2 PENDEKATAN TEORITIS ANALISIS KONFLIK DAN PENGELOLAAN KONFLIK 2.1 Kerangka Teoritis Analisis Konflik dan Pengelolaan Konflik 2.1.1 Definisi dan anatomi konflik Terdapat beragam literatur yang terkait dengan pendekatan teoritis untuk menggambarkan dan menjelaskan konflik. Konflik pada dasarnya merupakan fungsi dari struktur sosial, hubungan antar kelas, atau perilaku individu dalam masyarakat. Konflik dapat terjadi dimana individu berupaya memperoleh hasil maksimal dengan pengorbanan sekecil mungkin, yang dalam prakteknya perilaku ini seringkali mengorbankan kepentingan pihak lain yang pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Konflik dapat diartikan dari sudut pandang positif atau negatif, serta dari perspektif konstruktif maupun destruktif (Powelson 1972), atau pelanggaran, pengasingan maupun bukan pelanggaran (Wallace 1993). Definisi konflik berkembang dan tidak hanya berfokus pada tindakan antagonistik (antagonistic action) tetapi juga memasukan istilah ketidaksetujuan yang tajam atau penentangan atas kepentingan, ide dan lain-lain. Konflik dapat pula diartikan sebagai “kepentingan yang dirasakan sangat berbeda sehingga keinginan para pihak tidak dapat dicapai secara bersamaan” (Pruit dan Rubin 1986). Pengertian lainnya adalah “interaksi antara orang-orang yang saling bergantung satu sama lain yang memiliki tujuan berbeda dimana mereka saling mengintervensi untuk mencapai tujuan masing-masing (Hocker 1985). Pada dasarnya konflik itu nyata, bisa destruktif (negatif) bisa juga konstruktif (positif), dan kadangkala tidak bisa diselesaikan. Tapi yang penting adalah bagaimana respon terhadap konflik tersebut, bagaimana nilai dan wawasan baru ditumbuhkan agar dapat digunakan untuk menghadapi dan mengelola konflik tersebut. Pendapat ahli yang lain mendefinisikan konflik sebagai situasi yang nonkooperatif yang melibatkan kelompok orang yang memiliki tujuan berbeda. Konflik merupakan proses dinamis dan dapat dipandang sebagai katalis positif bagi perubahan. Namun demikian, konflik sering juga dipandang sebagai hal yang
negatif, tetapi pendapat ini tidak seluruhnya benar (Warner and Jones 1998). Powelson (1972) berpendapat bahwa konflik dapat diartikan negatif jika secara agregasi kelompok tidak memperoleh manfaat dari adanya konflik (zero-sum game) atau dimana terjadi deadweight loss sumberdaya sosial sebagai akibat dari argumen ”guns vs butter” (Neary 1997). Pada situasi yang lain, konflik dapat dipandang sebagai hal positif. Dalam kasus ini konflik yang muncul sebaiknya jangan diredam atau dihilangkan sama sekali. Dalam konflik yang positif, maka barang atau jasa dapat diproduksi lebih murah. Selain itu pemerintah juga menjadi lebih efisien, kegagalan dalam membangun kelembagaan dapat dihindari serta masyarakat dapat berfungsi secara efisien dalam menyelesaikan konflik-konflik kecil yang biasanya lebih sering terjadi (Powelson 1972). Menurut Lewicky et al. (2001) manfaat positif konflik antara lain : 1) Konflik membuat anggota organisasi lebih menyadari adanya persoalan dan mampu menanganinya. 2) Konflik menjanjikan perubahan dan adaptasi. 3) Konflik memperkuat hubungan dan meningkatkan moral. 4) Konflik meningkatkan kesadaran diri sendiri dan orang lain, artinya melalui konflik orang belajar tentang apa yang membuat mereka marah, frustasi dan takut. 5) Konflik meningkatkan perkembangan pribadi. 6) Konflik mendorong perkembangan psikologis, dalam hal ini orang menjadi lebih realistis dan akurat dalam mengukur dirinya. 7) Konflik dapat memberikan rangsangan dan kesenangan karena orang merasa terpuji, terlibat dan hidup di dalam konflik menjadi istirahat dari hal-hal yang rutin dan mudah. Definisi di atas menunjukkan bahwa para ahli memandang konflik dari perspektif yang berbeda, tetapi intinya tetap sama yaitu adanya perbedaan pandangan dan pemahaman antar pihak terhadap sesuatu kepentingan. Dalam rangka mengklasifikasi apakah konflik bersifat positif atau negatif, maka sangat bermanfaat untuk melihat bagaimana konflik terjadi dan apa penyebab yang paling mendasar terhadap timbulnya konflik.
11
Aubert (1963), Boulding (1966) dan Powelson (1972), membedakan konflik yang masih berada dalam konsensus atau konflik yang sudah melewati konsensus. Pada konflik yang masih dalam konsensus semua pihak yang berkonflik setuju terhadap nilai (value) yang mereka inginkan tetapi mereka tidak mampu untuk mencapainya. Sedangkan konflik yang melewati batas konsensus, pihak yang berkonflik tidak dapat mencapai kesepakatan tentang nilai yang mereka inginkan dan mereka sendiri tidak tahu bagaimana mencapainya. Oleh sebab itu dampak konflik dapat diukur dari sejauh mana pihak yang berkonflik mencapai kesepakatan (Coser 1972). 2.1.2 Wujud dan sebab-sebab terjadinya konflik Wijardjo et al. (2001) menyebutkan wujud konflik dapat tertutup (latent), mencuat (emerging) dan terbuka (manifest), seperti pada Gambar 1.
TANPA KONFLIK
KONFLIK MENCUAT
KONFLIK TERTUT UP
KONFLIK TERB UKA
Gambar 1. Hubungan sasaran dan perilaku dalam konflik (Fisher et al. 2000) Konflik tertutup dicirikan dengan adanya tekanan-tekanan yang tidak nampak yang tidak sepenuhnya berkembang dan belum terangkat ke puncak konflik. Seringkali satu atau dua pihak belum menyadari adanya konflik bahkan yang paling potensialpun. Konflik mencuat adalah perselisihan dimana pihakpihak yang berselisih teridentifikasi. Mereka mengakui adanya perselisihan, kebanyakan permasalahannya jelas, tapi proses negosiasi dan resolusi masalahnya
12
belum berkembang. Sedangkan konflik terbuka adalah konflik dimana pihakpihak yang berselisih secara aktif terlibat dalam perselisihan yang terjadi, mungkin sudah mulai bernegosiasi, dan mungkin juga mencapai jalan buntu. Bennett dan Neiland (2000), menyatakan bahwa konflik sifatnya multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam suatu hubungan yang kompleks. Lebih lanjut, disebutkan terdapat tiga dimensi yang mempengaruhi terjadinya konflik, yaitu: aktor, ketersediaan sumberdaya dan dimensi lingkungan. Termasuk ke dalam dimensi aktor adalah pihak-pihak yang sedang berkonflik. Aktor dapat terdiri dari pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat lokal. Bentuk hubungan antar aktor sangat mempengaruhi bentuk resolusi konflik yang dapat diajukan. Bentuk hubungan tersebut dipengaruhi oleh pada tingkatan mana konflik tersebut terjadi (tingkat pusat, daerah atau masyarakat), kedudukan atau status masing-masing aktor tersebut (konflik dapat terjadi secara vertikal maupun horisontal), serta kekuatan masing-masing pihak yang berkonflik. Walaupun demikian Jabri (1996) mengingatkan bahwa menganalisis konflik melalui pola hubungan antar aktor relatif sulit, mengingat aktor yang secara relatif memiliki posisi dan kekuatan yang lebih baik akan cenderung lebih didengar dibandingkan dengan lawannya yang memiliki posisi dan kekuatan lebih lemah. Ketersediaan sumberdaya berhubungan erat dengan aktivitas masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) mengemukakan bahwa aktivitas yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir dapat dikelompokkan ke dalam hubungan yang sinergistik, komplementer, kompetitif dan antagonistik. Dari ke empat model ini maka hubungan yang kompetitif dan antagonistik berpotensi menyebabkan konflik (baik konflik fisik, konflik biologis, sosial maupun ekonomi). Konflik pada umumnya terjadi karena adanya kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya. Dalam menganalisis peranan ketersediaan sumberdaya terhadap terjadinya konflik, Bennett dan Neiland (2000) berpendapat bahwa interaksi antara sumberdaya yang menjadi konflik dengan ekosistem juga harus mendapat perhatian, karena perubahan salah satu sistem dari ekosistem akan mempengaruhi ekosistem lain secara keseluruhan.
13
Peranan lingkungan juga menjadi dimensi penting dalam menganalisis tipologi konflik. Hal ini disebabkan konflik pemanfatan sumberdaya alam terjadi karena sumberdaya alam dieksploitasi dengan tanpa memperhatikan nilai sesungguhnya (true value). Nilai sesungguhnya dari sumberdaya serta biaya kerusakan yang ditimbulkan sebagai akibat over eksploitasi dikenal dengan eksternalitas. Dalam hal ini eksternalitas seringkali tidak diperhitungkan ke dalam pemanfaatan sumberdaya. Schlager et al. (1992) menyebutkan tiga jenis eksternalitas yang menjadi dilema dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, yaitu : 1)
Appropriation externalities. Dalam perhitungan ekonomi, ketika seorang nelayan menangkap ikan dari
stok ikan yang tersedia di laut, proses tersebut meningkatkan biaya marjinal dari setiap tambahan ikan yang ditangkapnya sekaligus menurunkan manfaat marjinal dari setiap tambahan upaya penangkapannya. Dengan demikian, peningkatan biaya penangkapan ikan karena mengecilnya stok ikan di laut tidak hanya berpengaruh pada nelayan yang menangkap ikan, tetapi juga nelayan lainnya yang ikut memanfaatkan stok ikan tersebut. 2)
Technological externalities. Eksternalitas ini muncul ketika para nelayan secara fisik saling melakukan
intervensi di lokasi penangkapan ikan yang pada akhirnya dapat memicu timbulnya konflik. Technological externalities dapat didefinisikan sebagai terjadinya pelanggaran alat tangkap terhadap alat tangkap lainnya atau bentukbentuk ketersinggungan fisik lainnya yang muncul akibat nelayan melakukan penangkapan ikan sangat berdekatan satu dengan lainnya. 3)
Assignment problems. Assignment problems muncul ketika nelayan menangkap ikan secara tidak
terkoordinasi sehingga tidak mampu mengalokasikan diri mereka secara efisien pada daerah tangkapan tersebut. Permasalahan muncul mengenai siapakah yang memiliki akses ke daerah produktif tersebut dan bagaimana akses tersebut harus ditetapkan/dibagikan. Kegagalan dalam memecahkan assignment problems dapat memicu konflik dan meningkatkan biaya produksi.
14
Dari pengalaman empiris maka konflik atas sumberdaya alam di berbagai daerah di Indonesia dapat digolongkan dalam konflik yang bersifat struktural, dengan melibatkan unsur-unsur lainnya. Pada pengelolaan perikanan tangkap, terdapat tujuh penyebab konflik seperti dijelaskan berikut ini (Anonimous 2002). Pertama, konflik yang timbul karena persepsi politis yang keliru dalam memahami batas-batas perairan wilayah setelah diberlakukannya otonomi daerah. Para nelayan menentukan sendiri batas-batas wilayah perairannya. Dengan persepsi demikian, kelompok-kelompok nelayan yang berasal dari suatu daerah/kabupaten dilarang melaut di perairan daerah/kabupaten lain. Dalam konflik jenis ini, biasanya tingkat kecanggihan peralatan tangkap bukan sebagai faktor utama, faktor utama konflik adalah asal-usul daerah/kabupaten nelayan. Kedua, konflik yang terjadi karena perebutan daerah/lokasi tangkapan. Daerah/lokasi demikian sudah dipersepsi oleh nelayan memiliki potensi perikanan yang cukup banyak. Nelayan-nelayan yang terlibat memiliki tingkat kualitas peralatan tangkap yang sama dan menangkap jenis sumberdaya perikanan yang sama. Fokus utama konflik adalah perebutan daerah/lokasi penangkapan. Ketiga, konflik yang terjadi karena perbedaan kapasitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan nelayan yang memiliki kapasitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Keempat, konflik yang terjadi karena perbedaan kualitas peralatan tangkap antar kelompok nelayan dalam menangkap jenis ikan yang berbeda, tetapi pada daerah penangkapan yang sama. Akibatnya, bisa mengurangi hasil tangkapan yang memiliki kualitas peralatan tangkap yang lebih rendah. Hal ini dapat dicontohkan antara nelayan yang mengoperasikan jaring bergerak dengan nelayan yang mengoperasikan jaring menetap atau perangkap. Kelima, konflik yang timbul karena pelanggaran batas wilayah perairan. Misalnya, perairan pantai diperuntukkan untuk nelayan-nelayan tradisional, tetapi nelayan-nelayan yang memiliki peralatan tangkap lebih canggih menangkap jenis ikan yang sama di perairan pantai. Keenam, konflik yang timbul karena operasi perahu sekelompok nelayan merusak/menerjang peralatan tangkap nelayan lain. Tingkat kualitas peralatan
15
tangkap mereka bisa berbeda tetapi menangkap jenis ikan yang sama dan berada dalam lokasi penangkapan yang sama. Ketujuh, konflik yang timbul karena pelanggaran hak ulayat laut masyarakat lokal. Hal ini bisa terjadi karena pelanggaran batas-batas perairan milik masyarakat adat oleh nelayan-nelayan lain atau pengambilan sumberdaya perikanan di wilayah perairan hak ulayat laut yang tidak sesuai dengan normanorma lokal, baik dilakukan oleh nelayan lokal, maupun nelayan lain. Konflik perikanan tangkap umumnya muncul terkait dengan bagaimana mempertahankan kesejahteraan masyarakat di satu sisi, kepentingan industri dan kelestarian sumberdaya perikanan di sisi lain. Charles (1992) telah membuat model konseptual untuk menganalisis berbagai isu konflik perikanan. Kerangka tersebut dikenal sebagai paradigma segitiga (triangle paradigm) yang terdiri dari tiga isu, yaitu efisiensi, konservasi dan komunitas sosial. Keberhasilan pengelolaan perikanan tangkap membutuhkan partisipasi aktif dari stakeholder utama dan sekunder. Selanjutnya yang lebih penting adalah apakah ada koherensi antara tujuan yang diinginkan dengan yang dirasakan dari suatu sistem secara keseluruhan, dengan kepentingan kelompok stakeholder yang berbeda (Brown et al. 2001; Charles 1992). Dalam pengelolaan sumberdaya alam sering diperdebatkan pentingnya menyatukan persepsi stakeholder dalam proses pengelolaan. Khususnya bagaimana persepsi stakeholder terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan bagaimana mereka dapat terlibat dalam proses pengelolaan tersebut. Berdasarkan pengalamannya di Tobbago, Brown et al. (2001) mengelompokkan stakeholder ke dalam suatu “kontinum” dan “pengaruhnya”. Kedudukan dalam kontinum menyatakan posisi stakeholder dalam kaitannya dengan wilayah kerja (global, nasional, regional dan lokal) serta posisi mereka dalam “melihat” situasi. Berdasarkan kriteria tersebut stakeholder dapat dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: 1) Primary stakeholder, yaitu mereka yang memiliki kedudukan yang sangat penting tetapi pada umumnya mereka menganggap bahwa mereka mempunyai pengaruh yang lemah.
16
2) Secondary stakeholder, adalah mereka yang mempunyai posisi cukup penting dan cukup memiliki pengaruh, mereka bisa saja terlibat secara langsung dan merupakan bagian integral dari pengelolaan perikanan. 3) External stakeholder, mereka dapat saja sangat mempengaruhi tetapi memiliki kedudukan yang tidak terlalu penting dalam pengelolaan perikanan. Mereka memiliki pengaruh yang cukup signifikan karena kemampuannya melobi pihak atau organisasi lain. Brown et al. (2001) menjelaskan bahwa konflik yang terjadi di perikanan lebih banyak melibatkan primary dan secondary stakeholder yang banyak melibatkan masyarakat lokal. Penyebab konflik dapat dikelompokkan ke dalam penyebab internal dan penyebab eksternal. Penyebab internal terkait dengan karakteristik individu atau kelompok yang berkonflik, sedangkan penyebab eksternal adalah semua faktor yang berada diluar kontrol individu atau kelompok. Berdasarkan hal itu, konflik yang disebabkan oleh faktor-faktor sebagaimana yang dikemukakan oleh Charles (1992) dapat dikelompokkan ke dalam penyebab atau faktor eksternal. Bradford dan Stringfellow (2001) menyatakan bahwa perbedaan karakteristik individu yang menjadi anggota kelompok dapat memicu timbulnya konflik. Perbedaan ini akan mempengaruhi outcome dari kelompok yang bersangkutan. Outcome dapat diukur dari kinerja kelompok, kreativitas dan kepuasan anggota terhadap outcome kelompok. Jika ditinjau konstruksinya, maka konflik memiliki konstruksi yang multidimensional (Amason et al. 1995; Jehn 1995). Selanjutnya mereka mengelompokkan konflik menjadi: 1) affective conflict dan 2) task conflict. Gilbraith dan Stringfellow (2002) menjelaskan konflik afektif terjadi karena dua hal, yaitu: perbedaan kekuatan (power) dan komitmen. Suatu kelompok dimana perbedaan kekuatannya sangat besar akan cenderung mengalami friksi personal yang lebih tinggi ketimbang kelompok yang anggotanya berasal dari status sosial yang sama. Friksi juga dapat terjadi ketika sebagian anggota memiliki komitmen untuk menyelesasikan masalah sementara anggota yang lain bersikap masa bodoh terhadap masalah yang dihadapi oleh kelompok yang bersangkutan.
17
Task conflict disebabkan karena adanya perbedaan pengetahuan, kekuatan dan komitmen diantara anggota kelompok. Perbedaan keahlian dapat berwujud perbedaan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan anggota kelompok terhadap masalah yang dihadapi serta upaya memecahkannya. Adanya perbedaan keahlian ini dapat menyebabkan masing-masing anggota mengajukan pendekatan atau pandangan yang berbeda terhadap masalah yang dihadapi, sehingga perbedaan tersebut pada akhirnya malah dapat menimbulkan konflik. Bradford dan Stringfellow (2002) mengemukakan konflik dalam sebuah kelompok dapat disebabkan karena perbedaan kemampuan dan pandangan terhadap masalah atau tantangan yang dihadapi. Secara umum perbedaan tersebut terkait dengan karakteristik demografik yang dapat diamati (visible) seperti jenis kelamin, usia, dan latar belakang etnik. Milliken and Martins (1996) menambahkan faktor yang tidak dapat diamati langsung (unobservable diversity) dan “deep level” (Harrison et al. 1998) seperti kepribadian dan tata-nilai yang dianut. Dalam penelitiannya berhasil dibuktikan bahwa perbedaan atribut deep level memberikan kontribusi terhadap kualitas output yang dihasilkan oleh kelompok. Ury (1993) berhasil mengidentifikasi faktor lain yang dapat memicu timbulnya konflik, yaitu: kepentingan (interest), hak-hak (rights) dan status kekuasaan (power). Dalam proses resolusi konflik, pihak-pihak yang berkonflik umumnya akan berupaya mempertahankan ketiga faktor tersebut agar kepentingannya tercapai, hak-haknya terpenuhi dan untuk itu kekuasaannya diperlihatkan, dimanfaatkan, dan dipertahankan. 2.1.3 Metoda pengelolaan konflik Melling (1994) dalam FAO (1998) mendefinisikan conflict resolution sebagai proses dimana dua atau beberapa kelompok yang berkonflik berupaya memperbaiki kondisi melalui tindakan koperatif dengan jalan memberikan kesempatan pada semua pihak yang berkonflik untuk memperbesar “kue” dan menjaga jangan sampai “kue” tersebut menciut. Dengan demikian setiap kelompok pada akhirnya akan mendapat bagian “kue” yang lebih besar. Definisi
18
ini secara implisit menyiratkan bahwa resolusi konflik berupaya menghasilkan manfaat untuk semua pihak. Conflict resolution atau resolusi konflik adalah jalan keluar dari perselisihan yang terjadi antara dua orang/kelompok atau lebih sehingga dicapai perdamaian. Resolusi, dimana pihak–pihak yang bertikai segera mengadakan perjanjian perdamaian dengan membahas isu-isu resolusi konflik tersebut, namun bukan dengan mengutamakan pembahasan mengenai faktor-faktor yang memicu konflik tersebut. Resolusi biasanya membutuhkan suatu tekanan, lebih sering tekanan dari pihak luar yang bertikai. Tanpa tekanan, tampaknya konflik akan timbul lagi walaupun mungkin hal ini diekspresikan dengan cara lain. Singth dan Vlatas (1991) menyatakan bahwa ada lima pendekatan yang dapat digunakan oleh pihak yang berkonflik untuk menyelesaikan konflik, yaitu : 1) Forcing. Pendekatan yang bersifat win-lose solution, dimana satu pihak merasa menang dan pihak lain merasa kalah. Pendekatan ini sering menimbulkan rasa marah dan rusaknya hubungan antara pihak yang berkonflik. 2) Withdrawal. Pendekatan dimana pihak yang berkonflik keluar dari konflik atau menghindari isu konflik. Pendekatan ini tidak efektif karena konfliknya sendiri tidak diselesaikan secara tuntas. 3) Smoothing. Pendekatan yang lebih mencari kesamaan pandangan daripada perbedaan terhadap isu konflik. Sebagaimana withdrawal, pendekatan ini pada dasarnya tidak mampu menyelesaikan akar konflik, dengan demikian perbedaan pandangan yang menjurus pada timbulnya konflik susulan dapat terjadi. 4) Compromising. Pendekatan dimana masing-masing pihak yang berkonflik saling menimbang dan mencari solusi. Kompromi dapat dicapai dan sering kali dengan melibatkan pihak ketiga, negoisasi dan bahkan voting. Resolusi konflik pada pendekatan ini dipengaruhi oleh kekuatan relatif dari masingmasing pihak.
19
5) Confrontation. Pendekatan dimana pihak yang berkonflik menyelesaikan perbedaan diantara mereka dengan memfokuskan pada isu konflik, kemudian mencari alternatif resolusinya dan akhirnya memilih alternatif yang terbaik dalam menyelesaikan konflik. Pendapat lain mengelompokkan resolusi konflik ke dalam suatu kontinum. Kontinum adalah suatu alur yang menghubungkan dua kondisi ekstrim yang bertolak belakang, mulai dari pelanggaran dan perusakan pada satu sisi hingga kondisi pembiaran konflik itu tetap terjadi (masa bodoh) pada sisi yang lain. Diantara ke dua ektrim tadi maka pendekatan resolusi konflik sebenarnya bekerja. Mengacu pada formalitas legal, proses resolusi konflik dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu melalui proses peradilan (litigasi) dan diluar pengadilan atau resolusi konflik alternatif (Alternative Dispute Resolution/ADR). Melalui proses resolusi konflik secara litigasi, akan memunculkan pihak yang menang dan pihak yang kalah. Sementara pada pendekatan ADR output yang dihasilkan lebih fleksibel dan lebih dapat diterima oleh semua pihak yang berkonflik dan hasilnya lebih berorientasi jangka panjang. Selain itu ADR lebih populer digunakan untuk mengatasi konflik yang terkait dengan masalah lingkungan dan sumberdaya alam. Jenis-jenis resolusi konflik alternatif (ADR) yang sering digunakan terdiri dari negoisasi, mediasi, fasilitasi dan arbitrase. Berbagai pakar resolusi konflik sering menggunakan konsep piramid sebagai simbolisasi berbagai metode resolusi konflik. Piramid resolusi konflik menggambarkan pilihan proses resolusi konflik mulai dari isolation hingga ke cooperation. Proses resolusi konflik menggunakan hukum formal (litigasi) akan menghasilkan suasana yang terisolasi karena ada pihak yang dimenangkan dan yang dikalahkan oleh tatanan hukum formal, sementara resolusi konflik yang menggunakan pendekatan ADR akan menghasilkan kondisi yang kooperatif. Hal ini disebabkan pihak yang berkonflik saling berinteraksi untuk mencapai kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Pemilihan metode resolusi konflik sangat situasional. Resolusi konflik melalui cooperative action berupaya untuk memperoleh hasil yang saling menguntungkan (win-win solutions) guna menghasilkan kondisi yang lebih baik (better off) bagi semua pihak. Walaupun demikian, tidak dapat diartikan bahwa
20
pendekatan ini merupakan pendekatan yang terbaik untuk pihak yang berkonflik. Dalam beberapa situasi, sekelompok orang yang berkonflik justru memperoleh manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan kelompok lainnya. Dalam sistem hukum formal, resolusi konflik melalui pendekatan litigasi (pengadilan) yang menggunakan aturan hukum yang kaku, sering menghasilkan kelompok yang lebih superior di mata hukum. Oleh sebab itu pendekatan ini menghasilkan pihak yang kalah dan menang. Walaupun demikian tidak dapat diartikan bahwa pendekatan litigasi merupakan opsi yang buruk. Dalam beberapa kasus, resolusi konflik melalui pendekatan litigasi justru dibutuhkan, misalnya konflik dimana batasan hukumnya sudah jelas. Dalam resolusi konflik, seorang dari luar atau satu orang yang penting dapat diminta untuk membantu bernegosiasi dengan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik. Keterbukaan adalah hal yang penting untuk memecahkan semua masalah. Bila keputusan yang diambil dari pihak-pihak tersebut dapat berjalan lancar dan sesuai dengan keinginan kedua belah pihak. Perjanjian dan jalan keluar yang diambil sebaiknya keluar dari mereka sendiri dan bukan dari pihak luar. Resolusi konflik pada dasarnya tidak dilakukan atas dasar siapa yang benar, siapa yang salah, tapi lebih didasarkan pada pengakuan dan penghargaan atas adanya perbedaan posisi dan kepentingan para pihak yang terlibat Untuk mencapai kondisi “kesepakatan yang berkesinambungan (durable settlement)”, Lincoln (1986) menyebutkan tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Substantive interests, yaitu: content need, dana, waktu, material dan sumberdaya. 2) Procedural interests, yaitu kebutuhan akan perilaku tertentu atau cara bagaimana sesuatu dapat diselesaikan. 3) Relationship or phsychological interest, yaitu kebutuhan yang merujuk pada perasaan seseorang, bagaimana seseorang diperlakukan, dan prakondisi untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan. Ketiga prasyarat di atas sering digambarkan dalam bentuk “satisfaction triangle” seperti pada Gambar 2.
21
Psikologi
A B Kepentingan substantif
Prosedur
Gambar 2 . Segitiga kepuasan (Diadopsi dari Lincoln 1986) Idealnya partisipasi masyarakat dan pengelolaan konflik berupaya mencapai titik A,
yaitu kondisi optimal dimana prosedur, psikologi dan
kepentingan substantif secara seimbang dapat dipenuhi. Tetapi sering kali yang tercapai adalah kondisi yang tidak optimal, misalnya pada titik B. Pada titik ini masalah substantive atau content aspect dapat terpenuhi tetapi pencapaian kedua aspek lainnya (psikologi dan prosedur) relatif rendah. Pengelolaan konflik (conflict management) terdiri atas berbagai teknik yang digambarkan dalam suatu spektrum. Perbedaan teknik resolusi konflik tersebut disebabkan derajat formalitas/struktur, partisipasi pihak ketiga (seperti fasilitator atau mediator) dan derajat partisipasi langsung dari pihak yang berkonflik Spektrum tersebut dapat digambarkan dalam suatu kontinum seperti pada Gambar 3.
22
Hot Tub
Tidak dibimbing
Dibimbing
C
Keputusan dari pihak ke tiga
Perang
A -
B Substantif Konsiliasi Saling tukar info Kerjasama Negosiasi
Relationship Building Assistance - Counceling - Conciliation - Team building - Informal sosial activities
-
Procedural Assistance - Coaching consultation - Training - Facilitation - Mediation
Tidak mengikat - Arbritasi - Summary jury Trial
Mengikat - Arbitrasi - Panel sengketa - Pengadilan - Judging
Substantive Assistance Mini-trial Technical advisory board Dispute panels Advisory mediation Fact finding Settlement conference
Gambar 3. Kontinum teknik alternative dispute resolution (Diadopsi dari Priscoli 2003) Pada gambar diatas dapat dilihat bahwa teknik resolusi konflik berada dalam suatu kontinum dimana hot tub (A) dan war (B) berada pada masingmasing titik ekstrimnya. Semakin ke arah A maka formalitas hukumnya menjadi semakin rendah, sementara ke arah B, formalitas hukumnya semakin kuat. Disepanjang kontinum terdapat beragam teknik resolusi konflik yang dapat dikelompokkan kedalam tidak dibimbing (unassisted), dibimbing (assisted) dan keputusan dari pihak ke tiga (third party decision making). Titik C ke kanan memperlihatkan posisi dimana resolusi konflik diserahkan kepada pihak ke tiga, misalnya pengadilan atau hakim. Pada daerah assisted, proses resolusi konflik dilakukan dengan melibatkan pihak ke tiga, tetapi peranannya hanya terbatas pada perancangan kesepakatan melalui diagnosis konflik secara bersama, membangun alternatif resolusi bersama serta penerapannya secara bersama pula. Pengalaman menunjukkan pihak yang berkonflik sering lebih memilih daerah kiri, karena pada daerah kanan kontinum sering memunculkan pihak yang menang (winner) dan pihak yang kalah (looser). Gambar diatas juga memperlihatkan bahwa suatu konflik dapat saja diselesaikan tanpa bantuan pihak lain, yang dalam hal ini dilakukan melalui
23
diskusi maupun negoisasi. Namun, jika unassisted conflict resolution ini sudah tidak efektif lagi, maka pihak yang berkonflik dapat mengundang pihak ketiga untuk membantu menyelesaikan konfliknya. Guna memilih alternatif resolusi konflik yang terbaik, Priscoli (2003) merancang beberapa pertanyaan yang dapat digunakan untuk menilai situasi serta menilai apakah ADR tepat untuk digunakan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut pada dasarnya terkait dengan lima hal, yaitu: 1) keberadaan pihak yang memiliki otoritas yang mampu mewakili pihak yang berkonflik, 2) kemungkinan terjadinya konflik susulan sebagai akibat dari pemilihan teknik resolusi, 3) prasyarat dan prekondisi yang dibutuhkan, 4) apakah ada mekanisme yang menjamin pelaksanaan kesepakatan yang telah dibuat, dan 5) bahaya atau kerusakan yang mungkin muncul dari proses resolusi konflik. Sementara untuk mengetahui teknik ADR yang paling sesuai, Priscoli (2003) mengajukan beberapa kriteria yang dapat dipertimbangkan, yaitu: 1) apakah kita akan menghindari konflik atau menyelesaikan konflik yang telah muncul, 2) apakah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dapat dipertemukan, 3) apakah sumberdaya teknik maupun hukumnya diantara pihak yang berkonflik sudah seimbang, 4) jumlah pihak yang terlibat dalam konflik, 5) apakah aktor kuncinya saling antagonis, 6) pertimbangan waktu, biaya dan 7) hasil yang diharapkan yang menjadi perhatian utama. Guna menjelaskan penyebab terjadinya konflik, maka pengenalan terhadap tipologi konflik menjadi penting. Sedangkan dengan mengetahui tipologi konflik maka akan dapat dianalisis penyebab serta alternatif penanggulangannya. Tipologi tidak berupaya untuk menggambarkan semua bukti-bukti empiris, tetapi hanya berupaya menarik benang merah serta karakteristik khusus yang diperkirakan dapat mewakili suatu karakteristik (McKinney 1966). Dengan mereduksi karakteristik nyata (perceptual) ke dalam model konseptual, maka tipologi dapat digunakan sebagai alat untuk melakukan perbandingan dan bahkan prediksi. Proses merekonstruksi suatu tipologi membutuhkan beberapa kali interaksi dan iterasi, suatu model awal dari tipologi dibangun dan kemudian diuji. Dengan demikian dalam proses membangun sebuah tipologi dibutuhkan pemurnian.
24
Tipologi mempunyai dua fungsi, yaitu: bertindak sebagai filter dalam proses awal suatu penelitian dalam rangka menganalisis hipotesis dengan menggunakan data sekunder. Sedang fungsi tipologi yang kedua adalah sebagai suatu alat untuk merekontruksi berdasarkan data primer dan bukti-bukti yang ada. Obserschall (1973) menyatakan telah banyak peneliti dibidang conflict resolution yang merasakan manfaat dari tergambarkannya tipologi konflik. Di sektor perikanan, Charles (1992) telah berhasil merekonstruksi konflik yang sering terjadi. Menurutnya, konflik yang terjadi dapat dikelompokkan ke dalam konflik jurisdiksi, masalah pengelolaan, konflik alokasi internal dan konflik alokasi eksternal atau konflik inter sektoral. Selanjutnya, Warner and Jones (1998) mengelompokkan tipologi konflik ke dalam: micro-micro conflicts, inter micromicro conflicts dan micro-macro conflicts serta menelaah pada level mana saja konflik tersebut dapat muncul. Sithole and Bradley (1995) mengelompokan konflik berdasarkan aktor atau pelakunya, yang dalam hal ini adalah konflik antara pemerintah dan institusi (yaitu mereka yang merasa berhak mengatur sumberdaya perikanan) atau konflik antara pengguna sumberdaya itu sendiri. Tipologi konflik yang lebih maju berhasil dikelompokkan oleh FAO (1996). Pengelompokan didasarkan pada level mana konflik itu sendiri terjadi (mulai dari konflik rumah tangga hingga ke konflik internasional), penyebab terjadinya konflik (terkait dengan akses, kualitas sumberdaya, otoritas, nilai sumberdaya, informasi dan hukum) serta status penyebab konflik (immediate, intermediate, root). Tipologi konflik menurut FAO (1996) tersebut digambarkan pada Tabel 1 berikut. Tabel 1. Tipologi konflik (Diadopsi dari FAO 1996)
Level konflik
RUTAN INKON INTKO LOKAL NASIO INTER
AKSES * * * * * *
Penyebab Konflik KUSUM OTORI NISUM * * * * *
* *
* * * *
PEMIN
ISKEB
* * *
* *
Keterangan : RUTAN INKOM INTKO LOKAL NASIO INTER
: Rumah tangga : Intra komunitas : Inter komunitas : Lokal : Nasional : Internasional
AKSES KUSUM OTORI NISUM PEMIN ISKAB
: Akses : Kualitas sumberdaya : Otoritas : Nilai sumberdaya : Pemrosesan informasi : Isu kebijakan/hukum
25
Karena pada kenyataannya konflik yang melibatkan faktor sosial, ekonomi dan lingkungan ternyata sangat kompleks, maka proses analisis dapat dilakukan dengan membuat pemetaan atau diagram yang menggambarkan: pihak yang terlibat dalam konflik, peranan dan pengaruhnya, serta bentuk hubungan antar pihak yang terlibat Pendekatan lain yang dapat digunakan dalam menganalis konflik adalah analisis hubungan (relationship analysis). Pendekatan ini menganalisis hubungan stakeholder (aktor) yang terlibat di dalam konflik. Karena peranan stakeholder (baik itu secara politis, ekonomi maupun lingkungan) menentukan bentuk hubungan antara aktor dengan sumberdaya, maka analisis hubungan (relationship) cocok untuk digunakan (FAO 1996). Pengaruh variabel politik, ekonomi dan lingkungan terhadap terjadinya konflik sangat bergantung pada tingkatan masyarakat yang akan digunakan sebagai langkah awal dalam menganalisis konflik. Ketika menganalisis konflik dari perspektif aktor, terdapat beberapa elemen yang harus diperhatikan. Elemen tersebut adalah: tujuan aktor, peta kekuatan, dan informasi yang dibutuhkan serta digunakan. Jabri (1996), berpendapat bahwa menganalisis konflik dari sudut peranan aktor seringkali sangat kompleks. Hal ini disebabkan aktor yang lebih kuat kedudukannya dalam konflik seringkali lebih didengar. Hubungan kekuatan antar aktor pada akhirnya terkait dengan status sumberdaya, dimana jika ketersediaan sumberdaya makin terbatas, maka hubungan kekuatan tersebut akan bergeser ke isu alokasi sumberdaya. Pendekatan relationship analysis dapat dilihat pada Gambar 4.
26
Gambar 4. Hubungan antar aktor dalam resolusi konflik (Diadopsi dari FAO 1996) Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai tahap aktivitas, intensitas ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Oleh karenanya, selain mengenai tipologi konfliknya maka penggambaran konflik menurut tahapannya (diagnosis) juga menjadi penting. Diagnosis pentahapan konflik bertujuan untuk mengkaji tahap-tahap dan siklus peningkatan dan penurunan konflik serta berusaha untuk meramalkan pola-pola peningkatan intensitas konflik dimasa depan dengan tujuan untuk menghindari pola itu terjadi. Fisher (2000), mengelompokkan tahapan konflik menjadi lima bagian, yaitu: prakonflik, konfrontasi, krisis, akibat dan pascakonflik. Tahap prakonflik dicirikan oleh adanya ketidaksesuaian sasaran diantara dua pihak atau lebih. Pada tahap ini konflik masih tersembunyi dari pandangan umum, meskipun satu pihak atau lebih sudah mengetahui potensi terjadinya konfrontasi. Pada tahap konfrontasi, konflik menjadi semakin terbuka dan dicirikan oleh adanya pertikaian atau aksi demonstratif atau perilaku konfrontatif lainnya. Masing-masing pihak yang berkonflik mengumpulkan sumberdaya dan kekuatan dengan harapan dapat meningkatkan konfrontasi dan kekerasan. Hubungan di
27
antara kedua pihak menjadi sangat tegang, mengarah pada polarisasi diantara para pendukung di masing-masing pihak. Tahapan selanjutnya adalah tahap krisis. Ini merupakan puncak konflik, ketegangan dan atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal antara pihak yang berkonflik kemungkinan terputus, sementara pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya. Pada tahapan akibat, suatu pihak mungkin menaklukan pihak yang lain atau mungkin melakukan gencatan senjata. Sementara pihak lainnya mungkin menyerah atau menyerah atas desakan orang lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegoisasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Tingkat ketegangan pada tahap ini sudah menunjukkan penurunan dibandingkan pada tahap konfrontasi atau krisis, sehingga dimungkinkan adanya upaya resolusi. Tahap pascakonflik merupakan tahap akhir dari konflik dimana semua ketegangan dan konfrontasi diakhiri. Ketegangan berkurang dan hubungan mengarah ke kondisi normal. Namun demikian jika isu-isu atau masalah-masalah yang timbul karena sasaran yang dipertentangkan tidak diatasi dengan baik, maka tahap ini sering kembali menjadi pemicu munculnya kondisi pra konflik yang baru. Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk menyelesaikan konflik adalah human judgement theory (Al-Tabbai 1991). Pendekatan ini melihat bahwa perbedaan kognitif diantara individu merupakan penyebab dasar terjadinya konflik. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, yaitu: 1) Human judgement is a covert process. Adalah hal yang sulit bagi seseorang untuk secara akurat mendeskripsikan proses penilaiannya. 2) Inaccurate reporting. Individu kadangkala tidak mampu secara akurat mendeskripsikan
prinsipnya
dalam
mengumpulkan
informasi
untuk
memberikan penilaian (judgement). 3) Inconsistency. Hal ini disebabkan karena human judgement merupakan proses yang sulit untuk dianalisis dan dikontrol secara penuh. Secara sederhana, proses resolusi konflik dengan menggunakan cognitive analysis approach, dimulai dari individu membuat kesimpulan atau membuat judgement (Ys) tentang uncertain events (Ye). Kedua variabel ini disebut sebagai
28
depth variable. Uncertain event ini sulit dilihat secara langsung, oleh karenanya kesimpulan penilaian dibuat berdasarkan data atau petunjuk yang tampak (X1, X2, …Xn). Petunjuk ini dikenal pula sebagai surface variable. Selanjutnya surface variable digunakan untuk melakukan penilaian. Karena individu tidak memiliki akses kepada uncertain event dan hanya memiliki informasi mengenai surface variable sebagai dasar untuk melakukan penilaian, maka perbedaan atau kesenjangan dapat terjadi antara depth variable dengan surface variable. Perbedaan tersebut oleh Al-Tabbai (1991), disebut sebagai perbedaan kognitif diantara individu. Perbedaan kognitif tersebut pada akhirnya dapat memicu terjadinya konflik. Oleh karenanya, resolusi konflik yang ditawarkan pada pendekatan ini pada dasarnya adalah menutup kesenjangan kognitif diantara pihak yang berkonflik. Secara skematis resolusi konflik menurut pendekatan ini dapat dilihat pada Gambar 5 berikut. Tahap 1: Identifikasi isu konflik Tahap 2: Menentukan tipologi konflik Tahap 3: Penilaian Tahap 4: Parameter penilaian Tahap 5: Mengkomunikasikan umpan balik kognitif Tahap 6: Negosiasi antar pihak yang berkonflik
Tidak Kompromi?
Ya
Ya
Selesai
Gambar 5. Prosedur resolusi konflik berdasarkan pendekatan kognitif (Al-Tabbai et al 1991) Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap konflik dan upaya mencari pemecahan dapat dibagi ke dalam dua tahapan. Losa et al. (2002), menyatakan kedua tahapan tersebut sebagai descriptive step dan prescriptive step. Pada descriptive step terdapat tiga karekteristik yang harus diperhatikan, yaitu: posisi aktor pihak yang berkonflik,
29
posisi alternatif resolusi konflik, serta posisi alternatif resolusi konflik terhadap aktor. 2.1.4 Perkembangan ADR di beberapa negara Resolusi konflik melalui pendekatan ADR sudah mulai berkembang di sejumlah negara. Pendekatan tersebut digunakan pada berbagai kasus, mulai dari kasus-keluarga hingga ke perselisihan yang kompleks seperti konflik bisnis modern. Perkembangan lembaga ADR berada pada taraf yang berbeda-beda. Singapura, misalnya, termasuk dalam tahap pemantapan pemanfaatan mekanisme ADR. Badan-badan yang memfasilitasi konflik melalui mekanisme ADR belum banyak di negara tersebut, sebagai contoh : the Community Mediation Centre (CMC) yang menangani konflik seputar masalah sosial kemasyarakatan,
the
Singapore International Arbitration Centre (SIAC) yang mengkhususkan pada penanganan konflik bisnis dengan mekanisme arbitrase, serta the Singapore Mediation Centre (SMC) yang memfokuskan pada resolusi konflik menggunakan metoda mediasi. Perkembangan penggunaan pendekatan ADR di Singapura menunjukkan kecenderungan yang positif, khususnya dalam menurunkan kecenderungan masyarakat yang semakin litigous, disamping juga untuk mengefisienkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh para pihak yang berkonflik dalam mencari solusi atas perkara mereka. Mekanisme ADR di Australia mulai dimanfaatkan secara lebih melembaga. Negara ini sudah memiliki sistem standarisasi yang baik guna menjamin kualitas para mediator dan arbiternya. Seperti halnya Singapura, di Australia telah didirikan badan di tingkat nasional yang disebut the National Alternative Dispute Resolution Advisory Council (NADRAC). Lembaga ini mempunyai
tugas
menyusun
standar
nasional
yang
akan
mendukung
pengembangan ADR di negara tersebut. Beberapa lembaga yang menggunakan mekanisme ADR untuk menyelesaikan konflik di Australia antara lain: the Australian Competition and Consumer Commission (ACCC) dan the Australian Competition Tribunal (ACT). Lembaga ini dibentuk untuk menangani konflik persaingan usaha dan perlindungan konsumen dengan menggunakan pendekatan adjudikasi.
30
Commercial ADR adalah aktivitas lembaga penyedia jasa swasta yang kebanyakan merangkap kantor-kantor hukum yang praktek di Australia. Lembaga ini selain membuka diri melayani klien melalui jalur litigasi, juga menawarkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk menangani konflik melalui jalur ADR. Untuk menyelesaikan kasus-kasus konflik rumah tangga, Australia memiliki family mediation services. Mekanisme ADR yang ditawarkan oleh organisasi ini meliputi mediasi keluarga dan anak, konseling dan mediasi remaja. Di Amerika Serikat, penyelesaian konflik melalui jalur ADR berkembang dengan baik. ADR pada pokoknya dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu : (1) primary dan (2) hybrid atau court-ennexed. Primary ADR terdiri dari empat macam yaitu: adjudikasi, arbitrasi, mediasi dan negoisasi. Sementara hybrid process terdapat sekurang-kurangnya lima bentuk penerapan mekanisme ADR yaitu: private judging, neutral expert fact finding, mini trial, ombudsman dan summary jury trial. Berdasarkan penerapan ADR di beberapa negara tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa ADR bisa diterapkan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari konflik rumah tangga hingga ke konflik bisnis yang kompleks. Dari ketiga negara tersebut terdapat satu kesamaan bahwa pendekatan resolusi konflik melalui ADR sebaiknya ditangani oleh lembaga tertentu yang tidak bersifat ad hoc. Dengan demikian keputusan yang dihasilkan dapat dipertanggung jawaban, mengikat dan tentunya memiliki kekuatan hukum. Selain itu, penerapan ADR harus melibatkan semua fungsionari hukum secara keseluruhan. Ini berarti, suatu departemen tidak mungkin bekerja sendiri untuk mendirikan lembaga ADR yang berwibawa, melainkan harus melibatkan unit-unit pemerintahan dibidang legislatif dan yudikatif. 2.1.5 Perkembangan ADR di Indonesia Pendekatan resolusi konflik alternatif (ADR) telah lama digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk menyelesaikan konflik. Proses resolusi konflik secara tradisional dianggap efektif dan merupakan tradisi yang masih hidup dalam masyarakat (Hadikusuma 1992). Dengan demikian bagi masyarakat Indonesia, ADR bukan merupakan fenomena asing, karena konsensus dan kompromi yang
31
menjadi inti dari ADR sesuai dengan pendekatan musyawarah dan mufakat yang dipandang sebagai mekanisme pengambilan keputusan resolusi konflik yang bersumber dari masyarakat Indonesia sendiri. Tujuan utama ADR adalah menciptakan konsensus yang memuaskan semua pihak yang berkonflik. Selain itu ADR berupaya mempertemukan semua pihak yang berkonflik untuk duduk bersama guna memecahkan masalah yang mereka hadapi. Dengan cara ini dapat ditumbuhkan sikap saling percaya sehingga semua pihak merasa menjadi bagian dari sebuah tim yang bertujuan untuk mencari penyelesaian konflik secara bersama. Karakteristik utama ADR adalah lebih informal dibandingan dengan litigasi, serta memungkinkan semua pihak yang berkonflik aktif berpartisipasi dan memiliki kontrol yang lebih baik dalam proses resolusi konflik. Jika dibandingkan perkembangan proses resolusi konflik melalui “alternative dispute resolution” sebagai model resolusi konflik antara Indonesia dan Amerika, keduanya mempunyai latar belakang historis yang berbeda. ADR di Indonesia merupakan bagian dari tradisi masyarakat yang diikuti secara turun temurun dan bagian dari budaya lokal, sedangkan di Amerika merupakan bentuk baru dari strategi resolusi konflik yang sengaja diciptakan untuk menghindari resolusi konflik melalui pengadilan/litigasi yang dinilai banyak kelemahannya (Hadikusuma 1992). Dikalangan masyarakat Indonesia, jika timbul konflik penyelesaiannya jarang yang dibawa ke pengadilan. Pihak-pihak yang berkonflik umumnya lebih suka membawa masalah mereka ke lembaga masyarakat hukum adat untuk diselesaikan secara damai. Dalam masyarakat hukum adat, resolusi konflik biasanya dilakukan di depan kepala desa atau hakim adat. Secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan konsensus. Pengembangan resolusi konflik di Indonesia dilakukan sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan secara tradisional dan resolusi konflik secara hukum adat. Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR di Indonesia tampaknya lebih kuat dibandingkan alasan ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani konflik.
32
Menurut Santosa dan Hutapea (1992), selain hal-hal di atas terdapat beberapa alasan yang dapat dilihat sebagai peluang pengembangan ADR di Indonesia, yaitu : 1) Faktor ekonomis. ADR memiliki potensi sarana resolusi yang lebih ekonomis, baik ditinjau dari aspek biaya maupun waktu. 2) Faktor ruang lingkup yang dibahas. ADR memiliki kemampuan untuk membahas agenda permasalahan secara lebih luas, komprehensif dan fleksibel. Hal ini dapat terjadi karena aturan main dapat dikembangkan dan ditentukan oleh para pihak yang berkonflik sesuai dengan kepentingan dan kebutuhannya. 3) Faktor keahlian. ADR memiliki potensi untuk menyelesaikan konflik-konflik yang sangat rumit yang disebabkan oleh substansi kasus yang penuh dengan persoalan-persoalan ilmiah karena dapat diharapkan adanya pihak ketiga yang ahli dibidangnya sebagai penengah langsung. 4) Faktor membina hubungan baik. ADR mengandalkan cara-cara resolusi kooperatif sehingga sangat cocok bagi mereka yang menekankan pentingnya pembinaan hubungan baik para pihak yang telah berlangsung maupun yang akan datang. Oleh karena itu, dalam menilai perkembangan alternatif resolusi konflik di Indonesia diperlukan pemahaman yang cukup mendalam mengenai hukum adat. Koesnoe (1979) menyebutkan tiga asas kerja didalam menyelesaikan perkaraperkara adat, yaitu : 1) asas kerukunan, 2) asas kepatutan dan 3) asas keselarasan. Asas kerukunan adalah asas yang menekankan pada pandangan dari sikap orang dalam menghadapi kehidupan sosial di dalam suatu lingkungan. Satu sama lain saling bergantung, saling memerlukan sehingga masing-masing pihak memiliki komitmen untuk mewujudkan dan mempertahankan kehidupan bersama. Asas kerukunan dituangkan dalam dua bentuk ajaran, yaitu ajaran musyawarah dan ajaran mufakat. Ajaran musyawarah diartikan sebagai suatu tindakan seseorang bersama orang-orang lain untuk menyusun suatu pendapat bersama yang bulat atas suatu permasalahan yang dihadapi oleh seluruh masyarakat. Sedangkan ajaran mufakat adalah menyelesaikan perbedaan-perbedaan kepentingan pribadi seseorang terhadap orang lain atas dasar perundingan antara yang bersangkutan.
33
Asas kepatutan mengarah kepada usaha mengurangi jatuhnya seseorang ke dalam alam rasa malu yang ditimbulkan oleh hasil resolusi konflik. Oleh karena itu asas kepatutan memusatkan perhatian
kepada cara menemukan resolusi
konflik yang dapat menyelamatkan kualitas dan status pihak-pihak yang bersangkutan dengan sebaik-baiknya. Asas keselarasan berhubungan dengan metode resolusi konflik yang mempertimbangkan terpenuhinya aspek perasaan estetis secara optimal. Dalam hal ini, resolusi konflik dianggap memenuhi perasaan estetis jika dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan maupun masyarakat yang bersangkutan.
2.1.6 Efektivitas pengelolaan konflik Efektivitas menempati posisi sentral dalam evaluasi suatu kebijakan termasuk didalamnya pengelolaan konflik. Pertanyaan sentral yang sering muncul dalam evaluasi efektivitas adalah ”Apakah pengelolaan konflik telah berjalan dengan baik?”. Pada hakekatnya pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut efektivitas dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) Pernyataan dapat berupa deskriptif. Pertanyaan berupaya untuk menjelaskan apa yang telah terjadi. 2) Pertanyaan yang berupa sebab kejadian (causal origin). Pertanyaan tidak semata-mata menanyakan apa yang telah terjadi, tetapi juga berupaya untuk mencari penjelasan sebab terjadinya. 3) Pertanyaan normatif. Pertanyaan terkait dengan kepuasan terhadap suatu kebijakan. Pertanyaan normatif sering digunakan untuk menilai efektivitas, relevansi, efisiensi maupun utilitas. Efektivitas dapat dibedakan menjadi efektivitas kelembagaan, efektivitas kelompok sasaran, efektivitas lingkungan, dan efektivitas sosial. Bruyninckx dan Cioppa (2000) mendefinisikan efektivitas kelembagaan sebagai suatu kondisi dimana rejim atau kebijakan dapat beroperasi atau berlangsung dalam kondisi yang disepakati bersama. Dengan perkataan lain, efektivitas kelembagaan menyatakan suatu kondisi dimana output suatu kebijakan sesuai dengan tujuan kebijakan itu sendiri. Output dinilai sebagai tangible results (EEA 2001). Output lebih mengarah pada ukuran jangka pendek, dimana hasilnya dapat dinilai segera
34
setelah implementasi metoda resolusi atau saat proses resolusi konflik berlangsung. Output bisa saja bukan merupakan bagian langsung dari tujuan kebijakan, atau dengan perkataan lain output tidak harus memiliki hubungan otomatis/langsung dengan kinerja metode resolusi konflik. Efektivitas kelompok sasaran menyatakan sampai sejauh mana outcome (yang merupakan respons kelompok sasaran terhadap output) berhubungan dengan tujuan (EEA 2001). Jika output terkait dengan hasil jangka pendek, maka outcome terjadi dalam jangka menengah. Efektivitas impact terkait dengan efek yang mempengaruhi isu pengelolaan konflik. Impact dari suatu kebijakan hanya dapat diidentifikasi dalam jangka panjang. Efektivitas sosial terkait dengan pertanyaan yang terkait dengan relevansi atau utilitas. Dalam hal ini, efektivitas sosial mengukur apakah impact dapat memuaskan kebutuhan sosial, atau apakah resolusi konflik dapat memberikan manfaat bagi tujuan sosial yang lebih luas. Isu sentral yang selalu muncul ketika melakukan evaluasi impact dari metode pengelolaan konflik atau kebijakan adalah isu kausalitas. Dalam mengevaluasi efektivitas suatu kebijakan, maka tidak cukup hanya dengan mengukur tujuan yang berhasil dicapai, tetapi harus mampu mencari hubungan kausalitas antara kebijakan dengan hasilnya. Bruyninckx dan Cioppa (2000) menyebutkan tiga kondisi yang harus dipenuhi untuk mengidentifikasi hubungan yang bersifat kausalitas, yaitu : 1) Sequential relationship antara penyebab dengan hasil yang mengikutinya. 2) Covariance antara sebab dan akibat, dengan perkataan lain harus ada korelasi empirik antara sebab dengan akibat. 3) Tidak ada faktor penjelas yang lain. Sebagai contoh jika ada perubahan antara kebijakan dan efeknya tetapi ada faktor lain yang dapat menjelaskan perubahan tersebut (diluar kebijakan dan efeknya) maka tidak dapat dibuktikan adanya hubungan sebab akibat yang absolut antara kebijakan dengan efek. Lebih lanjut hubungan sebab akibat yang terjadi dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu: 1) Sebab yang dibutuhkan dan memenuhi syarat kecukupan; X adalah dibutuhkan dan akan menyebabkan terjadinya Y.
35
Contoh: Pemerintah daerah membutuhkan tenaga ahli yang mampu memantau kerusakan lingkungan, maka dengan merekrut tenaga ahli masalah tersebut dapat diatasi. 2) Dibutuhkan tetapi tidak memenuhi syarat kecukupan; X dibawah kondisi tertentu akan menyebabkan terjadinya Y. Contoh, latihan fisik akan memperbaiki kondisi fisik seseorang jika yang bersangkutan mengikuti program pelatihan dengan baik. 3) Mencukupi tetapi bukan merupakan penyebab; X akan menyebabkan Y, dan juga hal lainnya. Contoh: Terbakar akan menyebabkan rasa sakit, tetapi rasa sakit tidak selalu disebabkan karena terbakar. 4) Penyebab tambahan; X tidak dibutuhkan dan tidak menyebabkan terjadinya Y, tetapi merubah kemungkinan terjadinya Y. Contoh: Turunnya harga bahan bakar dapat (atau tidak dapat) mendorong terjadinya kemacetan lalu-lintas. 2.2 Hubungan Upaya dan Hasil Tangkapan Sampai pertengahan abad 19, keyakinan bahwa sumberdaya perikanan tidak akan habis dan jumlahnya tidak akan dipengaruhi oleh aktivitas manusia, masih belum dapat dipatahkan. Tetapi sekarang keyakinan tersebut dipertanyakan kembali, salah satunya adalah oleh Gordon dan Schaefer. Kedua ahli perikanan modern ini menggunakan model pertumbuhan logistik untuk menjelaskan kondisi sumberdaya perikanan. Menurut mereka, suatu spesies dapat terus berkembang secara eksponensial sepanjang tidak ada faktor yang membatasinya, tetapi laju pertambahan stok sumberdaya akan menurun sebagai akibat kelangkaan pakan bagi species tersebut. Pada akhirnya keseimbangan jangka panjang akan tercapai, yaitu suatu kondisi dimana jumlah stok sebanding dengan kemampuan alam menyediakan pakan untuk spesies tersebut (carrying capacity/CC). Jika ketersediaan stok sumberdaya perikanan karena alasan tertentu lebih besar daripada CC maka spesies akan mengalami pertumbuhan yang negatif. Jika jumlah stok antara nol hingga ke CC, maka akan terjadi net surplus dalam produksi, dan stok tersebut dapat dipanen sepanjang tahun tanpa mengurangi jumlah stok secara berarti. Kondisi ini berarti catch per unit effort (CPUE) akan
36
meningkat secara linear seiring dengan meningkatnya jumlah stok. Selajutnya, kondisi ini akan berimplikasi pada dua hal, yaitu menurunnya CPUE tahunan dalam beberapa tahun mengindikasikan menurunnya stok, serta mengeksploitasi stok yang terbatas akan membutuhkan biaya yang lebih besar. Model yang dikembangkan oleh Gordon dan Schaefer memprediksi bahwa dalam kondisi perikanan yang tidak diregulasi, effort akan meningkat sampai suatu tingkatan dimana jumlah biaya ekstraksi sama dengan jumlah pendapatan atau dikenal sebagai open access equilibrium (OAE). Dalam kondisi OAE, biaya modal (capital cost) masih dapat ditutup tetapi potential rent yang dapat ditarik karena kelangkaan sumberdaya sudah tidak ada lagi. Menurut Gordon, kondisi ini muncul karena tidak adanya definisi yang jelas mengenai property right terhadap sumberdaya. Kondisi tercapainya OAE dicirikan oleh terlalu banyaknya armada (over-investment), terlalu kecilnya jumlah stok, dan terlalu sedikitnya ikan yang didaratkan dikaitkan dengan biaya ekstraksi yang telah dikeluarkan. Salah satu metode yang dikembangkan untuk menentukan status perikanan dan tingkat produksi lestari atau yang lebih dikenal dengan MSY (maximum sustainable yield) adalah model surplus produksi. Model ini diperkenalkan oleh Schaefer (1954) yang merupakan hasil pengembangan model Graham (1935). Pada dasarnya model Schaefer memberikan gambaran bahwa tingkat biomas antar waktu (
dx ) sangat dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan intrinsik biomas (r), dt
biomas itu sendiri (x), serta daya dukung maksimum lingkungan (K). Tingkat biomas antar waktu ini sebanding dengan fungsi pertumbuhan sumberdaya ( f (x) ). Secara umum hubungan antara tingkat biomas antar waktu dan tingkat
pertumbuhan dapat dinotasikan sebagai berikut:
dx = f (x) …………..............................................................(1) dt salah satu fungsi pertumbuhan sumberdaya yang biasa digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik yang dinotasikan sebagai berikut: dx x⎞ ⎛ = rx⎜1 − ⎟ ……………..................................................(2) dt ⎝ K⎠
37
Adapun laju pertumbuhan sumberdaya dapat ditentukan dengan mengintroduksi penangkapan (h) ke dalam model dan apabila diasumsikan bahwa penangkapan (h) berkolerasi linear terhadap biomas (x) dan input produksi atau upaya (E) atau h = qEx (q adalah koefisien daya tangkap), maka laju pertumbuhan sumberdaya dapat dinotasikan sebagai berikut: dx x⎞ ⎛ = rx⎜1 − ⎟ − qEx ……………...............................…. (3) dt ⎝ K⎠ Dengan mengasumsikan bahwa tingkat biomass antar waktu sama dengan nol, maka fungsi pertumbuhan akan sama dengan fungsi penangkapan, sehingga dapat diperoleh tingkat biomas optimal secara biologi yang secara matematik dapat dinotasikan sebagai berikut:
dx x⎞ ⎛ = rx⎜1 − ⎟ − qEx = 0 dt ⎝ K⎠ x ⎞ ⎛ rx ⎜ 1 − ⎟ = qEx K ⎠ ⎝
⎛ q ⎞ x* = K ⎜1 − E ⎟ ……………………………..……..…..(4) ⎝ r ⎠ Kemudian dengan mengsubstitusi persamaan (4) ke dalam fungsi penangkapan, maka dapat diperoleh persamaan berikut: ⎛ q2K 2 ⎞ h = qEK − ⎜⎜ E ⎟⎟ ………………………….………..(5) ⎝ r ⎠
Selanjutnya, dengan menyederhanakan persamaan (5), yaitu membagi kedua sisi persamaan dengan upaya (E), maka MSY Schaefer dapat diestimasi dengan menggunakan teknis regreasi linear sederhana: ⎛ q2K ⎞ h = qK − ⎜⎜ E ⎟⎟ ………………………….………….(6) E ⎝ r ⎠
dimana α = qK dan β =
q2K , sehingga tingkat upaya dan MSY dari model r
Schaefer dapat ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
38
Emsy =
hmsy =
α ………………………………….……….……(6a) 2β
α2 ………………………………….…………… (6b) 4β
Hubungan antara produksi lestari dan tingkat upaya dapat digambarkan sebagai kurva berbentuk parabola seperti pada (Gambar 6).
hmsy
MSY (Maximum Sustainable Yield)
h msy
Produksi lestari
MSY
47.682 52.451 57.219 61.987 66.755 71.523 76.292 14.305 19.073 23.841 28.609 33.378 38.146 42.914 47.682 52.451 57.219 61.987 66.755 71.523 76.292 81.060
Emsy
Upaya (trip) Upaya (trip)
Gambar 6. Hubungan antara produksi lestari dengan upaya Model estimasi parameter biologi dapat juga dilakukan dengan menggunakan model lain seperti Walter-Hilborn (1976) dan Schnute (1977). U t +1 r −1= r − U t − qE t ………………...............…... (7a) Ut qK
⎡U t +1 ⎤ r ln ⎢ ⎥=r− qK U t ⎣ ⎦
⎡U t + U t +1 ⎤ ⎡ E t + E t +1 ⎤ ⎢ ⎥ − q⎢ ⎥ .....................(7b) 2 2 ⎣ ⎦ ⎣ ⎦
sedangkan untuk mengestimasi tingkat upaya (E) dan tingkat produksi lestari (MSY) ditentukan dengan menggunakan kerangka estimasi Clark (1985). Emsy =
r …………………………………..…....……….(8a) 2q
39
hmsy =
rK ………………………………….........…..……(8b) 4
Gordon (1955) kemudian mengintroduksi parameter ekonomi seperti harga dari output (p) per satuan berat dan biaya dari input (c) ke dalam model Schaefer untuk menghasilkan keseimbangan bio-ekonomi. Keseimbangan bio-ekonomi ini dikenal dengan keseimbangan statik Gordon-Schaefer (Gambar 7).
hmsy
MSY (Maximum Sustainable Yield)
Manfaat dan Biaya
h msy
TC
TR
47.682 52.451 57.219 61.987 66.755 71.523 76.292 14.305 19.073 23.841 28.609 33.378 38.146 42.914 msy 47.682 52.451 57.219 61.987 66.755 71.523 76.292 81.060
EMEY
E
EOA
Emax
Upaya (trip) Upaya (trip)
Gambar 7. Hubungan manfaat dan biaya dengan upaya Pada dasarnya keseimbangan bio-ekonomi terjadi pada saat TR = TC , yaitu pada saat tingkat upaya berada pada level upaya open access. Pada saat TR = TC , maka keuntungan sama dengan nol ( π =0). Bilamana TR = ph dan h = qEx , maka TR = pqEx , sedangkan bilamana TC = cE , maka fungsi
keuntungan adalah:
π = pqEx − cE ……………………………….…………………………………(9) MEY akan terjadi pada tingkat keuntungan yang maksimal, artinya bahwa keuntungan maksimal akan terjadi bilamana
∂π = 0 atau dengan kata lain ∂E
keuntungan maksimum akan terjadi pada saat tingkat biomas (x) sebanding
40
dengan nilai biaya ekstraksi per unit upaya (c) dibagi dengan harga ikan per satuan berat (p) dan koefisien daya tangkap (q) atau dapat dinotasikan sebagai:
x* =
c ………………………………………………………………………(10) pq
Sehingga untuk kondisi open access dengan mengsubstitusi persamaan (10) ke dalam persamaan (2), maka dapat tingkat produksi akses terbuka dapat diketahui sebagai berikut:
rc ⎡ c 1− ⎢ pq ⎣ pqK
h OA =
⎤ ⎥ ………………………………………......…...(11a) ⎦
sedangkan tingkat upaya pada kondisi akses terbuka dapat diketahui bilamana persamaan (10) disubstitusikan ke dalam persamaan (4), sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut: r q
E OA =
⎡ c ⎤ ⎢1 − pqK ⎥ ………………………………………........……..…(11b) ⎣ ⎦
Adapun estimasi untuk MEY dan upaya pada kondisi MEY dapat diketahui dengan beberapa penyederhanaan matematis sebagai berikut: bilamana h( x) = f ( x) , maka ρ ( x) = ph( x) − c
h( x ) ………………………………………….......…………(12a) qx
sehingga dapat disederhanakan menjadi : ⎛
ρ ( x) = ⎜⎜ p − ⎝
c ⎞ ⎟h( x) …………………………………….......…………….....(12b) qx ⎟⎠
atau juga dapat dinotasikan sebagai :
⎛
ρ ( x) = ⎜⎜ p − ⎝
x⎞ c ⎞ ⎛ ⎟⎟rx⎜1 − ⎟ ……………………………………........………...(12c) qx ⎠ ⎝ K ⎠
dan untuk mendapatkan x operikanan tangkapimal, maka
∂ρ ( x) = 0 , sehingga ∂x
menghasilkan persamaan sebagai berikut:
41
pr +
cr 2 prx − = 0 …………………………………………………………(12d) qK K
dan secara matematis persamaan tersebut akan menghasilkan:
x MEY =
K⎛ c ⎞ ⎟ ………………………………………………………. (12e) ⎜⎜1 − 2⎝ pqK ⎟⎠
dengan mensubstitusi persamaan (12e) ke dalam persamaan (2), maka dapat dihasilkan tingkat produksi lestari secara ekonomi sebagai berikut: h MEY
=
rK ⎡ c 1+ ⎢ pqK 4 ⎣
⎤⎡ c ⎥ ⎢ 1 − pqK ⎦⎣
⎤ ⎥ …………………............… (13a) ⎦
sedangkan jika persamaan (12e) disubstitusikan ke persamaan (4), maka dapat diperoleh tingkat upaya pada kondisi MEY adalah sebagai berikut E MEY =
r 2q
⎡ c ⎤ ⎢1 − pqK ⎥ …………...........………………………………….(13b) ⎣ ⎦
Namun demikian, hal lain yang perlu diperhatikan pengkajian potensi lestari sumberdaya ikan adalah keberadaan beberapa zone penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing), termasuk perairan Laut Jawa. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada perairan tersebut, terdapat kelompok ikan ikan demersal di Laut Jawa yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya. Oleh karena itu, pada perairan yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati dan atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu kiranya mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak “collapsed”.
2.3 Pendekatan Bio-Ekonomi dalam Analisis Sumberdaya Perikanan Tangkap
Nelayan dengan menggunakan perahu atau kapal dan sejumlah masukan hanya dapat secara langsung mengendalikan produksi upayanya (effort), sedangkan hasil tangkapannya (harvest) tidak dapat dikendalikan secara langsung. Hal ini disebabkan karena jumlah hasil tangkapan disamping tergantung pada tingkat upaya penangkapan juga akan ditentukan oleh besarnya sediaan (stock)
42
ikan. Untuk dapat merebut bagian yang lebih besar dari sediaan ikan yang tersedia, nelayan berusaha meningkatkan waktu penangkapannya dan lebih mengefisienkan teknologi penangkapannya. Peningkatan teknologi, dengan tujuan untuk efisiensi usaha penangkapan, antara lain dilakukan nelayan dengan cara: mengganti alat tangkapnya dengan yang lebih efisien, memperbesar ukuran kapal, menggunakan alat bantu untuk mendeteksi tingkat kelimpahan sediaan ikan ataupun alat bantu untuk mengumpulkan gerombolan ikan, dan lain-lainnya. Secara umum, dari sisi teknis produksi, peningkatan teknologi penangkapan ikan diharapkan akan meningkatkan efisiensi teknis penangkapan, sedangkan dari sisi ekonomi, peningkatan teknologi dapat menurunkan biaya penangkapan. Mengingat peningkatan teknologi penangkapan ikan akan berkaitan dengan masalah
kelimpahan
sumberdaya
perikanan,
produksi
dan
karateristik
ekonominya, maka untuk penelitian ini digunakan pendekatan bio-ekonomi. Dengan tanpa menghilangkan hal-hal pokok, dipilih model bio-ekonomi statistik dari Schnute (1977) untuk digunakan dalam penelitian. Sebagaimana dimaklumi, hasil tangkapan nelayan (harvest) akan tergantung pada tingkat upaya penangkapan (effort) dan besarnya populasi atau sediaan ikan (fish stock), namun demikian meningkatnya upaya penangkapan tidak selalu meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Karena semakin banyak nelayan yang meningkatkan upaya penangkapannya, berdampak pada semakin sedikit populasi ikan yang tersedia. Hal ini ditunjukkan dengan ilustrasi pada Gambar 8. Pada tingkat upaya penangkapan yang tinggi (Y(E4)), ikan yang ditangkap secara lestari diperkirakan sama rendahnya dengan tingkat upaya penangkapan yang rendah pada populasi ikan yang banyak (Y(E0)).
43
Growth in the Fish Stock (tons)
High effort level → low harvests
Medium effort level → high harvests
Low effort level → low harvests Y(E2) 4
Y(E )
Y(E3)
Y(E1) Y(E0)
Fish Stock (tons)
Gambar 8. Hubungan upaya penangkapan ikan dengan populasi ikan
2.4 Pendekatan Pengelolaan Perikanan Berbasis Resolusi Konflik
Strategi pengelolaan perikanan tangkap yang cenderung tanpa batas dan lebih berorientasi pada kepentingan ekonomi (economic based fisheries resource management), telah terbukti berakibat buruk terhadap kelangsungan pemanfaatan sumberdaya ikan. Dalam situasi pemanfaatan sumberdaya ikan yang serba tak terkendali, kelangkaan (scarcity) atau penipisan sumberdaya ikan terjadi. Kompleksitas dari kondisi yang demikian itu dapat menjadi faktor pemicu terjadinya konflik perikanan tangkap. Pengelolaan sumberdaya ikan pada hakekatnya adalah pengelolaan terhadap manusia yang memanfaaatkan ikan tersebut. Pengelolaan terhadap manusia adalah pengaturan tingkah laku mereka dalam hal pengelolaan sumberdaya. Alasan yang lebih rasional dan obyektif tentang perlunya sumberdaya perikanan yang lebih baik, kenyaataan bahwa persedian ikan di dunia makin berkurang. Hasil penelitian terakhir Food and Agricultural Organization (FAO) mengungkapkan bahwa produksi ikan dunia cenderung stabil atau meningkat dengan persentase yang kecil pertahun selama lima tahun terakhir. Produksi ikan dari kegiatan penangkapan ikan di laut justru menunjukkan gejala mulai menurun, yaitu dari 84,7 juta ton pada 1994 menjadi 84,1 juta ton pada 1999. Hal ini mengindikasikan pentingnya pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya untuk menjamin ketersedian ikan bagi kegiatan penangkapan.
44
Sumberdaya perikanan itu sangat penting dalam pembangunan perikanan berbasis sumberdaya (resources based development). Tanpa sumberdaya pembangunan perikanan tidak akan ada, jadi segala kegiatan yang berhubungan dengan pembangunana perikanan, jika sumberdayanya tidak tersedia maka kegiatan pembangunan itu akan sia-sia. Sukses tidaknya suatu pengelolaan sumberdaya sangat bergantung pada rezim atau sistem pengelolaan sumberdaya itu sendiri. Oleh karena itu hal yang lebih hakiki dalam upaya mengelola sumberdaya perikanan adalah memahami rezim yang berlaku. Berdasarkan dari rezim yang berlaku itulah rumusan strategi pengelolaan perikanan secara tepat dapat dilakukan. Pengelolaan
sumberdaya
berbasis
masyarakat
(PSPBM)
dapat
didefinisikan sebagai suatu proses pemberian wewenang, tanggung jawab dan kesempatan kepada masyarakat untuk mengelola sumberdaya perikanannya sendiri dengan terlebih dahulu mendefinisikan kebutuhan dan keinginan, tujuan serta aspirasinya. PSPBM menyangkut pula pemberian tanggung jawab ke masyarakat sehingga mereka dapat mengambil keputusan yang pada akhirnya menentukan dan berpengaruh pada kesejahteraan kehidupan mereka. Pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah mencakup semua tahapan dan komponen pengelolaan sumberdaya perikanan mulai dari pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemanfaatan dan evaluasi dilakukan oleh pemerintah. Pengelolaan oleh pemerintah ini dilaksanakan lembaga atau instansi yang ada di tingkat pemerintahan pusat dan daerah. Co-management perikanan adalah rezim derivatif yang berasal dari rezim PSPBM dan rezim oleh pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah. Comanagement dapat didefinisikan sebagai pembagian atau pendistribusian tanggung jawab dan wewenang antara pemerintah dengan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Berdasarkan definisi ini maka masyarakat dan pemerintah bertanggung jawab bersama-sama dalam mengelola sumberdaya perikanan. Menurut Pameroy and Berkes (1997) terdapat sepuluh tingkatan atau bentuk co-management yang dapat disusun dari bentuk yang paling sedikit
45
partisipasi masyarakat hingga yang paling tinggi partisipasi masyarakat. Bila suatu tanggung jawab dan wewenang masyarakat rendah pada suatu bentuk comanagement maka tanggung jawab pemerintah akan tinggi. Sebaliknya bila tanggung jawab dan wewenang masyarakat tinggi, maka tanggung jawab dan wewenang pemerintah rendah. Kesepuluh bentuk co-management tersebut adalah: 1)
Masyarakat hanya memberikanan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan rumusan manajemen.
2)
Masyarakat dikonsultasikan oleh pemerintah.
3)
Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama.
4)
Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi.
5)
Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi.
6)
Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasehat dan saran.
7)
Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama.
8)
Masyarakat dan pemerintah bermitra.
9)
Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah.
10) Masyarakat berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah. Selain hirarki co-managament seperti diatas, Nielsen and Sen (1996) sebelumnya mengajukan suatu hirarki lain yang lebih sederhana yang terdiri dari lima bentuk co-management. Kelima bentuk tersebut adalah 1) instruksi, 2) konsultasi, 3) koperasi, 4) pengarahan, dan 5) informasi. Penjelasan singkat tentang kelima bentuk co management ini adalah sebagai berikut. Pertama, co-management instruktif. Pada bentuk co-management ini, tidak banyak informasi yang saling ditukarkan di antara pemerintah dan nelayan. Tipe co-management ini hanya berbeda dari rezim pengelolaan oleh pemerintah dalam hal adanya sedikit dialog antara kedua pihak. Namun proses dialog yang terjadi bisa dipandang sebagai suatu ini, pemerintah menginformasikanan kepada nelayan tentang rumusan-rumusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang pemerintah rencanakan untuk dilaksanakan. Kedua,
co-management
konsultatif.
Bentuk
co-management
ini
menempatkan masyarakat pada posisi yang hampir sama dengan pemerintah.
46
Dengan kata lain, masyarakat mendampingi pemerintah dalam menjalankan comanagement. Oleh karena itu, ada mekanisme yang membuat sehingga pemerintah berkonsultasi dengan masyarakat. Meskipun masyarakat bisa memberikan masukan tersebut kepada pemerintah, keputusan apakah masukan tersebut harus digunakan tergantung sepenuhnya pada pemerintah. Dengan kata lain, pemerintahlah yang berperan dalam perumusan pengelolaan sumberdaya perikanan, Bentuk ketiga adalah co-management kooperatif. Bentuk ini menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Dengan demikian, semua tahapan manajemen sejak pengumpulan informasi, perencanaan, pelaksanaan hingga evaluasi dan pemantauan institusi co-management berada pada di pundak kedua pihak. Dengan kata lain, masyarakat dan nelayan adalah mitra yang sama kedudukannya. Keempat, bentuk co-management pendampingan atau advokasi. Pada bentuk co-management ini, peran masyarakat cenderung lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat memberi masukan kepada pemerintah untuk merumuskan suatu kebijakan. Lebih dari itu, masyarakat justru dapat mengajukan usul rancangan keputusan yang hanya tinggal dilegalisir oleh pemerintah. Kemudian, pemerintah mengambil keputusan serta menentukan sikap resminya berdasarkan usulan atau inisiatif masyarakat. Peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi atau memberikan advokasi kepada masyarakat tentang apa yang sedang mereka kerjakan. Kelima, bentuk co-management informasi. Pada bentuk ini, di satu pihak peran pemerintah makin berkurang dan di pihak lain peran masyarakat lebih besar dibandingkan dengan empat bentuk co-management sebelumnya.Dalam hal ini pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat tentang apa yang sepatutnya dikerjakan oleh masyarakat. Dalam kontribusi yang lebih nyata, pemerintah menetapkan delegasinya untuk bekerjasama dengan masyarakat dalam seluruh tahapan pengelolaan perikanan, sejak pengumpulan data, perumusan kebijakan, implementasi, serta pemantauan dan evaluasi. Hasil pekerjaan delegasi pemerintah
dilaporkan
atau
diinformasikan
yang
bersangkutan
kepada
pemerintah.
47
2.5 Kerangka Pemikiran
Konflik muncul ketika keinginan (interest) dari dua atau lebih kelompok berbenturan atau berbeda dan sekurang-kurangnya sekelompok dari pihak yang terlibat berupaya memaksakan keinginan kelompoknya pada kelompok lain. Konflik dapat dipandang sebagai sebuah fenomena sosial yang muncul sebagai dampak dari perubahan yang tiba-tiba atau gradual yang memunculkan perbedaan kepentingan atau keinginan diantara kelompok masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan bahwa konflik sifatnya multidimensional dan umumnya melibatkan berbagai pihak dalam suatu hubungan yang kompleks. Lebih lanjut disebutkan bahwa terdapat tiga dimensi yang memicu terjadinya konflik, yaitu aktor, ketersediaan sumberdaya dan dimensi lingkungan. Dengan mempelajari berbagai penyebab konflik, maka dapat diketahui tipologi konfliknya. Salah satu aspek dalam tipologi konflik dapat dideskripsikan apakah konflik yang terjadi tergolong dalam konflik tertutup (latent), mencuat (emerging) atau terbuka (manifest). Pengelolaan konflik adalah upaya menyelesaikan konflik yang muncul di kalangan masyarakat. Bennett dan Neiland (2000) menyatakan metoda resolusi konflik umumnya bersifat spesifik. Dalam artian walaupun dikenal berbagai metoda untuk menyelesaikan konflik, tetapi tidak seluruh metoda cocok untuk menyelesaikan konflik tertentu. Resolusi konflik dapat ditempuh dengan menggunakan dua pendekatan yaitu melalui pengadilan (litigasi) atau pendekatan alternatif yang lebih dikenal sebagai alternative dispute resolution (ADR). Resolusi konflik yang efektif diharapkan akan berdampak positif. Hal ini disebabkan karena tidak semua konflik selalu berdampak negatif. Konflik yang berdampak positif dibutuhkan dalam tahap perkembangan kearah yang lebih baik. Dalam hal ini konflik justru mampu mempererat masyarakat dan pada akhirnya akan menciptakan alokasi sumberdaya yang lebih adil. Dengan demikian melalui resolusi konflik yang tepat akan tercipta kondisi positif pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, mendorong partisipasi masyarakat, terciptanya keadilan (equity) antar kelompok masyarakat, serta mengembangkan stabilitas sosial.
48
Agar proses resolusi konflik berlangsung dengan baik, Rijsberman (2000) menyatakan ada dua prekondisi yang harus disiapkan. Prekondisi yang pertama adalah lingkungan hukum atau kebijakan yang menunjang. Prekondisi yang kedua adalah adanya keseimbangan kekuatan diantara stakeholder yang terlibat dalam konflik. Dengan memperhatikan tipologi konflik serta alternatif resolusi konflik yang tepat maka disusunlah strategi pengelolaan konflik. Penyusunan strategi tersebut memperhatikan hukum dan kebijakan yang ada serta keseimbangan kekuatan dari stakeholder. Dalam strategi pengelolaan konflik tersebut tertuang pula bentuk kelembagaan yang tepat untuk mengatasi konflik perikanan tangkap. Uraian diatas secara ringkas dapat dituangkan dalam kerangka pemikiran seperti pada Gambar 9.
49
FAKTOR PENYEBAB KONFLIK (Bennett dan Neiland 2000)
AKTOR a. Latar belakang etnik b. Kemampuan c. Tata nilai yang dianut (Bradford and Stringfellow 2001)
KONDISI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP (Schaefer 1955)
TEKNIK PENGELOLAAN KONFLIK (Priscoli 2002)
TIPOLOGI KONFLIK a. Jurisdiksi b. Manajemen pengelolaan c. Alokasi internal d. Alokasi eksternal Charles (1992)
PENDEKATAN RESOLUSI KONFLIK 1. Aktor 2. Stakeholder 3. Sumberdaya (Bennett dan Neiland 2000)
1. Negosiasi 2. Konsiliasi 3. Fasilitasi 4. Mediasi 5. Arbitrasi 6. Negosiasi peranan/ peraturan 1. Litigasi 2. Konfrontasi
ANALISIS EFEKTIVITAS RESOLUSI KONFLIK
KONDISI LINGKUNGAN PREKONDISI: a. Hukum dan kebijakan b. Keseimbangan kekuatan
RANCANGAN MODEL PROSES PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP
MODEL PROSES PENGELOLAAN KONFLIK PERIKANAN TANGKAP
EXPECTED OUTCOME Pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab : 1. Peningkatan partisipasi 2. Pelestarian SDPT 3. Menjamin keadilan
Gambar 9. Kerangka pemikiran studi keefektivan resolusi konflik. 50
50
2.6 Hipotesis
Berdasarkan pendekatan teoritis studi analisis konflik yang telah diterangkan sebelumnya maka hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah : Hipotesis 1 : Kemampuan stakeholder dalam menganalisis dan memetakan penyebab konflik berpengaruh terhadap pemilihan teknik resolusi konflik yang tepat Hipotesis 2 : Teknik resolusi konflik yang efektif mendukung pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab. Hipotesis 2, akan diuji melalui sub hipotesis : ¾
Teknik resolusi konflik yang efektif berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat tentang pentingnya pelestarian perikanan tangkap.
¾
Teknik resolusi konflik yang efektif berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan tangkap yang bertanggung jawab.
¾
Teknik resolusi konflik yang efektif berpengaruh terhadap keadilan dalam pemanfaatan perikanan tangkap.
51