perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PEMAKAIAN BAHASA DALAM RUBRIK CELATHU BUTET PADA SURAT KABAR SUARA MERDEKA (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh DEDI ROHMADI C0204015
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011 i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama : Dedi Rohmadi NIM : C0204015 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari sanksi tersebut.
Surakarta, 26 Januari 2011 Yang membuat pernyataan,
Dedi Rohmadi
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Setiap orang mencoba mencapai suatu hal yang besar, tanpa menyadari, bahwa hidup itu adalah kumpulan dari hal-hal kecil (Frank Clark)
Mendapatkan yang Anda kejar adalah kesuksesan, tetapi mencintai perjalanan selama Anda berusaha mendapatkannya itulah kebahagiaan (Bertha Damon)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN Kuselesaikan skripsi ini untuk kupersembahkan: Kepada bapak dan ibu terkasih yang selalu berdoa dalam setiap langkahku. Pengorbananmu adalah detak nadi kehidupanku. Adikku Nining dan tante Atun untuk semangat dan dorongan selama ini. Nadia, setiap detik waktu yang dijalani adalah keindahan.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi berjudul Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Peneliti sangat berterima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan dorongan yang telah diberikan oleh semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu, peneliti dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada : 1. Drs. Soedarno, M. A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada peneliti untuk menyusun skripsi. 2. Drs. Ahmad Taufiq, M. Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kepercayaan dan kemudahan kepada peneliti selama penyusunan skripsi. 3. Drs. Wiranta, M.S., selaku pembimbing akademik yang selalu memberi semangat, motivasi, dan nasihat kepada peneliti selama menimba ilmu di Fakultas Sastra dan Seni Rupa. 4. Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan saran dalam penyusunan skripsi ini. commitdan to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
5. Segenap dosen Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada peneliti. 6. Staf
perpustakaan
Universitas
Sebelas
Maret
Surakarta
dan
perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan kelonggaran kepada peneliti untuk membaca dan meminjam bukubuku referensi yang diperlukan dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Ibu dan Bapak yang telah memberi kasih sayang, doa restu, dan keleluasaan peneliti dalam menentukan pilihan. 8. Dhamang, Achmadi, Ardi, Andri, Adit, Rulis, Deni, Bayu, dan Riza terima kasih telah memberikan warna dan kenangan terindah, serta dorongan dan semangat bagi peneliti. 9. Kawan-kawan Sastra Indonesia angkatan 2004 terima kasih atas indahnya kebersamaan yang telah dijalani selama ini. 10. Semua pihak yang telah membantu peneliti selama penyusunan skripsi yang tidak mungkin disebutkan satu per satu oleh peneliti dalam kesempatan ini. Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat berbagai kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi penyempurnaan karya ini.
Surakarta,
commit to user
viii
Januari 2011
Peneliti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………………
i
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………………...
ii
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………
iii
LEMBAR PERNYATAAN ……………………………………………
iv
MOTTO …………………………………………………………….…..
v
PERSEMBAHAN ……………………………………………………..
vi
KATA PENGANTAR …………………………………………………
vii
DAFTAR ISI …………………………………………………………..
ix
DAFTAR SINGKATAN........................................................................
xii
DAFTAR TANDA..................................................................................
xiii
ABSTRAK ……………………………………………………………..
xiv
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………..
1
B. Pembatasan Masalah …………………………………………...
6
C. Perumusan Masalah …………………………………………....
6
D. Tujuan Penelitian ……………………………………………....
7
E. Manfaat Penelitian ……………………………………………..
7
F. Sistematika Penulisan ………………………………………….
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR..................
9
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu ..…………………….................
9
B. Landasan Teori…………………………….……………..….....
11
1. Fungsi Bahasa......................................................................... commit to user
11
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Sosiolinguistik….....................................................................
13
3. Variasi Bahasa…………........................................................
14
4. Ragam Bahasa Formal dan Informal……………………….
23
5. Interferensi….........................................................................
25
6. Kode, Alih Kode dan Campur Kode....................................
27
7. Penghilangan dan Penambahan Fonem…………………….
34
8. Interjeksi……………………………………………………
34
C. Kerangka Pikir............................................................................
37
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................
39
A. Jenis Penelitian............................................................................
39
B. Data dan Sumber Data................................................................
39
C. Populasi dan Sampel..................................................................
40
D. Teknik Pengumpulan Data..........................................................
41
E. Teknik Klasifikasi Data …………………………………......…
43
F. Metode Analisis Data..................................................................
43
G. Penyajian Analisis Data...............................................................
45
BAB IV ANALISIS DATA....................................................................
46
A. Pemanfaatan Ragam Informal dalam RCB pada Surat Kabar SM…………………………………………..
46
1. Campur Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM ………
47
2. Alih Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM …………..
64
3. Interferensi dalam RCB pada Surat Kabar SM ………….
66
4. Pelesapan dan Penambahan Fonem ………………..……
69
5. Interjeksi ………………………………………………… commit to user
72
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Pemakaian Partikel Dialek Jakarta ……………………….
77
B. Faktor Sosial yang Mempengaruhi Pemakaian Bahasa dalam RCB pada Surat Kabar SM ….………………………………...
80
BAB V PENUTUP.................................................................................
87
A. Simpulan ………………………………………….……………
87
B. Saran …………………………………………………………..
88
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………
89
LAMPIRAN DATA LAMPIRAN BIOGRAFI/PROFIL PENULIS
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR SINGKATAN AK
: Alih Kode
CK
: Campur Kode
Interf : Interferensi Interj : Interjeksi PDJ
: Partikel Dialek Jakarta
PPF
: Pelesapan dan Penambahan Fonem
RCB : Rubrik Celathu Butet SM
: Suara Merdeka
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TANDA (….)
= terjemahan
/... /
= satuan di dalamnya adalah fonem
[...]
= satuan fonetis
(-)
= tanda hubung
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Dedi Rohmadi. C0204015. 2010. Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Perumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu : (1) Bagaimana bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM ?(2) Faktor sosial apa saja yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM? Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mendeskripsikan bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM. (2) Menjelaskan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Bentuk penelitiannya adalah deskriptif. Data dalam penelitian ini berupa bentuk-bentuk pemakaian bahasa, yaitu kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang di dalamnya mengandung atau menggunakan alih kode, campur kode, interferensi, interjeksi, yang terdapat dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM mulai dari edisi bulan Februari sampai dengan September 2009. Teknik pengambilan data berupa teknik simak, teknik catat, dan teknik pustaka. Berdasarkan analisis maka dapat disimpulkan bahwa pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM ditemukan bentuk-bentuk pemanfaatan ragam informal yang ditandai dengan adanya pemakaian campur kode, alih kode, interferensi, adanya pelesapan dan penambahan fonem, pemanfaatan bentukbentuk interjeksi serta pemakaian partikel dialek Jakarta. (1) Campur kode yang terdapat dalam RCB meliputi pemakaian unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode yang bersifat ke dalam (inner code mixing), dan pemakaian unsur bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode yang bersifat ke luar (outer code mixing), (2)peristiwa alih kode dalam RCB didominasi oleh alih kode yang bersifat ke dalam atau alih kode intern, sedangkan (3) interferensi yang terjadi di dominasi oleh interferensi pada tataran kata atau interferensi morfologi. (4) Pelesapan fonem yang terdapat dalam RCB meliputi pelesapan konsonan di awal kata dan pelesapan suku kata. (5) Interjeksi digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur seperti untuk menyatakan keheranan, seruan atau panggilan minta perhatian, kekecewaan, kekagetan, dan sebagainya. (6) Pemakaian partikel dialek Jakarta didominasi oleh kata-kata sih, dong, dan deh. Kedua, faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM yaitu : (1) penutur (speaker) dan mitra tutur (hearer, receiver), (2) tempat pembicaraan, dan (3) suasana pembicaraan (situation scene).
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Keberadaan bahasa tidak bisa dilepaskan dengan kehidupan manusia. Dimiliki dan digunakannya bahasa merupakan ciri khas yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain. Bahasa digunakan oleh manusia untuk berinteraksi dengan manusia lain guna menjalin kerja sama dan memecahkan atau menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan yang mereka hadapi. Bahasa merupakan sarana utama yang digunakan manusia untuk mengungkapkan (dan tentu memahami) pikiran dan perasaan sehingga komunikasi dapat berjalan dengan baik (Sarwiji Suwandi, 2008:97) Beragamnya
pemakaian
bahasa
secara
nyata
menimbulkan
keanekaragaman karakteristik kebahasaan. Pemanfaatan potensi bahasa sebagai alat komunikasi dapat dilihat dari dunia pendidikan, pemerintahan, media massa elektronik, media massa cetak, dan hampir semua ranah kehidupan membutuhkan bahasa sebagai sarana untuk menyampaikan informasi. Jadi bahasa memiliki peran dan fungsi yang strategis dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana pendapat Harimurti Kridalaksana yang menyatakan bahwa bahasa adalah “ sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri” (2001:21). Salah satu bentuk pemakaian bahasa tulis dalam komunikasi adalah seperti yang ada dalam media massa cetak, dalam hal ini berupa surat kabar. Surat kabar sebagai salah satu media massa cetak mempunyai fungsi untuk commit toPada user saat penulis menyampaikan isi menyampaikan berita kepada pembaca. 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
pikiran tersebut terjadilah pemindahan informasi yang efisien. Jadi dalam hal ini, yang dipentingkan adalah pemakaian bahasa yang berorientasi kepada pembaca atau penerima dalam menangkap informasi secara benar. Surat kabar dalam menyampaikan informasi menggunakan media pengungkapan berupa bahasa. Adanya berbagai macam bentuk pemakaian bahasa yang merupakan identitas penutur (penulis dalam bahasa tulis) atau kelompok masyarakat serta adanya bermacam gaya dalam konteks sosial seperti itu menunjukkan bahwa ada semacam korelasi antara kelas atau status sosial penulis dengan cara-cara pemakaian atau pemilihan bahasa. Ciri-ciri khusus tuturan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dapat dijadikan indikator untuk menunjukkan kelas atau status sosial mereka atau penulis di dalam masyarakat. Di samping itu, ketepatan pemilihan kata atau variasi bahasa dalam tuturannya dapat dijadikan petunjuk sejauh mana seorang penutur atau penulis menguasai bahasa yang sedang dipergunakannya. Setiap penutur pasti mempunyai sifat-sifat khusus yang tidak dipunyai oleh penutur lain dan membedakan dirinya dengan penutur lain. Sifat-sifat khusus ini ada yang sifatnya fisis-fisiologis dan ada pula yang sifatnya psikis-mentalistis. Perbedaan suara yang disebabkan karena perbedaan organ-organ bicara penuturnya adalah fisis-fisiologis, sedangkan perbedaan gaya adalah psikismentalistis. Dalam bahasa lisan sifat khusus fisis-fisiologis ini dapat kita lihat dengan mendengar suara dari tuturan-tuturan si penutur. Perbedaan-perbedaan organ ucap manusia juga menyebabkan artikulasi yang berbeda antara penutur satu dengan yang lain. Di samping itu, setiap penutur memiliki “warna suara” yang berbeda atau berlainan dengan penutur lain. Selain sifaf-sifat khusus yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
merupakan gejala fisiologis, perbedaan tuturan dapat kita kenal dengan memperhatikan gaya bahasanya, pilihan katanya, struktur kalimatnya, ungkapanungkapan yang sering dipakainya dan sebagainya yang merupakan gejala psikismentalistis. Paduan antara sifat-sifat khusus yang demikian itu secara keseluruhan merupakan ciri-ciri khas bahasa seseorang yang membedakan dia (penutur dalam bahasa lisan dan penulis dalam bahasa tulis) dengan orang lain (Suwito, 1992:7) Perbedaan-perbedaan pemakaian bahasa juga terjadi dalam penulisan artikel pada surat kabar. Seperti dalam penulisan kolom atau rubrik “Celathu Butet” yang dimuat dalam surat kabar Suara Merdeka. Rubrik “Celathu Butet” (selanjutnya akan disingkat RCB) adalah sebuah rubrik yang terdapat dalam surat kabar Suara Merdeka (selanjutnya disingkat SM) yang terbit setiap hari Minggu. Seperti namanya, RCB tersebut ditulis oleh budayawan dan aktor Butet Kertaradjasa. Rubrik ini terletak pada halaman pertama harian tersebut, berada pada samping kolom berita utama, di dalamnya terdapat judul dan karikatur wajah si penulis, dengan latar halaman berwarna biru. Jika dilihat dari jenisnya, maka rubrik ini termasuk dalam rubrik opini. Di dalamnya berisi opini serta pandangan penulisnya mengenai masalah-masalah serta gejala-gejala sosial, peristiwaperistiwa yang sedang hangat ,atau hal-hal yang menjadi topik pembicaraan saat itu. Rubrik ini menurut peneliti sangat menarik untuk dikaji menjadi sebuah penelitian tentang bagaimana bentuk-bentuk pemakaian bahasanya. Sebagai sebuah rubrik opini dalam surat kabar, rubrik ini mempunyai gaya penulisan yang membedakannya dengan artikel-artikel pada harian tersebut atau rubrik-rubrik sejenis pada surat kabar lainnya, baik itu perbedaan yang meliputi gaya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
bahasanya, pilihan katanya, struktur kalimatnya, dan ungkapan-ungkapannya. RCB banyak menggunakan ragam bahasa yang bersifat kedaerahan atau dialek, juga penggunaan kata serapan dari bahasa asing untuk mengemukakan sebuah pendapat atau opini. Mengingat latar belakang penulis yang berlatar belakang budaya Jawa, maka tulisan dalam rubrik ini sangat kental dengan dialek-dialek bahasa Jawa, di samping ada juga pemakaian dialek Betawi dan pemakaian bahasa asing. Dalam bahasa lisan, struktur kalimat dan pilihan katanya jelas sangat tidak cermat hal tersebut tentu berbeda dengan bentuk atau ragam tulis, sebab bahasa tulis memiliki aturan-aturan atau kaidah penulisan yang tidak dapat dilanggar, tetapi tampaknya aturan-aturan tersebut tidak berlaku dalam penulisan RCB ini. Bila dilihat, ragam lisan yang disalin ke dalam bentuk tulis ini tidak mendapat perbaikan-perbaikan dan memang tidak memperhatikan kaidah atau aturan penulisan yang baik dan benar. Struktur kalimat dan pilihan katanya jelas tidak mendapat perbaikan dan tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku atau ejaan yang disempurnakan. Akan tetapi, justru hal tersebut yang membuat rubrik ini menarik dan berbeda dengan artikel-artikel pada harian tersebut atau rubrik-rubrik sejenis pada surat kabar lainnya. Bahasa yang dipakai oleh penulis menjadi ringan untuk dicerna atau dipahami maksudnya oleh para pembaca yang berasal dari berbagai kalangan profesi, pendidikan, jabatan dan berbagai macam latar belakang yang berbeda-beda. Kekhasan pemakaian bahasa dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM ini sangat menarik untuk diteliti. Penulis rubrik ini mencoba untuk commit to userkritik tentang fenomena-fenomena menuangkan gagasan-gagasan, opini, maupun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
dan gejala sosial tentang keadaan lingkungan di sekitarnya, baik itu tentang kehidupan sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan ,dan sebagainya ke dalam sebuah bahasa yang khas atau berbeda dibandingkan dengan rubrik atau tulisan lain yang dimuat dalam media yang sama, yaitu surat kabar Suara Merdeka atau bahkan dengan rubrik-rubrik sejenis yang ditulis pada surat kabar yang berbeda. Topik-topik yang dibahas dalam rubrik ini yang terlihat berat untuk diungkapkan, tetapi oleh penulis terkesan menjadi ringan untuk diungkap karena penulis mengemasnya sedemikian rupa agar lebih menarik, hal-hal inilah yang menjadi karakter khas yang menjadi ciri kebahasaan yang digunakan oleh Butet Kertaradjasa dalam RCB. Diksi atau pilihan kata yang dipakai oleh penulis terkesan lebih santai atau tidak formal sehingga mudah untuk dipahami. Pemakaian ejaan-ejaan serta kata-kata tidak baku yang tentunya tidak sesuai dengan kaidah penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar serta penggunaan karakter kebahasaan yang banyak menggunakan ragam bahasa yang bersifat kedaerahan atau dialek, juga penggunaan kata serapan dari bahasa asing untuk mengemukakan sebuah pendapat atau opini juga merupakan hal yang menarik untuk dikaji. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti ingin mengambil kajian tentang pemanfaatan ragam informal yang terdapat dalam RCB yang terbit dalam surat kabar SM. Kajian tersebut mengenai pemakaian bahasa yang digunakan dalam sebuah rubrik pada surat kabar yang dilihat dari pendekatan sosiolinguistik. Pengetahuan dari sosiolinguistik ini dapat dimanfaatkan dalam berkomunikasi atau berinteraksi. Sosiolinguistik akan memberikan pedoman dalam berkomunikasi dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
bahasa apa yang harus digunakan ketika berbicara dengan orang lain atau berinteraksi dengan pembaca. Faktor-faktor inilah yang mendasari peneliti untuk mengambil judul penelitian Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka: Suatu Tinjauan Sosiolinguistik.
B. Pembatasan Masalah Untuk membatasi permasalahan dan untuk mengarahkan penelitian ini agar lebih mendalam dan terarah sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka sangat diperlukan adanya pembatasan masalah. Penelitian ini dibatasi pada pemakaian ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM yang diterbitkan setiap hari Minggu edisi bulan Februari sampai dengan September 2009.
C. Perumusan Masalah Agar dalam pembatasan arah dan tujuan penelitian ini jelas, maka diperlukan suatu perumusan masalah. Artinya masalah yang hendak diteliti perlu diidentifikasi secara lebih terinci dan dirumuskan dalam pernyataan-pernyataan yang operasional. Yaitu pernyataan-pernyataan yang mengarahkan, sekaligus membatasi ke perumusan masalah (Edi Subroto, 1992:39). Dalam penelitian ini peneliti merumuskan masalah yang akan dikaji sebagai berikut. 1. Bagaimana bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM? 2. Faktor sosial apa saja yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM?
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
D. Tujuan Penelitian Penelitian yang ilmiah harus mempunyai tujuan yang jelas mengingat penelitian harus mempunyai arah sasaran yang jelas dan tepat. Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Mendeskripsikan bentuk pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM. 2. Menjelaskan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa pada RCB pada surat kabar SM.
E. Manfaat Penelitian Setiap penelitian pada hakikatnya diharapkan memiliki manfaat, baik secara praktis maupun secara teoretis. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Edi Subroto bahwa “...di samping memberikan sumbangan ke arah pengembangan ilmu, juga hendaknya ikut memberikan pemecahan masalah yang bersifat praktis....” (Edi Subroto, 1992:91). Adapun manfaat yang dapat dipetik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Manfaat teoretis Penelitian
ini
diharapkan
mampu
memperluas
wawasan
kebahasaan, khususnya linguistik, dalam hal ini adalah kebahasaan dalam lingkup sosiolinguistik khususnya mengenai pemakaian bahasa dalam sebuah rubrik pada sebuah surat kabar. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan tambahan pengetahuan bagi pembaca maupun peneliti terhadap commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
pemakaian bahasa dalam sebuah rubrik pada surat kabar. Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu peneliti maupun pembaca khususnya dalam hal memahami bentuk pemakaian bahasa yang terdapat pada sebuah rubrik pada surat kabar.
F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penguraian dalam suatu penelitian maka diperlukan sistematika penulisan. Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab yang di dalamnya memuat permasalahaan yang tetap merupakan satu kesatuan pikiran yang saling berkaitan. Adapun sistematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Bab pertama memuat pendahuluan, yang di dalamnya menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua merupakan kajian pustaka, bab ini membahas tentang beberapa teori yang berhubungan dengan masalah yang akan dikaji. Teori-teori tersebut digunakan sebagai landasan dalam penganalisisan data. Bab ketiga berupa metode penelitian, bab ini berisi penjelasan mengenai jenis penelitian, sumber data, populasi, sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Bab keempat merupakan analisis data, bab ini menguraikan analisis terhadap data-data yang menjadi objek penelitian. Bab kelima merupakan penutup dari semua uraian bab-bab sebelumnya commit to user yang berisi tentang simpulan dan saran.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Penelitian Terdahulu Beberapa studi terdahulu yang relevan telah dilakukan oleh beberapa peneliti di antaranya adalah Septi Nur Hanani, dan Yovi Ariani W.S. Penelitian yang pernah dilakukan tersebut antara lain sebagai berikut: Septi Nur Hanani (2005) dalam skripsi yang berjudul Rubrik “Sungguhsungguh Terjadi” dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik), mendeskripsikan analisisnya sebagai berikut: (1) karakter pemakaian bahasa dalam rubrik SST meliputi pemakaian ragam informal, ragam percakapan, singkatan dan akronim, pemanfaatan bentuk slang, pemanfaatan gaya bahasa seperti hiperbola, repetisi, personifikasi, elipsis, pemakaian idiom, campur kode, alih kode, serta interferensi, (2) aspek humor dapat diketahui dengan beberapa teknik antara lain teknik keambiguan, teknik pertentangan makna, teknik logika yang terdiri atas penyimpangan logika angka, penyimpangan logika bahasa, penyimpangan logika makna, dan teknik membandingkan yang tidak logis, (3) fungsi rubrik SST sebagai karya jurnalistik meliputi sarana menghibur, sarana menyampaikan informasi, sarana mendidik, sarana mempengaruhi masyarakat sebagai pembaca. Skripsi Yovi Ariani W.S (2006) yang berjudul “Pemakaian Bahasa Indonesia pada Kriing Solopos: Pendekatan Sosio-pragmatik, mendeskripsikan adanya pemanfaatan ragam informal dalam rubrik Kriing Solopos menyebabkan terjadinya campur kode, alih kode, dan interferensi/ penyimpangan dalam suatu commit to user tuturan. Adanya tindak tutur, yaitu tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, 9
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
komisif, dan deklaratif. Juga pembahasan tentang maksud yang terkandung di balik tuturan dalam rubrik Kriing Solopos, adalah untuk memohon, menyuruh, menyarankan, menyindir, dan mengkritik yang disampaikan dengan kalimat berita. Kalimat tanya dapat digunakan untuk menyuruh melakukan sesuatu dan menyindir. Maksud menyarankan juga dapat disampaikan dengan kalimat perintah. Maksud yang tersurat dilakukan oleh penutur untuk lebih memperhalus tuturannya. Berbeda dengan penelitian terdahulu, peneliti mengambil sebuah penelitian yang bertajuk “Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada surat kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik). Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana bentuk-bentuk pemakaian bahasa dalam sebuah rubrik yang ditulis oleh seorang aktor dan budayawan Butet Kertaradjasa yaitu RCB yang dimuat pada surat kabar SM dengan menggunakan tinjauan sosiolinguistik. Data yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah semua bentuk-bentuk pemakaian bahasa yang terdapat dalam RCB yang dimuat dalam surat kabar SM, yaitu kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang di dalamnya mengandung atau menggunakan alih kode, campur kode, interferensi, sedangkan sumber data yang dipergunakan oleh peneliti adalah sumber data tertulis pada RCB yang dimuat dalam surat kabar SM yang terbit pada hari Minggu.
commit to user
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Landasan Teori 1. Fungsi Bahasa Bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau alat untuk berkomunikasi, dalam arti, alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep, atau juga perasaan. Bagi sosiolinguistik konsep bahwa bahasa adalah alat atau berfungsi untuk menyampaikan pikiran dianggap terlalu sempit. Oleh karena itu, fungsifungsi bahasa itu, antara lain dapat dilihat dari sudut penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat pembicaraan. a. Dilihat dari sudut penutur, maka bahasa itu berfungsi personal atau pribadi. Maksudnya si penutur menyatakan sikap terhadap apa yang dituturkannya. Si penutur bukan hanya mengungkapkan emosi lewat bahasa, tetapi juga memperlihatkan emosi itu sewaktu menyampaikan tuturannya. Dalam hal ini si pendengar juga dapat menduga apakah si penutur sedih, marah atau gembira. b. Dilihat dari segi pendengar atau lawan bicara, maka bahasa itu berfungsi direktif yaitu mengatur tingkah laku pendengar. Dalam hal ini bahasa itu tidak hanya membuat si pendengar melakukan sesuatu, tetapi melakukan kegiatan yang sesuai dengan yang diinginkan oleh si pembicara. Hal ini dapat dilakukan si penutur dengan menggunakan kalimat-kalimat yang menyatakan perintah, himbauan, permintaan, maupun rayuan. c. Dilihat dai segi kontak antara penutur dan pendengar maka bahasa disini berfungsi fatik, yaitu menjalin hubungan, memelihara, memperlihatkan perasaan bersahabat, atau solidaritas social. Ungkapan-ungkapan yang digunakan biasanya sudahcommit berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa, to user
perpustakaan.uns.ac.id
12 digilib.uns.ac.id
pamit, membicarakan cuaca, atau menyakan keluarga. Oleh karena itu, ungkapan-ungkapannya tidak dapat diartikan secara harfiah. Misalnya “Bagaimana anak-anak?”, “Mau kemana nih?”, dan sebagainya d. Dilihat dari segi topik ujaran, maka bahasa itu berfungsi referensial. Dalam hal ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk membicarakan objek atau peristiwa yang ada di sekeliling penutur atau yang ada dalam budaya pada umumnya. Fungsi referensial inilah yang melahirkan paham tradisional bahwa bahasa itu adalah alat untuk menyatakan pikiran, untuk menyatakan bagaimana pendapat si penutur tentang dunia di sekelilingnya. Ungkapan seperti “Ibu dosen itu cantik sekali” adalah contoh penggunaan bahasa yang berfungsi referensial. e. Dilihat dari kode yang digunakan, maka bahasa itu berfungsi metalingual atau metalinguistik, yakni bahasa itu digunakan untuk membicarakan bahasa itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dalam proses pembelajaran bahasa di mana kaidah-kaidah atau aturan-aturan bahasa dijelaskan dengan bahasa, juga dalam kamus monolingual, bahasa itu digunakan untuk menjelaskan arti bahasa (dalam kata) itu sendiri. f. Dilihat dari segi amanat (message) yang akan disampaikan, maka bahasa itu berfungsi imaginative. Sesungguhnya, bahasa itu dapat digunakan untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, baik yang sebenarnya, maupun yang berbentuk imajinasi (khayalan atau rekaan) saja. Fungsi imajinatif ini biasanya berupa karya seni (puisi, cerita, dongeng, lelucon) yang digunakan untuk kesenangan penutur, maupun para pendengarnya (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:14-17). commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Sosiolinguistik Sesuai dengan namanya, sosiolinguistik mengkaji bahasa dengan memperhitungkan hubungan antara bahasa dengan masyarakat, khususnya masyarakat
penutur
bahasa
itu.
Jadi
jelas
bahwa
sosiolinguistik
mempertimbangkan keterkaitan antara dua hal, yakni dengan linguistik untuk segi kebahasaannya dan dengan sosiologi untuk segi kemayarakatannya. Batasan pengertian sosiolinguistik yang menekankan studi bahasa dalam hubungan dengan masyarakat dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya adalah pendapat Appel (dalam Suwito, 1991:3), “ Sosiolinguistik memandang bahasa, pertama-tama sebagai sistem sosial dan komunikasi, serta merupakan bagian dari masyarakat dan kebudayaan tertentu, sehingga pemakaian bahasa (language use) sudah sebagai bentuk interaksi dalam situasi yang konkret”. Dalam Kamus Linguistik dijelaskan pengertian sosiolinguistik adalah “cabang ilmu linguistik yang mempelajari hubungan dan saling pengaruh antara perilaku bahasa dengan perilaku sosial” (Harimurti Kridalaksana, 2001:201). Pendapat yang lain mengatakan bahwa sosiolinguistik “merupakan cabang dari ilmu linguistik yang mengkaji tentang pemakaian bahasa di lingkungan masyarakat atau dapat juga disebut sebagai ilmu yang mempelajari aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial)” (P.W.J Nababan, 1993:2). Mansoer Pateda mendefinisikan sosiolinguistik sebagai “suatu cabang ilmu linguistik yang mempelajari bahasa dan pemakaian bahasa dalam konteks commit to user Kajian sosiolinguistik selalu sosial dan budaya” (Mansoer Pateda, 1987:3).
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersifat kontekstual, artinya di dalam analisisnya konteks pemakaian bahasa dalam masyarakat selalu diperhitungkan. Sosiolinguistik sendiri didefinisikan sebagai “subdisiplin linguistik yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan faktor-faktor kemasyarakatan atau faktor sosial” (Soeparno, 2002:25). Fishman (dalam Suwito, 1991:5) melihat sosiolinguistik dari sudut adanya hubungan antara variasi bahasa, fungsi bahasa dan pemakaian bahasa serta adanya perubahan-perubahan sebagai akibat terjadinya interaksi antara ketiganya, dan memberikan batasan sosiolingusitik sebagai studi tentang sifat-sifat khusus (karakteristik) variasi bahasa, sifat-sifat khusus fungsi bahasa dan sifat-sifat khusus pemakaian bahasa dalam jalinan interaksi serta perubahan-perubahan antara ketiganya dalam masyarakat tutur. Baik dalam memahami bentuk tutur, arti dan perubahan dalam bahasa segi konteks pemakaian selalu diperhitungkan.
3. Variasi Bahasa Para ahli linguistik cenderung menganggap bahasa sebagai sesuatu yang tidak bervariasi. Jika terdapat variasi dalam bahasa , variasi-variasi itu dianggap tidak penting dan bila dibicarakan hanya ditinjau sepintas saja. Sebaliknya, bagi ahli sosiolinguistik variasi-variasi bahasa itu penting sekali. Variasi-variasi yang terdapat dalam bahasa manapun merupakan salah satu ciri dari kehidupan sebuah bahasa dalam masyarakat pemakai bahasa itu (Khaidir Anwar, 1990:20). Mansoer Pateda (1991:84) beranggapan bahwa “Faktor dominan yang lain yang tentunya sangat mempengaruhi suatu komunikasi adalah adanya variasivariasi di dalam suatu bahasa”. Mansoer Pateda membagi variasi bahasa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15 digilib.uns.ac.id
berdasarkan a) tempat, b) waktu, c) pemakai, d) pemakaiannya, e) situasi dan f) status”. Variasi bahasa jika ditinjau dari segi tempat akan menghasilkan apa yang disebut dengan dialek regional, yang dilihat dari segi waktu akan menghasilkan apa yang disebut dengan dialek temporal, yang dilihat dari segi pemakai menghasilkan apa yang disebut idiolek, berdasarkan kelamin, monolingual, status sosial dan yang berdasarkan umur. Variasi dari segi pemakaiannya menghasilkan apa yang disebut kreol, bahasa lisan, pijin, register, repertories, reputasi, standar bahasa tulis, bahasa tutur sapa, jargon. Selanjutnya variasi bahasa yang dilihat dari segi situasi dapat dibagi atas variasi bahasa situasi formal dan yang non formal, sedangkan variasi bahasa yang dilihat dari segi status dapat dibagi atas bahasa ibu, bahasa daerah, lingua franca, bahasa nasional, bahasa negara, bahasa pengantar, bahasa persatuan, bahasa resmi. Hal tersebut akan terlihat pada kita bahwa komunikasi yang menggunakan bahasa formal berbeda dengan komunikasi pada situasi nonformal ( Mansoer Pateda, 1991:84). Menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:63) dalam hal variasi atau ragam bahasa ini ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Andaikata penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada, artinya bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
beraneka ragam. Kedua pandangan ini dapat saja diterima atau pun ditolak. Yang jelas, variasi atau ragam bahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan di dalam masyarakat sosial. Berikut pengklasifikasian variasi bahasa menurut Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:62). a. Variasi dari segi penutur 1) Idiolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Menurut konsep idiolek, setiap orang mempunyai variasi bahasanya atau idioleknya masing-masing. Variasi idiolek ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat, dan sebagainya. 2) Dialek merupakan variasi bahasa dari sekelompok penutur yang jumlahnya relatif, yang berada pada satu tempat, wilayah, atau area tertentu. Karena dialek ini didasarkan pada wilayah atau area tempat tinggal penutur, maka dialek ini lazim disebut dialek areal, dialek regional atau dialek geografi. 3) Kronolek atau dialek temporal, yakni variasi bahasa yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Umpamanya, variasi bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, variasi masa tahun lima puluhan, dan seterusnya. 4) Sosiolek atau dialek sosial, yakni variasi yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para penuturnya. Sehubungan dengan variasi bahasa berkenaan dengan tingkat, golongan, status dan kelas sosial para penuturnya, biasanya dikemukakan orang variasi yang commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
disebut akrolek, basilek, vulgar, slang, kolokial, jargon, argot, dan ken. Ada juga yang menambahkan bahasa prokem (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66) Yang dimaksud dengan akrolek adalah variasi sosial yang dianggap lebih tinggi atau lebih bergengsi dari variasi lainnya. Sebagai contoh adalah yang disebut sebagai bahasa bagongan, yaitu variasi bahasa Jawa yang khusus dipakai oleh para bangsawan kraton Jawa. Basilek adalah variasi sosial yang dianggap kurang bergengsi, atau bahkan dipandang rendah. Contohnya bahasa Inggris yang dipakai oleh para cowboy dan kuli tambang dapat dikatakan sebagai basilek. Yang dimaksud dengan vulgar adalah variasi sosial yang ciri-cirinya tampak pada pemakaian bahasa oleh mereka yang kurang terpelajar, atau dari kalangan mereka yang tidak berpendidikan. Slang adalah variasi sosial yang bersifat khusus dan rahasia. Artinya, variasi ini digunakan oleh kalangan tertentu yang sangat terbatas, dan tidak boleh diketahui oleh kalangan di luar kelompok itu. Oleh karena itu, kosakata yang digunakan dalam slang ini selalu berubah-ubah. Slang memang lebih merupakan bidang kosakata daripada bidang fonologi maupun gramatika. Slang bersifat temporal, dan lebih umum digunakan oleh kawula muda, meski kawula tua pun ada juga yang menggunakannya. Yang dimaksud dengan kolokial adalah variasi sosial yang digunakan dalam percakapan sehari – hari. Kata kolokial berasal dari kata colloquium (percakapan, konversasi). Jadi, kolokial berarti bahasa percakapan, bukan bahasa tulis. Dalam percakapan bahasa Indonesia banyak digunakan bentuk – bentuk kolokial, seperti commit to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dok (dokter), prof (profesor), let (letnan), ndak ada (tidak ada), trusah (tidak usah), dan sebagainya. Yang dimaksud dengan jargon adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas oleh kelompok-kelompok sosial tertentu. Ungkapan yang digunakan seringkali tidak dapat dipahami oleh masyarakat umum atau masyarakat di luar kelompoknya. Namun, ungkapan-ungkapan tersebut tidak bersifat rahasia. Misalnya, dalam kelompok montir atau perbengkelan terdapat ungkapanungkapan seperti rodagila, didongkrak, dices, dibalans, dipoles, dan sebagainya. Yang dimaksud dengan argot adalah variasi sosial yang digunakan secara terbatas pada profesi-profesi tertentu dan bersifat rahasia. Letak pengkhususan argot adalah pada kosakata, misalnya dalam dunia kejahatan (pencuri, tukang copet) pernah digunakan ungkapan seperti barang dalam arti „mangsa‟, kaca mata berarti „polisi‟, daun yang berarti „ uang‟, gemuk yang berarti „mangsa besar‟, tape yang berarti „mangsa empuk‟. Yang dimaksud dengan ken (Inggris : cant) adalah variasi sosial tertentu yang bernada “memelas“, dibuat merengek-rengek, penuh kepura-puraan. Biasanya digunakan oleh para pengemis, seperti tercermin dalam ungkapan the cant of beggar (bahasa pengemis) (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:66 67). b. Variasi dari segi pemakaian Variasi bahasa berkenaan dengan penggunaannya, pemakaiannya, atau fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, atau tingkat keformalan, dan sarana penggunaan.
commit to user
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Variasi bahasa berdasarkan bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, militer, pertanian, pelayaran, perdagangan, pendidikan, dan kegiatan keilmuan. Variasi bahasa berdasarkan bidang kegiatan ini yang paling tampak cirinya adalah dalam bidang kosakata. c. Variasi dari segi keformalan Berdasarkan tingkat keformalannya, Martin Joos (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:70) dalam bukunya The Five Clock membagi variasi bahasa atas lima macam gaya (Inggris : Style), yaitu gaya atau ragam beku (frozen), gaya atau ragam resmi (formal), gaya atau ragam usaha (konsultatif), gaya atau ragam santai (casual), dan gaya atau ragam akrab (intimate). d. Variasi dari segi sarana Variasi bahasa dapat pula dilihat dari segi sarana atau jalur yang digunakan. Dalam hal ini dapat disebut adanya ragam lisan atau ragam tulis atau juga ragam dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, yakni, misalnya, dalam bertelepon atau bertelegraf. Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:100) menegaskan bahwa tingkat formalitas dalam pemakaian bahasa mengacu pada style. Menurutnya, dalam pemakaian bahasa Inggris, terdapat lima tingkat yakni, frozen, formal, consultative, casual, dan intimate. Ia juga beranggapan bahwa dalam bahasa Indonesia pun gaya yang demikian dapat dibagi atas lima tingkat; a. Ragam beku (frozen) ialah ragam bahasa yang paling resmi, yang dipergunakan dalam situasi-situasi khidmat dan upacara-upacara resmi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20 digilib.uns.ac.id
Dalam bentuk tertulis, ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti Undang-Undang Dasar. b. Ragam resmi (formal) ialah ragam bahasa yang dipakai dalam pidatopidato resmi, rapat dinas, dan sebagainya. c. Ragam usaha (consultative) ialah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat yang berorientasi pada hasil. Ragam ini berada pada tingkat yang paling operasional. d. Ragam santai (casual) adalah ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang, rekreasi, olah raga, dan sebagainya e. Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasiartikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilahistilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab. Pemilihan bentuk dan ragam bahasa ditentukan oleh sejumlah faktor penentu. Menurut Nababan (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:99), faktor penentu itu antara lain, adalah siapa yang berbicara dengan siapa, tentang apa (topik), dalam situasi (setting), yang bagaimana, dengan tujuan apa, dengan jalur apa (tulisan, lisan, telegram, dan sebagainya). Dell Hymes (dalam Hamid Hasan Lubis, 1994:84)
mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya
peristiwa tutur dengan akronim SPEAKING. Yang berturut-turut dimaksudkan sebagai berikut S (Setting and scenes), P (Participants), E (Ends), A ( Act commit to user
21 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sequences), K (Keys), I (Instrumentalities), N (Norms), dan G (Genres). Di bawah ini penjelasan secara singkat komponen tutur tersebut a. Settings and scenes (tempat dan suasana tuturan) Settings and scenes dipakai untuk menunjukkan aspek tempat dan waktu terjadinya sebuah tuturan. b. Partisipants (peserta tutur) Peserta tutur dipakai untuk menunjuk kepada minimal dua pihak dalam bertutur. Pihak pertama adalah orang kesatu sama penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi tertentu dapat juga terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan hadirnya pihak ketiga. c. Ends (tujuan) Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk menyampaikan informasi atau buah pikiran, tuturan itu dipakai untuk membujuk, merayu, mendapatkan kesan, dan sebagainya. Sebuah tuturan mungkin juga ditujukan untuk mengubah perilaku dari seseorang dalam masyarakat. Tuturan yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari seseorang itu sering pula disebut sebagai tujuan konatif dari penutur. Tuturan dapat juga dipakai untuk memelihara kontak antara penutur dan mitra tutur dalam suatu masyarakat. Tujuan yang demikian sering pula dikatakan sebagai tujuan fatis dari sebuah tuturan. d. Act sequence (pokok tuturan) Pokok tuturan merupakan bagian dari komponen tutur yang akan selalu berubah dalam deretan pokok-pokok tuturan dalam peristiwa tutur. Perubahan commit to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pokok tuturan itu mempengaruhi bahasa atau kode yang dipilihnya dalam bertutur. e. Keys (nada tutur) Nada tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi di mana suatu tindakan dapat dilakukan dalam bertutur. Nada tutur berkaitan erat dengan masalah modalitas dari kategori-kategori gramatikal dalam sebuah bahasa. Nada ini dapat berwujud perubahan-perubahan tuturan yang dapat menunjuk kepada nada santai, serius, tegang, kasar, dan sebagainya. f. Instruments (sarana tutur) Sarana tutur menunjuk pada saluran tutur (chanels) dan bentuk tutur (form of speech). Yang dimaksud dengan saluran tutur adalah alat tuturan yang dapat dimunculkan oleh penutur dan disampaikan kepada mitra tutur. Sarana yang dimaksud dapat berupa saluran lisan, saluran tertulis, bahkan dapat pula berupa sandi-sandi atau kode-kode tertentu. Adapun bentuk tutur dapat berupa bahasa, yakni bahasa sebagai sisten mandiri, dialek, dan variasi-variasi bahasa yang lainnya. Bentuk tutur akan banyak ditentukan oleh saluran tutur yang dipakai oleh penutur itu di dalam bertutur. g. Norms (norma tutur) Norma tutur dibedakan menjadi dua, yakni norma interaksi (interaction norm) dan norma interpretasi (interpretation norms) dalam bertutur. Norma interaksi menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesuatu dilakukan oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Di samping itu, norma interpretasi masih memungkinkan
pihak-pihak
yang
terlibat
commit to user
dalam
komunikasi
untuk
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang terlibat dalam komunikasi adalah warga dari komunitas tutur yang berbeda. h. Genre (jenis tutur) Jenis tutur menunjuk pada jenis kategori kebahasaan yang sedang dituturkan. Jenis tutur yang menyangkut kategori wacana misalnya percakapan, cerita, pidato, dan semacamnya. Apabila tuturannya berbeda maka akan berbeda pula kode yang dipakai dalam bertutur (Sarwiji Suwandi, 2008:99-100).
4. Ragam Bahasa Formal dan Informal Menurut Suwito (1992:13) “ketika seseorang berkomunikasi dalam situasi tuturan yang tidak resmi/informal, atau dalam tuturan yang bersifat intim dan santai maka variasi bahasa yang digunakan adalah bahasa intim, bahasa santai atau ragam bahasa yang bersifat informal. Bahasa seperti itu ditandai antara lain dengan munculnya bentuk-bentuk yang tidak lengkap, penanggalan afiks, susunan kalimat yang tidak begitu tertib, sistem fonologi yang kurang teratur, dan pemilihan kata yang seenaknya”. Antara fungsi dan situasi pemakaian bahasa sangat erat hubungannya, sebab ragam bahasa mana yang sebaiknya digunakan dalam suatu peristiwa bergantung kepada situasinya. Dalam situasi resmi atau formal hendaknya dipergunakan ragam bahasa baku, seperti dalam surat-menyurat resmi, administrasi pemerintahan dan sebagainya. Sebaliknya, dalam situasi yang tidak resmi atau informal tidak perlu dipergunakan ragam baku, seperti situasi pembicaraan di dalam rumah, pinggir jalan, dan sebagainya (Suwito, 1992:44) commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Secara keseluruhan ragam baku itu hanya ada satu dalam sebuah bahasa. Dengan kata lain ragam-ragam selebihnya, termasuk dialek adalah ragam nonbaku. Dari sudut kebahasaan, perbedaan antara baku dan nonbaku tentu ada dan menyangkut semua komponen bahasa, yaitu tata bunyi, tata bentukan, kosa kata, dan tata kalimat. Berikut ini adalah ciri-ciri dari ragam baku yang dikemukakan oleh Suwito (1992:49). a. Ejaan : Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang tata cara dan tata tertib penulisannya mengikuti ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD). b. Peristilahan : Ragam baku bahasa Indonesia ialah bahasa Indonesia yang cara atau tertib pembentukan istilahnya berpedoman kepada pedoman umum pembentukan istilah bahasa Indonesia (PUPI). c. Kosa kata : beberapa kosa kata berikut menunjukkan ragam baku dan ragam tidak baku kata-kata dalam bahasa Indonesia. -
Baku : bagaimana, mengapa, begini, begitu, memberi, membuat, pergi, tidak, sudah, dan sebagainya.
-
Tidak baku : gimana, kenapa, gini, gitu, kasih, bikin, tak, udah, dan sebagainya.
d. Tata bahasa : beberapa bentuk kata dan struktur kalimat dibawah ini menunjukkan ragam baku dan tidak baku. Baku
Tidak baku
-
Ia terus tertawa
-
Ia terus ketawa
-
Kuliah sudah berjalan lagi
-
Kuliah udah jalan lagi
-
Ayahnya
-
Ayahnya ngatain gini
begini
mengatakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25 digilib.uns.ac.id
e. Lafal : lafal baku bahasa Indonesia ialah lafal bahasa Indonesia yang relatif bebas dari atau sedikit mungkin diwarnai oleh lafal bahasa daerah atau dialek setempat. Dalam setiap masyarakat bahasa, tidak ada seorang pembicara pun yang menggunakan satu ragam bahasa saja. Orang Indonesia yang mempunyai banyak bahasa, banyak ragam bahasa, serta banyak bahasa daerah, biasanya menggunakan ragam bahasa yang banyak pula, tergantung pada bermacammacam faktor dan situasi. Di dalam bahasa Indonesia tukar-menukar bahasa yang digunakan atau kode terjadi dalam berbagai kesempatan. Pada kelanjutannya dalam disiplin ilmu sosiolinguistik, proses penyisipan unsur bahasa kedaerahan dari satu bahasa ke dalam bahasa yang lain ini dikenal dengan adanya interferensi, alih kode, dan campur kode.
5. Interferensi Istilah interferensi pertama kali digunakan oleh Weinreich untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur yang bilingual. Terjadinya interferensi ini berdasar pada kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dia dipengaruhi oleh bahasa lain. Interferensi ini dapat terjadi dalam menggunakan bahasa kedua (B2), dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah bahasa pertama atau bahasa ibu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:120). Interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti semua komponen kebahasaan dapat terjadi dalam bidang-bidang tatabunyi, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
26 digilib.uns.ac.id
tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna. Jika penutur bahasa Jawa mengucapkan kata-kata nama tempat yang berasal nama bunyi /b/, /d/, /g/, dan /j/ dengan penasalan di depannya, maka terjadilah interferensi tatabunyi atau interferensi fonologi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia. Misalnya /mBandung/, /nDeli/, /ngGombong/, /nJambi/ dan sebagainya (Suwito, 1991:65). Interferensi morfologi terjadi apabila dalam pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain. Dalam bahasa Indonesia misalnya, sering terjadi penyerapan afiks-afiks ke-, ke-an dari bahasa daerah (Jawa, Sunda), dan afiks –(n) isasi, -is dari bahasa asing (Belanda, Inggris), misalnya dalam katakata: kelanggar, kepukul, ketabrak, kebesaran, kekecilan, kemahalan, sungguhan, turinisasi, ikanisasi, agamais, Pancasilais, dan sebagainya. (Suwito, 1991:66). Interferensi dalam bidang sintaksis dapat dilihat pada contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dari seorang bilingual Jawa – Indonesia dalam berbahasa Indonesia yang berbunyi “ Di sini toko Laris yang mahal sendiri”. Kalimat bahasa Indonesia itu berstuktur bahasa Jawa, sebab dalam bahasa Jawa bunyinya “Neng kene toko Laris sing larang dhewe”. Kata sendiri dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan kata dhewe dalam bahasa Jawa, seperti pada kalimat “Neng ngomah dhewe” (di rumah sendiri), “ Aku krungu dhewe” (Aku mendengar sendiri). Tetapi kata dhewe yang terdapat di antara kata „sing’ dan adjektif adalah berarti „paling’, dhuwur dhewe, apik dhewe, sing larang dhewe. Dalam bahasa Indonesia baku kalimat di atas seharusnya berbunyi “Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini”. Apabila dalam bahasa Indonesia terdapat struktur kalimat seperti “Rumahnya Ayahnya Ali yang besar sendiri di kampung itu” atau “Makanan itu commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
telah dimakan oleh saya”, atau “Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin” dan sebagainya, maka dalam stuktur kalimat itu terserap struktur kalimat dari bahasa lain. Padanan struktur kalimat-kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia ialah “ Rumah ayah Ali yang paling besar di kampung itu”, “Makanan itu telah saya makan” dan “ Hal itu telah saya katakan kepadamu kemarin” (Suwito, 1991:66-67).
6. Kode, Alih Kode, dan Campur Kode a. Kode Istilah kode dimaksudkan untuk menyebut salah satu varian di dalam hierarki kebahasaan. Selain kode juga dikenal varian lain; misalnya varian regional, varian kelas sosial, ragam, gaya, varian kegunaan dan sebagainya. Yang dimaksud varian di sini adalah keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor tertentu. Dari sudut lain varian regional sering disebut juga dialek geografis yang dapat dibedakan menjadi dialek regional dan dialek lokal. Varian kelas sosial sering disebut dialek sosial. Ragam dan gaya dirangkum laras bahasa, sedangkan varian kegunaan disebut sebagai register. Masing- masing varian merupakan tingkat tertentu dalam hierarki kebahasaan dan semuanya termasuk dalam cakupan kode, sedangkan kode merupakan bagian dari bahasa (Suwito, 1991:78). Kode didefinisikan sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicara dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk commit to user
28 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
varian bahasa yang secara nyata dipakai berkomunikasi anggota suatu masyarakat bahasa (Soepomo Poedjosoedarmo dalam Kunjana Rahardi, 2001:21-22). Dalam kajian sosiolinguistik sudah ditemukan pada umumnya orang berganti kode itu tidak seenaknya saja, melainkan mengikuti pola-pola tertentu. Untuk dapat mencarikan polanya itu dan menerangkan dengan tepat, maka tentu diperlukan penelitian dengan hati-hati dan seksama (Khaidir Anwar, 1990:41). b. Alih kode 1) Pengertian Alih Kode Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A ( misalnya bahasa Indonesia ), dan kemudian beralih menggunakan kode B ( misalnya bahasa Jawa ), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode ( code-switching ). Namun karena di dalam kode terdapat berbagai kemungkinan varian ( baik varian regional, varian klas sosial, ragam, gaya, ataupun register) maka peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya atau register. Peralihan yang demikian dapat diamati lewat tingkat-tingkat tatabunyi, tatakata, tatabentuk, tatakalimat, tatawacananya (Suwito, 1991:80). Appel
(dalam
Abdul
Chaer
dan
Leonie
Agustina,
2004:107)
mendefinisikan alih kode itu sebagai “gejala peralihan pemakaian bahasa karena berubahnya situasi”. Berbeda dengan Appel, Hymes (dalam Suwito, 1991:81) mengatakan bahwa “ alih kode adalah istilah umum untuk menyebut pergantian (peralihan) pemakaian dua bahasa atau lebih, beberapa gaya dalam satu ragam ”. Jadi menurutnya alih kode tidak hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga commit to user
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terjadi antara ragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa. Apabila alih kode itu terjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah , atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat pada satu dialek, alih kode seperti itu bersifat intern, sedangkan apabila yang terjadi adalah bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern. 2) Ciri-ciri Alih Kode Alih kode merupakan salah satu aspek tentang saling ketergantungan bahasa (language dependency) di dalam masyarakat multilingual. Artinya, di dalam masyarakat multilingual hampir tidak mungkin seorang penutur menggunakan satu bahasa secara mutlak murni tanpa sedikit pun memanfaatkan bahasa atau unsur bahasa yang lain. Dalam alih kode penggunaan dua bahasa (atau lebih) ditandai atau mempunyai ciri-ciri : (1) masing- masing bahasa masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya, (2) fungsi masingmasing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan konteks (Suwito, 1991:80). Dell Hymes (dalam Kunjana Rahardi, 2001:20) memilahkan alih kode menjadi dua, yaitu apa yang disebut dengan 1) alih kode intern (internal code switching) yaitu alih kode yang terjadi antarbahasa daerah dalam suatu bahasa nasional, antardialek dalam suatu bahasa daerah, atau antara beberapa ragam dan gaya yang terdapat dalam suatu dialek, 2) alih kode ekstern (external code switching) adalah alih kode yang terjadi antara bahasa asli dengan bahasa asing.
commit to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3) Latar Belakang Terjadinya Alih Kode Fishman (dalam Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:108) menjelaskan bahwa “penyebab terjadinya alih kode harus dikembalikan kepada pokok permasalahan dalam sosiolinguistik, yaitu mengenai siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan , dengan tujuan apa”. Alih kode adalah peristiwa kebahasaan yang disebabkan oleh faktorfaktor luar bahasa, terutama faktor-faktor yang bersifat sosio-situasional. Beberapa faktor yang biasanya merupakan penyebab terjadinya alih kode adalah : (a) Penutur Seorang penutur kadang-kadang secara sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya. Usaha yang demikian dimaksudkan untuk mengubah situasi, mungkin dari situasi yang resmi ke situasi tak resmi. Dengan situasi yang tidak resmi diharapkan masalah yang sedang dibicarakan akan lebih mudah dipecahkan. (b) Lawan Tutur Setiap penutur pada umumnya ingin mengimbangi bahasa
yang
dipergunakan oleh lawan tuturnya. Di dalam masyarakat multilingual itu berarti bahwa seorang penutur harus beralih kode sebanyak kali lawan tutur yang dihadapinya. (c) Hadirnya Penutur Ketiga Dua orang yang berasal dari kelompok etnik yang sama pada umumnya saling berinteraksi dengan bahasa kelompok etniknya. Namun, jika terdapat penutur ketiga maka kedua penutur sebelumnya akan beralih kode ke penutur commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang ketiga. Hal ini untuk netralisasi situasi dan sekaligus menghormati hadirnya orang ketiga tersebut. (d) Pokok Pembicaraan ( Topik ) Pokok pembicaraan merupakan faktor dominan terciptanya sebuah alih kode. Pokok pembicaraan atau topik dapat dibedakan menjadi dua; 1) pokok pembicaraan yang bersifat formal, misalnya: masalah kedinasan, keilmuan dsb. 2) pokok
pembicaraan
yang
bersifat
nonformal
misalnya:
kekeluargaan,
persaudaraan, kesetiakawanan dsb. (e) Untuk Membangkitkan Rasa Humor Alih kode kadang sering dimanfaatkan oleh guru, pemimpin rapat, dan seorang pelawak untuk membangkitkan rasa humor sesorang. Tujuannya adalah untuk menyegarkan suasana yang mulai lesu. Alih kode demikian mungkin berwujud alih varian, alih ragam atau alih gaya bicara. (f) Untuk Sekedar Bergengsi Hal ini terjadi apabila baik faktor situasi, lawan bicara, topik dan faktorfaktor sosio-situasional yang lain sebenarnya tidak mengharuskan dia untuk beralih kode. Dengan kata lain baik fungsi kontekstual maupun situasi relevansialnya tidak mendukung peralihan kodenya (Suwito, 1991:85-87). c. Campur kode 1) Pengertian Campur Kode Pembicaraan mengenai alih kode biasanya diikuti dengan pembicaraan mengenai campur kode. Peristiwa alih kode dan campur kode merupakan hal yang sering terjadi dalam kegiatan komunikasi, tidak saja di kalangan orang atau commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masyarakat bilingual, tetapi juga monolingual seperti yang terdapat dalam fenomena kebahasaan di dalam RCB. Subyakto (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:87) menjelaskan campur kode “ ialah penggunaan dua bahasa atau lebih atau ragam bahasa secara santai antara orang-orang yang kita kenal dengan akrab”. Selanjutnya, Kridalaksana (dalam Sarwiji Suwandi, 2008:87) menjelaskan “ campur kode antara lain berarti penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya dan ragam bahasa, termasuk di dalam pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya”. 2) Ciri-ciri Campur Kode Ciri dari gejala campur kode adalah unsur-unsur bahasa atau variasivariasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai unsur tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguislistic convergen) yang unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya. Unsur yang demikian dapat dibedakan menjadi dua; 1) yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasi-variasinya, yang selanjutnya campur kode dengan unsurunsur golongan ini disebut campur kode ke dalam (inner code mixing),
2)
bersumber dari bahasa asing, yang selanjutnya campur kode dengan unsur-unsur golongan ini disebut campur kode ke luar (outer code mixing) (Suwito, 1991:8889). commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Beberapa hal yang menjadi ciri dari campur kode yaitu; 1) penggunaan dua bahasa atau lebih, 2) berlangsung dalam situasi informal, santai atau akrab, 3) tidak ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut terjadinya campur kode, dan 4) campur kode itu dapat berupa pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya (Suwandi, 2008:88).
3) Latar Belakang Terjadinya Campur Kode Menurut Suwito (1991:90) latar belakang terjadinya campur kode pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu; tipe yang berlatar belakang pada sikap (attitudinal type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (linguistic type). Kedua tipe ini saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih (overlap). Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling bergantung dan bertumpang tindih seperti itu, dapat diidentifikasi beberapa alasan atau penyebab yang mendorong terjadinya campur kode, alasan itu antara lain; a) identifikasi peranan, b) identifikasi ragam, dan c) keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan. Ukuran untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral dan edukasional. Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa di mana seorang penutur melakukan campur kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Sedangkan, keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan, tampak karena campur kode juga menandai sikap dan hubungannya terhadap orang lain dan sikap dan hubungan orang lain terhadapnya.
commit to user
34 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7. Penghilangan fonem dan Penambahan fonem Badudu (1983:63) dalam Pelik-pelik Bahasa Indonesia menjelaskan bahwa “gelaja fonem dapat dibedakan menjadi tiga macam: penambahan fonem di depan kata disebut protesis, penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis, dan penambahan fonem di akhir kata disebut paragog”. Contoh gejala protesis : mas, lang, dan sa menjadi emas, elang, dan esa, stri dalam bahasa Sansekerta menjadi istri, jati dalam bahasa Sansekerta menjadi sejati. Proses selanjutnya ialah penambahan fonem. J.S Badudu (1983:63-64) menjelaskan “gejala penghilangan fonem atau pelesapan fonem dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu penghilangan fonem pada awal kata disebut afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dan penghilangan fonem di akhir kata yang disebut apokop”. Contoh gejala aferesis : Umudik, umundur menjadi mudik, mundur (um adalah sisipan, tetapi karena kata dasar berawal vokal, maka sisipan ditempatkan di depan seperti awalan. Contoh gejala sinkop : bahasa menjadi basa, sahaya menjadi saya, citcit menjadi cicit, dan sebagainya.
8. Interjeksi Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara, dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam ujaran. Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai teriakan yang lepas atau berdiri sendiri (inilah yang membedakannya dari partikel fatis yang dapat muncul di bagian ujaran mana pun, tergantung dari maksud pembicara) (Kridalaksana, 2005:120). commit to user
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Interjeksi dapat ditemui dalam : a. Bentuk dasar, seperti kata-kata: aduh, aduhai, ahoi, ai, amboi, asyoi, ayo, bah, cih, cis, eh, hai, idih, ih, lho, oh, nah, sip, wah, wahai, yaaa, dan sebagainya b. Bentuk turunan, biasanya berasal dari kata-kata biasa, atau penggalan kalimat Arab. Contoh: Alhamdulillah, astaga, brengsek, buset, dubilah, duilah, insya Allah, masyaallah, syukur, halo, innalillahi, yahud, dan sebagainya. Jenis-jenis interjeksi Sub kategorisasi terhadap interjeksi merupakan subkategorisasi terhadap perasaan yang diungkapkannya (Kridalaksana, 2005:121) Menurut Harimurti Kridalaksana (2005:121) ,jenis-jenis interjeksi dapat diuraikan sebagai berikut: a. Interjeksi seruan atau panggilan minta perhatian: ahoi, ayo, eh, hai, halo, he, sst, wahai b. Interjeksi keheranan atau kekaguman: aduhai, ai, amboi, astaga, asyoi, hmm, wah, yahud c. Interjeksi kesakitan: aduh d. Interjeksi kesedihan: Aduh e. Interjeksi kekecewaan dan kesal: ah, brengsek, buset, wah, yaa commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
f. Interjeksi kekagetan: lho, masyaallah, astagfirullah g. Interjeksi kelegaan: alhamdulillah, nah, syukur h. Interjeksi kejijikan: bah, cih, cis, hii, idih, ih
commit to user
37 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
C. Kerangka Pikir Kerangka pikir adalah cara kerja yang dilakukan oleh peneliti untuk menyelesaikan permasalahan yang telah diteliti. Kerangka pikir dalam penelitian secara garis besar dilukiskan pada diagram di bawah ini.
Pemakaian Karakteristik bahasa pemakaian dalam RCB bahasa pada dalam RCBSM pada harian harian SM Pemanfaatan ragam informal
Faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa
Konteks situasi Sumber data RCB pada harian SM
Teknik pengumpulan dataTeknik pustaka
Teknik simak Teknik catat
Data penelitian Data tertulis
commit to user
Ancangan: Sosiolinguistik
38 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penjelasan tentang bagan. Penelitian dengan judul Pemakaian Bahasa dalam Rubrik Celathu Butet pada Surat Kabar Suara Merdeka (Suatu Tinjauan Sosiolinguistik) ini merupakan sebuah penelitian kualitatif. Data yang diambil sebagai objek penelitian berupa data tertulis yang terdapat dalam rubrik Celathu Butet pada surat kabar Suara Merdeka. Data penelitian ini diperoleh melalui teknik pustaka, simak, dan catat. Objek penelitian ini berupa pemakaian bahasa yang berbentuk pemanfaatan ragam informal, dan faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam rubrik Celathu Butet pada surat kabar Suara Merdeka. Metode dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasarkan ancangan tertentu. Ancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik dengan memanfaatkan teori sosiolinguistik oleh Suwito, Abdul Chaer dan Leonie Agustina, dalam analisis data
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan sosiolinguistik. Penelitian kualitatif yaitu suatu penelitian yang bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan yang sewajarnya, senyatanya (natural setting) dengan tidak diubah dalam bentuk simbol-simbol atau bilangan (Hadari Nawawi & Martini Mimi, 1996:174).
B. Data dan Sumber Data Data adalah bahan penelitian itu, dan bahan yang dimaksud bukan bahan mentah, melainkan bahan jadi. Dari bahan itulah diharapkan objek penelitian dapat dijelaskan karena di dalam bahan itulah terdapatnya objek penelitian yang dimaksud. Dengan diolahnya bahan itu diharapkan dapat diketahui hakikat objek penelitian. Jadi, dengan rumusan lain data pada hakikatnya objek sasaran penelitian (Sudaryanto, 1988:9-10). Penelitian kualitatif bersifat lentur dan terbuka dengan menekankan analisis induktif yang meletakkan data penelitian bukan sebagai alat dasar pembuktian, tetapi sebagai modal dasar bagi pemahaman, maka proses pengumpulan data merupakan kegiatan yang lebih lentur dan dinamis (Sutopo, 2002:47). Data dalam penelitian ini adalah bentukbentuk pemakaian bahasa, yaitu tuturan-tuturan yang di dalamnya mengandung atau menggunakan alih kode, campur kode, interferensi, interjeksi, pelesapan dan penambahan fonem, serta pemakaian partikel dialek Jakarta yang terdapat dalam commit to user
39
40 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
RCB yang dimuat dalam surat kabar SM mulai dari edisi bulan Februari sampai dengan September 2009. Sumber data penelitian dapat dibagi menjadi dua yakni lisan dan tertulis (Edi Subroto, 1992:33) Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber data tertulis yakni RCB yang dimuat dalam surat kabar SM yang terbit pada hari Minggu edisi bulan Februari sampai dengan September 2009.
C. Populasi dan Sampel Penelitian mempunyai ruang lingkup tertentu yang sangat berkaitan dengan keberadaan objek. Objek penelitian yang telah ditetapkan merupakan populasi sebuah penelitian. Edi Subroto dalam Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural menyatakan bahwa, “Populasi adalah objek penelitian. Dalam penelitian linguistik, populasi pada umumnya ialah keseluruhan individu dari segi-segi tertentu bahasa. Dapat disimpulkan bahwa populasi adalah keseluruhan jumlah total dari objek yang akan dikaji”. (1992:36). Yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah semua bentuk pemakaian bahasa pada RCB yang dimuat dalam surat kabar SM yang diterbitkan khusus pada hari Minggu. Sampel adalah sebagian dari populasi yang akan dijadikan objek penelitian langsung (Edi Subroto, 1992:36). Sampel pada dasarnya harus dapat mewakili atau dianggap mewakili populasi secara keseluruhan. Dalam pengambilan sampel pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok objek didasarkan atas ciri-ciri atau sifatsifat yang dipandang mempunyai sangkut paut erat dengan ciri-ciri populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Yang ditetapkan sebagai sampel dalam penelitian ini commit to user
41 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
adalah sebagian dari pemakaian bahasa pada RCB yang dimuat dalam surat kabar SM yang terbit khusus pada hari Minggu, mulai dari edisi bulan Februari sampai dengan September 2009.
D. Teknik Pengumpulan Data Kualitas data sangat ditentukan oleh alat pengambilan data atau alat ukurnya. Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh data-data yang berkualitas (Sudaryanto, 1984 : 11). Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak catat. Teknik simak catat artinya dengan menyimak secara cermat data kebahasaan dalam rubrik, sedangkan teknik catat yang dimaksud di sini adalah mengadakan pencatatan terhadap data yang relevan dengan sasaran dan tujuan penelitian (Edi Subroto, 1992:47). Penelitian ini menggunakan pula teknik pustaka karena sumber datanya berasal dari media cetak surat kabar harian yang merupakan sumber tertulis. Teknik
pustaka
adalah
mempergunakan
sumber-sumber
tertulis
untuk
memperoleh data (Edi Subroto, 1992:47). Sumber tertulis itu berwujud rubrik , yaitu RCB yang terdapat dalam surat kabar SM. Pengaturan data-data yang telah didapat juga penting untuk dilakukan karena pengaturan data akan sangat membantu dalam proses analisis data kualitatif. Yang perlu diingat adalah yang dimaksud dengan data di sini adalah setumpuk catatan deskripsi beragam informasi yang telah dikumpulkan dari kegiatan studi (penggalian dan pengumpulan data). Kerja pengaturan data yang dimaksud di sini adalah cara memilah, mengatur secara fisik semua bahan commit dan to user
42 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tersebut ke dalam kelompok, folder, atau kartu, agar untuk proses selanjutnya mudah menggunakannya (Sutopo, 2002:87-88). Di dalam penelitian ini, untuk mempermudah peneliti memilah dan mengatur data-data atau catatan-catatan yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti yang berasal dari RCB pada surat kabar SM, maka peneliti menggunakan kartu data. Penggunaan kartu data tersebut dibatasi pada semua bentuk karakteristik pemakaian bahasa, yang tentunya relevan dengan teori yang digunakan oleh peneliti. Masing-masing sumber tertulis itu perlu diberi kode sumber yang meliputi : nomor data, kode data, nama (surat kabar), kolom (surat kabar), dan tanggal, bulan serta tahun terbit. Berikut contoh kartu data yang digunakan oleh peneliti ”PAK, boleh nggak saya ikutan Lomba Cover Girl?” Itu pertanyaan Jeng Genit di suatu pagi, dan membuat Mas Celathu gelagapan kesulitan menemukan jawaban jitu. Hati kecilnya sih ingin mengatakan,”Ngapain sih ikut lomba gituan?” (11/CK/RCB/SM/19-04-2009) Kartu data atau kode di atas mengenai penggunaan campur kode dalam rubrik “Celathu Butet” pada surat Suara Merdeka dengan keterangan sebagai berikut. -
11
: nomor data
-
CK
: Campur Kode
-
RCB
: nama Rubrik Celathu Butet
-
SM
: nama surat kabar Suara Merdeka
-
19
: tanggal terbit
-
04
: bulan terbit commit to user
43 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
-
2009
: tahun terbit
E. Teknik Klasifikasi Data Setelah data terkumpul kemudian diadakan klasifikasi data berdasarkan prinsip-prinsip tertentu yang mengarah pada kepentingan analisis dan pencapaian tujuan penelitian. Pengklasifikasian data yang dilakukan oleh peneliti dalam kajian karakteristik pemakaian bahasa dalam RCB pada harian SM ini didasarkan pada 1. Bentuk pemanfaatan ragam informal a. Campur kode b. Alih kode c. Interferensi d. Pelesapan dan penambahan fonem e. Interjeksi f. Pemakaian partikel dialek Jakarta 2. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa
F. Metode Analisis Data Istilah metode dalam penelitian linguistik dapat ditafsirkan sebagai strategi kerja berdasar ancangan tertentu (Edi Subroto, 1992 : 32). Dengan demikian, ancangan penelitian berkaitan dengan metode. Ancangan merupakan kerangka berpikir untuk menentukan metode. Dalam penelitian ini digunakan ancangan sosiolinguistik. commit to user
44 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Berdasarkan ancangan sosiolinguistik, maka metode yang digunakan untuk menganalis data adalah metode deskriptif. Penelitian dengan metode deskriptif semata-mata hanya didasarkan pada fakta yang ada, fenomena yang memang secara empiris hidup dalam penutur-penuturnya, sehingga apa yang dihasilkan adalah paparan adanya (Sudaryanto, 1984:35). Analisis deskriptif diterapkan untuk memerikan semua fenomena, terutama fenomena kebahasaan yang ada dalam rubrik serta fungsi rubrik tersebut bagi para pembaca. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Metode ini memusatkan perhatiaannya pada penemuan fakta-fakta (fact finding) sebagaimana keadaan yang sebenarnya (Hadari Nawawi & Martini Mimi, 1996:73). Dalam penelitian ini metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan bentuk atau wujud pemakaian bahasa dalam RCB yang sesuai dengan kepentingan dan tujuan penelitian. Dalam analisis deskriptif, peneliti dapat menarik simpulan dengan metode induktif yaitu penarikan simpulan dengan memperhatikan fakta-fakta atau fenomena-fenomena kebahasaan dengan senyatanya, kemudian memulainya dari fenomena-fenomena khusus untuk generalisasi atau simpulan yang bersifat umum.
commit to user
45 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
G. Penyajian Analisis Data Metode penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini disajikan secara informal dan formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan katakata biasa, walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya, sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambing-lambang (Sudaryanto, 1993:145). Tanda yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya: tanda kurung biasa ( ( ) ), tanda kurung siku ( [ ] ), tanda garis miring ( / / ), tanda hubung ( - ). Adapun lambang yang dimaksud di antaranya lambang huruf sebagai singkatan (misal: RCB, SM). Dengan demikian, penggunaan kata-kata biasa (a natural language) serta penggunaan tanda dan lambang (an artificial language) merupakan teknik hasil penjabaran metode penyajian itu.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV ANALISIS DATA Analisis data merupakan tahap yang paling penting dalam sebuah penelitian. Tahap ini dilakukan untuk menemukan jawaban-jawaban yang berhubungan dengan perumusan masalah. Analisis ini meliputi (a) pemanfaatan ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM, (b) faktor yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM.
A. Pemanfaatan Ragam Informal dalam RCB pada Surat Kabar SM Pemakaian ragam bahasa dalam suatu komunikasi tidak selamanya menggunakan ragam bahasa formal, akan tetapi seorang penutur dan mitra tutur ada kalanya juga menggunakan ragam bahasa informal. Pemakaian ragam bahasa informal ini biasanya mengikuti atau menyesuaikan dengan keadaan atau situasi komunikasi. Situasi yang dimaksud adalah siapa, kepada siapa, masalah apa, dan untuk tujuan apa komunikasi itu dilakukan. Mengacu pada uraian di atas, pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM ternyata juga diwarnai oleh pemakaian ragam bahasa informal. Jika dikembalikan pada media yang digunakan oleh penulis RCB ini adalah media surat kabar, seharusnya penulis menggunakan ragam bahasa formal sesuai dengan ragam bahasa jurnalistik. Ragam bahasa jurnalistik yang dimaksud adalah ragam bahasa yang singkat sederhana, jelas, dan formal. Akan tetapi, pemakaian bahasa Indonesia dalam RCB pada surat kabar SM justru banyak diwarnai ragam bahasa commit to user informal dan bentuk-bentuk bahasa yang unik. 46
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
Pemakaian ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM ternyata memanfaatkan berbagai sarana dan bentuk kebahasaan. Unsur-unsur bahasa yang digunakan meliputi unsur bahasa Jawa, Inggris, dan Indonesia. Pemakaian unsurunsur bahasa Jawa dan asing dalam bahasa Indonesia ini menyebabkan timbulnya peristiwa campur kode, alih kode, interferensi. Selain itu bentuk pelesapan dan penambahan fonem, interjeksi, serta pemakaian partikel dialek Jakarta merupakan bentuk pemakaian ragam informal dalam RCB pada surat kabar SM.
1. Campur Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM Kachru (dalam Suwito, 1991: 89) memberikan batasan “campur kode sebagai pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten”. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan yang terlihat di dalamnya, campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata, frase, baster perulangan kata, idiom, dan klausa. Mengacu pada teori di atas, maka peneliti menganalisis peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM berdasarkan wujud campur kodenya.
a. Campur Kode yang Berwujud Kata Campur kode yang terjadi dalam RCB pada surat kabar SM memiliki berbagai wujud. Salah satunya adalah campur kode yang berwujud kata. Data yang menunjukkan campur kode yang berwujud kata dapat dilihat dalam tuturan berikut. (1)
Bayangkan saja jika uang belanja iklan itu dibelikan sembako untuk rakyat atau membenahi infrastruktur pendidikan yang konsisten commit to user amburadulnya!
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
Pengemis Beramal ‟‟Hughh, sampeyan itu lo, apa-apa kok dibikin lelucon. Itu soal serius. Menyangkut nasib dan mati-hidupnya banyak orang,‟‟ sergah Mbakyu Celathu. (1/CK/RCB/SM/01-02-2009) Tuturan pada data (1) tersebut mengalami peristiwa campur kode ke dalam (inner code mixing). Peristiwa campur kode yang dimaksud di sini adalah campur kode yang bersumber dari bahasa asli, yaitu bahasa Jawa. Kalimat tersebut diucapkan oleh Mbakyu Celathu yang merasa kesal dan jengkel kepada Mas Celathu karena Mas Celathu selalu menganggap masalah yang serius sebagai sebuah lelucon. Hal tersebut berkaitan dengan peristiwa politik yang terjadi sebelum pemilu dilaksakan, yaitu mengenai adanya kampanye dari dua partai politik besar di televisi yang saling mengklaim prestasi atas turunnya harga BBM. Peristiwa campur kode dalam data (1) ditandai dengan adanya kata sampeyan ( Anda/Bapak) Pemakaian kata sampeyan oleh Mbakyu Celathu ini dikarenakan ia ingin menimbulkan suasana kedaerahan, dan sebagai bentuk sapaan untuk menghargai/menghormati Mas Celathu sebagai mitra tutur. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud kata. (2)
‟‟Ada yang tiba-tiba mengaku bersahabat dengan petani. Begini ngomongnya, ‟‟Saya Butet Subiyantono, mengajak rakyat Indonesia semua untuk saya dobosi...‟‟ (2/CK/RCB/SM/12-02-2009) Pada tuturan (2) terdapat campur kode kata. Ditandai dengan adanya kata
dobosi (membohongi). Peristiwa campur kode ini termasuk jenis campur kode ke dalam (inner code mixing), karena Mas Celathu memakai kata-kata dari bahasa Jawa. Hal tersebut dapat terjadi, karena Mas Celathu mempunyai latar belakang kebahasaan bahasa Jawa, maka penutur berkesempatan untuk bercampur kode dengan unsur bahasa Jawa. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
ketika tampil dalam pementasan monolog pada acara malam resepsi HUT Ke-59 Suara Merdeka, di Rama Shinta Ballroom Hotel Patra Semarang. Tiap kata-kata Mas Celathu selalu muncul sindiran-sindiran dalam balutan humor yang segar. Pemakaian kata dobosi oleh Mas Celathu ini dikarenakan ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah asli orang Jawa. Selain itu, dengan tuturan tersebut akan lebih memudahkan penerimaan maksud yang diinginkan oleh Mas Celathu. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud kata. (3)
Barangkali inilah yang membikin Mas Celathu tak ikhlas pakai kaos merah jambu. Dengan ragu diserahkan kembali kaos itu, lalu dengan nada menghiba, Mas Celathu merajuk, ”Izinkan aku tetap waras ya. Please...tolong bebaskan aku dari kaos merah jambu. Please, please...” (5/CK/RCB/SM/15-02-2009) Pada tuturan (3) terdapat campur kode kata yaitu please ( bahasa
Indonesia = tolong). Campur kode tersebut berasal dari bahasa Inggris, maka termasuk campur kode ke luar (outer code mixing). Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu yang memohon kepada istrinya, Mbakyu Celathu, untuk tidak memaksa dirinya mengenakan kaos berwarna pink, seperti yang diinginkan oleh Jeng Genit untuk memperingati hari Valentin atau Valentine
Day’s. Latar
belakang terjadinya campur kode yang bersifat keluar tersebut ialah Mas Celathu ingin memberi kesan bahwa ia memiliki pengetahuan bahasa Inggris yang cukup, sehingga akan menimbulkan bahwa Mas Celathu adalah seorang yang berpendidikan. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud kata. (4)
Dan umpamakan ditayangkan program news televisi, tentu akan commit to user diiringi instrumentalia lagu ”Gugur Bunga”. Soalnya, bobot adegannya
perpustakaan.uns.ac.id
50 digilib.uns.ac.id
menyerupai berita gugurnya para penumpang pesawat dan helikopter TNI yang belakangan rada sering berjatuhan dari udara Indonesia. Dan umpamakan ditayangkan program news televisi, tentu akan diiringi instrumentalia lagu ”Gugur Bunga”. Soalnya, bobot adegannya menyerupai berita gugurnya para penumpang pesawat dan helikopter TNI yang belakangan rada sering berjatuhan dari udara Indonesia. (16/CK/RCB/SM/05-07-2009) Pada tuturan (4) terdapat campur kode kata yaitu news (bahasa Indonesia = berita). Campur kode tersebut berasal dari bahasa Inggris, maka termasuk campur kode ke luar (outer code mixing). Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu yang bersedih atas kematian ikan-ikan koinya. Keluarga Celathu merasa bersalah atas kejadian tersebut. Selanjutnya untuk menebus rasa bersalah itu, Mas dan Mbakyu Celathu ingin memperlakukan jazad ikan koi itu secara terhormat seperti layaknya penghormatan terhadap gugurnya para penumpang pesawat dan helikopter TNI yang belakangan rada sering berjatuhan dari udara Indonesia. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke luar tersebut ialah Mas Celathu ingin memberi kesan bahwa ia adalah seorang yang berpendidikan cukup atau orang yang terpelajar. Selain itu, pemanfaatan unsur bahasa Inggris dapat menunjukkan status sosial penutur bahwa ia mempunyai status sosial yang tinggi. b. Campur Kode yang Berwujud Frasa Peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM tidak hanya berwujud kata, akan tetapi juga berwujud frasa. Data yang menunjukkan campur kode yang berwujud frasa dapat dilihat dalam tuturan berikut ini. (5)
‟‟LHO, Bapak kok tidak pakai baju warna pink?” “Wualaaahh....apa ya pantes? He he he ...nanti aku malah kayak ice cream rasa strawberry, semua orang jadi terangsang pengin menjilati aku gimana? Emang kenapa ta, dik?” “Bapak ki piye ta? Kan Valentine Day’s....ya semua harus serba pink dong.” “Emang ada peraturan yang commit to user mengharuskan begitu?” (4/CK/RCB/SM/15-02-2009)
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tuturan pada data (5) di atas unsur bahasa yang menyisip dalam peristiwa campur kode tersebut berupa frasa dalam bahasa Inggris, yaitu ice cream (es krim) dan Valentine Day’s (hari Valentin). Peristiwa campur kode pada tuturan (5) di atas berasal dari bahasa Inggris, sehingga bersifat ke luar (outer code-mixing). Tuturan Valentine Days dalam data (5) di atas diungkapkan oleh Jeng Genit, seorang gadis remaja yang sedang mencari jati dirinya. Ia menginginkan ayahnya mengenakan kaos berwarna pink, untuk memperingati hari kasih sayang atau biasa disebut hari Valentin, padahal itu bukan merupakan kebudayaan asli Indonesia. Tuturan “Wualaaahh....apa ya pantes? He he he ...nanti aku malah kayak ice cream rasa strawberry, semua orang jadi terangsang pengin menjilati aku gimana? Emang kenapa ta, dik?”diungkapkan kepada Mas Celathu, sang ayah, yang merasa tidak pantas memakai kaos yang berwarna pink, ia akan merasa seperti ice cream yang berwarna-warni jika mengenakan kaos tersebut. Latar belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Mas Celathu dan Jeng Genit ingin memberi kesan bahwa mereka adalah seorang yang terpelajar dan mempunyai hubungan atau pergaulan yang luas. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud frasa. (6)
Yang paling gawat, kaumnya Kartini ini hanya akan dianggap pemanis kehidupan, harus tampil cantik apabila mengenakan busana tertentu. Asal krekep rapet pastilah cantik. Dan karena itulah, maka perempuan tidak pantas jumeneng sebagai pemimpin. Sialnya, yang lelaki dibiarkan sebagai makhluk yang berkuasa menikmati, memiliki, dan mengatur nasib para perempuan itu. Wualah...kurang ajar banget. (7/CK/RCB/SM/08-03-2009) commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pada tuturan (6) di atas unsur bahasa yang menyisip dalam peristiwa campur kode tersebut berupa frasa dalam bahasa Jawa, yaitu krekep rapet (tertutup rapat). Peristiwa campur kode pada tuturan (6) di atas berasal dari bahasa Jawa, sehingga bersifat ke dalam (inner code-mixing). Tuturan terssebut diungkapkan oleh Mas Celathu untuk menanggapi fenomena yang terjadi di dalam keluarganya. Tiga perempuan di keluarga Celathu, yaitu Mbakyu Celathu, Mbak Tomboy, dan Jeng Genit tiba-tiba melakukan sebuah demonstrasi layaknya pejuang feminisme. Dalam pikiran Mas Celathu, mungkin karena sedang memperingati Hari Perempuan, lalu mereka membuat gugatan. Namun, ternyata mereka melakukan aksi tersebut untuk memperingatkan Mas Celathu. Mas Celathu heran, tidak menyangka dirinya disalahartikan melakukan diskriminasi. Seingatnya, di dalam keluarga Celathu, dia hanya menegakkan aturan demi kemajuan bersama, tetapi Mas Celathu ingin memaknai gugatan itu dengan pikiran positif. Pembagian tanggung jawab dan kesempatan juga diberikan kepada anak istrinya, tanpa membedakan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan punya hak dan peluang yang sama. Campur kode tersebut disebabkan oleh latar belakang budaya Mas Celathu yang berbudaya Jawa, maka Mas Celathu ingin menimbulkan suasana kedaerahan. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud frasa. (7)
”PAK, boleh nggak saya ikutan Lomba Cover Girl?” Itu pertanyaan Jeng Genit di suatu pagi, dan membuat Mas Celathu gelagapan kesulitan menemukan jawaban jitu. Hati kecilnya sih ingin mengatakan,”Ngapain sih ikut lomba gituan?” (9/CK/RCB/SM/19-042009) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
53 digilib.uns.ac.id
Pada tuturan (7) di atas unsur bahasa yang menyisip dalam peristiwa campur kode tersebut berupa frasa dalam bahasa Inggris, yaitu Cover Girl (gadis sampul). Peristiwa campur kode pada tuturan (7) di atas berasal dari bahasa Inggris, sehingga bersifat ke luar (outer code-mixing). Tuturan Cover Girl dalam data (7) di atas diungkapkan oleh Jeng Genit yang meminta ijin kepada Mas Celathu ,ayahnya, untuk mengikuti lomba pemilihan gadis sampul oleh sebuah majalah. Cover Girl merupakan ajang atau lomba untuk mencari bakat seorang gadis remaja yang dipandang secara fisik menarik untuk dipajang dalam sebuah sampul majalah. Istilah tersebut lazim digunakan apalagi oleh para remaja. Latar belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Jeng Genit ingin memberi kesan bahwa ia adalah seorang yang berpendidikan dan mempunyai hubungan atau pergaulan yang luas. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud frasa. (8)
’’Sampeyan sekarang sudah punya menantu lho. Janji ya, mulai sekarang musti ngrumangsani kalau sudah tua. Jangan sembarangan naik tunggangan. Omongan dan tindakannya harus lebih hati-hati. Ya ndak?‟‟ pinta Mbakyu Celathu sambil terus mengurut-urut pinggang suaminya. (11/CK/RCB/SM/17-05-2009) Pada tuturan (8) di atas unsur bahasa yang menyisip dalam peristiwa
campur kode tersebut berupa frasa dalam bahasa Jawa, yaitu musti ngrumangsani (harus merasa) dan peristiwa campur kode berupa kata dalam bahasa Jawa Sampeyan (anda/kamu/bapak). Peristiwa campur kode yang berwujud frasa dan kata pada tuturan (8) di atas berasal dari bahasa Jawa, sehingga bersifat ke dalam (inner code-mixing). Tuturan di atas diungkapkan oleh Mbakyu Celathu yang mengingatkan Mas Celathu, suaminya, bahwa sekarang ia sudah tua dan sudah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54 digilib.uns.ac.id
mempunyai menantu jadi dalam berbicara dan bertindak harus lebih berhati-hati. Campur kode yang terjadi dalam tuturan (8) di atas disebabkan karena latar belakang sosial penutur adalah budaya Jawa, maka tuturan Mbakyu Celathu tersebut secara tidak langsung terpengaruh oleh budayanya, yaitu budaya Jawa. Selain itu konteks tuturannya berada pada konteks budaya Jawa, sehingga Mbakyu Celathu lebih menekankan maksud/keinginannya kepada Mas Celathu dengan memanfaatkan unsur bahasa Jawa yang dianggap lebih sopan. c. Campur Kode yang Berwujud Baster (9)
Dan kepada Mbakyu Celathu, dia cuma berpesan: ”Umpamakan kamu nge-fans sama capres nggantheng, jangan kemudian kamu pakai lisptik warna biru ya. Aku kan tetap ingin melihat bibirmu segar seperti merah delima.” (3/CK/RCB/SM/15-02-2009) Pada tuturan (9) terdapat campur kode bentuk baster, yaitu nge-fans
(mengidolakan). Campur kode bentuk baster nge-fans merupakan penggabungan dua unsur bahasa, yaitu bentuk fans termasuk unsur dari bahasa Inggris dan awalan nge- yang berasal dari dialek Jakarta. Oleh karena itu, campur kode pada tuturan (9) di atas bersifat ke luar atau disebut outer code-mixing. Tuturan di atas diungkapkan oleh Mas Celathu yang berpesan kepada istrinya untuk tampil apa adanya, tidak terpengaruh dengan fenomena-fenomena yang terjadi ketika dan setelah pemilihan umum dilaksanakan. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke luar ialah Mas Celathu ingin memberi kesan bahwa ia adalah orang yang mempunyai pergaulan yang cukup luas. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud baster. (10) ”Sudahlah. Katimbang aku yang nggondok sakit hati, biarin aja. Mau ngrokok sampai cangkem-nya kobong, toh yang menanggung commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
55 digilib.uns.ac.id
akibatnya ya dia sendiri. Males aku,” ujar Mbakyu Celathu kepada Jeng Genit, bungsu keluarga Celathu, suatu kali. (17/CK/RCB/SM/02-08-2009) Pada tuturan (10) terdapat campur kode bentuk baster, yaitu cangkemnya (bibirnya). Campur kode bentuk baster cangkemnya merupakan penggabungan dua unsur bahasa, yaitu bentuk cangkem termasuk unsur dari bahasa Jawa dan akhiran –nya yang berasal dari bahasa Indonesia. Oleh karena itu campur kode pada tuturan (10) di atas bersifat ke dalam atau disebut inner code-mixing. Tuturan di dalam data (10) diungkapkan oleh Mbakyu Celathu yang merasa kesal karena himbauan atau larangannya kepada Mas Celathu untuk berhenti merokok tidak dihiraukan. Fenomena dalam data (10) juga berkaitan dengan adanya fatwa dari MUI bahwa merokok itu haram, selain mengganggu kesehatan bagi si perokok itu sendiri, asap rokok juga dapat mengganggu kesehatan orang-orang yang ada di sekitarnya. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke dalam ialah Mbakyu Celathu ingin memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menunjukkan kekhasan daerahnya. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud baster. (11) ‟‟Kalau manusia beneran, mana mungkin punya pikiran jahat menghancurkan kehidupan?‟‟ jawab Mas Celathu ketika bininya bertanya, ‟‟Kira-kira manusia macem apa ya, pelaku pengeboman itu?‟‟ ‟‟Mungkin pelakunya jenis manusia kapok lombok,‟‟ jawab Mbakyu Celathu seraya menerangkan, ‟‟kapok lombok‟‟ adalah perilaku orang yang selalu ingin mengulang kekonyolan, meski kekonyolan itu nggak enak dan menyengsarakan. Kayak orang kepedasan menggigit cabe. Pas mulutnya nyonyor kepedasan selalu bilang kapok, kapok, kapok. Tapi jika nanti mengunyah tempe, tetap saja menceplus lombok. (15/CK/RCB/SM/19-07-2009) Pada tuturan (11) terdapat campur kode bentuk baster, yaitu menceplus (menggigit/memakan). Campur kode bentuk baster menceplus merupakan commit to user penggabungan dua unsur bahasa, yaitu bentuk ceplus termasuk unsur dari bahasa
56 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jawa dan awalam me - yang berasal dari bahasa Indonesia. Oleh karena itu campur kode pada tuturan (11) di atas bersifat ke dalam atau disebut inner codemixing. Tuturan tersebut diutarakan oleh Mbakyu Celathu untuk menjawab pertanyaan dari Mas Celathu, ketika suaminya tersebut bertanya manusia seperti apa yang tega, dan dengan keji melakukan aksi pengeboman yang terjadi berkalikali
di
Indonesia.
Hal
ini
sangat
berkaitan
dengan
banyaknya
aksi
teror/pengeboman yang terjadi di Indonesia, kejadian tersebut mungkin memang murni kasus terorisme atau mungkin ada konspirasi politik yang melatar belakanginya. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke dalam ialah Mbakyu Celathu ingin menunjukkan latar belakang budayanya yang berbudaya Jawa. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud baster. (12) Dan itu tuh...makannya juga jangan ngawur. Kalau ketemu sate kambing kok selalu cenanangan. Dikontrol tuh kolesterolnya. Mosok trigliseride kok sampai 609. Kalau kena stroke gimana? Ngejob ya ngejob,..tapi harus ingat kekuatan badan. Wis tuwa kok maunya tetap mbagusi...‟‟ (18/CK/RCB/SM/23-08-2009) Pada tuturan (12) terdapat campur kode bentuk baster, yaitu ngejob (bekerja). Campur kode bentuk baster ngejob merupakan penggabungan dua unsur bahasa, yaitu bentuk job yang termasuk unsur dari bahasa Inggris dan awalan nge- yang berasal dari dialek Jakarta. Oleh karena itu campur kode pada tuturan (12) di atas bersifat ke luar atau disebut outer code-mixing. Tuturan dalam data (12) diungkapkan oleh Mbakyu Celathu yang mengingatkan suamuinya ,Mas Celathu, agar ia harus lebih sadar diri, karena sudah tua bekerja harus melihat kondisi badan tidak terlalu memaksakan, menjaga kesehatan dan mengatur pola commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
57 digilib.uns.ac.id
makan. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke luar ialah Mbakyu Celathu ingin memberi kesan bahwa ia adalah orang yang terpelajar atau orang yang berpendidikan cukup. d. Campur kode Berwujud Perulangan Kata Peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM ada yang berwujud perulangan kata. Data yang menunjukkan campur kode yang berwujud perulangan kata tampak dalam tuturan berikut. (13) ‟‟Lagian saya kan dikaruniai diabetes melitus. Untuk menyelenggarakan ‟duel ranjang‟ selalu butuh perjuangan maha dahsyat. Kalau kadar gulanya mumbul, yang terjadi malah ‟layu sebelum berkembang‟. Lha wong siji wae ra entek-entek, kok arep ndobel. Boyokku kelakon sempal nanti,‟‟ begitu kilah Mas Celathu menampik ajakan berpoligami. (6/CK/RCB/SM/08-03-2009) Pada tuturan (13) di atas terdapat campur kode berupa kata ulang yang berasal dari bahasa Jawa, yaitu entek-entek (habis-habis). Kata ulang pada tuturan (13) di atas termasuk kata ulang utuh karena tidak mendapat imbuhan dan tidak berubah bunyi. Campur kode ini bersifat ke dalam (inner code-mixing). Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu yang meyakinkan istrinya dengan berbagai alasan, bahwa ia tidak mungkin akan berpoligami. Hal ini berkaitan dengan fenomena merebaknya isu-isu tentang perselingkuhan dan poligami yang ketika itu menjadi topik pembicaraan yang hangat dalam masyarakat. Latar belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Mas Celathu ingin menunjukkan kekhasan daerahnya. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud perulangan kata. (14) Hayo, mau ngapain lagi sekarang? Mau bilang ”urip mung mampir ngguyu” lagi sambil wajahnya Lha mbok mringis-nya commitpringas-pringis? to user sampai mrongos ya bakal ngos-ngosan. Soalnya, suhu badan Mas Celathu
perpustakaan.uns.ac.id
58 digilib.uns.ac.id
diibaratkan bisa untuk bikin telur setengah matang. Matanya berkunangkunang kayak teler cimeng. Jika berjalan tertatih-tatih seperti tuna netra kehilangan tongkat putih. (8/CK/RCB/SM/22-03-2009) Pada tuturan (14) di atas terdapat campur kode berupa kata ulang, yaitu pringas-pringis (cengar-cengir/senyum-senyum). Kata ulang ini termasuk kata ulang berubah bunyi. Dalam kata ulang pringas-pringis terjadi pergantian fonem, dari bentuk dasarnya pringis, fonem /i/ pada bentuk dasarnya tersebut diubah menjadi fonem /a/, sehingga pengulangannya menjadi pringas. Campur kode ini bersifat ke dalam karena berasal dari bahasa Jawa. Tuturan di atas diungkapkan oleh Mbakyu Celathu kepada Mas Celathu yang ketika itu sedang terbaring sakit di rumah sakit karena terkena demam berdarah. Mbakyu Celathu merasa kesal kepada Mas Celathu karena nasihatnya tidak pernah dihiraukan, akhirnya Mas Celathu harus beristirahat di rumah sakit. Latar belakang terjadinya campur kode ini adalah untuk menunjukkan latar belakang budaya Mbakyu Celathu sebagai orang Jawa. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud perulangan kata. (15) ”Makanya, sekarang diminum tuh jamu pegagannya. Biar daya ingat sampeyan tetap kuat. Dieling-eling dulu kayak apa sejarah capres itu. Dulunya jahat atau tidak? Pernah jadi penculik atau pembunuh atau memang orang suci? Kalau sampeyan sudah lupa permanen, ya nanti pasti keliru kalau nyontreng milih presiden,” nasihat Mbakyu Celathu. (10/CK/RCB/SM/03-05-2009) Pada tuturan (15) di atas terdapat campur kode berupa kata ulang yang berasal dari bahasa Jawa, yaitu Dieling-eling (Diingat-ingat). Kata ulang pada tuturan (15) di atas termasuk pengulangan bentuk dasar secara sebagian, tanpa perubahan fonem. Campur kode ini bersifat ke dalam (inner code-mixing). Tuturan dalam data (15) tersebut Mbakyu Celathu ketika commitdiungkapkan to user
perpustakaan.uns.ac.id
59 digilib.uns.ac.id
memberikan jamu tradisional berupa rebusan daun pegagan kepada Mas Celathu, yang dipercaya berkhasiat untuk meningkatkan daya ingat, agar Mas Celathu dapat mengingat dengan baik nama calon wakil rakyat, supaya tidak salah memilih waktu mencontreng. Hal ini berkaitan dengan fenomena akan dilaksanakannya pemilihan umum di Indonesia yang akan memilih presiden dan wakilnya. Latar belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Mbakyu Celathu ingin menonjolkan sifat kedaerahannya. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud perulangan kata. (16) ”Wualah lagakmu Pakne-pakne. Lha wong modalnya cuma nyonthong aja gayanya melebihi wakil rakyat yang bakal dilantik,” ejek Mbakyu sambil masih terus berkemas-kemas. (19/CK/RCB/SM/27-09-09) Tuturan pada data (16) di atas diungkapkan oleh Mbakyu Celathu. Pada data (16) terdapat campur kode berupa kata ulang yang berasal dari bahasa Jawa, yaitu Pakne-pakne (Bapak-bapak). Kata ulang pada tuturan (22) di atas termasuk kata ulang utuh karena tidak mendapat imbuhan dan tidak berubah bunyi. Campur kode ini bersifat ke dalam (inner code-mixing). Latar belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Mbakyu Celathu ingin menunjukkan kekhasan latar belakang budaya yang dimilikinya, yaitu budaya Jawa dengan memanfaatkan bentuk kata sapaan dalam bahasa Jawa yang ditujukan kepada Mas Celathu, suaminya. e. Campur Kode Berwujud Ungkapan atau Idiom Peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM ada yang berwujud ungkapan atau idiom. Data yang menunjukkan campur kode yang berwujud ungkapan atau idiom dapat dilihat dalam tuturan berikut. (17) Paling tidak, jika ada sementara commit to userorang gemar melihat kesengsaraan wong cilik berebut rezeki benama zakat, sedekah atau BLT, Bantuan
perpustakaan.uns.ac.id
60 digilib.uns.ac.id
Langsung Tunai, orang ini semestinya bisa mengompensasikan naluri primitif itu dengan melihat ikan berebut makan di kolam saja. Lebih aman dan dijamin nggak bakal ada korban lantaran kehabisan napas saat berdesak-desakan. (13/CK/RCB/SM/05-07-2009) Tuturan pada data (17) mengalami peristiwa campur kode ke dalam (inner code mixing) yang berwujud idiom dalam bahasa Jawa, yaitu wong cilik (rakyat kecil). Idiom dalam bahasa Jawa tersebut bermakna rakyat biasa/orang kebanyakan (bukan golongan bangsawan, pejabat, hartawan). Peristiwa campur kode pada data (17) diucapkan oleh Mas Celathu yang merasa simpati dan bersedih melihat keadaan rakyat kecil di negeri ini. Kedaan ekonomi yang tidak menentu membuat rakyat kecil semakin menderita. Untuk sekedar mendapatkan bantuan dengan jumlah uang tidak seberapa, mereka harus berdesak-desakan, bahkan sampai mengorbankan jiwa mereka. Mas Celathu berharap ada tata cara atau prosedur yang lebih manusiawi ketika pemerintah atau dermawan hendak menyalurkan bantuannya kepada rakyat kecil. Hal tersebut berkaitan dengan fenomena pemberian BLT (Bantuan Langsung Tunai) kepada masyarakat sebagai kompensasi BBM dari pemerintah. Campur kode tersebut disebabkan oleh latar belakang budaya Mas Celathu yang berbudaya Jawa, maka ia dalam bertutur dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Jadi, latar belakang terjadinya campur kode pada tuturan (17) di atas adalah Mas Celathu ingin menimbulkan suasana kedaerahan. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud ungkapan atau idiom. (18) ‟‟Kalau manusia beneran, mana mungkin punya pikiran jahat menghancurkan kehidupan?‟‟ jawab Mas Celathu ketika bininya bertanya, ‟‟Kira-kira manusia macem apa ya, pelaku pengeboman itu?‟‟ ‟‟Mungkin pelakunya jenis manusia kapok lombok,‟‟ jawab Mbakyu Celathu seraya menerangkan, ‟‟kapok lombok‟‟ adalah perilaku orang yang selalu ingin mengulang kekonyolan, meski kekonyolan itu nggak commit user kepedasan menggigit cabe. Pas enak dan menyengsarakan. Kayaktoorang
perpustakaan.uns.ac.id
61 digilib.uns.ac.id
mulutnya nyonyor kepedasan selalu bilang kapok, kapok, kapok.... Tapi jika nanti mengunyah tempe, tetap saja menceplus lombok. (15/CK/RCB/SM/19-07-2009) Tuturan pada data (18) mengalami peristiwa campur kode ke dalam (inner code mixing) yang berwujud idiom dalam bahasa Jawa, yaitu kapok lombok (jera/kapok (seperti makan) cabai) yang bermakna perilaku orang yang selalu ingin mengulang kekonyolan, meski kekonyolan itu tidak enak dan menyengsarakan. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mbakyu Celathu untuk menjawab pertanyaan dari Mas Celathu yang bertanya manusia seperti apa yang berulang kali, dan tidak berperasaan telah melakukan teror bom yang membuat banyak jatuh korban jiwa dan membuat rakyat Indonesia sengsara.
Mbakyu
Celathu merasa heran kepada orang-orang yang hobinya melakukan aksi teror bom tersebut. Jelas perbuatan itu telah menyengsarakan banyak orang, tetapi orang-orang/pelaku pengeboman itu tidak pernah merasa kapok atau jera untuk melakukannya lagi. Selalu mengulang kekonyolan, bahkan dengan pertaruhan kematian. Hal ini berkaitan dengan fenomena banyaknya aksi teror/pengeboman yang terjadi di Indonesia, mungkin memang murni kasus terorisme atau bisa saja merupakan konspirasi politik yang melatarbelakanginya. Latar belakang terjadinya campur kode tersebut adalah Mbakyu Celathu ingin menunjukkan kekhasan daerah/budaya atau menunjukkan latar belakang budaya yang dimilikinya, yaitu budaya Jawa dengan memanfaatkan bentuk-bentuk idiom dalam bahasa Jawa. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud ungkapan atau idiom. (19) ’’Jer basuki mawa beya, tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan. commit to user Kaki lecet juga boleh diartikan tumbal perjuangan. Satu hari saja aku tidak
perpustakaan.uns.ac.id
62 digilib.uns.ac.id
berkorban, badanku rasanya pegel-pegel linuÖBener tuh,‟‟ kata Mas Celathu dengan wajah diserius-seriuskan. (14/CK/RCB/SM/12-07-2009) Tuturan pada data (19) mengalami peristiwa campur kode ke dalam (inner code mixing) yang berwujud idiom dalam bahasa Jawa, yaitu jer basuki mawa beya yang bermakna perjuangan yang selalu disertai dengan pengorbanan. Tuturan yang diungkapkan Mas Celathu ketika dia jalan-jalan ke luar negeri. Ketika mendapat undangan dari Kedubes RI di sana, kakinya menjadi lecet-lecet karena memakai sepatu kulit model vantofel yang tertutup rapat. Mas Celathu menganggap kejadian tersebut sebagai sebuah pengorbanan. Campur kode tersebut disebabkan oleh latar belakang budaya Mas Celathu yang berbudaya Jawa, maka ia dalam bertutur dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Jadi, latar belakang terjadinya campur kode pada data (19) di atas adalah Mas Celathu sebagai seorang budayawan ingin menunjukkan kekhasan budaya yang dimilikinya, yaitu budaya Jawa. f. Campur Kode Berwujud Klausa Peristiwa campur kode dalam RCB pada surat kabar SM ada yang berwujud klausa. Data yang menunjukkan campur kode yang berwujud klausa dapat dilihat dalam tuturan berikut. (20) Meskipun jalan hidup menghantarkannya jadi pemain tonil, aslinya pendidikan formal Mas Celathu memang seni rupa. ”Mbaleni gawean lawas. Biar awet hidup,” ujar Mas Celathu menjawab pertanyaan istrinya yang terlihat bingung melihat aktivitasnya yang tidak lumrah. (12/CK/RCB/SM/07-06-2009) Pada tuturan (20) terdapat campur kode berwujud klausa, yaitu Mbaleni gawean lawas (mengulang pekerjaan lama). Campur kode ini bersifat ke dalam (inner code-mixing) karena berasal dari bahasa Jawa. Tuturan dalam data (20) di commit to user atas diungkapkan oleh Mas Celathu untuk menjawab pertanyaan istrinya yang
63 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terlihat bingung melihat aktivitasnya. Sebagai seorang pemain tonil Mas Celathu merasa rindu kepada pekerjaan dan hobi yang dulu pernah dikerjakannya yaitu melukis. Peristiwa campur kode ini dipengaruhi oleh latar belakang kebahasaan Mas Celathu yang berbahasa Jawa, sehingga Mas Celathu dalam bertutur banyak dipengaruhi bahasa Jawa. Jadi, latar belakang terjadinya campur kode pada tuturan (20) di atas adalah Mas Celathu ingin menunjukkan kekhasan daerahnya, selain itu campur kode dengan unsur-unsur bahasa daerah menunjukkan bahwa Mas Celathu sangat mencintai budayanya, yaitu budaya Jawa. Berikut ini adalah data lain yang mengandung campur kode yang berwujud klausa. (21) ”Lagian, sebagai manusia Indonesia yang pernah ditatar P4, saya juga ogah di-wayang-kan. Apa enaknya jadi tokoh wayang? Kalau nanti wayang diklaim jadi milik Malaysia, kan saya terpaksa pindah warga negara. Nggak banget deh. Right or wrong my country is Indon.” (20/CK/RCB/SM/27-09-09) Pada tuturan (21) terdapat campur kode berwujud klausa, yaitu Right or wrong my country is Indon (baik atau buruk bangsa dan negaraku tetap Indonesia). Campur kode ini bersifat ke luar (outer code-mixing) karena berasal dari bahasa Inggris. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu sebagai tanda betapa ia mencintai tanah air kelahirannya, Indonesia. Hal ini juga berkaitan dengan fenomena beberapa kebudayaan asli Indoensia yang diakui atau diklaim oleh Malaysia. Sebagai seorang budayawan Mas Celathu merasa marah dan kesal atas kejadian tersebut. Latar belakang terjadinya campur kode yang bersifat ke luar ini ialah Mas Celathu ingin memberi kesan bahwa ia mempunyai pengetahuan tentang bahasa Inggris yang cukup, sehingga akan menimbulkan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
64 digilib.uns.ac.id
kesan bahwa Mas Celathu adalah orang yang terpelajar atau orang yang berpendidikan.
2. Alih Kode dalam RCB pada Surat Kabar SM Alih kode adalah peristiwa peralihan dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi apabila seorang penutur mula-mula menggunakan kode A ( misalnya bahasa Indonesia ), dan kemudian beralih menggunakan kode B ( misalnya bahasa Jawa ), maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut alih kode ( code-switching ). Peristiwa alih kode mungkin berwujud alih varian, alih ragam, alih gaya atau register. Peralihan yang demikian dapat diamati lewat tingkattingkat tatabunyi, tatakata, tatabentuk, tatakalimat, tatawacananya (Suwito, 1991:80). Alih kode itu dapat terjadi antar bahasa-bahasa daerah dalam satu bahasa nasional, atau antara dialek-dialek dalam satu bahasa daerah, atau antar beberapa ragam dan gaya yang terdapat pada satu dialek. Alih kode seperti itu bersifat intern, jadi disebut dengan alih kode intern, sedangkan apabila yang terjadi adalah bahasa asli dengan bahasa asing, maka disebut alih kode ekstern. Mengacu pada teori di atas, ternyata pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM selain terjadi peristiwa campur kode juga terjadi peristiwa alih kode. Data yang menunjukkan peristiwa alih kode dalam RCB pada surat kabar SM tampak pada tuturan berikut ini. (22) ‟‟Sekarang banyak calon presiden yang senang ndobosi rakyatnya,‟‟ lantas melanjutkan dengan suara mirip mantan presiden Soeharto, yang melambungkan namanya, ’’Hamenangi zaman dobosan. Pemimpin kang ora melu ndobosan ora keduman...‟‟ (1/AK/RCB/SM/12-02-2009) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
65 digilib.uns.ac.id
Alih kode yang terjadi pada data (22) adalah peristiwa alih kode ke dalam atau alih kode intern, yaitu alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. peristiwa alih kode tersebut ditandai dengan kalimat “Hamenangi zaman dobosan. Pemimpin kang ora melu ndobosan ora keduman..”.( Berada dalam zaman penuh kebohongan. Pemimpin yang tidak ikut berbohong tidak mendapat bagian). Tuturan tersebut merupakan sindiran dari Mas Celathu, tentang fenomena politik yang terjadi di Indonesia. Bagaimana para calon pemimpin di negeri ini melakukan trik-trik atau strategi untuk meraih kursi kekuasaan, melakukan konspirasi-konspirasi politik, termasuk membohongi masyarakat dengan janji-janji dan tipu muslihat yang membuat masyarakat bersimpati dan mau memilihnya. Alih kode pada tuturan (22) tersebut berfungsi untuk membangkitkan rasa humor para hadirin atau tamu undangan. Ketika itu Mas Celathu bermonolog dalam acara malam resepsi HUT Ke-59 Suara Merdeka, di Rama Shinta Ballroom Hotel Patra Semarang, di depan para tamu undangan, seperti Pemimpin Umum Suara Merdeka Ir H Budi Santoso, mantan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Siswono Yudohusodo, Gubernur Bibit Waluyo, mantan gubernur Ali Mufiz, pengusaha Sandiaga Uno, Ketua DPRD Jateng Murdoko, dan Kapolda Jateng Irjen Alex Bambang Riatmodjo serta sejumlah bupati/wali kota. Berikut ini adalah data lain yang mengandung alih kode. (23) ”Cuma begitu kok sulit. Lihat aja contohnya.” ”Lho, centang napa contreng? Kok kula bingung niki...” ”Centang sama contreng itu sami mawon.” ”Nggih benten, beda, ta Bos. Contreng niku anak laron. Nggambarnya mboten gampang.” ”Hua ha ha....oallah Bos! Anak laron niku gonteng. Bukan contreng.” Lalu meledaklah tawa mereka. Hanya Bos Mburi yang semangkin bengong, bertanya dalam hati kenapa dirinya ditertawakan. Orang-orang terpelajar commitsoal to user menganggap masalah beginian sepele. Tapi tidak bagi wong cilik
66 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
seperti Bos Mburi. Betapa (2/AK/RCB/SM/15-03-2009)
pun,
mereka
butuh
bimbingan.
Alih kode yang terjadi pada data (23) adalah peristiwa alih kode ke dalam atau alih kode intern, yaitu alih kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Jawa. peristiwa alih kode tersebut ditandai dengan kalimat “Lho, centang napa contreng? Kok kula bingung niki...” (Lho, centang apa contreng? Kok saya bingung ini). Tuturan tersebut diutarakan oleh Bos Mburi. Ia adalah pembantu Mas Celathu ,yang bingung dengan bagaimana bentuk pencontrengan yang benar ketika pemilu nanti. Mas Celathu yang mula-mula menggunakan bahasa Indonesia
saat
memberikan
contoh
pencontrengan,
karena
Bos
Mburi
menjawabnya dengan bahasa Jawa, maka kemudian Mas Celathu beralih kode dengan berbahasa Jawa juga. Alih kode pada tuturan (23) dimaksudkan untuk mengimbangi bahasa yang dipergunakan oleh lawan tuturnya. Hal ini dikarenakan Bos Mburi sebagai mitra tutur mempunyai latar belakang kebahasaan yang sama dengan Mas Celathu sebagai penutur yaitu berlatar belakang bahasa Jawa.
3. Interferensi dalam RCB pada Surat Kabar SM Terjadinya interferensi ini berdasar pada kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dia dipengaruhi oleh bahasa lain. Interferensi ini dapat terjadi dalam menggunakan bahasa kedua (B2), dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah bahasa pertama atau bahasa ibu (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004:120).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
67 digilib.uns.ac.id
Interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti semua komponen kebahasaan dapat terjadi dalam bidang-bidang tatabunyi, tatabentuk, tatakalimat, tatakata, dan tatamakna (Suwito, 1991:65). Interferensi juga terjadi dalam pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM. Meskipun interferensi dapat terjadi dalam berbagai tataran, yaitu tataran bunyi, morfologi, maupun kalimat, akan tetapi interferensi yang terjadi dalam RCB yang paling banyak ditemukan adalah interferensi dalam tataran morfologi/kata. Data yang menunjukkan peristiwa interferensi dalam RCB pada surat kabar SM tampak pada tuturan berikut ini. (24) Dia seakan-akan ikut mengamini adanya paranoia terhadap warna. Warna-warni yang seharusnya bebas ditafsirkan, biasanya akan dimonopoli oleh partai-partai yang selalu mengidentikkannya dengan warna tertentu. Persis sebagaimana dulu Jawa Tengah pernah menjadi korban kuningisasi, sampai-sampai Borobudur nyaris diguyur cat warna kuning. (1/Interf/RCB/SM/15-02-2009) Tuturan pada data (24) mengalami peristiwa interferensi dalam tataran kata. Peristiwa interferensi/penyimpangan dalam bahasa Indonesia itu ditandai dengan kata kuningisasi. Pemakaian kata serapan asing yang berbentuk afiks – (n)isasi seharusnya tidak digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia karena sudah ada padanannya yaitu afiks pe – an. Dengan demikian, pemakaian kata kuningisasi merupakan interferensi/penyimpangan bahasa Indonesia dalam RCB pada surat kabar SM, karena kata itu sudah mempunyai padanan yang benar dalam bahasa Indonesia yaitu penguningan. Berikut ini adalah data lain yang mengandung interferensi. Dan Mas Celathu yang supercuek, ngeyelan, mbagusi dan hidupnya cenderung memanjakan guyonan, akhirnya harus terkapar di ranjang rumah sakit, gara-gara keok melawan seekor nyamuk. Ya, nyamuk aedes aegypti! ”Biar kapok. belum kesandung kayak gini kan commitKalau to user nggak mau istirahat. (2/Interf/RCB/SM/22-03-2009)
(25)
68 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tuturan pada data (25) mengalami peristiwa interferensi dalam tataran kata. Peristiwa interferensi/penyimpangan dalam bahasa Indonesia itu ditandai dengan kata kesandung. Pemakaian afiks ke - an seharusnya tidak digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia karena sudah ada padanannya yaitu afiks ter-. Jadi, bentuk yang benar dari kata kesandung adalah tersandung .pemakaian kata kesandung dipengaruhi oleh ragam bahasa Jawa, karena penulisnya adalah berlatar belakang budaya Jawa asli. Dengan demikian, pemakaian kata kesandung merupakan interferensi/penyimpangan bahasa Indonesia dalam RCB, karena kata itu sudah mempunyai padanan yang benar dalam bahasa Indonesia yaitu tersandung. Berikut ini adalah data lain yang mengandung interferensi. (26) ‟Lho bukan begitu. Ini kan demi menghormati yang ngundang. Kalau pakai sepatu sandal nanti dikira nggak tahu sopan santun. Bangsa kita kan dikenal beradab. Apalagi acara yang kita kunjungi ini tingkat internasional lho,‟‟ kilahnya setengah bercanda. (3/Interf/RCB/SM/12-07-2009) Tuturan pada data (26) mengalami peristiwa campur kode ke dalam (inner code mixing) dan interferensi dalam tataran kata. Peristiwa campur kode dan interferensi itu ditandai dengan kata ngundang. Pemakaian kata ngundang seharusnya tidak digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia karena sudah ada bentuk yang benar yaitu mengundang. Pemakaian kata ngundang dipengaruhi oleh ragam bahasa Jawa. Dengan demikian, pemakaian kata ngundang merupakan campur kode sekaligus interferensi/penyimpangan bahasa Indonesia dalam RCB, karena kata itu sudah mempunyai bentuk yang benar dalam bahasa Indonesia yaitu mengundang. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
69 digilib.uns.ac.id
Berikut ini adalah data lain yang mengandung interferensi. (27) ‟‟Hebat lho itu, sudah berpancasila je. Tapi sikap berpancasila ternyata bukan monopolinya orang Indonesia saja lho dik. Meski pun bule-bule itu nggak kenal Pancasila, terkadang perilakunya sangat Pancasilais lho. Bener itu. Peraturan-peraturan di sana dibuat supaya rakyatnya bahagia. Dan aparat pemerintahnya sangat sadar kalau mereka itu adalah pelayan masyarakat,‟‟ tutur Mas Celathu. (4/Interf/RCB/SM/26-07-2009) Tuturan pada data (27) mengalami peristiwa interferensi dalam tataran kata. Peristiwa interferensi/penyimpangan dalam bahasa Indonesia itu ditandai dengan kata Pancasilais. Pemakaian kata serapan asing yang berbentuk afiks –is seharusnya tidak digunakan dalam pemakaian bahasa Indonesia karena bentuk yang benar ialah dengan kata „pengikut paham’. Dengan demikian, pemakaian kata Pancasilais merupakan interferensi/penyimpangan bahasa Indonesia dalam RCB pada surat kabar SM, karena kata itu sudah mempunyai padanan yang benar dalam bahasa Indonesia yaitu dengan kata-kata pengikut paham Pancasila.
4. Pelesapan dan Penambahan Fonem Selain bentuk-bentuk campur kode, alih kode, dan interferensi fenomena yang terjadi dalam pembuatan RCB pada surat kabar SM adalah adanya kecenderungan mengabaikan bahasa yang bersifat formal dalam pemilihan kata yang dilakukan oleh penulis, yaitu Butet Kertaradjasa. Hal tersebut selain menunjukkan kekhasan penggunaan bahasa juga dikarenakan pembaca surat kabar SM, khususnya pembaca RCB yang berasal dari berbagai kalangan, sehingga dengan penggunaan bahasa yang seperti itu, akan terasa lebih santai dan mempunyai kecenderungan sebagai bahasa tutur yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. Salah satu hal yang sering dilakukan adalah dengan commit to user
70 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
menambah ataupun mengurangi fonem baik berupa konsonan/vokal maupun suku kata. a. Pelesapan Konsonan di Awal Kata Sebagai data dapat dilihat dalam tuturan berikut. (28) “Bapak ki piye ta? Kan Vantine Day‟s..ya semua harus serba pink dong.”“ Emang ada peraturan yang mengharuskan begitu?” “Haaaeeess..embuh-lah. Bapak ki mesti ngeyel.”(2/PPF/RCB/SM/15-022009) (29) “Sampeyan itu ya kebangetan. Lha wong anak punya keinginan sederhana aja kok ya nggak dituruti. Apa sih susahnya pakai kaos atau baju warna merah jambu?” tiba-tiba Mbakyu Celathu ikutan nimbrung. (3/PPF/RCB/SM/15-02-2009) (30) ’’Udah tua kok nggak tahu diri. Biar tahu rasa. Nikmati tuh boyok yang sempal,‟‟ kata Mbakyu Celathu ketika mendengar kabar Mas Celathu terkilir pinggangnya gara-gara terjatuh dari kuda. Konon, belum lama ini Mas Celathu nekat menunggang kuda di kawasan wisata Bromo. Dia terpelanting dari pelana ketika kuda tunggangannya berlari kencang, sehingga tubuhnya terhempas di bebatuan. (7/PPF/RCB/SM/17-05-2009) Fenomena pelesapan konsonan di awal kata tampak pada emang (data 28), aja (data 29), dan udah (data 30). Pada kata aja dan udah terjadi pelesapan konsonan /s/, sedang pada kata emang terjadi pelesapan konsonan /m/. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut. Saja
[s]aja
aja
Memang
[m]emang
memang
Sudah
[s]udah
sudah
Pelesapan ketiga kata ini memang banyak ditemukan dalam RCB. Dengan menanggalkan di awal kata maka tuturan yang disampaikan penulis menjadi lebih luwes/lentur sehingga terhindar dari kesan kaku dalam berkomunikasi tujuannya adalah terciptanya suasana yang komunikatif dan lebih commit to user santai.
perpustakaan.uns.ac.id
71 digilib.uns.ac.id
Dalam bahasa Indonesia yang baku terdapat proses afaresis, yaitu sebuah proses pembentukan kata dengan cara menanggalkan satu atau lebih fonem di awal kata. Namun, pelesapan fonem dalam proses afaresis dan yang terjadi dalam RCB pada surat kabar SM tidaklah sama. Dalam afaresis, kata bentukan yang baru adalah kata yang baku dan sesuai dengan PUEYD ,sedangkan dalam RCB bentukan kata yang terjadi adalah bentuk yang tidak baku. b. Pelesapan Suku Kata Fenomena pelesapan suku kata yang terjadi dalam rubrik CB dapat dilihat dari data berikut. (31) ‟‟LHO, Bapak kok tidak pakai baju warna pink?” “Wualaaahh....apa ya pantes? He he he ...nanti aku malah kayak ice cream rasa strawberry, semua orang jadi terangsang pengin menjilati aku gimana? Emang kenapa ta, dik?” (1/PPF/RCB/SM/15-02-2009) (32) Dan Mas Celathu yang supercuek, ngeyelan, mbagusi dan hidupnya cenderung memanjakan guyonan, akhirnya harus terkapar di ranjang rumah sakit, gara-gara keok melawan seekor nyamuk. Ya, nyamuk aedesaegypti! ”Biar kapok. Kalau belum kesandung kayak gini kan nggak mau istirahat. Dibilangin kok nggak pernah nurut. Tahu rasa sekarang, sampeyan,” omel Mbakyu Celathu yang tiba-tiba harus ganti peran jadi suster perawat. (4/PPF/RCB/SM/22-03-2009) (33) ‟‟Terus maunya gimana? Pengin dirayu sama capres yang nggantheng ya?‟‟ sindir Mas Celathu. ‟‟Bukan begitu. Mbok ya kalau kampanye itu yang sopan. Jangan menakutkan. Pidato-pidato itu kan lebih bermanfaat, bisa menjelaskan apa maunya partai. Gitu dong...‟‟. (5/PPF/RCB/SM/05-04-2009) (34) La ini pendaftaran dah mau berakhir je...” desak Jeng Genit sambil meneruskan, ”Bapak mengizinkan nggak sih aku ikutan lomba ini?” (6/PPF/RCB/SM/19-04-2009) (35) ‟‟Lho bukan begitu. Ini kan demi menghormati yang ngundang. Kalau pakai sepatu sandal nanti dikira nggak tahu sopan santun. Bangsa kita kan dikenal beradab. Apalagi acara yang kita kunjungi ini tingkat internasional lho,‟‟ kilahnya setengah bercanda. (8/PPF/RCB/SM/12-072009) commit to user
72 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(36) ‟‟Orang yang paling ikhlas itu ya guru-guru SD. Mereka mengisi dan memberi kepada semua murid tanpa pilih kasih. Memberi, memberi dan memberi. Nggak pernah meminta. Kalau dosen, apalagi dosen muda yang bujangan, kadang-kadang nyimpan pamrih. Hanya kepada mahasiswi yang diincar untuk dipacarai dia kasih perhatian berlebih. Nggak murni lagi dedikasinya,‟‟ begitu seloroh Mas Celathu suatu kali. (9/PPF/RCB/SM/23-08-2009) Pada data (31) kata gimana terjadi pelesapan dua suku kata, yaitu : Bagaimana
[ba]g[a]imana
gimana
Pada kata gini, gitu, dah, ngundang, dan nyimpan terjadi pelesapan satu suku kata. Untuk lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut. Begini
[be]gini
gini
Begitu
[be]gitu
gitu
Sudah
[su]dah
dah
Mengundang
[me] + undang
ngundang
Menyimpan
[me] + simpan
nyimpan
Pelesapan suku kata pada kata-kata di atas terjadi karena bentukan kata yang baru terasa lebih singkat dan komunikatif. Selain itu, dengan menciptakan kata-kata yang lebih singkat ini akan menghindarkan pembaca dari kebosanan daripada ketika menggunakan bentuk yang lebih baku.
5. Interjeksi Interjeksi adalah kategori yang bertugas mengungkapkan perasaan pembicara, dan secara sintaksis tidak berhubungan dengan kata-kata lain dalam ujaran. Interjeksi bersifat ekstrakalimat dan selalu mendahului ujaran sebagai teriakan yang lepas atau berdiri sendiri. Interjeksi dapat ditemukan dalam RCB, seperti dalam data berikut. commit to user
73 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(37) ‟‟LHO, Bapak kok tidak pakai baju warna pink?” “Wualaaahh....apa ya pantes? He he he ...nanti aku malah kayak ice cream rasa strawberry, semua orang jadi terangsang pengin menjilati aku gimana? Emang kenapa ta, dik?” “Bapak ki piye ta? Kan Vantine Day‟s....ya semua harus serba pink dong.” “Emang ada peraturan yang mengharuskan begitu?” “Haaaeeess...embuh-lah. Bapak ki mesti ngeyel...” (4/Interj/RCB/SM/15-02-2009)
Dari data (37) tersebut tampak adanya penggunaan beberapa kata yang termasuk dalam jenis interjeksi, yaitu kata-kata ‟‟LHO”,
“Wualaaah”, dan
“Haaaeeess”. Kata “LHO” termasuk jenis interjeksi yang menyatakan rasa kekagetan. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Genit yang terkejut/kaget melihat ayahnya, Mas Celathu, yang tidak memakai baju berwarna pink, yang telah ia siapkan untuk memperingati hari kasih sayang atau Valentine Day’s. Kata “Wualaaahh” termasuk ke dalam jenis interjeksi yang menyatakan keheranan. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Mas Celathu yang merasa heran mengapa ia harus memakai baju berwarna pink untuk memperingati hari Valentin atau Valentine Day’s, sedangkan kata “Haaaeeess” adalah interjeksi untuk menyatakan kekecewaan atau kekesalan. Tuturan tersebut diungkapkan Jeng Genit untuk menyatakan kekesalannya kepada Mas Celathu karena dia tidak bersedia mengenakan baju berwarna pink untuk memperingati Valentine Day’s. Berikut ini adalah data lain yang mengandung interjeksi. (38) Dan lihatlah! Mas Celathu sekarang pakai kaos ketat warna pink! Penampilan yang sungguh menakjubkan, benar-benar sensasi Valentine paling seru. Bener-bener tidak matching. Warna itu terasa asing melekat di tubuh Mas Celathu yang selama ini memang nggak pernah dibungkus warna cerah. Jeng Genit yang rupanya sedari tadi mengintip dari balik pintu, langsung menyeruak kegirangan dan berlompat-lompat histeris,”Horeeee....bapakku pakai kaos merah jambu. Happy Valentine ayah...hua ha ha. Bapak lucu...!!!!” (7/Interj/RCB/SM/15-02-2009) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74 digilib.uns.ac.id
Kata “Horeeee” pada data (38) merupakan bentuk interjeksi. Kata tersebut termasuk ke dalam jenis interjeksi yang menyatakan kelegaan atau ungkapan kegembiraan. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Genit yang merasa lega dan gembira ketika melihat sang ayah, yaitu Mas Celathu, yang akhirnya bersedia mengenakan kaos yang berwarna pink, sesuai dengan apa yang diinginkannya. Berikut ini adalah data lain yang mengandung interjeksi. (39) ‟‟Nah itu tugasnya orang miskin. Biasanya, orang miskin terlatih berpikir. Berpikir bagaimana caranya ngumpet dari tagihan utang. Berpikir cari tambahan rezeki, berpikir bagaimana caranya dapat beras dan minyak murah, berpikir nebus obat yang harganya mencekik, berpikir cari bea siswa biar sekolah gratis, berpikir ngakali wong sugih biar rela jadi dermawan, berpikir. ...‟‟ ‟‟Huusssss!!! Omongan sampeyan itu bisa bikin orang sakit hati lho. (9/Interj/RCB/SM/22-02-2009) Kata “Huussss” dalam data (39) termasuk ke dalam jenis interjeksi yang menyatakan seruan. Bentuk interjeksi seruan tersebut diungkapkan oleh Mbakyu Celathu kepada Mas Celathu agar Mas Celathu tidak asal bicara. Ketika itu, Mas Celathu membicarakan bagaimana kebiasaan atau pola hidup masyarakat yang hidupnya kekurangan atau miskin seperti, bersembunyi ketika ada tagihan hutang, berpikir bagaimana caranya mendapatkan sembako murah, dan berpikir bagaimana mencari simpati dari orang kaya agar mereka bersedia menjadi dermawan. Mbakyu Celathu khawatir kata-kata Mas Celathu itu dapat membuat orang sakit hati. Berikut ini adalah data lain yang mengandung interjeksi. (40) ‟‟Lha... saya.. itu.. malah... bersyukur... je,‟‟ ujar Mas Celathu dengan irama kalem kayak dialog Arjuna di panggung wayang orang. ‟‟Haaah...bersyukur?‟‟ ‟‟Lho,...kalau nggak ada gegeran seperti ini, kapan Pemerintah Indonesia peduli dan memperhatikan kebudayaan. Kan lumayan, sekarang semua commitbudaya. to user Menterinya tidak hanya bicara perhatian diarahkan ke sektor
75 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pariwisata lagi. Kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai alat untuk menyedot devisa. Jadi, ya pantas disyukuri ta?‟‟Mengartikulasikan Pikiran Mendengar jawaban ini Semaya yang temperamental langsung maknyeeees. Lega. Rupanya sohibnya masih berbudaya. Maksudnya, masih peduli memperjuangkan dunia kebudayaan yang kerap menikmati diskriminasi, bahkan oleh pemerintahannya sendiri. (16/Interj/RCB/SM/30-08-2009) Kata “Haaah” dalam data (40) termasuk ke dalam jenis interjeksi yang menyatakan
kekagetan.
Tuturan
yang
mengandung
interjeksi
tersebut
diungkapkan oleh teman Mas Celathu. Ia merasa kaget dan heran kepada Mas Celathu, atas jawaban dan komentarnya mengenai fenomena yang terjadi saat itu, yaitu peristiwa ketika Malaysia tidak lagi menghargai kedaulatan bangsa dan negara Indonesia, dengan mengklaim kekayaan budaya Indonesia. Orang-orang pun bersahutan memprotes dan memaki terhadap tindakan Malaysia tersebut, tetapi Mas Celathu tidak ikutan panik malah terkesan malas menanggapi hal tersebut, dan sama sekali tidak memperlihatkan gairah yang meledak-ledak. Ketika teman-temannya mengajak demonstrasi ke Kedubes Malaysia, oleh Mas Celathu hanya dijawab dengan gelengan kepala, padahal Mas Celathu merupakan seorang pekerja kebudayaan. Meskipun demikian, ternyata Mas Celathu mempunyai alasan mengapa dia bersikap demikian. Mas Celathu malah merasa lega karena bangsa kita dapat mengambil hikmah dari peristiwa yang terjadi. Dengan kejadian tersebut pemerintah, dan semua warga negara Indonesia dapat lebih menghargai dan mencintai kebudayaannya sendiri. Mas Celathu juga tidak ingin sebuah kebudayaan hanya digunakan sebagai alat penyedot devisa. Berikut ini adalah data lain yang mengandung interjeksi. (41) ‟‟Dan sialnya, banyak orang yang patuh. Tidak berani melihat cincin raksasa mengkilat di angkasa. Sayang sekali, padahal pada detik GMT itu pemandangannya indah banget. Hari yang semula terang to user gelap total kayak malam hari, benderang, lalu meredup commit perlahan-lahan,
76 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan di langit terlihat matahari tertutupi rembulan. Yang terlihat kemudian adalah bulatan kayak cincin menyala di tepiannya. Wuaah..wah, wah, jan elok tenan,‟‟ kenang Mas Celathu dengan agak mendramatisasi, sehingga Jeng Genit semakin gemas karena selama hidupnya dia tak akan sempat menyaksikan keajaiban alam yang berlangsung seratus tahun sekali itu‟‟Wuiihhh, bagus sekali ya? Tapi kenapa pemerintah melarang rakyat melihat keindahan dan keajaiban itu?‟‟ (17/Interj/RCB/SM/06-09-2009) Pada data (41) di atas terdapat dua interjeksi, yaitu kata–kata “Wuaah..wah, wah” dan “Wuiihhh”. Kedua interjeksi tersebut termasuk ke dalam jenis interjeksi untuk menyatakan keheranan atau kekaguman. Tuturan “Wuaah..wah, wah” ini diungkapkan oleh Mas Celathu kepada Jeng Genit untuk menyatakan kekagumannya pada keajaiban alam gerhana matahari yang terjadi setiap seratus tahun sekali. Mas Celathu menggambarkan bagaimana keindahan alam ketika terjadi gerhana matahari waktu itu. Ia menjelaskan kepada Jeng Genit, ketika detik GMT (Gerhana Matahari total) itu terjadi pemandangannya menjadi sangat indah. Hari yang semula terang benderang, lalu meredup perlahan-lahan, gelap total seperti malam hari, dan di langit terlihat matahari tertutupi rembulan. Yang terlihat kemudian adalah bulatan berbentuk cincin menyala di tepiannya. Mendengar cerita ayahnya tersebut, Jeng Genit menjadi kagum, ditandai dengan kata-kata “Wuiihhh”,, yang termasuk ke dalam jenis interjeksi untuk menyatakan kekaguman atau keheranan. Selain bentuk-bentuk interjeksi di atas, dalam RCB juga terdapat bentuk interjeksi yang lain, seperti terlihat dalam tabel berikut. Interjeksi No
Kata - kata
Nomor Data
1
’’Wuah,wuah,”
(1/Interj/RCB/SM/01-02-2009)
2
“Wueleh,weleh”
commit to user (2/Interj/RCB/SM/01-02-2009)
Jenis interjeksi Menyatakan keheranan Menyatakan
77 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keheranan 3
“Please,please”
(6/Interj/RCB/SM/15-02-2009)
Menyatakan seruan atau panggilan minta perhatian
4
‟‟Wueeleh,...
(8/Interj/RCB/SM/22-02-2009)
Menyatakan keheranan
5
“Wuah”
(10/Interj/RCB/SM/22-03-2009)
Menyatakan kekecewaan kesal
dan
6
“eeeh..”
(11/Interj/RCB/SM/12-04-2009)
Menyatakan seruan atau panggilan minta perhatian
7
“Nah...”
(12/Interj/RCB/SM/26-04-2009)
Menyatakan kelegaan
8
“Hayooo...”.
(13/Interj/RCB/SM/26-04-2009)
Menyatakan seruan atau panggilan minta perhatian
9
Wahai...’
(15/Interj/RCB/SM/21-06-2009)
Menyatakan seruan atau panggilan minta perhatian
6. Pemakaian Partikel Dialek Jakarta Selain unsur dialek bahasa Jawa, unsur dialek yang cukup berpengaruh pada pemakaian bahasa dalam RCB di surat kabar SM adalah unsur-unsur dialek Jakarta. Kota Jakarta dengan segala perkembangan dan kemajuannya merupakan sumber acuan bagi kota-kota lainnya. Unsur-unsur dialek Jakarta sering digunakan oleh penulis dalam mengemas ide yang ingin disampaikan, selain itu commit to user
78 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dialek Jakarta digunakan dalam RCB agar bahasa yang digunakan terasa lebih komunikatif, santai, trendi serta dapat menyegarkan suasana. Salah satu unsur dialek Jakarta yang digunakan adalah pemakaian partikel dialek Jakarta. Pemakaian partikel dialek Jakarta tersebut dapat dilihat dalam data berikut. (42) Dengan sok bijaksana, Mas Celathu lalu bilang,”Memangnya nggak ada lomba yang lain apa? Lagian kamu kan mau Ujian Nasional. Mbok ya sinau aja yang serius, biar lulus.” ”La ini pendaftaran dah mau berakhir je...” desak Jeng Genit sambil meneruskan, ”Bapak mengizinkan nggak sih aku ikutan lomba ini?” (1/PDJ/RCB/SM/19-04-2009) Dari data (42) terlihat adanya pemakaian partikel dialek Jakarta yang ditandai dengan kata “sih”. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Genit yang meminta izin kepada ayahnya, Mas Celathu, untuk mengikuti lomba pemilihan gadis sampul atau cover girl. Sebenarnya Mas Celathu tidak memberi izin kepada Jeng Genit untuk mengikuti lomba tersebut, ia beralasan bahwa ujian nasional Jeng Genit sudah dekat, jadi Mas Celathu berharap kepada Jeng Genit untuk berkonsentrasi pada ujiannya, agar nanti ia lulus dan mendapatkan hasil yang maksimal. Selain itu, Mas Celathu juga berpendapat bahwa lomba yang lebih mengutamakan keindahan fisik, tepatnya kecantikan wajah, dirasa tidak berjiwa sportivitas dan jauh dari hakikat sebuah kompetisi. Menurut Mas Celathu, ukuran kecantikan itu bersifat relatif dan personal, jadi tidak ada tolok ukurnya. Untuk itu, Mas Celathu tidak setuju apabila anaknya berlaga di lomba seperti itu. Namun, Mas Celathu menahan diri, alasan penolakan yang sesungguhnya dia simpan rapat-rapat. Dia tidak ingin menyinggung perasaan anaknya. Kecantikan tidak bisa diukur dengan ilmu pasti, dan bisa dimenangkan atau dikalahkan, jelek bagi orang lain, bisa dianggap cantik bagi yang lainnya. Berbeda dengan commit to user
79 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kompetisi olahraga atau seperti cerdas cermat yang memang bisa melahirkan nilai yang terukur, dan benar-benar menguji ketangkasan dan kecerdasan. Berikut ini adalah data lain yang mengandung partikel dialek Jakarta. (43) Keningnya langsung berkerut, pertanda dia sulit menerima argumen itu. Tadinya yang dipersoalkan adalah jenis lomba yang memang tak masuk akal itu. Tapi, kini persoalannya jadi lain. Alasannya itu lho? Kok pede banget? ”Jadi,...kamu yakin bakal menang?” ”Ya iyalah..mosok ya iya dong.” ”Kalau ternyata kalah?” ”Ya nggak mungkin. Temanku pada bilang kalau aku cantik kok. Ya pasti menang.” (2/PDJ/RCB/SM/19-04-2009) Dari data (43) terlihat adanya pemakaian partikel dialek Jakarta yang ditandai dengan kata “dong”. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Genit yang meyakinkan ayahnya, bahwa ia akan menang dalam lomba atau pemilihan gadis sampul tersebut. Jeng Genit merasa yakin karena mendapat motivasi dari temantemannya, yang mengatakan bahwa ia cantik dan pasti menang. Berikut ini adalah data lain yang mengandung partikel dialek Jakarta. (44) ”Kalau sampai besok nggak ada kabar beritanya, lapor polisi aja. Biar terlacak. Nggak ada babe rugi banget deh,...nggak ada yang bisa dipalak,” usul Mbak Tomboy, anak keduanya yang memang paling demen menadahkan tangan setiap bersua ayahnya. (3/PDJ/RCB/SM/14-06-2009) Dari data (44) terlihat adanya pemakaian partikel dialek Jakarta yang ditandai dengan kata “deh”. Tuturan tersebut diungkapkan oleh Jeng Tomboy, ketika ayahnya, Mas Celathu, pergi beberapa hari dan tidak ada kabar. Sesungguhnya, bagi keluarga Celathu, ditinggal pergi suami sekaligus kepala keluarga adalah hal biasa. Namun, kali ini kepergiannya menyisakan kecemasan pada istri dan ketiga anaknya, hal itu disebabkan tidak adanya komunikasi atau kabar dari Mas Celathu. commit to user
80 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Faktor Sosial yang Mempengaruhi Pemakaian Bahasa dalam RCB pada Surat Kabar SM Di dalam setiap peristiwa interaksi verbal selalu terdapat beberapa faktor (unsur) yang mengambil peranan dalam peristiwa itu. Faktor-faktor itu antara lain ialah : penutur (speaker), lawan bicara/lawan tutur (hearer, receiver), suasana pembicaraan (situation scene), pokok pembicaraan (topic)dan sebagainya. Dalam setiap pemakaian bahasa, setiap penutur akan selalu memperhitungkan kepada siapa ia berbicara, di mana, mengenai masalah apa, dan dalam suasana bagaimana. Dengan demikian maka tempat bicara akan menentukan cara pemakaian bahasa penutur demikian pula pokok pembicaraan dan situasi bicara akan memberikan warna terhadap pembicaraan yang sedang berlangsung (Suwito, 1991:35-36). Berdasarkan teori tersebut, berikut diuraikan faktor-faktor yang melatarbelakangi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM.
1. Penutur (speaker) dan Mitra Tutur (hearer, receiver) Butet Kertaradjasa merupakan penulis RCB yang diterbitkan pada surat kabar
SM.
Dalam
rubrik
ini,
Butet/penulis
menggambarkan
atau
mengimajinasikan dirinya menjadi tokoh Mas Celathu. Selain itu, penulis juga menggambarkan atau mengimajinasikan anggota keluarganya ke dalam tokohtokoh yang terdapat dalam RCB ini, yaitu Mbakyu Celathu (istri Butet), Mas Ndut (anak pertama Butet), Mbak Tomboy (anak kedua Butet), Jeng Genit (anak ketiga Butet), Mbak Yatek (pembantu Butet), dan Bos Mburi (pembantu Butet). Perbedaan latar belakang secara fisik di antara pengimajinasian para tokoh di atas membuat perbedaancommit pemakaian to userbahasa yang dipakai oleh penutur
81 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan mitra tutur dalam berkomunikasi. Perbedaan secara fisik tersebut meliputi perbedaan jenis kelamin, usia, status sosial, tingkat pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat dalam tuturan berikut. (45) Keningnya langsung berkerut, pertanda dia sulit menerima argumen itu. Tadinya yang dipersoalkan adalah jenis lomba yang memang tak masuk akal itu. Tapi, kini persoalannya jadi lain. Alasannya itu lho? Kok pede banget? ”Jadi,...kamu yakin bakal menang?” ”Ya iyalah..mosok ya iya dong.” ”Kalau ternyata kalah?” ”Ya nggak mungkin. Temanku pada bilang kalau aku cantik kok. Ya pasti menang.” (RCB edisi 19 April 2009) Tuturan data (45) di atas adalah percakapan antara Mas Celathu dengan Jeng Genit, atau dilihat dari hubungan sosialnya tuturan di atas adalah percakapan antara seorang anak dengan ayahnya. Jika dilihat dari faktor usia, Jeng Genit adalah seorang gadis remaja yang masih berusia belasan tahun. Dari tuturan di atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh Jeng Genit merupakan ragam akrab (intimate), yaitu ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-artikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-istilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab. Hal tersebut ditandai ketika Mas Celathu bertanya” ”Jadi,...kamu yakin bakal menang?”dengan menggunakan bahasa Indonesia, kemudian Jeng Genit menjawabnya dengan memakai unsur bahasa dari dialek Jakarta, yaitu pada kalimat “Ya iyalah..mosok ya iya dong.” Perbedaan pemakaian bahasa oleh Mas Celathu tentu akan berbeda ketika ia berkomunikasi dengan tokoh yang lain. Seperti ketika ia berkomunikasi dengan istrinya, yaitu Mbakyu Celathu. Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan berikut. commit to user
82 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(46) ”Kalau nggak minum sirih, keringat sampeyan itu baunya mak breeeng. Yang punya badan sih nggak bisa merasakan. Tapi yang berpapasan bisa semaput. Awas, jangan tidak diminum ya,” ujar Mbakyu Celathu sambil menyodorkan segelas ramuan lain....”Lha ini jamu apa lagi?” tanya Mas Celathu ketika disodori segelas jamu berikutnya. ”Ini godokan daun pegagan. Biar sampeyan tidak cepat pikun. Khasiatnya sangat jos untuk orang berumur yang mulai gampang lupa.” ”Asem ki. Memangnya aku sudah pikun. Jangan ngece ya. Aku ini pemain tonil je. Masih mampu menghafal puluhan halaman naskah sandiwara, kok dianggap pelupa?” jawabnya dengan jumawa, seakan usia bisa diajak kompromi dengan kekuatan tubuhnya( RCB edisi 3 Mei 2009) Tuturan data (46) di atas adalah percakapan antara Mas Celathu dengan Mbakyu Celathu atau percakapan antara seorang suami dengan istrinya. Mas Celathu dan Mbakyu Celathu berasal dari latar belakang budaya yang sama, yaitu berlatar belakang budaya Jawa, hal tersebut terlihat pada kalimat yang diutarakan oleh Mbakyu Celathu yang memakai kata sapaan bahasa Jawa „sampeyan’ yang berfungsi untuk menunjukkan rasa hormat. Mas Celathu juga menggunakan beberapa kata dalam bahasa Jawa seperti, „Asem ki‟ dan „ngece’. Dari tuturan di atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh Mas Celathu dan Mbakyu Celathu adalah ragam akrab (intimate) yaitu ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-artikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-istilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab. Perbedaan pemakaian bahasa oleh Mas Celathu tentu akan berbeda ketika ia berkomunikasi dengan tokoh yang lain, selain dengan istri dan anaknya. Seperti ketika ia berkomunikasi dengan pembantunya, yaitu Bos Mburi. Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan berikut. commit to user
83 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
(47) Hanya Bos Mburi, lelaki lugu yang sudah lama mengabdi dan jadi belahan jiwa Mas Celathu, masih bengong di depan papan tulis. Dia terlihat ragu-ragu menggoreskan spidol. Sambil menggaruk-garuk rambutnya yang tidak gatal, dia bertanya dengan wajah serius, ”Bos, menggambar contreng itu rada sulit je. Pripun niki?” ”Cuma begitu kok sulit. Lihat aja contohnya.” ”Lho, centang napa contreng? Kok kula bingung niki...” ”Centang sama contreng itu sami mawon.” ”Nggih benten, beda, ta Bos. Contreng niku anak laron. Nggambarnya mboten gampang.” ”Hua ha ha....oallah Bos! Anak laron niku gonteng. Bukan contreng.”Lalu meledaklah tawa mereka. Hanya Bos Buri yang semangkin bengong, bertanya dalam hati kenapa dirinya ditertawakan. Orang-orang terpelajar menganggap masalah beginian soal sepele. Tapi tidak bagi wong cilik seperti Bos Mburi. Betapa pun, mereka butuh bimbingan (RCB edisi 15 Maret 2009) Tuturan data (47) di atas adalah percakapan antara Mas Celathu dengan Bos Mburi. Jika dilihat dari hubungan atau status sosialnya, percakapan di atas adalah percakapan antara majikan dengan pembantunya. Bahasa Jawa mengenal kasta dalam pemakaiannya, maka tuturan yang dipakai oleh Bos Mburi menggunakan bahasa Jawa yang halus atau krama ketika ia berkomunikasi dengan Mas Celathu, tuannya. Hal tersebut terlihat pada kalimat yang diutarakan oleh Bos Mburi yang memakai bahasa Jawa „Lho, centang napa contreng? Kok kula bingung niki...”yang berfungsi untuk menunjukkan rasa hormat kepada Mas Celathu. Karena Mas Celathu dan Bos Mburi berasal dari latar belakang budaya yang sama, yaitu berlatar belakang budaya Jawa, maka Mas Celathu menjawabnya dengan menggunakan bahasa Jawa, „”Centang sama contreng itu sami mawon.” Dari tuturan di atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh Mas Celathu dan Bos Mburi adalah Ragam akrab (intimate) adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga. Namun, karena perbedaan status sosialnya maka bahasa yang dipakai oleh Bos Mburi terasa lebih halus dalam pemakaian bahasa Jawa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
84 digilib.uns.ac.id
Perbedaan pemakaian bahasa oleh Mas Celathu tentu akan berbeda ketika ia berkomunikasi dengan tokoh yang lain. Seperti ketika ia berkomunikasi dengan temannya. Hal tersebut dapat dilihat dalam percakapan berikut. (48) ‟‟Kamu ini gimana ta? Katanya pekerja kebudayaan,...giliran kekayaannya diserobot orang kok malah diam aja. Asem tenan,‟‟ protes Semaya, seniman perupa salah seorang teman Celathu, yang siang itu sudah menyiapkan poster-poster protes, dan siap berangkat ke Ibu Kota. ‟‟Emangnya kalau kita demo, lalu Pemerintah Malaysa insyaf nggak nyolong lagi?‟‟ ‟‟Kita harus membuktikan kalau kita menyintai kebudayaan kita. Ini pelanggaran berat. Melecehkan kehormatan dan martabat bangsa.‟‟ ‟‟Martabak? Wuah aku doyan banget tuh, apalagi kalau yang istimewa pakai telur tiga butir....he he he.‟‟ ‟‟Asem ki. Serius nih. Mas Celathu, situne ini memang gombal. Tunjukkan jiwa nasionalis dong. Dasar nggak punya mental pejuang. Emoh ngrekasa, maunya enaknya doang.‟‟ ’’Lha... saya.. itu.. malah... bersyukur... je,‟‟ ujar Mas Celathu dengan irama kalem kayak dialog Arjuna di panggung wayang orang. ‟‟Haaah...bersyukur?‟‟ ‟‟Lho,...kalau nggak ada gegeran seperti ini, kapan Pemerintah Indonesia peduli dan memperhatikan kebudayaan. Kan lumayan, sekarang semua perhatian diarahkan ke sektor budaya. Menterinya tidak hanya bicara pariwisata lagi. Kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai alat untuk menyedot devisa. Jadi, ya pantas disyukuri ta?‟‟(RCB edisi 30 Agustus 2009) Tuturan dalam data (48) di atas adalah percakapan antara Mas Celathu dengan seorang temannya. Dilihat dari status sosialnya, teman Mas Celathu ini adalah seorang perupa, jadi sama-sama seorang pekerja seni seperti halnya Mas Celathu. Dari tuturan (48) di atas terlihat bahwa Mas Celathu dan temannya, selain menggunakan bahasa Indonesia juga menggunakan bahasa Jawa dalam berkomunikasi. Hal tersebut dikarenakan persamaan latar belakang budaya diantara keduanya yang berlatar belakang budaya Jawa. Hal tersebut terlihat, dari kalimat yang diutarakan oleh teman Mas Celathu „’’Kamu ini gimana ta? Katanya pekerja kebudayaan,...giliran kekayaannya diserobot orang kok malah diam aja Asem tenan’. Lalu Mas Celathu menjawab „’’Lho,...kalau nggak ada gegeran seperti ini, kapan Pemerintah Indonesia peduli dan memperhatikan commit to user
85 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebudayaan. Kan lumayan, sekarang semua perhatian diarahkan ke sektor budaya. Menterinya tidak hanya bicara pariwisata lagi. Kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai alat untuk menyedot devisa. Jadi, ya pantas disyukuri ta?’’ Dari tuturan di atas terlihat bahwa ragam bahasa yang digunakan oleh Mas Celathu dan temannya adalah ragam santai (casual). Ragam santai adalah ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang.
2. Tempat Pembicaraan Seperti
halnya
penggambaran
tokoh
yang
merupakan
bentuk
pengimajinasian anggota keluarga penulis yang sesungguhnya (Butet/penulis, istri, 3 anaknya, dan 2 pembantu), maka jika dilihat dari tempat pembicaraan yang digambarkan oleh penulis sebagian besar berada di rumah atau berada di lingkungan sekitar rumah penulis itu sendiri. Tuturan yang digunakan oleh para tokoh dalam RCB pada surat kabar SM cenderung menggunakan bentuk tuturan yang nonformal dengan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Jadi, ragam bahasa yang digunakan adalah ragam bahasa akrab (intimate). Ragam akrab adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-artikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilahistilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.
3. Suasana Pembicaraan Penulis menggambarkan tempat pembicaraan yang tedapat dalam RCB pada surat kabar SM ini berada di lingkungan sekitar rumah penulis. Maka, commit to user
86 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
suasana yang tergambar adalah suasana yang ada dalam sebuah lingkungan keluarga, yaitu suasana yang akrab antaranggota keluarga. Oleh karena itu, RCB banyak menggunakan ragam akrab yaitu ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan artikulasi-artikulasi yang pendek. Dalam ragam ini banyak dipergunakan istilah-istilah (kata-kata) yang khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab. Pemilihan ragam yang akrab tersebut akan lebih mendekatkan hubungan diantara anggota keluarga. Selain itu, ketika Mas Celathu berkomunikasi dengan temannya, penulis menggambarkannya dalam suasana yang santai, akrab, dan tidak resmi. Pemilihan bentuk bahasa yang akrab dan santai akan lebih mendekatkan jarak antara Mas Celathu dengan teman-temannya.
commit to user
87 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
88 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
89 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Dalam penelitian ini dapat disimpulkan dua hal yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Berikut merupakan simpulan dari penelitian ini. 1. Pemanfaatan ragam informal yang terdapat dalam RCB pada surat kabar SM meliputi pemakaian campur kode, alih kode, interferensi, adanya pelesapan dan penambahan fonem, pemanfaatan bentuk-bentuk interjeksi serta pemakaian partikel dialek Jakarta. Campur kode yang terdapat dalam RCB meliputi pemakaian unsur bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode yang bersifat ke dalam (inner code mixing), dan pemakaian unsur bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atau campur kode yang bersifat ke luar (outer code mixing). Peristiwa alih kode dalam RCB didominasi oleh alih kode yang bersifat ke dalam atau alih kode intern, sedangkan interferensi yang terjadi didominasi oleh interferensi pada tataran kata atau interferensi morfologi. Pelesapan fonem yang terdapat dalam RCB meliputi pelesapan konsonan di awal kata dan pelesapan suku kata. Interjeksi digunakan untuk mengungkapkan perasaan penutur seperti untuk menyatakan keheranan, seruan atau panggilan minta perhatian, kekecewaan, kekagetan, dan sebagainya. Pemakaian partikel dialek Jakarta didominasi oleh kata-kata sih, dong, dan deh. 2. Faktor-faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM yaitu : (1) penutur (speaker) dan mitra tutur (hearer, receiver), commit to pembicaraan user (2) tempat pembicaraan, dan (3) suasana (situation scene). 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
B. Saran Terselesaikannya penelitian ini bukan berarti tuntas pula permasalahan yang ada. Dalam penelitian ini, peneliti yakin banyak hal-hal tersembunyi dan belum sempat terungkap. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan pada diri peneliti, baik keterbatasan waktu, biaya, maupun kemampuan peneliti. Oleh karena itu, peneliti menyarankan kepada para peneliti lain untuk mencoba mengungkap masalah-masalah yang terdapat dalam pemakaian bahasa dalam RCB pada surat kabar SM ini secara tuntas, khususnya yang berhubungan dengan pemakaian bentuk-bentuk kebahasaan yang digunakan oleh Butet Kertaradjasa dalam rubrik Celathu Butet.
.
commit to user