PEMANFAATAN REPTIL SEBAGAI OBAT DAN MAKANAN DI DAERAH KHUSUS IBU KOTA (DKI) JAKARTA
FEBIA ARISNAGARA
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PEMANFAATAN REPTIL SEBAGAI OBAT DAN MAKANAN DI DAERAH KHUSUS IBU KOTA (DKI) JAKARTA
FEBIA ARISNAGARA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ”Pemanfaatan Reptil sebagai Obat dan Makanan di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta” adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini
Bogor, April 2009
Febia Arisnagara E 34104029
SUMMARY Febia Arisnagara (E34104029). The Utilization of Reptiles for Medicine and Food in DKI Jakarta. Under supervision of Dr. Ir. Burhanuddin Masy‟ud, MS and Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr. Economic crisis in Indonesia urge people to utilize natural resources including reptile. Reptile used to be regarded as adverse thing, now becoming profitable comodity for medicine and food. Nowadays, demand for reptile is increasing so that creates more risk for sustainability of reptile because most of reptile hunted from wild. The aim of this research was to know the characteristic of reptile traders and consumers, to know the utilization of reptile as medicine and food products and to investigate reptile trafficking in DKI Jakarta. This research was carried out from November until Desember 2008 in DKI Jakarta. The direct observation and interview to the traders and consumers were be used to collect data. There were ten traders selected by purposive sampling method. Whereas 30 consumers were selected based on the average of daily visitors. Most of traders were Indonesian male with average age of 43 years old and having selling experience for 2-43 years. Most of consumer were Indonesian male with the average of age 34 years old. Their education background were senior high school. There were 13 species (southern Indonesian spitting cobra, king cobra, reticulated python, copperhead racer, mangrove snake, banded krait, Malayan krait, ground pit viper, Indian rat snake, asian water monitor, tockay, skink and southest asian softshell turtle) of reptiles that be used as medicine product (fresh blood, salve, capsule, cream, oil, dried gall bladder, dried male genital and powder). There were 7 species (southern indonesian spitting cobra, reticulated python, crocodile, asian water monitor, tockay, skink and southest asian softshell turtle) were used for food products (roasted meat, soup, frieds meat and fried meat powder). Reptile trafficking in DKI Jakarta was divided into 2 networking system, which are: 1) small scale trader (wild reptiles- hunters primary collectors - secondary collectors - small scale traders - consumer) and 2) large scale trader (wild reptiles - hunters - primary collectors – small scale productions - large scale traders - consumers). People usually utilize reptile for treating skin diseases. It is necessary to control reptile hunting in order to prevent those species from extinction. Breeding in captivity is on off alternatives to reduce hunting of reptile from the wild. Formal monitoring and regulation in reptile utilization by BKSDA DKI Jakarta, monitoring and contolling by BPOM DKI Jakarta as well as research on bioactive content in reptile meat. Key words: Utilization, reptile, medicine, food, DKI Jakarta
RINGKASAN
Febia Arisnagara (E34104029). Pemanfaatan Reptil sebagai Obat dan Makanan di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta. Dibawah bimbingan Dr. Ir. Burhanuddin Masy‟ud, MS dan Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr Krisis ekonomi yang melanda Indonesia menjadikan masyarakat berpikir untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada termasuk reptil. Reptil yang semula dianggap merugikan berubah menjadi komoditas bernilai ekonomi tinggi untuk obat dan makanan. Permintaan reptil sebagai obat dan makanan terus meningkat setiap waktu. Kondisi ini menimbulkan resiko bagi kelestarian reptil karena sebagian besar reptil yang dimanfaatakan merupakan hasil tangkapan dari alam. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pedagang dan konsumen obat dan makanan dari reptil, mempelajari pemanfaatan reptil sebagai obat dan makanan serta mengkaji jalur perdagangan reptil di DKI Jakarta. Penelitian dilakukan pada Bulan November sampai dengan Desember 2008 di DKI Jakarta. Metode penelitian ini adalah survey melalui pengamatan dan wawancara secara langsung terhadap pedagang dan konsumen. Penentuan responden pedagang dengan menggunakan purposive sampling. Jumlah responden pedagang sebanyak 10 pedagang. Responden konsumen sebanyak 30 konsumen yang diambil dari rata-rata pengunjung yang datang setiap hari. Pedagang reptil didominasi oleh laki-laki dengan rata-rata usia 43 tahun, lama usaha 2-43 tahun dan berkewarganegaraaan Indonesia. Karakteristik konsumen obat dan makanan dari reptil didominasi laki-laki dengan rata-rata usia 34 tahun, berlatar pendidikan SMA dan berkewarganegaraan Indonsia. Terdapat 13 jenis reptil (ular kobra, king kobra, ular sanca, ular lanang sapi, ular cicncin emas, ualr welang, ular weling, ular tanah, ular koros, biawak, tokek dan bulus) yang dimanfaatkan dalam bentuk produk obat (darah segar, salep, kapsul, cream, minyak, empedu kering, tangkur kering, dan tepung). Terdapat 7 jenis reptil (ular kobra, ular sanca, biawak, buaya, tokek, kadal dan bulus) dalam bentuk produk makanan (sate, sop, abon, daging goreng, daging goreng tepung). Jalur perdagangan reptil sebagai obat dan makanan di DKI Jakarta terbagi 2 jalur yakni jalur pedagang kaki lima (reptil di alam - pemungut – pengumpul kecil pengumpul besar - pedagang kaki lima- konsumen) dan jalur pedagang besar (reptil di alam - pemungut - pengumpul kecil - bagian produksi - pedagang besarkonsumen). Masyarakat mengkonsumsi reptil untuk mengobati penyakit kulit. Untuk mencegah kelangkaan akibat permintaan yang terus meningkat perlu adanya pengendalian dalam pemanenan reptil di alam. Penangkaran merupakan salah satu solusi untuk menghindari pengambilan reptil di alam dalam jumlah yang banyak. Selain itu, perlu adanya monitoring terhadap pemanfaatan reptil yang dilakukan oleh BKSDA DKI Jakarta, pembinaan dan pengawasan oleh BPOM DKI Jakarta serta penelitian lebih lanjut mengenai kandungan bioaktif pada reptil. Kata
Kunci
:
Pemanfaatan,
reptil,
obat,
makanan,
DKI
Jakarta
Judul Penelitian
: Pemanfaatan Reptil sebagai Obat dan Makanan di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta
Nama Mahasiswa
: FEBIA ARISNAGARA
NRP
: E 34104029
Menyetujui Komisi Pembimbing
Ketua,
Anggota,
Dr. Ir. Burhanuddin Masy‟ud, MS NIP. 131 625 430
Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr NIP. 132 231 709
Mengetahui Dekan Fakultas KehutananIPB,
Dr. Ir. Hendrayanto, M.Agr NIP. 131 578 788
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat, karunia serta ridhoNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta dapat menyusun karya ilmiah ini dengan baik. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan hamba-hambaNya yang senantiasa berada di jalan Allah. Karya ilmiah ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Karya Ilmiah yang berjudul “Pemanfaatan Reptil sebagai Obat dan Makanan di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta” diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perdagangan dan peredaran reptil di DKI Jakarta sehingga dapat menjadi masukan yang berguna dalam pemanfaatan dan pelestarian reptil. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy‟ud, MS dan Ibu Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr. selaku dosen pembimbing. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak George T Saputra dari IRATA yang telah memberikan bantuan dana penelitian kepada penulis. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan karya ilmiah ini. Saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan supaya menjadi lebih baik lagi. Semoga karya ilmiah ini memberikan manfaat kepada penulis, pembaca dan bidang konservasi khususnya perdagangan satwa.
Wassamualaikum, wr. wb.
Bogor, April 2009
Febia Arisnagara E 34104029
UCAPAN TERIMA KASIH Penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis ingin memberikan apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Bapak dan ibu tercinta atas segala kasih sayang, doa, nasehat, pengorbanan dan kesabaran serta dukungannya. Mas Nana dan istri, Mas Ardi dan istri serta keponakanku, Dik Putri dan Dik Ine juga nenek atas segala perhatian, semangat kepada penulis. Dan tidak lupa Keluarga besar Pak De Puji Rahardjo di Jakarta sebagai keluarga kedua di tanah perantauan. 2. Bapak Dr. Ir. Burhanuddin Masy‟ud, MS dan Ibu Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr selaku dosen pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan, arahan, dukungan dan ilmu serta pelajaran hidup bagi penulis. 3. Ibu Dr. Ir. Aryzana Sunkar, M.Sc selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan masukan dan arahan selama menempuh akademik khususnya ketika penulis mendapat amanah di himpunan. 4. Bapak Ir. Edje Djamhuri dan Bapak Ir. Trisna Priadi, M.Eng, Sc sebagai dosen penguji atas semua saran,
nasehat
dan dukungan demi
kesempurnaan penyusunan karya ilmiah ini. 5. Keluarga besar Dr. Ir. Nyoto Santoso dan Yu Pung atas segala perhatian dan kekeluargaannya. 6. Bapak Wahyudin Isro dari BKSDA DKI Jakarta yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis. 7. Bapak Drh. Huda S. Darusman dan staff di Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi IPB, Ibu Endang Rusmalia, A.Md. dan staff di Laboratorium Biologi Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Bapak Dodik dan staff di Laboratorium Analisis Kimia dan Bioaktif Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB atas bantuan dan
kerjasamanya
dalam
pengujian
di
laboratorium.
8. Bapak Ujang, Bapak Kardi, Bapak Nana, Bapak Suha, Bapak Jimy, Bapak Bidut, Bapak Kiki, Ibu Nining, Ibu Musaidah dan Mbak Erika yang telah banyak membantu dalam memberikan data dan menyediakan tempat kepada penulis untuk melakukan wawancara kepada konsumen. 9. Sahabatku Sahab, Tomi, Ajid, Budi, Husein, Rio, Ai, Alicia dan puji yang bersedia membantu penulis mengambil data di lapangan. 10. Sahabatku di Ikatan Putra Putri Bondowoso di Bogor (IKAPINDO) : Devi, Dwi, Wahyu, Adi serta kakak-kakak dan adik-adik atas persahabatan dan kebersamaannya di IPB. 11. Sahabatku di “Kota Tape” Bondowoso : Guruh, Evan, David, Bayu, Dika, Wahid, Faris, Ardi, Saugi, Dimas atas persahabatan, kebersamaan, tawa dan canda dan dukungannya dari jauh. 12. Sahabat dan keluarga besar di Istana Rakyat Sylvasari khususnya “Jejaka Sylvasari 2005” : Aan, Adi, Ajid, Ardi, Arief, Budi, Dwi, Edo, Embang, Fahmi, Hendri, Husein, Inama, Patria, Puji, Rendra, Rio, Sahab, Sulfan, Tomi, Heru dan Yogi atas perjuangan dan senasib sepenanggungan. 13. Sahabatku KSH 41 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala persahabatan, kebersamaan, suka dan duka, suatu kebanggaan bisa bertemu dan mengenal kalian, maaf atas segala kesalahan. Kita berjumpa di tahun 2020 dengan kesuksesan. 14. Sahabatku di DKM „Ibadurrahman, Himakova dan rekan-rekan pemandu Agroedutourism (AET) IPB yang telah berjuang bersama. 15. Sahabatku M.Nazri Janra di Padang. Terima kasih atas persahabatan yang baru terjalin. 16. Seluruh Bapak dan Ibu guru telah memberikan pelajaran, ilmu, nasehat, dan mendidikku sejak usia belia. 17. Seluruh pihak yang yang telah membantu penulis.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bondowoso pada tanggal 7 Februari 1985 sebagai anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Bapak Aris Toteles dan Ibu Titin Herawati. Pada Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bondowoso dan pada tahun yang sama penulis diterima di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama studi di IPB, penulis aktif di beberapa kegiatan organisasi kemahasiswaan dan kepanitiaan. Pada tahun 2004-2005 penulis menjadi anggota Club Agribisnis TPB IPB, AFSA LC IPB dan IPB Crisis Center BEM KM IPB. Pada tahun 2005-2006, penulis menjadi ketua Ikatan Putra Putri Bondowoso di Bogor (Ikapindo), wakil ketua Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (Himakova), sekretaris II Asrama Sylvasari, sekretaris Lomba Lintas Alam Asrama Sylvasari, anggota DKM „Ibadurrahman dan kelompok Pemerhati Flora (KPF) Himakova. Pada tahun 2006-2007 penulis menjadi anggota PSDM Himakova, bendahara Asrama Sylvasari, ketua Studi Konservasi Lingkungan (SURILI), Himakova. Pada tahun 2008 penulis menjadi Wakil Ketua 1 Asrama sylvasari. Pada tahun 2006 penulis mengikuti kegiatan Surili di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Pada tahun 2007 penulis melakukan Praktik Pengenalan Hutan di KPH Banyumas Timur dan KPH Banyumas Barat Perhutani Unit 1 Jawa Tengah, Praktik Pengelolaan Hutan di BKPH Getas, KPH Ngawi Perhutani Unit II Jawa Timur dan mengikuti kegiatan Surili di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Sulawesi Selatan. Pada tahun 2008, penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapang Profesi di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian dengan judul Pemanfaatan Reptil sebagai Obat dan Makanan di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta di bawah bimbingan Dr. Ir. Burhanuddin Masy‟ud, MS dan Maria Ulfah, S.Pt., M.Sc.Agr.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ............................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR ................................................................................
iii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
iv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. `
v
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................
1
1.1 Latar Belakang ........................................................................
1
1.2 Tujuan ....................................................................................
2
1.3 Manfaat ..................................................................................
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................
4
2.1 Bio-ekologi Reptil ...................................................................
4
2.2 Perdagangan Reptil ..................................................................
5
2.3 Status Perlindungan Reptil .......................................................
6
2.4 Pemanfaatan Reptil Sebagai Obat dan Makanan ......................
8
2.5 Zoonosis ...................................................................................
9
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................
10
3.1 Lokasi Penelitian .....................................................................
10
3.2 Alat dan Objek ........................................................................
10
3.3 Penentuan Sampel ...................................................................
11
3.4 Metode Pengumpulan Data ......................................................
12
3.5 Metode Analisis Data ..............................................................
13
BAB IV KONDISI UMUM ......................................................................
17
4.1 Kondisi Biofisik Jakarta ..........................................................
17
4.2 Kondisi Sosial Budaya .............................................................
18
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................
19
5.1 Karakteristik Pedagang dan Konsumen ....................................
19
5.2 Keanekaragaman Jenis Reptil Sebagai Obat dan Makanan di DKI Jakarta ............................................................................
25
5.3 Pemeliharaan Reptil .................................................................
37
5.4 Perkiraan Jumlah Permintaan Reptil ........................................
41
5.5 Status Perlindungan Reptil .......................................................
42
5.6 Jalur Perdagangan Reptil .........................................................
44
5.7 Upaya Konservasi Reptil .........................................................
46
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................
49
6.1 Kesimpulan .............................................................................
49
6.2 Saran .......................................................................................
50
DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................
51
LAMPIRAN .............................................................................................
54
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
1. Peta Propinsi DKI Jakarta. ....................................................................
17
2. Darah ular yang dialirkan ke cangkir .....................................................
29
3. Kapsul dari ular kobra ...........................................................................
30
4. Minyak dari ular kobra .........................................................................
30
5. Salep ular kobra ....................................................................................
31
6. Tangkur kering ular kobra. ...................................................................
31
7. Empedu kering ular kobra .....................................................................
32
8. Tepung ular ...........................................................................................
32
9. Daging ular kobra goreng ......................................................................
35
10. Abon ular kobra ..................................................................................
36
11. Kandang ular kobra di pedagang kaki lima .........................................
38
12. Kandang ular sanca pedagang kaki lima .............................................
38
13. Kandang ular di pedagang besar ..........................................................
39
14. Kondisi biawak dalam kandang ...........................................................
40
15. Kondisi bulus dalam kandang ..............................................................
40
16. Jalur perdagangan reptil di DKI Jakarta ..............................................
45
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
1. Peralatan penelitian lapangan .................................................................
11
2. Peralatan uji indikasi reptil sebagai antialergi ........................................
11
3. Peralatan uji nilai gizi ............................................................................
12
4. Sebaran dan jumlah responden ..............................................................
13
5. Rata-rata usia dan lama usaha (tahun) pedagang obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta menurut jenis kelamin ..........................................
19
6. Rata-rata usia dan etnik konsumen obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan ................................................
22
7. Daftar jenis reptil yang diperdagangkan di DKI Jakarta ........................
25
8. Rata-rata jenis reptil yang dijual di masing-masing pedagang di DKI Jakarta .................................................................................................
26
9. Jenis produk obat dari reptil yang diperdagangkan di DKI Jakarta ........
27
10. Khasiat dan penggunaan produk obat dari reptil yang diperjualbelikan di DKI Jakarta .....................................................................................
28
11. Hasil uji indikasi antialergi pada daging ular dan biawak ....................
33
12. Jenis reptil dan aneka makanan yang diperdagangkan di DKI Jakarta ..
34
13. Kandungan nilai gizi ular kobra dan biawak yang diperdagangkan di DKI Jakarta ................................................................................................
36
14. Kandungan nilai gizi sapi, kambing dan ayam .....................................
37
15. Persediaan ular kobra, ular lanang sapi dan biawak pada setiap pedagang di DKI Jakarta .....................................................................................
41
16. Status konservasi reptil yang diperdagangkan sebagai obat dan makanan di DKI Jakarta .....................................................................................
43
17. Jenis dan kondisi perolehan repti yang diperdagangkan di DKI Jakarta
44
DAFTAR LAMPIRAN No.
Halaman
1. Panduan wawancara pedagang .............................................................
55
2. Panduan wawancara konsumen .............................................................
58
3. Tahapan proses pengujian nilai gizi daging reptil ..................................
60
4. Karakteristik pedagang obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta ...
62
5. Peta penyebaran pedagang obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta
63
6. Karakteristik konsumen obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta ....
64
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reptil merupakan salah satu keanekaragaman hayati yang banyak ditemukan di Indonesia. Lebih dari 600 jenis reptil terdapat di Indonesia (Bappenas 1993). Masyarakat di Indonesia bagian timur berburu reptil untuk dijadikan sebagai sumber protein dan alat kesenian seperti tifa. Masyarakat di Indonesia bagian barat juga memanfaatkan reptil sebagai obat tradisional (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Reptil untuk dikonsumsi tidak sebanyak pemanfaatan kulitnya. Permintaan reptil untuk dikonsumsi dipengaruhi oleh selera dan kepercayaan masyarakat akan khasiatnya dalam menyembuhkan penyakit (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Persepsi masyarakat mengenai bentuk reptil yang menjijikkan mempengaruhi pemanfaatannya untuk di konsumsi. Selain itu, beberapa jenis reptil seperti ular dianggap sebagai hewan berbisa yang dapat mematikan. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, persepsi masyarakat terhadap reptil terus berubah. Reptil yang semula dianggap merugikan berubah menjadi komoditas yang
bernilai
ekonomi
tinggi
baik
dalam
kegiatan
ekspor
maupun
pemanfaatannya untuk dikonsumsi. Permintaan reptil untuk dikonsumsi terus meningkat setiap waktu. Hal ini ditandai dengan jumlah eksportir daging reptil di Indonesia yang terus meningkat. Selama tahun 1992-1999, daftar IRATA dan Managament Authority (Departemen Kehutanan Indonesia) menyebutkan terdapat 17 eksportir daging reptil di Indonesia (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Selain itu, masyarakat percaya bahwa beberapa jenis reptil dapat dimanfaatkan sebagai obat. Pemanfaatan reptil sebagai obat merupakan pemanfatan reptil dalam bentuk aneka produk obat yang digunakan untuk mengurangi, menghilangkan atau menyembuhkan suatu penyakit. Daging, darah dan empedu reptil dipercaya mengobati penyakit kulit. Bagi kaum pria, darah ular dipercaya dapat meningkatkan stamina. Reptil juga dimanfaatkan oleh masyarakat dalam bentuk aneka makanan. Pemanfaatan reptil sebagai makanan merupakan kegiatan mengkonsumsi reptil
2
dalam bentuk aneka produk makanan yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan protein, kegiatan metabolisme dalam tubuh dan meningkatkan stamina (suplemen). Trend wisata kuliner mendorong masyarakat untuk mencoba produk makanan dari reptil. Tingginya
permintaan
reptil
sebagai
obat
dan
makanan
akan
mempengaruhi tingkat pemanenannya. Penelitian Kartikasari (2008) di Jawa Tengah dan Situngkir (2009) di Bogor mengemukakan bahwa sebagian besar reptil yang dimanfaatkan diperoleh dari hasil tangkapan di alam. Kegiatan ini tentunya membawa dampak negatif terhadap kelestarian reptil di alam. Eksploitasi yang terjadi terus-menerus tanpa menerapkan prinsip kelestarian akan mengancam populasi reptil di alam. Jakarta merupakan Ibu Kota Indonesia dimana semua bentuk perdagangan dapat ditemukan termasuk perdagangan satwa baik dalam kondisi mati maupun hidup. Jakarta juga dihuni oleh masyarakat dari berbagai etnik yang memiliki pengetahuan dalam
memanfaaatkan satwa.
Namun informasi
mengenai
pemanfaatan reptil dalam bentuk produk obat dan makanan di Jakarta masih terbatas. Oleh karena itu penelitian tentang pemanfaatan reptil di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta perlu dilakukan untuk mengidentifikasi peredaran dan pemanfaatan reptil sebagai obat dan makanan. 1.2 Tujuan Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : 1. Mempelajari karakteristik pedagang dan konsumen obat dan makanan yang berasal dari reptil. 2. Mempelajari pemanfaatan reptil sebagai obat dan makanan yang meliputi jenis reptil, status perlindungan, produk olahannya, cara pengolahan, khasiat dan kandungan gizi daging serta uji indikasi pemanfaatan reptil sebagai antialergi. 3. Mengkaji jalur perdagangan reptil di DKI Jakarta.
3
1.3 Manfaat Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data dan informasi mengenai perdagangan dan pemanfaatan reptil sebagai obat dan makanan sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan yang berguna dalam pemanfaatan dan pelestarian reptil di alam.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bio-ekologi Reptil Reptil terbagi menjadi empat ordo yakni Testudinata (kura-kura), Squamata (kadal, ular), Crocodylia (buaya) dan Rhyncochepalia (tuatara) (Goin et al. 1978). Reptil merupakan hewan bertulang belakang yang mempunyai sisik yang menutupi seluruh tubuh. Sisik pada reptil berfungsi sebagai pengatur sirkulasi air melalui kulit. Reptil bernafas dengan paru-paru (Mc Laren dan Rotundo 1985). Warna kulit reptil beragam yaitu menyerupai lingkungan yang ada di sekitarnya atau warna yang mencolok sehingga membuat reptil mudah terlihat. Semua reptil tidak memiliki telinga eksternal (Halliday dan Adler 2000). Reptil termasuk satwa ektotermal karena memerlukan sumber panas eksternal dalam melakukan kegiatan metabolisme di dalam tubuhnya. Reptil sering dijumpai berjemur pada pagi hari untuk mencapai suhu badan yang dibutuhkan (Halliday dan Adler 2000). Pada umumnya, semua jenis reptil membutuhkan suhu tubuh antara 20- 40˚C untuk melakukan aktifitasnya. Namun reptil jenis tuatara membutuhkan suhu 12˚C untuk melakukan aktifitas (Ensiklopedia Indonesia 2003). Reptil berkembangbiak dengan cara ovipar (bertelur) dan dengan cara ovovivipar (bertelur dan beranak) (Goin dan Goin 1971). Proses pembuahan sel telur oleh sperma pada reptil terjadi secara internal. Reptil betina menyimpan telurnya yang bercangkang pada lubang atau serasah (Halliday dan Adler 2000). Habitat merupakan tempat dimana individu tersebut hidup (Odum 1971). Faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan makhluk hidup dengan habitatnya adalah suhu, intensitas cahaya matahari dan kelembapan (Matison 1992; Halliday dan Adler 2000). Menurut Goin dan Goin (1971), pepohonan merupakan bagian terpenting pada habitat reptil. Pepohonan berperan sebagai pengendali iklim mikro, pengatur suhu dan kelembaban. Sebagai satwa ektotermal, reptil tersebar pada berbagai macam hábitat. Spesies reptil dapat hidup di laut, perairan tawar, gurun dan pegunungan. Penyebaran reptil dipengaruhi oleh cahaya matahari yang mencapai daerah
5
tersebut (Halliday dan Adler 2000). Kelimpahan jenis reptil semakin berkurang dengan bertambahnya ketinggian (Primack et al. 1998). Reptil dapat hidup di dalam dan permukaan tanah, celah-celah batu, bawah puing-puing, tajuk pohon, padang rumput, gurun pasir, rawa, danau, sungai dan laut (Duellman dan Heatwolw 1998). 2.2 Perdagangan Reptil Perdagangan reptil dimulai dari pengambilannya di alam sampai pada konsumen. Jalur distribusi reptil dari pengambilannya di alam sampai pada konsumen disebut jalur perdagangan reptil. Para pemburu reptil di alam sudah mengetahui tentang perilaku dan hábitat setiap jenis reptil
yang diburunya.
Pemburu pada umumnya adalah petani yang secara sengaja maupun tidak sengaja menangkap reptil. Petani sengaja menangkap reptil untuk memperoleh penghasilan tambahan ataupun sengaja karena membahayakan. Petani tidak sengaja menangkap reptil karena dianggap sebagai hama pertanian (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Pemburu menjual hasil tangkapan reptil kepada kolektor. Untuk kulit reptil, petani menjual kepada pedagang. Pedagang menjual kulit kepada penyamak kulit atau eksportir. Pemburu membawa produk reptil seperti empedu dan reptil hidup kepada pedagang. Pedagang memiliki hubungan khusus dengan pemburu atau pun penyuplai untuk menjaga kesinambungan suplai di pasar. Secara
berkala
pedagang
mengunjungi
pemburu
untuk
menyampaikan
perkembangan pasar dan harga-harga satwa (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Perdagangan reptil dilakukan dalam jumlah yang besar dengan nilai yang sangat komersil. Direktorat Jendral PHKA, sampai tahun 1999 telah mencatat 161 spesies reptil diperdagangkan ke luar negeri. Sejumlah 54 spesies atau 33.5% diantaranya diperdagangkan dalam bentuk kulit, daging, kerapas dan produk jadi. Amerika Serikat dan Eropa merupakan negara tujuan penjualan reptil sebagai hewan peliharaan. Hongkong, Cina dan Taiwan merupakan negara pengimpor utama daging reptil dan produk obat-obatan dari Indoensia. (Soehartono dan Mardiastuti 2003).
6
Perdagangan reptil sebagai hewan peliharaan mencapai puncaknya pada tahun 1990. Beberapa spesies seperti biawak air asia (Varanus salvator), ular sinduk (Naja sputatrix), ular sanca python (Python reticulatus) banyak diminati konsumen luar negeri untuk hewan peliharaan. Namun, pada tahun yang sama, trend ini menurun secara drastis dan memuncak lagi pada tahun 1997 dan 1999. Sedangkan perdagangan reptil untuk konsumsi memiliki pola yang agak berbeda. Pada tahun 1992-1999, perdagangan reptil untuk dikonsumsi didominasi oleh ular sinduk. Penjualan jenis ular ini mencapai 22.74% dari total penjualan seluruh spesies reptil atau 20.756 ekor per tahun (Soehartono dan Mardiastuti 2003). Sedangkan ular kobra (King kobra) telah diminati sejak pertengahan tahun 1980. King kobra yang diperdagangkan mencapai 180.000 ekor per tahun berupa kulit dan 23.000 ekor berupa satwa hidup (Soehartono 1999). Indonesia merupakan negara pengekspor reptil terbesar di dunia. Namun Indonesia mendapat catatan buruk dalam perdagangan karena kurang menerapkan prinsip kelestarian dalam pemanenan reptil dari alam. Perburuan reptil terus berlangsung sepanjang tahun. Kegiatan ini akan meningkat setelah masa tanam sampai masa panen hasil pertanian. Tingginya permintaan terhadap produk olahan reptil juga meningkatkan intensitas perburuan reptil di habitat aslinya. Eksploitasi yang tidak terkendali dapat mengancam kelestarian populasi reptil (Soehartono dan Mardiastuti 2003). 2.3 Status Perlindungan Reptil Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) adalah suatu konvensi internasional mengenai perdagangan satwa dan tumbuhan liar. CITES bertujuan sebagai alat kontrol terhadap perdagangan tersebut. CITES berfungsi sebagai pengendali terhadap kepunahan suatu jenis (Dephut 2008a). Indonesia menganggap bahwa CITES merupakan alat yang cocok dan sangat penting untuk mengontrol dan mengatur perdagangan jenis yang terancam punah. Indonesia turut serta dalam konvensi CITES sejak tahun 1978. Pengelolaan CITES di Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Departemen Kehutanan
7
sebagai Management Authority dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Scientific Authority (Soehartono & Mardiastuti 2003). Daftar kuota pengambilan dan penangkapan satwa tahun 2008 menyatakan bahwa terdapat 39 jenis reptil di Indonesia yang tergolong Apendiks II CITES (Dephut 2008b). Satwa yang termasuk jenis Apendiks II adalah jenis tumbuhan dan satwa yang pada saat ini tidak termasuk kedalam kategori terancam punah, namun memiliki kemungkinan untuk terancam punah jika perdagangannya tidak diatur. Perdagangan terhadap jenis yang termasuk Apendiks II diperbolehkan jika ada izin ekspor dari Management Authority negara pengekspor (Dephut 2008a) Selain CITES, status perlindungan satwa juga didasarkan pada International Union for Conservation of Nature and Natural Resources ( IUCN). IUCN merupakan organisasi internasional yang bergerak di bidang konservasi sumber daya alam. IUCN didirikan pada 1948 dan berpusat di Gland, Switzerland. IUCN membagi status perlindungan satwa menjadi lima kategori yakni 1) Critically Endangered atau kritis (taksa tersebut menghadapi resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dalam waktu dekat), 2) Endangered atau genting (taksa tersebut tidak tergolong kritis, namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam), 3) Vulnerable atau rentan (taksa tersebut tidak tergolong kritis maupun genting, namun mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam), 4) Lower Risk atau resiko rendah (taksa tersebut telah dilakukan evaluasi namun tidak memenuhi untuk digolongkan ke dalam kategori kritis, genting, maupun rentan) dan 5) Data Deficient atau kurang data (informasi yang tersedia tidak mencukupi untuk melakukan perkiraan) (Dephut 2008a). Perlindungan satwa liar di Indonesia memperoleh perhatian dari pemerintah Indonesia. Bentuk perhatian pemerintah
tertuang dalam naskah
perundangan, peraturan tingkat nasional dan daerah. Akan tetapi, kebijakan pemerintah tersebut belum menjamin perlindungan satwa liar. Perdagangan ilegal satwa liar di dalam negeri maupun perdagangan internasional masih sering terjadi (Saleh et al. 2005). Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menyatakan bahwa terdapat 31 jenis reptil (tuntong Batagur baska, penyu tempayan Caretta caretta, kurakura irian Carettochelys insculpta, kura irian leher panjang Chelodina
8
novaeguineae, penyu hijau Chelonia mydas, labi-labi besar Chitra indica, soa paying Chlamydosaurus kingie, sanca hijau Chondropython viridis, buaya air tawar Irian Crocodylus novaeguineae, buaya muara Crocodylus porosus, buaya siam Crocodylus siamensis, penyu belimbing Dermochelys coriacea, kura irian leher pendek Elseya novaeguineae, penyu sisik Eretmochelys imbricate, bunglon sisir Gonychephalus dilophus, soa-soa Hydrasaurus amboinensis. penyu ridel Lepidochelys olivacea, penyu pipih Natator depressa, kura-kura gading Orlitia borneensis, sanca bodo Python molurus, sanca timor Phyton timorensis, kadal panan Tiliqua gigas, buaya sapit Tomistoma schlegelii, biawak kalimantan Varanus borneensis, biawak coklat Varanus gouldi, biawak maluku Varanus indicus, biawak komodo Varanus komodoensis, biawak abu-abu Varanus nebulosus, biawak hijau Varanus prasinus, biawak timor Varanus timorensis, biawak togian Varanus togianus) yang dilindungi (Dephut 1999). 2.4 Pemanfaatan Reptil Sebagai Obat dan Makanan Reptil telah lama dimanfaatkan masyarakat kerena memiliki nilai ekonomi yang penting. Daging dan darah reptil memberi keuntungan yang tidak sedikit bagi masyarakat yang menjalankan usaha di bidang ini. Pekerjaan berburu reptil di alam menjadi mata pencaharian tambahan bagi sebagian masyarakat di pedesaan (Soehartono & Mardiastuti 2003). Daging, darah dan produk reptil lainnya banyak dimanfaatkan masyarakat sebagai obat 1). Pemanfaatan reptil sebagai obat telah digunakan oleh masyarakat sejak zaman dahulu dan diwariskan secara turun temurun (Nugroho et al. 1994; Haryanto 2005). Pengobatan penyakit dengan menggunakan obat yang diperoleh dari bahan-bahan alami yang diolah secara sederhana dan digunakan dalam pengobatan tradisional disebut obat alami (Nugroho 1994). Aliadi dan Roemantyo (1994) menyebutkan bahwa pengobatan tradisional merupakan pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat dengan menggunakan spesies-spesies yang telah dimanfaatkan oleh nenek moyang secara turun-temurun. Pemanfaatan hasil alam dalam penyembuhan berbagai jenis penyakit telah menjadi trend. Beberapa reptil yang sering dimanfaatkan untuk obat antara lain buaya, tokek, kadal, biawak dan ular. Tangkur atau kemaluan buaya jantan 1)
Yang di maksud dengan obat adalah bahan yang digunakan untuk mengurangi, menghilangkan penyakit atau menyembuhkan seseorang dari penyakit (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1991).
9
dimanfaatkan sebagai penambah stamina dan permasalahan seksual lainnya. Tokek dimanfaatkan sebagai obat kuat, batuk berdarah dan penyakit kulit eksim (Haryanto 2005). Kadal dimanfaatkan untuk menyembuhkan penyakit bronkhitis dan epilepsi (Nugroho et al. 1994). Ular khususnya ular kobra dipercaya untuk menyembuhkan penyakit hepatitis, asma, eksim, kudis, memelihara kekuatan seksual sampai usia lanjut (Haryanto 2005). Ular kobra juga digunakan untuk menghentikan penyumbatan pada syaraf dan otot, sakit sendi pada tulang, beri-beri dan rematik (Nugroho et al. 1994). Ular sanca digunakan untuk bengkak gusi, gigi berlubang dan bernanah serta ambien bengkak. Ular weling digunakan dalam pengobatan tradisional untuk mencegah dan menyembuhkan rematik dan penyakit kulit seperti kusta, koreng dan kurap. Ular tanah digunakan untuk mengobati penyakit gondok dan kejang lambung. Bagian tubuh ular yang sering digunakan sebagai obat adalah daging, darah dan empedu. Darah ular biasanya digunakan untuk mengobati alergi, gatal-gatal, diabetes, liver, jantung, sesak nafas, asam urat, pinggang, rematik, darah rendah, darah tinggi. Empedu ular bisa menjadi anti racun (anti venom) di tubuh manusia terhadap bisa ular sendiri (Francisca 2008). Reptil juga dimanfaatkan sebagai makanan2). Di Jakarta, Semarang dan Surabaya banyak pedagang kaki lima yang menjual makanan dari reptil. Makanan yang dijual antara lain abon dan daging goreng ular kobra (Haryanto 2005) . Zat gizi pada makanan yang diperlukan oleh tubuh terbagi dalam enam komponen yaitu karbohidrat, protein, lemak, mineral dan air. Karbohidrat berfungsi sebagai sediaan energi dan penghasil panas tubuh. Lemak merupakan sumber cadangan energi. Protein berfungsi sebagai pertumbuhan, pembentukan jaringan dan pemeliharaan. Mineral seperti kalsium (Ca), fosfor (P) berfungsi sebagai pembentukan jaringan tulang dan proses metabolisme. Sedangkan air berfungsi untuk menyediakan cairan di dalam tubuh (Harper et al. 1985). 2.5 Zoonosis Semua jenis satwa mempunyai potensi untuk menularkan penyakit pada manusia baik langsung maupun secara tidak langsung. Penularan secara langsung 2)
Yang dimaksud dengan makanan yakni bahan yang dimakan untuk memenuhi kebutuhan bagi pemeliharaan, pertumbuhan, dan pengganti jaringan tubuh yang rusak (Harper et al. 1985), membentuk atau mengganti jaringan tubuh, memberikan tenaga atau mengatur semua proses yang terjadi di dalam tubuh (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1991).
10
dapat terjadi melalui kontak langsung terhadap satwa yang terinfeksi bakteri Penularan secara tidak langsung dapat melalui konsumsi produk olahan satwa (daging, darah dan telur dan hasil olahan lainnya) (Soeharsono 2004). Zoonosis yang berasal dari satwa liar termasuk reptil disebut dengan wild life zoonosis (Soejoedono 2004). Salah satu jenis penyakit yang dapat menular dari reptil adalah salmonellosis dan shigellosis. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonella sp dan Shigella sp. Penyakit zoonosis yang ditimbulkan dari reptil tersebut berbahaya bagi kesehatan manusia bahkan dalam kurun waktu sepuluh hari dapat menyebabkan kematian (Fowler dan Miller 1999).
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November sampai Desember 2008. Kegiatan penelitian dilakukan di DKI Jakarta yang meliputi wilayah Jakarta Barat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. 3.2 Alat dan Bahan 3.2.1. Alat dan Objek Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1 Peralatan penelitian lapangan No 1 2. 3. 4. 5. 6
Nama Alat Peta Wilayah Geographic Position System (GPS) Meteran Panduan wawancara Alat perekam Kamera
Kegunaan Mengetahui lokasi Menentukan titik koordinat pedagang besar atau warung yang menjual makanan dari reptil Mengukur ukuran kandang Memfokuskan kegiatan wawancara Merekam kegiatan wawancara Mengambil gambar kegiatan pemanfaatan reptil sebagai obat dan makanan
Objek penelitian meliputi pedagang dan konsumen obat dan makanan dari reptil serta jenis reptil yang dimanfaatkan. 3.2.2. Alat dan Bahan Pengujian Sediaan Antialergi Peralatan uji indikasi reptil sebagai antialergi ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 Peralatan uji indikasi reptil sebagai antialergi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 10 11
Nama Alat Soxhlet Kaca arloji Gelas ukur Alat penumbuk Oven Student kymograph Organ bath Thermolyne Cawan petri Gelas kimia Termometer Alat suntik
Kegunaan Mengekstrak daging ular dan biawak (sampel) Menyimpan hasil tumbukan daging Mengukur banyaknya larutan yang dipakai Menghaluskan daging ular dan biawak Mengeringkan sampel pada suhu 103-1050C Mengukur gelombang Mengisolasi usus Memanaskan larutan tyrode Menyimpan usus dalam larutan tyrode Menyimpan larutan Mengukur suhu larutan tyrode Menyuntikkan larutan ekstrak daging
12
Bahan-bahan yang digunakan dalam pengujian reptil sebagi antialergi adalah alkohol 70%, kapas, kertas saring, larutan histamin 1.5%, larutan tyrode, aquades, larutan ekstrak etanol daging ular kobra dan biawak (reptil yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat) dan usus kelinci. 3.2.3 Alat dan Bahan Pengujian Nilai Gizi Peralatan yang digunakan pada uji nilai gizi ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Peralatan uji nilai gizi No 1 2. 3. 4 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Nama Alat Cawan petri Tabung reaksi Pipet Gelas ukur Neraca analitik Pemanas Bunzen Oven Soxhlet Tanur Labu Kjeldahl Tabung Erlenmeyer Atomic absorption spectrofotometer
Kegunaan Menyimpan sampel segar Merekasikan larutan dalam volume kecil Mengambil larutan Mengukur banyaknya larutan yang digunakan Menimbang sampel Memanaskan larutan Alat pembakaran Mengeringkan sampel Mengekstrak daging ular dan biawak Membakar sampel pada suhu 550-6000C Mendestruksi protein Mereaksikan larutan dalam volume besar Menganalisa kadar kalsium (Ca) dan posfor (P)
Bahan yang yang digunakan dalam analisis nilai gizi adalah daging ular kobra dan biawak. Selain itu digunakan juga beberapa bahan seperti kapas, kertas saring, aquades, heksana, Selenium, Asam Sulfat (H2SO4) pekat, Asam Klorida (HCl), Asam Boron (H3BO3), Natrium Hidroksida (NaOH) 40 %, Stanium Klorida (SnCl2) dan Amonium Molibdat. 3.3 Metode Penentuan Contoh Responden Responden penelitian adalah pedagang dan konsumen obat dan makanan dari reptil. Penentuan contoh responden dilakukan secara purposive sampling (Jogianto 2008). Pedagang reptil adalah pedagang yang menjual aneka obat dan makanan yang terbuat dari reptil. Pedagang obat dan makanan reptil yang menjadi objek penelitian dibedakan menjadi pedagang besar dan pedagang kecil dengan kriteria sebagai berikut :
13
1. Pedagang besar adalah pedagang yang mempunyai tempat yang tetap untuk menjual obat dan makanan reptil. Contohnya rumah makan. 2. Pedagang kecil adalah pedagang yang mempunyai tempat usaha tidak tetap untuk menjual obat dan makanan dari reptil. Contohnya pedagang kaki lima Hasil survei pendahuluan menunjukan bahwa jumlah dan penyebaran pedagang obat dan makanan reptil di seluruh wilayah DKI Jakarta sebanyak 4 pedagang besar dan 14 pedagang kecil. Penarikan jumlah responden pedagang dilakukan dengan intensitas sampling lebih besar atau sama dengan 50% sehingga sebaran pedagang dan jumlah responden yang diambil sebagai contoh sebanyak 10 pedagang (Tabel 4). Tabel 4 Sebaran dan jumlah responden No
1 2 3 4 5
Wilayah
Jakarta Barat Jakarta Timur Jakarta Utara Jakarta Selatan Jakarta Pusat Total
Keterangan :
xx)
Sebaran Pedagang Pedagang Pedagang Besar Kecil 1x) 10 1 2 1xx) 1xx) 1 1 4 14
Jumlah Responden Pedagang Pedagang Besar Kecil 1 4 1 2 1 1 2 8
merupakan cabang x) , jenis produk obat dan makanan yang dijual sama sehingga tidak dijadikan responden.
Konsumen adalah masyarakat yang membeli dan memanfaatkan reptil sebagai obat dan makanan. Jumlah responden diambil dari rata-rata konsumen yang datang setiap hari. Berdasarkan informasi dari pedagang, rata-rata konsumen yang datang setiap hari adalah tiga orang maka jumlah konsumen yang diambil sebagai contoh sebanyak 30 orang (3 konsumen x 10 pedagang). 3.4 Metode Pengumpulan Data 3.4.1 Pengambilan Data di Lapangan Pengambilan data di lapangan dilakukan dengan cara : a. Pengamatan langsung Pengamatan langsung dilakukan terhadap jenis-jenis reptil yang dimanfaatkan sebagai obat dan makanan, bentuk pemanfaatan serta cara pengolahannya. Pada saat pengamatan, juga dilakukan pengukuran terhadap ukuran kandang. GPS
14
digunakan untuk membut peta lokasi pedagang besar atau warung yang menjual makanan reptil. b. Wawancara Wawancara dilakukan dengan sistem tanya jawab kepada pengusaha makanan dari reptil dan konsumen dengan menggunakan panduan wawancara. Pertanyaan pada pengusaha difokuskan kepada jenis reptil yang dimanfaatkan, cara memperoleh, jumlah yang disediakan setiap hari, cara pengolahan dan penyajian dan jumlah konsumen. Sedangkan untuk konsumen, pertanyaan difokuskan pada tujuan mengkonsumsi daging reptil dan produk olahannya, frekuensi penggunaan serta persepsi masyarakat terhadap kelestarian reptil di alam. 3.4.2 Studi literatur Studi literatur dilakukan untuk mengumpulkan data yang dapat menunjang kegiatan
penelitian. Data yang dikumpulkan adalah jenis-jenis reptil dan
ekologinya, perdagangan dan pemanfaatan reptil, zoonosis pada reptil, pemanfaatan satwa berkhasiat obat (etnozoologi), status perlindungan satwa serta kuota pemanfaatan reptil yang ada di Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) DKI Jakarta. 3.5 Metode Analisis Data Pengolahan dan analisis data dilakukan secara deskriptif. Metode ini digunakan untuk memperoleh gambaran secara mendalam dan objektif mengenai objek penelitian yang disajikan dakam bentuk tabel dan diagram. 3.5.1 Pengujian Daging Ular kobra dan Biawak sebagai Indikasi Antialergi Pengujian daging ular kobra dan biawak sebagai sediaan antialergi dilakukan di Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Pengujian indikasi dilakukan dengan metode isolated organ bath. Ekstrak daging ular kobra dan biawak digunakan pada usus halus kelinci. Tahapan dalam proses pengujian potensi ekstrak daging ular kobra dan biawak sebagai antialergi sebagai berikut:
15
a. Penyediaan ekstraksi daging biawak dan ular kobra 1. Memotong daging ular kobra dan biawak dengan ukuran 1x1 cm. 2. Mengeringkan daging yang sudah dipotong dengan oven pada suhu 80 0C selama 24 jam. 3. Menghaluskan daging yang sudah dioven dengan alat penumbuk. 4. Menimbang masing-masing daging sebanyak 10 gram. 5. Memasukkan daging yang telah halus dalam timbel ekstraksi, kemudian memasukkannya ke dalam soxhlet selama 6 jam. 6. Menyimpan hasil ekstraksi dalam botol atau gelas kimia. b. Pengujian sediaan antialergi 1. Pengujian dilakukan dengan terlebih dahulu menyiapkan usus halus kelinci yang dilakukan dengan cara membunuh kelinci, kemudian mengeluarkan ususnya. 2. Memasukkan usus halus kelinci ke dalam cawan petri yang berisi larutan tyrode dengan suhu 37 0C. 3. Membersihkan isi usus dengan cara disemprot keluar sampai bersih dengan larutan tyrode 4. Memotong usus dengan panjang 1,5 – 2 cm. 5. Mengikat kedua sisi potongan usus halus dengan benang. 6. Memasukkan usus halus dalam organbath. 7. Melihat kontraksi normalnya. 8. Dua menit kemudian, menambahkan larutan histamin 1,5 %, kemudian mengamati perubahan kontraksi. 9. Dua menit kemudian, menambahkan ekstrak daging ular kobra sebanyak 10 ml 10. Melihat kembali kontraksi ususnya. 11. Mengukur tinggi dan lebar kontraksi usus untuk mengetahui perubahan kontraksi usus sekaligus menentukan indikasi pengaruh ekstrak daging reptil sebagai antialergi. Perlakuan yang sama juga dilakukan untuk menguji potensi ekstrak daging biawak sebagai sediaan anti alergi.
16
3.5.2 Pengujian Nilai Gizi Daging Reptil Pengujian nilai gizi dilakukan di Laboratorium Biologi Hewan Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Komponen gizi yang dianalisis adalah kadar air, kadar abu, lemak dan protein. Analisis Ca dan P dilakukan di Laboratorium Analisis Kimia dan Bioaktif Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Tahapan dalam proses pengujian nilai gizi daging Ular kobra dan biawak ditunjukkan pada Lampiran 3.
BAB IV KONDISI UMUM 4.1 Kondisi Bio-fisik Jakarta DKI Jakarta adalah salah satu propinsi yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa dan merupakan Ibu Kota Indonesia. Kota Jakarta terletak pada posisi 6°11′ LS dan 106°50′ BT. Di sebelah selatan dan timur, Jakarta berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Barat (Kota Depok, Kabupaten Bogor,dan Kota Bekasi). Di sebelah barat, Jakarta berbatasan dengan Kabupaten Tangerang. Sedangkan di sebelah barat. Jakarta berbatasan dengan Provinsi Banten dan di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa (Bappeda 2007) (Gambar 1).
Gambar 1 Peta Propinsi DKI Jakarta.
Kota Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227 tahun 1989 adalah 661.52 km2 berupa daratan dan lautan seluas 6 977.5 km2 (Bappeda 2007).
18
Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima kota administrasi (Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Jakarta Pusat) dan satu kabupaten administrasi (Kepulauan Seribu) dimana luas wilayah masing-masing berturut-turut adalah 142.20 km2, 145.73 km2, 126.15 km2, 187.73 km2, 47 km2 dan 11.81 km2 (berupa luas daratan) (Bappeda 2007). Secara umum Jakarta beriklim panas, dengan rata-rata suhu maksimum udara berkisar 34.6oC pada siang hari dan suhu minimum udara berkisar 22.86 oC pada malam hari. Kelembaban udara maksimum rata-rata 95.60 persen dan ratarata minimum 51.60 persen, dengan rata-rata curah hujan sepanjang tahun 237.96 mm (Wikipedia 2008). Jakarta memiliki kawasan hutan lindung seluas 453.24 ha. Suaka marga satwa yang terletak di wilayah Jakarta adalah Suaka Marga Satwa di Pulau Rambut dengan luas 45 ha dan Suaka Marga Satwa Muara Angke seluas 25.2 ha. Cagar Alam di Pulau Bokor dengan luas 18 ha. Taman Nasional yang terletak di Kepulauan Seribu memiliki luas 108.05 ha. Selain itu, Jakarta juga memiliki kawasan hutan kota seluas 379.58 ha (Bappeda 2007). 4.2 Kondisi Sosial Budaya Jakarta Jumlah penduduk di Jakarta sampai bulan Juni 2007 sebanyak 7 552 444 jiwa (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta 2007). Struktur penduduk DKI Jakarta menurut agama adalah Islam (90.19 %), Katolik (2.5 %), Protestan (4.73 %), Hindu (0.14 %), Budha (2 %) dan lainnya (0.45 %) (Bappeda 2007). Suku yang mendiami Jakarta antara lain, Betawi, Jawa, Sunda, Minang, Batak dan Bugis.
19
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Pedagang dan Konsumen 5.1.1. Pedagang Obat dan Makanan Reptil Pedagang obat dan makanan reptil yang ada di Jakarta sudah ada sejak tahun 1965. Responden pedagang diambil dari Mangga Besar, Jakarta Barat (sepuluh pedagang kaki lima dan satu rumah makan); Glodog, Jakarta Pusat (satu pedagang kaki lima); Tebet, Jakarta Selatan (satu pedagang kaki lima); dan Buaran, Jakarta Timur (satu rumah makan dan dua pedagang kaki lima). Karakteristik pedagang obat dan makanan reptil ditunjukkan pada Tabel 5. Table 5 Rata-rata usia dan lama usaha (tahun) pedagang obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta menurut jenis kelamin No 1 2
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
Jumlah 7 3
Rata-rata Usia (tahun) 45 41
Lama Usaha (tahun) 9-38 2-43
Tabel 5 menunjukkan bahwa tujuh pedagang (70%) adalah laki-laki dengan rata-rata usia 45 tahun. Pedagang perempuan sebanyak tiga pedagang (30%) dengan rata-rata usia 41 tahun. Laki-laki lebih banyak daripada perempuan karena pekerjaan menjual obat dan makanan dari reptil merupakan pekerjaan yang beresiko tinggi. Bisa dan patokan ular sangat membahayakan bahkan dapat mematikan. Selain itu laki-laki mempunyai fisik yang lebih kuat daripada perempuan. Hal ini dikarenakan kegiatan menjual obat dan makanan dari reptil dilakukan pada malam hari ( 17.00 – 02.00 WIB) sehingga membutuhkan fisik yang kuat. Berdasarkan kategori pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa delapan pedagang (80%) menjadikan kegiatan menjual obat dan makanan dari reptil sebagai pekerjaan utama. Lapangan pekerjaan yang semakin sulit diperoleh menyebabkan pedagang laki-laki menjadikan pekerjaan menjual obat dan makanan dari reptil sebagai pekerjaan utama. Hal ini berkaitan dengan tanggung jawab laki-laki sebagai kepala keluarga. Keuntungan yang cukup besar yakni mencapai Rp 150 000.00 (pedagang kecil) per hari dan Rp 3 000 000.00 (pedagang besar) per hari meyebabkan laki-laki
20
sebagai kepala keluarga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Keuntungan tersebut dipengaruhi oleh jumlah konsumen yang datang setiap hari. Semakin banyak konsumen yang datang semakin besar keuntungan yang didapat. Keuntungan yang diperoleh pedagang berkaitan dengan lama usaha menjual obat dan makanan dari reptil. Dengan keuntungan yang cukup besar, menyebabkan usaha penjualan obat dan makanan dari reptil masih dipertahankan (ada) sampai saat ini. Pedagang laki-laki telah menjual obat dan makanan dari reptil selama 38 tahun. Sedangkan pedagang perempuan telah menjual obat dan makanan dari reptil selama 43 tahun. Pedagang perempuan lebih lama menjalankan usaha ini karena mewarisi usaha orang tuanya. Jumlah pedagang obat dan makanan dari reptil terus bertambah. Hal ini ditandai dengan adanya pedagang yang baru menjalankan usaha ini selama dua tahun terakhir. Berdasarkan etnik, hasil penelitian menunjukkan bahwa yang menjadi pedagang obat dan makanan dari reptil yakni etnik Sunda (60%), Jawa (10%) dan Cina (30%). Etnik Sunda merupakan etnik terbanyak sebagai pedagang obat dan makanan dari reptil. Hal ini dikarenakan wilayah Jakarta yang berbatasan langsung dengan wilayah Jawa Barat yang mayoritas etniknya adalah etnik Sunda sehingga perpindahan penduduk dari Jawa Barat ke Jakarta terjadi dengan mudah. Selain itu, beberapa pedagang dari etnik Sunda pernah bekerja di penjual obat dan makanan dari etnik Cina. Pengalaman kerja tersebut menjadikan etnik Sunda juga membuka usaha menjual obat dan makanan. Dilihat dari waktu dimulainya usaha dan lama usaha, etnik Cina merupakan etnik yang lebih dulu menjual obat dan makanan dari reptil yakni sejak tahun 1965, diikuti etnik Jawa sejak tahun 1970, kemudian etnik Sunda sejak tahun 1981. Etnik Cina lebih dulu membuka usaha ini karena etnik Cina memiliki pengetahuan pengobatan alami dan telah dikenal sejak lama oleh masyarakat dunia. Nugroho et al. (1994) menyatakan bahwa pengobatan tradisional Cina telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Ditinjau dari status perizinan penjualan obat dan makanan dari reptil, 10 pedagang (100%) menyatakan bahwa mereka tidak memiliki izin dari Departemen Kehutanan untuk menjual reptil baik dalam kondisi hidup maupun mati. Pedagang hanya membayar retribusi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.
21
Meskipun pedagang tidak memiliki izin usaha menjual reptil, sembilan pedagang (90%) mengetahui bahwa satwa seperti ular jali (Pytas mucosus), trenggiling (Manis javanicus) dan monyet (Macaca fascicularis) adalah satwa yang dilindungi dan dilarang diperjualbelikan tanpa izin dari Departemen Kehutanan. Pengetahuan ini didapatkan dari sosialisasi (penyuluhan) petugas kehutanan (BKSDA) dan berita di media massa (telivisi dan surat kabar). Namun tanggung jawab dan kesadaran yang dimiliki pedagang masih rendah. Orientasi pedagang yang masih tertuju pada kebutuhan ekonomi menyebabkan masih dijumpai pedagang yang menjual satwa yang dilindungi tanpa dokumen perizinan yang resmi. Oleh karena itu, BKSDA DKI Jakarta perlu meningkatkan pengawasan secara periodik terhadap perdagangan reptil sebagai obat dan makanan. Sangsi yang tegas juga diperlukan untuk menindak pedagang yang melanggar peraturan. 5.1.2 Konsumen Obat dan Makanan Reptil Konsumen obat dan makanan dari reptil adalah orang yang membeli produk obat atau makanan dari reptil. Konsumen obat dan makanan dari reptil berasal dari daerah Jakarta, Depok, Bekasi, dan daerah sekitar Jakarta lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa alasan konsumen mengkonsumsi produk olahan dari reptil adalah memanfaatkan reptil sebagai obat (60%) dan reptil sebagai makanan (40%). Konsumen memanfaatkan reptil untuk mengobati penyakit kulit (gatalgatal, eksim dan koreng) dan rematik serta untuk menghaluskan kulit (keriput). Mereka menggunakan produk olahan reptil sebagai alternatif pengobatan karena obat kimia belum dapat menyembuhkan penyakit kulit yang diderita. Selain itu, harga produk obat dari reptil lebih murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan obat dari dokter dan instansi kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dan lain-lain). Reptil sebagai makanan berkaitan dengan kandungan gizinya. Kandungan gizi yang ada dalam setiap makanan diperlukan oleh tubuh untuk proses metabolismme. Konsumen mengkonsumsi makanan dari reptil dengan alasan
22
untuk meningkatkan stamina, meningkatkan jumlah sel darah merah dan pemenuhan kebutuhan protein. Jenis Kelamin Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumen obat dan makanan dari reptil didominasi oleh laki-laki (28 orang; 93%). Konsumen laki-laki lebih banyak daripada konsumen perempuan. Hal ini terkait dengan khasiat dari produk olahan reptil diyakini dapat mengatasi permasalahan seksual laki-laki. Bagi laki-laki darah ular yang dicampur dengan sumsum dan tangkur dapat meningkatkan gairah seksual, meningkatkan daya tahan tubuh dan meningkatkan stamina. Menurut Haryanto (2005), tangkur dan sumsum yang diminum dengan dicampur darah ular dapat meningkatkan vitalitas laki-laki. Hasil penelitian menunjukan bahwa perempuan yang mengkonsumsi produk obat dan makanan sebanyak dua orang (7%). Hal ini dikarenakan perempuan menganggap bahwa ular, biawak dan reptil lainnya adalah hewan yang menjijikkan. Bentuk reptil yang bersisik membuat perempuan takut untuk melihat apalagi harus mengkonsumsi bagian tubuhnya. Tingkat Pendidikan, Usia dan Etnik Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
sebagian
besar
konsumen
berpendidikan diatas SMA, dengan rata-rata usia 34 tahun (2-45) dan etnik terbesar adalah Indonesia (pribumi) (Tabel 6). Tabel 6 Rata-rata usia dan etnik konsumen obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat pendidikan SD SMP SMA Perguruan Tinggi Jumlah
Jumlah 6 1 13 10 30
Rata-rata usia (tahun) 45 22 35 32 34
Etnik Indonesia 2 1 12 8 23
Cina 4 0 1 2 7
Pada umumnya, masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi lebih percaya pada pengobatan modern daripada pengobatan tradisional. Namun kesadaran dan pemahaman tentang adanya efek samping dari obat-obatan kimia dan biaya yang cukup mahal dari pengobatan modern, maka secara umum ada
23
kecenderungan masyarakat beralih pada pengobatan secara tradisional atau lebih dikenal dengan istilah “back to nature” yang dianggap lebih aman. Seperti yang ditunjukkan dari hasil penelitian ini yakni 43% berpendidikkan SMA dan 34% berpendidikan perguruan tinggi. Suporahardjo dan Hargono (1994) menyatakan bahwa penggunaan obat alami relatif lebih aman dari obat sintetik. Rata-rata
usia konsumen adalah 34 tahun (22-45). Usia ini termasuk
kedalam usia muda (paruh) dari rata-rata usia harapan hidup masyarakat Indonesia yang pada umumnya (60-70 tahun). Seseorang dengan usia tersebut cenderung melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh orang lain pada umunmya. Makanan dari reptil bukan merupakan makanan yang umum untuk di konsumsi sehingga orang yang mengkonsumsi reptil dapat dianggap sebagai suatu tantangan sekaligus bentuk dari gaya hidup. Seseorang yang mengkonsumsi produk reptil (makanan) akan merasakan kepuasan yang berbeda dibandingkan dengan mengkonsumsi daging lainnya (ayam atau sapi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa 23 orang konsumen adalah etnik Indonesia (77%) yang banyak dijumpai di pedagang kaki lima. Sedangkan konsumen etnik Cina sebanyak tujuh orang (23%) dan banyak dijumpai di rumah makan. Harga obat dan makanan dari reptil yang ada di pedagang kaki lima lebih murah dibandingkan dengan harga di rumah makan. Hal ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih rendah. Etnik Cina lebih awal memanfaatkan reptil sebagai obat dan makanan di DKI Jakarta. Namun interaksi antara masyarakat Indonesia dan masyarakat etnik Cina membawa perubahan bagi masyarakat Indonesia. Seiring perkembangan budaya, masyarakat Indonesia yang memanfaatkan reptil sebagai obat dan makanan lebih banyak dari pada etnik Cina. Hal ini juga didukung oleh fakta yang meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa satwa seperti reptil dapat dimanfaatkan sebagai obat. Pengetahuan Konsumen Tentang Zoonosis Hasil penelitian menunjukkan bahwa 25 orang konsumen (83%) menyatakan tidak mengetahui tentang zoonosis (penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya). Sedangkan lima orang konsumen (17%)
24
sudah mengetahui tentang zoonosis. Belum adanya bukti bahwa aneka olahan reptil
dapat
menimbulkan
penyakit,
menyebabkan
konsumen
tidak
mengkhawatirkannya. Masyarakat percaya bahwa obat-obatan alami seperti reptil tidak akan menimbulkan efek samping apalagi penyakit. Walaupun sampai saat ini belum ada korban zoonosis akibat pemanfaatan reptil sebagai obat dan makanan, cara pengolahan aneka obat dan makanan yang dilakukan oleh pedagang serta pemeliharaan reptil hidup yang kurang baik berpotensi menimbulkan terjadinya zoonosis. Dalam pengamatan, darah merupakan produk yang banyak dimintai konsumen. Perlu adanya penyuluhan kepada masyarakat tentang zoonosis untuk mencegah adanya korban jiwa akibat zoonosis khususnya yang disebabkan oleh aneka olahan reptil. Pendapat Konsumen Tentang Kelestarian Reptil Hasil penelitian menunjukkan bahwa 24 konsumen (80%) menyatakan bahwa populasi reptil di alam masih tinggi, empat konsumen (13%) menyatakan perlu adanya budidaya dalam pemanfaatan reptil dan dua konsumen (7%) menyatakan perlu pemanenan yang lestari. Pendapat konsumen tersebut berkaitan dengan latar belakang pendidikan. Pendidikan mempengaruhi pola pikir suatu masyarakat. Konsumen dengan latar pendidikan SD dan
SMP menyatakan populasi reptil di alam masih tinggi.
Sampai saat ini tidak ada indikasi terjadi penurunan populasi reptil secara tajam walaupun reptil sudah dimanfaatkan sejak lama. Tidak ada informai yang pasti mengenai populasi reptil menyebabkan masyarakat terus memanfatakan reptil baik sebagai obat dan makanan maupun memanfaatkan kulitnya. Soehartono dan Mardiastuti (2003) menyebutkan bahwa informasi yang terbatas mengenai populasi reptil di alam, bioekologi reptil dan tingkat pemanenan menyulitkan LIPI untuk melakukan pendugaan populasi. Konsumen dengan latar belakang pendidikan SMA dan perguruan tinggi menyatakan bahwa untuk menjaga kelestarian satwa perlu ada budidaya atau usaha penangkaran serta seleksi dalam pengambilan reptil di alam. Penangkaran dimaksudkan untuk mengurangi tekanan terhadap pemanenan reptil dari alam. Di alam, pemungut hanya boleh mengambil reptil yang sudah tua, sedangkan reptil
25
yang masih kecil seharusnya dibiarkan tetap hidup. Dengan cara tersebut, diharapkan kelestarian reptil di alam dapat terjaga. 5.2 Keanekaragaman Jenis Reptil sebagai Obat dan Makanan Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 14 jenis reptil yang diperdagangkan untuk dimanfaatkan sebagai obat dan makanan. Jenis reptil tersebut tergolong ke dalam tiga ordo (Squmata, Testudinata dan Crocodilia) dan sembilan famili (Elapidae, Pythinidae, Colubridae, Viperidae, Varanidae, Crocodile, Gekkonidae, Scinidae dan Trionychidae). Ordo Squmata lebih banyak dijual dibandingkan Ordo Testudinata dan Crocodilia. Spesies-spesies dari ordo Squmata (ular, biawak, kadal, dan tokek) ternyata lebih banyak dimanfaatkan oleh masyarakat dibandingkan dengan jenis dari ordo Testudinata (bulus) dan ordo Crocodilia (buaya). Sebagian besar jenis reptil yang dijumpai dipedagang dalam kondisi hidup (ular) karena bagian tubuh yang dimanfaatkan berupa darah, empedu dan sumsum mengharuskan reptil dalam kondisi hidup sebelum bagian-bagian tersebut diambil untuk dimanfaatkan. Dari pengumpul, ular biasanya ditempatkan pada waring (karung strimin) berwarna hijau, selanjutnya oleh pedagang ular langsung dipindahkan ke kandang pemeliharaan selama ular
belum terjual. Sedangkan
biawak, bulus dan buaya umumnya dijumpai di pedagang dalam keadaan mati karena bagian yang dimanfaatkan adalah dagingnya. Tabel 7 Daftar jenis reptil yang diperdagangkan di DKI Jakarta No 1
Jenis Ular Ular kobra
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
King kobra Ular sanca Ular lanang sapi Ular cincin emas Ular welang Ular weling Ular tanah Ular koros Biawak Buaya Tokek Kadal Bulus
Nama Inggris Southern Indonesian spitting cobra King cobra Reticulated python Copperhead racer Mangrove snake Banded krait Malayan krait Ground pit viper Indian rat snake Asian water monitor Crocodile Tockay Skink Southeast asian softshell turtle
Nama ilmiah Naja sputatrix
Famili Elapidae
Ophiopaghus Hannah Python reticulates Elaphe radiate Boiga dendrophila Bungarus fasciatus Bungarus candidus Agkistrodon rhodostoma Pytas korros Varanus salvator Crocodylus sp Gekko gecko Eutropis sp Amyda cartilaginea
Elapidae Pythonidae Colubridae Elapidae Elapidae Elapidae Viperidae Colubridae Varanidae Crocodile Gekkonidae Scincidae Trionychidae
26
Jenis reptil yang banyak dimanfaatkan dan disiapkan oleh pedagang di DKI Jakarta sebagai obat dan makanan adalah ular kobra dan biawak. Jenis reptil yang dijual masing-masing pedagang ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 Rata-rata jenis reptil yang dijual di masing-masing pedagang di DKI Jakarta Pedagang 1 v v v v v v v v v v
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
2
3 v
4
5
Jenis Reptil 6 7 8 9
10 v v v v v v v v v v
11
12
13
14
Jumlah (%)
3 (21%) 3 (21%) v v v v 6 (43%) v v v v v v v v v 11 (79%) v v 4 (29%) v v 4 (29%) 2 (14%) v v 4 (29%) v v 4 (29%) v 3 (21%) Keterangan : 1. ular kobra, 2. king kobra, 3. ular sanca, 4. ular lanang sapi, 5. ular cincin emas, 6. ular welang, 7. ular weling, 8. ular tanah, 9 ular koros, 10. biawak, 11. buaya, 12 tokek, 13. kadal, 14. bulus v
Konsumen mempercayai bahwa ular kobra dapat menyembuhkan berbagai penyakit khususnya penyakit yang berhubungan dengan kulit. Oleh karena itu, persediaan ular kobra lebih banyak dibandingkan dengan jenis ular lainnya. Pedagang kaki lima menyediakan ular kobra rata-rata 30 ekor setiap minggu, sedangkan rumah makan menyediakan ular kobra rata-rata 100 ekor setiap minggu.
Menurut
Haryanto
(2005),
ular
kobra
dipercaya
berkhasiat
meyembuhkan alergi dan penyakit yang berhubungan dengan kulit. Sedangkan jenis ular lainnya (ular lanang sapi, ular welang, ular weling, ular cincin emas, ular tanah dan ular koros) digunakan sebagai pelengkap ramuan darah ular kobra. Pemanfaatan ular kobra sebagai obat tidak hanya ditemukan di DKI Jakarta. Hasil penelitian Kartikasari (2008) di Jawa Tengah menyebutkan bahwa masyarakat Jawa Tengah memanfaatkan ular kobra sebagai obat kanker, liver, stroke, penyakit kulit (gatal, eksim, alergi), sakit pernapasan, tekanan darah rendah, dan meningkatkan stamina. Situngkir (2009) juga melaporkan bahwa di Bogor, Jawa Barat ular kobra selain dimanfaatkan sebagai obat penyakit kulit (gatal-gatal) juga dimanfaatkan untuk mencegah mata cepat lelah, menetralkan racun dalam tubuh, meningkatkan stamina dan gairah seksual.
27
Jenis reptil lainnya yang banyak dimanfaatkan adalah biawak. Biawak juga dipercaya dapat menyembuhkan penyakit kulit. Di tempat pedagang, biawak dijumpai dalam kondisi mati (daging). Biawak lebih banyak disajikan dalam bentuk produk makanan seperti sate dan abon. Sate biawak menjadi alternatif produk obat jika konsumen tidak menyukai darah ular. Reptil lain seperti buaya (Crocodylus sp), tokek (Gekko gecko), kadal (Mabuyas sp) dan bulus (Amyda cartilaginea) lebih banyak dijumpai pemanfaatannya sebagai obat dalam bentuk produk jadi berupa kapsul, salep dan minyak. 5.2.1 Reptil Sebagai Obat Pedagang besar memiliki produk obat yang lebih beragam dibandingkan dengan pedagang kaki lima. Jenis reptil dan produk obat yang diperjualbelikan ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9 Jenis produk obat dari reptil yang diperdagangkan di DKI Jakarta No
Jenis Reptil 1 v v v v v v v v v
2 v
3 v
Jenis Produk Obat 4 5 6 v v v v
7 8 1 v v Ular kobra 2 King kobra 3 Ular sanca 4 Ular lanang sapi 5 Ular cincin emas 6 Ular welang v 7 Ular weling 8 Ular tanah 9 Ular koros 10 Biawak v 11 Tokek v 13 Bulus v v v Ket: 1. Darah segar, empedu dan sumsun; 2. Kapsul 3. Salep; 4. Cream; 5. Minyak; 6. Empedu Kering; 7. Tangkur kering; 8. Tepung
Tabel 9 menunjukkan bahwa darah, empedu dan sumsum merupakan produk obat yang banyak diperjualbelikan. Darah, empedu dan sumsum diyakini masyarakat sebagai obat yang paling manjur meyembuhkan penyakit. Produk obat ini diperoleh dari semua jenis ular yang disediakan pedagang. Pilihan ular yang akan
dimanfaatkan
tergantung
dari
selera
dan
permintaan
konsumen.
Dibandingkan dengan produk obat lainnya, darah ular dipercaya masyarakat sebagai obat yang paling manjur dalam menyembuhkan penyakit
28
5.2.1.1 Produk dan Khasiat Obat dari Reptil Hasil penelitian menunjukkan bahwa 16 konsumen (88%) mengkonsumsi produk obat dari reptil untuk mengobati penyakit kulit (eksim, koreng, dan gatalgatal), menyembuhkan penyakit rematik (1 konsumen, 6%) dan menghaluskan kulit (1 konsumen, 6%). Data tersebut mengindikasikan bahwa reptil merupakan satwa yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit yang berkaitan dengan kulit. Informasi pedagang juga menyebutkan bahwa semua produk obat yang diproduksi digunakan untuk menyembuhkan penyakit kulit. Sedangkan empedu digunakan untuk mengurangi racun pada tubuh. Tangkur digunakan untuk menyembuhkan dan atau meningkatkan gairah seksual. Secara umum, khasiat masing-masing produk obat dari reptil yang dipercaya oleh masyarakat ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Khasiat dan penggunaan produk obat dari reptil yang diperjualbelikan di DKI Jakarta No 1
Jenis Reptil Ular kobra, king kobra, ular sanca, ular lanang sapi, ular welang, ular weling, ular tanah, ular koros Ular kobra, biawak, tokek Ular kobra, bulus Bulus
Produk Obat Darah, empedu, sumsum
Khasiat Menyembuhkan penyakit kulit, lemah syahwat, kencing manis, liver, asma, penglihatan mata tidak jelas, jantung, tekanan darah.
Penggunaan Diminum
Kapsul
Diminum /ditelan
5
Ular kobra, bulus
Minyak
6
Ular kobra, king kobra, ular sanca Ular kobra
Empedu kering
Menyembuhkan gatal-gatal pada tubuh, eksim, koreng, panu, kadas, kurap Menyembuhkan eksim, koreng, panu, kadas, kurap Menghaluskan kulit, menghilangkan flek-flek hitam, memutihkan kulit Menghaluskan kulit, menyembuhkan luka bakar, eksim, koreng, bisul, jerawat, menghilangkan flek hitam Mengurangi racun pada tubuh, menyembuhkan asma Meningkatkan vitalitas / gairah sex
Diminum
Menambah tenaga, menyembuhkan lemah syahwat, eksim, koreng, panu, kadas, kurap, rematik, sakit pinggang
Dicampur dengan bubur atau sup
2
3 4
7 8
Ular kobra, ular welang
Salep Cream
Tangkur kering Tepung
Keterangan : masing-masing produk obat terbuat dari satu jenis reptil
Dioleskan Dioleskan Dioleskan
Diminum / ditelan
29
Adapun cara pengolahan produk obat dari reptil adalah: 1. Darah , empedu dan sumsum Cara pengolahan darah ular merupakan cara yang paling mudah. Ular dipotong pada bagian kepala oleh tukang potong. Alat yang digunakan untuk memotong antara lain penjepit yang terbuat dari bambu, pisau dan talenan. Penjepit digunakan untuk menjepit kepala ular agar tidak mengeluarkan bisa. Setelah kepala terpisah dari tubuhnya, darah yang ada pada tubuh ular dialirkan ke dalam cangkir yang telah terisi dengan arak dan madu (Gambar 2). Empedu yang dipotong dan sumsum yang dihaluskan dengan gunting juga dicampurkan dalam darah, kemudian campuran tersebut langsung diminum. Untuk konsumen laki-laki biasanya ditambahkan tangkur ular. Harga satu ekor ular kobra yang digunakan untuk menjadi minuman tersebut dinilai dengan harga Rp 50 000.00 - 100 000.00. Untuk harga paket yang terdiri dari 3 jenis ular misalnya ular kobra, ular weling, ular cincin emas dinilai dengan harga Rp 100 000. 00 – 150 000.00.
Gambar 2 Darah ular yang dialirkan ke cangkir. 2. Kapsul reptil Pembuatan kapsul dilakukan dengan memanfaatkan daging dan tulang reptil. Bahan-bahan tersebut dikeringkan dengan menggunakan oven. Bahan yang sudah kering, ditumbuk sampai halus dan dimasukkan ke dalam kapsul (Gambar 3). Warna kapsul bermacam-macam sesuai selera pedagang (merah, merah hitam, merah putih dan juga putih biru). Kapsul reptil dinilai dengan harga Rp 5 000.00 - 7 000.00 per 10 butir kapsul.
30
Gambar 3 Kapsul dari ular kobra. 3. Minyak reptil Minyak reptil dibuat dengan cara mengeringkan atau memanaskan lemak reptil. Cairan yang keluar dari lemak tersebut yang dinamakan dengan minyak. Minyak yang sudah jadi disimpan di dalam botol (Gambar 4). Penggunaan minyak reptil dilakukan dengan cara dioleskan pada bagian kulit yang terkena alergi atau infeksi. Minyak reptil dinilai dengan harga Rp 10 000.00 - 15 000.00 (tergantung volume minyak).
Gambar 4 Minyak dari ular kobra. 4. Salep reptil Bahan dasar pembuatan salep reptil adalah minyak reptil dan ekstrak sereh. Tujuan penambahan ekstrak sereh adalah menghilangkan bau anyir pada minyak reptil. Bahan-bahan tersebut diolah menjadi salep (Gambar 5). Pada umumnya salep dioleskan pada bagian kulit yang terkena alergi atau infeksi. Salep reptil dinilai dengan harga Rp 10 000.00 - 15 000.00 (tergantung volumenya).
31
Gambar 5 Salep ular kobra. 4. Tangkur kering ular Tangkur adalah bagian genital dari ular jantan (Gambar 6). Tangkur dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari atau dengan cara dioven. Tangkur yang akan dimanfaatkan, terlebih dahulu direndam dengan arak selama 1-2 bulan. Khasiat tangkur diperoleh dari ramuan arak yang telah diberi tangkur ular. Ramuan diminum sehari 2 kali. Satu ikat tangkur kering dinilai dengan harga adalah Rp 35 000.00 (berisi 30 tangkur ular).
Gambar 6 Tangkur kering dari ular kobra. 5. Empedu kering ular Pengolahan empedu kering dilakukan dengan mengeringkan empedu yang sudah diambil dari tubuh reptil dengan cara dioven atau dijemur dibawah sinar matahari (Gambar 7). Empedu yang sudah kering dapat dimanfaatkan dengan dikonsumsi seperti mengkonsumsi obat tablet atau kapsul.
32
Empedu kering ular dinilai dengan harga Rp 50 000.00 - 100 000.00 tergantung jenis ularnya.
Gambar 7 Empedu kering dari ular kobra.
6. Tepung ular Pada dasarnya pengolahan tepung ular sama dengan pengolahan kapsul yaitu menggunakan bahan dasar daging dan tulang (ular kobra dan ular welang). Bahan dasar dikeringkan dan dijadikan tepung. Tepung ular dapat dikonsumsi dengan cara dicampur dengan bubur atau sup atau segelas susu (Gambar 8). Tepung ular dinilai dengan harga Rp 200 000.00 per kemasan.
Gambar 8 Tepung ular. Aneka obat yang banyak dikonsumsi oleh konsumen adalah bagian darah, empedu dan sumsum. Produk obat ini tidak melalui proses pengolahan makanan yang higienis. Terlebih lagi tidak melalui proses pemasakan melainkan langsung diminum. Hal ini tentunya sangat membahayakan kesehatan konsumen karena reptil khususnya ular mengandung bakteri Salmonella sp. Produk obat lain juga demikian. Walaupun telah mengalami proses pemasakan (pengovenan), belum dapat dipastikan bahwa proses tersebut telah mematikan bakteri yang ada pada
33
reptil. Soeharsono (2004) mengatakan bahwa penyakit yang dapat menular dari satwa ke manusia atau sebaliknya disebut zoonosis. Salah satu jenis penyakit yang dapat menular dari reptil adalah salmonellosis. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Salmonela sp. Penyakit ini umumnya tersebar melalui produk olahan dari hewan yang diolah dengan tidak baik seperti darah. Chiodini dan Sunberg (1981) juga menyebutkan bahwa reptil merupakan agen utama penularan Salmonella sp apabila bagian dari ular tersebut tidak dimasak terlebih dahulu. Untuk menghindari zoonosis akibat mengkonsumsi obat dari reptil, perlu adanya uji klinik untuk membuktikan bahwa obat
tersebut terbebas dari bakteri
Salmonela sp. 5.2.1.2 Uji Indikasi Reptil (Ular Kobra dan Biawak) sebagai Antialergi Berkaitan dengan khasiat ular kobra dan biawak sebagai obat kulit (antialergi), hasil uji indikasi pemanfaatan reptil sebagai antialergi menunjukkan hasil yang positif (Tabel 11). Tabel 11 Hasil uji indikasi antialergi pada daging ular dan biawak (satu kali ulangan) Perlakuan Kontrol Pemberian Histamin Pemberian ekstrak
Tinggi Gelombang (mm) Ular kobra Biawak 7 2 9 8 3 3
Lebar Gelombang (mm) Ular kobra Biawak 7 10 2 5 5 8
Hasil pengujian menunjukkan bahwa dengan satu kali ulangan, ekstrak daging ular kobra dan biawak memiliki indikasi sebagai obat antialergi atau antigatal. Indikasi ekstrak daging ular kobra dan biawak sebagai obat antialergi atau antigatal ditunjukkan dengan kemampuannya untuk mengurangi efek alergi pada usus yang diberikan allergan berupa histamin 1,5 % sebanyak 10 ml. Hal ini ditandai dengan menurunnya tinggi gelombang kontraksi usus setelah pemberian ekstrak daging ular kobra dan biawak (Tabel 13). Ekstrak daging ular kobra dan biawak juga memberikan respon positif dalam meningkatkan (merenggangkan) kembali lebar gelombang yang sebelumnya menurun setelah adanya stimulasi alergi oleh histamin. Walaupun ada indikasi bahwa daging ular kobra dan biawak dapat mengurangi gatal atau alergi pada kulit, bukan berarti daging reptil tersebut aman
34
untuk digunakan. Pengujian secara klinis diperlukan untuk mengetahui keamanan dan penentuan dosis pemakaian yang tepat dari produk obat tersebut. Suporahardjo dan Hargono (1994) mengemukakan bahwa perlu standarisasi dan penelitian terhadap produk obat alami untuk dapat digolongkan ke dalam obatobatan fitofarmaka sehingga keamanan dan khasiatnya secara medis dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 5.2.2 Reptil sebagai Makanan Selain dimanfaatkan sebagai obat, reptil juga dimanfaatkan sebagai makanan. Makanan dari reptil juga berfungsi sebagai obat. Aneka makanan dari reptil tersebut umumnya disediakan untuk konsumen yang tidak menyukai produk obat seperti darah dan empedu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tujuh jenis reptil yang dimanfaatkan dalam bentuk makanan yang diperdagangkan di DKI Jakarta (Tabel 12). Tabel 12 Jenis reptil dan aneka makanan yang diperdagangkan di DKI Jakarta No
1 2 3 4 5 6 7
Jenis reptile
Ular kobra Ular sanca Biawak Buaya Tokek Kadal Bulus
Jenis Makanan Abon Daging Goreng
Sate
Sop
v
v
v
v v v v v
v
v
v v v v
Daging Goreng Tepung v V
v
Tabel 13 menunjukan bahwa terdapat lima jenis makanan yang terbuat dari reptil. Sate merupakan makanan yang banyak disediakan. Hal ini dikarenakan sate lebih dikenal dan digemari oleh semua lapisan masyarakat. Proses pembuatan sate juga sangat mudah dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Pengolahan makanan dari reptil pada dasarnya sama dengan pengolahan
makanan pada
umumnya. Cara pengolahan dari masing-masing makanan adalah : 1. Sate reptil Cara membuat sate reptil adalah dengan memotong daging menjadi kecil-kecil sebesar ukuran dadu (1 x 1 cm), kemudian ditusukkan pada bambu. Tusukan daging reptil selanjutnya dibakar hingga matang. Sate yang sudah matang, selanjutnya diberi bumbu kacang, kecap dan bawang goreng.
35
2. Sop reptil Sop reptil dapat disebut juga dengan sop bening (tidak ada campuran sayur didalam sop). Daging reptil yang telah dipotong dimasukkan dalam panci untuk dimasak. Kemudian ditambahkan garam secukupnya. Bumbu lain yang digunakan adalah jahe dengan tujuan dapat memberikan rasa hangat di badan. 3. Daging reptil goreng tepung Daging direbus setengah matang. Sebelum digoreng, daging yang sudah direbus satengah matang dilumuri dengan tepung, kemudian daging digoreng 4. Daging reptil goreng Daging reptil direbus
setengah matang. Bumbu yang digunakan adalah
kunyit, bawang dan lengkuas. Setelah daging direbus setengah matang , daging kemudian di goreng. Beberapa pedagang telah mengemas daging goreng pada mika plastik. Daging reptil dalam kemasan dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Daging ular kobra goreng. 5. Abon Cara
membuat abon terdiri dari perebusan daging, penumbukan daging,
penambahan bumbu, dan pengeringan. Bumbu yang ditambahkan terdiri dari bawang merah, bawang putih, daun salam, ketumbar, jinten, kemiri, garam dan gula yang dihaluskan. Menurut informasi konsumen, rasa abon ular atau biawak sama dengan abon sapi. Abon reptil dalam kemasan dapat dilihat pada Gambar 10.
36
Gambar 10 Abon ular kobra. 5.2.2.1 Kandungan Gizi Daging Ular Kobra dan Biawak Semua bahan baku makanan reptil adalah daging reptil. Pemanfaatan satwa untuk dikonsumsi disebut dengan bushmet (Nasi et.al 2008). Kandungan nilai gizi daging ular kobra dan biawak (dalam 100 gram ) ditunjukkan pada Tabel 13. Tabel 13 No 1 2 3 4
Kandungan nilai gizi ular kobra dan biawak yang diperdagangkan di DKI Jakarta Zat Gizi Protein (%) Lemak (%) Kalsium (%) Posfor (%)
Nilai Gizi Ular Kobra 18.45 0.2 04 0.03
Biawak 16.65 0.14 0.46 0.02
Tabel 7 menunjukkan bahwa protein daging ular kobra dan biawak memiliki kandungan protein yang tinggi (18.45%) daripada kandungan protein biawak (16.65%). Begitu juga dengan kandungan gizi lainnya (lemak, kalsium dan posfor). Perbedaan tersebut dapt disebabkan oleh karena jenis satwa yang berbeda. Menurut Sediaoetama (1987), nilai zat gizi suatu daging tergantung dari jenis hewan, suhu dan iklim dimana hewan berada yang berbeda. Protein di dalam bahan makanan diserap oleh tubuh dalam bentuk asam amino. Jumlah dan macam asam amino yang membentuk protein tidak sama. Perbedaan jumlah dan jenis asam amino yang ada di dalam protein menyebabkan kandungan protein pada suatu makanan memiliki nilai gizi yang berbeda (Nasoetion et al. 1993). Jika dibandingkann dengan nilai gizi protein daging hewan ternak (sapi, kambing dan ayam), nilai gizi protein daging ular kobra dan biawak memiliki nilai
37
yang tidak jauh berbeda (16-18 %). Sedangkan untuk nilai gizi lemak, kalsium dan posfor ular kobra dan biawak memiliki nilai gizi yang lebih rendah dibandingkan dengan hewan ternak tersebut. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan pakan pada reptil dan hewan ternak. Kandungan nilai gizi hewan ternak ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 14 Kandungan nilai gizi sapi, kambing dan ayam No
Zat Gizi Sapi
1 Protein (%) 18,8 2 Lemak (%) 14 3 Kalsium (%) 11 4 Posfor (%) 170 Sumber : Prihatman (2001); Karyadi dan Muhilal (1996).
Nilai Gizi Kambing 16,6 9,2 11 124
Ayam 18,2 25 14 200
Walaupun ular kobra dan biawak memiliki kandungan protein yang tinggi (18,25 % dan 16,65 %), tidak berarti jenis reptil tersebut dapat dimanfaatkan seperti hewan ternak pada umumnya. Selain karena satwa tersebut merupakan jenis yang dilindungi, reptil dapat menyebabkan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri Salmonella sp dan Shigella sp. Penyakit yang ditimbulkan dari reptil tesebut berbahaya bagi kesehatan manusia bahkan dalam kurun waktu sepuluh hari dapat menyebabkan kematian (Fowler dan Miiler 1999). Menurut Soeharsono (2004), penyakit yang diderita akibat bakteri Salmonella sp adalah gangguan pencernaan (mual, diare, nyeri lambung dan muntah), sakit kepala, keringat dingin dan kehilangan kesadaran sesaat. Gejala paling serius adalah dehidrasi yang dapat menyebabkan kematian jika tidak segera diobati. Makanan yang terbuat dari reptil juga belum mendapat sertifikasi dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), sehingga ditinjau dari standar kesehatan dan keamanan bagi manusia makanan dari reptil tersebut belum bisa dipertanggungjawabkan. Artinya setiap konsumen yang mengkonsumsi memiliki peluang untuk tertular zoonosis. 5.3 Pemeliharaan Reptil Selama masa tunggu sebelum dijual, jenis-jenis reptil yang biasa dijual dalam keadaaan hidup dipelihara oleh pedagang. Reptil tersebut dipelihara dalam kandang. Reptil ini terus disimpan dalam kandang sampai habis terjual. Untuk pedagang kaki lima, ular kobra dipelihara di dalam kandang berukuran 90 x 40 x
38
75 cm3. Kandang terbuat dari kawat dengan kerangka terbuat dari kayu (Gambar 11). Satu kandang terbagi menjadi dua bagian, masing-masing diisi 15-20 ekor ular. Ular kobra adalah jenis satwa diurnal, sehingga untuk menjaga agar ular tetap beraktifitas sepanjang hari maka setiap kandang diberi lampu.
Gambar 11 Kandang ular kobra di pedagang kaki lima. Ukuran kandang ular sanca adalah 125 x 40 x 50 cm3, terbuat dari kawat dengan kerangk dari kayu (Gambar 12). Satu kandang diisi oleh 3-4 ular sanca dengan rata-rata berukuran tubuh panjang 4-5 meter.
Gambar 12 Kandang ular sanca pedagang kaki lima. Beberapa pedagang kaki lima melengkapi kandang dengan tempat minum yang terbuat dari bekas botol plastik yang dibelah menjadi dua bagian. Ular kobra tidak diberi pakan karena pedagang mengasumsikan bahwa dalam waktu seminggu, ular akan habis terjual. Selain itu, kebersihan kandang tidak terlalu diperhatikan. Pedagang hanya membuang kotoran ular dan sisa kulit pada waktu tertentu saja (satu minggu satu kali). Berbeda dengan ular kobra, ular sanca diberi pakan berupa ayam yang telah mati. Pakan diberikan satu kali dalam seminggu. Beberapa kandang juga disediakan tempat minum yang terbuat dari plastik dan ada juga berupa ember.
39
Kebersihan kandang ular sanca pun tidak diperhatikan sehingga kandang menjadi bau akibat sisa pakan yang tidak dibersihkan. Pedagang besar memelihara ular di dalam kandang yang bertingkat. Kandang berada dalam satu ruangan yang diberi pendingin (AC). Satu ruangan tersebut berisi 15 kandang yang dibuat menjadi tiga susun. Ukuran kandang adalah 100x 75 x 50 cm3 dan 100 x 50 x 40 cm3. Kandang terbuat dari kawat dengan kerangka dari kayu sedangkan kerangka pintu terbuat dari besi. Ular kobra dipelihara dalam tiga kandang dengan ukuran lebih besar dari jenis ular lainnya. Satu kandang berisi 100 ular kobra. King kobra dipelihara dalam lima kandang, ular lanang sapi dipelihara dalam dua kandang, sedangkan ular weling, ular welang, ular cincin emas, ular tanah dan ular koros masingmasing dipelihara dalam satu kandang. Kandang paling bawah, langsung berhubungan dengan keramik. Setiap pagi dan sore kandang dibersihkan dengan cara disiram air. Kandang juga dilengkapi dengan saluran pembuangan. Disamping itu, pedagang juga melakukan pemeriksaan terhadap kondisi ular, jika ada ular yang mati maka ular langsung dibuang. Kandang ular di pedagang besar ditunjukkan pada Gambar 13.
Gambar 13 Kandang di pedagang besar. Biawak yang hidup dipelihara di dalam kandang yang terbuat dari kayu. Ukuran kandang sangat kecil (100 x 50 x 75 cm3 diisi oleh dua ekor biawak) jika dibandingkan dengan ukuran tubuh biawak (Gambar 14). Lubang udara hanya ada pada bagian atas kandang.
40
Gambar 14 Kondisi biawak dalam kandang. Bulus yang hidup dipelihara oleh pedagang di dalam tong yang berisi air (Gambar 15). Kebersihan kandang bulus juga tidak diperhatikan. Air dalam tong tidak diganti sehingga air berwarna kehijauan karena ditumbuhi lumut. Selain itu, daun kering yang jatuh dalam tong juga tidak dibuang.
Gambar 15 Kondisi bulus dalam kandang. Berdasarkan pengamatan, pemeliharaan reptil dalam kandang (ular, biawak dan bulus) tidak memperhatikan konsep kesejahteraan satwa (animal welfare). Kesejahteraan satwa dinilai menggunakan lima parameter kebebasan (Five of Freedom) dalam memelihara satwa dalam kandang. Kebebasan tersebut antara lain : bebas dari rasa
lapar dan haus,
bebas dari rasa tidak nyaman
secara fisik, bebas mengekspresikan perilaku, bebas dari luka sakit dan penyakit dan bebas dari rasa stress (Wahyudi 2004). Kandang yang dibuat pun sangat kecil tidak sesuai dengan ukuran tubuh. Sama halnya dengan ular, satu kandang kecil dihuni oleh beberapa individu. Kandang yang ada harus disesuaikan dengan ukuran tubuh reptil agar reptil dapat
41
bebas berekspresi dan tidak stress. Reptil yang ada pun belum tentu terjual dalam waktu seminggu, sehingga harus tetap diberi pakan. Kebersihan kandang juga harus diperhatikan oleh pedagang. Kebersihan kandang berkaitan dengan munculnya bibit penyakit terutama zoonosis. Untuk mencegah terjadinya penularan penyakit, kandang harus dalam kondisi bersih. Kotoran dan sisa pakan juga harus dibuang secara rutin. 5.4 Perkiraan Jumlah Permintaan Pasar Penghitungan perkiraan permintaan pedagang hanya dilakukan pada jenis reptil yang banyak dijual pedagang (ular kobra, ular lanang sapi dan biawak). Hasil perhitungan selanjutnya dibandingkan dengan kuota pengambilan dan penangkapan reptil tahun 2008 yang ditetapkan oleh Ditjen PHKA atas rekomendasi LIPI. Hasil perhitungan permintaan reptil berdasarkan jumlah rata-rata persediaan setiap pedagang, diperoleh total rata-rata permintaan per tahun untuk ular kobra, ular lanang sapi dan biawak pada pedagang obat dan makanan di DKI Jakarta masing-masing 20 880, 6 500 dan 499 ekor (Tabel 15). Adapun kuota ular kobra dan biawak berdasarkan penetapan kuota oleh Departemen Kehutanan tahun 2008 masing-masing adalah 150 000 dan 480 000 untuk seluruh Indonesia (Dephut 2008). Ular lanang sapi tidak memiliki daftar kuota karena belum tercatat dalam Apendiks II CITES. Berdasarkan data tersebut, pemanfaatan ular kobra dan biawak sebagai obat dan makanan di DKI Jakara tidak melebihi kuota yang ditentukan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa umumnya reptil yang diperdagangkan di DKI Jakarta berasal dari Jawa Barat dan Jawa Tengah. Walaupun pemanfaatan reptil (ular kobra dan biawak) di DKI Jakarta tidak melebihi kuota, belum dapat dipastikan bahwa penangkapan ular di masingmasing daerah sesuai kuota yang ditentukan. Data kuota pengambilan dan penangkapan ular kobra dan biawak untuk Jawa Barat masing-masing sebanyak 34 500 ekor dan 12 500 ekor. Sedangkan kuota pengambilan dan penangkapan ular kobra dan biawak untuk Jawa Tengah masing-masing sebanyak 65 000 ekor dan 5000 ekor.
42
Tabel 15
Persediaan ular kobra, ular lanang sapi dan biawak pada setiap pedagang di DKI Jakarta Ular kobra (ekor) a b 20 960 50 2400 80 3840 100 4800 20 960 25 1200 45 2160 25 1200 20 960 50 2400 435 20880
Pedagang
Lanang Sapi (ekor) a b --30 1440 --30 1440 15 720 --20 960 20 960 10 480 20 960 145 6960
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total Keterangan : a = Rata-rata sediaan per ekor per minggu. b= c= d= e=
Biawak (kg) c d 20 960 15 720 20 960 20 960 12 576 20 960 10 480 10 480 15 720 14 672 156 7488
e 64 48 64 64 38 64 32 32 48 45 499
Rata-rata sediaan per ekor per tahun. Rata-rata sediaan per kilogram perminggu. Rata-rata sediaan per kilogram pertahun. Rata-rata sediaan per ekor pertahun (rata-rata berat biawak 15 kg/ekor).
5.5 Status Perlindungan Reptil Reptil yang diatur dalam perundangan Indonesia hanya buaya. Buaya dilindungi berdasarkan SK Mentan No 716/kpts/Um/10/1980 dan PP No 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa Liar (Noerdjito dan Maryanto 2001). Dalam daftar Apendiks CITES tahun 2007 tercatat enam jenis reptil (ular kobra, king kobra, ular sanca, biawak, buaya, dan bulus) termasuk dalam Apendiks II. Spesies yang terdaftar dalam Apendiks II CITES berarti bahwa populasi jenis ini belum terancam bahaya kepunahan namun dapat terancam apabila pemanfaatannya tidak dikendalikan. Bentuk pengendalain reptil dalam Apendiks II ditentukan dengan sistem kuota tangkap. Kuota tangkap adalah batasan jenis dan jumlah spesimen tumbuhan dan satwa liar yang dapat diambil atau ditangkap dari habitat alam (Dephut 2008). Status Apendiks II menyatakan bahwa pemburu tidak boleh menangkap reptil melebihi dari batas kuota yang telah ditentukan. Masing-masing jenis reptil tersebut memiliki kuota yang berbeda-beda tergantung tingkat populasinya di alam. Adanya sistem kuota ini, diharapkan populasi reptil di alam terus lestari.
43
Berdasarkan Red List tahun 2008, ular sanca dan bulus termasuk dalam kriteria rentan atau rawan (Vulnarable). Reptil tersebut dinyatakan rentan atau rawan kerena populasinya di alam kurang dari 10 000 individu dewasa dan memiliki peluang untuk punah 10% dalam kurun waktu 100 tahun. King kobra, ular tanah dan buaya termasuk dalam kriteria beresiko rendah (Least Concern). Reptil tersebut dinyatakan beresiko rendah karena saat ini jumlahnya besar tetapi memiliki peluang yang sangat kecil untuk punah dimasa depan. Sedangkan ular kobra, ular cincin emas termasuk Data Deficient (belum memiliki data yang cukup). Reptil
tersebut dinyatakan belum memiliki data yang cukup karena
informasi yang diperlukan untuk menilai resiko kepunahan atau statusnya tidak memadai. Ular lanang sapi, ular koros, ular welang, ular weling, tokek dan kadal termasuk tidak dievaluasi (Not Evaluated). Reptil tersebut tidak dinilai berdasarkan kriteria punah, kritis, genting, rentan dan resiko rendah. Status perlindungan reptil yang diperdagangkan sebagai obat dan makanan di DKI Jakarta ditunjukkan pada Tabel 16. Tabel 16 Status konservasi reptil yang diperdagangkan sebagai obat dan makanan di Jakarta No
Jenis Reptil
Status Perlindungan CITES Ular kobra Apendiks CITES II Apendiks CITES II King kobra Ular sanca Apendiks CITES II Ular lanang sapi Non-Appendix Ular cincin emas Non-Appendix Ular welang Non-Appendix Ular weling Non-Appendix Ular tanah Non-Appendix Ular koros Non-Appendix Biawak Apendiks CITES II Buaya PP n SK Mentan No 716/Kpts/um Apendiks CITES II 10/19/10/1980 ; PP No 7/1999 Tokek Non-Appendix Kadal Non-Appendix Bulus Apendiks CITES II Indonesia
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
IUCN Data Deficient Least Concern Vulnerable Not Evaluated Data Deficient Not Evaluated Not Evaluated Least Concern Not Evaluated Data Deficient Least Concern Not Evaluated Not Evaluated Vulnerable
Reptil yang termasuk dalam CITES dan Red List IUCN masih sedikit. Sebagian besar reptil masih belum terdaftar dalam Apendiks CITES dan tidak memiliki data yang cukup ataupun tidak dievaluasi. Hal ini menandakan bahwa penelitian tentang populasi dan bio-ekologi reptil masih sangat terbatas sehingga populasi reptil di alam tidak diketahui dengan pasti. Sehingga belum dapat
44
dipastikan bahwa pemanfaatan reptil selama ini apakah sudah memperhatikan kelestariannya atau justru mengancam kelestarian reptil di alam. Walaupun ular lanang sapi, ular cincin emas, ular welang, ular eling, ular tanah, ular koros, tokek dan kadal belum masuk alam status perlindungan baik peraturan
perundangan
Indonesia
tetapi
pada
kenyataannya
tingkat
pemanfaatannya sangat tinggi. Reptil tersebut juga tidak dapat dipastikan keberlanjutan hidupnya di masa mendatang. Permintaan akan reptil tersebut semakin meningkat. Namun populasinya di alam tidak diketahui dengan pasti. Jika eksplotasinya di alam tidak terkendali, maka reptil tersebut akan langka bahkan punah. 5.6 Jalur Perdagangan Reptil Menurut informasi dari pedagang, reptil yang digunakan sebagai obat dan makanan diperoleh dari pengumpul, pemungut dan penangkaran. Namun sebagian besar reptil (93%) didapatkan dari pengumpul. Hal ini menunjukkan bahwa persedian reptil di pedagang diperoleh dari hasil pemanenan di alam. Pengumpul terbagi menjadi dua yaitu pengumpul kecil dan pengumpul besar. Pengumpul kecil merupakan orang atau kelompok yang melakukan pengumpulan reptil dari pemungut. Sedangkan pengumpul besar merupakan orang atau kelompok yang menampung reptil dari pengumpul kecil. Jenis dan sumber perolehan reptil yang diperdagangkan ditunjukkan pada Tabel 17. Tabel 17 Jenis dan sumber perolehan reptil yang diperdagangkan di DKI Jakarta No
Jenis Reptil Pemungut
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Ular kobra King kobra Ular sanca Ular lanang sapi Ular cincin emas Ular welang Ular weling Ular tanah Ular koros Biawak Buaya Tokek Kadal Bulus
v
v
v
Sumber Perolehan Reptil Pengumpul Penangkaran v v v v v v v v v v V v v v
45
Untuk memenuhi kebutuhan konsumen, persediaan reptil di pedagang kecil di Jakarta disediakan oleh pengumpul besar. Sedangkan untuk persediaan reptil di pedagang besar, diperoleh dari pengumpul kecil dimana reptil yang diperoleh terlebih dahulu ditampung pada bagian produksi. Reptil yang masuk di bagian produksi akan diolah menjadi produk obat dan makanan. Ular yang akan diambil darahnya tetap dibiarkan hidup. Produk obat yang dibuat adalah kapsul, salep, minyak dan empedu kering dan tepung ular, sedangkan untuk produk makanan reptil diolah menjadi sate, sop dan daging. Reptil dan beberapa produknya dikirim ke pedagang besar setelah melewati proses di bagian produksi. Bagian produksi berada di daerah Cibitung. Produk yang diolah tidak hanya obat dan makanan tetapi juga asesoris sepeti dompet, ikat pinggang, tas dan reptil offset (awetan). Jalur perdagangan reptil di DKI Jakarta dimulai dari pemburu. Setelah jumlah tangkapan reptil mencukupi untuk pengiriman, reptil tersebut dijual ke pengumpul kecil. Pemburu dan pengumpul berada di daerah yang sama yaitu di daerah Indramayu, Cirebon, Subang, Kerawang, Cilacap, Magelang dan Semarang. Selanjutnya reptil dikirim ke pengumpul besar yang berada di daerah sekitar Jakarta, Bekasi, dan Tangerang dan Cikampek. Pengumpul besar mengirim reptil ke pedagang di DKI Jakarta. Jalur perdagangan reptil dimulai dari pengambilan di alam sampai pada ke konsumen dtunjukkan pada Gambar 16. Reptil di alam
Pemburu dan Penangkap
Pengumpul Kecil
Pengumpul Besar
Bagian Produksi
Pedagang Kecil
Pedagang Besar
Konsumen
Gambar 16 Jalur perdagangan Reptil di DKI Jakarta.
46
Jalur perdagangan reptil melibatkan banyak komponen. Komponen yang satu dengan komponen yang lain memiliki hubungan yang kuat. Jika salah satu komponen terputus, maka jalur perdagangan menjadi tertanggu. Komponen yang paling berpengaruh terhadap kelancaran perdagangan reptil adalah pemburu. Semakin banyak pemburu, jumlah reptil yang ditangkap juga semakin banyak yang pada akhirnya permintaan reptil sebagai obat dan makanan dapat dipenuhi. Hal ini tentunya juga didukung oleh ketersediaan reptil di alam. Jumlah penangkapan reptil khususnya ular dipengaruhi oleh musim. Pada saat musim kemarau, jumlah tangkapan ular lebih sedikit
daripada musim
penghujan. Pada saat musim kemarau biasanya ular bersembunyi di tempat yang lembab namun hangat seperti di celah-celah batu atau lubang di dalam tanah. Kondisi ini menyulitkan pemburu untuk menemukan keberadaan ular. Duellman dan Heatwole (1998) menyebutkan bahwa reptil dapat hidup didalam tanah, di bawah puing-puing hingga tajuk pohon. Saat musim penghujan, tempat persembunyian ular akan terendam air sehingga ular keluar dari sarang lama untuk mencari sarang baru. Saat mencari sarang baru, pergerakan ular diketahui oleh pemburu sehingga mudah untuk ditangkap. 5.7 Upaya Konservasi Reptil Perdagangan adalah salah satu bentuk dari pemanfaatan satwa liar. Sebagian besar reptil yang dimanfaatkan sebagai obat dan makanan di DKI Jakarta merupakan hasil tangkapan dari alam. Perburuan satwa di alam dapat memberikan dampak negatif terhadap populasi reptil dimasa mendatang. Pemanfaatan satwa liar harus didasarkan pada prinsip konservasi (perlindungan, pemanfaatan dan pengawetan). Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya penurunan populasi reptil di alam. Undang-undang (UU) No 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa
konservasi dilakukan melalui tiga kegiatan yaitu
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keaneragaman hayati serta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari (sustainable) sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Soemarsono 1997). Menurut Alikodra (2004), dalam mengelola keanekaragaman hayati secara optimal diperlukan strategi yang mencakup tiga aspek yakni mengamankan
47
(melindungi
dan
melestarikan
keanekaragaman
hayati),
mempelajari
(mengungkap keanekaragaman hayati melalui pengenalan spesies, jumlah, penyebaran
dan
pemanfaatannya)
dan
memanfaatkan
(menggunakan
keanekaragaman hayati dengan tetap menjaga keberlangsungan keanekaragaman jenis dan keseimbangan ekosistem). Selain itu perlu tindakan konservasi baik secara in-situ adan ek-situ. Konservasi in-situ dilakukan dengan mempertahankan habitat alami reptil. Konservasi eks-situ dilakukan melalui lembaga konservasi seperti penangkaran. Penangkaran diharapkan dapat memenuhi kebutuhan manusia termasuk untuk konsumsi reptil sebagai obat dan makanan. Sebelum hasil penangkaran dapat dipanen, diperlukan alternatif reptil sebagai pengganti ular kobra yang khasiatnya sama atau hampir sama dengan ular kobra namun populasinya di alam masih tinggi. Daging ular kobra, dapat diganti dengan biawak, sedangkan darah ular kobra dapat diganti dengan ular welang atau ular lainnya. Penangkaran memiliki berfungsi untuk mengurangi tekanan terhadap reptil di habitat alami akibat perburuan yang tidak terkendali. Selain itu, penangkaran berperan penting dalam pemulihan populasi reptil di alam melalui program reintroduksi dan restocking. Supaya pemanfaatan reptil dapat lestari, beberapa strategi yang dapat dilakukan adalah : 1. Peningkatan pengetahuan dan penyadartahuan masyarakat Meningkatkan pengetahuan masyarakat dapat dilakukan dengan penyebaran informasi melalui poster kepada masyarakat. Sosialisasi juga dapat dilaksanakan pada siswa sekolah dengan tujuan menanamkan jiwa konservai sejak dini. Penyadartahuan dapat dilakukan dengan pemberian sanksi kepada masyarakat yang tetap melanggar peraturan. 2. Kerjasama multi stakeholders Monitoring dan penertiban peredaran perdagangan satwa tidak dapat dilakukan oleh sebagain saja. Monitoring dan penertiban melibatkan semua pihak seperti masyarakat, pemerintah daerah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kegiatan ini sebaiknya tidak dilakukan sewaktu-waktu namun secara periodik.
48
3. Manajemen habitat dan populasi reptil Kegiatan
ini
meliputi kegiatan
inventarisasi
berkelanjutan terhadap kondisi dan populasi reptil.
dan
monitoring
yang
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1.
Karakteristik pedagang obat dan makan dari reptil didominasi oleh lakilaki, rata-rata usia 43 tahun, lama usaha 2-43 tahun dan etnik Indonesia. Sedangkan karakteristik konsumen obat dan makanan dari reptil didominasi oleh laki-laki, rata-rata usia 34 tahun, latar belakang pendidikan SMA dan etnik Indonesia.
2. Terdapat 14 jenis reptil yang dimanfaatkan sebagai obat dan makanan (ular kobra, king kobra, ular sanca, ular lanang sapi, ular welang, ular weling, ular tanah, ular koros, ular cincin emas, biawak, buaya, kadal, tokek, bulus) dimana 13 jenis reptil dimanfaatkan dalam bentuk obat dan 7 jenis reptil dimanfaatkan dalam bentuk makanan. 3. Terdapat reptil 1 yang dilindungi perundang-undangan Indonesia (buaya), 6 jenis reptil masuk daftar Apendiks II CITE (ular kobra, king kobra, ular sanca, biawak, buaya, dan bulus) dan 2 jenis termasuk vulnerable IUCN (ular sanca dan bulus). 4. Produk obat dari reptil berupa darah, salep, kapsul, cream, minyak, empedu kering, tangkur kering, dan tepung ular. Sedangkan makanan dari reptil antara lain sate, sop, abon, daging goreng, daging goreng tepung 5. Khasiat reptil dipercaya oleh masyarakat untuk mengobati penyakit kulit, lemah syahwat, kencing manis, liver, asma, penglihatan tidak jelas, jantung, asam urat, tekanan darah, memperlancar peredaran darah serta membersihkan darah kotor. 6. Hasil uji indikasi menunjukkan bahwa pemanfaatan daging ular kobra dan biawak sebagai antialergi menunjukkan hasil yang positif. 7. Jalur perdagangan reptil sebagai obat dan makanan di DKI Jakarta terbagi menjadi dua jalur yakni jalur pedagang kecil (pemburu - pengumpul kecil - pengumpul besar - pedagang kaki lima - konsumen) dan jalur pedagang besar (pemburu - pngumpul kecil - bagian produksi - pedagang besar konsumen).
50
6.2 Saran 1. Peningkatan monitoring secara periodik oleh BKSDA DKI Jakarta terhadap pemanfaatan reptil yang dilindungi. 2. Penelitian lebih lanjut terhadap kandungan zat bioaktif yang terkandung pada bagian tubuh reptil yang dimanfaatkan untuk obat dan makanan. 3. Analisis gizi untuk setiap produk makanan yang berasal dari reptil. 4. Pembinaan dan pengawasan dari Badan Pengawasan Obat dan makanan (BPOM) terhadap pemanfaatan reptil sebagai obat dan makanan 5. Penyuluhan dan pendampingan kepada masyarakat untuk pembentukan usaha penangkaran reptil.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra HS dan Syaukani. 2004. Bumi Makin Panas Banjir Makin Luas. Bandung. Yayasan Nuansa Cendekia Aliadi A dan Roemantyo HS. 1994. Kaitan Pengobatan tradisional Dengan Pelestarian pemanfaatan Tumbuhan Obat. Di dalam : Zuhud EAM dan Haryanto, editor. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika. Bogor. Fakultas Kehutanan IPB-Latin. Hlm 16-39. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2003. Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2003 – 2020. Jakarta. Bappenas. Chiodini RJ, Sundberg JP. 1981. Salmonellosis in reptiles: a review. American journal epidemiology 113 (5): 494-499. [Depdikbud] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2003. Keputusan Menteri Kehutanan No 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar. Jakarta. Departemen Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008a. Peraturan Menteri Kehutanan No P. 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008 – 2018. Jakarta. Departemen Kehutanan. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2008b. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar Dari Habitat Alam. Jakarta. Departemen Kehutanan. Duellman We, Heatwole H. 1998. Di dalam : Cogger HG, RG Zweifel, edotor. Encyclopedia of reptiles and Ampibians. San Fransiso. Fog City Press.nsikloped Ensiklopedia Indonesia. 2003. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna : Reptilia dan Amfibia. Jakarta. PT Ichtisar Baru Van Hoeve. Francisca REH. 2008. Minum Darah dan Empedu Ular kobra. http:// www. infogue. com/viewstory/2008/05/23. [16 Agustus 2008]. Fowler ME dan Millar RE. 1999. Zoo and Wild Animal Medicine. USA. United States.
52
Goin CJ dan Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. San Fransisco. WH Freeman and Company. Goin CJ, Goin OB dan Zug GR. 1978. Introduction to Herpetology. San Fransisco. WH Freeman and Company. Halliday T dan Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptils and Amphibians. New York. Fact on Files Inc. Harper LJ, Deaton BJ, dan Priskel JA. 1985. Pangan dan Gizi Pertanian. Suhardjo, penerjemah ; Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : Food, Nutrition and Agriculture Haryanto S. 2005. 30 Jenis Hewan Penakluk Penyakit. Jakarta. Penebar Swadaya. Jogianto. 2008. Metode Penelitian Sistem Informasi . Yogjakarta . CV Andi. Kartikasari D. 2008. Keanekaragaman Jenis dan Nilai Ekonomi Satwa Liar Yang Digunakan Sebagai Obat Di Jawa Tengah [tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Karyadi D dan Muhilal. 1996. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Matison C. 1992. Snakes of The World. New York. Fact on Files Inc. McLaren JE dan Rotundo L. 1985. Health Biology. Massachussets. D.C Heath and Company. Nasi R, Brown D, Wilkie D, Bennet E, Tutin C, Van Tol G, Christophersen T. 2008. Conservation and Use of Wildlife-Based Resources : The Bushmeat Crisis. Canada. Convention and Biological diversity. Nasoetion A, Riyadi H dan Mudjajanto ES. 1993. Dasar-dasar Ilmu Gizi. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Noerdjito M dan Maryanto I. 2001. Jenis-jenis Hayati Yang Dilindungi Perundang-undangan Indonesia. Bogor. LIPI Nugroho E, Whendrato I, Madyana IM dan Kusumo E. 1994. Satwa Berkhasiat Pengobatan. Semarang. Eka Offset. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Philadelphia. WB Saunders Company. Prihatman. 2001. Ikan dan Daging. www. ristek.go.id [27 Februari 2009].
53
Primack, Richard B, Supriatna J, Indrawan M dan Kramadibrata P. 1998. Biology Konservasi. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia Sediaoetama AD. 1987. Imu Gizi. Jakarta. PT Dian Rakyat. Situngkir SVR. 2009. Perdagangan Ular dan Pemanfaatannya Secara Tradisional Di Wilayah Bogor. Skripsi, in press. Soeharsono. 2004. Zoonosis Penyakit Menular Dari Hewan ke Manusia. Yogjakarta. Kanisius. Soehartono T. 1999. Perdagangan Ular kobra (Naja naja sputataix). Di dalam : Konservasi Keanekaragaman Amfibia dan Reptilia di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional ; Bogor, 4 November 199. Bogor: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hlm 106-113. Soehartono T dan Mardiastuti. 2003. Pelaksanan Konvensi CITES di Indonesia. Jakarta. Japan International Cooperation Agency (JICA). Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Bogor. Fakultas Kedokteran IPB. Soemarsono. 1997. Kebijaksanaan Pelestarian Hidupan Liar Yang Diperdagangkan. Di Di dalam : Peran Pelestarian Hidupan Liar dan Ekosistemnya Dalam Pembangunan Nasional Yang Berkelanjutan; Jakarta, 22 Juli 1997. Jakarta : Yayasan Pembinana Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia. Hlm 51- 55. Suporahardjo dan Hargono D. 1994. Industri Obat Tradisional Di Indonesia. Di dalam : Zuhud EAM dan Haryanto, editor. Pelestarian Pemanfaatan Keanekaragaman Tumbuhan Obat Hutan Tropika. Bogor. Fakultas Kehutanan IPB-Latin. Hlm 51-75 Wahyudi W. 2004. Kajian kasus Tole dari segi kesejahteraan satwa. Suara Satwa VII (1). www.isaw.or.id [ 10 Juni 2008] Wikipedia. 2008. DKI Jakarta. www. wikipedia.com [ 20 Desember 2008]
LAMPIRAN
55
Lampiran 1 Panduan wawancara pedagang Panduan Wawancara Daftar Pertanyaan Pemanfaatan Reptil sebagai Menu Makanan
Nama Pemilik : Alamat : Lokasi warung atau rumah makan : Tanggal Wawancara / pengamatan : A. Latar Belakang Usaha 1. Sejak kapan usaha makanan dari reptil ini dibuka ? Jawab : 2. Apakah usaha ini mempunyai izin usha? Jawab : 3. Apa yang melatarbelakangi usaha makanan dari reptil ini ? Jawab :
B. Keanekaragaman Jenis Reptil 1. Jenis reptil apa saja dan dari mana anda memperoleh jenis reptil tersebut ? Jawab : No
Jenis Reptil
1
Ular kobra
2
Buaya
3
Biawak
4
…..
5
…..
6
…..
7
…..
Penangkaran (asal)
Harga/ekor (Rp)
Asal Reptil Pengumpul Harga/ekor (asal) (Rp)
Pemungut (asal)
Harga/ekor (Rp
2. Berapa banyak repti yang harus disediakan setiap harinya? Reptil yang diterima dalam kondisi hidup atau sudah mati /dikuliti atau yang lain? No
Jenis Reptil
1
Ular Cobra
2
Buaya
3
Biawak
4
…..
5
…..
Persedian reptil (hari/kg/ekor)
Reptil yang dihabiskan (hari/kg/ekor)
Kondisi Reptil Hidup
Mati
Keterangan
Alam
56
3. Kendala dalam penyediaan reptil (stock reptil)? Jawab : C. Pemanfaatan Reptil Sebagai Makanan 1. Apakah semua reptil yang didapat pada hari itu langsung diolah semua? Jawab : 2. Bagian tubuh reptil yang mana yang banyak dimanfaatkan? Jawab : No
Jenis Reptil
1
Ular kobra
2
Buaya
3
Biawak
4
…..
5
…..
Daging
Darah
Bagian Tubuh Yang Dimanfaatkan Empedu Hati Minyak Semua Bagian
Lain-lain
3. Menu apa saja yang disediakan di rumah makan atau warung ini dan berapa harga? Jawab : No
Jenis Reptil
1
Ular kobra
2
Buaya
3
Biawak
4
…..
5
…..
Sate
Harga
Sop
Harga
Menu Olahan Reptil Darah+ Harga Abon empedu
Harga
Minyak
Harga
4. Bagaimana cara pengolahan dari masing-masing menu tersebut dan khasiat ? Jawab : No
Menu Olahan
1
Sate
2
Sop
3
Darah +empedu
4
Abon
5
Minyak
6
…..
7
…….
Cara Pengolahan
5. Menu apa yang menjadi trend atau disukai oleh konsumen ? kenapa ? Jawab :
Khasiat
Lainlain
57
D. Persepsi Pedagang Terhadap Kelestarian Reptil 1. Tahulah saudara tentang adanya peraturan yang mengatur pemanfaatan satwa yang dilindungi ? Jawab : Tahu / tidak tahu 2. Tahukah saudara dengan adanya larangan pengambilan satwa yang dilindungi? Jawab : Tahu / tidak tahu
58
Lampiran 2 Panduan wawancara konsumen
Panduan Wawancara Daftar Pertanyaan Pemanfaatan Reptil sebagai Menu Makanan Nama Umur Jenis kelamin Pendidikan Pendapatan Kewarganegaraam Alamat
: : : : : : :
1. Dari mana anda mengetahui rumah makan atau warung yang menjual makanan dari reptil ini ? Jawab : teman / saudara / radio/ TV/ internet 2. Kapan anda pertama kali mencoba / sudah berapa lama mengkonsumsi makanan atau produk olahan dari reptil ( tahun berapa)? Jawab : 3. Mengapa anda tertarik mengkonsumsi reptil ? Jawab : enak / khasiat/ lain-lain..... 4. Seberapa sering anda memakan makanan dari reptil / frekuensi? Jawab : seminggu sekali / sebulan sekali /............ 5. Menu apa yang anda sukai dari setiap produk olahan dari reptil ? Jawab : sate / sop / abon / darah / empedu / ........ Mengapa ? 6. Apakah ada khasiat obat dari dari reptil tersebut / hanya memenuh kebutuhan protein / sekedar mencoba? Jawab : 7. Dari mana anda mengetahui khasiat reptil tersebut ? Sudah terbuktikah ? Jawab : buku / teman / internet / pedagang / ... 8. Berapa kali anda mengunjungi warung ini ? Berapa biaya untuk mengkonsumsi makanan reptil ini ? Jawab : 9. Apakah anda tahu tentang penyakit yang dapat menular dari satwa ke manusia? Bagaimana pendapat anda tentang hal tersebut ? Jawab :
59
12 Tahulah saudara tentang adanya peraturan dan larangan yang mengatur pemanfaatan satwa yang dilindungi? Jawab : Tahu / tidak tahu 13 Bagaiamna pendapat saudara dengan hal tersebut terkait dengan kelestarian reptil di alam ? Jawab : Tahu / tidak tahu
60
Lampiran 3 Tahapan proses pengujian nilai gizi daging reptil Kadar Air 1. Meletakkan 1 gram sampel segar pada botol timbangan. 2. Memasukkan sampel dalam oven pada suhu 1050C selama 8 jam. 3. Menimbang sampel yang sudah dioven. Kadar air = Bobot sampel (segar – kering) x 100% Bobot sampel segar Kadar Abu 1. Meletakkan 1 gram sampel kering dalam wadah porselin. 2. Membakar sampel dalam wadah porselin sampai tidak berasap. 3. Mengabukan sampel dalam tanur bersuhu 6000C selama 1 jam. 4. Menimbang sampel yang sudah diabukan. Kadar abu =
Bobot abu Bobot sampel kering
x 100%
Kadar Protein 1. Meletakkan 0,25 gram sampel kering dalam labu Kjeldahl 100 ml . 2. Menambahkan 0,25 gram selenium dan H2SO4 pekat kedalam labu Kjeldahl 3. Melakukan destruksi selam 1 jam sampai larutan jernih. 4. Menambahkan 50 ml aquades dan 20 ml NaOH 40 % setelah larutan dalam kondisi dingin lalu didestilasi. 5. Menampung hasil destilasi dalam labung Erlenmeyer yang berisi campuran 10 ml H3BO3
2 % dan 2 tetes indicator Brom cresol Grenn – Methyl Red
berwarna merah muda. 6. Menghentikan destilasi ketika volume hasil tampungan menjadi 10 ml dan berwarna hijau kebiruan. 7. Melakukan titrasi destilasi dengan HCL 0,1 M sampai berwarna merah muda. 8. Perlakuan yang sama terhadap Blanko % N = (S-B) x NHCl x 14 x 100% W x 1000 Keterangan : S = Volume titrian sampel (ml) B = Volume tritrian blanko W = Bobot sampel kering (mg)
Kadar Protein = % N x 5,18
61
Kadar Lemak 1. Meletakkan 2 gram sampel kering diatas kapas yang beralaskan kertas saring . 2. Menggulung sampel hingga membentuk thimble dan memasukkannya dalam soxhlet. 3. Mengektraksi selama 6 jam dengan pelarut lemak berupa 150 ml heksana. 4. Mengeringan lemak yang sudah diekstrak dalam oven bersuhu 1000 C selama 1 jam Kadar lemak = Bobot lemak terekstrak x 100% Bobot sampel kering e. Kadar kalsium(Ca) 1. Meletakkan 1 gram sampel dalam cawan petri. 2. Memanaskan sampel diatas pemanas selama 15 menit. 3.Memasukkan sampel yang sudah dipanaskan dalam tanur selama 1 jam hingga menjadi abu. 4. Menambahkan 5 ml HCl 25 % setelah sampel dingin. 5. Mengaduk hingga merata dan diamkan selama 1 jam. 6. Menyaring dan mengambil 2 ml dengan pipet. 7. Mengencerkan larutan dengan aquades hingga 20 ml. 8. Mengambil 15 ml dan dianalisa Atomic absorption spectrofotometer. f. Kadar Fosfor (P) 1. Mengambil 1 ml dari sisa analisis Ca. 2. Mengencerkan larutan dengan aquades hingga menjadi 10 ml. 3. Memasukkan hasil pengenceran kedalam tabung reaksi. 4. Menambahkan 0,5 ml Ammonium molybdate, kocok dan biarkan selama 5 menit . 5. Menambahkan 2 tetes SnCl2, biarkan selama 10-20 menit sampai berwarna biru. 6. Membuat kurva standar 0 – 20 ppm. % P = abs (ppm) x faktor pengenceran (ppm sampel) x 100% 10000
62
Lampiran 4 Karakteristik pedagang obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta Karakteristik pedagang obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Jimy Suha Bidut Erika Ujang Nining Kardi Musidah Kiki Nana
Kategori Pedagang Pedagang besar Pedagang kecil Pedagang kecil Pedagang besar Pedagang kecil Pedagang kecil Pedagang kecil Pedagang kecil Pedagang kecil Pedagang kecil
Usia 45 35 58 30 51 43 40 48 48 40
Jenis kelamin Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki
Etnik Cina Indonesia Indonesia Cina Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Cina Indonesia
63
Lampiran 5 Peta penyebaran pedagang obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta
64
Lampiran 6
Karakteristik Konsumen Obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta
Karakteristik Konsumen Obat dan makanan dari reptil di DKI Jakarta No
Nama
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Subianto Lilik Andri Jimy Andi Aprian Fredi Ale Nugraha Huda Saudi Puji Handoko Udin Edi Tatan Reza Heru Veni Hartono Erik Ali Edi Ade Samuel Samsudin Rahmad Sugianto Edy Hendra
Usia (tahun) 52 54 25 25 47 28 21 42 26 34 46 35 63 25 42 22 22 45 32 22 21 41 38 24 43 23 22 52 40 26
Jenis kelamin Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Perempuan Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki Laki-laki
Tingkat Pendidikan SD SD Perguruan Tinggi (S1) Perguruan Tinggi (S1) SMA SD Perguruian Tinggi(D3) SMA Perguruan Tinggi (S1) SMA SMA SMA SMA SMA SD SMA SMA SMA Perguruan Tinggi (D1) SMP SMA Perguruan Tinggi (S1) Perguruan Tinggi (S1) Perguruan Tinggi (S1) Perguruan Tinggi (S1) Perguruan Tinggi (S1) SMA SD SD SMA
Kewarganegaraaan Cina Cina Cina Cina Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Cina Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Cina Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Indonesia Cina Indonesia Indonesia