Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9 (KoNTekS 9) Komda VI BMPTTSSI - Makassar, 7-8 Oktober 2015
PEMANENAN AIR HUJAN DI KOTA SEMARANG Djoko Suwarno 1
Progdi Teknik Sipil & anggota LMB Universitas Katolik Soegijapranata, Jl. Pawiyatan Luhur IV/1 Bendan Duwur, Semarang Email:
[email protected];
[email protected]
ABSTRAK Peningkatan populasi penduduk dan geografi Kota Semarang menyebabkan beberapa permasalahan. Salah satu diantaranya menyebabkan meningkatnya kebutuhan air bersih. Kapasitas produksi PDAM belum mampu memenuhi kebutuhan air bersih. Air hujan merupakan salah satu sumber air bersih. Untuk mengurangi permasalahan tersebut air hujan yang jatuh diatas atap bangunan harus dikumpulkan dan disimpan untuk membantu fungsi tanah yang rusak oleh perilaku manusia yang ingin serba bersih dan cepat kering. Air hujan tidak selamanya bersih dari segala kotoran yaitu bahan organik dan gas yang berasal dari aktivitas manusia. Pengolahan sederhana dapat dilakukan untuk mengurangi kotoran dan meningkatkan kualitas air hujan. Hal itu dilakukan untuk menanggulangi problematik pengadaan air bersih yang semakin langka dan akan menjadi masalah besar dikemudian hari di Kota Semarang. Upaya ini mampu untuk memperbaiki kualitas lingkungan dan masyarakat kota Semarang. Kata kunci: air bersih, pemanenan air hujan, pengolahan air hujan, sumber daya air, Semarang
1. PENDAHULUAN Ibukota Provinsi Jawa Tengah berada di Kota Semarang. Kota ini berada pada 6.50o – 7.10o Lintang Selatan dan 109.35o – 110.50o Bujur Timur dan menempati di pesisir Pantai Utara Jawa (13,6 km). Kota ini berbatasan dengan Kabupaten Kendal (Barat), Demak (Timur), Kab. Semarang (Selatan) dan Laut Jawa (Utara)Ketinggian muka tanah Semarang terbagi dalam dua wilayah yaitu bawah dan atas. Wilayah bawah diawali dari pesisir dengan topografi datar (0 – 2%) sampai ketinggian <3,5 m dari permukaan laut, sedangkan wilayah atas topografi lebih tinggi (2 – 40%) hingga ketinggian 348 m dpl. Luas administrasi 373,70 km2, terdiri dari tanah bukan sawah (89,41 %) dan sawah (10,59%). Berdasarkan kegunaannya tanah sawah terbesar adalah sawah tadah hujan 53,12 % (Semarang dalam angka, 2012). Kondisi itu, merupakan salah satu pemicu kota Semarang memiliki keterbatasan akses terhadap air bersih dan sanitasi, sehingga keadaan itu diperparah dengan kejadian iklim ekstrim pada satu dekade yang lalu. Oleh sebab itu, Kota Semarang memiliki isu yang signifikan yaitu sumber daya air. Indonesia sebagai negara sedang berkembang dengan jumlah penduduk terbesar keempat mempunyai perhatian besar dalam penyediaan air bersih. Air bersih sangat diperlukan untuk kelangsungan kehidupan dan kesehatan mahluk hidup (Song et al., 2009). Hasil studi Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Semarang (2010), PDAM hanya mampu melayani sebagian dari populasi penduduk yaitu di pesisir ± 44-45% dan non-pesisir ± 22-45% di tahun 2009. PDAM dalam mendistribusikan air bersih baru terkonsentrasi di pusat kota. Kondisi ini telah dikaji Kerentanan dan Kemampuan Adaptasi Masyarakat Kota Semarang. Hasil yang didapat meliputi beberapa wilayah pemukiman masyarakat yang belum terlayani oleh layanan PDAM untuk memperoleh air sangat bergantung pada masing-masing lokasi (sumur dalam dan sumur dangkal, membeli air serta mata air). Hasil studi Universitas Negeri Semarang (UNNES) memproyeksikan kebutuhan air kota Semarang hingga tahun 2025 yaitu defisit air karena permintaan air lebih besar dari jumlah air yang tersedia berdasarkan pasokan air dan pertumbuhan penduduk saat ini. Selanjutnya, kajian ini menekankan pentingnya isu pasokan dan kebutuhan air di 16 kelurahan yang mengalami masalah air (6 kecamatan mengalami kekeringan dan 10 kecamatan mengalami banjir). Perkembangan sebuah kota akan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber air karena dapat berdampak negatif pada sosial dan ekonomi. Pengambilan air tanah akan terus berlangsung dan meningkat. Selain itu, perubahan tataguna lahan yang cepat mengakibatkan semakin menurunnya kawasan resapan air sehingga dapat menyebabkan penurunan permukaan tanah. Penurunan permukaan tanah di Kota Semarang antara 1 - 9 cm/tahun (SLD di Kota Semarang 20 Agustus 2009) dimana angka penurunan terbesar terjadi di pesisir Kota Semarang sebesar 8 – 9 cm/tahun (Kajian Kerentanan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kota Semarang Tahun 2010, hal 7). Dampak negatif lain adalah banjir akibat pasang air laut, intrusi air laut, hancurnya infrastruktur serta berkurangya kualitas lingkungan hidup (contohnya isu kesehatan dan kerugian material).
Paper ID : SDA09 Sumber Daya Air 275
Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9 (KoNTekS 9) Komda VI BMPTTSSI - Makassar, 7-8 Oktober 2015
Kondisi kota Semarang rentan akan perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut. Analisis data iklim historis menunjukkan terdapat beberapa tren perubahan dan variabilitas iklim seperti temperatur dan pola musim. Berdasarkan 14 model iklim global (Ekssum:Kajian Kerentanan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kota Semarang, 2010) diindikasikan bahwa musim hujan men datang akan lebih pendek dari masa saat itu, terutama di daerah pusat kota. Sebaliknya, musim kemarau akan cenderung lebih panjang (Kajian Kerentanan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Kota Semarang, 2010). Perubahan iklim akan memperburuk kondisi kekurangan air di Kota Semarang, terutama di musim kemarau. Kejadian itu diperburuk lagi dengan adanya banjir dan kontaminasi air dan juga isu kesehatan yang terkait dengan kekurangan air bersih. Kondisi ini, Mercycorp memilih kota Semarang sebagai salah satu daerah yang tetap untuk melakukan penelitian mengenai pemanenan air hujan sebagai salah satu alternatif sumber air yang ekonomis dan mampu untuk mengurangi pemakaian air bersih (Zhang et al., 2009). Pemanfaatan air hujan sangat tepat diterapkan di kota Semarang yang memiliki curah hujan tinggi setiap tahun (Song et al., 2009). Hasil survei dan wawancara di Kemijen, Mangunharjo, Tanjungmas, Rowosari, dan Tandang, diketahui bahwa banjir sering terjadi di kawasan yang lebih rendah seperti di kawasan pesisir atau bantaran sungai. Beberapa kelurahan bahkan ditemukan memiliki cadangan air yang berlimpah ketika banjir serta memiliki kualitas air buruk dan berlumpur dan tidak terkategori sebagai air yang sehat (KK&API Kota Semarang, 2010 hal 24). Isu kontaminasi air ini akan teratasi dengan diimplementasinya teknologi pemanenan air hujan dan metode purifikasi yang tepat. Pemanfaatan sumber air bermanfaat dalam mengatasi isu pasokan air di Kota Semarang. Salah satu teknologi atau metode yang tepat sebagai sumber daya air dimusim penghujan yaitu pemanenan air hujan (UNEP, 2001; Ghisi et al., 2009; Abdulla et al., 2009). Studi ini akan mengkaji kelayakan dalam mengimplementasikan metode pemanenan air hujan dalam mengurangi kerentanan masyarakat akibat bencana iklim, khususnya banjir dan kekeringan. Metode ini membantu mengatasi rumah tangga miskin untuk memperoleh air bersih secara mandiri dalam memenuhi kebutuhan domestik tanpa mengeksploitasi air tanah lebih jauh lanjut. Pemanenan air hujan dapat diimplementasikan di masyarakat Semarang sebagai upaya konservasi air di daerah perkotaan dan sebagai solusi bagi masyarakat yang lebih luas yakni dengan memberikan akses air bersih pada lokasi-lokasi tanpa layanan jaringan perpipaan PDAM dan mengurangi banjir di Semarang bawah. Selain itu, juga dapat memberikan manfaat secara ekonomi dan lingkungan. Dalam perspektif ekologi, pemanenan air hujan membantu mengamankan sumber daya air melalui pengisian kembali (recharge) air tanah sehingga air tanah dapat digunakan lebih lama. Manfaat ekonomi bagi masyarakat, pengeluaran dalam membeli air akan berkurang atau lebih hemat bila dibandingkan dengan membeli air selama musim hujan. Secara simultan, hal ini juga mengurangi banjir dengan berkurangnya run-off air karena sebagian besar permukaan tanah di perkotaan tertutup oleh bahan perkerasan (Sumarjo dkk, 2001). Menurut UNEP (2001), keuntungan yang diperoleh penggunaan air hujan, yaitu mengurangi dampak lingkungan, lebih bersih, kondisi darurat, sebagai cadangan air bersih, sebagai salah satu upaya konservasi dan pemanenan air hujan adalah suatu teknologi yang mudah dan fleksibel dan dapat dibangun sesuai dengan kebutuhan. Pembangunan, operasional dan perawatan tidak membutuhkan tenaga kerja dengan keahlian tertentu. Selain keuntungan, sistem ini mempunyai keterbatasan yaitu luas daerah tangkapan hujan dan kapasitas penyimpanan sehingga waktu musim kemarau panjang tempat penyimpanan air kurang; memerlukan filter atau alat pengolah air sederhana, pengembangan sistem pemanenan air hujan yang lebih luas dapat menurunkan pendapatan PDAM; sistem ini belum termasuk dalam pembangunan gedung; pemerintah belum memasukkan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya air; tangki penyimpanan air hujan berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan serangga seperti nyamuk; curah hujan merupakan faktor terpenting dalam operasional sistem pemanenan air hujan. Wilayah dengan musim kering yang lebih panjang maupun dengan curah hujan yang tinggi membutuhkan alternatif sumber air atau tempat penampungan yang relatif besar.
Komponen sistem pemanenan air hujan Komponen RH terdiri dari tempat menampungan air hujan (collection area), saluran air hujan (conveyance), filter, reservoir (storage tank), saluran penguras, dan pompa (Abdulla et al., 2009; Song et al., 2009; UNEP, 2001). Atap rumah (collection area) adalah tempat penangkapan air hujan dan bahan yang digunakan dalam konstruksi permukaan tempat penangkapan air hujan mempengaruhi efisiensi pengumpulan dan kualitas air hujan. Bahanbahan yang digunakan untuk permukaan tangkapan hujan harus tidak beracun dan tidak mengandung bahan-bahan yang dapat menurunkan kualitas air hujan (UNEP, 2001). Bahan atap rumah adalah genteng tanah liat.
Tujuan dan sasaran Tujuan pembuatan DED ini adalah untuk memberi fasilitas dan mendorong agar masyarakat dapat memperoleh air kebutuhan sehari hari dari curah hujan, sehingga mendorong masyarakat memanfaatkan air hujan dan mengurangi laju air permukaan atau run off air hujan.
Paper ID : SDA09 Sumber Daya Air 276
Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9 (KoNTekS 9) Komda VI BMPTTSSI - Makassar, 7-8 Oktober 2015
Sasaran DED ini adalah untuk memberdayakan masyarakat ekonomi menengah kebawah yang selama ini masih menggunakan air PDAM dan air tanah dengan harga yang relatif besar.
2. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini memakai metodologi berupa studi lapangan dan literatur. Studi lapangan meliputi pengamatan RH terbangun di beberapa lokasi sedangkan studi literatur dilakukan untuk mengupdate desain RH yang lebih baik.
Metode perencanaan dan pelaksanaan RH Aspek teknis a. Teknologi - Mengkaji tipologi wilayah kota berdasarkan pada tingkat kepadatan penduduk dan rumah - Mengkaji karakteristik wilayah Semarang dengan melihat wilayah sebaran perkampungan yang berada di perbukitan baik yang curam maupun yang landai, dataran rendah baik yang terimbas genangan air hujan dan rob maupun yang terbebas dari masalah tersebut, - Mencari dan memetakan karakteristik tanah berdasarkan kemiringan serta sifat peresapan air, jenis penutup tapak (tanah, rumput, paving blok atau plesteran) - Memetakan rumah yang mewakili topologi dan karakteristik tanah dengan cara mengambil sampel rumah yang dilihat dari perbandingan luas tapak dengan penutup atap, sudut kemiringan atap, bahan bangunan penutup atap, penggunaan talang pada masing-masing tipe rumah, - Pemeliharaan perangkat sistem harvesting dilakukan musim kemarau, b. Parameter yang mempengaruhi aspek teknis. - Untuk memperoleh sukses atas program rain harvesting adalah mengadopsi atau merevisi teknologi pada proyek sejenis yang pernah dilaksanakan untuk memperkecil kegagalan. - Kesiapan pemilik rumah menerima teknologi dan model individu dapat dikerjakan secara mandiri. Pengelolaan model komunal secara bersama. Pengalihan teknologi diberikan kepada seluruh anggota, kelemahannya saling lempar tanggung jawab, sebab air hujan bukan dari atap rumah mereka, mereka enggan merawatnya. - Pada proyek awal, memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang pentingnya air hujan untuk keperluan sehari-hari sedangkan tingkat kebersihan belum menjadi parameter penentu,
Desain RH - Desain awal kegiatan ini berdasarkan progran Tim Kota yaitu di Tandang, Sukorejo dan Tugurejo. masing-masing tempat ini memiliki karakteristir yang mewakili daerah perbukitan dan dataran rendah dengan karakter permukaan tanah - Desain proyek ini memiliki sonasi sebagai ruang permukiman - Desain proyek ini mengacu pada kepentingan masyarakat menengah kebawah.
Pendekatan desain Pendekatan desain RH diawali dengan menentukan lokasi penangkapan air hujan. Kesepakatan yang diambil adalah sekolahan dan kelurahan. Surve karakteristik titik calon lokasi penempatan tandon RH masing-masing lima titik di Kelurahan Wonosari dan satu titik di Kelurahan Tandang yakni di SD Tandang 03. Pendekatan teknis Desain Tandon RH ini mengacu pada studi-studi bagian yang lebih awal, seperti: a. Karakteristik air hujan berpengaruhi bentukan tandon air, filtrasi yang dibutuhkan, b. Curah hujan sangat mempengaruhi volume tandon, c. Bidang panen; luas, ketinggian dan kemiringan bidang panen berpengaruh pada desain, d. Karakteristik tapak titik lokasi rumah tinggal (datar, miring serta bentuk lahan kosong) berpengaruh pada desain tendon, e. Harga komponen tandon (tandon bekas atau baru) berpengaruh pada ketersediaan dana, f. Desain RH secara ideal berdasarkan pada pemanfaatan air hujan. Secara rinci disebutkan mulai dari: - Tandon pertama (10 menit pertama) volume 100 l berfungsi untuk menampung kotoran (dibuang airnya), setelah itu dipergunakan sebagai penampung air hujan, - Filtrasi untuk menyaring partikel-partikel halus dan lainnya, - Peresapan kedalam tanah terdiri atas kerikil (kelebihan air hujan), - Atap rumah, talang, pipa penyaluran dan peralatan lain.
Paper ID : SDA09 Sumber Daya Air 277
Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9 (KoNTekS 9) Komda VI BMPTTSSI - Makassar, 7-8 Oktober 2015
Desain fisik tandon rh individual Proses penentuan lokasi didasarkan pada kerentanan terhadap pengadaan air bersih, kemudian ditentukan lima rumah penempatan RH. Kriteria dasar untuk keberlangsungan pasca pembangunan RH meliputi: 1. Pemuka masyarakat yang senang bergerak dibidang lingkungan hidup dan rajin mendampingi masyarakat dalam proses akrab dengan lingkungan, 2. Rumah berpenghuni dua keluarga, 3. Rumah ini menggunakan tandon Pinguin 700 l sebagai contoh bahan bekas masih dapat dipergunakan, 4. Penduduk berpenghasilan menengah kebawah (desain memperhatikan kesederhanaan), 5. Rumah ini satu-satunya yang menggunakan sistem tandon RH yang menggunakan sistem filtrasi.
Desain fisik tandon RH komunal Kondisi tipe rumah yang sederhana dan relatif kecil, kesulitan untuk membangun sistem RH untuk skala rumah tinggal secara merata. Selanjutnya, mengarah pada penggunaan fasilitas umum untuk digunakan bersama-sama, yang diletakkan di Sekolah Dasar Tandang 03 sebagai titik lokasi Pilot RH Komunal. Pemilihan kelurahan Tandang didasari oleh kenyataan sebagian masyarakat tidak terlayani dari PDAM. Wilayah kelurahan ini memiliki 10 titik artetis, warga tidak mampu membayar pengadaan karena harga mahal. Empat alternatif desain, meliputi: a. Desain sistem RH komunal dibangun dua buah tandon di lokasi SD, satu untuk memenuhi SD Tandang dan tandon lainnya digunakan untuk masyarakat umum. Selain itu, dibangun juga tandon penampung yang lebih kecil diletakkan diluar SD dan dekat lokasi permukiman masyarakat. Namun masyarakat kurang sependapat kalau tandon penyalur dibangun didekat masyarakat (sesuai pengaliran secara gravitasi), karena masyarakat yang dekat yang akan mendapat air. Sedang masyarakat yang jauh dan diatas bukit tidak mendapatkan air, b. Desain kedua, ketiga tandon dibangun di lokasi SD, konsep ini masyarakat yang membutuhkan tinggal ngangsu, mengambil air sendiri di lokasi. Desain ini mengacu ada beberapa teori RH namun kurang dapat diterapkan secara sempurna, c. Desain ketiga, menggunakan sistem fitrasi mengambang yaitu air mengalir dari bawah keatas filtrasi, cara ini untuk menanggulangi masalah endapan lumpur dan filter dapat dibersihkan secara periodik. Desain ini, tandon penampung pertama lebih tinggi 60 cm dari tandon berikutnya, hal ini untuk manambah tekanan air yang masuk melalui filtrasi. d. Desain kempat hampir sama dengan desain ketiga, hanya perbedaan konstruksi. Masalah ini muncul dari sistem pelaksanaan di lapangan yang mengacu sistem pendekatan kemasyarakatan yakni model pemberdayaan masyarakat dan model pekerjaan ini bukan dikerjakan oleh kontraktor yang memiliki kualifikasi yang setara. Akibatnya ada pos2 pembeayaan dan sistem pekerjaan yang yang tidak tercover dalam sistem perhitungan RAB, hal inilah menyebabkan terjadi pembengkakan beaya. Sehingga dalam perjalanannya tandon B dibangun sesuai dengan perencanaan, tandon A, terjadi pengurangan konstruksi namun tidak berpengaruh pada kekuatan. Tandon C mengalami perubahan konstruksi namun yakni penggantian beberapa konmponen konstruksi betom bertulang menjadi pasangan batu bata, namun tidak berpengaruh terhadap kekuatan. Volume air akan mengalami pengurangan namun masih dalam batas kebutuhan minimal murid-murid SD
Rangkaian kegiatan DED Kegiatan DED ini merupakan rangkaian pembelajaran bersama menyikapi masalah pemanasan global yang melanda dunia. Proses DED ini berhubungan langsung dan mulai nampak pada tahapan studi kelayakan teknis pemanenan air hujan yang dikerjakan sebelum tahapan DED ini. Rangkaian kegiatan ini dimulai saat tahapan studi kelayakan teknis berjalan secara bersama juga merupakan awal dari studi DED, sehingga selama perjalanan pembahasan Sudi kelayakan Teknis, maka ide pembahasan pembetukan desain tandon sistem pemanenan air hujan mulai mengemuka. Desain pertama mengemuka saat diskusi studi kelayakan teknis pemannen air mencapai materi lokasi dan titik, karena saat itu muncul beberapa ide pembentukan desain karena materi pembicaraan mengarah pada titik rumah. Saat lokasi terpilih kelurahan Wonosari dan Tandang muncul ide desain yang lebih teknis, seperti sistem konstruksi tandon yang menggunakan grafitasi sebagai cara penghematan beaya. Saat terpilih Tandang sebagai lokasi pilot muncul pertanyaan atap yang bagaimana yang bisa digunakan sebagai tempat pilot, karena type rumah di Tandang relatif kecil dan mayoritas ekonomi menengah kebawah, hingga akhirnya SD Tandang terpilih sebagai lokasi pilot karena pertimbangan ketinggian lokasi dan luasnya areal bidang panen yang bisa digunakan. Desain lebih dapat diperdalam saat studi kelayakan teknis mencapai pembahasan masalah bidang panen, kapasitas, karakteristik air, geografi, sehingga memunculkan ide desain menara air sebagai bidang tambung tandon. Sistem pekerjaan pembangunan menggunakan sistem pelibatan masyarakat sampai ke sistem pelaksanaan pembangunan menggunakan sistem perorangan yang tidak
Paper ID : SDA09 Sumber Daya Air 278
Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9 (KoNTekS 9) Komda VI BMPTTSSI - Makassar, 7-8 Oktober 2015
mensyaratkan persyaratan khusus serta sistem perhitungan belum menyesuaikan. Kenyataan bahwa perhitungan RAB hanya masih menggunakan analisis pemerintah yang cocok digunakan untuk pekerjaan secara formal, tenaga kerja yang digunakan mengunakan sistem honor tukang, namun sistem kemasyarakatan pada tenaga kerja menjadi laju pekerjaan agak lamban. Tidak adanya peraturan tentang persyaratan pekerjaan menyebabkan sistem pemindahan material dilakukan secara manual tanpa membongkar pagar sehingga memakan lama, hal ini menghambat penyelesaian pekerjaan. Sehingga akhirnya desain di rubah menyesuaikan dengan dana tersedia
3. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil DED dan pelaksanaan pembangunan RH serta pengamatan pemanfaatan di lapangan menunjukkan bahwa masing-masing proses menghasilkan kinerja yang baik, lihat tabel berikut: Tabel 1. Rain Water Harvesting di Kota Semarang (Kerjasama BLH & LMB Unika) Tahun
Penempatan RWH
2011
Rumah Penduduk (individual)
2012
Kapasitas (ml)
Filter
Level RWH
550
Penangkap sampah
± 0,9-1,3 m, besi
Komunal
10.000
PS + Filter
± 0,9-1,3 m, besi
2013
Kelurahan
1.000
PS + Filter
± 0,9-1,3 m, besi
2014
Sekolahan
1.000
PS + Filter
± 0,9-1,3 m, beton
2015
Sekolahan
800
PS + Filter terbaru
± 0,9-1,3 m, beton
Sumber: Data primer Permasalahan dalam pelaksanaan RH ini meliputi: a. Sistem pekerjaan melibatkan banyak masukan sehingga sering mendapatkan masukan yang hasilnya lebih baik namun menmbulkan permasalahan tentang laju penyelesaian gambar, b. Sistem penyelesaian desain overlap dengan pekerjaan sehingga bisa terjadi perubahan di lapangan, c. Perhitungan RAB yang berlaku di Indonesia digunakanj untuk pekerjaan formal sehingga sulit diposisikan untuk pekerjaan pelibatan kemasyarakatan, d. Desain RH adalah bentuk dan spesifikasi khusus sebuah pekerjaan, bahan yang tersedia di toko bahan bangunan adalah bahan yan g digunakan penampungan air bersih dari PDAM dan untuk pembuangan air hujan. Kenyataan desain RH memiliki spesialisasi yang tidak dimiliki oleh bahan bangunan di pasaran sehingga kita harus mengakalinya. Menurut Worm, Janette dan Hattum, Tim van (2006), pemanenan air hujan untuk konservasi air memiliki empat alasan ekologis, yaitu: a. Sistem pemanenan air hujan merupakan alternatif yang bermanfaat untuk mengurangi pengambilan air bawah tanah (mengurangi cadangan air bawah tanah), b. Menampung dan menyimpan air hujan merupakan solusi menjaga kualitas air permukaan (danau dan sungai), selama musim hujan, sebagaimana sering terjadi di Bangladesh. c. Menampung dan menyimpan air di rumah dapat meningkatkan akses terhadap persediaan air dan mempunyai dampak positif terhadap kesehatan serta mampu memperkuat rasa kepemilikan pemakai terhadap sumber air alternatif ini. Sebab, sumber air lain biasanya berada jauh dari rumah atau komunitas pemakai. d. Secara umum, kualitas air hujan relatif lebih baik daripada persediaan air permukaan yang mudah tercemar oleh kegiatan industri maupun limbah kegiatan manusia misalnya masuknya mineral seperti arsenic, garam atau fluoride. Tiga komponen dasar yang harus ada dalam sistem pemanenan air hujan yaitu: 1) Permukaan atap berfungsi sebagai penangkap air hujan; 2) talang, yaitu prasarana penyaluran air hujan dari atap ke tempat penampungan; dan 3) tong, bak atau kolam, yaitu tempat penyimpan air hujan. Ketiga komponen dasar itu dilengkapi oleh pompa air untuk memindahkan air dari bak atau kolam penampung (Worm, Janette & van Hattum, Tim 2006; Chao-Hsien Liaw & Yao-Lung Tsai 2004). Beberapa kendala atau kekurangan dalam memanen air hujan yaitu frekuensi, kuantitas hujan yang fluktuatif dan kualitas air hujan belum memenuhi pedoman standar air bersih WHO. Selain itu, terdapat dua isu utama yang terkait dengan kualitas air hujan, yaitu bacteriological water quality dan insect vector.
Paper ID : SDA09 Sumber Daya Air 279
Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9 (KoNTekS 9) Komda VI BMPTTSSI - Makassar, 7-8 Oktober 2015
Pertama, isu bacteriological water quality dapat terjadi dikarenakan oleh kotoran yang terdapat di permukaan atap rumah dan kotoran dapat masuk kedalam penampungan. Sehingga diperlukan upaya menjaga kebersihan atap dan menutup tempat penampung air hujan. Kebersihan air hujan dapat mencegah bacteria hidup di air, sedangkan untuk menghindarkan lumut tidak tumbuh dalam tempat penampungan maka penampung air hujan dicat dengan warna gelap dan atau diletakkan di tempat teduh. Kedua, isu insect vector. Upaya pertama diatas, dapat juga untuk mencegah dan menanggulangi isu kedua ini. Oleh karena, serangga (termasuk nyamuk) tidak dapat berkembang biak karena serangga tidak dapat meletakkan telurnya dalam air. Beberapa metode perlakuan sederhana dalam pemakaian air hujan, antara lain: merebus air untuk mematikan bakteri, menambahkan chlorine (35ml sodium hypochlorite per 1000 liter air) akan mendisinfeksi air, filtrasi pasir (biosand) akan menghilangkan organism berbahaya (Thomas,). Teknik SODIS (Solar Water Disinfection) yaitu botol plastik yang sudah dicat hitam diisi air dan dijemur beberapa jam dengan tujuan untuk mematikan bacteria dan mikroorganisme dalam air hujan (Worm & van Hattum, 2006). Pemanenan air hujan menggunakan teknik yang sederhana, murah dan tidak membutuhkan keahlian atau pengetahuan khusus namun masih sedikit dilakukan di Indonesia (Pengamatan penulis). Sesungguhnya, praktek memanen air hujan sangat penting sebagai alternative sumber air. Hal itu dikarenakan sebagian besar masyarakat belum menyadari pentingnya memanen air hujan sebagai salah satu upaya menghemat air dan makin langkanya mendapatkan sumber air akibat kurangnya pengetahuan dan informasi. Kemungkinan lainnya, masyarakat tidak mau belajar dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dan mudah melupakan peristiwa yang kurang menyenangkan serta merasa yakin tidak akan mengalami kekurangan air karena Indonesia negara kepulauan dimana secara umum air melimpah. Untuk mengetahui lebih detail mengenai hal itu tentu perlu dilakukan penelitian secara lebih lanjut. Dari fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa diperlukan peran pemerintah agar praktek memanen air hujan dapat dilakukan secara luas. Pemerintah perlu melakukan komunikasi, informasi dan edukasi publik agar masyarakat dapat tertarik perhatiannya untuk memahami, menyadari dan bersedia melakukannya di rumah masing-masing. Jika memanen air hujan dipraktekkan secara luas, maka masalah banjir akan menurun dan menambah persediaan air pada rumah tangga. Berikut ini contoh desain sistem memanen air hujan yang sederhana yang dapat diterapkan masyarakat pada rumah tangga.
Gambar 1. Tahapan Kontaminasi Air Hujan dengan Sistem Penangkapan dari Atap Rumah (Sumber: Kahinda et al., 2007) Selain ketentuan diatas, air hujan dapat terkontaminasi oleh bahan pencemar udara dari kegiatan manusia terutama disaat awal hujan turun dimusim hujan dan dari pencemar yang berada di atas atap rumah. (Kahinda et al, 2007)
4. KESIMPULAN Setelah mengalami proses pembelajaran dan masukan dari para peserta dan pakar dibidang RH maka dapat disimpulkan : a. Sistem RH merupakan langkah baru dalam pemanfaatan air hujan dan mengurangi masalah kekurangan air yang terjadi di kota Semarang.
Paper ID : SDA09 Sumber Daya Air 280
Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9 (KoNTekS 9) Komda VI BMPTTSSI - Makassar, 7-8 Oktober 2015
b. Sistem RH sebuah langkah menggunakan air hujan sebagai progres dalam rangka pemanfaatan air hujan untuk kebutuhan sehari-hari, dan mengurangi ketergantungan terhadap air tanah dan PDAM. c. Sistem RH membatu mengurangi limpasan air permukaan dan mengurangi banjir di Semaranag. d. DED RH sangat membantu mensosialisasikan pengguanan tandon secara sederhana kepada masyarakat e. Konstruksi RH harus disesuaikan dalam pemanenan air hujan terhadap curah hujan dan bahan konstruksi setempat. f. Sistem RH sangat penting untuk kelestarian lingkungan (konservasi), untuk keberlanjutan ekologis. g. Pemanenan air hujan adalah salah satu metode konservasi air perlu segera dilakukan oleh stakeholder (pemerintah, masyarakat dan industri). Pemanenan air hujan perlu diimplementasikan secara berkesinambungan untuk membantu memelihara keberlanjutan air dan keberlanjutan lingkungan sebagai pendukung perikehidupan generasi sekarang dan yang akan datang.
5. DAFTAR PUSTAKA Abdulla Fayez A. and AW Al-Shareef (2009). “Roof rainwater harvesting systems for household water supply in Jordan”. Desalination 243: 195-207. Bappeda dan BPS Kota Semarang (2013). Semarang Dalam Angka 2012. Chao-Hsien Liaw and Yao-Lung Tsai (2004). “Optimum Storage Volume of Rooftop Rain Water Harvesting System for Domestic Use”. Journal of the American Water Resources Association; Aug 2004; 40, 4; Proquest Agriculture Journals pg. 901. Chiras, Daniel D. (2009), Environmental Science, 8th Edition, Sudbury, Massachusetts: Jones and Bartlett Publisher. Ghisi Enedir, Davi da Fonseca Tavares and Vinicius Luis Rocha (2009). “Rainwater harvesting in petrol stations in Brasilia: Potential for potable water saving and investment feasibility analysis”. Resources, Conservation and Recycling Kahinda Jean-marc Mwenge, Akpofure E.Taigbenu and Jean R.Boroto (2007). “Domestic rainwater harvesting to improve water supply in rural South Africa”. Physics and Chemistry of the Earth Sharpe, William E. and Swistock, Bryan (2008). Household Water Conservation, College of Agricultural Sciences, Agricultural Research and Cooperative Extension College of Agricultural Sciences, The Pennsylvania State University. Song Jaemin, Mooyoung Han, Tschungil Kim dan Jee-eun Song (2009). Rainwater harvesting as a suatainable water supply option in Banda Aceh. Desalination 248: 233 Sumarjo dkk, (2001) Rainfall-Runoff harvesting for controlling Erosion and Sustaining Upland Agriculture Development’, Sustaining the Global Farm, hal. 431-439. Thomas, Terry (tanpa tahun). Rainwater Harvesting: Practical Action. School of Engineering, University of Warwick, Coventry CV4 7AL, UK. UNEP International Technology Centre (2001). Rainwater Harvesting. Murdoch University of Western Australia. WHO (2004), www.who.int. Worm, Janette and Hattum, Tim van. (2006). Rainwater Harvesting For Domestic Use. Agrodok 43, Agromisa Foundation and CTA, Wageningen. 6. LAMPIRAN Contoh Pemanenan Air Hujan di rumah Bapak HEINZ FRICK (Alm) 2005 di Srinindito Semarang
Gambar 2. Rumah Bapak HEINZ FRICK (Alm)
Gambar 3. Bak penampungan Air Hujan (3x4x2,5) m
Paper ID : SDA09 Sumber Daya Air 281
Prosiding Konferensi Nasional Teknik Sipil 9 (KoNTekS 9) Komda VI BMPTTSSI - Makassar, 7-8 Oktober 2015
Gambar 4. Potongan Penampungan & Filter 2014
Gambar 5. Denah Penampungan & Filter 2014
TANDON SIAP PAKAI
Gambar 6. Air Hujan 2011 Filter sederhana
FILTE R
Gambar 7. Filter Air Hujan 2015
Paper ID : SDA09 Sumber Daya Air 282
TAND ON PENA MPU NG
TANDON 10’
PERT AMA