PELANGGARAN PASAL-PASAL 169 dan 153 bis adalah MOKAL1 Tuan-tuan Hakim yang terhormat! Bagian yang pertama dari kami punya pidato sekarang sudah habis. Tuan-tuan sudah mengetahui sekarang segala asas dan sifat-sifat aksi PNI beserta segala keyakinankeyakinan kami di dalam garis-garisnya yang besar. Pada awal kami punya pidato, kami sudah menerangkan kepada Tuan-tuan, bahwa maksud kami menceritakan PNI beserta keyakinan kami itu dengan singkat, ialah bukan mempropagandakan hal-hal itu kepada Tuan-tuan, melainkan hanyalah untuk menunjukkan kepada Tuan-tuan asas dan sifat PNI itu agar supaya Tuan-tuan bisa mengerti asal-usul dan sebab-sebabnya kami punya perkataan-perkataan atau tindakan-tindakan yang menjadi penyelidikan proses ini. Maka dengan apa yang kita uraikan tadi itu, nyatalah dengan senyata-nyatanya, bahwa PNI adalah partai yang halal belaka, - partai yang tidak mempunyai maksud sebagai yang dituduhkan itu. Tidak adalah dimaksudkannya pemberontakan tidak adalah dimaksudkannya menyuruh orang supaya berontak, tidak adalah dimaksudkannya pemogokan-pemogokan, tidak adalah dimaksudkannya pelanggaran-pelanggaran menurut pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai nanti kami uraikan lebih lebar. Oleh karena itu, bagian yang pertama dari pendakwaan, hilang sama sekali kekuatannya. Lagi pula; pasal 169 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, menurut keputusan Hooge Raad2 3 Desember 1984, W R 6586 dan juga menurut buku Prof. Simons II, hal. 217 dan Noyon, catatan 3 ad pasal 140, hanyalah mengenai perhimpunan-perhimpunan yang didirikan dengan maksud tertentu untuk menyuruh anggota-anggotanya menjalankan kejahatan-kejahatan. Dan Partai Nasional Indonesia tidaklah didirikan dengan maksudmaksud yang termaktub di dalam tuduhan itu. Partai Nasional Indonesia adalah jauh dari maksud yang demikian itu tatkala dilahirkan di dunia, - dan memang adalah pula jauh daripadanya selama ia hidup dan bergerak di dunia dua tiga tahun ini. Partai Nasional Indonesia adalah partai yang lahirnya sampai hari sekarang halal belaka, sah belaka. Tetapi bukan itu saja yang ternyata dari pidato kami bagian pertama itu. Dari pidato kami bagian pertama itu adalah ternyata pula, bahwa kami mustahil bisa bersalah menjalankan hal-hal yang dituduhkan itu; mustahil kami, yang mengetahui bahwa dengan pembentukan kekuasaan nasional itu saja, sudah bisa membikin kemungkinankemungkinan yang luas, - yang mengetahui bahwa kami harus menjauhi segala hal yang perlu yang bisa menyebabkan jatuhnya palang pintu di atas pundak kami, - yang mengetahui bahwa kemerdekaan tidaklah tercapai dengan satu tarikan nafas, - mustahil kami, yang mengetahui hal-hal itu semuanya, bisa “berkocak-kocakan” atau “isengisengan” segala melanggar pasal 153 bis dan 169 itu! Tidak, Tuan-tuan Hakim, kami tidak usah berkocak-kocak demikian itu, supaya maksud-maksud kami bisa tercapai. Kami hanyalah harus bekerja serajin-rajinnya buat 1 2
Mokal = mustahil Hooge Read = Mahkamah Agung
Indonesia Menggugat
1
suatu pembentukan kekuasaan secara modern yang teguh dan sentosa, suatu pembentukan kekuasaan yang terang-terangan, sebagai misalnya pembentukan kekuatan kaum proletar di Eropa. Sebab dengan pembentukan kekuasaan yang demikian itu, dengan suatu kekuatan yang nyata dan hebat serta diinsafi oleh anggota-anggotanya, dengan suatu kekuatan yang bernyawa nasionalisme, berurat saraf empat prinsip itu, berbadan lahir massa yang berkerukunan itu, dengan kekuasaan yang demikian itu, kami toh sudah bisa menjadi maha sakti dan maha kuasa,. – amboi sesungguhnya, zonder bom-boman atau dinamitdinamitan, zonder kocak-kocakan sengaja membahayai keamanan umum atau melanggar kekuasaan pemerintah atau ikut pada perkumpulan yang bermaksud jahat, zonder menjalankan barang sesuatu yang dilarang oleh hukum! “Ketidaktenteraman” dan Ramalan ‘30 Tuan-tuan sekarang bisa membantah: “Massa rakyat tidak Tuan hasut menurut pasal 153 bis, massa Tuan tidak bersalah menurut pasal 169, toh semua orang tahu, bahwa rakyat setahun yang lalu ternyata tak aman dan tak tenteram! Massa Tuan tidak bersalah, toh dimana-mana rakyat, berbisik-bisik, bahwa tahun ini akan ada apa-apa! Itu semua toh mesti ada sebabnya!” O, memang, Tuan-tuan Hakim, kalau rakyat memang tak tenteram, kalau memang ada bisik-bisikan tahun ’30 akan ada apa-apa, itu harus dan mesti ada sebabnya! Tiada suatu keadaan zonder sebab, tiada suatu kejadian zonder hubungan sebab akibat dengan suatu kejadian yang lain! Tetapi, - di dalam hal yang diselidiki sekarang ini, adakah kami yang menjadi sebabnya? Dengan tetap kami menjawab: tidak! Bukan kami yang menjadi sebabny!.... Banyak saksi-saksi menerangkan, bahwa kami selamanya mendidik kepada keamanan. Orang yang selamanya mendidik kepada keamanan, mustahillah sengaja melanggar pasal 153 bis dan 169 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu, mustahil menjadi sebabnya rakyat tak tenteram atau bisik-bisikan rakyat itu tadi. Jadi, apakah sebabnya? Sebabnya adalah banyak; sebabnya adalah sebagian terletak di dalam kepercayaan rakyat umum, - juga sebelum kami bergerak!, - bahwa di dalam tahun ini memang akan ada “apa-apa”; sebabnya adalah sebagian pula terletak di dalam usaha kaum yang benci kepada pergerakan dan mau membencanai pergerakan itu dengan pelbagai ancaman kepada orang desa, bahwa toh pergerakan di dalam tahun ini akan diributkan; sebabnya adalah pula terletak di dalam kesengsaraan rakyat, yang sebagai kami terangkan di muka, membikin rakyat itu gampang sekali percaya akan ramalan-ramalan yang kosong; sebabnya bisa juga sebagian terletak di dalam ancaman kaum Komunis, yang tatkala organisasinya dihancurkan beberapa tahun yang lalu, sama mengancamnya “Awas nanti ‘30"! Sebabnya....tetapi cukup, Tuan-tuan Hakim. Cukuplah kalau kami kemukakan, bahwa juga sebelum kami bergerak, juga zonder kami bergerak, ketidaktentraman itu sudah ada! Haji Agus Salim, menurut surat kabar Sin Po tanggal 13 Januari yang lalu menerangkan, bahwa: “di Kudus ada seorang kiai dan ia punya 50 murid yang jual jimat dan ramalkan bahwa pada tahun 1930 bakal ada kejadian penting.” Pujangga Jawa yang termashur, Kiai Ronggowarsito pun pernah membikin ramalan, bahwa dalam tahun 1930 bakal ada kejadian luar biasa, sebagaimana diperingati pula oleh surat kabar Darmokondo tanggal 8 Januari yang lalu.
Indonesia Menggugat
2
Ya, suatu surat kabar perintah sendiri, yakni Poesaka Soenda, keluaran Bureau Voor de Volkslectuur,3 beberapa bulan yang lalu berisi suatu advertensi yang berbunyi: KEANEHAN TAHUN 1930!!! Ti tahun pungkur keneh jalma-jalma satanah Pasundan guyur ibur, pada mereunang beja yendina tahun 1930 bakal aya kejadian anu aneh. Sarerea pada samar kama pijadieunana sarta taya nu terang. Ayeuna nembe kahartos, sihoreng nu matak ngageunjleung-keun teh buku kaluaran Bale Pustaka, carios: Pangeran Kornel, nya eta menak Sunda anu linuhung, luhung elmuna, gede wawanenna, saincak-incakna tuladeun wungkul. Ku margi eta sadaya urang Sunda perlu karagungan iyeu buku, komo ari urang Sumedang mah, wantu Pangeran Kornel teh beunang disebutkeun pupunjunganana. Dalah sanes urang Sumedang oge sami bae perluna mah, sugan jadi pitulung ngaluhungkeun budina. Iyeu buku sanes mung sae rupina bae, nanging basane ge teu kinten maherna, perlu diaraos ku sugri anu keur ngarulik basa. Pangaosna sahiji mung f 0.70 Surat kabar pemerintah sendiri, Tuan-tuan Hakim, surat kabar pemerintah sendiri memuat perkataan-perkataan begitu, memberi makanan pada kepercayaan rakyat-rakyat itu! Tuan-tuan bisa membantah: “O, itu Cuma suatu advertensi saja!” “Baik, - tetapi tidakkah mengenai perhatian Tuan-tuan bahwa advertensi itu termuat di dalam surat kabar pemerintah, dan tidakkah mengenai perhatian Tuan-tuan perkataanperkataan di dalam advertensi itu yang berbunyi: “Ti tahun pungkur keneh, jalma-jalma satanah Pasundan guyur ibur, pada mereunang beja yendina tahun 1930 bakal aya kejadian anu aneh, yakni bahwa “dari sejak tahun dulu mula, orang-orang setanah Pasundan sama ramai, mendapat kabar, bahwa di tahun 1930 akan ada kejadian yang aneh”? Tidakkah saat ini suatu bukti, bahwa ramalan dan kepercayaan tentang 1930 itu di dalam kalangan rakyat memang sudah tak aneh lagi, dan memang sudah sebagai “keadaan biasa” belaka? Herankah kita kalau “ketidaktenteraman” itu semakin meluas? Tetapi kami, apakah yang kami katakan kepada rakyat? Apakah yang kami ajarkan berhubung dengan kepercayaan rakyat tentang tahun ’30 itu? Bukan memberi makanan, bukan menambah-nambahi atau membesar-besarkan kepercayaan itu, tetapi membantah, menjustakan, membohongkan ramalan itu! Sebab kami mengerti: Tak baiklah rakyat mempunyai harapan yang kosong, dan kami tahu: kaum yang benci pada pergerakan itu, sengaja mempergunakan habis-habisan kepercayaan rakyat itu untuk membencanai pergerakan, segala mengeksploitir kepercayaan rakyat itu untuk mencobakan provokasi-provokasi yang rendah. Dan jikalau provokasi itu berhasil, kamilah yang nanti diingkel-ingkel! Kamilah yang dijadikan anjing belang! Kamilah yang mendapat palang pintu!! Sesungguhnya, Tuan-tuan Hakim, “ketidaktenteraman” rakyat dan “bisikan-bisikan tentang tahun ’30 tadi itu bukanlah kami yang menyebabkan, bukanlah kami yang menghasutkan: “ketidaktenteraman” dan “bisikan-bisikan” itu hanyalah suatu keadaan yang memang sudah tertanam di dalam budi-akal rakyat sejak sebelum kami bergerak; kami punya pergerakan hanyalah kebetulan berjatuh sama dengan kepercayaan rakyat itu! Dan bukan saja berjatuh-sama: kami punya pergerakan adalah malahan secukupnya membantah dan membohongkan padanya, memberi peringatan dan didikan para rakyat, 3
Bureau Voor de Volkslectuur = Biro Perpustakaan Rakyat
Indonesia Menggugat
3
bahwa ramalan-ramalan tentang tahun ’30 itu, adalah kosong belaka! Sangkaan bahwa kamilah yang menghasutnya, sangkaan itu haruslah kami tolak dengan seyakin-yakinnya dan sekeras-kerasnya! Soal Perang Pasifik Tetapi soal Perang Pasifik, soal bakal datangnya Perang Pasifik, tidakkah itu suatu bukti bahwa kami dengan menyebarkan kabar bohong sengaja membikin rakyat jadi tak tenteram, - suatu bukti, bahwa kami benar-benar menjalankan kejahatan yang dimaksudkan oleh pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana? Memang, Tuan-tuan Hakim, memang: kami memang membicarakan soal Lautan Teduh itu, kami mengatakan bahwa Perang Pasifik itu akan datang. Kami tidak menyangkal hal itu, kami tidak memungkirinya. Kami hanyalah menyangkal orang yang mengatakan bahwa kabar Perang Pasifik adalah “kabar bohong”, kami hanyalah menyangkal, bahwa maksud kami dengan menyebarkan kabar Perang Pasifik itu ialah sengaja merusak ketenteraman rakyat. Kabar Perang Pasifik adalah mula-mula keluarnya dari pena kaumkaum Eropa yang terpelajar tinggi dan bijaksana sebagai nanti kami terangkan, - kabar itu kami sebarkan tidaklah untuk sengaja merusak ketenteraman, tetapi ialah supaya rakyat segera sentosa, segera menjadi bangsa! Di dalam permulaan kami punya pidato, kami sudah menceritakan, bahwa balapan cari jajahan pada zaman sekarang ini adalah balapan mati-matian antara belorong-belorong imperialisme Inggris, Amerika dan Jepang. Kami di situ menceritakan, bahwa nyawa persaingan antara tiga belorong ini, ialah perebutan negeri Tiongkok. Kami menceritakan, bahwa siapa yang bisa berkuasa di Tiongkok, dialah yang bisa berkuasa di seluruh daerah Pasifik, bahwa siapa yang menggenggam ruam tangga Tiongkok, dialah yang bisa menggenggam rumah tangga seluruh dunia Timur, ekonomis dan militer. Kami menceritakan, bahwa untuk merebut upah yang sebegini tingginya itulah, belorongbelorong tiga macam itu, adalah suatu peperangan untuk soal “to be or not to be”, - suatu peperangan untuk soal “er op of er onder”, suatu soal “hidup atau mati”. Oleh karena itulah, maka Perang Pasifik ini tidak akan berupa perang kecil-kecilan saja, tetapi akan berupa perang yang menggegerkan seluruh dunia manusia, menggenjlongkan seluruh daerah Lautan Teduh. Kami sebagai rakyat yang negerinya dekat sekali pada Lautan Pasifik itu, yang tinggal di pinggir Lautan Teduh itu, kami harus mengerti, bahwa hebatnya Perang Pasifik ini tentu akan terasa pula pengaruhnya di negeri kami, bahwa api yang akan menyala-nyala di Lautan Teduh itu tentu akan terasa pula panasnya di lingkungan negeri kami sendiri. Kami harus mengerti, bahwa jikalau rakyat Indonesia tidak segera menjadi suatu bangsa yang teguh dan sentosa, jikalau susunan pergaulan hidup Indonesia itu tidak sudah diperteguh sedikit-sedikit, kami bisa juga tidak tahan atau tidak cukup kekuatan untuk menderitakan pengaruh peledakan itu, bisa juga tidak tahan berdiri kalau umpamanya buntut salah satu belorong ini menyabet mengenai diri kami. Oleh karena itu, maka kami sering-sering memperingatkan rakyat Indonesia itu akan bahaya yang mengancam dirinya dari arah Lautan Teduh itu, bukan dengan maksud merusak ketenteraman rakyat, bukan dengan maksud jahat menggegerkan rakyat, tetapi ialah untuk menggugah keyakinan rakyat Indonesia itu akan perlunya lekas-lekas menjadi bangsa! Kami tidak pernah mengatakan, ya, kami tidak mengetahui, kapan Perang Lautan Teduh itu akan meledak; kami tidak pula mengetahui, akan dimana pusat peledakannya;
Indonesia Menggugat
4
kami hanyalah mengetahui, bahwa jikalau tanda-tanda yang sekarang tampak itu tidak menyalahi perhitungan manusia, Perang Pasifik itu satu ketika tentu akan meledak! Sebagaimana tiap-tiap manusia yang jauh penglihatannya sudah bisa merasakan lebih dulu akan datangnya perang besar 1914-1918 itu sebelum perang ini terjadi, sebagaimana misalnya penulis H.N. Brailsford dengan bukunya “The War of Steel and Gold” sudah bisa lebih dulu menujumkan akan datangnya perang besar itu sebelum perang ini menggemuruhkan meriamnya, maka tiap-tiap manusia pun yang memperhatikan jalannya imperialisme-imperialisme Amerika, Inggris dan Jepang itu di dalam tempo yang akhir-akhir ini, tentulah mendapat keyakinan bahwa tabrakan Pasifik itu satu ketika, entah kapan, pasti terjadi. Sebagaimana perang besar 1914-1918 itu mempunyai penujum-penujum yang lebih dulu sudah menujumkan dia akan terjadi, - misalnya penulis buku “The War of Steel and Gold” itu tadi, - maka Perang Lautan Teduh pun sekarang juga sudah mempunyai penujum-penujumnya, misalnya, sebagaimana kami terangkan di dalam pemeriksaan, Ernst Reinhard dengan bukunya “Die Imperialistische Politik im fernen Osten”, Karl Haushofer dengan bukunya “Geopolitik des Pazifischen Ozeans”, Hector C. Bywter dengan buku-bukunya “Seapower in the Pacific” dan “The Great Pacific War”. Benar, -orang bisa berkata-, Perang Pasifik mempunyai penujum-penujumnya, Perang Pasifik mempunyai nabi-nabinya, - itu semua kaum Bolsyewik yang selamanya menyebarnyebarkan kabar bohong! Maaf! Ernst Reinhard bukan Bolsyewik, Karl Haushofer bukan komunis, Hector Bywater bukan anggota Internationale ke-3 atau Komite Eksekutif Sovyet! Ernst Reinhard adalah seorang “warga yang lurus” negeri Swiss, yang duduk dalam Nationalrat, Karl Haushofer adalah profesor tentang Geopolitik pada Universiteit Munchen yang termashur itu, Hector Bywater adalah anggota marinir Inggris! Pengiraan bahwa nujuman akan terjadinya Perang Pasifik itu hanyalah buah otak kaum Bolsyewik yang sakit demam saja, pengiraan itu adalah salah sama sekali. Bukan kaum Bolsyewik yang dikatakan demam otak itu, bukan kaum “Gombinis” atau kaum pelempar bomlah yang mengadakan pustakan Pasifik yang berharga, tetapi kaum netral yang obyektif, kaum netral yang mendasarkan segala ucapannya pada bukti-bukti atau bahan-bahan kejadian yang nyata dan besar jumlahnya. Sesungguhnya, siapa yang membaca bahan-bahan kejadian itu di dalam buku Reinhard “Imperialistische Politik im fernen Osten”, di dalam buku Houshofer “Geopolitik ddes Pazifischen Ozeans”, atau di dalam buku Bywter “Seapower in the Pacific” itu tadi, siapa yang membaca di dalam buku-buku itu bagaimana Amerika, Inggris dan Jepang bersedia-sedia melengkap-lengkapkan senjatanya masing-masing; siapa yang membaca di dalam buku-buku itu uraian penulis-penulis yang sukar disangkal karena berdasarkan buktibukti yang nyata;...siapa yang memperhatikan nujuman-nujuman penulis-penulis itu, dia tentulah mendapat keyakinan bahwa suatu hari, entah kapan Perang Pasifik itu pasti terjadi! Kita baca di situ bagaimana Jepang merebut konsesi-konsesi minyak di Sakhalin buat keperluan armadanya; kita baca di situ bahwa yang dinamakan “konferensi perlucutan senjata” di Washington itu hanyalah suatu akal Amerika belaka mengikat kaki Jepang yang makin lama makin menakutkan itu dengan perdaiaman, bahwa armadanya tidak boleh lebih dari 315.000 ton kapal perang dan 81.000 ton kapal pembantu, sedang kapalkapal masing-masing pihak tidak boleh lebih besar dari 40.000 ton satu-satunya, meriammeriam masing-masing pihak tidak boleh lebih besar dari 406 mm kalibernya. Kita baca di situ bagaimana cerdik muslihat masing-masing pihak, yang toh membesar-besarkan
Indonesia Menggugat
5
kekuasaannya dengan membikin banyak kapal-kapal perang kecilan tapi lebih cepat, beserta membikin banyak kapal-kapal selam, - kapal-kapal perang kecilan dan kapal-kapal selam yang di dalam Perang Dunia 1914-1918 terbukti lebih “efisien” dari kapal-kapal perang yang terlalu besar. Kita baca di situ bahwa di dalam beberapa tahun saja sesudah sandiwara konferensi itu, Jepang seperti terjangkit setan bekerja membikin 30 kapal perang kecil yang baru, 77 destroyer (kapal perusak) baru, 73 kapal selam baru, - Inggris sibuk membanting tulang mengadakan 13 kapal perang kecil baru, 4 kapal perusak baru, 6 kapal selam baru, - Amerika sebagai kemasukan iblis darahnya geger menyelesaikan 19 kapal perang kecil baru, 106 kapal perusak baru dan 48 kapal selam baru.4 Kita baca di situ, apa sebabnya Inggris mau memindahkan pangkalan angkatan lautnya dari Malta ke timur, yakni ke Singapura di pinggir daerah Pasifik, - dan apa sebabnya Amerika tak berhenti-hentinya membujuk-bujuk Prancis menjual Kepulauan Oceania kepadanya, yakni supaya ia bisa menambah lagi benteng-benteng lautnya yang kini sudah banyak itu. Kita baca di situ, bagaimana Amerika sebentar-sebentar mencoba kekuatannya dengan perang-perangan terutama di daerah pimpinan sekretaris marine Wilbur, perang-perangan mencoba kekuatan pangkalan Panama dlam tahun ’23, mencoba kekuatan pangkalan Antillen dan Virginia dalam tahun ’24, mencoba kekuatan pangkalan Pearl Harbour dan Hawaii dalam tahun ’25; dan bagaimana kemudian daripada itu, Amerika lantas mengadakan pelayaran Pasifik umum dengan disaksikan oleh wakil-wakil 40 surat kabar Amerika yang terbesar, yakni supaya semangat publik Amerika bisa dipengaruhi dengan semangat imperialisme. Pendek kata: Kita baca di situ, bagaimana tiga negeri ini sebagai kena penyakit anjing gila sama melengkap-lengkapkan senjatanya! Dan siapa yang suka menghargakan bahan-bahan kejadian dan isi buku-buku itu tadi sebagai kami menghargakannya, dia tentulah, tidak boleh tidak, mendapat pula keyakinan bahwa satu hari pastilah datang saatnya air Samudra Pasifik itu menjadi kawah neraka yang tiada bandingannya di seluruh riwayat dunia, - menjadi kawah neraka yang mendidih seolaholah besok pagi akan kiamat! Sebagai tiga maharaja singat yang sudah berhadap-hadapan mau menerkam satu sama lain dengan sudah meringiskan giginya dan sudah mengulurkan kuku-kukunya, sebagai tiga ular belorong yang sudah memasang-masangkan mulutnya mau menelan satu sama lain, sebagai tiga ikan octopus atau cumi-cumi mahabesar yang sudah menggelogetgelogetkan tangan-tangan penyerotnya akan membinasakan musuhnya, maka kini Inggris bersiap di Singapura, Jepang menyedia-nyediakan senjatanya di Jepang sendiri beserta di Kepulauan Mariana, Marshall dan Bonin, - Amerika berbenteng di Dutch Harbour, di Hawaii, di Tutuila, di Guam dan di Manila! Tuan-tuan Hakim, siapakah yang tidak percaya bahwa Perang Pasifik itu akan datang, kalau ia melihat bukti-bukti perlengkapan; senjata yangn demikian ini? Siapakah yang bisa menjustakan, perhitungan akan pecahnya perang ini, dengan bukti-bukti kejadian-kejadian sebagai yang ditunjukkan oleh Reinhard, oleh Prof. Haushofer, oleh Bywater itu? Siapakah yang bisa mengatakan bahwa akan datangnya Perang Lautan Teduh itu adalah “kabar bohong”, - “kabar bohong” sebagai yang dimaksudkan oleh pasal 171 Kitab UndangUndang Hukum Pidana -, kalau ia melihat bahwa kaum terpelajar yang bernama sebagai Reinhard dan Profesor Haushofer, ahli marine yang terkenal sebagai Hector Bywater, sama menujumkannya sesudah penyelidikan yang teliti? Dan bukan menujumkan saja akan datangnya, Tuan-tuan Hakim! Hector Bywater di dalam bukunya “The Great Pacific War” malah bisa menyebutkan jalannya perang itu satu 4
Bandingkan dengan buku Reinhard “Dia Imperlalistisohe Politik Imfernen Osten”.
Indonesia Menggugat
6
per satu, gerak bangkitnya pergelutan belorong-belorong imperialisme itu hampir dengan seksama. Ia mengatakan, bahwa meledaknya Perang Pasifik itu ialah oleh karena Jepang mau membelokkan anggapan umum di Jepang yang terjangkit pergerakan revolusioner. Ia menujumkan, bahwa pada permulaan peperangan itu, Amerika bisa dipukul lemah oleh karena suatu kapal Jepang bisa menghancurkan Terusan Panama dengan peledakan dinamit yang mahahebat, - bahwa Manila dan Kepulauan Filipina bisa direbut oleh musuh, bahwa suatu armada Amerika bisa dibinasakan sama sekali. Ia lantas meramalkan, bahwa sesudah kena pukulan-pukulan itu, rakyat Amerika bangkit semangat kemarahannya, bahwa segenap armada Amerika yang masih ada lantas mengamuk membasmi armada Jepang di dalam suatu pertempuran mati-matian di dekat Guam, - dan bahwa baru kemudian daripada itu perdamaian terjadi. Atas gambaran tabrakan yang dibikin oleh Hector Bywater ini. Ernst Reinhard memberi komentar: “Ia terlalu kecil menaksirnya, kalau ia mengira bahwa tabrakan ini hanya suatu perkelahian antara dua negara saja. Ini sudah tentu tidak demikian halnya”.5 Amboi, “ini sudah tentu, tidak demikian halnya”! Perang Pasifik menurut Reinhard akan lebih besar lagi dari nujuman Bywater itu ! O, tidakkah wajib rakyat Indonesia lekaslekas menjadi kuat, lekas-lekas memperteguh pergaulan hidupnya, lekas-lekas menjadi bangsa, agar supaya cukup kesentosaan menolak pengaruh perang besar ini, pengaruh yang tidak boleh tidak tentu kami deritakan, kami yang hidup di pinggir Lautan Teduh itu! Sayang Tuan-tuan Haki, sayang kami tak cukup tempo buat membeberkan di sini semua isi buku tiga penulis itu tadi, tetapi di sini kami sediakan salah satu daripadanya, kalau Tuan-tuan timbang perlu, bolehlah Tuan-tuan buktikan sendiri.6 Meskipun demikian, marilah kami di sini mengambil satu dua kutipan daripadanya, marilah kita mendengarkan cerita Reinhard yang demikian bunyinya: “Jepang mau menyelesaikan soal Timur Jauh itu menurut dia punya kemauan. Tetapi apa yang dikehendaki “kaum-kaum kuasanya, apa yang dikehendaki trust-trustnya, tidak menyenangkan hati Amerika dan Morgan. Perjuangan berebutan mangsa tetap ada. Kapan akan meledak? Inilah pertanyaan yang harus dijawab Amerika”. (hal.215) 7 ....Amerika mempersenjatai diri.... Ia bukan saja menyelesaikan angkatan lautnya, tetapi juga pangkalan-pangkalannya di Lautan Teduh. Dari Dutch Harbour di Kepulauan Aleoeten melalui Hawaii ke Tutuila dan Guam sampai ke Filipina, terbentang suatu lengkungan yang luas dari benteng-benteng Amerika, suatu lengkungan yang menggigit Jepang di utara dan selatan seperti tang. Jepang tahu gigitan tang baja ini. Pun Inggris mengetahuinya.” (hal.224). “Tekanan makin keras. Tidak ada pentil terbuka. Sekarang ketel yang terlalu panas itu, masih bisa menahan tekanan yang keras itu. Tetapi persaingan trust-trust Amerika dan Jepang di Tiongkok terus menerus menambahkan bahan bakar baru, saban hari melemparkan minyak ke dalam api. Satu ketika pasti datang waktunya, tekanan uap itu akan meledakkan ketel itu dengan kekuatan yang hebat!” (hal.223) “Apabila karena Tiongkok, timbul perang, maka tentulah itu jadi perang dunia yang sesungguhnya.... Kita semua harus ikut menari apabila hantu maut memperdagangkan lagu mati Tionghoa,” (hal.227). Tuan-tuan Hakim, begitulah bunyi nujuman orang-orang bijaksana itu. Kami, kaum Partai Nasional Indonesia, kami mengerti akan bahaya yang mengancam rakyat dari 5 6 7
Reinhard ibid, hal. 224. Salah satu dari 3 buah buku itu, dipersilakan Bung Karno untuk dibaca oleh para hakim Reinhard, Ibid, hal.215.
Indonesia Menggugat
7
peperangan hebat ini. Kami merasa wajib memperingatkan rakyat tentang bahaya itu, kami merasa wajib memuji-mujikan kepada rakyat supaya lekas-lekas menjadi teguh, lekas-lekas menjadi bangsa. Sebab kami, sekali lagi kami katakan kami insaf, kami yakin, bahwa rakyat kami dan negeri kami, yang diam di pinggir samudra peperangan itu, niscaya akan mendapat pengaruh pula yang membencanai ekonomi dan pergaulan hidup. Kami tidak mengatakan, bahwa Perang Pasifik itu tahun ini akan pecah. Kami tidak pula mengatakan, bahwa ia sebentar lagi akan meledak. Kami hanyalah memperingatkan, bahwa dengan adanya persaingan Amerika, Jepang dan Inggris itu, peperangan itu akan terjadi. Ah, Tuan-tuan Hakim, di Indonesia ini, toh bukan kami saja yang mengatakan akan datang perang itu, toh bukan kami saja yang mengumumkan kabar itu, yang memang bukan kabar bohong. Dr. Ratulangi8 di dalam rapat Dewan Rakyat 14 Juni 1928, jadi, lebih dulu dari kami, membicarakan akan datangnya Perang Pasifik itu juga, dan belakangan ini AID de Preangerbode dan Java Bode pun ikut menceritakannya! Adakah mereka menyebarkan “kabar bohong”? Adakah mereka bermaksud merusak ketenteraman rakyat? “Dalam pada itu”, begitulah Dr. Ratulangi berpidato, “Dalam pada itu, di dalam perjuangan adu tenaga antara golongan sini dan sana, oleh golongan-golongan Barat terlampau dilupakan, bahwa keadaan politik Indonesia di kelak kemudian hari, adalah juga, dan buat sebagian besar, akan dikuasai oleh evolusi selanjutnya dari keadaan internasional di daerah yang disebut Timur Jauh.... Secara psikologis bisa dikatakan, bahwa orang dengan begitu saja menekan kenyataan, bahwa soal jajahan Indonesia adalah suatu bagian dari soal Pasifik yang besar dan bahwa negeri ini tidak bisa melepaskan diri dari nasibnya, barangkali secara aktif, tapi pasti secara pasif, akan terlibat dalam pertikaian di Pasifik, dalam mana kekuasaan-kekuasaan yang hebat akan tabrakan. Marilah kita coba menginsafi keadaan ini; di seluruh Asia Timur, telah jalin-berjalin kegiatan ekonomi, politik, dan strategi: Alasan-alasan angkara murka dan alasan-alasan ekonomi di muka, seperti biasa, dan di belakangnya berkapal-kapal semboyan-semboyan kemanusiaan dan kesusilaan tentang membawa peradaban dan sebagainya. “Tiga hal,” kata Max Reinhard (sebetulnya Ernst Reinhard, Tuan-tuan Hakim), “yang dicari oleh kapital asing di Tiongkok: pasaran buat barang-barangnya, bahan mentah buat keperluan bahan pokoknya dan tenaga buruh yang murah buat pabrikpabriknya”,... apa yang dikatakan tentang Tiongkok, mutatis mutandis berlaku juga buat banyak daerah-daerah Pasifik yang lain. Hanya, pusat soal Pasifik ini adalah Tiongkok, karena soal-soal di situ adalah soal-soal besar dan oleh karena di situ, seolah-olah kita melihat sendiri berlaku duka-carita suatu negeri yang merdeka menjadi korban makanan kesarakahan yang tidak kenal ampun dari berbagai gabungan kekuasaan. Tetapi jelaslah, bahwa semua ini, daerah-daerah sewaan, daerah-daerah pengaruh dan kepentingan atau politik pintu terbuka.... tidak bisa tidak tentu menyebabkan suatu keadaan yang panas dalam makna yang diberikan oleh Van den Bergh van Eysinga. Hubungan-hubungan moril yang berat sebelah ini, yang kata orang hanya bisa dipertahankan selama bangsa-bangsa asing itu cukup kuat untuk mempertahankannya, semua cara-cara campur tangan itu, adalah sarang-sarang atas 8
Dr. Sam Ratulangi adalah anggota Volksraad (Dewan Rakyat) waktu itu, seperti juga M. Husni Thamrin, Sukardjo Wirjopranoto, dll.
Indonesia Menggugat
8
mana akan tumbuh pertikaian-pertikaian, yang akan berkobar sampai jauh di luar batas negeri Tiongkok. Sebab di dalam persaingan untuk mendapatkan keuntungankeuntungan ekonomi sekarang ini, dunia Barat tertumbuk pada perlawanan, pasif dan aktif. Pasif dari tenaga-tenaga pembaruan dunia Timur sendiri dan aktif dari suatu saingan bangsa Timur.... yakni jepang. Dalam keadaan seperti ini, pertentangan dan permusuhan akan tumbuh dan meruncing, sehingga suatu ketika tentu akan ditemui penyelesaian yang bisa dalam pertikaian yang membawa bencana, dalam mana diplomasi dan kepintaran ahli negara harus menarik diri di belakang mulut meriam dan mitraliur. Pendahuluan penyelesaian yang membaca bencana ini sudah kelihatan dan tanda-tandanya tidak bisa salah lagi diartikan, asal saja orang mau melihat dan tidak membiarkan dirinya diakali dengan pidato-pidato omong kosong dan pidatopidato gembira yang tidak berisi sedikit juga..... ..... Asia Timur sudah menjadi papan catur politik penetrasi ekonomi dan militer internasional; kita lihat buah catur demi buah catur dikedepankan dan kemudian ditarik mundur; Jerman menarik diri dari Kiauchau, Jepang menaruh di situ salah satu buah caturnya. Amerika melepaskan Yap, pusat pertemuan kawat-kawat telegrap, Jepang menaruh pula di sana buah catur yang lain. Jepang menambah kekuatan angkatan perangnya semenjak perletakkan senjata tahun 1918 dengan 19 kapal perang kecil, 54 kapal perusak dan 45 kapal selam, sedang Inggris membikin suatu pangkatan angkatan laut di Singapura dan Amerika menambah kekuatan angkatan lautnya dengan jumlah kapal perang yang lebih besar lagi, serta memperkuat pangkalan-pangkalan Hawaii, Tutuila, dan Guam. Dan di bawah ini semua, tidak kelihatan oleh pengawasan publik, bekerja spion-spion, buah catur rendahan, mereka itulah yang menganyamkan jaring, di atas mana nanti akan dimainkan perkelahian besar-besar...... Tetapi dalam pada itu, besok atau lusa tengah-tengah usaha yang saling bertentangan di atas Bumi Asia Timur itu bisa meledak dan mendidihlah kawah mereka, juga atas negeri-negeri ini juga dengan tiada kemauan kami. Dan bagaimana jadinya? Bagaimanakah kedudukan Indonesia dalam pertikaian yang membawa bencana itu, yang pasti akan terjadi”...... Tuan-tuan Hakim, Dr. Ratulangi bukanlah komunis, bukanlah sosialis, bukanlah nasionalis kiri sebagai kami. Dr. Ratulangi adalah seorang yang sekarang terkenal sabar sekali, yakni seorang yang terkenal sangat “lunak”nya dan sangat “kapuk”nya. Dari Dr. Ratulangi karena itu orang tidak gampang mengatakan, bahwa ia “omong kosong”, sebagai yang sering dituduhkan kepada kaum radikal. Meskipun demikian, Dr. Ratulangi berpidato juga, bahwa Perang Pasifik akan meledak, bahwa “kawah neraka” dan “pertikaian yang membawa becana” itu “pasti akan terjadi”, akan membakar dunia Timur “besok atau lusa”! Sesungguhnya, adakah kabar Perang Pasifik itu, kalau kami yang mengabarkannya kepada rakyat, sekonyong-konyong menjadi “Kabar bohong”? Adakah kabar itu, kalau kami yang mengabarkan, sekonyong-konyong berarti, bahwa kami sengaja mau merusak ketentraman umum? Adakah kabar itu, kalau kami yang mengucapkannya, sekonyongkonyong menjadi alasan untuk menuduhkan pasal 171 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana? Toh tidak, Tuan-tuan Hakim! Tapi biarpun begitu......kami berdiri di muka Tuan-tuan Hakim........terdakwa melanggar pasal 171 itu! O, nasib! Sedang kami di Landraad berhubung dengan soal Pasifik ini, sedang kami menjadi pesakitan di hadapan mahkamah Tuan-tuan berhubungn dengan soal Pasifik itu,
Indonesia Menggugat
9
maka pada pertengahan bulan Oktober yang lalu diadakan perang-perangan oleh angkatan laut Jepang yang mahahebat, dan AID de Preangerbode pada ketika itu memuat suatu kabar Associated Press yang berbunyi: “Persediaan-persediaan sudah dimulai tanggal 7 bulan ini......tatkala satuan-satuan armada biru berangkat ke tempat pusatnya di Kure dan kapal-kapal musuh dengan rahasia bergerak di perairan selatan, sampai-sampai di dekat Formosa. Agak jauh sedikit dari Formosa......adalah Kepulauan Filipina, tapi tidak seorang pun yang begitu tidak diplomatiknya untuk menyindir-nyindirkan sekalipun, bahwa serangan itu datangnya dari sana!” Sedang kami di Landraad berhubung dengan soal Pasifik itu, maka AID de Preangerbode 6 Oktober 1930 membicarakan akan terpecahnya soal Pasifik itu sebagai suatu soal aktual dan praktis di dalam tajuk rencananya, yang berkepala: De Vlootwet (Undang-Undang Angkatan Laut), - yakni menganjurkan supaya diterima anggaran belanja pembesaran armada Hindia Belanda guna menjaga kenetralan di dalam Perang Pasifik yang dipastikan olehnya akan meledak itu! Sedang kami di Landraad berhubung dengan soal pasifik itu, maka Java Bode mengumumkan artikel bersambung-sambung dari pena “Observer” yang mengatakan, bahwa keadaan di dunia Pasifik “sudah begitu panas, sehingga sebab yang sekecil-kecilnya pun sudah cukup buat meledakkan Perang Pasifik itu.9 Dan kami bertanya lagi: Adakah kami harus dihukum, kalau kami ikut-ikut membicaran soal pilitik itu, adakah kami sekonyong-konyong menjadi penyebar kabar bohong guna merusak ketentraman umum, kalau kami ikut-ikut meramalkan Perang Pasifik itu, - Perang Pasifik, yang di Indonesia juga diramalkan oleh Dr. Ratulangi, jug diramalkan oleh AID de Preangerbode, juga diramalkan oleh Java Bode itu? Tetapi hasutan harus berontak atau mogok kalau perang itu sudah datang! Kami tidak pernah menghasut demikian itu. Kamipun tidak pernah menyindir atau memujikan dengan tertutup akan perbuatan-perbuatan yang demikian itu, atau perbuatan apa saja yang dilarang oleh hukum. Kami, sebagai tadi kami terangkan, hanyalah memujikan supaya rakyat lekas menjadi bangsa, agar kuat menolak pengaruh perang pasifik itu (terutama pengaruh ekonomi), - pengaruh yang tentu kami deritakan oleh karena kami hidup di pinggir Lautan Pasifik! Lebih dari 10 saksi membuktikan hal-hal ini, Tuan-tuan Hakim. Dan lagi, - mana boleh jadi kami menghasut mogok, mana boleh jadi kami menyuruh atau memujikan staking,10 dimana kami tidak berdiri di muka perserikatan sekerja atau tidak berdiri di muka kaum buruh yang tersusun di dalam serikat sekerja; mana boleh jadi kami memujikan pemogokan-pemogokan, dimana pendirian kami terhadap pemogokan itu ternyata – dengan seterang-terangnya di dalam manifes pengurus PNI yang termuat di dalam “Banteng Periangan” No. 9-10, yang kami serahkan kepada Tuan-tuan Hakim itu? Mana boleh jadi kami berkata bahwa Perang Pasifik akan terjadi dalam tahun 1930 atau lekas-lekas, dan bahwa pada saat pemecahnya itu kami akan merebut kemerdekaan, dimana ternyata tidak ada satu anggota PNI yang terdapat mempunyai senjata apa saja yang pantas dipakai berontak, yakni dimana tidak terdapat satu bedil atau satu pistol atau satu pedang tatkala diadakan penggeledahan di mana-mana?
9 10
Koran Java Bode yang menyiarkan tulisan itu, tertanggal 3 Desember 1930 Staking = Mogok
Indonesia Menggugat
10
Niat Merobohkan Imperialisme, Kekuasaan Pemerintah, dan Sebagainya Tetapi perkataan-perkataan “robohkanlah imperialisme memeras kita”, “kapitalisme menindas kita”, tidakkah yang demikian itu bukti-bukti bahwa kami bersalah melanggar pasal 153 bis atau 169? Kami menjawab: kami mustahil sengaja melanggar pasal-pasal itu. Kami bukankah sebagaimana banyak saksi menerangkan kepada Tuan-tuan Hakim, selamanya mendidik ke arah keamanan, selamanya mendidik kepada kesabaran. Kami bukankah selamanya menghukum anggota-anggota yang membahayai keamanan umum itu. Adakah bisa jadi bahwa orang yang senantiasa mendidik ke arah keamanan, lantas sengaja melanggar pasal 153 bis atau 169? Adakah bisa jadi, adakah mungkin bagi Tuantuan Hakim, bahwa orang yang tak henti-hentinya mengharuskan “harus menjauhi segala hal yang teu puguh”, yakni “harus mejauhi segala yang tidak senonoh”, mengancam tiaptiap anggota yang melanggar keamanan dengan royeman (pemecatan), membohongkan bisikan-bisikan akan ada apa-apa tahun ’30 – adakah mungkin bagi Tuan-tuan, bahwa orang yang demikian itu lantas mempunyai niat, membahayai keamanan umum atau melanggar kekuasaan pemerintah menjalankan hal-hal lain yang dituduhkan dalam proses ini? O, memang, kami memang pernah mengatakan “robohkanlah imperialisme!”, “robohkanlah kapitalisme!”, - kami memang pernah mengatakan “imperialisme jahat, kapitalisme angkara murka, imperialisme mencelakakan kita, kapitalisme merusak rakyat”, dan lain-lain sebagainya, - tetapi adakah bisa jadi, bahwa kami memaksudkan dengan perkataan imperialisme itu pemerintah yang sekarang atau keamanan umum, adakah bisa jadi bahwa kami memaksudkan dengan kapitalisme itu bangsa Belanda atau bangsa asing yang lain?” Kapitalisme dan imperialisme, Tuan-tuan Hakim, kapitalisme dan imperialisme, sebagai kami uraikan di awal kami punya pidato dengan disokong dalil-dalil orang-orang yang ternama, bukanlah bangsa Belanda, bukanlah bangsa asing yang lain, bukanlah kaum Binnenlandsch Bestuur, bukanlah kekuasaan pemerintah, bukanlah suatu badan atau materi, - kapitalisme dan imperialisme, sebagai tiap-tiap perkataan yang berakhiran “isme”, adalah suatu faham, suatu pengertian, suatu sistem! Sistem ini yang mencelakakan, sistem ini yang merusak, sistem ini yang jahat, sistem ini yang harus “dirobohkan”, - bukan bangsa asing, bukan pemerintah, bukan kekuasaan pemerintah! Amboi, adakah kami begitu goblok, adakah kami kering otak atau barangkali miring otak, mengira bahwa imperialisme = kekuasaan pemerintah, kapitalisme = bangsa asing. Kami, yang toh setidak-tidaknya boleh dinamakan orang terpelajar? Adakah kami sia-sia, lebih dari 20 tahun duduk di atas bangku sekolahan 11 lebih dari 10 tahun membaca buku-buku sosial, mempelajari ilmu pengetahuan sosial, - yang kami tidak tahu bedanya antara imperialisme-kapitalisme dengan kekuasaan pemerintah beserta bangsa asing? Ah, Tuan-tuan Hakim, di dalam salah satu dari hasil-hasil yang diserahkan oleh saksi Albreghs, bukankah dengan seterang-terangnya tertulis, bahwa yang kami orang musuhi itu ialah suatu sistem, dan bahwa “kami tidak menyalahkan negeri Belanda”, dan bahwa “tidak semua orang Belanda jahat!” Di dalam catatan-catatan kursus pemimpin bukankah tertulis dengan seterang-terangnya, bahwa imperialisme adalah suatu faham atau tabiat, dan di dalam keterangan banyak saksi bukankah ternyata juga, bahwa yang kami orang empat terdakwa maksudkan dengan kata imperialisme itu ialah suatu faham atau suatu 11
Kami mulai sekolah di desa
Indonesia Menggugat
11
nafsu, sedang di dalam keterangan saksi-saksi Doelhadi, Entjo, Soemarta, H. Mansoer, 12 yang sama menerangkan, bahwa kata imperialisme terjadinya ialah dari kata imperium, ternyata pula dengan senyata-nyatanya bahwa kami orang empat terdakwa sebelum membicarakan imperialisme itu, lebih dulu adalah memberi keterangan yang jelas tentang faham dan arti-artinya! Lagi pula tidakkah kami punya penglihatan politik mengatakan bahwa dengan berhentinya kekuasaan pemerintah di sini, imperialisme itu belum tentu berhenti sama sekali, yakni bahwa dengan berhentinya kekuasaan pemerintah itu, Indonesia buat sementara waktu masih menjadi lapangan imperialisme, masih belum terhindari dari pengerukan kapital surplus asing, masih ada kaum gula, kaum minyak, kaum tembakau, dan lain-lain, sebagai misalnya sekarang negeri Tiongkok atau Persia yang merdeka itu, kedua-duanya bongkok menderitakan pengerukan imperialisme asing! Tidakkah kami punya penglihatan politik itu mengatakan, bahwa pemerintahan nasional itu, - jadi, kalau kekuasaan pemerintah asing di sini sudah tidak da! – selain buat rekonstruksi nasional, adalah suatu syarat untuk melawan imperialisme dengan leluasa dan memberhentikannya sama sekali, sebagaimana juga misalnya kaum sosialis memandang kekuasaan politik sebagai suatu syarat untuk memberhentikan kapitalisme! Tidakkah dengan kami punya penglihatan politik itu, ternyata dengan seterang-terangnya, bahwa di dalam kami punya penglihatan imperialisme dan kekuasaan pemerintah bukanlah satu, bukanlah identik! Lagi pula, tidakkah kami sering-sering menerangkan di dalam kursus-kursus atau rapat umum, bahwa imperialisme di Indonesia adalah internasional, yakni bahwa kami rakyat Indonesia sejak adanya politik pintu terbuka adalah dihinggapi pula oleh imperialisme Amerika, imperialisme Inggris, imperialisme Jepang dan lain-lain, imperialisme Belanda dengan modal kurang lebih f 4.000.000.000, - imperialisme asing yang lain-lain dengan modal kurang lebih / 2.000.000.000.- , sedang kekuasaan pemerintah di Indonesia toh hanya kekuasaan Belanda saja! Tidakkah di dalam keterangan asas PNI tertulis dengan seterang-terangnya apa yang bernama imperialisme itu, dan bahwa imperialisme di sini itu bersifat internasional, - keterangan asas PNI yang kami menjadi penulisnya! Tidakkah kami, kalau kami membicarakan imperialisme itu di kursus atau di rapat umum, biasa sekali lantas membikin suatu analisa daripadanya, - analisa di dalam empat sifat yang kami sebutkan di awal pidato ini dan yang juga tertulis di dalam keterangan asas PNI -, yakni pertama sifat pengambilan bekal-bekal hidup, kedua sifat pengambilan bekal-bekal pokok untuk industri di negeri asing, ketiga sifat memperusahakan Indonesia menjadi pasar penjualan barang-barang dari negeri asing, keempat sifat memperusahakan Indonesia menjadi daerah pengerukan kapital surplus asing, - sambil selamanya menyebutkan angka-angka hasil “gula kurang lebih f 400.000.000.- setahunnya”, “karet kurang lebih f 400.000.000.- setahunnya”, “minyak kurang lebih f 150.000.000.- setahunnya” dan seterusnya, sehingga ternyata bahwa yang kami namakan imperialisme itu ialah bukan kekuasaan pemerintah! Sesungguhnya, Tuan-tuan Hakim, jika dikatakan bahwa kekuasaan pemerintah! Bedanya imperialisme dengan kekuasaan pemerintah, itu adalah suatu hal yang tidak masuk akal, suatu hal yang mokal, suatu hal yang mustahil! Tetapi Tuan-tuan barangkali membantah: “Betul Tuan tahun bahwa imperialisme bukan kekuasaan pemerintah, Tuan tahu bahwa kapitalisme bukan bangsa asing, - tetapi
12
Nama-nama dalam proses peradilan Bung Karno, saksi-saksi seluruhnya lebih 10 orang, termasuk saksi yang memberatkan dari pihak PID, seperti Albreghs
Indonesia Menggugat
12
tatkala Tuan berseru “robohkanlah imperialisme dan kapitalisme!” Tuan maksudkan kekuasaan pemerintah; dan bangsa asing! Ini juga mustahil, Tuan-tuan Hakim! Kami bukankah, kepada semua anggota baru, kalau kami menerangkan asas PNI dengan panjang lebar, senantiasa menerangkan juga panjang lebar arti dua perkataan imperialisme dan kapitalisme itu, sifat-sifatnya dan keinternasionalan imperialisme itu, sebagai yang kami uraikan tadi. Kami bukankah spesial mengadakan kursus sambungbersambung tentang hal bagaimana kapitalisme-kapitalisme di Eropa atau Amerika memberi “cap” sendiri-sendiri atas imperialisme-kapitalismenya di Asia, - dari imperialisme rampok cara biadap Spanyol zaman dulu sampai imperialisme monopoli Belanda di Indonesia, dari imperialisme setengah monopoli Inggris di India sampai imperialisme liberal Amerika di Filipina! Kami bukankah spesial mengadakan kursus-kursus tentang fasal kapitalisme, kursus-kursus buat menerangkan arti dan faktor-faktornya, yakni kursuskursus tentang teori nilai lebih tentang akumulasi kapital, tentang konsentrasi kapital, tentang sentralisasi kapital, tentang tentara pengangguran industri dan lain-lain! Pendek kata, Tuan-tuan Hakim, perkataan imperialisme dan kapitalisme seringlah kami terang-terangkan maknanya, perkataan-perkataan itu, kalau kami ucapkan, mustahillah kami lantas sebenarnya memaksudkan kekuasaan pemerintah atau bangsa asing. Apalagi.....jika dituduhkan bahwa kami pernah mengatakan bahwa imperialisme = kekuasaan pemerintah, bahwa kami pernah mengatakan bahwa imperialisme = bupati, wedana, camat, kopral, bahwa kami pernah mengatakan bahwa kapitalisme = bangsa asing, - itu adalah lebih mustahil lagi, lebih lagi sama sekali tidak ada mirip-miripnya! Amboi, umpama kami dengan kata imperialisme itu memaksudkan kaum BB atau pemerintah, bukankah barangkali lebih baik sama sekali kami berkata: imperialisme = gubernur jenderal, imperialisme = residen, imperialisme = hopkomisaris polisi, dan seterusnya. Tidak! Kalau kami berkata imperialisme, maka kami bermaksud juga imperialisme, kalau kami berkata kapitalisme, maka kami bermaksud juga kapitalisme. Memang imperialisme dan kapitalisme ini yang jahat, memang imperialisme dan kapitalisme ini yang harus dirobohkan, memang imperialisme dan kapitalisme ini yang kami musuhi. Kami adalah ingin merobohkan suatu nafsu atau sistem, bukan kekuasaan pemerintah atau suatu bangsa! Bahasa Radikal Tetapi perkataan-perkataan yang tajam-tajam itu! – Buat apa memakai perkataan yang tajam-tajam itu, buat apa memakai perkataan “merobohkan”, “menghancurkan”, “mencelakakan”, “merusak” dan lain sebagainya, kalau tidak buat menghasut dan buat mengganggu keamanan umum – buat merusak ketentraman rakyat? O, memang, Tuan-tuan Hakim, kami punya bahasa adalah bahasa yang radikal. Kami punya bahasa bukanlah bahasa nenek-nenek yang sudah jatuh pingsan kalau mendengar kata “kemerdekaan”, kami punya pidato-pidato bukanlah pidato paderi di dalam gereja atau pidato juru khotbah di dalam mesjid. Kami adalah nasionalis revolusioner, nasionalis yang radikal, nasionalis kepala banteng! Kami punya bahasa adalah bahasa yang keluar dari kalbu yang berkobar-kobar dengan semangat nasional, berkobar-kobar dengan rasa-kecewa atas celaka dan sengsara rakyat. Siapakah tidak pedih dan dendam hati, siapakah tidak kecewa hati kalau ia mengetahui celaka dan sengsara rakyat sebagai yang
Indonesia Menggugat
13
kami gambarkan di muka tadi, kalau memang ia mau bertulus hati! Sebagai pidato-pidato hampir semua pemimpin kaum celaka dan kaum sengsara di mana-mana negeri, sebagai bahasa semua pemuka kaum terpepet, hatinya penuh dengan rasa pedih dan rasa kecewa, sebagai bahasa semua kaum radikal dan revolusioner yang semangatnya berkobar-kobar, maka pidato-pidato kami dan bahasa kami penuh dengan kata-kata yang radikal dan tandes, penuh dengan gambar-gambar tamsil-tamsil, babasan dan seloka yang berisi semangat yang berkobar-kobar pula. Tetapi tidak adalah pidato-pidato kami dan bahasa kami itu berisi niat melanggar pasal 153 bis, tidak adalah ia berisi maksud menjalankan kejahatan-kejahatan yang dituduhkan dengan pasal 169! Jikalau Mr. Pieter Jelles Troelstra di dalam api pidatonya berkata: “hantamkanlah kita punya palu godam di atas singgasana kaum kapitalisme!”, jikalau Jean Jaures menggetarkan hati dan semangat pendengar-pendengarnya dengan perkataan: “ini kesengsaraan sekarang sudah menjadi bangun dan menuntut dengan menggenggam pisau belati ia punya tempat di bawah matahari”; jikalau pemimpin-pemimpin proletar mendengungkan “majulah perang menghancurkan kapitalisme, majulah perang melawan kaum-kaum yang kuasa”; jikalau di dalam parlemen atau rapat partai apa saja kita sebentarsebentar mendengar seruan “rapatkanlah barisan”, “luruglah bentengnya musuh”, “asahlah senjatamu yang paling tajam untuk melebur pengkhiatan-pengkhiatan kita secindil abangnya”; jikalau Pastor van Lith berseru pada rakyat Indonesia: “………biarlah mereka dengan cara yang lalim mempergunakan kekuasaannya, kalau mereka mau, - kamu akan tumbuh meskipun ditindas seperti baja menjadi keras di dalam api, menambah tenaga dengan mempertahankan diri, belajar mengetahui tenaga berkelahi musuhmu, dan maha kuasa oleh tenaga jumlahmu, tergembleng dengan kerja sama dan berkelahi sama yang tabah, akhir-akhirnya tentu kamu akan keluar dari gelanggang sebagai pemenang”,13 Jikalau kita mendengar perkataan-perkataan yang demikian itu, adakah kita lantas harus ingat akan palu godam yang sebenarnya, akan tahta kerajaan yang sebenarnya, akan pisau belati yang sebenarnya, akan perang yang sebenarnya, akan pedang, akan bom, akan dinamit, akan meriam, serdadu, darah, dan lain-lain? Adakah mereka mau merusak keamanan umum atau melanggar kekuasaan pemerintah atau menjalankan suatu kejahatan yang dilarang oleh hukum di negerinya masing-masing? Jikalau Prof. Boeke14 berkata, bahwa “bapak tani bangsa Jawa adalah hidup kelewat sengsara”, jikalau Dr. Huender15 menulis, bahwa keadaan di sini sudah membikin rakyat menjadi “penderita minimum”; jikalau van Kol16 mendengungkan protesnya tentang adanya “drainage” (pengeringan) yang merusak negeri kami menjadi “negeri yang habis terhisap sumsumnya”; jikalau Mr. Brooshooft17 mengatakan: “kita jerumuskan rakyat Bumiputra itu ke dalam jurang, ke dalam lembah kesengsaraan yang juga menenggelam-kan milyunan orang di dunia Barat sampai ke batang lehernya,” dan berkata, bahwa di sini adalah: “penghisapan terhadap orang yang tidak punya apa-apa kecuali tenaga kerjanya, oleh pemilik kapital, yakni pemilik kekuasaan”, 13 14 15
16 17
van Lith, ibid, hal 32. Prof. K. Boeke dalam bukunya “Net Zakelijkeen persoonlijke element in de koloniale welvaartspolitiek”. Dr. Huender dalam bukunya “Overzicht van den Economischen Toes-(and der Inheemsche Bevolking van Java en Madqera”, Van Kol dalam bukunya “Nederlandsch-Indie in Stolen General”. Mr. Brooshooft dalam bukunya “DeEtische Koers in de Koloniale Polities
Indonesia Menggugat
14
-Adakah mereka bermaksud menghasut atau sengaja melanggar hukum? Tidak, tuan-tuan Hakim, mereka tidak ada maksud yang demikian itu; mereka hanyalah menulis atau mengucapkan pidato yang penuh dengan perkataan-perkataan yang berapi-api, mereka hanyalah menulis atau membeberkan oratoris talent, kepandaian berpidato, yang penuh dengan keyakinan bicara dan penuh dengan gambar-gambar, babasan dan seloka yang mengagumkan. Begitupun kami, dimana kami dengan semangat yang berkobar-kobar berseru “robohkanlah imperialisme!”, dimana dari mulut kami keluar api perkataan-perkataan “hancurkanlah itu nafsu angkara murka”, “lawanlah kapitalismeimperialisme yang menghisap kita itu dengan segenap kita punya tenaga”, maka kami tidak ada satu kejap mata sengaja membahayai keamanan umum, sengaja menjalankan apa-apa yang dilarang oleh hukum di sini! Kami, sebagai disaksikan oleh banyak saksi, adalah senantiasa mendidik akan keamanan dan menjunjung tinggi akan keamanan itu, kami adalah malahan mengancam royemen18 dan menjatuhkan royemen pada siapa saja yang merusak keamanan itu! Ah, Tuan-tuan Hakim, mana boleh jadi kami sengaja menjalankan perbuatanperbuatan atau sengaja mempunyai maksud-maksud yang dituduhkan kepada kami itu, mana boleh jadi kami bisa bersalah menurut pasal 153 bis atau 169 itu, dimana kami di dalam kursus pemimpin yang tertutup dan rahasia itu sampai mengadakan teori antirevolusi dan anti-putsch dan mendidik kepada pemimpin-pemimpin itu supaya selamanya menjunjung tinggi keamanan, mana boleh jadi dimana kami di dalam kursus pemimpin yang rahasia itu, - zonder takut telinga cucunguk atau coro alias spion, zonder takut telinga polisi!, - senantiasa mendidik kepada pemuka-pemuka muda itu menginjak jalan yang halal agar supaya kami punya pembentukan kekuasaan tidak mendapat gangguan yang bisa melahirkan suatu kekuasaan yang sekuasa-kuasanya, sebagai terbukti dari persaksian beberapa pemimpin yang Tuan-tuan dengar itu? Kalau kami memang senang kepada pengrusakan keamanan umum, kalau kami memang ingin akan pelanggaran kekuasaan pemerintah, kalau kami memang bermaksud pula hal-hal yang dituduhkan dengan pasal 169 itu, maka di sinilah tempatnya, di dalam kursus pemimpin inilah tempatnya kami mengajarkan hal itu kepada pemimpin bagian, agar supaya pemimpin-pemimpin bagian itu, kalau berpropaganda ke desa dan ke kampung, bisa menyebarkan “benih racun” kami itu ke mana-mana, sehingga sempurnalah “keamanan umum terusak”, sempurnalah “kekuasaan pemerintah terlanggar”, sempurnalah “kejahatan-kejahatan dari pasal 169 itu terjadi!” Tapi meskipun demikian, bagaimanakah kenyataan! Kenyataan adalah menunjukkan sebaliknya, kenyataan membuktikan bahwa kami di dalam kami punya “sarang” kursus pemimpin itu, bukan bertelur racun, tetapi bertelur barang, yang walaupun pahit rasanya bagi kaum imperialisme, sepanjang undang-undang, adalah halal belaka! O, memang, kami tidak tedeng aling-aling, - telur yang kami jatuhkan di dalam kursus pemimpin dan kursus-kursus biasa itu, adalah pahit sekali rasanya bagi kaum yang berkepentingan atas terusnya keadaan-keadaan yang sekarang. Kami di mukapun tidak tedeng aling-aling, bahwa maksud PNI adalah berusaha serajin-rajinnya menyusun suatu organisasi kekuasaan nasional, suatu raksasa kekuasaan yang insaf akan kekuasaannya, suatu raksasa mahasakti ibarat shaktinya Krishna Tiwikrama! Kami tidak tedeng aling-aling bahwa PNI hanyalah percaya kepada kekuasaan yang demikian itu saja, untuk mendatangkan konsesi-konsesi dan perbaikan-perbaikan di dalam kami punya pergaulan hidup yang dikungkungi oleh pertentangan-pertentangan kepentingan itu! Tetapi kami pun 18
royemen = pemecatan
Indonesia Menggugat
15
sudah menerangkan, bahwa pembentukan kekuatan dan kekuasaan ini sama sekali tidaklah memeluk faham bom atau dinamit, sama sekali tidaklah memeluk pula faham yang dilarang oleh pasal 153 bis atau yang dituduhkan dengan pasal 169 dari kitab Undang-undang Hukum Pidana itu. Sekali lagi memang: telur PNI adalah telur yang pahit sekali bagi kaum imperialisme; dan kaum imperialisme pun tak lupa mencaci maki dan menjelek-jelekan kami sepuas-puasnya di dalam surat-surat kabar dan perkumpulan-perkumpulannya, menuntutkan hukuman atau pembuangan atas diri kami, menuntutkan larangan atas aksi PNI, - tetapi tak bisalah disangkal oleh siapa juga bahwa telur PNI itu adalah telur yang halal. Tuan-tuan Hakim, oleh karenanya, kembali lagi kami bertanya: adakah boleh jadi, adakah mungkin, bahwa kami mempunyai niat yang dimaksudkan oleh pasal 153 bis atau bahwa kami melanggar pasal 169, - kami yang menurut persaksian banyak saksi itu senantiasa mendidik kepada keamanan, kami yang sering memperingatkan jangan kena provokasi, kami yang mem-bohongkan ramalan tentang tahun 30, kami yang mengancamkan dan menjatuhkan royemen kepada tiap-tiap anggota yang melanggar keamanan itu, kami yang menurut persaksian enam pemimpin bagian di dalam kursus pemimpin seringkali mendidik menjunjung tinggi akan keamanan, agar supaya pembentukan kekuatan tidak terganggu, dan mengajarkan teori anti-revolusi, anti-putsch, anti-kekerasan, anti golok-golokan yang bagaimana juga? Buat Apa Spesial Mendidik Keamanan Adakah hal-hal ini semua belum cukup untuk meyakinkan Tuan-tuan Hakim atas ketidaksalahan kami orang? Adakah barangkali timbul pertanyaan pada Tuan-tuan, buat apa kami spesial mendidik kepada keamanan itu, buat apa kami spesial mendidik kepada anti golok-golokan itu, kalau keamanan tidak memang terancam bahaya dan kami tidak takut akan buah propaganda kami sendiri? Tuan-tuan Hakim, tidak benarlah pikiran yang demikian itu. Ketahuilah, bahwa PNI adalah hidup di dalam suatu zaman di laman udara Indonesia, memang penuh dengan kepercayaan rakyat tentang “akan ada apa-apa” di dalam tahun ’30 itu, dimana ingatan rakyat akan cara-cara PKI dan SR19 yang belum selang lama mati itu masih belum hilang sama sekali, dimana kaum reaksi tak berhenti-hentinya mencoba menjatuhkan PNI dengan pelbagai provokasi yang rendah dan kecil. Di dalam waktu yang demikian itu, PNI yang memang sebenarnya partai keamanan dan menjunjung tinggi akan keamanan, di dalam waktu yang demikian itu PNI haruslah lebih-lebih dari mestinya menanamkan faham keamanan itu di dalam otak, hati, tulang sumsum dan darah daging rakyat. Sebab, selain PNI memang tak mau merusak keamanan, sebagai tadi sudah beberapa kali kami katan, PNI pun bahwa dialah yang mendapat palang pintu kalau ada apa-apa! Sebab PNI di dalam mata kaum reaksioner memang sudah sedari lahirnya adalah dicap domba hitam atau anjing belang, memang sudah sedari lahirnya dicap zondebok20 yang hanya bisa menjalankan kejahatan belaka! Tanyakan hal ini kepada Mr. Wormser, Tuan-tuan Hakim, ia tentu bakal membetulkannya…..
19 20
S.R. adalah Syarekat Rakyat, bagian dari PKI yang turut memberontak tahun 1926 Zondebok = biang keladi
Indonesia Menggugat
16
Rapat-rapat Umum di Pekalongan, Solo, dan Lain-lain Belum juga cukup membuktikan kemokalan kami bersalah, Tuan-tuan Hakim? Nah, haraplah tanyakan kepada Tuan Datoek Toemenggoeng dari Kantoorvoor Inlandsche Zaken21, apakah tidak benar kami di dalam suatu rapat umum PNI di Pekalongan telah menerangkan, bahwa PNI tak akan menginjaki jalan yang tak aman. Haraplah baca perslah rapat umum PPPKI di Solo sebentar sebelum kami ditangkap, rapat mana dihadiri jug oleh Tuan-tuan Gobee dan Van der Plas22 dari kantor tadi, - haraplah baca perslah di dalam “de Locomotief” tanggal 28 Desember 1929, dimana tertulis bahwa kami mencela pemberontakan-pemberontakan dengan kata-kata: “Percobaan-percobaan dulu untuk menimbulkan “revolusi” di Sumatra, Borneo, Sulawesi dan lain-lain, semuanya adalah tanda-tanda kesengsaraan kaum tani, yang berusaha mencari perbaikan nasibnya. Sekarang kita harus mencari jalan-jalan lain untuk mencapai perbaikan yang kekal”, “ haraplah baca perslah dalam surat kabar “Bintang Timoer”, 30 Desember 1929, dimana tertulis bahwa kami berpidato: “Itu pemberontakan dari tempo hari di Sumatra, Java, Selebes, Borneo dan lain-lain, itu semua disebabkan karena keadaan rakyat sangat jelek dan oleh karena rakyat adakan gerakan buat memperbaiki dan minta perbaiki nasib yang jelek itu…. Kita sekarang tidak ambil jalan sedemikian. Kita sekarang adakan aksi yang sah buat mendatangkan kebaikan rakyat seumumnya.” Haraplah kalau Tuan-tuan Hakim tidak percaya pada perslah koran, haraplah menanyakan kebenaran perslah-perslah ini pada Tuan-tuan Gobee dan Van der Plas itu tadi, atau kepada wakil pemerintah siapa saja yang menghadiri rapat PPPKI itu! Sesungguhnya, sudah nyatalah senyata-nyatanya, bahwa tidak bisa jadi, tidak ada miripnya, tidak waarschijnlijk23, ya, tidak mogelijk24, mokal, mustahil kami bisa bersalah atas apa-apa yang dituduhkan dalam proses ini, - kami yang begitu banyak bukti-bukti atau petunjuk-petunjuk, bahwa kami selamanya adalah mendidik kepada keamanan itu! Mr. Ir. Kiewiet de Jonge Meskipun demikian……barangkali Tuan-tuan Hakim masih belum juga yakin? Baik! Tetapi apakah Tuan-tuan Hakim masih juga syak wasangka, kalau Tuan-tuan mengingat hal kami di dalam bulan Desember tahun yang lalu menemui wakil pemerintah Tuan Mr. Ir. Kiewiet de Jonge dengan permintaan supaya Tuan itu suka memintakan izin bagi kami kepada Residen Priangan Tengah untuk mengadakan rapat-rapat umum, dimana kami di muka seluruh dunia mau membohongkan ramalan tentang tahun ’30 itu, dan mau mendidik seluruh rakyat, terutama yang belum masuk PNI, agar tinggal tenteram dan menjunjung tinggi keamanan. Izin buat rapat umum? Ya, Tuan-tuan Hakim izin buat rapat umum, - tetapi bukan izin buat rapat umum biasa, melainkan izin buat rapat umum dimana kami akan membantah 21 22
23 24
Kantoor voor Inlandsche Zaken = Kantor urusan dalam negeri Van der Plas, seorang Belanda ahli adat-istiadat Indonesia pernah jadi Residen pada masa kolonial di Jawa Timur. waarschijnlijki = masuk akal mogelijk = boleh jadi
Indonesia Menggugat
17
bisik-bisikan itu, dan dimana kami akan membeberkan teori tentang masasa-aksi yang PNI maksudkan! Sebab, sebagai yang sudah kami terangkan di dalam pemeriksaan, pada suatu hari sebelum Desember itu, Residen Priangan Tengah merasa kecewa hati atas hal Saudara Gatot Mangkoepradja dalam suatu rapat terbuka mengatakan, bahwa PNI mengusahakan kemerdekaan itu dengan tidak mau mengalirkan darah setetes pun jua, - pada suatu hari, Tuan Kuneman telah memperingatkan pula kepada kami, bahwa tiap-tiap pidato yang ada perkataan “darah” dalamnya, walaupun melarang mengalirkan darah, akan ditegur oleh polisi atau distop sama sekali! Ya, Tuan-tuan Kamin sampai ini hari kami belum mengerti apa jeleknya melarang meneteskan getih walau hanya setetes, sampai ini hari masih suatu teka-teki bagi kami jahatnya propaganda sayang akan darah manusia! Tetapi, bagaimanapun juga, kami di dalam bulan Desember itu memandang perlu sekali membantah di dalam rapat umum omong kosong tentang tahun ’30 itu dan memandang perlu sekali mendidik keamanan dan ketentraman pada rakyat. Bukan terutama kepada rakyat di dalam kalangan PNI, Tuan-tuan Hakim, - rakyat di dalam PNI sudah cukup mendapat didikan yang demikian itu di dalam kursus-kursus yang tertutup! Tetapi kepada rakyat di luar kalangan PNI, rakyat di luar organisasi yang masih kegelapan itu, kepada rakyat yang masih bodoh ini, yang gampang diabui matanya oleh kaum provokateur, yang gampang ditipu oleh kaum Sarekat Hejo atau Pamitran, yang tampang dibodohi oleh kaum jahat hati yang lain-lain, - kepada rakyat di luar PNI inilah kami mau mengarahkan kata. Bagi kaum di luar PNI inilah kami butuh akan rapat umum itu, - hanya di dalam rapat umum itulah kami akan bisa berjumpa dan memberi didikan kepadanya! Dan bahwasanya, didikan itu pada waktu itu adalah perlu sekali, sebab dengan makin mendekatnya tahun ’30, ramalan tadi makin mempan, kaum provokateur makin rajin mengabui mata rakyat yang belum masuk PNI, kaum Pamitran makin merajalela, kaum polisi desa makin bertambah jumlahnya yang ikut kena terjangkit penyakit “akan ada apaapa” itu, - pendek kata dengan mendekatnya tahun ’30 udara di luar kalangan PNI makin getar dan tak tenteram adanya. PNI memandang perlu sekali ikut berusaha mengembalikan ketentraman itu. PNI memang tak suka akan keadaan rakyat yang tak tenteram itu. PNI lagi pula mengetahui, sebagai beberapa kali sudah kami katakan tadi, bahwa: - kalau ada apaapa di luar kesalahannya dan di luar tanggungannya, toh dia yang paling dulu mendapat sangkaan, toh dia yang paling dulu dianjingbelangkan, toh dia yang paling dulu dijatuhi palang pintu! Nah, kami minta perantaraan Mr. Ir. Kiewiet de Jonge untuk hal yang kami katakan tadi itu. Mr. Ir. Kiewiet de Jonge pergi ke Tuan Kuneman; Mr. Ir. Kiewiet de Jonge sesudah itu lantas mengabarkan kepada kami dengan surat, bahwa kami harus menemui Tuan Kuneman, yakni kalau kami sudah pulang dari Kongres PPPKI di Solo dan dari turne ke Jawa Tengah. Tetapi, Tuan-tuan Hakim, tetapi… turne belum habis, kami belum kembali di Bandung – di Mataram pada 29 Desember kami sudah ditangkap, ditahan di kantor Polisi, dimasukkan di dalam bui, dikunci di belakang pintu besi dan terali besi, - sampai hari sekarang!....... Yah, begitulah nasib pemimpin, kami pikul nasib itu dengan senantiasa ingat akan Ibu Indonesia, - tetapi kami bertanya kepada Tuan-tuan pejabat pengadilan dan penjunjung keadilan: Adakah bisa jadi, adakah masuk akal, bahwa kami yang mempunyai permintaan yang demikian itu pada Mr. Ir. Kiewiet de Jonge, bisa bersalah atas hal-hal yang dituduhkan pada kami di dalam proses ini? Adakah bisa jadi, adakah waarschijnlijk adakah
Indonesia Menggugat
18
masuk di akal bahwa kami yang mau mengadakan rapat umum di mana-mana untuk mendidik kepada keamanan itu, bisa mempunyai niat melanggar keamanan yang dilindungi oleh pasal 153 bis dan 169 itu? Perslah Spion-spion. Minta spion intelektual O, memang, polisi sekarang sering menerima perslah yang “kocak” dari spionspionnya, polisi sering mendapat laporan yang “penuh sensasi” dari mata-matanya, polisi sendiri sering mengirimkan perslah saringan kabar-kabar spion kepada parket pokrol jenderal25 yang “mengagumkan”. Tetapi, - spion adalah spion, mata-mata budi pekertinya tinggal budi pekerti mata-mata, cucunguk moralnya tinggal moral cucunguk! Mereka selamanya mempunyai nafsu “mengocakkan” perslahnya, menambah-nambahi laporannya, - dan amboi, berapa tinggikah pengetahuan atau pendidikannya? Kami mengetahui adanya ikhtisar-polisionil-politik yang menyebut kami menghasut mengadakan pemogokan pada perusahaan pos!, sedang sebenarnya kami hanya membicarakan hak mogok di tiap-tiap negeri yang beradab dan memujikan supaya dicabut pasal 161 bis Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kami mengetahui adanya ikhtisarpolisionil-politik yang mengatakan, bahwa kami menujumkan pertolongan dari Jepang, sedang tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa barangkali tidak ada satu orang Indonesia yang begitu anti kepada Jepang sebagai kami.26 Kami mengetahui pula adanya ikhtisar-polisionilpolitik, yang dengan “stolen gezicht” alias “muka kayu” memberitakan bahwa Mr. Iskaq sudah bicara di dalam suatu rapat PNI di Malang, sedang Mr. Iskaq itu seumur hidup belum pernah menginjak Malang buat urusan politik, ya barangkali seumur hidup belum pernah menginjak Malang sama sekali!!!......... Memang, Tuan-tuan Hakim, ini semua “kocak”, ini semua sangat “mendirikan bulu roma”, - tetapi juga ini semua adalah tragis, adalah menyedihkan! Tragis, tragis sekali, tragis setragis-tragisnya, sebagai terbukti tahun yang lalu, tatkala kabar spion yang “jempol-jempol” itu mengatakan dengan banyak kekocakan bahwa PNI tanggal 1 Januari 1930 akan mengadakan rrrrevolusi, - rrrrevolusi yang akhirnya …….mengkerut menjadi perkara di dalam proses ini! Herankah Tuan-tuan Hakim, bahwa misalnya Mr. Van Helsdingen di dalam Dewan Rakyat sampai memintakan: “pengawasan yang lebih keras atas spion-spion, yang membawakan kabar-kabar tidak benar dan menggemparkan, jika perlu dengan memecat orang-orang begitu dengan tidak kenal ampun”?27 Herankah Tuan-tuan, bahwa kami, yang mengetahui akan bahaya yang datang dari spion yang jahat hati atau bodoh otak itu, sudah pernah meminta: Mr. Ir. Kiewiet de Jonge meneruskan harapan kami kepada pemerintah, supaya lebih banyak mengadakan spion intelektual yang bisa mengerti akan makna pidato-pidato kami, yakni supaya laporanlaporan kepada dan dari polisi tidak mengacau sebagai sekarang? Tetapi sebaliknya juga, tidakkah Tuan-tuan mendapat satu petunjuk lagi akan mokal dan mustahilnya kami bisa 25 26
27
pakrol jenderal = jaksa agung Sikap anti terhadap Jepang, lebih tandas dapat terbaca dalam tulisannya “Impor dari Japan suatu rahmat bagi Marhaen?” dalam “Pikiran Rakyat” 1933. Mr. Van Heldingen salah seorang Dewan Rakyat atau Volksraad, orang Belanda pun mengkritik kekonyolan spion-spion P.I.D. itu.
Indonesia Menggugat
19
sengaja bersalah atas hal-hal yang dituduhkan pada kami di dalam proses ini, kimi sempurna bisa diamati-amati, - kursus-kursus kami dan aksi kami, yang memang tak pernah berisi satu apa saja yang harus kami sembunyikan! Setengah orang barangkali heran, melihat seorang pemimpin partai revolusioner dan non koperator bermusyawarat dengan wakil pemerintah. Lahirnya saja hal ini mengherankan, lahirnya saja hal ini sebagai bertentangan dengan kami punya asas. Tetapi di dalam hakikatnya, di dalam sejatinya perkara, asas kami itu tidaklah terlanggar sedikitpun jua: pertemuan kami dengan wakil pemerintah bukanlah timbul dari keinginan bekerja bersama, melainkan hanyalah timbul dari hal aksi PNI dan nonkoperasi PNI itu, bukanlah aksi dan nonkoperasi yang sembunyi-sembunyian, bukanlah aksi dan nonkoperasi yang seselumputan, bukanlah aksi dan nonkoperasi ala nihilisme, - tetapi ialah aksi dan nonkoperasi yang terang-terangan! Kami berjuang dengan zonder tedeng aling-aling membukakan dan menunjukkan kami punya dada, kami berjuang dengan ketulusan ksatria, kami berjuang dengan open vizier.28 dan oleh karena perjuangan kami yang dengan open vizier inilah, oleh karena aksi yang tiada suatu hal yang harus kami sembunyikan itulah, maka kami tak takut akan mata-mata atau spion-spion, asal saja spion-spion itu spion yang intelektual, yang mengerti akan segala apa yang ia dengarkan! Dan sekali lagi kami bertanya: adakah bisa jadi, adakah waarschijnlijk, kami bersalah tentang hal-hal yang dituduhkan kepada kami itu, kami yang minta diamat-amati oleh sebanyak-banyaknya spion intelektual? Moga-moga sekarang Tuan-tuan, sesudah mendengar segala hal-hal yang kami beberkan itu, mendapat keyakinan akan ketidaksalahan kami orang itu adanya! Ringkasan, Resume Tuan-tuan Hakim yang terhormat!, - kami sekarang mengulangi, kami membikin resume; sudah terlampau lamalah kami meminta Tuan-tuan punya perhatian. Imperialisme yang kami musuhi itu, adalah suatu faham, suatu pengertian, suatu nafsu, suatu usaha, suatu sistem, suatu politik menaklukkan atau mempengaruhi negeri orang lain atau ekonomi bangsa lain. Imperialisme, dan juga kapitalisme bukanlah pemerintah, bukanlah bangsa asing, bukanlah kaum ambtenaar, bukanlah badan atau materi apapun juga, - imperialisme dan kapitalisme adalah nafsu dan sistem belaka. Indonesia sudah lebih dari 300 tahun menderitakan imperialisme itu, lebih dari 300 tahun dipengaruhi, diduduki, dieksploitir oleh imperialisme, - dulu imperialisme-tua, kini imperialisme-modern. Baik imperialisme-tua, maupun imperialisme modern, -kedua-duanya bagi negeri Indonesia dan rakyat Indonesia adalah membikin melesetnya dan kocar-kacirnya susunan pergaulan hidup, keduanya adalah pengedukan rezeki, eksploitasi, drainage yang sangat. Oleh karena itu, kehidupan rakyat Indonesia kini adalah kehidupan “penderita minimum”, pergaulan hidup Indonesia adalah pergaulan hidupa “rakyat kaum buruh”, rakyat Indonesia menjadilah rakyat yang celaka. Maka kecelakaan rakyat ini, kesengsaraan rakyat ini, air mata rakyat ini, dan bukan hasutan kami orang, bukan hasutan “opruiers”, bukan hasutan manusia manapun juga, melainkan suatu pergerakan rakyat, yang bermuara di dalam pergerakan PNI itu, - di dalam suatu pergerakan yang berkeyakinan bahwa, oleh adanya pertentangan kepentingan antara sana dan sini, syarat yang amat penting bagi pembaikan segala susunan pergaulan hidup dan bagi memberhentikan imperialisme, 28
open vizier = wajah terbuka
Indonesia Menggugat
20
ialah kekuasaan politik, - kemerdekaan nasional. Pertentangan kepentingan inipun memberi keyakinan kepadanya, bahwa umumnya segala perbaikan yang penting-penting hanyalah bisa datang, kalau diusahakan oleh kami sendiri dengan kebisaan kami sendiri, dengan kekuasaan kami sendiri. Sebab soal-soal jajahan bukanlah soal hak, bukanlah soal recht, - soal-soal jajahan adalah soal kekuasaan, soal macht. Partai Nasional Indonesia oleh karenanya, mau menyusunkan kekuasaan ini: ia mau mengorganisasikan rakyat Indonesia dengan jalan yang halal dijadikan suatu organisasi kekuasaan yang sentosa, - ia dengan rajin mengusahakan pembentukan kekuasaan yang halal itu. Ia mendapatkan nyawa baginya di dalam nasionalisme yang hidup dan berkobar-kobar, ia mendapatkan urat saraf baginya di dalam shakti-shakti empat rupa yang tadi kami terangkan, ia mencarikan badan wadagnya di dalam massa, di dalam rakyat murba yang ribuan, ketian, milyunan itu. Dengan nyawa yang demikian, dengan urat syaraf yang demikian, dengan badan wadag yang demikian maka organisasi rakyat itu menjadilah nanti kekuasaan yang maha hebat, menjadilah nanti raksasa yang maha sakti. PNI memberi raksasa kekuasaan ini kesadaran akan kekuatannya, memberi padanya perasaan berkuasa dan kesadaran berkuasa dengan jalan teori serta perbuatan, dengan jalan kursus-kursus dan surat-surat kabar kepartaian beserta aksi-aksi dengan perbuatan bermacam-macam, - aksi-aksi dengan perbuatan yang juga untuk mengusahakan fasalfasal daftar usahanya. Dengan kekuasaan dan kesadaran akan kekuatannya itu, maka raksasa Indonesia tidak boleh tidak tentu, pasti bisa mendatangkan perbaikan-perbaikan atau konsesi-konsesi yang penting dan berharga, yang akhirnya di kelak kemudian hari mendatangkan Indonesia merdeka! Dengan ini semua, maka nyatalah bahwa aksi PNI itu adalah aksi yang tak melanggar hukum, - nyatalah bahwa kami tak melanggar hal-hal yang dituduhkan dengan pasal 169 itu. O, memang, aksi PNI adalah merugikan sekali pada imperialisme dan kaum imperialisme, membahayai kantong mereka dan dividen mereka, tetapi tidak adalah hal-hal di dalamnya yang bertentangan dengan hukum. Tidak adalah kami orang yang pernah sengaja berbuat barang sesuatu yang dilarang oleh hukum itu, tidak adalah kami orang pernah bersalah atas hal yang apa saja yang dituduhkan dalam proses ini. Ketidaktenteraman pada waktu akhir-akhir itu bukanlah bikinan kami atau karena kami, bukanlah melentungnya benih-benih yang kami tebar-tebarkan, bukanlah bekerjanya “nafas racun” yang keluar dari mulut kami orang, - ketidaktenteraman temto yang akhirakhir itu memang sudah terjadi oleh kepercayaan rakyat akan ramalan tahun ’30 yang bukan-bukan, oleh perbuatan-perbuatan kaum-kaum pembenci pergerakan yang jahat hati dan rendah budi, oleh sebab-sebab yang semua di luar tanggungan PNI adanya. Kami, semua pemimpin-pemimpin PNI kami malahan senantiasa mendidik kepada keamanan dan mendidik anti kekerasan, sebagaimana disaksikan oleh banyak saksi biasa dan oleh enam saksi pemimpin yang dulu menghadiri kursus pemimpin. Kami malahan senantiasa mendidik jangan kena provokasi, mengancamkan dan menjatuhkan royemen pada, tiap-tiap anggota yang melanggar keamanan. Kami malahan membohongkan ramalan tentang ’30, memerangi kepercayaan yang mengganggu keamanan itu, - kami malahan berpidato di dalam rapat umum dimana-mana, di Pekalongan , di Solo dan lain-lain tempat, mengatakan bahwa jalan yang diinjaki harus jalan yang sah belaka. Kami malahan memajukan permintaan pada Mr. Ir. Kiewiet dan mendidik rakyat di luar PNI supaya mencintai ketenteraman, - memintakan lebih banyak spion intelektual agar supaya aksi dan kursuskursus kami bisa diamat-amati dan dipersalahkan kepada dan oleh polisi dengan baik
Indonesia Menggugat
21
dikocak-kocakkan. Kami pendek kata, kami senantiasa menjunjung tinggi akan ketentraman dan menjunjung tinggi akan segala larangan-larangan hukum! O, memang, di muka kami tak mungkin dan kami mengakui: pembentukan kekuatan PNI adalah pembentukan kekuatan yang mendirikan bulu kuduk kaum imperialisme, bahasa kami adalah bahasa radikal yang bernyala-nyala dengan api kekecewaan hati atas kesengsaraan rakyat dan berkobar-kobar dengan semangat nasional yang hurung – kami adalah kaum nonkoperator dan revolusioner, - tetapi walaupun begitu, adakah bisa jadi, adalah waarschijnlijk, adalah masuk akal, bahwa kami bersalah, atas hal-hal yang dituduhkan dalam proses ini, kami yang begitu banyak bukti dan banyak petunjuk akan sebaliknya, kami yang berniat dan bertindak sebagai yang kami tuturkan tadi itu, kami, pencinta keamanan dan pencinta ketertiban itu? Adakah bisa jadi, Tuan-tuan Hakim yang terhormat, adakah bisa masuk akal, bahwa kami sekonyong-konyong bisa mempunyai niat membahayai keamanan umum, melanggar kekuasaan pemerintah atau menjalankan halhal yang dimaktubkan dalam pasal 169; kami yang berbuat dan bertindak sebagai kami ceritakan itu? Dengan seolah-oleh tiada keadilan lagi maka kami, yang senantiasa mendidik keamanan itu, yang mempunyai niat yang begitu suci sebagai yang kami beritahukan pada Mr. Ir. Kiewiet de Jonge itu, dilemparkan ke dalam bui, dikunci dan digregel di dalam sel yang hanya 1 ½ x 2 ½ meter, tiga ratus tiga puluh hari lamanya, 29 mula-mula dibolehkan melihat matahari hanya dua kali dua jam sehari, ditaruh di pinggir kebinasaan ekonomi dan kebinasaan pencarian hidup!...Meskipun begitu….berapa lamakah berselang, yang kami, juga via Mr. Ir. Kiewiet de Jonge, pada permulaan tahun 1929 menyampaikan kata pada pemerintah yang berbunyi :”Berikanlah kami kesempatan untuk menyusun tenaga rakyat, kalau ada apa-apa, kamilah yang sanggup diasingkan ke dalam rimba dan rawa pembuangan!”? Berapa lamakah berselang, yang kami dengan kata-kata ini menunjukkan pula bahwa kami memang hanya berniat mengorganisasi rakyat belaka, dijadikan suatu kekuatan yang mahakuasa dan mahasakti, zonder niat melanggar hukum! Dan buat sekian kalinya lagi kami bertanya: adakah bisa jadi, adakah waarschijnlijk, bahwa orang yang menyerahkan diri untuk dimasukkan ke dalam kesengsaraan hidup pembuangan kalau ada apa-apa yang menyimpang dari hukum – adalah bisa jadi bahwa orang yang demikian itu, bisa mempunyai niat menjalankan hal-hal yang dituduhkan dalam proses ini? Penutup Tuan-tuan Hakim, sekarang Tuan-tuanlah yang akan mengangkat kita, sekarang Tuan-tuanlah yang akan melahirkan pendapat. Sekarang pengadilan dan penjunjung keadilan, yang akan mengambil keputusan. Kami menunggu Tuan-tuan punya putusan itu, yang tentu tak lupa mempertimbangkan segala apa yang kami uraikan tadi. Kami tidak merasa salah. Kami tidak memajukan hal-hal yang meringankan, kami tidak memajukan alasan-alasan buat mengentengkan kesalahan, kami hanyalah membuktikan bahwa kami tidak bersalah, menunjukkan mokalnya kami bisa sengaja menjalankan hal-hal yang dituduhkan itu. Kami oleh karenanya, memang mengharap dan menunggu putusan bebas. Seluruh rakyat Priangan, seluruh rakyat Indonesia, seluruh dunia manusia yang tulus hati dan cinta pada keadilan mengharap dan menunggu pula putusan bebas itu. 29
Bung Karno menghitung lamanya beliau dalam tahanan, sebelum diajukan ke pengadilan, yang hampir 1 tahun
Indonesia Menggugat
22
Moga-moga demikianlah adanya. Tetapi, jikalau seandainya Tuan-tuan Hakim toh memandang kami bersalah, jikalau seandainya Tuan-tuan Hakim toh menjatuhkan hukuman, jikalau seandainya kami orang toh harus menderita lagi kesengsaraan penjara, wahai apa boleh buat, moga-moga pergerakan seolah-olah mendapat wahyu baru dan tenaga baru oleh karenanya, moga-moga Ibu Indonesia suka menerima nasib kami itu sebagai korban yang kami persembahkan di atas haribaannya, moga-moga Ibu Indonesia suka menerimanya sebagai bunga-bunga yang harum dan cantik yang bisa dipakai menghiasi sanggul kondenya yang manis itu. Memang rohani kami tak adalah merasa masygul, rohani kami adalah berkata, bahwa segala apa yang kami tindakan itu, adalah hanya kami punya kewajiban, kami punya plicht. Pimpinan India Bl Gangadhar Tilak yang besar itu, di muka mahkamah berkata : “Barangkali sudah kemauan Yang Mahasuci, bahwa pergerakan yang kami pimpin itu akan lebih maju dengan kami punya kesengsaraan dari kami punya kemerdekaan” Perkataan Tilak ini kami jadikan perkataan kami sendiri. Juga kami menyerahkan segenap raga dengan serela-relanya kepada tanah air dan bangsa, juga kami menyerahkan segenap jiwa kepada Ibu Indonesia dengan seiklas-ikhlasnya hati. Juga kami adalah mengabdi kepada suatu cita-cita yang suci dan luhur, juga kami adalah berusaha ikut mengembalikan hak tanah air dan bangsa atas peri kehidupan yang merdeka. Tiga ratus tahun, ya walau seribu tahunpun, tidaklah bisa menghilangkan hak negeri Indonesia dan rakyat Indonesia atas kemerdekaan itu. Untuk terlaksananya hak ini maka kami rela menderitakan segala kepahitan yang dituntutkan oleh tanah air itu, rela menderitakan kesengsaraan yang dimintakan oleh Ibu Indonesia itu setiap hari. Memang tanah air Indonesia, bangsa Indonesia, Ibu Indonesia, adalah mengharap dari semua putra-putra dan putri-putrinya pengabdian yang demikian itu, penyerahan jiwa-raga yang tiada batas, pengorbanan diri walau yang sepahit-pahitnya pun kalau perlu, dengan hati yang suci dan hati yang iklas. Putra-putra dan putri-putri Indonesia haruslah merasa sayang, bahwa mereka untuk pengabdian ini, masing-masing hanya bisa menyerahkan satu badan saja, satu roh saja, satu nyawa saja, dan tidak lebih. Sebab, tiada korban yang hilang terbuang, tiada korban yang sia-sia, “no sacrifice is wasted” begitulah Sir Oliver Lodge berkata. Dengan pengorbananya sekarang, maka hari kemudian akan menjadi lebih bercahaya, lebih berseri, lebih berkilau-kilau lagi daripada segenap kebesaran hari yang sediakala. Fajar kebesaran baru, fajar kemuliaan hari kemudian bagi kita itu, kini sudahlah menyising, - fajar itu makin lama makin terang, dan walau dialang-alangi oleh kekuatan manusia yang bagaimanapun juga, walau dicegah oleh kegiatan wadag dari manapun jua, walaupun dicegah oleh segenap kekuatan duniawi daripada segenap negeri di atas segenap muka bumi ini, ia tak boleh tidak harus, tentu, pasti akan diikuti oleh terbitnya matahari yang menghidupkan segala sesuatu yang harus hidup dan mematikan segala sesuatu yang harus mati. Segala daya-dayanya kegelapan akan hancur-carilah sebagai salju di hadapan sinar matahari ini. Segala awan-awan gelap yang menyuramkan angkasa akan musnahlah tertiup oleh angin hangat yang keluar daripadanya. Rakyat Indonesia sudah bersedia dengan hati yang memukul-mukul akan menghormati terbitnya matahari itu. Dengan rakyat Indonesia itu kami menderita kesengsaraan, dengan rakyat Indonesia itu kami menunggu putusan Tuan-tuan Hakim. Memang kami berdiri di hadapan Mahkamah Tuan-tuan ini bukanlah sebagai Sekarno, bukanlah sebagai Gatot Mangkoepradja, bukanlah sebagai Maskoen atau Soepradinata, kami orang berdiri di sini ialah sebagai bagian-bagian daripada rakyat Indonesia yang
Indonesia Menggugat
23
berkeluh-kesah itu, sebagai putra-putra Ibu Indonesia yang setia dan bakti kepadanya. Suara yang kami keluarkan di dalam gedung mahkamah sekarang ini, tidaklah tinggal di antara tembok dan dinding-dindingnya saja, suara kami itu adalah didengar-dengarkan pula oleh rakyat yang kami abdi, mengumandang ke mana-mana, melintasi, tanah datar dan gunung dan samudra, ke Kota Raja sampai ke Fak-fak, ke Ulu Siau dekat Manado sampai ke Timor. Rakyat Indonesia yang mendengarkan suara kami itu, adalah merasa mendengarkan suaranya sendiri. Putusan Tuan-tuan Hakim atas usaha kami orang, adalah putusan atas usaha rakyat Indonesia sendiri, atas usaha Ibu Indonesia sendiri. Putusan bebas, rakyat Indonesia akan bersukur, putusan tidak bebas, rakyat Indonesia akan tafakur. Kami memujikan Tuan-tuan mempertimbangkan segala hal-hal ini. Dan sekarang di dalam bersatu hati dengan rakyat Indonesia itu, di dalam bakti dan bersujud kepada Ibu Indonesia yang kami cintai itu, di dalam kepercayaan bahwa rakyat Indonesia dan Ibu Indonesia akan terus nanti menjadi mulia, nasib yang bagaimanapun juga mengenai kami, maka kami siap sedia mendengarkan putusan Tuan-tuan Hakim!
Indonesia Menggugat
24