Pemahaman tentang MEA Minim Senin, 14 Desember 2015
JAKARTA, KOMPAS — Dalam hitungan hari, Masyarakat Ekonomi ASEAN segera dibuka. Namun, pemahaman masyarakat mengenai pembukaan pasar masih rendah. Masalah ini menjadi halangan internal. Pemerintah masih perlu menyosialisasikan soal Masyarakat Ekonomi ASEAN.
KOMPAS/MOHAMAD FINAL DAENG
Para pemimpin dan perwakilan delegasi se-ASEAN menaiki becak dalam seremoni pembukaan ASEAN Mayors Forum (AMF) 2015 di Makassar, Sulsel, Selasa (8/9). Ajang pertemuan wali kota se-ASEAN itu di antaranya membahas kesiapan kota-kota menyambut pemberlakukan Masyarakat Ekonomi ASEAN.
Anak muda Indonesia mengaku siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Namun, mereka gemas lantaran informasi mengenai peta jalan dan tujuan bersama yang ditetapkan pemerintah terkait peluang ekonomi ini tidak cukup jelas.
Sejumlah pihak yang ditemui dan dihubungi sejak pekan lalu hingga Minggu (13/12) menyiratkan pemahaman yang minim tentang MEA. Meski demikian, mereka juga optimistis terhadap pembukaan MEA karena Indonesia bisa mencari peluang.
Aziz Hasibuan, praktisi komunikasi di IDEA Group, mengatakan sering mencari referensi informasi MEA di situs pencari Google. Namun, Aziz mengaku belum memahami realisasi MEA itu. "Hingga sekarang saya belum paham betul MEA. Saat saya bangun pagi tanggal 31 Desember, barangkali saya belum tahu perubahannya," kata Aziz.
Dalam diskusi di Indonesian Youth Conference bertema "Mempersiapkan Anak Muda Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN" akhir November lalu, kegemasan anak muda Indonesia tentang informasi yang minim soal MEA mengemuka.
Pegiat dunia kreatif dan hiburan Muhammad Farhan mengatakan, anak muda tidak memiliki pemahaman memadai tentang MEA yang sudah di depan mata. "Sampai saat ini tidak paham seperti apa MEA ini," ujarnya.
Keluhan itu tidak salah. Hasil survei Litbang Kompas pada awal November lalu dengan 582 responden di 12 kota besar menunjukkan, 57 persen responden tidak tahu MEA akan diterapkan pada akhir Desember ini. Hasil survei Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2Politik LIPI) dengan 2.509 responden di 16 kota memperlihatkan pemahaman masyarakat terhadap MEA atas dasar sekadar tahu (nice to know), ingin tahu lebih lanjut (need to know), dan berusaha merespons (need to explore) masih sangat rendah.
Sejak komitmen pendirian MEA disepakati untuk diakselerasi pada Konferensi Tingkat Tinggi XII ASEAN di Cebu, Filipina, Januari 2007, Pemerintah Indonesia sebetulnya cepat
tanggap dan antisipatif. Pemerintah telah menerbitkan tiga instruksi presiden, antara lain mengatur sosialisasi kepada pemangku kepentingan.
Ada juga keputusan presiden yang mengatur tentang pembentukan Komite Nasional Persiapan Pelaksanaan MEA 2015. Komite ini juga berperan menyosialisasikan MEA 2015 kepada masyarakat. Pada praktiknya, sosialisasi dilakukan sebatas terhadap kalangan pengusaha dan pelaku industri.
Dari hasil penelitian LIPI, kondisi di lapangan bisa dibilang cukup menyedihkan. Dalam paparannya, Koordinator Tim Survei ASEAN LIPI Tri Nuke Pudjiastuti mengatakan, hasil survei LIPI menunjukkan, sebagian besar responden tak banyak memahami soal MEA dan dampaknya. Banyak responden mengaku tahu dan memandang MEA sebagai keterbukaan peluang baru yang semakin lebar di kawasan. Perjanjian perdagangan bebas antarnegara anggota memungkinkan pergerakan barang komoditas secara lebih dinamis dan bebas. Namun, pemahaman itu tak diikuti dengan pengetahuan lanjutan lain, seperti pergerakan bebas juga mencakup sektor jasa dan tenaga kerja profesional.
Ketidakpahaman ini tergambar dari 82 persen responden penelitian LIPI yang mengaku tidak tahu bahwa sebagai tenaga profesional dimungkinkan bekerja di negara lain. Begitu pula sebaliknya.
Masih banyak kendala
Dalam paparannya, Direktur Kerja Sama Ekonomi ASEAN Kementerian Luar Negeri Ina Hagniningtyas Krisnamurthi menyebutkan sejumlah kendala masih dihadapi, terutama terkait upaya menyosialisasikan rasa ke-ASEAN-an di Tanah Air. Kendala juga terkait konsistensi dan keberlanjutan kebijakan yang memengaruhi banyak hal, termasuk koordinasi di tingkat pusat serta antara pusat dan daerah. "Kami di Sekretariat Nasional ASEAN tak pernah memperhitungkan kemunculan Kemenko Kemaritiman atau perubahan dari Kemenko Kesra menjadi Kemenko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan," kata Ina mencontohkan.
Terkait sosialisasi, Ina mengaku relatif sulit menerjemahkan istilah teknis terkait MEA ke dalam bahasa sehari-hari agar mudah dipahami masyarakat.
Semangat berkompetisi
Kendati pemahaman masyarakat masih kurang, beberapa kalangan mengaku siap berkompetisi. Dari survei Litbang Kompas, sebanyak 74,7 persen responden setuju Indonesia wajib mengikuti MEA. Mereka juga berpendapat beberapa profesi mampu bersaing di pasar MEA.
Deputi Menteri Pariwisata Bidang Pengembangan Kelembagaan Pariwisata Ahman Sya mengatakan, MEA tidak terlalu mengkhawatirkan bagi dunia pariwisata. "Sudah sejak lama SDM pariwisata Indonesia laku di pasar tenaga kerja pariwisata di dalam dan luar negeri," katanya.
Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Bobby Gafur Umar berpendapat, Indonesia mempunyai peluang besar menguasai ekonomi di Asia Tenggara. Berdasarkan data PII, saat ini ada 750.000 insinyur dan sarjana teknik di Indonesia. Namun, kurang dari 50 persen yang bekerja di bidang itu.
Terkait upaya meningkatkan iklim investasi menjelang MEA, pemerintah telah menderegulasi 135 aturan sejak paket kebijakan ekonomi I diumumkan pada 9 September 2015. Aturan itu siap direalisasikan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional. Saat ini pemerintah masih menyelesaikan deregulasi untuk 30 aturan berbeda yang telah diumumkan. (MED/INU/DWA/HEN/ADH/CAS/ARN/NDY)
Sumber : http://epaper1.kompas.com/kompas/books/151214kompas/#/1/