PEMANFAATAN EKSTRAK REMPAH-REMPAH SEBAGAI BAHAN PENGAWET ALAMI PADA MIE1 (THE USAGE OF ZINGIBERACEAE EXTRACTS AS NATURAL PRESERVATIVE ON NOODLE) Oleh : Rifda Naufalin Tri Tanto dan Retno Setyawati 2 ABSTRACT Wet noodle is food product which has a short shelf life, that is only ± 24 hours, therefore it need a preservative to prolong the shelf life of wet noodle. Zingiberaceae is a spices that has antimicrobial activity can be used as a natural preservative. Curcumin and essential oils contents in zingiberaceae has the activity to be an antimicrobe. Aim of this research was to study the effect of zingiberaceae extract concentration and the shelf life of wet noodle towards the microbial, physico-chemical, and sensory variables of wet noodles. The research was using Factorial Randomized Block Design (FRBD) with two factors treatments and two replications. The first factor was zingiberaceae extract concentrations (0, 4, 8 and 12 MIC). The second factor was shelf life (0, 1 2 and 3 days). The data was analyzed using F Test and if give significant level, continued by DMRT 5%. Results of the research showed that the treatment combination of zingiberaceae extract concentration of 8 MIC and shelf life of 2 days was still accepted sensorally and has microbiology and physico-chemical values that suitable with SNI 01-2987-1992. The sensory values of the treatments combination zingiberaceae extract concentration of 8 MIC and shelf life of 2 days were: color relatively yellow (scale of 1.6); texture relatively elastic (scale of 2.2); zingiberaceae odor not strong (scale of 4); flavour relatively fine (scale of 2.2); preference relatively like (scale of 2.2); and the microbial and physico-chemical attributes are: total plate count of 6.4 x 10 4 cfu/g; dissolved protein of 1.32 (percents db); starch level of 49.08 (percents db); water level of 31.97 (percents wb); ash level of 1.34 (percents db); cooking loss of 2.97 percents; extensibility 20 percents; development of noodle 175 percents. Key word : noodle, natural preservative, zingiberaceae
PENDAHULUAN Mie merupakan suatu jenis makanan hasil olahan tepung terigu yang telah dikenal oleh masyarakat. Mie mempunyai kandungan karbohidrat yang tinggi namun rendah kandungan protein, vitamin, mineral, dan serat. Menurut Mugiarti (2000), mie ada 2 macam yaitu mie basah dan mie kering. Mie basah pada umumya dibuat oleh pabrik-pabrik kecil yang jumlahnya cukup banyak dengan variasi produksi antara 500 – 1500 kg mie per hari. Mie basah merupakan produk yang tidak tahan simpan. Bila pembuatan dan 1
Dipresentasikan pada Seminar Nasional Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, Jakarta 3 – 4 Nopember 2009 2 Staf Pengajar Prodi Ilmu dan Teknologi Pangan, Fak. Pertanian UNSOED
1
penanganannya baik, maka pada musim panas atau musim kering, mie basah dapat tahan selama kurang lebih 24 jam. Pada musim penghujan mie ini hanya tahan lama kira-kira 10 – 12 jam. Keadaan tersebut disebabkan oleh mikroba terutama kapang yang pada umumnya lebih mudah tumbuh pada keadaan lembab dan suhu yang tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu, diperlukan bahan pengawet alami agar mie basah dapat memiliki umur simpan yang lebih lama dan menghindari penggunaan pengawet sintetik yang selama ini masih digunakan oleh produsen mie. Zingiberaceae sebagai salah satu jenis rempah-rempah mengandung fenolik dan zingiberen yang termasuk golongan terpenoid. Kedua senyawa ini terbukti memiliki khasiat sebagai antimikroba atau pengawet alami karena tersusun dari cincin aromatik dan gugus alkil. Pengawet alami dari tanaman dapat diperoleh dengan cara ekstraksi dengan pelarut, yaitu mempertemukan bahan yang akan diekstrak dengan pelarut organik selama waktu tertentu, diikuti pemisahan filtrat terhadap residu bahan yang diekstrak. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Menemukan konsentrasi ekstrak zingiberaceae paling optimum untuk memperpanjang masa simpan mie basah dengan sifat fisikokimia dan sensori yang dapat diterima, 2) Mengkaji pengaruh masa simpan mie basah dengan perlakuan penambahan ekstrak zingiberaceae terhadap sifat mikrobiologi, fisikokimia dan sensori, 3) Mengetahui adanya interaksi antara konsentrasi ekstrak zingiberaceae dan masa simpan mie basah terhadap sifat mikrobiologi, fisikokimia dan sensori, 4) Mengetahui kombinasi terbaik antara konsentrasi ekstrak zingiberaceae dan masa simpan mie basah terhadap sifat mikrobiologi, fisikokimia dan sensori.
METODE PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Bahan yang digunakan untuk pembuatan ekstrak zingiberaceae yaitu zingiberaceae jenis Curcuma xanthorriza Roxb yang masih segar. Zingiberaceae ini diperoleh dari Pasar Wage. Bahan lainnya yaitu etanol 90%, etil asetat, heksana dan akuades. Bahan untuk pembuatan mie basah yaitu tepung gandum merek “Cakra”, telur, air matang, air Q, garam dan STPP (Sodium Tripoliphosphat). Peralatan yang digunakan diantaranya spatula, sterofoam, alumunium foil, nampan, dryer, blender, oven, erlenmeyer, sheker, rotary evaporator, kertas saring, kertas label, tisu, botol kecil, gelas akua, corong plastik, gunting, gilingan mie, pisau, baskom, gelas ukur, timbangan anlitik, plastik, mangkuk dan sendok. Bahan yang digunakan untuk analisis kimia meliputi Plate Count Agar (Merck) dan Natrium Clorida, buffer phosphat, buffer asetat, akuades, 2
larutan lowry A, larutan lowry B, HCl 23%, NaOH 5%, Nelson dan Arsenomolibdat. Peralatan yang dipakai dalam penelitian meliputi autoclave (All American), inkubator 37oC (Memmert), oven elektrik, pH meter, timbangan analitik (AND), cawan petri (Pyrex), gelas aqua, cawan porselen, mortar, pipet mikro, erlenmeyer, tabung reaksi, gelas ukur, desikator dan spatula. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial (RAKF). Rancangan ini dicoba dengan dua faktor perlakuan yaitu Konsentrasi Zingiberaceae (K) yang ditambahkan, terdiri dari 4 level: K0 : 0 MIC, K1 : 4
MIC, K2 : 8
MIC dan K3 : 12 MIC. (1 MIC = Minimum Inhibitory
Concentration = 0,09 ml ekstrak/100ml akuades). Faktor Lama Penyimpanan (P) mie, yang terdiri dari 4 level: P0 : 0 Hari, P1 : 1 Hari, P2 : 2 Hari dan P3 : 3 Hari. Kombinasi perlakuan seluruhnya terdiri dari : 4x4 = 16. Ulangan dilakukan sebanyak 2 kali, sehingga total unit percobaan sebanyak 32 unit. Variabel yang diamati terhadap produk mie basah meliputi variabel mikrobiologi, variabel fisikokimia, dan uji sensori. Data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (uji F) pada taraf 5 persen dan apabila hasil analisis menunjukkan adanya keragaman, maka dilanjutkan dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT). Data hasil uji sensori dianalisis dengan uji nonparametrik Friedman dan apabila menunjukkan adanya pengaruh perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji perbandingan berganda. HASIL DAN PEMBAHASAN Variabel Mikrobiologi Nilai rata-rata total mikroba pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC (K0), 4 MIC (K1), 8 MIC (K2) dan 12 MIC (K3) berturut-turut adalah 5,30; 4,74;
Total mikroba (log cfu/g)
4,50 dan 4,34 log cfu/g (Gambar 1). 6
5,30a
5
4,74b
4,50c
4,34c
4
8
12
4 3 2 1 0 0
Konsentrasi ekstrak ( MIC)
Gambar 1.
Nilai rata-rata total mikroba mie basah pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae. 3
Gambar 1 menunjukkan bahwa total mikroba mie menurun seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak zingiberaceae. Hal ini diduga semakin tinggi konsentrasi ekstrak zingiberaceae, berarti semakin banyak kandungan kurkumin dan zingiberen yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Zingiberaceae merupakan bahan yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Kemampuan mempengaruhi mikroba tersebut disebabkan oleh komponen bioaktif yang terdapat di setiap jenis rempah-rempah (Fardiaz, 1996). Komponen antimikroba yang terdapat pada zingiberaceae adalah kurkumin yang termasuk golongan fenolik dan zingiberen yang termasuk golongan terpenoid. Peningkatan konsentrasi ekstrak zingiberaceae menyebabkan peningkatan aktivitas antimikroba sehingga semakin menghambat pertumbuhan mikroba. Senyawa fenolik merupakan substansi yang mempunyai cincin aromatik dengan satu atau lebih substitusi gugus hidroksil dan alkil. Cincin aromatik mampu menginaktifkan enzim yang berperan dalam metabolisme sel mikroba, sedangkan penambahan gugus alkil pada struktur molekul cincin benzena dari fenol dapat menambah aktivitas antimikroban. Senyawa fenolik juga berperan menurunkan tegangan permukaan sel mikroba, merusak membran dan menembus dinding sel serta mendenaturasi protein sitoplasma (Prindle, 1983 dalam Radiati, 2002).
Golongan terpenoid dikenal sebagai
senyawa utama pada tanaman yang bersifat sebagai penyusun minyak atsiri. Golongan senyawa ini efektif menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis, Staphylococcus aureus, dan Eschericia coli. Nilai rata-rata total mikroba pada perlakuan lama penyimpanan 0 hari (P0), 1 hari (P1), 2 hari (P2) dan 3 hari (P3) berturut-turut adalah 3,55; 4,60; 5,23 dan 5,50 log cfu/g (Gambar 2). Total mikroba (log cfu/g)
6
5,23b
5 4
5,50a
4,60c 3,55d
3 2 1 0 0
1
2
3
Lam a penyim panan (hari) pada suhu 28°C
Gambar 2.
Nilai rata-rata total mikroba mie basah pada perlakuan lama penyimpanan.
4
Gambar 2 menunjukkan bahwa total mikroba meningkat seiring dengan semakin lama penyimpanan. Diduga selama penyimpanan mikroba mampu berkembangbiak karena tersedia nutrient sehingga jumlahnya semakin banyak. Mie basah merupakan produk pangan dengan kadar air yang cukup tinggi, mengandung karbohidrat, protein, mineral dan zat gizi lain, serta memiliki pH basa (± 8) sehingga merupakan media pertumbuhan yang baik bagi mikroba. Menurut Fardiaz (1992), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba adalah tersedianya nutrien, air, suhu, pH, oksigen dan potensi oksidasi reduksi, adanya zai penghambat dan adanya mikroba lain. Disamping itu, selama masa simpan dapat terjadi penurunan aktivitas antimikroba ekstrak zingiberaceae sehinggga menyebabkan penurunan daya hambatnya terhadap mikroba. Mie basah disimpan pada suhu kamar ±280C yang termasuk kisaran suhu pertumbuhan Eschericia coli yaitu 15-450C, sehingga pada suhu ini bakteri Eschericia coli dapat tumbuh. Mie basah juga memiliki nilai pH sekitar 8 yang merupakan pH optimum pertumbuhan bakteri. Jenis bakteri yang banyak ditemukan pada mie basah adalah Bacillus cereus dan Eschericia coli. Kedua jenis bakteri ini bersifat fakultatif anaerob dengan suhu optimum pertumbuhan Bacillus cereus 600C dan Eschericia coli 35-400C, sedangkan pH optimum pertumbuhan bakteri adalah 6-8 (Volk and Wheeler, 1989). Menurut Buckle et al. (1987), bakteri patogen yang berhubungan dengan bahan pangan tidak dapat tumbuh di luar kisaran suhu antara 4-600C, sehingga bahan pangan yang disimpan pada suhu dibawah 40C atau diatas 600C akan aman. Variabel Fisikokimia Protein Terlarut Nilai rata-rata protein terlarut mie basah pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC (K0), 4 MIC (K1), 8 MIC (K2) dan 12 MIC (K3) berturut-turut adalah 1,56; 1,53; 1,49 dan 1,5 persen. Nilai rata-rata protein terlarut mie basah pada perlakuan lama penyimpanan 0 hari (P0), 1 hari (P1), 2 hari (P2) dan 3 hari (P3) berturutturut adalah 0,86; 1,39; 1,68 dan 2,17 persen (Gambar 3).
5
Protein terlarut (% bk)
3 2,17a 2
1,68b 1,39c
1
0,86d
0 0
1
2
3
Lam a penyim panan (hari) pada suhu 28°C
Gambar 3.
Nilai rata-rata protein terlarut mie basah pada perlakuan lama penyimpanan.
Gambar 3 mengindikasikan bahwa kadar protein terlarut meningkat seiring dengan semakin lama penyimpanan. Hal ini diduga karena selama penyimpanan terjadi penguraian protein dari bentuk yang komplek menjadi bentuk yang lebih sederhana, sehingga menjadi lebih mudah larut. Menurut Winarno et al. (1980), protein dapat mengalami degradasi yaitu pemecahan molekul kompleks menjadi molekul yang sederhana. Degradasi yang dialami protein dapat berupa hidrolisis yang disebabkan oleh adanya asam, suhu tinggi, maupun enzim. Diduga selama penyimpanan tumbuh mikroba yang mampu menghasilkan enzim yang menghidrolisis protein dalam mie basah. Protein yang terdapat pada tepung gandum adalah gluten, gluten terdiri dari gliadin dan glutenin. Protein gliadin terutama terdiri atas satuan rantai tunggal dan berbobot molekul sekitar 36.500 (Bietz dan Wall, 1972 dalam deMan 1997), sedangkan glutenin terdiri atas satu deretan yang sekurang-kurangnya mengandung 15 polipeptida dan disatukan oleh ikatan disulfida menjadi molekul besar. Menurut Ray (2001), mikroorganisme dapat menghasilkan enzim ekstraseluler dan menghidrolisis molekul kompleks menjadi bentuk yang lebih sederhana, sebelum mengangkutnya ke dalam sel mikroba. Misalnya mikroorganisme penghasil proteinase dan peptidase ekstraseluler dapat menghidrolisis protein dan peptida menjadi peptida yang lebih sederhana maupun asam amino, sebelum mengangkutnya ke dalam sel mikroba.
Kadar Pati Nilai rata-rata kadar pati pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC (K0), 4 MIC (K1), 8 MIC (K2) dan 12 MIC (K3) berturut-turut adalah 47,85; 48,10; 48,58 0
dan 48,87 persen (Gambar 4). 6
Kadar pati (% bk)
50
48,10c
48,58b
48,87a
47,85d
0
4
8
12
45
40
35 Konsentrasi ekstrak (MIC)
Gambar 4.
Nilai rata-rata kadar pati mie basah pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae.
Gambar 4 mengindikasikan bahwa kadar pati semakin meningkat seiring dengan peningkatan konsentrasi ekstrak zingiberaceae. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak zingiberaceae, maka aktivitas antimikroba juga semakin meningkat. Hal ini menyebabkan semakin berkurangnya mikroba penghasil enzim amilase yang dapat memecah pati menjadi unit-unit glukosa. Menurut Winarno (1989), α-amilase dapat menghidrolisis pati menjadi fraksi-fraksi molekul yang terdiri dari 6-7 unit glukosa. α-amilase dapat diproduksi oleh Bacillus sp (deMan, 1997). α-amilase merupakan endoenzim yang menghidrolisis ikatan α-1,4 glukosida secara acak sepanjang rantai. Enzim menghidrolisis amilopektin menjadi oligosakarida yang mengandung 2-6 satuan glukosa. Campuran amilosa dan amilopektin akan dihidrolisis menjadi campuran dekstrin, maltosa, glukosa dan oligosakarida. Amilosa dihidrolisis sempurna menjadi maltosa, meskipun biasanya ada sedikit maltotriosa yang terbentuk (deMan, 1997). Nilai rata-rata kadar pati pada perlakuan lama penyimpanan 0 hari (P0), 1 hari (P1), 2 hari (P2) dan 3 hari (P3) berturut-turut adalah 54,03; 50,93; 48,86 dan 39,57 % (Gambar 5). 60
54,03a
50,93b
Kadar pati (% bk)
50
48,86c 39,57d
40 30 20 10 0 0
1
2
3
Lam a penyim panan (hari) pada suhu 28°C
Gambar 5.
Nilai rata-rata kadar pati mie basah pada perlakuan lama penyimpanan. 7
Gambar 5 menunjukkan bahwa kadar pati menurun seiring dengan semakin lama penyimpanan. Menurut Buckle et al. (1987), selama masa penyimpanan, pati dapat terhidrolisis karena kegiatan enzim amilase. Enzim amilase dapat menghidrolisis pati menjadi unit-unit glukosa. Gandum yang merupakan bahan baku dalam pembuatan mie basah mengandung enzim β-amilase (deMan, 1997). Enzim ini merupakan endoenzim dan memutuskan satuan maltosa yang berurutan dari ujung yang tidak mereduksi pada rantai glukosida. Kerja dari β-amilase ini dihentikan pada titik cabang yang mempunyai ikatan α1,6 glukosida yang tidak dapat diputuskan oleh α-amilase. Interaksi antara perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae dengan lama penyimpanan mie basah memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar pati mie basah (Gambar 6).
Kadar pati (% bk)
55
54,212 53,962 54,177 53,754
50
51,96 51,327 50,365 50,077
49,404 49,077 48,615 48,346
45
0 MIC 39,904 39,731 39,443 39,212
40
4 MIC 8 MIC 12 MIC
35
0
30 0
1
2
3
Lama penyimpanan (hari) pada suhu 28°C
Gambar 6.
Nilai rata-rata kadar pati mie basah pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae dan lama penyimpanan.
Gambar 6 menunjukkan bahwa pada konsentrasi ekstrak zingiberaceae 12 MIC dengan lama penyimpanan 0 hari memiliki nilai kadar pati yang paling tinggi, sedangkan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC dengan lama penyimpanan 3 hari memiliki nilai kadar pati yang paling rendah. Hal ini diduga karena perlakuan penambahan ekstrak zingiberaceae sebesar 12 MIC dengan lama penyimpanan 0 hari memiliki jumlah mikroba yang lebih rendah akibat dari aktivitas ekstrak zingiberaceae. Semakin sedikit jumlah mikroba, kemungkinan enzim amilase yang dihasilkan juga semakin sedikit, sehingga hidrolisis pati semakin menurun. Akibatnya kadar pati lebih tinggi dibandingkan perlakuan yang lain. Grafik interaksi penambahan konsentrasi ekstrak zingiberaceae dan lama penyimpanan menunjukkan bahwa kadar pati bukan berasal dari ekstrak zingiberaceae, karena penambahan ekstrak zingiberaceae 0-12 MIC pada lama penyimpanan 0 hari 8
memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan penambahan ekstrak zingiberaceae 0-12 MIC pada lama penyimpanan 3 hari.
Kadar Air Nilai rata-rata kadar air mie basah pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC (K0), 4 MIC (K1), 8 MIC (K2) dan 12 MIC (K3) berturut-turut adalah 30,83; 31,03; 31,31 dan 30,98 persen. Nilai rata-rata kadar air mie basah pada perlakuan lama penyimpanan 0 hari (P0), 1 hari (P1), 2 hari (P2) dan 3 hari (P3) berturut-turut adalah 29,23; 30,62; 31,64 dan 32,66 persen bb (Gambar 7).
Kadar air (% bb)
35 30
30,62b
31,64a
32,66a
29,23c
0
1
2
3
25 20 15 10 5 0 Lam a penyim panan (hari) pada suhu 28°C
Gambar 7.
Nilai rata-rata kadar air mie basah pada perlakuan lama penyimpanan.
Gambar 7 menunjukkan bahwa kadar air meningkat seiring dengan semakin lama penyimpanan. Hal ini diduga karena terjadinya fermentasi aerob pada mie basah. Semakin banyak mikroba pada mie basah, maka semakin banyak pula mikroba yang mencerna glukosa pada kondisi aerob sehingga menghasilkan air, CO2 dan energi. Selama masa penyimpanan, diduga terjadi perubahan komponen dalam mie basah, sehingga molekul air dapat keluar dari mie basah. Soeparno (1994) menyatakan bahwa penyimpanan yang terlalu lama akan menurunkan daya ikat air karena adanya perubahan protein. Hal ini menyebabkan adanya perubahan dari air terikat menjadi air bebas, sehingga kadar airnya semakin meningkat.
Kadar Abu Nilai rata-rata kadar abu mie basah pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC (K0), 4 MIC (K1), 8 MIC (K2) dan 12 MIC (K3) berturut-turut adalah 1,19; 1,88; 1,45 dan 2,04 persen.
9
Nilai rata-rata kadar abu mie basah pada perlakuan lama penyimpanan 0 hari (P0), 1 hari (P1), 2 hari (P2) dan 3 hari (P3) berturut-turut adalah 3,01; 1,62; 1,44 dan 0,50 persen bk (Gambar 8).
Kadar abu (% bk)
4 3,01a 3 2
1,62b
1,44b
1
0,50b
0 0
1
2
3
Lam a penyim panan (hari) pada suhu 28°C
Gambar 8.
Nilai rata-rata kadar abu mie basah pada perlakuan lama penyimpanan.
Gambar 8 menunjukkan bahwa kadar abu semakin menurun seiring dengan semakin lama penyimpanan. Hal ini diduga mineral yang ada dalam produk digunakan oleh mikroba sebagai salah satu nutrien bagi pertumbuhannya. Menurut deMan (1997), semua pati mengandung fosfor 0,06 sampai 0,07 persen, dalam bentuk glukosa-6-fosfat. Mineral utama dalam gandum yaitu kalium, fosfor, kalsium, magnesium dan belerang (Schrenk, 1964 dalam deMan, 1997). Membran terluar sel bakteri tersusun atas kalsium dan magnesium, sehingga diduga mineral jenis ini diperlukan oleh bakteri untuk pertumbuhannya. Menurut Ray (2001), mikroorganisme membutuhkan nutrien yang meliputi karbohidrat, protein, lemak, mineral dan vitamin. Hal ini sejalan dengan Soeparno (1994) yang menyatakan bahwa semua mikroorganisme membutuhkan mineral sebagai salah satu faktor pendukung pertumbuhan.
Cooking loss Nilai rata-rata cooking loss pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC (K0), 4 MIC (K1), 8 MIC (K2) dan 12 MIC (K3) berturut-turut adalah 3,09; 2,95; 2,93 dan 2,40 persen bk (Gambar 9).
10
4 Cooking loss (%)
3,09a
2,95a
2,93a
3
2,40b
2 1
0 0
4
8
12
Konsentrasi ekstrak (MIC)
Gambar 9.
Nilai rata-rata cooking loss mie basah pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae.
Gambar 9 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak zingiberaceae, cooking loss
semakin menurun. Hal ini diduga semakin tinggi konsentrasi ekstrak
zingiberaceae, kemungkinan hidrolisis protein dan pati oleh enzim yang dihasilkan mikroba semakin menurun, sehingga protein terlarut semakin sedikit sedangkan kadar pati semakin meningkat. Semakin sedikitnya komponen-komponen yang larut air menyebabkan cooking loss semakin menurun. Tjahjaningsih (1998) dalam Astuti (2000) menyatakan bahwa cooking loss diduga berasal dari protein-protein dalam suplemen yang bersifat larut dalam air, komponen amilosa dari pati yang telah tergelatinisasi dan granula-granula pati yang tidak tergelatinisasi. Nilai rata-rata cooking loss pada perlakuan lama penyimpanan 0 hari (P0), 1 hari (P1), 2 hari (P2) dan 3 hari (P3) berturut-turut adalah 2,34; 2,65; 3,03 dan 3,35 (Gambar 10). 4
3,35a
Cooking loss (%)
3,03b 3
2,65c 2,34d
2 1 0 0
1
2
3
Lam a penyim panan (hari) pada suhu 28°C
Gambar 10. Nilai rata-rata cooking loss mie basah pada perlakuan lama penyimpanan.
11
Gambar 10 menunjukkan bahwa cooking loss meningkat dengan semakin lama penyimpanan. Hal ini diduga semakin lama penyimpanan, jumlah mikroba penghasil enzim yang menghirolisis protein maupun pati semakin banyak, sehingga protein terlarut semakin meningkat sedangkan kadar pati semakin menurun. Semakin banyak padatan yang larut air menyebabkan cooking loss semakin meningkat. Rahayu (2004) menyatakan bahwa cooking loss merupakan ukuran kuantitas masak yang diharapkan nilainya serendah mungkin. Cooking loss berhubungan dengan total padatan yang terlarut didalam air saat penyeduhan mie.
Ekstensibilitas Nilai rata-rata ekstensibilitas pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC (K0), 4 MIC (K1), 8 MIC (K2) dan 12 MIC (K3) berturut-turut adalah 17,50; 20,00; 25,00 dan 31,25 persen (Gambar 11). 35
31,25a
Ekstensibilitas (%)
30
25,00ab
25 20
17,50c
20,00c
15 10 5 0 0
4
8
12
Konsentrasi ekstrak ( MIC)
Gambar 11. Nilai rata-rata ekstensibilitas mie basah pada perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae.
Gambar 11 menunjukkan bahwa ekstensibilitas mie semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya konsentrasi ekstrak. Hal ini diduga karena semakin sedikit mikroba yang menghidrolisis protein dan karbohidrat pada mie, sehingga protein dan karbohidrat masih dalam bentuk yang kompleks (ikatannya masih kuat). Akibatnya, mie makin susah putus (daya regangnya semakin meningkat). Ekstensibilitas mie menunjukkan daya tahan maksimal suatu bahan terhadap rentangan atau tarikan (Isnawan, 1987 dalam Astuti, 2000).
12
Nilai rata-rata ekstensibilitas mie pada perlakuan lama penyimpanan 0 hari (P0), 1 hari (P1), 2 hari (P2) dan 3 hari (P3) berturut-turut adalah 32,50; 21,25; 20 dan 20 persen (Gambar 12).
Ekstensibilitas (%)
35
32,50a
30 25
21,25b
20,00b
20,00b
1
2
3
20 15 10 5 0 0
Lam a penyim panan (hari) pada suhu 28°C
Gambar 12. Nilai rata-rata ekstensibilitas mie basah pada perlakuan lama penyimpanan.
Gambar 12 menunjukkan bahwa semakin lama penyimpanan, nilai ekstensibilitas mie semakin menurun. Hal ini diduga karena semakin lama penyimpanan, kemungkinan semakin banyak mikroba penghasil enzim protease dan amilase yang dapat menghidrolisis protein dan karbohidrat menjadi bentuk yang lebih sederhana. Akibatnya mie semakin mudah putus.
Pengembangan mie Nilai
rata-rata
pengembangan
mie
pada
perlakuan
konsentrasi
ekstrak
zingiberaceae 0 MIC (K0), 4 MIC (K1), 8 MIC (K2) dan 12 MIC (K3) berturut-turut adalah 143,75; 159,38; 171,88 dan 184,38 persen. Nilai rata-rata pengembangan mie pada perlakuan lama penyimpanan 0 hari (P0), 1 hari (P1), 2 hari (P2) dan 3 hari (P3) berturut-turut adalah 153,13; 156,25; 171,88 dan 178,13 persen. Rahayu (2004) menyatakan bahwa pengembangan mie terjadi akibat adanya pengembangan granula pati karena molekul air berpenetrasi masuk kedalam granula pati dan terperangkap pada susunan amilosa dan amilopektin. Adanya lemak akan mengganggu pengembangan granula pati, karena sebagian komponen lemak diaadsorpsi membentuk suatu lapisan lemak pada permukaan granula dan mengakibatkan proses penetrasi air terganggu.
13
Variabel Sensori Warna Warna dan kenampakan merupakan faktor penentu kualitas yang dominan pada mie. Warna mie yang suram atau coklat kurang diminati oleh panelis (Ajib, 2002). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara konsentrasi ekstrak zingiberaceae dan lama penyimpanan mie basah berpengaruh nyata terhadap warna mie basah. Nilai rata-rata warna tertinggi 2,73 (kuning) diperoleh dari kombinasi perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC dan lama penyimpanan 0 hari (K0P0). Nilai ratarata terendah 1,53 (kuning kecoklatan) diperoleh dari kombinasi perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 12 MIC dan lama penyimpanan 2 hari (K3P2). Diduga semakin lama penyimpanan semakin banyak pati yang terhidrolisis menjadi unit-unit glukosa yang dapat bereaksi dengan asam amino sehingga menghasilkan warna kecoklatan.
Tekstur Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara konsentrasi ekstrak zingiberaceae dan lama penyimpanan mie basah berpengaruh nyata terhadap tekstur mie basah. Nilai rata-rata tekstur tertinggi 3,33 (kenyal) diperoleh dari kombinasi perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC dan lama penyimpanan 0 hari (K0P0). Nilai rata-rata terendah 1,33 (tidak kenyal) diperoleh dari kombinasi perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 12 MIC dan lama penyimpanan 3 hari (K3P3). Tekstur mie basah (kekenyalan) merupakan sifat tekstural yang berhubungan dengan kekuatan dan konsistensi gel yang terbentuk (Rahayu, 2004). Selama penyimpanan kemungkinan terjadi hidrolisis pati menjadi unit-unit glukosa oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroba, sehingga pada saat pemanasan proses gelatinisasi semakin berkurang. Hal ini mengakibatkan kekenyalan mie semakin berkurang.
Aroma zingiberaceae Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara konsentrasi ekstrak zingiberaceae dan lama penyimpanan mie basah tidak berpengaruh nyata terhadap aroma zingiberaceae pada mie basah. Nilai rata-rata aroma zingiberaceae tertinggi 4 (tidak kuat) dan nilai rata-rata terendah 3,3 (agak kuat). Hal ini diduga karena penambahan ekstrak zingiberaceae relatif sedikit sehingga tidak menimbulkan aroma zingiberaceae pada mie.
14
Flavor Flavor merupakan hasil interaksi antara aroma, rasa dan mouthfeel. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara konsentrasi ekstrak zingiberaceae dan lama penyimpanan mie basah berpengaruh nyata terhadap flavor mie basah. Nilai rata-rata flavor tertinggi 2,93 (enak) diperoleh dari kombinasi perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 12 MIC dan lama penyimpanan 0 Hari (K3P0). Nilai rata-rata terendah 1 (tidak enak) diperoleh dari kombinasi perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC, 4 MIC, 8 MIC dan 12 MIC dan lama penyimpanan 3 hari (K0P3, K1P3, K2P3, dan K3P3).
Kesukaan Kesukaan merupakan penilaian yang subjektif dari masing-masing panelis. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa kombinasi perlakuan antara konsentrasi ekstrak zingiberaceae dan lama penyimpanan mie basah berpengaruh nyata terhadap flavor mie basah. Nilai rata-rata kesukaan tertinggi 2,93 (suka) diperoleh dari kombinasi perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 12 MIC dan lama penyimpanan 0 Hari (K3P0). Nilai rata-rata terendah 1 (tidak suka) diperoleh dari kombinasi perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae 0 MIC, 4 MIC, 8 MIC dan 12 MIC dan lama penyimpanan 3 hari (K0P3, K1P3, K2P3, dan K3P3).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Penambahan ekstrak zingiberaceae pada konsentrasi 8 MIC dapat memperpanjang masa simpan mie basah sampai dengan dua hari dan memiliki sifat sensori yang diterima. Konsentrasi ekstrak yang semakin meningkat menyebabkan penurunan total mikroba sehingga kadar pati dan ekstensibilitas meningkat, sedangkan cooking loss menurun. 2. Lama penyimpanan mie basah selama 2 hari memiliki sifat fisikokimia, mikrobiologi dan sensori yang masih dapat diterima oleh panelis dan sesuai dengan standar mutu SNI. 3. Perlakuan konsentrasi ekstrak zingiberaceae sebesar 8 MIC dan lama penyimpanan 2 hari memiliki nilai sensori : warna 1,6 (agak kuning); tekstur 2,2 (agak kenyal); aroma 4 (tidak kuat); flavor 2,2 (agak enak), kesukaan 2,2 (agak suka), dan memiliki sifat mikrobiologi dan fisikokimia sebagai berikut: total mikroba 6,4 x 104 cfu/g; protein 15
terlarut 1,12 persen (bb); kadar pati 33,39 persen (bb); kadar air 31,97 persen (bb); kadar abu 0,91 persen (bb); cooking loss 2,97 persen; ekstensibilitas 20 persen; pengembangan mie 175 persen.
Saran 1. Perlu penelitian mengenai pengaruh pengemas yang digunakan selama penyimpanan mie basah. 2. Perlu dikaji tentang aspek ekonomi dari hasil penelitian ini bagi industri pengguna mie basah, khususnya untuk mie ayam.
DAFTAR PUSTAKA Ajib, N. 2002. Kadar Protein dan Daya Cerna Protein pada Mie Kering dengan penambahan Tepung Tempe dan Tepung Kedelai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 45 hal (tidak dipublikasikan). Astuti, S.D. 2000. Mie Garut Bergizi: Kajian Sifat-sifat Fisik, Kimiawi dan Sensorik Mie dengan Suplementasi Produk-produk Kedelai dan Variasi Sumber Emulsifier. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 87 hal (tidak dipublikasikan). Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wooton. 1987. Ilmu Pangan. Terjemahan oleh Purnomo, H. dan Adiono. UI Press, Jakarta. 108 hal. DeMan, J.M. 1997. Kimia Makanan. Terjemahan oleh Padmawinata, K. Penerbit ITB, Bandung. 550 hal. Fardiaz, D. 1996. Antioksidan Non gizi Bahan Pangan Penangkal Senyawa Radikal. Kerjasama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPB dengan Kedutaan Perancis. Jakarta. Mugiarti. 2000. Pengaruh Penambahan Tepung Kedele terhadap Sifat Fisikokimia dan Daya Terima Mie Basah (Boilled Noodle). Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor (tidak dipublikasikan). Radiati L.E. 2002. Mekanisme Penghambatan Virulensi bakteri Enteropatogen oleh Ekstrak Rimpang jahe (Zingiber officinale Roscoe). Disertasi Program Pascasarjana , Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan). Rahayu, D.A. 2004. Kajian Pembuatan Mie Tepung Ubi Jalar dengan Suplementasi Produk-produk Kedelai dan Variasi Sumber Emulsifier. Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 74 hal (tidak dipublikasikan). Ray, B. 2001. Fundamental Food Microbiology Second Edition. CRC Press, Boca Raton. 562 pp Soeparno. 1994. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. 346 hal. Volk and Wheeler. 1989. Mikrobiologi Dasar Jilid 2. Terjemahan oleh Markham. Penerbit Erlangga. Jakarta. Winarno, F.G., S. Fardiaz, dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 89 hal. Winarno, F.G. 1989. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 245 hal. 16