PELUANG PENGEMBANGAN PERTISIPASI MASYARAKAT MELALUI KEBIJAKAN ALOKASI DANA DESA: Pengalaman Enam Kabupaten1 Oleh: Bambang Hudayana dan Tim Peneliti FPPD2
Latarbelakang Paper ini diangkat dari hasil studi tim Peneliti FPPD tentang pelaksanaan kebijakan Alokasi Dana Desa (ADD). Sebagian dari hasil studi itu kemudian dipelajari penulis untuk menggagas tentang peluang pengembangan partisipasi masyarakat melallui kebijakan ADD. Satu sisi kebijakan itu merupakan instrumen yang penting untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat, dan sisi lain menjadi arena bagi masyarakat dan elemen-elemen yang mengelola pemerintahan desa seperti pemerintah desa (Pemdes), Badan Perwakilan Desa (BPD) untuk mewujudkan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat. Penelitian ADD oleh FPPD itu dilaksanakan dengan berpijak pada dua kerangka pemikiran. Pertama: Kebijakan ADD sejalan dengan agenda dari otonomi daerah (OTDA). Hal ini karena ADD merupakan sebagian dari kebijakan yang menempatkan Desa sebagai basis desentralisasi. Kebijakan ini penting karena tiga alasan, yaitu: (1) Sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di dalam komunitas pedesaan, (2) Komunitas pedesaan itu terkelompok ke dalam satuan masyarakat hukum yang memiliki pemerintahan yang otonom, dan (3) Desentralisasi di tingkat Desa akan meningkatkan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. 1
Makalah ini disampaikan pada Pertemuan Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat (FPPM) di Lombok Barat 27-29 Januari 2005. Makalah ini disarikan dari Draf Laporan Akhir Penelitian Alokasi Dana Desa yang diselenggaran oleh FPPD dengan dukungan dari Ford Foundation, GTZ, Tifa, PERFORM dan Ditjen PMD Depdagri. Draf laporan itu diambil sebagian dan dikupas dalam paper iniuntuk menyimak lebih lanjut tentang aspek partisipasi dalam kebijakan ADD. 2 Makalah ini disusun Bambang Hudayana dengan mendasarkan pada hasil penelitian Tim Peneliti FPPD untuk studi tentang ADD tersebut. Tim Peneliti selain penulis adalah Farid Hadi, Firman Siagian, Haryo Habirono, Ismail Amir, Muhammad Najib, Pietra Widiadi, Rosana Dewi, Stephanus, Suriyatmo, Susmanto, Sutoro Eko, Warno Hadi, dan Wilda Hetaaria.
2 Kedua: Kebijakan ADD sangat relevan dengan perspektif yang menempatkan Desa sebagai basis partisipasi. Perspektif ini berpijak dari pengalaman historis dan empiris bahwa Desa telah lama menjalankan fungsinya sebagai self governing community. Desa mempunyai pengalaman panjang di dalam mengembangkan pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan warganya. Desa juga memiliki sumberdaya lokal yang dapat menjamin berlangsungnya pemerintahan. Tidak kalah penting Desa juga langsung berhadapan dengan masyarakatnya. Potensi partisipasi yang tinggi dari warga juga dapat ditumbuhkan karena masyarakatnya memupunyai modal sosial yang tinggi untuk mendukung, dan mengotrol jalannya pemerintahan. Meskipun
Desa
seharunya
menjadi
basis
desentralisasi
dan
mampu
menjalankan peran sebagai self governing community, kebanyakan Desa menghadapi masalah yang akut. Pertama: Desa memiliki APBDES yang kecil dan sumber pendapatannnya sangat tergantung pada bantuan yang sangat kecil pula. Kedua: Kesejahteraan masyarakat desa rendah sehingga susah bagi Desa mempunyai Pendapatan Asli Desa (Pades) yang tinggi. Ketiga: Masalah itu diikuti oleh rendahnya dana operasional Desa untuk menjalankan pelayanan. Keempat: Tidak kalah penting bahwa banyak program pembangunan masuk ke desa, tetapi hanya dikelola oleh DINAS. Program semacam itu mendulang kritikan, yaitu: program tsb tidak memberikan akses pembelajaran bagi Desa, dan program itu bersifat top down sehingga tidak sejalan dengan kebutuhan Desa dan masyarakatnya. Selain menghadapi masalah keuangan dan kebijakan pembangunan yang masih bersifat sektoral, nampak masih banyak kabupaten yang mengabaikan dukungan regulasi yang mendukung penguatan ekonomi Desa, yaitu PP No. 76/2001 yang menempatkan desa sebagai basis desentralisasi Studi
kami
itu
menegaskan
bahwa
kebijakan
ADD
diharapkan
dapat
meningkatkan pembangunan dan partisipasi. Gagasan itu dilandasi oleh beberapa alasan. Pertama: Masyarakat desa akan lebih leluasa berekspresi mencapai kemajuan. Kedua: Pelaksanaan pembangunan di desa menjadi maksimal karena realistis, dikerjakan sendiri dan mendapat dukungan swadaya. Ketiga: Kontrol langsung secara intensif dari masyarakat dan dapat menekan penyimpangan. Keempat: Semakin berfungsi lembaga Pemerintahan Desa dan Kemasyarakatan di Desa. Selain dapat menjamin partisipasi, kebijakan ADD juga dapat diandaikan sebagai sebuah kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan desa yang mendesak. Hal ini karena ADD dapat dipakai untuk mendorong penanganan masalah desa tanpa harus
3 lama menunggu datangnya program dari pemerintah Kabupaten. Oleh karena pentingnya ADD tersebut maka dalam Lokakarya Penentuan Program Prioritas Pemberdayaan dan Pembaharuan Desa. Ditjen PMD (Depdagri) merekomendasikan pengembanganKebijakan ADD di berbagai daerah, dengan didukung oleh penelitian. Rekomendasi itu ditindaklanjuti FPPD dengan melakukan penelitian di enam kabupaten dengan dua tujuan. Pertama: Mengeksplorasi urgensi dan relevansi ADD dalam
konteks
pengembangan
kapasitas
desa
mengelola
pemerintahan
dan
pembangunan. Kedua: Mengeksplorasi pengalaman kebijakan ADD di daerah untuk bahan formulasi panduan dalam Surat Edaran yang akan dikeluarkan Depdagri. Usulan penelitian itu kemudian dilakukan FPPD dengan mengambil enam kabupaten sebagai kasus untuk menfokuskan kajian secara dekskriptif. Keenam daerah penelitian itu adalah kabupaten: (1) Limapuluh Kota, Sumatra Barat, (2) Sumedang, Jawa Barat, (3) Magelang, Jawa Tengah (4) Tuban, Jawa Timur, (5) Selayar, Sulawesi Selatan, dan (6) Jayapura Papua. Daerah tersebut dipilih dengan mempertimbangkan aspek: persebaran wilayah, keterkaitan dengan keragaman desa, isu keberhasilan, dan keragaman pengelolaan ADD. Data penelitian itu berupa dokumen kebijakan ADD dan pengelolaan ADD di tingkat desa dan hasil FGD serta wawancara mendalam dengan apartat, anggota BPD dan elemen masyarakat. Untuk mengupas kebijakan ADD, paper ini akan melangkah pada substansi ADD,
konteks
kelahiran
ADD,
pengelolaan
dan
pemanfaatan
ADD
dengan
memparhatikan dimensi-dimensi partisipasinya. Akhirnya tulisan ini ditutup dengan sejumnlah catatan kritis untuk pengembangan ADD yang partisipatif.
Substansi ADD ADD di kabupaten penelitian mempunyai istilah yang beragam. Di 50 Kota, dana itu disebut DAUN (Dana Alokasi Umum untuk Nagari) yang substansinya terdiri atas Dana Bagi Hasil dan Bantuan Keuangan Nagari. Di Sumedang, ADD disebut Dana Perimbangan Desa (DPD). Di Magelang dam Selayar disebut DAU Desa, dan di Magelang ini juga dikenal luas dengan nama Block Grant, karena dana ini dikesankan diserahkan sepenuhnya kepada Desa. Di Tuban disebut Proyek Pemberdayaan Desa (PPM), dan di Jayapura disebut Program Pemberdayaan Distrik (PPD), Dari segi substansi ADD di enam kabupaten itu diinspirasi oleh dana perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Daerah yang dilandasi dengan UU 25/1999. Secara umum ada tiga kerangka landasan yang melahirkan kebijakan ADD ,
4 yaitu untuk menutupi kesenjangan fiscal, mewujudkan pemerataan, dan alasan ekternalitas. Mewujudkan pemerataan nampaknya menjadi alasan penting sedangkan di Jayapura, transfer fiskal ke distrik juga dilandasi pertimbangan ekternalitas, yaitu adanya otonomi khusus dan menyambut euforia masyarakat di tengah pergolakan OPM. Tabel 1 mencatat besarnya anggaran untuk ADD di setiap Kabupaten. Nampak bahwa dari segi nominal besarnya ADD bervariasi dan paling banyak adalah di Jayapura dan Tuban, diikuti Magelang, Selayar, 50 Kota dan Sumedang. Dari segi persentase dari APBD, ADD tertinggi ada di Selayar. Besar kecilnya ADD di masingmasing kabupaten itu dipengaruhi oleh konsepsi pihak Pemekab di dalam menjebatani pengertian kesenjangan fiskal, pemerataan dan pertimbangan eksternalitas. Tabel 1. Perkiraan Persentase ADD dari APBD/ DAU Tahun 2003 No. 1 2. 3. 4. 5.
Nama Kabupaten Limapuluh Kota (10 M) Sumedang (9.76 M) Magelang (19 M) Tuban (20 M) Selayar (13 M)
6.
Jayapura (24 M)
Persentase ADD 4.7 dari APBD 2.4 dari APBD 6.0 dari DAU 4.9 dari APBD 8.90 dari APBD, 10 dari DAU 5.38 dari APBD
ADD di enam kabupaten merupakan bantuan yang dialokasikan secara rutin setiap tahunnya, sehingga mengesankan sebagai sebuah hak bagi desa, walaupun dari segi regulasi masih merupakan sebuah bantuan. Dana itu diperoleh oleh Desa terutama berdasarkan Surat-Surat Keputusan Bupati beserta lampirannya yang berisi tentang penetapan besarnya ADD, formula, mekanisme penyaluran, penggunaan dan pertanggungjawabannya. Oleh karena masih bersifat bantuan, maka Desa dan masyarakatnya mengkawatirkan bahwa ADD itu kelak bisa dihapus dan keberadaannya sangat tergantung dari niat baik para elite di tingkat kabupaten. Apa yang dimaksud dengan formula di sini adalah sebuah rumusan yang berisi tentang indikator-indikator dan bobot dari masing-masing indikator untuk menentukan besar kecilnya nilai nominal ADD ke setiap desa. Dalam setiap tahun, Pemkab menentukan besarnya APBD untuk pos anggaran ADD. Setiap Kabupaten sepertinya membuat indikator yang beragam di dalam menyusun fomula. Namun demikian, pada dasarnya kabupaten berusaha untuk memberikan kepastian tentang besarnya ADD bagi setiap Desa yang memiliki keragaman masalah dan potensi sosial-ekonominya.
5 Penyusunan Formula sangat diwarnai oleh kapasitas teknokratis dari para pejabat di tingkat kabupaten. Sebagian dari kabupaten melakukan langkah yang agak partisipatif, misalnya di Kabupaten 50 Kota Bupati melakukan konsultasi dengan para wali nagari dan para wali nagari pun berkonsultasi dengan tokoh masyarakat (ninik mamak). Di Tuban, panitia ADD juga melakukan survai ke lapangan untuk menjaring aspirasi masyarakatnya. Kabupaten 50 kota menyusun tiga kelompok indikator sesuai dengan jenis bantuan yang akan diberikan ke nagari. Untuk Daun, yaitu bantuan murni untuk pembangunan Nagari, indikatornya adalah: (1) jumlah penduduk, (2) Jumlah keluarga miskin, (3) jarak Nagari ke Ibukota Kabupaten, (4) jumlah jorong, dan (5) luas wilayah Nagari. Indikator bantuan murni untuk belanja rutin Nagari adalah: (1) jumlah jorong, (2) Jarak Nagari ke ibukota kabupaten, dan (3) jumlah penduduk. Adapun indikator Bagi Hasil untuk Nagari dan dana yang diterima dapat dipakai untuk pembangunan atau rutin adalah (1) target dan realisasi PBB, (2) jumlah penduduk, (3) luas wilayah Nagari. Skor atau bobot antar indikator itu sama sehingga besar kecilnya DAUN yang akan diterima oleh masing-masing Nagari tergantung dari total skor yang dimiliki. Semaikn besar skornya maka akan semakin besar nilai rupiah DAUN yang diterima. Dengan rumus seperti itu, dan dengan jumlah Nagari sebanyak 76 buah, rata-rata setiap Nagari menerima DAUN sebesar Rp. 127 juta dengan variasi yang tajam antara Rp 75 juta sampai dengan Rp. 150 juta. Kabupaten Sumedang menggunakan tiga instrumen dasar yang diambil dari Profil Desa/Kelurahan, yaitu: (1) indeks kesehatan masyarakat, (2) indeks pendidikan masyarakat, dan (3) indeks ekonomi desa/kelurahan. Ketiga indikator itu digunakan untuk menentukan bobot desa yang digunakan yang besarnya 30% dana berdasarkan keadilan, sedang yang 70% diperhitungkan merata untuk semua desa. Dengan jumlah Desa 262 buah, rata-rata setiap desa menerima hampir sama sekitar Rp 37 juta. Hampir mirip dengan Sumedang, Magelang menentapkan bantuan minimum untuk setiap desa sebesar 75%, kemudian juga bantuan tertimbang yang besarnya ditentukan oleh indoikator dan skornya sebesar 30%. Indikator itu adalah : (1) luas wilayah, (2) jumlah penduduk tahun sebelumnya, (3) jumlah KK miskin tahun sebelumnya, (4) keterjangkauan desa, (5) potensi desa tahun sebelumnya, (6) pajak bumi dan bangunan (PBB) tahun sebelumnya, dan (7) luas tanah desa yang diolah untuk pertanian, peternakan, Perikanan, dll. Rata-rata setiap desa menerma bantuan sebesar Rp 61 juta, dan minimal akan menerima sebanyak Rp. 30 juta.
6 Kabupaten Tuban menggunakan 8 indikator, dan salah satu indikator yang menarik adalah partisipasm yaitu: (1) luas wilayah,, (2) jumlah penduduk, (3) jumlah penduduk miskin, (4) keterjangkauan, (5) indikator pendapatan desa. (6) adanya program lain, (7) indikator kelunasan PBB, dan (8) partisipasi masyarakat pada program tahun sebelumnya. Dengan jumlah nominal ADD yang besar, desa-desa di Tuban dapat menerima transfer bantuan sekitar Rp 60 juta masih dapat ditingkatkan dengan menunjukkan tingkat partisipasi masyarakatnya dalam program tahun sebelumnya. Hampir mirip dengan Tuban, Kabupaten Selayar menggunakan empat kriteria untuk menentukan besarnya dana alokasi umum desa, meliputi : (1) luas wilayah, (2) jumlah penduduk; (3) kondisi geografis desa; dan (4) pertumbuhan ekonomi desa. Jumlah desa di kabupaten ini sebanyak 66 buah dan besarnya ADD yang diterima bisa mencapai Rp 150 juta mirip dengan kabupaten 50 Kota. Kabupaten Selayar memiliki rumus yang mudah untuk menentukan besarnya ADD ke setiap desa.
[
]
⎡
⎤ ⎥ ⎣ Jml Bobot seluruh Desa⎦
Penerimaan Desa = Jumlah bagian DAU semua Desa x ⎢
Bobot Desa Ybs
Berbeda dengan semua kabupaten di atas, Kabupaten Jayapura belum menggunakan kriteria formula untuk menetapkan besarnya DPD yang dibagikan ke Distrik. Setiap distrik menerima alokasi dana secara rata sebesar satu milyar. Jika disimak indikator yang dikapakai di dalam menentukan besarnya nilai ADD ke desa di enam kabupaten itu, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kebijakan ADD didealkan untuk merepon masalah desa, seperti kemiskinan, ketertinggalan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan keterisolasian. Apabila dilihat dari kriteria yang digunakan oleh daerah dalam menentukan besarnya alokasi dana desa, maka tampaknya sebagian besar daerah menggunakan kriteria-kriteria yang digunakan untuk program Jaring Pengaman Sosial (JPS), artinya prinsip saving yang diterapkan untuk menentukan besarnya transfer fiscal ke desa, semakin besar beban dan ketertinggalan desa semakin besar pula dana yang ditransfer. Formula yang menarik dalam kaitannya dengan partisipasi adalah yang ditampilkan Kabupaten Tuban. Hal ini karena mengetengahkan indeks partisipasi, artinya semakin tinggi tingkat partisipasi maka desa semakin berluang untuk mendapatkan ADD yuang lebih tinggi. Namun demikian partisipasi yang muncul
7 nampaknya biasa karena merujuk pada besarnya swadaya masyarakat. Dalam konteks yang ideal, partisipasi adalah hak bagi warga untuk menyuarakan, mengkases dan mengontrol program ADD yang ada di desanya, sedangkan swadaya adalah dampak dari tingginya trust masyarakat terhadap program tersebut.
Konteks Kelahiran ADD Kebijakan ADD di enam kabupaten merupakan hasil dari proses politik, gesekan antara kepentingan Pemkab, tokoh bupati dengan Desa dan masyarakatnya. Gesekan itu mengindikasikan munculnya partisipasi masyarakat, meskipun bentuk dan kadarnya beragam dan masih menunjukkan kuatnya posisi kabupaten dalam melahirkan kebijakan tersebut. Secara tipologis, kelahiran ADD dilatarbelakangi oleh lima faktor yaitu: (1) Romantisme dan semangat mengisi OTDA, (2) Kebijakan memanfaatkan UU No. 22/1999 sebagai landasan mewujudkan OTDES yang ideal, (3) Merespon tuntutan proposal pembangunan desa yang banyak, (4) Tututan dari masyarakat sipil dan jLSM, dan (5) Kebijakan populis bupati. Kelima faktor itu tidak muncul semuanya di setiap kabupaten dan setiap kabupaten mempunyai memiliki konteks kelahiran yang khas. Faktor pertama itu hanya muncul di Kabupaten 50 Kota, faktor kedua itu terutama muncul di Selayar dan Jayapura, dan disusul kemudian di semua Kabupaten. Faktor ketiga di Magelang, dan faktor keempat itu terutama muncul di Sumedang dan Tuban, dan sfaktor kelima muncul di 50 kota, Sumedang, Selayar dan Jayapura. Masyarakat 50 Kota telah lama menostalgiakan kembalinya Nagari sejak berlakunya UU No. 5/1979. Dengan berlakunya UU No 22/1999. romantisme dan semangat mengisi OTDA berkembang dan merasuki elite lokal dan masyarakatnya. UU NO. 22/1999 itu dipakai sebagai landasan yuridis untuk menghidupkan kembali identitas kedaerahan, dan Nagari dipandang sebagai identitas otentik yang menjadi bagian integral dari OTDA. Mereka menostalgiakan Nagari sebagai self governing community yang kredibel dan mencerminkan struktur dan kerjasama sosial dalam masyarakat. Dengan
terbitnya
Perda
Provinsi
Sumatra
Barat
No.
1/2000
tentang
Pemerintahan Nagari, wacana mengembalikan Nagari menjadi agenda yang populer. Posisi masyarakat dalam gerakan kembali ke Nagari terlihat kuat karena dalam konteks nagari apa yang disebut masyarakat adalah anak nagari yang secara sosiologis mempunyai pemimpin dari ninik mamak mereka yang diangap akan memperjuangkan
8 kepentingannya. Oleh karena itu, para calon Bupati pun sebagai anak Nagari wajib mengusung program nagari dan Bupati terpilih lalu memunculkan kebijakan DAUN. Berbeda dengan Kabupaten 50 Kota, kelahiran ADD di Selayar disemangati oleh kepentingan untuk mewujudkan OTDES yang ideal. Pada masa ORBA jumlah desa kurang dari 50 buah, dan kebanyakan tidak menjalankan fungsi pemerintahan dengan baik. Pada waktu itu hampir semua aktivitas desa dibiayai oleh masyarakatnya, tetapi karena
masyarakatnya
relatif
miskin
maka
praktis
pembangunan
desa
tidak
berkembang. Meskipun pada masa ORBA ada Bandes, tetapi dana ini dipandang terlalu kecil untuk menjamin Pemdes dapat bekerja dan menjalankan pembangunan. Dengan adanya UU No. 22/1999, Pemkab menemukan kerangka landasan yang untuk menghidupkan dan menata ulang Desa di dalam menjalankan fungsi pembangunan. Resrukturisasi Desa itu dikukuhkan lewat Perda tentang Desa yang mengamanatkan untuk menjalankan fungsi administrasi, pelayanan dan pembangunan. Perda tsb ditindaklanjuti dengan kebijakan perimbangan keuangan desa-kabupaten. Lahirnya ADD di Selajar itu dapat dibaca sebagai respon Kabupaten terhadap Desa dan masyarakatnya.
Dari
segi
partisipasi,
masyarakat
kurang
responsif
untuk
memperjuangkan ADD tetapi kebijakan itu kemudian direspon positif oleh mereka. Hampir mirip dengan Selayar, kebijakan Kabupaten Jayapura melahirkan ADD merupakan tindakan konkrit untuk mempercepat proses pembangunan di daerah, dan rujukan yang jitu tertuju pada wilayah pedesaan. Pemaknaan otonomi daerah sebagai agenda untuk menghidupkan fungsi desa sebenarnya muncul juga di seluruh wilayah Papua sebagai konsekuensi dari terwujudnya otonomi khusus di wilayah ini. Wacana otonomi khusus memperoleh sambutan yang lebih luas, yang mereka yakini sebagai babak baru untuk mengakhiri ketidakadilan, diskriminasi dan marginalisasi yang menimpa Papua. Gaung otonomi khusus itu melahirkan kesadaran kritis para elite di tingkat kabupaten untuk mengisinya dengan sumber dana yang memadai. Pemkab Jayapura menegaskan tiga alasan penting kelahiran PPD. Pertama, PPD merupakan jawaban terhadap kebutuhan pemerataan pelayanan publik sampai ke level masyarakat bawah,di pedalaman mengalami kesulitan serius. Kedua, PPD merupakan jawaban terhadap jangkauan dan rentang kendali yang terlalu jauh antara kabupaten dengan masyarakat di kampung. Ketiga, PPD merupakan jawaban terhadap masalah dan kegagalan perencanaan pembangunan yang selama ini diterapkan. Dengan PPD diharapkan akan dapat dipercepat proses pembangunan dari bawah.
9 Konteks kelahiran ADD di Jayapura itu mengungkapkan bahwa Otonomi Khusus telah melahirkan semangat kebersamaan antar elite dengan masyarakatnya dan membuka peluang lahirnya kebijakan yang langsung bersentuhan dengan kepentingan masyarakatnya. Berbeda dengan Selayar dan Jayapura, ADD di Magelang sebagai respon pemerintah daerah terhadap tuntutan Formas (Forum masyarakat) yang anggotanya meliputi unsur pemerintahan desa, LSM, dan Perkasa (Persatuan Perangkat Desa). Tuntutan mereka ini mempertanyakan kebijakan pemerintah sekarang terhadap desa. Jika pemerintah ORBA memberikan bantuan ke desa, mengapa pemerintah sekarang tidak memberikan kepedulian yang semakin besar kepada desa. Tuntutan itu direspon oleh kabupaten sekaligus memperbaiki kebijakan sebelumnya yang menyediakan dana-dana ke desa melalui banyak “pintu“ yaitu dinasdinas dan kantor yang ada di Kabupaten yang kegiatannya berkaitan dengan desa, dan berbagai proposal permintaan dana oleh desa atas inisiatifnya sendiri. Oleh karenanya,, kebijakan ADD di Magelang dilakukan dengan maksud untuk “menyatu-pintukan” danadana dari Kabupaten kepada Desa. .Kebijakan ADD itu juga karena mempertimbangkan adanya “Dana Aspirasi Masyarakat” yang berbenturan dengan program desa. Dana ini dicairkan kepada masyarakat atas rekomendasi Anggota DPRD sebesar Rp. 100 juta per anggota DPRD. Terhadap dana ini, Pemkab berniat untuk menghapuskannya karena cenderung bias kepentingan politis dari para anggota legislatif. Ceritera Kelahiran ADD di Magelang itu menegaskan bahwa Desa dan masyarakatnya sebenarnya telah menuntut adanya dana bantuan, dan tuntutan itu bisa berhasil berkat adanya forum yang menjebataninya. Mereka iniadalah Perkasa yaitu Pekumpulan Kepala Desa se Kabupaten Magelang serta adanya juga dorongan dari Program Pembaharuan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD) dan Program Dasar Pembangunan Partisipatif (PDPP). Munculnya kebijakan ADD sebagai tuntutan dari bawah tampak lebih menonjol di Sumedang. Terutama sejak tahun 2000-2001, masyarakat Sumedang sering melakukan unjuk rasa kepada Pemkab dan DPRD, untuk menyampaikan aspirasi mengenai peningkatan dan perbaikan masyarakat Desa. Bupati Drs. H. Misbach, sangat respon terhadap aspirasi masyarakat dan meminta jajaran di eksekutif melakukan inventarisasi masalah yang dihadapi masyarakat desa. Sebelum kebijakan Pemda dirumuskan menindaklanjuti UU 22/99, muncul lebih dahulu pertemuan informal antara Bupati dengan DPRD guna menyamakan persepsi tentang perumusan masalah, dan
10 pemecahannya. Setelah disepakati dan diundangkan Perda-perda tentang Desa, di kalangan eksekutif dan legislatif muncul pemikiran tentang OTDES. Kalau pemerintah telah melakukan OTDA yang disertai dengan desentralisasi fiskal, maka seharunya juga muncul desentralisasi fiskal kabupten ke desa. Disepakati oleh mereka, bila DESA telah KUAT maka KABUPATEN pun akan KUAT, dan untuk itu perlu ada perimbangan keuangan antara Kabupaten dengan Desa. Melalui DPD akan muncul: penguatan Desa dan masyarakatnya di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Setelah DPD ditetapkan dalam Perda, maka dampak yang terjadi menurut DPRD adalah: (1) Unjuk rasa masyarakat mulai menurun. (2) Iklim demokratisasi berkembang. (3) Peningkatan prakarsa masyarakat dalam berbagai segi secara umum semakin baik. dan (4) Surat-surat dari masyarakat kepada DPRD semakin meningkat terutama yang menyangkut kepemimpinan Kepala Desa dan ketidaktepatan penggunaan DPD. Hampir sama dengan di Sumedang, ADD di Tuban itu muncul sebagai akibat dari tuntutan dari bawah yang kuat dengan melibatkan peran LSM Bina Swagiri. Kebijakan PPM bukan melalui proses yang instant, melainkan melalui sebuah proses panjang sehingga sampai pada sebuah kristalisasi ide dan komitmen dari berbagai stakeholder seperti eksekutif, legislatif dan LSM maupun berbagai pengalaman empirik oleh pelaku-pelaku program pemberdayaan masyarakat desa/miskin seperti FPLP (Forum Lintas Pelaku) dan lain sebagainya. Meskipun peran masyarakat dan LSM cukup signifikan di dalam memunculkan kebijakan tentang ADD di Tuban, tetapi paut dicatat pula bahwa kebijakan itu juga lahir karena Pemda dan elite politik bersemangat untuk mewujudkan OTDES yang lebih baik. Dalam rangka itu maka muncul 2 buah Perda, yaitu Perda No.7/2003 tentang Bagian Desa dari hasil penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah kemudian Perda No.6/2004 tentang bagian desa dari hasil penerimaan pajak bumi dan bangunan. Pada tataran implementasi keseriusan Pemda terlihat jelas dengan menelorkan kebijakan yang dikenal PPM pada tahun 2001. Kebijakan ini juga diperkuat oleh Renstra 20012006. Renstra ini terdiri dari dua kebijakan yang secara langsung maupun tidak langsung mengutamakan pemberdayaan desa. Akhirnya tidak dapat dipungkiri bahwa kebijakan ADD di enam kabupaten itu merupakan buah prakarsa bupatinya. Di Kabupaten 50 Kota, bupatinya dikenal sebagai pakar dan pecinta nagari. Bupati Sumedang juga muncul sebagai tokoh penting terhadap lahirnya DPD karena ia responsif terhadap tuntutan masyarakat. Bupati Selayar juga pemprakarsa ADD yang sangat fantastis. Hal ini karena dialah yang berani
11 mengajukan besarnya ADD senilai 10 persen dari dana DAU. Bupati Jayapura menelorkan kebijakan “gila” dan populis dalam bentuk alokasi dana sebesar 1 milyar rupiah untuk distrik yang dibingkai dengan Program Pemberdayaan Distrik (PPD).
Pengelolaan dan Kemanfaatan ADD Kelembagaan Kelembagaan kebijakan ADD di enam kabupaten yang nampaknya perlu disimak dari enam kabupaten penelitian adalah lembaga pengelola ADD. Kebijakan ADD di enam kabupaten dimaknai sebagai sebuah projek, bukan sebuah kegiatan rutin. Hal itu nampak dari kecenderungan dibentuknya kepanitaan bukan dijadikan tugas rutin pemerintah kabupaten. Ada dua pola kepantiaan yang muncul, yaitu kepanitiaan kompleks dengan peran Pemkab sangat dominan, dan kepanitiaan sederhana dengan peran kabupaten tetap penting, dan kepanitiaan dengan partisipasi masyarakat. Kepanitiaan pertama muncul di Kabupaten 50 Kota dan Sumedang Di Sumedang, misalnya, susunan kepanitiaan terdiri dari Penangungjawab dipimpin oleh Sekda, pantia pengarah terdiri atas para Asisten daerah, ditambah Kepala Dinas pendapatan daerah, Ketua yaitu Kepala Badan Pemberdayaan masyarakat dan kesejateraan Sosial, Sekretaris, yaitu Kepala Bidang pengembangan Ekonomi, Anggota terdiri atas 8 orang yang menjabat kepala sub bagian di lingkungan Setda, Bappeda, dan Pimpinan Bank Jabar Cabang Sumedang;, sekretaris Dewan Pengawas PD. BPR, dan Ketua Tim Penggerak PKK . Adapun di kabupaten lainnya, pola kepanitiannya bersifat sederhana. Dalam arti pihak Pemkab cukup menyediakan seperangkat kebijakan untuk mengelola ADD dengan melibatkan sedikit mungkin unsur dari berbagai instansi pemerintah. Khusus di Selayar dan Tuban peran masyarakat juga tampak dalam kepanitiaan. Di Selayar, misalnya susunan kepanitiaan terdiri atas Tim fasilitator yang ditangani oleh pihak Kabupaten dan tim pelaksana yang terdiri atas LPM, BPD, aparat desa dan tokoh masyarakat. Dari sisi mengembangkan partisipasi, nampaknya pola kepanitiaan seperti di Tuban dan Selayar lebih baik daripada di daerah lain. Masalahnya adalah tokoh masyarakat yang duduk dalam kepanitiaan tersebut, apakah sudah representatif dan berada dalam kubu kepentingan warganya.
12 Perencanaan Salah satu temuan yang penting dari kebijakan ADD di enam kabupaten adalah munculnya perencanaan anggaran yang partisipatif. Hal ini karena ada kecenderungan di enam kabupaten itu, ADD diamanatkan sebagai salah satu sumber pendapatan dalam APBDes/APBNagari. Di banyak kabupatren, ADD akan dicairkan bila pihak Desa telah mengesahkan APBDes dan rincian penggunaan ADD yang akan diterimanya. Pola partispasi nampak pada tahap awal penyusunan RAPBDes. Dalam menyusun APBDes it5u beberapa kabupaten juga mensyaratkan dilakukannya semacam Musrenbang sebagaimana diamanatkan dalam Surat Edaran Bersama Kepala Bapenas dan Depdagri. No 50/744/Sj/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Forum Musrenbang dan Perencanaan Partisipatif. Dalam prakteknya, kebanyakan desa melakukan penjaringan aspirasi masyarakat melalui instgitusi yang sudah ada. Sebagaimana ditemukan melalui FGD, pada prinsipnya kepala desa atau wali nagari melakukan penjaringan aspirasi dengan menggunakan insitusi lokal atau forum konvensional yang ada di desanya. Di Kabupaten 50 kota, misalnya wali nagari, dibantu oleh kepala jorong setingkat kepala dusun melakukan penjaringan aspirasi di kampungnya lewat forum pengajian atau masjid. Di sana para wali nagari mendapatkan sejumlah usulan dari bawah dan dikaji kembali lalu dirumuskan menjadi rencana program dan anggarannya. Dari forum itu pula wali nagari dapat memperkirakan dukungan anggaran dari warga dalam bentuk dana swadaya atau gotongroyong untuk projek pembangunan yang diusulkan. Pada prinsipnya pola penjaringan aspirasi di desa di Jawa sama seperti di nagari, dalam arti di Jawa karena basis ikatan komunitasnya di RT dan RW, maka kepala desa menggunakan forum itu untuk melakukan penjaringan aspirasi masyarakat. Sementara itu di beberapa kabupaten, seperti di Tuban proses penyusunan anggaran yang mengedepankan penjaringan aspirasi dari bawah juga dapat difasilitasi oleh pihak lembaga Pemberdayaan Masyarakat maupun panitia yang menangani program ADD . Masalah
penjaringan
aspirasi
muncul
ketika
pekerjaan
itu
diserahkan
sepenuhnya kepada pihak Pemdes, bukan BPD. Peran kepala desa dan wali nagari sangat besar dalam melakukan penjaringan aspirasi dibandingkan dengan peran BPD atau BPAN tetapi peran mereka secara politis sangat kuat untuk menetapkan APBDes/APBnagari. Nampaknya penjaringan aspirasi dalam kerangka penyusunan RAPBDes akan lebih baik jika dimanatkan kepada para anggota BPD/BPAN sebagai
13 wakil rakyat sehingga ketika menetapkan APBDes merekan sejalan dengan suara masyarakat dan akan dipertanggungjawabkan langsung kepada konstituennya.
Penggelolaan Kebanyakan kabupaten menetapkan bahwa pengelolaan ADD diserahkan ke desa, dan uangnya dimasukkan ke dalam rekening milik Desa. Bahkan di kabupaten 50 Kota, rekening itu harus atas nama nagari bukan pribadi wali nagari. Akuntabilitas penggunaan dana ada ditangan kepala desa. Adapun khusus di Jayapura dipegang kepala distrik. Namun tidak berarti bahwa untuk menjalankan program pembangunan merekalah yang menanganinya. Setelah APBDes ditetapkan dan anggaran ADD ditransfer, maka pihak Desa kemudian mengadakan rapat untuk membagikan dana itu sesuai dengan pos anggaran. Untuk anggaran pembangunan maka akan diserahkan kepada pihak yang akan mengerjakannya. Organisasi yang menangani penggunaan anggaran pembangunan itu antara lain (1) pihak Desa itu sendiri, (2) pihak warga dusun atau kampung atau Rukun tetangga (RT) dengan sistem swakelola, (3) lembaga ekonomi dan sosial di desa. Apabila dana diserahkan kepada warga dan lembaga sosial bukan
milik
desa,
mereka
ini
bertaggungjawab
kepada
kepala
desa
dan
pertanggungjawaban ke atas ada di pundak kepala desa..Adaun di Jayapura pertangungjawaban ke atas ada di pundak kepala distrik. Dalam prakteknya, terdapat pola yang seragam di banyak kabupaten. Bila projek pembangunan berada di tingkat desa maka pengelolanya adalah kantor desa atau pemborong yang ditunjuk dengan sistem tender. Namun jarang sekali masuknya pemborong menjadi pengelolaan projek desa karena banyak di atara projek desa tersebut menuntut partsipasi masyarakat dalam bentuk dana swadaya secara spontanitas atau tenaga gotongroyong. Apabila projek itu berada di level komunitas maka penyelenggaranya adalah komunitas itu dengan diketuai kepala dusun, kepala jorong, kepala kampung atau ketua RT. Apabila projek pembangun itu ditujukan untuk kepentingan sebuah lembaga sosial di desa, atau ke individu warga maka dapat diserahkan langsung kepada pengurus organisasinya, misalnya bila dana projek untuk pembangunan gedung Posyandu, maka dapat diserahkan kepada pengurusnya. Di Jayapura bahkan ada ketentuan bahwa jika dana itu langsung diberikan kepada masyarakat maka harus dilihat langsung oleh warga dan mengundang pihak media. Dalam perjalanannya, pengelolaan anggaran akan menuntut transparasi. Hal ini karena kebanyakan projek pembangunan di level desa atau komunitas kecil selalu
14 disertai dengan dana Swadaya, dan karena itu masyarkat dilibatkan dalam proses pembuatan bangunan tersebut. Pelibatan mereka menjadi semakin penting ketika pembangunan itu dilaksanakan dengan tenaga gotongroyong dan menunut dana spontanitas dari warga. Oleh karena itu, pelaksanaan projek sering dimulai dengan sosialisasi dan kegiatan untuk menjaring aspirasi dan dukungan warga serta mengajak warga menjadi anggota panitia. Pengelolaan projek Desa dengan berbasis pada kemandirian komunitas nampaknya menjadi salah satu elemen yang dapat menguatkan partisipasi masyarakat. Masalahnya adalah partisipasi itu masih sering digeser pemaknaannya pada sumbangan dana dan tenaga dari warga bukan sebagai hak yang melekat untuk menjamin pelaksanaan projek menguntungkan masyarakat secara nyata.
Penggunaan Keenam Kabupaten telah menetapkan petunjuk penggunaan dana ADD. Secara umum ditegaskan bahwa ADD diutamakan untuk belanja pembangunan daripada untuk belanja rutin. APBDes pun diamanatkan serupa dan Desa cenderung menngikutinya karena telah menjadi konsesus ntuk mengalokasikan pendapatan Desa bagi pembangunan. Sebagai bagian dari APBDEs, masuknya ADD itu bukan hanya menambah tetapi meningkatkan besarnya APBDes dari sumber PADes. Di banyak desa di Sumedang dan Magelang warga meningkatan PADes dengan menyediakan dana swadaya dan gotongroyong. Di Kabupaten 50 Kota bahkan banyak nagari yang meningkatkan Pades dengan menggalang dana dari perantau dan badan usaha nagari. ,Fenomena itu mengungkapkan bahwa Desa dan masyarakatnya memanfaatkan ADD sebagai elemen yang penting untuk mamacu pembangunan di daerahnya dan berkompetisi menggalang dana dari luar dengan meningkatkan potensi yang dimiliknya. Beberapa kabupaten ,memberikan petunjuk teknis tentang pengalokasian dana secara rinci. Kabupaten 50 Kota mencatat 7 jenis pos anggaran pembangunan yang boleh didanai dari ADD secara rinci, seperti program pemengmbangan SDM, program pengembangan SDE, pembangunan sarana sosial seperti air bersih, tempat ibadah dll, pembangunan infrastruktur umum seperti jembatan dan jalan, dan sumberdaya produksi. Kabupaten Sumedang dan Magelang menegaskan minimum 60% ADD untuk pembangunan dan khusus untuk Magelang diutamakan untuk pengentasan kemiskinan. Dalam realisasinya, kebanyakan desa mengikuti petunjuk teknis penggunaan anggaran ADD untuk pos pembangunan. Namun demikian, Desa memperlihatkan diri
15 bahwa mereka memiliki prakrasa yang responsif dengan kebutuhan masyarakatnya. Hal ini karena projek yang dikembangkan menyentuh langsung dengan permasalahan yang dihadapi masyarakatnya. Bahkan terlihat bahwa dana dialokasikan juga untuk pemberdcayan ekonomi masyarakat kecil misalnyan untuk dana simpan pinjam dan penguatan ekonomi masyarakat kecil. Tabel 2. Pos Belanja Pembangunan di Desa di Empat Kabupaten Tahun 2002 - 2003 Kabupaten Limapuluh Kota
Sumedang
Tuban
Selayar
• • • • • • • • • • • •
Pos Belanja Pembangunan Sarana peribadatan di setiap jorong Taman Kanak-kanak Gedung posyandu Pasar nagari Tambatan Perahu Sarana irigasi Perbaikan kantor jorong Pembangunan masjid jorong Usaha Simpan Pinjam Beasiswa untuk anak miskin Bantuan sosial untuk keluarga miskin Pembinaan posyandu/Generasi Muda
• • • • • • • • • • • • • • • • • • • •
Jalan dan jembatan, Sarana peribadatan, Pembelian tanah, Menunjang 10 Program PKK Bantuan untuk fakir miskin. Perbaikan kantor desa, Tanggul jalan, Pembinaan anak dan remaja Bantuan modal usaha kecil Pembinaan posyandu/Generasi Muda Pengelolaan pasar, Pompanisasi/HIPA, Lembaga Layanan Modal Prasarana Jalan Prasarana ekonomi Kantor Desa Sarana peribadatan Taman Kanak-kanak Tambatan Perahu Usaha Simpan Pinjam
16
Apabila dicermati, Desa dan masyarakatnya telah menggunakan dana ADD secara kreatif karena diposkan untuk belanja pembangunan yang dapat mereka kelola sendiri. Selain itu dana tersebut dipadukan dengan pendapatan asli desa serta dana swadaya dan gotongroyong dari warga sehingga dapat dipakai untuk menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi Desa dan masyarakatnya.
Pengawasan dan Pertanggungjawaban Pemkab telah menyiapkan mekanisme evaluasi dan pengawasan pengelolaan dan penggunaan ADD di tingkat desa. . Pada prinsipnya tugas itu diemban oleh panitia di tingkat kabupaten dibantu dengan di tingkat kecamatan. Studi ADD kami menemukan bahwa kebocoran anggaran ADD sangat rendah. Data yang dikumlkan dari Kab 50 kota mencatat bahwa dari 76 Nagari, hanya tiga nagari yang pernah bermasalah dalam mengelola keuangan ADD, dan satu diantaranya kemudian diselesaikan lewat pengadilan. Ada beberapa alasan mengapa kebocoran rendah jika dilihat dari sisi pengawasan. Pertama: tingginya komitmen elemen pemerintah desa dan BPD untuk mengemban terwujudnya OTDES dan pembangunan desa. ADD tidak dimaknai bagibagi projek melainkan sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan ke rakyat dan Pemkab. Kedua: peran swadaya dan gotongroyong masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan
projek
pembangunan
sangat
tinggi
sehingga
mereka
sangat
berkepentingan untuk mengawasinya. Di beberapa darah dikenal Pengawasan kultural artinya
masyarakat
secara
spontan
akan
melakukan
pengawasan
dengan
emnggunakan media-media yang ada di forum komunitas. Ketiga: terselenggarannya sistem pengelolaan anggaran dan pembangunan yang transparan. Di banyak desa muncul tempat kebiasaan mengumumkan dana yang akan diterima dusun atau jorongnya secara tertulis dengan ditempel di tempat pengumuman dan masjid atau surau. Pengelolaan anggaran yang transparan itu juga dapat diwjudkan karena dibantu oleh adanya pedoman dari kabupaten yang mudah disimak dan diikutinya. Untuk menjamin bahwa ADD dikelola dengan baik, sejumlah kabupaten mensyaratkan bahwa pelaporan ADD disertai dengan pelaporan pertanggungjawaban kepala desa dalam mengelola APBDES. Dengan demikian, tuntutan ini mengharuskan
17 kepala desa untuk mempertanggungjawabkan kegiatannya dihadapan BPD dan bahkan juga kepada masyarakat karena merekalah yang memanfaatkan dan mengeluarkan dana tambahan untuk terselenggaranya pembangunan dan pemerintahan di desanya. Untuk menjamin pengelolaan yang bertanggungjawab, Kabupaten Jayapura mewajibkan kepala distrik membuat lapiran bulanan yang menyangkut penerimaan dan pengeluaran keuangan, kemajuan kegiatan dan masalah yang dihdapi di lapangan. Selain lapoiran bulanan, juga diikuti laporan tahunan yang dilengkapi dengan hasil evaluasi dan foto-foto kegiatan. Semua Peraturan seperti itu dimaksudkan untuk menjamin anggaran tidak bocor dan meningkatkan kinerja di kemudian hari Nampaknya pelaksanaan ADD di enam kabupaten membuktikan bahwa Desa dapat dipercaya untuk menjalankan fungsi desentralisasi. Hal ini karena di samping ditandai oleh kemampuan mengelola anggaran secara partisipatif dan kreatif dan responsif, juga mampu mencegah terjadinya kebocoran anggaran .
Kemanfaatan Dengan berlangusngnya pembangunan melalui dana stimuli ADD di enam kabupaten selama kurun waktu 3-4 tahun, nampak sejumlah perubahan positif telah dirasakan baik oleh Kabupaten dan Desa maupun masyarakatnya. Dari segi kepentingan Kabupaten, dengan adanya ADD, maka Kabupaten tidak perlu lagi repot terlibat dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan skala desa karena masingmasing desa bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kabupaten bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan publik untuk skala Kabupaten yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat bagi pembangunan jangka panjang Kabupaten. Suara dalam FGD di Selayar mengatakan: Selama ini masalah desa selalu menumpuk di Kabupaten baik yang dihimpun melalui UDKP maupun lewat aspirasi anggota DPRD. Kabupaten selalu repot harus memilah lagi mana yang lebih prioritas mana yang tidak. Sekarang hal itu sudah tidak perlu lagi terjadi karena masing-masing desa sudah bisa menyelesaikan masalahnya.
Selain meminimalisasi beban tugas, ADD juga melahirkan efisiensi pembiayaan pembangunan. Selama ini pembangunan desa hampir selalu dipilihkan dari atas, atau diistilahkan top down dan pelaksananya dinas instansi pemerintah melalui mekanisme
18 proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari desa, bahkan dusun, namun pada kenyataannya keputusan pilihan ada di tangan pemerintah daerah. Maka bukan tidak mungkin proyek yang datang ke desa bukanlah kebutuhan masyarakat. Biaya pembangunannya pun sudah bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari kebutuhan biaya dari kaca pandang masyarakat. Pertanytaan Peserta FD di Selayar: Kalau kami yang melaksanakan pembangunan ini maka akan jauh lebih baik kualitasnya dan volumenya lebih besar lagi karena masyarakat akan dengan suka rela membantu. Bukti di atas menunjukkan betapa Desa adalah potensi pembangunan yang besar bagi daerah. Pembangunan dengan melibatkan langsung masyarakat desa, menunjukkan hasil yang jauh lebih baik dan efisien daripada pembangunan desa yang selama ini dijalankan dengan mekanisme proyek. Manfaat berikutnya adalah meningkatkan pemerataan pembangunan dan pelayanan. Gerakan pembangunan selama ini sering kali bias kepentingan politik. Atmosfir semacam itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata. Ada desa yang selalu mengalir dengan lancar proyek-proyek dari tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk beberapa proyek secara bersamaan, namun ada desa yang sama sekali tidak pernah dapat bagian kue pembangunan. Kondisi semacam ini disamping menciptakan kecemburuan antar masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis, bahkan kebencian pada pemerintah bagi desa yang tidak pernah kebagian tersebut. Beban pembangunan bisa dikatakan lebih besar di kota dari pada desa. Akses pelayanan publik di kota jauh lebih cepat berkembang dari pada di desa dan dengan demikian pelayanan masyarakat semakin senjang dari waktu ke waktu. Strategi pembangunan semacam ini tidak akan bisa mengatasi kemiskinan struktural, jumlah kemiskinan di desa akan selalu lebih tinggi dan urbanisasi akan terus semakin besar. Manfaat terakhir yang tidak kalah penting adalah meningkatkan peran Desa. Desa penerima ADD semakin aktif kmenjalankan perannya dalam pelayanan publik dan pembangunan. Peningkatan peranan desa dalam pembangunan berkontribusi besar mewujudkan
kesejahteraan
masyarakat.
Beberapa
kesulitan
yang
selama
ini
membelenggu Desa secara bertahap mampu diurai oleh mereka sendiri. Dari sudut pandang pemberdayaan, masyarakat desa semakin mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan ini menjadi indikator kemandirian.
19 Dari segi kepentingan Desa ADD telah memperkuat kemandiriwasn desa di bidang keuangan desa, capacity bilding desa dalam mengelola anggaran dan pembangunan serta terwujudnya pengelolaan pemerintahan yang lebih demokratis dan partisipatif. Kemajuan itu telah meningkatkan kepercayaan masyarakat dan bahkan juga pihak Kabupaten yang tinggi terhadap Desa. Dalam FGD di Sumedang , peserta mengemukakan: Desa sekarang menjadi lebih mandiri dan lebih tahu (terlatih) untuk menyusun prioritas kebutuhan pembangunannya. Munculnya kebutuhan Pengembangan Kapasitas Desa (Pemerintah Desa, BPD, dan Lembaga-lembaga desa lainnya) untuk secara partisipatif dan sistematis merumuskan tantangan-tantangan dalam pembangunan desa.
Oleh karena itu muncul gagasan dari sejumlah Bupati bahwa kelak Desa dapat diangkat untuk menjalankan fungsi Desentralisasi yang lebih luas. Dalam FGD di Jayapura gagasan itu muncul: Pelimpahan sebagian kewenangan pemerintahan dari bupati kepada Kepala distrik yang disertai dengan pengalokasian Anggaran, dirasakan oleh kepala distrik sebagai upaya sungguh-sungguh untuk meningkatan kapasitas kelembagaan distrik sebagai garda depan pelayanan publik kepada masyarakat Perencanaan dan penganggaran pembangunan yang berbasis distrik telah mampu meningkatkan kapasitas dan kwalitas perencanaan pembangunan di tingkat distrik dan kampung
Kemandirian desa adalah kunci bagi kemandirian daerah dalam jangka panjang. Sehingga membangun kemandirian desa secara bertahap akan mengikis sifat ketergantungan desa yang terjadi selama ini. Kemampuan masyarakat menyelesaikan masalahnya, kalau bisa diorong secara luas di seluruh daerah, maka kreatifitas dan ketahanan masyarakat akan menjadi modal penting menghadapi tantangan global di masa depan.Trust masyarakat yang tinggi terhadap desa dimungkinkan karena mereka mendapatkan akses partisipasi. Partisipasi menjadi bukan sekedar hak tetapi juga tanggungjawab sehingga membuahkan kerjasama yang tinggi antara Pemerintah Desa, BPD dan masyarakatnya.
20
Kesimpulan Paper ini telah memperlihatkan bahwa munculnya kebijakan ADD di enam kabupaten bukan semata-mata dilandasi oleh adanya UU No 22/99 dan PP 76/2001 yang memberikan akses bagi desa untuk memperoleh dana perimbangan tersebut. Kelahiran ADD di enam kabupaten itu nampaknya juga diawali dari proses meningkatnya partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk dan kualitasnya. Di 50 kota olpratisipasi masyarakat diperlihatkan dalam bentuk wacana romantisme tentang Nagari yang ideal, sedangkan di Sumedang, Magelang dan Tuban dalam bentuk agenda aksii para penyelenggara pemerintahan desa dan elemen-elemen masyarakat sipil untuk menunut munculnya kebijakan tersebut. Akhirnya keberhasilan mendapatkan dana itu tergantung dari responsivitas para penyelenggara pemerintahan di tingkat kabupaten. Kebetulan keenam kabupaten itu telah memiliki tingkat responsivitas yang cukup tginggi dan mempunyai konsepsi yang ideal pula tentang masa depan desa dalam konteks OTONOMI DAERAH din wilayahnya sehingga kebijakan ADD lahir melalui proses yang relatif mulus. Berangkat dari partisipasi sebagai kekuatan yang ikut melahirkan kebijakan ADD maka dalam proises pengelolaannya partispasi tetap diindahkan. Bahkan pihak kabupaten sebagai pemberi dana tersebut menekankan partisipasi sebagai elemen yang penting untuk menjamin terjadinya transparasi dan akuntabilitas serta dukungan anggaran dari Desa yang diusun dari dana swadaya dan gotongroyong warga guna mewujudkan projek-projek pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Tuntutan mewujudkan transparasi itu bukan menjadi ancaman bagi para penyelenggara pemerintahan desa, karena kunci dari terlaksananya pembangunan terletak dari partisipasi, meskipun partisipasi masih kuat merujuk pada kesediaan warga untuk menanggung beban biaya projek yang disulkan. Paper ini menegaskan bahwa kebijakan ADD memang menjadi instrumen bagi terselenggarannya pemerintahan desa secara partisipatif. Hal ini karena ADD terintegrasi ke dalam APBdes dan tahap perencanaan, penetapan dan implementasi program yang tertuang dalam APBdes menghendaki partisipasi warga. Namun demikian paper ini juga memperihatkan bahwa ADD juga menjadi arena bagi elemen-elemen penyelenggara pemerintahan desa untuk mengusung kebijakan dan program yang responsif bagi kepentingan masyarakat. Fakta telah menunjukkan bahwa berbagai program yang diusung Desa menjadi sangat dekat dengan aspirasi masyarakatnya dan
21 mendapat dukungan dana swadaya dan gotongroyong yang signifikan. Tidak kalah penting prgram itu juga diawasi pelaksannyaan sehingga sehingga mendorong akuntabilitas dan transparasi di dalam melaksanakan pekerjaannya. ADD juga menjadi alat yang memercepat proses kemandirian masyarakat desa untuk menyelesaikan berbagai masalah yang sebenarnya bisa mereka pecahkan sendiri di wilayahnya. Dengan adanya ADD warga dapat belajar menangani projek secara swakelola dan akhirnya mereka semakin percaya diri untuk mandiri membangun desanya.
Rekomendasi Belajar dari betapa pentingnya partisipasi bagi lahirnya dan suksesnya penyelenggaraan kebijakan ADD, maka paper ini sejalan dengan apa yang dirokemndasikan dari penelitian yang kami lalukan untuk bahan masukan di dalam penyusunan Surat Edaran Depdagri tentang panduan penyusunan kebijakan ADD bagi Pemkab. Rekomendasi yang menyangkujt partisipasi adalah sebagai berikut: Pertama: Dalam proses penyusunan kebijakan ADD, Pemkab bersama-sama dengan DPRD melibatkan beragai pihak yang berkepentingan dengan kemandirian desa, terutama di sini adalah wakil dari pemerintah desa BPD dan lembaga kemasyarakatan di desa. Kedua: Seluruh kegiatan yang didanai oleh ADD direncanakan, dilaksanakan dan dievaluasi secvara terbuka dan diketahui oleh masyrakat luas. Ketiga: Pemerintah desa menjamin bawah seluruh unsur masyarakat dapat berperan aktif mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan pemeliharaan berbagai proses serta hasil ADD. Keempat: Pengelolaan ADD merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan keuangan desa dalam APBDes. Kelima: Penggunaan ADD dikerjakan oleh masyarakat sesuai dengan kemampuannya.