PEMANFAATAN GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) PADA KULTIVASI MIKROALGA Porphyridium cruentum DAN KONVERSINYA MENJADI MINYAK MENTAH
RIZKY HERMAWAN
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini Saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul :
PEMANFAATAN GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) PADA KULTIVASI MIKROALGA Porphyridium cruentum DAN KONVERSINYA MENJADI MINYAK MENTAH adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan oleh penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Februari 2013
RIZKY HERMAWAN C54080033
ii
RINGKASAN
RIZKY HERMAWAN. Pemanfaatan Gas Karbondioksida (CO2) pada Kultivasi Mikroalga Porphyridium cruentum dan Konversinya Menjadi Minyak Mentah. Dibimbing oleh MUJIZAT KAWAROE dan ADRIANI SUNUDDIN. Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki keanekaragaman hayati laut tinggi dan memiliki intensitas cahaya matahari tinggi, berpotensi untuk mengembangkan energi terbarukan dari mikroalga. Mikroalga yang digunakan dalam penelitian ini adalah Porphyridium cruentum yang diketahui memiliki kemampuan tumbuh subur pada salinitas yang tinggi. Kultivasi dengan memanfaatkan CO2 merupakan salah satu cara meningkatkan kelimpahan sel mikroalga. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis kelimpahan sel Porphyridium cruentum yang dikultivasi selama 30 hari dengan perlakuan kontrol, aerasi dan injeksi CO2, serta menganalisis pengaruh pemanfaatan injeksi CO2 terhadap kadar minyak mentah Porphyridium cruentum. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2012 di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM IPB). Penelitian meliputi 3 tahapan, yaitu kultivasi Porphyridium cruentum selama 30 hari, pemanenan hasil kultivasi dan ekstraksi hasil panen Porphyridium cruentum yang dikeringbekukan dengan alat freeze dryer. Tahap selanjutnya adalah analisis data (kelimpahan sel, laju pertumbuhan spesifik, kadar minyak, alkalinitas dan uji statistik). Puncak kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama usia kultivasi 30 hari untuk perlakuan kontrol mencapai 4.11x106 sel/ml pada hari ke-12 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.60, perlakuan aerasi mencapai 5.07x106 sel/ml pada hari ke-24 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 1.13 dan perlakuan injeksi CO2 mencapai 6.12x106 sel/ml pada hari ke-12 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.57. Hasil kelimpahan Porphyridium cruentum ketika hari ke-30 untuk perlakuan kontrol sebanyak 3.26x106 sel/ml, perlakuan aerasi sebanyak 3.95x106 sel/ml, dan perlakuan injeksi CO2 sebanyak 2.95x106 sel/ml. Hasil uji kualitas air adalah pH (kisaran 5.37-9.60), salinitas (kisaran 4661 ‰) dan suhu (kisaran 21-26 °C). Nilai alkalinitas selama masa kultivasi mencapai kisaran 32.28-110.22 mg/l CaCO3. Nilai rataan kadar minyak yang diperoleh perlakuan kontrol 0.92%, perlakuan aerasi 1.91% dan perlakuan injeksi CO2 5.97%. Nilai kadar minyak perlakuan injeksi CO2 merupakan nilai kadar minyak tertinggi dari penelitian ini. Oleh karena itu, dapat disimpulkan kultivasi dengan perlakuan injeksi CO2 dapat meningkatkan kadar minyak pada Porphyridium cruentum dan spesies Porphyridium cruentum berpotensi sebagai bahan baku biofuel untuk sumber energi terbarukan karena berhasil dikonversi menjadi minyak mentah.
iii
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
iv
PEMANFAATAN GAS KARBONDIOKSIDA (CO2) PADA KULTIVASI MIKROALGA Porphyridium cruentum DAN KONVERSINYA MENJADI MINYAK MENTAH
RIZKY HERMAWAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
v
Judul Skripsi
: Pemanfaatan Gas Karbondioksida (CO2) pada Kultivasi Mikroalga Porphyridium cruentum dan Konversinya Menjadi Minyak Mentah
Nama Mahasiswa
: Rizky Hermawan
NIM
: C54080033
Disetujui oleh, Pembimbing Utama
Anggota
Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si NIP. 19651213 199403 2 002
Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si NIP. 19790206 200604 2 013
Diketahui oleh, Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc NIP. 19640801 198903 1 001
Tanggal Lulus : 22 Februari 2013
vi
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur bagi Rabb-ku Allah SWT, Penggenggam hidupku, atas sebuah skenario kehidupan indah penuh rahmat, nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya untukku. Shalawat teriring salam tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : ”Pemanfaatan Gas Karbondioksida (CO2) pada Kultivasi Mikroalga Porphyridium cruentum dan Konversinya Menjadi Minyak Mentah” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Kelautan. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. Ir. Mujizat Kawaroe, M.Si dan Ibu Adriani Sunuddin, S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis selama penelitian serta penulisan skripsi ini. Terima kasih kepada Bapak Beginer Subhan, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji. Terima kasih juga penulis ucapkan untuk keluarga tercinta (Mama, Papa, Adit dan Fanny) atas do’a, cinta dan semangat yang selalu diberikan. Selain itu, terima kasih juga ditujukan kepada Ketua Departemen ITK beserta dosen dan staff atas bantuannya selama penulis menyelesaikan studi di ITK IPB, seluruh karyawan SBRC LPPM IPB atas bantuan dan kerja sama yang baik selama penelitian, kelompok PKM PIMNAS penulis (Sadwika Najmi Kautsari, Yani, Fadhil dan Nita) atas pengalaman dan perjuangan yang telah kita lalui bersama dalam PKM dan PIMNAS, Sekarsari Utami Wijaya (Ami) yang mengajari rancangan percobaan statistika, keluarga ITK 45 atas bantuan dan kerja sama selama kuliah, teman-teman DPM KM 20112012, serta seluruh pihak yang membantu penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis berharap saran dan kritik yang bersifat membangun demi penyempurnaan skripsi ini. Penulis berharap skripsi ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan, bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain yang membacanya dan semoga dapat dikembangkan untuk penelitian selanjutnya.
Bogor, Februari 2013 Rizky Hermawan vii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI ...........................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ...................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR...............................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................
xii
1
2
PENDAHULUAN ............................................................................
1
1.1 Latar Belakang ............................................................................
1
1.2 Tujuan .........................................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................
3
2.1 Mikroalga Porphyridium cruentum...............................................
3
2.2 Pengaruh Lingkungan terhadap Pertumbuhan Porphyridium
3
cruentum ......................................................................................
5
2.3 Kultivasi Mikroalga .....................................................................
8
2.4 Fase Pertumbuhan Mikroalga .......................................................
8
2.5 Pemanfaatan CO2 oleh Mikroalga.................................................
11
2.6 Alkalinitas ....................................................................................
12
2.7 Potensi Biodiesel dari Mikroalga ..................................................
13
METODE PENELITIAN .................................................................
15
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................
15
3.2 Alat dan Bahan Penelitian ............................................................
15
3.3 Prosedur Penelitian.......................................................................
16
3.3.1 Sterilisasi Alat ...................................................................
16
3.3.2 Sterilisasi Bahan................................................................
17
3.3.3 Tahap Kultivasi .................................................................
18
3.3.4 Tahap Pemanenan .............................................................
20
3.3.5 Tahap Ekstraksi.................................................................
21
viii
4
3.4. Analisis Data ................................................................................
22
3.4.1 Perhitungan Kelimpahan Sel Mikroalga ............................
22
3.4.2 Analisis Kadar Minyak ......................................................
23
3.4.3 Rancangan Percobaan .......................................................
24
3.4.4 Analisis Alkalinitas ...........................................................
26
HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................................
28
4.1 Kelimpahan Sel dan Laju Pertumbuhan Porphyridium cruentum ..
28
4.1.1 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-0 sampai Hari ke-11 .........................................................................
30
4.1.2 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-11 sampai Hari ke-21 .........................................................................
36
4.1.3 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-21 sampai Hari ke-30 .........................................................................
40
4.2 Kondisi Kualitas Air terhadap Pertumbuhan Porphyridium cruentum......................................................................................
44
4.2.1 Derajat Keasaman (pH) ......................................................
45
4.2.2 Salinitas .............................................................................
48
4.2.3 Suhu...................................................................................
50
4.3 Pengaruh Alkalinitas ....................................................................
52
4.4 Kadar Minyak Hasil Kultivasi Porphyridium cruentum................
55
KESIMPULAN DAN SARAN ..........................................................
58
5.1 Kesimpulan ..................................................................................
58
5.2 Saran ............................................................................................
58
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................
59
LAMPIRAN ............................................................................................
65
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................
83
5
ix
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Alat dan bahan ......................................................................................
15
2 Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan (μ) Porphyridium cruentum .......
28
3 Nilai rataan parameter kualitas air media kultivasi Porphyridium cruentum ..............................................................................................
45
4 Hubungan antara pH, alkalinitas, dan CO2 termanfaatkan .....................
53
5 Massa freeze dry, massa ekstrak, dan kadar minyak ..............................
79
x
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Porphyridium cruentum ........................................................................
4
2 Struktur sel Porphyridium cruentum .....................................................
5
3 Pola pertumbuhan mikroalga .................................................................
9
4 Skema proses penelitian ........................................................................
16
5 Laminar air flow ...................................................................................
17
6 Autoclave ..............................................................................................
18
7 Sketsa proses kultivasi Porphyridium cruentum ....................................
19
8 Porphyridium cruentum hasil proses flokulasi .......................................
21
9 Proses ekstraksi mikroalga Porphyridium cruentum ..............................
22
10 Perhitungan kelimpahan sel mikroalga dengan haemocytometer ...........
23
11 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari pertama ................................................................................................
30
12 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari kedua .
36
13 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari ketiga..
40
14 Perubahan rata-rata pH Porphyridium cruentum selama kultivasi .........
46
15 Perubahan rata-rata salinitas Porphyridium cruentum selama kultivasi .
49
16 Perubahan rata-rata suhu Porphyridium cruentum selama kultivasi ......
51
17 Grafik perbandingan kadar minyak dari berbagai perlakuan .................
56
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Perhitungan kelimpahan sel Porphyridium cruentum ............................
65
2 Perhitungan laju pertumbuhan spesifik Porphyridium cruentum ...........
66
3 Perhitungan kadar minyak ....................................................................
67
4 Uji statistik hasil kelimpahan sel hari ke-0 sampai hari ke-11 ...............
68
5 Uji statistik hasil kelimpahan sel hari ke-11 sampai hari ke-21 .............
69
6 Uji statistik hasil kelimpahan sel hari ke-21 sampai hari ke-30 .............
70
7 Uji statistik hasil kadar minyak ............................................................
71
8 Tabel perhitungan alkalinitas (αh) .........................................................
72
9 Tabel perhitungan alkalinitas (ƒ) ..........................................................
73
10 Tabel perhitungan alkalinitas (A) .........................................................
74
11 Tabel perhitungan alkalinitas (FT) ........................................................
75
12 Tabel perhitungan alkalinitas (Fp) ........................................................
76
13 Tabel perhitungan alkalinitas (ɣ) ..........................................................
77
14 Perhitungan konversi satuan alkalinitas ................................................
78
15 Tabel hasil massa freeze dry, massa ekstrak dan kadar minyak .............
79
16 Dokumentasi penelitian ........................................................................
80
xii
1
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki keanekaragaman hayati laut tinggi dan memiliki intensitas cahaya matahari tinggi, berpotensi untuk mengembangkan energi terbarukan. Energi terbarukan tersebut berasal dari eksplorasi sumberdaya laut dengan berbagai macam keanekaragaman biota laut Indonesia. Salah satu potensi bahan baku biofuel dari laut adalah mikroalga. Mikroalga merupakan tumbuhan tingkat rendah prokariotik yang dapat berfotosintesis serta dapat tumbuh dengan cepat. Mikroalga memiliki kandungan minyak sebesar 35-80% berat kering lebih tinggi dibandingkan dengan jarak (30-35% berat kering), kelapa sawit (25-30% berat kering) (Kawaroe et al. 2010), dan jagung (25-75% berat kering) (Chisti 2007). Menurut Widjaja (2009), mikroalga dapat tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan tumbuhan tingkat tinggi. Keuntungan lain adalah kultivasi mikroalga tidak membutuhkan lahan yang luas (Hoshida et al. 2005). Produksi mikroalga laut sebagai bahan bakar alternatif masih dalam proses pengembangan dan salah satu cara untuk memproduksi biomassa mikroalga laut dalam jumlah besar yaitu dengan melakukan kultivasi. Kultivasi dengan memanfaatkan gas karbondioksida (CO2) merupakan salah satu teknik untuk meningkatkan kelimpahan sel mikroalga. Mikroalga laut efisien dalam memanfaatkan energi matahari dan diprediksi dapat mengakumulasi CO2 karena memiliki laju pertumbuhan tinggi pada medium yang memiliki kelarutan CO 2 tinggi (Kawaroe et
2
al. 2010). Menurut Schneider (1989), CO2 merupakan gas yang dominan menyebabkan pemanasan global. Mikroalga yang digunakan pada penelitian ini adalah Porphyridium cruentum. Menurut Borowitzka dan Borowitzka (1988), Porphyridium cruentum diketahui mampu hidup dalam perairan bersalinitas tinggi. Penelitian ini dilakukan selama 30 hari untuk proses kultivasi mikroalga Porphyridium cruentum dengan perlakuan kontrol, aerasi dan injeksi CO2. Hasil kultivasi selanjutnya dipanen dan dikonversi menjadi minyak mentah mikroalga.
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Menganalisis kelimpahan sel Porphyridium cruentum yang dikultivasikan dengan perlakuan kontrol, aerasi, dan injeksi CO2 selama 30 hari, 2. Menganalisis pengaruh pemanfaatan injeksi CO2 terhadap hasil kadar minyak mentah Porphyridium cruentum.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Mikroalga Porphyridium cruentum Mikroalga tergolong produsen primer perairan karena mampu berfotosintesis. Porphyridium cruentum adalah mikroalga merah bersel satu yang termasuk Kelas Rhodophyceae (alga merah), hidup bebas atau berkoloni yang terikat dalam mucilago. Senyawa mucilago dieksresikan secara berkelanjutan oleh sel untuk membentuk sebuah kapsul yang mengelilingi sel. Mucilago merupakan polisakarida sulfat yang bersifat larut dalam air (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Porphyridium cruentum dapat hidup di berbagai habitat alam seperti air laut, air tawar, maupun pada permukaan tanah yang lembab dan membentuk lapisan kemerah-merahan. Habitat asli Porphyridium cruentum diduga berasal dari laut karena dapat hidup dengan baik pada media air laut cair maupun padat (Vonshak 1988). Porphyridium cruentum bisa hidup soliter atau koloni menjadi bentuk yang tidak beraturan berupa lendir. Selnya tidak dilindungi dinding sehingga materi ekstraplasmanya tidak memiliki komponen rangka atau serat mikro. Beberapa sel memiliki bentuk amoeboid dan saling membantu dalam merespon phototaksis positif. Masing-masing sel memiliki kloroplas tunggal yang menonjol dan berbentuk bintang dengan daerah pyrenoid yang terpusat (Kawaroe et al. 2010). Menurut penelitian Fuentes et al. (2000), biomassa sel Porphyridium cruentum mengandung rata-rata minyak 5.78%, sedangkan Hasanah (2011), mendapatkan nilai yang lebih rendah yaitu sebesar 0.33%. Produk komersial dari Porphyridium cruentum adalah asam arakidonat, polisakarida dan fikoeritrin (Vonshak 1988). Bentuk sel Porphyridium
4
cruentum dapat dilihat pada Gambar 1. Klasifikasi Porphyridium cruentum (Vonshak 1988) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Sub Kelas : Bangiophycidae Ordo : Porphyridiales Famili : Porphyridiaceae Genus : Porphyridium Species : Porphyridium cruentum
(a)
(b)
Gambar 1 Porphyridium cruentum: a. dokumentasi pribadi, b. Department of Enviromental Science 2008.
Struktur sel Porphyridium cruentum terdiri dari kloroplas, nukleus (inti), mitokondria, lendir, pati, badan golgi dan vesikel. Selnya berbentuk bulat dengan diameter 4-9 μm (Lee 1989). Hasil yang berbeda diperoleh Wanner dan Kost (1980), yang mendapati struktur Porphyridium cruentum terdiri atas vakuola, pyrenoid, kloroplas, pati, badan golgi dan mitokondria (Gambar 2).
5
Keterangan:
C : Kloroplas, G : Badan Golgi, M : Mitokondria, P : Pyrenoid, S : Pati, V : Vakuola Gambar 2 Struktur sel Porphyridium cruentum (Wanner dan Kost 1980).
2.2 Pengaruh Lingkungan terhadap Pertumbuhan Porphyridium cruentum Pertumbuhan Porphyridium cruentum dipengaruhi oleh faktor internal (metabolisme) dan eksternal. Faktor eksternal atau lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan Porphyridium cruentum, yaitu suhu, derajat keasaman (pH), cahaya, salinitas, dan nutrien. 1) Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang berperan dalam pertumbuhan mikroalga karena dapat mempengaruhi komposisi dan kandungan membran lipid mikroalga tersebut pada saat kultur (Kawaroe et al. 2010). Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi. Kenaikan suhu dapat menurunkan kelarutan bahan dan menyebabkan terjadinya kenaikan kecepatan metabolisme serta respirasi mikroalga dalam kultur.
6
Menurut Vonshak (1988), Porphyridium cruentum dapat hidup dalam kisaran suhu 10-35 °C dengan suhu optimum 25 °C. Menurut Richmond (1988), suhu optimum untuk pertumbuhan Porphyridium cruentum adalah 2126 °C dan pada suhu lebih rendah dari 13 °C, pertumbuhan Porphyridium cruentum melambat, sedangkan pada suhu lebih dari 31 °C pertumbuhannya terhambat, bahkan bisa mengalami kematian. 2) Derajat keasaman (pH) Derajat keasaman (pH) merupakan keberadaan ion hidrogen yang dapat memengaruhi metabolisme dan pertumbuhan mikroalga. pH optimum untuk fotosintesis Porphyridium cruentum adalah 7.5. Sel Porphyridium cruentum masih dapat hidup dengan baik pada kisaran pH 5.2-8.3. Pertumbuhan Porphyridium cruentum akan terhambat jika pH kurang dari 5 dan aktivitas fotosintesis akan mengalami penurunan maksimum mencapai 33% (Borowitzka dan Borowitzka 1988). 3) Cahaya Cahaya berperan penting dalam pertumbuhan mikroalga karena merupakan faktor yang berperan dalam proses fotosintesis. Intensitas cahaya sangat menentukan pertumbuhan mikroalga, yaitu dilihat dari lama penyinaran dan panjang gelombang yang digunakan untuk fotosintesis. Pertumbuhan Porphyridium cruentum tergantung pada intensitas cahaya meskipun Porphyridium cruentum memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap intensitas cahaya. Pertumbuhan ini juga diikuti dengan peningkatan
7
volume sel dan granula sitoplasma. Kandungan pigmen dan ukuran kloroplas menurun sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya (Vonshak 1988). 4) Salinitas Mikroalga laut memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas dan sebagian besar mikroalga laut dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas 25-35 ‰ (Sylvester et al. 2002). Porphyridium cruentum dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.5-2 kali konsentrasi air laut (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Kondisi salinitas kurang dari 35 ‰ mengakibatkan mikroalga Porphyridium cruentum tidak mampu bersaing hidup dengan mikroalga lainnya jika ditumbuhkan pada kultur terbuka. Menurut Richmond (1988), salinitas sebesar 46 ‰ tidak menghambat proses pertumbuhan. Salinitas dengan kisaran 35-45 ‰ dapat memacu pertumbuhan yang optimal. 5) Nutrien Nutrien (unsur hara) merupakan parameter penting yang mendukung pertumbuhan mikroalga selain suhu, derajat keasaman (pH), cahaya dan salinitas (Sen et al. 2005). Nutrien yang diperoleh dalam kultur mikroalga tidak selengkap kandungan nutrien yang berasal dari lautan. Oleh karena itu, untuk mencapai pertumbuhan yang optimum dalam kultur mikroalga diperlukan campuran air laut dengan nutrien yang tidak terkandung dalam air laut tersebut, gunanya untuk mencukupi kebutuhan nutrien saat kultur berlangsung. Nutrien yang dibutuhkan mikroalga terdiri dari makro-nutrien dan mikro-nutrien. Makro-nutrien terdiri dari C, H, N, P, K, S, Mg dan Ca.
8
Mikro-nutrien terdiri dari Fe, Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn dan Si. Faktor pembatas untuk pertumbuhan mikroalga adalah N dan P (Cahyaningsih 2009).
2.3 Kultivasi Mikroalga Pertumbuhan mikroalga bergantung pada volume kultivasi dan kepadatannya. Hal ini diasumsikan, kumpulan mikroalga ditempatkan pada wadah bervolume besar, tersedia cukup CO2 dan cahaya matahari sebagai pemicu pertumbuhan mikroalga agar maksimum (Richmond 2003). Mikroalga dapat dikultivasi secara massal untuk menghasilkan produk komersial dalam jumlah banyak seperti minyak, gula, dan senyawa bioaktif. Kultivasi mikroalga dilakukan untuk meningkatkan kelimpahan sel dan laju pertumbuhan secara optimal (Rocha et al. 2003). Mikroalga mudah untuk dikultivasi karena tidak membutuhkan lahan yang luas, tidak berkompetisi dengan bahan pangan, produktivitas tinggi (Guerrero 2010). Pemanfaatan mikroalga fotosintetik sangat beragam, yakni dalam produksi biomassa, produksi energi, produksi berbagai produk bermanfaat, bioakumulasi senyawa tertentu serta berbagai proses biotransformasi (Kurniawan dan Gunarto 1999). Mikroalga juga merupakan satu-satunya sumber biodiesel yang potensial untuk menggantikan bahan bakar fosil karena dapat tumbuh dengan cepat dan menjadi dua kali lipat lebih banyak dalam waktu 24 jam (Chisti 2007).
2.4 Fase Pertumbuhan Mikroalga Menurut Fogg (1975), fase pertumbuhan pada kultur mikroalga dapat ditandai dengan bertambahnya jumlah sel (kelimpahan meningkat) ataupun besarnya ukuran
9
sel mikroalga. Hal tersebut dapat dibedakan berdasarkan lima fase yaitu fase lag (fase adaptasi), fase eksponensial (logaritmik), fase deklinasi (penurunan laju pertumbuhan), fase stasioner dan fase kematian. Pola pertumbuhan mikroalga pada lima fase dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Pola pertumbuhan mikroalga (Fogg 1975).
1) Fase lag Fase lag merupakan fase awal dalam pertumbuhan mikroalga. Sel mikroalga mengalami penambahan kelimpahan dalam jumlah sedikit. Pada fase ini biasanya terjadi tekanan secara fisiologis karena terdapat perubahan kondisi lingkungan dari media sebelum kultivasi ke media kultivasi yang baru, sehingga mikroalga perlu melakukan proses adaptasi (penyesuaian) terlebih dahulu terhadap media kultur baru (Kawaroe et al. 2010). 2) Fase eksponensial Fase eksponensial merupakan tahapan pertumbuhan lanjutan setelah fase lag, pada fase ini mikroalga mengalami pertambahan biomassa dengan cepat. Hal itu ditandai oleh penambahan jumlah sel yang sangat cepat melalui pembelahan sel mikroalga (Kawaroe et al. 2010). Menurut Fogg (1975), pada
10
fase eksponensial terjadi percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan. 3) Fase deklinasi Fase deklinasi atau penurunan laju pertumbuhan terjadi karena populasi sel terus bertambah namun tidak ada penambahan nutrien dalam media, sedangkan pemanfaatan nutrien oleh mikroalga terus berlanjut. Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya persaingan antar sel untuk mendapatkan nutrien yang semakin berkurang dan pada akhirnya jumlah sel menurun (Fogg 1975). 4) Fase stasioner Menurut Kawaroe et al. (2010), fase stasioner ditandai dengan pertumbuhan mikroalga secara konstan akibat terjadinya keseimbangan anabolisme dan katabolisme dalam sel mikroalga. Fase ini juga terjadi keseimbangan antara ketersediaan nutrien dalam kultur dengan banyaknya jumlah sel mikroalga yang membutuhkan nutrien (rendahnya tingkat nutrien dalam sel mikroalga). 5) Fase kematian Menurut Kawaroe et al. (2010), fase ini ditandai dengan perubahan warna air pada media kultur, terbentuknya buih di permukaan media kultur dan terdapatnya gumpalan mikroalga yang mengendap di dasar wadah kultur. Fase kematian ini terjadi akibat penurunan kemampuan metabolisme mikroalga dan penurunan kandungan nutrien dalam media kultur. Terjadinya penurunan jumlah kelimpahan sel secara cepat dan sampai pada tahap
11
kematian sel mikroalga, namun ada sebagian sel yang mengalami dormansi (beristirahat sejenak lalu kembali mengalami pertumbuhan).
2.5 Pemanfaatan CO2 oleh Mikroalga Karbondioksida (CO2) merupakan gas yang memiliki dua atom oksigen berikatan secara kovalen dengan atom karbon. Karbondioksida dihasilkan dari respirasi semua makhluk hidup. Selain itu, organisme berklorofil juga memanfaatkan karbondioksida dalam proses fotosintesis. Salah satu tumbuhan berklorofil adalah mikroalga. Penyerapan CO2 oleh tumbuhan dapat mengurangi kadar CO2 di atmosfer. Proses tersebut dinamakan asimilasi karbon dengan memanfaatkan energi cahaya untuk menggabungkan air dan CO2 melalui proses produksi materi organik (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Menurut Taw (1990), CO2 diperlukan mikroalga untuk membantu proses fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-2% sudah cukup dimanfaatkan dalam kultur mikroalga dengan intensitas cahaya yang rendah. Kadar CO2 yang berlebih menyebabkan pH kurang dari batas optimum yang dibutuhkan mikroalga sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga. Mikroalga laut memiliki kemampuan berfotosintesis yang tinggi dan mudah ditumbuhkan pada media air laut yang memiliki kadar CO2 yang tinggi. Karbondioksida tidak bisa disuplai melalui difusi secara langsung dari udara karena konsentrasinya di udara relatif kecil (0.03%), sehingga diperlukan injeksi CO2 untuk meningkatkan pertumbuhan optimal dan produktivitas yang tinggi (Becker 1994). Pemanfaatan CO2 untuk mikroalga dapat dilakukan dengan perlakuan injeksi CO2 pada media saat kultivasi. Menurut Benemann (1997), injeksi CO2 pada kultivasi
12
mikroalga dapat menyebabkan mikroalga tumbuh lebih cepat. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi, Institut Pertanian Bogor (SBRC IPB) injeksi CO2 yang dilakukan saat kultivasi mampu meningkatkan kelimpahan mikroalga jenis Nannochloropsis sp. (Kawaroe et al. 2010).
2.6 Alkalinitas Alkalinitas didefinisikan sebagai hubungan dari semua anion yang berikatan dengan H+. Selain itu, dapat pula diartikan sebagai jumlah dari ion bikarbonat dan ion karbonat. Terdapat dua ion negatif yang berperan dalam sistem karbondioksida yaitu ion karbonat dan bikarbonat (Spotte 1992). Effendi (2003) menerangkan bahwa alkalinitas adalah gambaran kapasitas air untuk kuantitas anion (menetralkan asam) dalam air, dapat menetralkan kation hidrogen, dan sebagai kapasitas penyangga terhadap perubahan pH perairan. Pembentuk utama alkalinitas adalah hidroksida, karbonat dan bikarbonat. Bikarbonat merupakan ion terbanyak di antara ketiga ion tersebut yang terdapat dalam perairan. Dongoran (2003) berpendapat bahwa alkalinitas adalah total basa yang terkandung dalam perairan dan umumnya ditentukan oleh CO32- dan HCO3- dengan satuan CaCO3. Perairan dengan nilai alkalinitas lebih besar dari 40 mg/l CaCO3 disebut perairan sadah (hard water), sedangkan perairan dengan nilai alkalinitas kurang dari 40 mg/l CaCO3 disebut perairan lunak (soft water). Semakin tinggi nilai alkalinitas maka perairan tersebut cenderung bersifat alkali (Effendi 2003). Menurut Anggraeni (2002), perairan dengan nilai alkalinitas tinggi dan cenderung bersifat alkali lebih produktif daripada perairan dengan nilai alkalinitas
13
yang rendah. Lebih produktifnya perairan dengan nilai alkalinitas tinggi berkaitan dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lainnya yang meningkat kadarnya dengan bertambahnya nilai alkalinitas. Alkalinitas tidak hanya dipengaruhi oleh pH juga dipengaruhi oleh komposisi mineral, suhu dan kekuatan ion (Effendi 2003).
2.7 Potensi Biodiesel dari Mikroalga Minyak mentah merupakan bahan baku dalam memproduksi biodiesel. Biodiesel merupakan bahan bakar yang berpotensi untuk dapat diperbaharui dan terbuat dari sumber bahan nabati yang dihasilkan melalui proses transesterifikasi, esterifikasi ataupun proses esterifikasi-transesterifikasi (Hambali 2007). Biodiesel digunakan sebagai bahan bakar alternatif pengganti BBM untuk motor diesel. Penggunaan biodiesel dapat dalam bentuk 100% maupun campuran dengan minyak atau solar dengan konsentrasi tertentu. Biodiesel memiliki sifat yang mirip dengan solar, sehingga prosprektif untuk dikembangkan. Selain itu, biodiesel juga memiliki kelebihan dibandingkan solar karena tidak menghasilkan emisi gas yang merugikan lingkungan. Prinsip proses pembuatan biodiesel tergolong sederhana karena biodiesel dihasilkan melalui proses transesterifikasi minyak atau lemak dengan alkohol. Alkohol menggantikan gugus alkohol pada struktur ester minyak dengan bantuan katalis seperti NaOH dan KOH (Hambali 2007). Mikroalga memiliki potensi untuk menghasilkan biofuel dalam jumlah besar. Biofuel merupakan sebuah solusi dari kelangkaan fosil fuel yang saat ini sedang terjadi karena biofuel dapat terbarukan. Umdu et al. (2009) menyatakan bahwa mikroalga memiliki potensi yang tinggi sebagai biodiesel karena mengandung lipid
14
yang cocok untuk esterifikasi atau transesterifikasi. Selain itu, mikroalga memiliki laju pertumbuhan tinggi, kandungan lipid dapat disesuaikan dengan mengubah komposisi media kultur dan dapat dipanen lebih dari sekali dalam setahun.
15
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari-Mei 2012. Tempat penelitian di Laboratorium Kultivasi Mikroalga Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi (SBRC) Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LPPM IPB).
3.2 Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Alat dan bahan. Alat dan Bahan Toples Kaca Volume 2.5 liter Oven Laminar Air Flow Mixing Chamber Autoclave Orsat Kompresor Alkohol 70% Selang Gas CO2 Mikroskop Aerator dan Batu Pemberat Haemocytometer NaOH Teknis Padat Seperangkat soxlet & kondensator Pelarut n-Hexan Pipet Tetes NPFe Termometer Air Laut Hand-held Refraktometer ATAGO Handylab pH 1.1 SCHOOT Tisu Kertas Label Bibit Porphyridium cruentum Labu Lemak Freeze Dryer Hot Plate Akuades Neraca Digital
Unit 9 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 buah 1 liter 6 buah 1 set 1 set 1 set 1 set 100 gram 1 set 2.5 liter 3 buah 2 liter 1 buah 10 liter 1 set 1 set 3 rol 1 set 2.5 liter 2 buah 1 set 1 buah 3 liter 1 buah
Kegunaan Wadah kultivasi Mengeringkan alat Sterilisasi UV dan mengeringkan peralatan Pencampur CO2 dengan O2 dari kompresor Sterilisasi air laut Menghitung persentase kadar CO2 Sumber O2 Sterilisasi alat dan sterilisasi tangan Aerasi dan CO2 Sumber CO2 Menghitung kelimpahan mikroalga Aerasi, (untuk CO2 cukup batu pemberat) Menghitung kelimpahan mikroalga Proses flokulasi Proses ekstraksi Pelarut proses ekstraksi Pengambilan sampel kultur Nutrien Mengukur suhu Media kultivasi Mengukur salinitas Mengukur pH kultivasi Membersihkan peralatan Pemberian label pada sampel Bibit kultivasi Wadah n-hexan (ukuran 50 ml dan 250 ml) Proses pengeringan beku natan Pemanas labu lemak saat ekstraksi Bahan bilasan dan alat pencuci Mengukur bobot
16
3.3 Prosedur Penelitian Penelitian ini meliputi 3 tahapan, yaitu: kultivasi Porphyridium cruentum selama 30 hari, pemanenan hasil kultivasi dan ekstraksi hasil panen untuk mendapatkan minyak mentah. Selanjutnya, dilakukan tahapan analisis data. Skema proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 4. Sterilisasi Alat dan Bahan Pengukuran Parameter Suhu, Salinitas, dan pH
Kultivasi
Pengamatan Kelimpahan Sel Mikroalga menggunakan Mikroskop Analisis Kadar CO2 Termanfaatkan menggunakan Alat Orsat
Kontrol (Tanpa Aerasi dan CO2)
Menggunakan Aerasi
Menggunakan CO2 (2 hari sekali)
Pemanenan (Flokulasi) Rancangan Percobaan : Rancangan Acak Lengkap (RAL) : Yij = μ + τi + εij Koefisien Keragaman :
Pengeringan (Freeze Drying)
Uji Lanjut Duncan rα,p,v SȲ
Ekstraksi Laju Pertumbuhan Spesifik :
Kelimpahan (106 sel/ml) =
Analisis Alkalinitas
Analisis Data
Analisis Kadar Minyak Hasil Ekstraksi
Gambar 4 Skema proses penelitian.
3.3.1 Sterilisasi Alat Sterilisasi bertujuan untuk membersihkan alat dan bahan dari mikroorganisme serta bahan kimia yang dapat menyebabkan kontaminasi (Kawaroe et al. 2010). Oleh
17
karena itu, sebelum memulai penelitian, alat-alat seperti toples kaca, pipet tetes, batu aerasi dan selang aerasi terlebih dahulu dicuci lalu direndam dalam larutan detergen. Bilas alat-alat tersebut dengan air mengalir dan keringkan dengan oven dalam suhu 105 °C (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Setelah kering, alat-alat ditutup dengan alumunium foil dan agar lebih steril alat-alat tersebut dimasukkan ke dalam laminar air flow untuk disterilisasi menggunakan sinar UV selama kurang lebih 1 jam. Setelah proses sinar UV selesai, nyalakan blower selama kurang lebih 15 menit untuk membersihkan radiasi sinar UV. Laminar air flow dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Laminar air flow.
3.3.2 Sterilisasi Bahan Air laut, nutrien dan bahan lainnya untuk kultivasi dalam penelitian ini juga dilakukan sterilisasi untuk menghindari kontaminasi mikroorganisme. Air laut yang digunakan terlebih dahulu disaring dengan menggunakan kain saring 0.45 µm, selanjutnya disteriliasai dengan cara direbus hingga mendidih (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Perebusan air laut dengan menggunakan autoclave pada tekanan 1.5 atm dan suhu hingga 126 ºC. Autoclave dapat digunakan selama kurang lebih 45 menit. Nutrien NPFe yang digunakan disimpan di dalam kulkas. Bibit mikroalga
18
diperoleh dari koleksi laboratorium kultivasi mikroalga SBRC LPPM IPB. Proses sterilisasi bahan dengan Autoclave dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Autoclave.
3.3.3 Tahap Kultivasi Kultivasi menggunakan toples kaca volume 2.5 liter. Spesies yang digunakan adalah Porphyridium cruentum, kemudian dimasukkan air laut steril dan bibit mikroalga dengan perbandingan air laut steril dan bibit mikroalga (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Kesembilan toples kaca ditempelkan label agar tidak tertukar. Toples kaca pertama berisi air laut, bibit Porphyridium cruentum, nutrien NPFe dan tidak diberikan aerasi dinamakan kontrol. Toples kaca kedua berisi air laut, bibit Porphyridium cruentum, nutrien NPFe dan diberikan aerasi. Toples kaca ketiga berisi air laut, bibit Porphyridium cruentum, nutrien NPFe dan injeksi CO2 dari mixing chamber (Komposisi mixing chamber : 50% CO2 dan 50% O2). Dosis yang diperlukan dalam pembuatan nutrien NPFe, yaitu : NaNO3 242.40 ppm, KH2PO4 4.38 ppm dan FeCL3 0.29 ppm. Unsur N merupakan komponen utama (16-18%) dalam sel protein yang merupakan dasar kehidupan. Unsur P penting untuk pembentukan protoplasma sel dan nukleus yang dipergunakan untuk aktifitas
19
kehidupan. Unsur Fe penting dalam pembentukan kloroplas dan sebagai komponen esensial dalam proses oksidasi. Nutrien NPFe menyebabkan nitrat mengalami denitrifikasi menjadi nitrit dan natrium nitrat lebih bersifat basa sehingga cenderung mengasilkan nilai pH yang lebih tinggi (Kurniastuty dan Widiastuti 1992). Selanjutnya dilakukan kultivasi selama 30 hari. Kultivasi mikroalga dilakukan sebanyak 3 ulangan dalam waktu yang bersamaan (metode triplo). Gambar 7 menunjukkan sketsa proses kultivasi.
(a)
(b) Gambar 7 Sketsa proses kultivasi Porphyridium cruentum: a. tahap awal pembuatan media kultur Porphyridium cruentum, b. ilustrasi kultivasi Porphyridium cruentum.
20
Setelah itu, dilakukan juga pengukuran suhu, salinitas dan pH setiap hari selama 30 hari. Pengamatan kelimpahan sel saat kultivasi dilakukan setiap hari dengan waktu yang sudah ditentukan. Pengukuran parameter fisika dan kimia seperti suhu (ºC) ruangan kultivasi pada penelitian ini menggunakan thermometer, pengukuran salinitas (‰) menggunakan Hand-held Refraktometer ATAGO, analisis kadar gas CO2 termanfaatkan (%) menggunakan Orsat dan pengukuran pH dengan mengggunakan Handylab pH 1.1 SCHOOT. Injeksi CO2 mengunakan mixing chamber sebanyak 0.5x100 cc/min selama 4 jam setiap 2 hari sekali. Sebanyak 0.5x100 cc/min pemberian CO2 pada kultur berdasarkan pada penelitian Zumaritha (2011).
3.3.4 Tahap Pemanenan Pemanenan menggunakan metode flokulasi. Flokulasi merupakan proses pengendapan mikroalga dengan menggunakan bahan kimia sehingga sel mikroalga terpisah dengan air laut lalu terjadi pengendapan di dasar wadah (Kawaroe et al. 2010). Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan NaOH 10%. Larutan NaOH 10% tersebut diperoleh dari pengenceran 100 gram NaOH teknis padat dengan akuades 1000 ml. Larutan tersebut dituangkan ke dalam mikroalga yang sudah siap dipanen dan diaduk sampai terjadi pemisahan warna, lalu tunggu lebih kurang 1 hari untuk melihat hasil endapan sempurna berupa natan (pasta mikroalga). Setelah terjadi pemisahan antara air laut dengan natan maka air laut tersebut dikeluarkan dan dipindahkan ke wadah lain (Kawaroe et al. 2010). Gambar 8 merupakan visualisasi hasil proses flokulasi.
21
Gambar 8 Porphyridium cruentum hasil proses flokulasi.
Langkah selanjutnya adalah proses pengeringbekuan natan dengan menggunakan alat freeze dryer. Pengeringan dengan alat freeze dryer berlangsung pada saat bahan dalam keadaan beku, sehingga proses perubahan fase yang terjadi adalah sublimasi. Sublimasi dapat terjadi jika suhu dan tekanan ruang sangat rendah, yaitu di bawah titik tripel air hingga berbentuk serbuk. Suhu alat freeze dryer dipersiapkan hingga mencapai -50 ºC dan natan beku dimasukkan ke dalam freeze dryer. Proses berlangsung selama 48 jam untuk memperoleh serbuk mikroalga.
3.3.5 Tahap Ekstraksi Mikroalga yang sudah menjadi serbuk hasil dari proses freeze dry selanjutnya diekstrak dalam alat pemerasan mikroalga untuk memperoleh minyak mentah. Proses ekstraksi adalah pemisahan yang memiliki komponen kimiawi berbeda dengan pelarut yang selektif untuk mengambil sisa minyak yang tertinggal. Proses ekstraksi menggunakan perangkat soxlet dengan kondensornya, hot plate dan pelarut yang digunakan pada penelitian ini adalah pelarut n-hexane (pelarut non-polar) yang diproses selama 6 jam untuk memperoleh hasil maksimal dari serbuk mikroalga tersebut. Hasil ekstraksi masih berupa campuran pelarut hexane dan minyak mentah,
22
maka campuran tersebut disaring untuk memisahkan fase cair. Pemisahan minyak mentah dengan pelarut dilakukan menggunakan destilasi. Setelah itu, diperoleh hasil ekstraksi berupa minyak mentah (Kawaroe et al. 2010). Gambar 9 merupakan visualisasi proses ekstraksi Porphyridium cruentum.
Gambar 9 Proses ekstraksi mikroalga Porphyridium cruentum.
3.4 Analisis Data 3.4.1 Perhitungan Kelimpahan Sel Mikroalga Perhitungan kelimpahan sel mikroalga dari masing-masing toples kaca pada penelitian dilakukan setiap hari. Perhitungan kelimpahan sel menggunakan haemocytometer dan mikroskop (Gambar 10). Kelimpahan mikroalga dihitung dengan menggunakan rumus Improved Neubaeur Haemocytometer sebagai berikut: Kelimpahan (sel/ml) =
…….. (1)
keterangan: N = jumlah sel teramati Selain menghitung kelimpahan mikroalga, dilakukan juga perhitungan laju pertumbuhan spesifik (Krichnavaruk et al. 2005) dengan rumus berikut :
23
μ=
……….. (2)
keterangan: Nt = kelimpahan populasi pada waktu pengamatan No = kelimpahan populasi pada waktu awal Tt = waktu pengamatan To = waktu awal
Gambar 10 Perhitungan kelimpahan sel mikroalga dengan haemocytometer.
3.4.2 Analisis Kadar Minyak Selesai melakukan ekstraksi dilakukan perhitungan rendemen kadar minyak dengan rumus (AOAC 2005) sebagai berikut : ……… (3) keterangan: W2 = massa labuh lemak setelah ekstraksi W1 = massa labuh lemak sebelum ekstraksi W2 – W1 = massa ekstrak W = massa serbuk hasil freeze dry
24
3.4.3 Rancangan Percobaan Uji statistik ini dilakukan pada hasil kelimpahan sel untuk melihat perbedaan dari tiga perlakuan (kontrol, aerasi dan injeksi CO2 ) dan dilakukan pula uji kadar minyak untuk melihat pengaruh tiap perlakuan pada potensi kadar minyak dari tiap perlakuan tersebut. Hasil penelitian ini diuji dengan uji-F yang diperoleh dari hasil analisis ragam atau analysis of variance (ANOVA) untuk mengetahui perbedaan hasil kelimpahan sel dari tiga perlakuan dan untuk melihat pengaruh tiap perlakuan terhadap potensi kadar minyak. Rancangan percobaan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) dengan taraf nyata 5%, dilanjutkan dengan nilai koefisien keragaman. Uji lanjut Duncan untuk mengetahui beda antar perlakuan jika pada uji-F memberikan hasil berpengaruh nyata (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Rancangan percobaan menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) : Yij = μ + τi + εij
; i =1,2,3. ; j = 1,2,3. …….. (4)
keterangan: Yji = nilai pengamatan pada perlakuan ke-i, kelompok ke-j μ = rata-rata umum τi = (μi - μ ) = pengaruh aditif perlakuan ke-i εij = galat percobaan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j dengan εij ~ N (0,σ2) 1) Hipotesis yang diuji untuk mengetahui pengaruh tiap perlakuan pada hasil kelimpahan sel Porphyridium cruentum : H0 = karbondioksida yang diberikan tidak berpengaruh terhadap kelimpahan sel Porphyridium cruentum.
25
H1 = karbondioksida berpengaruh terhadap kelimpahan sel Porphyridium cruentum. 2) Hipotesis yang diuji untuk mengetahui pengaruh tiap perlakuan pada hasil kadar minyak Porphyridium cruentum : H0 = karbondioksida yang diberikan tidak berpengaruh terhadap hasil kadar minyak Porphyridium cruentum. H1 = karbondioksida berpengaruh terhadap hasil kadar minyak Porphyridium cruentum. Metode RAL (Rancangan Acak Lengkap) memiliki asumsi, yaitu kehomogenan ragam. Asumsi kehomogenan ragam dapat terpenuhi jika nilai koefisien keragaman yang diperoleh peneliti kurang dari 25% yang berarti tingkat keakuratan data tersebut tinggi (Mattjik dan Sumertajaya 2006). KK =
..………… (5)
keterangan: KK = koefisien keragaman σ = kuadrat tengah galat (KTG) atau deviasi baku Ȳ = rata-rata nilai pengamatan Prosedur uji lanjut Duncan didasarkan pada sekumpulan nilai beda nyata yang ukurannya semakin besar dan bergantung pada jarak pangkat-pangkat dari dua nilai tengah yang dibandingkan. Selain itu, dapat juga digunakan untuk menguji perbedaan antara semua pasangan perlakuan tanpa memperhatikan jumlah perlakuan. Nilai keakuratan uji lanjut Duncan lebih tinggi daripada uji Tukey (Mattjik dan Sumertajaya 2006).
26
Rp = rα,p,v SȲ ………. (6) keterangan : Rp = statistik uji Duncan r = ulangan rα,p,v = nilai wilayah nyata Duncan α = taraf nyata p = jarak relatif antara perlakuan tertentu dengan peringkat berikutnya (2,3,..t) v = derajat bebas galat
3.4.4 Analisis Alkalinitas Menurut Strickland dan Parsons (1972), alkalinitas adalah kemampuan larutan untuk menetralkan asam ke titik ekuivalen karbonat atau bikarbonat. Perhitungan alkalinitas dilakukan untuk mendapatkan jumlah total CO2 pada larutan. Alkalinitas berguna untuk pengukuran pH dalam larutan, selanjutnya dihitung dengan rumus : 1) Apabila pH < 4 maka digunakan rumus : Alk tot = 2.5 – (1250
………… (7)
)
Apabila pH > 4 maka digunakan rumus : Alk tot = 3 – ( 1300 keterangan: Alk tot = alkalinitas total = aktivitas ion hidrogen = faktor perhitungan total alkalinitas
)
……….. (8)
27
2) Hitung alkalinitas karbonat ( CA ) dengan rumus : CA
= Alk tot – A ……….. (9)
keterangan: CA = alkalinitas karbonat A = konversi alkalinitas total menjadi alkalinitas karbonat 3) Hitung konsentrasi total CO2 dengan rumus : CO2= CA x FT …………… (10) keterangan: CO2 = karbondioksida total FT
= faktor konversi alkalinitas karbonat menjadi karbondioksida total. 4) Hitung tekanan parsial dengan rumus : PCO2= CA x FP …………… (11)
keterangan: PCO2 = tekanan parsial karbondioksida FP
= konversi CO2 total menjadi tekanan parsial karbondioksida. 5) Hitung karbondioksida terlarut dengan menggunakan rumus : [CO2] = PCO2 x …………….. (12)
keterangan: = daya larut CO2 Maka akan didapatkan hasil dengan satuan mmol/l CaCO3 agar sesuai dengan satuan alkalinitas lainnya maka dilakukan konversi menjadi satuan yang diinginkan yaitu mg/l CaCO3.
28
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kelimpahan Sel dan Laju Pertumbuhan Porphyridium cruentum Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan Porphyridium cruentum disajikan pada Tabel 2. Tabel 2 Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan (μ) Porphyridium cruentum. Hari ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Rata-rata 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Rata-rata 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
Kontrol (106 sel/ml) 3.17 ± 1.34 2.56 ± 0.64 2.32 ± 1.29 2.48 ± 0.98 3.39 ± 0.79 3.31 ± 0.19 4.03 ± 1.69 2.79 ± 2.79 2.45 ± 1.91 2.57 ± 1.36 3.24 ± 2.41 2.74 ± 0.75 2.25 ± 1.24 4.11 ± 1.53 2.95 ± 1.68 3.87 ± 0.47 2.76 ± 1.74 4.00 ± 1.49 2.33 ± 1.52 2.43 ± 1.09 3.36 ± 0.74 3.12 ± 0.40 3.12 ± 0.70 1.70 ± 0.74 2.99 ± 0.80 1.64 ± 1.10 3.05 ± 1.67 2.78 ± 1.85 1.93 ± 1.81 1.24 ± 0.19 2.21 ± 1.15 1.58 ± 0.55 3.26 ± 2.42 2.24 ± 0.72
Aerasi µ ---0.21 -0.10 0.07 0.31 -0.02 0.20 -0.37 -0.13 0.05 0.23 ---0.37 0.60 -0.33 0.27 -0.34 0.37 -0.54 0.05 0.32 -0.07 ---0.61 0.57 -0.60 0.62 -0.09 -0.36 -0.44 0.58 -0.33 0.72 ---
(106 sel/ml) 2.63 ± 0.78 2.18 ± 0.23 3.06 ± 1.14 2.84 ± 0.24 2.80 ± 0.94 2.16 ± 0.93 3.03 ± 0.84 2.20 ± 1.47 2.71 ± 0.72 2.24 ± 1.78 3.61 ± 0.16 2.69 ± 0.50 2.75 ± 1.58 3.73 ± 0.48 3.73 ± 1.63 4.43 ± 1.57 3.55 ± 1.70 3.45 ± 1.17 3.41 ± 1.53 3.98 ± 0.41 1.95 ± 0.61 4.58 ± 0.69 3.56 ± 0.77 3.28 ± 1.28 3.42 ± 1.67 1.64 ± 0.33 5.07 ± 0.48 2.53 ± 2.01 2.48 ± 1.37 4.09 ± 1.85 3.30 ± 2.23 1.71 ± 0.04 3.95 ± 2.04 3.15 ± 1.08
CO2 µ ---0.18 0.34 -0.07 -0.01 -0.26 0.34 -0.32 0.21 -0.19 0.48 ---0.27 0.31 0.00 0.17 -0.22 -0.03 -0.01 0.16 -0.71 0.85 ---0.33 0.04 -0.73 1.13 -0.69 -0.02 0.50 -0.22 -0.66 0.84 ---
Keterangan : µ = laju pertumbuhan spesifik per hari
(106 sel/ml) 2.90 ± 1.54 2.85 ± 0.79 4.58 ± 2.10 3.94 ± 1.07 4.88 ± 3.03 5.08 ± 0.72 3.68 ± 0.86 4.65 ± 1.38 3.83 ± 1.32 4.63 ± 2.06 4.42 ± 2.05 4.13 ± 0.76 3.45 ± 2.77 6.12 ± 2.75 5.00 ± 1.74 5.67 ± 1.45 3.87 ± 0.68 3.78 ± 1.93 4.36 ± 0.95 3.53 ± 0.99 1.61 ± 0.88 4.95 ± 2.24 4.23 ± 1.29 3.73 ± 0.85 4.24 ± 2.20 2.86 ± 1.77 3.18 ± 1.42 3.91 ± 2.62 3.52 ± 1.70 2.36 ± 2.14 3.92 ± 0.73 4.87 ± 3.32 2.95 ± 1.15 3.55 ± 0.74
µ ---0.02 0.48 -0.15 0.21 0.04 -0.32 0.24 -0.19 0.19 -0.05 ---0.25 0.57 -0.20 0.13 -0.38 -0.02 0.14 -0.21 -0.78 1.12 ---0.28 0.13 -0.39 0.11 0.21 -0.11 -0.40 0.51 0.22 -0.50 ---
29
Pertumbuhan mikroalga spesies Porphyridium cruentum pada kultivasi dapat dilihat dari hasil kelimpahan sel. Kelimpahan sel Porphyridium cruentum untuk perlakuan kontrol pada hari ke-0 adalah 3.17x106 sel/ml, sedangkan untuk perlakuan aerasi dan injeksi CO2 adalah 2.63x106 sel/ml dan 2.90x106 sel/ml. Selanjutnya mikroalga tersebut akan mengalami fase pertumbuhan berupa fase lag, fase eksponensial (logaritmik), fase deklinasi, fase stasioner, dan fase kematian (Fogg 1975). Puncak kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama usia kultivasi 30 hari untuk perlakuan kontrol mencapai 4.11x106 sel/ml yang teramati pada hari ke-12 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.60, perlakuan aerasi mencapai 5.07x106 sel/ml pada hari ke-24 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 1.13 dan perlakuan injeksi CO2 mencapai 6.12x106 sel/ml pada hari ke-12 dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.57. Ho-Oh et al. (2009) melakukan penelitian kultivasi Porphyridium cruentum dengan usia kultivasi selama 20 hari dan tercatat hasil kelimpahan Porphyridium cruentum pada hari ke-20 sebanyak 2x106 sel/ml. Kelimpahan Porphyridium cruentum pada penelitian ini ketika hari ke-30 untuk perlakuan kontrol sebanyak 3.26x106 sel/ml, perlakuan aerasi sebanyak 3.95x106 sel/ml, dan perlakuan injeksi CO2 sebanyak 2.95x106 sel/ml. Hasil tersebut menunjukkan bahwa penelitian selama 30 hari menghasilkan kelimpahan sel Porphyridium cruentum lebih besar dari penelitian Ho-Oh et al. (2009) selama 20 hari yang menghasilkan kelimpahan pada hari ke-20 sebesar 2x106 sel/ml. Secara visual terlihat bahwa kultur Porphyridium cruentum pada hari ke-30 akan lebih pekat dibandingkan hari ke-20. Kultivasi dilakukan selama 30 hari untuk mendapatkan kelimpahan sel yang lebih tinggi. Hal
30
tersebut disebabkan karena semakin meningkatnya jumlah kelimpahan sel Porphyridium cruentum, serta adanya endapan sel yang dorman di lapisan bawah media kulturnya.
4.1.1 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-0 sampai Hari ke-11 Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Tabel 2 dan grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari pertama (hari ke-0 sampai hari ke-11) disajikan pada Gambar 11.
Gambar 11 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari pertama.
Grafik kultivasi untuk interval 10 hari pertama (hari ke-0 sampai hari ke-11) memperlihatkan kelimpahan sel tertinggi terdapat pada perlakuan injeksi CO2 dengan nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 4.13x106 sel/ml (Lampiran 4), kemudian dilanjutkan dengan perlakuan kontrol (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 2.74x106
31
sel/ml) dan aerasi (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 2.69x106 sel/ml). Gambar 11 menunjukkan pada akhir kultivasi interval 10 hari pertama kelimpahan tertinggi terdapat pada perlakuan injeksi CO2 kemudian dilanjutkan dengan aerasi dan kontrol. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh analysis of variance (ANOVA) RAL yang menunjukkan bahwa P-value 0.0001 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hasil Pvalue tersebut menyatakan tolak H0 (hipotesis nol) sehingga cukup bukti bahwa kultivasi injeksi CO2 yang diberikan dua hari sekali berpengaruh terhadap kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien keragaman sebesar 12.33%. Nilai koefisien keragaman tersebut lebih kecil daripada nilai koefisien kewajaran 25% sehingga dapat dinyatakan bahwa ragam pada perlakuan injeksi CO2 adalah homogen (tingkat keakuratan data yang diperoleh tinggi) (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Hasil uji Duncan (Lampiran 4) memperkuat hipotesis pengaruh perlakuan injeksi CO2 (Duncan grouping A) dibandingkan perlakuan kontrol (Duncan grouping B) dan aerasi (Duncan grouping B) memberikan respon yang berbeda nyata terhadap jumlah kelimpahan sel Porphyridium cruentum, namun perlakuan kontrol dan aerasi memberikan respon yang sama pada taraf nyata 5%. Menurut Triswanto (2011), fluktuatifnya grafik kelimpahan sel diduga akibat sel Porphyridium cruentum mengalami periode kriptik karena sel Porphyridium cruentum yang masih hidup memanfaatkan tambahan nutrisi untuk pertumbuhannya dari sel Porphyridium cruentum yang telah lisis sehingga Porphyridium cruentum kembali dapat menaikkan kelimpahan sel.
32
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan kontrol pada interval kultivasi 10 hari pertama teramati pada hari ke-6 sebesar 4.03x106 sel/ml dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.20, memiliki nilai pH 8.43, salinitas 52 ‰ dan suhu 22.33 ºC. Gambar 11 menunjukkan bahwa fase lag pada perlakuan kontrol berlangsung selama tiga hari (hari ke-0 sampai hari ke-3) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-0 sebesar 3.17x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-3 mencapai 2.48x106 sel/ml. Adaptasi yang cukup lama pada lingkungan kultur baru diduga karena bibit Porphyridium cruentum yang digunakan pada perlakuan kontrol sebelumnya sedang berada pada fase kematian. Prihantini et al. (2005) menyatakan bahwa salah satu faktor yang menentukan lamanya fase adaptasi adalah umur kultur yang digunakan sebagai bibit Porphyridium cruentum (inokulum). Fase adaptasi akan menjadi lebih singkat apabila sel-sel yang diinokulasikan berasal dari kultur yang berada dalam fase eksponensial. Menurut Sylvester et al. (2002), kondisi optimum untuk kehidupan mikroalga laut adalah salinitas 25-35 ‰, suhu 25-32 °C, dan pH 7-8. Fase eksponensial berawal dari hari ke-3 (mencapai 2.48x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.07) sampai hari ke-6 (mencapai 4.03x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.20). Menurut Fogg (1975), pada fase eksponensial terjadi percepatan pertumbuhan dan perbandingan konsentrasi komponen biokimia menjadi konstan. Fase selanjutnya adalah deklinasi yang terjadi pada hari ke-6 (mencapai 4.03x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.20) sampai hari ke-8 (mencapai 2.45x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.13). Fase stasioner mikroalga pada hari ke-8 (mencapai 2.45x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.13)
33
sampai hari ke-10 (mencapai 3.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.23), setelah mengalami fase pertumbuhan, selanjutnya mikroalga akan mengalami fase kematian. Menurut Kawaroe et al. (2010), fase ini terjadi akibat penurunan metabolisme mikroalga dan penurunan kandungan nutrien dalam media kultur. Selain itu, terjadi pula penurunan jumlah kelimpahan sel secara cepat dan sampai pada tahap kematian sel mikroalga, akan tetapi ada sebagian sel yang mengalami dormansi (beristirahat sejenak lalu kembali mengalami pertumbuhan). Fase kematian berlangsung pada hari ke-10 (mencapai 3.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.23) sampai hari ke-11 (mencapai 2.25x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.37). Kelimpahan sel tertinggi perlakuan aerasi pada interval kultivasi 10 hari pertama teramati pada hari ke-10 sebesar 3.61x106 sel/ml dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.48, memiliki nilai pH 8.50, salinitas 51 ‰ dan suhu 21.33 ºC. Fase lag pada perlakuan aerasi berlangsung selama satu hari (hari ke-0 sampai hari ke-1) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-0 sebesar 2.63x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-1 mencapai 2.18x106 sel/ml. Adaptasi yang cepat pada lingkungan kultur baru tersebut terjadi karena bibit Porphyridium cruentum (inokulum) yang digunakan pada perlakuan aerasi sebelumnya sedang berada pada fase eksponensial. Hal tersebut juga diperkuat dari penelitian Hasanah (2011) bahwa inokulum yang berasal dari fase eksponensial (logaritmik) pada kultivasi sebelumnya akan mengalami fase adaptasi yang cepat. Fase eksponensial berawal dari hari ke-1 (mencapai 2.18x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.18) sampai hari ke-4 (mencapai 2.80x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.01). Fase selanjutnya adalah deklinasi yang
34
terjadi pada hari ke-4 (mencapai 2.80x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.01) sampai hari ke-7 (mencapai 2.20x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.32). Menurut Fogg (1975), deklinasi disebabkan populasi sel terus bertambah namun tidak ada penambahan nutrien dalam media sedangkan pemanfaatan nutrien oleh mikroalga terus berlanjut, sehingga terjadi persaingan antar sel untuk mendapatkan nutrien yang semakin berkurang dan mengakibatkan penurunan tingkat pertumbuhan jumlah sel. Fase stasioner mikroalga pada hari ke-7 (mencapai 2.20x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.32) sampai hari ke-8 (mencapai 2.71x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21). Fase stasioner terjadi sangat singkat. Hal tersebut diduga karena nutrien pada kultur sudah tidak mencukupi sehingga pada fase stasioner mengalami waktu yang singkat dan mempercepat proses kematian mikroalga. Fase kematian berlangsung pada hari ke-8 (mencapai 2.71x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21) sampai hari ke-9 (mencapai 2.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.19). Kelimpahan sel tertinggi perlakuan injeksi CO2 pada interval kultivasi 10 hari pertama teramati pada hari ke-5 sebesar 5.08x106 sel/ml dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.04, memiliki nilai pH 5.37, salinitas 54 ‰ dan suhu 22.33 ºC. Fase lag pada perlakuan injeksi CO2 berlangsung sangat cepat yaitu selama satu hari (hari ke-0 sampai hari ke-1) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-0 sebesar 2.90x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-1 mencapai 2.85x106 sel/ml. Hal tersebut diduga karena bibit Porphyridium cruentum (inokulum) yang digunakan pada perlakuan injeksi CO2 sebelumnya sedang berada pada fase eksponensial, sehingga fase lag di
35
lingkungan kultur baru berlangsung sangat cepat. Fase eksponensial berawal dari hari ke-1 (mencapai 2.85x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.02) sampai hari ke-4 (mencapai 4.88x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21). Fase deklinasi terjadi pada hari ke-4 (mencapai 4.88x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21) sampai hari ke-6 (mencapai 3.68x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.32). Fase stasioner mikroalga pada hari ke-6 (mencapai 3.68x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.32) sampai hari ke-8 (mencapai 3.83x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.19). Prihantini et al. (2007) menyatakan bahwa fase stasioner pada kultivasi mikroalga berkaitan dengan berkurangnya sejumlah besar nutrien dalam media dan akumulasi senyawa-senyawa beracun sisa metabolisme. Penurunan juga terjadi akibat berkurangnya intensitas cahaya yang diterima oleh sel. Hal tersebut juga diperkuat oleh Kawaroe et al. (2010) bahwa fase stasioner ditandai dengan pertumbuhan mikroalga secara konstan akibat terjadinya keseimbangan anabolisme dan katabolisme dalam sel mikroalga. Fase ini juga terjadi keseimbangan antara ketersediaan nutrien dalam kultur dengan banyaknya jumlah sel mikroalga yang membutuhkan nutrien dalam media kultivasi. Fase kematian berlangsung pada hari ke-8 (mencapai 3.83x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.19) sampai hari ke-11 (mencapai 3.45x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.25). Terjadinya penurunan jumlah sel pada fase kematian diduga akibat pemanfaatan nutrien yang berlebihan pada hari sebelumnya, sehingga menyebabkan ketersediaan nutrien berkurang untuk asupan hari selanjutnya (Fachrullah 2011). Menurut Kawaroe et al. (2010), fase ini ditandai dengan
36
perubahan warna air pada media kultur, terbentuknya buih di permukaan media kultur dan terdapatnya gumpalan mikroalga yang mengendap di dasar wadah kultur.
4.1.2 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-11 sampai Hari ke-21 Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Tabel 2 dan grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari kedua (hari ke-11 sampai hari ke-21) disajikan pada Gambar 12.
Gambar 12 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari kedua.
Grafik kultivasi untuk interval 10 hari kedua (hari ke-11 sampai hari ke-21) memperlihatkan kelimpahan sel tertinggi terdapat pada perlakuan injeksi CO 2 dengan nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 4.23x106 sel/ml (Lampiran 5), kemudian dilanjutkan dengan perlakuan aerasi (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 3.56x106 sel/ml) dan kontrol (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 3.12x106 sel/ml). Gambar
37
12 menunjukkan pada akhir kultivasi interval 10 hari kedua kelimpahan tertinggi terdapat pada perlakuan injeksi CO2 dan aerasi kemudian perlakuan kontrol. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh analysis of variance (ANOVA) RAL yang menunjukkan bahwa P-value 0.0467 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hasil Pvalue tersebut menyatakan tolak H0 (hipotesis nol) sehingga cukup bukti bahwa kultivasi injeksi CO2 yang diberikan dua hari sekali berpengaruh terhadap kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien keragaman sebesar 14.50%. Nilai koefisien keragaman tersebut lebih kecil daripada nilai koefisien kewajaran 25% sehingga dapat dinyatakan bahwa ragam pada perlakuan injeksi CO2 adalah homogen (tingkat keakuratan data yang diperoleh tinggi) (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Hasil uji Duncan (Lampiran 5) memperkuat hipotesis pengaruh perlakuan injeksi CO2 (Duncan grouping A) dibandingkan perlakuan aerasi (Duncan grouping B) dan kontrol (Duncan grouping B) memberikan respon yang berbeda nyata terhadap jumlah kelimpahan sel Porphyridium cruentum, namun perlakuan aerasi dan kontrol memberikan respon yang sama pada taraf nyata 5%. Kelimpahan sel tertinggi perlakuan kontrol pada interval kultivasi 10 hari kedua teramati pada hari ke-12 sebesar 4.11x106 sel/ml dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.60, memiliki nilai pH 9.30, salinitas 50 ‰ dan suhu 23.67 ºC. Gambar 12 menunjukkan bahwa fase lag pada perlakuan kontrol berlangsung selama satu hari (hari ke-10 sampai hari ke-11) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-10 sebesar 3.24x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-11 mencapai 2.25x106 sel/ml, kemudian dilanjutkan dengan fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-11
38
(mencapai 2.25x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.37) sampai hari ke12 (mencapai 4.11x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.60). Fase deklinasi yang terjadi pada hari ke-12 (mencapai 4.11x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.60) sampai hari ke-14 (mencapai 3.87x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.27), fase stasioner pada hari ke-14 (mencapai 3.87x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.27) sampai hari ke-16 (mencapai 4.00x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.37) dan fase kematian berlangsung pada hari ke-16 (mencapai 4.00x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.37) sampai hari ke-20 (mencapai 3.12x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.07). Kelimpahan sel tertinggi perlakuan aerasi pada interval kultivasi 10 hari kedua teramati pada hari ke-20 sebesar 4.58x106 sel/ml dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.85, memiliki nilai pH 8.87, salinitas 59.7 ‰ dan suhu 21.33 ºC. Fase lag pada perlakuan aerasi berlangsung selama dua hari (hari ke-9 sampai hari ke-11) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-9 sebesar 2.24x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-11 mencapai 2.75x106 sel/ml, kemudian dilanjutkan dengan fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-11 (mencapai 2.75x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.27) sampai hari ke-14 (mencapai 4.43x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.17). Fase deklinasi yang terjadi pada hari ke-14 (mencapai 4.43x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.17) sampai hari ke-15 (mencapai 3.55x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.22). Fase stasioner pada hari ke-15 (mencapai 3.55x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.22) sampai hari ke-18 (mencapai 3.98x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.16) dan fase kematian berlangsung pada hari ke-18
39
(mencapai 3.98x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.16) sampai hari ke-19 (mencapai 1.95x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.71). Kelimpahan sel tertinggi perlakuan injeksi CO2 pada interval kultivasi 10 hari kedua teramati pada hari ke-12 sebesar 6.12x106 sel/ml dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.57, memiliki nilai pH 5.93, salinitas 52.7 ‰ dan suhu 23.33 ºC. Fase lag pada perlakuan injeksi CO2 berlangsung selama dua hari (hari ke-11 sampai hari ke-13) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-11 sebesar 3.45x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-13 mencapai 5.00 x106 sel/ml. Fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-13 (mencapai 5.00x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.20) sampai hari ke-14 (mencapai 5.67x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.13), fase deklinasi yang terjadi pada hari ke-14 (mencapai 5.67x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.13) sampai hari ke-17 (mencapai 4.36x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.14), fase stasioner pada hari ke17 (mencapai 4.36x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.14) sampai hari ke-18 (mencapai 3.53x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.21) dan fase kematian berlangsung pada hari ke-18 (mencapai 3.53x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.21) sampai hari ke-19 (mencapai 1.61x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.78). Gambar 12 secara umum menunjukkan kelimpahan sel tertinggi Porphyridium cruentum terjadi pada perlakuan injeksi CO2. Hal tersebut membuktikan bahwa CO2 berfungsi sebagai bahan utama dalam proses fotosintesis mikroalga untuk meningkatkan kelimpahan sel mikroalga. Heldt (2005) menambahkan bahwa fase pada reaksi fotosintesis mikroalga terdiri dari reaksi terang
40
dan reaksi gelap. Menurut Kawaroe et al. (2010), reaksi terang membutuhkan enzim yang dimiliki oleh membran tilakoid. Heldt (2005) menyatakan bahwa energi yang diperlukan untuk sintesis asam lemak (fatty acid) yaitu NADPH dan ATP yang dihasilkan pada reaksi terang. Menurut Kawaroe et al. (2010), setelah NADPH dan ATP terbentuk, maka mikroalga siap untuk menyintesis kerbohidrat dan mengikat CO2 melalui mekanisme reaksi gelap yang berlangsung di stroma. Reaksi gelap pada mikroalga Porphyridium cruentum berfungsi untuk mengikat CO2 yang diawali dengan terjadinya proses biosintesis fatty acid pada Porphyridium cruentum. Salisbury dan Ross (1995) menyatakan bahwa fatty acid dibentuk oleh kondensasi berganda unit asetat dari asetil CoA.
4.1.3 Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Hari ke-21 sampai Hari ke-30 Kelimpahan sel dan laju pertumbuhan Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Tabel 2 dan grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari ketiga (hari ke-21 sampai hari ke-30) disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13 Grafik kelimpahan sel Porphyridium cruentum interval 10 hari ketiga.
41
Grafik kultivasi untuk interval 10 hari ketiga (hari ke-21 sampai hari ke-30) secara umum memperlihatkan kelimpahan sel tertinggi terdapat pada perlakuan injeksi CO2 dengan nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 3.55x106 sel/ml (Lampiran 6), kemudian dilanjutkan aerasi (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 3.15x106 sel/ml) dan kelimpahan sel terendah pada perlakuan kontrol (nilai rata-rata kelimpahan sel sebesar 2.24x106 sel/ml). Gambar 13 menunjukkan pada akhir kultivasi interval 10 hari ketiga kelimpahan tertinggi terdapat pada perlakuan aerasi disusul perlakuan kontrol dan terendah perlakuan injeksi CO2. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh analysis of variance (ANOVA) RAL yang menunjukkan bahwa P-value 0.0066 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hasil Pvalue tersebut menyatakan tolak H0 (hipotesis nol) sehingga cukup bukti bahwa kultivasi injeksi CO2 yang diberikan dua hari sekali berpengaruh terhadap kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien keragaman sebesar 16.62%. Nilai koefisien keragaman tersebut lebih kecil daripada nilai koefisien kewajaran 25% sehingga dapat dinyatakan bahwa ragam pada perlakuan injeksi CO2 adalah homogen (tingkat keakuratan data yang diperoleh tinggi) (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Hasil uji Duncan (Lampiran 6) memperkuat hipotesis pengaruh perlakuan injeksi CO2 (Duncan grouping A) dibandingkan perlakuan aerasi (Duncan grouping B) dan kontrol (Duncan grouping B) memberikan respon yang berbeda nyata terhadap kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5%.
42
Kelimpahan sel tertinggi perlakuan kontrol pada interval kultivasi 10 hari ketiga teramati pada hari ke-30 sebesar 3.26x106 sel/ml dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.72, memiliki nilai pH 8.83, salinitas 50 ‰ dan suhu 24.67 ºC. Gambar 13 menunjukkan bahwa fase lag pada perlakuan kontrol berlangsung selama tiga hari (hari ke-20 sampai hari ke-23) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-20 sebesar 3.12x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-23 mencapai 1.64x106 sel/ml, kemudian dilanjutkan dengan fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-23 (mencapai 1.64x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.60) sampai hari ke24 (mencapai 3.05x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.62). Fase deklinasi yang terjadi pada hari ke-24 (mencapai 3.05x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.62) sampai hari ke-27 (mencapai 1.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.44), fase stasioner pada hari ke-27 (mencapai 1.24x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.44) sampai hari ke-28 (mencapai 2.21x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.58) dan diakhiri oleh fase kematian berlangsung pada hari ke-28 (mencapai 2.21x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.58) sampai hari ke-29 (mencapai 1.58x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.33). Kelimpahan sel tertinggi perlakuan aerasi pada interval kultivasi 10 hari ketiga teramati pada hari ke-24 sebesar 5.07x106 sel/ml dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 1.13, memiliki nilai pH 9.10, salinitas 58.7 ‰ dan suhu 23.67 ºC. Fase lag pada perlakuan aerasi berlangsung selama tiga hari (hari ke-19 sampai hari ke-22) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-19 sebesar 1.95x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-22 mencapai 3.42x106 sel/ml kemudian dilanjutkan dengan fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-22 (mencapai 3.42x106 sel/ml
43
dengan laju pertumbuhan spesifik 0.04) sampai hari ke-24 (mencapai 5.07x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 1.13). Fase deklinasi yang terjadi pada hari ke-24 (mencapai 5.07x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 1.13) sampai hari ke-25 (mencapai 2.53x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.69). Fase stasioner pada hari ke-25 (mencapai 2.53x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.69) sampai hari ke-28 (mencapai 3.30x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.22) dan diakhiri oleh fase kematian berlangsung pada hari ke-28 (mencapai 3.30x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.22) sampai hari ke-29 (mencapai 1.71x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.66). Kelimpahan sel tertinggi perlakuan injeksi CO2 pada kultivasi interval kultivasi 10 hari ketiga teramati pada hari ke-29 sebesar 4.87x106 sel/ml dengan nilai laju pertumbuhan spesifik 0.22, memiliki nilai pH 5.67, salinitas 46 ‰ dan suhu 22.67 ºC. Fase lag pada perlakuan injeksi CO2 berlangsung selama dua hari (hari ke21 sampai hari ke-23) dengan nilai kelimpahan sel hari ke-21 sebesar 3.73x106 sel/ml dan kelimpahan sel hari ke-23 mencapai 2.86 x106 sel/ml. Fase eksponensial yang berlangsung pada hari ke-23 (mencapai 2.86x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.39) sampai hari ke-25 (mencapai 3.91x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21), fase deklinasi yang terjadi pada hari ke-25 (mencapai 3.91x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.21) sampai hari ke-27 (mencapai 2.36x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.40), fase stasioner pada hari ke27 (mencapai 2.36x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.40) sampai hari ke-29 (mencapai 4.87x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik 0.22) dan diakhiri oleh fase kematian berlangsung pada hari ke-29 (mencapai 4.87x106 sel/ml dengan
44
laju pertumbuhan spesifik 0.22) sampai hari ke-30 (mencapai 2.95x106 sel/ml dengan laju pertumbuhan spesifik -0.50). Injeksi CO2 menyebabkan peningkatan proses fotosintesis mikroalga sehingga proses metabolisme dapat berlangsung lebih cepat dan kelimpahan sel meningkat (Prihantini et al. 2005). Gas CO2 yang diinjeksikan untuk Porphyridium cruentum adalah sebanyak 0.5x100 cc/min selama dua hari sekali dapat meningkatkan kelimpahan sel mikroalga namun tidak signifikan. Hal tersebut sesuai dengan teori Benemann (1997) yang menyatakan bahwa pemanfaatan CO2 pada kultivasi mikroalga menyebabkan mikroalga dapat tumbuh sangat cepat serta tidak membutuhkan tempat atau lahan yang sangat luas untuk tumbuh.
4.2 Kondisi Kualitas Air terhadap Pertumbuhan Porphyridium cruentum Pertumbuhan mikroalga dan perbedaan bentuk kurva kelimpahan sel pada kultivasi Porphyridium cruentum diduga disebeabkan oleh faktor-faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut adalah pH, salinitas, dan suhu. Hasil pengukuran parameter kualitas air pada media kultivasi Porphyridium cruentum disajikan pada Tabel 3.
45
Tabel 3 Nilai rataan parameter kualitas air media kultivasi Porphyridium cruentum. Hari Ke0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Rata-rata
pH 8.07 8.10 9.07 9.37 9.33 8.97 8.43 8.47 8.70 8.87 9.30 9.23 9.30 9.40 9.37 9.23 9.40 9.50 9.53 9.33 9.40 9.40 9.20 9.30 9.60 9.17 8.63 8.50 8.63 8.70 8.83 9.04
Kontrol Salinitas 50.0 55.0 53.0 53.0 54.0 55.0 52.0 56.0 53.0 52.0 50.0 54.0 50.0 51.0 50.0 50.0 49.0 52.0 50.0 54.0 53.0 50.0 54.0 52.0 51.0 53.0 48.0 49.0 51.0 53.0 50.0 51.84
Suhu 22.33 21.67 22.00 23.33 21.67 22.67 22.33 23.00 21.33 22.00 22.67 21.33 23.67 22.33 25.67 21.67 23.67 25.67 26.00 22.67 21.67 22.33 23.33 24.00 23.67 24.67 23.33 24.00 24.67 22.67 24.67 23.12
pH 7.90 8.00 8.53 8.57 8.60 8.30 8.00 8.03 8.33 8.37 8.50 8.50 8.80 8.50 8.77 8.73 8.93 9.03 9.03 8.80 8.87 8.97 8.97 9.00 9.10 8.63 8.30 8.30 8.43 8.37 8.43 8.57
Aerasi Salinitas 49.7 51.7 53.3 51.7 57.0 52.3 54.0 54.3 56.0 56.0 51.0 56.0 54.0 56.3 51.3 58.7 55.7 54.7 53.0 54.7 59.7 52.3 56.7 59.7 58.7 60.7 58.3 58.3 57.0 58.3 56.0 55.39
Suhu 22.67 22.33 22.33 23.33 22.00 21.67 22.00 22.33 21.67 21.67 21.33 21.67 23.67 22.00 25.67 21.67 23.33 24.67 25.33 22.00 21.33 21.67 23.67 23.33 23.67 24.33 24.00 24.67 24.33 22.00 23.33 22.89
pH 8.07 5.80 6.33 5.80 5.50 5.37 5.80 5.77 5.87 5.50 5.90 5.93 5.93 5.80 6.03 5.97 6.07 6.03 6.13 5.97 6.17 6.00 6.30 6.07 6.40 5.93 5.90 5.73 5.97 5.67 6.00 5.99
CO2 Salinitas 58.0 58.7 61.0 58.7 59.0 54.0 54.7 54.7 55.0 54.3 53.7 54.3 52.7 52.7 47.7 53.3 49.0 48.3 51.7 51.7 47.0 47.3 51.7 49.0 53.7 49.7 48.0 49.0 47.7 46.0 50.0 52.33
Suhu 23.33 22.33 21.67 23.67 22.33 22.33 21.33 21.67 21.33 21.33 23.00 21.00 23.33 21.67 25.33 22.00 23.67 25.67 25.67 22.67 22.00 21.33 24.00 23.67 24.33 24.67 23.67 23.67 25.00 22.67 24.67 23.06
4.2.1 Derajat Keasaman (pH) Nilai pH pada kultivasi Porphyridium cruentum dapat dilihat di Tabel 3 dan grafik pH kultivasi Porphyridium cruentum disajikan pada Gambar 14. Derajat keasaman (pH) pada perlakuan kontrol, aerasi dan injeksi CO 2 terlihat cenderung stabil namun pada perlakuan injeksi CO2 terlihat adanya penurunan nilai pH. Perubahan pH pada saat kultivasi Porphyridium cruentum diduga karena adanya perubahan kelarutan CO2 didalam media pertumbuhan sehingga pemberian asupan injeksi CO2 dapat menurunkan nilai pH secara drastis.
46
Hasil rata-rata kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama 30 hari pada perlakuan kontrol sebesar 2.77x106 sel/ml (nilai rata-rata pH 9.04), aerasi sebesar 3.11x106 sel/ml (nilai rata-rata pH 8.57), dan CO2 sebesar 3.98x106 sel/ml (nilai ratarata pH 5.99). Hasil rata-rata kelimpahan sel selama 30 hari memperlihatkan bahwa kelimpahan sel tertinggi terdapat pada perlakuan CO2 walaupun peningkatan yang terjadi tidak signifikan. Peningkatan kelimpahan sel tersebut diduga dipengaruhi oleh perairan yang bersifat asam akibat peningkatan konsentrasi CO 2 yang bersumber dari injeksi CO2. Pengaruh perubahan nilai pH pada peningkatan kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada masing-masing perlakuan menunjukkan bahwa pH merupakan faktor pembatas utama pada penelitian ini.
12 10
pH
8 6
Kontrol
4
Aerasi
2
CO2
0 0
2
4
6
8
10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30
Hari ke-
Gambar 14 Perubahan rata-rata pH Porphyridium cruentum selama kultivasi.
Menurut Borowitzka dan Borowitzka (1988), pH optimum untuk fotosintesis Porphyridium cruentum adalah 7.5. Umumnya kisaran pH untuk kultur mikroalga biasanya antara 7 sampai 9, namun sel Porphyridium cruentum masih dapat hidup pada kisaran pH 5.2-8.3. Adanya perlakuan injeksi CO2 menyebabkan asupan CO2
47
menjadi berlebih pada media kultivasi Porphyridium cruentum sehingga pH stabil pada nilai 5.99. Gambar 14 memperlihatkan kultivasi dengan perlakuan kontrol menampilkan kisaran nilai pH sebesar 8.07-9.60, perlakuan aerasi menampilkan kisaran nilai pH sebesar 7.90-9.10 dan perlakuan injeksi CO2 menampilkan kisaran nilai pH sebesar 5.37-8.07. Nilai kisaran pH tersebut merupakan hasil rata-rata nilai pH dari tiga kali ulangan penelitian dari tiap perlakuan, nilai selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Kawaroe et al. (2010), kekurangan CO2 dan tingginya nilai pH (kondisi pH perairan bersifat sangat basa) dapat menghambat laju fotosintesis mikroalga. Nilai pH tertinggi pada perlakuan kontrol mencapai 9.60 dan aerasi mencapai 9.10, dari kedua perlakuan tersebut memiliki nilai pH yang cenderung cukup tinggi. Menurut Boyd 1988, tingginya nilai pH tersebut dikarenakan turunnya konsentrasi CO2 yang menyebabkan menurunkan konsentrasi H+, sehingga kondisi perairan pada kedua perlakuan tersebut mengalami kehabisan CO2 saat fotosintesis berlangsung. Interval nilai pH yang dihasilkan pada perlakuan kontrol dan aerasi masih dalam kondisi yang wajar, sehingga laju fotosintesis mikroalga tidak terhambat. Perlakuan injeksi CO2 mengalami kecenderungan pH bersifat asam (pH kurang dari 7). Hal tersebut terlihat pada Gambar 14, pH perlakuan injeksi CO2 mengalami penurunan pada hari pertama. Penurunan pH terjadi akibat pengaruh injeksi CO2. Setelah menurun pada hari pertama yang mencapai nilai pH sebesar 5.80, selanjutnya pH pada perlakuan injeksi CO2 cenderung stabil sampai akhir periode kultivasi dengan kisaran pH sebesar 5.37-6.40.
48
Sel Porphyridium cruentum masih dapat hidup dan berfotosintesis dalam kisaran pH sebesar 5.37-6.40. Pertumbuhan Porphyridium cruentum akan terhambat jika pH kurang dari 5 dan aktivitas fotosintesis akan mengalami penurunan maksimum mencapai 33% (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Perlakuan injeksi CO2 tidak dapat dilakukan terus menerus sehingga dalam penelitian ini perlakuan injeksi CO2 dilakukan setiap dua hari sekali guna mempertahan kestabilan nilai pH pada lingkungannya agar memberikan cukup waktu pada Porphyridium cruentum untuk memanfaatkan CO2 dalam berfotosintesis (Kawaroe et al. 2010). Menurut Effendi (2003), CO2 memiliki sifat kelarutan yang tinggi, sehingga jika CO2 terlarut dalam air, maka CO2 akan bereaksi dengan air dan akan membentuk asam karbonat (H2CO3) di dalam perairan tersebut.
4.2.2 Salinitas Salinitas merupakan faktor pembatas yang berpengaruh terhadap perubahan tekanan osmosis di dalam selnya. Aktifitas sel mikroalga dapat terganggu jika salinitas terlampau tinggi atau rendah (Sylvester et al. 2002). Nilai salinitas pada kultivasi Porphyridium cruentum dapat dilihat di Tabel 3 dan grafik salinitas kultivasi Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 15. Salinitas pada perlakuan kontrol, aerasi dan injeksi CO2 terlihat fluktuatif. Berdasarkan Gambar 15 diketahui bahwa besarnya salinitas pada perlakuan kontrol relatif stabil, berbeda dengan perlakuan aerasi yang hampir semakin meningkat (salinitas tinggi) selama kultivasi. Menurut Nontji (2007), salinitas meningkat dan tinggi karena terjadinya penguapan yang sangat kuat. Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penguapan dalam
49
penelitian ini adalah asupan aerasi yang diberikan selama 24 jam. Indikasi penguapan dapat terlihat pada permukaan tutup toples wadah kultur yang terdapat garam. Kondisi salinitas pada perlakuan injeksi CO2 hampir selalu menurun karena adanya asupan CO2 dan proses penguapan tidak tinggi. Mikroalga laut memiliki toleransi tinggi terhadap perubahan salinitas (Sylvester et al. 2002). Hasil rata-rata kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama 30 hari pada perlakuan kontrol sebesar 2.77x106 sel/ml (nilai rata-rata salinitas 51.84 ‰), aerasi sebesar 3.11x106 sel/ml (nilai rata-rata salinitas 55.39 ‰), dan CO2 sebesar 3.98x106 sel/ml (nilai rata-rata salinitas 52.33 ‰). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa kelimpahan sel Porphyridium cruentum berpengaruh pada nilai salinitas perairan dan Porphyridium cruentum mampu meningkatkan kelimpahan sel dalam perairan bersalinitas tinggi.
Gambar 15 Perubahan rata-rata salinitas Porphyridium cruentum selama kultivasi.
Gambar 15 memperlihatkan perubahan salinitas (kenaikan dan penurunan salinitas) dari masing-masing perlakuan tersebut tidak terlalu signifikan. Kultivasi
50
dengan perlakuan kontrol menampilkan kisaran nilai salinitas sebesar 48-56 ‰, perlakuan aerasi menampilkan kisaran nilai salinitas sebesar 49.7-60.7 ‰ dan perlakuan injeksi CO2 menampilkan kisaran nilai salinitas sebesar 46-61 ‰. Porphyridium cruentum dapat bertahan hidup pada kisaran salinitas yang cukup tinggi yaitu sebesar 0.5-2 kali konsentrasi air laut (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Menurut Effendi 2003, konsentrasi salinitas air laut normal berkisar 30-40 ‰. Nilai kisaran salinitas tersebut merupakan hasil rata-rata nilai salinitas dari tiga kali ulangan penelitian dari tiap perlakuan, nilai selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Porphyridium cruentum tidak mampu bersaing hidup dengan mikroalga lainnya jika kondisi salinitas kurang dari 35 ‰. Menurut Richmond (1988), salinitas sebesar 46 ‰ tidak menghambat proses pertumbuhan.
4.2.3 Suhu Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia dan biologi. Kenaikan suhu dapat menurunkan kelarutan bahan dan menyebabkan terjadinya kenaikan kecepatan metabolisme serta respirasi mikroalga dalam kultur. Nilai suhu pada kultivasi Porphyridium cruentum dapat dilihat di Tabel 3 dan grafik suhu kultivasi Porphyridium cruentum dapat dilihat pada Gambar 16. Suhu pada perlakuan kontrol, aerasi dan injeksi CO2 terlihat tidak jauh berbeda dan cenderung stabil. Nilai suhu yang tidak jauh berbeda diduga karena kultivasi dilakukan dalam ruangan terkontrol. Hasil rata-rata kelimpahan sel Porphyridium cruentum selama 30 hari pada perlakuan kontrol sebesar 2.77x106 sel/ml (nilai rata-rata suhu 23.12 °C), aerasi
51
sebesar 3.11x106 sel/ml (nilai rata-rata suhu 22.89 °C), dan CO2 sebesar 3.98x106 sel/ml (nilai rata-rata suhu 23.06 °C). Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa kelimpahan sel Porphyridium cruentum berpengaruh pada nilai suhu perairan dan Porphyridium cruentum mampu meningkatkan kelimpahan sel karena suhu perairan pada penelitian ini masih berada dalam kisaran suhu untuk Porphyridium cruentum hidup. Porphyridium cruentum dapat hidup dalam kisaran suhu 10-35 °C dengan suhu optimum 25 °C dan aktivitas optimum fotosintesis dari kultur Porphyridium cruentum terjadi pada suhu 25 °C (Vonshak 1988).
Gambar 16 Perubahan rata-rata suhu Porphyridium cruentum selama kultivasi.
Gambar 16 memperlihatkan kultivasi dengan perlakuan kontrol memiliki kisaran nilai suhu sebesar 21.33-26.00 °C, perlakuan aerasi 21.33-25.67 °C, sedangkan perlakuan injeksi CO2 21.00-25.67 °C. Nilai kisaran suhu tersebut merupakan hasil rata-rata nilai suhu tiap perlakuan selama tiga kali ulangan penelitian. Nilai selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Richmond (1988), pada suhu di bawah 13 °C pertumbuhan Porphyridium cruentum melambat dan pada
52
suhu lebih dari 31 °C pertumbuhannya terhambat bahkan bisa mengalami kematian. Nilai suhu yang dihasilkan dalam penelitian ini masih dalam batas toleransi suhu untuk Porphyridium cruentum masih dapat hidup yaitu 10-35 °C (Vonshak 1988).
4.3 Pengaruh Alkalinitas Menurut Svobodova at al. (1993), ion bikarbonat (HCO3-) normal pada kisaran pH 6.0-8.3. Ion bikarbonat berinteraksi dengan CO2 terlarut dan ion karbonat (CO3-) berperan untuk mengontrol kestabilan nilai pH. Oleh karena itu, nilai alkalinitas sangat dipengaruhi oleh nilai pH. Ion bikarbonat akan menyerap ion hidrogen ketika pH kurang dari 8.0 karena ion bikarbonat dikonversi menjadi gas CO2 terlarut sehingga pH dapat stabil walaupun masih dalam kisaran 5.37-6.40 selama kultivasi injeksi CO2 yang berlangsung 2 hari sekali dengan komposisi input CO2 sebanyak 0.5x100 cc/min selama 4 jam. Kadar ion bikarbonat dan alkalinitas akan menjadi tinggi jika jumlah gas CO2 yang ditambahkan terlalu banyak (Svobodova at al. 1993). Menurut Effendi (2003), nilai alkalinitas alami tidak melebihi dari 500 mg/l CaCO3 karena nilai alkalinitas yang terlalu tinggi kurang disukai oleh organisme akuatik. Hubungan antara pengaruh nilai pH, alkalinitas dan CO2 termanfaatkan pada kultivasi dengan injeksi CO2 disajikan pada Tabel 4. Perhitungan nilai alkalinitas pada penelitian ini hanya dilakukan untuk perlakuan injeksi CO2 saja karena bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas perairan kultur akibat asupan CO2 yang diberikan secara langsung.
53
Tabel 4 Hubungan antara pH, alkalinitas, dan CO2 termanfaatkan. Hari ke-
pH
Alkalinitas (mg/l CaCO3)
CO2 Termanfaatkan (%)
1
5.80
40.16
18.00
3
5.80
45.94
18.33
5 7
5.37 5.77
32.28 72.28
21.00 22.00
9
5.50
81.25
22.67
11
5.93
76.51
22.67
13
5.80
110.22
19.33
15 17 19
5.97 6.03 5.97
41.59 53.71 53.71
20.67 20.33 19.33
21
6.00
41.59
21.67
23 25 27
6.07 5.93 5.73
81.25 32.28 32.28
20.33 19.00 19.67
29
5.67
41.59
21.00
Karbondioksida memiliki kelarutan yang tinggi sehingga jika CO2 terlarut dalam air, maka CO2 akan bereaksi dengan air dan membentuk asam karbonat (H2CO3) di dalam perairan tersebut (Effendi 2003). Terlihat dari Tabel 4 bahwa alkalinitas media kultivasi pada awal injeksi CO2 adalah 40.16 mg/l CaCO3, diduga pada awal kultivasi perairan bersifat sadah atau memiliki kandungan mineral yang tinggi. Perairan dengan nilai alkalinitas lebih besar dari 40 mg/l CaCO3 disebut perairan sadah (hard water), sedangkan perairan dengan nilai alkalinitas kurang dari 40 mg/l CaCO3 disebut perairan lunak (soft water) (Effendi 2003). Nilai alkalinitas pada hari terakhir injeksi CO2 adalah 41.59 mg/l CaCO3 dan perairan masih bersifat sadah. Selama kultivasi, kisaran nilai alkalinitas adalah antara 32.28-110.22 mg/l CaCO3. Nilai tersebut masih tercakup dalam rentang nilai alkalinitas yang baik bagi kehidupan organisme perairan yaitu berkisar antara 30-500 mg/l CaCO3 (Effendi
54
2003). Menurut Saeni (1989), alkalinitas memegang peran penting dalam penentuan kemampuan air untuk meningkatkan kelimpahan sel mikroalga karena alkalinitas merupakan sebuah indikator untuk mengetahui kesuburan perairan. Oleh karena itu, nilai alkaninitas dapat mempengaruhi kelimpahan sel Porphyridium cruentum dan alkalinitas merupakan fakor pembatas dalam penelitian ini. Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai CO2 termanfaatkan pada kultivasi Porphyridium cruentum pada perlakuan injeksi CO2 berkisar 18-22.67%. Injeksi CO2 dilakukan setiap 2 hari sekali untuk komposisi input CO2 sebanyak 0.5x100 cc/min selama 4 jam. Analisis kadar CO2 tersebut membuktikan bahwa injeksi CO2 dimanfaatkan dengan baik untuk meningkatkan kelimpahan sel mikroalga (Chiu et al. 2008). Oleh sebab itu, kadar CO2 dalam perairan mempengaruhi nilai alkalinitas pada perairan tersebut. Semakin tinggi alkalinitas, maka perairan tersebut cenderung bersifat alkali (Effendi 2003). Menurut Anggraeni (2002), nilai alkalinitas yang tinggi dan cenderung bersifat alkali lebih produktif daripada perairan dengan nilai alkalinitas yang rendah serta lebih produktifnya perairan. Hal tersebut terkait dengan keberadaan fosfor dan elemen esensial lainnya yang meningkat kadarnya dengan bertambahnya nilai alkalinitas. Effendi (2003) berpendapat bahwa alkalinitas juga berkaitan erat dengan nilai pH dan CO2. Tabel 4 menyajikan nilai pH dengan kisaran nilai pH lebih dari 5, karena jika nilai pH kurang dari 5 maka alkalinitas dapat mencapai nilai nol (Effendi 2003).
55
4.4 Kadar Minyak Hasil Kultivasi Porphyridium cruentum Minyak mentah hasil ekstraksi dari mikroalga merupakan bahan baku minyak yang memiliki potensi untuk memproduksi biodiesel. Biodiesel merupakan bahan bakar yang berpotensi untuk dapat diperbaharui dan terbuat dari bahan nabati (Hambali 2007). Minyak mentah tersebut berasal dari kandungan lipid dalam tubuh mikroalga. Menurut hasil penelitian Fuentes et al. (2000), sel Porphyridium cruentum mengandung rata-rata minyak 5.78% dan menurut hasil penelitian Hasanah (2011), hasil rata-rata minyak Porphyridium cruentum sebesar 0.33%. Hasil penelitian ini menampilkan nilai rata-rata kadar minyak Porphyridium cruentum dari perlakuan kontrol, perlakuan aerasi dan perlakuan injeksi CO2, disajikan pada Gambar 17 yang menampilkan nilai rataan kadar minyak tertinggi dihasilkan dari perlakuan injeksi CO2 yaitu sebesar 5.97%. Lampiran 15 memperlihatkan nilai keseluruhan hasil kadar minyak dari 3 kali ulangan pada perlakuan kontrol, perlakuan aerasi, dan perlakuan injeksi CO2. Menurut Benemann (1997), injeksi CO2 pada kultivasi mikroalga dapat mempengaruhi mikroalga untuk tumbuh lebih cepat.
56
Keterangan : a = hasil uji Duncan (Perlakuan CO2 1.93±0.22a) b = hasil uji Duncan (Perlakuan Aerasi 1.06±0.06b) c = hasil uji Duncan (Perlakuan Kontrol 0.65±0.02c) Gambar 17 Grafik perbandingan kadar minyak dari berbagai perlakuan.
Kadar minyak yang diperoleh dari perlakuan kontrol adalah 0.92%, perlakuan aerasi 1.91%, sedangkan dari perlakuan injeksi CO2 sebesar 5.97% yang merupakan nilai kadar minyak tertinggi. Jika dibandingkan dengan hasil penelitian Fuentes et al. (2000), Porphyridium cruentum mengandung kadar minyak 5.78% dan menurut Hasanah (2011), menghasilkan kadar minyak Porphyridium cruentum 0.33%. Kultivasi perlakuan injeksi CO2 dapat meningkatkan kadar minyak pada Porphyridium cruentum karena hasilnya lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian Fuentes et al. (2000) dan Hasanah (2011) walaupun kelimpahan sel tidak signifikan mengalami peningkatan. Hasil penelitian ini juga diperkuat oleh analisis ANOVA RAL yang menunjukkan bahwa P-value 0.0001 lebih kecil dari nilai α = 0.05. Hasil P-value
57
tersebut menyatakan tolak H0 (hipotesis nol) sehingga cukup bukti bahwa kultivasi injeksi CO2 yang diberikan dua hari sekali berpengaruh terhadap hasil kadar minyak Porphyridium cruentum pada taraf nyata 5% dengan nilai koefisien keragaman sebesar 10.79%. Nilai koefisien keragaman tersebut lebih kecil daripada nilai koefisien kewajaran 25% sehingga dapat dinyatakan bahwa ragam pada perlakuan injeksi CO2 adalah homogen (tingkat keakuratan data yang diperoleh tinggi) (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Hasil uji Duncan (Lampiran 7) menguatkan bahwa pengaruh perlakuan injeksi CO2 (Duncan grouping A) dibandingkan perlakuan aerasi (Duncan grouping B) dan kontrol (Duncan grouping C) memberikan respon yang berbeda nyata untuk tiap perlakuan terhadap hasil kadar minyak mentah dari Porphyridium cruentum.
58
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Kultivasi Porphyridium cruentum selama 30 hari memperlihatkan bahwa peningkatan kelimpahan sel mikroalga dengan pemanfaatan injeksi CO2 tidak signifikan. Hal tersebut dapat dilihat dari rata-rata kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada perlakuan kontrol sebesar 2.77x106 sel/ml, aerasi sebesar 3.11x106 sel/ml, dan CO2 sebesar 3.98x106 sel/ml. Berbeda dengan minyak mentah yang dikonversikan. Minyak mentah menunjukkan peningkatan signifikan dari mikroalga Porphyridium cruentum yang dikultivasi dengan injeksi CO2 dengan yang tidak. Kadar minyak mentah dari Porphyridium cruentum pada perlakuan kontrol adalah 0.92%, aerasi 1.91%, dan injeksi CO2 5.97%. Hal ini mengindikasikan bahwa injeksi CO2 mempengaruhi kadar minyak yang dihasilkan mikroalga Porphyridium cruentum.
5.2 Saran Penelitian selanjutnya perlu dilakukan penelitian pendahuluan untuk optimasi kultivasi sehingga dapat diperkirakan pola kurva pertumbuhan berdasarkan kelimpahan sel Porphyridium cruentum. Sebelum melakukan kultivasi perlu dilakukan uji pendahuluan pada parameter kualitas air untuk media kultivasi.
59
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington: The Association of Official Analytical Chemist, Inc. Anggraeni I. 2002. Kualitas Air Perairan Laut Teluk Jakarta selama Periode 19962002 [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Benemann JR. 1997. CO2 mitigation with microalgae systems. Energy Conversion and Management. 38:475-479. Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. New York (USA): Cambridge University Press. Borowitzka MA dan Borowitzka LJ. 1988. Microalgae Biotechnology. New York (USA): Cambridge University Press. Boyd CE. 1988. Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Fourth Print-ing. Alabama (USA): Auburn University Agricutural Experiment Station. Cahyaningsih S. 2009. Standar Nasional Indonesia Pembenian Perikanan (Pakan Alami). Pelatihan MPM-CPIB Pembenihan Udang [ulasan]. Balai Budidaya Air Payau Situbondo. 4(3):80-84. Chisti Y. 2007. Biodiesel from Microalgae. Biotechnol Adv. 25(3):294-306. Chiu SY, Chien YK, Ming TT, Seow CO, Chiun HC, Chih SL. 2008. Lipid Accumulation and CO2 Utilization of Nannochloropsis oculata in Response to CO2 Aeration. Bioresource Tech. 100(2):833-838. Department of Enviromental Science University of Kalyani. 2008. Type: Algae. http://envis.kuenvbiotech.org/algae.htm [12 Agustus 2012].
60
Dongoran RK. 2003. Pengaruh Alkalinitas Total dari Kalsium Karbonat (CaCO 3) Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Ikan Jambal Siam (Pangasius sp.) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta (ID): Kanisius. Fachrullah MR. 2011. Laju Pertumbuhan Mikroalga Penghasil Biofuel Jenis Chlorella sp. dan Nannochloropsis sp. yang Dikultivasi Menggunakan Air Limbah Hasil Penambangan Timah di Pulau Bangka [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fogg GE. 1975. Algal Culture and Phytoplankton Ecology. London (UK): The University of Wisconsin Press. Fuentes MMR, Fernandez GGA, Perez JAS, Guerrero JLG. 2000. Biomass nutrient profiles of the microalga Porphyridium cruentum. Food Chemistry. 70(3):345353. Guerrero MG. 2010. Bioethanol from Microalgae. Sevilla (SPN): Instituto Bioquiimica Vegetaly Fotosmica Fotosiintesisntesi. Hambali E. 2007. Teknologi Bioenergi. Jakarta (ID): Agro Media Pustaka. Hasanah. 2011. Mikroenkapsulasi Biomassa Porphyridium cruentum [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Heldt HW. 2005. Plant Biochemistry. 3rd edition. California (USA): Elsevier Academic Press. Hoshida HT, Ohira A, Minematsu R, Akada Y, Nishizawa. 2005. Accumulation of Eicosapentaenoic Acid in Nannochloropsis sp. in Response to Elevated CO2 Concentrations. Applied Phycology. 17:29-34.
61
Ho Oh S, Han JG, Kim Y, Ha JH, Kim SS, Jeong MH, Jeong HS, Kim NY, Cho JS, Yoon WB et al. 2009. Lipid Production in Porphyridium cruentum Grown Under Different Culture Conditions. Bioscence and Bioenginering. 108(5):429-434. Isnansetyo A, Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur Pytoplankton dan Zooplankton Pakan Alami untuk Pembenihan Organisme Laut. Yogyakarta (ID): Kanisius. Kawaroe M, Pratono T, Sunuddin A, Sari DW, Agustine D. 2010. Mikroalga: Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. Bogor (ID): IPB Press. Krichnavaruk S, Loataweesup W, Powtongsook S, Pavasant P. 2005. Optimal Growth Conditions and The Cultivation of Chaetoceros calcitrans in Airlift Photobioreactor. Chemical Enginering. 105(3):91-98. Kurniastuty, Widiastuti E. 1992. Pertumbuhan Dunaliella sp. pada media kultur dan dosis yang berbeda [ulasan]. Bul Budidaya Laut. Balai Budidaya Laut. 6:8. Kurniawan H, Lukman G. 1999. Aspek Industri Sistem Kultivasi Sel Mikroalga Imobil. Tinjauan Ilmiah Riset Biologi dan Bioteknologi Pertanian. 2:2. Lee ER. 1989. Phycology. Canada: Cambrige University Press. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor (ID): IPB Press. Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Jakarta (ID): Djambatan. Prihantini NB, Putri B, Yuniati R. 2005. Pertumbuhan Chlorella sp. dalam medium ekstrak tauge (MET) dengan variasi pH awal. Makara Sains. 9(1):1-6. Prihantini NB, Damayanti D, Yuniati R. 2007. Pengaruh konsentrasi medium ekstrak tauge (MET) terhadap pertumbuhan Scenedesmus isolate Subang. Makara Sains. 11(1):1-9.
62
Richmond A. 1988. Microalgae Biotechnology. New York (USA): Cambridge University Press. Richmond A. 2003. Handbook of Microalgal Culture Biotechnology and Applied Phycology. New York (USA): Blackwell Publishing. Rocha JMS, Garcia JEC, Henriques MHF. 2003. Growth Aspects of the Marine Microalga Nannochloropsis gaditana. Biomoleculer Engineering. 20(46):237-242. Saeni MS. 1989. Kimia Lingkungan. Bogor (ID): IPB Press. Salisbury FB, Ross CW. 1995. Fisiologi Tumbuhan. Jilid ke-2. Lukman DR, Sumaryono, penerjemah; Bandung (ID): ITB Bandung Press. Terjemahan dari: Plant Physiology. Schneider SH. 1989. The Green House Effect: Science and Policy. Science. 243:771. Sen B, Alp MT, Kocer MAT. 2005. Studies on Growth of Marine Microalgae in Batch Culture: Isochrysis galbana (haptophyta). Asian Journal of Plant Sciences. 4(6):639-641. Spotte S. 1992. Captive Seawater Fishes: Science and Technology. The University of Connecticut. John Willey and Sons, Inc, Canada. Strickland JDH, Parsons TR. 1972. A Practical Handbook of Seawater Analysis. Fisheries Research Board of Canada. Ottawa. Svobodova Z, Richard L, Jana M, Blanka V. 1993. Water Quality and Fish Health. EIPAC Technical Paper. FAO Fisheries Department. 3:22-24. Sylvester BDD, Nelvy, Sudjiharno. 2002. Persyaratan Budidaya Fitoplankton. Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. (Prosiding) Proyek Pengembangan Perekayasaan Teknologi Balai Budidaya Laut Lampung Tahun 2002. 24-36.
63
Taw N. 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur Murni dan Massal Mikroalga. Proyek Pengembangan Udang, United Nations Development Programme. Food and Agriculture Organizations of the United Nations. 120(2):20-35. Triswanto Y. 2011. Kultivasi Diatom Penghasil Biofuel Jenis Skeletonema costatum, Thalassiosira sp., dan Chaetoceros gracilis pada Sistem Indoor dan Outdoor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Umdu ES, Tuncer M, Seker E. 2009. Transesterification of Nannochloropsis oculata Microalga’s Lipid to Biodiesel on Al2O3 Supported CaO and MgO Catalyst. Bioresource Technology. 100(11):2828-2831. Vonshak A. 1988. Porphyridium. Dalam Borowitzka MA dan Borowitzka LJ.(Eds). Microalgae Biotechnology. New York (USA): Cambridge University Press. Wanner G, Kost HP. 1980. Investigations on The Arrangement and Fine Structure of Porphyridium cruentum Phycobilisomes. ProtopIasma. 102:97-109. Widjaja A. 2009. Lipid Production from Microalgae As a Promising Candidate for Biodiesel Production. Makara Teknologi. 13(1):47-51. Zumaritha F. 2011. Pemanfaatan karbondioksida (CO2) untuk Kultivasi Mikroalga Nannochloropsis sp. Sebagai Bahan Baku Biofuel [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
64
LAMPIRAN
65
LAMPIRAN
Lampiran 1 Perhitungan Kelimpahan Sel Porphyridium cruentum Contoh kelimpahan Porphyridium cruentum dihitung dengan menggunakan rumus Improved Neubaeur Haemocytometer sebagai berikut : Kelimpahan (sel/ml) = keterangan : N = jumlah sel teramati
Pengamatan dilakukan dengan 2 kali ulangan. N = 182 (kemudian dibagi dengan ulangan pengamatan) Contoh perhitungan kelimpahan kontrol hari ke-0 : (182/2) x (25/5) x 104 = 4550000 sel/ml atau 4.55x106 sel/ml.
66
Lampiran 2 Perhitungan Laju Pertumbuhan Spesifik Porphyridium cruentum Contoh perhitungan laju pertumbuhan spesifik (Krichnavaruk et al. 2005) dengan rumus berikut : μ= keterangan : Nt = kelimpahan populasi pada waktu pengamatan No = kelimpahan populasi pada waktu awal Tt = waktu pengamatan To = waktu awal Contoh : kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada perlakuan injeksi CO2 hari ke-9 4.63x106 sel/ml, kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada perlakuan injeksi CO2 hari ke-10 4.42x106 sel/ml, kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada perlakuan injeksi CO2 hari ke-11 3.45x106 sel/ml dan kelimpahan sel Porphyridium cruentum pada perlakuan injeksi CO2 hari ke-12 6.12x106 sel/ml. μ pada hari ke-10 adalah μ pada hari ke-11 adalah μ pada hari ke-12 (μ maks) adalah
67
Lampiran 3 Perhitungan Kadar Minyak Contoh perhitungan randemen kadar minyak dengan rumus (AOAC 2005) sebagai berikut :
keterangan : W2 = massa labuh lemak setelah ekstraksi W1 = massa labuh lemak sebelum ekstraksi W2 – W1 = massa ekstrak W = massa serbuk hasil freeze dry Contoh : ulangan pertama perlakuan injeksi CO2 massa ekstrak (W2 – W1) 0.9319 gram dan massa serbuk hasil freeze dry pada ulangan pertama 13.3 gram.
Setelah seluruh kadar minyak dari tiap ulangan diperoleh maka dirata-ratakan untuk membuat grafik kadar minyak.
68
Lampiran 4 Uji Statistik Hasil Kelimpahan Sel Hari ke-0 sampai Hari ke-11 Hasil analysis of variance (ANOVA) kelimpahan sel tiap perlakuan Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
NilaiP
Perlakuan
2
14.89662693
7.44831347
16.56
0.0001
Galat
30
13.49274394
0.44975813
Total
32
28.38937087
Jika nilai-P 0.0001 lebih kecil dari α = 0.05, maka tolak H0 Koefisien keragaman kelimpahan sel tiap perlakuan RKuadrat
Koefisien Keragaman
Akar Kuadrat Tengah Galat
Rata-rata Kelimpahan Sel
0.467744
12.32537
0.173245
1.405598
Nilai koefisien keragaman 12.33% lebih kecil dari nilai koefisien kewajaran 25% Nilai rata-rata dan standar deviasi Kelimpahan Sel Perlakuan
Jumlah Data Rata-rata
Standar Deviasi
Aerasi
11
2.67803030
0.45994071
CO2
11
4.13106061
0.75853560
Kontrol
11
2.73530303
0.74990178
Hasil uji Duncan Pengelompokan Duncan
Rata-rata
Jumlah Data
Perlakuan
A
4.1311
11
CO2
B
2.7353
11
Kontrol
B
2.6780
11
Aerasi
69
Lampiran 5 Uji Statistik Hasil Kelimpahan Sel Hari ke-11 sampai Hari ke-21 Hasil analysis of variance (ANOVA) kelimpahan sel tiap perlakuan Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
NilaiP
Perlakuan
2
6.30947685
3.15473843
3.44
0.0467
Galat
27
24.76956250
0.91739120
Total
29
31.07903936
Jika nilai-P 0.0467 lebih kecil dari α = 0.05, maka tolak H0 Koefisien keragaman kelimpahan sel tiap perlakuan RKuadrat
Koefisien Keragaman
Akar Kuadrat Tengah Galat
Rata-rata Kelimpahan Sel
0.158106
14.49546
0.218693
1.508703
Nilai koefisien keragaman 14.50% lebih kecil dari nilai koefisien kewajaran 25% Nilai rata-rata dan standar deviasi Kelimpahan Sel Perlakuan
Jumlah Data Rata-rata
Standar Deviasi
Aerasi
10
3.55583333
0.76848667
CO2
10
4.23166667
1.29395437
Kontrol
10
3.11666667
0.69805727
Hasil uji Duncan Pengelompokan Duncan
Rata-rata
Jumlah Data
Perlakuan
A
4.2317
10
CO2
B
3.5558
10
Aerasi
B
3.1167
10
Kontrol
70
Lampiran 6 Uji Statistik Hasil Kelimpahan Sel Hari ke-21 sampai Hari ke-30 Hasil analysis of variance (ANOVA) kelimpahan sel tiap perlakuan Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
NilaiP
Perlakuan
2
9.05601389
4.52800694
6.08
0.0066
Galat
27
20.11728473
0.74508462
Total
29
29.17329862
Jika nilai-P 0.0066 lebih kecil dari α = 0.05, maka tolak H0 Koefisien keragaman kelimpahan sel tiap perlakuan RKuadrat
Koefisien Keragaman
Akar Kuadrat Tengah Galat
Rata-rata Kelimpahan Sel
0.321593
16.62079
0.224180
1.348794
Nilai koefisien keragaman 16.62% lebih kecil dari nilai koefisien kewajaran 25% Nilai rata-rata dan standar deviasi Kelimpahan Sel Perlakuan
Jumlah Data Rata-rata
Standar Deviasi
Aerasi
10
3.14666667
1.08017488
CO2
10
3.55250000
0.73782348
Kontrol
10
2.23833333
0.72394240
Hasil uji Duncan Pengelompokan Duncan
Rata-rata
Jumlah Data
Perlakuan
A
3.5525
10
CO2
B
3.1467
10
Aerasi
B
2.2383
10
Kontrol
71
Lampiran 7 Uji Statistik Hasil Kadar Minyak Hasil analysis of variance ANOVA hasil kadar minyak Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
F Hitung
NilaiP
Perlakuan
2
2.53502541
1.26751270
73.64
0.0001
Galat
6
0.10327862
0.01721310
Total
8
2.63830402
Jika nilai-P 0.0001 lebih kecil dari α = 0.05, maka tolak H0 Koefisien keragaman hasil kadar minyak tiap perlakuan RKuadrat
Koefisien Keragaman
Akar Kuadrat Tengah Galat
Rata-rata Hasil Kadar Minyak
0.960854
10.79540
0.131199
1.215321
Nilai koefisien keragaman 10.79% lebih kecil dari nilai koefisien kewajaran 25% Nilai rata-rata dan standar deviasi Hasil Kadar Minyak Perlakuan
Jumlah Data Rata-rata
Standar Deviasi
Aerasi
3
1.06581989
0.06040607
CO2
3
1.92704955
0.21813016
kontrol
3
0.65309297
0.02023982
Hasil uji Duncan Pengelompokan Duncan
Rata-rata
Jumlah Data
Perlakuan
A
1.9270
3
CO2
B
1.0658
3
Aerasi
C
0.6531
3
kontrol
72
Lampiran 8 Tabel Perhitungan Alkalinitas (αh)
73
Lampiran 9 Tabel Perhitungan Alkalinitas (ƒ)
74
Lampiran 10 Tabel Perhitungan Alkalinitas (A)
75
Lampiran 11 Tabel Perhitungan Alkalinitas (FT)
76
Lampiran 12 Tabel Perhitungan Alkalinitas (Fp)
77
Lampiran 13 Tabel Perhitungan Alkalinitas (ɣ)
78
Lampiran 14 Perhitungan Konversi Satuan Alkalinitas Satuan alkalinitas yang diperoleh dari perhitungan adalah mmol/l CaCO3 akan diubah menjadi mg/l CaCO3. Contoh perhitungan alkalinitas : nilai alkalinitas = 0.39841 mmol/l Jawaban : mmol akan diubah terlebih dahulu menjadi mol (x10-3) : 0.39841x10-3 = 3.9841x10-4 mol mol kemudian diubah menjadi gram (x berat atom CaCO 3), berat atom CaCO3 adalah Ca : 40.08; C : 12; O : 16 massa atom CaCO3 adalah 100.8. maka, 3.9841x10-4 mol x 100.8 = 0.04016 gram kemudian gram diubah menjadi mg (x103). jadi, 0.04016 gram x 103 = 40.16 mg/l CaCO3
79
Lampiran 15 Tabel Hasil Massa Freeze Dry, Massa Ekstrak dan Kadar Minyak Tabel 5 Massa freeze dry, massa ekstrak, dan kadar minyak. Perlakuan Kontrol
Aerasi
CO2
Ulangan 1 2 3 1 2 3 1 2 3
Massa freeze dry (g) 13.4 23.5 23.3 32.9 30.4 24.9 13.3 21.5 12.9
Massa ekstrak (g) 0.1256 0.2233 0.2045 0.5747 0.6373 0.4674 0.9319 0.9355 0.8469
Kadar minyak (%) 0.9373134 0.9502128 0.8776824 1.7468085 2.0963816 1.8771084 7.0067669 4.3511628 6.5651163
80
Lampiran 16 Dokumentasi Penelitian
Gambar 1 Oven
Gambar 2 Mixing chamber
Gambar 3 Freeze dryer
Gambar 4 Neraca digital
Gambar 5 Perangkat soxlet
Gambar 6 Alkohol dan akuades
Gambar 7 Mikroskop
Gambar 8 Termometer
Gambar 9 Labu lemak
Gambar 10 Tabung gas CO2
Gambar 11 Orsat
Gambar 13 Haemocytometer
Gambar 14 Handylab pH 1.1 SCHOOT
Gambar 12 Larutan NaCl 3 %
Gambar 15 Hand-held Refraktometer ATAGO
81
Lanjutan Lampiran 14
Gambar 16 Kompresor
Gambar 17 Ruangan kultivasi
Gambar 18 NaOH padat
Gambar 19 Sterilisasi ruangan
Gambar 20 Penataan toples kultivasi
Gambar 21 Mengambil air laut
Gambar 22 Persiapan media kultur
Gambar 23 Kultivasi perlakuan kontrol
Gambar 24 Kultivasi perlakuan aerasi
Gambar 25 Kultivasi perlakuan injeksi CO2
Gambar 26 menyalakan aerasi
Gambar 27 menyalakan injeksi CO2
Gambar 30 Pengukuran salinitas Gambar 28 Pengukuran suhu
Gambar 29 Pengukuran pH
Gambar 31 Pengukuran kadar CO2
82
Lanjutan Lampiran 14
Gambar 32 Persiapan pengamatan sel
Gambar 33 Pengamatan sel
Gambar 34 Sel Porphyridium cruentum dilihat dari mikroskop
Gambar 38 Serbuk hasil freeze drying Gambar 35 Tahap awal flokulasi
Gambar 36 Proses pemindahan natan
Gambar 39 Persiapan proses ekstraksi
Gambar 37 Natan hasil flokulasi
Gambar 40 Minyak mentah hasil ekstraksi Gambar 41 Menimbang massa hasil ekstrak
Gambar 42 Minyak mentah perlakuan kontrol
Gambar 43 Minyak mentah perlakuan aerasi
Gambar 44 Minyak mentah perlakuan injeksi CO2
83
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, 4 Juli 1990 dari Ayah H. Drs Mahmud dan Ibu Hj. Henny Suryani. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Tahun 2005-2008, penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 49 Jakarta. Pada tahun 2008, penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti perkuliahan di IPB, penulis pernah aktif sebagai asisten dosen pada mata kuliah Biologi Tumbuhan Laut tahun akademik 2012-2013 dan pernah aktif sebagai Penyuluh Perikanan LSM PPNSI dari Bantuan Sosial Gubernur Jawa Barat (2011-2012). Penulis juga aktif dalam beberapa organisasi seperti anggota LPQ (Lembaga Pengajar Qur’an) LDK Al Hurriyyah (2008-2009), anggota Forum for Scientific Studies (FORCES) (2008-2009, 2009-2010 dan 2010-2011), anggota komisi 3 Dewan Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (DPM KM) (20102011), anggota badan pekerja konstitusi Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa (MPM KM) (2010-2011), ketua komisi 3 DPM KM (20112012) dan anggota badan pekerja konstitusi MPM KM (2011-2012). Selain itu, penulis turut aktif mengikuti aktivitas dan kompetisi ilmiah seperti peserta Bayer Young Environmental Envoy (BYEE) (2010), MTQ IPB (2011), peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa IPB (PIM IPB) (2012) dan peserta Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) (2012) di UMY-Yogyakarta. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah meraih prestasi seperti semi finalis tingkat nasional BYEE 2010, Finalis MTQ IPB cabang LKTIA 2010 dan peraih Tanoto Research Award 2012. Dalam menyelesaikan studi di FPIK, penulis menyusun sebuah skripsi dengan judul ”Pemanfaatan Gas Karbondioksida (CO2) pada Kultivasi Mikroalga Porphyridium cruentum dan Konversinya Menjadi Minyak Mentah”.