LAPORAN PENELITIAN EKSEKUSI JAMINAN HAK TANGGUNGAN SEBAGAI UPAYA PENYELESAIAN KREDIT MACET
PENELITI Nyoman Satyayudha Dananjaya, SH., M.Kn ( 0028108202)
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA TAHUN 2015
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN OLEH KREDITUR PREFEREN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1996 DAN UNDANG-UNDANG NO. 4 TAHUN 1998
Abstrak Pelaksanaan eksekusi jaminan hutang oleh kreditur preferen terhadap debitur pailit terkait dengan ketentuan pasal 21 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 (UUHT) dan Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 (UUK). Menurut UUHT, kreditur preferen berhak melakukan eksekusi jaminan hutang atas kekuasaan sendiri, tanpa masa penangguhan dalam penguasaan UUK menetapkan masa penangguhan manakah benda yang digunakan dalam penguasaan debitur pailit atau kurator. Sehingga antara kedua ketentuan tersebut nampak adanya kontradiktif dalam pelaksanaan eksekusi.
Pendahuluan Sejak pertengahan tahun 1997 Indonesia mengalami kritis moneter yang mengakibatkan kesulitan besar terhadap perekonomian nasional terutama dunia usaha. Menghadapi hal tersebut, pemerintah menetapkan beberapa kebijakan, di antaranya dalam bidang perbankan telah ditetapkan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan (UUK 1998). Ketentuan Undasng-Undang Kepailitan tersebut dimaksudkan untuk mewujudkan penyelesaian masalah utang piutang secara cepat, adil terbuka dan efektif. Oleh karenanya harus ada keseimbangan dalam perlindungan hukum baik bagi kreditur maupun debitur.
Menurut pasal 8 dal Pasal 9 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta hak tanggungan maupun pemegang hak tanggungan adalah orang perorangan atau Badan Hukum yang mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum.
Kreditur pemegang hak
tanggungan atau jaminan yang pemenuhan piutang harus didahulukan dari piutang-piutang yang lain disebut kreditur preferen. Sebagai kebalikannya adalah kreditur konkuren yaitu kreditur yang kedudukannya sama berhak dan tak ada yang harus didahulukan dalam pemenuhan piutangnya.
Kepailitan menurut Retnowulan Sutanto adalah:
Eksekusi massal yang ditetapkan dengan keputusan hakim, yang berlaku serta merta, dengan melakukan penyitaan umum atas semua harta orang yang dinyatakan pailit, baik yang ada pada waktu penyertaan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung, untuk kepentingan semua kreditur, yang dilakukan dengan pengawasan pihak yang berwajib (Retnowulan Sutanto, 1996, hal 85).
Sedangkan menurut Black's Law Dictionary, Bankcrupt is the state or condition of one who is unable pay his debt as they are, or become due. (Muhammad Amin, 1984, hal 16)
Jadi pada dasarnya kepailitan itu suatu keadaan dimana seorang debitur tidak dapat lagi membayar hutang-hutangnya kepada para kreditur.
Undang-undang kepailitan (UUK 1998) memberikan perlindungan bagi kreditur preferen sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 56 ayat (1) yang berbunyi "Dengan tetap memperhatikan ketentuan Pasal 56A, setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan". Sedangkan Pasal 56 ayat (1) UUK menyebutkan:
Hak eksekusi kreditur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berbeda dalam pengawasan debitur yang pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan
Jadi kreditur preferen dapat segera meneksekusi haknya atas kebendaan yang tidak dalam kuasa debitur pailit atau kurator.
Pasal 21 UUHT menetapkan bahwa "Apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut Ketentuan Undang0Undang ini".
Adapun pasal 6 UUHT menegaskan bahwa jika debitur cidera janji (wanprestasi) maka pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri memalalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutannya dari hasil penjualan. Hal ini berarti pemenuhan atas hak tanggungan terhadap kreditur tidak dibatasi oleh jangka waktu tertentu.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka perlu kita kaji perihal perlindungan hukum kreditur preferen menurut UUHT dan UUK. Di samping itu Pelaksanaan Eksekusi Hak Tanggungan oleh kreditur preferen. Apakah antara kedua ketentuan itu terjadi kontradiktif ?.
Eksekusi Hak Tanggungan dan Penjualan Dibawah Tangan
1. Pelelangan Umum
Hak Tanggungan bertujuan untuk menjamin utang yang diberikan pemegang Hak Tanggungan kepada debitur. Dan apabila debitur cidera janji, maka hak atas tanah yang dibebani dengan Hak Tanggungan itu berhak dijual oleh pemegang Hak Tanggungan tanpa persetujuan dari pemberi Hak Tanggungan dan pemberi Hak Tanggungan tidak dapat menyatakan keberatan atas penjualan tersebut.
Agar dalam pelaksanaan penjualan itu dapat dilakukan secara jujur (fair), maka dalam UUHT mengharuskan agar dalam penjualan itu dilaksanakan melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentuakn dalam peraturan perundangundangan yang berlaku. Hal demikian ini diatur dalam Pasal 20 ayat (1) UUHT.
Selain itu Passa 6 UUHT memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan pertam untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, apabila debitur cidera janji, dan pemegang Hak Tanggungan pertama tidak perlu menimta persetujuan terlebih dahulu dari pemberi Hak Tanggungan serta tidak perlu pula meminta penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk melakukan eksekusi tersebut. Sehingga cukuplah apabila pemegang Hak Tanggungan pertama itu mengajukan permohonan kepada kepala kantor lelang negara setempat untuk pelaksanaan pelelangan umum dalam rangka eksekusi objek Hak Tanggungan tersebut. Sebab kewenangan pemegang Hak Tanggungan pertam itu merupakan kewenagan yang diberikan oleh undangundang artinya kewenangan tersebut dipunyai demi hukum. (Sutan Remy Sjahdeini, 1999:165). Karena itu Kepala Kantor Lelang Negara harus menghormati dan mematuhi kewenangan tersebut.
2. Penjualan di Bawah Tangan
Adanya kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan maka penjualan objek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan, apabila dengan cara ini akan mendapatkan harga tertinggi dan menguntungkan semua pihak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT. Sebab penjualan dibawah tangan dari objek Hak Tanggungan hanya dapat dilaksanakan bila ada kesepakatan antara pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dan bank tidak mungkin melakukan penjualan dibawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan atau agunan kredit itu, jika debitur tidak menyetujinya, selanjutnya apabila kredit sudah menjadi macet, maka bank sering menghadapi kesulitan untuk dapat memperoleh persetujuan dari nasabah debitur. Sihingga dalam keadaan-keadaan tertetu justru menurut pertimbangan bank lebih baik agunan di jual di bawah tangan dari pada dijual di pelelangan umum. (Sutan Ramy Sjahdeini, 199:166)
Kedudukan Pemegang Hak Tanggungan Terhadap Harta Kepailitan.
Menurut Pasal 22 UUHT itu memberikan jaminan terhadap pemegang Hak Tanggungan, apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit. Dalam Pasal 21 UUHT menyatakan "apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini", sehingga obyek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta Kepailitan untuk dibagi kepada kreditur-kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan. Ketentuan Pasal 21 UUHT ini memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preferen dari pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditur-kreditur lain.
Selanjutnya dalam hal terjadi kepailitan, maka berdasarkan pasal 56A UUK hak preferen dari kreditur pemegang Hak Tanggungan untuk mengeksekusi hak atas tanah ditangguhkan pelaksanaanya untu jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan. Dengan ditangguhkannya eksekusi hak atas tanah tersebut tidak boleh dipindahtangankan oleh kurator. Sehingga harta pailit yang dapat diguanakan atau dijual oleh kurator terbataas hanya pada barang persedian (inventory) dan atas barang bergerak (current asset) walaupun harta pailit tersebut telah dibebani dengan hak agunan atas kebendaan.
Dalam hubungannya dengan aset-aset yang digunakan, kedudukan kreditur preferen sangat tinggi, lebih tinggi dari kreditur yang diistimewakan lainnya (Pasal 1139 dan Pasal 1149 K.U.H. Perdata). Bahwa kedudukan kreditur preferen adalah yang tertinggi dibandingakan dengan kreditur yang lainnya, kecuali undang-undang menentukan sebaliknya. Hal ini sesuai dengan Pasal 1134 ayat (2) K.U.H. Perdata yang berbunyi: "Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi dari pada hak istimewa kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya"
Kewenangan Kreditur Preferen dalam Mengeksekusi Jaminan Hutang
Sebagai pengakuan dari sifat mendahulukan yang dimiliki pemegang hak preferen, Pasal 56 ayat (2) UUK secvara tegas menyatakan bahwa tiap-tiap kreditur yang memegang Hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
Hal ini yang berarti Undang-undang Kepailitan secara tegas menyatakan bahwa pernyataan kepailitan tidak menghilangi pelaksanaan hak preferen yang diberikan oleh Undang-undang Dalam ketentuan Pasal 56 ayat (2) menyatakan bahwa jika hak atas penagihan yang mereka miliki adalah suatu piutang-piutang yang wajib dicocokkan menurut ketentuan Pasal-pasal 126 dan 127 UUK, maka eksekusi lainnya dapat dijalankan apabila tagihan atau piutang telah dicocokkan, dan eksekusi tersebut hanya dapat dipergunakan untuk mengambil pelunasan dari jumlah yang diakui (dari pencocokan) atas penagihan atau piutang tersebut.
Selanjutnya dengasn tetap memperehatikan ketentuan pasal 56 ayat (1) UUK, setiap kreditur yang memegang Hak Tanggungan, hak gadai, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Dan pemegang Hak tanggungan seperti tersebut diatas dikenal sebagai "separatisen". Hal ini sesua dengan pasal 1178 Kitab Undang-undang Hukum perdata, bahwa kreditur yang mempunyai hak hipotik dengan disertai klausula eigenmachtige verkoop diberi kuasa uintuk secara sendiri-sendiri melakukan eksekusi atas benda yang jadi jaminan. Demikian pula bagi pemegang gadai, Hak Tanggungan dan fidusia
Dalam perjanjian hipotik, kreditur juga bisa memiliki wewenang untuk menjual sendiri benda jaminan, namun ini harus diperjanjikan sebagaimana ditentukan oleh Pasal 1178 ayat 2 BW. Berarti kewenangan ini bukan lahir dari undang-undang, tetapi harus dimunculkan dalam perjanjian oleh para pihak dalam wujud pemberian kuasa oleh debitur kepada kreditur untuk menjual sendiri benda agunan bila terjadi wanprestasi. Jelas cara ini seperti halnya dalam parate eksekusi
gadai, sangat menguntungkan kreditur dalam upayanya untuk memperoleh pelunasan dengan mudah dan sederhana.
Sebenarnya dengan grosse akta hipotik sedasar dengan ketentuan Pasal 224 HIR, kreditur juga memiliki wewenang untuk menjual benda jaminan dikarenakan akta tersebut memiliki ketentuan eksekutorial. Dengan fiat pegadaian, maka kreditur dapat mengambil pelunasan dari pelelangan yang dilakukan oleh juru lelang.
Berdasarkan aturan yang berlaku itu, maka sebenarnya kemudahan dan penyederhanaan pengambilan pelunasan bagi kreditur manakala debitur wanprestasi, sangat mendukung perputaran roda ekonmi yang menghendaki efisiensi. Namun sayangnya, dalam pelaksanaanya, baik grosse hipotik ataupun kuasa menjual ex Pasal 1178 ayat 2 BW kadang terganjal oleh faktor-faktor yang masih menjadi bahan perbedaan. Jelas gambaran yang demikian ini membikin wajah hukum menjadi sedikit kusam untuk dihadiri dalam perjamuan era pertumbuhan ekonomi yang menghendaki efisiensi tinggi (Moch. Isnaeni, 1996:55)
Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Hutang oleh Kreditur Preferen
Sebagaimana dalam pasal 57 ayat (1) UUK, menyatakan bahwa eksekusi hak preferen oleh kreditur terhadap jaminan yang ada, wajib dilaksanakan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 2 (dua) bulan terhitung sejak keadaan insolvensi berlangsung. Setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tersebut, kurator harus menuntut diserahkannya kebendaan yang yang
dijaminkan untuk dijual, tanpa mengurangi hak pemegang hak-hak tersebut untuk memperolah penjualan agunan tersebut.
Dikecualikan untuk pemegang hak agunan atas panenan, kreditur yang melaksanakan
eksekusi
kebendaan
jamianan
wajib
melaporkan
dan
mempertanggungjawabkan seluruh hasil penjualan jaminan tersebut kepada kurator, dan menyerahkan kepada kurator sisa hasil penjualan setelah dikurangi dewngan jumlah hutang yang harus dibayar, bunga dan biaya-biaya, dan dengan tidak mengurangi hak previllige dari kreditur yang diistimewakan sebagaimana diatur dalam BAB XIX Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang beradi di atas hak-hak kreditur preferen, baik secara umum maupun khusus atas kebendaan yang dijaminkan secara preferen tersebut. Sehingga atas tuntutan kurator atau kreditur yang diistimewakan tersebut, kreditur preferen yang telah mengeksekusi kebendaan yang dijaminkan wajib menyerahkan bagian dari hasil penjualan kebendaan
tersebut,
sampai
dengan
terpenuhnya
jumlah
tagihan
yang
diistimewakan tersebut.
Selanjutnya dalam Pasal 58 ayat (4) UUK mengatakan apabila hasil penjualan jaminan tersebut tidak cukup untuk melunasi piutang yang ada, maka kreditur pemegang hak jaminan (kreditur preferen) tersebut dapat mengajukan tagihan pelunasan atas kekurangan tersebut dari harta pailit sebagai kreditur konkuren setelah mengajukan permintaan pencocokan utang.
Telah disebutkan bahwa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi jaminan hutang bisa kreditur separatis, dan bisa juga pihak kurator. Hal ini bergantung pada hubungan aset dengan kreditur (dijaminkan atau tidak) dan bergantung pada waktu kapan eksekusi itu dilaksanakan (Munir Fuady, 1999, hal. 111)
Berkaitan dengan cara penjualan aset, maka pada prinsipnya dilakukan dengan mengajukan permohonan lelang di kantor lelang sebagaimana diatur dalam pasal 171 UUK. Adapun tata cara pelelangan dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku untuk lelang tersebut yaitu, bisa dijual dimuka umum atas dengan penjualan yang dilakukan di bawah tangan. Dalam penjualan harta pailit yang dilakukan secara dibawah tangan, tetapi perbuatan tersebut telah mendapat ijin dari hakim pengawas. Hasil ini tentunya dilakukan oleh kurator, apabila kurator yakin banhwa penjualan dengan cara dibawah tangan atau penjualan langsung (tanpa campur tangan kantor lelang) akan menghasilkan yang lebih baik, antara lain karena dapat menghemat biaya lelang.
Pasal 21 Undang-undang Hak Tanggungan (UUHT) kaitannya dengan pasal 56 A ayat (1) Undang-undang Kepailitan (UUK) Berkenaan dengan Eksekusi Hak Tanggungan
Lembaga jaminan kebendaan memiliki ciri-ciri yang antara lain adalah bersifat asesoir (pelengkap), memberikan hak didahulukan (privilege) dan droit de suite yaitu selalu mengikuti bendanya dimana saat itu berada. Jaminan tersebut diantaranya adalah hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya. Para pemegang hak tanggungan, ataupun pemegang hak gadai ataupun pemegang hak agunan amempunyai hak retensi (hak menahan sebagaimana dimaksud Pasl 1812 KUHPerdata), serta dapar mengeksekusi hak-hak mereka seolah-olah tidak ada kepailitan. Jadi kepailitan tidak mempunyai pengaruh apapun terhadap ketiga hak tersebut.
Oleh karenanya dalam melaksanakan eksekusi atas harta pailit, diantaranya perlu memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh kreditur pemegang hak jaminan preferen atas kebendaan milik debitur pailit. Pemegang hak preferen memperoleh hak mendahului atas kreditur lain untuk memperoleh pelunasan atas utang-utang debitur, dengan cara menjual secara lelang kebendaan yang dijaminkan ke[pada kreditur tersebut secara preferen.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dalam Pasal 21 telah memeberikan jaminan terhadap pemegang hak tanggungan. Pasal 21 UUHT menetapkan bahwa "Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketentuan undang-undang ini". Dengan demikian berarti objek Hak Tanggungan tidak akan disatukan dengan harta akepailitan untuk dibagi kepada kreditur lain dari pemberi Hak Tanggungan. Jadi ketentuan tersebut memberikan penegasan mengenai kedudukan yang preferen dari pemegang Hak Tanggungan atas objek Hak Tanggungan terhadap kreditur lain.
Dalam memori penjelasan Pasal 56 ayat (1) Peraturan pemerintah Pengganti Undang0Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang tentang Kepailitan menyatakan bahwa:
Yang dimaksud dengan pemegang hak tanggungan adalah pemegang hipotik yang berhak untuk segera mengeksekusi haknya sebagaimana diperjanjikan berdasarkan Pasal 1178 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan pemegang hak tanggungan yang berhak mengeksekusi haknya berdasarkan Pasal 20 ayat (1) sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah (lembaga Negara Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaga Negara Nomor 3632).
Penjelasan tersebut telah memberikan penegasan tentang pemegang Hak tanggungan.
Menurut Pasal 56 ayat (1) UUK bahwa "Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 56A, setiap kreditur yang memegang Hak Tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan", adapun pasal 56 A ayat (1) UUK menetapkan bahwa hak kreditur untuk mengeksekusi barang agunan dan hak pihak ketiga untuk menuntut hartanya yang berada dalam penguasaan debitur yang pailit ataur kurator ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan.
Penangguhan yang dimaksud dalam ketentuan tersebut antara lain bertujuan :
•
Untuk memperbesar kemungkinan tercapai perdamaian ;atau
•
Untuk memperbesar kemungkinan mengoptimalkan harata pailit ; atau
•
Untuk memungkinkan kurator melaksanakan tugasnya secara optimal.
Penangguhann tersebut tidak berlaku terhadap tagihan kreditur yang dijamin dengan uang tunai dan hak kreditur untuk memperjuangkan utang. Dikecualikan pula dari penangguhan yaitu hak kreditur yang timbul dari perjumpan utang (set off) yang merupakan bagian atas akibat dari mekanisme yang terjadi di Bursa Efek dan Bursa Perdagangan berjangka.
Salama jangka waktu penangguhan berlangsung, segala tuntutan hukum untuk memperoleh pelunasan atas suatu piutang tidak dapat diajukan dalam sidang badan peradilan. Baik kreditur maupun pihak ketiga dimaksud dilarang mengeksekusi atau memohonkan sita atas barang yang menjadi agunan. Dalam masa penangguhan tersebut kurator dalam rangka kelangsungan usaha debitur, untuk itu biberikan perlindungan yang wajar bagi kepentingan kreditur atau pihak ketiga, sedang harta pailit yang dapat digunakan atau dijual oleh kurator terbatas pada barang-barang persediaan (inventory) dan atau barang bergerak(current asset), meskipun harta pailit tersebut dibebani dengan hak agunan atau kebendaan.
Menanggapi keberadaan ketentuan pasal 21 UUHT dan pasal 56 ayat (1) UUK, maka dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya kedua pasal tersebut sama-sama memberikan jaminan bagi kreditur selaku pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi haknya. Namun pada pasal 56 A ayat (1) UUK tidak konsistendengan ketentuan pasal 21 UUHT, yaitu nampak adanya perbedaan dalam pelaksanaan eksekusi. Pasal 21 UUHT tidak menetapkan masa penangguhan, sedangkan pasal 56 A ayat (1) UUK menetapkan masa penangguhan dengan maksud sebagaimana tersebut di atas. Dengan demikian jaminan bagi kreditur pemegang hak tanggungan yang ditetapkan dalam pasal 21 UUHT menjadi sia-sia manakala benda yang digunakan berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator. Dalam hal ini kreditur tidak dapat segera mengeksekusinya, sehingga secara tidak langsung akan merugikan pihak kreditur preferen.
Para kreditur yang memegang hak jaminan atas kebendaan, mempunyai hak separatis. Menurut Setiawan, Hak Separatis adalah: "Hak yang diberikan oleh
hukum kepada kreditur pemegang Hak jaminan, bahwa barang jaminan (agunan) yang dibebani dengan hak jaminan (hak agunan) tidak termasuk harta pailit".
Kreditur berhak untuk melakukan eksekusi kekuasaannya sendiri yang diberikan oleh undang-undang sebagai perwujudan dari hak kreditur pemegang hak jaminan untuk didahulukan dari para kreditur yang lainnya.
Menurut Elijana: "Kreditur Separatis adalah kreditur yang tidak terkena akibat kepailitan artinya para kreditur separatis tatap dapat melaksanakan hak-hak eksejkusinya meskipun debiturnya telah dinyatakan pailit".
Pemegang hak jaminan atau hak agunan adalah kreditur yang mempunyai jaminan khusus atas kekayaan debitur berdasarkan perjanjian, misalnya hak tanggungan, hipotik, gadai dan fidusia sebagaimana diatur dalam pasal 1133 BW.
Pengakuan terhadap keberadaan kreditur separatis dalam UUK dinyatakan dalam pasal 56 ayat (1) yang menentukan bahwa setiap kreditur yang memegang hak tanggungan, hak gadai atau hak agunan atas kebendaan lainnya, dapat mengeksekusi haknya seolah-olahnya tidak terjadi kepailitan.
Pemegang hak jaminan baik hipotik, hak tanggungan, gadai, fidusia serta hak kebendaan lainnya tidak terpengaruh oleh putusan pailit, kareana barang jaminan itu tidak termasuk dalam harta pailit. Ketentuan pasal 56A ayat (1) dan pihak ketiga menuntut hartanya yang berbeda dalam penguasaan debitur yang pailit atau kurator, ditangguhkan untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan pailit ditetapkan.
Berdasarkan
ketentuan
pasal
56A
ayat
(1)
dan
penjelasannya,
menunjukkan bahwa UUK mengakui hak separatis. Pengakuan terhadap keberadaan hak separatis dari pemegang jaminan juga diatur dalam UndangUndang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Pasal 21 Undang-Undang No. 4 tahun 1996 menentukan bahwa apabila pemberi hak tanggunagan dinyatakan pailit, pemegang hak tanggunagn tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut ketantuan Undang-Undang No./ 4 Tahun 1996. Obyek hak tanggungan tidak akan disatukan dengan kepailitan untuk dibagi kepada kreditur-kreditur lainnya dari pemberi hak tanggungan.
Ketentuan pasal itu memberikan penegasan mengenai kedudukan hak separatis dari pemagang hak tanggungan terhadap obyek hak tanggungan kepada kreditur lainnya. Undang-Undang No. 42 tahun 1999 tentang jaminan Fidusia, dalam Pasal 27 ayat(1), yang menentukan bahwa penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya. Hak untuk didahulukan tersebut sebagaimana dalam penjelasannya diperoleh oleh penerima fidusia, terhitung sejak pendaftaran benda yang menjadi jaminan fidusia pada kantor pendaftaran fidusia.
Hak untuk didahulukan atau hak preferen dari pemerima jaminan fidusia sebagaimana ditentukan dapam Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang No. 42 tahun 1999 untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Sedang ayat (3)nya memberikan jaminan kepada penerima fidusia bahwa hak yang didahulukan tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia. Pada prinsipnya undang-undang
memberi hak untuk didalukuan terhadap pemegang jaminan atas hutang-hutang debitur.
Kepailitan
1. Krditur preferen selaku pemegang jaminan hutang telah mendapat perlindungan hukum dari Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan tepatnya pada pasal 21 yaitu apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit maka kreditur preferen tersebut tetap berwenang
mengeksekusi jaminan hutang. Kreditur preferen dapat
menjual dan mengambil hasil jualan jaminan hutang tersebut seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 56 UndangUndang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan. 2. Pada prinsipnya ketentuan Pasal 21 UUHT dan Pasal 56 A ayat (1) UUK dapat dikatakan sama-sama memberikan jaminan bagi kreditur selaku pemegang hak tanggungan untuk mengeksekusi haknya. Namun pada Pasal 56 A ayat (1) UUK tidak konsisten dengan ketentuan Pasal 21 UUHT, yaitu nampak adanya kontradiktif dalam peleksanaan eksekusi. Pasal 21 UUHT tidak menetapkan masa penangguhan, sedangkan Pasal 56 A ayat (1) UUK me4netapkan masa penangguhan. Dengan demikian jaminan bagi kreditur pemegang hak tanggungan yang ditetapkan dalam pasal 21 UUHT menjadi sia-sia manakala benda yang digunakan berada dalam penguasaan debitur pailit atau kurator.
DAFTAR PUSTAKA Amin, Mochammad, 1984 Hukum Kepailitan dan Surseance, Garuda, Malang Fuady, Munir, 1999, Hukum Kepailitan dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Gutama, Sudargo, 1998, Komentar atas Peraturan Kepailitan Baru untuk Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. Isnaeni, Moch., 1996, Hipotik Pesawat Udara di Indonesia, CV. Dharma Muda, Surabaya Hartono, Siti Soemarti, 1981, Pengantar hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, FH-UGM Yogyakarta. H. Budi, Untung, 2000, Kredit Perbankan di indonesia, Andi Yogyakarta J. Fred, Weston dan Eugene, F. Bregham dalam terjemahan Alfansus Sunita, 1994, Dasar-Dasar Keuangan Manajemen, Erlangga, Jakarta Mertokusumo, Sudikno, 1998, Mengenal Hukum, Liberty Yogyakarta Nasution, Garuda Abdul Hakim dan K. Herman Benny, Workshop Evaluasi Peradilan Niaga Critical Views, Putusan-putusan pengadilan Niaga, CINLENSS (Pusati informasi dan kajian Hukum ekonomi Jakarta). Prodjohamidjojo, Martiman, 1999, Preses Kepailitan Menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, Mandar Maju Bandung. Setiaprojo, Bandung, 1994, Segi-segi Hukum Kepailitan dan Liquidasi, ditinjau dari Prespektif Bank, Mahkamah Agung RI. Sutantio, Retnowulan, 1996, Kapita Selekta hukum Ekonomi dan Perbankan, Seri Varia FH-UGM, Yogyakarta. Syahdeini, Sutan Remy, 1999, Hak tanggungan Asas-Asas KetentuanKetentuan Pokok dan masalah yang Dihadapi oleh Perbankan (Suatu Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Bandung. ________________, 1993, Kebebesan Berkontrak dan perlindungan yang seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank, IBI Jakarta. ________________, 2002, Hukum Kepailitan (Memahami Faillisementsverardening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta, pustaka Utama Grafiti
Sofwan, Masjchoen, Sri Sudewi, 1975, Hukum Perutangan, bagian A Yogyakarta, seksi Hukum Perdata UGM Untung H. Budi, 2000, Kredit Perbankan di Indonesia, Andi Yogyakarta. Waluyo Bernadette, 1999, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Mandar Maju, Bandung. Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan Dengan tanah] Undang-Undang No. 4 tahun 1998 tentang Kepailitan.