www.ahmadiyya.or.id
Pembaharuan Bagian II Disajikan di bawah ini adalah bagian kedua dari khutbah Hazrat Mirza Ghulam Ahmada.s. dari Qadian, Masih Maud dan Imam Mahdi, pada tanggal 26 Desember 1903. Terjemahan ini diambil dari naskah berbahasa Urdu dalam Malfuzat, vol. 6, h.240-245. Malfuzat adalah judul dari sepuluh jilid buku yang berisikan koleksi diskursus, pidato dan khutbah Hazrat Mirza Ghulam Ahmadas, Masih Maud dan Imam Mahdi. Penterjemah: A.Q. Khalid
Sambungan edisi Oktober 2002:
Pendiri Jemaat Islam Ahmadiyah, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad a.s. Dalam tahun 1891, berdasarkan wahyu Ilahi, beliau menyatakan diri sebagai Al-Masih yang Dijanjikan dan Imam Mahdi yang kedatangannya telah dinubuatkan oleh Hazrat Muhammad Rasulullah s.a.w. serta kitab suci agama lainnya. Pernyataan beliau menjadi dasar dari keimanan Jemaat Islam Ahmadiyah.
Ibadah Shalat hanya bisa dianggap shalat hakiki jika dilambari dengan hubungan suci dan murni dengan Tuhan, dimana seseorang telah karam dalam kenikmatan dan kepatuhan kepada Tuhan yang jauh mengatasi semua kesenangan kepada benda duniawi, bahkan siap mengurbankan nyawanya di jalan Tuhan. Jika keadaan seperti itu sudah tercapai dalam diri seseorang barulah dikatakan bahwa shalatnya tulus dan hakiki. Sebelum keadaan hakiki tersebut terbentuk dan sampai yang bersangkutan telah memanifestasikan tanda-tanda dari kesetiaan yang benar dan tulus, maka shalat dan amal lainnya tidak akan membawa pengaruh apa pun.
- 1 -
www.ahmadiyya.or.id
Banyak sekali orang yang dianggap sebagai mukminin dan lurus di dunia ini, namun ternyata di langit mereka dianggap sebagai kafir. Seorang mukminin sejati yang lurus dalam segala hal adalah ia yang dianggap sebagai orang yang lurus juga di langit, walau pun yang bersangkutan mungkin dipandang sebagai kafir oleh dunia. Hanya saja untuk mencapai kondisi keimanan hakiki dan kejujuran sejati serta memanifestasikan tanda-tanda kesetiaan total dan tulus kepada Tuhan adalah suatu yang luar biasa sulitnya. Jika seseorang telah mencapai derajat keimanan kepada Tuhan yang benar-benar mendalam dan hakiki, dirinya akan memperlihatkan banyak tanda-tanda dari keadaan tersebut. Tanda-tanda pembeda dari mukminin sejati seperti yang dikemukakan kitab suci Al-Quran akan bisa ditemukan pada mereka yang beriman secara benar. Di antara tanda-tanda pembeda itu adalah bertambah besarnya jarak antara dirinya dengan dunia kebendaan. Seperti ular yang melungsungi dari kulit lamanya, begitu juga laiknya orang yang kemudian menendang jauh mengenyahkan dunia kebendaan dan menjauh diri daripadanya, sepertinya ia melungsungi keluar dari fitrat merasa diri penting dan - 2 -
nafsu-nafsu diri. Seperti itulah seseorang menjadi seorang mukminin dan pada dirinya akan ditemukan tanda-tanda dari keimanan hakiki. Karena itu juga Allahswt berfirman:
‘Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.16 An-Nahl:129) Tidak diragukan lagi bahwa Allah beserta mereka yang Takwa dan mereka yang melakukan amal yang lebih tinggi lagi dari Takwa yaitu berbuat kebajikan bagi sesama umat manusia. Yang dimaksud dengan Takwa adalah menahan diri dari segala perbuatan tercela, sedemikian rupa sehingga garis batasnya yang paling halus sekali pun tidak akan dilanggarnya. Ingatlah bahwa yang dimaksud dengan orang baik bukan karena ia tidak mengambil atau mencuri hak orang atau pun karena tidak berzinah misalnya. Seseorang yang bertakwa akan menganggap definisi kebaikan demikian suatu hal yang menggelikan karena nyatanya jika yang bersangkutan
www.ahmadiyya.or.id
melakukannya juga maka ia akan dihukum oleh masyarakat. Karena itu laku demikian saja belum merupakan jenis kebaikan yang bisa dihargai oleh mereka yang mengenal Tuhan dengan baik. Laku yang benar-benar dikatakan baik adalah jika seseorang bermanfaat bagi umat manusia serta memperlihatkan kesetiaan dan kejujuran sepenuhnya di jalan Tuhan, bahkan kalau perlu dengan mengurbankan nyawanya untuk itu. Karena itulah dinyatakan dalam Al-Quran:
‘Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.16 An-Nahl:129) Dengan kata lain, Allahswt selalu beserta mereka yang menahan diri dari kelakuan buruk serta yang beramal saleh. Ingatlah selalu hal ini karena semata menahan diri dari perbuatan buruk saja tidak akan dianggap sebagai laku terpuji kecuali disertai dengan amal baik. Banyak sekali manusia yang tidak pernah berzinah atau membunuh orang, atau pun mencuri dan merampok, tetapi juga tidak mela-
kukan sesuatu yang mencerminkan kesetiaan hakiki kepada Tuhan atau pun mengkhidmati umat manusia dengan cara apa pun. Orang-orang seperti itu tidak ada melakukan amal kebaikan sama sekali. Hanya yang bodoh yang menganggap orang-orang demikian sebagai mutaqi mengingat kelakuan buruk seperti mencuri, membunuh dan berzinah secara umum memang sudah dianggap sebagai perilaku buruk. Menahan diri dari melakukan hal-hal yang buruk demikian tidak lantas menjadikan seseorang lalu termasuk ke dalam kelompok ‘sahabat-sahabat Allah.’ Sudah menjadi fitrat Ilahi bahwa mereka yang mencuri, tidak jujur, menerima suap dan lain-lainnya akan menemui hukuman bahkan ketika masih di dunia ini juga. Karena itu ingatlah selalu bahwa semata menahan diri dari perilaku buruk tidak menjadikan seseorang lantas menjadi disebut baik. Yang namanya Takwa tingkatannya masih di bawah. Tamsilnya sama dengan wadah yang telah dibersihkan sempurna agar bisa menampung makanan terbaik apa pun yang akan diletakkan di dalamnya. Jika wadahnya memang sudah dibersihkan betul tetapi tidak ada makanan yang ditaruh di dalamnya, apakah hal itu akan bisa - 3 -
www.ahmadiyya.or.id
melepaskan rasa lapar seseorang? Jelas tidak! Begitu juga halnya dengan Takwa. Apakah yang dimaksud dengan Takwa itu? Maknanya adalah membersihkan wadah yang dianggap mengandung Nafsi Ammarah (diri yang mengundang kepada kejahatan). Ada tiga bentuk diri atau ruh yaitu Nafsi Ammarah (diri yang mengundang kepada kejahatan), Nafsi Lawwamah (ruh yang menyalahkan diri) dan Nafsi Mutmainnah (ruh yang tenteram). Masih ada bentuk ruh lainnya yang disebut sebagai Nafsi Zakiyyah (diri yang suci alamiah) namun ini hanya terdapat pada masa kanak-kanak dimana konsep dosa belum lagi mengena. Karena itu terlepas dari Nafsi Zakiyyah, hanya ada tiga bentuk diri atau ruh yang bisa diterapkan pada usia dewasa manusia. Nafsi Ammarah adalah keadaan dimana seseorang menjadi hamba dari dirinya dan Syeitan dimana ia hanya mengikuti nafsunya semata. Apa pun yang diperintahkan dirinya akan dipatuhi orang bersangkutan seperti halnya hamba yang mematuhi perintah tuannya. Jika ruhnya itu menyuruh membunuh maka ia akan melakukannya. Begitu juga jika menyuruhnya berzinah atau mencuri. Apa pun yang - 4 -
menjadi hasrat dirinya, akan dipenuhinya. Kejahatan apa pun yang ingin dilakukannya akan dilaksanakannya. Inilah keadaan yang disebut Nafsi Ammarah yaitu ‘diri atau ruh yang mengundang kejahatan.’ Di atas keadaan itu adalah yang disebut sebagai Nafsi Lawwamah yaitu ‘diri atau ruh yang menyesal.’ Ini adalah kondisi dimana seseorang belum sepenuhnya bebas dari dosa, namun ia menyesali diri dan berupaya mencoba dan mencari daya guna membebaskan dirinya dari dosa. Mereka yang berada dalam kondisi Nafsi Lawwamah ini berada dalam situasi perang terus menerus melawan Syeitan dan nafsu dirinya. Terkadang mereka menang saat mereka bisa mengekang diri dan terkadang kalah ketika mereka tunduk pada nafsunya. Tetapi mereka ini sudah jauh berbeda dari orang yang masih dipengaruhi Nafsi Ammarah. Sebenarnya tidak ada perbedaan di antara Nafsi Ammarah dengan keadaan hewaniah. Seperti halnya anjing yang kucing yang menemukan wadah tanpa tutup, mereka tidak mempedulikan apakah mereka punya hak atas isinya atau tidak, begitu juga dengan orang yang menjadi hamba dari nafsunya yang akan membawanya pada laku
www.ahmadiyya.or.id
kejahatan kapan saja setiap ada kesempatan. Hal ini berbeda dengan mereka yang dipengaruhi oleh Nafsi Lawwamah karena ia ini selalu dalam keadaan berperang, dimana terkadang ia menang dan kali lain adalah nafsunya yang menang. Pada keadaan demikian belum ada kemenangan mutlak seperti halnya pada kondisi Nafsi Mutmainnah. Dalam kondisi ini sudah tidak ada lagi pertempuran dan yang ada hanyalah kemenangan seperti yang terkandung dalam makna Nafsi Mutmainnah yaitu pencapaian kepuasan dan kedamaian sempurna. Pada tingkat ini seseorang telah mencapai keimanan hakiki akan Tuhan-nya dimana ia mengimani eksistensi Tuhan dengan kepastian mutlak. Kondisi Nafsi Mutmainnah membawa perkuatan keimanan yang telah mencapai puncak tertinggi dan keyakinan yang hanya bisa dicapai jika beriman sepenuhnya kepada Allahswt. Pahamilah keyakinan ini bahwa yang menjadi akar dari segala laku saleh dan amal kebajikan adalah keimanan kepada Tuhan. Tambah lemah keimanan kepada Tuhan akan bertambah nisbi amal kebajikan dimana manusia menjadi malas untuk melakukan amal kebajikan. Bila keimanan kepada
Tuhan kuat adanya, dimana seseorang yakin sepenuhnya akan segala fitrat Ilahi maka akan muncul perubahan ajaib dalam laku yang bersangkutan. Seseorang yang sepenuhnya beriman kepada Tuhan tidak akan lagi mampu melakukan dosa karena keyakinannya itu telah memungkas kapasitas dosa dari dirinya. Apakah seorang yang telah buta bisa memandang dengan nafsu, apakah ia masih bisa melakukan dosa yang berkaitan dengan mata? Begitu ju ga seseorang yang tangannya telah dikutung, bagaimana mungkin ia melakukan dosa yang berkaitan dengan anggota tubuh itu? Seseorang yang berada dalam kondisi Nafsi Mutmainnah merasa dirinya dalam kondisi yang sama yaitu ia secara ruhaniah tidak mampu lagi melakukan dosa. Kondisi Nafsi Mutmainnah menjadikannya ‘buta’ sedemikian rupa sehingga matanya tidak lagi mampu melakukan dosa yang berkaitan dengan penglihatan. Ia melihat tetapi tidak melihat karena ia tidak lagi memiliki ‘penglihatan dosa.’ Ia memiliki telinga namun ia ‘tuli’ dan ia tidak bisa mendengar sesuatu yang mengandung dosa. Secara demikian itulah telah turun suatu bentuk kematian atas semua kapasitas diri yang bisa melakukan dosa dan ia - 5 -
www.ahmadiyya.or.id
sepertinya telah ‘mati’ dimana ia bergerak hanya karena kehendak Allah s w t dan tidak akan ia mengambil satu langkah pun yang nantinya akan bertentangan dengan kehendak Ilahi. Pada tahapan inilah ia telah mencapai keimanan hakiki pada Tuhan-nya dan untuk itu ia diberkati dengan suasana kepuasan dan kedamaian sempurna. Inilah kondisi yang harus menjadi dambaan manusia dan ini juga yang harus dicapai oleh Jemaat ini. P en c ap ai an k e p u a s a n d a n kedamaian hakiki membutuhkan keimanan total dan sempurna kepada Allahswt. Karena itu tugas utama Jemaat adalah mencapai keimanan sempurna kepada Allahswt. (Bersambung)
- 6 -