PEMARTABATAN DAN PEMBERADABAN BANGSA MELALUI BAHASA DAN SASTRA Suminto A. Sayuti Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia Sur-el:
[email protected]
Abstrak: Bahasa dan sastra sebagai bagian kebudayaan merupakan faktor penting dalam upaya pemartabatan dan pemberadaban bangsa. Jalan kebudayaan adalah jalan untuk membangun sikap mental dan kesadaran. Hubungan antara individu dan masyarakatnya merupakan hubungan yang resiprokal sehingga secara historis dan sistemis tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam konteks yang berbasis mutualitas inilah persoalan nilai-nilai budaya dalam pendidikan bahasa dan sastra menjadi benar-benar tampak, dan penting untuk diimplementasikan karena kebudayaan merupakan lahan dan habitat utama bagi tumbuhnya identitas dan kepribadian. Kebudayaan memerlukan upaya “pelestarian” melalui pendidikan, yakni pendidikan yang memberikan pencerahan terhadap pentingnya nilai budaya, baik dalam sifatnya yang preservatif maupun progresif. Penyelenggaraan pendidikan tanpa wawasan budaya meniscayakan terasingnya individu yang terlibat di dalamnya dari nilai-nilai. Sementara itu, tanpa para pendukung yang sadar dan terdidik, fungsi kebudayaan sebagai sumber nilai lama kelamaan akan hilang. Itulah pentingnya hubungan (baca: kesadaran) resiprokal, yang tanpanya, pendidikan sangat mungkin dijadikan modal kuasa demi kepentingan tertentu secara hegemonik melalui pengaturan institusional. Hubungan antara pendidikan dan kebudayaan dapat diibaratkan sebagai hubungan antara akar dan pohonnya: akar pendidikan adalah nilai-nilai budaya, tetapi sumbersumber eksternal yang relevan dan berguna untuk tumbuh keluar pun tetap diserap sebagai asupan. Pendidikan menjadi sebuah upaya mengidentifikasi, menyusun, memetakan, dan merefleksikan problem dan konflik kemanusiaan, yang kemudian diikuti oleh serangkaian proyek eksistensial untuk memecahkannya secara terusmenerus. Konseptualisasi wawasan budaya dalam pendidikan sebagai jalan menuju terbangunnya genre pendidikan bahasa dan sastra yang khas sekaligus mengisyaratkan pentingnya pendekatan multikultural dalam pelaksanaannya. Semua itu dapat terlaksana apabila materi bahasa dan sastra dalam proses pendidikan dan pembelajaran diperhitungkan sebagai “rumah” pengalaman kemanusiaan kita. Dalam dan melalui proses semacam itu, kita “merumahkan” pengalaman-pengalaman kita yang tidak pernah singular. Implikasi dan implementasi pendidikan seperti dikemukakan, hakikatnya merupakan upaya menyiapkan dan membentuk sebuah masyarakat yang keberlangsungannya didasarkan pada prinsip-prinsip etika dan moral. Dengan kata lain, pembelajaran bermakna harus diciptakan dan dirancang secara kreatif di berbagai tingkat satuan pendidikan, sehingga memungkinkan terjadi interaksi dan negosiasi untuk METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
277
penciptaan arti dan konstruksi makna dalam diri setiap siswa dan guru. Wawasan budaya dalam praksis pendidikan adalah jalan pertama dan utama, apalagi jika kebudayaan disadari sebagai kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyatanya demi kemakmuran bersama. Kata Kunci: pendidikan, bahasa, kebudayaan
DIGNIFYING AND CIVILIZING NATION THROUGH LANGUAGE AND LITERATURE Abstract: Language and literature as parts of culture is an important factor in the effort of dignifying and civilizing nation. Culture is a way to establish mental and awareness. Relationship between individual and society is a reciprocal relationship so that historically and systematically they cannot be separated one another. In this mutualism-based context, the problem of culture values in language and literature education is apparently seen and significant to be implemented since culture is the primary area for the growth of identity and personality. Culture needs “preservation” effort through education that gives enlightenment against the significance of culture value, both in preservative and progressive nature. The implementation of education without culture insight enables the individual concerned to be isolated from the values. Meanwhile, without conscientious and educated supports, the function of culture as a source of values will gradually vanish. That is the importance of reciprocal relationship (read: awareness), which without it, education may be made as a power for certain importance dominantly through institutional management. Relationship between education and culture can be said as a correlation between roots and its tree. The root of education is culture values, but the relevant and useful external sources are still absorbed as supplement. Education becomes an effort of identifying, compiling, mapping, and reflecting problems and conflict of humanity, which is then followed by a set of substantive project to solve constantly. Conceptualization of culture insight in education is a way towards the establishment of exclusive language and literature education genre and at once indicates the significance of multicultural approach in its implementation. All of them mentioned earlier can be accomplished if the materials of language and literature in education and learning process are considered as our “home” of humanity experience. Through such a process, we “home” our experience which are never singular. The implication and implementation of education as stated earlier principally is an effort of preparing and shaping a society which is based on the principles of etiquette and moral. In other words, meaningful learning should be created and planned creatively in any level of education, so that it enables interaction and negotiation to the creation of meaning and its construction inside every student’s and teacher’s self. Culture insight in education praxis is the first 278
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
and main way especially when culture is assumed as human’s planning work and its actual actions for the sake of collective prosperity. Keyword: education, language, culture Jika hendak mengenal orang berbangsa Lihat kepada budi dan bahasa (Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas, pasal kelima)
terkomunikasikan. Bahasa pun menjadi aspek
kebudayaan
yang
bersifat
lintasgenerasi. Sebait gurindam yang menjadi
entri
tulisan
ini
meng-
isyaratkan makna bahwa budi dan
1/. Bangsa yang bermartabat adalah bangsa
yang
menjunjung
tinggi
bahasa
merupakan
merefleksikan
dua
identitas
hal
yang
kebangsaan.
budayanya. Kebesaran atau potensi-
Artinya, makin tinggi budi (watak,
potensi kebesaran suatu bangsa tidak
perilaku, pekerti) suatu bangsa yang
hanya ditentukan oleh satu faktor.
diwujudkan dalam tindak ber-bahasa,
Simultanitas
makin bermartabat dan mulia juga
dan
sinergi
sejumlah
faktor yang bersifat lintasbidang, baik secara
vertikal
maupun
horisontal,
bangsa pemiliknya. Bahasa
dan
sastra
sebagai
atau
bagian kebudayaan merupakan faktor
kebesaran
penting dalam upaya pemartabatan dan
kelompok
pemberadaban bangsa. Melalui jalan
tertentu mana pun tidak mungkin
bahasa dan sastra, suatu bangsa akan
mampu bertindak untuk itu tanpa
mampu
berbagi
secara
martabat dirinya, sekaligus menghargai
berbarengan. Dengan cara demikianlah
perjalanan historis yang telah dilaluinya
suatu
karena dalam dan melalui bahasa dan
meniscayakan
tercapai
terwujudkannya tersebut.
potensi
Individu
dan
bersinergi
bangsa
menghasilkan
atau
suatu
akan
mampu
warisan
yang
sastra-lah
menghargai
perjalanan
harkat
tersebut
dan
di-
berharga yang bersifat lintasgenerasi.
“rumah”-kan. Kemampuan menghor-
Dalam hubungan ini pula bahasa
mati dan menghargai nilai-nilai budaya
memainkan peran utamanya. Karena,
sendiri, merupakan modal dan paspor
dalam dan melalui tindakan berbahasa
suatu bangsa dalam mempertahankan
nilai-nilai
dan
diri tatkala bergaul dengan bangsa-
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
279
menjadi
terwujud
bangsa lain secara egaliter. Jalan
merupakan manifestasi yang simultan
kebudayaan
adalah
jalan
untuk
dan egaliter: di dalamnya terdapat
membangun
sikap
mental
dan
interdependensi. Dalam konteks yang
kesadaran. Melalui jalan ini suatu
berbasis mutualitas inilah persoalan
bangsa
nilai-nilai budaya dalam pendidikan
akan
mampu
melakukan
restrospeksi dan rekonstruksi masa lalu
bahasa dan
demi kehidupan masa kini, dan sebagai
benar tampak, dan penting untuk
modal untuk bergerak maju demi
diimplementasikan.
pemetaan kehidupan masa depan yang
Pertama,
dicita-citakan.
keutuhannya, kebudayaan merupakan
Jalan
kebudayaan
sastra
dalam
benar-
Mengapa? keseluruhan
lahan
dalamnya transmisi dan transformasi
tumbuhnya identitas dan kepribadian.
peradaban berlangsung dengan penuh
Bersamaan
dengannya,
kebudayaan
kesadaran.
memerlukan
upaya
“pelestarian”
kebudayaan
memungkinkan proses pemberadaban tersebut
tidak
dipandang
sebagai
sekadar proses jangka pendek karena jangkauannya bersifat transhistoris.
habitat
utama
dan
merupakan jalan lintasgenerasi, yang di
Jalan
dan
menjadi
bagi
melalui pendidikan, yakni pendidikan yang memberikan pencerahan terhadap pentingnya nilai budaya, baik dalam sifatnya
yang
progresif.
preservatif
Kedua,
maupun
penyelenggaraan
pendidikan tanpa wawasan budaya
2/. Hubungan antara individu dan
meniscayakan
terasingnya
individu
masyarakatnya merupakan hubungan
yang terlibat di dalamnya dari nilai-
yang resiprokal sehingga secara historis
nilai.
dan sistemis tidak dapat dipisahkan satu
pendukung yang sadar dan terdidik,
sama
fungsi kebudayaan sebagai sumber nilai
lain.
mampu
Individu-individu
membangun
dan
akan
menjaga
masyarakat
terepresentasikan individu.
melalui
Karenanya,
tertentu
itu,
tanpa
para
lama kelamaan akan hilang. Itulah
eksistensinya dalam masyarakat, dan sebaliknya,
Sementara
(baca:
pentingnya
kesadaran)
hubungan
resiprokal,
yang
individu-
tanpanya, pendidikan sangat mungkin
eksistensi
dijadikan
modal
kuasa
demi
individual dan sosial itu pada dasarnya
kepentingan tertentu secara hegemonik
280
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
melalui pengaturan institusional. Dalam
melalui
cara ini, pendidikan kehilangan hakikat
imitasi atau individualisasi, koperasi
fungsionalnya
medium
atau kompetisi, yang semua itu bisa
pembudayaan dan pemberadaban, dan
berlangsung dalam pendidikan yang
dalam pandangan Foucauldian, ia pun
menyadari fungsinya sebagai proses
bisa
pembudayaan dan pemberadaban.
sebagai
terjebak
menjadi
penaklukan
dan
sistematik.
Jika
pendisiplinan
sarana
penguasaan ini
yang
dalam
kompromi
atau
resistensi,
Hubungan
antara
pendidikan
kebudayaan
dapat
diibaratkan
yang terjadi,
dan
praksis
sebagai hubungan antara akar dan
pendidikan, baik yang menyangkut
pohonnya:
akar
tubuh, pikiran, maupun emosi, hanya
nilai-nilai
budaya,
akan
formasi-formasi
sumber eksternal yang relevan dan
hierarkis kekuasaan, yang tidak lagi
berguna untuk tumbuh keluar pun tetap
sanggup menjangkau keseluruhan yang
diserap
mestinya dijangkau: gender, etnisitas,
demikian, warga didik yang terlibat di
dan kelas-kelas sosial. Pendidikan pun
dalamnya siap menjadi individu yang
bisa jadi sangat elitis dan borjuis.
tidak hanya mampu bertindak pada
menyisakan
Tak ada seorang pun manusia
pendidikan
sebagai
tetapi
asupan.
adalah sumber-
Dengan
tataran yang sempit, tetapi juga siap
yang dilahirkan pertama-tama sebagai
dan
subjek independen dan baru pada
konstelasi
tahapan berikutnya menjadi anggota
diharapkan
masyarakat
komunitas untuk memelihara nilai-nilai
tertentu.
Manusia
mampu
dilahirkan sebagai makhluk sosial yang
dan
memiliki
akumulasi
keserupaan-keserupaan
di
berkembang
yang
luas.
mampu
identitas
dalam
Strategi
ini
mendorong
kultural,
pengetahuannya
berikut karena
antara yang satu dengan lainnya, di
tumbuh, berkembang, dan berinteraksi
samping
dengan asupan energi dari sumber-
memiliki
perbedaan-
perbedaan. Ciri-ciri individual menjadi
sumber
berkembang
komunitas persekolahan yang berhasil,
dikembangkan)
(atau hanya
sengaja dalam
misalnya
eksternal.
saja,
akan
pada
Pertumbuhan
memberikan
keterkaitannya pada satu sama lain,
kontribusi
pertumbuhan
misalnya saja dalam, dengan, dan
komunitas dan pengetahuan yang lebih
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
281
luas lagi. Akan tetapi, jika akar
pengasingan
kulturalnya
miskin,
tertentu, baik yang tertandai secara
pertumbuhan komunitas (dan individu
fisikal, sosiokultural, maupun ideologis.
sempit
dan
kelompok-kelompok
Keunikan
yang ada di dalamnya) akan menjadi
(dan
juga
begitu terikat dan menyakitkan. Untuk
keberagaman)
menghindari
dimaknai sebagai tindakan konstitutif
hal
itu,
juga
untuk
menghindari jebakan pertumbuhan dan
dalam
perkembangan yang hanya bersifat
pembentukan
teknis
sebagai
jangka
pendek,
dinamisasi
tradisi
proses
pemberadaban
berbarengan.
pendidikan
pendidikan tidak pernah mengandaikan adanya eksistensi seorang individu yang bebas dari ikatan interpersonal dan
pengaruh
sosial.
Identitas
individual tercipta dan termaknai dalam konteks sosio-kultural sebagai konteks eksistensialnya. Hanya saja, seseorang bisa saja memiliki aspek keunikan identitas yang relatif “bertentangan” dengan gagasan
yang mengedepan
dalam
historis
konteks
kolektivitasnya.
Dalam
diri
dan
kaitan
ini,
seharusnya
pengembangan
kultural harus dilakukan juga secara
Wawasan budaya dalam praksis
identitas
dan
kependidikan
pembudayaan karena
sejatinya
dan
praksis
tidak
mampu
menghindarkan diri dari hakikatnya selalu
terikat-budaya.
tindakan
itu
Karenanya,
merupakan
sebuah
komitmen sekaligus imperatif yang sudah selayaknya ditunaikan sehingga tindakan
memilih
menaikkan
dan
dan
menolak,
menurunkan,
menggabungkan
dan
perangkat-perangkat
serta
memisahkan
identitas
selalu
bergandengan -- berjalan seiring dan sejalan. Ia merupakan sebuah jalan agar praksis pendidikan tidak terjebak dalam
keunikan menjadi bagian dari dinamika
perangkap
eksistensial
konteksnya.
pendidikan yang demikianlah yang
Karenanya, tidak ada alasan yang dapat
diharapkan mampu memberikan ruang
dibenarkan untuk memanfaatkan situasi
partisipasi
semacam itu demi penaklukan dan atau
manapun
penguasaan dalam praksis pendidikan,
sangkan-paran
yang
ideologisnya.
282
dalam
perwujudannya
bisa
berupa
elitisme.
penuh tanpa
bagi
Komposisi
individu
membeda-bedakan sosiokultural
dan
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
Dengan cara semacam itu pula,
yang berbeda tidak boleh dibiarkan
pendidikan benar-benar akan selalu
memainkan dirinya melawan yang lain.
berakar pada matriks kultural. Artinya,
Dalam kaitan ini, dialektika historis
ia
upaya
Hegelian dapat dijadikan alternatif
menyusun,
tumpuan bagi penanganan problem dan
memetakan, dan merefleksikan problem
konflik yang muncul sehingga tercipta
dan
dialektika gagasan (juga aktivitas) yang
menjadi
sebuah
mengidentifikasi,
konflik
kemanusiaan,
kemudian diikuti proyek
yang
oleh serangkaian
eksistensial
dinamis.
untuk
memecahkannya secara terus-menerus. Hal ini akan menjadi jelas apabila
3/. Konseptualisasi
wawasan
disadari bahwa setiap individu dan
budaya dalam pendidikan sebagai jalan
masyarakat
dan
menuju terbangunnya genre pendidikan
konfliknya masing-masing. Misalnya
bahasa dan sastra yang khas seperti
saja, masyarakat pedesaan yang agraris
diuraikan
diarahkan oleh seperangkat gagasan
sekaligus mengisyaratkan pentingnya
kultural
pendekatan
memiliki
yang
problem
berbeda
dengan
secara
ringkas
di
multikultural
atas
dalam
masyarakat perkotaan yang industrial.
pelaksanaannya.
Perbedaan
menghindari sifat satu arah, kognitif,
itulah
yang
kemudian
Pendekatan
diorganisasikan dalam pola yang dapat
dan eksklusif; juga
dipahami
superioritas,
melalui
dan
dalam
Harus diakui bahwa penerimaan
Melaluinya,
menghindari
primordialisme,
eksklusivisme
pendidikan.
nilai pemahaman
tertentu. nilai-nilai
bersama
penolakan terhadap yang lain, dan
mengatasi masalah-masalah bersama
realisasi penolakan tersebut bisa saja
diupayakan, potensi nilai yang bersifat
menuntut penerimaan yang berikutnya.
trans- dicahayakan. Nilai tenggang rasa
Keberbedaan
antarsesama dijadikan dasar utama, di
dikelola
upaya
dan
salah satu gagasan akan mengarahkan
hendaknya
dan
ini
keserbanekaan
kolaboratif
dengan baik agar saling melengkapi,
samping
keyakinan,
dan jangan sampai menjadi saling
tradisi, adat, dan budaya ditempatkan
berlawanan. Berbagai bentuk gagasan
sewajar-wajarnya melalui tegur-sapa
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
283
yang ramah. Semua itu dapat terlaksana
merupakan upaya menyiapkan dan
apabila materi bahasa dan sastra dalam
membentuk sebuah masyarakat yang
proses pendidikan dan pembelajaran
keberlangsungannya didasarkan pada
diperhitungkan
“rumah”
prinsip-prinsip etika dan moral. Dengan
pengalaman kemanusiaan kita. Dalam
demikian, upaya pengembangan yang
dan melalui proses semacam itu, kita
dilaksanakan sudah seharusnya mampu
“merumahkan”
pula menemukan, menghidupkan, dan
sebagai
pengalaman-pengala-
man kita yang tidak pernah singular. Jika butir-butir tersebut mampu
menyegarkan
kembali
kebebasan,
semangat
individualisme,
kita implementasikan dalam rangka
kemanusiaan, dan toleransi dalam jiwa.
nation and character building, niscaya
Untuk itu, keutamaan kecendekiaan dan
histeria sosial, situasi yang rentan
pengayaan
terhadap
atau
keniscayaan, yaitu keniscayaan untuk
schizofrenia kultural, dapat dihindari.
menanamkan ke dalam dirinya prinsip-
Pendidikan,
apalagi
label
prinsip etika dan kebenaran moral yang
“karakter,”
niscaya
menghindari
berasal dari cita-cita peradaban dan
terbentuknya manusia-manusia yang
warisan intelektual yang benar-benar
berwajah garang, yang wataknya dan
berakar pada kultur sendiri.
sawan
budaya,
dengan
kultural
merupakan
perilakunya keras, brutal, dan agresif,
Idealime di atas niscaya akan
yang salah satu kehendak besarnya
sulit tercapai jika proses pembelajaran
adalah memusuhi yang lain, yang satu
lebih
ingin menguasai dan menindas yang
kurikulum dan penyampaian materi
lain.
niscaya
secara tekstual semata. Pembelajaran
berupaya membentuk manusia yang
memang sudah saatnya diarahkan pada
mampu menghargai harkat dan hak-hak
pengembangan
azasi,
dan
Pendidikan
dan
karakter
bukannya
membentuk
menekankan
membangun
pencapaian
kemampuan belajar kreativitas
siswa.
manusia yang hanya menjadi pendusta
Pembelajaran yang selalu terpusat pada
bagi hati nurani diri mereka sendiri.
guru harus diubah dan dipusatkan pada
Implikasi pendidikan dengan 284
dan
seperti demikian,
implementasi
siswa. Situasi yang menempatkan siswa
dikemukakan,
hanya sebagai penerima pasif semua
hakikatnya
informasi
yang
disampaikan
guru,
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
harus segera ditinggalkan. Pendek kata,
satu
pembelajaran
mencapai martabat bangsa. Untuk itu,
bermakna
harus
jalan
pemberadaban
demi
diciptakan dan dirancang secara kreatif
secara
di berbagai tingkat satuan pendidikan,
pembelajarannya secara keseluruhan
sehingga
memungkinkan
terjadi
hendaknya
interaksi
dan
untuk
menunaikan imperatif edukatif dan
negosiasi
sistemik,
praksis
merupakan
penciptaan arti dan konstruksi makna
kultural
dalam diri setiap siswa dan guru. Siswa
Berbagai
dilibatkan
dirumuskan dalam kurikulum perlu
dalam
mendalam
dan
pemahaman
terpadu.
Wawasan
yang
diperkaya
sudah
upaya
diisyaratkan.
kompetensi
dengan
yang
telah
tafsir
yang
terbukanya
jalan
pendidikan
memungkinkan
adalah jalan pertama dan utama, apalagi
pemberadaban,
jika kebudayaan disadari sebagai kerja
memperhitungkan ketersediaan teks-
perencanaan manusia berikut tindakan
teks bahasa dan sastra sebagai materi
nyatanya demi kemakmuran bersama.
pembelajaran yang berpotensi untuk
Kesanggupan melaksanakan pendidikan
itu. Demikian pula halnya dengan
bahasa dan sastra Indonesia yang secara
strategi yang dipilih dalam pentas
sadar didasarkan pada dan dijiwai oleh
pembelajaran, termasuk di dalamnya
semangat pembudayaan sebagaimana
cara-cara
telah
pembelajaran, posisi guru dan siswa,
budaya
dalam
praksis
dipaparkan,
meniscayakan
pendidikan bahasa dan sastra Indonesia
di
menghidupkan
samping
kelas
hingga tuntutan penilaian.
mampu mengambil posisi sebagai salah
Lereng Merapi: 17 April 2016
METAFORA Volume 2 No 2 April 2016
285