PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DEBITUR YANG WANPRETASI PADA BANK SUMUT
TESIS OLEH
SYARI RAMADHANI 077011067/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009
Syari Ramadhani : P e l a k s a n a a n P e r j a n j i a n Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur Yang Wanpretasi Pada Bank Sumut, 2009
PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DEBITUR YANG WANPRETASI PADA BANK SUMUT
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SYARI RAMADHANI 077011067/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Syari Ramadhani : P e l a k s a n a a n P e r j a n j i a n Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur Yang Wanpretasi Pada Bank Sumut, 2009
Judul Tesis
: PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA DEBITUR YANG WANPRESTASI PADA BANK SUMUT Nama Mahasiswa : Syari Ramadhani Nomor Pokok : 077011067 Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Ketua)
(Prof.Dr.Budiman Ginting, SH,MHum) (Anggota)
(Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)
Ketua Program Studi
Direktur
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN)
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
(Anggota)
Tanggal lulus : 09 Agustus 2009
Syari Ramadhani : P e l a k s a n a a n P e r j a n j i a n Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur Yang Wanpretasi Pada Bank Sumut, 2009
Telah diuji pada Tanggal : 9 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH. MS. CN
Anggota
: 1. Prof.Dr.Budiman Ginting, SH. MHum 2. Dr.T.Keizerina Devi A. SH. CN. MHum 3. Notaris Syahril Sofyan, SH. MKn 4. Notaris Syafnil Gani, SH. MHum
ABSTRAK Di bidang perkreditan, hukum harus mampu memelihara dan memperlancar proses hubungan yang terjadi antara warga masyarakat di satu pihak dengan bank di lain pihak. Usaha pokok dari kegiatan perbankan ialah memberikan kredit dan jasajasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Di dalam pelaksanaan pemberian kredit itu, tentunya pihak pemberi kredit (bank/kreditur) menetapkan persyaratan-persyaratan kepada peminjam (nasabah/debitur). Persyaratan itu antara lain adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur dan harus dituangkan dalam model perjanjian kredit yang telah ditentukan oleh bank yang lazimnya disebut dengan kontrak standart. Permasalahan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan pada Bank SUMUT, bagaimana pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan apabila debitur wanprestasi, serta apakah hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang memaparkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta atau individu, kelompok atau keadaan dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi, untuk mengetahui secara mendalam dan menganalisa pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan sebagai upaya penyelesaian sengketa dalam hal debitur wanprestasi pada Bank SUMUT. Dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Sumatera Utara hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur dituangkan dalam perjanjian kredit bank, yang dalam praktek berbentuk suatu perjanjian standard atau perjanjian baku. Analisis kredit dilakukan oleh bank selaku pihak kreditur agar tidak terjadi ketimpangan dalam pemberian pinjaman kredit. Dalam pelaksanaan eksekusi hak tanggungan yang dilakukan adalah berdasarkan titel eksekutorial. Melalui titel eksekutorial masalah kecepatan waktu dalam mengeksekusi jaminan bukan merupakan hambatan lagi. Ada kalanya masih muncul berbagai macam kesulitan dan hambatan internal maupun hambatan eksternal dalam melaksanakan eksekusi jaminan hak tanggungan. Agar pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank SUMUT dapat berjalan dengan lancar, hendaknya perusahaan perbankan membentuk suatu lembaga yang khusus mengelola usaha pertanggungan kredit. Karena dengan adanya lembaga pertanggungan kredit tersebut, pihak bank dapat mengefisiensikan waktu untuk melakukan penagihan terhadap debitur. Hendaknya Bank SUMUT dalam memberikan kredit agar bertindak secara profesional khususnya dalam perlindungan dan kepastian hukum agar dapat berlaku seimbang dengan berlakunya Undangundang Hak Tanggungan kepada kreditur, debitur dan pihak ketiga yang terkait dengan perjanjian kredit. Di masa mendatang perlu segera dirumuskan Undangundang mengenai Eksekusi Hak Tanggungan untuk mengatur secara komprehensif pelaksanaan eksekusi. Sehingga eksekusi hak tanggungan dapat memberikan perlindungan dan kepastian huku bagi semua pihak-pihak yang terkait dalam proses eksekusi tersebut. Kata kunci : Perjanjian Kredit, Hak Tanggungan, Debitur Wanprestasi.
ABSTRACT In credit matters, law must be able to maintain and accelerate the process of relationship between society and the banks. The main business of banking activity is to provide credit and services in the traffic of payment and money distribution. In the implementation of credit extension, the bank/creditor determines the terms and conditions for the customer/debtor and these terms and conditions must be stated in the model of credit agreement commonly called standard contract determined by the bank. The purpose of this descriptive study is to look at the process of standard contract implementation with the right to property as collateral in Bank SUMUT, to analyze how the execution of right to property is implemented if the debtor does not keep his promise as agreed in the contract, and to find out the constraints which appear during the implementation of right to property execution. The purpose of this study is to look at and analyze the implementation of standard contract with the right to property as collateral as an attempt to settle the dispute caused by the debtor who does not keep his promise as agreed in the contract in Bank SUMUT. The data for this study were obtained through field observation. The result of this study shows that the implementation of credit agreement in Bank SUMUT is based on the legal relationship between the debtor and the creditor which is stated in a standard contract. Analysing credit is conducted by the bank as the creditor to avoid the imbalances which may occur in credit extension. In its implementation, the execution of the right to property is doen based on executorial title that the speed of time in executing the collateral is not a constraint anymore. Sometimes, various internal and external constraint still appear during the implementation of executing the right to property as collateral. To accelerate the implementation of credit agreement in Bank SUMUT, the banking companies should establish an institution which specially manages a credit guarantee business that the banks can make their time efficient in collecting the debit from the debtors. Bank SUMUT should be professional in providing credit extension especially in providing legal protection and legal certainty that in its implementation it can balance with the implementation of law on right to property to the creditor, debtor, and the third party related to the credit agreement in the future, it is necessary to formulate a law on the execution of right to property that can comprehensively regulate the implementation of execution that this execution can provide legal protection and legal certainty for all of the parties related to the process of execution.
Key words : Credit Agreement, Right to Property, Irresponsible Debtor
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahim. Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa, karena berkat rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian tesis ini dengan judul ”Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur Yang Wanprestasi Pada Bank SUMUT”. Penulisan tesis ini merupakan salah satu satu syarat yang harus dipenuhi dalam menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penyusunan tesis ini penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, namun penulis menyadari masih banyak kekurangan pada isi tesis ini dikarenakan keterbatasan waktu, keterbatasan literatur sehingga memerlukan kritikan dan masukan pada penyempurnaan tesis ini. Terima kasih yang mendalam dan tulus saya ucapkan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN., selaku Ketua Komisi Pembimbing serta Bapak Prof.Dr.Budiman Ginting, SH,M.Hum dan Ibu Dr.T.Keizerina Devi Azwar, SH,CN,M.Hum. masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan pengarahan, nasehat serta bimbingan kepada penulis dalam penulisan penelitian tesis ini. Penulis juga menyampaikan ucapan teriam secara khusus kepada Bapak Notaris Syahril Sofyan, SH.MKn dan Bapak Notaris Syafnil Gani, SH.M.Hum selaku
Dosen yang selama ini telah membimbing dan membina penulis dan pada kesempatan ini dipercayakan menjadi Dosen Penguji sekaligus sebagai Panitia Penguji Tesis. Selanjutnya
ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada : 1. Bapak Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, Sp.A(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada kami untuk mengikuti dan menyelesaikan Pendidikan Program Magister Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B. MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN dan Ibu Dr. T.Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Bapak-bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar diantaranya Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum., Prof. Dr. Tan Kamello, SH., Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, M.Hum., Ibu Hj.Chairani Bustami, SH, MKn., Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS., Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum., Notaris Syahril Sofyan, SH, MKn., Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum., dan lain-lain serta para karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara diantaranya kak Fatimah, kak Sari, kak Lisa, kak Afni, kak Winda, bang Adi, bang Rizal, dan lain-lain yang telah banyak membantu penulis dalam proses perkuliahan dari awal hingga selesai.
5. Bapak Harmen Nasution, selaku Pimpinan Bank SUMUT Cabang Utama Medan yang telah bersedia membantu penulis sehingga dapat melakukan riset pada PT.Bank SUMUT Cabang Utama Medan. 6. Bapak Endar Sakti Pane, selaku Wakil Pimpinan Bidang Pemasaran Kredit dan Dana pada PT.Bank SUMUT Cabang Utama Medan yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan untuk membantu penulis mendapatkan data-data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan penelitian tesis ini. 7. Bapak Syahbuddinsyah, selaku Pimpinan Bagian Operasional pada PT.Bank SUMUT Cabang Utama Medan yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan untuk membantu penulis mendapatkan data-data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan penelitian tesis ini. 8. Bapak Muhammad Zaini, selaku Pimpinan Bidang Hukum pada PT.Bank SUMUT Kantor Pusat Medan yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan untuk membantu penulis mendapatkan data-data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan penelitian tesis ini. 9. Bapak Irwan Pulungan, selaku Pimpinan Divisi Penyelamatan Kredit pada PT.Bank SUMUT Kantor Pusat Medan yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan untuk membantu penulis mendapatkan data-data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan penelitian tesis ini.
10. Bapak bang Muhsin Adlin, bang Muhammad Yamin dan bang Izwar Idhani Nasution, selaku Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat Medan yang telah bersedia meluangkan waktu dan memberikan masukan untuk membantu penulis mendapatkan data-data dan informasi yang diperlukan dalam penulisan penelitian tesis ini. 11. Seluruh Staf PT.Bank SUMUT Cabang Utama Medan yang telah membantu dalam memberikan data-data dan informasi kepada penulis dalam penulisan penelitian tesis ini. 12. Secara khusus penulis menghaturkan sembah dan sujud dan ucapan terima kasih kepada yang tercinta dan tersayang Ayah Drs.H.Mahyuddin Nayan dan Mama Hj.Yuniar Ginting, SH, yang telah bersusah payah melahirkan, membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran, ketulusan dan kasih sayang, selalu membakar semangat penulis untuk menyelesaikan tesis, serta selalu memberikan doa restu dalam setiap langkah kehidupan penulis sehingga penulis dapat melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 13. Teristimewa untuk Amang Boru Drs.H.Abdul Malik Nasution dan Inang Boru drg.Hj.Marhaeni Siregar yang selalu memberikan perhatian, dukungan, doa, kasih sayang dan nasehat kepada penulis. 14. Untuk suami tercinta dan penulis sayangi Saindra Hadi P. Nasution, SE.Ak atas perhatian, dukungan, kasih sayang, semangat, motivasi, doa dan pengertian kepada penulis agar tetap kuat dan semangat dalam menghadapi setiap tantangan demi masa depan.
15. Untuk putra penulis buah hati tersayang Syahdilan Fathin Nasution yang baik budi dan selalu memberikan semangat kepada penulis. 16. Untuk Almh. Nenek [Nenek Karo dan Nenek Bedagai], bang Bana dan Deby, serta seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan semangat, motivasi dan doa kepada penulis. 17. Kepada Sahabat-sahabat penulis Rahmawaty Anditya, SH, Veronica Yeny Cindy Napitupulu, SH., Hilda Ilmi Chaily, SH., Dita Pratiwi, SH., Qalbu Thintami, SIP., penulis ucapkan terima kasih atas dukungan, keceriaan, dan energi positif yang selalu membangun untuk bisa bangkit dan selalu semangat. 18. Kepada sahabat selama perkuliahan di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Intan Harahap, kak Fatma Novida Matondang, kak Nevayanti, kak Myrna, kak Ismy, bang Raymond, bang Andi Hakim, bang Muaz, Reza, bang Edy Natasari Sembiring, bang “Agam” Abdul Mutholib, kak Dewi “Jilbab”, kak Dewi “Bule”, kak Delina, Jagjit Singh, Belinda, bang Juni Surbakti penulis ucapkan terima kasih atas rajutan kisah, kebersamaan serta dorongan semangat yang diberikan kepada penulis. 19. Kepada seluruh teman-teman di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang selalu memberikan semangat, memberikan dorongan, bantuan pikiran serta mengingatkan di kala lupa kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini dalam rangka untuk menyelesaikan studi, serta kepada kak Ida yang telah membantu penulis dalam pengetikan tesis ini.
Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis, mendapat rahmat dari Allah SWT, agar selalu diberikan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan, dan rezeki yang melimpah kepada kita semua. Amin. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu hukum, khususnya dalam bidang Ilmu Kenotariatan.
Medan,
Agustus 2009 Penulis,
Syari Ramadhani
RIWAYAT HIDUP
I.
II.
III.
Identitas Pribadi Nama Tempat/Tanggal Lahir Jenis Kelamin Status Agama Alamat
: : : : : :
Syari Ramadhani Medan, 8 Juni 1985 Perempuan Menikah Islam Jl. Sei Belutu Psr. IX No.11 Medan - 20131
Keluarga Nama suami Nama ayah Nama ibu Nama anak
: : : :
Saindra Hadi P. Nasution, SE. Ak. Drs. H. Mahyuddin Nayan Hj. Yuniar Ginting, SH Syahdilan Fathin Nasution
Pendidikan 1. SD Percobaan Negeri, Jl. Sei Petani Medan, Tahun 1997 2. SMP Negeri 1 Medan, Tahun 2000 3. SMA Negeri 1 Medan, Tahun 2003 4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Tahun 2007 5. S-2 Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2009
Medan,
Agustus 2009 Penulis,
Syari Ramadhani
DAFTAR ISI
Halaman ABSTRAK .....................................................................................................
i
ABSTRACT ....................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR...................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................
ix
DAFTAR ISI .................................................................................................
x
DAFTAR ISTILAH ......................................................................................
xiii
BAB I
: PENDAHULUAN.......................................................................
1
A. Latar Belakang ......................................................................
1
B. Perumusan Masalah................................................................
11
C. Tujuan Permasalahan .............................................................
12
D. Manfaat Penelitian..................................................................
12
E. Keaslian Penelitian .................................................................
13
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ................................................
13
1. Kerangka Teori.................................................................
13
2. Konsepsi ..........................................................................
17
G. Metode Penelitian...................................................................
20
1. Sifat Penelitian ................................................................
20
2. Lokasi Penelitian ..............................................................
20
3. Sumber Data Penelitian ....................................................
21
4. Alat Pengumpulan Data ...................................................
21
5. Analisis Data ...................................................................
22
BAB II : PROSES PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN PADA BANK SUMUT ..........................................................................
24
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian........................................
24
1. Pengertian Perjanjian .......................................................
24
2. Unsur-unsur Perjanjian ....................................................
26
3. Asas-asas Perjanjian.........................................................
28
4. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian ......................................
30
B. Tinjauan Umum tentang Kredit..............................................
33
1. Pengertian Kredit .............................................................
33
2. Perjanjian Kredit...............................................................
34
3. Unsur-unsur Kredit...........................................................
35
4. Bentuk Perjanjian Kredit ..................................................
36
5. Fungsi Kredit....................................................................
37
6. Jenis-jenis Kredit..............................................................
39
7. Dasar-dasar Pemberian Kredit..........................................
41
C. Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan ............
42
1. Tinjauan Umum tentang Hak Tanggungan .......................
42
2. Proses Pengambilan Kredit pada Bank SUMUT ..............
57
3. Proses Pengawasan Kredit ................................................
70
BAB III : PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITUR WANPRESTASI ..................................
74
A. Sebab-sebab Debitur Wanprestasi..........................................
74
B. Tanda-tanda Kredit Macet......................................................
76
C. Proses Jatuhnya Eksekusi Hak Tanggungan ..........................
83
D. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Apabila Debitur Wanprestasi ............................................................................
87
BAB IV : HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN...............................................................
114
A. Hambatan Internal..................................................................
114
B. Hambatan Eksternal ...............................................................
117
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................
122
A. Kesimpulan
.......................................................................
122
B. Saran
.......................................................................
124
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
126
DAFTAR ISTILAH
Appraisal Independent
= Tim penilai
Law Problem Solving
= Pemecahan masalah hukum
Accessoir
= Jaminan bersifat mengikuti satu perikatan pokok yang telah ada antara debitur dan kreditur beruap hutang piutang.
Zaak warneming
= Tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa
Onrechtmatif daad
= Perhatian melawan hukum.
Preferent
= Kedudukan diutamakan
Frame of thinking
= kerangka berpikir
Credere
= (Yunani) kepercayaan
Standart contract
= Kontrak baku
Somasi
= Teguran terhadap pihak yang akan digugat ke pengadilan negeri
Aanmaning
= Tereksekusi berdasarkan berkekuatan hukum tetap.
Dading
= Perjanjain damai
Safety
= Keamanan
Profitability
= Keuntungan
Inkracht van genisde
= Berkekuatan hukum tetap
Request civil
= Peninjauan kembali
Novum
= Bukti baru
Beding van eigenmachting
= Janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri
putusan
yang
Droit de preference
= Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
Verbruiklening
= Benda yang menghabis jika dipakai
Beding van eigenmachtige verkoop = Menggunakan kuasa yang diberikan kepada pemberi hak.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan pembangunan di segala bidang merupakan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan lahir batin bagi warga masyarakat. Pembangunan itu sendiri dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat terhadap pemecahan masalah hukum (law problem solving). Di bidang perkreditan, hukum harus mampu memelihara dan memperlancar proses hubungan yang terjadi antara warga masyarakat disatu pihak dengan bank di lain pihak. Telah diketahui bahwa usaha pokok dari kegiatan perbankan ialah memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Di dalam pelaksanaan pemberian kredit itu, tentunya pihak pemberi kredit (bank/kreditur) menetapkan persyaratan-persayaratan kepada peminjam (nasabah/ debitur). Persyaratan itu antara lain adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur dan harus dituangkan dalam model perjanjian kredit yang telah ditentukan oleh bank. Perjanjian kredit yang dituangkan dalam formulir-formulir yang disediakan oleh bank lazimnya disebut dengan kontrak standart. Selain persyaratan tersebut di atas jaminan adalah merupakan suatu hal yang sangat penting dalam masalah perkreditan yang dikenal dalam dunia perbankan disebut hipotik sebagaimana ditegaskan dalam penjelasan Pasal 8 UU No. 7/1992.
Hipotik merupakan suatu hak yang bersifat accessoir karena mengikuti suatu perikatan pokok yang telah ada antara debitur dengan kreditur berupa hutang piutang. Dalam perjanjian kredit akte hipotik merupakan suatu grose akte yang telah mempunyai titel eksekutorial yaitu akte yang sama dengan kekuatan hukum tetap. Hipotik hanya dapat diletakkan atas benda yang sudah ada. Hipotik atas benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari adalah batal. Sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1175 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Perjanjian hutang piutang antara kreditur (pemberi pinjaman) dengan debitur (peminjam) merupakan realitas dalam perkembangan ekonomi dewasa ini. Dalam hubungan hukum yang terjadi di antara kreditur dengan debitur, bisa terjadi adanya wanprestasi yang mengakibatkan salah satu pihak menderita kerugian. Dengan terjadinya wanprestasi tersebut, maka kreditur dapat menuntut agar debitur memenuhi perjanjian atau dan memberikan ganti rugi. Perjanjian yang di dalam hukum perikatan merupakan salah satu sumber dari perikatan itu sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1233 KUH Perdata, yaitu “Setiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Dalam hal ini A. Ridwan Halim mengemukakan pendapatnya sebagai berikut : Sumber-sumber perikatan itu adalah : a. Perjanjian atau persetujuan b. Undang-undang c. Perbuatan atau sikap tindak manusia yang dibedakan lagi atas : 1) Perbuatan manusia menurut hukum/halal 2) Perbuatan manusia yang melanggar hukum
d. Perbuatan atau sikap tindak manusia yang lain, yakni suatu sikap manusia dimana ia mengikatkan dirinya sendiri kepada sesuatu hal yang sebenarnya bukan menjadi kewajibannya, misalnya : seseorang yang telah bersedia mengikatkan diri untuk menjaga rumah tetangganya selama tetangganya itu pergi sehingga bila terjadi kehilangan di rumah tetangganya itu dialah yang bertanggung jawab. 1 Dari pernyataan di atas terlihat bahwa perjanjian itu sering terjadi dan dilakukan oleh masyarakat, baik yang dilakukan secara tertulis maupun tidak tertulis (lisan dan secara diam-diam). Masalah perjanjian ini mempunyai ruang lingkup yang cukup luas. Sehingga sangat menarik untuk dibahas dan diteliti, apalagi kalau perjanjian itu dikaitkan dengan masalah kredit yang dilakukan oleh perusahaanperusahaan bank, sebagaimana topik yang akan dibahas dalam tesis ini. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1313, bahwa perjanjian itu diartikan sebagai suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 2 Dari ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata di atas terlihat bahwa perjanjian diistilahkan dengan persetujuan. Padahal pengertian persetujuan lebih luas dari pengertian perjanjian. Jika pada persetujuan yang mengikatkan diri hanya sepihak saja, maka pada perjanjian yang mengikatkan diri adalah kedua belah pihak. Sehingga pengertian persetujuan atau perjanjian yang dikemukakan dalam Pasal 1313 KUH Perdata mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang dikemukakan dalam pernyataan berikut : 1
Ridwan Halim, A., Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, (akarta, Ghalia Indonesia, 1990). hlm. 145-146. 2 R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Op.Cit. hlm. 304.
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pijak. Seharusnya perumusan itu, “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus diantara pihak-pihak. b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian perbuatan termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatig daad) yang tidak mengandung suatu konsesus. Seharusnya dipakai kata persetujuan. c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas karena mencakup juga perlangsungan perkawinan, janji kawin yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku III KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal. d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan tujuan mengadakan perjanjian. Sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu tidak jelas untuk apa. 3 Untuk lebih menyempurnakan pengertian perjanjian yang ditentukan dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang dianggap oleh sebagian sarjana mengandung kelemahan-kelemahan sebagaimana yang telah diuraikan dalam pernyataan di atas, maka pengertian perjanjian itu sebaiknya sebagai berikut, yaitu : “Perjanjian adalah 3
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatran, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1990, hlm. 78.
suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan”. 4 Terhadap pengertian persetujuan dan perjanjian ini sampai sekarang masih banyak pakar hukum yang saling berbeda pendapat dan pandangan. Sebagian sarjana mengatakan bahwa persetujuan berasal dari kata-kata istilah overeen komsten, sedangkan perjanjian berasal dari kata atau istilah verbintenis. Mengingat adanya kata sepakat diantara kedua pihak yang mengikatkan diri tersebut merupakan unsur dan syarat utama dalam suatu perjanjian, maka tidak salah kalau perjanjian itu merupakan perbuatan dari dua orang atau lebih yang saling mengikatkan diri dan bukan hanya satu orang atau satu pihak saja yang harus mengikatkan diri. Oleh karena itu tentang pengertian-pengertian perjanjian itu Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya dengan mengartikan perjanjian itu sebagai berikut : “Suatu kata sepakat antara dua pihak atau lebih mengenai harta benda kekayaan mereka, yang bertujuan mengikatkan kedua belah pihak.” 5 Kalau dikaitkan pengertian perjanjian di atas dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata maka terlihat dengan jelas bahwa perjanjian itu harus didasarkan atas kesepakatan para pihak, yang dalam hal ini harus dilakukan sedikitnya dua orang itu harus benar-benar sepakat untuk mengikatkan dirinya masing-masing.
4
Ibid Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, 1972, hlm. 11. 5
Hak tanggungan sebagai hak jaminan, dilahirkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) tepatnya terdapat pada Pasal 51 dan juga diatur dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, sedangkan peralihan hak tanggungan ini diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 17 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Budi Harsono dalam buku Salim HS memberikan pendapat mengenai hak tanggungan, yaitu penguasaan hak atas tanah, berisikan kewenangan kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebahagian-bagian pembayaran lunas hutang debitur kepadanya. Berdasarkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Undangundang Hak Tanggungan tersebut, dapat diketahui bahwa hak tanggungan dapat sengaja dihapuskan dan dapat pula hapus karena hukum. Hak tanggungan dapat beralih yaitu karena dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan atau karena dilakukan pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh pengadilan negeri. Sedangkan hak tanggungan dapat hapus karena hukum yaitu karena hapusnya utang yang jaminan dengan hak tanggungan dan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan dalam buku Salim HS yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo. Seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) mempunyai wewenang dalam menjalankan tugasnya. Wewenang utamanya dari Pejabat Pembuat Akta Tanah
(PPAT) adalah untuk membuat akta mengenai tanah-tanah yang terletak dalam daerah kerjanya, kecuali dalam hal-hal khusus yang memerlukan izin Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi dan ketentuan ini terdapat di dalam Pasal 1868 KUHPerdata, apabila suatu akta hendak memperoleh stempel otentitas. Sedangkan bank bertindak sebagai badan yang satu-satunya diberi wewenang untuk menyalurkan dan mengatur peredaran uang, sudah tentu mengadakan perjanjian dengan pihak-pihak yang membutuhkan modal melalui kredit. Dimana pemberian kredit merupakan suatu fasilitas untuk memperoleh pinjaman uang. Pinjaman uang menyebabkan timbulnya utang yang harus dibayar oleh debitur menurut syarat-syarat yang ditetapkan dalam perjanjian pinjam meminjam atau persetujuan untuk membuka kredit. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa kredit yang ditegaskan oleh Undang-undang Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 merupakan salah satu perjanjian kredit seperti yang dimaksud oleh Buku ke II KUHPerdata, sehingga dalam perjanjian kredit tersebut diperlukan pula KUHPerdata yang mengatur tentang Perjanjian Kredit. Istilah hak tanggungan sebagai hak jaminan, dilahirkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) tepatnya terdapat pada Pasal 51. Istilah tanggungan adalah suatu istilah yang dipakai dan berkaitan dengan perasuransian. “Sehubungan dengan pemakaian istilah hak tanggungan di dalam Undangundang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT),
dunia perasuransian telah “menggugat” pemakaian istilah tersebut sebagai istilah khusus bagi dunia mereka, yang sebaiknya tidak digunakan oleh kalangan perasuransian, sebab kalau tidak, kata tanggungan mempunyai dua arti, yaitu jaminan (atas tanah) dan asuransi”. 6 Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) menegaskan pengertian hak tanggungan adalah : Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk perlunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap krediturkreditur lainnya. Berdasarkan pengertian di atas dapat dipahami bahwa hak tanggungan merupakan bagian dari hak jaminan yang khusus tertuju pada hak atas tanah. Ada unsur-unsur pokok dari hak tanggungan termuat di dalam defenisi tersebut. Unsurunsur pokok itu adalah : 1. Hak tanggungan adalah hak jaminan untuk perlunasan utang tertentu 2. Maksud untuk perlunasan utang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan menyelesaikan pembayaran utang-utang debitur yang ada pada kreditur. 3. Objek hak tanggungan adalah hak atas tanah sesuai dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
6
ST Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Edisi Kedua, Cetakan kesatu, Bandung, 1999, hlm.4.
4. Hak tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. 5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Maksudnya memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan itu ditegaskan dalam Pasal 1 angka (1) dan pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996, yang berbunyi : Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil perlunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditur pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditur bukan pemegang hak tanggungan. Budi Harsono dalam buku Salim HS memberikan pendapat mengenai pengertian hak tanggungan, yaitu “Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas hutang debitur kepadanya”. 7 Defenisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah merupakan wewenang untuk menguasai hak atas tanah. 7
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2005, hlm. 104
“Setiap hak atas tanah pada dasarnya tidak dapat dijadikan jaminan utang, tetapi hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang harus memenuhi syaratsyarat sebagai berikut : 1. Dapat dinilai dengan uang, karena utang yang dijamin berupa uang. 2. Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas. 3. Mempunyai sifat yang dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cedera janji benda yang dijadikan jaminan utang akan dijual di muka umum. 4. Memerlukan penunjukan dengan undang-undang”. 8 “Berbicara mengenai hak tanggungan ada beberapa asas dari hak tanggungan yang perlu dipahami, dimana asas tersebut yang membedakan hak tanggungan dari jenis dan bentuk jaminan-jaminan utang yang lain. Asas jaminan-jaminan tersebut adalah : 1. Hak tanggungan memberikan kedudukan yang diutamakan bagi kreditur pemegang hak tanggungan 2. Hak tanggungan tidak dapat dibagi-bagi 3. Hak tanggungan hanya dapat dibedakan pada hak atas tanah yang telah ada 4. Hak tanggungan dapat dibebankan selain atas tanahnya juga berikut benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut. 5. Hak tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari 8
Ibid, hlm.104.
6. Hak tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada 7. Hak tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang 8. Hak tanggungan wajib didaftarkan”. 9 Berbicara mengenai objek hak tanggungan, yang dimaksud objek hak tanggungan adalah hak-hak atas tanah apa yang dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Ada dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan yaitu : 1. Hak atas tanah tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftar dalam daftar umum, yaitu di Kantor Pertanahan. Wajib didaftar dalam daftar umum maksudnya adalah bahwa hak atas tanah tersebut telah bersertifikat. Hak atas tanah yang telah terdaftar (bersertifikat) berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang diberikan kepada kreditur pemegang hak tanggungan terhadap kreditur lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai hak tanggungan pada buku tanah dan sertifikat hak tanah yang dibebani sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas). 2. Hak atas tanah tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindah tangankan (misalnya bisa dijual), sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang dijamin perlunasannya.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana proses pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan pada Bank SUMUT ? 9
ST.Remy Sjahdeini, Op.cit, hlm.15-43
2. Bagaimana
pelaksanaan
eksekusi
Hak
Tanggungan
apabila
debitur
wanprestasi ? 3. Apakah hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan pada Bank SUMUT. 2. Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan apabila debitur wanprestasi. 3. Untuk mengetahui hambatan-hambatan yang muncul dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan.
D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, dalam rangka pengembangan wawasan dan pengkajian tentang perjanjian kredit. Khususnya tentang pelaksanaan perjanjian kredit proses penyelesaian sengketa kredit macet dengan jaminan hak tanggungan apabila debitur wanprestasi. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan sebagai bahan masukan bagi kreditur dan debitur yang bertujuan untuk mengurangi kendala yang selama ini dihadapi dalam proses pelaksanaan perjanjian kredit dan penyelesaian
sengketa kredit macet dengan jaminan hak tanggungan apabila debitur wanprestasi pada PT.Bank SUMUT.
E. Keaslian Penelitian Sepanjang yang diketahui dan berdasarkan informasi, data yang ada dan penelusuran lebih lanjut pada kepustakaan, yang khususnya pada Kepustakaan Program Studi Magister Kenotariatan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul : “Pelaksanaan Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur yang Wanprestasi Pada Bank SUMUT". Dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggung jawabkan.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Dalam sebuah penelitian ilmiah, teori digunakan sebagai landasan berpikir dan mengukur sesuatu berdasarkan variabel yang tersedia. Sebelum peneliti mengetahui kegunaan dari kerangka teori, maka peneliti perlu mengetahui terlebih dahulu mengenai arti teori. Teori merupakan generalisasi yang dicapai setelah mengadakan pengujian yang hasilnya menyangkut ruang lingkup dan fakta yang luas. 10
10
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hlm.126
Dalam hal ini menurut Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo teori diartikan sebagai ungkapan mengenai hubungan casual yang logis di antara perubahan (variabel) dalam bidang tertentu, sehingga dapat digunakan sebagai kerangka berpikir (frame of thinking) dalam memahami serta menangani permasalahan yang timbul di dalam bidang tersebut. 11 Berkenaan dengan penelitian ini, maka kerangka teori diarahkan secara khusus pada ilmu hukum yang mengacu pada penelitian hukum normatif, dimana penelitian ini mengarah pada analisis secara hukum terhadap pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan. Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst (Belanda) atau Agreement (Inggris). Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian yaitu teori lama dan teori baru. Pengertian perjanjian terdapat di dalam Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi : “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Berdasarkan doktrin atau teori lama yang disebut dengan “perjanjian adalah perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama, yaitu : a. Adanya perbuatan hukum b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang 11
Bintaro Tjokroamidjojo dan Mustafa Adidjoyo, Teori dan Strategis Pembangunan Nasional, (Jakarta : Haji Mas Agung, 1988), hlm.12.
c. Persesuaian tersebut harus dipublikasikan atau dinyatakan d. Perbuatan hukum itu terjadi karena kerjasama antara dua orang atau lebih e. Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan perundangundangan. 12 Van Dune dalam buku Salim HS memberikan pendapat mengenai pengertian perjanjian. Ia menyatakan yang diartikan dengan perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum. 13 Berdasarkan pengertian perjanjian tersebut di atas, ada tiga tahap dalam membuat perjanjian, yaitu : a. Tahap prancontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan; b. Tahap contractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak ; c. Tahap post contractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. 14 Kredit dalam kegiatan perbankan merupakan kegiatan usaha yang paling utama, karena pendapat terbesar dari usaha bank berasal dari pendapat kegiatan usaha kredit yaitu berupa bunga dan deposito. Banyak pendapat dari para ahli yang memberikan pandangan mengenai pengertian kredit, namun semua pendapat tersebut mengarah kepada suatu tujuan yaitu kepercayaan.
12
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Cet. II (Jakarta : Sinar Grafika Offset, 2003), hlm.160. 13 Ibid, hlm.167 14 Ibid.
Istilah kredit berasal dari bahasa Yunani “Credere” yang berarti kepercayaan, karena itu dasar dari kredit, adalah kepercayaan. “Seseorang yang
memperoleh
kredit
pada
dasarnya
adalah
yang
memperoleh
kepercayaan”. 15 Kata kredit dalam perkembangannya telah berubah makna menjadi pinjaman. Memang diakui bahwa pinjaman yang diberikan oleh pihak kreditur kepada debitur dilandasi kepercayaan, bahwa pada suatu waktu tertentu pinjaman tersebut dikembalikan ditambah imbalan jasa tertentu. Hakekatnya pemberian kredit didasarkan atas kepercayaan, yang berarti bahwa kredit adalah pemberian kepercayaan oleh bank sebagai pemberi kredit, dimana prestasi yang diberikan benar-benar sudah diyakini akan dapat dibayar kembali oleh si penerima kredit sesuai dengan syaratsyarat yang telah disetujui bersama. Kredit menurut Pasal 1 huruf K Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan adalah : Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
15
Muchdarsyah Sinungan, Dasar-dasar dan Teknik Manajemen Kredit, Edisi I, Cetakan Keenam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hlm.2.
Berdasarkan pengertian kredit seperti yang tersebut di atas maka Thomas Suryapto dalam buku M.Djumhana menyatakan “ada unsur-unsur dari kredit”, yaitu : a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang. b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang. c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat resikonya. Dengan adanya resiko inilah maka timbullah jaminan dalam pemberian kredit. d. Prestasi, yaitu yang diberikan adalah suatu prestasi yang dapat berupa barang, jasa, atau uang. 16
2. Konsepsi Konsepsi merupakan salah satu bagian terpenting dari teori. Konsep diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut definisi operasional (operational definition). 17 Konsep
diartikan
sebagai
kata
yang
menyatakan
abstraksi
yang
digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus. 18
16
M.Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. III (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.370-371. 17 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm. 10 18 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta : Liberty, 2003), hlm.3.
Dalam hal ini untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman tentang penelitian ini, maka perlu didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini : Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan suatu akibat hukum. Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk baku mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur. 19 Kreditur adalah pihak bank atau lembaga pembiayaan lainnya yang berpiutang dalam suatu hubungan hutang piutang tertentu. Debitur adalah orang atau badan usaha yang berhutang kepada kreditur dalam suatu hubungan hutang piutang tertentu. Hutang adalah kewajiban debitur yang harus dibayar kepada kreditur dalam bentuk mata uang atau lainnya sebagai akibat perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan. Piutang adalah hak untuk menerima pembayaran. 20 Jaminan adalah sesuatu yang diberikan debitur kepada kreditur yang berupaya guna
19
untuk
menimbulkan
keyakinan
kepada
kreditur
bahwa
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia : Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : PT. Alumni, 2006), hlm.19-20. 20 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia.
debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. 21 Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur terhadap kreditur-kreditur lain. 22 Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. 23 Kredit bermasalah adalah kredit dengan kolektibilitas macet ditambah dengan kredit-kredit yang memiliki kolektibilitas diragukan yang mempunyai potensi menjadi macet. 24 Kredit macet adalah kemampuan membayar terhadap tunggakan yang telah melampaui 270 hari yang disebabkan sesuatu hal atau akibat kelalaian.
21
Haertono Hadi Soeprapto, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Yogyakarta : Liberty, 1984), hlm.50. 22 Pasal 1 ayat 1 UUHT No.4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan 23 Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. 24 H.R.Daeng Maja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2005), hlm.175
Wanprestasi adalah si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri. Ialah jika ia menetapkan, bahwa si berutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. 25
G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif, maksudnya bahwa penelitian ini merupakan penelitian yang memaparkan secara cermat karakteristik dari fakta-fakta atau individu, kelompok atau keadaan dan untuk menentukan frekuensi sesuatu yang terjadi, untuk mengetahui secara mendalam dan menganalisa pelaksanaan perjanjian kredit dengan jaminan hak tanggungan sebagai upaya penyelesaian sengketa dalam hal debitur wanprestasi pada Bank SUMUT. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian yuridis empiris/yuridis sosiologis. Penelitian didasarkan pada data primer dan data sekunder yang diperoleh dari penelitian lapangan, dengan didukung oleh penelitian kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. 26
25
Pasal 1328 KUH Perdata Ronitijo Soemitro, Methodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Semarang : Ghalatia Indonesia, 1998), hlm.11. 26
2.
Lokasi Penelitian Sesuai dengan judul tesis, maka penelitian ini dilakukan pada Bank SUMUT Cabang Utama Medan. Adapun alasan penulis memilih lokasi penelitian tersebut karena Bank SUMUT merupakan Bank Daerah di Sumatera Utara yang merupakan Bank yang cukup sehat, dimana khususnya masyarakat Sumatera Utara yang pada umumnya mempunyai usaha memperoleh dana yang bersumber melalui kredit bank, yang sebagian besar menggunakan hak tanggungan.
3.
Sumber Data Penelitian a. Data primer diperoleh dari penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara terhadap narasumber. Wawancara dilakukan dengan maksud untuk mengetahui lebih mendalam tentang proses pemberian kredit dengan jaminan hak tanggungan, khususnya pada Bank SUMUT. b. Data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan. Pengumpulan data sekunder meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
4.
Alat Pengumpulan Data Untuk memperoleh hasil yang objektif, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui :
Terhadap data primer, dilakukan pengumpulan data dengan melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang ada kaitannya terhadap permasalahan yang diteliti, dengan menggunakan pedoman wawancara sebagai alat pengumpulan data. Terhadap data sekunder, pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu dengan menghimpun data yang berasal dari kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku/literatur, dan karya ilmiah seperti makalah, majalah-majalah, dan segala tulisan yang berkaitan dengan penelitian ini.
5.
Analisis Data Analisis data merupakan suatu hal yang sangat penting dalam suatu penelitian untuk memerikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Seluruh data primer dan sekunder yang diperoleh dari penelitian lapangan dan pustaka diklasifikasikan dan disusun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dari data primer dan data sekunder yang telah diperoleh sebagai sumber dalam penyusunan tesis ini kemudian dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif, yaitu metode analisis data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang telah diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan
kebenarannya yang kemudian dihubungkan dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan. Sedangkan metode deskriptif yaitu metode analisis dengan memilih data yang menggambarkan keadaan yang sebenarnya di lapangan.
BAB II PROSES PELAKSANAAN PERJANJIAN KREDIT DENGAN JAMINAN HAK TANGGUNGAN PADA BANK SUMUT
A. Tinjauan Umum tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Perjanjian adalah suatu hal yang sangat penting karena menyangkut kepentingan para pihak yang membuatnya. Oleh karena itu hendaknya setiap perjanjian dibuat secara tertulis agar diperoleh suatu kekuatan hukum, sehingga tujuan kepastian hukum dapat terwujud. Sehubungan dengan perjanjian Pasal 1313 KUH Perdata memberikan defenisi sebagai berikut : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Menurut R.Setiawan, definisi tersebut kurang lengkap, karena hanya menyebutkan persetujuan sepihak saja dan juga sangat luas karena dengan dipergunakannya perkataan “perbuatan” tercakup juga perwakilan sukarela dan perbuatan melawan hukum. Beliau memberikan definisi tersebut sebagai berikut perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum, menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya” dalam Pasal 1313 KUH Perdata. 27
27
R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1994, hlm. 49.
Syari Ramadhani : P e l a k s a n a a n P e r j a n j i a n Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur Yang Wanpretasi Pada Bank Sumut, 2009
Sehingga menurut beliau perumusannya menjadi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Menurut Rutten, rumusan perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata tersebut terlalu luas dan mengandung beberapa kelemahan. 28 R. Subekti yang menyatakan bahwa suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal, dari peristiwa ini timbul suatu hubungan perikatan. 29 Perjanjian adalah merupakan bagian dari perikatan, jadi perjanjian adalah merupakan sumber dari perikatan
dan perikatan itu mempunyai
cakupan yang lebih luas daripada perjanjian. Mengenai perikatan itu sendiri diatur dalam buku III KUH Perdata, sebagaimana diketahui bahwa suatu perikatan bersumber dari perjanjian dari undang-undang. Oleh karena itu bahwa perjanjian itu adalah sama artinya dengan kontrak. Selanjutnya definisi berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata tersebut sebenarnya tidak lengkap, karena hanya mengatur perjanjian sepihak dan juga sangat luas karena istilah perbuatan yang dipakai akan mencakup juga perbuatan melawan hukum. 30
28
Purwahid Patrik. Dasar-dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang), Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 46 29 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1987, hlm. 1 30 R. Setiawan, Op.Cit, hlm.49
Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh para sarjana hukum perdata, pada umumnya menganggap definisi perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata itu tidak lengkap dan terlalu luas. Menurut R.Wirjono Prodjodikoro mengartikan perjanjian sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara kedua belah pihak, dalam mana satu pihak berhak untuk menuntut pelaksanaan janji itu. 31 Sedang menurut Abdul Kadir Muhammad merumuskan kembali definisi Pasal 1313 KUH Perdata sebagai berikut, bahwa yang disebut perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang atau lebih saling mengikat diri untuk melaksanakan sesuatu hal dalam lapangan harta kekayaan. 32
2. Unsur-unsur Perjanjian Berdasarkan beberapa rumusan pengertian perjanjian seperti tersebut di atas, jika disimpulkan maka untuk perjanjian terdiri dari : a. Ada pihak-pihak Sedikitnya dua orang pihak ini disebut subyek perjanjian dapat manusia maupun badan hukum dan mempunyai wewenang melakukan perbuatan hukum seperti yang ditetapkan undang-undang.
31 32
R.Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, hlm.9 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm.78
b. Ada persetujuan antara pihak-pihak Persetujuan antara pihak-pihak tersebut sifatnya tetap bukan merupakan suatu perundingan. Dalam perundingan umumnya dibicarakan mengenai syarat-syarat dan obyek perjanjian maka timbullah persetujuan. c. Ada tujuan yang akan dicapai Mengenai tujuan para pihak hendaknya tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan tidak dilarang oleh undang-undang. d. Ada prestasi yang dilaksanakan Prestasi merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak sesuai dengan syarat-syarat perjanjian, misalnya pembelian berkewajiban untuk membeli harga barang dan penjual berkewajiban menyerahkan barang. e. Ada bentuk tertentu lisan atau tulisan Perlunya bentuk tertentu karena ada ketentuan undang-undang yang menyebutkan bahwa dengan bentuk tertentu suatu perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan bukti yang kuat. f. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian Dari syarat-syarat tertentu dapat diketahui hak dan kewajiban para pihak. Syarat-syarat ini terdiri syarat pokok yang menimbulkan hak dan kewajiban pokok.
3. Asas-asas Perjanjian Asas-asas perjanjian dalam perjanjian antara lain : a. Asas kebebasan berkontrak Maksudnya adalah setiap orang bebas mengadakan suatu perjanjian berupa apa saja, baik bentuknya, isinya dan pada siapa perjanjian itu ditujukan. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang berbunyi : “Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Tujuan dari pasal di atas bahwa pada umumnya suatu perjanjian itu dapat dibuat secara bebas untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun, bebas untuk menentukan
bentuknya
maupun
syarat-syarat,
dan
bebas
untuk
menentukan bentuknya, yaitu tertulis atau tidak tertulis dan seterusnya. Jadi dari pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (tentang apa saja) dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Kebebasan berkontrak dari para pihak untuk membuat perjanjian itu meliputi : 1) Perjanjian yang telah diatur oleh undang-undang 2) Perjanjian-perjanjian baru atau campuran yang belum diatur dalam undang-undang.
b. Asas konsensualisme Adalah suatu perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal. 33 c. Asas itikad baik Bahwa orang yang akan membuat perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Itikad baik dalam pengertian yang subyektif dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang yaitu apa yang terletak pada seorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam pengertian obyektif adalah bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hukum harus didasarkan pada norma kepatuhan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. d. Asas Pacta Sun Servanda Merupakan asas dalam perjanjian yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat mereka yang membuatnya. Dan perjanjian tersebut berlaku seperti undang-undang. Dengan demikian para pihak tidak dapat mendapat kerugian karena perbuatan mereka dan juga tidak mendapat keuntungan darinya, kecuali kalau perjanjian tersebut dimaksudkan untuk pihak ketiga. Maksud dari asas ini dalam suatu perjanjian tidak lain untuk
33
A. Qiram Syamsudin Meliala, Pokok-pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm.20.
mendapatkan kepastian hukum bagi para pihak yang telah membuat perjanjian itu. e. Asas berlakunya suatu perjanjian Pada dasarnya semua perjanjian itu berlaku bagi mereka yang membuatnya tak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga kecuali yang telah diatur dalam undang-undang, misalnya perjanjian untuk pihak ketiga. 34 Asas berlakunya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang berbunyi “Pada umumnya tidak seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu perjanjian suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”.
4. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Agar perjanjian itu sah dan mempunyai kekuatan hukum, maka terlebih dahulu harus memenuhi syarat sahnya perjanjian yaitu perjanjian yang ditentukan undang-undang. Perlu diperhatikan bahwa perjanjian yang memenuhi undang-undang diakui oleh hukum, sebaliknya perjanjian yang tidak memenuhi syarat tak diakui oleh hukum walaupun diakui oleh pihakpihak yang bersangkutan. Karena itu selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat walaupun tidak memenuhi syarat perjanjian itu berlaku di antara mereka.
34
Ibid, hlm.19
Apabila suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya lagi, maka hakim akan membatalkan atau perjanjian itu batal. Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian para pihak harus memenuhi syarat-syarat tersebut di bawah ini : a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri b. Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian c. Suatu hal tertentu d. Suatu sebab yang halal
Ad.a. Sepakat mereka yang mengikatkan diri Kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal balik. Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian yang sah, dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah menjadi karena : 1) Paksaan (dwang) 2) Kekhilafan (dwaling) 3) Penipuan (bedrog)
Ad.b. Kecakapan para pihak dalam membuat suatu perjanjian Orang yang membuat perjanjian harus cakap menurut hukum. Artinya yang membuat perjanjian dan akan terikat oleh perjanjian itu, harus mempunyai cukup kemampuan untuk menginsyafi benar-benar akan tanggung jawab yang dipikul atas perbuatannya. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat perjanjian itu berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak berbuat dengan harta kekayaannya. Ad.c. Suatu hal tertentu Bahwa suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan adalah mengenai suatu obyek tertentu yang telah disepakati. Ad.d. Suatu sebab yang halal Suatu perjanjian adalah sah bila sebab itu tidak dilarang oleh undangundang, kesusilaan atau ketertiban umum. Karena perikatan menganut sistem terbuka, maka dalam pembuatan perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak. Hal ini dapat dijumpai dalam Pasal 1338 KUH Perdata. Asas ini membebaskan orang untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memilih undang-undang yang akan dipakainya untuk perjanjian itu. 35
35
Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1986, hlm. 3.
B. Tinjauan Umum tentang Kredit 1. Pengertian Kredit Istilah kredit berasal dari bahasa Romawi, yaitu “Credere” yang berarti kepercayaan. Oleh karena itu dasar kredit ialah kepercayaan. Dengan demikian seseorang yang telah memperoleh kredit pada dasarnya telah memperoleh kepercayaan. Dalam praktek sehari-hari pengertian kredit berkembang lebih luas, antara lain kredit adalah kemampuan melaksanakan suatu pembelian atau mengadakan suatu pinjaman dengan suatu janji pembayaran yang akan dilakukan dan ditangguhka pada suatu jangka waktu yang telah disepakati. 36 Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 angka (11), pengertian kredit adalah : Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Dari ketentuan di atas diketahui bahwa istilah kredit memiliki arti yang khusus, yaitu meminjamkan “uang”. Undang-undang Perbankan menunjuk “perjanjian pinjam meminjam” sebagai acuan dari perjanjian kredit. Perjanjian pinjam meminjam itu diatur dalam KUH Perdata Pasal 1754. Pasal 1754 KUH Perdata mengatakan bahwa :
36
1996.
Teguh Pudjo Mulyono, Manajemen Perkreditan bagi Bank Komersil, Yogyakarta, BPFE,
Perjanjian pinjam meminjam ialah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barangbarang yang menghabis karena pemakaian dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Perjanjian pinjam meminjam menurut KUH Perdata juga mengandung makna yang luas, yaitu objeknya adalah benda yang menghabis jika dipakai (verbruiklening), termasuk di dalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam meminjam ini pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik uang yang dipinjam dan di kemudian hari dikembalikan dengan jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. 37
2. Perjanjian Kredit Kata kredit berasal dari bahasa Romawi “Credere” yang artinya percaya. Kepercayaan ini merupakan dasar dari setiap perikatan, yaitu seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain. Elemen dari kredit adalah adanya dua pihak, kesepakatan pinjam meminjam, kepercayaan, prestasi, imbalan dan jangka waktu tertentu. Pengertian di atas menunjukkan bahwa kredit mempunyai arti yang luas, yang mempunyai objek benda.38 Perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (prinsipal) yang bersifat riel. Sebagai perjanjian prinsipal, maka perjanjian jaminan adalah asesornya. Ada dan berakhirnya perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti
37 38
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1991, hlm.138. Ibid, hlm. 137
riel ialah bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh “penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah. 39
3. Unsur-unsur Kredit Dalam suatu kredit yang diberikan atas dasar kepercayaan itu terdapat unsur-unsur kredit, yaitu : a. Kepercayaan Adalah suatu keyakinan pemberi kredit bahwa prestasi (uang, jasa atau barang) yang diberikannya akan benar-benar diterimanya kembali di masa tertentu yang akan datang. b. Waktu Adalah bahwa antara pemberian prestasi dan pengembaliannya dibatasi oleh suatu masa atau waktu tertentu. Dalam unsur waktu terkandung pengertian tentang nilai uang, bahwa uang sekarang lebih bernilai dari uang di masa yang akan datang. c. Degree of risk Adalah pemberian kredit dengan memberikan suatu tingkatan risiko, dimasa-masa tenggang adalah masa yang abstrak. Risiko timbul bagi pemberi karena uang atau jasa atau barang yang berupa prestasi telah lepas kepada orang lain.
39
Ibid, hlm.111
d. Prestasi Adalah yang diberikan, yaitu suatu prestasi yang dapat berupa barang, jasa atau uang. Dalam perkembangan perkreditan di alam modern ini maka yang dimaksud dengan prestasi dalam pemberian kredit adalah uang. 40 Semua ketentuan di atas seperti terdapat di dalam penjelasan Undangundang No.10 Tahun 1998 Pasal 8 ayat (1), bahwa untuk memperoleh keyakinan terhadap seorang debitur, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur.
4. Bentuk Perjanjian Kredit Sesuai dengan penjelasan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 8 ayat (2), bahwa pemberian kredit dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis, kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit, tetapi pada prakteknya bentuk perjanjian kredit dibuat secara baku. Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya mempergunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Perjanjian baku adalah perjanjian yang materinya ditentukan terlebih dahulu secara sepihak oleh kreditur (bank) dengan syarat-syarat yang dibakukan dan ditawarkan kepada masyarakat untuk digunakan secara masal atau individual.
40
hlm.3-4.
M.Sinungan, Dasar-dasar dan Teknik Manajemen Kredit, Jakarta, Bina aksara, 1995,
Jika debitur telah membubuhkan tanda tangannya di atas formulir perjanjian baku, berarti debitur tersebut sudah menyetujui isi perjanjian. Perjanjian baku ini memiliki karakter sebagai berikut : a. Ditentukan sepihak b. Berbentuk formulir c. Mengandung syarat eksonerasi, yaitu syarat dari pihak kreditur untuk mengelakkan dirinya dari tanggung jawab yang seharusnya menjadi kewajibannya. d. Dicetak dengan huruf kecil e. Disodorkan kepada konsumen sebagai “take it or leave it contract”. 41
5. Fungsi Kredit Fungsi kredit perbankan di dalam perekonomian dan perdagangan antara lain sebagai berikut : a. Kredit dapat meningkatkan daya guna (utility) uang Bagi para pemilik uang/modal dapat menyimpannya pada lembaga keuangan bank dalam bentuk tabungan, deposito ataupun giro dimana uang tersebut diberikan sebagai pinjaman bagi perusahaan-perusahaan. b. Kredit dapat meningkatkan peredaran lalu lintas uang Kreditt yang ditarik dari rekening giro dapat meningkatkan peredaran uang giral, disamping itu kredit yang ditarik secara tunai dapat 41
Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit, hlm.146-147
meningkatkan peredaran uang kertas, sehingga lalu lintas uang dapat berkembang. c. Kredit akan meningkatkan daya guna suatu barang Dengan kredit para pengusaha dapat memproses bahan baku menjadi bahan jadi, sehingga daya guna barang tersebut menjadi berguna. d. Kredit sebagai alat stabilitas ekonomi Dalam keadaan ekonomi yang kurang sehat, dimana terjadi laju perekonomian yang sangat tinggi, maka untuk menegakkannya dapat dilakukan/dilaksanakan kebijaksanaan uang ketat. Dalam melaksanakan kebijaksanaan uang ketat diberikan kredit secara selektif dan terarah guna melindungi usaha yang bersifat nonspekulatif. e. Kredit dapat menimbulkan kegairahan berusaha masyarakat Kekurang-mampuan dibidang permodalan dapat menjadi penghambat dalam menjalankan usaha. Kredit dari bank akan dapat mengatasi permasalahan tersebut, sehingga para pengusaha dapat meningkatkan usahanya. f. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan Dengan kredit para pengusaha dapat memperluas usahanya dan mendirikan proyek baru. Dengan adanya proyek baru maka akan dibutuhkan tambahan tenaga kerja dan tenaga kerja tersebut akan memperoleh pendapatan.
g. Kredit sebagai alat bantu meningkatkan ekonomi internasional negaranegara yang telah maju mempunyai cadangan devisa dan tabungan yang tinggi, dapat memberikan bantuan kredit pada negara-negara yang sedang berkembang untuk membangun. Dengan adanya bantuan seperti ini akan mempererat hubungan ekonomi antar negara yang bersangkutan dan juga akan meningkatkan hubungan internasional antar negara tersebut. 42
6. Jenis-jenis Kredit Jenis kredit dapat dibedakan menurut berbagai kriteria, yaitu dari kriteria lembaga pemberi-penerima kredit, jangka waktu serta penggunaan kredit kelengkapan dokumen perdagangan atau dari berbagai kriteria lain. 43 a. Dari segi lembaga pemberi-penerima kredit yang menyangkut struktur pelaksanaan kredit di Indonesia, maka kredit terdiri dari : 1) Kredit perbankan kepada masyarakat untuk kegiatan usaha dan atau konsumsi. Kredit ini diberikan oleh bank pemerintah, atau bank swasta kepada dunia usaha untuk ikut membiayai sebagian kebutuhan permodalan dan atau kredit dari bank kepada individu untuk membiayai pembelian kebutuhan hidup yang berupa barang maupun jasa.
42 43
Zainal Asikin, Op.Cit, hlm.232-233 Ibid, hlm.234-235
2) Kredit likuiditas, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank Sentral kepada bank-bank yang beroperasi di Indonesia, yang selanjutnya digunakan sebagai dana untuk membiayai kegiatan perkreditannya. 3) Kredit langsung, yaitu kredit yang diberikan Bank Indonesia kepada lembaga pemerintah maupun semi pemerintah b. Dari segi tujuan penggunaan, jenis kredit dapat diberikan menjadi : 1) Kredit konsumtif, yaitu kredit yang diberikan oleh bank pemerintah maupun
swasta
yang
diberikan
kepada
perseorangan
untuk
membiayai keperluan konsumsinya untuk kebutuhan sehari-hari. 2) Kredit produktif, baik kredit investasi maupun kredit eksploitasi. Kredit investasi adalah kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan modal tetap. Sedangkan kredit eksploitasi adalah kredit yang ditujukan untuk penggunaan pembiayaan kebutuhan dunia usaha akan modal kerja berupa persediaan bahan baku, persediaan produk akhir, barang dalam proses produksi serta piutang. c. Dari segi jangka waktunya, kredit dibedakan menjadi : 1) Kredit jangka pendek, yaitu kredit yang berjangka waktu maksimum 1 tahun. Bentuknya dapat berupa kredit rekening koran, kredit penjualan, kredit pembelian dan kredit wesel. 2) Kredit jangka menengah, yaitu kredit berjangka waktu antara 1 tahun sampai 3 tahun.
3) Kredit jangka panjang, yaitu kredit yang berjangka waktu lebih dari 3 tahun. Kredit jangka panjang ini pada umumnya adalah kredit investasi yang bertujuan menambah modal perusahaan dalam rangka untuk melakukan rehabilitasi, ekspansi (perluasan) dan pendirian proyek baru.
7. Dasar-dasar Pemberian Kredit Untuk dapat melaksanakan kegiatan perkreditan secara sehat, maka dikenal adanya prinsi “5C”, yaitu : a. Character Character merupakan suatu dasar pemberian kredit atas dasar kepercayaan, yaitu kepercayaan dari pihak bank bahwa peminjam mempunyai modal, watak ataupun sifat-sifat pribadi yang positif dan mempunyai rasa tanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya. b. Capacity Capacity merupakan suatu penilaian kepada calon debitur mengenai kemampuan melunasi kewajiban-kewajibannya dari kegiatan usaha yang akan dilakukannya, yang dibiayai dengan kredit dari bank. Sehingga bank merasa yakin bahwa usaha yang akan dibiayai dengan kredit tersebut dikelola oleh orang yang tepat. c. Capital Capital merupakan jumlah dana atau modal sendiri yang dimiliki oleh calon debitur. Kemampuan capital ini antara lain dicerminkan dalam
bentuk kewajiban untuk menyelenggarakan self financing sampai jumlah tertentu dan sebaliknya harus lebih besar dari kredit yang akan diminta kepada perbankan. d. Collateral Collateral merupakan barang-barang jaminan yang akan diserahkan oleh peminjam atau debitur sebagai jaminan atas kredit yang diterimanya. Manfaat collateral yaitu sebagai alat pengaman apabila usaha yang dibiayai dengan kredit tersebut gagal atau sebab-sebab lain dimana debitur tidak mampu melunasi kreditnya dari kegiatan usahanya. e. Condition of Economy Condition of economy adalah situasi dan kondisi sosial, ekonomi, budaya dan lain-lain yang mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat maupun untuk kurun waktu tertentu yang kemungkinannya akan dapat mempengaruhi kelancaran usaha dari perusahaan yang memperoleh kredit.
C. Perjanjian Kredit dengan Jaminan Hak Tanggungan 1. Tinjauan Umum tentang Hak Tanggungan Dengan bertambahnya meningkatnya pembangunan nasional maka diperlukan peraturan di bidang hukum pembebanan agunan yang lebih kuat dan mampu memberi kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan sehingga dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Harapan adanya suatu peraturan perundang-undangan yang
lengkap mengenai pengikatan agunan (Hak Tanggungan) telah ada sejak berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Harapan tersebut baru terlaksana pada tahun 1996, setelah lahirnya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT). Dengan adanya ketentuan tersebut maka ketentuan hipotik yang mengenai hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi kecuali ketentuan hipotik atas kapal masih tetap berlaku. Dengan diundangkannya Undang-undang Hak Tanggungan tuntaslah unifikasi hukum tanah nasional yang merupakan salah satu tujuan utama Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Hak Tanggungan menjadi satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah. 44 a. Pengertian Hak Tanggungan UUHT memberikan definisi atau pengertian Hak Tanggungan (Pasal 1 ayat (1)) sebagai berikut : Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. 44
Boedi Harsono, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah serta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah, (Makalah Disampaikan Pada Lokakarya Nasional Undang-undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan Tanah Angkatan III, Jakarta, 18-19 Juli 1996), hlm.1
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan adanya unsur-unsur pokok Hak Tanggungan, yaitu : 1) Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang 2) Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA, objekobjek Hak Tanggungan terdiri dari hak-hak atas tanah berupa Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dan Hak Pakai atas Hak Milik dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang dapat disimpulkan dalam Pasal 4 ayat (4) UUHT bahwa Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan
dalam
Akta
Pemberian
Hak
Tanggungan
yang
bersangkutan. Pasal 4 ayat (5) UUHT menentukan bahwa benda-benda yang berkaitan dengan tanah itu tidak terbatas hanya pada bendabenda yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan saja melainkan dapat juga meliputi benda-benda yang dimiliki oleh pihak lain. Namun pembebanannya hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa oleh pemilik pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
3) Hak Tanggungan dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Berdasarkan Pasal 4 ayat (4) UUHT, Hak Tanggungan dapat dibebankan bukan saja pada hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tetapi juga berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut (benda-benda yang berkaitan dengan tanah) baik merupakan milik pemegang hak atas tanah tetapi juga yang bukan dimiliki oleh pemegang hak atas tanah tersebut (Pasal 4 ayat (5) UUHT). Hak Tanggungan dapat dibebankan juga atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Pasal 4 ayat (4) UUHT memungkinkan Hak Tanggungan dapat dibebankan pula atas benda-benda yang berkaitan dengan tanah tersebut sekalipun benda-benda tersebut belum ada tetapi baru ada di kemudian hari. Pengertian “yang baru akan ada” adalah benda-benda yang pada dibebankan belum ada sebagai bagian dari hak atas tanah. 4) Utang yang dijamin harus suatu utang tertentu Menurut Pasal 3 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan dapat dijadikan jaminan untuk : a) Utang yang telah ada b) Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah tertentu.
c) Utang yang baru akan ada tetapi telah diperjanjikan sebelumnya dengan jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan ditentukan berdasarkan perjanjian utang piutang atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang yang bersangkutan Pasal ini sangat berarti bagi dunia perbankan dimana “utang, yang baru akan ada” sering terjadi dalam perjalanan pemberian suatu kredit kepada debitur. Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Menurut Pasal 3 ayat (2) UUHT bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.
Jadi
undang-undang
memungkinkan
pemberian
Hak
Tanggungan untuk beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan satu perjanjian utang piutang atau beberapa kreditur yang memberikan utang kepada satu debitur berdasarkan beberapa perjanjian utang piutang bilateral antara masing-masing kreditur dengan debitur yang bersangkutan. 5) Hak tanggungan memberikan hak preferen atau hak diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
b. Sifat-sifat Hak Tanggungan Hak Tanggungan sebagai hak jaminan diatur dalam Undang-undang No.4 Tahun 1996 mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : 1) Hak tanggungan memberikan hak preferent (droit de preference) atau kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain (Pasal 1 ayat 1) Artinya bila debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya maka seorang kreditur pemegang hak tanggungan mempunyai hak untuk menjual jaminan dan kreditur pemegang jaminan diutamakan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil penjualan jaminan tersebut. 2) Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2) Artinya Hak Tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian dari utang yang dijamin tidak berarti terbebasnya sebagian objek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan, melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh obyek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunas. 3) Hak Tanggungan mempunyai sifat droit de suite (Pasal 7) Sifat droit de suite disebut juga zaaksgevolg artinya pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak mengikuti obyek Hak Tanggungan meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah dan menjadi pihak lain. Contoh obyek Hak Tanggungan (tanah dan bangunan) telah dijual
dan menjadi milik pihak lain, maka kreditur sebagai pemegang jaminan tetap mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas jaminan tersebut jika debitur cidera janji meskipun tanah dan bangunan telah beralih dari milik debitur menjadi milik pihak lain. Sifat droit de suite berasal dari perwujudan Pasal 7 yang menegaskan Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapapun obyek tersebut berada. 4) Hak Tanggungan mempunyai sifat accesoir Seperti perjanjian jaminan lainnya, Hak Tanggungan bersifat accessoir artinya Hak Tanggungan bukanlah hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya, keberadaannya atau eksistensinya atau hapusnya tergantung perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang lainnya. Dengan kata lain kelahiran dan adanya Hak Tanggungan ditentukan oleh piutang yang dijamin pelunasannya. Demikian juga Hak Tanggungan menjadi hapus otomatis kalau perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan utang piutang hapus yang disebabkan karena lunasnya kredit atau lunasnya utang atau sebab lain. Sifat ikutan (accessoir) Hak Tanggungan ini memberikan konsekuensi dalam hal piutang beralih kepada kreditur lain maka Hak Tanggungan yang menjaminnya demi hukum ikut beralih kepada kreditur baru tersebut. Pencatatan peralihan Hak Tanggungan tidak
memerlukan akta PPAT tetapi cukup didasarkan pada akta beralihnya piutang yang dijamin. Pencatatan peralihan itu dilakukan pada buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan serta pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan. 5) Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada. Fungsi Hak Tanggungan adalah untuk menjamin utang yang besarnya diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang dijamin Hak Tanggungan harus memenuhi syarat Pasal 3 ayat 1 UUHT yaitu : a) Utang yang telah ada artinya besarnya utang yang telah ditentukan dalam perjajian kredit. Besarnya utang yang ada dalam perjanjian kredit biasanya merupakan jumlah maksimum atau plafond. b) Utang yang akan ada telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu. Utang ini merupakan utang yang akan ada karena terjadinya dimasa akan datang tetapi jumlahnya sudah bisa ditentukan sesuai komitmen kreditur untuk membayar Bank Garansi akibat debitur tidak memenuhi kewajiban kepada penerima Bank Garansi. c) Utang yang akan ada tetapi jumlahnya pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian kredit atau perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang-piutang.
6) Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang Pasal 3 ayat 2 UUHT menegaskan bahwa Hak Tanggungan dapat dibeirkan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum. Dengan pasal ini maka pemberian Hak Tanggungan dapat diberikan untuk : a) Satu atau lebih kreditur yang memberikan kredit kepada satu debitur berdasarkan perjanjian masing-masing secara bilateral antara kreditur-kreditur dengan debitur. b) Beberapa kreditur secara bersama-sama memberikan kredit kepada satu debitur berdasarkan satu perjanjian. 7) Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah saja Asas ini sebagai perwujudan dari sistim hukum tanah nasional yang didasarkan pada hukum adat yang menggunakan asas pemisahan horisontal. Dengan asas pemisahan horisontal ini maka dalam kaitan dengan bangunan, tanaman, dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dianggap bukan merupakan bagian dari tanah yang bersangkutan. Dengan demikian setiap perbuatan hukum mengenai hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi bendabenda yang ada di atas tanah tersebut.
8) Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda diatasnya dan dibawah tanah. Meskipun hukum tanah nasional menganut asas pemisahan horisontal
namun
perkembangan
dan
tidak
berlaku
kebutuhan
mutlak.
masyarakat
Untuk
memenuhi
pembebanan
Hak
Tanggungan dimungkinkan meliputi benda yang ada di atas tanah dan merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan bangunan di bawah permukaan tanah. Bangunan atau tanaman tersebut boleh ada pada saat pembebanan Hak Tanggungan atau yang akan ada di kemudian hari. 9) Hak Tanggungan berisi hak untuk melunasi utang dari hasil penjualan benda jaminan dan tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki benda jaminan Sifat ini sesuai tujuan Hak Tanggungan yaitu untuk menjamin pelunasan utang apabila si berutang atau debitur cidera janji dengan mengambil dari hasil penjualan benda jaminan itu, bukan untuk dimiliki kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Ketentuan ini juga untuk melindungi kepentingan debitur dari tindakan sewenangwenang kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan.
10) Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial Kreditur
sebagai
pemegang
Hak
Tanggungan
pertama
mempunyai hak untuk mengeksekusi benda jaminan jika debitur cidera janji. Dasar hukum untuk mengajukan eksekusi adalah Pasal 6 UUHT dan penjelasan yang menegaskan “Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”. Dengan sifat ini, jika debitur cidera janji maka kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan penjualan benda jaminan secara langsung dengan bantuan kantor lelang negara tanpa perlu persetujuan pemilik benda jaminan dan tidak perlu meminta fiat eksekusi dari pengadilan. Hanya pemegang Hak Tanggungan pertama yang mempunyai hak Parate Eksekusi bila terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan. Penjualan benda jaminan yang dilakukan langsung oleh kreditur dengan bantuan Kantor Lelang Negara tanpa persetujuan pemilik benda jaminan dan tidak perlu meminta fiat pengadilan disebut Parate Eksekusi. Sifat Hak Tanggungan yang memberikan hak Preferent dan memberikan kemudahan dan pasti dalam pelaksanaan eksekusi adalah sifat-sifat yang kuat dari Hak Tanggungan sebagai lembaga jaminan yang disukai di lingkungan perbankan/kreditur.
11) Hak Tanggungan mempunyai sifat spesialitas dan publisitas Sifat spesialitas atau disebut juga pertelaan adalah uraian yang jelas dan terinci mengenai obyek Hak Tanggungan yang meliputi rincian mengenai sertifikat hak atas tanah misalnya hak atas tanah Hak Milik atau Hak Guna Bangunan atau Hak Guna Usaha, tanggal penerbitannya, tentang luasnya, letaknya, batas-batasnya dan lain sebagainya. Jadi dalam akta Hak Tanggungan harus diuraikan secara spesifik mengenai hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Hak Tanggungan mengadopsi sifat specialiteit yang tercantum dalam Pasal 11 ayat 1 huruf e UUHT yang menentukan “Di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan wajib dicantumkan uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan. Uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan adalah uraian mengenai sertifikat hak atas tanah seperti disebutkan diatas”. Sifat publisitas adalah Akta Hak Tanggungan harus didaftarkan di Kantor Pertanahan dimana tanah yang dibebani Hak Tanggungan berada. 12) Obyek Hak Tanggungan berupa hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang meliputi Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.
Pada dasarnya Hak Tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah saja. Hak Tanah yang dapat dijadikan jaminan sesuai Undang-undang Pokok Agraria yaitu Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai Atas Tanah Negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan (Pasal 4 ayat 1 UUHT). Selain hakhak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindatangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat 2 UUHT). Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (Pasal 4 ayat 3 UUHT).
c. Peralihan Hak Tanggungan Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah. Hak ini dapat dialihkan namun karena Hak Tanggungan bersifat accessoir maka beralihnya Hak Tanggungan tidak dapat terlepas dari perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian hutang. Menurut hukum beralihnya perjanjian kredit dapat dilakukan secara cessie,
subrogasi,
pewarisan,
novasi
atau
pengambilalihan
atau
penggabungan perusahaan yang mengakibatkan beralihnya piutang tersebut.
Dalam rangka memenuhi syarat publisitas bagi pihak ketiga maka peralihan Hak Tanggungan wajib didaftarkan sehingga berlaku bagi pihak ketiga sejak tanggal didaftarkannya kepada Kantor Pertanahan setempat. Disebabkan beralihnya Hak Tanggungan tersebut karena hukum, hal ini tidak perlu dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT melainkan cukup dilakukan berdasarkan akta yang membuktikan beralihnya piutang yang dijamin kpada kreditur yang baru.
d. Hapusnya Hak Tanggungan Menurut Pasal 18 ayat (1) UUHT, hapusnya Hak Tanggungan karena hal-hal sebagai berikut : 1) Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan (konsekuensi sifat accessoirnya) 2) Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan 3) Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri 4) Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan Menurut Pasal 22 ayat (1) UUHT, setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah hak atas tanah dan sertifikatnya. Permohonan pencoretan diajukan oleh pihak yang berkepentingan dengan melampirkan sertifikat Hak Tanggungan yang telah diberi catatan oleh kreditur bahwa pelunasannya
dengan Hak Tanggungan itu sudah lunas. Apabila karena suatu hal sertifikat Hak Tanggungan itu dapat diganti dengan pernyataan tertulis dari kreditur bahwa Hak Tanggungan telah hapus karena piutang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan itu telah lunas (Pasal 22 ayat (4) UUHT). Apabila kreditur tidak bersedia memberikan pernyataan sebagaimana dimaksud maka pihak yang berkepentingan dapat meminta turut campurnya pengadilan dengan cara mengajukan permohonan perintah pencoretan tersebut kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya melipui tempat Hak Tanggungan didaftar (Pasal 22 ayat (5) UUHT). Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dijadikan jaminan tidak menyebabkan hapusnya piutang yang dijamin. Piutang kreditur tetap ada tetapi tidak lagi mendapat jaminan secara preferen. Dalam hal hak atas tanah berakhir jangka waktunya dan diperpanjang
berdasarkan
permohonan
yang
diajukan
sebelum
berakhirnya jangka waktu tersebut maka Hak Tanggungan tetap melekat kecuali ada pembaharuan hak atas tanah menjadi baru maka Hak Tanggungan semula membebani menjadi hapus sehingga harus dilakukan pembebanan Hak Tanggungan baru. Dalam hal perpanjangan maupun pembaharuan hak atas tanah dibutuhkan surat persetujuan kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan.
2. Proses Pengambilan Kredit pada Bank SUMUT Fungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dan menyalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan, hal ini merupakan dua fungsi bank yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Fungsi pemberian kredit atau pembiayaan tidak mungkin ada tanpa fungsi penyerahan dana. Berdasarkan kedua fungsi di atas, yaitu penyerahan dana dan penyalur dana maka terlihat adanya hubungan hukum antara bank dan nasabah yaitu : a. Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana b. Hubungan hukum antara bank dan nasabah Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpanan dana dituangkan dalam bentuk peraturan bank yang bersangkutan, yang berisikan ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat umum yang harus disetujui oleh nasabah penyimpan dana. Sebaliknya hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur dituangkan dalam perjanjian kredit bank, yang dalam praktek berbentuk suatu perjanjian standard atau perjanjian baku. Analisis kredit ini dilakukan oleh baik selaku pihak kreditur agar tidak terjadi ketimpangan dalam pemberian pinjaman kredit, maksudnya agar tidak terjadi kelebihan pinjaman kredit atau malah kekurangan pinjaman kredit yang mana pemberian pinjaman kredit tersebut adalah bertujuan sebagai penunjang pengembangan usaha debitur.
Penerapan asas kebebasan berkontrak dalam perjanjian kredit pada Bank SUMUT dalam prakteknya Bank SUMUT selaku kreditur memberikan keleluasaan kepada debiturnya untuk melakukan perikatan sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan prinsip-prinsip perbankan secara umum dan tidak melanggar kertertiban umum serta kesusilaan yang berlaku di dalam kehidupan
masyarakat
dan
juga
undang-undang.
Setelah
terjadinya
kesepakatan antara Bank SUMUT selaku kreditur dengan debiturnya barulah dibuat bentuk perjanjian yang dituangkan dalam suatu bentuk akta notarial. Selama ini bank selaku kreditur terkesan egois karena telah menyiapkan suatu formulir pembukaan kredit yang berbentuk kontrak baku atau disebut juga dengan standard contract yang didalamnya berisikan tentang ketentuan-ketentuan yang akan diterapkan dalam perjanjian kredit tersebut, sehingga seakan-akan memberi kesan bahwa bank selaku kreditur tidak memberikan kesempatan kepada debiturnya untuk mengemukakan kehendak-kehendak dan keinginannya untuk diterapkan dalam isi perjanjian kredit. Namun sebenarnya hal ini hanyalah semata-mata untuk mengefisiensikan segala hal yang berhubungan dengan perjanjian kredit yang diharapkan dapat menciptakan suatu keselarasan dan persesuaian kehendak apabila perjanjian tersebut telah disepakati sesuai dengan salah satu asas dalam hukum perjanjian yaitu asas konsensualisme yang tertuan di dalam Pasal 1320 KUH Perdata. 45 Perjanjian kredit ini akan menimbulkan dan kewajiban antara para pihak.
Pihak bank sebagai penyalur dana bertindak sebagai kreditur dan
nasabah sebagai penerima dana bertindak sebagai debitur berdasarkan perjanjian kontrak yang telah disepakati.
45
Hasil Wawancara dengan Staf Bidang Pemasaran Kredit dan Dana pada PT. Bank SUMUT Cabang Utama Medan.
Pemberian kredit merupakan pemberian kepercayaan antara pihak bank dengan nasabah debitur untuk mampu dan mau membayar kredit tersebut dan melaksanakan kewajiban lainnya. Bank mempunyai kewajiban menjaga rahasia keadaan rekening, nasabah dan juga tentang semua informasi yang berasal dari rekening tersebut. Sebelum memberikan pinjaman kredit kepada nasabah debitur pihak Bank SUMUT melakukan beberapa hal antara lain : a. Bank SUMUT mencari data tentang siapa dan bagaimana orang yang ingin mengadakan peminjaman kredit. Apakah orang itu jujur dan dapat dipercaya, sebab ini menyangkut kepada pengembalian kredit. b. Mencari tahu tentang apa tujuan untuk keperluan kredit yang diajukan. c. Dimana lokasi usaha yang didirikan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah usaha tersebut memang benar ada atau hanya untuk mengelabui pihak bank. d. Melihat bagaimana prospek dari bidang usaha dan kegiatan usaha si peminjam. Permohonan kredit tersebut memiliki beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain : a. Mengisi formulir permohonan kredit b. Fotocopy KTP pemohon dan suami/istri c. Fotocopy buku nikah d. Fotocopy kartu keluarga
e. Paspoto ukuran 4 x 6 (suami/istri), masing-masing 1 lbr. f. Fotocopy surat tanah (SHM/SHGB). Apabila surat tanah masih Akte Camat harus disertakan surat keterangan tidak silang sengketa dan asal usul surat tersebut harus lengkap. a. Fotocopy bukti pembayaran PBB tahun terakhir/berjalan b. Surat keterangan usaha dari kelurahan c. Data keuangan dan rencana penggunaan kredit. Untuk pinjaman di atas Rp. 50.000.000,- turut disertakan : a. Fotocopy NPWP pribadi/perusahaan b. Fotocopy SIUP c. Fotocopy Tanda Daftar Perusahaan d. Fotocopy Izin Gangguan (Ho) 46 Jika persyaratan tersebut di atas telah dipenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Bank SUMUT, maka kredit dapat diajukan dengan melalui beberapa tahapan yang telah ditentukan, yaitu : a. Tahap Permohonan Pada tahap ini nasabah datang untuk mengajukan permohonan kredit. Setelah itu calon nasabah diminta untuk : 1) Mengisi formulir surat permohonan kredit yang dilengkapi izin-izin perusahaan. 2) Akta pendirian usaha
46
Hasil Wawancara dengan Staf PT. Bank SUMUT Cabang Utama Medan
3) Realisasi usaha 4) Studi kelayakan 5) Jaminan yang ditawarkan b. Tahap wawancara Maksud dari tahap ini adalah pembicaraan antara bank dengan nasabah debitur, dalam rangka pengumpulan informasi tambahan yang diperlukan untuk
mempermudah
pihak
bank
dalam
mempertimbangkan
permohonannya. Sedangkan tujuan dari pada wawancara tersebut adalah : 1) Memberikan penjelasan kepada nasabah yang meminta informasi. 2) Mendalami permohonan nasabah 3) Mengikuti perkembangan atas kredit yang telah diberikan serta ikut memecahkan masalah-masalah nasabah. Hal ini hanya berlaku bila nasabah sebelumnya sudah pernah menikmati kredit atau dalam rangka pinjaman kredit. c. Tahap pemeriksaan tempat Pemeriksaan ke tempat dilakukan untuk meyakinkan kebenaran data yang disampaikan dengan keadaan yang sebenarnya. Biasanya dalam tahap ini bank melakukan pemeriksaan terhadap buku/kartu persediaan, buku pembelian dan catatan lainnya yang terpenting serta keadaan fisik proyek yang dibiayai, jaminan utama dan jaminan tambahan. d. Tahap evaluasi Penelitian atas permohonan kredit meliputi :
1) Maksud dan tujuan penggunaan kredit 2) Objek yang akan dibiayai dengan kredit. 3) Aspek hukum si pemohon kredit 4) Aspek manajemen 5) Aspek pemasaran 6) Asepek teknis dan produksi 7) Aspek keuangan dan administrasi 8) Aspek jaminan e. Tahap negosiasi Tahap yang diperoleh dari evaluasi kemudian dibicarakan dengan nasabah mengenai jumlah kredit yang dapat diberikan dan persyaratan yang harus dipenuhi. f. Tahap keputusan kredit Dari hasil semua tahap-tahap di atas kemudian diputuskan apakah pemberian kredit disetujui atau tidak. Apabila kredit disetujui maka nasabah akan dihubungi atas hasil yang diputuskan serta diajukan syaratsyarat yang harus dipenuhi, apabila sudah dapat disepakati barulah diambil keputusan pemberian kredit serta penentuan syarat-syarat yang disetujui oleh kedua belah pihak. g. Tahap pembukaan rekening Calon nasabah diwajibkan untuk mengisi dan menandatangani danamon sebagai berikut :
1) Permohonan membuka rekening yang dilengkapi dengan data dan tanda tangan nasabah. 2) Kartu pengenal nasabah. Setelah diberi nomor rekening dokumen ini ditandatangani oleh direktur sebagai tanda persetujuan. h. Tahap dokumen Bila ketentuan-ketentuan dan persyaratan telah diterima dan surat pemberitahuan pencairan kredit telah dibuat maka dilakukan dokumentasi berupa : 1) Pembuatan akta perjanjian kredit 2) Pemungutan bea materai 3) Pengikatan jaminan pada notaris 4) Pencatatan pada kartu obligasi (kartu pencatatan dan pelunasan kredit). i. Pencairan kredit Sebelum dilakukan pencairan diadakan pengecekan kembali terhadap persyaratan-persyaratan yang diminta apakah telah dipenuhinya oleh nasabah. Setelah semuanya terpenuhi, baru pencairan didroping ke rekening nasabah yang sudah dibuka di bank tersebut. Dalam menentukan kebijaksanaan pemberian kredit pada nasabah pihak Bank SUMUT memberikan jumlah ataupun batasan tertentu yang lebih dikenal dengan platfond kredit. Platfon ini merupakan jumlah maksimum kredit yang diberikan kepada para nasabah pada tiap tahun.
Perjanjian jaminan (Hak Tanggungan) merupakan ikutan atau tambahan dari perjanjian utang piutang atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang, yang merupakan perjanjian pokok atau pendahuluannya. Dengan kata lain, perjanjian jaminan (Hak Tanggungan) merupakan perjanjian accessoir dari suatu perihatan sebelumnya, yaitu perjanjian utang piutang, perjanjian kredit, atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Hak Tanggungan dimungkinkan dapat menjamin lebih dari satu utang, baik berdasarkan satu perjanjian utang piutang (termasuk secara sindikasi) atau dengan beberapa perjanjian utang piutang. 1) Tahap-tahap Pemberian (Pembebanan) Hak Tanggungan Pemberian Hak Tanggungan adalah perjanjian kebendaan yang terdiri dari rangkaian perbuatan hukum dari Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT)
sampai
dilakukan
pendaftaran
dengan
mendapatkan sertifikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan. Rangkaian perbuatan hukum Pemberian atau Pembebanan Hak Tanggungan memerlukan beberapa tahapan sebagai berikut : a) Tahap pertama Membuat perjanjian kredit : Tahap pertama ini didahului dengan dibuatnya perjanjian pokok berupa perjanjian kredit atau perjanjian pinjam meminjam uang antara kreditur dengan debitur. Hal ini sesuai sifat accessoir dari
Hak Tanggungan yang pemberiannya haruslah merupakan ikutan dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit atau perjanjian utang atau perjanjian lain yang menimbulkan utang. Pasal 10 ayat 1 UUHT mengatakan bahwa pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Dalam perjanjian kredit, baru berupa janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu sedangkan perjanjian pemberian Hak Tanggungan akan dilakukan dengan akta tersendiri yang disebut Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). b) Tahap Kedua Pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) : Tahap kedua berupa Pemberian Hak Tanggungan yang ditandai dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) dibuat oleh PPAT yang ditandatangani kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan dan pemilik hak atas tanah yang dijaminkan (debitur atau pemilik jaminan tetapi bukan debitur). Bentuk Akta
Pembebanan Hak Tanggungan adalah akta otentik yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT. Akta APHT merupakan bentuk standard yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dipergunakan oleh PPAT. Pasal 10 ayat 2 UUHT menegaskan Pemberian Hak Tanggungan
dilakukan dengan
pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam prakteknya pada Bank SUMUT, pemberian Hak Tanggungan yang ditandai dengan pembuatan APHT ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu : 1. Penandatanganan APHT dilakukan oleh pemilik jaminan bersamaan dengan penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. 2. Dengan
membuat
Surat
Kuasa
Membebankan
Hak
Tanggungan (SKMHT) c) Tahap Ketiga Pendaftaran APHT di Kantor Pertanahan Pada tahap ketiga ini ditandai dengan pendaftaran Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) ke Kantor Pertanahan setempat. Hal ini sesuai Pasal 13 ayat 1 UUHT yang menegaskan pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Setelah Kantor Pertanahan menerima pendaftaran dari PPAT dalam waktu 7 hari setelah APHT ditandatangani, maka Kantor Pertanahan
membuatkan buku tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Sebagai tanda bukti bahwa Akta Pembebanan Hak Tanggungan
telah
didaftar
di
Kantor
Pertanahan,
yang
membuktikan adanya Hak Tanggungan maka Kantor Pertanahan akan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan diberikan kepada kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan adalah salinan APHT dan salinan buku tanah Hak Tanggungan yang dijahit menjadi satu. Dengan demikian kalau meneliti Sertifikat Hak Tanggungan nampak sama dengan isi APHT karena petikan APHT merupakan bagian dari Sertifikat Hak Tanggungan. Dari Pasal 13 UUHT tersebut dapat disimpulkan bahwa yang didaftarkan ke Kantor Pertanahan yaitu Akta Pemberian Hak Tanggungan yang disertai sertifikat tanah dan surat lainnya sebagai bukti obyek Hak Tanggungan dan identitas dari pihak-pihak kreditur dan debitur/pemilik jaminan. Dari tahap-tahap proses pembebanan Hak Tanggungan akan lahirlah beberapa akta atau dokumen yang diperlukan bagi kreditur jika kemudian hari akan melakukan eksekusi Hak Tanggungan yaitu :
(1) Perjanjian kredit/perjanjian hutang (2) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Akta ini diperlukan jika pemberi Hak Tanggungan menguasakan kepada kreditur untuk membebankan Hak Tanggungan. Tetapi jika pemberi Hak Tanggungan langsung memberikan Hak Tanggungan dengan menandatangani APHT maka SKMHT tidak diperlukan. Jadi SKMHT tidak harus ada. (3) Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) (4) Sertifikat Hak Tanggungan (5) Sertifikat hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan
2) Lahirnya Hak Tanggungan Hak Tanggungan dinyatakan lahir pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan yaitu pada hari ketujuh setelah Kantor Pertanahan menerima secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran dan jika hari ketujuh jatuh pada hari libur buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya. Hari dan tanggal lahirnya Hak Tanggungan menandai atau membuktikan lahirnya hak preferent atau hak diutamakan bagi kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan sehingga kreditur yang memegang Hak Tanggungan memiliki kedudukan yang diutamakan atas jaminan yang dipegangnya.
Kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan yang telah memiliki hak preferent tidak perlu khawatir pemilik jaminan akan mengalihkannya seperti menjual, menyewakan, menjaminkan kembali atau disita pihak lain atas jaminan tersebut karena undang-undang memberikan perlindungan dan kekuatan hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang memberikan hak preferent. Pada saat kreditur membebankan Hak Tanggungan, kreditur harus mengemukakan kepada PPAT yang membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan agar nilai Hak Tanggungan yang ditetapkan kreditur dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Penetapan besarnya nilai Hak Tanggungan pada umumnya lebih tinggi dari jumlah hutang pokok yang tercantum dalam perjanjian kredit. Pencantuman nilai Hak Tanggungan yang lebih tinggi dari jumlah hutang pokok karena dalam menentukan nilai Hak Tanggungan kreditur memperhitungkan jumlah hutang pokok, ditambah besarnya bunga selama jangka waktu kredit dan biaya lain yang dikeluarkan kreditur. Sebagai tanda bukti ada atau lahirnya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan
setempat
menerbitkan
Sertifikat
Hak
Tanggungan
sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 14 ayat (1) UUHT. Dengan kata lain, Sertifikat Hak Tanggungan merupakan bukti ada atau lahirnya Hak Tanggungan, yang kelahirannya ditentukan pada
saat pendaftaran benda yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut dalam buku tanah Hak Tanggungan. Menurut ketentuan dalam Pasal 14 ayat (2) dan ayat (3) UUHT, bahwa Sertifikat Hak Tanggungan dimaksud memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
3. Proses Pengawasan Kredit Tujuan utama pengawasan kredit adalah mencegah sedini mungkin timbulnya praktek pemberian kredit yang tidak sehat, merosotnya mutu kredit yang diberikan dan hal-hal lain yang dapat merugikan bank. Oleh karena dalam sebagian besar kejadian praktek pemberian kredit yang tidak sehat adalah hasil kolusi antara debitur dan para pejabat bank, maka walaupun setiap bank yang dikelola secara profesional akan menjauhkan diri dari sikap berprasangka buruk terhadap karyawannya, namun mau tidak mau semua pejabat bank yang tugasnya berkaitan dengan penyaluran kredit akan menjadi salah satu obyek utama pengawasan kredit. Obyek utama kedua pengawasan kredit adalah para debitur, termasuk debitur yang terkait dengan bank dan debitur besar. Semakin besar jumlah kredit yang diberikan kepada debitur atau sekelompok debitur, harus semakin intensif pengawasan kredit dilakukan.
Dokumen dan administrasi kredit merupakan salah satu bahan masukan penting bagi bank untuk melakukan pengawasan kredit. Oleh karena itu, agar bank dapat melakukan pengawasan kredit secara efektif, mereka harus membina dokumentasi dan administrasi kredit yang sehat. Disamping harus memiliki satu arsip dokumen kredit yang lengkap dan absah, setiap portofolio kredit harus diadministrasikan secara benar, tertib, lengkap dan akurat, sehingga disamping dapat dipergunakan sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan debitur dan kredit, juga mengandung unsur pengendalian intern. Seperti halnya bagian pengawasan kredit, agar dapat berjalan secara efektif, kegiatan dokumentasi dan administrasi kredit harus dikerjakan oleh satu unit atau bagian tersendiri. Dari hasil penelitian yang dilakukan pada Bank SUMUT, ruang lingkup program pengawasan kredit, minimal harus mencakup hal-hal sebagai berikut : a. Pengawasan terhadap setiap kredit yang akan diberikan. Apakah pemberian kredit tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit dan ketentuan perbankan yang berlaku. b. Pemantauan terhadap perkembangan mutu kredit yang telah diberikan dalam perkembangan kegiatan usaha debitur. Pemantauan tersebut dilakukan baik secara langsung, dengan peninjauan di lapangan, maupun
secara tidak langsung, yaitu dengan mempelajari laporan kegiatan usaha dan kondisi keuangan yang disampaikan oleh debitur secara periodik. c. Pengawasan terhadap setiap kredit yang akan diberikan kepada debitur yang terkait dengan bank dan debitur. Apakah pemberian kredit tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit dan ketentuan yang digariskan oleh pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia. d. Memantau gejala awal kredit bermasalah dari para debitur yang kemampuan dan kesediaannya melunasi kredit mulai diragukan. e. Mengevaluasi apakah penilaian terhadap tingkat kolektibilitas kredit yang disalurkan telah sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh Bank Indonesia f. Pembinaan terhadap debitur bermasalah yang masih ada harapan untuk diselamatkan. g. Memantau pelaksanaan dokumentasi dan administrasi kredit yang telah disalurkan. h. Memantau perkembangan cadangan penghapusan kredit. Janji untuk dapat menyelamatkan objek hak Tanggungan yang demikian sudah sewajarnya dicantumkan dalam pemberian Hak Tanggungan, hal mana dimaksudkan demi kepentingan kreditur dan pemberi Hak Tanggungan. Dengan adanya janji demikian, pemegang Hak Tanggungan dapat melakukan tindakan penyelamatan terhadap objek Hak Tanggungan,
sehingga dapat dipertahankan nilai jual persil jaminan dimaksud. Sama halnya dengan
janji
sebelumnya,
janji
penyelamatan
terhadap
objek
Hak
Tanggungan, sehingga dapat dipertahankan nilai jual persil jaminan dimaksud. Sama halnya dengan janji sebelumnya, janji penyelamatan terhadap objek Hak Tanggungan baru adanya bila hal tersebut diperjanjikan dan untuk itu harus dimuat di dalam APHT. Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (2) huruf d UUHT menyatakan : Dalam akta pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan, jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan, karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya ketentuan Undang-Undang. Kewenangan pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan akan ada, selain diperjanjikan dalam APHT, dipersyaratkan bahwa tindakan penyelamatan objek Hak Tanggungan itu dilakukan atau diperlukan berhubung debitur sungguh-sungguh wanprestasi, dalam rangka untuk mencegah hapusnya atau dibatalkannya hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan yang membawa akibat dapat mengakhiri atau hapusnya Hak Tanggungan. Kalau peristiwa tersebut terjadi, hal ini akan dapat merugikan pemegang Hak Tanggungan seandainya pemberi Hak Tanggungan tidak melakukan tindakan penyelamatan yang diperlukan untuk itu.
BAB III PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN APABILA DEBITUR WANPRESTASI
A. Sebab-sebab Debitur Wanprestasi Mutu kredit tidak dapat berantakan begitu saja tanpa memberi tanda-tanda sebelumnya. Untuk mendeteksi gejala awal kredit bermasalah sebagian besar terjadi dengan munculnya berbagai macam gejala penurunan mutu kredit secara bertahap jauh sebelum kasus kredit bermasalah tersebut. Untuk itu pihak kreditur dalam hal ini Bank SUMUT secara cermat memonitor perkembangan mutu kredit dan mendeteksi gejala-gejala awal kredit bermasalah tersebut. Selanjutnya Bank SUMUT dapat memutuskan tindakan apa yang dapat segera diambil untuk menyelamatkan dana yang telah mereka kreditkan kepada debitur. Gejala umum timbulnya kredit bermasalah yang seringkali muncul adalah : 1. Penyimpangan dari ketentuan perjanjian kredit Penyimpangan dari ketentuan perjanjian kredit oleh debitur merupakan salah satu gejala awal yang wajib diamati bank karena dibalik gejala itu seringkali tersirat berbagai macam hal yang dapat menjuruskan kredit ke dalam kasus kredit bermasalah. Salah satu contoh penyimpangan dari ketentuan perjanjian kredit adalah permintaan debitur untuk memperpanjang jangka waktu kredit yang akan jatuh tempo tanpa mengajukan alasan kuat mengapa mereka menghendaki perpanjangan tersebut. 2. Penurunan kondisi keuangan debitur Gejala penurunan kondisi keuangan debitur erat hubungannya dengan penyimpangan debitur dari ketentuan perjanjian kredit. Hampir pada semua kejadian, setiap kali debitur menyimpang dari ketentuan perjanjian kredit, bank akan segera meneliti kondisi keuangan mereka. Dalam hal ini,
Syari Ramadhani : P e l a k s a n a a n P e r j a n j i a n Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur Yang Wanpretasi Pada Bank Sumut, 2009
3.
4.
5.
6.
7.
47
Medan.
data (termasuk daftar keuangan dan informasi pendukungnya), berbagai macam informasi yang lain serta catatan tentang perkembangan prestasi bisnis dan keuangan debitur yang terkumpul dalam arsip dokumen kredit merupakan bahan masukan yang sangat berguna bagi bank untuk menganalisis kondisi keuangan debitur. Penyajian laporan dan bahan masukan lain secara tidak benar Karena adanya kekhawatiran menurunnya kondisi keuangan mereka diketahui oleh kreditur, ada saja debitur yang menyembunyikan kesulitan yang sedang mereka hadapi itu. Salah satu cara adalah dengan menyembunyikan penurunan kondisi keuangan dan bahan masukan lain yang telah direkayasa sebelumnya. Menurunnya sikap kooperatif debitur Hubungan baik antara debitur dan kreditur, dimana kedua belah pihak saling percaya dan bersikap terbuka, mempunyai peranan penting atas keberhasilan bank memantau perkembangan mutu kredit yang telah mereka salurkan. Penurunan nilai jaminan yang disediakan Bagi bank, turunnya nilai barang yang dijaminkan dapat mendatangkan dua macam masalah. Pertama, nilai barang jaminan dapat menjadi lebih kecil dibandingkan dengan jumlah saldo kredit yang terutang. Kedua, turunnya jumlah dan nilai barang jaminan tertentu seperti bahan baku, bahan pembantu dan barang jadi dapat menyebabkan turunnya jumlah produksi, penjualan dan keuntungan debitur. Hal tersebut berakibat menurunnya kemampuan mereka melunasi kredit. Tingginya frekuensi pergantian tenaga inti Dengan menurunnya kondisi usaha dan keuangan debitur akan menimbulkan suasana yang kurang menyenangkan bagi kelancaran pelunasan kredit debitur. Timbulnya problem keluarga atau pribadi debitur yang serius Apabila pada debitur muncul problem keluarga atau pribadi yang serius, bank akan memantau perkembangan problem tersebut. Apabila problem tersebut dirasa berkembang ke arah kondisi yang membahayakan kredit yang telah mereka berikan kepada debitur, bank dapat segera memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan guna menyelamatkan kredit tersebut. Contoh problem keluarga dan pribadi yang dapat mengakibatkan timbulnya kredit bermasalah adalah perceraian, perkawinan baru, kematian, pemborosan, sakit berkepanjangan, depresi mental dan kecanduan obat bius. 47
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
B. Tanda-tanda Kredit Macet 1. Kredit Macet Istilah kredit macet umumnya muncul setelah pihak debitur macet dan gagal melakukan pelunasan kredit sesuai dengan yang diperjanjikan. Di dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/267/KEP/DIR jo Surat Edaran Bank Indonesia No.30/16/UPPB tanggal 27 Februari 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif ditetapkan secara tegas penggolongan kualitas kredit, yaitu : a. Lancar (pass), apabila memenuhi kriteria : 1) Pembayaran angsuran pokok dan atau bunga tepat waktu, dan 2) Memiliki mutasi rekening yang aktif, atau 3) Bagian dari kredit yang dijamin dengan agunan tunai (cash collateral) b. Dalam perhatian khusus (special mention), apabila memenuhi kriteria : 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui 90 hari, atau 2) Kadang-kadang dapat cerukan, atau 3) Mutasi rekening relatif aktif, atau 4) Jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan, atau 5) Didukung oleh pinjaman baru c. Kurang lancar (substandard), apabila memenuhi kriteria : 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari, atau
2) Terjadi cerukan, atau 3) Frekuensi rekening relatif rendah, atau 4) Terjadi pelanggaran kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari, atau 5) Terdapat indikasi masalah keuangan debiur, atau 6) Dokumentasi pinjaman lemah d. Diragukan (doubtful), apabila memenuhi kriteria : 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari, atau 2) Terjadi cerukan yang bersifat permanen, atau 3) Terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari, atau 4) Terjadi kapitalisasi bunga, atau 5) Dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan e. Macet (loss), apabila memenuhi kriteria : 1) Terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari, atau 2) Kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru, atau 3) Dari segi hukum kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Namun dalam keadaan tertentu selanjutnya, suatu kredit memenuhi kriteria lancar (pass), dalam perhatian khusus (special mention), kurang lancar (substandard), dan diragukan (doubtful), apabila menurut penilaian keadaan
usaha peminjam diperkirakan tidak mampu untuk mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya, maka kredit tersebut digolongkan pada kualitas yang lebih rendah atas dasar penilaian yang berpedoman pada indikator tambahan sebagaimana terdapat pada lampiran 1 (satu) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/267/DIR tanggal 27 Februari 1998 tentang Kualitas Aktiva Produktif. Dengan adanya ketentuan di atas, maka kriteria macet juga harus didasarkan pada perkiraan dengan penilaian tambahan. Sehingga dapat saja terjadi kredit yang memenuhi kualitas kurang lancar (substandard) diturunkan derajatnya menjadi macet karena menurut perkiraan dan penilaian ternyata mengandung indikasi tambahan bahwa kredit tersebut digolongkan sebagai kredit macet.
2. Penyelamatan Kredit Bermasalah Kredit bermasalah dapat diselamatkan melalui beberapa cara tergantung dari kesulitan yang dihadapi debiturnya. Cara-cara penyelamatan yang dimaksud adalah : 48 a. Penjadwalan kembali (rescheduling) Adalah perubahan persyaratan kredit yang hanya menyangkut jadwal pembayaran atau jangka waktunya.
48
CX. Tinon Yunianti Ananda, Dasar-dasar Perkreditan, Jakarta, PT.Gramedia, 1997, hlm.115-117.
Keringanan yang diberikan dalam usaha ini yaitu : 1) Memperpanjang jangka waktu kredit 2) Memperpanjang jarak waktu angsuran, misalnya semula angsuran ditetapkan 3 bulan kemudian diubah menjadi 6 (enam) bulan. 3) Penurunan jumlah untuk setiap angsuran yang mengakibatkan perpanjangan jangka waktu kredit.
b. Persyaratan kembali (reconditioning) Adalah perubahan sebagian atau keseluruhan syarat-syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran, jangka waktu dan/atau persyaratan lain sepanjang menyangkut perubahan maksimum saldo kredit. Dalam hal ini bantuan yang diberikan adalah berupa keringanan atau perubahan persyaratan kredit, antara lain : 1) Penundaan pembayaran bunga, yaitu bunga tetap dihitung, tetapi penagihan atau pembebanan kepada nasabah tidak dilaksanakan sampai nasabah mempunyai kesanggupan. Atas bunga yang terhutang tersebut tidak dikenakan bunga dan tidak menambah plafon kredit. 2) Penurunan suku bunga, yaitu dalam hal nasabah dinilai masih mampu membayar bunga yang dikenakan, terlalu tinggi untuk tingkat aktivitas dan hasil usaha pada waktu itu. Cara ini ditempuh jika hasil operasi nasabah memang menunjukkan surplus atau laab dan likuiditas memungkinkan untuk membayar bunga.
3) Pembebasan bunga, yaitu dalam hal nasabah memang dinilai tidak sanggup membayar bunga karena usaha nasabah hanya mencapai tingkat kembali pokok (break event). Pembebasan bunga ini dapat untuk sementara, selamanya, ataupun seluruh hutang bunga. 4) Pengkonversian kredit jangka pendek menjadi kredit jangka panjang dengan syarat yang lebih ringan.
c. Penataan Kembali (Restructuring) Adalah perubahan syarat-syarat kredit yang menyangkut penambahan dana bank, konversi seluruh atau sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan yang disertai dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan kembali. Tindakan yang dapat diambil dalam rangka restructuring adalah : 1) Kapitalisasi bunga Yaitu bunga dijadikan hutang pokok sehingga nasabah untuk waktu tertentu tidak perlu membayar bunga, tetapi nanti hutang pokoknya dapat melebihi plafon yang disetujui, ini berarti bahwa fasilitas kredit perlu ditingkatkan. Disamping itu, atas bunga tersebut dihitung bunga (bunga majemuk) yang pada dasarnya akan lebih memberatkan nasabah. Cara ini ditempuh dalam hal prospek usaha nasabah baik.
2) Tambahan kredit (injection/nursey operation) Apabila nasabah kekurangan modal kerja, demikian juga dalam hal investasi baik perluasan maupun tambahan investasi. 3) Tambahan equaity Apabila tambahan kredit memberatkan debitur, sehubungan dengan pembayaran bunganya, maka perlu dipertimbangkan tambahan modal sendiri yang berupa : a) Tambahan modal dari pihak bank, dengan cara : Penambahan atau penyetoran uang (fresh money) Konversi hutang debitur, baik bunga, pokok atau keduanya. b) Tambahan dari pemilik Kalau bentuk perusahaannya adalah Perseroan Terbatas (PT) maka tambahan modal ini dapat berasal dari pemegang saham maupun pemegang saham baru atau kedua-duanya.
d. Tindakan penyelamatan dapat juga merupakan kombinasi dari ketiga usaha yang telah disebutkan di atas. Misalnya rescheduling dan reconditioning, restructuring dengan rescheduling atau gabungan ketiganya. Apabila usaha penyelamatan kredit melalui rescheduling, reconditioning, dan restructuring tidak berhasil, maka langkah yang harus ditempuh adalah penyelesaian kredit melalui prosedur hukum, dimana pelelangan dilaksanakan oleh KPKLN.
Sedangkan peranan Pengadilan Negeri dalam penyelesaian sengketa kredit macet bank adalah sebagai berikut : 49 a. Peranan di bidang non litigasi, meliputi : 1) Somasi, yaitu teguran terhadap pihak yang akan digugat ke pengadilan negeri. 2) Dading, yaitu perjanjian damai 3) Aanmaning, yaitu peringatan/pemberitahuan kepada pihak yang tereksekusi berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap. 4) Fatwa eksekusi, yaitu mengabulkan atau menangguhkan suatu eksekusi. 5) Eksekusi terhadap sertifikat hak tanggungan 6) Peranan di bidang pasca eksekusi e. Peranan di bidang litigasi, yaitu penanganan perkara sesuai dengan hukum acara perdata yang berlaku, meliputi : 1) Proses biasa, yaitu hingga putusan dinyatakan berkekuatan hukum tetap 2) Proses khusus, yaitu hingga putusan hakim dinyatakan bersifat sementara.
49
Varia Peradilan No.49, IKAHI, 1993, hlm.44.
C. Proses Jatuhnya Eksekusi Hak Tanggungan Apabila debitur cidera janji maka objek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur yang lain. Menurut ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUHT eksekusi dilakukan berdasarkan : 1. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri berdasarkan ketentuan Pasal 6 UUHT yang diperkuat dengan janji yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT. 2. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT. Pada dasarnya setiap penyelesaian hutang atau kredit macet yang bertujuan akhir mengeksekusi jaminan hutang harus melalui gugatan perdata dan memerlukan waktu dan biaya tidak sedikit. Sehingga pemegang Hak Tanggungan juga dapat melakukan gugatan perdata jika masih terdapat kelebihan piutang yang ditagih dimana penjualan jaminan melebihi dari nilai Hak Tanggungan. Hak kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk atas kekuasaan sendiri menjual lelang objek Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 6 UUHT yang diperkuat dengan janji yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT merupakan cara eksekusi paling singkat karena kreditur tidak perlu mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Negeri.
Cara eksekusi lain yang juga dipermudah adalah dengan menggunakan acara eksekusi yang diatur dalam Pasal 224 RIB dan Pasal 258 Rbg yang dikenal sebagai lembaga “Parate Executie” (dalam hal eksekusi hipotik). Pasal 26 UUHT menentukan bahwa selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14 UUHT, peraturan mengenai hipotik yang ada pada mulai berlakunya UUHT, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan. Atas permohonan kreditur pemegang Hak Tanggungan Ketua Pengadilan Negeri memberi perintah kepada debitur untuk memenuhi kewajibannya. Jika perintah tersebut diabaikan, akan diperintahkan eksekusinya, tanpa perlu didahului pengajuan gugatan perdata. Dalam acara ini kepada Ketua Pengadilan Negeri harus diserahkan “grosse akte hipotik” sebagai surat tanda bukti adanya hipotik
yang
dimintakan
eksekusinya.
Dalam
pendaftaran
tanah
menurut
Overschrijvings Ordonnanti 1834 surat tanda bukti hipotik adalah salinan akte pemberian hipotik yang dibubuhi irah-irah seperti putusan pengadilan yang disebut “grosse’. Overschrij vings Ordonnanti 1834 menggunakan sistem pendaftaran akta. Pendaftaran tanah yang sekarang diselenggarakan menurut ketentuan Peraturan Pemerintah (PP) No.24 Tahun 1997 menggunakan sistem pendaftaran hak. Dalam sistem ini yang merupakan surat tanda bukti hak atas tanah dan juga Hak Tanggungan adalah sertifikat, bukan lagi grosse akta. Sehubungan dengan itu dalam rangka penggunaan lembaga parate eksekusi tersebut ditetapkan dalam Pasal 14 ayat (4) UUHT bahwa selain dinyatakan mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap, sertifikat Hak Tanggungan
berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotik, sepanjang mengenai hak-hak atas tanah. Dengan demikian sekarang ada penegasan oleh undang-undang bahwa dalam masa peralihan ini yaitu sebelum ada peraturan khusus mengatur eksekusi Hak Tanggungan ketentuan hukum acara eksekusi hipotik tersebut berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan dengan penyerahan Sertifikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya (Penjelasan Umum angka 9 UUHT). Eksekusi jaminan Hak Tanggungan hanya dapat dilakukan jika adanya dan jumlahnya utang yang dijamin dapat dengan mudah diketahui dan dihitung secara pasti. Apabila tidak, permohonan eksekusi melalui lembaga “parate executie” akan ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri sehingga untuk penyelesaian utang piutang yang bersangkutan pihak kreditur mengajukan gugatan perdata. Hal ini untuk melindungi kepentingan debitur ataupun pemberi Hak Tanggungan (Hak Tanggungan bukan hanya melindungi kepentingan kreditur tetapi memberikan perlindungan juga kepada debitur secara seimbang). Salah satu ciri dan sifat lembaga hak jaminan atas tanah yang kuat, yaitu pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungannya mudah dan pasti, bahwa pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan dilakukan melalui mekanisme yang sederhana tanpa melalui proses beracara di muka pengadilan. Sebagai perwujudan dari kemudahan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan tersebut, ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT menyediakan 2 (dua) cara eksekusi benda yang menjadi objek Hak Tanggungan, yaitu :
1. Berdasarkan kekuasaan sendiri menjual objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Undang-undang Hak Tanggungan 2. Berdasarkan titel eksekutorial dalam Sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan Hak Tanggungan. Dengan demikian, Undang-undang Hak Tanggungan menyediakan 2 (dua) sarana untuk melakukan eksekusi benda yang menjadi objek Hak Tanggungan, yaitu pertama, menggunakan kuasa yang diberikan kepada pemberi hak yang diistilahkan dengan beding van eigenmachtige verkoop, parate eksekusi, atau eksekusi yang disederhanakan dan sarana kedua, memanfaatkan titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan. Pasal 6 UUHT memberikan hak bagi pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan parate eksekusi. Artinya pemegang Hak Tanggungan tidak perlu bukan saja memperoleh persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan, tetapi juga tidak perlu meminta penetapan dari pengadilan setempat apabila akan melakukan eksekusi atas Hak Tanggungan yang menjadi jaminan utang debitur dalam hal debitur cidera janji. Pemegang Hak Tanggungan dapat langsung datang dan memina kepada Kepala Kantor Lelang untuk melakukan pelelangan atas objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Dengan mendasar kepada parate eksekusi tersebut, pelaksanaan eksekusi dengan cara menjual benda yang menjadi objek Hak Tanggungan atas kekuasaan
sendiri melalui pelelangan umum tersebut tidak memerlukan suatu proses acara gugat menggugat di muka pengadilan. Untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 UUHT merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan pemegang Hak Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebi dari satu pemegang Hak Tanggungan. Hak tersebut didasarkan kepada janji yang diberikan oleh pemegari Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak untuk menjual objek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari Pemberi Hak Tanggungan dan selanjutnya mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan itu lebih dahulu daripada kreditur yang lain. Sisa hasil penjualan tetap menjadi hak pemberi Hak Tanggungan.
D. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan Apabila Debitur Wanprestasi Bank
atau
lembaga
keuangan/pembiayaan
manapun
tentunya
tidak
mengharapkan bahwa fasilitas kreditnya kepada nasabah-debitur akan menjadi kredit yang macet dan diselesaikan melalui pengadilan. Idealnya bagi bank pengembalian fasilitas kredit tersebut dilakukan nasabah debitur dengan lancar dan tepat waktu sesuai dengan apa yang telah dijanjikan. Namun demikian hal tersebut pada kenyataannya tidak selamanya dapat ditemui. Situasi yang dihadapi kadang sebaliknya dimana fasilitas yang telah diberikan ternyata tidak dapat atau tidak mampu dikembalikan oleh debitur dengan lancar dan tepat waktu, sehingga fasilitas kredit tersebut menjadi macet.
Untuk mengantisipasi kredit macet ini diadakan pengelolaan/pembinaan kredit (credit management) oleh bank pemberi kredit, dengan tujuan untuk mencegah agar kredit yang diberikan oleh bank tidak menjadi macet atau walaupun kredit tersebut menjadi macet masih bisa diupayakan untuk diselamatkan atau dibayar kembali oleh debitur. Dengan kata lain bahwa pengelolaan kredit oleh bank adalah melakukan upaya-upaya preventif agar kredit tidak menjadi macet dan bila kredit akhirnya menjadi macet masih dapat dilakukan upaya-upaya represif agar kredit tersebut dapat diselamatkan atau dibayat kembali oleh debitur.50 Oleh karenanya dalam mereview suatu usulan kredit, bagi Legal Officer minimal harus berpedoman pada 3 (tiga) hal pokok, yaitu : 1. Aman dalam arti legal risk, yaitu bahwa setiap kredit yang diberikan telah terbebas dari segala kekurangan, baik mengenai kewenangan subjek hukum, objek hukum maupun mengenai jaminan dan yang menyangkut dengan pihakpihak lainnya. Sehingga jika di kemudian hari terjadi kredit macet, bank telah mempunyai alat bukti yang sempurna dan kuat untuk menjalankan suatu tindakan hukum bila dianggap perlu. 2. Terarah dalam arti bahwa setiap kredit yang diberikan harus sesuai dengan peruntukannya, baik dari segi penerima kredit maupun dari segi kegunaannya, hindari terjadinya side streaming.
50
Medan
Hasil Wawancara dengan Staf Bagian Administrasi PT.Bank SUMUT Cabang Utama
3. Menghasilkan dalam arti bahwa setiap pelepasan kredit akan memberikan keuntungan baik bagi bank maupun bagi penerima kredit/debitur serta meningkatkan kesejahteraan rakyat/nasabah penyimpan. 51 Oleh karena pemberian kredit dimaksud untuk memperoleh keuntungan, maka bank hanya boleh meneruskan simpanan/dana masyarakat kepada nasabah debiturnya dalam bentuk kredit, jika bank dalam hal ini betul-betul merasa yakin bahwa nasabah debitur yang akan menerima kredit itu mampu dan mau mengembalikan kredit yang telah diterimanya itu. Dari faktor kemampuan dan kemauan tersebut tersimpul unsur keamanan (safety) dan sekaligus juga unsur keuntungan (profitability) dari suatu kredit. Kedua unsur tersebut saling berkaitan. Keamanan yang dimaksud adalah bahwa prestasi yang diberikan dalam bentuk uang, barang atau jasa itu betul-betul terjamin pengembaliannya, sehingga keuntungan yang diharapkan itu dapat menjadi kenyataan. Dalam prakteknya penyebab kredit macet dapat ditinjau dari aspek ekonomi makro dan mikro yang dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Ekonomi makro a. Karena pengaruh ekonomi makro/perubahan Peraturan Pemerintah b. Globalisasi ekonomi
51
Medan
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
c. Hubungan ekonomi dengan negara lain misalnya sanksi ekonomi, penundaan bantuan, dan pembayaran hutang negara. Yang mengakibatkan kontraksi moneter yang akhirnya menaikkan suku bunga sehingga mengganggu angsuran atau berakibat banyak terjadi PHK. 2. Ekonomi mikro a. Mismanagement, management pribadi yang sangat buruk, debitur tidak mempunyai perencanaan yang baik, tidak bisa mengontrol diri (boros). b. Spekulasi, melakukan investasi yang ternyata tidak membawa keuntungan. c. Wanprestasi dari mitra usaha, banyak tagihan yang macet d. Adanya kenaikan kewajiban atas tagihan utang lain, misalnya belanja dengan credit card. e. Kasus perkawinan, debitur kawin lagi f. Tidak kooperatif/tidak ada kemauan untuk membayar g. Penipuan, sengaja berbuat kriminal misalnya, menghilang/raib, memalsukan dokumen dan lain-lain. h. Proses penyelesaian jaminan yang dibangun developer tertunda, berakibat debitur tidak bersedia membayar angsuran karena rumah belum bisa ditempati. i. Penyelesaian dokumen jaminan tertunda sehingga rencana debitur untuk menjual jaminan untuk membayar kewajibannya tidak bisa dilaksanakan sehingga kredit jadi macet.
Dalam menghadapi kredit macet tersebut pada prakteknya Bank SUMUT melakukan penyelesaian melalui 2 alternatif, yaitu : 52 1. Penyelesaian dengan negoisasi 2. Penyelesaian dengan litigasi
Ad.1. Penyelesaian dengan negoisasi Penyelesaian kredit bermasalah dengan negoisasi ini dilakukan terhadap debitur yang usahanya masih berjalan meskipun tersendat-sendat, dapat membayar bunga tapi tidak dapat membayar kewajiban angsuran. Bahkan terhadap debitur yang usahanya sudah tidak berjalanpun dapat dilakukan penyelesaian dengan negoisasi. Sebagai contoh yaitu apabila ratio agunan/jaminan kredit masih mencukupi dan ada usaha lain yang dianggap lebih layak dan dapat menghasilkan, maka kepada debitur yang bersangkuta dimungkinkan untuk diberikan suntikan baru yang hasilnya dapat dipergunakan untuk membayar seluruh kewajibannya. Upaya tersebut dapat disebut dengan kredit yang diselamatkan, yaitu kredit yang semula tergolong bermasalah atau macet kemudian terjadi kesepakatan antara debitur dan bank untuk diperbaiki. Adapun bentuk penyelamatan kredit yang dilakukan oleh Bank SUMUT adalah :
52
Medan
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
a. Penjadwalan kembali pelunasan kredit (rescheduling) Dengan penjadwalan kembali pelunasan kredit, bank memberi kelonggaran kepada debitur membayar utangnya yang telah jatuh tempo, dengan jalan menunda tanggal jatuh tempo tersebut. Apabila pelunasan kredit dilakukan dengan cara mengangsur, dapat juga bank menyusun jadwal baru angsuran kredit yang dapat meringankan kewajiban debitur untuk melaksanakannya. b. Penataan kembali persyaratan kredit (reconditioning) Tujuan utama dilakukannya penataan kembali persyaratan kredit adalah memperkuat posisi tawar menawar bank dengan debitur. Dalam rangka penataan kembali persyaratan kredit itu, isi perjanjian kredit ditinjau kembali, bilamana perlu ditambah atau dikurangi. Upaya penyelamatan kredit ini biasanya dilakukan seiring dengan upaya penjadwalan kembali pelunasan kredit. c. Reorganisasi dan rekapitulasi (reorganization and recapitalization) Dengan dilakukanya perbaikan pada struktur pendanaan (rekapitulasi) dan organisasi bisnis debitur, diharapkan bank dapat membantu debitur memperbaiki kondisi dan likuiditas keuangan mereka. Dengan demikian diharapkan sedikit demi sedikit debitur mampu melunasi kredit dan bunga yang tertunggak. 53
Ad.2. Penyelesaian dengan litigasi Pada prakteknya, penyelesaian kredit dengan litigasi ini dilakukan dengan pengajuan permohonan gugatan dan atau eksekusi kepada pengadilan, dan dapat dilakukan dengan cara : a. Gugatan biasa Untuk memberikan kepastian hukum terhadap gugatan yang diajukan pihak yang berperkara ke Pengadilan Negeri (kreditur dan debitur)
harus
mendapatkan/memperoleh suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisde), dimana atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut 53
Medan
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
maka pihak yang memenangkan dalam perkara tersebut dapat mengajukan permintaan eksekusi. Adapun upaya hukum yang dilakukan dalam proses peradilan untuk mencapai eksekusi atas putusan Hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap (nkracht van gewisde) yaitu : 1) Tingkat pertama/pengadilan negeri a) Permohonan gugatan dari penggugat (para) b) Sidang I : (1) Upaya perdamaian oleh hakim (2) Pembacaan surat gugatan (3) Penyerahan jawaban dari tergugat (para) c) Permohonan gugatan dari penggugat (para) d) Sidang II
: Replik dari penggugat
e) Sidang III
: Duplik dari tergugat
f) Sidang IV
: Pembuktian penggugat
g) Sidang V
: Pembuktian tergugat
h) Sidang VI
: Pembuktian saksi (kalau ada)
i) Sidang VII
: Kesimpulan (conklusi)
j) Sidang VIII
: Putusan
k) Eksekusi putusan (jika inkracht) 2) Tingkat Banding/Pengadilan tinggi a) Pernyataan banding dari pembanding (biasanya dari pihak yang kalah) b) Memori banding dari pembanding
c) Kontra memori banding dari terbanding d) Putusan e) Eksekusi putusan (jika inkracht) 3) Tingkat Kasasi/Mahkamah Agung a) Pernyataan kasasi dari pemohon kasasi (biasanya dari pihak yang kalah) b) Memori kasasi dari pemohon kasasi c) Kontra memori kasasi dari termohon kasasi d) Putusan e) Eksekusi putusan (jika inkracht) Disamping upaya hukum biasa tersebut di atas kita mengenal juga upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali (Request Civil). Peninjauan kembali ini merupakan suatu upaya agar putusan pengadilan negeri, pengadilan tinggi maupun Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), mentah kembali. Peninjauan Kembali (PK) hanya dapat dilakukan sepanjang pihak yang kalah dalam putusan tingkat kasasi menemukan bukti baru (novum) terhadap perkara tersebut. Pada prinsipnya peninjauan kembali ini : 1) Tidak menangguhkan eksekusi 2) Harus diajukan sendiri oleh para pihak yang berperkara, atau ahli warisnya, atau seorang wakilnya yang khusus dikuasakan untuk itu. 3) Dapat diajukan hanya 1 (satu) kali dan ditujukan kepada Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
b. Permohonan Eksekusi Grosse Akta Permohonan ini diajukan ke pengadilan negeri atas dasar dan kekuatan Grosse Akta Pengakuan Hutang dan Grosse Akta Hak Tanggungan. Eksekusi terhadap grosse akta ini tidak perlu melalui gugatan biasa ke pengadilan negeri, karena grosse akta dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” telah mempunyai title eksekutorial, yaitu title yang membuat suatu akta mempunyai kekuatan eksekusi yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 224 HIR). Eksekusi Hak Tanggungan ini dimohonkan ke pengadilan negeri oleh kreditur yang selanjutnya disebut pemohon eksekusi atas barang jaminan debitur yang selanjutnya disebut termohon eksekusi. Pembebanan Hak Tanggungan dalam perjanjian kredit merupakan perjanjian accessoir yang penting mengingat sebagian besar agunan/jaminan yang diberikan oleh debitur dalam perjanjian kredit adalah tanah dan atau berikut segala sesuatu yang berada di atasnya baik sekarang maupun yang akan ada di kemudian hari. Apabila debitur cidera janji (wanprestasi), Pasal 20 UUHT menentukan 3 (tiga) cara mengeksekusi Hak Tanggungan yaitu : 1) Apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan di atas adalah perwujudan dari kedudukan yang diutamakan yang dimiliki pemegang Hak
Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan pertama (dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak Tanggungan). Hal tersebut didasarkan atas janji yang diberikan oleh pemberi Hak Tanggungan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan berhak menjual obyek Hak Tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi Hak Tanggungan (Pasal 6 jo 20 UUHT). 2) Sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Dengan irah-irah yang dicantumkan pada Sertifikat Hak Tanggungan, apabila debitur cidera janji, ia siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata usaha cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan hukum acara perdata (Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT). Apabila debitur cidera janji, maka berdasarkan Titel Eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahului pada kreditur lainnya.
3) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tinggi yang menguntungkan semua pihak. Dalam hal penjualan melalui pelelangan umum, diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip (setiap eksekusi harus dilaksanakan dengan melalui pelelangan umum) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang Hak Tanggungan dan syarat yang ditentukan dipenuhi (Pasal 20 ayat (2) UUHT).
c. Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan di PT.Bank SUMUT Bila Debitur Wanprestasi Berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan Kredit yang telah disalurkan oleh bank kepada debitur diharapkan dapat berjalan dengan lancar dalam arti bank mendapatkan kembali pembayaran piutang atas kredit dan pihak debitur dapat mengembangkan usahanya dengan modal yang telah diberikan oleh pihak bank selaku kreditur. Bank tidak pernah mengharapkan kredit yang telah disalurkan kepada debitur mengalami kasus kredit macet, karena hal ini jelas akan mempengaruhi kinerja suatu bank, apabila tidak dapat ditangani dengan baik. Namun kredit macet adalah suatu risiko yang tidak dapat dihindari oleh setiap bank dalam pemberian kredit. Dalam kondisi-kondisi tertentu yang disebabkan oleh beberapa faktor, selalu dimungkinkan terdapat debitur yang tidak dapat memenuhi prestasinya kepada bank, yakni dalam hal pembayaran kredit sesuai perjanjian.
Pada PT. Bank SUMUT Cabang Utama Medan, eksekusi Hak Tanggungan bukanlah merupakan upaya terakhir yang dilakukan dalam mengatasi kredit macet. Kredit macet sangat akan mempengaruhi kelancaran usaha bank. Eksekusi terhadap objek jaminan dalam hal ini tanah berikut segala sesuatu yang terdapat di atasnya, baik yang ada pada saat pemberian Hak Tanggungan maupun yang akan ada di kemudian hari diharapkan mampu mengembalikan piutang pihak bank terhadap debitur yang wanprestasi. Eksekusi Hak Tangggungan berdasarkan Title Eksekutorial (Pasal 14 ayat (2) UUHT) vide Pasal 224 HIR adalah cara yang paling mungkin untuk dilakukan ditinjau dari aspek hukum dibandingkan dengan 2 (dua) cara eksekusi Hak Tangggungan yang lainnya karena dalam pelaksanaannya mempergunakan alatalat negara seperti pengadilan dan juru sita. Walaupun cara ini memerlukan waktu yang panjang, biaya tinggi dan pencermatan secara terus menerus. Dilihat dari aspek hukum sesungguhnya senjata paling ampuh dan paling cepat untuk memberantas kredit macet, yakni parate eksekusi yaitu suatu upaya mengeksekusi sendiri (melelang) agunan atau melakukan penjualan atas dasar kekuasaan sendiri tanpa campur tangan pengadilan. 54 Parate eksekusi yaitu janji untuk menjual atas kekuasaan sendiri (beding van eigenmachtig). Janji seperti itu diatur dalam Buku II Bab Kedua Puluh Pasal 1178 ayat (2) KUHPerdata. Ketentuan ini telah diadopsi oleh UUHT ketentuan yang
54
J.Satrio, Parate Eksekusi Sebagai Sarana Mengatasi Kredit Macet, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hlm.44
sama dapat kita lihat dari Pasal 6 jo 20 UUHT. Sesungguhnya Pasal 6 jo 29 UUHT adalah parate eksekusi karena dilakukan tanpa campur tangan pengadilan melainkan atas dasar kekuasaan sendiri. Hanya konsekuensinya jika timbul masalah pengosongan obyek Hak Tanggungan seperti rumah dan bangunan lainnya setelah lelang, maka pengadilan tidak dapat diminta melakukan eksekusi riil tapi pemegang lelang dapat menggugat (perkara). Cara ketiga eksekusi Hak Tanggungan yaitu penjualan obyek Hak Tanggungan di bawah tangan adalah tergolong jual beli secara sukarela (bukan eksekusi/bukan secara paksa) yang dilakukan oleh pemilik/pemegang hak dan pembeli di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) sesuai PP No.24 Tahun 1997. Kalau melihat persyaratan Pasal 20 ayat (2) dan (3) UUHT penjualan obyek Hak Tanggungan sangat sulit untuk dilakukan, karena banyaknya prosedur yang harus ditempuh dan sulitnya mencapai kesepakatan harga atau nilai limit terendam tanah yang akan dijual. Sertifikat hak tanah dapat menjadi dasar pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. Disamping berfungsi sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Sertifikat Hak Tanggungan juga berguna sebagai dasar pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan bila debitur cidera janji. Dengan menggunakan titel eksekutorial sebagaimana termuat dalam sertifikat Hak Tanggungan, bila debitur (pemberi Hak Tanggungan) cidera janji, maka kreditur pemegang Hak Tanggungan (pertama) dapat melakukan penjualan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk mengambil pelunasan piutang dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan.
Sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 penyelesaian piutang macet di bank, pengawasan dan pengelolaannya diserahkan kepada masing-masing bank. Namun untuk pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan terhadap jaminan kredit bank dapat dilakukan proses pelelangan melalui KPKNL, namun sebatas hanya sebagai pejabat lelang, sedangkan yang menjualnya adalah tetap bank. 55
d. Mekanisme Eksekusi Hak Tanggungan Berdasarkan Titel Eksekutorial Eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial yang tercantum dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagai upaya akhir dari bank dalam memperoleh
kembali
pelunasan
piutangnya
dari
debitur/pemberi
Hak
Tanggungan adalah pelaksanaan secara paksa putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap atau pelaksanaan secara paksa dokumen perjanjian yang dipersamakan dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (Dokumen Eksekutorial), harus dilakukan dalam suatu prosedur dan tahapan yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Terdapat beberapa tahapan dan prosedur yang harus dilalui dan dilakukan oleh bank. Untuk dapat melakukan eksekusi Hak Tanggungan berdasrkan titel eksekutorial berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUHT, terlebih dahulu harus mendapatkan fiat/penetapan pengadilan. Oleh karena itu terdapat beberapa
55
Medan
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
tahapan dan prosedur yang harus dilakukan oleh pihak bank selaku kreditur/ pemegang Hak Tanggungan untuk dapat melakukan eksekusi, yaitu : 56 a. Bank selaku pemohon eksekusi mengajukan permohonan eksekusi Hak Tanggungan berdasarkan Pasal 224 HIR kepada pengadilan negeri yang wilayah kerjanya meliputi letak obyek Hak Tanggungan berada, dengan melampirkan bukti-bukti berupa fotocopy sesuai aslinya yang disahkan pengadilan atas dokumen-dokumen, sebagai berikut : 1) Sertifikat Hak Tanggungan 2) Sertifikat hak atas tanah (obyek Hak Tanggungan) 3) Akta perjanjian kredit berikut perjanjian lainnya yang terkait 4) Rekening koran atas nama debitur 5) Surat-surat tegoran dari bank kepada debitur b. Setelah menerima berkas permohonan eksekusi dari bank (pemohon eksekusi) secara lengkap dan setelah dipelajari secara seksama, maka Pengadilan Negeri akan membuat penetapan yang selanjutnya memanggil debitur/pemberi Hak Tanggungan pada hari dan tanggal yang telah ditentukan dalam penetapan tersebut untuk diberi aanmaning (teguran) c. Apabila pada hari dan tanggal yang telah ditentukan tersebut, debitur/ pemberi Hak Tanggungan hadir untuk memenuhi panggilan tersebut, maka Pengadilan Negeri akan membuat Berita Acara Aanmaning, yang isinya memberikan
56
Medan
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
aanmaning (teguran) kepada debitur/pemberi Hak Tanggungan agar dalam waktu 8 (delapan) hari terhitung sejak tanggal aanmaning tersebut debitur/ pemberi Hak Tanggungan memenuhi seluruh kewajibannya kepada bank, selanjutnya Berita Acara Aanmaning tersebut ditandatangani oleh debitur/ Pemberi Hak Tanggungan dan Pemegang Hak dan Ketua Pengadilan Negeri. d. Apabila pada hari dan tanggal yang telah ditentukan tersebut, debitur/ pemberi Hak Tanggungan tidak hadir memenuhi panggilan tersebut, maka Pengadilan Negeri akan memanggil kembali/ulang yang bersangkutan untuk diberi aanmaning. e. Apabila debitur/Pemberi Hak Tanggungan dalam waktu 8 (delapan) hari ternyata memenuhi seluruh kewajibannya kepada bank, maka eksekusi Hak Tanggungan tersebut tidak dilanjutkan, kewajiban dari pihak bank untuk memohon kepada Pengadilan negeri agar pelaksanaan eksekusi tersebut dapat dibatalkan, setelah menerima permohonan tersebut, maka Pengadilan Negeri membuat penetapan yang isinya membatalkan pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan. f. Setelah lewat waktu 8 (delapan) hari ternyata debitur/pemberi Hak Tanggungan tidak memenuhi kewajibannya kepada bank atau debitur dan atau pemegang Hak Tanggungan ternyata tidak memenuhi panggilan dari Pengadilan Negeri walaupun telah dipanggil secara patut, maka bank akan mengajukan permohonan sita eksekusi, dengan memberikan alasan-alasan sebagai berikut :
1) Bahwa debitur/Pemberi Hak Tanggungan telah dipanggil secara patut oleh pengadilan negeri, ternyata tidak datang, atau ; 2) Bahwa debitur/Pemberi Hak Tanggungan telah diberi aanmaning (teguran), ternyata tidak memenuhi kewajibannya kepada bank. g. Berdasarkan permohonan dari bank tersebut, maka Pengadilan Negeri membuat penetapan Sita eksekusi atas obyek Hak Tanggungan. Penetapan sita eksekusi tersebut berisi : 1) Mengabulkan permohonan sita eksekusi yang diajukan bank 2) Memerintajkan juru sita pengadilan negeri dengan didampingi oleh 2 (dua) orang saksi untuk melaksanakan sita eksekusi atas obyek Hak Tanggungan. h. Setelah menerima perintah sebagaimana yang tertuang dalam penetapan sita Hak Tanggungan yang ditandatangani oleh ketua Pengadilan Negeri, maka juru sita dengan didampingi 2 (dua) orang saksi akan datang ke tempat obyek Hak Tanggungan yang akan disita eksekusi. Apabila di tempat/lokasi obyek Hak Tanggungan tersebut juru sita dapat bertemu dengan debitur dan atau pemberi Hak Tanggungan, maka juru sita tersebut akan memberitahukan bahwa obyek Hak Tanggungan tersebut akan diletakkan sita eksekusi dan selanjutnya membacakan Berita Acara Sita Eksekusi kepada debitur/pemberi Hak Tanggungan dan meminta kepada debitur/pemberi Hak Tanggungan yang ditemuinya tersebut untuk menandatangani Berita Acara Sita Eksekusi tersebut dan apabila yang bersangkutan tidak mau menandatanganinya, maka
dalam berita acara tersebut oleh juru sita ditulis bahwa yang bersangkutan tidak bersedia menandatangani berita acara tersebut alasan-alasannya, selanjutnya : 1) Satu salinan dari Berita Acara Sita Eksekusi tersebut oleh juru sita akan diserahkan kepada yang bersangkutan 2) Satu salinan diserahkan kepada kepala kelurahan setempat 3) Satu salinan diserahkan kepada kepala kecamatan setempat satu salinan berikut surat pemberitahuan perihal adanya sita eksekusi dikirimkan ke Kantor Pertanahan setempat, agar sita eksekusi tersebut, dicatat dalam buku tanah obyek Hak Tanggungan. i. Apabila di tempat/lokasi obyek Hak Tanggungan tersebut juru sita tidak bertemu dengan debitur/pemberi Hak Tanggungan maka juru sita tersebut akan menuliskan dalam Berita Acara Sita Eksekusi bahwa dia tidak bertemu dengan debitur dan atau pemegang Hak Tanggungan atau tidak bertemu dengan siapapun juga, maka dalam berita acara tersebut oleh juru sita ditulis bahwa juru sita tersebut tidak bertemu dengan debitur/pemberi Hak Tanggungan atau siapapun juga di tempat/lokasi obyek Hak Tanggungan yang akan disita eksekusi, selanjutnya sita eksekusi tersebut dilaksanakan melalui kantor kelurahan setempat dengan menyerahkan. 1) Satu salinan diserahkan kepada kepala kelurahan setempat. 2) Satu salinan diserahkan kepada kepala kecamatan setempat
3) Satu salinan berikut surat pemberitahuan perihal obyek Hak Tanggungan telah diletakkan sita eksekusi yang dikirimkan ke Kantor Pertanahan setempat, agar sita eksekusi tersebut dicatat dalam buku tanah obyek Hak Tanggungan tersebut. j. Apabila setelah sita eksekusi dilaksanakan ternyata debitur/pemberi Hak Tanggungan memenuhi/menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada bank, maka eksekusi tidak dilanjutkan, maka bank akan mengajukan permohonan pembatalan eksekusi dan pengangkatan sita eksekusi yang telah diletakkan sebelumnya. k. Setelah sita eksekusi dilaksanakan ternyata debitur/pemberi Hak Tanggungan masih tidak memenuhi/menyelesaikan seluruh kewajibannya kepada bank maka eksekusi dilanjutkan, bank akan mengajukan permohonan eksekusi lelang atas Obyek Hak Tanggungan, dengan alasan-alasan antara lain : 1) Bahwa debitur/Pemberi Hak Tanggungan telah dipanggil secara patut oleh Pengadilan Negeri, ternyata tidak datang atau 2) Bahwa debitur/Pemberi Hak Tanggungan telah diberi aanmaning (teguran), ternyata tidak memenuhi kewajibannya kepada bank ; 3) Atas obyek Hak Tanggungan telah diletakkan sita eksekusi ; 4) Sampai dengan tanggal diajukan permohonan eksekusi lelang, ternyata debitur/pemberi Hak Tanggungan tidak/belum memenuhi kewajibannya kepada bank.
l. Atas permohonan eksekusi lelang yang diajukan oleh bank tersebut, maka Pengadilan Negeri membuat penetapan eksekusi lelang. Penetapan eksekusi lelang tersebut berisi antara lain : 1) Mengabulkan permohonan eksekusi lelang yang diajukan oleh bank ; 2) Memerintahkan kepada kepala panitera atau juru sita pengadilan negeri untuk melaksanakan pelelangan umum atas Obyek Hak Tanggungan m. Hal-hal yang dilakukan untuk pelaksanaan eksekusi pelelangan umum, sebagai berikut : Kepala Panitera Pengadilan Negeri mengajukan permohonan kepada Kantor Lelang Negara untuk penetapan hari dan tanggal pelaksanaan eksekusi lelang dengan melampirkan : 1) Fotocopy penetapan aanmaning 2) Fotocopy Berita acara aanmaning 3) Fotocopy penetapan sita eksekusi 4) Fotocopy berita acara sita eksekusi 5) Fotocopy penetapan eksekusi lelang 6) Fotocopy sertifikat Hak Tanggungan 7) Fotocopy sertifikat Obyek Hak Tanggungan n. Atas permohonan dan Pengadilan Negeri tersebut, maka Kepala Kantor Lelang akan memberikan jawaban mengenai hari dan tanggal pelaksanaan lelang Obyek Hak Tanggungan.
o. Selanjutnya pengadilan negeri akan mengumumkan eksekusi lelang atas Obyek Hak Tanggungan tersebut melalui surat kabar sebanyak 2 (dua) kali, dengan jarak waktu antara pengumuman lelang I dan II, selama 15 hari. Sebelum pelaksanaan lelang pada hari dan tanggal yang telah ditentukan maka yang perlu disiapkan dan dibawa oleh petugas bank : 1) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) yang dikeluarkan oleh kantor pertanahan setempat 2) Asli Sertifikat Hak Tanggungan 3) Asli Sertifikat Obyek Hak Tanggungan 4) Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) berisi data dari Obyek Hak Tanggungan yang akan dilelang atas Obyek Hak Tanggungan tersebut telah dibebani/dipasang Hak Tanggungan oleh bank dan telah diletakkan sita eksekusi oleh Pengadilan Negeri. Biasanya yang mempersiapkan dan mengurus SKPT tersebut adalah petugas dari Kantor Lelang Negara Eksekusi berdasarkan title eksekutorial dilakukan oleh kreditur dengan cara mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri agar sertifikat Hak Tanggungan dieksekusi. Proses demikian tidak memerlukan gugatan perdata seperti yang terjadi pada proses perkara perdata pada umumnya. Permohonan eksekusi diajukan oleh kreditur dengan menyerahkan sertifikat Hak Tanggungan kepada Ketua Pengadilan Negeri, agar diterbitkan fiat atau surat perintah sehingga eksekusi dapat dijalankan secara paksa, bahkan dengan bantuan aparat keamanan sekalipun.
Fiat eksekusi merupakan eksekusi yang dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara setelah mendapat persetujuan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat. Penetapan Ketua Pengadilan Negeri tersebut bukanlah merupakan putusan Pengadilan Negeri yang diputus melalui gugatan perdata. Fiat eksekusi adalah eksekusi yang dilaksanakan dengan ijin khusus dari Pengadilan Negeri meski pengadilan tidak melakukan pemeriksaan seperti dalam perkara perdata biasa. Terhadap permohonan fiat eksekusi ini pihak Pengadilan Negeri cukup melakukan pemeriksaan terhadap syarat-syarat formal yang telah ditentukan. Namun tahapan dan prosedur dalam proses eksekusi berdasarkan Titel Eksekutorial ini memakan waktu yang panjang yaitu, serta biaya yang tinggi. Sehingga cara eksekusi Hak Tanggungan ini dapat dikatakan belum sesuai dengan salah satu ciri dari Hak Tanggungan yaitu mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya jika debitur cidera janji. Kondisi ini masih tidak terbukti dalam praktek eksekusi Hak Tanggungan.
3. Pelaksanaan Lelang Eksekusi Hak Tanggungan a. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT), maka lelang eksekusi Hak Tanggungan dapat dilaksanakan sebagai berikut : 1)
Pemegang Hak Tanggungan pertama menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum sesuai Pasal 6 UUHT.
2)
Pemegang Hak Tanggungan berdasarkan titel eksekutorial yang terdapat dalam Sertifikat Hak Tanggungan menjual melalui pelelangan umum sesuai Pasal 14 ayat (2) UUHT.
b. Lelang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUHT memberikan hak kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri apabial debitur/pemberi Hak Tanggungan cidera janji (wanprestasi). Penjualan Objek Hak Tanggungan tersebut pada dasarnya dilakukan dengan cara lelang dan tidak memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan mengingat penjualan berdasarkan Pasal 6 UUHT ini merupakan tindakan pelaksanaan perjanjian. Oleh karenanya dalam pelaksanaan lelangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan harus dimuat janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e UUHT, yaitu apabila debitur cidera janji pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. 2) Bertindak sebagai pemohon lelang adalah kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama. 3) Pelaksanaan lelang melalui KPKNL (Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang) 4) Pengumuman lelang mengikuti tata cara pengumuman lelang eksekusi. 5) Tidak diperlukan persetujuan debitur untuk pelaksanaan lelang 6) Nilai limit sedapat mungkin ditentukan oleh penilai
7) Pelaksanaan lelang Pasal 6 UUHT ini dapat melibatkan balai lelang pada jasa pra lelang 8) Dokumen persyaratan lelang menurut Peraturan Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara Nomor PER-02/PL/2006 tentang Teknik Pelaksanaan Lelang. a) Salinan/Fotocopy Perjanjian Kredit b) Salinan/Fotocopy Sertifikat Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan c) Salinan/Fotocopy Perincian Hutang d) Salinan/Fotocopy Peringatan I, II, III e) Salinan/Fotocopy Bukti Kepemilikan Hak f) Salinan/Fotocopy Akta Pengakuan Hutang g) Surat Penunjukan Pejabat Penjual dari Pemimpin Cabang h) Surat Pernyataan yang menyatakan : (1) Hutang debitur telah dinyatakan macet (2) Bertanggung jawab atas pelaksanaan Objek Hak Tanggungan dan tidak melibatkan Pejabat Lelang dan KPKNL. c. Lelang Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud Pasal 6 UUHT tidak dapat dilakukan apabila Akta Pemberian Hak Tanggungan tidak memuat janji sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 jo Pasal 11 ayat (2) huruf e atau adanya kendala/gugatan dari debitur/pihak ketiga. Penjualan ini merupakan
pelaksanaan Titel Eksekutorial dari Sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penjualan Objek Hak Tanggungan ini pada dasarnya dilakukan secara lelang dan memerlukan fiat eksekusi dari pengadilan. Pelaksanaan lelangnya harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) Bertindak sebagai pemohon lelang adalah Pengadilan Negeri 2) Pelaksanaan lelang melalui Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) 3) Pengumuman lelang mengikuti tata cara pengumuman lelang eksekusi 4) Tidak diperlukan persetujuan debitur dalam pelaksanaan lelang 5) Nilai limit sedapat mungkin ditentukan oleh Penilai 6) Pelaksanaan lelang ini dapat melibatkan balai lelang pada jasa pra lelang 7) Dokumen persyaratan lelang antara lain terdiri dari : a) Salinan/Fotocopy penetapan aanmaning/teguran b) Salinan/Fotocopy penetapan sita pengadilan c) Salinan/Fotocopy berita acara sita d) Salinan/Fotocopy penetapan lelang pengadilan e) Salinan/Fotocopy perincian hutang atau jumlah yang harus dipenuhi f) Salinan/Fotocopy surat pemberitahuan lelang pada termohon eksekusi
Setiap permohonan lelang eksekusi Hak Tanggungan yang telah memenuhi kriteria dan persyaratan sebagaimana tersebut di atas akan dilakukan bersamasama dengan KPKNL terhadap objek jaminan yang diikat Hak Tanggungan dapat dilakukan tanpa melalui proses pelelangan dengan dasar kesepakatan antara debitur dan kreditur. Proses eksekusi lelang Hak Tanggungan melalui KPKNL merupakan salah satu alternatif pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 57 Dari hasil penelitian yang dilakukan pada Bank SUMUT, dalam praktiknya kalau kredit debitur macet, kreditur tidak cepat-cepat mengeksekusi jaminan, namun biasanya mengadakan pendekatan terlebih dahulu kepada debitur dan/atau pemberi jaminan agar mencari sendiri pembeli dan merundingkan harganya dengan pembeli yang bersangkutan untuk memenuhi minimum harga yang disyaratkan oleh kreditur. Dengan janji, bahwa sampai sejumlah tertentu dari hasil penjualan akan diserahkan kepada kreditur sebagai pembayaran/ pelunasan utang debitur. Kreditur menjanjikan roya atas jaminan debitur sehingga pembeli akan mendapatkan jaminan tersebut bebas dari beban yang diletakkan oleh kreditur, karena penjualan objek jaminan seperti itu dilakukan oleh dan dengan persetujuan dari debitur yang adalah pemberi Hak Tanggungan, sehingga tampak seperti atas inisiatif debitur yang semuanya dilakukan dengan prosedur jual beli biasa. 58
57
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
58
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
Medan Medan
Adapun hal yang perlu diperhatikan, sesuai dengan prinsip dasar Hak Tanggungan, bahwa jangan sampai persoalan penetapan jumlah utang yang pasti (tertentu) tersebut akan menjadi penghalang bagi pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan. Dalam menentukan jumlah utang yang pasti (tertentu) tersebut, seyogyanya para pihak menempuh jalan damai yang diharapkan dapat dicapai kesepakatan bersama dalam waktu yang relatif singkat dan para pihak sama-sama puas dan senang, sehingga tidak mengakibatkan pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan menjadi terhambat.
BAB IV HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
A. Hambatan Internal Kreditur yang akan memasang Hak Tanggungan harus menentukan berapa nilai Hak Tanggungan yang harus ditetapkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Nilai Hak Tanggungan diperlukan untuk menentukan besarnya hak preferent yang dimiliki kreditur jika jaminan dieksekusi. Nilai Hak Tanggungan adalah penetapan jumlah hutang yang dijamin Hak Tanggungan yang tercantum dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dengan maksud agar jumlah hutang debitur yang meliputi hutang pokok, bunga, denda dan biaya lainnya, apabila terjadi eksekusi atas jaminan, kreditur mempunyai kedudukan preferent atau didahulukan dari kreditur lainnya. Apabila kredit sudah menjadi macet, sering bank menghadapi kesulitan untuk dapat memperoleh persetujuan dari nasabah debitur. Dalam keadaan tertentu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan itu dijual di bawah tangan daripada dijual di pelelangan umum. Bank sendiri berkepentingan agar hasil penjualan agunan tersebut cukup jumlahnya untuk membayar seluruh jumlah kredit yang terutang. Kesulitan untuk memperoleh persetujuan nasabah tersebut dapat terjadi misalnya karena nasabah debitur yang tidak lagi beritikad baik tidak bersedia ditemui oleh bank atau telah tidak diketahui lagi dimana keberadaannya.
Syari Ramadhani : P e l a k s a n a a n P e r j a n j i a n Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur Yang Wanpretasi Pada Bank Sumut, 2009
Ditentukan dalam penjelasan atas Pasal 20 ayat (1) UUHT, bahwa pada prinsipnya setiap eksekusi objek Hak Tanggungan harus dilaksanakan dengan melalui “pelelangan umum”, karena dengan cara ini diharapkan dapat diperoleh harga yang paling tinggi untuk objek Hak Tanggungan. Selanjutnya, dari hasil penjualan objek Hak Tanggungan tersebut, kreditur “berhak” untuk mengambil pelunasan piutang yang dijamin tersebut. Dalam hal hasil penjualan itu lebih besar daripada piutangnya yang setinggi-tingginya sebesar nilai tanggungan, sisanya menjadi hak pemberi Hak Tanggungan. Sebagian besar debitur akan tetap bersikap baik kepada bank, walaupun mereka telah menerima surat tagihan resmi. Hal tersebut sebenarnya membawa banyak manfaat karena sikap seperti itu membuka kemungkinan adanya perundingan lebih lanjut antara debitur dan kreditur untuk mencari jalan tengah. Dalam praktek sehari-hari, penyelesaian kredit macet dengan jalan damai seringkali dapat membawa hasil yang lebih memuaskan kedua belah pihak. Dalam kaitannya dengan hal itu selama proses penyelesaian kredit macet, seyogyanya bank juga tetap memelihara suasana persahabatan dengan debitur. Salah satu contoh jalan damai yang mungkin dapat memuaskan kedua belah pihak adalah bank mengizinkan debitur menjual sendiri barang jaminan yang telah diserahkan kepada mereka. Selanjutnya hasil penjualan barang tadi dipergunakan untuk melunasi tunggakan kredit dan bunga. Dengan menjual barang jaminan secara bebas dan dalam jangka waktu yang cukup wajar, besar kemungkinan debitur dapat menjual barang jaminan dengan harga lebih
tinggi. Selanjutnya, bilamana hasil penjualan barang jaminan yang diperoleh ternyata lebih besar dari jumlah tunggakan kredit pokok dan bunga, debitur dapat menerima sisanya. Demi kelancaran proses penjualan barang jaminan, bank dapat membantu debitur mencarikan calon pembeli. Walaupun demikian, untuk menghindari tuntutan debitur bahwa barang jaminan telah dijual di bawah harga umum, hendaknya bank bertindak hati-hati. Bank tidak perlu menangani secara langsung proses tawar menawar harga barang jaminan, melainkan hanya mempertemukan calon pembeli dengan debitur. Ada kalanya masih muncul berbagai macam kesulitan untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan. Adapun hambatan internal terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan Hak Tanggungan antara lain sebagai berikut : 1. Bank masih melakukan evaluasi dalam menilai potensi objek yang akan dimintakan eksekusi Hak Tanggungan, karena segala biaya pelaksanaan lelang Hak Tanggungan sepenuhnya menjadi beban bank/kreditur yang mengajukan lelang eksekusi Hak Tanggungan tersebut. Sehingga bank/kreditur harus lebih cermat dalam menilai potensi objek jaminan yang diikat dengan Hak Tanggungan dan potensi peminat/calon pembeli dalam pelaksanaan lelang eksekusi jaminan Hak Tanggungan tersebut, sehingga kurang efisien dan kurang efektif dalam pelaksanaan. 2. Terkadang bank harus melakukan penilaian melalui appraisal independent (tim penilai) untuk mendapatkan nilai kewajaran atas objek Hak Tanggungan yang akan dilelang. 3. Dalam proses pemasangan Hak Tanggungan nilai objek yang diikat Hak Tanggungan tersebut terkadang tidak sesuai dengan nilai pasar. 4. Nilai jaminan yang akan diikat dengan Hak Tanggungan tidak sesuai atau setara dengan nilai pengikatan Hak Tanggungan tersebut yang dilakukan bank/kreditur.
5. Memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang tinggi serta pemantauan secara terus menerus, sehngga tidak efisien dan efektif dalam pelaksanaannya. 59
B. Hambatan Eksternal Pemberian kredit dengan jaminan tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah harus dilakukan pembebanan jaminan secara sempurna untuk melindungi kepentingan kreditur. Salah satu aspek pembebanan Hak Tanggungan yang sempurna adalah perlunya janji-janji dari pemberi Hak Tanggungan yang sempurna adalah Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Menurut penjelasan Pasal 11 UUHT janji-janji tersebut sifatnya fakultatif (pilihan yang boleh dimasukkan atau tidk perlu dimasukkan) dan tidak mempunyai pengaruh terhadap sahnya akta, namun menurut hemat penulis bagi kreditur adanya janji-janji dari pemilik jaminan adalah suatu keharusan karena janji-janji yang dicantumkan dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan yang kemudian didaftarkan pada Kantor Pertanahan, maka janji-janji itu mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Dalam rangka memberikan kemudahan pelaksanaan eksekusi oleh Hak Tanggungan kepada kreditur pemegang Hak Tanggungan diberikan hak atas kekuasaannya sendiri untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan bila debitur cedera janji sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUHT. Ketentuan dalam Pasal 6 UUHT memberikan hak kepada kreditur (pemegang Hak Tanggungan) pertama untuk
59
Medan
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut bila debitur cedera janji. Penagihan langsung dapat dijalankan bilamana bank mempunyai keyakinan bahwa (walaupun tersendat-sendat) perusahaan debitur masih dapat berjalan atau ditinjau dari segi hukum barang jaminan yang dikuasai bank telah diikat secara sempurna, mudah dicairkan serta cukup nilainya. Agar surat tagihan resmi yang dikirimkan bank tidak mengandung cacat hukum, dalam menyusun surat tersebut seyogyanya bank meminta pendapat dan saran dari pengacara mereka. Dalam surat tagihan itu, perlu ditegaskan bahwa debitur harus melunasi kredit pokok (dan bunga tertunggak) sebesar jumlah saldo terakhir. Bank juga harus mencantumkan batas waktu terakhir yang wajar untuk melunasi tunggakan kredit dan bunga itu. Bilamana tagihan kredit (yang disusuli dengan beberapa kali surat peringatan) tidak dilunasi oleh debitur, bank akan menghentikan kredit dan rekening giro debitur pada bank kreditur ditutup. Sementara itu, bunga kredit akan tetap berjalan sebagaimana mestinya. Kredit bermasalah dalam jumlah besar dapat membawa dampak kurang menguntungkan terhadap kesehatan operasi bank pemberi kredit, dunia perbankan pada umumnya dan kehidupan ekonomi/moneter negara. Bank harus berusaha keras untuk mencegah terulangnya kasus kredit bermasalah. Hal itu dapat dilakukan dengan jalan menerapkan asas manajemen kredit
yang sehat. Penerapan asas manajemen kredit yang sehat itu mencakup penyusunan kebijaksanaan
pokok
penyaluran
kredit,
analisis
kredit
yang
profesional,
meningkatkan mutu sumber daya manusia, pengawasan mutu kredit, penanganan kredit bermasalah secara profesional dan menyusun dokumen dan administrasi kredit yang sehat. Pelelangan atau penjualan objek jaminan Hak Tanggungan masih dapat dihindarkan dengan cara melakukan pelunasan utang yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut serta dengan biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan. Pelunasan utang dimaksud dapat dilakukan baik sebelum maupun sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan. Dengan demikian eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan merupakan alternatif penyelesaian pelunasan utang piutang debitur dan krediturnya yang dijamin dengan Hak Tanggungan. Kreditur sebelum menerima uang pembayaran sebagai pelunasan tagihannya tidak perlu khawatir akan dilaksanakannya jual beli antara pemilik (pemberi Hak Tanggungan) dengan pihak pembeli, karena Hak Tanggungan yang dipunyai olehnya merupakan hak kebendana, sehingga hak itu mengikuti persil yang bersangkutan kepada siapapun ia berpindah pemilik. Pembeli biasanya tidak membayarkan seluruh uang pembelian kepada pemberi Hak Tanggungan sebagai pemilik, tetapi menahan sejumlah yang diperjanjikan oleh kreditur dan kemudian menyerahkan uang tersebut kepadanya. Setelah menerima uang yang dijanjikan, maka kreditur menyerahkan surat pelunasan hutang dan permohonan roya kepada pembeli.
Agar dapat dikategorikan sehat, kebijaksanaan pokok penyaluran kredit minimum harus mencakup ketentuan tentang organisasi perkreditan, kebijaksanaan persetujuan kredit, pemberian kredit kepada debitur yang terkait dengan bank dan kriteria kredit beresiko. Kebijaksanaan kredit yang sehat tidak dapat berjalan efektif tanpa didukung oleh tenaga kerja yang handal. Oleh karena itu, disamping menyusun kebijaksanaan kredit yang sehat, agar dapat mencegah terulangnya kasus kredit bermasalah, bank wajib menyelenggarakan program pengembangan sumber daya manusia secara terus menerus. Disamping itu, mereka harus mampu mempunyai dokumen dan administrasi kredit yang handal. Dalam pelaksanaan eksekusi objek jaminan Hak Tanggungan ada kalanya masih muncul berbagai macam kesulitan untuk melaksanakan eksekusi. Adapun hambatan eksternal terhadap pelaksanaan eksekusi jaminan Hak Tanggungan antara lain sebagai berikut : 1. Kemungkinan objek Hak Tanggungan masih dihuni pemilik barang jaminan/debitur atau pihak lainnya yang akan mempengaruhi minat calon pembeli/peserta lelang. Penghuni tersebut dapat penghuni liar, pengelola, penyewa, atau pemberi objek jaminan Hak Tanggungan itu sendiri. Apabila objek jaminan Hak Tanggungan akan dieksekusi, sedangkan objek jaminan Hak Tanggungan itu dalam keadaan dihuni, sudah barang tentu harganya akan sangat turun. Bahkan dapat terjadi tidak akan ada peminatnya yang akan membeli. Apabila akhirnya objek jaminan Hak Tanggungan itu berhasil dijual lelang dalam keadaan tidak kosong seperti itu, akhirnya akan dialami oleh pembeli bahwa untuk mengosongkannya memerlukan biaya yang mahal dan waktu yang lama. Tidak mustahil pelaksanaan pengosongan akhirnya tidak kunjung terpecahkan. Sehubungan dengan pengalaman demikian dimungkinkan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memperjanjikan sejak awal bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan dilaksanakan.
2. Kurangnya minat calon peserta lelang/calon pembeli objek Hak Tanggungan terhadap objek Hak Tanggungan yang akan dilelang dikarenakan masalah harga limit lelang. Biasanya kreditur akan menetapkan harga limit yang tinggi atau di atas harga pasaran objek Hak Tanggungan yang akan dilelang sehingga peserta lelang tidak berminat untuk membeli objek Hak Tanggungan tersebut akibatnya pelaksanaan lelang ditunda karena tidak ada pembeli. 3. Karena letak objek Hak Tanggungan dianggap oleh calon peserta lelang/ calon pembeli kurang strategis. Dalam hal ini yang menjadi patokan adalah letak objek jaminan Hak Tanggungan tersebut yang mungkin saja letaknya terpencil sehingga dianggap kurang strategis kurang calon peserta lelang/calon pembeli. 4. Karena letak objek Hak Tanggungan dianggap oleh calon peserta lelang/ calon pembeli kurang mempunyai nilai ekonomis. 5. Kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pihak lain terhadap pengajuan lelang eksekusi Hak Tanggungan tersebut. 6. Munculnya gugatan perlawanan atau bantahan dari pihak debitur atau pihak ketiga. 7. Buku tanah yang berisi data Obyek Hak Tanggungan yang ada di Kantor Pertanahan terselip atau tidak ditemukan, sehingga pihak Kantor Pertanahan tidak dapat mengeluarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), hal ini dapat menunda pelaksanaan lelang karena Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) tersebut harus ada pada saat pelaksanaan lelang. 60
60
Medan
Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan, ada beberapa hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan, yaitu : 1. Dalam pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank Sumatera Utara hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur dituangkan dalam perjanjian kredit bank, yang dalam praktek berbentuk suatu perjanjian standard atau perjanjian baku. Analisis kredit dilakukan oleh bank selaku pihak kreditur agar tidak terjadi ketimpangan dalam pemberian pinjaman kredit, maksudnya agar tidak terjadi kelebihan pinjaman kredit atau malah kekurangan pinjaman kredit yang mana pemberian pinjaman kredit tersebut adalah bertujuan sebagai penunjang pengembangan usaha debitur. 2. Dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan PT. Bank SUMUT Cabang Utama Medan, eksekusi Hak Tanggungan yang dilakukan adalah berdasarkan Titel Eksekutorial. Melalui titel eksekutorial, masalah kecepatan waktu dalam mengeksekusi jaminan bukan merupakan hambatan lagi. Pemegang Hak Tanggungan diberikan hak untuk melelang atau menjual objek Hak Tanggung jawab tanpa melalui prosedur yang rumit, berbelit-belit dan memakan waktu yang cukup lama. Dengan adanya kesepakatan antara kreditur/debitur, penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan yaitu dengan cara lelang Syari Ramadhani : P e l a k s a n a a n P e r j a n j i a n Kredit Dengan Jaminan Hak Tanggungan Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Debitur Yang Wanpretasi Pada Bank Sumut, 2009
sukarela. Jika dengan cara itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak. Hal tersebut diatur dalam Pasal 20 ayat (2) Undang-undang Hak Tanggungan. 3. Hambatan dalam pelaksanaan eksekusi Hak Tanggungan adalah : a. Hambatan internal : Bank masih melakukan evaluasi dalam menilai potensi objek yang akan dimintakan eksekusi Hak Tanggungan, karena segala biaya pelaksanaan lelang Hak Tanggungan sepenuhnya menjadi beban bank/kreditur yang mengajukan lelang eksekusi Hak Tanggungan tersebut. Terkadang bank harus melakukan penilaian melalui appraisal independent (tim penilai) untuk mendapatkan nilai kewajaran atas objek Hak Tanggungan yang akan dilelang. Dalam proses pemasangan Hak Tanggungan nilai objek yang diikat Hak Tanggungan tersebut terkadang tidak sesuai dengan nilai pasar. Nilai jaminan yang akan diikat dengan Hak Tanggungan tidak sesuai atau setara dengan nilai pengikatan Hak Tanggungan tersebut yang dilakukan bank/kreditur. Memerlukan waktu yang panjang dan biaya yang tinggi serta pemantauan secara terus menerus, sehngga tidak efisien dan efektif dalam pelaksanaannya. b. Hambatan eksternal : Kemungkinan objek Hak Tanggungan masih dihuni pemilik barang jaminan/debitur atau pihak lainnya yang akan mempengaruhi minat calon pembeli/peserta lelang. Penghuni tersebut dapat penghuni liar, pengelola, penyewa, atau pemberi objek jaminan Hak Tanggungan itu sendiri. Apabila
objek jaminan Hak Tanggungan akan dieksekusi, sedangkan objek jaminan Hak Tanggungan itu dalam keadaan dihuni, sudah barang tentu harganya akan sangat turun. Kurangnya minat calon peserta lelang/calon pembeli objek Hak Tanggungan terhadap objek Hak Tanggungan yang akan dilelang dikarenakan masalah harga limit lelang. Karena letak objek Hak Tanggungan dianggap oleh calon peserta lelang/calon pembeli kurang strategis. Karena letak objek Hak Tanggungan dianggap oleh calon peserta lelang/calon pembeli kurang mempunyai nilai ekonomis.Kemungkinan adanya tuntutan atau gugatan dari pihak lain terhadap pengajuan lelang eksekusi Hak Tanggungan tersebut. Munculnya gugatan perlawanan atau bantahan dari pihak debitur atau pihak ketiga. Buku tanah yang berisi data Obyek Hak Tanggungan yang ada di Kantor Pertanahan terselip atau tidak ditemukan, sehingga pihak Kantor Pertanahan tidak dapat mengeluarkan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), hal ini dapat menunda pelaksanaan lelang karena SKPT tersebut harus ada pada saat pelaksanaan lelang.
B. Saran Dari kesimpulan di atas dapat dikemukakan saran sebagai berikut : 1. Agar pelaksanaan perjanjian kredit pada Bank SUMUT dapat berjalan dengan lancar, hendaknya perusahaan perbankan membentuk suatu lembaga yang khusus mengelola usaha pertanggungan kredit. Karena dengan adanya lembaga
pertanggungan kredit tersebut, pihak bank dapat mengefisiensikan waktu untuk melakukan penagihan terhadap debitur, cukup dengan mendatangkan dan meminta pertanggung-jawaban dari lembaga pertanggungan kredit tersebut. 2. Hendaknya Bank SUMUT dalam memberikan kredit agar bertindak secara profesional khususnya dalam perlindungan dan kepastian hukum agar dapat berlaku seimbang dengan berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan kepada kreditur, debitur dan pihak ketiga (pihak-pihak lain) yang ada kaitannya dengan hal tersebut dan senantiasa untuk diwujudkan sesuai dengan yang diharapkan, baik kreditur selaku pemegang Hak Tanggungan, debitur selaku pemberi Hak Tanggungan, dan pihak ketiga selaku pihak yang tidak mau dirugikan akibat dari pemberian Hak Tanggungan tersebut hendaknya konsisten pada peraturan hukum yang berlaku. 3. Di masa mendatang perlu segera dirumuskan Undang-undang mengenai Eksekusi Hak Tanggungan untuk mengatur secara komprehensif pelaksanaan eksekusi. Sehingga eksekusi hak tanggungan dapat memberikan perlindungan dan kepastian huku bagi semua pihak-pihak yang terkait dalam proses eksekusi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Badrulzaman, Mariam Darus, Menuju Hukum Perikatan Nasional, FH-USU, Medan, 1986. _______________________, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1991. _______________________, KUH Perdata. Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Bandung, 1991. Djamin, Djanius dan Arifin Samsul, Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas, Medan, 1992. Djumhana, M., Hukum Perbankan di Indonesia, Cet. III PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Gautama, Sudargo dan Ellyda. T. Soetiyarto. Komentar Atas Peraturan-Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Pokok Agraria (1996). Bandung : Citra Aditya Bakti. 1997. Gautama, Sudargo. Masalah Agraria. Bandung : Alumni. 1973. _______________. Komentar Atas Undang-Undang Hak Tanggungan Baru Tahun 1996 Nomor 4 Bandung : Citra Aditya Bakti. 1996. Hadisoeprapto, Hartono. Seri Hukum Pertama : Pokok-Pokok Hukum Perdata dan Hukum Jaminan. Yogyakarta : Liberty. 1984. Halim, A., Ridwan, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. ________, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2005. Hasbullah, Frieda Husni. Hukum Kebendaan Perdata : Hak-hak Yang Memberi Jaminan. Jilid 2. Jakarta : Ind-Hill. Co. 2002. ____________________. Hukum Kebendaan Perdata : Hak-hak Yang Memberi Kenikmatan. Jilid 1. Jakarta : Ind-Hill. Co. 2002. Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia : Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT. Alumni, Bandung, 2006.
Kartono. Hak-Hak Jaminan Kredit. Jakarta : Pradnya Paramita. 1977. Kasmir. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2000. Lubis, M.Solly, Filsafat Hukum dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994. Lubis, T. Mulya, Hukum dan Ekonomi : Beberapa Pilihan Masalah, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987. Mahadi, Hukum Benda Dalam Sistem Hukum Perdata Nasional. Bandung : Binacipta. 1983. Maja, H.R.Daeng, Hukum Kredit dan Bank Garansi, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Muhammad, Abdulkadir, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung. 1990. ____________________, Hukum Perdata Indonesia, Bandung : Citra Aditya Bakti. 1993. Mulyadi, Kartini dan Gunawan Widjaja. Seri Hukum Perikatan : Perikatan Pada Umumnya, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2003. _________________________________. Seri Hukum Perikatan : Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2003. _________________________________. Seri Hukum Harta Kekayaan : Kebendaan Pada Umumnya, Jakarta : Prenada Media. 2005. _________________________________. Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak Tanggungan, Jakarta : Prenada Media. 2005 Meliala
A.Qiram Syamsudin, Pokok-pokok Hukum Perkembangannya, Liberty, Yogyakarta, 1985
Perjanjian
Beserta
Perangin-angin, Effendi. 1981. Praktik Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit. Jakarta : Rajawali. Prodjodikoro, Wirjono, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1972. __________________, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Benda, Jakarta : PT. Intermasa, Cetakan Kelima, 1986.
__________________, Azas-azas Hukum Perjanjian, Bandung : Sumur, 1993. HS. Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta : Sinar Grafika, 2002. _________, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2005. Satrio, J., Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993. ______, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie dan Pencampuran Hutang, Alumni, Bandung, 1991. ______, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993. ______, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Buku I Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997. ______, Janji-Janji (Bedingeng) Dalam Akta Hipotek dan Hak Tanggungan, Media Notariat Edisi Januari – Maret. Jakarta : Ikatan Notaris Indonesia, 2002. Sjahdeini, Sutan Remy, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Edisi Kedua, Cetakan kesatu, Bandung, 1999. __________________, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993. __________________, Hak Tanggungan : Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok Dalam Masalah Yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung : Alumni, 1999. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986. Soemitro, Ronitijo, Methodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalatia Indonesia, Semarang, 1998. Soeprapto, Haertono Hadi, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984. Subekti, R. & Tjitrosudibio, R., KUH Perdata, (Terjemahan), Pradnya Paramita, Jakarta, 1986.
Subekti, R. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : PT. Intermasa, Cetakan Keduapuluh, 1985. _________. Hukum Perjanjian, Jakarta : PT. Intermasa, Cetakan Kesepuluh, 1986. _________. Hukum Acara Perdata, Jakarta : Badan Pembinaan Hukum Nasional, 1977. _________. Aneka Perjanjian, Bandung : Alumni, 1982. Supramono, Gatot, Perbankan dan Masalah Kredit Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1995. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Liberty, Yogyakarta, 2003. Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2005 Sutojo, Siswanto, Menangani Kredit Bermasalah Konsep dan Kasus Handling The Problem Loan, Damar Mulia Pustaka, Jakarta, 2008 Tjokroamidjojo, Bintaro dan Adidjoyo Mustafa, Teori dan Strategis Pembangunan Nasional, Haji Mas Agung, Jakarta, 1988. Usman Rachmadi, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Undang-undang Pasal 1 angka 11 Undang-undang No.10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Pasal 1 angka 3 Undang-undang No.42 Tahun 1999, tentang Jaminan Fidusia. Pasal 1 ayat 1 UUHT No.4 Tahun 1996, tentang Hak Tanggungan Pasal 1328 KUH Perdata
Hasil Wawancara Hasil Wawancara dengan Staf Bidang Pemasaran Kredit dan Dana pada PT. Bank SUMUT Cabang Utama Medan.
Hasil Wawancara dengan Staf PT. Bank SUMUT Cabang Utama Medan Hasil Wawancara dengan Staf Divisi Penyelamatan Kredit PT.Bank SUMUT Kantor Pusat Medan. Hasil Wawancara dengan Staf Bagian Administrasi PT.Bank SUMUT Cabang Utama Medan