Pegiat Sastra Ikastara.org
SURAT
yang Tak Pernah
SELESAI
SURAT
yang Tak Pernah
SELESAI
Penyusun: Pegiat Sastra Ikastara.org PenyunƟng: PraƟwi Utami Perancang Isi: Putri Fauzia Perancang Sampul: Diki Sutanto Fotografer Sampul (gedung Balairung): Abimanyu Hendi Ilustrator isi: Ni Made Desi Ariani 150 x 210 mm; 300 hal. Penerbit Forum Sastra Ikastara.org www.ikastara.org
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang memperbanyak dan menyebarkan sebagian dan/atau seluruh isi buku ini tanpa seizin Ikastara.org Dicetak oleh: Percetakan Kanisius Jln. Cempaka 9 Deresan Yogyakarta 55281 Telp. (0274) 588783, 565996; Faks. (0274) 563349 www.kanisiusmedia.com
Pengantar Pegiat Sastra Ikastara.org
Kalimat pertama tentu saja ungkapan syukur kepada Tuhan Sang Maha Pemberi Rahmat bahwa akhirnya antologi ini berhasil terbit. Terima kasih buat teman-teman aktivis forum sastra di Ikastara.org, atas semangat yang sama untuk melanggengkan sastra sebagai bentuk ekspresi dan inspirasi di samping kesibukan harian. “Cinta dan cita-cita” yang menjadi tema antologi ini adalah topik segar dan tak habis-habisnya untuk diceritakan. Melalui banyak tokoh, lika-liku alur yang begitu unik, juga ungkapanungkapan yang seringkali sederhana namun sarat kesan. Ya, kita semua dilahirkan sebagai buah cinta, menjalani hidup demi mengekspresikan cinta, dan semua orang bercita-cita menemui akhir yang penuh cinta. Dalam hidup yang sarat cinta itu setiap manusia memiliki jalan masing-masing yang begitu menarik, terangkum dalam satu kata “misteri”. Suratan takdir akan terus ditulis, tak bisa ditebak, entah kapan selesai dengan silih bergantinya pemain dalam beragamnya cerita hidup. Dongeng-dongeng kecil yang meninabobokan kita dulu mungkin sangat sederhana. Tentang para pangeran dan putri kerajaan yang berjuang melawan si jahat, diawali dengan kalimat “... pada jaman dahulu kala” lalu ditutup dengan kalimat ”... dan mereka bahagia selamanya” mengiringi damainya tidur ke
Surat yang Tak Pernah Selesai | 3
alam mimpi. Namun semakin kita beranjak dewasa, nilai baik atau buruk menjadi bias karena ada kepentingan yang selalu bermain dalam setiap kejadian. Setiap orang mempunyai perasaan, menyimpan cita-cita, dan mendapatkan kasih cinta yang dirindukannya masing-masing. Lalu, ketika menjalani kehidupan itu, apa yang lebih baik selain menjadi diri sendiri? Ketidak jujuran akan diri sendiri adalah belukar yang membuat setiap langkah kita berubah menjadi kesengsaraan. Orang lain boleh memberi pandangan akan sesuatu hal, tetapi siapa lakon utamanya? Tetaplah diri sendiri. Sehingga kejujuran menjadi hal terindah, terlepas dari permainan dalam nada mayor ataupun minor, atau berpihak pada kepentingan apapun. Kejujuran, selalu punya nilainya sendiri. Kita, pada hakikatnya belajar dari cerita-cerita. Dari siapakah cerita-cerita paling menarik akan terungkap? Tentu dari mereka yang sepenuh hati ingin berbagi. Ada pertanyaan usil, bagaimana kalau kita dibohongi? Ya jangan dengarkan cerita dari satu orang. Pengalaman dan kedewasaan mencerna banyak cerita akan membawa manfaat besar bagi kita. Toh, tidak pernah ada orang besar tanpa belajar dari kesalahan, sebagaimana tak ada orang besar yang tak terinspirasi sebuah keberhasilan. Di buku yang Anda pegang inilah, terangkum cerita-cerita cinta yang kaya akan cita-cita. Seluruh kisah ditulis sendiri oleh para pecinta sastra di forum Ikastara.org. Kisah-kisah yang ditulis dalam keragaman setting dan ide cerita, dikumpulkan atas tujuan ingin berbagi. Syukur-syukur jika benar-benar bisa menyentuh dan menginspirasi. Cerita-cerita dalam buku ini hanya akan jadi gosip murahan jika tak dikemas dengan baik. Maka, para pegiat sastra forum Ikastara.org sepenuh hati memberikan apresiasi kepada mereka yang turut menyumbangkan kerja kerasnya dalam bentuk lain demi terbitnya antologi ini. Di antaranya untuk Jeng Eci atas ilus4 | Pegiat Sastra Ikastara.org
trasinya yang “wowww..”, Bos Bimbim yang telah menyumbangkan karya fotografinya, dan Jeng Valentina yang sepertinya paling sibuk ke sana ke mari. Juga untuk Mr. Nade plus Mbak Tiwie yang ternyata tetanggaan di kota Yogyakarta, dan sudah bertukar pikiran memilihkan cerpen-cerpen yang oke. Serta tentu saja buat segenap admin forum Ikastara.org nan ganteng-ganteng, karena telah memberikan wadah bagi mendunianya banyak karya mempesona ini melalui kecanggihan internet Tanpa berpanjang kata lagi, segeralah baca halaman demi halaman buku ini. Temukan cerita menarik dan lihatlah apa yang akan terjadi ketika perasaan terdalam Anda tersentuh. Selamat membaca!
Sigit Santoso
Surat yang Tak Pernah Selesai | 5
Catatan Penyunting
Jika Anda berpikir bahwa SMA Taruna Nusantara Magelang hanya diisi oleh manusia-manusia kaku yang tunduk pada tata laku militerisme yang baku, maka Anda harus siap-siap gigit kuku. Bahwa manusia-manusia TN kenyang makan peraturan, iya. Setiap perpindahan tempat secara berkelompok harus terangkum dalam barisan, benar. Namun, siapa sangka, manusia-manusia yang menghabiskan tiga tahun masa mudanya di sekolah berasrama ini menyimpan bakat-bakat sastra yang kaya? Adalah Forum Ikastara.org yang mula-mula memfasilitasi kelahiran klub sastra bagi para alumni SMA TN lintas angkatan. Subforum ini dibuat untuk para pecinta, penggila, pembuat, atau penikmat karya sastra. Lalu, setelah berbagai karya dibagi lewat dunia maya, semua baru menyadari bahwa puluhan prosa telah menjejali subforum ini. Apakah puas sampai di sini? Syukurnya, tidak. Para pegiat sastra di Ikastara.org mengambil keputusan besar: karya-karya ini tak boleh hanya jadi produk masturbasi. Dibuat dan dinikmati untuk diri sendiri, untuk komunitas kecil ini. Karya-karya ini harus dikumpulkan, dibukukan, dan disebarluaskan. Agar karya-karya tersebut bisa dibaca dan dirasa oleh manusia lain di luar sana, nyata maupun maya. Maka sampailah naskah antologi kisah itu ke meja saya, ratusan halaman panjangnya. Perlu waktu yang cukup lama bagi saya untuk memilih kisah-kisah mana saja yang bisa dicetak ke halaSurat yang Tak Pernah Selesai | 7
man buku. Kriteria “layak” dan “tidak layak” yang biasa saya terapkan selama bekerja di industri penerbitan, menjadi melar dalam proses memilih tersebut. Sebab, ternyata penilaian terhadap karya sastra amat subjektif dan susah dibikin pakemnya. Sebanyak 30 karya yang diterbitkan dalam buku yang Anda pegang ini, dan sekitar belasan sisanya yang terpaksa menginap di komputer saya, adalah karya-karya sastra yang indah. Bahkan jika boleh semua kisah saya letakkan dalam buku ini. Akhirnya, pemilihan saya lakukan atas dasar kekayaan plus kebhinekaan ide, kualitas eksekusi secara redaksional, serta kesesuaian dengan tema: “Kerinduan akan Cita dan Cinta”. Betul. Ini tema klise. Namun, karena klise itulah, tema cinta dan cita-cita tak pernah khatam dibicarakan. Senantiasa hangat untuk diceritakan, dan tak bosan ditunggu. Tak ubahnya secangkir kopi yang Anda nikmati setiap pagi. Meski Anda sudah hafal bagaimana baunya, sudah tahu bagaimana rasanya, tapi selalu Anda nantikan hadirnya. Buku ini terbagi ke dalam empat fragmen yang dilakukan semata-mata untuk membuat kisah-kisah dalam buku ini mengalir lancar dan lembut. Klasifikasi dibuat dengan harapan Anda bisa lebih mudah memahami misi di setiap fragmen. Fragmen pertama sarat akan kisah cinta sepanjang masa: Cinta SMA. Banyak orang bilang, masa muda paling berkesan adalah saat SMA, karena sarat akan pengalaman berharga, kedodolan dan kenakalan remaja, juga tentu saja kisah cinta. Fragmen kedua mengantar Anda pada rumus keramat tentang cinta: “love isn’t love till it’s told”. Ya, dalam fragmen ini, Anda akan menemukan penyesalan atas cinta yang tak tersampaikan, juga kebahagiaan saat cinta dan ketulusan diungkapkan. Sementara, fragmen ketiga mengajak Anda jalan-jalan di benua seberang. Kisah-kisahnya mengambil setting waktu dan tempat di luar negeri. Dilaporkan langsung oleh saksi mata, alias oleh 8 | Pegiat Sastra Ikastara.org
penulis yang pernah atau sedang tinggal di negara yang ia ceritakan. Isu-isu “seksi” seperti komersialisasi seks dan daya tahan akan sebuah relasi dapat Anda nikmati dalam fragmen ini. Fragmen terakhir menghimbau kita semua untuk berkaca. Cerita-cerita dalam fragmen ini memang kaya akan bahan refleksi, dan mudah-mudahan bisa menginspirasi. Sudahkah kita bersikap sensitif akan sekitar? Perlukah kita memelihara rasa gengsi secara berlebihan? Bisakah cinta diukur dengan logika? Apa bisa kita hidup tanpa merawat rasa cinta dan peduli akan sesama? Tigapuluh kisah dalam buku ini dibuat oleh 13 penulis yang ragam akan latar belakang budaya, lokasi, pengalaman, selera, dan gaya penulisan. Namun, berdasar diskusi dengan tim penyusun, sengaja kami tidak menyertakan nama penulis di setiap halaman cerita. Sekali lagi, biar buku ini utuh bercerita tanpa tendensi dan ekspektasi akan nama penulisnya. Sekaligus – jika Anda punya cukup waktu – Anda bisa main tebak-tebakan ringan: siapakah penulis dari kisah yang tengah Anda baca? Menutup catatan ini, saya sebagai penyunting, penikmat sastra, dan juga alumni dari SMA yang sama, mengajak Anda berpikir puluhan kali jika menganggap anak TN buta sastra. Silakan katakan bahwa anak TN adalah komandan berhati roman. Sebab, memang amat banyak talenta dan kelembutan sastra yang menyembul dari balik megahnya seragam atau tegapnya barisan. Lagipula, saya harus bilang bahwa kehidupan dan pengalaman di TN – dengan segala keunikannya – memanglah juga sebuah karya sastra. Selamat menikmati sastra ala Taruna Nusantara! Yogyakarta, 8 Juli 2010 Pratiwi Utami Surat yang Tak Pernah Selesai | 9
Daftar Isi
Pengantar Pegiat Sastra Ikastara.org — 3 Catatan Penyunting — 7 Daftar Isi — 11 Surat Cinta dari SMA — 13 Hari Baru untuk Dia — 15 Mimpi yang Mewujud — 19 Hadiah Terindah — 41 Pilihan — 49 Aku Benci Bahasa Inggris — 60 Dilema — 68
Cinta di Ujung Lidah — 73 Padahal — 75 Cinta Sepenuh Hati: Apapun Untukmu — 85 Cinta Sepenuh Hati: Maaf — 90 Kejora… Kerlip Bintangku — 96 Merindu Bulan — 107 Pantaskah Aku? — 112 Tempat yang Belum Pernah Kudatangi — 124 Aku Tak Mau Jadi Layang-Layang — 126 Ritual Makan Bersama — 130 Selamat Jalan, Vi… — 152 Surat yang Tak Pernah Selesai | 11
Seputih Nuriku — 160 Cinta, Bantal, dan “Aku Akan Selalu Ada Untukmu” — 199 Surat yang Tak Pernah Selesai — 204
Remah Kisah dari Benua Sebelah — 209 Trilogi Amstel: Seutas Tali di Atas Bantal — 211 Trilogi Amstel: Di Tepian Amsteldijk — 219 Trilogi Amstel: Sungai Amstel dari Balik Jendela — 228 Chibiko — 239 Chibiko: Catatan Saat Salju Melambai Pergi — 242 Tulip Hitam — 245
Cinta dalam Cermin: Surat-Surat Refleksi — 265 Cinta Lengkapi Kita — 267 Cukup Hanya Cinta — 273 Aku Kembali, Guruku… — 278 Perjumpaan Pertama —281 Tiga Hal dari Ibu — 285
Tentang Penulis — 295
12 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Surat Cinta dari SMA
Hari Baru untuk Dia “Hari ini dia ulang tahun!” Aku menatap Listy dengan setengah bengong. Anak ini datang-datang langsung berpidato tentang hal yang nggak aku pahami. Siapa yang ulang tahun? “Hei, Meimei! Hari ini dia ulang tahun, loh! Kamu udah nyiapin apa?” Aku tatap Listy, “Siapa yang ulang tahun, Lis?” “Ya ampun, Meimei! Your knight in the shining armour!” “Ha?” “Cowok pujaan kamu!” “Oh…” “Oh? Cuma ‘oh’? Ayolah Meimei! “ “Nah, terus aku harus ngapain? “ “Mei! Aku udah baik-baik lari-lari ke sini buat ngasih tau ke kamu kalau si Akbar ulang tahun hari ini, kamunya cuma nanggapi dengan ‘oh’. Apa-apaan tuh? Excited dikit, kek! Antusias, kek!” “Iya, Lis. Aku antusias, kok. Cuma kamunya aja emang ngagetin tadi, makanya aku agak bengong. Belum nyambung.” “Hm… Oke, jadi, kamu mau ngasih apa?.” “Apa, ya?”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 15
Jujur aku bingung, Akbar adalah cowok yang setahun ini aku taksir. Dia cuek dan kayaknya sih nggak punya perasaan khusus sama aku. Tapi kadang dia nunjukin kalau dia perhatian sama aku. Itu juga itungannya jarang. Tapi aku nggak yakin, apa dia memang perhatian, atau akunya aja yang kege-eran. “Gimana kalau kamu ngasih kado yang isinya sekalian kamu nembak dia?” Ucapan Listy membuyarkan pikiranku. “Hah? Nembak dia duluan? NGGAK!” “Haduh, Mei. Nggak usah gengsi gitu donk! Mau sampai kapan kamu cuma jadi penggemar rahasia dia? Kalau kamu sudah nembak, kamu bakalan tau apa dia suka juga atau nggak.” “Nggak!” “Ya udah!” Listy pergi meninggalkanku. Dia biasa seperti itu kalau lagi ngambek karena pendapatnya aku mentahkan. Kado buat Akbar, ya? Hm… *** Akbar ada di pojok kelas. Listy masih saja mendorongku untuk memberikan kado di tanganku untuk si Akbar, sambil membujukku memberi tahu dia apa isi kado itu. Listy tidak tahu isi kado ini. Mata Akbar bertemu dengan mataku. Rasanya menusuk sekali. Aduh! Aku refleks menunduk. Malunya. Tapi ya ampun, Akbar berjalan ke arahku! “Meimei, kata Listy kamu punya sesuatu buat aku?” LISTY!!! Kupelototi dia. Yang dipelototi cuma menunduk dan tersenyum-senyum sendiri. Dasar!
16 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Eh, itu... Iya. Ini.” Gelagepan aku menjulurkan kado itu. Jantungku berdebar kencang sampai aku merasa Akbar bisa mendengar detaknya. Aduh, rasanya benar-benar mau copot. Badanku lemas. Kupakai sisa tenagaku untuk tetap berdiri, berpegangan pada meja. Akbar mengambil kado itu dari tanganku. Tangannya bersentuhan dengan tanganku. Rasanya seperti dialiri listrik. Nyetrum. “Makasih, ya! Nggak nyangka kamu ingat tanggal ulang tahun aku...” Kata Akbar sambil tersenyum. Dia pun pergi. Tinggal aku sendiri yang lemas, terduduk. “Gimana?” Tanya Listy menggoda. Lagi-lagi aku melotot sambil terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Listy, Listy... aku bingung, harus marah atau berterima kasih sama kamu. *** Pagi ini cerah sekali. Setelah kejadian penyerahan hadiah kemarin, aku belum bertemu lagi dengan Akbar. Hari ini dia datang terlambat. “Maaf, Pak. Saya terlambat masuk kelas.” Kata Akbar pada Pak Ilham, guru Matematika kami. “Kenapa kamu terlambat, Akbar?” “Karena saya memakai sepatu baru, Pak.”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 17
“Sepatu baru? Apa hubungannya dengan terlambat?” Akbar diam saja, dia hanya menunjukkan sepatu barunya, sepatu bola. Ya ampun, itu sepatu yang aku hadiahkan kemarin. Ngapain dia makai sepatu itu ke sekolah?. “Kamu... memakai sepatu bola ke sekolah?” Tanya Pak Ilham heran. “Anu, Pak. Ini hadiah ulang tahun.” “Tapi ‘kan tidak untuk dipakai di sekolah, Akbar!” “Eh… Saya hanya ingin menunjukkan kepada dia bahwa apapun yang dia berikan, sangat berarti buat saya. Karena saya suka kepada dia. Maaf, Pak.“ Ya Tuhan. Rasanya jantungku benar-benar berhenti sekarang! “Boleh Bapak tahu siapa yang kamu maksud?“ tanya Pak Ilham sambil sedikit tersenyum menggoda. Please, Akbar, jangan bilang siapa-siapa… Aku belum siap, jantungku mau copot! “Seorang teman, Pak. Suatu saat nanti dunia pasti akan tahu siapa dia.” Jawab Akbar tersenyum, dia melirik padaku. “Ya sudahlah, kamu duduk sana. Besok, jangan pakai sepatu bola lagi, ya!” Kata Pak Ilham. “Baik, Pak. Terima kasih.” Akbar beranjak ke bangkunya di pojok ruang kelas. Matanya melirik padaku. Dia tersenyum dan menggumamkan sesuatu. Aku yakin aku mendengarnya berkata: “Terima kasih, aku sayang kamu.” Dan aku yakin, aku pingsan setelah itu. ~ Dimuat di Pena Warna Ungu, 11 Februari 2009
18 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Mimpi yang Mewujud Setiap orang punya mimpi dan selalu ingin diwujudkan. Mimpi yang awalnya semu, tetapi karena kesungguhan, nyata juga pada akhirnya. Mimpi kadang datang beberapa, sehingga kita harus memilih. Sebaliknya, mimpi pun memilih para pemimpi terbaiknya. Sebagian akan gagal, apakah kemudian pencarian mimpi jadi berakhir? Sebagian akan berhasil, maka puaskah ketika mencapai satu mimpi? Atau bagaimana jika yang datang bahkan pada kesempatan yang tak pernah termimpikan sekali pun? Ketika masih duduk di bangku SMP, mendengar nama “SMA Taruna Nusantara” berikut berita-beritanya di media, cukup untuk membuat diriku untuk fokus belajar, berlatih, dan menjaga kesehatan. Ketika ditanya cita-cita, dengan mantap aku akan memberikan jawaban sederhana, “Aku ingin masuk SMA Taruna Nusantara…” Dan memang benar, mimpiku itu tercapai juga. Aku berhasil lulus tes masuk dan resmi menjadi siswa SMA Taruna Nusantara (SMA TN). Tapi mimpi tak kenal kata henti. Aku terus berpikir, apa setelah ini? Sekadar masuk? Sekadar berbaris dengan seragam pesiar biru? Ini awal atau akhir perjuangan? Aku ini sedang memetik atau tengah memulai langkah pendakian bukit lainnya? Tapi yang jelas, di sinilah aku sekarang. Di tiga bulan pertama yang penuh euforia. Jika dulu aku hanya bisa mengenal nama SMA ini, sekarang aku menjadi bagian darinya. Lihatlah aku, kepala plontos ini, tegapnya barisan apelku, dan betapa semua guruku adalah yang terbaik di jamannya. ***
Surat yang Tak Pernah Selesai | 19
Belajar adalah kata yang pasti di setiap sekolah, dan nilai adalah indikasi atas sebuah prestasi. Tetapi, pendidikan di SMA TN bukan soal prestasi. Sebab semua siswa yang berhasil masuk ke SMA TN sudah tentu berprestasi, hanya masalah siapa yang mampu dan berhak mencatatkan namanya. Ada mimpi lain di tempat ini, yang sungguh senyata kehidupan. Ada ruang-ruang lain selain kelas, dan ruang-ruang itu memiliki bintangnya masing-masing. Ada lekuk indah nada di panggung pementasan Gedung Serba Guna. Ada gagah tim Tonpara (Peleton Upacara) saat menjadi petugas-petugas utama upacara kebesaran. Ada kerapian dan ketelitian PKS (Pasukan Keamanan Sekolah) untuk menertibkan atribut, terlebih jika mereka sedang bertugas mengawal tamu. Di ruang-ruang itu, banyak hal mengagumkan yang mencuatkan mimpi-mimpi baru. Tentang sosok yang berpose gagah di foto hingga tanda tangan pujian di buku saku. Mimpi-mimpi yang membuatku merasa sayang jika melewatkan tiga tahun di TN sekadar menjalani hari dengan menyusuri jalan antara graha (asrama) dari dan menuju kelas. Selepas tiga bulan pertamaku (masa orientasi sekolah), berkali-kali ujian penyaringan tim-tim elit tadi diumumkan di ruang makan bersama. Siapa coba yang tidak bersemangat mengikutinya? Tak sedikit siswa baru yang bermimpi bisa bergabung dalam tim-tim elit itu. Tapi, mimpi memilih pemimpi yang terbaik. Maka, akan ada cerita indah tentang keberhasilan, meski sejujurnya lebih banyak cerita sedih tentang kegagalan yang tak terungkap. Ya, tak satu pun tim elit yang berhasil aku masuki. Apakah aku hanya menjadi kelompok rumput yang bergoyang? Bisa ya, bisa tidak. Ketika kita kehilangan mimpi yang satu, sebenarnya sudah ada mimpi lain yang menunggu, tinggal berlapang dada saja menerimanya. Dari situ, mimpi lalu mengajarkanku bahwa
20 | Pegiat Sastra Ikastara.org
mengejar sesuatu yang memang tak berhak dimiliki sama saja mengejar semu. Indahnya mimpi memang memberi inspirasi, tapi kegagalan mendapatkannya memacuku untuk bangun dan berhenti meratap. Sayangnya, sering kita tak menyadari, selain memilih sendiri para pemimpi yang mengejarnya, mimpi juga terwujud dengan sendirinya oleh keikhlasan hati. *** Aku senang sekali dengan Ruang Baca Perpustakaan. Aku takjub melihat kelengkapan bukunya. Aku merasa nyaman duduk di pojok bersender di jendela, membiarkan diriku membebaskan imajinasi dalam bacaan, dimanjakan sepoi angin bukit. Aku memang lebih menyukai novel ketimbang latihan soal MaFiA (Matematika-Fisika-Kimia) seri Schaum. Aku menikmati ensiklopedi dan mencari ketenangan dalam bacaan-bacaan ringan yang memotivasi. Sembari sesekali melepas kepenatan belajar menghadapi rutinitas mengikuti “Olimpiade HER” (mengulang tes, ulangan, atau ujian karena nilai tidak mencukupi batas minimal), aku sering menulis beberapa cerpen, artikel, atau puisi. Beberapa dimuat di mading kelas, beberapa menumpuk menganggur di ruangan buletin Kreasi (klub mading SMA-ku), selebihnya cukup menginap di diariku. Aku tak pernah mengatakan tulisan-tulisanku bagus, mengingat dipanggil untuk ikut serta dalam lomba saja tidak pernah. Menulis bagiku adalah soal mengungkap rasa dan menakar kejujuran hati. “Wan, kamu bisa bantu mengetik ?” tanya Roy teman depan kamarku suatu hari. “Ya bisalah, tapi habis HER nanti malam ya...” jawabku ringan.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 21
“Tim buletin mau ngejar deadline nih. Tolong ya? Sebenarnya aku nggak akan sesibuk ini kalau... Hu-uhh, sebal...” tiba-tiba Roy mengomel sendiri. “Kenapa...?” “Kamu tahu ’kan, komputer di ruang buletin itu tuh kandang virus, suka error, dan apalah lagi itu namanya. Apalagi adik-adik itu suka ceroboh asal main shut-down ajah...” “Sudah kamu push-up mereka?” tanyaku iseng. Push-up adalah hukuman “ringan” bagi siapapun yang dianggap melakukan pelanggaran. Lebih spesifiknya, push-up adalah hukuman andalan abang kelas kepada adik kelasnya, hehe. “Sudahlah jelas, wong seluruh data jadi hilang gitu… Tapi ya mau aku suruh push-up 1000 kali juga datanya nggak bakal balik...” Roy tampak frustrasi. “Memangnya kamu nggak punya back-up di disket ?” aku mencoba menenangkan. “Itulah... Kemarin juga kepikiran begitu. Tapi sialnya, disketnya dibawa Andin adik Subsie-ku…” Alih-alih tenang, Roy malah makin terlihat stress. “Lha ‘kan bisa minta izin sebentar ke graha putri, boleh toh?” “Hahahahaha...” temanku yang depresi ini tertawa getir. Aku jadi bingung dibuatnya. “Si anak pintar itu sudah kabur ke Eropa tadi pagi! Masak kamu lupa, tulisan dia tentang Hari Pangan Sedunia ‘kan berhasil mewakili Indonesia di Forum Pemuda Dunia… Duh, sialnya tuh disket kebawa dia!” “Hmm… Tapi ada bagusnya lho...” kataku sambil nyengir. “Apaan?” Roy melotot.
22 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Ya ‘kan… Disketnya jadi bisa liat Eropa, hahahaha!!” jawabku becanda. Dalam hitungan detik, kepalaku sudah digetok sandal. Roy terdiam, sepertinya berpikir. Kasihan juga aku melihat tampang lusuhnya. Inilah risiko jadi ketua tim buletin. Fasilitas seadanya, tapi apa yang ditampilkan pada buletin akan menjadi sejarah. Dia memang pintar memilih anggota tim termasuk Andin si manis, yang punya jam terbang menulis sukar dicari tandingannya itu. Tapi, hei, sebentar! Aku baru menyadari sesuatu. “Aku cuma mbantuin ngetik?” tanyaku memecah diamnya Roy. “Sebenarnya… ehm… iya, ngetik… dari awal…” katanya hati-hati sambil mengulum senyum. “He? Maksudmu?” “Aduh Wan, semua data hilang ‘kan?! Jadi ya semua artikel, cerpen, puisi, atau pernik-pernik rubrik lain harus ditulis ulang. Padahal waktu tinggal dua minggu!!” “Kamu nggak bisa buat pengumuman ulang untuk pengumpulan ulang?” saranku spontan. “Kamu gila ya? Mukaku mau ditaruh di mana? Lagian ini masa-masa HER, siapa yang mau bikiiin?” Dalam sedikit keterkejutan, aku tersadar. Sepertinya kali ini mimpiku bukan lagi sesuatu yang harus capek-capek kukejar. Ia telah memilihku, dan sekarang sudah teronggok begitu saja di depan mata. “Oke deh Roy, aku bantu. Tapi kalau kamu setuju... emh… tapi gimana ya?” kataku kikuk.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 23
“Ngomong aja... Yang pasti, aku harap kamu bisa bantu nggak sekadar ketik, tapi juga bikin tulisan baru. Aku lihat kamu pernah ngisi beberapa artikel di mading kelas ‘kan?” “Iya sih... Tapi gini... kamu nggak bakal ngebandingin karyaku dengan punya Andin kan?” Mata Roy berbinar. “Tentu-tentu!! Tenang aja, dengan sedikit edit dan saran pamong, pasti beres kok. Lagian tulisan Andin juga sudah nggak level di buletin lokal kita. Dia mah udah ketinggian, hehehe...” Aku lalu mengambil sebuah disket, dan lembaran-lembaran artikel yang masih kusimpan. Roy meraihnya lalu membaca beberapa. “Wonderful, friend ... kenapa tulisan sebagus ini nggak pernah kamu kirim?” “Emh... Aku malu kalo tulisanku kebaca sama Andin,” jawabku sambil tersipu. “Yaelah Waaaann!! Kenapa mesti gitu sih?? Aku yakin seribu persen, si Andin malah bakal senang kalau tahu kamu bisa menulis artikel-artikel sedetil iniii!!“ ujar Roy gemas. ”Dari mana sih kamu dapat bahan tulisannya?“ tanyanya kemudian. “Perpuslah... Bagian ensiklopedi.” jawabku singkat. “Okeh. Welcome to my team, man! Mulai nanti malam kita ngebutt!!“ Roy menepuk bahuku dengan mata berkilat antusias. *** Dua minggu yang dijanjikan Roy memang menjadi dua minggu yang bikin gila. Tapi aku justru bersemangat melewatinya. Bayangan inisial WRS (Wirawan Satmoko) sebagai penulis akan tersebar di halaman-halaman Buletin Kreasi, dibaca seluruh siswa dan seluruh keluarga besar SMA Taruna Nusantara, membuat
24 | Pegiat Sastra Ikastara.org
adrenalinku membludak. Apalagi, Buletin Kreasi bukan sekadar koran harian. Buletin ini hanya terbit setahun sekali. Selain itu, aku juga banyak belajar teknik lay-out, jadi reporter dadakan sana-sini, menyusun draft, dan mengurus izin dinas luar ke percetakan yang bikin puyeng. Belum lagi aku harus mempertaruhkan waktu belajarku karena harus bersiap menghadapi Ulangan Umum. Sebenarnya untuk beberapa tugas, aku bisa saja menyuruh adik-adik kelas. Tapi Roy sudah terlanjur patah arang dengan kecerobohan mereka. Lagipula aku harus bertanggung jawab atas perizinan mereka, bisa tambah puyeng nanti. Roy akhirnya hanya percaya aku, teman seberang kamar yang kebetulan suka menulis artikel. Kebetulan yang menyeret kebetulan-kebetulan lain, sehingga mengubah ketidakmungkinan menjadi fakta. Hingga akhirnya, 1000 ekslempar Buletin Kreasi tercetak juga. Mimpi selalu memilih para pemimpinya yang terbaik. Tapi di atas segalanya, keikhlasan hati sang pemimpilah yang memanggil mimpi datang ke hadapan mata. *** “Berikut diumumkan nama panitia gabungan siswa selama Masa Basis untuk periode...” Sebuah pengumuman bergema di ruang makan, tepat ketika aku rampung menyantap makan siang terakhir sebelum pulang liburan. Aku tak begitu memperhatikan isi pengumuman itu. Pikiranku hanya satu, ingin segera menunjukkan tulisan-tulisanku kepada orang tua dan adik-adikku di rumah. Namun sayup-sayup terdengar, “... Rekan Wirawan Satmoko sebagai Sekretaris Umum, mengendalikan operasional administratif untuk bidang-bidang sebagai berikut...”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 25
Aku kaget setengah mati. Apa tidak salah dengar? Memangnya aku punya pengalaman apa? Paling juga membantu Roy ngerjain buletin kemarin. Masuk OSIS pun tak pernah pula aku dilirik. Di tengah kekagetan itu, bahuku ditepuk, “Hei, selamat ya Wan! Tugas baru menanti setelah liburan. Nggak pa-pa ’kan kalo liburanmu dipotong tiga hari?” Roy memandangku penuh arti. “Roy, oh... kamu toh yang... Lha kamu sendiri kebagian apa?” Kataku terbata-bata. “Sebenarnya, jabatan itu ditawarkan padaku. Hanya saja, dengan beberapa pertimbangan waktu liburan dan fokus belajar, aku menolak dan menawarkan namamu... Sorry ya...” jelasnya. “Ah kamu... Memangnya aku bisa? Harusnya kamu bilangbilang dulu ke aku...” “Wan, kamu satu-satunya yang bisa kupercaya. Mungkin kebetulan, tapi kamu sudah membuktikan kualitasmu dalam waktu singkat... Jadi, kalau aku percaya sama kamu, kenapa kamu nggak bisa percaya dirimu sendiri?” Roy tersenyum dan lagi-lagi menepuk punggungku. Saat ia berlalu, aku masih terdiam ragu. *** Bagiku, sekolah berasrama satu ini memang istimewa. Saat meninggalkan Kampus SMA TN untuk pulang liburan, aku merasa senang karena kerinduan akan keluarga nun jauh di sana akan segera terobati. Sebaliknya, ketika memasukinya kembali ada kerinduan lain di hati ini yang merasuk. Bukan saja sudah menjadi rumah kedua, kampus ini juga telah menjadi tempat bernaung dan menempa diri. Bahkan bukan tidak mungkin, apa yang menjadi masa depanku tergantung bagaimana sikapku menjalani hidup di kampus ini.
26 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Liburanku berlalu cepat. Aku sudah menjejakkan kakiku kembali di kampus ketika suasana masih lengang. Panitia masa orientasi siswa baru memang harus kembali ke kampus tiga hari lebih awal daripada siswa lainnya. Rapat kepanitiaan pembukaan pendidikan masih nanti malam. Tetapi kulihat rekan-rekan tim Tonpara sudah sibuk melatih para calon siswa (Casis) SMA TN teknik baris-berbaris di pelataran Balairung Pancasila. Pikiranku melayang pada kenangan tiga tahun lalu. Aku si kurus, yang baru saja dicukur habis rambutnya, masih berpakaian kaos putih dan celana panjang olahraga. Dengan gerakan baris yang salah-salah, tak henti-hentinya mengagumi abang-abang Tonpara itu. Jika dulu aku hanya kagum tentang keindahan barisberbaris dari ritual upacara 17 Agustus di Istana Negara melalui layar televisi, atau defile pasukan di perayaan hari jadi TNI/POLRI, sekarang aku adalah bagian dari pelaku budaya baris-berbaris itu. Berbaris sebenarnya bukan sekadar soal melangkahkan kaki dan mengayunkan tangan. Perlu konsentrasi dan sikap tubuh yang baik, serta keteguhan hati untuk terus mempertahankan ritme. Dari situlah loyalitas, kekompakan terbina, dan kemampuan memimpin terbentuk. Sifat-sifat cengeng, lembek, gampang menyerah, akan dibabat habis. Kepanitiaan pembukaan pendidikan adalah bagian dari sebuah kepanitiaan besar yang melibatkan siswa dan pamong. Kepanitiaan ini terbilang istimewa karena melibatkan banyak kegiatan berkesinambungan selama masa orientasi tiga bulan bagi siswa baru. Akan banyak kepanitiaan kecil lain yang akan dibentuk dengan target waktu, banyak rapat diadakan, dan lampu ruang kesekretariatan akan menyala sepanjang malam. Secara administratif, panitia-panita kecil itu berada akan di bawah pengawasanku. ***
Surat yang Tak Pernah Selesai | 27
“Terus terang, saya akan kesulitan melihat progres kepanitiaan jika kita hanya bicara dalam rapat...” Entah keberanian dan tenaga dari mana, aku melempar pendapat dalam sebuah rapat bersama pamong. Pendapatku ini adalah umpan untuk perbaikan atas beberapa kekurangan yang ada. “Bukankah kita membuat notulen rapat, dan itu sebagian kamu yang mengerjakan?” salah satu pamong mengoreksi. “Benar Pak, tetapi setelah itu masing-masing tim akan berkerja dengan caranya sendiri, bukan?” jawabku. “Apa masalahnya? Toh kami punya standar sendiri yang teruji berkali-kali...” sela rekanku anggota Tonpara yang bertanggung jawab untuk mempersiapkan upacara dan defile. “Masalahnya adalah pada transparansi dan efektivitas pemantauan pelaksanaan harian. Apa yang harus dijawab rekan Wahyudi sebagai Ketua Umum jika ditanya kegiatan siswa pada suatu hari tertentu?” “Ya itu ’kan tinggal memanggil ketua timnya toh?” rekan tim yang lain mencoba memberi usul. “Itulah poinnya... Harus dicari dulu siapa orangnya. Jika ada dokumentasi lengkap yang terus di-update, tentu akan memudahkan koordinasi. Ibaratnya setiap pasukan yang maju perang tentu melihat peta, dan dokumentasi kegiatan itulah pemetaan kita.” “Saya keberatan...!” rekan panitia lain mengacungkan tangan segera. “Alasannya?” tanyaku. “Memang mungkin terobosan positif, namun merepotkan tim lapangan. Toh selama ini tanpa itu pun semuanya berjalan lancar-lancar saja. Anda tahu ‘kan, di lapangan banyak hal bisa
28 | Pegiat Sastra Ikastara.org
berubah?” pertanyaan kritis, dan sesuai fakta memang. Namun aku tak boleh menyerah. “Saya hanya ingin mengajak kita semua belajar pada cara yang benar. Catatan kegiatan itu penting karena tidak akan terbuang percuma, karena akan terus menjadi evaluasi kepanitiaankepanitiaan mendatang…” “Tetapi apakah kamu punya solusi soal fleksibilitas?” cecar seorang pamong. Aku terdiam, teringat pemeo soal orang lapangan dan orang belakang meja. Kini aku berhadapan dengan mereka. Rekanrekan di lapangan dengan orientasi hasil dan otorisasi yang dimiliki akan bergerak sekreatif mungkin agar target kegiatan dapat diselesaikan. Bagi mereka, membuat detail catatan justru akan kontraproduktif dengan banyaknya perubahan situasi. “Baiklah, kepada Saudara Ketua Umum, apakah diperbolehkan kesekretariatan menambah anggota tim?” “Untuk dipekerjakan sebagai apa?” Wahyudi menanyakan alasan. “Dokumentasi adalah wajib, namun rekan-rekan di kepanitiaan kecil atau seksi-seksi terkait boleh membuat catatan-catatan singkat tulisan tangan. Nah setelah itu diserahkan pada tim kesekretariatan untuk didokumentasikan. Kemudian pada rapat evaluasi mingguan kami akan menyediakan data perkembangan kegiatannya...” “Saya kira itu usul terobosan, karena selama ini Humas kita juga kesulitan jika ada wartawan tiba-tiba datang untuk meminta wawancara. Tentunya data lengkap membuat jawaban lebih dapat dipertanggungjawabkan.” tegas Bapak Kepala Sekolah. Huff.. Repot juga ternyata. Tapi ya memang begitu. Jabatan itu bisa dilakukan dengan cara mudah atau detil yang susah. Setelah rapat berlalu, aku merekrut lima orang anggota baru Surat yang Tak Pernah Selesai | 29
yang tiap hari akan mencatat progres kegiatan dari seksi-seksi panitia terkait. Aku sendiri memiliki buku agenda khusus untuk meringkas hasil pemantauan harian. Hal yang menarik adalah secara tidak langsung aku dapat belajar bagaimana tim-tim semacam Tonpara, PKS, Pataka, atau tim lain mempersiapkan acaranya. Posisiku juga memungkinkan untuk membagi waktu kegiatan jika sekiranya tumpang tindih, sekaligus menyampaikan pesan-pesan khusus dari pengurus sekolah mengenai tema acara. *** Ada yang bilang perencanaan yang matang sama dengan 70% keberhasilan. Tetapi aku lebih suka menyebut perencanaan itu bagian dari berbagi mimpi. Mimpi tak mungkin dicapai sendiri, bahkan tak pernah akan indah jika dinikmati sendiri. Menuliskan proposal atau melaporkan progress kegiatan, adalah langkah-langkah mendekat pada mimpi. Dalam perencanaan, kita selalu berhadapan dengan ketidakpastian. Tapi... apa sih yang pasti selain ketidakpastian itu sendiri? Lalu kita bisa apa? Yang bisa kita lakukan adalah meminimalisir ketidakpastian dengan kesamaan langkah dan kekompakan, satu komando dan ketaatan, serta keterbukaan di awal dan loyalitas saat sudah menjadi kesepakatan. Sungguh pun demikian, selalu saja ada hal-hal di luar prediksi dengan mudahnya bisa terjadi. Seperti siang itu, ketika Wahyudi menarikku dan membisikkan sederet kalimat rahasia. Pesan yang tidak boleh bocor dahulu sebelum masanya. Aku kaget sekali mendengar berita itu, bisa-bisanya rencana kami yang begitu rapi berantakan dengan hanya satu memo yang datang ke Kasek? “Gimana Wan... masih bisa dilakukan nggak ya?” “Yah ini tradisi, bagaimana pun bentuknya harus tetap ada.“
30 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Kamu yakin?” “Aku harus coba bicarakan dulu dengan Sapta yak ...” “Oke Wan, kita bagi tugas. Kamu coba ngomong ke Sapta, aku coba minta waktu satu hari sebelum Kasek memberi jawaban ke LPTTN besok...” Aku mengiyakan pelan. Tak begitu yakin. Begitu Wahyudi menuju ruang Kasek, aku pun segera menuju ruang sekretariat. Kudapati Sapta di sana. “Liat Wan, ini pemetaan pelataran Balairung Pancasila, adikadik kelas satu akan dibagi menjadi empat kompi, mereka akan berangkat dari daerah persiapan di sini... lalu melintas dengan...” Sapta berapi-api menjelaskan. “Bang, ini... model-model formasi PBB tanpa aba-aba yang akan kita tampilkan yang sudah aku print...“ seorang adik kelas II menyela sambil menyerahkan beberapa berkas. “Emh... Andri, Budi, dan Riani, kalian sudah bekerja keras sore ini. Aku izinkan kalian istirahat lebih awal, nanti malam jika perlu aku panggil lagi,” perintahku cepat. Sebenarnya agar adikadik kelas II di ruang ini dapat segera meninggalkan ruangan. Ada hal penting yang harus kubicarakan dengan Sapta. “Ada apa Wan, ada yang penting? Mereka ‘kan belum selesai...” Sapta menangkap sesuatu yang berbeda padaku. “Mungkin tidak ada gunanya lagi, berkas-berkas itu...” jawabku lemah. “Maksudmu?” Sapta membelalak. Aku memberi tanda agar Sapta duduk di kursi. Lalu kami berdua menghadapi meja di sebelah jendela. Aku menghela nafas panjang sebelum menyampaikan kabar buruk ini.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 31
“To the point saja yak. Ada memo dari pusat ke Kasek yang isinya implisit menyebutkan agar meminimalisir simbol-simbol kemiliteran di upacara penutupan PDK nanti...” “Ah kamu, memangnya kita bawa senapan? Nggak ada sejarahnya ‘kan?” potong Sapta setengah bercanda. “Teman, ini serius... Karena itu berarti tidak ada seragam pesiar di upacara, tidak ada defile, dan tentu saja tidak ada PBB tanpa aba-aba!!” “Apaaaaaaaaa???!!! Kamu gila ya???!!” meja digebrak keras. Inilah yang terberat. Sepanjang pengalamanku, mudah saja menyampaikan berita baik. Namun, menyampaikan berita buruk selalu menjadi yang paling berat. Apalagi kalau persiapan sudah sematang ini, seakan menjilat ludah sendiri. Seperti mengkhianati semangat yang telah digembor-gemborkan hari-hari kemarin. “Sap, kamu tahu ‘kan euforia gerakan reformasi di luar sana juga menimbulkan antipati pada simbol-simbol kemiliteran?” kataku mencoba menenangkan Sapta yang naik pitam. “Ya tapi ini di dalam TN, apa urusannya?? Lagian ini sudah tradisi! Tradisi harus sama tiap angkatan, karena dengan itu kita diinisiasi dengan cara yang sama! Oh, kasihan sekali mereka adikadik itu, ahhh.. kenapa bisa jadi berantakan begini ??!!” Sapta tampak terpukul sekali, ia mengusap-ngusap gusar kepalanya. “Benar alasanmu, hanya saja, kita tidak dalam posisi boleh menolak ‘kan?” “Ya tapiiii, ahh aku ga mungkin...ehm... aku nggak mau jadi orang yang memberitahukan hal ini kepada adik-adik...” Aku bisa memahami Sapta. Aku yang hanya melihat progres kegiatan latihan dari laporan harian saja tak tega memberitahukan kabar ini, bagaimana dia yang tiap hari berpeluh keringat bersama adik-adik? Rekan-rekan Tonpara yang lain pasti bakal sama 32 | Pegiat Sastra Ikastara.org
terpukulnya. Jika begini cuma ada dua pilihan saja: menyerah dan tak usah peduli lagi, atau menyisakan sedikit semangat untuk membuat perbedaan. “Kecuali satu hal kesempatan kecil, Sap...” sebuah ide sekonyong-konyong melintas di kepalaku. “Apa?“ “PBB tanpa aba-aba itu menjadi bagian dari rangkaian acara seni di Gedung Serba Guna... dan itu berarti kita harus merombak habis-habis skenario acara.” “Itu lebih gila, tau!! Kamu liat formasi-formasi ini!?” Sapta mengacungkan berkas-berkas gambar formasi barisan itu. “Aku tahu, aku juga pernah kesulitan menghafal hitungan langkah tanpa aba-aba itu...” “Nah, apalagi waktu tinggal satu bulan, bahkan sebenarnya hanya tersisa dua minggu saja jika dipotong Ulangan Umum dan RPS. Bagaimana bisa??” Aku terdiam beberapa saat hingga Sapta bisa tenang. Aku tahu ada sedikit kesempatan walau hampir mustahil, dan Sapta menjadi kunci saat ini. “Sap, besok Wahyudi yang akan mengumumkan hal ini. Sampai saat ini hanya kita bertiga yang tahu. Tapi apa yang Wahyudi umumkan besok tergantung padamu...” “Maksudmu?” “Jika kamu menyerah, Wahyudi akan mengumumkan mereka tinggal melewatkan satu bulan ini dengan belajar saja dan upacara penutupan PDK berlangsung tanpa kesan... dan ...” “Dan jika tidak, aku harus apa? “ dengan nada gusar dia memotong pembicaraanku.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 33
“Sap, ini tantangan kita. Kita harus ciptakan keajaiban, aku bisa membantumu...” tawarku. “Memangnya kamu tau apa? Sorry, bukan meremehkanmu... tapi aku yang tau kemampuan adik-adik di lapangan.” “Sorry juga kalau menyinggungmu, tapi lihat ini...” aku mengambil beberapa catatan harian latihan PBB tanpa aba-aba. Aku menunjukkan tahap-tahap latihan yang sudah dilakukan, dan tentu saja bagian tersulitnya tentang hitungan langkah-langkahnya. “Di mana peluang kita?” “Lupakan seragam, lupakan atribut, karena kita hanya diizinkan memakai seragam PDH layaknya SMA biasa... tapi untuk hitungan, kita bisa mengakali...” “Maksudmu?” Melihat progress harian aku tahu kalau hitungan langkah yang harus dihafal, selalu berganti-ganti karena harus menyesuaikan panjang dan lebar lapangan serta bentuk formasi. “Lihat hitungan langkah per formasi di kertas ini, aku jamin siapapun akan susah menghafal, tetapi jika begini...” aku asal saja mengubah hitungan langkah-langkahnya menjadi pembulatan angka yang mudah dihafal dan terus berulang. “Hei-hei, formasi amburadul apa yang kamu buat barusan?” tanyanya heran. “Aku tidak membuat formasi, Sap... aku hanya menunjukkan saran bagaimana agar hitungan itu bisa dihafal dalam waktu singkat, toh adik-adik sudah terbiasa perubahan, terbiasa dengan gerakan-gerakan baris-berbaris... selebihnya kamu dan rekanrekan Tonpara pasti lebih tahu...” “Tapi, tidak akan ada model formasi yang bagus dengan caramu itu...” 34 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Sap... kita sudah banyak berkorban, jangan korbankan yang ini juga untuk mengejar bentuk ideal...” aku berusaha meyakinkan. “Oke-oke, bisa aku pikirkan bersama timku malam ini...” “Lagian orang hanya tahu kalau itu PBB tanpa aba-aba. Tidak ada yang peduli dengan formasi, nanti untuk sekadar kamuflase aku bisa atur narasi pembawa acara. Yang penting, adik-adik bisa tunjukkan PBB tanpa aba-aba itu sebagai bagian dari tradisi yang berkelanjutan bagaimana pun bentuknya...” Sapta bangkit. Wajahnya tampak memikirkan sesuatu. Ia lalu menepuk bahuku. “Terima kasih, Wan... Titip bilang ke Wahyudi, formasi barunya siap besok pagi. Malam ini aku bicarakan dengan timku soal ini...” *** Esok harinya, Wahyudi selaku Ketua Umum panitia siswa mengumumkan perombakan acara besar-besaran ini. Tidak ada yang gembira mendengarnya. Semua terluka atas kesia-siaan latihan selama ini. Namun masih ada kesempatan kecil yang layak dicoba. “…Kita lihat latihan dua minggu ini. Jika kalian bisa mulus melakukan PBB tanpa aba-aba dengan formasi baru yang sederhana walaupun tanpa seragam pesiar biru kebanggaan, maka kalian masih bisa menunjukkan bahwa tradisi siswa kita masih hidup, masih eksis, dan kita memang akan akan membuat keajaiban...” seru Wahyudi. Sapta benar. Di atas kertas memang mudah mengubah hitungan langkah dan formasi. Tetapi kenyataan di lapangan sungguh berbeda. Ada saja yang masih salah, sehingga barisan bisa saling bertubrukan. Belum lagi, aku baru sadar di ruangan GSG yang lebih sempit itu kesalahan kecil pun menjadi sangat Surat yang Tak Pernah Selesai | 35
terlihat dibanding sebelumnya di pelataran Balairung Pancasila. Semakin dihukum dan takut salah, sepertinya makin banyak saja salahnya. “Ini tidak mungkin, Wan...” Sapta mengeluh. “Aku melihatnya juga, Sap... sepertinya makin sering latihan, mereka makin grogi...“ “Apa ya yang bisa bikin sedikit santai? Suasana tegang begini emosi mulu nih...” “Emh… nyanyi kali...” jawabku sekenanya. “Nyanyi ? Iya ya, pintar kamu, Wan! Mereka butuh irama, dan itu bisa sambil nyanyi. Kita kan punya stok lagu mars. Brilian kamu!” Sapta melonjak girang. Hitungan mulut yang diganti dengan nyanyian lagu mars membuat segalanya lancar, dan sedikit berseni. Bertahap dari bernyanyi lagu mars yang diiringi suara drum, bernyanyi sambil terus mengecilkan suara, berbisik, hingga akhirnya tanpa bantuan apapun bagaikan harmoni mereka bisa memeragakan formasi-formasi sederhana yang sudah dirancang. Mungkin dalam kesunyian, suara rancak sepatu pun bisa berfungsi sebagai ketukan-ketukan irama pemandu. Gladi bersih yang disaksikan jajaran pengurus sekolah berhasil. Semua lega. Tinggal menunggu hari-H sambil melatih rotasi pergantian kostum. Karena modifikasi acara menjadi bagian dari rangkaian acara seni yang diakhiri dengan pertemuan siswa kelas satu dengan orang tuanya. Hari itu pun tiba. Hari bersejarah bagi siswa kelas satu karena pada hari itulah mereka akan diinisiasi sebagai siswa SMA TN. Seragam pesiar biru kami memang hari itu tidak tampak. Namun apalah arti seragam, jika kebanggaan sudah menyala. Apalah arti warna jika gurat sikap sudah menanda. Berbeda dalam langkah yang sudah menjadi tegap, berbeda dalam teguhnya sikap siap, 36 | Pegiat Sastra Ikastara.org
dan berbeda dalam sorot mata memandang bentangan cita-cita. Tentu saja, kami yang turut serta dalam kepanitiaan masa orientasi sangat berbangga hati, memetik hasil kerja keras tanpa pamrih tersebut. Serasa mereka keluarga baru dalam hati, di mana tradisi akan selalu terwariskan. *** Upacara penutupan pendidikan berlalu dengan sederhana dan khidmat. Meski para orang tua sudah berebut ingin segera bertemu putra-putri tercintanya, saatnya belum tiba. Beberapa unjuk kebolehan acara seni harus ditampilkan dulu, sebagai bukti hasil sebuah model proses pendidikan. Setelah penampilan semua acara kesenian dari adik-adik kelas satu selesai. Jeda 15 menit diambil tim Gita Bahana Nusantara Marching Band untuk menampilkan atraksinya, sembari memberi waktu untuk persiapan tradisi PBB tanpa aba-aba. Sapta memimpin doa sebentar. Setelah laporan kesiapan pasukan dilakukan, suaranya menggelegar memberi komando agar barisan per kompi itu masuk ke dalam GSG memeragakan PBB tanpa aba-aba. Suasana sangat hening, siapa pun di ruangan itu, termasuk kami semua yang mengerti bagaimana formasi-formasi barisan itu harus terbentuk, seperti serempak menahan nafas. Benar-benar menit-menit milik mereka. Benar-benar mereka harus sendirian membuktikan bahwa mereka memang bisa. Hanya bunyi rancak sepatu mereka yang indah berpadu. Formasi masuk selesai, berlanjut formasi menyamping, menyilang, membelah... Semua bersorak ketika formasi terakhir yang membentuk angka romawi angkatan mereka sampai pada langkah terakhirnya. “Siap memberikan karya terbaik bagi masyarakat, bangsa, negara, dan dunia!!” itulah kalimat yang serempak mereka kumandangkan, menutup peragaan PBB tanpa aba-aba itu.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 37
Formasi yang sungguh mengesankan dan menjadi pemungkas yang manis. Adik-adik kami berhasil membuat keajaiban, bukan hanya mimpi belaka. Mimpi memang memilih para pemimpi terbaiknya, dan kami menjawab dengan kebersamaan. Kami bersatu mewujudkan mimpi, menyisir halangan, menepis keterbatasan, dan mencipta keajaiban. “Wan, ikut Ibu.” Sebuah tangan menggaetku ketika aku sedang asyik melihat adegan para orang tua mencari putra-putrinya dalam barisan “Siap Bu, masih ada tugas?” sahutku cepat menanggapi ajakan Ibu Ani, Wakasek Humas. “Ikut press conference dengan wartawan di ruang tamu.” Jawab Ibu Ani singkat. “Wahyudi bagaimana, Bu?” tanyaku heran. “Dia sedang sibuk mendampingi tamu dari Lembaga meninjau area pembangunan gedung baru...” Ternyata, di era reformasi, posisi SMA TN yang dikenal sebagai pencetak calon-calon taruna TNI/Polri semakin menarik dibicarakan. Perbincangan tentang demokrasi dan dikotomi sipilmiliter sangat mengemuka. Ada antipati terhadap sikap tegas dan represif. Padahal sebenarnya semua dilakukan melalui prosedurprosedur yang ketat juga. Di SMA TN, kedisiplinan yang menjadi ciri bukanlah hasil dari tindakan-tindakan represif, namun hasil dari kebiasaan sehari-hari. Ibu Ani dengan tangkas memaparkan hasil-hasil pendidikan SMA TN, berikut nilai-nilai dasar yang selalu diajarkan pada setiap program pendidikan. Kukira aku hanya akan diam untuk sekadar mendampingi, sampai suatu ketika pada pertanyaan kecil yang kritis dari seorang wartawan,
38 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Apakah dengan mengubah tradisi PBB tanpa aba-aba yang biasanya lengkap berseragam menjadi hanya berpakaian berseragam SMA biasa, adalah salah satu usaha memanipulasi unsur kemiliteran yang ada?” tanya seorang wartawan. “Tentu tidak, kemiliteran sendiri hanya sedikit unsur dari unsur pendidikan lain yang membentuk SMA ini, jadi tidak masalah. Namun anda dapat mendengar sendiri dari wakil siswa di samping saya… ini…” Ibu Ani mempersilakan aku memberi jawaban, dan aku sadar apa yang keluar dari mulutku nanti sangat menentukan citra sekolah. Dengan dada berdebar aku coba menjawab. “Kedisiplinan menumbuhkembangkan kreativitas, itulah bunyi prasasti yang dapat Anda sekalian baca di depan lapangan bola. Itulah kami, keseharian kami. PBB tanpa aba-aba sendiri adalah tradisi siswa yang menjadi simbol bahwa ketika disiplin dijalankan, aturan-aturan ditepati, harmoni kehidupan akan tercipta. Sebaliknya, jika satu orang saja salah langkah, dia akan mengacaukan seluruh barisan...” “Apakah kebanggaan Anda berkurang dengan ketiadaan seragam pesiar biru seperti biasanya?” Aku takjub dengan pertanyaan wartawan satu ini, rupanya dia sudha hafal kebiasaan kami dari tahun ke tahun. “Kami jelas merasakan perbedaan, namun siswa SMA TN bukan semata-mata seragam pesiar biru. Justru pada kesempatan ini kami berhasil membuktikan dalam baju apapun, kami mampu. Dan bukankah setelah lulus SMA ini kami lebih dituntut terus berprestasi dengan baju yang lebih beragam?” Sesi press conference berakhir sebentar kemudian. Aku dan Ibu Ani turut mengantar para wartawan itu keluar ruangan. “Ibu tidak salah ‘kan, mengajak kamu...” Ibu Ani tersenyum.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 39
“Waduh, saya hanya menjawab sebisanya dan sejujurnya saja tadi, Bu...” jawabku tersipu. “Terima kasih ya Wan...” Ibu Ani menyalamiku. Bangga rasanya bisa berguna. Entah ilham darimana juga kalimat-kalimat tadi bisa keluar begitu saja. Serasa hasil kerja keras selama ini hanya agar kalimat-kalimat tadi terucapkan mantap. Ah, tak terasa banyak mimpku yang sudah berhasil terlampaui. Mimpi-mimpi yang memilih para pemimpi terbaiknya. Mimpi-mimpi yang mewujud indah dengan bentuknya sendiri, yang begitu saja menjadi berkah pada waktunya. Mimpi yang terwujud di antara rangkaian keikhlasan hati.
40 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Hadiah Terindah Jika ditanya tentang kenangan masa SMA terutama di SMA Taruna Nusantara, saya yakin akan ada 50% cerita tentang PDK, 12% tentang kisah asmara, 25% tentang pelajaran dan sekolah, dan sisanya tentang persahabatan. Tapi, yang hingga saat ini saya kenang adalah sesuatu yang berbeda dari biasanya. Sesuatu yang agaknya sulit untuk saya lupakan... *** 9 Juni 2007, 22.30 “Kalau kamu kangen Mama, lihat saja bintang di langit, dan sampaikan rasa kangenmu, Mama ada di situ….” Ucapan Mama sehari sebelum aku berangkat ke Magelang kembali terngiang di telingaku. Kutengadahkan wajahku. Malam ini langit mendung dan kosong, tak satupun bintang mau memamerkan sinarnya. “Hhmmmppffhh…” aku menghela nafas sekuat-kuatnya, berusaha menghilangkan berjuta ton beban yang menumpuk di dasar hatiku. “Ma… Mama di mana??” ucapku lirih. Detik demi detik berlalu, malam semakin pekat. Aku pun tertidur dengan hati berduka. *** 10 Juni 2007, 05.29 Sinar mentari pagi yang berlomba masuk lewat jendela sedari tadi telah berusaha membuka kelopak mataku. Namun entah mengapa mataku enggan melakukannya. Aku bukannya masih
Surat yang Tak Pernah Selesai | 41
mengantuk atau apa. Sebaliknya, aku sudah sadar sejak satu jam yang lalu, tapi badanku tak mau bergerak. Ingin rasanya aku menutup lagi mataku, kalau saja rutinitas tidak memaksaku. Aku pun membuka mataku perlahan, berusaha menyatu dengan kenyataan. Sedetik kemudian aku tersadar, ini sungguh berbeda dari biasanya. Tidak ada lagi tatapan hangat dan suara merdu Mama yang menyambutku sesaat setelah aku menyibakkan selimutku. Tak ada lagi orang-orang yang berusaha menghancurkan tempat tidurku. Tak ada lagi doa pagi yang dilantunkan oleh suara bariton Papa yang khas. Dan… Tak ada lagi yang menyambut hari ini. Hari spesial untukku, karena usiaku bertambah satu. Detik berikutnya aku menyadari, inilah kenyataan yang harus kuhadapi. Di depan mataku, kini terhampar rutinitas membosankan yang harus aku lakukan… LAGI. “Hmmpffhh…”lagi-lagi aku menarik napas dalam-dalam. “Selamat ulang tahun, Santi…” Ucapku lirih. “Cempakaaa… 25 menit lagi turuuunn!!!!” teriakan keras Amna, si Ketua Graha, mengagetkanku yang masih berusaha mengumpulkan nyawa. “Hhhhh… Brasso, semir, setrika, di mana kalian??? Ini sudah jam setengah enam!!” Teriakku dalam hati, putus asa. Rutinitas pun akhirnya dimulai… LAGI. *** Pagi itu aku menolak untuk mengajar Sekolah Minggu, seperti yang biasa kulakukan bersama Tasya. Entah mengapa jiwaku yang biasanya ceria kini berubah menjadi sendu dan melankolis begini. Tapi, tetap saja aku memilih untuk berangkat mendahului, tanpa apel terlebih dahulu. Aku sedang ingin menyendiri… 42 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Kulangkahkan kakiku menembus cuaca dingin Magelang yang khas. Baru berjalan beberapa meter, hidungku menyapa lembutnya harum tebu yang baru ditebang, tebu PA, begitu kata orang-orang. Mau tak mau pikiranku menerawang. “PA… Dua tahun lagi… Masih bisakah aku bertahan??? Bahkan dengan kondisi biasa seperti ini pun aku sudah tidak betah…” Ibadah sudah dimulai ketika aku melangkahkan kaki memasuki gereja P.O.U.K. Aku menuju bangku terdepan, tempat biasa. Beberapa tangan menyambutku. Kutengadahkan wajahku yang sedari tadi menunduk. Terlihat wajah-wajah bahagia Ebeth, Kak Astel, dan Kak Laura yang tersenyum sambil mengulurkan tangan mereka kepadaku. Dengan hati yang gamang kusambut uluran tangan yang disertai dengan ucapan selamat ulang tahun. Kukembangkan senyumku dengan sempurna. Ternyata masih ada yang ingat hari ini, pikirku. Tapi entah mengapa hatiku tidak dapat menampilkan senyum sesempurna bibirku. Ada yang kurang, seperti ada yang kunantikan, tapi belum kudapat, entah apa… Hmmm… Mungkin hanya pikiranku saja…. “Tuhan, saya hari ini ulang tahun. Terima kasih karena Engkau sudah memperbolehkan saya untuk hidup hingga kini. Tuhan, meski pun tidak ada keluarga saya di sini, dan tak ada satu pun kado yang dialamatkan pada saya hari ini, kiranya Engkau mau merayakan hari ini dengan saya, meskipun cukup di dalam hati saja… Amin.” Bibirku komat-kamit memanjatkan doa. Doa yang kuantarkan dengan khusyuk dan niat yang murni. Ketika kubuka mataku, sudah ada beberapa tangan menyambutku. Ternyata Kak Olive dan Kak Dea. “Selamat ultah!!!” ucap mereka hampir bersamaan. Kujawab ucapan mereka dengan seulas senyum yang tulus. Hmm… mungkin sudah mesti begini, tidak akan ada yang spesial, semua sudah berbeda…
Surat yang Tak Pernah Selesai | 43
Hari itu aku mendaftarkan diri untuk pesiar. Sebenarnya, aku tidak ada niat sama sekali untuk pergi keluar kampus, mengingat cuaca di luar sangat terik. Tapi malam sebelumnya, ketika aku menelepon ibuku, beliau memintaku untuk berangkat pesiar dengan alasan agar aku dapat menghubunginya lewat handphone-ku yang dititipkan di Arema. Hmmmppppffhh… untuk ikut apel PKS saja aku sudah ogah-ogahan… *** Entah mengapa hari itu aku lolos hanya dalam satu kali apel saja. Padahal, menurutku, bajuku yang kebesaran dan sepatuku yang tidak mengilap akan memulangkanku ke graha. Tapi, e-eh... Dengan satu kali apel saja, aku sudah dapat izin untuk keluar. Hmm… kenapa ya?? Serasa semuanya dipermudah. Setelah tadi tidak jadi latihan upacara, apelnya lebih cepat pula. Handphone sudah kuambil. Ibu pemilik Arema heran, tumben-tumbennya aku pesiar. Kukatakan saja sejujurnya, bahwa aku sedang berulang tahun, dan ingin refreshing keluar kampus. Beliau memaksaku untuk menunggu di dalam. Biasanya sih aku menurut saja, tapi entah mengapa hari itu aku ingin sekali menunggu di luar. Baru beberapa detik melangkah dari luar Arema, aku dikejutkan oleh sebuah pemandangan yang menurutku tidak biasa. Aku melihat seorang kakek renta mengangkat seikat besar ranting kayu bakar sambil menyeberang jalan raya yang sangat ramai. Cuaca hari itu sangat panas. Jarum jam di arlojiku menunjukkan pukul 11.00. Waktu dan cuaca yang sangat menyiksa bagi kakinya yang tidak mengenakan alas kaki barang sebenang pun. Hatiku terenyuh melihatnya. Kurogoh sakuku, ingin rasanya aku berlari dan membantu membawa bebannya. Tapi entah mengapa, langkahku serasa membeku. Tiba-tiba saja, seperti ada yang membisikiku, entah siapa…
44 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Sudahlah, lihat saja apa yang dapat Kutunjukkan padamu… Belum sempat aku menyongsongnya, ternyata sudah ada seorang wanita yang mengulurkan tangan berisi sejumlah uang kepada kakek tua itu.
Lihat, Aku membuat dia memperoleh rezeki tanpa harus meminta-minta. Aku membuat dia sanggup berjalan di bawah teriknya matahari, meskipun tubuhnya sangat renta. Aku dapat membuat segala sesuatu menjadi mungkin asalkan kau mau berusaha dan tetap berpegang pada-Ku… Tak terasa air mataku mengalir. Ya Tuhan, jadi ini yang ingin kau berikan padaku… *** Sekarang aku berada dalam angkot yang mengantarkanku ke alun-alun. Teman-temanku semua ingin pergi ke Trio Plaza. Aku sih setuju saja, toh tidak ada yang ingin kukejar, apalagi kucari hari ini. Puas melihat-lihat, kami akhirnya keluar. Aku tidak membeli apa-apa. Pada awalnya, aku hanya ikut-ikutan mereka untuk membelikan kakak dan abang sedikit tanda mata pada waktu PA. Ya, sejenis kado laaahh… Hahaha, tragis sekali! Aku yang berulang tahun, malah hari ini aku yang sibuk membeli kado. Sambil mengenakan baret, tiba-tiba mataku tertumbuk pada seorang lelaki yang sedang duduk di pinggir jalan. Sepertinya mengemis… tapi entah mengapa dia tidak mengeluh, apalagi memohon-mohon untuk meminta sepeser uang pada para pejalan kaki. Tidak seperti yang dilakukan oleh seorang wanita, tak jauh darinya. Padahal jika dilihat kondisi fisiknya, kakinya yang hanya satu lebih memungkinkan dia untuk memelas daripada wanita yang masih segar-bugar tadi. Tanpa berpikir panjang, cepat-cepat kumasukkan beberapa lembar ribuan ke dalam kaleng
Surat yang Tak Pernah Selesai | 45
si pengemis pria. Antara sadar ataupun tudak, serentetan kalimat seakan dibisikkan ke telingaku….
Oleh karena itu, kamu tidak perlu berbohong untuk mendapatkan sesuatu, apalagi sampai melakukan cara yang curang dan ilegal. Berusahalah untuk jujur setiap melakukan pekerjaan, karena orang akan lebih menghargai pekerjaan orang yang jujur daripada pekerjaan seorang penipu ulung…. Lidahku tercekat. Ya Tuhan, pemandangan menakjubkan apalagi yang akan kau berikan padaku hari ini? Ini bahkan sudah yang kedua kalinya aku mendapatkan suatu hadiah yang sangat berharga... *** Puas berjalan-jalan dan makan, aku dan teman-teman memutuskan pulang ke kampus. Sesampainya di depan kampus, aku terlebih dahulu mampir di Arema untuk menitipkan handphone. Merasa tidak enak dengan si empunya rumah, aku berniat untuk membeli beberapa jajanan yang dijualnya. Kulihat ada beberapa kantong es buah tersaji di meja. Langsung saja kusambar dan kubayar tanpa meminta kembaliannya. Sebagai upah telah menjaga handphone-ku, pikirku. “Bu, saya mau sekalian titip handphone...” “Oh ya mbak Santi, sini-sini, ikut Ibu...” Keningku berkerut. Biasanya juga aku hanya tinggal menyerahkan handphone pada beliau, dan beres. Ini ngapain si ibu tibatiba memintaku untuk mengikutinya? Tapi aku ikuti saja wanita paru baya itu masuk ke dalam rumahnya. Beliau mengambil handphone dari tanganku, dan otomatis tanganku tetap terjulur untuk menerima nomor pengambilan. Lalu...
46 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Ini cokelat untuk Mbak Santi. Selamat ulang tahun, ya… Ibu doain semoga panjang umur...”ucapnya tulus sambil meletakkan dua batang besar coklat ke dalam genggamanku. Kupandangi wajahnya lekat-lekat. Senyumnya yang tulus belum hilang dari sana, yang memperlihatkan dengan jelas keriput kulitnya yang dimakan usia. “Ta-ta… Tapi, bu… Sa-sa….” “Ya sudah…” ujarnya masih dengan senyum penuh kedamaian. “Ibu tadi bingung mau kasih apa, jadi Ibu kasih cokelat saja ya. Maklumlah, cuma ini kemampuan Ibu…” “Ya ampun, Bu… ini… ini ’kan mahal. Saya ‘kan tadi cuma beli es buah Rp300-an...” sergahku. “Nggak apa-apa, Ibu seneng kok bisa ngasih orang, apalagi Mbak Santi. Diterima, ya…”ujarnya dengan penuh kasih sayang sambil menggenggam tanganku. “Nah… Selamat ulang tahun, Mbak Santi…” Aku memandang wajah penuh keriput ibu itu dengan pandangan yang berkaca-kaca. Ini kado pertamaku hari ini… Cokelat! Memang, harganya tidak terlalu mahal, tapi rasanya ini cukup besar bagi seorang penjaja es buah.
Lihatlah, bahkan orang yang berkekurangan pun masih mau memberi demi melihat orang lain bahagia. Jadi, jangan segan untuk memberikan apa yang kamu mampu berikan pada orang lain, jika emang itu dapat membuat dia bahagia… Suara yang sama membisikiku lagi. Tuhan, terima kasih atas penglihatan luar biasa yang telah kau berikan hari ini. Ini adalah kado terbaik dan terindah yang pernah saya dapatkan seumur hidup saya. Ajarkan saya untuk selalu melakukan kebaikan-kebaikan itu, Tuhan…. *** Surat yang Tak Pernah Selesai | 47
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.20. Aku masih saja terjaga. Tentu saja bukan karena sibuk hanya membuka kado-kado dari Kak Laura, Keluarga Yohanes, Kak Dea, Nurin, Restry, Helvy, atau yang lainnya. Meski aku tidak menyangka akan diberikan kado sebanyak ini. Mana tadi secara ”spesial”, namaku diumumkan di RKB. Belum lagi ucapan selamat dari banyak orang yang kusayangi. Hmm… ternyata di sini pun aku dapat menemukan keluarga layaknya keluargaku sendiri. Senyumku terkembang setiap kali aku mengingat ucapan selamat dari mereka dan menatap hadiah-hadiah yang telah mereka berikan. Selain, aku tak akan pernah lupa peristiwa siang tadi. Peristiwa yang membungkus tiga pelajaran: kerja keras, kejujuran, dan memberi. Tuhan telah mengirimkannya secara apik padaku. Terima kasih Tuhan, semoga aku dapat menjaga hadiahMu dengan baik, selamanya.
48 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Pilihan Hmm... Tali... Silet... Racun Serangga... Tali lebih bisa dipercaya. Kemungkinan gagalnya lebih sedikit. Tinggal mencari tempat yang tepat untuk menggantungnya, dan memastikan posisiku tepat, hingga tidak akan lama kesakitan. Silet akan bagus jika aku ingin menikmati sakit yang tercipta. Perlahan... Melihat darah mengucur... Menikmati sakit yang menghantarnya. Racun serangga? Pilihan paling jelek. Rasanya pasti tidak enak. Kemungkinan untuk bisa diselamatkan pun lebih besar. Aku pikir, orang-orang bodoh, yang memilih racun serangga adalah orang yang berniat untuk diselamatkan. Mereka melakukannya hanya untuk mencari perhatian. Dan pastinya itu bukan pilihanku saat ini. Pukul 01.23. Angka yang bagus. Tadinya aku ingin 12.34, tapi masih ada beberapa teman di ruang belajar ini. Tipe anakanak kurang kerjaan yang tidak bisa tidur – kemudian menghabiskan waktu dengan rumpi dan curhat, serta anak-anak rajin yang memang bertekad mempertahankan nilai-nilai bagusnya. Aku bukan salah satu dari kedua tipe itu. Tidak punya teman untuk curhat segala masalah, dan tidak pernah mengerti pelajaran di sini. Mau serajin apapun aku, tetap tak bisa kumengerti, dan akhirnya aku memilih untuk tak lagi memaksa otakku berpikir. Hanya menikmati semua aktivitas yang telah terjadwal. Bukan menikmati, lebih tepatnya menjalani. Tapi belakangan aku mulai menikmatinya. Menyerap setiap detil kecil yang berlangsung. Karena aku tak akan lama di sini.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 49
Butuh kenangan terakhir dari tempat yang hampir dua tahun aku huni ini. Teman-temanku di sini... Ada beberapa golongan teman yang sering aku perhatikan dengan setengah iri. Pertama, tentu saja golongan manusia-manusia pintar. Mereka yang nyaris tidak pernah HER, yang melahap semua pelajaran Fisika, Matematika, Kimia, atau apapun itu, dengan ringan. Menikmati setiap pengetahuan baru yang terserap. Mengikuti setiap lomba dan memenangkannya. Posisi yang dulu sangat aku kenali. Yang membuat aku bisa berada di sekolah ini, dan akhirnya membuat aku tak berguna seperti saat ini. Golongan berikutnya adalah manusia-manusia aktif. Mereka yang dekat dengan siapapun. Yang dikenal oleh siapapun. Yang membidani dan menyukseskan kegiatan apapun. Yang benarbenar mencurahkan kreativitasnya di sekolah ini tanpa khawatir dengan nilai. Karena – herannya – biasanya mereka juga pintar dan memiliki nilai-nilai bagus. Selanjutnya... yang paling membuat aku iri, adalah golongan penikmat kehidupan. Mereka yang terlihat tidak peduli dengan nilai, tidak peduli untuk menyukseskan setiap acara, tapi menikmati setiap saat di sini. Bersama teman-teman, mengukir kenangan. Mereka bukannya tidak peduli dengan nilai, tapi mereka tidak memaksakan diri untuk belajar. Bisa menikmati saat harus HER, menikmati saat bebas sementara yang lain sibuk mempersiapkan acara, menikmati usaha-usaha kecil melanggar peraturan hanya untuk mengetahui apa akibatnya. Mereka yang bisa menerima hidup dan menikmatinya. Jika aku diberi kesempatan untuk bisa menikmati hidup di sini dengan salah satu cara di atas, mungkin aku memilih cara terakhir. Menikmatinya... Walau jika boleh, aku ingin kembali pintar dan aktif dengan menikmati setiap saat. Manusia memang serakah...
50 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Dan sekarang aku sedang menikmatinya. Walau dengan cara yang berbeda: seorang diri. Aku di sini bukan seorang terkucil yang tak dikenal. Semua orang di sekolah ini mengenal aku, semua merasa mengenal aku: Reni si badut nan gendut, atau dengan nama terkenalku, Rendut. Sasaran semua kekonyolan, sumber olokan dan kelucuan. Semua sepertinya mencintai aku. Tak ada yang mengetahui bahwa aku merasa hampa, kosong, sendiri. Bosan dengan panggilan singkat Ndut dari orang-orang yang lebih gendut dari aku hanya karena pipiku lebih chubby. Dan aku tak pernah keberatan dengan panggilan itu. *** Tali... Silet... Racun serangga... Racun serangga... Salah! Tepatnya obat nyamuk... dan pemutih pakaian. Obat nyamuk kurang terasa, karena aku menggunakan obat nyamuk bakar, haha! Sepotong kecil yang aku minum dengan segelas air. Tak ada rasa, dan tak ada pengaruhnya. Pemutih pakaian yang terasa cukup membakar kerongkongan. Dan menyebabkan muntah. Muntah darah bahkan. Sayangnya aku muntah. Jadi nafas masih tetap di badan. Kapan ya kejadiannya? Kelas 5 SD, kalau aku tidak salah. Karena tugas mengarang yang akan dilombakan belum juga aku kerjakan. Sementara Bu Guru telah menanyakan berkali-kali, bahkan menyuruhku mengambilnya, balik ke rumah. Karangan yang belum kutulis, tapi aku katakan ketinggalan di rumah. Lalu pulanglah aku ke rumah seorang diri, dengan berbagai rencana di kepala. Dan seperti perkiraanku, rumah kosong. Yang terpikir oleh otak pintarku saat itu cuma obat nyamuk bakar dan pemutih pakaian. Tali tak terlihat. Lagi pula, saat itu aku hanya berniat sakit, bukan mati. Sayangnya, sakit pun tidak. Mami, yang kantornya dekat rumah, heran melihat pintu terbuka dan menyempatkan diri
Surat yang Tak Pernah Selesai | 51
melongok ke dalam rumah. Menemukan aku muntah-muntah. Sayangnya cuma sedikit muntah darah. Papi langsung datang, mengantar aku kembali ke sekolah dan berbicara dengan Bu Guru. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi malamnya Papi yang membuatkan tugas mengarangku. Dan masalah itu tak pernah kami bahas lagi. Tidak Mami, tidak Papi, tidak Bu Guru. Bahkan Ayah dan Bunda, orangtua kandungku pun tidak pernah mengetahuinya. Betul. Mami dan Papi bukanlah orangtua kandungku. Mereka Budhe dan Pakdhe-ku. Mami adalah kakak Bunda. Aku anak perempuan ketiga Bunda, dan selang setahun kemudian aku memiliki adik cowok. Bunda akhirnya merelakan aku diasuh Mami karena kupikir Bunda sudah merasa cukup memiliki dua anak perempuan, dan akhirnya memiliki seorang anak laki-laki yang dinanti. Jadi buat apa diriku ada? Sementara, Mami dan Papi tidak memiliki seorang anak pun, dan mereka sangat mencintai aku. Benar-benar berusaha mencintai aku. Tapi sayangnya otak cerdasku (dulu) selalu merasa aku anak yang terbuang. Aku pun berusaha membuat Ayah dan Bunda menyesal telah membuang aku. Aku selalu berusaha menjadi yang terbaik di kelas. Usaha yang nyaris tak berguna karena kedua kakakku telah lebih dahulu menjadi bintang kelas. Lebih bersinar dibanding aku. Ketika akhirnya aku lulus tes penerimaan SMA Taruna Nusantara, itulah satu-satunya momen yang membuat aku paling bersinar karena kedua kakakku tak pernah bisa melewati tes itu. Tapi sekarang, hal yang paling kubanggakan itu ternyata membawaku ke posisi awal: tidak berguna. Lebih parah lagi, tanpa prestasi yang bisa dibanggakan. Kecuali bahwa semua orang merasa mengenal aku dan nyaman mengejek, mengolok, dan bercanda dengan diriku, bisa disebut prestasi. Aku sumber kelucuan, aku sumber keramaian. Tak ada aku, tak ada yang bisa
52 | Pegiat Sastra Ikastara.org
diolok dan rela mengolok dirinya sendiri dengan ikhlas. Tapi tak ada yang benar-benar tahu kehampaan dalam diri ini. Tak ada yang menyadari bahwa aku tidak memiliki sahabat tempat bercerita ketika sedih. Aku hanya memiliki banyak teman untuk tertawa bersama. *** Tali... Silet... Racun Serangga... Silet... Pisau tipis tajam... Berbahaya... Kali itu aku memegang cutter. Dan seperti biasa, bercanda tertawa bersama teman-teman sambil memotong styrofoam untuk pembuatan mading Graha Kenanga. Tanpa sengaja, cutter itu mengiris mulus punggung jari telunjuk kiriku. Cukup dalam untuk mengalirkan darah pekat tak berhenti. Dan aku terpesona melihatnya, menyadari sakit yang datang terlambat menyusul darah yang mengalir. Semua gadis terpekik kaget dan panik. Sementara aku – bagai dalam gerakan lambat – menikmatinya. Tersenyum melihat kepanikan di tiap wajah, tersenyum melihat darah yang makin lancar mengalir, tersenyum menyadari sakit yang menjalar ke ulu hati. Sakit karena pembuluh darah terputus itu tak hanya di tempat yang terluka. Sakitnya sampai ke dada, dan ditimpali ketakutan serta kepanikan akan darah yang mengalir. Tapi ketika itu, hanya sesaat takut dan panik di otakku. Kemudian otakku bisa merekam jelas rasa sakit yang ada. Menganalisisnya dan menyadari bahwa silet mengiris jari ternyata tak begitu sakit. Hanya terasa menyentak ringan di tiap denyutan nadi. *** Dia menyadarinya... Orang yang biasa kami panggil Pamong, berusia dua kali usiaku, dan terlihat begitu dewasa, menyadari kehampaan ini.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 53
Terlihat begitu mengerti aku. Dalam senyum teduhnya, dalam tatap tulusnya. Tanpa tawa, tanpa olok, tanpa ejekan. Tak pernah balas menanggapi becandaanku dengan canda, tapi langsung mengungkap pasti makna yang tersirat. Dia pernah berkata, “Saat paling jujur dari seseorang adalah saat dia mengungkap sebuah fakta dalam nada bercanda.” Ucapan yang langsung membuatku merinding. Dia mengucapkannya dengan mata menatap penuh pengertian, setelah aku dengan bercanda mengatakan “Aku adalah orang paling kesepian di dunia ini karena tak memiliki teman”. Yang lain terbahak lama mendengarnya. Dan dia, Pak Rafal, bersabda di sela tawa itu, langsung di hadapku dan hanya aku yang mendengarnya jelas karena yang lain masih sibuk tertawa. Menertawakan hal yang sebenarnya sama sekali tidak lucu seandainya bukan keluar dari mulut Rendut, si badut-gendut-teman-semua-orang. Dia wali kelas ku saat ini, di kelas dua. Penuh perhatian dan mengenal setiap pribadi anak asuhnya. Tak hanya para manusia pintar, para manusia aktif, dan penikmat kehidupan, tapi juga para rumput yang menghijau subur... Pukul 02.34. Dia yang menjadi alasanku masih bangun seorang diri di ruang belajar pada jam segini. Tanpa penerangan, kecuali rembesan sinar lampu dari koridor. Tanpa teman, kecuali meja dan kursi yang berjejer sepi. *** “Sudah diputuskan?” “Sudah.“ jawabku singkat sambil bersedekap menghangatkan diri dan melirik ke sekitar mengusir gelisah. Embun masih belum menguap saat aku berjanji bertemu Rian pagi ini. Di pintu IV Ruang Komunikasi Bersama. Masih dengan pakaian olahraga, dan yang pasti belum mandi. Dengan segala
54 | Pegiat Sastra Ikastara.org
macam peraturan di sekolah ini, pagi hari setelah olahraga dan sebelum makan pagi adalah waktu yang berpengawasan rendah. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk sekolah. Tak akan ada yang terlihat berkeliaran tanpa tujuan, kecuali untuk pagi ini: aku dan Rian. “Kamu yakin?” Rian menggeser posisi kacamatanya dengan sebelah tangan. Reflek yang tanpa disadarinya selalu dilakukan jika dalam keadaan tidak nyaman. Dan tentunya saat ini dia merasa sangat tidak nyaman. Rian berdiri dengan menopangkan berat badan ke kaki kanan, agak membungkuk, mencoba mensejajarkan kepalanya dengan mataku. Profil yang terlihat jelek karena seharusnya dia bisa sangat keren jika berdiri tegap dengan proporsi tinggi badan yang dimilikinya itu. “Sudah aku putuskan.“ ”Masih ada waktu untuk mengubahnya.“ ”Aku sudah memutuskan.“ jawabku kali ini dengan nada yang sama pastinya dan menatap tepat ke mata Rian yang langsung mencengkeram mataku dalam. Menatap lama, mencari keraguan yang mungkin akan ditemukannya. Aku bertahan. Tidak menambah atau mengurangi tatapanku. Mencoba mempertahankan dalam kepastian yang sama. Dan relativitas Einstein langsung terbukti, saat waktu yang hanya beberapa detik ini tiba-tiba terasa sangat lama sebelum terdengar helaan nafas menyerah Rian yang menegakkan tubuhnya dan membuang pandangan sesaat. “Apa?“ “Tali“ “Tali?!?“ “Yap.. Tali..“ “Dibanding..?” “Silet dan Racun serangga.“ Surat yang Tak Pernah Selesai | 55
“Silet dan racun serangga? Cuma itu? Apa tidak ada pilihan yang lebih...?“ “Lebih apa?” aku menyela, langsung memutus kalimat Rian yang dia ucapkan dengan nyaris tidak mempercayai pendengarannya. “Pistol, OD, jarum suntik kosong, terjun dari tower, menabrakkan diri ke bus, membakar diri, atau lebih apa yang kau maksud? Tali, silet, dan racun serangga memang lebih konservatif, tapi lebih sederhana dan dapat ditemukan di manapun saat ini. Tak perlu mencarinya khusus, dan akan lebih sulit melacaknya nanti...” terangku dalam satu helaan nafas. Rian kembali menatapku skeptis beberapa saat, dan aku menatapkan balik dengan kepastian yang sama. “Di mana? “ tanyanya datar. Tapi aku tak bisa menyembunyikan senyum kali ini. Berarti Rian menyetujuinya dan siap membantu aku. “Tengah panggung.“ “Pasti?“ nada suaranya setengah menggoda dengan satu alis naik saat bertanya. Dan aku tersenyum makin lebar. “Percaya padaku.“ “Mana bisa aku percaya dengan orang yang berniat menggantung dirinya di tengah panggung!“ dengus Rian sebal. Senyumku terurai menjadi tawa cekikikan. “Thanks a lot.“ ujar ku sambil melangkah mundur. Cukup sudah. Rian pasti akan menjalankan bagiannya dengan sebaikbaiknya. “Ren..!“ panggilnya sebelum aku berbalik pergi. Rian tak pernah lagi memangil aku Ndut atau Rendut setelah kejadian itu. Sore di hari Sabtu. Dia melihatku keluar menunduk
56 | Pegiat Sastra Ikastara.org
setengah berlari dari rumah Pak Rafal. Rian mengikutiku ke sudut terjauh lapangan bola. Menemukan aku dengan muka sekeras batu dan dikotori air mata. Dia duduk di sampingku tanpa tanya, menemani dalam diam sambil makan kacang. Dan 20 menit kemudian barulah caci-maki keluar dari mulutku. Tak berhenti untuk orang yang selama ini aku anggap mengerti diriku. Orang yang kupercaya menjadi tempat mengadu. Pengertian dan perhatiannya yang selama ini kuanggap seperti Bapak kepada anak, ternyata tidak. Entah aku yang terlalu naif bisa berpikir seperti itu atau dia yang memang bejat. Aku masih 16 tahun berseragam SMA dan dia guru dengan dua kali usiaku. Di mataku, dia sama tuanya dengan Kakek. “Ya..?“ kuhentikan langkah dan kembali mendekat. Rian menatapku serius. “Tolong berjanji padaku satu hal saja...” “Apa?“ “Jangan gentayangan menghantui aku nanti ya...“ dan cengiran lebar tercipta di wajahnya yang menenteramkan. Aku tertawa keras dan berbalik pergi dengan cepat. Matahari sudah semakin tinggi dan embun pagi mulai menghilang. “Janji ya..!” teriaknya sebelum beranjak pergi. “Pasti..!!“ jawabku sambil menoleh dan melambai. Kemudian mempercepat jalan, setengah berlari kembali ke graha putri. *** Aku berjalan perlahan sambil menyeret sebuah kursi ke tengah panggung. Di sana telah terdapat seuntai tali besar yang biasa digunakan untuk lomba tarik tambang. Tapi kali ini, dengan melihat simpul di ujungnya, setiap orang pasti tahu bahwa tali itu bukan untuk tarik tambang. Tepat di tengah panggung, aku menengadah ke atas. Kekaguman terpuja untuk Rian yang bisa menggantung tali ini sesuai harapanku. Surat yang Tak Pernah Selesai | 57
Aku seakan bisa membayangkan nafas tercekat penonton di bawah sana. Seakan aku berjalan di panggung nyata dengan penonton yang terkesima. Jika ada musik pengiring, barangkali sekarang saatnya musik-musik horor pengiring kematian itu digelar. Tapi saat ini hanya ada sepi yang mati. Lebih mencekam karena tak ada musik yang bisa membimbing penonton untuk menentukan apa dan kapan hal itu terjadi. Tak ada ritme penuntun dari lambat menjadi makin cepat untuk ikut memacu ketakutan. Atau... tak ada musik pengiring lucu yang dapat memberitahu penonton bahwa ini hanya sekadar komedi, bukan horor. Tak ada... Hanya ada diam dan tanya. Petunjuknya cuma diri ini, kursi, dan seuntai tali. Semua orang yang melihatku saat ini bisa menyimpulkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bahkan sebelum aku mengatur letak kursi tepat di bawah tali, menjejak kaki di atasnya, dan mengalungkan simpul tali tepat di leherku. Dari tadi aku hanya fokus pada keberadaan diriku dan tali ini. Sekarang aku memandang ke bawah panggung, mencari seraut wajah di kerumunan. Dan dia di sana. Seperti ada spot light yang menyorot tepat ke arahnya. Wajah itu memucat dan kedua tangannya reflek terangkat menutupi hidung, mulut, dan separo wajahnya. Yang tersisa hanya mata. Dan hanya mata itu yang kuperlukan untuk mengirimkan maksud pesanku. Tanpa kata, tanpa suara. Dan dia mengerti. Kukunci tatapan matanya sesaat, satu senyum samar terkembang di wajahku tanpa sadar. Sinis. Menyaksikan ketakutannya yang menjijikkan. Kupejamkan mata sambil menarik nafas memastikan keputusan ini, memantapkan hati, menyadari sepenuhnya tindakanku ini. Kedua tanganku masih memegang tali yang telah terkalungkan ke leher. Bayangan pucat Pak Rafal masih di kelopak. Kubuka kembali mata memastikan itu bukan bayangan, dan keinginanku tercipta. Itu bukan hanya bayangan. Di bawah, sana Pak Rafal sepucat mayat. Sementara aku masih bernafas hidup. 58 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Tanpa peringatan, kuhentakkan kaki cepat membuang kursi. Dan kakiku tergantung di udara tanpa tumpuan. Menyebabkan berat badanku hanya berpusat pada tali yang masih kugenggam dengan dua belah tangan tepat di bawah leher. Penonton berteriak kaget dan sebelum kepalaku terlempar ke belakang, kusaksikan Pak Rafal terlonjak berdiri. Sekitar 51 kilogram berat tergantung pada seuntai tali. Dan hanya dalam hitungan detik, tali itu terlepas dari ikatannya di langit-langit panggung. Rian hanya menempelkannya dengan beberapa selotip besar. Cukup untuk memberikan efek melayang sesaat sebelum aku berdebum jatuh. Para pemeran lain langsung bermunculan dengan beragam komentar dan ekspresi yang mengundang tawa penonton. Sekali lagi, Tetanus (Teater Taruna Nusantara) tampil dengan cara menggemparkan dan pastinya membuat semua tertawa. Kali ini kami mengusung tema banyaknya anak-anak yang berniat bunuh diri karena masalah uang sekolah. Aku mengucapkan dialogku sambil meringis kesakitan. Tak perlu akting karena kenyataannya memang lumayan sakit jatuh barusan. Kucoba mencuri pandang pada Pak Rafal di bawah sana. Dan aku yakin pesanku dia terima dengan jelas. Rian berdiri di dekat pintu keluar. Bersidekap dan mengacungkan jempol di depan dadanya saat menangkap pandangan ku dari panggung. Senyumku mengembang tanpa sadar. Kebencianku pada Pak Rafal yang selama beberapa bulan ini bersemayam di dada dan menuntunku dalam usaha pembalasan, tiba-tiba sirna. Kehampaan dan kokosongan yang selama ini menghantui terasa sangat absurd. Sekarang aku menyadari dengan pasti satu hal: mati itu pilihan gampang... tapi, hidup lebih menantang...
Surat yang Tak Pernah Selesai | 59
Aku Benci Bahasa Inggris Bagian 0: Bukan Prolog “Kriiiing... Kriiiiing...” Telepon di sudut ruang keluarga sebuah rumah bertingkat dua bercat putih itu berdering. Tergopoh-gopoh seorang ibu menghampiri telepon. “Halo, Assalamu’alaikum...” Begitu sapaan si ibu tersebut ketika mengangkat telepon itu. Raut wajah si ibu itu pun berubah seiring pembicaraan di telepon itu berlanjut, seperti bahagia namun sedih, seperti sedih namun bahagia. “Ya, terimakasih pak. Assalamu’alaikum…” Perkataan itu menutup percakapan telepon di sore hari itu. Perlahan si ibu segera berjalan menuju kamar anak bungsunya, ekspresi si ibu semakin campur aduk. Beliau kemudian masuk ke kamar anak laki-lakinya yang memang tidak pernah dikunci itu. Air mata tak terbendung lagi olehnya ketika ia melihat anaknya yang baru lulus SMP itu tertidur dengan pulasnya. Ibu itu kemudian duduk di pinggir kasur itu. Hanya duduk. Sambil menangis. Masih terngiang perkataan bapak-bapak dengan aksen tegas yang menelepon tadi. “Selamat ya Bu, anak ibu lolos seleksi daerah SMA Taruna Nusantara.” ***
60 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Hehehehe... Wisnu lulus Ma!” Ujar anak itu sambil tersenyum kepada Ibunya. Batu besar dengan tanda tangan Try Sutrisno di bagian bawahnya dan udara sejuk kota Magelang menjadi saksi peluk bangga sang ibu kepada anaknya. Bagian 1: Ketika itu Kelas I SMA Aku hanya komputer biasa, sebuah desktop computer dengan Operating System Windows 95. Kertas bertuliskan angka 17 tertempel di bagian atas monitorku. Aku bekerja di Laboratorium (Lab.) Komputer sebuah SMA yang lumayan kenamaan. Biasanya anak-anak yang sekolah di sini menyebut SMA ini dengan cukup singkat: “Te-eN”. Bekerja di sebuah lab terkadang menyenangkan, namun lebih sering membosankan. Bosan juga melihat rambut-rambut cepak itu silih berganti masuk ke lab komputer itu. Bosan juga melihat ekspresi bingung anak-anak itu ketika guru – di sini biasa dipanggil Pamong – mengajarkan materi yang mungkin hanya dimengerti 10%. Bosan juga melihat rambut-rambut botak itu bermain game-game kecil ketika jam istirahat dimulai. Kesimpulannya singkat saja: BOSAN. Tapi, pagi itu aku harus mencari penghapus. Untuk menghapus kata bosan yang kutuliskan di benakku (mungkin lebih tepat jika disebut processor-ku). Pagi itu tidak membosankan. Pagi itu menarik. Seorang anak berambut cepak dengan papan nama bertuliskan “Wisnu Wardhana” di dada kananya, datang ke lab. Dia menitikkan setitik air mata, terlihat cukup kontras dengan postur si anak yang cukup tinggi dengan wajah terlihat garang. Ingin aku bertanya kepada anak itu, mengapa ia menangis. Namun apa
Surat yang Tak Pernah Selesai | 61
daya, harus menunggu sekitar 30 tahun sampai manusia mungkin bisa berkomunikasi dengan desktop computer-nya. Anak itu duduk di hadapanku, jemarinya menggapai mouse yang terletak di samping CPU. Dia mengarahkan pointer di monitorku menuju sebuah ikon bergambar huruf W biru. Microsoft Word. Sesaat kemudian jemari itu mulai bergerak di atas papan huruf komputer. Bergerak penuh emosi, seakan menumpahkan segala isi perasaanya pada setiap momentum jari-jemarinya.
AKU SAYANG KAMU!!... Pengen banget rasanya aku teriak dan ngasih tau dia, kalo aku sayang dia... Tapi... aku nggak bisa... dan mungkin nggak bakal pernah bisa.. Jemari itu terdiam sejenak, imaji sang anak melayang... “Hi, namaku Wisnu.” Kalimat itu mengawali pembicaraan dua anak manusia berseragam SMA dengan dasi berstrip satu. Di lorong kelas sekolah berasrama itu, sapaan itu mengawali sesuatu yang lebih besar. Jemari si anak kembali bergerak.
Oh Tuhan... Pertama kali aku bertemu dengannya di lorong kelas itu. Aku nggak bisa ngelupain mata itu. Mata yang indah. Terlalu indah. Matamu hitam, pekat. 62 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Matamu bagai portal menuju dimensi lain. Dimensi baru dalam hidupku. Dimensi yang aneh. Dimensi yang membuatku gila. Ingin aku bertanya. Kenapa harus aku ? lebih-lebih lagi. Kenapa harus dia ? aahhhh... peduli setan dengan semuanya... Aku sayang dia!!!! argghhh.... dan aku BENCI bahasa Inggris. Si anak terdiam lama. Ditatapnya baris demi baris tulisan yang muncul di layar. Ia terlihat sedikit lega. Pelan ia meng-klik ikon bergambar disket pada layar. ”Aku Benci Bahasa Inggris”, begitu judul yang dia berikan pada file hasil ketikan jemarinya. Pointer bergerak menuju tanda silang di pojok kanan atas layar. Klik. Aku memunculkan pilihan untuk menyimpan data – sebuah prosedur standar. Klik. Aku pun menutup jendela Microsoft Word. Membiarkanku dalam keadaan menyala, si anak pergi meninggalkanku dan laboratorium Komputer. Bagian 2: Ketika itu Kelas II SMA Manusia adalah makhluk yang aneh. Otak mereka sangat hebat, prosesorku tentu tidak ada apa-apanya dibanding kejeniusan sel-sel abu-abu dalam kepala manusia. Tapi, manusia sering keSurat yang Tak Pernah Selesai | 63
bingungan setengah mati hanya karena hal-hal sederhana. Mislanya soal cinta. Bagiku, jika aku cinta pada seseorang maka aku katakan padanya. Kalau tidak, ya tidak perlu aku katakan. Ini mudah sekali. Tinggal mengecek apakah “aku cinta padanya”, lalu aku tinggal mengeksekusi salah satu perintah yang ada setelahnya. Simpel. Namun bagi manusia, ketika mereka sedang mencintai seseorang, maka… Mereka bisa bingung, tak tahu harus berbuat apa. Kebingungan yang bisa mengarah pada gangguan kinerja piranti lunak manusia. Lalu, mereka terserang virus “stres”. Sepertinya gangguan kinerja bernama “stres” ini tengah melanda anak bernama Wisnu itu. Hari ini dia duduk dengan tatapan yang sama seperti dulu dia duduk di hadapanku. Tatapan gelisah. Kelihatannya dia butuh “Aspirin” lagi. Dugaanku tepat, dia mengarahkan pointer ke ikon W biru itu lagi. Mencari file berjudul “Aku Benci Bahasa Inggris” dalam folder-folder memoriku. Kemudian dia mulai meneguk “Aspirin”-nya, lewat setiap hentakan jemarinya di atas keyboard.
AKU STRESS!!! AKU BINGUNG!! Oh Tuhan.. kenapa Kau siksa aku dengan perasaan ini.. kenapa Kau buat setiap milisekon aku merindukannya.. kenapa Kau menyiksaku lewat malaikat terindahmu.. dia begitu baik padaku, dia menghiburku dalam setiap saat sedihku..
64 | Pegiat Sastra Ikastara.org
dia tertawa bersamaku dalam saat bahagiaku.. dia adalah segala-galanya bagiku.. Setiap malam aku selalu menatap ke arah itu.. Menatap ke arahnya.. Mengharap keajaiban akan membawa dia ke sisiku.. ke pelukku.. lagi-lagi aku ingin berteriak.. berteriak pada dunia AKU SAYANG DIAAAA.... arghhhhhh!! dan aku semakin benci bahasa Inggris!! Puas meneguk Aspirin mayanya, anak itu pergi meninggalkanku, setelah sebelumnya menghapus jejak yang sempat dia torehkan ke memoriku. Kepergiannya meninggalkan sebuah kebingungan tersendiri. Apa arti “sayang” bagi manusia? Bagiku, sayang adalah rangkaian huruf S-A-Y-A-N-G. Jelas, riil, tidak membingungkan. Mengapa sayang begitu membingungkan bagi manusia? Mereka memang aneh! Heran juga, mengapa makhluk aneh seperti itu bisa-bisanya menciptakan diriku. Sungguh ajaib.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 65
Bagian 3: Ketika itu Kelas III SMA Hari ini tidak ada pelajaran di laboratorium komputer. Oh, bukan, hari ini bukan hari libur. Pagi-pagi aku sudah mendengar suara berbagai macam alat musik yang dibawakan sekelompok siswa. Mereka menyebutnya Marching Band. Gosipnya, hari ini adalah hari kelulusan bagi anak itu. Acara yang sering disebut “Prasetya Alumni”. Sudah hampir tiga tahun sejak pertama kali si anak membuat file “Aku Benci Bahasa Inggris.doc”. Tiga tahun adalah waktu yang singkat bagi manusia, tapi tidak bagiku, sebentar lagi kelihatannya aku akan segera didepak dari lab ini, digantikan dengan produk-produk baru dengan Operating System baru, katanya sih namanya Windows 98. Ah, sebodo amat. Aku tidak terlalu memusingkan hal ini. Hari ini anak bernama Wisnu itu muncul lagi di hadapanku, ia menggunakan baju biru tua dan celana biru muda. Cukup gagah. Dia membuka file yang sama seperti yang dia buka tiga tahun lalu. Membaca ulang dari halaman pertama setiap katakata yang dia tuliskan, sambil terkadang tersenyum kecil. Selesai membaca ulang, mulailah dia melakukan ritual “meneguk Aspirin” itu.
Oh Tuhan. Tiga tahun sudah aku dan dia bersama.. Tiga tahun sudah aku mencintainya Aku dan dia akan berpisah hari ini... Mungkin bertemu lagi suatu waktu.. 66 | Pegiat Sastra Ikastara.org
mungkin juga tidak.. aku tidak pernah tahu apa yg Kau rencanakan Tidak sekalipun aku bisa menyatakan betapa besar cintaku padanya.. tidak sekalipun terucap kata aku sayang kamu.. karena aku tidak bisa.. dan aku tidak boleh.. Aku sayang dia dan aku benci bahasa Inggris.. Mengapa ?? Coz’ I Love Him.. Setelah terdiam cukup lama, sang anak menutup file. Lalu melangkah pergi dalam diam. Bagian ~: Bukan Epilog Setelah kali terakhir dia menemuiku, tidak pernah lagi aku melihat anak itu kembali lagi. File buatannya masih tersimpan di memoriku yang makin karatan ini. Mungkin tinggal tunggu waktu saja aku crash dan data itu pun nantinya akan hilang. Sialnya, sampai akhir aku masih juga belum mengerti apa maksud “sayang” yang ia tuliskan. Ada yang tahu? Kalau kamu tahu tolong kasih tahu aku ya! Tapi tolong buat dalam format .exe sehingga aku dapat memahaminya dengan mudah. Ok ?
Surat yang Tak Pernah Selesai | 67
Dilema Hujan turun begitu deras sore ini. Aku dan Ayu sedang berjalan bergandengan tangan di koridor penghubung ruang kelas dan Gedung Serbaguna. Dalam kondisi hujan, anak kelas satu seperti kami diperbolehkan berjalan melalui koridor manapun yang ada di kampus ini. Hal yang tidak akan terjadi apabila cuaca sedang cerah. Ya! Selain dilarang menginjak rumput dan menginjak lantai tiang bendera, murid kelas satu juga dilarang berjalan lewat koridor manapun. Kami harus berjalan memutar. Sore ini begitu lengang. Tak ada satupun abang atau kakak kelas yang lewat, juga pamong. Aku senang dengan kondisi ini. Artinya aku tidak perlu repot-repot mengangkat tangan memberi tanda hormat dan berkata “Sore, Bang!” atau “Sore, Kak!” kepada abang atau kakak yang berpapasan denganku. Juga tidak ada yang nanti protes karena melihat aku bergandengan tangan dengan Ayu. “Seperti anak kecil!” begitu kudengar seorang kakak yang pernah memarahi kami waktu kami ketahuan berjalan bergandengan. Padahal besoknya, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, dia bergandengan tangan dengan “soulmate”nya, istilah untuk rekan semeja makan. Tapi sore ini terlalu lengang! Akhirnya kami sampai di koridor kedua, menuju graha putri. Lagi-lagi koridor ini lengang. Hari memang sudah sore, pukul setengah lima. Tapi biasanya masih ada siswa yang beraktivitas. Entah itu ke kantin atau ruang komputer. Tapi kali ini tidak ada siswa yang lewat sama sekali.
68 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Sebenarnya kenyataan itu tidak menggangguku (juga Ayu). Kami tetap saja berjalan – seperti biasa, dalam diam – sambil bergandengan tangan menuju graha Cempaka. Dan ketika aku sampai di pintu graha Cempaka, kulihat beberapa temanku sibuk. “Rita, sedang apa? Kok nyeret-nyeret koper? Lagi ada korve, ya?” Korve adalah istilah kami untuk “kerja bakti”. Rita tak menjawab, dia malah asik sibuk sendiri. Teman-temanku yang lain juga begitu. Monda-mandir, membawa buku yang bertumpuk-tumpuk dari ruang belajar di lantai satu menuju kamar di lantai dua, juga sebaliknya. Aku menatap Ayu. Yang kutatap juga balik menatapku tak kalah heran. Segera saja aku berlari menuju kamarku. Kamar 4 graha Cempaka. Di kamarku ternyata kondisinya juga sama gawatnya. Ana sibuk sekali dengan koper pakaiannya. Dwita dan Hepi dengan buku-bukunya. Aku mulai panik! “Fe, lagi ngapain?” Tanyaku pada Fera. “Loh, Yep. Kamu kok belum beres-beres?” Tanya Fera, teman sekamarku. “Beres-beres ngapain, Fe?” Tanyaku lagi. “Loh, Yep. Kamu belum tahu? TN ‘kan mau ditutup! Tadi sudah dikasih pengumuman sama pamong. Jam enam sore ini, semua siswa harus sudah meninggalkan kampus! Tidak boleh ada lagi yang tinggal di kampus ini setelah jam enam sore ini.” Fera menjelaskan jawabannya terburu-buru. APA? TN mau ditutup? Aku lirik arlojiku, pukul lima kurang lima belas. Masih ada waktu satu jam lima belas menit untuk beres-beres. Segera saja kuambil koperku dari gudang. Kubereskan
Surat yang Tak Pernah Selesai | 69
semua bukuku, termasuk buku harianku. Aku tidak mau repot-repot membereskan baju-baju. Kupikir, saat seragam TN tidak akan bisa aku pakai di SMA luar. Aku membereskan barang-barangku dengan sangat tergesa-gesa. Pukul enam kurang lima belas menit, para pamong mengistruksikan siswa untuk bergerak menuju boulevard. “Ayo cepat siswa! Ayo cepat!” Seru para pamong. Kami tergopoh-gopoh turun ke lobi, dan setengah berlari menuju boulevard. Sesampainya di boulevard, para siswa – atau sekarang bisa disebut sebagai “mantan siswa” karena SMA tempat kami belajar telah ditutup resmi pada pukul enam barusan – berdiri menunggu bis yang lewat. Satu persatu siswa baik sendirian maupun rombongan, menuju kota asal masing-masing. Dan saat itulah aku ingat sesuatu. Dompetku ketinggalan! Padahal semua uangku ada di situ. Semuanya! Termasuk kartu ATM, Kartu Pelajar, foto keluargaku, dan juga foto Pangeran William – “pacar”-ku. Aku panik! Benar-benar panik! “Ayu, ada duit lebih?” Tanyaku pada Ayu dengan nada memohon. “Wah, nggak ada, Yep. Ini aja kayaknya pas banget buat di jalan.” Jawab Ayu. Dia tidak punya kartu ATM, jadi tidak mungkin aku memaksa dia untuk menguras tabungannya. Aku benar-benar panik! Aku dalam dilema. Kalau aku kembali ke kampus – sendirian – bagaimana kalau mereka mengunci aku di dalam? Sementara tak ada satu orang pun yang tinggal di kampus setelah jam enam. Bagaimana aku bisa keluar?
70 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Kalau aku nekad pergi, pakai uang siapa? Bagaimana aku bisa membayar ongkos bis? Aku benar-benar panik. Jantungku berdetak kencang sekali. Aku serasa akan pingsan. Tiba-tiba aku merasa kakiku diguncang-guncang seseorang, keras sekali. “Yep, kamu nggak sahur? Katanya mau puasa?” Ternyata Tiwi yang mengguncang kakiku tadi. Iya ya. Sekarang hari Kamis. Waktunya sahur untuk puasa. Baru aku sadar. Ya ampun, jadi tadi aku hanya bermimpi? Hufff... aku menghembuskan nafas lega sambil tersenyum kecil. Tapi… sebentar. Kok sepertinya ada yang aneh? Teman-teman sibuk membereskan barang-barangnya ke dalam koper. “Fe, lagi ngapain?” Tanyaku pada Fera. “Loh, Yep. Kamu kok belum beres-beres?” Tanya Fera, teman sekamarku. “Beres-beres ngapain, Fe?” Tanyaku lagi. “Loh, Yep. Kamu belum tahu? TN kan mau ditutup! Tadi sudah dikasih pengumuman sama pamong. Jam enam pagi ini, semua siswa harus sudah meninggalkan kampus! Tidak boleh ada lagi yang tinggal di kampus setelah jam enam ini.” Fera menjelaskan jawabannya terburu-buru. APA? TN mau ditutup? Segera saja aku raih dompetku dan kupegang dompetku erat-erat. ~ Ditulis pada tahun 1998, diilhami oleh mimpi yang benar-benar dialami penulis saat baru diterima sebagai siswa di Kampus Biru.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 71
Cinta di Ujung Lidah
Padahal “Aku nggak makan Ted, masih kenyang.. “ Teddy tercenung. Memandang mata Ayu dengan gagu. Pikirannya telah kalut dari tadi. Gugup. Momen ini harus sempurna, dia telah mempersiapkannya dengan matang. Semua harus sesuai dengan rencana. Dia telah melatih dirinya berkali-kali untuk saat ini. Di pikirannya masih terekam jelas petuah Bang Fadli. “Nanti kamu ngomong ke Ayu setelah makan aja…” “Kenapa Bang?” “Kalo sebelum makan nanti pelayan ngeganggu, nanya-nanya dan nganter-nganter pesanan makan kalian..” Dan sekarang Ayu sama sekali tidak berniat makan. Teddy bingung, hal kecil seperti ini telah membuyarkan semua hapalan yang akan diungkapkannya pada Ayu. Benar, HAPALAN! Dia melatihnya tiap malam, seminggu terakhir ini. Kata-kata yang telah dipilih dan didiskusikan serta disetujui Bang Fadli. Dia telah merancanakan semuanya. Tempat, waktu, rangkaian percakapan, tindakan, bahkan reaksi Ayu telah dia perkirakan dalam bayangannya. Reaksi Ayu dan penjelasan Teddy telah dirancang, direncanakan, dan diantisipasi. SEMUANYA. Sejauh ini belum ada satupun yang sesuai rencananya. Teddy merencanakan dinner, dan kemaren pun Ayu masih setuju. Sebelum tiba-tiba Ayu memajukan jadwal pertemuan mereka menjadi sore ini tanpa memberi pilihan lain. Teddy pun kelabakan sambil menggerutu.”Kenapa sih saat segala sesuatu yang Surat yang Tak Pernah Selesai | 75
kita inginkan dan persiapkan, selalu saja terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan? Arrrgghhh!!” “Uhm.. Kenapa ngga makan Yu?” suara Teddy tercekat dan kering. Ia bahkan tak bisa mengenali lagi bahwa suara itu berasal dari kerongkongannya sendiri. Ayu yang bola mata indahnya dari tadi tak pernah lepas memandang Teddy, mengerjap sejenak sebelum tersenyum indah berujar, “Aku baru makan siang dua jam yang lalu Ted, masih kenyang… Aku mesen minuman aja ya... “ Restoran ini nyaman, interior ditata benar-benar memberikan suasana tenang bagi pengunjungnya, tapi tidak bagi Teddy. Ia hanya bisa memandang Ayu dengan gugup. Dia tidak pernah bisa membalas pandangan mata indah itu. Terlalu menggoda dan bisa menghantuinya di setiap malam. “Oh.. Ok kalo gitu...” dengan gugup dia melirik daftar menu. “Kamu mesen apa jadinya Yu?” tanya Teddy canggung. Ayu dengan jelas menyadari perubahan tingkah laku Teddy yang tidak biasanya itu. Ia tak ingin menambah gugup Teddy dengan mengajukan pertanyaan yang akan membuat cowok itu makin kacau. Ayu hanya tersenyum maklum dan memanggil pelayan untuk memesan. Sementara Ayu berbicara dengan pelayannya, Teddy dengan cepat menggapai HP dari kantong dan mengirim SMS pada Bang Fadli.
— Bang.. dia nggak makan. Gimana ni? Ayu melirik saat Teddy sibuk dengan HP-nya. Perasaan Ayu jadi terpecah. Selalu seperti ini, pikirnya. Tiap kali Ayu sesaat merasa tersanjung oleh tindakan Teddy, sesaat kemudian dia merasa terabaikan kembali. “Ted, kamu mesen apa?” tanya Ayu. Senyum di bibirnya sudah hilang tak membekas. 76 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Oh... eh... sama aja mas...” jawabnya. Matanya tak henti melirik HP yang sekarang ditaruhnya di atas meja. ”Kamu nggak makan? Aku cuma pesen minuman lho...“ ”Eh iya.. uhm.. apa ya? Apa yang enak ya Yu?” Teddy membolak-balik menu tanpa sadar sambil menyebutkan menu sekenanya. Sedetik kemudian HP-nya berbunyi. SMS balasan dari Bang Fadli. Ayu bisa melihat kilat lega dari mata Teddy setelah membaca SMS yang baru masuk itu. Dan Ayu sama sekali tidak menyukainya. Dia tidak tau dengan siapa Teddy sibuk berkirim pesan. Dia tidak dan tak akan pernah menanyakan. Biasanya Teddy sendiri yang akan bercerita padanya. Tapi sepertinya kali ini tidak. Tingkah laku Teddy sangat aneh. Dimulai saat dia menelepon dan mengatakan akan ke Jakarta, membuat janji untuk dinner yang akhirnya harus dipindahkan ke sore ini. Bukannya Ayu tidak dapat menduga apa yang menyebabkan tingkah laku Teddy aneh belakangan ini, tapi Ayu pun tak dapat berbuat apa-apa. Ayu telah berpikir ulang berkali-kali, walaupun ada sedikit sesal, tapi dia tidak dapat menahan diri untuk tidak menyalahkan Teddy atas semua yang telah terjadi pada mereka hingga seperti ini. *** Ayu telah mengenal Teddy sepanjang tahun ini. Berawal dari rengekan adiknya Dania yang memintanya jadi sopir untuk menjemput “abang-kakaknya” – begitu cara Dania memanggil mereka dengan nada memuja, yang membuat Ayu menaikkan alis, mengernyitkan hidung dan seakan menatap tak percaya – sesama alumni SMA Taruna Nusantara. Dania sering menyingkatnya menjadi TN, merasa semua orang tau apa itu TN. Walau kesal, toh Ayu memenuhi permintaan adik bawelnya itu. Bagaimana tidak kesal, menjemput orang-orang yang sama Surat yang Tak Pernah Selesai | 77
sekali tidak pernah ditemui, bahkan oleh Dania sendiri. Adiknya itu hanya mengenal mereka dari web forum ikatan alumni mereka. Sangat tidak masuk akal baginya saat itu. Tapi tanpa dia sangka, ternyata Dania bisa mengenali mereka dengan sekali lihat. “’Kan ada foto-fotonya di forum dan Facebook,” kata Dania. Lalu adiknya langsung terlibat perbincangan seru seakan telah lama saling kenal bahkan sudah tak sungkan untuk saling mengejek dan bernarsis-narsis ria. “’Kan udah sering ngobrol di forum dan Facebook…” lagi-lagi Dania menjelaskan dengan nada dan pandangan gitu-aja-kok-heran. Dan di sanalah dia pertama kali melihat Teddy. Tersenyum Teddy padanya. Tidak seperti dua orang lainnya yang tengah sibuk bercanda saling “menghina” dengan Dania, Teddy terlihat sangat “jaim”. Dia membuka percakapan dengan penuh basabasi, memperkenalkan diri, menanyakan kabar Ayu, menyatakan permintaan maaf telah merepotkan dan menjanjikan balas budi dengan membuat janji traktiran di kemudian hari. Cukup singkat untuk membuat janji pertemuan demi pertemuan. Teddy merupakan sebuah misteri bagi Ayu, bahkan hingga saat ini. Kadang dia sangat dekat, kadang menjauh hingga terasa tak dapat direngkuh. Sekali waktu dia selalu ada menemani, kemudian tiba-tiba menghilang tanpa berita. Jarak yang membatasi mereka pun membuat Ayu tak bisa memahami alasan menghilangnya Teddy. Tanpa telepon, tanpa balasan SMS, bahkan tak ada reaksi saat disapa di YM – padahal dia terlihat online tanpa ikon sibuk. Kemudian pada saat Ayu mulai mengacuhkannya, Teddy tiba-tiba kembali muncul dan kembali mendekat dengan gaya yang sama, tanpa merasa bersalah. Tak mungkin Ayu melupakan saat Ayu pun memberanikan diri mengajak Teddy jalan-jalan. Saat-saat indah mereka lalui bersama, tanpa disadari bahwa Ayu menginginkan Teddy mengisi relung hati untuk selamanya... ”Arrrgghhh!! Kenapa pria ini tak bereaksi?” iba Ayu pada diri sendiri. 78 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Sampai dua bulan yang lalu, Ayu memutuskan untuk melanjutkan hidupnya tanpa mengharapkan Teddy lagi. Ayu berpikir bahwa dia tidak akan pernah mengerti Teddy, sepertinya Teddy tidak menganggap Ayu istimewa. Ayu masih mengingat jelas percakapan meraka sebulan yang lalu, dan dia tidak dapat menahan diri untuk tidak merasa dongkol terhadap Teddy setiap kali mengingatnya. “Kamu jadian sama Ari?“ tanya Teddy dengan nada excited namun tak bisa menyembunyikan raut heran dan kecewa. “Iya...“ Ayu hanya menjawab singkat sambil berusaha keras menangkap ekspresi Teddy ”Tapi dia ‘kan jauh... Eh, tapi selamat ya! Bukan maksudku... Hmm.. Gitu ya... Wah.. Padahal aku mau nembak kamu lho...” Teddy teringat pertama kali melihat Ayu. Matanya yang memesona, senyuman dan candanya yang hangat, membuat Teddy mati kutu. Semakin mengenal Ayu, semakin Teddy tak mampu melepaskan Ayu dari hatinya. ”Lho, kenapa kamu nggak bilang dari dulu?“ tanya Ayu datar. Senyumnya hambar. Dalam hatinya, Ayu ingin sekali berteriak di depan muka Teddy, mengatakan bahwa dia sudah capek menunggu selama ini, menduga tanpa bisa mengerti isi hati Teddy. Dan sekarang dengan santai manusia di depannya itu mengucapkan hal yang selama ini dia tunggu-tunggu. Mungkin Ayu masih akan sabar menunggu Teddy, jika tidak ada Ari. Tapi saat ini ada Ari selama ini di sisi Ayu. Menemaninya, mengakui bahwa dia memuja Ayu, meladeni semua sapanya, tidak pernah hilang meninggalkannya tanpa berita, dan selalu menyatakan bahwa dia menginginkan Ayu. Semua hal yang tak pernah Ayu dapatkan dari Teddy. Ayu mengetahui pasti isi hati Ari, tidak perlu capek mendugaduga dan bersabar. Meski sempat terbersit di hatinya, mungkin Surat yang Tak Pernah Selesai | 79
dia menerima Ari hanya karena ingin mengetahui reaksi Teddy. Menguji perasaan Teddy yang sebenarnya. Sekarang Ayu mengetahui perasaan Teddy memang sesuai dugaannya, tapi reaksi Teddy saat mengatakan hal ini sama sekali tidak sesuai dengan harapan Ayu. “Padahal aku mau nembak kamu lho...” PADAHAL??? Dengan santainya Teddy bisa mengatakan hal itu? Oke, mungkin dia grogi. Tapi tetap saja Ayu sama sekali tidak merasa terlambung, senang, bahagia mendengar ungkapan itu. PADAHAL??? Aarghh! Dari mana Ayu bisa tahu kalau Teddy suka padanya kalau laki-laki itu tidak pernah mengatakan langsung? Bahkan menyinggung sedikit pun tidak pernah? Yang ada hanya hadir dan hilangnya Teddy sesuka hati. Lalu bagaimana Teddy mengharapkan Ayu bisa tahu? Kurang apa lagi perhatiannya pada Teddy selama ini? Apa lagi yang ditunggu Teddy? Apa lagi yang diharapkannya? Mengapa dia menyatakannya sekarang saat Ayu memutuskan untuk bersama Ari? PADAHAL?? *** Dan sekarang Ayu sama sekali tidak dapat menduga alasan Teddy mengajaknya setengah memaksa ke restoran ini. Sementara Teddy sedang mengutuki dirinya sendiri yang tiba-jadi tiba sangat bodoh. Hanya karena Ayu tidak memesan makanan, dia telah panik dan kehilangan nyali. Tapi SMS dari Bang Fadli telah menguatkannya kembali. Pergeseran waktu dan tidak makannya Ayu tidak akan merusak rencananya kali ini. Dia tetap akan menjalankan sesuai rencana awal. Tangan Teddy kembali merogoh ke kantong nya. Bukan untuk mencari HP lagi, tapi untuk memastikan bahwa kotak kecil itu masih di sana. Kotak yang isinya dia beli seminggu yang lalu
80 | Pegiat Sastra Ikastara.org
di Jogja. Pilihan yang berdasarkan pertimbangan dirinya, Juwita, Icha, dan tentu saja Bang Fadli. Kotak yang membuatnya gugup sepanjang minggu, membuatnya gagu sepanjang hari, dan membuatnya gagap sejak bertemu dengan Ayu. Benda di dalam kotak mungil itu yang menghantuinya dengan berbagai pertanyaan... Jika Ayu menolaknya – kemungkinan terbesar yang akan terjadi, menurut Teddy – dia akan menjual kembali benda ini. Jika Ayu menerimanya, tentu Teddy akan sangat bahagia – meski peluangnya sangat kecil. Teddy bukan seseorang yang suka bertaruh tanpa mengetahui peluang keberhasilannya. Apalagi dengan seorang wanita. Dia selalu – atau terlalu – berhati-hati. Mungkin hal inilah yang kemudian mengakibatkan dia kehilangan Ayu. ”Tapi perjuangan belum berakhir,“ begitu kata Bang Fadli seminggu yang lalu. “Kamu telah kalah langkah saat ini, jauh tertinggal... Makanya kamu harus habis-habisan. Lagian kamu aneh sekali... Emangnya kamu siapa sampai pake tarik-ulur dengan cewek secantik itu? Sekarang udah keduluan sama yang lain, baru menyesal!” Ini sudah kepalang tanggung, Teddy tidak bisa mundur lagi, walau dia sendiri sangat gugup. Telah hilang semua hapalan yang telah dilatih bersama Bang Fadli seminggu lalu. Makanan pesanannya telah habis tanpa sedikitpun dia sadari rasanya. Tatapan Ayu yang penuh tanya, cara Ayu menyeruput sedikit demi sedikit minumannya, percakapan mereka yang terputus-putus kaku, kilasan masa lalu mereka, dan Teddy terus mengingat pembekalan Bang Fadli silih berganti menghinggapi angan. Dan akhirnya dia harus melakukannya juga. Saat ini. Sekarang, atau tidak selamanya. ***
Surat yang Tak Pernah Selesai | 81
Suaranya semakin terdengar menjauh, berujar tanpa dipikirkan terlebih dahulu, terputus-putus kaku. Ayu menatap dengan mata indah yang menyipit heran, kemudian membola lagi penuh tanya. Tangan Teddy bergerak mengambil kotak kecil mungil berwarna merah dari kantongnya, menggenggamnya sesaat di telapak yang gemetar dan berkeringat. Hapalannya telah melayang. Rentetan alasan, pernyataan, dan permintaan yang telah disusun cantik dan seharusnya mengalun lembut mendayu memikat itu telah berubah menjadi gagapan kata-kata tak berwujud. Mata indah itu kembali mengernyit mencoba mengerti, menangkap maksud yang susah payah dia jelaskan. Kotak mungil berwarna merah itu telah di atas meja sekarang. Mata indah itu kembali membola ternganga... Entah takjub entah heran. Kedua tangan Teddy memegangnya teguh, seakan seluruh kekuatannya bergantung pada usaha membuka kotak itu. Kerongkongannya kering tercekat, beribu kata berputar di otaknya tapi tak menemukan jalan keluar untuk bisa didengar. Mata indah itu akhirnya mengalihkan pandangan dari kotak mungil berwarna merah itu ke wajah Teddy. Tak lagi membola atau menyipit mengernyit. Hanya menatap tenang menunggu. Kata-kata itu akhirnya menemukan jalan keluar. Tidak mulus, tapi berdesakan berdempetan seakan lega menemukan udara. Berhamburan terbang tak tentu arah. Beberapa terdengar, yang lainnya hilang tak tertangkap. Lalu Teddy menatap kotak mungil itu dan mencoba membuka dengan usaha yang terlalu besar dari yang dibutuhkan untuk membukanya. Merobek menyentak nyaris melontarkan isinya. Mata indah itu terlalu dingin melihatnya. Teddy telah mengetahui nasibnya jauh sebelum mulut Ayu membuka bersuara. “Tapi Yu...“ Teddy kembali bersuara kali ini tanpa menyisakan gagu. Pikirannya sudah kembali menyatu. Ayu telah menolak cincin yang diberikannya dengan alasan yang rasional tapi 82 | Pegiat Sastra Ikastara.org
masih menyisakan harapan. Dan entah kenapa hal ini membawa perasaan lega di diri Teddy. Kalimat Teddy menggantung lama. Disengajanya. Ingin melihat apakah Ayu masih mengharapkannya untuk terus dirayu ataukah telah muak melihatnya. Teddy kembali dengan kebiasaan praktik tarik-ulurnya. “Tapi kenapa?“ kejar Ayu setelah udara tak dapat lebih lama lagi menahan gaung kalimat terakhir Teddy. “Eh, nggak... Maksud aku.. Padahal Yu, aku mau langsung menemui orangtua kamu kalau kamu menerima lamaran aku ini lho...“ jelas Teddy sambil tersenyum senang karena Ayu masih menunggu kata-katanya. Teddy masih bersuara makin jelas setelah menemukan kembali percaya dirinya. Sementara, Ayu tergugu dalam hati. “Padahal… lho..” katakata itu lagi-lagi terlontar dengan santai dan riang. PADAHAL?? Kata itu kembali membuat Ayu meradang. Seakan dengan kata itu dia telah mengambil langkah yang salah dan tidak dapat kembali lagi memperbaikinya. Teddy masih bersuara. Ayu hanya mendengarnya tanpa dapat mencerna, dia terlalu marah. Marah melihat Teddy terlalu santai setelah penolakan yang susah payah dia lakukan agar berusaha tidak terlalu menyakiti hati. Marah mendengar nada suara Teddy yang seakan menunjukkan hadiah tersembunyi seandainya dia mengambil pilihan lain. Marah karena merasa Teddy berpikir Ayu telah rugi besar tidak menerima tawarannya. Marah karena berbagai muatan makna kata “PADAHAL” dalam kalimat Teddy itu. Kemarahan yang membuatnya tidak mendengar jelas kata-kata Teddy sampai tangannya tersenggol tangan Teddy yang menjangkau mendekatinya... “Aku tidak bisa menerima cincin ini Ted... Kamu berikan saja nanti ke wanita yang menjadi calon istrimu.“ katanya datar.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 83
“Tolong kamu terima saja cincin ini. Aku tidak mungkin memberikan cincin ini untuk wanita lain karena cincin ini dibuat hanya untukmu. Anggaplah sebagai tanda persahabatan kita, dan kamu tahu, aku sungguh mencintaimu...” Teddy mengangsurkan kotak mungil berwarna merah yang telah terbuka berisi sebentuk cincin indah bermata satu. Ayu menatapnya nanar. Teddy membalas pasrah tatapan mata Ayu yang bening berkilau sesempurna berlian. Ia tahu, mata itu tak dapat direngkuh saat ini dan entah sampai kapan dia harus menunggu. Dalam kesunyian hati, Ayu mengulurkan tangan meraih kotak merah itu dan memerangkap kembali mata bening berkilau di dalamnya. “Cinta... mengapa engkau datang terlambat diungkapkan...” bisiknya.
84 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Cinta Sepenuh Hati: Apapun Untukmu Karen termangu di depan cermin. Dipandanginya siluet suaminya yang tertidur pulas dibungkus selimut. Air matanya menetes. Enam bulan sudah sejak hari pernikahan mereka. Namun, tak satu hari pun Karen maupun suaminya merasakan kebahagiaan sepasang manusia dewasa dalam pernikahan. Semua bermula pada malam pertama, saat pertama kali Karen menjalankan tugas sebagai seorang istri. Karen bisa mengingat semuanya: ternyata membuat anak itu sangat menyiksa. Karen dapat mengingat semua seperti peristiwa itu baru terjadi semenit lalu. Sakit luar biasa yang berasal dari dalam kemaluannya, menjalar ke kedua kaki juga ke kepalanya. Karen merasa seperti sedang bergulat melawan Malaikat Maut. Sejak saat itu, sesi bercinta dengan suaminya pasti diakhiri dengan ketakutan dalam diri Karen. Awalnya Teddy, suami Karen, sangat sabar, “Kita coba lagi besok, ya!” Ucap Teddy penuh pengertian. Tapi lama kelamaan Teddy menunjukkan sikap tidak suka dan sikap itu makin terasa seiring berjalannya waktu. Karen tidak menyalahkan Teddy. Sudah enam bulan! Temanteman Karen yang menikah hampir berbarengan dengannya sudah hamil dan menghitung bulan kelahiran. Tinggal dia yang belum ada kemajuan apa-apa. Bagaimana bisa? Bahkan bercinta saja mereka tidak sempurna. “Karen, gimana kabarmu, Nak? Sudah haid bulan ini?” Itu pertanyaan yang selalu diucapkan Umah, ibu Karen, saat menelepon dirinya. Membuat beban Karen bertambah saja!
Surat yang Tak Pernah Selesai | 85
“Aku malu ditanya terus sama teman-teman. Dianggap aku nggak mampu bikin anak!” Kalimat itu keluar dari Teddy, suaminya. Sekali lagi Karen tidak bisa menyalahkan Teddy. Dia sudah begitu sabar terhadap Karen. Wajar kalau sekarang Teddy mulai merasa kesal mengingat Karen sama sekali tak ada kemajuan. Karen memandangi wajahnya di cermin. Dia berwajah manis. Nyaman dilihat, paling tidak. Reproduksi normal, biologis mendukung, haid teratur. Empat dokter spesialis Obstetri-Ginekologi (DSOG) yang didatanginya mengatakan tidak ada masalah dengan kandungannya. Semua kembali kepada Karen. Semua kembali kepada Karen! *** Sebuah Toyota Yaris perak membelok ke arah yang berlawanan dengan rumah Karen. Walaupun Teddy sudah melarang Karen konsultasi ke DSOG lagi, tapi Karen merasa dia harus pergi. Di kotanya ada lima DSOG, dan dari lima itu, empat sudah didatanginya. Masih ada harapan satu DSOG lagi, siapa tahu dia memberikan solusi yang masuk akal. Solusi nyata, bukan sekadar ucapan “kembali kepada Anda!“. Setelah mengantarkan Teddy ke bandara untuk dinas luar ke Kota Buaya, Karen berkunjung ke DSOG terakhir di Kota Kayu itu meski tanpa izin dari suaminya. Karen memarkir Toyota Yaris peraknya di hadapan Apotek Risca, tempat dr. Eko, Sp.OG praktik. Setelah menunggu beberapa saat, nama Karen pun dipanggil. Dokter Eko ternyata sudah separuh baya umurnya, sekitar 45 tahun. Kulitnya kuning, seperti layaknya kulit orang asli Kota Kayu. Padahal kalau dilihat dari namanya, nama Eko bukan nama yang lazim di Kota Kayu ini. Sang dokter menyambut Karen ramah.
86 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Apa yang bisa saya bantu, Bu?“ Sapa dr. Eko. “Saya selalu merasakan kesakitan saat intercouse, Dok.“ Jawab Karen. Dia merasa tak ada gunanya bertele-tele dan malu-malu seperti yang sudah dia lakukan kepada empat DSOG sebelumnya. Karena malu-malu itulah, Karen mendapatkan jawaban yang sangat tidak memuaskan. Sang dokter hanya memandang Karen. Lalu dia mengajukan beberapa pertanyaan sederhana. Karen menjawab semuanya juga mengatakan bahwa dokter tersebut adalah DSOG kelima yang dia datangi. Maksudnya, tolong, jangan ulangi nasihat DSOG-DSOG sebelumnya. Ketika sang dokter tiba pada ucapan: “Semua kembali kepada Anda, Nyonya Karen!“ Karen tak mampu lagi membendung air matanya. Dia menangis. Dengan tersedu Karen bercerita bahwa semua dokter berkata demikian dan tak satupun memberikan solusi. “Beri saya obat, apa saja, Dok! Yang membuat saya tidak lagi merasakan sakit. Apa saja! Walaupun dengan obat itu ternyata saya tidak merasakan apa-apa, saya tidak peduli! Saya ingin menyelamatkan rumah tangga saya, Dok! Beri saya obat, Dok!“ Rengek Karen tersedu-sedu. Itulah alasan Karen berangkat ke DSOG, dia ingin meminta resep obat yang membuat dirinya sama sekali tidak merasakan sakit saat bercinta. Walaupun untuk itu dia tidak akan merasakan apa-apa. Karen tak peduli. Dia hanya memikirkan suaminya. Karen mencintai Teddy dengan sepenuh hatinya. “Nyonya Karen, saya tidak dapat menganjurkan obat apapun untuk Anda. Maaf sebelumnya, apa Anda sudah pernah berkonsultasi dengan psikiater?“ Karen menggeleng. Psikiater? Jelas belum pernah. Itu dokternya orang gila, ‘kan? Emangnya aku gila? Protes Karen dalam hati.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 87
“Nyonya Karen, apa yang Anda alami sudah masuk dalam lingkup psikologi dan kejiwaan. Dan itu bukan bidang saya lagi. Begini saja, Anda saya rujuk ke seorang psikiater, bagaimana?“ Karen mengangguk lemah. Apapun itu, asal dia sembuh. Walaupun harus berurusan dengan dokternya orang gila! Karen membatin. *** Hari itu juga, setelah keluar dari ruang praktik dr. Eko, Sp.OG, Karen melajukan mobilnya menuju Apotek Tessa untuk bertemu sang psikiater. Karen bahkan tidak tahu siapa nama psikiater itu. Karen melihat papan nama-nama dokter yang praktik di apotek itu. Salah satunya berbunyi “dr. Enade, Sp.Kj.“ Itu pasti dokternya! batin Karen. Karen pun masuk ke dalam apotek dan mendaftarkan diri. Dirinya adalah pasien pertama sang dokter rupanya. Ruangan praktik dr. Enade ternyata sangat sempit. Hanya ada sebuah ranjang pasien dan sebuah meja dokter. Tidak seperti dokter-dokter lain yang mejanya sangat penuh dengan berkas, meja dr. Enade sangat bersih. Sepertinya sang dokter sangat santai dalam bekerja. Di hadapan dr. Enade, Karen duduk dan menyerahkan surat rujukan dari dr. Eko, Sp.OG. “Jadi, apa keluhan Anda?“ Tanya dr. Enade, tepat setelah ia selesai membaca surat rujukan. “Dokter Eko sudah menceritakan semuanya dalam surat rujukan itu!“ Jawab Karen ketus. “Betul. Tapi Anda harus tetap bercerita pada saya. Saya sama sekali tidak dapat membantu Anda apabila Anda tidak terbuka pada saya.” Jawab sang dokter tenang. Cerita Karen pun mengalir deras. Sang dokter kadang menghentikan ceritanya untuk membuat catatan. Karen menangis 88 | Pegiat Sastra Ikastara.org
dalam ceritanya. Sang dokter melakukan beberapa pemeriksaan terhadap tekanan darah Karen. “Nyonya Karen, Anda sedang mengalami depresi seksual. Untuk menyembuhkannya, bukan hanya Anda yang datang berkonsultasi. Saya harap konsultasi berikutnya, suami Anda juga datang untuk berkonsultasi bersama.“ Karen diam saja sambil menangguk-angguk. “Saat ini saya akan memberikan resep untuk Anda. Hanya saja, tolong diingat bahwa ini obat psikotropika. Jadi Anda harus mengonsumsinya sesuai dengan resep yang saya berikan.“ *** Xanax, itu nama obat yang diresepkan dr. Enade pada Karen. Diminum sekali sehari di malam hari sesudah makan. Harus sesuai resep yang diberikan. Karen menghela nafas. Memangnya apa yang dipikirkan dokter itu? Aku minum Xanax lebih dari sekali sehari? Emangnya aku mau mabuk? Namun, ada hal lain yang berkelebat di pikiran Karen. Ya, dr. Enade tahu bahwa Karen ragu meminumnya. Karena itu sang dokter memerintah Karen untuk mengonsumsi obat itu. Demi Karen sendiri. Malam itu, Karen masih sendirian. Teddy baru akan pulang besok. Karen meminum sebutir Xanax dengan air putih dan berangkat tidur. Terucap dalam doa sebelum tidurnya, doa keselamatan untuk suaminya, juga dirinya. Doa kebahagiaan untuk suaminya, juga dirinya. Karen akan melakukan apapun, APAPUN, untuk kebahagiaan Teddy, suaminya.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 89
Cinta Sepenuh Hati: Maaf “Para penumpang yang terhormat, dalam beberapa menit lagi pesawat ini akan mendarat. Silakan duduk di kursi Anda masing-masing serta kencangkan sabuk pengaman Anda!” Seorang pramugari memberikan informasi melalui speakerphone pesawat. Teddy memperbaiki sabuk pengamannya yang memang tidak pernah dia buka sejak duduk pesawat berangkat. Pesawat yang membawanya pulang ke Kota Kayu. Pulang kepada Karen. Karen. Ada rasa bersalah terbersit di hati Teddy. Sejak kejadian malam itu, dia dan Karen tak pernah membicarakannya. Namun, Teddy tahu, Karen tidak akan pernah lupa. Teddy teringat akan malam sebelum keberangkatannya ke Kota Buaya. Karen menyambut kepulangannya dari lembur dengan lingerie berkonsep Fairy Princess lengkap dengan sayapnya. Lingerie cantik yang membuat tubuh putih dan mulus Karen makin memesona. Terbuat dari kain putih yang lembut dan tembus pandang. Hanya ada ornamen dua bunga yang letaknya di puncak dada Karen. Menggemaskan. Teddy tiba-tiba menjadi segar kembali. Suami mana coba yang tidak bahagia ketika lelah mendera pulang kerja, dia pulang dan disambut istri dengan penuh gairah? Karen berhasil mengembalikan gairahnya. Karen begitu cantik! Seperti biasa, Karen meraih tangan Teddy dan menciumnya. Jika biasanya Teddy membalas dengan mencium kening Karen, kali ini Teddy langsung meraih istrinya itu. Diciumnya bibir Karen. Yang dicium balas mencium. Makin lama makin dalam. Tanpa banyak basa-basi, Teddy menggendong Karen menuju kamar mereka. 90 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Lalu tibalah saat Teddy harus melakukan kewajiban sebagai suami terhadap Karen. Wajah Karen langsung pucat. Teddy tahu, Karen pasti ketakutan sekarang. “Karen, kamu mau punya anak?” Bisik Teddy lembut. Karen mengangguk cepat. Sisa rangsangan bertubi-tubi Teddy masih melekat di otaknya. “Kalau gitu, tahan ya, Sayang!” Bimbing Teddy. Teddy pun membaringkan Karen. Dia melakukannya sepelan mungkin. Teddy tahu dia tidak bisa tergesa-gesa. Karen akan kesakitan bila dia tak bisa bersabar. Dan semuanya akan berantakan. Percobaan enam bulan yang melelahkan. Tiba-tiba Karen berteriak, “Aduuuhhh!!! Teddy, sakiiittt!!! Sakiiittt!” “Tahan ya, Sayang! Tahan! Kamu pingin hamil, ‘kan?“ Teddy mencoba meredakan kepanikan Karen. Selalu begitu! batin Teddy. Namun, sekali lagi, setelah berulang kali, Karen menendang Teddy. Teddy termangu. Hilang sudah geloranya. Lemas sudah semuanya. Teddy merasa kesal sekali pada Karen. Selalu begini! “Salahku apa, sih? Kenapa kamu nolak aku terus, Ren?” Teddy sedikit membentak. Karen terdiam, meringkuk di balik selimut, menutupi tubuhnya yang tak berbusana. Teddy melihat air mata Karen. Namun, entah kenapa kali ini dia tak tersentuh hatinya sedikitpun. Teddy merasa sudah terlalu kesal. “Aku nggak nolak kamu, Ted. Aku kesakitan. Rasanya seperti sekarat.” Jawab Karen tersedu, “Ah, kamu berlebihan! Mana ada orang bercinta sesakit itu?” Sahut Teddy kesal. “Ini sudah enam bulan, Ren! Aku malu ditanya terus sama teman-teman. Dianggap aku nggak mampu bikin anak!” Surat yang Tak Pernah Selesai | 91
Karen masih menangis. Teddy menarik selimut untuk dirinya dan tidur memunggungi Karen. “Sudahlah! Nggak usah nangis! Besok juga kamu pasti lupa!” Kata Teddy sebelum tidur. “Aku nggak akan lupa, Ted. Aku nggak pernah lupa.” Jawab Karen pelan, masih tersedu. Karen benar. Teddy tahu siapa Karen. Teddy tahu Karen tidak akan pernah melupakan apa pun yang berkaitan dengan masalah ini. Berapa kali mereka bercinta, dan gagal, berapa kali yang berhasil walau sedikit. Karen ingat semuanya. Termasuk rasa sakit membakar itu. Apa benar rasanya seperti orang sekarat? *** Pesawat mulai bergoncang, pramugari menginformasikan bahwa pesawat melewati gugusan awan tebal. Rasanya seperti naik mobil di atas jalan hutan. Orang yang duduk di sebelah kanan dan kiri Teddy terbangun. Di kanan Teddy, di dekat jendela, duduk seorang gadis sepantaran adiknya yang masih kuliah semester tiga di ITS. Di kirinya, di dekat lorong, ada bapak separuh baya yang sepertinya pernah menjadi mitra kerja perusahaan Teddy. Tapi Teddy tak ambil pusing dengan mengajak bapak ini mengobrol, Teddy tak ingat di mana dan kapan mereka bekerja sama. Lagipula, bapak ini tidur terus sepanjang perjalanan. Pesawat masih bergoncang, tiba-tiba Teddy teringat pada Karen. Sedang apa dia sekarang? Apakah dia menangis lagi setelah mengantarnya ke bandara? Rasa bersalah kembali mendera Teddy. Kalau sampai aku melihat mata Karen sembab saat menjemputku, akan kupeluk dan kucium dia saat itu juga! Aku nggak peduli sama orang lain! Batin Teddy. Teddy jadi teringat saat pertama ia melihat Karen. Dia langsung jatuh cinta kepada gadis itu. Gadis yang aktif di organisasi kampus. Karen bukan yang tercantik di kampusnya. Wajahnya 92 | Pegiat Sastra Ikastara.org
rata-rata. Hanya saja, dia manis sekali. Senyumnya memesona Teddy. Dan setelah enam tahun berpacaran, mereka menikah. Sebelumnya Teddy mengira pernikahannya dengan Karen baikbaik saja, seperti kawan-kawannya yang lain. Sebulan setelah pernikahan, Karen akan hamil, dan melahirkan sembilan bulan kemudian. Apa salah dia sampai ini terjadi padanya dan Karen? Pesawat terbang rendah, sebentar lagi mendarat. Teddy menghela nafas penuh syukur. Sepertinya pesawat ini dan seisinya berhasil melewati ancaman maut di angkasa. Wajah Karen membayang di benak Teddy. Baru dua hari dirinya meninggalkan Karen, tapi rasa rindunya tak tertahankan. Teddy menyadari, bagaimanapun keadaan Karen, dia mencintai istrinya. Dia mencintai Karen sehingga tak mungkin rasanya dia mengikuti kata-kata Karen untuk menikah lagi saat dirinya mengeluh akan ketidakmampuan Karen di atas ranjang. “Mau sampai kapan kita seperti ini, Ren? Aku ingin merasakan yang suami lain rasakan. Dari sejak menikah sampai sekarang, aku tidak tahu bagaimana rasanya bercinta itu!” Seperti biasa, Karen mulai menangis, sedih akan ucapan Teddy. “Bukan maksudku, Ted. Aku juga ingin ngerasain yang kayak di tivi-tivi tuh. Perempuannya rasanya nikmatin banget! Aku pengen kayak gitu juga! Tapi gimana lagi? Sakitnya aku nggak tahan, Ted!“ Karen terisak sebentar. “Gini aja lah, kalau kamu memang pingin banget ngerasain apa yang suami lain rasain, menikah sajalah lagi! Aku sadar aku yang nggak bisa membahagiakan kamu. Aku izinkan kamu menikah lagi!” Karen berkata menggebu-gebu, lelah didera rasa bersalah. “Dan kalau kamu merasa gak mampu punya dua istri, aku rela mengalah. Aku rela kamu ceraikan supaya kamu ngedapetin
Surat yang Tak Pernah Selesai | 93
kebahagiaan yang kamu inginkan!” Karen mengakhiri kata-katanya dengan masih menangis. Teddy terdiam. Percakapan mereka berakhir. Seperti biasa, mereka menganggap tidak ada apa-apa lagi. Selesai. Mereka pun melanjutkan hari seperti biasa. Malamnya bercinta seperti biasa, dan gagal seperti biasa. Pesawat yang harusnya sudah mendarat tiba-tiba terbang kembali. Sang pilot tidak dapat menemukan celah di antara tebalnya awan agak pesawat mendarat dengan baik. Gadis di sebelah kanan Teddy gemetar, memegang rosarionya dan berdoa. Bapak sebelah kiri Teddy berkomat-kamit mengucapkan Doa Nabi Yunus. Semua penumpang panik. Teddy malah teringat Karen. Akankah dia bisa tetap hidup untuk meminta maaf pada kekasihnya itu? Karen, maafkan aku... Lirih hati Teddy berbisik. Setelah beberapa kali berputar di udara dan membuat semua penumpang panik, pesawat itu akhirnya mendarat. Teddy segera keluar lalu mencari Karen. Wajah yang dirindukannya itu muncul di sela-sela kerumunan penjemput. Teddy segera menghampiri Karen. Karen memamerkan senyumnya. Senyum yang membuat Teddy nyaris menangis karena bersalah. Karen meraih tangan Teddy dan menciumnya. Teddy malah memeluk Karen erat. “Maafkan aku, Sayang! Maafkan aku! Tahukah kamu betapa aku merindukanmu?” Ucap Teddy di telinga Karen.
94 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Karen hanya terdiam, agak terkejut atas reaksi Teddy yang sedikit di luar dugaan. Tapi kemudian ia tersenyum. Sebelum Teddy meminta maaf, Karen sudah memafkannya. Bagaimana tidak? Karen mencintai suaminya, bagaimana bisa ia tidak memaafkan Teddy? Karen menyerahkan kunci mobil pada Teddy, Teddy meraihnya dan menggandeng tangan Karen untuk pulang. Ada janji di hati Teddy, dia akan menemani Karen sampai kapan pun. Dia akan sabar terhadap apa yang Karen hadapi. Dia tidak akan mengecewakan Karen lagi.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 95
Kejora... Kerlip Bintangku Kejora… nama yang indah menurutku. Seindah pemiliknya. Tapi nama itu sendiri ternyata tidak dihargai oleh si empunya nama. “Terlalu aneh dan tidak kreatif.“ ujarnya sambil tersenyum menghina. Menghina namanya sendiri di depanku yang terpesona sambil berusaha merekam dalam ingatan setiap detik perubahan ekspresinya. “Terlalu jujur, bintang sekali...“ dan wajah itu sedikit mengernyit berusaha menggali kosakata yang bisa menggambarkan secara tepat maksud pikirannya. Tapi perjuangan itu diakhiri helaan nafas tidak puas dan kekecewaan. “Apa mereka tidak bisa sedikit memodifikasi Kejora menjadi nama yang lebih bagus??“ “Kejora nama cantik, seperti kamu, Ra...“ ujarku bersuara tanpa maksud menggombal. Hanya mengungkapkan pikiran. “Jelek, dong...!!“ tukasnya sambil tertawa lepas. “Nggak lah…“ “Yah… tapi ‘kan nggak cantik, nggak menarik, nggak… uhm… nggak seksi kedengarannya,“ simpulnya dengan senyum puas dilanjutkan hening menatap langit malam yang berhias bintang. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Sekali lagi sambil mengagumi detil ekspresi yang menggambarkan dengan jelas suasana hati sang bintang. Kalau aku mau mendebat, ratusan alasan dan fakta dapat meruntuhkan kesimpulan sementaranya itu. Tapi saat ini aku hanya mau menikmati kebersamaan ini de96 | Pegiat Sastra Ikastara.org
ngan tenang. Hingga memori otakku tidak terganggu dengan perdebatan dan bisa terfokus pada perekaman tiap detik waktu yang saat ini kami lewati. Kejora belum berubah. Masih tetap menganggap dirinya biasa saja tanpa kecantikan, yang menurutnya satu-satunya hal yang dapat membuat kaum Adam jatuh cinta. Karena kesimpulannya itu, dia memposisikan diri sebagai teman ke semua laki-laki. Bersikap lepas, yang akhirnya membuat banyak lelaki salah sangka. Kejora tetap tidak menyadarinya. Segala bentuk perhatian yang diberikan oleh para pemujanya, dia anggap sama seperti perhatian yang dia berikan pada teman-teman. “Kamu pulangnya berdua aja sama Ahmad?“ “Iya, kenapa? Jealous nih..?“ nada nakal diiringi derai tawa. Hal seperti inilah yang tidak mampu aku hadapi. Seakan mengekang kebebasan Kejora jika aku melarangnya. Dan egoku pun cukup tinggi untuk mengakuinya. Mengakui kecemburuan yang ada. Cemburu melihat kebebasannya yang tak ingin dikekang. Iri melihat limpahan cinta yang tidak dia sadari. Merasa tidak lebih dicintai, tidak lebih istimewa dibandingkan teman-temannya yang lain. Dan aku pun mencari pemuasan ego ke orang lain. Membuktikan bahwa bukan hanya Kejora yang layak menerima banyak cinta. Keputusan yang membuat Kejora benar-benar hancur. Suatu hal yang dulu terbayangkan pun tidak olehku. Aku telah menjadi sahabat Kejora nyaris enam tahun, dengan status sebagai pacarnya hanya selama sepuluh bulan. Aku mulai terpesona oleh Kejora saat kami menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru. Saat itu banyak hal yang mengharuskan kami menghabiskan waktu bersama. Dan hampir separuh panitia cowok menaruh perhatian pada Kejora tanpa dia sadari. Dipikirnya semua cowok memang berperilaku seperti itu pada semua cewek. Kejoraku sayang yang sangat naif. Pernahkah kamu sadari bahwa
Surat yang Tak Pernah Selesai | 97
kami kaum Adam berperilaku penuh perhatian seperti itu hanya untuk alasan serta harapan tertentu, dan sekadar pertemanan bukanlah salah satunya? Kejora memang bukan tipe cewek yang akan membuat seluruh lelaki memalingkan kepala saat dia lewat. Dia adalah seseorang yang memukau dengan kebebasan dan kepercayaan dirinya. Membuat orang bertanya-tanya di mana dia bersembunyi selama ini. Kecantikan yang baru disadari saat kau berdiri di dekatnya. Keanggunan yang memancar dan kegembiraan yang menular. Malam itu, di bawah kerlip bintang yang dikhianati rembulan, sebuah percakapan sederhana tecipta antara dua makhluk Tuhan. “Seneng ’kan jalan sama aku?“ “Seneng banget…“ “Mau ’kan jalan lagi sama aku?“ “Mau aja..“ “Kalau kita pacaran, asik kali ya?“ “Kali…“ “Kita pacaran aja yuk…“ “Ayuk… „ Dan dinginnya udara malam menggelayut sesaat. “Trus pacar kamu yang dari SMA itu gimana?“ lanjutnya datar. “’Kan emang nggak cocok belakangan ini. Ketemu juga jarang.“ “Tapi nggak putus juga ‘kan?“ “Iya, ‘kan mau aku putusin. Rencananya minggu depan.”
98 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Iya, tau... Cerita kamu belakangan ini ‘kan masalah ituuu melulu…” sedikit nada bosan terselip di kalimat itu. “Tapi terus kenapa ngajak aku jadi pacar kamu sekarang? Nggak tunggu minggu depan abis mutusin dia?” kejarnya lagi tapi tanpa nada menyudutkan. Malah dengan menyembunyikan tawa. Kejora itu spesial. Dia selalu membuatku nyaman memberikan jawaban sebenarnya. Tanpa ketakutan akan reaksi ajaib para wanita seperti tiba-tiba menangis atau histeris mendengar jawaban yang tidak diharapkan. Atau bersikeras meminta jawaban jujur seorang lelaki, tapi begitu diberitahu hal sebenarnya malah makin histeris dan hilang kontrol. Belakangan aku baru menyadari bahwa usaha Kejora membuat nyaman aku itu ternyata meyakiti perasaannya sendiri. “Kalo aku bilang nggak mau, pasti kamu nggak akan mutusin Ella kan? Kamu takut jomblo yaaa?” lanjutnya, kali ini tanpa usaha menyembunyikan derai tawanya lagi. “Nggak...” jawabku singkat. “Nah kamu sendiri, kenapa bilang mau walaupun tau aku masih berstatus punya pacar?” “‘Kan aku suka jalan sama kamu…” jawabnya riang. Membuatku tercenung sejenak. Aku memang egois. Tujuan pertanyaan itu hanya sekadar menguji arah angin. Walau Kejora sepertinya juga memanggapi dengan santai, tapi jawabannya terlalu sederhana untuk dianggap angin lalu. Sederhana, lepas, dan bebas. Memikat dan membuatku terjerat. Peristiwa itu telah berlalu lima tahun yang lalu. Tapi masih tersimpan rapi dalam ingatanku dan seringkali otomatis diputar ulang saat malam dingin dan sendiri. Sepuluh bulan… waktu yang amat singkat jika dibandingkan dengan umur persahabat-
Surat yang Tak Pernah Selesai | 99
an kami. Tapi terasa sangat lama ketika kita saling menyakiti. Aku mencintai Kejora dengan setumpuk kecemburuan yang tak tersampaikan karena terhalang oleh ego. Bulan berlalu dengan berbagai ujian-ujian kecilku pada Kejora untuk mengetahui seberapa besar cintanya padaku. Aku yang bodoh. Terlalu mengharapkan reaksi yang sesuai dengan bayanganku. Padahal Kejora pribadi yang berbeda, dengan reaksinya sendiri. Pernah suatu hari aku berjanji untuk menjemput Kejora pada pukul 10, dan baru muncul pada pukul 12. Salah satu bentuk ujianku. Dan Kejora sama sekali tidak menelepon. Saat aku muncul, dia menyindir ringan dan menghadiahkan senyum terbaik seakan aku hanya terlambat lima menit, bukannya dua jam. Aku kecewa. Aku mengharapkan Kejora akan langsung menghubungiku saat belum muncul di menit kesepuluh, atau marah-marah dengan tampang kecut ketika aku muncul, reaksi normalnya pada wanita. Tapi tidak, bukan itu yang terjadi. Dalam pikiranku Kejora sama sekali tidak peduli. Tapi ternyata…. “Karena aku percaya sama kamu, Van. Aku ingin cinta kamu sama aku itu nggak sebatas kemarahan atau kesabaranku. Aku ingin kamu datang tepat waktu karena kamu memang ingin melakukannya, ingin secepatnya bertemu aku. Bukan karena aku akan marah kalau kamu terlambat.“ sayangnya kalimat ini muncul mengemuka di tahun ke empat persahabatan kami. Nyaris dua tahun setelah kesepakatan untuk kembali menjadi “hanya“ sahabat diperbarui. Saat sesekali kami membahas dengan santai penyebab kegagalan komitmen sebagai sepasang kekasih. “Tapi nggak ingin tahu kenapa aku bisa terlambat? Kali aja aku tabrakan di jalan atau hal buruk lainnya ’kan?“ kejarku ringan. “Van, denger nggak sih? Aku bilang ’kan aku percaya sama cinta kamu. Aku percaya kamu bakal datang, jadi alasan keterlambatan bisa kutanyakan setelah kamu datang. Kalau terjadi halhal negatif, kamu pasti menghubungi aku ’kan? Lagi pula akan 100 | Pegiat Sastra Ikastara.org
ada waktu lebih banyak untuk bertanya dengan tenang ketika kamu telah muncul. Bukannya menambah masalah saat kamu di suasana kritis, kalaupun memang terjadi hal kritis. Atau… kalau kamu memang sengaja datang terlambat, kamu ’kan nggak perlu cari-cari alasan buat bohong.“ Penjelasan panjang lebar Kejora tentang perasaan dan pikirannya selalu dengan nada“tolong dimengerti“ tapi tak lupa memberikan senyum penetral suasana. Masuk akalkah cara berpikir Kejora? Aku tidak mengerti. “Saat itu kamu pasti berpikir aku nggak peduli kamu datang atau tidak ’kan? Karena aku nggak menghubungi? Kenyataannya Van, dari jam 10 sampai jam 12 itu aku di depan TV, deket meja telepon, sambil memegang HP. Nggak ada satupun acara TV yang nyangkut di kepalaku. Setiap deru mobil yang lewat membuatku menoleh keluar. Berharap di tiap deru bahwa mobil berikutnya adalah kamu. Aku berjuang malawan keinginan untuk menelepon, karena yakin, kamu nggak akan mengecewakanku. Kamu berpikir bahwa menelepon kamu adalah salah satu bentuk perhatian aku. Sementara aku berpikir bahwa tidak menelepon kamu adalah bentuk kepercayaan aku. Cara berpikir kita beda.“ Yah, itu dia. Sebagai sahabat kami selalu mengutarakan semua pikiran dengan terbuka untuk kemudian saling memahami. Tapi ketika berkomitmen, kami saling menguji cinta masingmasing dengan cara pikir dan sudut pandang yang beda. Aku dengan rasionalitas berdasar ego ku. Sementara Kejora dengan prinsip kebebasannya. Akhirnya, kami malah saling tersakiti. Sebagai sahabat, Kejora tak ada duanya. Perhatiannya, kesabarannya, pemahamannya. Sejak status kami kembali diperbarui, sampai saat ini aku telah mengenal lebih dekat Artella, Nadira, dan saat ini sedang bersama Isna. Tapi Kejora tetap sendiri. Masih dikelilingi para pemujanya, tapi tak pernah menggantikan posisi aku.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 101
“Aku nggak mau mendustai perasaanku aja.“ Jawabnya ringan saat kutanya soal status jomblonya yang tidak berubah. Pertanyaan ini mengemuka di tahun ke lima persahabatan kami. Saat kami tengah berusaha lepas dari ketergantungan pada orangtua dan berusaha mencapai kemapanan hidup sendiri. Masih di tempat yang sama, tempat favorit kami: taman di belakang rumahnya dan berpayung langit malam. “Perasaan kamu bagaimana?“ “Aku masih cinta sama kamu.“ jawabnya santai tanpa beban. “Mau jadi pacar ku lagi?“ tanyaku antara harap dan ragu, di sela degupan jantung yang memekakkan telinga. Kuharap detaknya tak sampai terdengar oleh Kejora. “Ya nggak mau dong jadi pacar kamu lagi.“ “Kenapa??“ “Karena aku terlalu cinta sama kamu, Van. Jadi aku terlalu berharap lebih sama kamu, nunjukin cinta aku dengan ngertiin aja semua kelakuan kamu. Kamu sengaja nggak nelepon, kamu sengaja datang telat, kamu pake nguji-nguji aku jalan sama cewek lain. Aku berusaha mengerti semuanya karena aku ingin mencintai kamu apa adanya… Tapi cape sendiri jadinya Van.“ Satu hembusan nafas berat yang menjadi jeda kalimatnya itu benar-benar sanggup melukiskan rasa lelah yang dia ungkapkan. “Aku ‘kan nggak tahu kalau kamu sengaja melakukan itu untuk reaksi yang berbeda. Aku nggak berani ngubah kamu karena bener-bener pengen tulus. Karena aku berprinsip kalau kamu nggak cinta lagi, aku nggak akan maksa kamu untuk tetap cinta sama aku. Lagipula aku pikir, kamu nggak pernah benar-benar jatuh cinta sama aku, Van. Aku cuma berada pada saat yang tepat. Saat kamu mencapai titik bosen dengan hubungan lama kamu, aku ada di sana sebagai teman yang membuat kamu merasa
102 | Pegiat Sastra Ikastara.org
nyaman. Aku ada saat kamu butuh tempat cerita baru. Aku hanya kebetulan berada pada waktu dan tempat yang tepat.“ Satu lagi hal yang tidak bisa kumengerti. Bagaimana mungkin Kejora sempat berpikir aku tidak pernah jatuh cinta padanya?? Sampai sekarang pun aku masih mencintainya. “Aku benar-benar cinta sama kamu. Waktu dulu dan saat ini, mungkin sampai nanti.“ “Nggak Van, kamu pikir kenapa bisa ada Nadira? Sementara tidak ada siapapun di sisi aku?“ Ah, Kejora… itu karena kamu tidak mau melanjutkan hubungan kita. Karena kamu terlihat sangat lepas dan bahagia dengan teman-temanmu lainnya. Karena aku tidak lebih istimewa dari teman-teman kamu. Karena aku merasa menyakiti kamu selalu. Tidak bisa memenuhi harapan kamu. Karena aku berusaha memenuhi permintaan kamu untuk selalu menjadi sahabat. Belakangan aku baru menyadari bahwa sama-sama telah lelah dengan pertengkaranlah yang membuat kita memutuskan untuk kembali dengan status sahabat. Masalah sepele yang dipertengkarkan. Kamu yang aku pikir terlalu cuek. Aku yang kamu pikir tidak perhatian lagi. Padahal semua itu hanya berakar pada komunikasi dan cara pandang yang beda. Aku pikir kamu cuek, padahal menurut kamu, kamu memberiku kebebasan dan mengharapkan ketulusan cinta. Kamu pikir aku tidak perhatian lagi karena mulai jarang menelepon dan ingkar janji, padahal aku sedang berharap kamu menunjukkan cintamu. Kita saling menguji cinta masing-masing. Mencoba mengukur kadar cinta pasangan hingga lupa menyampaikan cinta itu sendiri. Kita sama-sama takut dengan kadar cinta yang kita miliki jauh lebih besar dari cinta yang kita terima. Aku terlalu mencintai Kejora hingga takut bahwa Kejora tidak mencintaiku sedalam itu. Begitupun sebaliknya. Dan kita tidak jujur. Kita... takut untuk jujur.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 103
Malam ini adalah tahun keenam persahabatan kami, saat kehidupan dan cara berpikir mulai bergeser dari kehidupan hurahura ke perencanaan masa depan. Ketika sama-sama telah menyadari permasalahan hubungan kami melalui percakapan antar sahabat yang semakin terbuka, aku kembali mengajukan satusatunya pertanyaan yang belum kupahami selama ini dan selalu menghantui. “Ra, kenapa kita nggak coba berkomitmen lagi?“ “Pacaran maksudnya?“ jawabnya masih dengan nada santai yang sama seperti lima tahun lalu. “Buat tujuan nikah mungkin sebaiknya mulai kita pikirkan.“ “Aku ngga mau kayak keledai, jatuh di lubang yang sama. Sakitnya pasti lebih hebat. Takutnya aku nggak akan bisa sembuh lagi. Mungkin kita nggak akan bisa balik sahabatan lagi. Aku takut kehilangan kamu.“ “Tapi kita ’kan bukan anak kemaren sore lagi Ra. Kita udah dewasa, udah tahu masalah yang dulu menyebabkan hubungan kita rusak.“ Satu senyum mengambang indah di wajah Kejora, tapi sendu. Matanya menyiratkan kepedihan yang dalam. “Aku yakin, kamu sendiri pasti tahu bahwa kita nggak akan mungkin punya hubungan spesial lainnya selain persahabatan...“ gumamnya sedih. “Kenapa? Beri tahu aku...“ “Lihat diri kamu Van. Setiap kali mengajukan pertanyaan itu, kamu sedang bersama yang lain. Pertama dengan Ella, kemudian Nadira, dan sekarang dengan Isna...“ walau matanya penuh kepedihan tapi bibir Kejora masih menyunggingkan sebuah senyum. “Kenapa Van?“ lanjutnya.
104 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Aku terpuruk. Karena Isna butuh aku. Di sana perbedaannya. Ella, Artella, Nadira, dan Isna adalah orang-orang yang memuja dan membutuhkan aku. Dengan Kejora aku seakan menyejajari langkahnya, menemaninya, dan merasa nyaman berjalan bersama. Sementara dengan Isna aku merasa harus melindunginya, merasa diperlukan. Kejora manusia bebas yang ingin tetap bebas dan memberiku kebebasan dengan cintanya. Benar-benar bebas hingga aku membutuhkan orang lain yang bisa membuat aku merasa lebih berarti. “Sampai kapan kamu akan seperti ini?“ tanyaku memecah kesunyian panjang yang nyaris membuat tuli. “Seperti apa?“ tanya Kejora dengan derai tawa khasnya. Tawa yang bahkan bisa dikeluarkannya saat aku tahu pasti hatinya sedang hancur. “Tetap sendiri, tetap mengaku masih cinta sama aku, tapi tetap nggak mau berkomitmen sama aku...“ Dan tawa Kejora kembali berderai renyah memerciki hatiku yang mulai membara. “Jodoh nggak akan kemana Van, aku yakin suatu saat akan menemukan seseorang yang mencintai aku seperti cinta aku pada kamu. Yang bisa mengerti aku dan semua keanehanku. Dan sebelum saat itu tiba, biar cinta ini tetap ada. Aku nggak memupuknya Van, tapi juga nggak membunuhnya. Aku juga nggak mau punya pacar hanya untuk menghindari status jomblo. Aku hanya ingin jujur dengan cintaku.“ Jujur dengan cinta? Seperti ada palu besar yang menghantam kepalaku saat mendengarnya. Sesederhana itukah jawabannya? “Kenapa kamu bisa seperti ini…?“ tanyaku putus asa.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 105
Kejora menoleh perlahan, membalas tatapanku lama. Kali ini tanpa derai tawa atau senyuman. “Karena aku Kejora Van... Aku bintang. Dan kamu tau, bintang tanpa gelap malam itu nggak berarti apa-apa.“ ~ Cerpen ini menang dalam Lomba Cerpen Ikastara.org
106 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Merindu Bulan Sepenggal pesan singkat yang kuterima pagi ini benar-benar merusak seluruh hari. Dari dia, yang menyebut namanya saja sanggup membuat hatiku bergetar. Dia yang membawaku lari dari dunia logis-realistis yang mengakui kecerdasanku. Dengan dia, aku adalah orang buta dalam gulita. Dan dia adalah sesorot cahaya lembut yang kutuju, berusaha kugapai. Dia adalah bulan di gelap malamku. Bulanku.... Ahaha! Ungkapan yang begitu egois. Penunjuk kepemilikan. Padahal dia hanya Bulan. Bukan Bulan-ku. Karena kalimat penolakan akan tambahan dua huruf terakhir itu telah terlontar gamblang sejak kami masih berseragam putih abu-abu. Alasannya? Karena aku adalah mataharinya. Ya. Matahari-nya. Lengkap dengan bukti kepemilikan “n-y-a“. Dan aku merelakan diri menjadi miliknya tanpa bisa memiliki dirinya. Karena yang dia klaim menjadi miliknya itu adalah bagian diriku yang ada karena hadirnya. Bagi dia, aku matahari. Bagiku, aku tak lebih dari pungguk yang merindunya. Baca saja pesan singkat Bulan barusan...
— Fiuh... nyampe rumah jg akhirnya nih bro.. Thx 4 everything y. Aq dah normal lagi sekarang... ;p Yeah... Bulanku… ups... Bulan, telah normal lagi sekarang. Kembali memberikan sinar magisnya ke dunia setelah seharian
Surat yang Tak Pernah Selesai | 107
memucat di sampingku. Menumpahkan semua ketakutan, ketidakmampuan, dan ketidakberdayaannya akan hidup. Percakapan searah. Dia mengeluh dan aku mendengar. Dia melepas topeng hidupnya, menanggalkan sinar keemasan, dan memperlihatkan kawah gelap berdebu. Sementara aku, dalam diamku, menjelma jadi mataharinya. Memberikan sinar yang perlahan dia serap dan teruskan. Membuatnya kembali bersinar. Magis. Aku di mata dia adalah matahari yang bercahaya cemerlang. Yang bisa memberinya sinar, atau meniadakannya. Aku baginya adalah pemberi cahaya yang membuatnya bersinar di sisi lain dunia. Dia di sampingku akan memucat tak terlihat, tak terhiraukan, bahkan tak disadari. Dia yang memberi arti diriku, merasa tak berarti di sampingku. Jadi di sanalah dia, di sisi lain dunia agar eksistensinya diakui. Menjauh dariku agar bisa meneruskan sinarku lebih berarti. Saat Bulan (bukan Bulanku) menjalani hidup normalnya di sisi lain itu, aku di sini kembali bermetamorfosa menjadi pungguk merindu. Menunggu dalam kelam sampai suatu saat Bulan akan kembali menghampiriku dalam pucat. Aku benci melihatnya pucat. Aku ingin melihatnya bersinar. Tapi di sisi lain, aku hanya bisa merindu saat dia bersinar. Sementara saat dia pucat, aku nyata di sampingnya, bahkan bisa merengkuhnya dalam diam. Hanya diam, tanpa kata, tapi penuh makna. Aku telah menjadi mataharinya sejak dahulu. Katanya jauh sebelum aku meminta dia untuk jadi Bulanku. ”Dari pertama kali kamu bisa menyelesaikan soal logaritma yang sedikit pun tak kumengerti,” ujarnya dalam bangga. Dan otakku otomatis memutar ulang sebuah peristiwa tak penting di kelas satu SMA. Ketika seorang gadis memandang kaget saat menyadari penyelesaian soal itu di depan matanya.
108 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Aku berubah menjadi pungguk setahun setelah itu. Saat kembali menemukan tatapan puja penuh kekaguman di matanya yang tulus. Bukan penuh perhitungan seperti tatapan kagum dari yang lain. Bulan benar-benar mengagumiku atas anugerah cahaya digdaya yang dilimpahkan Tuhan kepadaku. Yang membuat silau banyak orang, tapi tidak dirinya. Bulan menyerap sedikit cahayaku dan meneruskannya dengan lembut. Membuatku balik mengaguminya dalam harap. Bulan yang menyadarkanku bahwa gelap itu ada, dan gelap yang membuat cahaya sangat berarti. Bulan membawaku ke dunia baru yang penuh ragu. Di mana perhitungan matematis tak selalu logis dan rumus empiris hanya membuat miris. Aku terpesona dengan dunianya walau tak sepenuhnya mengerti, sama seperti Bulan terpesona melihatku memahami fisika kuantum dengan kecepatan pentium. Di dunia Bulan, satu kata tak hanya bermakna satu, dua, atau tiga. Satu kata bisa bermakna semesta. Yang paling membuatku kagum adalah cara dia memandang dunia dan cara menampilkan dirinya pada dunia. Dia selalu memandang positif dunia, sepositif dia berusaha menampilkan wujudnya. Dan karena aku telah berada di luar semestanya sejak mengabdikan diri menjadi matahari dan pungguk, maka di hadapankulah Bulan melepas semua energi negatif, memperlihatkan sisi gelapnya. Seperti pemain drama di belakang panggung. Di panggung, penonton bisa melihatnya bahagia, sedih, putus asa, berjuang, tertatih, terjungkal, atau pasrah, tapi dengan cara yang mengagumkan. Dengan cara yang dimengerti, dipahami, dan dinanti penonton. Tapi penonton tidak boleh melihat sang pemeran yang gemetar gugup di belakang panggung, bingung dengan apa yang akan dihadapinya.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 109
Begitulah Bulan. Aku adalah orang di belakang panggung yang menenangkannya sebelum dia naik pentas kehidupan. Aku telah melihat wajah aslinya yang tak memakai topeng peran. Dan aku masih memujanya. Aku adalah mataharinya. Aku adalah teman di belakang panggungnya. Aku adalah pemberi cahayanya. Aku adalah tempatnya mengadu. Aku yang merengkuhnya kala pucat. Aku yang menghiburnya kala gugup. Aku yang mengumpulkan kembali serpihan dirinya yang hancur lebur agar bisa kembali utuh. Aku... Aku yang melakukan semua itu dan aku masih memujanya... Apa kurangku? Kenapa Bulan tak mau bersamaku?? Kuingat Bulan menjelaskannya dalam sendu... “... Karena kamu matahariku, aku pucat dan tak terlihat saat di sampingmu. Karena kamu teman belakang panggungku, aku jelek dan gugup saat di sampingmu. Aku bersinar untuk yang lain, tapi tak bisa untukmu. Aku tampil memesona untuk yang lain, tapi tidak untukmu. Aku ingin memberikan yang terbaik dari diriku untukmu, tapi hanya bisa kulakukan saat jauh darimu. Bersamamu, aku tak berarti...” Apa yang bisa kau lakukan saat orang yang paling berarti bagimu merasa tak berarti di sampingmu? Menganggap dunia tak adil? Atau meyakinkan dia, walaupun dia merasa tak berarti, tapi di sanalah tempat terbaiknya? Kemudian melihat dia memucat dan kehilangan pesona di mata yang lain. Walau kau tetap memujanya dalam kondisi itu, tapi sama saja membunuhnya perlahan. Setiap orang ingin memiliki arti. Seperti aku yang merasa berarti di sampingnya. Saat harus memilih antara inginku dan inginnya, aku tahu pilihanku. Aku masih bisa menjadi matahari yang melihat Bulan meneruskan cahayaku. Walau di sisi lain dunia, aku hanyalah pungguk yang memuja cahaya bulan.
110 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Dan di sinilah aku sekarang. Memandangi pesan Bulan yang telah kembali memberikan yang terbaik pada dunia, setelah jauh dariku. Seonggok cairan tercekat di kerongkonganku. Kutengadahkan kepala mencari bulan di langit siang. Sebentuk usaha mengalihkan perhatian dan menahan mekanisme pengucuran air mata. Tak kutemukan Bulan di sana. Aku telah kembali menjadi pungguk yang merindu... Merindumu, Bulan... Selalu... ~ untuk sang bulan yang menjadikanku pungguk dan untuk matahari yang memberiku sinar
Surat yang Tak Pernah Selesai | 111
Pantaskah Aku? Entah sudah keberapa kalinya ia menangis di hadapanku seperti ini. Baginya, dunia bahkan terasa lebih sempit, lebih pengap, dan benar-benar nyaris tanpa celah. Itulah yang selalu aku simpulkan dalam tiap episode keluh kesahnya. Semuanya terus bersambung seperti film serial. Apapun alurnya, cerita kehidupan seolah tidak pernah menemui akhir. Antiklimaks hanyalah transisi sesaat, dan sang tokoh utama harus siap untuk menempuh ke puncak emosi berikutnya. “Silvy, maaf ya… Mbak judheg banget…” “Nggak apa-apa, Mbak… Pintu saya selalu terbuka untuk Mbak kok. Mbak Hesthi, mau ya, aku buatkan lemon tea hangat?” Aku tahu, pasti ini masih kelanjutan dari kisah yang ia ceritakan minggu lalu. Bahkan juga sebulan yang lalu. Aku selalu menunggu hingga ia yang bicara lebih dulu. Sembari sesekali menatap ekspresi wajahnya, kupanaskan air dalam teko. Sambil menunggu air itu memanas, aku meletakkan teh celup rasa lemon ke dalam dua mug berukuran sedang, satu untuk dia dan satu untukku. Aku keluarkan juga toples berisi kue Koko Krunch choco-balls favorit kami. Kutuangkan air panas ke masing-masing gelas. Mbak Hesthi membantuku mengaduk lemon tea, sementara aku mengembalikan tekoku ke tempat semula. “Orangtua kami berselisih paham lagi. Padahal jika dihitunghitung, tiga bulan lagi kami akan menikah…” Akhirnya mbak Hesthi mulai membuka topik.
112 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Kalau boleh tahu, permasalahan utama yang dijadikan perkara oleh orangtua Mas Indra apa ya Mbak?” “Semuanya dimulai dari hal-hal kecil sebetulnya. Dulu aku nggak terlalu ngeh, ketika Ibunya Mas Indra selalu menjelaskan tentang trah keluarganya yang keturunan ningrat. Tradisi dan ritual rutinnya. Mbak hanya berpikir, mungkin beliau memang cuma ingin menceritakan kepada calon menantunya. Aku selalu positive thinking, Silvy. Hingga setelah semua proses lamaran itu, aku juga baru tahu dari ibu aku sendiri, kalau keluarga Mas Indra, terutama saudara-saudara dari pihak Ibu, suka mengintervensi urusan pernikahan kami. Bahkan ada kalimat tersirat yang mengungkapkan bahwa merekalah yang serba tahu tentang adat. Keluarga aku hanya keluarga biasa, keluarga sederhana yang nggak ngerti unggah-ungguh. Lebih sedih lagi, aku baru tahu juga, kalau ternyata orangtua Mas Indra nggak begitu sreg sama aku dan keluargaku. Mereka menganggap kami nggak selevel sama mereka. Aku bingung, Silvy… Aku baru mengerti, pernikahan memang bukan sekadar penyatuan dua hati. Tetapi masih ada atributatribut lain yang ikut di masing-masing bagian itu…” Aku hanya diam. Berusaha membantu mencari solusi, tapi aku sendiri nggak tahu apa yang harus dilakukan. Pikiranku melayang ke Hilmy, pacarku. Kuhela napas panjang. Mbak Hesthi, sepertinya nasibku tidak akan jauh berbeda dengan dirimu… *** Mbak Hesthi adalah kakak kelasku semasa SMP. Kami selalu masuk SMP, SMA, bahkan tempat kuliah yang sama, walau berbeda jurusan. Kini kos-kosan kami hanya dipisahkan oleh satu tikungan, dan hubungan kami tetap dekat. Aku selalu menganggap dia sebagai kakak sendiri, sebagaimana ia memperlakukan aku seperti saudaranya sendiri.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 113
Terus terang, aku terpengaruh oleh kisah bersambung kehidupan Mbak Hesthi. Aku merasa latar belakang kehidupan kami hampir serupa… Karena itu aku jadi sering berpikir ulang mengenai hubungaku dengan Hilmy. Haruskah aku terus mencintainya, atau memilih untuk menghentikannya? Butuh setahun lebih bagi Hilmy untuk mendapatkan approval dari aku atas pernyataan cintanya. Aku selalu takut.. Aku dikejarkejar kekhawatiranku sendiri. Selalu ada alasan untuk meletakkan kecemasan bersebelahan dengan kebahagiaan yang tidak bisa kupungkiri. Aku mengkerut menghadapi gaya hidup Hilmy. Aku takut dengan kebaikan keluarganya. Ayahnya adalah seorang direktur rumah sakit ternama di Jakarta. Keluarga ini cukup terpandang di ibukota. Setiap aku menjejakkan kaki di rumahnya, selalu terbayang rumah semi-papan milik keluargaku di kampung halaman. Lalu terbayang segala keluhan Mbak Hesthi. “Vy, malam minggu nanti ke Cakewalk yuk?” Hilmy selalu mengajakku ke tempat-tempat eksklusif. Alasannya, untuk menghindarkanku dari serangan tipes. “Ngapain ke Cakewalk My? Males… Vy pengen makan siomay aja…” “Vy... Terkadang aku butuh tempat yang tenang untuk bicara. Discussing our future… Silvy ngerti maksud Hilmy ‘kan?” Hatiku memprotes. Justru karena aku ngerti My, makanya aku nggak pernah mau! Do we really have to discuss our future? “Lagian kamu mah maunya makan siomay melulu… Tipes lagi baru tahu rasa deh...” sambungnya bersungut-sungut. Hilmy adalah orang yang sangat perhatian dengan hal-hal detil mengenai kesehatan, terutama kepadaku yang penyakitan ini. Aku sudah hapal betul SMS regulernya setiap dua bulan,
— Vy, suplemen udah habis ‘kan? Aku anterin ya yang baru. Sama ada yang baru lagi nih, bagus buat tulang… 114 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Melihat kondisiku sendiri, sebetulnya aku sangat bersyukur punya pacar dokter. Tetapi, setelah aku terbentur dengan ketakutanku… Aku selalu menerawang lagi. Pantaskah aku? *** Tiga bulan berlalu. Mbak Hesthi akhirnya melangsungkan pernikahannya. Ia tinggal di kota yang sama dengan rumah keluarga suaminya, Surakarta. Aku baru saja pulang kantor, tetapi aku tidak ingin langsung ke kos. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian ke Plaza Semanggi. Hilmy masih praktik, aku sendiri tidak tahu sampai jam berapa. Nggak masalah sih sebetulnya, toh belakangan ini aku memang sedang senang menyendiri. Aku terus berjalan mengelilingi tiap sudut mall. Nuansa warna pink terlihat mendominasi dekorasi interiornya. Nuansa musiman, pikirku. Maklum, sebentar lagi hari Valentine tiba. Lihat saja nanti tiga hari setelah Valentine, semuanya akan kembali seperti biasanya. Tidak ada lagi kertas, pita dan coklat berwarna hati itu. Semuanya musiman. Semuanya hanya musiman. Apakah jika Hilmy mencintaiku selama ini, kebahagiaan itu juga akan berlangsung semusim saja? Handphone-ku bergetar, ada SMS masuk. Dari Mbak Hesthi Rosalie.
— Silvy, apa kabar? Sil, aku cape... Mas Indra blum pulang. Ibunya di sini terus. Hari-hariku penuh ceramah pembekalan. Silvy, aku nggak tau mesti gmn. Aku tercenung. Mbak Hesthi, aku tidak punya solusi.
— Mbak Hesthi, yg sabar ya… Allah sayang mbak Hesthi kok.. Semoga Allah selalu memberi yang terbaik untuk Mbak Hesthi.. Surat yang Tak Pernah Selesai | 115
Hanya jawaban itu yang bisa kuberikan, sebab aku sendiri semakin diliputi rasa takut. Aku bermaksud memasukkan handphone-ku kembali ke dalam tas, saat benda itu bergetar lagi. Ada SMS masuk lagi. Kini dari Hilmy.
— Vy, udah sampai kos? Lg ngapain? Vy, if you don’t mind, Valentine nanti jln yuk? Ke Bricks Kitchen & Lounge yang di Sky Diningnya Plangi itu? Please Vy… mau ya?Eniwei, miss u.. Hilmy!!! Bisa nggak sih kita makan di tempat biasa aja? Hatiku menjerit. Sayangnya, aku tak kuasa menolaknya.
— Iya My, thx a lot.. liat pas hari H aja ya.. miss u too, My.. *** Hatiku makin bergejolak. Aku sudah tahu apa yang akan ia utarakan, dan aku sudah tahu juga reaksi yang akan aku rasakan. Sungguh, aku menghargai kebaikan dan ketulusannya, tapi aku selalu memberontak. Aku memutuskan untuk menolak ajakan Valentine dari Hilmy. Aku berharap Hilmy akan marah besar. Aku berharap ia akan menganggapku mencampakkan dia. Aku berharap Valentine ini menjadi akhir dari ketakutanku. Aku lebih rela kebahagiaanku saat ini hilang begitu saja, daripada aku mengelus dada sepanjang hidupku. Aku tidak ingin kisah Mbak Hesthi terulang pada diriku. Jika perlu, aku akan mencampakkan harapanku sendiri. Hilmy sepertinya bisa membaca keinginanku. Sudah dua minggu ini kami sama-sama membisu. Tidak ada SMS-SMS atau telepon rutin seperti biasanya. Tidak ada kunjungan. Saat ini kami sedang meraba perasaan masing-masing. Saling menerka.
116 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Dan sampai sejauh ini, aku merasa biasa-biasa saja melalui hariku tanp Hilmy. Mungkin berpisah dengan Hilmy tidak sesulit yang kubayangkan. *** Hari ini hari Sabtu. Hari Valentine, dan hujan turun. Aku melakukan aktivitas rutinku seperti biasa: bangun pagi, mandi, dan sarapan. Kemudian memutar Twilight, film favoritku yang sudah kuputar berkali-kali hingga aku nyaris hafal setiap dialog pada setiap adegannya. Semakin siang, hujan justru semakin deras. Mataku lelah menatap layar laptopku selama dua jam hanya demi menonton Twilight yang kesekian kalinya. Aku beringsut menuju tempat tidurku, dan membuka korden jendela kamar. Berharap bulir-bulir hujan itu bisa mendinginkan pandanganku. Juga suasana hatiku. Ternyata, hujan deras itu justru menampilkan pemandangan yang lain. Di balik jendela kamar, sebuah city car biru yang familiar, terparkir cukup jauh dari area bangunan kosku. Kemudian aku melihat bayangan payung berwarna hijau dengan cap sebuah nama resort hotel di Anyer – yang juga tampak familiar. Payung itu berjalan menjauhi mobil itu, dan bergerak. Terus bergerak, mendekat hingga ke pagar utama pintu kosku. Jantungku langsung berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku menahan nafas, hingga telingaku menangkap bunyi dering handphone-ku. ”Lovely Hilmy“ is calling... “Silvy, kamu di kos ’kan?” Jantungku rasanya mau berhenti mendengar suara Hilmy. “Iya My... knapa?” jawabku terbata. “Am I disturbing you?” “Nggak...”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 117
“Aku di depan kos kamu, Silvy...” Handphone ditutup. Aku tahu Hilmy. Aku tahu keteguhan hatinya jika menginginkan sesuatu. Tapi aku tak siap bertemu dengannya saat ini. Aku bahkan sulit menggerakkan kakiku, rasanya seperti kram saja. Aku melongok keluar jendela sekali lagi. Hujan makin deras. Payung hijau itu tetap bertahan di tempatnya. Mendadak aku merasa menggigil. Batinku berdebat. Akhirnya kuputuskan. Segera aku turun dari tempat tidur. Mengambil jaket. Menggulung celana training-ku. Terburu-buru aku melangkah menuruni tangga, menuju pintu depan. “Hilmy..” ucapku lirih. Aku lupa berapa lama aku membiarkannya terlantar di depan gerbang, kehujanan. Di bawah payungnya, wajah Hilmy basah dan pucat, antara terkena percikan air dan kedinginan. Ia memandangiku dengan sorot mata yang sama seperti kemarin-kemarin. Tidak ada raut wajah marah. Tidak ada kekesalan. Sepertinya yang ada hanyalah... sebuah harapan. Aku lari menghampiri Hilmy tanpa menggunakan payung. Refleks, Hilmy langsung menyambutku. Aku tidak bisa lagi menahan airmata. I miss him so much. “Udah makan Vy?” tanya Hilmy lembut sambil menatapku dalam. “Belum..” “Beli makan yuk. Yang deket kos aja. Yang enak di mana Vy?” Hilmy menggenggam tanganku, setengah menarik, sebagai isyarat ajakan. Jidatku mengernyit. “Kamu yakin, Valentine gini mau makan di sini?”
118 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Emang kenapa? Nggak masalah ‘kan? Jadi, yang enak apa? Atau... kamu pengen makan apa? Terserah deh, aku ngikut aja...” “Emm... ada sih yang enak, bubur kacang ijo Mang Otong di ujung jalan situ, deket pasar. Tapi emang kamu suka? Warungnya rada-rada bau minyak tanah gitu lho..” Gantian kening Hilmy yang berkerut. “Loh, emang kenapa? Bubur kacang ijo enak ‘kan?” “Tapi kan... Nggak higienis My? Kamu nggak takut diare? Nggak takut tipes? Nggak takut radang usus?” Aku heran. Orang di hadapanku ini beneran Hilmy apa bukan sih? “Lha kamu selama ini makan bubur itu, nggak takut tipes?” Jawabnya ringan sambil menyimpul senyum di wajahnya. “Nggak sih, soalnya...”Aku memberi jeda pada ucapanku, memilih kata yang tepat. “Kenapa?” “Soalnya… seandainya aku tipes pun, aku tahu pasti ada obatnya. Obatnya ‘kan ada di depan mataku sendiri, hehe...” Aku menampilkan senyum tanpa dosa andalanku. “Haduuhh… Dasar bandel!!” Hilmy spontan mengacak-acak rambutku. ”Berarti hari ini kita memiliki probabilitas untuk tipes bersama. Ah biarin, peduli amat! Yuk ke sana…” Kami memutuskan untuk membungkus bubur tersebut dan memakannya di kos-ku. Belum pernah aku melihat Hilmy sedekil ini: kaki penuh lumpur, rambut basah, dan celana tergulung asal. Sisi belakang kausnya pun basah, karena payung ini ternyata tak cukup mampu menghalau derasnya hujan. Sampai di halaman kos, kami mencuci kaki di kran air depan. Aku masuk ke kamarku,
Surat yang Tak Pernah Selesai | 119
Hilmy mengikutiku di belakang. Lalu aku menyalakan TV, memberikan tissue pada Hilmy, mengeluarkan mangkuk, dan memanaskan air minum. Hilmy duduk bersandar pada daun pintu yang dibiarkan terbuka. “Hilmy mau ‘kan lemon tea anget?” Aku bertanya, seakan Hilmy tak punya pilihan lain. “Mau Vy. Apa pun… asal buatan kamu...” Hilmy ternyata terus menatapku sedari tadi. Aku jadi agak kikuk dan salah tingkah. Air panas di tanganku nyaris tumpah. “My, harusnya ‘kan kita makan di Sky Dining Plaza Semanggi ya…” “Ho-oh...”Hilmy menjawab singkat. “Ending-nya kita malah beli bubur kacang ijo Mang Otong gini. Pake ujan-ujanan lagi! Gara-gara aku nih… Kamu nggak marah ‘kan My? Maaf ya...” Jujur, aku merasa sangat bersalah melihat kondisi Hilmy hari ini. Meskipun aku juga merasa lebih bahagia. Aku melihat sisi lain Hilmy yang belum pernah kuketahui. “Apapun makanannya, yang penting makannya sama Silvy.” celetuk Hilmy asal. “Apaan sih, gombal aja deh… ”Aku tersenyum. Sepertinya, kami menyerah setelah sekian hari membisu dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Percakapan di antara kami kembali mengalir normal. Bahkan, terasa lebih menyenangkan dari sebelumnya. Aku pun mulai melupakan kekhawatiranku. Kami saling menanyakan kabar dan suasana pekerjaan. Sesekali mengomentari acara televisi. Menikmati bubur kacang hijau dan lemon tea. Menikmati kebersamaan ini. Hingga Hilmy melempar sebuah pertanyaan.
120 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Vy, may I ask you something?” “What?” “Tapi jangan kaget dulu, aku pengen kamu pikir baik-baik...” “Iya, iyaaa... Emang mau tanya apa sih?” “Silvy dear…” Hilmy diam sebentar, menarik nafas, kemudian melanjutkan… “Will you marry me? Spend your entire life together with me?” Perlahan aku meletakkan mangkuk bubur kacang ijoku. Tanganku, diikuti seluruh badanku, semuanya mendadak dingin. Bergetar aku meraih gelas lemon tea, berusaha menenangkan diri. Bayang-bayang kisah Mbak Hesthi berkelebatan lagi di kepalaku. Kondisiku, kondisi kedua orang tuaku, kondisi orang tua Hilmy, segala prestasi Hilmy… Pening… Rasanya jantungku sedang mogok mengalirkan darah ke kepalaku… Hilmy meraih tanganku. “Vy… Aku tahu kok. Aku tahu tentang Mbak Hesthi. Maaf banget, waktu aku betulin handphone kamu yang hang dulu itu, aku penasaran karena di inbox dan sent item kamu banyak nama Mbak Hesthi. Di situ aku tahu kamu lagi berusaha menenangkan Mbak Hesthi. Tanpa kamu sadar, bahwa justru kamu itu ikut-ikutan memiliki perasaan seperti Mbak Hesthi… Silvy, yang dihadapi Mbak Hesthi itu kenyataan, tetapi yang kamu rasakan sekarang itu prasangka…” Aku tak tahan lagi. Aku menangis... Hilmy masih menggenggam tanganku. “Silvy pernah baca Edensor ’kan? Jangan pernah mendahului nasib. Silvy, situasi kamu tuh berbeda dengan Mbak Hesthi…” “Tapi My… Kamu tahu sendiri ‘kan aku ini siapa? Aku cuma anak yang lahir di ujung gunung. Kamu tahu sendiri ’kan gimana
Surat yang Tak Pernah Selesai | 121
kondisi ekonomi orang tuaku? Kamu harusnya tahu, kalau aku sebetulnya kurang pan...” “Vy, stop merendahkan diri sendiri! Please...” Aku sudah tak sanggup menatap Hilmy. Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya. “Vy, harusnya kamu bersyukur. Dia menciptakan kamu istimewa Vy... Istimewa sekali. Kamu harus percaya itu. Kenapa aku bisa bilang istimewa? Pertama, dari segala keterbatasan keluarga kamu, kamu terlahir sehat, setidaknya tidak cacat. Kedua, kamu punya keluarga yang bahagia… selalu ada di deket Silvy. Pernahkah Silvy membayangkan ditinggalkan Ayah dua tahun, ke luar negeri? Itu terjadi sama aku waktu kecil, bertahun-tahun tahun aku tinggal bertiga doang, karena Ayah melanjutkan studi. Aku sempat merasakan penderitaan ibuku ngurusin aku dan adikku yang masih kecil-kecil. Ketiga, kamu diberi kesempatan untuk dapet pendidikan yang baik. Vy, jika kamu menyebut diri kamu orang ujung gunung, maka kamu adalah orang ujung gunung yang istimewa, karena bisa ngerasain diwisuda. Bisa ngerasain kerja di perusahaan multinasional. Keempat, gabungan dari semuanya, sekarang udah jarang Vy, orang yang punya gabungan antara behavior, attitude, intelektualitas, dan kharisma. Dan kamu memilikinya. Satu hal yang penting lagi Vy, orangtuaku sudah nerima kamu sepenuhnya. Aku, aku sendiri Vy, Hilmy Permana, I love you so much... Di mata kami, Silvy itu istimewa… Please Silvy, kamu harus percaya pada diri kamu sendiri...“ Aku terdiam, antara percaya dan tidak. Benarkah semua perkataan Hilmy? “Vy, orangtuaku bahkan udah merencanakan kunjungan ke keluarga kamu...” Kuangkat wajahku lalu kupandang mata Hilmy lekat-lekat, berusaha mencari kebenaran.
122 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Vy, please trust me..” Aku memejamkan mata. Perlahan hatiku membuat keputusan. Keputusan yang aku yakin akan mengubah hidupku. “Hilmy..” Pelan aku berucap. “Iya, Silvy?” Hilmy terus menggenggam tanganku. “I do...”Aku menghela nafas, air mataku mengalir lagi, tetapi aku merasa lega. Senyum terkembang lebar di wajah Hilmy. “Terimakasih banyak, Silvy… Thank you for trusting me...” “Thank you for this wonderful Valentine day...” “Nggak hanya hari ini, Silvy... Our Valentine day will last forever...”
Forever. Happy Valentine...
Surat yang Tak Pernah Selesai | 123
Tempat yang Belum Pernah Kudatangi Kemarin, ketika aku menginjakkan kaki ke tempat aku setiap hari “biasanya” ada, aku menemukan sesuatu yang tidak “biasa” dan membuatku merasa “luar biasa”. Sebuah amplop mungil merah jambu tergeletak di meja kerja. Perlahan-lahan kubuka dan kudapati secarik kertas di dalamnya.
— En, besok kamis libur ‘kan? Jalan yuk, ke tempat yang belum pernah kau datangi. Miss you so much! Aku tercenung. Tempat yang belum pernah kudatangi? Di mana ya? Angan membawaku menuju tempat-tempat yang ingin kudatangi bersama si penulis surat. Sebut saja Kraton Boko saat matahari hampir tenggelam dan tidak mendung (bukan tempatnya yang penting, tapi suasana romantisnya yang dicari). Ke sanakah ia ingin mengajakku? PRANG!!! Suara berdentang dari laboratorium di sebelah ruang kerjaku membuatku tersadar dan ”kembali ke bumi“. Spontan aku keluar dan menemukan pecahan gelas beker berserakan di lantai. Tak jauh dari situ, seorang mahasiswi menatapku sedikit takut. Sambil tersenyum kusampaikan kepadanya, “Hati-hati, gelas bisa dibeli. Tapi kalau ceroboh, bahaya lain di lab bisa membuatmu celaka...“
124 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Selesai membersihkan pecahan gelas beker, aku masuk kantor lagi. Di depan pintu ruanganku, aku berhenti dan terpana sendiri akan kata-kataku tadi: hati. Aku baru sadar. Ada tempat yang mungkin belum pernah kudatangi bersama si penulis surat: hatiku dan hatinya.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 125
Aku Tak Mau Jadi Layang-Layang Dear Agatho… Terkenang akan hari itu. Hari saat aku akan memutuskan benang merah yang telah lama merekat. Terkumpul sudah letih saat menyertaimu. Terombang-ambing akan duniamu. Dunia yang berbeda dengan yang kupunya. Penat. Tak mampu lagi kumelangkah ke depan. *** Pagi hari itu, hari yang cerah, saat burung-burung gereja masih bersiulan di atas rumahku. Gelak tawa dan derap muridmurid SD berlarian. Anak-anak yang sepertinya tak pernah murung. Di kala itu aku masih ingat canda tawamu, suara syahdu melantunkan kisah yang tak jemu kudengar. Sejak pertama mengenalmu, kaulah yang menata rapi jalan yang kita tempuh, menandai pohon akan jalan yang telah tertempuh. Namun hatiku telah kusut, tak bisa lagi mengikuti arah jalan itu berlanjut. Sesaat kumenoleh ke tempat kita berawal. Jauh... terlalu jauh di sana, tak terlihat dari sini. Berat hati ini kembali ke awal, sementara kau masih ulurkan tangan untuk menantiku, di depan sana. Agatho, pagi itu juga aku pergi ke rumahmu. Tidak kutemukan dirimu. Tak lama kutinggalkan secarik catatan. Kuletakkan berdiri menyandar pada mug kesayangan. Mug bergambar cangkir kopi diselingi warna cokelat, warna favoritku. Mug yang menampung jenuh daun teh penghangat pagi, minuman favoritmu. 126 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Aku ini bukan layang-layang!!! Yang bisa ditarik ulur. Aku ini juga bukan untuk diadu kekuatan talinya. Kenapa?? Karena aku bisa putus… dan sanggup pergi untuk mengikuti kemauan angin bertiup…” Hanya itu. Semoga dia mengerti. Masalahku tak sepele, setidaknya bagiku. Malam harinya, si perangko menampung keluh kesahku. Sahabat terbaik dalam segala kondisiku. Dia hanya diam, dia tahu aku ingin dia hanya mendengar. Cukup mendengar tanpa memberi saran. Dan memberi saran saat aku berhenti bercerita. Dia benar-benar mengerti diriku. Aku bersyukur mempunyainya. Harusnya aku juga bersyukur telah mendapatkanmu, Agatho. *** Agatho, aku tidak tahu kenapa kamu datang tiba-tiba saat itu. Dengan senyum tipis kamu hanya menyerahkan sebuah buku cokelat. Buku catatan biasa, kepunyaanku. Buku itu menorehkan sejarah. Sobekan kertas catatan yang kutinggalkan tadi berasal dari buku itu. Hanya satu kata darimu Agatho, “Ketinggalan.” Lalu engkau pergi. Mungkin kamu tahu kalau aku sedang tak ingin ngomong denganmu saat itu. Mungkin kamu sadar kalau aku sedang butuh waktu jauh darimu.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 127
Di balik robekan tadi, tertera tulisan tanganmu Agatho. Tertulis dengan indah,
“Bagiku, kamu tetap layang-layang. Layang-layang yang selalu kupandang ke manapun kamu terbang. Layang-layang yang bisa kutarik mendekat serta merta kulepas tapi terikat.. Walaupun tali benangnya menggores jariku ’kan kugenggam erat-erat. Walau terik mentari menutup pandanganku ’kan tetap kurekam di mana keberadaanmu. Jika talinya telah putus, akan tetap kukejar ke manapun.. kapanpun.. ‘tuk mendapatkanmu kembali.. Bagiku, kamu tetap layang-layangku.“
128 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Aku terus terpana akan kata-katamu, Agatho... Celah dari sosok dirimu yang tak terlihat muncul selama ini. Merangkai katakata nan indah. Berpuisi. Dan aku suka puisi. Sepanjang malam itu aku merenung. Sesuatu telah terungkap. Secara tak sadar kamu telah memasuki duniaku dan secara sadar aku berusaha menolak duniamu. Kamu tahu bagaimana menemukanku di saat-saat seperti ini. Kamu sadar apa yang kubutuhkan saat tadi. Kamu, dengan rela menghabiskan waktu memikirkan balasan untuk puisiku. Saudaramu bilang, kamu sendiri yang membuat puisi itu. Kini, apa yang akan kulakukan ? Aku hanya mampu melanjutkan perjalanan ini ke depan. Mencari-cari petunjuk yang telah kamu tinggalkan di antara barisan pohon-pohon yang mengiringi jalan setapak kita. Mencarimu yang sedang menungguku di depan sana. Agatho, aku baru mengerti. Cinta ternyata hanya butuh memahami. Tak lebih, itu buatku.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 129
Ritual Makan Bersama Episode tentang Aku, Dea “Sebelum makan, mari kita berdoa..” Beberapa detik berlalu, dengan bisik-bisik khusuk. “Amiiin...” suara kami berlima hampir bersamaan. Aku, dua kakakku, ayah, dan ibu, terbiasa makan bersama. Hanya saatsaat tertentu saja kami tidak melakukannya. Misalnya ketika ayah sedang bertugas di luar kota, atau jika aku dan kakak-kakakku sedang ada kegiatan di kampus. Atau yang paling parah saat ibu jatuh sakit karena tipes (aduh, jangan lagi deh... nightmare itu). Kita semua tahu bahwa kaum Nasrani punya gereja untuk melakukan aktivitas ibadah, Muslim punya masjid untuk shalat berjamaah. Demikian juga keluargaku. Makan bersama di meja bundar warisan kakek adalah ritual bagi kami. Salah seorang ustadz pernah bilang, kalau umat Muslim tidak shalat Jumat tiga kali, maka dia akan dianggap keluar dari agamanya. Kalau di keluargaku, ritual makan bersama ini percaya atau tidak sungguh menjadi pertanda tersendiri. Siapa yang absen dalam beberapa waktu tanpa alasan jelas, sudah pasti dia sedang mempunyai masalah. *** Namaku Dea Listiani Putri, panggil saja Dea. Akulah si bungsu yang menjadi anggota ritual makan bersama paling terakhir. Sejak kecil aku memang paling susah makan, karena… malas.
130 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Suatu kali, beberapa hari aku malas mengikuti ritual makan bersama. Aku lebih suka di diam kamarku menghabiskan waktu. Kedua kakakku sudah menyerah untuk mengajakku makan, karena percuma. Kalau lagi malas, aku bisa jadi superjutek. Tapi, ayah tak pernah mau ambil kompromi. Ikuti aturannya, atau... “Deaaaaaaaa…!!!” suara menggelegar dari ruang makan, bagai geledek menyambar. “Iyaa…” aduh, mati aku! Udah nggak bisa menghindar lagi deh. Ruang makan yang biasanya meneduhkan itu seketika menjadi ruang sidang, seperti disulap oleh Deddy Corbuzier saja. Di ujung meja makan, sesosok Judge Bao yang terkenal nggak pernah kenal sama bulu itu seperti bangun dari kubur... ugh, seram sekali. Ayah tahu aku membolos les hanya untuk nonton pilemnya Brad Pitt. Dan, ah... entah darimana ayah tahu soal nilai ulanganku yang makin jelek itu. Apa mungkin dari laporan guru-guru sekolahku yang dikenal baik olehnya? Atau dari orangtua teman-teman sekolahku yang senasib dengan aku? Ceramah ayah mengalir lancar. Oh ayahku, tiada yang aku bantah. Sungguh ayah selalu benar tentang prinsip menjadi anak yang baik. Tapi seiring umurku, aku tak tahu kenapa jadi begini. Aku ingin ikut nge-gank bersama teman-temanku. Aku ingin nonton pilem, ikut pagelaran musik di alun-alum kota, dan sebagainya... Maafkan aku karena tak bisa semisal murid teladan seperti kakak... ”Ayah, Dea butuh kesempatan, mungkin dia kurang refreshing. Kita juga sudah jarang jalan-jalan bersama lagi, ’kan?” sebuah suara malaikat datang. Suara Ibu, suara pelipur lara, suara peredam amarah, suara yang diciptakan untuk melembutkan hati ayah. Aku kembali mengikuti ritual makan bersama, dan selalu duduk di samping ibu. Sejak itu aku bertobat, ogah jadi anak bandel
Surat yang Tak Pernah Selesai | 131
lagi. Dan itu tak akan terjadi tanpa ibu dan segala cinta yang diberikannya. Ternyata, ditunggui ibu saat belajar adalah obat manjur bagi ”masa depan“-ku. Ayahku pun tak perlu gusar lagi karena ibu jadi jaminan atas kelakuan baikku. Oia, ibu cukup berpengaruh dalam pengambilan keputusan di keluargaku, terutama dalam hal pergaulanku. Ukuran senyum di bibir ibu adalah rambu-rambu yang menentukan aku boleh bergaul dengan siapa. Seringkali teman-teman cowok yang ingin dekat denganku aku suruh telepon ke rumah di jam-jam tertentu. Ketika telepon berdering, aku biarkan ibu menjalankan ”peran“ sebagai operator telepon. Dari balik dinding aku biarkan percakapan berlangsung. “Halo, kediaman keluarga Budiman di sini…” “Emmh… halo tante, Dea ada?“ “Oow… ini dengan siapa ya?“ Ibuku selalu bertanya siapa yang menelepon sebelum akhirnya menjawab aku ada di rumah atau tidak. “Dea sedang belajar tuh, bagaimana?” Selanjutnya, apa pun jawaban para penelepon itu, jika Ibuku kemudian bilang, “Deaaa… ada telepon dari temanmu!” itu berarti lampu hijau bagiku. Episode tentang Kakakku, Raka Raka Rahadian ialah kakak pertamaku. Ia laki-laki yang baik dan mewarisi kegagahan masa muda ayahku. Kata kakek, dia dilahirkan dengan tali pusar yang membelit tubuhnya. Bagi orang Jwa tulen seperti kakek, itu pertanda bahwa dia akan jadi orang yang cocok berbusana apa saja.
132 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Aku sih tak terlalu percaya tahayul. Tapi aku harus mengakui sepertinya mitos itu ada benarnya. Kakakku yang satu ini memang istimewa. Dia terlihat menawan dengan baju sederhana sekali pun. Dan orangnya memang bersahaja, tidak seperti aku dan kak Shinta yang selalu “lapar mata” jika ke mall, hobi hunting baju-baju model terbaru. Alih-alih membeli, kak Raka malah sering memakai baju ayah. Hanya perlu sedikit sentuhan ajaib ibu dan mesin jahit tuanya, model baju ayah bisa menjadi trendi. Pas di badan kak Raka, pas pula dengan gaya anak muda jaman sekarang. Kak Raka tergolong pemuda idaman wanita, hehe. Asal tahu saja, aku dan kak Shinta sering dibikin sebal oleh teman-teman cewek yang tiba-tiba dekat dengan kami hanya untuk mendekati dengan Kak Raka. Kursi sebelah ayah adalah kursinya. Kenapa? Karena kak Raka adalah “tangan kanan” ayah. Dialah andalan ayahku, yang amat bangga padanya karena banyak sifat ayah yang diwarisi oleh kak Raka. Dari kemahiran main catur sampai kelihaian mbetulin genteng bocor. Itu alasan kerennya. Singkat kata, kak Raka adalah tukang suruhan ayahku, hehe. Tapi lumayan juga sih, keberadaan seirang anak laki-laki di rumah ini membuat kami bisa berhemat. Ketimbang membayar tukang beneran ‘kan? Kak Raka sangat dekat dengan ayah. Dua pria berbeda usia itu kompak sekali kalau sudah ketemu. Ke mana mata ayah memandang, di situ hidung Kak Raka mencium ketidakberesan. Cat tembok yang luntur, engsel pintu yang rusak, kaki lemari lapuk, ban mobil bocor, sampai urusan beli onderdil mobil tua warisan kakek, semua tuntas di tangan kekompakan mereka. Ketika kakakku makin dewasa, aku semakin kagum dengan cara berpikirnya. Mungkin bakat “mengakali” segala sesuatu, membuatnya survive. Mungkin juga rasa tanggung jawabnya sebagai anak pertama membuatnya malu untuk meminta lebih Surat yang Tak Pernah Selesai | 133
terutama untuk masalah uang saku. Dari hasil membantu banyak orderan kerja sampingan ayah sebagai distributor bahan bangunan, ia bisa mengumpulkan uang untuk membeli komputer. Kak Raka memang jago banget ngoprek-ngoprek komputer. Kalo aku, tahunya cuma make sebangsa aplikasi Word sama Excel, udah. Aku juga selalu pusing kalo flashdisk-ku kena virus sehabis dipakai men-download data di internet kampus. Kalo sudah begini, Kak Raka-lah satu-satunya tumpuan harapanku. Dia, seperti biasa, akan jual mahal nunggu sogokan bubur ayam P’No di seberang jalan. Kepada anak sulungnya ini, ayahku sering berandai-andai Kak Raka menjadi pegawai negeri di instansi pemerintahan dengan gaji dan jenjang karir yang bagus. Menurut ayah, menjadi pegawai negeri itu “aman”. Sebab, jika tua kelak, kita akan mendapat uang pensiun. Jadi tak akan jatuh miskin di hari tua, ketika sudah berhenti bekerja.Ayah selalu bersemangat begitu melihat lowongan menjadi pegawai negeri di koran, atau mendengar info-info lain dari radio. Jika ayah sedang membaca keraskeras iklan lowongan pekerjaan itu, Kak Raka langsung kabur. Jika ayah berpromosi di meja ritual makan bersama kami, Kak Raka mempercepat makannya. Impian Kak Raka memang 180° berbeda dengan ayah. Ia ingin berwirausaha, membangun kerajaan bisnisnya sendiri. Impian itu dicicil dengan bekerja freelance di bidang yang berhubungan dengan komputer dan internet. Ia menerima order-order dari kampus, kegiatan mahasiswa, atau rekanan lain. Sebagian besar ilmunya tidak ia peroleh dari kelas, namun dari forum dan milis keahlian tertentu yang diikutinya di internet. Ya, komputer dan internet sudah seperti bagian dari hidupnya. “Kamu tahu Dea, internet adalah media bisnis baru yang diramalkan Peter Drucke. Kamu bisa menjalankan bisnismu dari komputer ini, dan punya jaringan sebesar kamu mau di dunia ini tanpa harus pergi dan bertatap muka…” 134 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Perbedaan ini menajam dari hari ke hari. Terjadi semacam perang dingin antara ayah dan kak Raka. Walau mereka masih kompak saat mencuci mobil, tapi soal pilihan hidup, mereka bagaikan air dan minyak. Ayah semakin gencar mencari informasi lowongan bekerja di Departemen Keuangan sampai Pertamina, sementara Kak Raka semakin memilih diam. Ia jadi semakin sering absen makan malam bersama. Dan ayah semakin sering merasa sebagai radio yang ditinggal tidur pendengarnya. Sampai suatu saat puncaknya malam itu. “Ka, bisa kita ngobrol sebentar?” lembut pinta Ibuku suatu saat. Kak Raka menuju ruang tengah, sepertinya akan ada sidang lagi antara kak Raka, ayah, dan semoga Ibu berhasil kembali menjadi juru damai. Lima menit berlalu. “Kamu itu mau jadi apa!!!!?” kudengar bentakan menggelegar. Meluncurlah argumen-argumen sakti ayah. Baginya, membuka usaha sendiri itu risikonya terlalu besar. Nganggur taruhannya, dan yang pasti nggak dapet pensiun. Tak ada kata terucap dari Kak Raka. Dia sudah tahu itu akan terjadi. Dia memahami ayah, tetapi manusia bebas memilih impiannya. Kak Raka bukan orang yang mau menyerahkan waktunya untuk bekerja dalam aturan orang lain. Dia ingin mengatur waktunya sendiri. Dia sadar akan pilihannya. Dia sudah memutuskan pilihan hidupnya menjadi apa. Hingga kini, honor ia bekerja free-lance pun sudah cukup untuk sekadar menghidupi kami. Namun penghasilannya selama ini hanya dia tabung sendiri. Hanya aku dan Kak Shinta yang tahu soal ini. Bukan apa-apa sih, cuma karena kami anggap dari kak Raka kami akan dapat jatah. Jadi, ketika menginginkan sesuatu, kami nggak perlu perlu lagi minta orang tua.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 135
Ibu selalu tahu isi hati anaknya. Ibu ingin selalu terbaik untuk anaknya. “Sudahlah, Raka sudah memilih. Kalau kita paksa dan pilihkan ternyata dia tidak bisa menikmati, toh orangtua juga yang akhirnya berdosa pada anaknya…” Ayah terdiam. Ibu menebar kasihnya tak kasat mata. Bara dalam suasana terhisap hening. “Kamu masih banyak kerjaan ‘kan, sana selesaiin… Tapi jangan lupa, kalo cape istirahat ya. Di belakang sudah Ibu buatkan susu, cepat diminum, sudah mulai dingin tuh…” Dengan langkah berat Kak Raka beranjak . Ayah masih mengubur impian tentang jagoan andalannya. Ibu bersabar menemani, menenangkan dengan penghiburan, mencipta saat romantis meneduh amarah ayah. Episod tentang kakakku, Shinta Kak Shinta dan aku kuliah di kampus yang sama. Kami hanya berbeda dua tahun saja. Kami hampir mirip, dua-duanya mewarisi wajah manis Ibu. Hanya saja aku lebih senang dengan model rambut pendek, sedangkan Kak Shinta telaten merawat rambut panjangnya. Kami sering dapet job menjadi “putri sakembaran” kalau ada saudara yang sedang mempunyai hajatan pernikahan, peresmian-peresmian, atau acara lain yang memakai adat Jawa. Kami bahkan selalu terlihat mirip di setiap foto, dan fans-fans kami (ceileee) sering salah kirim salam buat kenalan. Berbeda dengan Kak Raka yang selalu berkutat dengan komputer, internet, dan hal-hal yang berbau teknik, kakak cewekku ini lebih romantis orangnya. Melalui dialah aku tahu kalau per-
136 | Pegiat Sastra Ikastara.org
pustakaan kampusku bukan sekadar tempat pinjam buku kuliah (daripada beli mahal-mahal). Ternyata ada satu rak buku di perpustakaan itu yang berisi novel-novel. Beberapa judul asli berbahasa Inggris. Rak sebelahnya, tentang pengetahuan kejiwaan, problem-problem hidup manusia, beberapa judul tentang parenting, kisah-kisah kepribadian ganda, dan of course seri Chicken Soup beserta variannya. Kak Shinta sering mojok, eh salah, maksudku… Berdiri mematung memilih-milih buku di sekitar situ. Jadi kalau aku pengen ketemu dia di kampus, dia hanya akan membalas SMS-ku dengan:
— aku di tempat biasa. Maka aku sudah tahu harus melongok ke mana begitu masuk ke perpustakaan. Jika ada cewek berambut panjang, tinggi sedang semampai, tangan kiri menopang tangan kanan yang memegang buku… itulah si cantik Shinta Hapsari. Begitu mendekat, aku biasa menyapanya dengan ”Ssst… Ssstt!!!” Seperti kali ini. Dia menoleh. Aku mengedip-ngedipkan mata. “Kenapa ?” “Hehehe, males aja sendirian. Mo curhat aja sama Kakak.” Satu jarinya membetulkan letak kacamata dengan frame tipis itu. “Nggak bareng Topan?” ”Yee… nyindir nih??” ”Lho, bukannya lagi seru-serunya tuuuhh???” ada senyum menggoda tampak sekilas. ”Kakakkkk!!” aku melotot lalu mencubitnya gemas. ”Sssstttt... Ini perpus!” jari telunjuk segera menyilang di bibir merah itu.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 137
Aku tersadar. Sambil menahan malu, kepala menoleh kanankiri, melirik Ibu Basuki pustakawan senior yang sedang duduk di singgasana kerjanya. Untung dia hanya melotot ke komputer. “Abis, kakak nggodain aja. Nggak lagi kak, dia aja yang nyebarin gosip. Setelah aku dan dia sukses jadi MC bareng di acara Malam Gembira kemarin…” “Tapi kayaknya kamu suka tuh ngelayani gosip itu? Dan kayaknya si Topan tipe pantang menyerah deh...” ”Mulai dehhh…” tanganku sudah dalam posisi mau menjitaknya plus mata melotot. ”Eitss… Tapi kamu suka ‘kan? Ganteng lho… Di kelasku aja semua cewek klo bisa berebut duduk deket-deket dia…” Kak Shinta itu memang fotokopinya Ibu. Dia pintar membaca ekspresi orang. Dia juga jago masak, makanya hanya masakan dia yang di-approve Ibu untuk mewakilinya membuat makanan hantaran kalau keluarga kita sedang ada syukuran. Dia juga yang mengajari aku dandan yang luwes. Kalau tidak, bedak dan lipstik bisa abis dalam hitungan hari hanya untuk membuat muka ondel-ondel makhluk bernama Dea ini. Meski kalau urusan pilihan baju, dia nggak akan bisa ngubah aku. Abis, dia selalu pakai rok dan hak tinggi. Nggak banget deh. Saran Ibu untuk memanjangkan rambut agar lebih feminim, mentah-mentah kutolak. Ribet ah, gerah. Dan sudah dapat ditebak, jeans adalah kostum favorit, dipadu kaos lengan panjang, kalau lagi dingin ya pakai sweater model turtleneck. Asesoris? Cukup syal ajah, itu juga hadiah ulang tahun ke 17-ku dari Kak Shinta. Katanya biar, aku lebih feminim sedikit. Kalau Kak Shinta hafal merek-merek parfum, maka aku hafal merek-merek kaos. Kalau ada acara kemping lalu Kak Shinta diharuskan bawa kaos lengan panjang, ke mana lagi dia kalau nggak memelas mengajukan proposal peminjaman pada diriku ini.
138 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Kak Shinta lebih memilih menjahit bajunya sendiri. Dia sudah seperti asisten Ibuku kalau urusan keterampilan wanita. Dari masak, menjahit, dan menyulam. Mencuci dan mengepel adalah jatahku (hiks). Sementara, nyuci mobil dan ngurus halaman depan sudah bagian Kak Raka. Tidak banyak orang tahu soal Kak Shinta karena dia memang pendiam. Heran juga, kenapa dia memilih jurusan Komunikasi ya? Kak Shinta juga seorang penulis, tentu saja juga tidak banyak yang tahu karena dia sering memakai nama samaran “Kejora”. Kalau tiba-tiba dia senyum-senyum sendiri membaca surat kabar minggu atau sebuah majalah remaja, aku sudah pasti langsung nodong, ”Kak, kapan nih makan-makan? Tulisan kakak dimuat ‘kan...” Enak juga ternyata klo punya kakak-kakak yang produktif dan mandiri begini. Inilah berkah si bungsu. Tapi jeleknya, aku jadi nggak sembuh-sembuh penyakit dari boros. Oya… Topan teman sekelas Kak Shinta sudah enggak gencar lagi “ngapelin” aku. Aku sendiri bingung, cowok sekeren itu kok bisa-bisanya aku cuekin. Dulu aku menikmati sekali dikejar-kejar, lalu perjuangannya itu hanya kubalas dengan semakin ngejutekin. Pertama kali sih emang nggak niat nanggepin, maklum tugastugas kuliah dan shopping bersama Kak Shinta lebih mengisi harihariku. Tapi lama-lama tersentuh juga, meski kalo dibandingin sama cerita di novel-novel yang dipinjam Kak Shinta, kok nggak berasa “greeng...” begitu. Jangan-jangan aku termasuk orang yang bakal mengalami ”witing tresna jalaran saka kulina” (cinta datang karena terbiasa… diteror, hehe). Makanya begitu Topan enggak nguber-uber aku lagi, aku sih biasa aja, nothing to lose kok. Tapi jujur, terasa ada yang hilang. Ternyata enak juga ada yang selalu merhatiin, selalu ngerayu bilang aku itu imut, dan sebagainya. Sayangnya Kak Raka langsung memberi warning bahwa aku sedang digombalin saat itu, Surat yang Tak Pernah Selesai | 139
ilfil deh. Aku pun nggak pernah jadi tuan rumah yang baik kalau dia datang. Malah Kak Shinta yang sering jadi bumper sempurna. Dari mbukain pintu, nerima telepon pertama kali, nyediain air minum, bahkan nemenin ngobrol. Aku si Putri Jutek baru akan keluar di 10 menit terakhir, ketika dia sudah mau pulang. Makin lama kuliah, makin aneh-aneh aja tugasnya. Perpustakaan lokal kampus sudah lama tidak memadai. Observasi lapangan lebih banyak disorot dari pada sekadar bahan teori yang rata-rata intinya sama, wong cuma nyuplik kutipan. Kak Shinta yang mengambil jurusan Komunikasi makin sering harus praktik nyari berita ke sana ke mari, nguber narasumber, kadangkadang sampai harus nginep di tempat temen untuk ngerjain tugas kelompok. Ritual makan bersama kami beberapa kali terpaksa tidak lengkap tanpa kehadirannya. Ya sudahlah, asal bukan masak sayur dan lauk pauk, bisalah aku bantu-bantu. ”Ayah, Ibu... Aku duluan ya, udah dijemput temen ngerjain tugas kelompok nih…“ pamit kak Shinta di suatu petang. ”Bareng siapa kamu, nggak dianter Raka?“ tanya Ibu. ”Dia udah ada langganan anter ko, udah aku tawarin dari kemarin-kemarin ditolak mulu, hehe…“ kata kak Raka usil. Lalu cubitan kecil terselip di lengannya. ”Nginep lagi yak?“ tanya Ibu ”Iya Bu, nanggung ngerjainnya, di rumah Yanti kok…“ Beberapa menit kemudian terdengar suara mesin sepeda motor sayup-sayup di luar rumah. Episode “Maafkan Aku, Adikku…” Sampai beberapa waktu kami tidak pernah tahu siapa penjemput Kak Shinta itu. Dan kami menganggapnya tak terlalu penting… saat itu. 140 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Ketika Anda fokus, sederhanakan hidup Anda. Begitu kata salah seorang trainer soft skill di kampusku. Jadi kalau orang cuek, itu bukan berarti dia nggak perhatian tapi, kemungkinan besar dia sedang fokus terhadap hal lain. Nah, kita sebaiknya menghormati dan tetap menjaga hubungan baik. Karena dengan itu kita nggak menambah masalah menjadi tambah rumit. Kak Shinta dengan fokus mengejar pengerjaan tugas-tugas kuliahnya memang sedikit banyak membuat formasi pembagian tugas di rumah menjadi berubah. Aku jadi harus turun tangan juga masak. Maksudku, karena kepepet akhirnya aku kreatif masak-masak sendiri. Setelah seminggu mengorbankan orang serumah makan salah bumbu, akhirnya aku menemukan resep andalanku yang belum pernah ada di rumah ini, yaitu: mie rebus ditaburin bawang goreng, mie goreng berlumur kecap asin, mie rebus campur telur, mie goreng irisan telur dadar, dan... martabak mie dengan cita rasa bawang bombay. Ya, yang kubisa hanya masakan serba mie. Sekarang selain ngurusin kegiatan kampus, aku menerima orderan bimbingan belajar ke anak-anak tetangga. Aku ketemu Kak Shinta paling-paling pagi kalau mau berangkat kuliah atau malam ketika pintu kamar terbuka perlahan karena dia baru pulang. Seringkali aku sapa dengan kekuatan mata 20% kesadaran… Cukuplah untuk melihat tatapan mata lelahnya, selanjutnya hanya indera keenamkulah yang masih mendeteksi tarian jemarinya di atas keyboard mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. “Kemarin pulang dianter siapa Kak?” tanyaku sesekali walau basa-basi. Dia tak pernah menjawab, hanya senyum yang kudapat. Kukira dulu hanya karena dia tahu itu pertanyaan basa-basi. Ternyata dia memang menyembunyikan sesuatu. Rahasia kecil yang mungkin nggak enak diceritakan, atau bingung cara nyeritain, jadi aku harus menunggu sampai waktunya aku untuk tahu. Surat yang Tak Pernah Selesai | 141
Dan akhirnya waktu itu tiba juga. Suatu kali di musim ujian anak sekolahan, aku memberikan waktu belajar ekstra untuk muridku. Kebetulan aku tak ada kuliah keesokan harinya. Tapi aku harus pulang lebih malam. Ketika aku pulang dan memasuki belokan ke arah rumahku, aku melihat seseorang dengan sepeda motor dengan posisi agak ngumpet. Sesekali dia melihat jam dan memencet-mencet handphone. Ketika aku lewat di sampingnya, aku terkesima. Tebak siapa? Topan. “Pan?!” “Eh, Dea... ehm... eh, met malam...“ sapanya kikuk. “Nunggu sapa nih, lama nggak mampir, sombong…” tanyaku dengan basa-basi innocent. “Nunggu... itu...ehm...” Kenapa harus gelagepan begitu sih? Aku mendelik curiga. Terdengar langkah-langkah agak berlari dari balik belokan. Sedetik kemudian aku menengok… dan aku mengerti sekarang. Kulihat Kak Shinta lengkap dengan dandanannya yang manis, lengan kiri mencangklong tas, tangan kanan mencangking helm. Aku melotot bengong, Kak Shinta juga rupanya tak siap untuk pertemuan tak terduga-duga seperti ini. Ini namanya ketangkap basah. Nggak bisa dibantah. Jadi, selama ini? Ya ampuuuuun... “Eh, Dea... Eh sorry… Hhmm… Topan cuman nganter…” Bahkan aku masih ingat seratus persen aku tidak menanyakan kenapa Topan ngumpet di situ. Ah sudahlah, orang kalau merasa bersalah, memang reaksinya akan menutupi salah, namun lucunya akan semakin menunjukkan kalau dia sudah salah. Aduh, kakakku yang manis kenapa nggak bilang dari dulu aja sih. “Eh iya, ati-ati ya Kak… Jangan lupa bawa oleh-oleh…” jawabku sekenanya.
142 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Ketika aku sudah menjelang tidur, Kak Shinta pulang, dan seperti biasa aku mendengar suara berat pintu terbuka. “Dea… “ usapan lembut terasa ragu di pundakku. “Ya… “ jawabku membalikkan badan dengan enggan. “Ini martabak keju... kesukaanmu…“ uluran kotak berisi martabak yang masih hangat itu kuterima dengan bengong . “Eh lho... beneran toh? Tumben, nyogokkk yaaa??? Nggak ah!“ aku berlagak jual mahal sambil meletakkan bungkusan martabak itu di meja, lalu memasang muka cemberut. Kak Shinta terdiam. Hening beberapa saat. Kesadaranku perlahan memulih menghilangkan kantukku. Tiba-tiba Kak Shinta menutup mukanya sendiri dan menangis. “Dea, maafff... Huhuhu, aku tidak bermaksud… Tapi, ahh... Harusnya aku nggak boleh…” Aku membiarkan Kak Shinta menangis. Sepertinya malah makin menjadi, untung pintu kamar sudah tertutup dan kejadian ini sepertinya hanya akan menjadi rahasia kami berdua. “Dea, maaf yak, maafkan Kakak… Kakak sudah mengkhianati kamu...“ Kak Shinta sekarang bersimpuh, memeluk pahaku. Air matanya membasahi celana piyama tidurku. Aku jadi ikut larut juga. Dalam diam, aku belum bisa berkata apa-apa. Otakku masih berpikir keras harus bersikap apa. Topan memang pernah mengejar-ngejar aku. Kak Shinta juga dulu yang paling semangat ngejodohin aku. Aku sendiri walau awalnya jutek, akhirnya agak suka juga. Sayangnya begitu sudah mulai suka, Topannya malah menghilang nggak ada kabar lagi. Ternyata, itu karena dia memilih Kak Shinta toh? Otakku kemudian jelas mereka-reka pecahan-pecahan kejadian. Pantas Kak Shinta nggak mau nyebutin siapa yang mengantar
Surat yang Tak Pernah Selesai | 143
ngerjain tugas-tugasnya. Jangan-jangan bukan ngerjain tugas tapi malah pacaran yak? Hihi. Ah, pantas Topan juga menghilang begitu saja. Pantas Kak Shinta nggak pernah lagi cerita-cerita lagi tentang Topan. Pantes... ahh... Soal Topan, ya sudahlah. Lewat ya lewatlah. Dulu juga aku nggak terlalu suka juga. Cuma serasa kesentil perasaan ini kalau nyata di depan mata jelas-jelas dibohongi begini. Aku mengerti, Kak Shinta mungkin merasa nggak enak atau gimana, tapi tetap saja tidak mengurangi rasa dongkolku. Aku rela kok, sungguh! Cuma, kenapa harus ada yang disembunyikan? “Sudahlah Kak, aku minta maaf juga. Aku yang egois...” aku gantian memeluk kakakku agar tidak semakin histeris. “Huhuhu... Nggak, kakak yang egois, harusnya kakak bilang dulu ke kamuuu...” “Nggak pa-pa Kak, semua orang pernah salah. Yang penting Dea sudah tahu sebenarnya sekarang, jadi lain kali Kakak nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi ‘kan?” Setelah puas air matanya tertumpah, keluar juga cerita lengkapnya. Tak jauh beda dengan perkiraanku. Kelembutan Kak Shinta dan kesabarannya menemani Topan menghadapi kejutekanku, akhirnya justru mendekatkan hati mereka. Topan sampai pada suatu kesadaran bahwa dirinya lebih cocok dan membutuhkan Kak Shinta di sampingnya, daripada sekadar terus mengejar-ngejar aku. Kak Shinta memang belum sepenuhnya mengatakan iya, dia hanya bilang “... jalani sajalah “ Aku yakin dengan kejadian ini banyak hikmah terambil. Dengan persetujuanku, hubungan mereka akan jadi lebih baik. Kak Shintaku mantap mendapatkan tambatan hatinya, ia memiliki kesempatan lebih leluasa untuk mencintai dan dicintai. Topan juga nggak perlu sembunyi di belokan gang lagi kalau mau 144 | Pegiat Sastra Ikastara.org
main ke rumah. Dia benar-benar calon kakak ipar yang baik… kadang-kadang dia membawakan buah-buahan kesukaan ayah ibuku. Sebaliknya Kak Shinta juga sering membawakan masakan andalannya untuk orangtua Topan. Kak Shintaku, bahagia sekali sudah bisa memberikanmu kado terindah, walau hanya satu kalimat “Aku ikhlaskan dia untukmu, Kak…” Episode “Cinta itu Apa Sih?” Ritual makan bersama keluargaku di hari-hari kemudian, harus mengikuti perkembangan jaman, hehe. Maksudku, sekarang kami mempunyai anggota tambahan tidak tetap. Yaitu kadangkadang Rani-nya Kak Raka atau Topan-nya Kak Shinta. Bahkan kedua orang itu pernah nongol semua, saat aku berulangtahun. Nambah dua orang calon kakak ipar berarti nambah dua orang calon dipalak. Jadinya ada banyak hadiah, banyak kecupan sayang, dan banyak doa di hari spesialku. Melihat kakak-kakakku dengan dengan pasangannya masingmasing kadang-kadang membuat sedikit iri. Tapi melihat apa dan mengapa mereka bertemu sungguh suatu keajaiban. Dari ketidaksengajaan, yang bertumbuh lewat kebersamaan, dibina dengan saling pengertian. Kak Raka ketemu Kak Rani yang paling lucu. Mereka bertemu tak sengaja dari chatting di warnet, lalu tukar menukar alamat email dan nomor handphone. Kak Raka senang sekali membaca blog Kak Rani yang selalu diupdate dan sebaliknya Kak Raka memberi masukan trik-trik memperindah tampilan blognya. Kak Raka memang suka menolong mereka yang mau belajar padanya tentang web, tentang internet, asal bukan nge-hack dalam arti negatif. Setelah sekian lama chatting, parahnya mereka nggak saling tanya detil di mana lokasi mereka berinternet ria. Suatu saat ketika mereka bertukar foto, dua-duanya terkejut kok kayaknya pernah lihat wajah ma-
Surat yang Tak Pernah Selesai | 145
sing-masing. Ternyata, mereka sedang berhadap-hadapan di warnet yang sama, hanya tersekat sebuah kotak papan pembatas. Kalau kutanya Kak Raka apa menariknya Kak Rani, dia bilang, “Aku tuh cocok ma Rani... jauh sebelum aku kenal wajahnya, jadi merem aja cocok. Kebetulan wajahnya oke, ya bonuslah itu.“ Kalau begitu, nilai kecantikan fisik itu tergantung masing-masing pribadi ya? Jadi makin males dandan ke mana-mana nih, pikirku suatu kali. Toh kalau emang ketemu jodohnya, ya ketemu aja. Tapi Kak Shinta juga mengingatkan, “Kepribadian bisa tampak dari cara merawat penampilan. Siapa coba yang nggak liat cewek berpenampilan cantik dan manis? Kebiasaan merawat diri dengan cara yang baik akan berimbas pada kebiasaan-kebiasaan lain.” So, kalo bicara soal kepribadian, kelemahan, dan kelebihan diri, aku jadi bertanya-tanya. Apa ya kelebihan diriku ini? Yang kuinget-inget sih cuma bikin keributan saja. Hmm... Masak ada sih cowok yang suka cewek tukang bikin keributan seperti aku? Tapi luamayan juga jadi tukang ribut kayak aku. Sebab, ternyata di dunia ini ada bisnis bagi tukang bikin ribut, jadi MC! Lumayan ‘kan jadi MC walau cuma untuk acara 17-an atau acara-acara konser kampus. Kecil-kecilan tapi udah berasa kayak selebritis. Tapi tetep saja pertanyaanku belum terjawab. Cinta itu apa sih? “Lihat Ayah dan Ibu aja deh, kalau pengin tahu true love itu seperti apa.” kata Kak Shinta suatu hari. Hmm… Kalau membayangkan cinta yang sampai pada taraf membentuk keluarga, ngeri juga ya? Pasti banyak suka dan dukanya, begitu banyak tanggung jawab, begitu banyak yang diurus. Tapi, mengapa ayah dan ibu bisa bertahan? Mengapa mereka selalu terlihat bahagia? “Saat-saat paling membahagiakan itu selalu kalau kita makan bersama di meja ini…” begitu ungkap Ibu. Jadi inget pepatah Jawa “mangan ora mangan asal ngumpul” (makan tidak makan
146 | Pegiat Sastra Ikastara.org
asal kumpul). Ya, kami selalu berkumpul untuk makan. Berbagai menu pernah terhidang di sini. Dari cuma nasi tempe sampai kreasi steak dan spaghetti hasil kerjasama yang baik antara Kak Shinta dan Ibu. Tapi yang pasti meja makan inilah sumber inspirasi kami, tempat kami berbagi, dan juga merayakan apa saja. Akhir-akhir ini ayah sering batuk-batuk dan masuk angin. Sore ini aku bahkan menyaksikan ayah yang sudah pensiun itu ketiduran di kursi. Tampak sekali garis usia di wajahnya. “Dea, kok ayah cuma dipandangi gitu? Disuruh masuk ke kamar dong…“ tegur Ibu dari belakang. Ah, belum sempat kagetku teratasi. Adegan cinta kasih itu terpampang jelas di mataku. Adegan Ibu membangunkan ayah dengan lembut, mata ayah yang membuka perlahan, lalu Ibu membimbingnya ke kamar. Oh Tuhan... Melihat mereka yang masih saling mengasihi sampai tua, aku jadi mengerti apa itu cinta. Episode ”Selamat jalan, Ayah...“ Kata orang, semakin tua kadang-kadang orang itu akan kembali seperti anak kecil. Demikian juga ayah. Di balik ketegaran sosok tuanya, kadang-kadang kalau keinginan ngototnya kumat, ayah jadi norak banget. Lagi asyik-asyiknya aku nonton VCD, ayah datang lalu nyuruh-nyuruh minta dibuatin mie, lengkap dengan es teh manis. Meski sebel akhirnya kukerjain juga, karena kalo ditolak ayah akan terus menerorku. Beliau akan duduk di sebelahku sambil nyubitin. Sempat sih ayah aku ”kerjain“. Bumbu mie-nya nggak aku masukin, biar kapok nggak nyuruh-nyuruh aku lagi. Tapi akibatnya malah tambah parah. Aku disuruh masak mie lagi, plus telur dadarnya… Ternyata, teror ayah merata ke semua penghuni rumah. Di malam buta, tiba-tiba ayah meminta Kak Raka mengganti cat Surat yang Tak Pernah Selesai | 147
ruangan esok harinya. Terus, di siang bolong Kak Shinta ditelepon ayah minta dimasakin sayur asem dengan lauk rendang. Nggak nyambung banget ’kan? Kak Shinta yang belingsatan belanja ke pasar. Kalau Ibu beda lagi, di saat mereka sedang ngobrolngobrol berdua jaman pacaran dulu, ayah cerita tentang motif baju batik milik kakek tahun 1945. Di akhir ngobrol, ayah ngotot minta dibuatin baju batik dengan motif persis kayak punya kakek. Bayangin aja, nyari batik dengan motif jaman kemerdekaan, di mana coba? *** Hari ini kuselesaikan ujian skripsiku. Tadi pagi, seisi rumah aku pamitin. Lagakku udah kayak maju perang Bharatayudha ajah. Meski sempat mules-mules karena stress, syukurlah semuanya berjalan lancar. Aku berhasil lulus dengan nilai A. Yah, aku harus berterimakasih pada Tuhan karena menganugerahkan kemampuan cuap-cuap. Ditambah dengan persiapan presentasi dari slide hingga gambar-gambar animasi karya kreatif Kak Raka. Baru saja aku senyum-senyum keluar pintu ruang ujian, handphone-ku berbunyi. Telepon dari ibu. ”Sayang… kamu sudah selesai?” Kata ibu dari seberang. Suaranya terdengar serak dan bindeng. Mungkin karena bahagia anaknya berhasil lulus ujian. ”Sudah Bu. Mau tahu hasilnya? Setelah perdebatan seru dengan dosenku, akhirnya aku dapat nilai A!!” Jawabku heboh. Tapi, hanya hening respon yang kudapat. Lho, kok nggak ada rasa-rasa gembira sih. “Dea, cepat pulang ya…” ada pinta tertahan kudengar. “Iy.. iyaa…” dan sambungan telepon terputus. Mendadak jantungku berdetak lebih cepat. Perasaanku bilang, ada yang nggak beres nih di rumah. Segera aku menye-
148 | Pegiat Sastra Ikastara.org
top angkot (perlu dua kali angkot ke terminal, untuk naek bis ke rumahku, lalu naik ojek ke kompleks rumahku). Aku berusaha telepon Kak Shinta, nada sibuk. Aku telepon rumah, nggak ada yang angkat. Aku telepon Kak Raka, setelah agak lama baru terangkat, dan belum sempat aku bicara, “Dea, aku masih di rumah sakit, tadi ayah tiba-tiba jatuh dan... Ya sudahlah kamu tunggu di rumah saja, bawa kunci sendiri kan?!” Aku hanya melongo bingung. Sepanjang jalan aku berdoa, semoga ayah hanya jatuh biasa, hanya perlu istirahat beberapa hari di rumah. Namun, semua begitu cepat, dan malang yang terjadi tak sempat lagi ditawar. Sampaiku di rumah satu jam kemudian hanya disambut peluk tangis Kak Shinta, aku melirik di balik pintu yang sudah dipenuhi orang itu. Oh sekilas tampak sebujur kaku kafan putih, oh lemasnya tubuh ini. Benarkah ayahku berpulang ke haribaan-Mu Tuhan? Padahal baru saja aku ingin menunjukkan hasil ujianku... Padahal... Ah... Ibu hanya terdiam di pojok, beberapa kali histeris dan pingsan. Kak Shinta dan Kak Rani sibuk mengipasi dan menghibur. Di luar, Kak Raka dibantu Topan sibuk berkoordinasi dengan pengurus masjid setempat menyiapkan acara pemakaman. Aku sendiri bingung, dengan perasaan tak keruan, aku harus apa sekarang. Semua sudah terlambat, kalau tahu ayah akan meninggal aku rela menunda ujian skripsi dan mengulangnya setahun lagi, demi menjaga ayah agar terhindar dari jemputan maut. Kepergian ayah begitu cepat, menorehkan kesedihan begitu dalam. Saat ingin aku terlonjak gembira merayakan keberhasilan. Ironisnya, di saat yang sama aku kehilangan ayah tercinta. Kini aku hanya bisa memandangi pusara ayah yang masih basah. Rumah ayah kini yang indah dihiasi bunga-bunga. Tempat tidur ayah yang paling harum untuk selama-lamanya.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 149
“Sebelum meninggal, ayah sempat tahu kalau kamu lulus dengan nilai terbaik. Nggak usah sedih ya...” bisik Ibuku, seraya memeluk menenangkanku. Episode Terima Kasih pada Kebersamaan Sepeninggal ayah, hari-hari terasa berjalan lambat dan berat. Ibu belum mau duduk di meja makan kami lagi. Ibu masih takut terbawa menyendokkan nasi dan sayur buat ayah, cinta sejatinya. Kak Shinta masih belum bisa bicara juga. Aku kesepian, sementara tempat curhatku pun sedang merana. Hanya Kak Raka yang tidak menangis, walau tetap saja tampak gurat kesedihan di wajahnya. Baginya, sekarang bukan waktunya bersedih. Banyak tanggung jawab diletakkan di pundaknya sekarang. Berita bagusnya, waktu itu menyembuhkan. Dengan berbagi, kesedihan akan perlahan sirna. Entah hari ke berapa aku lupa, meja makan kami baru bisa berfungsi kembali. Formasi otomatis berubah, kursi ayah ditempati Kak Raka, sang raja baru dengan mahkotanya. Ayah seakan menjelma dalam dirinya. Semakin lengkap, karena Ibulah yang melayani makan Kak Raka. Ah semua sudah kembali… *** “Raka… Ibu restui kalau kamu mau melamar Rani...“ kata Ibu pelan dan pasti suatu malam. Semua terhenyak kaget. Padahal Kak Raka belum meminta. “Sungguh Bu?” “Iya... tapi tinggal di sini ya?“ Oh Tuhan... indahnya restu Ibu di meja makan ini, tempat paling sakral bagi keluarga kami.
150 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Aku terlahir menjadi saksi sekaligus pelaku, ritual makan bersama di keluarga bahagia ini. Aku saksi dan pelaku cerita-cerita sejarah keluarga ini yang selalu berawal dari meja makan bundar. Aku yakin sekali berkah Tuhan mengalir dari tiap makanan yang tersaji dari meja makan warisan kakek ini. Kami berpadu dan terus berbagi rasa. Di sinilah tempat citra cinta terjelma sebagai bentuk keluarga. Di sinilah tempat ternyaman untuk kembali, setelah ke manapun masing-masing dari kami mengarungi hari. Di sinilah segala cita rasa terasa nikmat karena tersaji dalam olahan cinta orang tua dan anak. Terima kasih Tuhan, Engkau memberkahi meja makan kami.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 151
Selamat Jalan, Vi… ”Ya, Vi… ada apa?“ sahutku menerima panggilan Novi di handphone-ku. ”Ke tempatku ya, Ben...” ”Oke, aku puter balik mobil dulu ke apartemenmu...“ Novi memang selalu begitu kalau kesepian di apartemennya. Bagi sebagian orang, dia mungkin pemilih teman. Tapi sejak aku kenal dia, ternyata kami cocok. Kami pernah sekantor tapi hanya beberapa bulan saja. Kemudian dia keluar dan tidak bekerja lagi. Tiap kutelepon, dia selalu bilang lagi di mall, belanja-belanja. Dasar turunan taipan, duit nggak abis tujuh turunan ya begitu itu. Berbalikan dengan aku. Untuk nyari tambahan gaji saja harus lembur nggak keruan. Sabtu-Minggu justru handphone harus standby, jika ada apa-apa dengan server kantor. ”Vi, laptopmu ada masalah lagi?“ Saat aku memasuki kamar apartemennya, sepintas melihat laptop tipis berserak begitu saja di mejanya. Dia hanya melirikku, bangun dari sofanya dengan malas. ”Nih periksa aja sendiri...“ ”Apanya lagi sih yang kamu utik-utik?“ ”Internetnya nggak jalan tiba-tiba… tuh !“ ujung dagu lancip Novi menunjuk ke arah laptop yang terbuka di hadapanku. ”Ya sudah, kalau gitu mie goreng telur aja yak?“ candaku, mencoba mengurangi kegusaran gadis itu.
152 | Pegiat Sastra Ikastara.org
”Huwww…!!” dia melemparku dengan bantal sofa. Aku tahu, laptop ini memang sengaja dia rusak-rusakin. Biar ada alasan memanggilku menemaninya. Kalau sudah begini, aku bisa semaleman nginep di sini. Nemenin nonton DVD, maen kartu, ngobrol berjam-jam ngegosipin politik, sampai ngeramal siapa kira-kira pasangan artis yang bakal cerai lagi. Lima belas menit kemudian dia sudah menghidangkan dua piring mie goreng telur di meja sebelah. ”Makan dululah, laptopnya nanti aja…” ajaknya. ”Kamu tuh ngisengin orang aja ‘kan? Ini udah bener lagi ko...“ mataku tak bergerak dari monitor laptop. ”Heh?? Udah bener? Kamu apain??“ ”Firewall-nya kamu nyalain, non... “ Dia mendekatiku. Seketika bau parfumnya menusuk hidungku. Jemari lentiknya lalu ikut-ikut mengecek isi laptop. ”Ngaruhnya kenapa?“ ”Gue nggak harus njelasin ’kan, kalo buka situs-situs begituan tuh banyak trojan sama virusnya?“ ”Hehehe... Nggak usah, ntar kamu ikutan pengin buka, lagi!” jawabnya tersipu malu. ”Huuuww... Dasar amatiran! Nanya-nanya gue dulu napa kalo nyari begituan? Biar aman!“ ”Iiihhh… ’Kan malu, Ben... Masak gue nelepon elu cuma buat nanya alamat situs begituan??“ ”Atau sekarang kita berdua bareng satu laptop mo ngeliat situs-situs begituan? Yaelah Nov, ilfil gueeee...” Aku segera kabur menyambar satu piring mie goreng telur di meja. ”Kalo kurang ambil aja punya gue aja, Ben...“ Surat yang Tak Pernah Selesai | 153
”Nggak ah… Rugi gue kalo ke sini cuma buat makan mie goreng telur.” Jawabku sambil menyumpal segarpu penuh mie goreng ke mulutku. Selesai makan, sekaleng minuman soda aku ambil dari kulkasnya. Aku beranjak ke kotak koleksi kaset DVD-nya, mencari-cari beberapa judul film. ”Ada yang baru, Vi?! ” teriakku bertanya. ”Adaa... Tapi nggak ada yang bokep yak!!“ ”Sial lu, Vi! Gue bisa download sendiri tau, nggak usah buangbuang duit kalo cuma bokep doang…” Ketika DVD player-nya sudah mulai kunyalakan, tanpa kuminta Novi beranjak mematikan lampu tengah. Nah, kalau begini, berasa home-theater beneran nih. Apalagi ditunjang audiosystem yang terbilang cukup mewah. Aku memilih film Golden Compass yang futuristik itu. Seperti biasa, aku berselonjor duduk di karpet warna merah lembut, bersandar di sofa. Sedangkan dia sendiri lebih suka duduk di atas sofa, kadang-kadang sambil usil menjambak-jambak rambut ikalku jika gemas, kesal, atau terbawa emosi menonton film. Novi memang manja, walau tak banyak yang tahu. ”Ben...” lirihnya memangilku namaku. Aku diam. ”Beniiii..!!” kedua kalinya dia memanggilku. Aku masih tak menanggapinya, kukira dia hanya iseng. ”Beeenn… Jawab napa?? Serius iniii...” berlanjut dengan gebukan bantal sofa berkali-kali di kepalaku. ”Kenapa sayaaang? Gangguin orang nonton aja deh...” akhirnya aku menoleh. ”Asyikkk, gue dipanggil sayang...“
154 | Pegiat Sastra Ikastara.org
”E-eeehh… Kenapa jadi centil begini? Gue sirem air minum juga nih, sebelum lu kesurupan...” ancamku usil. Sekilas kemudian, kulihat mata Novi menyiratkan kemurungan. Dia diam. Tak lagi memperhatikan film yang tadi bersamasama kami tonton. Dia mengambil salah satu majalah fashion, membalik-balik halamannya dengan bosan, lalu meletakkannya sembarangan. Aku hafal gerak-gerik mimik kegelisahannya itu. Ini adalah syarat bahwa ia ingin ditemani. Aku segera tanggap. Kukecilkan suara TV. Aku nyalakan lampu tengah kembali. Lalu aku duduk di sebelahnya. Refleks, dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Kami bicara dalam diam sekarang. Aku harus bersama merasakan aliran-aliran gejolak perasaannya dulu, sebelum aku tahu kejadian apa yang membuatnya melow malam ini. Beberapa jeda kemudian kudengar juga suaranya yang telah menjadi serak. ”Ben... kenapa sih kita nggak pacaran saja?“ Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya itu. Tapi segera kusadar, Novi memang selalu begitu kalau sedang “rapuh”. Dia butuh teman. Dia butuh tempat bersandar. Kesepiannya tak mampu diredakan oleh bertaburnya kemewahan perabotan di kamar apartemennya. Emosinya sedang labil di saat seperti ini. Aku memeluk bahunya. Merasakan hangat punggungnya. Kuusap-usap rambut ikalnya. ”Ben... Kamu yang paling mengerti aku, paling rela dengan segala kebawelanku, paling bisa menyelesaikan masalah-masalahku, kenapa kita nggak jad...” ”Vi, sstt...” aku menyilangkan telunjukku lembut di bibirnya. ”He leaves me at the end, Ben… Again, again, and again …” isaknya sekarang. ”… Dan kamu selalu datang padaku lagi, saat
Surat yang Tak Pernah Selesai | 155
aku kesepian, butuh teman, butuh kehangatan. Ben... kenapa kamu nggak bisa aku miliki seutuhnya sih?“ Hati siapa yang tidak tersentuh, mendengar permohonan isak tangis seperti itu. Aku ingin. Tentu aku tak kuasa menolak hasratnya sedalam itu. Namun kalaupun aku iyakan, ini bukan saatnya. Emosi tetaplah emosi, sesaat, ceroboh, tanpa logika. Menghisap dan menjerat. ” Vi... kita pernah mencoba ‘kan? ” kata-kataku keluar juga, memancing akal sehatnya. Aku memandanginya wajahnya dengan lembut. Lalu kucium keningnya dengan kasih. Novi menarik tubuhku ke arahnya, aku tahu dia ingin lebih. Tapi aku sadar, ada batas tegas yang tak boleh kulanggar… lagi. ”Ben, kenapa?” dia memprotes, kecewa. Aku beranjak dari sofa, mengambil segelas air dingin untuk meredakan ketegangan perasaan Novi. Dia meminumnya sedikit, lalu menghela nafas panjang. Lagi-lagi ia menyandarkan kepalanya di bahuku. Seiring ketenangan mulai meniti detik-detik waktuku dan dia, terbayang kembali kenangan kami berdua beberapa waktu lalu. Aku dan dia memang dekat, tapi tidak terikat. Saling mengerti, tapi tak terbeban ikatan. Aku bertemu dia tanpa sengaja. Berawal dari sebuah konflik antar bagian di kantor. Aku mengajukan komplain ke bagian tempat dia bekerja, karena ada beberapa proposal yang tidak terproses. Setelah perdebatan panjang di e-mail karena masalah tetek bengek prosedur yang sangat kubenci, akhirnya dia meneleponku secara personal. Dia mengaku kalau masalah itu terjadi karena dia masih orang baru, yang masih belajar merabaraba apa yang harus dikerjakan.
156 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Aku jadi bersimpati atas kerja kerasnya. Apa lagi, kutahu bosnya memang sudah terkenal menyebalkan, pelit, dan terlampau keras kepala. Aku sebenarnya benci bosnya, tapi kupikir, ia yang sudah tulus bekerja keras tak perlu kena getahnya. Sejak itu, proposal yang kuajukan ke bagiannya lantas mendapat semacam layanan “VIP” walau tanpa cap sakti dari bos manapun. Kami pun semakin akbrab, di dalam dan di luar kantor. Ditambah lagi, apartemennya terletak di lokasi yang searah dengan tempat tinggalku. Jadilah ia sering kuantar-jemput dengan mobilku. Enam bulan setelah kejadian awal pertemuan kami, dia mengundurkan diri dari kantor. ”Aku bosan cuman disuruh-suruh kerja yang nggak jelas begitu… Enak amat ya jadi bos ? Gue tahu kok, dia sebenernya cuma ngurusin jadwal dan janji-janji party doang... Hu-uuuh…” ungkapnya kesal. ”Tapi gajimu ‘kan lumayan, Vi. Bagianmu kan elit, deket sama pusat kekuasaan. Orang baru sepertimu aja udah langsung jadi pegawai tetap, dengan gaji hampir sebesar gaji orang lima tahunan kerja di sini...” aku meledeknya. ”Sayangnya gue nggak butuh gaji tuh.” Jawabnya cuek. Sial, kalo ngomong sama anak yang besar dalam kekayaan orangtua dan nggak bakal abis tujuh turunan ya begini deh. ”Iya deh, yang kerja cuma buat status, biar ga dicap pengangguran… Beda deh bedaaa...“ Jika orang biasa, mungkin akan marah kusindir begitu. Namun, dia tidak. ”Enak di kamu juga ‘kan, punya temen kayak aku? Hehehe…” mulailah episode jurus-jurus narsisnya keluar.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 157
”Sorry ye, gue nggak pernah mau lu traktir!“ ”Ahhh… Gengsiaaann! Tapi gara-gara elu, gue jadi jarang ke cafe, tauk!“ ”Bodo! Lha salah elu numpang mobil gue, ya suka-suka gue dong?“ ”Sok suci luuu… Ujung-ujungnya juga hunting DVD bajakan dan DVD bok...” ”Stop-stop!! Jangan keras-keras napee, malu neng!“ Dengan kecantikan dan gayanya yang modis, mudah baginya untuk menggaet cowok mana pun. Dan kenyataannya memang begitu. Jika beberapa hari tidak kuantar-jemput, dia pasti sudah bersama orang lain. Entah pacar, selingkuhan, atau apalah namanya. Aku tinggal melihat hasilnya di album foto Friendster-nya di internet. Kalau Messenger-nya online, cukup kusapa sedikit, selanjutnya dia pasti bercerita panjang lebar seperti keran bocor. A sampai Z tentang kehebohan cowok-cowoknya. Tapi, tunggu sebulan lagi, pasti dia sudah nyerocos lagi, penuh sumpah serapah untuk kejelekan cowok-cowok yang sama. Aku pernah ”hampir“ jadi cowoknya. Tepatnya pernah mencoba “jalan” dengannya. ”Ben, nggak nyoba jadi cowokku? Mumpung lagi jomblo nih?“ tantangnya suatu ketika. ”Halah, yang ada juga elu nggak sanggup nerima keadaan gue yang jauh segala-galanya dari lu…” jawabku santai. ”Kalau aku mau?” Aku mendengar nada bicaranya serius. ”Kenapa kamu mau?“ ”Ya.. Kita ‘kan sudah saling kenal, Ben. Siapa tau bisa cocok… Kalo nggak nyoba gimana kita bisa tau, Ben?“
158 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Aku diam sejenak. Saat itu, logika sederhananya terdengar ada benarnya. ”Oke deh, kita nyoba jalan. Tapi dengan satu syarat…“ ”Apa?“ ”Kalo misalnya kita putus nanti, aku nggak mau kita jadi musuhan. Kita dah temen dari awal…” ”Deal!” dia langsung setuju, lalu segera saja nyosor menciumiku. *** Ternyata rasanya jauh berbeda antara menjadi teman dan mencoba “jalan” dengannya. Rasa cintaku memang pernah tumbuh. Begitu sayang, kalau dia sedang manja padaku. Begitu terpesona, kalau dia sedang khusus berdandan cantik dan seksi untukku. Tapi, juga begitu menyebalkan kalau dia marah karena cemburu. Karena aku telat membalas SMS, chatting, atau menerima telepon saja bisa jadi masalah. Novi bisa menjelma menjadi sosok seimut kucing rumahan, sekaligus seganas harimau lapar. Pantas saja nggak ada cowok yang tahan sama dia lamalama. Dulu kupikir aku bisa bertahan, karena kupikir aku yang paling kenal kelakuannya. Suasana hatinya memang suka meluap-luap, kadang tak terkendali. Tapi aku bisa meredamnya. Dia juga membutuhkan aku, kok. Kalau aku sudah meninggalkannya dalam diam, dia akan sibuk mencari-cariku, meminta maaf sendiri, lalu suasana romantis kembali lagi. Sampai suatu malam di apartemennya, entah kenapa, aku khilaf. Berawal dari sekadar makan malam, mungkin terpengaruh betapa romantisnya film yang kami tonton berdua. Kami lupa. Kami terbuai.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 159
Dari sekadar sentuhan antar kulit tubuh, kehangatan yang saling mengisi, temaram lampu, belaian-belaian penuh hasrat memuncak itu berlanjut menjadi ciuman demi ciuman. Penuh kasih pada keningnya, lembut pada pipinya, manis kukulum bibirnya, ke bawah terus dan semakin menggetarkan. Entah dari mana aku begitu saja bisa melakukan tarian Adam dan Hawa yang terlarang dimainkan jika belum waktunya itu. Lapis demi lapis bajuku dan dia terlepas dengan mudah, mengikuti irama nafsu. Yang kuingat, ketika kupejamkan mata untuk lebih menikmati asmara yang memabukkan itu, tiba-tiba aku tersadar. Wajah Novi yang kukenal, kucintai, kukasihi, menjadi berbeda. Aku serasa mau menyetubuhi bintang-bintang DVD porno yang pernah kulihat. Novi berubah menjadi sosok yang tak kukenali lagi. Tak lebih hanya raga seksi, tanpa jiwa. Rasanya agak jijik melihatnya menggeliat-geliat bak cacing kepanasan. Seketika kesadaranku pulih. Aku berhenti. Tanganku refleks melepaskan tubuhnya. Irama tarian Adam dan Hawa yang tadi begitu menderu di telinga, sekejap terhisap senyap. Novi terkejut. ”Kenapa, Ben?“ Refleks dia menutupi tubuhnya dengan helai-helai baju yang berserak, sekenanya. Aku terdiam menutupi wajah dengan kedua tanganku, menunggu degup jantungku normal kembali. ”Ada yang salah, Vi... dengan kita...“ Tangannya menggelayutku, mencoba menenangkan. ”Tenang, Ben, bisa kita coba lagi nanti...“ Tapi tidak. Ini salah. Sampai di sini saja. ”Aku kehilangan dirimu seutuhnya tadi, Vi. Aku tidak merasakan cinta. Aku tiba-tiba melihat dirimu, melihat kita, seperti pemain-pemain film porno itu...“ 160 | Pegiat Sastra Ikastara.org
BLAAKK!!! Sebuah bantal menghajar kepalaku. ”Sial lu Ben! Emang gue bintang pilem bokep??!!” protesnya kesal. Ada perasaan bersalah saat itu. Tapi akan lebih salah jika permainan tadi justru kebablasan. Oh, terima kasih Tuhan, Engkau masih menyayangiku dan Novi. ”Maaf, Vi. Aku nggak bisa… Kamu boleh marah, kamu boleh benci aku selamanya...” ”Hei, sudahlah. Kamu anak baik, Ben…“ ”Makasih, Vi...” ”Aku hanya berpikir, kita saling suka, dan aku kira tadi kita sama-sama menginginkannya. Dan kalo aku sudah suka seseorang, aku rela memberikan segalanya...” ”Jangan, Vi... Kamu jauh lebih indah di momen-momen kebersamaan kita yang lain...” bisikku. Kami berpelukan. Cukup itu saja. ”Dah ah, Ben… pergi sono, mandi! Lengket keringetmu!“ ”Hehehe... Iya, aku emang kebelet pipis dari tadi…“ Kejadian itu sudah setahun yang lalu. Mungkin dia juga sudah melupakannya. Aku dan dia akhirnya putus. Sama sekali bukan karena ada masalah, beda prinsip, atau bahkan selingkuh. Hanya memang karena aku dan dia lebih menikmati hubungan kami sebagai teman saja, tidak terbeban satu sama lain. *** Isak Novi sudah mereda, aku masih di sisinya. Kepalanya masih saja bersandar di pundakku. ”Kamu jangan pergi cepet-cepet ya, Ben. Pergi setelah aku tidur saja... “ Surat yang Tak Pernah Selesai | 161
”Emangnya kamu bisa?“ ”Iya sih, takut juga kalo bangun sendirian. Eh, maen kartu aja yuk!“ Aku dan Novi lalu asyik bermain kartu. Remi, Cap-Sha banting, main Cangkulan, biasanya aku yang mengalah. Dicorengmorenglah wajahku dengan lipstiknya. Aku senang melihatnya tersenyum dan tertawa-tawa lagi. Kegembiraannya juga mengalir dalam nadiku. “Ben, kamu sering mengalah ya tadi?” “Enggaklah, kamu yang hebat Vi, selalu bisa ngebaca kartukartuku…” “Ah. kamu bohong!” “Memang kamu bisa mbuktiin, kalau aku mengalah?” “Bisa!“ Dia mengambil empat kartu, membagikan dua kartu padaku. Kulihat satu kartu As Hati, dan satu kartu Keriting angka lima. “Mana yang mo kamu keluarin dulu?“ tantangnya. Aku memilih mengeluarkan kartu As Hati. “Nah, bener ’kan, kamu membiarkan aku menang!“ “Lho, kok bisa? Justru aku pengen menang, makanya aku keluarin kartu As?” jawabku bodoh. “Kartu keduamu pasti kecil ‘kan? Kamu berusaha menang di awal untuk memberi kemenangan padaku akhirnya, ya ’kan? Masih mo pura-pura?!“ Ah, dia tahu. Aku nyengir saja. “Nggak usah marah lah Vi, kan cuma main-main...“ bujukku.
162 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Marah? Ya nggaklah! Justru aku seneng bisa puas mencoretcoret mukamu, hehe... Mo liat hasilnya?? Nih!“ dia menyodorkan sebingkai cermin. Sudah kuduga, mukaku lebih parah dari coreng-moreng Suku Asmat. “Ganas juga lu, Vi …” “Hehe… Makasih ya, sudah menyediakan mukamu sebagai tempat pelampiasan…“ Tiba-tiba, handphone model sliding-tipis miliknya bergetar. Dia mengangkatnya, menjauh dariku, menuju balkon. Tampaknya ada pembicaraan agak pribadi dengan seseorang di ujung sana. Lima menit kemudian, dia sudah di sebelahku, merapikan kartu-kartu yang berserakan. “Sudah Vi, maennya?“ Dia diam. Raut mukanya menjadi serius kembali. Ia menghela nafas panjang. “Ben, aku sekarang sudah memutuskan...” “Ada yang barusan kamu sambung ya, Vi?“ aku mencoba becanda. “Ben, dengerin aku dulu. Kali ini aku serius, sadar sesadarsadarnya... Aku menyesal dulu putus denganmu. Tapi sudah terlambat, kamu mungkin juga menganggapku...” Aduh, penyakit melow-nya kayaknya kambuh. Harus segera dipotong nih omongannya. “Vi, kan kita dulu udah sepakat bahwa cinta yang kita rasakan itu beda, nggak cocok untuk model sepasang kekasih, rasa romannya beda…”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 163
“Justru itu Ben! Karena kamu juga tetap menemaniku, aku jadi semakin sadar bahwa kamu yang paling memahamiku. Sebenarnya kita cocok, tapi aku jadi sadar diri kalau kamu terlalu baik untukku. Aku malu sendiri, bikin susah kamu terus, emang aku ini siapamu sih, Ben?” “Vi, gimana njawabnya yak... Aduh, nggak usah dipikirin deh, udah biasa... Udah saling percaya juga ‘kan? Gue juga nggak minta balesan apa-apa kok...” “Ben, gue tahu… Kita mungkin nggak akan pernah mulus pacaran atau bahkan lebih, tapi aku tetap bakal jealous banget kalau nanti kamu punya cewek lain… Aku bakal kehilangan kamu banget.“ Aku diam saja, memahami kalimat-kalimatnya satu persatu. Aku memang suka kejujurannya. Terlebih kejujurannya sangat jarang terungkap, kecuali padaku. “Aku nggak akan berubah kok, Vi...“ “Enggaklah Ben, aku lebih tau diriku… Sebelum segalanya menjadi terlanjur parah...” Sepertinya hal berat yang mau dia ungkapkan sudah di ujung bibir. “Aku memilih pergi darimu, Ben… sejauh-jauhnya...“ Ia tercekat, lalu menghambur ke pelukanku. Menghabiskan seluruh tangisnya yang tersisa. “Ke mana, Vi? Nggak usahlah… Kita bisa belajar berhubungan lebih baik, bersama lagi...“ “Aku sudah memilih, Ben. Kamu ingat Paman Enade di Amsterdam?“ “Yang baek hati menghadiahkan kita cokelat satu kotak besar dulu itu?“
164 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Iya... Tadi dia meneleponku, mengajakku ke sana. Dia meminta kepastianku untuk membantu usahanya di Amsterdam...“ “Wah, berita bagus tuh...” dukungku. “Sebenarnya sudah lama dia memintaku. Aku menundanya dengan banyak alasan. Karena, jauh dalam hatiku aku masih menimbang-nimbang, bisa nggak aku jauh dari kamu…” Aku tersenyum. Bisa-bisanya dia itu. “Vi, kamu itu suka menyanjungku ya…” “There‘s no one like you, Ben…” Novi menghadiahiku ciuman terakhirnya, ciuman yang paling manis. *** Tiga hari cukup baginya untuk melakukan persiapan pergi ke Amsterdam. Sebelum memasuki ruang tunggu keberangkatan pesawat, dia berbisik padaku, ”Baca suratku yang kutinggalkan di mobilmu ya, Ben. Thanks udah nganterin aku…” Ketika kubaca surat itu, hanya haru dan doa kupanjatkan untuk menyertainya. “... Saat kau baca surat ini, mungkin aku sedang memandang awan sambil mengenang kebersamaan kita. There’s no one like you, Ben. Terima kasih sudah memberikan yang terbaik dari yang bisa kita jalani. Aku memang ingin jauh darimu. Ini pilihanku. Tapi tetap nyalakan Messenger-mu, balas email-emailku, agar jejakmu selalu ada untuk selalu kurindukan… dan terus membuatku hidup…”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 165
Seputih Nuriku Episode Mimpi Masa Kecil Malam beranjak menuju titik heningnya ketika aku sudah mulai terlelap. Aku suka sepinya malam, karena bisa membawaku ke negerinegeri awan. Melintasi waktu yang lalu, mengenang dekat ceria yang lekat, melupa duka dengan pengampunan masa. Tentang yang teraih, tentang yang terlepas, tentang menunggu, tentang seni merindu... Ah, indahnya seperti nada minor lagu yang berseling dengan arus mayor yang merencak dalam iringan perkusi. Setiap rasa bahagia selalu membawakan peluang harapan. Karena hidup selayaknya bukan penderitaan, namun perjuangan meraih kebahagiaan. Harapan akan kebahagiaan. Harapanlah yang membawa gerak lajunya semangat hidup. Siapa pemberi harapan, pastilah Zat pemberi hidup. Siapa perawat harapan, pastilah Zat sumber segala kasih. Siapa jua yang mencukupkan harapan, pastilah Zat penentu keadilan abadi, tak terbatas waktu, tak kenal ragu, karena Ia tahu segalanya yang terbaik tentang aku. *** “Di masa kehidupan sebelumnya, siapakah kita, sehingga di masa kini kita bisa bertaut hati?” tanyanya dulu. “Di masa kehidupan mendatang, siapakah kita, jika di masa kini kita benar-benar bisa menyatukan hati?” resahnya dulu.
166 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Di masa kini, seberapa lamakah masa kini sehingga kita masih sempat saling menyentuh hati?” dan dia semakin erat menggengamku. Sungguh kata-kata yang mewakili besarnya cinta, rangkaian kalimat yang melukiskan gejolak jiwa. Tak ingin terpisah, itulah nyata harapan. Harapan yang memberi hidup. Harapan yang saling mengisikan arti dalam setiap detik-detik yang terjalani.
...I pick up the phone, I’m dialing your number While I pray you’re at home, at home and alone ‘cause I can’t function on my own And I’ll never stop believing... (Roxette, A Thing About You) Handphone-ku tiba-tiba berdering di sebelahku. Sejenak aku terhenyak, meraih kembali kesadaranku yang sudah melayang beberapa saat. Aku cepat mengenali suara nada panggilnya, nada yang memang khusus aku buat untuknya. Tanganku meraih segera, badanku membalik, dan mataku memandang sebentuk pesona nama indah di sana. Nama “Nuri” menyala di layar handphone-ku. Aku tersenyum. Serta merta jempolku menekan tombol “ON”. Sayangnya aku kalah cepat, dengan menyalanya kalimat “call ended” kemudian. Hm… Dia hanya ingin memberikan missed call padaku. Bahasa cinta kami, layaknya bahasa buana di mana hanya aku dan dia yang mengerti. Tanpa kata terucap, tanpa pena tergores, bahasa kami terpantul dalam hening yang sangat jelas, ”Sayangku, cukup bagiku untuk tahu kabarmu, damailah hatimu untukku...”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 167
Nuri kekasih kecilku, dialah yang turut memberi warna harihariku dulu, menyemangatiku, dan juga menghiburku. *** Kenangan membawaku pesat ke masa lalu. Dua teman kecil yang beranjak remaja, kemudian dewasa. Berbagi keceriaan dan cara memandang dunia. Aku tersenyum mengingat kedekatan kami ketika masih SMP. Kami sering belajar bersama mengerjakan pekerjaan rumah. “Lulus nanti kamu ingin sekolah di mana?” tanyanya dulu. “SMA Taruna Nusantara... Biar gagah, biar keren...” lalu aku nyerocos dengan sedikit pengetahuanku tentang SMA TN dari media. Nuriku tersenyum manis, memperhatikan setiap ucapanku yang berapi-api. Seakan mimpiku juga jadi mimpinya. “Dan kamu?” tanyaku balik. “Aku ingin ke sekolah perawat. Kalau seragammu nanti biru, seragamku putih bersih...” terbayang di pelupuk mataku sosoknya nanti yang makin menyejukkan. “Kita saling mendoakan yaa...” yang kemudian hanya dibalas pandang matanya mengiyakan. Mimpiku melanjutkan langkah melanjutkan ke bumi Taruna Nusantara terwujud. Lalu serta-merta jarak memisahkan kami. Tapi, tiada kata jauh dalam hubungan hati. Ketika hati sudah terpaut, kami belajar bahasa lain untuk saling tahu. Apakah ini cinta? Kalau iya, sejak kapan? Memangnya perlu? Dulu, setiap kali suratnya datang, itulah hari perayaan bagiku. Apapun wujud kehadirannya sungguh berarti. Seperti sering ditulisnya dalam surat,
”Adi, Nurimu datang. Tersenyumlah, supaya aku merasakan bahagiamu karenaku juga di sana...“
168 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Tiga bulan pertama di SMA kebanggaan itu sungguh berat. Karena aku benar-benar putus komunikasi dengan dunia luar. Tiada waktu untuk kemanjaan, tiada waktu tanpa sikap siap, belum lagi harus waspada terhadap pengawasan abang-abang senior yang sangat ketat terhadap tradisi. Lupa hormat, push-up. Terlambat, lari keliling kompleks satu barisan. Tidak rapi apalagi, bersiaplah untuk pembinaan khusus malam hari. Waktu menjadi sangat berharga, karena semua waktu sudah mempunyai jadwal. Ada memang perasaan ingin memberontak, tapi aku sadar inilah proses menuju pribadi yang juga kucita-citakan. Dan memang benar, semakin aku berkaca, aku melihat diriku semakin berubah. “... Dan malam ini kalian diberikan kesempatan menulis surat untuk tiga orang terdekat untuk menceritakan pengalaman kalian selama tiga bulan pertama ini. Sampaikan salam pada orangtua kalian. Sekolah mengundang untuk hadir dalam upacara penutupan masa basis dua minggu lagi...” jelas Bapak Wakasek Sisma (Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan dan Asrama) suatu malam. Aku menulis untuk orangtuaku dan untuk kakek-nenekku nun jauh di kampung, dan tentu saja surat terakhir untuk Nuriku, sahabat dan kekasih hatiku.
... I dream I could fly, Out in the blue Over this town, Followin’ you Over the trees, Subways and cars I’d try to find out, Who you really are ... (Roxette, Wish I Could Fly)
Surat yang Tak Pernah Selesai | 169
Berharganya sesuatu seringkali lebih terasa jika tidak sedang memilikinya. Sekian lama jauh dari keluarga, semakin tinggi rasa rindu tertumpuk. Sehingga melihatnya kembali adalah keberkahan. Dipeluk Ibu, diusaplah kepalaku oleh Ayah, digelayuti manja adik-adikku, sungguh mengembalikan sebagian diriku yang sempat hilang. Dan tentu saja menjadi semakin lengkap dengan secarik surat Nuri yang dibawakan Ibuku.
“ ... Dearest Adi, Sungguh ingin aku bergembira bersamamu hari ini, namun kamu tahu ‘kan kesempatan belum mengizinkan kita. Percayalah di sini aku rasakan pula kebahagiaanmu, aku harap kamu merasakan juga senyumku. Selamat untukmu, semoga Tuhan selalu memberkahi kita...” Surat pertama darinya, secarik yang terdiri dari beberapa kalimat. Sederhana tetapi sudah cukup mewakili banyak cerita, dan aku tahu hari ini senyumnya di sana hanya untukku. Episode Dia yang Berarti Entah mengapa kantukku hilang begitu saja. Angan-anganku penuh oleh Nuri. Aku kembali ingin mengenangnya malam ini. Aku beranjak menuju meja. Ada sekotak surat-surat darinya masih kusimpan rapi. Aku ingin terbang kembali ke masa lalu. Aku ingin menikmati kebersamaan kami. Tak lagi mimpi, karena memang sudah terjadi. Dan itu jelas terukir dalam lembaran-lembaran surat ini.
I’ve been loving you for such a long time Expecting nothing in return Just for you to have a little faith in me
170 | Pegiat Sastra Ikastara.org
You know time, time is our friend I will hold you up, I will hold you up Your love gives me strength enough Have a little faith in me ....” (Bon Jovi, Have A Little Faith In Me) Ada cerita yang kami pilih sendiri. Ada cara melegakan dahaga kerinduan yang kami pilih sendiri. Kalau aku mendapatkan cuti liburan, aku senang punya tempat berbagi cerita-ceritaku. Dia selalu menyediakan waktunya untukku. Aku menikmati saat-saat menunggu dia di toko buku komik di gang depan sekolahnya. “… Anak TN, masih suka komik juga yak?“ sapanya lembut menepuk pundakku dari belakang. Aku tersenyum menoleh. “Tapi tidak untuk serial cantik...” debatku ringan. “Jadi kamu nggak suka kalau aku secantik ini?“ dia menunjukkan gambar seorang gadis model manga di salah satu komik yang mau dibelinya. “Hmm... berambut pendek, berbandana, bermata besar, muka lebar, hidung mungil, dan rok bawah yang melebar yak? Hahaha!“ aku meledek. “Eh, ketawa lagi... Ya sudah kalau nggak suka, aku pulang!“ Aduh-aduh kalau mata melotot itu keluar lagi, bagaimana hati ini, rasanya seperti langsung tersedot hanya untuknya. Aku beranjak segera, mengikutinya yang sudah berbalik cepat untuk pergi. Aku segera meraih ayunan tangannya. “Hei hei sayang, jangan ngambek begitu dong...“
Surat yang Tak Pernah Selesai | 171
Dia membalik dengan raut muka yang berbeda, menatapku beberapa detik dengan penuh ekspresi lalu mencubitku. “Hei hei juga yang tersayang, aku bercanda kok... Aku senang menggodamu, biar aku dikejar...” “Ehh, nakal kok nggak sembuh-sembuh?” sambilku bernafas lega. “Yakin mau aku sembuh? Nanti kamu nggak bisa kangen aku lagi lho..” balasnya gesit. Nuriku yang manis, yang begitu mengenal sisi-sisi hatiku.
“ ... Dearest Adi, Terima kasih kamu datang untukku kemarin. Kamu telah menjadi sosok yang berbeda. Bukan lagi Adi yang kurus kerempeng dan suka teriak-teriak nggak jelas seperti dulu. Aku senang kamu sudah menjelma menjadi sosok Adi yang penuh keteduhan, entah diapain aja kamu di TN sana. Aku merasa terlindung dalam rengkuhan tanganmu, dan sesekali mencuri-curi kesempatan bersandar di bidang dadamu. Adiku, aku beruntung kamu datang untukku, aku malu pada diriku sendiri. Siapakah aku sehingga sosok gagah berseragam biru itu mau singgah ke rumahku yang sederhana. Speechless in my heart Adiku, aku harus jawab apa ketika Ibuku menanyakan siapa kamu... Nggak keruan rasanya hatiku ketika kamu menjemputku di gerbang sekolah siang itu. Uhh... malunya aku disorakin temen-temen sekelas... Oh Adiku, siapakah aku, bisa seberuntung ini...” Aku menikmati baris-baris kalimat di surat yang ditulisnya sekitar 10 tahun lalu itu. Bahagianya segar menyusup rasa kembali. Nuriku... Aku selalu bisa menjawab pertanyaanmu. Jika kamu bertanya siapa kamu, aku akan menjawab kamulah yang meng-
172 | Pegiat Sastra Ikastara.org
genapi indahnya nada-nada yang kumainkan. Kamulah mata air yang tepat tersedia setiap aku membutuhkan kesejukan. Dan kamulah lembutnya sinar rembulan di tengah gelapnya malam, karena bagiku kamulah yang terindah...
Mungkin aku pernah juga merasakan cinta tapi tak pernah, seindah ini Mungkin aku juga pernah merasakan rindu tapi tak pernah, sedalam ini Mungkin kamu tak kan percaya bahwa sesungguhnya aku tlah terjatuh Ku akui .. aku telah ... larut larut ke dalam...kamu yang kucintai... (Dewa 19, Larut) *** Cinta itu untuk apa? Saat aku membuka diriku untuk menerima cinta, mempersilakan Nuriku mengisi hari-hariku, rasaku hanya bahagia. Namun ketika waktu menguji, waktu juga mengajarkan arti cinta satu persatu. Menyenangkan memiliki yang tercinta, tapi Nuriku bukan pemuas kesenangan. Karena kesenangan layaknya nafsu selalu berubah, tak ayal dihinggapi bosan, dan tak pernah akan terpuaskan. Nuriku tidak, kesetiaan tak pernah diucapkan dalam janji, tapi dia lebih memberi dari sekadar kata. Setiap kegagahan memerlukan kelembutan harmoni. Setiap penat hati mendambakan sejuknya sentuhan penghiburan. Dan aku tak bisa tanpa Nuriku karena dia yang menguatkanku, meyakinkanku, bahwa aku tidak sendiri dalam setiap kegagalan. Surat yang Tak Pernah Selesai | 173
“…… Dearest Adi, Aku turut bersedih membaca ceritamu tentang nilai-nilai ulanganmu yang jelek. Aku merasakan juga kekecewaanmu. Andai kita punya waktu untuk belajar bersama seperti dulu... Tapi aku percaya, kamu masih Adiku yang pintar, kamu masih Adiku yang akan selalu bersemangat, dan aku tersanjung kepadaku kamu mau berbagi keluhmu... Adiku kamu tidak berjuang di sana untuk dirimu sendiri. Ingatlah banyak yang berdoa untukmu, mereka menaruh harapan besar padamu. Mereka ingin melihat kamu berhasil. Mereka yakin akan merayakan keberhasilanmu. Kamu harus bangkit. Kamu harus terus berusaha, karena dengan itu kamu tidak menyia-nyiakan doa orang-orang yang selalu sayang kamu... Adiku aku percaya, dan banyak orang-orang yang sayang kamu percaya, kamu akan sanggup mengatasi kesulitan-kesulitanmu. Karena jika kamu pun percaya, doa kita bersatu agar Tuhan membuka pintu berkah dari pintu-pintu yang dikehendakiNya…” Itulah bagian dari surat-suratnya yang paling sering kubaca. Karena jalan cinta kami mengajarkan untuk saling percaya. Percaya karena yakin, tidak perlu bukti, tidak perlu syarat, dan tiada celah bagi kata ragu. Terima kasih Nuriku, yang selalu mengingatkanku bahwa selalu ada doa dari orang-orang yang mengasihi aku, orang-orang yang ingin melihatku berhasil. Aku percaya bahwa kesulitan akan selalu datang, kegagalan menjadi biasa, tapi berbeda jika aku bisa memilih sikap. Karena berkah tercurah hanya pada mereka yang terus berusaha dan yakin.
... There can be miracles When you believe
174 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Though hope is frail Its hard to kill Who knows what miracles You can achieve When you believe somehow you will You will when you believe... (Whitney Houston & Mariah Carey, When you Believe) Seringkali aku memang merasa bodoh. Pelajaran apa pun kok rasanya tetap susah untuk dimengerti. Standar nilai enam saja begitu susah untuk diraih dalam tiap ulangan. Namun kadang-kadang begitulah takdir bicara. Karena dengan begitu aku jadi belajar menentukan fokus kegiatan sehari-hari. Bahwa tidak mungkin memenuhi semua tuntutan. Bahwa mustahil menjadi pintar di semua pelajaran. Begitulah takdir menentukan jalan hidup. Sehingga waktu penjurusan bidang studi, aku lebih memilih IPS karena memang di situlah kemampuanku. Kelak di IPS-lah aku lulus dengan nilai-nilai yang sangat membanggakan. Dari kemampuan di jurusan itulah aku berkesempatan mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Kita tidak pernah mengerti rencana Sang Sutradara Alam. Sungguh menyakitkan ketika menerima hal-hal jauh di luar perkiraan. Namun seringkali, itulah yang terbaik untuk kita miliki.
“... Kita tidak pernah mengerti akan menjadi apa atau siapa. Namun kita harus tetap bermimpi, untuk dapat terus hidup. Kita harus tetap berharap agar kita punya arah. Selebihnya setelah kerja keras, biarkan kasih-Nya yang menentukan yang terbaik dari kita...”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 175
Saling percaya membuat aku dan Nuri saling terbuka satu sama lain. Aku bebas bercerita tentang kekesalan-kekesalanku. Dan Nuriku menanggapi dengan penuh pengertian. Sebaliknya, dia juga tak ragu menulis berlembar-lembar surat untuk bercerita tentang kegiatan sekolahnya, kota Semarangku yang masih saja sering banjir. Tak lupa dia menyisipkan sedikit canda keakraban. Jika aku tegar tentulah karena dia yang selalu mendukungku. Jika aku sedang merasa diremehkan orang lain, kalah dalam bersaing, atau punya banyak ketidaksetujuan atas kondisi yang ada, aku selalu bercerita padanya.
“ .... Adi yang selalu kubanggakan, meski kita jauh percayalah aku yakin, kamu tidak selemah, seremeh yang mereka bilang. Jika kamu tidak meraih apa yang kamu inginkan, itu bukan karena kamu tidak mampu... Keputusan yang dibuat manusia, sangat wajar jika salah. Tetapi Tuhan tidak pernah salah. Teruslah menjadi dirimu sendiri, karena itu berarti kamu akan selalu menjadi Adiku yang selalu kubanggakan...” Keyakinannya cukup bagiku. Sebab memang benar, cukup bagiku untuk menjadi diriku sendiri. Episode Ketika Keegoisan Menuntut Cerita cinta tidak selalu manis, ada pedih, luka, dan bumbu cemburu. Ketika dia marah. Ketika dia benar-benar marah. Itulah ketika dia merasa aku tidak mempedulikannya keberadaannya. Selayaknya cinta, ketika kami merasa berlebihan memiliki. Namun begitulah waktu, yang sangat pintar menguji kami dengan banyak ragam dinamika hati. Meskipun cinta saling mengikat hati, seharusnya dengan percaya dapat lebih saling mengerti. Jika tidak, bagai pasir yang tergenggam tangan terlalu erat, pasir itu justru akan tergerus, bocor, menelusup keluar melalui selasela jari. Namun, apapun itu jika dia cemburu, jika Nuriku jujur
176 | Pegiat Sastra Ikastara.org
sedang kesal padaku, aku tak bisa benci, aku semakin mengerti, bahwa cintanya padaku demikian berarti.
“…. Adiku aku benci kamu, mengapa kamu ajak aku melihat latihan malam keakraban antar SMA itu jika kamu tak peduli aku. Aku menunggumu di kursi belakang lama sekali. Sedangkan kamu sibuk sendiri, mengurusi latihan adik-adikmu. Adiku aku benci, aku kesal, aku kesal... Aku ingin kamu, tapi aku juga malu. Siapa aku jika aku mendekatimu saat-saat itu. Kamu memang keliatan hebat, smart, dan orang yang begitu penting di acara itu. Tapi tahukah kamu, betapa berbedanya keadaanku? Aku teronggok sendiri di pojok. Aku menunggu kamu, tapi kamu hanya sekilas berlalu. Bagaimana malunya aku atas tatap pandang kasihan dari teman-temanku, aku benci… Aku benci … Baiknya tak usah ajak aku lagi, kalau kamu tak mempedulikanku lagi...” Ada masa ketika cerita cinta kami terasa pahit. Dulu ketika membaca surat ini aku begitu emosi. Ketika egoisku mengemuka, aku masih juga menuntut dia untuk berada di saat-saat sulitku. Menjadi penanggung langsung acara Malam Keakraban antar SMA di Semarang yang melibatkan pihak Mabes Kodam IV Diponegoro, bukanlah perkara gampang. Perlu keseriusan lebih. Latihan ya latihan, meski senior bukan berarti tinggal datang, dan marah-marah ke junior jika ada yang salah. Pada tingkat tekanan yang memuncak saat persiapan acara seperti itulah aku berharap Nuriku yang pengasih dan sabar. Tapi ternyata tidak, Nuriku tetap manusia yang sama sekali bebas mengekspresikan perasaannya. Maafkan aku Nuriku, aku sempat tak mengerti kamu di masa-masa itu. Seharusnya aku bisa lebih membagi waktu, dan tidak memaksa kamu ikut dalam urusan yang tidak kamu mengerti.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 177
Aku menyesal... aku menyesal, sampai kinipun ketika aku membaca bagian surat-suratnya yang bercerita tentang pertengkaran kami, aku masih menyesal. Bagian sejarah yang sudah terukir kelam, dan tak mungkin terhapus lagi.
Dewi…. aku mohon beri kesempatan ‘tuk bisa menghapus dosaku padamu Maafkan aku yang menyakitimu Aku tidak pernah menyangka bisa begini Oh dewi dengarkanlah… (Dewi, Dewa 19) Bagiku dulu adalah mudah sekali untuk membalas suratnya dengan mendebat balik, menuntut perhatian lebih, dengan banyak alasan kesibukanku, tanggung jawab dan detail-detail lain yang tidak dia mengerti. Namun, yang kudapat hanyalah pertengkaran-pertengkaran yang semakin merembet pada kecurigaan-kecurigaan lain.
“... Aku tak mengenal Adiku lagi, kamu telah menjadi orang lain. Teganya kamu bilang aku tak sabar padamu… Aku menahankan hati, menikmati malam minggu dengan sepi, hanya untuk kamu. Sedangkan kamu mungkin di sana bisa pesiar kemana kau suka...” Suratnya lain semakin menuduhku, sudah tak cinta lagi padanya. Benar-benar aku kehilangan Nuriku yang manis waktuwaktu itu.
“… Aku tahu SMA TN sekarang sudah menerima siswi putri. Banyak yang cantik juga ‘kan. Mungkin baiknya kamu dekati saja salah satu dari mereka. Kita sudah makin susah saja saling me-
178 | Pegiat Sastra Ikastara.org
ngerti. Aku rela kok… Anak TN memang complicated, mungkin hanya sesama anak TN bisa saling mengerti…” Mungkin itulah puncak kekesalan dan kecemburuan darinya. Antara lelah, curiga, frustasi, dan entah apalagi namanya. Sedangkan aku, menjadi sangat tersinggung saat itu setelah membaca surat itu. Aku tak percaya, bagaimana bisa Nuriku meremehkan almamater kebanggaanku, merendahkanku seperti itu? SMA TN adalah rumah keduaku, dan siapapun di situ adalah keluarga, keluarga besarku. Adik adalah adik. Termasuk adik-adik siswi itu. Mereka adik-adikku, sampai kapanpun jika mereka mengenalkan diri sebagai adik TN, mereka akan kubantu semampuku. Adik adalah adik layaknya bagian dari keluarga yang wajib diasuh, dikasihi, dan dilindungi, itu prinsip. Kekasih adalah kekasih, yang harus mengerti bagaimana aku, yang harus sabar dan tidak boleh egois, yang harus… yang harus… dan terus yang harus … Itulah kesalahan aku yang kusesali, kenapa dia yang harus? Bukannya aku? Bagaimana bisa dia yang telah setia menyertai perjuanganku, tega-teganya aku selalu menuntutnya? Harus dia yang berkorban. Harus dia yang mengerti, mengapa bukan aku saja? Bagaimana aku bisa menuntut orang lain berubah menurut mauku, padahal aku sendiri tidak. Nuriku, teganya aku saat itu, merusak masa-masa indah kita dengan pertengkaran-pertengkaran akibat keegoisanku. Di satu titik, aku capek. Aku ingin berhenti bertengkar, walau aku juga saat itu masih merasa benar. Kupikir, saat ulang tahunnya adalah saat yang tepat untuk mengakhiri rentetan surat-surat pertengkaran itu. Aku minta maaf sekadarnya, mengucapkan selamat ulang tahun, dan sebuah kado. Namun Nuriku yang
Surat yang Tak Pernah Selesai | 179
lembut hatinya itu, sudah terlanjur tersakiti. Sekadar manis kata saja, tentu tak mempan.
“... Memang sudah saatnya kita berhenti bertengkar. Aku lelah, aku capek, aku ingin memikirkan hal lain saja. Mulai sekarang urusilah urusanmu sendiri. Segala masalahku, juga biarlah aku selesaikan sendiri saja. Kita tidak saling menganggu. Maafkan aku jika selama ini menganggumu...” Serasa ditampar membacanya. Serasa terbanting dari ketinggian tebing. Hancur lebur, tak bisa menawar harga, tak bisa mengelak sudah. Sekali-kali jangan meremehkan perempuan, karena jika kau sebar benih kebencian padanya, begitu murkanya kau tuai, rayumu tak akan berlaku. Dia meninggalkanku dalam penyesalan. Aku mencoba minta maaf. Mengirim surat beberapa kali untuk memberi penjelasan. Namun, begitulah jika perempuan sudah menetapkan hati, hanya sepi tanpa balas yang kudapat. Sepi yang diam, senyap, namun cukup sigap untuk membunuh kapan saja. Mau tak mau, siap tak siap, aku harus hidup tanpa Nuriku, menyelesaikan perjuangan beratku belajar di SMA TN. Untunglah sekolah ini mendidikku untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab. Jika salah, aku harus sadar mengakui. Jika mengakui, aku harus menerima hukumannya sebagai konsekuensi. Bukan kehinaan menerima hukuman, justru kehormatan tidak lari dari tanggung jawab. Jika Nuriku menghukum keegoisanku, dengan diamnya. Aku bertekad terus hidup. Aku masih merasakan getar cintanya walau hanya dalam bahasa kalbu. Aku masih mendengar dia berharap, aku tidak jatuh karenanya. Dia pernah berkata bahwa harus tetap bermimpi, untuk dapat terus hidup, harus tetap berharap agar kita punya arah. Dan mimpiku melihat senyum maafnya kapanpun itu, harapku jika aku diberkahi mendapatkan waktu itu, aku ingin menjadi sosok yang tetap dapat dibanggakannya. 180 | Pegiat Sastra Ikastara.org
I lose my way And it‘s not too long before you point it out I cannot cry Because I know that‘s weakness in your eyes I‘m forced to fake a smile, a laugh Every day of my life My heart can‘t possibly break When it wasn‘t even whole to start with Because of you, I never stray too far from the sidewalk Because of you, I learned to play on the safe side so I don’t get hurt Because of you, I tried my hardest just to forget everything Because of you, I don’t know how to let anyone else in Because of you, I’m ashamed of my life because it’s empty Because of you, I am afraid… (Because of you, Kelly Clarkson) Episode Ketika Dia Kembali Masa-masa kemudian berganti. Surat-surat Nuriku tak pernah lagi hadir menjengukku. Saat kelulusanku dari TN pun tiada kabar darinya. Sepertinya kami telah memilih jalan sendiri-sendiri. Waktu memang menyembuhkan. Waktu juga mengajarkan banyak hal. Waktu menyadarkanku betapa berartinya saling menghargai. Waktu memberikan aku masa untuk mengenal keterbukaan wawasan. Bahwa perbedaan itu nyata dan tak terelakkan. Bahwa kemenangan tak selalu harus saling mengalahkan, Surat yang Tak Pernah Selesai | 181
justru yang terbaik adalah bisa bahu-membahu demi kepentingan bersama. Bahwa menuntut terlalu keras tidaklah berguna. Hal terpenting adalah keikhlasan hati, karena dengan itulah orang lain bisa digerakkan, dipengaruhi, bahkan disuruh ke mana saja. Kemauan orang sering dilandasi atas kepercayaan. Dan kepercayaan tidak bisa dibangun semalam. Kepercayaan memerlukan pembuktian-pembuktian dalam interaksi. Kata orang banyak teman itu aman. Maka benarlah ada hakiki dalam silaturahmi, karena disitulah energi kepedulian dan kasih akan terus abadi. Perkuliahan kulewati dengan cepat. Hanya belajar dan sesekali ikut kegiatan kemahasiswaan. Aku pun dulu hanya mahasiswa biasa saja, yang hanya fokus belajar. Aku dulu ingin segera memasuki dunia kerja. Karena kiranya lebih baik segera berkarya, daripada terlalu lama terlena dengan retorika demonstrasi jalanan. Dengan bekal pengalaman magang di beberapa perusahaan saat kuliah, aku mudah mendapatkan pekerjaan dengan referensi beberapa mantan atasanku. Tanpa Nuriku, aku bisa menjalani hari-hariku. Aku memang pernah salah, terhadapnya. Tapi itu sudah berlalu. Kini aku menemukan diriku kembali sudah berbeda, dan aku bersyukur. Mungkin ini yang Nuriku mau sejak dulu. Bahasa kalbu kami seakan saling bicara sendiri, entah lewat apa. Di saat-saat ketenangan hari-hariku aku merasakan kilas-kilas senyumnya entah di mana. Sampai satu saat di tiga tahun yang lalu, tak kusangka-sangka kesempatan indah itu datang jua. “Diii... punya teman di Bogor?“ teriak temanku di ujung sana. “Nggaaak, kenapaaa?“ kujawab agak malas. “Ada yang ngotot yang mau ngomong sama kamu niih... Cewek loo, cie-cieee...“ 182 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Awas kalo bencong... lu bayar goban!“ ancamku Kukira waktu itu temanku, hanya sekadar mengerjai, karena memang kesibukan kantor tak memungkinkan aku untuk jalanjalan ke luar Jakarta. Bagaimana bisa aku punya kenalan anak Bogor ? “Ya, Adi di sini, bisa dibantu...” sapaku sopan padaku sosok misterius di seberang telepon. “Ini Adi ‘kan? Adi Saktiawan dari Semarang yang suka mie ayam itu ‘kan? Hai Adi...” aku seperti mengenal suara manja itu, degup dadaku mengencang seketika. Bertahun-tahun yang lalu, benarkah ini dia? “Emh… ya ini benar Adi, maaf siapa ya?” “Adiii... Sombongnya kamu nggak kenal aku lagi? Ini Nuriii... Nuri yang demen komik serial cantik...“ Lidahku mendadak kelu. Sungguh penantianku terjawab sudah. Tapi tak pernah kusangka bisa seajaib ini. “Kamu tahu aku di sini dari siapa?” “Ahh, itu tak sulit bukan?” dia masih saja dengan gaya khasnya yang dulu. “Kamu sekarang di mana, sih?” “Sorry Adiku, pulsa mahal. Kalau kamu mengaku masih lulusan TN, kamu pasti bisa menemukanku, aku tunggu teleponmu nanti malam. Hihi…” “Tapi tungg…” tak ada gunanya, karena bunyi ”tut-tut-tut” sudah memekakkan telingaku. Beberapa saat aku kebingungan sendiri. Otakku dipenuhi pertanyaan bagaimana, apa, mengapa, dari mana, siapa tak beraturan, berputar-putar tidak keruan.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 183
“Suit-suiiiitttt... yang ditelepon pacar lamaaa!!!” aku baru sadar kalau telepon Nuriku tadi dikuping teman-temanku di ujung sana. “Sial kaliannnn!! Nguping ajah!!!“ dan habislah aku jadi bahan olokan hari itu. Aku sempat berpikir terlalu canggih, Nuri menggunakan detektor satelit untuk tahu nomor kantorku. Tetapi kadang-kadang hal yang rumit itu sebenarnya sederhana. Aku mencoba menelepon ke rumah orangtuaku, dan benar saja jawabannya di sana. “Nuri sudah menelepon kamu ?” tanya Ibuku, bahkan sebelum aku bertanya. “Ehmm... Sudah tadi siang, kukira dia tahu nomor kantorku dari siapa...“ “Ibu juga nggak bilang tentang nomor kantormu, hanya Ibu sebutkan nama kantormu di Jakarta.“ “Pasti nanya 108 tuh anak, pintar juga...” “Dia malah nitipin nomor handphone-nya buat kamu, nih catet...” perintah Ibuku di ujung jauh telepon itu. Aku segera meraba pena di saku bajuku, menyobek kertas sekenanya, mencatat 12 digit nomor handphone Nuriku. Tak lama kemudian, aku berusaha meneleponnya. Namun berkali-kali yang kudapat hanya “call ended”. Pikirku aku yang salah mencatat nomor, atau dia yang sengaja mempermainkanku, harapharap cemas jadinya.
— Sorry, ini benar Nuri kan ?... Layar handphone berkedip tak begitu lama kemudian.
— Ini memang Nuri, kenapa ? .... — Kenapa teleponku di-reject ?....
184 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Aku terpancing rasa ingin tahuku.
— anak TN satu ini mmg ga disiplin sdh kubilang telp aku nanti mlm saja, oke.... Benar-benar aku dikerjainya habis-habisan. Agak jengkel sih, tapi suka. Episode Nostalgia Gayung Bersambut
ada bimbang ada kerinduan ada rentang ada keraguan ada firasat datang ada ketakutan berjalan ada waktu menghilang ada hati terus menyimpan ada pikir selalu menentang ada kalbu selalu melawan adakah rindu itu bisa melawan kebimbangan dalam setiap ragu? adakah rentang waktu itu mampu mematahkan keraguan yang selalu ada? adakah firasat itu hebat untuk meredam ketakutan ketakutan ini? adakah waktu kan menghilang ketika hati mulai berusaha untuk menyimpan? Surat yang Tak Pernah Selesai | 185
akankah pikirku akan menentang ketika gejolak kalbuku mulai melawan?...“ (Ada, ditulis Ayu/Forum Sastra Ikastara.org) Aku tepati juga janjiku meneleponnya selepas malam itu, kali ini tak perlu menunggu tiga dering nada tunggunya, handphonenya sudah terangkat. “Hai, menelepon juga akhirnya…” sapanya lembut ceria. “Aku selalu menepati janjiku ‘kan?” “Iya, hehe. Apalagi buatku yak?” Aku terhenyak sesaat . Tak kusangka dia begitu akrab, seakan teman lama yang tanpa punya masalah. “Hei, kenapa jadi diam? Rugi lho, yang bayar telepon ‘kan kamu?” Nuri menyadarkanku. “Habis, kukira kamu dah lupa, surprise banget Nuri. Aku masih nggak percaya ini benar-benar kamu...” ungkapku jujur keluar begitu saja. “Adiku, maaf jika mengganggumu. Sekian lama berlalu kukira aku bisa melupakanmu, ternyata tidak. Tidak ada yang sebaik kamu, tidak ada yang semengerti kamu padaku... meski kita pernah punya cerita buruk...” “Kamu masih mengingatnya?“ “Tentu Adiku...“ “Kenapa?“ “Itu bagian terindah dari kita untuk saling mengerti...“ kudengar lembutnya mantap di sana.
186 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Aku bisa menarik nafas lega malam itu. Tuhan menjawab doa-doaku. Tuhan memberkahi pengakuan kesalahan-kesalahanku. Indahnya malam itu karena aku dan Nuriku, saling menertawakan kebodohan kami dulu, kegoisan yang membuat kami berpisah, dan yang pasti biarlah malam semakin tenggelam ketika purnama semakin terang di hati kami. “Kamu nakal dulu, minta perhatian teruss..“ “Kamu juga jahat, masak tega ninggalin aku di pojok sendiri ...“dengan terbahak dia di sana membalas. “Si nakal!“ “Si jahat!“ dia masih tak mau kalah. “... Jadi dah punya panggilan sayang masing-masing yak?“ “... Bisaaaaaaaaaa aja kamu nih!“ Nuriku kemudian bercerita tentang pengalaman-pengalamannya. Bagaimana dia sudah menjadi perawat, bagaimana ketika dia menghadapi para pasien, dan bagaimana ketika dia ikut bahagia ketika melihat orang lain sembuh. Sebaliknya betapa dia juga ikut menangis ketika menyaksikan mereka yang karena sakit terlalu parah tak terselamatkan. Aku bangga sekali mendengar kabar-kabar darinya. Impianimpian kecil kami dulu bahkan tak terasa sudah terlewati. Rupanya kami harus punya harapan-harapan baru lagi. Harapan yang indah untuk terus dikejar. Menyelusup di hatiku waktu itu, untuk menanyakan kelanjutan hubungan kami dulu. Namun aku segera menepisnya, walau sangat ingin. Aku tak ingin merusak berkah malam ini dengan perkara-perkara rumit. Cukup bagiku berdamai dengan hatiku, dengan hatinya, dan cukup hubungan kami baik kembali tanpa menyisakan renggang rasa.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 187
Perbincangan terindah yang tercipta berkat lompatan-lompatan gelombang elektromagnetik yang melampaui ratusan kilometer jarak itu, membuktikan bahwa cinta bisa terungkap dalam banyak cara. Meskipun demikian, kami bersepakat untuk terus saling berkirim surat. Karena dengan begitu aku dan Nuriku tidak kehilangan moment untuk seni menarikan tangan, menggoreskan tinta pena, dan berbagi cerita hati.
“Dearest Adiku. Aku senang hubungan kita kembali membaik. Aku senang perasaanku tidak bertepuk sebelah tangan. Aku tak berani membayangkan bagaimana jika kamu dulu menolak telepon pertamaku itu. Meski tampak luar aku ceria, itu hanya topeng kesepianku. Aku terbiasa dengan kamu. Aku bodoh meninggalkanmu dulu, tapi mungkin ini jalan Tuhan agar kita saling memaknai arti keberadaan kita. Apakah ini cinta Adiku ? aku tak berani berpikir terlalu jauh, aku takut terhempas harapan-harapanku sendiri. Cukup jika aku kini bisa menikmati bahwa kamu mengerti aku. Aku tak mau kamu menjadi “Si jahat“ lagi dan aku akan belajar agar tidak terlalu menjadi “Si nakal“. .................... Bulan Juni depan aku mengambil cuti, kamu mau ikut pulang ke Semarang? ...“ Tak perlu menunggu lama, setelah membaca surat itu dulu, aku mengirimkan SMS.
— with my pleasure, Nuriku... Ternyata dia segera menjawab.
188 | Pegiat Sastra Ikastara.org
— eh gpp, jng dipaksain lho, hny demi aku .... namun aku punya rencana lain,
— msh ingat Santi adik kecilku ? dia lulus TN juga Juni ini klo kamu mau kita bisa jalan2 di sana ... cepat sekali dia membalas,
— really ?! pasti Adiku, aku mau!! it would be a luvly time for me .... Bulan Juni kemudian, aku kembali menginjakkan kembali di almamater tercintaku dengan cara yang berbeda. Sebagai alumni, sebagai kakak yang menjemput adiknya kembali, sebagai anak asuh SMA ini yang ingin bernostalgia. Aku memilih memisahkan diri dari rombongan keluargaku. Karena aku ingin membawa Nuriku sendiri. Aku berterima kasih orang tuaku mengerti, dan kebetulan keluarga besarku banyak yang ikut sehingga mobil keluarga penuh. “Sejuk ya, pagi di Magelang ini ?” Aku mengangguk, aku menunjukkan padanya bangunanbangunan asrama, lapangan bola, gedung-gedung kelasku dulu, ruang makan bersama, dan lain-lain sambil berjalan menyusuri jalan yang tidak ditutup tali pembatas. “Wah luasnya, jalan-jalan baru sebagian saja sudah capek...“ “Aku dulu sering lari mengelilingi kompleks ini..” jelasku bangga. “Kalo sekarang masih kuat kah? Dah ndut beginiii...” dia menyentil perutku yang menunjukkan tanda-tanda “kemakmuran”. Aku mengajaknya menepi ketika barisan Marching Band Gita Bahana Nusantara akan lewat. Dia terkagum-kagum melihatnya, apalagi setelah kuajak melihat-lihat daerah persiapan kompikompi siswa, tersusun rapi sekali. Surat yang Tak Pernah Selesai | 189
“Kamu nggak nemuin Santi?” “Nggaklah, saat ini dia pasti lebih senang menghabiskan waktu berkumpul dengan teman-temannya ..” “Kamu nggak kangen? Ah, kamu ‘kan alumni di sini pasti punya sekadar privilege-lah..” Aku tersenyum. Agak susah memang menjelaskan padanya. Saat-saat akhir di SMA ini selalu paling berat dijalani. Karena begitu beratnya, begitu banyak cerita, begitu banyak romantika di SMA ini sungguh melekat dalam jiwa. Mereka yang menjadi siswa di SMA ini pasti pernah merasakan betapa mengharukannya hari itu. Betapa ingin melihat seksama wajah-wajah teman seangkatan yang mungkin tak pernah akan bertemu lagi. Betapa ingin melihat fajar mentari dari ufuk cakrawala itu seindah-indahnya untuk dikenang. Betapa ingin mereka berbaris serapi-rapinya agar mereka dapat meraih kebanggaan terakhirnya dalam upacara wisuda. “Di sini lebih dari sekadar cinta, karena kebersamaan, karena suka duka mau tak mau terbagi di sini. Aku tak mau mengganggu adikku yang sedang menikmati momen-momen ini..” “Begitu berartinya kah? Pantas saja kamu dulu rela nyepelein aku demi acara SMA ini ..” dia melirik manja, dan mencubit lenganku. “... Nuri, emh jangan salah pah...” “Ssst... Sudah-sudah, aku mengerti, aku senang kamu mengajakku ke sini, aku jadi lebih mengerti kamu, aku banyak menemukan banyak jawaban tentang kamu di sini ..” Aku sudah melihat orang tuaku memasuki kursi tamu di Balairung Pancasila, keluargaku yang lain sedang sibuk berfoto-foto di depan area bangunan kelas. Aku dan Nuri menikmati keramaian beberapa pengunjung lain. Sesekali aku disapa beberapa pamong pengajar maupun administrasi yang masih mengenalku. 190 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Adi, ini siapa...” Bu Aisah, seorang pamong administrasi menggodaku. “Ah Ibu, ini Nuri, yang suratnya sering menuhin ruang Minu dulu...“ Nuri kaget mendengar kalimatku. “Eh, iya aku lupa cerita padamu yak, aku dulu terkenal di ruang Administrasi Umum itu karena paling sering bolak-balik mencari suratmu.“ “Wah, setia sekali ya... Dari surat-suratan sekarang kesampaian liat TN beneran...” celoteh Ibu Aisah. “Hehehe... Belum tau aja Bu, kalau dia lagi galak...” kemudian aku menikmati sekali saat dia memelototiku dan mengancam akan memukulku. Acara demi acara berganti. Aku dan Nuriku juga menjadi saksi sepasukan siswa kelas tiga yang sudah diwisuda itu melempar baret biru kebanggaan mereka ke atas, indah sekali. Riuh dan haru, kemudian mereka terlihat saling berpelukan satu sama lain, saling menangis. Tidak seperti upacara penerimaan siswa baru, yang selalu diikuti oleh hamburan para orang tua yang mencari putra-putrinya masing-masing. Kali ini semua larut dalam kesedihan akan berpisah. Semua memberi kesempatan para alumni baru itu untuk melepaskan perasaan masing-masing kepada teman-temannya. Aku masih ingat, dulu pada masaku aku juga tak bisa menghentikan tangis keharuanku. Teman adalah sahabat. Sahabat adalah bagian hidup. Sudah menjadi satu dalam gerak hidup. Sudah menghirup dan menghembus dalam udara yang sama. Tak ada kata yang sanggup mewakili, tak cukup sungai air mata melukiskan rasa. Teriknya siang meneduh dengan beraraknya awan yang membiru di atas sana. Bukit Tidar turut haru dan menghembus-
Surat yang Tak Pernah Selesai | 191
kan sepoinya, berusaha menghibur hati-hati yang tak rela berpisah. Kulirik Nuriku. Matanya ikut basah, selembut saputangan menutup hidung dan mulutnya. Aku bersyukur pada Tuhan, bisa mengajaknya menikmati saat-saat indah seperti ini. Aku senang dia dapat mengerti aku dan lingkungan yang membentuk sebagian hidupku. Aku tak pernah tahu apakah aku dan Nuriku bisa mengulang kebersamaan indah seperti itu lagi. Sederhana tapi sungguh mengukir sebuah kenangan yang indah. Sekali lagi, di SMA-ku tercintaku inilah sepenggal cerita antara aku dan Nuriku kembali ditulis. Aku terpesona akan kesahajaannya, aku terhibur oleh keceriaannya yang spontan, dan aku berbangga karena dia akhirnya lengkap mengerti aku. Adakah momen lain seindah ini? Ketika jarak sejenak lelah menjadi pemisah, ketika waktu ragu menganggu terlepasnya rindu, dan ketika nyata tersedia bukan semata harapan kalbu.
What if i told you It was all meant to be? Would you believe me? would you agree? It‘s almost that feeling, that we‘ve met before. So tell me that you don‘t think I‘m crazy When I tell you love has come here and now A moment like this Some people wait a lifetime For a moment like this Some people search forever... (Josh Groban & Kelly Clarkson, A Moment Like This)
192 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Episode Bahasa Antara Aku dan Dia Aku dan Nuriku semakin dekat kembali. Kami semakin dapat berbagi banyak hal. Aku tidak mau mengulang kesalahanku dulu. Saling menuntut, yang hanya berujung dengan kesalahan pahaman. Namun justru dengan keleluasaan dan pengertian kami belajar tentang arti bahasa-bahasa kepekaan. Aku belajar bagaimana setiap nada desahnya mengatakan sesuatu. Aku belajar bagaimana setiap jeda kalimatnya menandakan tekanan perasaan yang harus dia tanggung. Kadang-kadang dia begitu sering me-missed call aku hanya untuk pamer nada tunggu handphone-nya yang baru. Di waktu lain, SMS-ku tak dibalas agak lama. Lumayan campur aduk sih kalau begitu rasanya, namun aku tak mau bicara dalam bahasa mulut. Aku lebih percaya pada bahasa kalbuku. Bahasa yang aku percaya sampai padanya dengan caranya sendiri. Bahasa yang juga penuh doanya, semoga dan perlindungan-Nya selalu tercurah untuk Nuriku.
“Dearest Adiku, Maaf aku lama tak membalas SMS. Beberapa waktu yang lain aku ada kursus intensif untuk penanggulangan wabah demam berdarah. Ternyata menjadi perawat itu tak hanya sekadar kebaikan hati. Perlu kesungguhan, ketelitian, kedisiplinan, dan banyak pengorbanan juga. Apalagi sekarang ketika wabah yang diramalkan benar terjadi… musim hujan yang dulu sering kita nikmati sebagai saat romantis, kini berubah menjadi masa kejam yang membungkam tawa riang banyak anak, mengambil paksa jiwajiwa renta, dan menguras tangis kecemasan para kekasih hati. Maaf aku jika sempat melupa kamu.. Aku harus memilih fokus antara panggilan tugas dengan kepentingan pribadi. Tapi kamu sungguh berarti dengan pengertianmu. Aku percaya ada bahasa di antara kita yang selalu bicara ..”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 193
Dia memang benar-benar menjadi perawat yang baik. Dia memang pantas mengenakan seragam putih-putih itu. Tersanjungnya aku, jika pengertian yang kuberikan membuatnya lebih bisa memberikan kasih pada mereka yang berharap pada kesembuhan. *** Kini aku tiba pada surat terakhir yang pernah dikirimkannya padaku. Aku menghela nafas panjang, bersiap mengenang saat-saat terberat sekaligus terindah itu. Surat yang datang pada hari sore yang gerimis. Setelah berhari-hari penuh doa untuknya antara harap dan cemas menunggu kabar.
“Dearest Adiku, ............. Aku benci cinta karena memaksaku untuk memilih. Aku sayang kamu. Aku ingin selalu kamu di sisiku untuk menguatkanku. Aku tersanjung dengan pengertianmu. Aku sungguh tak ingin kehilangan kamu. Tetapi di sana ada yang begitu membutuhkan aku untuk kasih dan perlindungan. Aku harus apa, aku harus memilih siapa?“ Itulah sekali-kalinya waktu isi suratnya yang meracau tidak keruan. Dia tidak mengatakan jelas itu apa. Tapi aku tahu, dia membutuhkanku. Aku segera menelepon handphone-nya. Namun berkali-kali “call ended” muncul di layar handphone-ku sendiri kala itu. Aku merasakan keraguannya yang kuat. Mungkin dia perlu waktu untuk mengatakan sesuatu. Dan benar justru malam harinya handphone-kulah yang berdering. “Adii.. maaff..” aku mendengar isak di sana. “Iya, sayangku... Kenapa?”
194 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Lalu hanya kudengar suara handphone-nya ditutup. Meski keingintahuanku besar sekali, aku berusaha tahan. Aku mengerti, tidak ada gunanya bicara padanya saat-saat ini. Karena ketika saat beban terlalu berat, tiada kata atau suara yang bisa terlontar, kecuali bicara dalam bahasa kalbu antar hati. Entah kenapa, aku merasa dia akan pergi. Aku merasakan dia ingin lari kepadaku, tapi ada sesuatu di sana yang menahannya. Oh bukan, tepatnya tak ingin ditinggalkannya karena itu mungkin bagian dari dirinya. Dia ingin datang pada salah satu dari duapilihan dengan seutuhnya. Aku bertanya dalam diriku, apa aku membuatnya tidak utuh? Jika begitu, tak perlu aku membebaninya untuk tak utuh. Nuriku pernah pergi dariku bertahun-tahun, dan dia lebih dari sekadar utuh bagiku. Jika aku hanya menjadi tempat persinggahan hati baginya, aku ingin menjadi yang ternyaman baginya.
— Aku percaya kamu, kemana pun kamu pergi kamu tetap abadi di hatiku .. Hanya itu sekali SMS yang kukirim. Setelah pesanku sampai ke handphone-nya, aku lega. Aku merasakan hening yang berbeda, aku merasakan tenang hatinya. Ketika aku bangun pagi harinya, aku sudah mendapatkan balasan SMS-nya,
— aku ingin bicara nanti malam, Jika tidak menganggumu..” Aku sedikit menyimpulkan senyum, menjawab dalam hati, sejak kapan Nuriku mengganggu? ***
Surat yang Tak Pernah Selesai | 195
“Hai, sudah baikan?” sapaku dulu malam harinya. Dia diam, namun aku mendengar desah berat nafasnya. “Nuri? Masih di sana?” “Adi, maaf... Aku harus memilih...” Akhirnya dia bicara juga. “Memilih apa? Kamu bebas memilih ‘kan...” “Adi maaf, kalau kamu sudah tahu...” “Aku tidak tahu apa-apa. I’d say thanks jika kamu masih percaya aku dan mau cerita ke aku...“ “Adi aku harus memilih antara aku dan dia... Oh, aku tak pernah siap untuk cerita masalah ini...” Aku berusaha tenang mendengar penjelasannya, meski getar resah menjalariku saat itu. Lalu Nuri mulai bercerita. Rasanya seakan ada palu godam bertubi-tubi meluluhlantakkan mimpi-mimpiku dan Nuriku. Dia memang pengasih, perawat yang terkenal dengan tangan dinginnya. Namun jalan cinta yang kadang liar tak peduli rencana manusia. Satu dari sekian pasiennya rupanya, ada yang sangat tergantung padanya. Walaupun Nuriku menganggap perhatian kasih adalah bagian dari kewajiban tugasnya. Namun tiap orang bisa menanggapinya lain. Pasien itu seorang anak piatu yang membutuhkan sosok Ibu. Si kecil yang manis, yang selalu berteriak-teriak histeris jika sudah waktunya pulang dari rumah sakit. Tiada lain karena tak ingin berpisah dengan Nuriku. Di lain waktu, dia yang mengalah pergi ke rumah si kecil. Karena jika tidak, si kecillah yang sakit stress parah, karena tak bertemu dengannya. Sampai suatu ketika, ketika Nuriku terlalu sibuk di rumah sakit karena wabah demam berdarah. Si kecil terpaksa tak bisa dijenguknya. Dan akibatnya fatal, Rani nama si kecil itu, jatuh sakit kembali setelah berhari-hari menangis tanpa siapapun bisa
196 | Pegiat Sastra Ikastara.org
menenangkannya. Diagnosa terakhir dokter, dia menderita penyakit kanker yang membuatnya tak bisa bertahan hidup lagi dalam beberapa tahun ke depan, kecuali ada keajaiban Tuhan. Nuriku menyesal dan merasa bersalah. Dia datang ke rumah Rani kecil lalu menyatakan permohonan maaf. Pihak keluaraga Rani kecil terlebih lagi juga menyesal telah sangat banyak merepotkan. Namun begitulah takdir kalau sudah bersabda, tegas, menggariskan tanpa tawar menawar, entah siapa yang egois, Rani kecil tiba-tiba dengan polosnya berlari menubruk Nuriku sambil berteriak-teriak,” Aku mau mama Nuri... aku mau mama Nuri !!! “ Si kecil Rani kemudian pingsan, di pelukannya. Setelah berhari-hari tak sadarkan diri lagi, Rani bangun dan menegaskan kembali, “Mama Nuriku... mana?” “Jadi kamu akan memilih Rani?” tanyaku lembut. “Adiku... Aku tak bermaksud mengkhianati kamu...” lalu tangisnya tumpah lagi. Tidak ada jalan lain lagi bagi nasib Rani, ayahnya dan keluarganya yang lain kemudian menemui Nuriku. Mereka mohon maaf sebesar-besarnya. Namun tetap saja, demi kepentingan Rani, mereka mohon dengan berat hati padanya untuk menjadi Ibu sebenar-benarnya bagi si kecil. Karena memang Nuriku tak tergantikan. “Ayahnya baik?“ tanyaku. “... Baik dan hormat sekali padaku...” Aku menghembuskan nafas, mengurangi sedikit beban. “Baiklah, aku rela...“ “Adi, tapi aku...“
Surat yang Tak Pernah Selesai | 197
“Sssst sudah... Toh aku tak akan pernah pergi darimu...” *** Aku melipat surat terakhir darinya. Merapikan lalu membungkus kembali surat-surat yang lain. Aku memejamkan mata, seiring tetes bening air mataku meleleh perlahan. Aku merasakan damai. Aku tahu dia di sana juga merasakannya. Nuriku sudah menjadi wanita yang sempurna, menjadi kekasih yang menawan, menjadi ibu yang penyayang. Jika pilihan itu sulit, Nuriku telah memilih yang paling benar. Dia memilih, pilihan tidak untuk kepentingannya sendiri. Pengorbanan yang tidak pernah akan siasia, cintanya selalu hidup, seperti juga cintaku padanya yang akan terus bicara saling menguatkan dalam bahasa kami.
“ ..... Apa ada yang mengerti kita selain aku dan kamu? Yang berkata-kata dengan bahasa yang kita pakai, yang melihat dengan mata yang kita miliki, yang mendengar dengan telinga yang kita punya, yang merasakan dengan hati kita? Apa ada yang lebih mengerti kita? Yang kadang mendiamkan hari begitu saja, yang kadang terperangkap dalam semburat indah senja? Apa ada yang mengerti kita? Bahkan meski kita tak dapat saling menyentuhkan jemari ini, tak seorang pun yang dapat mengerti kita.. Selain aku.. Selain kamu..”
198 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Cinta, Bantal, dan ”Aku Akan Selalu Ada Untukmu“ Bukan untukmu tapi untuk cintaku yang ada di dalam senyummu dan di bawah bantalku. Aku tadi melihatmu, cinta. Lagi. Untuk kesekian kalinya. Kamu masih seperti biasa. Meneguk es jeruk dengan dua butir es batu di dalamnya. Aku suka melihat matamu yang mengecil karena es jeruk yang terlalu asam. Sudah duapuluh dua kali aku menghitungnya setahun ini. Bakso tanpa sayur dan sedikit garam. Sedikit garam juga untuk perhatianku. Semoga garam itu bisa kau tambah setelah surat ini selesai kutulis dan selesai kau baca. Aku melihatmu, cinta. Entah sampai kapan. *** Dua hari ini aku mencium bau parfummu yang berbeda, cinta. Kenapa. Bukan parfum yang biasanya. Hadiah dari siapa. Aku cemburu, cinta. Baumu tidak seperti yang biasa. Kau tercium seperti orang lain. Aneh. Dan aku sama sekali tidak suka kau disebut aneh, cinta. Rambutmu juga tidak berkilau seperti biasanya. Tapi kau tahu cinta. Sedikit kilau juga untuk perhatianku. Kilaunya berbagi dengan senyummu itu. Senyum yang sama seperti senyum yang ada di balik bantalku cinta. Tidak pernah kuingat karena kutakut aku akan lupa dengan senyummu, cinta. Senyum. Jaga senyummu itu untukku. Janji ya. *** Aku cemburu!!! Kapan kau mau berhenti bicara dengannya? Tawamu tak sebanding dengan senyummu. Saat kamu membaca surat ini, aku sedang mencoba melupakan senyummu. Menjaganya agar hanya tetap ada di bawah bantalku. Aku tak mau memSurat yang Tak Pernah Selesai | 199
baginya dengan siapapun. Siapapun. Jangan kau bagi dengan yang lain, cinta. Aku saja tidak membaginya. Apalagi kamu, cinta. Jaga senyummu itu untukku. Janji ya. Matamu kemarin menyiksaku. Sayu. Kenapa? Butuh bantuanku? Aku pasti siap untukmu, cinta. Apapun dan kapanpun. *** Aku akan selalu ada untukmu. Untukmu aku janji. Cinta ini akan selalu demi kamu. Demi senyum di bawah bantalku. Kamu tahu, cinta, dua hari berturut aku mimpi buruk. Kamu datang ke arahku dan berteriak. Kembalikan senyumku, katamu. Tapi aku menggeleng. Sumpah. Tanpa sadar aku melakukannya. Tapi aku menggeleng. Dan kamu tidak bisa apa-apa. Dan aku terbangun. Dan senyummu masih ada di bawah bantalku. Aku capek, cinta. Tapi aku suka memandangmu. Tersenyum dan bukan tertawa dengan teman-temanmu. Yang perempuan. Bukan yang c-o-w-o-k. Aku tidak mau. Aku suka memandangmu. Dengan bando abu-abumu setiap hari senin. Dengan gambar Hello Kitty yang sedang menari chacha itu. Tapi aku lebih suka rambutmu yang polos. Tanpa Hello Kitty. Tanpa bando abu-abu Senin. Tanpa jepit kupu-kupu hari Jumat. Tanpa pita merah jambu yang longgar setelah jam 12. Aku lebih suka rambutmu yang polos. Yang tidak berkurang kilaunya dan perhatianku juga. Aku ingin kau sempurna di mataku, cinta. Hidungmu. Jarimu. Pantatmu. Selalu kuintip dari belakang. Dua-tiga orang di depanku pasti risih denganku. Karena kamu cinta. Karena kamu yang menyita perhatianku. Dengan hidungmu. Dengan jarimu. Dengan pantatmu. Tapi kamu tahu, cintaku untukmu tidak pernah sesederhana itu. Bukan untuk kayu bakar, api, dan abu yang dia bicarakan.
200 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Bukan demi awan, hujan, dan angin apalagi. Cintaku padamu lebih dari apapun. Cintaku padamu menyita waktuku. Cintaku padamu menguras air mataku. Cintaku padamu mencabut kantuk dari pelupuk mataku. Cintaku padamu menguasai perasaanku. Tapi cintamu cinta. Tak bisa mengambil senyummu dari bawah bantalku. Aku jaminannya. Pegang kata-kataku. *** Aku mencintaimu tanpa lilin. Duapuluh langkah tepat. Aku selalu di belakangmu saat pulang. Aku selalu melihat kau menutup mukamu dengan saputangan saat bis sekolah sebelah warna kuning itu lewat di depan gerbang sekolah kita. Aku selalu melihatmu menutup mukamu dengan saputangan ketika orang di sebelahmu mengangkat tangannya terlalu tinggi untuk mencari pegangan di dalam bis. Pernah saputangan itu aku temukan di bawah tempat dudukmu yang biasa di kelas. Koordinat (3,4) dari meja guru. Aku bawa pulang. Aku tidak mendengarmu panik mencarinya. Wangi, cinta. Saputangan itu wangi sekali. Aku minta ibuku mencarikan yang serupa di pasar. Ibuku gagal. Tak ada yang sewangi saputanganmu cinta. Aku ingat wanginya. Untuk wanginya aku ingat. Aku ingat selama tiga hari dua malam sesudah saputangan itu aku gantung di papan tulis di depan kelas. Aku senang. Aku suka ketika kau berkata ”love“ dalam kelas bahasa Inggris, cinta. Ingin aku merekamnya. Membayangkan kau membaca surat ini sambil mendengarkan ”love“-mu membuatku merasa ingin buang air kecil. Seperti saat aku dipanggil ayah karena memecahkan akuarium dengan palu yang kupinjam dari kakak. Tapi aku menikmatinya. ”Love“ itu, tak pernah ada yang bisa menirunya. ”Love“ yang membuat lidahmu bergelung ke atas. Lidah merah jambu. Bibirmu yang menutup manis saat kata itu
Surat yang Tak Pernah Selesai | 201
berakhir. It means the world to me. Seakan hidupku hanya ada dalam bibirmu dan lidah merah jambumu. Duniaku, cinta. ***
You mean the world to me. Mine. Always. Dua kali aku melihat celana dalammu, cinta. Pertama warna merah dengan ornamen Hello Kitty yang sedang menari cha-cha. Yang kedua… aku lupa. Aku lupa karena sepertinya ada fotomu di dalamnya yang sedang tersenyum. Sudah aku bilang. Aku tak mau mengingat senyummu. Pertama saat olahraga di bawah tiang senam dengan sepatu keds putih dua garis biru tua di permukaannya dan ada bercak kecap di permukaan sepatu sebelah kiri. Dan kedua aku lupa. Sejak itu aku selalu melihat senyummu memerah dan lebih mengembang di bawah bantalku, cinta. Saat kau baca surat ini aku juga yakin kau akan lebih merah dari biasanya. Sebenarnya aku tidak terlalu suka warna merah. Tapi untukmu, cinta. Apa saja. Bahkan merah yang itu. Aku minta maaf, cinta. Dua kali kupinjam pensil merah jambumu tanpa kau tahu. Tanpa seorang pun tahu. Aku menggambar cinta dengan pensil dari cinta. Romantis. Aku bersumpah sudah kukembalikan pensilmu. Aku takut membuatmu panik. Kecuali untuk sapu tanganmu. Aku rela apa saja. Pensilmu tidak wangi. Bau tinta. Warnanya juga pudar untuk gambar hati yang pertama. Tidak. Bukan cintaku yang pudar. Tapi salahkan pensilmu. Tak mau menuliskan cintaku yang sesuai untukmu. Aku yakin. Kedua pensil merah jambu itu akan kau simpan baik-baik. ’Kan? *** Dua malam sebelum surat ini kau baca, cinta. Aku berebut senyummu dengan bantalku. Bantalku merasa sudah berhak merebut senyummu dari aku. Senyummu tak lagi mengembang dan memerah se-celana dalammu. Senyummu jadi merengut.
202 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Kedekut. Pasti bantalku yang salah. Ada yang salah dengan senyummu. Aku tak tahu sebabnya. Aku tak tahu sebabnya. Kau berhutang jawaban kepadaku. Kenapa senyummu tak seperti yang dulu. Kau kirimkan jawabannya setelah kau tidur setelah membaca surat ini. Dengan hidungmu, dengan jarimu, dengan pantatmu. Aku janjikan itu untuk menebus senyummu. Sepertinya berhasil. Mimpi buruk yang dulu, cinta, muncul lagi. Aku takut kehilangan senyummu di bawah bantalku. Sangat. Dua malam aku tidak bisa tidur. Hanya untuk kamu. Untuk surat ini dan untuk menentukan apa yang berhak mewakilimu. Aku tiba pada sebuah keputusan. Cinta itu hanya pantas untukmu. Cinta itu hanya pantas untuk memanggilmu bahkan ketika kita tidak di kelas bahasa Inggris. Cinta yang tidak setakar garam, sekilau rambut, semerah jambu lidah. *** Empatpuluh tujuh cinta untukmu detik ini. Tapi cinta itu cukup untukku. Untuk kita berdua. Aku janji cinta. Catat ini. Kau akan membaca surat ini saat aku menciummu dengan mesra, saat rambutmu berkilau, dan saat Hello Kitty menari cha-cha dengan gembira bersamaku. Mei tahun depan. Catat ini. Aku masih akan terus berusaha untuk mencintaimu sampai Mei itu datang. Sungguh.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 203
Surat yang Tak Pernah Selesai Surat yang tidak pernah selesai untukmu. Karena senja yang terlalu cepat datang. *** Nduk, tanah merah di bawah kakiku masih bersedia jadi saksi bahwa kita ada kencan malam ini. Pesan singkatmu yang ke-59. Seakan tidak ingat akan mati nanti, kau dan aku sering menghabiskan waktu yang sudah ada jatahnya masing-masing itu. Pernah saat aku menunggumu lama di tempat kita biasa bertemu, ada setan yang coba menggangguku. Waktu itu dia mau agar kita berdua pisah saja. Pasti kau tahu aku akan menjawab apa ‘kan? Kubilang, nanti kupikir-pikir dululah. Bukan pertama kali ini aku merasa kau bukan milikku. Aku pernah berpikir kalau keputusan yang paling berat dalam hidupku adalah untuk memilikimu. Dengan segala sebabnya, aku jalani bergandengan tangan denganmu setiap lewat lorong sekolah sebelum apel siang, tertawa saat terlalu banyak garam dalam baksomu, makan hati saat kakak absenmu yang tinggi itu datang menjengukmu, dan tidur paling nyenyak dalam hidupku setelah membaca pesan singkatmu yang ke-14 tentang ikatan yang menjadi tamu istimewa dalam mimpi kita masing-masing. Tanpa pernah merasa kehilangan sekalipun selama kita bersama kemarin dan kemarin, aku samar merasa kehilangan tiga perempat kesadaranku senja tadi. ***
204 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Oke, kembali ke malam ini. Aku tidak akan pernah memaafkanmu karena meninggalkanku. Aku bersumpah tidak akan pernah memaafkanmu. Aku bahkan masih ingat janjimu dua tahun yang lalu dalam pesan singkatmu yang kedua. Waktu umur kita baru masuk tiga bulan pertama, kau bilang bapakmu tidak mau melihat kita berpacaran. Harus sudah lebih dari 17 tahun, katamu waktu itu. Aku bahkan tidak mau tahu kenapa kau menentukan usia 17 tahun sebagai batas kita berciuman. Seingatku, aku pikir kau terlalu banyak nonton film biru mungkin. Rasa takutku hanya satu waktu kau mengucapkan janji untuk menciumku dua tahun lagi waktu itu. Nduk, kamu pasti masih ingat masa rehat kita yang paling lama. Hampir satu bulan kita tidak saling bicara bahkan sekadar menyapa, dan itu bahkan bukan karena alasan yang jelas. Aku jujur sekarang. Waktu itu aku takut kita terlalu jauh melangkah. Aku bukan tidak rela melepas ikatan lajang antara aku dan temantemanku. Kau berarti lebih dari sekadar membentuk ikatan baru dan seks. Sumpah. Tapi dengan menghadirkan variabel baru dalam hidupku yang seasing dirimu, aku takut akan tercipta sekian persamaan baru dalam rumusan takdir yang akan membawaku ke diriku yang tidak kuharapkan. Ikatan yang tidak akan pernah patah. Begitu kau tuliskan di gelang hadiah ulang tahun kedua sejak kita sepakat untuk membangun ikatan itu. Bukan tanpa alasan aku menerima tawaranmu kencan setiap pesiar malam Minggu, janji untuk selalu mengucapkan selamat ulang tahun setiap hari ke dua bulan pertama, tagihan untuk selalu menjemputmu setiap selesai kelas dan untuk tidak dekat lagi dengan teman-teman perempuanku lewat pesan singkatmu yang ke-17, ke-56, dan ke-64. Tapi aku sadar dan aku bersumpah bahwa semua itu hanya sekian dari kenangan yang sudah kita hapus, kubur, bentuk, cetak, dan bagi bersama melalui suratku dan pesan singkatmu. Sampai malam ini. Surat yang Tak Pernah Selesai | 205
Aku hitung sudah dua kali kita berseberangan dalam mengartikan ikatan ini. Ikatan yang seharusnya tidak mengikat, menjadi pola berpikirmu karena aku tahu kau yang menjadi penawar dalam adegan pertama kenangan kita. Aku bukan seorang yang terlalu perduli dengan pemaknaan. Aku akan selalu menuntut konsekuensi dari ikatan. Itu saja. Bukan pemaknaannya dalam bentuk apapun. Apapun. Tapi nduk, aku janji, aku bersumpah, bahwa aku tidak akan mempedulikan lagi sesuatu yang dulu kita sebut sebagai ikatan dan segala embel-embelnya, jika kau mau datang ke tempatku malam ini. Sebentar saja. Aku mohon. Kalau kau cermat, ini sudah suratku yang ke-48 sejak kau mengucapkan selamat tidur lewat pesan singkatmu yang ke-21 malam itu. Aku masih menyimpannya sampai sekarang. Dua pertiga waktuku ketika tidak bersamamu, kuhabiskan untuk memandangi pesan singkat itu. Aku hapalkan setiap katanya, hurufnya, diksinya, susunan katanya, dan segala isinya yang aku yakin malu untuk kau sampaikan langsung kepadaku. Aku relakan 20 jam waktuku dulu untuk belajar membuat surat balasan yang baik. Sudah lebih 20 lembar kertas kuhabiskan untuk menyusun kata pertama yang bisa mengawali suratku padamu. ”Halo“ terlalu santai, ”hai“ terlalu sok akrab, ”salam“ terdengar asing, ”dear“ bahkan pernah iseng diusulkan teman kamarku saat dia lihat aku sudah kehabisan ide. Sekarang, di sini aku tidak akan pernah kehabisan kata untuk mengungkapkan perasaanku kepadamu. Berapa lama kau mau mengobrol denganku pun akan kulayani. Tidak perlu lewat surat atau pesan singkat. Kumohon, langsung saja. Aku tak mau sendiri. *** Nduk, aku kangen. Aku bahkan akan selalu ingat pagi itu saat aku pertama kali memulai perang itu. Aku diam. Kau bingung lalu diam sampai ku-
206 | Pegiat Sastra Ikastara.org
genggam tanganmu siang itu setelah sembilan pesan singkatmu menumpuk dan kita berbaikan lagi. Aku bingung dengan semua yang sudah kulakukan untukmu. Pokoknya, hanya genggaman tanganmu yang bisa menjadi eliksir untukku. Kau bukan lagi variabel dengan kemungkinan tak terhingga karena penyelesaiannya telah terintegrasi dengan (x) yang menjadi kesimpulanku. Aku ikhlas atas penyelesaian ini, tapi dengan syarat kau harus selalu tersenyum saat aku butuh dan kau menyanggupinya waktu itu. Aku tagih janjimu sekarang. Aku tidak tahu nduk, dari mana nyeri ini datang setiap aku mulai membayangkan gambaran tentang kita dengan rambut yang sudah memutih sempurna. Kita yang sudah bahagia dengan empat anak yang sedang berebut mainan. Dan kita yang sedang duduk di kursi goyang sambil mendengarkan musik gamelan dari radio. Aku tidak suka ketika kita menyebut ikatan kita sebagai sebuah ikatan mati. Bukan janji sehidup-semati yang kita bentuk dalam ikatan ini, tetapi bagaimana salah satu dari kita bisa menjadi hidup bagi satu yang lain. Pesan singkat nomor 23 itu yang menjadi alasan kenapa aku tidak mau menangis malam ini. Air mata ini sudah kering karena aku merelakannya bukan untuk menyuburkan tanah merah ini. Ketika batu nisan ini menjadi saksi tentang kesetiaanku, aku berdoa untuk kehidupanmu, Nduk. Bukan untuk kematianmu senja tadi dan malam ini. Semua pesan singkatmu sudah aku kubur dalam-dalam bersama dua batu hitam yang akan menjadi saksi tentang ikatan kita. Nanti. Semoga kau tenang di sana, Nduk. Amin.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 207
Remah Kisah
dari Benua Sebelah
Trilogi Amstel: Seutas Tali di Atas Bantal Sabtu pagi “En, kamu kenal Olive nggak?” tanya Novi setelah selesai mandi dan merapikan diri. Serta bersiap-siap untuk pergi. “Hmm... hm...” Enade fokus di depan komputernya. “En, sayangku, kamu kenal Olive nggak?” kembali Novi bertanya kepada Enade yang sedang (pura-pura) sibuk di depan komputer. Kali ini dengan nada sedikit tinggi. “Hmm... hm...” Enade masih fokus di depan komputernya. “Ah ya sudahlah... Dicuekin gini, mending aku pulang aja.” ancam Novi. “Eh iya, untuk acara besok Minggu, tolong beliin bakso udang di Oriental dong say. Kau lewat sana kan?” sela Enade sedikit menoleh ke arah Novi. “Enggak mau.” Novi mulai merajuk. “Ya sudah kalau nggak mau.” Enade kembali ke komputernya. Novi pergi dengan kesal dari apartemen berbentuk studio yang disewa Enade sejak setahun lalu di kota Amsterdam. Sepeninggal Novi yang menutup pintu dengan kasar, Enade meninggalkan komputer yang di layarnya terpampang sebuah forum bertajuk ikastara.org. Berbaring dia di atas kasur yang masih acak-acakan setelah semalam menjadi ajang “pergulatan“ dua insan memadu nafsu. Dalam benaknya, terbayang wajah Olive. Peremuan itu baru dikenalnya minggu lalu. Oriental dan supel. Cantik dan pintar. Kombinasi yang berbahaya. Sengaja dia tidak
Surat yang Tak Pernah Selesai | 211
menjawab pertanyaan Novi tentang Olive untuk menghindari salah jawab. Karena dia tidak bisa menebak arah pertanyaan Novi dan Enade masih juga bingung angin apa yang membawa Novi bertanya tentang Olive. Enade kembali tertidur. Tanpa sadar, dia mengigau, “Olive...“ Sabtu sore Enade membuka sedikit matanya dengan kepala agak pening akibat kebanyakan tidur. Handphone yang tergeletak di samping kasur menunjukkan seputaran pukul empat. Dia meloncat dan memaki, “Damn! Ketiduran sampai tujuh jam lebih. Ah, semoga toko oriental masih buka.” Enade bergegas ke kamar mandi dan cuci muka serta sikat gigi secukupnya. Lalu menyambar perlengkapan harian guna mengimbangi suhu musim dingin Amsterdam yang suhunya tidak beranjak dari nol derajat akhir pekan ini. Melangkahkan kaki tergesa, Enade menuju Station Amstel. Halte terdekat dari apartemen yang juga pemberhentian dari tiga jalur kereta bawah tanah – biasa disebut metro – yang menuju Nieuwemarkt. Ah, tepat dia menginjakkan kaki di peron, datanglah metro nomor 51. Enade memilih gerbong pertama. Sesampainya di Nieuwemarkt, Enade keluar dari metro dan sedikit berlari mendaki tangga pintu keluar dekat gerbong pertama. Toko Oriental hanya buka sampai jam lima sore di hari Sabtu. Itulah salah satu alasan mengapa Enade begitu tergesagesa. “Yess...” Sedikit bersorak dia melihat dari pintu gerbang halte Nieuwemarkt bahwa Toko Oriental masih buka. Setelah masuk ke dalam dan menikmati kehangatan ruangan toko yang diatur penuh sesak itu, Enade mulai membeli bahan-bahan untuk membuat Mie Goreng Seafood istimewa, andalannya. Satu-satunya 212 | Pegiat Sastra Ikastara.org
bahan yang diperkirakan olehnya habis adalah bakso udang yang tadi pagi rencananya mau titip ke Novi. Sayang Novi merajuk tidak mau karena pertanyaan tentang Olive tidak dijawab olehnya. Ya, ignore adalah cara yang ampuh dan aman. Meskipun ignore lebih berbahaya daripada benci dalam suatu relationship.
Relationship? Huahahahahaha (ketawa ala Rahwana). Nee man! Hubungan Enade dan Novi adalah simbiosis mutualisme. No more than segelas dua gelas Amaretto di malam Jumat setelah seminggu “bekerja keras” (dengan datang ke kantor jam delapan, menghidupkan komputer, buka ikastara.org, memantau Friendster, Facebook, blog, dan web yang dikelola sampai sekitar jam lima sore). Sekecup dua kecup lalu saling memagut, selanjutnya bisa ditebak apa yang terjadi ketika suhu di Amsterdam semakin tidak bersahabat seperti ini. Alasan lain Enade tergesa-gesa adalah hari itu mulai jam lima sore ada open dag (Semacam “open house”) untuk Red Light District yang terkenal itu. Setelah belanja, enade bergegas menuju meeting point open dag tersebut. Rombongan Enade kebetulan dipimpin oleh Marijke, ketua dari para pekerja komersil di daerah tersebut. Mereka melintasi lorong-lorong distrik dan masuk ke beberapa kamar dari sudut-sudut tertentu yang khas. Marijke menjelaskan bagian-bagian dari distrik tersebut sambil menjawab lugas pertanyaan-pertanyaan peserta tur. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah keberadaan tali di atas bantal. Marijke menjawab bahwa tali itu tradisi sejak jaman dulu dan masih dipertahankan sampai sekarang. Fungsi tali adalah semacam alarm untuk keamanan para “pekerja”. Andaikata ada pelanggan yang melebihi batas dan bahkan “mengancam” keselamatan, maka sang pekerja berteriak “Acht zes” (Arti harfiahnya: “delapan enam”) sambil menarik tali itu dan alarm akan berbunyi di tempat security berada. Dengan bantuan security, biang masalah akan di-”aman”-kan. Sistem yang sederhana dan menarik.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 213
Sabtu malam Enade selesai merapikan kamarnya yang berantakan. Bukubuku ditata pada tempatnya. Lantai disapu dan dipel, serta disemprot pewangi. Lilin berwarna ungu beraroma lavender sengaja dinyalakan. Dan secara iseng dia meletakkan tali di atas bantal seperti posisi yang dia lihat saat open dag tadi. Ah, andai Novi datang lagi malam ini, pikirnya. Tapi sepertinya Novi masih merajuk. Enade lalu menyalakan laptopnya lalu login di Yahoo! Messenger dan melihat Novi online dengan status “Kamu kenal Olive nggak?” Hey, sepertinya Novi hanya online untuk Enade. BUZZ!!!
novi_imutzzzz: Kau belum jawab pertanyaanku? Enade: Yang mana say? novi_imutzzzz: Olive Enade: Oww... Enade: Ada dua Olive yang aku kenal. Satu adek kelasku di SMA. Satu lagi minggu lalu baru kenalan. Anak baru, datang September kemarin. Kenapa dengan Olive? novi_imutzzzz: Kau ada hubungan apa ma Olive? Enade: Ndak ada. Sama Olive yang adek kelas SMA, hanya sempat kagum aja sih dulu. Cantik, sayang aku nggak punya nyali untuk berkompetisi he.. he..he... Kalau Olive yang baru datang ini, cantik juga. Oriental. Cerdas sepertinya. Tapi ya baru kenal minggu lalu. Hey, cemburu ya? novi_imutzzzz: Cemburu? Emang aku siapa kamu? Geer! Sebel aja. Pas kau tidur kemarin tuh setiap tanganmu nggak sengaja nyentuh dadaku, selalu aja kau
214 | Pegiat Sastra Ikastara.org
mengigau Olive. Gimana nggak sebel. Pas mau dibangunin, ngigau Olive lagi eh malah terus kentut. Menyebalkannnnnnnn! Enade: Heee ... aku malah nggak tahu tuh. novi_imutzzzz: Makanya aku nanya .. Eh malah dicuekin Enade: Maaf Say ... Enade: Kau ke sini nggak malam ini? Aku dah prepare tempat yang romantis. novi_imutzzzz: Nggak ah. Masih sebel. Lagian besok kita ketemu di rumah Myra. Kau jadi masak mie goreng toh? Aku kangen mie gorengmu Enade: Oke deh .... novi_imutzzzz: Aku cabut dulu. Ada artikel yang perlu direvisi ini. Emang capek punya supervisor banyak. Maunya macam-macam. Pusiiiinggg.....! Enade: :* :* :* :-h Seperti biasa, Enade meng-update blognya. Ini akhir pekan, waktu dia biasa melakukan itu. Di tengah-tengah mencoba merangkai kata di dunia maya, tiba-tiba hapenya berbunyi. Tertera tulisan “Olive” di atasnya. Reflek, matanya melirik sudut kanan bawah layar laptop dan mendapati sudah pukul 22.30. Cukup larut untuk menelepon. “Ya, dengan Enade.” “Kak En, ini Olive.” “Gimana Live?” “Aku kemalaman dan sekarang ada di Gaasperplas. Boleh numpang di tempat Kak En nggak? Stay over...”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 215
“Hm... (Enade pura-pura berpikir padahal hati bersorak, pucuk dicinta ulam tiba). Dah tahu tempatku?” “Dekat Amstel Station ‘kan? Aku tidak tahu tempat pastinya. Bisa minta tolong dijemput di Amstel Station?” “Bolehlah. Aku tunggu di depan Alberthijn. Jam berapa sampai?” “Oke. Lima belas menit lagi aku sampai. Makasih Kak En...” Enade kemudian memakai perlengkapan anti dinginnya dan berjalan pelan menuju Amstel Station. Pas sampai di depan Alberthijn, Enade menemukan Olive sudah menunggu di situ. Salam khas Belanda (kecup pipi kanan sekali, pipi kiri sekali, lalu sekali lagi pipi kanan) memulai perbincangan malam itu. Enade membawa Olive ke kamarnya. Sesampainya di kamar, aroma Lavender yang semerbak serta kamar yang rapi lagi romantis membuat Olive merasakan gairah tersendiri. Enade lalu mempersilakan Olive untuk istirahat sementara dia kembali ke belakang laptop, menyelesaikan tulisan untuk blognya. Sembari Olive berbaring, Enade mengajak bercakap-cakap sampai Olive tidak menjawab lagi. Tertidur. Dalam percakapan itu terungkap bahwa Olive tidak datang September yang lalu tapi sudah lama di Belanda secara ilegal, hanya status legalnya baru didapat September yang lalu. Ketika Enade mencoba mengorek latar belakang Olive, dengan cerdasnya dia berkelit. Sekali lagi, cantik dan pintar adalah kombinasi yang berbahaya. Minggu sore Di rumah Myra, berkumpul beberapa teman Enade dan Novi. Ada Lany, Priscilia, Iqbal, juga Joko orang Polandia itu. Aneh, orang Polandia kok namanya Joko. Anggur, vodka, jus, dan 216 | Pegiat Sastra Ikastara.org
pastinya mie goreng Enade menjadi menu yang menemani bincang-bincang gezellig (cozy) sore itu. “En, mie gorengnya enakkk... Makasih ya...” puji Myra, sepertinya basa-basi. “Halah, basi lu Myr! Enak sih memang tapi kok serasa masih ada yang kurang ya?“ komentar Novi tajam. “Iya sih ada yang kurang.“ ujar Enade pelan sambil berpikir. „...“ “Oh, Olive!“ tiba-tiba Enade berdesis. “Haish... Olive lagi. Ada apa lagi dengan Olive-mu? Awas kalau nggak dijawab!” ancam Novi. “Nee, bukan Olive siapa-siapa. Ini olive oil. Aku tadi masaknya pakai minyak biji bunga matahari, bukan olive oil. Mungkin itu yang bikin rasanya sedikit beda.” Enade ngeles. “Halah, alesan aja kau!” ujar Novi sambil mencubit pipi Enade yang tembem. Dilanjutkan dengan mengecup kecil bibir Enade yang sedikit terbuka, meringis akibat pipinya dicubit. Ya, memang sebenarnya bukan hanya itu Enade alasan mendesiskan kata “Olive”. Kelalaian memanfaatkan olive oil mengingatkan dia pada kejadian pagi tadi. Enade bangun lebih dulu dari Olive tadi pagi. Kemudian dia memanfaatkan suasana itu dengan menatap wajah Olive sambil menahan tangannya untuk tidak bergerak membelai. Tiba-tiba Olive bertanya dengan suara lirih sambil pelan-pelan membuka matanya, “Kak En, jam berapa?” “Jam setengah delapan.” jawab Enade buru-buru setelah melirik handphone di samping kepala Olive. Saat itu tangan Olive bergerak maju membelai rambut ikal Enade. Enade merasa mendapat angin membalas belaian itu dengan belaian juga
Surat yang Tak Pernah Selesai | 217
sambil merapatkan wajahnya ke wajah Olive. Bibir mereka pun kemudian bersatu dan lidah saling berpagut. Enade pun semakin merapatkan tubuhnya ke Olive. Ketika Olive merasa Enade sudah melangkah terlalu jauh. Olive berbisik. “Kak En jangan, aku sedang kedatangan tamu.” Namun Enade sepertinya sudah tidak bisa mendengar dan berpikir. Mungkin karena otak kekurangan darah, mengingat darah mengalir ke tempat yang salah. Enade masih mencoba melanjutkan gerilyanya dengan membuka kancing baju Olive. Saat itulah insiden terjadi. Olive meronta dan menampar Enade, mengembalikan aliran darah Enade ke tempat sebenarnya. Dan secara refleks Olive menarik tali yang semalam secara iseng diletakkan Enade di atas bantal. “Acht zes!” pekiknya tertahan.
218 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Trilogi Amstel: Di Tepian Amsteldijk Minggu malam Mentari sudah tidak lagi bertengger di ujung senja dan sudah selesai mengucapkan selamat tinggal pada hari ini. Enade berpamitan pulang pada Lany, Priscilia, Iqbal dan juga Joko yang ditutup pamitan pada Myra, si tuan rumah. Khusus untuk Myra lengkap dengan kecup pipi tiga kali, khas Belanda. Novi mengantar Enade sampai ke luar rumah. “Nov, malam ini kau ke rumahku?” Enade bertanya setelah ritual kecup pipi tiga kali dan kecup tipis di bibir mungil Novi. “Nee, aku...” jawab Novi menggantung, seperti memikirkan kata yang tepat. “Okay then, sampai ketemu hari Jumat.” sambar Enade sambil beranjak pergi. Novi menyambar pergelangan Enade, menariknya dan memeluk erat pinggang seraya menatap kedua mata Enade yang menampakkan wajah bingung. Novi menatap tajam mata Enade seperti ingin menemukan jawaban dari kedua mata itu. Mata tidak pernah berbohong. Pandangan itu melunak seiring bulir air mata yang mengalir pelan ke pipinya yang kuning langsat itu. Novi lalu menempelkan kedua tangannya, yang sudah mulai membeku akibat dari cuaca musim dingin ini, ke pipi Enade dan menempelkan bibir mungilnya ke mulut Enade yang sedikit terbuka karena ingin bertanya. Enade pun memeluk pinggang Novi dan mereka berciuman mesra di tengah tatapan pejalan kaki yang lalu lalang di jalan itu.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 219
“Kenapa Nov?” tanya Enade yang masih kebingungan karena tingkah Novi yang agak aneh ini. “Aku mencintaimu En.” “Ah...” Enade sudah mulai menebak arah pembicaraan. “Tapi seperti katamu dulu. There is no ‘us’ in the future. Semua yang kita lakukan selama ini hanya sekadar menuruti nafsu dan kebutuhan semata. Kamu happy, aku suka, semua senang.” Hening sejenak, tangan Novi yang kedinginan semakin erat terjalin di jemari Enade. “Tapi, aku mulai mencintaimu En. Dan aku tahu, sejak rasa itu muncul aku harus mengambil pilihan pahit ini. I must stay away from you.” Enade terdiam dan tersenyum getir. Dalam benaknya berkecamuk banyak hal. Memang tidak ada masa depan di antara mereka. Novi memilih tinggal dan hidup di Belanda, sedangkan Enade bertekad untuk pulang dan berkarya di Indonesia. Lagipula, ada anak dan istrinya yang menunggu di Yogyakarta. “Terima kasih, En.” “Untuk apa?” “Untuk segalanya yang telah kita lalui selama ini. Aku suka dan menikmatinya juga. Aku pasti merindukan saat-saat itu lagi. Maafkan aku...” Novi belum menyelesaikan kalimat yang dilatihnya semalaman saat Enade mengambil inisiatif untuk menutup bibirnya dengan jari telujuk dan beranjak pergi setelah mengecup lembut tipis bibir dan dahi Novi. Tanpa mengucap sepatah kata pun. Air mata Novi semakin deras mengalir. Setelah langkah kelima, baru Enade membalikkan badan sambil berkata dengan sedikit berteriak, “Nov, dalam cinta tidak
220 | Pegiat Sastra Ikastara.org
ada kata ‘terima kasih’ dan ‘maaf’. Sebab semuanya terangkum dalam kata cinta dan pasti mewujud lebur dalam tindakan.” “Kata ‘terima kasih’ dan ‘maaf’ yang terucap tadi sudah merupakan bukti yang cukup bagiku bahwa kau belum mencintai aku sepenuhnya. Nikmati sajalah perasaan cinta yang sedang tumbuh itu.” “Dan ketika kau membutuhkan untuk bercinta dengan aku, kau tahu bagaimana dan di mana untuk menemukan aku.” Enade melangkah menjauh sambil melambaikan tangan dan air mata Novi yang mengalir deras, beberapa sudah membeku sebelum bersatu dengan tanah. Minggu sore, setelah sepekan berlalu Enade melangkah keluar dari De Krijtberg, Gereja Katolik yang dikelola oleh romo-romo Jesuit setelah Ekaristi terakhir pekan itu. Perlahan dia berjalan melewati Bloemen Markt (terjemahan bebas: “pasar kembang“) sambil menikmati hari yang tidak hujan. Sejak seminggu yang lalu, hujan rintik-tintik plus sesekali salju turun membasahi tanah pasir ini. Dengan ringan dia melangkah ke Kafe De Jaren di belakang Hotel de L‘Europe. Saat itu dia menuju ke meja tempat sesosok wanita dengan pakaian musim dingin yang anggun sedang duduk serius membaca sebuah novel. “Hai, sudah lama menunggu?” “Eh, Kak En. Lumayan lama sih. Tapi ndak papa kok, ‘kan ditemani Andrea Hirata yang kupinjam dari seorang teman minggu lalu,” jawab wanita itu sambil tersenyum, menunjukkan novel berjudul Maryamah Karpov karya Andrea Hirata, dan kemudian mereka berbagi salam khas Belanda, kecupan pipi tiga kali.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 221
“Bagus ceritanya? Aku sih cukup kecewa dengan Maryamah Karpov yang kaubaca itu. Pada awalnya aku sudah berharap terlalu banyak dari novel itu, mengingat kesuksesan tiga novel pendahulunya.” “Ah, aku belum selesai membacanya. Sejauh ini sih, aku menyukainya. Mungkin karena aku tidak berharap apa-apa dari novel ini. Bukankah harapan adalah sumber dari kekecewaan?” jawab wanita itu sambil mencubit kecil pipi Enade yang tembem. “Hehehe...” jawab Enade sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kak En sudah pesan minuman?” tanya wanita itu. “Belum. Kau sudah pesan?” “Yup. Aku sudah pesan cappuccino dan untuk Kak En sudah aku pesankan french coffee. Aku sudah bilang ke pelayan untuk mengantar pesanan kalau sudah ada lelaki dengan ciri-ciri Kak En menghampiri meja ini. Oh, itu mereka sudah bergerak kemari.” Sementara wanita itu menyelesaikan urusan administrasi, pikiran Enade berkecamuk. Cantik dan pintar adalah kombinasi yang berbahaya. Nama panggilan perempuan ini adalah Olive. Minggu lalu Olive kemalaman dan mampir menginap di apartemen Enade. Entah dapat inspirasi dari mana, saat bangun tidur di Minggu pagi itu, Olive mencium Enade dan “mengundang” Enade untuk bemesraan. Padahal saat itu dia sedang kedatangan “tamu bulanan”. Satu tindakan kecil darinya berhasil menyadarkan Enade yang sudah terbakar nafsu, sekaligus membuka identitasnya: pekerja seks komersil di kawasan paling populer sedunia, Red Light District Amsterdam. Kejadian Minggu lalu berlangsung cukup cepat. Setelah menampar Enade, menarik tali dan teriak ”acht zes“, Olive segera bangkit merapikan bajunya. Ia lalu merapikan bawaannya, cuci
222 | Pegiat Sastra Ikastara.org
muka di kamar mandi, dan segera bersiap meninggalkan apartemen Enade. Sebelum keluar kamar, saat itu Enade sudah tidak terbengong-bengong dan memegang erat pergelangan tangan Olive dengan tatapan mata tajam menuntut penjelasan. Olive dibiarkan pergi setelah dengan singkat berkata, “Lepaskan aku. Aku akan jelaskan segalanya tapi tidak sekarang.” Dua hari yang lalu, Enade menerima SMS dari Olive untuk bertemu hari Minggu ini di Kafe De Jaren pukul 18.30 CET. “So, apa kabar?“ tanya Enade basa-basi setelah menyeruput seteguk french coffee. “Ah, nggak usah basa-basi. Kau ingin penjelasan ’kan?” “Ya. Tapi sebelum kau jelaskan kejadian minggu lalu, jelaskan dulu kenapa kau bisa tahu kalau french coffee adalah minuman kesukaanku?” “Aku melihat beberapa botol Amaretto Disaronno kosong di dapurmu. Biasanya pecinta Amaretto Disaronno suka dengan french coffee. Dan aku membuktikan hipotesis itu kali ini, bukan?” jawab Olive singkat sambil tersenyum penuh kemenangan. Enade hanya tersenyum mendengar jawaban itu dan sekali lagi mengonfirmasi dalam hati, sungguh cantik dan sungguh pintar. Kombinasi yang sungguh berbahaya. Sambil menyeruput dengan gaya konservatif Eropa kuno, Enade melempar pandangan minta penjelasan dan bertanya langsung, “Dan apa hubungannmu dengan Red Light District alias RLD. Dari tarikan tali dan teriakan ‘acht zes’-mu aku berpikir kalau kau ada hubungan dengan dengan RLD?” “Sebelum aku jawab, aku bertanya dulu. Kau tahu dari mana tentang tali dan teriakan ‘acht zes’? Vaste klanten (pelanggan tetap) di RLD ya?“ tanya Olive sambil melirik nakal. Surat yang Tak Pernah Selesai | 223
“Yee... Sore hari sebelum kau nginap di tempatku itu, kebetulan aku ikut tour RLD yang dipimpin Marijke. Dari situ aku tahu tentang tali dan teriakan ’acht zes‘ itu.“ “Oh, oke. Baiklah, sekarang aku akan jujur padamu. Aku memang penghuni RLD sejak aku datang di Belanda. Sekarang aku masih kerja di sana. Jam kerja tetapku adalah saat akhir pekan pukul 20.00 sampai sekitar pukul 01.00 CET, kecuali sedang kedatangan tamu bulanan seperti minggu lalu. Aku haus akan ilmu karena aku tidak sempat mengenyam bangku kuliah. Jadi semenjak dapat status legal kemarin, aku mulai ambil kuliah lagi di bidang sastra Belanda. Aku suka sastra. Meski aku kuliah, aku tetap butuh penghasilan untuk hidup, makanya aku tetap berkerja di RLD saat akhir pekan.“ Olive berhenti sejenak untuk menghabiskan cappuccino-nya, “Iya, dari pandangan matamu aku tahu kau pasti mau menawarkan informasi pekerjaan lain. Namun aku tidak tertarik. Pertama memang alasan uang. Penghasilan di RLD cukup jauh di atas ratarata perkerjaan sampingan lainnya dan tidak menyita banyak energi mengingat aku sudah terbiasa di sini. Sehingga aku bisa membagi waktu kuliahku dengan kerja. Kalau kuliah nggak sibuk dan mood-ku sedang baik, pada hari kerja aku juga ngantor di RLD. RLD sudah jadi komunitasku, Kak En. RLD dan aku saling membutuhkan.”
224 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Enade menikmati tegukan terakhir dari french coffee seraya melempar pandangan kagum. Kagum akan perjuangan dan semangat perempuan di depannya. “Kak En, kopinya sudah habis? Aku mau berangkat kerja nih. Kak En mau jalan sama aku ke tempat kerjaku?” tanya Olive sambil mengerling manja. “Boleh.” Olive dan Enade lalu beranjak keluar dari De Jaren dan sambil bergandengan berpelukan, mereka melangkah ke utara ke arah Niuwemarkt lalu belok kiri menuju kawasan gemerlap RLD. Enade mengikuti langkah Olive menuju Oude Kerk. Dua gang sebelum Oude Kerk, Olive belok kiri dan masuk ke kamar ketiga di sebelah kiri. Enade diajaknya masuk dan sementara Olive bersiap-siap, Enade bengong mengamati kondisi kamar yang diterangi cahaya remang-remang dari lampu pendar. Olive berganti dari baju anggun untuk kencan dengan Enade, menjadi lingerie warna hijau pupus yang bisa berpendar dan menonjolkan bagian tubuh yang memang layak ditonjolkan. Enade mulai bergairah melihat pemandangan itu. “Oke, aku sudah siap. Maaf, bukan mengusir, tapi ini jam kerjaku. Kasihan pelanggan yang mungkin sudah menunggu.“ “Kalau aku mau tinggal, bagaimana?“ tanya Enade sambil memeluk Olive. “Fifty euro. You can stay 20 minutes more.“ jawab Olive sambil mengecup tipis bibir Enade. “What can I get for 50 euro?“ “I will get naked. You can touch my body, my boobs, and butt. But not my pussy. And, of course, suck and fuck.” kata Olive datar.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 225
“Itu pertanyaan dan jawaban by default, ya?” “Iyahhh…” “Ya sudah, aku pergi. Aku nggak mau mengurangi pendapatanmu karena mengajak ngobrol pada jam kerja.” kata Enade sambil bersiap-siap meninggalkan “kantor” Olive. Ketika Enade sudah hampir sampai pintu keluar, Olive memegang pergelangan tangan Enade. Sama seperti saat Olive mau meninggalkan kamar Enade minggu lalu. Olive menarik Enade melumat lembut bibir Enade. Enade yang sudah bergairah menanggapinya dengan memeluk Olive. Kamar temaram menjadi saksi pergulatan cinta malam itu, antara Olive dan Enade. *** “Aku pamit dulu. Terima kasih.” “Aku yang terima kasih...” tukas Olive. Enade mengeluarkan dompet. “Apa maksudnya itu, kak En? Aku suka kakak dan anggaplah itu tadi sebagai penglaris. Kakak pelanggan pertamaku hari ini.” Tolak Olive saat Enade mengeluarkan dua lembar 50-an euro dari dompetnya secara mereka memadu cinta lebih dari setengah jam. “Terimalah. Ini jam kerja. Kau harus tetap profesional toh?” “Baiklah, aku terima 50 euro saja. Aku ’kan nggak profesional kali ini, kita ’kan tadi berciuman.” Jawab Olive sambil kembali mengecup bibir Enade. Enade lalu meninggalkan “kantor” Olive dan berdiri di luar mengamati “jendela” tempat Olive memamerkan “dagangan-
226 | Pegiat Sastra Ikastara.org
nya”. Enade meninggalkan tempat itu sekitar tujuh menit kemudian setelah ada pelanggan baru yang masuk ke kamar Olive dan gorden “kantor” Olive ditutup. Enade memilih jalan kaki untuk pulang ke apartemennya malam itu. Langit cerah, bintang bertaburan, serta bulan yang hampir sempurna setelah tiga hari purnama, menemani langkahlangkah ringan dari kawasan RLD menuju Amstel Station. Berjalan kaki merupakan cara yang ampuh, menurut Enade, untuk mengendapkan dan meresapi segala kejadian sepekan ini. Sungai Amstel di jembatan Amsteldijk yang sebagian permukaannya masih berupa es, memantulkan pemandangan langit lengkap dengan gemerlap lampu dari belantara Amsterdam. Sungai ini sebenarnya kotor sekali. Namun karena ditata elok dan rapi, serta tidak ada sampah yang mengapung di permukaan, terlihat seperti cantik dan indah. Berjalan di tepian Amsteldijk, melihat berpasangan kekasih berjalan berpelukan, membawa angan Enade melayang sebentar ke saat berpisah dengan belahan jiwanya di bandara SoekarnoHatta beberapa tahun silam. “Aku mencintaimu En.“ “Aku tahu. Aku juga mencintaimu.“ “Kembalilah dengan utuh, Say.“ “Aku tidak bisa berjanji untuk kembali utuh. Aku mencintaimu, itu pasti. Dan aku berjanji akan kembali sebagai suamimu…”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 227
Trilogi Amstel: Sungai Amstel dari Balik Jendela Ruang KB266 terasa semakin dingin. Seorang pria dengan kemeja lusuh duduk di sudut sementara di sudut yang lain seorang pria lain, bule tinggi besar, berjalan mondar-mandir seperti resah. “Enade, that’s the best I could do for you. I’m sorry.” kata bule itu sambil memegang dokumen evaluasi tahunan yang dipercepat di tangan kanannya. “Yes, thank you.” Bule itu kemudian meninggalkan Enade setelah mengucapkan selamat tinggal dan selamat berakhir pekan, prettige weekend. Setelah tegukan terakhir kopi yang sudah dingin, Enade pun juga meninggalkan ruangan itu dan bergerak ke ruang sebelahnya, KB276. Ruangan terpencil di koridor tambahan lantai dua di Science Building, Vrije Universiteit Amsterdam. Enade mematikan laptop dan PC-nya, merapikan meja kerja yang diseraki jurnal dan coretan tidak jelas. Sudut matanya melirik jam dinding di atas pintu, pukul 18.30. Weekend sudah dimulai satu setengah jam yang lalu. Hm... Sebelum Desember tahun lalu, pulang terakhir dari lab merupakan fitur tambahan Enade dalam menuntut ilmu. Fitur yang sekarang sangat jarang dilakukan setelah ada kolega baru yang workaholic dan cukup sangat mampu menggesernya untuk evaluasi yang dipercepat... dengan kemungkinan untuk dipecat. Yup... hari ini hari yang berat bagi Enade. A day which he struggled.
228 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Meninggalkan lab tepat pukul 19.00 setelah memastikan semua lampu mati dan pintu terkunci, Enade dengan langkah berat menuju halte tram. “D*mn!” pikirnya “Ini summer, ndak ada metro langsung ke apartemen. Sh*t!!!” Ia meneruskan langkah menuju halte De Boelelaan. Halte terdekat dari tempatnya bekerja untuk mengambil metro nomor 51, yang tidak beroperasi di musim panas ini. Setelah menunggu di halte sekitar 7-10 menit, datang tram nomor lima dengan tujuan Amsterdam Centraal Station. Enade naik tram itu dan memainkan lagu-lagu KLA dari mp3 player yang baru dibeli empat bulan lalu. Dia bukan fanatik musik, namun sepertinya dia membutuhkannya untuk mengurangi kecamuk di benak. Sengaja dia tidak overstapen di halte Station Zuid, namun memilih terus dan menikmati ramainya tram nomor lima di akhir pekan. Tram yang membawa penumpangnya melewati pusat-pusat hiburan Amsterdam: Concert Gebouw, Museum Plein, Leidseplein, Spui, dan tentu saja, Kalverstraat, pusat perbelanjaan yang lokasinya paralel dengan Red Light District yang terkenal itu. Enade turun di Koningsplein, berjalan menyusuri Bloemen Markt, dan ternyata dia memilih mengawali akhir pekan di Pathe de Munt. Pathe adalah sebuah jaringan bioskop mirip jaringan 21 di Indonesia. Dengan kartu unlimited yang ia miliki, Enade bebas nonton film apa saja. Setelah memasuki hall Pathe de Munt, dia mendongak ke atas kanan tempat jadawal film yang diputar. Harry Potter 6 sudah habis dipesan. Enade tak peduli mau nonton film apa, dia lalu memilih film terdekat yang akan diputar. Jatuhlah pilihan pada The Hangover. ***
Surat yang Tak Pernah Selesai | 229
Hohoho... Enade masuk ke bioskop tadi dengan dua kaleng Amstel Beer. Sepertinya sudah agak mabuk dan agak ringan tatapannya dibanding sebelum nonton tadi. Enade keluar dari Pathe de Munt dan berjalan kaki menyusuri Rembrandplein, daerah yang banyak kafe dengan bendera pelangi dipajang di atasnya. Cukup aneh pilihan perjalanannya kali ini. Kalau mau pulang, biasanya dia naik tram nomor sembilan ke arah Waterloplein dan overstapen metro nomor berapapun ke arah Amstel Station. Ke manakah gerangan langkah berat Enade diayunkan? Ternyata dia mampir sebentar ke Wok to Go di seberang jalan, dan keluar dengan menenteng tas plastik berisi produk masakan kilat kedai Wok to Go. Enade meneruskan perjalanan menyusuri Rembrandplein. Sesampainya di jembatan yang melintasi sungai Amstel, dia berbelok kanan. Oh... sepertinya dia akan menyusuri Amsteldijk lagi. Kira-kira 200 meter dari jembatan, dengan pemandangan di seberang sungai dua pasang anak muda yang saling berciuman dengan pasangannya, Enade berhenti dan duduk di sebuah kursi yang tersedia di situ. Perlahan dia meletakkan tasnya di sebelah kiri sambil menyiapkan makanan yang baru dibeli di Wok to Go dan bersiap untuk menyantap selagi masih hangat. “Hey!?” teriak Enade tertahan ketika sepasang tangan tibatiba menutup matanya. “Guess who?” bisik lembut pemilik sepasang tangan yang halus itu. “Hm...” Ingatan Enade meloncat-loncat mencoba mengingat siapa pemilik suara khas dan tangan yang menutup matanya ini. Dan setelah hati dan otaknya meyakinkan dia terhadap kisahkisah yang hilang sejak beberapa bulan yang lalu, Enade berbisik lemah...
230 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Olive...?” “Yak, betul. Anda benar!” Teriak perempuan berdarah oriental itu sambil memutar tangannya, melepas dari kedua mata Enade dan sekarang posisi mereka saling berhadapan dengan Enade duduk di kursi, Olive di depannya dalam posisi berdiri membungkuk sambil merangkul Enade. Wajah mereka saling berhadapan. Ada perasaan aneh mengalir di nadi Enade. Hangat tapi menahannya supaya tidak mencium bibir Olive. “Rasa” bibir Olive masih tersimpan kuat di memorinya. Mereka pernah “hidup bersama” beberapa waktu yang lalu. Mereka akhirnya hanya saling menyapa dengan cara khas Belanda, saling menempelkan pipi kanan, pipi kiri, dan pipi kanan lagi. “Apa kabar Kak En?” Tanya Olive membuka percakapan, yang dijawab Enade dengan senyuman tipis saja. “Sepertinya ini musim panas, tapi tadi kuperhatikan saat melihat Kak berjalan hingga duduk di bangku ini, kok tampaknya langkahmu berat? Hidup semakin sulit pastinya ya...” “Kok bisa kau tahu aku di sini?” “Mengawali weekend dengan nongkrong di salah satu kafe di Rembrandplein kupikir cukup asyik. Eh, nggak sengaja melihat seorang yang kurasa kukenal karena pakaiannya yang aneh di tengah musim panas ini. Matahari bersinar terang kok pakai jaket dan pernak-pernik lain seperti orang mau naik gunung? Siapa lagi kalau bukan Kak En. Ja toch?” ujar Olive yang berkostum sandal jepit, celana pendek jeans putih dan tank top. Sandal jepitnya berbentuk norak dan berwarna merah jambu, begitu pula dengan tank topnya. Kacamata hitam besar menutupi matanya yang sipit.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 231
“Lalu segera kubayar pesananku supaya tidak kehilangan Kak En. Setelah kubayar, aku cari di halte Rembrandplein, Kak En nggak ada. Namun aku masih melihat sosok Kak En menuju Waterloplein. Aku ikuti dengan harapan Kak En masih terkejar sebelum masuk metro station. Tapi kok tiba-tiba di Sungai Amstel, Kak En belok kanan. Ah makin tidak tertebak aja Kak En ini, batinku waktu itu. Dan kemudian kulihat Kak En duduk di bangku ini. Muncul deh pikiran iseng untuk ngerjain Kak En. Hebat ya... Kak En masih mengenal aku meski matanya ditutup.” Sementara Olive menjelaskan panjang lebar bagaimana dia bisa menemukan Enade, Enade kehilangan fokus, memandangi sepasang anak muda di seberang sungai yang sedang melakukan “public display of affection”. Enade hanya sempat menangkap kalimat terakhir, dan menjawab dengan intonasi datar, “Siapa sih yang bisa melupakan wanita secantik engkau.” Sebuah jawaban default yang otomatis keluar. Olive menangkap kegetiran dalam kalimat itu. Dia merasa Enade bukan pribadi yang enak diajak bicara saat ini. Dia berpikir untuk meninggalkan Enade supaya weekend ini tidak rusak karenanya. Namun ada sesuatu yang dia harus sampaikan ke Enade sebelum pergi. Enade berhak mengetahui hal ini. “Kak En?” “Ya?” “Kak En baik-baik saja? Ceritalah Kak... Mungkin bisa mengurangi beban dan kakak lebih menikmati weekend ini.” “Aku baik-baik saja. I have God, I have enough.” “Ah, perkataan dari mulut Kakak ndak sejalan dengan rasa dan kehendak Kakak. Itu hanya jawaban default dari Kakak saja. Kalau Kakak memang begitu kuatnya dengan iman Kakak yang I-have-God-I-have-enough itu, kenapa kulihat mendung menghalangi pancaran wajahmu...” 232 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“... Tak terbiasa kudapati kau diam menjura...” dilanjutkan Enade perkataan Olive dengan lirik dari lagu yang pernah dinyanyikan Katon dan Ruth Sahanaya “Ya. I have God, I have enough. Namun boleh toh merenungi the day which I struggled?” lanjut Enade sambil kembali mempersiapkan lagi makan malamnya yang tertunda. “Mau?” Enade menawarkan box mienya dengan basa-basi. Yang dijawab gelengan singkat Olive. Mereka pun kembali terdiam. Olive sibuk dengan pikirannya sendiri sementara Enade menyuapi naga-naga yang berontak di perutnya. Setelah beberapa menit dalam bisu, Enade berjalan bergerak ke tempat sampah terdekat dan membuang box berikut perlengkapan makannya. “Olive, aku mau jalan lagi. Kau mau ikut aku menyusuri sungai Amstel ini sampai apartemenku atau...” “Kak En, duduk sini dulu dong, temani Olive dulu. Ada yang ingin Olive sampaikan ke kakak. Penting banget.” rajuk Olive. “Hmm… apaan?” Enade kembali duduk di samping Olive. ”Kak En dulu yang cerita lah. Kak En yang tampangnya berlipat gitu.” “Nggak ada yang perlu diceritakan. Just an ordinary story from an ordinary person. Aku barusan dievaluasi dan dinyatakan nggak perform well. Kemungkinan besar aku akan dipecat atau at least kontrakku dipercepat. Ah itu hanya bahasa lain dipecat. Intinya aku sudah tidak dibutuhkan lagi. Kau tahu ‘kan perasaan tidak dibutuhkan? Itu ‘kan alasanmu meninggalkan aku beberapa bulan lalu dengan beberapa baris pesan di meja kamar kita, eh… kamar... KU?” Enade berkata seperti menyalak dengan nada tinggi, serta tatapan mata dingin jauh ke depan.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 233
Olive hanya meringis. Dia meninggalkan apartemen Enade beberapa bulan lalu dan hanya meninggalkan pesan di meja, bertuliskan:
“Kak En, sepertinya Kakak sudah tidak membutuhkan aku lagi. Terima kasih dan selamat tinggal. Love always, Olive” Saat itu awal musim semi. Baik Enade maupun Olive lebur dengan kesibukan masing-masing. Olive sibuk dengan tugas akhir studi dengan menulis tesis yang tidak kunjung usai. Sementara Enade sibuk adu cepat di lab dalam usaha riset grupnya dalam menemukan obat anti Flu Burung. Hingga keduanya kehilangan percikan-percikan yang membuat mereka memutuskan untuk tinggal bersama. Puncaknya adalah Olive pergi meninggalkan sebaris pesan dan tidak bisa dihubungi lagi. “Maaf...” Dan suasana kembali hening. Enade menyalakan rokok putih dan berencana membaginya dengan Olive. Yang tidak disangkanya, Olive menolak tawaran itu dengan senyum yang sangat manis. “Aku sudah berhenti Kak. Aku hamil...” Enade terbatuk, tersedak asap rokok yang dihisapnya. Dia berdiri dan tangannya bergetar hebat sampai-sampai batang rokok putih di tangannya terjatuh. Enade tidak bisa berkata apa-apa lagi, hanya menatap Olive dengan pandangan tajam menuntut penjelasan. Dalam benaknya dia mengutuk, “Masalah apa lagi yang menimpaku kali ini? Tidak cukupkah serangan beruntun pekan ini untuk menumbangkanku, dan membuatku jatuh rebah dan terpuruk?” Olive masih tersenyum manis dan mencoba mengecup bibir Enade yang ditanggapi dengan tepisan yang sedikit kasar.
234 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Rileks Kak En. Ini bukan anak Kak En. Bukankah dulu kita selalu pakai pengaman? Ini kabar bahagia kok.” Enade mulai agak tenang. Dia menjatuhkan kepalanya di pelukan Olive yang disambut dengan belaian lembut. “Aku lelah. Andai cawan ini berlalu dari aku.” “Sssttt... sudahlah. You have your God, and you have enough. Don’t you?” Enade melampiaskan seluruh rasanya di pelukan Olive saat itu. Dia menceritakan segalanya. Segalanya. Terutama luka-luka yang diderita akibat keangkuhan dia sendiri. Dia mendapat kabar kalau perkawinan Sigit dan Tessa, kedua sahabatnya di Indonesia, akhirnya kandas. Sigit belum balik lagi ke Amsterdam. Sementara istri dan anaknya sendiri semakin sulit diajak komunikasi. Dia diabaikan di keluarganya sendiri. Juga dia dapat kabar bahwa posisi di kantornya di Indonesia sudah ditempati orang lain, yang artinya dia akan jobless sepulang dari Amsterdam. Hal ini merupakan akibat dari perseteruannya dengan bos besar di Indonesia. Hal ini merembet ke kinerjanya dan akibatnya sudah diketahui di awal cerita ini. Dia tahu kalau semua itu bersumber pada keangkuhannya sendiri. Andai dia mau menunduk, dan belajar rendah hati. Penuh percaya diri namun rendah hati seperti lagu Pesan Ibunda ciptaan bu LB Moerdani. Andai... “Sssstt... semua sudah terjadi. You still have your God. Okay? Masih ada anugerah berupa setiap hembusan nafas ini Kak En. Dulu Kak En yang sering berkata begitu. Yang diakhiri dengan ‘... kepakkan sayapmu dan terbanglah. Karena engkau adalah rajawali Allah...’ di akhir wejangan itu.” Setelah perasaannya sedikit lega, Enade melepas pelukan Olive dan berdiri mendekati Sungai Amstel.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 235
“Di buku Coelho yang berjudul Di Tepi Sungai Piedra, Aku Terduduk dan Tersedu, ada kepercayaan kalau apapun yang masuk sungai Piedra akan diubah jadi batu. Termasuk air mata dan hati yang mulai membeku. Kalau air mataku tadi menetes di sunga Amstel, paling hanya akan bercampur dengan segala kebusukan sungai ini.” Teriak tertahan Enade yang hanya bisa didengar Olive. “Ah, air matamu membasahi dadaku kok.” Jawab Olive ringan. Dan Enade sudah bisa tersenyum dan matanya menyiratkan semangat lagi. “Thanks. Oh ya, selamat atas kehamilanmu. Maaf aku tidak memperhatikan perubahan fisikmu. Sepertinya memang tidak berubah hanya kau memang tampak lebih cantik.” Ujar Enade sambil kembali duduk di samping Olive. “Sama-sama. Dan berita lagi. Aku sudah lulus dan sekarang sudah menyandang gelar master seperti yang kau punya.” Ujar Olive sambil mengulangi kegemarannya masa lalu, mencubit kecil pipi tembem Enade. “Good for you!” Enade semakin terbelalak dan pikiran nakalnya mulai bermain untuk menikahi Olive meskipun sudah hamil dan menceraikan istrinya di Indonesia. Namun dia mengusir pikiran nakal itu segera. Enough is enough. “Dan masih ada satu lagi, aku akan menikah di Gementee bulan depan.” Berita ini semakin membuat Enade mengusir jauh-jauh pikiran nakalnya. Matanya juga semakin terbelalak dan sekali lagi berteriak. “Akhirnya dengan segala perjuangan dan derita yang kau lewati. It’s over. Olive yang dulu teriak ‘acht zes’ dengan pancaran mata ketakutan, sekarang berubah menjadi a lady. Congratulations!” 236 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Roda selalu berputar toh Kak En. Even it is a good day or a bad day, God will always be with you. Toch?” Enade hanya mengangguk kecil. “Ayo aku kenalkan pada tunanganku. Dia sudah sampai Rembrandplein, sepertinya. Kami janjian di sana untuk mengawali weekend ini. Sebentar aku cek dulu.” Olive kemudian menelepon seseorang sementara Enade melirik jam tangannya, 22.15 CET, matahari masih bersinar terang. Rencana Enade untuk menyusuri sungai Amstel dibatalkan. “Yuk Kak, dia masih di tram menuju Rembrandplein. Cukup jauh perjalanan dia kemari. Dia dari Nijmegen.” Lalu Olive dan Enade berjalan dengan tempo sedikit lebih cepat menuju Rembrandplein. Olive mengajaknya masuk ke salah satu kafe. Perasaan Enade mulai tidak enak secara dia melihat bendera pelangi di kafe itu. Namun dia melihat ada beberapa pasangan hetero di tempat itu. “Ah biarlah,” batin Enade. Olive memesan dua french coffee, satu untuk Olive dan satu untuk Enade. Saat menunggu minuman terhidang, terlihat seseorang berjalan menuju meja mereka. “Ah, ini dia sudah sampai. Enade, this is Marijke, my fiancee. Marijke, this is Enade, my ex.” “I’m Marijke, I heard a lot about you from Olive. Nice to meet you.” ujar Marike memperkenalkan dirinya. Enade hanya tertegum sambil bersalaman dengan Marijke. Dengan pandangan bertanya-tanya, dia menjawab singkat, “Enade. Nice to meet you too.” Lalu sambil masih bersalaman dengan Marijke yang tinggi dengan kecantikan khas Belanda, serta sedikit kekar. Enade memandang perut Olive sambil bertanya, “How come?”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 237
Olive hanya menjawab sambil tertawa kecil, “I thought you’re a scientist?” *** Enade menatap sungai Amstel dari balik jendela kamarnya malam ini. Lampu-lampu sudah menghiasi Amsterdam. Pemandangan dari kamarnya ternyata mempesona. Sudah lama ia tinggal di tempat itu tapi tidak pernah menyadarinya. “Hari ini begitu indah.” bisik lirih Enade pada malam, lalu menutup jendela dan beranjak tidur. ~ Cerita ini fiktif belaka. Nama-nama yang dikenal dimunculkan untuk membuat efek nyata. Namun sekali lagi, kisah ini fiktif belaka.
238 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Chibiko Dear “chibi-ko”… Pagi ini ketika aku melintasi “jalan kenangan” itu, aku ingat lagi padamu. Dulu kita sering jalan berdua melewati jalan setapak ini menuju ke asrama setelah malam-malam penuh tumpukan buku di perpustakaan. Sepanjang jalan, riuh caramu bercerita selalu menarik lirikan mata mereka yang juga sedang dalam perjalanan pulang. Tabrakan dengan dosen, yang sebenarnya biasa saja, menjadi topik semenarik fenomena Obama jika itu kamu yang menceritakannya. Seluruh dunia ikut dalam ekspresimu yang begitu hidup, dari matamu, dari gerakmu, dari senyummu. Diam-diam aku berharap, jalan kenangan itu ternyata tidak berujung.. Chibi-ko, Pagi ini masih gelap. Cahaya lampu memantulkan warna keperakan di tepi mahkota bunga mentega yang berbaris rapi di sisi jalan kenangan. Aku jadi teringat, dulu kamu begitu takjub pada barisan rapi kembang seputih salju yang memberi nuansa berbeda jalan kenangan di waktu malam. Aku masih ingat ekspresimu ketika tahu bahwa nama bunga itu adalah bunga mentega. Kamu tertegun sebentar dan sedetik kemudian aku yang terdiam. Kamu tertawa, lepas, dengan suara lebih merdu dari simfoni hujan. Aku selalu ingat saat-saat itu. Karena itulah pertama kali aku melihat benteng dalam dirimu runtuh, sejak pertama kali kau menjabat tanganku dan menyebut namamu. Lebih dari itu, karena saat itulah, chibi-ko, aku tahu bahwa jalan kenangan akan lebih dari sekadar setapak yang selalu aku lalui setiap malam.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 239
Chibi-ko, sejak kapankah kupanggil kau dengan nama itu? Ah, aku ingat detik-detik perkenalan kita. Kita bukan satu jurusan, bukan pula satu asal. Kita hanya dua orang mahasiswa asing, di negeri asing, tanpa sanak saudara, dan sama-sama maniak dorama. Kesamaan yang mengantarkan kita di kelas bahasa Jepang. Syoukai suru (perkenalan –pen.) basa-basi yang membuat kita sama-sama terhenyak. Satu kesamaan lagi, nama belakang kita sama. Cempaka Kosasih dan Laras Kosasih. Kebiasaan memanggil nama keluarga hanya akan menambah tragedi salah panggil. Lewat yubikiri (perjanjian dengan kelingking –pen.) insidental di ”malam bunga-mentega“ itu, Laras Kosasih resmi menjadi ”chibi-ko“. Hanya aku yang memanggilmu begitu, dan hanya kamu yang memanggilku ”nee-chan“. Selisih beberapa bulan saja membuatku merasa kamu harus memanggilku kakak. Laras, Laras... kamu tidak pernah tahu mengapa aku memaksamu mengakui perbedaan usia kita. Laras, my chibi-ko, Hari ini entah mengapa kenangan akan malam-malam bunga mentega itu sekali lagi muncul di pelupuk mataku. Tiga tahun berlalu dan masih ada lubang menganga yang kau tinggalkan bersamaku. Semua tawa, canda, senyum kita serasa mimpi yang hilang saat mentari pagi menerobos kegelapan malam yang nyaman. Tanpa sepatah kata selamat tinggal atau sekelumit penjelasan, kau berlalu dari kehidupan bunga mentega yang sempat menjadi semangat hidupku melewati gigitan musim dingin. Tiba-tiba jalan pulang bersama ke asrama menjadi sebuah permintaan paling sulit, tiba-tiba kamu memutuskan pindah asrama, tiba-tiba tidak ada senyum dan canda lagi kau tawarkan saat mata kita bertemu. Tiba-tiba, setelah masa undergraduate kita berlalu, kamu memutuskan mengambil tawaran ke Belanda dan bukan studi lanjut ke Jepang seperti yang selalu kita janjikan.
240 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Ada sebuah pertanyaan yang tak terjawab yang sengaja kau tinggal menoreh semua kebingungan. Ada apa, Laras? My dear Chibi-ko, Selamat ulang tahun. Kali ini tak ada tepung atau telur tersembunyi di tanganku seperti saat ulang tahunmu yang ke-20 atau sekadar sepasukan teman yang bisa melemparkanmu ke kolam asrama di ultahmu ke-21. Hanya sebuah doa yang kupanjatkan untuk kebahagiaanmu dan semoga kamu mau mengerti. Chibiko, ingatkah kamu malam bulan separuh? Saat kau gamit tanganku dan bercerita tentang cinta Putri Bulan dan Raja Matahari, aku berdusta saat aku berkata kau hanyalah seorang adik. Aku terlalu takut mengakui apa yang perlahan menjangkiti kepalaku. Seperti segerombolan virus, kau menginfeksiku habis tanpa sisa. Aku takut kehilangan apa yang sudah ada, dan aku takut merasakan luka yang sama. Kaulah yang membantuku keluar dari luka itu, dan aku takut kehilanganmu sebagai seorang yang menorehkan luka yang sama dengan apa yang ditinggalkannya padaku. Chibi-ko, Tidak ada mesin waktu. Walau Doraemon hidup dalam dunia kita, duniamu, duniaku. Tapi selalu ada waktu untuk jujur, dan aku tahu sekaranglah yang terbaik. Selamat ulang tahun Laras, aku selalu sayang padamu. ***
Surat yang Tak Pernah Selesai | 241
Chibiko: Catatan Saat Salju Melambai Pergi Salju sudah berhenti. Musim semi mengintip di balik gorden. Selembar kalender lagi lenyap di balik tong sampah dan aku teringat lagi padanya. Dear Chibi-ko, Musim dingin masih menyisakan taring dalam detak 7 derajat. Apa kabarmu di sana? Dengan jurnal di hadapanku, rasanya aku sedang menantang maut. Ingin kututup saja semua tapi tanganku beku di udara. Setelah sekian tahun, semuanya masih terasa begitu nyata. Tawamu, senyummu, jalan bunga mentega, dan lambaianmu di hari kelulusan kita. Senyum terakhir, tanpa penjelasan mengapa engkau berubah di hari-hari terakhir kita berbagi langit yang sama. Ada gelisah yang mungkin tak tahu harus aku bagi ke mana. Dan surat ini mungkin akan menyusul rekan-rekan seperjuangannya, berjamur di sudut harddisk. Berharap gelombangnya mencapai khayalmu meski tanpa antena... Chibi-ko, Melihat semua jurnal ini aku ingat kau pernah bertanya, bisakah aku membaca pikiranmu? Kaupikir aku ini kuliah untuk jadi dukun? Dan tawamu menggema. Menyebalkan. Bagaimana semesta gelombang suara bisa membuat dunia jungkir balik? Betapa tidak adil. Sementara kau pulas di seberang sana, tawa itu masih menyublim di dalam kepala, membuat pikiranku berkabut dan mengada-ada, berharap mampu membaca pikiranmu. Tahukah kau, Laras? Mungkin kita memang sama-sama buta huruf tentang bahasa pikiran. Di hari terakhir baju badut kita melam242 | Pegiat Sastra Ikastara.org
bai, kau berkata aku adalah makhluk paling naïf sepanjang masa. Manusia tanpa parabola yang tidak mampu menangkap sinyal TVRI sekalipun. Aku balas kau malah menangkap perang semut di permukaan dan bukan film Vampir hari Sabtu di baliknya. Salah siapa kau pakai bahasa mirip komidi putar hingga baru dua tahun kemudian aku sadar? Dear Laras, Pagi ini masih gelap. Kumpulan foto kita terserak di Picassaku. Cengiran lebarku dan wajah sinismu, kamu yang berlumur telur dan tepung, kamu yang tertidur dengan mulut terbuka... Semuanya selalu berakhir dengan tag “mukabuku” yang membuatmu berjanji akan mengutukku tidak akan jadi putih dengan lotion apapun seumur hidup. Kamu selalu menghujaniku dengan segudang kata sepedas kari India. Mulai dari tidak feminin, nenek-nenek cerewet, sampai dengan kemampuanku menghancurkan dapur, dan aku selalu mengungkit kapal pecah dengan satu ranjang tempat kau bersarang. Dear Laras, pernahkah kau hitung berapa kali kita tidak bertengkar? Aku jadi bertanya-tanya, darimana asal gelitik yang mengakari hati dan tak mau pergi. Laras, My chibi-ko, Mungkin kau sama terhenyaknya dengan aku saat seseorang meminta aku menjadi pendamping hidup. Seseorang yang kau sebut tidak feminin, cerewet, dan wanita jadi-jadian dipertimbangkan menjadi seseorang tempat berbagi sepanjang hayat? Jangankan kau, tidak seupil pun skenario ini terbayangkan olehku. Dan aku bertanya-tanya, harapan apakah yang mendekam di pojokan hatiku saat aku menceritakan semuanya kepadamu? Kau tersenyum secerah bunga matahari. Memintaku bersyukur karena setidaknya ada yang cukup bebal untuk menjadi sarung tinjuku. Ternyata, melihatmu begitu antusias agar aku memberi sedikit kesempatan, lebih menyakitkan daripada menabrak tiang Surat yang Tak Pernah Selesai | 243
asrama saat mati lampu. Sebenarnya apa yang aku harapkan? Mengapa mengingatmu menjadi begitu menyakitkan? Ah, Laras. Aku ingat sekarang kapan kita mulai bersilang jalan. Hari berikutnya, tak ada kebersamaan di jalan bunga mentega. Dan sepanjang tahun terakhir kita, sekadar sapa mengganti pertengkaran-pertengkaran kita, lewat senyum basa-basimu saat kita beradu pandang di himpunan. Gtalk-mu selalu offline dan aku tidak punya kesempatan untuk menjelaskan. Aku menolak lamaran itu. *** My dear chibi-ko, Dua tahun berlalu dan sosokmu masih selalu menjadi buku misteri yang lembar terakhirnya lenyap dari persewaan pinggir jalan. Ada sebuah harapan kau akan muncul di balik jendelaku, mengintip bersama musim semi yang hadir sekejap lagi. Dan mungkin kali ini aku mampu membuka mulut untuk berkata jujur, bukan sekadar lawakan masa muda yang selalu mengawang seolah tak akan tiba di garis finish. Dan jika kali ini memang aku salah mengerti, mari kita tertawa bersama karena dunia bodoh itu masih milik kita berdua.. Laras, Tidak ada malaikat pemutar waktu, karena kita bukan tokoh dorama dalam proposal Daisakusen. Namun jika benang merah itu ada, aku ingin mencoba memintalnya sekali lagi. Selamat pagi, Laras, kuharap kau merasakan rindu yang sama… Pagi ini musim semi menyapa... Always yours, Cempaka 244 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Tulip Hitam Newgate Street Newcastle upon Tyne, UK Sinners Bar Malam itu cukup dingin. Yah, setidaknya lebih dingin daripada dinginnya malam Breda. Segelas cocktail yang barusan kuminum tak cukup untuk menghangatkan badan dari terpaan angin malam. “Cih, mestinya gua bawa jaket yang lebih tebel nih,” umpatku pelan. Sayang gerutuan itu tak mampu menghilangkan rasa dingin ini. Beberapa saat kemudian, sekelompok anak muda melewatiku dan mereka pun masuk ke dalam Sinners Bar tempatku berada 10 menit yang lalu. Dalam hati aku bingung, kok bisa yah orang bule clubbing malem-malem pake celana pendek aja? Padahal aku kedinginan gini. Dinginnya angin malam Newcastle serta penantian 10 menit ini mulai membuatku gelisah. “Dia ngapain aja sih? Kok lama banget?” gerutuku lagi. Mestinya ngambil jaket doang ‘kan nggak nyampe 10 menit. Kulihat jam tanganku, pukul setengah satu malam. Malam baru saja dimulai bagi sekelompok mahasiswa dari Breda yang sedang study trip di kota ini. Dan panggilan malam telah memanggil sebagian besar dari mereka ke dalam bar ini. Tapi panggilan alam itu tidak berlaku bagiku… Dan dia...
Surat yang Tak Pernah Selesai | 245
Beberapa saat kemudian, pintu masuk terbuka dan keluarlah gadis yang kutunggu-tunggu. “Hey, what took you so l...” “OH, I HATE THOSE STUPID BRITON’S YOUNGSTERS. I WAS ABOUT TO TAKE MY JACKET WITH MY PASSPORT INSIDE WHEN SUDDENLY ONE OF THEM JUST STOP ME AND ASK ME TO DANCE AND DRINK WITH HIM!!!” “Hey, chill a sec...” “SEEMS LIKE THAT GUY DOESN’T LISTEN TO ME AFTER A FEW MINUTES. SO I JUST GAVE HIM A PROPER FUCK OFF, AND HERE I AM…” “.........” Ampun dijeeeeeeeee!!!! “Phew… sooorrryyy Iqballl. I just pissed off by that guy. He almost ruins my sleep time, and I wish to be in my room again within half an hour!” “Haha, just like you. Anyway, you’d better take a cigarettes to cool things off…” “Nice idea, I’ll take one then.” Ia pun mengambil sebatang rokok dari tasnya. Slogan pemerintah “roken is dodelijk” tak dihiraukannya. Dinyalakannya rokok itu, lalu dengan perlahan dihembuskannya sekepul asap ke udara. Jujur saja, aku benci perokok. Tapi dia adalah pengecualian. Bagiku, asap rokok yang ia hembuskan bagaikan jalinan kabut tipis yang bermain-main dengan pribadinya, menambah keanggunannya, serta memperdalam kemisteriusannya. Tak lupa ia mengambil sebuah sachet kecil berwarna hijau dengan coretan biru kecil “AH” bertuliskan “Fruit Kauwgom” dan menawarkannya padaku, sebuah ritual kecil kami yang kujalani dengan taat
246 | Pegiat Sastra Ikastara.org
setiap saat aku berdiri dengannya di “rookzone” meskipun aku tidak merokok, tentu. Masih kuingat saat aku pertama kali bertemu dengannya. Hari pertama di kwartal ketiga tahun pelajaran pertama. Saat itu aku sedang duduk di kantin sambil meminum segelas kopi sembari menunggu kuliah yang akan dimulai setengah jam lagi. “Excuse me, do you speak English?” tanyanya kepadaku. “Yep...” jawabku singkat, sementara aku berkata dalam hati “Mmm, lekkerding,cakep juga ni cewe.” “Do you happen to know where room HD001 is? Got a lecture within half an hour there.” Balasnya dengan aksen khas Jerman. “Ow, just go through that door and turn left. It’s still locked though. Lecture at 8.45 in the first day after two weeks holiday always like that,” jawabku. “And… lemme guess. You’re a new student from Germany, right?” “Ummm, not really. I’m Ukrainian, but I’ve spent the last six years in Dusseldorf. And you’re… Maybe you’re Dutch or Spanish?” “Spanish dari mana tho mbak, hehehe...” gumamku dalam hati. “Nope, I’m a full-fledged Indonesian,” balasku meyakinkan. “Anyway, I’m Iqbal. Nice to meet you.” “Iqbal? I’ve seen that name somewhere... Hey! You’re also from group 14, right?” “Err, I believe yes. Are we in the same group?” Lumayan deh segrup sama cewe cakep, hehehe. “Yes, we are!! Nice to meet you too!! My name is...” dia menyebut namanya sambil mengguncang tanganku keras. ***
Surat yang Tak Pernah Selesai | 247
“Hey, IQBAAAAAALLLL!!! I’m finish smokin’ here. So stop staring at the wall and let’s go back and get some sleeeeeppp!!!” Semenjak hari itu, kuawali hari-hariku dengan senyuman indah yang menghangatkan terpaan angin kencang di bulan Februari. “I knew! You must be thinking bout some British girl you met somewhere at Eldon Square this afternoon, right?” dia cekikikan. Dia bagaikan sinar matahari nan terang di antara sela-sela pepohonan di centrum (pusat kota) park yang memberi cahyaa kehidupan pada bunga-bunga musim semi. “Ooohhhh... You must be thinkin bout Nicky, don’t you? I saw you looking at her with that ‘drooling’ expression in the bar. I’ll tell her tomorrow, oh you naughty boy!” Dia bagaikan tulip merah yang membawa canda hangat di dinginnya hari. Tapi lebih dari itu, dialah “Tulip Hitam” yang membuat segala keajaiban kecil dalam kehidupanku. Btw, jelaslah gua ngiler ngeliat Nicky, wong “Tulip Hitam” ada di sebelah Nicky terus kok! “You know, you better find a ‘king’ for yourself rather than asking stuff bout me. Otherwise, you might end up prefer having a ‘queen’ instead of a ‘king’.” Ujarku iseng. “Hahaha, hey Iqbal! I never thought that you could be as sarcastic as those Britons! That was a good one anyway!” “Not really. I could sense your ‘kingdom’ is halfway to be a ‘queendom’. ” Pancingku dengan senyum nakal khasku. “Of course not! I’m straight, you know! Just don’t want to have a relationship yet.” Balasnya dengan ekspresi wajah yang kudeskripsikan dengan mysteriously-makes-everyone-feels-comfortable. 248 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Any place in the waiting list for an Indonesian guy, maybe?” Tanyaku dengan raut muka memelas dan dengan segala harapan yang kusimpan dalam jawaban selanjutnya. “Let’s see, I’ll organize an interview for all aplicants next month, okay. And you’re in the first row! Make sure you’re wellprepared for it, sweet guy!” balasnya, yang walaupun tidak menjawab harapanku tetapi memberi ketenangan dalam batinku lewat “10 detik kebahagiaan” ini. Tanpa kusadari kami sudah hampir sampai di tempat tujuan. Belok kiri setelah McD dan lurus saja, setelah itu sampailah kami di Backpackers Inn, dan berakhirlah “petualanganku” dengan “peri bunga” pada malam ini. Kau mulai bercerita tentang betapa mahal serta uncivilized-nya English breakfast, karena itu kau membawa dua kilo apel sebagai pemuas laparmu, sekalian diet. Yah, setidaknya kau pun berbagi apelmu denganku. Lagipula dua kilo apel tak akan habis oleh seorang gadis sepertimu untuk dimakan dalam 4 hari saja. Gelisah, kunikmati detik-detik terakhir “pengembaraan malam” ini. Seketika itu juga kusadari betapa serakahnya sang pendamba ini atas monopoli waktu terhadapnya. Namun, kusadari juga betapa tak berdayanya diriku untuk mempertaruhkan ketenangan batin dengan cara memetik “buah terlarang” dan maju selangkah dalam hubungan ini. Kubuka pintu depan Backpacker Inn tersebut dengan bahasa Belanda beraksen Noord-Brabant-ku, “Alstublieft, mevrouw.” “Thanks, Mr. Gentleman.” Tukasnya sambil terkikik. “You’re welcome, milady. Shall I accompany you to your room?” Kali ini aku mencoba logat sok British” yang dibalas pula dengan logat Rusia yang jarang dia gunakan. Senyum di wajahku rupanya masih mampu menutupi langkah gontaiku yang meng-
Surat yang Tak Pernah Selesai | 249
harapkan kebersamaan dengannya barang semenit lagi. Saat kuberdiri di depan kamarnya, aku tahu aku harus meninggalkan utopia kecilku ini. “Iqbal, thanks for accompanying me from that bar. Thought I’m the only one going to the inn this early.” “No problem, you know I’m not the party-type, right?” “Sure, you’re not! Shall we meet tomorrow at 10 and take a walk around the city? You’re free tomorrow, right?” “Yep, uh-huh. Good night then! See you tomorrow!” Oke, berakhir sudah dunia impianku malam ini. “Need some goodnight kiss?” Mataku berbinar. Well, ini pertanyaan yang tidak kuantisipasi, meski memang kuharapkan. Tapi ah, kuanggap saja sebagai “permainan kecilnya” yang spontan. “Go ahead, make my day!” balasku santai, dilengkapi senyum cengangas-cengenges menghiasi wajahku. Namun “topeng”-ku terkuak saat bibirnya yang lembut mengecup pipiku. Terpesona oleh kejutan itu, aku terdiam beku di depan kamar 114. Sementara beberapa detik aku terpaku, ia mengucapkan “good night, sweet guy” lalu menghilang di balik pintu kamarnya. BLAM! “................” “Well, seems like this IS my day...” sorak hatiku. “Mayan dah, dapet goodnight kiss di pipi, wuehuehueheueheu.....” “Sayang cuman di pipi... Damn…”
250 | Pegiat Sastra Ikastara.org
You’re a part-time lover and a full-time friend The monkey on your back is the latest trend I don’t see what anyone can see In anyone else but you Here is the church and here is the steeple We sure are cute for two ugly people I don’t see what anyone can see in anyone else But you But you… (The Moldy Peaches - Anyone else but you)
TKP : Zara, Seeligsingel 6, Breda. Waktu kejadian: 16.30 pm Tersangka : “Tulip Hitam” serta “Yang-lagi-nahan-godaanbuat-ngintip” ZARA. Ya....Z.A.R.A. Aku sedang duduk-duduk di Zara. Belanja? Ya begitulah. Baju hasil buruanku di WE serta Jack&Jones terkulai di dalam kantong plastik di tangan kananku. Tak lupa sepatu diskon dari Van Haren terperangkap dalam dus di tangan kiriku. Sudah cukup belanja hari ini. Sudah cukup berpundi-pundi Euro meregang nyawa lewat gesekan kartu debit Postbank-ku. Sudah terpuaskan nafsu birahi belanjaku dalam gemerlap zina diskon akhir tahun.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 251
Merry christmas!! Halleluya! Korting tot 60%!! Dalam sisa 30 menit sebelum seantero toko-toko di centrum Breda tutup, kurebahkan diriku di sofa Vrouwen kleding afdeling (bagian pakaian wanita), melepas lelah pertarungan di lembah korting ini. Sekarang tinggal menunggu dia selesai mencoba baju untuk hadiah Natal bagi ibunya. Ternyata, agak susah memilih baju untuk orang yang berada di tempat lain. Belum lagi saat pemberitahuan last minute oleh ibunya bahwa ukuran bajunya mendadak bertambah dua nomor di musim dingin ini. Berdasarkan pengakuannya, menurutku nafsu makan ibunya bisa disejajarkan dengan anak SMA TN saat dilepas di Hartz Chicken Buffet Yogyakarta. Yah, lagipula selera anak dan ibu bener-bener beda kok, terutama nafsu makan, jelas itu. Tampilannya yang maskulin disertai dengan pola pikir yang tidak lazim dimiliki oleh mayoritas wanita itu sangat bertolak belakang dengan ibunya. Yah... Agaknya hal itu pulalah yang menjadi akar dari ketertarikanku padanya... Kulirik jam tanganku, pukul 16.35 dan 25 menit lagi Zara akan tutup. Menyebalkan memang Belanda ini. Semua toko pusat perbelanjaan tutup jam lima sore, teng! Ada baiknya aku menyuruhnya untuk sedikit bergegas. Sejenak, aku beranjak dari kursiku, berjalan ke fitting room tempatnya mencoba maju. Beberapa langkah sebelum aku sampai, gorden penghalang pun terbuka. ”Yep, I’ll take this one!! Hold on, I’ll pay it and let’s go to cafe vulling!!” sahutnya. Tangannya mengapit dua lembar jaket. Ada juga gaun berhiaskan label “50% korting”. “I’m sure my Mom will like it. Well, hope so…” ucapnya sembari menunjukkan gaun yang didiskon itu. 252 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Realistic choice,” pikirku. Lagipula aku lebih suka pilihan warnanya dibandingkan gaun yang satunya lagi. Ia menyerahkan gaun yang satu lagi ke mbak-mbak yang bertugas di dekat fitting room dan lalu berjalan berjalan ke kasir untuk membayar gaun hadiah Natal untuk ibunya. “Mooi jacket, hoor. Is dat jouw vriendje?” tanya mbak-mbak itu. “Hmph. Apakah dia pacarku?” terkejut juga aku oleh pertanyaannya. Sekelumit senyum tipis pun tersungging di bibirku. Ini bukan pertama kalinya aku dan dia mendapatkan pertanyaan ini. Saat mau beli pulsa sepulang dari apartemennya, mas-mas Maroko penjaga toko bertanya, ”Hey, waar is jouw Russische vriendinnetje?” Saat kami berhenti sejenak di toko Turkish kebab untuk beli roti, “Is dat Indische jongen jouw vriendje?” Hmph. Apapun situasinya pertanyaan itu selalu membuatku melayang dalam angan-angan. Terlebih saat ia menjawab pertanyaan di atas dengan. “Yeah, he is! ” dilanjutkan dengan tawa serta senyumnya menggoda. Yeah, right. Damn right. Sepersekian detik setelah kubiarkan candu obsesi mengambil kontrol otakku, kujawab pertanyaan mbak-mbak itu dengan: “Nee, alleen vriend. Gewoon vriend...” Ya. Teman. Kami hanya teman saja. Agaknya itulah hubunganku dengannya saat ini. Pertanyaanpertanyaan yang datang serta jawabannya yang terkadang mengundang harapan kuremukkan dengan kebiasaannya yang selalu ceplas-ceplos . Itu hanya bercanda saja. Aku tahu itu. Aku terima itu.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 253
Sudah beberapa kali ia berkata bahwa ia belum mau menjalin hubungan yang lebih intim dengan pria manapun. Hmph, tipikal wanita karir. Dan aku rasa itu memang betul. Sepertinya itulah hasil tempaan setelah pindah sendirian ke Jerman pada usia 13 tahun dan memenangkan sebuah International Dance Championship beberapa tahun yang lalu. Sekolah serta menjadi dancer profesional itu bukanlah hal yang mudah, hingga ia memutuskan untuk pensiun sebagai pedansa dan mengejar diploma sejak setahun yang lalu. Kini ia bertempat tinggal di sebuah kota kecil di Belanda. Kota ini berjarak hanya 8 km dari Belgia dan merupakan domisili bagi akademi militer nasional. Kini ia belum mau punya cowok. Oke, aku terima itu. Aku sih nggak apa-apa. Toh bagiku dia cuma teman kok. Kalau mentok ya nggak apa-apa. Kalau bisa nambah, ya bagus. Dan aku rasa aku pasti kuat menghadapi apa pun yang akan terjadi. Ya, pasti. Hmm.. pasti? Tidak jauh dari Zara, masih terletak di daerah centrum Breda. Di sekitar Cathedral Breda, diapit beberapa restauran serta bar, itulah tujuan kami selanjutnya. Cafe Vulling. A-must-visit-cafe-inBreda versi kami. Bagaimana tidak? Hanya 1 euro dan 60 sen untuk coffee-for-two. Ah, jangan lupa. Cappucino yang satu itu jangan pake serbuk cokelat dan nggak pake gula, yang satunya pake ekstra krim sama gula ya! Si bartender itu sudah hapal pesenan kami. Same time, same place, same people. Sudah beberapa kali kami datang berdua dan ngobrol ngalor ngidul di tempat yang sama, pojok sebelah kanan cafe. Obrolan kami berdua cukup beragam, udara yang makin dingin, diskon di supermarket, artikel terbaru di www.
254 | Pegiat Sastra Ikastara.org
perezhilton.com. Namun ada satu hal yang tidak pernah absen dari pembicaraan kami. “Ngapain aja di tempat kerja magang seminggu ini?”. Dan kali ini, ada cerita yang muncul. “Hey Iqbal... You still remember my story about this guy? The story from last week?” “Hmm… Ya...” Sejak dua minggu lalu ia bercerita tentang seorang karyawan di perusahaan tempatnya bekerja yang agaknya menaruh hati padanya. “Yes, that financial guy. Did I ever mention that you have a good memory?” “Ahem. Makasih. Makasih. MAKASIH.” And did I already mention how sometimes I wish to be more than friends with you? Did I? Nah, just forget it. “Ah, ngomong-ngomong, kata ‘this guy’ atau karyawan kayaknya kurang mewakili subjek yang kita bicarakan ini. Kolega juga bukan. “Yah. He’s a ma-na-ger. Financial manager.” “Yang awalnya pendiam tiba-tiba jadi sering ngomong di dekatnya. Yang awalnya selalu di kantornya, tiba-tiba jadi sering melancong ke Sales Department. Yang pulang mendahului karena jealous merasa dicuekin padahal dia bener-bener sedang sibuk dan nggak ada waktu buat sekadar ngobrol.” “Well, not much... It’s just that... Maybe....” “Ya aku tahu. Dia yang lulusan master dari Maastricht University. Dia yang sudah menjadi manajer. Dia yang sudah memiliki sepertiga share dari perusahaan itu.“ ”And, did I already mention bahwa dia belum berusia kepala tiga?”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 255
“Tapi toh, kamu belum mau cari cowok ‘kan?” Tapi toh kamu belum akan memberi lampu hijau pada orang lain dalam waktu dekat ini ‘kan? Tapi toh, kita masih bisa seperti ini kan? “The truth is... Maybe... I like him…” “.................................................” “.................................................” “.................................................” “.................................................” “Cukup dengan cappucino ini. Aku butuh alkohol!” Tidak. Nggak mungkin. Bohong. Ini tidak benar. Ta... ta-tapi, bagimana dengan perkataanmu minggu lalu bahwa dia bukan tipemu? Memang aku juga bukan sih... Ya tapi bagaimana dirinya membentuk awareness-mu padanya dalam satu bulan? Apa yang terjadi dengan perkataanmu bahwa kunjungannya membuatmu menggganggu konsentrasimu mengerjakan tugas? Dan, dan... Bagaimana denganku? Aku yang menunggumu selama ini? Aku layaknya Ross yang mengemis-ngemis perhatian Rachel di episode-episode awal Friends. Atau mungkinkah aku adalah Alan dalam Two and A Half Men yang nggak punya skill menaklukkan cewek kayak Charlie? Ya pastilah aku sebagai Pete dari Two Guys and A Girl yang hanya bisa mendapatkan gelar “nice guy” saja. Ha! Congratulation, Iqbal! WELCOME TO THE “FRIEND ZONE”!!!
256 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Nice! I thought your story of this guy will be completely depleted after last week… So, did he became Mr. Perfect in A WEEK? So, I bet you miss his surprisingly-coincidental visit to your department, huh? Looks like I gotta learn some tricks from him, haha! Kutarik paksa otot pipiku untuk tetap tersenyum melawan kemungkinan akan datangnya “orang asing” dalam kehidupannya (dan secara langsung ya kehidupanku juga). Sementara indra perasaku ini mulai memohon-mohon untuk memesan Amaretto sebagai pengganti kopi yang semakin hambar ini. Jam tanganku seakan bersekongkol, dengan diperlambatnya gerakan si jarum panjang. Mata dan telingaku, tidak kalah kejamnya memberikan sensasi zoom ekspresi wajahnya, warna rona pipinya, sentuhan irama suaranya, dan alunan kata-katanya. Dan, entah sejak kapan, seakan dadaku dengan sukarela memberi ruang pada sebentuk perasaan hampa yang diantarkan dari jantung ke seantero pembuluh darah, mengontaminasi seluruh tubuhku. Otot pipiku yang awalnya memberontak, kini berdiam pada tempatnya, menyadari bahwa tetap tersenyum jauh lebih menyakitkan dari yang kuduga saat mendengar bagaimana ia tetap berusaha mendapat perhatianmu. Lidahku seakan tenggelam oleh deraan ombak kopi hambar yang tak kuasa menutupi kekalahanku. Sang waktu seakan menjejalkan setiap detail saat-saat kau berusaha cuek, namun berakhir dengan menunggu-nunggu kehadirannya. Mata dan pipiku bergelimang binar matanya dan selingan pengharapan dari ucapannya. Dan seakan kesadaranku menyublim menjadi gas-gas kekalahan, keputusasaan, penyesalan dan ketiadaan yang tersusun atas ion-ion kenangan, perhatian, serta usahaku selama ini.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 257
“What do you think I should do? He reminds me of the first man I had my relationship with…” Cukup. Hentikan ini. Tak usah kau ceritakan lagi padaku tentang your first dutch boyfriend yang saat kau berusia 16 tahun. Atau si dance partnermu yang juga merangkap sebagai pasanganmu. Atau si bajingan itu yang memperlakukanmu dengan kasar hanya karena dia sebenarnya iri dengan kemampuanmu? Atau orang Hungaria yang pernah one-night-fling denganmu? Atau seorang professional dancer yang pernah mencoba bertunangan denganmu dua tahun yang lalu? Cukup! “What do I like from him? I dunno, he doesn’t even match with my partner-specification… But suddenly I just feel this way...” Oh? Pastilah dia tidak lebih tinggi darimu. Tidak pula ia seorang pria yang segala bisa. Ya dia lebih tua darimu, tapi bukankan kau ingin seseorang yang sedikit berjiwa muda juga? “Or maybe the things that I like about him are...” Cukup, tak usah lagi kau bermanis-manis padaku dalam setiap perlakuanmu. Tak usah pula kata-kata indah kau ucapkan di semua e-mailmu itu! Aku yang biasanya mendengarkan setiap detil celotehannya. Aku yang biasanya berusaha memahami setiap agenda kegiatannya. Aku yang selalu... untuknya.... Kali itu tidak bisa aku berkonsentrasi padanya… 6.13 pm Cukup sudah obrolan satu pihak sore itu. Dua gelas kosong menatap kepergian kami. Sebelum pintu kubuka, tak lupa tiga sekawan: syal, sarung tangan, serta jaket tebal kami pakai.
258 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Bye-bye!” Ucapnya pada sang bartender, yang kubarengi dengan “tot volgende week” ke bartender itu juga. “Ya, sampai minggu depan...” ucapku dalam hati, lirih. Epilog di malam itu Halte bus yang berdekatan dengan apartemennya adalah sebuah mukjizat bagiku. Ia memberi ekstra 15 menit untuk kebersamaan ini. Tapi tidak untuk malam ini. Kulihat kembali jam tanganku, mencoba menghitung mundur setiap detik serta langkah yang masih kumiliki bersamanya di malam ini. Ah, tak ada guna kucek jam ini. Sudah tak ada artinya lagi. “Hey, Iqbal, you know what?” What? Know what?! Don’t worry, you already broke my heart, go ahead and heap more crap on me. I’ll turn all embarrassment and pain into bitterness and anger, and I’ll let it it bite me to death... “About all the stuff I said before in Vullin and all things I said to you before...” Here it goes, dude. Bersiaplah untuk semua white lie ini… “Thank you for being such a good listener to all of my worthless babbling, and I really mean it. I DO.” Hmm... Yang ini baru nih, belum pernah dengar sebelummnya. “I know that people would be fed up with listening to all my life story and past experiences. But, yet you still listen to me, and care about it.” “Ah... Ti-tidak. Itu hanya karena... Karena... Aku hanya ingin lebih tahu banyak tentangmu. Itu saja. Aku tidak merasa itu menyebalkan atau membosankan.K arena setiap obrolan bersamaSurat yang Tak Pernah Selesai | 259
mu membuatku merasa spesial…” Dan aku ingin menjadi... something special bagimu… “You know, actually you’re special to me. You’re the only person to whom I could talk to, about anything. Besides you were always there when I need someone. Remember those hectic week in February? I couldn’t have through it with out your assistance.“ “A-aku? Haha, tidak mungkin. Ini bohong ‘kan?” “Besides, you’re my first friend here... No, you’re my best friend. And I hope that you feel the same way too.” “... Yes... I do. I really do.” Tapi maaf… Aku masih belum mau menyerah. 6.29 pm, Halte bus Ini dia. Halte bus sudah berada di depanku dan belok kanan 50 meter menuju ke apartemennya. Bis yang kutunggu akan sampai sekitar 10 menit lagi. Baguslah, setidaknya suhu minus dua derajat ini tidak akan menyiksaku lama-lama. Lagipula “siksaan” yang tidak lama ini juga tampaknya... Sudah terobati. Ya, aku yakin itu. “So, have a nice eve and see you... next week, right?” ucapku memulai pembicaraan sekaligus membuka akhir dari pertemuan hari ini. “Yes, next week is cool with me. And… oh, by the way...” “Yep?” “I’m kinda free from assignment and other stuff. So maybe… since the shop is also koopzondag, I think maybe we can also meet tomorrow, and next week as well. Is that okay with you?”
260 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Koopzondag, hari Minggu ketika toko-toko yang biasanya nggak buka kalo hari Minggu, jadi buka for special occasions, like Christmas? Okay, no problem.. Terimakasih…” Thanks, sumuhun, arigatou, xiexie, bedankt, danke… “Okay, so, same time....” “Same place, 12 am, McDonald.” sambungnya. Dan kami tersenyum. Malam itu diakhiri dengan perpisahan ala Belanda, sebuah pelukan serta cipika-cipiki-cipika. 6.53 pm, Noord-Breda Di sebuah kamar berukuran 12 m2 Kuletakkan belanjaanku dan kunyalakan laptop. “Ting!” ada sebuah email baru rupanya. Ku-klik ikon surat yang langsung terhubung ke Firefox. Kubuka pula dua tab lainnya. Satu menuju situs ikastara.org dan satunya lagi menuju sebuah blog yang kubaca setiap minggu. “Ikastara......“[klik!], “terus new post....”[klik!] Kulihat sekilas daftar thread yang mendapat postingan baru. Agak sebal rasanya saat kudapati tidak ada postingan baru di thread foto masakan buatanku. Mungkin ada baiknya kucuekin saja thread ini. “Terus... Thread female only... Mana itu ya threadnya?” [klik!] Hmm... ada kelanjutan tentang teori tentang pdkt oleh “Jeng” Pychill, “Jeng” Lanymm, serta “Jeng” _Ubhe_. Ini senangnya ikut ikastara.org. Biarpun santai, tapi bagiku inilah ajang berkumpulnya para ekspert di bidangnya masingmasing. Termasuk di bidang ini juga, hehehe.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 261
Sudah puas dengan perkembangan ikastara, kucek blog yang biasanya selalu di-update saat weekend ini. Empunya blog pernah berkomentar bahwa traffic blognya selalu memuncak pada weekend. Sepertinya pengunjung blog tersebut memang cukup banyak. Aku suka gaya si pemilik bercerita. Berpusat pada dirinya serta kegiatannya, juga partisipasi orang-orang di sekitarnya. Dikemas dengan gaya unik, benar-benar khas dirinya. Ah, aku jadi pingin bikin blog kayak gini juga, biar bisa berkreasi seperti dia. Kulihat apdetan di blog itu. Ah, komplasi cerita selama tiga kali ia melewatkan Desember, musim dingin keparat (bagiku) selama di negara ini, juga beberapa gelas Gluhwein serta sebuah jamuan makan. Tiba-tiba, mataku tertuju pada judul blog itu. Suatu sudut yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya, karena toh namanya sama saja dengan nama blog sebelumnya. Namun yang lebih mengejutkan serta menyentuhku adalah empat kata dengan font Times New Roman berukuran 18 di bawah judul blognya. Sebuah empat kata yang tak pernah kuperhatikan sebelumnya, yang benar-benar mewakili keadaanku saat ini. Dan mengukuhkan harapan baru bagiku. Ya betul. Ini belum selesai. Pertarungan ini belum selesai. Karena, seperti yang tertulis di blog itu ...................................
Dan perdjoeangan masih panjang Entah kenapa, sebaris kalimat itu memberi impuls pada tanganku untuk membuka sebuah file yang teronggok di sudut gelap laptop Vista lelet ini. Sebuah kisah dengan tokoh yang sama namun di tempat dan waktu yang berbeda, karya perdanaku tujuh bulan lalu. Pernah ia bersinarkan ketenaran di website
262 | Pegiat Sastra Ikastara.org
ikastara yang lama, bersama artikel-artikel sastra yang lainnya. Dan... hmmm... tak apalah, ku-post lagi. Semacam 7 month anniversary, mungkin. Tapi... Tidak. Aku belum puas. Dan jariku ini pun mulai menari. Tentang seorang bocah yang mencoba menjadi lelaki. Dan juga seorang wanita yang bukanlah seorang gadis lagi. Ditemani lagu yang yang memberi secercah harapan di malam ini.
But if you ask me The feeling that i’m feeling is complimentary And oh it goes to show The moral of the story is boy loves girl And so on the way that it unfolds is yet to be told (Jason Mraz – The Prettiest Friend)
Surat yang Tak Pernah Selesai | 263
Cinta dalam Cermin:
Surat-Surat Refleksi
Cinta Lengkapi Kita Mimpi adalah kunci Untuk kita menakluk kan dunia Berlarilah tanpa lelah Sampai engkau meraihnya… Lagu Laskar Pelangi dari Nidji itu sayup-sayup sampai ke otakku. Sepertinya itu bunyi alarm handphone-ku. Berarti sekarang jam 5 pagi. Argh... malas sekali... Tanganku telah terjulur untuk mematikan alarm, ketika menyadari bahwa sekarang hari Sabtu dan alarmku di-setting hanya untuk weekday. Aku beralih melihat layar, alih-alih langsung memencet tombol untuk mematikan alarm tanpa harus terjaga penuh, seperti kebiasaan tiap pagi. Tertera nama “Sogi” di sana. Adikku. Pasti dia pulang pagi lagi, dan minta dibukakan kunci pintu. “Ya?“ Pasti kita semua telah mempunyai gambaran hari yang akan dilalui dalan hidup ini. Merencanakan hari ini, besok, dan lusa. Sehari kedepan, seminggu, sebulan, setahun, atau puluhan tahun lagi. Rencana hidup, harapan, dan impian. Pernahkah kamu mengalami suatu kejadian dalam hidup yang tiba-tiba mengubah seluruh hari? Hingga pada satu titik tanpa peringatan, tiba-tiba BANG!! Memusnahkan dalam sekejap gambaran mulus rencana hari ini, minggu ini, dan bulan ini menjadi serpihan yang berhamburan. Hingga membuat tercenung sesaat melihatnya jadi berkeping-keping. Pertama kali masih berusaha mengumpulkanSurat yang Tak Pernah Selesai | 267
nya agar tidak mengubah gambaran hidup yang telah direncanakan, hingga akhirnya menyerah dan memilih untuk mengubahnya menjadi mozaik baru. Itulah yang terjadi pada hariku, yang diawali dengan telepon di pagi buta. “Sheera… Aku tabrakan!“ Hilang sudah kantukku. Gerakan reflek berdiri – dengan niat membukakan pintu dalam keadaan setengah sadar – terhenti. Dunia langsung benderang. Jantungku telah melipatgandakan kecepatannya untuk memompa darah ke otak. Pikiran pertamaku, situasinya pasti gawat, karena Sogi biasanya memanggil aku Ciya, tanpa embel-embel Uni, walau dia 6 tahun lebih muda. Panggilan Sheera hanya akan keluar dalam situasi gawat. Dan pastilah ini situasi itu, karena dia juga mengabarkan kalau dia tabrakan dengan nada putus asa, jengkel, dan tak sabar, seperti biasa jika dia dalam masalah tanpa jalan keluar. Aku berusaha tenang, walau kepalaku terasa pening. Jantungku telah terlalu banyak memompakan darah ke kepala. “Di mana sekarang?“ “M. Djamil…“ Bukan teman. “M. Djamil” bukan nama orang. Itu nama Rumah Sakit Umum milik Pemerintah di Padang. Rumah Sakit Provinsi. Satu-satunya tempat di Padang yang ramai 24 jam penuh. Terutama di malam Minggu. Benarkah adikku di sana saat itu? Tidak sama sekali. Dia menelepon dari pinggir jalan. Tergeletak dan masih berguling menahan sakit seorang diri di pagi buta. Tangan kirinya patah terbuka dengan tulang menyembul keluar, bahu kirinya patah, pergelangan tangan kanannya pun retak. Tapi saat itu dia bisa menelepon dengan menggunakan tangan kanan yang masih belum terasa sakit dibanding tangan kirinya,
268 | Pegiat Sastra Ikastara.org
dan masih tak ingin menambah kepanikanku dengan menceritakan dia tergeletak di pinggir jalan. Sampai sekarang aku masih mengagumi kecepatan otak kita untuk berpikir dan mengambil keputusan dengan berbagai pertimbangan dalam waktu sekejap. Dan kebiasaan orang Padang untuk selalu bersyukur memang patut dikagumi. Ketika bercerita bagaimana kejadian Sogi tabrakan kepada saudara-saudara dan teman-teman yang menjenguk, semuanya lansung mensyukuri keadaan bahwa kepala Sogi tidak terbentur, atau kakinya tidak patah, atau masih sempat menelepon aku, atau tidak tertabrak oleh mobil lain yang tidak melihatnya tergeletak, atau kebaikan orang yang membawanya ke RS, menyimpan motornya yang hanya pecah lampu depan, menyimpan kuncinya, dan menunggu sampai aku datang di Instalasi Gawat Darurat itu. Yah... semua hal yang disyukuri itu untuk sesaat dapat melupakan fakta bahwa Sogi harus menjalani dua kali operasi dan tidak bisa menggunakan kedua tangannya nyaris sebulan. Walau begitu, semua setuju untuk mengumpat pemilik mobil ngebut yang menyenggol Sogi hingga jatuh dan langsung kabur meninggalkannya seorang diri di pinggir jalan.
Menarilah dan terus tertawa Walau dunia tak seindah surga Bersyukurlah pada yang kuasa Cinta kita di dunia... Selamanya... Aku sedang mendengarkan lagu ini dan tak bisa menahan tawa saat melihat tulisan “Ketika kentut adalah sebuah anugerah dan cebok merupakan suatu prestasi” terpampang di shoutout Friendster Sogi –t entunya dia tulis setelah dia bisa kembali mengSurat yang Tak Pernah Selesai | 269
gunakan tangan kanannya – dengan foto dirinya yang tergeletak di ruang gawat darurat. Foto yang sempat aku ambil dengan tidak mengindahkan protesnya waktu itu. Walau pun kondisinya saat itu mengerikan, tapi dia masih bisa juga becanda. Pagi itu, ketika dia tergeletak tak berdaya di ruang gawat darurat menunggu operasi pertama, saudara dan kerabatku mulai berdatangan melihat konsidinya. Saat Om Zal bertanya, dia masih bisa dengan tenang bercerita. “Pingsan ndak tadi?“ “Indak om, lai sadar se sampai kini.“ “Tangan kiri ko yang patah yo?“ “Iyo Om, tulangnya sampe nyembul keluar tadi, jadi bolong ngerobek dagingnya, tuh dagingnya masih nempel di celana aku, mau Om? Bisa dibikin rendang tuh...“ “Campak a la!“ dan Om Zal langsung ngeloyor keluar meninggalkan Sogi yang nyengir. Tante Ros, istri Om Zal, yang memang penakut dengan darah, makin pucat mendengar percakapan itu dan ikut kabur secepatnya mencari udara segar. Aku yang saat itu sedang di luar langsung menjadi tempat bercerita suami-istri itu tentang keadaan Sogi yang masih bisa becanda walau kesakitan. Masih dapat membuatku tersenyum dalam kepanikan. Tapi kemudian cerita jadi sangat berbeda setelah Sogi selesai menjalani operasi pertamanya dan pengaruh bius mulai menghilang. Dalam keadaan setengah sadar dia berteriak-teriak kesakitan dan memaki siapapun yang berusaha menenangkannya. “Iya... Tapi ini sakit, monyeet!!” teriaknya pada perawat yang berusaha membuatnya tenang. Sepupu-sepupu kami yang juga ada di sana terbahak mendengarnya, untunglah si perawat ikut tertawa. Kejadian tak begitu berbeda setelah operasi kedua. Di pagi yang sepi, saat orang berduyun-duyun melaksanakan
270 | Pegiat Sastra Ikastara.org
shalat Idul Adha, aku mendengarkan konser teriakan kesakitan Sogi selama nyaris satu jam sebelum bersitegang penuh ancaman dengan perawat untuk menambah dosis obat penghilang rasa sakitnya. Berurusan dengan rumah sakit pemerintah selalu membuat frustasi. Tapi tidak ada pilihan lain. Hanya di sini biaya perawatan yang bisa kami tanggung. Kedua orangtuaku telah tiada. Mereka meninggal di rumah sakit ini juga, karena kecelakaan pula. Tiba-tiba – dalam sekejap tanpa tanda – kehilangan kedua orangtua di saat yang bersamaan bisa membuat trauma. Aku tak mau membahasnya lagi. Kembali ke rumah sakit ini dengan peristiwa kecelakaan sudah cukup memberatkan hati. Aku hanya berusaha menjalani sebaik mungkin setiap hari dengan meyakinkan diri bahwa ada sesuatu yang indah menanti di balik semua peristiwa ini. Dengan sistem matrilinial di Padang, otomatis aku dan Sogi menjadi tanggungan keluarga Ibu. Walaupun kami masih bisa menjalani hidup tanpa harus bergantung sepenuhnya pada orang lain, tapi ketika keadaan darurat seperti ini, keluarga besar menjadi sangat berarti. Hal yang berat bisa menjadi ringan saat kita berbagi. Di tiap akhir minggu, rumahku selalu ramai semenjak Sogi kecelakaan. Bahkan sekarang, dua bulan setelah peristiwa di pagi buta itu, saat tangan kanan Sogi yang retak telah kembali normal dan tangan kirinya tidak harus digendong lagi. Sepupuku dan dua putri kecilnya menghabiskan akhir minggu ini bersama kami. Seharian kemaren si kecil Nayla yang belum genap berumur dua tahun telah dilatih Sogi untuk mengucapkan “Om Sogi wangi”. Dan sekarang saat semua sedang berkumpul. Kami membahas tangan kiri Sogi yang masih juga mengeluarkan cairan berbau tak sedap di bagian yang bolong bekas patahan tulang yang menyembul. Lalu semua mengajukan pertanyaan pada Nayla.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 271
“Nay... Om Sogi bau ya?“ sikecil itu menghentikan kesibukannya sesaat dan memandang dengan mata kecilnya. “Ha?“ “Om Sogi bau ya, dek?“ “Gak... Om Ogi angi...“ jawabnya mantap sambil melanjutkan kesibukannya bermain. “Haha... Pinter!!“ Sogilah yang tertawa paling keras. Aku tersenyum lebar melihat kebersamaan kami. Nyanyian Laskar Pelangi terdengar dari televisi yang tetap menyala walau kami acuhkan.
Cinta kepada hidup Memberikan senyuman abadi Walau hidup kadang tak adil Tapi cinta lengkapi kita...
272 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Cukup Hanya Cinta Cukup hanya cinta. Ketika diberikan kembali hidupnya. Seorang manusia bersujud syukur di hadapan Tuhannya. Tuhan bertanya, “Ciptaan-Ku, apa yang kau rasakan?” Manusia menjawab, “Syukur akan karunia hidup dari-Mu.” Tuhan bertanya lagi, ”Apa balasanmu?“ Manusia menjawab lagi, ”Melaksanakan kehendak-Mu…“ Lalu Tuhan Yang Maha Pemurah itu tersenyum. “Menolehlah kamu.” Manusia itu menoleh tampak olehnya semekar bunga. “Apa yang kamu rasakan?” “Aku hanya melihat semekar bunga... Apa yang harus aku lakukan?” Manusia itu bingung tak mengerti tentang sebentuk lain keindahan ciptaan-Nya itu. Lalu Tuhan mengangkat tangan-Nya, membukakan karuniaNya kembali. “Aku berikan padamu cinta, lihatlah kembali bunga itu...“ Manusia itu menoleh kembali ke arah yang sama. Surat yang Tak Pernah Selesai | 273
Entah dari mana ketakjubannya timbul. ”Sungguh indah Tuhanku, sungguh mempesona, hmm… harumnya...” Manusia itu tanpa sadar mendekati, membelai, memperlakukannya hati-hati sekali agar keindahannya bunga itu tak tergores sedikit pun. ”Izinkan aku merawatnya Tuhanku, izinkan aku tetap menjaga-Nya demi rasa syukurku pada-Mu.” “Dengan cinta karunia-Ku, laksanakanlah tugasmu ” Tuhan menetapkan. Beberapa waktu berlalu, tibalah saat Tuhan menguji manusia. Tuhan mengirim anjing liar untuk merusak bunga yang dengan setia telah dirawat manusia itu. Manusia mengaku terlanjur cinta bunga itu, … Ia meratapi bunga yang kemudian sudah terkoyak-koyak keganasan anjing. Manusia mengaku terlanjur cinta bunga itu, … Ia marah, ia memburu si anjing, ia membantainya penuh dendam. Manusia mengaku terlanjur cinta bunga itu, … Ia mengangkat bangkai anjing itu ke atas lalu menjerit, “Tuhanku… terimalah bangkai anjing ini demi balas dendamku atas rusaknya bunga ciptaan-Mu.“ Kemudian… Tuhan menampakkan diri dengan muka masam. 274 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Kamu membuang karunia cinta-Ku…” Manusia tidak terima, ia merasa semua sudah dilakukannya demi cinta. “Anjing itu yang merusak bunga yang sepenuh hati aku rawat dengan cintaku!!” Tuhan membukakan tabir-tabir waktu dengan kuasa-Nya. “Sebelum cinta Ku-karuniakan, apa yang kaurasakan?“ “Hampa...” jawab manusia. “Setelah cinta Ku-karuniakan, apa yang kaurasakan?“ “Keindahan, kesejukan, kedamaian, perasaan mengasihi…” jawab Manusia yakin. “Kamu yakin itu karena cinta?“ “Ya, jelas sekali itu cinta...” semakin mantap jawaban Manusia. “Sekarang apa yang kamu rasakan, dengan bangkai anjing di tanganmu?! “ “Amarah, dendam, perasaan tidak adil… sesal tak berkesudahan…” jawab Manusia, lesu. Lalu sekalimat Tuhan serta-merta menyambar tanpa bisa terbantah lagi, ”Kau buang kemana cinta karunia-Ku?!!“ Manusia menangis, tersadar. Manusia menangis, ia telah khilaf membuang cinta. Manusia menangis, terperdaya nafsu. Surat yang Tak Pernah Selesai | 275
Manusia menangis, telah menipu warna cinta. Manusia menangis, kehilangan cinta membuatnya kejam. Manusia menangis, melupa cinta bahkan membawakan lebih banyak kerusakan. Manusia menangis, ia tak bisa memegang amanat-Nya. ”Baiklah Tuhanku, aku bersalah. Aku terlalu memberi perhatianku pada bunga itu, ketika ia terkoyak musnah, harus kukemanakan perasaan cinta ini?“ ”Semua ciptaan-Ku tentu pada masa-Nya akan kembali pada-Ku, kamu hanya tinggal menolehkan kepalamu ke arah yang lain....“ Manusia menuruti, ia menoleh ke arah lain. Manusia tertegun, ada bunga lain di sana. Manusia merasakan lagi, cinta mendentingkan nada-nada kasih kembali. … Ada yang indah dalam rupa lain di sana … Ada yang mewangi dalam aroma lain di sana … Ada yang kasih lain menunggu di sana Manusia pun mengerti tujuan Tuhan memberikannya cinta. ”Sebab cinta menimbulkan kasih, kasih yang menumbuhkan kerelaan, kerelaan yang teruji dengan ketabahan, untuk lestarinya alam ciptaan-Ku…“
276 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Manusia itu bersujud. Manusia itu bersyukur. Betapa besar makna karunia cinta. Namun sebatas tipis beda atas nama cinta atau dengki tak bisa miliki. Cinta selalu beroleh berkah kedamaian hati. Dengki selalu beroleh dendam tak terakhiri. ”Bangun dari sujudmu, tolehlah ke belakang…“ Rupanya belum habis kejutan dari Tuhan. Bunga yang sudah terkoyak tadi sekarang sedang dirawat manusia lain. Terapikan tanahnya, tersirami layunya, terpagari sekelilingnya. “Apa yang kaupikirkan sekarang?” tanya Tuhan. ”Aku ikhlas Tuhanku, jika memang dia mampu merawat bunga itu lebih baik dariku. Tugasku kini merawat bunga lain yang menjadi tanggung jawabku ...” Dan Tuhan sekarang mengembangkan senyum-Nya ”Kucukupkan cinta bagimu wahai manusia…” ~ untuk mereka yang telah menemukan cinta dan mereka yang kehilangan cinta agar selalu percaya, cinta selalu ada
Surat yang Tak Pernah Selesai | 277
Aku kembali, Guruku… Jika ada pintu yang ingin kuketuk kini, hanyalah pintu sederhana di depanku sekarang. Aku memandanginya, sejak berjamjam yang lalu dari ujung jalan. Aku rela berhujan-hujan sambil menimbang-nimbang hatiku, beranikah aku mengetuk pintu itu. Begitu berartikah pintu itu? Benarkah pintu itu akan mengubah arah hidupku? Pintu itu berubah-ubah dalam cahaya di mataku. Meski kasat mata, tak berubah sesekali menyala ditampar kilat guntur menyambar-nyambar Itu adalah rumah guruku. Sepuluh tahun yang lalu aku masih ingat, di pagi yang cerah aku minta restu beliau Bapak guruku. Aku ingin ke kota, melihat hiruk-pikuk dunia, mengadu jiwa muda dari desa menapaki takdir perkasa. Diriku yang terlalu lugu hanya percaya budi baik akan dibalas baik, maksud jahat akan menyingkir dengan doa suci terucap dalam hati, dan maafkan sajalah mereka yang telah berbuat curang padamu. Pesan beliau guruku, hati-hati memilih teman. Saat itu aku tak mengerti, karena yang kutahu saat itu semua temanku baik hati. Aku biarkan deras hujan terus mengguyurku Aku ingin dimandikan Tuhan, kiranya menurutku pantas, sampai puas. Mulutku terkatup rapat, mendesis pun tidak. Tapi hatiku berteriak memanggilmu guruku, menangis, malu karena aku pulang hanya mengganti baju rapiku dulu dengan sepasang kumal baju dan celana kumal lengkap dengan wajah kusut lelah dan perut lapar. 278 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Kalau aku tidak pulang padamu, lalu pada siapa ? Aku sudah tak berayah-bunda, kamulah guru yang memungutku dan membiarkanku besar dengan ajaran-ajaranmu tentang salah dan benar, tentang adab, tentang santun, dan itu tak membuatku puas. Karena semewah-mewahnya bajuku hanya kemeja putih, karena secanggih-canggihnya tungganganku adalah sepeda pinjaman guruku ke pasar. Sebanyak-banyaknya hartaku adalah uang kelebihan belanjaan yang, sebagai belas kasihan guruku padaku. Guruku sayang padaku. Aku menangis mengingatnya. Aku merasa bersalah menyianyiakan kasih sayangnya. Karena kota yang kukira ramah ternyata sangat angkuh dan pelit. Kota yang tak kenal aku tak sayang aku, dan setelah kutersudut di ujung gang dengan perut lapar, baru dipungut, tidak untuk ditolong, tapi untuk diperas lagi. Sebungkus nasi untuk pekerjaan kasar tanpa upah jelas, dan cacian binatang para mandor. Setelah aku pingsan dihajar karena aku dikira malas menggaruk pasir, sadarku menyengat. Maaf kota, kamu terangterangan menolakku, aku tak ingin berlama-lama lagi menghiba padamu. Aku pulang... aku pulang. Hingga saat ini aku ragu, ingin, rindu, hanya bisa menunggu di depan sebuah pintu. Dingin ini mematungku, antara malu dan menggigil karena jarum-jarum tetesan hujan yang tak pernah mau juga mengampuniku. Setidaknya aku memberi tanda, kuputuskan... sudah dengan seluruh sisa tenaga kuketuk pintu itu.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 279
Aku mendengar suara ketukan itu sendiri, dan sekilas cahaya terang. Lalu gelap seluruh duniaku, tenggelam dalam keheningan sadarku. Guruku sebenarnya tahu. Ia hanya menunggu aku kembali. Ketika aku sadar, dia tidak menanyaiku macam-macam, langsung menyuapiku dengan bubur hangat. Membiarkanku istirahat. Setelah aku sehat, dia mengajakku memerah susu sapi di pagi hari, di sore hari memberi kesempatan padaku memanen hasil sawahnya. Aku memeluk kembali kehidupan lamaku. “Guru, tidakkah kamu ingin tahu tentang apa yang telah menimpaku?” “Mungkin, tapi mungkin tidak terlalu penting...” “Lalu apa yang terpenting?” “Doamu...” Singkat, dan memang doa yang selalu menguatkanku yang kubutuhkan. “Tuhan, sudah berlalu masa-masa burukku, sering menghantuiku, menyesakkan, dan menyiksaku. Maka damaikan hatiku untuk menerima masa laluku yang tak mungkin bisa kuubah lagi. Tuhan, aku masih punya mimpi jika itu masih Kau izinkan. Mimpi yang sering menyapakan hangat harapan bersama fajar mentari-Mu. Maka beri aku keberanian untuk mengubah hal-hal yang masih mampu aku perbuat. Tuhan, keraguan akan selalu datang menggetarkanku. Maka lindungi aku dengan kebijaksanaan untuk mengetahui beda antara keduanya...”
280 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Perjumpaan Pertama Aku menimbang-nimbang. Telepon-nggak-telepon-nggak. Ahhh... sial! Hari ini nggak bisa hitung kancing. Aku pake kaos bergambar suatu tanaman yang dulu ngetop banget di jaman Orde Baru. Telepon. Nggak. Telepon. Nggak. Telepon. Telepon aja laaah. Itu hasil menghitung koin 500 dalam saku celana jeansku yang mulai sobek di bagian lutut, yang dibilang “cool...” sama teman-teman. “Halo...” suara dari sana. “Ha-ha-ha..o..” jdarrr!!! Akhirnya keluar juga suaraku ”.......“ Klik! Telepon kututup. Pipiku memerah. Mulut komat-kamit nggak jelas. Senyum sedikit. Syukur teleponku diterima. Untung dia tidak menutupnya. “Heee!!!” bersorak kegirangan aku sambil berlari. ”Untung telepon umumnya deket sini, nggak perlu jalan jauh-jauh,“ batinku.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 281
Hampir setengah jam aku menunggu. Rambutku sudah kurapikan. Tadi juga sudah sempat cuci kaki biar bersih. Baju? Yah, gak kusut-kusut amatlah. Ah, beginikah rasanya kencan pertama? Kenapa aku takut, malu, ingin ketemu, tapi juga ingin lari jauh-jauh? Tapi aku sudah bertekad. Ini saat yang tepat. Ini harus jadi saatnya. Perjumpaan pertamaku. Saat aku bertemu dengannya. “Tapi bagaimana kalau dia tak suka penampilanku dan aku tak boleh bersamanya?” Suara setan muncul bersama angin yang cukup kencang. Dingin. Kudekap kedua tangan. Lain kali harus bawa mantel. “Bagaimana kalau aku nanti tak bisa berkata-kata? Kalau gagap? Jadi bisu? Atau tiba-tiba lupa ingatan seperti di sinetronsinetron?” batinku penuh pertanyaan aneh. “Bagaimana kalau uangku tak cukup untuk yang pertama kali ini? Aku pasti akan sangat malu sama dia. Tidak akan mau dia bertemu aku lagi...” hampir menangis aku membayangkannya. Seorang Ibu muda berjalan melewatiku. Melempar pandangan ke arahku. Aku tersenyum. Ibu itu melengos pergi. “Ah, ada sesuatukah di wajahku? Sial. Mungkin sebentar lagi dia datang... Bagaimana ini? Huaaaa....” sekali lagi muncul suara-suara aneh di kepalaku. Kubersihkan wajahku. Seperti seorang gadis manis memakai bedak tabur di wajah. Ah, mudah-mudahan tidak ada apa-apa dengan wajahku. Pakaianku. Sandalku. Tas plastik jinjinganku. Semoga semua beres. Tiba-tiba berhenti di depanku. Sebuah mobil warna biru. Aku lihat nomornya. Persis. Jantungku berdebar. Aku melangkah mantap.
282 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Sial! Terlalu girang barangkali, tak sadar sendal jepit di kaki kiriku menginjak ujung depan sendal jepit di kaki kananku. Putus! Ya, sendal jepit sebelah kanan itu putus. Benar-benar sial di pertemuan pertama. Selain terlalu girang, sudah pasti ini karena hujan lebat yang membuat banjir jalanan ini. Kakiku jadi licin. Huh! Aku lalu melangkah dengan sendal jepit di tangan kanan dan tas plastik berisi penuh buah salak di tangan kiri. Aku menatapnya. Jantungku makin berdebar kencang. Pipiku memerah. Perlahan kubuka pintu mobilnya. Masuk. Dan duduk. Jantungku masih berdebar. Semakin kencang. Wajahku yang tadi memerah jadi pucat. Ujung jari tangan dan kakiku dingin. Aku duduk di bagian tengah kursi waktu itu. Dingin sekali. Sayup-sayup terdengar lagu dari tape mobilnya. Sahabat Jadi Cinta. Zigaz. Tiba-tiba dia berbalik. Aku tersentak. “Mau diantar kemana, dek?” katanya sambil tersenyum, walau tatapan wajahnya tak bisa dibilang tidak kaget. Kukuatkan hatiku, menjawab dengan mantap, “ha’lan nu’nyu’be’lah ah’u’nus he’be’la’ han’no’u’be’nyu, a’so wo’wong...”
Surat yang Tak Pernah Selesai | 283
Tersenyum. “Jalan tujuh belas agustus, sebelah kantor gubernur, masuk lorong??” Kata bapak berkemeja biru dengan mantap. Aku mengangguk tersenyum. Sambil mengacungkan jempol. Dan taksi Bluebird pun melaju di jalanan yang tertutup air, menembus hujan lebat yang sedari tadi siang mengguyur kotaku. Epilog Aku Rini Surapanji. Umur 15 tahun. Aku adalah seorang penjual salak di pusat kota. Badanku kurus. Rambutku agak memerah. Aku juga seorang penderita bibir sumbing. Tadinya aku tak mau naik taksi Bluebird. Tapi hujan turun sangat lebat dan payung yang aku letakkan di samping salaksalak jualanku terbang ditiup angin sampai ke dekat selokan di samping jalan raya. Ada bapak-bapak berseragam dan bersepatu lars (mungkin) tidak sengaja menyenggolnya, akhirnya payungku terjatuh masuk ke dalam selokan. Jadi aku tak punya payung untuk pulang. Untunglah aku punya ide naik taksi. Sekalian ingin merasakan naik taksi Bluebird, yang katanya paling bagus di kota ini. Syukurlah tadi jualanku agak lumayan. Walaupun masih ada yang salak yang tersisa. Dua puluh tiga ribu lima ratus rupiah uang hasil jualanku. Untunglah cukup membayar taksiku. Sembilan belas ribu. Aku berikan selembar dua puluh ribu dan dua buah salak ke pak sopir, sambil berucap, “e’i’ma a’nyi…”
284 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Tiga Hal dari Ibu Sebaris SMS kuterima.
— An, aku k apartemenmu y, butuh tmn ni.. Seperti biasa Ryanti selalu akan main ke tempatku kalau hari libur. Ya namanya teman, silakan saja datang. Apalagi teman dekat seperti itu. Pintuku selalu terbuka untuk dia. Maklum, sesama lajang, sesama perempuan, kami sering berbagi cerita. Dia selalu bercerita tentang impian-impiannya, hobi, juga tentu saja tentang kriteria cowok yang dia suka. Lima belas menit kemudian dia sudah muncul dan berceloteh ke sana-ke mari. “Kamu ngapain aja An pagi ini? Mbok keluar-keluar...“ Aku tersenyum. “Ya bersantai nemenin kamu lah, orang lagi ada tamu di sini...“ jawabku kalem. “Please dong An, aku masak dianggep tamu... Lagian, ada tamu kok yang punya rumah males-malesan di kasur gitu?“ “Eh, malah ngatur-ngatur! Kamu pagi-pagi dah bikin keributan! Sana bikin nasi goreng!“ candaku sambil melempar bantal ke arahnya. Setengah jam kemudian kami tampak kompak mengacakacak dapur. Dia memasak nasi goreng (dengan risiko sedikit keasinan, hehe... Yah nggak pa-pa lah). Sedangkan aku membereskan piring dan gelas kotor. Setelah itu kami nonton TV, sambil me-
Surat yang Tak Pernah Selesai | 285
milih posisi “pe-we“ (paling weeenak) di sofa kami, menyantap masakan amburadul karya Ryanti. “Waduh... Sorry An, keasinan lagi... Abis kamu nyuruh aku yang masak sih...“ kata Ryanti setelah menyuapkan sendok pertama ”nasi goreng“-nya. “Tenang... Kalo perut laper, semua enak kok...“ Aku cengarcengir. “Padahal tadi aku mau pesen aja di rumah makan depan lho...“ “Kamu itu, apa-apa suka instan... Mbok belajar sendiri. Masak sendiri itu juga seni lho...“ Seperti biasa, sesi perdebatan dimulai. Ryanti senang sekali sesi ini, karena kemampuan berargumentasinya yang canggih seakan mendapat lawan. Sebenarnya sih, aku cuma bisa mengimbangi dengan meledeknya abis-abisan. “An, dunia kan makin modern, keunggulan-keunggulan komparatif akan selalu mencari jalan untuk memulai bisnis-bisnisnya. Nah seperti makan pagi ini, kalau ada entrepreneur yang mau memanfaatkan lahan bisnis untuk menyiapkan makan pagi yang lezat bagi orang sibuk seperti kita, kenapa enggak? An, kita hanya perlu beberapa lembar ribuan dan mereka datang sudah dengan paket terbungkus rapi...“ “Gitu ya? Hmm... Kalo gitu nanti cari aja calon suami tukang nasi goreng... Komparatif ’kan? Kamu punya duit, dia bisa bikin nasi goreng... Hehehehe!“ “Aaaann... Kamu sarkastik banget sih?“ dan bantal sofa itu melayang ke arahku. Kami memang berbeda dalam selera, aneh juga kok bisa nyambung. Katanya sih dia suka aku karena hanya akulah yang berani menentang pendapatnya blak-blakan, sekaligus tanpa menunjukkan rasa benci. Aku sendiri suka dia karena bikin 286 | Pegiat Sastra Ikastara.org
rame di ruang apartemenku. Kalo bicara perbedaan, bukannya emang nggak ada orang yang benar-benar sama ’kan. Bersahabat dengannya mengajarkanku toleransi. Sebagai sahabat, aku sering memberikan saran-saran atau mengingatkannya. Selanjutnya ya terserah dia... Hidup penuh pilihan, tapi sepanjang dia masih memandang aku sebagai sahabat, aku masih akan bersamanya. “An, bener nggak sih, cowok suka cewek yang suka masak?“ “Lha, tanya gue... Tanya cowok dong, kalau perlu kamu bikin survey... Hasilnya tulis di koran, kamu ’kan sudah terkenal sebagai peneliti?“ jawabku asal. “An, udah deh... nggak usah bahas kerjaan dong...“ tiba-tiba tampang melankolisnya keluar. “Oke-oke... Menurutku, ya kalo cinta mah nggak harus lihat bisa masak atau nggak kan? Cuma kalo bagiku, makanan paling enak ya buatan mamaku. Dan ketika mama sibuk, aku tertantang bisa ngegantiin tugas itu...“ “Makanan enak bukannya karena dimasak oleh orang yang ahli? ’Kan aku bisa nyari pembantu yang pinter masak?“ “Ya asal kamu nanti ga jealous aja sama pembantumu...“ “Uuuhh kamuuu!!“ dia melotot kepadaku. Ryanti yang kukenal adalah gadis yang smart. Teman kantor yang karirnya melesat. Wajar sih, dengan latar belakang pendidikannya yang mirip jalan-jalan ke luar negeri. Ryanti selalu rajin ngantor, disayang bos karena kemampuan analisa dan presentasinya yang tajam. Hanya, karena dia selalu tampak sibuk, banyak orang segan mendekatinya. Entah kenapa aku dan dia dulu bisa deket, kalo nggak salah sih setelah aku iseng jualan kue kering di kantor. Dia penasaran karena aku bisa membuatnya sendiri, dia tiba-tiba ingin belajar. Tapi ya karena bukan bakat dan kurang telaten, hancur leSurat yang Tak Pernah Selesai | 287
burlah buatannya. Bukan masalah bagiku, sahabat bisa datang dari mana saja. Lagian, enak juga bisa nebeng mobilnya kalo ke kantor, hehe. Aku berjalan menuju balkon. Aku senang sekali memandang taman kecil di bawah sana. Apalagi, hari libur begini ada banyak anak kecil berkejaran, bermain sepeda, atau bermain ayunan. Tiba-tiba mataku berhenti pada objek menarik di sudut taman. “Ryan, sini deh. Aku tunjukkan sesuatu.“ Tanganku melambai tiga kali memintanya mendatangiku. Dia mendekat lalu matanya mengikuti arah telunjukku. “Lho, itu bukannya Pak Hasan, Presiden Grup perusahaan kita ’kan?“ Aku mengangguk. “Coba lihat dia sedang bersama siapa.“ Ryanti tertegun. Seorang nenek tua duduk di kursi roda tampak sedang didorong Pak Hasan berjalan-jalan berkeliling taman. “Itu istrinya?“ “Bukan, itu ibunya...“ sahutku. “Tahu dari mana ? “ “’Kan aku juga sering menemani mereka.” Aku lalu bercerita sedikit tentang sosok Presiden Grup yang rendah hati itu. Taman itu memang tempat favorit ibu Pak Hasan. Beliau sangat senang melihat suasananya. Mereka sering bernostalgia tentang masa kecil Pak Hasan yang nakal, yang kuat seharian bermain sepeda dan ayunan. Ibu itu juga sering bercerita tentang Pak Hasan yang meski bukan tipe anak penurut, dia selalu tidak bisa marah. Hasan kecil yang bandel, langganan jatuh
288 | Pegiat Sastra Ikastara.org
dan luka-luka kalau sudah bermain. Dilarang pun tiada guna. Dia baru mau kembali ke ibunya kalau sudah menangis sambil kakinya berdarah-darah. Dan ibunya akan membalut lukanya dengan penuh kasih sayang. “Wah, Pak Hasan bandel juga ya An?” Ryan tampak antusias mendengar ceritaku. “Yee.. yang namanya anak-anak di mana-mana juga bandel, kaliii…” “Tapi let’s see him now, dong... So cool, smart, berwibawa... Kalau diproyeksikan ke belakang, kayaknya nggak mungkin deh senakal itu. Karena pengalamanku, temen-temen kecilku yang nakal-nakal seperti itu jadi nggak jelas gitu pas udah gedenya...” Memang kritis sahabatku satu ini. Bahkan baginya sejarah hidup manusia mempunyai alur logikanya. “Benar ‘kan An, aku melihat ada missing link...” “Ah kamu, udah kayak mau presentasi kerancuan teori Darwin aja. Pak Direktur mau jadi objek survey juga ya non?” “Eh, kamu yang mulai ’kan? “ “Please deh... Malah nyalahin gue, sini deh aku ceritain obrolanku dengan Pak Direktur itu...” Dulu aku juga menyimpan pertanyaan yang sama: hal apa yang membuat ia berbeda dengan anak-anak kebanyakan? Suatu hari aku iseng menanyakannya ke Pak Hasan ketika ia sedang jalan-jalan bersama ibundanya. Dan dia hanya kalem menjawab,”Siapa dulu dong ibunya...” Ibu tua itu membalas dengan senyum teduh, lalu membelai lembut rambut Pak Hasan.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 289
“Nak Ani, Ibu sendiri tidak pernah merencanakan dia jadi sehebat sekarang. Sampai sekarang saja aku masih melihat dia kolokan seperti dulu...” dan kami pun tertawa bersama. Lalu Ibu tua yang wajahnya menyejukkan itu menjelaskan, dia selalu bersyukur mendapatkan Hasan kecil sebagai berkah buah cintanya. Dia hanya berkeinginan menjadi Ibu yang tulus memberikan kasih, memberikan kedamaian, sekaligus memberikan ruang kebebasan bermain. Hanya gembira yang ingin dilihat dari Hasan kecil. “Ibu tidak pernah melarang-larangnya?” tanyaku dulu. “Pertanyaan yang sulit, dan sekarang akan semakin sulit dijawab. Hasan kan bandel...” Pak Hasan tersipu. “Ibu tak pernah melarang-larang kok, hanya paling-paling aku dinasehati tentang bahaya suatu kenakalan. Tapi sungguhpun aku lebih sering melanggar, Ibu selalu menerimaku saat aku kembali... Ya lama-lama bosan sendiri nakal, lebih enak nurut sama Ibu...” Sederhana memang. Bahasa Ibu hanya sesederhana bahasa cinta. Bahkan kedamaian cinta Pak Hasan dan Ibunya bisa dirasakan orang-orang yang melihat kedekatan mereka. “An... Tapi ceritamu ini belum menjawab pertanyaanku.” “Memang kamu nanya apa tadi? “ kilahku. “Itu, apa hubungannya Ibu itu dengan seluruh pencapaian Pak Hasan sekarang?” “Ya karena dia rajin belajar dan bekerja keras, dooongggg... Ryanti yang pintaarrr!” jawabku gemes. “Gini lho An, Ibu itu ‘kan... Sorry, bukan underestimate... Ibu itu kayaknya nggak terlihat punya gelar akademis apapun yang menunjukkan dia kompeten untuk melahirkan keturunan yang
290 | Pegiat Sastra Ikastara.org
jenius, berbakat, multiskill, dan seterusnya...” masih penasaran ternyata sahabatku ini. “Mungkin ya... Itu berkah dari Tuhan. Bonus kali?” “Nggak mungkin An, setiap hal besar pasti selalu diawali reason yang kuat pula... Kamu juga tahu itu ‘kan?” Ryanti benar. Setiap pencapaian apapun bentuknya, sebesar apapun itu, pasti diawali oleh suatu alasan, suatu usaha. Aku jadi ingat sesuatu. “Ya ya kamu benar, ibunya memang sepertinya biasa-biasa saja. Tapi dampak ketulusannya itu yang luar biasa. Pak Hasan itu boleh dikatakan orang yang haus restu dan pujian ibunya. Di masa kecilnya, setiap kali ia diberi kesempatan untuk berkreasi, Pak Hasan itu dulu selalu menarik-narik tangan ibunya untuk melihat hasil kerjaannya. Entah itu coretan di dinding, entah itu mainan yang bisa diperbaiki, atau sekadar dia bisa menghabiskan nasi satu piring makan hingga licin...” Kami tertawa membayangkan masa kecil Pak Hasan. “Maksudmu dia terus terobsesi gitu yak?” “Ya... Kalo disebut obsesi pun, itu pasti obsesi yang sehat ‘kan? Liat aja hasilnya sekarang.” Ryanti terdiam, lalu pelan bergumam. “Ibunya seperti pahlawan di balik layar yang sangat berpengaruh ya...” Kelembutan adalah senjata Ibu. Keleluasaan adalah media cinta Ibu, ketika ekspresi cinta saling diungkapkan di masa kecil seorang anak. Ungkapan-ungkapan kedamaian cinta membentuk jiwa, mendasari kepribadian, dan merasuk dalam alam bawah sadar. Benih yang cukup mendapatkan siraman air, akan menumbuhkan pohon-pohon gagah, pohon-pohon rindang tempat berteduh, dan pohon-pohon penuh buah yang memberi banyak manfaat. Jika siraman itu berupa air cinta, dan takdir menempatSurat yang Tak Pernah Selesai | 291
kan benih itu pada berkah tanah yang subur, tidaklah mengherankan jika banyak manusia-manusia berpengaruh di dunia ini dengan mantap selalu jujur berkata, “Ini semua kupersembahkan untuk ibuku...” Pak Hasan yang bijak itu suatu saat menjelaskan teori tentang Ibu berdasar analisanya. “Ibu itu memberikan tiga kelebihan kasih dibandingkan seorang ayah. Pertama, ia membagi tubuhnya selama sekitar 9 bulan 10 hari untuk anaknya. Ia harus menyediakan rahimnya sebagai tempat pertumbuhan janin hingga sempurna menjadi anak manusia. Gangguan sedikit saja pada proses pembentukan fisik dalam rahim akan menentukan si anak akan terlahir cacat atau tidak. Itu sungguh suatu tanggung jawab besar. Bahkan dalam kasus-kasus kelahiran luar biasa, si ibu memilih nyawa anak yang dikandung dapat dilahirkan selamat daripada nyawanya sendiri...” Aku sudah bergidik membayangkan itu. Sebagai seorang wanita, aku bertanya-tanya sendiri. Aku sudah siap belum ya untuk mengalami saat-saat itu, mengambil pilihan-pilihan itu? “Tapi itu baru sebagian kecil. Kelebihan kedua yang tidak bisa digantikan ayah adalah saat-saat menyusui sang bayi. ASI adalah makanan pertama, utama, dan tak tergantikan oleh apapun. Bahkan sangat eksklusif jika Ibu bersedia menyusui dalam waktu yang lama sebelum si anak siap menerima makanan pertama yang akan disuapkan kepadanya. ASI membawa pembuktian nyata aliran cinta. Posisi menyusui sedemikian rupa adalah perpaduan sempurna ketika mata polos si kecil menerima pesan-pesan kasih ibunya, ketika si kecil yang masih tak berdaya itu aman dalam rengkuhan gendongan ibunya. Semakin sempurna dengan kehangatan tubuh paling pribadi ibu dan anak yang dihiasi perkusi detak jantung ibunya yang termainkan dengan kesucian hati... “
292 | Pegiat Sastra Ikastara.org
“Pak, maaf... Betapa malunya saya tak mampu mengingat saat-saat indah itu...” ketika itu aku sudah terisak mendengar penjelasan Pak Hasan. “An... Jarang ada manusia yang sanggup mengingat keindahan luar biasa itu. Itu wajar kok. Otak kecil kita saat itu tak mampu menerjemahkannya. Namun tidak hilang...” “Dari mana kita tahu itu tidak hilang, Pak?” “Keajaiban kasih seperti itu sebagaian merasuk dalam alam bawah sadar, sebagian lagi membentuk jejak fisik. Kamu yang ada sekarang adalah rentetan perubahan sel-sel yang terjadi dari masa kecil bukan?” Sebuah kesadaran baru menyentakku. Aku yang sekarang adalah produk kasih sayang nyata masa kecilku. Sebaik-baiknya aku sekarang adalah sebaik-baik Ibu memberikan apa saja dalam masa kecil yang bahkan sebagian besar telah kulupakan. “Dan yang terberat, adalah kelebihan ketiganya.“ Ujar Pak Hasan mantap. “Wah, sepertinya lebih tak tergantikan lagi tuh Pak...“ “Benar, karena membuat kita, tidak bisa tidak, harus kembali ke Ibu. Mengandung hanya 9 bulan, menyusu eksklusif hanya sekitar 2-3 tahun, namun kasih nyata membesarkan kita adalah sepanjang hayat. Tuhan menjadikan wanita sebagai jalan bertumbuhnya manusia-manusia baru, karena wanita memiliki kelembutan dan air mata. Dengan kelembutan cinta Ibu, kita bebas terbang mencapai apapun mimpi kita. Namun saat kelelahan, kita juga akan mencari kelembutan Ibu untuk bersandar...“ Aku dan Pak Hasan sejenak kemudian terdiam, membayangkan perjuangan kami selama ini yang tidak ada apa-apanya tanpa balutan kasih Ibu.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 293
“Lalu dengan air mata?” tanyaku memecah keheningan saat itu. “Pedang yang saling terhunus akan tersarungkan pelan jika air mata Ibu sudah meleleh. Sebaliknya, pencapaian kita tidak akan berharga sempurna hingga Ibu meneteskan air mata ridha dan bahagianya...” “Ibu memang segalanya...” bisikku pelan. Aku baru saja mengulang penjelasan Pak Hasan itu buat Ryanti. Sejenak aku terdiam, sekali lagi meresapi kisah tentang ibu. Setelah beberapa detik, baru kusadari bahwa Ryanti pun tak bersuara. Ia hanya memandang langit yang mengarak awan keteduhan. Matanya basah. Rona kritis dan logis yang tadinya berapi, kini sirna. “Dah puas?” tanyaku sambil membalikkan badan. Tanpa merasa perlu menjawab pertanyaanku, Ryanti lari ke dalam. Tak lama, suaranya sayup-sayup terdengar dari dalam kamarku. “Mama, apa kabar? Kapan Mama menjenguk Ryan lagi? Ah, nggak, kangen aja sama Mama... Iya, iyaa... Cepat ya Ma... Ryan pengen belajar masak, biar jago seperti Mama...”
294 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Tentang Penulis
Ayu Anindhita Ayu adalah alumni angkatan 13 yang tidak pernah menunjukkan kecintaannya pada sastra selama masih duduk di bangku SMA TN. Namun, tidak cinta bukan berarti tiada rasa. Ketika Ayu mulai memasuki bangku kuliah di President University, ia menyadari bahwa selangkah dari perjalanan hidup memiliki berjuta makna untuk dituangkan. Maka perlahan kata demi kata mengalir, hingga terciptalah beberapa puisi dan cerpen sebagai bendungan dari klimaks pergolakan makna dalam benaknya. Cerpen Pantaskah Aku disusun saat ia melihat bahwa dalam keadaan yang paling bikin pesimis sekalipun, ketulusan cinta selalu mampu meredakan segala kekalutan.
Dina Kharisma Lulus SMA tahun 2006, pecinta kucing ini memutuskan hijrah ke Negeri Singa untuk melanjutkan pendidikan sarjananya. Walau mengaku tomboi dan hobi bertualang, dia takluk total pada melankolisme tulisan-tulisan Paulo Coelho dan Dewi Lestari. Pengalaman bersekolah di negara asing dan kecintaannya pada budaya Jepang dituangkan ke dalam serial cerita pendek Chibiko, ditulis tahun 2007 dan 2009 di sudut asrama Nanyang yang penuh bunga mentega. Surat yang Tak Pernah Selesai | 295
Enade Perdana Istyastono Setelah menamatkan SMA pada tahun 1997, Enade yang sempat menjadi saksi “lahir”-nya Teater Taruna Nusantara (TETANUS) melanjutkan studi ke Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada meskipun masih memendam keinginan untuk mengambil jurusan seni/sastra. Saat buku ini diterbitkan, Enade berdomisili di Belanda dan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengeksplorasi negerinya Vincent van Gogh. Eksplorasi itu melahirkan Trilogi Amstel yang berlatar Belanda, selain sebuah cerpen lain berjudul Tempat yang Belum Pernah Kudatangi.
Fajar Sofyantoro Terpaksa berdomisili sementara di Yogyakarta karena sedang kuliah di Fakultas Biologi UGM. Dua cerita pendek yang masuk dalam antologi ini bukanlah cerita sebenarnya. Oleh karena itu, dia juga selalu berharap agar Cinta, Bantal, dan “Aku Akan Selalu Ada Untukmu” serta Surat yang Tak Pernah Selesai tidak akan terjadi dalam hidupnya.
Goklas Tunggul Partoho Menurut Goklas, cerpen Padahal tidak berhubungan dengan dirinya. Kisah itu muncul atas dasar kebetulan belaka, ketika sebuah kisah sederhana dalam kehidupan sehari-hari menarik untuk dibicarakan. Kisah itu pun kemudian dirangkai dalam kata oleh rekan yang mempunyai keahlian dalam membuat cerpen. Dan sekali lagi, cerpen itu juga bukan bercerita tentang dirinya, percayalah...
296 | Pegiat Sastra Ikastara.org
Iqbal Sarasin Sesudah menuntaskan masa pendidikan selama tiga tahun di Magelang, Iqbal melanglang buana ke Negeri Kincir Angin dengan filosofi ”part time student, full time tourist”. Di sela-sela kegiatan kuliah, Iqbal yang mengagumi seni dan kebudayaan Jepang kerap menikmati indahnya lanskap Belanda. Di negara inilah, ia menorehkan kisah Tulip Hitam, berdasarkan pengalaman pribadinya selama berdomisili di Belanda. Kini, Iqbal tengah menuntut ilmu di Amerika Serikat.
Isthova Haqi Buku agenda, blog, facebook, dan forum ikastara menjadi empat sarana yang menampung karya Haqi alias “sumwan”. Karya-karyanya didominasi oleh suasana tepi lautan sebagai inspirasi terbesarnya. Berawal dari mengikuti jejak seorang rekan yang “mengagendakan” semua karyanya, kini kegiatan menulis sastranya terfokus pada blog pribadi. Sejak tahun 2002 Haqi berdomisili di Singapura. Dengan ijazah Computer Engineering dari NTU, rutinitas sehari-harinya dipenuhi dengan kegiatan yang berhubungan dengan dunia maya. Karya Aku Tak Mau Jadi LayangLayang terinspirasi dari status Facebook seorang kawan yang dipublikasikan tepat sehari sebelum batas akhir pengumpulan karya pada Lomba Sastra Ikastara, awal tahun 2009.
Lany Marlita Matondang Lany adalah satu dari 72 putri pertama yang dimiliki SMA Taruna Nusantara. Semasa sekolah ia aktif sebagai MC, di paduan suara, dan di pementasan drama (walaupun bukan anggota Tetanus). Setelah lulus tahun 1999 ia kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi. Saat ini ia berdomisili di Manado. Ia bekerja di sebuah klinik kantor di pusat kota, tempat banyak penSurat yang Tak Pernah Selesai | 297
jual salak lalu lalang dan akhirnya memberi “roh menulis” bagi cerpen edisi (paling) pertamanya di forum ikastara.org, Perjumpaan Pertama.
M. nugraha Dulu ia adalah salah satu pengunjung tetap Laboratorium Komputer SMA Taruna Nusantara. Karya-karyanya dapat ditemukan tersebar di berbagai PC Laboratorium Komputer, sebagian besar berupa cerpen abstrak. Sejak tahun 2004 dia mulai aktif di forum Ikastara.org. Subforum Sastra adalah tempat persinggahannya. Di sana dia menulis untuk katarsis, sambil menikmati karya-karya penulis favoritnya, seperti nad3418, ecieci, dan violace.
Rinna Santi Sijabat Tamat SMA tahun 2009, Rinna melanjutkan studinya ke ITB jurusan Teknik Kimia. Ketika masih duduk di bangku kelas satu SMA, Rinna sempat menjadi finalis di salah satu event lomba sastra di Forum Ikastara.org dan mendapat banyak apresiasi. Karya berjudul Hadiah Terindah, yang pada awalnya hanyalah satu dari sekian file curahan hatinya di notebook yang diubah menjadi versi cerpen. Kisah itu dihadirkan kembali dan dapat Anda nikmati dalam buku antologi ini.
Sigit Santoso Lulus SMA bukan sebagai orang yang jago pelajaran eksak, Sigit lalu mencari eksistensi diri dengan mencoba-coba banyak hal. Sampai suatu ketika ia bosan membaca diktat perkuliahan dan menemukan keasyikan tersendiri saat membaca novel. Menulis cerpen baginya adalah pelampiasan dari pandangan ideal
298 | Pegiat Sastra Ikastara.org
yang seharusnya terjadi dan kisah-kisah cinta yang seharusnya lebih romantis dari yang terjadi di dunia nyata. Sigit percaya bahwa kejujuran dan keterbukaan adalah solusi dari tiap masalah. Keyakinannya ini dituangkan dalam kisah Mimpi yang Mewujud, Ritual Makan Bersama, Selamat Jalan, Vi… , Seputih Nuriku, Cukup Hanya Cinta, Aku Kembali… Guruku, dan Tiga Hal dari Ibu.
Violace Amalia Putri Tidak seperti tokoh-tokoh rekaannya di cerpen Pilihan, Kejora.. Kerlip Bintangku, dan Merindu Bulan, Violace yang akrab disapa Cece tidak terlibat kisah asmara dengan para sahabatnya baik di SMA, sewaktu kuliah di UNPAD, maupun sekarang saat malanjutkan studi di Melbourne. Ikastara.org mempertemukannya dengan para alumni TN pencinta sastra. Cerpen Padahal merupakan kolaborasi pertamanya dengan alumni lain, sementara cerpen Cinta Lengkapi Kita terinspirasi dari kisah nyata yang dialami saudaranya.
Yeptirani Syari Lahir tahun 1984, Yeyep menghabiskan masa hidup di SMA Taruna Nusantara selama tahun 1998 sampai 2001. Ia mengenal sastra sejak berusia lima tahun, saat sang Ayah mengajaknya berkolaborasi membaca puisi. Kolaborasi itu direkam dalam sebuah kaset dan diberi judul Aku dan Ayahku. Tulisan pertamanya adalah sebuah skenario pendek berjudul Keluarga Pak Andi dan puisi berjudul Wanita yang ditulisnya pada usia 7 tahun, saat duduk di bangku kelas III SD.
Surat yang Tak Pernah Selesai | 299