PEMANFAATAN POST-CONFLICT NEED ASSESSMENT (PCNA) DAN INDEKS KETAHANAN KONFLIK (IKK) SEBAGAI INSTRUMEN PENGELOLAAN KONFLIK SOSIAL Dr. Ir. Suprayoga Hadi, MSP (
[email protected] /
[email protected]) Perencana Utama, Kedeputian Bidang Pengembangan Regional, Kemen PPN/BAPPENAS Workshop Penilaian Kebutuhan Pasca Konflik (PCNA) dan Indeks Ketahanan Konflik (IKK) Direktorat Pengembangan Daerah Pasca Konflik, Ditjen Pengembangan Daerah Tertentu Kementerian Desa, PDT, dan Transmigrasi Makassar, 15 September 2017
KERANGKA PAPARAN 1. KONDISI DAERAH RAWAN DAN PASCA KONFLIK DI INDONESIA 2. KEBIJAKAN PENANGANAN DAERAH RAWAN DAN PASCA KONFLIK 3. PERAN KEMENDESA PDTT DALAM PENERAPAN PCNA DAN IKK 4. PERLUNYA PEDOMAN PENILAIAN KEBUTUHAN PASCA KONFLIK 5. PENTINGNYA INDEKS KETAHANAN KONFLIK DAERAH TERTINGGAL 6. PEMANFAATAN PCNA DAN IKKDTI DALAM PENGELOLAAN KONFLIK 7. REKOMENDASI TINDAK LANJUT
2
SEBARAN DAERAH TERTINGGAL RAWAN KONFLIK PETA LOKASI DAERAH TERTINGGAL DI INDONESIA
DAERAH TERTINGGAL DAERAH TERTINGGAL
DAERAH MAJU TIDAK TERTINGGAL N
Pada periode RPJMN 2010-2014, 143 dari 183 Kabupaten Daerah Tertinggal dikategorikan sebagai 1000 0 1000 2000 Kilometers daerah rawan dan pasca konflik W
E
S
Pada periode RPJMN 2015-2019, 41 dari 122 kabupaten daerah tertinggal dikategorikan sebagai Daerah rawan dan pasca konflik 3
PENETAPAN DAERAH TERTINGGAL PASKA KONFLIK 2016 -2019 (41 kabupaten) NO
PROVINSI
KABUPATEN
1
ACEH
Aceh Singkil
2
JAWA TIMUR
Situbondo, Bangkalan, Sampang
3
NTB
Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Bima, Dompu, Sumbawa Barat
4
NTT
Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Lembata, Ende, Manggarai, Manggarai Barat, Sumba Barat Daya, Nagekeo, Manggarai Timur, Malaka
5
KALBAR
Sambas, Landak, Ketapang
6
SULTENG
Toli Toli, Donggala, Parigi Moutong, Sigi
7
SULSEL
Jeneponto
8
MALUKU
Maluku Tengah, Buru, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur
9
MALUT
Halmahera Barat
10
PAPUA
Merauke, Nabire, Jayawijaya, Puncak Jaya
11
PAPUA BARAT
Sorong 4
Kejadian Konflik Kekerasan di Indonesia 3500 3000 2500 2000 1500 1000 500 0
Year
Number of incidents
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
45 255 1266 2026 2914 2725 2242 2042 2399 2057 1902 2038 2136 2069 2205 2947 1695
Setelah Sumber: SNPK, 2013 www.snpk-indonesia.com
Kejadian Konflik Pemerintahan di Indonesia 350
Year
Number of incidents
300
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
0 30 53 56 60 63 54 57 158 174 189 218 151 230 173 292 166
250 200 150 100 50 0 19971998199920002001200220032004200520062007200820092010201120122013
Setelah Sumber: SNPK, 2013 www.snpk-indonesia.com
Kejadian Konflik Politik (Pilpres/Pilkada) di Indonesia 350 300
250 200 150
100 50
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
0
Year
Number of incidents
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
0 14 50 16 17 19 37 83 95 73 112 177 239 182 138 296 136
Setelah Source: National Violence Monitoring System, 2013 www.snpk-indonesia.com
Kejadian Konflik Separatisme di Indonesia 2000 1800
Year
Number of incidents
1600
1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
0 31 540 993 1888 1870 1482 1256 178 16 16 14 39 31 39 49 26
1400 1200 1000 800 600 400 200 0 1997199819992000200120022003200420052006200720082009201020112012
Setelah Awalnya, desentralisasi cenderung memicu konflik separatisme, namun selanjutnya menurun secara signifikan, terutama di Aceh setelah ditekennya MoU Helsinki di tahun 2005, sejalan dengan pemberian otonomi khusus untuk Papua dan Aceh di 2001
Sumber: SNPK, 2013 www.snpk-indonesia.com
Evolusi Penanganan Konflik Sosial di Indonesia
Tidak terkoordinasinya upaya penanganan konflik yang fokus pada pendekatan keamanan dibandingkan kesejahteraan
Tumbuhnya konflik identitas dan memburuknya kesenjangan horizontal
Konflik Kekerasan Komunal pada periode 19982004 (konflik SARA)
Analisis Kontekstual Kejadian Konflik di Indonesia
Tumbuhnya radikalisasi di kalangan pemuda dan menurunnya pemahaman atas kebhinekaan
Pergeseran pola konflik yang kompleks, akibat kesenjangan dan tekanan proses demokratisasi
Meningkatnya konflik berbasis Sumber Daya Alam (pemanfaatan ruang dan lahan)
9
Tantangan Kritis dalam Penanganan Konflik Sosial Kemendesakan peraturan pelaksanaan UU 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial
Pemahaman atas potensi konflik berskala lokal dan perumusan respon kebijakan di tingkat nasional
Masih lemahnya regulasi dalam pencegahan konflik dan belum adanya pemutakhiran grand strategy penanganan konflik sosial
Perlunya pembinaan yang berkesinambungan atas pemahaman keberagaman, toleransi dan kohesi sosial
Keterkaitan antara konflik dan pembangunan berkelanjutan belum sepenuhnya dipahami
Diperlukannya kelembagaan yang tanggap dan masyarakat yang tangguh dalam penanganan dan pencegahan konflik secara dini
Diperlukannya skim dan mekanisme dialog yang mutualistik serta membangun kemitraan antar pelaku terkait
Masih lemahnya kebijakan dan kegiatan pembangunan yang mendukung pencegahan dan respon dini terhadap kejadian konflik 10
Kebijakan Pemerintah terkait Penanganan Konflik Sosial 1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN 2005 – 2025): “Meningkatnya rasa aman dan damai bagi seluruh rakyat serta terjaganya keutuhan wilayah NKRI dan kedaulatan negara dari ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri” Tujuan Pembangunan Nasional ke 4” 2. UU No 7 Tahun 2012: Penanganan Konflik Sosial, yang akan menjadi payung hukum bagi berbagai upaya penanganan konflik yang dilakukan di Indonesia pra konflik, saat konflik dan pasca konflik 3. PP nomor 2 thn 2015 tentang peraturan pelaksanaan uu no. 7 thn 2012 4. Permendagri no. 42 thn 2015 tentang koordinasi terkait penanganan konflik sosial
11
UU 7/2012 tentang PENANGANAN KONFLIK SOSIAL ❖ ❖ ❖ ❖
PP MENGENAI TINDAKAN DARURAT PENYELAMATAN DAN PERLINDUNGAN KORBAN (PSL 32 (2)) PP MENGENAI BANTUAN PENGGUNAAN KEKUATAN TNI. (PSL 34 (2)) PP MENGENAI PERAN MASY DLM PENANGANAN KONFLIK (PSL 52 (3)) PP MENGENAI PERENCANAAN, PENGANGGARAN, PENYALURAN, PENATAUSAHAAN, PELAPORAN, DAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN PENDANAAN PENANGANAN KONFLIK (PSL 58)
PP NO.2 /2015 TENTANG PERATURAN PELAKS UU NO.7/2012 TTG PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
SCR SUBTANSIAL MNJWB DGN TEGAS & KOMPREHENSIF KEBUTUHAN PEMPUS & PEMDA DLM PENANGANAN KONFLIK SOSIAL
PENCEGAHAN KONFLIK
PENGHENTIAN KONFLIK
PEMULIHAN PASCA KONFLIK
GUNA MENDUKUNG KELANCARAN PEMBANGUNAN NASIONAL KE DEPAN, DIPERLUKAN KOORDINASI YG BAIK ANTARA UNSUR APARATUR PEMPUS DAN PEMDA
Kebijakan Umum Penanganan Konflik Sosial
Bab II Psl 4 UU No.7/2012
▪ Pencegahan konflik ▪ Penghentian Konflik ▪ Pemulihan Pascakonflik ▪ Rekonsiliasi ▪ Rehabilitasi ▪ Rekonstruksi
13
Lingkup PENANGANAN PASCA KONFLIK sesuai PP 2/2015 1. 2. 3. 4. 5.
Rekonsiliasi: Perlindungan Sosial/Peace Keeping (Psl 57, 58, 59) Perundingan Secara Damai Pemberian Restitusi Pemaafan Rehabilitasi: Pemberdayaan Sosial Sistematis/Peace Making (psl 60-61) a) b) c) d) e) f) g) h) i) j)
pemulihan psikologis Korban Konflik dan pelindungan kelompok rentan; pemulihan kondisi sosial, ekonomi, budaya, keamanan, dan ketertiban; perbaikan dan pengembangan lingkungan dan/atau daerah perdamaian; penguatan relasi sosial yang adil untuk kesejahteraan masyarakat; penguatan kebijakan publik yang mendorong pembangunan lingkungan dan/atau daerah perdamaian berbasiskan hak masyarakat; pemulihan ekonomi dan hak keperdataan, serta peningkatan pelayanan pemerintahan; pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus; pemenuhan kebutuhan dan pelayanan kesehatan reproduksi bagi kelompok perempuan; peningkatan pelayanan kesehatan anak; dan 14 pemfasilitasian serta mediasi pengembalian dan pemulihan aset Korban Konflik.
Lingkup PENANGANAN PASCA KONFLIK sesuai PP 2/2015 6. Rekonstruksi: Sustainable peace (pasal 62) a. pemulihan dan peningkatan fungsi pelayanan publik di lingkungan dan/atau daerah pascakonflik; b. pemulihan dan penyediaan akses pendidikan, kesehatan, dan mata pencaharian; c. perbaikan sarana dan prasarana umum daerah Konflik; d. perbaikan berbagai struktur dan kerangka kerja yang menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, termasuk kesenjangan ekonomi; e. perbaikan dan penyediaan fasilitas pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar spesifik perempuan, anak-anak, lanjut usia, dan kelompok orang yang berkebutuhan khusus; f. perbaikan dan pemulihan tempat ibadah.
15
Latar Belakang PCNA 1. 2.
3.
4.
5. 6.
Salah satu kendala penting dalam pemulihan wilayah paska konflik adalah belum tersedianya instrumen yang memadahi untuk mengukur kerusakan yang ditimbulkan oleh konflik, terutama yang terkait dengan modal sosial (kerugian non-material) yang berdampak pada melemahnya ketahanan sosial dalam masyarakat. Hal ini berbeda dengan bidang penanggulangan bencana alam yang telah memiliki instrumen yang cukup mapan dalam pengukuran tingkat kerugian yang disebabkan oleh terjadinya bencana alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengembangkan Post Disaster Need Assessment (PDNA) sebagai sebuah instrumen baku dalam menghitung tingkat kerugian suatu wilayah akibat terjadinya bencana alam. Dalam PDNA ada dua instrumen pengukuran yang tersedia, yaitu Damage and Lost Assesment (DALA) untuk mengukur tingkat kerusakan dan kehilangan yang diderita suatu wilayah akibat terjadinya bencana alam dan Human Recovery Need Assessment (HRNA) yang mengukur kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk memulihkan kondisi masyarakat paska terjadinya bencana alam. Dalam konteks konflik sosial, disamping instrumen PDNA (DALA dan HRNA) tersebut, sangat dibutuhkan pengukuran terhadap kerugian non-materiil dalam bentuk rusaknya modal sosial dalam berbagai bentu, seperti melemahnya relasi sosial antarmasyarakat, terjadinya segregasi sosial dalam masyarakat, rusaknya budaya yang dimiliki oleh masyarakat, trauma psikologis, luruhnya solidaritas,polarisasi, integrasi, jaringan. Alat ukur yang cermat dan detil atas kerusakan modal sosial paska terjadinya konflik akan sangat membantu masyarakat dan daerah dalam memulihkan kondisi sosial kemasyarakatan, mengembalikan kondisi damai dan sekaligus mencegah berulangnya konflik. Dalam konteks terjadinya konflik sosial, disamping instrument PDNA (DALA dan HRNA), pengukuran terhadap kerugian non-materiil dalam bentuk rusaknya modal sosial dalam berbagai bentuk seperti melemahnya relasi sosial antar masyarakat, terjadinya segregasi sosial dalam masyarakat, rusaknya budaya yang dimiliki oleh masyarakat, trauma psikologis, luruhnya solidaritas, polarisasi, integrasi, jaringan dll, menjadi persoalan yang sangat penting untuk dicermati dan diukur secara detil paska terjadinya konflik sosial untuk membantu masyarakat dan daerah dalam memulihkan kondisi sosial kemasyarakatan seperti sediakala, dengan menambahkan instrumen pengukuran dalam bentuk Social Recovery Need Assessment (SRNA).
16
Ringkasan PCNA 1. Post Conflict Need Assessment (PCNA) adalah suatu rangkaian kegiatan pengkajian dan penilaian akibat, analisis dampak, dan perkiraan kebutuhan, yang menjadi dasar bagi penyusunan rencana aksi pemulihan paska konflik, yang meliputi pengkajian dan penilaian kerusakan dan kerugian fisik (materiil) dan non-fisik (non-materiil). 2. PCNA sendiri terdiri dari tiga bagian utama: a. b. c.
Damage and Loss Assessment (DALA) yang memberi tekanan pada aspek kerusakan yang bersifat material dan dapat dikuantifikasi. Human Recovery Need Assessment (HRNA) memberi tekanan pada kebutuhan manusia : akses dasar, pendapatan, kesehatan, makanan, shelter, dan perumahan. Social Recovery Need Assesasment (SRNA) memberi tekanan pada dampak segregasi, kohesi sosial, solidaritas, polarisasi, dsb.
3. Pengembangan instrumen SRNA setidaknya didasarkan 5 (lima) variabel yang menggambarkan jenis kerusakan sosial akibat terjadinya konflik sosial: a. b. c. d. e.
Kerusakan kapasitas manusia (komunitas); Kerusakan kapasitas lingkungan sosial Kemasyarakatan; Kerusakan kapasitas peradaban/Tata nilai dan budaya masyarakat; Kerusakan kapasitas fisik dan tata ruang; dan Gangguan mental individu dan masyarakat (Trauma psikososial).
4. Kelima variabel kerusakan modal sosial masyarakat tersebut menjadi sangat penting untuk diukur agar diperoleh data dan informasi yang akurat tentang bagaimana proses dan tahapan pemulihan yang perlu dilakukan (jangka pendek, menengah dan panjang) sebagai bahan pengambilan kebijakan penanganan daerah paska konflik di Indonesia. 17
Prinsip Indeks Ketahanan Konflik Daerah Tertinggal 1. IKKDT disusun untuk merespon dua gambaran situasi aktual yang terjadi saat ini: 1) situasi nasional yang meyakinkan dan situasi daerah yang menuntut diperhatikan, dan 2) Momentum kepemimpinan nasional menjadi basis legitimasi politik tersendiri bagi relevansi dan keaktualan upaya pencegahan konflik kekerasan, penguatan kapasitas dan kinerja birokrasi pemerintahan dalam rangka percepatan dan pemerataan pembangunan dan penguatan kapasitas masyarakat untuk mencegah dan mengelola konflik terutama UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Perpres No 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019. 2. IKKDTI 2016 dirumuskan dan dihasilkan untuk memberi gambaran cepat mengenai ketahanan sekaligus kerawanan suatu daerah tertinggal terhadap konflik kekerasan, yang tersebar untuk periode 2015 – 2019 pada 122 kabupaten yang ditunjukkan dengan ketertinggalan dalam hal kualitas pembangunan, kualitas demokrasi dan kualitas penegakan hukum. 3. IKKDTI 2016 dibangun dari kerangka berpikir yang peka terhadap kondisi struktural daerah tertinggal dan peka terhadap konteks nasional terkini, yang tergambar dalam 3 aspek penting yakni tata kelola, kapasitas kelembagaan dan ketahanan masyarakat, yang kombinasi ketiga aspek tersebut menentukan tingkat ketahanan dan kerawanan suatu daerah terhadap konflik, sekaligus memberi informasi tentang 18 kapasitas perdamaian.
Rangkuman IKKDT 2016 1. IKKDTI 2016 menggunakan 4 kategori ketahanan konflik yakni tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah, yang dimaksudkan untuk menggambarkan secara detil tingkat ketahanan suatu daerah terhadap konflik kekerasan sekaligus tingkat kerentanannya, sehingga dapat memberi gambaran prioritas daerah tertinggal yang perlu mendapat intervensi kebijakan dan program. 2. Dalam IKKDTI 2016 ini, terdapat 31 kabupaten (25,41 %) yang memiliki angka indeks tinggi atau memiliki tingkat ketahanan konflik tinggi, terdapat 44 kabupaten (36,07 %) masuk dalam kategori sedang atau memiliki tingkat ketahanan sedang, 22 kabupaten (18,03 %) dengan kategori indeks ketahanan rendah atau memiliki tingkat ketahanan rendah, dan 25 kabupaten (20,49 %) yang memiliki nilai indeks sangat rendah atau ketahanan konflik sangat rendah. 3. Pesan utama hasil IKKDTI 2016 adalah tingkat ketahanan sekaligus kerawanan daerah tertinggal terhadap konflik kekerasan, yang ditunjukkan oleh kombinasi aspek tata kelola, capaian kapasitas kelembagaan dan daya tahan masyarakat. 4. Hasil IKKDTI 2016 memberi basis empirik bagi keharusan memahami ketahanan dan kerawanan konflik kekerasan di daerah tertinggal melalui dinamika interaksi antara demokrasi, pembangunan ekonomi dan penegakan hukum-keamanan, yang ditunjukkan dengan persoalan kerentanan struktural yang terkait dengan akses kepada pelayanan publik, akuntabilitas kebijakan, dan keadilan hukum, yang menghasilkan kelompok-kelompok rentan (vulnerable groups) terhadap kekerasan kolektif baik sebagai pelaku maupun sebagai korban. 5. Dalam situasi tersebut, tata kelola kepemerintahan dapat memicu kerentanan menjadi konflik kekerasan atau sebaliknya dapat mengubah kerentanan menjadi resiliensi bagi kepentingan publik melalui partisipasi, transparansi dan akuntabilitas kebijakan, melalui Tata kelola yang peka konflik memadukan kearifan demokrasi, menjunjung tinggi keadilan sosial dan ekonomi serta mencegah rusaknya kohesi sosial. 19
REKOMENDASI TINDAK LANJUT 1. Rapat Sosialisasi PCNA dan IKKDT ini idealnya harus dilaksanakan di awal RPJMN dan segera setelah terbitnya UU 7/2012 dan Perpres 131/2015, namun diharapkan keterlambatan ini tidak mengurangi dari substansi rapat hari ini, sebagai upaya untuk memberikan pemahaman kepada Pemerintah Daerah Tertinggal yang dikategorikan rawan dan pasca konflik. 2. PCNA perlu lebih disosialisasikan di tingkat Pusat, melalui koordinasi dan konsultasi yang intensif dengan K/L terkait di Pusat, utamanya Kemenko Polhukam, Kemenko PMK (terkait SNPK), Kemendagri, BAPPENAS, BNPB, dan Kemensos, serta dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk dapat menentukan 3 hal pokok: (1) jenis data dan informasi yang akan digunakan dalam PCNA, (2) tahapan pasca konflik yang akan dinilai kebutuhannya (rekonsiliasi, rehabilitasi, rekonstruksi, serta pembangunan perdamaian); dan (3) fokus pada manfaat dan kesinambungannya dalam fasilitasi kebijakan penanganan daerah pasca konflik. 3. Fasilitasi yang diberikan harus terfokus dan prioritas pada rekonsiliasi, rehabilitasi, rekonstruksi, serta pembangunan perdamaian di tingkat masyarakat di lokasi pasca konflik, dalam rangka pemulihan infrastruktur dasar dan pengembangan potensi perdamaian yang mendukung kesinambungan pembangunan pasca konflik di tingkat daerah dan khususnya di masyarakat. 4. IKKDT perlu juga disepakati dulu di tingkat Pusat, bersama K/L terkait, untuk dapat dijadikan rujukan bersama dalam menyusun IKKDT setiap tahunnya atau dalam kerangka jangka menengah, sebagai masukan dalam penyusunan RPJMN dan termasuk RPJMD daerah tertinggal yang dikategorikan rawan dan rentan konflik. 5. Perlu adanya integrasi dan konsolidasi IKKDT dengan SNPK yang dikelola Kemenko PMK, serta dengan Tim Terpadu PKS yang dikoordinasikan Kemenko Polhukam dan Kemendagri, termasuk dibangun sinergi dengan beberapa indeks terkait lainnya, seperti indeks demokrasi, indeks pembangunan manusia, khususnya di daerah tertinggal. 20