PEMAKNAAN KEWARGANEGARAAN MALAYSIA DALAM SELEMBAR IDENTITY CARD Studi Kasus Pada Warga Kampong Long Busang Distrik Belaga, Divisi Kapit, Sarawak Feni Apriani Antropologi Sosial, FISIP, Universitas Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memahami keanggotaan sosial yang mempengaruhi situasi kewarganegaraan Malaysia di kampong perbatasan. Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Penelitian dilakukan di kampong perbatasan Malaysia yang bernama Kampong Long Busang. Kampong Long Busang ini dihuni oleh etnik Kenyah. Etnik Kenyah merupakan etnik yang memiliki sejarah migrasi dan aktivitas perdagangan lintas negara, Malaysia dan Indonesia. Sejarah lintas negara menyebabkan etnik Kenyah Long Busang bersedia menerima migran pendatang tanpa dokumen asal Indonesia sebagai warga kampong. Hubungan keduanya terjalin dalam bentuk ikatan kekerabatan. Etnik Kenyah yang sudah menjadi warga negara Malaysia kemudian membantu migran pendatang yang tinggal di Kampong Long Busang untuk memperoleh kewarganegaraan Malaysia. Kewarganegaraan Malaysia tersebut dibuktikan dengan kepemilikan selembar IC. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa warga negara Malaysia dari etnik Kenyah Kampong Long Busang tidak menganggap migran sebagai warga asing sebagaimana konstruksi negara. Interaksi yang erat antara warga negara Malaysia dari etnik Kenyah dan migran mengindikasikan perbedaan makna kewarganegaraan dengan bayangan ideal kewarganegaraan yang dimiliki negara. Kata kunci: Negara, migran, kewarganegaraan, batas sosial, Identity Card (IC), etnik Kenyah
The Interpretation of Malaysian Citizenship in a Piece of Identity Card. A Case Analysis on Long Busang Villagers, District Belaga, Kapit Division, Sarawak Abstract The aim of this research is to understand the social membership affect situation Malaysian citizenship in border village. The research is done using participatory observation and deep interview method. It is done in a border village of Malaysia called Long Busang. This village is inhabited by Kenyah ethnicity. It is an ethnic that has a migration and cross border trade activities history, Malaysia-Indonesia. The cross border trade activities caused Ethnic Kenyah willing to accept undocumented migrant shelters from Indonesia as a part of them. Their relationship molded together in a form of kinships. Ethnic Kenyah, who have become the citizen of Malaysia, then helped migrant settlers who lived in Long Busang to obtain Malaysian citizenship. Their Malaysian citizenship is confirmed by owning the Identity Card. The facts show that Malaysians from Long Busang (Ethnic Kenyah) do not consider migrants as foreigners as the state construction does. The close interaction between Ethnic Kenyah and the migrants indicates their difference in interpreting the meaning of citizenship with the shadow of ideal citizenship owned by the state. Keywords: State, migrants, citizenship, social boundaries, Identity Card (IC), ethnic Kenyah.
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Perbatasan negara lahir bersamaan dengan kelahiran negara modern. Negara modern di Eropa sudah dikenal sejak abad ke 18. Konsep negara modern ini berwujud negara bangsa (nation state) yang dilengkapi dengan batas-batas teritorial negara. Konsep negara modern kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui proses kolonialisme Eropa (Tirtosudarmo 2005:3). Eropa menciptakan batas-batas wilayah untuk memudahkan administrasi di wilayah jajahan. Batasbatas wilayah warisan kolonial tersebut menjadi batas sakral yang memisahkan negara bangsa (nation state) di Asia Tenggara. Hal itu berlaku juga untuk perbatasan Indonesia dan Malaysia di Pulau Borneo1. Traktat London tahun 1891 yang dibuat antara Inggris dan Belanda menjadi landasan hukum bagi wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia. Perbatasan Indonesia dan Malaysia kemudian digambarkan dalam peta dengan garis-garis khayal memanjang membelah Pulau Borneo. Negara bangsa (nation state) tidak hanya mengatur teritorial negara, ia juga mengatur warga negaranya. Berkaitan dengan hal tersebut, menarik untuk dicermati pemberitaan media massa pada bulan november tahun 2014. Antara News menginformasikan warga perbatasan di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, memilih menjadi warga negara Malaysia karena desakan ekonomi, kebutuhan pendidikan, dan minimnya pelayanan kesehatan. Kepala Desa Samunti Kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan menyatakan terdapat 20 kepala keluarga (KK) dari total 85 KK yang telah pindah tempat tinggal ke wilayah Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia. Sebanyak 22 KK telah menjadi warga negara Malaysia dan sebagian lagi masih menjadi pendatang ilegal yang telah memiliki pekerjaan tetap di Malaysia2. Tidak jauh berbeda, pada tanggal 11 november 2014, Liputan 6 memberitakan bahwa sepuluh desa di Kecamatan Long Apari, Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur berencana pindah menjadi warga negara Malaysia karena dilanda kelaparan. Peristiwa ini memperoleh respon dari Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar. Beliau akan meninjau langsung desa-desa tersebut3. Menurut Marwan, masalah perpindahan
1
Borneo merupakan istilah yang digunakan penduduk Sarawak merujuk satu keutuhan Pulau Kalimantan yang meliputi wilayah Indonesia (provinsi-provinsi di Kalimantan), Brunei Darussalam, dan Malaysia (Sabah dan Sarawak). Istilah Kalimantan hanya digunakan untuk wilayah Borneo yang menjadi bagian Indonesia. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis akan menggunakan istilah Borneo untuk merujuk Kalimantan sebagai satu keutuhan pulau.
2
“Warga perbatasan pindah ke Malaysia karena ekonomi,” http://www.antaranews.com/berita/464085/wargaperbatasan-pindah-ke-malaysia-karena-ekonomi (diakses 13 November 2014; 17.00 Wib)
3
“Menteri Marwan Tinjau 10 Desa yang Niat Nyebrang ke Malaysia,”
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
kewarganegaraan warga perbatasan akan mengganggu kesatuan negara Republik Indonesia. Hal sebaliknya diungkapkan oleh Tirtosudarmo (2005:6), mobilitas penduduk di daerah perbatasan merupakan kenyataan sosial yang berlangsung sejak lama, jauh sebelum batasbatas negara disepakati. Mobilitas geografis melintas batas garis teritorial negara merupakan kebiasaan berbagai anggota komunitas etnik dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, maupun budaya. Setelah terbentuknya negara, mobilitas penduduk ini seringkali diiringi dengan perpindahan kewarganegaraan seperti yang terjadi pada penduduk perbatasan Provinsi Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur yang dimuat di media massa. Bagi negara, mobilitas ilegal tersebut akan menciptakan rendahnya tingkat kesadaran penduduk terhadap pemaknaan kewarganegaraan. Sebaliknya bagi warga perbatasan, mobilitas adalah penentu keberlangsungan hidup karena warga perbatasan selalu mencari tempat yang menjanjikan kesejahteraan lebih baik tanpa memperdulikan batas teritorial negara. Deloye (dalam Neveu 2008) mengingatkan pada penulis bahwa dalam ranah hukum (legal science), kewarganegaraan (citizenship) adalah status yang diberikan oleh negara bagi anggotanya. Status ini menentukan hak dan kewajiban anggotanya sebagai bagian dari negara demokrasi. Status kewarganegaraan hanya diberikan negara pada individuindividu tertentu sesuai peraturan perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun, pada praktiknya konsep kewarganegaraan (citizenship) menghadapi tantangan dari penduduk perbatasan. Warga perbatasan seringkali melanggar prosedur kewarganegaraan suatu negara bangsa (nation state). Hal itu terjadi pula di desa perbatasan Malaysia tempat penelitian ini dilakukan, yakni Kampong Long Busang4. Warga asli Kampong Long Busang menerima migran pendatang tanpa dokumen asal Indonesia sebagai warga kampong dan juga membantu mereka menjadi anggota resmi Negara Malaysia melalui pembuatan kartu identitas kewarganegaraan Malaysia yang disebut MyKad. Kartu identitas kewarganegaraan ini sering dikenal dengan sebutan IC (Identity Card/kartu identitas). Warga asli Kampong Long Busang memberikan keterangan palsu pada aparatur pemerintah agar migran pendatang dapat diterima oleh Malaysia. Praktik ini menunjukkan bahwa keanggotaan sosial warga Kampong http://news.liputan6.com/read/2132413/menteri-marwan-tinjau-10-desa-yang-niat-nyebrang-ke-malaysia (diakses 13 November 2014; 17.05 Wib) 4
Pada penelitian ini penulis akan menggunakan istilah kampong sebab istilah kampong merupakan istilah yang digunakan untuk desa-desa di Malaysia. Menurut Syamsul A.B dalam tulisannya berjudul A History of an Identity, an Identity of a History: The Idea and Practice of ‘Malayness’ in Malaysia (2001), istilah kampong memiliki banyak makna yang merupakan hasil kontestasi berbagai kelompok kepentingan dalam mendefinisikan kekuasaan dan didefinisikan oleh kekuasaan.
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Long Busang melintasi batas negara. Warga Long Busang menciptakan batas-batas sosial yang terbentuk melalui interaksi dalam kehidupan sehari-hari tanpa memperdulikan batas yang diciptakan negara yang termanifestasi dalam teritorial dan kewarganegaraan negara. Berdasarkan permasalahan yang ada di lapangan tersebut, penulis merumuskan beberapa pertanyaan, yaitu (1) Bagaimana situasi kewarganegaraan (citizenship) di Kampong Long Busang Sarawak? (2) Bagaimana warga Long Busang menggunakan IC (Identity Card) dalam konteks tertentu? (3) Bagaimana proses-proses sosial untuk memperoleh IC (Identity Card) di Long Busang?
Tinjauan Pustaka Negara Bangsa (Nation State) Dalam upaya memahami kewarganegaraan (citizenship), maka perlu pula memahami kehadiran negara bangsa (nation-state). Terminologi negara bangsa (nation state) seringkali digunakan untuk mendeskripsikan bentuk spesifik negara yang memerintah di teritori bangsa tertentu, sehingga memberi kesan bangsa (nation) dan negara (state) merupakan jalinan yang tidak terpisahkan (Ishikawa 2010). Agar tidak ambigu, penulis akan menguraikan konsep tersebut secara terpisah. Menurut Anderson (1991), bangsa (nation) adalah sebuah ide komunitas yang dibayangkan (imagined communities), di mana anggota suatu bangsa hanya mampu membayangkan bangsanya, tetapi mereka tidak saling mengenali anggotanya. Bangsa (nation) lahir bersamaan dengan kapitalisme cetak yang memfasilitasi berkembangnya kesadaran subjektif dan menciptakan perasaan bersama sebagai sebuah bangsa (nation). Bangsa (nation) adalah formula yang ada di buku, peta sekolah, koran, dan pikiran anggotanya. Bangsa (nation) direpresentasikan melalui simbol berupa lagu kebangsaan dan bendera. Bangsa (nation) seperti itu menciptakan kondisi “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat”. Contohnya penduduk perbatasan Indonesia harus merasa jauh dengan penduduk perbatasan Malaysia, padahal letak geografis mereka berdekatan. Sebaliknya penduduk perbatasan harus merasa dekat dengan penduduk yang ada di pusat negara. Kemudian menurut Ishikawa (2010) state is piece of institutional machinery with a clear cut spatial boundary that provide a location of nation (negara adalah bagian mesin institusi yang menyediakan wilayah/lokasi suatu bangsa dan memiliki batas spasial yang jelas).
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Batas Negara dan Batas Sosial Negara modern menciptakan batas teritorial yang terdefinisi dalam sebuah peta. Batas-batas ini merupakan hasil kesepakatan dengan negara tetangga untuk menjamin kedaulatan negara atas wilayahnya. Negara memiliki kekuasaan untuk menegakan hukum di wilayah kedaulatannya. Kerangka penegakan hukum negara di perbatasan diwujudkan dengan menyelenggarakan aturan keimigrasian dan pengawasan terhadap lalu lintas orang maupun barang. Perbatasan negara juga mengkonstruksikan kedua wilayah yang berbatasan merupakan wilayah yang memiliki karakter berbeda, dari segi ekonomi, politik, dan sosial (Migdal 2004). Realitas sosial di perbatasan negara seringkali jauh berbeda dengan konstruksi negara. Struktur negara seperti mata uang, kewarganegaraan, dan administrasi keimigrasian yang hadir di perbatasan tidak mampu menghalangi berbagai proses sosial di perbatasan. Warga perbatasan tetap mempertahankan jalinan kekerabatan, sosial, budaya, dan ekonomi dengan warga perbatasan di seberang negara. Hal ini ditunjukan pula dalam aktivitas warga perbatasan kampong-kampong di Sarawak dan Kalimantan Utara. Kampong-kampong di kedua negara terkoneksi melalui ikatan kekerabatan, sosial, ekonomi, dan budaya. Migdal (2004) mengemukakan mengenai kontestasi batas-batas (boundaries) di wilayah perbatasan negara. Batas-batas (boundaries) meliputi dimensi simbolik (asosiasi dengan pembagian perbatasan seperti pada peta) dan sosial. Batas-batas (boundaries) dikonotasikan sebagai tempat yang berbeda dengan negara tetangga, di mana segala sesuatu dibatasi dan di sisi lain batas-batas (boundaries) adalah konstruksi sosial. Batas-batas (boundaries) merupakan gabungan dari 2 elemen, yaitu 1. Pengawasan (Checkpoints) Batas-batas (boundaries) dikonstruksikan melalui praktik pengawasan (monitoring) di mana kelompok menggunakan pengawasan (checkpoints) aktual dan virtual untuk memisahkan ruang yang satu dengan ruang yang lain. Pengawasan (checkpoints) ini merujuk pada tempat dan praktek di mana kelompok (group) membedakan dan memisahkan anggota kelompok yang satu dengan anggota yang lain. Negara dan warga perbatasan menggunakan pengawasan (checkpoints) yang berbeda. Negara menggunakan pengawasan aktual (aktual checkpoints) yang meliputi berbagai teknik pengawasan seperti cek visa, paspor, dan KTP. Sementara warga perbatasan menggunakan pengawasan virtual (virtual checkpoints), yaitu upaya identifikasi kelompok tertentu melalui cara berpakaian atau mendeteksi bahasa serta aksen. 2. Peta Mental (Mental Maps)
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Batas-batas (boundaries) adalah suatu konstruksi yang dipelihara peta mental orangorang. Peta mental (mental maps) memetakan rumah dengan wilayah asing (alien territory), anggota kelompok (ingroup) atau luar kelompok (outgroup), serta keluarga atau orang lain. Peta mental (mental map) ini menggabungkan elemen kognisi orangorang (meaning people) dengan konfigurasi spasial. Praktik pengawasan (checkpoints) dan peta mental (mental maps) antara warga perbatasan dan negara tidak selalu sama. Negara selalu menggunakan pos pemeriksaaan aktual berupa visa, paspor, atau kartu identitas kependudukan untuk membedakan warga negara, warga negara asing, ataupun migran ilegal dan migran legal. Berbeda dengan negara, warga perbatasan
seringkali
menggunakan
pengawasan
virtual.
Warga
perbatasan
dapat
membedakan anggota kelompoknya melalui caranya berbahasa, aksen, dan cara berpakaian. Selain itu peta mental (mental maps) negara dan warga perbatasan juga berbeda. Peta mental (mental maps) negara diciptakan melalui peraturan perundang-undangan, sedangkan peta mental (mental maps) warga perbatasan diciptakan melalui interaksi sosial. Hal itu menunjukan batas negara dan batas sosial tidak selalu kongruen. Kewarganegaraan (Citizenship) Halfmann (2000) menguraikan bahwa kewarganegaraan merupakan inovasi negara modern untuk mengikat populasi dalam teritorial negara serta menunjukan relasi hukum individu dengan negaranya. Grawert (dalam Halfmann 2000:40) memaparkam beberapa karakter kewarganegaraan. Pertama, kewarganegaraan bersifat permanen, suatu hak yang tidak dapat dicabut oleh negara tanpa landasan hukum yang jelas. Hak tersebut melekat pada individu semenjak ia dilahirkan. Kedua, kewarganegaraan juga eksklusif, sebab seseorang tidak bisa menjadi warga negara beberapa negara. Ketiga, kewarganegaraan bersifat langsung, di mana dalam sistem politik tidak ada yang boleh mengintervensi hubungan warga negara dan negaranya. Sementara itu warga perbatasan tidak mendefinisikan kewarganegaraan sesuai karakter di atas. Tanpa seizin negara, warga perbatasan memiliki kewarganegaraan ganda yang terepresentasi dengan kepemilikian dua kartu tanda penduduk dari dua negara. Warga perbatasan yang memiliki kartu tanda kependudukan ganda dapat memperoleh keuntungan dari kedua negara yang meliputi keuntungan ekonomi maupun partisipasi politik. Menurut Neveu (2008), kewarganegaraan (citizenship) memiliki 2 sisi. Satu sisi, kewarganegaraan (citizenship) merupakan rintangan (obstacle), di mana kewarganegaraan (citizenship) memungkinkan kekuasaan negara untuk memelihara warga negara (citizen) dalam kerangka integrasi nasional. Sisi lain kewarganegaraan (citizenship) adalah sumber
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
daya (resource) yang membantu warga negara untuk memperoleh pengakuan dan persamaan hak serta kewajiban dalam negara. Kewarganegaran sebagai rintangan (obstacle) terjadi saat negara mempraktekan kemampuan memerintah (skill of governing). Negara memiliki kemampuan untuk memerintah warga negaranya mengikuti berbagai kebijakan negara, seperti penarikan pajak, wajib militer, dan berpartisipasi mencegah pemberontak. Pada konteks perbatasan, negara seringkali memerintah warga perbatasan mengikuti prosedur keimigrasian, seperti keharusan memiliki Pas Lintas Batas (PLB), membatasi waktu kunjungan antar negara, dan mengatur lalu lintas perdagangan. Kewarganegaraan (citizenship) sebagai sumber daya (resource) terwujud dalam pemberian fasilitas kesejahteraan, keamanan, dan kepastian hukum. Menurut Migdal (2004) melalui kewarganegaraan (citizenship) negara menyediakan paket status legal, hak (rights), dan rasa aman (security). Negara dianggap mampu memberikan rasa aman melalui dimensi legalnya dan melalui instrumen negara seperti pengadilan.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode observasi partisipatif dan wawancara mendalam. Pengamatan terlibat diartikan sebagai bentuk pengamatan yang disertai interaksi antara peneliti dan informan (Sudikan, 2001:58). Sebagai upaya mengumpulkan data primer, penulis pergi dan tinggal bersama dengan warga perbatasan yang berlokasi di Kampong Long Busang. Penulis mulai melibatkan diri dalam keseharian warga Long Busang, seperti mengikuti sholat berjamah di musola kampong, ikut pergi ke ladang, membantu mengerjakan pekerjaan rumah, bermain dengan anak-anak, ikut berpartisipasi menampilkan tari kreasi dalam perayaan Idul Fitri dan lain sebagainya. Melalui pengamatan terlibat ini penulis dituntut untuk mampu berbaur dan melibatkan diri dalam keseharian warga Long Busang. Selain melakukan pengamatan terlibat, penulis juga melakukan wawancara mendalam (indepth interview) terhadap informan. Wawancara ini dilakukan untuk dapat menggali lebih mendalam mengenai pengalaman seseorang ataupun berbagai peristiwa yang terjadi pada warga Long Busang. Peneliti juga melakukan pengumpulan data sekunder dengan melakukan studi kepustakaan yang meliputi karya-karya etnografi, artikel-artikel ilmiah, buku-buku, peta, dokumen kampong dan tulisan dari internet yang relevan untuk penelitian ini.
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Hasil Penelitian Kampong Long Busang berada di wilayah perbatasan Sarawak dan Kalimantan Utara5. Secara administratif, Kampong Long Busang terletak di Distrik Belaga, Divisi Kapit, Sarawak. Wilayah Long Busang berada di pedalaman Borneo dengan morfologi wilayah yang bergunung-gunung dan ditutupi bentangan hutan dipterocarp6. Banyak industri kayu yang beroperasi di wilayah hutan sekitar Kampong Long Busang. Ekspansi industri kayu di wilayah perbatasan ini berlangsung sejak 1990-an (Lumenta 2008).
Peta 1 Letak Long Busang dekat perbatasan Malaysia dan Indonesia (Sumber: Maps.google.com)
Keberadaan industri kayu ini mengundang banyak migran asal Indonesia bekerja di Sarawak. Ada satu buah perusahaan pengolahan kayu yang berjarak 60 km dari Kampong Long Busang, yaitu kilang Jaya Tiasa Plywood. Ada juga beberapa kemah pembalakan hutan (logging camp), seperti Maxwealth, Rose, dan Tapak Megah. Selain itu, ada kampong tetangga di sekitar Long Busang, diantaranya Kampong Long Unai yang dihuni oleh etnik Penan, Long Betaoh yang dihuni oleh etnik Kenyah Badeng dan Long Nawang yang dihuni oleh etnik Kenyah Lepu’Tau. Long Betaoh dan Long Nawang merupakan kampong Kenyah yang terletak di dataran tinggi Apokayan, Kecamatan Kayan Hulu, Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimatan Utara. Long Nawang dan Betaoh dapat diakses dengan menggunakan jalur darat dari Kampong Long Busang. Berikut ini lokasi kampong-kampong tersebut. 5
Kalimantan Utara merupakan provinsi baru hasil pemekaran Provinsi Kalimantan Timur
6
Jenis dipterocarp umumnya berupa pohon menjulang (emergent trees) dengan tinggi mencapai 50 meter dengan pertumbuhan yang lambat. Kayu-kayu pohon mempunyai nilai komersial yang tinggi yang seringkali digunakan untuk bahan bangunan (lihat Purwaningsih 2004).
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Peta 2 Lokasi Long Busang, Long Unai, Long Betaoh, dan Long Nawang. Long Betaoh dan Long Nawang masuk Indonesia, sedangkan Long Busang dan Long Unai masuk Malaysia (Sumber: Lumenta 2008, telah diolah kembali)
Sejarah Long Busang Long Busang dan kampong-kampong Kenyah lainnya dahulu berasal dari Apau Data, Usun Apau di Hulu Baram, Sarawak. Sekitar awal abad 18, peperangan dan tekanan populasi menyebabkan emigrasi dari Usun Apau (Lumenta 2005:3). Banyak kelompok yang terusir pindah ke dataran tinggi Apo Da’a di hulu Sungai Iwan kemudian pergi ke dataran tinggi Apokayan dan Bahau di bagian timur Kalimantan, Indonesia. Setelah itu mereka kembali lagi ke Sarawak (Lumenta 2005:3). Sebagian etnik Kenyah tetap tinggal di Dataran Tinggi Apokayan, Kalimantan Utara. Dua kelompok yang tinggal ialah Kenyah Lepo’Tau yang menetap di Long Nawang dan Kenyah Badeng yang menetap di Long Betaoh. Namun, sekitar tahun 1966 hingga 1969 sepuluh rumah panjang Kenyah Badeng meninggalkan Long Betaoh, bermigrasi ke Sungai Balui dan membuat kampong baru yang disebut Long Busang (Lumenta 2008). Perpindahan Kenyah Badeng ke Sarawak ini bertujuan mendekatkan diri dengan Belaga sebagai pusat ekonomi pedalaman Borneo. Sejarah migrasi kampong tersebut menunjukkan bahwa kampong Long Busang, Sarawak merupakan pecahan kampong Betaoh di Kalimantan Utara. Etnik Kenyah ini juga aktif melakukan perdagangan, baik perdagangan lokal maupun jarak jauh yang meliputi wilayah Sarawak maupun Kalimantan bagian Timur, seperti Area Mahakam dan Pujungan (Eghenter 2001). Aktivitas dagang ini berlangsung jauh lebih dahulu daripada kedatangan kolonial British ataupun Belanda di perbatasan. Tradisi Kenyah berkaitan dengan aktivitas perdagangan disebut peselai. Peselai diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan laki-laki Kenyah mengenai komunitas tetangga di sekitar sungai dan mendorong ikatan serta jaringan sosial antara komunitas yang ada di sekitar sungai (Lumenta 2008).
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Keanggotaan Sosial Long Busang Long Busang merupakan kampong yang menerima migran pendatang tanpa dokumen asal Indonesia sebagai bagian dari warga kampong. Migran yang datang ke Long Busang ada dua jenis, yaitu migran pendatang yang memiliki ikatan kekerabatan dengan etnik Kenyah Kampong Long Busang karena sejarah migrasi dan peselai masa lalu serta migran pekerja yang datang ke Sarawak untuk bekerja di industri kayu. Migran pendatang yang memiliki ikatan kekerabatan dengan etnik Kenyah berasal dari kampong-kampong di Apokayan, terutama Kampong Long Nawang. Aktivitas saling mengunjungi antar kampong ini dilakukan dengan melewati pintu perbatasan tidak resmi. Interaksi kultural Long Busang dan Long Nawang terlihat dalam perayaan Ladung Bio. Ladung Bio merupakan kegiatan persatuan Kenyah yang diadakan beberapa tahun sekali. Ladung Bio ini menjadi sarana pelepas rindu antar kerabat. Ladung Bio menjadi sarana bagi etnik Kenyah untuk meningkatkan sikap tolong-menolong sebagaimana masa pelesai. Di masa itu sesama Kenyah saling tolong-menolong untuk menyediakan tempat tinggal dan makan bagi para peselai. Long Busang dan Long Nawang juga menjalin interaksi agama melalui kegiatan gereja. Jemaah gereja GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia) di Long Nawang berkunjung ke Gereja SIB (Sidang Injil Borneo) di Long Busang, begitu pula sebaliknya. Long Busang dan Long Nawang juga punya interaksi ekonomi yang bergantung satu sama lain. Sebagian warga Long Busang menjual minyak subsidi Malaysia ke Long Nawang, warga Long Busang membutuhkan tenaga kerja dari Long Nawang untuk membantu mengerjakan ladang dan sebagian warga Long Nawang pergi berjualan ke Long Busang. Sementara itu, migran pekerja datang dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Jawa, Lombok, Sulawesi, dan Kalimantan. Interaksi antara keduanya diawali dengan interaksi ekonomi. Setiap hari warga Long Busang menjual hasil kebun dan hewan buruan pada migran pekerja di industri kayu sekitar Kampong Long Busang. Interaksi jual beli tersebut membuat mereka mengenal satu sama lain. Interaksi rutin di antara keduanya membuat migran pekerja menjadi kerabat (kinship) warga Long Busang sebagaimana yang dipaparkan oleh Sahlin (2012) bahwa kekerabatan melibatkan mutuality of being, artinya kekerabatan bukan berlandaskan pada ikatan darah ataupun perkawinan, tetapi kekerabatan merupakan mutualitas keberadaan yang diwarnai dengan rasa subjektif bahwa dua orang atau lebih menyatu satu sama lain. Interaksi yang intensif antara warga asli Long Busang dan migran pekerja menciptakan mutualitas di antara keduanya, sehingga warga asli Long Busang merasa terikat dengan migran pekerja. Mutualitas ini lahir melalui proses berkesinambungan, yaitu warga asli Long Busang dan warga pendatang saling mengenal, kemudian saling membantu,
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
tinggal bersama, hingga akhirnya menjadi kerabat. Keterikatan warga Long Busang dengan migran pekerja terlihat dengan adanya bantuan warga Long Busang terhadap migran pekerja yang hendak melarikan diri melalui Long Nawang7. Biasanya para migran pekerja kabur karena tidak memperoleh gaji yang layak dari majikannya. Bahkan, penulis menemukan beberapa warga Long Busang menjadikan migran pekerja sebagai anak angkat mereka. Ada juga anak-anak para migran pekerja yang diadopsi oleh warga Long Busang. Orang tua mereka bekerja di industri kayu sekitar kampong. Ibu mereka hamil saat bekerja di industri kayu, padahal berdasarkan peraturan yang berlaku migran pekerja non profesional dilarang hamil dalam masa kerja8. Keanggotaan Kewarganegaraan Malaysia Dalam upaya mengelola dan mengenali anggotanya (warga negara), Malaysia memberikan kartu identitas kependudukan yang lazim disebut IC (Identity Card) atau IC original. IC bagi warga negara Malaysia disebut dengan MyKad. Seseorang yang memiliki MyKad punya hak penuh sebagai warga negara Malaysia. Selain MyKad ada juga bentuk IC lainnya, IC ini memberikan informasi mengenai status kewarganegaraan seseorang, yaitu 1. MyPR, kartu yang diperuntukkan bagi permanent resident. Pemilik kartu ini merupakan penduduk tetap Malaysia, akan tetapi bukan warga negara Malaysia. 2. MyKas merupakan kartu yang diperuntukan untuk penduduk pribumi yang lahir di Sarawak, akan tetapi dia tidak memiliki dokumen kependudukan yang lengkap. Tanpa dokumen lengkap JPN sulit mengidentifikasi apakah orang tua pemohon lahir di Sarawak atau tidak, oleh karena itu pihak JPN hanya memberi IC hijau bagi penduduk pribumi yang dokumennya tidak lengkap. IC hijau ini hanya berlaku di Sarawak. IC hijau tidak dapat digunakan untuk mengakses hak warga negara Malaysia. IC sementara bisa ditukarkan dengan MyKad setelah lima tahun. Pemegang Mykas belum diakui sebagai warga negara. Pada praktiknya, penyelenggaraan IC di Long Busang berjalan lambat sebab warga Long Busang yang hendak mengurus IC harus datang ke JPN (Jabatan Pendaftaran Negara) yang ada di pusat pemerintahan. Tidak semua warga Long Busang memiliki uang untuk melakukan perjalanan tersebut. Pekerjaan JPN untuk membuat administrasi kependudukan di Long Busang juga tidak kunjung usai seiring dengan terus berlangsungnya perpindahan migran 7
Mayoritas pekerja legal masuk Sarawak melalui kantor imigrasi resmi Tebedu di dekat Kuching, sedangkan pekerja yang tidak memiliki dokumen masuk ke Sarawak melalui berbagai rute, salah satunya melalui perbatasan tidak resmi yaitu Long Nawang di dataran tinggi Apokayan (Lumenta 2005:6)
8
Website Resmi KBRI Kuala Lumpur, http://www.kbrikualalumpur.org/index.php/tenaga-kerja/menjadi-tenagakerja-indonesia-di-malaysia (diakses 30 November 2014; 7.35 WIB)
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
pendatang tanpa dokumen ke Long Busang. Pendatang yang datang dan berbaur dengan warga asli Long Busang membuat JPN kesulitan menentukan mana warga kampong yang memang berasal dari Long Busang dan warga yang datang belakangan. Oleh karena itu, pada tahun 20009, JPN melakukan pendisiplinan IC. Warga Long Busang yang tidak jelas asal usul keluarganya (artinya orang tuanya tidak memiliki IC atau akte kelahiran Malaysia) akan sulit memperoleh IC. Ini dilakukan JPN untuk mencegah pendatang tanpa dokumen asal Indonesia memperoleh akses terhadap IC. Prosedur membuat IC terbagi menjadi beberapa tahap, yaitu kelengkapan dokumen, pengisian formulir, dan wawancara. Selain itu, warga Long Busang yang akan membuat IC harus juga disertai dengan saksi. Saksi ini harus memiliki IC. Saksi ini yang akan menjadi penjamin bahwa seseorang benar-benar warga yang memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan Malaysia. Warga Long Busang yang mampu melewati tahap dokumen, borang, dan wawancaralah yang memperoleh IC biru atau MyKad. Warga pendatang tidak berdokumen asal Indonesia yang berhasil memanipulasi dokumen, mengisi borang, dan lolos wawancara akan memperoleh IC original. Sebaliknya warga asli Long Busang yang tidak memiliki dokumen lengkap, tidak dapat mengisi borang dengan baik, dan tidak lolos wawancara ia tidak akan mendapatkan IC. Berikut ini beberapa kondisi kepemilikan IC di Long Busang. a. IC Milik Warga Asli Long Busang Warga asli Long Busang ialah etnik Kenyah dan keturunannya yang dahulu pindah dari Betaoh di Kalimantan Utara ke Long Busang di Sarawak. Seharusnya warga asli Long Busang ini memperoleh IC original, tetapi kenyataanya sebagian warga asli Long Busang belum memiliki IC original. Contohnya Irsan, ia merupakan pemuda Long Busang berusia 20 tahun. Ayah dan Ibu Irsan merupakan keturunan Kenyah Long Busang. Irsan lahir di rumah sakit Kapit, Sarawak. Pada akte kelahirannya, tercantum nama ayahnya yang saat itu belum memiliki IC. Oleh karena itu status kewarganegaraan Irsan di akte “masih belum ditentukan”. Ayah Irsan kemudian meninggal sewaktu ia masih kecil tanpa meninggalkan dokumen identitas apapun. Sementara ibu kandungnya sudah pergi merantau. Irsan sulit membuktikan bahwa dirinya merupakan warga asli Long Busang, sehingga ia hanya memperoleh IC sementara yaitu MyKas. Ia memperoleh MyKas sejak tahun 2012. 9
Berdasarkan informasi Dave Lumenta, sebelum tahun 2000, membuat IC bukan hal yang sulit. Seseorang dapat membuat IC hanya dengan surat keterangan dari ketua kampong. Berbeda dengan sekarang, jika sejak awal tidak memiliki akte kelahiran dari Malaysia atau jika kedua orangtua pemohon tidak memiliki identitas jelas, maka akan sulit untuk proses membuat IC (lihat juga Lumenta 2008)
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Ada pula Ibu Maria, warga asli Long Busang. Ibu Maria mengenyam pendidikan hingga kelas 2 sekolah rendah (SD). Orang tua Ibu Maria sudah memiliki IC, tetapi nama IC orang tuanya dan akte kelahiran Ibu Maria beda penulisan. Ini menyebabkan Ibu Maria sulit memperoleh IC original. Pihak JPN telah menawarkan IC sementara untuk Ibu Maria, tetapi Ibu menolaknya. Menurut ibu, IC sementara harus ditukar ke Kapit pada masa tarik luput10. Jika terlambat, maka akan didenda sebesar RM 200-300. Padahal ibu tidak punya uang untuk pergi ke Kapit. Jadi, ibu menolak dan hingga kini hanya memiliki akte kelahiran.
b. IC Milik Warga Pendatang Asal Long Nawang Pak Prio yang berasal dari Long Nawang berhasil memperoleh IC original. Sekitar tahun 2000, Pak Prio datang ke Sarawak untuk bekerja di industri kayu. Pak Prio kemudian memutuskan tinggal di Long Busang. Tahun 2001 ia membuat IC untuk memudahkan bisnis gaharu yang sedang ia garap di Long Busang. IC original tersebut baru bisa Pak Prio dapatkan pada tahun 2013. Penjamin IC Pak Prio ialah orang tuanya yang sudah terlebih dahulu bekerja di Sarawak sejak Pak Prio kecil. Setelah orang tua Pak Prio memiliki IC original, barulah Pak Prio bisa memperoleh IC original. Ada juga warga pendatang asal Long Nawang yang memiliki IC sementara. Contohnya We Mira, seorang ibu asal Long Nawang yang menikah dengan pria Long Busang. Ia memperoleh IC sementara pada tahun 2008. Pada awalnya, We Mira mengurus akte kelahiran Long Busang. Ia mengaku pada JPN bahwa ia lahir di Long Busang, kemudian setelah menunggu selama 20 tahun, We Mira berhasil memperoleh akte kelahiran. Akte kelahiran tersebut digunakan oleh We Mira sebagai dokumen pelengkap untuk membuat IC. Kini We Mira sudah memiliki IC sementara selama lima tahun. We Mira sudah pergi mengurus penukaran IC sementara dengan IC original (MyKad) ke Kapit tiga bulan yang lalu. Namun, ia belum mengetahui apakah JPN mengabulkan permohonan penukaran kartu atau belum. We Mira perlu datang kembali ke JPN untuk untuk memastikan hal tersebut. Ada juga pendatang asal Long Nawang yang hanya memiliki akte kelahiran. Contohnya Bapak Ula seorang bapak asal Long Nawang yang telah menikah dengan warga asli Long Busang. Bapak merupakan lulusan SMA di Tanjung Selor. Ia pergi ke Sarawak sejak berusia 18 tahun untuk bekerja di industri kayu. Bapak Ula sudah tiga kali membuat IC, yaitu pada tahun 2004, 2009, dan 2011 saat JPN datang ke kampong. Bapak Ula menceritkan 10
Tarik luput adalah batas akhir berlakunya IC sementara
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
bahwa ia banyak memalsukan identitas saat wawancara dengan pihak JPN. Bapak Ula menyatakan bahwa ia tidak pernah mengenyam sekolah, sehingga ia tidak bisa membaca dan menulis. Ia terpaksa berbohong sebab ia tidak mungkin mengakui bahwa ia lulusan SMA Tanjung Selor. Saat ini pihak JPN hanya bersedia memberikan IC sementara untuknya. Namun, bapak menolak IC sementara itu. Bapak ingin langsung memperoleh IC original. c. Migran Pekerja Tanpa Dokumen Keberadaan industri kayu Sarawak memfasilitasi pertemuan yang lebih intensif antara migran pekerja dengan warga Long Busang. Interaksi antara warga asli Long Busang dan migran pekerja seringkali berlanjut ke jenjang perkawinan ataupun hubungan angkat anak. Contohnya Ibu Jihan, seorang migran pekerja asal Malang, Jawa Timur yang menikah dengan laki-laki Long Busang. Ibu Jihan bekerja di Kilang Jaya Tiasa Plywood (kilang penggergajian kayu/ sawmill). Ibu Jihan bertemu dengan suaminya di tempat tersebut. Ia kemudian menikah pada tahun 2007. Ibu Jihan awalnya dilengkapi dengan paspor kerja. Saat Ibu Jihan menikah, otomatis paspor kerja miliknya tidak berlaku, artinya Ibu Jihan menjadi migran tanpa dokumen. Ada juga mantan migran pekerja laki-laki yang menikah dengan perempuan Long Busang, yaitu Bapak Roni. Ia merupakan migran pekerja asal Madura. Ia sudah menikah selama 8 tahun. Bapak Roni dan istrinya bertemu di Kilang Plantation (sawit). Bapak Roni dan istrinya sudah berhenti bekerja di Kilang. Saat ini Bapak Roni mengolah kebun dan ladang. Bapak Roni juga sudah tidak memiliki paspor ataupun KTP. Kehadiran Bapak Roni di Long Busang tanpa disertai dokumen migrasi apapun. Penulis juga menemukan beberapa warga Long Busang menjadikan migran pekerja sebagai anak angkat mereka. Salah satunya Pak Joni, seorang migran pekerja asal Lombok. Bapak Joni bekerja di perkebunan sawit Sarawak tanpa memiliki dokumen keimigrasian. Pak Joni rutin pulang ke Long Busang masa libur kerja ataupun hari raya. Kegunaan IC Semua warga Long Busang ingin memiliki IC original karena dengan memilikinya warga Long Busang dapat mengakses hak-hak warga negara sepenuhnya. Berbeda dengan IC original, IC sementara (MyKas) mempunyai fungsi yang kurang signifikan bagi warga Long Busang. Dengan memiliki MyKas, warga Long Busang hanya diizinkan tinggal di Sarawak. Namun tidak dapat mengakses hak-hak warga negara. Sementara IC original (Mykad) sangat dibutuhkan karena membantu warga Long Busang memperoleh fasilitas pelayanan kesehatan, pekerjaan, asuransi pekerjaan, beasiswa pendidikan, bantuan finansial, dan juga dapat turut
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
serta berpartisipasi dalam perpolitikan negara melalui pemilu. IC memang sangat penting, namun dalam konteks tinggal di kampong, tidak punya IC pun tidak masalah. Sebab di kampong tidak akan ada polisi yang akan mengusir warga Long Busang tanpa dokumen. Namun sebagai konsekuensinya, seseorang yang tidak mempunyai IC hanya bisa tinggal di kampong dan berladang serta tidak mampu mengakses fasilitas kesejahteraan yang disediakan Negara Malaysia. Biasanya orang yang tua-tua sudah pasrah dan tidak lagi berusaha membuat IC sebab mobilitas mereka terbatas di sekitar kampong. Prosedur Resmi dan Proses Sosial Mendapatkan IC Dalam konteks Long Busang yang jauh dari institusi-institusi negara, prosedur kewarganegaraan resmi membutuhkan ongkos besar yang sulit dipenuhi oleh warga pendatang di Long Busang. Oleh karena itu, warga pendatang menggunakan prosedur tidak resmi melalui hubungan-hubungan sosial dengan aparatur Kampong Long Busang. Aparatur kampong seperti tetua kampong dan ketua kampong dapat membantu warga pendatang untuk memperoleh IC yang merupakan kartu identitas kewarganegaraan Malaysia. Bapak Donny ialah salah satu migran pendatang asal Indonesia yang mencoba menggunakan prosedur resmi. Pada awal kedatangannya, Bapak Donny menggunakan visa kunjungan yang berlaku 30 hari. Setiap 30 hari Bapak Donny harus pergi cop paspor di kantor imigrasi Tebedu-Entikong. Perjalanan pulang-pergi dari kemah pembalakan kayu (logging camp) tempat Bapak Donny bekerja ke kantor imigrasi Tebedu-Entikong membutuhkan waktu selama 2 hari 3 malam. Bapak Donny mengaku proses tersebut menghabiskan waktu, uang, dan tenaga. Setelah melalui proses panjang, bapak Donny berhasil membuat visa lawatan yang harus dibuat di Jakarta. Visa lawatan ini berlaku selama 3 bulan dan kini ia bapak Donny berhasil memperoleh cop paspor yang berlaku 1 tahun Berbeda dengan Bapak Donny, pada bulan agustus tahun 2012 Ibu Jihan mencoba membuat IC di luar jalur resmi dengan memalsukan identitas. Pada tahap pengisian formulir identitas keluarga, Ibu Jihan menyatakan bahwa ia adalah Kenyah Badeng Long Busang. Pemberian keterangan palsu tersebut di dukung oleh salah satu tetua kampung Long Busang. Tetua Kampung Long Busang tersebut ikut memberikan keterangan palsu pada pihak JPN yang menyatakan bahwa Ibu Jihan merupakan warga asli Long Busang yang dilahirkan di bidan kampong. Namun, upaya tersebut belum membuahkan hasil. Petugas JPN mengetahui identitas Ibu Jihan yang sebenarnya. Fisik Ibu Jihan yang berbeda dengan etnik Kenyah membuatnya mudah dikenali.
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Pembahasan Migdal (2004) mengemukakan konsep batas-batas (boundaries) dalam mengkaji wilayah perbatasan negara. Batas-batas (boundaries) merupakan gabungan dari pengawasan (checkpoints) dan peta mental (mental maps). Negara Malaysia dan etnik Kenyah Kampong Long Busang punya batas-batas (boundaries) saat menghadapi migran. Negara Malaysia menggunakan pengawasan aktual (actual checkpoint) berupa IC (Identity Card), paspor, PLB (Pas Lintas Batas), ataupun visa untuk membedakan mana migran legal dan ilegal atau warga negara dan bukan warga negara. Pengawasan aktual ini merupakan wujud peta mental (mental maps) yang dimiliki negara. Peta mental negara ini terepresentasi dalam peta sekolah (school maps). Pada peta sekolah (school maps) perbatasan yang ada di Pulau Borneo merupakan perbatasan teritorial warisan dari kolonial Inggris dan Belanda. Pulau Borneo terbagi menjadi menjadi 3 buah negara bangsa (nation state), yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Dalam peta sekolah (school maps) perbatasan negara hanya dipahami sebagai konsep geopolitik. Berlandaskan pada peta sekolah (school maps) migran asal Indonesia tidak diidentifikasi sebagai anggota Negara Malaysia yang disebut warga negara. Migran dari teritorial Indonesia adalah warga negara Indonesia. Warga negara Indonesia yang masuk ke teritorial Malaysia harus mematuhi prosedur keimigrasian Malaysia. Sementara itu etnik Kenyah Long Busang memiliki pemeriksaaan virtual (virtual checkpoint) dan peta mental (mental maps) yang berbeda dengan milik negara. Etnik Kenyah Long Busang memiliki pengawasan virtual (virtual checkpoints) berupa identifikasi kultural yang dipelajari melalui interaksi sosial di masa peselai. Dalam identifikasi kultural, etnik Kenyah Badeng asal Long Busang dan Kenyah Lepu’Tau asal Long Nawang terikat dalam ikatan etnik Kenyah. Sementara saat berinteraksi dengan migran pekerja, etnik Kenyah Kampong Long Busang menggunakan pengawasan virtual (virtual checkpoint) berupa penilaian sikap dan perilaku. Kenyah Kampong Long Busang senang menerima pendatang yang rajin membantu, ramah dan menghormati warga setempat. Uraian di atas menunjukan bahwa batas-batas (boundaries) yang dibentuk negara Malaysia dan etnik Kenyah Long Busang berbeda. Keanggotaan kewarganegaraan Malaysia tidak sejalan dengan keanggotaan sosial Long Busang. Negara Malaysia tidak akan menerima migran tanpa dokumen sebagai warga negara Malaysia, sedangkan Long Busang menerima dengan baik migran tidak berdokumen. Bahkan etnik Kenyah Long Busang membantu migran tidak berdokumen untuk memperoleh akses terhadap kewarganegaraan Malaysia. Etnik Kenyah Kampong Long Busang tidak menggunakan dokumen negara untuk menilai migran pendatang. Sementara Negara Malaysia menggunakan dokumen imigrasi saat berhadapan
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
dengan migran pendatang. Negara melihat migran tanpa dokumen sebagai musuh. Berbeda dengan etnik Kenyah Long Busang yang melihat migran sebagai pihak yang membutuhkan pertolongan karena mereka jauh dari rumah. Sisi lain, berdasarkan informasi dari salah satu tetua adat Kenyah di Kampong Nawang Baru, Apokayan, warga Long Busang seringkali mampir ke kampong induk di Betaoh. Mereka datang untuk sekedar menengok wilayah bekas ladang mereka dan mengambil sayur-sayuran sejenis pucuk bambu yang disebut belusut. Sayur tersebut tidak tumbuh di wilayah Kampong Long Busang. Selain itu menurut salah satu tetua Kampong Long Busang, ia dan tetua kampong lainnya telah menyampaikan pada ketua adat Apokayan untuk menjaga tanah-tanah adat etnik Kenyah Long Busang yang ada di Betaoh, sebab mereka sama sekali tidak memiliki tanah di Long Busang. Tanah yang mereka olah merupakan tanah milik pemerintah Malaysia. Jika sewaktu-waktu mereka digusur oleh pemerintah Malaysia, mereka bisa pulang kembali ke Betaoh11. Kenyataan ini menunjukan kepada kita bahwa status kewarganegaraan yang diberikan oleh Malaysia kepada etnik Kenyah Kampong Long Busang tidak mampu membuat etnik Kenyah Long Busang setia pada Negara Malaysia.
Kesimpulan Dari pembahasan di atas, terlihat warga Kampong Long Busang memiliki pemahaman tentang kewarganegaraan yang berbeda dengan negara yang melihat kewarganegaraan sebagai sebuah identitas pemisah. Warga Long Busang tetap melintas batas negara tanpa mematuhi prosedur keimigrasian. Mereka juga tidak menganggap migran pendatang asal kampong-kampong di Apokayan dan migran pekerja asal Lombok, Jawa, Sulawesi, dan Kalimantan sebagai warga asing sebagaimana pembedaan kewarganegaraan yang diciptakan negara. Hal ini disebabkan oleh konstruksi kewarganegaraan oleh negara sebagai pemisah hubungan sosial yang tidak kontekstual dengan kondisi warga Kampong Long Busang yang memiliki kedekatan sejarah, kedekatan hubungan kekerabatan lintas-batas maupun kedekatan personal dengan migranmigran asal Indonesia yang terbentuk oleh interaksi sosial. Bagi warga Kampong Long 11
Kampong-kampong etnik Dayak di Sarawak memiliki tanah adat yang diakui oleh Undang-Undang Sarawak. Tanah adat ini disebut Tanah Adat Bumi Putera (Native Customary Land/NCL). Kolonial Inggris yang pernah berkuasa di Sarawak telah membukukan batas-batas tanah adat Bumi putera (NCL) dengan membuat peta kawasan tanah tersebut. Long Busang sebagai kampong yang pindah pada tahun 1966-1969 tidak memiliki NCL yang dibuat pada masa kolonial Inggris (lihat Colchester (1993) dalam Pirates, Squatters and Poachers: the political ecology of dispossession of the native people of Sarawak).
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
Busang, kewarganegaraan hanya dimaknai sebagai formalitas untuk mengakses program kesejahteraan dan perlindungan dari negara.
Saran Hubungan antara etnik Kenyah Long Busang dengan migran asal Indonesia tidak mungkin terbendung. Pembauran keduanya tidak dapat dianalisis sekedar persoalan legalitas kewarganegaraan, namun menunjukkan bahwa upaya mempertahankan interaksi sosial jauh lebih penting bagi mereka daripada kepentingan negara melalui berbagai aturan kependudukan atau keimigrasian yang berusaha membedakan, dan membatasi interaksi, antara warga negara Malaysia di Long Busang dari warga negara asing. Kewarganegaraan juga tidak bisa menjadi indikator dalam menilai nasionalisme seseorang sebagaimana studistudi
selama
ini
yang
selalu
mengkaitkan
kewarganegaraan
dan
nasionalisme.
Kewarganegaraan bagi masyarakat di perbatasan lebih merupakan strategi untuk berinteraksi dengan negara. Kewarganegaran menjadi formalitas untuk mengakses berbagai pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara Daftar Referensi Anderson, Benedict. 1991 Imagined Communities Reflections on the Origin and Spread of Nationalism. London: Verso. B, Shamsul.A. 2001 ‘A History of an Identity, an Identity of a History: The Idea and Practice of Malayness in Malaysia Reconsidered, dalam Journal of Southeast Asian Studies, pp. 355-366. Colhester, Marcus. 1993 ‘Pirates, Squatters and Poachers: The Political Ecology of Dispossession of The Native People of Sarawak’. Chadlington, dalam Global Ecology and Biogeography Letters, Vol 3. No.4/6, pp. 164-168. Eghenter, Cristina. 2001 ‘Towards a Casual History of Trade Scenario in the Interior of East Kalimantan, Indonesia 1900-1999’, dalam Bidjragen tot de Taal-, Land-en Volkenkunde 157, No.4, pp.739-769. Halfmann, Jost. 2000 ’Welfare State and Territory’, dalam Michael Bommes & Andrew Geddes (peny.) Immigration and Wefare Challenging the Borders of The Welfare State. New York: Routledge. Ishikawa, Noboru 2008 ‘Centering Peripheries: Flows and Interface in Southeast Asia’. Kyoto Working Papers. No 10. Center for Southeast Asian Studies Ishikawa, Noboru. 2010 Between Frontiers: Nation and Identity in a Southeast Asian Borderland. Singapore: NUS Press. Lumenta, Dave.
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
2005
‘Towards Transnational Dayak Identities? Changing Interconnectedness, Identities and Nation-State: A Case Study On Iban-Kenyah Relations in Sarawak, East Malaysia’, dalam Economic Prospect Cultural Encounters, and Political Decisions: Scenes in a Moving Asia (East and Southeast). The Work of the 2002/2003 API Fellows.
Lumenta, Dave. 2008 The Making of a Transnational Continuum: State Partitions and Mobility of the Apokayan Kenyah in Central Borneo, 1900-2007. Tesis Ph.D. Tidak diterbitkan. Japan: Kyoto University. Migdal, Joel. S. 2004 ‘Mental Maps and Virtual Checkpoints: Struggle to Construct and Maintain State and Social Boundaries’, dalam Boundaries and Belonging: State and Societies in the Struggle to Shape Identities and Local Practises. Cambridge: Cambridge University Press, pp. .3-23. Neveu, Catherine. 2008 ‘Introduction Citizenship’, dalam Canadian Anthropology Society, Vol. 50, No. 2. Purwaningsih. 2004 ‘Sebaran Ekologi Jenis-Jenis Dipterocarpaceae di Indonesia’, dalam Biodiversitas, Vol 5, No. 2, pp 8995. Riwanto Tirtosudarmo. 2002 ‘Kalimantan-Timur dan Sabah: Dinamika Mobilitas Penduduk di Daerah Perbatasan IndonesiaMalaysia’, dalam Dinamika Sosial Budaya daerah Perbatasan Kalimantan-Timur dan Sabah. Jakarta: PMB-LIPI, pp. 10-47. Sahlins, Marshall. 2012 What Kinship Is—And Is Not. Chicago: University of Chicago Press. Sudikan, Setya Yuwana. 2001 ‘Ragam Metode Pengumpulan Data, Mengulas Kembali; Pengamatan, Wawancara, Analisis Life Historis, Analisis Folklor’, dalam Burhan Bungin (peny.) Metode Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, pp. 56-65. Referensi lain Dokumen Negara Undang-Undang Malaysia Perlembagaan Persekutuan Antara News “Warga Perbatasan Pindah ke Malaysia karena Ekonomi,” (diakses dari http://www.antaranews.com/berita/464085/warga-perbatasan-pindah-ke-malaysia-karena-ekonomi, pada 13 November 2014) Jabatan Pendaftaran Negara “Pengenalan kepada MyKad,” (diakses dari http://www.jpn.gov.my/informasi/pengenalan-kepadamykad/ pada 12 Oktober 2013) KBRI Kuala Lumpur “Bagaimana Menjadi Tenaga Kerja Indonesia (diakses dari http://www.kbrikualalumpur.org/index.php/tenaga-kerja/menjadi-tenaga-kerja-indonesia-di-malaysia, pada 30 November 2014) Newsliputan6.com
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014
“Menteri Marwan Tinjau 10 Desa yang Niat Nyebrang ke Malaysia,” (diakses dari http://news.liputan6.com/read/2132413/menteri-marwan-tinjau-10-desa-yang-niat-nyebrang-kemalaysia, pada 13 November 2014)
Pemaknaan kewarganegaraan..., Feni Apriani, FISIP UI, 2014