Pelaksanaan Pembinaan Profesionalisme Pamong Belajar dalam Peningkatan Kualitas Pembelajaran Kelompok Belajar Kesetaraan Agus Sadid Abstract This study involved the role of the head of SKB in building professionalism of non formal teacher (pamong belajar). The main focus of this study is the implementation of building professionalism in developing the quality of learning process in equal educational program. Furthermore, this study also focuses on the building professionalism of non formal teachers through training and education program, academic assignment and forum. Findings show that both the head of SKB have done all efforts to develop and build the non formal teachers’ professionalism, such as through intensive observation, lecturers, in service and pre service education. Kata kunci: pembinaan profesionalisme, pamong belajar, kualitas pembelajaran Pendidikan yang bermutu adalah harapan semua orang. Namun untuk mewujudkan semua itu banyak faktor yang terlibat, salah satunya adalah pendidik dan tenaga kependidikan. Pendidik yang berkualitas adalah pendidik yang memiliki kompetensi yang memadai. Secara tegas dalam UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa seorang pendidik (guru) harus memiliki 4 (empat) kompetensi yaitu (1) kompetensi pedagogi, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi kepribadian dan (4) kompetensi sosial. Keempat kompetensi tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, dimana harus dimiliki oleh seorang pendidik baik pendidik pada jalur (1) formal, (2) non formal dan (3) informal. Salah satu pendidik dilingkungan PNF adalah pamong belajar (PB). Tugas dan fungsi PB adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran, pembinaan, bimbingan, pemantauan, dan penilaian dalam rangka pengendalian mutu, menuntut kemampuan profesional yang tinggi dari PB. UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidik adalah tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses belajar, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Jenis pendidik meliputi guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan
2
lain yang sesuai dengan kekhususannya serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Menguraikan kegiatan dalam menumbuhkan jabatan guru /PB di atas, Sahertian (1994) menyebutkan bahwa pembinaan dalam bentuk pre-service education dilakukan melalui LPTK. Selanjutnya, pembinaan in-service education dilakukan untuk memberikan kesempatan kepada guru/PB sehingga mencapai kualifikasi profesional yang lebih tinggi misalnya melalui program penyetaraan maupun program rintisan gelar S1/ S2. Kemudian, pembinaan melalui in-service training, merupakan upaya menumbuhkan mutu guru/PB melalui kegiatan yang bersifat ilmiah atau keakademisan misalnya diskusi ilmiah, seminar, pertemuan ilmiah baik bersifat individu maupun kelompok. Pembinaan profesionalisme PB untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, bertujuan untuk meningkatkan dan memelihara kemampuan mereka dalam pelaksanaan pembelajarannya. Untuk itu pemahaman PB terhadap (1) bagaimana mengajar yang baik, (2) bagaimana mengelola pembelajaran yang efektif dan (3) bagaimana menyusun dan mengembangkan strategi pembelajaran yang tepat merupakan faktor penting dalam pencapaian tujuan pengajaran. Tentang hal ini Jerrold (dalam Sumargono, 2003) mengatakan bahwa pengajaran berkualitas memiliki ciri-ciri (1) pengajaran dilakukan dan dikembangkan secara profesional, (2) pengajaran harus dikembangkan sesuai keahlian guru, (3) pengajaran berarti penemuan belajar dan dapat membentuk pengalaman belajar yang tinggi. Pembinaan profesionalisme merupakan upaya memberikan layanan bantuan professional kepada para guru (PB). Pemahaman pembinaan profesionalisme mempunyai makna yang searah dengan supervisi. Sebagaimana dikuatkan oleh para pakar supervisi pendidikan, yaitu Sergiovanni (1987), Wiles (1982), Gwynn (1961), Glickman (1981), Neagley dan Evans (1994) dan Oliva (1984) secara eksplisit menyatakan bahwa supervisi pendidikan pada hakekatnya merupakan bentuk layanan bantuan profesional kepada guru. Jadi secara sederhana supervisi pendidikan merupakan proses pemberian layanan bantuan profesionalisme kepada guru untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas pengelolaan proses pembelajaran secara efektif dan efisien, (Bafadal, 2006). Pada aspek peningkatan kualitas pembelajaran, bentuk pembinaan profesionalisme mengarah pada upaya atau usaha kepada peningkatan (1) kemampuan dan
3
profesionalisme dalam pembelajaran, (2) SDM; kualfikasi pendidikan dan (3) hasil pembelajaran (prestasi) warga belajar. Untuk itu, perbaikan kualitas pembelajaran seharusnya difokuskan pada (1) perbaikan perencanaan program pembelajaran, (2) perbaikan dalam penyampaian materi pembelajaran, (3) perbaikan dalam cara melakukan evaluasi belajar, (4) perbaikan dalam mengelola pembelajaran dan (5) pembinaan dalam rangka pemandirian warga belajar. Berkaitan dengan permasalahan pendidikan kesetaraan sebagai salah satu program yang dikembangkan oleh SKB, beberapa data empiris menunjukan bahwa hasil-hasil pembelajaran masih belum memuaskan. Salah satunya adalah dengan merujuk pada hasil nilai UNPK dan prosentase kelulusan warga belajar kesetaraan. Data hasil UNPK dua tahun terakhir (2006-2007) pada SKB Sumbawa dan Lombok Barat, menunjukan (1) nilai UNPK kejar paket B setara SMP dan paket C setara SMA; rata-rata NEM adalah 4,50, 4,80, 5,00 (2006), dan 4,40, 4,00, 5,20 (2007) di SKB Sumbawa, (2) nilai UNPK pada kejar paket B setara SMP dan paket C setara SMA; rata-rata NEM adalah 4,60, 4,80, 5,10 (2006) dan 4,80, 4,90, 5,25 (2007) di SKB Lombok Barat, (Data SKB Sumbawa dan Lombok Barat, 2007). Untuk tingkat kelulusan dalam UNPK, SKB Lombok Barat, prosentase kelulusan WB paket B setara SMP pada UNPK 2007 adalah 90%, WB paket C setara SMP adalah 80%. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan prosentase kelulusan WB kesetaraan di SKB Sumbawa. Untuk tahun 2007 prosentase kelulusan WB paket B setara SMP pada UNPK adalah 80%, sedang WB paket C setara SMA adalah 70%, (Data hasil olahan di SKB Lombok Barat dan SKB Sumbawa, 2007). Sebagai bahan perbandingan, terkait dengan hasil UNPK di SKB Lombok Timur dan SKB Bima. Kondisi di atas nampaknya masih lebih baik. Data hasil UNPK tahun 2006-2007 di untuk warga belajar kesetaraan di SKB Lombok Timur yaitu rata-rata nilai UNPK paket B setara SMP adalah 4,0, paket C setara SMA adalah 4,25. Sedangkan tingkat kelulusan rata-rata adalah 65%. Sedangkan di SKB Bima adalah rata-rata nilai UNPK paket B setara SMP 3,7, paket C setara SMA adalah 4,0. Sedangkan tingkat kelulusan adalah 70% untuk paket B setara SMP dan 60% untuk paket C setara SMA, (Data olahan di SKB Lombok Timur dan SKB Bima, 2007). Data di atas mengindikasikan bahwa (1) kondisi prestasi warga belajar program pendidikan kesetaraan di SKB Lombok Barat dan SKB Sumbawa masih lebih baik jika
4
dibandingkan dengan SKB Lombok Timur dan SKB Bima, meskipun hasilnya masih kurang memuaskan, (2) hasil belajar warga belajar pendidikan kesetaraan relatif rendah, (3) proses bahwa terdapat hal yang kurang tepat dengan proses pembelajaran. Dengan kata lain bahwa kualitas pembelajaran di kejar kesetaraan masih belum memadai. Hal ini disebabkan salah satunya adalah kualitas guru/PB. Untuk itu, upaya pembinaan guru/PB bertujuan untuk meningkatkan kemampuan guru/ PB dalam pembelajaran. Suryadi (1991) dan Tilaar (2002) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang menentukan kualitas hasil pembelajaran disekolah, diantaranya adalah kualitas guru/PB. Kegiatan pembinaan profesionalisme selama ini masih terbatas. Studi yang dilakukan oleh Depdikbud (1998) menunjukan bahwa rendahnya pembinaan profesionalisme disebabkan oleh (1) program pembinaan pendidik yang kurang tepat, (2) tidak ada program tindak lanjut dari pembinaan, dan (3) terbatasnya sumber pembelajaran. Bertolak dari kondisi di atas, maka permasalahan yang akan di kaji dalam penelitian ini adalah “bagaimana pelaksanaan pembinaan profesionalisme PB oleh kepala SKB dalam peningkatan kualitas pembelajaran kelompok belajar kesetaraan?”. Merujuk pada permasalahan di atas, beberapa fokus penelitian ini adalah (1) bagaimana pelaksanaan pembinaan secara umum dan pembinaan dalam peningkatan kualitas pembelajaran, (2) pembinaan melalui pendidikan dan pelatihan, penugasan akademik atau pengembangan profesi dan forum dan (3) faktor pendukung dan penghambat dalam pembinaan profesionalisme PB. Hasil-hasil temuan dalam penelitian ini diharapkan memberikan konstribusi positif terhadap (1) peningkatan kinerja SKB, (2) deskripsi pelaksanaan pembinaan profesionalisme PB di SKB Lombok Barat dan SKB Sumbawa, (3) pembuatan keputusan atau kebijakan terkait dengan program-program pembinaan professional atau pengembangan kapasitas PB di SKB Lombok Barat dan SKB Sumbawa.
METODE Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif dengan rancangan studi multi kasus. Bogdan dan Biklen (1982) mengemukakan bahwa ciri-ciri penelitian kualitatif adalah (1) mempunyai latar alami (the natural setting) sebagai sumber data langsung dan peneliti sebagai instrument kunci, (2) bersifat deskriptif yaitu memberikan situasi tertentu dan
5
pandangan tentang dunia secara deskriptif, (3) lebih memperhatikan proses dari pada hasil atau produk semata, (4) cenderung manganalisa data secara induktif dan (5) makna merupakan esensial. Penerapan rancangan studi multi kasus dilaksanakan dalam dua bentuk. Pertama, dilakukan studi kasus tunggal/ individu yakni suatu kajian kasus yang dilaksanakan sebagai awal dari sejumlah kejadian individu, sehingga dari studi kasus pertama ini dapat ditentukan fokus yang dibutuhkan bagi batasan definitif sebagai parameter studi kasus selanjutnya. Kedua, rancangan studi multi kasus ini dilakukan pula studi kasus komparatif yakni kedua kasus diteliti secara mendalam dan kemudian dipadukan dan dibandingkan. Penelitian ini dilakukan selama bulan Pebruari s.d. April 2008. Lokasi penelitian adalah SKB Lombok Barat dan SKB Sumbawa propinsi NTB. Sebagai informan dari penelitian ini adalah (1) kepala SKB, (2) koordinator PB, (3) PB, (4) WB dan (5) kepala Dinas Diknas kabupaten. Penentuan sample dilakukan secara purposive sampling melalui teknik snowball. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan melalui (1) wawancara mendalam (in depth interview), (2) observasi partisipan (participant observation) dan (3) studi dokumentasi. Selanjutnya, data yang telah terkumpul di analisis dengan menggunakan teknik (1) analisis individu dan (2) analisis lintas kasus. Analisis individu mengacu pada pendapat dari Huberman dan Miles (1982) meliputi (1) pengumpulan data, (2) penyajian data, (3) reduksi data dan (4) penarikan kesimpulan. Sedangkan analisis lintas kasus mengacu pada pendapat Bogdan & Biklen, 1982 dan Owens, (1992).
HASIL 1.
Studi Kasus Individu di SKB Lombok Barat Program pendidikan kesetaraan yang ada di SKB meliputi (1) paket B setara SMP,
sebanyak 3 rombongan belajar (kelas I-III) dengan jumlah warga belajar 48 orang dan (2) paket C setara SMA, sebanyak 3 rombongan belajar (kelas I-III) dengan jumlah warga belajar 96 orang. Semua program di atas dilakukan dalam kampus SKB. Jumlah ketenagaan PB sebanyak 10 orang, dimana semua PB melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai tenaga pengajar, dengan rata-rata jumlah mengajar perminggu adalah 20 jam. Pelaksanaan PBM pada kejar kesetaraan adalah hari Senin-Jum’at, pagi hari jam 07.15-
6
13.00 wita. Semua kurikulum pembelajaran mengacu pada kurikulum SMP/SMA di pendidikan formal. Pembinaan profesionalisme PB bertujuan untuk meningkatkan kemampuan professional PB dalam pelaksanaan tugas dan fungsi sebagai PB, salah satunya adalah melaksanakan kegiatan PBM di kelompok belajar kesetaraan. Pembinaan tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi (1) relatif rendahnya SDM PB, (2) perkembangan IPTEK dan (3) hasil-hasil pembelajaran WB kesetaraan yang relatif rendah, terutama jika merujuk pada hasil-hasil UNPK. Pembinaan profesionalisme PB selain dilakukan melalui kegiatan supervisi, dilakukan juga melalui (1) pendidikan dan pelatihan, (2) penugasan akademik dan (3) forum PB. Bentuk pembinaan yang dilakukan dalamm rangka meningkatkan kualitas pembelajaran meliputi pembinaan pada aspek (1) penyusunan rencana pembelajaran, (2) pengelolaan pembelajaran, (3) penggunaan alat peraga mengajar (teaching aids) dan (4) penyusunan evaluasi belajar atau penilaian belajar (students assessment). Pembinaan yang sering dilakukan melalui (1) kegiatan pengarahan atau ceramah pada setiap kegiatan rapat, diskusi terfokus dan apel pagi, (2) melakukan kunjungan atau observasi langsung kepada kelompok belajar yang ada di dalam kampus dan hal ini dilakukan setiap pagi, (3) memberikan demonstrasi langsung tentang penggunaan alat peraga tertentu dan (4) memberikan asistensi dengan mendatangkan para guru formal untuk memberikan short course tentang mengajar atau menyusun dan mengembangkan kurikulum. Selanjutnya, pembinaan melalui program pendidikan dan pelatihan. Pembinaan melalui Diklat bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan PB, sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. Banyak instansi yang menyelenggarakan program Diklat PB diantaranya (1) ditingkat pusat; Dit PTK-PNF Depdiknas RI, (2) di tingkat regional; BPPLSP reg IV Surabaya, (3) di tingkat propinsi; BPKBM NTB dan Dikpora NTB dan (4) di tingkat kabupaten; SKB dan dinas P&K kabupaten Lombok Barat. Bentuk-bentuk lain dari diklat adalah program magang dan kursus. Terkait dengan pengiriman peserta Diklat, kepala SKB selalu meminta pertimbangan kepada koordinator PB. Namun demikian keputusan terakhir ada ditangan kepala SKB. Daras pertimbangan pengiriman peserta Diklat meliputi (1) minat dan motivasi, (2) kompetensi, (3) volume pekerjaan dan
7
(4) tanggung jawab ang sedang dilaksanakan. Dari 10 tenaga PB yang ada di SKB, menunjukan bahwa semua PB telah mengikuti berbagai Diklat teknis dan non teknis. Pembinaan melalui kegiatan penugasan akademik masih menunjukan hasil yang belum maksimal. Kondisi ini sangat berkaitan dengan minat dan motivasi PB, di samping itu adalah usia atau umum. Pelaksanaan tugas akademik cenderung dilimpahkan kepada PB yang masih muda dengan usia dibawah 40 tahun. Kegiatan penugasan akademik meliputi (1) bimbingan intensif belajar, (2) penulisan karya tulis atau penelitian dan (3) penerbitan bulletin atau majalah ilmiah. Pembinaan yang dilakukan oleh kepala SKB meliputi (1) pengarahan, (2) penghargaan bagi para PB yang mau melakukan kegiatan akademik dalam bentuk pemberian dana pengembangan profesi, (3) penerbitan bulletin PNF di SKB. Pembinaan melalui kegiatan forum PB sudah cukup maksimal. Hali ini ditunjukan dari (1) sikap proaktif dan motivasi yang cukup tinggi dari kepala SKB setiap mengikuti kegiatan atau rapat-rpat forum PB, (2) mengalokasikan dana pembinaan forum PB dan (3) memberikan fasilitas ruang atau sekretariat kepada forum. Forum merupakan wadah yang cukup bermanfaat untuk menampung segenap kreatifitas dan kepentingan PB. Kepala SKB selalu memberikan dorongan kepada PB untuk memaksimalkan peran forum sebagai salah satu sarana untuk memberdayakan diri bagi PB. Beberapa pendekatan yang dilakukan oleh kepala SKB diantaranya adalah (1) pendekatan direktif, (2) kolaborartif dan (3) non direktif. Penerapan dalam pembinaan kepada PB sangat tergantung dengan (1) karakteristik dan kepribadian PB dan (2) permaslahan yang dihadapi oleh PB dilapangan. Pada kenyataannya, pendekatan yang sering digunakan adalah pendekatan kolaboratif. Hal ini menunjukan bahwa kepala SKB bersifat demokratis. Pendekatan ini memberikan kesempatan yang luas kepada PB untuk mengeluarkan dan berimprovisasi menentukan langkah yang terbaik, sehingga program berhasil dengan baik. 2.
Kasus Individu di SKB Sumbawa Program pendidikan kesetaraan yang dikembangkan oleh SKB meliputi (1) paket
B setara SMP dan paket C setara SMA. Program paket B setara SMP berada di luar kampus, dengan rincian sebagai berikut; (1) paket B setara SMP kelas I sebanyak 1 kelas dengan jumlah warga belajar 19 orang. Kejar tersebut berada di desa Pulau Bungin
8
kecamatan Alas, (2) paket B setara SMP kelas II sebanyak 1 kelas dengan jumlah warga belajar 23 orang berada di desa Dalam kecamatan Alas, (3) paket B setara SMP kelas III sebanyak 1 kelas dengan jumlah warga belajar 32 orang, berada di desa Gontar Baru kecamatan Alas Barat, dan (4) paket B setara SMA kelas III sebanyak 1 kelas dengan jumlah warga belajar 25 orang, berada di dalam kampus SKB. Kegiatan PBM di kejar kesetaraan tersebut dilaksanakan rata-rata seminggu 3 kali. Tenaga pengajar melibatkan PB dan guru dari pendidikan formal (SMP/SMA). Kegiatan pembinaan profesionalisme PB bertujuan (1) mengembangkan kemampuan professional PB, (2) memenuhi tuntutan kebutuhan belajar serta (3) meningkatkan kinerja PB secara utuh. Pembinaan tersebut dilakukan selain melalui kegiatan-kegiatan kunjungan lapangan, dan pengamatan secara langsung juga dilakukan melalui (1) pendidikan dan pelatihan, (2) kursus dan magang, (3) penugasan akademik atau pengembangan profesi dan (4) pemberdayaan forum PB. Intensitas kunjungan kelas atau kejar masih belum maksimal, kepala SKB masih memfokuskan kejar kesetaraan yang berada di dalam kampus. Kegiatan pengarahan atau ceramah dilakukan sebagai upaya memberikan pencerahan kepada PB melalui kegiatan rapat atau pertemuan. Pembinaan yang diberikan oleh kepala SKB lebih menekankan pada aspek administratif dari pada non administratif. Salah satunya adalah pembinaan dalam rangka penyusunan rencana pembelajaran, mengelola pembelajaran, strategi atau metode belajar dan menyusun atau mengembangkan evaluasi atau penilaian belajar. Pembinaan pada aspek ini justru sangat dibutuhkan oleh PB, karena pada umumnya kelemahan dari PB adalah melakukan PBM yang efektif. Pembinaan pada aspek kedisiplinanpun masih belum memadai. Dari kondisi dilapangan Nampak bahwa baik kepala SKB dan PB belum menerapakan pola atau sikap disiplin dalam kerja. Salah satunya adalah kurang mentaati jam masuk dan keluar kantor. Pembinaan melalui pendidikan dan pelatihan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan PB. Selain itu juga untuk menyelesaikan permasalahan yang ada dilapangan. Program Diklat untuk PB banyak diselenggarakan oleh berbagai instansi antara lain (1) Dit PTK-PNF Depdiknas RI, (2) BPPLSP Reg IV Surabaya, (3) BPKBM NTB dan Dinas Dikpora propoinsi NTB. Program Diklat dari Pemda kab. Sumbawa untuk PB sendiri masih belum ada. Sedangkan SKB sendiri, memfasilitasi
9
program Diklat melalui dana program peningkatan mutu PTK-PNF yang bersumber dari Dit PMPTK-PNF. Beberapa program yang bersifat Diklat antara lain kursus dan magang. Program Diklat merupakan program yang sangat sering dilakukan oleh SKB. Dari 10 PB yang ada, telah mengikuti berbagai kegiatan Diklat teknis dan non teknis. Kepala SKB dalam mengirim peserta Diklat selalu melakukan pertimbangan yang mendalam antara lain melalui (1) diskusi dengan koordinator PB dan (2) pengiriman peserta mengacu pada beban kerja,kompetensi, minat dan tanggung jawab yang sedang dihadapi oleh PB. Pembinaan profesionalisme PB melalui kegiatan penugasan akademik merupakan pembinaan yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan PB dalam menulis atau melakukan penelitian dibidang pendidikan nonformal. Pembinaan melalui kegiatan ini dilakukan melalui (1) kegiatan diskusi, (2) pengiriman PB kepada lombalomba kreatifitas PB atau menulis karya tulis dan (3) menerbitkan bulletin PNF di SKB. Kondisi dilapangan menunjukan bahwa tidak semua PB mampu menerima tugas akademik, karena kebanyakan PB mempersepsi bahwa tugas akademik adalah sangat berat (sulit). Hasilnya adalah relatif sedikitnya hasil-hasil penelitian atau tulisan PB yang dapat dihasilkan atau diterbitkan. Namun demikian, beberapa PB juga ada yang telah mendapatkan piagam penghargaan dibidang penulisan karya tulis atau lomba kreatifitas. Pembinaan melalui forum PB sebagaimana di kasus I, mempunyai tujuan yang tidak jauh berbeda yaitu meningkatkan pengetahuan dan wawasan keilmuan PB dibidang pendidikan nonformal. Namun demikian, kondisi forum di kasus II belum maksimal diantaranya forum PB belum memilki program kerja yang memadai, sekretariat serta motivasi dan komitmen PB yang relatif rendah. Kepala SKB juga belum memberikan dana pembinaan kepada forum PB. Padahal, keberadaan dana tersebut sangat dibutuhkan untuk melaksanakan program-program kerja forum PB. Namun demikian, langkahlangkah pembinaan oleh kepala SKB tetap dilakukan diantaranya melalui kegiatan bimbingan teknis penyusunan program kerja forum dan diksusi terfokus tentang forum.
PEMBAHASAN Pembinaan profesional adalah usaha memberi bantuan kepada para PB guna memperluas pengetahuan, meningkatkan ketrampilan mengajar dan menumbuhkan sikap
10
profesional mereka sehingga menjadi lebih profesional dalam mengelola kegiatan pembelajaran dalam rangka pencapaian tujuan pendidikan. Pemberian bantuan tersebut adalah agar PB (1) memiliki wawasan kependidikan yang lebih luas, (2) memiliki pola pikir logis dan rasional terhadap usaha peningkatan mutu, (3) mempunyai kemampuan dan ketrampilan dalam mengelola PBM, (4) menguasai substansi pelajaran dengan lebih baik, (5) menguasai teknik-teknik penilaian atau evaluasi belajar dan (6) memiliki komitmen terhadap pekerjaan dan disiplin dalam pelaksanaan tugas. Pembinaan profesional (supervision) merupakan kegiatan yang bertujuan ganda yaitu (1) mencapai tiga pertumbuhan yaitu profesional, kpribadian dan sosial dan (2) peningkatan kualitas hasil-hasil pembelajaran, (Oliva, 1983). Untuk mencapai tujuan tersebut, kompetensi pemimpin pendidikan atau kepala sebagai pembina mutlak diperlukan. Glickman dan Gordon (2004) menegaskan bahwa pembinaan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang kuat tentang supervisi, ketrampilan interpersonal dan kemampuan teknis. Harris (dalam Neagley dan Evans, 1980) menyebutkan bahwa kompetensi pembina lebih luas meliputi (1) mengembangkan kurikulum, (2) mengorganisasikan pembelajaran, (3) mengadakan staf, (4) menyediakan fasilitas dan bahan-bahan pembelajaran, (5) menyusun program in service education dan (6) mengevaluasi pembelajaran. Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Sergiovanni dan Starrat (1979) bahwa supervisi pendidikan (pengajaran) adalah ditujukan untuk (1) membantu para guru dalam memahami dan merancang tujuan-tujuan pembelajaran, (2) membantu para guru dalam membimbing para siswa dalam pembelajaran, (3) membantu para guru dalam menyiapkan dan menggunakan sumber-sumber pengalaman belajar, (4) membantu para guru dalam memahami dan menerapkan metode dan media pembalajaran dan (5) membantu para guru dalam menilai kemajuan dan hasil pembelajaran yang dicapai oleh guru dan siswa. Dari hasil temuan penelitian menunjukan bahwa pembinaan profesional PB oleh kepala SKB dipahami sebagai bentuk bantuan profesional untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi PB. Kompetensi tersebut bukan hanya menyangkut dengan kemampuan teknis terkait dengan pembelajaran tetapi juga non teknis diantaranya
11
pembinaan disiplin kerja, pembuatan laporan, penyusunan DUPAK, penyusunan surat atau membuat konsep surat-surat kedinasan. Namun demikian, pembinaan profesional PB tidak seharusnya menekankan pada aspek-aspek yang bersifat administratif, tetapi harus terfokus pada pembelajaran. Sebagaimana dikuatkan oleh Glickman (2006) bahwa tujuan supervisi adalah untuk meningkatkan pembelajaran dikelas sehingga guru menjadi lebih adaptif, dan kuat dalam kerjasama dengan rekan sejawat. Sasaran pembinaan profesional adalah PB. Kepala SKB sebagai Pembina harus selalu mendorong, mengerahkan, dan melatih para PB agar lebih profesional dalam bidangnya. Untuk itu, substansi pembinaan harus jelas, sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi PB dilapangan. Beberapa program kesetaraan di SKB menyebar diluar kampus, seperti kejar kesetaraan di SKB Sumbawa, dimana paket B setara SMP berada di desa-desa. Kondisi ini sangat menentukan pola pembinaan profesional oleh kepala SKB. Sehingga kepala SKB sebagai pembina memerlukan strategi dan teknik-teknik dalam rangka memberikan bantuan profesional kepada PB. Terkait dengan teknik pembinaan, hasil temuan penelitian menunjukan bahwa kedua kepala SKB menggunakan teknik individu dan kelompok secara bergantian. Teknik individu meliputi (1) kunjungan kelas, (2) pengamatan langsung dan pertemuan pribadi, sedangkan teknik kelompok meliputi (1) diskusi, (2) pertemuan PB, (3) pelatihan, penataran, workshops, magang dan kursus, (3) rapat-rapat. Hal ini sejalan dengan Gwyn (1983) yang menyebutkan bahwa teknik supervisi meliputi teknik individu (individual divice) dan kelompok (group device). Dalam pandangan para pakar supervisi, kegiatan seperti kunjungan kelas dan pengamatan langsung lebih efektif digunakan karena dari kegiatan tersebut, seorang supervisor dapat menentukan kekuatan dan kelemahan pelaksanaan PBM, sehingga kepala dapat memberikan bantuan (treatment) yang tepat kepada PB. Sebagaimana ditegaskan oleh Neagly dan Evans (1980) bahwa observasi dan perkunjungan kelas yang diikuti dengan conference (pre dan post) adalah tulang punggung supervisi. Berdasarkan prinsip-prinsip pembinaan, pelaksanaan pembinaan profesional PB oleh kepala SKB pada dua kasus diatas menunjukan kesepadanan atau searah dengan prinsip-prinsip teori supervisi pengajaran yang dikemukakan oleh para pakar supervisi antara lain Sergiovanni, Wiles, Glickman, Acheson dan Gall dan Oliva. Mereka
12
menyatakan bahwa supervisi adalah bantuan profesional yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan dan performansi mengajar guru (PB). Jadi prinsip-prinsip pembinaan profesional PB meliputi (1) kualitas pembelajaran sangat dipengaruhi oleh kemampuan PB dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, (2) pembinaan diaarahkan kepada peningkatan kemampuan profesional sesuai dengan komponenkomponen kompetensi yang diharapkan, (3) pembinaan profesional harus dilaksanakan secara kontinyu, (4) kualitas mengajar PB dapat ditingkatkan secara langsung melalui pembinaan profesional, (5) kondisi pertumbuhan professional dapat ditingkatkan melalui suasana keterbukaan dan menghargai pikiran dan pendapat orang lain. Pembinaan profesional memberikan manfaat ganda baik dilihat aspek peningkatan kemampuan personel maupun performansi sanggar (sekolah). Manfaat pembinaan tersebut antara lain (1) pembinaan profesional dimaksudkan untuk mengembangka suatu mekanisme dan sistem pembinaan dengan melibatkan secara aktif seluruh unsur pembina dalam suatu kegiiatan pembinaan profesional terpadu, (2) pembinaan profesional dimaksudkan untuk meningkatkan secara optimal kemampuan PB dalam mengelola PBM, dan (3) pembinaan profesional dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan kepala SKB dan pembina lainnya untuk mengelola dan melaksanakan pembelajaran (instructional management). Temuan pada kedua kasus diatas menjukan bahwa manfaat yang paling besar dirasakan adalah (1) bagi pihak PB yaitu peningkatan kompetensi , kinerja dan produktifitas PB (2) bagi pihak SKB yaitu meningkatnya performansi SKB; dengan meningkatnya kualitas PB, maka akan berimbas pada meningkatknya kualitas pelaksanaan dan hasil-hasil pembelajaran di SKB. Untuk mencapai kondisi diatas maka seorang pembina harus memiliki karakteristik yang kuat. Sebagaimana dikatakan oleh Mantja (2002) bahwa karakteristik kepala sekolah sebagai pembina meliputi (1) kepribadian yang kuat, (2) pengetahuan yang luas, (3) ketrampilan professional dan (4) ketrampilan konseptual. Bertolak dari paparan data di atas, maka berikut penulis sajukan dalam tabel 1. Komparasi temuan hasil pembinaan.
13
Tabel 1. Komparasi Temuan Hasil Pembinaan Profesionalisme PB Pembinaan profesionalisme Kasus I
Pembinaan Profesionalisme Kasus II
Pemahaman Kepala SKB tentang pe mbinaan (supervisi) sangat memadai. Kepala SKB melakukan kegiatan kunjungan kelas dan pengamatan langsung menyeluruh kepada program-program PNF di SKB secara intensif Memberikan contoh atau teladan melalui kepemimpinan yang kuat Menekankan pada kedisiplinan Menekankan pada aspek administratif dan non administratif Menggunakan pendekatan kombinasi direktif-kolaboratif-non direktif Mempunyai program pembelajaran yang beragam Mempunyai bentuk dan pola pembinaan yang terarah Memberdayakan forum PB melalui kegiatan konkret seperti memberikan dana pembinaan, ruang sekretariat dan pembahasan program kerja Menyediakan wadah atau sarana untuk berekspresi misalnya bulletin PNF yang terbit triwulan Penyelesaian masalah secara bersama
Pemahaman kepala SKB tentang supervisi relatif belum memadai Kepala SKB hanya melakukan kunjungan kelas kepada kelompok belajar yang berada didalam kampus Kepemimpinan kepala kurang kuat, kurang memberikan contoh tentang suatu tindakan misalnya kedisiplinan atau ketertiban kerja Kurang menekankan pada kedisiplinan Menekankan pada aspek administratif Menggunakan pendekatan direktifkolaboratif Program pembelajaran masih relatif sedikit Pola pembinaan profesionalisme PB belum memilki yang jelas, kebanyakan masih bersifat insidentil atau takterprogram Menyerahkan sepenuhnya keberlansungan forum kepada ketua dan anggota Penyediaan sarana atau wadah seperti bulletin PNF tida ada Penyelesaian masalah bersifat mandiri, diserahkan kepada individu masingmasing
KESIMPULAN Berdasarkan fokus penelitian, paparan data dan temuan penelitian serta pembahasan lintas kasus, maka hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Pembinaan profesionalisme PB dilakukan melalui kegiatan (1) pengarahan, bimbingan teknis, kunjungan kelas dan diskusi, (2) pendidikan dan latihan, (3) penugasan akademik dan (4) forum PB. Teknik pembinaan meliputi (1) teknik individu antara lain kunjungan kelas, pertemuan pribadi, pengamatan lansung dan (2) teknik kelompok antara lain diskusi, rapat-rapat, dan workshops. Pembinaan profesionalisme PB masih menekankan pada pembinaan aspek administratif dari pada non administratif yaitu terkait dengan pembelajaran.
14
Di samping itu hasil penelitian juga menunjukan bahwa kepala SKB mempunyai kesadaran, komitmen dan tanggung jawab yang cukup tinggi terhadap pentingnya meningkatkan dan mengembangkan kemampuan professional PB secara terus menerus, karena secara langsung akan berdampak kepada peningkatan kualitas pelaksanaan pembelajaran dan hasil-hasil pembelajaran di kejar PNF salah satunya adalah kejar kesetaraan. Pembinaan profesionalisme PB bertujuan (1) mencapai pertumbuhan profesional PB diantaranya adalah pertumbuhan profesional, pertumbuhan personal dan pertumbuhan sosial, (2) meningkatkan kemampuan PB dalam pembelajaran diantaranya menyusun perencanaan pembelajaran, memilih strategi pembelajaran, mengelola pembelajaran, menggunakan alat peraga atau media pembelajaran, dan melakukan evaluasi belajar atau penilaian kelas, (3) meningkatkan motivasi, komitmen dan tanggung jawab terhadap pekerjaan PB. Sedangkan pembinaan dalam peningkatan kualitas pembelajaran kelompok belajar kesetaraan oleh kedua kepala SKB meliputi (1) penyusunan rencana pembelajaran, (2) pengelolaan pembelajaran, (3) penggunaan alat peraga (teaching aids) dan (4) penyusunan evaluasi belajar atau penilaian belajar. Pembinaan tersebut bertujuan untuk (1) memperbaiki kualitas pembelajaran, (2) meningkatkan kualitas pelaksanaan PBM dan hasil-hasil pembelajaran dan (3) mengembangkan kemampuan profesional PB. Bentuk-bentuk pembinaan yang dilakukan oleh kepala SKB meliputi (1) program rintisan gelar S1, (2) pendidikan dalam jabatan, (3) pendidikan dan latihan, (4) seminar, lokakarya dan bimbingan teknis. Meskipun pada temuan menunjukan bahwa pembinaan yang paling sering diikuti oleh PB adalah kegiatan yang bersifat inservice training. Berkenaan dengan pembinaan pada aspek penyusunan perencanaan pembelajaran, pembinaan ini bertujuan agar PB mempunyai kemampuan yang memadai dalam menyusun SAP terutama pada aspek perumusan tujuan pembelajaran, Sedangkan pada aspek pengelolaan pembelajaran, pembinaan bertujuan untuk meningkatkan ketrampilan PB dalam menciptakan suasana pembelajaran di kelas yang menarik dan menyenangkan. Pada aspek penggunaan alat peraga, pembinaan bertujuan agar PB mempunyai kemampuan yang memadai dalam memanfaatkan dan menggunakan alat
15
peraga sehingga penyampaian pelajaran dapat lebuh mudah diterima oleh warga belajar paket B setara SMP dan paket C setara SMA. Terakhir adalah pada aspek penilaian belajar atau evaluasi belajar, pembinaan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan PB dalam menyusun dan mengembangkan prosedur melakukan evaluasi atau penilaian. 2. Pelaksanaan pembinaan profesionalisme PB melalui kegiatan Diklat dilakukan oleh berbagai instansi diantaranya (1) di tingkat pusat; Dit PTK-PNF Depdiknas RI, (2) di tingkat regional; BPPLSP reg IV Surabaya, (3) di tingkat propinsi; BPKBM NTB dan Dikpora propinsi NTB dan (4) ditingkat kabupaten; SKB dan Diknas kabupaten. Bentuk kegiatan pembinaan melalui program ini diantaranya pelatihan, diskusi terfokus, lokakarya, workshops, kursus dan magang, dan semua PB SKB telah mengikuti program-program Diklat. Program Diklat yang telah dilakukan oleh kepala SKB selalu dilakukan kegiatan identifikasi kebutuhan, perencanaan dan analisis kebutuhan Diklat. Meskipun pada kedua SKB prosedur tersebut masih belum maksimal dilakukan. 3. Pelaksanaan pembinaan melalui penugasan akademik masih belum maksimal. Hal ini terjadi karena kemampuan kepala SKB serta minimnya sarana atau wadah untuk menampung kreatifitas PB masih terbatas. Kegiatan penugasan akademik kurang diminati, kebanyakan PB yang masih muda (usia kurang dari 40 tahun) bermotifasi tinggi terhadap tugas-tugas tersebut. Pembinaan melalui aspek ini bertujuan (1) meningkatkan kemampuan berfikir ilmiah, (2) mengembangkan wawasan keilmuan. Pembinaan pada aspek ini dilakukan melalui kegiatan penelitian tindakan dan bimbingan intensif. 4. Pelaksanaan pembinaan melalui forum PB dilakukan dengan (1) memaksimalkan peran ketua forum PB, (2) memberikan dorongan dan motivasi, (3) memfasilitasi program-program forum PB. Untuk di kasus I, kepala SKB memberikan dana pembinaan dan memberikan ruang sekretariat. Pembinaan ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan mewadahi kreatifitas PB, sehingga keberadaanya mampu menjadi mitra kepala SKB dalam meningkatkan kualitas penyelenggaraan program-program PNF di SKB. Kegiatan dalam forum PB meliputi diskusi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran, peningkatan kualitas
16
pembelajaran, penerapan inovasi pembelajaran, dan peningkatan kesejahteraan, penghargaan dan perlindungan PB. 5. Hambatan dalam pelaksanaan pembinaan profesionalisme bermakna segala bentuk kegiatan yang menyebabkan kegagalan atau ketidakberhasilan dalam mencapai tujuan pembinaan professional. Hambatan dalam pembinaan profesionalisme PB meliputi (1) sikap dan perilaku PB terutama perilaku negatif diantaranya rendah motivasi, psimis, merasa diri paling pintar, mudah putus asa, (2) lingkungan kerja atau kondisi pekerjaan, (3) penghargaan atau perhatian dan (4) hubungan komunikasi antara kepala dan staf. 6. Keberhasilan pembinaan profesionalisme bermakna segala bentuk kegiatan yang mendorong atau mendukung keberhasilan atau kesuksesan pencapaian tujuan pembinaan profesional. Faktor yang mendukung keberhasilan dalam pembinaan profesionalisme PB meliputi (1) kompetensi kepala SKB terutama kompetensi supervisi., (2) kepedulian dan perhatian kepala terutama intensitas kunjungan kelas atau kelompok belajar kesetaraan, (3) kepemimpinan yang kuat, ditujukan melalui kemampuan dalam memberikan arahan, bimbingan, motivasi, (4) suri tauladan kepala SKB, melalui pemberian contoh-contoh yang baik salah satunya adalah kedisiplinan, ketertiban dan taat asas, (5) sikap postif dari kepala SKB dan PB terhadap bentukbentuk pembinaan yang dilakukan oleh pimpinan.
Saran-Saran Berdasarkan simpulan hasil penelitian, maka disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Kepada Kepala SKB, khususnya SKB Lombok Barat dan SKB Sumbawa 1.1. Pembinaan kepada PB sebaiknya lebih menekankan pada pembinaan non administratif yaitu hal yang berkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran, strategi pembelajaran dan peningkatan hasil-hasil belajar warga belajar. 1.2. Dalam kegiatan pembelajaran, kepala SKB harus lebih sering melakukan kunjungan atau memantau pelaksanaan PBM, hal ini bermanfaat untuk menentukan tindakan atau bentuk bantuan yang akan diberikan kepada PB. Selain itu kegiatan tersebut dapat digunakan juga sebagai masukan atau evaluasi program.
17
1.3. Pelaksanaan program Diklat sebaiknya dilakukan melalui prosedur yang profesional diantaranya (1) kegiatan identifikasi kebutuhan Diklat, (2) analisis hasil identifikasi, (3) melakukan perencanaan yang matang dengan melibatkan semua stakeholders. Pengiriman peserta Diklat sebaiknya pula mengacu pada kompetensi, volume pekerjaan dan tanggung jawab tugas pekerjaan. 1.4. Memberikan perhatian dan penghargaan yang lebih baik kepada para PB yang melakukan tugas akademik. Hal ini penting dalam rangka mendorong PB lain untuk mau bersemangat menerima pekerjaan penugasan akademik. Kepala SKB sebaiknya pula memberikan pengarahan dan pembinaan secara intensif kepada para PB senior untuk mau menerima pekerjaan penugasa akademik. Peningkatan kualitas dan kuantitas terutama wadah yang dapat menampung kreatifitas PB sangat penting, salah satunya adalah volume penerbitan bulletin PNF di setiap SKB. 1.5. Meningkatkan dukungan dan siap memfasilitasi program-program forum PB, terutama melalui peningkatan jumlah dana pembinaan kepada forum PB. 1.6. Memanfaatkan hasil penelitian pembinaan profesionalisme PB sebagai bahan masukan atau informasi yang bermakna untuk perbaikan pelaksanaan pembinaan profesionalisme PB, sehingga tujuan pembinaan dapat tercapai dengan baik 2. Kepada kepala Dinas Pendidikan, khususnya di kabupaten Lombok Barat dan kabupaten Sumbawa 2.1. Memberikan pembinaan secara intensif kepada kepala SKB, terutama tentang supervisi pendidikan 2.2. Mengalokasikan anggaran peningkatan mutu (SDM) SKB melalui dana APBD II secara memadai. 2.3. Dalam mengangkat kepala SKB, maka kepala Dinas Pendidikan harus mempertimbangkan aspek kompetensi pembelajaran atau pengajaran, seperti kepala sekolah di SD/SMP/SMA, karena fungsi SKB sepadan dengan fungsi sekolah, terutama melayani masyarakat dalam pendidikan, memberdayakan dan mencerdaskan masyarakat. Hal ini sangat perlu dilakukan mengingat peran kepala SKB salah satunya adalah sebagai supervisor pendidikan, jadi kompetensi pembelajaran atau pengajaran akan sangat mendukung keberhasilan kepala SKB
18
pada pelaksanaan pembinaan profesionalisme PB dalam peningkatan kualitas pembelajaran kejar kesetaraan (paket B setara SMP dan paket C setara SMA). 2.4. Dalam rekrutmen, seleksi dan pengangkatan PB yang akan ditempatkan, pemerintah daerah kabupaten c.q. Dinas Pendidikan kabupaten sebaiknya mempertimbangkan latar belakang pendidikan khsusnya pendidikan bidang studi seperti Matematika,bahasa Indonesia, bahasa Inggris, Ekonomi dan lain-lain, hal ini terkait dengan perannya sebagai pengajar di kejar kesetaraan (paket B setara SMP dan paket C setara SMA). 2.5. Memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai bahan masukan dan informasi terutama dalam pembuatan program-program pembinaan profesional bagi kepala SKB dan PB 3. Kepada PB SKB, khususnya SKB Lombok Barat dan SKB Sumbawa 3.1. Perlunya meningkatkan kemampuan PB pada kompetensi teknis, yaitu kemampuan dalam pembelajaran meliputi (1) kemampuan menyusun persiapan pembelajaran, (2) kemampuan menyusun strategi pembelajaran, (3) mengelola pembelajaran, (4) memilih dan membuat alat peraga atau media pembelajaran, (5) menggunakan alat peraga atau media pembelajaran, (6) melakukan evaluasi pembelajaran atau penilaian belajar. 3.2. Menjalin kemitraan dengan para guru di lingkungan pendidikan formal (SMP/SMA), dengan saling berbagi ilmu dan pengetahuan. 3.3. Mengembangkan sikap, perilaku dan nilai-nilai positif diantaranya saling menghargai, menghormati, kerjasama, percaya diri, optimis, disiplin, dan lain-lain di lingkungan kerja sehingga akan berdampak pada pelaksanaan pembinaan profesional PB. 3.4. PB harus proaktif meningkatkan kemampuan diri melalui belajar mandiri, membangun kemandirian baik secara individu maupun kelompok, tanpa harus banyak bergantung pada pimpinan (kepala SKB). 3.5. Perlunya mengembangkan supervisi kesejawatan, dalam rangka meningkatkan kualitas pembelajaran kejar kesetaraan, dimana masing-masing pihak terutama PB, aktif mengambil peran, saling mengisi dan bertukar pengalaman tentang pembelajaran. Pengembangan supervisi kesejawatan juga dapat meningkatkan
19
solidaritas, hubungan harmonis dan tanggung jawab terhadap pelaksanaan tugastugas kepamongan.
DAFTAR RUJUKAN Bogdan, .C & Biklen, W. (1982). Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Massachusetts: Allyn and Bacon,Inc Bafadal, I. (2006). Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar: dalam Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Bandung: Penerbit Bumi Aksara. Burton,W.H. (1975). Supervision. New York: Appleton Century Croft Burton,W.H. Kimbal, W, and Wing, R.L.(1962). Educational for Effective Thinking. New York: Appetion Century Crafits.Inc Burhanuddin, dkk. 2006. Supervisi Pendidikan dan Pengajaran: Konsep, Pendekatan, dan Penerapan Pembinaan Profesional. Malang: FIP Universitas Negeri Malang Dharma, A. (1985). Manajemen Supervisi: Petunjuk Praktis bagi para Supervisor. Jakarta: Rajagrafindo Persada Glickman,C.D. (1981). Development Supervision. Alexanderia: Association for Supervision and Curriculum Development. Glickman,C.D. dan Gordon,S.P. dan Ross-Gordon,J.M. (2004). Supervision and Instructional Leadership : A Developmental Approach. Boston: Pearson Gorton, R.A. (1976). School Administration and Supervision. End.ed. Bubuque. Iowa: Wm. C.BCP Gwynn,J.M. (1983). Theory and Practice of Supervision. New York: Mead Company Hamalik, O. (2001). Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara Harris, B.M. et.al. (1979). Personnel Administration in Educational. Boston: Allyn and Bacon. Inc Harris, B.M. (1985). Supervisory Behavior in Education. Printice-Hall. Englewood Cliffs, N.J Lovel J.T & Wiles, K. (1983). Supervision for Better School. New Jersey: PrinticeHall,Inc., Englewood Cliffs Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. (1985). Naturalistic Inquiry. California: SAGE Publication Miles, M.B & Huberman, A.M. (1992). Analisis Data Kualitatif (Penerjema Rohidi, R.T) Jakarta: Universitas Indonesia Press. Miles, M.B. & Huberman, A.M. (1984). Qualitative Data Analysis: A Source Book of New Methods. London: SAGEPublication Mantja, W. (2007). Profesionalisme Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran (Kumpulan Karya Tulis Terpublikasi). Malang: Penerbit Elang Mas. Mantja, W. (2002). Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Universitas Negeri Malang Moleong, L. (2000). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Nasution, S. (1988). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsido Neagley, R.L & Evans,N.D. (1980). Handbook for Effective Supervision of Instruction.
20
Prentice-Hall. Inc., Englewood Cliffts,NJ Oliva, P. F. (1984). Supervision for Today’s School. New York: Longman Inc. Owens, R.G. (1994). Organizational Behavior in Educational. New Jersey: PrinticeHall.Inc Patton, M.Q. (1980). Qualitative Evaluation Methods. Beverly-Hills, CA: SAGEPublication Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. (2005). Jakarta: Depdiknas RI Pidarta, M. (1986). Pemikiran tentang Supervisi Pendidikan. Sarana Press Prasetyaningsih, (2003). Pembinaan profesionalisme Pamong Belajar Melalui Program Pendidikan dan Pelatihan (Studi Kasus di SKB Kota Malang). Tesis tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang Richey, R.W. (1979). Planning for Teaching. New York:MGH Book Company Santrock, J.W. (2004). Educational Psychology, 2nd Edition. England: McGraw-Hill Company Sergiovanni,T.J. (1987). The Principalships: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon. Inc. Sergiovanni, T.J. dan Starratt, R.J. (1993). Supervison: Human Perspectives. New York: McGraw-Hill Book Company. Sergiovanni,T.J. dan Starratt, R.J. (1983). Supervison Human Perspectives. Third Edition. New York: McGraw-Hill Book Company Sahertian, P.A. (2000). Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan: dalam rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Rinika Cipta Spradley, J.P. (1997). Metode Etnografi. (Penerjemah Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana Spradley, J.P. (1980). Participant Observations. New York: Holt, Renehart and Winston Sumargono, (2003). Pembinaan profesionalisme Guru dalam Peningkatan Kualitas Pengajaran (Studi Kasus di SMAN 1 Jombang). Tesis tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang Tahalele, J.F. (1981). Kepemimpinan Pendidikan. Malang: Sub Proyek Penulisan Buku Pelajaran. Proyek Peningkatan dan Pengembangan Perguruan Tinggi.IKIP Malang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2005. Jakarta: Depdiknas RI Yin, R.K. (1987). Case Study Research: Design and Methods. Lexington, MA: Lexington Books
I. PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan merupakan aspek penting. Di Indonesia pendidikan dikemas dalam suatu sistem yang dikenal dengan istilah Sistem Pendidikan
Nasional
(Sisdiknas).
Tujuan
pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (pasal 3 UU No. 20 tahun 2003). Dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional itu maka pemerintah telah menetapkan 3 (tiga) dalam pelaksanaan sistem pendidikan nasional, yaitu: jalur pendidikan formal, jalur pendidikan nonformal, dan jalur pendidikan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya (pasal 13 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003). Ketiga jalur pendidikan tersebut memiliki fungsi yang sama, yaitu mengembangkan kemampuan dan meningkatkan mutu kehidupan serta martabat manusia Indonesia dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Untuk mengoptimalkan ketiga jalur pendidikan tersebut, diperlukan pemberdayaan pada tingkat kelembagaan masing-masing jalur pendidikan itu dalam bentuk partisipasi aktif masyarakat. Jelaslah kiranya optimalisasi jalur-jalur pendidikan tersebut ditujukan dalam upaya peningkatan kualitas sumberdaya manusia sebagai prioritas utama. Upaya peningkatan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui pencapaian kualitas pendidikan dan pengajaran, baik berupa pengajaran formal di sekolah pelatihan keterampilan tertentu (Nadler, 1982). Dengan bekal keterampilan itu peserta didik akan memiliki kecekatan, kecakapan, dan kepiawaian dalam melakukan berbagai kegiatan yang memiliki nilai manfaat dan kontributif terhadap pembangunan nasional. Pendidikan pengajaran, pelatihan keterampilan juga dapat diperoleh melalui
lembaga-lembaga pendidikan nonformal di samping juga bisa diperoleh dari pendidikan formal. Dalam penyelenggaraan pendidikan formal seringkali ditemukan aspek kelemahan implementatif yang mengakibatkan lulusan pendidikan formal tidak secara mudah dapat langsung memasuki dunia kerja. Hal itu disampaikan oleh Sarjono (Majalah Gentengkali, 2002) bahwa ada kelemahan implementatif yang ditandai oleh empat kecenderungan utama dalam penyelenggaraan pendidikan dasar dan menengah di Indonesia selama ini, yaitu: (1) penyelenggaraan pendidikan cenderung berorientasi akademis intelektual dalam mempersiapkan siswa pendidikan dasar dan menengah untuk memasuki jenjang pendidikan berikutnya yang berwatak akademis, (2) sistem pembelajaran yang cenderung mengabaikan kecakapan yang sebenarnya sangat perlu dimiliki dan dibutuhkan oleh para peserta didik dalam kehidupan sehari-hari, (3) sekolah umum non Kejuruan tidak memiliki suatu program bimbingan karir alternatif yang dapat membekali peserta didik dengan kecakapan tertentu, dan (4) sekolah-sekolah non Kejuruan pada umumnya tidak dirancang dan dikembangkan berdasarkan kebutuhan dan perkembangan dunia kerja. Kelemahan umum penyelenggaraan pendidikan formal lainnya, yaitu: penyelenggaraan pendidikan relatif mahal, cenderung kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan dunia kerja, dan fleksibilitas muatan kurikulum kurang memadai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat. Penyelenggaraan pendidikan pada jalur nonformal diharapkan dapat menjembatani kesenjangan yang terjadi pada jalur pendidikan formal. Sudjana (2000) mengemukakan bahwa kehadiran pendidikan luar sekolah atau nonformal dipandang telah memberi berbagai manfaat. Pendidikan luar sekolah sekurang-kurangnya dapat menjawab masalah-masalah umum yang dihadapi oleh penyelenggaraan pendidikan formal yaitu dari pembiayaan yang relatif mahal, relevansi muatan pendidikan, dan fleksibilitas pendidikan. Dalam penyusunan program pendidikan nonformal, penyelenggara dapat menggunakan beberapa langkah yaitu: Pertama adalah tahap perencanaan (planning), pada tahap ini meliputi kajian dan deskripsi tentang masalah yang dihadapi, tujuan,
hasil yang diharapkan, dan lingkup kegiatan dalam melaksanakan program pendidikan nonformal. Kedua tahap pengorganisasian (organizing), meliputi pengelompokan program pendidikan dan bahan ajar, penyusunan ketenagakerjaan, organisasi, fasilitas, dan daya dukung lainnya untuk menjamin kelancaran pelaksanaan program pendidikan. Ketiga penggerakan (actuating), yang terdiri atas upaya yang dilakukan baik oleh pimpinan organisasi terhadap stafnya maupun yang dilakukan oleh tenaga pendidik (tutor atau fasilitator) terhadap peserta didik agar proses belajar mengajar dapat berjalan sesuai dengan rencana bersama untuk mencapai
tujuan
organisasi.
Keempat
pengawasan
(controlling),
meliputi
pengendalian terhadap proses yang telah direncanakan, kegiatan pengumpulan semua informasi yang berkenaan dengan proses pelaksanaan perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, hasil untuk dijadikan bahan dalam pengambilan keputusan. Keputusan tersebut berkaitan dengan upaya untuk memperbaiki dan mengembangkan program, pengembangan ini menunjukkan bahwa pendidikan nonformal adalah berkelanjutan, bergerak seperti lingkaran spiral yang semakin lama semakin meningkat. Pare sebagai daerah yang dikenal memiliki cukup banyak lembaga kursus bahasa Inggris, yaitu lembaga kursus yang berada di Desa Tulungrejo adalah Mahesa Institute, KRESNA, Effective English Conversation Course (EECC), Dynamic English Course (DEC), Ocean Course, Daffodil Course, Acces Course, GENTA Course, GECA Course, ELFAST, Able and Final Course, BUTTERFLY Course, BEST Course. Sedangkan lembaga kursus bahasa Inggris di Desa Pelem anatara lain adalah BEC (Basic English Course), HEC (Happy English Course), Universe Course, RHIMA Course, HARVARD Course, FEE CENTER Course, LIBERTY Course, dan ELLOY Course, dan banyak juga tempat kost yang dijadikan asrama bahasa Inggris dengan istilah English Area. Dengan banyaknya lembaga kursus bahasa Inggris di Pare menjadikan setiap pengelolanya bersaing dengan ciri dan kemampuan lebih yang beraneka ragam. BEC sebagai lembaga kursus bahasa Inggris yang tertua sudah terkenal dengan mempunyai suatu ciri dan karateristik, begitu pula dengan SMART ILC juga memiliki ciri dan
karateristik yang sangat khas yang dapat dilihat dari peserta didik yang sedang atau telah mengalami pembelajaran di lembaga tersebut. Lembaga kursus SMART ILC berinteraksi dengan masyarakat asli Tulungrejo sebagai tuan rumah daerah tersebut. Hubungan interaksi tersebut dilakukan dengan mengadakan kerja sama yaitu dengan menyewa rumah-rumah penduduk sebagai tempat pembelajaran baik dengan sistem persekolahan maupun sebagai tempat kegiatan pembelajaran dengan sistem asrama. Selain lembaga SMART ILC membutuhkan rumah-rumah penduduk sebagai tempat kegiatan pembelajaran dengan sistem sewa, peserta didik juga membutuhkan rumah-rumah penduduk sebagai tempat tinggal atau tempat, biasa ini dilakukan oleh peserta didik yang tidak mengikuti pembelajaran dengan sistem asrama. Bagi peserta didik yang mengikuti pembelajaran dengan sistem asrama, selain asrama tersebut dijadikan tempat kost juga dijadikan sebagai tempat kegiatan pembelajaran yang dikenal dengan istilah English Area. B.
Fokus Penelitian Berdasarkan konteks penelitian di atas, maka penelitian ini akan difokuskan
pada hal-hal yang berkaitan dengan peranan lembaga kursus bahasa Inggris SMART International Language College dalam pembangunan pendidikan masyarakat Tulungrejo Pare Kediri, yang dijabarkan sebagai berikut: 1. Peranan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dalam pembangunan pendidikan masyarakat asli Tulungrejo Pare Kediri. 2. Peranan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dalam pembangunan pendidikan masyarakat pendatang Tulungrejo Pare Kediri. 3. Upaya-upaya stakeholders dalam penerapan fungsi peranan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dalam pembangunan pendidikan masyarakat Tulungrejo Pare Kediri. 4. Motivasi peserta didik dalam mengikuti kursus di SMART ILC Pare Kediri.
C.
Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh
paparan yang jelas dan rinci mengenai: 1. Mendeskripsikan peranan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dalam pembangunan pendidikan masyarakat asli Tulungrejo Pare Kediri. 2. Mengidentifikasi peranan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dalam pembangunan pendidikan masyarakat pendatang Tulungrejo Pare Kediri. 3. Memaparkan upaya-upaya stakeholders dalam penerapan fungsi peranan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dalam pembangunan pendidikan masyarakat Tulungrejo Pare Kediri. 4. Mendeskripsikan motivasi peserta didik dalam mengikuti kursus di SMART ILC Pare Kediri. II. METODE PENELITIAN A.
Pendekatan Penelitian Jenis Penelitian digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif. Dikatakan
demikian karena jenis penelitian ini mempunyai ciri-ciri antara lain setting yang aktual, peneliti adalah instrumen kunci, data bersifat deskriptif, menekankan kepada proses, analisis datanya bersifat induktif, dan meaning (pemaknaan) tiap even adalah merupakan perhatian yang esensial dalam penelitian kualitatif (Bogdan & Biklen, 1998:4-7). Dikatakan deskriptif, karena sesuai dengan tujuan penelitian yaitu mendeskripsikan peristiwa sosial, selain itu karena dapat mengungkapkan peristiwaperistiwa riil dilapangan, juga dapat mengungkapkan nilai-nilai yang tersembunyi (hidden value), lebih peka terhadap informasi-informasi yang bersifat deskriptif dan berusaha mempertahankan keutuhan obyek yang diteliti, Moleong (2002). B. Rancangan Penelitian Penelitian kualitatif ini menggunakan rancangan studi kasus yang berusaha mendeskripsikan suatu latar, suatu obyek atau suatu peristiwa tertentu secara rinci dan mendalam (Bogdan & Biklen, 1998). Rancangan studi kasus dalam penelitian ini yaitu: (1) studi kasus observasional (Bogdan & Biklen, 1998), artinya peneliti hanya
mengamati apa yang terjadi di lapangan yakni suatu peristiwa yang berkenaan dengan peranan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dalam pembangunan pendidikan masyarakat Tulungrejo Pare; (2) studi kasus tunggal terpancang (Yin, 1997), artinya peneliti
hanya memusatkan perhatiannya pada kasus yang telah
ditetapkan sesuai dengan fokus penelitian yang telah dirumuskan. C. Prosedur Pengumpulan Data Menurut Nasution (1988) pengumpulan data dalam penelitian kualitatif dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, melakukan orientasi dimana peneliti perlu mengumpulkan data secara umum dan luas tentang hal-hal yang menonjol, penting, dan menarik untuk diteliti lebih mendalam. Tahap kedua, melakukan eksplorasi pengumpulan data yang dilakukan lebih terarah sesuai dengan fokus penelitian serta mengetahui sumber data atau informan yang kompeten dan memiliki pengetahuan yang cukup banyak tentang hal yang akan diteliti. Tahap ketiga, melakukan penelitian terfokus, yaitu dengan mengembangkan penelitian eksploratif terhadap fokus penelitian. Untuk mendapatkan data yang valid maka peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu: wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi. D. Analisis Data Dalam penelitian ini peneliti melakukan analisis data mengacu kepada tahapan yang dijelaskan Miles dan Huberman (1987:22) yang terdiri dari tiga tahapan yaitu: reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing/verivication). E. Keabsahan Data Untuk memeriksa keabsahan data yang meliputi tingkat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependabibility), dan kepastian (confirmability) dari hasil penelitian ini, serta melakukan seminar secara terbuka dengan mengundang teman sejawat dan dosen pembimbing. III. HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian 1. Letak Kecamatan Pare Secara geografis wilayah kecamatan Pare berbatasan dengan tiga kecamatan yang termasuk dalam wilayah kabupaten Kediri, yaitu wilayah sebelah barat berbatasan dengan kecamatan Plemahan, sebelah selatan berbatasan dengan kecamatan Gurah, sebelah timur berbatasan dengan kecamatan Puncu dan sebelah utara berbatasan dengan kabupaten Jombang. Luas wilayah kecamatan Pare 7.732,13 ha., yang terdiri dari 18 desa atau kelurahan dan berada pada ketinggian 132 m di atas permukaan air laut dengan suhu udara antara 230C sampai 240C (menurut data kecamatan). 2. Letak dan Kondisi Desa Tulungrejo Desa Tulungrejo adalah salah satu desa yang ada di Kecamatan Pare. Desa Tulungrejo berbatasan dengan desa Pelem di sebelah Barat, di sebelah Timur berbatasan dengan kelurahan kota Pare, di sebelah Utara berbatasan dengan desa Bringin dan di sebelah Selatan berbatasan dengan desa Gedangsewu. Luas wilayah desa Tulungrejo adalah 425,255 ha. Masyarakat Desa Tulungrejo banyak yang berprofesi sebagai petani dan berternak dengan dengan memanfaatkan sumber daya alam. Hal ini sebabkan karena desa Tulungrejo mempunyai kesuburan tanah yang baik, serta debit air yang sangat banyak karena berdekatan dengan gunung Kelud, sehingga kondisi tersebut sangat baik untuk pertanian dan perikanan. Situasi desa Tulungrejo pada dasarnya sepi, hal ini bisa dilihat pada saat Hari Raya Idul Fitri. Pada saat itu sangat jelas terlihat situasi desa Tulungrejo yang sebenarnya. Desa Tulungrejo kembali ramai setelah seminggu dari Hari Raya Idul Fitri yaitu dengan berdatangannya para peserta didik untuk mulai atau melanjutkan program belajarnya di lembaga kursus bahasa Inggris. Jadi ramainya situasi desa Tulungrejo disebabkan karena banyaknya peserta didik yang datang ke Tulungrejo untuk mengikuti pembelajaran kursus bahasa Inggris. Hal ini pada perkembangannya
menyebabkan lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris semakin banyak karena adanya peminat yang semakin meningkat. B. Peranan Lembaga SMART Masyarakat Asli Tulungrejo
ILC
dalam
Pembangunan
Pendidikan
Secara umum pengaruh adanya lembaga kursus bahasa Inggris terhadap masyarakat asli Tulungrejo adalah baik. Hal ini nampak seperti yang dilakukan oleh lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dalam kegiatan bakti sosial dengan memberikan sumbangan sembako (sembilan bahan pokok), pakaian layak pakai, donor darah dan sebagainya. Tetapi dilihat dari aspek pendidikan peranan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC masih minim. Hal ini terlihat dari dukungan masyarakat Tulungrejo untuk berpartisipasi dalam mengikutsertakan anak-anak mereka dalam program kursus bahasa Inggris, dan hal ini juga dialami secara umum pada lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris di Pare. Program untuk melibatkan masyarakat telah dilakukan oleh SMART ILC dengan mengadakan kursus bahasa Inggris program liburan bagi siswa SD. Pihak lembaga SMART ILC juga memberi potongan biaya terhadap peserta didik yang berasal dari masyarakat asli Tulungrejo dan sekitarnya bahkan biaya digratiskan bagi penduduk yang kurang mampu. Potongan harga dan pembebasan biaya (gratis) dalam mengikuti program bahasa Inggris di SMART ILC ini masih belum mendapat tanggapan yang signifikan, hanya ada dari beberapa peserta didik yang berasal dari anak-anak asli Tulungrejo dan itu masih relatif sedikit. Sehingga lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC harus benar-benar berusaha memberdayakan masyarakat Tulungrejo pada khususnya dan masyarakat sekitar tempat lembaga tersebut berada pada umumnya, dengan mengikutsertakan mereka dalam pendidikan di lembaga tersebut dengan berbagai cara. Diantaranya dari beberapa peserta didik yang berasal dari masyarakat asli Tulungrejo, mereka dijadikan sebagai tenaga pengajar pada lembaga tersebut, tetapi tentunya dengan kriteria tertentu. Hal ini diharapkan menjadi stimulan bagi masyarakat atau penduduk asli Tulungrejo agar berpartisipasi dalam pendidikan bahasa Inggris khususnya dan pada pendidikan pada umumnya.
C. Peranan Lembaga Kursus Bahasa Inggris SMART ILC Pembangunan Pendidikan Masyarakat Pendatang Tulungrejo Pare
dalam
Lembaga SMART ILC tersebut didirikan atas dasar. Keinginan besar untuk ikut terllibat secara aktif dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai sebuah karya nyata bagi bangsa. Adanya suatu rekomendasi dari beberapa peserta didik dan tenaga pengajar bahasa Inggris pada lembaga kursus bahasa Inggris di Pare bahwa ada pergeseran orientasi pendidikan. Pergeseran tersebut adalah dari “educative oriented” ke “business oriented” dengan berdirinya lembaga-lembaga kursus bahasa Inggris baru yang tidak diimbangi dengan kualitas lulusannya. Nama Pare besar dan terkenal karena predikat Pare yang mempunyai semangat belajar tinggi dalam belajar bahasa Inggris. Dengan demikian alasan ketiga inilah lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC lahir.
Lembaga tersebut melayani kebutuhan peserta didiknya dalam penguasaan pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris yang mereka tidak dapatkan dalam pendidikan formal yang mereka ikuti. Peserta didik yang berasal dari berbagai kalangan mengikuti pembelajaran bahasa Inggris dengan berbagai tujuan atau alasan. Diantaranya adalah untuk mengisi liburan untuk mempersiapkan dalam mengikuti ujian masuk perguruan tinggi yang dikenal dengan SPMB, melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi misalnya dari Stara 1 (S-1) ke Strata 2 (S-2), persiapan mengikuti ujian TOEFL sebagai syarat mendapatkan beasiswa belajar ke luar negeri, persiapan memasuki dunia kerja, menambah kemampuan tenaga-tenaga pengajar di lembaga pendidikan tertentu, dan lain sebagainya. D. Program-program Pembelajaran Kursus Bahasa Inggris di SMART ILC 1. Program Reguler Lembaga SMART ILC menyelenggarakan program-program sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan dari peserta didik. Peserta didik yang telah menyelesaikan progran Pre Grammar (program untuk pemula), tidak secara serta merta dapat mengikuti atau melanjutkan ke progran selanjutnya (PC, MC, dan HC), tetapi harus
dengan melalui test penyaringan yang disebut dengan Placement Test. Hal ini dimaksudkan bahwa dari setiap program tersebut memiliki standar minimal yang harus dipenuhi oleh setiap peserta didik yang akan mengikutinya. Dengan demikian kemampuan peserta didik pada suatu program lanjutan sudah dapat diketahui oleh pengajar sehingga akan mempermudah penyajian materi pembelajaran dalam kelas dan akan menjaga kualitas peserta didik. Peserta didik yang mempunyai kemampuan lebih, mereka dapat mencoba kemampuannya dengan cara mengikuti Placement Test meskipun program yang diikutinya masih berlangsung atau belum selesai. Hal ini dimaksudkan pertama, untuk memberikan motivasi kepada peserta didik agar mereka mangasah kemampuannya dan tidak tergantung kepada tenaga pengajar. Kedua, untuk memberi peluang kepada peserta didik yang mempunyai kemampuan lebih dalam menyelesaikan program pada waktu yang lebih cepat tetapi tetap dengan kualitas yang bisa dipertanggungjawabkan. 2. Program Asrama (Dormitory) Dalam program Speaking, lembaga SMART ILC mengelolanya dalam sistem asrama. Hal ini maksudkan karena program Speaking tidak akan berjalan efektif apabila hanya berlangsung di dalam kelas. Program ini di dalamnya terdapat program English Area. Program English area adalah selain diberi pengetahuan tentang speaking atau percakapan, peserta didik diharuskan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi sahari-hari di dalam asrama, baik peserta didik dengan tutor asrama maupun peserta dengan sesama peserta didik, karena asrama ini juga sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal peserta didik atau tempat kost. Program asrama atau English Area pada lembaga SMART ILC disebut dengan SMART DORMITORY yang disingkat dengan STORY. Program asrama itu tidak diwajibkan kepada setiap peserta didik yang mengiktui program regular (PG, PC, MC, dan HC), dan juga bisa diikuti oleh peserta didik yang mengikuti kursus bahasa Inggris pada lembaga kursus bahasa Inggris selain SMART ILC. Program reguler (grammar) dan program asrama (speaking) bisa diikuti oleh peserta didik SMART ILC secara bersamaan.
3. Program Aplication Selain program tersebut, lembaga SMART ILC juga menyelenggarakan program kursus bahasa Inggris pada saat liburan, baik liburan sekolah maupun liburan kuliah. Biasanya program liburan ini bersamaan dengan pada saat liburan bulan Ramadhan atau bulan Puasa. Program ini antara lain program Reading, Writing, dan Listening. Program ini dirancang sedemikian rupa oleh pengelola SMART ILC untuk membekali peserta didiknya pada aspek-aspek tertentu sesuai program yang dipilih dalam waktu yang cukup singkat yaitu selama 1 bulan. Disamping program liburan juga diselenggarakan program ujian TOEFL yang dilaksanakan pada setiap 4 bulan. Hal ini sesuai dengan tujuan akhir dari pembelajaran kursus bahasa Inggris pada lembaga ini yaitu bermuara di TOEFL. Dengan demikian peserta didik yang telah mengikuti program PG, PC, MC, dan HC yang masing-masing dari program tersebut ditempuh selama 1 bulan dengan jumlah semua waktu program adalah 4 bulan dapat mencoba kemampuannya dengan mengikuti ujian TOEFL. Program pembelajaran terbaru yang buat oleh SMART ILC adalah program Grammar dalam bentuk asrama. Program ini adalah satu-satunya program yang ada di Pare yang dimiliki oleh SMART ILC. Dalam program ini peserta didik diberi materi Grammar dan materi metode pembelajaran bahasa Inggris sebagai bekal untuk mengajar dan atau membuat lembaga kursus bahasa Inggris, dengan nama S’CREAM singkatan dari Smart Camp Of Regulary Extensive Grammar. E. Usaha-usaha Stakeholders dalam Memfungsikan Peranan Lembaga Kursus Bahasa Inggris SMART ILC dalam Pembangunan Pendidikan Masyarakat Tulungrejo Pare Dalam beradaptasi lembaga SMART ILC berinteraksi dengan masyarakat sekitar yaitu masyarakat asli Tulungrejo. Dalam hal itu masyarakat asli Tulungrejo mendapatkan keuntungan dari segi ekonomi. Mereka menyewakan rumah-rumahnya kepada lembaga SMARTILC sebagai tempat pembelajaran, baik kegiatan pembelajaran kursus dengan sistem seperti persekolahan maupun dengan sistem asrama. Begitu pula dengan masyarakat pengguna jasa layanan pendidikan lembaga
itu membutuhkan tempat tinggal dengan menyewa rumah-rumah penduduk sekitar dengan istilah kost. Sedangkan dari segi pendidikan, peserta didik sebagai masyarakat pengguna jasa layanan pendidikan lembaga SMART ILC memberikan kontribusi kritik dan masukan saran kepada lembaga tersebut. Kontribusi-kontribusi tersebut sangat diperlukan oleh pengelola lembaga untuk mendapatkan masukan sebagai evaluasi kerja dalam pengelolaan lembaga. Dengan demikian lembaga tersebut akan mengetahui kekurangan-kekurangan yang dimiliki yang selanjutnya harus dibenahi sebagai upaya peningkatan pencapaian tujuan lembaga. Peserta didik dalam memberikan sumbangan masukan saran kepada lembaga dilakukan dalam 2 bentuk, yaitu pertama, secara formal yang dilakukan oleh setiap peserta didik pada tiap akhir program pembelajaran Kedua, secara nonformal yang bisa dilakukan oleh peserta didik pada setiap saat dan dilakukan juga oleh peserta didik setelah mereka menjadi alumni baik dengan cara surat menyurat maupun dengan cara mendatangi lembaga tersebut (reuni) untuk memberikan informasiinformasi yang alumni dapatkan setelah mereka selesai mengikuti pembelajaran pada lembaga SMART ILC. Hal itu menyebabkan
hubungan antara lembaga dengan
alumni sebagai masyarakat pengguna jasanya tetap dapat terjalin. Demikian juga yang dilakukan masyarakat sekitar lembaga tersebut, mereka memberikan masukan kepada pengelola lembaga SMART ILC baik dalam hal sosial kemasyarakatan maupun dalam hal pendidikan. Masukan dari masyarakat sekitar kepada lembaga SMART ILC dalam hal pendidikan adalah memberikan informasi-informasi tentang aktifitas peserta didik lembaga tersebut pada saat berada di kost. Informasi tersebut sangat diperlukan untuk mendapatkan masukan saran dari masyarakat sekitar tentang perkembangan peserta didiknya pada saat di luar waktu pembelajaran. Hubungan tersebut terjalin sudah cukup lama dan terus berlangsung sampai sekarang V. PEMBAHASAN A. Peranan Lembaga Kursus Bahasa Inggris SMART Pembangunan Pendidikan Masyarakat Asli Tulungrejo Pare
ILC
dalam
Lembaga SMART ILC merupakan lembaga pembelajaran nonformal yang menyelenggarakan pendidikan dengan bentuk kursus bahasa Inggris sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam bidang penguasaan pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris. Temuan penelitian menunjukkan bahwa lembaga SMART ILC senantiasa memiliki peminat yang cukup banyak karena peserta didik yang telah selesai mengikuti pembelajaran bahasa Inggris di lembaga tersebut dinilai cukup berhasil. Keberhasilan peserta didik tersebut dapat dilihat setelah mereka menyelesaikan program-program yang diikutinya dan mereka mampu menggunakan kemampuan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh dimana peserta didik berada. Hal ini sajalan dengan pendapat Coombs (1984) bahwa pendidikan yang tepat seperti kursus dapat dijadikan sebagai suatu alternatif untuk mendapatkan pendidikan selain pendidikan formal. Pemerolehan pengetahuan dan keterampilan berbahasa asing khususnya bahasa Inggris dapat digunakan dalam meningkatkan taraf hidup, melepaskan diri dari pengangguran dan kemiskinan. Dalam kaitan ini kursus memiliki peran strategis dalam memenuhi kebutuhan peserta didik yang terus berkembang. Keberadaan lembaga ini seharusnya berfungsi untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat asli Tulungrejo dimana lembaga tersebut berada. Peranan dalam aspek pendidikan ini sesuai dengan pendidikan sepajang hayat (life long education) untuk memenuhi kebutuhan belajar (learning needs) dan kebutuhan pendidikan (educating needs). Hal ini bertujuan untuk menumbuhkan masyarakat gemar belajar (learning society). Masyarakat gemar belajar mengandung makna perubahan masyarakat dari situasi kehidupan semu, yang disebut dengan keadaan mimpi (dreaming society) atau menghayal ke arah masyarakat berencana (planning society). Kehidupan semu digambarkan oleh Freire (1972) sebagai suasana kehidupan masyarakat yang merasa tertekan, masa bodoh, tercekam, dalam derita kehidupan, sehingga masyarakat berada dalam kondisi budaya diam (silence culture). Temuan penelitian di lapangan, bahwa keberadaan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC belum dapat berperan dalam pembangunan pendidikan masyarakat asli Tulungrejo secara penuh. Hal ini terlihat dari partisipasi masyarakat
asli Tulungrejo terhadap program-program pembelajaran bahasa Inggris yang diselenggarakan oleh SMART ILC belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh masyarakat asli Tulungrejo dengan cara mengikutsertakan putera-puterinya dalam mengikuti program-program
tersebut.
Kenyataan
demikian
ini
dapat
dilihat
dari
penyelenggaraan pemberian materi supplement bagi siswa SDN Tulungrejo 3 yang dilaksanakan atas kerja sama antara pihak sekolah dengan SMART ILC, tetapi partisipasi orang tua siswa dalam program ini masih sangat kurang. Jumlah peserta didik yang mengikuti pembelajaran di SMART ILC dan tenaga pengajar di SMART ILC yang berasal dari putera-puteri masyarakat asli Tulungrejo sangat sedikit jumlahnya. Pemuda masyarakat asli Tulungrejo belum bisa mengarahkan untuk menemukan dan melakukan kegiatan yang tepat dalam memenuhi kebutuhan belajarnya (Knowles, 1977). Dengan demikian lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC masih belum dapat memberikan peranannya dalam pembangunan pendidikan masyarakat asli Tulungrejo khususnya dalam penguasaan pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris.
B. Peranan Lembaga Kursus Bahasa Inggris SMART ILC Pembangunan Pendidikan Masyarakat Pendatang Tulungrejo Pare
dalam
Lembaga SMART ILC merupakan lembaga yang didirikan atas dasar suatu keinginan besar untuk ikut terlibat secara aktif dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai sebuah bentuk karya nyata dalam sumbangan pembangunan pendidikan bangsa ini, hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 tahun 2003). Dengan demikian pendidikan yang diselenggarakan oleh lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dapat memberikan sumbangan pendidikan kepada bangsa sebagai salah satu bentuk pendidikan nonformal, hal ini sesuai dengan pasal 13 ayat 1 UU No. 20 tahun 2003, yaitu jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Adanya pergeseran orientasi pendidikan dari “educative oriented” ke “business oriented”. Hal ini sudah tidak sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan demikian alasan kedua inilah SMART ILC didirikan. Illich (dalam Sudjana, 2000) bahwa pendidikan memiliki fungsi yang sangat penting dalam mengembangkan hubungan yang mantap dan bermakna dalam kehidupan masyarakat, sedangkan peranan pendidikan yang mendasar adalah untuk memanusiakan manusia. Lembaga ini melayani kebutuhan peserta didik dalam penguasaan pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris yang mereka tidak dapatkan dalam pemdidikan formal yang mereka ikuti. Hal ini menurut Sudjana (2000), bahwa pendidikan nonformal dapat berperan sebagai pelengkap (complement), penambah (supplement), pembaharu (updating) terhadap pendidikan formal, yaitu pendidikan nonformal dapat menyajikan mata pelajaran atau kegiatan belajar yang belum termuat dalam kurikulum pendidikan formal. Sedangkan materi pelajaran dan kegiatan belajar tersebut sangat dibutuhkan oleh peserta didik dan masyarakat yang menggunakan layanan pendidikan formal.
C. Usaha-usaha Stakeholders dalam Menfungsikan Peranan Lembaga Kursus Bahasa Inggris SMART ILC dalam Pembangunan Pendidikan Masyarakat Tulungrejo Pare Upaya menciptakan lembaga pembelajaran yang efektif disamping merancang dan melaksanakan program pembelajaran, lembaga SMART ILC berusaha beradaptasi dengan lingkungannya, baik lingkungan tempat lembaga tersebut berada maupun lingkungan masyarakat pengguna jasanya. Dalam beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, eksistensi SMART ILC terbukti telah memberi kontribusi positif dalam pembangunan desa dari segi ekonomi. Hal tersebut tampak dari
bermunculannya kegiatan-kegiatan ekonomi yang selanjutnya terbukti telah dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Tulungrejo. Lembaga menyelenggarakan
SMART program
ILC khusus
melakukan yang
terobosan-terobosan
diperuntukkan
bagi
dengan
putera-puteri
masyarakat asli Tulungrejo. Penyelenggaraan pembelajaran itu memberikan materi supplement bahasa Inggris bagi siswa SDN 3 Tulungrejo pada saat liburan Ramadhan. Hal tersebut dimaksudkan agar masyarakat sekitar lembaga itu berada yaitu masyarakat asli Tulungrejo dapat mengambil manfaat bukan hanya dari manfaat ekonomi tetapi yang tidak kalah penting yaitu manfaat pendidikan. Upaya itu dilakukan dengan maksud agar masyarakat asli Tulungrejo mengikutsertakan puteraputerinya dalam pembelajaran yang diselenggarakan oleh SMART ILC sebagai wujud partisipasi dalam pembangunan pendidikan. Lembaga ini melakukan terobosan bagi masyarakat pengguna jasanya yang didominasi oleh masyarakat pendatang Tulungrejo. Terobosan tersebut dilakukan dengan merancang materi pembelajaran, metode pengajaran, dan iklim pembelajaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan peserta didik. Upaya yang dilakukan oleh lembaga tersebut terbukti mampu memberikan pemenuhan kebutuhan peserta didik, hal itu tampak dari jumlah peserta didik yang semakin meningkat dalam mengikuti pembelajaran pada program-program yang diselenggarakan oleh lembaga tersebut. Dengan demikian lembaga SMART ILC telah dapat memuaskan kebutuhan masyarakatnya atau dapat menjawab dan merespon lingkungan masyarakatnya (Krakower, 1985). D. Motivasi Pesertra Didik dalam Mengikuti Kursus Bahasa Inggris di SMART ILC Pare Kediri Penyelenggaraan pembelajaran bahasa Inggris dengan sistem kursus pada lembaga SMART ILC dibuat sedemikian rupa agar dapat memenuhi kebutuhan peserta didiknya. Motivasi peserta didik yang mengikuti kursus bahasa Inggris di SMART ILC antara lain sebagai berikut, yaitu: dipandang dari segi biaya lebih terjangkau, adanya relavansi materi pembelajaran kursus dengan kebutuhan peserta didik, adanya kecocokan dengan dunia pendidikan dan dunia kerja yang akan peserta
didik masuki, materi-materi yang disajikan dapat berperan sebagai pelengkap (complement), penambah (supplement), dan pembaharu (updating) dari materi yang peserta didik dapatkan sebelumnya dalam pendidikan formal (Sudjana, 2000). Motivasi peserta didik dalam mengikuti pembelajaran bahasa Inggris di lembaga SMART ILC ini merupakan pandangan hidup yang terbentuk berdasarkan kebutuhan dan keinginan individu atau kelompok (Handoko, 1992). Menurut Mc Callend (1975) (Sudjana, 2001:169) motivasi terbentuk karena adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga mengakibatkan individu mengalami tekanan. Pada saat kebutuhan belum terpenuhi, individu mengalami ketidakseimbangan sehingga mereka melakukan usaha kongkret untuk memenuhi kebutuhan dan pada akhirnya keseimbangan akan tercapai kembali. Dorongan akan pengakuan diri menjadi motivasi yang besar bagi orang dewasa untuk belajar, dengan alasan untuk meningkatkan tingkatan mereka dalam tugas atau kegiatan yang mereka lakukan sehari-hari dan menjadikan mereka lebih berhasil dari orang-orang disekelilingnya. VI. PENUTUP A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil sejalan dengan fokus penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Masyarakat asli Tulungrejo belum sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembelajaran kursus bahasa Inggris dengan mengikutsertakan putraputrinya pada lembaga tersebut. Hal itu dipengaruhi oleh tingkat pendidikan masyarakat Tulungrejo yang masih rendah serta rendahnya kebutuhan terhadap pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris. Meskipun demikian lembaga ini mempunyai pengaruh lain terhadap masyarakat asli Tulungrejo yaitu dari segi ekonomi, yang selanjutnya dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat Tulungrejo.
2.
Lembaga SMART ILC sangat diminati peserta didik, baik peserta didik yang baru mendatangi Pare maupun peserta didik yang sudah lama berada di Pare. Hal ini karena lembaga SMART ILC menyajikan materi yang sangat relevan dengan
kebutuhan peserta didik. Pada umumnya peserta didik yang datang ke Pare adalah dari pelajar, mahasiswa yang ingin mendalami pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris untuk melanjutkan studinya. 3.
Usaha-usaha yang dilakukan Stakeholders dalam menfungsikan peranan lembaga adalah dengan cara melakukan komunikasi dengan masyarakat sekitar lembaga tersebut berada dan mengadakan komunikasi dengan masyarakat pengguna jasanya yaitu para alumni dan para orang tua peserta didik, sehingga lembaga tersebut tetap bisa beradaptasi dengan lingkungannya.
4.
Peminat lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC terus bertambah. Hal ini disebabkan karena motivasi peserta didiknya. Motivasi tersebut yaitu karena materi yang memiliki relevansi dengan kebutuhan peserta didik, penyajian materi yang dilakukan dengan mendetail atau terperinci serta lengkap, dengan suasana tenang dan menyenangkan yang didukung dengan suasana kekeluargaan yang kental atau akrab, biaya terjangkau. Sehingga peserta didik yang telah selesai mengikuti program pembelajaran di SMART ILC, mereka merasakan manfaatnya dan memberikan informasi kepada peserta didik lain di Pare maupun kepada calon peserta didik yang akan ke Pare untuk mengikuti kursus bahasa Inggris.
A. Saran-saran Peneliti mengharapkan bahwa temuan haisl penelitian ini memberikan manfaat dan kontribusi yang besar bagi berbagai pihak, dengan demikian peneliti merasa perlu menyampaikan saran-saran untuk melengkapi usaha-usaha yang telah dilakukan sebelumnya dan untuk kemajuan lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC pada masa depan. 1. Lembaga
SMART
ILC
kiranya
dapat
membenahi
program-program
pembelajarannya agar lebih menarik dan mengena sehingga masyarakat asli Tulungrejo dapat melibatkan dalam pembangunan pendidikan khususnya dalam penguasaan pengetahuan dan keterampilan bahasa Inggris.
2. Pola pembelajaran dan iklim belajar bahasa Inggris di SMART ILC hendaknya dapat diujicobakan oleh pemerhati lembaga pembelajaran pada lembaga pembelajaran lain yang berlatang belakang kondisi yang berbeda, agar dapat mengoptimalkan hasil pembelajaran. 3. Penelitian peranan lembaga SMART ILC hendaknya dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain dalam meneliti kasus-kasus sejenis pada lembaga pembelajaran yang lain. 4. Pemerhati pendidikan dan Dinas Pendidikan kiranya dapat memberikan bantuan baik berupa materi maupun inmateri agar lembaga kursus bahasa Inggris SMART ILC dapat mengembangkan dan meningkatkan keberhasilan lembaga yang telah dicapai.
DAFTAR RUJUKAN
Bogdan, R. & Bogdan S.K. 1998. Qualitative Research for Education: Intruduction to Theory and Methode. Boston: Allyn and Bacon, Inc.
An
Coombs, P. H. 1994. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Nonformal, Terjemahan H. Ahmed Manzoor. Jakarta: CV. Rajawali. Krakower, J.Y. 1985. Assesing Organizational Effectiveness: Considerations and Procedures. Boulders, colorado: NCHEMS. Miles, M.B. & Huberman, A.M. 1987. Analisis Dta Kualitatif. Alih bahasa Tjetjep R. Rohidi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Moleong, L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nadler R. 1982. Designing Trainning Program: The Critical Events Model. Boston: Addison Wesley Publishing Comp. Nasution, S. 1988. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Sarjono, Djoko. 2002. Informasi Pendidikan Bagi Pembangunan Martabat Bangsa. Genteng Kali, Jurnal Pendidikan Dasar dan Menengah, 4 (1-2): 39-44. Sudjana, H.D. 2000. Strategi Pembelajaran Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah Production. Sudjana, H.D. 2001. Metode dan Tehnik Pembelajaran Partisipasif Dalam Pendidikan Luar Sekolah. Bandung: Falah Production. Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI. Universitas Negeri Malang. 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: UM. Wiles, K. 1967. Supervision for Better School. Princeton, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Yin, R. 1996. Studi Kasus: Design dan Metode. Alih bahasa oleh Djauzi Mudzakir. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
ABSTRAK Musta'in, Pengadaan Pendidik Pada Lembaga Formal di Pondok Pesantren Studi Kasus Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwosari Pasurua. Tesis Program Studi Manajemen Pendidikan, Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Pembimbing I. Prof.Dr.Hendyat Soetopo,M.Pd Pembimbing II. Prof.H.A. Sonhadji K.H.,M.A.,ph.D., Kata kunci pengadaan pendidik, lembaga formal, pondok pesantren Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berkembang sesuai dengan tuntutan umat, bermula dari tingkat salaf menuju Khalaf. Model salaf atau tradisional ditandai dengan adanya kegiatan Thoriqot dan Madrasah Diniyah, sedangkan khalaf atau modern ditandai dengan adanya lembaga pendidikan formal yang menggunakan kurikulum Depdiknas maupun Depag disamping tetap mempertahankan kekhasan sebagai pesantren. Adanya lembaga pendidikan formal di lingkungan pesantren diperlukan manajemen yang profesional sesuai dengan tuntutan zaman. Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwosari Pasuruan sebagai pesantren yang menyelenggarakan dua sistim pendidikan, yaitu model salaf dan khalaf. Sebagai lembaga pendidikan formal mulai tingkat pra sekolah, pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Oleh karena itu pesantren menjadi setting penelitian dengan fokus pengadaan pendidik pada lembaga formal dengan penekanan pada proses perencanaan tenaga pengajar, langkah-langkah dalam rekrutmen, kriteria seleksi, proses seleksi dan cara pengambilan keputusan dalam penempatan tenaga pendidik. Untuk mencapai tujuan penelitian digunakan pendekatan studi kasus jenis penelitian kualitatif. Informan terdiri dari pengasuh pondok, ketua yayasan, Rektor Universitas Yudharta, Kajur, Kepala Sekolah atau madrasah, Guru, Dosen dan Kepala Tata Usaha. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan, untuk mendapatkan keabsahan data dilakukan dengan cara uji trianggulasi. Dari hasil analisis data diperoleh temuan penelitian sebagai berikut : (1) Proses Perencanaan pengadaan pendidik pada lembaga formal didahului dengan job analisis kemudian ditindaklanjuti oleh pimpinan lembaga dengan rapat staf, selanjutnya dilaporkan kepada ketua yayasan (2) langah-langkah rekrutmen, penginformasian kedalam sebagai sumber internaldan mencari keluar sebagai sumber eksternal, dengan cara memeriksa lamaran yang masuk, penginformasian keluar melalui orang dalam. (3) Kriteria seleksi dibedakan menjadi dua bagian yaitu kriteria yang ditentukan oleh pengasuh Pondok Pesantren yang bersifat umum sesuai dengan visi dan misi pesantren. Kriteria khusus yang ditetapkan oleh pimpinan lembaga berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan tingkatannya.
(4) Proses seleksi dengan pemeriksaan berkas lamaran, wawancara mendalam dan dilanjutkan dengan pemeriksaan atau pelacakan latar belakang, sedangkan tes seleksi secara tertulis dan pemeriksaan kesehatan tidak ada. (5) Cara pengambilan keputusan dalam penempatan pendidik dari hasil seleksi diadakan verivikasi oleh tim seleksi bersama pimpina lembaga, kemudian diajukan kepada ketua yayasan untuk mendapatkan pengesahan atau surat keputusan dan penempatannya diserahkan sepenuhnya kepada pimpinan lembaga masing-masing. Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah: (1) Proses perencanaan pengadaan pendidik pada lembaga formal sepenuhnya merupakan kewenangan pimpinan lembaga. (2) Langkah-langkah rekrutmen lebih mengutamakan sumber internal yang ada dalam lembaga terutama pada pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar dan pendidik agama. Sedangkan mata pelajaran umum dan Dosen diambil dari sumber eksternal. (3) Kriteria seleksi dibedakan menjadi dua yaitu kriteria yayasan dan lembaga. (4) Proses seleksi dilakukan secara sederhana berupa pemeriksaan berkas lamaran, penekanan proses seleksi terletak pada wawancara dan pelacakan latar belakang. (5) Cara pengambilan keputusan melalui musyawarah diusulkan ke ketua yayasan untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan yang selanjutnya penempatan diserahkan kepada pimpinan lembaga.
(1)
(2) (3)
(4) (5)
Dengan memperhatikan beberapa kesimpulan tersebut ada beberapa saran yang disampaikan yaitu : Dalam pengadaan pendidik pada lembaga formal pihak yayasan diharapkan memberdayakan pihak lain yang ada dalam kepengurusan dan membuat perencanaan secara tertulis. Diharapkan dalam langkah-langkah rekrutmen penginformasian agar diperluas untuk menjaring calon pelamar yang lebih berkualitas. Proses seleksi diharapkan agar tidak terbatas pada pemeriksaan berkas lamaran, wawancara dan pelacakan latar belakang saja, hal ini perlu disempurnakan. Anggota pengurus yayasan agar tidak mengajar, dan pimpinan lembaga juga tidak mengajar di unit lembaga pendidikan lain. Diharapkan agar dihindari adanya guru yang mengajar rangkap di beberapa unit lembaga pendidikan dengan mata pelajaran yanag berbeda.
ABSTRACT Musta’in, .The Teacher Supply of formal institution at Pondok Pesantren Case Study at Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwosari Pasuruan. Thesis. Education Administration Study, Graduate Program, State University of Malang. Advisor I Prof. Dr. Hendyat Soetopo, M.Pd, Advisor II Prof. H.A. Sonhadji,K.H., M.A., Ph.D Key words: Supply, Teacher, Pondok Pesantren Pondok pesantren is an institution of Islamic education has been developing according to the mankind demand, goes from traditional to the modern system, the traditional system is signed by religious recitation of thoriqot and madrasah diniyah and the modern system is signed by formal education that use standard curriculum of government, both Depdiknas National education Department and Depag Religion Department, besides it is regulary maintain it uniqueness as Pesantren. The Professional management and human resources are needed for building the modern education in Pondhok Pesantren, especially in preparing educator as teacher and lecturer at the formal education. Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwosari Pasuruan is a double system education between a traditional salaf and modern khalaf as formal education from elementary school to higher education. Therefore, the Pesanten to be a research setting by focus. The teacher supply that is stressed on teacher planning process, steps of recruitment, selection criteria, selection process, and decision making on teacher placement. To reach this research purpose, the case study approach of qualitative research to be used. Informant consist of Kyai as leader of Pondok Pesantren and Kajur Head of Department, Principal of Madrasah, Teacher, Lecturer, and Chief of Administration. Data was collected by deeply interview, observation, and presentation of data, and making conclusion method. To get the validity of data was conduced by triangulation test method. Based on the result of data analyses is obtained research findings as follow: I. the planning of process teacher supply is preceded by job analyses and to be followed by staff meeting and reported to the Chief of foundation as Kyai of Pondok Pesantren, II steps of recruitment, by giving information to inside as an internal resource, and seeking to outside as external resource, by examining applications coincidentally, outside information by inside, III selection criteria is devided to be two section, that is determined by Kyai of Pondok Pesantren that has common character according to the vision an mission of Pesantren. While a special criteria that is determined by chief of institutional is different according to the grade, IV the selection process by examination of application, deeply interview and to be followed by tracing of background, writing test and healthy test are not exist, and V the decision making on teacher placement, based on a selection result will be held a verification by team of selection together with chief of institution, to be proposed to the chief of foundation for getting agreement and legalization and placement is determined by a chief of institution respectively.
The conclusions can be taken based on this research result are: I the planning of process teacher suplly to be authorization of institution chief, II steps of recruitment, by giving information give more priority to internal resource, especially for the teacher on elementary school and religion teacher and the external resource for general teacher and lecturer, III the selection criteria is selection process devided to be to section that are the foundation criteria and institution, IV the selection process is conducted by examination of application, the stressing on selection process is located on deeply interview and tracing of background, V the decision making method though the conference, and to be proposed to the chief of Foundation for getting agreement and legalization and placement is determine of institution. By pay attention of some conclusion above, there are some suggestion can be delivered: I on the teacher supply, the foundation expected to exert the other member that exist in management, and makes the writing planning, II it is order to be able get an application candidate that have better quality, III the selection process is expected not only by examination of application, interview, and tracing of background, so this case necessary to be perfected, IV the member of foundation is expected not to teach, and also the principal not to teach at other education institution unit, and VI double teaching on different subject matter is expected to be avoided.
Pengadaan Pendidik Pada Lembaga Formal di Pondok Pesantren Studi Kasus Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwosari Pasuruan.
Musta’in
Abstract: Pondok pesantren is an institution of Islamic education has been developing according to the mankind demand, goes from traditional to the modern system, the traditional system is signed by religious recitation of thoriqot and madrasah diniyah and the modern system is signed by formal education that use standard curriculum of government, both Depdiknas National education Department and Depag Religion Department, besides it is regulary maintain it uniqueness as Pesantren. The Professional management and human resources are needed for building the modern education in Pondhok Pesantren, especially in preparing educator as teacher and lecturer at the formal education. Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwosari Pasuruan is a double system education between a traditional salaf and modern khalaf as formal education from elementary school to higher education. Therefore, the Pesanten to be a research setting by focus. The teacher supply that is stressed on teacher planning process, steps of recruitment, selection criteria, selection process, and decision making on teacher placement. Kata kunci : pengadaan pendidik, lembaga formal, pondok pesantren
Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam berkembang sesuai dengan tuntutan umat, bermula dari tingkat salaf menuju Khalaf. Model salaf atau tradisional ditandai dengan adanya kegiatan Thoriqot dan Madrasah Diniyah, sedangkan khalaf atau modern ditandai dengan adanya lembaga pendidikan formal yang menggunakan kurikulum Depdiknas maupun Depag disamping tetap mempertahankan kekhasan sebagai pesantren. Adanya lembaga pendidikan formal di lingkungan pesantren diperlukan manajemen yang profesional sesuai dengan tuntutan zaman. Pondok Pesantren Darut Taqwa Purwosari Pasuruan sebagai pesantren yang menyelenggarakan dua sistim pendidikan, yaitu model salaf dan khalaf. Sebagai lembaga pendidikan formal mulai tingkat pra sekolah, pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Oleh karena itu pesantren menjadi setting penelitian dengan fokus pengadaan pendidik pada lembaga formal dengan penekanan pada proses perencanaan tenaga pengajar, langkah-langkah dalam rekrutmen, kriteria seleksi, proses seleksi dan cara pengambilan keputusan dalam penempatan tenaga pendidik. 1 1
Musta’in adalah Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan Kraton, Kabupaten Pasuruan. Artikel ini diangkat dari Tesis Magister Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 2009.
METODE Untuk mencapai tujuan penelitian digunakan pendekatan studi kasus jenis penelitian kualitatif. Informan terdiri dari pengasuh pondok, ketua yayasan, Rektor Universitas Yudharta, Kajur, Kepala Sekolah atau madrasah, Guru, Dosen dan Kepala Tata Usaha. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Data yang diperoleh dianalisis dengan cara Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan, untuk mendapatkan keabsahan data dilakukan dengan cara uji trianggulasi.
HASIL Proses Perencanaan pengadaan pendidik pada lembaga formal didahului dengan job analisis kemudian ditindaklanjuti oleh pimpinan lembaga dengan rapat staf, selanjutnya dilaporkan kepada ketua yayasan, langah-langkah rekrutmen, penginformasian kedalam sebagai sumber internal dan mencari keluar sebagai sumber eksternal, dengan cara memeriksa lamaran yang masuk, penginformasian keluar melalui orang dalam, kriteria seleksi dibedakan menjadi dua bagian yaitu kriteria yang ditentukan oleh pengasuh Pondok Pesantren yang bersifat umum sesuai dengan visi dan misi pesantren. Kriteria khusus yang ditetapkan oleh pimpinan lembaga berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan tingkatannya, proses seleksi dengan pemeriksaan berkas lamaran, wawancara mendalam dan dilanjutkan dengan pemeriksaan atau pelacakan latar belakang, sedangkan tes seleksi secara tertulis dan pemeriksaan kesehatan tidak ada, cara pengambilan keputusan dalam penempatan pendidik dari hasil seleksi diadakan verivikasi oleh tim seleksi bersama pimpina lembaga, kemudian diajukan kepada ketua yayasan untuk mendapatkan pengesahan atau surat keputusan dan penempatannya diserahkan sepenuhnya kepada pimpinan lembaga masingmasing.
PEMBAHASAN Pengadaan tenaga pendidik di Pondok Pesantren merupakan kebijakan yang berhubbungan dengan peramalan kebutuhan guru, ustadz, dosen, yang berorientasi kedepan berdasarkan analisis kebutuhan, langkah –langkah rekrutmen sebagai uapya untuk memperoleh tenaga pendidik yang berkualitas ini ditempuh melalui sumber internal dan eksternal, kriteria seleksi merupakan batasan sebagai standarisasi kelayakan pelamar untuk dapat diterima sebagai tenaga pendidik kriteria ini didasarkan atas dasar kebutuhan masing-masing lembaga, proses seleksi didahului dengan pemeriksaan berkas lamaran, wawancara mendalam dan pelacakan latar belakang, kemudian cara pengambilan keputusan dan penempatan tenaga pendidik berdasarkan musyawarah antara tim penilai, pimpinan lembaga, yang diusulkan ke yayasan untuk mendapatkan rekomendasi pengangkatan.
KESIMPULAN Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah: Proses perencanaan pengadaan pendidik pada lembaga formal sepenuhnya merupakan kewenangan pimpinan lembaga, langkah-langkah rekrutmen lebih mengutamakan sumber internal yang ada dalam lembaga terutama pada pendidikan pra sekolah, pendidikan dasar dan pendidik agama. Sedangkan mata pelajaran umum dan Dosen diambil dari sumber eksternal, kriteria seleksi dibedakan menjadi dua yaitu kriteria yayasan dan lembaga, Proses seleksi dilakukan secara sederhana berupa pemeriksaan berkas lamaran, penekanan proses seleksi terletak pada wawancara dan pelacakan latar belakang, cara pengambilan keputusan melalui musyawarah diusulkan ke ketua yayasan untuk mendapatkan persetujuan dan pengesahan yang selanjutnya penempatan diserahkan kepada pimpinan lembaga.
SARAN Dengan memperhatikan beberapa kesimpulan tersebut ada beberapa saran yang disampaikan yaitu, dalam pengadaan pendidik pada lembaga formal pihak yayasan diharapkan memberdayakan pihak lain yang ada dalam kepengurusan dan membuat perencanaan secara tertulis. diharapkan dalam langkah-langkah rekrutmen penginformasian agar diperluas untuk menjaring calon pelamar yang lebih berkualitas. proses seleksi diharapkan agar tidak terbatas pada pemeriksaan berkas lamaran, wawancara dan pelacakan latar belakang saja, hal ini perlu disempurnakan. anggota pengurus yayasan agar tidak mengajar, dan pimpinan lembaga juga tidak mengajar di unit lembaga pendidikan lain, diharapkan agar dihindari adanya guru yang mengajar rangkap di beberapa unit lembaga pendidikan dengan mata pelajaran yang berbeda.
DAFTAR RUJUKAN Amstrong, M. 1988, Manajemen Sumberdaya Munusia. Terjemahan oleh Sofyan Cikmat. Jakarta: PT Elex Media. Arifin, I. 1993. Kepemimpinan Kyai. Malang: Kalimasada Press. Dhofier, Z. 1982. Tradisi Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES. Manullang, M. 1988. Dasar-Dasar Manajemen, Jakarta: Ghalia Indonesia Moleong; L.J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
PERAN KYAI DALAM SUPERVISI PENGAJARAN AL QUR’AN STUDI KASUS: PESANTREN ILMU AL QUR’AN SINGOSARI
MUHAMMAD AMIN
Abstract: This study involved supervision of Kyai on teaching Al Qur’an in Pesantren Ilmu Al Qur’an Singosari Malang. Pesantren for ignoring the vision mision of education must be supported by the ability of the master to operate his leadership qualities. Although to become kyai do not need unformality as a school leader in formal intitution. In reality the work of kyai is hard work catagory that need extra capability materially or spritually. The uniqueness of this pesantren is the quality of Al Qur’an teaching because many pesantren or teachers of Al Qur’an make it reference on teaching Al Qur’an. That is happen because kyai Basori manages and advices his teachers enthusiasticly.
Kata kunci: peran kyai, supervisi pengajaran Al Qur’an
Supervisi adalah suatu usaha menstimulasi, mengkoordinasi dan membimbing secara kontinu pertumbuhan-pertumbuhan guru baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran. Dalam Dictionary of Education (dalam Sahertian, 2007) menjelaskan bahwa pengertian supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya dalam memperbaiki pengajaran termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru-guru serta merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode serta evaluasi pengajaran. Pusat perhatian supervisor adalah perkembangan dan kemajuan guru. Karena itu, usahanya pada peningkatan kemampuan professional guru dengan aspeknya seperti perbaikan metode dan teknik mengajar serta pengembangan kurikulum. Pengadaan alat peraga pengajaran, perbaikan cara dan prosedur penilaian dan menciptakan kondisi yang layak bagi kesejahteraan guru.
METODE
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mendalam tentang peran seorang Kyai dalam menyelenggarakan pengajaran Al Qur’an di Pesantren Ilmu Al Qur’an Singosari dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dari latar yang alami (natural setting) sebagai sumber data langsung. Pemaknaan terhadap data tersebut hanya dapat dilakukan apabila diperoleh kedalaman atas fakta yang diperoleh. Penelitian ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripisikan data secara menyeluruh dan utuh mengenai peranan Kyai dalam pembinaan guru Al Qur’an di PIQ. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat membangun suatu teori secara induktif dari abstraksi-abstraksi data yang dikumpulkan berdasarkan temuan makna dalam latar yang alami.
HASIL
Temuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Kyai Basori disamping sebagai pendiri dan pengelola juga berperan sebagai supervisor atau pembina bagi guru-guru Al Qur’an. Dalam hal kegiatan pembinaannya kyai Basori dibantu oleh santri-santri senior yang terstruktur dalam suatu organisasi yang disebut Muharriq Al Qur’an. (2) Guru-guru Al Qur’an yang ada di PIQ merasa termotivasi dengan adanya kegiatan pembinaan baik yang dilakukan oleh Kyai Basori sendiri maupun oleh anggota dewan Muharriq Al Qur’an. (3) Pengaruh pembinaan guru-guru Al Qur’an yang dilaksanakan di PIQ secara efektif dan efesien membawa dampak positif bagi perkembangan PIQ selanjutnya. Terbukti dengan usianya yang masih relatif muda dibandingkan dengan pesantren-pesantren di Jawa Timur, PIQ sudah menjadi rujukan dalam hal pengajaran Al Qur’an. (4) Dalam hal pelaksanaan pembinaan guru-guru Al Qur’an Kyai Basori menggunakan beberapa model yaitu kunjungan kelas langsung, bersamaan dengan pengajian Tafsir guru, bersamaan dengan pengajian kitab-kitab kuning, pembinaan guru-guru pemula oleh Muharriq Al Qur’an, dan pembinaan rutin mingguan dan bulanan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan temuan penelitian d iatas dapat disarankan (1) kepada Kyai Basori untuk lebih mengoptimalkan kegiatan pembinaannya dengan cara pengadministrasian kegiatan supervisi secara bagus dan efektif. (2) kepada guruguru Al Qur’an PIQ hendaknya mengikuti apa yang disampaikan atau disarankan oleh supervisor yang dalam hal ini adalah Kyai Basori atau Muharriq Al Qur’an. (3) kepada pembina-pembina guru Al Qur’an yang lain agar mengikuti jejak langkah Kyai Basori dalam hal membina guru-guru Al Qur’annya. (4) kepada Depag RI yang dalam hal ini dipercayakan pada DirPeka Pontren seyogyanya harus lebih proaktif dalam membina pesantren-pesantren agar lebih berkwalitas dan professional. (5) kepada peneliti lain guna memperluas wawasan pengetahuan dan keterampilan bidang supervisi pengajaran Al Qur’an.
DAFTAR RUJUKAN
Al Kalali, A. 1995. Kamus Indonesia Arab. Jakarta: Bulan Bintang. Arifin, I. 1993. Kepemimpinan Kyai, Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Malang: Kalimasada Pers. Bennet, N; Crawford, Megan dan Riches, C. 1992 Managing Change in Education: Individual and Organization Perspective. London: Paul Chapman Publishing Co. Bogdan, R C, dan Biklen, S K. (1982). Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon. Chirzin, H. 1988. Ilmu dan Agama Dalam Pesantren, dalam M. Dawam Rahardjo. Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES Glickman, C D. 1981. Developmental Supervision. Washington: ASCD Glickman, C D. 2004. Supervision and Instructional Leadership. USA. Gorton, R A. 1991. School Based Leadership: Challenges and Opportunities. USA: Wm. C. Brown. Publishers. Hersey, P and Kenneth H. B. 1978. Management of Organization Behavior. New Delhi: Prantice Hall of India Private Limited.
Halim, A. 2005. Manajemen Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren Hadiri, A. 2004. Panorama pesantren dalam cakrawala modern. Jakarta: Diva Pustaka. Horikhoshi, H. 1987. Kyai dan Pesantren Sosial, Terjemahan. Jakarta: P3M Hasikal, H. 1985. Beberapa Metode dan Kemungkinan Penerapannya di Pondok Pesantren, dalam M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren dari Bawah. Jakarta: P3M Irfan, M. 2003. Pola pembelajaran pesantren. Jakarta: Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama DEPAG RI. Mantja, W. 2007. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan Dan Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas. Mantja, W. 1997. Etnografi: Disain Penelitian Manajemen Pendidikan. Malang: IKIP Malang. Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS Mulyasa, E. 2005. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya. Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi Dan Sertifikasi Guru. Bandung: Remaja Rosda Karya. Oliva, P F. 1984. Supervison for Today’s Schools. New York: Longman Inc. Purwanto, N. 2005. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosda Karya. Qomar, M. 1996. Pesantren, Dari transformasi metodologi menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta: PT. Erlangga. Rahman, T. 2000. Metode Jibril. Malang: CV Rahmatika Rofiq, A. 2005. Pemberdayaan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. Saleh, A. 1985. Pedoman Pembinaan Pondok Pesantren. Jakarta: Depag RI. Sahertian, P A. 2000. Supervisi Pendidikan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Saukah, A (ed). 2000. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: UM Pers.
Setyorini, P. 2003. Pola pemberdayaan masyarakat melalui pondok pesantren. Jakarta: Ditpekapontren Ditjen Kelembagaan Agama DEPAG RI. Tim Penyusun. 2007. Biografi Sang Guru Al Qur’an. Malang: CV Rahmatika. Tim Penyusun. 2005. Pedoman Pendidikan PIQ. Malang: Pesantren Ilmu Al Qur’an. Toha, M. 2007. Perilaku Organisasi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
ABSTRAK
Amin, Muhammad. 2008. Peran Kyai dalam Supervisi Pengajaran Al Qur’an Studi Kasus Pesantren Ilmu Al Qur’an Singosari Malang. Tesis, Program studi Manajemen Pendidikan Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Pembimbing: (I) Dr. H. Imron Arifin, M. Pd., (II) Prof. Dr. H. Hendyat Soetopo, M. Pd.
Kata kunci
: peran kyai, supervisi pengajaran Al Qur’an.
Supervisi adalah suatu usaha menstimulasi, mengkoordinasi dan membimbing secara kontinu pertumbuhan-pertumbuhan guru baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti dan lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran. Dalam Dictionary of Education (dalam Sahertian, 2007) menjelaskan bahwa pengertian supervisi adalah usaha dari petugas-petugas sekolah dalam memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya dalam memperbaiki pengajaran termasuk menstimulasi, menyeleksi pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru-guru serta merevisi tujuan-tujuan pendidikan, bahan pengajaran dan metode serta evaluasi pengajaran. Pusat perhatian supervisor adalah perkembangan dan kemajuan guru. Karena itu, usahanya pada peningkatan kemampuan professional guru dengan aspeknya seperti perbaikan metode dan teknik mengajar serta pengembangan kurikulum. Pengadaan alat peraga pengajaran, perbaikan cara dan prosedur penilaian dan menciptakan kondisi yang layak bagi kesejahteraan guru. Pesantren dalam menggapai visi dan misi pendidikan perlu ditunjang oleh kemampuan kyai dalam menjalankan roda kepemimpinannya. Meskipun pengangkatan kyai tidak dilakukan secara formal seperti pengangkatan kepalakepala unit satuan pendidikan, melainkan pengangkatan seoran kyai dilakukan oleh anggota masyarakat luas. Dalam pelaksanaannya pekerjaan kyai merupakan pekerjaan berat yang menuntut kemampuan ekstra baik yang bersifat material maupun spiritual. Kyai merupakan komponen penting yang amat menentukan keberhasilan pendidikan di pesantren. Selain itu tidak jarang kyai adalah pendiri dan pemilik pesantren itu atau keluarga keturunannya. Dengan demikian pertumbuhan dan perkembangan suatu pesantren amat bergantung pada figure kyai itu sendiri. Sehingga pertimbangan utama seorang santri yang akan memasuki suatu pesantren adalah berdasar pada kebesaran dan kemasyhuran nama yang disandang oleh kyai itu. Keunikan dari pesantren ini adalah pada sisi kwalitas pembelajaran Al Qur’an, karena banyak pesantren atau guru-guru Al Qur’an yang merujuk atau menjadikan pesantren ini menjadi barometer pada bidang studi pembelajaran Al
Qur’an. Hal itu tidak terlepas dari peran kyai Basori selaku pendiri dan pengasuh pesantren dalam mengelola dan membina guru-guru Al Qur’annya dengan penuh semangat dan dedikasi yang tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mendalam tentang peran seorang Kyai dalam menyelenggarakan pengajaran Al Qur’an di Pesantren Ilmu Al Qur’an Singosari dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan dari latar yang alami (natural setting) sebagai sumber data langsung. Pemaknaan terhadap data tersebut hanya dapat dilakukan apabila diperoleh kedalaman atas fakta yang diperoleh. Penelitian ini diharapkan dapat menemukan sekaligus mendeskripisikan data secara menyeluruh dan utuh mengenai peranan Kyai dalam pembinaan guru Al Qur’an di PIQ. Selain itu penelitian ini diharapkan dapat membangun suatu teori secara induktif dari abstraksi-abstraksi data yang dikumpulkan berdasarkan temuan makna dalam latar yang alami. Temuan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Kyai Basori disamping sebagai pendiri dan pengelola juga berperan sebagai supervisor atau pembina bagi guru-guru Al Qur’an. Dalam hal kegiatan pembinaannya kyai Basori dibantu oleh santri-santri senior yang terstruktur dalam suatu organisasi yang disebut Muharriq Al Qur’an. (2) Guru-guru Al Qur’an yang ada di PIQ merasa termotivasi dengan adanya kegiatan pembinaan baik yang dilakukan oleh Kyai Basori sendiri maupun oleh anggota dewan Muharriq Al Qur’an. (3) Pengaruh pembinaan guru-guru Al Qur’an yang dilaksanakan di PIQ secara efektif dan efesien membawa dampak positif bagi perkembangan PIQ selanjutnya. Terbukti dengan usianya yang masih relatif muda dibandingkan dengan pesantren-pesantren di Jawa Timur, PIQ sudah menjadi rujukan dalam hal pengajaran Al Qur’an. (4) Dalam hal pelaksanaan pembinaan guru-guru Al Qur’an Kyai Basori menggunakan beberapa model yaitu kunjungan kelas langsung, bersamaan dengan pengajian Tafsir guru, bersamaan dengan pengajian kitab-kitab kuning, pembinaan guru-guru pemula oleh Muharriq Al Qur’an, dan pembinaan rutin mingguan dan bulanan. Berdasarkan temuan penelitian d iatas dapat disarankan (1) kepada Kyai Basori untuk lebih mengoptimalkan kegiatan pembinaannya dengan cara pengadministrasian kegiatan supervisi secara bagus dan efektif. (2) kepada guruguru Al Qur’an PIQ hendaknya mengikuti apa yang disampaikan atau disarankan oleh supervisor yang dalam hal ini adalah Kyai Basori atau Muharriq Al Qur’an. (3) kepada pembina-pembina guru Al Qur’an yang lain agar mengikuti jejak langkah Kyai Basori dalam hal membina guru-guru Al Qur’annya. (4) kepada Depag RI yang dalam hal ini dipercayakan pada DirPeka Pontren seyogyanya harus lebih proaktif dalam membina pesantren-pesantren agar lebih berkwalitas dan professional. (5) kepada peneliti lain guna memperluas wawasan pengetahuan dan keterampilan bidang supervisi pengajaran Al Qur’an.
ABSTRACT Amin, Muhammad. 2008. Peran Kyai dalam Supervisi Pengajaran Al Qur’an Studi Kasus Pesantren Ilmu Al Qur’an Singosari Malang. Thesis, Management of Education Program Graduate Program State University of Malang. Advisors: (I) Dr. H. Imron Arifin, M. Pd., (II) Prof. Dr. H. Hendyat Soetopo, M. Pd.
Key words: peran kyai, supervisi pengajaran Al Qur’an.
Supervision is an effort to stimulate, coordinate, and advice countinously the growth of the teachers individually or collectively, in order to understand and to be more effective in creating the hole function of teaching. In Dictionary of Education (in Sahertian, 2007) state that supervision is effort from the agents of the school in leading teachers and other officials to improve teaching program, including stimulation, selection of the growth and the teachers development along with revising the purpose of education, the matter of teaching and the methode along with teaching evaluation. Center of the supervisor attention is the development and teachers progress. Beacause, their effort at raising the teacher professional capability with their aspect like improvement of the methode and teaching technic with curriculum development. Pesantren for ignoring the vision mision of education must be supported by the ability of the master to operate his leadership qualities. Although to become kyai do not need unformality as a school leader in formal intitution. In reality the work of kyai is hard work catagory that need extra capability materially or spritually. Kyai is important component that determine success of education in pesantren. Besides kyai is founder and owner of pesantren. In other words the development of pesantren is hanged up to the figure of kyai his self. So that the main consideration of santri who want to enter pesantren is based on the greatness of kyai. The uniqueness of this pesantren is the quality of Al Qur’an teaching because many pesantren or teachers of Al Qur’an make it reference on teaching Al Qur’an. That is happen because kyai Basori manages and advices his teachers enthusiasticly. This research head for raising to describe about the role of kyai in teaching Al Qur’an at Pesantren Ilmu Al Qur’an Singosari Qualitatively. The data taken from natural setting as direct resourch data. The meaning of the data done if reached data deeply. This research hoped to look for the description of all role of kyai in advicing Al Qur’an teachers at PIQ. The finding of this research can be analyzed as: (1) Kyai Basori is supervisor for his teachers in PIQ. In his activities kyai Basori helped by senior students managed in one structure called Muharriq Al Qur’an. (2) the Al Qur’an teachers of PIQ feel motivated by kyai Basori who adviced and Muharriq Al
Qur’an. (3) The establishment caused good impact on developing PIQ next. (4) The aplication of establishment for Al Qur’an teachers at PIQ, kyai Basori create a little of models, that are coming to class directly, while teaching tafsir for the teachers and yellow books or kitab kuning and by Muharriq Al Qur’an. Based on finding of this research can be adviced (1) To kyai Basori to maximize his activities in advising Al Qur’an teachers by administrating well and effectively. (2) To Al Qur’an teachers of PIQ must follow what kyai Basori said and adviced. (3) To the supervisors of other Al Qur’an teacher would like to follow kyai Basori in supervising Al Qur’an teachers. (4) To Department of Relegion used to be called Depag RI must be proactive in supervising pesantren in order to be professional. (5) To other researcher for reaching knowledge and skills in supervision of teaching Al Qur’an.
KEPEMIMPINAN KEPALA MADRASAH DALAM MENINGKATKAN BUDAYA MUTU (Studi Kasus di Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Kota Gorontalo) Abstract: The realization of Islamic Elementary School having culture of quality is a demand that must be fulfilled by all school in order to improve the achievement. The success of Islamic Elementary School in improving the culture of quality is an outstanding task on the part of the principal in running his duty as leader to realize the culture of quality. This is relatively a new study, so it will be very crucial for principal and stakeholders to have reference in improving the culture of quality. The leadership of principal to improve the culture of quality of Muhamadiyah Islamic Elementary School consisting of (1) principal gives detailed statement of objectives in running his duty as leader to achieve the purpose of Islamic Elementary School; (2) the leadership values of Islamic Elementary School principal are discipline, responsibility, amarma’ruf nahi munkar and collective value as the step stone to realize the culture of quality; (3) the principal of Islamic Elementary School gives reward for the outstanding teacher and students to improve their motivation; (4) the principal of Islamic Elementary School has a good social and emotional relation with internal or external parties of the school;(5) the principal of Islamic Elementary School conducts consultative and coordinative relation. The implementation of culture of quality in Islamic Elementary School which can be reflected from (1) the principal of Islamic Elementary School improves the quality of intracurrilular and extracurricular activity and administration service; (2) improves the quality of teachers and staffs in Islamic Elementary School; (3) the principal of Islamic Elementary School improves the quality of equipment and infrastructure. The hindering and supporting factors and the empowerment of supporting factors in the implementation of of culture of quality in Islamic Elementary School which are (1) hindering factors are internal factors in the form of the limited budget and lack of commitment and external factors in the form of government policy, parents and community attention. (2) supporting factors is the shared statement of objective, improvement of schools committee, and the attention from local government. (3) strategy of principal is empowering the supporting factors possessed by the school that is building the human resources mentally and emotionally. Kata Kunci: kepemimpinan kepala madrasah, budaya mutu, madrasah ibtidaiyah, Muhammadiyah Nama : Arifin Nim : 106631551524 Program Studi : Manajemen Pendidikan Angkatan : 2006 Tanggal Ujian : 13 Januari 2009
1
I.
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian Standar mutu pendidikan di Indonesia didasarkan pada ruang lingkup
Standar Nasional Pendidikan sebagaimana tercantum pada pasal (2) yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidikan dan tenaga kependidikan, standar sarana dan sarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Latar belakang munculnya peningkatan mutu adalah menyangkut tiga faktor yaitu: (a) Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan pendekatan education production atau input-output analisis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen, (b) penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadangkadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai kondisi sekolah setempat, (c) peran serta warga sekolah khususnya guru dan peranserta masyarakat khusnya orang tua selama ini sangat minim. (Depdiknas, 2001) Terkait dengan mutu pendidikan, Bank Dunia (dalam Jalal & Supriadi, 2001) menyatakan bahwa tuntutan terhadap sekolah bermutu dari masyarakat luas akan semakin tinggi; mencakup pada keefektifan, efesiensi dan akuntabilitas manajemen secara menyeluruh. Sehingga sekolah bermutu tentu dipimpin kepala sekolah yang mempunyai komitmen kuat terhadap peningkatan mutu. Kepala sekolah merupakan orang yang mangelola secara optimal semua sumber daya pendidikan.
2
Kepemimpinan kepala madrasah dalam menigkatkan budaya mutu merupakan upaya untuk mensinergikan semua komponen organisasi untuk berkomitmen pada mutu sekolah. Kepemimpinan kepala sekolah dalam membangun budaya meliputi dua unsur utama, yaitu; 1) bangunan budaya (cultural building) meliputi; visi, misi dan tujuan, nilai dan keyakinan, sistim penghargaan, hubungan emosional dan sosial, dan desain organisasi, 2) bangunan peribadi (personality building) berupa pemodelan peran meliputi; perilaku peribadi, perilaku pemimpin, dan tindakan administratif (Yukl, 1989; Owens, 1990; Sergiovanni, 1991) Sedangkan budaya mutu di sekolah merupakan seperangkat norma atau nilai yang termanifestasi pada perilaku-perilaku, aktifitas-aktifitas, dan simbolsimbol di sekolah untuk mencapai tingkatan keunggulan (the degree of excellence) sekolah melalui perbaiakan mutu terus menerus (Tenner & De Toro, 1992). Wujud nyata dari budaya mutu tampak pada mutu layanan sekolah, mutu sumber daya manusia dan mutu sarana/prasarana sekolah. B.
Fokus Penelitian
1. Profil Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Kota Gorontalo sebagai madrasah yang meningkatkan mutu. 2. Kepemimpinan kepala madrasah dalam peningkatan budaya mutu di MIM Kota Gorontalo yang tercermin dalam penjabaran visi dan misi, nilai-nilai kepemimpinan, system penghargaan, hubungan sosial emosional dan desain struktur organisasi. 3. Implementasi budaya mutu sekolah yang tercermin dalam: a) Mutu layanan sekolah, b) Mutu guru dan staf sekolah dan c) Mutu sarana/prasarana sekolah
3
4. Faktor penghambat dan faktor pendukung pengimplementasian budaya mutu dan strategi kepala sekolah mengatasi faktor penghambat dan memberdayakan faktor pendukung dalam upaya penerapan budaya mutu di Madrasah C.
Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan profil Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Kota Gorontalo sebagai madrasah yang bermutu. 2. Untuk mendeskripsikan strategi kepemimpinan kepala Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Kota Gorontalo dalam meningkatkan budaya mutu. 3. Untuk memaparkan implementasi budaya mutu sekolah yang tercermin dalam Mutu layanan sekolah, Mutu guru dan staf sekolah dan Mutu sarana/prasarana sekolah 4. Untuk mendeskripsikan faktor penghambat dan factor pendukung pengimplementasian budaya mutu dan strategi kepala sekolah mengatasi faktor penghambat dan memberdayakan faktor pendukung dalam upaya penerapan budaya mutu di Madrasah
II. METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena obyek penelitian berupa proses atau kegiatan atau tindakan beberapa orang dan perlu pengamatan yang mendalam dengan latar yang alami (Bogdan & Bliken, 1998). Pertimbangan lain yang bersifat kualitatif adalah kepemimpinan kepala madrasah dalam meningkatkan budaya mutu tidak hanya mengungkapkan
4
peristiwa riil yang bisa dikuantitatifkan, tetapi lebih dari itu hasilnya diharapkan dapat mengungkapkan nilai yang tersembunyi dari peristiwa tersebut. Rancangan (desain) yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Kasusnya adalah bagaimana kepemimpinan kepala madrasah dalam meningkatkan budaya mutu madrasah di MIM Wumialo Kota Gorontalo. Bogdan dan Biklen, (1982) menyarankan bahwa rancangan penelitian studi kasus paling baik disajikan dalam bentuk cerobong (funnel). Bentuk cerobong ini merupakan suatu langkah yang sistematis, berawal dari eksplorasi yang bersifat luas dan dalam, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan pengumpulan dan analisis data yang lebih menyempit dan terarah pada suatu topik tertentu. B. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif, sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1998). Bahwa untuk memperoleh data secara holistic dan integrative, maka teknik pengumpulan data yang lazim digunakan yaitu; (1) wawancara mendalam (indepth interviewing); (2) observasi partisipan (participant observation); dan (3) studi dokumentasi (study of documents). C. Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik induktif, konseptualistik (reduksi data) dalam arti informasi-informasi empiris yang diperoleh, dan dibangun dengan konsep-konsep atau proposisiproposisi kearah pengembangan suatu teori substantif. Menurut Miles dan Huberman (1992) bahwa metode analisis data kualitatif melaui tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data.
5
D. Pengecekkan Keabsahan Data Dalam penelitian kualitatif pengecekan keabsahan data penting agar memperoleh temuan penelitian yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, pengecekan keabsahan data pada dasarnya sangat penting dan tidak terpisahkan dari penelitian kualitatif. Ada tiga teknik pengujian keabsahan data yaitu: (1) kredibilitas; (2) dependenitas; dan (3) konfirmabilitas.
III. HASIL PENELITIAN 1. Profil Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Kota Gorontalo sebagai madrasah yang bermutu Fasilitas pendidikan yang dimiliki oleh Madrsah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Gorontalo cukup memadai untuk menunjang serta memperlancar kegiatan proses belajar mengajar yang sudah diatur dan ditata sedemikian agar para siswa-siswi dapat memperoleh pendidikan dengan baik. MIM Wumialo mempunyai proses pembelajaran yang baik dan sesuai dengan kebutuhan yang ada, adapun penerapan kurikulum disesuaikan dengan keadaan sekolah. Selama MIM Wunialo dibawah pimpinan Ibu Marjan mulai dari tahun 2001 sampai sekarang, proses kegiatan belajar mengajar menerapkan kurikulum pembelajaran yang disebut, KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), mempunyai model pembelajaran PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Enak dan Menyenangkan) dan CTL (Contestual Teaching and Learning). Dan sekarang mengunakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Penerapan kurikulum ini dilakukan sesuai dengan jadwal pelajaran yang ada dan pengaturan dari Departemen Agama dan Dinas Pendidikan Kota Gorontalo
6
Kondisi guru dan staf MIM Wumialo dengan rincian, yaitu (1) tenaga guru sebanyak 27 orang dengan kualifikasi rata-rata sarjana, (2) karyawan pegawai adiministrasi sebanyak 7 orang. Sebagian besar guru masih berusia muda antara 26 sampai 40 tahun dan memiliki masa kerja selama 5 sampai 15 tahun. Hal ini tentu akan mempengaruhi tingkat semangat kerja dan profesionalisme guru dalam mengajar di sekolah. Sedangkan tingkat perbandingan guru:siswa di MIM Wumialo telah mencapai standar ideal, yakni dengan perbandingan 1: 25 siswa. Kondisi siswa MIM Wumialo dalam hitungan angka bahwa jumlah murid 252 orang menurut data pada tahun 2007/2008, dan porsentase kelulusan tiga tahun terakhir ini mencapai 100% dengan peningkatan nilai rata-rata ujian akhir setiap tahun, hal ini telah sangat berarti bagi sekolah swasta untuk menunjukkan peningkatan mutu yang dilakukan selama ini. Dalam rangka untuk meningkatkan mutu input murid dan menyaring peminat yang ingin masuk ke MIM Wumialo, maka sekolah mengadakan penerimaan murid baru dengan menggunakan Surat Tanda tamat dari Taman kanak-kanak dan test CALISTUNG(Baca, Tulis, Berhitung), tes bahasa Inggris dan tes komputer. Tes ini menguji kemampuan dasar yang dimiliki calon siswa tentang kemampuan menulis dan membaca, kamampuan dasar bahasa Inggris, iqra dan Komputer. 2. Kepemimpinan kepala madrasah terhadap peningkatan mutu di MIM Kota Gorontalo yang tercermin dalam Visi, misi sekolah, nilai-nilai kepemimpinan, sistem penghargaan, dan hubungan sisial dan emosional. Visi Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Kota Gorontalo adalah “Menjadikan MIM sebagai sekolah unggulan yang kompetitif berwawasan IPTEK dan IMTAQ” Visi ini, dapat dikatakan, merupakan ruh organisasi MIM
7
Wumialo. Kepala sekolah berupaya untuk meningkatkan upaya-upaya edukatif untuk membina siswa menjadi generasi yang didambakan. salah satu upayanya adalah memberikan pembinaan yang intensif tentang ke-Islaman baik dalam proses pembelajaran intakurikulum maupun di luar dari jam pelajaran. Kepala sekolah berupaya untuk memadukan tiga aspek dalam melakukan pendidikan di MIM Wumialo yaitu Iman, Ilmu dan Taqwa. Demikian juga misi MIM Wumialo sebagai bagian penting dari penafsiran yang lebih aplikatif dari pada visi sekolah ini. Sehingga misi sekolah ini tetap mempunyai misi pada upaya mewujudkan visi dalam bentuk program kerja setiap tahunnya. Visi dan misi sekolah merupakan pencitraan diri kepala sekolah untuk meningkatkan mutu. Artikulasi kepala sekolah terhadap visi dan misi memberi dampak bagi peningkatan keefektifan kepemimpinannya untuk mengantarkan sekolah ini menjadi sekolah yang berbudaya mutu secara berkesinambungan dari tahun ke tahun. Di sinilah, kepala sekolah sangat berpengaruh untuk meningkatkan budaya mutu di MIM Wumialo. Nilai-nilai kepemimpinan merupakan landasan mendasar dari budaya organisasi sekolah. Adapun nilai-nilai kepemimpinan kepala sekolah yang ditemukan pada kasus MIM Wumialo antara lain; disiplin tinggi, Nilai tanggung jawab, nilai amar ma’ruf nahi mungkar dan nilai kebersamaan. Wujud penghargaan di MIM Wumialo adalah: a) pemberian gaji dan insentif, b) penghargaan pada guru berprestasi, c) dan penghargaan pada siswa berprestasi di MIM Wumialo. Sistem penghargaan di MIM Wumialo merupakan bagian penting yang dapat mempengaruhi terbentuknya budaya sekolah. Kepala MIM Wumialo memberikan penghargaan sebagai upaya untuk memotivasi dan
8
memberi pengaruh agar guru, karyawan dan murid memiliki peningkatan kinerja dan prestasi di sekolah ini. Kepala MIM Wumialo menjalin hubungan soasial dan emosional pada berbagai pihak yaitu untuk dikalangan internal sekolah kepala sekolah menjalin hubungan kesejawatan dengan guru-guru, sementara hubungan yang dijalin dilingkungan internal atau dengan masyarakat kepala sekolah sering melakukan pertemuan untuk membagun silaturahmi dan membina hubungan dalam bentuk kegiatan keagamaan. Struktur organisasi MIM Wumialo bersifat sederhana dengan mekanisme kerja dan unit-unit kerja yang tidak terlalu kompleks. Yayasan, Kepala sekolah, dan para wakil kepala sekolah merupakan unit organisasi yang mempunyai wewenang tinggi dalam pengelolaan pendidikan. Hubungan organisatoris yang terjalin di MIM ini dalam bentuk dua arah antara atasan dan bawahan; berupa hubungan koordinasi dan konsultasi. Hubungan koordinasi dapat terjadi antara kepala sekolah dengan wakil kepala sekolah dan sebaliknya merupakan hubungan konsultasi. 3. Budaya Mutu Madrasah yang tercermin dalam mutu layanan sekolah, mutu guru dan sataf dan mutu sarana dan prasarana Pendidikan. a. Mutu layanan sekolah Temuan mutu layanan sekolah MIM Wumialo adalah: (a) Peningkatan mutu layanan intrakurikuler melalui peningkatan profesionalisme layanan pembelajaran; jadwal pelajaran, jenis pelajaran, waktu, tempat dan guru yang bertugas selama satu semester dan kelengkapan media pembelajaran. (b)peningkatan mutu layanan ekstrakurikuler melalui; banyaknya kegiatan ekstakurikuler ke-Islaman dan ektrakurikuler lebih bersifat pengembangan minat
9
dan bakat siswa. (c) meningkatkan mutu layanan administrasi, yaitu tetap mengupayakan terlaksananya tertib administrasi dengan menciptakan sistem komputerisasi administrasi sesuai dengan pembagian tugas yang telah ditetapkan, meliputi: ketenagaan, persuratan, kesiswaan, inventarisasi dan perlengkapan, serta pelayanan administrasi yang mengutamakan kepada guru dan siswa. b. Mutu Guru dan Staf Sekolah Peningkatan mutu guru melalui pembinaan KKG, Kepala madrasah melakukan pertemuan rutin dengan guru tiap dua minggu sekali, memfasilitasi tenaga guru untuk mengembangkan profesionalisme melalui studi lanjut, pelatihan, penataran, dan sejenisnya, program perencanaan pengembangan kompetensi dan kualifikasi tenaga guru dan non guru, kepala sekolah melaksanakan program supervisi internal terhadap pelaksanaan pembelajaran guru, pemberian penghargaan dan kesejahtraan pada guru yang berprestasi. Sedangkan peningkatan mutu staf administrasi dengan mengirimnya untuk mengikuti pelatihan administrasi sekolah dan komputer dan pembinaan oleh kepala sekolah. c. Mutu Sarana/Prasarana Sekolah Peningkatan mutu sarana/prasarana pendidikan dengan menambah kelengkapan fasilitas gedung sekolah menjadi tiga lantai, pengembangan laboratorium, media pembelajaran, perpustakaan dan lain-lain. Sumber dana untuk kelengkapan sarana/prasarana diperoleh dari iuran orang tua siswa baru, dari yayasan muhammadiyah, dari masyarakat, SPP dan donatur tidak mengikat serta pemerintah melalui Depag dan Dinas pendidikan.
10
4. Faktor penghambat dan factor pendukung peningkatan budaya mutu dan strategi kepala sekolah mengatasi faktor penghambat dan memberdayakan faktor pendukung dalam upaya peningkatan budaya mutu di Madrasah. Faktor penghamabat secara internal adalah 1) Komitmen guru dan staff sekolah yang masih rendah, 2) kinerja guru dan staf yang belum maksimal, 3) terbatasnya sarana-prasarana, 4) keterbatasan biaya dan sumber-sumber finansial madrasah. Sedangkan faktor penghambat secara eksternal adalah: 1) kebijakan pemerintah yang pelaksanaanya kurang maksimal, 2) kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya, 3) kendala birokratis, dan keterbatasan sumber daya manusia di Muhammadiyah, 4) faktor imej masyarakat tentang sekolah swasta dan madrasah yang kuarang berkualitas. Faktor pendukung secara internal adalah: 1) Adanya kesepahaman visi misi 2) Kedisiplinan dan komitmen yang tinggi, 3) Sumber Daya Manusia yang mulai maju, 4)inovasi dan perubahan metode mengajar, 5) Kurikulum prioritas untuk di unggulkan yaitu pelajaran bahasa inggris, bahasa arab dan komputer. Sedangkan faktor Pendukaung dari luar: 1) peran komite madrasah yang semakin meningkat. 2) Dukungan yang tinggi dari depag, dinas dan pimpinan muhammadiyah, 3) kebijakan dari Kota Gorontalo untuk memberikan perhatian yang tinggi untuk pendidikan madrsah dan memberikan kesejahtraan pada guruguru madrasah. Strategi yang ditempuh oleh kepala Marasah dalam mengatasi masalah peningkatan budaya mutu di MIM Wumialo adalah Sebagai berikut: 1). Strategi dengan pengembangan aspek SDM, 2) pengembagan dari segi sarana prasarana, 3) pengembangan dari segi kerja sama dan hubungan dengan masyarakat, 4)
11
pengembangan kurikulum dan inovasi strategi pembelajaran, 5) membagun disiplin dan komitmen antar warga madrasah.
IV. PEMBAHASAN HASIL a. Profil Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Kota Gorontalo sebagai madrasah yang bermutu. Sebagaimana termuat dalam PP No.29. Th.1990 bahwa Peran utama kepala sekolah yaitu bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pendidikan, adaministrasi sekolah, pembinaan tenaga kependidikan, dan penggunaan sarana dan prasarana. Oleh karena itu, kepala sekolah dituntut mempunyai kemampuan manajemen dan kepemimpinan yang memadai agar mampu mengambil inisiatif dan prakarsa untuk meningkatkan mutu sekolah. Kepala sekolah sebagai pimpinan pendidikan mempunyai peran penting dalam meningkatkan mutu pendidikan; yang sekaligus terkait dengan upaya mengelola aspek manusiawi dan materi sekolah agar mengarah pada terciptanya proses pembelajaran yang efektif. Bila ditinjau, karakteristik MIM Wumialo sebagai sekolah yang mengembangkan mutu maka dapat ditemui aspek-aspek yang menunjang sekolah ini untuk mencapai keefektivan sekolah sebagai sekolah bermutu adalah sarana prasarana yang memadai, tenaga kependidikan yang berkualifikasi sarjana, kurikulum dan pembelajaran yang baik, pengelolaan kesiswaan yang baik, keuangan serta kemitraan sekolah dengan masyarakat. b. Kepemimpinan kepala madrasah dalam meningkatkan mutu di MIM Kota Gorontalo yang tercermin dalam Visi, Misi Madrasah, Nilai-nilai kepemimpinan, sistim penghargaan, hubungan social dan emosional Kepala Madrasah
1) Visi dan Misi Sekolah Visi mengarah pada pembentukan citra diri organisasi, ia sebagai ikatan moral (moral bonding), dan misi pada pembentukan budaya sekolah, ia sebagai ikatan
12
budaya (cultural bonding), bagi semua komponen sekolah. Dengan pernyataan lain bahwa visi dan misi sebagai acuan berpikir, acuan bertindak dan acuan berprilaku guru, siswa, dan staf lainnya. Pada Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Kota Gorontalo tercermin bahwa Kepala Madrasah berupaya untuk mengimplementasikan visi dan misi madrsah melalui program kerja jangka panjang dan jangka pendek untuk membangun dan memelihara budaya mutu madrasah secara berkesinambungan. Visi MIM Wumialo adalah: “Menjadikan MIM sebagai sekolah unggulan yang kompetitif berwawasan IPTEK dan IMTAQ”. Visi ini menjadi bentuk komitmen kepala madrasah selama memimpin sekolah. Artikulasi kepala sekolah terhadap visi dan misi sekolah akan memberikan makna bagi peningkatan keefektifan kepemimpinannya membawa sekolah menjadi sekolah yang berbudaya mutu secara berkesinambungan dari tahun ke tahun. Di sinilah, kepala sekolah sangat berpengaruh untuk meningkatkan budaya mutu pada masingmasing sekolah. Sehingga berdasarkan temuan kasus di MIM Wumialo maka sejalan dengan pendapat Caldwell dan Spink (1993) dan Yukl (1998) bahwa pemimpin, dalam hal ini kepala sekolah mempengaruhi, merubah dan mempertahankan budaya sekolah yang kuat sesuai dengan visi oganisasi yang sudah disepakati.. Sedangkan menurut Sallis (2006) bahwa peran utama pemimpin pendidikan antara lain memiliki visi yang jelas tentang mutu terpadu organisasi sekolah dan memiliki sikap teguh untuk menghindari penyimpangan dari budaya organisasi.
13
2) Nilai-nilai kepemimpinan Sekolah sebagai organisasi mempunyai nilai-nilai yang diyakini oleh anggota organisasi yang termanifestasi pada cara berpikir bertindak dan menyikapi hal-hal yang terkait sekolah. Nilai-nilai tersebut biasanya termanifestasi dalam karakter nilai-nilai kepemimpinan yang merupakan landasan mendasar dari budaya organisasi sekolah. Kepala Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Wumialo Gorontalo meyakini nilai-nilai yang dapat menciptakan keefektifan kepemimpinannya. Nilai tersebut menjadi keyakinan kepala sekolah yang kemudian ditransfer pada kehidupan warga sekolah. Dengan nilai-nilai ini maka ia berupaya meningkatkan budaya mutu. Hal ini terkait dengan upaya kepala sekolah untuk meningkatkan keefektifan kepemimpinan. Nilai-nilai ini mempengaruhi lahirnya budaya madrasah, termasuk mutu madrasah. Nilai-nilai kepemimpinan kepala sekolah dapat merupakan nilai yang diyakini secara pribadi kemudian diimplementasikan dalam kehidiupan seharihari. Adapun nilai-nilai kepemimpinan kepala MIM Wumialo Gorontalo adalah: Nilai Disiplin Tinggi, Nilai Tanggung Jawab, Nilai Amar Ma’ruf Nahi Mungkar dan nilai kebersamaaan. Kalau dilihat dari konsep budaya, temuan nilai-nilai kepemimpinan dalam upaya peningkatan budaya mutu di MIM Wumialo dapat dipahami dari sudut sumbernya. Nilai-nilai kepemimpinan merupakan kualitas kehidupan sebuah organisasi sehingga Menurut Spink dan Caldwell (1993) nilai dan keyakinan dalam organisasi sekolah yang perlu menjadi perhatian untuk mencapai keunggulan sekolah (exellence school) yaitu; kualitas, keefektifan, persamaan, efesiensi dan pemberdayaan.
14
3) Sistim Penghargaan Peran dan tugas kepala sekolah untuk menciptakan sistem reward yang proporsional dan profesional akan sangat mendukung lahirnya budaya organisasi yang sehat. Sistem penghargaan yang baik akan meningkatkan moral kerja guru dan karyawan dalam mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Di sini, pentingnya peran kepala sekolah untuk mendisain sistem penghargaan secara profesional dan dapat diterima oleh bawahannya, sebagai sistem organisasi yang baik. Pengahargaan berdasarkan prestasi kerja memberi pengruh pada peningkatan kinerja semua komponen sekolah. Ia menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas kerja guru staf dan siswa di sekolah. Bahkan penghargaan merupakan sumber kekuasaan (source of power) untuk meningkatkan pengaruh kepala sekolah terhadap bawahannya (Yukl, 1994). Pengaruh kepala sekolah yang kuat akan berpengaruh pada keefekifan kepemimpinan yang mendukung pencapaian visi dan misi. Seitem penghargaan yang dilakukan oleh kepala madrasah MIM Wumialo Gorontalo sebagai upaya peningkatan Budaya Mutu madrasah adalah penghargaan pada guru danpenghargaan pada siswa. 4) Hubungan sosial dan Emosional Kepala Madrasah Kepemimpinan kepala sekolah merupakan bentuk hubungan manusiawi pada organisasi sekolah, Di sini kepala sekolah berperan sebagai “human engineer”(Sergiovanni,1991). Ia menekankan hubungan manusiawi, kompetensi interpersonal dan memberi motivasi secara instrumental seperti dorongan, pengakuan dan kesempatan berkembang kepada guru, siswa dan stafnya di
15
sekolah. Goleman (1995 & 2001) menjelaskan tentang pentingnya hubungan sosial dan emosional pemimpin dengan anggota oraganisasi agar tercipta kepemimpinan yang sehat. Kepala MIM Wumialo Gorontalo sekolah melakukan hubungan dengan guru, siswa, staf sekolah, orangtua murid dan masyarakat sekitar sekolah untuk menciptakan keefektifan kepemimpinannya. Adapun jenis-jenis hubungan yaitu hubungan sialturahmi, hubungan kekeluargaan, dan hubungan emosi keagamaan. Misalnya, Hubungan kesejawatan dengan guru dan karyawan dalam bentuk pemberian supervisi, membantu dalam menyelesaikan masalah. Berdasarkan paparan di atas maka penelitian ini senada dengan pendapat Arifin (1998) ditemukan bahwa kepala sekolah menggunakan nilai-nilai religiokultural untuk meningkatkan kinerja para guru di sekolah. Ini artinya, bahwa kepemimpinan kepala sekolah pada budaya mutu dimana ia berupaya untuk membangun dan mempertahankan budaya sekolah yang kuat. 5) Struktur dan desain organisasi Struktur organisasi MIM Wumialo bersifat sederhana dengan mekanisme kerja yang simpel. Pola hubungannya dalam bentuk dua arah antara atasan dan bawahan; berupa hubungan koordinasi dan konsultasi. Hubungan koordinasi dapat terjadi antara kepala sekolah dengan wakil kepala sekolah dan sebaliknya merupakan hubungan konsultasi pada hubungan kepala sekolah dengan Yayasan, Dikdasmen, Depag Kota, dan wakasek kepada kepala sekolah dalam melaksanakan kegiatan sekolah. Liphm, Rankin, dan Hoeh (1985:28-31) menjelaskan bahwa desain organisasi mencerminkan hubungan kekusaan dan wewenang, koordinasi, rentang
16
kontrol, dan kesatuan perintah , hubungan antara guru dan staf di sekolah. Pada kasus di MIM Wumialo tercermin hubungan antara kepala sekolah dengan guru, staf dan komponen lainnya dalam hubungan pembagian tugas dan wewenang, perintah, koordinasi dan kontrol terhadap masing-masing unit kerja organisasi dengan ciri bahwa disain dan struktur bersifat sentralistis karena terpusat pada kepala sekolah yang mempunyai wewenang tinggi. Seiring dengan pendapat Schen (1997) yang mengatakan bahwa disain dan struktur di bangun masingmasing pemimpin termasuk para pendiri, agar lebih efektif dan efesien untuk mencapai visi dan misi organisasi. c. Implementasi Budaya mutu sekolah yang tercermin dalam Mutu layanan madrasah, Mutu guru dan staf dan Mutu sarana/prasarana madrasah. Budaya mutu di Madrasah merupakan nilai-nilai, aktivitas-aktivitas dan simbol-simbol yang menjadi komitmen semua elemen madrasah dalam meningkatkan mutu pendidikan. Secara kontekstual pada penelitian ini ditemukan bahwa budaya mutu di sekolah meliputi mutu layanan sekolah, mutu guru dan staf sekolah, dan mutu sarana/prasarana sekolah. Sehingga perhatian dan upaya kepala sekolah untuk meningkatkan mutu tercermin pada peningkatan mutu layanan, guru dan staf, dan mutu sarana/prasarana sekolah. Dalam penelitian ini di temukan bahwa kepala sekolah berupaya untuk meningkatkan Budaya mutu pada MIM Wumialo Gorontalo sebagai perbaikan pendidikan. Melalui upaya-upaya yang pernah dilakukan kepala sekolah maka prestasi sekolah dan siswa dapat meningkat dari tahun ke tahun dengan baik. Kepala sekolah mengarahkan kepemimpinannya untuk membangun budaya mutu sekolah yang kuat. Ia berupaya untuk memberikan pemahman atas visi dan misi
17
sekolah, menerapkan nilai-nilai, simbol, penghargaan, dan disain organisasi sekolah yang profesional dan porposional untuk membangun budaya mutu. d. Faktor penghambat dan faktor pendukung pengimplementasian budaya mutu dan strategi mengatasi faktor penghambat dan memberdayakan faktor pendukung budaya mutu di Madrasah Peningkatan budaya mutu selama ini di MIM Wumialo, bukannya berjalan mulus, tetapi juga banyak mengalami kendala. Temuan di MIM Wumialo menunjukan bahwa hambatan-hambatan yang muncul dari internal sekolah sendiri seperti faktor manusia, faktor pembiayaan, faktor sarana-prasarana. Sementara faktor penghambat dari eksternal sekolah berupa kebijakan pemerintah yang pelaksanaanya kurang maksimal, kurangnya perhatian orang tua terhadap anaknya. Sementara itu dalam upaya meningkatkan budaya mutu sekolah di MIM Wumialo didukung oleh beberapa faktor penting. Adanya kesepahaman visi misi madrasah yang telah diusung oleh kepala sekolah telah menumbuhkan kesadaran warga madrasah untuk membangun nilai disiplin dan komitmen untuk memajukan sekolah. Ini merupakan sebuah faktor yang sangat penting untuk pendukung peningkatan budaya mutu dimadrasah, sebagaimana dikatakan oleh Crosby dalam Sallis; 2007 bahwa langkah pertama yang mendasar dalam sebuah program mutu adalah komitmen manajemen ( management commitment). Hal ini adalah hal yang krusial menuju sukses dan merupakan poin yang disepakati oleh semua para ahli mutu. Strategi yang ditempuh oleh kepala MIM Wumialo dalam mengatasi masalah peningkatan budaya mutu madrasah adalah dengan memberdayakan faktor-faktor prndukung yang telah dimiliki oleh madrasah yakni membagun
18
sumber daya manusia baik dari aspek mental emosional misalnya membangun komitmen dan disiplin, maupun aspek kualifikasi dan aspek kompetensi pendidikannya misalnya kepala sekolah mengikutkan dalam pelatihan dan pendidikan. Kepala sekolah sebagai pimpinan yang bertanggung jawab dalam memimpin perbaikan sekolah dituntut untuk melakukan upaya-upaya organisatoris dalam memperbaiki mutu di sekolah (Hoy, Jardine & Wood, 2000). Langkah-langkah untuk meningkatkan dan memperbaiki mutu sekolah meliputi; memahami masalah organisasi; identifikasi dan dukumentasi proses-proses; mengukur unjuk kerja; mengembangkan dan mengembangkan ide-ide; menerapkan solusi dan dan mengevaluasi ( Tenner & De Tero, 1992). Untuk itulah kepala sekolah dituntut memiliki komitmen yang kuat dan strategi untuk melakukan perbaikan mutu sekolah secara berkesinambungan.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan fokus penelitian, paparan data dan temuan penelitian serta pembahasan temuan hasil penelitian, maka hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Kepemimpinan kepala MIM Wumialo Gorontalo dalam meningkatkan budaya mutu sekolah tercermin pada (1) Kepala madrasah menjadikan Visi, Misi Madrasah sebagai acuan dan motivasi untuk mempengaruhi warga madrasah dalam menjalankan program sekolah dalam meningkatkan budaya mutu madrasah dan kepala madrasah melakukan sosialisasi dan penerapan visi dan
19
misi pada program kerja dan tujuan sekolah sebagai pencitraan diri dan organisasi madrasah (2) Nilai-nilai kepemimpinan kepala madrasah yang diyakini sebagai upaya peningkatan budaya mutu yaitu: nilai kedisiplinan, nilai tanggung jawab, nilai amarma’ruf nahi mungkar dan nilai kebersamaan. (3) Kepala madrasah menerapkan sistim penghargaan madrasah berupa pemberian gaji dan insentif, penghargaan pada guru berprestasi, dan penghargaan pada siswa berprestasi, (4) hubungan sosial dan emosional Kepala Madrasah trcermin dalam hubungan kemitraan, silaturahmi dengan orangtua murid dan masyarakat serta hubungan dalam bentuk kegitan keagamaan. 2. Implementasi budaya mutu madrasah yang tercermin dalam; a) Peningkatan mutu layanan yang dilakukan oleh kepala Madrsah MIM Wumialo adalah (1) peningkatan layanan intrakurikuler melalui peningkatan profesionalisme layanan pembelajaran; jadwal pelajaran, jenis pelajaran, waktu, tempat dan guru yang bertugas selama satu semester dan kelengkapan media pembelajaran. (2) layanan ekstarkurikuler bersifat pengembangan minat dan bakat siswa (3) layanan administrasi dengan peningkatan tertib administrasi dengan menciptakan sistem komputerisasi administrasi. b) Peningkatan mutu Guru dan staf dengan mengembangkan profesionalisme melalui studi lanjut, pelatihan, penataran, dan sejenisnya, program perencanaan pengembangan kompetensi dan kualifikasi tenaga guru dan non guru. Sementara peningkatan mutu staf administrasi dengan mengirimnya untuk mengikuti pelatihan administrasi sekolah dan komputer dan pembinaan oleh kepala sekolah.
20
c) Peningkatan mutu sarana dan prasarana yang dilakukan oleh kepala Madrsah MIM Wumialo adalah dengan menambah kelengkapan fasilitas gedung sekolah menjadi tiga lantai, pengembangan laboratorium, media pembelajaran, perpustakaan dan penambahan lahan baru untuk kampus dua. 3. Dalam upaya peningkatan budaya mutu madrasah terdapat dua faktor yang berpengaruh yakni faktor penghambat dan faktor pendukung. Kedua factor ini muncul dari internal dan eksternal madrasah. Oleh karena itu strategi yang ditempuh oleh kepala MIM Wumialo dalam mengatasi masalah peningkatan budaya mutu madrasah adalah dengan memberdayakan faktor-faktor prndukung yang telah dimiliki oleh madrasah yakni membagun sumber daya manusia baik dari aspek mental emosional misalnya membangun komitmen dan disiplin, maupun aspek kualifikasi dan aspek kompetensi pendidikannya misalnya kepala sekolah mengikutkan dalam pelatihan dan pendidikan guru dan staf.
B. Saran Dengan merujuk pada fokus penelitian, paparan data, temuan-temuan penelitian dan pembahasan maka hasil penelitian ini dapat penulis sampaikan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi pihak penyelenggara MIM Wumialo Gorontalo khususnya kepala madrasah agar; (1) kepala sekolah perlu memberikan perhatian pada pengembangan budaya mutu secara terorganisir dan berkesinambungan di sekolah, (2) kepala sekolah menjabarkan visi dan misi dengan mensosialisasi dan menerapkannya pada program kerja dan tujuan sekolah, (3) kepala
21
sekolah secara berkesinambungan memperbaiki mutu layanan sekolah, sumber daya sekolah dan sarana/prasarana sekolah baik kualitas dan kuantitasnya. 2. Bagi Kepala Kantor Depag dan Kepala Dinas hendaknya memperhatikan dengan baik peningkatan budaya mutu madrasah/sekolah dan kualitas kepemimpinannya dengan cara meciptakan sistem pendidikan atau pelatihan serta sertifikasi terhadap jabatan kepala sekolah secara profesional dengan standar-standar profesi yang baik. 3. Bagi Majelis Dikdasmen Muhammadiyah hendaknya lebih meningkatkan kinerjanya untuk memberikan perhatian dan pembinaan serta menfasilitasi madrasah atau sekolah-sekolah Muhammadiah dalam upaya membantu kepala sekolah untuk menciptakan sekolah yang bermutu. 4. Bagi peneliti. Sekalipun penelitian ini penuh dengan kekurangan maka peneliti berikutnya dapat melanjutkan untuk melakukan penelitian tentang kepemimpinan kepala sekolah terkait dengan budaya mutu untuk memperkuat temuan pada penelitian ini. Sehingga kepemimpinan pada konteks ini menjadi perhatian yang cukup menarik dan menantang bagi masa depan ilmu manajemen pendidikan.
VI.
DAFTAR RUJUKAN
Afandi, A. 2007. Budaya Mutu Pada Sekolah Unggulan (Studi Kasus di SD Islam Sabilillah Malang). Universitas Negeri Malang. (Tesis tidak dipublikasi). Arifin, I. 1998. Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Mengelola Madrasah Ibtidaiyah berprestasi ( Studi Multi Kasus Pada MIN Malang 1, MI Mambaul Ulum dan SD Ngaglik I Batu Malang). Universitas Negeri Malang. (Disertasi tidak dipublikasi) Bogdan, R. C dan Biklen, Knopp S. 1998. Qualitative Research For Education; an Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon.
22
Cortada, J. W.1996. Total Quality Management (ed. Indonesia).Yogyakarta: Penertbit ANDI. Davis, G.A. 1989. Effective School and Effective Teacher. Boston: Allyn and Bacon. Ekosusilo, M. 2003. Sistem Nilai Dalam Budaya Organisasi Sekolah Pada Unggul (Studi Kasus di SMU Negeri 1, SMU Regina Pacis, dan SMU alIslam 01 Surakarta) (Disertasi Universitas Negeri Malang tidak dipublikasi). Hoy, W.K dan Miskel, C.G. 1987. Educational Administration; Theory, Research, and Practice. New York: Random House. Jalal, F dan Supriadi D. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Jakarta: Adicita. Mantja, W. 2005. Etnografi Disain Penelitian Kualitatif dan Manajemen Pendidikan. Malang: Wineka Media Miles, M.B. & Huberman A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif (Penerjemah Rohidi, R.T.) Jakarta : Universitas Indonesia Press. Moleong, L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Owens, R.G. 1995. Organizational Behavior In Education. Boston: Allin and Bacon Pedoman Penulisan karya Ilmiah : Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, dan Laporan Penelitian. 2004. Ed. 4. Penerbit Universitas Negeri Malang. Sallis, E. 2007. Total Quality Management In Education. Jogjakarta. IRCiSoD. Undang-Uandang Sisidiknas No 20. Tahun 2003 Tentang Sisitem Pendidikan Nasional. Yukl, G. 1999. Kepemimpinan Dalam Organisasi (edisi Indonesia). Jakarta: Prentice-Hall Inc.
23
1
PERAN KEPALA SEKOLAH DALAM MANAJEMEN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN SEKOLAH ALAM (Studi kasus di SD Sekolah Alam Insan Mulia Surabaya) Nature school is one of alternative schools that come up from the SBM (school Based Management) phenomena. The concept of this school is providing students with their exact learning methode based on their characteristics and pshycological need. A proper school managenment is important to increase the output student and school quality. School management here is using any available sources and craeted soources efeciently and efectively to achive vision and mission of the school. Principal is in the front line to lead this management. Therefore, principal has a main role in school management. In this case, this research concerns to the principal role in wider meaning that is the principal role in curriculum and learning management of nature school. The objective of this research are; (1) to describe the principal role in curriculum and learning planning in SD SAIMS; (2) to describe the principal role in curriculum and learning implementation in SD SAIMS; (3) to describe the principal role in curriculum and learning evaluation in SD SAIMS This research uses qualitative approach and observational study case related to principal role and single oriented cases focuses on cases which are determined based on the research focuses. Finally, by the puposif technique, the samples as data sources are determined. They are: (1) principal; (2) vice principal of source and facility; (3) vice principal of student devision; (4) teacher; (5) administration. The techniques of collecting data used are: (1) indepth interviewing; (2) participant observation; and (3) study of documentation. While, the techniques of data analysis used are: data reductiona, data appliance, verification. The techiques for checking the data validity in order to abtain valid research finding are: 1) kredibility; (2) dependability; (3) konfirmability. Kredibility is a condition to meet the value of data and information validity collected. While, the techniques used are: (1) continously observation; (2) trianggulation; (3) member check; (4) friend discussion; (5) reference check. Field collected data reports that SD SAIMS is alternative school that has same characteristics differ it from any convensional school. Some of those characterictics are: (1) source and facility; (2) principal dedication; (3) education subject dedication; (4) curriculum and learning concept; (5) implementation of curriculum and learning; and (6) study evaluation. Meanwhile, research finding shows that curriculum and learning management in SD SAIMS focuses on the principal role in: (1) curriculum and learning planning in SD SAIMS; (2) curriculum and learning implementation in SD SAIMS; (3) curriculum and learning evaluation in SD SAIMS. The principal role in curriculum and learning planning are: (1) as a manager, he formulated the goal and action; (2) as a leader, motivator and supervisor all a once; (3) as a leader, he is also as a liasion to connect the need between school and parents; (4) as a manager, he did teaching management; (5) as a leader, he did coordination to devide the job of each staff. The principal role in curriculum and learning implementation are: (1) as a leader, he delegated the job; (2) as a leader, he is also as a motivator to motivate all the staff to their job; (3) as a leader, he is also as a monitor to do class observation; (4)
2
as a leader, he is also as a supervisor; (5) as a leader, he controled the situation when there are problems found along the process of teaching and learning implementation. The principal role in curriculum and learning evaluation are; (1) as a leader, he is also as a coordinator; (2) as a staff, he did consultation with consultant along the process of curriculum and learning evaluation ; (3) as a leader, he shared the suresult of consultation with the teachers; (4) as decision maker; (5) as an educator, he increased the teacher’s skill. Based on the result, the following suggestions are made; (1) the principal has to maintain the relationship pattern toward teacher and staff; (2) for another school that has implemented nature school concept or hasn’t, can read this thesis as reference about principal role in curriculum and learning management in nature school; (3) the principal has to find another connection to create cooperation in order to support school needs, either it is material or non-material matters.Therefore, school is not rely on it’s foundation merely; (4) the principal should give attention in student achievement list documentation done by teacher and his staf in which it can be publicated to society; (5) for another reseachers who interest in researching principal role in curriculum and learning management in nature school is recommended to add the research focus of how principal adjust the test school pattern with national test pattern. Therefore, the students don’t find difficulties in doing the national test in which it still becomes a problem faced by SAIMS.
Key words: role, principal, curriculum and learning management, nature school Nama Nim Program Studi Angkatan Tanggal Ujian
I.
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
: Eve Readety : 105631583533 : Manajemen Pendidikan : 2005 : 10 September 2008
Manajemen sekolah tidak lain berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda terdepan dan dapat diukur keberhasilannya.
3
Peran kepala sekolah dalam aplikasinya di lapangan diantaranya: (1) kepala sekolah mendorong guru untuk menciptakan dan mengelola suasana belajar yang ramah dan positif di sekolah; (2) Kepala sekolah melakukan supervisi kelas untuk mendorong dan mendukung pelaksanaan pembelajaran; (3) Kepala sekolah medukung inovasi oleh guru. Dalam hal ini orang tua siswa membantu guru di kelas. Sejak diberlakukannya otonomi daerah ini, akhirnya banyak bermunculan beberapa sekolah alternatif yang menawarkan model pendidikan yang beragam. Salah satu model pendidikan tersebut adalah model pendidikan sekolah alam. Sekolah alam adalah sekolah dengan konsep pendidikan berbasis alam semesta. Tujuan umum yang ingin dicapai melalui model pendidikan ini adalah membantu anak didik tumbuh menjadi pemimpin yang berkarakter. Menjadi manusia yang tidak saja mampu memanfaatkan apa yang tersedia di alam, tetapi juga mampu mencintai dan memelihara alam lingkungannya. Di sekolah alam, anak-anak tidak hanya belajar di kelas. Mereka dapat belajar di luar kelas atau lingkungan sekitar kelas. Mereka belajar tidak hanya dari buku tapi dari apa saja yang mereka lihat di sekelilingnya. Selain itu, di sekolah alam keseragaman bukan pada apa yang dikenakan, tapi pada akhlaknya. Sekolah Alam menerapkan konsep pendidikan integratif dengan pendekatan joyful learning. Sebuah konsep pembelajaran yang berporos pada kepentingan siswa, kecakapan hidup (life skill), serta kenyamanan siswa. Melalui pembelajaran joyful learning anak akan belajar dalam suasana bermain. Semua materi pelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan perkembangan psikologis anak.
4
A. Fokus Penelitian 1. Bagaimana peran kepala sekolah dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran di SD SAIMS? 2. Bagaimana peran kepala sekolah dalam implementasi kurikulum dan pembelajaran di SD SAIMS? 3. Bagaimana evaluasi kurikulum dan pembelajaran SD SAIMS?
B. Tujuan Penelitian 1. Peran kepala sekolah dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran di SD SAIMS 2. Peran kepala sekolah dalam implementasi kurikulum dan pembelajaran di SD SAIMS 3. Peran Kepala Sekolah dalam evaluasi kurikulum dan pembelajaran SD SAIMS
II. METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena obyek penelitian berupa proses atau kegiatan atau tindakan beberapa orang dan perlu pengamatan yang mendalam dengan latar yang alami (Bogdan & Bliken, 1998). Pertimbangan lain yang bersifat kualitatif adalah peran kepala sekolah dalam manajemen kurikulum dan pembelajaran sekolah alam SD SAIMS tidak hanya mengungkapkan peristiwa riil yang bisa dikuantitatifkan, tetapi lebih dari itu hasilnya diharapkan dapat mengungkapkan nilai yang tersembunyi dari peristiwa tersebut.
5
Rancangan studi kasus meliputi : (1) sasaran penelitinya dapat berupa manusia, peristiwa, latar, dan dokumen; (2) sasaran-sasaran tersebut ditelaah secara mendalam dengan maksud untuk memahami obyek yang diteliti secara intensif dan rinci berbagai kaitan yang ada di antara variabel-variabelnya. Berangkat dari fokus penelitian ini, maka rancangan studi kasus yang digunakan adalah studi kasus observasional dengan alasan: (1) untuk membatasi latar penelitian, mengingat ruang lingkup menajemen pendidikan cukup luas; (2) untuk membatasi latar peristiwa atau kejadian yang diteliti.
B. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif, sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1998). Bahwa untuk memperoleh data secara holistic dan integrative, maka teknik pengumpulan data yang lazim digunakan yaitu; (1) wawancara mendalam (indepth interviewing); (2) observasi partisipan (participant observation); dan (3) studi dokumentasi (study of documents). C. Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik induktif, konseptualistik dalam arti informasi-informasi empiris yang diperoleh, dan dibangun dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi kearah pengembangan suatu teori substantif. Menurut Miles dan Huberman (1992) bahwa metode analisis data kualitatif melaui tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data.
6
D. Pengecekkan Keabsahan Data Dalam penelitian kualitatif pengecekan keabsahan data penting agar memperoleh temuan penelitian yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, pengecekan keabsahan data pada dasarnya sangat penting dan tidak terpisahkan dari penelitian kualitatif. Ada tiga teknik pengujian keabsahan data yaitu: (1) kredibilitas; (2) dependenitas; dan (3) konfirmabilitas.
III. HASIL PENELITIAN A. Peran kepala sekolah dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran SD SAIMS: 1. merencanakan, dalam arti kepala sekolah SD SAIMS harus benar-benar memikirkan dan merumuskan dalam suatu program tujuan dan tindakan yang harus dilakukan. Rumusan tersebut didasarkan pada konsep sekolah yaitu memberikan pembelajaran pada anak sesuai dengan perkembangan psikologi anak. Kurikulum tetap mengacu pada kurikulum nasional, namun dimodifikasi dengan lebih menekankan pada pengembangan sikap kepemimpinan dan akhlaq karimah. 2. memimpin, dalam arti kepala sekolah SD SAIMS selain berperan sebagai penggerak atau memotivasi juga berperan untuk melakukan kontrol secara langsung terhadap segala aktivitas guru dalam malakukan perencanaan kurikulum dan pembelajaran yang meliputi: (1) tema-tema pelajaran apa saja yang akan digunakan di kelas; (2) bagaimana melaksanaan pembelajaran di kelas; dan (3) bagaimana melakukan penilaian. 3. menjalin hubungan dengan lingkungan, dalam arti kepala sekolah menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan khususnya dengan wali
7
murid dan melibatkan mereka dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran sehingga kepala sekolah mendapatkan gagasan baru baik mengenai tema-tema pelajaran yang lebih beragam, teknis pelaksanaannya di kelas maupun kegiatan ekstrakurikulernya. 4. administrasi, dalam arti kepala sekolah menyelenggarakan manajemen pengajaran dengan tugas sebagai pemimpin untuk mengelola kegiatan belajar mengajar yang meliputi: 1) penyusunan kelender sekolah; 2) penyusunan program tahunan; 3) penyusunan jam pembelajaran,. 5. koordinasi, dalam arti kepala sekolah melakukan koordinasi untuk mengatur pembagian tugas mengajar bagi para guru dan tugas-tugas penunjang pelaksanaan pembelajaran bagi para staff termasuk staff penunjang sarana belajar, dapur, administrasi, perpustakaan dan satpam atau penjaga sekolah.
B. Peran kepala sekolah dalam implementasi kurikulum dan pembelajaran SD SAIMS: 1. mendelegasikan tugas, dalam arti kepala sekolah mendelegasikan tugas mengajar secara penuh kepada para guru dengan memberikan kebebasan untuk mengkreasikan metode pengajaran yang telah disesuaikan dengan konsep SAIMS. 2. memotivasi, dalam arti kepala sekolah menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, suasana kerja yang tenang dan menyenangkan untuk
8
membangkitkan kinerja para tenaga kependidikan dengan menjalin hubungan kekeluargaan yang harmonis. 3. monitor, dalam arti kepala sekolah melakukan pengamatan secara langsung ke kelas-kelas untuk mendapatkan beberapa informasi yang berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran di kelas. 4. supervisi, dalam arti kepala sekolah sebagai supervisor melakukan penilaian terhadap kinerja guru dalam melakukan proses implementasi kurikulum dan pembelajaran. 5. mengendalikan, dalam arti kepala sekolah harus dapat mengendalikan situasi apabila terdapat kesalahan dalam implementasi kurikulum dan pembelajaran oleh guru dengan memberikan petunjuk dan meluruskan. Dalam proses pengendalian ini, kepala sekolah SD SAIMS melakukan evaluasi yang dilaksanakan secara kolaboratif dalam suatu forum. Forum yang dilaksanakan untuk membahas perancangan kurikulum dan pembelajaran ini ada 2 yaitu: (1) forum besar, yang diadakan setiap haru rabu dan sabtu, dan dihadiri oleh semua guru kelas; dan (2) forum internal kelas, yang diadakan sesuai penjadwalan dari kepala sekolah dan diadiri oleh guru per-kelas saja. Keputusan-keputusan yang diambil dalam forum selalu bersifat partisipatif dan demokratif.
C. Peran kepala sekolah dalam evaluasi kurikulum dan pembelajaran SD SAIMS: 1. mengkoordinasikan, dalam arti kepala sekolah setiap akhir semester mengumpulkan dan mengkoordinasikan semua sumber daya manusia
9
khususnya guru dan non-manusia (LKS, hasil belajar siswa/portofolio, dan hasil pengamatan kepala sekolah terhadap kinerja guru). 2. konsultasi, dalam arti kepala sekolah SD SAIMS setelah melakukan evaluasi kurikulum dan pembelajaran denga guru, beliau tidak serta merta mengambil keputusan secara sepihak. Akan tetapi, kepala sekolah sebagai seorang staf mengkonsultasikan hasil evaluasi kurikulum dan pembelajaran yang dilakukan dengan para guru dan stafnya, dengan konsultan pendidikan dan konsultan psikologi SAIMS. 3. menginformasikan kembali hasil konsultasi, yaitu setelah kepala sekolah melakukan konsultasi dengan konsultan pendidikan dan konsultan psikologi SAIMS, beliau menginformasikan hasil konsultasi tersebut pada para guru dan staf melalui forum yang kemudian akan dibahas bersama untuk mendapatkan keputusan akhir atau kesepakatan bersama. 4. mengambil keputusan (decision maker), dalam arti kepala sekolah SD SAIMS sebagai manajer mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan akhir dari hasil evaluasi kurikulum dan pembelajaran dengan beberapa pertimbangan yang telah disepakati bersama. Selanjutnya kepala sekolah akan menindak lanjuti kesimpulan dari hasil evaluasi, yaitu dengan mengadakan perubahan, perbaikan dan pengembangan kurikulum dan pembelajaran. 5. mendidik, dalam arti kepala sekolah SD SAIMS akan menindak lanjuti kesimpulan dari hasil evaluasi, memberdayakan tenaga kependidikan yang dinilai kurang dalam penguasaan konsep keilmuwannya baik dalam cara mengajar ataupun dalam penguasaan materi dengan memberikan kesempatan
10
kepada mereka untuk meningkatkan profesi melalui pelatihan-pelatihan, workshop dan seminar.
IV. PEMBAHASAN HASIL A. Peran Kepala Sekolah dalam Perencanaan Kurikulum dan Pembelajaran SD SAIMS Kepala sekolah dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran ini berperan sebagai manajer. Menurut Stoner (dalam Wahjosumidjo, 2005) ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan oleh kepala sekolah sebagai manajer, yaitu proses, pendayagunaan seluruh sumber organisasi dan pencapaian tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Perencanaan kurikulum dan pembelajaran ini biasanya dilakukan pada setiap awal semester. Kepala sekolah sebagai seorang manajer merencanakan dengan benar-benar, memikirkan, dan merumuskan dalam suatu program tujuan dan tindakan yang harus dilakukan dalam proses perencanaan kurikulum dan pembelajaran ini. Salah satu tindakan yang penting dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran ini adalah kepala sekolah mengorganisasikan semua sumber daya manusia dan non-manusia dan kemudian di dalam forum, kepala sekolah SD SAIMS melakukan pembagian tugas (job description) untuk pelaksanaan kegiatan perencanaan kurikulum dan pembelajaran. Selanjutnya, dilakukan forum lanjutan untuk membahas rancangan kurikulum dan pembelajaran tersebut. Kepala sekolah SD SAIMS kemudian menjalankan perannya sebagai pemimpin yaitu dengan memimpin kegiatan perencanaan kurikulum dan pembelajaran oleh guru dan staf. Kepala sekolah juga memberikan bimbingan,
11
menuntun, mengarahkan dengan melakukan fungsi kontrol secara langsung kontrol terhadap persiapan guru dalam proses pembuatan program semester termasuk bagaimana format pengajaran, skenario tema pelajaran dan LKS (Lembar Kerja Siswa) yang akan digunakan di kelas. Fungsi kontrol oleh kepala sekolah ini dilakukan agar tidak terjadi kesalah pahaman dalam penyusunan program semester yang telah disesuaikan dengan konsep, visi, dan misi sekolah. Apabila ada permasalahan, maka akan dibicarakan bersama dalam forum (meeting) yang telah dijadwalkan oleh kepala sekolah sebelumnya. Melalui forum ini, kepala sekolah menyelesaikan permasalahan mengenai perencanaan kurikulum dan pembelajaran ini secara partisipatif dan kolaboratif bersama semua elemen sekolah baik itu guru ataupun staf. Selain menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan guru dan staff, kepala sekolah SD SAIMS juga menjalin hubungan kerja sama dengan lingkungan khususnya wali murid untuk mendapatkan beberapa informasi mengenai tema-tema pelajaran yang beragam, teknis pelaksanaannya dan kegiatan ekstrakurikuler. Dalam hal ini, kepala sekolah melakukan fungsinya sebagai penghubung (liasion). Menurut Wahjosumidjo (2005) fungsi liasion kepala sekolah adalah kepala sekolah menjadi penghubung antara kepentingan sekolah dengan lingkungan di luar sekolah. Dalam tahap pelaksanaan kurikulum dan pembelajaran di sekolah, kepala sekolah sebagai administrator sekolah menyelenggarakan berbagai bidang tugas di sekolah, salah satunya adalah manajemen pengajaran. Tugas kepala sekolah dalam manajemen pengajaran atau kurikulum adalah bahwa tugas kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah dalam mengelola kegiatan belajar mengajar, meliputi: 1. Penyusunan kelender sekolah
12
2. Penyusunan program semester 3. Penyusunan jadwal. Setelah melakukan tugas administrasi, kepala sekolah melakukan koordinasi dengan seluruh tenaga kependidikan yang ada di SAIMS, baik itu para guru maupun staff yang lain untuk mengatur pembagian tugas mengajar bagi para guru dan tugas-tugas penunjang pelaksanaan pembelajaran bagi para staff. B. Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi Kurikulum dan Pembelajaran SD SAIMS Untuk implementasi kurikulum dan pembelajaran secara langsung di kelas, kepala sekolah harus pandai memimpin kelompok dan mampu melakukan pendelegasian tugas dan wewenang (Nurkholis, 2003). Kepala sekolah SD SAIMS mendelegasikan tugas pembelajaran di kelas kepada guru dengan memberikan kebebasan untuk mengkreasikan metode mengajar yang telah disesuaikan dengan konsep kurikulum dan pembelajaran SAIMS. Setelah melakukan pendelegasian tugas, kepala sekolah sebagai motivator memberikan motivasi kepada seluruh tenaga kependidikan untuk menjalankan tugasnya. Kepala sekolah berusaha menciptakan lingkungan yang kondusif, suasana kerja yang nyaman dan menyenangkan dengan menjalin hubungan kerja yang harmonis. Selanjutnya, kepala sekolah melaksanakan peranan informasional sebagai monitor yaitu kepala sekolah melakukan pengamatan langsung ke kelas untuk mendapatkan beberapa informasi yang berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran di kelas. Informasi tersebut bisa datang dari teknik mengajar guru, respon dari siswa, efektifitas kurikulum dan pembelajaran yang digunakan, dan
13
lingkungan atau suasana belajar. Hasil dari pengamatan tersebut nantinya akan dijadikan bahan diskusi dalam forum. Dalam implementasi pembelajaran di kelas ini, kepala sekolah SD SAIMS menekankan kepada guru untuk lebih mengutamakan kualitas manajemen di kelas dibandingkan dengan urusan administrasi terutama dalam penyusunan format pengajaran. Dengan adanya skenario pembelajaran tertulis yang sudah disepakati bersama, guru selanjutnya cukup mengimplementasikannya di kelas dengan memprioritaskan interaksi dengan siswa. Sehingga guru tidak perlu lagi membuat format pembelajaran atau RPP (rencana perancangan pengajaran). Kepala sekolah mengakui bahwasanya administrasi ini penting, namun beliau tidak ingin apabila guru disibukkan dengan permasalahan administrasi akan mengurangi interaksi guru dengan siswa. Hal ini menunjukkan bahwasanya kepala sekolah sebagai administrator harus mampu bertindak situasional yaitu sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Dengan mempertimbangkan konsep pembelajaran beserta visi dan misi sekolah maka keterlibatan guru secara maksimal dalam memantau perkembangan siswa baik secara akademik maupun mental mutlak dibutuhkan. Sehingga kepala sekolah tidak terlalu memberatkan tugas guru dengan permasalahan administrasi. Kepala sekolah dalam implementasi pembelajaran ini juga bertindak sebagai supervisor yaitu melakukan pengawasan dan pengendalian (supervisi) terhadap kinerja guru. Menurut Sergiovani dan Starrat (dalam Mulyasa, 2006), supervisi merupakan suatu proses yang dirancang secara khusus untuk membentu para guru dan supervisor dalam mempelajari tugas sehari-hari di sekolah; agar dapat menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk memberikan layanan
14
yang lebih baik pada orang tua, peserta didik, dan sekolah, serta berupaya menjadikan sekolah sebagai masyarakat belajar yang lebih efektif. Pengawasan dan pengendalian yang dilakukan oleh kepala sekolah SD SAIMS terhadap guru ini disebut supervisi klinis, yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dan meningkatkan kualitas pembelajaran melalui pembelajaran yang efektif. Aktivitas kepala sekolah sebagai supervisor sangat erat hubungannya dengan aktivitas kepala sekolah sebagai motivator. Salah satu upaya kepala sekolah dalam memotivasi guru agar mau dan mampu melakukan pembelajaran di kelas sesuai dengan tuntutan kurikulum adalah dengan melakukan pembinaan atau supervisi akademik secara rutin dan ditindak lanjuti bila ada permasalahan yang harus diselesaikan. Pada tahap proses implementasi kurikulum dan pembelajaran ini, kepala sekolah akan dihadapkan dengan beberapa permasalahan baik itu dari sumber daya manusia ataupun non-manusia. Kepala sekolah sebagai manajer berkewajiban membantu mengatasi hambatan dan masalah yang dihadapi oleh pelaksana program agar tidak menyimpang dari rencana yang telah ditetapkan. Fungsi ini dapat dilaksanakan dengan baik, apabila kepala sekolah tidak bertindak selaku atasan dan selaku pengendali bersikap kolegial (collegial) dan kesejawatan, serta bersifat kemitraan hubungan kerjanya dengan staf dan guru-guru di sekolah, tidak bertindak sebagai atasan terhadap bawahan. Sikap dan perilaku kepala sekolah sedemikian itu memudahkan proses pengambilan keputusan yang obyektif dalam menentukan alternatif pemecahan masalah secara obyektif dan memperlancar proses pelurusan dari penyimpangan yang terjadi.Untuk itu, kepala
15
sekolah harus mempunyai strategi atau ide-ide baru untuk mengendalikan permasalahan-permasalahan dengan memberikan petunjuk dan meluruskan. Kegiatan pengendalian ini dapat dilakukan secara formal (di dalam forum) ataupun secara informal (di luar forum) dengan tetap menjaga hubungan kesejawatan (collegial). Sebagai tindak lanjut dari kegiatan pengendalian, kepala sekolah sebagai inovator dapat memberikan informasi atau ide-ide baru yang berkaitan dengan pengendalian tugas guru dalam melakukan proses implementasi kurikulum dan pembelajaran. Salah satu inovasi yang dilakukan kepala sekolah SD SAIMS dalam penyampaian informasi yang bersifat kritik, yaitu beliau menggunakan beberapa filosofi agar tidak menimbulkan kesan memerintah atau menggurui. Hal ini, berkaitan dengan salah satu skill yang harus dimilki oleh kepala sekolah yaitu human relation skill. Menurut Wahjosumidjo (2005) human relation skills ini meliput: 1) kemampuan untuk memahami perilaku manusia dan proses kerja sama; 2) kemampuan untuk memahami isi hati, sikap dan motif orang lain, mengapa mereka berkata dan berperilaku; 3) kemampuan untuk berkomunikasi secara jelas dan efektif; 4) kemampuan menciptakan kerja sama yang efektif, kooperatif, praktis dan diplomatis; 5) Mampu berperilaku yang dapat diterima. Dengan pendekatan ini, kepala sekolah dapat dengan mudah bekerja sama untuk menghasilkan keputusun-keputusan dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran secara partisipatif, dan demokratif.
16
C. Peran Kepala Sekolah dalam Evaluasi Kurikulum dan Pembelajaran SD SAIMS Dalam evaluasi kurikulum dan pembelajaran ini, kepala sekolah SD SAIMS menjalankan perannya sebagai manajer mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dalam proses evaluasi kurikulum dan pembelajaran, kepala sekolah SD SAIMS melakukan beberapa tahapan penting sebelum menghasilkan sebuah keputusan final. Pertama, kepala sekolah mengkoordinasikan, dalam arti kepala sekolah setiap akhir semester mengumpulkan dan mengkoordinasikan semua sumber daya manusia (khususnya guru) dan non-manusia (LKS, hasil belajar siswa/portofolio, dan hasil pengamatan kepala sekolah terhadap kinerja guru) dalam suatu forum. Di sini, kepala sekolah SD SAIMS melakukan kegiatan evaluasi kurikulum dan pembelajaran bersama para guru dan staf untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian efektifitas, efesiensi dan pelaksanaan kurikulum dan pembelajaran terhadap tujuan yang ingin dicapai. Kedua, kepala sekolah SD SAIMS setelah melakukan evaluasi kurikulum dan pembelajaran dengan guru, beliau tidak serta merta mengambil keputusan secara sepihak. Kepala sekolah mempunyai tanggung jawab terhadap atasan yaitu wajib berkonsultasi dan meminta pertimbangan dalam pelaksanaan tugasnya termasuk dalam proses evaluasi kurikulum dan pembelajaran ini. Kepala sekolah sebagai seorang staf mengkonsultasikan hasil evaluasi kurikulum dan pembelajaran yang dilakukan dengan para guru dan stafnya, dengan konsultan pendidikan dan konsultan psikologi SAIMS. Menurut Wahjosumidjo (2005), kepala sekolah berperan sebagai staf, karena keberadaan kepala sekolah di dalam lingkungan organisasi yang lebih luas atau di luar sekolah berada di bawah
17
kepemimpinan pejabat lain, baik langsung maupun tidak langsung (subordinated), yang berperan sebagai atasan kepala sekolah. Dalam hal ini, atasan kepala sekolah di dalam lingkungan SAIMS adalah konsultan pendidikan dan konsultan psikologi. Ketiga, setelah kepala sekolah melakukan konsultasi dengan konsultan pendidikan dan konsultan psikologi SAIMS, beliau menginformasikan hasil konsultasi tersebut pada para guru dan staf melalui forum yang kemudian akan dibahas bersama untuk mendapatkan keputusan akhir atau kesepakatan bersama. Keempat, kepala sekolah SD SAIMS sebagai manajer mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan akhir (decision maker) dari hasil evaluasi kurikulum dan pembelajaran dengan beberapa pertimbangan yang telah disepakati bersama. Implikasi evaluasi kurikulum dan pembelajaran ini tidak hanya pada perubahan, perbaikan dan pengembangannya saja tetapi juga pada pemberdayaan semua elemen sekolah termasuk kepala sekolah sendiri. Mulyasa (2004) mengemukakan bahwa kepala sekolah beserta seluruh warga sekolah harus menjadi “learning person” yang senantiasa belajar untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya secara terus menerus (continous improvement) dan sekolah harus memiliki sistem pengembangan SDM melalui pelatihan dan workshop.
18
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Peran Kepala Sekolah dalam Perencanaan Kurikulum dan Pembelajaran di SD SAIMS Kepala sekolah dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran di SD SAIMS ini menjalankan peranannya yaitu; pertama, sebagai manajer merumuskan dalam suatu program tujuan dan tindakan. Rumusan program tujuan tersebut didasarkan pada konsep sekolah termasuk kurikulum dan pembelajaran SD SAIMS. Kedua, sebagai pemimpin juga sebagai motivator sekaligus supervisor yaitu menggerakkan, memotivasi dan mengawasi guru dan staf untuk melakukan tugasnya dalam perencanaan kurikulum dan pembelajaran dengan baik. Ketiga, sebagai pemimpin juga menjalankan peran sebagai penghubung (liasion) antara kepentingan sekolah dengan orang tua siswa yaitu alat perantara antara wakilwakil para guru, staf dan siswa untuk memperoleh informasi mengenai tema-tema pelajaran yang menarik bagi siswa. Keempat, sebagai manajer menyelenggarakan manajemen pengajaran dengan tugas sebagai pemimpin untuk mengelola kegiatan belajar mengajar yang meliputi: 1) penyusunan kelender sekolah; 2) penyusunan program tahunan; dan 3) penyusunan jam pembelajaran. Kelima, sebagai pemimpin melakukan koordinasi untuk mengatur pembagian tugas terhadap para guru, staff penunjang sarana belajar, dapur, administrasi, perpustakaan, dan satpam.
19
2. Peran Kepala Sekolah dalam Implementasi Kurikulum dan Pembelajaran di SD SAIMS Kepala sekolah dalam implementasi kurikulum dan pembelajaran di SD SAIMS ini menjalankan peranannya yaitu; pertama, sebagai pemimpin memberikan kepercayaan dengan mendelegasikan tugas mengajar kepada para guru. Sehigga, guru diberi kebebasan untuk mengkreasikan metode pengajaran yang disesuaikan dengan konsep SAIMS. Kedua, sebagai pemimpin juga sebagai motivator, memotivasi seluruh tenaga kependidikan untuk melaksanakan tugasnya masing-masing dengan menciptakan lingkungan kerja yang kondusif, tenang, menyenangkan, dan menjalin hubungan kerja secara kekeluargaan. Ketiga, sebagai pemimpin juga sebagai monitor melakukan pengamatan kelas untuk memantau pelaksanaan pengajaran di kelas oleh guru. Keempat, sebagai pemimpin juga sebagai supervisor melakukan supervisi yaitu melakukan penilain terhadap kinerja guru dalam mengimplementasikan kurikulum dan pembelajaran di kelas. Kelima, sebagai pemimpin mengendalikan situasi apabila ada permasalahan selama proses pelaksanaan dengan mengevaluasi kinerja guru yaitu dengan memberi petunjuk dan meluruskan.
3. Peran Kepala Sekolah dalam Evaluasi Kurikulum dan Pembelajaran di SD SAIMS Kepala sekolah dalam evaluasi kurikulum dan pembelajaran di SD SAIMS ini menjalankan peranannya yaitu; pertama, sebagai pemimpin juga sebagai koordinator melakukan koordinasi dengan mengundang guru ke dalam suatu forum untuk memperoleh informasi hasil evaluasi kurikulum dan pembelajaran dari guru. Kemudian kepala sekolah memimpin forum untuk mendiskusikan hasil
20
evaluasi tersebut dengan guru kelas. Kedua, sebagai seorang staf mempunyai tanggung jawab terhadap atasan yaitu wajib berkonsultasi dan meminta pertimbangan dalam proses evaluasi kurikulum dan pembelajaran. Atasan yang dimaksud disini adalah tim konsultan pendidikan dan tim psikologi SD SAIMS. Ketiga, sebagai pemimpin bertanggung jawab untuk menyebarluaskan dan membagi-bagi informasi yang telah diperoleh dari hasil konsultasi dengan tim konsultan kepada para guru. Kemudian mendiskusikannya kembali dalam suatu forum. Keempat, sebagai decision maker yaitu setelah melakukan konsultasi dengan tim konsultan dan mendiskusikannya kembali dengan guru, kepala sekolah sebagai pemimpin menjalankan fungsi sebagai decision maker yaitu kepala sekolah mempunyai wewenang untuk menghasilkan suatu keputusan dalam menentukan hasil evaluasi kurikulum dan pembelajaran ini. Tentu saja keputusan ini tidak diambil secara sepihak, tetapi melalui kesepakatan bersama dari hasil perundingan di dalam forum yang diambil secara partisipatif dan demokratif. Kelima, sebagai pendidik, melakukan pemberdayaan guru. Artinya, apabila ada beberapa guru dinilai kurang dalam penguasaan konsep keilmuwannya baik dalam cara mengajar ataupun dalam penguasaan materi, maka kepala sekolah sebagai pendidik harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolahnya. Salah satunya yaitu dengan memberikan kesempatan kepada mereka untuk meningkatkan profesi melalui pelatihan-pelatihan. B. Saran-saran Pertama, bagi kepala sekolah hendaknya juga memperhatikan kinerja guru dan staf khususnya dalam pendokumentasian daftar prestasi siswa yang nantinya
21
bisa dipublikasikan ke masyarakat sebagai bagian dari output yang bisa dibanggakan. Kedua, bagi para pelaku pendidikan dan masyarakat dapat menggunakan tesis ini sebagai referensi untuk menambah wawasan tentang peran kepala sekolah dalam manajemen kurikulum dan pembelajaran sekolah alam. Ketiga, bagi sekolah yang belum atau sudah menerapkan konsep sekolah alam dapat menjadikan tesis ini sebagai salah satu referensi mengenai peran kepala sekolah dalam manajemen kurikulum dan pembelajaran sekolah alam. Keempat, selain mengandalkan yayasan dalam usaha penyediaan saran dan prasarana baik itu dalam bentuk materi atau non-materi, diharapkan sekolah dapat menjalin kemitraan dengan dunia bisnis, kelompok masyarakat sekitar untuk memperkuat dukungan pencapaian tujuan sekolah. Dengan demikian, kepala sekolah diusahakan untuk lebih aktif untuk mencari peluang kerja sama dengan pihak-pihak luar ini. Kelima, bagi peneliti lain yang berminat untuk meneliti peran kepala sekolah dalam manajemen kurikulum dan pembelajaran sekolah alam agar dapat menambahkan fokus penelitian bagaimana peran kepala sekolah alam dalam menyesuaikan pola ujian sekolah dengan ujian nasional yang sampai saat ini masih menjadi kendala khususnya bagi SAIMS.
DAFTAR RUJUKAN
Adriono, dkk. 2006. Sekolah Alam Insan Mulia: sekolah yang menyenangkan dan memberdayakan. Bandung: Mizan Learning Center (MLC). Armstrong, Thomas. 2000. Multiple Intelligences in the Classroom. Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD). Virginia.
22
Ayan, Jordan E., 2002. Bengkel Kreatifitas: 10 cara menemukan ide-ide pamungkas. Bandung: Kaifa Bafadal, I. 2006. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Bogdan R.C. & Biklen, S.K. 1982. Qualitative Research For Education An Introduction to Theory and Methodes. Needham Height, MA: Allyn Bacon. Inc. Gardner, Howard. 1983. How Technology Enhances Howrd Gardner’s Eight Intelligences. (Online), (http://www.america-tomorrow.com, diakses tanggal 31 Oktober 2007). Lincoln, Y.S & Guba, E.G. 1985. Naturalistic inquiry. Beverly Hill: SAGE Publication, Inc. Miles, M.B. & Huberman A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif (Penerjemah Rohidi, R.T). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Pedoman Penulisan karya Ilmiah : Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, dan Laporan Penelitian. 2004. Ed. 4. Penerbit Universitas Negeri Malang. Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita. Yin, R.K. 1994. Case Study Research Design and Methods. Sam Franscisco, California: Sagg Publication, Inc.
1
Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam Mengelola SMK Bertaraf Internasional
M. Toharudin
The implementation of International Standard School is a global demand for global education quality competition. The process of changing national school standard into international school standard needs a great effort of the headmaster. The headmaster should have initiation to plan, organize, and implement international school standard. The focus of this research is headmaster leadership in managing International Standard Vocational School. The findings of the research show that: State Vocational School 3 Malang and PGRI Vocational School 3 Malang. This is a qualitative research with multi problems design which uses two different background problems. Kata kunci: kepemimpinan kepala sekolah, mengelola, sekolah bertaraf internasional
Sekolah sebagai lembaga organisasi pendidikan sangat diperlukan adanya seorang pemimpin dalam hal ini adalah kepala sekolah, guna menjalankan dan menggerakkan aspek-aspek yang terkait di dalam sekolah. Dengan demikian kepemimpinan memiliki salah satu peranan yang sangat menentukan dalam proses pencapaian tujuan sekolah, kepemimpinan kepala sekolah juga berperan sebagai motor penggerak sumber daya sekolah, sukses tidaknya kegiatan sekolah sebagian besar ditentukan oleh kualitas kepemimpinan yang dimiliki oleh kepala sekolah (Burhanuddin, 2002). Kepala sekolah sebagai pimpinan pada lembaga pendidikan bertanggung jawab untuk menggerakkan seluruh komponen sekolah guna mencapai tujuan bersama. Sebagai seorang pemimpin, perlu sekali ia menciptakan suatu suasana di mana semua turut menyumbangkan buah pikiran yang terbaik yang merupakan salah satu usaha dari pimpinan tersebut. Willes (1961) menyatakan bahwa langkah pertama adalah perbaikan program sekolah dengan cara penentuan tujuan bersama. Dasar utama dari suatu program sekolah yang baik adalah persetujuan M. Toharudin adalah alumni Program Studi Manajemen Pendidikan, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Malang.
2
bersama mengenai tujuan-tujuan sekolah. Apabila dikehendaki maka program tersebut perlu diperbaiki dimana para staf harus diberi kesempatan untuk saling memberikan pendapat, prosedur dan bahan-bahan. Teknik yang memungkinkan pertukaran pendapat tersebut adalah mencakup lokakarya, aktivitas panitia dan waktu bertemu untuk regu-regu guru guna mengembangkan bagian-bagian dari program sekolah. Sekolah Menengah Kejuruan merupakan bentuk satuan pendidikan menengah kejuruan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Pada mulanya sekolah kejuruan kurang diminati oleh masyarakat Indonesia, hal ini karena sekolah kejuruan kurang memberikan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan ataupun industri baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional merupakan tuntutan global untuk bersaing mutu pendidikan antar Negara, sehingga dalam hal ini pemerintah merekomendasikan pada setiap daerah untuk mendirikan Sekolah Nasional Bertaraf Internasional (SNBI) sebagaimana Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN 20/2003) Pasal 50, Ayat 3 menyatakan bahwa: “Pemerintah dan atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf Internasional”(Depdiknas, 2007). Proses sekolah nasional menjadi bertaraf Internasional, merupakan usaha yang cukup besar bagi sekolah dalam hal ini adalah kepala sekolah. Di mana kepala sekolah berinisiatif untuk merencanakan, mengorganisasi dan mengimplementasikan sekolah nasional menjadi bertaraf Internasional. Peters dan Austin (dalam Sallis, 2006:169) mengatakan bahwa yang menentukan mutu dalam sebuah institusi adalah kepemimpinan. Mereka berpendapat bahwa gaya kepemimpinan tertentu dapat mengantarkan institusi pada revolusi mutu, sebuah gaya yang mereka singkat dengan MBWA atau management by walking about (manajemen dengan melaksanakan).
3
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) upaya kepemimpinan kepala sekolah mencapai SBI, (2) nilai kepemimpinan kepala sekolah, dan (3) strategi kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelola SBI. Depdiknas (2007) berpendapat bahwa Sekolah Bertaraf Internasional merupakan sekolah yang sudah memenuhi seluruh Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan mengacu pada standar pendidikan salah satu negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional. Penyelenggaraan SBI bertujuan untuk menghasilkan lulusan yang berkelas nasional dan internasional sekaligus (Depdiknas, 2007). Sedangkan kriteria SMK Bertaraf Internasional, antara lain: (1) menggunakan standar kompetensi internasional sebagai acuan pengembangan dan pelaksanaan program diklat, (2) melaksanakan pengujian dan sertifikasi dengan menggunakan perangkat pengujian terstandar dan dilaksanakan oleh assesor bertaraf internasional, (3) menyelenggarakan program diklat yang mengacu pada standar kompetensi internasional dengan pendekatan Competency Based Training dan memberikan bekal yang cukup dalam kemampuan komunikasi Bahasa Inggris, (4) tersedianya fasilitas yang mendukung pencapaian kompetensi tamatan standar internasional, baik milik sendiri maupun kerjasama dengan pihak lain (out sourcing). (5) menerapkan sistem manajemen mutu yang mengacu standar mutu internasional (ISO), (6) memiliki partner lembaga diklat dan Dunia Usaha/Dunia Industri bertaraf internasional untuk mendorong peningkatan kualitas.
METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan multi kasus, karena dua kasus penelitian dengan latar yang berbeda. Lokasi penelitian ini di SMKN 3 Malang dan SMK PGRI 3 Malang. Teknik pengumpulan datanya dilakukan dengan tiga cara, yakni: wawancara mendalam; observasi berperan serta pasif; studi dokumentasi. Pemilihan informan penelitian ini menggunakan teknik snowball sampling.
4
Untuk lebih jelas, pada tabel berikut ini dapat dilihat tentang frekuwensi wawancara dengan para informan sebagai berikut: No
1
2
3
4
5
Informan SMKN 3
SMK PGRI 3
Kepala
Kepala
Sekolah
Sekolah
Waka
Kabid Teknik
kurikulum
Otomotif
Waka
Kabid Teknik
kesiswaan
Elektro
Waka
Kabid Bursa
Humas
Kerja
Kabag
Kabid
Tata usaha Administrasi
Frekuwensi Kasus I
Kasus II
3X
3X
2X
2X
2X
2X
2X
2X
2X
2X
KET Pemilihan informan didasarkan pada subyek dan atau pelaku di sekolah yang kompeten serta mengetahui tentang kepemimpinan
6
Guru (2)
Guru (2)
2X
2X
7
Siswa (2)
Siswa (2)
2X
2X
kepala sekolah
Data yang terkumpul dianalisis secara deskriptif, dengan alur: reduksi data; penyajian data; penarikan kesimpulan; analisis data kasus individu; analisis data lintas kasus. Agar memperoleh keabsahan data dilakukan dengan empat kriteria: kredibilitas; transferbilitas; dependenitas; dan konfirmabilitas.
HASIL Dari hasil paparan data penelitian di lapangan ditemukan sebagai berikut: Kasus SMKN 3 Malang dan SMK PGRI 3 Malang merupakan Sekolah Bertaraf Internasional fase rintisan yang memiliki: Pertama, upaya kepemimpinan kepala sekolah mencapai SMKBI, yaitu: (1) membangun visi yang mengarah pada kompetensi lulusan yang mampu bersaing ditingkat nasional dan internasional; (2) meningkatkan Sumber Daya Manusia dengan pelatihan dan melanjutkan studi ke jenjang lebih tinggi; (3) mengembangkan kurikulum dengan menerapkan kurikulum implementatif dari
5
Dunia Usaha dan Dunia Industri, model pembelajaran dengan moving class, Contextual Basic Training, Contextual Teaching and Learning, menggunakan pengantar bahasa Inggris pada seluruh mata pelajaran selain, Bahasa Indonesia, PPKn dan Sejarah, serta menerapkan IT sebagai media pembelajaran; (4) memiliki sarana praktek dengan standar training, yaitu sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar industri internasional, dan sedang mengarah pada standar teaching factory, yaitu sarana praktek unit usaha dan produksi; (5) kerjasama dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri berkemitraan, baik kurikulum, tempat praktek kerja industri siswa, evaluasi praktek siswa, dan penempatan tenaga kerja, baik di dalam negeri maupun diluar negeri; (6) menerapkan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001:2000; (7) pembiayaan penyelenggaraan sekolah bersumber dari: Pemberian dana imbal Swadaya SBI dari Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Depdiknas, Yayasan, saham guru dan staf (SMK PGRI 3 Malang), masyarakat, unit usaha produksi sekolah, bantuan APBN dan APBD (SMKN 3 Malang). Kedua, nilai kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelola SMKBI, yaitu: (1) disiplin kerja tinggi; (2) etos kerja tinggi; (3) tanggungjawab terhadap tugas; (4) keteladanan; (5) pengabdian kepada sekolah. Ketiga, strategi kepemimpinan dalam mengelola SMKBI, yaitu (1) pembentukan tim; (2) kerja tim; (3) melaksanakan program kerja yang tercatat dan melaporkan yang sudah dikerjakan; (4) evaluasi antar tim; (5) membagi kerja secara tuntas; (6) penempatan bergantian; (6) evaluasi bersama.
PEMBAHASAN UPAYA MENCAPAI SMK BERTARAF INTERNASIONAL
Berdasarkan hasil analisis data ditemukan bahwa untuk mencapai SMK Bertaraf Internasional kepala sekolah mengupayakan: Pertama membangun visi yang jelas. Kepala sekolah membangun visi sekolah yang dapat memberikan arahan serta semangat kerja sama kepada bawahan di dalam mencapai tujuan sekolah. Visi tersebut memiliki implikasi bahwa penyiapan manusia bertaraf internasional memerlukan upaya-upaya yang dilakukan secara intensif, terarah,
6
terencana, dan sistematik agar dapat mewujudkan bangsa yang maju, sejahtera, damai, dihormati dan diperhitungkan oleh bangsa-bangsa lain. Kedua, menerapkan Sistem Manajemen Mutu Terpadu ISO 9001:2000. Pembenahan manajemen pada SMK Negeri 3 Malang dan SMK PGRI 3 Malang dilaksanakan menurut aspek dan fungsi manajemen secara utuh. Aspek-aspek manajemen sekolah yang dimaksud meliputi kurikulum, tenaga kependidikan, siswa sarana dan prasarana, pembiayaan, hubungan masyaratakat dan industri. Sedangkan fungsi manajemen dalam hal ini meliputi pengambilan keputusan, pemformulasian tujuan dan kebijakan, perencanaan, pengorganisasian, penstafan, pengkomunikasian, pensupervisian dan pengontrolan. Sebagaimana pendapat Sallies (1993:35) bahwa Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management) merupakan suatu pendekatan yang sistematis, praktis, strategis bagi penyelenggaraan pendidikan yang mengutamakan kepuasan pelanggan yang bertujuan meningkatkan mutu. Pengertian tersebut menekankan seluruh komponen penyelenggaraan pendidikan yaitu input, proses, output dan semua perangkat yang mendukungnya. Ketiga, meningkatkan Kualitas Sumber Daya Manusia. SDM berkaitan langsung dengan pelaksanaan penyelenggaraan sekolah. Untuk itu SDM yang dibutuhkan pada SBI adalah yang kompeten pada masing-masing bidangnya, serta memiliki kemampuan untuk berbahasa internasional dan menguasai IT. Keempat, pembenahan kurikulum. Kurikulum yang dikembangkan pada kedua kasus, yaitu Pertama normatif, yang meliputi Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Sejarah, Bahasa Indonesia, Pendidikan Jasmani dan Olah Raga mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kedua aspek adaptif, yang meliputi Matematika, Bahasa Inggris, Ketrampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi (KKPI), Kewirausahaan, dan Ekonomi mengacu pada Standar Nasional Pendidikan (SNP). Ketiga aspek implementatif meliputi kurikulum pada setiap program keahlian yang mengacu pada standar Dunia Usaha dan Dunia Industri Bertaraf Internasional yang menjalin kerjasama. Hal ini senada dengan Depdiknas, 2007 bahwa kurikulum pembelajaran pada Sekolah Bertaraf Internasional untuk sekolah-sekolah menengah kejuruan
7
menggunakan kurikulum yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan yang bertaraf internasional yang menjadi mitranya, seperti Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, pusat-pusat studi dan organisasi multilateral seperti UNESCO, atau mencari mitra sekolah-sekolah luar negeri yang bertaraf internasional misalnya sekolah-sekolah dari USA, UK, Australia, Jerman, Perancis, Jepang, Korea Selatan, Hongkong dan Singapura. Proses belajar mengajar SBI harus dikembangkan melalui berbagai gaya dan selera agar mampu mengaktualkan potensi peserta didik, baik intelektual, emosional maupun spiritualnya sekaligus. Bahasa pengantar yang digunakan dalam proses belajar mengajar adalah bahasa Indonesia dan bahasa Asing (khususnya bahasa Inggris) dan menggunakan media pendidikan yang bervariasi serta berteknologi mutakhir dan canggih, misalnya laptop, LCD, dan VCD. Kelima, kerjasama Dunia Usaha dan Dunia Industri Bertaraf Internasional. Kerjasama dengan industri bertaraf internasional merupakan salah satu upaya guna menyiapkan peserta didiknya setelah lulus untuk dapat bekerja langsung sesuai dengan kompetensinya. Hal ini sesuai dengan tujuan penyelenggaraan Sekolah Menengah Kejuruan Bertaraf Internasional yang mempersiapkan tenaga kerja yang kompeten baik ditingkat nasional maupun internasional (Depdiknas, 2007). Kerjasama yang telah dijalin oleh sekolah dengan pihak industri pada SMK Negeri Malang yaitu: (1) Dunia Usaha dan Dunia Industri yang menjalin kerjasama dengan sekolah bisa ditempati oleh siswa-siswi untuk praktek kerja dan industri, (2) Dunia Usaha dan Dunia Industri ikut memberikan penilaian ketrampilan praktek siswa-siswi pada akhir pembelajarannya ( projeck work), (3) kurikulum sekolah mengacu pada standar Dunia Usaha dan Dunia Industri yang menjalin kerjasama, (4) siswa-siswi yang sudah lulus bisa langsung bekerja pada Dunia Usaha dan Dunia Industri. Keenam, perbaikan sarana dan prasarana pembelajaran. Depdiknas (2007:20), bahwa penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional harus didukung oleh sarana dan prasarana yang lengkap, relevan, mutakhir dan canggih, dan bertaraf internasional. Untuk mencapai sarana dan prasarana tersebut, perlu
8
dilakukan telaah terhadap sarana dan prasarana yang ada saat ini dan dilakukan modernisasi. Modernisasi meliputi antara lain gedung, ruang kelas, laboratorium (Bahasa Inggris, Matematika, Fisika, Biologi, Kimia, Ilmu Pengetahuan Sosial), perpustakaan, lapangan, peralatan, dan perlengkapan belajar mengajar, media pendidikan, buku, komputer, dan sebagainya. Sekolah Bertaraf Internasional harus telah menggunakan ICT (laptop, LCD, TV, VCD, dan sebagainya) dalam proses belajar mengajar dan administrasi sekolah. Ketujuh, penyiapan pembiayaan. Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional memerlukan biaya yang cukup besar. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa sekolah memerlukan input dan proses yang memadai untuk mencapai output yang bermutu. Inputnya meliputi: kurikulum, pendidik, tenaga kependidikan, serta sarana dan prasarana, harus dipersiapkan agar bertaraf internasional sehingga memerlukan biaya banyak. Proses belajar mengajar Sekolah Bertaraf Internasional menerapkan pendekatan-pendekatan yang kreatif, inovatif dan eksperimentatif sehingga dukungan dana yang memadai sangat diperlukan. Hasil temuan penelitian tentang pembiayaan penyelenggaraan SMK Bertaraf Internasional pada SMK Negeri 3 Malang, yaitu : (1) bantuan Pemberian dana imbal Swadaya SMK Bertara Internasional dari Direktorat Pembina SMK untuk fase rintisan, (2) bantuan pemerintah pusat (APBN), (2) bantuan pemerintah Daerah (APBD), baik Kotamadya Malang maupun Propinsi Jawa Timur, (3) masyarakat (orangtua siswa), melalui pembayaran SPP sebesar Rp. 150.000 setiap bulan, (4) unit produksi sekolah. Sedangkan pembiayaan sekolah pada SMK PGRI 3 Malang, meliputi: (1) bantuan Pemberian dana imbal Swadaya SMK Bertara Internasional dari Direktorat Pembina SMK untuk fase rintisan, (2) bantuan dari yayasan, (3) bantuan dari masyarakat (orangtua siswa), yaitu melalui pembayaran SPP setiap bulan sebesar 150.000, (3) saham guru dan karyawan, (4) unit usaha dan produksi sekolah. Hal ini sebagaimana yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, bahwa berdasarkan kesepakatan-kesepakatan
9
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maka proporsi pembiayaan SBI negeri dapat diformulasikan sebagai berikut. Pemerintah pusat membiayai 50%, pemerintah daerah propinsi membiayai 30%, dan pemerintah daerah kabupaten atau kota membiayai 20%. Formulasi ini bukan harga mati. Artinya, bagi daerahdaerah yang kaya, mereka dapat berkontribusi lebih dari besarnya presentasi tersebut. Sedangkan untuk SBI swasta, biaya pendidikan ditanggung oleh masyarakat dan yayasan pendiri sekolah tersebut (Depdiknas, 2007).
NILAI KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH Nilai kepemimpinan kepala sekolah pada kasus SMKN 3 Malang dan SMK PGRI 3 Malang, yaitu: Pertama, disiplin kerja tinggi. Kepala sekolah pada SMK Negeri 3 Malang dan SMK PGRI 3 Malang mampu menumbuhkan disiplin, terutama disiplin diri (self-discipline). Dalam kaitan ini, kepala sekolah mampu membantu pegawai mengembangkan pola dan meningkatkan standar perilakunya, serta menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat untuk menegakkan disiplin. Disiplin merupakan sesuatu yang penting untuk menanamkan rasa hormat terhadap kewenangan, menanamkan kerjasama, dan merupakan kebutuhan untuk berorganisasi, serta untuk menanamkan rasa hormat terhadap orang lain. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Winardi (2000), setelah diangkat menjadi kepala sekolah baik oleh pemerintah, yayasan ataupun organisasi maka tugas kepala sekolah adalah jam kerjanya rata-rata melebihi jam kerja guru dan karyawan non guru. Karenanya kepala sekolah harus berada di sekolah sebelum orang lain datang, dan masih ada di sekolah sebelum orang lain pulang. Tugas berat ini menjadi alasan mengapa disiplin sekolah begitu penting dan dilaksanakan dengan sepenuh hati pada semua sub sistem sekolah. Pada kasus SMK PGRI 3 Malang disiplin dijadikan sebagai moto sekolah “success by disciplin”. Kepala sekolah selalu menjadikan kedisiplinan merupakan suatu aturan, baik siswa, guru dan staf. Untuk menertibkan kedisiplinan siswa, kepala sekolah mendelegasikan Kabid. Kesiswaan Bapak Murdianto untuk menertibkan kedisiplinan siswa yang diatur dalam buku tata tertib siswa, sedangkan untuk guru dan karyawan, kepala sekolah mendelegasikan Kabid
10
Administrasi urusan Kepegawaian untuk mengatur kedisipilinan guru dan staf yang disusun dalam buku tata tertib kepegawaian. Sehingga seluruh warga sekolah secara bersama-sama menjalankan kedisiplinan sekolah. Kedua, keteladanan. Sergiovanni (1987) dalam bukunya yang berjudul The Principalship: A Reflective Practice Perspective, ada sepuluh prinsip kepemimpinan, yaitu: konstruktif, kreatif, partisipatif, koperatif, delegatif, integratif, rasional dan obyektif, pragmatis, keteladanan, adaptabel dan fleksibel. Prinsip kepemimpinan yang paling utama sebenarnya adalah keteladanan. Seberapa banyak pemimpin di sekolah-sekolah kita yang mengusung keteladanan sebagai hal yang mendasar. Memerintahkan bekerja keras kepada guru, staf, dan siswa di sekolah dengan diikuti suatu contoh nyata oleh kepala sekolah. Menerapkan aturan disiplin jam masuk dan pulang sekolah kepada warga sekolah, mengharuskan warga sekolah mengenakan pakaian kerja dan seragam sekolah yang sesuai dengan hari-harinya, serta mengharuskan siswa untuk menggunakan pakaian seragam sekolah sesuai dengan hari-harinya. Ketiga, etos kerja tinggi. Kepemimpinan kepala sekolah memiliki etos kerja tinggi dengan diwujudkan sebagai berikut: (1) kepala sekolah mampu bekerja tulus penuh rasa syukur, (2) memiliki komitmen bekerja benar penuh tanggungjawab, (3) terbiasa bekerja tuntas penuh integritas, (4) suka bekerja keras penuh semangat, (5) dapat bekerja serius penuh kecintaan, (6) sanggup bekerja cerdas penuh kreativitas, (7) senantiasa bekerja unggul penuh ketekunan, (8) selalu bekerja paripurna penuh kerendahan hati. Keempat, nilai pengabdian. Kepala sekolah pada kasus SMK PGRI 3 Malang selalu menanamkan nilai pengabdian kepada sekolah, beliau juga menanamkan bentuk pengabdian kepada seluruh warga sekolah, bahwa sekolah milik bersama. Seluruh guru, staf dan karyawan di sekolah ini ditanamkan didalam dirinya untuk mengabdi dan berjuang pada sekolah, sehingga seluruh warga sekolah memiliki semangat kerja tinggi untuk mengembangkan dan meningkatkan mutu sekolah bersama. Meskipun ditanamkan jiwa berjuang melainkan kesejahteraan (gaji) guru, staf dan karyawan tercukupi untuk pemenuhan kebutuhan keluarga.
11
Kelima, tanggungjawab terhadap tugas. Kepala sekolah pada SMK Negeri 3 Malang selalu menerapkan tanggungjawab terhadap tugas, dengan tanggungjawab terhadap tugas masing-masing akan bekerja dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, sehingga akan tercipta kinerja yang profesional. Setiap warga sekolah memiliki tanggungjawab yang berbeda-beda sesuai dengan jabatannya, kepala sekolah membagi program kerja pada masing-masing bawahan untuk dilaksanakan, baik wakil kepala sekolah, kemudian setiap satu minggu sekali evaluasi kerja dengan rapat. Burhanuddin (1994) menegaskan bahwa personality kepala sekolah tercermin dalam sifat-sifat jujur, percaya diri, bertanggungjawab, berani mengambil resiko, berjiwa besar, kestabilan emosi, dan keteladanan.
STRATEGI KEPEMIMPINAN KEPALA SEKOLAH Strategi yang diterapkan oleh kepala sekolah dalam mengelola SMK Bertaraf Internasional, yaitu: (1) Pembagian program kerja sekolah selama satu tahun secara tuntas dan merata. Strategi seperti ini untuk menghindari kejenuhan seseorang dalam menjalankan program kerja sekolah. Melainkan ada kekrungannya, yakni penempatan pekerjaan yang diberikan tidak sesuai dengan kemampuan pelaksananya/orangnya. Sehingga program kerja sekolah tidak berjalan dengan maksimal; (2) Penempatan program kerja secara bergantian; (3) Melaksanakan program sekolah yang sudah tercatat dan terencana, dan melaporkan program yang sudah terlaksana; (4) Evaluasi program kerja setiap hari senin melalui rapat kepala sekolah dengan wakasek dan staf. Sedangkan hasil temuan penelitian tentang strategi kepemimpinan kepala sekolah dalam mengelola SMK Bertaraf Internasional pada kasus SMK PGRI 3 Malang, yaitu: (1) Membentuk tim terlebih dahulu untuk melaksanakan seluruh program kerja sekolah selama satu tahun. Membentuk tim terlebih dahulu untuk melaksanakan seluruh program kerja sekolah selama satu tahun. Setiap masingmasing tim yang telah diberi tugas, bekerja secara profesional, yakni mengacu pada peraturan dan kebijakan yang telah disepakati sekolah. Kepala sekolah juga sangat berperan di dalam pengelolaan Sekolah Berataraf Internasional, yakni
12
kepala sekolah mampu untuk memberikan arahan dan masukan yang membangun dan memotivasi kerja mereka. Pembentukan tim pada kasus I berdasarkan hasil rapat antara kepala sekolah dengan dewan guru dan staf, berdasarkan pertimbangan kompetensi orang yang akan ditempatkan, pengalaman kerja, dan kesanggupan untuk bertanggungjawab. Hal ini sebagaimana pendapat Willes (1961), bahwa langkah pertama adalah perbaikan program sekolah dengan cara penentuan tujuan bersama. Dasar utama dari suatu program sekolah yang baik adalah persetujuan bersama mengenai tujuan-tujuan sekolah. Apabila dikehendaki maka program tersebut perlu diperbaiki dimana para staf harus diberi kesempatan untuk saling memberikan pendapat, prosedur dan bahan-bahan. Teknik yang memungkinkan pertukaran pendapat tersebut adalah mencakup lokakarya, aktivitas panitia dan waktu bertemu untuk regu-regu guru guna mengembangkan bagian-bagian dari program sekolah.
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, SMK Bertaraf Internasional tidak hanya memiliki input dan proses yang standar internasional saja, melainkan lebih dari itu harus diwujudkan dengan output dan outcome yang memiliki standar internasional, sehingga lulusan benar-benar mampu bersaing dengan lulusan sekolah luar negeri pada program keahlian yang sama. Dengan demikian SMK Bertaraf Internasional mempersyaratkan input, proses, dan output yang memiliki standar internasional serta memiliki kerjasama dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri Internasional. SMK Bertaraf Internasional membutuhkan Sumber Daya Manusia yang unggul, kompeten dimasing-masing bidang serta memiliki kemampuan IT dan bahasa internasional untuk mempersiapkan peserta didiknya menuju pada kemampuan internasional. Oleh karena itu faktor kepemimpinan dalam hal ini adalah kepala sekolah sangat dibutuhkan. Kepala sekolah yang memiliki gagasan
13
dan komitmen kerja bersama untuk mewujudkan visi dan misi sekolah yang unggul baik pada tingkat nasional dan internasional. Saran Sehubungan dengan hasil penelitian ini, maka disarankan kepada: (1) Pemerintah/Dinas Pendidikan Kota Malang untuk meningkatkan pemberian bantuan dana, khususnya pembiayaan sarana dan prasarana penyelenggaraan sekolah agar upaya pengelolaan SMK Bertaraf Internasional tercapai; memberikan kemudahan pemberian izin kerjasama antara sekolah dengan pihak perusahaan/industri. (2) Sekolah yang diteliti: Bagi kepala sekolah untuk meningkatkan komitmen bersama dalam mewujudkan visi dan misi sekolah kepada seluruh warga sekolah serta menjadikan keteladanan, etos kerja, tanggungjawab terhadap kinerja, pengabdian kepada sekolah dan kejujuran sebagai nilai bersama; meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia khususnya kepada para guru dengan mengikuti pelatihan dan melanjutkan kuliah kejenjang lebih tinggi. Bagi Waka Humas untuk meningkatkan kerjasama dengan Dunia Usaha dan Dunia Industri di dalam negeri yang memiliki standar internasional, khususnya perekrutan tenaga kerja, sehingga keterserapan lulusan lebih besar, serta meningkatkan kerjasama dengan masyarakat dan mengembangkan unit usaha produksi sekolah agar bisa membiayai penyelenggaraan sekolah secara mandiri. Bagi Waka Sarpras untuk meningkatkan sarana dan prasarana yang mengarah pada standar teaching factory agar siswa mampu memiliki jiwa wirausaha. (3) Untuk sekolah-sekolah lain, secepatnya untuk menyelenggarakan sekolah yang sudah ada ditingkatkan menjadi Sekolah Bertaraf Internasional, agar lulusannya mampu bersaing di era global saat ini. (4) Untuk peneliti selanjutnya, diharapkan untuk meneliti lebih spesifik tentang manajemen SMK Bertaraf Internasional.
14
DAFTAR RUJUKAN Arifin, I. 1998. Kepemimpinan Kepala Sekolah dalam mengelola Madrasah Ibtidaiyah dan Sekolah Dasar Berprestasi: Studi Multi Kasus pada MIN Malang I, MI Maba’ul Ulum, dan SDN Ngaglik I Batu di Malang. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: PPS IKIP Malang Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara Burhanuddin. 2002. Kepemimpinan Pendidikan: Konsep, Tipe, dan Gaya Kepemimpinan di Sekolah. Dalam Burhanuddin, Arifin, I., dan Maisyaroh (Eds.), Manajemen Pendidikan: Wacana, Proses, dan Aplikasinya di Sekolah. Malang: Penerbit UM. Depdiknas. 2008. Panduan Penyelenggaraan Program Rintisan SMA Bertaraf Internasional. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas. Depdiknas. 2007. Pedoman Penjaminan Mutu Sekolah/Madrasah Bertaraf Internasional Pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Depdiknas. 2007. Sistem Penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Internasional Untuk Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah. Sallis, E. 2006. Total Quality Management In Education. Alih bahasa Riyadi, A.A. Edisi Indonesia. Jogjakarta: Ircisod. Sergiovanni, T.J. 1991. The Principalship: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon Inc. Winardi. S.E. 2000. Kepemimpinan dalam Manajemen. Jakarta: PT Rineka Cipta.
15
PERENCANAAN STRATEGIK DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENINGKATAN MUTU SEKOLAH TARGET (Studi kasus di SMPN 2 Plosoklaten Kabupaten Kediri)
ARTIKEL TESIS
OLEH MUTMAINNAH NIM/DNI: 102631517287
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN JULI 2008
PERENCANAAN STRATEGIK DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PENINGKATAN MUTU SEKOLAH TARGET (Studi kasus di SMPN 2 Plosoklaten Kabupaten Kediri) ABSTRAK Penelitian bertujuan untuk memperoleh deskripsi tentang: (1) Langkahlangkah dalam menyusun rencana strategik dalam meningkatkan mutu sekolah target, (2) Proses pelaksanaan rencana strategik dalam meningkatkan mutu sekolah target. (3) Faktor hambatan dan pendukung yang dihadapi oleh warga sekolah dalam proses pelaksanaan rencana strategik dalam meningkatkan mutu sekolah target. (4) Perkembangan pelaksanaan rencana strategik dalam peningkatan mutu sekolah target dari tahun 2002 -2006. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus observasional yang bersifat terpancang. Pengumpulan data dilaksanakan dengan (1) wawancara mendalam (2) observasi partisipasi (3) studi dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan cara (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan kesimpulan. Sedang untuk mendapatkan keabsahan data dilakukan dengan (1) Pengecekan kredibilitas yang pelaksanaannya dengan trianggulasi sumber, trianggulasi metode, pengecekannya anggota dan diskusi teman sejawat, (2) dependabilitas dan (3) konfirmabilitas. Hasil analisis data menunjukkan bahwa: (1) Langkah-langkah dalam menyusun rencana strategik dalam meningkatkan mutu sekolah target antra lain dengan: (a) Pembentukan Tim/panitia, (b)Tim/panitia tersebut yang membuat draf renstra dengan langkah sebagai berikut: menyusun visi, misi dan tujuan, identifikasi tantangan nyata, menentukan sasaran sekolah, identifikasi fungsifungsi sasaran, analisis SWOT, identifikasi alternatif-alternatif pemecahan masalah, menyusun program peningkatan mutu yaitu dengan menyusun program kerja tahunan, menengah dan panjang , menyusun anggaran dan yang terakhir menyusun jadwal kegiatan. (c) setelah rentra disetujui baik pihak sekolah dan BP3, rentra tersebut disosialisasikan pada waktu rapat dinas untuk sekolah dan pada waktu rapat pleno BP-3 oleh Ketua BP3 untuk orang tua siswa, baru kemudian ditetapkan rentra tersebut dengan ditanda tangani oleh Kepala Sekolah dan Ketua BP-3. Hal ini mengandung arti bahwa proses perencanaan terjadi koordinasi dan kumunikasi yang baik diantara warga sekolah (2) Perencanaan strategik dan implementasinya baik mulai perencanaan, pengorganisasian, pergerakan dan pengevaluasi, dengan mengedepankan koordinasi komunikasi terbuka diantara warga sekolah. Keterbukaan semua pihak warga sekolah dalam ide, gagasan, pendapat, informasi, kepercayaan dan kekompakan memudahkan menyusunan rentra dan pelaksanaanya, serta keinginan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Evaluasi dilaksanakan secara berdasarkan tujuan masing-masing program yang telah disusun sebelumnya dan sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan (3.1) Factor penghambat dalam pelaksanaan renstra dilihat dari dua sudut pandang yaitu: (3.1.1) dilihat dari pelaksanaan rentra (program kerja) adalah, tempat ibadah (musholla) kurang memadai, kesulitan mencari sumber air bersih, pembina agama, olah raga dan tenaga perpustakaan kurang memadai, sebagian siswa ada yang kurang disiplin, sebagian siswa tingkat kecerdasan yang kurang, media KBM kurang memadai
khususnya pelajaran IPA belum ada laboratorium sedangkan (3.1.2) dilihat dari pelaksana rentra baik pada waktu disusun rentra maupun di implementasikan berasal dari perencana, Kepala sekolah (individual based barrier) dan dari para guru, karyawan dan siswa (organizational based barrier). Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan dengan langkah-langkah kongrit diantaranya: perencana diharapkan dapat melakukan perencanaan yang sebaik-baiknya. Sedangkan para guru dan karyawan tata usaha diminta untuk dapat memahami dampak perubahan yang ditimbulkan dari perencanaan strategik yang telah disusun, Sebaliknya (3.2) faktor-faktor pendukung dalam pelaksanaan renstra yang dilakukan pihak sekolah yaitu dengan pemberian motivasi guru, karyawan dan siswa, menjalin hubungan dengan orang tua siswa, memelihara hubungan kekompakan diantara warga sekolah, partisipasi warga sekolah dan masyarakat cukup tinggi. (4) Perkembangan implementasi rencana strategik dalam meningkatkan mutu sekolah target. Peningkatan prestasi akademik pada program jangka menengah I (4 tahun) tahun 2002-2006, 220 % dan prestasi non akademik 21 % dari target minimal, hal ini mengandung makna bahwa Kepala sekolah didelegasikan untuk melakukan kegiatan pengelolaaan proses KBM, perencanaan dan evaluasi program kerja dan pengelolaan kurikulum oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri melalui program sekolah target. Pemberian dana sarana dan prasarana serta kesempatan ikut pelatihan bagi guru dan kepala sekolah yang diadakan oleh Proyek PPM Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. Kata-kata kunci : perencanaan strategic, mutu, sekolah target. STRATEGIC PLANNING AND ITS IMPLEMENTATION IN THE TARGET SCHOOL'S QUALITY IMPROVEMENT (A Case Study at SMPN 2 Plosoklaten in Kediri Regency) ABSTRACT This study aims at describing: (1) Stages of arranging the strategic planning in the target school’s quality improvement, (2) Processes of implementing the strategic planning in the target school’s quality improvement, (3) Barrier and supporting factors which school parties face in the process of strategic planning implementation in the target school’s quality improvement, (4) Development of the strategic planning implementation in the target school’s quality improvement year 2002 – 2006. This research uses a qualitative design, an established observational case study. Data is collected through (1) interview, (2) participant observation, and (3) documentation study. Data is analyzed through (1) data reduction, (2) data presentation, and(3) conclusion. Then, data is validated through (1) credibility checking by employing the source triangulation, method triangulation, member's checking and peer discussion, (2) dependability, and (3) conformability. Findings show that (1) Stages of arranging the strategic planning in the target school’s quality improvement consisting of (a) a team/committee building, (b) Renstra draft making by the team through several stages, namely vision, mission, and objective determination, real challenge identification, SWOT analysis, alternative-alternative problem solving identification, halfly and yearly job
description arrangement, budget planning, and activities scheduling. The strategic planning is done based on the school's policy. It is successful. The well communication (meaning that “renstra” is socialized in official meeting) among the school parties, either the headmaster, the vice headmaster, departments (curriculum, students, means and human relations), teachers and BP-3 party eases the arrangement of the strategic planning, (c) After renstra is accepted by the school’s parties and BP3, it is socialized in the school’s meeting and BP-3 pleno meeting which are attended by parents. And then, it is signed by the headmaster and the chief of BP-3. It shows that there is a well coordination and communication among the school’s parties.(2) Processes of implementing the strategic planning in the target school’s quality improvement run smoothly because there is well-coordination among the school parties, either the headmaster, the vice headmaster, departments (curriculum, students, means and human relations), teachers and students who work cooperatively. Besides, there is a clear job description for teachers; each of the responsible party for every program is given freedom to smooth the job program; the headmaster motivates teachers and students; there is supporting aids for learning means from school; teachers actively manage the job program; and there is trust form the school for teachers to develop their talent in managing the job program implies that school gives unlimited place for teachers to develop their talents. Based on the school policy, the standard evaluation is determined for each job program following each goal; Teachers (the responsible parties of the job program) are given trust to evaluate each job program which implies that the school’s policy is flexible; School does evaluation and continuously improvement. It implies that in the process of “renstra" there is a well coordination and communication among the school's parties.(3) Barrier factor has two views, (3.1.1) Based on renstra (the job program), barrier factors including an insufficient condition of musholla, the difficulty of finding clean water, religion teachers, exercises and librarians; several students are not discipline; some of them have low intelligence, the insufficient means for learning-teaching activities (KBM), especially there is no laboratory for Science (3.1.2) in terms of the implementers of renstra either when it is still being arranged or implemented by planner, the headmaster (individual based barrier) and teachers, staff and students (organizational based barrier) The concrete effort to solve those barriers is that the planners should plan carefully. Then, teachers and staffs should understand the effect of the change caused by the strategic planning which has been arranged.On the other hand, (3.2) supporting factors provide by schools are the well coordination among the headmaster and all parties, namely the vice head master, teachers, administratives, BP3, and community who live surrounding the school; the headmaster strongly motivates and giving examples teachers; teachers do so to their students; school has a solid and dynamic “Team Work”; the high participation of the school parties and community, the mutual condition of the school parties; and school continuously do evaluation and improvement. (4) The development of the implementation of the strategic planning in improving the quality of the target school. The academic achievement improvement in the halfly period program I (4 years) year 20022006 is 220 %, while non-academic achievement is 21 % from the minimum target. It implies that school is delegated to manage the process of learningteaching, the job program planning and evaluation, and the curriculum
management by Education Service of Regency and East Java Province through the program of the target school in fulfilling 9 Years Learn Obligation Program. Key terms: Strategic planning, quality, the target school PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 bab II nomor 20 tahun 2003, Pendidikan Nasional diharapkan mampu mewujudkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggungjawab terhadap pembangunan bangsa baik bersifat spiritual atau material. Pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan sumber daya manusia. Hal ini sesuai dengan pendapat Rohman dalam Kayadi (2003:1) bahwa “ untuk menyediakan sumber daya manusia (human resources) dengan kapasitas dan kapabelitas yang baik tersebut, di antaranya dibutuhkan suatu model pendidikan sekolah yang efektif ( sekolah yang berhasil mencapai tujuan dan sasaran pendidikan yang telah ditetapkan) ”. Pendidikan sebagai wahana utama pembangunan sumber daya manusia, dalam mengembangkan peserta didik menjadi sumber daya manusia yang produktif dan memiliki kemampuan profesional dalam meningkatkan mutu kehidupan berbangsa dan bernegara. Peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan suatu proses terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri. Menyadari proses peningkatan kualitas sumber daya, maka pemerintah beserta kalangan swasta, telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum serta sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Namun demikian, berbagai indikator pendidikan belum menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian besar masih memprihatinkan (Dikmenum, 2001:3) Rancangan gerakan wajib belajar untuk anak usia 7-12 tahun yang dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia tanggal 2 Mei 1984 sudah dituntaskan pada tahun 1994-1995 dengan taraf pencapaian hampir 94%, dengan lama satu dasawarsa. Setelah wajib belajar SD dipandang tuntas pemerintah mencanangkan wajib belajar SLTP pada tanggal 2 Mei 1994, direncanakan tuntas selama satu dasarwarsa, yaitu pada akhir tahun 2003-2004. Namun, krisis multidimensional dan multi-sektor yang terjadi semenjak tahun 1997 dan akibatnya masih terasa sampai sekarang telah membuat wajib belajar belajar SLTP secara nasional terhambat, tidak mungkin tuntas pada tahun 2003-2004. Oleh karena itu pemerintah menjadwal ulang penuntasan wajib belajar SLTP sampai pada tahun 2007, yang berarti diundur sampai lima tahun dari rencana semula (Rasiyo, 2002).. (Depdiknas 2003: 1) menyatakan bahwa dalam rangka menuntaskan Wajib Belajar 9 (sembilan) tahun Departemen Pendidikan Nasioanal Direktorat Pendidikan lanjutan Pertama melaksanakan proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP. Tiga tujuan utama proyek adalah memperluas akses, meningkatkan
mutu, dan memantapkan manajemen pendidikan. Proyek ini didanai dari dana pinjaman Bank Dunia dengan proporsi 80% pinjaman dan 20% dana dari pemerintah Indonesia. Pelaksanaan proyek yang dimulai pada era sentralisasi tahun 1996 dan akan berakhir pada bulan Juni 2004 yang berbasis provinsi. Jadi pengelolaan proyek ini berpusat di provinsi. Proyek provinsi biasa disebut PPIU (Provincial Project Implementation Unit) berada di bawah koordinasi proyek pusat yang disebut CPCU (Central Project Coodination Unit). Mulai tahun 2000, acuan kerangka otonomi daerah, kegiatan pembangunan pendidikan di kabupaten merupakan kewenangan penuh pemerintah kabupaten. Sehubungan dengan hal itu, proyek tsb. berusaha menjalin kerjasama yang lebih erat dengan pemerintah kabupaten. Melalui kerjasama ini pemerintah kabupaten diharapkan dapat lebih berperan dalam persiapan, koordinasi pelaksanaan dan pemantauan 4 (empat) program utama proyek yang diimplementasikan di kabupaten (Depdiknas 2003: 3). Keempat program utama proyek yang diimplementasikan di kabupaten adalah Blok Grant-Unit Sekolah Baru (BG-USB), Matching Grant (MG), Sekolah Target, dan Guru Perbantuan Sementara (GPS)/Guru Kontrak. Keempat program ini terdapat di 8 proyek yang berada di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Jawa Timur. Di 2 (dua) provinsi yaitu D.I.Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur tidak terdapat program BG-USB, sedangkan di 3 (tiga) provinsi yaitu Sumatera Selatan hanya melaksanakan program BG-USB. Pengertian keempat program tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: Program Blok Grant-USB adalah program pembangunan gedung sekolah dan penyediaan sarana serta komponen pendidikan lainnya dalam rangka mewujudkan fasilitas pendidikan dan kegiatan pendidikan. Pembangunan USB dibiayai dari block grant yang diterima sekolah (Komite Pembangunan USB) dan dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme partisipasi masyarakat. Maksudnya Block Grant (Dana bantuan) adalah dana bantuan yang sumber seluruhnya dari proyek. Program Matching Grant adalah program penyediaan dana bantuan imbal swadaya SMP/MTs (Tim Matching Grant) yang bersedia menyediakan dana pendamping, dan bersama-sama dengan masyarakat menggunakan dana tersebut untuk memenuhi kebutuhan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. Maksudnya Matching Grand (Dana Imbal Swadaya) adalah dana bantuan yang sebagian besar dananya bersumber dari proyek dan sebagian lainnya oleh sekolah penerima bantuan. Sekolah Target adalah sekolah yang memperoleh input-input pendidikan dari proyek dan bersedia mengelola input tersebut secara efisien dan transparan, dengan melibatkan seluruh unsur sekolah dan masyarakat, untuk meningkatkan mutu pendidikan. Guru Perbantuan Sementara (GPS) adalah guru tidak tetap yang ditugaskan di SMP/MTs Negeri/Swasta berdasarkan kontrak kerja antara guru dengan Proyek PPM-SLTP untuk mengatasi kekurangan guru di sekolah tersebut. Kontrak kerja
GPS berakhir pada bulan Juni 2003 dan akan diteruskan oleh pemerintah kabupaten sampai kekurangan guru di kabupaten tersebut teratasi. Dalam rangka mewujudkan program Sekolah Target Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP tersebut , di Jawa Timur terdapat 150 (seratus lima puluh) Sekolah Target yang ditunjuk sebagai Sekolah Target (Depdiknas 2003:10), termasuk wilayah Kabupaten Kediri. Berdasarkan hasil binaan Drs. Samian, M. Si. salah satu konsultan Proyek provinsi Jawa Timur , penulis dapat informasi bahwa di Kabupaten Kediri terdapat 8 (delapan) sekolah target. Penunjukan sekolah target tersebut atas usulan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri yaitu Drs. Mudayat, M.M. ada delapan sekolah target yang terdiri dari 5 (SMP Negeri) dan 3 (SMP Swasta). 5 SMP Negeri yaitu: SMPN 2 Plosokalaten, SMPN 2 Kandangan, SMPN 3 Plosoklaten, SMPN 2 Puncu, SMPN 2 Ngancar, dan 3 (SMP Swasta) yaitu: SMP Islam Gurah, SMP Islam Grogol dan SMP Dharma Wanita Pare. (Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri 2001). Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan pada saat wawancara pertama dengan Kepala Sekolah dikatakan bahwa, SMP Negeri 2 Plosoklaten ditunjuk sebagai sekolah binaan atau sekolah target oleh Proyek PPM SLTP Dinas Provinsi Jawa Timur, melalui Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri dengan beberapa alasan antara lain: Pertama, letaknya jauh dari Ibukota Kabupaten Kediri , letaknya terpencil di pedesaan. Kedua sebagian latar belakang ekonomi orang tua siswa rendah karena kebanyakan dari keluarga buruh perkebunan kopi dan coklat Rangkah Sepawon. Ketiga, sekolah ini mempunyai jumlah siswa stabil atau naik tiap tahun ajaran baru, tahun 2004 jumlah siswa keseluruhan 414 orang , tahun 2005 sebanyak 415 siswa. Keempat, pencapaian NUN (Nilai Ujian Nasional) stabil atau naik tahun yaitu rata-rata komulatif pelajaran tahun 2004 adalah 6,67 dan tahun 2005 adalah 7,29, disamping itu sekolah ini tahun 2005 mempunyai 25 dari 27 tenaga pengajar yang masih relatif muda merupakan aset untuk berkembang lebih maju dan kinerja kepala sekolah tinggi, keempat hal tersebut diatas memenuhi kriteria syarat sebagai sekolah target. Untuk merealisasikan misi yang diemban SMP Negeri 2 Plosoklaten sebagai sekolah Target, telah dirumuskan Rencana Strategis 2002 – 2010, dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Di dalamnya dinyatakan bahwa perencanaan strategis merupakan pernyataan resmi lembaga yang menggariskan dan menentukan arah perkembangan lembaga untuk delapan tahun yang akan datang. Di dalamnya berisi wawasan histories, wawasan masa depan, wawasan lembaga. Analisis strategi dan strategi pengembangan yang merupakan cerminan pandangan dan pola pikir dalam menyikapi masa lalu, masa kini, dan masa depan yang diuraikan secara ringkas dengan pendekatan kualitatif. Penyusunan rencana strategis tersebut merupakan pelaksanaan dari fungsi manajemen yang pertama dan merupakan fungsi yang paling penting. Dengan kata lain perencanaan merupakan keharusan untuk dilakukan oleh setiap organisasi, karena dapat membantu mewujudkan tujuan organisasi. Perencanaan dapat meminimalkan resiko atau ketidakpastian suatu tindakan. Dengan mengasumsikan kondisi tertentu di masa mendatang, dan menganalisa konsekuensi dari setiap tindakan, ketidakpastian dikurangi dan keberhasilan mempunyai probabilitas yang lebih besar. Kendati demikian perencanaan strategis yang diformulasikan dengan baik, belum menjamin bahwa dalam
implementasinya juga akan sukses agar memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan. Perencanaan strategik merupakan jenis perencanaan yang penting. Banyak tugas yang tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan perencanaan biasa. Perencanaan tersebut menjadi semakin penting karena perubahan lingkungan semakin cepat dan semakin kompleknya organisasi. Jika organisasi dapat mengantipasi perubahan lingkungan maka organisasi akan berada pada garis terdepan untuk memanfaatkan kesempatan akibat dari perubahan lingkungan tersebut. METODE PENELITIAN. Lokasi penelitian ini di SMPN 2 Ploklaten Kabupaten Kediri dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan rancangan studi kasus observasional yang bersifat terpancang. Pengumpulan data dilaksanakan dengan (1) wawancara mendalam (2) observasi partisipasi (3) studi dokumentasi. Data yang terkumpul dianalisis dengan cara (1) reduksi data, (2) penyajian data, (3) penarikan kesimpulan. Sedang untuk mendapatkan keabsahan data dilakukan dengan (1) Pengecekan kredibilitas yang pelaksanaannya dengan trianggulasi sumber, trianggulasi metode, pengecekannya anggota dan diskusi teman sejawat, (2) dependabilitas, dan (3) konfirmabilitas. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Analisis data yang diperoleh dari temuan-temuan peneliti dapat diungkapkan sebagai berikut : 1. Langkah-langkah dalam menyusun perencanaan strategik dalam meningkatkan mutu sekolah target antra lain, yaitu Pertama, membentuk Tim/Panitia pembuat renstra sekolah target. Kedua : Tim/Panitia tersebut membuat draf renstra dengan langkah-langkah sebagai berikut: menyusun visi, misi dan tujuan, identifikasi tantangan nyata, menentukan sasaran sekolah, identifikasi fungsi-fungsi sasaran, analisis SWOT, identifikasi alternatifalternatif pemecahan masalah, menyusun program kerja peningkatan mutu yaitu dengan menyusun program kerja jangka pendek , menengah , dan panjang, menyusun anggaran dan yang terakhir menyusun jadwal kegiatan. Perencanaan dilaksanakan berdasarkan kebijakan sekolah dan dapat berjalan baik dan lancar. Adanya komunikasi yang terbuka diantara warga sekolah baik kepala sekolah, wakil kepala sekolah, urusan (kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana dan humas), guru dan pihak BP3 sehingga memudahkan dalam pembuatan perencanaan dan pelaksanaan program kerja. Tim pembuat perencanaan strategik dengan bebas mengeluarkan ide , pendapat, gagasan maupun informasi. Rentra dalam peningkatan mutu sekolah target ini untuk meningkatkan prestasi siswa baik akademik maupun non akademik walaupun SMPN 2 Plosoklaten terletak di daerah terpencil dan miskin lagi. Pelaksanaan rentra dimaksukkan juga program prioritas yang diperlukan siswa, melalui peningkatan menjalankan agama, peningkatan NUN, peningkatan prestasi olah raga dan kesenian. Ada 10 (sepuluh) program kerja, setiap program kerja terdapat penanggung jawab dari guru-guru. Setiap penanggung jawab diberi kebebasan untuk mempersiapkan perencanaan dengan matang berdasarkan langkah menyusun renstra, dan menentukan strategi pelaksanaan masing-
masing program kerja yang akan dipergunakan dalam melaksanakan program kerja dan menentukan evaluasi berdasarkan tujuan, misi dan visi yang telah ditentukan sekolah. Pihak kepala sekolah dan BP3 berupaya mensukseskan progam ini. Ketiga, penetapan renstra, yaitu setelah rentra disetujui oleh pihak sekolah dan BP-3, rentra tersebut disosialisasikan oleh kepala sekolah melalui rapat dinas dan oleh ketua BP-3 melalui rapat pleno BP-3, kemudian ditetapkan dan ditanda tangani oleh kepala sekolah dan ketua BP-3 pertanda sudah ditetapkan dan syah. Hal ini mengandung makna bahwa diantara warga sekolah dalam proses pembuatan perencanaan strategik terdapat koordinasi dan komunikasi yang baik 2. Perencanaan strategik dan implementasinya, khusus untuk (a) pengorganisasian renstra berjalan baik, koordinasi dan hubungan yang harmonis diantara warga sekolah baik dari pihak BP3, kepala sekolah, wakil kepala sekolah, urusan (kurikulum, kesiswaan, sarana prasarana dan humas), guru dan siswa dan saling mendukung, pembagian tugas yang jelas pada setiap program kerja kepada guru, masing-masing penanggung jawab program diberi kebebasan menggunakan sumber-sumber yang ada untuk memperlancar program kerja. (b) Penggerakan renstra berjalan baik, dalam menjalankan perwujudan renstra berupa program kerja jangka pendek dan menengah yaitu: guru dan karyawan melaksanakan tugas sesuai fungsinya dengan proaktif dan penuh tanggung jawab, pemberian motivasi yang intensif berupa rolling tugas, pemberian motivasi yang baik dari kepala sekolah dan BP3 kepada guru dan siswa dan guru kepada siswa, pemberian bantuan yang belum cukup memadai berupa sarana prasarana dari pihak sekolah, adanya usaha guru untuk mengelola rentra dan kelas secara aktif, perhatian guru yang kurang maksimal terhadap siswa mempunyai kecerdasan kurang dan mengalami kesulitan belajar, dan adanya kepercayaan dari pihak sekolah kepada guru untuk mengembangkan potensinya dalam mengajar mapupun mengelola kelas mengandung makna bahwa sekolah memberikan ruang gerak yang luas agar potensi guru dapat terus berkembang, Kepala Sekolah ikut serta dalam kegiatan siswa (isidental) serta pengambilan keputusan secara partisipatif. (c) Pengevaluasian renstra juga dapat berjalan dengan baik, Evaluasi dilaksanakan berdasarkan kebijakan sekolah yaitu dengan menetapkan standar evaluasi tiap-tiap program kerja berdasarkan tujuan masingmasing program, guru (penanggung jawab program kerja) diberi kepercayaan untuk mengevaluasi masing-masing program kerja ini mengandung makna kebijakan bersifat luwes, setiap kendala yang ada dimusyawarahkan dengan tim pada setiap kegiatan selesai untuk dicari solusinya dan untuk menentukan program kerja tahun berikutnya. Hal ini mengandung arti sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan dan dalam proses palaksanaan renstra terdapat kekompakan, koordinasi dan komunikasi yang baik diantara warga sekolah. 3. Faktor penghambat dan pendukung dalam mengimplementasikan perencanaan strategik dalam rangka meningkatkan mutu sekolah target. Faktor penghambat renstra dilihat dari 2 (dua) sudut pandang yaitu (1) dilihat dari pelaksanaan program kerja meliputi : tempat ibadah (musholla) kurang
memadai, kesulitan mencari sumber air bersih, pembina agama, olah raga dan tenaga perpustakaan kurang memadai, sebagian siswa ada kurang disiplin, sebagian siswa tingkat kecerdasan yang kurang, media KBM kurang memadai khususnya pelajaran IPA belum ada laboratorium, khusus untuk perlombaan olah raga koordinasi antara sekolah dan dinas pendidikan kurang, faktor penghambat renstra yang (2) dilihat dari pelaksana renstra baik pada waktu sedang disusun maupun diimplementasikan berasal dari perencana, dalam hal ini kepala sekolah (individual based barries) dan para guru, pegawai/karyawan tata usaha sekolah dan siswa (organized based barriers). Upaya yang dilakukan untuk menangulangi hambatan diharapkan dapat melakukan perencanaan strategik sebaik-baiknya. Sedang bagi para guru/karyawan tata usaha untuk dapat memahami dampak perubahan yang ditimbulkan dari perencanaan strategis yang telah disusun. Sedangkan faktorfaktor pendukung antara lain: koordinasi yang baik dari pihak Kepala Sekolah kepada berbagai pihak baik kepada wakil kepala sekolah, guru, tenaga administrasi, pengurus BP3 dan masyarakat sekitar, kepala sekolah memberi motivasi yang kuat dan memberi ketauladan yang baik kepada guru-guru, guru-guru kepada siswa, sekolah mempunyai “Team Work” yang kompak dan dinamis, partisipasi warga sekolah dan masyarakat cukup tinggi, terjalin suasana kekeluargaan yang baik diantara warga sekolah, sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkelanjutan. 4. Perkembangan implementasi perencanaan strategik dalam meningkatkan mutu sekolah target. Peningkatan prestasi akademik pada program jangka menengah I (4 tahun) tahun 2002-2006, 220 % dan prestasi non akademik 21 % dari target minimal, ini disebabkan sekolah diberi bantuan dana baik sarana maupun prasarana, diberi kesempatan mengikuti pelatihan, hal ini mengandung makna bahwa Kepala Sekolah didelegasikan untuk melakukan kegiatan pengelolaaan proses KBM, perencanaan dan evaluasi program kerja dan pengelolaan kurikulum secara mandiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten dan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur melalui Program Sekolah Target dalam rangka menuntaskan program wajib belajar 9 tahun. Penunjukan SMPN 2 Plosoklaten sebagai sekolah target adalah sangat tepat, dengan adanya program sekolah target sekolah yang terpencil dan terletak di daerah miskin terpacu untuk meningkatkan prestasi baik akademis mapun non akademis melalui perencanaan strategik dan diimplementasikan berupa 10 program kerja yang relevan dengan kebutuhan sekolah itu sendiri. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan hasil penelitian berkaitan dengan data analisis sebagai berikut: (1) Langkah-langkah dalam menyusun rencana strategik dalam meningkatkan mutu sekolah target antra lain dengan: (a) Pembentukan Tim/panitia, (b)Tim/panitia tersebut yang membuat draf renstra dengan langkah sebagai berikut: menyusun visi, misi dan tujuan, identifikasi tantangan nyata, menentukan sasaran sekolah, identifikasi fungsi-fungsi sasaran, analisis SWOT, identifikasi alternatif-alternatif pemecahan masalah, menyusun program peningkatan mutu yaitu dengan menyusun program kerja tahunan, menengah dan panjang , menyusun anggaran dan yang terakhir menyusun jadwal kegiatan. (c) setelah rentra disetujui baik pihak sekolah dan BP-3,
rentra tersebut disosialisasikan pada waktu rapat dinas untuk sekolah dan pada waktu rapat pleno BP-3 oleh Ketua BP3 untuk orang tua siswa, baru kemudian ditetapkan rentra tersebut dengan ditanda tangani oleh Kepala Sekolah dan Ketua BP-3. Hal ini mengandung arti bahwa proses perencanaan terjadi koordinasi dan kumunikasi yang baik diantara warga sekolah. (2) Perencanaan strategik dan implementasinya baik mulai perencanaan, pengorganisasian, pergerakan dan pengevaluasi, dengan mengedepankan koordinasi komunikasi terbuka diantara warga sekolah. Keterbukaan semua pihak warga sekolah dalam ide, gagasan, pendapat, informasi, kepercayaan dan kekompakan memudahkan menyusunan rentra dan pelaksanaanya, serta keinginan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Evaluasi dilaksanakan berdasarkan tujuan masing-masing program yang telah disusun sebelumnya dan sekolah melakukan evaluasi dan perbaikan berkelanjutan. (3) Faktor penghambat dan pendukung dalam pelaksanaan renstra yaitu, (3.1) Factor penghambat dalam pelaksanaan renstra dilihat dari dua sudut pandang yaitu: (3.1.1) dilihat dari pelaksanaan rentra (program kerja) adalah, tempat ibadah (musholla) kurang memadai, kesulitan mencari sumber air bersih, pembina agama, olah raga dan tenaga perpustakaan kurang memadai, sebagian siswa ada yang kurang disiplin, sebagian siswa tingkat kecerdasan yang kurang, media KBM kurang memadai khususnya pelajaran IPA belum ada laboratorium sedangkan (3.1.2) dilihat dari pelaksana rentra baik pada waktu disusun rentra maupun di implementasikan berasal dari perencana, Kepala sekolah (individual based barrier) dan dari para guru, karyawan dan siswa (organizational based barrier). Upaya yang dilakukan untuk menanggulangi hambatan dengan langkah-langkah kongrit diantaranya: perencana diharapkan dapat melakukan perencanaan yang sebaik-baiknya. Sedangkan para guru dan karyawan tata usaha diminta untuk dapat memahami dampak perubahan yang ditimbulkan dari perencanaan strategik yang telah disusun, Sebaliknya (3.2) faktor-faktor pendukung dalam pelaksanaan renstra yang dilakukan pihak sekolah yaitu dengan pemberian motivasi guru, karyawan dan siswa, menjalin hubungan dengan orang tua siswa, memelihara hubungan kekompakan diantara warga sekolah, partisipasi warga sekolah dan masyarakat cukup tinggi. (4) Perkembangan implementasi rencana strategik dalam meningkatkan mutu sekolah target. Peningkatan prestasi akademik pada program jangka menengah I (4 tahun) tahun 2002-2006, 220 % dan prestasi non akademik 21 % dari target minimal, hal ini mengandung makna bahwa Kepala sekolah didelegasikan untuk melakukan kegiatan pengelolaaan proses KBM, perencanaan dan evaluasi program kerja dan pengelolaan kurikulum oleh Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Kediri melalui program sekolah target. Pemberian dana sarana dan prasarana serta kesempatan ikut pelatihan bagi guru dan kepala sekolah yang diadakan oleh Proyek PPM Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan uraian kesimpulan dapat disampaikan saran-saran kepada berbagai pihak sebagai berikut: 1. Kepada Kepala Sekolah a. Faktor pendukung renstra hendaklah dipertahankan dan faktor penghambat hendaklah ditindak lanjuti dengan pemecahan masalah. Khusus siswa kecerdasan kurang hendaklah ada perlakuan khusus dengan program remedi yang efektif dan efisien. b. Koordinasi dengan berbagai pihak hendaklah ditingkatkan, terutama dinas terkait dan pengurus BP3 agar dapat memenuhi kekurangan sarana dan prasarana sekolah dan ketenagaan sekolah. c. Sekolah juga seyogyanya membuka program kunjungan sekolah bagi para orang tua murid, sehingga para orang tua dapat mengamati siswa. Dengan upaya tersebut, maka pembelajaran di sekolah menjadi lebih dekat dengan realitas kehidupan di masyarakat. d. Meningkatkan SDM guru dan tenaga administrasi yaitu dengan memberi kesempatan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, agak supaya dapat membantu memikirkan dan melaksanakan peningkatan mutu sekolah dan hubungan yang harmonis diantara warga sekolah hendaknya lebih mengarah pada peningkatan hubungan kerja. e. Dalam renstra manajemen kearsipan hendaklah dicantumkan sebab sekolah sudah saatnya melakukan menataan ulang dari manajemen kearsipan dan ketatausahaan sekolah, surat-surat/warkat dan dokumen penting diarsip dengan baik, sehingga bila diperlukan mudah ditemukan e. hendaknya pihak sekolah mengevaluasi dan merivisi perencanaan strategik dengan cermat dan perlu memperhatikan perencanaan strategik yang lain yang mungkin cocok untuk diterapkan. 2. Kepada Komite Sekolah/BP3 yang diperluas. a. Para pengurus Komite Sekolah hendaklah berpartisipasi aktif dalam perencanaan strategik, karena didalam terdapat perumusan visi, misi dan tujuan, supaya ikut memberikan ide, gagasan atau pendapat sehingga timbul rasa memiliki, partisipasi tidak hanya perencanaan namun sampai pelaksanaan dan evaluasi rentra. Kenyataan selama ini yang proaktif pihak sekolah, komite sekolah/BP3 diperlukan bila ada kekurangan biaya. b. Para pengurus Komite sekolah/BP3 hendaknya meningkatkan komitmennya dalam mengelola sekolah, karena mendapatkan amanah dari orang tua. Kualitas pendidikan secara mikro akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan bangsa di masa depan. Penyelenggara sekolah hendaknya mendoronga para guru dan kepala sekolah untuk terus belajar dan meningkatkan profasionalisme guru. 3. Kepada Pemerintah. a. Pemerintah hendaknya memberikan otonomi kepada sekolah dengan “sepenuh hati”, sesuai dengan konsep manajemen berbasis sekolah (schoolbased management). Dengan otonomi tersebut sekolah akan lebih leluasa untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki, sekaligus mendapatkan dukungan dan sumber daya dari para stakeholders.
b. Dewasa ini sudah saatnya pemerintah (khususnya daerah otonom) mengupayakan keunggulan pada sekolah-sekolah negeri secara merata, bukan hanya satu sekolah. Untuk itu, pemerintah hendaknya memperbanyak pendidikan sekolah unggulan atau percontohan, melalui difusi keberhasilan sekolah yang telah ada. Upaya mewujudkan hal ini tentu harus mengoptimalkan partisipasi melalui dewan pendidikan. 4. Kepada pengembang ilmu pengetahuan Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi atau bahan pertimbangan untuk pengembangkan sekolah dalam peningkatan mutu dengan menggunakan perencanaan strategik pendidikan, sehingga program kerja terarah, mudah diditeksi. Kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam penelitian ini dapat ditemukan jalan keluarnya. 6. Kepada Peneliti Hasil penelitian ini merupakan pengetahuan rentra pendidikan yang perlu dikembangkan lebih lanjut di unit kerja peneliti, agar pengetahuan rentra pendidikan peneliti semakin bertambah dan dapat memberikan sumbangan yang berarti pada dunia pendidikan khususnya di unit kerjanya. DAFTAR RUJUKAN Bafadal, I. 2003. "Manajemen Sarana Prasarana Pendidikan", dalam Ali Imron, Maisyaroh, Burhanudin (eds). Manajemen Pendidikan. Universitas Negeri Malang. Bogdan,R.C., & Biklen. 1982 Qualitative Research For Education: An Introduction to Theory and Method. Toronto: Allyn and Bacon Inc. Bogdan, R.C., & Tailor, S.J. 1975. Introduction to Qualitative Research Method: A phenomenological Approach to the social Science.New York: Hohn Wiley & Sons Bryson, M. John. 2002. Perencanaan Strategis bagi Organisasi Sosial. Terjemahan oleh M. Miftahuddin,. Yogjakarta; Pustaka Pelajar Offset. Burhanuddin. 2003. "Manajemen Srategik", dalam Ali Imron, Maisyaroh, Burhanudin (eds). Manajemen Pendidikan. Universitas Negeri Malang. Davies, LK. 1986. Pengelolaan Belajar. Terjemahan oleh Sudarsono Sudirjo, Lily Rompas. Jakarta: Rajawali. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur dengan Universitas Negeri Malang. 2004. Study Evaluasi Eksternal Program Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP se Jawa Timur. Surabaya: Dinas pendididikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur. Direktorat Dikmenum, 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Dikmenum, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Rencana dan Program Pelaksanaan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Dikmenum, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Panduan Monitoring dan Evaluasi Program MPMBS. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Dikmenum, 2002. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Konsep Dasar.. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Direktorat Dikmenum, 2003. Petunjuk Pelaksanaan Fasilitator Sekolah Target. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Dikmenum, 2003. Tim Teknis Kabupaten. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Maisyaroh. 2003. Manajemen Keterlibatan Masyarakat dalam Penyelenggaraan Masyarakat, dalam Penyelenggaraan Pendidikan, dalam Ali Imron, Maisyaroh, Burhanudin (eds), Manajemen Pendidikan. Malang: Universitas Negeri Malang. Mantja, W. 1997. Etnografi Disain Penelitian Manajemen Pendidikan. Malang: PPS IKIP Malang. Mataheru, Frans. 2001. School Based Leadership ataukah School-debbased Management? Vitalisasi ataukah Degradasi? Malang: Diklat Materi Kuliah Umum Program Studi Manajemen Pendidikan Pasxasarjana Universitas negeri Malang. Miles, M.B. & Huberman,A.M. 1992. Qualitative Data Analysis: A Course Book of New Methods. Beverly Hills: Sage Publications. Inc. Moloeng, Lexy, J. 1988. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nasution S, 1988. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Bima Cipta. Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP. 2002. Petunjuk Pelaksanaan Peningkatan Mutu Pendidikan Melalui Kegiatan Matching Grand untuk SLTP/MTS Negeri/Swasta. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Proyek Perluasan dan Peningkatan Mutu SLTP. 2002. Penjelasan tentang Sekolah Target. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional. Robbin, S.P. 2006. Perilaku Organisasi. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit PT INDEKS. Kelompok Gramedia. Sahertian, P.A. 2000. Dimensi-Demensi Administrasi Pendidikan di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional. Sahertian, P.A. 1994. Profil Pendidik professional. Yogyakarta: Andy offset. Silalahi, U. 1996. Pemahaman praktis Asas-asas Manajemen. Bandung: CV Mandarmaju. SMPN 2 Plosoklaten Kediri. 2002. Proposal Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah SLTP Negeri 2 Plosoklaten. Kediri: SMPN 2 Plosoklaten Kediri. Tinus, Agus. 2003. Perencanaan Strategis dan Implementasinya Dalam Mengantipasi Kecenderungan Otonomi Perguruan Tinggi di Universitas Guru. Tesis tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2004. Jakarta: PT Armas Duta Jaya.
1
KEPEMIMPINAN KEPALA SANGGAR DALAM PELAKSANAAN PROGRAM KECAKAPAN HIDUP BAGI ANAK JALANAN DAN KELUARGA PRA SEJAHTERA DI SANGGAR KEGIATAN BELAJAR KOTA MALANG (STUDI KASUS)
OLEH : ELOK WAHYU WIDAYATRI * Abstrak
Penelitian tentang kepemimpinan Kepala Sanggar ini betujuan memperoleh gambaran tentang pendekatan kepemimpinan Kepala Sanggar dalam pelaksanaan program Kecakapan Hidup. Ada beberapa jenis pendekatan kepemimpinan yaitu: Pendekatan sifat, pendekatan tingkah laku dan pendekatan kontingensi. Pilihan jenis pendekatan ini pada akhirnya akan berpengaruh pada gaya kepemimpinan seorang pemimpin. Tehnik pengumpulan data dilakukan melalui : wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan studi dokumentasi. Tehnik analisa data yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan tiga jalur kegiatan yaitu: reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Melalui penelitian ini diperoleh temuan: pertama Pendekatan kepemimpinan situasional kepala Sanggar dapat meningkatkan kinerja pamong belajar, kedua Program Kecakapan Hidup dapat berjalan dengan baik dipengaruhi kepemimpinan pemimpinnya dan sarana prasarana yang memadai, ketiga Pendekatan kepemimpnan situasional berimplikasi positif terhadap pelaksanaan program kecakapan hidup dan pada akhirnya dapat meningkatkan kehidupan anak jalanan dan keluarga pra sejahtera.
Kata Kunci : Kepemimpinan, Program kecakapan hidip, Anak jalanan 1. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sanggar Kegiatan Belajar kota Malang adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan Kota Malang yang menagani Pendidikan Luar Sekolah,
2
Pemuda dan Olahraga. Untuk mencapai keberhasilan program yang dilaksanakan, diperlukan seorang pemimpin yang efektif, karena ada pendapat yang mengatakan bahwa baik tidaknya suatu organisasi sangat ditentukan keefektifan pemimpinnya ( Robbins (1990). Disamping itu untuk mencapai keberhasilan program yang dilaksanakan diperlukan pendekatan kepemimpina yan tepat, sehingga dapat memimpin secara efektif. Berhasil tidaknya program yang dilaksanakan, sangat tergantung kepada pendekatan kepemimpinan yang dipilih, sebab pemimpin harus dapat menjalankan fungsi- fungsi manajemen ( Hasibuan, 1999: 2). Sesuai dengan SK Walikota Malang nomor 130 tahun 2003, Sanggar Krgiatan Belajar Kota malamh mempunyai tugas Pokok: Sanggar mempunyai tugas melakukan pembuatan percontohan dan pengendalian mutu program Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga. Untuk mengimplementasikan tugas tersebut, SKB Kota Malang melaksanakan kegiatan antara lain, program keaksaraan, program kesetaraan, Pendidikan Anak Usia Dini, dan program Kecakapan Hidup. Sejak tahun 2003 SKB Kota Malang mendapatkan tugas untuk menangani anak jalanan dan Keluarga Pra Sejahtera. Dari keseluruhan kegiatan di atas, penelitian ini difokuskan pada satu program yaitu program Kecakapan Hidup. Program kecakapan hidup adalah program yang bermaksud untuk memberikan bekal pengetahuan, ketrampilan, sikap dan kemampuan fungsional
3
praktis untuk bekerja dan usaha mandiri, membuak lapangan usaha serta memanfaatkan peluang yang dimiliki sehingga dapat meningkatkan kualitas kesejahteraan. Program kecakapan Hidup meliputi empat jenis kegiatan yaitu: kecakapan personal, kecakapan sosial, kecakapan akademik, kecakapan vokasional ( Pedoman Penyelenggaraan Kecakapan Hidup, 2002). Alasan pemilihan jenis program kecakapa hidup karena berdasar data Susenas tahun 2002, tercatat, jumlah penduduk miskin 71.849 jiwa, angka putus SD 3,06 %, putus SLTP 0 %, putus SLTA 2,12 %, dan SLTA masuk perguruan Tinggi 47, 38% ). Kondisi saat ini, pada tahun 2007, jumlah penduduk 816.444, angka partisipasi murni SD 102,22 %, SLTP 71,87 %, SLTA 30, 56 %, angka putus sekola SD 0,07 %, SLTP 0,46 %, SLTA 0,91 %, ( Buku data dan Verifikasi Kota Malang tahun 2007 ). Berdasar harian Tempo interaktif 3 Juli 2008, jumlah pengangguran di kota malang mencapai 10.300 orang. Dari jumlah tersebut, pengangguran berpendidikan sarjana mencapai 30 %, berpendidikan SMA sebanyak 30 %, berpendidikan SMP sebanyak 15 %, dan selebihnya 25 %, lulusan SD dan tak berijazah. Menurut Kepala Dinas tenaga Kerja kota Malang, para sarjana yang menganggur ini karena tidak memiliki bekal kemampuan tambahan, misalnya bahasa asing, membuat sesuatu, dan kerajinan, padahal kemampuan tambahan itu merupakan nilai plus bagi para pencari kerja, seharusnya saat kuliah mereka mencari kemampuan tambahan. Selain pengangguran, jumlah pencari kerja di Kota Malang hingga Mei 2008 sebanyak
4
30.005 orang (Dinas Tenaga Kerja Kota Malang, 2008). Dengan kondisi ini sangat tepat jika pendidikan kecakapan Hidup dilaksanakan di Kota ini. Program kecakapan hidup yang dilaksanakan di SKB Kota Malang diperuntukkan bagi anak jalanan dan masyarakat kurang mampu. Pada tahun 2003 SKB Kota Malang menangani 72 anak jalanan dan 33 keluarga pra sejahtera, baik untuk program tingkat dasar maupun lanjutan. Jenis ketrampilan yang dilaksanakan meliputi: elektronika, kriya kayu, otomotif sepeda motor, otomotif mobil, tata boga , tata busana dan seni musik. Disamping itu tetap menyelenggarakan program keaksaraan maupun kesetaraan bagi mereka yang belum lulus SD, SMP dan SMA.
1.2. Fokus Penelitian. Fokus penelitian ini meliputi: Pendekatan kepemimpinan kepala Sanggar dalam pelaksanaan program kecakapan hidup, Pelaksanaan program kecakapan hidup, Implikasi pendekatan kepemimpinan kepala Sanggar dalam pelaksanaan program kecakapan hidup.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan tentang: Pendekatan kepemimpinan kepala Sanggar dalam pelaksanaan program kecakapan hidup, Pelaksanaan program kecakapan hidup, Implikasi pendekatan kepemimpinan kepala Sanggar dalam pelaksanaan program kecakapan hidup. Penelitian ini
5
diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengalaman empirik bagi peneliti, bahan kajian untuk peneliti lain, bahan masukan bagi Sanggar Kegiatan Belajar, input positif bagi Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan informal, bahan masukan bagi Direktorat Jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, Pendidikan Non Formal dan Informal, dan bahan masukan bagi Pemerintah Kota Malang.
2.
Kajian Pustaka
2.1. Pengertian Kepemimpinan Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yaitu seseorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi orang lain didalam kerjanya dengan menggunakan kekuasaan. Kekuasaan adalah kemampuan menggerakkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas- tugas yang harus dilaksanakan ( Fattah, 2001) . Sementara itu (Sumanto, 1982) menyebutkan kepemimpinan pendidikan adalah tindakan atau tingkah laku di antara individuindividu dan kelompok yang menyebabkan mereka bergerak ke arah tercapainya tujuan pendidikan yang menambah penerimaan bersama bagi mereka. Dari pendapat di atas bisa disimpulkan, bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi orang lain ( bawahan) agar mereka dapat melaksanakan kegiatan dengan baik untuk mencapai suatu tujuan.
6
2.2. Pendekatan Kepemimpinan Ada beberapa pendapat tentang pendekatan kemiskinan, antara lain yang dikemukakan oleh Rivai, V (1989) membagi menjadi empat yaitu: Pendekatan sifat, pendekatan tingkah laku, pendekatan kontingensi dan pendekatan kouzes. Sementara itu Fattah ( 2001), mengemukakan tiga teori pendekatan kepemimpinan yaitu pendekatan sifat, pendekatan tingkah laku, dan pendekatan situasional. Sutarto (1991), mengemukakan empat macam pendekatan kepemimpinan yaitu, pendekatan sifat, pendekatan perilaku, pendekatan kontingensi, dan pendekatan terpadu. Dari pendapat di atas jika disimpulkan, terdapat tiga jenis pendekatan yaitu : pendekatan sifat, pendekatan tingkah laku dan pendekatan kontingensi. Yang dimaksud pendekatan sifat adalah rupa dan keadaan pada suatu benda, tanda lahiriah, ciri khas yang ada pada sesuatu untuk membedakan dari yang lain . Teori awal tentang sifat mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan bukan dibuat, teori ini mengatakan bahwa seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpin akan menjadi pemimpin, apakah ia mempunyai sifat atau tidak mempunyai sifat sebagai pemimpin (Rivai, V). Fattah (2001), memahami kepemimpinan dengan mengenali karakteristik atau ciri- ciri pemimpin yang berhasil. Sifat- sifat yang harus dimiliki pemimpin mencakup : intelektualitas, hubungan sosial, kemampuan emosional, keadaan fisik, imajinasi, kekuatan jasmani, kesabaran, kemampuan bekerja keras, dan kemauan berkorban.
7
Pendapat lain mengatakan, pendekatan sifat, pada hakekatnya, pemimpin itu dilahirkan, bukan dibuat, atau sering disebut heredity ( Sutarto, 1991). Uraian di atas menegaskan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena menjadi pemimpin karena memang sejak dilahirkan sudah mempunyai pembawaan sebagai pemimpin, dan telah mempunyai ciri- ciri khusus yang membedakan dari yang lain. Pendekatan tingkah laku artinya perbuatan, kelakuan, perangai seseorang. Melalui pendekatan ini kita dapat menentukan apa yang efektif yang dilakukan pemimpin dan mencari jawaban serta menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan itu efektif, seperti bagaimana pemimpin mendelegasikan tugas, berkomunikasi, dan mencoba memotivasi pengikut dan bawahannya, bagaimana melaksanakan tugas dan sebagainya. Dua aspek utama dalam pendekatan tingkah laku yaitu: (a) fungsi kepemimpinan, (b) gaya kepemimpinan ( Rivai V, 1989). Pendekatan kontingensi disebut juga pendekatan situasional. Pendekatan ini dipandang sebagai pendekatan yang paling baik dalam pencapaian sasaran organisasi. Ada tiga pandangan tentang pendekatan situasional yaitu: (1) Teori yang dikembangkan oleh, Hersey dan Blanchard (2) Teori yang dikembangkan oleh Fiedler, (3) Teori yang dikembangkan oleh Martin G. Evans dan RJ House. Model ini dikemukakan oleh Fiedler dan Chenner (1974) yang dikenal dengan nama leadership contingency model. Pendekatan ini berusaha mengenali faktorfaktor yang paling penting dalam seperangkat situasi tertentu, dan meramalkan
8
gaya kepemimpinan yang paling efektif dalam situasi tertentu, (Fattah: 2001, 96). Tiga aspek yang paling efektif dalam menentukan gaya kepemimpinan adalah: pertama hubungan antara pemimpin dan anggota. Variable ini akan menentukan kekuasaan dan pengaruhnya. Jika pemimpin diterima dengan baik oleh kelompoknya dan anggota kelompok menghargai pimpinan , maka pemimpin tidak perlu bersandar pada wewenang formalnya, akan tetapi jika sebaliknya, ia harus menyandarkan diri pada perintah untuk mendelegasikan tugasnya, kedua, variable struktur tugas dalam situasi kerja. Tugas yang sangat berstruktur adalah tugas yang sangat prosedur atau instruksi langkah demi langkah untuk menyelesaikan tugas itu telah tersedia, karena anggota telah mengerti apa yang diharapkan. Pimpinan dalam situasi ini dengan sendirinya mempunyai wewenang yang besar.
2.3. Program Kecakapan Hidup (Life Skill) Life Skill menurut Broling (1989) adalah interaksi berbagai pengetahuan dankecakapan yang sangat penting dimiliki oleh seseorang, sehingga mereka dapat hidup mandiri. WHO (1997) mengartikan life skill adalah berbagai ketrampilana untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan perilaku dalam hidupnya sehari- hari secara efektif. Kent Davis (2000:1) mengartikan kecakapan hidup adalah manual pribadi bagi tubuh seseorang, artinya kecakapan ini membantu peserta didik
9
belajar bagaimana memelihara tubuhnya, tumbuh menjadi dirinya, bekerja sama secara baik dengan orang lain, membuat keputusan yang logis, melindungi dirinya sendiri dan mencapai tujuan dalam hidupnya. Muktiono W, dalam Warta Plus Februari (2003), menyampaikan bahwa pembelajaran program kecakapan hidup pada jalur luar sekolah diprioritaskan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin dan belum memiliki kecakapan hidup sebagai bekal penghidupannya. Karena itu proses pembelajaran dikaitkan dengan kebutuhan nyata di lapangan. Para peserta/ warga belajar diarahkan untuk mampu bekerja atau berusaha mandiri atau kelompok. Broling (2004) dalam Pedoman Penyelenggaraan program Life Skill Pendidikan Luar Sekolah mengelompokkan life skill ke dalam tiga kelompok kecakapan yaitu: (a) kecakapan hidup sehari- hari, (b) kecakapan pribadi/ sosial dan (c) kecakapan untuk bekerja. Yang termasuk dalam kecakapan hidup sehari- hari antara lain: pengelolaan kebutuhan pribadi, pengelolaan keuangan pribadi, kesadaran kesehatan, kesadaran keamanan, pengelolaan makan, gizi, pakaian, tanggung jawab sebagai warga negara dan sebagainya. Kecakapan pribadi/ sosial meliputi: kecakapan diri, percaya diri, komunikasi dengan orang lain, tenggangrasa dan kepedulian pada sesama, hubungan antar personal, pemahaman dan pemecahan masalah, menemukan dan mengembangkan kebiasaan positif, kemandirian dan kepemimpinan.
10
Sedangkan kecakapan untuk bekerja meliputi: memilih pekerjaan, perencanaan kerja, persiapan ketrampilan kerja, latihan ketrampilan, penguasaan kompetensi, menjalankan suatu profesi, kesadaran untuk menguasai berbagai ketrampilan, kemampuan menguasai dan menerapkan tehnologi, merancang dan melaksanakan proses pekerjaan dan menghasilkan produk barang dan jasa. Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan kecakapan hidup pada dasarnya merupakan suatu upaya pendidikan untuk meningkatkan kecakapan hidup bagi setiap warga negara, dalam hal ini diutamakan bagi orang yang tidak mampu. Kecakapan hidup yang dimaksud adalah kecakapan yang perlu dimiliki seseorang untuk berani menghadapi problema hidup dan kehidupan dengan wajar tanpa merasa tertekan, kemudian secara pro aktif dan kreatif mencari serta menemukan solusi sehingga akhirnya mampu mengatasi permasalahannya. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup pada satuan program Pendidikan Luar Sekolah, utamanya dalam rangka pengentasan kemiskinan dan penanggulangan pengangguran lebih ditekankan pada upaya pembelajaran kecakapan hidup dengan pendekatan Broad Based Education ditandai oleh: (1) kemampuan membaca dan menulis secara fungsional baik dalam bahasa Indonesia maupun salah satu bahasa asing ( Inggris, Arab, Mandarin dan sebaginya; (2) kemampuan merumuskan dan memecahkan masalah yang diproses lewat pembelajaran berfikir ilmiah, penelitian, perumusan dan
11
penciptaan; (3) kemampuan menghitung dengan atau tanpa bantuan tehnologi, guna mendukung dua kemampuan tersebut di berbagai lapangan kehidupan (pertanian, perikanan, komunikasi, kerajinan, kerumahtanggaan, kesehatan, informasi, manufaktur dan industri, perdagangan, kesenian, pertunjukan dan olahraga; (4) kemampuan bekerja dalam tim baik dalam sektor informal maupun formal; (5) kemampuan memahami diri sendiri, orang lain dan lingkungan; (6) kemampuan berusaha terus menerus menjadi manusia pebelajar; (7) kemampuan mengintegrasikan pendidikan dan pembelajarn dengan etika sosio religius bangsa, berdasarkan nilai- nilai Pancasila. Didalam Pedoman Program Kecakapan Hidup pendidikan Luar Sekolah disebutkan beberapa manfaat yang diharapkan dari pelaksanaan program Kecakapan Hidup adalah sebagai berikut: Pertama, bagi warga belajar menurut Pedoman Program Kecakapan Hidup Pendidikan Luar Sekolah (2004) adalah: (a) memiliki ketrampilan, pengetahuan dan sikap sebagai bekal untuk mampu bekerja atau usaha mandiri, (b) memiliki penghasilan yang dapat menghidupi diri dan keluarganya, (c) menularkan/ memberikan kemampuan yang dirasakan bermanfaat kepada orang lain, (d) meningkatkan kualitas kehidupan diri, keluarga dan lingkungannya, Kedua manfaat bagi masyarakat meliputi: (a) mengurangi pengangguran, (b) menciptakan pekerjaan bagi orang lain, (c) mengurangi kesenjangan sosial, Ketiga manfaat bagi pemerintah meliputi : (a) meningkatkan kualitas Sumber
12
daya manusia di daerah, (b) mencegah urbanisasi, (c) menumbuhkan kegiatan usaha ekonomi masyarakat, (d) menekan kerawanan sosial.
3. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendeakatan kualitatif dengan rancangan studi kasus. Pendekatan kualitatif dipandang tepat untuk mengungkap kemudian mendiskripsikan secara jelas, mengenai kepemimpinan kepala Sanggar dalam pelaksanaan program kecakapan hidup bagi anak jalanan dan keluarga pra sejahtera di SKB Kota Malang, yang terjadi di dalam lembaga baik antara kepala dengan personil ( Pamong Belajar dan staf Tata Usaha), maupun antara kepala dengan warga belajar ( peserta didik) Kehadiran peneliti sangat diutamakan dalam penelitian kualitatif. Seperti telah dikemukakan oleh Sarojo (1993) bahwa kehadiran peneliti dilapangan sangat penting karena penelitian kualitatif mempunyai latar (setting) yang bersifat natural sebagai sumber langsung data dan peneliti sendiri merupakan instrumen utama penelitian. Labih lanjut dikemukakan Moleong (1991) bahwa peneliti dan keterlibatannya dilapangan sangat di utamakan dalam penelitian kualitatif, karena pengumpulan data harus dilakukan dalam situasi yang sesungguhnya. Peneliti sendiri merupakan perencana, pelaksana, pengumpul data, penganalisis, penafsir data sekaligus pelapor data hasil penelitian. Dalam peneltian ini seorang peneliti harus selektif, sungguh- sungguh dan hati- hati dalam menjaring data di lapangan sehingga data yang dikumpulkan sesuai dengan fokus atau permasalahan yang
13
dihadapi. Peneliti sebagai intrumen berupaya menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi dilapangan serta peneliti berusaha untuk menciptakan hubungan yang baik dengan informan, baik sebelum, selama, maupun sesudah penelitian. Dengan menjalin hubungan baik diharapkan dapat memperlancar proses penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini dlakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama, adalah tahap orientasi, Tahap kedua, perlu mengadakan eksplorasi Tahap ketiga, peneliti melakukan penelitian terfokus yaitu mengembangkan penelitian eksploratif kepada fokus penelitian, yaitu pada masalah kepemimpinan kepala dan program kecakapan hidup di SKB Kota Malang. Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) wawancara mendalam, (2) observasi partisipan, (3) studi dokumentasi. Tehnik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Penerapan tehnik analisis deskriptif dilakukan melalui tiga jalur kegiatan yang merupakan satu kesatuan (saling terkait) yaitu: (1) reduksi data, (2) Penyajian data, dan (3) penarikan kesimpulan/ verifikasi (Miles & Huberman, 1992) Pengecekan keabsahan temuan, pengecekan keabsahan (uji keabsahan) merupakan sesuatu yang penting, karena akan menjamin kepercayaan temuan tersebut. Dalam penelitian ini, untuk memperoleh keabsahan temuan, dilakukan beberapa tehnik, diantaranya yaitu: (1) Kredibilitas (credibility), yaitu pengecekan terhadap kesahihan data, (2) dependabilitas (dependability), yaitu uji keabsahan terhadap proses penelitian, (3) Konfirmabilitas (confirmability) yaitu uji kelayakan hasil penelitian. Agar memperoleh data yang sahih (kredibel), dalam
14
penelitian ini menunjuk pada rekomendasi Lincoln dan Guba (1985) pada tujuh tehnik pencapaian kredibilitas data, tetapi yang digunakan peneliti hanya tiga tehnik, yaitu: triangulasi (triangulation) sumber data, metode, dan peneliti lain, pengecekan anggota (member chercheks), diskusi teman sejawat (reviewing)
4. Hasil Penelitian Berdasar paparan data, ditemukan sejumlah temuan penelitian sesuai fokus- fokus yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut: 4.1. Pendekatan kepemimpinan kepala Sanggar 4.1.1. Keterlibatan langsung kepala Sanggar maupun pendelegasian tugas kepada pimpinan pamong belajar maupun ka sub bag tata usaha dalam penyusunan rencana kegiatan membuat suasana menjadi nyaman, karena unsur yang ada difungsikan dengan sebaik- baiknya oleh kepala. 4.1.2. Pelibatan semua personal dalam suatu rapat dalam menyusun rencana kegiatan membuat suasana lebih harmonis, semua menpunyai hak untuk menyampaikan pendapat tanpa harus merasa takut atau diejek yang lain. 4.1.3. Penyusunan kegiatan secara bersama- sama menghasilkan program yang menarik dan bermanfaat bagi masyarakat, sehingga peserta didik menjadi kerasan untuk mengikuti kegiatan 4.1.4. Pelaksanaan program dengan pendekatan kesejawatan dan demokratis dengan melibatkan semua personil, transparan dalam pengelolaan program, pendelegasian kewenangan atau pemberian kepercayaan kepada peronil dalam pengelolaan program, menghargai pekerjaan personil yang dilakukan pimpinan, menjadikan suasana kerja menyenangkan, terciptanya kemandirian dalam penentuan dan pengelolaan program. 4.1.5. Penggerakan (actuating) yang dilakukan kepala menumbuhkan kepedulian bawahan akan tugas- tugasnya, memelihara dan memupuk kesetiaan, kecintaan, loyalitas dan dedikasi bawahan, rasa tanggung jawab terhadap pelaksanaan tugas. Disamping hal- hal di atas, kegiatan ini telah
15
memupuk jiwa kepemimpinan bawahan, motivasi kerja, dan hubungan kesejawatan yang baik antar personil. 4.1.6.
Keikutsertaan kepala dalam kegiatan pengawasan, membuat kegiatan berjalan optimal kerena dengan adanya pengawasan akan mencegah terjadinya penyimpangan, memperbaiki kesalahan dan kelemahan, memanfaatka sumber daya yang ada, mendinamiskan organisasi, dan mempertebal rasa tanggung jawab.
4.2. Keberadaan SKB Kota Malang dalam Penyelenggaraan Program Kecakapan Hidup 4.2.1. Lokasi SKB Kota Malang cukup strategis, ditinjau dari kemudahan lalu lintas, kedekatan dengan instansi pemerintah, keadaan fasilitas, memiliki dampak positif terhadap pelaksanaan program 4.2.2. Penataan (pengaturan) personil berdasarkan latar belakang pendidikan, kemampuan, dan minat personil dalam suatu lembaga (SKB) untuk pelaksanaan tugas dilakukan secara proporsional sesuai dengan tingkat kematangan karyawan, mampu menciptakan suasana kerja yang kondusif dan berjalan optimal. 4.2.3. Tersedia fasilitas yang optimal bagi pelaksanaan program, terutama program kecakapan hidup, sangat menunjang kelancaran pelaksanaan program guna mencapai hasil yang optimal. 4.2.4. Tersedia asrama yang cukup representatif, sehingga dapat menampung sasaran program yaitu anak jalanan dan keluarga pra sejahtera yang benarbenar membutuhkan tempat untuk menginap, sehingga bisa menekan transportasi dan mempermudah koordinasi. 4.2.5. Tersedianya perpustakaan di di SKB, dan ketersediaan buku- buku bacaan sesuai dengan kebutuhan sasaran program maupunmasyarakat sekitar memperlancar pelaksanaan program di SKB. 4.2.6. Pelaksanaan program selalu mengacu pada Rencana Kegiatan Tahunan, yang disusun bersama- sama setiap akhir tahun anggaran. 4.2.7. Ketersediaan dana yang cukup memperlancar pelaksanaan program di SKB 4.2.8. Pendekatan kepemimpinan kepala dapat meningkatkan motivasi kerja karyawan. 4.2.9. Penyusunan indikator keberhasilan, mempermudah pengelola dalam menilai keberhasilan kegiatan, sampai sejauh mana program yang dilaksanakan telah berhasil, dan jika ada yang belum berhasil bisa lebih mudah dalam memperbaikinya.
16
4.3. Implikasi Pendekatan kpemimpinan Kepala Sanggar dalam Pelaksanaan Program Kecakapan Hidup bagi Anak Jalanan dan Keluarga Pra Sejahtera 4.3.1. Pelibatan semua unsur dalam pelaksanaan kegiatan, baik dalam perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan membuat suasana kerja menyenangkan, menumbuhkan semangat kerja, rasa percaya diri, kebersamaan atau kekompakan dikalangan personil, dapat menumbuhkan kinerja yang kompetitif secara sehat dalam pelaksanaan program, sehingga program berjalan dinamis dan optimal. 4.3.2. Pembagian tugas yang jelas antara personil, membuat program berjalan dengan lancar tanpa adanya tumpang tindih pekerjaan antara yang satu dengan yang lain, berdampak bagi pelaksanaan kegiatan menjadi lebih harmonis, tidak ada rasa iri hati antara yang satu dengan yang lain, yang berakibat lancarnya pelaksanaan kegiatan sampai selesai penyusunan laporan dan rencana tindak lanjut dari kegiatan yang telah dilaksanakan. 4.3.3. Pendelegasian tugas yang jelas kepada bawahan, bukan berarti tanpa kendali dari pimpinan, tetapi sebaliknya masih harus konsultasi kepada atasan, baik kepada pimpinan pamong belajar, maupun kepada kepala Sanggar, hal ini menumbuhkan rasa saling percaya diri diantara para personil, karena semua saling tahu dan tidak saling curiga. 4.3.4. Penggerakan (actuating) yang selalu diberikan kepala, berdampak pada tumbuhnya rasa percaya diri bawahan dalam melaksanakan tugas, karena kepala dan pamong belajar lain siap membantu jika sewaktu- waktu dibutuhkan, hal ini membuat kegiatan berjalan lancar. 4.3.5. Komunikasi langsung Kepala sanggar dengan peserta didik, bisa mendekatkan hubungan antara Kepala dengan peserta didik, hal ini membuat mereka lebih kerasan mengikuti program, karena peserta didik merasa ”diorangkan”, karena diperlakukan sama dengan yang lain. 4.3.5. Pendekatan kepemimpinan yang dilakukan secara transparan dan demokratis telah menumbuhkan moral kerja dan kinerja personil sebagai berikut: (1) tumbuhnya keberanian dan kreatifitas, (2) hilangnya rasa tertekan, (3) tumbuhnya rasa harga diri, (4) hilangnya rasa takut, (5) adanya rasa puas, (6) meningkatnya semangat kerja, (7) kemesraan dalam bekerja dan rasa kerja sama yang tinggi, (8) dinamika berfikir dan bekerja, (9) hilangnya rasa cemburu dengan sesama teman, (10) keberanian bersikap dan bertindak, (11) tambah gairah kerja, (12) iklim kerja yang kondusif dan menyenangkan, dan (13) tumbuh dan berkembangnya rasa tanggungjawab terhadap tugas- tugas dalam pelaksanaan program. Hal ini membuat kegiatan yang dilaksanakan berjalan sesuai dengan rencana.
17
4.3.6. Keberhasilan program kecakapan hidup yang dilaksanakan SKB Kota Malang, berdampak bagi anak jalanan dan keluarga pra sejahtera menjadi lebih layak, yaitu layak sandang, layak pangan dan lebih bermoral
5. Penutup 5.1. Kesimpulan 5.1.1. Pendekatan kepemimpinan Situasional Kepala Sanggar dapat meningkatkan kinerja pamong belajar dalam pelaksanaan program kecakapan hidup. Pendekatan kepemimpinan yang diterapkan kepala Sanggar sangat diengaruhi oleh tingkat kematangan bawahan. Berdasar data dilapangan, tingkat kematangan staf teknis ( pamong belajar SKB Kota Malang, dapat dikatakan tinggi, dengan indikator : (1) Latar belakang Pendidikan sebagian besar sarjana bahkan pasca sarjana, (2) masa kerja sebagai pamong belajar rata- rata 5 tahun ke atas, (3) Pangkat dan golongan sebagian besar III/b dan III/c, (4) Penguasaan teknis memadai, (5) Kepedulian terhadap tugas dan profesi tinggi. Melihat kondisi ini sangat tepat jika pendekatan yang digunakan adalah pendekatan situasional, atau dengan gaya kepemimpnan delegatif, namun demikian tidak dilepas begitu saja, tetapi tetap ada pengendalian dari atasan. Pendekatan kepemimpinan kepala dalam suatu organisasi tidak terlepas dari penerapan fungsi- fungsi manajemen. Hal ini terungkap bahwa berdasar peristiwa di lapangan kepala Sanggar terlibat sejak dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi membawa dampak yang besar pada pelaksanaan program. Disamping itu pelibatan
18
semua unsur yang ada sejak dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, sampai dengan evaluasi, meningkatkan kinerja pamong belajar, hal ini ditandai dengan: (1) memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri, (2) hubungan baik dengan sejawat atau pihak lain yang terlibat dalam pembelajaran, (3) dapat membuat program yang rasional serta melaksanakan dengan tepat dan tanggung jawab, (4) mau membantu kesulitan orang lain, (5) terlibat aktif dalam semua proses rencana dan pelaksanaan kegiatan, mulai merencanakan sampai akhir pelaksanaan, (6) dapat bertindak sebagai pemikir sekaligus pelaku, dalam pelaksanaan kegiatan. Pendekatan kepemimpinan situasional yang diterapkan Kepala Sanggar, merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan program, hal ini terungkap, selain memberikan tanggung jawab kepada bawahan, kepala tetap mengendalikan kegiatan, dengan cara mengontrol pelaksanaan kegiatan secara langsung, memanggil penyelenggara maupun pimpinan pamong belajar, untuk berbincang tentang pelaksanaan kegiatan, memberikan teguran jika ada yang dianggap tidak beres, dan memberikan saran serta masukan jika diperlukan. 5.1.2. Keberhasilan program Kecakapan Hidup Dipengaruhi Pendekatan Kepemimpinan Pemimpinnya. Program kecakapan hidup di SKB kota malang dapat berjalan dengan baik dengan adanya komitmen yang tinggi dari pamong belajar. Berdasar data di lapangan, komitmen pamong belajar ini timbul karena pendekatan
19
kepemimpinan yang efektif dapat meningkatkan motivasi kerja mereka menjadi semangat dalam bekerja, menimbulkan kepuasan kerja, meningkatkan produktivitas kerja, loyal terhadap pekerjaan, meningkatkan disiplin, hubungangan kerja harmonis, meningkatkan kreatifitas dan partisipasi tinggi, dan menumbuhkan rasa tanggung jawab. Hal ini menjadikan keberagaman program kecakapan hidup yang dilaksanakan di SKB yaitu: (1) Tata Busana, (2) Tata Boga, (3) Kriya Kayu, (4) Otomotif Sepeda Motor, (5) otomotif Mobil, (6) seni Musik, (7) Audio Vidio, semua berjalan dengan baik, tampak dari indikator keberhasilan program kecakapan hidup yang dibuat SKB bisa dicapai dengan baik.
5.1.3. Pendekatan Kepemimpinan Situasional Kepala Sanggar berdampak positif bagi anak jalanan dan keluarga pra sejahtera. Hal ini nampak setelah mengikuti program mereka sebagian besar bekerja di tempat yang layak ( perusahaan), ataupun usaha mandiri secara kelompok, tidak lagi berpakaian kumuh, tidak lagi turun ke jalan, lebih sopan terhadap orang lain, walaupun masih ada kekurangan disana sini antara lain jumlah warga masyarakat yang bisa mengikuti kegiatan masih sangat terbatas, masih belum adanya kerjasama dengan dinas/ instansi lain yang memiliki kegiatan sejenis, dan jenis kegiatan yang dilaksanakan masih sangat terbatas, serta belum adanya payung hukum yang jelas
20
tentang anak jalanan masih menjadi kendala bagi jajaran SKB dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.
5.2. Saran- saran Berdasarkan temuan, pembahasan dan simpulan hasil penelitian, dengan ini disarankan kepada: 5.2.1. Para peneliti lain. (1) Perlu melakukan kajian lebih mendalam atau penelitian serupa yang mampu mengungkap lebih mendalam tentang pelaksanaan program kecakapan hidup, ditinjau dari sudut pandang atau fokus yang lain, sehingga dapat menambah khasanah pengembangan teori di atas. Hal ini mengingat bahwa penelitian ini mengandung sejumlah keterbatasan. (2) Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan melihat kasus yang berbeda atau mengembangkan jumlah kasus, sehingga temuan- temuan berikutnya dapat menjadi bahan pembanding atau memperkuat hasil penelitian ini. 5.2.2. Jajaran SKB, khususnya SKB Kota Malang. (1) Kepala SKB, hendaknya selalu ingat bahwa kepemimpinannya memiliki pengaruh yang besar dalam pelaksanaan program, sehingga senantiasa perlu dicari pendekatan kepemimpinan yang sesuai dengan karakteristik bawahan, sehingga kegiatan yang dilaksanakan menjadi lebih efektif dan efisien
21
(2) Pamong Belajar hendaknya terus mengupayakan penambahan jenis ketrampilan, sehingga beragam pilihan jenis ketrampilan bisa dipilih peserta didik yang membutuhkan. (3) Perlu dibuka kesempatan yang lebih luas untuk warga masyarakat, terutama keluarga pra sejahtera maupun anak jalanan, mengingat anak jalanan di kota Malang selalu bertambah dari tahun ke tahun (4) Perlu diperluas jaringan kemitraan dengan dinas instansi terkait yang menyelenggarakan kegiatan sejenis, seperti Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja, Balai Latihan Kerja, Deperindagkop, maupun PJTKI atau yang sejenis, sehingga hasil lulusan benar- benar matang dalam menerima program dan dapat saling mengisi antara dinas yang satu dengan dina yang lain ( tidak tumpang tindih)
5.2.3. Pemerintah Kota Malang (1) Hasil penelitian ini hendaknya dijadikan bahan pertimbangan untuk merumuskan kebijakan- kebijakan penyelenggaraan program Pendidikan Non Formal di Kabupaten Malang, khususnya yang menyelenggarakan program kecakapan hidup, serta pembinaan kepada kepala SKB kota Malang dalam membina anak jalanan dan keluarga pra sejahtera di tahun- tahun kedepan. (2) Dalam memberikan pembinaan hendaknya diberikan perhatian yang cukup besar kepada pamong belajar, mengingat dalam Undang- Undang tentang Guru
22
dan Dosen, pamong Belajar tidak termasuk didalamnya, sehingga tidak menghambat kinerjanya, atau berbondong- bondong untuk pindah ke guru. (3) Agar pembinaan terhadap Anak Jalanan bisa efektif, perlu diterbitkan aturan hukum yang jelas, semacam Perda, yang melarang Anak Jalanan berada di jalan pada jam- jam sekolah (3) Agar difasilitasi pertemuan dengan dinas/ instansi terkait seperti: Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial, BLKIP, Deperindagkop, PJTKI, sehingga pembinaan yang dilakukan terhadap anak jalanan dan keluarga pra sejahtera bisa lebih matang dan tidak tumpang tindih dalam pembinaannya
5.2.4. Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal (1) Perlu diadakan uji coba model tentang penyelenggaraan Pendidikan Non Formal dan disebarluaskan ke SKB lain, sebagai bahan acuan penyelenggaraan program sejenis (2) Dalam melakukan bimbingan teknis hendaknya mengarah kepada peningkatan komitmen pamong belajar kepada profesinya, karena berdasar penelitian ini komitmen yang tinggi merupakan kunci keberhasilan program di SKB
23
5.2.5. Direktorat jenderal Pendidikan Non Formal dan Informal (1) Hendaknya hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan pedoman penyelenggaraan program pendidikan kecakapan hidup, terutama tentang pelibatan unsur- unsur yang ada di SKB, sehingga kegiatan bisa berjalan optimal
24
DAFTAR RUJUKAN
Arifin,I. 1996, Penelitian Kualitatif: Dalam Ilmu-Ilmu Sosial dan Keagamaan, Malang: Kalimasada Press Arikunto, S. 2002, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta. Ali, M. 1992. Strategi Penelitian Pendidikan, Bandung: Angkasa Adi Winata, A. 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 73, Tentang Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta: Direktorat Pendidikan Tenaga Teknis. Ansell, D. Morse,J, & Crative, J. Life Skill Activites, dalam Using The Life Skill Guedebook to Design a Life Skill Learning Sesion, http: www casey Life Skill, Org/LSG/Using, htm # 2. Arif, 1995, Potensi Sanggar Kegiatan Belajar dan Prospeknya terhadap perkembangan SDM, Kendari: Lemlit Unhalu. Athos, Anthony G, & Coffey, R.E, 1968. Behavior in Organization: A Multidimensional View, Prentice-Hall, Inc, Englewood Cliffs, New Jersey. Binner, I. G. 1996. Baker Encyclopedia of Psychologi, Boston: Healt & Company. Bogdan, RC, & Biklen, SK, 1982. Qualitative Research for education and Introduction to Theory and Methods, Boston: Allyn and Bacon, Inc. Bogdan, RC, & Taylor, S.J, 1975. Introduction to Qualitatif Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Science, New York: John Willy And Sons, Inc. Curtis, B, Floyd, J.J, Winsor, J, 1992. Bussiness and Professional Communication. New York: Harpes Collins Publisher, Inc. Davis, K. Life Skill 4 Kids New, http/www. Life Skill 4 Kids, com/archive/intro 2, 2000 htm # Depdiknas, 2003, Hasil Survey Balitbang Depdiknas, 2003, Jakarta.
25
Depdiknas 1997, Pedoman Pelaksanaan Kelompok Belajar Usaha Pola SKB , Jakarta: Direktorat Tenaga Teknis. Depdiknas 2002, Pendidikan Berorientasi Kecakapan Hidup, Jakarta: Ditjen Dikdasmen. Depdiknas, 2002, Pedoman Pelaksanan Program Kecakapan Hidup (Life Skill) pendidikan Luar Sekolah, Jakarta: Dirjen PLSP. Depdiknas, 2003, Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia, hasil Susenas 2002, Jakarta, Dirjen Diklusepa Dinas Pendidikan Kota Malang, 2007, Buku Data dan Verifikasi, Malang, Dinas Pendidikan Kecakapan Hidup (Life Skill) pendidikan Luar Sekolah, 2004, Jakarta: Dirjen PLSP. Dharma, A. 1984. Gaya Kepemimpinan Yang Efektif Dari Para Manager, Bandung : Penerbit Sinar Barat. Engkosworo, 1987, Manajemen Dalam Praktek, Jakarta: Intermedia. Fattah N. 2001. Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung: Remaja Rasdakarya. Goetz, J.P. & Le Comte, M.D. 1981. Etnographic Research And The Problem Of Date Reduction. Antropology And Education Quartely. Handoko, T.H. 1984. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia, Yogyakarta: BPFE. Hasibuan, M.S.P, 1999. Organisasi dan Motivasi, Jakarta: Bumi Aksara. Hersey,P & Blanchard, K. 1982. Management Of Organizationa Behavior: Uutilizing Fourtth Edition. By Prentice Hall. Inc. Anglewood Cliff. N.Y. http://indosdm. Com 2008/ team- building- training- handout- kepmimpinan, Isherwood, G.B. 1985. Leadership Effectiviness In Cooperative And Counter Acting Group. The Journal Of Educational Administration. Volume XII (Number 2). 208-218. Jalal, F. 2003. Makalah disajikan dalam Widya Karya Petugas Pendidikan Luar Sekolah, Jakarta, 4- 7 Agustus.
26
Koentjoroningrat, 1983. Metode- Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia. Koesmintarjo, 2003. Desertasi Tidak Dipublikasikan, Malang, PPS UM Lindlof,T. 1994. Qualitative Communication Research Methods, New Delhi: Sage Publication Inc. Maleong, L.J. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya. Mantja, W. 1997. Manajemen Pendidikan & Supervisi Pengajaran: Kasus Pembinaan Profesional Guru Sekolah Dasar Negeri, Kelompok Budaya Etnik Madura di Kraton, Desertasi tidak dipublikasikan. Mantja, W. 2002. Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran, Malang: Wineka Media. Miles, M.B & Huberman, A.M, 1984. Analisis Data Kualitatif, terjemahan Tjetjep Rohendi Rosidi, Jakarta: Universitas Indonesia Press. Nasution N. 1988. Metode Penelitian Ilmiah Naturalistik – Kualitatif, Bandung: Tarsito. Pfiffner, John D. & Robert Presthus,1967. Publik Administration, The Ronald Press Co, New York Riva’i, F. 1989. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Republika, 23 Mei 2002. Kualitas SDM dan Angkatan Kerja Masyarakat Indonesia, hlm 4. Robbin, S.P. 1990. Essentials Of Organizational Behavior, New Jersey: Prentice Hall, Inc. Sarojo, J.R. 1993. Penelitian Kualitatif Pendidikan, makalah disajikan dalam ceramah kepada dosen jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA, Malang: IKIP Malang Siagian, S.P. 1991. Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: Rineka Cipta. Silverman, 1985. Media Pendidikan, Pengertian, Pengembangan dan Pemanfaatannya, Jakarta: Rajawali Press
27
Sutarto, 1991, Dasar – Dasar Kepemimpinan Administrasi, Jogyakarta, Gadjahmada University Press. Sutopo, H.B, 1988. Penelitian Kualitatif dalam Pendidikan, Makalah Kuliah Umum tidak dipublikasikan, Malang: Pusat Penelitian IKIP Malang. Sonhadji, A, 1997. Dasar- Dasar Penelitian Kualitatif, Makalah disajikan pada Seminar Metode penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Malang: 7 September. Spradley, J.P, 1980. Participant Observation, Sydney, Holt, Rinehart ang Winston. Thierauf, Robert, J, Robert, C K. & Daniel, W. G. 1977. Management Principles and Practices A Contingency and Questionnaire Approach, John Wiley & Sons, New York Undang- Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003. tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta., Depdiknas Jakarta Wahjosumedjo, 1992. Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta: Ghalia Waspodo, M. 2003. Warta Plus, Vol. 24, No 1, Februari 2003, Jakarta, Dirjen Diklusepa Wiraputra. 1976. Kepemimpinan Dalam Manajemen, Bandung: Transito Yin, R..K. 1984. Studi Kasus, Desain dan Metode, Terjemahan oleh M. Djazudi Mudzakin, Jakarta, PT. Raja Grafindo Yulk, G.A. 1981. Leader in Organization, New Jersey: Prentice Hall.
28
Abstrak : Hubungan Perilaku Kepemimpinan, Iklim Organisasi, dan Motivasi Kerja Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. Syukran Ma’sum Kata kunci : perilaku kepemimpinan, iklim organisasi, motivasi, kepuasan kerja Dalam upaya mempengaruhi perilaku pegawai, pemimpin menggunakan pendekatan pola kepemimpinan yang berorientasi pada tugas pegawai dan hubungan manusia. (initiating structure dan consideration). Iklim organisasi adalah lingkungan manusia di dalam mana para pegawai organisasi melakukan pekerjaan mereka. Iklim dapat mempengaruhi motivasi dan kepuasan kerja. Kepuasan kerja adalah sikap senang atau tidak senang terhadap pekerjaannya, pegawai yang senang dengan pekerjaannya mempunyai sikap positif, pegawai yang tidak puas mempunyai sikap negatif. Perilaku kepemimpinan, iklim organisasi, dan motivasi kerja hubungannya terhadap kepuasan kerja dengan rumusan masalah ; (1) Apakah terdapat hubungan antara perilaku kepemimpinan dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram (2) Apakah terdapat hubungan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram (3) Apakah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. (4) Apakah terdapat hubungan antara perilaku kepemimpinan, iklim organisasi, dan motivasi kerja dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. Dari hasil analisis membuktikan bahwa (1) ada hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan terhadap kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. Namun hasil analisis menggunakan korelasi parsial dengan menyisihkan variabel iklim organisasi dan motivasi kerja menunjukkan hubungan antara perilaku kepemimpinan terhadap kepuasan kerja tidak signifikan. (2) ada hubungan yang signifikan antara iklim organisasi terhadap kepuasan kerja pegawai di Kantor Pusat Universitas Mataram, dan (3) ada hubungan yang signifikan antara motivasi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai di Kantor Pusat Universitas Mataram dan (4) ada hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan, iklim organisasi, dan motibasi kerja secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja pegawai di Kantor Pusat Universitas Mataram.
1
2 Abstract : Relationship of Leadership Behavior, Organizational Climate, and Working Motivation toward Job Satisfaction of Officers in Central Office of Mataram University. Syukran Ma’sum Keywords: leadership behavior, organizational climate, motivation, working satisfaction As the effort to influence the behavior of officials, the leader employs the approach of leadership pattern which orients to the task of officials and human relationship. (Initiating structure and consideration). The organizational climate which is inside human environment in which officials do their tasks. Climate may influence motivation and working satisfaction. Analysis results prove that (1) there is a significant relationship between leadership behavior and officials’ working satisfaction in Central Office of Mataram University. However, by employing partial correlation with put aside organizational climate variable and working motivation, it does not show the insignificant relationship of leadership behavior and working satisfaction; (2) there is a significant relationship between organizational climate and officials’ working satisfaction in Central Office of Mataram University; (3) there is a significant relationship between working motivation and officials’ working satisfaction in Central Office of Mataram University; and (4) there is a significant relationship leadership behavior, organizational climate, working motivation and officials’ working satisfaction in Central Office of Mataram University.
3 PENDAHULUAN Dalam setiap organisasi tidak terlepas dari sumber daya manusia. Kemampuan sumberdaya manusia di tuntut memiliki kemampuan yang berkualitas untuk mendukung tercapainya tujuan dalam organisasi. Robbins (2002:1) mengatakan, “memiliki sumberdaya manusia yang handal merupakan hal yang sangat berharga, bahkan merupakan asset yang sangat penting dalam memecahkan masalah-masalah”. Senada dengan apa yang di katakan oleh Gomes (2003:11), “Pentingnya pengelolaan sumber daya manusia tertuju kepada efisiensi, efektifitas dan produktivitas”. Kedudukan sumber daya manusia dalam wadah organisasai sangat strategis untuk meningkatkan produktivitas kerja. Dalam hal ini adalah pegawai yaitu orang-orang yang bergabung dalam organisasi. Pegawai yang memiliki pengaruh terhadap kepuasan kerjanya. Robbins (2002:36) mengatakan sebagai berikut : Perilaku individu di dasarkan pada sikap, kepribadian, persepsi dan pembelajaran. Sikap (attitudes) merupakan pernyataan evaluatif – baik menyenangkan atau tidak – tentang suatu objek, orang atau peristiwa. Sikap yang berkaitan dengan pekerjaan meliputi kepuasan kerja, keterlibatan kerja (tingkat sejauh mana seseorang berkecimpung dalam pekerjaannya dan secara aktif berpartisipasi di dalamnya), dan komitmen organisasi (sebuah indikator loyalitas kepada dan keberpihakan terhadap organisasi). Maslow dalam (Munandar, 2001:326) berpendapat bahwa kondisi manusia berada dalam kondisi yang mengejar, yang berkesinambungan. Jika suatu kebutuhan terpenuhi, langsung kebutuhan tersebut di ganti oleh kebutuhan lain. Maslow selanjutnya mengajukan lima kelompok kebutuhan yaitu ; (1) kebutuhan fisiologis, (2) rasa aman, (3) sosial, (4) harga diri, dan (5) aktualisasi diri. Handoko (1996:29) mengatakan bahwa kepuasan kerja (job satisfaction) adalah : Keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan dengan mana para karyawan memandang pekerjaan mereka. Kepuasan kerja mencerminkan perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Ini tampak dalam sikap positif karyawan terhadap pekerjaan dan segala sesuatu yang di hadapi di lingkungan kerjanya. Kepuasan kerja sangat dipengaruhi banyak faktor, menurut Luthan, (1995:126) faktor-faktor yang dapat di jadikan pertimbangan untuk mengendalikan kepuasan kerja adalah, 1) isi pekerjaan (job conten), (2) pembayaran upah (salary and woges), (3) promotion (promosi), (4) pengawasan kerja (job supervision), 5 kelompok kerja (working group), dan (6) kondisi kerja (working condition). Glisson dan Durick (dalam Hoy, 2001:304) mengatakan : The situational model of job satisfaction relatets combinations of task, organizational, and personal variables to indicators of job satisfaction. This contigency perspective generally devides the variables into three
4 groups : (1) characteristics of the work organization (e.g. centralization, profesionalism, leadership, feedback, culture, communication), (2) characteristics of the job tasks (e.g. autonomy, pay and otherbenefits, significance, challenge, variety), and (3) characteristics of the employees (e. g. gender, education, motivation, ability, predesposition to be happy). Dari pernyataan tersebut dapat di berikan makna bahwa model situasi kepuasan kerja meningkatkan kombinasi variabel tugas, organisasi dan personal dengan indikator kepuasan kerja. Seperti perspektif kontingensi umumnya membagi variabel menjadi tiga kelompok : (1) karakteristik organisasi kerja, misalnya sentralisasi, profesionalisme, kepemimpinan, pengaruh arus balik, budaya, komunikasi, (2) karakteristik tugas, misalnya otonomi, gaji dan tunjangan lain, dan (3) karakteristik pegawai, (misalnya usia, jenis kelamin, pendidikan, motivasi kecakapan). Yukl (1998:9) mengklarifikasikan pendekatan mengenai kepemimpinan, (1) pendekatan berdasarkan ciri (trait approach), (2) pendekatan beberdasarkan perilaku, (3) pendekatan pengaruh keberadaan, dan (4) pendekatan situasional. Selanjutnya dikatakan pendekatan yang lain adalah pendekatan partisipatif, kepemimpinan karismatik, dan kepemimpinan dalam kelompok pengambil keputusan. Sergiovanni dan Starrat (1983:82) mengidentifikasikan dua dimensi kunci kepemimpinan yakni: (1) gaya kepemimpinan yang berorientasi pada pelaksanaan pekerjaan atau tugas (2) gaya kepemimpinan yang berorientasi terhadap kebutuhan atau perasaan manusia dan hubungan diantara mereka. Sejalan dengan itu studi Ohio State dalam Robbin (2002:166) melukiskan perilaku kepemimpinan dalam melaksanakan tugasnya yaitu "initiating structure dan consideration". Initiating structure adalah cara pemimpin melukiskan hubungannya dengan bawahan dalam mengorganisasi kerja, hubungan kerja dan tujuan. Pemimpin pada posisi tingkat tinggi dalam initiating structure untuk memberi perintah kepada bawahan melaksanakan tugas. Sedangkan consideration, hubungan kerja atas dasar kepercayaan, menghargai gagasan bawahan, menunjukkan kepedulian, kesejahteraan, keamanan dan kepuasan bawahan. Iklim organisasai adalah lingkungan manusia di dalam mana para pegawai organisasi melakukan pekerjaan mereka. (Davis, 1985:21) Pengertian ini dapat mengacu lingkungan suatu departemen unit perusahaan atau suatu organisasi secara keseluruhan. Menyadari bahwa dalam organisasi terjadi saling berinteraksi sesama pegawai organisasi. Dalam setiap organisasi memiliki iklim kerja yang berbeda-beda, ada suasana kondusif, dinamis, sementara yang lain kurang bahkan tidak kondusif. Hal ini dipengaruhi faktor internal pegawai, iklim organisasi itu dan lingkungan eksternal organisasi. Likert dalam Davis (1985:24) mengidentifikasikan unsur iklim organisasi (1) kualitas kepemimpinan, (2) kadar kepercayaan, (3) komunikasi saat ke atas dan ke bawah, (4) perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat, (5) tanggung jawab, (6) imbalan yang adil, (7) tekanan pekerjaan yang nalar, (8) kesempatan, (9) pengendalian struktur dan birokrasi, (10) keterlibatan pegawai keikutsertaan. Sehubungan dengan itu sikap perilaku kepemimpinan, dan baik buruknya iklim organisasi akan dapat mempengaruhi pegawai, kepuasan kerja sangat di
5 pengaruhi oleh motivasi kerja. Gomez (2003:177) menyatakan motivasi sebagai perilaku yang di tujukan pada sasaran, motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan. Motivasi berkaitan erat dengan kepuasan pekerja dan performansi pekerjaan. Peranan pemimpin sangat memegang peranan penting untuk menciptakan situasi yang dapat meningkatkan motivasi pegawai. Zainun (1997:10) mengatakan bahwa motivasi dapat dilihat sebagai bagian fundamental dari kegiatan manajemen sehingga sesuatunya dapat di tunjukkan kepada pengerahan potensi atau daya manusia dengan jalan menimbulkan, menumbuhkan dan menghidupkan tingkat keinginan yang tinggi, kebersamaan dalam menjalankan tugas-tugas perorangan maupun kelompok dalam organisasi. Kenyataan selama ini terdapat komentar beberapa pegawai tentang pemimpin. Mereka memberi penilaian tentang kepemimpinan positif memberikan kepuasan kerja, namun ada yang menilai negatif, kurang memuaskan. Selain hal tersebut, informasi dari Kepala Sub Bagian Kepegawaian didapatkan informasi bahwa pekerjaan diatur dan dialokasikan oleh pimpinan diantara pegawai. Pegawai melaksanakan tugas-tugas di bawah koordinasi subsub bagian. Pola kepemimpinan berjalan atas dasar perintah atasan sehingga cenderung kurang melibatkan keikutsertaan pegawai secara emosional. Tingkat kehadiran (absen) yang cukup tinggi yang ditunjukkan mereka sering terlambat datang kerja, dengan alasan yang tidak logis dan subyektif. Adanya pegawai yang terhambat peningkatan karirnya menunjukkan perilaku apatis dan acuh tak acuh terhadap tugas. Fasilitas beberapa bagian unit kerja kurang memadai mengakibatkan kondisi kerja tidak nyaman. Pegawai tidak menunjukkan kreativitas yang tinggi terhadap tugas. Informasi menarik adalah keinginan (motivasi) untuk melibatkan diri dalam kinerja, menguat bila harapan disertai imbalan finansial. Adapun informasi dari pegawai didapatkan bahwa kepemimpinan kurang melibatkan pegawai dalam rapat atau pertemuan secara berkala, adanya penempatan pegawai tidak sesuai dengan kemampuan dan tingkat pekerjaan, kurang memberikan pengembangan berupa latihan, konsultasi bila mengalami masalah dalam karir. Pernah dilaksanakan pelatihan namun hasilnya kurang optimal bagi keberlanjutan kinerja. Umpan balik terhadap hasil pekerjaan kurang mendapat respon langsung dari pemimpin. Pengamatan peneliti, fenomena yang ada seperti organisasi menarik dan mempertahankan orang yang sesuai dengan iklimnya sehingga pada tingkat tertentu pola langgeng, sebagian sibuk, yang lain santai. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di uraikan di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut : 1. Apakah terdapat hubungan antara perilaku kepemimpinan dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. 2. Apakah terdapat hubungan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. 3. Apakah terdapat hubungan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. 4. Apakah terdapat hubungan antara perilaku kepemimpinan, iklim organisasi dan motivasi kerja secara bersama-sama dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram.
6 Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini mengetahui : 1. Hubungan antara perilaku kepemimpinan dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. 2. Hubungan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. 3. Hubungan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. 4. Hubungan antara perilaku kepemimpinan, iklim organisasi, dan motivasi kerja secara bersama-sama dengan kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Universitas Mataram. 1. 2. 3. 4.
Sedangkan manfaat diharapkan bermanfaat. Bagi pemimpin untuk dapat menggunakan model atau gaya kepemimpinan yang tepat dalam mempengaruhi pegawai. Sebagai bahan informasi bagi terciptanya iklim kerja yang kondusif, terbuka dan menyenangkan. Bagi pegawai untuk mempertahankan dan meningkatkan motivasi kerja yang lebih baik, guna peningkatan produktivitas kinerja. Bahan pertimbangan dan sumber data bagi pejabat di lingkungan Kantor Pusat Universitas Mataram dalam mengambil kebijakan guna perbaikan dan peningkatan peranannya.
Berikut ini dikemukakan teori-teori tentang kepuasan kerja, yaitu teori ketidaksesuaian (discrepancy theory), teori kewajaran atau keadilan (equity theory) teori harapan (expectacy theory), dan teori dua faktor Herzberg (Wexley dan Yukl, 1992:130). a. Teori Perbedaan atau Discrepancy Theory Teori ini pertama kali dipelopori oleh Poter, Ia berpendapat bahwa mengukur kepuasan dapat dilakukan dengan cara menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan pegawai. Locke (1969) mengemukakan bahwa kepuasan kerja pegawai bergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dan apa yang diharapkan oleh pegawai. b.
c.
Teori Keadilan (equity theory) Prinsip teori ini bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan (equity) atau tidak atas situasi. Perasaan equity dan inequatiy atas suatu situasi diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang setaraf, sekantor maupun di tempat lain. Menurut teori ini elemen-elemen dari equity ada tiga, yakni input, outcomes dan comparison person. Teori Pengharapan (Expectacy Theory) Teori pengharapan dikembangkan oleh Victor H. Vroom. Kemudian teori ini menjelaskan bahwa motivasi adalah hasil dari tiga faktor : seberapa besar seseorang menginginkan imbalan (valensi) perkiraan orang itu tentang kemungkinan bahwa upaya yang dilakukan akan menimbulkan prestasi yang berhasil (harapan) dan perkiraan bahwa prestasi itu akan menghasilkan perolehan imbalan (instrumentalis). (Davis, 1985-90).
7 d.
Teori dua faktor Herzberg Teori dua faktor Hezberg menyatakan bahwa kepuasan kerja secara kualitatif berbeda dengan ketidakpuasan kerja (Robbins, 2001:170). Menurut teori ini karakteristik pekerjaan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu:dissatisfier atau hygiene factors dan satisfiers atau motivator. Hygiene factors meliputi hal-hal seperti:administrasi dan kebijakan perusahaan, gaji atau upah, pengawasan, kualitas, hubungan yang signifikan antarpribadi, keamanan kerja, kondisi kerja dan status. Jumlah tertentu dari hygiene factors memadai untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seseorang tidak lagi kecewa tetapi dia belum terpuaskan. Seseorang hanya terpuaskan jika terdapat sejumlah yang memadai untuk faktor-faktor pekerjaan yang dinamakan satisfiers, yaitu: 1). Karakteristik pekerjaan yang relevan dengan kebutuhankebutuhan urutan lebih tinggi seseorang serta perkembangan, psikologisnya. 2). Tanggung jawab, 3). Penuh tantangan, 4). Kesempatan untuk berprestasi, 5). Pengharapan, 6). Promosi. Keinginan karyawan menjadi pertimbangan dalam mempengaruhi kepuasan kerja. Menurut Husnan dan Ranupandjojo (1995:194) ada beberapa keinginan karyawan yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain : (a) Gaji atau Upah yang baik, (b) Pekerjaan yang aman secara ekonomis, (c) Rekan kerja yang kompak, (d) Penghargaan terhadap pekerjaan yang dijalankan, (e) Pekerjaan yang berarti, (f) Kesempatan untuk maju, dan (g) Kondisi kerja yang aman, nyaman dan menarik. Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa tidak ada satu acuan yang mutlak mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, karena kepuasan itu sendiri sifatnya subyektif. Namun demikian dalam penelitian ini mengacu pada beberapa hal di atas yang dirangkum dalam situasional model of job satisfaction menurut Glisson dan Durick, (1988) dalam (Hoy, 2001:304). Dari pernyataan tersebut dapat diberikan makna bahwa model situasi kepuasan kerja meningkatkan kombinasi variabel tugas, organisasi dan personal dengan menjadi tiga kelompok:(1) karakteristik organisasikerja, misalnya sentralisasi, profesionalisme, kepemimpinan, pengaruh arus balik, budaya, komunikasi, (2) karakteristik tugas, misalnya otonomi, gaji dan tunjangan lain dan (3) karakteristik pegawai (misalnya usia, jenis kelamin, pendidikan, motivasi, kecakapan). Faktor-faktor tersebut digambarkan seperti pada gambar 2.1
Gambar Faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja (Sumber: Hoy dan Miskel, 2001:304) Pemimpin pada hakekatnya adalah seorang yang mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain di dalam kerjanya dengan menggunakan
8 kekuasaan. Kekuasaan kemampuan untuk mengarahkan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilakukan (Fattah, 2004:88). Semua pemimpin berurusan dengan kuasa. Kuasa adalah kemampuan mempengaruhi orang lain (Davis, 1985:157). Dalam suatu organisasi kuasa timbul dari (1) kuasa pribadi (personal power), adalah kemampuan pemimpin mengembangkan para pengikat kekuatan kepribadian sendiri, (2) kuasa legitimasi (legitimate power), kuasa posisi (position power) atau kuasa resmi yang timbul dari budaya masyarakat dengan mana kuasa didelegasikan secara absah dari wewenang yang lebih tinggi kepada orang lain, (3) kuasa ahli (expert power), yaitu kuasa yang timbul dari pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang tentang sesuatu, (4) kuasa politik (politic power), adalah kuasa yang timbul dari kemampuan pemimpin untuk bekerja dengan orang-orang dan sistem sosial guna memperoleh dukungan mereka. (Davis, 1985:158). Menurut Stoner, (1988). Yukl, (1998:2) mengemukakan beberapa pengertian dari kepemimpinan sebagai berikut : a. Perilaku dari seseorang indivisu yang memimpin aktivitas-aktivitas suatu kelompok ke suatu tujuan yang ingin dicapai bersama (shared goal) (Hemhill & Coons, 1957). b. Pengaruh antarpribadi, yang dijalankan dalam suatu situasi tertentu, serta diarahkan melalui proses komunikasi, ke arah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. (Tannenbaum, Weschle & Massarik, 1961). c. Pembentukan awal serta pemeliharaan struktur dalam harapan dan interaksi (Stogdill, 1974). d. Pembentukan pengaruh sedikit demi sedikit pada, dan berada di atas kepatutatn mekanis terhadap pengarahan-pengarahan rutin organisasi. (Katz & Kahn, 1978). e. Proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan. (Rauch & Behling, 1984). f. Sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan, untuk mencapai sasaran. (Jacobs & Jacques, 1990). g. Para pemimpin adalah mereka yang secara konsisten memberi kontribusi yang efektif terhadap orde sosial, dan yang diharapkan dan dipersepsikan melakukannya. (Hosking, 1988). Harold Koonzt, Cyril O'Donnell dan Heinz Weihriech (1996:213) "kepemimpinan (leadership) adalah sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusias" Berdasarkan teori kepemimpinan yang telah dikemukakan di atas, pada hakekatnya pimpinan sebagai manusia mempunyai kebiasaan, sifat, watak, dan kepribadian sendiri yang unik khas, sehingga membedakan perilakunya dengan orang lain. Berbagai model dan gaya kepemimpinan yang dikembangkan sebagaimana yang di kemukakan oleh Davis (1985:154-166) (1) model kepemimpinan jalur tujuan (path-goal leadership), (2) teori x dan teori y, (3)
9 pemimpin yang positif dan negatif, (4) pemimpin autokratik, partisipatif dan bebas kendali, (5) konsiderasi dan struktur, dan (6) kontigensi (situasional). Adapun menurut Robbins (2002:164-177) mengemukan, (1) Teori sifat, (2) teori perilaku initiating dan consideration, (3) jaringan manajeril (managerial grid), (4) kontigensi (keadaan situasional), (5) teori path-goal (tujuan motivasi), (6) model leader participation, dan (7) kepemimpinan kharismatik. Sedangkan menurut Purwanto dkk (1981:46) mengemukakan tiga gaya kepemimpinan pokok yaitu (1) otokratis, (2) laisses faire, dan (3) demokratis. Dari berbagai kombinasi model dan gaya kepemimpinan terdapat perbedaan, namun memiliki kesamaan-kesamaan. Model dan gaya kepemimpinan di atas di uraikan berdasarkan kesamaan perinsip masing-masing sebagai berikut : a. Model kepemimpinan jalur tujuan (path-goal leadership) Model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Robert House. Model kepemimpinan jalur tujuan mnyatakan bahwa pekerjaan kepemimpinan adalah untuk menciptakan lingkungan kerja melalui struktur, dukungan dan imbalan yang membantu para pegawai mencapai tujuan (Davis, 1985:154). b. Pola Perilaku (Behavior-Leadership) Model perilaku ini menekankan bahwa efektifitas kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh perilaku. Pola perilaku berorientasi kepada dua gaya kepemimpinan yang diterapkan kepada pegawai adalah “initiating structure dan concideration” yaitu perilaku kepemimpinan yang berorientasi kepada tugas dan orientasi pada pegawai. Hampir sama dengan di atas gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh Robert Blake dan Jane Mounton. Mereka mengenalkan suatu jaringan manajerial (manajerial grid) pada gaya “people concern” dan “production concern” (Robbins, 2002:167). Model gaya ini menekankan kepada perhatian akan tugas bawahan atau pegawai dan perhatian kepada hasil kinerja. c. Model Kepemimpinan Kontingensi Model kepemimpinan kontigensi menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai tergantung pada situasi, efektifitas kepemimpinan tergantung pada keadaan, atau sesuai dengan perubahan situasi. Model kontigensi dikembangkan oleh Fred Fiedler, model ini menyataklan bahwa kinerja kelompok yang efektif tergantung pada pasangan yang cocok antara gaya kepemimpinan dalam berinteraksi dengan bawahan dan tingkat di mana keadaan memberi pengaruh serta kendali terhadap pemimpin (Robbins, 2002:169). d. Teori X dan Teori Y Teori Y berasumsi pada dasarnya orang tidak malas tapi pengalaman yang membuat dia malas. Orang-orang akan mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri untuk mencapai tujuan. Orang-orang memiliki potensi, dalam kondisi yang sesuai, mereka belajar menerima, dan mencari tanggung jawab. Mereka memiliki imajinasi, kepandaian dan keativitas yang dapat diterapkan dalam bekerja. (Davis, 1985:163). e. Teori Sifat dan Kharismatik Pendekatan sifat memfokuskan pada karakteristik pribadi pemimpin, atau pendekatan berdasarkan ciri-ciri (Traits Approach). Teori ini berasumsi bahwa beberapa orang merupakan pemimpin alamiah yang dianugerahi dengan beberapa ciri seperti intelejensi, kharisma, kekuatan, keberanian,
10
f.
g.
h.
i.
integritas, keyakinan diri dan seterusnya - sehingga dapat disimpulkan bahwa pemimpin yang efektif haruslah dapat memiliki sifat-sifat tersebut. Pemimpin Autokratik Para pemimpin autokratik memusatkan kuasa atau bergantung pada kekuasaan, pemimpin berwenang penuh dan memikul tanggung jawab sepenuhnya. Davis (1985:9) mengatakan dalam lingkungan yang autokratik orientasi manajemen adalah wewenang formal yang resmi. Bagi para pegawai berkewajiban untuk menuhi perintah. Orientasi pegawai adalah kepatuhan dan kebergantungan pada atasan, yang kekuasaannya untuk mengangkat, memberhentikan, dan memerintah pegawai merupakan hal yang hampir mutlak. Pemimpin Gaya Partisipatif Pemimpin partisipatif adalah pemimping mengikutsertakan bawahan (pegawai) dalam mengambil keputusan. Davis (1985:179) mengatakan kepemimpinan gaya partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam situasi kelompok yang mendorong mereka untuk memberikan kontribusi kepada tujuan itu. Ada tiga gagasan penting dalam definisi ini keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab. Kepemimpinan Bebas Kendali Tipe ini diartikan sebagai membiarkan bawahan berbuat sekehendaknya, Laissez Faire (kebebasan). Pemimpin menghindari kuasa dan tanggung jawab (Davis, 1985:165). Purwanto dkk, (1981:48) mengatakan pemimpin yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan anggotanya. Pembagian tugas dan kerjasama diserahkan kepada anggota kelompok tanpa petunjuk dan saran-saran dari pimpinan, kekuasaan dan tanggung jawab diserahkan kepada anggota. Kepemimpinan Gaya Demokratis Menurut Rifai, (1984:43) demokratis, berasal dari kata domos sama dengan rakyat dan kratos sama dengan pemerintahan, merupakan kepemimpinan didasarkan atas “pemerintahan oleh rakyat” yaitu usaha dan tanggung jawab bersama oleh semua anggota kelompok. Pada suatu proses kepemimpinan berlangsung seorang pemimpin mengaplikasikan gaya kepemimpinan tertentu, dari beberapa pendekatan tersebut, dalam hal ini adalah pendekatan”perilaku” yaitu pola perilaku tugas dan pola perilaku hubungan manusia. Pola perilaku tugas merupakan kadar upaya pemimpin mengorganisasikan dan menetapkan peranan anggota kelompok untuk menjelaskan aktivitas mereka. Yukl (1998:66) mengemukakan perilaku manajerial pemimpin untuk mengelola pekerjaan, (1) perencanaan, (2) pemecahan masalah, (3) menjelaskan, (4) memberi informasi, dan (5) memantau kegiatan. Pola perilaku yang berorientasi pada hubungan (relationship – oriented behavior) adalah perilaku pemimpin yang berorientasi kepada hubungan manusia. Pola perilaku ini dinamakan juga “consideration” (pertimbangan), penerimaan, dan perhatian terhadap kebutuhan perasaan orang lain dengan memberikan dukungan (Yukl, 1998:99) memberi dukungan adalah komponen inti dari consideration, dan juga kompomnen inti
11 dari kepemimpinan suportif, seperti yang didefinisikan oleh Stogdill, House, dan Mitchell. Menurut Yukl (1998:99) perilaku pemimpin yang dapat digunakan untuk membangun dan mempertahankan hubungan kerjasama (1) memberi dukungan (supporting), (2) mengembangkan, (3) memberi pengakuan, (4) memberi imbalan, (5) mengelola konflik dan membangun tim, dan (6) membangun jaringan kerjasama. Bagaimana arah gaya kepemimpinan yang dikembangkan teori consideration dan initiating structure (orientasi hubungan manusia dan tugas). Gaya Kepemimpinan Dimensi Tugas Dan Dimensi Hubungan Manusia
(Sumber : Robbins, 2002:168) Keterangan : a) Gaya kepemimpinan 1.1 tergolong pemimpin miskin (impovarished management) dengan perhatian yang rendah terhadap orang dan rendah terhadap tugas / produk. b) Gaya pimpinan 1.9 adalah kekeluargaan (country club) perhatian yang tinggi terhadap karyawan, tetapi rendah terhadap tugas. c) Gaya pimpinan 9.1 adalah manajemen tugas (task) atau gaya otoriter perhatian tinggi terhadap tugas, tetapi rendah terhadap orang. d) Gaya 5.5 adalah gaya manajemen jalan tengah (middle of road) sedang-sedang saja terhadap tugas dan orang. e) Gaya 9.9 adalah manajemen demokratis perhatian tinggi baik terhadap tugas maupun orang. Iklim organisasi merupakan sebuah sistem sosial dari sebuah kelompok kerja, yaitu terdiri dari sub-subsistem atau bagian-bagian yang saling berkaitan satau sama lainnya dalam melakukan aktivitas, sub-subsistem tersebut adalah
12 manusia (sosial), administrasi (struktur), pengambilan keputusan, subsistem ekonomi, dan teknologi (Hersey dan Blanchard, 1986). Cambell dan Betay, Pritchard dan Karasick dalam Steers (1985:22), mengembangkan ukuran yang relatif independen dari dimensi iklim yang meliputi: struktur tugas, hubungan imbalan-hukuman, sentralisasi keputusan, tekanan pada prestasi, tekanan pada pelatihan dan pengembangan, keamanan versus resiko, keterbukaan versus ketertutupan, status dan semangat, pengakuan dan umpan balik, serta kompetensi dan keluwesan secara umum. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disarikan bahwa aspek definisi iklim organisasi sebagai berikut: (1) iklim organisasi berkaitan dengan unit yang besar yang mengandung ciri-ciri karakteristik tertentu yang membedakan iklim organisasi yang satu dengan iklim organisasi yang lainnya, (2) iklim organisasi bersumber dari peraktik penyelenggaraan organisasi berupa kebijakan aturan yang dibuat organisasi, (3) iklim organisasi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh perilaku dan sikap anggota organisasi. Hoy dan Miskel (1987) telah mengidentifikasi kontinum iklim organisasi berdasarkan hasil penelitian Halpin (1971 yang menggunakan "Organizational Climate Description Questionare" (OCDQ). Pada intinya, terdapat enam klasifikasi iklim organisasi, yaitu (1) open climate, (2) autonomous, (3) controlled climate, (4) familiar climate, (5) paternal climate, (6) closed climate. 1. Open Climate (iklim yang terbuka) Iklim ini menggambarkan suasana terbuka dalam organisasi, adanya keterbukaan situasi seperti ini menimbulkan rasa senang, penuh semangat dalam bekerja, timbul dorongan untuk saling membantu sesama anggota (kerjasama). Iklim organisasi terbuka memberi kepuasan kepada anggota organisasi dalam memenuhi kebutuhannya, tindakan dan perilaku pemimpin berjalan lancar dan serasi. Anggota kelompok mudah memperoleh kepuasan kerja dan menyelesaikan tugas dengan baik, sementara kebutuhan pribadi terpenuhi. 2. Autonomous Iklim ini membuka kebebasan pribadi (otonomi), sehingga para anggota memiliki peluang untuk memuaskan kebutuhan mereka. Iklim organisasi melukiskan suasana organisasi, dimana tindakan pimpinan justru muncul dari kelompok. Semangat kerja pertama muncul karena hanya untuk memenuhi kepuasan pribadi atau bagian-bagian tertentu, yang kadarnya kecil. Tidak semua bagian atau unit merasa puas. Kepuasan kerja yang dimaksud adalah kepuasan yang timbul oleh karena bagian tertentu dapat diselesaikan. 3. Controlled Climate (mengendalikan atau mengatur) Iklim organisasi ditandai dengan pembatasan dalam mewujudkan kepuasan sosial (pegawai) melalui pengaturan kegiatan organisasi. Iklim ini sangat mementingkan tugas, sementara kebutuhan anggota organisasi tidak mendapat perhatian. Anggota kelompok melaksanakan tugas yang ditetapkan pemimpin karena takut. Semangat kerja kelompok tinggi, namun mencerminkan adanya pengorbanan aspek kebutuhan manusiawi. Ciri khas iklim demikian adalah ketidakwajaran tingkah laku karena anggota kelompok hanya mementingkan tugas.
13 4. Familiar Climate (keakraban kekeluargaan) Iklim ini diwujudkan dengan adanya rasa kesejawatan antara pemimpin dan anggota organisasi. Iklim organisasi kekeluargaan ini adalah suatu iklim yang bersifat manusiawi bahkan kurang terkontrol. Para anggota hanya berlombalomba untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka namun sedikit perhatian pada penyelesaian tugas dan kontrol sosial yang ada kurang diperhatikan. Semangat kerja kelompok tidak begitu tinggi, karena kelompok mendapat kepuasan yang sedikit dalam penyelesaian tugas. 5. Paternal Climate (pengaruh kebapakan) Iklim ini bercirikan adanya suatu pengaruh kebapakan antara pemimpin dan anggota organisasi. Sikap melindungi anggota organisai berlebihan, dan bahkan menggangap tidak dewasa. Jarang memberikan kesempatan bagi anggota kelompok dalam mengembangkan kemampuannya. Pemimpin memberikan perlindungan terhadap kesejahteraan anggota, namun berakibat negatif, sebab kesempatan untuk berkreasi dan berinisiatif sangat terbatas. Dalam iklim yang demikian sedikit kepuasaan yang dirasakan bawahan, baik yang berkaitan dengan hasil kerja maupun kebutuhan pribadi, sehingga semangat kerja rendah. 6. Closed Climate (menutup, tertutup) Iklim dalam situasi yang tertutup, dimana pemimpin sangat tertutup terhadap para anggota organisasi. Para anggota biasanya bersikap acuh tak acuh atau bersikap masa bodoh. Tidak ada petunjuk dan saran dari pemimpin, tanggung jawab diserahkan kepada anggota. Iklim seperti ini tidak menghasilkan suasana tertib damai, tidak akan menimbulkan disiplin pada anggota-anggotanya. Hal ini menimbulkan semangat kerja rendah dan juga tidak mendapatkan kepuasan hasil kerja. Berdasarkan klasifikasi iklim organisasi tersebut, Halpin sebagaimana dikemukakan oleh Hoy dan Miskel mengklasifikan iklim organisasi menjadi dua yaitu:"Open Climate dan Closed Climate" yang merupakan kontinum dari terbuka sampai pada yang tertutup. Ada delapan komponen iklim yang dikemukakan oleh Halpin yang merupakan karakteristik kelompok dan perilaku pemimpin adalah (1) Disengagement (ketidakikutsertaan, melepaskan) (2) Hindrance (halangan) (3) Esprit (jiwa, semangat) (4) Intimacy (keakraban) (5) Aloofness (jauh, menyisih) (6) Production Emphasis (tekanan, titik berat) (7) Thrust (dorongan) (8) Concideration (perhatian) (Hoy dan Miskel 1987; Owens; 1991). Iklim organisasi yang kondusif merupakan keadaan dimana organisasi dan lingkungannya berada dalam kondisi aman, damai dan menyenangkan untuk bekerja. Iklim organisasi muncul dari dua sisi (1 muncul dari perilaku pemimpin dalam organisasi dan (2) muncul dari anggota organisasi terhadap organisasinya. Mengenai teori yang digunakan dalam mengembang instrumen tentang iklim organisasi adalah teori Rensis Likert yang meliputi faktor-faktor sebagai berikut (1) kualitas kepemimpinan, (2) kadar kepercayaan kepada pemimpin, (3) komunikasi keatas dan kebawah, (4) perasaan melakukan pekerjaan yang bermanfaat, (5) tanggung jawab, (6) imbalan yang adil, (7) kesempatan, (8) pengendalian struktur dan birokrasi, (9) keterlibatan pegawai, keikutsertaan. (Davis, 1985:24).
14 Robbin (2001:85) memberikan pengertian motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya dan upaya untuk mencapai kepuasan. Maslow mengajukan lima kelompok kebutuhan, yaitu kebutuhan faali (fisik), rasa aman, sosial, harga diri dan aktualisasi diri. Kebutuhankebutuhan tersebut sebagaimana diperlihatkan pada gambar 2.4
Gambar Tingkat Kebutuhan Maslow (Sumber:Munandar, 2001:327) Aldelfer berpendapat bahwa terdapat tiga kebutuhan terasa dalam memotivasi karyawan, Robbins, 2001:171) : 1) Existence (eksistensi): memberikan persyaratan eksistensi materiil dasar. 2) Relatedness (hubungan): hasrat yang kita miliki untuk memelihara hubungan antar pribadi, hasrat sosial dan status menuntut interaksi dengan orang lain. 3) Growth (pertumbuhan): suatu hasrat intrinsik untuk perkembangan pribadi. Teori higienis (motivation-hygiene theory) dikembangkan oleh ahli psikologi Frederick Herzberg. Teori ini dikenal dengan teori dua faktor, karena ada dua faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja yaitu: (1) hygiene factor dan (2) motivation factor. (Davis, 1985:73). Faktor hygiene adalah sebagai faktor pemelihara (maintenance factor), terutama berhubungan dengan kontek pekerjaan (job context) karena lebih berkaitan dengan di sekitar pekerjaa, (faktor ekstrinsik). Sedangkan motivation factor adalah faktor yang berhubungan dengan isi pekerjaan (job content) atau yang menyebabkan kepuasan dari diri sendiri (faktor intrinsik). Teori kebutuhan dikemukakan oleh David McClelland dan kawan-kawan. Teori ini membahas tiga kebutuhan: prestasi (achievment), afiliasi (pertalian), dan kekuasaan (power). (Robbins, 2001:173). Kebutuhan akan prestasi (achievment need), adalah dorongan untuk mengungguli, berprestasi sehubungan dengan seperangkat standar bergulat untuk sukses. Kebutuhan akan kekuasaan (need for power), adalah hasrat untuk mempunyai dampak pengaruh, dan mengendalikan orang lain. Individu
15 yang kebutuhannya akan kekuasaan tinggi akan senang dibebani tanggung jawab, berusaha untuk mempengaruhi orang lain, lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan menantang, cenderung berorientasi status. Kebutuhan akan afiliasi (need for affiliation) individu yang kebutuhan akan afiliasi tinggi cenderung menjalin hubungan antar pribadi yang ramah, dan akrab, lebih menyukai situasi kooperatif, sangat menginginkan hubungan yang timbal balik. Pendekatan motivasi model harapan (expectancy model) dikenal dengan teori harapan dikembangkan oleh Victor H. Vroom dikembangkan lanjut oleh Poster & Lawler. Menurut Robbins, (2002:67) pada dasarnya teori ekspektansi menyatakan bahwa kekuatan dari kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu tergantung pada kekuatan dari suatu harapan, bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil tertentu serta pada daya tarik hasil tersebut bagi individu. Teori keadilan, dikembangkan oleh Adams. Teori ini juga disebut “Teori Equity” (kewajaran), menyatakan bahwa karyawan membandingkan apa yang mereka berikan ke dalam suatu situasi kerja (input) terhadap apa yang mereka dapatkan dari pekerjaan tersebut (outcome) dan kemudian membandingkan rasio-input-outcome mereka dengan rasio input-outcome rekan kerja sejawatnya. (Robbins 2002:65). Berkaitan dengan beberapa teori motivasi yang telah dikemukakan diatas maka ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi motivasi kerja. Faktor motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik teori Herzberg seperti dikemukakan oleh Robbins, (2002:59) yaitu faktor ekstrinsik , (1) kebijakan dan administrasi, (2) supervisi, (3) hubungan dengan penyelia, (4) kondisi kerja, (5) gaji, (6) hubungan dengan rekan kerja, (7) jaminan kerja, (8) hubungan dengan bawahan, (9) status dan (10) keamanan. Faktor intrinsik, (1) prestasi, (2) pengakuan, (3) pekerjaan itu sendiri, (4) tanggung jawab, (5) kamajuan, dan (6) pertumbuhan/kemungkinan berkembang. Model konseptual dari variabel-variabel penelitian ini secara visual digambarkan sebagai berikut :
Gambar Model Konseptual dari variabel-variabel penelitian
16 METODE Penelitian ini berbentuk survei, karena informasi yang dikumpulkan dari responden mengenai variabel yang diteliti di lapangan menggunakan kuesioner. Datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili populasi. Penelitian survei adalah "penelitian yang mengambil sampel dari data populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok" (Singarimbun, 1989:3). Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan penelitian korelasional. Frankel dan Wallen (1993), mengatakan bahwa penelitian korelasional atau asosiatif adalah untuk meneliti kemungkinan hubungan antar variabel. Penelitian ini tergolong deskriptif karena peneliti hanya mengukur variabel yang ada dan tidak memanipulasi tersebut (Gay, 1987). Menurut Kerlinger (1979), penelitian dimana peneliti tidak memanipulasi variabel disebut penelitian ex post facto, artinya "dari sesudah fakta". Penelitian dilakukan sesudah perbedaan-perbedaan dalam variabel bebas itu terjadi. Penelitian ini termasuk rancangan penelitian korelasional karena ingin mencari hubungan antara satu variabel dengan variabel yang lain. Dalam penelitian ini yang akan dicari adalah hubungan antara variabel perilaku pemimpin (X1), iklim organisasi (X2), dan motivasi kerja (X3) sebagai variabel bebas dengan kepuasan kerja (Y) sebagai variabel terikat. Paradigma hubungan antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y) dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar Paradigma ganda tiga variabel independen X1, X2, X3, dan satu variabel dependen Y. Berdasarkan populasi maka teknik sampling yang digunakan adalah Proportionate Stratified Random Sampling. (Margono (2005:128) menyatakan sampel proporsional, menunjukkan kepada perbandingan perwakilan sampel dari beberapa sub populasi yang tidak sama jumlahnya sedangkan Sugiono (2006:58) mengatakan teknik ini digunakan bila populasi mempunyai anggota / unsur yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional. Suatu organisasi yang mempunyai pegawai dari latar belakang pendidikan, maka populasi pegawai itu berstrata. Teknik proporsional digunakan untuk pengambilan sampel secara proporsional dari bagian dan sub bagian kerja pegawai. Selanjutnya teknik random sampling digunakan untuk menentukan identitas pegawai dari masing-masing bagian kerja yang telah ditentukan. Sampel dipilih secara acak dengan cara undian. Penetapan jumlah sampel dalam penelitian ini menggunakan tabel yang dikemukakan "Krejcie", dimana perhitungan ukuran sampel didasarkan atas kesalahan 5% dan memiliki taraf kepercayaan 95% terhadap populasi (Sugiyono, 2006:62). Dalam tabel Krejcie, ditunjukkan jumlah N = (populasi) 180, maka S =
17 (sampel) 123. Jumlah populasi dalam penelitian ini 182, sampel yang diperoleh 123,99 maka ditetapkan menjadi 124 responden. Tabel Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian Bagian Kerja
1
Bagian Perencanaan dan Sistem Informasi
Perencanaan dan Sistem Informasi
2
Pendidikan dan Kerjasama
21
3
Bagian Kemahasiswaan
4
Bagian Kepegawaian
Pendidikan dan Evaluasi, Registrasi & Statatistik, Sarana Akademik, Kerjasama Pelayanan Kesra Mahasiswa, Minat Penalaran, Informasi Kemahasiswaan (MPIK) Tenaga Edukatif, Tenaga Administratif
5
Bagian Keuangan
24
6
Umum, Hukum Tatalaksana dan Perlengkapan
Anggaran Rutin, Dana Masyarakat DPP / SPPP Monitoring & Evaluasi Tata Usaha, Hukum Tata Laksana, Perlengkapan dan Rumah Tangga
Jumlah
Sub Bagian Kerja
Jumlah Populasi 15
No
Perhitungan Sampel
⎛ 15 ⎞ ⎜ ⎟ x 124 = 10,22 ⎝ 182 ⎠ ⎛ 21 ⎞ ⎜ ⎟ x 124 = 14,30 ⎝ 182 ⎠
Jumlah Sampel 10
14
15
⎛ 15 ⎞ ⎜ ⎟ x 124 = 10,22 ⎝ 182 ⎠
10
16
⎛ 16 ⎞ ⎜ ⎟ x 124 = 10,90 ⎝ 182 ⎠ ⎛ 24 ⎞ ⎜ ⎟ x 124 = 16,35 ⎝ 182 ⎠
11
91
⎛ 91 ⎞ ⎜ ⎟ x 124 = 62 ⎝ 182 ⎠
62
182
123,99
124
17
Sumber data : Bagian Kepegawaian Kantor Pusat Universitas Mataram Tahun 2007 / 2008 Dari tabel Krejcie didapat sampel sebanyak 123,99 yang dibulatkan menjadi 124 pegawai. Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah kuesioner (angket). Kuisioner suatu alat pengumpulan informasi dengan cara menyampaikan sejumlah pertanyaan tertulis untuk dijawab secara tertulis pula oleh responden. Margono, 2005:167). Jenis angket dalam penelitian ini adalah angket tertutup yaitu item pertanyaan dan pernyataan pada angket telah disediakan kemungkinan jawabannya, sehingga respoden tinggal memilih jawaban yang dinyatakan paling sesuai mengenai diri respoden itu sendiri. Dalam penelitian ini instrumen penelitian disusun dan dikembangkan dalam bentuk angket/ kuisioner. Pernyataan-pernyataan dirumuskan dari variabel, sub variabel dan indikator. Selanjutnya dari indikator disusun sendiri oleh peneliti untuk dikembangkan menjadi beberapa item pernyataan/ pertanyaan. Sebelum digunakan untuk mengumpulkan data, instrumen yang sudah disusun diuji coba terlebih dahulu. Uji coba dilakukan agar instrumen dapat mengukur data secara valid dan reliabel. Singarimbun dan Effendi (1989:122) mengatakan validitas menunjukkan sejauh mana suatu alat pengukur itu
18 mengukur apa yang ingin diukur. Reliabilitas menunjukkan sejauh mana suatu hasil pengukuran relatif konsisten apabila pengukuran diulang dua kali atau lebih. Untuk menguji tingkat validitas butir soal angket digunakan teknik korelasi product moment dari pearson. Pengujian validitas butir soal angket tersebut menggunakan bantuan komputer dengan program analisis Statistical Product Solution Service (SPSS) for window Versi 12. Hasil uji coba validitas instrumen variabel perilaku pemimpin dinyatakan valid 26 butir dari 32 butir, variabel iklim organisasi yang valid 27 butir dari 30 butir, variabel motivasi kerja valid 35 butir dari 40 butir dan variabel kepuasan kerja pegawai dinyatakan valid 28 butir dari 32 butir. Jadi jumlah keseluruhan butir pernyataan yang valid 116 butir dan 18 butir tidak valid dari 134 butir pernyataan. Untuk menguji reliabilitas instrumen menggunakan rumus "koefisien alpha (α) dari Cronbach. 2 ⎛ k ⎞⎛⎜ Σσ b ⎞⎟ r11 = ⎜ ⎟⎜1 − 2 ⎟ σt ⎠ ⎝ k − 1 ⎠⎝ Keterangan : r11 = reliabilitas instrumen K = banyak butir pertanyaan σ t2 = varian total
Σσ b2 = jumlah varian butir Kriteria koefisien reliabilitas menurut Gay (1987) instrumen dinyatakan reliabel jika memiliki nilai koefisien 0,70. Berdasarkan hasil uji coba instrumen terhadap 30 responden untuk variabel perilaku pemimpin (X1) menghasilkan taraf reliabilitas sebesar 0,889, variabel iklim organisasi (X2) sebesar 0,734, sedangkan variabel motivasi kerja (X3) sebesar 0,735 dan variabel kepuasan kerja (Y) sebesar 0,900. Berdasarkan hasil tersebut seluruh nilai alpha varibael penelitian berada pada nilai lebih dari 0,70 koefisien tinggi dengan demikian dapat dikatakan bahwa seluruh variabel penelitian memiliki kategori sebagai data yang reliabel dan dapat dilakukan langkah analisis selanjutnya. Dalam pengumpulan data yang akurat dibutuhkan instrumen yang valid dan reliabel. Untuk itu data dalam penelitian ini dikumpulkan menggunakan kuesioner atau angket yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Sebelum pengumpulan data, dilakukan lebih terdahulu mengurus surat ijin penelitian di PPS Universitas Negeri Malang. Berdasarkan surat ijin dari PPS Universitas Negeri Malang Nomor 2656/432.9/PL/2007 yang disampaikan kepada rektor Universitas Mataram, untuk mendapatkan ijin penelitian. Data yang diperoleh dianalisa dengan menggunakan analisa statistik deskriptif. Analisa ini digunakan untuk mendeskripsikan data perilaku pemimpin, iklim organisasi, motivasi kerja, dan kepuasan kerja pegawai dalam bentuk diskripsi frekuensi. Penyajian data digunakan tabel distribusi frekuensi yang terdiri dari mean (skor rata-rata), skor maksimal Selain itu data disajikan melalui distribusi frekuensi relatif yang dinyatakan dalam prosen (%). Sugiyono (2006 :32) mengatakan penyajian data yang merubah frekuensi menjadi prosen, dinamakan tabel distribusi frekuensi relatif.
19 Untuk menguji normalitas data dalam penelitian ini digunakan teknik normalitas data dengan “chi kuadrad (X2)” dilakukan dengan cara membandingkan hasil analisis data yang telah terkumpul dengan standard baku. Bila hasil uji chi kuadrad hitung lebih kecil dari harga chi kuadrad tabel, maka distribusi data dapat dinyatakan berdistribusi normal. Pengujian normalitas data dibantu dengan menggunakan komputer program SPSS 12 for windows. Uji liniearitas digunakan apakah terjadi multikolinieritas antara variabel bebas dan variabel terikat atau tidak terjadi. Dengan kata lain apakah terdapat perbedaan antara prediksi dengan garis regresi. Untuk uji ini digunakan "varians inflatif factor" (VIF). Bila nilai VIF lebih kecil dari 5 (lima) tidak terjadi multikolinieritas atau non multikolinieritas (Santoso, 1999). Untuk menguji hipotesa penelitian digunakan analisa statistik inferensial, yaitu dimaksudkan untuk mengetahui besarnya pengaruh dari masing-masing variabel. Menguji Pengaruh Variabel Bebas Bersama-sama Terhadap Variabel Terikat Untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan kausal antara tiga variabel X1, X2, X3 dengan variabel terikat Y digunakan korelasi ganda dengan rumus : b .ΣΧ1Y + b 2 .ΣΧ 2 Y + b 3 .ΣΧ 3 Y RY (1,2,3) = 1 ΣY 2 Dimana : RX1X2X3Y = Koefisien korelasi antara X1X2X3 dengan Y b1 = koefisien prediktor X1 b2 = koefisien prediktor X2 b3 = koefisien prediktor X3 ΣX3Y = Jumlah produk X3 dengan Y 2 ΣY = Jumlah kuadrat kriterium Y
Uji persamaan regresi digunakan mencari persamaan antara variabel perilaku pemimpin (X1) variabel iklim organisasi (X2), variabel motivasi kerja (X3) dengan variabel kepuasan kerja pegawai (Y), digunakan rumus regresi dengan tiga prediktor dengan rumus : Y = a + b1X1 + b2X2+ b3X3 + K Dimana : Y = nilai kriterium Y (Variabel terikat yang diproyeksikan) a = koefisien prediktor X (Nilai konstanta harga Y jika X = 0) b = Nilai arah sebagai penentu ramalan (prediksi) yang menunjukkan nilai peningkatan (+) atau penurunan (-) variabel Y X = Nilai variabel X ( Variabel bebas yang mempunyai nilai tertentu untuk diprediksikan) Untuk menguji signifikansi dengan membandingkan Fhitung dengan Ftabel dengan rumus :
20 R 2 /K (1 − R 2 )/(n − K − 1) Semua hasil perhitungan analisis data akan diolah melalui bantuan komputer program Statistical Product and Service Solutions (SPSS) 12 for windows. HASIL Hasil analisis data dapat di deskripsikan kelas interval, frekwensi, dan persentase perilaku kepemimpinan (X1), iklim organisasi (X2), motivasi kerja (X3), dan kepuasan kerja (Y), pegawai pada Kantor Pusat Universitas Mataram. Deskripsi data variabel penelitiandi sampaikan sebagai berikut : 1. Deskripsi Kelas Interval, Frekwensi, Persentase Variabel Perilaku Kepemimpinan (X1) Variabel perilaku kepemimpinan diukur berdasarkan 32 item instrumen. Hasil analisa data terhadap variabel tersebut menunjukkan nilai rata-rata 134,10, standart deviation (simpangan baku) 11,203, kemungkinan jawaban (skor maksimum) 5 x 32 = 160, skor minimum 1 x 3 = 32 dan lebar kelas interval 26, selanjutnya data angket yang berupa skor total dari setiap responden di analisis menggunakan rumus persentase. Tabel menunjukkan hasil analisis persentase (%) berdasarkan frekwensi (f) skor perilaku kepemimpinan (X1). Tabel Kelas Interval, Frekwensi, Persentase Perilaku Kepemimpinan (X1) Kelas interval Frekwensi Persentase Keterangan Sangat setuju 48,4 % 60 135 – 160 Setuju 50 % 62 109 – 134 Ragu-ragu 1,6 % 2 83 – 108 Tidak setuju 0% 0 57 – 82 Sangat tidak setuju 0% 0 31 – 56 JUMLAH 124 100 %
Fh =
Tabel menunjukkan dari 124 responden yang berada dalam interval skor 135 sampai dengan 160 sebanyak 60 responden (48,4 %) memberikan jawaban sangat setuju, interval skor 109 sampai dengan 134 sebanyak 62 responden (50,0 %) memberikan jawaban setuju, interval skor 83 sampai dengan 108 sebanyak 2 responden (1,6 %) memberikan jawaban ragu-ragu, interval skor 57 sampai dengan 82 dan skor interval 31 sampai dengan 56 sebanyak nol persen (0 %) memberikan jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju. Nilai persentase terbesar yang di peroleh dari variabel perilaku kepemimpinan adalah 50,0 % (setuju). Hal ini berarti perilaku kepemimpinan di Kantor Pusat Universitas Mataram dominan setuju atau arahnya positif. 2. Deskripsi Kelas Interval, Frekwensi, Persentase Iklim Organisasi (X2) Variabel iklim organisasi di ukur berdasarkan 30 item instrumen, hasil analisa data terhadap variabel tersebut menunjukkan nilai rata-rata 119,56 standart deviation (simpangan baku) sebesar 11.631, kemungkinan jawaban (skor maksimum) 5 x 30 = 150, kemungkinan skor minimum 1 x 30 = 30 dan lebar kelas interval 24. Selanjutnya data angket yang berupa skor total dari setiap responden di analisis mengunakan rumus persentase. Tabel menunjukkan hasil analisis persentase (%) berdasarkan frekwensi (f) skor iklim organisasi (X2). Tabel Kelas Interval, Frekwensi, Persentase
21 Kelas interval 127 – 150 103 – 126 79 – 102 55 – 78 31 – 54 JUMLAH
Iklim Organisasi (X2) Frekwensi Persentase 27,4 % 37 62,9 % 78 9,7 % 12 0% 0 0% 0 124 100 %
Keterangan Sangat setuju Setuju Ragu-ragu Tidak setuju Sangat tidak setuju
Tabel menunjukkan dari 124 responden yang berada dalam interval 127 sampai dengan 150 sebanyak 34 responden (27,4 %) memberikan jawaban sangat setuju, interval skor 103 sampai dengan 126 sebanyak 78 responden (62,9 %) memberikan jawaban setuju, interval skor 79 sampai dengan 102 sebanyak 12 responden (9,7 %) memberikan jawaban ragu-ragu. Interval 55 sampai dengan 78 dan interval 31 sampai dengan 54 responden memberikan jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju (0 %). Nilai persentase terbesar yang di peroleh dari variabel iklim organisasi adalah 62,9 % (setuju). Hal ini berarti iklim organisasi di Kantor Pusat Universitas Mataram dominan setuju, atau iklim organisasi baik. 3. Deskripsi Kelas Interval, Frekwensi, Persentase Motivasi Kerja (X3) Variabel motivasi kerja di ukur berdasarkan 40 item instrumen. Hasil analisa data terhadap variabel tersebut menunjukkan nilai rata-rata 163,10, standar deviation (simpangan baku) sebesar 14,606, kemungkinan jawaban skor maksimum 5 x 40 = 200, skor minimum 1 x 40 = 40 dan kelas interval 32. Selanjutnya data angket yang berupa skor total dari tiap responden di analisis menggunakan rumus persentase. Tabel menunjukkan hasil persentase (%) berdasarkan frekwensi (Y) skor motivasi kerja (X3). Tabel Kelas Interval, Frekwensi, Persentase Motivasi Kerja (X3) Persentase Kelas interval Frekwensi Keterangan Sangat setuju 37,9 % 47 169 – 200 Setuju 58,1 % 72 137 – 168 4% Ragu-ragu 5 105 – 136 0% Tidak setuju 0 73 – 104 0% Sangat tidak setuju 0 40 – 72 JUMLAH 124 100 %
Tabel menunjukkan dari 124 responden yang berada dalam interval skor 169 sampai dengan 200 seba sebanyak 47 responden (37,9 %) memberikanm jawaban sangat setuju), interval skor 137 sampai dengan 168 sebanyak 72 responden (58,1 %) memberikan jawaban setuju, interval skor 105 sampai 136 sebanyak 5 responden (4%) memberikan jawaban ragu-ragu, skor interval 73 sampai 104 dan interval skor 40 sampai 72 sebanyak nol persen (0 %) memberikan jawaban tidak setuju dan sangat tidak setuju. Nilai persentase terbesar yang di peroleh dari variabel motivasi kerja adalah 58,1 % (setuju), hal ini berarti motivasi kerja di Kantor Pusat Universitas Mataram dominan setuju atau motivasi kuat.
22 4. Deskripsi Kelas Interval, Frekwensi, Persentase Kepuasan Kerja (Y) Variabel kepuasan kerja di ukur berdasarkan 32 item instrumen. Hasil analisa data terhadap variabel tersebut menunjukkan nilai rata-rata 130,62. standart deviation (simpangan baku) sebesar 11,371, kemungkinan jawaban skor maksimum 5 x 32 = 160, skor minimum 1 x 32 = 32 dan lebar interval 26. selanjutnya data angket yang berupa skor total dari setiap responden dianalisis menggunakan rumus presentase. Tabel menunjukkan hasil presentase (%) berdasarkan frekwensi (f) skor kepuasan kerja (Y). Tabel Kelas Interval, Frekwensi, Persentase Kepuasan Kerja (Y) Persentase Kelas interval Frekwensi Keterangan Sangat setuju 34,7 % 43 135 – 160 Setuju 61,3 % 76 109 – 134 4% Ragu-ragu 5 83 – 108 0% Tidak setuju 0 72 – 82 0% Sangat tidak setuju 0 31 – 56 JUMLAH 124 100 %
Tabel menunjukkan dari 124 responden yang berada dalam interval skor 135 sampai dengan 160 sebanyak 43 responden (34,7 %) memberikan jawaban sangat setuju, interval skor 109 sampai dengan 134 sebanyak 76 responden (61,3 %) memberikan jawaban setuju, interval skor 83 sampai dengan 108 sebanyak 5 responden (4,0 %) memberikan jawaban ragu-ragu, skor interval 72 sampai dengan 82 dan skor interval 31 sampai dengan 56 sebanyak nol persen (0 %). Untuk menguji hipotesis penelitian ini digunakan analisa inferensial. Analisis statistik inferensiaadalah statistik yang digunakan untuk menganalisis data sampel, dan hasilnya akan di generalisasikan (di inferensikan) untuk populasi di mana sampel diambil (Sugiyono 2004:14). Dan statistik inferensial yang digunakan adalah statistik parametris. Selanjutnya Sugiyono (2004:14) mengatakan statistik parametris terutama digunakan untuk menganalisis data interval atau rasio, yang diambil dari populasi yang berdistribusi normal. Formula yang digunakan adalah rumus korelasi yaitu korelasi parsial dan korelasi product moment dari pearson. Sugiyono (2006:220) mengatakan korelasi parsial digunakan untuk menganalisis bila peneliti bermaksud mengetahui pengaruh atau mengetahui hubungan antara variabel independen dibuat tetap / dikendalikan. Sedangkan product moment digunakan untuk mencari hubungan dan membuktikan hipotesis hubungan dua variabel bila data kedua variabel berbentuk interval atau rasio, dan sumber data dari dua variabel atau lebih adalah sama. (Sugiyono. 2006:212). Tabel Ringkasan Hasil Analisis Korelasi Parsial Koefisien Korelasi = p No. Hubungan R hitung Sig 2 tailed 1. Hubungan X1 dengan Y 0,328 0,000 menyisihkan X2 2. Hubungan X1 dengan Y 0,225 0,012 menyisihkan X3
Keterangan
Ho di tolak (rejected) Ho di tolak (rejected)
23 No.
Hubungan
3.
Hubungan X2 dengan Y menyisihkan X1 Hubungan X2 dengan Y menyisihkan X3 Hubungan X3 dengan Y menyisihkan X1 Hubungan X3 dengan Y menyisihkan X2 Hubungan X1 dengan Y menyisihkan X2 dan X3 Hubungan X2 dengan Y menyisihkan X1 dan X3 Hubungan X3 dengan Y menyisihkan X1 dan X2
4. 5. 6. 7. 8. 9.
Koefisien Korelasi = p R hitung Sig 2 tailed 0,493 0,000
0,292
0,001
0,625
0,000
0,555
0,000
0,151
0,095
0,242
0,007
0,493
0,000
Keterangan
Ho di tolak (rejected) Ho di tolak (rejected) Ho di tolak (rejected) Ho di tolak (rejected) Ho tak ditolak / di terima (not rejected) Ho di tolak (rejected) Ho di tolak (rejected)
Tabel Ringkasan Hasil Analisis Product Moment Dari Pearson Koefisien Korelasi = p No. Hubungan Keterangan R hitung Sig 2 tailed 1. Hubungan X1 dengan Y 0,626** 0,000 Ho di tolak (rejected) 2. Hubungan X2 dengan Y 0,695** 0,000 Ho di tolak (rejected) 3. Hubungan X3 dengan Y 0,718** 0,000 Ho di tolak (rejected) 4. Hubungan X1, X2, dan 0,796** 0,000 Ho di tolak (rejected) X3 dengan Y
1. Uji Hipotesis Hubungan Perilaku Kepemimpinan (X1) Dengan Kepuasan Kerja Pegawai (Y) Hipotesis pada rumusan masalah pertama yang diajukan berbunyi terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan (X1) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Univrsitas Mataram. Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial antara X1 denganY menyisihkan X2 mendapatkan r hitung 0,328 dengan sig 2 tailed 0,000. Hubungan antara X1 dengan Y menyisihkan X3 mendapatkan r hitung 0,225 dengan sig 2 tailed 0,012.Hubungan antara X1 dengan Y menyisihkan X2 dan X3 mendapatkan r hitung 0,151 dengan sig 2 tailed 0,095. bila dianalisis dengan Product Moment dari Pearson hubungan antara X1 dengan Y mendapatkan r hitung 0,626** dengan sig 2 tailed 0,000. Berdasarkan hasil analisis di atas, hubungan X1 dengan Y baik menggunakan analisis korelasi parsial maupun product moment semuanya mendapatkan signifikansi kurang dari 0,05, kecuali hubungan antara X1 dengan Y menyisihkan X2 dan X3 > 0,05. jika sig 2 tailed < 0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan (X1) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram. Tetapi dengan analisis parsial hubungan antara X1 dengan Y menyisihkan X2 dan X3 > 0,05, maka Ho tak ditolak / diterima yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan (X1) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram.
24 2. Uji Hipotesis Hubungan Iklim Organisasi (X2) Dengan Kepuasan Kerja Pegawai (Y) Hipotesis pada rumusan masalah kedua yang diajukan berbunyi terdapat hubungan yang signifikan antara iklim organisasi (X2) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram. Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial antara X2 dengan Y menyisihkan X1 mendapatkan r hitung 0,493 dengan sig 2 tailed 0,000. hubungan antara X2 dengan Y menyisihkan X3 mendapatkan r hitung 0,292 dengan sig 2 tailed 0,001. Hubungan antara X2 dengan Y menyisihkan X1 dan X3 mendapatkan r hitung 0,242 dengan sig 2 tailed 0,007. bila dianalisis dengan Product Moment daru Pearson hubungan antara X2 dengan U mendapatkan r hitung 0,695** dengan sig 2 tailed 0,000. Berdasarkan hasil analisis diatas, hubungan X2 dengan Y baik menggunakan analisis korelasi parsial maupun Product Moment semuanya mendapatkan signifikansi kurang dari 0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara iklim organisasi (X2) dengan kepuasan kerja pegwai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram. 3. Uji Hipotesis Hubungan Motivasi Kerja (X3) dengan Kepuasan kerja Pegawai (Y) Hipotesis pada rumusan masalah ketiga yang diajukan berbunyi terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi kerja (X3) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram. Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial antara X3 dengan Y menyisihkan X1 mendapatkanh r hitung 0,625 dengan sig 2 tailed 0,000. hubungan antara X3 dengan Y menyisihkan X2 mendapatkan r hitung 0,555 dengan sig 2 tailed 0,000. Hubungan antara X3 dengan Y menyisihkan X1 dan X2 mendapatkan r hitung 0,493 dengan sig 2 tailed 0,000. bila dianalisis dengan Product Moment dari Pearson hubungan antara X3 dengan Y mendapatkan r hitung 0,781** dengan sig 2 tailed 0,000. Berdasarkan hasil analisis di atas, hubungan X3 dengan Y baik menggunakan analisis korelasi parsial maupun Product Moment semuanya mendapatkan signifikansi 0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara motivasi kerja (X3) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram. 4. Uji Hipotesis Hubungan Variabel Bebas Secara Simultan (Serentak) Perilaku Kepemimpinan (X1), Iklim organisasi (X2), Motivasi kerja (X3) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Hipotesis pada rumusan masalah ke empat yang diajukan berbunyi terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan (X1), Iklim organisasi (X2), Motivasi kerja (X3) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram. Berdasarkan hasil analisis Product Moment dari Pearson hubungan antara X1, X2, X3 dengan Y mendapatkan r hitung 0,796** dengan sig 2 tiled 0,000. Berdasarkan hasil analisis di atas, hubungan X1, X2, X3 dengan Y mendapatkan signifikan kurang dari 0,05, maka Ho ditolak yang berarti ada hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan (X1) Iklim organisasi (X2), Motivasi kerja (X3) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram.
25 Dari hasil analisis data regresi dengan menggunakan metode enter, didapat R Square 0,651. hal ini brarti sebesar 65,1 % variabel kepuasan kerja pegawai (Y) dijelaskan oleh perilaku kepemimpinan (X1), Iklim Organisasi (X2), motivasi kerja (X3). Sisanya sebesar 100% - 65,1% = 34,9% dipengaruhi oleh variabel lain. Hasil analisis regresi dengan metode enter pada Anova, variabel X1, X2, X3 dengan Y, menghasilkan F sebesar 74,619 dengan signifikansi sebesar 0,000. hal ini berarti X1, X2, X3 brpengaruh (dapat digunakan untuk memprediksi) variabel Y. Uji persamaan regresi digunakan untuk mencari persamaan antara variabel perilaku kepemimpinan (X1), iklim organisasi (X2), motvasi kerja (X3) dengan variabel kepuasan kerja pegawai (Y). Hasil regresi dengan metode enterdidapat nilai constant (α) sebesar = 10,140, variabel X1 = 0,132, variabel X2 = 0,226, dan variabel X3 = 0,427. hasil persamaan regresi Y = 10,140 + 0,132 X1 + 0,226 X2 + 0,427 X3. Nilai uji t untuk variabel X1 = 1,678 dengan signifikan 0,096, variabel X2 = 2,734 dengan signifikan 0,007, variabel X3 = 6,204 dengan signifikan 0,000. Untuk uji t pada variabel X1 dengan signifikan 0,096 > 0,05, dapat diartikan tidak ada hubungan antara perilaku kepemimpinan (X1) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram, Variabel X2 dengan signifikan 0,007 < 0,05, dapat diartikan ada hubungan antara iklim organisasi (X2) denga kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram. Variabel X3 dengan signifikan 0,0000 < 0,05 dapat diartikan ada hubungan antara motivasi kerja (X3) dengan kepuasan kerja pegawai (Y) Kantor Pusat Universitas Mataram. PEMBAHASAN A. Perilaku Kepemimpinan Berhubungan Secara Signifikan Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai. Artinya kepuasan kerja pegawai sangat dipengaruhi oleh perilaku kepemimpinan pemimpin, dan analisa dengan korelasi parsial variabel perilaku kepemimpinan terhadap kepuasan kerja menyisihkan variabel iklim organisasi menunjukkan nilai signifikan, demikian juga perilaku kepemimpinan terhadap kepuasan kerja menyisihkan variabel motivasi kerja menunjukkan nilai signifikan, kecuali perilaku kepemimpinan terhadap kepuasan kerja menyisihkan iklim organisasi dan motivasi menunjukkan nilai nonsignifikan, artinya tidak terdapat pengaruh atau hubungan antara perilaku kepemimpinan terhadap kepuasan kerja pegawai. Hasil ini memerlukan pembahasan lebih lanjut. Wahjosumidjo, (2007:42) mengatakan ada empart tugas penting seorang pemimpin, (1) merumuskan misi dan peranan organisasi, (perencanaan, sasaran dan tujuan), (2) menciptakan kebijaksanaan ke dalam tatanan atau keputusan terhadap sasaran untuk mencapai tujuan yang direncanakan, (3) mempertahankan keutuhuan organisasi, dengan menciptakan kondisi yang baik dan mengajak para bawahan mengikuti keputusan agar dapat dilaksanakan (4) mengendalikan konflik internal yang terjadi dalam organisasi. Berdasarkan konsep diatas pada intinya sebagai pemimpin yang mempengaruhi bawahan dan sebagai manajer yang merencanakan dan mengkordinasikan.
26 Formulasi tersebut di atas telah banyak dilakukan penelitian melalui deskriptif maupun eksperimen oleh para ahli seperti Halpin (1971), Hoy dan Miskel (1987), Misumi (1985). Secara umum mendukung hipotesis adanya hubungan perilaku kepemipinan terhadap kepuasan kerja pegawai. Berikut ini dapat dikemukakan hasil studi tersebut. Halpin (1971) menyatakan bahwa kepemimpinan yang memiliki perilaku tinggi, baik pada dimensi perilaku kepemimpinan inisiasi terstruktur maupun konsederasi akan dapat meningkatkan keefektifan kerja bawahan. Perilaku kepemimpinan akan mempengaruhi semangat kerja kelompok, (Gordon, 1990). Temuan ini diperkuat oleh Hoy dan Miskel (1987) yang menjelaskan bahwa perilaku yang berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan manusia akan mempengaruhi semangat kerja stafnya. Dengan demikian terbukti bahwa perilaku kepemimpinan adalah salah satu pola perilaku yang berfungsimemberikan pengaruh terhadap perilaku pegawai dalam melaksanakan tugas mereka, juga tanpa terkecuali dapat memberikan kepuasan. Kepemimpinan yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu menumbuhkan kerjasama dan memelihara iklim kerja yang kondusif dalam kehidupan organisasi, dapat memberikan motivasi kepada pegawai sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Sejalan dengan itu, Bass; Fisher dan Edwards dalam Yukl (1998:99) mengatakan adalah lebih memuaskan untuk bekerja dengan seseorang yang ramah, mau bekerja, dan mendukung daripada dengan seseorang yang dingin atau bersikap bermusuhan dan tidak mau bekerja sama. Perilaku kepemimpinan tidak selalu efektif dapat memberikan kepuasan, seperti dalam penelitian ini hasil uji hipotesis dengan statistik product moment dan parsial hubungan positif. Namun hasil analisis korelasi parsial menyisihkan variabel iklim organisasi dan motivasi kerja pegawai menunjukkan hubungan yang negatif tidak ada hubungan padahal distribusi data normal dan instrumen penelitian valid serta reliabel. Menurut Yukl (1998:5) sebuah korelasi negatif berarti bahwa terjadi banyak tukar-menukar (trade off’s) diantara kriteria-krirteria, sedemikian rupa sehingga jika satu bertambah, yang lain akan berkurang. Dari pendapat tersebut memberikan penafsiranbahwa berkurangnya iklim organisasi dan motivasi cenderung kepuasan kerja menurun atau berkurang, yang dimungkinkan sebagai akibat dari berbagai variabel dan indikator penyebab sehingga unsur-unsur tersebut tidak dapat berfungsi terhadap unsur yang lain. Perilaku kepemimpinan merupakan variabel kausal (penyebab), harapan dan valensi akan menentukan motivasi dan usaha pegawai menyelesaikan suatu tugas. Hal ini sangat dipengaruhi aspek iklim organisasi, karakteristik, tugas dan karakteristik pegawai. Temuan ini didukung hasil studi Bass; Keer, dan Schriesheim dalam Yukl (1998:46) menyatakan, beratus-ratus studi telah dilakukan terhadap efek dari consideration dan initiating structur. Namun hasil bagi kebanyakan kriteria tidaklah konsisten dan tidak konklusif. Lebih lanjut dinyatakan pada beberapa studi, para bawahan lebih puas dan bekerja lebih baik dengan seorang pemimpin yang structuring, sedangkan pada pola studi-studi yang lainnya, hubungan yang kebalikan atau hubungan yang nyata tidak diketemukan penemuan-penemuan
27 tersebut juga tidak konsisten mengenai hubungan antara consideration dan kriteria kinerja. Berdasarkan teori dan temuan dari pada pakar yang telah dikemukakan di atas memberikan kesimpulan bahwa perilaku kepemimpian memberikan pengaruh positif (berarti) namun juga negatif. Pengaruh positif atau negatif dikarenakan berbagai variabel dan indikator penyebab. Faktor penyebab muncul dari keterbatasan koesioner tentang perilaku kepemimpinan atau dari responden yang mengisi angket. B. Iklim Organisasi Berhubungan Secara Signifikan Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Berdasarkan hasil uji hipotesis ditemukan terdapat hubungan antara iklim organisasi secara signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai di kantor pusat universitas mataram. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Davis (1985:23) bahwa iklim organisasi dapat mempengaruhi hal itu dengan membentuk harapan pegawai tentang konsekwensi yang akan timbul dari berbagai tindakan. Para pegawai mengharapkan imbalan, kepuasan, frustasi atas dasar persepsi mereka terhadap iklim organisasi. Dapat diartikan harapan pegawai terutama adalah perilaku organisasi yang dapat membentuk iklim yang kondusif, menyenangkan dan terencana dengan baik. Perilaku tersebut berupa kebijakan, peraturan dan pola-pola kepemimpinan sebagai unsur membentuk iklim organisasi. Secara psikologis seseorang dalam hal ini pegawai mereka melakukan aktivitas dikarenakan adanya suatu dorongan (motivasi) untuk memenuhi kebutuhan baik kebutuhan phisik maupun psikis. Siswanto (1997:179) mengatakan bahwa motivasi merupakan suatu proses psikologis yang mencerminkan antar sikap, kebutuhan persepsi, dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang. Tidak kalah pentingnya pemenuhan kebutuhan rasa selalu diperhatikan, dihargai, dipuji dari pemimpin akan dapat meningkatkan kinerja pegawai untuk mencapai prestasi yang memuaskan. Pegawai akan merasa senang bekerja atas dasar kemampuan mereka dan pengontrolan yang tidak kaku dari organisasi. Semua itu dapat dipersepsikan oleh pegawai suatu iklim yang menyenangkan, atau tidak menyenangkan dan pada akhirnya akan membentuk suatu sikap bagi pegawai. Sikap positif akan mendorong pegawai bekerja lebih efektif untuk mewujudkan prestasi dan menimbulkan kepuasan. Tetapi sebaliknya jika diabaikan, tidak mendapat perhatian dari organisasi akan membentuk persepsi negatif tidak menyenangkan. Hal ini akan menimbulkan kekecewaan dan tidak puas. Luthan (1995:130) menyatakan kurangnya perhatian pada pegawai akan menyebabkan pegawai tidak puas. Ketidak puasan sering ditimbulkan dalam bentuk unjuk rasa, sering tidak masuk kantor, enggan mempelajari job desripsi, motivasi rendah, cepat lelah dan bosan, tidak perduli dengan lingkungan. Unsur-unsur yang menyenangkan akan dapat tercapai dari pola kepemimpinan yang menyenangkan melalui iklim organisasi terbuka. Halpin sebagaimana dirujuk Hoy dan Miskel (1987) mengklasifikasikan iklim organisasi menjadi dua, yaitu “Open Climate dan Close Climate” yang merupakan kontinum dari yang terbuka sampai pada yang tertutup.
28 Dari klasifikasi itu maka iklim organisasi yang menyenangkan adalah iklim terbuka model kepemimpinan suportif, artinya melalui kepemimpinan berusaha menciptakan iklim yang memberikan dorongan yang berorientasi prestasi kerja, dan secara psikologis perasaan keikutsertaan dalam organisasi karena termotivasi kebutuhan akan status dan pengakuan dapat terpenuhi dengan baik. Dengan demikian, mereka memiliki kesadaran untuk bekerja. Miner (1988) mengatakan bahwa manajer yang bekerja pada iklim organisasi terbuka menunjukkan pekerjaan yang lebih baik dari pada manajer yang bekerja dalam iklim organisasi tertutup. Begitu juga Hoy dan Miskel (1987) mengatakan organisasi yang memiliki situasi kerja dengan iklim terbuka menunjukkan tingkat kepercayaan dan fleksibilitas lebih tinggi daripada yang menggunakan iklim tertutup. Dengan demikian dukungan teori dan membahas tersebut menunjukkan bahwa iklim organisasi mempunyai pengaruh atau sangat berhubungan dengan kepuasan kerja pegawai. Dukungan tersebut diberikan dari hasil penelitian terdahulu seperti hasil penelitian Owen (1991) menunjukkan bahwa ada korelasi yang tinggi antara kondisi kerja yang baik (yang secara khas disebut iklim organisasi) dengan tingkat kinerja. Bahwa iklim organisasi yang kondusif akan berdampak pada kepuasan kerja pegawai. Hasil penelitian Soetopo (2001) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara iklim organisasi dan keefektifanya organisasi. Berdasarkan hasil penelitian pada Kantor Pusat Universitas Mataram diperoleh bahwa cukup kondusifnya iklim yang dirasakan para pegawai melalui unsur-unsur yang menyenangkan dengan model iklim organisasi terbuka akan memingkatkan kepuasan kerja pegawai. C. Motivasi Kerja Pegawai Berhubungan Secara Signifikan Terhadap Kepuasan Kerja Pegawai Ditemukan kuatnya hubungan atau pengaruh motivasi kerja pegawai dan signifikan terhadap kepuasan kerja pegawai di Kantor Pusat Universitas Mataram. Hal ini sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Gibson (1996:185) motivasi adalah dorongan-dorongan yang timbul pada atau di dalam seseorang individu yang menggerakkan dan mengarahkan perilaku. Motivasi kata dasarnya moti (motive) yang berarti dorongan, sebab alasan seseorang melakukan sesuatu. Robbins (2001:85) motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerjasama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan segala daya upaya untuk mencapai kepuasan. Berdasarkan ketiga pendapat tersebut dapat diambil suatu pengertian sebagai kata kunci yaitu motive (kehendak, dorongan), motivasi (kondisi yang menyebabkan kehendak, dorongan), atau sesuatu yang menyebabkan timbulnya motif, dan kebutuhan (keinginan terhadap sesuatu). Setiap orang atau pegawai memiliki keinginan untuk memenuhi kebutuhan yang dikehendaki. Perilaku yang muncul berupa tindakan dari seseorang di dasarkan motivasi sebagai implementasi untuk memenuhi kebutuhan manusia dari mulai kebutuhan fisik, rasa aman, sosial, harga diri, dan aktuasi diri. Moslow dalam Munandar (2001:326). Berdasarkan temuan ini bahwa motif merupakan suatu dorongan dalam diri pegawai yang perlu dipenuhi agar pegawai dapat menyesuaikan diri dengan
29 lingkungannya, sedangkan motivasi adalah kondisi yang menggerakkan pegawai agar mampu mencapai tujuan dari motif pegawai tersebut. Hal ini ditegaskan pendapat Hasibuan (2005:95) motivasi adalah pemberian daya penggerak yang menciptakan kegairahan kerja seseorang, agar mereka mau bekerja sama, bekerja efektif dan terintegrasi dengan daya upayanya untuk mencapai kepuasan. Beberapa hasil penelitian yang mendukung temuan ini seperti Djumadi (2005:175) menyatakan kepuasan kerja berpengaruh signifikan terhadap motivasi karyawan pada lembaga non formal di Jawa Timur. Hasil penelitian lain, Green 2000 menyatakan kepuasan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terhadap motivasi, selain rasa percaya diri dan kepercayaan terhadap manajemen. D. Perilaku Kepemimpinan, Iklim Organisasi, Dan Motivasi Kerja Secara Bersama-Sama Berhubungan Signifikan Terhadap Kepuasan Kerja Hasil penelitian ini membuktikann bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan, iklim organisasi, dan motivasi kerja terhadap kepuasan kerja pegawai Kantor Pusat Uniersitas Mataram. Temuan ini sejalan dengan pendapat Fattah, (2004:88 kepemimpinan pada hakekatnya seseorang yang memiliki kemampuan untuk mempengaruhi orang lain di dalam kerja dengan menggunakan kekuasaan dan mempengaruhi bawahan sehubungan dengan tugas-tugas yang harus dilakukan. Kekuasaan mempengaruhi orang dapat bersumber dari kuasa pribadi atas dasar sifat-sifat yang dimiliki seseorang yang menjadikan dirinya sebagai pemimpin. Dan kekuasaan mempengaruhi orang yang bersumber secara formal legitimasi atau secara sah diangkat untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin. Robbins (2002:163) kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk mencapai tujuan. Sumber pengaruh tersebut dapat secara formal yaitu dengan menduduki jabatan pada suatu organisasi. Dalam melaksanakan proses kepemimpinannya para pemimpin kemungkinan akan menggunakan pola atau model kepemimpinan tertentu sebagai dasar pendekatan yang digunakan. Diantara pola tersebut adalah pola melalui pendekatan “perilaku” (behavior leader). Inti pendekatan model perilaku bahwa efektifitas kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh perilaku, pola perilaku berorientasi kepada tugas dan berorientasi kepada hubungan manusia (pegawai). Orientasi tugas mengarah kepada perilaku kepemimpinan mengorganisasi kerja dan mencapai tujuan. Dengan demikian pemimpin sebagai salah satu unsur dalam organisasi mempunyai kedudukan yang sangat strategis untuk menciptakan iklim yang kondusif. Kepuasan kerja pegawai akan didapatkan melalui pencapaian iklim organisasi. Perilaku kepemimpinan untuk mengkordinir tugas, memberikan pengarahan, memberi penjelasan dan informasi mengenai kebijakan-kebijakan yang diputuskan pemimpin dalam organisasi, dapat sebagai pendorong pegawai menjadi lebih aktif Yukl (1998:81) mengatakan informasi mengenai kemajuan kerja bagi para pegawai dapat memberikan motifasi kerja dan kepuasan kerja. Pegawai terus bersemangat dan memiliki motivasi tinggi dengan terus memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka. Perilaku kepemimpinan menciptakan iklim untuk membantu pegawai mencapai tujuan yang positif dengan cara, penerimaan, perhatian yang positif terhadap pegawai, sikap bersahabat,
30 mengenal pegawai dengan baik. Membantu pegawai untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pegawai. Dikatakan oleh Goldstain, (1992) pengembangan keterampilan biasanya meningkatkan kepuasan dan kinerja para anggota. Perilaku kepemimpinan yang diwujudkan seperti tersebut merupakan kebijakan, aturan-aturan organisasi mempengaruhi perilaku dan sikap pegawai. Terkait dengan itu Cambell dan Betay, Pritchard dan Karasick dalam Steer (1985:122) mengatakan ukuran relatif independen dari dimensi iklim adalah struktur tugas, hubungan imbalan-hukuman, sentralisasi keputusan, tekanan pada prestasi, tekanan pada pelatihan dan pengembangan, keamanan versus resiko, keterbukaan versus ketutupan, status dan semangat, pengakuan dan umpan balik serta kompetisi serta keluwesan secara umum. Dimensi iklim yang dikemukakan dalam steer merupakan unsur-unsur perilaku kepemimpinan dalam penciptaan iklim organisasi. Hal tersebut sejalan dengan variabel kepuasan kerja yang dinyatakan Glisson dan Durick (1988) yaitu (1) karakteristik organisasi kerja, (2) karakteristik tugas dan (3) karakteristik pegawai. Hoy dan Miskel (1987) hasil penelitian Halpin (1971) iklim organisasi terbuka memberi kepuasan kepada anggota organisasi dalam memenuhi kebutuhannya. Tindakan dan perilaku pemimpin berjalan lancar dan serasi. Anggota kelompok memperoleh kepuasan kerja dan menyelesaikan kebutuhan pribadi terpenuhi. Temuan ini sejalan dengan teori dari Herzberg dengan teori dua faktornya yaitu faktor higiene dan motivasi. Dalam Robbins (2002 : 59) disebutkan faktor higiene meliputi, kebijakan administratif, supervisi, hubungan dengan pemimpin, kondisi pekerjaan, gaji, hubungan pribadi antar rekan, jaminan kerja, status dan keamanan. Sejalan dengan pendapat Davis (1985:23) bahwa iklim organisasi dapat mempengaruhi motif, prestasi dan kepuasan kerja. Iklim mempengaruhi hal itu dengan membentuk harapan pegawai tentang konsekwensi yang akan timbul dari berbagai tindakan pegawai melaksanakan tugas yang diberikan oleh pemimpin. Jika dilihat dari arah hubungan antara kepuasankerja dengan iklim organisasi dan motivasi kerja dapat meningkat ditunjang dengan penciptaan iklim yang positif akan diikuti dengan motivasi tinggi. Sesuai dengan pendapat Maslow dengan teori hierarki kebutuhannya bahwa kebutuhan diri seseorang bila terpuaskan akan memotivasi gerakan ke suatu tingkatan kebutuhan baru. Dengan demikian ditemukan bahwa perilaku kepemimpinan, iklim organisasi, dan motivasi kerja terdapat hubungan yang signifikan secara simultan bersama-sama terhadap kepuasan kerja pegawai pada Kantor Pusat Universitas Mataram. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif Hasil perhitungan yang diperoleh untuk nilai sumbangan relatif dan sumbangan efektif masing-masing variabel dapat diketahui yaitu untuk variabel perilaku kepemimpinan (X1) diperoleh sumbang relatif besar 14,42%, untuk variabel iklim organisasi (X2) diperoleh sumbangan relatif sebesar 27,40 %, untuk variabel motivasi kerja (X3) diperoleh sumbangan relatif sebesar 58,18 %, secara keseluruhan sumbangan relatif sebesar 100%.
31 Sedangkan sumbangan efektif untuk variabel perilaku kepemimpinan (X1) memperoleh sumbangan efektif sebesar 9,38%, dan untuk variabel iklim organissasi (X2) diperoleh sumbangan efektif sebesar 17,84 %, dan untuk variabel motivasi kerja (X3) diperoleh sumbangan efektif sebesar 37,88%. Secara keseluruhan sumbangan efektif sebesar 0,651% atau 65,1% variabel kepuasan pegawai (Y) dijelaskan oleh variabel (X1, X2 dan X3). sisanya 100 % – 65,1 % sama dengan 34,9% dipengaruhi oleh faktor atau variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. Kesimpulan Berdasarkan pada uraian hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab IV dan bab V dapat diberikan kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat Hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan terhadap kepuasan kerja pegawai Hal ini sesuai dengan konsep mengenai kepemimpinan yang pada intinya kemampuan untuk mempengaruhi orang untuk mencapai tujuan. Perilaku kepemimpinan berorientasi pada tugas dan berorientasi pada hubungan dengan manusia dalam mengarahkan dan mendorong pegawai, serta melekat pada dirinya peran sebagai pemimpin dan manajer. Keefektifan perilaku kepemimpinan akan mempengaruhi berhasil atau tidaknya pemimpin dalam mempengaruhi, mengarahkan dan membimbing pegawai ke arah tujuan tertentu yang diharapkan, yang pada akhirnya mempengaruhi kepuasan kerja. Hasil analisis Parsial terdapat hubungan negatif (non signifikan) antara perilaku kepemimpinan terhadap kepuasan kerja dengan menyisihkan variabel iklim organisasi dan motivasi kerja. Pengaruh perilaku kepemimpinan tidak dapat memberikan kepuasan yang berarti (positif) dengan mengurangi iklim organisasi dan motivasi kerja pegawai. Atau dengan kata lain menurunnya nilai iklim organisasi dan nilai motivasi kerja sangat dominan sebagai penyebab menurunnya kepuasan kerja. 2. Terdapat hubungan yang signifikan antara iklim organisasi dengan kepuasan kerja pegawai. Hal ini mengingat bahwa para pegawai merasa bahwa iklim yang menyenangkan adalah apabila mereka dalam melaksanakan tugas mendapatkan sesuatu yang bermanfaat yang dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Organisasi yang iklimnya terbuka, kondusif, dan lingkungan yang iklimnya aman nyaman cenderung akan membuat kondisi dimana para pegawai akan lebih loyal dan menimbulkan kepuasan kerja. 3. Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi kerja dengan kepuasan kerja pegawai. Hal ini patut diyakini keinginan yang timbul dari dalam diri pegawai (motif intrinsik) dan kondisi (motivasi ekstrinsik) menyebabkan timbulnya keinginan untuk melakukan pekerjaan adalah semata-mata untuk memenuhi kebutuhan hidup. Terpenuhinya sebagian kebutuhan hidup, baik kebutuhan fisik dan nonfisik dapat sebagai pendorong melakukan tugas-tugas berikutnya, dan berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Baiknya penerapan motivasi oleh pemimpin terhadap pegawai dapat meningkatkan kepuasan kerja pegawai dalam melaksanakan tugas. 4. Terdapat hubungan yang signifikan antara perilaku kepemimpinan, iklim organisasi, dan motivasi kerja secara bersama-sama terhadap kepuasan kerja
32 pegawai. Hal ini karena kemampuan dan pendekatan yang digunakan kepemimpinan dalam mempengaruhi pegawai dengan mengkombinasikan orientasi tegas dan hubungan manusiawi dapat mampu mewujudkan iklim organisasi yang baik dan memelihara motivasi sehingga memberikan kepuasan kerja. Kepuasan kerja pegawai sebagai indikasi adanya kesesuaiann antara harapan, dan imbalan serta keadilan yang dirasakan pegawai dapat memenuhi sebagian kebutuhan hidup mereka, sebagai pengaruh dari perilaku kepemimpinan, iklim kerja yang kondusif dan motivasi kerja yang terpelihara. Secara simultan iklim organisasi muncul dari perilaku kepemimpinan dapat menimbulkan meningkatnya motivasi kerja dan kepuasan kerja pegawai, yang dibuktikan melalui sumbangan efektif sebesar 65,1% variabel kepuasan kerja (Y) dijelaskan oleh variabel X1, X2, dan X3. Sisanya 100% - 65.1% sama dengan 34.9% dipengaruhi faktor lain yang tidak diteliti.
Saran
Berdasarkan beberapa kesimpulan diatas, peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut : 1. Kepada pemimpin senantiasa untuk mempertahankan keefektifan kepemimpinannya melalui penerapan model kepemimpinan yang tepat sehingga tercapai tujuan bersama. Hendaknya dalam sikap dan perilaku dapat dijadikan contoh yang baik bagi pegawai. 2. Pemimpin hendaklah selalu mengupayakan penciptaan iklim kerja yang kondusif, aman, nyaman, terbuka dan menyenangkan. 3. Kepada pemimpin untuk senantiasa memberikan dorongan, dan memperhatikan kebutuhan pegawai agar motivasi kerja pegawai dapat dipertahankan dan lebih meningkat ke arah tercapainya produktivitas kinerja. 4. Diharapkan setiap kebijakan dan peraturan yang diterapkan di lingkungan kerja Kantor Pusat Universitas Mataram lebih memperhatikan kepentingan manusiawi, sehingga dapat menimbulkan kepuasan kerja.
DAFTAR RUJUKAN
Ary. D., Jacobs, L.C. & Razavich, A. Tanpa Tahun. Pengantar Penelitian Pendidikan. Terjemahan oleh Arief Furchan. 1982. Surabaya: Usaha Nasional. Davis. and Newstrom, J. W., 1985. Human Berhavior at Work Organizational Behavior, Edisi Ketujuh, Jilid I, Terjemahan oleh Agus Dharma, Jakarta: Erlangga. Djumadi, M. 2005. Pengaruh Kondisi Kerja dan Kepuasan Kerja Serta Motivasi Kerja Terhadap Kinerja Karyawan Lembaga Pendidikan Non Formal Di Jawa Timur. Disertai Tidak Diterbitkan. Malang: PPS UM. Fatah, N. 2004. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: PT Remasa Rosdakarya. Gibson, J. L. Ivancevich. J. M. & Donnely, J.H. 1996. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Structur, Proses (Ahli bahasa Djoerban Wahid). Jakarta : Erlangga. Gomes, C.F. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Andi. Halpin, W. A., 1966. Theory and Research Administration. 16th Edition. New York: The Macmillan Company. Handoko, T. H., 1999. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi IX, Yogyakarta: BPFE. Harsey, P Blanchard. H. B. 1997. Manajemen Perilaku Organisasi Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Terjemahan Agus Dharma. Jakarta: Erlangga. Hasibuan, M. S. P., 2005. Organisasi dan Motivasi Kerja. Jakarta: PT, Bumi Aksara. Hoy, W.K. & Miskel, C. Cr. 2001. Educational Administration : Theory, Research and Practise. New York: Random Home. Husnan dan Ranupandojo, 1995. Manajemen Personalia. Yogyakarta: BPFE. Kasan, T., 2004. Teori Dan Aplikasi Administrasi Pendidikan. Jakarta: Studia Press. Koontz, H. & Cyrill O’D & Weinerich, H. 1996. Management: A System and Contigency Analisys of Managerial Function. New York: Mc Graw - Hill. 36
37 Luthans, F., 1995, Organizational Behaviour, Edisi VII, New York: Mc Graw Hill, Inc. Mangkunegara, P. A., 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Cetakan ketiga, Bandung: PT. Bumi Angkasa. Margono. 2005. Metodelogi Penelitian Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Munandar, A. S. 2001. Psikologi Industri Dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia. Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in Education. New Jersey: Prentice Hall International, Inc. Purwanto, M dkk. 1981. Administrasi Pendidikan. Jakarta: Mutiara. Ranupandojo & Husnan, Suad, 1990. Manajemen Organisasi. Edisi Pertama, Jakarta: PT. Gramedia. Rifai, M. 1984. Administrasi dan Superfisi Pendidikan. Jilid I. Bandung: Jemmars. Robbins, SP., 2001. Organizational Behaviour, Terjemahan oleh Hadyana Pujaatmaka, Jilid II, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, PT. Prenhallindo. Robbins, SP. 2002. Prinsip-Prinsip Perilaku Organisasi. Terjemahan Oleh Halida dan Dewi Sartika, Jakarta: Erlangga. Sergiovanni, T.J. & Strarnatt, R. J. 1993. Supervision a Redefinition. United Stated: Macgraw Hill, Inc. Singarimbun, M & Sofyan Effendi (eds), 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3 ES. Siswanto, B., 1997. Manajemen Tenaga Kerja. Jakarta: Kanisius. Soetopo H. 2001. Hubungan Karakteristik Bawahan, Kontrol Situasi, Gaya Kepemimpinan, Budaya Organisasi, Dan Iklim Organisasi Dengan Keefektifan Organisasi Pada Universitas Swasta Di Kota Malang. Disertai tidak diterbitkan. Malang: PPS UM. Steer, R-M. 1985. Efektifitas Organisasi: Kaidah Perilaku. Terjemahan Magdalena. Jakarta: Erlangga. Sugiharto dkk. 2003. Teknik Sampling. Jakarta: Gramedia. Sugiono. 2004. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: Alfabeta.
38 Sugiyono, 2006. Statistik Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Wahjosumidjo. 2002. Kepemimpinan Pimpinan: Tinjauan Teoritik Dan Permasalahannya. Jakarta: PT. Grafindo Persada. Yukl, G. 1998. Kepemimpinan dalam Organisasi. Terjemahan: Yusuf Udaya. Jakarta: Prenhallindo. Zainun, B. 1979. Manajemen dan Motifasi. Jakarta: Balai Pustaka.
39
HUBUNGAN PERILAKU KEPEMIMPINAN, IKLIM ORGANISASI DAN MOTIVASI KERJA TERHADAP KEPUASAN KERJA PEGAWAI KANTOR PUSAT UNIVERSITAS – MATARAM
ARTIKEL
OLEH SYUKRAN MA'SUM NIM. 105631583535
UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN Januari 2009
Hubungan Gaya Kepemimpinan, Efektivitas Komunikasi dan Pengambilan Keputusan dengan Kinerja Pamong Belajar SKB di Sulawesi Selatan Muhammad Fahruddin Abstracts The aims of this study is to find the correlation of leadership style, communication effectiveness and decisión making toward nonformal teachers’ performance at SKB in South Sulawesi province. There are six samples of SKB, including 97 respondents. This study is a quantitative study which in used a survey design. The result of study showed that the highest score among the variables is communication effectiveness (24.34%). Next scores are decision making (13.86%) and leaderships style (12.20%). It means that for the heads of SKB, in order to increase the nonformal teachers’ performance, they should care much on how to build an effective communication towards staffs. Key words: correlations, leadership style, communication effectiveness, decision making and performance. Pendahuluan Dalam keseluruhan kegiatan pendidikan, pendidikan diarahkan pada upaya pengembangan dan peningkatan potensi yang dimiliki individu secara optimal menjadi kemampuan nyata sesuai dengan bakat dan minatnya. Pendidikan senantiasa berhubungan dengan manusia, dimana manusia berfungsi sebagai subjek. Joni (1991) menyatakan bahwa membicarakan soal pendidikan, mestinya terkait didalamnya membicarakan hakekat manusia sebagai pelaksana ataupun sasarannya. Melalui upaya pendidikan diharapkan adanya peningkatan kualitas manusia atau masyarakat Indonesia melalui penguasaan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi). Peningkatan kualitas manusia Indonesia ataupun peningkatan sumberdaya manusia Indonesia pada kenyataannya perlu terus ditingkatkan. Dimana kita telah berada pada era globalisasi yang mengandung makna hilangnya batasan antar wilayah antar negara sebagai implikasi kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Era ini secara konotatif mengandung arti kerjasama disamping persaingan di berbagai sektor kehidupan tidak terkecuali sektor pendidikan. Indonesia yang memiliki kedudukan strategi di antara bangsa lainnya mau tidak mau akan terlibat didalamnya. Dalam kaitan itu maka bangsa yang akan mengambil peran penting di dalam situasi tersebut adalah bangsa yang memiliki keunggulan dalam penguasaan IPTEK. Oleh karena itu Salim (1991) menegaskan bahwa untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia utamanya dalam penguasaan IPTEK antara lain ditempuh melalui pendidikan. Demikian pentingnya pendidikan ini maka dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 dinyatakan dengan tegas bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif 1
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa Indonesia. (Pasal 4 ayat 1) Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan (Pasal 6 Ayat 1). Selanjutnya Satuan pendidikan adalah kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Tenaga kependidikan pada jalur pendidikan formal disebut guru dan dosen sedangkan pada jalur pendidikan nonformal disebut pamong belajar, instruktur, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator. Pada saat ini, kita dihadapkan pada kondisi yang sangat memprihatinkan kalau dilihat dari tantangan global yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Hal ini tergambar dari hasil survey yang dilakukan oleh The Political and Economic Risks Consultancy (PERC) yang berkedudukan di Hongkong, dimana kualitas pendidikan di Indonesia untuk tingkat Asia berada pada urutan 12 di bawah Vietnam. Kemudian berdasarkan data yang dipublikasikan oleh United Nation Development Programme (UNDP) yang berjudul Human Development Index (HDI) dari 174 negara di dunia, Indonesia berada pada peringkat 102, pada tahun 1989 turun menjadi peringkat 105 dan tahun 2000 turun peringkat lagi menjadi 109, satu tingkat di bawah Vietnam. Sementara beberapa negara tetangga peringkatnya lebih baik seperti Singapura peringkat 34, Brunai Darussalam peringkat 36 Thailand peringkat 52, dan Malaysia peringkat 53 (Jalal, 2006). Berdasarkan sajian fakta tersebut di atas hendaknya pembangunan di bidang peningkatan kualitas sumber daya manusia perlu mendapat perhatian yang serius dari pemerintah kalau kita tidak ingin terus terpuruk dan tertinggal jauh dengan bangsa-bangsa lain. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan memperhatikan peningkatan kualitas pendidikan dari semua jalur, jenjang, jenis dan satuan pendidikan yang ada. Sebagaimana pada jalur pendidikan formal guru sangat memegang peranan penting terutama dalam meningkatkan mutu pembelajaran, sedangkan pada jalur pendidikan nonformal yang sebelumnya dikenal dengan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) pamong belajar sebagai tenaga fungsional memiliki peran, tugas dan tanggung jawab yang sangat besar dalam rangka meningkatkan kualitas dan mutu layanan pendidikan nonformal sebagai bagian dari upaya mencerdaskan kehidupan bangsa secara keseluruhan. Suatu tuntutan yang harus direspon oleh pamong belajar adalah mengenai mutu layanan pendidikan nonformal yang masih jauh dari harapan jika dibandingkan dengan pendidikan formal, tentunya hal ini akan berkaitan dengan kinerja dan profesionalisme pamong belajar itu sendiri dengan tugas pokok dan fungsi yang diembannya. Tugas pamong belajar adalah menjabarkan dan mengoperasionalkan program Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di daerah-daerah sesuai dengan kemampuan dan kondisi masing-masing daerah tersebut. Pamong belajar adalah pegawai negeri sipil dalam lingkungan departemen pendidikan dan kebudayaan yang diberi tugas, tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk mengubah dan mendidik warga belajar melalui pendidikan luar sekolah (SK Menpan No.127/MENPAN/1989:2) Pamong belajar sebagai tenaga fungsional di bidang pendidikan, khususnya pedidikan luar sekolah (nonformal), telah memenuhi kualifikasi akademik dan jabatan guru sehingga mereka diharapkan menjadi tenaga edukatif yang dapat diandalkan dalam menangani tugas-tugas pada Sanggar Kegiatan Belajar. Tugas pamong belajar pada hakekatnya menyangkut tugas memberi bimbingan, mengajar dan melatih calon tutor dan warga belajar sebagai tugas utama. Sedangkan 2
menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah Pemuda dan Olahraga (1999:6-7), merincian tugas pamong belajar sebagai tenaga fungsional di Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yaitu: (1) pemberian motivasi dan bimbingan kepada warga masyarakat agar mau dan mampu menjadi tutor, fasilitator, pembina, pelatih dan instruktur dalam kegiatan Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (sejak persiapan, pelaksanaan, pemantauan, sampai evaluasi); (2) pembuatan percontohan program kegiatan Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (sejak persiapan, pelaksanaan, pemberian penyuluhan/bimbingan, sampai dengan pemantauan dan evaluasi); (3) pengendalian mutu pelaksanaan program Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (sejak persiapan, pelaksanaan, evaluasi, sampai dengan tindak lanjut); (4) pengadaan sarana belajar muatan lokal program Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (sejak persiapan, pelaksanaan, pemantauan, sampai evaluasi); (5) pengintegrasian dan penyingkronisasian kegiatan-kegiatan sektoral di bidang Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga; (6) pendidikan dan pelatihan tutor, fasilitator, pembina, pelatih dan instruktur dalam kegiatan Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga (sejak persiapan, pelaksanaan, pemantauan, sampai evaluasi); dan (7) penyusunan bahan pelayanan informasi perkembangan kegiatan Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga. Sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan pendidikan nonformal ditengahtengah masyarakat, pamong belajar dituntut memiliki kinerja yang baik. Sementara untuk mencapai peningkatan kinerja para pamong belajar tentunya harus didukung oleh suasana kerja dan kepemimpinan yang baik pula yang diperankan oleh kepala Sanggar Kegiatan Belajar. Kepala SKB merupakan pemimpin tertinggi pada lembaga Unit Pelaksana Teknis Dinas Pendidikan pada Kabupaten/Kota. Dimana gaya kepemimpinannya sangat berpengaruh dan menentukan bagi peningkatan kinerja dan kompetensi pamong belajar yang bersangkutan. Oleh karena itu dalam eksistensi dan perkembangan peran lembaga SKB saat ini, kepemimpinan kepala sanggar perlu mendapat perhatian yang serius. Hal ini penting karena kepala SKB dituntut untuk dapat menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sebagai pemimpin pendidikan khususnya pendidikan nonformal, sehingga orang yang dipimpinnya dalam hal ini pamong belajar dan pegawai lainnya dapat bekerja dengan prima guna mencapai tujuan institusi/lembaga yang telah ditetapkan. Seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya memiliki faktor pendukung. Faktor pendukung itu menurut Sergiovanni (dalam Karmadi, 2003:3) yaitu: (1) ke-pribadian yang kuat, (2) memahami tujuan pendidikan dengan baik, (3) pengetahuan yang luas, dan (4) keterampilan profesional. Sementara menurut Gorton (1991:319) bahwa pemimpin pendidikan merupakan sosok yang mengorganisasikan sumber-sumber daya insani dan sumber-sumber fisik untuk mencapai tujuan organisasi pendidikan secara efektif dan efisien. Peranan utamanya adalah mengembangkan dan mengimplementasi-kan prosedur dan kebijaksanaan pendidikan yang dapat menghasilkan efisiensi pelaksanaan pendidikan. Kalau dianalisis pendapat Gorton tersebut, maka dapat memperkuat teori bahwa kepemimpinan kepala lembaga dapat berdampak terhadap kinerja pegawai (pamong belajar). Berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pamong belajar dalam menjalankan tugas profesionalnya sebagai hasil penelitian Santosa (1992), Kastum (1998) dan Anden (2003), ditemukan berbagai permasalahan yang teridentifikasi berhubungan dengan pamong belajar seperti; terbatasnya kemampuan pamong belajar, kurang dipahaminya tugas-tugas kepamongan pamong belajar, kurangnya disiplin kerja, kurang adanya hubungan harmonis antara pamong belajar dengan kepala SKB, kurang adanya transparansi dalam penggunaan anggaran SKB, kurang adanya motivasi untuk berprestasi bagi pamong belajar, terbatasnya jumlah pamong belajar, kurang dilibatkannya pamong belajar dalam 3
pengambilan keputusan, adanya sikap apatis atau masa bodoh para pamong belajar terhadap pekerjaannya, kurang terjalinnya komunikasi yang efektif antara pamong belajar dengan kepala SKB, rendahnya tingkat kesejahteraan pamong belajar, kurang harmonisnya hubungan antara pamong belajar dengan staf administrasi dan berbagai permasalahan lainnya. Permasalahan yang dihadapi oleh pamong belajar tersebut di atas apabila tidak segera ditangani akan berdampak pada pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi) mereka. Hal tersebut bukan hanya berdampak pada kinerja pamong belajar, akan tetapi juga berdampak pada kinerja lembaga SKB secara keseluruhan. Oleh karena itu perlu adanya upaya pengkajian dari permasalahan yang ada, terutama permasalahan yang diperkirakan paling berpengaruh terhadap kinerja. Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan masalah pokok penelitian ini adalah Bagaimana Hubungan Gaya Kepemimpinan Kepala Sanggar, Efektivitas Komunikasi dan Pengambilan Keputusan dengan Kinerja Pamong Belajar Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di Sulawesi Selatan? Masalah Rumusan masalah pokok tersebut di atas dapat dirinci menjadi sub-sub masalah sebagai berikut: 1. Apakah ada hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan? 2. Apakah ada hubungan yang signifikan antara efektivitas komunikasi dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan? 3. Apakah ada hubungan yang signifikan antara pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan? 4. Apakah ada hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan secara bersama-sama dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan? Tujuan Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan serta memperoleh gambaran menyeluruh tentang hubungan antara gaya kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan hubungan gaya kepemimpinan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. 2. Mendeskripsikan hubungan antara efektifitas komunikasi dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. 3. Mendeskripsikan hubungan antara pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. 4. Mendeskripsikan hubungan antara gaya kepemimpinan, pola komunikasi dan pengambilan keputusan secara bersama-sama dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Metode Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan yang didasarkan pada model survey design yang bersifat korelasional karena berusaha menyelidiki hubungan antara beberapa variabel penelitian yaitu variabel kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan sebagai variabel prediktor dan kinerja pamong belajar sebagai variabel kriterium. Studi korelasi ini akan menggunakan analisis korelasi regresi. Disebut korelasional sebab peneliti hanya 4
mengukur variabel korelasi yang ada serta tidak memanipulasi variabel tersebut (Gay, 1987). Selajutnya penelitian korelasional menurut Fraenkel dan Wallen (1993) yaitu menguji kemungkinan antara masing-masing variabel penelitian Studi korelasi memungkinkan peneliti memastikan perbedaan di salah satu variabel ada hubungan dengan variabel yang lain. Besarnya hubungan tersebut ditetapkan melalui koefisien korelasi (Arikunto, 2002). Tujuan teknik korelasional adalah: (1) mencari bukti berdasarkan hasil pengumpulan data, apakah terdapat hubungan antar variabel atau tidak, (2) untuk menjawab pertanyaan apakah hubungan antar variabel penelitian tersebut termasuk hubungan yang kuat, sedang, atau lemah, dan (3) ingin memperoleh kepastian secara matematik, apakah hubungan antar variabel merupakan hubungan yang berarti atau signifikan, atau hubungan yang tidak berarti atau tidak meyakinkan (Kachigan, 1982). Teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi multivariat karena terdiri dari 3 variabel bebas (Independent variable) dan 1 variabel terikat (dependent variable) Penelitian ini akan mengkaji mengenai gaya kepemipinan kepala sanggar (X1), efektivitas komunikasi (X2), dan pengambilan keputusan (X3) sebagai variabel bebas atau prediktor, dan kinerja pamong belajar (Y) sebagai variabel terikat atau kriterium. Ketiga variabel bebas (X1, X2, dan X3) dihubungkan dengan variabel terikat (Y) dengan pola hubungan: (1) Hubungan antara variabel X1 dengan variabel Y, (2) Hubungan antara variabel X2 dengan variabel Y, (3) Hubungan antara variabel X3 dengan variabel Y, dan Hubungan antara variabel X1, X2 dan X3 secara bersama-sama dengan variabel Y. Ketiga pola hubungan variabel tersebut merupakan konstelasi masalah dalam penelitian ini. Efektivitas hubungan antar variabel penelitian terlihat pada gambar berikut: X1
X2
Y
X3 Gambar : Pola Hubungan Antar Variabel Penelitian
Keterangan: X1 = Gaya Kepemimpinan Kepala SKB X2 = Efektivitas komunikasi Pengambilan keputusan X3 = Y = Kinerja pamong belajar Populasi Populasi merupakan sebuah kelompok subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Kelompok subjek ini harus memiliki ciri atau karakteristik- karakteristik bersama yang membedakannya dari kelompok subjek yang lain (Azwar, 2004). Selanjutnya menurut Fraenkel dan Wallen (1990:80) mendefinisikan populasi sebagai kelompok yang menarik peneliti, dimana kelompok tersebut oleh peneliti dijadikan sebagai objek untuk menggeneralisasi hasil penelitian. Sedangkan menurut Arikunto (2002:108) bahwa populasi merupakan keseluruhan dari subjek penelitian. Senada dengan itu, Sugiyono (2004:90) mengatakan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. 5
Dengan demikian yang dimaksud dengan populasi dalam penelitian ini adalah kumpulan sejumlah individu yang memiliki kuantitas dan ciri-ciri tertentu yang telah ditetapkan, dirumuskan dengan baik serta menjadi perhatian peneliti. Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pamong belajar Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) di Sulawesi Selatan. Secara rinci populasi tersebut dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1.1: Jumlah Pamong Belajar dan Tipe SKB se Sulawesi Selatan Jumlah Tipe No Nama SKB Pamong Belajar 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
SKB Ujung Pandang Kota Makassar SKB Gowa SKB Bulukumba SKB Pinrang SKB Selayar SKB Biringkanaya Kota Makassar SKB Takalar SKB Jeneponto SKB Bantaeng SKB Sinjai SKB Soppeng SKB Maros SKB Pangkep SKB Barru SKB Pare-Pare SKB Sidrap SKB Wajo SKB Bone SKB Palopo SKB Enrekang SKB Tator
A A A A A B B B B B B B B B B B B B B B B
Jumlah
24 27 14 10 8 27 19 9 14 11 11 11 10 20 17 10 8 30 12 6 11 310
Sumber: BP-PLSP Regional V Makassar Tahun 2007 Sampel Sampel adalah sebagian wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002:109). Selanjutnya Hadi (2000) mengemukakan kaidah-kaidah pengambilan sampel antara lain: (1) harus representatif, (2) presisi dengan populasi target, dan (3) jumlahnya memenuhi. Dengan demikian sampel adalah sebagian populasi yang diteliti. Mengenai besarnya jumlah sampel, Sudjana (1996) menyatakan bahwa tidak ada ketentuan yang baku ataupun rumus yang pasti untuk menentukan jumlah sampel. Hanya saja semakin besar penggunaan sampel dalam penelitian akan semakin baik (Borg & Gall, 1983). Berbeda dengan pendapat di atas, McMillan dan Schumacher (1984) mengatakan, bahwa dalam penelitian korelasional, sampel yang diperlukan paling sedikit tiga puluh orang. Namun ada juga pakar yang berpendapat bahwa jumlah sampel tergantung dari besar kecilnya populasi yang diperoleh dengan menggunakan rumus penentuan sampel. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa populasi subjek dalam penelitian ini adalah seluruh pamong belajar Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) se Sulawesi selatan yang jumlahnya sebanyak 310 orang yang tersebar pada 21 Kabupaten/Kota, maka 6
untuk menentukan sampel dilakukan dua tahap yaitu: pertama menentukan jumlah sampel wilayah (Area Sampling) dengan memperhatikan tipe-tipe SKB masing-masing, kedua menentukan jumlah anggota sampel dari setiap SKB yang telah terpilih sebagai sampel mewakili SKB yang ada di Sulawesi Selatan. Berdasarkan data, SKB yang ada di Sulawesi Selatan terdiri dari dua jenis tipe, yaitu tipe A sebanyak 5 SKB dan tipe B sebanyak 16 SKB, maka untuk menentukan populasi dari masing-masing tipe akan dilakukan dengan teknik acak (random) dengan memperhatikan persentase secara proporsional yaitu untuk tipe A diambil 25 % dan tipe B juga diambil sebanyak 25 % dengan pemahaman bahwa tiap anggota populasi dari tipe yang sama dianggap homogen. Selanjutnya setelah menentukan sampel yang mewakili dari masing-masing tipe SKB akan diteruskan dengan menentukan sampel sasaran berupa individu yang terpilih mewakili SKB dari masing-masing tipe sebagai anggota sampel (responden). Dan berikut hasil dari penentuan populasi sasaran: Tabel 1.2 : Jumlah SKB yang menjadi sampel penelitian Jumlah Pamong No Nama SKB Tipe Belajar 1 SKB Ujung Pandang Kota Makassar A 24 2 SKB Kabupaten Gowa A 27 3 SKB Kabupaten Bone B 30 4 SKB Kabupaten Barru B 20 5 SKB Kabupaten Takalar B 19 6 SKB Kabupaten Pangkep B 10 130 Jumlah Setelah mengetahui sampel SKB dari wilayah yang terpilih seperti pada di atas, maka langkah selanjutnya adalah menentukan sampel pamong belajar dari masing-masing SKB yang akan mewakili anggota populasi yang ada. Untuk menentukan ukuran atau jumlah sampel diambil secara proporsional random sampling dengan menggunakan tabel Krecjie, dengan perhitungan ukuran sampel didasarkan atas kesalahan 5%. Jadi sampel yang diperoleh itu mempunyai taraf kepercayaan 95% terhadap populasi (Krecjie, dalam Sugiono, 2006:62). Dengan mengacu pada perhitungan jumlah sampel dengan menggunakan tabel Krecjie dapat diketahui bahwa jumlah populasi 130 orang maka sampelnya sebanyak 97 orang. Adapun hasil perhitungan jumlah sampel adalah sebagai berikut: Tabel 1.3 : Sampel Pamong Belajar setiap SKB No Nama SKB Perhitungan besar sampel 1 2 3 4 5 6
SKB Ujung Pandang Kota Makassar SKB Kabupaten Gowa SKB Kabupaten Bone SKB Kabupaten Barru SKB Kabupaten Takalar SKB Kabupaten Pangkep Jumlah
24/130x97 = 18 27/130x97 = 20 30/130x97 = 22 84 20/130x97 = 15 19/130x97 = 14 10/130x97 = 8 (n) 97
Perhitungan sampel tersebut di atas menggunakan rumus berikut: S =
Pc Tp
xTs 7
Dimana: S = besarnya sampel untuk tiap SKB Pc = populasi untuk tiap SKB Tp = total populasi Ts = total sampel dari seluruh SKB Semakin besar jumlah sampel mendekati populasi maka peluang kesalahan generalisasi semakin kecil dan sebaliknya semakin kecil jumlah sampel menjauhi populasi maka semakin besar kesalahan generalisasi (diberlakukan). Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk menjaring data dari variabelvariabel ini adalah dengan menggunakan angket. Sesuai dengan data yang dibutuhkan untuk keperluan pengukuran variabel penelitian ini, maka digunakan skala pengukuran yang ada kaitannya dengan perilaku manusia yaitu menggunakan skala Likert. Penggunaan skala Likert untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2004:107) Teknik Analisis Data Analisis data deskriptif bertujuan untuk memberikan deskripsi mengenai subjek penelitian bedasarkan data dari variabel yang diperoleh dari kelompok subjek atau sampel yang diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis (Azwar, 2004). Deskripsi gaya kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar dilakukan dengan menggunakan statistik deskriptif yang bertujuan mendeskripsikan dengan jelas variabel-variabel penelitian. Deskripsi yang dimaksud adalah meliputi distribusi frekuensi yang terdiri dari: skor rata-rata (mean), skor minimum, skor maksimum, dan simpangan baku (SD). Distribusi frekuensi akan memberikan kategori/tingkatan masing-masing variabel. Formulasi rumus yang digunakan adalah sebagai berikut: X X = ∑ N Dimana: X = rerata ∑X = skor total N = banyaknya sampel Uji Persyaratan analisis Tujuan dari uji persyaratan analisis adalah untuk mengetahui apakah data yang diperoleh telah memenuhi syarat untuk dianalisis dengan korelasi dan regresi. Syarat dari penggunaan analisis korelasi dan regresi yaitu variabel yang akan dianalisis harus berskala interval (Hadi, 2000). Hubungan antara variabel bebas dan terikat adalah linier (Wannacout, 1972). Sedangkan distribusi dari variabel bebas dan terikat adalah normal (Salladien, 1997). Uji Normalitas Data Uji normalitas data dimaksudkan untuk mengetahui normal tidaknya data yang diperoleh. Uji normalitas dilakukan dengan uji Kolmogorov Smirnov. Untuk mendapatkan nilai Kolmogorov Smirnov dilakukan dengan menggunakan bantuan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 15,0 for windows. Apabila nilai probabilitas > atau = 0,05 maka data dinyatakan berdistribusi normal, sebaliknya jika nilai probabilitas < 0,05 maka data dinyatakan berdistribusi tidak normal. Uji Linieritas Data Uji linearitas dimaksudkan untuk mengetahui linier tidaknya hubungan masingmasing variabel penelitian (Cohen, 1983). Data dikatakan linier atau tidak diketahui 8
dengan menggunakan diagram Scatter dan garis best fit (Sudjana, 1996). Variabel bebas dan variabel terikat berhubungan secara linier artinya apabila dibuat garis lurus pada pancaran titik-titik kedua nilai variabel tersebut (Salladien, 1997). Untuk mendapatkan scatter diagram dan garis best fit digunakan bantuan komputer SPSS 15,0 for windows, yaitu dengan memasukkan data penelitian yang telah terkumpul secara keseluruhan kemudian menggunakan teknik analisis regresi. Dengan ketentuan jika variabel bebas dan variabel terikat membuat garis lurus, maka data tersebut bersifat linier, sebaliknya jika data antara variabel bebas dan variabel terikat tidak membuat garis lurus maka data tersebut tidak bersifat linier. Pengujian Hipotesis a. Menguji hipotesis masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat Formulasi yang dipakai untuk menguji hipotesis hubungan antara variabel X1 terhadap Y, X2 terhadap Y, X3 terhadap Y menggunakan rumus korelasi parsial. Tujuan penggunaan teknik korelasi parsial adalah untuk menentukan harga korelasi murni terlepas dari pengaruh variabel-variabel kontrol lainnya (Salladien, 1997). Pengujian hipotesis menggunakan taraf signifikan 0,05. Jika nilai probabilitas sama atau lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis yang diajukan diterima. Sebaliknya jika nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 maka hipotesis yang diajukan ditolak. Perhitungan korelasi murni hubungan variabel gaya kepemimpinan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar dengan mengabaikan variabel efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan dilakukan dengan rumus korelasi parsial sebagai berikut: ry 1 − (r 23 )(ry 23 )
ry1.23 =
(1 − r
Dimana: ry1.23 = ry1 r23 ry23 r223 r2y23
= = = = =
2
)(
23 1 − r 2 y 23
)
koefisien korelasi antara variabel y dengan variabel x1 yang dikontrol oleh variabel x2 dan x3. koefisien korelasi antara variabel y dengan variabel x1 koefisien korelasi antara variabel x2 dengan variabel x3 koefisien korelasi antara variabel y dengan variabel x2 dan x3 kuadran koefisien korelasi variabel x2 dan x3 kuadran koefisien korelasi variabel y dengan variabel x2 dan x3 (Sudjana, 2002 dan Salladien, 1997)
Sedangkan perhitungan korelasi murni hubungan antara variabel efektivitas komunikasi dengan variabel kinerja pamong belajar dengan mengabaikan variabel gaya kepemimpinan kepala sanggar dan pengambilan keputusan dilakukan dengan rumus korelasi parsial sebagai berikut: ry 2.13 = Dimana: ry2.1 ry2 r13 ry13 r213 r2y13
ry 2 − (r 13 )(ry 13 )
(1 − r
2
)(
13 1 − r 2 y13
)
= koefisien korelasi antara variabel y dengan variabel x2 yang dikontrol oleh variabel x1 dan x3. = koefisien korelasi antara variabel y dengan variabel x = koefisien korelasi antara variabel x1 dengan variabel x3 = koefisien korelasi antara variabel y dengan variabel x1dan x3 = kuadran koefisien korelasi variabel x1dan x3 = kuadran koefisien korelasi variabel y dengan variabel x1 dan x3 9
(Sudjana, 2002:386 dan Salladien, 1997). Perhitungan korelasi murni hubungan antara variabel pengambilan keputusan dengan variabel kinerja pamong belajar dengan mengabaikan variabel gaya kepemimpinan kepala sanggar dilakukan dengan rumus korelasi parsial sebagai berikut: ry 3 − (r 12 )(ry 12 )
(1 − r
ry3.12 =
2
)(
12 1 − r 2 y12
)
Dimana: ry3.12 = koefisien korelasi antara variabel y dengan variabel x3 yang dikontrol oleh variabel x1 dan x2. Ry3 = koefisien korelasi antara variabel y dengan variabel x3 r12 = koefisien korelasi antara variabel x1 dengan variabel x2 ry12 = koefisien korelasi antara variabel y dengan variabel x1dan x2 r212 = kuadran koefisien korelasi variabel x1dan x2 2 r y12 = kuadran koefisien korelasi variabel y dengan variabel x1 dan x2 (Sudjana, 2002:386 dan Salladien, 1997). Kemudian pengujian koefisien dilakukan untuk menguji signifikansi dengan uji t, dengan rumus sebagai berikut: n−2
t = r 1− r2 Dimana: t = harga r = koefisien korelasi n = jumlah sampel (Sugiyono, 2005:215) b. Menguji hipotesis hubungan variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Formulasi yang digunakan untuk menguji hubungan variabel x1, x2, dan x3 terhadap y secara bersama-sama menggunakan rumus korelasi ganda sebagai berikut: a 1 ∑ X 1Y + a 2 ∑ X 2 Y + a 3 ∑ X 3 Y
Ry(123) = ∑Y2 Dimana: Ry(123) = koefisien korelasi antara Y dengan X1, X2 dan X2 a1 = koefisien prediktor X1 a2 = koefisien prediktor X2 a3 = koefisien prediktor X3 ∑X1Y = Jumlah produk X1 dengan Y ∑X2Y = Jumlah produk X2 dengan Y ∑X3Y = Jumlah produk X3 dengan Y ∑Y2 = jumlah kuadrat kreterium Y X = pediktor Y = kriterium A = bilangan koefisien prediktor (Hadi, 1983:33) Pengujian hipotesisnya dengan menggunakan taraf signifikan 0,05. Jika nilai Sig F sama atau lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis yang diajukan terima. Sebaliknya jika Sig F lebih besar dari 0,05 maka hipotesis yang diajukan ditolak. Adapun nilai F dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: 10
R (N − m − 1) m 1− R
Freg =
(
)
Dimana: Freg = N = m = R =
harga F garis regresi cacah kasus cacah prediktor koefisien korelasi antara kriterium (Y) dengan prediktor (X1, X2 dan X3) (Hadi, 1983:26) c. Menguji Persamaan Regresi Untuk menguji persamaan regresi antara variabel X1, X2 dan X3 dengan Y menggunakan rumus regresi ganda dengan tiga predictor dan satu kriterium yang diformulasikan dengan rumus sebagai berikut: Y = a1X1 + a2X2 + a3X3 + k Dimana: Y = variabel Y a1 = variabel X1 a2 = variabel X2 a3 = variabel X3 X1 = nilai variabel X1 X2 = nilai variabel X2 X3 = nilai variabel X3 (Hadi, 1983:26) Pengujian hipotesis dilaksanakan dengan menggunakan signifikansi 0,05. Jika Sig F sama atau lebih kecil dari 0,05 maka hipotesis yang diajukan diterima. Sebaliknya jika nilai Sig F lebih besar dari 0,05 maka hipotesis yang diajukan ditolak. Nilai F dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: F =
JKreg k JKres (n − k − 1 )
Dimana: F = N = K = 1 = JKreg = Jkres =
harga F garis regresi jumlah sampel derajat kebebasan bilangan konstan jumlah kuadrat regresi jumlah kuadrat residu (Sudjana, 2002:355) d. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif Uji sumbangan relatif dan sumbangan efektif dilakukan untuk mengetahui kontribusi masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Dalam penelitian ini, uji sumbangan digunakan untuk mengetahui kontribusi gaya kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Formula yang digunakan untuk mengetahui sumbangan relatif adalah sebagai berikut: JK
Re g
X
i
⎛ = b i . ⎜⎜ ⎝
∑
X iY −
∑
X
i
n
∑
Y ⎞ ⎟ ⎟ ⎠
11
x1
=
SR
x2
=
SR
x3
=
SR
Jk
reg
x1
Jk reg total Jk reg x 2 Jk reg total Jk reg x 3 Jk
reg
total
x 100 % x 100 % x 100 %
(Sugiyono, 2004)
Sedangkan untuk mengetahui sumbangan efektif dengan menggunakan formula sebagai berikut: SE = R x B x 100 Dimana: SE = sumbangan efektif R = nilai r B = betha 100 = nilai konstan (Hasan, 2002) Hasil Penelitian Pelaksanaan penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara gaya kepemimpinan, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar di Sulawesi Selatan. Waktu pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai dengan April 2008. Angket penelitian yang digunakan terdiri dari 80 item pertanyaan/ pernyataan yang terdiri dari 33 item untuk variabel gaya kepemimpinan kepala SKB, 16 item untuk variabel efektivitas komunikasi, 16 item untuk variabel pengambilan keputusan dan 15 item untuk variabel kinerja pamong belajar. Dan berikut tabel distribusi item masing-masing variabel sebagai berikut: Tabel 1.4 : Distribusi item-item penelitian Variabel Nomor item Gaya Kepemimpinan Kepala SKB (X1) 1-33 Efektivitas komunikasi (X2) 1-16 Pengambilan keputusan (X3) 1-16 Kinerja Pamong Belajar (Y) 1-15 Untuk mengetahui deskripsi jawaban digunakan tabel konfersi hubungan dari hasil skor total jawaban, untuk keempat variabel tersebut digunakan skala Likert dengan 5 (lima) skala penilaian dengan kategori sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Dimana pedoman konfersinya terdapat pada tabel berikut: Tabel 1.5 : Pedoman Konfersi Hubungan Antar Variabel Interval Kelas Kategori 90,0% - 100,0% Sangat tinggi 65,0% - 89,9% Tinggi 55,0% - 64,9% Sedang 40,0% - 54,9% Rendah 0,00% - 39,9% Sangat Rendah Sumber: Dantes dan Oka (1986)
Untuk pembahasan lebih lanjut tentang variabel gaya kepemimpinan kepala SKB, efektivitas komunikasi, pengambilan keputusan dan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan secara berturut-turut akan disajikan tampilan data dari masing-masing variabel sebagai berikut: 12
Gaya Kepemimpinan Kepala SKB Berdasarkan data yang terkumpul tentang gaya kepemimpinan kepala SKB (X1) yang jumlah itemnya sebanyak 33 dan nilai tertinggi (skor maksimal) untuk masingmasing item adalah 5, maka kemungkinan untuk mendapatkan nilai tertinggi adalah 165. Apabila dilakukan analisis berdasarkan konfersi dengan skala 5, maka diperoleh data sebagai berikut: 0,0% x 165 = 0,00 39,9% x 165 = 65,84 40,0% x 165 = 66,00 54,9% x 165 = 90,59 55,0% x 165 = 90,75 64,9% x 165 = 107,09 65,0% x 165 = 107,30 89,9% x 165 = 148,34 90,0% x 165 = 148.50 100,0% x 165 = 165,00 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, selanjutnya ditetapkan kelas interval untuk frekuensi masing-masing kelas, yang kemudian dapat ditafsirkan kriteria gaya kepemimpinan kepala SKB di Sulawesi Selatan sebagai berikut: Tabel 1.6 : Kriteria Gaya Kepemimpinan Kepala SKB di Sulawesi Selatan. Interval Kelas Kategori 148,50 - 165,00 Sangat baik 107,30 - 148,34 Baik 90,75 - 107,09 Sedang 66,00 - 90,59 Tidak Baik 0,00 - 65,84 Sangat Tidak baik Sumber: data olahan Setelah diperoleh interval kelas dapat diketahui kategori dari gaya kepemimpinan kepala SKB dengan melihat tabel frekuensi total skor jawaban dari 97 pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut: Tabel 1.7 : Frekuensi Total Skor jawaban Gaya Kepemimpinan Kepala SKB Persentase Interval Kelas Frek. Kategori (%) 148,5 - 165 5 5,15 Sangat baik 107,3 - 148.34 81 83,55 Baik 90,75 - 107,09 11 11,3 Sedang 66 - 90,59 0 0,0 Tidak Baik 0,00 - 65,84 0 0,0 Sangat Tidak baik Jumlah 97 100 Apabila frekuensi total skor jawaban responden untuk gaya kepemimpinan kepala SKB diilustrasikan ke dalam grafik akan nampak seperti berikut ini:
13
90 81
80 70 60
1. Sangat Baik 2. Baik 3. Sedang 4. Tidak Baik 5. Sangat Tidak Baik
50 Gaya Kepem im pinan 40 30 20 10
11 5
0 1
2
3
0
0
4
5
Kategori
Gambar : Frekuensi Gaya Kepemimpinan Kepala SKB
Berdasarkan hasil frekuensi total skor jawaban responden diketahui sebanyak 5 responden (5,15%) menyatakan gaya kepemimpinan kepala SKB sangat baik; 81 responden (83,55%) menyatakan gaya kepemimpinan kepala SKB baik; 11 responden (11,3%) menyatakan gaya kepemimpinan kepala SKB sedang dan yang menyatakan gaya kepemimpinan kepala SKB tidak baik dan sangat tidak baik tidak ada. Hal ini juga dapat dibuktikan berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata sebesar 123,46 pada standar deviasi 14,08. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat gaya kepemimpinan kepala SKB di Sulawesi Selatan dilihat dari indikator visioner, afiliatif, pembimbing, dan demokratis berada pada kategori baik. Efektivitas Komunikasi Berdasarkan data yang terkumpul tentang efektivitas komunikasi (X2) yang jumlah itemnya sebanyak 16 dan nilai tertinggi (skor maksimal) untuk masing-masing item adalah 5, maka kemungkinan untuk mendapatkan nilai tertinggi adalah 80. Apabila dilakukan analisis berdasarkan konfersi dengan skala 5, maka diperoleh data sebagai berikut: 0,0% x 80 = 0,00 39,9% x 80 = 31.92 40,0% x 80 = 32,00 54,9% x 80 = 43.92 55,0% x 80 = 44,00 64,9% x 80 = 51.92 65,0% x 80 = 52,00 89,9% x 80 = 71.92 90,0% x 80 = 72,00 100,0% x 80 = 80,00 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, selanjutnya ditetapkan kelas interval untuk frekuensi masing-masing kelas, yang kemudian dapat ditafsirkan kriteria efektivitas komunikasi kepala SKB di Sulawesi Selatan sebagai berikut: Tabel 1.8 : Kriteria Efektivitas Komunikasi Kepala SKB Interval Kelas Kategori 72,00 - 80,00 Sangat tinggi 52,00 - 71,92 Tinggi 44,00 - 51,92 Sedang 32,00 - 42,92 Rendah 0,00 - 31,92 Sangat Rendah Sumber: data olahan
14
Setelah diperoleh interval kelas dapat diketahui kategori efektivitas komunikasi kepala SKB di Sulawesi Selatan dengan melihat tabel frekuensi total skor jawaban dari 97 pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut: Tabel 1.9 : Frekuensi Total Skor Jawaban Efektivitas Komunikasi Kepala SKB Persenta Interval Kelas Frek. Kategori se (%) 72,00 - 80,00 5 5,15 Sangat tinggi 52,00 - 71,92 79 81,44 Tinggi 44,00 - 51,92 13 13,40 Sedang 32,00 - 42,92 0 0 Rendah 0,00 - 31,92 0 0 Sangat Rendah Jumlah 97 100 Apabila frekuensi total skor jawaban responden untuk efektivitas komunikasi kepala SKB diilustrasikan ke dalam grafik akan nampak lebih jelas seperti berikut ini: 79
80 70 60
1. 2. 3. 4. 5.
50 Efekt. 40 Komunikasi 30 20 10
Sangat Tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat Rendah
13 5
0 1
2
3
0 4
0 5
Kategori
Gambar 10. Frekuensi Efektivitas Komunikasi Kepala SKB
Berdasarkan hasil frekuensi total skor jawaban responden diketahui sebanyak 5 responden (5,15%) menyatakan efektivitas komunikasi kepala SKB sangat tinggi; 79 responden (81,44%) menyatakan efektivitas komunikasi kepala SKB tinggi; 13 responden (13,40%) menyatakan efektivitas komunikasi kepala SKB sedang dan yang menyatakan efektivitas komunikasi kepala SKB rendah dan sangat rendah tidak ada. Hal ini juga dapat dibuktikan berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata sebesar 58,61 pada standar deviasi 7,01. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat efektivitas komunikasi kepala SKB di Sulawesi Selatan dilihat dari indikator unsur-unsur komunikasi efektif berada pada kategori tinggi. Pengambilan Keputusan Berdasarkan data yang terkumpul tentang pengambilan keputusan (X3) yang jumlah itemnya sebanyak 16 dan nilai tertinggi (skor maksimal) untuk masing-masing item adalah 5, maka kemungkinan untuk mendapatkan nilai tertinggi adalah 80. Apabila dilakukan analisis berdasarkan konfersi dengan skala 5, maka diperoleh data sebagai berikut: 0,0% 39,9% 40,0% 54,9% 55,0% 64,9% 65,0% 89,9% 90,0% 100,0%
x x x x x x x x x x
80 80 80 80 80 80 80 80 80 80
= = = = = = = = = =
0,00 31.92 32,00 43.92 44,00 51.92 52,00 71.92 72,00 80,00
15
Berdasarkan hasil perhitungan di atas, selanjutnya ditetapkan kelas interval untuk frekuensi masing-masing kelas, yang kemudian dapat ditafsirkan kriteria pengambilan keputusan kepala SKB di Sulawesi Selatan sebagai berikut: Tabel 1.10: Kriteria Pengambilan Keputusan Kepala SKB.
Interval Kelas 72,00 - 80,00 52,00 - 71,92 44,00 - 51,92 32,00 - 42,92 0,00 - 31,92 Sumber: data olahan
Kategori Sangat baik Baik Sedang Tidak Baik Sangat Tidak baik
Setelah diperoleh interval kelas seperti tampak pada tabel di atas, dapat diketahui bahwa kategori dari pengambilan keputusan kepala SKB dengan melihat tabel frekuensi total skor jawaban dari 97 pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut: Tabel 1.11: Frekuensi Total Skor jawaban Pengambilan Keputusan Kepala SKB
Persentase Kategori (%) 72,00 - 80,00 4 4,12 Sangat baik 52,00 - 71,92 80 82,47 Baik 44,00 - 51,92 13 13,40 Sedang 32,00 - 42,92 0 0 Tidak Baik 0,00 - 31,92 0 0 Sangat Tidak Baik Jumlah 97 100 Apabila frekuensi total skor jawaban responden untuk pengambilan keputusan kepala SKB diilustrasikan ke dalam grafik akan nampak lebih jelas seperti berikut ini: Interval Kelas
Frek.
80
80 70 60
1. Sangat Baik 2. Baik 3. Sedang 4. Tidak Baik 5. Sangat Tidak Baik
50 Pengam bilan 40 Keputusan 30 20 13
10 0
4 1
2
3
0 4
0 5
Kategori
Gambar : Frekuensi Pengambilan Keputusan Kepala SKB
Berdasarkan hasil frekuensi total skor jawaban responden diketahui sebanyak 4 responden (4,12%) menyatakan pengambilan keputusan kepala SKB sangat baik; 80 responden (82,47%) menyatakan pengambilan keputusan kepala SKB baik; 13 responden (13,40%) menyatakan pengambilan keputusan kepala SKB sedang dan yang menyatakan pengambilan keputusan kepala SKB tidak baik dan sangat tidak baik tidak ada. Hal ini juga dapat dibuktikan berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata sebesar 59,14 pada standar deviasi 6,83. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan kepala SKB di Sulawesi Selatan dilihat dari indikator peluang untuk ambil bagian dalam proses pengambilan keputusan, ikut andil dalam proses pengambilan keputusan dan tindakan melaksankan keputusan berada pada kategori baik.
16
Kinerja Pamong Belajar SKB Berdasarkan data yang terkumpul tentang kinerja pamong belajar (Y) yang jumlah itemnya sebanyak 15 dan nilai tertinggi (skor maksimal) untuk masing-masing item adalah 5, maka kemungkinan untuk mendapatkan nilai tertinggi adalah 75. Apabila dilakukan analisis berdasarkan konfersi dengan skala 5, maka diperoleh data sebagai berikut: 0,0% x 75 = 0,00 39,9% x 75 = 29.93 40,0% x 75 = 30,00 54,9% x 75 = 41.18 55,0% x 75 = 41.25 64,9% x 75 = 48.68 65,0% x 75 = 48.75 89,9% x 75 = 67.43 90,0% x 75 = 67.50 100,0% x 75 = 75,00 Berdasarkan hasil perhitungan di atas, selanjutnya ditetapkan kelas interval untuk frekuensi masing-masing kelas, yang kemudian dapat ditafsirkan kriteria kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan sebagai berikut: Tabel 1.12: Kriteria Kinerja Pamong Belajar SKB di Sul-Sel. Interval Kelas Kategori 67.50 - 75,00 Sangat tinggi 48.75 - 67.43 Tinggi 41.25 - 48.68 Sedang 30,00 - 41.18 Rendah 0,00 - 29.93 Sangat Rendah Sumber: data olahan Setelah diperoleh interval kelas dapat diketahui kategori dari kinerja pamong belajar SKB dengan melihat tabel frekuensi total skor jawaban dari 97 pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan adalah sebagai berikut: Tabel 1.13 : Frekuensi Total Skor jawaban Kinerja Pamong Belajar SKB di Sul-Sel.
Persentase Kategori (%) 67.50 - 75,00 5 5,15 Sangat tinggi 48.75 - 67.43 88 90,72 Tinggi 41.25 - 48.68 4 4,12 Sedang 30,00 - 41.18 0 0 Rendah 0,00 - 29.93 0 0 Sangat Rendah 97 100 Apabila frekuensi total skor jawaban responden untuk kinerja pamong belajar SKB diilustrasikan ke dalam grafik akan nampak lebih jelas seperti berikut ini: Interval Kelas
Frek.
17
90 80 70 60 Kinerja Pam ong 50 Belajar 40 30 20 10 0
88
1. Sangat Tinggi 2. Tinggi 3. Sedang 4. Rendah 5. Sangat Rendah 5 1
4 2
3
0
0
4
5
Kategori
Gambar : Frekuensi Kinerja Pamong Belajar SKB
Berdasarkan hasil frekuensi total skor jawaban responden diketahui sebanyak 5 responden (5,15%) menyatakan kinerja pamong belajar SKB sangat tinggi; 88 responden (90,72%) menyatakan kinerja pamong belajar SKB tinggi; 4 responden (4,12%) menyatakan kinerja pamong belajar SKB sedang dan yang menyatakan kinerja pamong belajar SKB rendah dan sangat rendah tidak ada. Hal ini juga dapat dibuktikan berdasarkan hasil analisis statistik deskriptif diperoleh nilai rata-rata sebesar 58,54 pada standar deviasi 5,08. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan dilihat dari indikator kualitas kerja, disiplin, dan hasil yang dicapai berada pada kategori tinggi. Uji Normalitas dan Linieritas 1. Normalitas data Data analisis yang normal adalah penyebaran antara kumulatif residual dengan sebaran kumulatif distribusi normal menyebar disekitar dan tidak berpencar atau menjauh dari garis lurus, hasil analisis tersebut diperoleh gambar (lampiran 11) sebagai berikut: Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Dependent Variable: Kinerja Pamong Belajar (Y) 1.00
Expected Cum Prob
.75
.50
.25
0.00 0.00
.25
.50
.75
1.00
Observed Cum Prob
Gambar : Analisis Normalitas
Berdasarkan gambar di atas tampak bahwa penyebaran antara kumulatif residual dengan sebaran kumulatif distribusi normal menyebar disekitar garis lurus dan tidak ada yang berpencar jauh. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data penelitian telah berdistribusi normal. 2. Linieritas data Data analisis yang linier adalah penyebaran data dilihat dari skala scater plot masing-masing variabel bebas dengan variabel terikatnya yang membentuk suatu pola
18
garis-garis lurus, hasil analisis diperoleh gambar linieritas untuk masing-masing variabel bebas (lampiran 9) adalah sebagai berikut: Kinerja PB Observed Linear
70.00
60.00
50.00
40.00 100.00
120.00
140.00
160.00
Gaya Kepemimpinan
Gambar : Analisis Linieritas Variabel Gaya Kepemimpinan. Kinerja PB Observed Linear
70.00
60.00
50.00
40.00 50.00
60.00
70.00
80.00
Efekt.Komunikasi
Gambar : Analisis Linieritas Variabel Efektivitas Komunikasi.
Kinerja PB Observed Linear
70.00
60.00
50.00
40.00 50.00
55.00
60.00
65.00
70.00
75.00
80.00
Pengamb.Keputusan
Gambar : Analisis Linieritas Variabel Pengambilan Keputusan.
Berdasarkan gambar tersebut di atas, menunjukkan bahwa penyebaran data masingmasing variabel bebas dengan variabel terikat terlihat membentuk garis lurus dari sisi kiri bawah ke sisi kanan atas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data dalam penelitian ini sudah linier.
19
Pengujian Hipotesis Hipotesis pada hakekatnya merupakan rumusan jawaban sementara yang terdiri dari minimal satu variabel bebas dan satu variabel bergantung yang mana kebenarannya masih harus dibuktikan secara empiris. Menurut Suryabrata (1987:75) menyebutkan bahwa ”hipotesis adalah jawaban sementara terhadap penelitian yang kebenarannya masih harus dibuktikan secara empiris” senada dengan pendapat tersebut Sugiyono (2006:82) mengatakan hipotesis diartikan sebagai jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian. Sehubungan dengan itu maka untuk membuktikan hipotesis dalam penelitian ini didasarkan atas hasil analisis data dengan menggunakan bantuan program SPSS versi 15.0 for windows yang terdapat pada lampiran tesis ini. 1. Hubungan antara gaya kepemimpinan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial diperoleh nilai koefisien korelasi antara gaya kepemimpinan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan, dimana rx1-y sebesar 0,254 (0,000), dan besarnya korelasi tabel product-moment (r tabel) pada taraf kesalahan 5% untuk n = 97 sebesar 0,197. Karena nilai r tabel lebih kecil dari nilai r hitung (rhit = 0,254 > rtab = 0,197), maka hipotesis nihil (Ho) yang berbunyi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan dinyatakan ditolak. Dengan demikian hipotesis altenatif (Ha) diterima, yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. 2. Hubungan antara efektivitas komunikasi kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial diperoleh nilai koefisien korelasi antara efektivitas komunikasi kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan, dimana rx1-y sebesar 0,438 (0,000), dan besarnya korelasi tabel product-moment (r tabel) pada taraf kesalahan 5% untuk n = 97 sebesar 0,197. Karena nilai r tabel lebih kecil dari nilai r hitung (rhit = 0,438 > rtab = 0,197), maka hipotesis nihil (Ho) yang berbunyi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara efektivitas komunikasi kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan dinyatakan ditolak. Dengan demikian hipotesis altenatif (Ha) diterima, yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara efektivitas komunikasi kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. 3. Hubungan antara pengambilan keputusan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial diperoleh nilai koefisien korelasi antara pengambilan keputusan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan, dimana rx1-y sebesar 0,296 (0,000), dan besarnya korelasi tabel product-moment (r tabel) pada taraf kesalahan 5% untuk n = 97 sebesar 0,197. Karena nilai r tabel lebih kecil dari nilai r hitung (rhit = 0,296 > rtab = 0,197), maka hipotesis nihil (Ho) yang berbunyi tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pengambilan keputusan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar di Sulawesi Selatan dinyatakan ditolak. Dengan demikian hipotesis altenatif (Ha) diterima, yang berarti bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengambilan keputusan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan.
20
4. Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. R2 adalah kofisien determinasi untuk mengetahui besarnya sumbangan (kontribusi) dari variabel gaya kepemimpinan, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan terhadap kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Nilai R2 (lampiran 13) diperoleh sebesar 0,504, hal ini berarti bahwa variabel gaya kepemimpinan, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan terhadap kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan sebesar 50,4%. Sedangkan sisanya 49,6% kinerja pamong belajar berasal dari kontribusi variabel selain dari ketiga variabel yang diteliti. Untuk mengetahui besarnya hubungan dari masing-masing variabel gaya kepemimpinan, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan terhadap kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan dengan melihat data hasil korelasi parsial antar variabel tersebut. Adapun besarnya korelasi dari variabel X1, X2 dan X3 dengan Y adalah sebagai berikut: Tabel 1.4 : Koefisien Korelasi Parsial Variabel
Koefisien Regresi
Gaya kepemimpinan kepala SKB Efektivitas komunikasi Pengambilan keputusan Jumlah
0,254 0,438 0,296 0,988
Berdasarkan tabel tersebut di atas, diketahui nilai koefisien korelasi parsial yang mempunyai hubungan paling besar adalah variabel efektivitas komunkasi. Dan untuk mengetahui seberapa besar kontribusi/sumbangan dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat atau variabel gaya kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan terhadap kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan digunakan sumbangan relatif dan sumbangan efektif dengan perhitungan sebagai berikut: Sumbangan relatif: 0 , 254 SR X 1x x100 % = 25 , 71 0 , 988 0 , 438 SR X 2x x100 % = 44 , 33 SR
0 , 988 0 , 296 X 3x x100 % = 29 , 96 0 , 988
Total (SR: X1,X2,X3) = 100% Sumbangan efektif: SE = Beta x Zero Order x 100% SE X1 = 0,226 x 0,54 = 0,12204 SE X2 = 0,399 x 0,61 = 0,24339 SE X3 = 0,259 x 0,535 = 0,138565 Total (SE: X1,X2,X3)
= = = =
12.20% 24,34% 13,86% 50,40%
Dari hasil perhitungan tersebut di atas terlihat bahwa variabel efektivitas komunikasi (X2) memberikan sumbangan yang paling besar yaitu 24,34% terhadap peningkatan kinerja pamong belajar, sementara variabel pengambilan keputusan (X3) kontribusinya terhadap peningkatan kinerja pamong belajar sebesar 13,86% dan yang paling kecil kontribusinya terhadap peningkatan kinerja pamong belajar adalah variabel gaya kepemimpinan (X1) yaitu sebesar 12.20%. 21
Pembahasan Dari hasil analisis data sebagaimana telah diuraikan pada bagian sebelumnya, serta hasil pengujian terhadap hipotesis yang diajukan, maka sejumlah temuan telah diperoleh yang merupakan jawaban dari masalah-masalah yang telah durumuskan dalam penelitian ini. Masalah pokok dalam penelitian ini pada prinsipnya telah terjawab, masalah yang dimaksud adalah hubungan gaya kepemimimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dibahas hubungan masing-masing variabel X dengan variabel Y sebagai berikut: a. Hubungan antara gaya kepemimpinan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan kepala sanggar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan (ry1-23 = 0,254; P = 0,000). Hasil ini menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan memberikan kontribusi yang bermakna hubungannya dengan peningkatan kinerja pamong belajar. Temuan ini mengimplikasikan bahwa gaya kepemimpinan kepala sanggar yang efektif merupakan suatu kondisi yang harus diwujudkan sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja pamong belajar. Semakin baik atau semakin efektif gaya kepemimpinan kepala sanggar, semakin tinggi kinerja pamong belajar. Begitu pula sebaliknya, ketidakefektifan gaya kepemimpinan kepala sanggar juga berdampak pada menurunnya kinerja pamong belajar. Dengan demikian, gaya kepemimpinan kepala sanggar yang efektif memberi dampak positif pada aktivitas pamong belajar dalam melaksanakan tugasnya. Keadaan ini akan terus mendorong pamong belajar untuk melaksanakan tugas dengan lebih baik dalam rangka mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Temuan empiris ini di dukung oleh hasil penelitian sebelumnya. Halpin (1971) mengemukakan bahwa keefektivan gaya kepemimpinan itu memberi pengaruh pada kinerja bawahan. Selanjutnya Hoy dan Miskel (1987) mengungkapkan bahwa tingkat efektivitas gaya kepemimpinan itu memberi pengaruh kepada tingkat kinerja mereka yang dipimpin. Semakin tinggi tingkat efektivitas gaya kepemimpinan, semakin tinggi pula tingkat kinerja bawahan. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah efektivitas gaya kepemimpinan, semakin rendah pula tingkat kinerja bawahan. Lebih lanjut diuraikan bahwa pemimpin yang efektif itu (1) memiliki hubungan baik dengan bawahan, (2) menggunakan metode kepemimpinan dan pengambilan keputusan yang lebih baik, dan (3) cenderung untuk menentukan tingkat kinerja yang tinggi kepada yang dipimpinnya. Dengan demikian uraian di atas memberikan suatu petunjuk bagi kepala sanggar sebagai pemimpin lembaga agar selalu meningkatkan efektivitas gaya kepemimpinannya sehingga kinerja pamong belajar juga terus mengalami peningkatan. Owens (1991) juga mengungkapkan bahwa efektivitas perilaku kepemimpinan itu memiliki pengaruh terhadap kinerja bawahan. Pemimpin yang yang dapat menerapkan perilaku kepemimpinan secara efektif, mampu menciptakan suasana kinerja yang mendukung pada peningkatan kinerja bawahan. Bawahan akan melaksanakan pekerjaannya dengan senang hati dan penuh semangat karena dipimpin oleh pemimpin yang dapat mengorganisasikan dan menciptakan suasana kerja yang mendukung. Keefektivan perilaku kepemimpinan yang berdampak pada terwujudnya keefektivan organisasi. Organisasi yang efektif dapat mencapai tujuan organisasinya dengan baik secara efektif dan efisien. Selanjutnya efektivitas gaya kepemimpinan ditentukan oleh situasi dan kondisi organisasi. Dengan kata lain, salah satu tolok ukur untuk membawa organisasi SKB menjadi lebih baik atau lebih buruk tergantung dari pada gaya kepemimpinan yang diterapkan kepala sanggar. Hal ini dibutuhkan kecermatan kepala 22
SKB dalam melihat situasi dan kondisi lembaganya sehingga pemilihan gaya kepemimpinan tepat sasaran demi pencapaian tujuan organisasi. Menurut Tannenbaum dan Schmidt (dalam Prasetyo, 2006), pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat tergantung pada faktor yang pemimpin bagaimana sistem nilai dan keyakinannya terhadap bawahan. Berdasarkan temuan empiris dan pendapat para ahli di atas, menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan yang efektif merupakan hal penting yang harus diwujudkan, karena hal ini dapat berdampak pada kinerja bawahan. Implikasinya dalam suatu lembaga atau organisasi seperti halnya Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) yang dipimpin oleh kepala sanggar harus mengusahakan secara maksimal terwujudnya gaya kepemimpinan yang efektif. Gaya kepemimpinan yang efektif dapat meningkatkan kinerja pamong belajar yang pada akhirnya dapat mewujudkan keefektivan organisasi. Organisasi yang efektif, dapat melaksanakan program-programnya dengan baik sehingga dapat mencapai tujuan organisasi dengan lebih baik secara efektif dan efisien. Upaya peningkatan keefektivan gaya kepemimpinan kepala sanggar akan menjadi faktor penting dalam peningkatan kinerja pamong belajar sebagai pilar terdepan penggerak dan pelaksana program-program pendidikan nonformal di mayarakat. Dan kinerja yang baik bagi pamong belajar akan berdampak pada peningkatan mutu layanan serta kualitas program pendidikan nonformal dalam wilayah kerjanya. b. Hubungan antara efektivitas komunikasi dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi kepala sanggar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan (ry2-13 = 0,296; P = 0,000). Hasil ini menunjukkan bahwa efektivitas komunikasi kepala sanggar memberikan kontribusi yang bermakna hubungannya dengan peningkatan kinerja pamong belajar. Temuan ini mengimplikasikan bahwa komunikasi yang efektif perlu dicipatakan oleh kepala sanggar, karena hal ini dapat meningkatkan kinerja pamong belajar. Semakin baik atau semakin efektif komunikasi yang dijalin oleh kepala sanggar, semakin tinggi kinerja pamong belajar. Begitu pula sebaliknya, semakin tidak efektif komunikasi yang dijalin oleh kepala sanggar juga akan berdampak pada menurunnya tingkat kinerja pamong belajar. Hasil penelitian tersebut sangat relevan, karena kemampuan pimpinan dalam hal ini kepala sanggar untuk membangun komunikasi yang efektif sangat penting karena memungkinkan mereka melaksanakan fungsi manajemennya. Secara khusus Terry dan Franklin (dalam Mukijat, 1993:4) mendefinisikan bahwa komunikasi adalah seni mengembangkan dan mendapatkan pengertian di antara orang-orang. Komunisikasi adalah proses menukar informasi dan perasaan di antara dua orang atau lebih, dan pentingnya bagi manajemen yang efektif. Oleh karena itu, kepala sanggar sebagai sentral kekuatan dan dinamisator bagi SKB dituntut untuk selalu menjalin komunikasi yang baik bagi segenap bawahan, baik secara formal maupun secara informal. Karena sukses tidaknya pelaksanaan tugas pemimpin (performansi kerja) sebagian besar ditentukan oleh kemampuannya menjalin komunikasi yang tepat kepada semua pihak, baik secara horisontal maupun secara vertikal ke atas dan ke bawah. Karena efektivitas komunikasi yang terjalin dengan baik akan mempengaruhi penyampaian program pendidikan (khususnya pendidikan nonformal) baik mengenai rencana program Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) maupun pada saat pelaksanaan program yang dapat memberi dampak positif bagi peningkatan kinerja pamong belajar. Selanjutnya diperlukan koordinasi yang baik antara kepala sanggar dengan pamong belajar, koordinasi dapat berjalan dengan baik apabila terjadi komunikasi yang efektif antara kepala sanggar dengan pamong belajar. 23
Komunikasi dalam suatu organisasi merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Karena melalui komunikasi dan dialog yang baik, lancar dan terbuka, kepala sanggar akan mendapatkan informasi baik berupa masukan atau saran-saran maupun berupa ide-ide operasional dari pamong belajar yang bermanfaat bagi penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam organisasi. Hal tersebut di atas didukung oleh teori yang dikemukakan Kartono (2002) yang menyebutkan beberapa manfaat komunikasi sebagai berikut: 1. Menghubungkan semua unsur yang melakukan inter-relasi pada semua lapisan, sehingga menimbulkan rasa kesetiakawanan dan loyalitas antar sesama. 2. Pimpinan dapat langsung mengetahui keadaan bidang-bidang yang dibawahi, sehingga berlangsung pengendalian operasional yang efisien. 3. Meningkatkan rasa tanggungjawab semua anggota, dan melibatkan mereka pada kepentingan organisasi, dan 4. Memunculkan rasa saling pengertian dan saling menghargai tugas masing-masing sehingga menimbulkan rasa kesatuan dan pemantapan spirit de corps (semangat korps). Selanjutnya Effendy (tanpa tahun) mengatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat membantu keberhasilan komunikasi yaitu: 1. Mengetahui dengan jelas apa yang akan dikomunikasikan, artinya mengusahakan pihak penerima (pamong belajar) dapat mengerti dan memahami betul yang dimaksud dan diharapkan pihak pengirim (kepala sanggar). 2. Mengetahui dan mengenali siapa yang diajak berkomunikasi 3. Menumbuhkan perhatian yang memuaskan, artinya kepala sanggar memastikan apakah pamong belajar atau staf yang lainnya mau mendengarkan apa yang akan dikatakannya. 4. Memperoleh pengertian, artinya kepala sanggar dapat memastikan apa yang dikomunikasikan dapat dipahami oleh pamong belajar. 5. Mengusahakan daya kenang, artinya mengupayakan agar informasi yang disampaikan dapat selalu diingat, dikenang dan akan tetap segar dalam pikiran. 6. Mengusahakan atau memanfaatkan, artinya apa yang diperoleh dan ditangkap oleh pendengar (pamong belajar) perlu memanfaatkan. 7. Usahakan pelaksanaan, artinya sebagai pengecekan, pendegar dapat mengusahakan agar ia berbuat sesuatu mengenai informasi yang diterima. Dari hasil penelitian tentang variabel efektivitas komunikasi kepala sanggar diketahui bahwa efektivitas komunikasi yang terjalin antara kepala sanggar dengan pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan berada pada kategori tinggi (81,44%) dan merupakan variabel yang memiliki kontribusi atau sumbangan efektif terbesar (24,34%) terhadap variabel kinerja pamong belajar. Oleh karena itu komunikasi yang terjalin dengan baik antara kepala SKB dengan pamong belajar perlu dipertahankan. Terdapat beberapa manfaat atau keuntungan apabila seorang kepala SKB mampu melaksanakan komunikasi dengan efektif yaitu: 1) Kelancaran tugas-tugas dapat lebih terjamin; dengan komunikasi yang efektif berarti apa yang kita komunikasikan akan dapat dimengerti, sehingga kita tidak perlu mengadakan pengulangan terhadap komunikasi yang kita telah sampaikan, 2) Dapat meningkatkan partisipasi; agar partisipasi menjadi baik, berarti harus ada komunikasi timbal balik, hal ini dapat menimbulkan unsur pengikutsertaan dari bawahan kepada lembaga. Hal ini berarti pula bahwa dengan partisipasi yang baik kita akan dapat meningkatkan partisipasi bawahan dalam hal ini pamong belajar, dan 3) Pengawasan dapat dilakukan dengan lebih baik; dengan adanya komunikasi yang efektif berarti hubungan antara kepala SKB dengan pamong belajar terjalin baik, sehingga hal ini berarti pula
24
bahwa pengawasan dari pimpinan atas tugas-tugas yang dilakukan bawahan akan dilaksanakan dengan lebih baik. c. Hubungan antara pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengambilan keputusan kepala sanggar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan (ry3-12 = 0,438 ; P = 0,000). Hasil ini menunjukkan bahwa pengambilan keputusan kepala sanggar yang tepat dan adil memberikan kontribusi yang bermakna hubungannya dengan peningkatan kinerja pamong belajar. Temuan ini mengimplikasikan bahwa pengambilan keputusan yang tepat dan adil perlu terus dilakukan oleh kepala sanggar, karena hal ini dapat meningkatkan kinerja pamong belajar. Semakin tepat dan adil keputusan yang diambil oleh kepala sanggar, semakin tinggi kinerja pamong belajar. Begitu pula sebaliknya, semakin tidak tepat atau tidak adil keputusan yang diambil kepala sanggar juga akan berdampak pada menurunnya tingkat kinerja pamong belajar. Hasil analisis tersebut di atas sangat relevan, karena dalam suatu organisasi pengambilan keputusan merupakan unsur yang paling sulit dalam manajemen, namun juga merupakan usaha yang paling penting bagi pimpinan, karena dalam proses pengambilan keputusan diperlukan kemahiran menyeleksi dan menentukan keputusan yang paling tepat dari sekian banyak alternatif jawaban atau pemecahan masalah. Untuk itu diperlukan seorang pemimpin yang mampu dan tangkas, ceerdas, cepat dan arif bijaksana dalam mengambil keputusan yang tepat, sehingga program-program dan kebijakan pada SKB berjalan dengan baik, dan tentunya dapat berdampak pada peningkatan kinerja staf khususnya pamong belajar. Pengambilan keputusan harus dilakukan dengan tepat, karena baik buruknya keputusan yang diambil akan berdampak pada pelaksanaan program atau kebijakan yang ditetapkan oleh kepala sanggar. Oleh karena itu untuk menghasilkan keputusan yang tepat kepala sanggar perlu memperhatikan prinsip-prinsip pokok pengambilan keputusan seperti yang dikemukakan oleh Effendy (tanpa tahun) sebagai berikut: 1. Prinsip Definisi (Principle of Definition) Suatu keputusan yang rasional hanya dapat diambil bila suatu masalah ditentukan terlebih dahulu. Harus dapat diketahui masalah apa yang dihadapi, masalah harus jelas dan tidak semu. 2. Prinsip Identitas (Principle of Identity) Berdasarkan pada pangkal waktu dan pangkal pandangan fakta mungkin tampak berbeda. Arti dari fakta yang ada tidak selalu sama bagi seseorang. 3. Prinsip Bukti Yang Cukup (Principle of Adequate Evidence) Suatu keputusan dinyatakan sah, bila ada bukti atas dasar apa keputusan keputusan itu didasarkan. Suatu keputusan yang benar, bila didasarkan pada bukti-bukti yang cukup. Begitu pentingnya seorang pimpinan memahami dan menguasi cara-cara pengambilan keputusan, Chase (dalam Salusu, 1986) mengemukakan pendapatnya bahwa untuk memecahkan macam-macam permasalahan hidup yang dihadapi setiap hari, terutama masalah yang rumit, manusia selalu diharuskan melakukan pilihan dari sekian banyak alternatif. Untuk sampai pada suatu keputusan, manusia menggunakan enam cara sebagai berikut: a. Memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. b. Memohon restu dan petunjuk dari orang-orang bijaksana (semakin tua penasihat tersebut, makin baik atau makin arif petuah-petuahnya). c. Mendasarkan diri pada firasat dan intiusi pribadi. d. Menggunakan akal sehat atau common sense. 25
e. Melandaskan diri pada daya pikir yang logis (logika). f. Menggunakan cara-cara penyelesaian ilmiah (yaitu: disertai penelitian secara faktual, analisis, verifikasi, bukti-bukti). Menurut Siagian (1988) bahwa untuk suksesnya pengambilan keputusan, maka ”sepuluh hukum” hubungan kemanusiaan hendaknya menjadi acuan dari setiap pengambilan keputusan yaitu: (1) harus ada sinkronisasi antara tujuan organisasi dengan tujuan masing-masing anggota organisasi tersebut; (2) harus ada suasana dan iklim kerja yang menggembirakan; (3) interaksi antara atasan dan bawahan hemdaknya memadu informalitas dan formalitas; (4) manusia tidak boleh diperlakukan seperti mesin; (5) kemampuan bawahan harus dikembangkan terus hingga titik yang optimum; (6) pekerjaan dalam organisasi hendaknya yang bersifat menantang; (7) hendaknya ada pengakuan dan penghargaan terhadap mereka yang berprestasi; (8) kemudahan-kemudahan dalam pekerjaan hendaknya diusahakan untuk memungkinkan setiap orang melaksanakan tugasnya dengan baik; (9) sehubungan dengan penempatan hendaknya digunakan prinsip the right man on the right place dan (10) tingkat kesejahteraan hendaknya juga diperhatikan antara lain dengan pemberian balas jasa yang setimpal. Dari hasil penelitian tentang variabel pengambilan keputusan kepala sanggar diketahui bahwa tingkat pengambilan keputusan kepala SKB di Sulawesi Selatan berada pada kategori baik (82,47%) dan pengambilan keputusan merupakan variabel yang memberikan kontribusi atau sumbangan efektif sebesar (13,86%) terhadap variabel kinerja pamong belajar. Betapa pentingnya pengambilan keputusan dalam suatu organisasi sehingga dikatakan sebagai kunci kepemimpinan atau inti kepemimpinan (Gore, 1958 dan Siagian, 1988). Oleh karena itu, seorang kepala SKB harus menguasai teknik pengambilan keputusan yang tepat dan adil, agar bawahan dalam hal ini pamong belajar memiliki komitmen dan kepercayaan, baik terhadap lembaga SKB maupun terhadap kepala SKB sebagai pimpinannya, diharapkan pula dengan adanya komitmen dan kepercayaan bawahan kepada atasan berpengaruh pada peningkatan motivasi atau semangat kerja yang sekaligus akan berdampak pada peningkatan kinerja. Dari hasil pembahasan hubungan antar variabel sebagaimana telah diuraikan di atas, maka untuk lebih memperjelas disajikan gambar model hasil akhir hubungan antar variabel gaya kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar di Sulawesi Selatan sebagai berikut: Gaya Kepemimpinan
Efektivitas Komunikasi
Kinerja
Pengambilan Keputusan
Gambar : Model Hasil Akhir Hubungan Antar Variabel
26
Kesimpulan 1. Hasil pembuktian terhadap hipotesis pertama yang berbunyi terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sanggar dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan ternyata diterima pada taraf kepercayaan 95%. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin baik atau tepat gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala sanggar, maka akan diikuti dengan semakin meningkatnya kinerja pamong belajar. 2. Hasil pembuktian terhadap hipotesis kedua yang berbunyi terdapat hubungan yang signifikan antara efektivitas komunikasi dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan diterima pada taraf kepercayaan 95%. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin efektif komunikasi yang dilakukan oleh kepala sanggar, maka akan diikuti dengan semakin meningkatnya kinerja pamong belajar. 3. Hasil pembuktian terhadap hipotesis ketiga yang berbunyi terdapat hubungan yang signifikan antara pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan ternyata diterima pada taraf kepercayaan 95%. Dengan demikian dapat katakan bahwa tinggi rendahnya kinerja pamong belajar dipengaruhi oleh kemampuan pengambilan keputusan kepala sanggar. semakin tepat dan adil pengambilan keputusan yang dilakukan oleh kepala sanggar, maka ada kecenderungan diikuti oleh peningkatan kinerja pamong belajar. 4. Hasil pembuktian terhadap hipotesis keempat yang berbunyi terdapat hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan secara bersama-sama dengan kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan diterima pada taraf kepercayaan 95%. Penelitian ini menunjukkan bahwa secara bersama-sama (simultan) semakin baik atau tepat gaya kepemimpinan, semakin efektif komunikasi yang dilakukan kepala sanggar dan semakin tepat dan adil pengambilan keputusan kepala sanggar, maka diyakini dapat meningkatkan unjuk kerja atau kinerja pamong belajar. 5. Secara simultan gaya kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi, dan pengambilan keputusan memberi kontribusi sebesar 50,40% terhadap kinerja pamong belajar SKB di Sulawesi Selatan, dan berdasarkan hasil analisis data diketahui bahwa yang memberikan sumbangan paling besar adalah efektivitas komunikasi, kemudian pengambilan keputusan dan terkecil adalah gaya kepemimpinan. Saran Berdasarkan hasil kesimpulan penelitian di atas, maka dapat disampaikan saransaran sebagai berikut: 1. Peningkatan kinerja pamong belajar merupakan hal penting karena akan berdampak pada peningkatan mutu dan kualitas program layanan pada masyarakat. Oleh karena itu penerapan gaya kepemimpinan yang tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lembaga oleh kepala SKB hendaknya selalu diperhatikan dan berupaya secara terus-menerus untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinannya. 2. Efektitivitas komunikasi yang diterapkan oleh kepala SKB dapat meningkatkan kinerja pamong belajar. Oleh karena itu kepala SKB hendaknya terus menjalin komunikasi yang efektif kepada pamong belajar, agar terjadi interaksi yang harmonis dalam membicarakan berbagai program pemberdayaan yang akan dilaksanakan sebagai misi lembaga SKB. Karena dengan adanya komunikasi yang efektif akan membangun komitmen dan rasa saling percaya antara atasan dengan bawahan sehingga tercipta sinergi dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. 3. Pengambilan keputusan sebagai inti dari manajemen memegang peranan yang sangat penting dan memberi kontribusi yang berarti terhadap peningkatan kinerja pamong 27
belajar. Oleh karena itu seorang kepala SKB hendaknya mampu mengambil keputusan yang tepat dan adil. Karena dengan penerapan pengambilan keputusan yang tepat dan adil serta objektif oleh kepala SKB, diyakini dapat menimbulkan rasa puas dari pamong belajar, yang tentunya akan direfleksikan dalam performansi kerja di lembaganya. 4. Berdasarkan hasil analisis data dimana besarnya kontribusi gaya kepemimpin-an, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan dengan kinerja pamong belajar (SKB) di Sulawesi Selatan sebesar R2 = 50,40%, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui variabel lain yang dapat memberikan kontribusi terhadap kinerja pamong belajar selain gaya kepemimpinan kepala sanggar, efektivitas komunikasi dan pengambilan keputusan, mengingat sumbangan efektif dari variabel tersebut masih relatif kecil. Variabel lain yang diprediksi dapat memberikan kontribusi selain variabel yang diteliti tersebut adalah iklim organisasi, motivasi kerja dan kompetensi profesional. 5. Bagi para pengambil kebijakan, khususnya Dinas Pendidikan Provinsi maupun Kabupaten/Kota agar senantiasa memberikan pembinaan kepada kepala Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) dalam bentuk pelatihan manajemen dengan penekanan pada materi kepemimpinan agar kepala SKB memiliki pemahaman konsep kepemimpinan yang aplikatif dan diharapkan dapat berdampak pada perilaku kepemimpinannya. Daftar Rujukan Anden, T. 2003. Korelasi antara Keterlibatan dalam Pengambilan Keputusan Manajerial dan Rasa Percaya Diri dengan Kinerja Pamong Belajar SKB Se Kalimantan Tengah, Tesis, tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang. Antonakis, J. & House, R.J., 2002. The Full-Range Leadership Theory, The Way Forward, in Avolio, B.J. & Yammarino, F.J., (Eds), Transformational and Charismatic Leadership. Oxford: The Road Ahead, Elseiver Science. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktek. Yogyakarta: Rineka cipta. Ary, D. 1985. Introduction to Research in Education (3rd ed). New York: Holt Rinehart & Winston, Inc. Azwar, S. 2004. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset. Best, J.W. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Terjemahan Arief Furchan. Surabaya: Usaha Nasional. Borg, W.R., & Gall, M.D. 1983. Educational Research: An Introduction (4th ed.) New York: Longman. Brinckloe, W.D., & Coughlin, M.T. 1977. Managing Organizations. California: Glencoe Press. Campbell, R.F., Corbally, J.E., & Nystrand, R.O. 1983. Instroduction to Educational Administration. (6th.ed.) Boston: Allyn and Bacon. Cohen, J. 1983. Applied Multiple Regression/Corelation Analysis for The Behavior Science. Englewood Cliffs: Lawrence Erlbbaum Associater Publishers. Dantes, N., & Oka, A.A. 1986. Analisis Item. Singaraja: FKIP UNUD Singaraja. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999. Organisasi dan Tata Kerja SKB/BPKB. Jakarta: Direktorat Pendidikan Tenaga Teknis, Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah, Pemuda dan Olahraga. Depdikbud, Diklusepora Direktorat Pendidikan Tenaga Teknis, 1990: Struktur Organisasi dan Ketenagaan SKB. Jakarta.
28
Depdikbud, Direktorat Jenderal Diklusepor. (Tanpa Tahun). Dua Dasawarsa Perkembangan Organisasi dan Tata Kerja BPKB dan SKB sebagai UPT DITJEN DIKLUSEPORA (Sejak Tahun 1978 s/d 1998). Dirks, K.T. 1999. The Effects of Interpersonal Trust on Work Group Performance, Journal of Applied Psychology, 84(3): 445-455. Drucker, P.F. 1990. Eksekutif yang Efektif. Terjemahan; Rosiana Budiman. Jakarta: Erlangga. Effendy, O.U. 1986. Dimensi-Dimensi Komunikasi. Bandung: Alumni. Fiedler, F.E. 1967. A Theory of Leadership Efektiveness. New York: Mc Grow Hill Book Company. Flippo, E.B. 1971. Principle of Personnel Management. Koghakusa: McGraw-Hill. Jakarta: Gelora Aksara Pratama. Fleishman, E.A & Harris, E.F., 1962. Patterns of Leadership behavior related to employee grievances an turnover. Personnel Psychology Vol. 15 (15): 43-56. Fraenkel, J.R., 7 Wallen, N.E. 1993. How to Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill. Gibson, J.L., Ivancevich, J.M. & Donnely, J.H. 1994. Organizations, Terjemahan Djarkasih. Jakarta: Erlangga. Goleman, D., Boyatzis, M. & McKee, A. 2006. Kepemimpinan Berdasarkan Kecerdasan Emosi. Alih Bahasa; Susi Purwoko. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gordon, J.R. 1991. A Diagnostic Approach to Organizational Behavior. Boston: Allyn & Bacon. Gorton, R.A., & Schneider, G.T. 1991. School Based Leadership Challenges and Opportunities. Dubuque, Iowa: BWC Brown Company Publishers. Hadi, S. 2000. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset Hanson, E.M. 1991. Educational Administration and Oraganizational Behavior. Massachusetts: Allyn and Bacon, Inc. Henerson, M.L.M, & Gibson, F.C. 1978. How to Measure Attitude. New York: MacMillan Publishing, Inc. Hasan, M.I. 2002. Pokok-Pokok Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hersey, P. & Blanchard, K.H. 1992. Management of Organizational Behavior. Utilizing Human Resources. 4th Edition, Alih bahasa; Agus Dharma. Jakarta: Erlangga. Hoy, W.K., & Miskel, C.G. 1987. Educational Administration: Theory, Research and Practice. (3 rd.ed). New York: Random House. Ilyas, Y. 2002. Kinerja: Teori, Penilaian, dan Penelitian, Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan. Depok: FKM-UI. Jacques, E. & Clement, S.D. 1994. Executive Leadership: A Praktical Guide to Managing Complexity. Cambridge: Blackwell. Jalal, F. 2006. Kebijakan Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan dalam Implementasi UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Disampaikan pada sarasehan dan sosialisasi UU guru dan Dosen di Universitas Negeri Malang 29 Maret 2006. Joni, T.R. 1991. Pokok-Pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Dalam Conny R. Semiawan dan Soedijarto (eds.), Mencari Strategi Pengembangan Pendidikan Nasional Menjelang Abad XXI. Jakarta: PT. Grasindo. Karmadi, A. 2003. Kontribusi Iklim Organisasi Sekolah dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Guru SMU di Kota Malang. Tesis, tidak dipublikasikan. Malang. Universitas Negeri Malang. 29
Kartono, K. 2002. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal itu?. Jakarta: PT. Grafindo Persada. Kastum. 1998. Pola Pengembangan Kemampuan Pamong Belajar dan Peranannya dalam Pengembangan Program. Tesis, tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang. Likert, R. 1967. The Human Organization. New York: McGraw-Hill. Luthans, F. 1998. Organizational Behavior. (9th ed.). McGraw-Hill. New York. March, J., & Olsen J. P. 1979. Ambiguity and Choise in Organizations. Olso: Universitetsforlaget. McGrew, A.G., & Wilson, M.J. 1985. Decision Making: Approaches and Analysis. Manchester: Manchester University Press. Mitchell, T.R. 1978. People in Organizations: Understanding Their Behavior. New York: McGraw-Hill. Morgan, R.G., & Cerullo, M.J. 1984. Decision Making, Management Science Techniques and Corporate Controller. Managerial Planning 32 (March/April 1984) Musanef. 1983. Manajemen Kepegawaian Indonesia. Jakarta: Bina Aksara. Nasution. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Nitisemito, A.S. 1982. Manajemen Personalia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Khasanah, N. 2005. Kontribusi Perilaku Kepemimpinan, Motivasi Kerja dan Keterampilan Manajerial Kepala Sekolah terhadap Kinerja Guru SMA Negeri di Kabupaten Gresik, Tesis, tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang. Pace, W. R., & Faules, F. D. 2000. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan. Terjemahan Deddy Mulyana. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Perrone, S.M. 1968. Understanding the Decision Process. Administratif Management. New York: The Free Press. Rainey, H.G. 1991. Understanding and Managing Public Organizations. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers. Rivai, V. 2004. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Edisi Kedu. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Robbins, S.P. 1984. Organizational Behavior Concepts, Controversies and Applications. New Jersey: Prentise Hall, Inc. Robbins, S.P. 1994. Teori Organisasi: Struktur, Desain & Aplikasi, Alih Bahasa Yusuf Udaya, Arcan, Jakarta. Rosenbusch, K. & Townsend, C, 2004. The Relations-Organizational Setting to Transformational and Skill of Selected College Student Leaders Education, Vol.3: 3-13. Salladien. 1997. Metodologi Penelitian Pendidikan. Malang: Percetakan IKIP Malang. Salusu, J. 1986. Suatu Analisis tentang Proses Pengambilan Keputusan Stratejik pada Tingkatan Manajemen Eksekutif Puncak: Sebuah Studi Kasus Pada Universitas Hasanuddin antara tahun 1974-1982. Disertasi Doktor UNHAS Ujung Pandang. Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Stratejik untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Santosa, S. 2003. Interaksi dan Prestasi Kerja Pamong Belajar di SKB Kepanjeng Malang, Tesis, tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang. Sergiovanni, T. J. 1987. The Principal Ship: A Reflective Practice Perspective. Boston: Allyn and Bacon Ink. Siagian, S.P. 1988. Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan. Jakarta: Haji Masagung. 30
Simamora, H. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia. STIE-YKPN. Yogyakarta: Simon, H.A. 1982. Perilaku Administrasi, Suatu Studi tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi. Terjemahan oleh St. Dianjung. Jakarta: Bina Aksara. Singarimbun, M. & Effendi, S. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S Steers, R.M. 1985. Organizational Effectiveness: A Behavior View, Good. Santa Monica California: Publishing Company Inc. Stoner, J.A.F. Freeman, R.E. & Gilbert Jr., Daniel R. 1996. Management: Jilid I & II alih bahasa Alexander Sindoro, Jakarta: Prenhallindo. Sudijono, A. 1997. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada Sudjana, N. 2002. Teknik Analisis Regresi dan Korelasi bagi para Peneliti. Bandung: Tarsito Sugiyono. 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta Sujak, A. 1990. Kepemimpinan Manajer (Eksistensinya Dalam Perilaku Organisasi), Jakarta: CV. Rajawali. Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Nomor: 127/MENPAN/ 1989, tanggal 27 Nopember 1989. Tannenbaum, R., & Schmidt, W.H., 1958. How to choose a leadership Pattern? Harvard: Business Review, 36: 95-101. Timpe, A.D. 1991a. Performance: Seri Manajemen Sumber Daya Manusia. Alih bahasa Susanto Boedidharmo, Jakarta: PT.Elex Media Komputindo. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Nomor 20 Tahun 2003. 2005. Jakarta: Sinar Grafika.
31
Hubungan Pelaksanaan Supervisi, Iklim Organisasi, dan Insentif Pegawai, dengan Motivasi Kerja Staf Akademik Politeknik Kesehatan Malang
Ngesti Wahyunigtyas Utami
Abstract : Work motivation may be influenced by three different variables, i.e., the supervision conduct, the organizational climate, and the staff incentive. This research has been conducted by applying an quantitative approach, through descriptive-correlative survey, to describe the existing phenomena, and to identify the relation between variables of the supervision conduct, the organizational climate, and the staff incentive, with the variable of work motivation of the academic staff, at Politeknik Kesehatan, Malang. The result of the inferential analysis shows that: variable of the supervision conduct, organizational climate, staff incentive is related significantly to the variable of the work motivation , with p = 0.000 . This fact is interpreted as, that the better the supervision, the organizational climate, and the staff incentive, the better is the work motivation of the educative staff of the Politeknik Kesehatan, Malang. Therefore, to enhance the work motivation of the staff, it is suggested that the Politeknik Kesehatan takes the following actions: (1) enhance the supervision conduct, and conduct it to the all educative staff members, (2) enhance the social relation dimension in the better organizational climate, and increase the physical facilities, (3) give the proportional incentives on time. Keywords: motivation.
supervision,
organizational
1
climate,
officer
incentive,
work
2 Pendidikan Kesehatan adalah bagian integral dari pembangunan kesehatan, termasuk dalam menunjang tercapainya Indonesia sehat tahun 2010. Berkenaan dengan hal tersebut, upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia di bidang kesehatan merupakan upaya yang tepat. Secara tidak langsung pelaksanaan proses pendidikan terhadap calon tenaga kesehatan juga merupakan upaya nyata untuk ikut mencerdaskan bangsa. Motivasi merupakan proses keterkaitan antara usaha dan pemuasan kebutuhan tertentu, yang juga merupakan kesediaan untuk mengerahkan usaha tingkat tinggi untuk mencapai tujuan organisasi. Motivasi bersumber dari dalam diri seseorang yang disebut sebagai motivasi intrinsik dan bersumber dari lingkungan yang disebut motivasi ekstrinsik. Jika seseorang termotivasi maka akan dapat menjalankan tugas yang dibebankan dengan baik, bahkan tanpa harus diawasi dan atau diperintah oleh atasannya. Sedangkan motivasi bekerja merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses bekerja yang akan mempengaruhi tinggi rendahnya hasil pekerjaan staf akademik. Moitivasi kerja dipengaruhi oleh tiga variabel yaitu, pelaksanaan supervisi, iklim organisasi dan insentif pegawai. Ketiga hal tersebut telah terjadi di lembaga Politeknik Kesehatan Malang, namun belum diketahui dapat mempengaruhi motivasi kerja staf akademik di lingkungan Politeknik Kesehatan Malang. Untuk dapat mengungkapkannya dalam penelitian ini dirumuskan masalah : 1) Bagaimanakah pelaksanaan supervisi, iklim organisasi dan insentif pegawai di Politeknik Kesehatan Malang? 2) Apakah terdapat hubungan antara, pelaksanaan supervisi, iklim organisasi dan insentif pegawai dengan motivasi kerja staf akademik di Politeknik Kesehatan Malang?
3 Zainun, B, (2004) menjelaskan bahwa salah satu usaha dalam menyelenggarakan motivasi adalah supervisi. Dengan supervisi akan memberi peluang dan kesempatan bawahan berprakarsa. Hasil karya atas dasar prakarsa mempunyai kekuatan rangsangan yang lebih besar. Dalam hal ini sebenarnya seseorang tersebut telah termotivasi, karena motivasi merupakan rangsangan atau dorongan dari diri manusia (Uno, B. Hamzah, 2007). Juga dijelaskan dalam bagan alur tentang pengaruh fungsi sumber daya manusia terhadap motivasi, bahwa melalui supervisi dalam bentuk pengarahan dan bimbingan akan dapat dibentuk kualitas hehidupan kerja karyawan yang berkesinambungan dan berpengaruh juga terhadap motivasi (Tampubolon, 2004). Selanjutnya perlunya supervisi pengembangan sumberdaya guru dapat didekati dari sudut pandang pertumbuhan kekuatan dari dalam diri guru sebagai tenaga hidup (Bergson dalam Sahertian, 2000). Dorongan asasi terungkap dalam daya pikir, abstrak, imajinatif dan kreatif, serta komitmen dan kepedulian (Sahertian, 2000). Adanya dorongan dalam individu juga berarti merujuk kepada motivasi seorang guru. Selanjutnya terdapat variabel lain yang ikut menentukan motivasi yaitu iklim organisasi. Menurut Stringer dalam Wirawan (2007) iklim organisasi sebagai koleksi dan pola lingkungan yang menentukan munculnya motivasi. Satu variabel lagi yang tidak kalah pentingnya dan dapat mempengaruhi motivasi adalah insentif pegawai.
Sedangkan menurut Davis dan Newstrom (1996),
mengemukakan
bahwa manfaat insentif yang mungkin bagi pegawai, yaitu meningkatkan keyakinan pegawai bahwa prestasi yang tinggi akan menghasilkan imbalan, dan apabila diasumsikan bahwa uang memiliki valensi bagi pegawai, maka motivasi akan meningkat. Dan dijelaskan juga dalam Robins (1996), bahwa uang
4 merupakan insentif yang menentukan untuk motivasi kerja. Nilai uang/insentif sebagai media pertukaran barang adalah jelas. Orang mungkin tidak bekerja karena uang/insentif, tapi dari studi terhadap 2500 karyawan sependapat secara aklamasi menyatakan uang merupakan motivator nomor dua, namun tidak menjelaskan motivator yang ke satu. Selama ini di Politeknik Kesehatan Malang belum pernah dilakukan penelitian menyangkut motivasi kerja staf, namun dari beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa motivasi dalam bekerja perlu mendapat perhatian. Didukung adanya data beberapa penelitian Imam M. (1995) dan Aliyah A.R. (1995) menemukan bahwa motivasi kerja dosen rendah. Juga penelitian internasional (Made, P., 1999) menemukan bahwa motivasi kerja bangsa Indonesia sangat rendah sekaligus sebagai bangsa termalas nomor 3 dari 42 negara termalas di dunia yang diteliti. Kualitas sumber daya manusia kita yang masih rendah, patut dikhawatirkan apalagi kemampuan bersaing dengan bangsa lain dalam era globalisasi pada milenium ketiga ini. Menurut data yang dipublikasikan oleh United Nation Development Programme (UNDP) yang diberi judul Human Development Index – HDI, dari 174 negara di dunia sangat mengejutkan dan
memprihatinkan karena Indonesia berada di peringkat 102, pada tahun 1989 melorot ke peringkat 105 dan tahun 2000 berada di peringkat 109, satu tingkat dibawah Vietnam (108). Padahal beberapa negara tetangga kita jauh lebih baik peringkatnya seperti Singapura peringkat 34, Brunei Darussalam peringkat 36, Thailand peringkat 52, dan Malaysia peringkat 53.
5 Hasil penelitian UNDP (2004) menemukan mutu sumber daya manusia Indonesia berada pada ranking 110 dari 171 negara yang diteliti, termasuk sumber daya manusia terendah di Asean. Sedangkan Malaysia yang dahulu hampir seluruhnya belajar dari Indonesia kini menduduki ranking ke-76 dan Filipina ranking ke-98. Kenyataan ini menunjukkan bahwa motivasi berprestasi bangsa kita masih rendah. Berdasarkan paparan diatas, peneliti ingin mengetahui seberapa besar sumbangan variabel pelaksanaan supervisi, iklim organisasi, dan insentif pegawai terhadap motivasi kerja. Penelitian ini akan dilakukan di Politeknik Kesehatan Malang, sebuah institusi pendidikan yang menghasilkan tenaga kesehatan berjenjang DIII yang terletak di jalan Ijen 77C Malang Jawa Timur
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangan penelitian survey dengan jenis deskripsi korelasional. Penelitian deskripsi bertujuan
menggambarkan suatu fenomena yang ada, sedangkan teknik
korelasional bertujuan
untuk mengetahui hubungan suatu variabel dengan
variabel-variabel lainnya. Hubungan antara satu dengan beberapa variabel lainnya dinyatakan dengan besarnya koefisien korelasi dan keberartian (signifikansi) secara statistik (Sukmadinata, 2006). Teknik korelasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik korelasi multivariat yang terdiri dari 3 variabel bebas (independent variabel) dan 1 variabel terikat (dependent variabel). Penelitian ini mengkaji tentang hubungan pelaksanaan supervisi (X1), iklim organisasi (X2) dan insentif pegawai (X3)
6 sebagai variabel bebas atau predictor dan motivasi kerja (Y) sebagai variabel terikatnya atau kriterium. Dalam penelitian ini yang merupakan populasi adalah seluruh staf akademik/dosen di lembaga Politeknik Kesehatan Depkes Malang berjumlah 168, kemudian ditentukan sampel sejumlah 84 atau 50% dari populasi. Kemudian dari jumlah tersebut akan dihitung proporsi dari masing-masing jurusan maupun program studi. Instrumen dalam penelitian ini adalah menggunakan angket tertutup dengan lima skala sikap yaitu Sangat Setuju (SS), setuju (S), ragu-ragu (R), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS). Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah (1) teknik analisis statistik deskriptif, (2) teknik analisis uji hypothesis yaitu, korelasi partial dan regresi ganda. Teknik analisis deskriptif digunakan untuk menggambarkan data variabel motivasi kerja staf akademik, pelaksanaan supervisi staf akademik, iklim organisasi staf akademik, dan insentif pegawai di Politeknik Kesehatan Malang. Sedangkan teknik analisis korelasi partial dan regresi ganda untuk mencari koefisien antara variabel-variabel bebas (X) dengan variabel terikat (Y). Disamping itu regresi ganda digunakan untuk memprediksi berapa besar sumbangan relatif (SR) dan sumbangan efektif (SE) dari variabel bebas (X) terhadap variabel terikat (Y) (Sugiyono, 2006).
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian analisis deskripsi menunjukkan bahwa pelaksanaan supervisi, dalam kategori efektif sebanyak 42.9% dan kategori sangat efektif sebesar 15.5%, untuk
7 Iklim organisasi pada kategori kondusif sebesar 56,0%, dan sangat kondusif 10.7%, pada variabel insentif pegawai dalam kategori tinggi sebesar 56,0%, dan
sangat tinggi17.9%, sedangkan untuk variabel motivasi kerja staf akademik Politeknik Kesehatan Malang pada kategori tinggi yaitu sebesar 52,4%, dan sangat tinggi 19.0%. Selanjutnya dari hasil analisis inferensial menunjukkan bahwa variabel
pelaksanaan supervisi (X1) berhubungan erat secara signifikan dengan variabel motivasi kerja (Y) dengan p=0.000 RX1=0.600, variabel iklim organisasi (X2) berhubungan erat secara signifikan dengan variabel motivasi kerja (Y) dengan p=0.000 RX2=0.647, variabel insentif pegawai (X3) dengan variabel motivasi kerja (Y) dengan p=0.000, RX3=0.765. Artinya peningkatan variabel-variabel supervisi, iklim organisasi, dan insentif pegawai yang lebih baik, maka akan meningkatkan motivasi kerja pegawai staf akademik Politeknik Kesehatan Malang, karena koefisien korelasi bernilai positif.
PEMBAHASAN
Merujuk pada teori yang dijelaskan dalam Sahertian (2000) bahwa pelaksanaan supervisi bertujuan memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan oleh guru di kelas. Keefektifan pelaksanaan supervisi dapat terjadi jika dalam perencanaan dan teknik pelaksanaannya telah dirancang sesuai kebutuhan dan permasalahan yang dialami dosen, sehingga dosen akan merasakan dampak dari supervisi sebagai pembinaan yang profesional. Dengan kata lain, hasil penelitian di atas pada dasarnya menyimpulkan bahwa, dosen di
Politeknik Kesehatan Malang memerlukan
8 bantuan pembinaan professional untuk meningkatkan kemampuan mengajarnya. Dan para dosen umumnya ingin diketahui kelebihan maupun kekurangan yang telah dimilikinya, sehingga jika ada kekurangan maka selanjutnya dosen akan memerlukan bantuan dalam menyelesaikan masalah ketidak mampuannya. Dan sebaliknya ketika dosen telah memiliki kemampuan, mungkin perlu dipertahankan atau dikembangkan dengan model yang lebih menarik lagi. Hal tersebut tentunya menjadi tanggungjawab supervisor, untuk kemudian menentukan teknik pembinaan profesional yang tepat terhadap dosen. Sesuai dengan pengertian iklim organisasi yang dijelaskan oleh Robert G. Owen (dalam Wirawan, 2007) bahwa, iklim organisasi sebagai studi persepsi individu mengenai berbagai aspek lingkungan organisasinya. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa menurut persepsi dosen di lingkungan di Politeknik Kesehatan Malang, yang disimpulkan dari hasil pengisian questioner baik tentang lingkungan fisik maupun lingkungan sosial, sebagai kondisi iklim organisasi di lingkungan Politeknik Kesehatan Malang sangat positif. Hal tersebut sangat mungkin terjadi karena kondisi sehari-hari para dosen di lingkungan Politeknik Kesehatan Malang, selalu menunjukkan suasana kekeluargaan. Juga di waktu senggang mereka (sesama dosen) selalu nampak berkumpul dan bergurau tanpa beban, sebaliknya di saat ada kerepotan mereka selalu bekerjasama untuk segera menyelesaikan secara bersama. Mahasiswa juga senantiasa berkomunikasi dengan dosen secara rileks, namun tetap menjaga kesopanan dan saling menghargai. Kenyataan tersebut semakin memperkuat data tentang persepsi yang positif tentang lingkungan tempatnya bekerja. sesuai dengan teori yang disampaikan dalam Wibowo (2007) bahwa cakupan insentif individu diantaranya adalah bonus,
9 merit salary system, maupun pay for performance. Masing-masing berkaitan
dengan program pemberian insentif yang didasarkan pada pembayaran khusus diatas gaji pekerja, kompensasi terhadap kinerja maupun penghargaan kepada manajer, terutama atas hasil yang produktif. Terdapat berbagai macam insentif yang diterimakan kepada dosen, yang memberi makna dan persepsi yang berbeda-beda. Ini dapat dijelaskan berdasarkan pilihan jawaban pada pernyataan questioner yang berkaitan dengan hal tersebut. Yaitu tentang insentif yang diterimakan karena bonus, jasa struktural, maupun koordinator akademik umumnya para dosen memberikan apresiasi yang positif, dengan lebih dari 75% menyatakan setuju. Di lembaga Politeknik Kesehatan Malang, penerimaan insentif ini sudah diatur dalam peraturan berdasarkan Surat Keputusan Direktur, dan sudah menjadi kesepakatan bersama senat Politeknik Kesehatan malang. Ada jenis insentif yang diterimakan secara periodik setiap bulan dan ada juga yang diterimakan setiap semester atau dua kali dalam satu semester. Umumnya setiap dosen mendapat insentif karena keahliannya masingmasing. Dan umumnya dosen tidak mempermasalahkan dalam hal jumlah penerimaannya, karena telah jelas perhitungannya sesuai dengan kapasitas dan waktu kerjanya. Dalam teori dijelaskan bahwa motivasi kerja merupakan salah satu faktor yang turut menentukan kinerja seseorang. Besar kecilnya pengaruh motivasi tergantung pada seberapa banyak intensitas motivasi yang diberikan (Uno, B. Hamzah., 2007). Ini artinya setiap dosen di Politeknik Kesehatan Malang akan meningkatkan kualitas kerjanya ketika intensitas motivasi telah cukup terjadi di masing-masing dosen, sehingga dapat menghasilkan kinerja yang baik berupa
10 mahasiswa yang berkualitas. Dapat juga dijelaskan bahwa intensitas lebih merupakan kekuatan dan dorongan untuk berbuat ataupun untuk memenuhi kebutuhan. Dengan demikian dosen akan mempunyai kesediaan untuk melaksanakan upaya tinggi dalam mencapai tujuan-tujuan keorganisasian, yang dikondisikan oleh kemampuan untuk memenuhi kebutuhan individu (Winardi, 2007). Masih berkaitan dengan hasil penelitian yang juga dikuatkan dalam Zainun B (2004), bahwa dalam menyelenggarakan motivasi salah satunya yang ikut menentukan adalah supervisi. Dengan supervisi yang tidak terlalu ketat dan kaku terhadap karyawan pada umumnya dan bawahan khususnya akan memberi peluang dan kesempatan yang cukup untuk berprakarsa dan berdaya karya dalam penyelenggaraan tugas mereka. Dorongan dan prakarsa di sini merupakan wujud dari sebuah motivasi kerja karyawan. Dan kondisi ini cukup menggambarkan yang terjadi di kelompok dosen Politeknik Kesehatan Malang. Namun begitu keadaan ini berbeda dengan teori motivasi yang disampaikan oleh Herzberg, yang menjelaskan bahwa supervisi tidak termasuk faktor motivator, tetapi merupakan faktor hiegin (Usman, H., 2006). Artinya, bahwa sebenarnya pelaksanaan supervisi tidak akan mempengaruhi motivasi seseorang. Dan lebih merupakan pendukung dan penyehat atau disebut juga faktor ekstrinsik motivasi. Keadaan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Politeknik Kesehatan Malang. Dengan data hasil uji hipotesis bahwa terdapat hubungan antara pelaksanaan supervisi dengan motivasi kerja, memberi gambaran bahwa pelaksanaan supervisi merupakan motivator staf akademik dan bukan sekedar faktor penyehat seperti yang disampaikan Herzberg. Hal tersebut dapat dikatakan
11 bahwa sebagaian besar staf akademik pada saat ini masih membutuhkan pelaksanaan supervisi sebagai motivator kinerjanya dan sekaligus membantu menyelesaikan
masalah
pengajaran.
Dengan
demikian
semakin
sering
pelaksanaan supervisi, semakin meningkat motivasi staf akademik di Politeknik Kesehatan Malang. Sesuai dengan tujuan umum pemberian insentif kepada karyawan maupun dosen, seperti
yang terjadi di Politeknik Kesehatan Malang dengan tujuan
utamanya dimaksudkan untuk memberikan semangat kerja yang lebih tinggi dan menciptakan kinerja yang baik. Ini juga sudah ditegaskan dalam Wirawan (2007) yang menyatakan bahwa uang merupakan motivator yang efektif apabila dikaitkan dengan upaya meningkatkan produktivitas kerja atas dasar suatu arah yang dirancang untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan pemberian insentif berupa uang, data dari
penelitian menunjukkan hasil yang signifikan dalam
meningkatkan motivasi kerja dosen di Politeknik Kesehatan Malang. Karena pada dasarnya dengan pemberian penghargaan berupa uang atas dasar prestasi kerja yang yang tinggi, mengandung arti ada rasa pengakuan dari organisasi terhadap prestasi pegawai dan kontribusinya terhadap organisasi (Sujak, 1990). Hal tersebut diatas berbeda dengan yang disampaikan oleh Herzberg, bahwa pada dasarnya uang bukanlah motivator melainkan sebagai faktor hiegin Artinya dengan uang seseorang tidak akan terdorong untuk bekerja, dan sebaliknya dapat menyebabkan ketidakpuasan seseorang dalam bekerja. Kenyataan dari hasil uji hipotesis, terdapat hubungan yang signifikan antara insentif dengan motivasi kerja staf akademik yang terjadi di Politeknik Kesehatan Malang, dan menunjukkan bahwa jika terjadi peningkatan pemberian insentif
12 terhadap staf akademik maka akan diikuti meningkatnya motivasi kerja staf akademik di Politeknik Kesehatan Malang. Hal ini terjadi karena sebagian besar staf akademik di Politeknik Kesehatan Malang menempatkan insentif sebagai kebutuhan dan dapat meningkatkan motivasi kerj Selanjutnya dapat dijelaskan secara teori, adanya hubungan yang signifikan dan keeratan hubungan antara variabel pelaksanaan supervisi, iklim organisasi dan insentif pegawai dengan motivasi kerja. Diterangkan bahwa motivasi merupakan hasil dari sejumlah proses yang bersifat internal dan eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya sikap antusiasme dan persistensi dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentus (Winardi, 2007). Motivasi seseorang juga tergantung kepada kekuatan motif mereka. Motif kadang-kadang dirumuskan sebagai kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, dorongandorongan, bisikan-bisikan hati (impulses) dalam diri individu. Motif diarahkan kepada tujuan (goals) baik disadari atau tidak disadari. Motif adalah ‘mengapa’ (why) berperilaku. Motif membangunkan dan memelihara kegiatan dan
menentukan arah umum perilaku seseorang (Usman H., 2006). Dalam hal ini adanya pelaksanaan supervisi yang efektif, iklim organisasi yang kondusif dan insentif pegawai yang tinggi seperti yang terdapat dalam diskripsi data hasil penelitian, dapat dikatakan merupakan motif yang terjadi pada diri para dosen di Politeknik Kesehatan Malang.
13 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan hasil penelitian, dapat ditarik kesimpulan bahwa: 1). Pelaksanaan supervisi di Politeknik Kesehatan Malang dalam kategori efektif. 2).
Iklim organisasi di Politeknik Kesehatan Malang
dalam kategori kondusif. 3). Insentif pegawai di Politeknik Kesehatan Malang dalam kategori tinggi. 4). Motivasi kerja staf akademik di Politeknik Kesehatan Malang dalam kategori tinggi. 5). Terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan supervisi, iklim organisasi, insentif pegawai, dengan motivasi kerja staf akademik di Politeknik Kesehatan Malang.
Saran
Bertitik tolak dari kenyataan hasil penelitian diatas menunjukkan bahwa, pelaksanaan supervisi, iklim organisasi, dan insentif pegawai mempengaruhi motivasi kerja pegawai staf akademik Politeknik Kesehatan Malang. Namun begitu, beberapa hal masih dirasakan oleh responden terjadi di Politeknik Kesehatan Malang yaitu, adanya pelaksanaan supervisi yang belum bisa dilakukan secara merata terhadap seluruh dosen, hubungan sosial dan kondisi fasilitas fisik yang belum bisa sepenuhnya memadai, serta penerimaan insentif pegawai yang dirasakan belum bisa proporsional dan tepat waktu. Dengan demikian perlu kiranya mengatasi hal tersebut dan juga untuk lebih meningkatkan presentase serta kualitas pelaksanaannya, maka
dapat
disarankan: 1) meningkatkan kegiatan pelaksanaan supervisi dan melaksanakan seluruh teknik supervisi secara lebih merata terhadap seluruh dosen, 2)
14 meningkatkan dimensi hubungan sosial dalam iklim organisasi dan menambah fasilitas fisik sebagai sarana membina hubungan social, 3) memberikan insentif secara proporsional dan tepat waktu, karena ketiga langkah tersebut akan semakin meningkatkan motivasi kerja seluruh staf akademik di Politeknik Kesehatan Malang.
15 DAFTAR RUJUKAN
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta: PT. Rineka Cipta. Davis, K., & Newstrom, J.W. 1996. Perilaku Dalam Organisasi. Terjamahan Edisi ke-7. Jakarta: Erlangga Hadi, S. 2001. Analisis Regresi. Yogyakarta: Andi. Robbins, S.P. 1996. Perilaku Organisasi Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Prenhallindo. Sahertian, P.A. 1981. Prinsip dan Tehnik Supervisi Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Sugiyono. 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Sujak, A. 1990. Kepemimpinan Manajer. Jakarta: CV Rajawali. Tampubolon,P., 2004. Perilaku Keorganisasian. Jakarta : Ghalia Indonesia. Uno, B. Hamzah. 2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya,. Jakarta: Bumi Aksara. Uno, B. Hamzah. 2001. Pengembangan Instrumen Untuk Penelitian. Jakarta : Delima Press. Usman, H. 2006. Manajemen Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Wibowo, 2007. Manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Wijaya. 2001. Analisis Statistik dengan SPSS 14.00. Bandung : Alfabeta Winardi, 2007. Motivasi dan Pemotivasian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Wirawan, 2007. Budaya dan Iklim Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
1
KONTRIBUSI KETERAMPILAN HUBUNGAN MANUSIAWI KEPALA SEKOLAH, IKLIM SEKOLAH, UJI KOMPETENSI DAN SERTIFIKASI GURU TERHADAP SEMANGAT KERJA GURU DI SMA NEGERI KABUPATEN GORONTALO
ARTIKEL
OLEH MUHAMMAD POLINGGAPO NIM 106631551526
UNINERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN 2008
2
ARTIKEL Kontribusi Keterampilan Hubungan Manusiawi Kepala Sekolah, Iklim Sekolah, Uji Kompetensi dan Sertifikasi terhadap Semangat Kerja Guru di SMA Negeri Kabupaten Gorontalo
Muhammad Polinggapo
Abstract: Human relations skill is one of the skills that a school principal or a head master should have, In executing his or her function, the headmaster is among the school community whose members are heterogeneous and varied, meaning that every school individual has different characteristics. A school as an organization should be able to create climate that promotes teacher’s professionalism. The existing of accommodative and conducive school climate will bring about satisfaction and working spirit of the teachers which will influence the attainment of the objective of education. The result of the data analysis showed as follows (1) There was a contribution of the human relation skill of the headmaster to the working spirit of the teachers. (2) The contributions of the school climate to the working spirit of the teachers. (3) The contribution of competency test on the working spirit of the teacher was as mach as 42,2%. (4) The contribution of teachers certification to the working spirit of the teachers was as much as 48,5%.(5) The contribution of the human relations skill of the headmaster, school climate, competency test and teacher certifications altogether to the working spirit of the teachers was as much as 49,7%. Kata kunci: keterampilan hubungan manusiawi, iklim sekolah, uji kompetensi, sertifikasi, semangat kerja. Sekolah sebagai salah satu lembaga pendidikan formal mempunyai peranan penting dan tanggung jawab yang besar dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim Pendidikan Nasional, pasal 3 sebagai berikut:
------------------------------------------------------------------------------------------------------Muhammad Polinggapo adalah dosen Universitas Negeri Gorontalo. Artikel ini diangkat dari Tesis Magister Pendidikan, Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang, 2008.
3
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, dalam tatanan mikro pendidikan harus mampu menghasilkan sumber daya manusia berkualitas dan profesional sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut di atas, termasuk di dalamnya kebutuhan dunia kerja dan respon terhadap perubahan masyarakat setempat. Dalam hal ini kualitas pendidikan dipengaruhi oleh penyempurnaan sistemik terhadap seluruh komponen pendidikan seperti peningkatan kualitas dan pemerataan penyebaran guru, kurikulum yang disempurnakan, penyediaan sumber belajar, prasarana dan sarana yang memadai, iklim pembelajaran yang kondusif, serta didukung oleh kebijakan (political will) pemerintah, baik di pusat maupun di daerah. Dari semua komponen itu, guru merupakan komponen paling menentukan; karena di tangan gurulah kurikulum, sumber belajar, sarana dan prasarana serta iklim pembelajaran menjadi sesuatu yang bermakna bagi kehidupan peserta didik. Di sinilah antara lain pentingnya keberadaan guru termasuk di dalamnya kepala sekolah. Kepala sekolah dan guru merupakan komponen yang paling menentukan dalam sistem pendidikan secara keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama dan utama. Guru memegang peran utama dalam pembangunan pendidikan, khususnya yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Guru juga sangat menentukan keberhasilan peserta didik terutama dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa didukung oleh guru yang profesional, berkualitas, dan memiliki semangat kerja yang tinggi. Perbaikan kualitas pendidikan harus berpangkal dari guru dan berujung pada guru pula.
4
Hubungan manusiawi (Human Relations) dapat dikatakan juga sebagai seni dan ilmu pengetahuan terapan (applied art and science). Dipandang dari sudut seorang pemimpin yang bertanggung-jawab untuk memimpin sebuah kelompok, Human Relations adalah pengintegrasian orang-orang ke dalam suatu situasi kerja yang dapat menggiatkan mereka untuk bekerja bersama-sama serta dengan rasa puas, baik kepuasan ekonomis, psikologis maupun kepuasan sosial. Atau singkatnya: Human Relations adalah pengembangan usaha kelompok karyawan secara produktif dan memuaskan (Human Relations is the development of productive, satisfying group effort) (Davis, 1962). Pemahaman dan keterampilan kepala sekolah dalam mengimplementasikan
hubungan
manusiawi
(Human
Relations)
dalam
kepemimpinannya di sekolah seperti dikemukakan di atas, akan berimplikasi terhadap penciptaan iklim sekolah yang kondusif. Oleh karena hubungan manusiawi (Human Relations) memiliki ciri hakiki yaitu dalam makna rokhaniah yang tertuju kepada kebahagiaan berdasarkan watak, sifat, perangai, kepribadian, sikap, tingkah laku dan lain-lain aspek kejiwaan yang terdapat pada diri manusia. Hubungan
manusiawi
(Human
Relations)
pada
hakekatnya
adalah
“komunikasi persuasif” yang dilakukan oleh seseorang kepada orang lain secara tatap muka dalam segala situasi dan dalam semua bidang kehidupan, sehingga menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan hati pada kedua belah-pihak”. (Effendy, 1982 : 49). Hubungannya
dengan iklim organisasi sekolah adalah kedua-duanya
menyangkut aspek sikap dan kepriadian orang-orang yang terlibat dalam suatu organisasi. Hal ini dipertegas dengan pendapat dari Halpin dan Croft (1962) bahwa “iklim organisasi sekolah sangat berhubungan dengan kepribadian (personality) orang-orang yang terlibat di dalam sekolah itu, atau berhubungan dengan apa yang dialami atau dirasakan oleh sekolah sebagai situasi sosial”. Dari uraian-uraian yang digambarkan di atas, nampak bahwa adanya keterkaitan antara hubungan manusiawi (human relations), iklim organisasi (sekolah) dan semangat kerja, artinya apabila terjalin hubungan manusiawi yang baik dan harmonis di antara personal sekolah maka akan tercipta iklim atau suasana organisasi atau sekolah yang kondusif seperti keakraban, kekeluargaan, kerja sama, saling
5
membantu, saling menghargai/menghormati, dan kondisi seperti ini akan menimbulkan kegairahan atau semangat kerja dan kepuasan dalam bekerja. Namun
kedua faktor tersebut bukanlah satu-satunya faktor yang
mem-
pengaruhi kegairahan atau semangat kerja guru, tetapi masih ada faktor-faktor lain yang mempengaruhinya antara lain faktor kompetensi dan faktor kesejahteraan. Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa: “kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”. Jadi kompetensi guru merupakan perpaduan antara kemampuan personal, keilmuan, teknologi, sosial, dan spiritual yang secara kaffah membentuk kompetensi standar profesi guru, yang mencakup penguasaan materi, pemahaman terhadap peserta didik, pembelajaran yang mendidik, pengembangan pribadi dan profesionalisme. Untuk mengetahui kompetensi guru maka perlu dilakukan uji kompetensi. Uji kompetensi merupakan bagian penting dari standar kompetensi dan sertifikasi guru, uji kompetensi merupakan alat untuk menyeleksi guru sehingga dapat diketahui kemampuan rata-rata guru , aspek mana yang perlu ditingkatkan, siapa guru yang harus mendapat pembinaan secara kontinu dan siapa guru yang telah mencapai standar kemampuan minimal. Guru yang telah lulus uji kompetensi berhak memperoleh sertifikat pendidik profesional dan berhak pula memperoleh tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Jalal (2001) mengatakan bahwa “Dalam menjalankan tugas, guru yang berdaya (kompeten) memiliki dedikasi dan komitmen yang kuat terhadap kemajuan dunia pendidikan, kususnya peserta didik. Untuk pengabdiannya tersebut, guru yang berdaya (kompeten) seyogyanya mendapatkan imbalan yang layak, sesuai dengan tugas profesionalnya. Dengan kata lain, guru yang berdaya (kompeten) adalah guru yang mengikuti
prinsip profesionalisme, yaitu
“terdidik dengan baik, terlatih dengan baik, dan dihargai dengan layak” (welleducated, well- trained, and well- paid). Dari hasil pengamatan dan wawancara informal dengan guru dari beberapa sekolah menyangkut persepsi mereka terhadap variabel hubungan manusiawi antara
6
kepala sekolah dengan guru, antara sesama guru, maupun guru dengan staf/karyawan sekolah, terungkap bahwa masih ada sebahagian kepala sekolah yang dinilai otoriter, kurang menerima saran-saran atau pendapat guru, penerapan disiplin baik kepada guru maupun siswa yang melampaui batas, kurang transparan terutama dalam hal keuangan (dana BOS, dana OSIS, dan dana dari masyarakat), pemaksaan penggunaan pakaian seragam, kurang perhatian dan dukungan terhadap upaya guru meningkatkan kompetensinya seperti keikut sertaan dalam seminar, penataran dan lokakarya dan kegiatan ilmiah lainnya, kepala sekolah terlalu kaku menjaga jarak dengan guru dan staf, dalam membuat perencanaan dan pengambilan keputusan sering tidak mengikut sertakan bawahan, mencela dan menceritakan kesalahan guru kepada guru lainnya, menunjukkan sikap diskriminatif terhadap bawahan, jarang melakukan pembinaan (supervisi), sikap tak acuh atau tidak mau tahu terhadap kesulitan atau problem yang dihadapi bawahan. Dari segi kompetensi dan kesejahteraan guru kenyataan menunjukkan bahwa guru dan tenaga kependidikan di Indonesia dewasa ini menunjukkan suatu lingkaran yang tidak menguntungkan. Sebagian besar guru belum terdidik dan terlatih dengan baik, dan mereka juga dibayar dengan murah oleh system pendidikan.Hal ini sangat mempengaruhi prilaku dan semangat kerja guru yang nampak berupa sering terlambat atau membolos, mengajar asal jadi dalam arti silabus dan rencana pembelajaran yang tidak pernah direvisi, tidak menguasai materi, minta izin pulang sebelum waktunya, enggang mengikuti kegiatan ilmiah seperti seminar, kurang bergairah dan kurang kreatif. Mencermati berbagai permasalahan dan kondisi seperti yang dipaparkan pada latar belakang penelitian di atas, maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul “Kontribusi keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah, iklim sekolah, uji kompetensi dan sertifikasi guru terhadap semangat kerja guru SMA Negeri di Kabupaten Gorontalo. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang bersifat umum dari penelitian ini adalah “Apakah ada kontribusi keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah, iklim sekolah, uji kompetensi dan sertifikasi
7
terhadap semangat kerja guru . Sedangkan secara umum tujuan penelitian ini ingin mengetahui seberapa besar kontribusi keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah, iklim sekolah, uji kompetensi dan sertifikasi terhadap semangat kerja guru SMA Negeri di Kabupaten Gorontalo
METODE PENELITIAN Penelitian ini dirancang untuk mengetahui seberapa besarnya kontribusi variabel independen terhadap variabel dependen. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Sedangkan rancangan
penelitiannya adalah deskriptif
korelasional. karena peneliti berusaha mengungkapkan kontribusi antara variabel independen (bebas) dengan variabel dependen (terikat).Anggota populasi adalah kepala sekolah dan guru yang berstatus PNS yang tersebar di 11 SMA Negeri se Kabupaten Gorontalo yang berjumlah 241 orang. Penentuan besarnya sampel menggunakan nomogram Harry King dengan taraf kepercayaan 94% atau 38% x 241 = 92 orang. Penentuan anggota sampel menggunakan teknik proporsional random sampling. Untuk memperoleh data penelitian digunakan angket model skala Likert dengan lima alternatif jawaban. Angket sebelum digunakan telah diuji coba validitas dan relaibilitasnya dengan rumus product moment. Data yang diperoleh dianalisis dengan deskriptif untuk menguji persyaratan analisis statistik yang akan digunakan. Pengujian analisis statistik dimaksud antara lain uji homogenitas , uji normalitas dan, uji linieritas data. Pengujian hipotesis menggunakan rumus korelasi parsial, korelasi ganda dan analisisi regresi antara variabel independen terhadap variabel dependen.
HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang disajikan berikut ini meliputi pengujian persyaratan analisis yaitu pengujian homogenitas, normalitas dan linieritas. dan pengujian hipotesis penelitian. Pengujian persyaratan analisis adalah sebagai berikut: Pengujian homogenitas varians menggunakan uji Barlett . Uji Barlett digunakan karena lebih dari dua kelompok data atau 4 kelompok data yaitu data varians Y atas X1, Y atas X2, Y atas X3, dan Y atas X4. Memperhatikan hasil
8
pengolahan data homogenitas varians diperoleh gambaran bahwa keempat varians dalam penelitian ini χ2 hitung < χ2 tabel sehingga disimpulkan varians populasi homogen. Pengujian normalitas data meliputi empat galat taksiran yaitu (Y-Ŷ1), (Y-Ŷ2), (YŶ3) dan (Y-Ŷ4) dengan menggunakan uji Liliefors. hasil pengolahan data normalitas data diperoleh gambaran bahwa keempat galat taksiran dalam penelitian ini memiliki harga Lohitung lebih kecil dari Lotabel sehingga dapat disimpulkan data berdistribusi normal. Pengujian linieritas variabel keterampilan hubungan manusiawi (X1) terhadap semangat kerja (Y),berdasarkan hasil perhitungan diperoleh harga F sebesar 75.677 maka dapat disimpulkan bahwa harga F 3,9402.
hitung
hitung
> Ftabel atau 75,677 >
Kemudian harga tingkat signifikansi probabilitas menghasilkan angka
sebesar 0,000 sehingga harga ini jauh di bawah 0,05 maka persamaan adalah Ŷ = 38,087 + 0,922 X1 adalah bersifat nyata dan berbentuk liniear. Hasil pengujian pada persamaan regresi Ŷ = 38,087 + 0,922X1 di atas menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu unit skor variabel keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah (X1) dapat menaikkan skor semangat kerja guru (Y) sebesar 0,922 pada kontanta 38,087. Pengujian linieritas variabel iklim sekolah (X2) terhadap semangat kerja (Y), berdasarkan hasil perhitungan diperoleh harga F hitung sebesar 73,529 maka dapat disimpulkan bahwa harga F
hitung
> F
tabel
atau 73,529 > 3,9402. Kemudian harga
tingkat signifikansi probabilitas menghasilkan angka sebesar 0,000 sehingga harga ini jauh di bawah 0,05 maka persamaan adalah Ŷ = 39,121 + 0,909X2 adalah bersifat nyata dan berbentuk liniear. Hasil pengujian pada persamaan regresi Ŷ = 39,121 + 0,909X2 di atas menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu unit skor variabel iklim sekolah (X2) dapat menaikkan skor semangat kerja guru (Y) sebesar 0,909 pada konstanta 39,121. Pengujian linieritas variabel uji kompetensi (X3) terhadap semangat kerja (Y) Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh harga F hitung sebesar 65,842 maka dapat disimpulkan bahwa harga F
hitung
> Ftabel atau 65,842 > 3,9402.
Kemudian harga tingkat signifikansi probabilitas menghasilkan angka sebesar 0,000 sehingga harga ini jauh di bawah 0,05 maka persamaan adalah Ŷ = 43,585 + 0,849X3 adalah bersifat nyata dan berbentuk liniear. Pengujian linieritas variabel sertifikasi (X4) terhadap semangat kerja (Y), berdasarkan hasil perhitungan diperoleh harga F
9
hitung
sebesar 21,485 maka dapat disimpulkan bahwa harga F
21,485> 3,9402.
hitung
> F
tabel
atau
Kemudian harga tingkat signifikansi probabilitas menghasilkan
angka sebesar 0,000 sehingga harga ini jauh di bawah 0,05 maka persamaan adalah Ŷ = 39,428 + 0,7479X4 adalah sangat signifikan dan berbentuk liniear. Pengujian hipotesis dapat diuraikan sebagai berikut : Kontribusi keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah (X1) terhadap semangat kerja guru (Y) dianalisis dengan menggunakan analisis regresi dan korelasional sederhana. Pengujian kekuatan kontribusi keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah (X1) terhadap peningkatan skor semangat kerja guru (Y) dilakukan dengan menggunakan Product Moment Correlation. Dari hasil perhitungan diperoleh rxy1 = 0,676 sehingga rxy12 = 0,457 atau koefisien determinasi (penentu) yang dalam hal ini berarti sebanyak 45,7% variansi yang terjadi pada variabel semangat kerja dapat dijelaskan oleh variabel keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah. Kemudian sisanya sebesar 54,3% dapat dijelaskan oleh sebab – sebab yang lain. Hubungan antara variabel iklim sekolah (X2) dengan semangat kerja guru (Y) dianalisis dengan menggunakan analisis regresi dan korelasional sederhana. Pengujian kekuatan kontribusi iklim sekolah
(X2) terhadap peningkatan skor
semangat kerja guru (Y) dilakukan dengan menggunakan Product Moment Correlation. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh ry2 = 0,671 sehingga ry22 = 0,450 atau koefisien determinasi (penentu) yang dalam hal ini berarti sebanyak 45% variansi yang terjadi pada variabel semangat kerja dapat dijelaskan oleh variabel iklim sekolah. Kemudian sisanya sebesar 55% dapat dijelaskan oleh sebab – sebab yang lain. Kontribusi uji kompetensi (X3) terhadap semangat kerja (Y) dianalisis dengan menggunakan analisis regresi dan korelasional sederhana. Pengujian kekuatan kontribusi uji kompetensi (X3) terhadap peningkatan skor semangat kerja guru (Y) dilakukan dengan menggunakan Product Moment Correlation. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh ry3 = 0,650 sehingga ry32 = 0,422 atau koefisien determinasi (penentu) yang dalam hal ini berarti sebanyak 42,2% variansi yang terjadi pada
10
variabel semangat kerja dapat dijelaskan oleh uji kompetensi guru dan sisanya sebesar 57,8% dapat dijelaskan oleh sebab – sebab yang lain. Kontribusi sertifikasi guru (X4) terhadap semangat kerja guru (Y) dianalisis dengan menggunakan analisis regresi dan korelasional sederhana. Pengujian keeratan atau kekuatan kontribusi sertifikasi guru terhadap peningkatan skor semangat kerja guru (Y) dilakukan dengan menggunakan Product Moment Correlation. Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh
ry4 = 0,697 sehingga ry42 = 0,485 atau koefisien
determinasi (penentu) yang dalam hal ini berarti sebanyak 48,5% variansi yang terjadi pada variabel semangat kerja dapat dijelaskan oleh setifikasi guru. Kemudian sisanya sebesar 51,5% dapat dijelaskan oleh sebab – sebab yang lain. Kontribusi secara bersama-sama keterampilan hubungan manusiswi (X1), iklim sekolah (X2), uji kompetensi (X3) dan sertifikasi (X4) terhadap semangat kerja guru (Y) menggunakan analisis regresi multiple. Uji keeratan atau kekuatan kontribusi variabel keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah (X1), iklim sekolah (X2), uji kompetensi (X3) dan sertifikasi guru (X4) terhadap semangat kerja guru (Y) sesuai hasil perhitungan diperoleh rxy1,2,3,4 = 0,705 sehingga ry1,2,3,42 = 0,497. Hasil ini menunjukkan bahwa koefisien determinasi (penentu) sebesar 0,497 atau 49,7% variansi yang terjadi pada variabel semangat kerja guru (Y) dapat dijelaskan oleh keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah (X1), iklim sekolah X2), uji kompetensi (X3) dan setifikasi guru (X4). Kemudian sisanya sebesar 50,3% dapat dijelaskan oleh sebab – sebab yang lain.
PEMBAHASAN Keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah adalah kemampuan kepala sekolah dalam melakukan pendekatan persuasif kepada guru agar mereka melaksanakan tugas mengajar dengan baik. Kondisi lapangan menunjukkan bahwa kecenderungan yang muncul adalah keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah belum diperhatikan secara memadai seperti cenderung melakukan pendekatan kedinasan dari pada pendekatan persuasif kepada guru di sekolah. Hal ini mengakibatkan muncul perasaan guru tidak senang, tidak puas, dan saling menolak
11
pekerjaan dalam berbagai kegiatan sekolah. Kondisi seperti itu pada gilirannya akan menimbulkan respon merasa tidak ikut bertanggung jawab dan rendahnya partisipasi guru dalam melaksanakan kegiatan di sekolah. Hasil pengujian keeratan atau kekuatan hubungan antara keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah (X1) dengan semangat kerja guru (Y) rxy1 = 0,676 sehingga rxy12 = 0,457 atau 45,7%. Hasil ini menunjukkan bahwa sebanyak 45,7% variansi yang terjadi pada variabel semangat kerja dapat dijelaskan oleh variabel keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah. Kemudian sisanya se-besar 54,3% dapat dijelaskan oleh sebab – sebab yang lain. Atau dengan kata lain kekuatan kontribusi keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah terhadap semangat kerja guru sebesar 45,7% dengan kulitas yang cukup tinggi. Tingginya kontribusi keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah terhadap semangat kerja guru di SMA Negeri Kabupaten Gorontalo senada dengan pendapat Sukarna (1989:67) bahwa “keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah merupakan sikap yang nampak berupa meningkatnya dedikasi, loyalitas dan disiplin. Sikap itu tidak saja ditujukan pada kelompok/organisasi, tetapi juga kepada pemimpin, yang tampak berupa kesetiaan, kepercayaan, kepatuhan, hormat, dan segan yang datang dari hati yang tulus dan tidak dibuat-buat”. Faktor lain yang mempengaruhi semangat kerja guru antara lain faktor “kepuasan”, hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Hoy dan Miskel (1987) bahwa “guru yang lebih terpuaskan akan melakukan pekerjaan lebih baik ketimbang guru yang tidak terpuaskan. Dengan kata lain bahwa guru yang mempunyai semangat kerja yang tinggi menunjukkan kinerja yang lebih tinggi dibanding dengan guru yang mempunyai semangat kerja yang rendah”. Hal ini dipertegas lagi oleh Herzberg (1959) menyatakan bahwa “adanya kepuasan kerja (job satisfaction) akan meningkatkan gairah kerja (morale) dan sebaliknya apabila faktor kepuasan kerja tidak terpenuhi tidak akan ada peningkatan gairah kerja”. Penciptaan iklim sekolah yang kondusif menjadi syarat utama bagi ketercapaian tujuan sekolah. Kepala sekolah sebagai top manager haruslah memberikan perhatian khusus bagi terciptanya iklim sekolah yang kondusif tersebut. Dengan adanya iklim sekolah yang kondusif, suasana pisik, psikologi dan sosial yang ter-
12
bentuk akan memberikan kepuasan kerja bagi guru. Namun kecenderungan yang ditemukan penulis di lapangan menunjukkan adanya gejala suasana atau iklim kerja yang kurang kondusif pada beberapa sekolah sebagai tempat pelaksanaan penelitian ini. Pengujian keeratan atau kekuatan kontribusi iklim sekolah
(X2) terhadap
semangat kerja guru (Y) dilakukan dengan menggunakan Product Moment Correlation dan diperoleh hasil ry2 = 0,671 sehingga ry22 = 0,450 atau 45%. Hasil pengujian ini memberikan makna bahwa sebanyak 45% variansi yang terjadi pada variabel semangat kerja dapat dijelaskan atau ditentukan oleh variabel iklim sekolah. Kemudian sisanya sebesar 55% dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain. Hasil analisis dengan kualitas cukup tinggi mengenai kontribusi iklim sekolah terhadap semangat kerja guru ini sejalan dengan pendapat Hoy dan Miskell (dalam Hadiyanto, 2004 : 153) menyatakan bahwa iklim merupakan kualitas dari lingkungan yang terus menerus di alami oleh manusia, yang mempengaruhi tingkah laku dan berdasar pada persepsi kolektif tingkah laku mereka. Pelaksanaan proses pembelajaran sangat ditentukan oleh guru, oleh karena itu uji kompetensi guru akan mendorong terciptanya kegiatan dan hasil belajar yang optimal, karena guru yang teruji kompetensinya akan lebih mampu menciptakan suasana pembelajaran yang kondusif, kreatif, efektif, inovatif dan menyenangkan sehingga mampu mengembangkan potensi seluruh peserta didik secara optimal. Uji kompetensi baik secara teoritis maupun praktis memiliki manfaat yang sangat penting dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru. Kemudian pada sisi lain urgensi dari uji kompetensi adalah sebagai alat untuk mengembangkan standar kompetensi guru, sebagai alat seleksi penerimaan guru, untuk pengelompokan guru dan mendorong kegiatan dan hasil belajar. Data empirik ini menunjukkan bahwa kekuatan kontribusi pelaksanaan uji kompetensi terhadap peningkatan semangat kerja guru diperoleh sebesar 42,2% dan sebanyak 57,8% ditentukan oleh faktor lain. Secara kualitatif menunjukkan bahwa besarnya kontribusi pelaksanaan uji kompetensi terhadap semangat kerja guru memiliki tingkat kualitas yang cukup tinggi. Hal ini didukung pendapat Kindervatter (1979) dalam Mulyasa (2007:23) yang mengatakan bahwa “pemberdayaan guru
13
melalui uji kompetensi akan berdampak positif terhadap status, legitimasi, disiplin, persepsi kreatif, kemampuan refleksi kritis, dan daya pengungkit motivasi serta semangat kerja guru”. Hal senada juga dikemukakan oleh Gary dan Margaret bahwa “guru yang efektif dan kompeten secara profesional memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) memiliki kemampuan menciptakan iklim belajar yang kondusif, (2) kemampuan mengembangkan strategi dan manajemen pembelajaran, (3) memiliki kemampuan memberikan umpan balik (feedback) dan penguatan (reinforcement), (4) memiliki kemampuan untuk peningkatan diri, (5) memiliki semangat kerja dan disiplin yang tinggi”.(Mulyasa, 2007:21). Sebagai pendidik profesional, guru mempunyai tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai atau mengevaluasi peserta didik dalam jalur pendidikan formal mulai dari pendidikan usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Oleh sebab itu jabatan profesional guru memiliki ciri atau karakteristik antara lain jabatan atau pekerjaan itu memerlukan pendidikan dan pelatihan khusus, keahlian, ketrampilan dan kecakapan yang memenuhi standar mutu dan norma tertentu. Pelaksanaan sertifikasi guru merupakan upaya pemerintah dalam rangka meningkatkan citra dan martabat guru sebagai pilar utama dalam pembangunan dunia pendidikan. Dalam kaitan dengan itu maka profesi guru harus mendapat pengakuan secara yuridis oleh pemerintah. Untuk mendapatkan pengakuan tersebut maka harus melalui suatu proses yang disebut sertifikasi. Manfaat dari pelaksanaan sertifikasi ini adalah selain untuk mendapatkan pengakuan terhadap jabatan guru sebagai jabatan profesi, juga diharapkan untuk perbaikan kesejahteraan guru yang diwujudkan dalam bentuk tunjangan profesional. Hasil pengujian di atas menunjukkan bahwa sebanyak 48,5% variansi yang terjadi pada variabel semangat kerja dapat dijelaskan oleh sertifikasi guru, sedangkan sisanya sebesar 51,5% dapat dijelaskan oleh sebab–sebab yang lain. Dengan kata lain
sebanyak 48,5% skor
semangat kerja guru dalam melaksanakan tugas diakibatkan oleh adanya persepsi dan sikap guru terhadap sertifikasi. Kemudian secara kualitas hasil ini menunjukkan bahwa kontribusi persepsi dan sikap guru terhadap pelaksanaan sertifikasi dapat memberikan kontribusi sebesar 48,5% untuk meningkatkan semangat kerja.
14
Kontribusi secara bersama–sama dari keempat variabel prediktor ini diharapkan dapat meningkatkan semangat kerja guru. Memperhatikan persamaan regresi Ŷ = 39,364 + 0,519X1+0,209X2 + 0,928X3+0,920X4 jelaslah bahwa setiap kenaikan skor keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah, iklim sekolah, uji kompetensi dan sertifikasi guru maka akan meningkatkan skor semangat kerja guru. Dengan kata lain semakin tinggi skor keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah, iklim sekolah, uji kompetensi dan sertifikasi guru maka semakin tinggi pula skor semangat kerja guru. Hasil ini memberikan gambaran bahwa 49,7% variansi yang
terjadi pada variabel semangat kerja dapat dijelaskan oleh keterampilan
hubungan manusiawi kepala sekolah, iklim sekolah, uji kompetensi dan setifikasi guru, sedangkan sisanya sebesar 50,3% dapat dijelaskan atau diakibatkan oleh faktor lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Willes (dalam Sahertian, 1981:276) bahwa ada 8 hal yang turut membina semangat kerja kelompok (group morale) yaitu (1) rasa aman dan hidup layak, (2) kondisi kerja yang menyenangkan, (3) rasa diikut sertakan, (4) perlakuan yang wajar dan jujur, (5) rasa mampu, (6) pengakuan dan penghargaan atas sumbangan, (7) ikut ambil bagian dalam pembentukan policy sekolah, (8) kesempatan untuk mempertahankan diri (self respect).
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian kelima hipotesis dalam penelitian ini maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Terdapat kontribusi keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah terhadap semangat kerja guru. Besarnya kontribusi keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah menunjukkan kontribusi yang cukup berarti bagi peningkatan semangat kerja guru, artinya makin baik hubungan manusiawi kepala sekolah maka makin baik pula semangat kerja guru. Adapun tingkat keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah di SMA Negeri Kabupaten Gorontalo berada pada kategori cukup baik.
15
2.Terdapat kontribusi iklim sekolah terhadap semangat kerja guru.Besarnya kontribusi iklim sekolah terhadap semangat kerja guru menunjukkan bahwa iklim sekolah memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi peningkatan semangat kerja guru. Artinya semakin kondusif iklim sekolah maka semakin baik pula semangat kerja guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa iklim sekolah di SMA Negeri Kabupaten Gorontalo berada pada kategori cukup kondusif dan memungkinkan para guru untuk bersemangat dalam melaksanakan tugasnya. 3. Terdapat kontribusi uji kompetensi terhadap semangat kerja guru. Besarnya kontribusi uji kompetensi terhadap semangat kerja guru, ternyata menunjukkan bahwa uji kompetensi memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi peningkatan semangat kerja guru. Artinya semakin baik persepsi guru terhadap pelaksanaan uji kompetensi maka semakin baik pula semangat kerja guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi guru terhadap uji kompetensi masih berada pada kategori cukup baik, dan memungkinkan para guru berupaya dan bersemangat mempersiapkan diri menghadapi uji kompetensi tersebut. 4. Hasil pengujian kontribusi sertifikasi guru terhadap semangat kerja menunjukkan bahwa sertifikasi guru memberikan kontribusi yang cukup berarti. Artinya makin positif persepsi guru terhadap pelaksanaan sertifikasi, maka semakin baik pula semangat kerja guru dalam melaksanakan tugasnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi guru terhadap sertifikasi berada pada kategori cukup positif dan memungkinkan guru lebih bersemangat dalam melaksanakan tugas sekaligus mempesiapkan diri untuk mengikuti sertifikasi tersebut. 5. Terdapat kontribusi secara bersama-sama keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah, iklim sekolah, uji kompetensi dan sertifikasi guru terhadap semangat kerja guru Artinya semakin baik hubungan manusiawi kepala sekolah, semakin kondusif iklim sekolah, semakin positif persepsi guru terhadap uji kompetensi dan sertifikasi, maka semakin baik pula semangat kerja guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterampilan hubungan manusiawi kepala sekolah, iklim sekolah, uji kompetensi dan sertifiasi berada pada kategori cukup baik. Saran
16
a. Bagi kepala sekolah sebagai pimpinan, disarankan agar senantiasa memberi motivasi berprestasi bagi guru yang berhasil melaksanakan tugas, dengan cara memberikan pengakuan atas keberhasilan tersebut yang diwujudkan melalui pemberian penguatan dan pujian, atau dapat juga dilakukan melalui berbagai cara, misalnya dengan menyatakan keberhasilannya langsung di tempat kerjanya, memberikan surat penghargaan, hadiah atau promosi jabatan baru di lingkungan sekolah. b.
Bagi guru disarankan agar senantiasa mengembangkan kreativitas dan inisiatif dalam melaksanakan tugas di sekolah, hindari perilaku menunggu perintah dari kepala sekolah, dan kemukakan ide-ide inovatif secara terbuka sebagai wujud rasa tanggung jawab dalam pelaksanaan pendidikan di sekolah. Kondisi ini akan mendorong terciptanya hubungan manusiawi yang baik antara kepala sekolah dengan guru.
c. Bagi Lembaga/ Dinas Pendidikan Nasional Kabupaten Gorontalo disarankan agar dapat melakukan evaluasi kinerja kepala sekolah, dengan tujuan utamanya adalah untuk mengetahui kinerja kepala sekolah yang difokuskan pada aspek peran kepala sekolah sebagai edukator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator dan motivator. d. Bagi sekolah sebaiknya diprogramkan secara periodik kegiatan silahturahmi atau pertemuan informal bagi semua tenaga pendidik, pegawai tata usaha, orang tua/wali murid, pengurus komite, dan para siswa, sehingga tercipta hubungan yang akrab dan harmonis antara sesama warga sekolah. e. Bagi lembaga penyelenggara uji kompetensi (LPTK yang ditunjuk), perlu melakukan koordinasi dan kegiatan sosialisasi ditingkat sekolah sehingga guru memiliki pemahaman atau persepsi yang benar mengenai pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi.
17
DAFTAR RUJUKAN Abdurrachman, 1982. Dasar-dasar Public Relations. Bandung: Penerbit Alumni. Algifari, 2000. Analisis Regesi Teori, Kasus, dan Solusi, Ed.2. Yogyakarta: BPFEYogyakarta. Ametembun, N.A. 1976. Supervisi Pendidikan. Bandung: Tarsito. Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Bina Aksara Ary, D. Jacobs .L.C & Razavich, A. Tanpa Tahun. Pengantar penelitian Pendidikan. Terjemahan oleh Arief Furchan. 1982. Surabaya : Usaha Nasional . Azwar, S. 2007. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Beeby, C.E., 1979. Assessment of Indonesian Education. New Zealand Council for Educational Research. Wellington. Davis, K. 1985. Human Behaviour at Work : Organizational Behaviour. New Delhi : Tata McGraw-Hill Publishing Company. Davis, K. 1967. Human Relations of Work, Third Edition. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Inc. Depdiknas, 2006. Standar Kompetensi Kepala Sekolah TK – SD – SMP – SMA – SMK – SLB. Jakarta. Dessler, G. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia, Terjemahan Benyamin Molan. Jakarta: Prentice Hall. Inc. Devito, J. A. Communicology: an Inrtoduction to the Study of Communi-cation.New York-London: Harper & Row Publishers. Dharma, A. 1992. Manajemen Prilaku Organisasi : Pemberdayaan Sumber Daya Manusia. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Echols, J. & Shadily H. 1996. Kamus Inggeris-Indonesia (an english-indonesia dictionary). Jakarta: PT Gramedia. Effendy, O.U. 1983. Human Relations dan Public Relations dalam Management. Bandung: Penerbit Alumni.
18
Faisal, S. 1982. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Fatah, N. 2004. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung :PT Remaja Rosda karya. Fathoni, A. 2006. Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Gibson, J.L. Ivancevich. J.M. & Donnely, J.H. 1996. Organisasi dan Manajemen: Prilaku, Struktur, Proses (Alih Bahasa Djoerban Wahid). Jakarta: Erlangga. Gorton, R.A. 1976. School Administration. New York : BWC. Brown Company Publishers. Gujarati. 1997. Teori Ekonometrika. Jakarta : Bina Ilmu. Hadi, S. 1980. Statistik Jilid II. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM. Hadi, S. 2004. Analisis Regresi. Yogyakarta: Penerbit Andi. Hallowan, J. 1978. Applied Human Relations, An Organizational Approach. New Delhi: Prentice Hall of India. Halpin, W.A. 1966. Teory and Research Administration.16th Edition. New York: The Macmillan Company. Halsey, G.D. 2003. Supervising People (Bagaimana Memimpin dan Mengawasi Pegawai Anda). Terjemahan Anaf S. Bagindo. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta. Handoko, H. 1998. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: BPFE. Hasibuan, Malayu S.P. 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia. Ed.Revisi. Jakarta: Pt Bumi Aksara. Hersey, P.& Blanchard. H.B. 1996. Manajemen Prilaku Organisasi Pendayagunaan Sumber Daya Manusia. Terjemahan Agus Dharma. Jakarta: Erlangga. Hoy, W.K. dan Miskel, C.Cr. 2001. Educational Administration: Theory, Research and Practice. New York: Random Home.
19
Irianto, A. 1988. Statistik Pendidikan (I). Jakarta : P2LPTK Jalal, F. 2001. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah. Yogyakarta: Penerbit Adi cita Kaya Nusa . Kartono, K. 2002. Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal itu Jakarta: PT Raja Grafindo Persada . Komariah A. dan Triatna C. 2006. Visionery Leadership Menuju Sekolah Efektif. Jakarta: Bumi Aksara Kusmintardjo, 2002. Iklim Organisasi Sekolah. Dalam Burhanudin(eds) Manajemen Pendidikan, Wacana, Proses dan Aplikasinya di Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang. Likert, R. 1986. Organisasi Manusia: Nilai dan Manajemen. Terjemahan Suratno. Jakarta: Erlangga. Maier, Norman R.F., 1963. Principles of Human Relations. New York-London: English University Press. Mangkunegara, A.A.A.P. 2005. Prilaku dan Budaya Organisasi. Bandung: PT Refika Aditama. Mangkunegara, A.A.A.P 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Mantja, W. 2007. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas. Margono, S. 2005. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. McGuire, W. J. 1975. The Nature of Attitude and Attitude Change. New Delhi: Amerind Publishing Co.Ltd. Muhammad, A. 2005. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Mulyasa, E. 2007. Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Muslich, M. 2007. Sertifikasi Guru Menuju Profesionalisme Pendidik. Jakarta: Bumi Aksara. Nawawi, H. 1984. Administrasi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara.
20
Oliva, P.F. 1976. Supervision for Today’s School. New York and London Longman. Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in Education. New Jersey: Prentice Hall Internasional. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. 2007. Jakarta: Bumi Aksara. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. 2006. Bandung: Penerbit Citra Umbara. Pidarta, M. 1986. Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan. Surabaya: Sarana Press. Riduwan. 2005. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru dan Karyawan dan Peneliti Muda. Bandung: Alfabeta. Rifai, V. 2006. Kepemimpinan dan Prilaku Organisasi, Ed.2. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada. Robbins, S.P. 2007. Prilaku Organisasi. Edisi Lengkap
ARTIKEL: KEEFEKTIFAN EVALUASI TERPADU BAGI LEMBAGA PENDIDIKAN (Jeritan keprihatinan dunia pendidikan) Oleh: Paulus Banggur, S. Pd Artikel:
Keefektifan Evaluasi Terpadu Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia tetap menjadi suatu lingkaran rantai setan yang sulit diputuskan bahkan sangat ”misterius” untuk ditelusuri. Perubahan dan perbaikan kurikulumpun belum bisa menjawab dan memecahkan tentang masalah ini, tatkala semuanya menjadi ”proyek” lahan basah untuk memperkaya diri ketimbang memperkaya generasi muda penerus cita-cita bangsa. Disisi lain dunia pendidikan kita, tidak akan pernah maju manakala negeri ini hanya pandai meniru atau mengadopsi kurikulum dari luar tanpa terlebih dahulu mengevaluasi secara mendalam, komprehensif dan terpadu kurikulum yang sebelumnya. Pada hal kegiatan pendidikan merupakan kegiatan manajemen, yang meliputi kegiatan planning, programming, organizing, actuating, controlling, dan evaluating. Fakta berbicara bahwa dua hal yang terakhir ini hampir merupakan titik lemah dalam manajemen tradisional yang mengabaikan fungsi kontrol dan evaluasi pada setiap program kebijakan termasuk pendidikan, yang bermuara pada rendahnya kualitas keluaran pendidikan. Idealnya setiap pergantian kurikulum harus diiringi dengan perbaikan kualitas. Namun yang terjadi justeru sebaliknya perubahan kurikulum membuat wajah pendidikan di Indonesia menjadi tambah buruk rupa dan membingungkan para pelaku pendidikan guru, orangtua dan siswa sebagai subyek didik. Untuk itu jika ingin adanya perubahan dalam dunia pendidikan di bumi pertiwi ini, sesuai dengan harapan dan cita-cita bersama, maka dilakukan evaluasi secara terpadu dan terencana serta berkesinambungan mulai dari input, process, output dan outcome. Selama ini kelemahan dan ketimpangan yang terjadi adalah pemerintah seolah-olah cuci tangan seperti Pilatus yang berlaku sebagai seorang hakim yang memvonis banyak peserta didik yang gagal ujian akhir, yang berujung kecaman terhadap sekolah-sekolah tidak berkualitas, apalagi sekolah swasta yang memang selama ini luput dari perhatian pemerintah baik di daerah maupun di pusat. Pemerintah harusnya tahu dan sadar diri serta paham bahwa kualitas sebuah lembaga pendidikan adalah tanggungjawab bersama. Tanggung jawab ini tidak hanya ”menuai” di saat akhir (output), tetapi harus dimulai dari tahap awal input, tahap process. Hal ini sangat beralasan lantaran keefektifan evaluasi terpadu yang tercermin dalam prestasi siswa di setiap lembaga pendidikan, menggambarkan keefektifan evaluasi input, dan keefektifan evaluasi process. Artinya output yang berkualitas atau bermutu merupakan buah dari process yang berkualitas dan process yang berkualitas sangat ditentukan oleh input yang berkualitas pula. Dengan demikian ketiganya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam kegiatan pembelajaran di sekolah. Jadi, sangatlah bijaksana manakala yang menentukan siswa sukses atau gagal selama menempuh pendidikan adalah pihak sekolah. Artinya boleh saja pemerintah (dinas pendidikan) atau siapa saja pihak yang berkepentingan
1
mengevaluasi sebuah lembaga pendidikan, namun yang ”menvonis” nasib peserta didik adalah kewenangan sekolah semata yang memang secara nyata terlibat langsung dalam proses pembelajaran peserta didik di sekolah. Mengingat kegiatan pembelajaran di sekolah tidak hanya membentuk dan mengolah kepalanya (otak) peserta didik, tetapi juga mengolah hati (afeksi), emosi, sikap sosial, sikap spiritual, dan seluruh kepribadiannya. Inilah peran sentral guru dalam ”mengkonstruksi” peserta didik, dalam hal ini pemerintah tidak boleh merampas hak guru dalam ”mengetuk palu eksekusi” masa depan peserta didik. Namun, yang diminta dan yang diharapkan dari pemerintah (dinas pendidikan) adalah harus bersikap adil, jujur, obyektif dalam menilai kualitas sebuah lembaga pendidikan sambil terus introspeksi diri sejauh mana perannya dalam ”memberdayakan” semua komponen yang terkait, khususnya input SDM pendidik yang merupakan Roh/ jiwa dari sekolah dan peserta didik serta input sumber daya lainnya (sarana dan prasarana) juga proses, dalam mendukung terciptanya lembaga pendidikan yang berkualitas. Dalam hal ini bersikap adil dimaksudkan bahwa pemerintah (dinas pendidikan) dalam perlakuan tidak ”meng-anak emas-kan” sekolah negeri, dan ”menganak tirikan” sekolah swasta, toh sekolah swasta mempunyai andil yang besar juga dalam mendidik anak bangsa yang kalau mau jujur memiliki tanggung jawab moral yang tinggi. Ini fakta sebab sekolah swasta seringkali diperlakukan tidak adil oleh pemerintah (dinas pendidikan setempat) yang sebenarnya menjadi ”bapak” yang dapat mengayomi bagi semua sekolah tidak hanya bagi sekolah negeri tetapi juga sekolah swasta. Bersikap jujur dimaksudkan bahwa pemerintah (dinas pendidikan) harus tulus menilai kualitas keluaran sekolah-sekolah, sebab banyak sekolah swasta yang menerima peserta didik dengan kemampuan intelektual dibawah standar, apalagi sekolah swasta yang hanya menampung peserta didik yang tidak diterima di sekolah negeri. Sedangkan bersikap obyektif dalam arti pemerintah (dinas pendidikan) dalam menilai kualitas sebuah lembaga pendidikan jangan hanya melihat hasil akhir (ouput) sebuah evaluasi, tetapi lihatlah input awal siswa, bagaimana prosesnya dan setelah itu baru melihat outputnya. Jadi keefektifan evaluasi terpadu terbaca melalui prestasi siswa dan prestasi siswa menggambar kualitas (ouput) lembaga pendidikan. Tetapi sekali lagi percayalah negeri ini tidak akan maju (berkualitas) khususnya dalam dunia pendidikan, jika pemerintah (dinas pendidikan) pilih kasih dalam perlakuan, yang hanya ”menghidupkan dan membesarkan” sekolah negeri dan berupaya ”membunuh dan mematikan” sekolah swasta dengan berbagai cara, termasuk dengan ditambahnya jumlah sekolah kejuruan. Jika demikian adanya maka pemerintah (dinas pendidikan) bisa dikatakan sebagai ”pembunuh” berdarah dingin manakala banyak sekolah swasta yang terpaksa tutup karena ketiadaan peserta didik. Dengan demikian nasib guru dan pegawai swasta akan kehilangan pekerjaan yang berarti ”mati” pelanpelan. Jadi, pertanyaannya kapan lembaga pendidikan kita berkualitas kalau pemerintah (dinas pendidikan) tidak berkualitas dalam berpikir? Artinya berpikirlah sebelum bertindak (think before act), sebab semua kebijakan pemerintah (dinas pendidikan) akan membawa dampak terhadap kehidupan banyak orang di negeri ini. Keefektifan Evaluasi Terpadu dan Jeritan keprihatinan dunia pendidikan Keefektifan evaluasi terpadu adalah kesesuaian hasil yang dicapai dengan tujuan kegiatan guna mengumpulkan informasi, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan
2
untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil sebuah keputusan. Dalam kaitannya dengan Ujian Nasional (UN), maka keefektifan evaluasi terpadu tercermin salah satunya pada hasil prestasi siswa dalam ujian nasional. Dikatakan demikian karena sasaran dari keefektifan evaluasi adalah mutu atau kualitas output siswa yang juga menggambarkan kualitas lembaga pendidikan. Namun, belakangan ini kualitas ouput lembaga pendidikan kita perlu dipertanyakan, mengingat banyak sekolah-sekolah yang terang-terangan membuat kecurangan selama ujian nasional. Bahkan dibanyak tempat pemerintah sendiri (dinas pendidikan) menghimbau agar sekolah-sekolah pemerintah apapun caranya harus lulus 100 %. Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri, bahwa disatu sisi negeri ini ingin kualitas pendidikannya meningkat dari tahun ke tahun, tetapi di sisi lain pemerintah sendiri (dinas pendidikan) membuat kecurangan dengan membocorkan atau membagi kunci jawaban ke sekolah-sekolah. Walau mungkin pemerintah (dinas pendidikan) tidak secara langsung melakukan hal itu, tetapi melalui instruksi khusus ke sekolah – sekolah tertentu dengan adanya “team sukses” ujian nasional. Sementara itu sekolah-sekolah swasta yang mengedepankan nilai kejujuran selalu dianggap tidak berkualitas lantaran banyak siswa yang gagal saat ujian akhir. Padahal kalau dilihat dari input siswa yang masuk ke sekolah-sekolah swasta prestasinya kalah jauh di bawah sekolah-sekolah pemerintah. Sekolah swasta kebanyakan hanya menerima peserta didik yang sisa dari sekolah negeri artinya input siswa yang baik diterima disekolah negeri sementara yang tidak diterima ke sekolah swasta. Andai saya adalah pemerintah (dinas pendidikan) saya harus mengacungkan dua bila perlu ratusan jempol ke pada sekolah-sekolah swasta yang dengan input siswa yang kurang secara intelektualnya, tetapi bisa membuat mereka lulus sebanyak mungkin, apalagi kriteria kelulusan sama untuk semua sekolah baik yang inputnya kurang maupun sekolah yang inputnya diatas rata-rata. Disisi lain sekolah swasta dengan segala keterbatasannya karena kurang mendapat dukungan dari pemerintah (dinas pendidikan) telah berbuat banyak, telah berjasa dalam mencerdaskan anak bangsa. Sangat disayangkan bahwa pemerintah (dinas pendidikan) selalu mengecam sekolah-sekolah swasta yang katanya memberi andil paling banyak dengan banyaknya siswa yang gagal dalam ujian akhir? Bukankah anak-anak yang berkemampuan tinggi semuanya masuk sekolah pemerintah? Sekolah swasta pada umumnya hampir tidak melakukan seleksi awal terhadap siswa baru lantaran kurang dari pagu dan memang misi sekolah swasta adalah melayani semua anak tanpa kecuali, tanpa membedakan-bedakan. Ironis memang dengan situasi seperti ini, tetapi itulah indonesia. Ingin adanya perubahan dalam kualitas dunia pendidikan kita, tetapi seringkali terjadi pemerintah (dinas pendidikan) sendiri ”main kotor” dengan sekolah-sekolahnya, sementara sekolah swasta selalu dijadikan kambing hitam. Inilah nasib sekolah-sekolah swasta yang keberadaannya kurang diperhitungkan di negeri ini, padahal mereka juga telah memberikan yang terbaik buat negeri yang tercinta ini. Mereka (sekolah swasta) juga telah menanamkan nilai kejujuran kepada peserta didiknya untuk memperoleh hasil yang baik melalui ketekunan belajar, kerja keras, bukan melalui cara yang kurang terpuji. Untuk itu berbicara tentang perubahan kualitas pendidikan harus dimulai dari perubahan kualitas berpikir, bertindak, bersikap dari pemerintah (dinas pendidikan) sendiri. Di eja lebih jauh saya berpendapat bahwa semua insan di lembaga pendidikan pastilah mengharapkan adanya perubahan. Tetapi alangkah bijaknya kalau perubahan terhadap
3
perbaikan kualitas itu dilakukan secara jujur, sehingga kita bisa mengukur apakah mutu atau kualitas pendidikan di bumi persada ini sudah sesuai dengan tujuan /sasaran atau tidak? Sebab kalau tidak, walau tiap tahun kriteria kelulusan UN meningkat, tetapi tetap tidak mencerminkan atau menjadi ukuran bahwa kualitas pendidikan di negara kita sudah tercapai. Hal ini disebabkan masih adanya praktek-praktek kecurangan seperti membocorkan soal UN, membagi kunci jawaban kepada siswa, pengawasan yang tidak ketat saat UN. Itu artinya juga keefektifan evaluasi yang tercermin melalui UN (output) belum bisa dijadikan gambaran keefektifan input, keefektifan proses atau keefektifan kegiatan pembelajaran di sekolah. Terlepas dari itu semua, evaluasi terpadu tetap sangat diperlukan juga untuk mengevaluasi manipulasi yang terjadi di lembaga pendidikan, serta guna mengevaluasi kinerja guru disetiap lembaga pendidikan. Selain itu evaluasi terpadu sangat diperlukan dalam dunia pendidikan, baik ditinjau dari segi profesionalisme tugas kependidikan, proses, dan manajemen pendidikan itu sendiri mengharuskan adanya aktivitas evaluasi. Bahwa kegiatan evaluasi dapat memberi informasi berbagai kelebihan dan kekurangan, serta memberi arahan yang jelas untuk mencapai mutu yang lebih baik. Semua itu hanya akan terjadi jika setiap pelaku pendidikan menginginkan adanya perubahan itu. Sebab setiap evaluasi selalu menuntut adanya perubahan, dan perubahan dalam konteks pendidikan adalah mutu atau kualitas. Arie de Geus (1997) menandaskan sebuah organisasi (sekolah) pada dasarnya adalah juga sesosok makhluk hidup (a living organism). Karena ia hidup maka ia dilahirkan, sakit, tua, dan dapat mati seperti makhluk hidup lainnya. Organisasi (sekolah) tetap eksis justru karena berubah dan beradaptasi. Perubahan dapat terjadi secara evolusioner mencakup upaya mencari cara-cara baru untuk menjadi efektif, tetapi ia pula dapat berlangsung secara revolusioner mencakup upaya untuk meningkatkan efektivitas bekerjanya suatu organisasi (sekolah). Menurut Kaizen kemajuan (mutu) dicapai karena perubahan-perubahan kecil yang bersifat kontinu atau tanpa henti dalam beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu detail yang berhubungan dengan usaha menghasilkan produk (output) atau pelayanan. Namun, tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi yang lebih baik, hingga dalam hal demikian tentu perlu diupayakan agar bila dimungkinkan perubahan diarahkan ke arah hal yang lebih baik dibandingkan kondisi sebelumnya. Dengan demikian, bahwa perubahan senantiasa mengandung makna, beralihnya keadaan sebelumnya (the before condition) menjadi keadaan setelahnya (the after condition). Oleh karena itu tuntutan akan adanya perubahan, khususnya perubahan terhadap dunia pendidikan dalam sistem evaluasi yang bukan saja mengemban fungsi pengawasan, tetapi juga fungsi pembinaan dan pemberdayaan terhadap penyelenggaraan pendidikan. Pengawasan dan pembinaan sebagai bagian dari manajemen harus dijalankan secara seimbang dengan fungsi manajemen lainnya, agar dapat dicapai peningkatan kinerja secara optimal. Hal ini mendorong adanya pelaksanaan proses evaluasi yang lebih profesional, obyektif, jujur, dan transparan sebagai rangkaian dari pengawasan, pembinaan dan pemberdayaan sekolah dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Jika proses evaluasi terpadu terlaksana dengan baik terhadap semua komponen yang menunjang pembelajaran serta menghilangkan dikotomi sekolah negeri dan swasta, oleh pemerintah (dinas pendidikan setempat), maka dunia pendidikan akan berkualitas
4
lantaran kita menjadi satu team work yang memiliki tugas dan tanggung jawab bersama yakni menjadikan orang muda yang berkualitas.
Catatan akhir Keefektifan evaluasi terpadu diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam rangka: (a) memberi informasi bahwa sebuah (sekolah) unit kerja atau sebuah program dalam suatu sekolah telah atau belum memenuhi standar kelayakan dan kinerja yang telah ditentukan, (b) membantu (sekolah) unit kerja melakukan evaluasi diri dan menentukan kebijakan sendiri dalam upaya peningkatan mutu atau kualitas, (c) membimbing para kepala sekolah, guru dan peserta didik untuk mengidentifikasi sekolah bermutu yang dapat memenuhi kebutuhan individu terhadap pendidikan termasuk mengidentifikasi sekolah yang memiliki prestasi dalam suatu bidang tertentu yang mendapat pengakuan masyarakat pengguna jasa pendidikan, (d) membantu sekolah dalam menentukan dan mempermudah kerjasama yang saling menguntungkan, (e) membantu mengidentifikasi sekolah dan program dalam rangka pemberian bantuan pemeritah, investasi dana dan donator atau bentuk bantuan lainnya. Untuk sekolah sebagai institusi , hasil evaluasi terpadu memiliki makna yang penting karena dapat digunakan sebagai: (1) acuan dalam upaya peningkatan mutu sekolah dan rencana pengembangan sekolah, (2) umpan balik untuk suatu usaha pemberdayaan dan pengembangan kinerja warga sekolah dalam rangka menerapkan visi, misi, tujuan, sasaran, strategi dan program sekolah, (3) pendorong motivasi untuk unit kerja (sekolah) agar terus meningkatkan mutu sekolahnya serta bertahap, terencana, dan kompetitif ditingkat regio, (4) bahan informasi bagi sekolah sebagai masyarakat belajar untuk meningkatkan dukungan dari pemerintah, masyarakat, maupun sektor-sektor lainnya dalam hal profesionalisme, moral, tenaga dan dana. Untuk guru, hasil evaluasi terpadu merupakan dorongan bagi guru untuk selalu meningkatkan diri dan bekerja keras untuk memberi layanan yang terbaik bagi peserta didiknya. Secara moral, guru senang bekerja di sekolah yang diakui sebagai sekolah yang baik. Oleh karenanya, guru selalu berusaha untuk meningkatkan diri dan bekerja keras untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu sekolahnya. Untuk masyarakat dan khususnya orang tua, hasil evaluasi terpadu diharapkan menjadi informasi yang akurat tentang layanan pendidikan yang ditawarkan oleh setiap sekolah; sehingga secara sadar dan bertanggungjawab, masyarakat dan khususnya orang tua, dapat membuat keputusan dan pilihan yang tepat dalam kaitannya dengan pendidikan bagi anaknya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Untuk peserta didik, hasil espad juga menumbuhkan rasa percaya diri bahwa mereka memperoleh pendidikan yang baik, dan harapannya sertifikasi dari sekolah yang bermutu merupakan bukti bahwa mereka menerima pendidikan yang bermutu. Akhirnya dengan menggunakan instrumen yang komprehensif dan dikembangkan berdasarkan pada standar mutu yang ditetapkan, hasil evaluasi terpadu diharapkan dapat memetakan secara utuh profil sekolah. Proses evaluasi terpadu sekolah berfungsi untuk: (1) pengetahuan yakni sebagai bahan informasi bagi semua warga sekolah tentang kelayakan dan kinerja sekolah dilihat dari berbagai unsur yang terkait, mengacu pada standar yang ditetapkan beserta indikator-indikatornya, (2) akuntabilitas yakni sebagai
5
bentuk pertanggung jawaban sekolah kepada publik, apakah layanan yang dilaksanakan dan diberikan oleh sekolah sebagai lembaga pendidikan telah memenuhi harapan atau keinginan masyarakat, (3) pembinaan dan pengembangan yaitu sebagai dasar bagi sekolah, pemerintah dan masyarakat dalam upaya peningkatan atau pengembangan mutu sekolah. Penulis yakin jika semua kita melaksanakan peran masing-masing dengan baik dan penuh tanggung jawab serta bekerja sama secara sehat dengan menghilangkan dikotomi ataupun diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta, didukung oleh pemerintah (dinas pendidikan) sebagai bapak yang dapat mengayomi semua anak bangsa di lembaga pendidikan, maka kualitas atau mutu keluaran pendidikan yang diharapkan akan tercapai. Jika tidak, maka sampai kapanpun dunia pendidikan di negeri ini akan tetap terpuruk, kualitas atau mutu hanyalah sekedar kosmetik.
Penulis adalah mahasiswa program Pascasarjana UM angkatan 2006
DAFTAR RUJUKAN
Arcaro, S.J. 2007. Pendidikan Berbasis Mutu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Arikunto, S & Jabar, A.S.C. 2004. Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: PT Bumi Aksara Danim, S. 2005. Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta: PT Bumi Aksara. Jande, K. 2002. Manajemen Pelatihan Pengelolaan Sekolah. Surabaya: Pearl Kasali, R. 2006. Change. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Pengurus Yayasan Pusat. 2003. Buku Pedoman Evaluasi Terpadu. Malang: Yayasan Mardi Wiyata. Thoha, Ch.1990. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada Umaedi. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
6
7
PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU BERBASIS KEAGAMAAN (studi kasus di lingkungan Yayasan Pendidikan Almaarif Kecamatan Singosari Kabupaten Malang)
ARTIKEL
Oleh : SYAIFUDDIN NIM : 104631556273
UNIVERSITAS NEGERI MALANG PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN 2008
PEMBINAAN PROFESIONALISME GURU (studi kasus pada sekolah-sekolah di lingkungan yayasan pendidikan Almaarif Kecamatan Singosari Kabupaten Malang.
Abstrak : Pendidikan sebagai suatu proses merupakan suatu sistem pengolahan bahan (peserta didik) dengan melibatkan berbagai perangkat yang dimilikinya berupa guru, kurikulum, buku ajar, metodologi, sarana dan prasarana, teknologi, organisasi, manajemen, dana, disamping faktor idea yang melahirkan visi, misi, dan program pendidikan. Oleh karena itu agar pendidikan dapat berjalan lancar dan menghasilkan out put sesuai yang diharapkan perlu adanya pembinaan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang cerdas, kreatif, inovatif, agamis, etis, yang kompetitif dan berkepribadian luhur. Salah satu model pembinaan guru yang dilaksanakan di sekolah-sekolah lingkungan yayasan pendidikan Almaarif Singosari adalah model pembinaan guru yang dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan yang bersifat keagamaan (religius) dilingkungan yayasan tersebut. Kegiatan pembinaan tersebut menarik untuk diteliti sebab melalui penanaman mental spiritual berusaha dikembangkan potensi dan kreativitas guru untuk mencapai tujuan proses belajar mengajar secara maksimal. Jadi tumbuhnya kesadaran beragama dijadikan motivator utama dalam menjalankan tugas profesionalisnya sebaik-baiknya. Dalam penelitian, fokus penelitian ini adalah : (1) Bagaimanakah gambaran profesionalisme guru di lembaga pendidikan yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari ? (2) Bagaimanakah pembinaan guru berbasis keagamaan dilaksanakan di Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari ? (3) Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat pembinaan guru berbasis keagamaan di Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari ? Untuk menjawab pertanyaab tersebut, dilakukan penelitian pada sekolah-sekolah dilingkungan Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari dengan rancangan dan pendekatan kualitatif. Prosedur pengumpulan data dilaksanakan melalui wawancara mendalam dan pengamatan peran serta dimana peneliti merupakan instrument utama. Hasil analisis data penelitian menunjukkan bahwa : (1) Guru-guru di sekolahsekolah lingkungan yayasan pendidikan Almaarif Singosari dapat tampil professional dalam hal kedisplinan waktu kehadiran, kepulangan, berpakaian (seragam), aktif mengikuti kegiatan sekolah sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan dalam hal kinerjanya mampu mencerminkan profesionalismenya, menyusun rencana proses belajar mengajar, melaksanakan kegiatan proses belajar mengajar, mengerjakan kegiatan sesudah proses belajar mengajar, dan aktif mengerjakan kegiatan tugas tambahan yang dibebankan kepadanya, (2) pembinaan guru berbasis keagamaan di sekolah-sekolah lingkungan yayasan pendidikan Almaarif Singosari dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan keagamaan di setiap sekolah yang ada di yayasan tersebut. Penyelenggaranya meliputi kegiatan rutin bertempat di rumah para guru secara bergilir dengan sistem arisan, dan secara insidental dilaksanakan di sekolah. Model pembinaan guru oleh kepala sekolah dengan pendekatan keagamaan cenderung ke arah bentuk supervisi kolaboratif, sebab dalam menetapkan suatu gagasan (ide) atau keputusan sering memperhatikan masukan dari para guru
bawahannya, dan (3) faktor pendukung pembinaan guru berbasis keagamaan di yayasan pendidikan Almaarif Singosari antara lain persamaan idiologi guru, kepala sekolah maupun pengurus yayasan, tingginya aktifitas dan semangat para guru dalam mengikuti kegiatan keagamaan, terciptanya suasana religius, adanya dukungan dari pengurus yayasan dan terdapatnya sistem arisan dalam menetapkan giliran tempat pertemuan. Sedangkan faktor penghambat terdiri dari tempat pelaksanaan yang terkadang sulit dijangkau dan kurang memadai, terbatasnya waktu yang tersedia, biaya pelaksanaan yang terbatas, kurangnya sarana transportasi, dan luas dan lompleknya permasalahan yang menjadi materi pembinaan. Bertitik tolak dari temuan penelitian diatas, terdapat beberapa saran yang dapat dipertimbangkan dalam meningkatkan pembinaan guru dengan pendekatan keagamaan yaitu : (1) para guru diharapkan jangan cepat merasa puas dengan apa yang sudah dicapai selama ini, teruslah berupaya untuk mengembangkan kemampuannya melalui berbagai kegiatan yang diselenggarakan sekolah terutama kegiatan yang dilaksanakan terpadu dengan pembinaan guru, (2) Bagi kepala sekolah agar terus meningkatkan kemampuannya baik melalui jalur akademik maupun secara aktif mengikuti kegiatan seprofesinya seperti kelompok kerja kepala sekolah (KKB), membina hubungan baik secara internal maupun eksternal, (3) Bagi pengelola yayasan hendaknya dipikirkan alternatif kegiatan pembinaan guru yang dipadukan dengan kegiatan keagamaan mungkin dimasa mendatang kegiatan rutin tersebut bisa diselenggarakan di sekolah saja, hal ini akan dapat mengatasi permasalahan tempat, sarana transportasi, bahkan mungkin bisa menghemat waktu dan biaya.
Kata kunci : Profesionalisme guru, pembinaan guru, keagamaan
Sebagai salah seorang yang bertanggungjawab terhadap pembinaan guru, kepala sekolah diharapkan harus memiliki kemampuan yang professional dan memiliki ketrampilan yang baik dalam supervisi yang dibutuhkan dalam mencapai keberhasilan sekolah. Dalam hal ini Kimball Wiles (1961), diidentifikasi ada lima ketrampilan pokok yaitu ketrampilan dalam kepemimpinan, ketrampilan dalam hubungan dengan manusia, ketrampilan dalam proses kelompok, ketrampilan dalam administrasi personalia, dan ketrampilan dalam evaluasi. Dengan dimilikinya ketrampilan tersebut maka akan memungkinkan seorang kepala sekolah akan mampu menjadi seorang pembina yang baik. Salah satu langkah strategis dalam meningkatkan mutu (kualitas) pendidikan di lembaga pendidikan adalah melakukan pembinaan guru untuk mengembangkan berbagai kompetensi yang dimilikinya. Menurut Raka (1989) dalam Hasan (2006) untuk menjadi tenaga professional seorang guru harus memiliki (1) kompetensi personal artinya seorang guru harus memiliki kepribadian yang mantap dan patut di teladani, (2) kompetensi profesional, artinya seorang guru harus memiliki pengetahuan luas, menguasai materi yang diajarkan kepada anak didiknya dan bisa menerapkan metode yang tepat dalam proses belajar-mengajar, (3) kompetensi, artinya seorang guru harus mampu berkomunikasi yang baik dengan siswa sesama guru maupun masyarakat luas. Jacobson dalam Sahertian (2000) menyatakan tidak semua guru yang dididik terlatih dan kualified (well training and well qualified). Untuk menciptakan guru yang berkualitas memang masih banyak hal yang harus ditempuh, di samping belajar sendiri, para guru juga membutuhkan layanan dari kepala sekolahnya, sebagaimana dikatakan oleh Sir James Robert marks (1985), bahwa semua guru membutuhkan supervisi dan layanan. Mantja (2005) menyebutkan bahwa aktualisasi dari pembinaan profesionalisme guru adalah layanan yang diberikan kepada guru dalam bentuk perbaikan dan peningkatan pengajaran guru, pembelajaran siswa, dan perbaikan kurikulum. Mengingat peran guru sangat strategis, guru seharusnya memiliki kualifikasi tertentu khususnya model-model pembelajaran dan mampu menjaga kualitas tersebut dengan sebaik-baiknya. Kualifikasi guru, disampaikan oleh Gorton (1976), yaitu
faktor pribadi, faktor professional, dan pelaksanaan mengajar dan mengelola kelas. Faktor pribadi terdiri dari : penampilan, kerja sama, rasa humor, kebijaksanaan, kesehatan, kehadiran, dan kerajinan. Faktor professional meliputi : keluwesan, pertimbangan, etika professional, hubungan dengan staf, hubungan dengan siswa, dan hubungan dengan orang tua. Sedangkan pelaksanaan mengajar dan mengelola kelas meliputi organisasi dan penampilan kelas, faktor-faktor pribadi, penguasaan bahan pengajaran, tehnik mengajar, penguasaan bahasa, dan kemampuan membuat laporan dan catatan. Menurut Sahertian (1994) guru yang profesional mempunyai makna ahli (expert), tanggung jawab (responsibility), baik intelektual maupun moral, dan memiliki rasa kesejawatan. Dari realita tersebut, maka dipandang perlu adanya peningkatan kualitas pembelajaran melalui pembinaan guru sebagai bantuan yang diberikan kepada guru agar dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hasil belajar siswa. Bantuan kepada guru melalui supervisi sangat diperlukan, baik untuk mempertahankan maupun untuk mengembangkan kemampuan yang sudah dimiliki. Depdikbud (1986) dalam Mantja (2006) menyebutkan bahwa pembinaan guru merupakan rangkaian usaha pemberian bantuan kepada guru, terutama wujud bantuan professional yang dilakukan oleh kepala sekolah, penilik, pengawas dan Pembina lainnya untuk meningkatkan proses dan hasil belajar mengajar. Untuk membantu mengembangkan kemampuan guru, pihak yang diharapkan adalah kepala sekolah sebagai pimpinan lembaga pendidikan dengan pembinaan yang baik kepada bawahannya, guru diharapkan akan mampu tumbuh dan berkembang pada jabatannya, karena kepala sekolah akan memberikan metodemetode pembelajaran yang bersifat inovatif sesuai dengan perkembangan kurikulum. Dikemukakan oleh Pidarta (1985) bahwa tugas kepala sekolah baik, sebagai pemimpin pengajaran, adalah membantu guru di sekolah untuk mengembangkan profesinya. Dalam melakukan pembinaan kepala sekolah bukan mengawasi atau menilai kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar melainkan membantu guru dalam mengembangkan kemampuan profesionalnya, akan tetapi juga tidak terlepas dari penilaian kemampuan guru dalam melaksanakan tugasnya.
Apabila layanan pengajaran merupakan serangkaian kegiatan membantu guru mengembangkan
kemampuannya
mengelola
proses
belajar,
maka
menilai
kemampuan guru dalam mengelola proses belajar mengajar merupakan salah satu kegiatan yang tidak dapat dihindarkan (Sergiovani, 1987). Penilaian sebagaimana estimasi penampilan guru dalam mengelola proses belajar mengajar, yang merupakan bagian integral dari serangkaian kegiatan layanan pengajaran. Pembinana sebagai rangkaian kegiatan membantu guru, maka dalam pelaksanaannya tidak boleh tidak terlebih dahulu perlu adanya penilaian kemampuan guru sebagai dasar untuk menetapkan aspek-aspek yang perlu dikembangkan dan cara mengembangkannya. Tujuan pembinaan dalam pengajaran adalah untuk membantu guru mengembangkan
kemampuannya
dalam mencapai
tujuan
pengajaran
yang
dicanangkan bagi murid-muridnya. Melalui pembinaan pengajaran diharapkan kualitas guru semakin meningkat dan tujuan pembinaan guru bukan saja berkenaan dengan aspek kognitif dan psikomotor, melainkan juga dengan aspek afektif. Sergiovani (1987) menegaskan bahwa tujuan layanan pengajaran ada tiga, yaitu pengawasan kualitas, pengembangan professional, dan memotivasi guru. Secara teoritis, pembinaan para guru yang selama ini dilakukan pada sekolahsekolah dibawah Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Kabupaten Malang, mulai dari Jenjang Taman Kanak-Kanak, Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Dasar Islam, SMP Islam, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, SMA Islam sampai SMK Almaarif seharusnya telah memberikan kontribusi yang baik-baik penyelenggaraan proses belajar mengajar di sekolah yang antara lain ditandai dengan kedisplinan guru dan siswa, prestasi akademik maupun non akademik siswa dan lain-lain. Akan tetapi kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa masih banyak dijumpai permasalahanpermasalahan pembelajaran, misalnya masih rendahnya hasil ujian atau semester, sering terjadi guru tidak masuk mengajar dengan alasan yang tidak jelas, guru yang melaksanakan tugas mengajar menurut persepsinya sendiri, siswa yang sering datang terlambat, siswa yang pulang sebelum proses pembelajaran berakhir, dan sebagainya. Salah satu langkah alternatif yang telah dilaksanakan oleh yayasan pendidikan Almaarif adalah pembinaan para guru, terutama berkaitan dengan mental spiritualnya. Pembinaan bagi para guru ini dilaksanakan melalui kegiatan keagamaan
yang diselenggarakan oleh setiap lembaga pendidikan yang ada dipimpin oleh kepala sekolah masing-masing diluar jam belajar mengajar sekolah. Melalui kegiatan keagamaan para guru secara
rutin dan terpadu diharapkan akan tumbuh jiwa
profesionalisme guru yang bermental religius sehingga dalam melaksanakan tugasnya tidak semata-ata untuk memenuhi tuntutan kebutuhan material saja tetapi lebih dari itu untuk mencari ridlo dari Allah swt. Jadi para guru dalam melaksanakan tugasnya merasa diawasi oleh pegawas yang selalu tahu dimanapun, apapun dan bagaimanapun dia bekerja yaitu Allah swt. Apabila para guru sebagai tombak pelaksanaan proses belajar mengajar telah memiliki mental kagamaan yang kondusif, kepala sekolah sebagai supervisor dalam pelaksanaan supervisinya akan membina hal-hal yang bersifat teknis dalam meningkatkan professionalisme proses belajar guru, dimana hal tersebut dapat dilaksanakan terpadu dengan kegiatan keagamaan para guru. Penelitian ini berupaya mengkaji lebih jauh pembinaan para guru berbasis keagamaan yang dilakukan oleh Kepala sekolah, pengurus yayasan maupun kepala yayasan dilingkungan Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari. Sedangkan basis keagamaan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah : Pertama, karena seluruh guru yang berada di yayasan ini beragama Islam dan beraqidah Ahlussunnah wal jamaah. Kedua, Pembina yayasan, pengurus yayasan dan para kepala sekolah sebagian besar merupakan tokoh masyarakat bahkan beberapa diantaranya merupakan kyai dan memangku pondok pesantren. Pendekatan dalam melakukan pembinaan para guru merupakan bagian dari strategi untuk mencapai tujuan pembinaan guru secara maksimal. Di yayasan Pendidikan Almaarif Singosari dilaksanakan dengan berbasis keagamaan guna meningkatkan profesionalisme guru. Seiring dengan hal ini dilakukan penelitian di sekolah-sekolah dibawah naungan yayasan pendidikan Almaarif Singosari dengan fokus penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah gambaran profesionalisme guru di lembaga pendidikan yang dikelola oleh yayasan pendidikan Almaarif Singosari ? 2. Bagaimanakah pembinaan dengan berbasis keagamaan dilaksanakan di yayasan pendidikan Almaarif Singosari ?
3. Apa saja faktor pendukung dan penghambat pembinaan dengan berbasis keagamaan di yayasan pendidikan Almaarif Singosari ? Hasil dari penelitian ini dapat dipakai sebagai wahana memperoleh informasi tentang pembinaan tenaga kependidikan dengan berbasis keagamaan di dalam lembaga pendidikan dan dipakai sumber informasi berkaitan dengan manfaat pembinaan dengan berbasis keagamaan kepada para guru di lingkungan lembaga pendidikan. Bagi sekolah dan yayasan pendidikan, hasil ini dapat dipakai sebagai bahan tolok ukur keberhasilan pelaksanaan kegiatan pendidikan yang didalamnya dilaksanakan kegiatan pembinaan dengan berbasis keagamaan oleh kepala lembaga atau pengurus yayasan dan hasil dari penelitian dapat digunakan sebagai referensi (acuan) dan sumber informasi peneliti kegiatan pembinaan guru yang menggunakan berbasis keagamaan, untuk selanjutnya dapat dipakai sebagai pangkal berpijak dalam meneliti permasalahan yang sejenis atau ada kaitannya dengan fokus penelitian ini.
HASIL 1. Profesionalisme Guru Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Dalam hal kinerja profesionalnya guru yayasan pendidikan Almaarif Singosari kabupaten Malang mampu menjalankan tugas-tugas profesinya dengan baik. Hal ini tampak dalam berbagai indikator penelitian yang berupa persiapan sebelum proses belajar mengajar guru telah menyusun program tahunan, program catur wulan pelaksanaan kurikulum, menyusun program satuan pelaporan, serta mempersiapkan alat Bantu mengajar yang diperlukan. Untuk lebih menguasai materi yang akan diajarkan kepada siswa guru telah menyiapkan berbagai diajarkan kepada siswa guru telah menyiapkan berbagai buku sumber. Pada saat proses belajar mengajar selain menyampaikan materi kepada siswa dengan menggunakan berbagai metode dan strategi belajar mengajar, guru menggunakan perilaku verbal dan non verbal, serta merangsang siswa untuk aktif dalam proses belajar mengajar, guru juga tampak mempertimbangkan prinsip psikologi siswa dalam belajar, profesionalisme kerja guru sesudah proses belajar mengajar ditunjukkan pada pelaksanaan evaluasi dan penilaian hasil belajar siswa, membuat rencana remedial, mengembangkan kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler serta memberikan laporan kemajuan belajar
kepada orangtua siswa. Selain tugas utama guru yayasan pendidikan Almaarif tugas utama guru yayasan pendidikan Almaarif Singosari juga tampak secara bertanggung jawab melaksanakan tugas-tugas tambahan yang diberikan kepadanya yaitu, membantu administrasinya sekolah, mengelola UKS, mengelola koperasi siswa, mengelola perpustakaan sekolah, mengikuti berbagai kegiatan yang berkaitan dengan tugasnya, serta aktif dalam pertemuan keagamaan yang diselenggarakan oleh sekolah. Dengan demikian kinerja guru yayasan pendidikan Almaarif Singosari telah menunjukkan profesionalisme tinggi dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas profesinya, baik dalam hal menyusun persiapan proses belajar mengajar, pelaksanaan proses belajar mengajar, penyelesaian tugas sesudah proses belajar mengajar maupun tanggung jawabnya dalam menjalankan tugas-tugasnya tambahan. Pembinaan guru dengan berbasis keagamaan di Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari. Penerapan pembinaan guru dengan berbasis keagamaan di Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Kabupaten Malang merupakan keputusan yang didasarkan atas suatu pertimbangan yang tepat dan pemikiran yang matang. Sebab hal ini menyangkut sesuatu yang sifatnya angat mendasar yaitu keyakinan (ideologi) seseorang yang melatar belakangi setiap tindakan dan perbuatannya. Apabila pada diri seseorang tumbuh kesadaran atas apa yang diyakinnya maka dia akan bekerja sebaik-baiknya untuk meraih suatu hasil yang maksimal. Oleh karena itu kegiatan pembinaan guru dengan pendekatan keagamaan di Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari dilaksankaan secara terpadu dengan berbagai bentuk kegiatan keagamaan baik yang diselenggarakan secara rutin maupun yang sifatnya incidental. Kegiatan pembinaan guru dengan pendekatan keagamaan berlangsung dalam suasana kekeluargaan dan dapat menimbulkan saling terbukaan antara yang dibina dengan pembinaannya. Tidak berlebihan kiranya jika apa yang dikemukakan oleh Negly dan Evans (1980) mendukung kegiatan pembinaan guru dengan pendekatan keagamaan yang pada intinya menyatakan bahwa para guru lebih menghargai dan menilai secara positif perilaku supervisor yang hangat saling mempercayai, bersahabat, dan menghargai guru, serta supervisor berusaha menciptakan iklim organisasi yang terbuka, yang memungkinkan pemantapan hubungan saling
menunjang. Oleh karena itu pembinaan guru yang sesuai dengan perubahan sosial dan dinamika kelompok. Pembinaan guru yang dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan keagamaan memberikan kontribusi tersendiri dalam pemenuhan kebutuhan seseorang dalam hal nilai spiritual, dengan meningkatnya kesadaran beragama dapat merupakan dorongan untuk meningkatkan profesionalisme kerja. Sehingga pada akhirnya mencapai suatu prestasi atau kepuasan kerja itu sendiri. keadaan ini pada subtek penelitian menunjukkan bahwa pendekatan kepala sekolah dalam melakukan pembinaan dirasakan (diterima) sangat menyenangkan (cocok) dengan type (karakteristik) mereka dan hal ini akan meningkatkan profesionalisme kerja guru tersebut dalam melaksanakan tugasnya. Kemampuan seorang supervisor di dalam merencanakan dan mengapliksikan program pembinaan guru sangat diperlukan, khususnya untuk menentukan jenis pendekatan dalam pendekatan pembinaan guru yang akan digunakan dalam supervisinya, karena hal ini berkaitan dengan type guru yang bermacam-macam. Seandainya supervisor salah dalam menentukan pendekatan tersebut, maka akan berakibat negatif pada proses dan hasil supervisi yang dilaksanakan. Jadi pendekatan pembinaan guru kepala sekolah yang mendukung akan memotivasi guru maupun pegawai yang lain khususnya para guru, sehingga mereka mempunyai semangat atau gairah kerja yang tinggi. Para guru akan mempunyai sikap yang dinamis, kreatif, inovatif dan kritis. 2. Faktor Pendukung dan Penghambat Pembinaan Guru dengan Berbasis Keagamaan di Yayasan Pendidikan Almaarif Singosari Kabupaten Malang Dalam pelaksanaan pembinaan guru dengan pendekatan keagamaan di yayasan
pendidikan
Almaarif
Singosari,
terdapat
beberapa
faktor
yang
mempengaruhi-nya baik berupa faktor pendukung maupun penghambat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pendukung pembinaan guru dengan pendekatan keagamaan yang pelaksanaan secara terpadu dengan kegiatan keagamaan antara lain semangat aktifitas
guru, persamaan idiologi, nuansa arisan dalam
menentukan giliran tempat pertemuan (kegiatan).
Pada dasarnya faktor pendukung yang berupa semangat dan aktifitas guru dalam mengikuti kegiatan pembinaan guru dengan pendekatan keagamaan merupakan modal dasar guru dalam meningkatkan kemampuannya di bidang pendidikan dan pengajaran, terlebih lagi dengan terdapatnya persamaan idiologi para guru. Lebih memantapkan kelancaran dan proses kegiatan agar mencapai tujuan yang diharapkan secara maksimal terutama timbulnya kesadaran dari para guru untuk terus berkembang kearah kemajuan. Karena sesungguhnya sasaran pembinaan guru adalah upaya untuk peningkatan kompetensi professional dibidang pengetahuan dan pengertian, juga lebih dari itu sasaran pembinaan guru bertujuan untuk meningkatkan kemauan diri para guru agar terus menerus melakukan peningkatan kelayakan kompetensinya (Mantja, 2002). Sedangkan faktor pendukung lainnya yaitu terciptanya dukungan pengurus dan penggunaan sistem arisan merupakan faktor pendukung dalam proses kelancaran dan kelangsungan kegiatan supervisi yang dipadukan dengan kegiatan keagamaan, dengan adanya dukungan pengurus yayasan, supervisi dengan pendekatan keagamaan dapat dilaksanakan dengan perasaan tenang dan aman. Sedangkan sistem arisan menjamin kelangsungan tempat sebab sistem tersebut telah menentukan tempat kegiatan untuk bulan berikutnya. Selain faktor pendukung, terdapat pula faktor penghambat pembinaan guru dengan pendekatan keagamaan di yayasan pendidikan Almaarif Singosari beberapa faktor tersebut antara lain : tempat pelaksanaan kegiatan, waktun pelaksanaan, luasanya materi pembinaan, biaya pelaksanaan dan kurangnya sarana transportasi dalam membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan. Faktor penghambat yang disebutkan diatas merupakan hal yang sering ditemukan dalam pengembangan pendidikan dan pengajaran di lembaga pendidikan terlebih lagi di sekolah-sekolah swasta, yang pada umumnya pembiayaan operasional pendidikan dilakukan secara swadaya. Dalam kasus yang terjadi di yayasan pendidikan Almaarif Singosari, hambatan yang harus dihadapi dalam pembinaan guru dengan pendekatan keagamaan faktor tersebut tak dapat hindarkan, namun demikian tidak menyurutkan semangat para guru dan pengelola lembaga pendidikan lainnya untuk menghentikan kegiatan tersebut.
Beberapa faktor penghambat telah didirikan solusinya oleh pengelola lembaga pendidikan yang bersangkutan antara lain : untuk mengatasi masalah tempat pelaksanaan kegiatan pembinaan apabila di rumah guru yang kebetulan memperoleh giliran ditempati tidak mungkin dilakukan pertemuan secara leluasa maka tempat pelaksanaan boleh menggunakan aula yayasan atau ruang kelas tempat belajar siswa dengan catatan setelah selesai kegiatan harus dikembalikan seperti semula. Apabila terjadi rumah guru yang memperoleh giliran ditempati tempat tinggalnya jauh (di luar kota) maka dilakukan persiapan terlebih dahulu dengan jalan berangkat secara kolektif, baik menggunakan kendaraan sewa atau pun naik transportasi umum agar dapat sampai secara bersamaan dan acara dapat dilangsungkan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan.
PEMBAHASAN Hasil penelitian tentang kualitas profesionalisme kerja guru yayasan pendidikan Almaarif Singosari Kabupaten Malang diatas, menunjukkan kompetensi professional
untuk
melaksanakan
tugas-tugasnya
merupakan
suatu
bentuk
keberhasilan dari pengelolaan pendidikan menyangkut peningkatan sumber daya manusia. Tentu saja hal ini juga tidak terlepas dari upaya para guru itu sendiri yang sadar akan tugas kewajibannya di lembaga pendidikan. Hal ini seiring dengan pendapat Glickman (1990) yang menekankan bahwa tanggung jawab meningkatkan kompetensi memang seharusnya timbul dari para guru dengan belajar untuk meningkatkan kemampuannya. Pernyataan tersebut setidaknya mengungkapkan bahwa guru disamping memiliki tanggung jawab yang dikonsepsikan sebagai komitmen, juga memiliki kemampuan berfikir yang dikategorikan pada tingkat abstraksi. Mendorong guru untuk meningkatkan kapasitasnya sebagai seorang professional merupakan salah satu karakteristik pengembangan sumber daya manusia, sehingga perlu lebih berpotensial secara professional dalam tugasnya. Oleh karena itu, pembinaan professional guru haruslah berwawasan pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang difokuskan pada sisi pengembangan staf dan pengembangan program pendidikan. Dengan demikian kompetensi professional yang
harus ditingkatkan tidak saja mencakup pengertian dan pengetahuan, tetapi yang lebih diharapkan adalah kemauan dari untuk terus menerus melakukan peningkatan kelayakan kompetensinya. Tinggi rendahnya kualitas profesionalisme kerja guru dipengaruhi oleh beberapa faktor (seperti dikemukakan dalam bab II). Kerja seseorang mempengaurhi produktifitas kerjanya. Untuk memiliki guru yang produktif perlu usaha menciptakan dan meningkatkan iklim kerja yang mendukung dan menyenangkan dari pihak kepala sekolah sebagai supervisor dalam membantu guru, sehingga mendorong guru agar mempunyai sikap dan nilai yang positif dan kerja yang produktif. Jadi dapat disimpulkan bahwa profesionalisme kerja guru yayasan pendidikan Almaarif Singosari Kabupaten Malang, apabila dilihat dari kedisiplinan kerja, melaksanakan tugas sebelum proses belajar mengajar (PBM), melaksanakan tugas pada saat PBM, melaksanakan tugas sesudah
PBM dan melaksanakan tugas
tambahan menunjukkan pada tingkat kualitas sangat baik dan perlu dipertahankan dan ditingkatkan agar tujuan yang hendak dicapai dapat diraih secara maksimal. Efektif tidaknya pendekatan guru di sekolah tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawba pemimpin lembaga pendidikan dalam hal ini adalah kepala sekolah. Keberhasilan pelaksanaan pembinaan guru ditunjang persepsi, respond dan sikap positif, para guru terhadap pembinaan guru itu sendiri (Blumberg, 1980) pernyataan tersebut memberikan dasar perlunya mengetahui model pembinaan guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa supervisi kepala sekolah dengan pendekatan keagamaan di yayasan pendidikan Almaarif Singosari Kabupaten Malang cenderung kolaboratif. Kemampuan kepala sekolah tersebut mencerminkan pula kemampuannya mengaktualisasikan hubungan yang harmonis dengan bawahannya, mampu memadukan dalam arti saling melengkapi pola krakteristik personelnya dengan tujuan dan karakteristik guru. Penilaian guru terhadap pembinaan guru yang dilaksanakan kepala sekolahnya, sebenarnya juga mencerminkan sikap positif atau negatif guru terhadap pendekatan supervisi yang dialaminya (Mueller, 1981) pernyataan ini seiring dengan haisl kajian peneliti tentang pandangan guru terhadap pembinaan guru oleh kepala sekolahnya yang mencerminkan pula tingkat atau derajat favorabilitas perasaan guru
terhadap pendekatan pembinaan tersebut. Dimana hal ini juga merupakan perwujudan dari sikap positif atau negatif guru terhadap kegiatan layanan pembinaan. Dengan melihat hasil penelitian di yayasan pendidikan Almaarif Singosari Kabupaten Malang, kepala sekolah dalam melaksanakan supervisi dengan pendekatan keagamaan lebih sering menggunakan model kolaboratif di dalam program pembinaannya. Hal ini berarti kepala sekolah dalam pembinaannya melakukan pendekatan langsung yang dipadukan dengan pendekatan tidak langsung. Pendekatan yang demikian itu, dilaksanakan dengan melibatkan aktif guru yang disupervisi, yaitu dengan bekerja sama (bersama-sama) dalam pelaksanaan program pembinaannya. Jadi kepala sekolah bukan semata-mata berfungsi sebagai orang yang tidak berpotensi. Kondisi pembinaan guru diuraikan di atas, ada hubungannya dengan tingkat kemampuan kepala sekolah dalam menciptakan suasana kerja di yayasan pendidikan Almaarif Singosari Kabupaten Malang, yaitu suasana kerja yang harmonis dan kekeluaragan, sehingga guru mempunyai persepsi positif terhadap program supervisi yang dilaksanakan oleh kepala sekolahnya. Kecenderungan kepala sekolah untuk lebih sering melaksanakan supervisi dengan pendekatan kolaboratif, karena kepala sekolah menganggap bahwa supervisi itu merupakan sarana memberi layanan profesional kepada guru dalam rangka meningkatkan kualitas mengajar guru. Sehingga kepala sekolah dalam fungsinya sebagai supervisor memainkan beberapa peranan, diantaranya mambantu (assisting), mendorong (supporting), konsultan, dan evaluator. Semua peran tersebut dilakikan secara integral dengan mempertimbangkan prototype (karakteristik) dan permasalahan yang dihadapi. Jadi kepala sekolah tidak mematikan potensi dan kreatifitas guru-guru dan menganggap guru adalah orang yang selalu mau diperintah (didikte). Untuk itu kepala sekolah haruslah mempunyai kemampuan membaca dan memahami (peka) terhadap situasi yang terjadi di lingkungan kerjanya.
PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian tentang pembinaan dengan berbasis keagamaan dalam meningkatkan profesionalisme guru di yayasan pendidikan Almaarif Singosari Kabupaten Malang dapat disimpulkan hal-hal berikut : Guru yayasan pendidikan Almaarif Singosari mencerminkan sosok yang bertanggung jawab terhadap profesinya. Hal ini tampak dalam kedisiplinannya hadir tepat waktu di sekolah, pulang sesuai jadwal yang telah ditetapkan, berada di sekolah pada setiap hari kerja walau tidak ada jamh mengajar, tertib menggunakan seragam sesuai peraturan sekolah, dan aktif dalam mengikuti kegiatan yang diselenggarakan sekolah seperti upacara peringatan hari besar atau kegiatan lainnya yang menjadi program sekolah. Dalam hal kinerjanya, guru yayasan pendidikan Almaarif Singosari selalu menyusun persiapan mengajar, baik program tahunan, program, semester atau catur wulan, program satuan pelajaran serta berusaha menguasai materi yang akan diajarkan dari beberapa buku sumber pada saat proses belajar mengajar guru menerapkan metode dan strategi yang relevan, menggunakan komunikasi verbal maupun non verbal, serta merangsang terjadinya interaksi aktif antara siswaa dan guru pada saat proses belajar mengajar. Kegiatan guru sesudah proses belajar mengajar menunjukkan guru melakukan evaluasi dan penilaian, menyiapkan program remedial, dan menyiapkan laporan keuangan kemajuan belajar siswa kepada orang tua / wali. Dalam hal guru mengerjakan tugas di luar tugas utamanya, guru tampak bertanggung jawab dan bekerja sebaik-baiknya terhadap tugas yang diserahkan kepadanya sebagai tugas tambahan. Kegiatan pembinaan guru dengan berbasis keagamaan dilaksanakan kepala sekolah selaku supervisor secara terpadu dengan kegiatan keagamaan yang diselenggarakan masing-masing lembaga pendidikan yayasan pendidikan Almaarif Singosari satu bulan sekali di luar jam belajar mengajar siswa. Waktu pelaksanaan sore hari atau malam hari terserah masing-masing lembaga kegiatan keagamaan tersebut merupakan anjuran dari pengurus yayasan dan bersifat mengikat bagi kepala sekolah, guru dan staf masing-masing lembaga pendidikan dibawah nuangannya. Sedangkan ditinjau dari model pendekatannya saat mengadakan pembinaan, lebih
cenderung kepada bentuk kolaboratif, artinya kepala memperhatikan masukan dari para guru bawahannya dalam mengambil suatu keputusan. Faktor yang bersifat mendukung program pembinaan guru dengan berbasis keagamaan di yayasan pendidikan Almaarif Singosari antara lain : persamaan idiologi, aktifitas
dan semangat guru, tercipatanya nuasa religius, dukungan
pengurus dan sistem arisan. Sedangkan faktor yang bersifat menghambat pembinaan guru dengan berbasis keagamaan di yayasan pendidikan Almaarif Singosari : yaitu, tempat pelaksanaan, terbatasnya waktu, kurangnya biaya pelaksanaan, kurangnya sarana transportasi, dan luas materi pembinaan guru serta kompleknya permasalahan yang harus dihadapi guru. Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka peneliti menyarankan beberapa hal berikut : Kepada para guru disarankan agar senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya, secara aktif mengikuti kegiatan keagamaan yang diselenggarakan oleh sekolahnya masing-masing di yayasan pendidikan Almaarif Singosari, tidak terlalu mempermasalahkan kurangnya sarana pendukung yang dimiliki yayasan namun memanfaatkan setiap peluang dan kesimpulan sebaik-baiknya agar proses belajar mengajar berjalan lancar dan dapat mencapai tujuan secara maksimal dan Kepada kepala sekolah disarankan agar lebih meningkatkan kemampuannya dalam menentukan prototype guru agar tujuan pembinaan guru dapat dicapai secara efektif dan efisien, kepala sekolah diharapkan dapat menjadi suri tauladan bawahannya terutama dalam pengembangan kemampuan akademik maupun ketrampilan (skill) yang hal ini dapat dilakukan dengan secara aktif mengikuti kelompok kerja kepala sekolah (KKS) serta membina hubungan baik dengan pihak terkait yayasan.
DAFTAR RUJUKAN
Glickman, Carl D. 1981. Developmental Supervision: Alternative Practivce for Helping Teacher Improvew Instruction. Virginia. ASCD. Hasan, Muhammad Thalhah. 2006. Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Jakarta Lantabora press. Mantja, W. 2005. Etnografi Disain Penelitian dan Manajemen Pendidikan. Malang : Wineka Media. Sahertian, P.A. 2000. Konsep Dasar dan Tehnik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta : Rineka Cipta. Sergiovani, Thomas .J.(et.al) 1987. The Principalship : A Reflective Perceptive. Allyn and Bacon Inc. MA.
Hubungan Persepsi Siswa Tentang Disiplin Guru Dan Pelibatan Siswa Dalam Penetapan Peraturan Tata Tertib Sekolah Dengan Disiplin Siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kabupaten Tulungagung Imam Hanafi Teacher’s attitude and individual has influence on development of student’s attitude. The teacher who does negative action and has unmate individual or unintegrate will cause student immitate the same thing, because during teaching learning activity at school, there is interaction continously between learnen and teacher by immitation, identification and adaption. Because of the strong economic pressure in modern society can move concept and image of the teacher. The willing to increase the in come will effect abandont to learner who should get full attention from teacher. In this case, finally it is used to as a basic thing for the learner to obey the school’s regulation. Another factor that cause student undiscipline is the student not understand the school’s regulation and the reason for the rule existance. One of the offered strategy to solve this problem is by involving the learner in making school’s regultion. There is indication that school will get aduantage when student is given a role in developing judgment which corelated school’s regulation. Kata Kunci: Disiplin Guru, Disiplin Siswa, dan Tata Tertib Sekolah A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Perkembangan teknologi informasi semisal telepon seluler (HP)
yang
sangat pesat dewasa ini, selain membawa dampak positif seperti yang diharapkan juga ada sisi negatifnya. Penyalahgunaan kemanfaatan segala fasilitas HP ini sering terdengar melalui berbagai berita media cetak.
Kalangan penyalah
gunanya juga sangat beragam. Lingkungan sekolah yang notabene sebagai candradimuka penggemblengan tunas bangsa pun terkena imbas sisi negative dari HP. Satu contoh kasus yang sempat menjadi berita di Radar Tulungagung edisi September 2007, yaitu kasus “ponsel porno” seorang pelajar di sebuah SMP di Tulungagung perlu mendapat perhatian yang seksama dari pengelola lembaga pendidikan.
1
Gorton (1976) menyatakan bahwa sebenarnya mayoritas siswa di sekolah berperilaku sesuai dengan peraturan tata tertib sekolah. Sedangkan sebagian kecil saja yang melakukan pelanggaran tata tertib sekolah, tetapi perbuatannya itu menjadi masalah utama bagi kepala sekolah, guru maupun staf yang lainnya. Faktor terpenting untuk dapat berlakunya peraturan tata tertib adalah kedisiplinan. Ketertiban akan didapat oleh sekolah, manakala semuanya berdisiplin dan tidak melanggar peraturan yang ada. Ada beberapa faktor yang menyebabkan siswa berperilaku tidak sesuai dengan tata tertib sekolah, salah satunya menurut Danim (2002) adalah disiplin guru yang tidak memadai. Ketika guru berperilaku tidak disiplin, maka akan dijadikan alasan pembenaran oleh siswa untuk bertindak dengan hal yang serupa. Mulyasa (2006), mengatakan bahwa guru adalah pendidik yang menjadi tokoh, panutan dan identifikasi bagi para peserta didik. Oleh karena itu, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disipilin. Selain itu, Howard (1968) menengarai figur guru yang dipandang sebagai orang bijaksana, akan tetapi kenyataannya mereka menghukum anak-anak dengan kasar, kritikan tajam kurang pertimbangan dan sering masuk kelas terlambat pada waktu pergantian pelajaran karena minum kopi dan merokok di kantor dewan guru. Di sisi lain Burden & Byrd (1994), melaporkan bahwa berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa prestasi akademik dan perilaku siswa dipengaruhi oleh kualitas hubungan guru dengan siswa. Siswa lebih menyukai guru yang baik dan bersahabat. Siswa yang merasa disukai oleh gurunya mempunyai prestasi
2
akademik yang baik dan perilaku yang produktif didalam kelas daripada siswa yang merasa gurunya kurang mempunyai penghargaan terhadap dirinya. Untuk mengatasi permasalahan kedisiplinan siswa, Brown (dalam Gorton, 1976) menyarankan, guru kelas dapat berperan penting dalam mereduksi perilaku siswa yang tidak disiplin. Persiapan yang baik sebelum mengajar, teknik pengajaran, kepribadian dan aspek kelas lainnya bisa meminimalkan kemunculan permasalahan kedisiplinan siswa. Hal ini mengindikasikan bahwa tugas guru tidak hanya mengajar belaka, pembentukan yang dilakukan oleh guru jauh lebih baik daripada oleh bahan pengajaran
yang diajarkan oleh guru itu. Namun,
berdasarkan penelitian yang dilakukan Allport (dalam Hamalik, 1992) ketika meneliti 100 orang siswa yang berhasil dan 4632 guru. Ia menemukan bahwa kira-kira hanya 8% dari guru-guru tersebut yang memiliki pengaruh kuat terhadap para siswa. 15% yang diingat dengan baik, tetapi tidak memiliki pengaruh yang kuat. Kira-kira 77% diingat secara samar-samar. Dari uraian di atas terlihat dalam membicarakan kedisiplinan siswa tidak bisa terlepas dari figur guru. Oleh karena guru yang paling banyak berhubungan dengan para siswa dibandingkan dengan personel sekolah lainnya. Guru merupakan figur sentral dalam proses pendidikan yang berlangsung di sekolah. Tugasnya sebagai pendidik akan lebih mudah tercapai bila ia bisa menempatkan dirinya sebagai figur keteladanan bagi anak didiknya. Sehingga ada ungkapan Guru diartikan digugu dan ditiru. Tapi disebabkan oleh derasnya desakan ekonomi yang kuat dalam masyarakat modern turut menggeser konsep dan citra guru tersebut. Keinginan untuk menambah pendapatan berdampak pada penelantaran terhadap anak didiknya, yang seharusnya mendapat perhatian penuh
3
dari guru. Hal ini, akhirnya dijadikan alasan pembenaran siswa terhadap perilakunya yang tidak berdisiplin. Apalagi siswa yang berada dalam usia remaja atau diambang kedewasaan sangat mencari dan merindukan keteladanan dan tokoh identifikasi yang akan ditiru dan diikuti langkahnya. Hipotesis lain yang menyebabkan permasalahan kedisiplinan siswa adalah seperti yang diungkapkan oleh Gorton (1976), yaitu oleh karena siswa tidak memahami peraturan tata tertib dan alasan tentang keberadaan suatu peraturan. Salah satu strategi yang ditawarkan Gordon (1996) untuk mengatasi permasalahan ini yaitu dengan melibatkan siswa dalam menetapkan peraturan tata tertib sekolah. Ada indikasi bahwa sekolah akan memperoleh keuntungan ketika siswa diberi peran dalam pengembangan kebijakan yang berhubungan dengan tata tertib sekolah. Sebagaimana yang dilaporkan oleh McPartland dan McDill (dalam Duke dan Canady, 1991) bahwa ada penurunan tingkat kekerasan dan pengrusakan di sekolah tatkala siswa berpartisipasi dalam pengembangan kebijakan kedisiplinan. Selanjutnya merupakan tantangan bagi kepala sekolah dan guru untuk melakukan identifikasi terhadap kebijakan yang cocok bagi siswa dengan mana mereka bisa berpartisipasi. Siswa adalah manusia yang mempunyai sifat-sifat dan kebutuhan sebagaimana manusia pada umumnya. Dari teori kebutuhan diketahui bahwa setiap manusia memerlukan “pengakuan atas eksistensi diri dan penghargaan”. Dengan diikutsertakannya mereka dalam menelorkan peraturan dan tata tertib, maka mereka akan mengganggap bahwa peraturan tata tertib tersebut adalah hasil karyanya, miliknya. Jika ada teman siswa lain yang tidak mau melaksanakan peraturan tata tertib mereka akan merasa tersinggung dan selanjutnya akan
4
mengamankan berlakunya. Tentu tidak dapat disangsikan lagi, bahwa para siswa sekurang-kurangnya yang terlibat dalam kegiatan penyusunan, akan dengan sukarela melaksanakannya. 2. Masalah/ Tujuan Dalam penelitian ini masalah pokok yang hendak diungkapkan adalah persepsi siswa tentang disiplin guru dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah serta kaitannya dengan disiplin siswa. Sedangkan tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan persepsi siswa tentang disiplin guru dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah dengan disiplin siswa.
B. METODE 1. Rancangan Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan rancangannya korelasional Cross-sectional Surveys. Penelitian korelasional Cross-sectional Surveys bertujuan menetapkan besarnya hubungan antara variabel-variabel dan pengambilan data di lapangan dilakukan hanya sekali (Fraenkel, & Wallen, 1993). Ada tiga variabel yang akan dikaji dalam penelitian ini, yakni persepsi siswa tentang disiplin guru dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah sebagai variabel bebas dan disiplin siswa sebagai variabel terikat. Hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikatnya ditunjukkan seperti gambar berikut: X1 Y X2
5
Keterangan: X1 = Persepsi siswa tentang disiplin guru X2 = Pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah Y = Disiplin Siswa 2. Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 1999). Dengan mempertimbangkan sebaran populasi yang tersebar dalam kabupaten Tulungagung, maka sampel penelitian diambil dengan teknik Proportional Random Sampling. Jumlah sampel tiap madrasah diambil secara proporsional dengan jumlah siswa tiap madrasah. Kemudian, untuk menentukan subyek sampel digunakan teknik random sampling. Dalam menentukan besarnya sampel penelitian, peneliti menggunakan formula Empiris seperti yang dikemukakan oleh Isaac dan Michael (dalam Sukardi, 2003), yaitu: S=
X 2 ⋅ N ⋅ P(1 − P) d 2 ( N − 1) + X 2 P(1 − P)
Dari formula empiris tersebut, dengan jumlah populasi sebesar 916 maka diperoleh jumlah sampel sebesar 270 (Sukardi, 2003). Rincian jumlah populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Nama Madrasah
Jumlah Populasi
Jumlah Sampel
MAN I Tulungagung
423
125
MAN II Tulungagung
335
99
6
MAN Rejotangan
158
46
Jumlah
916
270
Sumber: Kantor Depag Kab. Tulungagung 3. Teknik Pengumpulan Data Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan peneliti untuk mengumpulkan data. Dalam penelitian ini digunakan metode angket. Angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui. Bentuk angket yang digunakan adalah tertutup. Disebut angket tertutup, bila item pertanyaan pada angket tersebut disertai jawabannya, sehingga responden tinggal memilih jawaban yang dinilainya paling sesuai (Arikunto, 1999). Sedangkan data yang perlu dikaji dalam penelitian ini, yaitu: 1. Persepsi siswa tentang disiplin guru 2. Pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah 3. Disiplin siswa Data ini akan memberikan gambaran tentang hubungan persepsi siswa tentang disiplin guru dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah dengan disiplin siswa. Angket ini berisi sejumlah pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut persepsi siswa tentang disiplin guru dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah serta disiplin siswa MAN sekabupaten Tulungagung. 4. Teknik Analisis Untuk analisis data digunakan pendekatan statistik dengan beberapa tahapan, yaitu:
7
a. Deskripsi Data Penelitian Mendiskripsikan persepsi siswa tentang disiplin guru, pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib madrasah/ sekolah, dan disiplin siswa dilakukan dengan menggunakan norma absolute, yaitu suatu norma yang ditetapkan secara mutlak oleh pembuat instrumen berdasarkan jumlah butir, bobot masing-masing butir, serta prosentase pilihan yang dipersyaratkan (Arikunto, 1989). Dengan demikian skor standar yang diperoleh responden yang didasarkan atas konversi norma absolute akan mencerminkan tingkat kategori suatu variabel. Adapun pedoman konversi tigkat kategori pencapaian skor suatu variabel dengan menggunakan skala lima adalah sebagai berikut: No
Tingkat pencapaian skor
Kategori
1
90,0 % - 100 %
Sangat Tinggi
2
65,0 % - 89,9 %
Tinggi
3
55,0 % - 64,9 %
Sedang
4
40,0 % - 54,9 %
Rendah
5
0,0 % - 39,9 %
Sangat Rendah
Diadapsikan dari Depdikbud, 1985 (dalam Sulton, 2005). b. Pengujian Persyaratan Analisis Sebelum dilakukan analisis data untuk menguji hipotesis, terlebih dahulu dilakukan pengujian untuk memenuhi persyaratan analisis, yaitu: (1) pengujian normalitas distribusi data masing-masing variabel, (2) pengujian multikolinieritas.
8
c. Korelasi Parsial Korelasi parsial digunakan untuk analisis bila peneliti bermaksud mengetahui hubungan variabel independen dengan dependen, dimana salah satu variabel independennya dikendalikan (Hadi, 1987). Digunakannya korelasi parsial dalam analisis data pada penelitian ini karena peneliti ingin mencari hubungan antara variabel persepsi siswa tentang disiplin guru (X1) dengan variabel disiplin siswa (Y) dan hubungan tersebut dikontrol oleh variabel (X2), hubungan antara variabel pelibatan siswa dalam penetapan peraturan sekolah (X2) dengan variabel disiplin siswa (Y) dan hubungan tersebut dikontrol oleh variabel (X1). Rumus yang dipakai dalam penelitian ini adalah: r1 y − 2 =
r2 y −1 =
r1 y − (r2 y )(r12 )
(1 − r )(1 − r ) 2
2y
2
12
r2 y − (r1 y )(r12 )
(1 − r )(1 − r ) 2
1y
2
12
d. Analisis Regresi Ganda Analisis regresi ganda dipergunakan untuk mengetahui seberapa besar terdapat hubungan serentak dari variabel bebas dengan variabel terikat. Data penelitian diuji dengan teknik analisis regresi dengan dua variabel prediktor. Adapun rumus yang dipakai adalah :
R y (1, 2 ) =
a1 ∑ x1 y + a 2 ∑ x 2 y
∑y
2
9
Untuk mengecek apakah harga Ry(1,2) signifikan apa tidak dipergunakan rumus F, Freg =
yaitu:
R 2 ( N − m − 1) m 1− R2
(
)
Dengan derajat kebebasan atau db = m lawan N-m-1. Jika Freg ≥ Ftabel maka hubungan serentak semua variabel bebas dengan variabel terikat adalah signifikan. Sebaliknya, jika Freg ≤ Ftabel maka hubungan serentak semua variabel bebas dengan variabel terikat adalah tidak signifikan. Dalam pengujian hipotesis, persamaan garis regresi, korelasi parsial, regresi ganda, dan sumbangan efektif dan sumbangan relatif menggunakan jasa komputer program SPSS for Windows 11.5.
C. HASIL 1. Paparan Data Dalam penelitian ini terdapat 3 jenis data yang bersumber dari 3 variabel penelitian. Ketiga variabel penelitian tersebut adalah persepsi siswa tentang disiplin guru, pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah, dan disiplin siswa. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan terhadap ketiga jenis data tersebut kemudian dideskripsikan dengan menggunakan penilaian acuan absolute. a. Diskripsi Variabel Persepsi Siswa Tentang Disiplin Guru Distribusi kecenderungan tingkat persepsi siswa tentang disiplin guru, seperti berikut ini:
10
No
Kelas interval
Frekuensi
Frekuensi (%)
Kategori
1
79,2 - 88
34
12,6 %
Sangat Tinggi
2
57,2 – 79,1
221
81,9 %
Tinggi
3
48,4 – 57,1
13
4,8 %
Sedang
4
35,2 – 48,3
1
0,4 %
Rendah
5
0,0 - 35,1
1
0,4 %
Sangat Rendah
Dengan memperhatikan hasil perhitungan pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa gambaran perilaku disiplin guru MAN se kabupaten Tulungagung cenderung berada dalam kategori tinggi, dengan frekuensi sebesar 81,9 %. Artinya, sebagian besar guru MAN se kab. Tulungagung telah menerapkan perilaku kerja yang berorientasi pada tugas dengan rata-rata kadar tinggi. b. Diskripsi Variabel Pelibatan Siswa Dalam Penetapan Peraturan Tata Tertib Sekolah Distribusi kecenderungan tingkat pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah, seperti berikut ini: No
Kelas interval
Frekuensi
Frekuensi (%)
Kategori
1
48,6 - 54
13
4,8 %
Sangat Tinggi
2
35,1 – 48,5
69
25,6 %
Tinggi
3
29,7 – 35,0
57
21,1 %
Sedang
4
21,6 – 29,6
83
30,7 %
Rendah
5
0 – 21,5
48
17,8 %
Sangat Rendah
11
Dengan memperhatikan hasil perhitungan pada tabel di atas dapat disimpulkan bahwa gambaran pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah di MAN se kab. Tulungagung cenderung berada dalam kategori rendah, dengan frekuensi sebesar 30,7 %. Artinya, sebagian besar MAN se kab. Tulungagung kurang melibatkan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib madrasahnya. c. Diskripsi Variabel Disiplin Siswa Distribusi kecenderungan tingkat disiplin siswa, seperti berikut ini: No
Kelas interval
Frekuensi
Frekuensi (%)
Kategori
1
106,2 - 118
77
28,5 %
Sangat Tinggi
2
76,7 – 106,1
186
68,9 %
Tinggi
3
64,9 – 76,6
7
2,6 %
Sedang
4
47,2- 64,8
0
0
Rendah
5
0,0 – 47,1
0
0
Sangat Rendah
Dengan memperhatikan hasil perhitungan pada tabel diatas dapat disimpulkan bahwa gambaran tingkat disiplin siswa MAN se-kab. Tulungagung cenderung berada dalam kategori tinggi, dengan frekuensi sebesar 68,9 %. Artinya, sebagian besar siswa MAN se kab. Tulungagung berperilaku sesuai dengan peraturan tata tertib yang diberlakukan. 2. Hasil Analisis Hasil ringkasan analisis regresi dan korelasi dapat disajikan dalam tabel berikut ini:
12
Sig. t
r
r2
7,166
0,000
0,402
0,162
0,079
1,245
0,214
0,076
0,006
Konstanta
62,878
13,528
0,000
F hitung
33,465
Sig. F
0,000
R
0,448
R2
0,200
Variabel
Y
Variabel
Koefisien t hitung
Bebas
Regresi
X1
0,499
X2
Terikat F tabel
3,04
(α = 0,05) t tabel
1,960
(α = 0,05) Sumber: Output SPSS ver. 11,5 Dengan memperhatikan hasil perhitungan pada tabel di atas, dapat dibentuk persamaan regresi sebagai berikut: Y = 62,878 + 0,499 X1 + 0,079 X2 a. Hubungan Antara Persepsi Siswa Tentang Disiplin Guru (X1) Dengan Disiplin Siswa (Y) Berdasarkan hasil analisis regresi ternyata X1 memiliki hubungan yang positip dan siginifikan dengan Y yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi
13
( r ) sebesar 0,442. Hal ini memberi arti bahwa peningkatan persepsi siswa tentang disiplin guru akan diikuti dengan meningkatnya disiplin siswa. b. Hubungan Antara Pelibatan Siswa Dalam Penetapan Peraturan Tata Tertib Sekolah (X2) Dengan Disiplin Siswa (Y) Berdasarkan hasil analisis regresi ternyata X2 kurang
mempunyai
pengaruh terhadap Y yang ditunjukkan dengan nilai koefisien korelasi ( r ) sebesar 0,076 yang sangat rendah. Hal ini memberi arti bahwa peningkatan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah tidak diikuti dengan meningkatnya disiplin siswa. c. Hubungan antara persepsi siswa tentang disiplin guru (X!) dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah (X2) dengan disiplin siswa (Y) Berdasarkan hasil analisis regresi diperoleh nilai koefisien korelasi (r) sebesar 0,448 dan harga F-hitung sebesar 33,465. Hal ini memberi arti bahwa model regresi bisa digunakan sebagai penaksir yang baik. Dengan demikian bias disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi siswa tentang disiplin guru dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah dengan disiplin siswa.
D. PEMBAHASAN 1. Hubungan antara persepsi siswa tentang disiplin guru dengan disiplin siswa Berdasarkan hasil analisis, diperoleh temuan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara persepsi siswa tentang disiplin guru dengan disiplin siswa. Nilai koefisien determinasi parsial ( r2 ) yang diperoleh sebesar 0,162 artinya
14
kontribusi persepsi siswa tentang disiplin guru dalam meningkatkan disiplin siswa MAN se kabupaten Tulungagung sebesar 16,2 %. Hasil ini sejalan dengan temuan penelitian De Roche (1985) yang menyatakan bahwa masalah-masalah disiplin timbul dari sebagian besar kepala sekolah dan para guru tidak menggunakan teknik secara efektif. Teknik yang dimaksud dalam hal ini adalah teknik keteladanan. Agus (2000), menyarankan ada tiga pendekatan sebagai upaya guru dan kepala sekolah dalam membina disiplin siswa di sekolah salah satunya yaitu keteladanan dari kepala sekolah dan para guru serta karyawan sekolah. Seorang guru diharuskan memiliki jiwa dan sikap disiplin karena guru harus menjadi teladan bagi siswanya. Kepemilikan sikap disiplin guru tidak boleh diabaikan, karena jika guru tanpa memiliki sikap disiplin akan menyebabkan anak didik kesulitan dalam menentukan dan mencari figur sebagai panutan. Ada pepatah yang berbunyi: Guru kencing berdiri murid kencing berlari. Perbuatan guru lebih kuat pengaruhnya kepada murid, dan murid pun ketika melihat gurunya tak disiplin akan dijadikan alasan baginya untuk berbuat hal yang serupa. Brown (dalam Gorton, 1976) menyarankan, guru kelas dapat berperan penting dalam mereduksi perilaku siswa yang tidak disiplin. Persiapan yang baik sebelum mengajar, teknik pengajaran, kepribadian dan aspek kelas lainnya bisa meminimalkan kemunculan permasalahan kedisiplinan siswa. Didalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 1 ayat 1, dinyatakan bahwa tugas utama guru diantaranya adalah mendidik dan mengajar peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Indrakusuma (1973), mengartikan tugas
15
mengajar erat kaitannya dengan proses transfer pengetahuan kepada murid sedangkan tugas pendidik sangat terkait dengan penanaman nilai-nilai dan normanorma ke dalam diri murid. 2. Hubungan antara pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah dengan disiplin siswa Berdasarkan hasil analisis, diperoleh temuan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah dengan disiplin siswa MAN se kabupaten Tulungagung. Apabila dilihat dari diskripsi data kedua variabel memperlihatkan adanya perbedaan yang mencolok. Variabel X2 berada dalam posisi kategori rendah, sedangkan variabel Y berada dalam posisi kategori tinggi. Apabila dikonfirmasi dengan hasil-hasil penelitian sebelumnya, bahwa hasil penelitian diatas ternyata bertolak belakang dengan beberapa hasi penelitian yang ada. Dalam studi Vredevoe (dalam Gorton, 1976), para siswa melaporkan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberlakuan suatu peraturan, salah satunya adalah danya kesempatan partisipasi siswa dalam pembuatan peraturan. McPartland dan McDill (Duke, L.D. dan Canady, R.L., 1991) melaporkan bahwa ada penurunan tingkat kekerasan dan pengrusakan di sekolah tatkala siswa berpartisipasi dalam pengembangan kebijakan kedisiplinan. Tetapi, ada beberapa pendapat yang mencoba memberi penjelasan mengenai hal tersebut. Gutmann (dalam Lewis, 1997) menyatakan bahwa proses pendidikan tidak harus demokratis untuk menyiapkan siswa berperan serta dalam masyarakat yang demokratis. Apabila berpijak dari pendapat ini tentunya suatu peraturan tata tertib sekolah bisa langsung dibuat tanpa perlu melibatkan siswa
16
dalam proses penyusunannya. Sedangkan, Lewis (1997) memaparkan mengenai survey penelitian terhadap siswa sekolah menengah yang ternyata tidak secara khusus menginginkan mereka untuk berbagi kekuasaan dan menerima tanggung jawab lebih besar atas sikap mereka. Para siswa cenderung menyukai bila guru yang mempunyai kewenangan dalam menjaga ketertiban. Ada ungkapan; “Tugas guru adalah mengendalikan sikap, sedangkan tugas siswa adalah belajar”.
E. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, maka dapat dirumuskan kesimpulan: Terdapat hubungan yang positip dan signifikan antara persepsi siswa tentang disiplin guru dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah dengan disiplin siswa. Hal ini berarti bahwa peningkatan persepsi siswa tentang disiplin guru dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib madrasah akan diikuti dengan meningkatnya disiplin siswa
F. SARAN Pada penelitian ini, Sumbangan Efektif dari hubungan antara persepsi siswa tentang disiplin guru dan pelibatan siswa dalam penetapan peraturan tata tertib sekolah dengan disiplin hanya 20,1 % sehingga masih ada 79,9 % faktor lain yang mempengaruhi masalah disiplin siswa. Misalnya, pengaruh teman sebaya, perhatian ortu, pengajaran miskin strategi dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis menyarankan supaya diadakan penelitian lanjutan untuk lebih melengkapi usaha-usaha mengatasi permasalahan masalah ketidakdisiplinan siswa.
17
DAFTAR RUJUKAN Agus, A. A. Upaya pendidikan nilai moral dalam membina disiplin siswa di sekolah : studi tentang upaya guru membina disiplin siswa pada SMU Negeri 2 Bandung (Tesis) 2000 –http:// 222.124.158.89/ pasca/ available/ etd-0816106-094846/ - 10k – Arikunto, S. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Danim, S. 2002. Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia. De Roche, E. F. 1985. How School Administration Solve Problem. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Duke, L.D. dan Canady, R. L. 1991. School Policy. New York: McGraw-Hill, Inc. Fraenkel, J. R. & Wallen, N. E. 1993. How To Design and Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill Inc. Gordon, T. 1996. Mengajar Anak Berdisiplin Diri di Rumah dan di Sekolah. Terjemahan oleh Suprayitno. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Gorton, R. A. 1976. School Administration Challenge and Opportunity for Leadership. Dubuque, Iowa: Wm. C. Brown Company Publishers. Hadi, S. 1987. Analisis Regresi. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Psikologi UGM Yogyakarta. Hamalik, O. 1992. Psikologi Belajar dan Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Howard, A. W. 1968. Teaching in Middle School. Pennsylvania: International Text Book Company. Indrakusuma, A. D. 1973. Pengantar Ilmu Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional. Lewis, R. 1997. Dilema Kedisiplinan. Terjemahan oleh Emalia Iragiliati Lukman. Jakarta: Gramedia Widiasarana. Mulyasa, E. 2006. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Sulthon, M. 2005. Perilaku Kepemimpinan, Orientasi Supervisi Kepala Sekolah, Pelibatan guru dalam pengambilan keputusan, dan Iklim Organisasi dalam kaitannya dengan semangat kerja guru pada Sekolah Dasar di kabupaten Jember. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Malang. Undang-Undang nomor 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional (1990). Jakarta: Armas Duta Jaya.
18
HUBUNGAN ANTARA PERANAN KEPALA SEKOLAH SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN DENGAN KEEFEKTIFAN SEKOLAH PADA SMA NEGERI DI WILAYAH KOTA SURABAYA Soeparno Abstract: The purposes of this research is to know that there is a significantly relationship between the principal role as teaching leader with the effectiveness of the principal in SMA Negeri in Surabaya District. The research findings are as follows: (1) there is significant relationship between the Principals Role as Resources Providers with the School Effectiveness, (2) there is significant relationship between the Principals Role as Teaching Leaders with the School Effectiveness, (3) there is significant relationship between the Principals Role as Communicators with the Effectiveness, (4) there is significant relationship between the Principals Role as Their Own Present Directly with the Schools Effectiveness, and (5) there is significant relationship between the Principals Role as Teaching Leaders with the School Effectiveness.
Kata-kata kunci: peranan kepala sekolah, pemimpin pembelajaran, keefektifan sekolah.
Agar lembaga pendidikan mempunyai kontribusi bagi peningkatan mutu pendidikan, maka diperlukan lembaga pendidikan (sekolah) yang efektif. Efektivitas sekolah mengacu pada kinerja unit organisasi yang disebut ’sekolah’. Sedangkan kinerja sekolah menurut Scheerens (2003) dapat diperlihatkan melalui output sekolah tersebut, yang pada gilirannya diukur sesuai dengan prestasi rata-rata murid pada akhir masa pendidikan formal mereka di sekolah tersebut. Persoalan efektivitas sekolah menarik karena secara umum dapat diketahui bahwa kinerja sekolah itu berbeda-beda. Persoalan berikutnya adalah sejauh mana kinerja sekolah itu berbeda ketika kemampuan bawaan dan latar belakang sosio-ekonomi murid-murid sekolah itu sedikit banyak sama. Berdasarkan konsep keefektifan organisasi yang begitu kompleks karena oleh banyak faktor, maka pengukuran keefektifan organisasi juga menggunakan bermacammacam rancangan dan sangat beraneka ragam, baik dalam sifat maupun titik asalnya.
1
2 Karena banyaknya komponen yang terkait dengan pengukuran keefektifan organisasi. Milton (dalam Muhyadi, 1998) memandang empat versi, yaitu : (i) lingkup pengukuran ialah keefektifan mikro dan makro, (2) jumlah variabel ialah keefektifan model variabel tunggal dan jamak, (3) waktu pengukuran ialah keefektifan statis dan dinamis, dan (4) tingkat generalisasi ialah keefektifan terbatas dan umum. Konsep tentang kepemimpinan pembelajaran telah dikaji oleh beberapa pakar manajemen pendidikan. Misalnya, Kerlinger dan Murphy (1987) yang mengajukan tiga domain kepemimpinan yaitu, (1) pendefinisian tentang misi sekolah, (2) penciptaan suatu iklim belajar yang positif, dan (3) mengelola program pembelajaran. Dalam kaitanya dengan kepemimpinan pembelajaran juga diutarakan oleh tim peneliti dan Seattle Public Schools, Washington (dalam Moejiarto, 1990) yang menyatakan seorang kepala sekolah yang efektif merupakan pemimpin pembelajaran yang bertanggung jawab atas pencapaian tujuan dan mampu menggerakkan serta mengupayakan berbagai sumber untuk mencapai tujuan tersebut. Sumber-sumber tersebut adalah sarana dan prasarana yang dapat digunakan untuk pencapaian tujuan sekolah. Karena kepala sekolah adalah pemimpin pembelajaran, maka yang bersangkutan harus dapat menggerakkan sumber daya manusia lembaganya yaitu staf pengajar dan staf administrasi melalui wewenang dan kepemimpinannya. Sementara itu, Andrews dan Sowder (1987) serta Smith dan Andrews (1989) juga rnenyebutkan empat perilaku kepemimpinan pembelajaran, yaitu : (1) penyedia sumber (resource provider), (2) sumber pembelajaran (intructional resource), (3) komunikator (communicator), (4) kehadirannya sendiri secara langsung (visible presence). Sebagai pelaksana pemimpin pembelajaran di sekolahnya, kepala sekolah yang efektif selalu berkomunikasi secara terbuka dan berterus terang kepada staf sekolah.
3 Disebut pula oleh Effective School Consortia Network (1987) bahwa kepala sekolah dituntut menjadi pernimpin sekolah yang kreatif Sebagai pemimpin sekolah yang kreatif, kepala sekolah seharusnya selalu mengharapkan semua stafnya dapat mencapai standard pembelajaran yang tinggi, memiliki pemahaman yang jelas tentang misi sekolah dan mampu menyatakan misi sekolah secara langsung dan konkrit. Selanjutnya kepala sekolah yang efektif memiliki suatu visi atau pandangan yang jelas. Pandangan tersebut mengenai apa yang kepala sekolah inginkan untuk sekolahnya, kemudian visi tersebut diterjemahkan menjadi sasaran sekolah dan harapan bagi guru dan siswa dalarn bentuk konseptual dan direalisasikan ke dalam bentuk perilaku (Rutherford dalam Moedjiarto, 1990). Menurut Russet dan James (1985) terdapat empat perilaku spesifik kepala sekolah yang efektif, yaitu : (1) melakukan peran aktif dalam kegiatan pengembangan staf dengan mendorong para guru untuk selalu berpartisipasi dan menggunakan pengetahuan yang telah dipelajari, (2) memperbaiki kinerja pembelajaran yang kurang baik, (3) melakukan kepemimpinan pembelajaran langsung dalam interaksi dengan masing-masing guru, (4) meyakinkan bahwa kinerja guru di kelas dinilai, dan (5) menjadi model tokoh yang efektif. Sergiovanni (1991) menyatakan bahwa secara teoritik variabel keefektifan sekolah dipengaruhi oleh variabel-variabel awal (Mediating Variables). Dikemukakan bahwa dari sekian variabel penting yang berhubungan dengan keefektifan sekolah adalah kepemimpinan kepala sekolah. Pendapat Sergiovanni ini sebenarnya ditunjang oleh beberapa hasil penelitian. Misalnya, penelitian dari Hallinger dan Murphy (1986), dan Andrews dan Soder (1987) yang menunjukkan bahwa kepemimpinan pembelajaran
kepala
sekolah yang kuat berkorelasi dengan keefektifan sekolah
(Heek, Larsen dan Marcoulides, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah berhubungan dengan keefektifan sekolah.
4 Dengan
diketahuinya
melalui
beberapa
hasil
penelitian
mengenai
kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah dengan keefektifan sekolah, maka studi mengenai kepemimpinan pembelajaran rnenjadi hal yang penting. Bahkan bukan hanya seperti itu saja, tetapi secara jelas Kieine-Kracht (1993) menyatakan bahwa kepemimpinan pembelajaran terus mendominasi konsep para peneliti dan praktisioner dalam mempelajari seorang kepala sekolah yang efektif. Artinya, untuk rnengetahui bagaimana sosok kepala sekolah yang efektif, sebenanya dapat dilihat dari perilaku kepemimpinan pembelajarannya. Hasil penelitian tersebut dapat diharapkan, pertama perilaku kepala sekoiah sebagai pemimpin pembelajaran sangat baik sehingga sekolah yang efektif terwujud. Kedua, perilaku kepala sekolah sebagai penyedia sumber, sumber pembelajaran, komunikator dan kehadirannya sendiri secara langsung dapat dijadikan salah satu syarat menjadi kepala sekolah di SMA. Terdapat tiga hal penting dalam perilaku kepala sekolah. Pertama, kepala sekolah merupakan posisi strategis dan bersifat kompleks dan unik yang menentukan sekolah yang efektif. Kedua, keberhasilan kepemimpinan yang diterapkan oleh kepala sekolah bergantung kepada perilaku kepemimpinan pembelajarannya. Ketiga, seorang kepala sekolah selaku pemimpin pembelajaran akan menjadi pusat perhatian, artinya semua harapan diarahkan kepada kepala sekolah sebagai orang yang mewakili kehidupan sekolah dimana dan dalam kesempatan apapun. Oleh sebab itu, perilaku seorang kepala sekolah harus dijaga integritasnya, selaku penyedia sumber, sumber pembelajaran, komunikator, dan kehadiran yang menampak. Dengan demikian perilaku kepala sekolah dalam mewujudkan sekolah yang efektif sangat penting dan apabila terdapat gap yaitu kesenjangan antara kenyataan perilaku kepala sekolah dengan harapan anggota organisasinya, maka terjadilah persoalan atau permasalahan dalam mewujudkan sekolah yang efektif.
5 Frymer, Cornbleth, Donmover, Gcznsneder, Jeter, Klein, Schwah dan Alexander (1984) dalam studi mereka tentang seratus sekolah yang balk mengemukakan bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang memiliki skor tes prestasi dalam membaca, menulis dan matematika sejauh yang bisa dicapai para siswa. Sebaliknya, Townsend (1994) menyatakan bahwa sekolah yang efektif tidak semata-mata ditentukan oleh performansi akademik, tetapi juga mencakup sejumlah tujuan-tujuan sekolah yang bersifat non akademik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kriteria keefektifan sekolah dapat dirujuk pada prestasi akademik sekolah dan prestasi non akademik. Oleh karena itu, untuk membuktikan paradigma tersebut, perlu dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini apakah ada hubungan yang signifikan antara perilaku kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dengan keefektifan sekolah di SMA. Sementara itu, berdasarkan studi pendahuluan pada jenjang pendidikan sekolah menengah (SMA) di kota Surabaya, belum diketahui bagaimana potret efektivitas sekolah pada jenjang SMA di kota Surabaya. Disamping belum pernah dilakukan penelitian yang secara khusus mengkaji keefektifan sekolah juga belum pernah dikaji keterkaitan antara keefektifan sekolah dengan profil kepala sekolah di masing-masing SMA tersebut. Profil kepala sekolah dalam konteks ini adalah perilaku kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran. Apabila kepala sekolah berhasil sebagai pemimpin pembelajaran, maka output sekolah tersebut akan maksimal (tinggi). Keberhasilan kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dengan indikator output sekolah tersebut menunjukkan bahwa sekolah cukup efektif. Permasalahan yang perlu diungkap lebih lanjut adalah bagaimana ingkat efektivitas manajemen di sekolah tersebut terutama manajemen pembelajarannya. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian di sekolah kota yaitu di kota Surabaya, karena kota Surabaya merupakan Kota Metropolis No. 2 di Indonesia setelah
6 Kota Jakarta. Kota Surabaya terdapat masyarakat serba heterogen dan jumlah penduduknya sangat padat balk tetap maupun musiman, sehingga untuk melengkapi salah satu kebutuhan yaitu pendidikan atau sekolah maka Pemerintah Daerah Kota Surabaya atau Walikota melalui Kepala Dinas Pendidikan Kota menyediakan fasilitas sekolah untuk SMA Negeri 22 buah. Melihat posisi Surabaya sebagai kota metropolis No. 2 maka Walikota atau Kepala Dinas Pendidikan Kota mengharapkan bahwa pendidikan yang ada di kota Surabaya harus lebih baik daripada kabupaten ataupun kota lain. Dan dalam rekrutmen kepala sekolah khususnya kepala SMA Negeri kota Surabaya sangat selektif sehingga dalam menyelenggarakan pendidikan ke depan diharapkan dapat lebih baik. Untuk merealisasikan harapan tersebut maka sangat perlu dibutuhkan kepala sekolah yang mampu dan profesional dalam menyelenggarakan pendidikan. Dari
uraian
diatas
dijumpai
adanya kesenjangan antara kenyataan dan
harapan mengenai peranan kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dalam mewujudkan sekolah yang efektif di SMA Negeri di Wilayah Kota Surabaya. Berdasarkan uraian tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian di SMA Negeri Wilayah Kota Surabaya tentang peranan kepala sekolah sebagai petnimpin pembelajaran dan sekolah yang efektif. Peneliti merumuskan masalah pokok utama sebagai berikut : apakah terdapat hubungan yang signifikan antara peranan kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dengan keefektifan sekolah pada SMA Negeri di Wilayah Kota Surabaya ? Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah: (1) untuk mengetahui peranan kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran, (2) untuk mengetahui keefektifan sekolah di SMA Negeri Kota Surabaya, (3) untuk
7 mengetahui hubungan yang signifikan antara peranan kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dengan keefektifan sekolah, dan (4) untuk mengetahui hubungan yang signifikan secara komprehensif antara peranan kepala sekolah sebagai penyedia sumber, surnber pembelajaran, komunikator dan kehadirannya sendiri secara langsung dengan keefektifan sekolah.
METODE Rancangan penelitian ini termasuk dalam kategori jenis penelitian deskriptif yang bersifat korelasional, hal itu sesuai dengan pernyataan Moore (1983) bahwa tingkat hubungan antara dua variabel dapat diukur melalui koenfisien korelasi. Seperti penjelasan tersebut, dalam kajian ini meliputi variabel bebas adalah Peranan kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran yang dijabarkan ke dalam empat sub variabel: peranan penyedia sumber (X1), peranan sumber pembelajaran (X2), peranan komunikator (X3), peranan kehadirannya sendiri secara langsung (X4). Sedangkan variabel terikat keefektifan sekolah (Y). Populasi dalam penelitian ini adalah 22 buah SMA Negeri wilayah kota Surabaya. Dari populasi yang telah dikemukakan, direncanakan sampel sebesar 22 orang Kepala SMA wilayah Surabaya. Menurut Arikunto (2006) untuk sekedar ancer-ancer, maka apabila subjeknya kurang dari 100, lebih baik diambil semua, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Instrumen yang dipergunakan merupakan jenis instrumen tertutup dengan empat alternatif jawaban.
HASIL Uji Hipotesis Model analisis regresi ganda tersebut di atas bertujuan untuk mengetahui signifikansi korelasi simultan (korelasi antara dua variabel bebas atau lebih terhadap
8 satu variabel terikat) maupun secara parsial/individu (korelasi antara satu variabel bebas dengan 1 variabel terikat. Uji hipotesis dalam penelitian ini akan berpijak pada hasil analisis regresi ganda, secara singkat akan disajikan dalam bentuk tabel sebagaimana berikut.
Tabel 4.1 : Rangkuman Hasil Uji-T dari Analisis Regresi Ganda Variabel Bebas
Variabel Terikat
Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber (X1) Peranan Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2) Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator (X3) Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4) Constant
: 16,841
R Square
: 0,988
F
: 340,725
Signif F
: 0,000
Keefektifan Sekolah (Y)
Korela si Parsial
B
Beta (β)
T
0,570
0,335
2,139
0,047
0,460
1,151
0,462
2,275
0,036
0,483
0,345
0,249
2,871
0,011
0,571
0,341
0,230
2,411
0,027
0,505
Sumber : Hasil Analisis Regresi. X1
X2 Y
X3
X4
Dimana: X1 : Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber (X1) X2 : Peranan Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2)
Sig T (p)
9 X3 : Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator (X3) X4 : Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4) Y : Keefektifan Sekolah (Y) Hipotesis pertama (1) yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: Ada hubungan yang signifikan pada Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber (X1) terhadap Keefektifan Sekolah
(Y). Ringkasan hasil analisis regresi ganda
menunjukkan harga t = 2,139 dengan Signifikansi = 0,047 atau 4,7%. Berpijak pada perolehan harga t = 2,139 dengan Signifikan = 0,047 atau 4,7% ini, maka dapat disimpulkan bahwa
hubungan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia
Sumber (X1) dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan oleh karena Signifikansi (probabilitas) yang menyertainya lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05). Oleh karena hubungan yang terjadi pada Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber (X1) dengan Keefektifan Sekolah (Y) sangat signifikan, maka hipotesis pertama (1) yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Hipotesis kedua (2) yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: ada hubungan yang signifikan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2) dengan Keefektifan Sekolah (Y). Ringkasan hasil analisis regresi ganda menunjukkan harga t = 2,275 dengan Signifikansi = 0,036 atau 3,6%. Berpijak pada perolehan harga t = 2,275 dengan Signifikan = 0,036 atau 3,6% ini, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2) dengan Keefektifan Sekolah
(Y) signifikan oleh karena Signifikansi (probabilitas) yang
menyertainya lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05). Oleh karena hubungan yang terjadi antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2) dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan, maka hipotesis kedua (2) yang diajukan dalam penelitian ini diterima.
10 Hipotesis Ketiga
(3) yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: ada
hubungan yang signifikan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator (X3 dengan Keefektifan Sekolah (Y). Ringkasan hasil analisis regresi ganda menunjukkan harga t = 2,871 dengan Signifikansi = 0,011 atau 1,1%. Berpijak pada perolehan harga t = 2,871 dengan Signifikan = 0,011 atau 1,1% ini, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator (X3) dengan Keefektifan Sekolah
(Y) signifikan oleh karena Signifikansi (probabilitas) yang
menyertainya lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05). Oleh karena hubungan yang terjadi antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator (X3 dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan, maka hipotesis ketiga (3) yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Hipotesis Keempat
(4) yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: ada
hubungan yang signifikan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4) dengan Keefektifan Sekolah
(Y). Ringkasan hasil
analisis regresi ganda menunjukkan harga t = 2,411 dengan Signifikansi = 0,027 atau 2,7%. Berpijak pada perolehan harga t = 2,411 dengan Signifikan = 0,027 atau 2,7% ini, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4)
dengan Keefektifan Sekolah
(Y)
signifikan oleh karena Signifikansi (probabilitas) yang menyertainya lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05). Oleh karena hubungan yang terjadi antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4) dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan, maka hipotesis keempat (4) yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Hipotesis kelima (5) yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: ada hubungan yang signifikan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pembelajaran secara serentak dengan Keefektifan Sekolah (Y). Ringkasan hasil analisis regresi ganda menunjukkan harga F = 340,725 dengan Signifikansi = 0,000 atau 0%.
11 Berpijak pada perolehan harga F = 340,725 dengan Signifikan = 0,000 atau 0% ini, maka dapat disimpulkan bahwa
secara simultan hubungan antara Peranan Kepala
Sekolah Sebagai pemimpin pembelajaran secara serentak Keefektifan Sekolah (Y) sangat signifikan oleh karena Signifikansi (probabilitas) yang menyertainya lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05). Oleh karena secara simultan hubungan yang terjadi antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai pemimpin pembelajaran secara serentak dengan Keefektifan Sekolah (Y) sangat signifikan (Signifikansi = 0,000 lebih kecil dari 0,05) maka hipotesis kelima (5) yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Didapat pula harga R Square sebesar 0,988 atau 98,8% merupakan kontribusi dari Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber (X1), Peranan Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2), Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator (X3), maupun Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4) terhadap Keefektifan Sekolah (Y).
Sumbangan masing-masing Prediktor (X1, X2, X3, dan X4) terhadap Y Dari hasil analisis regresi ganda yang diperoleh dapat disampaikan bahwa bobot sumbangan masing-masing prediktor (X1, X2, X3, dan X4) terhadap Y dinyatakan dalam bentuk Sumbangan Relatif (SR%) dan Sumbangan Efektif (SE%). Selanjutnya dapat dihitung sebagaimana berikut. Sumbangan Relatif (SR%) dapat dihitung dengan rumus berikut: SR% Xi =
Bi * 100 % B1 + B 2 + B 3 + B 4
Dari hasil analisi regresi ganda didapat nilai: B1 = 0.570 B2 = 1.151 B3 = 0.345 B4 = 0.321
12
SR% X1 sebesar = =
0.570 x100% = 23.88% 0.570 + 1.151 + 0.345 + 0.321
SR% X2 sebesar = =
B3 * 100 % B1 + B 2 + B 3 + B 4
0.345 x100% = 14.45% 0.570 + 1.151 + 0.345 + 0.321
SR% X4 sebesar = =
B2 * 100 % B1 + B 2 + B 3 + B 4
1.151 x100% = 48.22% 0.570 + 1.151 + 0.345 + 0.321
SR% X3 sebesar = =
B1 * 100 % B1 + B 2 + B 3 + B 4
B4 * 100 % B1 + B 2 + B 3 + B 4
0.321 x100% = 13.45% 0.570 + 1.151 + 0.345 + 0.321
Sumbangan Efektif (SE%) dapat dihitung dengan rumus berikut: SE% Xi =
βi β1 + β 2 + β 3 + β 4
xR 2 x100%
Dari hasil analisi regresi ganda didapat nilai: R2 (R Square) = .988 = 98.8% . Hal ini berarti 98,8% Keefektifan Sekolah
dapat dipengaruhi oleh keempat prediktor. Sedangkan nilai koefisien regresi (β) dari masing-masing preditor sebagai berikut: β1 = .335 β2 = .462 β3 = .249 β4 = .230
Selanjutnya dapat dihitung besarnya sumbangan efektif dari masing-masing prediktor sebagai berikut. SE% X1 sebesar
β1 β1 + β 2 + β 3 + β
x98.8 x100%
13
= SE% X2 sebesar
β2 β1 + β 2 + β 3 + β =
SE% X3
β1 + β 2 + β 3 + β =
x98.8 x100%
0.249 x98.8 x100% = 19.28% 0.335 + 0.462 + 0.249 + 0.230
β4 β1 + β 2 + β 3 + β =
x98.8 x100%
0.462 x98.8 x100% = 35.77% 0.335 + 0.462 + 0.249 + 0.230
β3
sebesar
SE% X4 sebesar
0.335 x98.8 x100% = 25.94% 0.335 + 0.462 + 0.249 + 0.230
x98.8 x100%
0.230 x98.8 x100% = 17.81% 0.335 + 0.462 + 0.249 + 0.230
Dengan demikian sumbangan efektif dari masing-masing prediktor terhadap Keefektifan Sekolah secara berturut-turut dapat dikemukakan sebagai berikut: X1 (Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber) memberikan
sumbangan sebesar 25.94% terhadap Keefektifan Sekolah, X2 (Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber Pembelajaran) memberikan sumbangan sebesar 35.77% terhadap Keefektifan Sekolah, X3 (Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator) memberikan sumbangan sebesar
19.28% terhadap Keefektifan Sekolah, dan X4
(Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung) memberikan sumbangan sebesar 17.81% terhadap Keefektifan Sekolah. Secara singkat dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut. Tabel 2 : Sumbangan Relatif dan Sumbangan Efektif
No Prediktor 1 X1 2 X2 3 X3 4 X4 Total Sumbangan
Sumbangan Relatif (SR%) 23.88% 48.22% 14.45% 13.45% 100%
Sumbangan Efektif (SE%) 25.94% 35.77% 19.28% 17.81% 98.80%
14 PEMBAHASAN
Hipotesis pertama (1) yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: ada hubungan yang signifikan pada Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber (X1) terhadap Keefektifan Sekolah (Y). Berdasarkan ringkasan hasil analisis regresi ganda yang menunjukkan harga t = 2,139 dengan Signifikansi = 0,047 atau 4,7%. Berpijak pada perolehan harga t = 2,139 dengan Signifikan = 0,047 atau 4,7% ini, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber (X1) dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan oleh karena Signifikansi (probabilitas) yang menyertainya lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05). Oleh karena hubungan yang terjadi pada Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber (X1) dengan Keefektifan Sekolah (Y) sangat signifikan, maka hipotesis pertama (1) yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Dengan diterimanya hipotesis pertama tersebut di atas, maka hal ini menunjukkan bahwa Peranan Kepala Sekolah sebagai Penyedia Sumber dengan Keefektifan Kepala Sekolah SMA Ngeri di Wilayah Kota Surabaya dengan Keefektifan Kepala Sekolah SMA Negeri di Wilayah Kota Surabaya memiliki hubungan yang signifikan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa semakin meningkatnya peran Kepala Sekolah sebagai Penyedia Sumber dapat mengakibatkan meningkatnya Keefektifan Sekolah di sekolah dimana Kepala Sekolah tersebut bertugas di wilayah kota Surabaya. Kepala Sekolah merupakan pimpinan/atasan sekolah memiliki tanggung jawab terhadap kelancaran proses pendidikan dan pengajaran di sekolah. Dengan demikian sebagai penyedia sumber memberikan kontribusi terhadap keefektifan sekolah terutama terhadap terlaksananya penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Oleh karenanya,
15 cakupan kerja Kepala Sekolah sangat luas, dalam hal ini memiliki keterkaitan dengan efektif tidaknya sekolah yang dipimpinnya. Peran Kepala Sekolah sebagai penyedia sumber dalam konteks ini terkait dengan perannya sebagai penyedia sumber. Sementara itu, Andrew dan Sowder (1987) serta Smith dan Andrew (1989) juga menyebutkan empat Peranan kepemimpinan pembelajaran, yaitu : (1) penyedia sumber (resource provider), pembelajaran
(intructional
resource),
(3)
komunikator
(2) sumber
(communicator),
(4)
kehadirannya sendiri secara langsung (visible presence). Dari sini nampaklah bahwa Kepala Sekolah dalam perannya sebagai penyedia sumber merupakan salah satu Peranan dalam konteks di sekolah Sutisna (1985) juga mengemukakan bidang garapan sekolah antara lain, sebagai berikut. Pertama, pengajaran dari kurikulum, yang terdiri dari: (a) mempersiapkan perumusan, tujuantujuan kurikulum, (b) mempersiapkan penentuan isi dan organisasi kurikulum, (c) menghubungkan kurikulum dengan waktu, fasilitas fisik dan personil yang tersedia, (d) mempersiapkan bahan, sumber, dan perlengkapan bagi program mempersiapkan program supevisi
pengajaran, (e)
pengajaran, dan (f) mempersiapkan program
pendidikan dalam jabatan bai para guru. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa sebagai penyedia sumber, seorang Kepala Sekolah berperan untuk menyiapkan bahan, sumber dan perlengkapan, program supervisi pengajaran dan mempersiapkan program pendidikan. Dengan diterimanya hipotesis kedua yang berbunyi : Ada hubungan yang signifikan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2) dengan Keefektifan Sekolah (Y). Ringkasan hasil analisis regresi ganda menunjukkan harga t = 2,275 dengan Signifikansi = 0,036. Berpijak pada perolehan harga t = 2,275 dengan Signifikan = 0,036 ini, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Peranan
16 Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2) dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan oleh karena Signifikansi (probabilitas) yang menyertainya lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05). Oleh karena hubungan yang terjadi antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2) dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan, maka hipotesis kedua (2) yang diajukan dalam penelitian ini diterima.
Implikasi dari hasil penelitian ini adalah bahwa Kepala Sekolah selaku manajer dan pemimpin pembelajaran di sekolahnya harus dapat memerankan sebagai sumber pembelajaran. Dengan kata lain, Kepala Sekolah harus dapat berperan sebagai rujukan dan tempat bertanya para tenaga kependidikan (guru) dan staf sekolah tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan program sekolah dan halhal yang berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Oleh karena itu, seorang Kepala Sekolah harus dapat memberikan pengarahan, penga-wasan pengelolaan segala hal yang berkaitan dengan sekolah, termasuk administrasi pembiayaan (Soetopo, 1989). Hipotesis Ketiga
(3) yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: Ada
hubungan yang signifikan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator (X3 dengan Keefektifan Sekolah (Y). Ringkasan hasil analisis regresi ganda menunjukkan harga t = 2,871 dengan Signifikansi = 0,011. Berpijak pada perolehan harga t = 2,871 dengan Signifikan = 0,011 ini, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator (X3) dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan oleh karena Signifikansi 0,05
(probabilitas) yang menyertainya lebih kecil dari
(0,000 < 0,05). Oleh karena hubungan yang terjadi antara Peranan Kepala
Sekolah Sebagai Komunikator (X3 dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan, maka hipotesis ketiga (3) yang diajukan dalam penelitian ini diterima.
Berdasarkan temuan penelitian tersebut di atas, menunjukkan bahwa seorang Kepala Sekolah dituntut mempunyai kemampuan sebagai komunikator yang baik.
17 Dengan berperan sebagai komunikator yang baik, maka ia akan dapat menyampaikan informasi kepada stafnya (baik guru maupun staf admnitrasi), khususnya yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam konteks manajemen pendidikan, maka manajemen informasi mempunyai peran yang penting bagi pengambilan keputusan. Hal ini bagaimana disampaikan Gordon B. Davis (dalam Fattah, 2003) yang mengartikan bahwa sistem informasi manajemen sebagai sebuah sistem/mesin yang terpadu untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasi, manajemen, dan pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Hipotesis Keempat yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: ada hubungan yang signifikan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4) dengan Keefektifan Sekolah (Y). Ringkasan hasil analisis regresi ganda menunjukkan harga t = 2,411 dengan Signifikansi = 0,027 atau 2,7%. Berpijak pada perolehan harga t = 2,411 dengan Signifikan = 0,027 atau 2,7% ini, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4) dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan oleh karena Signifikansi (probabilitas) yang menyertainya lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05). Oleh karena hubungan yang terjadi antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4) dengan Keefektifan Sekolah (Y) signifikan, maka hipotesis keempat (4) yang diajukan dalam penelitian ini diterima.
Dalam konteks manajemen pendidikan, kehadiran Kepala Sekolah secara langsung dapat diimplementasikan dalam bentuk pelaksanaan supervisi pengajaran. Sedangkan supervisi pengajaran pada hakekatnya adalah bantuan yang diberikan kepada guru. Hal ini seperti diartikan dalam pengertian supervisi adalah bantuan yang diberikan kepada seluruh staf untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik.
18 Selanjutnya Smith (1985) juga merumuskan ada dua macam perilaku kepala sekolah sebagai visible presence. Pertama, kepala sekolah pemimpin pengajaran bekerja secara kooperatif dengan staf dan masyarakat untuk mengembangkan tujuan yang jelas yang berhubungan dengan misi yang meliputi: (1) ekspresi visi sekolah secara jelas dalam mengorganisasikan orang-orang dan sumber untuk memperjelas bimbingan dan sasaran wilayah, dan (2) mengorganisasi orang dan sumber untuk mencapai pembangunan dan sasaran wilayah. Kedua, perilaku kepala sekolah sebagai menampakkan dengan staf; siswa dan orang tua siswa di sekolah yang meliputi: (1) memantau keadaan kelas yang mengganggu proses pengajaran secara informal, (2) pancaran perilaku yang konsisten dengan artikulasi visi sekolah, (3) aktif berpartisipasi dalam kegiatan pengembangan staf, (4) mempertahankan sekolah dari lingkungan eksternal, (5) mengelola sambil keluar dan bertanya-tanya selama seperempat jam waktu sekolah, (6) membuat sesuatu yang mungkin bagi orang lain untuk mengekspresikan suatu pemahaman komitmen kepala sekolah terhadap sasaran sekolah yang diprioritaskan, dan (7) mengkomunikasikan secara jelas tentang kewajiban para pendidik untuk belajar siswa. Ada
dua
konsep
kepemimpinan
pembelajaran,
yaitu
kepemimpinan
pembelajaran langsung dan kepemimpinan pembelajaran tidak langsung (Peterson dan Kleine-Kracht, 1993). Sedangkan Daresh dan Liu (dalam Kleine-Kracht, 1993) mengklasifikasikan kepemimpinan pembelajaran langsung ke dalam tiga tingkatan, yaitu : (1) pengembangan staf, (2) supervisi guru, dan (3) penilaian guru. Sementara itu kepemimpinan
pembelajaran
tidak
langsung
mencakup:
(l)
kegiatan-kegiatan
membentuk kondisi mengajar, (2) membantu menyusun standard-standard sekolah, (3) menyeleksi guru, dan (4) membantu menyusun prosedur sekolah (Peterson dalam Kleine-Kracht, 1993).
19 Menurut Mutluck (dalam Moedjiarto, 1990) kepemimpinan kepala sekolah ditandai oleh perhatian yang seksama terhadap kualitas pembelajaran. Penekanannya pada bagaimana kepala sekolah harus melakukan kegiatannya agar guru dapat melaksanakan pembelajarannya dengan kualitas yang tinggi sehingga prestasi yang dicapai oleh siswa juga tinggi. Russel (dalam Moedjiarto, 1990) mendeskripsikan perilaku spesifik kepala sekolah yang efektif, yaitu: (1) melakukan peran aktif dalam kegiatan pengembangan staf dengan mendorong guru untuk berpartisipasi dan menggunakan
pengetahuan
yang
telah
dipelajari,
(2)
memperbaiki
kinerja
pembelajaran yang baik, (3) melakukan kepemimpinan pembelajaran langsung dan dalam interaksi dengan masing-masing guru, (4) meyakinkan bahwa kinerja guru di kelas dinilai, dan (5) menjadi model tokoh yang efektif. Hipotesis kelima yang diajukan dalam penelitian ini berbunyi: ada hubungan yang signifikan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pembelajaran secara serentak dengan Keefektifan Sekolah
(Y). Ringkasan hasil analisis regresi ganda
menunjukkan harga F = 340,725 dengan Signifikansi = 0,000 atau 0%. Berpijak pada perolehan harga F = 340,725 dengan Signifikan = 0,000 atau 0% ini, maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan hubungan antara Peranan Kepala Sekolah Sebagai pemimpin pembelajaran secara serentak Keefektifan Sekolah (Y) sangat signifikan oleh karena Signifikansi (probabilitas) yang menyertainya lebih kecil dari 0,05 (0,000 < 0,05). Oleh karena secara simultan hubungan yang terjadi
antara Peranan Kepala
Sekolah Sebagai pemimpin pembelajaran secara serentak dengan Keefektifan Sekolah (Y) sangat signifikan (Signifikansi = 0,000 lebih kecil dari 0,05) maka hipotesis kelima (5) yang diajukan dalam penelitian ini diterima. Didapat pula harga R Square
sebesar 0,988 atau 98,8% merupakan kontribusi dari Peranan Kepala Sekolah Sebagai Penyedia Sumber (X1), Peranan Kepala Sekolah Sebagai Sumber Pembelajaran (X2),
20 Peranan Kepala Sekolah Sebagai Komunikator (X3), maupun Peranan Kepala Sekolah Sebagai Kehadirannya Sendiri Secara Langsung (X4) terhadap Keefektifan Sekolah (Y). Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa kontribusi Peranan Kepala Sekolah secara bersama-sama mempunyai hubungan yang signifikan dengan keefektifan sekolah. Besarnya sumbangan yang sangat tinggi, yaitu 98,8% dari Peranan-Peranan Kepala Sekolah (penyedia sumber, sumber pembelajaran, sebagai komunikator, dan kehadirannya sendiri secara langsung) terhadap keefektifan sekolah, semakin meneguhkan bahwa Kepala Sekolah mempunyai peran yang sangat penting dalam mengkondisikan sekolah agar efektif. Dalam hal mengoptimalkan peran Kepala Sekolah ini, maka Kepala Sekolah dituntut menjadi pemimpin sekolah yang kreatif. (Effective School Consortia Network, 1987). Pendapat tersebut di atas didukung oleh Sergiovanni (1991) menyatakan bahwa secara teoritik variabel keefektifan sekolah dipengaruhi
oleh vaiabel-
variabel awal (Mediating Variables). Dikemukakan bahwa dari sekian variabel penting yang berhubungan dengan keefektifan sekolah adalah kepemimpinan kepala sekolah. Pendapat Sergiovanni ini sebenarnya ditunjang oleh beberapa hasil penelitian. Misalnya, penelitian dari Kerlinger dan Murphy (1986), dan Andrews dan Soder (1987) yang menunjukkan bahwa kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah yang menunjukkan bahwa keefektifan sekolah (Heek, Larsen dan Marcoulides, 1990). Hal ini menunjukkan bahwa kepemimpinan pembelajaran kepala sekolah berhubungan dengan keefektifan sekolah.
21 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berpijak pada hasil analisis yang berkaitan dengan rumusan masalah dan hipotesis dalam penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan hasil penelitian sebagai berikut : (1) peranan kepala sekolah sebagai penyedia sumber memberikan kontribusi terhadap keefektifan sekolah, (2) peranan kepala sekolah sebagai sumber pembelajaran memberikan kontribusi bagi terciptanya keefektifan sekolah, (3) Kepala sekolah yang mempunyai kemampuan sebagai komunikator akan dapat memberikan sumbangan terdapat terciptaanya keefektifan sekolah, (4) Kepala sekolah yang selalu hadir secara langung dalam kegiatan-kegiatan sekolah dalam menjadikan sekolah efektif, dan (5) Peranan kepala sekolah sebagai pemimpin pembelajaran dapat memberikan sumbangan terdapat terciptanya keefektifan sekolah.
Saran
Dengan memperhatikan hasil temuan dalam penelitian ini, maka daapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut: (1) Bagi pengambil keputusan di tingkat Kantor Dinas Pendidikan dan Pengawas Sekolah (Supervisor), hasil penelitian ini telah memberikan informasi mengenai da hubungan yang signifikan antara keadaan Peranan dengan keefektifan sekolah. Dengan demikian untuk mewujudkan keefektifan sekolah terhadap para Kepala Sekolah SMA Negeri di wilayah kota Malang secara kontinyu melalui pembinaan, pengawasan, peningkatan profesionalisme Kepala Sekolah dan melalui diklat-diklat yang relevan, (2) para Kepala Sekolah SMA Negeri di wilayah kota Surabaya bahwa dalam melaksanakan tugasnya di wilayah sekolah yang menjadi wewenangnya benar-benar mempertimbangkan pola Peranan dalam konteks sebagai pemimpin pembelajaran dalam rangka meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan profesi guru, sehingga dampaknya akan sangat berarti bagi para guru dalam
22 melaksanakan tugas-tugasnya di sekolah sebagai upaya untuk mewujudkan keefektifan sekolah sesuai dengan yang diharapkan, (3) Bagi para guru di SMA Negeri di wilayah kota Surabaya sebaiknya terus meningkatkan kemampuan dan keterampilannya agar lebih profesional dan memperhatikan serta melaksanakan arahan Kepala Sekolah dalam memberikan
bantuannya
melalui
pendekatan-pendekatan
Peranannaya
sebagai
pemimpin pembelajaran yang dilaksanakan secara rutin dan periodik dalam rangka mewujudkan keefektifan sekolah, (4) Dalam meningkatkan kualitas kinerja guru, sebaiknya para Pejabat Struktural di Lingkungan Dinas Pendidikan Kota Surabaya tidak bosan-bosannya terus melakukan pembinaan, baik kepada Kepala Sekolah maupun kepada para guru di Sekolah Menengah Umum, baik negeri maupun swasta, agar mereka benar-benar dapat melakukan pertumbuhan dalam jabatannya sesuai dengan tuntutan profesi mereka dalam rangka mewujudkan keefektifan sekolah sesuai dengan harapan semua unsur yang terlibat di lingkungan lembaga pendidikan di wilayah kerja Dinas Pendidikan di kota Surabaya, dan (5) Peneliti lain yang berminat untuk meneliti masalah yang sama dengan penelitian ini, disarankan untuk meneliti dengan ruang lingkup yang lebih luas dan responden yang lebih banyak serta jenjang sekolah yang lebih bervariatif dengan mengkorelasikan dengan variabel lainnya yang mungkin terkait dengan Peranan kepemimpinan kepala sekolah dalam rangka mewujudkan keefektifan sekolah.
23 DAFTAR PUSTAKA
Ali, M. 1993. Strategi Penelitian Penddikan. Bandung: Angkasa. Arikunto, S. 1988. Beberapa Metode Statistika untuk Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Arikunto, S. 1990. Rosedur Penelitian, Suatu Pendekatan. Jakarta: Rineka Cipta. Blumberg, A., & Greenfield, W. 1990. The Effective Principal: Perspective on School Leadership. Boston: Allyn and Bacon. Campbell, R.F, Corbally, J.E., & Nystrand, R.O. 1983. Instruction to Educational Administration. (6th ed). Boston: Allyn and Bacon. Davis, G.A., & Thomas, M.A. 1989. Effective Schools and Effective Teachers. Boston: Allyn and Bacon. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1999/2000. Petunjuk Pelaksanaan Peni-laian Kinerja Kepala Sekolah SLTP. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. DeRoche, E.F. 1985. How School Administration Solve Problems. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc. Effective Schools Consortia Network. 1987. Effective Schools Characteristics. Albany: ESCN. Fattah, N. 2000. Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Fraenkel, J.E. & Wallen, N.E. 1993. How to Design and Evaluate Researach in Education. (2th ed). New York: McGraw-Hill Inc. Gibson, J.L., Wanzevich, J.M., & Donnely, J.H. 1996. Organisasi: Perilaku, Struktur, dan Proses. Alh Bahasa olehNunuk Adiarbi. Jakarta: Bina Rupa Aksara. Gorton, R.A. 1971. School Administration: Challenge and Opportunity for Leadership. Ubuque, Iowa: Wm. C. Brown Company. Hadi, S. 1982. Statistik Jilid I. Yogyakarta: Andi Offset. Hadi, S. 1991. Analisis Butir untuk Instrumen. Yogyakarta: Andi Offset. Hadi, S. 1995. Analisis Regresi. Yogyakarta: BPPE.
24 Holdaway, E.A., & Johnson, N.A. 1993. School Effectiveness and Effectiveness Indicators. Dalam bert P.M. Creemers & David Reynolds (eds) dalam Effectiveness and School Improvement. New York: Swets & Zietlinger. Irianto, A. 1998. Statistik Pendidikan I. Yogyakarta: P2LPTK. Kerlinger, F.N. 1993. Asas-asas Penelitian Behavioral. Terjemahan oleh Lendung R. Simatupang. Yogyakarta: Gajah Mada Press. Muhyadi. 1989. Organisasi: Teori Struktur dan Proses. Jakarta: P2LPTK. Muhyadi. 1989. Perilaku Organisasi. Jakarta: P2LPTK. Nawawi, H. 1985. Administrasi Pendidikan. Jakaarta: Gunung Agung. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Noor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah Umum. 1995. Jakarta: Sinar Grafika. Salladien. 1989. Konsep-konsep Penelitian, Terapan Analisis Korelasional. Jakarta: P2LPTK. Soetopo, H. 1989. Konsep Dasar Administrasi Pendidikan. Malang: Penerbit IKIP Malang. Steers, O. 1985. Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis untuk Praktek Profesional. Bandung: Angkasa. Sutisna, O. 1985. Administrasi Pendidikan Dasar Teoritis untuk Praktek Profesonal. Bandung: Angkasa. Wahjosumidjo. 1984. Kepemimpinan dan Motivasi. Jakarta: Ghalia Indonesia.
ARTIKEL PENELITIAN KONTRIBUSI GAYA KEPEMIMPINAN, IKLIM SEKOLAH, DAN EQ KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEBERHASILAN SEKOLAH MENURUT PERSEPSI GURU SMK NEGERI/SWASTA SE KOTA BLITAR Oleh SUGIYANTO NIM/DNI: 104631556276 Abstract Educational process at school level always becomes the barometer of the school effectiveness. Based on the theories and research existed, the indicators of the school effectiveness are varied, and so do the factors. The research of school effectiveness factors contribution is signifikan to do because the fluctuation of the educational quality at school happens as the rotation of the principal. The principal as the main manager of the educational process at school must have an adequate professional competence to attain a maximum school effectiveness. According to the research result, the competences that give contribution to the school effectiveness are a high a right leadership style (13.75%), the competence to create a conducive school climate (21.29%). and the EQ (14.78%), Key words: Leadership style, School Climate, Emotional Quotient, School Effectiveness. Saat ini masyarakat dan bangsa Indonesia telah memasuki abat 21, Era globalisasi yang penuh tantangan. Tantangan global yang merupakan akibat adanya kemajuan teknologi komunikasi yang canggih di era digital yang mampu mernembus batas-batas teritorial dalam waktu yang singkat, sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia. Kondisi ini menuntut kesiapan sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif sehingga mampu menyikapi dan mengantisipasinya dengan cepat dan tepat.
Dalam mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas di masa yang akan datang, pendidikan mempunyai fungsi yang strategis dan peranan sangat penting, sebab tanpa pendidikan kepribadian manusia sebagai subjek belum dapat memberikan jaminan untuk mewujudkan cita-cita pembangunan (Hariwung, 1989). Selanjutnya melalui pendidikan pula manusia dapat mengungkap misteri kehidupan sekaligus dapat menempatkan dirinya sebagai subjek dalam setiap perubahan sosial, karenanya pendidikan dianggap sangat perlu dalam membawa perubahan sosial dengan cara-cara yang damai. Sedangkan Suryadi dan Tilaar (1994) mengungkapkan bahwa untuk mendapatkan manusia yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, pendidikan memainkan peranan sebagai sarana utama, sebab pendidikan memiliki fungsi yang hakiki untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang akan menjadi pelaksana pembangunan di segala bidang kehidupan. Dalam upaya menyikapi irama dinamika perubahan sosial yang terjadi di masa mendatang dipandang perlu meningkatkan dan mengembangkan sumber daya manusia (Human Resource Developm), (Nadler 1982) melalui jalur pendidikan sekolah. Namun demikian, tentunya hal tersebut akan menjadi kenyataan apabila sekolah kejuruan mampu mengatasi 3 (tiga) kelemahan utama sekolah kejuruan. Tiga hal yang selama ini disandang sekolah kejuruan, yaitu (1) masih berorientasi masa silam yang bercirikan konservatis; (2) mutu penyelenggaraan sangat rendah sehingga profesionalime tidak jelas; (3) relevansi pendidikan kejuruan kurang mampu merespon tuntutan perkembangan baru. Tiga kelemahan utama yang melekat tersebut yang menyebabkan
sekolah kejuruan terpuruk tidak mampu bersaing dengan lembaga-lembaga baru yang bermunculan dengan membawa bendera yang beraneka macam. Dikmenjur RI sebagai lembaga yang menangani sekolah kejuruan menyadari adanya beberapa kelemahan yang melekat pada sekolah kejuruan. Menurutnya ada tiga aspek kelemahan sekolah kejuruan: (1) Unsur Kurikulum yang dinilai (a) Terlalu sarat penuh sehingga memici stres murid; (b) Kurang fungsional bagi kepentingan murid sendiri maupun untuk melanjutkan ke jenjang selanjutnya; (c) Kurang profesional di lihat dari segi tingkat usia murid. (2) Sumber daya pendidikan meliputi: (a) Sumber daya manusia yang masih kurang memadai, terutama pada aspek kepemimpinan dan guru di kejuruan; (b) Sarana dan prasarana yang masih terbatas; (c) Pembiayaan yang masih serba kekurangan. (3) Segi kualitas pembelajaran yang masih membutuhkan peningkatan profesionalisme guru dan inovasi pembelajaran lainnya (Dikmenjur, 1997). Setiap sekolah memiliki indikator keberhasilan yang berbeda-beda. Faktor-faktor penyebab keberhasilan sekolah pun sangat bervariasi. Kompetensi kepala sekolah sebagai pengendali sentral pada proses pendidikan di sekolah sangat mewarnai faktor keberhasilan ini. Kompetensi tersebut di antaranya kecerdasan emosional (EQ), kepribadian yang mantap, gaya kepemimpinan yang tepat, dan kemampuan menciptakan iklim sekolah yang kondusif. Berdasarkan hasil penelitian ini, terdapat kontribusi gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim sekolah, dan kecerdasan emosional kepala sekolah, terhadap keberhasilan sekolah. Oleh karena itu kepala sekolah hendaknya selalu berusaha meningkatkan EQnya, menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif, dan mengupayakan terciptanya iklim sekolah yang kondusif. Calon kepala sekolah diharapkan juga menerima materi pelatihan
yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional, gaya kepemimpinan yang tepat, dan iklim sekolah yang kondusif. METODE Penelitian ini dirancang untuk mengkaji data yang dikumpulkan dari sampel yang terpilih untuk mendeskripsikan populasi pada suatu waktu tertentu (cross sectional). Penelitian cross sectional tidak hanya memiliki tujuan mendeskripsikan sesuatu tetapi juga untuk menentukan hubungan antarvariabel yang diteliti pada waktu itu. Penelitian yang bersifat individu ini juga disebut penelitian orientasi & aksi karena secara pokok meneliti sikap, kepercayaan, pengalaman, kepribadian, dan kecenderungan individu. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan rancangan penelitian korelasional. Disebut korelasional karena berusaha menjelaskan ada atau tidaknya kontribusi antara berbagai variabel berdasarkan besar kecilnya koefisien korelasi. Penelitian dengan teknik korelational ini, dilaksanakan di sepuluh SMK Negeri/Swasta sekota Blitar. Sampel penelitian yang terdiri 268 responden diambil secara proporsional dengan random sistematis dari 616 populasi. Data penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner atau angket sebagai instrumen. Tujuan teknik korelasional adalah (1) untuk mencari bukti berdasarkan hasil pengumpulan data, apakah terdapat hubungan antarvariabel atau tidak, (2) untuk menjawab pertanyaan apakah hubungan antarvariabel penelitian tersebut termasuk hubungan yang kuat, sedang, atau lemah, dan (3) ingin memperoleh kepastian secara matematik, apakah hubungan antarvariabel merupakan hubungan yang signifikan
ataukah hubungan yang tidak berarti atau tidak meyakinkan. Teknik korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi multivariat, karena terdiri atas tiga variabel bebas (independent variable) dan satu variabel terikat (dependen variable). Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji kontribusi gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim sekolah, dan EQ kepala sekolah, terhadap keberhasilan sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. TINJAUAN LITERATUR Proses pendidikan di tingkat sekolah selalu menjadi barometer bagi keberhasilan sekolah. Berbagai model manajemen pendidikan dalam proses pendidikan juga ditawarkan demi keberhasilan sekolah. Salah satu bentuk desentralisasi pendidikan dalam era otonomi daerah adalah pelaksanaan manajemen berbasis sekolah (Schoolbased magement). Manajemen berbasis sekolah (MBS) ini menekankan pentingnya kepemimpinan kepala sekolah yang efektif, pemberdayaan sekolah dalam mengelola sumberdaya pendidikan secara mandiri dan kreatif, meningkatkan kinerja sekolah yang bermuara pada keberhasilan sekolah (Depdiknas, 2006). Keberhasilan sekolah merupakan kemampuan organisasi dalam mencari sumber dan memanfaatkannya untuk mencapai tujuan tertentu (Steers, 1985). Jika sebuah organisasi mampu untuk mewujudkan apa yang menjadi tujuannya maka organisasi itu dapat dikatakan efektif (Robbins, 1990). Keberhasilan sebagai kesesuaian antara maksud organisasi dan hasil-hasil yang diperoleh organisasi (Sergiovanni, 1992). Demikian juga Bernard (dalam Gibson, Ivancevich & Donelly, 1991) menyatakan bahwa keefektifan adalah pencapaian tujuan yang ditetapkan dengan usaha kerjasama. Hall (1974) juga berpendapat yang sama dimana keefektifan organisasi dilihat dari tingkat
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan atau sejauh mana suatu organisasi merealisasikan tujuannya. Keefektifan organisasi dapat dilihat dari berbagai sudut tinjau. Ada yang meninjau dari segi pencapaian tujuan, sistem komunikasi yang berhasil, keberhasilan kepemimpinan yang diterapkan, proses manajemen dalam organisasi, ada yang meninjau dari produktivitas, dan ada yang meninjau dari proses adaptasi yang terjadi dalam organisasi itu. Ahli lain mengemukakan bahwa keefektifan adalah salah satu konstruk organisasi yang tergambarkan sangat dalam yang relevan dengan semua anggota dalam kehidupan organisasi (Goodman & Pennings, 1977). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dimaksudkan dengan keberhasilan sekolah adalah tingkat ketercapaian tujuan-tujuan sekolah oleh kerja sama yang baik antara kepala sekolah, guru, karyawan, dan unsur pendidikan lainnya dalam melaksanakan proses pendidikan. Beberapa indikator yang mempunyai relevansi tinggi bagi suatu sekolah, telah lama menjadi subjek penelitian sebelumnya. Konsep-konsep tersebut, yang akan dianalisis sebagai indikator keefektifan, mencakup: kemampuan beradaptasi (fleksibilitas dan inovatif), prestasi, kepuasan dalam bekerja, dan pusat ketertarikan dalam hidup. Secara umum dapat dikemukakan bahwa keefektifan organisasi adalah sejauh mana suatu organisasi memenuhi tujuan-tujuannya. Konsep ini memasukkan berbagai unsur yang menjadi kriteria keefektifannya. Akan tetapi, para ahli berbeda-beda penekanannya dalam menentukan kriteria keefektifan tersebut. Robbins (2002) memasukkan empat kriteria,yaitu (1) produktivitas, (2) kemangkiran, (3) keuntungan, dan (4) kepuasan kerja. Selanjutnya , Gibsons dkk (1997) mengetengahkan lima kriteria, yaitu (1) produksi, (2) efisiensi, (3) kepuasan, (4) adaptasi, dan (5) perkembangan.
Kriteria keefektifan organisasi secara umum di atas, ternyata menjadi isu pula dalam organisasi sekolah. Sebagai gambaran dapat dikemukakan beberapa pandangan mengenai kriteria dimaksud. Campbell (dalam Miskel 1982) mengemukakan tiga kriteria, yaitu (1) prestasi siswa, (2) kinerja personil sekolah, dan (3) berbagai program dan sistem yang dijumpai di sekolah. Seyfarth (1991) juga mengemukakan tiga kinerja, yaitu (1) efisiensi, (2) persamaan (equality), dan (3) kualitas (quality). Selanjutnya, Hoy & Miskel (1989), dalam hubungannya dengan pendekatan pencapaian tujuan organisasi, ada lima kriteria, yaitu (1) prestasi (achievement), (2) produktivitas, (3) perolehan sumber, (4) efisiensi, dan (5) kualitas. Dalam penelitian ini, kriteria keberhasilan sekolah merujuk pedoman penilaian kinerja sekolah Depdiknas (2000). Dengan demikian, sudah terfokus dalam menilai keefektifan sekolah, yaitu diindikasikan pada produktivitas (hasil). Artinya, sejauh kepala sekolah mampu menciptakan suasana belajar yang kondusif mana para siswa, guru, kelompok, dan sekolah dapat melaksanakan proses pendidikan untuk mencapai hasil atas layanan yang telah ditetapkan baik secara kuantitas maupun kualitas. Kriteria keberhasilan tersebut membawa implikasi pada faktor-faktor penentu keberhasilan sekolah. Faktor-faktor tersebut lebih banyak mengarah pada kompetensi kepala sekolah sebagai pengendali sentral proses pendidikan di sekolah. Kompetensi tersebut di antaranya gaya kepemimpinan yang tepat, kepribadian yang mantap, kemampuan menciptakan iklim sekolah yang kondusif, dan kecerdasan emosional (EQ). Dengan demikian ada tiga faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan sekolah, yaitu (1) gaya kepemimpinan, (2) iklim sekolah (3) kecerdasan emosional.
Faktor pertama yang mempengaruhi keberhasilan sekolah adalah gaya kepemimpinan yang tepat. Dalam mengkaji hubungan antara gaya kepemimpinan dan keberhasilan sekolah, Steers (1985) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu variabel peramal yang dapat menentukan keberhasilan sekolah sebagai variabel peramal, apabila keberhasilan sekolah dikaji dengan rencana kerangka kerja berdimensi tunggal. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Hersey & Blanchard (1986) ketika mereka menganalisis faktor-faktor yang menentukan keefektivan organisasi. Menurut mereka, gaya kepemimpinan merupakan salah satu variabel penyebab (causal variable), yang menentukan variabel keluaran (output variable), yaitu keefektivan organisasi (keberhasilan sekolah). Gaya kepemimpinan yang dimaksud adalah sesuai teori kepemimpinan situasional yaitu sejauh mana kesesuaian antara parilaku kepala sekolah yang diimplementasikan dengan situasi (kematangan) anggota. Apabila gaya yang diterapkan bersesuaian dengan situasi tertentu dari anggota atau kelompok, maka dikatakan efektif. Sebaliknya, jika tidak bersesuaian dinyatakan tidak efektif. Sedangkan wujud variabel keluaran menurut Hersey & Blanchard (1986) adalah prestasi (achievement) yang dicapai organisasi, yang kebanyakan para pemimpin (90%) mengukurnya melalui produktivitas organisasi. Dengan demikian, hubungan antara gaya kepemimpinan dan keefektivan organisasi menurut teori adalah sejauh mana keefektivan gaya kepemimpinan atau kesesuaian antara gaya dengan situasi di mana gaya tersebut diterapkan yang mampu mempengaruhi kemauan dan kemampuan anggota atau kelompok dalam melaksanakan tanggungjawab tertentu dari organisasi, sehingga mengefektifkan pencapaian tujuan (produktivitas) organisasi yang telah diterapkan. Secara empiris, konsep atau teori gaya kepemimpinan situasional telah dibuktikan melalui beberapa penelitian yang dilakukan oleh Hersey & Blanchard (1986).
Penelitian yang dikerjakan pada latar pendidikan (educational setting) diantaranya adalah hubungan antara guru dan siswa dalam masalah pembelajaran yang efektif, yang dilakukan melalui pendekatan eksperimen. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kepala sekolah yang menggunakan pendekatan situasional di dalam memimpin organisasi sekolah, tidak hanya meningkatkan keefektivan organisasi berupa prestasi kerja yang lebih tinggi, tetapi juga berhasil mengembangkan iklim sekolah yang sehat dan kondusif. Faktor kedua iklim sekolah yang kondusif. Munculnya iklim sekolah yang bervariasi, merupakan hasil sebuah kerjasama. Dalam hal ini bergantung pada pengamatan individu, bukan pengamatan kelompok pada organisasi. Menurut Steers (1985) dua hasil yang paling banyak diteliti adalah kepuasan kerja dan prestasi. Buktibukti menunjukkan bahwa ada hubungan yang positif antara iklim dengan kepuasan kerja. Iklim kerja yang kosultatif, terbuka, dan mementingkan pekerja biasanya dihubungkan dengan sikap kerja yang positif (Steer, 1993: 126). Tampaknya, kepuasan kerja sampai batas tertentu bergantung pada cara kepala sekolah memperhatikan dan melibatkan para guru. Berdasarkan pendapat para pakar tersebut dapat dikatakan bahwa kepemimpinan dan kredibilitas pemimpin terdapat di dalam hati pemimpin, bukan pada otak pemimpin tersebut, dan pada diri pemimpin yang kredibel itulah iklim sekolah yang sehat dan kondusif dapat ditumbuhkan. Iklim sekolah yang sehat dan kondusif ditandai dengan adanya kepala sekolah, guru, karyawan sekolah dan unsur pendidik lainnya, yang memiliki semangat kerja yang tinggi dalam melaksanakan proses pendidikan. Iklim sekolah yang kondusif itu terwujud manakala kepala sekolah memiliki kecerdasan emosional tinggi dan gaya kepemimpinan yang tepat.
Faktor ketiga yang mempengaruhi keberhasilan sekolah adalah kecerdasan emosional kepala sekolah. Goleman pencetus Emotional Quotient (1995) mengemukakan bahwa para ahli psikologi dari berbagai negara di dunia sepakat Intelegentia Quotient hanya mendukung sekitar 20% faktor penentu sukses, sedangkan sisanya dari faktor lain, termasuk kecerdasan emosi (Patton, 2000). Sedangkan Argyris (1998) menyarankan pentingnya mempertimbangkan faktor emosi dalam kehidupan berorganisasi, bahkan untuk mencari mata rantai manajemen yang hilang ada pada intuisi, bukan pada analisis (Cooper & Sawaf: 2002) yang dibangun atas kejujuran emosi dan berkata benar pada diri sendiri terhadap apa yang dirasakan. HASIL PENELITIAN Sesuai dengan rancangan penelitian yang dikembangkan, data yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data kuantitatif dalam skala interval. Data tersebut diperoleh dari 215 responden yang tersebar di seluruh SMK Negeri/Swasta di Kota Blitar. Deskripsi data dilakukan terhadap empat variabel, variabel kecerdasan emosional, variabel gaya kepemimpinan, variabel iklim sekolah, dan variabel keberhasilan sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. Deskripsi data menggunakan penilaian acuan absolut atau penilaian acuan patokan dengan skala lima. Skala ini dibagi atas lima kategori yang pedoman konfersinya sebagai tertuang dalam tabel berikut: 1. Tingkat Gaya Kepemimpinan kepala sekolah SMK Negeri/Swasta di Kota Blitar Data variabel gaya kepemimpinan kepala sekolah menunjukkan bahwa skor rata-rata (mean) gaya kepemimpinan kepala sekolah adalah sebesar 54,410. Skor maksimum nyata adalah 74, skor minimum nyata 36, dan simpangan baku (SD) sebesar 8,8912. Berdasarkan data variabel gaya kepemimpinan kepala sekolah tersebut di atas,
dapat ditentukan distribusi kecenderungan tingkat gaya kepemimpinan kepala sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar sebagai berikut: Tabel 2: Distribusi Frekuensi Tingkat Gaya kepemimpinan No
Interval
Kriteria
Frekuensi % % Komulatif 8,20 8,20
1
69 – 80
Sangat Efektif
F 22
2
57 – 68
Efektif
59
22,01
30,21
3
45 – 56
Cukup Efektif
116
43,29
73,50
4
33 – 44
Tidak Efektif
71
26,50
100
5
20 – 32
Sangat Tidak Efektif
0
0
0
Jumlah :
268
Skala Likert (Guiford, 1956; Dayan, 1995; Nazir, 1999; Sugiono, 2000) Berdasarkan hasil penghitungan tabel 2 dapat disimpulkan bahwa tingkat gayakepemimpinan kepala sekolah SMK Negeri/Swasta Kota Blitar cenderung efektif dengan frekuensi 43,29 %, selebihnya 8,20 sangat efektif, 22,01% termasuk kategori cukup efektif dan 26,50 % termasuk kategori tidak efektif. 2. Tingkat Iklim Sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar Data variabel Iklim Sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar disajikan pada lampiran 6. berdasarkan analisis data yang dilakukan menunjukkan bahwa skor rata-rata (mean) Iklim Sekolah adalah sebesar 47,463. Skor maksimum nyata adalah 75, skor minimum nyata 28, dan simpangan baku (SD) sebesar 10,3365. Berdasarkan data variabel iklim sekolah dapat ditentukan distribusi kecenderungan iklim sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar sebagai berikut:
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Tingkat Iklim Sekolah No
Interval
Kriteria
Frekuensi
1
69 – 80
Sangat Kondusif
F 25
2
57 – 68
Kondusif
45
16,79
16,8
3
45 – 56
Cukup Kondusif
148
55,22
55,22
4
33 – 44
Tidak Kondusif
50
37,31
100
5
20 – 32
Sangat Tidak Kondusif
0
0
0
Jumlah :
% 9,32
% Komulatif 9,32
268
Skala Likert (Guiford, 1956; Dayan, 1995; Nazir, 1999; Sugiono, 2000) Berdasarkan hasil penghitungan tabel 3 dapat disimpulkan bahwa tingkat iklim sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar cenderung cukup kondusif dengan frekuensi mencapai 55,22 %, selebihnya kategori sangat kondusif 9,32%, kategori kondusif 16,8%. 3. Tingkat Kecerdasan Emosional Kepala SMK Negeri/Swasta di Kota Blitar Instrumen yang digunakan untuk mengukur kecerdasan emosional kepala sekolah, berupa kuesioner dengan 20 item dan masing-masing mempunyai skor harapan maksimal 4 dan minimal 0. Secara keseluruhan mempunyai skor harapan maksimal 80 dan skor harapan minimal 0. Berdasarkan hasil pengumpulan data, diperoleh skor minimal nyata sebasar 25 dan skor maksimal nyata 80, dengan rerata 48,951 dan standar deviasi 8,86. Dilihat dari sebaran data yang terkumpul, distribusi cenderung di atas rerata, terbukti penyimpangan (knewness) positif sebesar 0,336. Dengan koefisien kemiringan sebesar itu dapat dinyatakan bahwa sebaran data cenderung normal karena tidak melebihi nilai 2 (Dayan, 1995). Dengan menggunakan pedoman konversi dan data
yang masuk, dapat ditentukan distribusi frekuensi kecenderungan tingkat kecerdasan emosional kepala sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar sebagai berikut: Tabel 1: Distribusi Frekuensi Emosional Kepala Sekolah
No
Interval
Kriteria
F
Frekuensi %
1
72 – 80
Sangat Cerdas
25
9,33
% Komulatif 9,33
2
52 – 71
Cerdas
89
33,21
42,54
3
44 – 51
Cukup Cerdas
73
27,24
69,78
4
32 – 43
Tidak Cerdas
81
30,22
100
5
0,0 – 31
Sangat Tidak Cerdas
0
0
0
Jumlah :
268
Skala Likert (Guiford, 1956; Dayan, 1995; Nazir, 1999; Sugiono, 2000) MENGUJI KONTRIBUSI TERHADAP HIPOTESIS PENELITIAN 1. Kontribusi Gaya Kepemimpinan terhadap Keberhasilan Sekolah Rumus yang digunakan untuk menghitung kontribusi gaya kepemimpinan kepala sekolah (X1) terhadap keberhasilan sekolah (Y) tanpa variabel antara (X2) adalah korelasi parsial. Dengan bantuan komputer program SPSS 11,5 didapat koefisien korelasi (r1y-2) sebesar 0,527 nilai t hitung = 0,441 dan sig t = 0,000 (lampiran 15). Berdasarkan hasil penghitungan tersebut serta dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat kita ketahui bahwa nilai sig t lebih kecil dari 0,05. Dengan analisis regresi sederhana, didapat kontribusi X1 → Y sebesar 0,575 dan R Square sebesar 9,6%. Untuk analisis regresi ganda, didapat kontribusi X1 → Y sebesar 0,263 dan R Square 52,6% (lampiran 16). Berarti hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak ada kontribusi
yang positif signifikan gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap keberhasilan sekolah SMK Negeri/Swasta Kota Blitar ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat kontribusi positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap keberhasilan sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. Lebih lengkap dapat dilihat pada tabel hasil analisis regresi sederhana antara X1 → Y seperti berikut: M od el M ode R R a .278 1 .527 a. P redictors: (C onstant), G aya
A djuste R .271
S td. E rror the 8.2923
Coefficientsa
Model 1
(Constant) Gaya Kepemimpinan (x1)
Unstandardized Coefficients B Std. Error 28.880 4.674 .575 .089
Standardi zed Coefficien ts Beta .527
t 6.178 6.441
Sig. .000 .000
a. Dependent Variable: Keberhasilan Sekolah (y)
b. Kontribusi Iklim Sekolah terhadap Keberhasilan Sekolah Rumus yang digunakan untuk menghitung kontribusi iklim sekolah (X2) terhadap keberhasilan sekolah (Y) adalah regresi. Dengan bantuan komputer program SPSS, didapat koefisien korelasi (r1y-2) sebesar 0,626 , nilai t hitung = 8,756 , dan sig t = 0,000 (lampiran 15). Berdasarkan hasil penghitungan tersebut dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat kita ketahui bahwa nilai sig t lebih kecil dari 0,05. Dengan analisis regresi sederhana, didapat kontribusi X2 → Y sebesar 0,588 dan R Square sebesar 50,9%. Untuk analisis regresi ganda, didapat kontribusi X2 → Y sebesar 0,373 dan R Square 46,00% (lampiran 16). Berarti hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak ada kontribusi yang positif signifikan iklim sekolah kepala sekolah terhadap
keberhasilan sekolah SMK Negeri/Swasta Kota Blitar ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat kontribusi positif yang signifikan antara iklim sekolah kepala sekolah terhadap keberhasilan sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. Lebih lengkap dapat dilihat pada tabel hasil analisis regresi sederhana antara X2 → Y seperti berikut: Model Summary
Model 1
R R Square .626a .392
Adjusted R Square .386
Std. Error of the Estimate 7.6081
a. Predictors: (Constant), Iklim Sekolah (x2)
Coefficientsa
Model 1
(Constant) Iklim Sekolah (x2)
Unstandardized Coefficients B Std. Error 30.315 3.462 .588 .070
Standardi zed Coefficien ts Beta .626
t 8.756 8.342
Sig. .000 .000
a. Dependent Variable: Keberhasilan Sekolah (y)
c. Kontribusi Kecerdasan Emosional terhadap Keberhasilan Sekolah Rumus yang digunakan untuk menghitung kontribusi kecerdasan emosional kepala sekolah (X3) terhadap keberhasilan sekolah (Y), adalah korelasi parsial. Dengan bantuan komputer program SPSS 11,5 didapat koefisien korelasi (r1y-2) sebesar 0,580 nilai korelasi t hitung = 12,624 dan tingkat sig t = 0,001 (lampiran 15). Berdasarkan hasil penghitungan tersebut dan dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat kita ketahui bahwa nilai sig t lebih kecil dari 0,05. Dengan analisis regresi sederhana, didapat kontribusi X3 → Y sebesar 0,428 dan R Square sebesar 33,6 %. Untuk analisis regresi ganda, kontribusi X3 → Y sebesar 0,191 dan R Square 51,2% (lampiran 16). Berarti hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak ada kontribusi yang positif signifikan
kecerdasan emosional kepala sekolah terhadap keberhasilan sekolah SMK Negeri/Swasta Kota Blitar ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat kontribusi positif yang signifikan antara kecerdasan emosional kepala sekolah terhadap keberhasilan sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. Lebih lengkap dapat dilihat pada tabel hasil analisis regresi seperti berikut:
Model Summary
Model 1
R .580a
Adjusted R Square .330
R Square .336
Std. Error of the Estimate 7.9505
a. Predictors: (Constant), Kecerdasan Emosional (x3)
Coefficients
Model 1
(Constant) Kecerdasan Emosional (x3)
a
Unstandardized Coefficients B Std. Error 37.393 2.962 .428
.058
Standardi zed Coefficien ts Beta .580
t 12.624
Sig. .000
7.390
.000
a. Dependent Variable: Keberhasilan Sekolah (y)
1. Menguji Secara Bersama-Sama Kontribusi Gaya Kepemimpinan, Iklim Sekolah terhadap Keberhasilan Sekolah, dan Kecerdasan Emosional di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar Untuk mengetahui tingkat kontribusi gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim sekolah terhadap keberhasilan sekolah, dan kecerdasan emosional, di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar (X1, X2, X3 → Y) secara bersama-sama digunakan rumus korelasi ganda. Hipotesis nihil (Ho) yang diajukan adalah tidak ada kontribusi yang positif signifikan gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim sekolah terhadap keberhasilan sekolah, dan kecerdasan emosional, di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar (X1, X2, X3 →
Y). Dengan bantuan komputer program SPSS 11.5, didapat koefisien korelasi sebesar 0,725 dan F hitung = 39,146 dan sig F = 0,000 (lampiran 16). Berdasarkan hasil penghitungan tersebut dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dapat kita ketahui bahwa nilai sig F lebih kecil dari 0,05. Berarti hipotesis nihil (Ho) yang menyatakan bahwa tidak ada korelasi yang positif signifikan gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim sekolah terhadap keberhasilan sekolah, dan kecerdasan emosional di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh sekaligus kontribusi yang positif dan signifikan, gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim sekolah terhadap keberhasilan sekolah, dan kecerdasan emosional di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar, dengan kontribusi sebesar 51,20%. Model Summary
Model 1
R .725
a
R Square .526
Adjusted R Square .512
Std. Error of the Estimate 6.7826
a. Predictors: (Constant), Gaya Kepemimpinan (x1), Iklim Sekolah (x2), Kecerdasan Emosional (x3)
Coefficientsa
Model 1
(Constant) Gaya Kepemimpinan (x1) Iklim Sekolah (x2) Kecerdasan Emosional (x3)
Unstandardized Coefficients B Std. Error 17.610 4.162 .263 .085 .373 .075 .191
.061
Standardi zed Coefficien ts Beta .241 .397
t 4.232 3.082 4.989
Sig. .000 .003 .000
.259
3.112
.002
a. Dependent Variable: Keberhasilan Sekolah (y)
SUMBANGAN EFEKTIF Uji sumbangan efektif ini sangat diperlukan untuk mengetahui kontribusi masingmasing variabel bebas terhadap variabel terikat. Dalam penelitian ini uji sumbangan
efektif digunakan untuk mengetahui kontribusi gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim sekolah , dan kecerdasan emosional terhadap keberhasilan sekolah. No
Variabel
Koefisien Koefisien Unstandart Standart
R
Sumbng Relatif
Sumbng Efektif
1 Gaya Kepemimpinan
0.263
0.241
100
31.80
12.70
2 Iklim Sekolah
0.373
0.397
100
45.10
24.85
3 Kecerdasan Emosional
0.191
0.259
100
23.10
15.02
Jumlah :
0.827
0.897
100.00
52.57
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ternyata gaya kepemimpinan kepala sekolah, iklim sekolah, dan kecerdasan emosional kepala sekolah memberikan kontribusi (Adjusted R Square) sebesar 52,57 % terhadap keberhasilan sekolah. Ini berarti terdapat beberapa variabel lain sebesar 47,43 % yang dapat memberi kontribusi terhadap keberhasilan sekolah selain ketiga variabel tersebut. PENUTUP Dalam bab ini diuraikan tentang kesimpulan hasil penilaian dan saran-saran terhadap hasil penelitian. A. Kesimpulan Berdasarkan analisis yang dilakukan, maka kesimpulan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat kontribusi yang positif dan signifikan kecerdasan emosional kepala sekolah yang tinggi, gaya kepemimpinan kepala sekolah yang efektif, dan iklim sekolah yang kondusif terhadap keberhasilan sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. Kecerdasan emosional kepala sekolah yang tinggi, mampu meningkatkan kecerdasan emosional para guru, sehingga terjalin
kerja sama yang baik antara guru, murid, dan staf karyawan. Selain itu, kepala sekolah yang memiliki kecerdasan emosional tinggi mampu menciptakan iklim sekolah yang kondusif sehingga proses pendidikan berjalan efektif dan keberhasilan sekolah dapat dicapai secara maksimal. Sebagai kontributor tertinggi terhadap keberhasilan sekolah, kecerdasan emosional juga mampu memberi kontribusi yang positif terhadap peningkatan gaya kepemimpinan kepala sekolah yang efektif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kepala sekolah sebagai pengendali utama proses pendidikan, memiliki kompetensi profesional yang memadai. Persyaratan utama tidak hanya pengalaman dan prestasi mengajar yang baik, tetapi mempunyai kompetensi manajemen pendidikan, kemampuan insani, dan kepemimpinan juga terpenuhi. Kemampuan insani yang dimaksud antara lain kecerdasan intelegensi, kecerdasan emosional dan kepribadian yang mantap sehingga terselenggara proses pendidikan yang efektif. Selain itu, kepala sekolah juga mampu menciptakan iklim sekolah dan suasana kerja yang kondusif, sehat dan menggairahkan, dalam hubungan antarpersonil yang baik. Iklim sekolah yang kondusif itu terwujud karena kepala sekolah memiliki kecerdasan emosional tinggi dan gaya kepemimpinan yang tepat. 2. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional kepala sekolah memiliki kontribusi yang positif dan signifikan terhadap keberhasilan sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. Kepala sekolah yang memiliki kecerdasan emosional tinggi dapat meningkatkan kecerdasan emosional para guru dan siswa. Selain itu juga mampu menerapkan pola kepemimpinan sesuai dengan tingkat kematangan bawahan. Ini berarti ada kontribusi yang positif antara kecerdasan emosional kepala sekolah dengan gaya kepemimpinan kepala sekolah. Selain itu, kecerdasan emosional kepala
3. Terdapat kontribusi yang positif signifikan gaya kepemimpinan kepala sekolah yang efektif terhadap keberhasilan sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. Walaupun relatif kecil, gaya kepemimpinan kepala sekolah dapat mempengaruhi kecerdasan emosional kepala sekolah dan dapat pula mempengaruhi kondusifitas iklim sekolah. Dibandingkan dengan variabel kecerdasan emosional kepala sekolah dan variabel iklim sekolah, gaya kepemimpinan kepala sekolah memberikan kontribusi paling sedikit terhadap keberhasilan sekolah. Rendahnya kontribusi gaya kepemimpinan kepala sekolah terhadap keberhasilan sekolah, disebabkan oleh tersedotnya variabel lain yang memberi kontribusi lebih besar terhadap keberhasilan sekolah. Selain itu, hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa kredibilitas pemimpin bukan terletak pada otaknya melainkan pada hatinya. Artinya, setinggi apa pun kepala sekolah menguasai teori kepemimpinan, jika tidak mempunyai kecerdasan emosional yang tinggi dan tidak mampu menciptakan iklim sekolah yang kondusif, maka ia tidak akan mampu memimpin sekolah secara efektif. 4. Juga terdapat kontribusi yang positif signifikan iklim sekolah yang kondusif terhadap keberhasilan sekolah di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. Selain itu, iklim sekolah yang kondusif terwujud sebagai hasil kecerdasan emosional kepala sekolah yang tinggi. Walaupun relatif kecil, iklim sekolah ternyata ada pengaruh terhadap gaya kepemimpinan kepala sekolah. B. Saran-saran Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian di atas, maka dapat penulis sampaikan saran-saran dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Peningkatan kecerdasan emosional kepala sekolah merupakan hal penting bagi pencapaian keberhasilan sekolah. Keberhasilan sekolah ini akan sangat berpengaruh pada kualitas pendidikan itu sendiri. Oleh karenanya kepala sekolah sebagai pemimpin dalam suatu sekolah hendaknya selalu menempuh berbagai cara untuk peningkatan kecerdasan emosional dirinya. Hal ini penting dilakukan agar kepala sekolah mampu menerapkan gaya kepemimpinan yang efektif dan mampu menciptakan iklim sekolah yang kondusif sehingga dalam memimpin proses pendidikan di sekolah dapat mencapai keberhasilan yang maksimal khususnya di SMK Negeri/Swasta Kota Blitar. 2. Kepala sekolah sebagai pemimpin, hendaknya juga dapat menerapkan gaya kepemimpinan dengan efektif. Mengingat bahwa gaya kepemimpinan kepala sekolah memiliki kontribusi yang positif terhadap keberhasilan sekolah. Gaya kepemimpinan yang efektif merupakan kunci dalam usaha untuk mewujudkan keefektifan organisasi. Organisasi yang efektif, dapat melaksanakan fungsinya dengan baik dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan secara maksimal. 3. Iklim sekolah yang kondusif memberi kontribusi yang positif terhadap keberhasilan sekolah . Oleh karenanya kepala sekolah sebagai pemimpin agar mengupayakan dengan berbagai strategi peningkatan iklim sekolah yang kondusif. 4. Bagi pembina kepala sekolah, peningkatan kecerdasan emosional, gaya kepemimpinan yang efektif, dan iklim sekolah yang kondusif, hendaknya indikator keberhasilan sekolah. Keberhasilan sekolah ini akan sangat berpengaruh pada kualitas pendidikan itu sendiri. Oleh karenanya pembina kepala sekolah, hendaknya
selalu memperhatikan dengan serius peningkatan indikator-indikator keberhasilan sekolah. 5. Keberhasilan sekolah yang maksimal merupakan salah satu materi pelatihan calon kepala sekolah. Oleh karena itu, lembaga pelatihan diharapkan dapat mengakses hasil penelitian ini untuk dipakai sebagai bahan pelatihan dalam meningkatkan kemampuan calon kelapa sekolah. Dalam proses pelatihan calon kepala sekolah diharapkan menerima materi pelatihan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional, gaya kepemimpinan yang tepat, dan iklim sekolah yang kondusif untuk mencapai keberhasilan sekolah yang maksimal. 6. Menurut hasil penelitian ini, masih terdapat variabel lain sebesar 48,80% yang dapat memberi kontribusi terhadap keberhasilan sekolah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lanjut untuk mengetahui variabel lain yang memberi kontribusi terhadap keberhasilan sekolah, selain kecerdasan emosional, gaya kepemimpinan kepala sekolah, dan iklim sekolah. Variabel-variabel lain yang dimaksud misalnya: (1) intensitas supervisi kepala sekolah, (2) latar belakang pendidikan guru, (3) kompetensi guru (4) motivasi & kinerja guru, (5) input siswa, (6) ketersediaan sarana prasarana, dan (7) dukungan orang tua murid & komite sekolah.
DAFTAR RUJUKAN
Ardhana,W. 1987. Bacaan Pilihan Dalam Mrtode Penelitian Pendidikan. Jakarta: Proyek Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan Dirjen Dikti Depdiknas. Ardhana,W., Patty, F. 1982. Pengantar Psikologi Umum. Surabaya: Usaha Nasional. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Ary, D., dkk. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, terjemahan Arif Furchan. Surabaya: Usaha Nasional. Best, J.W. Tanpa Tahun. Metodologi Penelitian Pendidikan. Terjemahan oleh Arief Furchan. 1982. Surabaya: Usaha Nasional. Borg,W.R. & Gall, M,D. 1983. Educational Research: an introduction. New York: Longman. Burhanuddin, (Eds). 2002. Manajemen Pendidikan, Wacana, Proses dan Aplikasinya di Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang. Cooper, R.K., & Sawaf A. 2002. Executive EQ, Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Alih Bahasa: Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Depdikbud. 2000. Rambu-Rambu Penilaian Kinerja Sekolah. Jakarta: DEPDIKNAS. Depdiknas. 2001. Panduan Broad Based Education. Jakarta: DEPDIKNAS. Effendi, A.R. 2003. Peran Kepala Sekolah dalam Proses Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Makalah Disajikan Dalam Semiloka Kurikulum Berbasis Kompetensi di Pasuruan. Gay, L.R. 1985. Educational Research: Competencies for Analysis and Application. Columbus: Charles E Merril Publishing Company. Gibson, J.L., Ivanzevich, J.M., dan Donelly, J.H. Tanpa Tahun. Organisasi (jilid 1). Terjemahan oleh Agus Dharma. 1991. Jakarta: Erlangga. Gibson, J.L.. 1997. Organisasi: Perilaku, struktur, Proses. Alih Bahasa: Nunuk Andriarni. Jakarta. Bina Pura Aksara.
Goleman, D. 1995. Kecerdasan Emosi untuk Mencapai Puncak Prestasi. Alih Bahasa: Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Goleman, D. 2001. Emotional Intelegence, Kecerdasan Emosi, Mengapa EQ Lebih Penting daripada IQ. Alih Bahasa: T. Hermaya. Jakarta: PT. Gramedia. Guilford, J.P., dan Fruchter, B. 1956. Fundamental Statistic in Psychology and Education. Tokyo: Mc. Graw Hill Book Kugakusha Ltd. Hadi, S. 1980. Analisis Regresi. Yogyakarta: Andi Offset. Halpin, A.W. 1971. Theory and Research in Administration. London: The Macmillan Company. Hersey, P. & Blanchard, K.H. 1986. Manajemen Perilaku Organisasi. Alih Bahasa: Agus dharma. Jakarta. Erlangga. Hoy, W.K. and Miskel, C.G. 1982. Education Administration: Theory; Research & Practice. (3rd ed.) New York: Random House. Kasim, A. 1993. Pengukuran Efektivitas dalam Organisasi. Jakarta: LP-FEUI. Kerlinger, F.N. 1998. Asas-asas Penelitian Behavior: Terjemahan Indung Simatupang. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Kusmintardjo. 2002. Iklim Organisasi Sekolah, Dalam Burhanuddin (Eds) Manajemen Pendidikan, Wacana, Proses dan Aplikasinya di Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang. Leavitt, H.J. 1992. Psikologi Manajemen. Alih Bahasa: Muslihah Zarkasi. Jakarta: Penerbit Erlangga. Mantja. W. 2002. Manajemen Pendidikan dan Supervisi Pengajaran. Malang: Wineka Media. Moore, G.W. 1983. Developing and Evaluating Educational Research. USA: Little, Brown & Company (Canada) Limited. Nazir, M. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia Owens, R.G. 1991. Organizational Behavior in educational (4th ed.). Boston Allyn and Bacon. Patton, P. 2000. EQ Landasan untuk Meraih Sukses Pribadi dan Karir. Alih Bahasa: Hermes. Jakarta: Mitra Media Publisher.
Robbins, S.P. 1998. Perilaku Organisasi, Konsep-Kontroversi-Aplikasi, Jilid I Alih Bahasa: Hadyana Pujaatmaka. Jakarta. Prenhallindo. Robbins, S.P. 2002. Perilaku Organisasi, Konsep- Kontroversi-Aplikasi, Jilid II Alih Bahasa: Hadyana Pujaatmaka. Jakarta. Prenhallindo. Salladien (1997). Konsep-konsep dasar Penelitian Pendidikan, Terapan Analisis Korelasional. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang. Salladien. (1989). Konsep Dasar Penelitian Pendidikan dengan Model Terapan Analisis Korelasi. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang. Santoso, S. 2001. SPSS. Versi 7.5, 8.0. Statistik Parametrik. Jakarta: Gramedia. Sergiovani, T. J. 1991. The Principalship of Reflective Practice Prespective (2nd ed). Boston: Allyn and Bacon. Sergiovani, T. J. 1992. Moral Leadership. Getting to The Heart of School Improvement. San Francisco: Jossey-Bass Publishers Shapiro, E.L. 1997. Mengajarkan Emotional Intelegentce pada Anak. Alih Bahasa: Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Steers, R.M. 1985. Introduction to Organizational Behavior. Glenview, Illinois: Scott, Forreshman & Co. Steers, R.M., & Draft, R.L. 1993. Organization: A Micro/ Macro Approach. London: Scoot, Forshman and Company. Stein, S.J. & Howard, E.B.. 2002. Ledakan EQ. 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Alih Bahasa: Trinanda Rainy Januarsari & Yudi Murtanto. Bandung: Kaifa Sudjana. 1996. Metode Statistika. Bandung: Tarsito. Soetopo, H. 2002. Keefektifan Organisasi Sekolah, Dalam Burhanuddin (Eds) Manajemen Pendidikan, Wacana, Proses dan Aplikasinya di Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang. Wynne, E.A. 1989. School Management and Organization. New York: The Falmer Press. Yukl, G. 1994. Kepemimpinan dalam Organisasi. Alih Bahasa: Yusuf Udaya, LicEc. Jakarta: Prenhallindo.
KONTRIBUSI GAYA KEPEMIMPINAN, IKLIM SEKOLAH, DAN EQ KEPALA SEKOLAH TERHADAP KEBERHASILAN SEKOLAH MENURUT PERSEPSI GURU SMK NEGERI/SWASTA SE KOTA BLITAR
ARTIKEL
Diajukan kepada Universitas Negeri Malang untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan program Magister Manajemen Pendidikan
Oleh
SUGIYANTO NIM/DNI: 104631556276
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PROGRAM PASCASARJANA PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN
Mei 2008
1
MANAJEMEN KURIKULUM DAN PEMBELAJARAN SENTRA DI TAMAN KANAK-KANAK (Studi Multi Kasus di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha)
Teaching and learning activity is the main process of education in kindergarten. Curriculum and learning management in this case is directed to create a neat and tidy learning situation. A principal or a headmaster is responsible for a good management of curriculum as well as good learning in order to create a teaching and learning process which is easy to plan, to organize, to conduct, and to evaluate.In the teaching and learning activities in a kindergarten, learning approaches play very important role in delivering learning materials to students. One of the approaches is Beyond Centers and Circle Time (BBCT). It is concepts in which teachers present a real world to classrooms and help students make relationship between their knowledge and the application in their daily life context (Depdiknas, 2005). The focus of this study is the curriculum and centre-learning management in the kindergarten. The specific problems are: (1) how is the planning of centrelearning in Pembina Banjarbaru State Kindergarten and Fantasha Banjarbaru Kindergarten, (2) how is the organization of centre-learning in Pembina Banjarbaru State Kindergarten and Fantasha Banjarbaru Kindergarten, (3) how is the application of centre-learning in Pembina Banjarbaru State Kindergarten and Fantasha Banjarbaru Kindergarten, and (4) how is the observation on centrelearning program in Pembina Banjarbaru State Kindergarten and Fantasha Banjarbaru Kindergarten. This study uses qualitative approach multi case because it has two research and two different settings. The data collection takes three ways: (1) deep interview, (2) observation-passive participation, (3) documentation. The informant is taken by using snowball sampling. The data collected is analyzed qualitatively: (a) data reduction, (b) data presentation,(c) conclusion, (d) data analysis on individual case, (e) data analysis on the whole case. In order to get reliable data, the following criteria are conducted:(1) credibility, (2) dependability, and (3) confirmability. The result of the study show that the curriculum and centre-learning management in kindergarten is an effort done by the schools in order to create effective and efficient teaching and learning process. The effectiveness and the efficiency of the learning can be seen from the application of the curriculum and centre-learning management as follows: first, the planning of centre-learning which consists of (1) curriculum development, the development must be based on the objectives of education in kindergarten; 2004 and school-based curriculum, (2) curriculum developer team; it is formed in the beginning of each semester to make program for each semester and weekly program, and (3) learning program arrangement which consists of the arrangement of program semester, weekly program, and daily program. Second, the organization of centre-learning consists of: (1) the dividing of teachers’ duty which consists of centre-teacher and representative of group teacher; (2) group classroom management which is managed in form of centre-room or moving class; and (3) schedule centre which is done in turn in order that every group get turn in all centre. Third, the application
2
of centre-learning consists of (1) teaching learning activity: pre activity, whilst activity and post activity; (2) the placing in the centre is rule: environment placing, placing before playing, placing for playing, and placing after playing; (3) the climax of theme which is done after each subtheme by inviting all students’ parents to contribute in case of the fund. Fourth, the centre-learning observation consists of (1) the application of group observation which is done gradually formal or informal; (2) the follow up of the observation individually and in group; and (3) evaluation of learning outcomes of the students which is done the centre teachers and representative teacher of each group. Key words: management, centre-learning Nama Nim Program Studi Angkatan Tanggal Ujian
I.
PENDAHULUAN
A.
Konteks Penelitian
: Zaitun : 106631551533 : Manajemen Pendidikan : 2006 : 8 Januari 2009
Kegiatan belajar mengajar sebagai inti proses pendidikan yang berlangsung di Taman Kanak-kanak. Dalam hal ini manajemen kurikulum dan pembelajaran di Taman Kanak-kanak diarahkan pada upaya penciptaan situasi belajar yang tertib dan teratur. Kepala sekolah bertanggungjawab terhadap manajemen kurikilum dan pembelajaran yang baik agar tercipta proses belajar mengajar yang dengan mudah direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di Taman Kanak-kanak pendekatan pembelajaran memegang peranan yang sangat penting dalam upaya menyampaikan materi bahan ajar pada anak didik, salah satu pendekatan pembelajaran yang baru diterapkan adalah pendekatan pembelajaran sentra atau BCCT (Beyond Centers and Circle Time) yaitu konsep belajar dimana guru-guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong anak didik membuat
3
hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari (Depdiknas, 2005). Pembelajaran sentra atau BCCT lahir dari serangkaian pembahasan di Creative Center for Chilhdhood Research and Training (CCCRT) di Florida, Amerika Serikat. CCCRT meramu kajian teoritik dan pengalaman empirik dari berbagai pendekatan. Dari Montessori, Highscope, Head Start, dan Reggio Emilia, CCCRT dalam kajiannya telah diterapkan di Creative Pre School selama lebih dari 33 tahun (Handoko, 2008). Sedang di Indonesia pembelajaran sentra baru diperkenalkan pada tahun 2003 oleh Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (Depdiknas, 2005). B. Fokus Penelitian 1. Bagaimanakah perencanaan pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru? 2. Bagaimanakah pengorganisasian pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru? 3. Bagaimanakah pelaksanaan pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru? 4. Bagaimanakah pemantauan program pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk memperoleh gambaran mengenai perencanaan pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru. 2. Untuk memperoleh gambaran mengenai pengorganisasian pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru.
4
3. Untuk memperoleh gambaran mengenai pelaksanaan pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru. 4. Untuk memperoleh gambaran mengenai pemantauan program pembelajaran sentra di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru.
II. METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena obyek penelitian berupa proses atau kegiatan atau tindakan beberapa orang dan perlu pengamatan yang mendalam dengan latar yang alami (Bogdan & Bliken, 1998). Pertimbangan lain yang bersifat kualitatif adalah manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra di Taman Kanak-kanak tidak hanya mengungkapkan peristiwa riil yang bisa dikuantitatifkan, tetapi lebih dari itu hasilnya diharapkan dapat mengungkapkan nilai yang tersembunyi dari peristiwa tersebut. Rancangan penelitian ini menggunakan rancangan studi multi kasus (multi case studies). Hal ini berdasarkan atas pendapat Yin (1984) yang menyatakan bahwa apabila pokok pertanyaan penelitian berkenaan dengan ’’how’’ dan ’’why’’, serta berkaitan dengan lebih dari dua kasus, maka penelitian tersebut harus menggunakan rancangan studi multi kasus. Dengan kata lain, jika peneliti menkaji dua atau lebih subyek, latar atau tempat penyimpanan data, maka apa yang dikerjakan itu adalah studi multi kasus (Bogdan & Biklen, 1982). Dalam penelitian ini, menggunakan metode studi kasus perbandingan (comparative case studies) yang disarankan oleh Bogdan dan Biklen, (1982). Peneliti membandingkan dan mempertentangkan (compared and contrasted) temuan-temuan konseptual pada masing-masing kasus individu untuk disusun
5
pernyataan konseptual atau preposisi lintas kasus dan teori substantif sebagai temuan akhir. B. Prosedur Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif, sebagaimana dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1998). Bahwa untuk memperoleh data secara holistic dan integrative, maka teknik pengumpulan data yang lazim digunakan yaitu; (1) wawancara mendalam (indepth interviewing); (2) observasi partisipan (participant observation); dan (3) studi dokumentasi (study of documents). C. Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik induktif, konseptualistik dalam arti informasi-informasi empiris yang diperoleh, dan dibangun dengan konsep-konsep atau proposisi-proposisi kearah pengembangan suatu teori substantif. Menurut Miles dan Huberman (1992) bahwa metode analisis data kualitatif melaui tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, penyajian data dan penarikan kesimpulan atau verifikasi data. D. Pengecekkan Keabsahan Data Dalam penelitian kualitatif pengecekan keabsahan data penting agar memperoleh temuan penelitian yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, pengecekan keabsahan data pada dasarnya sangat penting dan tidak terpisahkan dari penelitian kualitatif. Ada tiga teknik pengujian keabsahan data yaitu: (1) kredibilitas; (2) dependenitas; dan (3) konfirmabilitas.
III. HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian di TK Negeri Pembina Banjarbaru 1. Perencanaan Pembelajaran Sentra
6
a. Pengembangan Kurikulum 1. Memperhatikan tujuan dari pendidikan Taman Kanak-kanak. 2. Menggunakan Kurikulum TK 2004 Departemen Pendidikan Nasional. 3. Menggunakan Kurikulum Muatan Sekolah yang dibuat berdasarkan kebutuhan anak didik, berisi materi Agama Islam, Bahasa Inggris dan materi yang dikembangkan berdasarkan kegiatan pembelajaran sentra. b. Tim Pengembang Kurikulum 1. Dibentuk pada tiap awal tahun ajaran dan pada setiap semester dengan mengadakan rapat kerja untuk menyusun program pembelajaran yang terdiri dari program semester dan program kegiatan mingguan. 2. Kepala sekolah sebagai ketua tim ketua yang bertanggungjawab untuk memberdayakan Tim Pengembang Kurikulum. 3. Anggota tim dipilih dari guru-guru yang memiliki kemampuan dan minat yang lebih terhadap sentra yang akan dikembangkan. Anggota tim atau koordinator sentra bertugas menyusun program pembelajaran. c. Penyusunan Program Pembelajaran 1. Pembuatan program semester. 2. Pembuatan program kegiatan mingguan dengan menggunakan model Jaring Laba-Laba. 3. Pembuatan program kegiatan harian menggunakan model Satuan Kegiatan Pembelajaran Sentra. 2. Pengorganisasian Pembelajaran Sentra a. Pembagian Tugas Guru
7
1. Kepala sekolah membagi tugas guru dalam pembelajaran sentra terdiri dari guru sentra dan guru wali kelompok. 2. Tugas guru sentra, yaitu bertanggungjawab terhadap sentra yang dipegangnya termasuk didalamnya menata sentra sesuai dengan tema, pembuatan program pembelajaran dan melaksanakan proses pembelajaran. 3. Tugas guru wali kelompok yaitu membuat administrasi kelompok, menjalin hubungan dengan orang tua, membuat rangkuman penilaian hasil belajar serta membantu guru sentra dalam kegiatan pembuatan dan pelaksanakan program pembelajaran sentra. b. Pengaturan Ruang Kelompok 1. Ruang kelompok diatur dengan sistem ruang sentra atau moving class. Dalam satu ruang hanya terdapat satu sentra pembelajaran dan yang bertanggung jawab adalah guru sentra yang sudah ditunjuk oleh kepala sekolah. 2. Untuk kegiatan belajar mengajar pada tahun pelajaran 2007/2008 dikembangkan menjadi 7 (tujuh) sentra, yaitu: Pertama, Sentra Ibadah khusus bagi yang beragama Islam. Kedua, Sentra Persiapan. Ketiga, Sentra Balok. Keempat, Sentra Seni/Kreatifitas. Kelima, Sentra Main Peran. Keenam, Sentra Bahan Alam. Ketujuh, adalah Sentra Musik/Olah Tubuh. c. Penyusunan Jadwal Sentra 1. Jadwal sentra yang disusun oleh sekolah diatur berdasarkan sentra yang dikembangkan (7 sentra). 2. Jadwal sentra disusun dengan memperhatikan kebutuhan anak didik.
8
3. Jadwal kegiatan sentra dibuat secara bergiliran, sehingga setiap kelompok mendapatkan jadwal kegiatan belajar disemua sentra. 4. Untuk memperlancar kegiatan pembelajaran sentra, pihak sekolah melibatkan orangtua dalam membantu anak didik untuk mengingatkan jadwal sentra. 3. Pelaksanan Pembelajaran Sentra a. Kegiatan Belajar Mengajar 1. Dalam pelaksanaan pembelajaran sentra ada 3 (tiga) kegiatan dalam proses belajar mengajar, yaitu kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. 2. Peran guru sentra, yaitu memyampaikan kegiatan inti, menilai hasil belajar anak didik dan bersama dengan guru wali kelompok menyampaikan kegiatan penutup. 3. Guru wali kelompok tugasnya dalam proses pembelajaran adalah menyampaikan kegiatan pendahuluan dan membuat rekap penilaian hasil belajar anak didik. b. Pijakan dalam Sentra 1. Pijakan-pijakan dalam pembelajaran sentra merupakan aturan yang harus dilaksanakan agar proses belajar mengajar bisa berjalan dengan lancer. 2. Pijakan lingkungan berupa kegiatan menata lingkungan yang disesuaikan dengan intensitas dan densitas. 3. Dalam pelaksanaan pembelajaran sentra ada beberapa pijakan yaitu: (1) pijakan lingkungan; (2) pijakan sebelum main; (3) pijakan saat main; dan (4) pijakan setelah main.
9
c. Puncak tema 1. Kegiatan puncak tema dirancang agar pembelajaran menyenangkan dan menarik bagi anak didik. 2. Dilaksanakan setiap sub tema selesai disampaikan. 3. Melibatkan orangtua untuk memberikan dukungan dana. 4. Pemantauan Program Pembelajaran Sentra a. Observasi Kelompok 1. Observasi kelompok ini dilaksanakan secara berkala dan terjadwal. 2. Observasi kelompok yang dilakukan oleh kepala sekolah ada dua macam, yaitu formal dan informal. 3. Observasi formal, yaitu berkunjung ke ruang sentra untuk mengamati guru sedang mengajar. 4. Observasi informal, yaitu observasi kelompok terhadap guru dilaksanakan tidak terjadwal dengan cara mengamati guru yang sedang mengajar dari luar ruangan. b. Melaksanakan Tindak Lanjut 1. Tindak lanjut hasil observasi yang bersifat individual dilakukan oleh kepala sekolah dengan memanggil guru yang bersangkutan. 2. Tindak lanjut hasil observasi yang bersifat kelompok dibahas dalam pertemuan hari Sabtu melalui rapat, kepala sekolah dan dewan guru mencari solusi dari masalah yang dihadapi oleh guru. 3. Masukkan dari guru wali kelompok membantu guru sentra dalam upaya memperbaiki pembelajaran, demikian pula sebaliknya masukkan dari guru sentra kepada guru wali kelompok.
10
c. Evaluasi Hasil Belajar Anak Didik 1. Penilaian hasil belajar anak didik dilakukan oleh guru sentra dan guru wali kelompok, hasil penilaian belajar anak didik direkam dalam buku Penilaian Hasil Belajar Anak Didik. 2. Penilaian terhadap anak didik juga dilaksanakan pada pertemuan setiap hari Sabtu, masukkan dari masing-masing guru sentra terhadap anak didik sangat membantu guru wali kelompok dalam membuat penilaian hasil belajar anak didik. 3. Tolak ukur keberhasilan pembelajaran sentra apabila anak didik dapat belajar dari pengalamannya kemudian mencoba melakukan atau menemukan sendiri. B. Hasil Penelitian di TK Fantasha Banjarbaru 1. Perencanaan Pembelajaran Sentra a. Pengembangan Kurikulum 1. TK Fantasha Banjarbaru dalam menyusun program pembelajaran sentra menggunakan Kurikulum Taman Kanak-kanak 2004 dari Departemen Pendidikan Nasional sebagai pedoman pembelajaran dan model KTSP yang diintegrasikan dengan pembelajaran sentra. 2. Kurikulum yang digunakan TK Fantasha Banjarbaru dibuat berdasarkan kebutuhan anak didik, berisi materi Agama Islam, Bahasa Inggris dan mengembangkan indikator sesuai dengan kegiatan pembelajaran sentra yang diluar dari indikator yang ada dalam Kurikulum 2004. b. Pembentukkan Tim Sentra
11
1. TK Fantasha membentuk Tim Sentra yang terdiri dari guru sentra dan bertugas membuat program semerter, Tim Sentra melibatkan juga guru wali kelompok. 2. Program semerter dibuat pada awal semester, kira-kira 2 (dua) hari menjelang awal semester. 3. Program mingguan dan harian dibuat pada setiap hari Sabtu setelah anak didik pulang sekolah, guru sentra dan guru wali kelompok bersama-sama menyusun program pembelajaran mingguan dan harian. c. Penyusunan Program Pembelajaran 1. Penyusunan program pembelajaran sentra di TK Fantasha Banjarbaru dikerjakan bersama-sama antara kepala sekolah, guru sentra dan guru wali kelompok. 2. Program pembelajaran yang disusun terdiri dari: (1) program semerter; (2) program kegiatan mingguan; (3) dan program kegiatan harian. 3. Menggunakan model KTSP tidak ada perbedaan yang mendasar, hanya formatnya saja yang berbeda menggunakan model KTSP. 2. Pengorganisasian Pembelajaran Sentra a. Pembagian Tugas Guru 1. Dalam membagi tugas guru dalam mengajar berdasarkan latar belakang pendidikan dan kemampuan guru dalam memahami pembelajaran sentra. 2. Pembagaian tugas guru di TK Fantashan terbagi dua yaitu ada guru yang bertugas sebagai guru sentra dan guru wali kelompok. 3. Pembagian tugas sebagai guru sentra didasarkan minat, bakat dan kemampuannya dalam pembelajaran sentra sedang untuk guru wali
12
kelompok dilihat dari kemampuan guru dalam mengasuh anak didik dan berkomunikasi dengan orang tua. 4. Tugas guru wali kelompok yaitu bertanggungjawab khusus untuk administrasi kelompok dan anak didik, sedangkan tugas guru sentra bertanggung jawab merancang pembelajaran sentra dan melaksanakan pembelajaran sentra. b. Pengaturan Ruang Sentra 1. Pengaturan ruang dalam pembelajaran sentra di TK Fantasha Banjarbaru menggunakan sistem ruang sentra atau moving class. 2. Setiap satu ruang hanya terdiri dari satu sentra, kecuali untuk sentra bahan alam disatukan dengan sentra seni karena belum tersedia ruang khusus untuk sentra bahan alam. 3. Dengan sistem ini akan memberikan kebebasan bagi guru sentra untuk mengembangkan sentra pembelajaran sesuai dengan kebutuhan anak didik. c. Jadwal Sentra 1. Jadwal sentra yang disusun oleh sekolah diatur berdasarkan sentra yang dikembangkan dan jadwal sentra disusun dengan memperhatikan kebutuhan anak didik. 2. Jadwal sentra di TK Fantasha disusun berdasarkan kelompok yang ada, setiap kelompok dalam satu hari mendapatkan satu sentra. 3. Ada tujuh sentra yang dikembangkan dan anak didik bergiliran mendapatkan kesempatan berada di sentra-sentra pembelajaran tersebut. 3.
Pelaksanan Pembelajaran Sentra
a. Kegiatan Belajar Mengajar
13
1. Dalam pelaksanaan pembelajaran sentra terdapat tiga kegiatan, yaitu kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Kegiatan ini menjadi tanggungjawab guru sentra dan guru wali kelompok. 2. TK Fantasha Banjarbaru berupaya mengembangkan kegiatan belajar mengajar dan diharapkan program pembelajaran sentra dapat terlaksana sesuai dengan tujuan sekolah. b. Pijakan dalam Sentra 1. Pijakan dalam pelaksanaan pembelajaran sentra merupakan aturan yang harus dilaksanakan agar pembelajaran sentra dapat terlaksana dengan baik. 2. Pijakan dalam kegiatan pembelajaran sentra terdiri dari pijakan lingkungan, sebelum main, saat main dan sesudah main. 3. Dengan adanya aturan yang baik diharapkan kegiatan yang sudah dirancang oleh guru dapat terlaksana dengan maksimal. c. Puncak Tema 1. Kegiatan puncak tema di TK Fantasha Banjarbaru, pihak sekolah melibatkan orangtua anak didik untuk memberikan dukungan moral maupun material. 2. Kerlibatan orangtua dalam mendukung kegiatan pembelajaran sentra cukup besar, antara lain: membantu dana untuk kegiatan puncak tema. 4.
Pemantauan Program Pembelajaran Sentra
a. Observasi Kelompok 1. Observasi kelompok dilaksanakan oleh kepala sekolah secara berkala dan terjadwal.
14
2. Pelaksanaan observasi kelompok oleh kepala sekolah dilaksanakan secara langsung dan tidak langsung baik untuk guru sentra maupun guru wali kelompok. 3. Observasi langsung dilaksanakan dengan cara kepala sekolah berkunjung ke ruang sentra mengamati guru yang sedang mengajar. 4. Observasi kelompok yang tidak langsung dilaksanakan oleh kepala sekolah dengan cara berada diluar ruang sentra mengamati guru mengajar. b. Tindak Lanjut Observasi 1. Tindak lanjut dilaksanakan berdasarkan hasil observasi kelompok, hasil observasi berupa saran atau kritik tersebut dimasukkan ke dalam buku observasi kelompok. 2. Masalah yang bersifat perorangan kepala sekolah langsung memanggil guru tersebut untuk membicarakan masalahnya dan mencarikan solusi pemecahan masalah. 3. Masalah yang bersifat kelompok disampaikan kepala sekolah pada pertemuan rutin setiap hari Sabtu melalui rapat sekolah, untuk bersamasama mencarikan solusi terhadap masalah yang sedang dihadapi. c. Evaluasi Hasil Belajar Anak Didik 1. Penilaian hasil belajar anak didik menjadi tugas guru sentra dan guru wali kelompok. 2. Guru sentra memberikan nilai hasil belajar anak didik, kemudian oleh guru wali kelompok dibuat rekap nilai hasil belajar anak didik.
15
3. Apabila ada masalah pada hasil belajar anak didik yang kurang baik, maka pada pertemuan hari Sabtu akan dibahas dengan guru-guru sentra yang lain. 4. Masukkan dari guru-guru sentra sangat membantu guru wali kelompok dalam memberikan penilaian perkembangan hasil belajar anak didik.
IV. PEMBAHASAN HASIL A. Pembahasan Perbandingan Antar Kasus dalam Perencanaan Pembelajaran Sentra Dalam perencanaan pembelajaran sentra TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan. Persamaan yang ada bahwa kedua TK tersebut sama-sama menggunakan Kurikulum 2004 sebagai pedoman pembelajaran. Adapun perbedaanya pada Kurikulum Muatan Sekolah pada materi sentra, TK Negeri Pembina Banjarbaru menyusun materi sentra berdasarkan kegiatan pembelajaran sentra yang akan dikembangkan. Sedangkan TK Fantasha Banjarbaru menyusun materi sentra berdasarkan pengembangkan indikator diluar dari indikator yang ada dalam Kurikulum 2004. Perbedaan lain adalah TK Fantasha Banjarbaru pada penyusunan program pembelajaran menggunakan model KTSP. Perbandingan kedua TK tersebut secara rinci terdapat pada tabel berikut: Dari perbandingan kedua TK tersebut pada aspek perencanaan pembelajaran sentra sebagai temuan penelitian meliputi: (1) pengembangan kurikulum; (2) tim pengembang kurikulum; dan (3) penyusunan program pembelajaran. Hal ini sejalan dengan pendapat Bafadal (2006) bahwa kegiatan dalam perencanaan pembelajaran yaitu: (1) analisis materi pelajaran;
16
(2) penyusunan kalender pendidikan; (3) penyusunan program tahunan dengan memperhatikan kalender pendidikan dan hasil analisis materi pelajaran; (4) penyusunan program caturwulan atau semester berdasarkan program tahunan yang telah disusun; (5) penyusunan program satuan. B. Pembahasan Perbandingan Antar Kasus dalam Pengorganisasian Pembelajaran Sentra Dalam pengorganisasian pembelajaran sentra TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan. Persamaan yang ada bahwa kedua TK dalam pembagian tugas guru ada guru sentra dan guru wali kelompok, menggunakan sistem ruang sentra dan dalam pembagian jadwal sentra. Adapun perbedaanya pada TK Negeri Pembina Banjarbaru dalam hal jadwal sentra melibatkan orangtua untuk mengingatkan anak didik jadwal kelompoknya. Perbedaan yang lain adalah pada TK Fantasha Banjarbaru pembagian tugas guru berdasarakan latar belakang pendidikan. Kegiatan dalam pengorganisasian pembelajaran sentra yang dilaksanakan di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru meliputi: (1) pembagian tugas guru; (2) pengaturan ruang kelompok; dan (3) penyusunan jadwal sentra. Hal sejalan dengan pendapat Fatah (2006) pengorganisasian sebagai proses membagi kerja ke dalam tugas-tugas yang lebih kecil, membebankan tugas-tugas itu kepada orang yang sesuai dengan kemampuannya, dam mengalokasikan sumber daya, serta mengkoordinasikannya dalam rangka efektivitas pencapai tujuan. Selain itu pengorganisasian merupakan proses pengelompokkan semua tugas, tanggung jawab, wewenang, dan komponen dalam proses kerjasama
17
sehingga tercipta suatu sistem yang baik dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam perencanaan. C. Pembahasan Perbandingan Antar Kasus dalam Pelaksanaan Pembelajaran Sentra Dalam pelaksanaan pembelajaran sentra TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru memiliki sejumlah persamaan dan perbedaan. Persamaan yang ada bahwa kedua TK dalam kegiatan belajar mengajar terdiri dari kegiatan pembukaan, kegiatan inti dan kegiatan penutup. Kemudian adanya pijakan sebagai aturan dalam pembelajaran sentra. Perbedaan yang jelas pada kegiatan puncak tema, terdapat perbedaan kegiatan dan pelibatan orangtua dalam memberikan dana untuk kegiatan puncak tema. Kegiatan dalam pelaksanaan pembelajaran sentra yang dilaksanakan di TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru meliputi: (1) kegiatan belajar mengajar; (2) pijakan dalam sentra; dan (3) puncak tema. Kegiatan dalam pelaksanaan pembelajaran sejalan dengan pendapat Bafadal (2006) bahwa dalam pelaksanaan pembelajaran terdapat beberapa kegiatan sebagai berikut: (1) pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan tahun ajaran baru; (2) pelaksanaan kegiatan pembelajaran; (3) pelaksanaan kegiatan bimbingan dan penyuluhan; (4) supervisi pelaksanaan pembelajaran; dan (5) supervisi pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan. D. Pembahasan Perbandingan Antar Kasus dalam Pemantauan Progaram Pembelajaran Sentra Dalam pemantauan program pembelajaran sentra TK Negeri Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru memiliki banyak persamaan. Persamaan
18
yang ada bahwa kedua TK dalam pelaksanaan pemantauan program pembelajaran sentra menggunakan observasi kelompok, mengadakan tindak lanjut setelah dilaksanakannya observasi kelompok dan melaksanakan evaluasi hasil belajar anak didik. Perbedaan yang nampak hanya pada format observasi dan format penilaian anak didik yang disesuaikan dengan kebutuhan sekolah masing-masing. Pemantauan program pembelajaran sentra yang dilaksanakan di TK Negeri
Pembina Banjarbaru dan TK Fantasha Banjarbaru meliputi: (1) observasi kelompok; (2) tindak lanjut; dan (3) evaluasi hasil belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Bafadal (2006) menyatakan bahwa kegiatan pengawasan pembelajaran sebagai berikut: (1) supervisi pelaksanaan pembelajaran; (2) supervisi pelaksanan bimbingan dan penyuluhan; (3) evaluasi proses dan hasil kegiatan pembelajaran; dan (4) evaluasi proses dan hasil kegiatan pembelajaran; (5) evaluasi proses dan hasil kegiatan bimbingan dan penyuluhan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra di Taman Kanak-kanak merupakan usaha yang dilakukan oleh sekolah dalam rangka terciptanya proses belajar mengajar yang efektif dan efesien. Efektivitas dan efesiensi pembelajaran tersebut dapat dilihat dari pelaksanaan manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra sebagai berikut: Pertama, perencanaan pembelajaran sentra, terdiri atas: (1) pengembangan kurikulum; (2) tim pengembang kurikulum; dan (3) penyusunan program pembelajaran. Kedua, pengorganisasian pembelajaran sentra, terdiri atas:(1) pembagian tugas guru; (2) pengaturan ruang kelompok; dan (3) penyusunan jadwal sentra. Ketiga, pelaksanaan pembelajaran sentra, terdiri
19
atas: (1) kegiatan belajar mengajar; (2) pijakan dalam sentra; (3) puncak tema. Keempat, pemantauan program pembelajaran sentra, terdiri atas: (1) pelaksanaan observasi kelompok; (2) tindak lanjut hasil observasi; dan (3) evaluasi hasil belajar anak didik. B. Saran-saran Pertama, bagi Dinas Pendidikan Kota Banjarbaru, hendaknya dapat mensosialisasikan pelaksanaan manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra kepada seluruh Taman Kanak-kanak di Kota Banjarbaru, agar para kepala sekolah dan guru mampu dan bisa menerapkan pembelajaran sentra dengan baik. Kedua, bagi GOPTKI Kota Banjarbaru, kiranya memberikan dukungan kepada sekolah dalam penerapan pembelajaran sentra. Berupa pengadaan sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam pembelajaran sentra. Ketiga, bagi IGTKI Kota Banjarbaru, hendaknya dapat mengadakan pelatihan bagi kepala sekolah dan guru Taman Kanak-kanak mengenai pelaksanaan manajemen kurikulum dan pembelajaran sentra di Taman kanak-kanak. Keempat, bagi kepala sekolah, kiranya lebih meningkatkan pelaksanaan pemantauan program pembelajaran sentra lebih intensif, sehingga kelemahan-kelemahan dalam pembelajaran sentra dapat segera dicarikan solusinya. Kelima, bagi para peneliti selanjutnya, kiranya dapat melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pembelajaran sentra di TK misalnya mengenai kepemimpinan dalam pembelajaran sentra di Taman Kanakkanak.
20
DAFTAR RUJUKAN
Bafadal, I. 2005. Manajemen dan Supervisi Taman Kanak-kanak. Jakarta: Bumi Aksara. Bafadal, I. 2006. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar. Jakarta: Bumi Aksara. Bogdan R.C. & Biklen, S.K. 1982. Qualitative Research For Education An Introduction to Theory and Methodes. Needham Height, MA: Allyn Bacon. Inc. Bogdan, R.C. & Taylor,S.J. 1992. Pengantar Pendidikan Kualitatif (alih Bahasa Arief Furchan). Surabaya: Usaha Nasional. Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Lebih Jauh Tentang Sentra dan Saat Lingkaran. Jakarta: Direktorat PAUD, Ditjen PLSP. Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Materi Diklat PCP BCCT. Yogyakarta: Direktorat PAUD, Ditjen PLSP. Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah : Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta: Dirjen Dikdasmen. Fattah, N. 2008. Landasan Manajemen Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya. Handoko. 2008. Mengajar dengan Sentra dan Lingkaran. (Online), (http://www. pena pendidikan.com, diakses tanggal 7 Juni 2008) Lincoln, Y.S & Guba, E.G. 1985. Naturalistic inquiry. Beverly Hill: SAGE Publication, Inc. Miles, M.B. & Huberman A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif (Penerjemah Rohidi, R.T). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Pedoman Penulisan karya Ilmiah : Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, dan Laporan Penelitian. 2004. Ed. 4. Penerbit Universitas Negeri Malang. Yin, R.K. 1994. Case Study Research Design and Methods. Sam Franscisco, California: Sagg Publication, Inc.
21