeksi Kelebihan Penduduk di Pulau Jawa Berdasarkan Daya Dukung Lahan dan Potensi Air ( Juta Jiwa) Tahun
Penduduk
2000 2007 2010 2015 2025
121,29 133,85 140,31 152,24 181,51
Berdasarkan Kebutuhan Lahan (0,256 (0,780 ha/ka) ha/ka) 68,54 103,98 81,10 116,54 87,25 122,99 99,49 134,93 128,76 164,20
Berdasarkan Kebutuhan Air dengan berbagai Standar PBB
WHO
44,58 63,89 73,18 89,89 128,0
36,91 56,89 66,47 83,62 123,2
Pareto Optimal 22,02 43,31 53,44 71,51 113,17
4 sehat 5 Sempurna 13,11 35,18 45,64 64,27 107,04
Minimal (19,3) 5,58 17,24 25,94 84,69
Sumber: Mawardi, Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, BPPT, Jakarta, 2 Desember 2009.
3.3. Pendekatan Sumberdaya Air Pendekatan sumberdaya air dihitung dengan pertimbangan bahwa didalam memenuhi kebutuhannya, manusia memerlukan air baik untuk kegiatan irigasi, energi domestik dan lain lain. Proyeksi potensi dan kebutuhan air di Pulau Jawa untuk beberapa tahun disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 4. Sedangkan proyeksi kelebihan penduduknya disajikan pada Tabel 4. Tabel 3. Proyeksi Potensi dan Kebutuhan Air Penduduk Pulau Jawa pada Berbagai Standar Kehidupan Tahun
Penduduk (juta)
Potensi (miliar M 3)
Potensi M3/kap/th
2000 2007 2010 2015 2025
121,29 133,85 140,31 152,24 181,51
84,38 76,96 73,84 68,62 50.09
695,69 575,19 526,26 450,74 319,54
Defisit Air pada Berbagai Standar kebutuhan dalam M3/kap/th Pareto 4 Sehat 5 PBB WHO Minimal Optimal Sempurna (1100M3// (100M3/ (600 (850M3 (780 kap/th) kap/th) M3/kap/th) /kap/th) M3/kap/th) 404,3 304,31 154,31 84,31 (95,69) 524,81 424,81 274,81 204,81 24,81 573,74 473,74 323,74 253,74 73,74 649,26 549,26 399,26 324,26 149,26 780,46 680,46 530,46 460,46 280,46
Sumber: Mawardi, Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, BPPT, Jakarta, 2 Desember 2009.
67
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
Penyusutan Modal Lingkungan : Penurunan kualitas lingkungan dalam menghasilkan SDA & Jasa Lingkungan Tabel 7. Perbandingan Pendapatan Regional Konvensional dengan Pendapatan Regional Hijau atas Dasar Harga Berlaku Menurut Provinsi di P.Jawa tahun 2002-2005 (Dalam Triliun Rupiah)
Penduduk 121,29 133,85 140,31 152,24 181,51
PDRB P. Jawa
PBB
WHO 36,91 56,89 66,47 83,62 123,2
Pareto Optimal 22,02 43,31 53,44 71,51 113,17
4 sehat 5 Sempurna 13,11 35,18 45,64 64,27 107,04
2002 PRk PRh 55,26 54,34 273,47 273,36 220,14 213,79 138,55 130,62
PRk 60,47 303,65 250,42 156,11
2003
PRh 59,59 303,47 246,12 147,02
PRk 67,98 346,35 280,78 178,39
2004
PRh 66,15 346,25 271,08 168,24
PRk 78,73 403,63 362,14 218,10
2005
PRh 77,946 403,48 355,03 206,44
15,97
15,22
17,81
16,74
20,31
19,151
23,66
22,20
243,56
231,53
273,02
259,53
314,53
299,61
375,28
359,23
946,96
918,80
1.061,48
1.032,49
1.208,34
1.170,50
1.462,54
1.424,36
Sumber: Mawardi, Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, BPPT, Jakarta, 2 Desember 2009.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan Kebutuhan Air THD berbagai Standar
44,58 63,89 73,18 89,89 128,0
Banten DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur
6
Tabel 4. Proyeksi Kelebihan Penduduk di P.Jawa Berdasarkan Daya dukung Potensi Air (dalam Juta Jiwa)
2000 2007 2010 2015 2025
Provinsi
1 2 3 4 5
Gambar 4. Proyeksi Cadangan dan Potensi Air di P. Jawa
Tahun
No
Daya dukung sumberdaya air di pulau Jawa terus menurun sejalan dengan meningkatnya kebutuhan dan berkurangnya potensi air yang tersedia. Meningkatnya kebutuhan air di pulau Jawa selain disebabkan oleh jumlah penduduk yang terus meningkat juga disebabkan oleh peningkatan produktivitas dan kualitas hidup penduduk yang memerlukan lebih banyak air. Jumlah penduduk pulau Jawa akan meningkat dari 133,8 juta pada tahun 2007 menjadi 181,5 juta pada tahun 2025. Dengan kebutuhan air 1.100 meter kubit/kapita/tahun, maka akan ada peningkatan kebutuhan sebesar 52,4 miliar meter kubik, disisi lain akan terjadi penunuran potensi air yang sangat nyata sehingga di pulau Jawa akan terjadi krisis air yang hebat. Penurunan ketersediaan air ini selain disebabkan kerusakan hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS), juga akibat penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah dan pencemaran badan sungai.
Minimal (19,3) 5,58 17,24 25,94 84,69
Sumber: Mawardi, Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, BPPT, Jakarta, 2 Desember 2009.
3.4. Perhitungan PDRB Hijau Salah satu faktor pembentuk PDRB adalah berasal dari diekploitasinya kekayaan sumberdaya alam (hasil hutan, hasil alam, bahan tambang, dll). Tetapi apakah kita pernah berfikir bahwa peningkatan PDRB akan mengakibatkan menyusutnya cadangan sumberdaya alam dan kerusakan lingkungan?. PDRB Hijau adalah suatu konsep revolusioner yang mengubah metode pencatatan kinerja ekonomi suatu wilayah dengan mempertimbangkan penyusutan (depresiasi) cadangan sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup yang akan dialami di masa mendatang (generasi mendatang). Perbandingan Pendapatan Regional Kovensional dan Pendapatan Regional Hijau disajikan pada Tabel 5.
Penurunan daya dukung sumberdaya air tersebut harus segera diatasi, apabila dibiarkan kondisi ini akan menimbulkan masalah yang serius karena pulau Jawa selain berpenduduk 65 persen dari total penduduk Indonesia, juga aktivitas ekonomi masih terkonsentrasi di pulau ini (60 persen dari GNP). Diperkirakan apabila tidak ada upaya yang nyata, maka pada tahun 2025 pulau Jawa hanya menyediakan air sekitar 600 meter kubik/kapita/tahun. Dalam mengatasi permasalahan krisis sumber daya air di pulau Jawa, upaya yang perlu dilakukan harus secara konfrehensif yaitu berupa pendekatan struktural dan fungsional yang antara lain berupa : (1) Pelaksanaan dan pengawalan kebijaksaan nasional bidang pengelolaan sumberdaya air; (2) Pengaturan tata ruang wilayah dengan menetapkan 30 persen wilayahnya harus berupa hutan atau ruang terbuka hijau; (3) Mitigasi dan adaptasi terhadap pemanasan global; (4) Pengaturan jumlah dan distribusi penduduk; (5) Rehabilitasi hutan dan
Gambar 5. Rumusan Perhitungan PDRB dan Pendapatan Regional Hijau Keterangan : Penyusutan Modal Buatan Manusia : Penyusutan Barang & Jasa
68
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0
Catatan
lahan, terutama untuk areal yang sensitif terjadinya erosi dan longsor atau daerah hulu sungai; (6) Pengendalian kawasan pantai dan pesisir untuk menghindari terjadi banjir, air pasang (rob) dan abrasi; (7) Peningkatan efisiensi penggunaan air dan pencegahan pencemaran air; dan; (8) Pengaturan kelembagaan pegelolaan sumberdaya air.
1
Hasil perhitungan untuk tahun dasar 2007 dan tahun 2015 dapat diperoleh dengan menghubungi Redaksi.
DAFTAR PUSTAKA
Dengan dimasukkannya komponen deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan hidup sebagai penyusutan daya dukung lingkungan, maka dapat dihitung PDRB hijau yang nilai sebenarnya lebih rendah dari perhitungan PDRB konvensional. Nilai tersebut lebih menggambarkan hal yang sebenarnya dengan memperhatikan kondisi sumberdaya alam. Perlu adanya perhatian yang serius dari pemerintah mengingat potensi Sumberdaya Alam yang semakin berkurang dan daya dukung lingkungan hidup yang menurun khususnya di Pulau Jawa. Perlunya perubahan paradigma pembangunan dari Pembangunan yang hanya berorientasi pada pertumbuhan semata kepada pembangunan yang berkelanjutan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Sumberdaya alam dan Lingkungan hidup bukan merupakan warisan DARI nenek moyang, LEBIH MERUPAKAN AMANAH untuk anak cucu.
Kemenko Perekonomian, 2008. Kajian Daya Dukung Lingkungan Pulau Jawa. Kantor Menko Perekonomian. Jakarta. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 20102014. Jakarta. Mawardi, Ikhwanuddin, 2009. Krisis Sumberdaya Air di Pulau Jawa dan Upaya Penanggulangannya : Proyeksi tahun 2025. Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Ikhwanuddin Mawardi adalah Tenaga Ahli Menneg PPN/ Kepala Bappenas Bidang Kawasan Timur Indonesia dan Kawasan Tertinggal.
69
E D I S I 0 3 / TA H U N X V I / 2 0 1 0