PEMANFAATAN EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis O.Kuntze) DALAM PENGEMBANGAN BERAS FUNGSIONAL UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS
SRI WIDOWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul: PEMANFAATAN EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis O. Kuntze) DALAM PENGEMBANGAN BERAS FUNGSIONAL UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS Adalah gagasan atau hasil penelitian disertasi karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing, dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Mei 2007 Sri Widowati NIM F261030031
RINGKASAN SRI WIDOWATI 2007. Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus. Dibawah bimbingan MADE ASTAWAN sebagai Ketua Komisi serta DEDDY MUCHTADI dan TUTIK WRESDIYATI sebagai Anggota Komisi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan beras dengan daya cerna pati in vitro rendah sebagai pangan fungsional untuk penderita diabetes melitus. Penurunan daya cerna pati dilakukan dengan perlakuan ekstrak teh hijau. Bahan penelitian adalah sepuluh varietas beras Indonesia, yaitu Pandan Wangi, Rojolele, Bengawan Solo, Cenana-Bali (beras merah), Memberamo, Celebes, Ciherang, Batang Piaman, Cisokan, dan Lusi (ketan). Beras diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Sebagai pembanding digunakan beras Taj Mahal, yang di pasaran dikenal sebagai beras untuk penderita diabetes. Teh hijau (Camellia sinensis O. Kuntze) diperoleh dari Kebun Percobaan Pasir Sarongge, Cianjur. Penelitian dibagi menjadi empat tahap, yaitu: 1) Penapisan aktivitas hipoglikemik dan analisis komposisi kimia beras, 2) Proses pembuatan beras pratanak dan beras instan fungsional, 3) Evaluasi daya hipoglikemik beras fungsional dan analisis histologi jaringan pankreas, serta 4) Penentuan indeks glikemik (IG) beras. Pada penapisan aktivitas hipoglikemik diperoleh lima kategori varietas beras berturut-turut dari aktivitas hipoglikemik tertinggi sampai terendah, yaitu: 1) Cisokan, 2) Batang Piaman, 3) Memberamo, Cenana-Bali, Lusi, Bengawan Solo, 4) Pandan wangi, Taj Mahal, Celebes, Rojolele, dan 5) Ciherang. Varietas Memberamo terpilih untuk diproses menjadi beras fungsional, karena aktivitas hipoglikemiknya relatif tinggi, mengandung serat pangan larut (3.95%) dan pati resisten (2.68%) tertinggi di antara varietas yang diuji, serta memiliki kadar amilosa rendah (19.30%) sehingga tekstur nasi pulen dan rasa enak. Proses terpilih dalam pembuatan beras Memberamo pratanak fungsional (BMPF), yaitu pembersihan gabah, dilanjutkan dengan perendaman dalam ekstrak teh 7% (T = 60ºC, t = 4 jam, perbandingan gabah dengan ekstrak teh = 1:3), pemasakan dengan ekstrak teh 7% (presto P = 80 kPa ~ 0.79 ATM, t = 20 menit, perbandingan gabah dengan ekstrak teh = 1:3), pengeringan I (100ºC, k.a. 1820%), pengeringan II (60ºC, k.a. 12%), dan penggilingan gabah pratanak. Sedangkan proses terpilih dalam pembuatan beras Memberamo instan fungsional (BMIF), yaitu perendaman beras dalam ekstrak teh 4% (T = 50ºC, t = 2 jam, perbandingan beras dengan ekstrak teh = 1:1), pemasakan dengan ekstrak teh 4% (presto P = 80 kPa, t = 10 menit, perbandingan beras dengan ekstrak teh = 1:1), pembekuan (-4ºC, 24 jam), dan pengeringan (60ºC, 4 jam). Perlakuan ekstrak teh hijau dan jenis proses pengolahan berpengaruh terhadap karakteristik produk beras, terutama yang terkait dengan IG. Daya cerna pati in vitro beras Memberamo (BM) adalah 71.18%, BMPF 11.25%, BMIF 41.39%, dan beras Taj Mahal (BTM) 99%. Kadar fenol bebas dari BM, BMPF, BMIF, dan BTM berturut-turut adalah 0.0, 0.73, 1.68, dan 0.0 % (bk). Hal ini menunjukkan perlakuan ekstrak teh hijau dapat menurunkan daya cerna pati in vitro. Selanjutnya dilakukan pengujian daya hipoglikemik beras fungsional menggunakan tikus percobaan (tikus putih jantan, strain Sprague Dawley). Tikus
Deleted: serta Evaluasi Sifat Fisiko
Formatted: Font: Not Bold, Not Italic Formatted: Font: Not Bold, Not Italic Deleted: k Deleted: dan Gizi
Formatted: Font: Not Bold, Not Italic Formatted: Font: Not Bold, Not Italic
model DM dibuat melalui injeksi aloksan, dengan dosis 110 mg/kg berat badan. Tikus dikelompokkan menjadi enam kelompok (n = 6), yaitu KN (kontrol negatif, tikus normal) dan KP (kontrol positif, tikus DM) yang diberi ransum dengan sumber pati dari BM, kelompok tikus DM lainnya diberi ransum dengan sumber pati dari BMIF, BMPF, BTM, dan BMF (beras Memberamo fungsional, yaitu BM yang direndam dalam ekstrak teh 4% selama 2 jam lalu dikeringkan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tikus selama masa perlakuan (36 hari) sangat fluktuatif. Konsumsi beras fungsional, terutama BMIF menunjukkan kecenderungan penurunan kadar glukosa darah tikus DM. Penderita DM akan mengalami perubahan morfologi sel-β pankreas, baik dalam ukuran maupun jumlahnya. Hasil analisis histologi jaringan pankreas tikus percobaan dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin menunjukkan jumlah pulau Langerhans (PL) per lapang pandang dengan perbesaran 20x pada BMIF (1.87), BMPF (1.80), dan BMF (1.60), lebih banyak dan berbeda nyata (p < 0.05) dibandingkan dengan KP (0.53), meskipun belum dapat menyamai KN yaitu 3.87 buah. Namun, morfologi PL belum menunjukkan jumlah produksi dan sekresi insulin. Oleh karena itu dilanjutkan dengan pewarnaan imunohistokimia terhadap sel-β pankreas. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata jumlah sel-β dari 15 PL untuk BMIF, BMPF, dan BMF berturut-turut adalah 27.13, 20.33, dan 18.20 buah, yang lebih banyak dibandingkan dengan KP (7.47), meskipun belum dapat menyamai KN (89.33). Konsumsi beras fungsional dengan perlakuan ekstrak teh hijau dapat menghambat laju kerusakan sel-β pankreas. Sejalan dengan penurunan daya cerna pati in vitro dan penghambatan laju kerusakan sel-β pankreas, perlakuan ekstrak teh hijau juga menurunkan IG beras fungsional. IG beras Memberamo adalah 67, ketika dibuat beras fungsional IGnya menjadi 60, IG beras pratanak fungsional adalah 56, dan beras instan fungsional mempunyai IG = 49, sedangkan IG beras Taj Mahal adalah 66. Dapat disimpulkan bahwa ekstrak teh hijau dengan konsentrasi 4 % (dalam pengolahan beras instan) dan 7 % (dalam pengolahan beras pratanak) dapat menurunkan daya cerna pati in vitro dari 71.18 % (beras Memberamo) menjadi 41.39 % (beras Memberamo instan fungsional) dan 11.25 % (beras Memberamo pratanak fungsional). Konsumsi beras fungsional dengan ekstrak teh hijau (terutama BMIF) selama 36 hari dapat mengendalikan kadar glukosa darah dan menghambat laju kerusakan sel-β pankreas pada tikus DM. Penurunan daya cerna pati in vitro berpengaruh terhadap meningkatknya aktivitas hipoglikemik, sehingga perlakuan ekstrak teh hijau dalam pengolahan beras fungsional dapat menurunkan IG.
SUMMARY SRI WIDOWATI 2007. The Utilization of Green Tea (Camellia sinensis O.Kuntze) Extract in the Development of Functional Rice for Diabetes Mellitus Patients. Under supervision of MADE ASTAWAN as Head of Supervisor, DEDDY MUCHTADI and TUTIK WRESDIYATI as Members. This research aimed to investigate rice wich has low starch digestibility and suitable for diabetic patients. Reducing in vitro starch digestibility was conducted by using green tea extract. Materials used were ten Indonesian rice varieties i.e. Pandan Wangi, Rojolele, Bengawan Solo, Cenana-Bali (red rice), Memberamo, Celebes, Ciherang, Batang Piaman, Cisokan, and Lusi (glutinuous rice) which were obtained from Research Institute for Rice, Sukamandi and green tea (Camellia sinensis O. Kuntze) was obtained from Pasir Sarongge Plant Station, Cianjur. Taj Mahal rice, the rice claimed suitable for diabetics patients was used for comparison. The research was divided into four steps, i.e.: 1) Screening of hypoglycemic activity and analysis of rice chemical composition, 2) Processing of functional parboiled and instant rice, 3) Evaluation of hypoglycemic ability of functional rice and histology analysis of pancreas tissue, and 4) Assessment of glycemic index (GI) of rice. Screening of hypoglycemic activity resulted in five categories of rice varieties, which were ranked from the highest to the lowest hypoglycemic activity i.e.: 1) Cisokan, 2) Batang Piaman, 3) Memberamo, Cenana-Bali, Lusi, Bengawan Solo, 4) Pandan wangi, Taj Mahal, Celebes, Rojolele, and 5) Ciherang. Memberamo was selected as the variety to be processed as functional rice, due to its relatively high hypoglycemic activity, and its highest soluble dietary fiber (3.95%) and resistant starch (2.68%) among examined varieties, and it has low amylose (19.30%) content resulted in soft texture and preferable taste of cooked rice. Functional parboiled Memberamo rice (BMPF) was produced using this selected method: paddy was cleaned, then soaked in 7% of green tea extract (T = 60ºC, t = 4 h, ratio of paddy : green tea extract = 1:3), followed by cooking in 7% of green tea extract (presto P = 80 kPa ~ 0.79 ATM , t = 20 minutes, ratio paddy : green tea extract = 1:3), drying I (100ºC, m.c. 18-20%), drying II (60ºC, m.c. 12%), and milling of parboiled paddy. The functional instant Memberamo rice (BMIF) was produced using this selected method: Milled rice was soaked in 4% of green tea extract (T = 50ºC, t = 2 h, ratio of rice : green tea extract = 1:1), followed by cooking in 4% of green tea extract (P = 80 kPa, t = 10 minutes, ratio of rice : green tea extract = 1:1), freezing (-4ºC, 24 h), and drying (60ºC, 4 h). Green tea extract treatment and processing methods influenced the characteristics of rice products, mainly related to GI. In vitro starch digestibility of Memberamo rice (BM) was 71.18%, BMIF was 41.39%, BMPF was 11.25%, and Taj Mahal rice (BTM) was 99%. While the free phenol content of BM, BMPF, BMIF and BTM were 0.0, 0.73, 1.68 and 0.0% (db), respectively. It was indicated that green tea extract treatment reduce the in vitro starch digestibility of functional rice. In vivo assessment of hypoglycemic ability of functional rice was conducted by using rat model (male Sprague Dawley rats). Diabetic rat was obtained by inducing with a single injection of alloxan at a dose of 110 mg/kg body weight.
Deleted: processing followed
Deleted: cess Deleted: by
Deleted: es Deleted: ed
Rats were separated into six groups (n = 6) based on the starch source of the rations, i.e. : KN (negative control, normal rats) and KP (positive control, DM rats) were feed the ration with starch source from BM (Memberamo rice), while another groups were feed the ration with starch source from BMIF, BMPF, BTM, and BMF (functional Memberamo rice, i.e. BM soaked in 4% of green tea extract for 2h, then dried). Result showed that blood glucose level of the rats during treatment were fluctuative. Consumption of functional rice (36 days), especially BMIF, showed a decrease of rat blood glucose level. Histology analysis by Hematoxylin-Eosin staining indicated that number of Langerhans islet of rats on BMIF (1.87), BMPF (1.80), and BMF (1.60), were greater and significantly differ (p < 0.05) from that of rats on KP (0.53), but smaller than rats on KN (3.87). Morphology of Langerhans islets were not directly indicated the number of insulin secretion. Therefore, the immunohistochemistry staining was conducted toward pancreatic β-cells. The result showed that the number of β-cells (average of 15 Langerhans islets) of rat pancreas on BMIF, BMPF, and BMF were 27.13, 20.33, and 18.20, respectively. Those number of β-cells were greater than that of rat pancreas on KP (7.47) but smaller than that of rat pancreas on KN (89.33). Consumption of functional rice by using green tea extract treatment for 36 days could inhibit the rate of pancreatic β-cells damage. Green tea extract treatment was not only reduce the in vitro starch digestibility and inhibited the rate of pancreatic β-cells damage, but also reduced the GI of rice. Result showed that GI of Memberamo milled rice was 67, functional Memberamo rice has GI = 60, GI of functional parboiled Memberamo rice was 56, and GI of functional instant Memberamo rice was 49, while GI of Taj Mahal was 66. It was concluded that 4 % of green tea extract used in the instant rice processing and 7 % on parboiled rice processing could reduce the in vitro starch digestibility from 71.18 % (Memberamo milled rice) to 41.39 % (functional instant Memberamo rice) and 11.25 % (functional parboiled Memberamo rice). Thirty six days consumption of functional rice with green tea extract (mainly BMIF) could control blood glucose level and inhibited the rate of pancreatic βcells damage the diabetic rats. Reducing in vitro starch digestibility tends to increase its hypoglycemic activity and green tea extract treatment during functional rice processing could lower the GI of rice.
Deleted: gave Deleted: gave
Deleted: ence Deleted: than
Deleted: ¶ ¶
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
PEMANFAATAN EKSTRAK TEH HIJAU (Camellia sinensis O. Kuntze) DALAM PENGEMBANGAN BERAS FUNGSIONAL UNTUK PENDERITA DIABETES MELITUS
SRI WIDOWATI
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
Deleted: ANTI
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Prof. (Riset) Dr. Ir. Djoko S. Damardjati, M.S. 2. Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si.
Judul Disertasi Nama NIM
: Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O. Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus : Sri Widowati : F261030031
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS. Ketua
Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. Anggota
drh. Tutik Wresdiyati, Ph.D. Anggota
Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof.Dr.Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S.
Prof.Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 14 Mei 2007
Tanggal Lulus:
PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Disertasi berjudul Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus ini, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang sejak awal penulis menjalani tugas belajar di IPN-IPB selalu memberikan semangat dan motivasi belajar serta arahan, bimbingan dan masukan yang sangat berarti selama proses penelitian dan penyusunan disertasi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan strategi menjalani tugas belajar di IPN, serta bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penelitian dan penyusunan disertasi ini. 3. Ibu drh. Tutik Wresdiyati. Ph.D. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan masukan sangat bermanfaat selama penelitian, khususnya bidang Histologi yang merupakan hal baru bagi penulis, dan dalam proses penyusunan disertasi ini. 4. Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pangan dan seluruh staf pengajar IPN yang telah banyak membantu selama penulis menjalani tugas belajar di IPN. 5. Bapak Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto yang telah berkenan meluangkan waktu sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Tertutup maupun pada Ujian Pra-kualifikasi. 6. Bapak Prof. (Riset) Dr. Ir. Djoko Said Damardjati, M.S. yang telah berkenan meluangkan waktu sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Terbuka dan memberikan masukan yang bermakna dalam penyempurnaan disertasi ini.
7. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S. yang telah berkenan sebagai Penguji Luar saat
pelaksanaan
Ujian
Terbuka
dan
memberikan
masukan
untuk
penyempurnaan disertasi ini. 8. Bapak Dr. Ahmad Suryana, Kepala Badan Litbang Pertanian dan Bapak Ir. Wisnu Broto, M.S., Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah memberikan kepercayaan penugasan belajar. 9. Pemimpin Proyek PAATP, Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dana selama penugasan belajar dan penelitian ini. 10. Bapak Dr. Ir. Ridwan Thahir, mantan Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah mengupayakan dana dan kepercayaan penugasan belajar. 11. Ungkapan terima kasih yang mendalam dan tulus saya sampaikan kepada suamiku tercinta RM. Susetyanto, S.E., M.Si., yang dengan penuh kasih sayang, pengertian dan kesabaran, selalu memberi dukungan dan semangat selama penulis menjalani tugas belajar. Demikian juga untuk putriku semata wayang Rr. Arumdyah Tyasayu Parameswari, yang penuh kemandirian dan pengertian mendukung ibundanya yang sedang menjalani tugas belajar. 12. Kepada ayundaku, Lis Utari, S.Sos. dan Dra. Eni Priwanti, serta adiku Dra. Endang Jatmikaningsih dan Ir. Gunawan Wijanarko serta seluruh keluarga besar Daroes Boediharsono atas dukungan, doa dan kasih sayangnya. 13. Ibunda Dra. Sunaryati Sutanto, M.S. dan seluruh keluarga besar RM Sutanto Sewoyo atas doa dan dukungan baik moril maupun materiil. 14. Teman-teman peneliti, analis dan teknisi serta seluruh keluarga besar Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. 15. Pak Adi yang telah membantu pelaksanaan penelitian di Lab. Hewan Percobaan Fateta-IPB serta teman-teman di Lab. Histologi FKH-IPB. 16. Rekan-rekan FORMASIP yang telah bersama-sama membagi suka dan duka selama berjuang di IPN. 17. Semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Akhirul kalam, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2007 Sri Widowati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 16 Nopember 1959, dari ayahanda Daroes Boediharsono (almarhum) dan ibunda Chodiyah (almarhumah). Penulis adalah putri ketiga dari lima bersaudara. Pada tahun 1978 penulis lulus dari SMA Negeri Magelang, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Teknologi Pertanian, UGM dan memperoleh beasiswa dari Yayasan Sumantri Brojonegoro, lulus tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis menerima beasiswa dari ACIAR-AIDAB untuk melanjutkan studi di The New South Wales University, Australia dan lulus tahun 1990. Bulan September 2003, penulis mendapat kesempatan kembali meneruskan studi pada Program Studi Ilmu Pangan IPB, dengan beasiswa dari PAATP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Penulis mengawali karier sebagai peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi tahun 1984 hingga 1993. Kemudian alih tugas pada Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor dari tahun 1993 hingga 2001. Sejak tahun 2002 penulis kembali alih tugas pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor dan saat ini penulis bekerja sebagai Peneliti Utama. Penulis aktif di berbagai organisasi saat sekolah, antara lain sebagai Ketua/pengurus OSIS, Pramuka, IAS (Indonesian Association Student)Australia, FORMASIP (Forum Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan) dan Forum WACANA (Forum Mahasiswa Pascasarjana), IPB. Selain itu, juga tercatat sebagai anggota/pengurus organisasi profesi yaitu PERMI, PAPTI dan PBI serta sebagai anggota Dewan Redaksi antara lain Jurnal AgroBio (1999-2002) dan Jurnal Tekologi & Industri Pangan (2000-sekarang). Pada bulan Desember 1986 penulis menikah dengan RM. Susetyanto, S.E., M.Si. dan dikaruniai seorang putri, Rr. Arumdyah Tyasayu Parameswari (19 tahun) yang saat ini sedang menjalani studi di UGM, Yogyakarta.
i
PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan disertasi ini. Disertasi berjudul Pemanfaatan Ekstrak Teh Hijau (Camellia sinensis O.Kuntze) dalam Pengembangan Beras Fungsional untuk Penderita Diabetes Melitus ini, merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada: 1. Bapak Prof. Dr. Ir. Made Astawan, M.S. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang sejak awal penulis menjalani tugas belajar di IPN-IPB selalu memberikan semangat dan motivasi belajar serta arahan, bimbingan dan masukan yang sangat berarti selama proses penelitian dan penyusunan disertasi ini. 2. Bapak Prof. Dr. Ir. Deddy Muchtadi, M.S. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan strategi menjalani tugas belajar di IPN, serta bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat dalam penelitian dan penyusunan disertasi ini. 3. Ibu drh. Tutik Wresdiyati. Ph.D. sebagai Anggota Komisi Pembimbing, yang dengan penuh kesabaran telah memberikan bimbingan dan masukan sangat bermanfaat selama penelitian, khususnya bidang Histologi yang merupakan hal baru bagi penulis, dan dalam proses penyusunan disertasi ini. 4. Ibu Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S. selaku Ketua Program Studi Ilmu Pangan dan seluruh staf pengajar IPN yang telah banyak membantu selama penulis menjalani tugas belajar di IPN. 5. Bapak Prof. Dr. Soewarno T. Soekarto yang telah berkenan meluangkan waktu sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Tertutup maupun pada Ujian Pra-kualifikasi. 6. Bapak Prof. (Riset) Dr. Ir. Djoko Said Damardjati, M.S. yang telah berkenan meluangkan waktu sebagai Penguji Luar saat pelaksanaan Ujian Terbuka dan memberikan masukan yang bermakna dalam penyempurnaan disertasi ini.
ii
7. Ibu Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.S. yang telah berkenan sebagai Penguji Luar saat
pelaksanaan
Ujian
Terbuka
dan
memberikan
masukan
untuk
penyempurnaan disertasi ini. 8. Bapak Dr. Ahmad Suryana, Kepala Badan Litbang Pertanian dan Bapak Ir. Wisnu Broto, M.S., Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah memberikan kepercayaan penugasan belajar. 9. Pemimpin Proyek PAATP, Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan dana selama penugasan belajar dan penelitian ini. 10. Bapak Dr. Ir. Ridwan Thahir, mantan Kepala Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian yang telah mengupayakan dana dan kepercayaan penugasan belajar. 11. Ungkapan terima kasih yang mendalam dan tulus saya sampaikan kepada suamiku tercinta RM. Susetyanto, S.E., M.Si., yang dengan penuh kasih sayang, pengertian dan kesabaran, selalu memberi dukungan dan semangat selama penulis menjalani tugas belajar. Demikian juga untuk putriku semata wayang Rr. Arumdyah Tyasayu Parameswari, yang penuh kemandirian dan pengertian mendukung ibundanya yang sedang menjalani tugas belajar. 12. Kepada ayundaku, Lis Utari, S.Sos. dan Dra. Eni Priwanti, serta adiku Dra. Endang Jatmikaningsih dan Ir. Gunawan Wijanarko serta seluruh keluarga besar Daroes Boediharsono atas dukungan, doa dan kasih sayangnya. 13. Ibunda Dra. Sunaryati Sutanto, M.S. dan seluruh keluarga besar RM Sutanto Sewoyo atas doa dan dukungan baik moril maupun materiil. 14. Teman-teman peneliti, analis dan teknisi serta seluruh keluarga besar Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian. 15. Pak Adi yang telah membantu pelaksanaan penelitian di Lab. Hewan Percobaan Fateta-IPB serta teman-teman di Lab. Histologi FKH-IPB. 16. Rekan-rekan FORMASIP yang telah bersama-sama membagi suka dan duka selama berjuang di IPN. 17. Semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Akhirul kalam, penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Mei 2007 Sri Widowati
iii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Magelang, Jawa Tengah pada tanggal 16 Nopember 1959, dari ayahanda Daroes Boediharsono (almarhum) dan ibunda Chodiyah (almarhumah). Penulis adalah putri ketiga dari lima bersaudara. Pada tahun 1978 penulis lulus dari SMA Negeri Magelang, kemudian melanjutkan studi di Fakultas Teknologi Pertanian, UGM dan memperoleh beasiswa dari Yayasan Sumantri Brojonegoro, lulus tahun 1983. Pada tahun 1989 penulis menerima beasiswa dari ACIAR-AIDAB untuk melanjutkan studi di The New South Wales University, Australia dan lulus tahun 1990. Bulan September 2003, penulis mendapat kesempatan kembali meneruskan studi pada Program Studi Ilmu Pangan IPB, dengan beasiswa dari PAATP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Penulis mengawali karier sebagai peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi tahun 1984 hingga 1993. Kemudian alih tugas pada Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor dari tahun 1993 hingga 2001. Sejak tahun 2002 penulis kembali alih tugas pada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor dan saat ini penulis bekerja sebagai Peneliti Utama. Penulis aktif di berbagai organisasi saat sekolah, antara lain sebagai Ketua/pengurus OSIS, Pramuka, IAS (Indonesian Association Student)Australia, FORMASIP (Forum Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pangan) dan Forum WACANA (Forum Mahasiswa Pascasarjana), IPB. Selain itu, juga tercatat sebagai anggota/pengurus organisasi profesi yaitu PERMI, PAPTI dan PBI serta sebagai anggota Dewan Redaksi antara lain Jurnal AgroBio (1999-2002) dan Jurnal Tekologi & Industri Pangan (2000-sekarang). Pada bulan Desember 1986 penulis menikah dengan RM. Susetyanto, S.E., M.Si. dan dikaruniai seorang putri, Rr. Arumdyah Tyasayu Parameswari (19 tahun) yang saat ini sedang menjalani studi di UGM, Yogyakarta.
iv
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ..............................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................
viii
PENDAHULUAN ................................................................................
1
TINJAUAN PUSTAKA Padi dan Beras ...............................................................................
6
Diabetes Melitus .............................................................................
13
Pankreas .........................................................................................
16
Indeks Glikemik Pangan
..............................................................
22
Tanaman Teh .................................................................................
29
Pangan Fungsional .........................................................................
33
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ..........................................................................
36
Bahan dan Alat ................................................................................
36
Metode Penelitian 1. Penapisan Aktivitas Hipoglikemik dan Analisis Komposisi Kimia Berbagai Varietas Beras Indonesia ..........................
37
2. Pengembangan Proses Pembuatan Beras Pratanak dan Beras Instan Fungsional ............................................... 3. Evaluasi Daya Hipoglikemik Beras Fungsional dan Analisis Histologi Jaringan Pankreas ................................ 4. Penentuan Indeks Glikemik Beras ................................
43 57 63
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Penapisan Aktivitas Hipoglikemik dan Evaluasi Sifat Fisikokimia Aktivitas Hipoglikemik .............................................. Komposisi Kimia Beras .............................................. Regulasi Glukosa Darah dan Aktivitas Hipoglikemik Beras ................................................................... 2. Proses Pembuatan Beras Pratanak dan Beras Instan Fungsional Penentuan Kondisi Ekstraksi Teh Hijau ......................... Pemilihan Kondisi Ekstraksi Teh Hijau ...................... Penentuan Kondisi Proses Pengolahan Beras Pratanak dan Beras Instan ......................................................... Pengembangan Beras Pratanak Fungsional dan Beras Instan Fungsional .........................................................
65 68 Deleted: ula
79 83 87 88 94
v
Karakteristik Beras Memberamo, Beras Memberamo Pratanak, Beras Memberamo Pratanak Fungsional dan Beras Taj Mahal .......................................................... Pengaruh Jenis Pengolahan Pratanak dan Instan terhadap Mutu Beras ................................................................ Mekanisme Ekstrak Teh dalam Penurunan Daya Cerna Pati in vitro ............................................................... 3. Evaluasi Daya Hipoglikemik Beras Fungsional dan Analisis Histologi Jaringan Pankreas Komposisi Kimia Ransum Tikus Percobaan .................... Hewan Model Diabetes Melitus ....................... Daya Hipoglikemik Beras Fungsional ....................... Perubahan Berat Badan Tikus ....................... Analisis Histologi Jaringan Pankreas ........................ Pewarnaan dengan Hematoksilin-Eosin ........................ Pewarnaan Imunohistokimia ......................... Mekanisme Penghambatan Perusakan Sel-β pulau Langerhans ............................................................. 4. Indeks Glikemik Beras
.........................................................
Mekanisme Ekstrak Teh Hijau dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah dan Indeks Glikemik ...................................
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
107
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
109
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
110
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
112 113 115 117 119 119 121 125 126 130
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan .................................................................................. Saran .................................................................................. DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. LAMPIRAN .....................................................................................
132 133 134 146
Formatted: Font: 12 pt, Not Bold Formatted: Font: 12 pt, Not Bold
vi
DAFTAR TABEL Halaman
1. Kandungan gizi beras dari berbagai cara pengolahan ..................
12
2. Indeks glikemik beberapa pangan sumber karbohidrat ..................
23
3. Potensi antioksidan relatif dari vitamin, teh, flavonoid dan karotenoid .............................................................
32
4. Perubahan kadar glukosa darah tikus pasca konsumsi pati beras terhadap kadar gula darah puasa ................................................
66
5. Kadar pati, amilosa, amilopektin dan gula total pada beras giling
69
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
6. Kadar protein, abu dan lemak beras giling ......................................
73
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
7. Kandungan serat pangan dan daya cerna pati beras giling ............
77
8. Nilai TEAC pada setiap rendemen ekstraksi teh hijau optimum dari masing-masing suhu ekstraksi ............................................
86
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
9. Optimasi perendaman gabah di dalam air pada proses pratanak ...
89
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
10. Hasil penentuan waktu tanak gabah menggunakan presto...............
90
11. Kadar air gabah pada berbagai waktu pengeringan I suhu 100ºC ...
91
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
12. Kadar air gabah pada berbagai waktu pengeringan II suhu 60ºC ....
92
13. Suhu perendaman dan kadar air beras rendam ...............................
93
14. Hasil penentuan waktu pemasakan dan mutu tanak nasi ................
94
15. Komposisi kimia beras pratanak fungsional.................................
95
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
16. Hasil uji organoleptik beras pratanak fungsional......................
99
Formatted: Font: Not Bold
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
Formatted: Indent: First line: 0 cm, Line spacing: single Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
17. Karakteristik beras Memberamo, Memberamo pratanak, Memberamo pratanak fungsional dan Taj Mahal ………..............
101
18. Komposisi kimia beras instan fungsional ..................................
103
19. Hasil uji organoleptik beras instan fungsional ...............................
106
20. Karakteristik beras Memberamo, Memberamo instan, Memberamo instan fungsional dan Taj Mahal ...........................
108
21. Komposisi kimia ransum tikus berdasarkan sumber patinya...........
112
22. Kadar glukosa darah tikus rata-rata selama 36 hari perlakuan .......
116
23. Berat badan tikus rata-rata (gram) selama perlakuan 36 hari ........
118
Formatted: Indonesian
24. Jumlah pulau Langerhans dan Sel β pankreas tikus percobaan .....
121
Formatted: Indonesian
25. Indeks glikemik berbagai produk beras .........................................
128
Formatted: Indonesian
Formatted: Font: Not Bold
Formatted: Indonesian
vii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Struktur biji padi ............................................................................
6
2. Mekanisme klasik kerja insulin .....................................................
20
3. Hubungan organ dalam resistensi insulin ......................................
22
4. Komponen katekin (flavan-3-ols) utama dalam teh ......................
30
5. Komponen flavonol utama dalam teh ............................................
31
6. Diagram alir proses optimasi ekstraksi teh hijau ...........................
43
7. Diagram alir proses pembuatan beras pratanak .............................
48
8. Diagram alir proses pembuatan beras instan .................................
51
9. Diagram alir proses pembuatan beras pratanak fungsional ...........
52
10. Diagram alir proses pembuatan beras instan fungsional ...............
54
11. Diagram alir proses pembuatan beras Memberamo fungsional ....
55
12. Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah mengonsumsi pati berbagai beras Indonesia dan beras Taj Mahal ..............................
67
13. Profil pati resisten pada berbagai beras giling ...............................
75
14. Ekstrak teh hijau konsentrasi 14%
100
15. Beras Memberamo pratanak fungsional [1] belum disosoh, [2] telah disosoh
..................................................................
16. Beras Memberamo instan fungsional
100
....................................
107
17. Perubahan kadar glukosa darah tikus selama masa percobaan ......
115
18. Perubahan berat badan tikus selama masa percobaan 36 hari .......
117
19. Foto mikrograf pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus, hasil pewarnaan Hematoksilin-Eosin ............................................
120
20. Foto mikrograf sel-β pulau Langerhans pada jaringan pankreas tikus, hasil pewarnaan imunohistokimia ........................
123 Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
21. Perubahan kadar glukosa darah berbagai produk beras selama proses penentuan indeks glikemik. ................................................
127
Formatted: Left, Indent: First line: 0 cm, Line spacing: 1.5 lines Deleted:
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian Formatted: Indonesian
viii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Rata-rata kadar glukosa darah tikus saat puasa dan selama 120 menit setelah mengonsumsi pati beras
..............................
146
2. Hasil uji statistik luas area dibawah kurva perubahan glukosa darah darah
...................................................
3. Hasil uji statistik puncak perubahan kadar glukosa darah
147
............
148
..................................
149
.............................
149
6. Hasil uji statistik kadar amilopektin beras giling
......................
150
7. Hasil uji statistik kadar glukosa total beras giling
...................
150
8. Hasil uji statistik kadar protein beras giling
.............................
151
9. Hasil uji statistik kadar lemak beras giling
...............................
152
...................................
153
4. Hasil uji statistik kadar pati beras giling 5. Hasil uji statistik kadar amilosa beras giling
10. Hasil uji statistik kadar abu beras giling
11. Hasil uji korelasi komponen kimia dengan luas kurva perubahan glukosa darah
.........................................................
12. Hasil uji statistik pati resisten beras giling
................................
13. Hasil uji statistik kadar serat pangan larut beras giling
............
14. Hasil uji statistik kadar serat pangan tidak larut beras giling
155 156
. ....
157
.............
157
.....................
158
15. Hasil uji statistik kadar serat pangan total beras giling 16. Hasil uji statistik daya cerna in vitro beras giling
150
17. Hasil uji korelasi komponen kimia dengan luas kurva perubahan glukosa darah
..........................................................
159
18. Hasil ekstraksi teh pada suhu 75ºC
...........................................
160
19. Hasil ekstraksi teh pada suhu 85 ºC
...........................................
161
20. Hasil ekstraksi teh pada suhu 95 ºC
...........................................
162
21. Hasil optimasi ekstraksi teh hijau pada beberapa konsentrasi, waktu dan suhu
.........................................................................
22. Rendemen optimum antar suhu ekstraksi
.................................
163 164
23. Aktivitas antioksidan dan kurva standar Trolox pada berbagai taraf konsentrasi (metode DPPH)
…………………..
165
ix
Halaman 24. Hasil analisis statistik antioksidan (TEAC) pada setiap kondisi ekstraksi
……………………………………………...
165
25. Hasil analisis statistik kadar air pada beras pratanak fungsional ...
166
26. Hasil analisis statistik kadar abu pada beras pratanak fungsional
.....................................................................
166
27. Hasil analisis statistik kadar fenol bebas pada beras pratanak fungsional
...................................................................
167
28. Hasil analisis statistik daya cerna in vitro pada beras pratanak fungsional
...................................................................
168
29. Hasil analisis statistik warna nasi pratanak fungsional
............
169
30. Hasil analisis statistik tekstur nasi pratanak fungsional
.............
169
.................
170
....................................................................
171
31. Hasil analisis statistik rasa nasi pratanak fungsional 32. Perbandingan daya cerna pati beras pratanak fungsional dan Taj Mahal
33. Perbandingan kadar abu beras pratanak fungsional dan Taj Mahal
......................................................................
172
34. Hasil analisis statistik kadar air beras instan fungsional
...........
173
35. Hasil analisis statistik kadar abu beras instan fungsional
...........
173
.....................................................................
174
37. Hasil analisis statistik fenol bebas pada beras instan fungsional ..
175
38. Hasil analisis statistik rasa nasi instan fungsional
……………
176
39. Hasil analisis statistik tekstur nasi instan fungsional …………...
176
40. Hasil analisis statistik warna nasi instan fungsional
…………...
177
....................................................................
177
42. Perbandingan kadar abu beras instan fungsional dan Taj Mahal ...
178
43. Hasil analisis statistik jumlah pulau Langerhans
……………….
179
44. Hasil analisis statistik jumlah sel-β pancreas
……………….
180
36. Hasil analisis statistik daya cerna pati in vitro pada bera instan fungsional
41. Perbandingan daya cerna pati beras instant fungsio dan Taj Mahal
45. Hasil analisis statistik pengukuran Indeks Glikemik
...................
181
PENDAHULUAN
Formatted: Left: 4 cm, Right: 3 cm, Width: 21 cm, Height: 29,7 cm, Different first page
Latar Belakang Beras merupakan makanan pokok lebih dari 50% penduduk dunia dan sekitar 60-70% kebutuhan energi lebih dari dua milyar penduduk Asia. Bagi bangsa Indonesia, beras adalah kehidupan. Beras bukan hanya sebagai sumber
Deleted: Karena beras
makanan pokok bagi sebagian besar penduduk (> 90%), tetapi beras juga berkaitan erat dengan segala aspek kehidupan (BALITPA 2004a). Namun beras sering dihindari oleh penderita diabetes melitus (DM) karena anggapan bahwa mengonsumsi nasi dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat. Prevalensi penyakit degeneratif akhir-akhir ini cenderung meningkat secara nyata. Salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya terus meningkat adalah
Deleted: Akhir-akhir ini p Deleted: i
diabetes melitus (DM). Menurut survei dari WHO yang dikutip oleh Dep. Kes (2005) menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita diabetes terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Prevalensi diabetes di Indonesia sebesar 8.6% dari total penduduk, sehingga pada tahun 2025 diperkirakan penderita DM mencapai 12.4 juta jiwa. Jumlah tersebut setara dengan tiga kali kejadian pada tahun 1995, yaitu 4.5 juta penderita (Dep. Kes. 2005). Namun, pada hari diabetes tanggal 14 Nopember 2006, PERSADIA
Deleted: Namun p
(Persatuan Diabetes Indonesia) melaporkan bahwa saat ini penderita DM di Indonesia telah mencapai 14 juta jiwa. Hal ini menunjukkan betapa cepatnya laju peningkatan jumlah diabetesi (sebutan bagi penderita DM). Melihat permasalahan tersebut, Menteri Kesehatan menegaskan, jika tidak diintervensi secara serius, permasalahan DM akan bertambah besar sehingga sulit ditanggulangi. Upaya pencegahan dan penanggulangan tidak dapat dilakukan oleh pemerintah saja, melainkan tanggung jawab seluruh komponen bangsa. Pencegahan DM dapat dilakukan secara primer maupun sekunder. Pencegahan primer adalah pencegahan terjadinya DM pada individu yang beresiko melalui modifikasi gaya hidup (pola makan sesuai, cukup aktivitas fisik, penurunan berat badan) dengan dukungan program edukasi berkesinambungan. Pencegahan sekunder dilakukan melalui pemeriksaan dan pengobatan (Dep. Kes. 2005).
Deleted: ¶
2
Penderita DM umumnya harus melakukan pengendalian makan secara ketat bila ingin tetap hidup nyaman. Diabetesi sering mengurangi, bahkan pantang makan nasi, dan mengganti dengan umbi-umbian. Ada anggapan bahwa nasi
Deleted: Hal ini karena a Deleted: Deleted: Deleted: bebas
merupakan pangan yang memiliki respon glikemik tinggi, sehingga dapat
Deleted:
menaikkan kadar glukosa darah secara cepat dan tinggi. Padahal tidak semua jenis
Deleted: a
beras bersifat hiperglikemik (Miller et al.1992). Sebaliknya, tidak semua umbi-
Deleted: harganya Deleted: seratus
umbian bersifat hipoglikemik, tergantung jenis dan varietasnya (Marsono 2002).
Deleted: antara
Peluang tersebut dimanfaatkan oleh importir beras, sehingga di pasar saat ini
Deleted: Selama dekade yang lalu, banyak hasil-hasil penelitian yang menunjukkan hubungan antara menu makan dengan kejadian DM. Studi pada hewan model dan manusia menunjukkan bahwa asupan karbohidrat dengan indeks glikemik (IG) tinggi menghasilkan insulin resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan asupan karbohidrat dengan IG rendah. Studi epidemiologi dalam prospektif yang luas menunjukkan IG dan beban glikemik (glycemic load = IG dikalikan kadar karbohidrat) dari keseluruhan diet menunjukkan resiko yang besar bagi timbulnya DM tipe 2, baik pada laki-laki maupun wanita (Willett et al. 2002) ¶
beredar secara luas beras impor yang mengklaim sebagai beras untuk penderita diabetes. Produk tersebut dipasarkan dengan harga sangat tinggi, yaitu 4-5 kali harga beras Indonesia yang bermutu bagus. Hal ini merupakan kendala bagi diabetesi, meskipun pangan tersedia tetapi harga tidak terjangkau. Departemen Pertanian melalui Badan Litbang Pertanian telah merakit, melepas dan/atau memutihkan lebih dari 170 varietas (Fagi et al. 2003). Namun karakterisasi mutu yang berkaitan dengan kesesuaian beras bagi diabetesi, antara lain indeks glikemik dan sifat karbohidrat terkait, belum banyak diteliti. Seiring dengan kesadaran masyarakat akan kesehatan yang semakin meningkat dan mahalnya harga obat-obatan, maka tindakan pencegahan terhadap penyakit menjadi sangat penting. Salah satu upaya pencegahan penyakit diabetes ialah pengelolaan diet yang benar dan pemilihan makanan yang tepat. Satu seri penelitian mengenai potensi kacang-kacangan sebagai makanan fungsional bagi penderita diabetes tipe 2, telah dilakukan oleh Noor (2003), dan kedelai mempunyai prospek yang paling baik. Fraksi protein kedelai dan tripsin inhibitor kedelai mempunyai aktivitas hipoglikemik (Noor et al. 2002). Sekresi insulin dipengaruhi oleh asam-asam amino. Hasil penelitian Krisetiana et al. (2001) menunjukkan bahwa metionin kedelai mempunyai kecenderungan meningkatkan sekresi insulin, meskipun terjadi kerusakan pada sel-β pankreas. Indeks glikemik (IG) pangan merupakan tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan dengan IG rendah akan menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat. Hasil penelitian Heather et al. (2001) menunjukkan bahwa pangan dengan IG rendah dapat memperbaiki
Deleted: Selain terapi diet, obatobatan juga tetap diperlukan. Seiring dengan meningkatnya jumlah penderita DM, maka kebutuhan obat-obatan hipoglikemik oral juga semakin meningkat, karena hampir 88% penderita DM dilaporkan menggunakan obat oral hipoglikemik dalam terapinya. Namun saat ini ketersediaan bahan baku obat dalam negeri tidak seimbang dengan kebutuhan obat di masyarakat, sehingga masih perlu mengimpor. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal ini antara lain dengan menggali potensi kekayaan alam Indonesia, untuk dimanfaatkan secara rasional sebagai food supplement guna mencegah meningkatnya prevalensi diabetes melitus.¶ Pemanfaatan obat hipoglikemik oral sampai saat ini masih menjadi pilihan utama bagi pengobatan diabetes melitus dan pengendalian hiperglikemik, namun obat-obatan tersebut ternyata masih mempunyai efek samping yang meningkatkan kejadian komplikasi DM. Sementara itu pemanfaatan bahan pangan lokal Indonesia yang potensial sebagai antidiabetes hingga saat ini belum maksimal. ... [1] Deleted: gangguan pada
3
pengendalian metabolik pada penderita DM tipe 2 dewasa. Sedangkan Miller et al. (1991) melaporkan bahwa studi pemberian pangan IG rendah jangka menengah pada penderita DM dapat meningkatkan pengendalian kadar glukosa darah. Berdasarkan IG-nya, pangan dikelompokkan menjadi tiga, yaitu pangan
Deleted:
dengan IG rendah (<55), sedang (55-70) dan tinggi (>70). Kadar karbohidrat dalam bahan pangan sangat bervariasi. Oleh karena itu dalam aplikasinya konsep IG perlu dipadukan dengan beban glikemik (BG), yaitu IG dikalikan dengan kadar karbohidrat pangan (Willett et al. 2002). Membatasi, apalagi menghindari konsumsi nasi bagi orang Indonesia yang
Deleted: meng
menderita DM merupakan penderitaan tersendiri. Hal ini mengingat budaya makan nasi di Indonesia sangat kuat. Anggapan bahwa beras merupakan salah
Deleted: da a
satu bahan pangan yang cepat menaikkan kadar glukosa darah tidak selamanya benar. Beras memiliki kisaran IG yang luas, sehingga beras dapat dikategorikan
Deleted: .
sebagai pangan IG tinggi maupun rendah, dipengaruhi oleh jenis varietas, cara pengolahan dan komposisi kimia beras (Miller et al. 1992; Foster-Powell et al. 2002). Miller et al. (1992) lebih lanjut menyatakan bahwa beras giling mempunyai kisaran IG dari 54 sampai dengan 121. Foster-Powell et al. (2002) menyarankan untuk melakukan pengujian IG beras secara lokal karena adanya variasi genetik yang cukup luas antar negara. Beras giling dan ketan pada umumnya tergolong sebagai pangan ber IG tinggi, beras pecah kulit (brown rice) yaitu beras tanpa disosoh, beras pratanak (parboiled rice) dan beras varietas tertentu, seperti Basmati mempunyai IG sedang. Bahkan beberapa varietas beras mempunyai IG rendah (Foster-Powell et al. 2002). Di Indonesia informasi tentang respon glikemik pangan, terutama beras, dan karakteristik beras yang berhubungan dengan IG masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil penelitian bahwa diet IG rendah pada penderita DM dapat meningkatkan pengendalian kadar glukosa darah (Miller et al. 1992) maka perlu dilakukan upaya penurunan IG beras agar diabetesi tetap dapat mengonsumsi nasi dengan aman. Salah satu faktor yang dapat menurunkan IG adalah zat antigizi, misalnya asam fitat dan tanin (Thompson et al. 1984; Rimbawan & Siagan 2004). Senyawa polifenolik sering disebut juga disebut dengan tanin. Zat antigizi tersebut dapat menurunkan daya cerna protein maupun
Deleted: Padahal IG beras sangat bervariasi, tergantung varietas dan cara prosesnya.
4
pati sehingga respon glikemik juga akan menurun (Griffiths & Moseley 1980; Thompson et al. 1984). Senyawa tanin atau polifenol banyak terdapat pada berbagai tanaman, antara lain pada daun jambu, cacao dan teh. Dalam penelitian ini dipilih daun teh yang telah diproses menjadi teh hijau, dengan pertimbangan ketersediaan cukup melimpah, mudah diperoleh dan harganya relatif murah. Selain itu, teh hijau telah dikenal mempunyai berbagai khasiat membantu mencegah berbagai penyakit antara lain kanker, diabetes, kardiovaskuler, (Wickremasinghe 1976; Balentine & Paetau-Robinson 2000). Lebih lanjut Matsumoto et al. (1993) menyebutkan bahwa pemberian senyawa tanin termasuk polifenol teh secara oral dapat menurunkan aktivitas enzim amilase dan juga menurunkan kadar glukosa darah unggas. Oleh karena itu, penelitian beras yang diberi perlakuan ekstrak teh hijau (mengandung polifenol), diharapkan dapat menurunkan daya cerna pati, sehingga IG-nya juga menurun dan berpotensi sebagai beras fungsional bagi penderita diabetes melitus.
Tujuan Penelitian Tujuan umum Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan beras lokal dengan daya cerna pati rendah, sehingga indeks glikemiknya rendah, dan mempunyai sifat yang sesuai (nilai gizi, sifat organoleptik, fungsi fisiologis) sebagai pangan fungsional untuk penderita diabetes melitus.
Deleted: Di Indonesia, daftar indeks glikemik masih sangat langka (Marsono 2002). Sampai saat ini, penelitian mengenai IG berbagai varietas beras di Indonesia belum pernah dilakukan. Beras lokal (padi bulu) maupun padi unggul modern yang dihasilkan oleh Lembaga-lembaga penelitian di Indonesia sangat banyak ragamnya. Diharapkan dengan penelitian aktivitas hipoglikemik dari berbagai verietas beras, akan diperoleh beras hasil produksi dalam negeri yang mempunyai IG rendah. Selain faktor genetik, IG bahan pangan juga dipengaruhi oleh cara proses dan sifat fisikokimia, termasuk antigizi (Rimbawan dan Siagian 2004). Polifenol merupakan salah satu antigizi yang dapat menurunkan IG. Oleh sebab itu p Deleted: engan Deleted: polifenol Deleted:
Tujuan khusus 1. Mengevaluasi aktivitas hipoglikemik dan komposisi beberapa varietas beras Indonesia. 2. Menentukan kondisi proses pembuatan beras pratanak dan beras instan fungsional 3. Menguji daya hipoglikemik beras fungsional yang diberi perlakuan dengan
Deleted: pat Deleted: menghasilkan Deleted: ¶ Deleted: ¶ ¶ ¶ Deleted: ¶ Deleted: indeks Deleted: ¶
ekstrak teh hijau dan perubahan histologi pankreas tikus DM yang diberi
Formatted: German (Germany)
ransum beras fungsional untuk penderita diabetes melitus.
Deleted: sifat fisiko
Formatted: German (Germany)
5
4. Menentukan indeks glikemik: a. beras Memberamo; b. beras Memberamo fungsional; c. beras Memberamo instan fungsional; dan d. beras Memberamo pratanak fungsional
Hipotesis 1. Konsentrasi ekstrak teh hijau yang digunakan berpengaruh terhadap daya
Deleted: aktivitas hipoglikemik
cerna pati in vitro beras. 2. Daya cerna pati in vitro beras berpengaruh terhadap aktivitas hipoglikemik
Deleted: Kandungan amilosa, serat pangan, pati resisten, dan d
beras. 3. Beras fungsional dengan ekstrak teh hijau dapat menghambat laju kerusakan sel-β pankreas pada tikus penderita DM. 4. Perlakuan beras dengan ekstrak teh hijau berpengaruh terhadap nilai indeks
Deleted: <#>Ekstrak teh hijau dapat menurunkan daya cerna pati, sehingga berpengaruh terhadap penurunan indeks glikemik beras.¶
Formatted: Bullets and Numbering Deleted: Cara p
glikemik beras.
Deleted: ngo Deleted: h
Kegunaan Penelitian 1. Bagi pemulia padi: Komposisi kimia beras yang berpengaruh terhadap indeks glikemik dapat menjadi acuan dalam merakit varietas yang lebih bermanfaat bagi kesehatan, khususnya DM. 2. Bagi industri pangan: Informasi indeks glikemik beras dapat sebagai acuan dalam memilih bahan baku sesuai untuk produk akhir yang diinginkan. 3. Bagi konsumen diabetesi: Tersedia beras lokal dengan indeks glikemik rendah. Ketersediaan dan keterjangkauan pangan pokok ini akan membantu diabetesi untuk hidup nyaman dan aman dalam mengonsumsi beras. Artinya, diabetesi tidak perlu menghindar dari konsumsi beras dan beralih pada sumber karbohidrat lain, asalkan dipilih beras dengan indeks glikemik rendah.
Deleted:
Page 2: [1] Deleted
SriWidowati
1/30/2007 2:49:00 PM
Selain terapi diet, obat-obatan juga tetap diperlukan. Seiring dengan meningkatnya jumlah penderita DM, maka kebutuhan obat-obatan hipoglikemik oral juga semakin meningkat, karena hampir 88% penderita DM
dilaporkan menggunakan obat oral
hipoglikemik dalam terapinya. Namun saat ini ketersediaan bahan baku obat dalam negeri tidak seimbang dengan kebutuhan obat di masyarakat, sehingga masih perlu mengimpor. Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi hal ini antara lain dengan menggali potensi kekayaan alam Indonesia, untuk dimanfaatkan secara rasional sebagai food supplement guna mencegah meningkatnya prevalensi diabetes melitus. Pemanfaatan obat hipoglikemik oral sampai saat ini masih menjadi pilihan utama bagi pengobatan diabetes melitus dan pengendalian hiperglikemik, namun obat-obatan tersebut ternyata masih mempunyai efek samping yang meningkatkan kejadian komplikasi DM. Sementara itu pemanfaatan bahan pangan lokal
Indonesia yang
potensial sebagai antidiabetes hingga saat ini belum maksimal. Padahal kekayaan alam Indonesia sangat mendukung untuk eksplorasi tersebut.
Formatted: Left: 4 cm, Right: 3 cm, Width: 21 cm, Height: 29,7 cm, Different first page
TINJAUAN PUSTAKA Padi dan Beras Morfologi Biji Padi Padi (Oryza sativa L.) merupakan salah satu tanaman pangan utama di dunia. Sentral produksi padi yaitu China dan India, berturut-turut sebesar 35 dan 20% dari total produksi dunia. Biji padi terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang dapat dimakan
(rice caryopsis) dan kulit (hull or husk).
Struktur biji padi
disajikan pada Gambar 1 (Juliano, 1972). Beras pecah kulit, yaitu gabah yang telah dihilangkan kulit atau sekamnya, terdiri atas perikap (1-2%), aleuron dan testa (4-6%), lembaga (2-3%) dan endosperm (89- 94%). Tipe padi yang tumbuh di Asia ada tiga, yaitu indica, javanica atau padi bulu serta japonica. Masing-masing tipe mempunyai karakteristik biji yang berbeda. Tipe indica paling banyak tumbuh di daerah tropis dan subtropis, ukuran biji pendek sampai panjang, ramping dan mudah rontok. Tipe javanica, mempunyai ukuran biji panjang, ujung gabah seperti bulu (awn) yang panjang dan tidak mudah rontok. Sedangkan tipe japonica, kebanyakan tumbuh di daerah subtropis yang dingin, ukuran biji pendek, bulat dan tidak mudah rontok (Damardjati 1983).
Namun, kemajuan teknologi persilangan saat ini telah
mengaburkan ciri-ciri tersebut. Bulu
Sekam
Endosperma
Perikarp Testa Aleuron Bkl batang Bakal daun Bakal akar
Lembaga
Tangkai
Gambar 1. Struktur biji padi (Juliano 1972)
7
Komposisi Gizi dan Peran Beras Beras yang dihasilkan dari tanaman padi, merupakan komoditas pertanian yang sangat penting di Asia, termasuk Indonesia. Beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi lebih dari 90 persen penduduk Indonesia. Sejarah perberasan Indonesia telah mencatat sebuah dinamika produksi dan mutu beras yang cukup menarik. Pada periode awal bangkitnya negeri ini, rakyat telah mengalami situasi pangan yang sulit karena pasokan beras sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan pangan saat itu telah dimanfaatkan berbagai sumber karbohidrat yang ada, seperti jagung, sorgum, dan umbi-umbian. Sejak paruh kedua tahun 1960-an pemerintah berusaha meningkatkan produksi beras di dalam negeri. Keberhasilan Revolusi Hijau melalui penerapan teknologi varietas unggul baru, pemupukan dan perawatan tanaman telah dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendorong upaya peningkatan produksi beras tersebut. Pemerintah, melalui program Intensifikasi Khusus (Insus), Supra Insus dan lain-lain, telah berhasil mencapai keadaan swa-sembada beras pada tahun 1984 (Damardjati et al. 2004). Kini usaha peningkatan produksi beras pun tetap dilakukan, karena produksi beras domestik belakangan ini mengalami kemunduran relatif terhadap kebutuhan beras yang tetap tinggi. BPS (2002) mencatat peningkatan kebutuhan beras akibat peningkatan jumlah penduduk di Indonesia ialah 1.49%. Mutu beras meliputi mutu pasar, mutu fisik dan mutu giling, mutu tanak dan cita rasa, serta mutu gizi. Di Indonesia, sampai dengan tercapainya swasembada beras, mutu gizi masih terabaikan. Hal ini antara lain karena pemerintah masih memfokuskan pada usaha peningkatan produksi beras untuk memenuhi kebutuhan penduduk. Pada era pasca swa-sembada beras, dengan didorong oleh perbaikan ekonomi dan kemajuan teknologi, mutu gizi beras mulai mendapat perhatian. Keberhasilan pembangunan ekonomi saat itu telah membawa konsumen pada status yang memungkinkan munculnya tuntutan mutu beras yang lebih tinggi (Damardjati 1995). Beras giling mengandung protein 6.8%, lemak 0.7%, karbohidrat 78.9% dan menghasilkan energi sebesar 360 kkal/100g (Dep. Kes. 1992). Selain sumber karbohidrat, beras merupakan sumber protein penting dalam menu masyarakat Indonesia. Kadar protein beras relatif rendah, tetapi mempunyai mutu protein
Deleted: alori
8
terbaik dibandingkan dengan serealia lain (Damardjati 1983). Protein beras dapat secara langsung meningkatkan penyediaan protein dalam menu makanan, khususnya bagi penduduk berpenghasilan rendah. Upaya peningkatan kandungan mineral dan vitamin pada bahan makanan pokok, khususnya mineral besi pada tanaman padi telah dilakukan melalui program biofortifikasi. Penelitian tersebut merupakan salah satu strategi pemuliaan tanaman untuk meningkatkan kandungan besi dalam beras, dan sekaligus
memperbaiki
gizi
masyarakat
dengan
biaya
relatif
murah.
Pembentukkan materi pemuliaan tersebut dapat dilakukan secara konvensional (hibridisasi dan seleksi) atau non konvensional (kultur anter dan transformasi). Beras berkadar besi tinggi tersebut dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat menengah ke bawah sebagai sumber energi dan sumber zat besi (Indrasari et al. 2004). Jenis Beras Berdasarkan cara prosesnya dikenal beberapa jenis beras, antara lain beras
Deleted: yaitu
tumbuk, beras sosoh, beras giling, beras pecah kulit, beras kepala, beras patah, beras instan dan beras pratanak. Dua jenis beras yang disebut terakhir akan diuraikan khusus, karena akan diteliti pada kegiatan ini. Beras tumbuk ialah beras yang dihasilkan dari gabah yang ditumbuk secara manual, misal menggunakan lumpang (Alat penumbuk tradisional, terbuat dari kayu). Dalam proses penggilingan padi, gabah yang telah dihilangkan sekamnya disebut beras pecah kulit, kemudian dilanjutkan proses penyosohan dan hasilnya disebut beras sosoh atau beras giling. Beras giling dipisahkan berdasarkan ukuran biji. Apabila biji beras berukuran ≥ 2/3 utuh disebut beras kepala, ukuran 1/3-2/3 biji utuh disebut beras patah dan bila < 1/3 biji utuh disebut menir. Beras Instan. Dalam era industrialisasi, manusia dituntut untuk bergerak cepat, termasuk dalam menyiapkan makanan sehari-hari. Oleh sebab itu, bahan pangan yang cepat saji menjadi sangat bermanfaat. Bahan pangan pokok yang telah tersedia dalam bentuk instan dan mulai memasyarakat di Indonesia ialah bentuk mi. Mengingat budaya makan nasi di Indonesia sangat kuat, diharapkan
Deleted: e
beras instan dapat menjadi salah satu alternatif bahan pangan yang cepat saji, disamping mi instan.
Deleted: e
9
Produk instan merupakan jenis produk pangan yang mudah untuk disajikan dalam waktu yang relatif singkat. Pangan instan merupakan produk makanan yang mengalami proses pengeringan air, sehingga mudah mengabsorpsi air dan disajikan hanya dengan menambahkan air panas atau air dingin sehingga tidak terlalu menyita banyak waktu (Hartomo & Widiatmoko 1993). Instanisasi merupakan suatu istilah yang mencakup berbagai perlakuan, baik kimia ataupun fisika yang akan memperbaiki karakteristik hidrasi dari suatu produk. Karakteristik hidrasi pada produk yang harus dimiliki bahan makanan agar dapat membentuk produk pangan instan, adalah: a) sifat hidrofilik, yaitu sifat yang mudah mengikat air, b) tidak memiliki lapisan gel yang tidak permeabel sebelum digunakan sehingga dapat menghambat laju pemanasan, c) hidrasi produk tidak menghasilkan produk yang menggumpal dan mengendap (Hartomo & Widiatmoko 1993). Beras instan merupakan produk yang populer di Amerika, Jepang, dan beberapa negara barat. Hingga sekarang beras cepat saji tersedia di pasaran dan dapat dimasak dalam waktu 5 menit untuk mendapatkan tingkat kepuasan penerimaan konsumen. Setelah pemasakan, produk tersebut harus sesuai dengan karakteristik flavor, rasa dan tekstur nasi pada umumnya. Nasi instan ini harus stabil dalam penyimpanan selama 6-12 bulan pada suhu ruang. Produk dikemas sebaik-baiknya dalam kemasan khusus untuk menghindari perubahan kadar air selama penyimpanan, salah satunya adalah dengan cara pengalengan (canned rice) (Luh 1991). Beras instan yang telah mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan, tetapi molekul – molekul tersebut tidak dapat kembali lagi ke sifat-sifat asal sebelum gelatinisasi. Bahan yang telah kering tersebut masih mampu menyerap air kembali dalam jumlah yang besar. Sifat inilah yang digunakan agar instant rice dapat menyerap air kembali dengan mudah, yaitu dengan menggunakan pati yang telah mengalami gelatinisasi (Winarno 1997). Beras yang telah disiapkan dalam bentuk Quick Cooking Rice (QCR) akan mudah menyerap air karena telah mengalami perubahan struktur, tekstur, dan kecepatan penyerapan air akan lebih tinggi dibandingkan dengan beras yang tanpa diproses lebih dahulu. Produk yang dihasilkan dengan metode QCR mudah
Deleted: ai
10
dimasak yaitu cukup dengan menambah air panas sehingga dengan cepat beras akan mengalami rehidrasi menjadi nasi dan siap untuk dikonsumsi. Di Amerika, dengan metode ini mengakibatkan konsumsi beras mengalami peningkatan. Dalam pengolahan QCR, perendaman beras dapat dilakukan di dalam air dingin, air panas atau dalam larutan bahan kimia tertentu selama 10 sampai 30 menit. Menurut Lipton, perendaman dalam larutan
asam sitrat dapat
menyebabkan produk menjadi jernih, bahkan dapat menghambat terjadinya proses ketengikan, sedangkan perendaman dalam larutan garam NaCl akan menghambat proses gelatinisasi pada waktu pemanasan (Keneaster 1974). Perendaman meningkatkan keseragaman masuknya air pemasakan ke dalam butir beras. Jumlah air perendaman yang masuk ke dalam butir beras tergantung pada lamanya waktu perendaman dan suhu air perendaman. Perembesan air ini memperkecil kecenderungan butir beras terpisah atau pecah akibat tekanan osmotik pada butir beras selama pemasakan, dan pati mulai terlepas ke dalam air pemasakan. Selama pemasakan beras, akan terjadi pengembangan granula pati. Pengembangan ini menyebabkan permukaan butir beras menjadi retak. Pengembangan beras selama dimasak tidak sebesar kemampuan pengembangan pati yang volumenya bisa mencapai 64 kali lebih besar dibandingkan dengan butir pati asal. Tertahannya pengembangan pati beras dapat disebabkan oleh adanya
Deleted: karena
pembatas komponen bukan pati. Kandungan lemak, protein, mineral dan dinding sel berpengaruh terhadap kualitas pemasakan nasi. Pengeringan merupakan langkah kritis pada pembuatan QCR. Karakteristik dari nasi instan kering tergantung pada karakteristik pengeringannya. Beberapa kerugian seperti penyimpangan bentuk, kerusakan dan hasil yang tidak bagus pada saat rehidrasi merupakan akibat dari prosedur pengeringan yang tidak tepat. Semakin cepat produk dikeringkan, semakin bagus kualitas proses rehidrasi. Proses pengeringan akan menghasilkan struktur porous yang akan memudahkan air untuk meresap ke dalam beras pada waktu rehidrasi. Beras Pratanak. Pembuatan beras pratanak merupakan proses yang unik, karena tahap pengolahan dimulai pada saat bahan masih berbentuk gabah (Garibaldi 1974). Cara pembuatan beras pratanak sangat beragam, namun pada
Deleted: hasil
11
prinsipnya melalui tiga tahapan proses, yaitu perendaman (steeping), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Gabah yang telah mengalami perlakuan diatas akan lebih awet, dapat mencegah perkecambahan. Gabah tersebut kemudian digiling hingga diperoleh beras pratanak. Proses pratanak
berpengaruh lebih
nyata terhadap sifat fisik butiran beras dibandingkan dengan sifat kimianya. Proses pratanak dipilih karena cenderung menurunkan indeks glikemik beras (Foster-Powell et al. 2002). Pembuatan beras pratanak merupakan proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai gizi maupun segi rendeman beras yang dihasilkan.
Oleh karena itu proses
pratanak harus dilakukan dengan cara yang tepat (De Datta 1981, Hoseney 1994). Beras pratanak banyak diproduksi di Afrika dan India. Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang mengakibatkan sedikitnya bekatul dan nutrien yang hilang.
Beras pratanak
memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi dibandingkan beras biasa serta kandungan minyak dan lemak yang rendah dibandingkan dengan beras biasa sehingga beras pratanak lebih tahan lama untuk disimpan (Nurhaeni 1980). Proses pratanak adalah proses gelatinisasi pati di dalam beras. Pada proses gelatinisasi pati terjadi pengembangn granula secara irreversible dan kompaknya granula pati. Kejadian tersebut membutuhkan kandungan air 30-35% dan panas kurang lebih 26 kkal per kg gabah untuk kesempurnaan proses (Garibaldi 1974). Pada proses pratanak, terjadi perubahan zat gizi (Tabel 1). Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler dari sel-sel pati endosperm, dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati tersebut sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (Nurhaeni 1980; De Datta 1981). Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Pemasakan harus dilakukan dengan hati-hati agar gelatinisasi Halaman
Deleted: di
12
pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah. Tabel 1. Kandungan zat gizi beras (per 100 g) dari berbagai cara pengolahan Air Energi Protein Lemak Karbohidrat Macam beras (g) (kkal) (g) (g) (g) Beras pecah kulit 13 335 7.4 1.9 76.2 Beras setengah giling Beras giling
12
353
7.6
1.1
78.3
13
360
6.8
0.7
78.9
Beras parboiled
12
364
6.8
0.6
80.1
Sumber : Darmajati (1981).
Prinsip proses pengeringan bahan adalah pemindahan uap air dari bahan melalui cara evaporasi. Evaporasi terjadi terutama pada permukaan bahan tersebut, yaitu melalui proses difusi dari air di dalam bahan ke permukaan bahan akibat panas yang diberikan baik secara konveksi, konduksi maupun radiasi (Darmadjati 1981). Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14%. Pengeringan pertama pada suhu 100oC sampai kadar air 20%, pengeringan kedua pada suhu 60oC sampai kadar air 14%. Pengeringan pada proses pembuatan beras pratanak memerlukan suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100oC) karena kadar air gabah yang tinggi (dapat mencapai 45%), dan tekstur butir yang berbeda akibat pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan
(De Datta 1981).
Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14%, karena kadar air 14% merupakan kondisi optimum gabah untuk digiling. Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna produk akhir (Garibaldi 1974, Luh & Mickus 1981). Pengeringan sebaiknya dilakukan segera setelah pemasakan.
Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi
terus berlanjut sehingga warna menjadi lebih gelap. Penundaan pengeringan juga menyebabkan pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan steril, karena suhu dan kadar air tersebut sangat disukai mikroba, terutama kapang
Formatted Table
13
dan cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan retak (cracking). Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan
Deleted:
dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah kulit (brown rice), dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh
Deleted: dilaku Deleted: cara
beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan, yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak. Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses penggilingan. Nilai gizi yang tinggi disebabkan oleh proses difusi dan panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat
Deleted: t
sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya aleuron mengakibatkan sedikitnya bekatul dan zat gizi yang hilang (Nurhaeni 1980). Deleted: ¶ ¶
Diabetes Melitus Diabetes melitus (DM)
atau biasa disebut diabet merupakan penyakit
kronik yang timbul karena terlalu banyak glukosa di dalam darah. Dengan kata lain, DM merupakan suatu kelompok gangguan metabolik dengan ciri umum, yaitu hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi). Jenis penyakit ini telah dikenal ribuan tahun yang lalu oleh masyarakat Mesir kuno, seperti dalam Ebers Papirus (± 1500 SM), mengungkapkan beberapa pengobatan terhadap suatu penyakit yang ditandai dengan sering kencing (Pusparaj et al. 2001). Disebutkan bahwa DM diambil dari kata diabetes = mengalir terus, dan melitus = madu, yang berarti minum dan urine yang dikeluarkan mengandung glukosa. DM merupakan penyakit metabolik serius dengan tanda kandungan glukosa darah meningkat sebagai akibat berkurangnya insulin secara relatif maupun absolut. Perubahan ini akan diperburuk dengan meningkatnya sekresi glukagon oleh pankreas ke dalam tubuh (Brody 1999). Klasifikasi Badan kesehatan dunia (WHO), melalui laporan kedua Expert Committee on Diabetes Melitus mengelompokkan diabetes menjadi dua kelompok utama, yaitu Insulin-dependent diabetes mellitus (IDDM) dan Non-insulin-dependent
14
diabetes mellitus (NIDDM) (WHO 1980). Pada IDDM, pankreas tidak menghasilkan insulin dalam jumlah yang cukup, sedangkan NIDDM pankreas masih relatif cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin yang ada tidak bekerja secara baik karena adanya resistensi insulin akibat kegemukan (Dalimartha 2004). Pada tahun 1997, Expert Committee on the Diagnosis dan Classification of Diabetes Melitus (ECDCDM) menyepakati klasifikasi baru diabetes melitus, menjadi DM tipe 1 (yang sebelumnya disebut IDDM atau juvenil diabetes), tipe 2 (sebelumnya disebut NIDDM atau adult-onset) dan gestational diabetes (FosterPowel et al. 2002; Rimbawan & Siagian 2004). Kelompok DM
tipe 1 adalah penderita penyakit DM yang sangat
tergantung pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya masih muda dan tidak gemuk. Gejala biasanya timbul pada masa kanak-kanak dan puncaknya pada masa akil balig (Dalimartha 2004). Sekitar 95% penderita DM tipe 1 terjadi sebelum usia 25 tahun, dengan prevalensi kejadian yang sama pada pria dan wanita. Individu yang mengalami DM tipe 1 mempunyai ciri-ciri polyuria (sering kencing), polydipsia (rasa haus yang terus menerus), dan polyphagia (perasaan lapar yang berlebih). Dalam pengujian glukosa darah, pasien yang mengalami diabetes tipe ini apabila diberi 75 g glukosa secara oral dan sebelumnya telah melakukan puasa selama semalam, konsentrasi glukosa darahnya akan meningkat lebih dari 200 mg/dl. Sedangkan pada individu normal perlakuan yang sama akan meningkatkan glukosa darahnya berkisar 140 mg/dl. glukosa
Tingginya kandungan
darah dalam tubuh, mengakibatkan laju filtrasi glomerulus terhadap
glukosa menjadi berlebih dan urine akan mengandung banyak glukosa (Champe & Harvey 1994). Kelompok DM tipe 2 dicirikan oleh resistensi insulin pada jaringan perifer dan gangguan sekresi insulin dari sel-β pankreas. DM tipe 2 adalah jenis penyakit diabet yang paling lazim dan berkaitan dengan riwayat diabetes keluarga, usia lanjut, obesitas, perubahan pola makan dan aktivitas fisik yang kurang (Wallett et al. 2002). Resistensi insulin dan hiperinsulinemia akan menyebabkan kerusakan toleransi glukosa. Sel-β yang rusak akhirnya menjadi lemah, selanjutnya mendorong intoleransi glukosa dan hiperglikemia (Mayfield 1998). Penyebab terjadinya DM ini belum diketahui dengan pasti, namun individu yang menderita
Deleted: disebabkan oleh insulin yang
15
diabetes, secara metabolik mengalami penurunan sensitivitas insulin akibat disfungsi sel-β pankreas dan insulin resisten (Lebovitz 1999) Gestational diabetes merupakan klasifikasi operasional, bukan klasifikasi berdasarkan kondisi fisiologis. Diabetes yang diderita oleh wanita sebelum hamil disebut pregestational diabetes. Wanita yang mengalami DM tipe 1 pada saat hamil dan wanita dengan asimptomatik DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis dikelompokkan menjadi gestational diabetes. Kebanyakkan wanita penderita gestational diabetes memiliki homeostatis glukosa yang normal selama paruh pertama (sampai bulan kelima) masa hamil. Pada paruh kedua masa hamil (antara bulan keempat dan kelima) mengalami defisiensi insulin relatif. Pada umumnya kadar glukosa darah kembali normal setelah melahirkan. Gestational diabetes dapat meningkatkan resiko DM tipe 2 pada usia lanjut. Diagnosis dan Perubahan Metabolisme Sebagai kriteria diagnosis yang baru, ECDCDM telah menggantikan tes toleransi glukosa oral (oral glucose tolerance test) dengan kadar glukosa plasma puasa (fasting plasma glucose level). Diabetes ditandai dengan kadar glukosa darah ≥ 200 mg/dL atau kandungan glukosa darah puasa (GDP) lebih dari 126 mg/dL. Dalam pengujian glukosa darah 2 jam post prandial (2jPP), penderita diabetes bila diberi 75g glukosa secara oral, dan sebelumnya telah melakukan puasa semalam, maka kadar glukosa darahnya mencapai lebih dari 200 mg/dl. Pada individu normal, GDP < 110 mg/dl dan didiagnosis gangguan homeostatis glukosa
2jPP < 140 mg/dl. Individu
bila GDP antara 110-126 mg/dl
(gangguan glukosa puasa) atau 2jPP antara 140-200 mg/dl (gangguan toleransi glukosa) (Mayfield 1998). Komplikasi Diabetes Melitus Kondisi hiperglikemik kronis dapat menyebabkan terjadinya komplikasi DM. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pengerasan kapiler dan venavena kecil, perubahan retina (kebutaan), pengerasan ginjal (nephosklerosis), pengapuran pembuluh darah besar pada penderita diabetes yang lama dapat menimbulkan atherosklerosis.
16
Kondisi hiperglikemik kronis dapat mendorong produksi radikal bebas yang berlebihan dari proses auto-oksidasi glukosa, progresi protein dan terjadi perubahan kesetimbangan oksidan dan antioksidan tubuh. Pembentukan radikal bebas yang berlebih pada penderita DM dapat memicu penurunan kandungan antioksidan enzimatik tubuh dan kerusakan jaringan. Hal ini dapat mengakibatkan timbulnya atherosklerosis dan katarak (Szaleczky et al. 1999; Ferrari & Torres 2003) Enzim antioksidan dalam tubuh mempunyai fungsi utama sebagai pertahanan sel dengan cara mendekomposisi spesies oksigen reaktif. Perubaham proses metabolisme yang terjadi pada DM akan mempengaruhi fungsi antioksidan tubuh.
Tiga enzim antioksidan utama di dalam tubuh, yaitu superoksida
dismutase (SOD), glutathion peroksidase (Gpx) dan katalase (Cat). Mekanisme perubahan keseimbangan antioksidan tubuh sebagai akibat DM yaitu adanya induksi
terhadap
ekspresi
antioksidan
enzimatis
meningkatnya pengikatan non-enzimatis
saat
fase
glukosa terhadap
transkripsi, protein serta
gangguan ketersediaan mikronutrien (Szaleczky et al. 1999). Penderita DM mempunyai resiko terkena atherosklerosis 2-6 kali lipat dibandingkan individu sehat (Wagenknecht et al. 1998; Gerrity et al. 2001 ). Faktor penyebab terjadinya atherosklerosis pada penderita DM yaitu akselerasi proliferasi sel otot halus arteri dan disfungsi platelet. Proliferasi sel otot halus mendorong pembentukan lesi atherosklerosis lanjut. Hiperinsulinemia dan hiperglikemia dapat menyebabkan akselerasi progresi atherosklerosis. Platelet
Deleted:
merupakan salah satu komponen darah yang mempunyai fungsi untuk pembekuan darah. Pada kondisi DM, platelet mengalami disfungsi dan
hiperaktif untuk
membeku, dan cenderung untuk menempel dan beragregasi dengan endotel.
Pankreas Pankreas
merupakan
organ
yang
mempunyai
dua
fungsi,
yaitu
menghasilkan enzim pencernaan dan hormon. Sebagian besar massa sel pankreas merupakan sel-sel acinar, berfungsi sebagai penghasil enzim pencernaan, sisanya sel-sel penghasil hormon (pulau Langerhans). Enzim-enzim pencernaan yang disekresikan oleh pankreas adalah: α-amilase (menghidrolisis pati Æ dekstrin +
Deleted: berfungsi
17
maltosa); lipase (menghidrolisis trigliserida Æ monogliserida + asam lemak + gliserol); fosfolipase (menghidrolisis lesitin Æ lisolesitin + asam lemak); kolesterol ester hidrolase/esterase (menghidrolisis ester kolesterol ÅÆ kolesterol bebas + asam lemak; tripsin (menghidrolisis protein/polipeptida Æ peptida kecil); kimotripsin (menghidrolisis protein/polipeptida Æ peptida kecil); elastase (menghidrolisis
protein
fibrous);
kolagenase
(menghidrolisis
kolagen);
ribonuklease (menghidrolisis RNA Æ nukleotida) dan dioksiribonuklease DNA Æ nukleotida). Pulau Langerhans merupakan kumpulan sel ovoid berukuran 76 x 0.2 μm yang tersebar di seluruh pankreas dan berbentuk seperti pulau. Sel pulau Langerhans mensekresikan empat macam peptida yang mempunyai aktivitas hormon, yaitu glukagon, insulin, somatostatin dan peptida pankreas. Insulin dan glukagon merupakan hormon yang berperan dalam metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Kedua hormon tersebut berlawanan dalam keseluruhan fungsinya. Insulin disekresikan oleh sel-α bersifat anabolik, meningkatkan simpanan glukosa, protein dan lemak. Glukagon disekresikan oleh sel-β bersifat katabolik, memobilisasi glukosa, asam lemak dan asam amino dari tempat penyimpanan ke dalam darah. Somatostatin berperan dalam pengaturan sekresi insulin dan glukagon, sedangkan peptida pankreas lainnya belum diketahui benar fungsinya. Insulin Insulin merupakan suatu hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel-β dari pulau Langerhans dan merupakan kelompok sel yang terdiri dari 1%
massa
pankreas. Insulin adalah salah satu hormon terpenting yang mengkoordinasikan penggunaan energi oleh jaringan.
Efek metaboliknya ialah anabolik, seperti
sintesis glikogen, triasilgliserol, dan protein (Champe & Harvey 1994). Struktur Insulin. Insulin dibentuk oleh 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai polipeptida (rantai A dan rantai B). Rantai A dihubungkan dengan rantai B melalui jembatan disulfida. Molekul insulin juga mengandung jembatan disulfida intramolekuler antara residu asam amino 6 dan 11 pada rantai A. Struktur insulin manusia berbeda dengan struktur insulun babi atau sapi. Pada
18
rantai A, posisi asam amino treonin dan isoleusin (residu ke 8 dan ke 10) pada insulin manusia, berturut-turut digantikan oleh alanin dan valin. Sementara treonin pada ujung-C (C-terminal) rantai B digantikan oleh alanin. Insulin babi berbeda dengan manusia hanya pada ujung-C rantai B, yaitu alanin menggantikan treonin pada insulin manusia (Champe & Harvey 1994). Secara alami, kebutuhan insulin di dalam tubuh dipenuhi dengan mensintesisnya (biosintesis) dari dua prekursor (bahan dasar insulin), yaitu preproinsulin dan proinsulin. Sintesis ini berlangsung pada sitoplasma sel-β pankreas. Pengaturan Sekresi Insulin.
Pengaturan sekresi insulin
merupakan
proses kunci dalam pengendalian kadar glukosa darah. Mekanisme sekresi insulin juga berperan dalam pengendalian kadar trigliserida plasma. Sekresi insulin oleh sel-β pulau Langerhans pankreas dikoordinasikan dengan pelepasan glukagon dari sel-α pankreas. Jumlah relatif insulin dan glukagon yang dilepaskan oleh pankreas diatur sehingga laju pembentukan glukosa di hati dijaga agar sama dengan laju penggunaan glukosa oleh jaringan perifer. Dari peran koordinasinya,
sel-β
merespon berbagai rangsangan. Secara khusus, sekresi insulin ditingkatkan oleh glukosa, asam amino, hormon gastrointestinal dan glukagon. Sel-β merupakan pengindera utama glukosa di dalam tubuh. Asupan glukosa atau makanan kaya karbohidrat mengakibatkan
peningkatan kadar
glukosa darah. Hal ini merupakan penanda untuk sekresi insulin atau penurunan pelepasan glukagon.
Glukosa merupakan stimulan terpenting untuk sekresi
insulin. Bahan lain non-glukosa yang juga mampu menstimulir pelepasan insulin dengan suatu mekanisme yang berbeda, antara lain beberapa asam-asam amino. Pada manusia, asam-asam amino, arginin, leusin, lisin dan penilalanin secara intravena merupakan bahan yang kuat untuk menstimulir palepasan insulin. Asupan protein menyebabkan peningkatan sementara kadar asam amino plasma. Krisetiana et al. (2001) melaporkan bahwa selain arginin, metionin juga menunjukkan adanya kecenderungan dalam menstimulasi sekresi insulin. Hormon peptida intestinal
dan hormon-hormon gastrointestinal
lain
merangsang sekresi insulin. Hormon ini dilepaskan setelah asupan pangan yang menyebabkan peningkatan insulin, sebelum terjadi peningkatan aktual kadar
19
glukosa darah. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah glukosa yang sama yang diberikan secara oral menginduksi lebih banyak sekresi insulin daripada diberikan secara intravena. Glukosa menstimulir sekresi insulin dan menghambat pelepasan glukagon. Aksi yang terakhir ini sangat penting bagi penderita DM tipe 1, karena kerusakan sel-β menghilangkan efek penghambatan dalam pelepasan glukagon oleh insulin. Sintesis dan pelepasan insulin berkurang saat kekurangan pangan dan selama periode trauma. Efek ini diperantarai oleh epineprin yang disekresi oleh medulla adrenal
untuk merespon stres, trauma atau aktivitas fisik ekstrem.
Epineprin mempunyai efek langsung terhadap metabolisme energi yang menyebabkan mobilisasi cepat pada bahan pembentuk energi, termasuk glukosa dari hati dan lemak dari jaringan adiposa. Epineprin juga dapat mengesampingkan pelepasan insulin secara
normal
dengan rangsangan glukosa. Jadi, dalam
keadaan darurat, sistem syaraf simpatetik menggantikan kosentrasi plasma glukosa sebagai pengendali sekresi insulin oleh sel-β. Mekanisme Kerja Insulin. yang memiliki afinitas
Insulin berikatan dengan reseptor spesifik
(reaktivitas) tinggi pada membran sel kebanyakan
jaringan, termasuk hati, otot, dan adiposa. Ini merupakan tahap pertama aliran reaksi yang akhirnya menuju kepada susunan aksi biologis yang beranekaragam. Pengikatan insulin menimbulkan aksi luas. Respon yang paling cepat ialah peningkatan transpor glukosa ke dalam sel yang terjadi segera setelah insulin berikatan dengan reseptor membran (Champe & Harvey 1994). Sesaat setelah glukosa terserap dan masuk ke dalam sistem peredaran darah, maka glukosa akan segera terdistribusi ke seluruh jaringan tubuh. Dampak tersebarnya glukosa ke seluruh tubuh akan meningkatkan keberadaan insulin pada jaringan tersebut.
Mekanisme klasik kerja insulin ialah meningkatkan
pemindahan glukosa darah menuju otot dan mencegah proses glikogenolisis, glukoneogenesis dalam hati dan lipolisis pada jaringan adiposa (Gambar 2). Proses ini akan diikuti dengan penyimpanan dan pembentukan glikogen dalam sel otot (Bessesen 2001). Reseptor yang dikenali dan diikat oleh insulin, merupakan reseptor spesifik yang terdapat pada jaringan hati, otot dan adiposa. Reseptor insulin disintesis
20
sebagai polipeptida tunggal. Reseptor tersebut diglikosilasi dan dipecah menjadi sub-unit α dan β, kemudian dirangkai menjadi ikatan tetramer oleh ikatan disulfida. Domain hidrofobik pada masing-masing sub-unit β merenggangkan membran plasma. Sub-unit α ekstraseluler mengandung sisi pengikat insulin (insulin binding site). Domain sitisolik sub-unit β adalah tirosin kinase yang diaktifkan oleh insulin (Champe & Harvey 1994; Rimbawan & Siagian 2004). Efek membran dari hadirnya insulin yaitu meningkatnya transpor glukosa pada berbagai jaringan, seperti otot skeletal dan adiposa. Pengikatan insulin pada sub-unit α menginduksi perubahan komformasi yang ditransduksikan ke sub-unit β. Pengikatan ini mendorong autofosforilasi residu tirosin spesifik yang cepat dari setiap sub-unit β. Substrat insulin reseptor yang telah terfosforilasi akan menstimulasi vesicle yang mengandung glukosa transporter untuk dipindahkan ke membran sel. Keberadaan glukosa transporter akan memfasilitasi proses difusi glukosa untuk masuk ke dalam sel. Bessesen (2001) menyatakan bahwa masuknya glukosa ke dalam sel akan memberikan efek pertumbuhan dan metabolik.
Hati Glikogenolisis Glukoneogenesis
Karbohidrat
Pankreas
Insulin Glukosa ALB
Saluran Pencernaan
Jaringan Adiposa
Otot Skeletal
Gambar 2. Mekanisme klasik kerja insulin (Bessessen 2001) Pengikatan insulin diikuti oleh internalisasi kompleks hormon-reseptor. Di bagian sisi dalam sel, insulin didegradasi di
dalam lisosom.
Reseptor
21
kemungkinan didegradasi, namun lebih banyak di daur ulang ke permukaan sel. Taraf insulin yang meningkat akan mendorong pendegradasian reseptor, kemudian menurunkan jumlah reseptor insulin pada permukaan. Sekresi Insulin pada Kasus Diabetes.
DM tipe 1 dicirikan dengan
kekurangan insulin absolut akibat dari kerusakan disebabkan oleh autoimmun
sel-β.
Kerusakan tersebut
Deleted:
secara besar-besaran. Proses perusakan ini
membutuhkan stimulan dari luar (misal infeksi virus) dan determinan genetik. Tlymphocyte
teraktifkan dan merembes ke pulau Langerhans sehingga
menyebabkan suatu keadaan yang disebut insulitis. terserang aotuimmun, terjadi penurunan perlahan-lahan
Setelah beberapa tahun jumlah sel-β. Gejala
akan nampak secara tiba-tiba ketika 80-90 % sel β telah rusak. Pada keadaan ini, pankreas gagal merespon glukosa dari makanan. Terapi insulin dibutuhkan untuk mengembalikan pengendalian metabolik (Champe & Harvey 1994). Pada DM tipe 2, pankreas menahan kapasitas sel-β yang mengakibatkan taraf insulin bervariasi dari di bawah normal sampai di atas normal. Namun, pada semua kasus, sel-β mengalami gangguan fungsi karena gagal mensekresikan insulin untuk memperbaiki hiperglikemia. Resistensi Insulin. Resistensi insulin merupakan kelainan metabolik yang
Deleted: a
dicirikan oleh menurunnya sensitivitas jaringan terhadap insulin (Kendall & Harmel 2002). Brady dan Saltiel (1999) mengatakan bahwa resistensi insulin adalah keadaan dimana konsentrasi insulin
Deleted: a
yang dihasilkan normal, namun
respon biologisnya rendah. Keadaan ini terjadi ketika jaringan gagal merespon insulin secara normal. DM tipe 2 sering disertai oleh resistensi insulin pada organ
Deleted: a
sasaran yang mengakibatkan penurunan responsivitas, baik terhadap insulin endogenous maupun eksogenous.
Sebagai contoh, resistensi insulin di hati
Deleted: a
menyebabkan produksi glukosa hepatik (glukoneogenesis) tidak terkendali. Pada
Formatted: German (Germany)
otot dan jaringan adiposa, resistensi insulin mengakibatkan penurunan ambilan
Deleted: a
glukosa oleh jaringan tersebut (Gambar 3). Resistensi insulin yang berkembang secara terus-menerus akan mengakibatkan sekresi insulin oleh sel-β mengalami gangguan (Cefalu 2001).
Deleted: a
Formatted: German (Germany)
22
Hati Glikogenolisis Glukoneogenesis
Karbohidrat
Pankreas
Insulin Glukosa ALB
X
Saluran Pencernaan
Jaringan Adiposa
Otot Skeletal
Gambar 3. Hubungan organ dalam resistansi insulin
Indeks Glikemik Pangan Pengertian dan Konsep Indeks Glikemik Hasil penelitian tahun 1980-an menunjukkan bahwa kecepatan pencernaan karbohidrat di dalam saluran pencernaan berpengaruh penting pada pemahaman peran karbohidrat bagi kesehatan. Tidak setiap karbohidrat bekerja dengan cara yang sama. Indeks glikemik (IG) memberi petunjuk kepada efek faali makanan pada kadar glukosa darah dan respon insulin (Rimbawan & Siagian 2004). IG memberikan cara yang lebih mudah dan efektif dalam mengendalikan fluktuasi kadar glukosa darah. Indeks glikemik pangan merupakan tingkatan pangan menurut efeknya terhadap kadar glukosa darah. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat, memiliki IG tinggi. Sebaliknya pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat, memiliki IG rendah. Sebagai pembanding, IG glukosa murni ialah 100. IG beberapa bahan sumber karbohidrat disajikan pada Tabel 2. Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar glukosa darah dan respon insulin, yaitu karbohidrat berdasarkan IG-nya, dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan. Jenkins et al. (1981) menguji IG berbagai jenis pangan (Willett et al. 2002). Hasil yang diperoleh sangat menarik. Ternyata, es krim walaupun kaya Halaman
23
akan gula, pengaruhnya terhadap kenaikkan kadar glukosa darah lebih kecil dibandingkan dengan kenaikkan glukosa darah akibat mengonsumsi roti biasa. Hingga 15 tahun kemudian, para peneliti medik dan ilmuwan di seluruh dunia menguji pengaruh berbagai jenis pangan terhadap kadar glukosa darah dan mengembangkan konsep baru dalam pengelompokkan karbohidrat. Dengan mengetahui IG pangan, penderita DM dapat memilih makanan yang tidak menaikkan kadar glukosa darah secara drastis, sehingga kadar glukosa darah dapat dikontrol pada tingkat yang aman. Makanan dengan IG rendah akan membantu orang untuk mengendalikan rasa lapar, selera makan dan kadar glukosa darah.
Tabel 2. Indeks glikemik beberapa pangan sumber karbohidrat Jenis pangan
Indeks glikemik*)
Ukuran saji (g)
59 69 41
150 150 150
33 43 40
20 30 16
58 51
150 150
38 38
22 19
88 37 46
150 150 150
43 39 42
38 14 19
87
150
42
36
42 15-21 29-45 73-97 54-68
150 150 150 150 150
33 6 36 30 28
14 1 13 26 17
1. Jagung manis (Kanada) 2. Beras putih,ditanak (India) 3. Beras panjang ditanak 5 menit (Kanada) 4. Beras Basmati putih,ditanak 5. Parboiled rice, amilosa 12% (Bangladesh, var. BR2) 6. Ketan, amilosa 0-2% (Australia) 7. Beras Bangladesh, amilosa 28% 8. Beras putih instan, ditanak 1 menit (Kanada) 9. Beras putih instan, ditanak 6 Menit (Australia) 10.Terigu, biji utuh (Kanada) 11. Kedelai 12.Ubikayu rebus (New Zealand) 13.Kentang panggang 14.Ubijalar Sumber: Foster-Powell et al. (2002)
Kadar KH (g/Uk saji)
Beban glikemik
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Indeks Glikemik Pangan Berbagai faktor dapat menyebabkan IG pangan yang satu berbeda dengan pangan lainnya.
Bahkan, pangan jenis yang sama
bila diolah dengan cara
berbeda, dapat memiliki IG yang berbeda, karena pengolahan dapat menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Dampak dari perubahan tersebut antara lain ialah perubahan daya serap zat gizi.
Pengolahan pada umumnya
meningkatkan daya cerna pangan. Semakin cepat karbohidrat dapat diserap tubuh, maka IG nya semakin tinggi. Sebagai contoh, beras mempunyai kisaran IG sangat luas, dari IG rendah (< 50) sampai IG tinggi (>70). Bahkan, beras Yasmin dari
Deleted: didihkan Deleted: didihk Deleted: didihk
Deleted: y
24
Thailand yang dimasak dengan rice cooker mempunyai IG lebih tinggi daripada glukosa (Foster-Powell et al. 2002). Hal ini menunjukkan bahwa beras memiliki jenis varietas yang sangat banyak. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap IG pangan, yaitu proses pengolahan, perbandingan amilosa dan amilopektin, kadar gula dan daya osmotik, kandungan serat, kandungan lemak dan protein serta kandungan zat antigizi (Miller et al. 1996; Rimbawan & Siagian 2004) . 1. Proses Pengolahan. Pada masa sebelum teknologi pengolahan pangan berkembang pesat seperti saat ini, masyarakat mengonsumsi pangan dengan pengolahan yang sangat sederhana, misalnya dengan membakar atau merebus. Mereka mengonsumsi pangan sumber karbohidrat dari serealia, kacang-kacangan dan umbi-umbian.
Proses pengolahan serealia dan kacang-kacangan sangat
sederhana, yaitu ditumbuk lalu dimasak (Miller et al.
1996). Pangan yang
diproses dengan cara tersebut akan dicerna dan diserap dengan lambat, sehingga kadar glukosa darah meningkat secara perlahan. Saat ini, teknologi pengolahan pangan sangat berbeda. Teknik proses pangan saat ini menjadikan pangan dalam bentuk dan ukuran yang lebih mudah
Deleted: i
dicerna serta mempunyai rasa bervariasi dan tentunya jauh lebih enak. Proses penggilingan menyebabkan struktur pangan menjadi lebih halus, permukaan menjadi lebih luas, sehingga pangan tersebut menjadi lebih mudah dicerna dan diserap. Penyerapan yang cepat mengakibatkan timbulnya rasa lapar. Pangan yang mudah dicerna dan diserap akan menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat. Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat ini akan menstimulir pankreas untuk mensekresikan insulin lebih banyak. Oleh karena itu kadar glukosa darah yang tinggi juga meningkatkan respon insulin (Ostman et al. 2001). Ukuran pengolahan
partikel yang
dan
tingkat
berpengaruh
gelatinisasi
terhadap
IG
merupakan pangan.
faktor-faktor
Ukuran
partikel
mempengaruhi proses gelatinasi pati. Penumbukan dan penggilingan biji-bijian akan memperkecil ukuran partikel sehingga lebih mudah menyerap air. Ukuran butiran pati yang semakin kecil semakin mudah terdegradasi oleh enzim sehingga semakin mudah dicerna dan diserap. Oleh karena itu, semakin kecil ukuran partikel maka IG pangan semakin tinggi. Liljeberg et al. (1992) menyebutkan bahwa butiran utuh serealia, misalnya gandum, menghasilkan respon glukosa dan
Deleted: k
25
insulin yang rendah. Ketika butiran tersebut digiling sebelum direbus, maka respon glukosa dan insulin postprandial mengalami
peningkatan bermakna.
Kenaikkan kadar gula darah postprandial tepung terigu halus > tepung terigu kasar > biji gandum pecah > biji gandum utuh. 2. Kadar Amilosa dan Amilopektin. Golongan karbohidrat yang paling banyak dikonsumsi oleh manusia ialah
pati, polisakarida dan selulosa yang
berasal dari tanaman serta glikogen yang berasal dari hewan. Amilosa merupakan salah satu parameter penting yang menentukan mutu tanak dan mutu rasa beras. Oleh karena itu, dalam melepas varietas padi baru, amilosa menjadi salah satu komponen yang harus dianalisis. Berdasarkan kadar amilosanya beras dibagi menjadi tiga golongan, yaitu beras pera (kadar amilosa 25-30%), sedang (20-25%) dan pulen (10- <20%) (Kush et al. 1986). Pati dan glikogen dihidrolisis sempurna oleh aktivitas enzim yang terdapat dalam saluran pencernaan, menjadi unit pembangunnya D-glukosa bebas (Lehninger 1982). Pati terdiri dari amilosa dan amilopektin. Amilosa merupakan polimer gula sederhana yang tidak bercabang. Struktur yang lurus ini membuat amilosa dapat dihidrolisis sempurna oleh satu enzim saja (α-amilase), dengan kata lain mudah dicerna. Sedangkan amilopektin merupakan polimer gula sederhana yang mempunyai cabang dan memiliki ukuran molekul lebih besar dibandingkan dengan amilosa. Oleh karena itu untuk menghidrolisis amilopektin diperlukan dua enzim, yaitu α-amilase dan α(1 Æ 6) glukosidase ), sehingga lebih sulit dan lama dicerna (Lehninger 1982 ). Berdasarkan pengertian diatas, maka pangan yang mengandung amilopektin tinggi akan memiliki daya cerna rendah. Hal ini berarti pula bahwa IG nya juga rendah. Pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa ketan (kadar amilopektinnya tinggi, yaitu lebih dari 90%) memerlukan waktu pemasakan lebih lama, susah dicerna dan laju pengosongan lambung lebih lambat. 3. Kadar Gula. Orang awam sering menganggap sukrosa (gula meja/gula tebu) dapat menaikkan kadar glukosa darah secara cepat. Hal ini ditunjang oleh beberapa publikasi populer yang menyatakan bahaya konsumsi gula tebu (Willett et al. 2002) Padahal gula tebu memiliki IG sedang (65) dan ternyata menaikkan
Deleted: ( Deleted: malto dekstrin
26
kadar glukosa darah tidak lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat kompleks lain, seperti roti. Sukrosa merupakan disakarida yang dibentuk oleh satu molekul fruktosa dan satu molekul glukosa. Dalam pencernaan, disakarida diuraikan oleh enzim-enzim yang terletak di bagian luar lapisan sel-sel epitel yang membatasi usus halus. Sukrosa dihidrolisis menjadi D-glukosa dan D-fruktosa oleh enzim sukrase atau invertase (Lehninger 1982). Fruktosa diserap dan diambil langsung ke hati. Di dalam hati kebanyakan fruktosa diubah secara perlahan menjadi glukosa. Oleh sebab itu, respon gula darah terhadap fruktosa murni sangat kecil (IG = 23) (Foster-Powell, et al. 2002). Hal ini mengakibatkan respon gula darah terhadap 50 gram gula meja sekitar setengah dari responnya terhadap pati yang tergelatinisasi penuh (hampir seluruh molekulnya adalah glukosa). Pangan yang mengandung sukrosa dalam jumlah besar memiliki IG mendekati 60. Madu (sebagian besar sukrosa) memiliki IG = 58, namun ada jenis madu yang mempunyai IG diatas gula meja, yaitu 87. Hal ini kemungkinan jenis madu yang tidak murni, campuran dengan sirup glukosa (Rimbawan & Siagian 2004). Beberapa jenis buah memiliki IG rendah, misalnya cerri (IG = 22), apel dan pear (IG = 38) serta plum (IG = 39). Namun ada juga buah yang memiliki IG relatif tinggi (semangka, IG = 72). 4. Kadar Serat Pangan. Serat pangan didefinisikan sebagai dinding sel tumbuhan yang tahan terhadap hidrolisis oleh enzim di dalam usus halus manusia, meliputi polisakarida bukan pati (non starch polysaccharide) dan lignin (Trowell et al. 1976, diacu dalam Marsono 2004).
Definisi tersebut telah mengalami
beberapa kali perubahan karena tinjauan struktur kimia maupun efek fisiologis serat pangan. Definisi terbaru diberikan oleh The American Association of Cereal Chemistry (AACC) pada tahun 2001, yang
menyatakan bahwa serat pangan
adalah bagian tumbuhan yang dapat dimakan atau analog dengan karbohidrat, yang tahan terhadap pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus manusia dan mengalami fermentasi sebagian atau seluruhnya di dalam usus besar.
Serat
pangan meliputi polisakarida, karbohidrat analog, oligosakarida, lignin, dan bahan yang terkait dengan dinding sel tanaman (Marsono 2004). Komponen tersebut dapat dikelompokkan menjadi serat larut dan tidak larut, atau terfermentasi dan tidak terfermentasi. Serat pangan tidak larut diartikan sebagai serat pangan yang
Deleted: f
27
tidak dapat larut di dalam air panas maupun air dingin (Muchtadi 2001). Kelompok terfermentasi berkaitan dengan bisa tidaknya serat diuraikan oleh bakteri anaerob. Fermentasi berlangsung di dalam usus besar untuk menghasilkan asam lemak berantai pendek, yang dapat diserap dan digunakan sebagai sumber energi, serta gas-gas metan dan hidrogen. Efek fisiologis serat, ada yang diperkirakan mempengaruhi pengaturan energi. Kandungan energi per unit bobot pangan adalah rendah. Oleh karena itu, penambahan serat pada diet efektif menurunkan kerapatan (densitas) energi, terutama serat larut karena serat tersebut mengikat air. Pangan berserat tinggi juga meningkatkan distensi (pelebaran) lambung yang berkaitan dengan peningkatan rasa kenyang. Serat terfermentasi juga mendorong produksi hormon usus, seperti glucagon-like peptide-1 yang berkaitan dengan sinyal lapar. Jadi beberapa serat, terutama yang lebih larut (misalnya serat terfermentasi dari buah
Deleted: .
dan sayur) menurunkan penyerapan seluruh lemak dan protein (Howart et al. 2001). 5. Kadar Lemak dan Protein Pangan. Pangan yang mengandung lemak dan protein tinggi cenderung memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga pencernaan makanan di usus halus juga di perlambat. Oleh karena itu, pangan berkadar lemak tinggi cenderung mempunyai IG lebih rendah dibandingkan dengan pangan sejenis, berlemak rendah. Misalnya kentang goreng IG nya lebih rendah (IG = 44–58) dibandingkan dengan kentang panggang/ bakar (IG = 73-97); susu full fat Italy (IG = 11) dan susu skim Kanada (IG = 27-37) (Foster-Powell et al. 2002). Namun kecenderungan ini tidak selalu sama, karena pengolahan dan varietas juga berpengaruh terhadap IG pangan. Pangan berlemak tinggi, apapun jenis dan IG-nya rendah maupun tinggi, perlu dikonsumsi secara bijaksana. Konsumsi protein untuk kebanyakan orang berubah dengan kisaran sempit. Asupan lemak yang rendah akan digantikan oleh karbohidrat. Peningkatan laju penyerapan karbohidrat yang menyebabkan peningkatan IG setelah mengonsumsi pangan berkadar lemak rendah disebabkan karena tertundanya laju pengosongan lambung oleh lemak (Rimbawan & Siagian 2004).
Deleted: .
28
6. Kadar Antigizi Pangan.
Bahan pangan secara alami ada yang
mengandung senyawa-senyawa yang bersifat toksik
bila dikonsumsi dalam
jumlah besar, misalnya sianida pada ubikayu (terutama jenis pahit). Beberapa bahan pangan mengandung senyawa yang berpotensi menyebabkan efek merugikan status gizi, yang disebut sebagai zat antigizi (Rimbawan & Siagian
Formatted: German (Germany)
2004). Kacang-kacangan mengandung antigizi, antara lain antitripsin, saponin, hemaglutinin, fitat maupun polifenol. Disisi lain, antigizi juga dapat bermanfaat. Kandungan antitripsin dan fitat di dalam kedelai menyebabkan jenis kacangkacangan ini dapat digunakan sebagai pangan antidiabetes (Noor 2003). Asupan asam fitat dan lektin menunjukkan korelasi negatif terhadap respon glukosa darah
Formatted: German (Germany)
(Yoon et al. 1983; Thompson et al. 1984). Penambahan asam fitat pada tepung terigu secara in vitro menunjukkan penurunan pelepasan glukosa secara nyata (Yoon et al. 1983). Asam fitat (myo-inositol haksakisfosfat) merupakan bentuk utama fosfat
Formatted: Font: Italic Formatted: German (Germany) Formatted: German (Germany)
tersimpan dalam biji-bijian dan serbuk sari. Asam fitat dikatagorikan sebagai antigizi karena mempunyai bagian yang sifatnya sebagai pengkelat yang kuat. Asam fitat membentuk ikatan dengan mineral-mineral penting, seperti Zn, Ca, Mg, dan Fe, menjadi bentuk yang tidak terlarut, sehingga menurunkan bioviabilitasnya di dalam saluran pencernaan (Greiner et al. 1993). Asam fitat membentuk garam-garam kompleks yang disebut fitin. Pada biji-bijian, fitin terlokalisasi di dalam aleuron dan endosperm, sedangkan pada kacang-kacangan terdapat pada kotiledon (Singh & Reddy 1977). Senyawa polifenolik sering juga disebut dengan tannin merupakan agen pereduksi yang kuat
Formatted: German (Germany)
dan banyak terkandung di dalam tanaman pangan
(Thompson et al. 1984). Senyawa ini dapat membentuk kompleks dengan protein sehingga menurunkan daya cerna protein dan mutu protein. Polifenol juga dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan sehingga dapat menurunkan daya cerna pati (Deshpande & Salunke 1982). Berdasarkan sifat-sifat tersebut, polifenol yang terkandung didalam teh berpotensi menurunkan daya cerna pati beras.
Deleted: Dengan analog antigizi Deleted: juga Deleted: sebagai antidiabetes
Pemanasan dapat menurunkan aktivitas antigizi. Namun, beberapa antigizi tetap aktif walaupun telah melalui proses pemasakan. Zat antigizi pada biji-bijian dapat memperlambat pencernaan karbohidrat di dalam usus halus, sehingga
Deleted: karbohidrat
29
menurunkan IG pangan tersebut. Kacang-kacangan mengandung zat antigizi, oleh karena itu IG kacang-kacangan umumnya rendah. Sebagai contoh, IG kacang
Deleted: Hal ini dapat menerangkan kenapa
merah 24 - 32, IG kedelai 15 - 21, IG kacang tanah 23 dan IG kacang hijau 32 (Foster-Powell et al. 2002; Marsono et al. 2002). Hal ini diperkuat dengan daya cerna kacang-kacangan yang juga rendah (50-65 %).
Tanaman Teh Botani dan Produk Teh Tanaman teh berasal dari negeri China dan telah dikenal lebih dari 1500 tahun yang lalu. Tanaman teh yang tumbuh liar (tidak dibudidayakan)
Deleted:
menghasilkan bunga dan buah, tetapi sangat sedikit pucuk daun yang dapat dibuat minuman teh. Pada budidaya secara komersial, tanaman teh dipertahankan tingginya sekitar satu meter dengan cara pemangkasan, untuk kenyamanan pemetikan daun muda (pucuk). Linnaeus menggolongkan tanaman teh dalam klas Thea sinensis, spesies Camellia. Terdapat dua varietas utama, yaitu Camellia sinensis varietas sinensis (var. China) dan
Deleted: e
Camellia sinensis varietas assamica
(var. Assam). Perbanyakkan dapat dilakukan secara generatif maupun vegetatif
Formatted: German (Germany)
(Hara et al. 1995).
Deleted: bis
Jenis produk teh yang banyak dikonsumsi masyarakat internasional, yaitu
Formatted: German (Germany)
teh hitam dan teh hijau. Jenis lain yang diproduksi dan dikonsumsi dalam jumlah
Formatted: German (Germany)
lebih sedikit dari dua jenis tersebut, yaitu teh instan, teh oolong dan pouchong. Perbedaan jenis teh diatas didasarkan pada tingkat fermentasinya. Teh hitam difermentasi sempurna, teh hijau tidak mengalami fermentasi, teh oolong dan pouchong berturut-turut mengalami fermentasi setengah dan seperempat sempurna. Teh hitam dibedakan menjadi dua, yaitu tanpa aroma (plain) dan beraroma (flavory) (Hara et al. 1995; Balentine & Paetau-Robinson 2000). Di Indonesia, masyarakat pada umumnya mengonsumsi teh wangi, dalam bentuk potongan daun kering yang difermentasi penuh dan diberi aroma bunga melati atau gambir.
30
Kandungan Kimia Teh dan Peran dalam Kesehatan Pengolahan daun teh segar menjadi berbagai produk menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi yang ditandai oleh perbedaan warna, aroma dan flavor pada teh hitam, teh hijau, oolong dan pouchong. Teh mengandung
Deleted: dengan Deleted:
flavonoid dan methylxanthine, yang merupakan komponen bioaktif yang sangat penting dalam flavor teh dan potensi peranan teh sebagai minuman yang dapat membantu mencegah penyakit kronis seperti cancer (Dreosti 1996) dan penyakit kardiovaskuler (Tijburg et al. 1997). Sifat flavonoid antara lain berfungsi sebagai
Formatted: Finnish
antioksidan . Flavonoid merupakan famili fenolik tanaman yang tersebar luas di dalam
Deleted: y
Formatted: Finnish
buah-buahan, sayuran dan minuman. Contoh flavonoid antara lain katekin yang
Formatted: Finnish
terkandung di dalam teh; anthocyanin di dalam blueberrie, anggur dan wine;
Formatted: Finnish
isoflavon pada kedelai dan flavonol pada bawang merah, apel dan teh. Komponen
Formatted: Finnish Deleted: dalam
flavonoid utama yang terkandung di dalam daun teh segar ialah catechin (flavan-
Formatted: Finnish
3-ols) (Gambar 4.), dan flavonol (Gambar 5.). Kadar flavonoid mencapai lebih
Deleted: utama
dari 30% berat daun kering, dan Epigalokatekin galat (EGCG) merupakan katekin
Formatted: Finnish Formatted: Finnish
yang paling banyak terkandung di dalam produk-produk teh. Secangkir teh hijau
Deleted: .
dan oolong mengandung
Formatted: Finnish
EGCG 30-130 mg, sedangkan secangkir teh hitam
mengandung 0-70 mg EGCG. Kandungan flavonol, seperti quercetin, kaemferol dan myricetin, jauh lebih sedikit dibandingkan dengan katekin, yaitu 5-15 mg/cangkir teh (Balentine & Paetau-Robinson 2000).
Gambar 4. Komponen katekin (flavan-3-ols) utama dalam teh
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Deleted: ¶
31
Teh hijau diproduksi menggunakan proses thermal, seperti uap atau pemanasan kering untuk menginaktifkan enzim yang mengoksidasi catechin menjadi flavonoid yang lebih komplek, yang merupakan karakteristik dari teh hitam dan oolong (Hara et al. 1995; Chen et al. 2003).
Namun, beberapa
oksidasi katekin terjadi selama proses pelayuan yang merupakan ciri khas teh hijau, dan 20-30% dari total flavonoid di dalam teh hijau akan menjadi produk oksidasi katekin yang merupakan karakteristik teh hitam dan oolong. Sejumlah kecil theaflavin, yang merupakan flavonoid yang mencirikan teh hitam dan oolong juga terdapat di dalam teh hijau. Teh hitam mengandung beberapa flavonoid unik, yang merupakan hasil dari porses fermentasi, yaitu theaflavin, theasinensin (bisflavonol), theaflagallin, dan thearubigen.
Gambar 5. Komponen flavonol utama dalam teh Teh hijau merupakan minuman yang populer di Asia Timur, dan digunakan sebagai obat herbal di Eropa dan Amerika Utara, Teh hitam lebih banyak di konsumsi di negara-negara Barat (Tsuneki et al. 2004). Teh hijau mempunyai peranan sebagai antiinflamasi, antioksidatif, antimutagenik dan antikarsinogenik dan dapat mencegah penyakit kardiovaskuler. Konsumsi teh hijau secara rutin dapat mencegah timbulnya penyakit DM tipe 2 (Tsuneki et al. 2004). Polifenol yang terkandung di dalam teh (katekin, epikatekin, epigalokatekin dan
Deleted:
32
Epigalokatekin galat) mempunyai sifat sebagai antioksidan. Polifenol mempunyai kemampuan menangkap radikal bebas seperti peroksinitrit (ONNO-), dan superoksida (O2-) (Malinski et al. 1993). Kerusakan oksidatif sel dan jaringan oleh spesies nitrogen reaktif dan oksigen reaktif berperan dalam timbulnya penyakit kronis termasuk kanker, penyakit kardiovaskuler dan diabetes (Wickremasinghe 1976; Balentine & Paetau-Robinson 2000). Menu makan kaya nabati dapat menurunkan resiko kejadian penyakit kronis diatas. Sedangkan serat, vitamin dan mineral merupakan nutrien penting di dalam diet yang menyehatkan. Teh merupakan minuman berbasis tanaman yang mengandung flavonoid dan fitokimia yang mempunyai aktivitas biologi lain, sehingga teh merupakan bagian dari menu sehat. Tabel 3. Potensi antioksidan relatif dari vitamin, teh, flavonoid dan karotenoid (Balentine & Paetau-Robinson 2000) Antioksidan
Trolox Equivalent Antioxidant Capacity (TEAC mM)*
Vitamin Asam askorbat 1.0 Vitamin E 1.0 Teh Teh hijau (1.000 ppm teh) 3.8 The hitam (1.000 ppm teh) 3.5 Katekin Epigalokatekin 3.8 Epikatekin galat 4.9 Epigalokatekin galat 4.8 Flavonol Quercetin 4.7 Rutin 2.4 Theaflavins Theaflavin 2.9 Theaflavin 3-monogalat 4.7 Theaflavin 3’-monogalat 4.8 Theaflavin digalat 6.2 Karotenoid Likopen 2.9 β-karotin 1.9 Lutein 1.5 * TEAC is the millimolar concentration of a Trolox Solution having the antioxidant capacity equivalent to a 1.0 mM solution of the substance under investigation.
Flavonoid yang terkandung di dalam teh berperan melawan spesies oksigen reaktif dan radikal bebas dengan berbagai makanisme, antara lain delokalisasi
Deleted: Flavonoid dalam teh melawan spesies oksigen reaktif dan radikal bebas dengan berbagai makanisme, antara lain delokalisasi elektron dan formasi ikatan hidrogen intramolekuler (Van Aker et al. 1996). Flavonoid dalam teh juga mempunyai sifat sebagai pengkelat Cu dan Fe bebas, yang dapat mencegah reaksi oksidatif, karena logam ini diketahui sebagai katalisator pembentukan spesies oksigen reaktif secara in vivo ( Balentine & Paetau-Robinson 2000).¶ Flavonoid dalam teh mempunyai potensi antioksidan lebih besar dibandingkan dengan vitamin C, vitamin E, dan karotenoid. Hasil pengujian potensi antioksidan tersebut disajikan dalam Tabel 3 ( Balentine & Paetau-Robinson 2000).¶
33
elektron dan formasi ikatan hidrogen intramolekuler. Flavonoid dalam teh juga mempunyai sifat sebagai pengkelat Cu dan Fe bebas, yang dapat mencegah reaksi oksidatif, karena logam ini diketahui sebagai katalisator pembentukan spesies oksigen reaktif secara in vivo ( Balentine & Paetau-Robinson 2000).
Formatted: English (U.S.)
Berbagai tanaman yang mengandung senyawa berkaitan dengan katekin, seperti teh hijau, menunjukkan efek protektif pada kerusakan sel-β pankreas oleh aloksan ataupun streptozocin, namun pemberian katekin setelah kerusakan sel-β pankreas tidak menunjukkan regenerasi sel (Al-Achi 2005). Flavonoid teh mempunyai potensi antioksidan lebih besar dibandingkan dengan vitamin C, vitamin E, dan karotenoid. Hasil pengujian potensi antioksidan tersebut disajikan dalam Tabel 3 ( Balentine & Paetau-Robinson 2000).
Pangan Fungsional Pengertian dan Perkembangan Pangan Fungsional Saat ini konsumen dalam memilih
pangan tidak lagi sekedar untuk
memenuhi kebutuhan energi, mengenyangkan, atau memberi kenikmatan dengan rasanya yang lezat serta penampilan menarik. Namun, juga mempertimbangkan potensi aktivitas fisiologis komponen yang dikandungnya. Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kemajuan teknologi pangan. Peningkatan prevalensi penyakit pada beberapa dekade terakhir, telah mendorong perubahan sikap masyarakat, yaitu cenderung mencegah penyakit dan berusaha menjalani hidup sehat. Oleh sebab itu pangan fungsional menjadi lebih disukai dibandingkan dengan obatobatan, karena efek psikologis yang menyehatkan tanpa mengonsumsi obat serta resiko efek samping yang jauh lebih rendah (Muchtadi 2004) Pangan fungsional merupakan generasi ketiga dari healthy foods. Pada era 1970-an dikenal istilah healthy eating, saat itu marak dikonsumsi aneka sari buah, yogurt, serealia dan whole meal bread. Pada era 1980-an, banyak dikonsumsi makanan rendah lemak (kolesterol), rendah gula dan rendah garam. Sedangkan pangan fungsional (PF) mulai diintroduksikan pada tahun 1990-an. Menurut konsensus pada the First International Conference on East-West Perspective on Functional Foods tahun 1996, PF merupakan pangan yang karena
Deleted: di
34
kandungan komponen aktifnya dapat memberikan manfaat bagi kesehatan, diluar manfaat yang diberikan oleh zat-zat gizi yang terkandung di dalamnya. Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan) mendefinisikan PF sebagai pangan yang secara alamiah maupun telah melalui proses, mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan kajian-kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsifungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Cara mengonsumsi PF dilakukan selayaknya makanan dan minuman, serta memiliki karakteristik sensori meliputi warna, tekstur, penampakan dan citarasa yang dapat diterima oleh konsumen (Fardiaz
2004). Dari konsep yang telah dikembangkan oleh para
ilmuwan, jelaslah bahwa PF tidak sama dengan pangan suplemen maupun obat. PF dapat dikonsumsi tanpa dosis tertentu, dapat dinikmati sebagaimana makanan pada umumnya, serta lezat dan bergizi (Astawan 2003).
Istilah awal yang
digunakan untuk menyebut makanan berkhasiat ini, yaitu healthy foods (makanan kesehatan), designer foods (makanan yang dirancang), dan nutraceutical atau pharmafoods (makanan farmasi). Peran Pangan Fungsional dalam Kesehatan Dalam definisi sebelumnya disebutkan bahwa PF mengandung satu atau
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: diatas
lebih komponen yang mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu. Komponenkomponen tersebut antara lain: serat pangan, gula alkohol, asam lemak tidak jenuh, peptida dan protein tertentu, asam amino, prebiotik, probiotik, glikosida dan isoprenoid, polifenol (teh) dan isoflavon (kedelai), kolin, lesitin, dan inositol, karnitin dan skualen, fitosterol dan fitostanol, serta vitamin dan mineral. Pangan Fungsional selalu terkait dengan klaim kesehatan. Serat larut dan β-glukan diklaim dapat menurunkan kolesterol, frukto dan galakto-oligosakarida untuk membantu pertumbuhan flora usus besar, gula alkohol (maltitol, xilitol, sorbitol)
Deleted: Deleted: s
dapat mengurangi resiko kerusakan gigi, kalsium dan susu rendah lemak dapat mengurangi resiko osteroporosis, serta vitamin, fitokimia dan serat pangan dapat mengurangi resiko kanker (Fardiaz 2004). Flavonoid dari teh mempunyai aktivitas antioksidan, dapat membantu menurunkan resiko berbagai penyakit kronis, seperti kanker, penyakit kardiovaskuler dan DM (Balentine & Paetau-Robinson 2000). Akhir-akhir ini, banyak beredar produk pangan dengan klaim kesehatan, disertai dengan promosi (iklan) yang sering bombastis. Beberapa contoh produk
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: pasar Indonesia dibanjiri dengan
35
berikut mempunyai klaim yang berhubungan dengan kalsium dan osteroporosis (Anlene, Produgen, Tropicana Slim), lemak dan kanker (Vegeta, Fiber, Slimmy), biji-bijian, omega-3 dan resiko PJK (Quacker Oats, Produgen, Nestle Omega), (Muchtadi 2004). Produk-produk dengan klaim kesehatan yang banyak beredar di pasaran tersebut sering menyebabkan masyarakat awam mengartikan bahwa PF identik dengan pangan modern. Padahal, banyak produk pangan tradisional yang memenuhi persyaratan PF, namun informasinya masih terbatas. Minuman khas daerah yang mempunyai khasiat untuk kesehatan dan kebugaran, antara lain bir plethok dari Betawi, teh, wedang (Jw: minuman) jahe, wedang ronde, sekoteng serbat, wedang secang, bir temulawak, beras kencur, kunyit asam,
dadih
(fermentasi susu kerbau, khas Sumatera Barat), serta makanan tradisional dari kedelai dan bekatul (Widowati 2004).
Deleted: Utara
Formatted: Left: 4 cm, Right: 3 cm, Width: 21 cm, Height: 29,7 cm, Different first page
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2005 sampai dengan September 2006. Penelitian dilakukan di Laboratorium Pascapanen, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Bogor; Laboratorium Hewan Percobaan, FATETA-IPB; dan Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Hewan, IPB.
Bahan dan Alat Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini, antara lain: Gabah dan beras giling sebanyak 10 varietas berasal dari Balai Penelitian Padi, Sukamandi. Varietas tersebut terdiri atas 4 varietas lokal (Pandan wangi, Rojolele, Bengawan Solo, dan Cenana yaitu beras merah dari Bali), serta 6 varietas unggul baru, yaitu 2 varietas beramilosa rendah (Memberamo dan Lusi), 2 varietas
beramilosa
sedang (Celebes dan Ciherang), dan 2 varietas beramilosa tinggi (Batang Piaman dan Cisokan). Teh hijau diperoleh dari Kebun Percobaan Pasir Sarongge, Cianjur. Untuk pengujian aktivitas hipoglikemik secara in vivo digunakan tikus putih strain Sprague Dawley jantan. Bahan-bahan kimia untuk analisis, antara lain: α-amilase, alkohol, amiloglukosidase, horseradish peroksidase, chromogenico dianisidine, NaOH, etanol, Kalium Iodida, buffer tris maleat, enzim termamyl, enzim pankreatin, KOH, buffer Na-asetat, glukosa oksidase, HCLO4, indikator phenol red, pereaksi Cu, pereaksi Nelson, glukosa bubuk murni, dan buffer Na-fosfat. Untuk analisis histologi antara lain digunakan: NaCl fisiologis, larutan Bouin (campuran asam pikrat jenuh, Formalin, dan asam asetat glasial dengan perbandingan 15:5:1), alkohol absolut, xylol, parafin, gliserin, pewarna Hematoxylin dan Eosin, NaH2PO4.2H2O, Na2HPO4.12H2O, monoklonal anti-insulin (Sigma I2018), H2O2, metanol, akuades, diaminobenzidine (DAB), DAKO envision peroxidase (Code No. K1491) dan bahan perekat preparat (neophren:toluen = 1:9). Selain itu
Deleted: ialah
37
digunakan aloksan (Sigma A6313) untuk membuat hewan model diabetes melitus, sekam, serta bahan-bahan untuk ransum hewan percobaan, yaitu kasein, minyak jagung, vitamin (Fitkom), mineral mix, dan selulosa. Alat Peralatan yang digunakan yaitu: glukometer, HPLC, Soxhlet, Kieljtek Protein Analyser, rotary evaporator, sonde, freeze dryer, oven, spektrofotometer, ekstraktor, tanur, pH meter, water bath, grinder, hot plate, centrifuge, dan neraca analitik, serta alat-alat gelas. Untuk pembuatan produk diperlukan rice cooker, dandang bertekanan (presto), kompor, panci serta perlengkapan lain untuk uji organoleptik. Peralatan untuk analisis histologi antara lain: Tissue embedding console, bunsen, cetakan, gelas obyek, gelas penutup, kotak preparat, keranjang preparat,
Deleted: pagoda
jar, stop watch, mikrotom, mikroskop, pipet Eppendorf, magnetic stirer, mikrotip, kertas label dan aluminium foil, serta alat-alat gelas. Untuk pemeliharaan hewan percobaan diperlukan kandang plastik, tempat pakan dan minum tikus percobaan, serta peralatan untuk pembuatan ransum.
Metode Penelitian Penelitian ini dibagi dalam empat tahapan percobaan. Masing-masing tahapan percobaan, diuraikan sebagai berikut: Percobaan 1. Penapisan Aktivitas Hipoglikemik danAnalisis Komposisi Kimia Berbagai Varietas Beras Indonesia Sepuluh varietas beras terdiri atas 4 varietas lokal (Pandan wangi, Rojolele, Bengawan solo dan Cenana/ beras merah dari Bali) serta 6 varietas unggul baru, yaitu 2 varietas beramilosa rendah (Memberamo dan Lusi/ketan), 2 varietas beramilosa sedang (Celebes dan Ciherang) dan
2 varietas beramilosa tinggi
(Batang Piaman dan Cisokan), diuji aktivitas hipoglikemiknya menggunakan tikus percobaan. Sampel beras digiling dengan derajat sosoh 90%. Sebagai pembanding digunakan beras ponni herbal Taj Mahal (beras impor yang mencantumkan klaim sesuai untuk penderita diabetes).
Deleted: k
Formatted: Finnish Deleted: serta Evaluasi Sifat Fisiko
Formatted: Finnish Deleted: dan Gizi
38
Sebanyak tiga varietas yang memiliki aktivitas hipoglikemik tertinggi dan
Deleted: Seluruh sampel Deleted: penelitian
beras Taj Mahal sebagai pembanding diuji komposisi kimianya, terutama yang
Deleted:
berkaitan dengan indeks glikemik. Analisis meliputi: komposisi proksimat beras
Deleted: sifat fisikokimia dan zat gizinya
(air, abu, lemak, protein dan karbohidrat), pati, komposisi amilosa dan amilopektin, gula total, pati resisten, serat pangan dan daya cerna pati in vitro. Berdasarkan hasil analisis, ditentukan satu varietas terpilih untuk diproses lebih
Deleted: (disebut: beras X)
lanjut menjadi beras fungsional untuk penderita diabetes melitus. Uji Aktivitas Hipoglikemik Pengujian ini bertujuan untuk menentukan aktivitas hipoglikemik dari 10 varietas beras Indonesia dan beras Taj Mahal sebagai pembanding, menggunakan tikus percobaan (n = 6). Tikus putih (Ratus novergicus) strain Sprague-Dawley jantan dengan berat sekitar 150-200 g, dipuasakan selama satu malam, tetapi tetap diberi minum secara ad libitum. Keesokan harinya, kadar glukosa tikus diukur menggunakan glukometer
Deleted: BI
(pengukuran menit ke-0). Selanjutnya tikus diberi
sampel ekstrak pati beras yang akan diuji aktivitas hipoglikemiknya. Pati beras dilarutkan dalam air dan diberikan secara oral (4.5 g/kg berat badan). Setelah 30 menit, tikus diberi larutan D-glukosa 10% sebanyak 1 ml secara oral. Tiga puluh menit kemudian, kadar glukosa darah tikus diukur dengan glukometer (pengukuran menit ke-30). Pengukuran kadar glukosa yang sama dilakukan pada menit ke-60, 90 dan 120. Hasil pengukuran kadar glukosa seluruh sampel beras yang diuji dibuat kurva dan dibandingkan aktivitas hipoglikemiknya. Bentuk sampel uji pada percobaan ini ialah ekstrak pati beras. Sampel pati beras dipersiapkan dengan cara berikut: beras giling diproses menjadi tepung,
Deleted: buat
kemudian ditambah air 1:3 (b/v) dan diblender sehingga diperoleh slurry. Selanjutnya slurry disaring, filtrat diuapkan sebagian airnya menggunakan rotary evaporator, kemudian dikeringbekukan menggunakan freeze dryer.
Deleted:
Formatted: Font: Italic Deleted: vapor
Pengukuran Kadar Glukosa Darah pada Tikus Percobaan Kadar glukosa darah ditentukan dengan metode glucose oxidase biosensor,
Deleted: menggunakan Deleted: B
menggunakan alat ”One Touch Ultra” (alat monitoring glukosa darah, diproduksi
Deleted: I
oleh Lifescan Johnson & Johnson Company, 2002). Darah diambil dari ekor
Deleted: BIl
tikus, dengan cara ekor tikus uji dibersihkan lalu dipijat atau diurut perlahan-
39
lahan, kemudian bagian ujung ditusuk dengan jarum (lancet). Darah yang keluar kemudian ditempelkan pada strip glukometer (Soemardji 2004). Kadar glukosa darah akan terukur dan nampak pada layar glukometer setelah 5 detik, dinyatakan
Deleted: Tetesan d Deleted: diperoleh Deleted: alat Deleted: L
dalam mg/dl. Kadar Amilosa (Khush et al. 1986) Sampel tepung beras (60 mesh) sebanyak 100 g dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, ditambah 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Campuran tersebut disimpan pada suhu kamar selama 24 jam.
Sampel kemudian ditambah air
destilata sampai batas 100 ml, dan dikocok sempurna. Larutan pati diambil 8 ml,
Deleted: BI
dimasukkan ke dalam tabung Autoanalyzer. Larutan segar (fresh working solution) dipersiapkan dari 1 ml asam asetat 1 N dan 3 ml larutan stok iodine (2 mg iodine dan 200 mg potasium iodine per ml) dilarutkan sampai 100 ml. Sampel dan standar beras yang telah diketahui kadar amilosanya dianalisis menggunakan Technicon Autoanalyzer. Hasilnya dinyatakan sebagai persentase kadar amilosa beras giling, basis kering. Perhitungan: Faktor konversi (fk) = Cs/ A608 Cs = Kadar amilosa standar A608 = Absorban larutan standar pada λ = 608 nm Kadar amilosa (%) = A608 x fk, Dimana A608 = Absorbansi sampel pada λ = 608 nm Kadar Air, metode oven (AOAC 1995)
Deleted: ¶
Sampel sebanyak 0.2 gram ditimbang dalam wadah yang sudah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 100 – 1050C selama 2 jam, setelah itu didinginkan dalam eksikator dan ditimbang. Pengeringan dilakukan lagi sebanyak 2 x selama 4 jam dan didinginkan lalu ditimbang, sehingga didapatkan sampel dengan berat yang konstan, selisih berat bahan sebelum dan sesudah penguapan merupakan jumlah air bahan. Kadar air = Berat bahan awal-berat bahan akhir x100 % Berat bahan awal Deleted: ¶
40
Daya Cerna Pati in vitro (Muchtadi 1989) Prinsip metoda ini ialah pati dihidrolisis oleh enzim α-amilase. Kemudian maltosa yang dihasilkan diukur jumlahnya menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni. Prosedur analisis daya cerna pati sbb: Suspensi tepung (1% dalam air destilata) dipanaskan dalam penangas air selama 30 menit sampai mencapai suhu 90ºC, kemudian didinginkan, diambil sebanyak 2 ml larutan tepung, dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambah 3 ml air destilata dan 5 ml larutan bufer Na-fosfat 0.1 M, pH 7.0. Kemudian diinkubasikan dalam penangas air 37ºC selama 15 menit. Kedalam larutan tersebut ditambahkan 5 ml larutan enzim α-amilase dan diinkubasikan lagi pada suhu 37ºC selama 15 menit. Kedalam tabung reaksi lain ditempatkan 1 ml campuran reaksi. Kemudian ditambahkan 2 ml pereaksi dinitrosalisilat, dan selanjutnya dipanaskan dalam penangas air 100ºC selama 10 menit. Setelah didinginkan, campuran reaksi diencerkan dengan menambahkan 10 ml air destilata. Warna oranye-merah yang terbentuk dari campuran reaksi diukur absorbansinya menggunakan spektrofotometer, panjang gelombang 520 nm. Kadar maltosa dari campuran reaksi dihitung dengan menggunakan kurva standar maltosa
murni yang diperoleh dengan cara mereaksikan larutan
maltosa standar dengan pereaksi dinitrosalisilat menggunakan prosedur seperti diatas. Daya cerna pati sampel dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni sebagai berikut: Kadar maltosa sampel setelah reaksi enzim Daya cerna = --------------------------------------------------------- x 100 Kadar maltosa pati murni setelah reaksi enzim
Penentuan Kadar Serat Pangan Penentuan serat pangan larut, serat pangan tidak larut dan serat pangan total dilakukan menggunakan metoda enzimatik (Asp et al. 1983 diacu dalam Muchtadi 1992), sebagai berikut:
Deleted: ¶ ¶ Deleted: .
41
Satu gram sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Kedalamnya ditambahkan 25ml bufer Natrium Fosfat, dan dibuat menjadi suspensi. Penambahan bufer dimaksudkan untuk menstabilkan enzim termamyl. Selanjutnya ditambah 100 μl termamyl, ditutup dan diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit, sambil sesekali diaduk. Tujuan penambahan termamyl
Deleted: BI
dan pemanasan ialah untuk memecahkan pati dengan menggelatinisasikan terlebih dahulu. Setelah dingin, ditambah 20 ml air destilata dan pH-nya diatur
Deleted: BI
menjadi 1.5 dengan menambahkan HCl 4 M. Selajutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Pengaturan pH hingga 1.5 dimaksudkan untuk mengondisikan agar aktivitas enzim pepsin maksimum. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasikan pada suhu 40oC dan
diagitasi
selama 60 menit. Kemudian ditambah 20 ml air destilata dan pH diatur menjadi 6.8 dengan NaOH. Pengaturan menjadi pH 6.8 ditujukan untuk memaksimumkan aktivitas enzim pankreatin. Ditambahkan 100 ml enzim pankreatin. Ditutup dan diinkubasi pada suhu 40oC selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya pH diatur dengan HCl menjadi 4.5, disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) yang mengandung 0.5 g celite kering (berat tepat diketahui). Dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Residu (Serat pangan tidak terlarut = IDF) Hasil diatas dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton, lalu dikeringkan pada suhu 105oC, sampai berat tetap (sekitar 12 jam), dan ditimbang setelah didinginkan di dalam desikator (D1). Selanjutny diabukan ke dalam tanur 500oC selama paling sedikit 5 jam, lalu ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat (Serat pangan larut = SDF) Volume filtrat diatur dengan air sampai 100 ml, lalu ditambah 400 ml etanol 95% hangat (60oC), diendapkan selama 1 jam. Selanjutnya disaring dengan crucible kering (porositas 2) mengandung 0.5 celite kering, dicuci lagi dengan 2 x 10 ml etanol 78 %, dan 2 x 10 ml aseton
Deleted: BI
42
Penentuan Kadar Pati Resisten Bahan yang diperlukan: Buffer tris maleat, α-amilase, pancreatic, etanol, KOH, asam asetat, enzim amiloglukosidase, buffer Na-asetat dan pereaksi untuk glukosa oksidase. Pelarut : Larutan enzim amilase 50 unit/ml dalam buffer tris maleat 0.1 M pH (4mμ calcium clorida), Etanol 80%, KOH 4M, Asam asetat 2M, Amiloglukosidase (200 unit/ml dalam buffer Na-asetat 0.1M, pH 4.5) Prosedur analisis : Sampel bebas lemak ditimbang sebanyak 100 mg, ditambah 10 ml larutan
Formatted: Bullets and Numbering
enzim amilase, kemudian dikocok pada suhu 37oC selama 16 jam, ditambah
Deleted: ¶ D
40 ml etanol dan dibiarkan selama 1 jam. Lalu disentrifuse (400 rpm),
Deleted: 16 jam
o
endapan dibilas dengan etanol 80% (2x), dan dikeringkan (60 C), ditambahkan 1.56 ml H2O kemudian ditambah lagi dengan 1.5 ml KOH 4 M. Dikocok selama 30 menit pada suhu kamar dan ditambah 12 ml H2O Campuran diatas diambil 1.5 ml, ditambahkan 0.65 asam asetat 2 M (mencapai pH 4.5) dan 0.1 ml amiloglukosidase. Kemudian diinkubasikan selama 90 menit suhu 65oC. Kemudian diambil 2 ml untuk penentuan glukosa dengan metoda glukosa oksidase.
Penentuan Glukosa Oksidase Prinsip metode ini ialah glukosa dioksidasi secara enzimatis dengan glukosa oksidase menghasilkan H2O2. Selanjutnya, H2O2 akan membentuk warna stabil dengan bantuan enzim peroksidase. Intensitas warna tergantung dari konsentrasi glukosa. Reagen yang diperlukan meliputi: Glukosa oksidase 1000 unit/ml, Horseradish peroxidase, Chromogenico-dianisidine 2 HCl, Buffer asetat pH 5.5 (larutkan 13.608 gr NaOAc.3H2O dan dijadikan 1 liter dengan H2O, ditambahkan 2.7 ml HOAc dan jika perlu diatur dengan NaOAc atau HOAc) Larutan penguji : Dilarutkan 40 mg chromogen, 40 mg horseradish peroxidase dan 0.4 ml glukosa oksidase di dalam buffer asetat dan encerkan hingga volume 100 ml dengan buffer serupa. Larutan standar : Glukosa 1 mg/ml (didiamkan selama satu jam agar terjadi mutarorasi). Persiapan kurva standar dan dilakukan penentuan glukosa dalam contoh
Deleted: , Deleted: BI Deleted: BI
43
Percobaan 2. Pengembangan Proses Pembuatan Beras Pratanak dan Beras Instan Fungsional Beras fungsional dalam penelitian ini dibuat dari beras Memberamo, yaitu varietas beras terpilih pada Percobaan 1, yang diberi perlakuan ekstrak teh hijau. Proses pengolahan dalam pembuatan beras fungsional yang dilakukan adalah: pengolahan beras pratanak (parboiled rice) dan pengolahan beras instan. Untuk mendapatkan beras fungsional tersebut, maka pada percobaan ini dibagi dalam tiga tahap yaitu: a) Penentuan kondisi ekstraksi teh hijau, b) Penentuan kondisi proses pengolahan beras pratanak dan beras instan, dan c) Proses pengolahan beras pratanak fungsional dan beras instan fungsional a) Penentuan Kondisi Ekstraksi Teh Hijau Pada tahap ini dilakukan optimasi ekstraksi teh hijau sehingga didapatkan kondisi optimum ekstraksi (waktu, suhu dan rasio teh dengan air). Ekstrak teh hijau dalam bentuk filtrat, dipekatkan menggunakan rotari evaporator, hingga diperoleh konsentrat. Analisis yang dilakukan meliputi rendemen dan aktivitas antioksidan. Optimasi Ekstraksi Teh Hijau Tujuan dari tahapan ini adalah mendapatkan metode ekstraksi teh hijau yang optimum. Ekstraksi dilakukan menurut metode Lee dan Widmer (2000) dengan modifikasi perlakuan suhu, waktu ekstraksi, dan perbandingan antara teh dengan air (Gambar 6). Teh hijau kering dihancurkan dengan dish mill, kemudian diayak menggunakan ayakan goyang ukuran 32 mesh untuk mendapatkan ukuran teh hijau yang kecil dan seragam. Bubuk teh tersebut kemudian diekstrak dengan cara dilarutkan dan diaduk dalam air panas suhu 75, 85, dan 950C dengan perbandingan masing-masing teh dengan air sebesar 10:100, 15:100, dan 20:100 (b/v). Waktu ekstraksi yang digunakan adalah 2, 4, 6, 8, 10, 15 dan 20 menit. Teh yang telah diekstrak tersebut kemudian disaring dengan alat saring vacuum untuk mendapatkan ekstrak teh murni. Kemudian ekstrak teh murni dianalisis TPT (total padatan terlarut) dengan metode oven dan refraktometer. Hasil TPT oven dihitung rendemennya.
44
Analisis rendemen dihitung pada setiap perlakuan suhu (75, 85, dan 950C), dengan pengaruh kombinasi perlakuan waktu ekstraksi (2, 4, 6, 8, 10, 15 dan 20 menit) dan rasio teh dengan air (10:100, 15:100, dan 20:100 (b/v) untuk mendapatkan kondisi rasio teh dengan air serta waktu ekstraksi optimal pada setiap perlakuan suhu. Tiga sampel dengan kombinasi optimal dari setiap perlakuan suhu tersebut dianalisis rendemen dan aktivitas antioksidannya dengan metode DPPH, sehingga didapatkan satu kombinasi perlakuan suhu, waktu, dan rasio teh dengan air yang optimal untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya.
TEH HIJAU Penggilingan Pengayakan (32 mesh) Ekstraksi : Teh:air = 10:100; 15:100; 20:100 (b/v) t = 2, 4, 6, 8, 10, 15, 20 menit T = 75, 85, 95ºC
Penyaringan
EKSTRAK TEH HIJAU Gambar 6. Diagram alir proses optimasi ekstraksi teh hijau. Analisis Ekstrak Teh Total Padatan Terlarut (metode oven) Cawan kosong dikeringkan dalam oven 1000C selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, lalu ditimbang (a gr, untuk cawan alumunium didinginkan selama 10 menit dan cawan porselin didinginkan selama 20 menit). Kemudian sampel yang telah dihomogenkan dengan cawan ditimbang dengan neraca analitik sejumlah kurang lebih 5 gram (x gr) dengan cepat. Cawan beserta
Deleted: BI
45
isinya ditempatkan di dalam oven selama 6 jam. Kontak antar cawan dengan dinding oven dihindarkan. Cawan dipindahkan ke dalam deksikator untuk didinginkan, setelah dingin ditimbang kembali (y gr). Kemudian, dikeringkan kembali ke dalam oven sampai diperoleh berat yang tetap. (Apriyantono et al. 1989). Perhitungan : TPT (%bk) = y – a / x a = berat cawan kosong kering (g) x = berat sampel awal (g) y = Berat cawan + sampel kering Total Padatan Terlarut ( Refraktometer ABBE) Prisma refraktometer dibersihkan dengan alkohol, kemudian diteteskan sampel di atas prisma pengukuran, lalu ditutup. Alat refraktometer diarahkan ke cahaya dan dibaca skalanya (% brix). Rendemen Besarnya rendemen dihitung berdasarkan persentase berat serbuk ekstrak kering dibagi berat teh hijau kering yang diekstrak. Serbuk
ekstrak kering
diperoleh melalui hasil kali berat ekstrak murni teh dengan TPT oven. Rendemen ditentukan dengan rumus : Rendemen = a/b x 100 % a : serbuk ekstrak kering (berat ekstrak x TPT oven) b : berat sampel teh hijau
Pengujian Aktivitas Antioksidan. Buffer asetat 100 mM 1 ml ( pH 5.5), 1.87 ml etanol dan 0.1 ml radikal bebas DPPH (1,1-diphenyl-2-picryl hydrazyl) 3 mM dalam metanol dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian sebanyak 0.03 ml larutan sampel ditambahkan ke dalam tabung tersebut dan diinkubasi 250C selama 20 menit. Absorbansi yang dihasilkan dibaca pada 517 nm. Penurunan absorbansi menunjukkan adanya aktivitas scavenging atau aktivitas antioksidan. Untuk pembuatan kurva standar
46
digunakan Trolox®, sehingga satuannya dinyatakan dalam TEAC (Trolox Equivalen Antioxidant Capacity). ( Kubo et al. 2002) Rancangan Percobaan
Formatted: Justified Formatted: German (Germany) Formatted: German (Germany)
Pada tahap optimasi proses ekstraksi teh hijau, rancangan percobaan yang
Formatted: German (Germany)
digunakan adalah Rancangan Faktorial menggunakan dua faktor, yaitu rasio teh
Formatted: German (Germany)
dengan air, dan waktu ekstraksi. Faktor rasio teh dengan air terdiri atas tiga taraf,
Formatted: German (Germany)
yaitu: 10:100; 15:100 dan 20:100 b/v. Sedangkan faktor waktu ekstraksi terdiri
Formatted: German (Germany)
atas tujuh taraf, yaitu 2; 4; 6; 8; 10; 15 dan 20 menit. Model matematik umum yang digunakan adalah : Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + εijk
Formatted: German (Germany) Formatted: German (Germany)
Keterangan :
Formatted: German (Germany)
Yijk
Formatted: Swedish (Sweden)
= Rendemen hasil pengamatan dari faktor rasio teh dengan air level ke-i, faktor waktu ekstraksi level ke-j
µ
= Nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya)
Ai
= Pengaruh faktor rasio teh dengan air level ke-i,
Bj
= Pengaruh waktu ekstraksi level ke-j
(AB)ij = Pengaruh interaksi antara rasio teh dengan air dan waktu ekstraksi εijk
= Faktor galat (sisa) Data diolah menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Jika terjadi
beda nyata pada faktor perlakuan pada selang kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan uji beda Duncan. Rancangan ini dilakukan untuk setiap taraf suhu (75; 85 dan 95ºC).
Formatted: Indent: Left: 0 cm Formatted: Danish Formatted: Dutch (Netherlands) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Indent: First line: 1,01 cm Formatted: No underline Formatted: Font: Not Bold Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
Untuk menentukan waktu ekstraksi, rasio teh dengan air dan suhu optimum dilakukan analisis data rendemen dan aktivitas antioksidan Yij = µ + Ai + εij Keterangan Yij = Nilai hasil pengamatan dari faktor A level ke-i, ulangan ke-j µ
= Nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya)
Ai = Pengaruh suhu ekstraksi εijk = Faktor galat (sisa)
Formatted: No underline Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort) Formatted
... [1]
Formatted
... [2]
Formatted
... [3]
47
Data diolah menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA). Jika terjadi beda nyatapada faktor perlakuan pada selang kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan uji beda Duncan.
Formatted: Portuguese (Brazil) Formatted: Indent: Left: 0,62 cm, Hanging: 0,04 cm, Tabs: Not at 2,31 cm Formatted: Justified
b) Penentuan Kondisi Proses Pengolahan Beras Pratanak dan Beras Instan Pada tahap ini dilakukan penentuan cara pembuatan beras pratanak dan beras instan yang sesuai untuk diaplikasikan dalam pengolahan beras fungsional un tuk penderita diabetes melitus.
Formatted: Font: Not Italic, Portuguese (Brazil) Formatted: Font: Not Bold, Not Italic, Portuguese (Brazil) Formatted: Indent: First line: 0,99 cm Deleted: ¶
Proses Pembuatan Beras Pratanak Pembuatan beras pratanak merupakan proses yang unik, karena tahap pengolahan dimulai pada saat bahan masih berbentuk gabah (Garibaldi 1972; De Datta 1981).
Oleh sebab itu proses ini dikenal dengan istilah pratanak
(parboiled). Cara pembuatan
beras pratanak sangat beragam, namun pada
prinsipnya melalui tiga tahapan proses, yaitu perendaman (steeping) di dalam air, pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Sebelum proses pratanak dimulai, bahan yaitu gabah terlebih dahulu dilakukan pembersihan (precleaning). Beberapa
Deleted: BI
perlakuan yang diaplikasikan untuk mendapatkan proses yang
diinginkan, akan diuraikan dibawah ini. Deleted: (precleaning)
Pembersihan Tujuan pembersihan adalah untuk mendapatkan gabah yang bersih dari kotoran-kotoran yang terdapat dalam gabah seperti jerami, kerikil dan tanah. Cara yang biasanya dilakukan, yaitu cara pengapungan dengan air,
Deleted: , dll Deleted: BI
sehingga gabah hampa dan jerami dapat mengapung di bagian atas instalasi pembersih. Cara lain menggunakan aspirator untuk memisahkan kotoran kecil dan ringan, atau menggunakan mesin pembangkit magnit untuk memisahkan kotoran besar tetapi ringan dan kotoran kecil tetapi berat. Menurut
Garibaldi
(1972),
kotoran-kotoran
tersebut
dapat
mempengaruhi hasil pratanak. Selama perendaman kotoran akan terdekomposisi, terfermentasi dan meninggalkan suspensi di dalam air kotor. Air terpolusi ini kemudian terabsorbsi oleh gabah yang mempengaruhi flavor, bau dan warna bahkan mengurangi mutu pangan.
Deleted: s
48
Pembersihan gabah penting sekali guna mendapatkan kondisi optimum dan keseragaman hasil. Selain itu, tingkat kemurnian varietas yang tinggi akan menghasilkan beras pratanak yang bermutu bagus. Deleted: ¶
Perendaman Perendaman merupakan tahap pertama di dalam pembuatan beras pratanak. Perendaman dilakukan pada suhu 60oC, dengan perbandingan gabah dan air 1:2 dan 1:3 dan dengan lama perendaman 4 jam sehingga menghasilkan kadar air gabah ± 30 %. Suhu yang terlalu tinggi akan menghasilkan kadar air gabah lebih dari 30 % dan waktu perendaman
Deleted: BI
yang terlalu lama menyebabkan terjadinya fermentasi (Garibaldi 1972). Pengukusan Pengukusan atau pemasakan dilakukan dengan menggunakan presto pada tekanan 80 Kpa (= 0.7895 ATM), dan mampu menghasilkan gabah dengan sekam yang sedikit pecah. Dengan
sedikit pecahnya sekam
diharapkan pada proses tersebut ekstrak teh hijau dapat masuk ke dalam gabah. Lama pemasakan dalam presto dilakukan dengan berbagai waktu pemasakan yaitu 10, 15, 20 dan 25 menit untuk mendapatkan gabah yang cukup tergelatinisasi dengan sekam yang sedikit terbuka (pecah). Gelatinisasi terjadi apabila suspensi pati dalam air dipanaskan. Perubahan selama terjadinya gelatinisasi yaitu, mula-mula suspensi pati keruh seperti susu, kemudian berubah jernih pada suhu tertentu tergantung pada jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti oleh pembengkakan granula. Pengeringan Pengeringan terhadap gabah yang telah direndam dan dimasak harus dilakukan dengan segera untuk menghindarkan pertumbuhan jamur dan terjadinya fermentasi. Pengeringan ini merupakan tahap akhir dalam pengolahan gabah secara pratanak. Pengeringan gabah pratanak ini menggunakan oven yang dilakukan dalam 2 tahap untuk mendapatkan kadar air 12-14 %. Pengeringan tahap pertama, pada suhu 100oC hingga mencapai kadar air 18-20 %.
Deleted: h
49
Gabah Perendaman: suhu 60oC Air:gabah = 1:2 dan 1:3 Pemasakan: P= 80 kPa t = 10, 15, 20 dan 25 menit
Kadar air 30%?
Tergelatinisasi?
Deleted: Apabila proses pengeringan tahap pertama telah selesai maka diperlukan interval waktu selama 3 jam pada suhu kamar. Selanjutnya dilakukan proses pengeringan tahap kedua pada suhu 60oC, dengan variasi waktu yaitu 25, 30, 35, dan 40 menit sampai mendapatkan kadar air 12-14%. Pengeringan secara perlahan-lahan bertujuan untuk menghindari terjadinya beras pecah saat penggilingan. Tahap penentuan proses beras pratanak disajikan pada Gambar 7.¶
Pengeringan I, T = 100oC t = 35, 45, 55, 60 menit (Ka 18-20%) Tempering selama 3 jam suhu kamar Pengeringan II, T = 60oC t = 25, 30, 35, 40 menit (Ka <12-14%) Gabah pratanak Penggilingan
Beras pratanak Gambar 7. Diagam alir proses pembuatan beras pratanak (parboiled rice). Apabila suhu yang digunakan kurang dari 100oC maka akan menambah waktu pengeringan, dan waktu pengeringan yang terlalu lama akan menyebabkan gabah terfermentasi. Sedangkan bila suhu pengeringan lebih dari 100oC, maka penguranga air terlalu cepat sehingga jumlah gabah retak akan semakin banyak dan beras yang patah akan semakin banyak saat dilakukan penggilingan. Untuk mencegah retak pada butir beras selama pengeringan, proses pengeringan dihentikan untuk sementara waktu apabila kadar air telah mencapai 18-20%, kemudian pengeringan dimulai lagi. Pengeringan tahap kedua dilakukan secara lambat untuk mencegah butir beras retak lebih banyak, yaitu pada suhu 60oC hingga
Deleted: n
50
mencapai kadar air 12-14 %. Pengeringan tahap pertama pada suhu 100oC dilakukan dalam 4 variasi waktu yaitu: 35, 45, 55, dan 60 menit untuk mencapai kadar air 18-20%. Apabila proses pengeringan tahap pertama telah selesai maka diperlukan interval waktu selama 3 jam pada suhu kamar. Kemudian
Formatted: Portuguese (Brazil)
dilanjutkan proses pengeringan kedua pada suhu 60oC, dengan variasi waktu yaitu 25, 30, 35, dan 40 menit sampai mendapatkan kadar air 1214%. Pengeringan secara perlahan-lahan bertujuan untuk menghindari terjadinya beras pecah saat penggilingan. Tahap penentuan proses beras pratanak disajikan pada Gambar 7. Proses Pembuatan Beras Instan Beras instan pada dasarnya sudah mengalami pemasakan awal dan gelatinisasi sampai tingkat tertentu di dalam air, atau dikukus, atau dilakukan keduanya. Beras yang dimasak sampai matang atau hampir matang tersebut kemudian dikeringkan sedemikian rupa hingga biji-biji beras menjadi banyak berpori dan dalam keadaan struktur yang terbuka. Hasil olahan akhir berupa bijibiji kering, yang lepas satu sama lain, tanpa menggerombol, dan besar volumenya 1.5-3.0 kali volume beras mentahnya. Air mendidih yang digunakan pada penyiapan akhir untuk penyajian harus dapat meresap ke dalam biji-biji beras dengan waktu yang relatif pendek. Penentuan Kondisi Pengolahan Beras Instan Secara umum, proses pembuatan beras instan terdiri atas 5 tahap, yaitu: 1) Pencucian, 2) Perendaman, 3) Pemasakan dengan tekanan, 4) Pembekuan, dan 5) Pengeringan. Diagram alir proses pembuatan beras instan dapat dilihat pada Gambar 8. 1) Pencucian Beras varietas terpilih dari percobaan 1, dilakukan pencucian untuk menghilangkan pasir, tanah atau kotoran yang lain. Pencucian dilakukan hingga tidak ada lagi benda kotor terlihat. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali.
Formatted: Portuguese (Brazil) Formatted: Line spacing: single
51
2) Perendaman Proses perendaman dilakukan dalam tiga suhu yang berbeda, yaitu: 30, 40 dan 50oC, masing-masing selama 2 jam. Tahapan perendaman dilakukan untuk mendapatkan kadar air yang sesuai dengan persyaratan kadar air akhir setelah perendaman. Kadar air akhir yang diinginkan dalam proses perendaman yaitu 40%. Perbandingan air perendaman dan beras adalah 1:1, atau untuk setiap 100 g beras, digunakan air perendaman sebanyak 100 ml. 3) Pemasakan dengan Tekanan Penentuan metode pemasakan dengan tekanan dilakukan dalam satu faktor yaitu waktu pemasakan. Pada perbandingan air dengan beras adalah 1:1 atau untuk 100 gram beras maka air pemasakan 100 ml. Pemasakan pada beras instan dilakukan dengan presto yang bekerja pada tekanan 80 Kpa. Penentuan waktu pemasakan dilakukan dengan tiga taraf yaitu 5, 10, dan 15 menit. Tujuan perlakuan ini untuk mendapatkan nasi yang matang dan telah tergelatinisasi sempurna. Penentuan tingkat kematangan nasi mengikuti metode IRRI (1986). Kriteria mutu nasi yang telah matang yaitu pada nasi sudah tidak ada lagi bintik putih seperti tepung, tetapi telah berubah menjadi bening atau transparan. 4) Pembekuan Proses pembekuan dilakukan secara cepat dan tidak boleh ditunda hingga nasi dingin. Perlakuan pembekuan pada beras instan dilakukan selama 24 jam pada suhu -4oC. Setelah tahap pembekuan, kemudian dilakukan proses thawing. Proses thawing dilakukan dengan suhu 50oC selama 5 menit, hal ini dilakukan agar beras instan tidak menggumpal. 5) Pengeringan Pengeringan dilakukan pada suhu 60oC selama 4 jam hingga bahan menjadi kering dan berbentuk seperti kristal bening dan keras.
52
Beras X Pencucian Perendaman Beras:air = 1:1; t = 2jam T: A1 = 30 oC A2 = 40 oC; A3 = 50 oC
Uji k.a. 40%
Permasakan bertekanan
P = 80 kPa; Beras: air = 1:1 t: 5 ; 10,15 menit
Uji mutu tanak
Pembekuan
t = 24 jam; T = -4 oC Thawing
t = 5 mnt; T = 50 oC Pengeringan
t = 4 jam; T = 60 oC
Beras Instan Gambar 8. Diagram alir pembuatan beras instan.
c) Pengolahan Beras Pratanak Fungsional dan Beras Instan Fungsional Tahap ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi ekstrak teh hijau optimum yang mempunyai aktivitas hipoglikemik terbaik dari masing-masing cara pengolahan beras fungsional. Beras fungsional antidiabetes diproses dari beras Memberamo yang diberi perlakuan ekstrak teh hijau [hasil tahap a)]. Pengolahan Beras Memberamo Pratanak Fungsional Penentuan Konsentrasi Penggunaan Ekstrak Teh Hijau Penentuan konsentrasi ekstrak teh hijau dilakukan dalam dua taraf, yaitu 7 dan 14%.
Deleted: 3) Pemasakan dengan tekanan¶ Penentuan metode pemasakan dengan tekanan dilakukan dalam satu faktor yaitu waktu pemasakan. Pada perbandingan air dengan beras adalah 1:1 atau untuk 100 gram beras maka air pemasakan 100 ml. Pemasakan pada beras instan dilakukan dengan presto yang bekerja pada tekanan 80 Kpa. Penentuan waktu pemasakan dilakukan dengan tiga taraf yaitu 5, 10, dan 15 menit. Tujuan perlakuan ini untuk mendapatkan nasi yang matang dan telah tergelatinisasi sempurna. Penentuan tingkat kematangan nasi mengikuti metode IRRI (1986). Kriteria mutu nasi yang telah matang yaitu pada nasi sudah tidak ada lagi lapisan putih seperti tepung, tetapi telah berubah menjadi bening atau transparan.¶
53
Pembuatan Beras Pratanak Fungsional Gabah Memberamo Perendaman T=60oC, t=4 jam Ekstrak teh hijau 7 dan 14%
Pemasakan P=80 kPa, t=20 menit Ekstrak teh hijau 7 dan 14% Pengeringan I, T= 100oC, t=60 menit (k.a. 18-20%) Tempering pada suhu kamar selama 3 jam Pengeringan II, T=60oC t=25 mnt (k.a. <12-14%) Gabah pratanak Penggilingan, 2 kali sosoh
Beras Memberamo pratanak fungsional
Gambar 9. Diagam alir proses pembuatan beras pratanak fungsional dengan ekstrak teh hijau. Pada konsentrasi tersebut diharapkan mampu mendapatkan kadar total fenol dalam beras pratanak sebesar 1%. Penambahan ekstrak teh hijau dalam pembuatan beras pratanak fungsional dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap perendaman dan tahap pemasakan. Diagam alir proses pembuatan beras pratanak fungsional dengan ekstrak teh hijau dapat dilihat pada Gambar 9. Proses pembuatan beras pratanak dengan penambahan ekstrak polifenol teh hijau dilakukan dengan cara pembersihan, perendaman selama 4 jam pada suhu 60oC, pemasakan
Deleted: Proses pembuatan beras pratanak dengan penambahan ekstrak polifenol teh hijau dilakukan dengan cara pembersihan, perendaman selama 4 jam pada suhu 60oC, pemasakan dengan menggunakan presto pada 80 Kpa selama 20 menit, serta pengeringan tahap I pada suhu 100oC selama 60 menit dan pengeringan tahap II pada suhu 60oC selama 25 menit.
Formatted: Justified, Indent: Left: 1 cm, First line: 0,98 cm, Line spacing: 1.5 lines
54
dengan menggunakan presto pada 80 kPa (0.7895 STM) selama 20 menit, serta pengeringan tahap I pada suhu 100oC selama 60 menit dan pengeringan tahap II pada suhu 60oC selama 25 menit. Rancangan Percobaan Pada tahap percobaan proses pembuatan beras pratanak dengan penambahan ekstrak teh hijau ini, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Faktorial menggunakan dua faktor, yaitu proses pembuatan beras pratanak dan konsentrasi ekstrak teh. Faktor proses pembuatan beras pratanak fungsional, terdiri atas dua taraf yaitu
perendaman dan pemasakan. Sedangkan faktor
konsentrasi ekstrak teh hijau menggunakan dua taraf, yaitu 7 dan 14%. Faktor A = Perendaman taraf 7% (A1) dan 14% (A2) Faktor B = Pemasakan taraf 7% (B1) dan 14% (B2) Model matematik umum yang digunakan adalah : Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + εijk Keterangan : Yijk
= Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor A dan taraf ke-j dari faktor B)
µ
= Nilai tengah populasi (rata-rata yang sesungguhnya)
αi
= Pengaruh perlakuan pada beras taraf ke-I dari faktor A
βj
= Pengaruh konsentrasi ke-j dari faktor B
(αβ)ij = Pengaruh interaksi taraf ke-i faktor A dan taraf ke-j faktor B εijk
= Pengaruh galat dari satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan ij.
Jika F hitung menunjukkan perbedaan nyata, maka dilanjutkan dengan uji beda Duncan.
Pengolahan Beras Memberamo Instan Fungsional Pembuatan Beras Instan Polifenol Ekstrak Teh Pembuatan beras instan dengan penambahan ekstrak teh hijau dilakukan pada dua tahapan inti yaitu: perendaman (Steeping) dan
Deleted: ¶ Pembuatan beras pratanak fungsional dilakukan dengan penambahan ekstrak teh hijau pada 2 tahap dengan konsentrasi yang berbeda yaitu pada tahap perendaman dan pemasakan, masing-masing menggunakan 2 taraf konsentrasi yaitu 7 dan 14%. Analisis yang dilakukan terhadap beras pratanak fungsional tersebut meliputi uji organoleptik pada beras pratanak (warna dan tekstur) serta nasi pratanak (warna, rasa dan tekstur), serta analisis komposisi kimia meliputi kadar air, abu, amilosa, pati, total fenol, dan serat pangan (serat larut dan serat tidak larut air). ¶ ¶
55
pemasakan dengan tekanan (Pressure cooking). Penambahan ekstrak teh hijau ini dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik penyerapan polifenol dalam beras instan. Beras Memberamo Pencucian Perendaman T = 50 oC, t = 2 jam Beras : ekstrak teh 2 dan 4% = 1 : 1 Permasakan T= 10 mnt; P = 80 Kpa
Beras: ekstrak teh 2 dan 4% = 1:1
Pembekuan
t = 24 jam; T = -4 oC
Thawing
t = 5 menit; T = 50 oC Pengeringan
t = 4 jam; T = 60 oC
Beras Memberamo Instan Fungsional Gambar 10. Diagram alir pembuatan beras instan fungsional Perlakuan penambahan ekstrak teh hijau pada beras instan adalah sebagai berikut : pada saat perendaman, digunakan dua konsentrasi ekstrak teh hijau, yaitu: C1 = 2% dan C2 = 4%, serta pada saat pemasakan juga digunakan dua konsentrasi, yaitu D1 = 2% dan D2 = 4%. Diagram alir proses pengolahan dapat dilihat pada Gambar 10. Pengolahan Beras Memberamo Fungsional Beras Memberamo fungsional (BMF) tidak termasuk perlakuan, tetapi sebagai pembanding. BMF dibuat dengan merendam beras dalam ekstrak
Deleted: ¶
56
teh hijau 4% (T = 50ºC, t = 2 jam, perbandingan ekstrak teh hijau dengan beras = 1 ; 1), kemudian dikeringkan hingga kadar air 12 %.
Beras Memberamo Pencucian Perendaman Beras : ekstrak teh 4 % = 1 : 1 T = 50 oC, t = 2 jam Penirisan Pengeringan
t = 4 jam; T = 60 oC
Beras Memberamo Fungsional
Gambar 11. Diagram alir pembuatan beras Memberamo fungsional
Deleted: ¶ Deleted: dan Gizi
Analisis Komposisi Kimia Analisis komposisi kimia yang dilakukan terhadap beras Memberamo
Deleted: mutu kimia dan gizi
instan fungsional meliputi: kadar air, abu, total fenol bebas, daya cerna pati. Uji Aktivitas Hipoglikemik Tikus putih (Ratus novergicus) strain Sprague-Dawley jantan dengan berat badan 150 – 200 g dipuasakan selama satu malam, tetapi tetap diberi minum
Deleted: -
secara ad libitum (n = 6). Keesokan harinya, kadar glukosa tikus percobaan diukur menggunakan glukometer
(kadar glukosa darah puasa), dilanjutkan
Deleted: . Se Deleted: nya tikus percobaan
pemberian ekstrak pati beras pratanak fungsional atau beras instan fungsional
Deleted: di
yang akan diuji aktivitas hipoglikemiknya. Sampel dibuat tepung lalu dilarutkan
Deleted: sampel
dalam air, dan diberikan secara oral (4.5g/kg berat badan tikus). Setelah 30 menit, tikus percobaan diberi 1 ml larutan D-glukosa 10% secara oral. Tiga puluh menit
Formatted: Italian (Italy)
57
kemudian, kadar glukosa darah tikus percobaan diukur menggunakan glukometer (pengukuran menit ke-30). Pengukuran kadar glukosa yang sama dilakukan pada menit ke-60, 90, dan 120. Hasil pengukuran kadar glukosa seluruh sampel beras fungsional yang diuji dibuat kurva dan dibandingkan pengaruh aktivitas hipoglikemiknya. Pada masing-masing cara pengolahan diambil satu perlakuan
Deleted: dengan
Formatted
... [4]
Formatted
... [5]
Deleted: s X
Formatted
... [6]
Formatted
... [7]
Deleted: perlakuan Deleted:
terpilih untuk penelitian selanjutnya.
Formatted
... [8]
Deleted: pada hewan model... [9] Deleted:
Percobaan 3. Evaluasi Daya Hipoglikemik Beras Fungsional dan Analisis Histologi Jaringan Pankreas
Formatted
Formatted
Beras
fungsional dari
varietas
terpilih
(Memberamo)
diuji
daya
hipoglikemiknya menggunakan tikus percobaan sebagai hewan model DM. Empat macam beras yang diuji yaitu: beras Memberamo instan fungsional (BMIF) dan beras Memberamo pratanak fungsional (BMPF), serta beras Memberamo fungsional (BMF) dan beras Taj Mahal (BTM). BMF bukan perlakuan dalam penelitian ini, namun digunakan sebagai pembanding apakah terdapat perbedaan daya hipoglikemik dengan beras Memberamo yang diproses pratanak dan instan. BMF dibuat dengan cara merendam beras Memberamo di dalam ekstrak teh hijau dengan konsentrasi 4 % (sesuai dengan perendaman beras instan) lalu dikeringkan hingga kadar air 12-14 %. Kontrol yang digunakan ialah beras Memberamo (tanpa perlakuan ekstrak teh hijau).
... [10]
Deleted: X
Lama perlakuan adalah 36 hari. Pengamatan
dilakukan terhadap konsumsi ransum per hari, peningkatan berat badan setiap 3 hari, dan kadar glukosa darah diukur setiap 3 hari menggunakan ”One Touch Ultra” glukometer. Pada akhir percobaan dilakukan pengamatan : morfologi
... [11]
Deleted: , Deleted: X
Formatted
... [12]
Deleted: (hasil terpilih dari ... [13] Deleted: . Sebagai
Formatted
... [14]
Formatted
... [15]
Deleted: pembanding adalah Deleted: X
Formatted
... [16]
Deleted: adalah beras X
Formatted
... [17]
Deleted: yang di
Formatted
... [18]
Formatted
... [19]
Formatted
... [20]
Deleted: terpilih
Formatted
... [21]
Deleted: , lalu
jaringan pankreas dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin dan sel-β pankreas
Formatted
... [22]
dengan pewarnaan imunohistokimia
Formatted
... [23]
Formatted
... [24]
Uji Daya Hipoglikemik Tikus normal dan model yang digunakan dalam penelitian ini ialah tikus putih strain Sprague Dawley berumur sekitar 60 hari, berat badan rata-rata 150200 gram. Tikus model dikondisikan menjadi diabetes (DM) melalui penyuntikan
Deleted: Sebagai k
Formatted
... [25]
Deleted: positif
Formatted
... [26]
Deleted: X Deleted: non-fungsional
dengan aloksan, dosis 110 mg/kg BB (Kesenja 2005). Aloksan akan merusak sel-
Deleted: Kontrol negatif, ... yaitu [27]
β pankreas sehingga tikus tidak mampu menghasilkan insulin. Kondisi tersebut
Deleted: ,
Formatted
... [28]
58
menyebabkan timbulnya DM. Tikus dikatakan DM jika kadar glukosa darah sesaat di atas 200 mg/dL. Masing-masing tikus yang akan digunakan dalam penelitian, ditimbang dan dicatat berat badannya. Kemudian, sebanyak 30 ekor tikus DM dibagi dalam lima kelompok, ditambah satu kelompok tikus normal (enam ekor tikus per kelompok). Jadi dalam percobaan ini terdapat enam kelompok tikus percobaan sebagai berikut: 1. Kelompok
KN (kontrol negatif): tikus normal diberi ransum standar,
sumber pati dari beras Memberamo (BM) 2. Kelompok KP (kontrol positif): tikus DM diberi ransum standar, sumber pati beras Memberamo (BM) 3. Kelompok BMIF : tikus DM diberi ransum dengan sumber pati beras Memberamo instan fungsional.
Deleted: atau Deleted: , Deleted: (beras X non perlakuan) Deleted: atau Deleted: , Deleted: (beras X non perlakuan) Deleted: X
4. Kelompok BMPF : tikus DM diberi ransum dengan sumber pati beras Memberamo pratanak fungsional.
Deleted: X
5. Kelompok BMF : tikus DM diberi ransum dengan sumber pati beras Memberamo fungsional.
Deleted: X
6. Kelompok BTM : tikus DM diberi ransum dengan sumber pati beras Taj Mahal Seluruh tikus percobaan dalam setiap kelompok diberi perlakuan selama 36 hari. Selama perlakuan berlangsung, berat badan tikus ditimbang per tiga hari,
Deleted: akan
pengukuran konsumsi ransum per hari, dan pengukuran kadar glukosa darah per 3 hari. Pada akhir percobaan dilakukan pembedahan dan pengambilan organ tikus untuk pengamatan histologi jaringan pankreas. Pembuatan Ransum Standar dan Ransum Perlakuan Pembuatan ransum tikus percobaan mengikuti metode AOAC (1995). Pemberian ransum dilakukan setiap hari sebanyak 20 g/ekor, dengan komposisi ransum sebagai berikut: Protein (a) Lemak (b)
= . 1.6 x 100 . Kadar N Kasein = [ 8 – (a) x Kadar Lemak ] 100
Formatted: Line spacing: single
59
Mineral (c) = [ 5 – (a) x Kadar Abu ] 100 Air (d) = [ 5 – (a) x Kadar Air ] 100 Serat (e) = [ 1 – (a) x Kadar Serat ] 100 Vitamin (f) = 1% Pati
= 100 – (a + b + c + d + e + f )
Sumber protein yang digunakan ialah kasein, dan sebagai sumber lemak ialah minyak jagung. Mineral yang digunakan merupakan mineral mix yang terdiri atas KI 0.79 g, NaCl 139.30 g, KH2PO4 389.00 g, MgSO4 anhidrat 53.70 g, CaCO3 381.40 g, FeSO4.7H2O 27.00 g, MnSO4.2H2O 4.01 g, ZnSO4.7H2O 0.55 g, CuSO4.5 H2O
0.48 g, dan CoCl2.6 H2O 0.02 g (Muchtadi 1989). Air yang
digunakan adalah akuades, sebagai sumber serat adalah selulosa dan vitamin merupakan vitamin mix. Pati yang digunakan ialah tepung beras dari masingmasing perlakuan seperti yang telah disebutkan sebelumnya (BM, BMPF, BMPF,
Deleted: Untuk p Deleted: ter Deleted: diatas
BMF dan BTM).
Deleted: ¶
Pengukuran Jumlah Konsumsi Ransum Jumlah ransum yang dikonsumsi diukur setiap hari selama masa perlakuan (36 hari). Konsumsi ransum ditentukan dengan cara mengumpulkan
dan
menimbang ransum sisa yang ada di dalam wadah makanan maupun yang tercecer. Ransum yang tercecer diayak terlebih dahulu untuk memisahkan dari sekam yang tercampur. Ransum sisa selanjutnya ditimbang dan dinyatakan dalam satuan gram. Jumlah konsumsi ransum dihitung dengan mengurangi jumlah ransum yang diberikan dengan sisa ransum yang telah ditimbang. Pengukuran Berat Badan Berat badan tikus selama masa perlakuan diukur setiap tiga hari, dengan
Formatted: Line spacing: single Deleted: ¶
tujuan untuk memonitor tingkat pertambahan atau penurunan berat badan tikus percobaan. Pengukuran berat badan tikus dilakukan menggunakan timbangan dan dinyatakan dalam satuan gram.
Deleted: ¶ Deleted:
Formatted: Line spacing: single
60
Analisis Histologi Jaringan Pankreas Analisis histologi jaringan pankreas bertujuan untuk mengamati terjadinya kerusakan pada pankreas tikus setelah diberi ransum ekstrak beras fungsional, yaitu beras yang diberi perlakuan ekstrak teh hijau. Analisis dilakukan pada akhir masa perlakuan, dengan cara membedah tikus dan mengambil organ pankreasnya. Analisis ini terdiri atas delapan tahapan, yaitu pengambilan sampel (sampling), fixasi (pengawetan), dehidrasi, penjernihan (clearing), infiltrasi parafin, pencetakan (embedding), pemotongan (sectioning) dan pewarnaan
(staining)
Hematoxylin-Eosin dan imunohistokimia terhadap sel β, serta pengamatan jaringan pankreas. Sampling. Tikus yang akan dibedah, dipingsankan terlebih dahulu dengan cara dislocatio cervicalis. Setelah tikus pingsan, dilakukan pembedahan dan pengambilan organ pankreas. Kemudian organ pankreas dicuci dalam larutan fisiologis (NaCl 0.9%) dan dimasukkan ke dalam larutan pengawet. Fiksasi (Pengawetan) dan Stopping Point. Pengawetan dilakukan dalam larutan Bouin yang dipersiapkan pada hari pembedahan. Larutan fiksatif (Bouin) dibuat dengan cara mencampurkan asam pikrat jenuh : formalin p.a. : asam asetat glasial, dengan perbandingan 15 : 5 : 1. Proses pengawetan (perendaman di dalam larutan fiksatif) dilakukan selama 24 jam. Kemudian pankreas dipindahkan ke dalam larutan alkohol 70%. Perendaman di dalam larutan ini berfungsi sebagai stopping point, berarti proses pengawetan dihentikan, dan organ pankreas dapat disimpan di dalam larutan ini sampai tahapan berikutnya dilakukan. Dehidrasi. Tahapan ini dilakukan dengan tujuan untuk menarik air dari jaringan secara perlahan-lahan. Dehidrasi dilakukan dengan menggunakan larutan alkohol
bertingkat.
Sebelum
dilakukan
dehidrasi,
pankreas
dipotong
menggunakan silet secara melintang menjadi bagian kecil-kecil dengan ukuran 0.5-1.0 cm3.
Potongan-potongan tersebut lalu dimasukkan ke dalam tissue
cassete. Proses penarikan air dilakukan dengan cara merendam tissue cassete berisi sampel ke dalam alkohol bertingkat, yaitu 24 jam di dalam alkohol 80%, 24 jam di dalam alkohol 90%, dan 12-24 jam di dalam alkohol 95%, dilanjutkan
61
dengan perendaman 1 jam di dalam alkohol absolut I, 1 jam di dalam alkohol absolut II, dan 1 jam di dalam alkohol absolut III. Clearing. Tahapan ini bertujuan untuk menjernihkan dan menghilangkan sisa larutan alkohol yang tersisa dalam jaringan. Penjernihan dilakukan dengan cara memindahkan tissue cassete berisi sampel dari alkohol absolut III ke dalam xylol I selama 1 jam (pada suhu kamar), lalu perendaman dilanjutkan ke dalam xylol II (pada suhu kamar) selama 1 jam dan xylol III selama 30 menit pada suhu kamar dan 30 menit pada oven bersuhu ± 60oC. Infiltrasi Parafin. Tahapan ini dilakukan untuk memudahkan pemotongan jaringan. Parafin dapat larut di dalam xylol, sehingga dalam proses ini diharapkan xylol yang telah masuk ke seluruh bagian organ, dapat digantikan oleh parafin. Dengan demikian, jaringan mudah dipotong. Setelah tahapan penjernihan selesai (jaringan berada dalam xylol III, oven suhu 60oC), potongan jaringan dikeluarkan dari tissue cassete, lalu dimasukkan ke dalam parafin cair I, II, dan III berturutturut selama 1 jam.
Infiltrasi parafin dilakukan di dalam oven suhu 60oC.
Selanjutnya sampel dicetak dalam parafin. Embedding.
Pencetakan potongan jaringan pankreas dalam parafin
(embedding), dilakukan dengan bantuan Tissue Embedding Console. Parafin cair dituangkan pada cetakan yang telah diberi gliserin dan potongan-potongan pankreas diletakkan di dalam parafin. Posisi potongan pankreas diletakkan sedemikian rupa sehingga bagian potongan yang rata dan lebar berada di dasar. Parafin didinginkan sampai membeku, lalu dilepaskan dari cetakan. Bagian parafin yang memuat potongan pankreas dipotong menjadi bentuk segi empat, kemudian ditempelkan pada balok kayu. Sampel diatas balok kayu ini disimpan di dalam refrigerator minimal 1 jam sebelum dipotong menggunakan mikrotom. Hal ini dilakukan agar dihasilkan pita jaringan yang baik. Sectioning.
Pemotongan
dilakukan
menggunakan
mikrotom,
agar
dihasilkan pita jaringan dengan ketebalan sekitar 5 μm. Sebelum pemotongan jaringan dengan ketebalan 5 μm, terlebih dahulu dilakukan trimming parafin dengan ketebalan sekitar 10 μm hingga diperoleh pita jaringan yang baik. Jika
62
telah diperoleh pita yang baik, hasil sayatan di apungkan diatas aquades dingin. Sayatan yang bagus diambil dan dibentangkan diatas akuades hangat (45oC), lalu ditempelkan pada gelas objek, dan diinkubasi selama satu malam pada suhu 37ºC. Sampel siap untuk diwarnai. Staining (HE dan Imunohistokimia terhadap Sel β).
Dua macam
pewarnaan dilakukan dalam tahapan ini yaitu pewarnaan HE dan pewarnaan dengan metode imunohistokimia. Pewarnaan HE dilakukan untuk pengamatan terhadap struktur umum jaringan. Tahapan pewarnaan dimulai dengan deparafinisasi, yaitu sediaan dimasukkan ke dalam serial larutan xylol III, II dan I, dengan maksud untuk melarutkan parafin dari jaringan. Tahap berikutnya ialah rehidrasi, yaitu sediaan dimasukkan ke dalam serial larutan alkohol (alkohol absolut III, II, dan I, alkohol 100, 95, 90, 80 dan 70%). Kemudian sediaan disiram dengan air mengalir (running water), dan dimasukkan ke dalam aquades. Sediaan kemudian diwarnai dengan pewarna hematoxylin dan kembali disiram dengan air kran mengalir untuk menguatkan warna hematoxylin, dilanjutkan dengan memasukkan ke dalam aquades. Sediaan kemudian diberi pewarna Eosin, selanjutnya dilakukan proses dehidrasi dengan mencelupkan sediaan ke dalam serial larutan alkohol 70, 80, 90, dan 95 %, alkohol absolut I, II dan III. Penjernihan atau Clearing dengan xylol I (carboxylol), xylol II dan xylol III. Tahap akhir dari pewarnaan ini ialah mounting, yaitu penempelan gelas penutup pada sediaan dengan perekat entelan. Sediaan yang telah diwarnai lalu diamati dengan mikroskop untuk melihat jumlah dan luas pulau Langerhans. Pewarnaan imunohistokimia
dalam penelitian ini bertujuan untuk
mendeteksi sel-β pankreas, yaitu sel penghasil insulin. Tahapan analisis juga dimulai dengan deparafinisasi, yaitu sediaan dimasukkan ke dalam serial larutan xylol III, II dan I, dengan maksud untuk melarutkan parafin dari jaringan. Tahap berikutnya ialah rehidrasi, yaitu sediaan dimasukkan ke dalam serial larutan alkohol (alkohol absolut III, II, dan I, alkohol 100, 95, 90, 80 dan 70%). Sediaan lalu direndam dalam air bebas ion (deionized water) selama 5-10 menit, direndam H2O2 dalam metanol (1:100), selama 15 menit. Sediaan direndam dalam air bebas ion dan PBS, masing-masing selama 2 x 10 menit. Sediaan lalu diletakkan pada
Deleted: nya peradangan, degradasi sel,
63
kotak sediaan dan ditetesi dengan serum normal 10% dalam PBS (50-60 μl/sediaan), diinkubasi pada suhu 37oC, 30-60 menit. Sediaan dicuci dengan PBS 3 x 5 menit, lalu ditetesi antibodi primer/monoklonal terhadap insulin (Sigma I2018) dalam PBS (1:1000) sebanyak 50-60 μl/sediaan, inkubasi dalam refrigerator semalam, lalu dicuci dengan PBS 3 x 10 menit. Sediaan kemudian ditetesi dengan antibodi sekunder DAKO envision peroxidase (Code No. K1491) yang telah diencerkan dengan PBS (DAKO : PBS = 3:1), sebanyak 50-60 μl/sediaan, lalu diinkubasi pada ruangan gelap suhu 37oC, 30-60 menit. Sediaan dicuci dengan PBS 3 x 5 menit, lalu ditetesi DAB (diaminobenzidine) sebanyak 50-60 μl/sediaan dalam tris buffer dan H2O2 . DAB dibiarkan bereaksi pada ruang gelap selama 25 menit, dan hasilnya dicek dibawah mikroskop. Pewarnaan dilanjutkan dengan counterstain menggunakan hematoxylin. Kemudian sediaan
Deleted: air bebas ion (1 ml air bebas ion ditambah 1 tetes reagen 1, 1 tetes reagen 2, 1 tetes reagen 3). DAB Deleted: BI
Formatted: Subscript
dicuci dengan air bebas ion dan didehidrasi dengan alkohol bertingkat (alkohol
Formatted: Subscript
70,80, 90, dan 95%, lalu alkohol absolut I, II, dan III). Penjernihan dengan xylol
Deleted: 10-20
I, xylol II dan xylol III. Tahap akhir dari pewarnaan ini ialah mounting, yaitu penempelan gelas penutup pada sediaan dengan perekat entelan. Reaksi positif ditunjukkan dengan terbentuknya warna coklat pada sel yang mengandung insulin. Sel positif terhadap pewarnaan ini ialah sel-β Pengamatan dan Pemotretan. Sediaan yang telah diwarnai dengan metode HE maupun imunohistokimia kemudian diamati dibawah mikroskop cahaya, yang telah dilengkapi dengan kamera. Pengamatan pada sediaan yang diberi pewarnaan HE meliputi pengamatan pulau Langerhans secara deskriptif, penghitungan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang dengan pembesaran 20X. Untuk sediaan yang diwarnai dengan metode imunohistokimia dilakukan penghitungan jumlah sel-β per 15 pulau Langerhans per sediaan dengan pembesaran 20X
Percobaan 4. Penentuan Indeks Glikemik Beras Pada tahap ini akan ditentukan indeks glikemik dari lima sampel uji, yaitu beras Memberamo, beras
Memberamo instan fungsional (BMIF), beras
Memberamo pratanak fungsional (BMPF), serta beras Memberamo fungsional (BMF), dan beras Taj Mahal (BTM) sebagai pembanding. Hasil yang diperoleh
Deleted: 10
64
diharapkan dapat memberikan gambaran bahwa sumber karbohidrat yang sama, dapat mempunyai indeks glikemik yang berbeda apabila diolah dan diberi perlakuan yang berbeda. Penentuan Indeks Glikemik (Miller et al. 1996) Setiap porsi nasi yang akan ditentukan IG nya (mengandung 50g karbohidrat) diberikan kepada relawan yang telah menjalani puasa penuh (kecuali air) selama semalam (sekitar pk 20.00 sampai pk 08.00 besoknya). Relawan yang digunakan ialah individu normal, tidak menderita diabetes, sebanyak 10 orang. Selama dua jam pasca konsumsi pangan uji, sampel darah sebanyak 50 μL (finger-prick cappillary blood samples method) diambil setiap 30 menit untuk diukur kadar glukosanya (pengukuran kadar glukosa menit ke-30, ke-60, ke-90 dan ke-120). Selang 3 hari, hal yang sama dilakukan dengan memberikan 50 g glukosa murni (sebagai pangan acuan) kepada relawan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi efek keragaman glukosa darah dari hari ke hari. Kadar glukosa darah (pada waktu setiap pengambilan sampel) di plot pada dua sumbu, yaitu sumbu waktu ( X ) dan sumbu kadar glukosa darah (Y). Indeks Glikemik ditentukan dengan membandingkan luas daerah dibawah kurva antara pangan yang diukur IG-nya dengan pangan acuan dikalikan 100.
Analisis Data Analysis of variance. Analysis of variance (ANOVA) dilakukan dengan menggunakan program SPSS untuk menganalisis perbedaan pada parameter fisiko kimia dan gizi. Tingkat signifikansinya dinyatakan dalam α = 5 %. Pada penapisan aktivitas hipoglikemik, rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Sedangkan pada pembuatan beras fungsional rancangan percobaan yang digunakan ialah rancangan acak faktorial, dengan dua perlakuan, masing-masing dengan dua kali ulangan.
Deleted: ¶ Deleted: nova
Page 46: [1] Formatted
SriWidowati
2/6/2007 1:49:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 1:49:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 1:49:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 12:58:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:19:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:19:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:19:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:19:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:30:00 PM
Spanish (Spain-Modern Sort) Page 46: [2] Formatted
Spanish (Spain-Modern Sort) Page 46: [3] Formatted
Spanish (Spain-Modern Sort) Page 57: [4] Formatted
Italian (Italy) Page 57: [5] Formatted
Finnish Page 57: [6] Formatted
Finnish Page 57: [7] Formatted
Finnish Page 57: [8] Formatted
Finnish Page 57: [9] Deleted
pada hewan model (tikus diabetes) Page 57: [10] Formatted
SriWidowati
2/23/2007 11:19:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:19:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:19:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:23:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:19:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:21:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:33:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:24:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:24:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:34:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:24:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:24:00 PM
Finnish Page 57: [11] Formatted
Finnish Page 57: [12] Formatted
Finnish Page 57: [13] Deleted
(hasil terpilih dari percobaan 4) Page 57: [14] Formatted
Finnish Page 57: [15] Formatted
Finnish Page 57: [16] Formatted
Finnish Page 57: [17] Formatted
Finnish Page 57: [18] Formatted
Finnish Page 57: [19] Formatted
Finnish Page 57: [20] Formatted
Finnish Page 57: [21] Formatted
Finnish Page 57: [22] Formatted
SriWidowati
2/23/2007 11:24:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:24:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:24:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:40:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:40:00 PM
SriWidowati
2/23/2007 11:43:00 PM
Finnish Page 57: [23] Formatted
Finnish Page 57: [24] Formatted
Finnish Page 57: [25] Formatted
Finnish Page 57: [26] Formatted
Finnish Page 57: [27] Deleted
Kontrol negatif, yaitu beras X non-fungsional yang diaplikasikan pada tikus normal. Page 57: [28] Formatted
Line spacing: single
SriWidowati
2/6/2007 2:09:00 PM
Formatted
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deleted:
Percobaan 1. Penapisan Aktivitas Hipoglikemik danAnalisis Komposisi Kimia Berbagai Varietas Beras Indonesia Aktivitas Hipoglikemik Pada tahap percobaan ini, sampel berupa ekstrak pati beras dari sepuluh varietas yang diuji, yaitu: Pandan wangi, Rojolele, Bengawan Solo, Memberamo, Celebes, Ciherang, Batang Piaman dan Cisokan, serta Lusi (beras ketan) dan Cenana (beras merah lokal dari Tabanan, Bali).
Hewan percobaan yang
digunakan adalah tikus putih (Ratus novergicus) strain Sprague-Dawley jantan dengan berat sekitar 150-200 g. Tikus percobaan dipuasakan selama satu malam, tetapi tetap diberi minum secara ad libitum. Keesokan harinya kadar glukosa darah tikus diukur menggunakan glukometer, hasilnya ditetapkan sebagai kadar glukosa darah puasa (pengukuran menit ke-0). Selanjutnya tikus diberi sampel ekstrak pati beras yang akan diuji efek hipoglikemiknya. Ekstrak dilarutkan dalam air dan diberikan secara oral (4.5 g/kg berat badan). Setelah 30 menit, tikus diberi larutan D-glukosa 10% sebanyak 1 ml secara oral. Tiga puluh menit kemudian, kadar glukosa darah tikus diukur dengan glukometer (pengukuran menit ke-30). Pengukuran kadar glukosa yang sama dilakukan pada menit ke-60, 90 dan 120. Hasil pengukuran kadar glukosa seluruh sampel beras yang diuji dibuat kurva dan dibandingkan aktivitas hipoglikemiknya. Rata-rata pengukuran kadar glukosa darah tikus (n = 6) pada saat puasa dan
Formatted: Finnish Formatted: Finnish
selama penentuan aktivitas hipoglikemik disajikan pada Lampiran 1. Hasil
Formatted: Finnish
penelitian menunjukkan bahwa perubahan kadar glukosa darah tikus bervariasi,
Formatted: Finnish
dipengaruhi oleh kadar glukosa darah puasa dan respon individu. Respon
Formatted: Finnish
glikemik yang bervariasi tersebut tidak hanya ditemukan pada hewan percobaan, tetapi juga pada manusia. Hal serupa dilaporkan oleh Marsono (2002) saat mengukur kadar glukosa darah relawan pada pengujian indeks glikemik (IG). Oleh karena itu, respon glikemik tidak dapat di plot dalam kurva dan dibandingkan secara langsung. Untuk menentukan aktivitas hipoglikemik dari masing-masing varietas dilakukan dengan cara menghitung perubahan kadar
Formatted: Finnish
66
glukosa darah, yaitu selisih antara kadar glukosa darah pasca konsumsi ekstrak
Formatted: Finnish Formatted: Finnish
pati beras terhadap kadar glukosa darah puasa (Tabel 4). Data tersebut kemudian
Formatted: Finnish
diplot pada kurva (Gambar 12) dan respon glikemik atau aktivitas hipoglikemik
Formatted: Finnish
ditunjukkan dengan luas area dibawah kurva dari masing-masing varietas. Tabel 4. Perubahan kadar glukosa darah tikus pasca konsumsi pati beras terhadap kadar glukosa darah puasa (n = 6). No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Perubahan kadar glukosa darah (mg/dl) Variets Puasa Setelah konsumsi pati beras 30' *) 60' 90' 120' Cisokan 0 21.0 a 16.0 8.2 1.8 Bt. Piaman 0 32.8 b 26.0 20.0 0.0 Memberamo 0 36.2 b 30.2 28.5 22.2 Cenana Bali 0 38.8 b 37.3 22.3 16.8 c Lusi 0 49.0 35.1 25.1 -0.2 Bgw Solo 0 50.5 d 35.0 19.3 9.0 Celebes 0 49.0 cd 36.5 28.0 10.5 Pnd. Wangi 0 39.6 bc 39.6 29.5 26.1 Taj Mahal 0 54.7 d 33.0 35.5 23.3 Rojolele 0 51.7 d 38.8 32.5 25.3 Ciherang 0 66.2 e 50.0 37.0 27.7
Formatted: Portuguese (Brazil)
Luas kurva (mm2) 1382.5a 2370.0 b 3177.5 bc 3207.5 bc 3274.0 bc 3280.0 bc 3562.5 c 3657.5 c 4045.0 c 4070.0 c 5010.0 d
Keterangan: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05). *) Puncak perubahan kadar glukosa darah tikus
Formatted: Font: 10 pt
Respon glikemik ditunjukkan sebagai luas area dibawah kurva kadar glukosa darah setelah mengonsumsi pati beras (Gambar 12). Semakin besar luas area dibawah kurva atau semakin tinggi respon glikemiknya berarti aktivitas hipoglikemiknya semakin rendah. Hasil analisis statistik menunjukkan aktivitas hipoglikemik antar varietas beras berbeda nyata (p<0.05, Lampiran 2). Aktivitas hipoglikemik dipengaruhi oleh karakteristik bahan secara simultan (Foster-Powell et al. 2002). Berdasarkan hasil analisis statistik (Lampiran 2), varietas beras yang diuji dapat dibedakan menurut aktivitas hipoglikemiknya dari yang tertinggi hingga terendah dibagi atas lima kategori, yaitu :1) Cisokan, 2) Batang Piaman, 3) Memberamo, Cenana Bali, Lusi, Bengawan Solo, 4) Pandan Wangi, Taj Mahal, Celebes; Rojo Lele, dan 5) Ciherang (Tabel 4). Lasimo et al. (2002) menyebutkan bahwa terapi primer DM yang lazim dilakukan ialah terapi diet didasarkan pada kaidah 3-J, yaitu: 1) Jumlah kalorinya
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
67
terukur disesuaikan dengan status gizi pasien, 2) Jenis dietnya dipilih, umumnya yang memiliki efek menurunkan glukosa darah (hipoglikemik) atau berpotensi mencegah komplikasi, dan 3) Jadwal penyajian terprogram untuk menghindari beban glukosa post prandial yang tidak terkontrol, yang justru dapat membahayakan penderita DM. Berdasarkan kaidah tersebut maka varietas Cisokan dan Batang Piaman merupakan varietas beras hipoglikemik terbaik. Namun kedua varietas tersebut merupakan beras pera dan rasanya kurang enak, karena tergolong beras beramilosa tinggi (BALITPA 2004b). Oleh karena itu varietas tersebut tidak terpilih untuk tahap penelitian berikutnya. Beras yang diinginkan adalah beras hipoglikemik yang mempunyai rasa enak dan pulen.
Perubahan kadar glukosa darah (mg/dl
70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 -10,00
0,00
Cisokan Cenana Bali Taj Mahal
30,00 60,00 90,00 Waktu sampling (menit) Bt Piaman Bgw Solo Ciherang
Memberamo Celebes Rojolele
120,00 Lusi Pnd Wangi
Gambar 12. Perubahan kadar glukosa darah tikus setelah mengonsumsi pati dari 10 varietas beras Indonesia dan beras Taj Mahal. Varietas beras yang mempunyai sifat hipoglikemik terbaik setelah Cisokan dan Batang Piaman adalah Memberamo, Cenana Bali, Lusi dan Bengawan Solo. Varietas Lusi adalah ketan, sedangkan Cenana Bali adalah beras merah lokal (umur panen 5.5 bulan), tidak lazim dikonsumsi sehari-hari, sehingga kedua varietas ini tidak dipilih. Varietas Memberamo dan Bengawan Solo merupakan varietas beramilosa rendah, mempunyai tekstur nasi yang pulen dan rasa enak (BALITPA 2004b). Jadi kedua varietas tersebut berpeluang untuk digunakan dalam pembuatan beras fungsional sesuai kriteria yang diinginkan dalam penelitian ini. Parameter lain yang dapat digunakan untuk memilih varietas yaitu dengan mempertimbangkan puncak kadar glukosa darah. Seluruh varietas yang diuji
Deleted: ¶ ¶ Hasil penelitian menunjukkan bahwa puncak perubahan kadar gula tertinggi terdapat pada varietas Ciherang. Peningkatan kadar gula darah mencapai 66.4 mg/dl dalam 30 menit dan tidak kembali ke kadar gula awal setelah 120 menit pasca konsumsi pati beras. Hal ini memberikan gambaran bahwa varietas Ciherang dapat meningkatkan kadar gula darah dengan cepat. Sebaliknya, varietas Cisokan memberikan puncak perubahan kadar gula paling rendah diantara sampel uji, yaitu 21 mg/dl dalam 30 menit dan kembali pada kondisi kadar gula darah awal setelah 120 menit pasca konsumsi pati beras. Hal tersebut menunjukkan varietas Cisokan meningkatkan kadar gula darah secara perlahan.¶ Karbohidrat yang dicerna secara cepat selama proses pencernaan mempunyai IG yang tinggi, hal ini karena respon perubahan kadar gula darah yang tinggi dan cepat. Pada karbohidrat yang dicerna secara lambat, pelepasan glukosa ke dalam pembuluh darah berlangsung secara perlahan, sehingga IG-nya rendah. ¶ Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon hipoglikemik beras dipengaruhi oleh jenis varietasnya (Gambar 11). Hal ini memperkuat pernyataan Foster-Powell et al. (2002) bahwa padi atau beras mempunyai kisaran nilai IG yang luas, dikarenakan adanya perbedaan genetik padi dari satu negara ke negara lain. Berarti, perbedaan varietas akan memberikan perbedaan aktivitas hipoglikemik yang berbeda pula. Gambar 11 menunjukkan bahwa beras Taj mahal, yang di pasaran dijual dengan klaim sesuai untuk penderita diabetes, ternyata respon glikemiknya moderat atau aktivitas hipoglikemiknya sedang, dibandingkan dengan varietas beras Indonesia yang diuji.¶ ¶ ¶ Deleted: 1 Deleted: berbagai
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: Indent: First line: 0,99 cm
68
menunjukkan puncak perubahan kadar glukosa darah dicapai pada 30 menit setelah mengonsumsi pati beras (Gambar 12). Hasil analisis sidik ragam
Deleted: 1
menunjukkan bahwa puncak kadar glukosa darah antar varietas beras berbeda nyata (p<0.05, Lampiran 3). Puncak perubahan kadar glukosa darah varietas Memberamo (36.2 mg/dl) jauh lebih rendah dibandingkan dengan varietas Bengawan Solo (50.5 mg/dl). Puncak kadar glukosa darah yang tinggi tidak menguntungkan bagi penderita DM. Berdasarkan karakteristik tersebut, maka varietas Memberamo terpilih untuk digunakan dalam penelitian selanjutnya. Data diatas menunjukkan bahwa aktivitas hipoglikemik beras dipengaruhi
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
oleh jenis varietasnya. Hal ini memperkuat pernyataan Foster-Powell et al. (2002) bahwa padi atau beras mempunyai kisaran nilai IG yang luas, dikarenakan adanya perbedaan genetik padi dari satu negara ke negara lain. Hasil penelitian yang menarik bahwa beras Taj mahal, yang di pasaran dijual dengan klaim sesuai untuk penderita diabetes, ternyata mempunyai aktivitas hipoglikemik relatif rendah, dengan puncak kenaikkan kadar glukosa darah (54.7 mg/dl) tertinggi kedua
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
setelah Ciherang. Hal ini memberi harapan bahwa sebenarnya ada varietas beras Indonesia yang memiliki respon glikemik rendah, meskipun tidak menutup kemungkinan terdapat juga varietas yang respon glikemiknya tinggi. Pada kenyataannya beras giling mempunyai kisaran IG yang luas, menurut Miller et al. (1992) IG beras berkisar antara 54 sampai dengan 121. Oleh karena itu, FosterPowell et al. (2002) menyarankan untuk melakukan pengujian IG beras secara lokal karena adanya variasi genetik yang cukup luas antar negara. Komposisi Kimia Beras Beras merupakan makanan pokok penduduk Indonesia secara turun-
Formatted: Line spacing: single Deleted: ¶
Formatted: Finnish
temurun. Komponen nutrisi utama pada beras adalah karbohidrat. Di Indonesia
Formatted: Finnish
komoditas ini tidak hanya sebagai penyumbang energi terbesar, tetapi juga
Deleted: n
merupakan sumber protein, terutama bagi masyarakat golongan menengah kebawah. Sebagian besar beras giling yang dijual di pasaran memiliki derajat sosoh 90%, maksudnya adalah 90% dari bekatul telah dihilangkan atau disosoh
Deleted: Deleted: kalor Deleted: ( Deleted: )
(Damardjati et al. 1989). Derajat sosoh beras akan berpengaruh terhadap aktivitas
Formatted: Finnish
hipoglikemik atau nilai IG-nya. Semakin tinggi derajat sosoh beras, penampakan
Deleted:
beras giling menjadi semakin putih dan respon glikemiknya juga akan semakin
Deleted: d
Formatted: Finnish
69
tinggi. Oleh karena itu beras pecah kulit (brown rice), yaitu beras yang hanya dihilangkan sekamnya saja, akan memiliki IG lebih rendah dibandingkan dengan beras giling dari varietas yang sama (Miller et al. 1996; Foster-Powell et al. 2002). Beras pecah kulit memiliki aktivitas hipoglikemik yang cenderung tinggi, karena bekatul di dalam beras tersebut belum dipisahkan.
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish
Analisis komposisi kimia beras dilakukan terhadap tiga varietas yang
Formatted: Finnish Formatted: Finnish
mempunyai aktivitas hipoglikemik tinggi, yaitu Cisokan dan Batang Piaman
Formatted: Finnish
(beras pera) serta varietas Memberamo yang merupakan beras pulen tetapi
Formatted: Finnish
aktivitas hipoglikemiknya tinggi. Analisis komposisi kimia juga dilakukan pada beras Taj Mahal sebagai pembanding.
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Font: Not Bold
Kadar Pati Komponen utama di dalam beras adalah karbohidrat yaitu lebih dari 90 %,
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
dan sebagian besar karbohidrat beras adalah pati. Hasil uji statistik kadar pati
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
menunjukkan tidak ada perbedaan nyata diantara empat varietas yang diuji
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
(Lampiran 4). Kadar pati di dalam beras giling berkisar antara 83.74 sampai
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
dengan 85.79 % bk (Tabel 5). Tabel 5. Kadar pati, amilosa, amilopektin dan gula total pada beras giling (% bk) No Varietas Pati Amilosa Amilopektin Gula total 1.
Cisokan
85.79a
27.61b
58.18b
0.39a
2.
Batang Piaman
85.47a
29.92b
55.55a
0.34a
3.
Memberamo
84.52a
19.30a
65.21c
0.56a
4.
Taj Mahal
83.75a
27.58b
56.17a
0.39a
Ket: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05);
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted: Font: Not Bold Formatted: Line spacing: single Formatted: Font: Not Bold Formatted: Line spacing: single Formatted: Font: Not Bold Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Line spacing: single
Konsep lama dalam manajemen diet penderita diabetes menganjurkan agar diabetesi membatasi konsumsi beras, dan beralih untuk mengonsumsi umbiumbian. Hal ini karena ada anggapan bahwa beras merupakan pangan hiperglikemik, yaitu pangan yang dapat menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat dan tinggi. Padahal respon glikemik beras sangat bervariasi, dipengaruhi oleh cara pengolahan, jenis varietas dan komposisi kimia (Foster-Powell et al. 2002; Rimbawan & Siagian 2004). Pati adalah komponen utama dalam
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata ¶ pada taraf uji 5 % (DMRT); *) Beras impor sebagai pembanding **) Beras ketan.¶ ¶
Formatted: Font: 10 pt Formatted: Font: 10 pt Formatted: Font: 10 pt Formatted: Font: 10 pt
70
karbohidrat dan merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon glikemik (Willet et al. 2002). Hasil penelitian ini menunjukkan kadar pati mempunyai korelasi tinggi terhadap respon glikemik (area dibawah kurva perubahan kadar glukosa), dengan nilai r = -0.976 (Lampiran 11). Berarti, perubahan kadar pati akan berpengaruh nyata terhadap aktivitas hipoglikemik. Namun pati bukan faktor tunggal yang mempengaruhi perubahan kadar glukosa di dalam darah. Komponen karbohidrat lain yang dapat mempengaruhi aktivitas hipoglikemik adalah gula, serat pangan dan pati resisten. Kadar Amilosa-Amilopektin Amilosa merupakan parameter utama yang menentukan mutu tanak dan mutu rasa nasi. Beras yang mengandung amilosa tinggi bila ditanak akan menghasilkan nasi pera dan tekstur keras setelah dingin, sebaliknya kandungan
Formatted: Line spacing: single Formatted: Font: Italic Deleted: Kandungan pati dari keseluruhan beras yang diuji berkisar antara 76.55 (Batang Piaman) sampai 80.9 % (Memberamo dan Celebes), sedangkan protein bervariasi antara 6.1 (Batang Piaman dan Bengawan Solo) sampai 7.39 % (Cenana) dan lemak 0.31 (Rojo Lele) hingga 0.88 % (Taj Mahal). Kandungan pati merupakan faktor utama yang mempengaruhi respon glikemik (Willet et al. 2002). Namun, protein dan lemak juga memberikan kontribusi dalam aktivitas hipoglikemik (Eckel 2003). Keberadaan protein dan lemak dalam bahan pangan cenderung menurunkan respon glikemik (Foster-Powell et al.... [1]
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden)
amilosa pada beras yang rendah akan menghasilkan nasi pulen dan teksturnya
Formatted
lunak (Yusof et al. 2005). Oleh karena itu, amilosa merupakan salah satu
Formatted: Finnish
komponen mutu yang dianalisis dalam pelepasan varietas padi (BALITPA 2004b). Sebaliknya, bila kadar amilopektin beras meningkat, maka teksturnya semakin pulen dan rasa lebih enak. Berdasarkan kandungan amilosanya, beras diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu beras dengan tekstur keras atau pera (amilosa >25 - 30 %), sedang (amilosa 20-25 %) dan lunak atau pulen (amilosa 10 - < 20 %) (Kush et al. 1986). Kandungan amilosa beras yang diteliti berkisar antara 19.30 (Memberamo) hingga 29.9 % (Batang Piaman). Kandungan pati dan amilosa berpengaruh terhadap daya cerna beras atau nasi. Sampai saat ini masih terjadi perbedaan
Formatted
... [3]
Formatted
... [4]
Deleted: Amilosa dan Gula...Total [5] ¶
Formatted: Finnish Deleted: a
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Deleted: .
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Deleted: pati Deleted: n Deleted: 76.30
pendapat diantara ilmuwan mengenai kecepatan pencernaan pati, hubungannya
Formatted: Finnish
dengan kandungan amilosa-amilopektin. Sebagian besar ilmuwan berpendapat
Deleted: Batang Piaman
bahwa amilosa dicerna lebih lambat dibandingkan dengan amilopektin (Miller et
Formatted: Finnish Deleted: 81
al. 1992; Foster-Powell, et al. 2002; Behall & Hallfrisch 2002), karena amilosa
Deleted:
merupakan polimer dari gula sederhana dengan rantai lurus, tidak bercabang.
Formatted: Finnish
Rantai yang lurus ini menyusun ikatan amlilosa yang solid sehingga tidak mudah
Deleted: Memberamo
Formatted: Finnish
tergelatinasi. Oleh karena itu amilosa lebih sulit dicerna dibandingkan dengan
Formatted: Finnish
amilopektin yang merupakan polimer gula sederhana, bercabang dan struktur
Formatted
terbuka. Berdasarkan karakteristik tersebut maka pangan yang mengandung
... [2]
Formatted: Finnish Formatted: Finnish
... [6]
71
amilosa tinggi memiliki aktivitas hipoglikemik lebih tinggi dibandingkan dengan pangan yang mengandung amilopektin tinggi (Miller et al. 1992; Foster-Powell, et al. 2002; Behall & Hallfrisch 2002). Namun berdasarkan mekanisme hidrolisis enzimatis, amilosa dapat dihidrolisis hanya dengan satu enzim yaitu α-amilase. Sedangkan amilopektin,
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Deleted: . Deleted: ,
Formatted: Finnish
karena mempunyai rantai cabang, maka pertamakali yang dihidrolisis adalah bagian luar oleh α-amilase, kemudian dilanjutkan oleh α(1 Æ 6) glukosidase. Selain itu, berat molekul amilopektin lebih besar dibandingkan dengan amilosa.
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish
Berdasarkan pertimbangan ini, maka amilopektin memerlukan waktu yang lebih lama untuk dicerna dibandingkan dengan amilosa (Lehninger 1982). Hasil uji statistik terhadap kadar amilosa menunjukkan ada perbedaan nyata antar varietas (Lampiran 5). Dari empat varietas yang dianalisis menunjukkan tiga
Formatted: Finnish
diantaranya tergolong amilosa tinggi (>25%), kecuali varietas Memberamo yang tergolong amilosa rendah (<20%). Pati merupakan polisakarida yang tersusun dari rantai panjang molekul glukosa yang membentuk amilosa (rantai glukosa lurus tanpa cabang) dan amilopektin (rantai glukosa bercabang). Pada umumnya beras mengandung 20 % amilosa dan 80 % amilopektin (Miller et al. 1992). Lebih lanjut Miller et al. (1992) menyatakan bahwa beras dengan kadar amilosa tinggi, seperti beras pecah kulit varietas Dongara dan Basmati menghasilkan kadar glukosa darah dan respon insulin yang rendah. Hasil penelitian ini memperkuat pendapat bahwa beras berkadar amilosa tinggi akan meningkatkan kadar glukosa
Deleted: (
darah dengan lambat dan rendah. Terbukti bahwa varietas Cisokan (kadar amilosa
Formatted: Finnish
27.60%) dan Batang Piaman (kadar amilosa 29.90%) memiliki aktivitas
Formatted: Font: Not Italic, Finnish
hipoglikemik tertinggi diantara 10 varietas yang diuji.
Formatted: Finnish
Pati sebagai sumber energi mempuyai korelasi sangat tinggi terhadap aktivitas hipoglikemik (r = -0.976). Meskipun demikian, komponen penyusunnya yaitu amilosa mempunyai korelasi yang rendah terhadap aktivitas hipoglikemik (r = -0.283, Lampiran 11), bahkan amilopektin hampir tidak berhubungan dengan aktivitas hipoglikemik (r = 0.094). Hasil analisis sidik ragam amilopektin dari empat varietas yang diuji menunjukkan adanya perbedaan nyata antar varietas (Lampiran 6). Kadar amilopektin berkisar antara 55.55 hingga 65.22 % (Tabel 5). Respon glikemik yang dimanifestasikan sebagai IG pangan merupakan sifat bahan
Formatted: Finnish Formatted: Font: Not Italic, Finnish Formatted: Finnish Formatted: Font: Not Italic, Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Deleted: cenderung
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish
72
yang tidak dapat diprediksi secara langsung dari salah satu komponen bahan saja. Meskipun korelasinya rendah, tetapi hasil penelitian ini dapat memberikan gambaran bahwa varietas yang memiliki kadar amilosa tinggi akan menghasilkan aktivitas hipoglikemik yang tinggi. Namun, varietas Memberamo memiliki kekhususan, meskipun kadar amilosanya tergolong rendah (19.30%) tetapi menunjukkan sifat hipoglikemik. Hasil ini memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya, bahwa beberapa faktor saling terkait dalam mempengaruhi perubahan kadar glukosa darah setelah mengonsumsi bahan pangan (Miller et al. 1992; Foster-Powell, e. al. 2002; Eckel 2003). Menurut Yusof et al. (2005), laju pencernaan yang lebih lambat setelah mengonsumsi nasi dari beras berkadar amilosa tinggi kemungkinan karena pada saat pengolahan atau pemanasan amilosa membentuk kompleks dengan lipid, sehingga menurunkan kerentanan terhadap hidrolisis enzimatik dan laju pencernaan juga menurun. Selain hal itu, amilosa mempunyai ikatan hidrogen
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Deleted: Hasil penelitian ini memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi respon glikemik (Miller et al. 1992; Foster-Powell, e. al. 2002; Eckel 2003).
Formatted: Finnish Formatted: Font: Not Italic, Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Font: Not Italic, Finnish Formatted: Finnish Deleted: dapat dikatagorikan varietas yang memmpunyai
Formatted: Finnish Formatted: Finnish
yang lebih kuat dibandingkan dengan amilopektin, sehingga amilosa lebih sukar dihidrolisis oleh enzim-enzim pencernaan (Behall & Hallfrich 2002). Oleh karena itu komposisi amilosa-amilopektin berpengaruh dalam penggolongan beras sebagai pangan ber-IG rendah atau tinggi (Miller et al. 1992).
Formatted: Finnish Formatted: Finnish
Kadar Gula Total Kandungan gula total di dalam beras kurang dari 1 % (Tabel 5), dan uji statistik menunjukkan tidak berbeda nyata antar varietas (Lampiran 7). Kadar gula
Formatted: Finnish Formatted: Finnish Formatted: Finnish
di dalam beras yang diuji berkisar antara 0.34 sampai dengan 0.56 % (bk). Kontribusi kadar gula dalam meningkatkan kadar glukosa di dalam darah tidak selalu sama, kemungkinan dipengaruhi oleh jenis gula penyusunnya, sebagai contoh respon glikemik atau IG dari glukosa > sukrosa > fruktosa (Foster-Powell et al. 2002). Sebagian orang berpendapat bahwa semakin tinggi kadar gula di dalam makanan maka IG makanan semakin tinggi pula. Pendapat tersebut tidak selalu tepat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas dengan aktivitas hipoglikemik terbaik, yaitu Cisokan dan Batang Piaman memiliki kandungan gula total relatif rendah.
Formatted: Font: Not Italic
73
Formatted: Font: Italic
Kadar Protein Protein merupakan komponen kimia terbesar kedua setelah karbohidrat di dalam beras. Hasil analisis sidik ragam kadar protein (Lampiran 8) menunjukkan
Formatted: Indent: First line: 0 cm Formatted: Font: Bold, Italic Formatted: Font: Not Bold
adanya perbedaan nyata (p <0.05) antar varietas. Kandungan protein beras giling yang diuji bervariasi antara 6.83 (Batang Piaman) sampai dengan
7.61 %
Formatted: Font: Not Italic
(Memberamo) (Tabel 6). Pada umumnya porsi nasi di dalam menu makan masyarakat Indonesia jauh lebih besar dibandingkan dengan sayuran, buahbuahan dan lauk-pauk. Oleh karena itu beras juga berperan sebagai sumber protein selain fungsi utamanya sebagai sumber energi. Protein berpengaruh menurunkan perubahan kadar glukosa darah (Foster-Powell et al.2003; Eckel
Formatted: Swedish (Sweden)
2003; Rimbawan & Siagian 2004). Penurunan respon glikemik tersebut diduga
Formatted: Swedish (Sweden)
karena protein berpengaruh memperpanjang laju pengosongan lambung sehingga
Formatted: Line spacing: single
laju pencernaan dan absorpsi di dalam usus halus juga lebih lambat. Berdasarkan
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
kenyataan ini, makanan serupa yang memiliki kandungan protein lebih tinggi akan menghasilkan aktivitas hipoglikemik yang lebih tinggi. Dengan kata lain, makanan tersebut bersifat hipoglikemik. Varietas Memberamo memiliki kandungan protein tertinggi diantara empat varietas yang diuji. Jadi kadar protein memberi kontribusi terhadap rendahnya perubahan kadar glukosa darah, meskipun varietas ini tergolong beramilosa rendah.
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
Tabel 6. Kandungan protein, abu dan lemak pada beras giling (% bk) No Varietas Protein Abu Lemak
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden)
1.
Cisokan
7.10a
0.66b
0.87c
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
2.
Bt. Piaman
6.83a
0.34a
0.60b
Formatted: Swedish (Sweden)
3.
Memberamo
7.61b
0.50ab
0.46a
4.
Taj Mahal *)
7.18a
0.65b
0.98d
Ket: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05).
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted Table Formatted: Swedish (Sweden)
Kadar Lemak dan Abu Lemak mempunyai sifat metabolisme yang serupa dengan protein, yaitu
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden)
dicerna dan diserap lebih lambat dibandingkan dengan karbohidrat. Oleh karena
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
itu makanan yang mengandung lemak lebih tinggi, akan memiliki nilai IG lebih
Formatted: Font: Not Bold
rendah dibandingkan dengan makanan yang mengandung lemak rendah. Sebagai
Formatted: Line spacing: single
74
contoh, kentang yang digoreng memiliki IG lebih rendah (54) dibandingkan
Deleted: .
dengan kentang yang dipanggang (IG = 85) (Rimbawan & Siagian 2004).
Formatted: Indent: First line: 0,95 cm
Informasi ini diperkuat dengan hasil penelitian Astawan dan Widowati (2005) yang melaporkan bahwa ubi jalar klon BB 00105.10 memiliki IG paling rendah apabila digoreng (IG = 47) dibandingkan dengan ubi jalar yang sama tetapi
Deleted: ¶ Tabel 6. Kadar amilosa dan gula total pada berbagai varietas beras giling¶ (derajat sosoh = 90 %)¶ No ... [7]
direbus (IG = 62) atau dipanggang (IG = 80). Fakta tersebut menegaskan bahwa
Formatted: Swedish (Sweden)
peningkatan kadar lemak dalam pangan, pada contoh di atas merupakan dampak
Formatted: Indent: First line: 0,95 cm
dari proses penggorengan, akan menurunkan respon glikemik.
Formatted: Swedish (Sweden)
Kadar lemak di dalam beras sangat kecil, yaitu kurang dari 1% (Tabel 6)
Formatted: Indent: First line: 0,95 cm
sehingga kontribusinya terhadap aktivitas hipoglikemik tidak nyata. Hasil analisis
Formatted: Indent: First line: 0,95 cm
sidik ragam menunjukkan adanya beda nyata antar varietas (Lampiran 9). Kadar
Formatted: Indent: First line: 0,95 cm
lemak beras giling berkisar antara 0.46 (Memberamo) sampai dengan 0.98 % (Taj Mahal). Abu merupakan komponen terkecil di dalam beras giling, namun hasil
Formatted: Indent: First line: 0,95 cm Formatted: Indent: First line: 0,95 cm
analisis sidik ragam menunjukkan adanya variasi nyata antar varietas (Lampiran
Formatted: Indent: First line: 0,95 cm
10). Kadar abu dari beras giling berkisar antara 0.34 hingga 0.66%, dan varietas
Formatted: Indent: First line: 0,95 cm
Memberamo memiliki kadar abu 0.50% (Tabel 6).
Formatted: Indent: First line: 0,95 cm Formatted
... [8]
Formatted
... [9]
Konsep lama di dalam ilmu gizi meyakini bahwa pati merupakan
Formatted
... [10]
karbohidrat komplek dan sumber energi utama dari bahan pangan nabati, dapat
Formatted
... [11]
Formatted
... [12]
Formatted
... [13]
Formatted
... [14]
Formatted
... [15]
Formatted
banyak hasil penelitian, baik in vitro maupun in vivo yang menemukan bahwa
... [16]
Formatted
... [17]
tidak semua pati dapat dicerna secara sempurna. Hal ini ditandai dengan adanya
Formatted
... [18]
Formatted
... [19]
Formatted
... [20]
Formatted
... [21]
Formatted
... [22]
Formatted
... [23]
Pati Resisten
dicerna secara sempurna di dalam usus halus manusia. Anggapan ini didasarkan pada pengetahuan bahwa air liur dan pankreas menghasilkan enzim amilase yang dapat menghidrolisis pati. Namun, teori tersebut saat ini telah dikoreksi setelah
sisa pati di dalam usus besar. Fraksi pati yang tidak tercerna ini disebut pati resisten (Resistant Starch, RS) (Asp 1983). Pati resisten menunjukkan ketahanan terhadap degradasi enzimatis dalam pencernaan (Cairns et al. 1996). Dari sudut pandang fisiologis, pati resisten
Formatted
didefinisikan sebagai jumlah pati dan hasil dari pencernaan pati yang tidak dapat
Deleted:
diserap di dalam usus halus individu sehat. Pencernaan dan penyerapan
... [24] Angka pada ... [25]
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted Formatted: Font: Italic
... [26]
75
karbohidrat yang lamban akan menurunkan respon metabolik post prandial (Jenkins et al. 2002). Oleh karena itu, karbohidrat yang dicerna secara lambat, bahkan tidak dapat dicerna seperti pati resisten akan meningkatkan aktivitas hipoglikemik. Hasil serupa dilaporkan oleh Astawan dan Widowati (2005) bahwa pati resisten merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam penentuan aktivitas hipoglikemik ubijalar. Dengan kata lain diet yang mengandung pati resisten cenderung bersifat hipoglikemik. Hasil analisis sidik ragam kadar pati resisten menunjukkan adanya perbedaan nyata antar varietas (Lampiran 12). Gambar 13 menunjukkan kandungan pati resisten dari tiga varietas beras Indonesia dan beras Taj Mahal sebagai pembanding. Varietas Memberamo memiliki kadar pati resisten tertinggi (2.68 %) dibandingkan dengan Cisokan (2.02 %) dan Batang Piaman (1.70 %). Beras Taj Mahal memiliki kadar pati resisten yang lebih tinggi dibandingkan dengan seluruh varietas yang diuji, yaitu sebesar 2.78 %.
2,68c
3 2,5 Pati resisten (%)
2
2,02b
2,78c
1,7 a
1,5 1 0,5 0 Cisokan
Bt Piaman Memberamo
Taj Mahal
Varietas
Gambar 13. Profil pati resisten pada berbagai varietas beras giling Formatted: Justified
Sejalan dengan hasil penelitian Astawan dan Widowati (2005) bahwa pati resisten merupakan komponen utama yang berpengaruh terhadap respon glikemik, dalam penelitian ini juga diperoleh korelasi yang tinggi (r = 0.786) antara kadar pati resisten pada beras giling dengan aktivitas hipoglikemik (Lampiran 17). Varietas Memberamo mengandung pati resisten paling tinggi (2.68%), dibandingkan dengan Cisokan dan Batang Piaman. Komponen pati resisten ini
Formatted: Justified, Indent: First line: 1 cm, Line spacing: 1.5 lines
76
diduga sebagai komponen yang sangat mendukung tingginya aktivitas hipoglikemik varietas Memberamo, meskipun kadar amilosanya rendah.
Deleted: ¶ Daya Cerna Pati dan
Formatted: Font: Italic Deleted: ndungan
Formatted: Font: Italic
Kadar Serat Pangan Konsep IG merupakan pengembangan dari hipotesis serat yang menyatakan bahwa konsumsi serat akan menurunkan laju masukan nutrien dari usus (Jenkins et al. 2002). Serat pangan memegang peranan penting dalam memelihara kesehatan individu. Oleh karena itu, serat pangan merupakan salah satu komponen pangan fungsional yang dewasa ini mendapat perhatian masyarakat luas. Serat pangan berbentuk karbohidrat kompleks yang banyak terdapat di dalam dinding sel tumbuhan. Serat pangan tidak dapat dicerna dan diserap oleh saluran pencernaan manusia tetapi memiliki fungsi yang sangat penting bagi pemeliharaan kesehatan, pencegahan berbagai penyakit dan sebagai komponen penting dalam terapi gizi. Komponen ini meliputi polisakarida yang tidak dapat dicerna, seperti selulosa, hemiselulosa, oligosakarida, pektin, gum dan waxes (Sardesai 2003; Astawan & Wresdiyati 2004). Serat pangan mempengaruhi asimilasi glukosa dan mereduksi kolesterol darah. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa serat tanaman tertentu menghambat penyerapan karbohidrat dan menghasilkan postprandial glikemik yang rendah. Peningkatan serat pangan di dalam diet berkaitan dengan reduksi resistensi insulin. Penambahan serat pangan yang
Formatted: Indent: First line: 0,99 cm Deleted: Diantara berbagai varietas beras Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini, varietas Cisokan memiliki daya cerna pati yang paling rendah (52.21%). Menurut Willet et al. (2002), karbohidrat yang diserap secara lambat akan menghasilkan puncak kadar gula darah yang rendah pula dan berpotensi yang baik dalam mengendalikan respon glikemik. Hal ini menunjukkan bahwa Cisokan memperkuat pendapat tersebut. Sedangkan bahan pangan yang mudah terhidrolisis selama proses pencernaan akan segera meningkatkan kadar gula darah. Peningkatan kadar gula darah secara cepat akan mendorong pankreas untuk memproduksi dan mensekresikan indulin. Konsekwensinya, kadar gula darah yang tinggi akan meningkatkan respon insulin (Ostman et al. 2001). Data yang tertera pada Tabel 7 nampaknya tidak konsisten, varietas Ciherang menunjukkan puncak kadar gula darah yang tinggi (Gambar 12), namun varietas tersebut memiliki daya cerna pati yang sedang (medium). Sedangkan varietas Batang Piaman memiliki daya ... [27]
berasal dari serealia, kacang-kacangan dan sayuran sangat bermanfaat bagi
Formatted: Swedish (Sweden)
penderita diabetes (Sardesai 2003).
Deleted: adalah serat pangan
Serat pangan total (SPT) meliputi serat pangan yang larut air (SPL) dan serat pangan yang tidak larut air (SPTL). Fungsi SPL terutama adalah
Deleted: h Deleted: dapat digolongkan menjadi dua, yaitu Deleted: soluble dietary fiber
memperlambat kecepatan pencernaan di dalam usus, memberikan rasa kenyang
Deleted: insoluble dietary fiber
yang lebih lama, serta memperlambat kemunculan glukosa darah sehingga insulin
Deleted: serat pangan larut air
yang dibutuhkan untuk mentranfer glukosa kedalam sel-sel tubuh dan diubah menjadi energi semakin sedikit. Fungsi tersebut sangat dibutuhkan bagi penderita diabetes. Sedangkan fungsi utama dari
SPTL adalah mencegah timbulnya
berbagai penyakit, terutama yang berhubungan dengan saluran pencernaan, antara lain wasir, divertikulosis dan kanker usus besar. (Eckel 2003; Astawan & Wresdiyati 2004).
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: serat pangan yang tidak larut air
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: dan Deleted: ¶ Tabel 7. Daya cerna pati dan ... [28]
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
77
Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar serat pangan menunjukkan bahwa SPL beras giling berbeda nyata antar varietas (p<0.05, Lampiran 13). Namun
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
kadar SPTL dan SPT beras giling yang diuji tidak menunjukkan perbedaan nyata
Formatted: English (U.S.)
antar varietas (p>0.05, Lampiran 14 dan 15). Kadar SPL, SPTL dan SPT di dalam
Formatted: English (U.S.)
beras giling berturut-turut adalah 1.79 – 3.95%, 2.97 – 4.53 % dan 5.59– 6.92%.
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
Tabel 7. Kandungan serat pangan dan daya cerna pati beras giling No Varietas
Serat pangan (% bk) Larut
Tidak larut
Total
Formatted: English (U.S.)
Daya cerna pati in vitro (%)
Formatted: English (U.S.)
Formatted: English (U.S.)
1.
Cisokan
1.80a
4.44a
6.24a
52.21a
2.
Batang Piaman
1.96a
3.63a
5.59a
81.73c
3.
Memberamo
3.95b
2.97a
6.92a
71.18b
a
a
a
d
4.
Taj Mahal
1.79
4.53
6.32
99.08
Ket: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05).
Beras yang mengandung serat pangan tinggi akan menurunkan respon
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden)
glikemik dan IG nya cenderung rendah. Oleh karena itu beras pecah kulit (brown rice) pada umumnya memiliki IG lebih rendah dibandingkan dengan beras giling (Foster-Powell et al. 2002). Behall dan Hallfrisch (2002) menyatakan bahwa
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
mekanisme penurunan kolesterol dan respon glikemik pada`serealia seperti oats
Formatted: English (U.S.)
dan barley kemungkinan akibat pembentukan gel dari SPL. Mekanisme tersebut
Formatted: English (U.S.)
memperkuat laporan Riccardi dan Rivellese (1991) bahwa SPL lebih efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah postprandial dibandingkan dengan SPTL. Namun penelitian lain menunjukkan bahwa SPTL berbagai produk beras tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar glukosa postprandial dan IG-nya (Yusof et al. 2005). Kandungan SPTL beras secara umum lebih tinggi dibandingkan dengan
2004). Varietas Memberamo mengandung SPL yang paling tinggi (3.95 %) dan
Deleted: penelitian menunjukkan bahwa serat pangan yang larut air pada beras berkisar antara 0.82 (Pandan wangi) hingga 3.95 % (Memberamo). Sedangkan serat pangan yang tidak larut air bervariasi antara 1.91 (Pandan wangi) sampai dengan 4.62% (Bengawan Solo) (Tabel 7). Temuan
SPT yang paling tinggi juga (6.92 %), hal ini merupakan salah satu faktor yang
Formatted: English (U.S.)
kadar SPL nya (Tabel 7). Hasil ini memperkuat hasil-hasil penelitian terdahulu, bahwa secara umum komposisi serat pangan yang tidak larut lebih dominan dibandingkan keberadaan serat pangan yang larut air (Astawan & Wresdiyati
mendukung tingginya aktivitas hipoglikemik Memberamo, meskipun kadar
Formatted: English (U.S.) Deleted: Varietas
78
amilosanya rendah. Hasil analisis korelasi serat pangan terhadap respon glikemik menunjukkan
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
hubungan yang rendah. Namun analisis tersebut memberikan
informasi bahwa SPL mempunyai hubungan yang lebih erat terhadap aktivitas hipoglikemik dibandingkan dengan SPTL (Lampiran 17). Daya Cerna Pati in vitro Menurut Willet et al. (2002), karbohidrat yang diserap secara lambat akan
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: Line spacing: single Formatted: Italian (Italy)
menghasilkan puncak kadar glukosa darah yang rendah dan berpotensi baik dalam
Deleted: ¶
mengendalikan respon glikemik. Daya cerna pati beras dipengaruhi oleh
Formatted: Italian (Italy)
komposisi amilosa dan amilopektin. Meskipun masih terdapat perbedaan pendapat antar peneliti, namun sebagian besar menyatakan bahwa daya cerna pati dari bahan pangan berkadar amilosa tinggi adalah lebih rendah dibandingkan dengan daya cerna dari bahan pangan berkadar amilopektin tinggi (Miller et al. 1992;
Formatted: Italian (Italy)
Foster-Powell, et al. 2002; Behall & Hallfrisch 2002). Daya cerna pati beras dalam penelitian ini dianalisis secara in vitro, dan hasilnya menunjukkan variasi yang besar antar varietas (Lampiran 16). Daya cerna pati in vitro dari tiga beras Indonesia yang diteliti berkisar antara 52.21 sampai dengan 81.73 % (Tabel 7). Cisokan sebagai varietas yang memilikidaya
Formatted: Font: Not Italic, Italian (Italy)
cerna pati in vitro terendah (52.21%), menghasilkan aktivitas hipoglikemik yang
Formatted: Italian (Italy)
tertinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Cisokan memperkuat pendapat bahwa kadar amilosa tinggi akan menurunkan daya cerna pati sehingga respon glikemiknya menurun.
Formatted: Italian (Italy) Formatted: Font: Not Italic, Italian (Italy) Formatted: Italian (Italy) Formatted: Italian (Italy)
Amilopektin dicerna lebih cepat dibandingkan dengan amilosa, karena amilopektin mempunyai struktur terbuka sehingga lebih mudah tergelatinasi. Bahan pangan yang mudah terhidrolisis selama proses pencernaan akan segera meningkatkan kadar glukosa darah. Peningkatan kadar glukosa darah secara cepat akan mendorong pankreas untuk memproduksi dan mensekresikan insulin. Konsekwensinya, kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan respon insulin (Ostman et al. 2001). Meskipun analisis korelasi menunjukkan daya cerna pati mempunyai korelasi tinggi terhadap aktivitas hipoglikemik, yang ditunjukkan dengan luas area dibawah kurva perubahan kadar glukosa darah (r = 0.870, Lampiran 17), namun hasilnya tidak konsisten.
Formatted: Italian (Italy) Formatted: Italian (Italy) Formatted: Italian (Italy)
79
Varietas Cisokan mempunyai daya cerna pati in vitro paling rendah (52.21%), berarti pati diserap paling lambat sehingga menaikkan kadar glukosa darah juga paling lambat, jadi aktivitas hipoglikemiknya tertinggi. Sebaliknya, Taj Mahal
mempunyai
daya
cerna
pati
paling
tinggi,
sehingga
aktivitas
hipoglikemiknya paling rendah. Sedangkan daya cerna pati Batang Piaman lebih tinggi (81.73%) dibandingkan dengan Memberamo (71.18%), seharusnya aktivitas hipoglikemik Batang Piaman lebih rendah dibandingkan Memberamo, namun hasil yang diperoleh adalah sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas hipoglikemik tidak hanya dipengaruhi oleh daya cerna dan komponen yang terkait dengan karbohidrat, tetapi juga komponen lain, seperti lemak dan protein. Hubungan yang tidak konsisten antara daya cerna pati dengan aktivitas hipoglikemik, dapat juga disebabkan karena metode yang digunakan untuk pengujian daya cerna pati kurang sempurna. Dalam penelitian ini daya cerna pati diuji secara in vitro, menggunakan satu enzim, yaitu amilase. Pada kenyataannya, di dalam saluran pencernaan (secara in vivo), pati tidak hanya dicerna oleh amilase tetapi juga oleh enzim lain, seperti amiloglukosidase. Oleh karena itu sering terjadi ketidak samaan hasil antara pengujian in vitro dan in vivo. Pati terdiri atas amilosa (polimer dari gula sederhana rantai lurus) dan amilopektin (polimer dari gula sederhana rantai bercabang). Enzim
amilase hanya dapat
menghidrolisis rantai lurus glukosa, sedangkan rantai cabang dihidrolisis oleh amiloglukosidase. Berdasarkan hal ini, metode analisis daya cerna dengan enzim tunggal akan menyebabkan terjadi hidrolisis yang tidak sempurna sehingga hasil uji daya cerna pati in vitro sering tidak konsisten. Agar hasil pengujian daya cerna pati in vitro lebih konsisten dan mendekati daya cerna in vivo, dapat dilakukan dengan menggunakan metode multi enzim. Regulasi Glukosa Darah dan Aktivitas Hipoglikemik Beras Pada keadaan normal, kadar glukosa darah akan meningkat setelah makan dan tetap bertahan dalam waktu singkat. Peningkatan kadar glukosa darah akan memacu sekresi insulin. Hormon insulin tersebut berfungsi mentransfer glukosa agar dapat dimanfaatkan oleh sel-sel jaringan. Sebanyak dua per tiga dari glukosa yang diserap oleh usus akan disimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen.
Deleted: ula
80
Selama beberapa jam berikutnya, bila konsentrasi glukosa darah dan sekresi insulin berkurang, maka hati akan melepas glukosa kembali ke dalam darah. Hormon yang berperan dalam pelepasan kembali glukosa ke dalam darah adalah glukagon yang dihasilkan oleh sel-α pulau Langerhans. Kedua hormon tersebut bekerja berlawanan, insulin untuk menurunkan kadar glukosa darah dan glukagon untuk meningkatkan kadar glukosa darah, sehingga kadar glukosa di dalam darah tetap terjaga pada tingkat normal. Pada penderita DM, peningkatan kadar glukosa darah setelah mengonsumsi makanan tidak diimbangi oleh sekresi insulin, karena: 1) kerusakan sel-β pankreas sehingga produksi insulin sangat terbatas, bahkan mungkin tidak dapat memproduksi insulin lagi (DM tipe I), atau 2) mengalami resistensi insulin, meskipun sel-β pankreas dapat memproduksi insulin, tetapi insulin tidak dapat bekerja secara normal, antara lain karena reseptor insulin pada permukaan sel tertutup oleh lemak (pada kasus obesitas) sehingga menurunkan laju pengambilan glukosa oleh sel-sel tubuh (pada DM tipe II). Oleh karena itu pada penderita DM bila mengonsumsi jenis pangan yang sama dengan orang sehat/normal maka kadar glukosa darahnya akan tetap tinggi dan bertahan dalam waktu yang lama. Berdasarkan kondisi tersebut, maka untuk terapi diet bagi diabetesi antara lain dipilih jenis pangan yang mempunyai aktivitas hipoglikemik tinggi atau yang mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah (Lasimo et al. 2002). Beras yang mempunyai aktivitas hipoglikemik tinggi akan menghasilkan glukosa secara lambat dan puncak glikemiknya lebih rendah dibandingkan dengan beras yang aktivitas hipoglikemiknya rendah. Dengan demikian konsumsi beras hipoglikemik sesuai bagi diabetesi karena kadar glukosa darah setelah mengonsumsi jenis beras ini tidak meningkat secara drastis, sehingga sekresi insulin yang diperlukan dapat disesuaikan dengan kondisi diabetesi yang mempunyai gangguan dalam produksi maupun yang mengalami resistensi insulin. Aktivitas hipoglikemik pangan dipengaruhi bersama-sama oleh berbagai faktor, antara lain genetik, komposisi kimia dan sifat karbohidrat pangan serta jenis pengolahan (Jenkins et al. 2002). Dari sepuluh varietas beras yang diteliti, terdapat dua varietas yang mempunyai aktivitas hipoglikemik tertinggi yaitu varietas Cisokan dan Batang Piaman. Kedua varietas tersebut memiliki kadar
81
amilosa tinggi sehingga tekstur nasinya pera dan rasa kurang enak (BALITPA 2004 b). Varietas Memberamo tergolong pada kelompok aktivitas hipoglikemik tertinggi ketiga setelah Cisokan dan Batang Piaman (Gambar 12), namun kadar amilosanya rendah (19.30%) sehingga memiliki tekstur nasi pulen dan rasa enak (BALITPA 2004 b). Tingginya aktivitas hipoglikemik dari varietas Memberamo didukung oleh kadar pati resisten (2.68%), serat pangan total (6.92%) dan serat pangan larut (3.95%) tertinggi di antara varietas beras Indonesia yang diuji. Pati resisten tahan terhadap degradasi enzimatis dalam pencernaan (Cairns et al. 1996). Pati resisten merupakan jumlah pati dan hasil dari pencernaan pati yang tidak dapat diserap di dalam usus halus. Pencernaan dan penyerapan karbohidrat yang lamban akan menurunkan respon metabolik postprandial (Jenkins et al. 2002). Oleh karena itu, karbohidrat yang dicerna secara lambat, bahkan tidak dapat dicerna seperti pati resisten akan meningkatkan aktivitas hipoglikemik. Hasil serupa dilaporkan oleh Astawan dan Widowati (2005) bahwa pati resisten merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam penentuan aktivitas hipoglikemik ubi jalar. Dengan kata lain diet yang mengandung pati resisten cenderung bersifat hipoglikemik. Serat pangan, terutama yang larut air berfungsi menurunkan respon glikemik. Serat pangan larut di dalam pencernaan akan membentuk koloidal atau tekstur semacal gel, sehingga memperlambat kecepatan pencernaan di dalam usus, memberikan rasa kenyang yang lebih lama, serta memperlambat kemunculan glukosa darah. Oleh karena itu insulin yang dibutuhkan untuk mentransfer glukosa untuk diambil dan digunakan sel-sel tubuh juga menurun. Sifat tersebut sangat dibutuhkan bagi penderita diabetes.
Pemilihan Varietas Hasil analisis secara keseluruhan yang telah dibahas diatas memberikan gambaran bahwa respon glikemik merupakan sifat yang unik. Hal serupa juga disebutkan oleh Rimbawan dan Siagian (2004) dalam penentuan IG pangan.
Deleted: serat pangan larut air
Formatted: Indonesian Deleted: Pati Resisten ¶ Konsep lama di dalam ilmu gizi meyakini bahwa pati merupakan karbohidrat komplek dan sumber energi utama dari bahan pangan nabati, dapat dicerna secara sempurna di dalam usus halus manusia. Anggapan ini didasarkan pada pengetahuan bahwa air liur dan pankreas menghasilkan enzim amilase yang dapat menghidrolisis pati. Namun, teori tersebut saat ini dikoreksi setelah banyak hasil penelitian, baik in vitro maupun in vivo yang menemukan bahwa tidak semua pati dapat dicerna secara sempurna. Hal ini ditandai dengan adanya sisa pati di dalam usus besar. Fraksi pati yang tidak tercerna ini disebut pati resisten (Resistant Starch, RS) (Asp 1992). Dari sudut pandang fisiologis, pati resisten didefinisikan sebagai jumlah pati dan hasil dari pencernaan pati yang tidak dapat diserap di dalam usus halus individu sehat. Pencernaan dan penyerapan karbohidrat yang lamban akan menghasilkan menurunkan respon metabolik postprandial. Oleh karena itu, karbohidrat yang dicerna secara lambat, bahkan tidak dapat dicerna seperti pati resisten akan menurunkan respon glikemik. Dengan kata lain diet yang mengandung pati resisten cenderung bersifat hipoglikemik.¶ Gambar 12 menunjukkan kandungan pati resisten dari sepuluh varietas beras Indonesia dan beras Taj Mahal sebagai pembanding. Kandungan pati resisten tertinggi terdapat pada beras Taj Mahal (2.78 %), kemudian Memberamo (2.68 %), Cisokan (2.02 %) dan Cenana-Bali (2.01 %). Kandungan pati resisten terendah terdapat pada varietas Celebes (1.57%).¶ Secara keseluruhan data yang diperoleh dari tahap penelitian ini ... [29]
Formatted: Indonesian Formatted: Indent: First line: 0 cm Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
Aktivitas hipoglikemik tidak dapat ditentukan dengan mengetahui salah satu
Formatted: Indonesian
komposisi kimia tertentu saja, meskipun komposisi kimia bahan merupakan faktor
Formatted: Indonesian
penting yang mempengaruhi aktivitas hipoglikemik (Miller et al. 1992; Foster-
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
82
Powell, et al. 2002; Behall & Hallfrisch 2002; Yusof et al. 2005). Komponen pangan seperti amilosa, protein, serat pangan dan pati resisten cenderung menurunkan respon glikemik, sedangkan amilopektin dan daya cerna pati akan meningkatkan respon glikemik. Komponen-komponen tersebut saling berinteraksi bersama dalam menentukan perubahan kadar glukosa darah. Jenkins et al. (2002) menyebutkan walaupun ada data-data hasil penelitian yang tidak konsisten, namun terdapat temuan positif bahwa diet dengan memperhatikan informasi IG pangan berpotensi untuk membantu mencegah terjadinya penyakit degeneratif, terutama DM.
Formatted: Indonesian Formatted: Font: Italic, Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Font: Not Italic, Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
Pada tahap penelitian ini tidak dilakukan pengujian IG beras secara langsung, tetapi menguji respon glikemik menggunakan tikus percobaan, untuk
Formatted: Indonesian
menentukan aktivitas hipoglikemik beras. Namun demikian, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai arahan dalam memilih varietas dengan tujuan kesehatan. Hasil penelitian
menunjukkan dua varietas yang mempunyai aktivitas
hipoglikemik terbaik adalah Cisokan dan Batang Piaman, namun kedua varietas
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
tersebut mempunyai kadar amilosa tinggi sehingga tekstur nasi pera dan rasa kurang enak. Secara umum konsumen Indonesia menyukai nasi dengan tektur
Formatted: Indonesian
pulen. Oleh karena itu varietas Cisokan dan Batang Piaman tidak dipilih untuk penelitian selanjutnya. Kategori varietas yang memiliki aktivitas hipoglikemik tertinggi ketiga adalah Memberamo, Cenana-Bali, Lusi dan Bengawan Solo.
Formatted: Indonesian
Keempat varietas ini mempunyai aktivitas hipoglikemik yang tidak berbeda nyata (P>0.05). Cenana-Bali adalah beras merah, sedangkan Lusi adalah ketan sehingga
Formatted: Indonesian
kedua varietas ini tidak dipilih karena tidak lazim dikonsumsi sebagai pangan pokok sehari-hari. Parameter lain yang dipertimbangkan dalam pemilihan varietas adalah puncak glikemik. Diet bagi penderita DM, selain bersifat hipoglikemik
Formatted: Indonesian
juga dipilih yang menghasilkan puncak glikemik rendah agar kenaikkan kadar glukosa darah terkendali. Memberamo menghaslikan puncak glikemik (36.2 mg/dl) yang lebih rendah dibandingkan dengan Bengawan Solo (50.5 mg/dl). Oleh karena itu Memberamo dipilih sebagai bahan baku dalam pengembangan beras fungsional untuk penderita DM.
Sifat hipoglikemik dari varietas
Memberamo tersebut terutama didukung oleh kandungan serat pangan larut (3.95
Formatted: Indonesian
83
%), serat pangan total
(6.92%) dan pati resisten (2.68%) tertinggi di antara
Formatted: Indonesian
varietas yang diuji. Percobaan 2. Pengembangan Proses Pembuatan Beras Pratanak dan Beras Instan Fungsional Beras fungsional dalam penelitian ini dibuat dari beras Memberamo, yaitu varietas beras terpilih pada Percobaan 1, yang diberi perlakuan ekstrak teh hijau. Proses pengolahan dalam pembuatan beras fungsional yang dilakukan adalah: pengolahan beras pratanak (parboiled rice) dan pengolahan beras instan. Untuk mendapatkan beras fungsional tersebut, maka pada percobaan ini dibagi dalam tiga tahap yaitu: a) Penentuan kondisi ekstraksi teh hijau, b) Penentuan kondisi proses pengolahan beras pratanak dan beras instan, dan c) Pengembangan beras pratanak fungsional dan beras instan fungsional Deleted: ¶
a) Penentuan Kondisi Ekstraksi Teh Hijau
Deleted: ¶
Optimasi Ekstraksi Teh Hijau
Formatted: Font: Italic, Indonesian
Untuk memanfaatkan komponen bioaktif dalam teh dan memperluas aplikasinya, maka diperlukan suatu bentuk produk yang mudah digunakan.
Formatted: Font: Italic, Indonesian Formatted: Indonesian
Adapun bentuk teh yang praktis tersebut adalah ekstrak teh (Hartoyo 2003). Teh yang digunakan dalam penelitian ini adalah teh hijau jenis peko super. Jenis teh ini adalah teh hijau yang partikelnya tergulung padat terpilin, berwarna hijau sampai hijau kehitaman, sangat sedikit tercampur tulang daun (SNI 01-39451995). Pada tahap optimasi ekstraksi teh hijau ini, teh hijau kering diperkecil dahulu ukuran partikelnya dengan cara digiling kemudian teh yang telah hancur diayak menggunakan ayakan goyang ukuran 32 mesh. Tujuan dari pengecilan ukuran adalah mengurangi sifat kamba dari bahan dan membantu penetrasi pelarut ke dalam sel sehingga mempercepat pelarutan komponen bioaktif dan meningkatkan rendemen ekstraksi.
Semakin kecil ukuran bahan maka
luas
permukaan yang melakukan kontak dengan pelarut semakin besar. Sedangkan tujuan pengayakan ialah untuk memperoleh partikel bahan dengan ukuran kecil dan seragam. Purseglove et al. (1981) menyatakan bahwa partikel bahan setelah
Deleted: dengan
84
diperkecil, sebaiknya diseragamkan ukurannya untuk mempermudah difusi pelarut ke dalam bahan. Apabila ukuran partikel bahan tidak seragam, maka
Deleted: t Deleted: h
partikel yang lebih halus dapat masuk ke dalam celah-celah butiran yang kasar. Hal ini akan menurunkan kontak antara pelarut dengan bahan yang diekstrak sehingga rendemen akan berkurang. Namun, bahan yang terlalu halus dapat
Deleted: juga
menggumpal sehingga sukar ditembus pelarut. Menurut Bombardelli (1991), ukuran partikel yang baik untuk proses ekstraksi adalah serbuk dengan ukuran sekitar 0.5 mm. Teh hijau jenis peko super yang telah diperkecil dan diayak tersebut kemudian diekstrak dengan air panas menggunakan waterbath goyang agar teh dan pelarut lebih cepat bercampur. Kombinasi ekstraksi yang dilakukan adalah suhu (75, 85 dan 950C) perbandingan teh dengan air (10 : 100, 15 : 100 dan 20 : 100 b/v) dan waktu ekstraksi (2, 4, 6, 8, 10, 15, 20 menit). Tujuan digunakannya
Deleted: w
pelarut air karena selain murah dan mudah didapat, air tidak mengandung efek samping dan tidak perlu ada penambahan perlakuan penguapan pelarut seperti ekstraksi dengan etanol. Selain itu, menurut Stahl (1969) senyawa polifenol teh hijau bersifat larut di dalam air sehingga dengan menggunakan air, ekstrak teh tersebut sudah mengandung polifenol teh hijau yang memiliki aktivitas antioksidan. Ekstrak teh hijau kemudian disaring menggunakan penyaring vacuum untuk memisahkan ekstrak
dengan ampas. Sebelum disaring vacuum, ekstrak
disentifuse untuk memisahkan filtrat dengan endapan. Dengan proses sentrifugasi, padatan yang terkandung di dalam larutan diputar dengan kecepatan tinggi, sehingga padatan mengendap dan terpisah dari cairan (Jackson 1991). Selanjutnya ekstrak yang telah disaring dianalisis total padatan terlarut (TPT) nya, kemudian dihitung menjadi rendemen. Rendemen ekstraksi akan bertambah hingga mencapai titik jenuhnya.
Rendemen dihitung dengan cara menghitung berat
padatan kering yang diperoleh, dibagi dengan berat teh yang diekstrak dikalikan seratus persen. Pengukuran TPT dalam tahapan ini dilakukan dengan dua cara yaitu menggunakan metode oven dan
refraktometer. Nielsen (1996) menyebutkan
bahwa refraktometer adalah alat untuk mengukur TPT pada buah, produk olahan
Deleted: dengan
85
buah dan larutan sukrosa. Namun, saat ini refraktometer juga sering digunakan untuk memonitor proses pembuatan larutan di industri, misalnya industri susu dan sari buah. Nielsen (1996) menambahkan bahwa pembacaan yang dilakukan oleh refraktometer adalah indeks refraksi dari makanan yang mengandung karbohidrat, seperti sirup, serta produk buah dan tomat. Satuan pada refraktometer adalah ºBrix, yang setara dengan persen (g sukrosa/100 g sampel) untuk larutan sukrosa murni. Untuk sampel ekstrak teh hijau, karena sampel ini non-sukrosa, maka perlu dilakukan kalibrasi dengan hasil pengukuran menggunakan metode oven. Data dari TPT oven dan refraktometer dibuat korelasinya, sehingga untuk proses selanjutnya untuk melihat TPT cukup menggunakan refraktometer. Persamaan regresi hubungan antara TPT oven dan refraktometer adalah y = 0.7076x + 0.5056. Berdasarkan persamaan tersebut, dapat dihitung nilai TPT oven dengan
Formatted: Indonesian Deleted: ¶
Formatted: Font: Italic
cara memasukkan nilai refraktometer yang diperoleh, dimana y adalah TPT oven
Deleted: (Lampiran 1-9)
dan x adalah TPT brix.
Deleted: Dari kombinasi waktu, suhu dan perbandingan teh dengan air (b/v), diperoleh sembilan grafik dengan variable waktu terhadap rendemen pada suhu dan perbandingan teh dan air (Lampiran 10-12).
Analisis Rendemen Teh Hijau Rendemen merupakan parameter penting di dalam proses ekstraksi. Rendemen diperoleh dengan cara mengalikan berat ekstrak teh yang telah disaring dengan total padatan terlarut metode oven, kemudian dibagi berat sampel teh hijau yang diekstrak dikalikan seratus persen. Perhitungan rendemen pada tahap ini dilakukan untuk mengetahui waktu ekstraksi yang menghasilkan rendemen optimal, dengan kombinasi perlakuan waktu ekstraksi (2, 4, 6, 8, 10, 15, 20 menit) dan rasio antara teh hijau dengan air (10 : 100, 15 : 100 dan 20 : 100 b/v). Kombinasi tersebut dilakukan pada setiap taraf suhu (75, 85 dan 950C). Analisis statistik untuk menentukan rendemen optimum dilakukan pada setiap suhu ekstraksi. Hasil analisis menunjukkan pada masing-masing taraf suhu ekstraksi dan rasio antara teh dengan air menunjukkan semakin lama waktu ekstraksi rendemen akan meningkat sampai titik optimumnya. Hasil analisis sidik ragam pada suhu ekstraksi 75, 85 dan 950C dan uji beda Duncan berturut-turut dapat dilihat pada Lampiran 18, 19 dan 20. Rendemen optimum pada suhu ekstraksi 750C adalah 18.83%, dicapai pada perbandingan teh dan air 10:100 (b/v) dalam waktu 15 menit.
Rendemen optimum pada suhu ekstraksi 850C
Formatted: Danish Deleted: Pada grafik suhu 950C dengan perbandingan 10:100 (b/v), diperoleh waktu ekstraksi optimum pada menit ke-8 dengan rendemen sebesar 20.63%, untuk perbandingan 15:100 (b/v) waktu optimalnya juga pada menit ke-8 dengan rendemen sebesar 16.02 % dan untuk perbandingan 20:100 (b/v) waktu optimalnya pada menit ke-8 dengan rendemen 11.12%. Pada grafik suhu 850C dengan perbandingan 10:100 (b/v), diperoleh waktu ekstraksi optimum pada menit ke-8, rendemen 19.76%, untuk perbandingan 15:100 (b/v) waktu optimalnya pada menit ke-10, rendemen 15.82 %, dan untuk perbandingan 20:100 (b/v) waktu optimalnya pada menit ke-10, rendemen 11.43%. Sedangkan pada grafik suhu 750C dengan perbandingan 10:100 (b/v), diperoleh waktu ekstraksi optimum pada menit ke15 dengan rendemen sebesar 18,83%, untuk perbandingan 15:100 (b/v) waktu optimalnya pada menit ke-15, rendemen 16.31%, dan untuk perbandingan 20:100 (b/v) waktu optimalnya pada menit ke-20, rendemen 11.89%.
Formatted: English (U.S.)
86
adalah 19.76%, dicapai pada perbandingan teh dan air 10:100 (b/v) dalam waktu 0
8 menit, sedangkan pada suhu ekstraksi 95 C rendemen optimumnya adalah 20.63%, dicapai pada perbandingan teh dan air 10:100 (b/v) dalam waktu 8 menit (Tabel 8). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan teh dan air 10:100 (b/v) yang menghasilkan rendemen terbesar pada tiap suhu ekstraksi. Maka ketiga rendemen tersebut dianalisis dengan uji sidik ragam untuk melihat kondisi ekstraksi yang terbaik. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan nyata antar suhu ekstrasi. Hasil uji beda Duncan menunjukkan bahwa rendemen pada suhu 850C tidak berbeda nyata, baik dengan suhu 950C maupun suhu 750C (Lampiran 22). Parameter lain yang digunakan untuk menenetukan kondisi proses ekstraksi adalah analisis antioksidan menggunakan DPPH. Aktivitas Antioksidan Aktivitas antioksidan pada penelitian ini diukur menggunakan metode DPPH (1,1-diphenyl-2-pycryl hydrazil). DPPH merupakan senyawa radikal bebas stabil. Sebagai standar digunakan Trolox 0, 1.25, 2.5, 5.0 mM (Lampiran 23). Trolox (6-Hydroxy-2, 5, 7, 8-tetramethylchroman-2-carboxylic acid) merupakan analog vitamin E yang larut air. Dengan demikian, satuan pengukuran dinyatakan sebagai TEAC (Trolox Equivalent Antioxidant Capacity). Tabel 8. Nilai TEAC pada setiap rendemen ekstraksi teh hijau optimum dari masing-masing suhu ekstraksi Suhu Waktu optimum Perbandingan Rendemen TEAC (0C) optimum (b/v) (%) (menit) 75 15 10 : 100 18.83 a 9.43 a ab 85 8 10 : 100 19.76 9.48 a 95 8 10 : 100 20.63 b 9.42 a Keterangan: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05)
Deleted: ¶ Deleted: Dari sembilan kombinasi yang didapat, kemudian diseleksi lagi menjadi 3 kondisi optimal. Dari sembilan perlakuan tersebut, dapat dilihat bahwa pada semua suhu ekstraksi ternyata perbandingan teh dan air 10:100 (b/v) yang menghasilkan rendemen terbesar pada tiap suhu. Maka tiga sampel tersebut dianalisis dengan uji sidik ragam untuk melihat sampel yang terbaik rendemennya. Ternyata setelah diuji statistik ... dari [30]
Formatted: English (U.S.) Formatted: Swedish (Sweden) Formatted
... [31]
Formatted
... [32]
Formatted
... [33]
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: 3-14
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted
... [34]
Formatted
... [35]
Deleted: Tingginya aktivitas ... [36]
Formatted: Swedish (Sweden) Deleted: ¶
Formatted: Danish Formatted: Swedish (Sweden) Formatted
... [37]
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted
... [38]
Formatted
... [39]
Formatted
... [40]
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted
... [41]
Formatted
... [42]
Formatted: Superscript Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Superscript Formatted: Swedish (Sweden)
Tingginya aktivitas antioksidan ditunjukkan oleh banyaknya DPPH yang
Formatted
... [43]
direduksi, terlihat dari semakin pudarnya warna ungu. Pada ketiga sampel terpilih,
Formatted
... [44]
Formatted
... [45]
Formatted
... [46]
Formatted
... [47]
Formatted
... [48]
aktivitas antioksidan sampel dengan perlakuan ekstraksi suhu 950C, waktu 8 menit dan perbandingan 10:100 (b/v) menunjukkan nilai TEAC sebesar 9.42 TEAC. Angka ini menunjukkan sampel dengan konsentrasi 0.1g/ml memiliki aktivitas antioksidan yang sama dengan Trolox 9.42 mM. Untuk sampel dengan
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Swedish (Sweden)
87
perlakuan ekstraksi suhu 850C, waktu 8 menit dan perbandingan 10:100 (b/v) menunjukkan nilai TEAC sebesar 9.48 TEAC. Sedangkan aktitivitas antioksidan sampel dengan perlakuan ekstraksi suhu 750C, waktu 15 menit dan perbandingan 10:100 (b/v) menunjukkan nilai TEAC sebesar 9.43 TEAC (Tabel 9). Berdasarkan hasil uji sidik ragam, suhu ekstraksi tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan dari ketiga sampel tersebut (Lampiran 24). Berarti
Formatted: Swedish (Sweden)
kondisi ekstraksi yang menghasilkan rendemen optimum pada ketiga taraf suhu (75, 85 dan 950C) tidak menunjukkan beda nyata. Pemilihan Kondisi Ekstraksi
Deleted: ¶ Deleted: Perlakuan
Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (Lampiran 24), perlakuan suhu
Formatted: Swedish (Sweden)
ekstraksi (pada waktu dan perbandingan teh dengan air terpilih) tidak berpengaruh
Formatted: Swedish (Sweden)
nyata terhadap aktivitas antioksidan dari ketiga sampel tersebut (Tabel 9). Jadi
Formatted: Right: -0,04 cm Deleted: uji
berdasarkan aktivitas antioksidannya, ketiga sampel tersebut dapat dipilih secara
Formatted: Swedish (Sweden)
bebas. Oleh karena itu pemilihan perlakuan yang akan digunakan pada penelitian
Deleted: 8
selanjutnya didasarkan pada rendemen dan konsumsi energi ekstraksi. Tabel 9
Deleted: ber
menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi, rendemen yang dihasilkan cenderung meningkat. Hal ini diduga karena pengaruh suhu ekstraksi yang semakin tinggi mempercepat laju difusi komponen bioaktif dari teh hijau ke dalam pelarut. Selain itu, laju reaksi pelarutan dari komponen bioaktif teh berjalan semakin cepat, sehingga memudahkan komponen tersebut larut ke dalam air. Menurut Winarno (1997), pemanasan air dapat mengurangi daya tarik-menarik antara molekul-molekul air dan memberikan cukup energi kepada molekulmolekul air itu, sehingga dapat mengatasi daya tarik-menarik antar molekul bahan pangan. Oleh karena itu, daya kelarutan pada bahan yang melibatkan ikatan
Deleted: ¶ Tabel 8. Pengaruh kondisi ekstraksi terhadap rendemen dan aktivitas antioksidan¶ Suhu (0C) ... [49]
Formatted: Right: -0,04 cm Formatted: Right: -0,04 cm Formatted: Right: -0,04 cm Formatted: Right: -0,04 cm
hidrogen seperti komponen-komponen bioaktif dalam teh hijau akan meningkat
Formatted: Right: -0,04 cm
dengan meningkatnya suhu.
Formatted: Right: -0,04 cm
Dari Tabel 9, dapat dipilih sampel dengan perlakuan ekstraksi suhu 850C,
Formatted: Right: -0,04 cm Formatted: Right: -0,04 cm
perbandingan 10:100 (b/v) dan waktu 8 menit sebagai sampel yang terbaik. Dasar
Formatted: Right: -0,04 cm
pertimbangan pemilihan perlakuan tesebut adalah karena rendemen tidak berbeda
Deleted: 8
nyata dengan rendemen pada suhu 950C. Sedangkan suhu yang digunakan lebih rendah dari 950C dan waktu yang digunakan tidak selama ekstraksi dengan suhu 0
75 C. sehingga untuk produksi skala besar lebih hemat energi.
Deleted: , Deleted: seperti terlihat pada Tabel 9
88
Alasan hanya tiga sampel yang dipilih untuk dianalisis antioksidannya karena, hal yang paling berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan dari teh adalah suhu ekstraksi. Hasil ini sesuai dengan anjuran Fulder (2004) untuk menghindari
Deleted: 3 Deleted: Tabel 9. Jumlah energi yang terpakai untuk ekstraksi menggunakan retort.¶ Suhu (0C) ... [50]
menyeduh teh dengan menggunakan air yang baru saja mendidih dan sebaiknya suhu yang digunakan untuk menyeduh teh berkisar antara 80-900C, karena dapat mempertahankan antioksidan teh agar tidak rusak. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kondisi ekstraksi yang dipilih untuk penelitian selanjutnya adalah
Deleted: Maka dari Tabel 8 dan Tabel 9,
suhu 850C, perbandingan teh dengan air 10:100 b/v dan waktu ekstraksi 8 menit.
Deleted: sampel dengan kombinasi suhu
b) Penentuan Kondisi Proses Pengolahan Beras Pratanak dan Beras Instan
Deleted: adalah perlakuan terpilih yang akan
Penentuan Proses Pembuatan Beras Pratanak Tahapan utama dalam proses pembuatan beras pratanak meliputi:
Deleted: digunakan untuk penelitian selanjutnya. Deleted:
Formatted: Justified
perendaman, pengukusan dan pengeringan (Araullo 1976; Garibaldi 1974; De
Deleted: D
Datta 1981). Optimasi tahap perendaman gabah dilakukan pada suhu 60oC,
Formatted: Font: Not Italic, Swedish (Sweden)
dengan perbandingan gabah dan air =1:2 dan 1:3, serta waktu perendaman selama
Deleted: P
4 jam sehingga dihasilkan kadar air gabah ± 30%. Suhu yang terlalu tinggi akan
Deleted: 2
Formatted: Indonesian
menghasilkan kadar air gabah lebih dari 30 % dan waktu perendaman yang terlalu
Deleted:
lama menyebabkan terjadinya fermentasi (Garibaldi 1974).
Formatted: Indonesian
Lama perendaman tergantung pada suhu air yang digunakan, semakin panas air yang digunakan maka semakin singkat waktu perendaman. Biasanya o
perendaman dilakukan menggunakan suhu 60 C selama 4 jam hingga kadar air mencapai 30% (De Datta 1981, Hoseney 1994). Kecepatan absorbsi air akan meningkat dengan naiknya temperatur. Gabah mengabsorbsi air relatif lambat sampai mencapai kadar air keseimbangan. Kadar air keseimbangan kurang lebih 29% pada suhu ruang dan suhu 50oC, kadar air keseimbangan antara 30-31% pada suhu 60oC. Sedangkan pada suhu 75oC atau lebih tinggi lagi, absorbsi air akan cepat naik. Menurut Garibaldi (1974), agar perendaman efektif maka ukuran gabah
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Font color: Auto Deleted: 2
Formatted: Indonesian Formatted: Font color: Auto Deleted: Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler dari sel-sel pati endosperm, dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati tersebut sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (Nurhaeni 1980; De Datta 1981).¶ Deleted: ¶
Formatted: Swedish (Sweden)
harus sama dan seluruh kariopsis (butir beras) harus tertutup oleh sekam. Bila
Deleted: agar
kariopsis terbuka, maka bentuk dan warnanya akan mengalami kerusakan. Bila
Deleted: 2
perendaman diperlama, maka aktifitas enzim meningkat, terjadi fermentasi dan tercampurnya bahan-bahan organik yang mengakibatkan polusi air. Polusi ini
89
disebabkan oleh kelarutan, kealkalian, pembentukan senyawa-senyawa belerang serta dispersi bahan terlarut air yang ada pada gabah ke sekeliling air tersebut. Penggunaan air panas untuk perendaman dianjurkan dengan maksud untuk mempercepat proses.
Penggunaan air dengan suhu sedikit di bawah suhu
gelatinisasi pati akan mempertinggi laju absorbsi tanpa memperbanyak air yang terabsorbsi. Bila suhu air di atas suhu gelatinisasi, waktu yang diperlukan untuk absorbsi memang dipersingkat, tetapi air yang terabsorbsi lebih banyak daripada yang diperlukan untuk membasahi bagian dalam beras. Bila air yang terabsorbsi
Deleted: i
lebih banyak daripada yang diperlukan, maka kariopsis mengembang besar dan
Deleted: 4
sekam pecah serta terbuka.
Formatted: English (U.S.)
Lama dan suhu perendaman berpengaruh terhadap kecerahan relatif beras pratanak karena kedua faktor tersebut membantu aktivitas enzim, khususnya enzim amilase yang menghasilkan gula, terutama glukosa. Suhu 60oC merupakan suhu ideal untuk aktivitas enzim amilase. Perubahan warna tersebut dapat pula disebabkan beberapa hal, antara lain: larutnya pigmen yang ada pada sekam dan memasuki bagian dalam endosperm, struktur pati berubah yang mengakibatkan
Formatted: English (U.S.) Deleted: ¶ Hasil perbandingan air dan gabah pada tahap optimasi perendaman beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 10.¶ Deleted: 10
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian Deleted: dan gperendaman
Formatted: Indonesian
perbedaan refleksi cahaya sehingga penampakan dan warna berubah serta adanya
Formatted: Indonesian
panas, melarutkan dan memencarkan bahan-bahan berlemak yang dapat dioksidasi
Deleted: perbandingan
dan terpolimerisasi sehingga dapat mengubah warna beras (Garibaldi 1974). Pada proses perendaman gabah di dalam air dengan perbandingan 1 : 2,
Formatted: Indonesian Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
setelah 4 jam kadar air gabah mencapai 30 % dan air rendaman sudah tidak tersisa
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
lagi. Sedangkan pada perendaman dengan perbandingan air : gabah = 1 : 3,
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
setelah 4 jam kadar air gabah mencapai 30 % dan air rendaman masih tersisa
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
sedikit (Tabel 9). Berdasarkan hasil tersebut, maka jumlah air perendaman yang dipilih dengan perbandingan gabah : air adalah 1 : 3, karena seluruh gabah dapat terendam hingga waktu yang ditentukan.
1:3
30
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
Tabel 9. Optimasi perendaman gabah di dalam air pada proses pratanak No Perbandingan air Kadar air Air yang tersisa dan gabah (%) 1 1:2 30 Tidak ada air yang tersisa 2
Formatted: Indonesian
Ada sedikit air yang tersisa
Formatted Table Deleted: Jumlah a
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian Formatted: Font: Not Bold, Indonesian Formatted: Centered, Line spacing: 1.5 lines Formatted: Centered, Line spacing: 1.5 lines
90 Formatted
... [51]
Formatted
... [52]
struktur sel-sel pati endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi
Formatted
... [53]
seperti pasta akibat proses gelatinisasi. Pemasakan dilakukan dengan hati-hati
Formatted
... [54]
Tahap selanjutnya adalah pemasakan, yang bertujuan untuk melunakkan
agar gelatinisasi pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah.
Deleted: ¶
Formatted
... [55]
Deleted: Pada proses
... [56]
Formatted
... [57]
Deleted: perbandingan
Pemasakan dilakukan menggunakan presto (tekanan 80 kPa ~ 0.79 ATM). Pemasakan dilakukan dengan berbagai waktu pemasakan yaitu 10, 15, 20 dan 25 menit untuk mendapatkan gabah yang cukup tergelatinisasi dengan sekam yang sedikit terbuka (pecah). Indikator tersebut digunakan untuk menentukan waktu
Deleted: dan
Formatted
... [58]
Deleted: gabah Deleted: di dalam air dengan ... [59]
Formatted
... [60]
Deleted:
tanak (Tabel 10). Tabel 10. Hasil penentuan waktu tanak gabah menggunakan presto No Waktu Pemasakan Kondidi gabah setelah ditanak 1
10 menit
Belum tergelatinisasi
2
15 menit
3
20 menit
4
25 menit
Sudah tergelatinisasi tapi sekam belum pecah Sudah tergelatinisasi dan sekam pecah sedikit Sudah berubah menjadi nasi
Formatted
... [61]
Deleted: 1 : 2, setelah 4 jam ... [62] Deleted: dilakukan proses... [63] Deleted: dan air rendaman
Formatted
... [64]
Deleted: air yang tersisa ... dan[65]
Formatted
... [66]
Deleted: sudah tidak Deleted: terendam Deleted: tersisa lagi. Sedangkan ... [67]
Hasil penentuan waktu tanak menunjukkan bahwa lama pemasakan 20 menit merupakan waktu pemasakan yang sesuai untuk pembuatan beras pratanak fungsional, karena gabah sudah tergelatinisasi dan sekam telah pecah sedikit
Deleted: Berdasarkan hasil ... [68]
Formatted
... [69]
Deleted: air rendaman masih ... [70] Deleted: Lama p Deleted: dengan presto
sehingga mempermudah penetrasi ekstrak teh hijau. Gelatinisasi terjadi apabila
Deleted: pada
suspensi pati di dalam air dipanaskan. Perubahan selama terjadinya gelatinisasi
Deleted: ). Hasil mutu tanak ... [71]
yaitu mula-mula suspensi pati keruh seperti susu, kemudian berubah jernih pada suhu tertentu tergantung pada jenis pati yang digunakan. Terjadinya translusi larutan pati tersebut biasanya diikuti oleh pembengkakan granula (Winarno 1984). Kondisi gabah pecah sedikit saat pemasakan merupakan kondisi yang
Deleted: ¶
Formatted
... [72]
Deleted: 1
Formatted
... [73]
Deleted: mutu tanak pada... [74]
Formatted
... [75]
diharapkan, karena memudahkan polifenol ekstrak teh masuk kedalam aleuron
Deleted: Mutu Tanak
beras. Jika waktu yang digunakan terlalu lama maka akan menyebabkan sekam
Formatted
... [76]
Formatted
... [77]
pecah sempurna, dan beras akan berubah menjadi nasi, sedangkan apabila waktu
Deleted: ¶
pemasakan terlalu singkat maka gabah belum cukup tergelatinisasi dan proses
Deleted: Tabel 11
penetrasi ekstrak teh ke dalam gabah terhalangi oleh adanya sekam. Oleh karena
Deleted: ¶
Formatted
... [78]
91
itu proses pemasakan dengan presto pada tekanan 80 kPa selama 20 menit
Deleted: Kp
Formatted
merupakan kondisi pemanasan yang optimal.
... [79]
Pengeringan terhadap gabah yang telah direndam dan dimasak harus dilakukan dengan segera untuk menghindari pertumbuhan jamur dan terjadinya
Deleted: kan
Formatted: Italian (Italy)
fermentasi. Pengeringan ini merupakan tahap akhir dalam pengolahan gabah secara pratanak. Penundaan pengeringan yang dilakukan dalam proses pratanak akan mengakibatkan proses gelatinisasi terus berlanjut dan akan mengakibatkan
Deleted: angsung,
Formatted: Italian (Italy)
butir padi menjadi berwarna lebih gelap akibat terlalu lama dibiarkan di udara
Deleted: serta
terbuka. Penundaan pengeringan juga akan mengakibatkan pertumbuhan jamur
Formatted: Italian (Italy)
dan kapang, walaupun gabah tersebut telah dimasak, namun kadar air gabah yang Deleted: tersebut
tinggi sangat sesuai bagi perkembangan mikroorganisme. Pengeringan beras pratanak menggunakan oven, dilakukan dalam dua tahap
Deleted: ini…yang
... [80]
Deleted: 2
untuk mendapatkan kadar air 12-14 %. Pengeringan tahap pertama, pada suhu 100oC hingga mencapai kadar air 18-20%. Apabila suhu yang digunakan kurang dari 100oC maka akan menambah waktu pengeringan, dan waktu pengeringan
Deleted: … … …untuk mencegah butir beras retak lebih banyak … … ... [81]
yang terlalu lama akan menyebabkan gabah terfermentasi. Sebaliknya, bila suhu lebih dari 100oC akan berakibat pengurangan air terlalu cepat, sehingga gabah retak dan beras yang patah akan semakin banyak selama penggilingan. Untuk
Deleted: 2
mencegah retak pada butir beras selama pengeringan, proses pengeringan
Formatted: Italian (Italy)
dihentikan untuk sementara waktu apabila kadar air telah mencapai 18-20% dan
Formatted: Line spacing: single
kemudian pengeringan dimulai lagi. Pengeringan tahap kedua dilakukan secara
Deleted: ¶ Tabel 12. Kadar air gabah pada berbagai waktu pengeringan ¶ tahap I suhu 100oC¶ No ... [82]
lambat, yaitu pada suhu 60oC hingga mencapai kadar air 12-14%. Pengeringan lambat bertujuan untuk mencegah butir beras retak lebih banyak. Pengeringan tahap I pada suhu 100oC, dilakukan pada berbagai waktu yaitu
Formatted: Italian (Italy)
35 , 45 , 55 dan 60 menit untuk mencapai kadar air 18-20%. Hasil analisis kadar
Formatted
... [83]
air gabah dari berbagai waktu pengeringan tahap I dapat dilihat pada Tabel 11.
Formatted
... [84]
Formatted: Font: Not Bold
Tabel 11. Kadar air gabah pada berbagai waktu pengeringan tahap I (100oC) No Waktu pengeringan (menit) Kadar air (%) 1 35 29 2
45
26
3
55
23
4
60
20
Formatted Table Formatted
... [85]
Formatted: Line spacing: 1.5 lines Formatted: Line spacing: 1.5 lines Formatted: Line spacing: 1.5 lines Formatted: Line spacing: 1.5 lines
92
Pengeringan tahap I pada suhu 100oC selama 60 menit mencapai kadar air
Deleted: ¶ ¶
20 %, sehingga proses pengeringan tersebut digunakan dalam proses pembuatan beras pratanak. Apabila proses pengeringan tahap I telah selesai maka diperlukan interval waktu selama 3 jam pada suhu kamar untuk selanjutnya dilakukan proses pengeringan tahap II pada suhu 60oC selama 25 menit. Interval ini disebut conditioning. Tahapan ini diperlukan untuk menghilangkan panas yang diterima
Deleted: . Deleted: atau tempering
selama perendaman, pemasakan dan pengeringan sehingga dapat mengurangi keretakan pada beras pada saat proses penggilingan (Garibaldi 1974). Pengeringan tahap II dilakukan pada suhu 60oC dengan mencoba berbagai
Formatted: English (U.S.)
waktu yaitu 25, 30, 35 dan 40 menit sampai mendapatkan kadar air 12-14%. Pengeringan secara perlahan-lahan bertujuan untuk menghindari terjadinya beras
Formatted: English (U.S.)
pecah saat penggilingan. Hasil analisis kadar air gabah pada pengeringan tahap II dapat dilihat pada Tabel 12. Pengeringan tahap II pada suhu 60oC selama 25 menit
Deleted: 3
Formatted: English (U.S.)
telah mencapai kadar air 12%, sehingga untuk selanjutnya proses pengeringan tersebut digunakan dalam pembuatan beras pratanak. Formatted: English (U.S.)
Tabel 12. Kadar air gabah pada berbagai waktu pengeringan tahap II (suhu 60oC) Waktu pengeringan Kadar air No (menit) (%) 1 25 12.09
Deleted: ¶ Deleted: 3
Formatted: Font: Not Bold Formatted: Line spacing: 1.5 lines
2
30
11.30
Formatted: Line spacing: 1.5 lines
3
35
10.89
4
40
10.25
Formatted: Line spacing: 1.5 lines Deleted: ¶
Penentuan Proses Pembuatan Beras Instan Beras instan adalah beras yang secara cepat dapat diubah menjadi nasi. Pemasakan beras menjadi nasi secara cepat, yaitu dengan cara merehidrasi nasi kering dengan air mendidih selama beberapa waktu sehingga diperoleh nasi yang siap dikonsumsi. Waktu pemasakan yang diharapkan sekitar 5-10 menit, atau kurang dari 5 menit (Hubeis 1984). Beras instan lebih tahan terhadap serangan serangga dan jasad renik dibandingkan dengan beras giling biasa.
Beras cepat
saji dapat dibedakan menjadi beberapa tipe berdasarkan tingkat kadar air, suhu
Formatted: Swedish (Sweden)
93
dan waktu pemasakan awal, kondisi pengeringan serta variabel lainnya (Luh 1991). Secara umum, proses pembuatan beras instan meliputi 5 tahap, yaitu: 1) Pencucian, 2) Perendaman, 3) Pemasakan dengan tekanan, 4) Pembekuan, dan 5) Pengeringan. Tahap pencucian dilakukan sesuai prosedur umum, yaitu untuk menghilangkan pasir, tanah atau kotoran yang lain. Pencucian dilakukan hingga tidak ada lagi benda kotor terlihat. Pencucian dilakukan selama 3 kali. Proses perendaman dilakukan dalam tiga suhu yang berbeda, yaitu: 30, 40 dan 50oC, masing-masing selama 2 jam. Tahapan perendaman dilakukan untuk
Formatted: Swedish (Sweden)
mendapatkan kadar air yang sesuai dengan persyaratan kadar air akhir setelah perendaman. Kadar air akhir yang diinginkan dalam proses perendaman yaitu 40% (Robert 1984). Perbandingan air perendam dan beras adalah 1:1, atau untuk setiap 100 gram beras, air perendaman yang diberikan adalah 100 ml. Hasil Deleted: 4
percobaan disajikan pada Tabel 13.
Formatted: Swedish (Sweden)
Tabel 13. Suhu perendaman dan kadar air beras rendam
Deleted: ¶
Kadar air beras rendam (%) 25
Deleted: ¶
1.
Suhu perendaman (oC) 30
2.
40
37
Deleted: 4
3.
50*
40*
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
No.
*Kadar air dan suhu yang diharapkan
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
Formatted: Font: Not Bold
Berdasarkan hasil analisis kadar air beras setelah mengalami perendaman (Tabel 14) dapat ditentukan bahwa kondisi perendaman yang dapat menghasilkan kadar air hingga 40% adalah perendaman pada suhu 50oC selama 2 jam dan perbandingan air perendam dengan beras adalah 1:1. Lama pemasakan dalam proses pembuatan beras instan ditentukan berdasarkan mutu tanaknya. Penentuan waktu pemasakan dilakukan dengan 3 taraf, yaitu 5, 10 dan 15 menit. Perlakuan ini bertujuan untuk mendapatkan nasi yang matang dan telah tergelatinisasi sempurna. Kriteria nasi yang telah matang, apabila ditekan di antara dua cawan petri sudah tidak ada lagi lapisan putih seperti tepung, tetapi telah berubah menjadi bening atau transparan.
Formatted: English (U.S.)
94
Hasil percobaan menunjukkan bahwa waktu pemasakan pada 80 kPa selama 5 menit menghasilkan nasi yang belum cukup matang. Nasi masih terlihat putih buram, berarti belum tergelatinasi sempurna. Pada pemasakan 15 menit, nasi nampak bening tetapi lembek. Ini menunjukkan waktu pemasakan terlalu lama. Sedangkan waktu 10 menit dapat menghasilkan nasi dengan mutu tanak yang
Formatted: English (U.S.) Formatted: Portuguese (Brazil)
diharapkan yaitu bening atau transparan (Tabel 14). Oleh karena itu waktu
Formatted: Portuguese (Brazil)
pemasakan optimum yaitu 10 menit, digunakan untuk penelitian selanjutnya.
Formatted: Portuguese (Brazil)
Proses pembekuan dilakukan secara cepat dan tidak boleh ditunda hingga
Formatted: Portuguese (Brazil)
nasi dingin. Proses pembekuan bertujuan agar tidak terjadi pemasakan atau
Deleted:
gelatinasi berlebih. Jika tidak dilakukan pembekuan maka hasil beras instan tidak
Deleted: 5
transparan dan bentuknya tidak utuh (Haryadi 1992). Pembekuan pada proses
Formatted: Font: Not Bold, Portuguese (Brazil)
beras instan dilakukan selama 24 jam pada suhu -4oC. Setelah tahap pembekuan,
Formatted: Font: Not Bold, Portuguese (Brazil)
pada suhu 50oC selama 5 menit.
Formatted: Font: Not Bold, English (U.S.)
harus segera dilakukan proses thawing
Pembekuan merupakan tahap yang penting di dalam proses pembuatan beras instan. Pada tahap pembekuan, maka pori-pori beras akan terisi oleh kristal es, sehingga pada tahap pengeringan akan terbentuk tekstur yang porus. Porusitas beras instan tersebut akan menentukan tingkat penyerapan air pada saat rehidrasi untuk penyajian. Sedangkan thawing dilakukan agar nasi instan yang dihasilkan tidak menggerombol (butiran bisa terlepas satu-satu). Pengeringan dilakukan pada suhu 60oC selama 4 jam hingga bahan kering dan berbentuk seperti kristal bening dan keras. Tabel 14. Hasil penentuan waktu pemasakan dan mutu tanak nasi No. Waktu pemasakan Penampakan nasi dalam Presto (menit) 1. 5 Putih Buram 2.
10
Bening Transparan
3.
15
Bening dan Lembek
c) Pengembangan Beras Pratanak Fungsional dan Beras Instan Fungsional Pembuatan Beras Pratanak Fungsional Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan beras pratanak fungsional
Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold, Finnish Formatted: Font: Not Bold Deleted: D Deleted: ¶ ¶ Konsentrasi 20% tidak digunakan karena tidak efektif dalam pembuatan beras pratanak. Larutan terlalu pekat sehingga memerlukan waktu yang lama dalam proses pemasakan untuk mendapatkan gabah sampai tergelatinisasi. Selain itu kadar total fenol dari gabah pratanak yang dihasilkan tidak jauh berbeda dibanding penggunaan 7%. Selanjutnya penambahan ekstrak teh hijau dilakukan pada 2 tahap, yaitu perendaman dan pemasakan masing-masing dengan taraf konsentrasi 7 dan 14%. ¶ ¶
Formatted: Font: Italic, Font color: Auto Deleted: b
Formatted: Font: Italic, Font color: Auto Deleted: p
adalah beras Memberamo. Proses pembuatan beras pratanak dengan penambahan
Formatted: Font: Italic, Font color: Auto
ekstrak teh hijau dilakukan dengan cara pembersihan, perendaman selama 4 jam
Deleted: f
95
pada suhu 60oC, pemasakan dengan menggunakan presto pada 80 Kpa selama 20 menit. Selanjutnya dilakukan pengeringan tahap I pada suhu 100oC selama 60 menit dan pengeringan tahap II pada suhu 60oC selama 25 menit. Perlakuan penambahan ekstrak teh hijau dilakukan pada tahap perendaman gabah dengan dua konsentrasi, yaitu A1= 7% dan A2 =14%, serta pada tahap
Formatted: Font color: Auto, English (U.S.) Formatted: Tabs: 0,99 cm, Left
pemasakan gabah juga dengan dua konsentrasi yaitu B1 = 7% dan B2 = 14%. Beras pratanak dengan perlakuan ekstrak teh hijau tersebut selanjutnya dianalisis Formatted: English (U.S.)
komposisi kimia dan uji organoleptik nasi pratanak (warna, rasa dan tekstur).
Formatted: English (U.S.) Deleted: ¶
Komposisi Kimia Beras Pratanak Fungsional Analisis komposisi kimia dilakukan pada produk beras pratanak fungsional
Formatted: Swedish (Sweden)
meliputi analisis proksimat air, abu, fenol bebas dan daya cerna pati in vitro.
Formatted: Swedish (Sweden)
Kadar Air
Formatted: Swedish (Sweden)
Kadar air beras pratanak yang diinginkan berkisar antara 12-14%. Kadar air merupakan komponen bahan pangan yang sangat penting. Kadar air pada pembuatan beras pratanak fungsional berpengaruh terhadap penyimpanan
Formatted: Font: Italic, Swedish (Sweden)
dan
rendemen.
Kadar
air
yang
tinggi
(>14
%)
mengakibatkan beras tidak tahan disimpan lama. Sebaliknya, bila kadar air
Formatted: Italian (Italy)
Deleted: ¶
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden) Deleted: 6
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
terlalu rendah (<10%) beras pratanak lebih awet tetapi rendemen beras
Formatted: Font: Not Bold
menurun dan saat digiling rendemen beras patah dan menirnya lebih
Formatted: Font: Not Bold, Swedish (Sweden)
banyak. Kadar air beras Memberamo pratanak fungsional berkisar antara
Formatted: Font: Not Bold
11.24-13.22 %. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan tidak ada
Formatted Table Formatted: Centered
perbedaan nyata antar perlakuan (Lampiran 25).
Formatted: Centered Formatted: Centered
Tabel 15. Komposisi kimia beras pratanak fungsional Perlakuan Komponen A1B1 A1B2 A2B1 a a a 12.58 13.22 11.24 Air (%) a a a 0.86 0.84 0.84 Abu (% bk) Fenol bebas (% bk) 0.73bc 0.45a 0.85c b d Daya cerna pati (%) 11.25 19.74 9.85a
Formatted: Centered Formatted: Centered
A2B2 a 12.33 a 0.82 0.60b 17.91c
Formatted: Font: 10 pt, Italian (Italy)
Ket. : A1B1 = Perendaman pada ekstrak teh 7%, pemasakan pada ekstrak teh 7% A1B2 = Perendaman pada ekstrak teh 7%, pemasakan pada ekstrak teh 14% A2B1 = Perendaman pada ekstrak teh 14%, pemasakan pada ekstrak teh 7% A2B2 = Perendaman pada ekstrak teh 14%, pemasakan pada ekstrak teh 14%
Formatted: Font: 10 pt, Italian (Italy)
Formatted: Indent: Left: 1,65 cm, First line: 0 cm, Line spacing: single Formatted: Font: 10 pt, Italian (Italy)
Formatted: Font: 10 pt, Italian (Italy) Formatted: Font: 10 pt, Italian (Italy)
96
Kadar Abu Hasil uji statistik pada kadar abu menunjukkan
hasil yang tidak
berbeda nyata antara perlakuan (Lampiran 26). Konsentrasi ekstrak teh hijau 7 dan 14% tidak berpengaruh terhadap kadar abu beras pratanak fungsional. Kadar abu pada beras pratanak fungsional berkisar antara 0.82-0.86 % (bk). Kadar abu beras Memberamo adalah 0.50 %(bk). Selama proses pratanak (tahap perendaman dan pemasakan) terjadi peningkatan kadar abu, kemungkinan berasal dari mineral-mineral yang terkandung di dalam ekstrak teh hijau ataupun dari sekam dan bekatul . Kadar Fenol Bebas Ekstrak teh hijau digunakan dalam pembuatan beras fungsional karena
Formatted: Line spacing: single Formatted: Indonesian
teh mengandung komponen bioaktif, terutama polifenol. Senyawa polifenolik sering disebut juga dengan tanin, yang merupakan agen pereduksi yang kuat dan banyak terdapat di dalam tanaman pangan (Thompson et al. 1984). Polifenol dalam teh mempunyai sifat sebagai antioksidan, berpotensi menangkap radikal bebas seperti peroksinitrit (ONNO-) dan superoksida (O2-) (Malinski et al. 1993). Kerusakan oksidatif
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
sel dan jaringan oleh spesies nitrogen reaktif dan oksigen reaktif berperan dalam timbulnya penyakit kronis termasuk kanker, penyakit kardiovaskuler
Deleted: c Deleted: c
dan diabetes (Wickremasinghe 1976; Balentine & Paetau-Robinson 2000). Selain berperan sebagai antioksidan, senyawa polifenolik dapat membentuk kompleks dengan protein sehingga menurunkan daya cerna dan mutu protein. Senyawa polifenolik juga dapat menghambat aktivitas enzim pencernaan, terutama amilase dan tripsin (Griffiths & Moseley 1980; Despandhe & Salunkhe 1982). Penurunan aktivitas enzim amilase tersebut akan berdampak pada penurunan daya cerna pati. Sifat ini yang diharapkan terjadi dalam pembuatan beras fungsional untuk penderita diabetes. Seiring penurunan daya cerna pati beras diharapkan terjadi peningkatan aktivitas hipoglikemik. Pengujian fenol bebas bertujuan untuk menentukan total
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
fenolik bebas yang terkandung di dalam bahan pangan. Kandungan senyawa
Formatted: Indonesian
fenolik di dalam bahan yang tinggi dapat digunakan untuk menduga
Formatted: Indonesian
aktivitas antioksidannya.
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
97
Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar fenol bebas beras pratanak fungsional menunjukkan adanya perbedaan nyata antar perlakuan (p<0.05) (Lampiran 27). Kadar fenol bebas paling rendah (0.45% bk) terdapat pada beras pratanak fungsional dengan perlakuan A1B2 (perendaman dengan ekstrak teh 7% dan pemasakan dengan ekstrak teh 14%), sedangkan kadar fenol bebas paling tinggi (0.85%) pada perlakuan A2B1 (perendaman dengan ekstrak teh 14% dan pemasakan dengan ekstrak teh 7%) (Tabel 15),
Deleted: 6
namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan A1B1 (perendaman dengan ekstrak teh 7 % dan pemasakan dengan ekstrak teh 7% ). Daya Cerna Pati in vitro
Formatted: Line spacing: single
Daya cerna pati merupakan faktor penting yang menentukan aktivitas hipoglikemik. Pada penelitian ini daya cerna pati ditentukan secara in vitro. Menurut Wilett et al. (2002) karbohidrat yang dicerna dan diserap secara
Formatted: Font: Not Italic
lambat akan menghasilkan puncak respon glikemik yang rendah. Pernyataan ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi daya cerna pati, akan semakin cepat dan banyak glukosa yang dihasilkan sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mengubah glukosa menjadi energi juga semakin banyak. Dalam produksi beras pratanak fungsional ini dimaksudkan untuk menurunkan daya cerna pati melalui perlakuan ekstrak teh hijau. Polifenol yang terkandung di dalam ekstrak teh hijau dapat membentuk kompleks dengan pati beras (Griffiths & Moseley 1980; Despandhe & Salunkhe 1982). Bentuk kompleks ini mengakibatkan perubahan struktur molekul pati sehingga tidak dikenali oleh enzim pencernaan. Oleh karena itu, bagian yang membentuk kompleks tersebut tidak dapat dicerna sehingga daya cerna pati menurun. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan daya cerna pati in vitro beras Memberamo pratanak fungsional berbeda nyata antar perlakuan (Lampiran 28). Daya cerna pati in vitro dari beras pratanak fungsional berkisar antara 9.85-19.74% (Tabel 15). Bila dibandingkan dengan daya cerna beras Memberamo tanpa perlakuan pratanak dan ekstrak teh (71.18%), maka seluruh perlakuan ekstrak teh memberikan dampak yang nyata dalam menurunkan daya cerna pati.
Deleted: 6
98
Uji Organoleptik Uji organoleptik merupakan salah satu parameter yang biasa digunakan untuk mengetahui apakah suatu produk yang akan dikembangkan dapat diterima konsumen. Perubahan atribut mutu organoleptik dari produk sejenis yang telah dikenal konsumen atau yang biasa dijumpai sehari-hari sering diperlukan waktu untuk bisa diterima konsumen. Misalnya, orang mengenal mi berwarna kuning, beras berwarna putih, kecap berwarna coklat dan sifat-sifat organoleptik yang menyertai produk tersebut. Meskipun saat ini telah dikembangkan aneka warna produk mi, baik dengan cara memodifikasi bahan baku maupun memperkaya dengan bahan yang memberikan warna selain kuning. Penggunaan ekstrak teh dalam pembuatan beras fungsional, selain fungsi fisiologis yang diharapkan, namun juga dapat menghasilkan sifat organoleptik yang berbeda dengan bahan bakunya. Uji organoleptik terhadap nasi pratanak fungsional meliputi warna, rasa
Formatted: Font color: Auto
dan tekstur. Uji hedonik untuk mengetahui tingkat kesukaan atau tingkat penerimaan konsumen terhadap beras pratanak fungsional dilakukan terhadap 25 orang panelis. Skor yang digunakan adalah tujuh taraf, yaitu: 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = sedang/netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka. Hasil rata-rata dari pengujian organoleptik dengan metoda hedonik disajikan pada Tabel 16. Skor Warna Warna merupakan salah satu atribut mutu organoleptik penting karena berkaitan langsung dengan preferensi konsumen saat pertama kali melihat produk tersebut (Meilgaard et al.1999). Ekstrak teh yang digunakan dalam pembuatan beras fungsional ini akan menghasilkan warna beras maupun nasi yang putih seperti nasi yang biasa dikonsumsi sehari-hari. Selain itu, proses pratanak akan menghasilkan beras yang berwarna agak gelap atau sedikit kusam. Perubahan warna tersebut antara lain akibat larutnya sebagian pigmen yang ada pada sekam padi dan masuk kedalam aleuron ataupun endosperm biji beras (Garibaldi 1974). Analisis sidik ragam terhadap warna nasi pratanak fungsional (Lampiran 29) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata (p>0.05) antar perlakuan. Skor hedonik rata-rata yang diberikan panelis terhadap warna
Deleted: 7
99
nasi pratanak fungsional adalah 5.3-5.5. Berarti warna nasi pratanak tersebut agak disukai. Skor Tekstur Proses pratanak biasanya akan menurunkan tingkat kepulenan nasi yang dihasilkan. Tahap perendaman, pemasakan dan pengeringan gabah selama proses pratanak akan melarutkan dan melekatkan komponen bekatul pada endosperm dengan kuat. Gabah pratanak agak susah disosoh dibandingkan dengan gabah biasa. Hasil analisis sidik ragam terhadap tekstur nasi pratanak menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0.05) antar perlakuan (Lampiran 48). Skor hedonik yang diberikan oleh panelis adalah 4.4-4.9, berarti agak suka. Skor Rasa Seiring dengan menurunnya tingkat kepulenan nasi pratanak, juga terjadi penurunan rasa akibat terdifusinya komponen bahan yang berasal dari sekam maupun bekatul (Luh & Mickus 1981). Rasa nasi pratanak fungsional selain dipengaruhi oleh proses, juga disebabkan oleh perlakuan ekstrak teh. Formatted: Line spacing: single
Tabel 16. Hasil uji organoleptik beras pratanak fungsional (n = 25) Hedonik nasi pratanak No. Perlak Warna Tekstur Rasa a a 1 A1B1 5.3 4.4 5.6 c a a 2 A1B2 5.3 4.7 4.9 bc 3 A2B1 5.4a 4.5b 4.3 ab a a 4 A2B2 5.5 4.9 4.0 a
Deleted: 7
Ket: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05) A1B1 = Perendaman pada ekstrak teh 7%, pemasakan pada ekstrak teh 7% A1B2 = Perendaman pada ekstrak teh 7%, pemasakan pada ekstrak teh 14% A2B1 = Perendaman pada ekstrak teh 14%, pemasakan pada ekstrak teh 7% A2B2 = Perendaman pada ekstrak teh 14%, pemasakan pada ekstrak teh 14% Skor: 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = sedang/netral 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka.
Formatted: Portuguese (Brazil)
Analisis sidik ragam (Lampiran 31) menunjukkan perlakuan ekstrak teh memberi pengaruh nyata terhadap rasa nasi pratanak fungsional (p<0.05). Perlakuan A1B1 (perendaman dengan ekstrak teh 7%
dan
pemasakan dengan ekstrak 7%) mendapat penilaian terbaik, dengan skor
Deleted: 29 antar perlakuanhedonik rata-rata . Berarti warna nasi pratanak tersebut dii.¶
100
5.6 (suka) sedangkan perlakuan A2B2 (perendaman dengan ekstrak teh 14% dan pemasakan dengan ekstrak 14%) mendapat skor 4.0 (netral atau sedang). Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak teh dengan konsentrasi lebih tinggi dalam pembuatan beras pratanak fungsional akan menurunkan tingkat preferensi konsumen. Hal ini diduga karena polifenol pada teh hijau menimbulkan rasa agak sepat. Pemilihan Perlakuan Beras Pratanak Fungsional Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa rasa nasi dari beras pratanak yang paling disukai panelis adalah perlakuan A1B1 (perendaman dengan ekstrak teh 7% dan pemasakan dengan ekstrak 7%). Beras ini mempunyai tekstur agak keras atau tidak rapuh dan warna agak putih. Sedangkan tekstur dan warna nasi tidak berbeda nyata antar perlakuan (P>0.05).
Perlakuan A1B1 mempunyai
kandungan fenol bebas yang tinggi (0.73%) dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan A2B1 (perendaman dengan ekstrak teh 14% dan pemasakan dengan ekstrak 7%). Perlakuan A1B1 tersebut mempunyai daya cerna pati in vitro yang cukup rendah (11.25%) (Tabel 15). Berdasarkan pertimbangan sifat organoleptik
Deleted: 6
serta kadar fenol bebas dan daya cerna pati, maka perlakuan pratanak dengan perendaman dan pemasakan dalam ekstrak teh masing-masing 7% ini digunakan untuk pengujian daya hipoglikemik dan indeks glikemik. Ekstrak teh hijau
Deleted: ¶
konsentrasi 14% yang digunakan dalam pembuatan beras pratanak fungsional disajikan pada Gambar 14, sedangkan beras pratanak perlakuan A1B1 yang
Deleted: 3
terpilih untuk penelitian selanjutnya (pengujian daya hipoglikemik dan uji indeks glikemik) disajikan pada Gambar 15.
Deleted: 4 Deleted: ¶
Gambar 14. Ekstrak teh hijau konsentrasi 14%
101
1
Deleted: ¶
2
Formatted: Indonesian
Gambar 15. Beras Memberamo pratanak fungsional [1] belum disosoh, [2] telah disosoh
Deleted: 4
Karakteristik Beras Memberamo, Beras Memberamo Pratanak, Beras Memberamo Pratanak Fungsional dan Beras Taj Mahal Daya cerna pati in vitro mempunyai korelasi yang tinggi terhadap perubahan
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
kadar glukosa darah (r = 0.87). Semakin tinggi daya cerna pati, maka perubahan
Formatted: Indonesian
kadar glukosa darah yang ditunjukkan dengan luas area dibawah kurva kadar
Formatted: Font color: Red, Indonesian
glukosa darah semakin besar. Beras giling varietas Memberamo memiliki daya
Formatted: Indonesian
cerna pati (72.15%), setelah diproses pratanak, daya cernanya turun menjadi 41.26% dan daya cerna turun lagi menjadi 11.25 ketika diproses menjadi beras
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
pratanak fungsional. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak teh hijau dalam pembuatan beras pratanak dapat menurunkan daya cerna pati. Analisis sidik ragam menunjukkan ada perbedaan nyata antar perlakuan pengolahan (Lampiran 32). Tabel 17. Karakteristik beras Memberamo, Memberamo pratanak, Memberamo pratanak fungsional dan Taj Mahal No. Jenis beras Kadar fenol Daya cerna pati Kadar abu bebas (% bk) in vitro (%) (% bk) 1 Beras Memberamo 71.18c 0.50a 2 3 4
Beras Memberamo pratanak Beras Memberamo pratanak fungsional Beras Taj Mahal
41.26b
0.73bc
0.73
11.25a
0.86c
-
99.08d
0.65ab
0.07
Keterangan: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05)
Formatted: Indonesian Deleted: Salah satu produk beras yang mengklaim sebagai beras antidiabetes, dan telah beredar luas dipasaran adalah beras Taj Mahal. Menurut Julianti (2003), beras Taj Mahal adalah beras herbal yang tidak berkanji dan mengandung protein tinggi serta zinc. Beras ini juga dapat mengatasi penyakit degeneratif yang berkaitan dengan masalah pencernaan seperti diabetes, darah tinggi, jantung koroner, ginjal, lever, stroke, paruparu dan impotensi. Dengan klaim yang bombastis tersebut, beras impor ini dijual cukup mahal, yaitu 4-5 kali dari harga beras Indonesia yang bermutu tinggi. Bagi individu yang sedang sakit dan didorong oleh keinginan sembuh atau dapat hidup lebih nyaman, maka beras dengan klaim yang menarik tersebut akan di konsumsi walau dengan harga yang mahal dan ternyata rasanya tidak enak. ¶ Deleted: 8
102
Pada proses pratanak, terutama tahap perendaman dan pemasakan, akan terjadi pelarutan komponen bekatul dan sekam, melekat pada bagian endosperm.
Formatted: Indonesian
Beras Memberamo giling tidak mengandung fenol bebas, setelah diproses pratanak, kadar fenol bebas sebesar 0.07%. Kemungkinan tanin tersebut berasal dari sekam. Beras Memberamo pratanak fungsional mengadung fenol bebas
Formatted: Indonesian
sebesar 0.73%, berasal dari ekstrak teh. Seiring dengan meningkatnya kadar fenol bebas terjadi penurunan daya cerna pati.
Hal serupa terjadi pada komponen abu. Beras Memberamo giling
Formatted: Indonesian
mempunyai kadar abu 0.50%, setelah diproses pratanak kadar abu meningkat menjadi 0.73% dan 0.86% bila diproses menjadi beras pratanak fungsional. Peningkatan kadar abu dari 0.50 menjadi 0.73 % adalah akibat proses pratanak, terjadi pelarutan mineral-mineral dari sekam maupun bekatul. Sedangkan kenaikkan kadar abu dari 0.73 menjadi 0.86% kemungkinan dari ekstrak teh (Tabel 17). Analisis sidik ragam kadar abu antar perlakuan pengolahan berbeda nyata (Lampiran 33). Beras Taj Mahal memiliki daya cerna pati yang tinggi
Formatted: Indonesian Deleted: 80
Formatted: Indonesian
(99.08%) dan kadar abu sedang (0.65%). Pembuatan Beras Instan Fungsional Pembuatan beras instan dengan penambahan ekstrak teh hijau dilakukan sesuai dengan kondisi proses terpilih pada optimasi proses pembuatan beras instan. Beras direndam didalam ekstrak teh pada suhu 50ºC selama 2 jam. Pebandingan ekstrak teh dengan beras Memberamo adalah 1:1. Kemudian beras hasil perendaman dilakukan pemasakan dalam ekstrak teh (ekstrak teh : beras = 1:1) dalam Presto (tekanan 80 kPa) selama 10 menit. Selanjutnya dibekukan
Deleted: Bagi penderita diabetes mellitus, kandungan polifenol dalam teh juga bermanfaat untuk membantu menurunkan kadar gula darah. Hal ini dimungkinkan karena kandungan mangan yang terdapat pada teh hijau dapat membantu penguraian gula menjadi energi, sehingga bisa membantu mengendalikan kadar gula dalam darah. Selain itu, teh hijau memiliki sejumlah senyawa kimia yang sangat bermanfaat bagi kesehatan (Lubnan, 2005). ¶ Deleted: h
semalam pada suhu -4 ºC, di thawing selama lima menit pada suhu 50ºC dan dikeringkan pada suhu 60ºC selama 4 jam atau sampai kadar air 12-14 %. Selain untuk menghentikan proses gelatinasi, tahap pembekuan bertujuan agar pori-pori beras terisi dengan kristal es sehingga saat dikeringkan akan membentuk tekstur yang porus. Sifat porusitas beras instan ini sangat diperlukan agar saat rehidrasi mudah dan cepat terisi air panas dan membentuk nasi yang siap disantap. Perlakuan penambahan ekstrak teh hijau
dilakukan pada tahap perendaman
dengan dua konsentrasi, yaitu C1 = 2% dan C2 = 4%, serta tahap pemasakan juga dengan dua konsentrasi yaitu D1 =2% dan D2 = 4%.
Deleted: pada pembuatan beras instan, Deleted: 2 Deleted: 2
103
Deleted: ¶
Komposisi Kimia Beras Instan Fungsional
Formatted: Font: Italic
Analisis komposisi kimia dilakukan pada produk beras instan fungsional meliputi analisis kadar air, abu, fenol bebas dan daya cerna pati in vitro. Untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen dilakukan uji organoleptik. Rata-rata
Deleted: 2….…9
Deleted: ¶
Formatted: Swedish (Sweden)
hasil analisis disajikan pada Tabel 18.
Deleted: 2…9
Kadar Air 8-14%. Kadar air merupakan komponen bahan pangan yang sangat penting. Kadar air pada pembuatan beras instan fungsional sangat mempengaruhi
Formatted: Font: Not Bold Formatted Table Formatted: Centered Formatted
... [88]
kekeringan nasi instan dan rasio rehidrasi. Pada pengeringan dengan
Formatted: Centered
menggunakan 60oC diperoleh kadar air 10.16 sampai dengan 10.35%. Uji
Formatted: Centered
statistik menunjukkan kadar air beras instan fungsional berbeda nyata antar (Lampiran
34).
Pengeringan
adalah
suatu
cara
untuk
mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari bahan dengan cara menguapkannya menggunakan energi panas. Secara umum kandungan air bahan dikurangi sampai batas tertentu sehingga cukup aman untuk
Tabel 18. Komposisi kimia beras instan fungsional Perlakuan Komponen C1D1 C1D2 C2D1 b b a 10.35 10.31 10.19 Air (%) a a a 1.06 1.21 1.07 Abu (% bk) Fenol bebas (% bk) 0.55a 1.68c 1.17b d b Daya cerna pati 50.98 47.02 48.74c in vitro (%)
Formatted: Centered Formatted: Centered Formatted
... [89]
Formatted
... [90]
Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Formatted: Left, Line spacing: single Deleted: Ket.: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT); … … ... [91]
disimpan.
Formatted
C2D2 a 10.16 a 1.09 1.68c 41.39a
Keterangan: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05) C1D:Perendaman pada ekstrak teh 2%, pemasakan pada ekstrak teh2% C1D2 :Perendaman pada ekstrak teh 2%, pemasakan pada ekstrak teh 4% C2D1: Perendaman pada ekstrak teh 4%, pemasakan pada ekstrak teh 2% C2D2: Perendaman pada ekstrak teh 4%, pemasakan pada ekstrak teh 4%
Kecepatan proses pengeringan dapat dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. Faktor-faktor internal adalah sifat struktur fisik serta ukuran bahan. Faktor-faktor eksternal meliputi suhu udara dan kecepatan udara.
... [87]
Formatted: Swedish (Sweden)
Menurut Luh et al. (1980), kadar air beras instan berkisar antara
perlakuan
... [86]
Formatted: Swedish (Sweden)
Deleted:
Formatted
... [92] ¶
... [93]
Deleted:
Formatted
... [94]
Formatted
... [95]
Deleted:
Formatted
... [96]
Deleted: ¶ Deleted: ¶ Kadar Abu¶ Hasil uji duncan pada kadar abu menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara perlakuan (Tabel 18). Konsentrasi ekstrak teh hijau 2 dan 4% tidak berpengaruh terhadap kadar abu beras instan fungsional. Tingginya kadar abu dari beras instan ini dapat disebabkan oleh kandungan mineral yang terdapat pada ekstrak teh, sehingga kadar abu beras instan fungsional (1.07-1.21% bk) ... [97]
Formatted: Swedish (Sweden)
104
Kadar Abu Hasil uji statistik pada kadar abu menunjukkan
hasil yang tidak
Formatted: Indent: Left: 0,99 cm, First line: 0,99 cm
berbeda nyata antara perlakuan (Lampiran 35). Konsentrasi ekstrak teh hijau 2 dan 4% tidak berpengaruh terhadap kadar abu beras instan fungsional. Tingginya kadar abu dari beras instan ini dapat disebabkan oleh kandungan mineral yang terdapat pada ekstrak teh, sehingga kadar abu beras instan fungsional (1.07-1.21% bk) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar mineral dari beras giling (0.3-0.6% bk). Deleted: ¶
Daya Cerna Pati in vitro
Formatted: Font: Italic
Daya cerna pati merupakan kemampuan dari pati untuk dapat dicerna dan diserap oleh tubuh. Ketika pati dicerna, apapun jenis pati akan dihasilkan gugus monosakarida, yaitu glukosa yang selanjutnya akan terserap di dalam darah. Oleh karena itu, tubuh akan merangsang pankreas untuk memproduksi insulin. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi daya cerna pati, akan semakin cepat dan banyak glukosa yang dihasilkan sehingga insulin yang dibutuhkan untuk mengubah glukosa menjadi energi juga semakin banyak. Penderita diabetes mempunyai keterbatasan dalam produksi maupun kemampuan kerja insulin. Oleh karena itu, tanpa melihat komposisi dan sifat bahan yang lain, pati yang mempunyai daya cerna tinggi cenderung dihindari oleh diabetesi. Daya cerna pati in vitro dari beras instan fungsional berkisar antara 41.39-50.98% (Tabel 18). Hasil analisis sidik ragam menunjukkan daya cerna pati in vitro antar perlakuan berbeda nyata (Lampiran 36). Nampak adanya kecenderungan penggunaan konsentrasi ekstrak teh hijau yang lebih tinggi, terutama pada tahap pemasakan akan menurunkan daya cerna pati in vitro. Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya antigizi seperti asam fitat dan polifenol akan menurunkan daya cerna baik daya cerna protein maupun pati. Komponen antigizi seperti tannin dan asam fitat, akan membentuk kompleks dengan protein sehingga menurunkan daya cerna dan mutu protein. Komponen tersebut juga dapat menghambat enzim pencernaan terutma tripsin dan amilase (Despande & Salunkhe 1982; Thompson et al. 1984), sehingga daya cernanya menurun.
Deleted: 9bk Deleted:
105
Robinson 2000). Senyawa polifenol juga dikenal sebagai tanin. Senyawa ini
Deleted: Ket.: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT); A1B1 = Perendaman pada ekstrak teh 2%, pemasakan pada ekstrak teh ¶ 2% A1B2 = Perendaman pada ekstrak teh 2%, pemasakan pada ekstrak teh 4%¶ A2B1 = Perendaman pada ekstrak teh 4%, pemasakan pada ekstrak teh 2%¶ A2B2 = Perendaman pada ekstrak teh 4%, pemasakan pada ekstrak teh 4%¶ ¶
dapat menurunkan aktivitas enzim amilase sehingga daya cerna pati
Deleted: b
Kadar Senyawa Fenol Bebas Flavonoid dalam teh berperan dalam melawan spesies oksigen reaktif dan radikal bebas dengan berbagai mekanisme, antara lain delokalisasi elektron dan formasi ikatan hidrogen intramolekuler. Flavonoid dalam teh juga mempunyai sifat sebagai pengkelat Cu dan Fe bebas, yang dapat mencegah reaksi oksidatif, karena logam ini diketahui sebagai katalisator pembentukan spesies oksigen reaktif secara in vivo (Balentine & Paetau-
menurun. Penurunan aktivitas amilase tersebut diduga karena enzim tidak mengenali substrat (yaitu pati) akibat terbentuknya kompleks polifenol dan pati. Sifat polifenol dari ekstrak teh hijau yang dapat menurunkan daya cerna pati beras tersebut yang mendasari penggunaan ekstrak teh dalam pembuatan beras fungsional. Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar senyawa fenol bebas pada beras instan fungsional menunjukkan adanya beda nyata antar
Deleted: Namun hasil analisis sidik ragam menunjukkan daya cerna pati antar perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 22).¶ ¶ Tabel 22. Serat pangan, daya cerna pati, fenol bebas dan pati resisten pada ¶ beras instan fungsional (% bk)¶ No. ... [98]
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
perlakuan (Lampiran 36). Kadar senyawa fenol bebas berkisar antara
Formatted: Indonesian
0.55% (perlakuan perendaman dengan ekstrak teh 2% dan pemasakan
Deleted: a
dengan ekstrak teh 2%) sampai dengan 1.68% (perendaman dengan
Deleted: Deleted: (Van Aker et al. 1996).
ekstrak teh 2% dan pemasakan dengan ekstrak teh 4%; perendaman
Formatted: Indonesian
dengan ekstrak teh 4% dan pemasakan dengan ekstrak teh 4%) (Tabel 18).
Formatted: Indonesian Deleted: dari total Deleted: 9
Uji Organoleptik Beras instan adalah beras yang dapat disajikan secara cepat tanpa memerlukan waktu yang banyak. Beras instan fungsional dalam penelitian ini, merupakan beras instan yang telah diberikan perlakuan ekstrak teh hijau. Penyajian beras instan fungsional ini dilakukan dengan cara menyeduh dengan air mendidih selama delapan menit, hingga diperoleh nasi instan siap untuk diuji organoleptik. Pengujian organoleptik terdiri dari berbagai macam cara, salah satunya adalah uji penerimaan konsumen seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Uji hedonik dilakukan terhadap warna, tektur dan rasa nasi instan fungsional. Pengembangan produk pangan baru yang mempunyai karakteristik berbeda
Deleted: perlakuan perendaman dengan ekstrak teh 2% dan pemasakan dengan ekstrak teh 4%, tidak berbeda nyata dengan perlakuan perendaman dalam ekstrak teh 4% dan pemasakan dalam ekstrak teh 4%), tetapi berbeda nyata dengan kedua perlakuan lainnya (Tabel 22). ¶ ¶
Formatted: Font: Italic Formatted: Indonesian
106
dengan produk pangan sejenis yang sudah biasa dikonsumsi masyarakat,
Deleted:
memerlukan waktu adaptasi. Penggunaan ekstrak teh hijau dalam pembuatan
Deleted: 2023
beras instan fungsional mengakibatkan warna nasi instan menjadi kecoklatan. Hasil rata-rata dari pengujian organoleptik, disajikan pada Tabel 19.
Formatted: Font: Bold Formatted: Line spacing: 1.5 lines
Skor Warna Analisis sidik ragam terhadap warna nasi instan (Lampiran 38) menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan (p>0.05). Penilaian panelis terhadap warna nasi instan fungsional berkisar antara 3.3- 4.1 atau antara agak tidak suka sampai netral. Warna kecoklatan pada nasi yang disebabkan oleh ekstrak teh menurunkan preferensi panelis. Tabel 19. Hasil uji organoleptik beras instan fungsional (n = 25) Hedonik nasi instan No. Perlak Rasa Tekstur Warna a a 1 C1D1 3.5 3.1 3.3a a a 2 C1D2 3.0 3.6 3.7 a 3 C2D1 3.2a 4.0a 4.4 a 4 C2D2 2.5a 3.4a 4.1 a
Deleted: ¶ Warna merupakan salah satu penentu kualitas beras instan, karena berkaitan langsung dengan penampilan disukai atau tidaknya oleh konsumen. Pada uji organoleptik warna beras instan fungsional adalah warna kecoklatan akibat adanya pigmen coklat dari ekstrak teh hijau.¶ Penilaian panelis terhadap warna beras instan yang lebih disukai (4.58) adalah beras dengan perlakuan perendaman dengan ekstrak teh 2% dan pemasakan dengan ekstrak 4%). Sedangkan penilaian panelis terhadap warna ... [99]
Formatted: Indonesian Formatted
... [100]
Formatted Table Formatted: Indonesian Formatted
Ket.: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT); C1D1 = Perendaman pada ekstrak teh 2%, pemasakan pada ekstrak teh 2% C1D2 = Perendaman pada ekstrak teh 2%, pemasakan pada ekstrak teh 4% C2D1 = Perendaman pada ekstrak teh 4%, pemasakan pada ekstrak teh 2% C2D2 = Perendaman pada ekstrak teh 4%, pemasakan pada ekstrak teh 4% Skor: 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = sedang/netral 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka.
... [101]
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Deleted: 20
Formatted: Indonesian Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: 10 pt Formatted: Font: 10 pt Formatted
Skor Rasa Analisis
Deleted: ¶
... [102]
Formatted: Font: 10 pt
sidik
ragam
terhadap
rasa
nasi
instan
fungsional
Formatted: Font: 10 pt
menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antar perlakuan (p<0.05)
Formatted: Font: 10 pt
(Lampiran 40). Skor hedonik yang diberikan panelis berkisar antara 2.5 –
Formatted: Font: 10 pt Formatted
... [103]
3.5, berarti agak tidak suka sampai sedang/netral. Hal ini dikarenakan
Formatted: Font: 10 pt
flavonoid pada teh hijau menimbulkan rasa sepat sehingga menurunkan
Formatted: Font: 10 pt
tingkan preferensi konsumen.
Formatted: Font: 10 pt Formatted: Font: 10 pt Formatted: Indonesian
Pemilihan Perlakuan Beras Instan Fungsional Hasil uji organoleptik menunjukkan bahwa rasa sepat akibat perlakuan ekstrak teh menurunkan tingkat preferensi panelis. Namun analisis statistik tidak
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Deleted: .
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
107
menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan, berarti seluruh perlakuan bebas untuk dipilih. Tujuan pembuatan beras fungsional ini adalah mendapatkan beras dengan daya cerna rendah. Tabel 19 menunjukkan bahwa perlakuan C2D2 (perendaman dalam ekstrak teh 4 % dan pemasakan dalam ekstrak teh 4%) mempunyai daya cerna pati in vitro terendah (41.39%) dan kandungan fenol bebas tinggi (1.68%). Berdasarkan pertimbangan sifat organoleptik serta kadar fenol bebas yang tinggi dan daya cerna pati in vitro yang rendah, maka perlakuan C2D2 (perendaman dalam ekstrak teh 4 % dan pemasakan dalam ekstrak teh 4%) dipilih
untuk digunakan dalam pengujian daya hipoglikemik dan penentuan
indeks glikemik (Gambar 16).
Gambar 16. Beras Memberamo instan fungsional Karakteristik Beras Memberamo, Beras Memberamo Instan, Beras Memberamo Instan Fungsional dan Beras Taj Mahal
Deleted: 2 c
Deleted: 5
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
Beras instan adalah beras yang dapat disajikan secara cepat tanpa
Formatted: Indonesian
memerlukan waktu yang banyak. Beras instan fungsional dalam penelitian ini, merupakan beras instan yang telah diberikan perlakuan ekstrak teh hijau. Perlakuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan sifat fungsional dari beras instan sehingga beras instan ini tidak hanya sebagai produk pangan yang praktis, tetapi juga dapat digunakan membantu mencegah atau mengendalikan penyakit degeneratif, terutama DM. Beras Memberamo instan fungsional disajikan dengan diseduh dengan air mendidih selama delapan menit di dalam wadah kedap udara.
Formatted: Indonesian
108
Beras merupakan bahan pangan pokok bagi masyarakat Indonesia dan sebagian besar masyarakat di Asia. Dengan anggapan bahwa beras merupakan salah satu jenis bahan pangan yang bersifat hiperglikemik, maka penderita DM berusaha membatasi atau bahkan menghindari nasi dalam dietnya. Salah satu produk beras impor dari India yang telah dipasarkan di Indonesia dengan klaim
Formatted: Indonesian
sesuai untuk penderita DM adalah beras dengan merek dagang Taj Mahal (Julianti 2003). Tabel 20 menunjukkan perbandingan karakteristik antara beras Taj Mahal,
Deleted: 1 Deleted: Bagaimana posisi
beras Memberamo, beras Memberamo instan dan beras Memberamo instan
Formatted: Indonesian
fungsional.
Formatted: Indonesian
Komponen utama dari beras adalah karbohidrat, dan sebagian besar
Formatted: Indonesian Deleted: dan
karbohidrat pada beras berupa pati. Pati merupakan sumber energi dalam beras
Formatted: Indonesian
setelah dicerna menjadi glukosa. Respon glikemik dipengaruhi oleh berbagai
Deleted: 24
faktor. Pati yang dicerna lambat akan memberikan respon glikemik yang lambat,
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
sehingga IG pangan tersebut akan rendah (Miller et al. 1992; Foster-Powell, e. al. 2002; Eckel 2003). Jadi daya cerna pati memegang peranan penting dalam menentukan respon glikemik. Formatted: Indonesian
Tabel 20. Karakteristik beras Memberamo, Memberamo instan, Memberamo instan fungsional dan Taj Mahal No. Jenis beras Kadar fenol Daya cerna pati bebas (% bk) in vitro (%) 1 Beras Memberamo 71.18b 2 3 4
Beras Memberamo instan Beras Memberamo instan fungsional Beras Taj Mahal
-
Formatted: Line spacing: single
Kadar abu (% bk) 0.50a
89.92c
0.57ab
a
c
1.68
41.39
-
99.08d
1.09
0.65b
Ket: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pada uji beda Duncan (p>0.05)
Daya cerna pati in vitro pada beras giling varietas Memberamo tanpa perlakuan adalah 71.18%, setelah diolah menjadi beras instan daya cerna patinya meningkat menjadi 89.92% (Tabel 20). Hal ini disebabkan pada proses
Deleted: 1
Deleted: ¶
Formatted: Indonesian Deleted: Deleted: Komponen utama dari beras adalah karbohidrat, dan sebagian besar karbohidrat pada beras berupa pati. Pati merupakan sumber energi dalam beras setelah dicerna menjadi glukosa.2 Kemampuan tercernanya pati menjadi glukosa dikatakan sebagai daya cerna pati. D
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
instanisasi, pati telah mengalami gelatinasi sempurna sehingga saat dilakukan
Formatted: Indonesian
rehidrasi, pati akan lebih mudah tercerna. Dalam bentuk beras instan fungsional,
Deleted: namun
daya cerna pati menurun drastis menjadi 41%. Hal ini diduga akibat perlakuan
Formatted: Indonesian Formatted: English (U.S.) Deleted: di
109
ekstrak teh hijau (mengandung polifenol) yang digunakan dalam pembuatan beras instan fungsional. Polifenol pada ekstrak teh dapat membentuk kompleks dengan
Deleted:
pati beras sehingga pati lebih sukar dicerna. Selain itu, polifenol sebagai salah satu komponen antigizi dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan, terutama tripsin dan amilase (Griffiths & Moseley 1980; Yusof et al 1984). Sedangkan
Formatted: Font: Not Italic
beras Taj Mahal ternyata memiliki daya cerna tinggi, yaitu 99%. Penurunan daya cerna pati yang signifikan pada beras instan fungsional ini merupakan hal yang diharapkan. Penurunan daya cerna pati bertujuan agar pati dalam beras instan fungsional tidak seluruhnya tercerna. Penurunan daya cerna pati seiring dengan peningkatan fenol bebas pada beras instan fungsional. Menurut Siswono (2004), daya cerna yang tidak terlalu tinggi disebabkan oleh adanya antitripsin dan tanin (polifenol). Kadar fenol bebas pada beras instan fungsional adalah 1.68%. Kadar fenol tersebut telah menurunkan daya cerna pati sekitar 40%. Pengaruh Jenis Pengolahan Pratanak dan Instan terhadap Mutu Beras Secara umum proses pembuatan beras pratanak mengakibatkan tekstur nasi agak keras dan menurunkan rasa enak nasinya. Namun keunggulan proses pratanak adalah beras menjadi lebih awet, IG dan daya cerna patinya lebih rendah dari beras varietas yang sama tetapi tidak diproses pratanak. Gabah pratanak (sebelum digiling menjadi beras) lebih tahan lama disimpan dibandingkan dengan gabah biasa tanpa proses pratanak (Garibaldi 1974). Gabah kering panen, terutama di musim penghujan dan mengalami hambatan proses pengeringan, dalam beberapa hari akan mengalami perkecambahan. Sedangkan gabah pratanak sudah tidak dapat berkecambah karena telah mengalami gelatinasi parsial. Berdasarkan sifat-sifat sensorisnya, maka pada penelitian ini dipilih beras yang pulen dan enak tetapi mempunyai sifat hipoglikemik. Proses pratanak juga dapat melekatkan mineral serta komponen bekatul lainnya pada lapisan endosperm butiran beras, dampaknya adalah penampilan beras pratanak menjadi agak kusam. Proses pratanak dan perlakuan dengan ekstrak teh hijau dapat menurunkan daya cerna pati. Pada penelitian ini beras Memberamo mempunyai daya cerna pati in vitro sebesar 71.18 %, setelah diproses pratanak menjadi
Deleted: kan
110
41.26% dan setelah diolah menjadi beras pratanak fungsional dengan perlakuan ekstrak teh hijau, daya cerna patinya menjadi 11.25%. Beras instan adalah beras yang dapat disajikan menjadi nasi dalam waktu singkat (Haryadi 1992). Dalam penelitian ini, beras instan dapat disajikan dalam waktu 8 menit setelah diseduh dengan air mendidih dan dalam wadah tertutup rapat. Proses pembuatan beras instan akan meningkatkan daya cerna, karena beras telah mengalami gelatinasi sehingga lebih mudah dicerna. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beras Memberamo mempunyai daya cerna pati in vitro 71.18%, setelah diproses menjadi beras instan daya cernanya meningkat menjadi 89.92%. Namun, beras Memberamo instan fungsional mempunyai daya cerna pati sebesar 41.39%. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak teh hijau dengan komponen aktif polifenol berpengaruh dalam menurunkan daya cerna pati in vitro. Mekanisme Ekstrak Teh dalam Penurunan Daya Cerna Pati in vitro Komponen utama dalam ekstrak teh hijau adalah polifenol. Polifenol atau tanin secara umum dapat membentuk kompleks dengan protein maupun pati sehingga kedua komponen tersebut menjadi lebih sukar dicerna oleh enzim pencernaan (Thompson et al. 1984). Hal serupa dinyatakan oleh Mueller-Harvey et al. (1986) bahwa komponen fenolik akan menurunkan daya cerna karbohidrat, dan daya cerna dinding sel karbohidrat akan meningkat bila komponen fenolik dihilangkan dengan perlakuan alkali. Greenwell (1999) melaporkan bahwa konsumsi teh hijau bersama-sama dengan makanan yang kaya akan karbohidrat, akan menurunkan pelepasan dan penyerapan glukosa, serta penyerapan mineral seperti zat besi. Konsumsi teh hijau juga mempunyai pengaruh menurunkan absorpsi protein (Thompson et al. 1984). Secara empiris teh hijau dipercaya mempunyai khasiat sebagai pelangsing, hal ini dimungkinkan antara lain karena efek penurunan daya cerna dan penyerapan zat-zat gizi oleh tubuh. Meskipun tidak dilakukan analisis dalam penelitian ini, pengaruh penurunan daya cerna pati in vitro dalam pembuatan beras fungsional menggunakan ekstrak teh hijau, baik pratanak maupun instan, akan berbeda dengan konsumsi pangan berkarbohidrat yang dilakukan bersama-sama dengan konsumsi teh hijau. Ada kebiasaan di Jepang maupun di Kalimantan Selatan bahwa masyarakat mengonsumsi nasi yang diberi kuah atau dicampur dengan air teh. Tradisi
111
tersebut mungkin dapat menurunkan daya cerna zat-zat gizi, namun kontak antara nasi dengan air teh sangat singkat (saat dicampur dengan nasi saja) sehingga pengaruh penurunan daya cerna pati dan/atau aktivitas enzim amilase relatif sedikit. Sedangkan dalam proses pembuatan beras pratanak dan beras instan fungsional waktu kontak antara ekstrak teh dengan gabah/beras cukup lama, baik pada tahap perendaman maupun pemasakan sehingga penurunan daya cerna pati dan/atau aktivitas enzim amilase relatif tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan perlakuan ekstrak teh hijau dalam pembuatan beras fungsional dapat menurunkan daya cerna pati in vitro dari 41.26% (beras Memberamo pratanak) menjadi 11.25% (beras Memberamo pratanak fungsional) dan dari 89.92% (beras Memberamo instan) menjadi 41.39% (beras Memberamo instan fungsional) Informasi mengenai tipe ikatan antara polifenol dengan karbohidrat masih sangat terbatas. Bear et al. (1985) di dalam Mueller-Harvey et al. (1986) menyatakan bahwa kemungkinan ikatan antara komponen fenolik dengan karbohidrat adalah ikatan kovalen melalui jembatan eter pada C-4 karbohidrat. Kemungkinan lain tipe ikatan antara polifenol dengan karbohidrat melalui jembatan H+ dan interaksi hidrofobik sangat penting dalam bentuk kompleks tersebut. Lebih lanjut dinyatakan bahwa ukuran molekul dan fleksibilitas konformasi berperan dalam ikatan antara polifenol dengan polisakarida dan dipengaruhi oleh pH. Bentuk kompleks tersebut sedikit mengubah struktur polisakarida atau polifenol sehingga mengubah afinitasnya. Dampak dari bentuk kompleks antara pati dengan polifenol menyebabkan sisi atau bagian pati yang secara normal dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi tidak dikenali. Semakin banyak ikatan pati dengan polifenol maka semakin banyak sisi-sisi yang tidak dapat dikenali oleh enzim pencernaan, sehingga kemampuan hidrolisis pati menurun. Akibatnya, daya cerna pati menjadi rendah. Thompson et al. (1984) menyatakan bahwa beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya polifenol atau tanin dapat menghambat aktivitas enzim-enzim pencernaan, terutama tripsin dan amilase. Lebih lanjut dinyatakan adanya adsorpsi substansi polifenol secara selektif oleh pati akan menurunkan daya cerna pati in vitro. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mekanisme adanya hubungan negatif antara asupan polifenol dengan indeks glikemik belum
112
jelas. Diduga hal ini berhubungan langsung dengan interaksi antara pati dan polifenol. Deshpande dan Salunkhe (1982) memberikan ilustrasi bahwa adanya ikatan tanin, seperti katekin dengan leguminosa berpati, kentang, amilosa dan amilopektin akan menurunkan daya cerna pati in vitro.
Percobaan 3. Evaluasi Daya Hipoglikemik Beras Fungsional dan Analisis Histologi Jaringan Pankreas Komposisi Kimia Ransum Tikus Percobaan Komposisi ransum tikus percobaan disusun berdasarkan ransum standar metode AOAC (1995), namun porsi pati diganti seluruhnya dengan tepung beras sesuai perlakuan. Untuk kontrol negatif dan positif (KN dan KP) sumber pati
Deleted: Serat pangan larut dalam beras Taj Mahal yaitu 1.79%.Penentuan konsentrasi penggunaan ekstrak polifenol teh hijau¶ Larutan ekstrak daun teh kering memiliki kepekatan awal 5oBrix (=4%). Penggunaan konsentrasi ekstrak teh hijau dalam pembuatan beras pratanak fungsional dilakukan dengan berbagai taraf yaitu 2, 4, 7, dan 20%. Hasil analisis kadar fenol bebas dari berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil analisis fenol bebas ternyata tidak mampu menghasilkan kadar fenol bebas gabah hingga 1%, meskipun digunakan konsentrasi ekstrak hingga 20%. ¶ ¶ Tabel 16. Kadar fenol bebas pada gabah yang diproses pratanak ¶ dengan berbagai konsentrasi ekstrak teh¶ No ... [104]
Formatted: Indonesian
berasal dari tepung beras varietas terpilih, yaitu Memberamo.
Formatted: Indonesian Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
Tabel 21. Komposisi kimia ransum tikus berdasarkan sumber patinya Komponen Jenis Ransum
Formatted: Indonesian
KN/KP
BMIF
BMPF
BMF
BTM
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian
Air (% bb)
12.88
10.00
13.68
11.18
12.14
Formatted: Indonesian
Abu (% bk)
4.19
3.68
4.91
4.53
4.60
Protein (% bk)
18.39
17.25
18.69
16.09
17.03
Lemak (% bk)
8.39
8.12
8.97
8.59
8.25
Karbohidrat (% bk)
69.03
70.95
67.43
70.79
70.12
Keterangan: KN/KP = Sumber pati adalah beras Memberamo tanpa perlakuan BMIF = Sumber pati adalah beras Memberamo instan fungsional BMPF = Sumber pati adalah beras Memberamo pratanak fungsional BMF = Sumber pati adalah beras Memberamo fungsional BTM = Sumber pati adalah beras Taj Mahal
Untuk kelompok perlakuan: BMIF sumber pati berasal dari beras Memberamo instan fungsional, kelompok BMPF sumber pati berasal dari beras Memberamo
Formatted: Font: Not Bold, Indonesian Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian, Not Superscript/ Subscript Formatted: Indonesian Formatted: Finnish Deleted: ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶ ¶
Formatted: Font: Not Bold Deleted: 25
pratanak fungsional, kelompok BMF sumber pati berasal dari beras Memberamo
Formatted: Font: Not Bold
fungsional yaitu beras Memberamo yang direndam dalam ekstrak teh 4% lalu
Formatted: Font: Not Bold
dikeringkan. Kelompok BTM sumber pati berasal dari beras Taj Mahal. Hasil analisis proksimat dari masing-masing ransum tikus disajikan pada Tabel 21.
Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold Deleted: 25
113
Formatted: Font: 12 pt
Hewan Model Diabetes Melitus Hewan seperti mencit, tikus, kelinci sering digunakan untuk penelitian farmakologi karena penanganannya mudah dan harganya relatif murah, terutama di dalam penapisan in vivo efek atau aktivitas farmakologi suatu bahan uji (Soemardji 2004). Telah banyak bukti yang menunjukkan bahwa penggunaan hewan model dapat menggambarkan dengan baik berbagai keadaan diabetes pada manusia, baik aspek fisiologi maupun morfologi. Selain itu hewan model juga
Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt, Not Italic Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt
merupakan sarana yang baik untuk memanipulasi beberapa keadaan yang tidak mungkin dilakukan
pada manusia
(Andayani 2003). Dalam penelitian ini
digunakan tikus putih jantan (Ratus novergicus) strain Sparague Dawley. Hewan
Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt
ini telah diketahui sifatnya dengan baik, mudah dipelihara, relatif sehat dan peka terhadap pengaruh perlakuan dalam komponen dietnya (Arington 1972).
Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt
Tikus percobaan diperoleh dari Fakultas Peternakan IPB, umur sekitar 60 hari dengan berat badan antara 150-200 g. Sebelum penelitian dimulai, dilakukan adaptasi terlebih dahulu selama satu minggu dengan tujuan agar tikus percobaan terbiasa dengan lingkungannya dan berat badannya hampir merata. Selama masa
Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt
adaptasi, tikus diberi ransum standar (pelet) dan diberi minum secara ad libitum. Induksi Aloksan Hewan model diabetes melitus dapat dipersiapkan dengan menggunakan bahan kimia diabetogenik, yaitu aloksan atau streptozotosin, dosis tertentu yang
Formatted: Font: 12 pt, Bold, Italic Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt
dapat menyebabkan kerusakan selektif terhadap sel-sel β pankreas, sehingga menghasilkan keadaan hiperglikemia permanen yang merupakan salah satu ciri DM tipe 1 (IDDM). Pada penelitian ini digunakan aloksan dengan dosis tunggal sebanyak 110 mg/kg berat badan tikus. Dosis aloksan optimum yang dapat menghasilkan kondisi hiperglikemia permanen tergantung dari jenis, umur dan kondisi hewan percobaan. Andayani (2003) melaporkan bahwa pada tikus putih umur sekitar tiga bulan dengan berat badan 200-270 g yang diinduksi dengan aloksan 75 mg/kg berat badan hanya menghasilkan tikus dengan kadar glukosa darah sesaat 150-200 mg/dl sebanyak 25%, tetapi dalam waktu satu minggu kadar glukosanya kembali normal. Selanjutnya digunakan dosis 125 mg/kg berat badan untuk menghasilkan tikus DM sedang (kadar gula darah 200-400 mg/dl) dan 175 mg/kg berat badan untuk
Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt
114
menghasilkan tikus DM parah, yaitu kadar gula darah 400-800 mg/dl. Namun tikus dengan kadar gula darah 400-800 mg/dl tersebut hanya 25% yang bertahan hidup setelah 48 jam (Andayani 2003). Sedangkan Kesenja (2005) berhasil membuat tikus model DM dengan menginduksi tikus putih jantan strain Sparague
Formatted: Font: 12 pt Formatted: Font: 12 pt
Dawley (umur sekitar 60 hari, berat badan 150-200 g) menggunakan aloksan dosis 100 mg/kg berat badan. Pada penelitian ini digunakan dosis sesuai Kesenja (2005)
Formatted: Font: 12 pt
karena tikus yang digunakan berat badannya 150-200 g. Namun dua hari setelah induksi aloksan dengan dosis 100 mg/kg berat badan, tikus yang mengalami hiperglikemia permanen hanya 5 %. Oleh karena itu dosis ditingkatkan menjadi 110 mg/kg berat badan tikus, dan pada dosis tersebut setelah dua hari tikus yang
Formatted: Font: 12 pt
mengalami hiperglikemia permanen lebih dari 90%. Dosis ini masih dalam kisaran yang dilaporkan oleh Szkudelski (2001) yaitu 70-120 mg/kg berat badan tikus. Sebelum diinduksi dengan aloksan, kadar gula darah tikus diukur terlebih
Formatted: Font color: Auto Formatted: Font color: Auto
dahulu untuk memastikan bahwa tikus dalam keadaan normal-sehat (tidak
Formatted: Font color: Auto
menderita diabetes melitus).
Formatted: Font color: Auto
Menurut Cooperstein dan Watkins (1981), berbagai penelitian menunjukkan
Formatted: Font color: Auto Formatted: Font color: Auto
bahwa injeksi aloksan mempengaruhi kadar gula darah, dan apabila diplotkan dalam kurva terbagi menjadi tiga fase. Fase pertama yaitu 1-4 jam setelah injeksi aloksan akan terjadi hiperglikemia, diikuti dengan fase hipoglikemia sekitar 6-12 jam pasca injeksi aloksan, dan fase ketiga (12-24 jam) terjadi hiperglikemia permanen. Kadang-kadang sebelum fase pertama, terjadi hipoglikemia singkat yaitu 15-30 menit setelah injeksi aloksan. Oleh karena itu seleksi tikus DM dalam penelitian ini dilakukan dua hari setelah injeksi aloksan. Semula akan dipilih tikus dengan kondisi DM sedang, yaitu kadar glukosa darah awal 250 - 300 mg/dl sehingga variasi kadar glukosa darah antar hewan model DM relatif kecil. Namun ternyata sangat sulit untuk mendapatkan kondisi yang dimaksud. Oleh karena itu semua tikus model DM dengan kadar glukosa awal lebih dari 250 mg/dl digunakan dalam penelitian ini. Rata-rata kadar glukosa darah awal masingmasing kelompok berkisar antara 266 mg/dl (Kelompok BMPF, yaitu kelompok yang diberi ransum dengan sumber pati beras Memberamo pratanak fungsional)
Deleted: dari
sampai dengan 386 mg/dl (kelompok BMF yaitu kelompok yang diberi ransum dengan sumber pati dari beras Memberamo fungsional) (Tabel 21).
Deleted: 3
115
Daya Hipoglikemik Beras Fungsional Konsentrasi glukosa darah yang tinggi (hiperglikemia) pada individu DM disebabkan oleh peningkatan produksi glukosa hati diiringi dengan penurunan
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
pemanfaatan glukosa oleh jaringan perifer. Disamping gangguan metabolisme karbohidrat, DM juga mempengaruhi metabolisme protein dan lemak. Asam amino terpaksa dikonversi menjadi glukosa. Ketosis merupakan salah satu gangguan metabolisme asam lemak. Ketosis
terjadi dengan meningkatnya
metabolisme trigliserida yang diikuti dengan kelebihan produksi keton bodies dan kolesterol (Brody 1999). Untuk mengevaluasi aktivitas hipoglikemik dari beras fungsional yang diuji,
Deleted: ¶
maka dilakukan pengukuran kadar glukosa darah tikus selama masa percobaan. Pengukuran glukosa darah dilakukan setiap 3 hari dalam waktu 36 hari percobaan. Hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus dapat dilihat pada Tabel 22. Hasil penelitian menunjukkan kadar glukosa darah tikus percobaan sangat fluktuatif.
Deleted: gula Deleted: 36 Deleted: gula
Salah satu faktor adalah kondisi awal tingkat diabetes pada tikus tidak seragam. Fluktuasi kadar glukosa darah tikus selama masa percobaan dapat dilihat pada Gambar 17. Mekipun demikian kurva perubahan kadar glukosa tersebut
Deleted: gula Deleted: 6
dapat memberikan ilustrasi bahwa tikus normal (kelompok KN) kadar glukosa darahnya tetap normal (80-110 mg/dl). Kadar glukosa darah tikus kelompok BMIF cenderung paling menurun dibandingkan ketiga kelompok perlakuan yang lain (BMPF, BMF dan BTM). Hasil evaluasi daya hipoglikemik menunjukkan bahwa beras fungsional
Deleted: Selama masa percobaan, kadar gula darah tikus sangat fluktuatif, hal ini dapat dilihat pada Gambar 16. Mekipun demikian kurva perubahan kadar gula tersebut dapat memberikan ilustrasi bahwa kelompok KN atau kontrol negatif kadar gulanya tetap normal dan stabil.
yang diaplikasikan dalam ransum selama 36 hari belum bisa menurunkan kadar glukosa darah tikus sampai ke tingkat normal. Namun, telah memberikan harapan dengan mulai menurunnya rata-rata kadar glukosa darah tikus DM. Kenyataan ini terutama dapat dilihat pada kelompok BMIF. KP merupakan kelompok DM yang diberi ransum beras tanpa perlakuan ekstrak teh hijau memberikan kecenderungan kadar glukosa darah yang terus meningkat. Kecenderungan pengendalian kadar glukosa darah tersebut diikuti berturut-turut oleh kelompok BMPF, BMF dan BTM. Sedangkan kadar glukosa darah tikus kontrol positif (tikus DM tidak diberi perlakuan beras fungsional) terus
meningkat. Meskipun peningkatan kadar
Deleted: gula Deleted: gula
116
glukosa darah berfluktuasi, namun tidak pernah kembali pada kondisi awal
Deleted: gula Deleted: 5
percobaan (Tabel 22).
Tabel 22. Kadar glukosa darah tikus selama 36 hari perlakuan (mg/dl) (n=6) Hari Kelompok perlakuan ke KN KP BMIF BMPF MBF BTM 0 110 336 321 266 386 323 3 99 450 355 318 424 407 6 100 425 347 357 389 350 9 97 378 335 346 439 450 12 104 410 262 408 452 396 15 92 386 255 325 447 384 18 95 369 309 368 347 394 21 97 431 316 324 340 435 24 92 398 301 376 394 451 27 91 462 354 343 415 463 30 93 424 288 371 401 360 33 88 400 296 319 385 404 36 87 419 288 302 377 372
Deleted: Dalam membuat tikus model diabetes, dilakukan dengan penyuntikan alloxan dosis 110 mg/Kg berat badan. Sebelum aplikasi alloxan, kadar gula darah tikus diukur terlebih dahulu untuk memastikan bahwa tikus dalam keadaan normal (tidak diabet). Dua hari setelah aplikasi alloxan, kadar gula darah tikus diukur kembali, jika hasilnya lebih dari 200 mg/dl, maka tikus dianggap telah mengalami DM dan dipisahkan untuk digunakan sebagai kelompok perlakuan. Semula akan dipilih tikus DM dengan kadar gula darah awal sekitar 250 mg/dl, namun ternyata sangat sulit untuk mendapatkan kondisi yang dimaksud. Oleh karena itu semua tikus model DM dengan kadar gula awal lebih dari 200 mg/dl digunakan dalam penelitian ini. Sebagian besar kadar gula awal berkisar 300-400 mg/dl. ¶
Keterangan: Kelompok perlakuan; KN: kontrol negatif, KP: kontrol positif, BMIF: beras Memberamo instan fungsional, BMPF: beras Memberamo pratanak fungsional, BMF: beras Memberamo fungsional, BTM: beras Taj Mahal
Deleted: 36
Formatted: Font color: Red
Deleted: ula Deleted: rata-rata
Selama masa percobaan tikus model DM tidak diberikan obat-obatan. Hal ini dilakukan, dengan pertimbangan untuk melihat efek murni dari aplikasi ransum beras fungsional.
Kadar glukosa darah tikus percobaan selama masa
perlakuan selalu berubah, baik meningkat maupun menurun (fluktuatif). Apabila dibandingkan antara kondisi awal dan akhir penelitian, diperoleh kecenderungan yang menarik. Tikus pada kelompok: KN mempunyai kadar glukosa normal, meskipun mengalami penurunan sebesar 13 mg/dl (11.8%), KP mengalami peningkatan 83 mg/dl (24.7%), BMIF menurun 33 mg/dl (10%), BMPF meningkat 36 mg/dl (13.5%), BMF menurun 9 mg/dl (2.33%), dan BTM meningkat 49 mg/dl (15%). Hal ini tentu saja belum bisa digunakan sebagai acuan secara langsung, namun demikian beras fungsional telah menunjukkan dampak pengendalian kadar glukosa darah pada tikus percobaan. Beras fungsional bukan sebagai obat atau pengganti obat, namun ada harapan apabila dikonsumsi dalam diet harian dapat membantu mengendalikan kadar glukosa darah penderita DM.
Formatted Table
117
Kadar glukosa darah (mg/d
Deleted:
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 0
3
6
9
12 15
18 21 24 27 30 33 36
Pengamatan hari keKN
KP
BMIF
BMPF
BMF
BTM
Keterangan: Kelompok perlakuan; KN: kontrol negatif, KP: kontrol positif, BMIF: beras Memberamo instan fungsional, BMPF: beras Memberamo pratanak fungsional, BMF: beras Memberamo fungsional, BTM: beras Taj Mahal
Gambar 17. Perubahan kadar glukosa darah tikus selama percobaan (36 h.
Deleted: ¶ Deleted: 66
Perubahan Berat Badan Tikus Perubahan berat badan merupakan salah satu ciri umum penderita diabetes. DM ditandai dengan poliurea, polidipsia, poliphagia dan penurunan berat badan
Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold Deleted: ¶
kebutuhan energi, tubuh harus memecah lemak atau protein, akibatnya akan
Deleted: Kadar gula darah tikus percobaan selama masa perlakuan selalu berubah, baik meningkat maupun menurun. Apabila kita bandingkan kondisi awal dan akhir penelitian, diperoleh kecenderungan yang menarik. Kelompok KN mempunyai kadar gula normal, meskipun mengalami penurunan sebesar 13mg/dl (11.8%), KP mengalami peningkatan 83mg/dl (24.7%), BIF menurun 33mg/dl (10%), BPF meningkat 36mg/dl (13.5%), BF menurun 9 mg/dl (2.33%), dan BTM meningkat 49 mg/dl (=15%). Hasil ini tentu saja belum bisa digunakan sebagai acuan secara langsung. Beras fungsional bukan sebagai obat atau pengganti obat, namun perlu dikonsumsi dalam diet harian. ¶ ¶
terjadi penurunan berat badan.
Deleted: Hal tersebut diatas
serta lemah (Sardesai 2003). Bila kadar glukosa darah naik diatas 180 mg/dl, ginjal tidak dapat menahan lagi, sebagian glukosa dibuang ke urine, sehingga kadar glukosa urine tinggi dan menarik air banyak (daya osmotik gula). Akibat penarikan air yang banyak, volume urine berlebih, oleh sebab itu penderita DM sering kencing (poliurea).
Keadaan tersebut akan mengganggu neraca air di
dalam tubuh, dimanifestasikan oleh rasa haus terus-menerus (polidipsia). Pada waktu yang bersamaan, meskipun kadar glukosa darah berlebih, tetapi tidak dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi sel (glucose-storred state), sehingga tubuh lemah dan terjadi perasaan lapar yang berlebih (poliphagia). Untuk memenuhi
Hasil pengukuran berat badan dapat dilihat pada Gambar 18. Kelompok KN, yaitu tikus normal selama masa percobaan menunjukkan berat badan yang
Deleted: 7
118
konsisten meningkat terus sesuai dengan karakteristik tikus sehat. Sebaliknya, tikus KP secara fluktuatif menunjukkan kecenderungan penurunan berat badan. Sedangkan keempat kelompok lainnya menunjukkan peningkatan, walaupun tidak sebesar KN tetapi sudah memberikan pengaruh positif dibandingkan dengan KP. Deleted: ¶
250
Berat badan (g)
200
150
100
50
0 0 KN
3
6 KP
9
12
15
18
21
24
27
30
Pengamatan hari keBMIF BMPF BMF
33
36
BTM
Keterangan: Kelompok perlakuan; KN: kontrol negatif, KP: kontrol positif, BMIF: beras Memberamo instan fungsional, BMPF: beras Memberamo pratanak fungsional, BMF: beras Memberamo fungsional, BTM: beras Taj Mahal
Gambar 18. Perubahan berat badan tikus selama masa percobaan 36 hari.
Deleted: 77
Formatted: Font: Not Bold
Tabel 23. Berat badan tikus rata-rata (gram) selama perlakuan 36 hari
0 3 6 9 12 15 18 21 24 27 30 33 36
Formatted: Indonesian
Kelompok perlakuan
Hari keKN 171 173 185 186 190 199 206 210 215 220 222 230 237
KP 191 169 178 187 186 190 192 191 195 188 190 191 183
BMIF 181 168 173 178 174 180 182 185 191 198 198 201 203
BMPF 190 186 181 190 191 193 199 199 208 205 208 207 209
Formatted: Font: Not Bold
Deleted: 47
BMF 187 188 191 183 190 187 187 192 189 191 195 199 196
BTM 191 192 192 191 185 184 189 189 193 199 196 204 203
Keterangan: Kelompok perlakuan; KN: kontrol negatif, KP: kontrol positif, BMIF: beras Memberamo instan fungsional, BMPF: beras Memberamo pratanak fungsional, BMF: beras Memberamo fungsional, BTM: beras Taj Mahal
Formatted: Indonesian
... [105]
119
Berat badan tikus normal (kelompok KN) mengalami peningkatan rata-rata
Deleted: Tabel 247. Deleted: menunjukkan bahwa b
sebesar 66g (38.5%). Sebaliknya, tikus DM (kelompok KP) yang tidak diberi ransum beras fungsional mengalami penurunan berat badan sebesar 8 g (4.7%). Berat badan tikus DM yang diberi ransum beras fungsional semuanya meningkat. Kelompok: BMIF meningkat 22 g (12%), BMPF meningkat 19 g (10%) dan BMF meningkat 9 g (4.8%), demikian juga BTM meningkat 12 g (6.3%) (Tabel 23). Data ini menunjukkan bahwa beras fungsional dengan perlakuan ekstrak teh
Deleted: .
hijau dapat menghambat laju penurunan berat badan pada individu yang menderita DM. Hasil ini sesuai dengan penelitian Takatori et al. (2002), yaitu hamster yang diinduksi dengan Streptozotosin mengalami penurunan berat badan Deleted:
secara drastis setelah satu bulan. Analisis Histologi Jaringan Pankreas Seluruh kelompok tikus percobaan setelah diperlakukan selama 36 hari, kemudian dilakukan pembedahan dan diambil organnya. Organ yang langsung terkait dengan aktivitas hipoglikemik adalah pankreas. Analisis jaringan histologi pankreas
meliputi
pewarnaan
hematoksilin-eosin
(HE)
dan
pewarnaan
imunohistokimia untuk mengamati profil sel-β pankreas sebagai penghasil insulin. Pewarnaan HE bertujuan untuk mengamati morfologi jaringan secara umum. Dengan pewarnaan HE memungkinkan pulau Langerhans untuk dibedakan dengan sel-sel yang lain. Sedangkan pewarnaan imunohistokimia terhadap insulin secara spesifik dapat mendeteksi keberadaan sel-β pankreas. Pengamatan yang dilakukan terhadap preparat yang diberi pewarnaan HE adalah menghitung jumlah pulau Langerhans per lapang pandang, perbesaran 20x. Sedangkan pengamatan yang dilakukan terhadap preparat yang diberi pewarnaan imunohistokimia adalah menghitung jumlah sel β pankreas per 15 pulau Langerhans. Pewarnaan dengan Hematoksilin-Eosin Pulau Langerhans merupakan kumpulan kelenjar endokrin yang tersebar di seluruh organ pankreas, berbentuk seperti pulau dan banyak dilalui oleh kapilerkapiler darah. Pada pewarnaan HE, pulau Langerhans nampak lebih pucat dibandingkan dengan sel-sel kelenjar acinar disekelilingnya sehingga pulau Langerhans mudah dibedakan. Penderita DM akan mengalami perubahan
Deleted: pulau Langerhans.¶
120
morfologi pada pulau Langerhans, baik dalam jumlah maupun ukurannya (Gepts 1981; Guz et al.2001; Butler et al. 2001). Hasil penelitian Andayani (2003) menunjukkan bahwa tikus DM mengalami penurunan jumlah pulau Langerhans. Pada tikus normal per lapang pandang pankreas ditemukan lebih dari dua pulau Langerhans, sedangkan pada tikus DM kadang-kadang tidak satupun pulau Langerhans ditemukan. Hal serupa juga ditemukan pada penelitian ini. Saat pengamatan jumlah pulau Langerhans per lapang pandang pada tikus normal (kelompok KN) sangat mudah ditemukan dan ukurannya besar, sedangkan untuk tikus DM (Kelompok KP) sangat sulit ditemukan dan bila ada ukurannya kecil (Gambar 19). Jumlah pulau Langerhans per lapang pandang dengan perbesaran 20x disajikan pada Tabel 24 dan hasil
Deleted: 5 Deleted: 5Gambar 18
analisis sidik ragam (Lampiran 43) menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan (p<0.05). Pengamatan menunjukkan perbedaan sangat nyata terlihat, bahwa tikus normal (kelompok KN), memiliki pulau Langerhans rata-rata 3.87 ± 1.12 buah, sedangkan kelompok KP, yaitu tikus DM yang tidak diberi perlakuan beras fungsional memiliki pulau Langerhans sangat sedikit, yaitu 0.53 ± 0.13 buah. Tikus kelompok BMIF (Beras Memberamo instan fungsional) memiliki 1.87 ± 0.83 buah pulau Langerhans per lapang pandang dan tidak berbeda nyata dengan jumlah pulau Langerhans pada kelompok BMPF (Beras Memberamo pratanak fungsional) dan BMF (Beras Memberamo fungsional), berturut-turut yaitu 1.80 ± 0.83 dan 1.60 ± 0.83 buah, namun berbeda nyata dengan kelompok BTM (Beras Taj Mahal) yaitu 1.20 ± 0.68 buah. Hasil ini menunjukkan bahwa perlakuan ekstrak teh hijau dalam pembuatan beras fungsional dapat menahan laju penurunan jumlah pulau Langerhans. Pada penelitian ini tidak disertai dengan pemberian obat-obatan oral hipoglikemik, jadi adanya perbaikan pulau Langerhans pada pankreas tikus adalah dampak dari konsumsi beras fungsional. Selain jumlah, perubahan yang dialami akibat DM adalah mengecilnya ukuran pulau Langerhans (Gepts 1981, Andayani 2003), seperti pada penelitian ini (Gambar 19). Perlakuan ekstrak teh hijau dalam pembuatan beras fungsional telah menunjukkan penghambatan laju kerusakan pulau Langerhans. Nampak ukuran pulau Langerhans pada tikus normal (kelompok KN) paling besar, sedangkan tikus DM yang tidak diberi perlakuan
Deleted: Hasil p
121
beras fungsional (kelompok KP) memiliki pulau Langerhans paling kecil. Foto mikrograf (Gambar 19) tersebut menunjukkan bahwa tikus DM yang diberi perlakuan beras fungsional telah memberikan jumlah dan ukuran pulau Langerhans yang lebih besar dan
berbeda nyata
dengan
tikus DM tanpa
perlakuan beras fungsional (kelompok KP), meskipun belum dapat menyamai jumlah dan ukuran tikus normal.
Deleted: 5
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
Tabel 24. Jumlah pulau Langerhans dan Sel β pankreas tikus percobaan *)
Formatted: Line spacing: 1.5 lines
Kelompok
Jumlah PL
KN (Kontrol negatif, beras Memberamo)
3.87 ± 1.12 d
89.33 ± 49.08 c
0.53 ± 0.13
a
3.42
a
Formatted: Indent: Left: 0,47 cm, Line spacing: 1.5 lines
1.87 ± 0.83
c
27.13 ± 16.36
b
Formatted: Line spacing: 1.5 lines
KP (Kontrol positif, beras Memberamo) BMIF (Beras Memberamo instan fungsional) BMPF (Beras Memberamo pratanak fungsional) BMF(Beras Memberamo fungsional) BTM (Beras Taj Mahal)
1.80 ± 0.83 bc 1.60 ± 0.83 bc 1.20 ± 0.68 b
Jumlah sel-β
**)
7.47 ±
20.33 ± 13.23 ab 18.20 ± 11.14 ab 7.73 ±
4.59 a
Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada setiap kolom, menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji Duncan (p>0.05). *) Jumlah pulau Langerhans (buah) per lapang pandang, perbesaran 20x. **) Jumlah sel β pankreas (buah/pulau Langerhans) rata-rata dari 15 pulau Langerhans, perbesaran 20x.
Kelompok BMIF menunjukkan ukuran pulah Langerhans terbesar diantara perlakuan, diikuti dengan kelompok BMPF, BMF dan BTM (Gambar 19). Jumlah dan ukuran pulau Langerhans belum menunjukkan jumlah produksi dan sekresi insulin. Ada kemungkinan pulau Langerhansnya masih cukup banyak dan ukuran
Formatted: Indent: Left: 0,47 cm, Line spacing: 1.5 lines Formatted: Line spacing: 1.5 lines Formatted: Indent: Left: 0,47 cm, Line spacing: 1.5 lines Formatted: Indent: Left: 0,47 cm Formatted: Line spacing: 1.5 lines Formatted: Indent: Left: 0,47 cm, Line spacing: 1.5 lines Formatted: Line spacing: 1.5 lines Formatted: Indent: Left: 0,47 cm, Line spacing: 1.5 lines Formatted: Font: 11 pt, Spanish (Spain-Modern Sort)
besar, tetapi jumlah sel-β pankreas yang normal (tidak rusak) sangat sedikit
Formatted: Font: 11 pt, Spanish (Spain-Modern Sort)
sehingga produksi dan sekresi insulin akan mengalami penurunan yang signifikan.
Formatted: Font: 11 pt, Spanish (Spain-Modern Sort)
Oleh karena itu untuk mengetahui tingkat kerusakan yang terjadi pada sel-β
Formatted: Font: 11 pt, Spanish (Spain-Modern Sort)
pankreas tikus model DM dan pengaruh beras fungsional dalam menahan laju
Formatted: Font: 11 pt, Spanish (Spain-Modern Sort)
kerusakan sel-β, pengamatan dilanjutkan dengan deteksi secara imunohistokimia terhadap sel-β pankreas, yaitu sel yang menghasilkan insulin. Pewarnaan Imunohistokimia Jumlah dan ukuran pulau Langerhans yang diamati dengan pewarnaan HE belum menunjukkan jumlah produksi dan sekresi insulin oleh sel-β pankreas, karena perwarnaan HE belum dapat membedakan antara sel-β pankreas dengan
Formatted: Font: 11 pt, Spanish (Spain-Modern Sort) Deleted: pulau Langerhans pada tikusdampak dariSelain jumlah, perubahan yang dialami akibat DM adalah mengecilnya ukuran pulau Langerhans (Gepts 1981, Andayani 2003). ¶ Deleted: ¶
Formatted: Font color: Red Formatted: Indent: Left: 0 cm, First line: 0 cm
122
sel-sel lainnya yang ada di dalam pulau Langerhans. Untuk mengetahui jumlah sel-β pankreas, yaitu sel yang memproduksi insulin maka dilakukan pewarnaan imunohistokimia.
Sekitar 60-70% dari keseluruhan sel di dalam pulau
Langerhans pankreas merupakan
sel-β, yang berperan menghasilkan dan
mensekresikan insulin.
KN
KP
BMIF
BMPF
BMF
BTM
Keterangan: Kelompok perlakuan; KN: kontrol negatif, KP: kontrol positif, BMIF: beras Memberamo instan fungsional, BMPF: beras Memberamo pratanak fungsional, BMF: beras Memberamo fungsional, BTM: beras Taj Mahal
) pada jaringan pankreas Gambar 19. Foto mikrograf pulau Langerhans ( tikus, hasil pewarnaan Hematoxylin-Eosin = 50 μm
Deleted: 19
123
Sekitar 30-40% lainnya merupakan sel-α, sel-γ dan sel-δ yang berturut-turut menghasilkan hormon glukagon, somatostatin dan polipeptida pankreas. Sel-β pankreas merupakan sel yang paling sensitif dengan keberadaan glukosa di dalam darah (Gepts 1981). Penderita diabetes akan mengalami perubahan morfologi pada sel-β, baik dalam ukuran maupun jumlahnya (Guz et al. 2001; Butler et al. 2001). Oleh karena itu, jumlah sel-β di dalam pulau Langerhans pankreas merupakan parameter yang penting dalam menentukan tingkat kerusakan. Vernon et al. (2004) menyebutkan bahwa diabetes adalah ibu dari segala penyakit. DM yang tidak ditangani dengan baik, akan menyebabkan timbulnya penyakit lain atau komplikasi. Penyakit DM tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan agar kerusakan sel-β pankreas tidak meningkat dengan cepat. Metode imunohistokimia dalam penelitian ini digunakan untuk mendeteksi keberadaan sel-β pankreas. Proses pengamatan dan identifikasi dilakukan dengan menggunakan bantuan mikroskop cahaya terhadap kompleks antigen-antibodi yang telah dilabel sebelumnya. Dalam penelitian ini digunakan dua antibodi, yaitu antibodi primer (antibodi monoklonal terhadap insulin atau antiinsulin) dan antibodi sekunder yang telah dikonjugasi dengan peroksidase (Dako Envision Peroxadase). Untuk mendeteksi kompleks antigen-antibodi tersebut digunakan kromogen sehingga menghasilkan reaksi warna yang tegas. Kromogen yang digunakan adalah DAB (diaminobenzidine), yang akan menghasilkan kromoganin berupa endapan coklat. Kromoganin tersebut akan timbul dengan adanya substrat H2O2 dan peroksidase. Analisis sidik ragam terhadap jumlah sel-β pankreas (Lampiran 44) menunjukkan perbedaan nyata antar perlakuan. Tikus DM mengalami penurunan jumlah sel-β pankreas sangat drastis. Tikus normal (kelompok KN) mempunyai jumlah sel-β pankreas sebanyak 89.33 ± 49.08 buah (rata-rata dari 15 pulau Langerhans) dan tikus DM tanpa diberi ransum beras fungsional mempunyai selβ pankreas hanya
7.47 ± 3.42 buah (Tabel 24). Sedangkan tikus DM kelompok
BMIF, BMPF, BMF dan BTM berturut-turut mempunyai sel-β pankreas sebanyak 27.13 ± 16.36; 20.33 ± 13.23; 18.20 ± 11.14 dan 7.73 ± 4.59 buah. Hasil penelitian ini
memperkuat pernyataan Champe dan Harvey (1994) bahwa penderita DM, mengalami penurunan jumlah sel-β pankreas secara perlahan-lahan.
124
Deleted: 44Tikus DM mengalami penurunan jumlah sangat drastis. Tikus normal (kelompok KN) mempunyai jumlah sebanyak buah (rata-rata dari 15 pulau Langerhans) dan tikus DM tanpa diberi ransum beras fungsional mempunyai hanya buah(Tabel 25). Sedangkan kelompok BMIF, BMPF, BMF dan BTM berturut-turut mempunyai sebanyak ; ; dan buah. ¶ KN
KP
BMIF
BMPF
BMF
BTM
Keterangan: Kelompok perlakuan; KN: kontrol negatif, KP: kontrol positif, BMIF: beras Memberamo instan fungsional, BMPT: beras Memberamo pratanak fungsional, BMF: beras Memberamo fungsional, BTM: beras Taj Mahal
Gambar 20. Foto mikrograf sel-β ( ) pada jaringan pankreas tikus, hasil pewarnaan imunohistokimia = 50 μm Gejala akan nampak secara tiba-tiba ketika 80-90 % sel-β pankreas telah rusak. Pada keadaan ini, pankreas gagal merespon glukosa dari makanan. Pada pewarnaan imunohistokimia, keberadaan sel-β pankreas ditunjukkan dengan warna coklat. Hasil pewarnaan menunjukkan fotomikrograf
sel-β
Deleted: ¶ Pewarnaan Imunohistokimia¶ Sekitar 60-70% dari keseluruhan sel di dalam PL adalah sel β, yang berperan menghasilkan dan mensekresikan insulin. Sel β pankreas merupakan sel yang paling sensitif dengan keberadaan glukosa di dalam darah (Gepts 1981). Penderita diabetes akan mengalami perubahan morpologi pada sel β, baik dalam ukuran maupun jumlahnya (Guz et al. 2001; Butler et al. 2001). Oleh karena itu, jumlah sel-β di dalam PL merupakan parameter yang penting dalam menentukan tingkat kerusakan. Vernon et al. (2004) menyebutkan bahwa diabetes adalah ibu dari segala penyakit. DM yang tidak ditangani dengan baik, akan menyebabkan timbulnya penyakit lain atau komplikasi. Penyakit DM tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan agar kerusakan sel-β tidak meningkat dengan cepat. ¶ Gambar 20 menunjukkan bahwa ekstrak teh pada beras fungsional dapat menghambat laju penurunan jumlah sel-β. Dapat dibandingkan dengan KP yaitu tikus DM yang tidak diberi ransum beras fungsional jymlah sel-β sangat sedikit. Gambar 21 menunjukkan perbedaan yang nyata, terlihat dari besarnya PL dan banyaknya sel-β. Perusakan sel-β terjadi secara acak, hal ini ditunjukkan oleh warna coklat pada PL, yang merupakan sel-β. Ekstrak teh hijau yang diaplikasikan ke dalam beras terbukti dapat menghambat laju kerusakan pankreas, khususnya sel-β. ¶ ¶ <sp><sp><sp><sp><sp> <sp> ... [106] Deleted: 21
125
pankreas, jumlahnya berbeda nyata untuk masing-masing kelompok perlakuan, terlihat dari besarnya pulau Langerhans dan banyaknya sel-β pankreas. Kelompok KN (tikus normal) mempunyai pulau Langerhans terbesar dengan jumlah sel-β pankreas terbanyak, sebaliknya tikus DM yang tidak diberi beras fungsional (kelompok KP) mempunyai pulau Langerhans terkecil dengan jumlah sel-β paling sedikit. Kerusakan sel-β pankreas terjadi secara acak, hal ini ditunjukkan oleh warna coklat pada pulau Langerhans yang menunjukkan sel-β. Pada tikus DM yang diberi perlakuan beras fungsional menunjukkan kerusakan yang relatif sedikit dibandingkan dengan yang tidak diberi perlakuan beras fungsional (kelompok KP). Namun hanya tikus DM kelompok BMIF (beras Memberamo instan fungsional) yang telah memberikan dampak penghambatan kerusakan sel-β secara nyata (Analisis sidik ragam, Lampiran 44). Sedangkan tikus DM kelompok BMPF dan BMF meskipun telah menunjukkan penghambatan kerusakan sel-β, tetapi hasil uji statistik belum menunjukkan beda nyata dengan kelompok KP (Gambar 20). Mekanisme Penghambatan Perusakan Sel-β Pankreas. Induksi aloksan pada hewan model DM akan merusak sel-β pankreas. Pangan dengan IG tinggi akan meningkatkan kadar glukosa darah yang tinggi dan cepat. Peningkatan kadar glukosa darah tersebut memacu sel-β pankreas untuk memproduksi dan mensekresikan insulin, sedangkan kerusakan sel-β pankreas pada individu DM menurunkan kemampuan produksi dan sekresi insulin. Apabila konsumsi pangan dengan IG tinggi dilakukan secara terus-menerus, akan terjadi hiperglikemia kronis sehingga memperparah kerusakan sel-sel penghasil insulin tersebut. Menurut Szaleczky et al.(1999) serta Ferrari dan Torres (2003), kondisi hiperglikemia kronis dapat mendorong produksi radikal bebas yang berlebihan dari proses auto-oksidasi glukosa, progresi protein dan terjadi perubahan keseimbangan oksidan dan antioksidan tubuh. Pembentukan radikal bebas yang berlebih pada penderita DM dapat memicu penurunan kandungan enzim-enzim antioksidan (superoksida dismutase, glutathion peroksidase dan katalase) di dalam tubuh dan kerusakan jaringan. Beras fungsional dengan ekstrak teh hijau ini dapat menghambat laju kerusakan lebih lanjut dari sel-β pankreas tikus melalui dua cara, yaitu: 1) Beras
Deleted: ¶ ¶
126
fungsional mempunyai IG rendah (terutama pada BMIF), oleh karena itu peningkatan kadar glukosa darah setelah mengonsumsi beras tersebut akan rendah dan lamban. Berarti insulin yang dibutuhkan untuk mentranspor glukosa dalam darah menuju sel-sel target juga rendah, hal ini akan menurunkan beban sel-β pankreas dalam tugasnya untuk memproduksi dan mensekresi insulin. Meskipun tidak dapat menyembuhkan, kondisi ini dapat menahan laju kerusakan sel-β pankreas lebih lanjut, dan 2) Polifenol juga berperan sebagai antioksidan. DM merupakan salah satu penyakit degeneratif yang dapat terjadi antara lain karena kerusakan oksidatif. Sebagai antioksidan, polifenol akan menangkap radikal bebas sehingga tidak bersifat oksidan dan mengurangi kerusakan oksidatif. Dengan cara ini kerusakan sel-β pankreas lebih lanjut akan dapat dihambat. Pada pengujian imunohistokimia, perlakuan pada tikus DM selama 36 hari dengan beras Memberamo instan fungsional (BMIF) menunjukkan adanya penghambatan penurunan jumlah dan ukuran pulau Langerhans serta jumlah sel-β pankreas. Perlakuan BMIF menunjukkan tikus DM mempunyai ukuran dan jumlah pulau Langerhans dan sel-β pankreas yang paling besar dibandingkan dengan perlakuan lain, meskipun belum dapat menyamai kontrol negatifnya (tikus sehat). BMIF mempunyai IG paling rendah (49) dan kadar fenol tinggi (1.68%). Perlakuan beras Memberamo pratanak fungsional (BMPF) telah menunjukkan perbaikan pada jumlah pulau Langerhans pada tikus DM, tetapi belum menunjukkan perbaikan yang signifikan terhadap jumlah sel-β pankreas.
Percobaan 4. Penentuan Indeks Glikemik Beras Seiring dengan berkembangnya jenis dan kejadian penyakit degeneratif maka segala upaya telah dilakukan untuk mencegah dan menanggulanginya. Pada
Deleted: ¶ <sp><sp>¶ ¶
Formatted: Indonesian Formatted: Indonesian
dua dekade terakhir ini telah berkembang pemahaman baru mengenai peranan karbohidrat bagi kesehatan. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kecepatan pencernaan karbohidrat di dalam saluran pencernaan, tidak sama. Dalam
Formatted: Font color: Auto, Indonesian
kaitannya dengan efek faali makanan dengan peningkatan kadar glukosa darah
Formatted: Indonesian
dan respon insulin, maka dikembangkan konsep indeks glikemik (IG).
Formatted: Font color: Auto, Indonesian
IG pangan didefinisikan sebagai tingkatan pangan menurut efeknya terhadap
Formatted: Font color: Auto, Indonesian
kadar glukosa darah. Pangan yang menaikkan kadar glukosa darah dengan cepat
Formatted: Font color: Auto, Indonesian
127
memiliki IG tinggi, sebaliknya pangan dengan IG rendah akan menaikkan kadar glukosa darah dengan lambat. Miller et al. (1991) dan Heather et al. (2001)
Formatted: Font color: Auto, Indonesian
menyatakan bahwa studi pemberian pangan IG rendah jangka menengah pada
Formatted: Font color: Auto
penderita DM dapat meningkatkan pengendalian kadar glukosa darah. Pengenalan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap kadar glukosa darah dan insulin bermanfaat sebagai acuan dalam menentukan jumlah dan jenis pangan sumber karbohidrat yang tepat untuk meningkatkan dan menjaga kesehatan
Formatted: Font color: Auto Formatted: Font color: Auto Deleted: ¶
Formatted: Swedish (Sweden) Formatted: Indonesian Formatted: Font color: Auto
(Rimbawan & Siagian 2004). Diet yang ketat seringkali dilakukan oleh diabetesi
Formatted: Indonesian
untuk mengendalikan kadar glukosa darah. Diabetesi sering menahan diri untuk
Formatted: Indonesian
tidak mengonsumsi nasi karena beras dianggap sebagai pangan yang bersifat
Formatted: Font color: Auto Formatted: Indonesian
hiperglikemik. Padahal beras mempunyai kisaran IG yang sangat luas, dari IG rendah sampai tinggi (Foster-Powell et al. 2002). Hal ini antara lain karena banyaknya jenis dan varietas beras. Miller et al. (1992) bahkan menyatakan bahwa beras giling mempunyai kisaran IG dari 54 (rendah) sampai dengan 121 (tinggi, lebih tinggi dari IG glukosa=100). Oleh karena itu perlu dilakukan edukasi yang benar agar diabetesi tetap bisa hidup nyaman, dapat mengendalikan kadar glukosa darah namun tidak tersiksa dengan melakukan diet yang sangat
Formatted: Font color: Auto
ketat. Hal yang penting adalah bagaimana memilih jenis pangan hipoglikemik dan tidak mendorong timbulnya komplikasi. Pada percobaan tahap pertama telah dilakukan penapisan sepuluh varietas beras Indonesia berdasarkan aktivitas hipoglikemiknya. Varietas yang terpilih adalah Memberamo karena varietas ini mempunyai citarasa yang enak, tekstur pulen dan aktivitas hipoglikemiknya cukup tinggi. Pembuatan beras fungsional dilakukan dengan mengaplikasikan ekstrak teh hijau pada saat pengolahan beras pratanak dan beras instan. Setelah dilakukan analisis komposisi kimia, sifat
Deleted: evaluasi sifat fisikokimia dan gizi
organoleptik dan uji daya hipoglikemiknya, maka dilanjutkan dengan penentuan IG terhadap beras Memberamo tanpa perlakuan (BM), beras Memberamo instan fungsional (BMIF), beras Memberamo pratanak fungsional (BMPF), dan sebagai pembanding adalah beras Memberamo fungsional (BMF) dan beras Taj Mahal (BTM). Kurva perubahan kadar glukosa darah dalam penentuan IG disajikan pada Gambar 21. Analisis sidik ragam menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05) antar
Formatted: Font color: Auto Deleted: 22
128
produk beras (Lampiran 45). Nilai IG dari berbagai jenis beras Memberamo tersebut dapat dilihat pada Tabel 25. Beras giling varietas Memberamo
Deleted: 8
mempunyai IG = 67, setelah dibuat pratanak dengan aplikasi ekstrak teh hijau, IG nya menjadi 56. Dalam bentuk instan fungsional IG nya 49 dan dalam bentuk non-instan funsional mempunyai IG = 60. Deleted: 68
Tabel 25. Indeks glikemik berbagai produk beras No
Jenis produk
Indeks Glikemik *) c
Formatted: Font: Not Bold Formatted: Font: Not Bold Formatted: Line spacing: 1.5 lines
1
Beras Memberamo
67 ± 7.1
2
Beras Memberamo Fungsional
60 ± 9.4bc
Formatted Table
b
Formatted Table
3
Beras Memberamo Pratanak Fungsional
56 ± 7.2
4
Beras Memberamo Instan Fungsional
49 ± 8.6a
5
Beras Taj Mahal
66 ± 8.8c
Keterangan: *) Rata-rata dari 10 pengujian ± SD Indeks glikemik merupakan sifat bahan yang unik. Nilainya tidak dapat diprediksi dari komposisi kimia bahan saja. Hal ini antara lain karena berhubungan erat dengan respon fisiologis individu. Namun, masing-masing komponen bahan pangan memberikan kontribusi dan saling berpengaruh sinergis antar sifat bahan hingga menghasilkan respon glikemik. Beras instan fungsional (BMIF) menunjukkan nilai IG paling rendah diantara produk beras yang diuji. Komponen yang mendukung rendahnya IG dari BMIF adalah daya cerna pati in vitro rendah (41.39%) dan kadar fenol yang tinggi (1.68%) (Tabel 18). Sedangkan beras Memberamo pratanak fungsional (BMPF) meskipun mempunyai daya cerna pati in vitro yang lebih rendah (11.25%) dibandingkan dengan BMIF, tetapi kadar fenolnya lebih rendah (0.73%) sehingga menghasilkan IG (56) lebih tinggi dibandingkan dengan BMIF (IG = 49). Data ini memperkuat hasil-hasil penelitian sebelumnya bahwa IG dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain komposisi kimia bahan dan jenis pengolahan. Ditinjau dari daya cerna pati in vitro nya, BMIF mempunyai daya cerna pati (41.39%) yang lebih tinggi dibandingkan dengan BMPF (11.25%), seharusnya IG BMIF lebih tinggi dibandingkan BMPF. Namun data yang diperoleh adalah sebaliknya. Hal ini dapat dijelaskan antara lain karena kandungan polifenol bebas pada BMIF (1.68%) lebih tinggi dibandingkan dengan BMPF (0.73%). Ekstrak
Deleted: 24
129
teh hijau (dengan polifenol sebagai komponen aktifnya) mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah (Thompson 1984; Greenwell 1999; Tsuneki et al. 2004). Disamping hal itu, proses penanakan nasi, BMPF sama dengan penanakan nasi dari beras biasa, artinya beras dicuci terlebih dahulu sebelum ditanak.
Kemungkinan
pada
tahap
pencucian
ini
terjadi
kehilangan
polifenol/ekstrak teh. Sedangkan BMIF disajikan tanpa melalui tahap pencucian, hanya diseduh dengan air mendidih, berarti tidak terjadi kehilangan ekstrak teh/polifenol. Produk beras instan fungsional (BMIF) dan beras pratanak fungsional (BMPF) telah menunjukkan penurunan IG yang signifikan
Kadar Glukosa darah (mg/d
dibandingkan dengan beras Memberamo tanpa perlakuan (Tabel 25). 60 50
Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden)
40
Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden)
30
Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden)
20
Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden)
10
Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden)
0 0
30
60
90
120
Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden)
Waktu sampling (menit) Glu
BM
BMIF
BMPF
Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden)
BMF
BTM
Keterangan: BM = beras Memberamo; BMIF = beras Memberamo instan fungsional, BMPF = beras Memberamo pratanak fungsional; BMF = beras Memberamo fungsional; BTM = beras Taj Mahal
Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Formatted: Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Deleted: <sp>
Gambar 21. Perubahan kadar glukosa darah berbagai produk beras selama proses penentuan indeks glikemik.
Formatted: Centered, Indent: First line: 0 cm Deleted: 17
Formatted: Font: Not Bold
Beras Memberamo fungsional (beras Memberamo yang diproses dengan
Formatted: Font color: Auto
merendam dalam ekstrak teh 4% selama 2 jam lalu dikeringkan) telah
Formatted: Font: Not Bold
menunjukkan penurunan IG tetapi tidak berbeda nyata dengan beras Memberamo
Formatted: Indent: First line: 0 cm
tanpa perlakuan ekstrak teh (Tabel 25). Hasil ini memperkuat dugaan bahwa mengonsumsi nasi bersama-sama dengan air teh yang dilakukan oleh masyarakat
Deleted:
Formatted: Font: Not Bold Formatted: Swedish (Sweden)
130
di Jepang dan Kalimantan Selatan, kemungkinan penurunan kadar glukosa darahnya relatif kecil sehingga tidak mempunyai efek menurunkan IG. Beras Taj Mahal yang di pasaran dikenal sebagai beras bagi diabetesi, ternyata mempunyai IG yang tidak berbeda nyata dengan beras Memberamo. Hal ini memberi harapan bahwa kemungkinan banyak varietas beras Indonesia yang mempunyai IG lebih rendah dibandingkan dengan IG beras Taj Mahal. Oleh karena itu, perlu dikaji ulang, apakah masih diperlukan impor beras Taj Mahal yang dengan label khusus penderita DM, produk tersebut dijual dengan harga empat kali lebih mahal dibandingkan dengan harga beras lokal. Konsekwensinya, perlu segera dilakukan pengujian IG berbagai beras lokal, terutama yang masih banyak ditanam petani. Departemen Pertanian telah melepas dan/atau memutihkan lebih dari 170 varietas beras (Fagi et al. 2003), meskipun sebagian varietas tersebut saat ini sudah tidak ditanam lagi dengan berbagai pertimbangan antara lain tidak tahan terhadap serangan hama dan penyakit, produktivitas rendah dan kesesuaian agroekosistem. Mekanisme Ekstrak Teh Hijau dalam Menurunkan Kadar Glukosa Darah dan Indeks Glikemik. Interaksi antara polifenol dengan pati akan membentuk kompleks sehingga sisi atau bagian pati yang pada keadaan normal dihidrolisis oleh enzim pencernaan menjadi tidak dikenali oleh enzim pencernaan. Dengan kata lain kemampuan pati untuk dihidrolisis menurun. Senyawa polifenol juga menghambat enzim-enzim pencernaan terutama amilase dan tripsin (Thompson et al. 1984). Jadi, kompleks pati-polifenol berpengaruh terhadap penurunan daya cerna pati in vitro. Pencernaan dan penyerapan karbohidrat yang lamban akan menurunkan respon metabolik post prandial (Jenkins et al. 2002). Karbohidrat yang dicerna secara lambat akan menghasilkan glukosa secara lambat pula, atau aktivitas hipoglikemiknya meningkat. Berdasarkan hal tersebut, beras yang mempunyai daya cerna pati rendah akan menghasilkan aktivitas hipoglikemik yang tinggi sehingga peningkatan kadar glukosa darah setelah mengonsumsi jenis beras hipoglikemik akan lamban dan puncak kadar glukosa darahnya rendah. Dalam pengujian indeks glikemik (IG) jenis beras hipoglikemik akan menghasilkan IG rendah. Hasil penelitian Miller et al. (1992) menunjukkan bahwa diet IG rendah pada penderita DM dapat meningkatkan pengendalian kadar
Deleted: ¶
131
glukosa darah. Studi yang dilakukan oleh Thompson et al.(1984) menunjukkan bahwa pangan yang mempunyai kandungan polifenol rendah mempunyai IG yang tinggi, sedangkan hasil penelitian Tsuneki et al. (2004) menunjukkan bahwa teh hijau dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetes (tikus model DM dengan induksi streptozotocin). Meskipun IG tidak dapat diprediksi hanya dari satu komponen kimia bahan pangan saja, namun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa IG beras Memberamo Instan Fungsional (BMIF) lebih rendah (IG = 49) dibandingkan dengan beras Memberamo pratanak fungsional (BMPF) yaitu 56, antara lain karena kadar polifenol bebas pada BMIF (1.68%) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar polifenol pada BMPF (0.73%). Selain itu, pada penanakan nasi dari BMPF dilakukan proses pencucian beras yang memungkinkan kehilangan ekstrak teh/kandungan polifenol, sedangkan BMIF tidak mengalami kehilangan kandungan polifenol karena dalam penyajiannya, langsung diseduh dengan air mendidih selama delapan menit.
132
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Ekstrak teh hijau optimum yang digunakan dalam pembuatan beras Memberamo pratanak fungsional adalah 7%, sedangkan untuk beras
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort) Formatted: Bullets and Numbering Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
Memberamo instan fungsional adalah 4%. Konsentrasi ekstrak teh hijau dapat
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
menurunkan daya cerna pati in vitro, sehingga menurunkan respon
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
glikemiknya.
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
2. Aktivitas hipoglikemik dipengaruhi oleh karakteristik bahan secara simultan. Varietas beras yang memiliki aktivitas hipoglikemik dari yang tertinggi hingga terendah dibagi atas lima kategori, yaitu :1) Cisokan, 2) Batang
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort) Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
Piaman, 3) Memberamo, Cenana Bali, Lusi, Bengawan Solo, 4) Pandan
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
Wangi, Taj Mahal, Celebes; Rojo Lele, dan 5) Ciherang. Varietas
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
Memberamo terpilih sebagai bahan baku beras fungsional karena memiliki
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
aktivitas hipoglikemik yang relatif tinggi, namun tekstur nasinya pulen dan
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
mempunyai citarasa enak karena tergolong beras beramilosa rendah (19.30%) Daya cerna pati in vitro berpengaruh terhadap aktivitas hipoglikemik beras fungsional. Daya cerna pati in vitro rendah akan meningkatkan aktivitas hipoglikemik beras fungsional. 3. Beras Memberamo instan fungsional (BMIF) secara nyata (P<0.05) dapat menghambat laju kerusakan sel-β pulau Langerhans pada tikus DM, meskipun belum dapat menyamai kontrol negatif (tikus sehat). Beras Memberamo pratanak fungsional (BMPF) telah menunjukkan penghambatan penurunan jumlah pulau Langerhans, tetapi belum menunjukkan perbedaan nyata (P>0.05) dalam menghambat laju kerusakan sel-β pulau Langerhans pada tikus DM. 4. Daya cerna pati in vitro dan ekstrak teh hijau dengan kadar 7 % dalam pembuatan beras pratanak fungsional dan 4 % dalam pembuatan beras instan fungsional berpengaruh nyata (P<0.05) dalam menurunkan indeks glikemik (IG) beras. IG beras Memberamo adalah 67, beras Memberamo fungsional IG = 60, beras Memberamo pratanak fungsional IG = 56, dan Memberamo instan fungsional IG = 49.
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort) Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort) Deleted: Kadar amilosa, serat pangan, dan pati resisten yang tinggi mempunyai kecenderungan menurunkan respon glikemik. Sebaliknya, daya cerna pati yang rendah cenderung menurunkan respon glikemik.
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort) Deleted: adalah beras
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort) Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort) Deleted: (kadar amilosa 19.29%) yang mempunyai aktivitas hipoglikemik tertinggi ke3 setelah Cisokan dan Batang Piaman, sehingga dipilih untuk penelitian beras fungsional antidiabetes melitus. Sifat hipoglikemik Memberamo didukung oleh kandungan pati resisten tertinggi (2.68%) dan serat pangan total yang juga tinggi (6.92%).¶ <#>Ekstrak teh hijau optimum yang digunakan dalam pembuatan ... [107]
Formatted: Spanish (Spain-Modern Sort)
133
Saran 1. Perlu dilakukan penelitian tingkat molekuler ikatan pati (amilosa/amilopektin) dengan komponen polifenol untuk mengetahui mekanisme penurunan daya cerna pati in vitro. 2. Perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh konsumsi beras fungsionalekstrak teh terhadap penderita diabetes melitus selama tiga sampai enam bulan dan kondisi terkendali, dengan menu makan terkontrol sesuai dengan
Formatted: Indent: Left: 0 cm, Hanging: 0,66 cm, Tabs: 0,66 cm, List tab + Not at 1,27 cm Formatted: Bullets and Numbering
kebutuhan gizi masing-masing diabetesi. 3. Faktor-faktor potensial yang menyebabkan kerusakan pulau Langerhans dan sel-β pankreas perlu dipelajari lebih lanjut. Demikian pula dengan peluang perbaikan atau penghambatan tingkat kerusakannya lebih lanjut dengan perlakuan beras fungsional. 4. Perlu dilakukan penelitian pengaruh polifenol terhadap protein dan mineral di dalam beras fungsional. 5. Perlu dilakukan penelitian tentang jenis dan cara pengemasan, serta daya simpan beras fungsional yang menggunakan ekstrak teh hijau. 6. Beras Taj Mahal yang merupakan beras impor dari India, mempunyai IG
Formatted: Indent: Left: 0 cm, Hanging: 0,66 cm, Tabs: 0,66 cm, List tab + Not at 1,27 cm Formatted: Bullets and Numbering
sedang dan tidak berbeda nyata dengan varietas Memberamo. Berdasarkan aktivitas hipoglikemik yang dilakukan dalam penelitian ini, terbuka peluang mendapatkan beras lokal dengan IG rendah. Oleh karena itu perlu dilakukan pengujian dan penyusunan pangkalan data IG dari beras varietas unggul nasional yang telah dilepas Departemen Pertanian. Berkaitan dengan peluang penggunaan beras lokal bagi diabetesi maka perlu dilakukan evaluasi ulang apakah masih diperlukan impor beras Taj Mahal sebagai beras khusus tersebut 7. Beras, dan juga bahan pangan lain yang mempunyai sifat fisiologis membantu mencegah terjadinya penyakit tertentu, berpotensi untuk dikembangkan sebagai pangan fungsional. Dalam aplikasi dan komersialisasi produk-produk seperti beras fungsional ini diperlukan regulasi yang jelas dan menyeluruh, sehingga dapat sebagai acuan bagi produsen, konsumen maupun stake holder. Deleted: ¶ ¶
Page 70: [1] Deleted
SriWidowati
2/3/2007 2:33:00 PM
Kandungan pati dari keseluruhan beras yang diuji berkisar antara 76.55 (Batang Piaman) sampai 80.9 % (Memberamo dan Celebes), sedangkan protein bervariasi antara 6.1 (Batang Piaman dan Bengawan Solo) sampai 7.39 % (Cenana) dan lemak 0.31 (Rojo Lele) hingga 0.88 % (Taj Mahal). Kandungan pati merupakan faktor utama yang mempengaruhi respon glikemik (Willet et al. 2002). Namun, protein dan lemak juga memberikan kontribusi dalam aktivitas hipoglikemik (Eckel 2003). Keberadaan protein dan lemak dalam bahan pangan cenderung menurunkan respon glikemik (Foster-Powell et al. 2002). Komponen tersebut memperlambat laju pengosongan lambung, sehingga laju pencernaan di dalam usus kecil juga cenderung melambat. Berdasarkan kenyataan ini, makanan serupa yang memiliki kandungan lemak lebih tinggi akan menghasilkan respon glikemik yang lebih rendah. Dengan kata lain, makanan tersebut bersifat lebih hipoglikemik.
Page 70: [2] Formatted
SriWidowati
2/3/2007 2:47:00 PM
SriWidowati
2/3/2007 2:49:00 PM
SriWidowati
2/3/2007 2:49:00 PM
SriWidowati
2/3/2007 2:33:00 PM
Font: Not Bold, Finnish Page 70: [3] Formatted
Font: Not Bold, Finnish Page 70: [4] Formatted
Font: Not Bold, Finnish Page 70: [5] Deleted
Amilosa dan Gula Total Kandungan amilosa dan gula total dari berbagai varietas beras disajikan pada Tabel 6. Amilosa merupakan atribut yang penting dalam mutu tanak dan rasa dari beras. Oleh karena itu, ketika melepas suatu varietas baru, amilosa merupakan salah satu komponen yang harus dianalisis. Page 70: [6] Formatted
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/4/2007 7:05:00 AM
Font: Not Italic, Finnish Page 74: [7] Deleted
Tabel 6. Kadar amilosa dan gula total pada berbagai varietas beras giling (derajat sosoh = 90 %) No Varietas Amilosa (%) Gula total (%) 1.
Bt. Piaman
29.92 a
0.34 e
2.
Cisokan
27.60 b
0.39 cde
3.
Taj Mahal *)
27.57 b
0.39 cde
4.
PandanWangi
25.98 bc
0.42 cde
5.
Rojo Lele
24.58 cd
0.51 cd
6.
Cenana Bali
23.44 de
0.70 ab
7.
Ciherang
23.01 de
0.43 cde
8.
Celebes
21.76 e
0.27 e
9.
Memberamo
19.29 f
0.55 bc
10.
Bengawan Solo
16.87 g
0.43 cde
11.
Lusi **)
7.30 h
0.82 a
Page 74: [8] Formatted
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [9] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [10] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [11] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [12] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [13] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [14] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [15] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [16] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [17] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [18] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [19] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [20] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [21] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm
Page 74: [22] Formatted
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [23] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm Page 74: [24] Formatted
Indent: First line: 0,95 cm, Line spacing: single Page 74: [25] Deleted
SriWidowati
2/3/2007 9:55:00 AM
Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT); *) Beras impor sebagai pembanding **) Beras ketan.
Beras merupakan komoditas yang kadar gula totalnya relative rendah (kurang dari 1%). Kadar gula total dari sampel uji berkisar antara 0.27 (Celebes) sampai 0.82 % (Lusi) (Tabel 6). Nampaknya kadar gula total tidak terkait erat dengan aktivitas glikemik. Hal ini dapat dipahami, karena prosentase kadar gula total pada beras sangat kecil (kurang dari 1%). Varietas yang mempunyai aktivitas hipoglikemik terbaik, yaitu Cisokan dan Batang Piaman, memiliki kadar gula yang relatif rendah. Namun, varietas Ciherang yang kadar gulanya relative rendah (0.43%), tetapi bersifat hiperglikemik. Page 74: [26] Formatted
SriWidowati
2/4/2007 9:41:00 AM
SriWidowati
2/4/2007 10:32:00 AM
Line spacing: single Page 76: [27] Deleted
Diantara berbagai varietas beras Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini, varietas Cisokan memiliki daya cerna pati yang paling rendah (52.21%). Menurut Willet et al. (2002), karbohidrat yang diserap secara lambat akan menghasilkan puncak kadar gula darah yang rendah pula dan berpotensi yang baik dalam mengendalikan respon glikemik. Hal ini menunjukkan bahwa Cisokan memperkuat pendapat tersebut. Sedangkan bahan pangan yang mudah terhidrolisis selama proses pencernaan akan segera meningkatkan kadar gula darah. Peningkatan kadar gula darah secara cepat
akan
mendorong pankreas untuk memproduksi dan mensekresikan indulin. Konsekwensinya, kadar gula darah yang tinggi akan meningkatkan respon insulin (Ostman et al. 2001). Data yang tertera pada Tabel 7 nampaknya tidak konsisten, varietas
Ciherang
menunjukkan puncak kadar gula darah yang tinggi (Gambar 12), namun varietas tersebut memiliki daya cerna pati yang sedang (medium). Sedangkan varietas Batang Piaman memiliki daya cerna pati paling tinggi diantara sepuluh varietas Indonseia yang diuji, tetapi mempunuai sifat hipoglikemik terbaik kedua setelah Cisokan. Secara umum, daya cerna pati semakin rendah, cenderung menurunkan respon glikemik. Salah Page 76: [28] Deleted
SriWidowati
2/4/2007 10:32:00 AM
Tabel 7. Daya cerna pati dan serat pangan pada beras giling (derajat sosoh = 90 %) No Varietas Daya cerna Serat pangan Serat pangan pati (%) larut (%) tidak larut (%) 1.
Batang Piaman
81.73 b
1.96 bc
3.63 cd
2.
Cisokan
52.21 e
1.80 bcd
4.44 abc
3.
Taj Mahal *)
99.08 a
1.79 bcd
4.53 ab
4.
PandanWangi
56.05 e
0.82 d
1.91 f
5.
Rojo Lele
69.55 cd
2.40 b
3.77 bcd
6.
Cenana Bali
76.81 b
1.21 d
3.01 de
7.
Ciherang
66.78 cd
1.55 bcd
2.97 de
8.
Celebes
78.29 b
1.48 bcd
3.71 bcd
9.
Memberamo
71.18 b
3.95 a
2.97 de
10.
Bengawan Solo
70.44 cd
0.91 d
4.62 a
11.
Lusi **)
71.53 c
3.90 a
2.61 ef
Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT); *) Beras impor sebagai pembanding **) Beras ketan. Page 81: [29] Deleted
SriWidowati
2/4/2007 8:58:00 AM
Pati Resisten Konsep lama di dalam ilmu gizi meyakini bahwa pati merupakan karbohidrat komplek dan sumber energi utama dari bahan pangan nabati, dapat dicerna secara sempurna di dalam usus halus manusia. Anggapan ini didasarkan pada pengetahuan bahwa air liur dan pankreas menghasilkan enzim amilase yang dapat menghidrolisis pati. Namun, teori tersebut saat ini dikoreksi setelah banyak hasil penelitian, baik in vitro maupun in vivo yang menemukan bahwa tidak semua pati dapat dicerna secara sempurna.
Hal ini
ditandai dengan adanya sisa pati di dalam usus besar. Fraksi pati yang tidak tercerna ini disebut pati resisten (Resistant Starch, RS) (Asp 1992). Dari sudut pandang fisiologis, pati resisten didefinisikan sebagai jumlah pati dan hasil dari pencernaan pati yang tidak dapat diserap di dalam usus halus individu sehat. Pencernaan dan penyerapan karbohidrat yang lamban akan menghasilkan menurunkan respon metabolik postprandial. Oleh karena itu, karbohidrat yang dicerna secara lambat, bahkan tidak dapat dicerna seperti
pati resisten akan menurunkan respon glikemik. Dengan kata lain diet yang mengandung pati resisten cenderung bersifat hipoglikemik. Gambar 12 menunjukkan kandungan pati resisten dari sepuluh varietas beras Indonesia dan beras Taj Mahal sebagai pembanding. Kandungan pati resisten tertinggi terdapat pada beras Taj Mahal (2.78 %), kemudian Memberamo (2.68 %), Cisokan (2.02 %) dan Cenana-Bali (2.01 %). Kandungan pati resisten terendah terdapat pada varietas Celebes (1.57%). Secara keseluruhan data yang diperoleh dari tahap penelitian ini memberikan ilustrasi bahwa respon glikemik merupakan sifat yang sangat unik. Hal serupa juga disebutkan oleh Rimbawan dan Siagian (2004) dalam penentuan IG pangan. Respon glikemik suatu bahan pangan tidak dapat diprediksi hanya dari komposisi kimia bahan saja. Masingmasing komponen memberi kontribusi baik meningkatkan ataupun menurunkan respon glikemik, dan secara sinergis juga dipengaruhi oleh sifat fisikokimia lain, faktor genetik dan cara pengolahan serta respon faali individu. 3,00
2,78
2,68
2,50 2,02 RS (%)
2,00
1,70
2,01 1,74
1,80 1,87
1,78 1,62
1,57
1,50 1,00 0,50
Lu si
Bt pi am an Ci so ka n Ta jM ah al Pd .W an gi Ro jo le le C. Ba li Ci he ra n Ce g le M be em s be ra m o Bg w So lo
0,00
Gambar 12. Profil pati resisten (RS) pada berbagai varietas beras giling
Hasil penelitian menunjukkan varietas yang memberikan aktivitas hipoglikemik terbaik, berturut-turut adalah : Cisokan, Batang Piaman dan Memberamo. Sedangkan Ciherang
merupakan varietas yang bersifat hiperglikemik dibandingkan dengan varietas lain yang diuji dalam penelitian ini. Aktivitas hipoglikemik tertinggi dari Cisokan ini didukung oleh berbagai komponen, yaitu tingginya kadar amilosa (27.6 %), lemak (0.79 %), serat pangan total (6.24%) dan pati resisten (2.02%) serta daya cerna pati yang paling rendah (52.21%). Meskipun varietas Cisokan menunjukkan aktivitas hipoglikemik tertinggi, namun tekstur nasinya keras dan rasa kurang enak (Balitpa 2004b). Oleh karena itu varietas ini tidak dipilih untuk tahap penelitian selanjutnya. Varietas yang digunakan untuk penelitian selanjutnya adalah Memberamo. Dasar pertimbangan pemilihan varietas Memberamo karena kadar amilosanya rendah (19.29%), sehingga tekstur nasi pulen dan rasa enak (Balitpa 2004b), namun varietas ini menunjukkan sifat hipoglikemik yang relatif tinggi. Sifat hipoglikemik dari varietas Memberamo tersebut terutama didukung oleh kandungan serat pangan total tertinggi (6.92%) dan pati resisten (2.68%) yang juga tinggi. Page 86: [30] Deleted
SriWidowati
2/5/2007 11:04:00 PM
Dari sembilan kombinasi yang didapat, kemudian diseleksi lagi menjadi 3 kondisi optimal. Dari sembilan perlakuan tersebut, dapat dilihat bahwa pada semua suhu ekstraksi ternyata perbandingan teh dan air 10:100 (b/v) yang menghasilkan rendemen terbesar pada tiap suhu. Maka tiga sampel tersebut dianalisis dengan uji sidik ragam untuk melihat sampel yang terbaik rendemennya. Ternyata setelah diuji statistik dari ketiga sampel tersebut pada suhu 850C rendemennya tidak berbeda nyata, baik dengan suhu 950C maupun suhu 750C. Parameter lain yang digunakan untuk menyeleksi adalah analisis antioksidan menggunakan DPPH.
Page 86: [31] Formatted
SriWidowati
2/6/2007 1:43:00 AM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 1:44:00 AM
SriWidowati
2/6/2007 1:44:00 AM
Line spacing: single Page 86: [32] Formatted
Font: Italic, Swedish (Sweden) Page 86: [33] Formatted
Font: Italic, Swedish (Sweden) Page 86: [34] Formatted
Line spacing: single Page 86: [35] Formatted
Indent: First line: 0 cm, Line spacing: single Page 86: [36] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 1:44:00 AM
Tingginya aktivitas antioksidan ditunjukkan oleh banyaknya DPPH yang direduksi, terlihat dari semakin pudarnya warna ungu. Pada ketiga sampel terpilih, aktivitas antioksidan sampel dengan perlakuan ekstraksi suhu 950C, waktu 8 menit dan
perbandingan 10:100 (b/v) menunjukkan nilai TEAC sebesar 9.42 TEAC. Angka ini menunjukkan sampel dengan konsentrasi 0.1g/ml memiliki aktivitas antioksidan yang sama dengan Trolox 9.42 mM. Untuk sampel dengan perlakuan ekstraksi suhu 850C, waktu 8 menit dan perbandingan 10:100 (b/v) menunjukkan nilai TEAC sebesar 9.48 TEAC. Sedangkan aktitivitas antioksidan sampel dengan perlakuan ekstraksi suhu 750C, waktu 15 menit dan perbandingan 10:100 (b/v) menunjukkan nilai TEAC sebesar 9.43 TEAC. Berdasarkan hasil uji sidik ragam, suhu ekstraksi tidak berpengaruh nyata terhadap aktivitas antioksidan dari ketiga sampel tersebut. Page 86: [37] Formatted
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
Space Before: 1 pt, After: 1 pt Page 86: [38] Formatted
Space Before: 1 pt, After: 1 pt Page 86: [39] Formatted
Space Before: 1 pt, After: 1 pt, Line spacing: single Page 86: [40] Formatted
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
Space Before: 1 pt, After: 1 pt Page 86: [41] Formatted
Space Before: 1 pt, After: 1 pt, Line spacing: single Page 86: [42] Formatted
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
Space Before: 1 pt, After: 1 pt Page 86: [43] Formatted
Space Before: 1 pt, After: 1 pt Page 86: [44] Formatted
Space Before: 1 pt, After: 1 pt, Line spacing: single Page 86: [45] Formatted
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
Space Before: 1 pt, After: 1 pt Page 86: [46] Formatted
Space Before: 1 pt, After: 1 pt Page 86: [47] Formatted
Space Before: 1 pt, After: 1 pt, Line spacing: single Page 86: [48] Formatted
SriWidowati
2/6/2007 5:22:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 5:24:00 PM
Space Before: 1 pt, After: 1 pt Page 87: [49] Deleted
Tabel 8. Pengaruh kondisi ekstraksi terhadap rendemen dan aktivitas antioksidan Suhu
Waktu
Perbandingan
Rendemen
TEAC
(0C)
optimum
optimum
(%)
(menit)
(b/v)
95
8
10 : 100
20.63 b
9.42 a
85
8
10 : 100
19.76 ab
9.48 a
75
15
10 : 100
18.83 a
9.43 a
pada rendemen dan konsumsi energi ekstraksi. Tabel 8 menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu ekstraksi, rendemen yang dihasilkan cenderung meningkat. Hal ini diduga karena pengaruh suhu ekstraksi yang semakin tinggi mempercepat laju difusi komponen bioaktif dari teh hijau ke dalam pelarut. Selain itu, laju reaksi pelarutan dari komponen bioaktif teh berjalan semakin cepat, sehingga memudahkan komponen tersebut larut ke dalam air. Page 88: [50] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 12:49:00 AM
Tabel 9. Jumlah energi yang terpakai untuk ekstraksi menggunakan retort. Suhu (0C)
Waktu (menit)
Waktu memanaskan air 5 L (menit)
Daya pemanas retort (KW)
Energi (KWh)
95 85 75
8 8 15
15 10 5
9 9 9
3.45 2.70 3.00
Page 90: [51] Formatted
SriWidowati
4/9/2007 6:04:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 5:59:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 5:59:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:04:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 5:59:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 5:56:00 AM
Wido aja
2/5/2007 3:27:00 PM
Wido aja
2/5/2007 3:27:00 PM
SriWidowati
4/9/2007 5:56:00 AM
Wido aja
2/5/2007 3:27:00 PM
Wido aja
2/5/2007 3:27:00 PM
Indent: First line: 1 cm Page 90: [52] Formatted
Indonesian Page 90: [53] Formatted
Indonesian Page 90: [54] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 90: [55] Formatted
Indonesian Page 90: [56] Deleted
Pada proses perendaman Page 90: [57] Formatted
Swedish (Sweden) Page 90: [58] Formatted
Swedish (Sweden) Page 90: [59] Deleted
di dalam air dengan perbandingan Page 90: [60] Formatted
Swedish (Sweden) Page 90: [61] Formatted
Swedish (Sweden) Page 90: [62] Deleted
SriWidowati
4/9/2007 5:56:00 AM
1 : 2, setelah 4 jam kadar air gabah mencapai 30 % Page 90: [63] Deleted
SriWidowati
4/9/2007 5:56:00 AM
Wido aja
2/5/2007 3:27:00 PM
SriWidowati
4/9/2007 5:56:00 AM
Wido aja
2/5/2007 3:27:00 PM
SriWidowati
4/9/2007 5:56:00 AM
dilakukan proses perendaman tidak ada Page 90: [64] Formatted
Swedish (Sweden) Page 90: [65] Deleted
air yang tersisa dan gabah Page 90: [66] Formatted
Swedish (Sweden) Page 90: [67] Deleted
tersisa lagi. Sedangkan pada perendaman dengan perbandingan air : gabah = 1 : 3, setelah 4 jam kadar air gabah mencapai 30 % dan air rendaman masih tersisa sedikit. Page 90: [68] Deleted
SriWidowati
4/9/2007 5:56:00 AM
Berdasarkan hasil tersebut, maka jumlah air perendaman yang dipilih dengan perbandingan gabah : air adalah 1 : 3, karena seluruh gabah dapat terendam hingga waktu yang ditentukan. Page 90: [69] Formatted
Wido aja
2/5/2007 3:27:00 PM
SriWidowati
4/9/2007 5:56:00 AM
Swedish (Sweden) Page 90: [70] Deleted
air rendaman masih tersisa sedikit dan gabah masih terendam air. Page 90: [71] Deleted
Wido aja
2/5/2007 4:04:00 PM
). Hasil mutu tanak pada pemasakan beras pratanak dapat dilihat pada Tabel 11. Page 90: [72] Formatted
Wido aja
2/5/2007 2:54:00 PM
Wido aja
2/5/2007 2:54:00 PM
Wido aja
2/5/2007 4:05:00 PM
Font: Not Bold Page 90: [73] Formatted
Font: Not Bold Page 90: [74] Deleted
mutu tanak pada pemasakan beras pratanak Page 90: [75] Formatted
Wido aja
2/5/2007 2:54:00 PM
Font: Not Bold Page 90: [76] Formatted
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
Italian (Italy) Page 90: [77] Formatted
English (U.S.) Page 90: [78] Formatted
Italian (Italy) Page 91: [79] Formatted
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 2:07:00 AM
SriWidowati
2/6/2007 2:07:00 AM
Page 91: [81] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 2:07:00 AM
Page 91: [81] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 2:07:00 AM
Page 91: [81] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 2:09:00 AM
Page 91: [81] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 2:10:00 AM
Italian (Italy) Page 91: [79] Formatted
Italian (Italy) Page 91: [80] Deleted
ini Page 91: [80] Deleted
yang
untuk mencegah butir beras retak lebih banyak Page 91: [81] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 2:10:00 AM
Page 91: [81] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 2:10:00 AM
Page 91: [81] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 2:11:00 AM
Page 91: [82] Deleted
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
Tabel 12. Kadar air gabah pada berbagai waktu pengeringan tahap I suhu 100oC No Waktu pengeringan Kadar air (menit) (%) 1 35 29 2 45 26 3 55 23 4 60 20 Page 91: [83] Formatted
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm
Page 91: [83] Formatted
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:19:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:17:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:17:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:17:00 AM
SriWidowati
4/9/2007 6:17:00 AM
SriWidowati
2/6/2007 2:12:00 AM
SriWidowati
2/6/2007 2:12:00 AM
SriWidowati
2/6/2007 9:00:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 9:00:00 PM
SriWidowati
4/9/2007 8:43:00 AM
SriWidowati
2/6/2007 9:00:00 PM
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 91: [83] Formatted
Indent: First line: 0 cm Page 91: [84] Formatted
Font: Not Bold, Italian (Italy) Page 91: [84] Formatted
Italian (Italy) Page 91: [84] Formatted
Font: Not Bold, Italian (Italy) Page 91: [84] Formatted
Font: Not Bold, Italian (Italy) Page 91: [85] Formatted
Font: Not Bold Page 91: [85] Formatted
Font: Not Bold Page 103: [86] Deleted
2 Page 103: [86] Deleted
. Page 103: [86] Deleted
9 Page 103: [87] Deleted
2
Page 103: [87] Deleted
SriWidowati
4/9/2007 8:43:00 AM
Page 103: [88] Formatted
SriWidowati
2/7/2007 2:42:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 2:42:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 2:42:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 2:42:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 2:42:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 2:42:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 2:42:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 2:42:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:38:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:38:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:38:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:38:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:39:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 9:02:00 PM
9 Font: Not Bold Page 103: [88] Formatted
Font: Not Bold Page 103: [88] Formatted
Font: Not Bold Page 103: [88] Formatted
Font: Not Bold Page 103: [88] Formatted
Font: Not Bold Page 103: [88] Formatted
Font: Not Bold Page 103: [88] Formatted
Font: Not Bold Page 103: [88] Formatted
Font: Not Bold Page 103: [89] Formatted
Italian (Italy) Page 103: [89] Formatted
Italian (Italy) Page 103: [90] Formatted
Swedish (Sweden) Page 103: [90] Formatted
Swedish (Sweden) Page 103: [90] Formatted
Swedish (Sweden) Page 103: [91] Deleted
Ket.: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5 % (DMRT); Page 103: [91] Deleted
SriWidowati
2/7/2007 5:40:00 PM
Page 103: [91] Deleted
SriWidowati
2/6/2007 9:02:00 PM
Page 103: [92] Formatted
SriWidowati
2/7/2007 5:40:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:40:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:40:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:40:00 PM
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [92] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [92] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [92] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [92] Formatted
SriWidowati
2/7/2007 5:40:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:40:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:40:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 5:40:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:27:00 PM
SriWidowati
2/6/2007 9:22:00 PM
Swedish (Sweden) Page 103: [93] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [93] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [94] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [94] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [94] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [95] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [95] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [96] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [96] Formatted
Font: 10 pt, Swedish (Sweden) Page 103: [97] Deleted
Kadar Abu Hasil uji duncan pada kadar abu menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata antara perlakuan (Tabel 18). Konsentrasi ekstrak teh hijau 2 dan 4% tidak berpengaruh terhadap kadar abu beras instan fungsional. Tingginya kadar abu dari beras instan ini dapat disebabkan oleh kandungan mineral yang terdapat pada ekstrak teh, sehingga kadar abu beras instan fungsional (1.07-1.21% bk) lebih tinggi dibandingkan dengan kadar mineral dari beras giling (0.3-0.6% bk).
Page 105: [98] Deleted
SriWidowati
2/7/2007 1:34:00 AM
Namun hasil analisis sidik ragam menunjukkan daya cerna pati antar perlakuan tidak berbeda nyata (Tabel 22). Tabel 22. Serat pangan, daya cerna pati, fenol bebas dan pati resisten pada beras instan fungsional (% bk) Serat Serat tdk Daya cerna Total Pati larut larut pati fenol resisten No. Perlakuan 7.33c 3.95a 50.98a 0.55a 2.4b 1 A1B1
2 3 4
A1B2 A2B1 A2B2
5.07b 4.08a 8.08d
Page 106: [99] Deleted
3.44a 3.72a 2.36a
47.02a 48.74a 41.39a
SriWidowati
1.68c 1.17b 1.68c
2.6c 2.1a 2.9d
2/7/2007 6:48:00 PM
Warna merupakan salah satu penentu kualitas beras instan, karena berkaitan langsung dengan penampilan disukai atau tidaknya oleh konsumen. Pada uji organoleptik warna beras instan fungsional adalah warna kecoklatan akibat adanya pigmen coklat dari ekstrak teh hijau. Penilaian panelis terhadap warna beras instan yang lebih disukai (4.58) adalah beras dengan perlakuan perendaman dengan ekstrak teh 2%
dan pemasakan
dengan ekstrak 4%). Sedangkan penilaian panelis terhadap warna nasi instan fungsional yang lebih disukai (4.44) adalah nasi dari beras instan dengan perlakuan perendaman dengan ekstrak teh 4% dan pemasakan dengan ekstrak 2%) dengan deskripsi hedonik netral. Tabel 23. Hasil rata-rata uji organoleptik beras instan fungsional Perlaku Rating beras instan No. an
Tekstur
1
A1B1
4.78bc
2
A1B2
4.90c
3
A2B1
4
A2B2
Hedonik nasi instan
Warna
Rasa
Tekstur
Warna
3.00b
3.46c
3.15a
3.65a
4.58d
3.02b
3.62b
3.72 a
4.42b
4.06c
3.18b
4.02b
4.44 a
3.54a
2.40a
2.48a
3.42b
4.3 a
Page 106: [100] Formatted
SriWidowati
2/7/2007 6:52:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 6:52:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 8:24:00 PM
Font: Not Bold, Indonesian Page 106: [101] Formatted
Font: Not Bold, Indonesian Page 106: [102] Formatted
Indent: Left: 0 cm, First line: 0 cm, Line spacing: single Page 106: [103] Formatted
SriWidowati
2/7/2007 8:24:00 PM
SriWidowati
2/7/2007 11:51:00 AM
Line spacing: single Page 112: [104] Deleted
Serat pangan larut dalam beras Taj Mahal yaitu 1.79%.Penentuan konsentrasi penggunaan ekstrak polifenol teh hijau
Larutan ekstrak daun teh kering memiliki kepekatan awal 5oBrix (=4%). Penggunaan konsentrasi ekstrak teh hijau dalam pembuatan beras pratanak fungsional dilakukan dengan berbagai taraf yaitu 2, 4, 7, dan 20%. Hasil analisis kadar fenol bebas dari berbagai konsentrasi dapat dilihat pada Tabel 16. Hasil analisis fenol bebas ternyata tidak mampu menghasilkan kadar fenol bebas gabah hingga 1%, meskipun digunakan konsentrasi ekstrak hingga 20%. Tabel 16. Kadar fenol bebas pada gabah yang diproses pratanak dengan berbagai konsentrasi ekstrak teh No Konsentrasi Kadar fenol bebas (%) (%) 1 2 0.13 2
4
0.60
3
7
0.72
4
20
0.75
Page 118: [105] Deleted
SriWidowati
2/8/2007 2:46:00 AM
Page 124: [106] Deleted
SriWidowati
2/8/2007 4:08:00 AM
Pewarnaan Imunohistokimia Sekitar 60-70% dari keseluruhan sel di dalam PL adalah sel β, yang berperan menghasilkan dan mensekresikan insulin. Sel β pankreas merupakan sel yang paling sensitif dengan keberadaan glukosa di dalam darah (Gepts 1981). Penderita diabetes akan mengalami perubahan morpologi pada sel β, baik dalam ukuran maupun jumlahnya (Guz et al. 2001; Butler et al. 2001). Oleh karena itu, jumlah sel-β di dalam PL merupakan parameter yang penting dalam menentukan tingkat kerusakan. Vernon et al. (2004) menyebutkan bahwa diabetes adalah ibu dari segala penyakit. DM yang tidak ditangani dengan baik, akan menyebabkan timbulnya penyakit lain atau komplikasi. Penyakit DM tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat dikendalikan agar kerusakan sel-β tidak meningkat dengan cepat. Gambar 20 menunjukkan bahwa ekstrak teh pada beras fungsional dapat menghambat laju penurunan jumlah sel-β. Dapat dibandingkan dengan KP yaitu tikus DM yang tidak diberi ransum beras fungsional jymlah sel-β sangat sedikit. Gambar 21 menunjukkan
perbedaan yang nyata, terlihat dari besarnya PL dan banyaknya sel-β. Perusakan sel-β terjadi secara acak, hal ini ditunjukkan oleh warna coklat pada PL, yang merupakan sel-β. Ekstrak teh hijau yang diaplikasikan ke dalam beras terbukti dapat menghambat laju
Julmah sel Beta
kerusakan pankreas, khususnya sel-β.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
89,33
c
27,13 7,47
KN
KP
b 20,33
a BIF
ab 18,2
ab 7,73
BPF
BF
a
BTM
Kelompok perlakuan
Gambar 20. Jumlah sel-β rata-rata dari 15 pulau Lan Page 132: [107] Deleted
SriWidowati
4/9/2007 9:41:00 AM
(kadar amilosa 19.29%) yang mempunyai aktivitas hipoglikemik tertinggi ke-3 setelah Cisokan dan Batang Piaman, sehingga dipilih untuk penelitian beras fungsional antidiabetes melitus. Sifat hipoglikemik Memberamo didukung oleh kandungan pati resisten tertinggi (2.68%) dan serat pangan total yang juga tinggi (6.92%). Ekstrak teh hijau optimum yang digunakan dalam pembuatan beras Memberamo pratanak fungsional adalah 7%, sedangkan untuk beras Memberamo instan fungsional adalah 4%. Konsentrasi ekstrak teh hijau dapat
menurunkan daya cerna pati in vitro,
sehingga menurunkan respon glikemiknya. Konsumsi beras fungsional selama 36 hari mampu menghambat laju kenaikkan kadar gula darah pada tikus DM. Hal tersebut terutama terlihat jelas pada beras Memberamo instan fungsional (BMIF). Beras fungsional dengan ekstrak teh hijau berpotensi dalam mengendalikan kadar gula darah.
DAFTAR PUSTAKA Al-Achi A. 2005. Herbs that affect blood glucose levels. Women’s Health in Primary Care 8 (7): 325-330. Andayani Y. 2003. Mekanisme aktivitas antihiperglikemik ekstrak buncis (Phaseolus vulgaris Linn) pada tikus diabetes dan identifikasi komponen bioaktif [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1995. Official Methods of Analytical of The Association of Official Analytical Chemist. Washington, DC: AOAC. Apriantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisisis Pangan. Bogor: IPB Press. Araullo EV, Depava DB, Michael G. 1976. Rice Postharvest Technology. Ottawa, Canada : IDR C-053e. Arington LR. 1972. Introductory Laboratory Animal Science: The Breeding, Care and Management of Experimental Animals. Danville, Illinois: The Interstate Printers & Publisher, Inc. Asp NG. 1983. Rapid enzymatic assay of insoluble and soluble dietary fiber. J Agric Food Chem 31: 476-482. Astawan M. 2003. Pangan fungsional untuk kesehatan yang optimal. Kompas 22 Maret 2003. Astawan M, Wresdiyati T. 2004. Diet Sehat dengan Makanan Berserat. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Astawan M, Widowati S. 2005. Evaluasi Mutu Gizi dan Indeks Glikemik Ubijalar sebagai Dasar Pengembangan Pangan Fungsional. Lap. Hasil Penelitian RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok, IPB. Balentine DA, Paetau-Robinson I. 2000. Tea as a Source of Dietary Antioxidants with a Potential Role in Prevention of Chronic Diseases. Di dalam: Mazza G, Oomah BD, editor. Herbs, Botanicals & Teas. Pennsylvania, USA: Technomic Pub. Com. Inc. hlm. 265-287.
135
[BALITPA] Balai Penelitian Padi. 2004a. Inovasi Teknologi untuk Peningkatan Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Badan Litbang Pertanian. [BALITPA] Balai Penelitian Padi. 2004b. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. Badan Litbang Pertanian. Behall KM, Hallfrisch J. 2002. Plasma glucoce and insulin reduction after consumption of bread varying in amylose content. Eur J Clin Nutr 56 (9):913-920. Bessesen DH. 2001. The role of carbohydrate in insulin resistance. J Nutr 131:2782-2786. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS. Brady MJ, Saltiel AR. 1999. Closing in on the cause of insulin resistance and type 2 diabetes. J Clin Invest 104:675-676. Brody T. 1999. Nutritional biochemistry. San Diego: Academic Press. Butler AE, Janson J, Bonner-Weir S, Ritzel R, Rizza RA, Butler PC. 2001. β-cell deficit and increased β-cell apoptosis in humans with type 2 diabetes. Diabetes 32: 102-110. Byrnes SE, Miller JCB, Denyer GS. 1994. Amylopectin starch promotes the development of insulin resistance in rats. J Nutr 125:1430-1437. Cairns P, Morris VJ, Botham RL, Ring SG. 1996. Physicochemical studies on resistant starch in vitro and in vivo. J Cereal Sci 23: 265-275. Cassydi. 1994. Pati Tahan Cerna. Quality Sehat Indonesia. Rabu 13 Juni 2002. www.gizi net.com. Cataldo CB, Nyenhuis JR, Whitner EN. 1989. Nutritional and Diet Therapy, Principles and Practice. Ed ke-2. St. Paul : West Pub Comp. Cefalu WT. 2001. Insulin resistance: Cellular and clinical concepts. Exp Biol Med 226:13-26. Chen CN, Liang CM, Lai JR, Tsa YJ, Lin JK. 2003. Capillary electrophoretic determination of theanine, caffeine, and cathecins in fresh tea leaves and
136
oolong tea and their effects on rats neurosphere adhision and migration. J Agric Fd Chem 51:7495-7503. Champe PC, Harvey RA. 1994. Lippincott’s Illustrated Reviews: Biochemistry. Ed ke-2. Philadelphia: J.B. Lippincott Co. Cooperstein SJ, Watkins D. 1981. Action of Toxic Drugs on Islet Cells. Di dalam: Cooperstein SJ, Watkins D, editor. The Islets oh Langerhans, Biochemistry,Physiology and Pathology. New York: Academic Press. Hlm 387-425. Dalimartha S. 2004. Ramuan Tradisional untuk Pengobatan Diabetes Melitus. Jakarta: Penebar Swadaya.
Formatted: Font: Italic, Spanish (Spain-Modern Sort)
Damarjati DS. 1981. Pengaruh Suhu dan Lama Pengeringan Terhadap Mutu Beras Giling. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Damardjati DS. 1983. Physical and chemical properties and protein characteristics of some Indonesian rice varieties [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Damardjati DS, Zubaidi S, Sarjono D, Yuadina N, Munarso SJ, Widowati S, Purwani EY. 1989. Evaluasi dan Pengembangan Metoda Penetapan Derajat Sosoh Beras Giling. Laporan Penelitian Balittan Sukamandi bekerjasama dengan Balai Penelitian Teknologi Pangan, BULOG, Tambun. Damardjati DS. 1995. Karakterisasi Sifat dan Standarisasi Mutu Beras sebagai Landasan Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Padi di Indonesia. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. Bogor: Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. Damardjati DS, Widowati S, Munarso SJ, Indrasari SD. 2004. Usaha Peningkatan Mutu Beras di Indonesia. Makalah pada Sem. 30 tahun Badan Litbang Pertanian: Inovasi Pertanian Tanaman Pangan. Bogor, 5 Agustus 2004. De Datta KS. 1981. Principles and Practices of Rice Production. Department of Agronomy. The International Rice Research Institute Los Baňos, The Philippines.
Deleted: ¶
137
[Dep. Kes.] Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI. 1992. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara. [Dep. Kes] Departemen Kesehatan RI. 2005. Jumlah penderita diabetes Indonesia ranking ke-4 di dunia. Berita Dep. Kes. RI. 5 September 2005. Deshpande SS, Salunke DK. 1982. Interactions of tannin acid and catechin with legume starches. J Food Sci 47:2080-2081.
Formatted: English (U.S.) Formatted: Font: Not Italic Formatted: Font: Italic, English (U.S.)
Dreosti IE. 1996. Bioactive ingredients: Antioxidants and polyphenols in tea. Nutr Rev 54:S51-S58.
Formatted: English (U.S.)
Eckel RH. 2003. A new look at dietary protein in diabetes. Am J Clin Nutr 78:671-2. Fagi, A. M., I. Las, M. Syam, A. K. Makarim and A. Hasanuddin. 2003. Penelitian Padi Menuju Revolusi Hijau Lestari. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi.
Formatted: Justified, Line spacing: single Formatted: Italian (Italy) Formatted: Font: Italic, Italian (Italy)
Fardiaz, D. 2004. Regulasi dan Keamanan Pangan Fungsional. . Makalah pada Sem. Nas. Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar. Bandung 6-7 Oktober 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. Ferrari CKB, Torres EAES. 2003. Biochemical pharmacology of functional foods and prevention of chronic diseases of aging. Biomed Pharm 57: 251-260. Foster-Powell KF, Holt SHA, Miller JCB. 2002. International table of glycemic index and glycemic load values: 2002. Am J Clin Nutr 76: 5-56. Fulder S. 2004. Khasiat Teh Hijau. Jakarta: Prestasi Pustaka. Garibaldi F. 1972. Parboiled Rice. Di dalam: Houston DF, editor. Rice Chemistry and Technology. St Paul, Minnesota: American Assoc. Cereal Chemists, Inc. hlm. 358-377. Gepts W. 1981. Islet Changes in Human Diabetes. Di dalam: Cooperstein SJ, Watkins D, editor. The Islets oh Langerhans, Biochemistry,Physiology and Pathology. New York: Academic Press. Hlm 321-355.
Formatted: Italian (Italy) Deleted: ¶
138
Gerrity RG, Natarajan R, Nadler JL, Kimsey T. 2001. Diabetes induced accelerated atherosclerosis in swine. Diabetes. 50: 1654-1665. Greenwell I. 1999. Green tea. Life Extension Magazine. Report: Life Extension Foundation, June 1999 Grenier R, Konietzny U, Jany KID. 1993. Purification and characterization of two phytases from E. coli. Biochem Bioph 303 (1) : 107-113. Griffiths DW, Moseley G. 1980. The effect of diets containing field beans of high or low polyphenolic content on the activity of digestive enzymes in the intestines of rats. J Sci Food Agric 31:255-259. Guz Y, Nasir I, Teitelman G. 2001. Regeneration of pancreatic β-cell from intra islet precursor cells in an experimental model of diabetes. Endocrin 142:4956-4968. Hara Y, Luo SJ, Wickremasinghe RL, Yamanishi T. 1995. Special Issue on Tea. Di dalam: Teranishi R, Hornstein I, editor. Food Reviews International. New York: Marcel Dekker, Inc. 11(3):371-374; 381—407. Hartomo AJ, Widiatmoko. 1993. Emulsi dan Pangan Instan Berlesitin. Yogyakarta: Andi Offset. Hartoyo A. 2003. Teh dan Khasiatnya Bagi Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius. Haryadi. 1992. Teknologi Pengolahan Beras.Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Univ. Gadjah Mada. Heather R, Gilbertson GDD, Miller JB, Thorburn AW, Evans S, Chondros P, Werther GA. 2001. The effect of flexible low glycemic index dietary advice versus measured carbohydrate exchange diets on glycemic control in children with type 1 diabetes. Diab Care Vol. 24:1137-1143. Higgins JA, Miller JCB, Denyer GS. 1996. Development of insulin resistance in the rats is dependent on the rate of glucose absorption from the diet. J Nutr 126:596-602.
139
Hoseney CR. 1994. Principles of Cereal Science and The Technology. Ed-2. Kansas: Dept. of Grain Science and Industry, Kansas State University. Howarth NC, Saltzman E, Robert SB. 2001. Dietary fiber and weight reduction. Nutr Rev 59:129-139. Hubeis M. 1984. Pengantar Pengolahan Tepung Serealia dan Biji-bijian. Jur. Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, IPB. Indrasari SD, Daradjat AA, Hanarida I. 2004. Biofortifikasi mineral besi pada tanaman padi (Oryza sativa). Makalah pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta 17-19 Mei 2004. Jackson AT. 1991. Process Engineering in Biotechnologies. New Jersey. USA: Pretice Hall Publishing Comp. Inc. Jenkins DJ, Wolever TM, Taylor RH. 1981. Glycemic index of foods: a physiological basic for carbohydrate exchange. Am J Clin Nutr 34:362366. Jenkins DJA, Kendall CWC, Augustin LSA, Franceschi S, Hamidi M, Marchie A, Jenkins AL, Axelsen M. 2002. Glycemic index: overview of implications in health and disease. Am J Clin Nutr 76(1): 266S-273S.
Deleted: R
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
Juliano, BO. 1972. The Rice Caryopsis and Its Composition. Di dalam: Houston DF, editor. Rice Chemistry and Technology. St Paul, Minnesota: American Assoc. Cereal Chemists, Inc. hlm. 16-26. Julianti, E. 2003. Beras herbal. Quality Sehat Indonesia. www.gizi net.com. June 23, 2003 Kendall DM, Harmel AM. 2002. The metabolic syndrome, type 2 diabetes and cardiovascular diseases: understanding the role of insulin resistant. Am J Manag Care 8: 633S-653S Keneaster KK. 1974. Quick Cooking Rice Processes. Activities Report Vol. 26 (No. 2) : Proceeding of The Research and Development Ass. 90 Church St., New York, 10007.
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Deleted: et. al.
140
Kesenja R. 2005. Pemanfaatan tepung buah pare (Momordica charantia L) untuk penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes melitus. [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Khush GS, Paule CM, de la Cruz NM. 1986. Rice Grain Quality Evaluation and Improvement at IRRI. 17th GEU Training. IRRI, Los Baňos, Philippines. Krisetiana H, Noor Z, Tranggono. 2001. Pengaruh arginin terhadap sekresi insulin pankreas tikus secara in vitro. Bul Agro Indus 11: 10-15. Kubo I, Masuoka N, Xiao P, Haraguchi H. 2002. Antioxidant Activity of Dodecyl Gallate. J Agric Food Chem 50 : 3533-3539. Lasimo M, Noor Z, Marsono Y. 2002. Sifat hipoglikemik protein kedelai pada tikus model toleransi glukosa terganggu (TGT) induksi aloksan. Agrosains 15(1): 61-72. Lebovittz HE. 1999. Type 2 diabetes. [An overview]. Clin Chem 45:1339-1345. Lee SH, Widmer BW. 2000. Phenolic Compounds. Di dalam: Nollet LML. (ed.) Handbook of Food Analysis. Vol. 1:821-894. Lehninger AL. 1982. Principles of Biochemistry (Dasar-dasar Biokimia Jilid 1, diterjemahkan oleh M. Thenawidjaya). Jakarta: Erlangga. Liljeberg H, Granfeldt Y, Bjork I. 1992. Metabolic responses to starch in bread containing intact kernels versus millet flour. Eur J Clin Nutr 46:561-575. Luh BS, Mickus RR. 1981. Parboiled Rice. Westport Conn.: The AVI Publ. Co. Inc. Luh BS. 1991. Quick Cooking Rice Di dalam: Luh BS, editor. Rice : Utilization. Vol. 2:120-146. New York: Van Nostrand Reinhold. Malinski TZ, Taha, Grunfeld S. 1993. Diffusion of nitrit oxide in the aorta walls monitored in situ by porphyrinic microsensans. Biochem Biophys Res Commun 193: 1076-1082.
141
Marsono Y, Wiyono P, Noor Z. 2002. Indeks glikemik kacang-kacangan. J Teknol Ind Pangan 13: 211-216. Marsono Y. 2002. Indeks glisemik umbi-umbian. Agritech 22(1): 13-16 Marsono Y. 2004. Serat Pengan dalam Perspektif Ilmu Gizi. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fak. Teknol. Pertanian – UGM. Yogyakarta, 2 Juni 2004. Matsumoto N, Ishigami F, Ishigaki A, Iwashina H, Hara Y. 1993. Reduction of blood glucose levels by tea catechin. Biosci. Biotech. Biochem. 57: 525. Mayfield J. 1998. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus: New Criteria. Published by the American Academy of Family Physician. Meilgaard M, Civille GC, Carr BT. 1999. Sensory Evaluation Techniques. Ed ke-3. Boca Raton: CRC Press. Miller JB et al. 1991. Low glycemic index foods improve long term glycemic control in NIDDM. Diab Care 14: 95-101. Miller JB, Pang E, Bramall L. 1992. Rice: a high or low glycemic index food?. Am J Clin Nutr 56: 1034-1036. Miller JB, Foster-Powel K, Colagiuri S. 1996. The GI Factor: The GI Solution. Hodder and Stougton. Hodder Headline `Australia Pty Limitted. Muchtadi D. 1992. Fisiologi Pascapanen Sayuran dan Buah-buahan. Petunjuk Laboratorium. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Muchtadi D. 2001. Sayuran sebagai sumber serat untuk mencegah timbulnya penyakit degeneratif. Jurnal Teknologi & Industri Pertanian. PATPI bekerjasama dengan Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Muchtadi D. 2004. Khasiat Pangan Fungsional Indigenus Indonesia. Makalah pada Sem. Nas. Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar. Bandung 6-7 Oktober 2004. Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Deleted:
142
Mueller-Harvey I, McAllan AB, Theodorou MK, Beever DE. 1986. Phenolics in fibrous crop residues and plants and their effects on the digestion and utilization of carbohydrates and proteins in ruminants. FAO Corporate Document Repository. http://www.fao.org/Wairdocs/ILRI/x459E/x5495e07 Nielsen SS. 1996. Food Analysis. Ed Ke-3. New York: Kluwer Academic Publisher. Noor Z, Marsono Y, Astuti M. 2002. Hypoglycemic Properties, Mechanical and Mode of Action Soybean Constituents. Proc. Int. Conference on Innovations in Food Processing Technology and Engineering. Bangkok, Thailand, Dec, 11-13, 2002. Noor Z. 2003. The potential of legume as functional food for insulin independent diabetes mellitus. Paper presented at Internat. Conference on Functional and Health Foods: Market, Technology & Health Benefit. Yogyakarta, Indonesia: Gadjah Mada Univ. August 26-27, 2003 Nurhaeni, S. 1980. Mempelajar kebutuhan panas dan kecepatan pengeringan pengolahan parboiled rice [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Ostman EM, Elmstahl HGML, Bjorck IME. 2001. Inconsystency bertween glycemic and insulinemic responses to regular and fermented milk products. Am J Nutr 74 (1): 96-100. Pratt DE, Hudson BJF. 1990. Natural Antioxidant From Plant Material. Di dalam : Huang MT, Hap CT, Lee CY. editor. Phenolic Coumpounds in Food and Their Effects on Healty H. Washington DC: American Society. Pratt DE, Hudson BJF. 1992. Natural Antioxidant not Exploited Commercially. Di dalam: Hudson BJF, editor. Food Antioxidant. London: Elsevier Applied Science. Purseglove JW, Brown EG, Green CL, Robbins SRL. 1981. Spices, Vol. 2. New York: Longman Mc. Pushparaj PN, Tan BKH, Tan CH. 2001. The mechanism of hypoglycemic action of the semi-purified fraction of averrhoa bilimbi in streptozotocin-diabetic rats. Life Sci 70:511-517.
143
Riccardi G, Rivellese AA. 1991. Effect of dietary fibre and carbohydrate on glucose and lipoprotein metabolism in diabetic patients. Diab Care 14: 1115-1125.
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
Rimbawan, Siagian A. 2004. Indeks Glikemik Pangan. Jakarta: Penebar Swadaya. Robert RL. 1984. Quick-Cooking Rice. Di dalam: Houston DF, editor. Rice Chemistry and Technology. St Paul, Minnesota: American Assoc. Cereal Chemists, Inc. hlm. 381-386
Formatted: Swedish (Sweden)
Stahl. 1969. The Chemistry of tea and soluble tea and soluble tea manufacturing. Baltimore, Maryland: Mc. Cormick and Co., Inc. Sardesai VM. 2003. Introduction to Clinical Nutrition. New York.: Marcel Dekker Inc., 339-354. Singh B, Reddy R. 1977. Phytic acid and mineral composition on triticale. J Fd Sci 42(4): 1077-1083. Siswono. 2004. Pati Tahan Cerna. Quality Sehat Indonesia. Senin 10 Juni 2004. www.gizi net.com. Soekarto ST. 1990. Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: IPB Press. Soemardji AA. 2004. Penentuan kadar gula darah mencit secara cepat: untuk diterapkan dalam penapisan aktivitas antidiabetes in vivo. Acta Pharmaceutical Indon. 29(3): 115-116.
Formatted: Font: Italic
Szaleczky E, Prechl J, Feher J, Somogyi A. 1999. Alterations in enzymatic antioxidants defence in diabetes mellitus [a Rational Approach]. Postgrad Med J 75:13-17. Szkudelski T. 2001. The mechanism of alloxan and streptozotocin action in beta cells of the rat pancreas. Physiol Res. 50:536-546. Takatori A, Nishida E, Inenaga T, Horiuchi K, Kawamura S, Itagaki S, Yoshikawa Y. 2002. Functional and histochemical analysis on pancreatic
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
144
islets of APA hamsters with hyperlipidemia.Exp Anim 51(1):9-17.
SZ-induced
hyperglycemia
and
Formatted: English (U.S.) Formatted: English (U.S.)
Tijburg LBM, Mattern T, Folts JD, Eisgerber UM, Katan MB. 1997. Tea flavonoids and cardiovascular diseases [A Review]. Crit Rev Food Sci Nutr 37:771-785. Thompson LU, Yoon JH, Jenkins DJA, Wolever TMS, Jenkins A.L. 1984. Relationship between polyphenol intake and blood glucose response of normal and diabetic individuals. Am J Clin Nutr 39:745-751.
Deleted:
Tsukeni H, Ishizuka H, Terasawa M, Jin-Bin W, Sasaoka T, Kimura I. 2004. Effect of green tea on blood glucose levels and serum proteomic patterns in diabetic mice and on glucose metabolism in healthy humans. BMC Pharmacology 4:18. Vernon CM, Eberstein JA, Atkins RC. 2004. Atkins Diabetes Revolution. US: Harper Collins Publ. Ltd. Wagenknecht LE. D’Agostino Jr RB, Haefner SM, Savage PJ, Rewers M. 1998. Impaired glucose tolerance, type 2 diabetes and carotid wall thickness. Diab Care 21: 1812-1818. [WHO] World Health Organization. 1980. Expert Committee on Diabetes Mellitus: Second Report. WHO Technical Report Series 646: 1-80 Wickremasinghe RL. 1976. By-product of tea. Warta BPTK 2(1/2):69-75. Widowati, S. 2004. Potensi dan Status Minuman Tradisional sebagai Pangan Fungsional. Di dalam: Rusastra IW, Muharam A, Bachrein S, Nurawan A, editor. Pros. Sem. Nas. Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar; Bandung, 6-7 Oktober 2004. Bandung: Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian. hlm 84-89. Willett W, Manson J, Liu S. 2002. Glycemic index, glycemic load and risk of type 2 diabetes. Am J Clin Nutr 76(1):274S-280S. Wills RBH, Balmer N, Greenfield H. 1980. Composition of Australian food and methods of analysis. Fd Technol In Aust. 32:198-204.
Deleted: . Makalah pada
Deleted: 6-7 Oktober 2004
145
Winarno, FG. 1984. Padi dan Beras. Pusat Pengembangan Teknologi Pangan IPB. Bogor. Winarno FG. 1997. Kimia Utama.
Pangan dan
Gizi.
Jakarta: Gramedia Pustaka
Yoon JH, Thompson LU, Jenkins DJA. 1983. The effect of phytic acid on in vitro rate of starch digestibility and blood glucose response. Am J Clin Nutr 38:385-42. Yoshikawa M. et al. 1995. Bioactive saponins and glycosides. Senegae radix. (I): E-Senegasaponins a and b and Z-Senegasaponins a and b, their inhibitory effect on alcohol absorbtion and hypoglycemic activity. Chem Parm Bull 43:2115-2132. Yusof BNM, Talib RA, Karim NA. 2005. Glycemic index of eight types of commercial rice. Mal J Nutr 11(2): 151-163.
Formatted: Justified, Line spacing: single Formatted: Font: Italic Formatted: Font: Italic Deleted: ¶