PELDAS BALI, JUNI 2011: CITRA DIRI, JILBAB DAN SAYA Oleh: Harir – Faskel Sosial Team 4 Badung Bali – Indonesia
Pertama kali masuk di Bali untuk urusan pekerjaan, main frame saya sama seperti sewaktu saya datang ke Bali untuk berlibur.. just free youself, just enjoy this and that. Bali adalah piliihan saya untuk liburan karena cukup murah biaya transportasinya, waktu perjalanannya juga tidak terlalu lama, alternatif pilihan wisata juga banyak baik wisata alamiah maupun wisata budayanya. Suasana bali yang begitu heterogen dan multibangsa masih terasa seperti desa. Mau jalan kaki? Bisa! Mau bersepedah? Bisa! Bandingkan jika di Jakarta… mana bisa??? Di bali saya masih bisa jadi ‘wong ndeso’. Satu bulan kerja tanpa terasa dan saya masih berkutat pada program ‘berkenalan’ baik person to person dengan anggota BKM maupun mengenal wilayah yang memang baru bagi saya. (Nampaknya sepele tetapi berkenalan ternyata bukan pekerjaan mudah bagi saya karena sampai bulan Juni ini masih ada satu kelurahan -dari 11 kelurahan/desa dampingan- yang tidak satupun dari anggota BKM nya saya kenal). Berbekal kesulitan dan idealisme (biasa) orang baru (wong kerja kok cuma ‘berkenalan’), maka pada suatu hari saya mengatakan kepada teman yang juga baru masuk dalam team: “ Mba, aku punya mimpi untuk memberdayakan perempuan di desa dampingan kita”. Ini mimpi kosong karena saat ngomong begitu saya tidak punya konsep dan tidak juga tidak punya target tertentu kecuali hanya ingin belajar bersama. Mungkin karena sama-sama tidak tahu apa-apa kecuali idealisme, teman saya tersebut menyambut baik niat saya dan penuh semangat dia bilang “ayoo!!!”. (Pada saat itu kami belum mendapat pelatihan sehingga tidak tahu adanya target-target sesuai PAD termasuk dalam hal prosentase keterlibatan perempuan). Senang sekali rasanya karena ada teman –perempuan Bali- yang mendukung saya dan tahu bahwa perempuan adalah bagian penting dari pembangunan bukan cuma pelengkap penderita dari entitas lain yang bernama laki-laki. Tetapi kebahagiaan saya itu tidak berlngsung lama karena beberapa
saat kemudian teman saya tadi bergumam: ‘……tapi mungkin jilbab mbak akan jadi masalah disini’. Saya terhenyak sejenak, awalnya saya yang naïf hanya berpikir Bali adalah bagian dari Indonesia jadi mengkilas balik, menggambar ulang, memeta ulang, merekonstruksi ulang siapa saya in the middle of this situation. Saya baru ingat mengenai teori-teori Psikologi Sosial mengenai sterotype, ego sektoral, trauma, perbedaan, prejudice, dll. Ahhhh benar..bahwa pernah ada 2 kali bom Bali. Saya pulang dengan pemahaman yang berbeda tentang keberadaan saya disini saat itu. Stereotype adalah pendapat dan pikiran yang menggeneralisir ciri-ciri seseorang/kelompok berdasarkan keanggotaan orang/kelompok tersebut dalam kelompok tertentu. Jadi stereotype ada di dalam alam kognitif. Stereotype negatif adalah prasangka (prejudice) yang bersemayam di alam emosi dan mewujud dalam perilaku berupa diskriminasi. Prasangka biasanya terjadi bukan pada orang ‘sakit’ tetapi terjadi pada orang normal yang memilih melakukan konformitas dan persetujuan pada norma kelompok. J.A. Aho (1994) mengatakan bahwa konstruksi ‘musuh’ terjadi secara sosial maka imaji tentang musuh harus didekonstruksi secara sosial pula, melembaga dan bukan personal-individual. Perilaku saya dalam mengkilas balik, menggambar ulang, memeta ulang, merekonstruksi ulang siapa saya karena sedikit komentar teman yang mungkin tidak menyangka efek kalimatnya adalah manifest nyata dari salah satu materi PELDAS tgl 6 – 12 Juni 2011 kemaren mengenai CITRA DIRI, tetapi saya lebih suka menyebutnya Self image (citra diri itu bahasanya politikus). Self image adalah mental picture yaitu gambaran mental yang kita miliki berdasar berbagai hal misalnya: ciri fisik, gender, kemampuan IQ, dsb. Juga terdiri dari hal-hal yang dipelajari baik melalui pengalaman sendiri dan langsung atau berdasar pendapat orang lain. Ada 3 jenis dan sumber self image: 1.
Self image yang berasal dari bagaimana seseorang menggambarkan dirinya sendiri
2.
Self image yang berasal dari bagaimana orang lain menggambarkan orang tersebut
3.
Self image yang dihasilkan dari bagaimana seseorang melihat orang lain melihat dia (rereinterpretasi)
Mungkin benar bahwa kita adalah apa yang kita percaya berdasarkan tiga hal tersebut tetapi bisa juga kita hanya sebagian saja atau samasekali bukan dari ketiganya. Benarkah saya harus melihat saya sebagaimana yang disampikan teman saya? Saya ingat dengan buku ‘Interviewing’ yang pernah saya baca bahwa ketika kita melakukan wawancara maka mulailah dengan persamaannya…..….’start from the equal things’, ‘start from the similarities’. Dengan begitu orang akan lebih mudah untuk terbuka, mudah menjadi diri sendiri dengan begitu menjadi mudah menyampaikan ‘dirinya sendiri’ dan bukan menyampaikan apa yang diharapkan orang lain untuk disampaikan. Menginterpretasi signal, symbol, kata-kata, gerakan, pandangan mata dst. dari suatu kontak yang terbuka mungkin akan lebih akurat karena tidak perlu melalui proses berlapis. Benar bahwa saya terpengaruh oleh komentar teman saya. Jadi mulailah saya memahami adanya perbedaan dan dari situ saya mulai menempatkan diri sebagai bagian integral (bukan bagian
terpisah) dari perbedaan itu. Sebuah rumah hanya akan menjadi indah jika dibangun dari materi yang berbeda. Saya adalah bagian dari rumah itu, saya adalah bagian dari saudara-saudara Bali saya yang sama-sama sedang berjuang untuk masyarakat dari bangsa yang sama, memberdayakan perempuan dari bangsa yang sama. Seperti itulah saya membangun self image saya dan seperti itulah saya ingin di ‘baca’ dan di ’terima’ oleh saudara saya. Sebagaimana yang saya sampaikan diatas bahwa saya banyak mengalami kesulitan (yang saya tidak yakin itu dikarenakan saya berbeda) walaupun pekerjaan saya cuma ‘berkenalan’ dan sebagai orang baru yang biasanya memang masih sok idealis saya juga begitu. Saya didukung oleh sahabat perempuan se-team saya yang notabene orang teknik tetapi memahami betul semangat pemberdayaan (mungkin dia harus saya profile kan suatu saat nanti) akhirnya mencari jalan keluar dari ‘kebekuan’ BKM Badung yang mungkin mengalami degradasi semangat. Walau saya tidak punya logika sebab akibat dari apa yang akan kami lakukan tetapi saya percaya ilmu air. Begitu mencair apapun itu maka dia akan meluber kemanapun tempat yang dianggap bisa diluberi. Perempuan Badung ketika mereka tahu apa peran dan fungsi mereka yang sesungguhnya dalam pembangunan maka mereka akan ‘memberitahu’ kepada yang lain bagaimana mereka harus diperlakukan dalam pengambilan keputusan. Dalam banyak penelitian (terutama oleh Prof. Rae Lesser Blumberg) perempuan dinyatakan lebih tahan untuk menolak suap, Negara dengan pimpinan perempuan lebih rendah tingkat kemungkinan berperang, permpuan dengan akses ekonomi yang baik akan secara langsung dan tidak langsung meningkatkan GNP suatu Negara juga secara signifikan meningkatkan kualitas SDM bangsa, dll. Berbekal pengetahuan itu (tapi tidak tahu hal lain), kami berdua memulai gerilya di lembah belantara manusia yang masih asing bagi saya khususnya… pontang-panting saya menanyakan jadwal PKK dan pertemuan lain. PKK yang dipandang skeptis adalah wadah yang paling mungkin kami masuki, karena di Bali ada banyak pernyataan ‘sangat suuulit membuat pertemuan dengan perempuan’, (triple ‘u’ yang menandakan kesulitan tingkat 3!!). Sejauh ini baru 3 pertemuan perempuan yang berhasil kami datangi (ctt: di Bali banyak sekali upacara, bahkan dari bulan Juni sampai Agustus sudah ada warning bahwa akan sangat sulit mengadakan pertemuan). Pada tiap pertemuan kami pakai strategi berbeda sesuai dengan waktu yang mereka berikan kepada kami. Pada salah satu pertemuan saya mencoba membuat mereka memperoleh insight agar mereka tahu apa fungsi dan peran mereka. Kepada mereka saya bagikan 8 kertas metaplan yang pada masing-masing kertas saya tuliskan I dari 8 daftar MDG’s goals, lalu saya minta mereka menjawab pertanyaan: 1. Siapakah yang lebih berperan di situ? Laki-laki atau perempuan? 2. Apa alasan mereka memberi jawaban tersebut? Dari beberapa jawaban dan alasan yang disampaikan nampak mereka faham bahwa secara faktual mereka memiliki peran dalam menyelesaikan masalah sebagaimana soal yang diajukan tetapi mereka belum faham secara mendasar bahwa peran mereka adalah central dalam mengatasi persoalan global yang dihadapi hampir setiap bangsa terbelakang, berkembnag atupun maju.
BERHASILKAH?????
Kembali ke masalah saya yang berbeda dengan saudara Bali saya, faktanya adalah ketika saya datang pada pertemuan perempuan Badung (baik yang saya datangi berdua dengan teman perempuan Bali saya tersebut ataupun sendiri)…………….adakah penolakan karena saya berbeda? Tidak! Ketika saya datang kepada BKM Badung yang hampir semua personilnya adalah laki-laki sesuai dengan tupoksi saya
sebagai fasilitator sosial……….. adakah penolakan karena saya berbeda? Tidak! (walaupun ada yang belum berhasil saya temui tetapi saya belajar yakin itu bukan karena saya berjilbab) Jadi rumus sederhananya adalah sebagai berikut: Saya (berbeda) + kamu (berbeda) + dia (berbeda) = Kami (sama)! Jadi…….’Kami’ itulah self image yang saya bangun! Bukan saya, bukan dia, bukan kamu tetapi kami! Maka kami (bermaksud) membangun perempuan Badung disatu sisi rel, dan kami bangun BKM Badung (yang mulai kehilangan darah) di satu sisi rel yang lain dan kami berharap mereka bertemu disuatu tempat pada suatu saat nanti untuk saling menyemangati walaupun kami tidak tahu bagaimana hal itu akan terjadi dan kapan terjadi, mungkin ketika kami sudah tidak lagi disini. Contoh pertanyaan sederhana dan jawaban peserta (dipilih karena tulisannya paling jelas)
Beberapa foto kegiatan Belajar Bersama Perempuan
Paling kiri (figure) adalah teman saya Faskel Teknik (Mbak Budi Utari) supporter paling bersemangat