Pelaksanaan Kursus Pra Nikah Sebagai Pendidikan Non Formal Melalui Pendekatan Psikologi Perkawinan Di Bp4 Kota Pariaman Afrinaldi1, Ruslin Amir2, M.Arif3 Faculty of Tarbiyah and Education State Islamic Institut(IAIN), Bukittinggi, INDONESIA. 2, 3 Faculty of Education National University of Malaysia, MALAYSIA
[email protected],
[email protected],
[email protected] 1
ABSTRACT The aim of this article is to discuss about the premarital course conducted by BP4 Pariaman City by using psychology of marriage approach. In order to achieve the life of marriage which is peaceful (sakinnah), loving (mawaddah), and full of affection (warahmah) or mostly known as SAMARA, premarital course has been carried out for 4 years in Pariaman starting in 2011 until now. The policy of the major in Pariaman by issuing the decree or “SK SATGAS”, “Pariaman is heading to Sakinah City” had been launched since 2013. One of the indicators used in achieving Sakinah city, formulated in a meeting between BP4 and the local government is conducting a premarital course continually and it is the responsibility of BP$ Pariaman. This premarital course is held for 3 days by 13 instructors who are the expert of this matter. In order to make sure that all the material in this course is understood by the participant, the psychology of marriage approach is used. It is expected that the participant (CATIN), are able to understand the stages that they have to undergo in order to achieve SAMARA family. The material in the psychology of marriage is delivered by the process of understanding the definition of SAMARA family, motives in marriage life, stages of marriage, types of marriage, patterns of marriage, the prediction of satisfaction marriage and the successfulness of marriage. If all things mentioned above can be fulfilled, the participant (CATIN) can actually create an harmonious family. When all family in the society are able to apply all important things in this premarital course, it is expected that the decree, “Pariaman is heading to Sakinah City” which is initiated by BP$ and local government will be realized. Keywords: Premarital Course, SAMARA and Marriage Psychology
PENDAHULUAN Dewasa ini kasus tentang kekerasan dalam rumah tangga hampir setiap hari dipertontonkan dimedia elektronik atau media online (televisi, radio, situs diinternet) maupun media cetak (koran, majalah, buletin) sehingga membuat semua orang gerah dan mengecam bahkan ada yang mengutuk aksi anarkis yang tidak bermoral tersebut. Perilaku ini jelas memberi preseden buruk bagi
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2462
perkembangan psikologis anak-anak kita jika melihat dan menyaksikan tayangantayangan anarkis yang dipertontokan secara fulgar itu. Hal itu bisa dilihat dari beberapa kasus seperti: pelecehan seksual, pemerkosaan terhadap anak, kekerasan terhadap anak, eksploitasi anak sebagai tulang punggung keluarga dengan dalih membantu pekerjaan orangtua, penculikan anak, pemukulan suami terhadap istri, kurang berharganya suami dimata istri, suami tidak bertanggung jawab memberikan nafkah keluarga, orangtua mengabaikan pendidikan anak-anak mereka, korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan lain sebagainya. Perilaku ini jelas memberikan dampak buruk dan pengaruh negatif serta luka yang mendalam bagi korban perceraian. Perilaku menyimpang di atas adalah merupakan musuh bangsa dan harus segera diatasi oleh stakeholders terkait. Jika tidak dibina dan dibekali pengetahuan serta skill yang cukup maka akan berdampak kepada disintegrasi bangsa, karena kuatnya sebuah bangsa akan terlihat dari kuatnya bangunan sebuah rumah tangga. Data tentang kekacauan dalam rumah tangga yang berujung dengan perceraian pernah dimuat di dalam majalah bulanan BP4 pusat tahun 2011 dengan judul: “Upaya Mencegah Perceraian Dini” sebagaimana yang diungkap oleh Nasaruddin Umar selaku Dirjen Bimas Islam dan kemudian diangkat menjadi wakil Menteri Agama RI mengatakan: “sekitar 2 juta pasangan menikah setiap tahun, disisi lain 200 ribu pasangan juga bercerai setiap tahun, angka ini mencapai 10% dari jumlah orang yang menikah, tentulah angka ini besar sekali. Dari total perceraian yang terjadi pasangan dengan usia kurang dari 5 tahun (perceraian dini), sehingga berdampak terhadap kehidupan sosial mulai dari krisis harga diri, ekonomi, hingga terhambatnya pendidikan anak-anak”. Fakta ril ini tentu saja membuat semua orang kaget dan mencengangkan banyak kalangan, kemudian satu persatu ada yang terpanggil untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengantisipasi perceraian dini yang sangat tinggi secara nasional itu, setelah diteliti dan ditelusuri dibeberapa kota dan kabupaten yang ada di seluruh wilayah republik Indosesia ternyata ada kota yang melebihi angka nasional tingkat perceraiannnya. Hal ini terungkap dari hasil penelitian Afrinaldi, dkk (2013) melalui program pemberdayaan masyarakat yang dibiayai oleh Kementerian Agama RI (studi kasus di Kota Pariaman), dari temuan data lapangan melalui BP4 Kota Pariaman terungkap: “jumlah pasangan pengantin yang menikah setiap tahunnya adalah lebih kurang 1000 orang. Sedangkan data perceraian di kota Pariaman 12% itu artinya setiap tahunnya ada sekitar 120 orang yang bercerai atau yang gugat cerai di kota Pariaman dan Kabupaten Padang Pariaman”. Kondisi lapangan ini tentulah sangat memprihatinkan dan mencengangkan kita semua, hasil wawancara penulis dengan sekretaris BP4 Kota Pariaman bapak Firtrison Efendi (2014) juga mengurai beberapa hal tentang kasus perceraian yang terjadi pada usia dini: “Setiap bulannya ada sekitar 5-10 orang pasangan yang ingin mengkonsultasikan permasalahan rumah tangganya ke BP4, tapi karena belum ada program lanjutan dari kursus pra-nikah dulu maka kami di BP4 kota hanya memberikan pelayanan informasi dan konsultasi saja, tentu saja hal ini bersifat
2463
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
insidentil dan mendadak, jadi penangangan kasusnya juga insidentil dan tergesagesa. Artinya penanganan kasusnya sangat tidak efektif karena tidak tersedianya dana untuk kegiatan demikian, akhirnya dengan segala keterbatasan kami dari BP4 kota tetap memberikan pelayanan tapi tentu saja dengan segala keterbatasan pula. Bahkan akhir-akhir ini kami juga sudah mendapatkan surat resmi dari Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Sosial, Kepala Lembaga Pemasyarakatan, Camat dan Lurah yang intinya meminta bantuan BP4 Kota meyelesaikan konflik rumah tangga beberapa orang staf mereka. Kami dari BP4 kota juga sudah menyampaikan hal ini kepada Walikota Pariaman untuk segera ditindaklanjuti dan diberikan pencerahan agar para PNS di jajaran Pemko tidak mengalami konflik dalam rumah tangga. Untuk menindaklanjuti beberapa surat yang masuk itu, BP4 kota Pariaman menggagas bersama Pemko Pariaman untuk merancang “Pariaman Menuju Kota Sakinah”, pada bulan Mei 2013 Walikota Pariaman telah menerbitkan SK Satgas Pariaman Menuju Kota Sakinah”. Terbitnya SK Walikota tersebut diharapkan BP4 Kota bisa bergerak lebih cepat dan memberikan pelayananan optimal kepada masyarakat, untuk segera melakukan upaya preventif mengantisipasi perceraian pada usia dini. Kami juga berharap agar perguruan tinggi Islam bisa bekerjasama dengan kami untuk bisa memberdayakan alumni peserta kursus pra-nikah ini diberikan pelatihan dalam bentuk program lanjutan agar mereka betul-betul merasakan indahnya kehidupan berumah tangga tanpa harus berakhir dengan kata-kata cerai”. Disadari atau tidak penyebab munculnya masalah ini sebenarnya adalah diawali dari pertengkaran suami istri dalam rumah tangga yang berujung dengan perceraian sehingga berpotensi mengganggu pertumbuhan dan perkembangan psikologis (jiwa) pada usia anak. Semua contoh kasus di atas bisa juga bermula dari tidak berfungsinya (disfungsi) masing-masing anggota keluarga dalam rumah tangga sesuai dengan perannya masing-masing. Perilaku salah peran dari pasangan suami istri (pasutri) juga sangat berdampak fatal terhadap keberlangsungan keharmonisasian intren keluarga, sehingga cita-cita untuk mewujudkan kerukunan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah (SAMARA) hanya tingga tinggal kenangan dan slogan saja. Maka dari itu pemahaman keagamaan dari pasangan suami istri adalah merupakan modal dasar yang tidak bisa ditawar-tawar dalam mengelola kehidupan keluarga yang lebih baik. Biasanya yang menjadi sasaran korban dari kegagalan dalam rumah tangga itu adalah dampak perceraian yang sangat tinggi sering menjadi korban memang tidak dapat dipungkiri, ia telah menjadi salah satu faktor yang memiskinkan mental serta kejiwaan, spiritual bahkan ekonomi rumah tangga. Kondisi seperti ini secara psikologis paling banyak melanda kaum perempuan sebagai akibat dari dampak perceraian, sehingga kaum ibu harus rela menjadi orangtua ganda alias berjuang sendirian mencari nafkah untuk menghidupi anak-anak mereka. (1) Bagi Kaum perempuan kehilangan mata pencaharian jika selama ini hanya bergantung kepada suami, kehilangan semangat untuk mengelola kehidupan rumah tangga yang lebih baik, implikasinya akan berdampak sangat fatal
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2464
terhadap pertumbuhan dan perkembangan psikologis anak. Untuk menanggulangi hal ini, sangat perlu dilakukan penanganan cepat yang serius melalui berbagai upaya dan pemberdayaan, solusi yang ditawarkan adalah melalui penguatan psikologis, bimbingan spiritual dan keterampilan ekonomi untuk membangkitkan semangat kewirausahaan mereka agar tidak terkena virus perceraian pada usia dini. (2) Masyarakat dengan penghasilan serabutan. Seperi wilayah pesisir pantai yang didominasi oleh komunitas pedagang kaki lima ditepi pantai, nelayan, peternak dan petani. Biasanya kebiasaan yang ada sebahagian dari masyarakat pantai selama ini adalah sangat terkenal berkarakter keras, sulit untuk diatur, berbudaya lokal klasik/sulit mengejewantah dengan budaya lain, pola pikir tradisionalis yang dipengaruhi oleh pemahaman agama yang sempit dan ekslusif (tertutup). Upaya dan kerja keras pemerintah untuk mensosialisasikan secara berlahan agar keluarga bisa memahami dan menerima konsep tujuan keluarga sakinah dengan cara mengikuti pelatihan kursus pra-nikah. Rendahnya perhatian pemerintah selama ini dari sisi materil/pendanaan atau lembaga swadaya masyarakat yang mau mendampingi mereka agar program keluarga sakinah bisa diwujudkan secara berkelanjutan atau bertahap tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengikuti kursus pra-nikah. Loyalitas dan keinginan yang kuat inilah yang harus kita apresisasi dan didorong terus agar mereka tetap konsisten dan istiqamah dalam mengikuti program lanjutan. Melihat permasalahan yang begitu serius terkait persoalan di atas, maka pemerintah diminta untuk segera mengambil langkah-langkah yang tepat dengan mengambil kebijakan srategis mencari jalan keluar (way out) agar permasalahan ini bisa secepatnya diatasi dan dicarikan solusinya secara cepat. Dalam tulisan ini penulis mencoba untuk melakukan tawaran dengan memberdayakan fungsi BP4 secara porposional dan profesional dalam manajemen program-program yang sudah direncanakan. Salah satu program andalan selama ini dalam bentuk pendidikan non formal berupa pembekalan atau pelatihan (kursus pra-nikah) terhadap para pasangan calon pengantin (CATIN) sebelum mereka melangsungkan akad pernikahan. Program ini sejalan dengan keinginan Pemerintah Kota Pariaman untuk mewujudkan “Pariaman sebagai Kota Sakinah”. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatatif sehingga data yang dibutuhkan digunakan dengan metode kualitatif. Penelitian ini berlokasi di Badan Penasihatan Pelestarian Perkawinan dan Pernikahan (BP4) Kota Pariaman. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini adalah karena peneliti ingin menemukan jawaban dari pertanyaan penelitian yang sudah diajukan sebelumnya. Sedangkan waktu penelitian di mulai bulan Juli sampai dengan Desember 2014.
2465
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
Sumber data terdiri dari dua yaitu sumber primer yaitu data yang di dapatkan dari sumber pertama disini adalah pengurus inti BP4 Kota Pariaman, Instruktur dan alumni peserta kursus pra-nikah. Sumber skunder adalah sumber kedua yang akan peneliti ambil disini adalah bukti dokumentasi dan data pendukung lainnya. Adapun informannya adalah pengurus inti BP4 dan Instruktur pelatihan kursus pra-nikah. Sedangkan yang menjadi informan kuncinya adalah pengurus inti BP4 (Ketua, Sekretaris) yang lainnya sebagai informan pendukung. Kemudian data dikumpulkan dengan menggunakan beberapa teknik diantaranya sebagai berikut : Wawancara: digunakan untuk memperoleh data tentang peran BP4 Kota Pariaman dalam mewujudkan rumah tangga yang SAMARA melalui pendidikan non formal berupa pelatihan kursus pra-nikah., Observasi: digunakan untuk memperoleh data tentang pelaksanaan kegiatan pendidikan non formal berupa pelatihan kursus pra-nikah yang dilakukan BP4 Kota Pariaman, dan Studi dokumentasi diperlukan sebagai data pendukung dari metode di atas. PEMBAHASAN Berdasarkan data terakhir, jumlah penduduk kota Pariaman adalah 77.480 jiwa, yang terdiri atas 37.682 penduduk laki-laki dan 39.798 jiwa perempuan, dengan luas wilayah 73,36 km2 kepadatan penduduk Kota Pariaman adalah 1.056,16 jiwa per km2. Kecamatan Pariaman Tengah adalah kecamatan dengan kepadatan penduduk tinggi. (BPS Sumbar: 2013). Dikota kecil inilah BP4 Kota Pariaman melaksanakan kegiatan kursus pra nikah selama 3 hari (jum’at, sabtu dan minggu) yang dibimbing oleh 13 instruktur yang ahli dibidangnya. Kegiatan kursus ini sudah berjalan semenjak tahun 2011 yang lalu sampai sekarang tahun 2015. Hasil dari data dokumentasi yang didapati di kantor BP4 Kota Pariaman: alumni kursus CATIN yang sudah tercatat mengikuti kursus pra nikah pada tahun 2011 sebanyak 677 orang, tahun 2012 sebanyak 1128 orang, tahun 2013 sebanyak 303 orang, tahun 2014 sebanyak 724 orang, sehingga total jumlah peserta yang sudah mengikuti kursus pra nikah sebanyak 2.832 orang atau sudah 82 angkatan. Hasil observasi dilapangan ditemui: BP4 kota Pariaman sebagai pelaksana sudah melakukan kontribusinya dalam menjalankan kegiatan kursus, namun disisi lain management dalam pengelolaannya masih perlu pembenahan dan peningkatan pelayanan. Hal ini diperkuat melalui wawancara yang penulis lakukan kepada alumni kursus pra-nikah mereka menyampaikan harapannya agar programprogram yang ditawarkan materinya lebih berbobot, pemateri atau instrukturnya tidak menegangkan (sangat serius), kalau bisa diselingi juga dengan humoris, disamping pengelolaan atau manajemen organisasi BP4 harus ditingkatkan pelayanannya. Lebih lanjut beliau juga berharap kedepan harus ada program lanjutan yang bisa diwujudkan sehingga mereka memiliki pengetahuan yang luas tentang psikologi keluarga, pengetahuan spritual (agama) dan semangat
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2466
berwirausaha sebagai modal untuk tetap menjaga kesucian dan kesakralan pernikahan yang telah mereka jalani beberapa tahun ini. Hasil observasi dilapangan melalui instruktur BP4 Kota pariaman untuk mewujudkan rumah tangga SAMARA memakai metode kursus pra-nikah ini diyakini cukup efektif untuk mencegah perceraian dini, hal ini tentu jauh lebih baik daripada memediasi mereka yang sedang bersengketa setelah digugat disidang pengadilan, artinya mencegah (preventif) jauh lebih baik dari pada memberikan penyembuhan (terapi). Karena penyembuhan membutuhkan waktu yang sangat lama. BP4 Kota Pariaman yang telah melakukan sebuah terobosan dengan membuat program pelatihan pra-nikah. Latar belakang kenapa program pelatihan ini digagas dan perlu untuk segera diaplikasikan adalah karena telah terjadinya pergeseran nilai-nilai filosofi adat dan agama ditengah kehidupan keluarga saat ini khususnya bagi mereka yang akan melangsungkan pernikahan. Data lapangan tentang angka perceraian dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan, ini terungkap dari wawancara penulis dengan sekretaris BP4 Kota Pariaman bapak Firtrison Efendi (2014) sebagai berikut: “jumlah pasangan pengantin yang menikah setiap tahunnya adalah lebih kurang 1000 orang. Sedangkan data perceraian di kota Pariaman 12% itu artinya setiap tahunnya ada sekitar 120 orang yang bercerai atau yang gugat cerai di kota Pariaman”. Angka di atas melebihi angka nasional sebagaimana yang dikatakan Nasaruddin Umar (2011) selaku Dirjen Bimas Islam pada saaat itu, terakhir jabatannya pernah menjadi Wakil Menteri Agama RI sebagaimana yang dimuat dalam majalah bulanan BP4 Pusat “sekitar 2 juta pasangan menikah setiap tahun, disisi lain 200 ribu pasangan juga bercerai setiap tahun, angka ini mencapai 10% dari jumlah orang yang menikah, tentulah angka ini besar sekali. Dari total perceraian yang terjadi pasangan dengan usia kurang dari 5 tahun (perceraian dini), sehingga berdampak terhadap kehidupan sosial mulai dari krisis harga diri, ekonomi, hingga terhambatnya pendidikan anak-anak”. Melihat permasalahan yang begitu serius terkait persoalan perceraian di atas, maka pemerintah diharapkan harus bekerjasama dengan lembaga sosial untuk memikul tanggung jawab ini agar jalan keluar (way out) dari permasalahan ini secepat mungkin bisa teratasi. Salah satu tawarannya adalah dengan melakukan berbagai pembekalan terhadap para pasangan calon pengantin (CATIN) sebelum mereka menikah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh BP4 Kota Pariaman sejak tahun 2011 yang lalu sampai sekarang atau lebih kurang sudah berjalan selama 4 tahun. Pengamalan keberagamaan dalam kehidupan berumah tangga adalah merupakan hal yang sangat penting untuk diterapkan. Bagi seorang muslim citacita mewujudkan keluarga sakinah adalah merupakan impian bagi setiap insan. Solusi cerdas dalam mengantisipasi perceraian dini adalah memberikan perbekalan diri bagi calon pengantin agar pengamalan agama yang komprehensif bisa membentuk karakter, kepribadian, watak, dan sikap cerdas bagi pasangan suami istri dalam menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah
2467
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
tangga. Karena motivasi dan semangat saja tentulah tidak cukup untuk menjadi modal kehidupan berumah tangga. Maka dari itu komitmen dan tanggung jawab yang tinggi pasti bisa diwujudkan jika penguatan psikologis, bimbingan spritual dan memiliki keterampilan kewirausahaan bisa dijadikan modal dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Upaya inilah yang akan diberdayakan secara maksimal untuk meminimalisir konflik dan pertengkaran dalam rumah tangga yang sering menjadi momok bagi pasangan usia muda hari ini. Secara teknis pemerintah sebagai pengayom, pelindung, pelayan masyarakat diminta lebih kreatif untuk memberdayakan lembaga swadaya semacam BP4 untuk bisa menggiatkan kegiatan kursus pra-nikah. Langkah konkrit yang harus ditempuh adalah dengan memberikan dukungan moril dan materil kepada BP4 untuk mensosialisasikan program-program pemerintah dalam upaya pengentasan perceraian pada usia dini. Sejalan dengan ini tentu saja partisipasi warga masyarakat demi kesuksesan kegiatan kursus pra-nikah juga harus dilibatkan. Disamping peranserta pemerintah, maka peranserta tokoh masyarakat seperti alim ulama/MUI, tokoh adat, tokoh masyarakat seperti: ormas kepemudaan, ormas keislaman, lembaga adat, perguruan tinggi dan semua stake holders yang terkait juga dilibatkan dalam pemberdayaan masyarakat “sadar rukun berumah tangga dan anti perceraian”. Langkah maju dan semangat besar dari pemerintah harus berbanding lurus dengan persediaan infrastruktur (sumber daya manusia dan sarana prasarana) yang maju pula, karena kalau tidak begitu BP4 akan tetap dipersoalkan, diperdebatkan keberadaannya oleh “mereka-mereka” yang tidak puas, tidak senang dengan kegiatan pembekalan yang telah dilakukan selama ini. Alasan pemerintah belum tersedianya alokasi dana dari APBN/APBD untuk pelaksanaan kursus pra-nikah selama ini harus dirobah “mindset”nya menjadi harus disediakan dananya dari APBN/APBD. Alasannya adalah karena kegiatan kursus pra-nikah merupakan kegiatan pemberdayaan sumber daya manusia, secara konstitusi sejalan dengan semangat Undang-undang Dasar (UUD) tahun 1945 dan dasar negara Pancasila sila ke 5 (Keadilan sosial bagi Seluruh Raknyat Indonesia). Analisa penulis jika pemerintah serius ingin meningkatkan pembangunan sumber daya manusia (Human Development Index) “jangan segan-segan” membuat terobosan dan kebijakan yang pro dengan pemberdayaan potensi kualitas manusia. Kita harus mengapresiasi pemerintah melalui Kementerian Agama RI yang telah melahirkan Peraturan Direktur Jenderal (DIRJEND) Bimbingan Masyarakat (BIMAS) Islam tentang “Kursus Calon Pengantin tahun 2009 Bab III pasal 3 yang merinci tentang “teknis pelaksanaan tugas instruktur kursus pra-nikah” memberikan pengajaran sesuai materi yang ditentukan dalam pelaksanaan kursus pra-nikah oleh BP4. Cuma saja peraturan ini tidak semua daerah yang menindak lanjuti (follow up) dalam bentuk “kebijakan” dan “pendanaan” serta anggran yang jelas dari APBN/APBD, sehingga peraturan ini tidak “terkubur” begitu saja. Jika pemerintah serius ingin menindak lanjuti program kursus pra-nikah ini, maka peraturan ini,
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2468
sudah cukup beralasan untuk dijadikan payung hukum dalam penganggarannya. Apalagi kursus pra-nikah ini menyangkut hajat dan hak hidup orang banyak untuk mendapatkan kehidupan layak, damai, nyaman, tenang, sejahtera dan berkualitas. Memperhatikan dan menelaah materi-materi yang ditawarkan dalam peraturan ini, kita sangat yakin (haqqul yaqiin) pencegahan percerain dini yang selama ini menjadi beban bagi pemerintah akan bisa diatasi secara bertahap. Kenapa kita begitu yakin amanat peraturan DIRJEND BIMAS Islam ini mampu mencegah terjadinya perceraian?, karena materi yang ditawarkan sangat komprehensif, berikut penjabarannya: (1) Peraturan perundang-undangan tentang rumah tangga, (2) Tata cara dan prosedur pencatatan nikah, (3) problematika rumah tangga dan solusinya, (4) Kesehatan reproduksi dan keluarga berencana, (5) Hak dan kewajiban suami istri, (6) Pengetahuan agama, (7) Adat istiadat dalam perkawinan dan rumah tangga, (8) Psikologi perkawinan dan keluarga, (9) Pemeliharaan kesehatan keluarga dan lingkungan, (10) Pembinaan ekonomi keluarga, (11) Bimbingan baca tulis Al-Qur’an, (12) Praktek ibadah, (13) Tata cara pelaksanaan nikah. Jika ini bisa direalisasikan dengan baik secara maksimal maka kekahawatiran akan terjadinya perceraian dini tidak perlu dirisaukan lagi. Tapi karena peraturan ini hanya tinggal peraturan maka tidak heran perceraian dari tahun ketahun selalu mengalami peningkatan diberbagai daerah diseluruh pelosok nusantara. Walaupun peraturan dirjen BIMAS Islam ini belum “membumi” di seluruh nusantara, berbeda halnya dengan kota Pariaman (satu diantara 19 kota dan kabupaten yang ada di Sumatera Barat) sudah merespon dan menindak lanjuti Peraturan DIRJEND BIMAS Islam tersebut dengan melakukan pelatihan kursus pranikah sejak tahun 2011 yang lalu sampai sekarang. Semua materi yang ditawarkan dalam kursus pra-nikah itu merujuk kepada peraturan DIRJEND BIMAS Islam. Adapun narasumbernya diundang dari berbagai unsur sesuai dengan komptensi keahliannya masing-masing. Diantaranya adalah dari Kemenag provinsi dan kota, Perguruan tinggi Agama Islam, Pengadilan Agama, Dinas Kesehatan, MUI, BP2KB, LKAM, BAZ, LPPTQ, Ormas Keagamaan, dan lain-lain. Kegiatan ini dilaksanakan selama 3 hari, yakni pada hari jum’at, sabtu dan minggu, artinya pelaksanaan kegiatan ini dirancang pada waktu libur jam pegawai agar tidak mengganggu kinerja peserta kursus yang akan mengikuti kegiatan. Sekalipun kegiatan BP4 yang kreatif dan inovatif ini tidak sepenuhnya mendapat dukungan moril pemerintah pusat maupun daerah maupun sebahagian masyarakat, tapi kegiatan ini tetap bisa berjalan dengan lancar tanpa ada halangan yang berarti. Upaya untuk melemahkan peran BP4 sering terjadi ditengah masyarakat dengan cara-cara yang tidak sepatutnya terjadi. Sebagai contoh ada yang membangun logika berfikir “seolah-olah kehadiran BP4 dengan program kursus pra-nikahnya sebagai langkah mempersulit pelaksanaan keberlangsungan pernikahan”. Pola pikir semacam ini tentu sajalah tidak benar sama sekali, justru dengan hadirnya BP4 dengan program kursus pra-nikah ini semakin meyakinkan dan
2469
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
menguatkan kita semua bahwa pemerintah daerah melalui BP4 telah berbuat untuk mnyelamatkan generasi muda dan calon pengantin agar terbebas dari ancaman pernikah dini. Bagi mereka yang “berfikir sempit” memang kehadiran BP4 selalu dipermasalahkan dan dipersoalkan, bahkan segala cara akan dilakukan. Katakanlah cara-cara kotor seperti: membalikkan fakta dengan mengadu domba masyarakat awam untuk tidak perlu mengikuti pelatihan kursus pra-nikah, sekalipun ada sebahagian diantara mereka yang terpengaruh dengan tidak mau mengikuti pelatihan kursus pra-nikah dengan berbagai alasan yang dikemukakan seperti: bekerja, tidak ada waktu yang pas, masih dirantau dan lain sebagainya. Namun sebahagian lagi bagi mereka yang berfikir luas dan mengerti faedah dan manfaatnya pelatihan kursus pra-nikah, justru meminta kegiatan ini tetap dipertahankan bahkan ada yang mengusulkan program berkelanjutan dari kegiatan ini harus programkan ke depan. Kelompok yang membrikan dukungan ini merasakan faedah dan manfaat dari pelaksanaan pelatihan kursus pra-nikah yang digagas oleh BP4, sekalipun mereka harus mengeluarkan biaya dari sakunya sendiri. Dari observasi penulis terhadap alumni kursus pra nikah didapati yang bisa menerima program ini adalah mereka yang pada umumnya orang terdidik, kaum intektual, orang terpelajar, paham agama, adat istiadat di masyarakat, sehingga jangkauan pola fikirnya mampu menembus philosofi kenapa penting dan perlunya kegiatan kursus pra-nikah ini diberikan kepada calon pengantin. Kita menyadari keterbatasan sumber daya manusia (SDM) mereka menyebabkan kegiatan pelatihan kursus pra-nikah ini belum mampu mencapai target maksimal yang diharapkan. Hasil wawancara dengan beberapa orang pengurus BP4 dan instruktur terungkap bahwa: kendala utama yang paling dirasakan oleh BP4 kota Pariaman adalah katerbatasan SDM dan tenaga teknis pengurus BP4 maupun fasilitas, dana, ternyata tidak menyulutkan dan memadamkan semangat petugas BP4 untuk melaksanakan kegitan kursus pra-nikah. Sitem multi level atau jaringan berantai dari mulut ke mulut bahkan sampai menyurati pihak berwenang keberbagai instansipun juga dilakukan untuk mensosialisakian kegitan ini. BP4 juga memakai pola pemberdayaan yang dibebankan kepada alumni kursus pra-nikah sebagai corong sosialisasi ditengah masyarakat untuk meyakinkan calon peserta kursus pranikah berikutnya agar wajib mengikuti kursus pra-nikah yang dilaksanakan oleh BP4. Harapan kita ke depan tentu saja pengelolaan (manajemen) BP4 bisa ditingkatkan dan diberi ruang yang luas oleh pemerintah agar bisa bekerja secara maksimal melayani masyarakat. Untuk kelancaran pelaksanaan kursus pra-nikah ini pembiayaan dari pemerintah wajib hukumnya untuk dialokasikan dari APBN/APBD, sehingga BP4 kegiatan kursus pra-nikah ini menjadi bergengsi dan memiliki bernilai jual tinggi. Mengingat kegiatan ini sangat besar sekali faedahnya untuk mengantisipasi konflik rumah tangga dan perceraian dini maka sudah saatnya kita “berbuat” untuk masyarakat, bukan “menghujat”. Jika ini dipahami secara utuh
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2470
maka cita-cita mewujudkan masyarakat madani akan segera bisa terealisasi ditengah-tengah kehidupan kita. Komitmen dan keseriusan pemerintah memang sedang diuji, apakah berani atau tidak mengalokasikan dana melalui APBN/APBD. Sebagai perbandingan untuk pembangunan fisik milyaran bahkan triliunan rupiah bisa dianggarkan, kenapa tidak dengan pembangunan sumber daya manusia (SDM) seperti: kegiatan kursus pranikah ini. Alasan kita mendorong pemerintah untuk menseriusi kegiatan ini adalah semata-mata hanya ingin merindukan masa depan anak-anak kita dikemudian kelak bisa lebih sejahtera. Jika langkah ini yang dilakukan pemerintah pusat maupun didaerah maka kecemasan, kekhawatiran, dan kegalauan semua pihak terkait dengan keutuhan kehidupan berumah tangga tidak perlu lagi dirisaukan seperti sekarang ini. Maka solusi konkritnya adalah keberanian pemerintah di seluruh pelosok nusantara yang mau atau tidak, serius atau tidak menganggarkan kegiatan ini sebagai antisipasi terjadinya perceraian dini ditengah masyarakat. makanya, aksi nyata dari pemerintah pusat maupun daerah dalam bentuk penguatan psikologis dan bimbingan spiritual keagamanyanya bisa diperkuat dan berkelanjutan surplus dengan keterampilan berwirausaha bagi pasangan suami istri yang belum memiliki ketrampilan usaha untuk dapat membangun ekonominya ke arah yang lebih baik, sehingga mereka betul-betul merasakan betapa indahnya kehidupan yang harmonis dalam keluarga bersadarkan kebutuhan psikologis dan spiritualnya. Hasil wawancara penulis dengan beberapa orang alumni kursus pra-nikah bisa dipastikan semua mereka berharap program berkelanjutan bisa diwujudkan oleh pemerintah atau BP4 maupun perguruan tinggi. Ungkapan ini mereka sampaikan setelah merasakan adanya konflik dalam rumah tangga. dulu ketika mengikuti kursus pra-nikah ataupun selepas mengikuti kursus belum terfikirkan apakah program lanjutan diperlukan atau tidak. Tapi setelah melewati kehidupan rumah tangga beberapa bulan bahkan tahun kemudian, ternyata masalah satu persatu mulai menggrogoti kehidupan rumah tangga kami. Mulai dari masalah fisik maupun psikis (kejiwaan) antar pasangan suami istri, memiliki anak maupun tidak memiliki anak, macetnya ekonomi keluarga, dan lain sebagainya. Maka besar sekali harapan kita kepada pemerintah sebagai stakeholders yang paling berperan dalam memberdayakan kegiatan kursus pra-nikah ini dengan berbagai pembekalan/pelatihan untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan masyarakat secara umumnya dan peserta calon pengantin secara khususnya seputar kehidupan rumah tangga yang SAMARA berdasarkan undang-undang dan penguatan keagamaan. Bahkan lebih hebatnya lagi setelah mengikuti pelatihan kursus pra-nikah ini, diharapkan pasangan suami istri bisa diberi kembali pembekalan materi tambahan atau penguatan dalam kehidupan keluarga. Program itu kita namakan dengan program berkelanjutan berupa pelatihan materi penguatan psikologis, penguatan spiritual, penguatan ekonomi keraknyatan yang mampu membentengi kehidupan rumah tangga agar terbebas dari konflik rumah tangga berketerusan.
2471
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
Logika kita mengatakan memang tidaklah mudah memberikan pemahaman yang mendalam tentang materi kehidupan berkeluarga yang ditawarkan selama kursus dalam kurun waktu yang sangat singkat tepatnya selama 3 hari. Oleh sebab itu program keluarga sakinah yang pernah mereka ikuti waktu pelatihan kursus pra-nikah itu perlu dikembangkan dan ditingkatkan pengetahuan dan pemahamannya dengan program pemberdayaan berkelanjutan berupa aksi nyata yang menunjang keterampilan (keahlian). Oleh karena itu, perlu upaya pemberdayaan untuk mengatasi masalah yang mungkin saja akan mereka alami cepat atau lambat. Apalagi sampai sekarang mereka ini belum pernah mendapatkan bantuan bimbingan psikologis, spiritual, dan bimbingan keterampilan ekonomis lanjutan pasca mengikuti kursus pra-nikah oleh stake holders yang ada untuk merealisasikan mimpi menjadi keluarga SAMARA. Penguatan psikologis, bimbingan spritual dan keterampilan kewirausahan yang dilakukan adalah merupakan satu pendekatan humanistik yang harus diberdayakan secara cepat dan praktis untuk mengatasi masalah yang sedang mereka hadapi sekarang. Jika pasangan suami istri yang ingin mengkonsultasikan permasalahannnya ini tidak terlayani atau kurang tepat dalam pemberian bantuan/layanan, maka bisa dipastikan psikologisnya terganggu, jiwanya terancam, perasaan menjadi bimbang dan ragu, bahkan terombang ambing dan kemudian mengambil keputusan tergesagesa alias tidak penuh perhitungan, pertimbangan yang matang dalam mengatasi konflik rumah tangga mereka. Akhirnya persoalan yang sedang mereka alami harus berlabuh di meja pengadilan agama atau bercerai pada usia yang masih sangat muda. Terputusnya pelatihan dan pembinaan lanjutan dari BP4 bagi keluarga sakinah yang pernah mereka terima tentulah sangat memprihatinkan kita semua. Maka salah satu harapan dari BP4 adalah agar kegiatan lanjutan diberikan dalam bentuk pendampingan oleh Pemerintah, LSM, atau lembaga Perguruan Tinggi Agama Islam. Harapan kita ke depan adalah, bagaimana menekan terjadinya perceraian dini bagi pasangan usia muda dengan cara meluaskan pengetahuannya tentang penguatan psikologis dan bimbingan spritual. Bangkitnya semangat wirausaha bagi pasangan keluarga sakinah dari keterpurukan ekonomi sebagai solusi mengantisipasi perceraian usia dini. Menurut tradisi yang ada selama ini ditengah masyarakat biasanya perbedaan itu bermuara kepada konflik rumah tangga yang pada akhirnya berujung dengan perceraian. Karenanya sangatlah penting bagi para pasangan yang akan menikah untuk mempersiapkan pernikahannya dengan baik sehingga dapat mengantisipasi gelombang tsunami pertikaian dan pertengkaran untuk dapat menikmati kebahagiaan sejati dalam pernikahannya dikemudian hari pasca pernikahan. Maka dari itu untuk membantu para CATIN memahami kehidupan rumah tangga yang SAMARA BP4 Kota Pariaman telah mencoba melakukan bimbingan spritual dan bimbingan psikologi perkawinan untuk mendalami berbagai
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2472
permasalhan yang sedang dihadapi para CATIN maupun para keluarga. Pengurus BP4 mencoba melakukan bimbingan psikologis dengan metode memberikan pemahaman tentang konsep psikologi perkawinan kepada para peserta CATIN. Hasil observasi dilapangan ditemui materi-materi yang ditawarkan selama kursus berlangsung sebagai berikut: A.Memahami Makna Psikologi Perkawinan dan Keluarga Menurut Atkinson (1983) Secara etimologi (bahasa) psikologi berasal dari bahasa Yunani yaitu psyche yang artinya jiwa dan logos yang sepadan dengan kata ilmu. Jadi psikologi adalah kajian tentang ilmu jiwa. Sedangkan definisi terminologi (istilah) psikologi memiliki makna yang sangat abstrak dan tidak terukur. Adapun definisi perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 “Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Definisi lain menurut para pakar Lydia Freyani Hawadi dari Olson and deFrain (2006) adalah, Perkawinan “Komitmen emosional dan hukum dari dua orang untuk membagi kedekatan emosional dan fisik, berbagi bermacam tugas dan sumber-sumber ekonomi. Lydia Freyani Hawadi dari Duvall dan Miller (1985) Perkawinan adalah: suatu hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan yang diakui secara sosial, menyediakan hubungan seksual dan pengasuhan anak yang sah, dan didalamnya terjadi pembagian hubungan kerja yang jelas bagi masing-masing pihak baik suami maupun istri. Sementara Santrock (1995) mendefinisikan pernikahan sebagai bersatunya dua individu, tetapi pada kenyataannya adalah persatuan dua sistem keluarga secara keseluruhan dan pembangunan sebuah sistem ketiga yang baru. Zurinal & Aminuddin, (2008) mendefenisikan pernikahan menurut Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan antara laki-laki dengan perempuan, dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi ketentraman dan kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT. Afrinaldi (2011) membuat kesimpulan tentang psikologi perkawinan adalah ilmu yang mengkaji tentang tingkah laku dan kejiwaan pasangan suami istri dalam menjalin sebuah ikatan lahir dan batin untuk membangun komitmen emosional/psikis, sosial, ekonomi, hukum dan pembahagian hubungan kerja yang jelas sesuai peran masing-masing pasangan. Sedangkan definisi keluarga sebagaimana yang dikemukakan Horton dan Hunt (1968) keluarga adalah “Lembaga sosial yang paling dasar”. Menurut Sayekti Pujosuwarno (1994) keluarga adalah ”suatu ikatan persekutuan hidup atas dasar perkawinan anatara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga” Jadi dapat dipahami bahwa keluarga adalah sebuah ikatan sakral anatara dua insan laki-laki dan perempuan yang terhimpun di dalamnya ayah, ibu, atau ada anak, baik
2473
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
anak sendiri atau adopsi dari orang lain serta berkumpul dalam satu wadah yang dikenal dengan istilah rumah tangga. Perkawinan /Pernikahan merupakan salah satu tugas dan kewajiban orang dewasa yang sudah baliqh dan beraqal atau sehat secara fisik dan psikis/mental. Tentunya ini sudah menjadi bagian dari rencana dan dambaan kehidupan umat manusia. Kehidupan pernikahan belum tentu seindah seperti yang dibayangkan dan diharapkan oleh pasangan yang akan menikah sebelum ijab dan qabul ditunaikan oleh calon pengantin, karena bukan pekerjaan mudah untuk menyatukan dua orang insan yang berbeda dari latar belakang berbeda-beda pula, seperti: kebiasaan, minat, watak, tipologi, tingkah laku dan kepribadian yang berbeda pula. Maka dari itu, untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah, waramah (SAMARA) diperlukan knowledge (ilmu pengetahuan), experience (pengalaman) dan skill (keterampilan) tentang penerapan psikologi perkawinan (ilmu tingkah laku dalam perencanaan, pelaksanaan dan pasca pernikahan) dalam kehidupan rumah tangga. Tidaklah berlebihan kiranya, kenapa Dirjend Bimas Islam Kemenag RI memasukkan materi psikologi perkawinan dan keluarga sebagai sub materi yang wajib diikuti oleh peserta kursus CATIN. Karena memang apabila CATIN tidak memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan serta wawasan psikologi perkawinan dan keluarga sebelum melangsungkan pernikahan, maka besar kemungkinan pasca pernikahan aroma konflik semakin menyengat dan menggurita dalam mendayung bahtera kehidupan rumah tangga sehingga ending (akhirnya) berlabuh menuju konflik maha dasyat dan teciptalah kekacauan, saling menuding dan membuka aib masing-masing, meremehkan, menghina, mencaci, kecemburuan, ketegangan, pertengkaran yang tidak berujung, dan keretakan bahkan berpotensi untuk melakukan perceraian. B. Motif Untuk Menempuh Perkawinan Berdasarkan undang-undang Republik Indonesai Nomor I Tahun 1974 menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sururin dan kawan-kawan (2010) sebaimana yang dikutip oleh Zahrotun Nihayah, dkk (2012) menyatakan bahwa pernikahan mempunyai tujuan, diantaranya: (1) Menciptakan ketenangan jiwa bagi suami dan istri, (2) Untuk menyalurkan hasrat biologis sesuai dengan syariat Islam, (3) Menjaga pandangan mata dan menjaga kehormatan diri, (4) Pendewasaan diri bagi pasangan suami istri, (5) Melahirkan generasi yang lebih berkualitas. Menurut Dadang Hawari (2004) Perkawinan bukan semata-mata guna pemenuhan kebutuhan biologis, melainkan yang utama pemenuhan manusia akan kebutuhan afeksional yaitu kebuthan dicintai dan mencintai, rasa kasih saying, rasa aman dan terlindungi, dihargai, diperhatikan dan sejenisnya. Karena apabila perkawinan hanya dilandasi dengan ikatan fisik maka tidak akan menjamin kebahagian.
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2474
Begitu juga halnya dengan Turner dan Helms (1983) sebagaimana yang dikutip Lydia Freyani Hawadi menyebutkan ada dua faktor motif seseorang menikah. Pertama: “faktor pendorong yaitu cinta, konformitas, legitimasi seks dan anak. Kedua: faktor penarik yaitu persahabatan, berbagi rasa dan komunikasi ”. Sebagai manusia yang beragama kita harus mengetahui alasan kenapa kita harus menikah jika telah memenuhi unsusr-unsur syar’i. berikut penjelasannya: (1) Kebutuhan spiritual atau ajaran agama (religi) Islam, dasar hukumnya (Q.S. 24-An Nuur : 32), (Q.S. 30-Ar Ruum : 21), (QS. Asy Syura, 42: 23). (2) Kebutuhan material dan fisiologis/biologis yaitu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan dan penyaluran seksual secara sah untuk mendapatkan keturunan (nasab). (3) Kebutuhan sosial yaitu kebutuhan untuk mendapatkan pegakuan status sosial dari masyarakat untuk menghindarkan fitnah. (4) Kebutuhan psikologis yaitu untuk mendapatkan ketenangan batin, kekuatan cinta, perasaan kasih sayang, ketentraman, kenyamanan, kejujuran, tanggung jawab, saling menghormati, kebersamaan dan komunikasi baik, saling berbagi dan memahami dalam suka dan duka. Perkawinan merupakan ikatan antara pria dan wanita dalam susah dan senang. Pasangan suami-istri yang saling mengasihi tidak hanya merasakan kebersamaan pada saat gembira, tetapi juga ketika berada dalam kesulitan, kesedihan, dan kesakitan. Pasangan yang baik adalah pendamping yang setia, yang bersedia menjadi tempat bersandar ketika duka dan menjadi tempat berteduh ketika hujan dan badai. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Waite dan Gallagher di Amerika menemukan “bahwa memiliki suami atau istri menurunkan resiko tingkat kematian pasien akibat penyakit sampai setara sepuluh tahun lebih muda. Selain itu, mereka juga menyatakan bahwa orang yang menikah memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih baik daripada mereka yang lajang. Hidup perkawinan bukanlah jalan yang selalu lurus dan rata, tetapi seringkali merupakan jalan yang berliku serta penuh tantangan dan berduri. Namun, perjalanan perkawinan tetap akan menyenangkan dan menggairahkan jika pasangan tidak banyak mengeluh, keras kepala, defensif, dan menarik diri dari pasangan” tegas Liche Seniati Chairy (2011). C. Tahap-tahap Perkawinan Duvall dan Miller (1985) menyatakan adanya tujuh tahap perkawinan yang dikaitkannya dengan usia anak, sebagai berikut : (1) Pasangan baru, (2) Keluarga memiliki anak, (3) Keluarga dengan anak usia pra sekolah, (4) Keluarga dengan anak usia sekolah, (5) Keluarga dengan anak usia remaja, (6) Keluarga dengan anak usia dewasa muda, (7) Keluarga dewasa madya, (8) Keluarga lanjut usia. Namun jika dikaitkan dengan peran sebagai orangtua, maka kehidupan perkawinan dapat dibagi dalam empat tahap yaitu : (1) Perkawinan baru, yang relatif sangat singkat dan segera berakhir dengan lahirnya anak pertama, (2) Perkawinan orangtua, berakhir ketika anak tertua memasuki usia remaja, (3) Perkawinan tengah baya, dimulai ketika anak-anak meninggalkan rumah, (4)
2475
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
Perkawinan lanjut usia, diawali pada awal masa pensiun dan berakhir saat salah satu pasangan meninggal dunia. Dapat dipahami betapa pentingnya kehidupan seimbang pada masingmasing fase perkawinan ini, karena mengingat masa usia perkawinan semakin hari menuju pada usia kemandirian dan kematangan. Banyak orang yang gagal dalam menyikapi erbagai persoalan karena tidak mampu melawati masing-masing fase ini secara baik. Bagi pasangan suami istri yang berhasil melewati fase ini maka sebenarnya mereka inilah yang meraih predikat keluarga yang SAMARA. D. Pola-Pola Perkawinan Hal yang masih sangat mendominan di dalam persepsi banyak orang bahwa di dalam lembaga perkawinan, laki-laki adalah pencari nafkah dan istri adalah seseorang yang melahirkan dan mengasuh anak-anak, melayani kebutuhan suami sebaik-baiknya, dan mengatur rumah tangga. Namun seiring dengan perkembangan zaman dimana perempuan dapat mengenyam pendidikan dan bekerja di luar rumah, terjadi pula perubahan nilai dan pola perkawinan. Saat ini menjadi hal yang lumrah jika istri lebih berpenghasilan lebih dari si suami, istri lebih memiliki pendidikan yang tinggi dari suami atau istri memiliki posisi karir yang melampaui suaminya. Berkaitan dengan hal di atas, Ihromi (1999) mengutip Scanzoni dan Scanzoni dalam Lydia Freyani Hawadi, menyebutkan adanya empat pola perkawinan yaitu : (1) Owner Property: Suami sebagai pencari nafkah, dan istri sebagai ibu rumah tangga yang harus tunduk kepada keputusan suami. Status sosial istri bergantung pada status sosial suami. Istri bukan dianggap sebagai pribadi tetapi sebagai barang milik si suami yang harus selalu siap melayani suami walaupun ia tidak menginginkannya. (2). Head Complement: Dalam pola ini walau suami tetap sebagai pencari nafkah, dan si istri mengurus rumah tangga, namun kehidupan perkawinan diatur secara bersama. Istri memiliki hak suara, sehingga hubungan yang terjadi adalah saling melengkapi, berbagi masalah, dan melakukan kegiatan bersama, (3) Senior Junior Partner: Suami dan istri sama-sama bekerja, sehingga si istri tidak sepenuhnya bergantung pada suami meskipun dalam pola ini penghasilan dan karir si suami tetap di atas istrinya. (4). Equal Partner: Suami dan istri dalam posisi duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Tidak ada pihak yang lebih tinggi atau lebih rendah. Setiap individu memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri dan melakukan tugas rumah tangga. Keputusan diambil secara bersama dan selalu mempertimbangkan kepuasan masing-masing pihak. Jelaslah bagi kita untuk membedakan pola-pola mana saja yang harus dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Jika ingin menempuh kebahagian yang hakiki maka pakailah cara yang paling tepat dan bijaksana dalam pengamalan pola-pola perkawinan. Belajar dari pengalaman kegagalan dan kesuksesan orang lain maka kita akan mampu membentengi diri dan keluarga menuju kebahagian sejati.
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2476
E. Tipe Perkawinan Kepuasan perkawinan merujuk pada kebahagiaan perkawinan, yaitu seberapa jauh pasangan merasakan perkawinannnya berjalan dengan stabil dan memuaskan. Sayekti Pujosuwarno (1994) mengutip hasil riset Cuber dan Haroff (1994) dalam Bird dan Melville terhadap 211 pasangan yang telah menginjak usia perkawinan 10 tahun dan tidak bercerai, menyatakan adanya 5 tipe perkawinan yaitu : (1) Conflict Habituated: perkawinan tipe ini bercirikan mereka yang selalu bertengkar namun tidak bermaksud untuk pisah. Mereka hampir selalu dalam keadaan tegang, dan tidak cocok satu sama lain namun ingin tetap bersama. (2) Devitalized: perkawinan yang meredup. Kebersamaan perkawinan hanya rutinitas semata, karena tanggung jawab dan tugas. (3) Passive Congenials: perkawinan yang berlangsung aman dan tertib tanpa atau jarang diisi dengan pertengkaran. Pasangan berbagi minat bersama, terlibat dalam kegiatan sosial bersama, mengasuh anak, mengembangkan karir namun tidak mementingkan hubungan romantik. (4) Vitals: perkawinan yang diisi dengan kegiatan dan kebersamaan secara intens. Pasangan terikat dalam semua persoalan kehidupan. (5) Totals: sama halnya dengan Vitals namun dalam derajat yang lebih dimana sebanyak mungkin semua kegiatan dan persoalan kehidupan dinikmati bersama. Sementara pakar lain juga mencoba membagi tipe keluarga di masyarakat Indonesia sebagai berikut: (1) Keluarga bangsawan, (2) Keluarga Saudagar, (3) Keluarga petani, (4) Keluarga intelek, (5) Keluarga Pegawai Negeri. Untuk memahami masing-masing pasangan CATIN maka dituntut kemampuan dan kecakapannya menyigi latar belakang masing-masing pasangan agar tidak terjadi benturan konflik yang berkepanjangan akibat kurang memahaminya masing-masing pasangan. Disinlah peran srategis pentingnya pemahaman terhadap tipe-tipe keluarga yang akan diterapkan bersama-sama pasca dilangsungkannya pernikahan. F. Prediksi Kepuasan Perkawinan Kepuasaaan dalam perkawinan merupakan kesan subjektif individu terhadap komponen perkawinannya secara keseluruhan yang meliputi cinta, kebersamaan, anak, pengertian pasangan, dan standar hidup sebagaimana yang dikatakan Blood dan Wolfe, dalam Santrock (1985). Lebih jauh Snyder dalam Rathus dan Nevid (1983) mengelaborasi sejumlah faktor yang berperan secara konsisten dalam kepuasan perkawinan yakni, komunikasi efektif, komunikasi problem solving, kesepahaman pengelolaan keuangan dan kepuasaan seksual. Hasil penelitian Bernard (1972) menunjukkan bahwa laki-laki yang menikah, jauh lebih baik secara fisik, sosial, dan psikologis dibandingkan perempuan yang menikah. Bila dilihat dari tahap perkembangan keluarga, kepuasan perkawinan pada laki-laki cenderung lebih konstan dibandingkan perempuan yang mengalami beragam kepuasan perkawinan sejalan dengan tahap perkembangan keluarga. Titik terendah kepuasan perkawinan perempuan terjadi
2477
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
pada saat mereka memiliki anak usia pra sekolah, dan tertinggi setelah anak meninggalkan rumah. Penelitian di atas meberikan isyarat kepada pasangan calon suami istri (PASUTRI) agar bisa meningkatkan pelayanan antar pasangan, karena ada masamasa tertentu yang menyebabkan pasangan mengalami kejenuhan. Maka dari itu supaya tersebut tidak perlu terjadi maka diharapkan masing-masing pasangan berpandai-pandai memanfaatkan waktu dan tempat untuk tetap menjaga keromantisan dan keharmonisan dalam rumah tangga. Ini adalah tawaran untuk menghindarkan perpecahan dan pertikaian, pertengkaran dalam rumah tangga. G. Kesuksesan Perkawinan Sawitri Supardi Sadarjoen (2010) dari Jurusan Psikologi Klinis Universitas Padjadjaran Bandung mengatakan bahwa “Karakteristik kualitas perkawinan yang sukses” sebagai berikut: (1) Komitmen yang terjaga, (2) Kejujuran,kesetiaan, kepercayaan, (3) Rasa tanggungjawab, (4) Kesediaan untuk menyesuaikan diri, (5) Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek perkawinan termasuk kehidupan seksual, (6) Mempertimbangkan keinginan pasangan, (7) Komunikasi yang terbuka, dengan penuh empati dan saling menghormati (respek) antar pasangan, (8) Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta kasih penuh afeksi, (9) Pertemanan yang nyaman antar pasangan, (10) Kemampuan mengatasi krisis dalam setiap situasi dalam kebersamaan, serta menjaga nilai-nilai spiritual antar pasangan perkawinan dan keturunannya. Semua materi yang ditawarkan di atas pada hakekatnya ingin memberikan pemahaman kepada CATIN untuk menerapkan konsep-konsep psikologi keluarga pasca menikah. Instruktur BP4 ingin memberikan pemahaman tentang kebaghagiaan hakiki dalam menjalani kehidupan rumah tangga, untuk itu pengurus BP4 membuat indikator untuk mengukur sesorang sudah sukses atau belum dalam menjalani rumah tangga. Agaknya indikator yang ditawarkan di atas paling tidak sudah bisa dijadikan tolak ukur untuk melihat tingkat kesuksesan keluarga membangun rumah tangga yang bahagia. Kesuksesan adalah merupakan impian dan harapan semua orang dalam kehidupan berumah tangga, untuk itulah program yang sudah dilaksanakan oleh BP4 Kota Pariaman ini sudah semestinya mendapatkan sokongan penuh dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Karena usaha dan upaya yang dilakukan BP4 Kota Pariaman ini adalah salah satu bentuk ikhtiar dan tanggung jawab moral kepada bangsa dan negara dalam menciptakan kehidupan yang aman, tentram, damai, dan sejahtera dunia dan akhirat. Dalam mengelola dan membangun rumah tangga yang SAMARA tentu tidak cukup dengan cinta, motivasi dan semangat saja, maka dari itu komitmen dan tanggung jawab yang tinggi serta dibarengi dengan manajemen keluarga yang baik tentu akan mampu memberikan penguatan psikologis, bimbingan spritual bagi pasangan suami istri. Upaya ini diyakini bisa secara bertahap mampu mengatasi untuk meminimalisir konflik atau problem dalam rumah tangga yang sering menjadi momok menakutkan bagi pasangan usia muda hari ini.
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2478
Maka dari itu, dibutuhkan pengalaman dan pengamalan tingkah laku keberagamaan (psikoreligi) dalam kehidupan berumah tangga sebagai benteng diri agar para keluarga terhindar dari konflik rumah tangga yang berkepanjangan. Bagi seorang muslim cita-cita mewujudkan keluarga SAMARA adalah merupakan impian bagi setiap insan. Solusi cerdas dalam mengantisipasi perceraian adalah membekali diri dengan pengamalan agama yang komprehensif sehingga terbentuklah karakter cerdas dalam menyikapi berbagai permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga. Mengingat perubahan sosial, budaya, poilitik masyarakat kita yang semakin majemuk, kemajuan teknologi informasi yang sangat canggih melalalui internet yang terjadi begitu cepat sehingga cepat atau lambat mampu menerobos nilai-nilai akhlak dan religi anak-anak kita akhirnya bisa berakibat kepada perilaku menyimpang (deviasi). Maka keberadaan (eksistensi) psikologi keluarga yang diilhami dengan pendekatan nilai-nilai agama (psikoreligi) melalui pengalaman dan pengamalan agama diyakini bisa menjadi solusi dan alternatif dalam mengatasi konflik keluarga. Keberadaan ilmu psikoreligi yang merupakan bahagian dari ilmu psikologi sangat memungkinkian sekali utuk diaplikasikan ditengah –tengah keluarga. keluarga adalah sebuah proses transformasi knowledge di dalam proses pendidikan maupun dilingkungan masyarakat secara luas, oleh sebab itu konsep-konsep dasar ilmu psikologi keluarga dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahanperubahan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, maka dari itu seiring dengan perubahan sosial budaya masyarakat kita yang semakin majemuk, dan berkembangnya teknologi informasi yang begitu cepat maka sangatlah dibutuhkan buku-buku ilmiah yang terbaru dan relevan sesuai dengan kebutuhan zaman di masa itu. Psikoreligi adalah tergolog kepada rumpun keilmuan psikologi. Adapun keluarga adalah masuk ke dalam rumpun keilmuan sosial. Integrasi keilmuan antara psikoreligi dengan keluarga sudah barang pasti akan mengalami perubahan yang sangat cepat di dunia akademik, maupun dimasyarakat luas. Maka dari itu perlu kiranya pemutakhiran data-data terbaru untuk meng-update keilmuan psikoreligi khusunya untuk memmberikan berbagai terapi sebagai solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga akhir-akhir ini. KESIMPULAN Makalah ini hadir sebagai tambahan referensi akademik, karena ditulis dengan style ilmiah dengan rujukan atau referensi ilmiah terbaru. makalah ini tidak hanya akan berguna bagi mahasiswa dan dosen dalam pengembangan psikologi keluarga tapi juga bisa dijadikan pegangan oleh para praktisi keluarga seperti: instruktur BP4, penyuluh KUA, penyuluh agama, da’i, ustadz, ulama, maupun masyarakat secara umum guna mempermudah tugas-tugas mereka sesuai dengan perannya masing-masing. Berikut tawaran penulis untuk menindak lanjuti (follow up) kegiatan kursus pra-nikah ini dengan cara langkah-langkah sebagai berikut:
2479
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
(1) Penguatan psikologis maksudnya penguatan ini diberikan karena emosi dan ego para pasangan suami istri (pasutri) sehingga menyebabkan mereka belum dewasa dalam menyikapi berbagai hal yang terjadi dalam konflik rumah tangga yang mereka alami, (2) Penguatan spiritual maksudnya membekali pasangan suami istri (pasutri) dengan pengetahuan agama agar menyikapi permasalahan tidak dengan menggunakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau melakukan upaya pendzaliman terhadap pasangan, memberikan pemahaman tentang kewajiban dan hak-hak masing-masing pasangan sehingga terciptanya kehidupan rumah tangga yang SAMARA sesuai tuntunan ajaran agama Islam, (3) Membangun semangat interpreneur (kewirausahaan) untuk perbaikan ekonomi keluarga sakinah untuk mengantisipasi konflik rumah tangga yang berujung pada perceraian dini, karena masing-masing pasangan suami istri (pasutri) belum terbiasa hidup mandiri karena masih dipengaruhi oleh usianya pada waktu masih lajang, bahkan ada pasangan suami istri hanya mengandalkan kekayaan orantuanya dalam mengatasi persoalan ekonomi yang mereka hadapi. RUJUKAN Abdul Mujib, 1999. Fitrah dan Kepribadian Islam Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta: Darul Falah. -----------, 2005. Jurnal Psikologi Islami, Volume I - Nomor 1, Juni 2005. Yogyakarta: Pengurus Pusat Asosiasi Psikologi Islami. Achmad Mubarok, 2000. Jiwa dalam Al-Quran, Solusi Krisis Kerohanian Manusia Modren, Jakarta: Paramadina. ------------.., 2005. Jurnal Psikologi Islami, Volume I - Nomor 1, Juni 2005, Yogyakarta: Pengurus Pusat Asosiasi Psikologi Islami. Afrinaldi, 2006. Pengaruh Kecerdasan Emosi Terhadap Kepuasan Kerja dan Prestasi Kerja dikalangan Dosen IAIN Imam Bonjol Padang Sumatera Barat. Malaysia: Tesis Master of Art Programe Psychology Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) .-----------, 2008. Pencegahan Kenakalan Remaja Melalui Pendekatan Psikologi Islami, Bukittinggi: Jurnal Analisa. ------------, 2011. Penerapan Psikologi Keluarga dalam Rumah Tangga, Padang: Jurnal AlQalb. ------------, dkk, 2013. Program Berkelanjutan bagi Keluarga Sakinah untuk Mengantisipasi Perceraian Dini di Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Kota Pariaman, Jakarta: Laporan Pengabdian Masyarakat Dirjen Pendidikan Tinggi Islam KEMENAG RI. ------------, 2014. Terapi Psikoreligi dalam Keluarga. Bukittinggi: Buku Ilmiah. ------------, 2015. Bimbingan Kelompok Bagi Calon Pengantin Untuk Mewujudkan Keluarga SAMARA, (Prosiding Seminar Internasional Konseling Universitas Negeri Padang (UNP), 13-14 March.
Pendidikan Berkualiti ke arah Pembentukan Nilai dan Peningkatan Ekonomi untuk Kesejahteraan Masyarakat
2480
------------, 2015. Psycho Religious Therapy Trough Prayers and Dzikir in Islamic Psychology Perspective. (Scientific Journal of PPI UKM Malaysia) and International Conference Multidisciplanary Academic (ICMA) 28 April. Ahmadi, 2005. Ideologi Pendidikan Islam (Paradigma Humanisme Teosentris, Jogyakarta: Pustaka Pelajar. Ary Ginanjar Agustian, 2001. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual. Jakarta: Arga. Allen Menker, 2010. Mendidik dengan Hati, Bandung: Khaifa. Aqil Al Qarni, 2005. Latahzan, Terjemahan, Jakarta: Qisti Pres. Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) kota Pariaman, 2014. CH Patterson, 1973. Humanistik Education, Prentice Hall: New Gerse. Dadang Hawari, 2007. Doa dan Dzikir sebagai Pelengkap Terapi Medis, Jakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. _______, 2007. Dimensi Religi dalam Praktek Psikiatri dan Psikologi, Jakarta: FK UI. ------------, 2004. Al-Qur’an: Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Jakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa. Departemen Agama RI, 1989. Al-Quran dan Terjemahannya, Semarang: CV. Toha Putra. Fuad Nashori, Jurnal Psikologi Islami, 2005. Volume I - Nomor 1, Juni 2005. Yogyakarta: Pengurus Pusat Asosiasi Psikologi Islami. Hanna Djumhanna Bustaman, 1995. Integrasi Psikologi dengan Islam, Jakarta: Pustaka Pelajar. Hasan Langgulung, 1995. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisis Psikologi, Jakarta: Al Husna Dzikra. Ismail Raji Al-Faruqi, 1984. Islamisasi Pengetahuan, Bandung: Pustaka. Ismail Zain, 2004. (http://myscoolnet.ppk.kpm.my/berita/2004/10April ap3UM.htm). Kamal, Z., & Loewnthal, K.M. (2002). Suicide beliefs and behavior among young Muslims and Hindus in the United Kingdom: Mental Health, Religion and Culture. KH. Mustafa, 2009. Membangun Keluarga Sakinah, Jakarta: Rineka Cipta. Kusaeri, 2012. Mengungkap Dimensi-dimensi Psikologis untuk Pengukuran Keberagamaan Islam. Surabaya: IAIN Surabaya (Procedding Annual International Conference Islamic Studies (AICIS XII). Loewenthal, K.M. & Cinnirella, M. (1999). Beliefs about the efficacy of religious, medical and psychotherapeutic interventions for depression and schizopherenia among womwn from different cultural-religious groups in Great Britain. Transcultural Psychiatry, Liche Seniati Chairy, 2010. Psikologi Perkawinan. Jakarta: Jurusan Psikologi Universitas Indonesia. Diakses tanggal 17 Agustus 2011 dari situs: http://reni akbar.blogspot.com/2010/05/psikologi-perkawinan-dan-keluarga.html Lydia Freyani Hawadi. 2010. Makalah disampaikan dalam Penyusunan Silabus dan Kurikulum Kursus Pra Nikah yang diselenggarakan Dirjend Bimas Islam Kemenag RI , Bandung: Psikologi UNPAD. Diakses tanggal 17 Agustus 2011 dari situs: http://resources.unpad.ac.id/unpad- PSIKOLOGI KELUARGA Majalah bulanan BP4 Pusat, 2011. Kursus Pra-Nikah: Upaya Mencegah Perceraian Dini, no.465/XXXVIII/2011. Majalah bulanan BP4 Pusat, 2011. Keluarga Sakinah di Antara Meningkatnya Perceraian, no.466/XXXVIII/2011. M. Safei Antonio, 2007. Muhammad SAW Super Leader Super Mananger, Jakarta: Tazkia Multi Media.
2481
ASEAN Comparative Education Research Network Conference 2015 7-8 Oktober 2015, MALAYSIA
Majalah bulanan BP4 Pusat, 2011. Membangun Ketahan Keluarga, no.469/XXXVIII/2011. M. Quraish Shihab, 1994. Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan. Mohd.Azhar Hj Yahaya, 2004. Pengaruh Kecerdasan Emosi ke atas Komitmen Kerjaya, Komitmen Organisasi, Kepuasan kerja dan Tingkahlaku Warga Organisasi. Malaysia: Disertasi Ph.D. Programe Psychology Faculty of Social Science and Humanities Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Richard Maxwell Brown, 1979. Historical Patterns of American Violence London: Sage Publication, 1979. Richard A. Bowell, 2004. The 7 steps of Spiritual Quotient, diterjemahkan oleh: Archangela Yenny Satriawan, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer. Sayekti Pujosuwarno, 1994. Bimbingan dan Konseling Keluarga, Menara Mas Offset, Yogyakarta. Sawitri Supardi Sadarjoen, (2010). Membangun Komitmen (Bagaimana mempertahankan perkawinan). Bandung: Jurusan Psikologi Klinis Universitas Padjadjaran. Diakses tanggal 17 Agustus 2011, dari situs www.http. content/uploads/publikasi_dosen/MEMBANGUN%20KELUARGA%20BAHAGIA.pdf. Setiyo, 2008. Sejarah Psikologi Islami, http://setiyo.blogspot.com. Access date: 15 Maret 2008. Syaikh Musthofa Al Adawi, 2005. Tarbiyatul Abna (Bagaimana Nabi Mendidik Anak’, Daru Ibnu Rajab, Jakarta: terj. Ahmad Hamdani bin Muslim. Peraturan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI Tahun 2009. Peraturan Daerah Kota Pariaman Nomor 6 Tahun 2009. Prayitno, 2009. Dasar Teori dan Aplikasi Pendidikan, Padang: Universitas Negeri Padang (UNP). Undang-Undang Sisdiknas No 20 Tahun 2003, Jakarta: Dikti Kemendiknas. Undang-undang Republik Indonesai Nomor I Tahun 1974 Toto Tasmara, 2001. Kecerdasan Ruhaniah. Jakarta: Gema Insani Press. Zahrotun Nihayah, dkk. 2012. Peran Religiusitas dan Faktor-Faktor Psikologis Terhadap Kepuasan Pernikahan, Surabaya: IAIN Surabaya (Procedding Annual International Conference Islamic Studies (AICIS XII). Zakiah Daradjat, 2002. Psikoterapi Islami, Jakarta: Bulan Bintang.