PEGARUH KIERJA LIGKUGA HIDUP PERUSAHAA SERTA SISTEM MAAJEME LIGKUGA HIDUP PERUSAHAA TERHADAP KIERJA KEUAGA PERUSAHAA
PEDAHULUA Dewasa ini, semakin nyata adanya permintaan bagi perusahaan untuk memperlihatkan tidak hanya pencapaian di bidang kinerja keuangan (Financial Performance) namun juga kinerja sosialnya (Social performance) sebagai cerminan dari tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social responsibility). Hal ini dikarenakan falsafah tanggung jawab sosial perusahaan dan kaitannya dengan pembangunan yang berkelanjutan (Sustainable development) adalah dua hal yang semakin umum dalam dunia bisnis saat ini. Menurut Wood (1991) salah satu aspek penting dalam kinerja social perusahaan adalah kinerja lingkungan hidup perusahaan. Hal ini pun ternyata dirasakan oleh para pebisnis, di Amerika semakin banyak pebisnis yang beranggapan bahwa menjalankan bisnis dengan menekankan pada aspek kinerja lingkungan (going green) akan berpengaruh secara positip terhadap kinerja keuangannya (Starovic, 2004; dan Steiner, 2002). Hubungan mengenai kinerja sosial (termasuk didalamnya kinerja lingkungan hidup) merupakan isu yang menarik dalam penelitian mengenai tanggung jawab sosial perusahaan dan pembangunan keberlanjutan. Karena hingga sejauh ini hasil-hasil penelitian di bidang ini memperlihatkan hasil yang beragam (Al Tuwaijri, 2004). Beberapa penelitian memperlihatkan adanya hubungan negatif, sementara sebagian lainnya memperlihatkan hubungan positip. Bahkan ada pula hasil penelitian yang memperlihatkan hasil yang netral.
1
Di Indonesia sendiri konsep kinerja lingkungan adalah sesuatu yang masih belum begitu dianggap umum di Indonesia. Bahkan belum ada suatu keharusanpun bagi para perusahaan untuk mencantumkan informasi-informasi mengenai lingkungan hidup didalam laporan keuangannya. Semuanya masih sebatas anjuran. Namun, dengan arus informasi yang saat ini makin tiada batas, menyebabkan isu-isu lingkungan hidup terkini di belahan dunia manapun dapat dengan cepat diserap dan disuarakan di dalam lingkup nasional. Pada beberapa kebijakan pemerintah mulai terlihat jelas adanya keberpihakan terhadap isu-isu lingkungan, misal dengan dikeluarkannya program PROPER sejak tahun 2002 serta adanya peraturan BI no 7/2005 atas perlunya kinerja lingkungan dalam penelaahan persetujuan kredit. Bahkan sejak lima tahun belakangan ini pemberitaan pers mengenai isu-isu kerusakan lingkungan oleh perusahaan-perusahaan mulai marak dan terbuka. Khusus mengenai PROPER, sejak tahun 2002 kementrian negara lingkungan hidup bekerja sama dengan Bapedal dan instansi terkait lainnya mencanangkan program PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup) berdasarkan UU No. 3/1997 dan KepMen 127/MENLH/2002. PROPER dikondisikan sebagai reputation award dan merupakan perwujudan transparansi dan public partisipasi dalam pengelolaam lingkungan. Program ini melakukan pemeringkatan perusahaan dari yang terbaik sampai yang terburuk dalam hal ketaatan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Perusahaan yang dimasukkan dalam kegiatan pemeringkatan ini meliputi perusahaan BUMN, PMA dan PMDN, yang termasuk dalam sektor industri manufaktur, prasarana dan jasa, sektor pertambangan, energi dan migas serta sektor pertanian dan kehutanan. Terdapat lima kategorisasi yang tercermin dalam peringkat warna yaitu kategori EMAS, HIJAU, BIRU, MERAH dan HITAM.
2
Dimana warna EMAS mencerminkan peringkat terbaik (insentif reputasi tertinggi), sementara HITAM mencerminkan peringkat terburuk (disinsentif reputasi tertinggi). Sejauh ini program PROPER telah dilakukan sebanyak 3 kali (2002—2003, 2003-2004 serta 2004-2005). Dengan jumlah peserta yang makin meningkat setiap tahun penilaiannya (85, 251 serta 466 perusahaan untuk setiap tahun penilaian secara berturutan). PROPER dianggap cukup berhasil dalam meningkatkan jumlah ketaatan perusahaan, hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah ketaatan sebesar 13.15% dari tahun 2003-2004 ke tahun 2004-2005 (Rasudin, 2005). Bahkan program ini juga diadopsi oleh beberapa negara seperti Filipina, Kolombia, Mexico, Cina dan India (Siaran Pers KLH, 2004). Sungguhpun program ini terlihat begitu menarik dan menjanjikan, namun dalam setiap tahun penilaian kinerja perusahaan-perusahaan di Indonesia umumnya berada dalam tataran biru, merah dan hitam. Jumlah perusahaan dikategori peringkat hijau senantiasa berkisar kurang dari 5%, bahkan tidak pernah ada perusahaan yang mencapai peringkat emas. Selain itu tidak ada satupun sanksi hukum pun bagi perusahaan di kategori merah dan hitam. Sanksi yang diberlakukan lebih kepada sanksi sosial, yaitu reputasi di mata masyarakat. Walaupun pemerintah mulai tahun 2005 melalui peraturan BI no 7/2005 mewajibkan perlunya kinerja lingkungan dalam penelaahan persetujuan kredit (perusahaan tidak akan mendapat akses kredit jika mendapat rating merah atau hitam). Namun sepertinya hal tersebut belum banyak membantu peningkatan jumlah perusahaan yang berada di rating hijau. Ini berarti perusahaan di indonesia cenderung bersikap sekedarnya ketimbang memperlihatkan kinerja lingkungan yang baik. Kemungkinan hal ini terjadi karena belum banyaknya bukti empiris yang memperlihatkan keterkaitan kinerja PROPER dengan kinerja keuangan perusahaan. Mengingat sifat pengusaha yang senantiasa mempertimbangkan manfaat dan biaya dalam mengambil
3
keputusan (enlightment self-interest theory), amat penting untuk melihat ada tidaknya keterkaitan antara keduanya. Dengan mendapatkan bukti empiris, maka akan memberikan keyakinan bagi kalangan bisnis mengenai efektivitas kinerja lingkungan dalam suatu perusahaan. Penelitian ini mencoba mengisi kekosongan atas bukti-bukti empiris di Indonesia dalam hal tanggung jawab sosial – lingkungan hidup, yaitu dengan mencoba melihat hubungan antara kinerja keuangan dan kinerja lingkungan berdasarkan peringkat PROPER atas perusahaanperusahaan di Indonesia. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melihat hubungan dan bagaimana arah hubungan yang terjadi antara kinerja lingkungan terhadap kinerja keuangan dari perusahaan-perusahaan PROPER di Indonesia. Dalam pengamatan juga dilihat interaksi antara variable manajemen lingkungan hidup serta level pengungkapan informasi perusahaan.
LADASA TEORI Penelitian mengenai hubungan antara kinerja lingkungan dan kinerja keuangan umumnya terkait dengan kerangka besar penelitian mengenai tanggung jawab sosial perusahaan serta bagaimana perusahaan melaporkan aktivitas tanggung jawab sosial tersebut dalam laporan pengungkapan
informasi
lingkungannya.
Adanya
kepercayaan
bahwa
kinerja
sosial
berhubungan dengan kinerja keuangan merupakan suatu hal yang ingin dibuktikan oleh banyak peneliti di bidang ini. Hasil berbagai penelitian yang melihat hubungan antara kinerja sosial perusahaan dengan kinerja ekonomi perusahaan belum memiliki kesimpulan yang bulat. Ada peneliti yang menemukan hubungan positif (Bowman dan Haire, 1975; Sturdivant dan Ginter, 1977, Waddock dan Graves, 1991; Wu, 2006), ada yang menemukan hubungan negatif (Vance, 1975), namun
4
ada pula yang tidak menemukan hubungan signifikan antara kedua hal tersebut (Abott and Monsen, 1979; Alexander and Buchholz, 1978; Aupperle et al., 1985). Hubungan yang positif dapat diartikan bahwa aktivitas sosial perusahaan meningkatkan reputasi perusahaan sebagai “good citizen” (Nikolai, Bazley, and Brummet, 1976, dalam Wu, 2006). Reputasi itu akan menguntungkan perusahaan dengan banyak cara, yang terkadang tidak dapat diukur. Sehingga, biaya aktual dari aktivitas tanggung jawab sosial menjadi minimal dengan hasil yang maksimal (Waddock dan Graves, 1997). Hubungan yang negatif mengindikasikan bahwa biaya dari menyelenggarakan aktivitas tanggung jawab sosial menempatkan perusahaan pada posisi yang tidak menguntungkan dibanding perusahaan lain yang kurang bertanggung jawab secara sosial (Aupperle et al., 1985; Vance, 1975). Hasil seperti ini telah diprediksi oleh Ullmann (1985), bahwa penelitian dibidang ini akan memberikan hasil yang secara umum tidak seragam, meliputi hubungan antara kinerja ekonomi/keuangan dan kinerja sosial, antara kinerja sosial dan pengungkapan informasi lingkungan, serta antara pengungkapan informasi sosial dan kinerja keuangan. Hal ini terjadi karena ketidakseragaman dalam pengambilan dan pengukuran variable dan sampel terkait serta perbedaan metode dalam menganalisa sampel terkait. Dalam lingkup kinerja lingkungan hidup sebagai bagian dari kinerja sosial, hasil–hasil penelitian yang ada pun memberikan hasil yang beragam, walaupun umumnya memberikan hasil yang positip (Al-Tuwaijri, 2004). Bahkan belum ada penelitian dibidang ini yang memberikan hasil yang negatip secara signifikan. Keberagaman hasil ini umumnya dikarenakan ketidak seragaman sebagaimana yang telah ditenggarai oleh Ullmann (1985) sebelumnya. Pemilihan variabel proxy kinerja keuangan misalnya, bisa menggunakan variable accounting based atau market based perfomance. Dimana masing-masingnya pun memiliki
5
beberapa variasi lebih lanjut. Kebanyakan peneliti yang menggunakan accounting based measure menggunakan ROA atau ROE (misal Preston dan O’bannon, 1997), sementara harga saham atau imbal hasil saham merupakan variabel yang sering dipakai pada market based measure (misal Blacconiere dan patten, 1994). Disisi lain variabel yang digunakan sebagai proxy kinerja lingkungan hidup pun tidak seragam. Beberapa peneliti menggunakan hasil index yang dikeluarkan oleh lembaga independen (misal Waddock dan Graves, 1997), tingkat pencemaran lingkungan perusahaan (misal Rockness, Schlachter dan Rockness, 1986), rating reputasi kinerja lingkungan hidup (misal Preston dan O’bannon, 1997), penghargaan yang diterima (misal Mcwilliam dan Siegel, 1997) atau pengungkapan atas lingkungan hidup (misal Belkaoui, 1976). Beberapa dari penelitian dalam hal kinerja lingkungan memperlihatkan hasil yang positip dan siginifikan, misal pada penelitian Belkaoui, (1976) dan Blacconiere dan patten (1994). Blacconiere dan patten (1994) meneliti reaksi pasar atas terjadinya bencana Union carbide dalam bentuk imbal hasil saham. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pasar bereaksi negatip pada seluruh industri yang sensitif terhadap isu ini. Namun perusahaan yang memberikan pengungkapan lebih banyak dalam laporan keuangannya sebelum terjadinya bencana mendapat efek negatif yang lebih kecil dibandingkan perusahaan yang mengungkapkan secara lebih sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa investor memberikan sinyal positip atas kinerja lingkungan hidup dan kebijakan manajemen lingkungan perusahaan yang terungkap pada laporan keuangan perusahaan Sebagian lainnya memberikan hasil yang non-signifikan, misal penelitian yang dilakukan Ingram dan Frazier (1983) dan Freedman dan Jaggi (1982). Penelitian yang dilakuan Freedman dan Jaggi (1992) mencoba melihat hubungan jangka panjang antara kinerja keuangan yang
6
diwakili oleh ratio keuangan (ROA, ROE) serta kinerja lingkungan hidup yang diwakili oleh 3 pengukuran polusi. Keduanya mencoba menguji apakah terdapat hubungan yang positip antara keduanya. Hasil penelitiannya ternyata memperlihatkan tidak signifikannya hubungan antara kinerja keuangan dan kinerja lingkungan hidup. Penelitian di bidang ini ada pula yang memberikan hasil campuran (mixed result), misal pada penelitian Rockness, Schlater dan Rockness (1986). Sayangnya, penelitian-penelitian semacam itu hanya dilakukan di negara-negara barat yang notabene secara struktural dan sosial, infrastruktur, masyarakat dan pasar sahamnya sudah amat matang dalam menyikapi pentingnya kinerja lingkungan. Terkait dengan kondisi penelitian di Indonesia terhadap topik kinerja lingkungan, umumnya penelitian yang ada masih berkisar pada trend pengungkapan informasi sosial perusahaan di Indonesia (Utomo, 2000), hubungan antara pengungkapan informasi sosial terhadap kinerja keuangan (Hartanti, 2003) serta hubungan antara pengungkapan informasi sosial serta kaitannya dengan corporate governance (Veronika dan Bachtiar, 2006). Satu penelitian terdahulu yang mencoba melihat kinerja lingkungan dan kinerja keuangan di Indonesia telah dilakukan oleh Sarumpaet (2005). Dalam penelitian ini digunakan peringkat PROPER 2002 sebagai proxy dari kinerja lingkungan dan ROA sebagai proxy dari kinerja keuangan. Hasil yang didapat menunjukkan tidak signifikannya hubungan antara kinerja keuangan (ROA) dengan kinerja lingkungan (peringkat PROPER).
HIPOTESA PEELITIA Dalam pendahuluan mengenai kinerja lingkungan dan kinerja keuangan oleh Sarumpaet (2005), hubungan kinerja lingkungan dan kinerja keuangan adalah tidak signifikan. Sayangnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan dalam kajian penelitian kinerja lingkungan hidup dan
7
keuangan yang belum terjawab. Misal, adakah hubungan kausalitas diantara keduanya? Adakah pengaruh unsur manajemen lingkungan perusahaan serta tingkat pengungkapan (sebagaimana yang dianjurkan oleh Ullman (1985) sebagai salah satu unsur yang mempengaruhi hubungan antara keduanya)? Juga tidak diperhitungkannya beda waktu hasil antara kedua kinerja ini, yang diyakini akan memberikan hasil yang lebih bermakna sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian Preston dan O Bannon (1997). Preston dan O’Bannon (1997) melakukan penelitian terhadap 67 perusahaan dalam periode 1982-1992 dalam melihat hubungan kinerja sosial dan kinerja keuangan. Mereka membuat beberapa skenario: adanya hubungan kontemporer (tahun yang sama), hubungan lead (kinerja keuangan mendahului kinerja sosial), dan hubungan lag (kinerja sosial mendahului kinerja keuangan). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dengan model lead hasil yang didapat lebih baik dibandingkan kontemporer ataupun lag. Fenomena mengenai lead dan lag ini juga disupport oleh Waddock dan Graves (1997) yang melakukan penelitian melihat hubungan antara kinerja sosial dan keuangan. Mereka menerapkan pola lead-lag sebagaimana Preston dan O’Bannon (1997). Kinerja sosial diambil dari rating KLD sementara kinerja keuangan menggunakan ROA. Berbeda dengan pendahulunya, hasil yang didapat ternyata membuktikan bahwa baik dalam posisi lead maupun lag, keduanya signifikan. Terkait dengan masalah tingkat pengungkapan indikator lingkungan hidup dan kinerja lingkungan hidup, penelitian ini mencoba menggali lebih dalam mengenai hal tersebut. Pada penelitian mengenai kinerja lingkungan hidup terdahulu, diketahui bahwa level pengungkapan tidak selalu selaras dengan kinerja sosial/lingkungan hidup (Ingram dan Frazier, 1980; Freedman dan Jaggi, 1982; Freedman dan Wesley, 1990). Hal ini dikarenakan variabel pengukur untuk
8
kinerja sosial/lingkungan hidup terkadang tidak sesuai dengan kategorisasi pengungkapan yang diukur. Namun demikian amatlah penting untuk melihat bagaimana hubungan yang terjalin diantara keduanya mengingat hal ini merupakan sebuah justifikasi atas pentingnya dan bermaknanya tanggung jawab sosial perusahaan (Al-Tuwaijri et al 2004). Sejauh ini kami belum melihat bagaimana justifikasi PROPER terhadap pengungkapan lingkungan hidup oleh perusahaan. Berdasarkan teori-teori dan hasil-hasil penelitian terdahulu mengenai kinerja lingkungan hidup dan kinerja keuangan, hipotesa yang akan diuji pada penelitian ini adalah adalah : H1: Kinerja Keuangan pada tahun t-1 mempengaruhi Kinerja Lingkungan Hidup pada tahun t (lag variabel) Dengan model statistik: EP t = β0 + β1 FP t-1 + β2 SIZE t + β3 RISK t + β4 DISCL + β5 MGT + β6 ISO + ε H1: Kinerja Lingkungan Hidup pada tahun t-1 mempengaruhi Kinerja Keuangan pada tahun t (lead variabel). Dengan model statistik: FP t = β0 + β1 EP t-1 + β2 SIZE t + β3 RISK t + β4 DISCL + β5 MGT + β6 ISO + ε H3: Kinerja lingkungan hidup serta manajemen lingkungan hidup yang baik mempengaruhi tingkat pengungkapan kinerja lingkungan hidup perusahaan. Dengan model statistik: DISCL = β0 + β1 EP + β2 MGT + β3 ISO + ε
9
METODE PEELITIA 1. Pengumpulan Data Untuk dapat dimasukkan dalam sampel, suatu perusahaan haruslah memenuhi kriteria dibawah ini: a) Termasuk dalam kategori perusahaan yang dinilai dalam PROPER 2002, 2003 dan 2004. b) Memiliki laporan keuangan tahunan untuk tahun 2002, 2003 dan 2004.
2. Sample Berdasarkan kategorisasi diatas total perusahaan yang dapat dimasukkan ke dalam sampel perusahaan adalah 34 perusahaan PROPER sebagaimana terlihat pada tabel 1 . Jumlah sampel yang didapat (34 perusahaan) secara keseluruhan amat sangat sedikit dari total populasi yang ada (119 perusahaan publik dari 760 perusahaan PROPER) yaitu hanya 29% saja. Masukkan Tabel 1 disini
3. Deskripsi Variabel a) Variabel Kinerja Lingkungan Hidup (EP) Variabel kinerja lingkungan hidup dinilai dengan peringkat PROPER. Digunakan variabel dummy disini dimana kategori emas, hijau dan biru akan mendapat nilai 1, sementara kategori merah dan hitam akan mendapat nilai 0. Terkait dengan variabel lead-lag, pada saat FP adalah lead, maka t didefinisikan sebagai tahun dasar 2003. Sementara saat FP sebagai lag, maka t didefinisikan sebagai tahun dasar 2002. b) Variabel Kinerja Keuangan (FP)
10
Variabel kinerja keuangan akan menggunakan dua macam pengukuran: accounting dan market based. Untuk accounting based, penelitian ini mengikuti yang telah dilakukan Waddock dan Graves (1997), dimana variabel kinerja keuangan menggunakan ratio keuangan ROA. Angka ROA dihitung dengan membagi laba setelah pajak ditambah bunga dengan rata-rata total asset. Untuk Market Based, penelitian ini mengikuti yang telah dilakukan oleh Shane dan Spicer (1983) dengan menggunakan harga saham perusahaan, dihitung 6 bulan setelah pengumuman PROPER dilakukan. Terkait dengan variabel leadlag, pada saat FP adalah lead, maka t didefinisikan sebagai tahun dasar 2003. Sementara saat FP sebagai lag, maka t didefinisikan sebagai tahun dasar 2002. c) Variabel Pengungkapan Lingkungan Hidup Perusahaan (DISCL). Kerangka dari Global Reporting Innitiative (GRI Guideline) aspek indikator lingkungan hidup digunakan dalam analisa isi laporan (laporan keuangan tahunan) untuk melihat skor dari pengungkapan di bidang lingkungan hidup oleh perusahaan. Terdapat 30 indikator di bidang lingkungan hidup yang mana 16 diantaranya adalah indikator utama, sementara sisanya adalah indikator sekunder (lihat lampiran). Bobot 2 akan diberikan untuk setiap indikator utama (dengan tulisan tebal/bold), sementara bobot satu akan diberikan untuk indikator sekunder, sehingga total bobot nilai adalah 46. d) Variabel Manajemen Lingkungan Hidup Perusahaan (MGT dan ISO) Variabel manajemen lingkungan hidup perusahaan diwakili oleh dua hal yaitu: -
ISO (Ada tidaknya sertifikat ISO 14001) Variabel Dummy digunakan disini, dengan bobot 1 jika perusahaan memiliki sertikat ISO 14001 dan 0 jika tidak memilikinya.
11
Secara intuitif, perusahaan yang telah menerapkan ISO 14001 dianggap telah memiliki prosedur yang tertata baik sesuai standar dalam pengelolaan lingkungan perusahaan dan merupakan nilai tambah bagi perusahaan. -
MGT (Pernyataan Manajemen Mengenai Kebijakan Manajemen Lingkungan Hidup) Diukur dengan menggunakan skor analisa isi laporan keuangan tahunan perusahaan berdasarkan kerangka GRI bagian manajemen lingkungan hidup. Terdapat tujuh indikator manajemen lingkungan hidup yang baik berdasarkan GRI, sehingga total nilai secara keseluruhan adalah 7 (lihat lampiran). Menurut Divisi Pembangunan Berkelanjutan PBB (1999), dikatakan bahwa manajemen lingkungan dimaksudkan untuk melakukan identifikasi, pengumpulan, analisa, pelaporan internal dan penggunaan informasi yang terkait dengan bahan baku, air dan energy, biaya-biaya lingkungan dan informasi moneter lainnya. Sementara indikator pada GRI, bagian manajemen lingkungan hidup telah mencakup semua hal tersebut. Sehingga, diasumsikan jika perusahaan telah melaporkan hal tersebut, maka paling tidak sistem manajemen lingkungannya diharapkan sudah tertata cukup baik.
e) Variabel Kontrol Mengenai variabel kontrol, sebagaimana pada penelitian terdahulu dibidang kinerja sosial dan kinerja lingkungan hidup (Waddock dan Graves (1997) dan Al-Tuwaijri (2004)), kami menggunakan komponen SIZE dan RISK sebagai variabel kontrol. Deskripsi variabel kontrol yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: • Ukuran perusahaan (SIZE), dinyatakan sebagai Total Asset. • Resiko perusahaan (RISK), dinyatakan dalam Ratio Long Term Debt To Total equity.
12
HASIL PEELITIA Secara deskriptif, terlihat adanya kecenderungan kinerja PROPER yang baik, sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2, dimana komposisi PROPER baik (73.5%) lebih banyak daripada PROPER buruk (26.5%). Hasil ini walaupun memperlihatkan fenomena yangbaik, namun hendaknya disikapi sebagai akibat dari proses pemilihan sampel yang sangat tergantung dengan ketersediaan laporan keuangan tahunan perusahaan. Sehingga boleh jadi, apabila seluruh sampel yang ada memiliki laporan keuangan tahunan yang siap untuk diolah maka akan didapat hasil yang berbeda. Selain itu jika kita melihat tabel 3, terlihat bahwa terdapat skor pengungkapan kinerja lingkungan hidup yang cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Indikator ”energi” merupakan yang paling banyak diungkapkan oleh perusahaan diikuti oleh indikator materi dan emisi gas buang. Sementara indikator kepatuhan sama sekali tidak diungkapkan oleh perusahaan dalam tiga tahun pengamatan. Kepatuhan disini mencakup kejadian, denda atau sanksi non moneter untuk ketidakpatuhan yang terkait dengan peraturan lingkungan hidup. Hal ini dapat mengindikasikan dua hal; ada kemungkinan perusahaan tidak melaporkan kejadian pelanggaran dalam perusahaannya, atau perusahaan memang telah mematuhi segenap peraturan lingkungan hidup yang ada. Hasil deskriptif statistik mengenai
manajemen lingkungan hidup perusahaan
memperlihatkan bahwa terdapat tren yang meningkat mengenai kebijakan perusahaan dalam menghadapi isu-isu lingkungan hidup (lihat tabel 4). Perusahaan terlihat lebih mengemukakan mengenai ”policy” perusahaan diikuti dengan ”objective of goal and performance”. Ketiadaan perusahaan dalam mengemukakan informasi mengenai denda yang terkait dengan lingkungan hidup mendukung temuan pada table 3 diatas terkait dengan isu kepatuhan yang sama sekali
13
tidak dikemukakan dalam laporan. Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa kebijakan lingkungan hidup perusahaan-perusahaan di Indonesia cenderung untuk mengemukakan sisi visi tanpa implementasi yang lebih rinci. Masukkan Tabel 2, 3 dan 4 Disini
Hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov memperlihatkan bahwa semua variabel kecuali SIZE, RISK dan SML memiliki sebaran yang normal. Dengan hasil ini dimungkinkan bagi kita untuk melanjutkan pengujian hipotesa sebagaimana yang direncanakan di bagian awal.
a). Pengujian atas Hubungan Lag Variabel Antara Kinerja Lingkungan Hidup dan Kinerja Keuangan Tujuan pengujian ini adalah untuk mengetahui apakah kinerja keuangan tahun sebelumnya mempengaruhi kinerja lingkungan hidup pada tahun ini. Kami menggunakan Binary Logistic Regression test untuk menguji data yang ada dikarenakan variabel dependen yaitu kinerja lingkungan hidup memiliki merupakan variabel biner, yaitu baik dan buruk. Hasil pengujian menunjukkan bahwa baik saat menggunakan kinerja keuangan berbasis market maupun accounting, hasil uji wald memberikan hasil yang signifikan sebagaimana terlihat pada tabel 5 dan 6. Masukkan Tabel 5 dan 6 Disini
14
b). Pengujian atas Hubungan Lead Variabel Antara Kinerja Lingkungan Hidup dan Kinerja Keuangan Tujuan pengujian ini adalah untuk melihat apakah kinerja keuangan saat ini dipengaruhi oleh kinerja lingkungan hidup di tahun sebelumnya. Kami menggunakan analisa multiple regresi untuk menguji hipotesa ini. F statistik memberikan hasil yang signifikan, baik saat kinerja keuangan dalam bentuk market based maupun accounting based sebagaimana terlihat pada tabel 7 dan 8 dibawah ini. Masukkan Tabel 7 dan 8 Disini c). Pengujian atas Hubungan antara Kinerja Lingkungan Hidup dengan Tingkat Pengungkapan Lingkungan Hidup serta Sistem Manajemen Lingkungan Hidup Perusahaan. Tujuan pengujian ini adalah untuk melihat apakah sistem manajemen lingkungan, kinerja lingkungan hidup dan keberadaan sertifikasi ISO mempengaruhi luasnya pengungkapan mengenai lingkungan hidup oleh perusahaan dalam laporan keuangan tahunannya. Hasil pengujian menunjukkan F statistik yang signifikan sebagaimana terlihat pada tabel 9 dibawah ini. Masukkan Tabel 9 Disini
PEMBAHASA Pengujian untuk melihat hubungan lag variabel memperlihatkan bahwa pengaruh kinerja keuangan masa lampau (lag variabel) terhadap kinerja lingkungan hidup saat ini adalah positip, walaupun tidak signifikan. Hal ini berlaku baik untuk kinerja keuangan yang menggunakan accounting based maupun market based. Hal ini berbeda dengan hasil yang didapat oleh
15
waddock dan graves (1997). Ada beberapa kemungkinan mengapa perbedaan ini dapat terjadi. Perbedaan proxy kinerja lingkungan hidup mungkin bisa menjadi penyebabnya, dimana kami menggunakan model dummy untuk kinerja PROPER sementara waddock dan graves (1997) menggunakan angka index dari KLD. KLD index sendiri tidak khusus mengenai isu lingkungan hidup namun juga isu sosial kemasyarakatan lainnya. Sementara PROPER khusus mengenai lingkungan hidup. Adanya isu lain dalam KLD, bisa jadi menyebabkan hasil yang berbeda terhadap kinerja keuangan. Besaran sampel mungkin pula menjadi penyebabnya, sampel kami hanya 34 perusahaan, sementara penelitian-penelitian sejenis diluar negeri yang memeberikan hasil positip umumnya lebih dari 100 pengamatan. Sementara untuk pengujian atas hubungan kinerja lingkungan hidup masa lampau terhadap kinerja keuangan saat ini (lead variabel), walau F statistik menunjukkan hasil yang signifikan baik di variable market based maupun accounting based, namun t-test untuk kinerja lingkungan hidup tidak signifikan. Kembali hal tersebut mengindikasikan bahwa walau kinerja keuangan dimasa lalu memiliki pengaruh yang positip terhadap kinerja lingkungan hidup saat ini, namun hal tersebut secara statistik tidak signifikan. Pada pengujian lead variabel dengan harga saham sebagai proxy kinerja keuangan, semua variabel memiliki pengaruh yang positip, kecuali MGT dan ISO yang pengaruhnya negatip, namun t-test yang signifikan hanya ditemui pada variable SIZE dan MGT. Ini mengindikasikan semakin baiknya manajemen lingkungan hidup perusahaan, yang berarti berkonotasi dengan meningkatnya investasi/biaya untuk lingkungan hidup, masih dianggap beban atau pemborosan oleh pasar. Sehingga pernyataan pihak manajemen justru direspon secara negative oleh pasar. Sementara walaupun tidak signifikan, namun keberadaan ISO juga direspon negatip oleh pasar.
16
Pada pengujian lead variabel dengan ROA sebagai proxy kinerja keuangan, semua variabel memiliki pengaruh positip kecuali pada variabel ISO. Namun t test yang signifikan hanya ditemui pada variabel RISK dan ISO. Kembali dapat diindikasikan bahwa keberadaan ISO merupakan beban bagi kinerja keuangan. Hal ini diperkuat dengan bukti saat dilakukan uji tabulasi silang antara ISO dan kinerja lingkungan hidup (lihat tabel 10).
Hasil yang didapat
ternyata mayoritas perusahaan sampel lebih banyak yang tidak memiliki ISO. Pada perusahaan dengan nilai Proper baik prosentasi ISO dan tanpa ISO amatlah tipis. Hasil ini memberikan dugaan bahwa perusahaan di Indonesia masih belum menyadari pentingnya pemilikan ISO yangterkait dengan lingkungan hidup. Lebih jauh lagi dapat diartikan bahwa manajemen lingkungan hidup yang sesuai dengan standar internasional ternyata masih belum dianggap penting bagi perusahaan di indonesia. Masukkan Tabel 10 Disini
Hipotesa terakhir yang mencoba menguji pengaruh sistem manajemen lingkungan hidup, keberadaan ISO 14001 dan peringkat PROPER terhadap pengungkapan yang dilakukan perusahaan memberikan hasil F-test yang signifikan (lihat tabel 9). Lebih lanjut terlihat bahwa kinerja lingkungan hidup berpengaruh negatif terhadap level pengungkapan, sementara ISO dan MGT berpengaruh positip terhadap level pengungkapan. Namun penelusuran pada t-test memperlihatkan
hanya
variable
MGT
yang
memberikan
t-test
signifikan.
Hal ini
mengindikasikan bahwa hanya keberadaan manajemen lingkungan hidup perusahaan yang akan akan membuat pihak manajemen lebih percaya diri dalam memberikan pengungkapan kinerja lingkungan hidup lebih bannyak dalam laporan keuangannya. Sehingga walaupun manajemen memperoleh kinerja yang baik ataupun telah memiliki ISO, tidak akan berpengaruh signifikan
17
terhadap level pengungkapan. Menariknya disini juga dapat disimpulkan kinerja (EP) yang baik tidak akan membuat perusahaan lebih banyak mengungkapkan. Mengenai hubungan antara DISCL dengan EP yang bersifat negatif, kami mencoba melakukan tabulasi silang antara keduanya dan menemukan bahwa perusahaan PROPER buruk malah melakukan pengungkapan lebih banyak dibandingkan perusahaan PROPER baik (lihat tabel 11). Hal ini menunjukkan bahwa kondisi PROPER yang jelek memicu perusahaan untuk mengungkapkan lebih banyak lagi informasi kepada public, yang mana hal ini merupakan cerminan dari legitimate Teory (Tilt, 2001; Gray et al 1995). Masukkan Tabel 11 Disini
Temuan-temuan diatas tentu menarik, karena mengindikasikan bahwa masyarakat bisnis di indonesia masih merasa bahwa isu lingkungan bukan sesuatu yang patut menjadi perhatian bersama. Bahkan mungkin tidak pernah menjadi isu strategis bagi perusahaan dalam menjalankan bisnis selama ini. Hal ini amat memprihatinkan mengingat kondisi lingkungan hidup di Indonesia saat ini semakin memburuk, sementara tidak ada kesadaran bagi pelaku bisnis untuk menjalankan pola bisnis dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan. Penelitian ini juga mengindikasikan bahwa fenomena yang terjadi di masayarakat bisnis Indonesia adalah cerminan dari teori Slack, bukan teori Good Management ( Waddock dan Graves (1997)). Artinya kinerja keuanganlah yang akan memicu kinerja sosial.
Apabila
perusahaan memiliki kinerja keuangan yang cukup bagus di masa lalu (lead position), maka hal tersebut memberikan keyakinan kepemilikan modal yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang tidak memiliki kinerja keuangan yang tidak cukup bagus di masa lalu. Hal ini selanjutnya akan berpengaruh dengan semakin mudahnya dialokasikan dana untuk pengelolaan
18
aspek lingkungan hidupnya. Sehingga membaiknya kinerja lingkungan hidup adalah akibat sisa/kelebihan (Slack) atas kinerja keuangan dimasa lampau. Padahal idealnya, perusahaan sudah memiliki kemampuan manjerial yang bagus (Good Management) dalam mengelola aspek lingkungan hidupnya dimasa lampau, yang kemudian hal ini meningkatkan kepercayaan stakeholder perusahaan terhadap kinerja lainnya, yaitu kinerja keuangan.
KESIMPULA DA SARA Kesimpulan Penelitian ini mencoba menggali lebih dalam bagaimana hubungan antara kinerja lingkungan hidup, manajemen lingkungan hidup serta kinerja keuangan perusahaan di Indonesia dengan menggunakan PROPER sebagai proxy kinerja lingkungan hidup, GRI Guideline dan keberadaan ISO 14001 sebagai proxy manajemen lingkungan hidup serta dua macam pengukuran (market dan accounting based) proxy kinerja keuangan; ROA dan harga saham. Hasil yang didapat adalah : a. Hipotesa lead-lag hanya dapat dibuktikan saat kinerja keuangan berfungsi sebagai lead variabel. Sementara saat kinerja keuangan berfungsi sebagai lag variable, hipotesa ditolak. b. Hubungan antara kinerja keuangan dan kinerja lingkungan hidup adalah positip, walaupun tidak signifikan. c. Terdapat perbedaan hasil antar variabel saat digunakan dua macam proxy untuk kinerja keuangan. Pada saat menggunakan accounting based (ROA), hanya variabel RISK dan ISO yang terbukti secara siginifikan berpengaruh terhadap kinerja keuangan saat ini. T-
19
test variabel kinerja lingkungan hidup, SIZE, DISCL dan MGT tidak signifikan. Sementara pada saat menggunakan market based, hanya variabel SIZE dan MGT yang terbukti secara signifikan. d.
Manajemen lingkungan hidup yang baik terbukti secara signifikan akan meningkatkan pengungkapan lingkungan hidup oleh perusahaan.
e. Keberadaan ISO tidak menjadi jaminan membaiknya kinerja lingkungan hidup f. Isu dan aspek lingkungan hidup dalam perusahaan berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan perusahaan.
Saran Melihat penelitian seperti ini seharusnya digalakkan untuk memberikan bukti empiris yang memotivasi pasar dalam bersikap ”green”, maka pengembangan penelitian sejenis haruslah didukung dan digalakkan. Pada penelitian ini kami melihat beberapa keterbatasan yang mungkin dapat menjadi pengembangan dalam penelitian sejenis dimasa datang. Saran-saran kami antara lain: 1. Mengigat penelitian seperti ini kebanyakan mendasarkan pada ketersediaan annual report, kami menyarankan agar penelitian sejenis dimasa datang perlu mengupayakan untuk mendapatkan sumber data lain selain PRPM agar didapat jumlah sample yang semakin besar. 2. Kami juga melihat kemungkinan adanya penggunaan model data primer dalam melihat keluasan manajemen perusahaan dalam bentuk interview pada level manajemen perusahaan. 3. Kemungkinan lain adalah pengunaan variabel kontrol lainnya agar didapat hasil yang lebih baik.
20
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang ada pada penelitian ini. Oleh karenanya kami menyarankan agar penelitian sejenis dimasa datang makin digalakkan untuk mencari bukti-bukti yang lebih valid dengan metode yang lebih tepat agar semakin memperkaya penelitian di bidang tanggung jawab sosial khususnya mengenai aspek lingkungan hidup perusahaan.
21
DAFTAR PUSTAKA
Adams, CA (2002) “ Factors Influencing Corporate Social and Ethical Reporting : Moving on From Extant Theories”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, 15:2, pp 223250. Al-Tuwaijri, Sulaeman A, et al (2004) “The Relations Among Environmental Disclosure, Environmental Performance And Economic Performance: A Simultaneous Equation Approach”, Accounting, Organizations And Society, 29:447-471. Aupperle et al (1985), “ An empirical examination of the relationship between corporate social responsibility and profitability”, academy of management journal, 28:2, pp446-463 Cochran PL dan RA Wood (1984), “ Corporate social responsibility and Financial Performance”, Academy Management journal, 27, pp42-56 Freedman M and Bikki Jaggi, (1992) “ An Investigation Of The Long Run Relationship Between Pollution Performance And Economic Performance: The Case Of Pulp And Paper Firms”, Critical Perspectives On Accounting, 3, 315-336 Freedman M and Bikki Jaggi, (1986), “ An analysis of the impact of corporate pollution disclosures included in annual financial statement on investor decision”, advances in public interest accounting. Gray Rob et al (1995) “Corporate Social and Environmental Reporting: A Review of The Literature and a Longitudinal Study of UK Disclosure”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, 8:2, pp47-77. Griffin JJ dan John M Mahon (1997), “ The Corporate Social Performance and Corporate Financial Performance Debate”, Business and Society, 36:1, pp 5-31. Hassel, Lars G et al (2005), “The Value Relevance of Environmental Performance”, European Accounting Review, Vol 14 (1). Dapat diakses online pada : www.ssrn.com (28/7/07) Holman et al (1990) The impact of corporate social responsibility in shareholder wealth Academy of management Journal, Klassen, Robert and Curtis P McLaughlin (1996), “ The Impact of Environmental Management on Firm Performance”, Management Science, 42:8, pp 1199-1214. Kompas (2005) “Upaya Menjerakan Perusahaan Pencemar Lingkungan”. Dapat diakses online pada : http://kompas.com/kompas-cetak/0404/29/humaniora/995375.htm (28/7/07) 22
Margolis, JD and walsh JP (2001) “People and profits? The search for a link between a company’s social and financial performance”, Lawrence Erlbaum Associates, London, 2001. McGuire JB, T Schneewis dan A Sundgren (1988), “Corporate Social Responsibility and Firm Financial Performance”, Accounting Management Journal, 31:4, pp 854-872. Preston, Lee dan Daouglas O Bannon (1997), “ The Corporate Social-Financial Performance’, Business and Society, 36:4, pp 419-429. Rasidin,
Yanuar,
Dapat
(2005)
diakses
KLH:
pada
Cuma :
5
Persen
Perusahaan
Peringkat
"Hijau"
http://www.bangda.depdagri.go.id/modules.php?name
=News&file=article&sid=89 (28/7/07) Rochness et al (1986) hazardous waste disposal, corporate disclosure and financial performance in the chemical industry”, advances in Public interest accounting , 1, pp 167-191. Sarumpaet, Susi (2005)” The Relationship between environmental performance and financial performance of Indonesian companies” , Working paper, Jurusan Akuntansi FE Universitas Kristen Petra. Shane, Phillip dan Barry H Spicer (1983), “ Market Response to Environmental Information Produced Outside the Firm”, The Accounting Review, 58:3, pp 521-539. Starovic, Danka (2004) “Green Signals Go”, Financial Management, 2 Oct 2004, pp 12 Tilt CA (2001), “The Content and Disclosure of Australian Corporate Environmental Policies”, Accounting, Auditing and Accountability Journal, 14:2, pp 190-213. Ullman Ariech (1985) Data in Search Of Theory: A critical Examination of the relationship among social performance social disclosure and economic performance, Academy of Management Review, 10, pp 540-577. Waddock, Sandra A dan Samuel B Graves (1997) “The Corporate Social Performance and Financial Performance link”, Strategic Management Journal, !8:4, pp 303-319
23
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Total Perusahaan PROPER dan Ketersediaan Perusahaan Sampel
Jumlah Perusahaan PROPER Perusahaan PROPER: - Publik - BUMN - PMA/PMDN (non publik) Perusahaan Sampel: - Publik dengan data lengkap
PROPER 2002 85
PROPER 2003 251
PROPER 2004 466
20 21 44
52 76 123
47 95 324
119 192 491
4
12
18
34
Total 760
Tabel 2 Kompisisi Variabel PROPER Dalam Sampel Kategori BURUK BAIK Total
Frekwensi Persentasi (%) 9 26.5 25 73.5 34 100.0
Tabel 3 Kompilasi Skor Pengungkapan Kinerja Lingkungan Hidup Tahun
Materi
2002 2003 2004 TOTAL
Tahun
2002
Energy
2 10 12 24
Air
4 28 22 54
2 5 6 13
Bio Emisi diversity dan gas buang
2 5 3 10
1 11 10 22
Produk dan jasa
Kepatuhan
Transpor tasi
lain lain
4 7 9 20
0 0 0 0
0 2 2 4
1 0 1 2
Tabel 4 Kompilasi Skor Indikasi Manajemen Lingkungan Lingkungan Hidup Policy Responsibility Indicator of Objective of Awards Fine TOTAL goal & goal and performance performance
4
1
1
2
2
0
10
24
Total
16 68 65 149
2003 2004 TOTAL
9 11 24
3 3 7
4 3 8 Tabel 5
8 10 20
3 5 10
0 0 0
27 32 69
Hasil pengujian Pengujian Hubungan Lag Knerja Keuangan
Terhadap Kinerja Lingkungan Hidup (FP=ROA) Variables in the Equation
Step 0
B 1.022
Constant
S.E. .389
Wald 6.907
df 1
Sig. .009
Exp(B) 2.778
Variables in the Equation
1
Sig. .929
Exp(B) .995
2.519
1
.113
1.000
.021
1.710
1
.191
.972
.176
3.133
1
.077
.732
1.710
1.084
2.488
1
.115
5.532
2.417
2.090
1.337
1
.248
11.209
-1.042 2.198 .225 1 a Variable(s) entered on step 1: ROA, SIZE, RISKSOL, DISCL, MGT, ISO.
.635
.353
Step 1(a)
ROA
B -.005
S.E. .052
Wald .008
SIZE
.000
.000
RISK
-.028
DISCL
-.312
MGT ISO(1) Constant
df
Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
10.579
6
.102
Block
10.579
6
.102
Model
10.579
6
.102
Model Summary
Step 1
-2 Log likelihood 28.720
Cox & Snell R Square .267
Nagelkerke R Square .390
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 3.482
df
Sig. 8
.901
25
Tabel 6 Hasil pengujian Pengujian Hubungan Lag Knerja Keuangan
Terhadap Kinerja Lingkungan Hidup (FP=Share) Variables in the Equation B Step 0
Constant
S.E.
1.022
Wald
.389
df
6.907
Sig. 1
.009
Exp(B) 2.778
Variables in the Equation B Step 1(a)
SIZE
.000
S.E. .000
Wald 3.068
RISK
df 1
Sig. .080
Exp(B) 1.000 .973
-.028
.022
1.656
1
.198
DISCL
-.302
.167
3.244
1
.072
.740
MGT
1.638
.942
3.023
1
.082
5.144
ISO(1)
2.193
1.830
1.435
1
.231
8.959
SHARE
.000
.000
.036
1
.849
1.000
.621
.386
Constant
-.952 1.924 .245 1 a Variable(s) entered on step 1: SIZE, RISKSOL, DISCL, MGT, ISO, SHARE. Omnibus Tests of Model Coefficients Chi-square Step 1
df
Sig.
Step
10.608
6
.101
Block
10.608
6
.101
Model
10.608
6
.101
Model Summary
Step 1
-2 Log likelihood 28.691
Cox & Snell R Square .268
Nagelkerke R Square .391
Hosmer and Lemeshow Test Step 1
Chi-square 3.578
df
Sig. 8
.893
26
Tabel 7 Pengujian Hubungan Lead Kinerja Keuangan Terhadap Kinerja Lingkungan Hidup (FP= Share) Sum of Squares
Model 1
df
Mean Square
F
Sig.
25.541
.000(a)
Regressio n
737106765 0.483
6
1228511275.0 80
Residual
129867700 4.113
27
48099148.300
Total
866974465 4.596
33
a Predictors: (Constant), DISCL, EP, RISK, ISO, SIZE, MGT
Unstandardized Coefficients Model
B
1
(Constant )
Standardized Coefficients
Std. Error
3387.803
3977.222
36.092
2839.039
SIZE
1.537E-09
RISK
Beta
t
Sig. .852
.402
.001
.013
.990
.000
1.140
11.943
.000
16.073
65.752
.019
.244
.809
MGT
-3665.536
760.630
-.537
-4.819
.000
ISO
-706.506
2808.884
-.022
-.252
.803
252.314
191.395
.114
1.318
.198
EP
DISCL
b Dependent Variable: SHARE
Model 1
R .922(a)
R Square .850
Adjusted R Square .817
Std. Error of the Estimate 6935.355
DurbinWatson 1.593
27
Tabel 8 Pengujian Hubungan Lead Kinerja Keuangan Terhadap Kinerja Lingkungan Hidup (FP=ROA) Model 1
R
Adjusted R Square
R Square
.677(a)
.459
Std. Error of the Estimate
.338
DurbinWatson
11.4242151
1.715
a Predictors: (Constant), EP, RISK, ISO, DISCL, SIZE, MGT b Dependent Variable: ROA Sum of Squares
Model 1
df
Mean Square
Regressio n
2984.871
6
497.479
Residual
3523.843
27
130.513
Total
6508.714
33
F
Sig.
3.812
.007(a)
t -1.299
Sig. .205
a Predictors: (Constant), EP, RISK, ISO, DISCL, SIZE, MGT b Dependent Variable: ROA Coefficientsa Unstandardized Coefficients Model 1
(Constant) SIZE
B -8.510 1.162E-13
Std. Error 6.551
Standardized Coefficients Beta
.000
.099
.548
.588
RISK
.339
.108
.468
3.129
.004
MGT
1.215
1.253
.206
.970
.341
-12.569
4.627
-.451
-2.717
.011
.320
.315
.166
1.015
.319
5.587
4.677
.178
1.195
.243
ISO DISCL EP
a. Dependent Variable: ROA
28
Tabel 9 Pengujian Hubungan Pengungkapan lingkungan hidup, Manajemen lingkungan hidup serta Kinerja Lingkungan Hidup Model 1
R
Adjusted R Square
R Square
.481(a)
.231
Std. Error of the Estimate
.154
DurbinWatson
6.707
1.505
a Predictors: (Constant), ISO, EP, MGT b Dependent Variable: DISCL ANOVA(b) Sum of Squares
Model 1
df
Mean Square
Regressio n
405.859
3
135.286
Residual
1349.582
30
44.986
Total
1755.441
33
F
Sig.
3.007
.046(a)
t
Sig.
a Predictors: (Constant), ISO, EP, MGT b Dependent Variable: DISCL Coefficients(a) Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant )
Standardized Coefficients
Std. Error
7.095
2.468
-3.448
2.643
MGT
1.380
ISO
.436
EP
Beta
2.874
.007
-.212
-1.305
.202
.574
.449
2.402
.023
2.700
.030
.161
.873
a Dependent Variable: DISCL
29
Tabel 10 Hasil Tabulasi Silang PROPER dan ISO ISO Total tidak ISO ada ISO Proper buruk 6 3 9 Proper baik 13 12 25 Total 19 15 34
Tabel 11 Tabulasi Silang PROPER dan DISCL PROPER buruk baik Total DISC 2 3 8 11 L 4 1 1 2 5 1 1 2 6 1 5 6 7 0 1 1 8 0 1 1 11 0 1 1 12 0 2 2 13 0 1 1 16 0 1 1 17 0 1 1 19 1 1 2 21 1 0 1 23 0 1 1 29 1 0 1 Total 9 25 34
30