PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI BERBASIS WEB: PENCAPAIAN DAYA SAING KINERJA DAN KOMPETENSI PERSONAL Muh. Agus Syukron Dosen DPK Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang
[email protected]
Abstrak Sejalan dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, masyarakat Indonesia terus berubah, dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan berlanjut ke masyarakat pasca-industri (well informed) yang serba teknologis. Pencapaian tingkat peradaban dan kemakmuran masyarakat semakin ditentukan oleh penguasaan teknologi dan informasi. Ketertinggalan terjadi ketika seorang tidak lagi memiliki pengetahuan atau kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan yang penuh tantangan dengan sukses. Ketertinggalan bisa jadi sebagai hasil dari kegagalan seseorang untuk mengadaptasikan dirinya pada teknologi baru, prosedur baru, dan perubahanperubahan lainnya. Dengan dilakukannya kajian terhadap eksistensi sistem informasi berbasis web dan desain kompetensi, maka akan didapatkan analisa mengenai upaya menyambung mata rantai (supply chain) keunggulan daya saing sumber daya manusia Indonesia dalam memanfaatkan teknologi informasi berbasis web. Pengalaman negara-negara dunia ketiga yang lain (India, Cina, Korea misalnya) dalam industri IT menguatkan keyakinan kita bahwa industri IT-lah harapan yang masih tertinggal bagi bangsa Indonesia kini. Keberhasilan negara-negara tersebut dalam membangun industri teknologi informasi, khususnya industri software, telah mematahkan argumentasi bahwa hanya negara maju yang dapat berpartisipasi dalam ekonomi digital. Key words: information technology, competence, individual skill
PENDAHULUAN Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, menciptakan struktur baru, yaitu struktur global. Struktur tersebut akan mengakibatkan semua bangsa di dunia termasuk Indonesia, mau tidak mau akan terlibat dalam suatu tatanan global yang seragam, pola hubungan dan pergaulan yang seragam khususnya dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Aspek Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang semakin pesat terutama teknologi komunikasi dan komputerisasi,
menyebabkan isu-isu global tersebut menjadi semakin cepat menyebar dan menerpa berbagai tatanan, baik tatanan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan perkembangan teknologi yang begitu pesat, masyarakat dunia khususnya masyarakat Indonesia terus berubah sejalan dengan perkembangan teknologi, dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan berlanjut ke masyarakat pasca-industri (information society) yang serba teknologis. Pencapaian tujuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan cenderung akan semakin ditentukan oleh penguasaan
teknologi dan informasi, walaupun kualitas sumber daya manusia (SDM) masih tetap yang utama. Era globalisasi yang ditandai dengan semakin cepatnya perkembangan arus informasi dan pertukaran informasi telah melahirkan fenomena baru pada setiap lini manajemen atau bidang organisasi. Informasi merupakan salah satu sumber daya yang sangat diperlukan dalam suatu organisasi. Informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih berarti bagi yang menerimanya, sedangkan data merupakan sumber informasi yang menggambarkan suatu kejadian yang nyata. Untuk mendapatkan informasi tersebut perlu adanya sebuah sistem yang mengolah data menjadi sebuah informasi yang berharga. Sistem Informasi Berbasis Web adalah suatu sistem penghasil informasi yang mendukung sekelompok manajer dengan memanfaatkan teknologi web. Globalisasi yang sudah pasti dihadapi oleh bangsa Indonesia menuntut adanya efisiensi dan daya saing dalam dunia usaha. Dalam globalisasi yang menyangkut hubungan regional dan internasional akan terjadi persaingan antar negara. Indonesia dalam kancah persaingan global menurut World Competitiveness Report menempati urutan ke-45 atau terendah dari seluruh negara yang diteliti, di bawah Singapura (8), Malaysia (34), Cina (35), Filipina (38), dan Thailand pada urutan 40 ( www.geogle/SDM Indonesia dalam persaingan global/.co.id). Oleh karena itu, sebagai peran yang penting, sumber daya manusia harus disiapkan sedemikian rupa agar siap menghadapi kemajuan teknologi informasi dan dapat menjadi sumber daya yang unggul dan bermutu sesuai perkembangan jaman. Bermutu bukan hanya berarti pandai saja tetapi memenuhi semua syarat kualitas yang dituntut pekerjaan itu sehingga pekerjaan itu benar-benar dapat diselesaikan sesuai rencana. Suatu organisasi yang tidak memiliki sumber
daya manusia berkualitas akan menuai kegagalan dalam mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan organisasi. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan atau kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan, baik itu organisasi publik atau private. Untuk dapat mengetahui sejauh mana keberadaan peran, dan kontribusi sumber daya manusia dalam mencapai keberhasilan organisasi, tentu diperlukan pengukuran kinerja. Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya (Gibson et al., 1991:18). Tanpa adanya evaluasi atau pengukuran kinerja dalam mencapai tujuan organisasi maka tidak dapat diketahui penyebab ataupun kendala-kendala kegagalan organisasi dalam mencapai tujuan. Akhir-akhir ini kinerja telah menjadi konsep yang sering dipakai orang dalam berbagai pembahasan dan pembicaraan, khususnya dalam kerangka mendorong keberhasilan organisasi atau sumber daya manusia. Terlebih, saat ini organisasi dihadapkan pada tantangan kompetensi yang tinggi; era kompetisi pasar global, kemajuan teknologi informasi, maupun tuntutan pelanggan atau pengguna jasa layanan yang semakin kritis. Organisasi yang berhasil dan efektif merupakan organisasi dengan individu yang didalamnya memiliki kinerja yang baik. Penggunaan teknologi informasi akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Saat ini tidak hanya pada perusahaan swasta akan tetapi juga pada instansi pemerintah. Teknologi informasi yang berbasis komputer ini akan berdampak pada aktivitas karyawan, memudahkan karyawan untuk tidak lagi melakukan tugas secara manual sehingga pekerjaan dapat terselesaikan secara efektif dan efisen. Ketertinggalan terjadi ketika seorang karyawan tidak lagi memiliki pengetahuan atau kemampuan yang
dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan yang penuh tantangan dengan sukses. Dalam perubahan yang cepat di bidang teknis tinggi, seperti keteknikan dan komputerisasi administrasi, ketertinggalan dapat terjadi dengan cepat. Ketertinggalan bisa jadi sebagai hasil dari kegagalan seseorang untuk mengadaptasikan dirinya pada teknologi baru, prosedur baru, dan perubahan-perubahan lainnya. Dengan dilakukannya kajian terhadap sistem informasi berbasis web dan kinerja individu, maka akan didapatkan informasi mengenai kedua variable tersebut terhadap objek kajian. Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan kajian mengenai pemanfaatan sistem informasi berbasis web dan dampaknya terhadap kinerja dan kompetensi personal sebagai bagian dari aset sumberdaya manusia. HASIL DAN PEMBAHASAN Transisi Manusia Indonesia William Martin, sebagaimana dikutip Syifa, menyatakan bahwa masyarakat informasi adalah masyarakat dimana kualitas hidup dan juga prospek untuk perubahan sosial dan pembangunan ekonomi tergantung pada peningkatan arus informasi dan pemanfaatannya. Realitas hidup keseharian masyarakat informasi ditandai oleh pemanfaatan komputer, media elektronik juga media audio-visual, beserta infrakstruktur jaringan telekomunikasi yang memadai. Komputer, merupakan hasil pengembangan teknolgi elektronika dan informatika yang pada mulanya berukuran besar dan menyita tempat untuk meletakkannya, sekarang berbentuk kecil dengan kemampuan besar. Manfaat komputer saat ini sangat urgent mulai sebagai alat bantu menulis, menggambar, editing foto, memutar video/lagu, teknologi percakapan via satelit (skype), akses data web untuk fungsi pelayanan publik (e-government), fungsi pembelajaran (e-learning), fungsi
perbankan (e-banking), fungsi pustaka (ebook), serta fungsi transaksi-ekonomis atau bisnis on-line (e-bussiness), korespondensi atau jejaring sosial seperti chatting, facebook, twitter, serta untuk menunjang analisis data riset hingga program-program penyelesaian masalah industri dan bisnis. Hadirnya sistem informasi berbasis web, salah satunya adalah internet, sebagai ragam sarana komunikasi modern memungkinkan manusia saling berinteraksi tanpa batas waktu, tempat, melintasi batas budaya bahkan dengan subyek yang tidak pernah dikenal sekalipun. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis data bahwa pengguna internet di Indonesia sampai pertengahan Tahun 2005 diperkirakan mencapai 16 juta orang yang mengakses internet dari perumahan, perkantoran, sekolah/kampus, hingga warung internet (warnet). Sementara sampai bulan Juni 2008, jumlah pengguna internet di Indonesia telah mencapai 25 juta orang (http://www.mail-archive.com). Kemudian jika melihat data pertumbuhan pengguna internet di Indonesia pada tahun 2011 ini sungguh sangat luar biasa besar jumlahnya. Ada sekitar 45 juta orang yang mengakses internet menggunakan browser desktop (browser PC), semisal Internet Explorer, Fire Fox, Opera, Safari, Chrome, dan sebagainya. Namun,pertumbuhan pengguna internet yang sangat luar biasa fantastis jumlahnya justru datang dari netter mobile alias pengakses internet yang menggunakan perangkat genggam semisal Ponsel, Blackberry, Iphone, dan beragam smartphone lain. Hal ini memang dapat dimengerti oleh akal sehat kita, mengingat setiap penduduk Indonesia saat sekarang yang rata-rata sudah memiliki sebuah perangkat genggam (Ponsel) dan sudah bisa akses internet melalui Ponsel-nya tersebut. Adapun perkiraan total pengguna internet via Ponsel di Indonesia pada semester pertama tahun 2011 ini
diperkirakan mencapai 150 juta orang (http://teknologi.kompasiana.com). Sebagai media utama dan dominan dalam masyarakat informasi, Masuda (www.geocities.com) memaparkan 4 (empat) tahapan perkembangan dan dampak penggunaan komputer di tengahtengah masyarakat, yaitu: Pertama, tahap pemakaian komputer/komputersisasi baik skala kecil maupun besar; Kedua, tahap komputerisasi manajemen dimana sistem informasi manajemen berkembang sangat penting dan bermanfaat; Ketiga, tahap society-based computerization dimana lembaga-lembaga memanfaatkan komputer secara maksimal dalam menggerakkan roda organisasinya; dan Keempat, tahap individual-based computerization, dimana tiap individu mampu menggunakan aplikasi komputer untuk menunjang status sosial dan laju kehidupannya. Inilah kondisi atau suatu gambaran dimana masyarakat telah mampu memperoleh akses infrastruktur jaringan telekomunikasi dengan harga terjangkau, mengalirkan arus pertukaran data secara imbal balik baik oleh penyedia atau pengguna informasi, tumbuhnya industri-industri teknologi informasi digital secara personal dan massive. Transformasi Industri Teknologi Informasi Pengembangan sumber daya manusia (SDM) adalah faktor yang menentukan bagi keberhasilan pengembangan industri teknologi informasi (information technology, IT) di Indonesia. Situasi perekonomian Amerika Serikat yang tengah krisis saat ini, yang tentu sedikit berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, industri IT (khususnya software dan Internet) adalah satusatunya harapan Indonesia dalam mendorong perkembangan pasar sektor elektronika dan informatika. Indonesia pernah terperangkap dalam lingkaran setan krisis, di mana krisis ekonomi Indonesia telah mengganggu kestabilan politik
sehingga menakutkan calon investor. Akibatnya industri baru yang sangat diharapkan untuk memulihkan kinerja ekspor Indonesia tidak muncul. Hal ini diperburuk dengan timbulnya krisis sosial dan keamanan, Pengalaman India dalam industri IT menguatkan keyakinan kita bahwa industri IT-lah harapan yang masih tertinggal bagi bangsa Indonesia kini. Keberhasilan India dalam membangun industri teknologi informasi, khususnya industri software, telah mematahkan argumentasi bahwa hanya negara maju yang dapat berpartisipasi dalam ekonomi digital. Menurut Armein Z. R. Langi (2001), dalam waktu kurang dari lima tahun ekspor software India telah berlipat ganda lebih dari tujuh kali lipat, menjadi USD 4 milyar di tahun 2000. Diperkirakan pada tahun 2008, ekspor software India akan mencapai USD 50 milyar! Pertumbuhan ekspor ini terjadi pada saat kebutuhan domestik software India hanya sebesar satu per tiga nilai ekspor dengan tingkat pertumbuhan yang landai. Fenomena ini juga mematahkan argumentasi bahwa industri elektronika berorientasi ekspor harus memiliki pasar domestik yang besar sebagai landasannya. Selain itu, industri ini berkembang di tengah-tengah situasi India yang serba chaos seperti konflik Kashmir, potensi konflik nuklir dengan Pakistan dan Cina, konflik SARA antar masyarakat, ketidak stabilan pemerintahan yang sering berganti-ganti, kemiskinan yang merajalela, dan beban kemiskinan penduduk yang besar. Industri software seakan rentan terhadap masalah seperti ini. Belajar dari pengalaman India, Indonesia harus segera memanfaatkan boom kebutuhan dunia akan produk IT sebagai salah satu lokomotif ekspor Indonesia. Dalam keadaan ekonomi saat ini Indonesia sangat membutuhkan penghasilan devisa dari ekspor, baik untuk memenuhi kebutuhan bangsa yang kebanyakan masih harus di impor, maupun untuk mencicil hutang luar negeri. Tanpa
cadangan devisa yang cukup, Indonesia akan sangat rentan terhadap krisis moneter, yang pada gilirannya akan merusak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sejak awal disadari bahwa akan segera terjadi krisis SDM di industri IT di Indonesia. Sebagaimana diperlihatkan pada Tabel 1, target ekspor US$ 30 milyar menuntut tersedianya tenaga kerja sebesar hampir 2,5 juta. Tenaga kerja ahli/unggul (yakni berproduktivitas setiap tahun lebih dari $ 20,000 per orang) diperkirakan lebih dari 600,000 orang, khusus untuk bidang elektronika saja. Tuntuan ini cukup sukar dipenuhi. Sebagai ilustrasi, jika seluruh lulusan S1 kedua program studi Teknik Elektro dan Informatika di Institut Teknologi Bandung (ITB) pertahun hanya sekitar 250 orang. Dalam sepuluh tahun, kedua program studi terkemuka ini hanya akan memasok 2500 sarjana, atau 0.41% dari kebutuhan tahun 2010. Jelas diperlukan program pencetak tenaga unggul di bidang elektronika ini secara masif. Tabel 1. Perkiraan Kebutuhan SDM dan Produktivitasnya
Sektor Eksport
(juta dollar)
Teknologi Informasi
8,200
M odul Komponen
8,000
Semikonduktor
4,000
Telekomunikasi
4,000
Elektronika konsumer
1,800
Alat rumah tangga
1,500 Total
30,000
Sumber: Armein (2001)
Tabel 1 juga mengisyaratkan cukup besarnya kebutuhan tenaga semi ahli (semi-expert), tenaga trampil (skilled workers), dan tenaga tidak-trampil (nonskilled workers) di bidang ini. Saat ini di Indonesia belum ditemukan studi mengenai kecenderungan komposisi tenaga kerja pada sektor-sektor industri di
atas. Karena itu, menarik untuk dipelajari kasus Amerika Serikat (AS) mengenai estimasi kebutuhan tenaga kerja industri IT, diperlihatkan pada Tabel 2. Pada tabel ini, terlihat bahwa pada akhirnya industri IT semakin menuntut tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Tabel 2. Perkiraan kebutuhan SDM (juta orang) pada industri IT di USA Pendidikan Tingk at Tinggi
Kebutuhan 19
20
Komp
96
06
osisi
Sarjana
2.5
3.9
70%
Diploma
0.9
1.0
18%
0.9
0.7
12%
4.3
5.6
Contoh
Menen gah Renda
SMK/Tar
h
ining Total
Sumber: Armein (2001)
Selanjutnya makalah ini mengajukan beberapa pokok pikiran sebagai terobosan untuk mengatasi krisis Target Tahun 2010 SDM ini, didasarkan pada dua gagasan. SDM Produktifitas (dollar/orang) Pertama, untuk menjamin kualitas SDM, 350.000 23,000 spesifikasi-spesifikasi SDM yang hendak dikembangkan 1.000.000 harus8,000 ditentukan oleh kecenderungan (trend) kebutuhan industri 80.000 50,000 IT660.000 agar tetap kompetitif secara global. 6,000 Penekanan pembinaan SDM ditujukan 40.000 45,000 pada dua jalur: tenaga kerja inovatif (yang 187.500 padat pengetahuan) 8,000 dan tenaga kerja 2.417.500 efisien (yang bersertifikasi). Kedua, untuk menjamin aspek kuantitas, pembinaan SDM harus memanfaatkan teknologi IT sejak dini. Keharusan SDM untuk melek IT (menggunakan aplikasi komputer, memrogram komputer, dan mengakses Internet berbahasa Inggris) dibuat setara dengan keharusan melek baca-tulis. Materi pendidikan berkualitas tinggi harus dibentuk dalam format IT dan disebarkan ke seluruh Indonesia dengan murah atau bahkan gratis.
Desain Kompetensi Sumberdaya Manusia Kompetensi (Mitrani et.al, 1992; Spencer and Spencer,1993) didefinisikan sebagai an underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job or situasion. Karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannnya. Berangkat dari pengertian tersebut, kompentensi seorang individu merupakan sesuatu yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kinerjanya. Sesuatu yang dimaksud bisa menyangkut motif, konsep diri, sifat, pengetahuan maupun kemampuan/keahlian. Kompentensi individu yang berupa kemampuan dan pengetahuan bisa dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan. Sedangkan motif kompentensi dapat diperoleh pada saat proses seleksi. Selanjutnya menurut Spencer and Spencer (1993), kompetensi dapat dibagi atas 2 (dua) kategori yaitu ―threshold competencies‖ dan ―differentiating compentencies‖. Threshold competencies adalah karakteristik utama yang harus dimiliki oleh seseorang agar dapat melaksanakan pekerjaannya. Tetapi tidak untuk membedakan seorang yang berkinerja tinggi dan rata-rata. Sedangkan ―differentiating competiencies‖ adalah factor-faktor yang membedakan individu yang berkinerja tinggi dan rendah. Misalnya seorang dosen harus mempunyai kemampuan utama mengajar, itu berarti pada tataran ―threshold competencies‖, selanjutnya apabila dosen dapat mengajar dengan baik, cara mengajarnya mudah dipahami dan analisanya tajam sehingga dapat dibedakan tingkat kinerjanya maka hal itu sudah masuk kategori ―differentiating competencies‖. Pengembangan SDM berbasis kompetensi dilakukan agar dapat memberikan hasil yang sesuai dengan
tujuan dan sasaran organisasi dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Kompentensi menyangkut kewenangan setiap individu untuk melakukan tugas atau mengambil keputusan sesuai dengan perannnya dalam organisasi yang relevan dengan keahlian, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Kompetensi yang dimiliki seorang entrepreneur atau karyawan secara individual harus mampu mendukung pelaksanaan strategi organisasi dan mampu mendukung setiap perubahan yang dilakukan manajemen. Dengan kata lain kompentensi yang dimiliki individu dapat mendukung sistem kerja dalam tim. Kompetensi seseorang dapat meningkat dan berkembang melalui upaya-upaya terdidik dan terlatih secara berkelanjutan menggunakan metode pendidikan formal, training, task analysis, course dan sebagainya. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih guna menolak anggapan bahwa beragam metode peningkatan kompetensi hanya memicu hasil akhir yang tidak tepat. Sebagaiamana hasil riset dari Fisher (1992:19) dan Macintosh (1993:40), yang menggambarkan kekecewaan para manajer terhadap hasil training dan task analysis karyawannya, karena investasi yang telah dikeluarkan oleh korporasi ternyata gagal memberikan kontribusi kemajuan dan perubahan perbaikan bagi tujuan organisasi dan keuntungan korporasi. Aktivitas training dan task analysis hanya disebut sebagai training for training’s sake dan doing comfortable things. Model kompetensi yang didesain dapat dikaitkan dengan strategi manajemen sumber daya manusia dimulai pada saat rekrutmen, seleksi, penempatan sampai dengan pengembangan karier seorang entrepreneur atau karyawan sehingga pengembangan kompentensi seorang entrepreneur atau karyawan tidak merupakan aktifitas yang ―instant‖. Sistem rekrutmen dan penempatan seorang entrepreneur atau karyawan yang berbasis kompetensi perlu menekankan kepada usaha mengidentifikasikan beberapa
kompetensi calon seorang entrepreneur atau karyawan seperti inisiatif, motivasi berprestasi dan kemampuan bekerja dalam tim. Mengacu pada pendapat Ryllat (et.al: 1993) kompentensi memberikan beberapa manfaat kepada karyawan. organisasi, industri, ekonomi daerah dan nasional.
Strategic thinking adalah kompetensi untuk memahami kecenderungan perubahan lingkungan yang begitu cepat, melihat peluang pasar, ancaman, kekuatan dan kelemahan organisasi agar dapat mengidentifikasikan ―strategic response‖ secara optimum. Sedang change leadership adalah kompetensi untuk mengkomunikasikan visi dan strategi perusahaan dan Tabel 3. Manfaat Kompetensi mentransformasikan kepada karyawan. 2. Level Manajerial Subyek Ragam Manfaat Pada tingkat manajer kompentensi • Kejelasan relevansi pembelajaan sebelumnya, kemampuan untuk mentransfer ketrampilan, dan yang diperlukan meliputi aspek-aspek potensi pengembangan karier • Adanya kesempatan akses setifikasi nasional berbasis standar yang ada. fleksibilitas, change implemention, • Penilaian kinerja yang lebih obyektif Karyawan/Personal interpersonal understanding and • Meningkatnya ketrampilan dan ‗marketability‘ • Pilihan perubahan karir yang lebih jelasempowering. . Untuk berubah pada jabatan Aspek baru, seseorang fleksibilitas dapat membandingkan kompetensi mereka sekarang dengan kompetensi yang diperlukan untuk jabatan adalahhanya kemampuan merubah struktur baru. Kompetensi baru yang dibutuhkan mungkin berbeda 10 % dari yang telah dimiliki. • Pemetaan akurasi kompetensi angkatan kerja dan proses manajerial; apabila strategi • efektifitas rekrutmen perubahan organisasi diperlukan untuk • Akses dan efektifitas biaya kebutuhan industri Organisasi efektifitas pelaksanaan tugas • Kemampuan pengambil keputusan organisasi • Penilaian hasil kerja lebih reliable dan konsisten organisasi. Dimensi ―interpersonal‖ • Kemampuan identifikasi kompetensi yang diperlukan untuk mengelola perubahan understanding‖ adalah kemampuan • Indentifikasi dan akses ketrampilan yang dibutuhkan untuk industri • Penetapan sertifikasi pencapaian kompetensi individu untuk memahami nilai dari berbagai • Percaya diri karena kebut uhan industri telah terpenuhi tipe dan manusia. Aspek pemberdayaan • Persaingan format ketrampilan di pasar domistik internasional • Penilaian yang konsisten secara nasional mengenai adalah standar kemampuan industri mengembangkan Industri • Indentifikasi dan akses ketrampilan yang dibutuhkan untuk industri karyawan, mendelegasikan tanggung • Penetapan sertifikasi pencapaian kompetensi individu jawab, memberikan saran umpan balik, • Percaya diri karena kebutuhan industri telah terpenuhi • Persaingan format ketrampilan di pasar domistik dan internasional harapan-harapanyang menyatakan • Penilaian yang konsisten secara nasional mengenai standar industri positif untuk bawahan dan memberikan reward bagi peningkatan kinerja. Menilik pada upaya mengejar capaian kompetensi yang dirancang atau 3. Level Karyawan didesain, dalam organisasi terdapat tiga Pada tingkat karyawan diperlukan tingkatan manajemen yang perlu kualitas kompetensi seperti diperhatikan dimana pada posisi yang fleksibilitas, menggunakan dan mencari berita, motivasi dan paling atas biasa disebut eksekutif kemudian manajer selanjutnya adalah kemampuan untuk belajar, motivasi karyawan tentunya kompetensi yang berprestasi, motivasi kerja di bawah dibutuhkan berbeda satu dengan yang tekanan waktu, kolaborasi, dan lainnya, paling tidak kita mampu orientasi pelayanan kepada pelanggan. Dimensi fleksibilitas adalah menentukan kebutuhan kompetensi yang antara lain dapat diidentifikasi sebagai kemampuan untuk melihat perubahan berikut: sebagai suatu kesempatan yang menggembirakan ketimbang sebagai 1. Level Eksekutif ancaman. Aspek mencari informasi, motivasi dan kemampuan belajar Pada tingkatan eksekutif diperlukan kompetensi yang berkaitan adalah kompetensi tentang antusiasme dengan strategic thingking’ dan untuk mencari kesempatan belajar change leadership management. tentang keahlian teknis keahlian teknis
dan interpersonal. Dimensi motivasi berprestasi adalah kemampuan untuk mendorong inovasi;perbaikan berkelanjutan dalam kualitas da produktifitas yang dibutuhkan untuk memenuhi tantangan kompetensi. Aspek motivasi kerja dalam tekanan waktu merupakan kombinasi fleksibilitas, motivasi berprestasi, menahan stress, dan komitmen organisasi yang membuat individu bekerja dengan baik dibawah permintaan produk-produk baru walaupun dalam waktu yang terbatas. Dimensi kolaborasi adalah kemampuan bekerja secara kooperatif di dalam kelompok yang multi disiplin; menaruh harapan positif kepada yang lain, pemahaman interpersonal dan komitmen organisasi.Sedangkan dimensi yang terakhir untuk karyawan adalah keinginan yang besar untuk melayani pelanggan dengan baik; dan inisiatif untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi pelanggan.
SIMPULAN Dari uraian diatas dapat disimpulkan gambaran peranan IPTEK dalam upaya peningkatan SDM Indonesia di era globalisasi ini, sudah jelas pula bahwa dengan pemanfaatan sistem informasi berbasis web sudah barang tentu menunjang dalam meningkatkan kualitas SDM. Dengan meningkatnya kualitas SDM, maka Indonesia lebih siap menghadapi era globalisasi dewasa ini. Laporan lembaga-lembaga internasional yang selalu menempatkan Indonesia pada peringkat dasar (rendah) dalam kancah persaingan global selain juga tetap terbukanya peluang-peluang karier, entrepreneurship, serta investasi di berbagai bidang karya dengan memanfaatkan informasi berbasis web menjadi suatu keharusan sebagai entry point untuk mengejar ketertinggalan kompetensi SDM kita. Pengalaman negara-negara dunia ketiga yang lain
(India, Cina, Korea misalnya) dalam industri IT menguatkan keyakinan kita bahwa industri IT-lah harapan yang masih tertinggal bagi bangsa Indonesia kini. Keberhasilan negara-negara tersebut dalam membangun industri teknologi informasi, khususnya industri software, telah mematahkan argumentasi bahwa hanya negara maju yang dapat berpartisipasi dalam ekonomi digital. Strategi pengembangan SDM ini perlu dilakukan melalui sertifikasi SDM yang dikaitkan dengan struktur industri IT. Pengembangan SDM industri IT harus diarahkan pada dua sasaran: (1) penghasil dan pemelihara infrastuktur IT yang efisien dan (2) pembangun pengetahuan, ide/gagasan, dan informasi yang inovatif dan penting bagi ekonomi digital. Pendidikan dan pelatihan dibutuhkan untuk menghasilkan tenaga teknis, manajemen, dan entrepreneur. SDM yang dihasilkan perlu disalurkan bagi industri Indonesia yang berorientasi ekspor maupun dicadangkan ke luar negeri sebagai TKI. Perlu sekali diperhatikan, bahwasannya dengan adanya IPTEK dalam era globalisasi ini, tidak dipungkiri juga akan menimbulkan dampak yang negatif dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi, budaya maupun imformasi dan komunikasi, untuk itulah filtrasi sangat diperlukan sekali dalam penyerapan IPTEK, sehingga dampak negatif IPTEK dapat bahkan mampu digeser (switch up) menjadi sebuah kekuatan yang akan memberikan nilai sebagai pembanding kinerja dan standar kompetensi setiap individu yang selalu ingin bergerak maju menjawab tantangan peradaban. DAFTAR RUJUKAN Anonymous, ― Perumusan strategi dan kebijaksanaan pengembangan industri elektronika Indonesia‖, Handout Presentasi, Direktorat Industri Elektronika, Direktorat Jenderal Industri Logam Mesin Elektronika dan Aneka,
Departemen Perindustrian Perdagangan, 10 Juli 1999.
dan
Fisher, Steven A. & Garry B. Frank. Gaining the Most from Your Training Dollars: A System Approach to Staff Training. National Public Accountant. March: 18-21. 1992. Gibson, J.R; J.M. Ivancevich; J. H. Donnely. Organizations. 8th ed. Irwin. Inc. Boston. Massachusetts. 1991. Macintosh, Stephen S.; Susan Page & Kenneth B. Hall. Adding Value Through Training, Training & Development, July: 39-44, 1993. Mitrani,A,Daziel, M. And Fitt, D. ―Competency Based Human Resource Management: Value-Driven Strategies for Recruitment, Development and Reward‖, Kogan Page Limited:London, 1992. Ryllatt, Alastair, et.al,‖Creating Training Miracles‖,AIM Australia,1995.
Spencer,M.Lyle and Spencer,M.Signe, ―Competence at Work:Models for Superrior Performance‖, John Wily & Son,Inc,New York,USA,1993. Armein Z. R. Langi, Pengembangan Sumber Daya Manusia Untuk Industri di BHTV. www.geogle/ Teknologi Informasi dan Software /.co.id. Accessed August 01, 2011. Endah setyowati, Pengembangan SDM Berbasis Kompetensi: Solusi untuk Meningkatkan Kinerja Organisasi. Available from: www.geogle/SDM Indonesia dalam persaingan global/.co.id. Accessed August 01, 2011. Http://teknologi.kompasiana.com/internet/ 2011/07/27/pertumbuhan-penggunainternet-di-indonesia-pada-semester-1tahun-2011/. Accessed August 12, 2011 Syifa, Cahyadian Fery. Transisi Masyarakat Informasi Indonesia. Available from: URL:http//www.geocities.com/vey212/tra nsisi.htm. Accessed July 19, 2011.
INSTRUCTIONAL MATERIALS OF SOCIAL COMUNICATION AND SCIENCES DEVELOPT BY ESP FOR UNDERGRADUATE STUDENTS OF PUBLIC ADMINIS TRATION DEPARTMENTS IN STISOSPOL “WASKITA DHARMA” MALANG PERIODE 2014-2015
ABD. SYAKUR, S.Pd., S.Sos., M.Pd (Public Administration Departments, Stisospol Waskita Dharma Malang)
[email protected],
[email protected] Abstract This study aimed at investigating the syllabus and materials of Public Administration Departments of the College of social and communication at Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang and to provide solutions to these problems. For this purpose, four research questions were posed and the answers to these questions were provided and discussed. The data for the study were collected via (face-to-face) interviews. The informants of this study were undergraduate students from the College of Social at Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang for the academic year 2014-2015. The findings of the study revealed that the students faced problems in relation to vocabulary register, organization of ideas, grammar, spelling, and referencing. ESP for Public Administration Departments is not developed at Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang. This study is aimed to develop ESP instructional materials with the principles of CTL for undergraduate students of Public Administration Departments. There are two major stages applied in this study namely Research, to discover the needs of the students in needs analysis, and Development, to develop the ESP instructional materials. The development stage covers FGD, writing manuscript, expert judgment, revision, expert validation, and tryouts. It can be said that through the entire steps of Research and Development, the products of materials are trustworthy and appropriate to apply at Public Administration Departments in Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang
INTRODUCTION Nowadays, English play an important role in education and students are expected to communicate effectively in institutions where English is the medium of instruction. Learners face the task of mastering content area in subjects such as mathematics, social studies, science, and business which are taught in the target language (English). In such cases, teaching and learning of English can help the students to deal successfully with their academic demands and to perform successfully in their discipline and professional contexts (Adams & Keene, 2000).
It is not surprising that the competence of English owned by students of non-English department is relatively low (Dewi, 2010:1). Through the research finding conducted in nursing academy, she insists the importance of syllabus and materials due to its contrary condition with the need of English in their field of study after they are in working place. They are likely to get some difficulties of doing something in the relation with English for their job. There are many factors affecting them to have such low proficiency in English including the system of teaching and learning in the classroom. The design of the curriculum is a problem in creating the way of teaching in the classroom and the students‘ way of learning to use the language. Curriculum
design takes an important role in creating how the teaching and learning process is conducted. Inappropriate design means unsuitable learning content for their field of study. There should be a match between the students‘ needs and the design itself to meet their needs. This is essential for the course developers to make the ESP instructional materials to create the textbook and exercises which are applicable in the matter of communication either written or spoken. The wrong procedure in developing ESP instructional material frequently happens in some institutions to create what materials should be appropriate for their students. For instance, in some courses or lectures, lessons are planned with grammar-based. The language forms are taught in sequence from simple present to passive voice, for instance. The weakness they obtain is when they are in the context of real life communication they do not perform fluently in speaking. However, the analysis on logic-mathematic language structures is their mainly competence and becomes their strength in learning the language. In another case, there are ESP instructional materials designed only to meet the students‘ communicative functions such as speaking context in many situations. Their strength and weakness is on the contrary. To troubleshoot the problems of the ESP instructional materials deign, Harmer (2007:3 69) argues that ESP instructional materials type must be integrated or called as multi-ESP instructional materials ESP textbook materials. Communicative compete is derived from the combination of more than one type of ESP textbook materials. ESP is taught in some popular departments, and one of them is Public Administration Departments. The new applied concept of the governances and finance in the world makes a new branch of ESP for Social and communication. Stisospol ―Washita Dharma‖ Malang or familiarly abbreviated into STWD, Public Administration Departments is a brand new major under this faculty which is still developing in producing competent graduates in Social Departments. Due to still a new major, there is still a development in its
curriculum especially for the ESP instructional materials for English Maters 1and 2. That there is no approach for ESP in Public Administration Departments and business, results the teaching and learning materials are not correlated to the students‘ needs on the job they are in. This fact is the main reason why this Research and Development is conducted, that is, to propose the appropriate ESP instructional materials for English course in order to guide the lecturers to make appropriate instructional materials as well. This paper has two research problems of which the first is about the identification of the problem and the second is about the teaching kit product to solve the problem encountered by the students of Public Administration Departments in learning English. (1) What is the problem faced by undergraduate student of Public Administration Departments in Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang in learning English? (2) How to develop ESP instructional materials with the principles of Contextual Teaching and Learning (CTL) for undergraduate students of public administration departments in Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang? The objectives of the research of this Paper are: (1) To identify the problem faced by undergraduate students of Public Administration Departments in Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang in learning English (2) To develop ESP instructional materials with the principles of Contextual Teaching and Learning (CTL) for undergraduate students of Public Administration Departments in Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang This research and significances in this development is intended to overcome the problem encountered by the students to learn English by increasing the quality of ESP teaching in the Public Administration Departments and to create specific instructional materials based on the principles of CTL and ESP for Public Administration Departments as their major. The specific ESP instructional materials are design to avoid
mismatch between the ESP instructional materials design and the students‘ needs. Students are provided a set of materials planning which are more suitable and applicable to their needs when they are in the professional job. With the approach of functional and experiential learning, students are more engaged in communicative activities related with competences in global and conventional economic and business context. This research product is meant to meet the students‘ needs on the future job in which the learners need to improve their language skills especially for writing and speaking which are mostly used in the job. The scope of this research and development is in the areas of ESP of Social and communication in the context of global approach or global rules and regulations. This specified ESP is needed to apply in the faculty. Later on, the result of this research and development is a product of teaching kit, i.e. the instructional materials which will be used mainly for the English lecturers handling the English two courses in the even semester. The instructional materials will impact on the teaching and learning activity in the Public Administration Departments with the hope to cope the problem of students‘ needs and their English learning in the classroom. The expectation of the existence of these instructional materials is the students are more engaged to be active in the class to produce the language. Besides, the English lecturers are helped through these materials kit to use the better sources of materials rather than using those of general English materials. After all, those impacts are the limitation of this study. Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang has already given English compulsory course in the first year called Intensive English Course program in which in the first semester the students get general English followed by TOEFL preparation in the second semester. This is why the design of the ESP instructional materials is based on the development of English use or communication. In this study,
writing and speaking are two skills mainly developed on the ESP textbook materials. This research method and development uses qualitative approach to find out a specific style in the ESP textbook materials. The prime objective of this research is to design ESP instructional materials which are appropriate with the needs of the students of Public Administration Departments in Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang. The subject of the study involves a number of students of Public Administration Departments in the semester of 4 who took English 3 course. In Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang, there are three English courses which are compulsorily taken by the students. The developer thinks that English course 1 and 2 are for general English and English for global Studies, in line with the university regulation to teach the ESP. When the students are taking English 3, it is the time for them to focus on their content areas in Public Administration Departments. The number of the students involved for the subject of this study is 30 students gathered by random sampling from 190 students. The 30 students are gathered in one class and involved in the process of obtaining information, needs analysis, and tryout phase. Besides, the subject specialist teaching in this faculty and alumnae are involved in the needs analysis conducted in the interview stage. The model of development in this study is based on what Borg and Gall (1986:775-776) beginning with the identification of the problem of learning English encountered by the undergraduate students of Public Administration Departments. Knowing the core problem, the researcher attempts to reveal it by studying the theory regarding the problem of learning. Next, needs assessment and needs analysis are needed to reveal what need should be met by the students, and then the result of the needs assessment and needs analysis is developed into a textbook. The result of the textbook is then brought to expert for their judgment for
revision. Having been revised, the result of the materials is tried-out. On this phase, expert comments are welcome for the improvement of the materials. When the materials have been revised, the textbook is ready to use for classrooms. To conduct this research and development, the researcher follows some steps as the procedure as follows: (1) Identifying the problem encountered by the students in learning English (2) Reviewing the problem into the theory (3) obtaining information through the needs survey, (4) FGD (Focus on Group Discussion) (5) writing manuscript, (6) expert judgment, (7) revision (8) tryouts, (9) revisions, and (10) expert validation. Identification of problem is initiated by giving questionnaire for students to find out what becomes their difficulty in learning English in this university level. In this process, the researcher attempts to reveal what becomes the problem for them in learning English, especially in the course of English 3. The aspects covered in this section are in the circle of their attitude concerning English, motivation, learning style preference, and difficulties of learning English. The questionnaire is distributed to those who used the ESP instructional materials mainly for the students of Public Administration Departments in the semester 4. This phase is conducted altogether with need assessment, i.e. on April 8, 2014. The resulted data lead the researcher for choosing a means of problem solving of which instructional materials are developed. Besides, the data gained from the questionnaire become a consideration of many aspects of the materials such as teaching strategy, level of difficulty, and proportional skills to solve the problem they encounter in learning English. The literature of this study Obtaining information from the students, the researcher then go to further steps by doing literature study as elaborated in Chapter II in which CTL based learning should be developed in the instructional materials of ESP. Students expect more on learning engaging them into real-world tasking related to their field of
study, i.e. Public Administration Departments. By experiencing what they learn, they will be able to learn with life-long memory according to their needs in the future careers. Through the course book and methods of teaching brought by the teacher, their communicative competence is trained in both written and spoken aspect. Stage 1: The Needs Survey Developing course ESP instructional materials is initiated with the acquiring as much as information about the learners‘ needs. Conducted on April 8, 2014, this step is the first one to make the ‗direction‘ of what kind of ESP instructional materials and what contents will be inside. The needs survey is sometimes known as needs analysis as a step to gather information about the learners‘ needs (Richards, 2001:51). The needs analysis as a starting point also becomes ‗a tool‘ for course developers to design the ESP instructional materials based on what the learners need, interest, and want to know the content of the materials. Stage 2: FGD (Focus on Group Discussion) The process of selection is also called content organization which is the further process of ESP instructional materials design. On this step, the course developers begin to select carefully what contents will be presented in the ESP textbook materials. When it comes to ESP course, the terminology of content can be well replaced by content areas. Stage 3: Writing Manuscript The core process of developing instructional materials is writing the manuscript itself. The developed manuscript is based on all of information gained from needs survey covering needs assessment from students, subject specialist, and person working in the governance. Stage 4: Expert Judgment Experts are asked for their comment on this stage which is also called the data is in the form of qualitative data. Experts give
comments and suggestions in the form of feedback. An adapted rubric of textbook evaluation guide synthesized by Miekley (2005) has been used by the developer in obtaining necessary revision from expert. April 22, 2014 is when the developer asked for expert judgment or verification from expert 1 to see the materials‘ technical. Meanwhile, for expert 2, the verification is held on April 29, 2014 to verify the content only. Stage 5: Revising The further step is to apply what has been revised by the ESP expert in the ESP textbook materials. The feedback given is used to revise the content or perhaps certain procedure if necessary to make the ESP instructional materials is ready to use in the ESP language program before it has been validated by the expert having been consulted. Stage 6: Tryouts To get the empirical validity, one more phase is required. Tryout is necessary to do before the materials have become a product for language learning. The materials are seen how effective they are in the classroom. So, the observation is needed to see how the materials suit properly for the students. During the observation, there should be ongoing process, and still, revisions are welcome before the materials are finally validated. The design of the tryout is in the form of qualitative data, Tryouts are conducted for three units namely unit 1, unit 2, and unit 7 from May 6 to 17, 2014. The developer chooses the three topics with the reason that unit 1 resembles the basic concept of banking the students need to know, unit 2 represents the most used communicative practice in the future relating to job interview, and unit 7 represents a snapshot of Public Administration Department in Singapore. Stage 7: Revision The previous session, tryouts, surely results revision. Observation done by the developer results several weaknesses that needs to be added. Anything that needs to be revised to make classroom interaction to be better should
be revised in this phase. This second revision is the last one before it is finally validated by the expert of ESP course design. Stage 8: Expert Validation Materials validity is attained after all of the revisions have been done. This final step would be followed by materials finishing in which the developer fixes several parts of the materials needing the last touch. Two expert validations are made from two experts: Public Administration Departments expert and ESP course design. The data analysis technique obtained from the questionnaires is quantified, while the critics and suggestions are classified. Both the verification data from questionnaires and suggestions from the experts are analyzed to revise the proposed materials.
RESULT AND DISCUSSION This Research and discussion also development was initiated with the research process in which the researcher attempted to reveal what the problems encountered by the students of Public Administration Departments in learning English. A set of questionnaire has been spread to a random sampling as many as 30 students out of 150 students in the department who has taken English 3 course in the semester 3. The questionnaire consists of nine questions related with their perspectives in English, difficulties in language components and skills, and their awareness of the importance of English for themselves. Through the filled questionnaire it is found data as served below:
interview was intended to one lecturer in this faculty teaching two subjects; the governance and accounting. He has been teaching in this faculty since 2000 with his experiences of Public Administration Departments through his participation in a number of national training and workshops. FGD (Focus on Group Discussion)
The students‘ perspective of English was tested through question number 1 in the questionnaire which asks them whether they like English or not. It is found that 18 students or 60% answer option b that they like English. 7 students or 23% state that their perspective is ordinary. However, from 30 students, only 5 students or 17% state they like very much and none of them state do not like. This condition leads to a benefit for the teacher when the students have already owned good perspective of English; the teaching- learning process becomes easier. The result of needs analysis is intended to gain students‘ needs in four aspects such as significance of the needed skills, the content materials, and the teaching model needed by the students. The first instrument used is a set of questionnaire with 9 questions. Second, two sets of interviews intended to subject specialist and person working in the governances. The data obtained from the questionnaire are presented in chart. The result of need analysis from interviews is exposed in descriptive qualitative way. All of the information is gathered and then described qualitatively. The result two sets of interviews had been done by the developer in which each one has its purpose. The first
Involving two parties (people from Public Administration Departments and people from the governance), FGD was conducted with an important goal, i.e. to find suggestion and sequence the topics presented in the materials. There were two lecturers from Public Administration Departments and two persons from the governances. What topics to present in the materials were crucial for the developer since he only has the language instead of the contents gathering two lecturers teaching Public Administration Departments specialized in Islamic accounting and in Basic Public Administration Departments, the developer attempted to have fruitful discussion concerning worth topics might be appropriate to present in the materials. Resulted data, gained from interview with expert of Public Administration Departments, became the main reference for further discussion with the two people. The difference, however, the data obtained from the interview merely represented main points with no further details of what to present or to cover. So, this phase focused more to details of what to present on each units. Result of Expert Judgment
There are two experts involved in this phase in which the developer appointed expert in ESP and expert in Public
Administration Departments teaching in Stisospol ― Waskita Dharma‖ Malang. The initial Intensive consultation to the expert of ESP course design result a significant revision for text book improvement in the aspect of layout. This aspect needed revising inasmuch as students as the users of materials were likely to get less attracted to read and follow the activities in the materials. Appearance of the book is out of question to improve. Students‘ attention are ought to be caught through the first impression when they firstly look at the book before they read more. On the text book evaluation guide, the expert of ESP course design gave not quite satisfying score as she observed. In the column D of the rubric she gave ‗poor‘ for book cover. Still the same category, she gave score ‗adequate‘ for visual imagery, picture illustrations, and text appearance. In spite of imaging does not contain the most important aspect, the developer seemed to revise it to make more sense of appealing to the readers. Revision
All of suggestions given by expert in the previous phase of development were very precious for the developer to attain improvement of the materials. All of aspects concerning with weaknesses of the developed instructional materials had been made based on the suggestions. The developer did what it took to make the revised materials better than before. Result of Field Tryouts
To obtain the empirical validity of the materials, the developer conducted field tryout for three units. Of course, with research limitation in the terms of time and permission encountered by the developer
during research period, it was unlikely possible for him to do field tryouts for the whole units. Field tryouts were held from Mei 6 to 17, 2014 based on the given permission by the secretary of the department. There were three classes involved in these tryouts namely Class A, B, and C of which each class was taught with different units. Seeing this limitation, the developer chose three important chapters for the tryouts: Chapter 1 (Good Goverment), Chapter 2 (Human Resource), and Chapter 7 (Economic Growth). The developer acted as a collaborator of the English lecturer teaching English 3 course as well as the classroom observer to see the effectiveness of the materials from students‘ activities and responses. This role resulted field notes for necessary revision of some parts of materials which needed to be improved. Revision
For the second time, revision was required after the first one given from expert of ESP course development and expert of Public Administration Department. This second revision was based on two aspects covering result of tryouts and students‘ judgment to the book. To sum up, required revision gained from three units had been accomplished. Paralleling the whole materials, the addition of pronunciation guide or practice had been made in the reading-writing section. Acting as the observer, the developer felt to necessarily add some pronunciation guide or hints such as diphthong, minimal pairs, stressing, and its game for fun activity. Pronunciation practice was in line with the result of needs analysis in the beginning of research. Field tryouts proved that it was very effective in meeting their needs in pronunciation improvement. Apart from conversation, some images also needed to be added in some units mainly in unit 7
enabling them to sharpen their visual imagery about listening topic. Last, several instructions had been improved to enhance students‘ understanding of what they were likely to do for the tasks. Having revised all things necessary during tryouts, it means that the materials had already got empirical validity till it would finally be validated by expert in the next stage of this Research and Development. Expert Validation
Expert validation resembles the final step in this process of textbook development. Finished checking revisions, the expert of ESP course design decided that the instructional materials was finally been validated on May June 3, 2014 by the expert of Public Administration Departments, and on June 10, 2014 for the expert of ESP course design. Sections in the Product of Materials
Contextual Teaching and Learning (CTL) is the base how these instructional materials were composed. Highlighting experiential learning as the core of CTL, the developer connected it into the language learning in the classroom. In CTL, students are expected to connect abstract ideas with practical application in the real world context (Komalasari, 2010:06). Attaining the goal, the developer really applied the so called ‗meaningful learning‘ into the experiential learning by designing such activities based on their field of study. Five sections of the materials have been designed to meet the pillars of all seven pillars of CTL namely constructivism, questioning, inquiry, modeling, learning community, authentic assessment, and reflection. CONCLUSI ON
English competence in communication skills has been identified as the problem faced by the students of public administration departments. The problem has been caused by the existing materials adopting merely general English with the emphasis of grammar based teaching. The goal of the curriculum requiring the students to be able to develop communicative competence is still in doubt in its practice. Students who take English 3 course are merely taught English structures rather than using it in the real context of language. To develop those skills, the officials in the department may not shelve their content, i.e. Public Administration Departments which becomes a part of ESP. One significant way of troubleshooting the problem is there is a necessary a set of materials enabling them to develop their communicative skills, both written and spoken communicative skills. After all, Public Administration Departments as one of non-English Departments is a snapshot that ESP should be sustained to meet what the students really need in the future concerning with their English. This R&D of ESP for Public Administration Departments was conducted through two main stages namely research stage and development stage. Research stage was initiated with acquiring any information about the conditions of the students and revealing what problem of learning they might encounter. In addition, needs assessment was needed as the base how the developer developed the materials. Needs assessment itself leads to several research instruments such as questionnaire for the students and interview for the subject specialists. The development stage,
however, resembles writing the materials with the base of the result of needs analysis. To attain the validity of the materials, the developer needed to consult with experts for necessary revision. Finished with the consultation, the materials needed a set of tryouts in a small group of students. Revision for the second time was also needed before they are really able to be used in the real classroom. The resulted product of materials having been validated, of course, has a number of strengths. According to the curriculum requiring international content integration, this product of materials has been suitable for it proven with its synchronization with students‘ needs in semester 3. Content matters a prime basis of which an ESP materials are composed, not only used to being in academic context, students could also enhance their communicative skills through functional expressions they will need in the future job and on the job training. In addition, this product of materials provides effective learning mode with the principles of CTL highlighting experiential learning with the goal to more productive learning. Real-world tasking enables them to produce more target language in order they to develop their communicative skills. The third strength appears in this product of materials in the matter of attractiveness. High esthetic pictures concerning with the topics and cover of the book could attract students as the users of the materials. The developer used pictures since they have been found unavoidable to attract the readers whether they like the materials or not. Language authenticity, however, becomes the next strength. This product of materials has several authentic sources making the product has language authenticity. Last, these materials can only be applied not only in Public Administration
Department. Although having a bit similarity, one another department in the faculty, i.e. Public Administration Departments, is not appropriate for use. Public Administration Departments seems to focus the study and practice to monetary and business in global contexts. Public Administration Departments, however, has a quite similarity with Public Administration Departments in the matter of its study scope concern with Business context. English teachers from Public Administration Departments, in fact, could not use this product because of its incompleteness of materials in Social Communication. Further research was really in need for its completeness. Teacher as the instructor and students as the users of the product are likely to find possible problems during or when the materials are finished being taught. English Course program concerning to Public Administration Departments content can only be implemented in semester 3. This reality makes the course developer only to develop materials for the very important aspects only. Critical students might be questioning why public administration departments content is applied in one semester only. Students might be aware that they need more contents instead of general English in Semester 2, for instance. Second, this product of materials emphasizes its importance of international and business content rather than general English that has been taught in Intensive English 1 and 2, English course 1, and English course 2. Students are taught general English no more. This product of materials does not adopt grammatical expression or
explanation. As a result, grammatical errors might come from students in producing target language. Teachers as the classroom instructor are expected to anticipate this possible problem. Those possible problems might come during the learning process can be anticipated by the teachers. First, teachers should maximize the materials to develop more communicative skills in one semester based on the curriculum. Despite one semester use, the product of materials should be useful for students if teachers are able to maximize the activities on each unit. Second, feedback from teachers takes important role in assisting students correct their errors. Feedback provided by teachers is meant to minimize repeated errors made by students. Last, integrated skill teaching needs to be implemented in every teaching session in the classroom. It is believed that communicative competence either written or oral way is more enhanced by not focusing merely on one skill for one meeting. Such awareness of the problems and how to deal with them is important for teachers to notice. REFERENCES Gunadi, Kun Aniroh M. 2011. ESP Materials Development: Theory and Practice. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya Malang. Hutchinson, T & Waters, A. 1987. English for Specific Purposes: a Learning- centered Approach. Cambridge: Cambridge University Press. Borg,W.R., and Gall, M.D. 1983. Educational Research: an Introduction. Ney York and London: Longman, Inc.
Brown, H.D., 2004. Language Assessment: Principles and Classroom Practices. New York: Pearson Education, Inc. Brown H.D., 2007. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Teaching. New York: Pearson education Inc. Burns,
R.G.
Contextual
&
Erickson,
Teaching
and
P.M.
2001. Learning:
Preparing Students for the New conomy. The Highlight Zone Research @ Work, 5. Dudley-Evans, T., and St John, M.-J. 1998. Developments in English for Specific Purposes. Cambridge: Cambridge University Press. Dullay, H., et al. 1982. Language 2. New York: Oxford University Press. Graddol, D. English Next. 2006. British Council: The English Company (UK) Ltd Bojovic, M. 2006. Teaching Foreign Language for Specific Purposes: Teacher Development. Paper presented at the 31st Annual ATEE Conference, Faculty of Agronomy Čačak, Serbia. Miekley, J. 2005. ESL Textbook Evaluation Checklist. The Reading Matrix, 5(2). Nunan, D. 1988. ESP instructional materials Design. Oxford: Oxford University Press. Smoak, R. 2003. What is English for Specific Purposes?. English Teaching Forum, 41(2):22427 Latief, M.A. 2010. Tanya Jawab Metode Penelitian Pembelajaran Bahasa. Malang: Universitas Negeri Malang (UM Press). Latief, M.A. 2001. Pembelajaran Bahasa Inggris Berbasis Konteks. Bahasa dan Seni, Jurnal Bahasa, Sastra, Seni, dan
Pengajarannya.
Tahun 29,
Nomor 2,
August
KORUPSI DAN KEHANCURAN NEGARA Kala Martien L Dosen DPK Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang Abstrak Korupsi merupakah salah satu penyakit Negara yang nyata dan sangat mengerikan, dan bahkan sudah mewabah keberbagai sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara. Berbagai upaya terus menerus dilakukan untuk memeranginya dengan tanpa mengenal lelah, namun seakan-akan tak berdaya dibuatnya (terutama oleh aparat penegak hukum dan KPK) kelengahan tidak boleh terjadi berarti kekalahan dan bisa menuju kesuatu kehancuran Negara (Negara gagal) Kata Kunci: korupsi, kehancuran, Negara PENDAHULUAN Kemajuan suatu negara sangat ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahtht yang direncanakan mencakup semua aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumberdaya manusia, yakni (orang-orang yang terlibat sejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan. Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya.Indonesia merupakan salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga menyangkut kualitasmoral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan patologi social (penyakit social) yangsangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah mengakibatkan kerugian
materiil keuangan negara yang sangat besar. Berdasarkan laporan pemberantasan korupsi Kwik Kian Gie yang dimuat diharian Kompas 25Oktober 2003 jumlahnya mencapai Rp 444 triliun. Namun yang lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan dalihstudi banding, THR, uang pesangon dan lain sebagainya di luar batas kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi hampir di seluruh wilayah lanahair. Hal itu merupakan cerminan rendahnya moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji mumpung.Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban lain kalau kitaingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai pada titik nadir yang paling rendah maka jangan harap negaraini akan mampu mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapatmembawa negara ke jurang kehancuran. Korupsi merupakan suatu bentuk patologi sosial yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Masalah korupsi bukan 22
hanyadisebabkan oleh kemiskinan dan moral. Karena banyak pelaku tindak korupsi justru orang kaya bukan orang miskin. Begitu juga kalau dilihat dari sisi agama, ada pelaku korupsi yang merupakan tokoh agama. Oleh karena itu masalah korupsi adalah masalah yang kompleks dan pengaruhi oleh banyak faktor. Berbagai faktor yang diidentifikasi berpengaruh terhadap terjadinya tindakan korupsi dapat digambarkan pada bagan analisis pohon masalah sebagai berikut. Dari berbagai faktor penyebab terjadinya korupsi tersebut maka yang menjadi focus masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana meningkatkan kesadaran masyarakat untuk anti korupsi dan malu melakukan korupsi? Sedangkan Tujuan yang igin dicapai melalui penulisan ini untuk menggugah kesadaran masyarakat khususnya kelangan birokrasi untuk berperilaku anti korupsi sehingga tercipta apparatur Negara yang bersih dari korupsi. Dengan demikian maka pelaksanaan pembangunan bisa berjalan baik, pelayanan publik Selain itu, dengan pelaksanaan pembangunan yang meningkat maka kesejahteraan masyarakat dapat meningkat, serta martabat negara di mata dunia internasional akan lebih baik dan pembangunan pun dapat berkelanjutan. Penulisan ini dilakukan melalui studi kepustakaan, baik terhadap referensi, laporan maupun surat kabar. Hasil studi kepustakaan, baik berupa teori maupun data kemudian disusundan dianalisis untuk selanjutnya ditungkan dalam tulisan ini.
HASIL DAN PEMBAHASAN Korupsi, Bentuk, Praktek Dan Dampaknya Terhadap Kehancuran Negara Korupsi, Bentuk dan Pra1kteknya di Indonesia Secara epistemologis, korupsi merupakan perbuatan tercela yang bertentangan dengantata nilai, norma, hukum dan agama. Korupsi merupakan suatu bentuk perbuatan tercela yangmerugikan negara, orang atau pihak
lain. The Lexicon 1978 dalam Andi Hamzah (1984)Aparatur Bersih Negara Bersih dari Korup mengartikan korupsi sebagai sesuatu perbuatan yang busuk, buruk, bejat, tidak jujur, dapat disuap, dan tidak bermoral,.. Dari sisi hukum, Baharudin Lopa dan Moh. Yamin mengartikan korupsi sebagai suatu tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan danmanipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara, merugikan kesejahteraan dan kepentingan rakyat. Konsep yang lebih sederhana tentang korupsi dikemukakan oleh Senturia (1993) dalam Jeremy Pope (2003) korupsiadalah penyalahgunaan kekuasaan, kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Kartini Kartono (2002) memberi pengertian yang hampir sama dengan Senturia, bahwa korupsi adalah tingkahlaku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi,merugikan kepentingan umum dan negara.Gerald E. Caiden (1998) yang dikutif Jeremy Pope (2003) memaparkan secara rinci bentukbentuk korupsi yang umum di kenal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara antara lain adalah: (1) berkhianat, transaksi luar negeri illegal dan penyelundupan, (2) menggelapkan barang milik lembaga, negara , swastanisasi anggaran pemerintah, menipu dan mencuri, (3) menggunakan uang negara/lembaga yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang, mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak dan menyalagunakan dana, (4) menyalagunakan wewenang, menipu, mengecoh, mencurangi, memperdaya dan memeras, (5) penyuapan dan penyogokan, mengutip pungutan dan memintakomisi, (6) menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah/negara, dan surat izin pemerintah, (7) manipulasi peraturan, pembelian barang persediaan, kontrak dan pinjamanuang, (8) menghindari pajak, 23
meraih laba berlebih-lebihan, (9) menerima hadiah, uang pelicindan hiburan dan perjalanan yang tidak pada tempatnya, dan (10) menyalagunakan stempel dankertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.Di Indonesia jenis praktek korupsi sudah merambah hampir ke semua sektor yangmenyangkut kepentingan publik. Hasil survei yang dilakukan Transparency Internastionallndonesia tentang jenis paraktek korupsi yang terjadi di Indonesia dapat dilihat pada tabel berikut.Tabel 1. Jenis/Praktek Korupsi di Indonesia Jenis Korupsi Sektor dan Alokasi Manipulasi uang Negara • Pengadaan barang dan jasa konstruksi • Pekerjaan umum • Pengadaan dan jasa militer • Pengadaan barang dan jasa pemerintah Suap dan pemerasan Polisi dan peradilan meningkat dan kemiskinan berkurang. Pajak dan bea cukai • PerizinanPolitik uang * Partai politik dan DPR Kolusi bisnis • Militer dan polisi via koperasi dan yayasan • Yayasan koperasi pegawai pemerintahan Transparency International Indonesia, 2003 Hasil survei itu menunjukkan bahwa korupsi dalam bentuk manipulasi uang negara,sektor yang paling korup adalah sektor pengadaan barang dan jasa konstruksi , pekerjaan umum, perlengkapan militer dan pengadaan barang dan jasa pemerintah. Jenis korupsi yang berupa suapdan pemerasan yang paling korup terjadi di lembaga penegak hukum, yaitu kepolisian dan peradilan. Sedangkan untuk jenis kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi pada tubuh militer,kepolisian dan pegwai pemerintah yang dilakukan melalui koperasi dan yayasan. Hasil survei tersebut membuat kita semakin prihatin terhadap upaya penegakan hukumdalam memberantas korupsi dan tidakan kejahatan lainnya,
seperti narkoba, pencurian kendaraan bermotor, pemerkosnAn dan sebagainya karena kepolisian dan peradilan sebagai aparat penegak hukum sudah menjadi sarang suap yang bisa dibeli oleh orangorang yang melakukan kejahatan. Kalau para penegak hukum sudah bisa disuap atau dibeli untuk memutar balikkan faktaatau untuk menutup mata dan telinga atas kebenaran dan keadilan maka jangan harap parakoruptor dan penjahat akan takut melakukan kejahatannya. Tetapi justru bisa membuat merekasemakin nekat. Karena mereka bisa mengkalkulasi antara kejahatan yang dilakukan dankemungkinan uang suap yang harus disediakan andaikata tertangkap atau ketahuan.Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan suatu bentuk patologi sosial (penyakitsocial) yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bemegara, baik yang dilakukan secara perorangan maupun secara kolektif. Padaera Orde Baru, korupsi masih dilakukan secara tersembunyi. Tetapi pada era reformasi, disamping yang dilakukan secara sembunyi muncul korupsi gaya barn dalam bentuk perampasanatau pengurasan keuangan negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan legislatif dengandalih studi banding, THR, uang pesangon dan sebagainya di luar batas kewajaran secara lebihterbuka. Korupsi jenis ini hampir terjadi di seluruh pelosok tanah air. Dan ini lebih Menyedihkan, karena pelakunya adalah lembaga yang menyebut din sebagai wakil rakyat yang mestinya merupakan lembaga yang paling konsern dan paling gigih dalam memperjuangkankepentingan rakyat bukan menjadi perampok atau perampas uang rakyat, seperti yang dilakukanoleh 43 orang anggota DPRD Sumatera Barat.Dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh lembaga Transparency International (TI) Indonesia tahun 2003 menempatkan 24
Indonesia sebagai negarayang terkorup di kawasan Asia Tenggara dan urutan 6 terkorup di antara 133 negara di dunia.Laltimy a era reformasi merupakan tonggak yang diharapkan mampu memberantas korupsi dandapat melaksanakan pembangunan secara lebih baik serta lebih berpihak kepada kepentinganrakyat. Tetapi harapan itu tidak kunjung tiba dan bahkan praktek korupsipun semakin menjadi.Sekarang kifa kemabali menaruh harapan melalui pemilu 2004 ini bisa melahirkan pemimpin dananggota legislatif yang berkualitas, bersih, jujur dan berpihak kepada kepentingan rakyat sertakemajuan bangsa dan negara. Dampak Negara
Korupsi
Terhadap Kehancuran
Korupsi yang telah merajalela tersebut mempunyai dampak yang merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Dampak langsung yang paling terasa adalah kerugian negara secara material yang sangat besar seperti terlihat pada tabel3 berikut ini.Tabel 3. Perkiraan kekayaan negara yang dikorup pertahun Jenis kekayaan negara yang dikorupsi Jumlah pertahun (Dalam triliun rupiah)lkan, pasir dan kayo yang dicuri senilai 9 miliar dolar AS Rp 90 Pajak yang dibayar oleh pembayar pajak tetapi tidak masuk ke kas negaraRp 240Subsidi kepada perbankan yang tidak pernah akan sehat Rp 40Kebocoran dalam APBN sebesai 20% dari 370 triliun Rp 74 Jumlah kekayaan negara yang dikorup pertahun Rp 444 triliun Sumber : Lamporan pemberantasan korupsi oleh Kwik Kian Gie, kompas, 25 Oktober 2003 Mencermati komponen kekayaan negara yang dikorup di atas, masih banyak sektor lainyang belum tercakup, seperti sektor pertambangan, perkebunan serta kebocoran-kebocoran yangterjadi pada APBD di hampir semua daerah yang melibatkan kalangan legislatif dan eksekutif,maka jumlah kerugian negara riil
jauh lebih besar.Kekayaan negara yang dikorup tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan APBNtahun 2003 yang berjumlah Rp 370 triliun. Hal ini berarti, jika tidak terjadi korupsi terhadapkekayaan negara maka kemampuan pembiayaan pembangunan melalui APBN dapat meningkat.Dan itu berarti bahwa pelaksanaan pembangunan di berbagai sektor dapat lebih ditingkatkanterutama yang berkaitan dengan pemberantasan kemiskinan dan pembiayaan sektor yang bersfatstrategis, seperti sektor pendidikan dan kesehatan. Dengan demikian akan dapat mendongkrak peningkatan kualitas sumberdaya manusia pada masa depan dan diharapkan dapat berimbas pada peningkatan produktivitas secara nasional.Di samping kerugian material juga terjadi kerugian yang bersifat immaterial, yaitu citradan martabat bangsa kita di dunia internasional. Predikat kita sebagai negara yang terkorup dikawasan Asia Tenggara merupakan citra yang sangat mamalukan. Tetapi anehnya para pemimpin di negeri ini masih adem ayem, tebal muka dan tidak memiliki rasa malu sehinggamembiarkan praktek korupsi semakin menjadi-jadi.Di samping kerugian material dan immaterial, korupsi juga membawa dampak pada penciptaan ekonomi biaya tinggi. Karena korupsi menyebabkan inefisiensi dan pemborosandalam ekonomi. Uang pelicin, sogok/suap, pungutan dan sejenisnya akan membebani komponen biaya produksi. Pemerintah yang korup akan membebani sektor swasta dengan urusan-urusanyang luar bisaa berat. Ditunjukan oleh Jeremy Pope (2003) bahwa di Ukraina pada tahun 1994 perusahaan-perusahaan yang disurvai melaporkan bahwa mereka menghabiskan rata-rata 28 %dari waktu kerja sematamata untuk berurusan dengan pemerintah dan pada tahun 1996-neningkat menjadi 37 %. Jika tidak ada langkah-langkah dan tindakan nyata pemerintah dalam memberantas korupsi, maka upaya pemerintah untuk menarik investor asing 25
menanamkan investasinya di Indonesia dengan melakukan kunjungan ke berbagai negara menghabiskan uang miliaran rupiah hanya akan merupakan tindakan yang merugi.Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Shang-Jin-Wei , guru besar pada KennedySchool of Government, Harvard University yang dikutip oleh Jeremy Pope (2003) menunjukkan bahwa kenaikan sate angka tingkat korupsi berkorelasi dengan turunnya totalinvestasi asing sebesar 16 persen. Karena memburuknya korupsi di suatu negara penerimainvestasi akan menyebabkan kenaikan tingkat pajak marginal perusahaan asing. Di samping dampak tersebut, S.H. Alatas (1987) mengemukakan enam pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dari korupsi, yaitu: (1) timbulnya berbagai bentuk ketidak adilan, (2)menimbulkan ketidakefisienan, (3) menyuburkan jenis kejahatan lain, (4) melemahkan semangat perangkat birokrasi dan mereka yang menjadi korban, (5) mengurangi kemampuan negara dalammemberikan pelayanan publik, dan (6) menaikkan biaya pelayanan.Dari berbagai dampak dan pengaruh yang ditimbulkan korupsi tersebut tidak dapatdisangkal bahwa korupsi membawa dampak yang merugikan dan menghambat pelaksanaan pembangunan di segala bidang. Karena uang yang semestinya dapat digunakan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan raib menjadi milik pribadi dan memperkaya segelintir orang. Kemampuan memberikan pelayanan publik yang berkualitas dan manusiawi menjadi berkurang .Sementara puluhan juta rakyat menjerit kesusahan dan mengharpkan uluran tangan dari pemerintah. Dengan demikian korupsi secara langsung atau tidak langsung menghambatkemajuan bangsa dan negara serta semakin memperparah kern iskinan.Membiarkan korupsi meraj ale la berarti membiarkan kejahatan menggerogoti dan menguras kekayaan negara untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan dengan
mengabaikan kepentingan umum atau kepentingan rakyat banyak dan hal ini bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan membiarkan korupsi berarti pula kita membiarkannegara menuju kehancuran, keterbelakangan dan pemeliharaan kemiskinan. Bertekat mengurangi dan memberantas korupsi berarti bertekat untuk maju. Karena keberhasilan dalam memerangi dan memberantas korupsi akan mampu meningkatkan kemampuan dalam melaksanakan pembangunan nasional di segala bidang. Dengan demikian berarti akan mempercepat gerak kemajuan bangsa menuju sebuah negara yang maju, berbudayadan bebas dari kemiskinan. Upaya Penanggulangan Korupsi Korupsi merupakan masalah yang kompleks. Penanggulangannya pun bersifat kompleksdan memerlukan keterpaduan. Upaya penanggulangan terhadap korupsi dapat dilakukan melaluidua cara, yaitu pencegahan dan penindakan. Kedua upaya tersebut sama pentingnya. Upaya pencegahan mencakup semua usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah agar tidak terjadi tindak korupsi pada semua spek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sedangkan upaya penindakan adalah usaha yang dilakukan untuk menyelamatkan uang atau kerugian negara akibat korupsi dan menindak/mengadili pelaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih terfokus pada upaya penindakandan itupun belum dilakukan dengan sungguh-sungguh. Upaya pemberantasan korupsi melalui pembentukan badan atau komisi yang secara khusus bertugas menyelidiki dugaan-dugaankorupsi telah banyak dilakukan. Sejarah mencatat hal ini telah dipraktekkan sejak awal OrdeBaru. Untuk meredam kritik terhadap maraknya korupsi di jajaran birokrasi. Presiden Soeharto membentuk sebuah badan dengan nama Pengatur Keuangan Negara (Pakuneg) 26
pada tahun 1966. Setahun kemudian dibentuk Tim Pemberantas Korupsi dan pada tahun 1970 dibentuk lagi apayang disebut dengan Komisi Empat. Persoalannya, selama bertugas badanbadan tersebut tidak memberikan hasil cemerlang (Prabowo, 2003).Setelah Soeharto lengser, pemerintahan barn kembali menunjukkan komitmen untuk memberantas korupsi. Secara eksplisit komitmen tersebut ditunjukkan lewat pemberian mandate kepada penyelenggara negara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas darikorupsi, kolusi dan nepotisme/KKN (Tap MPR No. XI/MPR/1998, UU No. 28/1999, dan UU No.31/1999 Tentang pemberantasan korupsi. Kepada presiden diberikan mandat untuk membentuk komisi pemeriksa yang berfungsi mencegah praktik KKN. Komisi ini mempunyai tugas danwewenang melakukan pemantauan dan klarifikasi terhadap harta kekayaan penyelenggara negara, meneliti laporar dan pengaduan masyarakat, LSM maupun instansi pemerintah.Pada masa pemerintahan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid diterbitkan Keppres No.127/1999 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN).Pada tahun 2002 kembali diterbitkan UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (KPTPK). Dengan pembentukan sederetan badan atau komisi tersebut belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan dalam memberantas korupsi di tanah air ini. Bahkanakhir-akhir ini tidak korupsi justru semakin menjadi-jadi. Mengapa demikian ? Karena badanatau komisi tersebut belum bekerja sungguhsungguh dan upaya yang dilakukan cenderunghanya penindakan belum banyak melakukan upaya pencegahan melalui penyadaran kepadamasyarakat khususnya aparatur negara untuk berperilaku anti korupsi dan malu melakukankorupsi. Akibatnya dukungan masyarakat secara luas sangat kurang.Jeremy Pope (2003) menawarkan enam bidang pokok
perubahan yang dapat mendukung pelaksanaan strategi anti korupsi yang menyeluruh, yaitu: kepemimpinan, program publik, perbaikan organisasi pemerintah, penegakan hukum, kesadaran masyarakat dan pembentukan lembaga pencegah korupsi.Apa yang dikemukakan oleh Jeremy Pope tersebut masih masih terlalu luas dan sulit dilaksanakan. Untuk kasus pemberantasan korupsi di Indonesia menurut hernat penulis harus Dilakukan terutama melalui dua cars, yaitu upaya pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan atau preventif harus dilakukan secara terprogram dan berkesinambungan. Upaya yang bersifat preventif yang paling utama adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terutama para penyelenggara negara (birokrasi) melalui pendidikan (penataran, penyuluhan, seminar, lokakarya dsb,) agar dapat berperilaku anti korupsi dan malu melakukan korupsi dan kedua adalah melakukan pengawasan yang lebih tersistematis dengan menerapkan teknologi canggih seperti yang diterapkan di negaranegara maju. Sedangkan upaya penindakan dilakukan melalui penegakan hukum yakni dengan memberikan hukuman yang seberat-beratnya.Upaya pemberantasan korupsi skala nasional dalam jangka panjang membutuhkan dukungan dari masyarakat secara luas. Tanpa dukungan masyarakat niscaya upaya untuk memberantas korupsi di bumi tercinta ini akan mengalami kegagalan Jeremy Pope (2003) mengemukakan bahwa upaya pemberantasan korupsi memerlukan dukungan masyarakat secaraluas dan tanpa dukungan masyarakat secara luas niscaya akan mengalami kegagalan.Komponen masyarakat yang mernegang peranan penting dalam upaya pemberantasankorupsi tersebut terutama adalah kalangan birokrasi sebagai aparatur negara. Kemudian organisasi kepemudaan dan keagamaan agar dapat memberikan contoh dan tekanan-tekanan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Upaya peningkatan kesadaran aparatur negara, 27
kalangan pemuda dan tokoh agamaterhadap perubahan perilaku anti korupsi dapat dilakukan melalui berbagai cam atau forum,seperti penataran, seminar, lokakarya dan sebagainya. Melalui forum tersebut dapat disampaikan pesan-pesan pembangunan yang diharapkan dapat merubah perilaku ke arah antikorupsi dan malu melakukan korupsi.Berikut ini disajikan identifikasi pesan-pesan pembangunan yang dapat disampaikan melalui pelaksanaan penataran untuk meningkatkan kesadaran aparatur negara (birokrasi), kalangan organisasi pemuda dan organisasi keagamaan untuk berperilaku anti korupsi dan malu melakukan korupsi dengan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep, bentuk, dampak serta hukuman bagi pelaku korupsi, baik dilihat dari sisi moral, norma, hukum agama maupun hukum negara. Tabel 1. Identiftkasi pesan pembangunan untuk meningkatkan kesadaran anti korupsi Tingkat kesadaran masyarakat terhadap anti korupsi dan malu melakukan korup sitinggi, sehingga tercipta masyarakat(aparatur negara) yang bebas darikorupsi. Dengan demikian pelaksanaan pem-bangunan bisa ditingkat-kan Pegawai negeri sipil,organisasi kepemudaan dan keagamaan.Penataranatau pe-nyuluhanl. Kosenp, ben-tuk dan praktek korupsi.. Dampak korup-si terhadap ma-syarakat, bang-sa/negara. Korupsi ditin- jau dari sudut pandang agama. Korupsi ditin- jau dari sudut pandang hokumnegara. Peranan masya-rakat dalammemberantaskorupsil. Pengertia n korupsi. Bnetuk- bentuk ke- giatan korupsi. Praktek korupsi dilndonesia 1. Kerugian keuangannegara. Menciptakan ekono- mi biaya tinggi. Merendahkan marta- bat manusia/bangsa.
Menghambat pelak-sanaan
pembangunan. Menimbulka n kemis- kinan. Merusak tatanan so- sial . Melemahkan birok- rasi pemerintahl. Konsep korupsi me-nurut ajaran agama. Hukum melakukankorupsi. Akibat melakukankorupsi 1. Konsep korups i. Bentuk- bentuk korup- si. Sangsi hukum bagi pelaku korupsil. Peran PNS dalammemberantas korupsi. Peran organisasi ke- pemudaan dalammemberantas korupsi. Peran organisasi ke-agamaan dalammemberantas korupsi Upaya meningkatkan kesadaran masyarakat, khususnya kalanean hirokrasi untuk berprilaku anti korupsi tersebut hendaknya dilakukan secara terprogram di seluruh departemen maupun lembaga-lemabaga negara non departemen. Sehingga seluruh pegawai atau staf yangada secara bertahap harus ikut dalam program pembinaan. Selain itu, materi pembinaan untuk berprilaku anti korupsi tersebut juga harus dimasukkan dalam program pendidikan prajabatan bagi calon-calon pegawai baru yang akan diterima. Di samping upaya pencegahan yang dilakukan secara terprogram pada masingmasingdepartemen atau lemaga tersebut maka upaya pengawasan dan penindakan juga pelu dilakukansecara sungguhsungguh dan professional. Mekanisme, pelaksanaan dan hasil pengawasan/ pemeriksaan terhadap penggunaan keuangan negara hams dilakukan secara transparan. Pengawasan dan pemiksaan hendaknya tidak hanya dilakukan oleh lembaga negara, tetapi juga mengikutsertakan lembaga independen (LSM/NGO). Selama ini pengawasan terhadap keuangandan pembangunan hanya dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga pemeriksaan keuangan dan pembangunan (BPK). Ketua BPK
28
diusulkan oleh DPR dan diangkat oleh Presiden. Akibatnya pemeriksaan terhadap keuangan negara terutama terhadap lembaga-lembaga negara termasuk lembaga kepresidenan tidak optimal dan cenderung hanya bersifat formalitas. Kondisi tersebut diperparah lagi dengan lemahnya penegakan hukum, sehingga korupsi semakin menjadi-jadi termasuk juga tindak kejahatan lainnya, seperti narkoba. Kelemahan dalam penanganan kasus korupsi selama ini disamping masih lemahnya kualitas aparat penegak hukum(personil : kepolisian, kejaksaan dan hakim) juga masih kuatnya intervensi pemerintah dalam proses peradilan terutama dalam kasuskasus yang melibatkan pejabat negara. Selain itu dalam penyelesaian kasus-kasus korupsi selama ini masih kurang mengedepankan penyelamatan keuangan negara. Denda yang diberikan kepada koruptor sangat kecil jika dibandingkan denganuang yang dikorupsinya. Sehingga jika dikalkulasi secara ekonomis terlepas dari masalah moral maka para koruptor masih diuntungkan. Misalnya seorang korupsi sepuluhan milyar rupiah,hanya didenda oleh pengadilan ratusan juta rupiah ( kurang dari Rp 1 milyar) dan dihukum 2 tahun penjara. Secara matematis berarti yang bersangkutan masih mempunyai pendapatan Rp 9 milyar. Kondisi ini jelas tidak akan membuat jerah para koruptor. Untuk itu dalam penanganankasus korupsi hendaknya seluruh uang yang terbukti dikorupsi harus dikembalikan secara utuh,kemudian diberikan hukuman denda dan hukuman kurungan (penjara). Dengan demikian diharapkan akan membuat takut setiap orang untuk melakukan korupsi.
SIM PULAN Korupsi merupakan suatu bentuk patologi sosial yang bertentangan dengan etika moral,hukum dan agama. Korupsi dapat membawa dampak negatif yang cukup luas dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Dampak yang dapat ditimbulkan dari korupsi tersebut antara lainadalah: (1) merugikan keuangan negara, (2)
menciptakan ekonomi biaya tinggi, (3) merendahkan martabat manusia, bangsa dan negara, (4) menghambat pelaksanaan pembangunan, (5)menimbulkan kemiskinan, (6) merusak tatanan sosial, dan (7) melemahkan birokrasi pemerintah.U paya penanggulangan atau pemberantasan terhadap korupsi dapat dilakukan melalui duacara, yaitu pencegahan dan penindakan. Upaya pencegahan adalah mencakup keseluruhan usahayang dilakukan untuk mencegah terjadinya korupsi, baik dilakukan melalui pendidikan maupun pengawasan. Sedangkan upaya penindakan adalah usaha yang dilakukan untuk menindak pelaku korupsi sesuai ketentuan hukum yang berlaku serta menyelamatkan keuangan negara. Dalam menindak para pelaku korupsi, yang harus diutamakan adalah agar seluruh uang yang dikorupsiharus dikembalikan serta ditambah dengan hukuman denda serta hukuman kurungan atau penjarah yang seberat-beratnya.Upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan selama ini masih cenderung kearah penindakan dan masih kurang pada upaya pencegahan melalui upaya meningkatkan kesadaranmasyarakat khususnya aparatur negara untuk berperilaku anti korupsi dan malu melakukan korupsi. Akibatnya dukungan masyarakat secara luas sangat kurang. Untuk itu, maka upaya pemberantasan korupsi hendaknya lebih banyak diarahkan pada upaya meningkatkan kesadaran masyarakat khususnya kalangan pcgawai negeri organisasi kepemudaan dan keagamaan untuk berperilaku and korupsi dan malu melakukan korupsi. Sehingga dapat tercipta masyarakat (aparatur negara) yang bebas korupsi. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui penataran atau penyuluban, seminar. loka karya dan sebagainya. Untuk itu maka dukungan pemerintah dan semua pihak sangat diperlukan.
Saran Semua Dinas/Instansi pemerintah hendaknya membuat program pembinaan 29
untuk meningkatkan kesadaran para pegawainya untuk berperilaku anti korupsi dan malu melakukan. Korupsi, baik melalui penataran, penyuluhan, seminar, loka karya dan sebagainya secara berkesinambungan. Masing-masing dinas/instansi dalam melakukan kegiatan programnya diharuskan melibatkan untuk mengikutsertakan unsur organisasi kepemudaan dan keagamaan setempat sesuai dengan hirarki masing-masing. Guna lebih menjamin objektifitas pemeriksaan keuangan Negara dan pembangunan, maka pemeriksaan terhadap keuangan Negara dan pembangunan hendaknya tidak hanya dilakukan oleh jajaran BPK, tetapi juga melibatkan organisasi independen (LSM.NGO). Sampai disini makalah kami buat agar bisa diterima dengan baik oleh semua yang membaca….. Amin DAFTAR RUJUKAN
Alatas, S.H. 1987 korupsi sifat sebab dan fungsi. Jakarta; Atamasasmita. R.2002 Jurnal Ilmiah Adminstrasi Publik Vol.V No.1, September 2004 – Februari 2005 (hal:34 – 58) Kartono, K. 2002. Korupsi, Good Governance dan Komisi anti korupsi di Indonesia. Jakarta BPHN Departemen Kehakiman dan HAM RI Pope, Jeremy, 2003. Pemberantasan korupsi untuk meraih kemandirian, kemakmuran, kesejahteraan dan keadilan (draft, internet) Rozi, syafuan. 2003. Strategi pemberantasan korupsi elemen system integrasi nasional, kerjasama antara transparency international Indonesia dan yayasan obor Indonesia. Syafuan, @ indonet.com. Tamin Faisal 2003 Kompas, 25 Oktober 2003. Laporan pemberantasan korupsi Jakarta Kompas, 25 Oktober 2003 bersih KKN , Indonesia Singa Asia. Jakarta
30
PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELAKSANAAN PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT (PNPM) MANDIRI PERKOTAAN DI KECAMATAN LOWOKWARU KOTA MALANG Ngatimin Dosen Tetap Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang
Abstrak PNPM Mandiri Perkotaan merupakan salah satu program yang mempunyai prinsip partisipatif. Penelitian ini mengkaji bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan di Kecamatan Lowokwaru Kota Malang serta untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat.dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dengan distribusi frekuensi dan didukung dengan analisis kualitatif. Untuk mengukur tingkat partisipasi masyarakat diukur dengan skala Likert dan cross tabulasi untuk mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa partisipasi masyarakat diberikan dalam bentuk sumbangan pikiran dalam bentuk usulan, saran maupun kritik. Sumbangan tenaga diberikan dengan frekuensi terbanyak yaitu 30%. Selain itu juga ada dalam bentuk material dan uang. Tingkat partisipasi masyarakat termasuk kategori rendah. Selain faktor kemiskinan hal ini disebabkan pengetahuan masyarakat yang minim terhadap program dan kurang optimalnya peranan stakeholder terkait dalam mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Faktor-faktor internal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat adalah umur, status warga di kelurahan, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan dan pengetahuan. Sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi pemerintah daerah, pengurus kelurahan (RT/RW), Tokoh masyarakat dan fasilitator. Kebijakan yang tepat untuk peningkatan partisipasi masyarakat adalah perencanaan partisipatif yang benar-benar melibatkan masyarakat dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan kegiatan PNPM, pemberian modal usaha yang benar-benar diperuntukkan bagi keluarga miskin, optimalisasi peranan stakeholder terkait. peningkatan pengetahuan masyarakat melalui media massa, pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat miskin dalam organisasi social kemasyarakatan yang ada termasuk KSM. Adapun Strategi untuk mendukung Program PNPM Program peningkatan bantuan modal bagi masyarakat miskin. Peningkatan keterampilan masyarakat terutama masyarakat miskin. Fasilitasi dan penguatan peran tim koordinasi pihak-pihak yang perpengaruh pada pelaksanaan PNPM melalui pembinaan dan pelatihan dan rapat koordinasi.
PENDAHULUAN Pembangunan partisipatif merupakan pendekatan pembangunan yang sesuai dengan hakikat otonomi daerah yang meletakkan landasan pembangunan yang tumbuh berkembang dari masyarakat, diselenggarakan secara sadar dan mandiri oleh masyarakat dan hasilnya dinikmati oleh seluruh masyarakat (Sumaryadi,2005: 87). Melalui program-program
pembangunan partisipatif tersebut diharapkan semua elemen masyarakat dapat secara bersama-sama berpartisipasi dengan cara mencurahkan pemikiran dan sumber daya yang dimiliki guna memenuhi kebutuhannya sendiri. PNPM Mandiri perkotaan merupakan salah satu program bertujuan mengentaskan kemiskinan melalui peningkatan akses masyarakat miskin terhadap perumahan dan permukiman yang berkualitas di 31
perkotaan memiliki wadah dalam memperjuangkan aspirasi dan kebutuhan mereka serta mampu mempengaruhi keputusan kebijakan publik dalam bidang perumahan dan permukiman. Salah satu prinsip yang dilaksanakan dalam PNPM Mandiri Perkotaan adalah prinsip partisipatif. Kecamatan Lowokwaru dengan jumlah penduduk 165.513 jiwa merupakan salah satu kota yang telah melaksanakan Program P2KP dan dilanjutkan dengan PNPM Mandiri Perkotaan pada tahun 2009 sampai dengan penelitian dilakukan. Dana sharing APBD selalu disediakan setiap tahunnya untuk kegiatan PNPM. Pada Tahun 2010, alokasi dana PNPM dari APBN sebesar Rp.2.000.000.000,,diperuntukkan untuk kegiatan fisik/lingkungan sebesar 90,49 %. Kegiatan PNPM Mendiri Perkotaan dilaksanakan pada Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik melihat bagaimana partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PNPM Mandiri di Kelurahan Lowokwaru Kota Malang dengan harapan dapat memberi masukan dalam perencanaan pengembangan PNPM di wilayah kelurahan, rangka pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDG‘s) pada tahun 2015, dengan mengajukan beberapa pertanyaan mendasar, yaitu : 1. Bagaimanakah bentuk partisipasi dan tingkat partisipasi masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Kelurahan Lowokwaru pada tahun 2010, khususnya untuk kegiatan komponen lingkungan dilihat pada tahap implementasi program. 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di Kelurahan Lowokwaru khususnya pada pelaksanaan komponen lingkungan?
3. Implikasi kebijakan apa sajakah yang tepat untuk pengembangan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengidentifikasi bentuk partisipasi dan tingkat partisipasi masyarakat khususnya masyarakat miskin dalam pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan di Kecamatan Lowokwaru khususnya untuk kegiatan lingkungan, 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat miskin pada pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan di Kecamatan Lowokwaru. 3. Untuk mengetahui implikasi kebijakan yang tepat untuk pengembangan partisipasi masyarakat pada pelaksanaan komponen lingkungan dalam pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan. Ruang lingkup penelitian ini mengkaji partisipasi masyarakat miskin dalam Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Kajian penelitian dilakukan terhadap pelaksanaan PNPM pada Tahun 2010 dalam kegiatan komponen lingkungan saja. Sedangkan pelaksanaan komponen sosial dan ekonomi tidak dilakukan. Kajian Teori Pemberdayaan Masyarakat dan Kemiskinan Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencakup tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhanminimal dari standar hidup tertentu. Kemiskinan merupakan sebuah fenomena yang tidak akan pernah habis untuk diperbincangkan. Berbagai strategi dalam pengentasan kemiskinan telah banyak dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Tapi masih saja 32
formulasi untuk pengentasan kemiskinan tersebut belum mampu sepenuhnya menyelesaikan persoalan mengenai kemiskinan itu sendiri. (Marwoto : 2005:108). Ukuran kemiskinan secara umum dibedakan atas kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut didasarkan pada ketidakmampuan individu untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak, Konsep ini dikembangkan di Indonesia di dinyatakan sebagai ‖inability of the individual to met basic needs‖ (Marwoto: 2005:97). Konsep tersebut sejalan dengan Sen dalam Rasio Gini Kabupaten Gunungkidul:2006 yang menyatakan bahwa kemiskinan adalah ”Thefailure to have certain minimum capabilities”. Definisi tersebut mengacu pada standar kemampuan minimum tertentu, yang berarti bahwa penduduk yang tidak mampu melebihi kemampuan minimum dianggap miskin.Chambers (1987:141). menyatakan bahwa penyebab kemiskinan sebagai suatu kompleksitas serta hubungan sebab-akibat yang saling berkaitan dari ketidak berdayaan (powerlessness), kerapuhan (vulnerability), kelemahan fisik (physical weakness), kemiskinan (poverty), dan keterasingan (isolation). Mengatasi kemiskinan pada hakekatnya merupakan upaya memberdayakan orang untuk dapat mandiri baik dalam pengertian ekonomi, sosial maupun politik. Disamping itu semakin tinggi akses ekonomi yang dimiliki sehingga pada akhirnya mereka diharapkan dapat mandiri dalam mengatasi problem kemiskinan yang dihadapi. Pembangunan yang bertumpu pada manusia dengan menggunakan strategi pemberdayaan masyarakat secara partisipatif, merupakan pilihan strategi pembangunan bagi banyak negara termasuk negara Indonesia. Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat menjadi hal yang sangat penting dalam mencapai
keberhasilan dan keberlanjutan program pembangunan. Partisipasi berarti keikutsertaan seseorang ataupun sekelompok masyarakat dalam suatu kegiatan secara sadar. Jnabrabota Bhattacharyya (Ndraha, 1990), mengatakan partisipasi sebagai pengambilan bagian dalam kegiatan bersama Kegagalan dalam mencapai hasil dari program pembangunan tidak mencapai sasaran karena kurangnya partisipasi masyarakat. Keadaan ini dapat terjadi karena beberapa sebab antara lain: (Kartasasmita, 1997) 1. Pembangunan hanya menguntungkan segolongan kecil masyarakat dan tidak menguntungkan rakyat banyak. 2. Pembangunan meskipun dimaksudkan menguntungkan rakyat banyak, tetapi rakyat kurang memahami maksudnya. 3. Pembangunan dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat dan rakyat memahaminya, tetapi cara pelaksanaannya tidak sesuai dengan pemahaman mereka. 4. Pembangunan dipahami akan menguntungkan rakyat tetapi sejak semula rakyat tidak diikutsertakan. Keikutsertaan masyarakat adalah sangat penting di dalam keseluruhan proses pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan selayaknya mencakup keseluruhan proses mulai dari awal sampai tahap akhir. Oleh karena itu, menurut T. Ndraha partisipasi publik dapat terjadi pada 4 (empat) jenjang, yaitu: 1. Partisipasi dalam proses pembentukan keputusan; 2. Partisipasi dalam pelaksanaan; 3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil; 4. Partisipasi dalam evaluasi. Konsep ini memberikan makna bahwa masyarakat akan berpartisipasi secara sukarela apabila mereka dilibatkan sejak awal dalam proses pembangunan melalui program pemberdayaan. Ketika mereka mendapatkan manfaat dan merasa memiliki terhadap program pemberdayaan,
33
maka dapat dicapai suatu keberlanjutan dari program pemberdayaan. Bentuk partisipasi yang diberikan masyarakat dalam tahap pembangunan ada beberapa bentuk. Menurut Ericson (dalam Slamet, 1994:89) bentuk partisipasi masyarakat dalam pembangunan terbagi atas 3 (tiga) tahap, yaitu: 1. Partisipasi di dalam tahap perencanaan (idea planing stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap penyusunan rencana dan strategi dalam penyusunan kepanitian dan anggaran pada suatu kegiatan/proyek. Masyarakat berpartisipasi dengan memberikan usulan, saran dan kritik melalui pertemuan-pertemuan yang diadakan; 2. Partisipasi di dalam tahap pelaksanaan (implementation stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pelaksanaan pekerjaan suatu proyek. Masyarakat disini dapat memberikan tenaga, uang ataupun material/barang serta ide-ide sebagai salah satu wujud partisipasinya pada pekerjaan tersebut; 3. Partisipasi di dalam pemanfaatan (utilitazion stage). Partisipasi pada tahap ini maksudnya adalah pelibatan seseorang pada tahap pemanfaatan suatu proyek setelah proyek tersebut selesai dikerjakan. Partisipasi masyarakat pada tahap ini berupa tenaga dan uang untuk mengoperasikan dan memelihara proyek yang telah dibangun.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Faktoryang mempengaruhi partisipasi masyarakat terdiri dari faktor dari dalam masyarakat (internal), yaitu kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk perpartisipasi, maupun faktor dari luar masyarakat (eksternal) yaitu peran aparat dan lembaga formal yang ada. Kemampuan masyarakat akan berkaitan
dengan stratifikasi sosial dalam masyarakat. Menurut Max Weber dan Zanden (1988), mengemukakan pandangan multidimensional tentang stratifikasi masyarakat yang mengidentifikasi adanya 3 komponen di dalamnya, yaitu kelas (ekonomi), status (prestise) dan kekuasaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Faktor internal Untuk faktor-faktor internal adalah berasal dari dalam kelompok masyarakat sendiri, yaitu individuindividu dan kesatuan kelompok didalamnya. Tingkah laku individu berhubungan erat atau ditentukan oleh ciri-ciri sosiologis seperti umur jenis kelamin, pengetahuan, pekerjaan dan penghasilan (Slamet,1994:97). Secara teoritis, terdapat hubungan antara ciriciri individu dengan tingkat partisipasi, seperti usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya menjadi anggota masyarakat, besarnya pendapatan, keterlibatan dalam kegiatan pembangunan akan sangat berpengaruh pada partisipasi (Slamet, 1994:137-143). Menurut Plumer (dalam Suryawan, 2004:27), beberapa faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti proses partisipasi adalah: a) Pengetahuan dan keahlian. Dasar pengetahuan yang dimiliki akan mempengaruhi seluruh lingkungan dari masyarakat tersebut. Hal ini membuat masyarakat memahami ataupun tidak terhadap tahap-tahap dan bentuk dari partisipasi yang ada; b) Pekerjaan masyarakat. Biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akan dapat lebih meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikit waktunya untuk 34
berpartisipasi pada suatu proyek tertentu. Seringkali alasan yang mendasar pada masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan dengan keinginan untuk berpartisipasi; c) Tingkat pendidikan dan buta huruf. Faktor ini sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi serta untuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan bentuk partisipasi yang ada. d) Jenis kelamin. Sudah sangat diketahui bahwa sebagian masyarakat masih menganggap faktor inilah yang dapat mempengaruhi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi beranggapan bahwa laki-laki dan perempuan akan mempunyai persepsi dan pandangan berbeda terhadap suatu pokok permasalahan; e) Kepercayaan terhadap budaya tertentu. Masyarakat dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, terutama dari segi agama dan budaya akan menentukan strategi partisipasi yang digunakan serta metodologi yang digunakan. Seringkali kepercayaan yang dianut dapat bertentangan dengan konsep-konsep yang ada.
2. Faktor-faktor Eksternal Menurut Sunarti (dalam jurnal Tata Loka, 2003:9), faktor-faktor eksternal ini dapat dikatakan petaruh (stakeholder), yaitu semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program ini. Petaruh kunci adalah siapa yang mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan, atau mempunyai posisi penting guna kesuksesan program. PNPM Mandiri Perkotaan PNPM Mandiri Perkotaan merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari PNPM Mandiri oleh sebab itu pengelolaan program ini juga merupakan bagian dari pengelolaan program nasional PNPM Mandiri yang telah diatur dalam Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri yang diterbitkan olehTim Pengendali PNPM Mandiri. PNPM Mandiri menekankan pada prinsipprinsip dasar yaitu: 1. Bertumpu pada pembangunan manusia, 2. Otonomi. 3. Desentralisasi, 4. Berorientasi pada masyarakat miskin, 5. Partisipasi 6. Kesetaraan dan keadilan gender, 7. Demokratis, 8. Transparansi dan akuntabel, 9. Prioritas. Secara umum, tujuan PNPM Mandiri Perkotaan adalah meningkatkan kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin secara mandiri. Secara khusus, program ini bertujuan agar masyarakat di kelurahan peserta program menikmati perbaikan sosial-ekonomi dan tata pemerintahan lokal. Kelompok Sasaran dalam PNPM Mandiri perkotaan adalah : 1. Masyarakat warga kelurahan peserta PNPM Mandiri Perkotaan, 2. Pemerintah Kota/Kabupaten s/d kelurahan/desa terkait pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan, Anggota TKPP dan TKPK Daerah. 3. Para pemangku kepentingan terkait, perorangan/asosiasi profesi, asosiasi usahasejenis, perguruan tinggi, LSM, media massa yang peduli dengan kemiskinan. Metode Penelitian 35
Sumber Data Studi ini akan dilaksanakan di wilayah Kecamatan Lowokwaru Kota Malang (sebagai lokus penelitiannya), terutama yang telah menyelenggarakan program PNPM Mandiri Perkotaan. Pemilihan lokus ini dimaksudkan agar dapat menjawab permasalahan penelitian, partisipasi masyarkat dalam pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan Masyarkat ( PNPM ) Mandiri Perkotaan di Kecamatan Lowokwaru Kota Malang Partisipasi masyarakat Kecamatan Lowokwaru yang mencangkup seluruh masyarkat yang terlibat dalam partisipasi pelaksanaan program. Pengambilan sampel didasarkan pada teknik purposive sampling, yakni dengan cara mengambil subjek, yang bukan didasarkan atas strata, random, lokasi, akan tetapi didasarkan atas tujuan tertentu. Selain itu untuk mendapatkan informasi dari berbagai jenis sumber, terutama yang menguasai tentang persoalan keterlibatan masyarkat dalam pembangunan wilayah. Para informan yang diusulkan dalam penelitian ini antara lain: Camat, Sekcam, Lurah, bagian pemberdayaan masyarakat, RW, Ketua RT, Tokoh Masyarakat, Badan Keswadayaan Masyarakat ( KSM ) dan Badan Pemberdayaan Masyarakat ( BKM ) serta anggota masyarakat yang peduli. Instrumen Penelitian Instrumen utama dalam penelitian yang mempergunakan metode kualitatif adalah peneliti sendiri. Peneliti langsung turun ke lapangan, melakukan observasi ke lapangan dan wawancara dengan para informan. Sebelumnya, peneliti telah mempersiapkan diri dengan membawa perbekalan yang siap membantu peneliti selama berada di lapangan. Perbekalan itu di antaranya adalah tape recorder, buku catatan, dan tustel. Tape recorder dipergunakan untuk merekam jalannya wawancara, dan buku catatan dipergunakan untuk mencatat
aktivitas observasi Tustel dipergunakan observasi yang relevan dengan data
langsung di lapangan. untuk memotret objek penting-penting dan yang dibutuhkan.
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara melakukan observasi, wawancara, dan dokumentasi. Adapun cara pengumpulan data dapat diperinci sebagai berikut: 1) Observasi, yaitu cara yang dipergunakan peneliti untuk melihat dan mengetahui partisipasi msyarkat dalam pelaksanaan program di wilayah Kelurahan Lowokwaru. 2) Wawancara, yaitu cara yang dipergunakan peneliti untuk mengungkap bagaimanakah para subjek penelitian memberi makna terhadap aktivitas masyarakat atau partisipasi masyarakat di wilayahnya. 3) Dokumentasi, yaitu cara yang dipergunakan peneliti untuk meramu dan menempatkan terminologi dan sumber-sumber teori dalam penelitian ini yaitu teori yang menyangkut partisipasi masyarakat kelurahan Teknik Analisa Data Teknik analisa data secara kuantitatif, kualitatif dengan mengunankan Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dilakukan secara kuantitatif yaitu dengan menggunakan analisis deskriptif kuantitatif , distribusi frekuensi dan analisis multifariat t adalah SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kecamatan Lowokwaru. Kecamatan Lowokwaru terletak di posisi barat daya kota Malang yang merupakan lokasi dataran tinggi, dimana ketinggiannya 460 m dari permukaan laut. Wilayah Kecamatan Lowokwaru dipenuhi 36
dengan kampus baik kampus negeri seperti Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Malang, Universitas Islam Negeri; maupun kampus swasta seperti : Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Islam Malang, Institut Nasional Malang, STIE Malang Kucecwara. Luas Wilayah Kecamatan Lowokwaru 2089,513 Ha yang terbagi atas 12 Kelurahan. Batas Wilayah : Disebelah Utara dibatasi oleh Kecamatan Karangploso, Disebelah Selatan dibatasi oleh Kecamatan Klojen, Disebelah Timur dibatasi oleh Kecamatan Blimbing, Disebelah Barat dibatasi oleh Kecamatan Dau. Jumlah penduduk menurut jenis kelamin, Jumlah laki-laki = 81.493 orang, Jumlah perempuan = 84.020 orang, Total = 165.513 orang. Namun dengan semakin berkembangnya jumlah penduduk di Kota Malang, maka pada bulan April 1988 Kecamatan Lowokwaru terpisah dari Kecamatan Blimbing dengan membawahi 12 Kelurahan, meliputi: Kelurahan Lowokwaru, Kelurahan Tasikmadu, Kelurahan Tunggulwulung, Kelurahan Tunjungsekar, Kelurahan Tlogomas, Kelurahan Merjosari, Kelurahan Dinoyo, Kelurahan Sumbersari, Kelurahan Ketawanggede, Kelurahan Tulusrejo, Kelurahan Jatimulyo dan Kelurahan Mojolangu Jumlah Rukun Warga (RW) 116 buah, Rukun Tetangga (RT) 696 buah. Dengan perkembangan Jumlah penduduk Kecamatan Lowokwaru semakin tahun semakin bertambah. ada keempat kelurahan yang menjadi objek penelitian, kondisi sarana dan prasarana terutama jalan penghubung perlu perbaikan karena kondisinya yang rusak dan drainase yang tidak baik karena sering tersumbat. Disebabkan kondisi tersebut maka kegiatan PNPM komponen lingkungan berupa jalan rusak diutamakan oleh warga agar transportasi menjadi lancar. Adapun kegiatan PNPM pada tahun 2010 di empat kelurahan penelitian adalah sebagai berikut:
Tabel 1 Kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan pada Kelurahan Objek Penelitian N O
KELURAHA N
1
Lowokwaru
2
Dinoyo
3
Telogomas
4
Jatimulyo
KEGIATAN PNPM
Pekerjaan Paving dan Cor Beton Pembanguna n irigasi dan Pekerjaan Rabat Beton Pengecoran jalan dan Irigasi Pengecoran jalan dan Paving, pembanguna n MCK
Bentuk Partisipasi Masyarakat Bentuk partisipasi masyarakat Kecamatan Lowokwaru Kota Malang diberikan dalam bentuk sumbangan pikiran dalam bentuk saran, usulan maupun kritik dalam pertemuan/rapat yang diadakan untuk membicarakan kegiatan yang akan dilaksanakan. Untuk lebih jelasnya mengenai bentuk partisipasi masyarkat bisa dilihat dalam tabel berikut.
37
Tabel 2 Bentuk Sumbangan Pikiran Dalam Pertemuan N O
1 2 3 4
KATEG ORI
JUML AH
PROSENT ASE
Memberi kan usulan
28
30,8
4
4,4
Memberi kan saran
2
1,1
58
63,7
2
1,3
Tenaga dan Uang
3
1,7
6
5,3
4
4,2
4
4,2
7
7,2
92
100
Tenaga dan Komsum si Tenaga dan Material Uang dan Konsums i
Memberi kan kritik
Uang dan Material Tidak ada
Tidak ada Jumlah
92
100
Pada tahap pelaksanaan terlihat sekali partisipasi masyarakat terutama pada kegiatan yang dilaksanakan secara bersama-sama melalui gotong royong. Temuan pada penelitian ini, pada saat pelaksanaan masyarakat menyumbang apa saja yang ada pada mereka baik berupa tenaga, uang, material maupun ide-ide untuk kelancaran berjalannya program. Tabel 3 Bentuk Sumbangan Masyarakat KATEG ORI
Material
FREKUE NSI
PROSENT ASE
Tenaga
35
39,2
Uang
8
8,3
Konsums i
4
4,2
16
24,4
Dari tabel diatas terlihat bahwa sebagian besar sumbangan yang diberikan warga berupa tenaga oleh 35 responden atau sebesar 39,2 %. Sumbangan dalam bentuk tenaga dan material oleh 6 responden ( 5,3 %), sumbangan dalam bentuk material 16 responden. Sumbangan dalam bentuk tenaga melalui kegiatan kerja bakti (gotong royong) dan sebagai pekerja bangunan, walaupun pekerja bangunan ini sebenarnya dibayar. Hal ini juga menandakan bahwa PNPM memberikan lowongan pekerjaan buat para tukang/buruh yang tidak mempunyai pekerjaaan tetap. Material disini berupa pemberian tanah (hibah) untuk pembangunan, peminjaman alat-alat yang dibutuhkan untuk gotong royong berupa gerobak, pasir (kalau ada), cangkul maupun konsumsi berupa makanan atau minuman. Tingkat Partisipasi Masyarakat Tingkat partisipasi masyarakat dapat diketahui dengan menggunakan metode kuantitatif dengan skala Likert. 38
Dari enam variabel dan lima indikator maka dengan jumlah sampel 92 responden, dapat diketahui bahwa skor minimum untuk tingkat partisipasi masyarakat secara keseluruhan (91x6x1) adalah 546 dan skor maksimum (91x6x5) adalah 2730, maka intervalnya ((2730-546)/5) adalah 437. Sehingga dapat diketahui tingkat partisipasi masyarakatnya adalah: Tabel 4 Tingkat Partisipasi Masyarkat NO
KRETERIA
SKOR
1
Sangat tinggi, bila memiliki
2297 – 2733
Tinggi, bila memiliki
1859 – 2296
Cukup tinggi, bila memiliki
1421 – 1858
Rendah, bila memiliki
983 – 1420
Sangat rendah, bila memiliki
545 982
2 3 4 5
Dalam Tabel di atas telah diketahui total skor yang diperoleh adalah sebesar 1180 dapat disimpulkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat Kecamatan Lowokwaru Kota Malang hususnya rumah tangga miskin pemanfaat PNPM Mandiri Perkotaan ternyata rendah karena berada pada interval 983 - 1420. Hal ini disebabkan kondisi perekonomian responden yang tergolong Rumah Tangga Miskin. Hambatan-hambatan yang dapat ditemui dalam pelaksanaan partisipasi oleh masyarakat, diantaranya adalah kemiskinan. Hal ini mengindikasikan bahwa PNPM Mandiri Perkotaan belum mampu mewujudkan tujuan khusus dari PNPM Mandiri diantaranya meningkatkan partisipasi orang miskin. Oleh karena itu
perlu kebijakan dan program yang lebih tepat agar tujuan tersebut tercapai Faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Masyarakat Faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat yaitu faktor internal (pendidikan, mata pencaharian, usia, jenis kelamin, status kependudukan dan pengetahuan,) dan faktor eksternal (pemerintah daerah, tokoh masyarakat, pengurus kelurahan (RT/RW) fasilitator. Dari hasil analisis data dengan cross tabulasi didapatkan pengaruh dari Faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang berpengaruh adalah: Faktor Internal : 1. Umur mempengaruhi bentuk sumbangan yang diberikan dimana responden usia 36 – 43 tahun sebagian besar responden menyumbangkan tenaganya untuk kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan, dilanjutkan oleh responden pada usia 44 – 51 tahun. Hal ini menjelaskan bahwa responden pada usia produktif lebih banyak menyumbang dalam bentuk tenaga. 2. Status warga di kelurahan mempengaruhi partisipasi responden dalampertemuan. Warga yang merupakan pendatang lebih banyak memberikan usulan pada pertemuan dibandingkan warga asli setempat. Hal ini menunjukkan bahwa warga pendatang merupakan warga yang aktif dan menginginkan pembangunan yang lebih baik di daerah tempat dimana mereka menetap. 3. Faktor jenis kelamin mempengaruhi bentuk sumbangan dan keaktifan dalam kegiatan. Laki-laki lebih banyak berpartisipasi dibandingkan perempuan. 4. Faktor pekerjaan mempengaruhi bentuk sumbangan yang diberikan. Responden yang berprofesi sebagai petani dan buruh lebih banyak berpartisipasi dalam bentuk tenaga dibandingkan responden yang 39
mempunyai pekerjan sebagai pedagang, swasta, tukang ojek dan ibu rumah tangga. 5. Pendidikan memberikan pengaruh terhadap kehadiran dan keaktifan dalam kegiatan. responden yang hadir dalam pertemuan dan aktif dalam kegiatan didominasi oleh responden yang tamat SMP dan SMA. 6. Pengetahuan masyarakat tentang PNPM mempengaruhi kehadiran dalam pertemuan, keaktifan berdiskusi dalam pertemuan dan keaktifan dalam kerjabakti. Faktor eksternal merupakan peranan dari masing-masing stakeholder yang terlibat dalam berjalannya program. Dalam hal ini stakeholder yang mempunyai kepentingan dalam program ini adalah pemerintah daerah, pengurus kelurahan (RT/RW), tokoh masyarakat/adat dan konsultan/falilitator. Pada umumnya penilaian responden terhadap peran seluruh stakeholder masuk pada kategori bagus dan cukup bagus. Namun, peran yang paling menonjol untuk mengajak masyarakat berpartisipasi dalam PNPM Mandiri Perkotaan ini berdasarkan penilaian masyarakat adalah tokoh masyarakat diikuti oleh pengurus kelurahan dalam hal ini adalah Ketua RT/RW dan selanjutnya peran Pemerintah Kota dan fasilitator. Terlihat bahwa tokoh masyarakat didengar dan sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat Kecamatan Lowokwaru Kota Malang.Berdasarkan pengalaman yang dilakukan, dapat dikatakan semua faktorfaktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat sebaiknya dioptimalkan fungsinya karena tingkat partisipasi masyarakat yang masih rendah. Implikasi Kebijakan Pemerintah Dari hasil pemaparan telah dilakukan, tingkat partisipasi masyarakat khususnya masyarakat miskin masih dikatakan rendah. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan yang tepat agar masyarakat aktif berpartisipasi dalam pembangunan sehingga tujuan PNPM Mandiri Perkotaan untuk menjadikan masyarakat agar mandiridapat tercapai. Kebijakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, diantaranya : 1. Perencanaan pembangunan partisipatif harus konsisten dan serius dari semua pihak dalam pelaksaan PNPM Mandiri Perkotaan. 2. Pemberian modal usaha yang benarbenar diperuntukkan bagi keluarga miskin. 3. Optimalisasi peranan stakeholder terkait terutama Konsultan/ fasilitator dan tokoh masyarakat, 4. Peningkatan pengetahuan masyarakat melalui media massa. Masyarakat tidak hanya mengetahui tentang program dari pertemuan yang dihadiri, tetapi juga dapat mengetahui dari media formal maupun informal yang ada. 5. Pemberdayaan masyarakat terutama masyarakat miskin dalam organisasi social kemasyarakatan yang ada termasuk KSM. Adapun strategi untuk mendukung kebijakan dilakukan dengan : 1. Peningkatan peran serta masyarakat dalam pembangunan dari perencaanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan hasil pembangunan, 2. Pemberian modal usaha dan peningkatan keterampilan bagi warga miskin. 3. Koordinasi pihak-pihak terkait dalam PNPM Mandiri Perkotaan terutama antara Pemerintah kota dan Konsultan serta tokoh masyarakat. Fasilitator sebaiknya selalu berada di tengahtengah masyarakat terutama dalam pelaksanaan kegiatan dan tidak berganti dalam satu tahun kegiatan berjalan. 4. Penyebarluasan tentang PNPM Mandiri perkotaan melalui media 40
5.
massa, ceramah agama dan himbauan yang intensif kepada masyarakat terutama pada warga kelurahan lokasi kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan. Peningkatan pendidikan informal kepada masyarakat terutama masyarakat miskin sebagai upaya penguatan modal sosial masyarakat.
Adapun Strategi untuk mendukung Program PNPM 1. Program peningkatan bantuan modal bagi masyarakat miskin. 2. Peningkatan keterampilan masyarakat terutama masyarakat miskin. 3. Fasilitasi dan penguatan peran tim koordinasi pihak-pihak yang perpengaruh pada pelaksanaan PNPM melalui pembinaan dan pelatihan dan rapat koordinasi. 4. Pemberdayaan fasilitator dan penyuluh pemberdayaan masyarakat untuk lebih aktif mengajak masyarakat berpartisipasi dalam pembangunan. 5. Program penyampaian informasi PNPM melalui media masa baik formal maupun informal. 6. Membina masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan yang ada. 7. Program kerja bakti secara berkala di kelurahan.
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisa terhadap bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat serta faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam PNPM Mandiri Perkotaan di Kecamatan Lowokwaru Kota Malang, maka diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Partisipasi dalam bentuk pikiran diberikan masyarakat ketika menghadiri pertemuan yang membicarakan tentang PNPM Mandiri Perkotaan. Partisipasi masyarakat berupa pikiran disampaikan melalui usulan, saran maupun kritik. Kehadiran responden paling banyak
2.
3.
4.
pada tahap perencanaan adalah pada tahap sosialisasi awal. Partisipasi pada tahap pelaksanaan lebih dominan dalam bentuk tenaga (39, 2 %) melalui kerja bakti/gotong royong. Tingkat partisipasi masyarakat Kota Solok dalam PNPM Mandiri perkotan tergolong rendah dengan total skor 1180. Selain faktor kemiskinan hal ini disebabkan oleh pengetahuan masyarakat yang minim sekali terhadap PNPM Mandiri perkotaan dan belum optimalnya peranan pihak terkait dalam mengajak masyarakat untuk berpartisipasi. Hal ini mengindikasikan bahwa PNPM Mandiri Perkotaan belum mampu mewujudkan tujuan khusus dari PNPM Mandiri diantaranya meningkatkan partisipasi orang miskin. Faktor internal yang mempengaruhi partisipasi masyarakat pada PNPM Mandiri Perkotaan adalah faktor umur mempengaruhi bentuk sumbangan yangdiberikan. Faktor status di kelurahan mempengaruhi partisipasi responden dalam pertemuan, faktor jenis kelamin mempengaruhi bentuk sumbangan dan keaktifan dalam kegiatan. Faktor jenis pekerjaan mempengaruhi bentuk sumbangan yang diberikan. Faktor pendidikan memberikan pengaruh terhadap kehadiran dan keaktifan dalam kegiatan. Faktor peran pemerintah, pengurus kelurahan (RT/RW), tokoh masyarakat danperan fasilitator yang merupakan faktor eksternal mempengaruhi seluruh bentuk dan tingkat partisipasi masyarakat kecuali pada partisipasi dalam pertemuan dan keaktifan berdiskusi dalam pertemuan.
Saran Berdasarkan temuan dan kesimpulan yang telah dirumuskan, maka saran yang dapat disampaikan untuk peningkatan partisipasi masyarakat pada 41
program pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat miskin pada PNPM Mandiri Perkotaan diperlukan peran stakeholder yang terkait terutama mengajak masyarakat untuk menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan. Hal ini akan membuat masyarakat lebih paham akan tujuan dan sasaran program. 2. Fasilitator sebagai motor penggerak masyarakat lebih aktif lagi dan sebaiknya tetap di lokasi kegiatan dalam tahun berjalannya kegiatan. Penggantian fasilitator membutuhkan waktu penyesuaian dalam mengenali dan mendekati masyarakat. Disamping fasilitator PNPM sebaiknya juga dibantu oleh tenaga pemberdayaan masyarakat dari pemerintah daerah. 3. Kegiatan PNPM Mandiri Perkotaan pada komponen lingkungan sebaiknya lebih banyak yang dikerjakan secara kerja bakti/gotong royong sehingga masyarakat memiliki tanggung jawab terhadap prasarana dan sarana yang dibangun. 4. Untuk penelitian selanjutnya sebaiknya dikaji partisipasi masyarakat pada pelaksanaan PNPM Mandiri Perkotaan kegiatan komponen ekonomi dan sosial.
Bryant, Carolie dan White, Louise G. 1989. Manajemen Pembangunan Untuk NegaraBerkembang, Jakarta: LP3ES. Chambers, Robert. 1988. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang,Jakarta: LP3ES. Crook, R.C and Morten Jerve, A (eds). 1991. Government and participation, institutional development, decentralisation and democracy in the Third World. ChrMichelsen Institute Report, February. 1991 Departemen Pekerjaan Umum (2009), Pedoman Operasional Umum PNPM Mandiri Perkotaan , Jakarta. Fetterman, David and Wandersman, Abraham, 2007, Empowerment Evaluation:Yesterday, Today, and Tomorrow, American Journal of Evaluation Guijt, Irene, 2000, Methodological Issues in Participation Monitoring and Evaluation, Hikmat, H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora Utama Press. Ife, J., & Tesoriero, F. 2008. Community Development, Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kartasasmita, Ginanjar. 1997. Pemberdayaan Masyarakat: Konsep Pembangunan Yang Berakar Pada Masyarakat, Surabaya.
DAFTAR RUJUKAN Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, RinekaCipta, Jakarta.
Marwotohadi, 2005. Evaluasi Atas Kebijakan Program Beras Bagi Keluarga MiskinDalam Rangka Peningkatan Kesejahteraan Keluarga di Kabupaten Gunungkidul,Universitas Gadjah Mada.
42
PERANAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEWIRAUSAHAAN DALAM MENGATASI PENGANGGURAN SARJANA
Rulam Ahmadi Dosen Tim Ahli Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang
[email protected] www.infodiknas.com
Abstrak Pengangguran di kalangan sarjana merupakan suatu fenomena masalah sosial yang terus menggejala. Menjadi suatu keprihatinan bersama bahwa kaum muda yang nota bene telah belajar di perguruan tinggi dalam masa yang cukup lama ternyata menganggur. Sebagian mereka terus berusaha untuk mencari pekerjaan sesuai ijasahnya, dan enggan untuk bekerja di luar disiplin ilmunya, apalagi terjun dalam dunia usaha. Mereka memilih menganggur daripada bekerja di luar disiplin ilmunya dengan dalih tidak suka, atau sebenarnya karena mereka malas dan gengsi. Ada beberapa alasan mengapa sarjana menganggur. Salah satu diantaranya adalah karena sulitnya memasuki lapangan kerja. Banyak lapangan tidak menerima tenaga kerja baru yang disebabkan menurunnya produksi atau menurunnya kebutuhan layanan jasa yang dikelolanya. Mereka tidak diterima mungkin juga karena mereka tidak memenuhi persyaratan yang diberlakukan dalam lapangan kerja bersangkutan. Alasan lain adalah karena mereka tidak memiliki ―nilai lebih‖ (value added), yakni kemampuan (keterampilan) tertentu yang bisa menjadi modal penting untuk diterapkan dalam dunia usaha guna memperoleh pendapatan. Yang lebih memprihatinkan jika mereka menganggur karena mereka memang malas bekerja dan cenderung bergantung pada orang lain, terutama pada orangtua (keluarga). Seyogyanya ketika seseorang telah menyandang gelar sarjana yang diperoleh melalui proses pendidikan dalam kurun waktu empat tahun maka mereka tidak lagi bergantung pada siapapun. Kata kunci : Pendidikan Sarjana PENDAHULUAN
Pelatihan
Salah satu masalah yang terus berlangsung hingga sekarang adalah masalah pengangguran dan kemiskinan, khususnya pengangguran dikalangan sarjana. Masalah ini termasuk masalah lama yang bertahan hingga sekarang. Masalah ini terjadi pada hampir seluruh lulusan perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi swasta yang tidak berkualitas. Paling tidak setiap semester perguruan tinggi menyelenggarakan wisuda, bahkan kadang ada yang melaksanakan wisuda dua kali dalam satu
Kewirausahaan
Pengangguran
tahun atau lebih. Dengan demikian angka pengangguran sarjana bertambah tiap semester, jika para lulusan sebelumnya belum mendapatkan pekerjaan dalam kurun waktu satu semester. Kementerian Koperasi dan UKM mencatat jumlah pengangguran lulusan SMA sederajat sudah mencapai 2 juta orang. Sementara itu, jumlah sarjana yang menganggur ada lebih dari 492.000 orang (http://www.antaranews.com/berita/34744 0/menteri-koperasi-tidak-ingin-adasarjana-pengangguran) (www.antaranews.com, Jumat, 7 Desember 2012). Angka tersebut tentu masih perlu dilakukan penelitian empiris 43
secara seksama dan menyeluruh sehingga diketemukan jumlah pengangguran sarjana yang lebih konkret. Kalau wisuda perguruan tinggi dilaksanakan setiap semester, maka berarti angka pengangguran sarjana bertambah setiap semester. Itu kalau wisuda satu kali dalam satu semester, sementara ada sebagian perguruan tinggi yang melaksanakan wisuda lebih dari dua kali dalam satu tahun. Ada beberapa informasi (data) tentang angka pengangguran di kalangan sarjana. Di Jawa Timur, seperti dilaporkan disnaker, jumlah sarjana pencari kerja tidak bisa dibilang kecil. Dari 1.074 sarjana hukum yang mencari kerja, 1.064 orang diketahui belum bekerja. Selain itu, dari 728 sarjana ekonomi manajemen, 710 tercatat belum bekerja (Jawa Pos, 31 Oktober-1 November 2014). Lulusan perguran tinggi, sarjana khususnya, ternyata tidak memberikan jaminan untuk memperoleh pekerjaan, kalau sifatnya mencari pekerjaan, dan bukan menciptakan pekerjaan. Data statistik mengungkapkan bahwa ternyata mereka yang umumnya diterima di lapangan kerja yang sudah adalah mereka yang tingkat pendidikannya SD ke bawah.Pada Agustus 2014, penduduk yang bekerja masih didominasi oleh mereka yang berpendidikan SD ke bawah sebesar 47,07 persen, sementara penduduk yang bekerja dengan pendidikan Sarjana ke atas hanya sebesar 7,21 persen (Badan Resmi Statistik, 2014: 4). Dari angka di atas menambah rasa pilu kita, pendidikan tinggi menjadi pengangguran. Kebanyakan dari lulusan perguruan tinggi (sarjana) tidak cepat dan mudah memperoleh pekerjaan. Setelah wisuda mereka menganggur, bahkan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Istilah pengangguran yang dicantelkan pada gelar sarjana memang memilukan. Sebenarnya istilah pengangguran lebih lazim dicantelkan pada orang yang berpendidikan rendah atau buta hurup. Pengangguran dan kemiskinan umumnya
tingkat produktivitasnya rendah, sehingga mereka mengalami kesulitan untuk mendongkrak ekonominya. Pengangguran di kalangan sarjana bertolak belakang dengan gelar yang diperolehnya yang melambangkan bahwa mereka adalah orang-orang yang terdidik dan memiliki modal kemampuan yang mumpuni untuk mandiri, khususnya secara ekonomi. Tujuan pendidikan bukan hanya memberikan mahasiswa pengetahuan atau kemampuan abstrak dan bukti fisik ijazah, tetapi pendidikan terutama di perguruan tinggi harus mampu melahirkan sarjanasarjana yang mampu mandiri. Hal itu memerlukan penguasaan terhadap jenis keterampilan khusus. Kadir Ruslam dalam tulisannya yang berjudul ―Hari Sarjana: Masih Banyak Sarjana yang Nganggur‖ mengemukakan ―Sebagai insan unggul, para sarjana merupakan aset bangsa yang diharapkan dapat memberi sumbangsih berarti bagi pembangunan. Secara ekonomi, mereka galibnya dapat berkontribusi secara maksimal terhadap peningkatan produktivitas bangsa, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pendapatan. Sayangnya, hingga kini, masih banyak sarjana yang menganggur (selanjutnya disebut penganggur akademik). Alih-alih memberi sumbangsih kepada pembangunan bangsa, mereka justru menjadi beban pembangunan(http://ekonomi.kompasiana. com/bisnis/2013/09/29/hari-sarjana-masihbanyak-sarjana-yang-nganggur594061.html). Istilah insan unggul untuk sarjana pada dasarnya sangat tepat karena memang dengan proses belajar selama empat tahun atau lebih adalah waktu yang sangat panjang untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap sebagai modal penting untuk berkiprah di tengah masyarakat dan dalam proses pembangunan, paling tidak untuk memenuhi kebutuhan dirinya secara ekonomi.
44
HASIL DAN PEMBAHASAN Mengapa Sarjana Menganggur? Sebelum mengetengahkan tentang alasan pengangguran sarjana, akan diketengahkan terlebih dahulu konsep pengangguran. Schumacher dalam bukunya Small is Beautiful mengemukakan, ―Jika kita berbicara tentang pengangguran, maka yang saya maksud ialah tidak atau kurang dimanfaatkannya tenaga kerja yang ada‖ (Maris, 1983:194). Berdasarkan pemahaman pengangguran sebagaimana dikemukakan oleh Schumacher tersebut maka yang dimaksud dengang pengangguran sarjana adalah tidak atau kurang dimanfaatkannya tenaga kerja lulusan perguruan tinggi (sarjana). Pengertian dimanfaatkan di sini bisa jadi tidak dimanfaatkan oleh diri sendiri sarjana yang menganggur atau tidak dimanfaatkan oleh lembaga kerja yang ada. Dengan kata lain bahwa sarjana yang menganggur itu adalah sarjana yang tidak memanfaatkan dirinya sendiri untuk menciptakan pekerjaan atau tidak dimanfaatkan (diterima) oleh lapangan kerja sehingga mereka menjadi pengangguran.. Ada banyak alasan mengapa sarjana menganggur. Alasannya beragam, namun secara umum mereka memberikan alasan klise, yakni terbatasnya lapangan kerja atau tidak diterima di lapangan kerja. Kalau ini yang menjadi alasan utama dan mereka terus bergantung pada peluang dari lapangan kerja maka mereka akan langgeng dalam pengangguran. Namun demikian, lowongan kerja yang mereka cari adalah yang ada di daerah-daerah dekat tempat tinggalnya (daerah setempat). Mereka tidak tertarik untuk memasuki daerah-daerah luar (kepulauan) yang secara faktual masih membutuhkan para tenaga kerja sarjana. Peluang di kepulauan lebih luas daripada di Jawa. Alasan tidak mau ke kepulauan karena terlalu jauh; jauh dari keluarga (orangtua), dari teman, dan lain sebagainya. Alasan ini dipengaruhi oleh falsafah masyarakat (Jawa),
khususnya), ―Mangan ora manganasal ngumpul (Makan tidak makan asal kumpul)‖. Falsafah itu sebenarnya harus ditinggalkan kalau ingin memperoleh peluang lebih luas. Bertahan di kampung halaman yang tidak ada peluang kerja sama artinya dengan mempertahankan pengangguran diri. Alasan lain mengapa sarjana menganggur adalah karena mereka tidak memiliki kemampuan khusus (keterampilan) yang bisa dijadikan modal untuk memasuki dunia kerja. Andalan mereka adalah ijasah, padahal banyak lapangan kerja tidak terlalu melihat ijasahnya, melainkan keterampilan yang dikuasai sekarang (saat sedang mendaftar pekerjaan), sedangkan ilmu yang diperoleh di kampus tidak sedang dibutuhkan di lapangan karena sudah jenuh atau memang belum ada formasi penerimaan tenaga kerja baru dengan latar kemampuan (ijasah) yang dimiliki. Selama di kampus mereka hanya fokus pada matakuliah dengan keyakinan bahwa dengan penguasaan disiplin ilmunya itu akan memberikan peluang untuk memasuki dunia kerja. Yang demikian memang tidak salah, namun tidak cukup dengan hanya mengandalkan kemampuan berbasis kurikulum kampus. Ijasah yang diperolehnya ternyata tidak memberikan jamaninan si pemilik ijasah untuk memperoleh pekerjaan dengan mudah. Lebih parah lagi bagi sarjana apabila waktu di kampus dihabiskan untuk bersenang-senang – malas kuliah, malas mengikuti kursus keterampilan, dan malas mengikuti pelatihan-pelatihan. Dalam sebuah ungkapan, ―Siapa yang menanam akan memetik.‖ Jadi jika tidak menanam, apa yang mau dipetik. Dalam Islam juga diajarkan bahwa barang siapa yang menhendaki dunia dengan ilmu, barang siapa yang menghendaki akhirat dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya juga dengan ilmu. Jadi jika tidak memiliki ilmu apa-apa, maka wajar jika sarjana menjadi pengangguran.
45
Selain alasan di atas, kebijakan pemerintah menjadi salah satu faktor yang berkontribusi pada pengangguran sarjana.Kurikulum di perguruan tinggi tidak memberikan peluang bagi mahasiswa untuk belajar dan menguasai keterampilan khusus yang bisa dijadikan salah satu modal tambahan untuk memasuki dunia kerja. Mahasiswa lebih cenderung untuk fokus pada kegiatan kuliah yang umumnya teoritis, yang kadang membuat mahasiswa menjadi generasi mengambang (floating generation). Mereka aktif di organisasiorganisasi yang tidak memberikan dampak positif untuk memasuki dunia kerja setelah lulus. Mereka memilih program kegiatan kemahasiswaan yang lebih bersifat rekreatif yang kemanfaatannya untuk jangka pendek, dan kadang tidak memiliki manfaat sama sekali. Mahasiswa tidak memilih program-program keterampilan (kewirausahaan) karena dianggap tidak tertarik, dan tidak penting. Melihat kenyataan yang demikian, maka peran pemerintah di sini sangat diperlukan untuk mengembangkan program pendidikan kewirausahaan dan kegiatan-kegiatan lain yang membekali mahasiswa untuk memasuki lapangan kerja sesudah lulus. Tanpa ada kebijakan pemerintah, baik perguruan tinggi maupun mahasiswa tidak akan memprogram kegiatan-kegiatan kewirausahaan. Kurikulum yang ada di perguruan tinggi selama ini tidak mendukung terciptanya lulusan yang mandiri. Kuliah yang sangat fokus pada disiplin ilmu ternyata tidak bisa menjadi andalan bahwa lulusannya akan mudah dan cepat bekerja. Sudah saat kurikulum perguruan tinggi memasukkan muatan pendidikan kewirausahaan, yang pada gilirannya nanti pendidikan kewirausahaan akan menjadi kunci kesuksesan setelah lulus. Lapangan kerja dengan persyaratannya yang sangat ketat membuat para sarjana kesulitan memasuki lapangan kerja. Sebagian besar lapangan kerja (perusahaan/lembaga) mensyaratkan calon tenaga kerja yang akan diseleksi dan
terima sebagai tenaga kerja adalah mereka telah memiliki pengalaman kerja. Selain itu mereka harus memiliki keterampilan yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, sementara para sarjana tidak pernah mengikuti dan memiliki keterampilan yang dipersyaratkan dunia kerja. Mereka cukup puas dengan ijasah dan gelar sarjana sebagai sebuah kebanggaan. Akibatnya mereka menganggur, dan menunggu waktu yang cukup lama untuk melamar pekerjaan ke lapangan kerja lain. Persoalannya adalah bahwa tidak semua dunia kerja (perusahaan) merekrut tenaga kerja setiap tahun, sementara lulusan sarjana berlangsung setiap semester, bahka ada perguruan tinggi yang melakukan wisuda lebih dari dua kali dalam setahun. Alternatif Solusi Ada beberapa alternative solusi untuk menghadapi pengangguran sarjana. Beberapa alternative yang dapat dikemukakan di sini antara lain adalah: peran perguruan tinggi, kebijakan pemerintah, peran dunia usaha, dan lain sebagainya. Peran Perguruan Tinggi Ada banyak program yang dapat dikembangkan oleh perguruan tinggi dalam rangka mempersiapkan lulusannya terhindar dari pengangguran. Salah satu diantaranya adalah pemberian matakuliah kewirausahaan. Matakuliah kewirausahaan umumnya hanya dengan program di jurusan ekonomi dan administrasi bisnis. Namun demikian kuliah kewirausaan yang diprogram di jurusan ekonomi dan administrasi bisnis cenderung bersifat teoritis, sehingga walaupun mereka lulus tidak bisa berbuat banyak di masyarakat. Pada jurusan-jurusan lain tidak ada matakuliah kewirausahaan, sehingga mereka tidak memiliki bekal pengetahuan dan keterampilan tentang kewirausahaan. Model kuliah kewirausahaan yang dikembangkan di perguruan tinggi hendaknya betul-betul memberikan keterampilan praktis yang memungkinkan 46
mahasiswa bisa menerapkan dan memperoleh penghasilan dari penerapan pendidikan kewirausaan tersebut. Ini sangat tergantung pada model perkuliahan yang diberikan. Model perliahaan kewirausahaan yang efektif adalah ada keseimbangan antara konten teoritik dan praktik. Akan lebih efektif lagi jika matakuliah kewirausahaan itu menggunakan pendekatan proyek, di mana dalam proses perkuliahan para mahasiswa dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, kemudian mereka harus menentukan akan belajar memproduk apa selama satu semester. Selama proses perkuliahan mahasiswa pada satu sisi belajar pengetahuan tentang kewirausahaan, namun pada sisi lain dan secara bersamaan mereka belajar ketrampilan jenis usaha tertentu. Dengan perkuliahan kewirausahaan itu untuk membentuk mahasiswa memiliki jiwa entrepreneur. Seorang entrepreneur adalah seorang, yang memulai suatu bisnis baru dan yang melakukan hal tersebut dengan jalan menciptakan sesuatu yang baru, atau dengan jalan memanfaatkan sumber-sumber daya dengan cara tidak lazim, dalam upaya menghasilkan nilai bagi para pelanggan (Winardi, 2003:23). Definisi ini menekankan bahwa seorang entrepreneur itu adalah bukan pencari kerja, melainkan penciptakan lapangan kerja. Ini berarti bahwa mahasiswa setelah lulus berusaha menjadi orang yang mampu menciptakan pekerjaan sendiri. Di perguruan tinggi ada program kegiatan yang menjadi bagian dari program kegiatan mahasiswa, yaitu Program Pendidikan Lapangan (PPL) dan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Program ini dapat dijadikan sebagai salah satu media untuk membangun hubunga kampus dengan masyarakat, pemerintah daerah, pengusaha, maupun instansi-instansi terkait lainnya. Pada waktu mahasiswa mengikuti KKN/PPL mereka tidak hanya melaksanakan kegiatan sebagaimana telah diprogram di kampus dan berdasarkan
ilmu yang diperoleh di kampus, tetapi mahasiswa hendaknya berbuat lebih jauh sehingga mereka memperoleh manfaat lebih jauh juga. Program KKN/PPL pada dasarnya sebagai proses pemberdayaan mahasiswa di mana mahasiswa belajar memilih dan menentukan suatu program kegiatan dan bertindak sesuai pilihannya, kemudian mereka berusaha mengimplementasikan program kerjanya dengan cara-cara unik yang dikembangkan oleh mahasiswa. Itu makna pemberdayaan yang hakiki. KKN/PPL sebagai proses pemberdayaan berarti mahasiswa harus belajar bagaimana menyusun program dengan memilih dan menentukan sendiri alternative kegiatan yang akan dilaksanakan, kemudian mereka melaksanakan programnya dengan harapan memberikan dampak perubahan dan perbaikan baik pada masyarakat sasaran maupun untuk kepentingan dirinya di masa depan. Selama pelaksanaan KKN/PPL merupakan kesempatan bagi mahasiswa untuk membangun jaringan kerja (networking) dengan pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang memberikan peluang lapangan kerja di masa depan. Mahasiswa pada waktu mengajar di sekolah bisa menciptakan hubungan baik dengan pimpinan dan sekaligus menawarkan atau meminta pelung kesempatan kerja setelah lulus. Kalau mahasiswa beruntung, sebelum lulus mereka direkrut oleh sekolah tersebut. Begitu juga dengan lembaga-lembaga atau perusahaan-perusahaan lainnya yang menjadi tempat KKN/PPL mahasiswa. Peran Pemerintah Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memberikan layanan pada publik, khususnya layanan pada lembagalembaga pendidikan tinggi. Salah satu layanan yang dapat pemerintah berikan pada perguruan tinggi antara lain adalah kebijakan-kebijakan yang memberikan kemudahan akses bagi perguruan tinggi 47
(mahasiswa) pada sumber-sumber layanan yang ada baik berupa jasa maupun produk. Kadang-kadang mahasiswa dalam proses perkuliahan, khususnya KKN atau PPL mereka mengalami kesulitan untuk melakukan kegiatan tersebut pada perusahaan-perusahaan atau lembagalembaga yang ada, padahal tujuan mahasiswa adalah untuk belajar memperoleh pengetahuan dan pengalaman praktis sehingga mereka memiliki wawasan dan pengalaman yang luas. Pemerintah dapat melakukan terobosan-terobosan untuk membangun kemitraan antara perguruan tinggi dengan dunia usaha sehingga perusahanperusahaan atau lembaga-lembaga yang ada memberikan peluang dan kesempatan pada perguruan tinggi (mahasiswa) untuk menimba pengetahuan, keterampilan, dan akses sumber-sumber yang ada baik yang dimiliki pemerintah maupun swasta (perusahaan/lembaga). Dengan demikian mahasiswa mengalami kemudahan, dan sekaligus memberikan motivasi dan semangat pada mahasiswa untuk KKN atau PPL di perusahaan/lembaga pemerintah atau swasta. Pada saat mahasiswa mengikuti perkuliahan kewirausahaan, misalnya, maka mahasiswa membuat rencana jenis usaha tertentu. Contoh, belajar beternak ayam potong. Mereka belajar pengetahuan tentang beternak ayam potong, dan sekaligus membuat proyek atau kegiatan memelihara ternak ayam potong. Persoalan yang dihadapi tentu tentang di mana membuat kandang, di mana mencari bibit ayam dan pakannya.Persoalan ini bisa diambil alternatif dengan membangun kemitraan, yakni dengan warga masyarakat desa yang pekarangan rumahnya luas dengan sistem menyewa area atau bekerjasama dengan mereka dan bagi hasil. Pemerintah bisa ambil peran di sini juga, dengan memberikan akses pada bibit ayam potong, layanan kesehatan ternak, dan pemasaran (marketting). Katakanlah bagaimana pemerintah memotivasi dan mengajak lembaga-
lembaga terkait untuk membeli ayam potong yang dipeliharan mahasiswa. Dengan cara di mana pemerintah memberikan akses pada kegiatan mahasiswa dalam program pendidikan kewirausahaan akan nmemungkin mahasiswa termotivasi dalam mengikuti perkuliahan kewirausahaan dan berusaha untuk menerapkannnya nanti setelah lulus. Sehingga mereka dapat segera memasuki dunia kerja dengan cara membuat usaha ternak ayam potong, dan usaha lainnya dengan menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di kampus. Peran Swasta/Perusahaan Swasta atau perusahaan memegang peran penting dalam proses mengatasi pengangguran sarjana. Kalau mahasiswa mengikuti program kewirausahaan beternak ayam potong, misalnya, partisipasi masyarakat, khususnya para pengusaha ternak ayam potong baik pembibitan dan pembesaran sangat penting bagi kesuksesan perkuliahan kewirausahaan. Mahasiswa yang sedang membuat proyek belajar ternak ayam potong dapat bekerjasama dengan para pengusaha ternak ayam potong baik berupa layanan informasi dan pengetahuan tentang cara beternak ayam potong mulai pembibitan dan pembesarannya, termasuk bagaimana memelihara kesehatan ayam dan menemukan akses pemasaran. Mahasiswa dapat melakukan kunjungan ke tempat-tempat di mana masyarakat memelihara ternak ayam potong dan belajar dari pemiliknya. Mahasiswa juga suatu saat minta mereka untuk datang dan meninjau proyek mahasiswa dan minta saran-saran untuk keberhasilan proyek mahasiswa. Untuk membangun kemitraan dengan swasta tidak mudah bagi mahasiswa, apalagi bagi mereka yang latar belakang kehidupannya bukan berasal dari keluarga bisnis. Untuk itu maka pihak perguruan tinggi hendaknya yang mengambil inisiatif mencari dan membangun kerjsama dengan pihak lain 48
seperti dengan para peternak ayam, atau pengusaha lainnya. Pihak pengusaha bisa membantu berupa kesempatan bagi mahasiswa untuk melakukan survey, magang, atau mengadakan kegiatan bersama baik ditempatkan di kampus maupun di perusahaan. Kerjasama perguruan tinggi dengan perusahaan bisa saja saling memberi dan saling menerima, di mana pada satu sisi mahasiswa dapat memberikan perkembangan pengetahuan baru pada perusahaan, dan pada sisi lain perusahaan memberikan pengalaman praktis pada mahasiswa. Kalau tempat PPL di perusahaan besar tentunya mahasiswa memperoleh lebih banyak pengalaman yang sangat bermanfaat sebagai bekal untuk bekerja setelah lulus. Peran Bank Salah satu alasan bagi sarjana menganggur adalah karena terbatasnya modal. Walaupun mereka memiliki keterampilan (know-how), namun tidak memiliki modal, maka keterampilan itu sulit diwujudkan. Maka dalam persoalan ini para sarjana memerlukan akses terhadap bank yang berbunga rendah. Bank memegang peran penting dalam ikut memberikan jalan keluar bagi sarjana yang menganggur. Namun ini dalam konteks perkecualian, oleh karena yang harus dilayani adalah pengangguran (bukan pengusaha yang sudah sukses), maka perlu ada sistem pelayanan yang spesifik, misalnya prosedur mudah dan berbunga rendah dan terjangkau. Bank yang bisa memberikan layanan yang cocok untuk sarjana yang menganggur adalah bank-bank baik milik pemerintah maupun swasta, namun lebih menjadi tanggungjawab utama pemerintah. Yunus, pemilik Grameen Bank, yang melayani bantuan kredit pada masyarakat miskin, mengemukakan, ―Memberikan akses kredit … menjadikan mereka segera mempraktikkan keterampilan yang sudah mereka pahami … Uang yang mereka peroleh selanjutnya
menjadi alat, kunci yang membuka sejumlah kemampuan lain dan memberikan mereka peluang menggali potensi dirinya. Para peminjam sering kali saling mengajari teknik baru yang membuat mereka bisa lebih memanfaatkan keterampilannya bertahan hidup. Mereka mengajarkan yang jauh lebih baik dari yang pernah bisa kita lakukan (Nasution, 2007::141). Inti konsep Yunus bahwa kredit itu percuma diberikan pada mereka yang tidak memiliki keterampilan apa-apa. Oleh sebab itu mereka yang bisa memperoleh kredit adalah yang telah memiliki keterampilan. Keterampilan yang harus dimiliki tidak harus keterampilan baru, karena umumnya mereka telah memiliki keterampilan. Oleh sebab itu ia menegaskan gunakanlah keterampilan yang telah mereka miliki. Sarjana adalah orang-orang yang tergolong telah memiliki keterampilan karena masa studi mereka cukup lama, empat tahun, bahkan lebih. Oleh sebab itu bank untuk bantuan kredit bagi para sarjana adalah suatu solusi tepat untuk diterapkan dan dikembangkan. Peran Mahasiswa Pengangguran sarjana merupakan masalah sarjana itu sendiri, dan diri mereka sendiri yang harus bertanggung jawab menghadapi dan memecahkan masalah hidupnya. Mahasiswa berusaha untuk secara proaktif mengikuti berbagai pelatihan tentang jenis-jenis keterampilan tertentu yang diperlukan dalam dunia kerja, khususnya sebagai modal untuk membuka usaha sendiri (berwirausaha). Kegiatan-kegiatan kemahasiswa sudah waktunya untuk ditinjau ulang dan sebagain sangat diorientasikan pada pembekalan mahasiswa untuk memasuki dunia kerja. Jenis keterampilan yang harus dimiliki yang betul-betul menjadi kecenderungan perkembangan ekonomi yang sedang terjadi di masyarakat. Jenis keterampilan yang perlu dimiliki mahasiswa bisa berkenaan dengan disiplin ilmunya, tetapi bisa juga tidak ada 49
kaitannya dengan disiplin ilmunya namun potensial untuk memperoleh pendapatan. Bagi mahasiswa jurusan bahasa Inggris, misalnya, bisa mereka membuat media pembelajaran bahasa berbasis TIK. Contoh, membuat rekaman audio atau video percakapan (conversation) yang didesain sedemian rupa sehingga menarik, lalu dipasarkan ke sekolah-sekolah, termasuk di took buku. Bagi jurusan bahasa Indonesia, mahasiswa bisa membuat rekaman audio atau video puisi atau teater (drama), lalu dipasrkan. Semua keterampilan itu masih berkenaan dengan disiplin ilmu mereka. Yang penting mahasiswa kreatif, produktif, dan inovatif. Kalau tiga hal ini tidak dimiliki siapsiaplah menjadi mengangguran abadi. Maka penduduk di bumi ini dipadati dengan pengangguran sarjana. SIMPULAN Pengangguran sarjana merupakan salah satu masalah sosial yang terus berlangsung hingga sekarang. Masalah ini bukan hanya berdampak negative pada dirinya sendiri, namun juga dapat berdampak negatif pada orang lain. Oleh karena itu persoalan pengangguran sarjana harus dipecahkan secara terprogram dan berkesinambungan sehingga masalah tersebut menurun secara bertahap. Banyak alternatif solusi yang dapat dilakukan untuk memecahkan pengangguran sarjana. Pemecahan masalah ini merupakan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyrakat, termasuk para sarjana pengangguran itu sendiri. Pemerintah dapat mengambil peran melalui kebijakankebijakannya yang berpihak pada kaum muda, khususnya mahasiswa (pengangguran). Layanan publik yang memudahkan para mahasiswa atau sarjana untuk memperoleh akses jasa maupun barang menjadi sangat penting dan bermanfaat bagi upaya keluar dari masalah pengangguran sarjana. Bahkan pemerintah bisa menjadi mediator antara kampus dengan pihak swasta sehingga proses kemitraan bisa berjalan dengan efektif.
Perguruan tinggi perlu melakukan manajemen ulang dengan melihat kurikulum yang dilaksanakan selama ini. Sudah waktunya perguruan tinggi untuk melakukan terobosan-terobosan baru melalui pengembangan kurikulum yang memasukkan kuliah kewirausahaan pada semua program studi, dan disertai dengan usaha melakukan pengembangan kerjasama dengan lintas sektor. Mahasiswa hendaknya sedini mungkin mencari bekal lain seperti keterampilan-keterampilan tertentu sebagai modal untuk menciptakan lapangan kerka setelah lulus. Boleh saja para sarjana terus berusaha untuk mencari lapangan kerja, namun harus simultan dengan berusaha menciptakan sendiri sambil menunggu mendapatkan pekerjaan di lapangan kerja yang sudah ada. Mahasiswa harus mampu menggunakan waktu sebaik mungkin untuk menambah keterampilan yang diperlukan untuk memasuki kehidupan di masa depan. *
DAFTAR RUJUKAN Badan Resmi Statistik. 2014. Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2014.Berita Resmi Statistik. No. 85/11/Th. XVII, 5 November 2014. Gedeona, Hendrikus Triwibawanto. 2011. Jurnal Ilmu Administrasi, Volume VIII No. 2. http:// ekonomi.kompasiana.com/bisnis/ 2013/09/29/ hari-sarjana-masih-banyaksarjana- yang-nganggur-594061.html. Jawa Pos, 31 Oktober-1 November 2014. Maris, Masri (Penerjemah). 1983. Kecil itu Indah. Jakarta: LP3ES. Winardi. 2003.Entrepreneur dan Entrepreneurship. Jakarta: Prenada Media . 50
Nasution, Irfan (Penerjemah). 2007. Bank Kaum Miskin. Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan. Jakarta: PT Buku Kita.
Dr. Rulam Ahmadi, M.Pd. adalah dosen FKIP UNISMA Malang
51
KEBIJAKAN DALAM IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK MELALUI STRUKTUR ORGANISASI DI KECAMATAN DAU KABUPATEN MALANG Suryo Hartoko M Dosen Tetap Yayasan Stisospol ―Waskita Dharma‖ Malang Abstrak Pada paparan pelayanan umum, hasil pembangunan selalu memberikan pencerahan dan hasil bagi masyarakat umum, demikian pula selalu melahirkan kedinamisan pada masyarakat banyak untuk melakukan masukan baik sistem dari public service dan perilakunya, demikian pula bagi Negara yang sedang berkembang akan selalu menjadikan perubahan demi perbaikan. Demikian pula pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui struktur organisasi Pemerintahan di Kecamatan Dau Kabupaten Malang, dan mengetahui kebijakan dalam implementasi pelayanan public serta untuk mengetahui behwa melalui struktur organisasi Pemerintahan Kecamatan dapat dilakukan kebijakan dalam implementasi pelayanan publik di tingkat kecamatan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka manfaat yang dapat diperoleh adalah diketahuinya struktur organisasi untuk Pemerintah Kecamatan pada Kecamatan Dau Kabupaten Malang, pemerintah Kecamatan akan dapat menyusun rancana kerja yang matang sesuai tujuan semula. Diketahuinya kebijakan dalam implementasi pelayanan public pada kecamatan, maka pihak Pemerintah Kecamatan dapat mengetahui apakah kebijakan yang telah disusun dapat terealisasi dan dengan adanya struktur organisasi yang sesuai untuk Pemerintah Kecamatan Dau Kabupaten Malang, maka kebijakan dalam implementasi pelayanan masyarakat dapat dilakukan dengan baik sehingga masyarakat pengguna jasa dapat merasakan manfaat secara maksimal. Kata kunci : Kebijakan, Implementasi, Pelayanan Publik, Struktur Organisasi PENDAHULUAN Penyelenggaraan ekonomi daerah dan desentralisasi ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Banyak permasalahan muncul karena kemampuan daerah-daerah yang variatif, untuk ini perlu pengenalan dan kajian lebih jauh untuk mengatasi segala persoalan yang mampu menghambat penyelenggaraan otonomi dan desentralisasi. Pengenalan permasalahan di lapangan – apakah itu dari aspek sosial, budaya, politik maupun ekonomi – ditujukan untuk mengantisipasi kemampuan daerah dalam menyelenggarakan fungsi desentralisasi
dan otonomi daerah yang ada. Dengan teridentifikasinya permasalahan yang berkaitan dengan fungsi otonomi daerah dan desentralisasi, pemerintah kabupaten mampu mengelola semua persoalan dan harapan publik sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga otonom yang telah dijalankan. Selama ini otonomi yang diberikan kepada daerah lebih berupa Otonomi Administrasi (melaksanakan keputusan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat) dari pada Otonomi Politik (membuat dan melaksanakan keputusan sendiri). Dengan kata lain pemerintah daerah tidak dapat diselenggarakan secara demokratik, daerah tergantung kepada 52
pusat dan terjadi kesenjangan perkembangan antara daerah. Keseimbangan antara tugas dan tanggungjawab, beban pekerjaan, anggaran yang tersedia dan prestasi kerja birokrasi. Untuk tercapainya keseimbangan ideal tersebut, maka otonomi daerah harus dikembalikan kepada hakekat yang tersirat dan tersurat dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, yang lebih menekankan kewajiban daripada hak. Dalam pelaksanaan azas pemerintahan, bagi Propinsi dipergunakan azas desentralisasi, sehingga Propinsi berfungsi sebagai daerah Otonom sekaligus sebagai wilayah Administrasi. Undang-Undang 22 Tahun 1999 yang telah dilaksanakan dalam waktu yang panjang, Pemerintah menganggap bahwa Peraturan tersebut telah membawa kinerja yang kurang sesuai dari yang diharapkan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sehingga Pemerintah menganggapnya bahwa era Desentralisasi Otoda setelah berjalan lima tahun masih memberikan hasil dibawah harapan, dan pada tahun ke enam Otoda berlangsung UU 22 Tahun 1999 telah direvisi menjadi Undang Undang 32 Tahun 2004 yang sarat dengan ―resentralisasi‖ yakni ―untuk mengatur kembali kewenangan yang selama ini kurang jelas‖. Satu hal yang perlu digarisbawahi bersama sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aspirasi reformasi yang sedang berkembang dewasa ini adalah mengenai tuntutan terhadap mutu pelayanan masyarakat yang selama ini dinilai jauh dari harapan masyarakat. Langkah-langkah perbaikan mutu tersebut, dipacu melalui surat Menko Wasbangpan Nomor 56/MK/Waspan/6/98 perihal langkah nyata memperbaiki pelayanan masyarakat sesuai aspirasi reformasi dan Surat Nomor 145/Waspan/MK/Waspan/3/99 perihal peluncuran revitalisasi birokrasi dengan cara :
1.
Mendorong terwujudnya pelayanan prima kepada masyaraka, dengan prinsip-prinsip pelayanan yang baik, yaitu cepat, mudah, murah, pasti, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. 2. Mendorong privatisasi unit pelayanan. Dalam meningkatkan mutu pelayanan masyarakat, pemerintah sedang mempersiapkan serangkaian kebijakan yang memungkinkan pemberian kewenangan otonomi yang lebih besar kepada unit-unit pelayanan tertentu dari instansi Pemerintah. Adapun langkah-langkah upaya Peningkatan Pelayanan Masyarakat di Pemda Propinsi Jatim adalah : 1. Dikeluarkannya SE Gubernur No. 065/6073/641/98 kepada jajarannya untuk mengambil langkah-langkah perbaikan di lingkungan instansi masing- masing. 2. Sedang tahap persiapan peluncuran pelayanan prima Propinsi Jawa Timur. 3. Telah dibentuk UPT di beberapa Kabupaten/Kota. Mengacu pada latar belakang di atas, maka penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul ―Implementasi Kebijakan dalam Pelayanan Publik Melalui Struktur Organisasi di Kecamatan Dau Kabupaten Malang‖. Dari latar belakang tersebut, permasalahan yang akan diangkat oleh penulis yang sehubungan dengan kebijakan dalam implementasi pelayanan public melalui struktur organisasi apakah dapat dilaksanakan dengan baik , untuk: (1) Struktur organisasi untuk Pemerintah Kecamatan pada Kecamatan Dau Kabupaten Malang? ; (2) Kebijakan dalam implementasi pelayanan public yang dilakukan oleh Kecamatan Dau Kabupaten Malang? ; (3) Dengan melalui struktur organisasi Pemerintah Kecamatan apakah dapat dilakukan kebijakan dalam implementasi pelayanan public pada Kec. Dau Kabupaten Malang ?
53
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur organisasi Pemerintah Kecamatan pada Kecamatan Dau Kabupaten Malang, untuk mengetahui Implementasi kebijakan dalam pelayanan public pada Kecamatan Dau Kabupaten Malang, untuk mengetahui bahwa dengan melalui struktur organisasi Pemerintah Kecamatan dapat dilakukan implementasi kebijakan dalam pelayanan public pada Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Setelah diketahui tujuan penelitian, berikut ini ditunjukkan manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu : 1) Dengan diketahuinya struktur organisasi untuk Pemerintah Kecamatan pada Kecamatan Dau Kabupaten Malang, maka pemerintah Kecamatan akan dapat menyusun rencana kerja dengan matang dan sesuai dengan tujuan semula. 2) Dengan diketahuinya kebijakan dalam implementasi pelayanan public pada Kecamatan Dau Kabupaten Malang, maka pihak Pemerintah Kecamatan Dapat mengetahui apakah kebijakan yang telah disusun sehubungan dengan pelayanan public dapat terealisir. Sementara itu pelayanan masyarakat selama ini apakah dapat memperoleh peningkatan, sehingga sasaran pelayanan menjadi jelas, diselesaikan dengan cepat dan tepat sesuai prosedur yang ditetapkan agar memudahkan masyarakat sebagai pengguna pelayanan. 3) Dengan adanya struktur organisasi yang sesuai untuk Pemerintah Kecamatan pada Kecamatan Dau Kabupaten Malang , maka kebijakan dalam implementasi pelayanan masyarakat atau public dapat dilakukan dengan sebaikbaiknya, sehingga layanan yang diterima masyarakat sebagai pengguna jasa Kecamatan dapat dirasakan menfaatnya secara maksimal.
Kajian Teori Tinjauan Penelitian Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat yang telah dilaksanakan. Otonomi Daerah adalah wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, yang melekat pada Negara kesatuan maupun pada Negara federasi. Di Negara kesatuan otonomi daerah lebih terbatas dari pada di Negara yang berbentuk federasi. Kewenangan mengantar dan mengurus rumah tangga daerah di Negara kesatuan meliputi segenap kewenangan pemerintahan kecuali beberapa urusan yang dipegang oleh Pemerintah Pusat seperti Hubungan luar negeri, Pengadilan, Moneter dan keuangan, Pertahanan dan keamanan yang telah diatur dalam undang-undang. Adapun otonomi Daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan (pasal 1 huruf (h) UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah) yang telah diatur. Daerah Otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut 54
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (pasal 1 huruf (i) UU NOMOR 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah) yang ditegaskan. Dengan demikian maka dapat diartikan bahwa Otonomi daerah adalah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan sendiri, baik keputusan politik maupun kepentingan administrasi, dengan tetap menghormati keputusan/peraturan undangundang(Lemieux,1986) Otonomi daerah adalah sebagai bentuk pendidikan politik bagi masyarakat dan sebagai jalan untuk membina tanggung jawab daerah dalam melaksanakan tugasnya (Conyers,1991). Pada penelitian ini digunakan kebijakan atas implementasi peleyanan public yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan. Sementara itu, kebijakan dalam implementasi pelayanan pada penelitian ini digunakan untuk meningkatkan pelayanan yang dilakukan aparatur Kecamatan terhadap masyarakat. Dengan konsekuensi dan berbagai macam resiko atas kenyamanan dalam pelayanan terhadap masyarakat sebagai pemilik hak atas pelayanan tersebut. Tinjauan Teoritis Kebijakan Kebijakan adalah serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu diikuti dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau kelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu (Anderson dalam Islamy, 1992:17). Lebih lanjut Van Meter dan Van Horn dalam Wahab (1997:65) mendefinisikan “policy implementation ecompasses those action by public and private individuals (and groups)that are directed at the achievement of goals and objectives set forth in prior policy decisions”. Yang memberikan makna bahwa implementasi kebijakan adalah tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu (dan kelompok-kelompok) pemerintah dan
swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas dalam keputusan kebijakan. Policy apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kebijaksanaan atau diartikan serangkaian tindakan dengan tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan seorang/kelompok pelaku, guna menyelesaikan masalah (Anderson, 1999) atau kebijakan (Dunn, 1999:5). Sebelum diuraikan lebih lanjut mengenai analisa kebijakan, berikut ini diberikan definisii kebijaksanaan atau kebijakan dan kebijakan Negara. Kebijakan sebagai suatu taktik dan strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu suatu kebijakan memuat 3 (tiga) elemen, yaitu : 1) Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai 2) Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan 3) Menyediakan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi. (Raksasatya dalam Islamy, 1997:17). Anderson (1979:92) mengungkapkan ada 4 (empat) hal penting dalam proses implementasi, yaitu : 1) Who is involved in policy implementation (Siapa yang dilibatkan dalam implementasi) 2) The nature of the administrative process (Hakekat proses administrasi) 3) Complience with policy (Kepatuhan atas suatu kebijakan) 4) The effect of implementation on policy content and impact ( Efek atau dampak dari isu implementasi) Ke empat aspek tersebut merupakan suatu rangkaian yang tidak terputus, dan setiap kebijakan yang telah ditetapkan diimplementasikan selalu didahului oleh penentuan unit pelaksana 55
yang oleh Anderson disebut ―administrative unit” yaitu jajaran birokrasi public mulai dari level birokrasi yang paling rendah. Struktur Organisasi Dalam suatu organisasi diperlukan struktur, seperti pendapat berikut : Organisasi, baik itu organisasi milik pemerintah maupun swasta memerlukan cara yang tepat untuk menstrukturkan semua organisasi yang kompleks. Kondisi ini berbeda-beda antar organisasi, apabila (1) lingkungan tugasnya berubah, (2) berbagai inovasi (memodifikasi teknologi) atau (3) organisasi mengubah bidang lingkup dan lingkungan tugasnya. Dengan begitu banyaknya alasan perbedaan, suatu hal yang dapat disimpulkan dari suatu struktur organisasi adalah ukuran sematamata tidak mengakibatkan kompleksitas. Selama suatu organisasi menggunakan teknologi sederhana dan menghadapi lingkungan tugas yang sederhana, maka meskipun besar, ia tetap menggunakan suatu struktur yang relative sederhana. (Thompson, 1989:68). Mengingat pentingnya kedudukan Pemerintah Kecamatan dalam system Pemerintahan Negara Republik Indonesia, maka penyempurnaan organisasi pada Pemerintahan Kecamatan mutlak perlu dilakukan untuk disesuaikan dengan perkembangan pemerintahan dan pembangunan di Daerah : 1. Penataan Organisasi Pemerintah Kecamatan 2. Penyempurnaan Organisasi Pemerintah Kecamatan 3. Organisasi Pemerintah Kecamatan Sehubungan dengan bentukan struktur organisasi yang sesuai untuk Pemerintahan Kecamatan, sebelumnya akan ditunjukkan suatu susunan kelembagaan daerah yang sesuai dengan kondisi pemerintah saat ini agar siap melaksanakan otonomi daerah. (1)
Kelembagaan Daerah
Penyusunan Struktur Organisasi tidaklah dapat terlepas dengan penyusunan Kelembagaan Daerah untuk menyongsong Otonomi Daerah. Dua hal penting yang harus diperhatikan untuk menyusun kelembagaan daerah, yaitu pertama melaksanakan demokrasi dan kedua memperhatikan perubahan system politik yang ada. (a) Melaksanakan Demokrasi Di dalam masyarakat yang demokratis dan kompleks hampir tidak memungkinkan kita akan melakukan dan memperoleh kontrol yang sempurna. Akan tetapi kita bisa menaruh suatu harapan yang minim sekalipun dengan mengetengahkan suatu cara pemilihan (election) yang dilakukan oleh rakyat terhadap pejabat-pejabat dalam birokrasi pemerintah. Pemilihan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pejabat-pejabat yang mewakilinya merupakan inti dari pelaksanaan demokrasi dalam suatu negara. Sekaligus juga mengingatkan kepada pejabat untuk senantiasa melakukan akuntabilitas kepada rakyat. (Thoha,1999). Sementara itu, semua di antara kita akan sependapat bahwa jantung dari suatu system politik dan tata pemerintah yang seharusnya dilakukan oleh rakyat,sesuai dengan pendapat yang menyatakan“Control government by the governed” (Gruber, 1987). Dalam kelembagaan pemerintahan daerah dapat dikembangkan prinsip-prinsip demokrasi seperti di atas. Kekuasaan di tangan rakyat, artinya bahwa setiap upaya untuk merancang, membentuk, membubarkan atau menggabungkan suatu lembaga pemerintah pusat dan daerah 56
mestinya keterlibatan rakyat amat diperlukan. Wujud dari peranan ini ialah bahwa setiap bentuk dan susunan lembaga pemerintahan itu harus didasarkan pada undang-undang atau di daerah didasarkan atas peraturan daerah (perda). Dalam lembaga birokrasi pemerintah pusat terdapat lembaga kabinet atau kementrian, demikian pula dijumpai adanya lembaga pemerintah non departemen. Sedangkan di daerah ada dinas, ada kanwil, ada Setwilda, ada lembaga Gubernur, Bupati, Walikota dan lain sebagainya. (b) Perubahan Sistem Politik Pejabat politik dan birokrasi pemerintah memegang peranan penting dalam hal ini. hubungan antara pejabat politik (political leadership) dan birokrasi merupakan suatu hubungan yang konstan (ajeg) antara fungsi kontrol dan dominasi. (Carino, 1994). Dalam hubungannya seperti ini , maka senantiasa akan timbul persoalan, siapa mengontrol siapa dan siapa pula yang menguasai, memimpin, dan mendominasi siapa. Persoalan ini sebenarnya merupakan persoalan klasik sebagai perwujudan dikotomi politik dan administrasi. Oleh karena itu, kemudian timbul dua bentuk alternatif solusi yang utama, yaitu apakah birokrasi sebagai subordinasi dari politik (executive ascendancy) atau birokrasi sejajar dengan politik (bureaucratic sublation atau attempt at coaquality with the executive). (Carino, 1994). (i) Executive Ascendancy Bentuk solusi seperti ini diturunkan dari suatu anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik
itu didasarkan atas kepercayaannya bahwa supremasi mandat yang diperoleh oleh kepemimpinan politik itu berasal dari Tuhan atau berasal dari rakyat atau berasal dari public interest. Supremasi adat ini dilegitimasikan melalui pemilihan, atau kekerasan, atau penerimaan secara de facto oleh rakyat. Dalam model system liberal, kontrol berjalan dari otoritas tertinggi rakyat melalui perwakilannya (political leadership) kepada birokrasi. Kekuasaan untuk melakukan kontrol seperti ini yang diperoleh dari rakyat acapkali disebut sebagai overhead democracy. (Redford, 1969) (ii) Buereucratic Sublation Bentukan ini dadasarkan atas anggapan bahwa birokrasi pemerintah suatu negara itu bukanlah hanya berfungsi sebagai mesin pelaksana. Max Weber sendiri menganalkan bahwa birokrasi yang riil (sebagai lawan dari ―tipe ideal‖) itu mempunyai kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan yang dilimpahkan oleh pejabat politik. Pejabat birokrasi yang terlatih secara profesional mempunyai kekuatan tersendiri sebagai suatu pejabat yang permanen . Pejabat seperti ini sepertinya mempunyai catatan karir yang yang panjang jika dibandingkan dengan pimpinannya pejabat politik yang bukan spesialis. Dengan memperhatikan hal-hal seperti ini, maka birokrasi itu mempunyai kekuatan yang seimbang dengan pejabat politik. Oleh karena itu 57
kedudukannya tidak sekedar sebagai subordinasi dan mesin pelaksana, melainkan sebanding atau co-equlity with the executive. Dengan demikian birokrasi itu merupakan kekuatan yang a politic but highly politized. (2)
Pendekatan Kelembagaan Daerah Dengan menggunakan model Henry Minzberg (1979:18:33), maka struktur perangkat daerah dapat dikelompokkan ke dalam 5(lima) fungsi awal, yaitu : Strategic Apec, Middle Line, Technostructure, Support Staf dan Operating Core. (a) Strategic Apec Fungsi Strategic Apec dipegang oleh penentu kebijakan organisasi. Dalam hal ini fungsi tersebut dipegang oleh Gubernur dan Wakilnya, Bupati dan Wakilnya, serta Walikota dan Wakilnya. (b) Middle Line Fungsi Middle Line dipegang oleh orang/unit yang bertugas sebagai penghubung antara Strategic Apec dengan Operating Core dalam bentuk kekuasaan formal. Dalam kaitan dengan Perangkat Daerah, maka fungsi tersebut dipegang oleh Sekretaris Daerah. (c) Technostructure Fungsi Technostructure dijalankan oleh orang/unti organisasi yang berfungsi sebagai analis yang melayani kepentingan organisasi. Menurut posisi dan fungsinya, maka Technotructure tidak terlibat secara langsung dalam proses pekerjaan organisasi, akan tetapi pekerjaan Technostructure berpengaruh terhadap bagian organisasi lain. Dalam kaitan dengan perangkat daerah, maka fungsi tersebut dijalankan oleh BAPPEDA, ITWIL, BADIKLAT, dan BALITBANG, yang dalam UU
No. 22 tahun 1999 keempatnya dinamakan ―Lembaga Teknis‖. (d) Support Staf Fungsi Support Staf seperti halnya Technostructure ditempati oleh orang-orang yang berada di luar arus proses pekerjaan, tetapi pekerjaannya sangat mendukung operasi pekerjaan bidang-bidang organisasi secara keseluruhan. Dalam kaitannya dengan perangkat daerah, maka fungsi tersebut dijalankan oleh sekretariat daerah dengan biro-biro di bawahnya. (e) Operating Core Fungsi Operating Core dijalankan oleh unit/individu yang berhubungan langsung dengan ―klien‖. Dalam konteks perangkat daerah, unit organisasi yang berhubungan langsung dengan masyarakat adalah Dinas-dinas, BKPMD, BUMD, dan sebagainya. Pelayanan Publik ( Public Service ) Pelayanan public (public service) dapat diartikan selalu terkait dengan pengertian ―public‖, khususnya dalam kaitannya dengan kajian public administration. Public Administration tidak lagi secara tradisional diartikan semata-mata bersifat kelembagaan (missal:Negara) tetapi dalam hubungannya dengan seberapa besar pengaruh/kaitan lembaga tersebut dengan kepentingan public (Islamy, 1988:10) Kaitannya dengan pelayanan public atau pelayanan umum kepada masyarakat, aparatur pemerintah hendaknya melaksanakan tugas berdasarkan azas-azas etika dan azas-azas mutu pelayanan, antara lain : 1. Melayani masyarakat secara hormat, perhatian, sopan dan tanggap dengan mengakui bahwa pelayanan kepada masyarakat adalah di atas pelayanan terhadap diri sendiri. 2. Melayani dalam suatu cara sedemikian sehingga kita tidak 58
mewujudkan keuntungan pribadi yang tak semestinya dari pelaksanaan kuwajiban-kuwajiban resmi kita. 3. Menghindari suatu kepentingan atau kegiatan yang berada dalam pertentangan dalam penunaian kuwajiban-kuwajiban resmi kita. (Ismani,Nurpratiwi dan Gani, 1998). Ada beberapa langkah untuk perbaikan mutu pelayanan tersebut, di pacu melalui Surat Menkowasbangpan Nomor 56/MK.Waspan/6/98, perihal langkah nyata memperbaiki pelayanan masyarakat sesuai aspirasi reformasi dan Surat Nomor 145/MK.Waspan/3/99, perihal peluncuran revitalisasi birikrasi dengan mewujudkan pelayanan prima kepada masyarakat. 1) Lang kah-langkah perbaikan mutu pelayanan masyarakat, diupayakan dengan : a) M engambil langkah-langkah konkrit perbaikan dan peningkatan mutu pelayanan masyarakat di lingkungan masing-masing dengan berupaya menerapkan prinsip-prinsip pelayanan yang baik, yaitu cepat, mudah, murah, pasti, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan. b) M elakukan penyempurnaan peraturan perundang-undangan di bidang pelayanan, khususnya penyempurnaan terhadap system dan prosedur pelayanan yang lebih disesuaikan dengan aspirasi reformasi. c) M engumumkan segala kebijakan pelayanan yang telah disempurnakan dalam bentuk peraturan tersebut kepada masyarakat luas, agar masyarakat dapat mengetahui secara jelas kebijakan tersebut,dan
selanjutnya digunakan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kebijakan tersebut oleh aparatur pemerintah. 2)
Lang kah-langkah teknis perbaikan pelayanan, dilakukan dengan cara : a) M emberikan pelayanan secara tertib, cepat dan langsung kepada masyarakat bagi pelayanan yang memerlukan pentelesaian sesaat. b) K husus pelayanan yang memerlukan waktu, agar dilandasi kebijaksanaan deregulasi dan dibirokratisasi yang transparan dan diketahui masyarakat luas, yaitu : (1) Menertib kan pedoman pelayanan yang antara lain memuat persyaratan, prosedur, biaya/tarif pelayanan dan batas waktu penyelesaian pelayanan, baik dalam bentuk buku panduan/pengumuman atau melalui media informasi lainnya. (2) Menemp atkan petugas yang bertanggung jawab melakukan pengecekan perlengkapan persyaratan permohonan untuk kepastian di terima atau ditolaknya berkas permohonan tersebut pada saat itu juga. (3) Menyele saikan permohonan pelayanan sesuai dengan betas waktu yang telah ditetapkan tarlampaui, maka permohonan tersebut berarti disetujui. (4) Melaran g dan atau menghapus biaya 59
tambahan yang dititipkan pihak lain dan meniadakan segala bentuk pungutan liar, di luar biaya jasa pelayanan yang telah ditetapkan. (5) Sedapat mungkin menerapkan pola pelayanan secara terpadu (satu atap atau satu pintu) bagi unit-unit kerja/kantor pelayanan yang terkait dalam memproses atau menghasilkan satu produk pelayanan. (6) Melakuk an penelitian secara berkala untuk mengetahui kepuasan pelanggan/masyarakat atas pelayanan yang diberikan, antara lain dengan cara penyebaran kuesioner kepada pelanggan/masyarakat dan hasilnya perlu di evaluasi dan ditindaklanjuti. (7) Menata system dan prosedur pelayanan secara berkesinambungan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat. 3) Lang kah-langkah nyata upaya perbaikan mutu pelayanan masyarakat yang secara bertahap diupayakan di berbagai lingkungan instansi Pemerintah di Pusat dan Daerah, antara lain : a) M elakukan deregulasi dan debirokratisasi terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang melandasi penyelenggaraan pelayanan untuk lebih disesuaikan dengan aspirasi reformasi. Langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi tersebut terutama menyangkut penyederhanaan prosedur dan persyaratan
b)
c)
pelayanan, serta memberikan kepastian waktu penyelesaian dan biaya pelayanan. Kepada setiap unit pelayanan diarahkan untuk dapat menerapkan prinsip-prinsip pelayanan yang baik, yaitu prinsip kesedarhanaan, kejelasan dan kepastian, keterbukaan (transparansi), efisien, ekonomis, keamanan, keadilan dan ketepatan waktu. Menerbitkan directory/buku petunjuk pelayanan umum untuk memberikan kejelasan secara transparan kepada masyarakat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jenis-jenis pelayanan yang diberikan oleh suatu unit kerja/kantor pelayanan. Directory/buku Petunjuk pelayanan umum tersebut antara lain memuat prosedur/tatacara, persyaratan, biaya, jangka waktu penyelesaian, pejabat/unit yang melayani serta hal-hal lain yang berhubungan dengan jenis pelayanan yang diberikan. M embentuk system pelayanan dengan pola terpadu yang disebut unit pelayanan terpadu, yaitu dengan cara memadukan unit-unit pelayanan yang terkait dalam memproses satu produk pelayanan ke dalam satu lokasi gedung kantor. Langkah ini mulai dikembangkan di lingkungan Pemerintah Daerah, khususnya tingkat Kabupaten/Kota dengan menggabungkan beberapa jenis pelayanan dalam satu gedung kantor sesuai dengan kondisi masing- masing daerah.
The public servant to provide complete loyalty to government of to day, irrespective of its political complexion and for theirs loyalty to be reflected to 60
provision of objective and impartial advice to the government (Mc. Callum,1984:83). Prinsip netralitas pelayanan publik bahwa pada aparatur pemerintah tidak nampak atau lepas dari kaitan ataupun pandangan politik dan asosiasinya. Pusat perhatian mereka pada responsibilitas pelayanan publik kepada pemerintah yang berkuasa, dengan mengabaikan (irrespective) berbagai macam latar belakang atau warna politik dari pemerintah yang mereka layani. Tanpa disadari para pelayan publik harus membuat kejelasan dari berbagai jenis alternatif kebijakan (Policy options) dan hubungan politik yang tegas dan memenuhi harapan pemerintah pada umumnya (general out of the government) dan dalam hokum yang mereka seharusnya wujudkan secara bauk dalam kebijakan pemerintah serta pelayanan publik. Konsep Penelitian Agar lebih mempermudah melakukan penelitian dan analisa sehubungan dengan kebijakan dalam implementasi pelayanan public melalui struktur organisasi di Kecamatan Dau Kabupaten Malang , maka yang harus diperhatikan aparatur pemerintah di Jawa Timur khususnya Kabupaten Malang dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat sebagai pengguna jasa dimulai dengan tingkatan yang ada dalam aparatur itu sendiri. Tingkatan pertama adalah Kabupaten Malang, tingkatan ke dua Kecamatan dan tingkatan ke tiga Desa sebagai tingkatan ke empat RT dan RW. Ke empat tingkatan tersebut melakukan pelayanan kepada masyarakat sehubungan dengan fungsinya di pemerintah. Metode Penelitian Jenis Penelitian Pada penelitian ini dipergunakan pendekatan Kualitatif, atau disebut juga Metode Kualitatif yang dikembangkan untuk mengkaji kehidupan manusia dalam kasus-kasus terbatas, kasuistik sifatnya, namun mendalam (in depth) dan total/menyeluruh (holistic), dalam arti
tidak mengenal pemilihan-pemilihan gejala secara konsepsional ke dalam aspek-aspeknya yang eksklusif yang kita kenal dengan variabel (Wignjosoebroto, 1997:3) Tujuan Penelitian Tujuan dalam penelitian sangat diperlukan karena : a. Untuk membatasi studi atau membatasi pada bidang kajian tertentu. b. Untuk dapatnya untuk lebih terarah hasil penelitian dan pembahasannya, sehingga lebih mendekatkan kea rah kebenaran hasil yang diperoleh, c. Untuk menentukan criteria-kriteria guna memasukkan/mengeluarkan suatu informasi yang diperoleh di lapangan. Dalam arti bahwa dengan melalui bimbingan dan arahan focus yang telah ditetapkan, peneliti akan tahu persis data mana yang perlu dikumpulkan dan data mana (meski mungkin menarik tetapi karena tidak relevan) yang tidak perlu dimasukkan ke dalam data yang sedang dikumpulkan). (Strauss & Corbin Dalam Moleong, 1991:5) Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, maka focus penelitian ini ditunjukkan sebagai berikut : 1. Penentuan Kebijakan Struktur Organisasi Menggunakan pola maksimal sesuai Kep. Mendagri No. 48 Tahun 1999 2. Implementasi Kebijakan, adalah cara-cara yang dilakukan pihak pemerintah kecamatan sehubungan dengan kebijakan yang dibuat. 3. Pelayanan Publik atau Pelayanan Masyarakat, adalah layanan atau jasa yang dihasilkan Kecamatan untuk kebutuhan masyarakat yakni dalam bentuk pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) Lokasi Penelitian Sampling
dan
Penarikan
61
Pemilihan Kecamatan Dau Kabupaten Malang , karena lokasi ini tempat penulis bertempat tinggal di sekitar lingkungan tersebut dan sering membentu warga masyarakat sekitar dalam menggunakan jasa pelayanan yang berada pada sekitar lingkungan kantor Kecamatan Dau Kabupaten Malang. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Quota Sampling, yaitu sample yang diperoleh dengan metode penunjukan atau ditentukan terlebih dahulu. Sumber – sumber Data Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari : a. Data Primer, data langsung dari responden b. Data Sekunder, data dari laporan terstulis Dengan bersumber pada : a. Informan (purposive sampling) b. Tempat penelitian (keadaan alam, keadaan lingkungan dan social budaya) c. Dokumen, untuk kelengkapan data atau laporan-laporan. Cara Pengumpulan Data Cara mengumpukan data pada penelitian kualitatif ini, melalui: a. Proses Memasuki Lokasi Penelitian (Getting In) b. Proses Ketika Berada di Lokasi Penelitian (Getting Along) c. Proses Mengumpulkan (Longging the Data) 1) Wawancara Mendalam (Indepth Interview) 2) Analisa Dokumentasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Kabupaten Malang dan Kecamatan Dau Terdiri dari dua asumsi yang menelusuri asal mula nama Malang, yang pertama berdasarkan kondisi geografis dan
yang ke dua berdasarkan prasasti yang ditemukan. Yang pertama, daerah Kabupaten Malang yang di masa silam dikenal dengan nama Tumapel dari akar Bahasa Jawa Kuno ―Tapel‖ menurut kamus Bausastra Jawa (2002:764), memiliki makna konotatif : 1)‖raketan‖ yaitu obat dari rempah-rempah yang diletakkan di perut anak kecil. 2)besi yang direkatkan pada kotak atau kaki kuda. 3) arca yang dibuat dari tanah liat, dan 4)‖batas‖ atau lingkaran pembatas, seperti: ditapali, dilingkari, ditutupi, atau dipagari oleh gunung-gunung. Kemudian yang ke dua, dalam Piagam Kedu (Tahun 907) dan Piagam Singhasari (Tahun 908), disebutkan nama Batara Malangkucecwara. Letak Geografi, Luas Dan Batas Wilayah Kabupaten Malang Letak geografis wilayah Kabupaten Malang sebagian besar adalah dataran tinggi, dan sebagian adalah dataran rendah, area kelautan dan pantai. Lokasi Kabupaten Malang terletak pada koordinat 112°17‘10,9‖ hingga 12°57‘00‖ Bujur Timur dan antara 7°44‘55,11‖ hingga 8°26‘34,45‖ Lintang Selatan. Luas wilayah darat 3.347,87 Km², merupakan terbesar kedua setelah Kabupaten Banyuwangi, dari ke 38 Kabupaten/Kota di wilayah Propinsi Jawa Timur. Kondisi Aliran Sungai Kondisi keadaan aliran sungai Kabupaten Malang memiliki Sungai Konto yang melintasi Kecamatan Pujon, Ngantang: kemudian Sungai Lesti yang mengalir di WilayahKecamatan Turen, Dampit: serta Sungai Amprong yang mengalir di Wilayah Kecamatan Poncokusumo menuju Tumpang.. Iklim dan Pembagian Wilayah Kondisi topografi berupa pegunungan dan perbukitan menjadikan 62
Kabupaten Malang terkenal sebagai daerah sejuk kalau tidak bias dikatakan dingin. Temperatur rata-rata tahun 2001 yang dicatat enam stasiun klimatologi adalah: 23,52° Celcius, sedangkan tahun 2000 adalah 23,23° Celcius dengan temperature tertinggi 33° Celcius, dan temperature terendah 14,9° Celcius Kependudukan Jumlah Penduduk di Kabupaten Malang pada tahun 2000 sebanyak 2.387.651 Jiwa, sedang pada tahun 2001 sebanyak 2.240.287 Jiwa (setelah dikurangi penduduk Kota Batu) dengan rincian: Laki-laki 1.107.356 Jiwa dan Perempuan 1.132.931 Jiwa sedangkan kepadatan penduduk mencapai 753 jiwa/km² Kebudayaan Kuno dan Sosial Ekonomi Kebudayaan pada jaman dahulu Kabupaten Malang sudah dikenal sebagai daerah yang subur karena dilimpahi banyak air dalam bentuk mata air, aliran sungai, air terjun, dan bendungan besar. Sebagai dareh yang subur, sejak zaman purba sudah dihuni oleh manusia yang menjadi salah satu sentral perkembangan budaya yang penting di Jawa Timur. Sejumlah ibu kota kerajaan di masa silam, pernah dibangun dan berkembang di wilayah Kabupaten Malang seperti Kanjuruhan (abad ke-8), Purwa (abad ke11), Tumapel (abad ke-12) dan Sengguruh (abad ke-16). Itu sebabnya di wilayah Kabupaten Malang terhampar pelbagai situs purbakala yang menjadi bukti tentang bagaimana pentingnya daerah Malang di masa silam. Di mulai abad ke-8 telah berdiri kerajaan besar bernama Kanjuruhan atau Kanjuron. Secara Kultur Malang mempunyai banyak etnik yang memberikan warna budaya yang khas. Misalnya etnik Madura, masuknya etnik Madura pada tahun 1835 yakni ketika penjajah Belanda melaksanakan tanam paksa kopi dan tebu. Latar belakang sejarah Malang telah meninggalkan warisan budaya yang
menarik, menjadikan salah satu khasanah kekayaan bumi Nusantara. Pertumbuhan social budaya di Malang merupakan kelanjutan social budaya masa sebelumnya. Mata pencaharian pokok masyarakat Kabupaten Malang adalah pertanian. Kegiatan pertanian di Kabupaten Malang umumnya mengarah kepada pertanian lahan, jenis tanaman yang dibudidayakan antara lain: padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedele, kacang tanah, kacang hijau, sayur-sayuran dan buah-buahan. Pembahasan Hasil Struktur Organisasi yang tepat untuk Pemerintahan Kecamatan adalah menggunakan birokrasi yang tidak berbelit, jelas, singkat dan tepat, yang ternyata selama ini telah digunakan atau dilaksanakan semaksimal mungkin sesuai dengan beban tugas masing-masing. Salah satu kelebihan dari Struktur Organisasi yang fleksibel adalah dilibatkannya semua kegiatan yang ditunjukkan oleh adanya Seksi-Seksi yang mengurusi dan menyelesaikannya secara tim work dan soliditas tinggi. Seperti yang telah dikemukakan bahwa selama ini pembuatan KTP yang dilakukan semua warga melalui Kantor Desa lalu diteruskan ke Kantor Kecamatan telah sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala yang membuat warga atau penduduk masih belum merasa puas atas layanan yang diberikan pihak aparat Kecamatan, walaupun pembuatan KTP tidak membutuhkan biaya yang besar (relative). Secara umum permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pemberian pelayanan dikelompokkan dalam 3 (tiga) kategori, yaitu bersifat (1) teknis, (2) ekonomis dan (3) manajemen. 1) Bersifat Teknis Dalam masalah ini misi yang ingin dicapai adalah 7 (tujuh) Sendi Pelayanan Umum 63
Kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan dan kenyamanan, keterbukaan, efisien dan ekonomis, keadilan yang merata serta ketepatan waktu. Pengoperasian Pelayanan dimulai dari tingkat RT sampai tingkat Kecamatan 2) Menyangkut masalah Ekonomis Masalah ini akan berkaitan dengan upaya meningkatkan kesejahteraan dan peran serta masyarakat, kebijakan ini harus mempertimbangkan kemampuan ekonomi serta tarif yang sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku. 3) Menyangkut masalah Manajemen Ada beberapa langkah yang perlu ditempuh untuk mengatasi masalah manajemen: a) Dilakukan pembinaan yang berkesinambungan kepada aparat pelaksana dalam upaya menyamakan persepsi dan komitmen pelayanan kepada masyarakat. b) Dilakukan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) pihak aparatur terutama dilakukan peningkatan kemampuan dalam kecakapannya dan sikap perilakunya. c) Dilakukan pengadaan sarana dan prasarana yang berfungsi dengan baik. d) Secara berkala mengadakan penyuluhan kepada masyarakat secara terpadu. e) Mengatasi masalah-masalah khusus, seperti banyaknya arus pendatang atau pemukim baru yang karena sesuatu keadaan di daerah asalnya tidak dilengkapi surat keterangan atau kartu identitas lainnya. SIMPULAN Pada bab-bab yang ditulis sebelumnya, khususnya pada bab hasil
penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan : 1. Struktur Organisasi untuk Pemerintah Kecamatan di Kecamatan Dau Kabupaten Malang yang sederhana dan lebih mengena pada sasaran baik garis komando maupun komunikasi secara vertical maupun horizontal akan memberikan suatu keputusan yang fleksibel. 2. Pelayanan Publik dalam bentuk pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) selama ini masih banyak kendala dan permaslahan yang harus dibenahi, sehingga harus dilaksanakan 7 (tujuh) sendi pelayanan umum (kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, keamanan dan kenyamanan, keterbukaan, efisien dan ekonomis, keadilan yang merata serta ketepatan waktu) dengan penerapan standar yang ketat dan diikuti pembinaan dan pengembangan aparat Keamanan, pemenuhan sarana dan prasarana kerja. 3. Struktur organisasi sangat berperan dalam Pemerintah kecamatan yang dinilai lebih penting dalam pemberian pelayanan public secara efektif, karena alur wewenang/hirarkhi masingmasing bagian (seksi) dapat ditelusuri secara pasti, dan dapat dipastikan apabila ada kesalahan di satu seksi maka dapat dipecahkan oleh seksi yang lain yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikain tidak ada saling menyalahkan bahkan saling menutupi dalam hal kebaikan sesuai aturan secara administrasi.
DAFTAR RUJUKAN Anonim, (1984) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 83 Tahun 1984 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Wilayah Kecamatan. Biro Tata Pemerintahan Umum Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Timur ---------------, (1996) Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 48 Tahun 1996 64
Tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kecamatan. Biro Tata Pemerintahan Umum Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I, Jawa Timur --------------, (1999) Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tingkat Pusat, Buku II, Direktorat Pembinaan Umum Pemerintahan dan Direktorat Jenderal Pemerintah Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri --------------, (2000) Kebijakan Penataan Organisasi Perangkat Daerah. Biro Organisasi Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Timur --------------, (2007) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Departemen Dalam Negeri R.I, Direktorat Jenderal Administrasi Kependudukan, Jakarta Brannen, J. (1997) Memadu Metode Penelitian Kualitatif & Kuantitatif, Terjemahan Nuktah dkk., Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Frederickson, H. George, (1994) Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta Islamy, M.I (1997) Perumusan Kebijakan Aksara, Jakarta.
Prinsip-Prinsip Negara. Bumi
Ismani, Nurpratiwi. R, Gani. A. (1998) Ethics in Public Service. Program Magister Ilmu Profesi, Universitas Brawijaya, Malang.
Tantangan dan Strategi Pengembangan. Penerbit IKIP Malang. Mazmanian dan Sabartier, (1987) Implementation and Public Policy. Scolt Foreman Company, Illinois. Milles, B.M. and Huberman, A.M. (1992) Analisa Data Kualitatif. Penerbit Universitas Indonesian Press (UI Press), Jakarta. Moleong, L.J. (1991) Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan Ketiga, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung. Osborne, David dan Gaebler, Ted. (1995) Mewirausahakan Birokrasi, Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Prijono, O.S. dan Pranarka, A.M.W., (1996) Pemberdayaan Konsep, Kebijakan dan Implementasi, Centre For Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta. Strauss, A.L. and Cobin, Y. (1990) Basic of Qualitative Research :Grounded Theory Procedures and Techniques, Sage Publications, The International Profesional Publishers Newbury Park, London. Thoha, Miftah (1999) Demokrasi dalam Birokrasi Pemerintah Peran Kontrol Rakyat dan Netralis Birokrasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Yogyakarta. Wahab, S.A. (1997) Analis Kebijakan Dari Formulasi Ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Edisi Kedua, Cetakan Pertama, Bumi Aksara Jakarta
Kartasasmita, dkk. (1995) Manajemen Sumber Daya Manusia. Masalah,
65
Understanding Svara thought on Leadership by Top Administrators in a Changing World New Challenges in Political-Administrative Relations. Deden Faturohman
A. Introduction Recently, administrators- in terms of leadership should become adapters who continuously adjust in the fluid environment in which they work as to fill their leadership responsibilities. It is very important to realistically grasp the status of administrators during each of these periods to have better understanding on how their circumstances are changing now. The future role will be different and complex, but there are always positive aspects of the change as well as negative ones. The focus of Svara writing is on top career administrators—local government CEOs and permanent secretaries in Europe and city/county managers and senior executives in the United States—who relate closely with top politicians (both top elected officials and political appointees) on the one hand, and the organization they more or less direct on the other. This condition can be seen as a way that could be the same or different if this compare to other countries, especially in Developing countries. There are so many challenges faced by administrators when they doing their duties. We are also aware of dichotomies between their roles in terms of political and administrative relations. It could be fruitful to find the harmonize way to manage this two relations. By understanding Svara writing and expanding by other writers, hopefully leadership a a changing world will be in a benefit way. This article want to have better understanding of what Svara writing on Leadership at the top administrators in term of political and administrative relations
B. Transformation of the Status of Administrators There are conditions that influence the status of administrator from a large role on organizing activities to transform to the condition that they have to cope with politicians and the public. This phenomena come to surface do to the increasing democratic wave. Due to this challenges, administrator should play with the smart strategy. The Aspiring Administrator Svara argued that in the nineteenth century witnessed the emergence of public administration distinguishable from other centers of organized political power and able to function with some autonomy. Administrators during this period aspired to take on a larger role. Further, Svara cited Richard Stillman (1997) writing on Modern Public Administration Review entitled ―American vs. European Public Administration: Does Public Administration Make the State, or Does the State Make Public Administration?‖ that In Europe, administrators who were already well organized in an administrative state separated themselves from the monarch and began to have direct interaction with politicians and the public as democratic institutions developed (Stillman, 1997). From now on, we should aware that administrators have been facing so many challenges. They have to understand which one are their definite roles and others. In the United States, administrative organization gradually became more formalized. Administrators were distinguished from politicians and given some protections and began to develop independent status. There were also the 66
initial efforts to figure out the relationship administrators should have with politicians.So in modern life, administrators should find a way of their roles in one hand and understanding other roles beyond them.
and experience for them to play their roles. Their research suggests that full-time practicing in administrative way, in which aspiring educational leaders are relieved of classroom responsibilities and mentored by an expert principal, are most likely to provide interns with the leadership experiences they need While full-time administrative internships may offer the best preparatory experiences for aspiring leaders, most trainee require a salary, and there is a lack of funding to support this type of full-time internship for all aspiring leaders. In light of these circumstances, it is critical to prioritize the identification of essential skills and experiences that aspiring administrators must gain during the internship experience. Internship in a fulltime way can increase the administrator capabilities, however there are barriers to continue the program due to the lack of salary for the trainee administrators. Further this research found that current administrators referred to the need for aspiring administrators to participate in and lead varied experiences by working with different mentors in diverse settings. Even those who completed their internships with mentors who knew them well, and trusted them with significant amounts of leadership responsibility, indicated that they were not quite as prepared in all aspects of leadership as they might have been had they had more varied experiences. One administrator cited her lack of exposure to and preparation to deal with issues of discipline due to the lack of these
Thessin and Clayton (2003) did research to find how administrators can cope with the current situations of their roles. They suggest that leadership internship is a significant way to make administrators do their job well. They suggest that internship for administrators will give best preparation challenges at her school, and another alumnus suggested that the insular nature of many districts prevents aspiring administrators from being exposed to new ideas and strategies. Another alumnus suggested that he might have learned more and gained additional new skills if he had been encouraged to complete his administrative internship in a new district setting, rather than in his own district. It is very important for the organization at top level to have education and training by using internship model. However it is not at once program, administrators should have continuous training for enhancing their capabilities. The importance of the internship experience, through which aspiring administrators have the chance to apply theory to practice in daily experiences, remains paramount. The internship becomes even more critical when aspiring leaders have not had part-time leadership experiences as teachers, which alumni cited as critical to gaining skills for administration. The Assured Administrator According to Goodnow (1900) in his work ―Politics and Administration‖. New York: Macmillan cited by Svara, ―The twentieth was the century of the increasingly ―assured‖ administrator conveyed a sense of certainty about the functions of administrators, although he was still unsure about how to specify the relationship between administrators and elected executives that spanned the political and the administrative sphere. Goodnow (1990) mentioned that administrators have specific
67
ways for implementing their roles face to face with elected officials who has political roles in terms of democracy. However, in practice this is very difficult to separate the roles between politics and administration. Further Svara mentioned by citing Gerth and Mills (1946) work that ―Weber examined the accumulated power of administrative organizations and provided the rationale for a new model of administrative organization that increased the competence, capacity, and independence of bureaucracy. According to Overeem (2005), ―Weber feared that administrators would overwhelm politicians with their power. He sought ways to keep administrators out of policy to allay this danger. There are different views between Gert and Mills and Weber. One gives a reason that there are separations role between administrators and politicians, and overwhelm situations as a fear of the other. The differing perspectives of Goodnow and Weber set the tone for enduring divergent perspectives in the United States and Europe. In the United States, there is a lingering concern among professional administrators and some academics that public administration is a fragile institution at risk of corruption or marginalization by political forces, and this concern is periodically confirmed by experience. In Europe, there is deep-seated concern about the danger of civil service rule. The situation occurred by the pervasive power exercised by agents of the nation-state or now the supranational state. Changes within the Era of Assurance In the second half of the century, the governmental process was opened up without diminishing the position of the top administrator. One should not overstate the discontinuity between the pre–World War II period and changes that would came later (Lynn 2001). Svara said in his other writing that ―Professional values rooted in advancing the public interest were well
established before the rethinking that occurred in the turbulent sixties and the New Public Administration (Svara 2001). Even Denhardt and Denhardt (2000) argument cited by Svara proposed ―Building on the strong position in their relationship with politicians, top administrators were moving toward a redefinition of other key relationships with new emphasis on democratic citizenship, models of community, and organizational humanism Svara (1999) writing on US City Government said that ―Typically the top administrators who work with elected executive rate their own influence as lower than the mayors, but still they consider their influence to be substantial. This situation can also be found in Indonesia local government. In fact, Administrators has a huge influence in terms of managing local government. They know well of everything regarding almost all aspect of government activities. However, politically they are in a lower rate as oppose to executive of elected officials. C. Models of Relations
Political-Administrative
Svara (2006) stated that there are the characteristics of the four models based on the extent of a hierarchical relationship and the relative distinctness of officials can be specified as follows: Separate Roles: Clear subordination of administrators to politicians and separate roles and norms. 2. Autonomous Administrator: Equal or greater influence for administrators that extends to the policy sphere. 3. Responsive Administrator: Subordination of administrators to politicians and dominance of political norms over administrative norms. 4. Overlapping Roles: Reciprocal influence between elected officials and 1.
68
administrators and shared roles with elected officials. In parctice, Svara (2006) in his other writing stated that the interactions of politicians and administrators have these characteristics that have been observed in his previous studies. He explained that there are eight characteristics in understanding the realtion between administrators and politicians. Those eight characteristics are composed below: 1. Politicians and administrators maintain distinct perspectives based on their unique values and the differences in their formal position. 2. Politicians and administrators are primarily involved in distinct functions: politicians in policy making and constituent relations; administrators in implementation, service delivery, and management. There are partially overlapping functions as politicians provide political oversight of administration, examining both particular cases as well as general patterns of performance, and administrators are involved in the formulation of public policy and shape policy through the exercise of discretion in the mplementation of policy. 3. There is interdependency and reciprocal influence between politicians and administrators. 4. Administrators support the law, respect political supremacy, maintain political neutrality, and acknowledge the need for accountability. 5. Administrators are responsible for serving the public and supporting the democratic process. 6. Administrators are independent with a commitment to professional values and competence, and they are loyal to the mission of their agency. 7. Administrators are honest in their dealings with politicians, seek to promote the broadest conception of the
public interest, and act in an ethically grounded way. 8. Politicians respect the contribution of professional administrators and the integrity of the administrative process. Administrators encourage politicians to fulfill their responsibilities. Explanation given by Fabio and Fransesca in terms of the citizen roles in service quality can give more understanding on the relation between the two. We can find differences handle by politicians in one hand and Administration in another one. These differences exist in three main issues: 1. the relative importance of citizens as sources of inputs to improve public service quality, 2. the objectives of citizens' involvement and 3. the structure of citizens' preferences. Generally we can find that, the managerial component of the municipality is less oriented to citizens' involvement than to elected members. For this reason there are at least two suitable explanations. Firstly, public administrators could think that an increase in citizens' participations implies a higher workload for the employees of the municipality (e.g. more time and effort to collect data from citizens). If the situation existed is municipal resource constraints the administrators could be reluctant to enhance the level of citizen involvement. Secondly, administrators understand that citizens involvement in government issues could be a fruitful way to increase citizens' trust an participation, but they also assume that citizens involvement by way of information and suggestions collected from citizens could reduce their decision-making power. Further, Svara (1999) has given complementary model of politics and administration as modified as follow: Administrators have a There is deep commitment to interdependency 69
support elected officials and the democratic process. Public administrators support elected officials and citizens in defining and accomplishing their goals for collective action and their constitutional purposes. Administrative support for the realization of democratic principles is essential: Administrative procedural machinery is much more than a tool for the implementation of a political ideology. Administrators are committed to obey the law Administrators respect the control of e lected officials A necessary component of support for democracy and respect for political authority is neutrality in dealings with elected officials and politicians. Administrators exercise discretion based on their own expertise and judgment Administrators are committed to being responsive to the
and reciprocal influence between elected officials and administrators in policy making Only a working partnership between professionals and politicians can supply both the knowledg e and the push for the creative adaptations in policy needed in a society in flux Elected officials exercise "constant and comprehensive supervision" of administration and consider citizens' appeals of adminis trative decisions Elected officials and administrators should establish a "working arrangement" to ensure a "proper equilibrium" without "meddlesome" encroachment
public-to be "intimately connected with popular thought‖ Administrators seek to ensure that all interests are heard by fostering the organizat ion of the unorganized Administrators expect that elected officials will respect the need for administrators to be insulated from direct intervention by elected officials and elements of the public in making specific administrative and management decisions Administrators should maintain distinct roles based on their unique perspectives and values, scientific and knowledgeable, independent and honest in their dealings with elected officials Administrators aware of ethical obligations and draw on many sources for ethical guidance, including honesty, commitment to the public interest, integrity, the "inner check," equity, enlightenment, fair mindedness, impartiality, neutrality regarding party, responsibility and accountability for actions, professionalism/respo 70
nsibility to the fellowship of science, administrative selfregulation, respect for political supremacy, and commitment to democracy
Then, we can explain between administrators and politicians by a classification of the types of mutual relationship perceived. Specifically, according to Liguori, Mariannunziata; Sicilia, Mariafrancesca; Steccolini, Ileana ,2009, there are four possible patterns emerge as follow: Confusion - when the interviewee signaled a trespass into the activities that would be expected under the responsibility of the other role (e.g. politicians are expected to take decisions about departmental strategies, while managers are expected to carry out activities in order to reach such objectives). Reciprocal integration - when politicians and managers work together by arranging ad hoc meetings and brainstorming for adopting decision related to the whole accounting cycle. Sequential integration - when politicians and managers work together, but by sequential and separated steps (e.g. managers and politicians don't work together but they are responsible for specific phases of the accounting cycle and exchange information at the end of each step). Separation - when politicians and managers carry out their activities autonomously (e.g. politicians are the ones taking strategic decisions, while managers have only a technical support role).
Svara, and; Overeem, 2006, in . Administrative Theory & Praxis, has given argument on the dichotomy between administration and politicians. They said that the idea of the politics-administration dichotomy has had a strange history in public administration. The idea expands and contracts, rises and falls, but never seems to go away. This meant that dichotomy between them is not in a stable condition. It is like a rubber that flexible to the influence and interaction between them and also the environment as the general system of organization such as government. Further Overeem in his other writing has reduced scope of dichotomy severely. He wishes to make dichotomy simply the principle by separating administrators involvement in in partisan politics in general and elections in particular. He said that ―this is an important idea, although it is only one half of one element that the architects of modern public administration asserted to prescribe how politicians and administrators should interact. The other half of this element is that politicians should not be involved in administrative matters. In summing up the classical views, however, he reverts to the partial view noted earlier: the aim of reformers was to make the administrator "an outsider to political controversies" To sum up his position, if you believe that administrators should stay out of partisan politics and (given less emphasis) that politicians should stay out of administrative matters, then you have to support the dichotomy‖. There are five elements that shape the interaction between politicians and administrators, These are: 1. Selection of counterpart officials; 2. Orientation to counterpart officials; 3. Core values of each set of officials; 4. Functions of each set of officials; and 5. Means used by each set of officials. 71
D. New Conditions in a New Century In the twenty-first century, the old values continue, but there are shifts in roles and in relationships. The change is relative to the original base point in a country, but most countries are moving in the same direction. Assertion of Political Power at the National Level Svara (2007) said that in the end of the twentieth century was a period of transition when signs of the new conditions began to appear. This time indicated by the revolution made by Teacher in 1979 in Britain and Reagan The Thatcher revolution, beginning in 1979 in Britain, and the Carter and at the similar time the Carter and Reagan administrations in the United States. Further Svara said that these have reflected a questioning of administrative prerogatives on the part of elected officials. There is increasing evidence of expanded political control over administrators. Changes at the Local Level At the local government, there is also evidence of changing terms in the relationship between politicians and administrators. In British local government, there had reforms to improve accountability. The reforms have put politicians in a strong position as oppose to administrators. So in the end of 80‘s, there was transition which given more portion to politicion to manage local government. Further, Svara (2007) Said that Beyond mayors, it appears that local elected officials in general are more aggressive, more activist, and more engaged in ombudsman activities for constituents. To date, city managers in large cities are not able to provide as much input or have as much influence as they had previously. Changes in Management and External Relations
Svara (2007) has cited the work of (Pollitt and Bouckaert 2000) about the reform in Management environment. According to Pollit and Bouckaert management reforms usually occurred with strong support from political circumstances. This conditions have influenced the role of administrators. In addition to this reform, Denhardt and Denhardt in Svara (2007) stated that the electronic lines of communication between local elected officials, citizens, and staff members remake the organization chart and impact political-administrative relations, organizational management, and relationships with citizens. The focus on services may promote closer relationships between lower-ranking administrators and citizens (or may not, depending on the source of service delivery), but it replaces policy and rule-based guidelines for service delivery with an emphasis on serving the public How do top administrators respond to continuous change and disappearing boundaries? The simple answer is that top administrators must be capable of adapting to an extent not found previously as they fulfill their essential responsibilities and seek to advance the public interest.
E. The Adaptive Administrator: Challenges and Response in a New Era Challenges and response always occur in the organization. This is due to the dynamic of the environment. The ongoing changes in progress will require top administrators to have more fluid, flexible, and less predictably bounded dealings with politicians while at the same time expanding their interactions with citizens and leaders outside the organization This is assumed that they have to move on the global changes based on governance paradigm. Svara said that their responsibility for internal direction will also change along with the transformation of public ―organizations.‖ Drawing on all these elements, top administrators will 72
provide guidance and facilitation to support new approaches to governance. Changes in Relationship
Political-Administrative
Svara (2007) said that the feature that is most impacted by change is the sharing of functions in policy making and oversight, but all the characteristics of complementary are affected to some extent. He mention the characteristics of complementary can be explained as follow: 1. Elected officials and administrators maintain distinct perspectives based on their unique values and the differences in their formal position. 2. Officials have partially overlapping functions as elected officials provide political oversight of administration and administrators are involved in policy making. 3. There is interdependency and reciprocal influence between elected officials and administrators. 4. Administrators support the law, respect political supremacy, maintain political neutrality, and acknowledge the need for accountability. 5. Administrators are responsible for serving the public and supporting the democratic process 6. Administrators are independent, with a commitment to professional values and competence, and they are loyal to the mission of their agency. 7. Administrators are honest in their dealings with elected officials, seek to promote the broadest conception of the public interest, and act in an ethically grounded way. 8. Elected officials respect the contribution of professional administrators and the integrity of the administrative process. Administrators encourage
politicians to responsibilities
fulfill
their
In terms of the models of politicaladministrative relationships presented earlier, Svara (2007) said that the new political context probably causes top administrators to draw relatively more from the characteristics of the separate roles and responsive administrator models than they did in the twentieth century. They are likely, however, to still be operating primarily in the overlapping roles model and guided by the modified norms of complementary. We can darw the relationship by dividing into fully separation (hardy implemented in practice, dichotomy roles with tensions and complementary. Conclusion: Ethics and Power With the long explaination, Svara (2007) said that For top administrators, a solid value base is even more important in their unstable circumstances than it was in a more stable time. As in the past, they must be guided by a strong sense of duty and thorough grounding in universal values to keep their bearings and to help assure that the means they employ to achieve their expanding and shifting responsibilities are ethically sound (Svara 2007). They face new ethical issues, and there are pitfalls they should avoid: slanting the issues raised to get attention from political superiors, allowing responsiveness to undermine professional standards, and exploiting loose accountability controls for self-advantage. Further he said that the nature of government and the roles of politicians and administrators are different when governance combines governmental and private actions, is cross jurisdictional, and is global. The terms of engagement are altered in ways that a times reduce the capacity of administrators to shape and influence decisions, but top administrators must keep advising and informing and 73
attempting to shape strategic direction. The contributions of top administrators formerly were to provide general and specialized advice to politicians on the one hand, and transmit policy goals to the administrative organization, monitor and adjust the process of accomplishing them, and report back to top politicians on the other. Furthermore, top administrators will still have important resource advantages vis-àvis politicians, and these will increase as government agencies enter into larger numbers of networks and partnerships. In the future, top administrators are less likely to be highly elevated above other administrators and less likely to be the only link between the political and administrative spheres. They will have to be nimble and adaptive in an uncertain world. But they will have a broader and more challenging job description as a key actor who connects many arenas and serves as adviser and strategizer with politicians facilitator of networking and democratic action, and organizer of action, innovation, and accountability. All things considered, this is a different but attractive job description for top administrators. To sum up, different countries have different value and power between administrator and politicians. So that they have to be considered of the impact of this differences. However, we will find that these two actors in government will always interact one to another by themselves internally. And then they also should aware of the public division which will affect the value and power of them. In relation to state and society relations, we are in an era that state which is part of administrator and politicians should carefully prepare of the needs of society which is divided into civil society and private or business sides. No matter what kind of model used by politicians and administrators- separation, dichotomy or complementary- they really need to put their roles in hands of governance pillars. They have to focus on
golden triangle among civil society, private or business and themselves. References: Cassia, Fabio; Magno, Francesca, 2011, Differences between public administrators' and elected officials' perspectives on the role of the citizen in service quality improvement processes, TQM Journal 23.5 (2011): 550-559 Denhardt, Robert B., and Janet Vinzant Denhardt. 2000. ―The New Public Service: Serving Rather than Steering.‖ Public Administration Review 60: 549–59 Denhardt, Janet Vinzant, and Robert B. Denhardt. 2001. Creating a Culture of Innovation: 10 Lessons from America’s Best Run City. Washington, DC: IBM Center for the Business (Denhardt and Denhardt 2000). Gerth, H.H., and C. Wright Mills, trans. 1946. From Max Weber: Essays in Sociology. New York: Oxford University Press James H Svara, 2006a. ―Politicians and Administrators in the Political Process: A Review of Themes and Issues in the Literature.‖ International Journal of Public Administration 29: 953–76. John, Peter, and Francesca Gains. 2005. Political Leadership under the New Political Management Structures. London: Office of Deputy Prime Minister Liguori, Mariannunziata; Sicilia, Mariafrancesca; Steccolini, Ileana, 2009, Politicians versus managers: roles and interactions in accounting cycles, The International Journal of Public Sector Management 22.4 (2009): 310-323 Lynn, Laurence E., Jr. 2001. ―The Myth of the Bureaucratic Paradigm: What Traditional Public Administration Really Stood For.‖ Public Administration Review 61: 144–60. of Government 74
Overeem, Patrick. 2005. ―The Value of the Dichotomy: Politics, Administration, and the Political Neutrality of Administrators.‖ Administrative Theory and Praxis 27: 311– 19 Pollitt, Christopher, and Geert Bouckaert. 2000. Public Management Reform: A Comparative Analysis. Oxford: Oxford University Press Rebecca A. Thessin and Jennifer Clayton (2003), Perspectives of school leaders on the administrative internship, Journal of Educational Administration 51.6 (2013): 790-811. Stillman, Richard, 1997, writing on Modern Public Administration Review II. 1997. 57: 332–38 ―American vs. European Public Administration: Does Public Administration Make the State, or Does the State Make Public Administration?‖
International Journal of Administration 29: 1065–90.
Public
Svara, James, 2007, Leadership byTop Administrators in a Changing World: New Challenges in Political-Administrative Relations, Ricardo S.Morse,, Terry F. Buss, and C. Morgan Kinghorn (Eds), 2007, in Transforming public leadership for the 21st century, . M.E. Sharpe, Inc., 80 Business Park Drive, Armonk, New York 10504
Svara, James H, 1999, Complementarity of politics and adminstration as a legitimate alternative to the dichotomy model, Administration & Society 30.6 (Jan 1999): 676-705. Svara, James, 1999,―U.S. City Managers and Administrators in a Global Perspective.‖ The Municipal Year Book 1999. Washington, DC: International City Management Association, 25 –33.; Svara, James 2001. ―The Myth of the Dichotomy: Complementary of Politics and Administration in the Past and Future of Public Administration.‖ Public Administration Review 61: 176–83. Svara, James H; Overeem, Patrick, 2006, Complexity, in Political-Administrative Relations and the Limits of the Dichotomy Concept/in Defense of the Dichotomy: A Response to JAMES H. SVARA, Administrative Theory & Praxis 28.1 (Mar 2006): 121-147 Svara, James,, 2006. ―The Search for Meaning in Political-Administrative Relations in Local Government.‖ 75
76