PELAKSANAAN HAK-HAK ISTRI YANG DITALAQ OLEH SUAMI (Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kec.Tarumajaya kab. Bekasi) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh:
TEDY RAMADHAN
NIM: 105043101313
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIQIH PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ” PELAKSANAAN HAK-HAK ISTRI YANG DITALAQ OLEH
SUAMI (Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kec.Tarumajaya kab. Bekasi)”, telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi Perbandingan Hukum. Ciputat, 15 Juni 2010 Mengesahkan Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M. NIP: 195505051982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua
: Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. NIP: 195703121985031003
( .............................. )
2. Sekretaris
: Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NIP: 196511191998031002
( .............................. )
3. Pembimbing I
: Dr. Euis Nurlaelawati, MA
( ............................)
NIP: 197007041996032002 4. Pembimbing II
:Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NIP: 197302151999031002
( .............................. )
5. Penguji I
:Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. NIP: 19700323200003100
( .............................. )
6. Penguji II
: Dra. Afidah Wahyuni, M.Ag NIP: 196804081997032002
(................................)
Pelaksanaan Hak-Hak Istri Yang Ditalaq Oleh Suami ”Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kec. Tarumajaya Kab. Bekasi ” Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Oleh:
Tedy Ramadhan NIM: 105043101313
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Euis Nurlaelawati, MA NIP: 197007041996032002
Dr.H. Muhammad Taufiki, M.Ag NIP: 196511191998031002
KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H / 2010 M
KATA PENGANTAR ¯2lµoG¡+Ýo2Ù{´ Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadlirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Hak-Hak Istri Yang Ditalaq Oleh Suami (Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kec. Tarumajaya Kab, Bekasi)” yang merupakan kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Perbandingan Hukum pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi dan melengkapi sebagian persyaratan dan tugas akhir untuk mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI). Dalam penulisan Skripsi ini, sudah barang tentu Penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, yang sangat bermanfaat bagi penulisan ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum. 2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Dan Bapak Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3.
Ibu Dr.Euis Nurlaelawati,MA dan Bapak Dr.H. Muhammad Taufiki, M.Ag selaku Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan motivasi yang besar selama proses penulisan skripsi ini.
i
3. Seluruh Dosen Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keihlasan mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama masa studi. 4. Bapak Irpan Dadi, selaku Kepala Desa Pusaka Rakyat, warga masyarakat di Desa Pusaka Rakyat, yang telah membantu dalam pemenuhan data penelitian yang penulis lakukan. 5. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidaytullah Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data pustaka. 6. Ayahanda dan Ibunda, Bapak H.Nabri Eka Putra, dan Ibu Hj.Armaysah, yang selalu penulis hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi limpahan rahmat dan kasih sayangnya kepada mereka. Amin. Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT membalas dengan imbalan pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Ciputat, 18 Maret 2010
Tedy Ramadhan Penulis
ii
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR
i
DAFTAR ISI
iii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
6
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
7
D. Metode Penelitian
7
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
9
F. Sistematika Penulisan
10
MACAM-MACAM HAK YANG DITERIMA OLEH ISTRI YANG DITALAQ A. Hak Istri yang Ditalaq
12
B. Pengertian dan Dasar Hukum Iddah
20
C. Macam-Macam dan Hikmah Disyariatkannya Iddah
26
D. Nafkah Iddah Dalam Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia
35
iii
BAB III
SEKILAS TENTANG DESA PUSAKA RAKYAT A. Profil Desa Pusaka Rakyat
38
B. Eksistensi Desa Pusaka Rakyat
41
C. Pemahaman Masyarakat Tentang Keagamaan dan Hukum Keluarga BAB IV
45
PELAKSANAAN NAFKAH IDDAH PASCA CERAI (TALAQ) DI DESA PUSAKA RAKYAT A. Pelaksanaan Nafkah Iddah Paska Cerai
52
B. Alasan Suami Tidak Melaksanakan Nafkah Iddah
60
C. Respon Hakim Pengadilan Agama Terkait Nafkah Iddah BAB V
63
PENUTUP A. Kesimpulan
67
B. Saran-Saran
69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
iii
PEDOMAN WAWANCARA HAKIM
1. TR: Apa biasanya yang dituntut oleh istri dalam proses perceraian? HK: hak-hak yang dapat dituntut istri di pengadilan agama biasanya adalah nafkah iddah, mut’ah, nafkah, madliyah, biaya anak, harta bersama, serta mahar yang masih terhutang. 2. TR: Bagaiman proses atau cara istri menuntut hak-haknya? HK: Ada tiga cara bagi istri untuk menuntut setelah perceraian, yaiti, dengan melalui gugatan berdiri sendiri, kumulatif dan rekopensi. 3. TR: bagaiman pelaksanaan hak-hak istri yang ditalaq di pengadilan agama bekasi? HK: Pelaksanaan putusan pemenuhan hak-hak istri yang ditalaq di pengadilan agama biasanya lansung di depan majlis hakim setelah ikrar talaq diucapkan, atau dengan menunda ikrar talaq selama enam bulan agar suami dapat memenuhi kewajibanya. 4. TR: Apabila selam enam bulan suami tidak memenuhi hak-hak istri apa yang dilakukan pengadilan? HK: Apabila suami dalam enam tidak memenuhi hak-hak istri, dan suami tetap ingin melaksanaan ikrar talaq, maka ikrar talaq tetap diucapkan tetapi pengadilan agama akan memberikan suatu kebijakan untuk melindungi hak-hak istri yaitu dengan menahan akte cerai serta akta nikah, masalah seperti ini sangat sering terjadi di pengadialn agama bekasi, biasanya mengenai pemberian nafkah iddah, mut’ah, dll. 5. TR: Apa hukuman bagi suami yang tidak melasanakan nafkah iddah yang diputuskan oleh pengadilan? HK: Apa bila suami tidak mau melaksanakan kewajiban pemberian nafkah iddah, maka mantan istri atau wali dari anak dapat mengajukan permohonan eksekusi atas putusan yang memperoleh kekuatan hokum tetap pengadilan agama yang memutus perkara
tersebut, kemudian pengadilan agama atas permohonan tersebut akan memberikan teguran dua kali kepada manatan suami apabila mantan suami tetap tidak melasanakan isi putusan tersebut dengan suka rela, maka pengadilan agama dapat memperintahkan panitera pengadilan untuk mendapatka eksekusi atau penyitaan atas harta yang dimiki harta yang dimiki oleh mantan suami.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Langgengnya kehidupan perkawinan merupakan suatu tujuan yang sangat diharapkan oleh agama Islam. Akad nikah diucapkan untuk selamanya, sampai meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga tempat berlindung menikmati naungan kasih sayang dan dapat memeliharanya dalam pertumbuhan yang baik. Karena itu ikatan suami istri merupakan ikatan yang paling suci dan paling kokoh dan tidak ada sesuatu yang paling jelas mengenai sifat kesucianya yang paling agung, selain dari apa yang Allah sendiri namakan yaitu ikatan perjanjian antara suami dengan “mitsaqan ghalizan” (perjanjian yang kokoh). 1 Dapat dipahami dalam menjalani hidup “berumah tangga” tidak hanya didapati hal-hal yang menyenangkan tetapi akan didapati juga hal-hal yang tidak disukai, seperti tuntutan istri terhadap suami yang terlalu tinggi atau tuntutan suami terhadap istri yang tidak terpenuhi. Demikian pula keakraban suami istri bisa saja semakin lama semakin merenggang. Hal ini dapat menimbulkan pertengkaran dan akhirnya akan menimbulkan perceraian, apabila pasangan tidak saling menyadari dan memaklumi kekurangan pasangan mereka.
1
Slamet Abidin dan Aminudin, Fiqih munakahat I1, ( Bandung:Pustaka Setia 1996), cet 2, h.
9.
1
2
Problematika-problematika seperti ini sering terjadi dalam kehidupan berumah tangga, jika keduanya tidak memiliki dasar agama yang kuat. Oleh karena itu umat Islam diwajibkan membekali dirinya dengan agama untuk menghadapi problematika ini. Suami istri harus saling memahami satu sama lainya, karena pada dasarnya tujuan berumah tangga adalah untuk menciptakan suasana tentram dan damai, bukan menjadikan rumah tangga sebagai ajang mencari kesalahan dan kelemahan pasangan serta perbedaan. Jika perceraian sudah tidak dapat dielakan lagi, karena salah satu pasangan suami istri mencelakakan yang lain, penyebab perceraian harus dilihat dulu persoalanya. Jika di sini yang bersalah adalah pihak suami, ia wajib memberikan mut’ah dengan cara yang ma’ruf, tetapi apabila dari pihak istri yang bersalah maka istri tidak berhak mendapatkan mut’ah atau yang lainya. 2 Jika terjadi perceraian khususnya perceraian talaq maka suami tidak membiarkan istri begitu saja melainkan harus memberi nafkah dan tempat tinggal kepada mantan istrinya, sebab terjadinya talaq bukan melepaskan kewajiban memberikan nafkah, melainkan hanya terlepas dari hubungan seksualnya saja, berlangsung selama masa iddah belum habis walaupun suami istri saling berpisah. Menurut hukum Islam kewajiban memberikan nafkah kepada mantan istri dinyatakan bahwa suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalaq selama dalam masa iddah dan tidak boleh keluar atau pindah ke tempat lain kecuali
2
Al-Tahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h.89.
3
mereka bersikap yang tidak baik, dan ketika suami mentalak istri, hendaklah si istri dalam keadaan suci, karena menjatuhkan talaq dalam keadaan haid atau dalam keadaan tidak
suci, atau telah dijima (disetubuhi) sebelumnya maka hukumnya
haram (dilarang). 3 Pada saat setelah perceraian atau masa iddah telah berlangsung kedua belah pihak yang telah bercerai, masing-masing tetap mempunyai hak dan kewajiban. Bila suami melalaikan kewajibannya maka akan timbul berbagai permasalahan, misalnya si anak putus sekolahnya, sehingga anak tersebut menjadi terlantar atau bahkan menjadi gelandangan. Inilah fenomena-fenomena yang sering timbul dari perceraian ketika suami tidak melaksanakan kewajibannya terhadap hak istri dan anak pada masa iddah. Setelah terjadi perceraian pada hakikatnya si suami harus memberikan minimal tempat tinggal yang layak pada mantan istri dan anaknya. Berkenaan dengan kewajiban suami tersebut, Kompilasi Hukum Islam pasal 18 ayat 1 meyebutkan “Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri dan anak-anaknya atau mantan istrinya yang masih dalam masa iddah. 4 Bila suami melalaikan kewajiban ini, maka istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama sekaligus gugatan nafkah iddah, ini yang disebut dengan fasakh. Gugatan tersebut dapat diajukan bersama-sama sewaktu istri
3
Amiur Nuruddin dan Akmal Taringan, Azhari, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta:Kencana 2006), h. 154. 4
Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Yogyakarta Press 1993) h. 199.
4
mengajukan berkas gugatan atau dapat pula gugatan tersebut diajukan di kemudian. Akan tetapi ada pula kewajiban tersebut tidak dapat dibebankan kepada mantan suami, misalnya jika perceraian tersebut disebabkan istri murtad atau sebab-sebab lainnya yang menjadikan suami tidak wajib menunaikan hak istri. Dan bila telah ada kemufakatan bersama atas putusan Pengadilan Agama tentang nafkah anak tersebut, maka dapat pula nafkah si anak ditanggung bersama antara keduanya (suami-istri). Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan masalah perceraian umumnya dan nafkah iddah khususnya. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut di atas para pencari kedilan dalam hal para mantan istri yang harus agresif mengadukan permasalahannya ke Pengadilan Agama, bila tidak mendapatkan kejelasan dan kepastian hukum tentang perkara yang mereka alami. Namum pengajuan tersebut harus tetap di laksanakan sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan oleh undang-undang yang berlaku. Apabila istri tidak mendapatkan hak-hak yang diatur dalam
Kompilasi
Hukum Islam, maka ia dapat mengajukan tuntutan kepada mantan suaminya ke pengadilan agama di tempat melangsungkan perceraian. Demikianlah hukum Islam dengan tegas mengatur tentang istri yang ditalaq oleh suaminya. Ayat tersebut di atas merupakan dasar yang kuat bagi suami untuk memberikan tempat tinggal bagi istri yang ditalaq. Bahkan ayat ini memberikan pengertian yang tegas mengenai kewajiban lainya yang harus dipenuhi oleh para mantan suami.
5
Berdasarkan permasalahan di atas, penulis melihat fenomena tersebut terjadi di daerah Pusaka Rakyat Kab. Bekasi, tempat penulis tinggal. Di daerah ini, terdapat banyak kasus di mana istri yang ditalaq oleh suaminya tidak mendapatkan hak-hak semestinya dari mantan suaminya sebagaimana yang diatur dalam hukum Islam maupun dalam Kompilasi Hukum Islam. Hal itu karena adanya kesewenangwenangan dari suami dalam menceraikan istri, yang disebabkan oleh berbagai hal misalnya, hanya karena tertarik dengan wanita lain, tidak adanya tanggung jawab suami terhadap istri. Dengan demikian maka perekenomian tersendat-sendat karena tidak adanya biaya yang menopang kehidupan istri dan anak, maka terkesan para istri yang ditalaq atau janda mudah sekali di ajak oleh laki-laki lain yang jelas bukan suaminya. Berdasarkan
hal-hal yang telah dipaparkan di atas, dan untuk meneliti
fenomena di atas maka penulis tertarik untuk menyusun sebuah skripsi yang berjudul “Pelaksanaan Hak-Hak Istri Yang Ditalaq Oleh Suami” (Studi Kasus Desa Pusaka Rakyat Kab.Bekasi). B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Dari perkawinan terjadi hubungan suami istri dan kemudian ketika mendapatkan keturunan maka ada hubungan antara orang tua dan anaknya, dan mempunyai kebutuhan sandang, papan, pangan dan sebagainya. Sumai yang bertugas menanggung kebutuhan rumah tangga tersebut. Kebanyakan suami tidak menjalankan yang masih menjadi kewajiban suami. Dalam pembahasan skripsi ini terhubung
6
pembahasan terlalu luas penulis akan membatasi permasalahan pada pelaksanaan hak istri yang ditalaq terkait dengan pemberian nafkah iddah. Adapun pembatasan tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana praktek pelaksanaan nafkah iddah di desa Pusaka Rakyat ? 2. Apa alasan suami tidak melaksanakan nafkah iddah ? 3. Bagaimana respon hakim terkait pelaksanaan nafkah iddah ? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1. Praktek pelaksanaan nafkah iddah di desa Pusaka Rakyat 2. Alasan suami tidak dilaksanakan nafkah iddah 3. Respon hakim terkait pelaksanaan nafkah iddah. Sedangkan kegunaan penelitian ini antara lain adalah untuk mengetahui sebagai berikut:
1. Bagi peneliti, dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam masalah ini. 2. Bagi prodi perbandingan mazhab fiqih, hasil penelitian ini dapat menambah khazanah pemikiran dibidang perkawinan. 3. Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini dapat menambah pembendaharaan koleksi dalam ruang lingkup karya ilmiyah. Diharapkan menjadi suatu bukti bahwa Islam memberikan kelonggaran, dan kemudahan kepada umatnya guna mencari serta menentukan yang terbaik dalam kehidupan untuk mencapai kebahagian dalam berumah tangga.
7
D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Metode merupakan strategi utama dalam mengumpulkan data. Data yang diperlukan untuk menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi, di samping itu metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai satu tujuan, sehingga hasil penelitian ini untuk memperoleh data yang lengkap dan akurat serta obyektif, peneliti melakukan penggabbungan antara dua macam pendekatan yaitu; a. Field Research Field dalam kamus besar bahasa Indonesia berarti padang, medan, daerah, sedangkan research adalah pemeriksaan penyelidikkan, field research juga diartikan sebagai penelitian lapangan, jenis penelitian ini biasanya digunakan dalam penelitian yang digunakan pendekatan kualitatif, meskipun tidak menutup kemungkinan dapat digunakan pada penelitian dengan pendekatan kuantitatif. Dalam penelitian lapangan ini teknik pengumpulan data dapat ditempuh dengan menggunakan teknik angket, wawancara atau observasi. b. Library Research Studi kepustakaan dilakukan dalam penelitian untuk mendapatkan dasar pemikiran,
perumusan
dan
operasinonalisasi
konsep.
Untuk
itu
penulis
mengumpulkan data-data yang bersumber dari buku, artikel-artikel di internet yang khusus membahas kasus dan hal-hal yang berkaitan dengan teori-teori yang mendukung dalam bab analisa.
8
2. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: a.
Wawancara (interview), adalah dialog yang dilakukan pewawancara (interviewer) untuk memperoleh informasi dari terwawancara, pihak yang diwawancarai dalam penelitian ini adalah responden keseluruhan, karena ada sebagian pertanyaan dalam angket yang bersifat terbuka.
b.
Kepustakaan, yaitu
pengumpulan data dari beberapa literarture yang ada
kaitanya dengan penelitian ini, literatur ini berupa buku, internet,surat kabar, buletin dan lain sebagainya, langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan cara membaca, mengutip,menganalisa dan merangkum, yang diperlukan. 3. Jenis dan Alat Pengumpulan Data Karena penelitian ini menggunakan metode dan pendekatan kualitatif, maka jenis data yang digunakan adalah wawancara. Data kualitatif memerlukan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara lapangan kepada pihak-pihak yang terkait dengan permasalahan yang telah ditentukan. Data yang diperoleh dari hasil wawancara merupakan data primer yang nantinya diolah dan kemudian dianalisa secara deskriptif, dalam metode wawancara maka instrument yang digunakan untuk mengumpulkan data adalah pedoman wawancara, yaitu berlaku sebagai pegangan peneliti dalam melakukan proses wawancara agar tidak menyimpan dan tujuan penelitian.
9
Kemudian untuk melengkapi data penelitian ini, selain data primer, peneliti juga menggunakan data sekunder yang diperoleh dari buku, dan skripsi-skripsi terdahulu. Yang kesemuanya adalah sebagai pelengkap dalam landasan teoritis. 4. Analisa Data Setelah memperoleh data, baik yang diperoleh melalui metode pustaka maupun melalui metode wawancara, data-data tersebut kemudian dikumpulkan, diolah, dianalisa, dan diinterprestasikan untuk dapat menjawab permasalahanpermasalahan yang telah dirumuskan. Data yang diperoleh, dari buku-buku, artikel-artikel, maupun tulisan-tulisan yang didapat melalui internet kemudian diklasifikasi untuk dimasukkan ke masingmasing variabel dan kemudian diinterprestasikan. Begitu pula data yang diperoleh dari hasil lapangan untuk setiap jawaban akan dianalisa. E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu Penulis berusaha mendata dan membaca beberapa penilitian yang ada hubungannya dengan penelitian yang penulis lakukan baik itu berupa skripsi maupun dalam bentuk buku. Penulis menemukan tidak banyak penelitian terkait masalah ini. Namun penulis menemukan satu penelitian yang dilakukan oleh Faisal Rahman dengan Judul skripsi “Realisasi Pemberian Nafkah Istri Dalam Masa Iddah Akibat Perceraian”, mahasiswa Fakultas Syariah Dan Hukum Jurusan Peradilan Agama, Tahun 2007. Di dalam skripsi tersebut, ia membahas antara lain seberapa banyak suami yang merealisasikan pemberian nafkah istri dalam masa iddah, dan melihat
10
bagaimana alasan suami yang memberikan nafkah secara sengaja atau tidak ia juga meneliti eksisistensi pengadilan agama dengan cara sistem pembayaran nafkah iddah. Dengan melihat dari review studi terdahulu di atas, yang membedakan antara skripsi di atas dengan skripsi penulis, adalah, bahwa penulis membahas tentang hakhak apa yang berhak diterima oleh istri yang ditalaq, dan bagaimana pelaksanaannya di dalam kehidupan masyarakat dan respon hakim pengadilan terkait dengan masalah nafkah iddah. Karena itulah dari aspek pembahasannya berbeda dengan pembahasan dari skripsi Faisal Rachman. F. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan pembahasan dan penulisan pada skripsi ini, maka penulis mengklasifikasikan permasalahan dalam beberapa bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut : BAB I Pada bab ini penulis memaparkan Pendahuluan, latar belakang masalah, perumusan dan pembatasan masalah, metode penelitian dan tujuanya, tinjauan review (kajian terdahulu) dan sistematika panulisan. BAB II Pada bab ini penulis membahas tentang landasan teori yang mencakup macam-macam hak istri yang ditalaq, dan tentang pengertian nafkah, dan dasar hukum iddah, macam-macam hikmah disyariatkanya iddah, dan aturan-aturan terkait nafkah iddah. BAB III Pada bab ini penulis membahas tentang obyek penilitian yaitu Desa Pusaka Rakyat pada bagian ini pembahasan difokuskan pada : profil Desa Pusaka
11
Rakyat, eksistensi Desa Pusaka Rakyat, pemahaman masyarakat tentang agama dan hukum keluarga. BAB IV Pada bab ini penulis membahas hasil penelitian yaitu terkait dengan pelaksanaan nafkah iddah pasca cerai yang terdiri dari : Hak-hak apa yang diberikan oleh suami terhadap istri yang ditalaq, pelaksanaan nafkah iddah pasca cerai, alasan suami tidak melaksanakan nafkah iddah, dan respon pengadilan agama terkait nafkah iddah. BAB V Bab ini terdiri dari penutup, kesimpulan dari hasil pembahasan pada bab sebelumnya, saran-saran, dan daftar pustaka serta lampiran.
BAB II MACAM-MACAM HAK YANG DITERIMA OLEH ISTRI YANG DITALAQ
A. Hak-Hak Istri Yang Ditalaq Rumah tangga adalah tempat bernaungnya seluruh anggota keluarga dan tempat saling bertukar kasih sayang di antara sesama anggota keluarga, terutama antara suami dengan istri. Di dalam keluarga terjadi sebuah ikatan batin yang kuat baik itu antara suami dengan istri maupun antara anak dengan orang tua. Itulah sebabnya jika terjadi perceraian di dalam sebuah keluarga maka bukan berarti pihak yang satu dengan yang lain benar-benar terputus ikatannya. Ikatan antara anak dengan orang tua tetap ada karena tidak ada istilah bekas/mantan anak atau mantan bapak, berbeda dengan hubungan suami istri ikatan mereka memang terputus, namun selama sang istri masih menjalani masa iddah karena perceraian tersebut, suami masih memiliki tanggung jawab untuk memberikan nafkah secara lahir, berikut macam-macam hak yang diperoleh istri yang ditalaq oleh suami. 1. Mut’ah (Pemberian) Mut’ah adalah suatu pemberian dari suami kepada istri sewaktu suami menceraikannya. Pemberian ini diwajibkan atas laki-laki apabila perceraian itu terjadi karena kehendak suami. Tetapi kalau perceraian itu kehendak istri mut’ah (pemeberian) itu tidak wajib. Banyaknya pemberian itu menurut keridhoan keduanya dengan mempertimbangkan keadaan
kedua suami istri. Akan tetapi, sebaiknya
12
13
☺ ☺
⌧ ☺ ☺ Artinya; “Jika kamu menceraikan Isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan
mereka, padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang Telah kamu tentukan itu, kecuali jika Isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan” (Q.S Al-Baqarah:237). Berdasarkan ayat di atas mengenai masalah mut’ah istri yang belum dijima imam syafi’i berpendapat bahwa istri yang belum dijima mendapatkan sepedua mahar, sekalipun sudah khalwat. 1 Secara detail jumlah mut’ah kepada wanita yang pernah disetubuhi lebih banyak dari pada yang belum sempat disetubuhi adalah karena hal itu sudah ketentuan al-Quran. Di samping itu, beban dan permasalahan yang harus di hadapi wanita yang diceraikan dalam status pertama untuk bisa membina kembali kehidupan rumah tangga, jelas lebih berat dari pada wanita yang belum sempat dijima. Itulah menurut al-Quran, namun kebiasaan yang berlaku di 1
Muhammad Ibn Abdullah Al-Rabby,” Ahkamul Al-qur’an”, (Bairut:Darul Al-Kutub, 1988), Juz 1, h. 292.
14
pengadilan agama tidaklah demikian. Wanita-wanita yang ditalaq tidak mendapatkan mut’ah sama sekali apapun motif talaqnya. Kadang-kadang, langkah yang ditempuh oleh pengadilan agama hanyalah berorentasi pada beberapa fuqaha yang mengatakan bahwa nafkah, tempat tinggal, dan pakaian, yang diberikan kepada wanita yang ditalaq selama dia menjalani masa iddah, sudah merupakan mut’ah yang mencukupi. 2 2. Hadanah ( Hak Mendidik dan Merawat ) Dalam Islam pemeliharaan anak disebut hadhanah. Istilah hadanah Secara etimologis berarti di samping atau berada di bawah ketiak. Sedangkan Secara terminologis, hadanah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang hilang kecerdasannya, karena mereka belum memenuhi kebutuhannya sendiri. Yang dimaksud dengan mendidik di sini ialah menjaga, memimpin, dan mengatur segala hal anak-anak yang belum dapat menjaga dan mengatur dirinya sendiri.3 Apabila seorang suami istri bercerai sedangkan keduanya mempunyai anak yang belum mumayyiz (belum mengerti kemaslahatan dirinya), maka istrilah yang mengatur semuanya hingga ia mengerti akan kemashlahatannya. Dalam waktu itu si anak hendaklah tinggal bersama ibunya selama ibunya belum menikah dengan orang lain. Meskipun si anak ditinggalkan bersama ibunya, tetapi nafkahnya tetap wajib dipikul oleh ayah anak tersebut.
2
h. 120. 415.
3
At-Tahir Al-Hadad, Wanita Dalam Syariat dan Masyarakat, (Jakarta Pustaka firdaus 1992 ), Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h.
15
Dalam sebuah riwayat hadits Rasullah SAW bersabda:
ان اﻣﺮاة ﻗﺎﻟﺖ ﻳﺎ رﺳﻮل اﷲ ان اﺑﻨﻲ: ﻋﻦ اﺑﻴﻪ ﺟﺪﻩ ﻋﺒﺪاﷲ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ هﺬا آﺎن ﺑﻄﻨﻲ ﻟﻪ وﻋﺎء وﺛﺪﻳﻲ ﻟﻪ ﺳﻘﺎء وﺣﺠﺮي ﻟﻪ ﺣﻮاء وان اﺑﺎﻩ ﻓﻘﺎل ﻟﻬﺎ رﺳﻮل اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ" اﻧﺖ, ﻃﻠﻘﻨﻲ واراد ان ﻳﻨﺘﺰ ﻋﻪ ﻣﻨﻲ 4 (اﺣﻖ ﺑﻪ ﻣﺎﻟﻢ ﺗﻨﻜﺤﻲ )رواﻩ اﺑﻮ داود Artinya: Dari Abi Jaddah Abdullah Bin Umar, bahwa seorang perempuan datang kepada nabi dan berkata: ya Rasullah, anakku ini dulu berada dalam kandunganku dan menghisap payudaraku sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan dia ingin mengambil anak ini dariku bagaimana ya Rasullah? Kemudian Rasullah bersabda: engkaulah yang lebih berhak untuk mendidik anakmu selama engkau belum menikah dengan orang lain”. ( HR. Abu Daud) Apabila si anak sudah mengerti, hendaklah diselidiki oleh seorang yang berwajib, siapakah diantara keduanya ( ibu atau bapak) yang lebih berhak dan pandai untuk mendidik anak itu hendaklah diserahkan kepada yang lebih baik untuk mangatur kemaslahatan anak itu. Hadis di atas menunjukan bahwa seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya jika diceraikan oleh ayahnya, dan sang ibu belum menikah lagi. Tapi, jika ia telah menikah maka hak mengasuh anaknya telah gugur. Adapun urutan hak asuh anak Didahulukan seorang ibu untuk mengasuh anaknya, karena sang ibu biasanya lebih dekat dan lebih sayang terhadap bayi yang dilahirkanya 5
4
Abi Daud Sulaiman Bin Asy’ats Al-Sajistani, Sunan Abi Daud, (Beirut:Daar Al-Fikr 2005),
h. 425. 5
Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk (Jakarta:Gema Insani, 2006), cet. 1, h.750.
16
Apabila hak asuh seorang ibu telah gugur, maka hak pengasuhan anak dipindahkan kepada ibunya istri atau nenek dari anak tersebut. Karena, nenek adalah keluarga yang terdekat setelah ibu. selain itu, seorang nenek juga mempunyai setatus sama seperti ibunya. Ia akan lebih menjaga dan menyangi anak yang diasuhnya dibanding yang lain. 6 Undang-Undang Perkawinan, pada saat itu belum mengatur secara khusus tentang aturan penguasaan anak. Bahkan PP No. 9 tahun 1987 tidak menjelaskan secara luas dan rinci. Sehingga pada waktu sebelum tahun 1989, para hakim masih merujuk pada kitab-kitab fiqih. Setelah diberlakukannya UU No. 7 tahun 1989 tentang penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam, masalah hadanah menjadi hukum positif di Indonesia dan peradilan agama diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikannya. 7 Kendati demikian, secara global sebenarnya Undang-Undang perkawinan telah memberi aturan pemeliharaan anak tersebut telah dirangkai dengan akibat putusnya sebuah perkawinan. Di dalam pasal 41 dinyatakan bahwa sebuah perkawinan putus karena terjadinya perceraian, maka akibatnya adalah: Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai pengusaan anak pengadilan memberikan keputusannya, oleh karena itu bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharan dan pendidikan yang diperlukan Ibid. h. 750. Abdul Manan, ”Problematika Hadanah Dan Hubunganya Dengan Praktik Hukum Acara Di Peradilan Agama”, Dalam Mimbar Hukum, no. 49 tahun IX 2000, h. 69. 6 7
17
oleh anak, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri. 8 Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam di dalam pasal-pasalnya digunakan istilah pemeliharaan anak yang dimuat di dalam Bab XIV pasal 98-106, bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat secara fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan pernikahannya. Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Pengadilan agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu. Pasal yang secara eksplisit mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak jika terjadi perceraian hanya terdapat di dalam pasal 105, bahwa Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum umur 12 (dua belas) adalah hak ibunya. Dan masalah Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak itu untuk memilih di antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya. Adapun masalah dalam Biaya pemeliharaan anak di tanggung oleh ayah. Pasal-pasal kompilasi Hukum Islam, tentang hadanah menegaskan bahwa kewajiban pengasuhan material dan non material merupakan dua hal yang tidak dapat 8
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan. Hukum Perdata Islam di Indonesia, h.299.
18
dipisahkan. Lebih dari itu, Kompilasi Hukum Islam malah membagi tugas-tugas yang harus diemban kedua orang tua kendatipun mereka berpisah. Anak yang belum mumayyiz tetap diasuh oleh ibunya, sedangkan pembiayaan menjadi tanggung jawab ayahnya. 9 Kompilasi Hukum Islam juga menentukan bahwa anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 ( dua belas) tahun adalah hak bagi ibu untuk memeliharanya, sedangkan apabila anak itu sudah mumayyiz anak itu dapat memilih antara ayah atau ibunya untuk bertindak sebagai pemeliharanya. 3.Nafkah Iddah Bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena ditalaq atau karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum yang harus diperhatikan yaitu masalah iddah. Keharusan beriddah merupakan perintah Allah yang dibebankan kepada mantan istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang yang merdeka maupun hamba sahaya untuk melaksanakannya sebagai manifestasi ketaatan kepadannya. Sedangkan menurut hukum Islam kewajiban memberikan nafkah kepada mantan istrinya yang ditalaq ditegaskan dalam al-Quran surat athThalaq ayat 1 yang berbunyi:
9
Ibid. h. 248.
19
Artinya: Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertawakallah kepada Allah. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka, dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalu mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang, itulah hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu akan mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (QS. Ath-Thalaq, Ayat: 1) Mencermati ayat di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat yaitu: (1) Bahwa mentalaq istri hendaklah dalam keadaan si istri suci dan belum dicampuri, ini berarti talaq sunni. Sedangkan menjatuhkan talaq dalam keadaan haid atau dalam keadaan suci tetapi telah dijima’ (disetubuhi) maka hukumnya dilarang atau haram. (2) Suami wajib memberikan tempat tinggal kepada istri yang ditalaq, selama mereka masih dalam iddah dan tidak boleh mereka keluar atau pindah ke tempat lain kecuali mereka bersikap yang tidak baik. (3) Tempat tinggal tidak wajib diberikan kepada istri yang tidak dapat rujuk lagi. (4) Talaq boleh dilakukan sebagai jalan keluar dari pergaulan suami istri yang tidak aman. Nafkah merupakan suatu kewajiban seorang suami terhadap istri, di mana tidak ada perbedaan pendapat mengenai permasalahan ini. Bahkan al-Quran sendiri
20
telah mewajibkan hal itu melalui fiman Allah SWT dalam surat an-Nisa Ayat 5 yang berbunyi:
⌧ ☺
Artinya: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.”(Q.S An-Nisa:5). Sedangkan al-Quran menyebutkan tanggung jawab nafkah dalam kasus peceraian itu sebagai firman Allah SWT sebagai berikut:
☺
Artinya: “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (QS. At-Talaq:7) Tanggung jawab nafkah suami tak hanya sewaktu dia masih menjadi sah, tetapi suami pun tetap wajib menafkahinya bahkan pada saat perceraian. Ada beberapa suami yang egois yang mungkin salah memperlakukan istrinya dan
21
meyengsarakan hidupnya selama masa iddahnya. Setelah menjatuhkan talaq satu, hal ini sangat terlarang. Suami harus menafkahinya sebagaimana yang disediakan untuk dirinya sendiri, sama dengan ketika istri masih hidup denganya. 10 A. Pengertian dan Dasar Hukum Iddah Iddah bermakna perhitungan atau sesuatu yang dihitung. Secara bahasa iddah berasal dari kata ﻋﺪدyang mempunyai arti bilangan atau hitungan. Dalam Kamus Indonesia Arab karangan A.W. Munawir Muhammad Fairuz, bahwa kata iddah berasal dari kata ﻋ ّﺪyang berarti menghitung. 11 Sebagian ulama mendefinisikan iddah sebagai nama waktu untuk menanti kesucian seorang istri yang ditinggal mati dan diceraikan oleh suaminya, dan sebelum habis masa iddahnya dilarang untuk menikah lagi. Karena bagi istri yang putus hubungan perkawinan dengan suaminya baik karena ditalaq atau karena ditinggal mati oleh suaminya, mempunyai akibat hukum yang harus diperhatikan yaitu masalah iddah. Keharusan beriddah merupakan perintah Allah yang dibebankan kepada istri yang telah dicerai baik dia (istri) orang yang merdeka maupun hamba sahaya untuk melaksanakannya sebagai manifestasi ketaatan kepadanya.
10
Abdur Rahman I. do, Perkawinan Dalam Syariat Islam, ( Jakarta:PT Rineka Cipta) h. 124. Munawwir Muhammad Fairuz, Kamus Indonesia Arab, (Surabaya:Pustaka Progresif, 2002), h. 137. 11A.W.
22
Dengan demikian jika ditinjau dari segi bahasa, maka kata iddah dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari suci pada wanita. 12 Sedangkan Para ulama lainnya, telah merumuskan pengertian iddah dengan rumusan antara lain: 13
اﺳﻢ ﻟﻠﻤﺪة اﻟﺘﻲ ﺗﻨﺘﻈﺮ ﻓﻴﻬﺎ اﻟﻤﺮ اة وﺗﻤﺘﻨﻊ ﻋﻦ اﻟﺘﺰوﻳﺞ ﺑﻌﺪ وﻗﺎة زوﺟﻪ وﻓﺮ اﻗﻪ ﻟﻬﺎ
Artinya: ”Nama bagi sesuatu masa yang seorang perempuan menunggu dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya suami atau bercerai dengan suami”. Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa iddah adalah suatu tenggang waktu tertentu yang harus dijalani seorang perempuan sejak ia berpisah. Baik disebabkan karena talak maupun karena suaminya meninggal dunia. Dalam masa iddah ini wanita (istri) tidak boleh menikah dengan laki-laki lain sebelum habis masanya. Berdasarkan beberapa definisi di atas bahwa iddah mempunyai beberapa unsur yaitu : 1. Suatu tenggang waktu tertentu 2. Wajib dijalani si mantan istri 3. Alasan yang mendasarinya karena ditinggal mati atau diceraikan oleh suami. 4. Larangan untuk melakukan perkawinan selama masa iddah Untuk memperjelas pengertian tersebut di atas, dapat dikemukakan hasil Tim Departemen Agama RI yang merumuskan bahwa iddah menurut pengertian hukum Islam ialah masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi wanita untuk tidak 12
Chuzaimah T. Yanggo dkk, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta:PT.Pustaka Firdaus, 1994), cet 1, h. 49. 13 Sayyid Sabiq , Fiqh As- Sunnah , (Beirut: Darul Al-Fikr,1992), Jilid 2 , h. 277.
23
melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain setelah perceraian. Dalam rangka membersihkan diri dari pengaruh dan akibat hubungan dengan suaminya itu. Jadi iddah merupakan kewajiban pihak istri untuk menghitung hari-hari suci dan masa bersih para istri,
karena merupakan penentu untuk
masa lamanya
menunggu dan tidak boleh menikah selama masa tersebut yang disebabkan oleh kematian suami atau perceraian. 14 Merujuk pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 akan kita ambil pengertian yang sifatnya sudah cukup tegas. Hal ini disebabkan karena definisi waktu tunggu iddah itu sendiri sudah diulas secara konkrit dan jelas. Menurut H. Arso Sastroadmojo dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia dijelaskan bahwa iddah adalah tenggang waktu di mana janda bersangkutan tidak boleh menikah bahkan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran dengan tujuan untuk menentukan nasab dari kandungannya bila ia dalam keadaan hamil. Dan juga sebagai masa berkabung bila suami meninggal dunia serta untuk menentukan masa rujuk bagi suami bila talaq itu berupa talaq raj’i. 15 Pemahaman ini diinspirasikan secara implisit oleh pasal-pasal yang berhubungan dengan masalah iddah itu sendiri yaitu pasal 11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun1975. dengan demikian
14
Yanggo, Problematika Hukum Islam Kontemporer, h. 62.
15
H. Sastro Admojo, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), cet. 3, h. 70.
24
pengertian iddah adalah masa tenggang waktu atau tunggu sesudah jatuhnnya talaq. Selama masa
iddah mantan suami masih memperoleh kesempatan untuk rujuk
kembali kepada mantan istrinya. Atas dasar inilah si istri diwajibkan untuk menjalani masa iddah dan tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan dengan laki-laki lain. 16 Setelah membahas pengertian iddah, maka di bawah ini penulis akan membahas dasar-dasar hukum iddah yang mengacu pada hukum naqli guna memperjelas tentang permasalahan iddah. Dasar hukum iddah dapat kita lihat di dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 228, yang berbunyi:
☺ ☺ ☺ ☯
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami 16
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, 1982), cet. I, h. 120.
25
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah, Ayat: 228) 17 Sedangkan dasar hukum iddah di dalam Hadits dari Bukhari yang berbunyi:
ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ: ﻓﻘﻠﺖ،ﻋﻦ أﺑﻲ ﻣﺴﻌﻮد اﻷ ﻟﺼﺎري إذ أﻧﻔﻖ: ﻋﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل: وﺳﻠﻢ ﻓﻘﺎل آﺎﻧﺖ ﻟﻪ ﺻﺪ ﻗﺔ، وهﻮ ﻳﺤﺘﺴﺴﺒﻬﺎ، اﻟﻤﺴﻠﻢ ﻧﻔﻘﺔ ﻋﻠﻰ اهﻠﻪ 18 ()رواﻩ اﻟﺒﺨﺎري Artinya: Dari Abu Mas'ud Al Ansary berkata: Dari Nabi saw. Beliau bersabda "Apabila seseorang muslim menafkahkan harta untuk keperluan keluarga, hanya berharap dapat memperoleh pahala maka hal itu akan dicatat sebagai sedekah baginya. (HR. Bukhari). Dasar hukum iddah yang tertuang dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan menetapkan waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus perkawinan. Berdasarkan
pasal 11 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan ditetapkan waktu tunggu atau iddah sebagai berikut : 1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat satu akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut. Demikian pula pada Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mengatur waktu tunggu yang dijelaskan pada bab VII pasal 39. Dalam pasal 153
17
18
Departemen Agama RI, al- Qur'an Terjemah, (Jakarta: Pelita III, 1991-1992).
Abi Abdillah Muhammad Bin Ismail Al-Bukhary, Shahih Al-Bukhary, (Bairut:Daar AlFikr), Juz 3, h. 510.
26
Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan menentukan waktu tunggu sebagai berikut : 1) Bagi seorang istri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah kecuali qobla al dhukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami. Demikian pula dalam pasal 154 dan pasal 155 Kompilasi Hukum Islam tentang perkawinan, mengatur waktu iddah. 19
B. Macam-Macam dan Hikmah Disyariatkannya Iddah Macam-macam iddah atau waktu tunggu menurut perundang-undangan hukum Indonesia, khususnya dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan Kompilasi Hukum Islam. Telah memberikan klasifikasi dengan tidak menyebut suatu istilah tertentu yang dipergunakan, akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa materi dari Undang-undang perkawinan dan peraturan pelaksanaannya merupakan cuplikan yang diambil dari norma masing-masing agama di Indonesia yang didominasi oleh aturan-aturan yang digariskan dalam syariat Islam. Sedangkan secara spesifikasi maka macam-macam iddah itu antara lain ialah : 1. Iddah Perempuan yang Haid 19
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:Ghalia Indonesia 1978), cet 4,
h. 20.
27
Jika perempuannya bisa haid maka iddahnya tiga kali quru'. Sebagaimana firman Allah SWT : ☺ Artinya: Dan perempuan-perempuan yang berthalaq, hendaklah mereka menahan diri mereka tiga kali quru'. (QS. Al-Baqarah, Ayat: 228) Dengan ayat tersebut di atas jelaslah bahwa istri yang diceraikan oleh suaminya hendaklah ia menahan diri sampai tiga kali suci. Apabila istri tersebut belum pernah disetubuhi oleh suami yang mentalaqnya, maka baginya tidak mempunyai masa iddah. Sedangkan istri yang ditinggal suami dan pernah bersetubuh, maka ia harus beriddah seperti iddah orang yang disetubuhi, hal ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut :
☯
⌧ ⌧
☺
☺
☺ ☺
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis `iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al –Baqarah, Ayat: 234) 20
20
Departemen Agama RI ,Al-Quran Terjemahan,,QS. Al Baqarah (2) : 234.
28
Wajib iddah bagi istri tersebut dimaksudkan untuk menghormati mantan suaminya. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh As-Sayyid Sabiq bahwa, istri yang ditinggal mati oleh suaminya wajib iddah sekalipun belum pernah disetubuhi, hal ini untuk menyempurnakan dan juga untuk menghargai hak suami yang meninggal dunia. 21 Istri yang telah dicerai dalam keadaan masih haid harus menjalani iddah (waktu tunggu) selama 3 (tiga) kali suci dan bila diharikan minimal 90 (sembilan puluh) hari. Hal ini sebagaimana yang disebut dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari” 22 2. Iddah istri yang tidak berhaid Istri yang tidak berhaid lagi jika dicerai oleh suaminya maka iddahnya selama 3 bulan. Ketentuan ini berlaku buat perempuan yang belum baligh dan perempuan yang sudah tua tetapi tidak berhaid lagi, walaupun istri sama sekali tidak berhaid. sebelumnya atau kemudian berhaid akan tetapi putus haidnya. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut :
☺ 21
As-Sayyid Sabiq, Fiqh As- Sunnah, h. 142. Sastro Admojo, Hukum Perkawinan di Indonesia, h. 82.
22. Arso
29
Artinya: Dan orang-orang yang putus diantara istri-istri kamu, jika kamu ragu maka iddah mereka itu tiga bulan. Dan orang-orang yang tidak berhaid serta perempuan hamil masa iddahnya ialah sesudah mereka melahirkan. (QS. Ath-Thalaq, Ayat: 4) Sedangkan berdasarkan hukum perdata Indonesia maka istri tersebut harus menjalani masa tunggu selama 90 (sembilan puluh) hari. Ini sejalan dengan pasal 39 Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 ayat (1) sub (b) yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari”. 23 3. Iddah istri yang telah disetubuhi Iddah istri yang telah disetubuhi masih haid dan adakalanya tidak berhaid lagi. Masa iddah yang masih haid adalah selama 3 kali quru’ sebaaimana disebutkan dalam firman Allah SWT sebagai berikut :
☺ ☺
23
Moh. Mahfud, Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, (Yogyakarta: Yogyakarta Press 1993), h. 210.
30
☺ ☯
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Baqarah, Ayat: 228) Arti quru’ ( )ﻗﺮوءdalam ayat di atas adalah ( )ﻗﺮوءjamak dari kata ( )ﻗﺮءyang berarti haid, hal ini dikuatkan oleh As-Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah bahwa kata quru’ hanya digunakan oleh agama yang berarti haid. Sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut :
..... .... Artinya: Apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)..... (Q.S. At-Talaq: 1). Massa iddah untuk istri yang telah disetubuhi tetapi tidak haid maka lama iddah 3 (tiga) bulan atau 90 hari. 4. Iddah perempuan hamil
31
Perempuan yang dicerai atau ditinggal mati suami dan sedang hamil iddahnya sampai ia melahirkan. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi sebagai berikut :
⌧ … Artinya: Dan Perempuan-perempuan hamil masa iddah mereka ialah sesudah melahirkan. (QS. Ath-Thalaq, Ayat: 4) Istri tersebut harus menjalani masa tunggu yakni sampai ia melahirkan bayinya. Ini sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam pasal 135, ayat (2), sub (c), yang berbunyi sebagai berikut : “Apabila perkawinan putus karena perkawinan sedang janda tersebut dalam keadaan hamil waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan” 5. Iddah perempuan yang suaminya meninggal dunia Iddah wanita yang ditinggal suaminya dan ia dalam keadaan tidak hamil maka lama iddahnya ialah 4 bulan 10 hari, ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi:
☯
⌧
Artinya: Dan Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari…(QS. Al-Baqarah, Ayat: 234).
32
Namun jika si istri sedang hamil maka ia harus menjalani iddah atau masa tunggu sampai ia melahirkan. Adapun hikmah disyariatkannya iddah bahwa, Suatu keyakinan yang mesti menjadi penggangan umat Islam ialah ajaran agama Islam yang termuat di dalam al-Quran dan as-Sunah merupakan petunjuk Allah SWT yang harus menjadi pedoman bagi manusia khusunya kaum Muslimin dan Muslimat demi keselamtan hidupnya di dunia maupun diakhirat. Demikian pula halnya dengan masalah iddah yang merupakan suatu syariat yang telah ada sejak zaman dahulu yang mana mereka pernah meninggalkan kebiasaan ini dan tatkala Islam datang kebiasaan itu diakui dan dijalankan terus karena banyaknya terdapat kebaikan dan faedah di dalamnya. 6. Iddah wanita hamil dan ditinggal mati Mengenai hal ini ada perselisihan pendapat. Menurut pendapat emat Imam mazhab, bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dan ia dalam keadaan hamil maka iddahnya sampai melahirkan walaupun si suami belum dikubur, sesuai dengan ketentuan Al-Quran yang berbunyi:
⌧ … Artinya: Dan Perempuan-perempuan hamil masa iddah mereka ialah sesudah melahirkan. (QS. Ath-Thalaq, Ayat: 4) Ayat di atas menunjukan bahwa wanita hamil iddahnya sampai ia melahirkan, baik suaminya hidup ataupun sudah meninggal. Sebagian ulama salaf berpendapat bahwa iddah wanita hamil yang suaminya meninggal yaitu dua iddah sekaligus
33
Adapun hikmah disyariatkannya iddah, karena ajaran Islam tidak hanya berlaku untuk kelompok atau kaum di dalam masyarakat tertentu serta tidak pula terbatas pada masa tertentu pula. Akan tetapi ajaran Islam sejak diturunkan telah ditetapkan sebagi pegangan dari semua kelompok dan kaum manusia pada berbagai tempat dan waktu pada akhir zaman. 25 Para Ulama telah mencoba menganalisa hikmah disyariatkannya iddah secara global dapat disebutkan sebagai berikut: 1) Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang wanita, sehingga tidak tercampur antara keturunan seorang dengan yang lainya, atau dengan kata agar tidak terjadi percampuran dan kekacauan nasab. 2) Memberikan kesempatan kepada suami istri yang berpisah untuk berfikir kembali, apakah untuk rujuk kembali kepada istrinya, ataukah akan meneruskan niat cerai tersebut jika hal itu dianggap lebih baik.
24
Muhammad Jawad Nughniyah, Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsan, Terjemahan Masykur A.B. Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, ( Jakarta:Anggota IKAPI 2006), cet. 4, h.471. 25 Saleh al-Fauzan, Fiqih Sehari-hari, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, h.56.
34
3) Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami istri samasama hidup lama dalam ikatan aqadnya. 26 Untuk lebih jelas mengenai hikmah disyariatkannya iddah adalah sebagai berikut: 1. Sebagai pembersih rahim Ketegasan penisaban keturunan dalam Islam merupakan hal yang amat penting. Oleh karena itu, segala ketentuan untuk menghindari terjadinya kekacauan nisab keturunan manusia ditetapkan di dalam al-Qur’an as-Sunah dengan tegas. Diantara ketentuan tersebut adalah larangan bagi wanita untuk menikah dengan beberapa pria dalam waktu yang bersamaan. Dan di samping itu untuk menghilangkan keraguan tentang kesucian rahim wanita tersebut, sehingga pada nantinya tidak ada lagi keraguan tentang anak yang dikandung oleh wanita itu apabila ia telah menikah lagi dengan laki-laki lain. 27 2. Kesempatan untuk berfikir Iddah khususnya dalam talaq raj’i merupakan suatu tenggang waktu yang memungkinkan bagi perbaikan hubunga suami istri. Dalam masa ini kedua belah pihak dapat mengintropeksi diri masing-masing guna mengambil langkah-langkah yang lebih baik. Terutama bila mereka telah mempunyai putra-putri yang membutuhkan kasih sayang dan pendidikan yang baik dari orang tuanya.
26 27
230.
As-sayyid Sabiq, Fiqh As- Sunnah, hal. 140. Kamal Muhtar, Asas-asas Hukum Perkawinan, (Jakarta:Bulan Bintang, 1987), cet. II, h.
35
Di samping itu memberikan kesempatan berfikir kembali dengan pikiran yang jernih setelah mereka menghadapi keadaan rumah tangga yang panas dan yang demikian keruh sehingga mengakibatkan perkawinan mereka putus.28 Jika pikiran mereka jernih dan dingin diharapkan pada nantinya suami akan merujuk istrinya kembali dan begitu pula si sitri tidak menolak untuk rujuk dengan suaminya kembali, sehingga perkawinan mereka dapat diteruskan kembali. 3. Kesempatan untuk rujuk Apabila seorang istri ditalaq oleh suaminya, maka masa iddah itu merupakan masa untuk berfikir bagi suami untuk kembali kepada istrinya. Apabila mantan suami merasa yakin bahwa ia sanggup melanjutkan rumah tangganya kembali, maka ia boleh rujuk kepada istrinya pada waktu iddah. Sebaliknya apabila suaminya merasa yakin bahwa ia tidak mungkin melanjutkan kehidupan rumah tangganya kembali, ia harus melepas istrinya secara baik-baik dan juga tidak meghalangi-halangi mantan istrinya itu untuk menikah kembali dengan laki-laki lain. 4. Kesempatan untuk berduka cita Sebagai kelanjutan dari bahasan iddah adalah, khususnya berkaitan dengan istri kematian suami. Di samping dia menjalani masa iddah selama empat bulan sepuluh hari, dia juga harus melalui masa berkabung dalam waktu iddah tersebut. Mengenai untuk siapa dia melakukan ihdad, hampir semua ulama berpendapat bahwa ihdad hanya dilakukan untuk suami yang menikahinya dengan nikah yang sah dan yang meninggal dalam masa perkawinanya dan tidak berlaku untuk yang lainya. 28
Ibid., h. 230.
36
Tentang kenapa dia harus berkabung, menjadi bahasan di kalangan ulama. Hal yang disepakati adalah, bahwa ihdad atau berkabunghanya berlaku terhadap perempuan yang bercerai dari suaminya karena kematian suami. 29 Iddah khususnya dalam kasus cerai mati, adalah masa duka atau belasungkawa atas meninggalnya suami. Mengenang kebaikan dan keindahan bersama suami, menzahirkan kesedihan atas kepergian suami, memelihara kehormatan serta mengelakkan fitnah. Dalam keadaan yang sangat sukar selepas kepergian suami, wanita memerlukan masa untuk membiasakan dirinya dengan kehidupan baru yang pastinya jauh berbeda dengan kehidupan sewaktu dia masih bersuami. Hikmah lain pula adalah untuk menghormati hak suami, khususnya bila sang wanita terceraikan karena kematian suaminya. Dalam masa iddah inilah sang wanita menunjukan haknya atas kepergian sang suami. 30 Dengan demikian tampak jelas bahwa iddah memiliki berbagai keutamaan dari berbagai aspek, yang masing-masing mempunyai hubungan yang tidak dapat di pisahkan. Sehubungan dengan itu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa: 1) Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern tidaklah dapat mengubah ketentuan dalam kasus-kasus yang sudah jelas dikemukakan dan ditetapkan dalam Al-Quran dan As-Sunah. 2) Meskipun terdapat keyakinan bahwa rahim wanita (istri) bersih dan antara mereka (suami istri) tidak mungkin rujuk kembali, namun tidaklah dapat 29
Amir Syaripuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta:Prenada Media, 2006), cet. II, h. 320. 30 Syekh Ali Ahmad Al-Jarjawi, Indahnya Syariat Islam,(Jakarta:Gema Insani,2006), h. 380.
37
dibenarkan bagi wanita tersebut (mantan istri) melanggar ketentuan iddah yang sudah di bentukan 3) Begitu juga sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan untuk memperpanjang iddah bagi istri yang dapat mengakibatkan penganiayaan maupun yang mendatangkan keuntungan baik bagi mantan suami ataupun bagi mantan istri.
C. Nafkah Iddah Dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia Pembicaraan tentang nafkah dalam buku-buku fiqih disajikan secara komprehensif sebagai bagian kajian fiqih keluarga (al-ahwal asy-syakhsiyah). Adanya kelalaian untuk memberikan nafkah sehingga pihak yang wajib dinafkahinya menjadi terlantar, merupakan permasalahan yang sering terjadi di kalangan masyarakat Islam. Kenyataan seperti ini sering terjadi, terutama dalam masyarakat yang kurang pengetahuan tentang bagaimana cara memperoleh
haknya setelah
perceraian. 31 Sedangkan Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur tentang iddah atupun waktu tunggu secara rinci. Satu-satunya yang bicara tentang waktu tunggu adalah pasal 11 ayat 1 dan 2 sebagai berikut: 1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 2) Tenggang waktu tersebut ayat (1) akan diatur oleh peraturan pemerintah lebih lanjut.
31
Satria Effendi M, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana) Cet II, h. 142.
38
Pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan suatu kewajiban bagi mantan istri (pasal 41 UU. No. 1/1974). Ketentuan ini dimaksudkan agar mantan istri yang telah diceraikan suaminya jangan sampai menderita karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Fenomena yang terjadi di masyarakat saat ini adalah sepertinya
sudah
menjadi hal yang tidak aneh tentang pelaksanaan nafkah iddah yang belum terealisasi dengan baik. Buktinya, kita seperti terbiasa tidak mau melihat berbagai penderitaan yang menimpa kaum wanita, terutama dalam masalah perkawinan atau masalah perceraian. Seakan-akan makhluk yang bernama wanita seperti raga tanpa jiwa. Padahal nash-nash al-Qur’an selalu menekankan agar kita menegakkan keadilan, baik di kalangan laki-laki ataupun di kalangan wanita. Kita memang banyak mengabaikan nash-nash al-Qur’an mengenai kewajiban wanita dalam perceraian. Akad perkawinan dalam hukum Islam bukan urusan perdata semata, melainkan ikatan suci (mitsaqan ghaliza) yang terkait keyakinan dan keimanan kepada Allah. Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di tengah jalan, dan apabila terjadi perceraian, yang dimaksud adalah perceraian 1 dan 2 (talaq raj’i) maka istri yang ditalaq mendapatkan hak-hak yang semestinya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 149 yaitu, jika sebuah perkawinan putus karena talaq, maka suami wajib:
39
“Memberikan nafkah, maskan dan kiswah kepada mantan istri selama dalam iddah, kecuali mantan istri telah dijatuhi talaq bain atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil”.
BAB III SEKILAS TENTANG DESA PUSAKA RAKYAT
A. Profil Desa Pusaka Rakyat 1. Sejarah Keberadaan Desa Pusaka Rakyat Desa Pusaka Rakyat pada awal berdirinya bernama Desa Suka Mulya bersamaan dengan berdirinya Kabupaten Bekasi pada tanggal 15 Agustus 1950, yang bernaung di bawah koordinasi asisten Wedana Kecamatan Cilincing di kampung Marunda Kabupaten Daerah Swatantra tingkat II Bekasi. Desa Pusaka Rakyat, dengan luas wilayah 1.571 Ha. Dengan batas wilayah sebelah utara Desa Segera Makmur dan Kelurahan Cilincing DKI Jakarta, sebelah selatan Desa Gapura Muka, sebelah Barat Kampung Rawa Gatel kelurahan Pegangsaan II DKI Jakarta, dan
sebelah timur Desa
Pahlawan Setia Babelan Bekasi. Pada saat itu Desa Pusaka Rakyat terdiri dari beberapa kampung antara lain : a. Kampung Suka Pura sebelah Barat b. Kampung Kandang Sampi sebelah Timur c. Kampung Malaka I, II, III, IV, sebelah Utara d. Kampung Karang Tengah sebelah Selatan 1
1
Selayang pandang Desa Pusaka Rakyat Kec. Tarumajaya, 2009, h. 1.
38
39
Seiring dengan perkembangan laju pertumbuhan penduduk maka atas usul beberapa tokoh masyarakat desa, maka pada tahun 1964 Desa Suka Mulya berganti nama menjadi Desa Pusaka Rakyat. Perubahan tersebut terjadi ketika Desa dipimpin oleh Alm. H. Nawi dengan tanpa ada penambahan luas wilayah dari luas sebelumnya. Pada bulan Oktober 1967 dilakukan pemilihan kepala Desa yang pertama setelah pergantian nama, dari hasil pemilihan tersbut H. Amrullah terpilih secara deifinitive menjadi kepala Desa Pusaka Rakyat dan berkantor di Kampung Malaka IV. Pada masa kepemimpinan H. Amrullah ini, kantor Desa dipindahkan ke Kampung Kandang sapi karena lokasi awalnya dianggap sudah tidak startegis lagi karena terletak di dalam kampung dengan luas tanah yang tidak standar. Pada tahun 1972 atas inisiatif kepala Desa pada waktu itu, maka kantor kepala Desa dipindahkan ke kampung kandang sapi (sekarang SMPN200) dengan pertimbangan letaknya ada di tengah wilayah dan mudah dijangkau dari semua jurusan/arah. Berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.45 tahun 1974 tanggal 28 desember 1974 tentang perubahan atas batas-batas wilayah daerah Khusu Ibu Kota Jakarta dan surat keputusan Menteri Dalam Negeri No. 151 tahun 1975 tentang pelaksanan penetapan batas-batas baru secara
40
pasti wilayah daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dengan daerah tingkat 1 Jawa Barat, maka dalam hal ini Desa Pusaka Rakyat termasuk Desa yang termasuk dalam surat keputusan tadi, akibatnya luas wilayah Desa semakin mengkecil karena hampir 85% areal Desa Pusak Rakyat masuk dalam wilayah Provinsi DKI Jakarta, dan hanya tersisa 215 hektar dari total 1.572 hektar. 2 Oleh karena masih sisa areal tanah dan penduduk maka untuk membentuk menjadai suatu wilayah Desa, sebagian dari Desa tetangga yang terdekat atau tepatnya Desa Pahlawan Setia dilimpahkan ke Desa Pusaka Rakyat 519 hektar berikut penduduknya, dan saat ini Desa Pusaka Rakyat menjadi seluas 734 hektar termasuk dalam wilayah Kecamatan Tarumajaya Kabupaten Bekasi. Wilayah Desa Pusaka Rakyat adalah wilayah penyatuan dari sebagian wilayah Desa Pahlawan Setia yang saat ini sudah sangat jauh berbeda perkembanganya dibanding dengan beberapa tahun sebelumnya. Keadaan ini perlu terus menerus dikembangkan sejalan dengan perubahan zaman, karena wilayah ini masih mempunyai karekteristik tersendiri, baik keadaan alam maupun kehidupan masyarakatnya. Dari pola kehidupan yang statis
2
Ibid., h. 4.
41
tradisional kepada tata kehidupan yang dinamis representative serta upaya menyesuaikan diri kepada kehidupan yang social religius. Adapun Kepala Desa yang pernah menjabat di Desa Pusaka Rakyat yaitu: a. H.AMRULLAH (1967-1975 dan 1976-1985) b. H. M. NAMAN (1984-1991 dan 1992-2001) c. H. MURSALI (2001-2006) d. IRPAN DADI (2006 s/d sekarang ). 3 2. Kegiatan Ekonomi Masyarakat Kegiatan ekonomi masyarakat Desa Pusaka Rakya sebagian besar bekerja sebagai petani namun seiring dengan semakin pesatnya mobilitas penduduk dan banyaknya pabrik yang dibangun. Di sekitar Desa Pusaka Rakyat yang mempengaruh pertumbuhan ekonomi, jika pada 5 tahun sebelumnya penduduk mayoritas adalah petani maka kini bergeser menjadi buruh tani da buruh pabrik, untuk lebih jelasnya seperti yang tertera dalam table dibawah ini: No 1 2 3 4 5 6
3
PEKERJAAN
PRESENTASE
PETANI 15% BURUH TANI 30% BURUH 25% PEDAGANG 8% PEGAWAI/KARYAWAN 12% LAIN-LAIN 10% Sumber:Laporan Desa Pusaka Rakyat Tahun 2010
Ibid., h. 6.
42
B. Eksitensi Desa Pusaka Rakyat 1. Letak Geografis Desa Desa Pusaka Rakyat merupakan salah satu Desa yang ada di kec. Tarumajaya yang dibatasi oleh beberapa Desa, diantaranya Desa Segera Makmur di sebelah utara, Desa Setia Asih sebelah timur, Desa Medan Satria di sebelah Selatan dan DKI Jakarta di sebelah Barat. Hai ini menujukkan bahwa eksistensi Desa atau keberadaan Desa Pusaka Rakya berada di tengahtengah wilayah Kecamatan Tarumajaya Bekasi dan berbatasan langsung dengan Ibu Kota DKI Jakarta. Sedangkan jarak antara Desa dengan pusat pemerintahan Kecamatan sejauh 3 Km, pusat pemerintahan kabupaten 50 Km, pusat pemerintahan propinsi 170Km, dan pusat pemerintahan Ibu Kota Negara 2 Km, sarana transportasinya menggunakan seperti, angkot,ojek dan lain-lain. Keadaan topografi Desa adalah daratan dengan ketinggian tanah dari permukaan laut sejauh 2 m dpl, ini menunjukkan Desa Pusaka Rakyat berdekatan dengan laut Marunda, sehingga rawan banjir. Desa ini sekarang mempunyai luas wilayah 734.747 Ha yang terbagi menjadi empat dusun, yaitu sebagai berikut, a.
Dusun 1
: 276.322 Ha
b.
Dusun II
: 12.214 Ha
43
c.
Dusun III
: 335.211 Ha
d.
Dusun IV
: 05.122 Ha 4
2.
Demogarafi Keadaan penduduk Desa Pusaka Rakya cukup padat, Desa ini di diami oleh sekitar 15.372. hal ini dikarenakan banyak penduduk yang datang dari luar Desa, sehingga terhitung sampai bulan Desember 2009 Desa didiami oleh sekitar 4.831 kepala keluarga yang terdiri dari 7.736 lakilaki dan 7.636 perempuan, tercatat pula penduduk yang lahir pada tahun tersebut sekitar 83 jiwa dan kematian mencapai18 jiwa pada bulan dan tahun tersebut. 5
3.
Fasilitas Sosial Desa Pusaka Rakyat Seiring dengan pertumbuhan penduduk yang semakin pesat, maka perlu di imbangi dengan pembangunan fasilitas sosial baik fisik maupun non fisik, fasilitas jalan. Kesehatan, sosial, penerangan, air bersih, dan olahraga. Fasilitas sosial yang mulai ada atau sedang dikerjakan adalah Banjir kanal Timur (BKT), PNPM Mandiri ataupun oleh lembaga lain yang bersifat swadaya masyarakat. Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang agama disediakan Madrasah Ibtidaiyah, Majlis Ta’lim ataupun
4
Laporan Desa Pusaka Rakyat Kec. Tarumajaya 2009, h. 2. Ibid., h. 6.
5
44
lembaga lainya yang menyelenggarakan kegiatan Keagamaan di hari-hari besar Islam seperti, menyelanggarakan maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi’raj, dll. Sedangakan untuk memelihara keamanan dan kenyamanan masayarakat Desa diadakan kegiatan sitem keamanan lingkungan (Pos Kamling), secara bergilir yang dilaksanakan disetiap RT dalam masingmasing Dusun. 6 4.
Administrasi Pemerintahan Desa/Perangkat Desa Administrsi Desa Pusaka Rakyat tahun2009 di titik bertakan pada administrasi umum yaitu surat masuk dan keluar, adapun jumlah produk surat keluar dan surat masuk selama bulan Januari s/d Desember 2009 sebagai berikut: Surat Masuk
: 113 Nomor
Surat Keluar
: 703 Nomor
Pemerintahan Desa Pusaka Rakyat dikepalai oleh kepala Desa yang dibantu oleh beberapa staf pemerintahan dengan status pegawai, nonpegawai Negeri. Sama halnya dengan status kepala Desa sendiri yaitu sebagai pegawai swasta. Perangkat pemerintahan Desa Pusaka Rakyat terdiri dari :
6
Ibid., h. 8.
45
Daftar Perangkat Desa NO
NAMA
PENDIDIKAN
JABATAN
KET
1
IRPAN DADI
SLTA
KEPALA DESA
ADA
2
H.A.HAFIDI
SLTA
SEK DES
ADA
3
MARDANI
SLTA
KAUR PEMERINTAHAN
ADA
4
UCI SANUSI
SLTA
KAUR KESRA
ADA
5
HANAFI HN
SLTA
KAUR UMUM
ADA
6
JOJO SUDIRJO.SE
SI
KAUR KEUANGAN
ADA
7
EKO KARMAJI
SLTA
KAUR EKBANG
ADA
8
ALEX.S
SLTA
KAUR TRANTIB
ADA
9
H.A.ZARKASI
SLTA
KADUS I
ADA
10
M.ARUS
SLTA
KADUS II
ADA
11
M.ZAINUDIN
SLTA
KADUS III
ADA
12
A. DJASTIN
SLTA
KADUS IV
ADA
Sedangkan perangkat pemerintahan yang ada di Desa Pusaka Rakyat adalah sebagai berikut: 1. Kepala Urusan (KAUR)
: 7 Orang
2. Kepala Dusun
: 4 Orang
46
3. Staf Desa
: 13 Orang
4. Ketua Rukun Warga (RW)
: 18 Orang
5. Ketua Rukun Tetangga
: 64 Orang
C. Pemahaman Masyarakat Tentang Keagamaan dan Hukum Keluarga Penduduk Desa Pusaka Rakyat mayoritas beragama Islam, dan ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut : NO AGAMA
JUMLAH JIWA
PERSENTASE
1
ISLAM
12.297
80%
2
Kristen
1.537
10%
3
Hindu/ Budha/lainnya
1.537
105
Sumber: Laporan Desa Pusaka Rakyat Tahun 2009 tabel di atas menunjukkan mayoritas masyarakat Desa Pusaka Rakyat beragama Islam. Oleh karena itu fasilitas ibadah umat Islam banyak di bangun karena mayoritas masyarakatnya beragama Islam yaitu mencapai 80% oleh karena itu pembinaan bidang keagamaan di Desa ini harus berjalan dengan baik dengan cara ditopang oleh banyaknya sarana peribadatan yang dibangun seperti terlihat pada tabel di bawah ini :
3 N4O
Dusun III (Bogor) Dusun IV ( Harapan Indah) FASILITAS AGAMA
1
3
5
1 ID MASJ
3 LLA MUSO
MAJLIS 2 TAKLIM
1
Dusun I (Kp. Karang Tengah)
1
3
5
2
Dusun II (Tambun Permata)
1
2
4
47
Fasilitas keagamaan yang dibangun, seperti masjid, musollah dan majlis taklim menjadi wadah tersendiri atas kegiatan keagamaan masyarakat, selain itu fasilitas keagamaan tersebut di tunjang juga oleh banyaknya kiyai, ustaz, ustazah maupun tokoh masyarakat lainnya, hal ini menjadikan masyarakat kental dengan nuansa islami.Berkaitan dengan pemahaman masyarakat tentang agama dan fiqih keluarga, berdasarkan hasil
pengamatan penulis. Pemahaman agama masyarakat
masih sangat minim. Hal ini terbukti dari hasil wawancara penulis dengan tokoh masyarakat. Ustz. H. Abidullah Abdullah, misalnya, mengatakan bahwa masyarakat di Desa Pusaka Rakyat sangat minim dalam mengetahui dan memahami fiqih keluarga khususnya masalah yang berkaitan dengan hak-hak istri yang ditalak oleh suami. Warga masyarakat tidak mengetahui secara signifikan karena tokoh masyarakat terutama tokoh keagamaan memberikan penjelasan hanya secara umum dan
memberikan
pelajaran yang bersumber dari kitab-kitab salafi seperti Ukhulu Djain dan Tarbiyatul Fil Islam serta memberikan contoh gambaran melalui kisah Nabi Muhammad. Beliau juga mengatakan terkait masalah hak-hak istri yang ditalaq
oleh
suami, bahwa suami ketika mentalak istri wajib memberikan nafkah. Apabila suami tidak memberikan nafkah maka nafkah terhitung hutang. Namun fenomena yang terjadi di masyarakat Desa Pusaka Rakyat jika ada suami yang tidak bersedia memberikan nafkah iddah biasanya bukan hanya disebabkan oleh ketidakmampuan
48
suami dalam menunaikan tanggung jawabnya tetapi terkadang si suami lebih mengedepankan sifat egois yang disebabkan oleh emosi karena masalah perceraian tersebut. 7 Hal senada juga diungkapkan oleh tokoh keagamaan lainnya seperti Ust. A. Payumi. Sag. Ust Payumi mengatakan bahwa permasalahan nafkah iddah ini masih tabu di kalangan masyarakat setempat. Beliau juga mengatakan jika permasalahan ini mampu penulis sosialisasikan dan realisasikan maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi di mana para istri yang ditalak akan menuntut hak kepada para suami mereka, kendati perceraian tersebut sudah berlangsung cukup lama. 8 Hanya saja beliau mengatakan suami tidak memberikan nafkah iddah disebabkan tidak adanya ekonomi yang menopang suami dalam masalah memberikan nafkah iddah. Pendapat Ust Payumi Berbeda dengan pendapat Ust H.Abidullah Abdullah yang mengatakan factor yang mengedepankan keegoisan semata. Berkaitan dengan minimnya pemahaman fiqih keluarga, ibu Jaronah, salah seorang responden mengatakan bahwa masalah fiqih keluarga sangat jarang disinggung oleh para pengajar apalagi tentang masalah nafkah iddah, oleh karena itu saya tidak mengetahui nafkah iddah, dibawah ini penuturanya:
7 8
Ust. H. Abidullah Abdullah, Ulama Setempat, Wawancara Pribadi, Bekasi, 1 April 2010. Ust. A.Payumi, S.Ag, Ulama Setempat, Wawancara Pribadi, Bekasi, 2 April 2010.
49
“Saya tidak tahu nafkah iddah, dikarenakan baik ustz maupun ustdz jarang sekali membahas masalah fiqih keluarga, beliau hanya membehas permasalahan fiqih secara umum.” 9 Minimnya pengetahuan masyarakat tentang fiqih keluarga selain karena kurang penjelasan yang mendalam dari para tokoh agama, juga disebabkan oleh ketidakingintahuan masyarakat itu sendiri mengenai fiqih keluarga. Sejauh ini masyarakat hanya tahu secara garis besarnya saja maka tidak mengherankan ada pandangan seperti yang dikemukakan oleh ibu Jaronah tersebut di atas. Hal yang sama dialami oleh responden lainnya yaitu Ibu Saomah ketika penulis mewawancarinya. Ia mengatakan pehaman agama sangat baik secara keseluruhan akan tetapi masalah fiqih keluarga hanya sedikit yang memahami karena para tokoh agama baik kiayi, maupun ustad, dan ustadzah. Hanya memberikan pemahaman terkait fiqih keluarga secara umum saja sebagai berikut penuturanya: “ Saya mengetahui tentang nafkah iddah, saya tahu dari beberapa ustz yang berbicara tentang nafkah iddah. Tetapi kebanyakan ustz hanya memberikan gambaran hukum keluarga secara umum saja”. 10 Senada dengan pendapat di atas, sebut saja Nur, yang mengatakan bahwa pemahaman masyarakat Desa Pusaka Rakyat tentang fiqih keluarga masih minim sehingga para istri yang ditalaq jarang sekali mengetahui hak-haknya yang ditalaq.
9 10
Ibu Jaronah, Responden,Wawancara Pribadi, Bekasi, 7 April, 2010. Ibu Saomah, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 7 April, 2010.
50
Oleh karena itu menurutnya para tokoh agama harus memberikan pemahaman yang mendalam mengenai fiqih keluarga dan dalam pelaksanaannya suami wajib memberikan nafkah iddah. Berikut penuturan ibu Nur: “Nafkah iddah harus diberikan oleh suami yang menceraikan istrinya dan apabila suami tidak memberikan nafkah iddah maka hukumnya dosa, setelah perceraian saya diberikan oleh suami dalam bentuk barang seperti motor dan pembiayaan anak juga tetap ditanggung oleh mantan suami saya sampai anak-anak selesai pendidikanya namun
saya tidak tahu
apakah ini yang dikatakan nafkah iddah atau bukan?” 11 Sama halnya juga dengan pendapat dari responden lain yaitu ibu wirdah yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang fiqih keluarga masih banyak yang belum mengetahui terutama para laki-laki yang sering menceraikan istrinya, harus wajib mengetahui sehingga tidak mentelantarkan istrinya begitu saja berikut penuturanya: “ nafkah itu sebenarnya harus diberikan oleh suami terhadap istri yang ditalaq, tapi kenyataan yang di alami oleh saya tidak demikian, saya tidak di berikan nafkah.” 12 Permasalahan seperti ini terkait nafkah iddah yang diterima oleh istri yang ditalaq, yang penulis ambil dari beberapa responden bahwa minimnya pengetahuan yang diketahui oleh kebanyakan masyarkatat Desa Pusaka Rakyat, tetapi dalam 11 12
Ibu Nur, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 6 April 2010. Ibu Wirdah, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 7 April 2010.
51
permasalah agama secara umum sudah banyak yang tahu, seperti sholat, puasa,fiqih terkait dengan tharah (bersuci), dan zakat. Kenyataan yang ada di masyarakat terkait kasus perceraian sebagian besar terjadi tidak melalui pengadilan agama melainkan terjadi secara hukum adat dengan kesepakatan kedua belah pihak dengan disaksikan oleh pihak keluarga, dengan fenomena ini secara otomatis ketetapan nafkah iddah untuk istri tidak di realisasikan dikalangan masyarakat Desa Pusaka Rakyat secara umum, dikarenakan proses percerain tidak melalui Pengadilan Agama. Para istri yang ditalaq pun, tidak mengadukan permasalahan ini kepada yang pihak yang berwenang, umumnya mereka menyelesaikan permasalahan melalui kesepakatan dari pihak keluaganya saja, permusyawarahan tanpa adanya pengikat hukum yang pasti terkadang manusia bisa melakukan pelanggaran yang disepakati bersama, ini sering dilakukan kepada orang-orang yang melakukan perjanjian di atas kertas, pelanggaran ini umumnya dilakukan oleh para mantan suami, banyak hal yang melatarbelakangi para mantan suami untuk mengingkari kewajiban ini, diantaranya tidak mampu membayar, tidak ada tuntutan dari pihak istri dan alasan lainnya yang didasari oleh sikap keegioisan mereka. Oleh karena itu perlu adanya kesadaran masyarakat dan tanggung jawab tokoh masyarakat terkait permasalahan ini, sebab ketidaktahuan masyarakat tentang fiqih agama dipicu oleh ketidakmauan masyarakat mempelajari fiqih keluarga, secara otomatis hak dan kewajiban baik laki-laki maupun perempuan tidak mengetahuinya.
BAB IV HASIL PENELITIAN PELAKSANAAN NAFKAH IDDAH PASCA CERAI DI DESA PUSAKA RAKYAT A. Pelaksanaan Nafkah Iddah Pasca Cerai Berkenaan dengan permasalahan hak- hak istri yang ditalaq oleh suami dan pelaksanaan nafkah iddah secara jelas tertuang baik dalam Undang-undang maupun dalam Kompilasi Hukum Islam di dalam Undang-undang, aturan tersebut pada pasal 86 ayat (1) Undang-undang No. 7 tahun 1989 yang yang bertujuan untuk membela hak-hak istri yang ditalaq. Namun kenyataan yang terjadi di masyarakat terkait tentang permasalahan yang di atas, sangat jauh berbeda dengan apa yang sudah ditetapkan baik di dalam Undang-undang Perkawinan maupun di dalam Kompilasi Hukum Islam yang murni diadopsi dari al-Quran dan al-Hadist. Dari beberapa responden yang penulis wawancarai hanya sebagian kecil wanita yang ditalaq mendapatkan hak-haknya dari suami. Ibu Uum (26 Tahun) yang diceraikan suaminya sekitar 2 (dua) bulan yang lalu, Misalnya mengatakan ia tidak mendapatkan hak-hak dari mantan suami yang menceraikannya. Tetapi di dalam perjanjian setelah perceraian ia mendapatkan 500rb setiap bulan namun kenyataanya tidak direalisasikan oleh mantan suaminya sebagai berikut penuturanya:
52
53
“Saya tidak mendapatkan hak- hak dari suami saya, yang menceraikan saya. Dalam perjanjianya saya mendapatkan 500rb setiap bulan tapi kenyaataanya nihil, buat apa saya mengadukan hal ini kepengadilan prosesnya sangat rumit dan lama, saya juga tidak cerai dipengadilan agama dengan alasan yang sama, prosesnyapun sangat sulit. 1 ” Hal serupa juga dialami oleh beberapa responden lainnya, di Desa Pusaka Rakyat seperti, Ibu Ade. Ia mengatakan, bahwa ia tidak mendapatkan hak-haknya dari mantan suaminya, karena perceraian disebabkan mantan suaminya jarang sekali memberikan nafkah apalagi dalam keadaan bercerai Sebagai berikut penuturanya: “Saya tidak mendapatkan hak-hak yang diberikan oleh mantan suami saya, sebab perceraian dikarenakan mantan suami saya jarang sekali memberikan nafkah, dan perhatian sama saya dan keluarga.
Apalagi
sekarang kita sudah berpisah pasti suami saya tidak ada kepikiran untuk memberikan hak-hak saya sebagai istri” 2 Sama halnya pendapat salah satu tokoh masyarkat yaitu, Ust H. Abidullah Abdullah yang mengatakan bahwa: “Di Desa Pusaka Rakyat hususnya Kadus I jarang sekali suami memberikan hak-hak istri yang ditalaq dikarenakan suami selalu mengedepankan kegoisannya semata”. 3
1 2 3
Ibu Uum, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 11 April 2010. Ibu
Ade, Responden, Wawancara pribadi, Bekasi, 7 April, 2010
Ust. H. Abidullah Abdullah, Ulama Setempat, Wawancara Pribadi, Bekasi, 1 April 2010.
54
Begitu juga dengan pendapat Ust A. Payumi Sag, yang juga mengatakan hak-hak yang diterima oleh istri ketika ditalaq yang ada di desa pusaka rakyat hampir semuanya tidak mendapatkan hak-haknya dikarenakan tidak ada kesepakatan antara dua belak pihak baik dari laki-laki maupun dari pihak perempuan. 4 Berdasarkan uraian hasil wawancara kepada responden dan pendapat dari para tokoh ulama setempat, penulis menganalisa terkait hak-hak istri yang ditalaq menunjukkan bahwa permasalahan yang ada di masyarakat terkait pemberian hakhak istri yang ditalaq belum terealisasikan dengan baik. Meskipun secara umum perceraian mereka tidak melalui pengadilan agama, seharusnya permasalahan ini harus diputuskan dengan tetap mengacu pada al-Quran dan al-Hadist, khususnya dalam masalah pemberian hak-hak istri. Hal yang seharusnya dilakukan oleh suami terhadap istri yang ditalaq adalah memberikan hak-hak istri, seperti nafkah iddah, mut’ah, hadanah, kiswah dan maskan. Tetapi yang terjadi di masyarkat Desa Pusaka Rakyat, banyaknya istri yang tidak mendapatkan hak-haknya, disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1.
Masyarakat tidak mengetahui dan memahami fiqih keluarga, yang mengakibatkanya istri yang ditalaq dan suami yang mentalaq, dan tidak mengetahui hak dan kewajiban yang selayaknya mereka berikan dan mereka dapatkan. Ini yang menyebabkan istri tidak mendapatkan hak-hak yang berhak diterima ketika istri ditalaq.
4
Ust. A Payumi. S.Ag, Ulama Setempat, Wawancara Pribadi,Bekasi,2 April 2010.
55
2.
Percerain mereka tidak melalui pengadilan Agama, melainkan hanya melalui kesepakatan bersama dan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak, sehingga tidak adanya eksekusi yang dilakukan oleh pihak pengadilan agama.
3.
Istri tidak mempersoalkan masalah hak-haknya ini dikarenakan perceraian yang di harapkan oleh istri, di sebabkan suami yang jarang memberikan nafkah ketika masih berkeluarga, serta istri terlanjur sakit hati Inilah yang dialami oleh para wanita yang ditalaq yang ada di masyarakat
Desa Pusaka Rakyat, oleh karena itu perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat, baik dengan melalui penyuluhan terkait masalah hukum keluarga, sikap aparat baik aparat Desa, maupaun pejabat KUA dan pengadilan agama. Untuk selalu memberikan pencerahan kepada masyarkat Desa Pusaka Rakyat, agar masyarakat sadar betul tentang hak dan kewajiban yang mereka dapatkan ataupun mereka berikan. Terkait tentang permasalahan yang sedang penulis bahas adalah bagaimana proses pelaksanaan nafkah iddah di Desa Pusaka Rakyat, sangat berbeda dengan kenyataan yang ada. Selama penulis mewawancarai responden, penulis belum mendapatkan hasil, hanya sebagian kecil adanya suami yang memberikan nafkah iddah kepada mantan istri mereka, karena sebagian besar kasus yang terjadi suami menceraikan istri hanya dengan cara menggunakan selembar kertas saja, maka secara otomatis pelaksanaan nafkah iddah tidak berjalan sesuai yang di tetapkan oleh UU/No.1 /Tahun1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Hal ini berarti menunjukkan bahwa nafkah iddah belum di realisasikan di dalam masyarakat Desa Pusaka Rakyat.
56
Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa responden terkait masalah pelaksanaan nafkah iddah ini, salah satunya dengan ibu Uum beliau mengatakan pelaksanaan nafkah iddah tidak ada beliau tidak menerima apapun dari mantan suaminya. Namun beliau mengatakan bahwa apabila pemberian nafkah iddah wajib diberikan kepadanya, sedangkan mantan suaminya tidak melaksanakan kewajiban tersebut, dia tidak akan menuntut, biarkan Allah saja yang membalas, berikut penuturanya: “Pelaksanaan nafkah iddah tidak ada selama saya diceraikan, jika ini memang ternyata ada dalam peraturan hukum Islam dan saya berhak menerimanya saya tidak akan menuntut kepada mantan suami saya, biarkan Allah saja yang membalas toh sekarang saya sudah mendapatkan suami yang lebih baik, dan lebih perhatian dari sebelumnya”. 5 Hal yang berbeda apa yang dialami oleh ibu Jaronah di mana ia mengatakan tidak mendapatkan nafkah iddah. Akan tetapi ia menyatakan bahwa untuk pembiayaan dan pendidikan anak, mantan suaminya masih bertanggung jawab, dan ia tidak tahu apakah itu bagian dari nafkah iddah atau bukan. Sebagai berikut penuturanya : “Pemberian nafkah iddah tidak saya terima, tetapi suami saya tetap memberikan biaya pendidikan untuk anak-anak, namun saya tidak tahu apakah biaya pendidikan anak merupakan bagian dari nafkah iddah atau bukan..?”. 6
5
Ibu Uum, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 11 April 2010.
6
Ibu Jaronah, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 6 April 2010.
57
Lain halnya juga dengan yang dialami oleh ibu Saomah yang menyatakan mengetahui nafkah iddah tetapi suaminya tidak memberikannya. Namun demikian, ia tetap tidak mau menuntut karena bisa terlepas dari mantan suaminya saja, ia sudah sangat bersyukur. Sebagai berikut penuturanya: “Saya mengetahui tentang nafkah iddah tetapi suami saya tidak memberikan nafkah iddah kepada saya, dan saya tidak banyak menuntut mantan suami saya, terlepas dari suami saya saja sudah bersukur, saya mempunyai 2 anak, anak pertama lakilaki umurnya sekitar 12 tahun, anak kedua juga laki-laki umurnya 8 tahun, perceraian terjadi akibat suami saya tertarik dengan wanita lain dan suami saya sering kasar sama saya”. 7 Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa responden tersebut, terlihat bahwa pengetahuan nafkah iddah di dalam masyarakat Desa Pusaka Rakyat belum ada, karena ketidaktahuan masyarakat mengenai hukum pelaksanaannya. Namun ada juga beberapa sudah mengetahui, tetapi tidak mau menuntut haknya seperti yang dinyatakan oleh Ibu Saomah tersebut. Ketika penulis memawancarai responden lainnya terkait pelaksanaan nafkah iddah, yaitu Ibu Wirdah, pernyataan yang sama dengan Ibu Saomah. Ibu Wirdah mengatakan: “Nafkah itu sebenarnya harus diberikan oleh suami terhadap istri yang ditalaq, tapi kenyataan yang di alami oleh saya tidak demikian, saya tidak di berikan nafkah, ketika anak masih dalam pengawasan saya mantan suami 7
Ibu Saomah, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 7 April, 2010.
58
saya berjanji di depan keluarga saya akan memberikan biaya anak sebesar 100 ribu setiap bulan tapi kenyataanya tidak, dan mana cukup uang 100 ribub selama sebulan.” 8 Ketika anak ibu wirdah sakit, dalam masih pengawasan ibu Wirdah dia bercerita kepada penulis yang membiayai pengobatan dari keluarganya bahkan dari pihak ibu wirdah yang mengatakan bahwa keluarganya masih sanggup membiayai cucunya tidak harus meminta sama mantan suami ibu wirdah. Terkait dengan pernyataan beberapa responden menunjukkan minimnya pengetahuan tentang fiqih keluarga yang masyarakat ketahui. Hal ini disebabkan karena ketidakingintahuan masyarakat tekait fiqih keluarga. Masyarakat hanya tahu pandangan umumnya saja tentang fiqih keluarga maka otomatis tidak menutup kemungkinan ada pandangan yang tetap tidak mau menuntut, meskipun mereka mengetahui nafkah iddah seperti ibu Jaronah dan ibu Wirdah tersebut. Senada dengan pendapat ibu Jaronah dan ibu Wirdah, ibu Nur yang dicerai oleh suaminya sekitar 2 tahun yang lalu, mengatakan bahwa: “ Nafkah iddah harus diberikan oleh suami yang menceraikan istrinya dan apabila suami tidak memberikan nafkah iddah maka hukumnya dosa, saya diberikan oleh suami saya berupa barang seperti motor atas nama saya, dan dalam pembiayaan anak dia juga bertanggung jawab sampai anak-anak
8
Ibu Wirdah, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 7 April 2010.
59
selesai pendidikanya namun saya tidak tahu apakah ini yang dikatakan nafkah iddah?” 9 Sama halnya juga dengan pendapat dari responden ibu Jamilah yang mengatakan: “ Nafkah itu sebenarnya harus diberiakan oleh suami terhadap istri yang ditalaq, tapi kenyataan yang di alami oleh saya tidak demikian, saya tidak di berikan nafkah.” 10 Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan yang ada di masyarakat terkait pemberian nafkah iddah disebabkan ketidaktahuan masyarakat tentang fiqih keluarga selain itu masyarkat juga tidak tertarik untuk memahami ajaran fiqih keluarga hal ini juga ditegaskan oleh salah satu tokoh masyarakat yaitu Ust H.Abidullah Abdullah. “Pelaksanaan nafkah iddah tidak direalisasikan di dalam masyarakat Desa Pusaka Rakyat, karena masyarakat tidak begitu memahami dengan permsalahan fiqih keluarga” 11 Dengan demikian berdasarkan hasil wawancara penulis dengan beberapa responden dan tokoh masyrakat setempat terlihat bahwa pelaksanan nafkah iddah belum terealisasikan, disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, ketidak mampuan suami menjalankan kewajibannya setelah perceraian dan keegoisan suami, serta ketidak berdayaan istri untuk menuntut hak-haknya karena perceraian terjadi hanya 9 Ibu 10
Nur, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 6 April 2010. Ibu Jamillah, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 7 April 2010. 11 Ust. Abdillah Abdullah, Ulama Setempat, Wawancara Pribadi, Bekasi, 23 Maret 2010.
60
berdasarkan hukum agama saja, bukan di pengadilan agama. Inilah yang menyebabkan tidak adanya eksekusi atau tindakan dari pihak pengadilan agama, sebab berlansungnya percerain bukan di pengadilan melainkan atas kesepakatan bersama. B. Alasan-Alasan Suami Tidak Melaksanakan Nafkah Iddah Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan para suami yang sudah menceraikan istrinya. Untuk mengetahui apa yang mengahalangi mereka tidak memberikan nafkah iddah kepada para mantan istri mereka, penulis mendapatkan alasan yang bervariasi. Salah satunya dari alasan tersebut adalah keegoisan mereka setelah perceraian terjadi. Namun umumnya mereka memberikan alasan karena sudah saling membenci satu sama lain. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Joni (26 tahun) bercerai sekitar dua tahun yang lalu ia mengatakan bahwa ia tidak memberikan nafkah iddah dikarenakan sudah membenci mantan istrinya yang selalu banyak menuntut darinya, berikut penuturanya : “ Saya tidak memberikan nafkah iddah kepada mantan istri saya karena saya sudah terlanjur membenci dia, meskipun perceraian kami bukan semata karena kesalahan dia, tetapi saya sudah terlanjur sakit hati atas sikapnya selama perkawinana kami dia terlalu banyak menuntut dan tidak memahami keadaan suami yang bekerja hanya sebagai montir.” 12
12
Bapak Joni, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 24 April 2010.
61
Sama halnya pendapat yang diungkapkan kepada penulis oleh salah satu responden yaitu bapak Marullah (41 tahun), ia mengatakan tidak memberikan nafkah iddah dikarenakan sudah membenci mantan istrinya, bukan karena faktor ekonomi yang menyebabkan tidak memberikan nafkah iddah, melainkan sebab perceraian mereka karena ada pihak ke tiga dari hubungan perkawinanya. Berikut penuturan bapak Marullah: “Saya tidak memberikan nafkah iddah kepada mantan istri, karena saya sudah membenci mantan istri saya, bukan karena faktor ekonomi melainkan adanya pihak ke3 (tiga) dari rumah tangga saya, sedangkan masalah nafkah setelah perceraian,saya beranggapan dia bukan istri saya lagi buat apa saya memberikan nafkah kepada mantan istri saya,sedangkan anak kami semuanya tinggal bersama saya buat apalagi saya memberikan nafkah iddah”. 13 Berbeda dengan apa yang diungkapakan oleh bapak Marullah dan bapak Joni. Bapak Edi (26 Tahun), mengatakan bahwa ia tidak tahu tentang nafkah iddah yang harus ia berikan kepada mantan istri, di samping itu ia juga tidak ada biaya untuk memberikan nafkah iddah kepada mantan istrinya. Seperti terlihat dalam penuturanya:
13
Bapak Marullah, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 25 april 2010.
62
“Saya tidak memberikan nafkah iddah kepada mantan istri karena ketidaktahuan saya mengenai hukum nafkah iddah, selain itu saya juga tidak mampu memberikanya.” 14 Hal ini senada dengan pendapat bapak Sarkowi (31 Tahun) yang bercerai sekitar 10 bulan yang lalu Ia mengatakan bahwa ia juga tidak memberikan nafkah iddah, dikarenakan ketidak tahuan ia tentang nafkah iddah, akan tetapi dalam masalah pembiayaan anak dalam tanggung jawabnya sebagai berikut penuturanya: “Saya juga tidak memberikan nafkah iddah kepada mantan istri saya, dikarenakan tidak tahu nafkah iddah dan berapa yang harus saya berikan, tetapi masalah pembiayaan anak tanggung jawab sepenuhnya dari saya, di karenakan anak tinggal dengan saya 15 ” Inilah
fenomena yang terjadi di Desa Pusaka Rakyat tempat penelitian.
Dengan melakukan studi kasus dan terjun langsung ke lapangan penulis menemukan fenomena yang bermacam-macam yang ada pada masyarakat Desa Pusaka Rakyat yang terkait dengan permasalahan yang penulis angkat menjadi judul skripsi penulis. Setelah memperhatikan pendapat para responden, yaitu para mantan suami yang tidak memberikan nafkah iddah kepada para mantan istri mereka, penulis dapat memberikan kesimpulan tentang alasan-alasan yang mendasari tidak dilaksanakannya kewajiban nafkah iddah sebagai berikut :
14 15
Bapak Edi, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 26 april 2010. Bapak Sarkowi, Responden, Wawancara Pribadi, Bekasi, 27 April 2010.
63
1) Ketidak tahuan suami tentang masalah pelaksanaan nafkah iddah dan juga keengganan suami untuk berusaha mengetahuinya. 2) Rasa keegoisan suami, karena sudah terlanjur membenci mantan istrinya. 3) Tidak adanya rasa kesadaran dan tanggung jawab suami tentang kewajibannya setelah perceraian, karena pada dasarnya jika terjadi percerian pasangan suami istri hanya terlepas dari hubungan badan, tetapi dalam hubungan nafkah masih menjadi kewajiban suami selama dalam koridor talaq raj’I dan sang istri masih berada dalam masa iddah.
C. Respon dan Sikap Hakim Terkait Pelaksanaan Nafkah Iddah Fenomena yang terjadi di kalangan masyarakat perceraian tidak dilakukan di pengadilan agama. Adapun Terkait masalah respon atau tindakan hakim, dalam hal pemberian nafkah iddah. Penulis mencoba mewawancarai hakim Pengadilan Agama Bekasi beliau mengatakan: “Pertama hak-hak yang dapat dituntut isteri di Pengadilan Agama adalah nafkah iddah, mut’ah, nafkah madliyah, biaya anak, harta bersama serta mahar yang masih terhutang. Kedua, ada tiga cara bagi isteri untuk menuntut hak-haknya setelah perceraian yaitu, melalui gugatan berdiri sendiri, kumulatif serta rekonpensi. Ketiga, pelaksanaan putusan pemenuhan hak-hak isteri di Pengadilan Agama mungkin bisa langsung di depan majelis hakim
64
setelah ikrar talak diucapkan, atau dengan menunda ikrar talak selama enam bulan agar suami diberi waktu untuk memenuhi kewajibannya”. 16 Beliau juga mengatakan terkait dengan tindakan pengadilan agama bagi suami yang tidak memberikan nafkah iddah. Apabila setelah enam bulan tersebut suami tetap tidak memenuhi kewajibannya dan suami tetap ingin melaksanakan ikrar talak, maka ikrar talaq tetap diucapkan tetapi Pengadilan Agama akan memberikan satu kebijakan untuk melindungi hak-hak isteri yaitu dengan menahan akta cerai serta akta nikah, masalah seperti ini sangat sering terjadi di pengadilan Bekasi, biasanya mengenai pemberian nafkah iddah, mut’ah dll. Dalam masalah ini Hakim biasanya akan memerintahkan pihak suami untuk menyediakan uang dan membayarkannya langsung di depan Hakim, karena ada rasa kekhawatiran hakim suami tidak mau memberikan nafkah iddah maupun nafkah mut’ah sesuai kesepakatan setelah peceraian . Berdasarkan penelitian dan wawancara kepada hakim pengadilan agama Bekasi, maka penulis memaparkan beberapa hal. Bahwa dalam suatu sidang perceraian khususnya cerai talaq (permohonan cerai yang diajukan oleh suami), Pengadilan Agama dapat menentukan suatu kewajiban bagi mantan suami. Memerintahkan mantan suami untuk memberikan mut’ah kepada mantan istrinya dan nafkah kepada anak-anaknya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri.
16
2010.
Bapak Endoy Rohana ,Hakim Pengadilan Agama, Wawancara Pribadi, Bekasi, 31 Maret
65
Akibat hukum bagi suami yang tidak mau melaksanakan kewajiban pemberian mut’ah dan nafkah anak sesuai dengan putusan pengadilan, maka mantan istri atau wali dari anak dapat mengajukan permohonan eksekusi atas putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap ke Pengadilan Agama yang memutus perkara tesebut, kemudian Pengadilan Agama atas pemohonan eksekusi tersebut akan memberikan aanmaning (teguran) 2 (dua) kali kepada mantan suami.
Apabila
mantan suami tetap tidak melaksanakan isi putusan tersebut dengan sukarela, maka Pengadilan Agama dapat memerintahkan panitera pengadilan untuk mengadakan eksekusi atau penyitaan atas harta yang dimiliki mantan suami. Namun demikian, para hakim menyadari bahwa meskipun perceraian dilakukan di pengadilan agama, tidak selalu nafkah iddah dilaksanakan dengan baik dan efektif. Hal itu disebabkan oleh beberapa kondisi sebagai berikut : 1) Keadaan finansial mantan suami yang terbatas karena banyak digunakan untuk membiayai proses perceraiannya dengan termohon serta biaya kuasa hukum dalam pembelaan pemohon di pengadilan. 2) Tidak adanya pasal dalam undang-undang serta peraturan yang lain, yang mengatur batas waktu penundaan pemberian mut’ah dari suami kepada mantan istrinya. 3) Kurangnya kesadaran moral mantan suami (duda) karena mantan suami tidak dapat menerima sikap tidak baik mantan istri dan keluarganya sebelum terjadi perceraian.
66
Namu begitu, jika perceraian dilakukan di pengadilan agama beberapa tindakan hukum baik oleh hakim maupun oleh pihak berpekara dapat diupayakan dimana kebijaksanaan Pengadilan Agama Bekasi sebagai cara untuk melindungi hak mantan istri untuk mendapatkan mut’ah, dan untuk mengatasi beberapa hambatan dari pihak suami seperti di atas sebagai berikut: 1) Sebelum suami membacakan ikrar talaq, suami terlebih dahulu harus menyelesaikan kewajibannya yang telah tercantum dalam amar putusan yang salah satunya adalah biaya mut’ah. 2) Apabila kewajiban atas pemenuhan biaya mut’ah itu telah dilaksanakan, barulah suami boleh membacakan ikrar talaq bagi istrinya di depan hakim Pengadilan Agama. Setiap putusan Pengadilan perkara perdata idealnya dipatuhi dan dilaksanakan sendiri oleh pihak tergugat. Namun jika tidak demikian, maka hukum acara yang berlaku memberikan jalan yang harus ditempuh oleh pihak penggugat, yaitu melalui permohonan eksekusi. Hal ini berlaku apabila proses perceraian dilakukan di pengadilan agama dan ada perlindungan hukum bagi istri yang diceraikan. Kenyataan yang ada di dalam masyarakat Desa Pusaka Rakyat di mana suami menceraikan istrinya tidak melalui pengadilan agama, menyebabkan tidak adanya eksekusi yang berlaku apabila tidak ada pelaksanaan nafkah iddah, sehingga istri tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya di dapati oleh istri yang ditalaq.
BAB V PENUTUP
A.
KESIMPULAN Dari uraian penjelasan dan pembahasan mengenai nafkah iddah dan
pelaksanaannya maka penulis memberikan beberapa kesimpulan yaitu : 1) Pelaksanaan nafkah iddah pasca cerai tidak direalisasikan di masyarakat Desa Pusaka Rakyat, yang seharusnya dilakukan oleh suami yang mentalaq istri dan beberapa istri tidak menuntut hak-haknya, karena perceraian tersebut justru di harapkan oleh sang istri, dengan alasan suami yang jarang memberikan nafkah ketika masih berkeluarga. 2) Ketidak tahuan suami tentang masalah pelaksanaan nafkah iddah dan juga keengganan suami untuk mengetahuinya, selain itu terdapat juga rasa keegoisan suami untuk tidak melaksanakan kewajibannya memberikan nafkah iddah karenakan sudah terlanjur membenci mantan istrinya. Belum adanya kesadaran dan tanggung jawab dari pihak mantan suami, tentang hakikat peceraian yang sebenarnya, bahwa pada dasaranya percerian antara suami dan istri menyebabkan hanya terlepas hubungan badan saja, tetapi dalam hubungan nafkah masih menjadi kewajiban suami selama dalam koridor talaq raj’I dan istri masih dalam masa iddah. 3) Jika peceraian dilakukan di pengadilan agama maka mantan istri atau wali dari anak dapat mengajukan permohonan eksekusi atas putusan yang
67
68
memperoleh kekuatan hukum ke Pengadilan Agama yang memutus perkara peceraian.
Kemudian
Pengadilan
Agama
atas
pemohonan
eksekusi
memberikan aanmaning (teguran) 2 (dua) kali kepada mantan suami, apabila mantan suami tetap tidak melaksanakan isi putusan tersebut dengan sukarela, maka Pengadilan Agama dapat memerintahkan panitera pengadilan untuk mengadakan eksekusi atau penyitaan atas harta yang dimiliki mantan suami. B. SARAN Dari hasil penelitian penulis menemukan permasalahan yaitu banyaknya kasus perceraian yang tidak dilakukan di Pengadilan Agama oleh karena itu tidak ada eksekusi yang dilakukan oleh pengadilan agama. Untuk itu penulis memberikan beberapa saran terkait dengan permasalahan tersebut, sebagai berikut: 1) Tokoh masyarakat hendaknya memberi pengetahuan kepada masyarakat tentang fiqih keluarga secara detail bukan dengan secara umum saja, dan harus ada sosialisasi tentang pelaksanaan hukum keluarga kepada masyarakat Desa Pusaka Rakyat, agar masyarakat tidak sekedar tahu saja tentang fiqih keluarga akan tetapi masyarakat juga tahu hak dan kewajiban masing-masing, terutama hak dan kewajiban setelah perceraian terjadi. 2) Baik Pengadilan Agama, KUA maupun aparat desa harus berkerja sama dalam mensosialisasikan hukum keluarga, dan memberikan penjelasan kepada masyarakat setempat bahwa perceraian yang dilakukan tidak melalui Pengadilan Agama hanya sah menurut agama saja, tetapi tidak sah menurut hukun dan Undang-Undang perkawinan yang berlaku di Indonesia.
69
3) Masyarakat harus secara aktif mempelajari aturan hukum keluarga dan meningkatkan kesadaran hukum mereka sehingga masyarakat hendaknya melakukan perceraian di pengadilan agama, sehingga ada perlindungan hukum tetap, bagi istri yang di talaq suami, dan kedua belah pihak yang bercerai harus menyadari hak dan kewajiban masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku Al-Qur'an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara, Jakarta: 1986. Abidin, Slamet dan Aminudin.H Fiqih munakahat II, Bandung: Pustaka Setia, cet ke 2 1996. Ali, Muhammad Daud , Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Pustaka Pelajar. 1996. Armojo, Arso, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang 1981. Al-hadad, At-Tahir “Wanita Dalam Syariat Dan Masyarakat” Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996. Basyir, Azhari, Hukum Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: 1997. Al-Bukhory Abi Abdillah Muhammad bin Ismail, , Sahih Bukhori, Juz III, Beirut: Daar Al-Kutub Al-‘ilmiyyah, 2003. Dahlan, Abdul,Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ictiyar Baru Van Hoeve, 1999. Doi, Abdul Rahman, Perkawinan Dalam Syariat Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta 1992. Effendi M, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana, Cet 2, 1999. Al-Fauzan, Saleh,Fiqih Sehar-hari, jakarta:Gema Insani, cet. I,, 2006. Mahfud, Moh., dkk., Pengadilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1999. Manan Abdul, Problematika Hadanah Dan Hubunganya Dengan Praktik Hukum Acara Di Peradilan Agama, Dalam Mimbar Hukum, 2000. Muhtar, Kamal, Asas Hukum Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, cet. 11, 1987. Munawwir,A.W dan Muhammad Fairuz, Kamus Indonesia Arab, Surabaya: Pustaka Progresif, 2002. Nuruddin, Amiur dan Azhari Kamal Taringan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia , Jakarta: Kencana, 2006.
66
67 Nughniyah Muhammad Jawad , Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsan, Terjemahan Masykur A.B. Afif Muhammad, Idrus Al-Kaff, ( Jakarta:Anggota IKAPI 2006), cet. IV, Ramulyo, M. Idris, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Ind. Hill Co,1991. Rasjid, Sulaiman, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2006. Sabiq, Sayyid, Fiqih Sunnah, Jilid 2, Beirut: Darul Fikry,1992. Saleh, K. Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978. Asy-Syaukani Muhammad Bin Ali Bin Muhammad Al-Yamani, Ar-Raudhah AnNadiyah, t.th. Syaripuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta:Prenada Media, cet. II,2006. Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, cet 1 1982. Thalib, M., Liku-liku Perkawinan, Yogyakarta: P.D. Hidaya cet 1, 1986. ‘Uwaidah, Muhammad Kamil, Fiqih Wanita, Jakarta: Pustaka Kautsar,2000. Yanggo, Chuzaima T. dkk., Problematika Hukum Islam Kontemporer, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. B. Peraturan Perundang-undangan Kompilasi Hukum Islam Tentang Perkawinan di Indonesia, Harian Presindo, Jakarta: 2007. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia, PT. Pradya Paramita, Jakarta: 1987.
Wawancara dengan Respondent Wawancara ini dilakukan pada tanggal 26MARET.2010, pukul 19.30 WIB, bertempat di kediaman responden Jl. Tambun Permata Desa Pusaka Rakyat Wawancara ini dilakukan terhadap Ust. Ahmad Payumi,Sag, sebagai tokoh masyarakat di wilayah ini TR UST
: bagaimana kondisi agama warga desa pusakarakyat? :Sangat baik, terbukti dengan adanya pengajian baik dari kalngan ibu-ibu, bapak-bapak, maupun dari kalangan anak muda. Acara-acara besar pun seperti, isra mi’raj, maulid nabi Muhammad SAW.
TR
: Ada berapa majlis ta’lim yang ada di tambun permata ?
UST : pengajian sangat banyak sekali di tambun permata, hampir 10 majlis ta’lim, baik dari bapak-bapak, ibu-ibu anak muda, dan anak-anak kecil. TR UST
: bagaimana cara anda memberikan pengatahuan tentang fiqih keluarga? :Materi yang saya sampaikan, tentang fiqih dan langsung dicontohkan dengan kehidupan keluarga nabi Muhammad SAW.
TR
:tanggapan apa yang diberikan masyarakat apabila anda memberikan pengatahuan terkait tentang fiqih keluarga?
UST
:sangat antusias sebab pengajian bersifat interaktif, apabila ada permasalahkan maka jama’ah langsung bertanya.
TR
: Bagaimana pandangan Anda terhadap suami yang tidak memberikan nafkah iddah?
UST
:Bahwa nafkah iddah wajib diberikan oleh suami yang mentalaq istrinya, karena nafkah iddah iddah tidak membuat istri yang terlantar, tidak terkesan mau diajak kemana-kemana oleh laki-laki lain.
TR
:Menurut pendapat Anda, faktor apa yang menyebabkan suami yang tidak memberikan nafkah iddah?
UST
:factor yang menyebabkan suami tidak memberikan nafkah iddah adalah factor ekonomi, dan ada juga rasa ke egoisan laki-laki, karena dia sudah membenci mantan istrinya.
TR
: Apa problem yang dialami oleh istri yang ditalaq tidak mendapatkan nafkah iddah?
UST
: ya itu tadi terkesan istri gampang mau di ajak dengan laki-laki lain, karena tidak ada yang membantu ekonomi wanita yang dicerai, kamu tau lah orangorangnya.
TR
: Sepengetahuan anda, ada berapa banyak istri yang ditalaq tidak mendapatkah nafkah iddah di Desa Pusaka Rakyat?
UST
: hampir semuanya, karena masyarakat belum mengetahui betul tanggung jawab masing-masing sehingga gampang sekali melakukan percerain dan perkawinan.
Pertanyaan responden bagi wanita yang diceraikan
TR: Sejak kapan ibu bercerai..? WR:Sejak bulan agustus 2009 TR: Apa alasan suami yang menceraikan ibu..? WR:Saya tidak mau dimadu oleh suami saya dan saya diceraikan oleh suami TR: Dimanakah proses perceraian ibu dilakukan…? WR: Di rumah saya, dan di saksikan oleh amil setempat yaitu H. Muhadis TR: Ketika ibu dicerai apakah ibu mendapatkan hak-hak ibu..? WR: tidak ada nihil. TR: Apakah ibu mengetahui tentang nafklah iddah..? WR: Saya tau tentang nafkah iddah TR: Apakah ibu mendapatkan nafkah iddah ketika ibu dicerai…? WR: ga, dalam perjanjianya mantan suami saya ingin memberikan tiap bulan 500 rb, tapi kenyataanya tidak ada. TR: Bagimana pelaksanaan nafkah iddah menurut ibu…? WR: Harus diberikan oleh suami kepada istri yang ditalaq. TR:Apabila ibu tidak mendapatkan nafkah iddah, bagaimana ibu melaporkanya..? WR: ke H. M uhadis amil setempat. TR: Apa alasan suami yang tidak memberikan nafkah iddah..? WR: Dia sudah kesel sama saya, dan saya juga tidak berharap sebab orang tua saya masih mampu mnafkahi saya.
Wawancara responden yang menceraikan
TR: Sejak kapan anda menceraikan istri anda…? JN: Sejak 6 bulan yang lalu TR:Apa alasan anda menceraikan istri anda…? JN:karena mantan istri saya tidak menghargai saya sebagai laki-laki dan banyak sekali tuntutanya ke pada saya. TR:Anda tau tentang hak-hak istri yang anda ceraikan…….? JN:Tau, dan saya tidak memberikan hak-haknya. TR:Taukah anda tentang nfkah iddah…..? JN:Tau, ketika saya memberikanya, dari pihak keluarganya tidak mau menerima pemberian dari saya. TR:Apa alasan anda tidak memberikan nafkah iddah….? JN:Sejak saat itu saya membenci mantan istri saya, memberikan nafkah iddah.
dan saya tidak mau