Wiwied Prasojo A.P. dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):397-404, April 2013
PEMANFAATAN KULIT SINGKONG FERMENTASI MENGGUNAKAN LEUCONOSTOC MESENTEROIDES DALAM PAKAN PENGARUHNYA TERHADAP N-NH3 DAN VFA (in vitro) (UTILIZATION OF CASSAVA PEELFERMENTED BYLEUCONOSTOCMESENTEROIDES INFLUENCEON VOLATILE FATTY ACIDAND N-NH3 ( in vitro)) Wiwied Prasojo A.P., FM. Suhartati dan Sri Rahayu* Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto *Corresponding author:
[email protected] ABSTRAK Penelitian bertujuan mengkaji pengaruh pemanfaatan kulit singkong fermentasi terhadap konsentrasiN-NH3 dan VFA. Materi yang digunakan dalam penelitian yaitu cairan rumen kambing yang diambil dari Rumah Potong Hewan (RPH) Karanglewas. Penelitian menggunakan metode eksperimental yang dirancang menurut Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebagai perlakuan adalah kulit singkong tanpa fermentasi (P1) sedangkan untuk P2 dan P3 serta P4 sama dengan P1, akan tetapi bekatul dalam konsentrat digantikan oleh kulit singkong yang difermentasi menggunakan Leuconostoc mesenteroides berturut–turut sebanyak 10%, 20%, 30%. Pakan terdiri atas rumput lapang dan konsentrat dengan imbangan 60 : 40. Variabel yang diukur yaitu VFA dan N-NH3. Data yang diperoleh dianalisis variansi dan dilanjutkan dengan uji Orthogonal Polinomial. Hasil penelitian menginformasikan kadar VFA untuk masing-masing perlakuan P1, P2, P3 dan P4 adalah 149,6 mM; 160,4 mM; 148,0 mM; 107,6 mM; sedangkan kadar N-NH3 adalah 2,32 mM; 2,36 mM; 2,96 mM dan 2,44 mM. Analisis variansi menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap kadar VFA dan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap N-NH3. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kulit singkong yang di fermentasi secara anaerob menggunakan L. mesenteroides tidak dapat menggantikan bekatul dalam pakan kambing. Kata kunci : L. mesenteroides, kulit singkong, pakan, kambing ABSTRACT The aim of this research was to studythe use of fermentad cassava peelon volatile fatty acid and N-NH3 of goat ration. The materials were goatrumen fluid taken from slaughter house of Karanglewas Purwokerto. This experiment used experimental method design according to Completely Randomized Design. The treatments tested were ration contain unfermentedcassava peelas control (P1), while for P2, P3and P4 same as P1, but rice bran were subtitutedbyfermentedcassava peelas much as 10%, 20%, 30% respectively. Rationconsists ofgrassfieldandconcentrate at thebalance60 : 40%.The variable measured and recorded were volatile fatty acid (VFA) and N-NH3. Data were analysed by anava and continued by orthogonal polynomial. The result showed that the average of VFA were 149,6 mM; 160,4 mM; 148,0 mM; 107,6 mM; and N-NH3 were 2,32 mM; 2,36 mM; 2,96 mM; and 2,44 mM, for P1, P2, P3 and P4 respectively. Analysis of variance showed that treatment were significant effect (P < 0.05) on VFA and not significant (P > 0.05) on N-NH3. It can be concluded that fermentad cassava peel can not replace by rice bran in goat ration. Keywords: L. mesenteroides, cassava peel, goat, ration PENDAHULUAN Kulit singkong yang diperoleh dari tanaman singkong (Manihot esculenta Crantz atau Manihot esculenta Pohl) merupakan limbah agroindustri seperti industri tepung tapioka, industri 397
Wiwied Prasojo A.P. dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):397-404, April 2013
fermentasi, dan industri produk makanan. Industri pengolahan umbi singkong tersebut menghasilkan kulit singkong yang pada umumnya dibuang sebagai limbah. Saat ini pemanfaatan kulit singkong segar sebagai pakan ternak hanya dilakukan dalam jumlah yang terbatas, karena bila diberikan dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan keracunan akibat adanya sianida (HCN) yang dapat menyebabkan kematian. Untuk itu perlu upaya mengurangi kandungan sianida kulit singkong agar dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak yang potensial, antara lain dengan cara fermentasi. Kulit singkong mengandung bahan-bahan organik seperti karbohidrat, protein, lemak, dan mineral (Rukmana, 1997). Proses fermentasi dapat meningkatkan kandungan energi dan protein, menurunkan kandungan sianida dan kandungan serat kasar, serta meningkatkan daya cerna bahan makanan berkualitas rendah. Mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi dapat menghasilkan enzim yang akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks menjadi lebih sederhana dan mensintesis protein yang merupakan proses pengkayaan protein bahan. Hasil penelitian Achi dan Akomas (2006) menunjukkan bahwa bakteri asam laktat berperan dalam proses penurunan sianida. Penurunan sianida pada fermentasi kulit singkong terjadi karena adanya aktivitas enzim β-glukosidase yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat terutama Leuconostoc mesenteroides. Kobawila et al.,(2005) melaporkan Leuconostoc mesenteroides dapat mendegradasi sianida lebih baik dibandingkan bakteri asam laktat lain, karena mempunyai aktivitas β–glukosidase yang tinggi, dengan demikian kandungan sianida kulit singkong dapat menurun. Penggunaan kulit singkong dalam pakan akan meningkatkan pasokan energi untuk mikroorganisme rumen, oleh karena itu mikroorganisme rumen akan berkembang sehingga fermentasi dapat berlangsung lebih baik dan produk fermentasi rumen akan meningkat. Berdasarkan uraian tersebut, perlu adanya suatu kajian tentang pengaruh penggunaan L. mesenteroides terhadap kandungan sianida kulit singkong dan produk fermentasi rumen. MATERI DAN METODE Lokasi Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Materi Penelitian Materi yang akan digunakan adalah cairan rumen (sebagai sumber inokulum) kambing yang di ambil dari RPH (rumah potong hewan) Karanglewas segera setelah kambing dipotong, kulit singkong, dan bakteri L. Mesenteroides dari PAU-UGM Jogjakarta. Pakan konsentrat disusun dari bekatul, kulit singkong fermentasi, onggok, bungkil kelapa, jagung giling dan polard (Tabel 1). Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimental secara in vitro (Tilley dan Terry, 1963). Fermentasi kulit singkong secara anaerob (ensilase) selama 30 hari dan setiap minggu dilakukan pengambilan sampel untuk diukur kadar asam sianidanya (HCN). Pengukuran HCN secara kualitatif dan kuantitatif di Laboratorium Organik, Fakultas Teknik dan Sains-UNSOED.
398
Wiwied Prasojo A.P. dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):397-404, April 2013
Pengukuran VFA dengan metode destilasi uap (Krooman et al., 1967) dan N-NH3 menggunakan metode mikrodifusi Conway. Tabel 1. Komposisi Nutrien Pakan Percobaan1) Bahan P1 (%) P2 (%) Bekatul 30 20 Kulit singkong fermentasi 0 10 Onggok 20 20 Bungkil kelapa 20 20 Jagung giling 20 20 Polard 10 10 Jumlah (%) 100 100 Kandungan NUtrien P1 (%) P2 (%) Bahan kering 75.80 69.50 Protein kasar 11.19 10.25 Serat kasar 5.42 5.05 Lemak kasar 11.17 10.20 1) Analisis Laboratorium Makanan Ternak Fapet-Unsoed (2012)
P3 (%) 10 20 20 20 20 10 100 P3 (%) 63.20 9.31 4.68 9.23
P4 (%) 0 30 20 20 20 10 100 P4 (%) 57.00 8.00 4.31 8.26
Rancangan Penelitian Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan perlakuan P1 : Pakan tanpa kulit singkong; P2 : P1 +10% kulit singkong fermentasi; P3 : P1 + 20% kulit singkong fermentasi; P4 : P1 + 30% kulit singkong fermentasi. Setiap perlakuan diulang lima kali sehingga terdapat 20 unit percobaan. Pakan terdiri dari rumput lapang dan konsentrat dengan imbangan 60 : 40. Konsentrat terdiri atas bekatul, kulit singkong fermentasi, onggok, bungkil kelapa, jagung giling, polard. HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Fisik Pengamatan selama proses fermentasi kulit singkong menunjukan kisaran suhu proses berada pada 25°C. Levitel (2009), menyatakan bahwa fermentasi yang baik dapat dihasilkan pada suhu 30°C, sementara itu Okine (2005), menyatakan bahwa proses fermentasi pada suhu 25-37oC akan menghasilkan kualitas produk yang sangat baik. Suhu yang terlalu tinggi selama proses fermentasi dapat disebabkan oleh terdapatnya udara di dalam silo sebagai akibat pemadatan atau penutupan silo yang kurang padat. Sel-sel hijauan yang masih hidup melakukan respirasi terus menerus selama tersedianya oksigen dalam silo dan menghasilkan CO2, H2O, dan panas (Levitel et al., 2009). Kondisi suhu fermentasi pada 25 °C berdampak positif bagi L. mesenteroides, karena suhu 20-30 °C merupakan suhu yang baik untuk pertumbuhan bakteri L. mesenteroides (Kusmiati & Malik, 2002). Produk fermentasi kulit singkong hasil penelitian ini menunjukkan aroma sedikit asam dan wangi. Pakan yang di tambah 30% kulit singkong fermentasi (P 4) memiliki aroma dan wangi fermentasi yang lebih tajam di bandingkan pakan kontrol (P 1), dengan demikian penambahan bakteri L. mesenteroides pada penelitian ini dapat memperbaiki aroma pada bahan pakan. Hemme & Scheunemann (2004), menyatakan bahwa L. mesenteroides mempunyai peranan 399
Wiwied Prasojo A.P. dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):397-404, April 2013
penting dalam memperbaiki aroma dan tekstur suatu produk. Aroma fermentasi perlakuan termasuk kedalam kriteria kualitas fermentasi yang baik. Fermentasi yang baik memiliki aroma asam dan wangi (Abdelhadi et al., 2005). Ada empat kriteria penilaian aroma fermentasi yaitu sangat wangi, wangi, asam, dan bau tidak sedap (Wilkins, 1988). Warna fermentasi mengalami perubahan yang berbeda-beda, mulai dari kulit singkong yang difermentasi selama 1 minggu mengalami sedikit perubahan warna dari warna coklat menjadi coklat tua dan banyak mengalami perubahan warna pada pakan yang difermentasi selama 4 minggu. Perubahan warna fermentasi perlakuan selain disebabkan oleh adanya pengaruh suhu selama proses fermentasi, juga dipengaruhi oleh jenis bahan baku fermentasi. Suhu yang tinggi selama proses fermentasi dapat menyebabkan perubahan warna fermentasi, sebagai akibat dari terjadinya reaksi Maillard yang berwarna kecoklatan (Gonzalez et al., 2007). Fermentasi yang baik memiliki warna yang tidak jauh berbeda dengan warna bahan bakunya, memiliki pH rendah dan beraroma asam (Abdelhadi etal., 2005), bertekstur lembut, tidak berjamur dan tidak berlendir (Ridla et al., 2007). Dalam penelitian ini, penampilan produk fermentasi kulit singkong sangat baik karena tidak berjamur, tidak berlendir dan tidak berbau busuk. Kandungan HCN Sianogen glukosida merupakan senyawa sekunder dalam tanaman singkong yang terdiri atas linamarin dan lotaustralin. HCN dihasilkan dari hidrolisis linamarin oleh enzim linamarase. Kandungan HCN yang tinggi dapat berakibat keracunan pada ternak sehingga diperlukan upaya penurunan diantaranya dengancara pengeringan dan fermentasi. Hasil analisis kandungan HCN kulit singkong disajikan pada tabel 2. Tabel 2 No 1 2 3 4 5 6
Kadar HCN Kulit Singkong Segar, Kering dan Fermentasi1) Kode sampel2) Kandungan HCN (ppm) Penurunan HCN (%) Segar 109 Kering 86 21,1 Fermentasi 1 minggu 48 56 Fermentasi 2 minggu 55 49,5 Fermentasi 3 minggu 35 68 Fermentasi 4 minggu 100
1) Analisis Laboratorium Organik Fakultas Sains dan Teknik UNSOED (2012) 2) berasal dari 3 ulangan yang dikomposit
Kulit singkong segar hasil limbah pengolahan pati memiliki kandungan HCN 109 mg/kg setelah dikeringkan selama 2 hari pada suhu 50 °C kadar HCN menjadi 86 mg/kg atau turun sebesar 21,1% (Tabel 2). Kandungan HCN pada tanaman singkong dapat dipengaruhi oleh varietas, bagian tanaman, periode pertumbuhan dan lingkungan. Bagian daun dan tangkainya mengandung HCN tertinggi kemudian bagian kulit, batang serta yang terendah adalah daun yang sudah tua (Jianping dan Yinong, 2005). Selama proses fermentasi kandungan HCN kulit singkong yang di fermentasi dari minggu ke minggu mengalami penurunan, kandungan HCN pada minggu ke-4 tidak terdeteksi. Pada awal fermentasi, masih berlangsung respirasi sel-sel tanaman dalam silo yang 400
Wiwied Prasojo A.P. dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):397-404, April 2013
melepaskan panas (Mc.Donald, 1981) Kondisi ini berdampak positif bagi L. mesenteroides, karena suhu 20-30 oC merupakan suhu yang baik untuk pertumbuhan bakteri L. mesenteroides (Kusmiati & Malik, 2002). Proses fermentasi mulai terjadi pada saat bakteri L. mesenteroides mulai aktif memecah karbohidrat menjadi alkohol, asam laktat, asam butirat, asam karbonat dan juga terjadi pelepasan panas. Peristiwa ini dapat terjadi dalam kondisi anaerob (Anonimus, 2000). Panas yang dihasilkan selama proses enfermentasi kemungkinan mempengaruhi enzim linamarase. Menurut Supriyadi (2003) bahwa enzim linamarase akan kehilangan aktifitasnya pada suhu di atas 75 oC. Kandungan HCN kulit singkong setelah pengeringan oven mengalami penurunan sebesar 21,1% dibanding kulit segar. HCN merupakan komponen bebas yang mudah menguap. Adanya angin dan panas sinar matahari dengan suhu yang tidak terlalu tinggi mengakibatkan tidak terjadinya penon-aktifan enzim linamarase sehingga enzim tersebut mampu melepaskan HCN yang selanjutnya dapat menurunkan kandungan HCN (Buitrago, 2005). Penurunan kadar HCN pada kulit singkong dengan cara menjemur dibawah sinar matahari selama ± 12 jam dapat menghilangkan HCN seiring dengan berkurangnya kadar air bahan pada saat dijemur (Purwanti, 2005). Penurunan kandungan HCN fermentasi kulit singkong lebih besar daripada kulit singkong kering yaitu dari 86 mg/kg menjadi 0 atau tidak terdeteksi. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi lebih efektif untuk menurunkan kandungan HCN, karena proses fermentasi pada suhu 25-37 °C akan menghasilkan kualitas yang sangat baik yang dapat mempengaruhi aktifitas enzim limanarase dalam pelepasan HCN. Kulit singkong yang di fermentasi selama 3 dan 4 minggu dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan apabila dilihat dari kandungan HCN-nya karena menurut Bolhuis yang disitasi oleh Buitrago (2005), tanaman singkong tidak bersifat racun apabila memiliki kandungan HCN kurang dari 50 mg/kg segar. Konsentrasi Volatile Fatty Acids (VFA). Konsentrasi asam lemak atsiri (VFA) yang dihasilkan pada 4 jam inkubasi secara in vitro berkisar antara 98 mM sampai 188 mM (data tidak ditampilkan). Hasil tersebut lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Sutardi (1977), yang mendapat konsentrasi VFA 3 – 5 jam setelah pemberian pakan sebesar 80 – 160 mM, serta konsentrasi VFA sering mengalami perubahan dengan variasi antara 9 – 67 mM. Tingginya hasil yang didapatkan terkait tidak adanya absorbsi VFA selama percobaan in vitro. Berdasarkan tabel 3, dapat diketahui bahwa rataan konsentrasi VFA tertinggi dicapai oleh perlakuan P2 (160,4 + 48,9 mM) dan terendah dicapai oleh P4 (107,6 + 7,4 mM). Tabel 3. Rataan Konsentrasi VFA dan N-NH3 (mM) Perlakuan VFA (mM) P1 149,6 + 14,4 P2 160,4 + 48,9 P3 148,0 + 22,5 P4 107,6 + 7,4
N-NH3 (mM) 2,32 + 0,54 2,36 + 0,30 2,96 + 0,64 2,44 + 0,67
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa penggunaan kulit singkong fermentasi berpengaruh sangat nyata (P < 0,01) terhadap konsentrasi VFA total. Analisis ortogonal polinomial 401
Wiwied Prasojo A.P. dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):397-404, April 2013
menunjukkan bahwa penggantian bekatul oleh kulit singkong fermentasi memberikan respon linier terhadap konsentrasi VFA dengan persamaan: Y = 162,16 – 1,384x
180
VFA (mM)
160 140 120 100
Y = 162.16 - 1.384 X R2 = 0.23
80 60 40 20 0 0
5 10 15 20 Penggantian Kulit Singkong Fermentasi (%)
25
30
Gambar 1. Hubungan Taraf Penggantian Bekatul oleh Kulit Singkong Fermentasi Terhadap konsentrasi VFA. VFA merupakan produk fermentasi mikroba dalam rumen yang berasal dari karbohidrat yang tersedia dalam pakan. VFA merupakan sumber energi utama bagi hewan inang namun juga digunakan oleh mikroba rumen sebagai energi untuk pertumbuhan dan aktivitasnya. Penggantian bekatul oleh kulit singkong fermentasi menyebabkan penurunan kandungan nutrien pakan (Tabel 1). Bahan kering pakan menurun dari 75.8% (tanpa kulit singkong fermentasi) menjadi 57% (30% kulit singkong fermentasi), protein kasar dari 11.19% menjadi 8% dan lemak 11.17% menjadi 8.26%. Semakin meningkat penggunaan kulit singkong fermentasi maka ketersediaan dan suplai nutrien untuk mikroba rumen semakin berkurang. Hal ini diduga akan menyebabkan gangguan yang mengakibatkan populasi dan aktivitas mikroba rumen turun, kondisi tersebut tercermin dari produk fermentasi rumen dalam hal ini VFA yang semakin turun (149,6 +14,4mM menjadi 107,6 +7,4mM). Konsentrasi Amonia (N-NH3) Konsentrasi N-NH3 dalam rumen hasil penelitian berkisar antara 2,32 (P1) sampai 2,96 (P3) (data tidak ditampilkan). Hasil ini lebih rendah daripada Sutardi (1977) yang menyatakan bahwa kadar N-NH3 cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba rumen adalah 4–12 mM dan kadar N-NH3 optimum adalah 8 mM. Satter dan Slyter (1974), menyatakan bahwa pertumbuhan mikroba rumen mulai terganggu bila kadar N-NH3 rumen kurang dari 3,57 mM. Hasil analisis ragam konsentrasi N-NH3 menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi N-NH3 pakan (P > 0,05). Konsentrasi N-NH3 mencerminkan jumlah protein ransum yang tersedia di dalam rumen dan nilainya sangat dipengaruhi oleh kemampuan mikroba rumen dalam mendegradasi protein ransum. Amonia merupakan sumber N yang penting bagi mikroorganisme yang hidup dalam rumen. Amonia digunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber N untuk sintesis protein mikroba. 402
Wiwied Prasojo A.P. dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):397-404, April 2013
Penggantian bekatul oleh kulit singkong fermentasi menyebabkan penurunan protein pakan dari 11,19 % (P1) menjadi 8 % (P4) (Tabel1). Namun penurunan tersebut tidak menyebabkan perbedaan nyatapada konsentrasi N-NH3. Hal ini diduga karena kandungan protein pakan 11.19%8 % masih mencukupi untuk aktivitas metabolisme mikroba rumen. Rendahnya N-NH3 juga dapat disebabkan karena telah dimanfaatkan oleh mikroba rumen sebagai sumber N untuk sintesis protein mikroba (Soebarinotoet al., 1991). SIMPULAN Berdasarkan hasil dari penelitian dapat disimpulkan bahwa proses fermentasi dapat menurunkan kandungan HCN kulit singkong yg di fermentasi, kandungan HCN dari segar sampai di fermentasi mengalami penurunan 100%. Berdasarkan konsentrasi VFA dan N-NH3, bekatul tidak dapat digantikan oleh kulit singkong fermentasi dalam pakan kambing. DAFTAR PUSTAKA Abdelhadi, L. O., F. J. Santini, & G. A. Gagliostro. 2005. Corn fermentasi of high moisture corn supplements for beef heifers grazing temperate pasture; eff ects on performance ruminal fermentation and in situ pasture digestion. Anim. Feed Sci. Technol. 118: 63-78. Achi, O. and S. Akomas. 2006. Comporative assessmentof fermentationtechniques in the processing of fufu, atradisional fermented cassava product. Pak. J. Nutr. 5:224-229. Buitrago, J. 2005. Characteristics and Management of Cassava Used For Animal Feeding. The Use of Cassava Roots And Leaves For On Farm AnimalFeeding. Editor R.H Howeler. Proceeding of A Regional Workshop.Hue City. Vietnam. Gonzalez, J., J. Farıa-M´armol, C. A. Rodrıguez, & A. Mart´ınez. 2007. Eff ects of ensiling on ruminal degradabilityand intestinal digestibility of Italian rye-grassAnim. Feed Sci. Technol. 136: 38– 50. Hemme, D. & C. F. Scheunemann. 2004. Leuconostoccharacteristics, use in dairy technology and prospects in functional foods. Int. Dairy J. 14: 467–494. Kusmiati & A. Malik. 2002. Aktivitas bakteriosin dari bakteri Leuconostoc mesenteroides Pbacl pada berbagai media. Makara Kesehatan 6:1-7. Kobawila, S. C., D. Louembe, S. Keleke, J. Hounhouigan, &G. Gamba. 2005. Reduction of the cyanide during fermentationof cassava roots and leaves to produce bikedi andntoba, two food products from Kongo. Afr. J. Biotechnol.4: 689-696 Levitel, T., A. F. Mustafaa, P. Seguin, & G. Lefebvrec. 2009. Eff ects of a propionic acid-based additive on short-termensiling characteristics of whole plant maize and on dairycow performance. Anim. Feed Sci. Technol. 152: 21–32. Nurhayani,H., Nurjati, J, Nyoman P.2001. Peningkatan kandungan protein kulit umbi ubi kayu melalui proses fermentasi. Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung.JMS 1: 2-3 Okine, A., M. Hanada, Y. Aibibula, & M. Okamoto. 2005. Ensiling of potato pulp with or without bacterial inoculants and its eff ect on fermentation quality, nutrient composition and nutritive value. Anim. Feed Sci. Technol. 121: 329–343 Ridla, M., N. Ramli, L. Abdullah, & T. Toharmat. 2007. Milk yield quality and satety of dairy ca� le fed silage composed of organic components of garbage. J. Ferment. Bioeng. 77: 572-574. 403
Wiwied Prasojo A.P. dkk/Jurnal Ilmiah Peternakan 1(1):397-404, April 2013
Rukmana, H.R. 1997. Ubi kayu budidaya dan pascapanen. Kanisius,Yogyakarta. Sutardi, T. 1977. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Kursus Peternakan Sapi Perah. Kayu Ambon. Dirjen Peternakan FAO. hlm. 55 – 60. Tilley, J. M.A. and R.A. Terry. 1963. A Two Stage Technique for The In Vitro Digestion of Forage Crops. Journal of British Grassland Society. 18(2): 104.
404