Nanda et al./Students with Scabies Disease
Path Analysis on Factors Associated with the Risk of Scabies Among Students at Darussalam Islamic Boarding School, Blokagung, Banyuwangi, Indonesia Febrika Devi Nanda 1), Bhisma Murti 2), Ruben Dharmawan 3)
Bakti Indonesia University, Banyuwangi, Indonesia School of Public Health, Sebelas Maret University, Surakarta 3) Department of Parasitology, Faculty of Medicine, Sebelas Maret University 1)
2)
ABSTRACT Background: Scabies is an infectious disease that is particularly important in populations with low socioeconomic level in developing countries. Scabies is not life-threatening so usually get treatment is low. But actually the chronic and severe scabies can cause dangerous complications. This study aimed to analyze factors associated the students with scabies disease. Subjects and Methods: This was an observational analytical study with cross-sectional design. This was conducted at Darussalam Islamic Boarding School of Blokagung Banyuwangi, Indonesia in March 23 to April 30, 2016. A total of 90 samples were amounted 30 students with scabies and 60 had not scabies. Data collection was using questionnaire. Data analysis used STATA 13. Results: Four variables associated with scabies was associated indirectly obtained between knowledge and myth was negative amounting to the value of -1.88 (p < 0.001) path coefficient between knowledge and healthy behaviors is positive that amounting to 1.68 with value (p = 0.016), the path coefficient between myth - 2:39 (p = 0.038), the path coefficient between allowance to health behaviors positive value that is equal to 2:00 (p = 0.026), the path coefficient between health behavior with scabies is negative in the amount - 3:43 (p < 0.001). Conclusion: The level of knowledge, myths, pocket money indirectly related to the incidence of scabies through healthy behaviors. It is expected to reduce disease scabies students can change the behavior of health to be good. Keywords: scabies, level of knowledge, myths, pocket money Correspondence: Febrika Devi Nanda Bakti Indonesia University, Banyuwangi, Indonesia
[email protected]
22
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 22-29
PENDAHULUAN Scabies merupakan salah satu penyakit infeksi yang penting khususnya pada populasi dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah di negara berkembang. Scabies tidak mengancam jiwa sehingga biasanya mendapatkan penanganan yang rendah. Namun sebenarnya scabies kronis dan berat dapat menimbulkan komplikasi yang berbahaya (Golant dikutip Ratnasari, 2012). Beberapa hal yang berperan dalam tingginya prevalensi scabies di negara berkembang terkait dengan kemiskinan di hubungkan dengan rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat, akses air bersih yang sulit serta kepadatan hunian (Gelmore 2011). Tingkat prevalensi tertinggi banyak ditemukan di lingkungan dengan kepadatan penghuni dan kontak interpersonal tinggi seperti halnya pondok pesantren, pantai asuhan dan penjara (Roodsari, 2007). Prevalensi scabies di seluruh dunia dilaporkan sekitar 300 juta kasus per tahun (Chosidow 2006). Di negara industri seperti di Jerman, scabies terjadi secara sporadik atau dalam bentuk endemik yang panjang (Ariza et al, 2012). Baur (2013) melaporkan prevalensi scabies di India 20,4%. Sedangkan prevalensi scabies di Indonesia menurut Depkes RI berdasarkan data dari Puskesmas seluruh Indonesia tahun 2008 adalah 5,6%-12,95%. Scabies di Indonesia menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering (Azizah 2011). Insiden dan prevalensi scabies masih sangat tinggi di Indonesia terutama pada lingkungan masyarakat pesantren. Hal ini tercermin dari penelitian Ma’rufi et al (2005) bahwa prevalensi
scabies pada pondok pesantren di Kabupaten Lamongan 64,2%, senada dengan hasil penelitian Kuspiantoro (2005) di Pasuruan prevalensi scabies di pondok pesantren adalah 70%. Menurut analisis data statistik Islam (2012), Pondok Pesantren (Pesantren) yang memiliki jumlah tertinggi siswa yang terletak di provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten, sekitar 78,6% dari total pesantren di Indonesia. Kementerian agama, Kabupaten Banyuwangi, departemen Pondok Pesantren (sekolah-Kasi asrama Pontren). Data tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah total Pondok Pesantren adalah 147 dengan jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan 11.359 dan 11.728, sehingga totalnya 23.087 siswa. Jumlah tertinggi siswa Pondok Pesantren di banyuwangi yaitu Pondok Pesantren Darussalam Dusun Blokagung dengan 4.899 siswa. yang terdiri dari 1.970 siswa laki-laki, 2.264 siswa perempuan dan 704 orang siswa dari desa dengan jenjang pendidikan, MI, MTS, MA dan SI, jumlah MI ada 52 siswa, MTS 1.679, MA 1.241 siswa, dan siswa SI 1.927. Berdasarkan data klinik Ponpes Asyifa di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung pada bulan november tahun 2014 – bulan februari 2015 kejadian penyakit scabies sejumlah 465 siswa, dengan kejadian penyakit scabies banyak terjadi pada kelompok usia ≥12 tahun atau setara pada jenjang pendidikan Madarasah Aliah yaitu sejumlah 387 siswa dari jumlah total santri kelas Madarasah Aliah yang menderita penyakit scabies pada bulan november tahun 2014 – bulan februari 2015. Penyakit scabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun 23
Nanda et al./Students with Scabies Disease kontak tak langsung, yang paling sering adalah kontak langsung atau dapat pula melalui kontak tak langsung melalui alat-alat seperti tempat tidur, brhanduk, dan pakaian. Bahkan penyakit ini dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual antara penderita dengan orang yang sehat. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan kebersihan perseorangan dan lingkungan, atau banyak orang yang tinggal secara bersama-sama disatu tempat yang relatif sempit. Dan apabila tingkat kesadaran yang dimiliki oleh banyak kalangan masyarakat masih cukup rendah, derajat keterlibatan penduduk dalam melayani kebutuhan akan kesehatan yang masih kurang, kurangnya pemantauan kesehatan oleh pemerintah, faktor lingkungan terutama masalah penyediaan air bersih, serta kegagalan pelaksanaan program kesehatan yang masih sering kita jumpai, akan menambah panjang permasalahan kesehatan lingkungan yang telah ada (Siswono, 2008). Penularan scabies terjadi ketika orangorang tidur bersama disatu tempat tidur yang sama di lingkungan rumah tangga, sekolah-sekolah yang menyediakan fasilitas asrama dan pemondokan, serta fasiltas-fasilitas kesehatan yang dipakai oleh masyarakat luas (Ma’rufi, 2005). Penyakit scabies dapat di cegah dengan cara menjaga kebersihan dan meminimalisir kontak langsung maupun kontak tak langsung terhadap penderita scabies. Dilihat dari pernyataan di atas bahwa dampak dari permasalahan penyakit scabies sangat penting sehingga perlu dilakukan penelitian tentang penyakit scabies yang berhubungan dengan faktor –
24
faktor yang menyebabkan kejadian penyakit scabies. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit scabies di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Kecamatan Tegalsari Kabupaten Banyuwangi. METODE PENELITIAN Desain penelitian yaitu survei analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Lokasi penelitian ini dilakukan di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung Kabupaten Banyuwangi. Penelitian dilaksanakan pada tanggal 23 Maret sampai 30 April 2016. Populasi penelitian ini adalah seluruh santri kelas 11 di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung serumlah 465. Sampel sebanyak 90 santri yang dibagi menjadi kasus yang secara klinis menderita scabies yaitu 30 responden dan yang secara klinis tidak menderita scabies sebagai kelompok kontrol yaitu 60 dengan menggunakan teknik simple random sampling dan teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner. Analisis data menggunakan path analysis STATA 13. HASIL PENELITIAN Karakteristik data khusus yaitu tingkat pengetahuan didapatkan berpengetahuan baik 40 respomden (44,4 %) dan berpengetahuan buruk 50 responden (55.6%). Mitos yang baik 53 responden (58.9 %) dan mitos yang salah tentang penyakit scabies 37 responden (41.1%). Uang saku ≥Rp 500.000 51 responden (56.7 %) dan uang saku ≤Rp 500.000 39 responden (43.3%). Perilaku yang baik 51
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 22-29
responden (56.7 % ) dan sebagian kecil mempunyai perilaku buruk 39 responden (43.3%). Analisis data dengan mengunakan analisis jalur dengan bantuan STATA 13 diperoleh hasil sebagai berikut : a. Spesifikasi Model Di dalam spesifikasi model
Digambarkan hubungan antara variable yang diteliti. Dalam penelitian ini terdapat lima variabel yang terukur (observed variable) yaitu tingkat pengetahuan, mitos, uang saku, perilaku kesehatan dan kejadian scabies.
Gambar 1. Path Analysis Hubungan antara Scabies dan Sejumlah Prediktor Tabel 1. Hasil Path Analisis Hubungan antara Tingkat Pengetahuan, Mitos, Uang Saku, Perilaku Kesehatan dan Risiko Scabies Hubungan Variabel Skabies Perilaku sehat Perilaku sehat Mitos buruk Uang saku ≥ 500.000 Pengetahuan baik Mitos buruk Pengetahuan baik
Koefisien CI 95% Jalur Batas Bawah Batas Atas
p
-3.43
-5.49
-1.38
0.001
-2.39 2.00 1.68
- 4.66 0.24 0.31
- .13 3.76 3.06
0.038 0.026 0.016
-1.88
-2.82
-.95
<0.001
N Observasi = 90 Log likelihood =130.14
25
Nanda et al./Students with Scabies Disease
Pada tabel 1 menunjukkan bahwa hasil perhitungan menggunakan software program komputer STATA 13, diperoleh nilai koefisien jalur antara pengetahuan dengan mitos bernilai negatif yaitu sebesar -1.88 dengan nilai p adalah <0,001 dinyatakan signifykan. Nilai koefisien jalur antara pengetahuan dengan perilaku sehat bernilai positif yaitu sebesar 1.68 dengan nilai p adalah 0.016 dinyatakan signifikan. Nilai koefisien jalur antara mitos dengan perilaku kesehatan bernilai negatif yaitu sebesar – 2.39 dengan nilai p adalah 0,038 dinyatakan signifikan. Nilai koefisien jalur antara uang saku dengan perilaku kesehatan bernilai positif yaitu sebesar 2.00 dengan nilai p adalah 0,026 dinyatakan signifikan. Nilai koefisien jalpur antara perilaku kesehatan dengan scabies bernilai negatif yaitu sebesar – 3.43 dengan nilai p adalah <0.001 dinyatakan signifikan. PEMBAHASAN Sub bab ini membahas hasil penelitian yang terdiri dari 3 variabel eksogen yaitu pengetahuan, mitos, uang saku. Variabel endogen terdiri dari perilaku kesehatan dan scabies 1. Hubungan antara mitos dengan scabies Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa ada hubungan positif antara mitos santri dengan kejadian penyakit scabies di Pondok Pesantren yaitu secara tidak langsung melalui perilaku kesehatan. Pada gambar 1 ditunjukan tentang seberapa besar pengaruh hubungannya, dimana pengaruh hubungan secara tidak langsung akan dijelaskan yaitu bahwa hubungan 26
mitos dengan perilaku kesehatan bernilai negatif yaitu sebesar – 2.39 dengan nilai p adalah 0.038 dinyatakan signifikan. Jadi dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara mitos dengan kejadian scabies yang berpengaruh secara tidak langsung melalui perilaku kesehatan Mitos-mitos yang muncul di kalangan pesantren, terutama pesantren besar, bahwa kudis merupakan “stempel resmi” seorang santri, bahwa ia telah siap untuk menempuh tingkatan yang lebih tinggi dalam pembelajaran holistik yang ada di pesantren. Banyak kalangan kiai menyebutkan, “Kalau kamu sudah gatal-gatal di Pesantren, tandanya kamu sudah betah dan ilmu akan lebih mudah masuk.” Walaupun argumen ini belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tapi berdasarkan pengalaman penulis, dhawuh para kyai ini banyak benarnya. Beliau menganggap bahwa penyakit kudis yang diderita santri adalah tanda awal turunnya berkah.Secara bahasa kata berkah berasal dari lafal bahasa Arab barakah, yang memiliki akar kata dari baraka yang makna umumnya adalah melimpah. Dalam kitab-kitab tasawuf, berkah diartikan sebagai ziyādat al khair, yakni bertambahnya kebaikan dalam segala hal. Seorang santri lazimnya akan sering tidur dan makan bersama, menggunakan kamar mandi yang memiliki volume besar seperti kolam, maupun menggunakan pakaian maupun handuk milik teman secara sukarela. Di satu sisi, ini adalah sikap tenggang rasa yang amat mulia dan pembelajaran semacam ini amat sulit dicari di sekolah-sekolah umum. Namun di sisi lain, beberapa hal dia atas menyebabkan penularan penyakit
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 22-29
kulit, yang salah satunya adalah kudis, dengan mudah menjangkiti santri. Pergaulan antar sesama yang rapat dan dekat, menjadikan berbagai kontak yang memungkinkan penularan penyakit ini cepat terjadi. Sikap ini amat diutamakan di pesantren, sehingga apapun yang terjadi, berkah adalah nomor satu. Kisah-kisah mengenai keberkahan seorang santri dalam ketaatannya terhadap kyai sudah populer di kalangan pesantren. Berkah dalam ilmu adalah harga mati. Berkah bisa dipersepsikan sebagai banyaknya manfaat suatu hal yang kian bertambah setiap hari disertai perasaan merasa cukup dengan keadaan yang ada. Kehidupan santri yang sederhana menjadikan mereka untuk selalu yakin bahwa apapun yang mereka dapatkan di pesantren adalah sebuah proses yang baik dalam pembelajaran, termasuk perihal penyakit kudis ini (Syauqi, 2014). Berdasarkan hasil penelitian di Pondok Pesantren Darussalam Blokagung ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara mitos santri dengan kejadian penyakit scabies secara tidak langsung melalui perilaku kesehatan. Dimana orang yang mempunyai mitos yang buruk atau seseorang mempunyai suatu keyakinan akan suatu penyakit gudig (scabies) adalah suatu berkah maka akan mempengaruhi perilaku atau sikap kesehatan sehingga angka kejadian untuk mengalami penyakit scabies akan meningkat. Sehingga hasil penelitian ini dapat dikatakan sejalan dengan penelitian diatas bahwa semakin tinggi mitos buruk maka semakin tinggi pula angka kejadian scabies.
2. Hubungan antara pengetahuan dengan scabies Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa ada hubungan negatif antara tingkat pengetahuan santri dengan kejadian penyakit scabies di Pondok Pesantren yaitu secara tidak langsung. Dimana pada gambar 1 ditunjukan tentang seberapa besar pengaruh hubungan secara tidak langsung akan dijelaskan sebagai berikut: pertama, hubunganya negatif yaitu sebesar -1.88 antara pengetahuan dengan mitos; kemudian yang kedua memiliki hubungan yang positif yaitu sebesar 1.68 antara pengetahuan dengan perilaku kesehatan dengan p = 0.016 dinyatakan signifikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan secara negatif antara pengetahuan dengan kejadian scabies melalui perilaku kesehatan dan berpengaruh secara tidak langsung juga melalui mitos. Yang artinya jika tingkat pengetahuan santri tentang penyakit scabies baik maka akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian penyakit scabies melalui mitos dan perilaku kesehatan. Menurut Notoatmodjo (2003) yang di kutip oleh Yoesrizal (2009) bahwa Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (over behaviour). Beberapa penelitian telah meneliti mengenai hubungan tingkat pengetahuan dengan kejadian scabies seperti pada penelitian Muzakir tahun 2008 yang meneliti tentang faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit scabies pada pesantren di Kabupaten Aceh Besar, didapatkan hubungan yang signifikan antara tingkat pengetahuan dengan kejadian scabies p < 0.001). Pada penelitian ini 23
Nanda et al./Students with Scabies Disease juga didapatkan bahwa antara pengetahuan dengan mitos mempunyai hubunganya negatif yaitu sebesar -1.88; kemudian yang kedua memiliki hubungan yang positif yaitu sebesar 1.68 antara pengetahuan dengan perilaku kesehatan dengan p 0.016 dinyatakan signifikan. Penelitian lain tentang hubungan tingkat pengetahuan ibu pemulung tentang personal hygiene dengan kejadian scabies pada balita di tempat pembuangan akhir Kota Semarang menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat pengetahuan dengan kejadian scabies p < 0.001). Penelitian ini menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku seharihari dalam praktik kebersihan diri sehingga pemulung yang memiliki tingkat pengetahuan yang rendah cenderung tidak memperhatikan personal hygiene yang baik. Hal ini semakin meningkatkan kejadian scabies dikarenakan scabies merupakan penyakit yang sangat terkait dengan kebersihan diri (Masruroh, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Ummul pada tahun 2011 yang meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian scabies di Pondok Pesantren Darul Huffadh di wilayah kerja Puskesmas Kajuara Kabupaten Bone menjelaskan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian scabies diantaranya tingkat pengetahuan p < 0.001, praktik kebersihan diri p < 0.001, dan sikap p <0.001, penelitian ini menjelaskan bahwa tingkat pengetahuan seseorang merupakan hal yang sangat penting yang berperan dalam terbentuknya tindakan seseorang mengenai suatu penyakit baik berupa deteksi dini 24
hingga upaya terhadap pencegahan penyakit (Setyowati, 2014). Hasil penelitian di Pondok Pesantren Darusalam Blokagung ini menunjukkan pengetahuan tentang penyakit scabies merupakan salah satu faktor yang cukup dominan mempengaruhi pembentukan perilaku kesehatan. Dan keterbatasan pengetahuan juga akan berpengaruh terhadap mitos seseorang yang disebabkan keterbatsan penginderaan baik langsung maupun dengan alat. Ataupun keterbatasan penalaran manusia. yang kemudian pengetahuan tersebut berhubungan negatif dengan mitos dan perilaku yang berpengaruh terhadap kejadian penyakit scabies.. Sehingga dapat disimpulkan hasil penelitian ini dapat dikatakan sejalan dengan penelitian diatas bahwa terdapat hubungan secara negatif antara pengetahuan dengan kejadian scabies melalui perilaku kesehatan dan berpengaruh secara tidak langsung juga melalui mitos. 3. Hubungan antara uang saku dengan scabies Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa ada hubungan yang negatif antara uang saku dengan kejadian penyakit scabies di Pondok Pesantren yaitu secara tidak langsung. Pada Gambar 1 ditunjukan tentang seberapa besar pengaruh hubungannya, dimana pengaruh hubungan secara tidak langsung akan dijelaskan yaitu bahwa hubungan uang saku dengan perilaku kesehatan bernilai positif yaitu sebesar 2 dengan nilai p adalah 0.026 dinyatakan signifikan. Jadi dapat disimpulkan terdapat hubungan negatif antara uang saku dengan kejadian scabies yang berpengaruh secara tidak langsung melalui perilaku kesehatan. Yang artinya semakin
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 22-29
tinggi uang saku yang diberikan orang tua terhadap putra - putrinya maka akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap kejadian penyakit scabies melalui perilaku kesehatan. Status ekonomi merupakan pembentuk gaya hidup seseorang. Status ekonomi yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak. Karena dengan ekonomi yang cukup seseorang dapat menyediakan semua kebutuhan baik primer maupun skunder (Soetjiningsih, 2004). Untuk melakukan personal hygiene yang baik dibutuhkan sarana dan prasarana yang memadai, seperti kamar mandi, peralatan mandi, serta perlengkapan mandi yang cukup (misalnya; sabun, sikat gigi, shampo, dan lain-lain). Hal tersebut membutuhkan biaya, dengan kata lain, sumber keuangan individu akan berpengaruh pada kemampuannya mempertahankan personal hygiene yang baik. Faktor yang berperan dalam penularan penyakit ini adalah sosial ekonomi yang rendah, hygine perorangan yang jelek, lingkungan yang tidak bersih, perilaku yang tidak mendukung kesehatan serta kepadatan penduduk atau hunia tempat tinggal. Faktor yang dominan adalah kemiskinan dan higinitas perorangan yang banyak terjadi jelek di negara berkembang, dan hala tersebut merupakan kelompok masyarakat yang paling banyak menderita penyakit ini (Carruthers, 1978; Kabulrachman, 1992). Hasil penelitian didapatkan ada hubungan antara uang saku santri dengan kejadian penyakit scabies secara tidak langsung melalui perilaku kesehatan. Dimana santri yang mempunyai uang saku > Rp 500.000 akan menurunkan risiko untuk
mengalami penyakit scabies sehingga hasil penelitian ini dapat dikatakan sejalan dengan penelitian sebelumnya. 4. Hubungan antara perilaku kesehatan dengan scabies Hasil uji hipotesis menunjukan bahwa ada hubungan yang negatif antara perilaku kesehatan dan kejadian scabies pada santri di Pondok Pesantren Darusalam Blokagung. Pada gambar 1 ditunjukan tentang seberapa besar pengaruh hubungannya, dimana didapatkan koefisien jalur sebesar 3.43 dengan nilai p adalah <0,001 dinyatakan signifikan. Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan secara langsung dan bersifat negatif antara perilaku kesehatan dengan kejadian scabies. Perilaku kesehatan merupakan salah satu perilaku yang dapat mencegah terjadinya scabies. Perilaku kesehatan berpengaruh dengan angka kejadian scabies terutama di tempat umum yang hidupnya bersama, seperti di panti, di pondok pesantren dan di pemukiman. Pondok pesantren adalah salah satunya tempat yang menyebabkan penyakit ini berkembang, karena kehidupan bersama-sama yang biasanya memakai 1 barang digunakan secara bersamasama. misalnya: pakaian, seprai dan handuk (Notoatmodjo, 2010). Komponen-komponen dari perilaku hidup bersih dan sehat yang dapat mencegah terjadinya scabies adalah mandi 2x sehari pada pagi dan sore hari, mandi dengan sabun, gosok gigi, keramas yang baik dan bersih, rajin mencuci tangan dengan sabun sampai bersih, rajin potong kuku tangan dan kaki serta membersihkannya, menggunakan pakaian yang bersih dan rapi, tidak bertukar pakaian dengan satu atau yang lain, 25
Nanda et al./Students with Scabies Disease ikut aktif dalam membersihkan dan menjaga lingkungan pondok, rajin dalam membersihkan tempat tidur, mencuci alat-alat yang digunakan untuk tidur minimal 1 minggu sekali, makan minum yang bergizi dan tidak jajan sembarangan yang tidak terjamin kebersihanya atau tidak hygienes. Dari banyak komponen tersebut apabila santri santri dapat melakukan dan mengerjakan penyakit scabies akan terhindar karena perilaku hidup bersih dan sehat baik dapat mengurangi terkena scabies ataupun tertularnya penyakit tersebut. Hasil penelitian ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku hidup bersih dan sehat dengn kejadian scabies pada santriwati Hal ini diperkuat oleh penelitian sebelumnya Mariana (2010) yang menunjukkan bahwa ada hubungan perilaku personal hygiene dengan kejadian scabies pada santri, kejadian scabies pada santri dengan responden 97 menunjukkan 77 responden (79,38) mengalami kejadian scabies dan 20 responden (20,62) tidak mengalami scabies, kejadian scabies masih tinggi karena perilaku personal higiene pada santri pada penelitian ini juga terbanyamemiliki perilaku personal higiene cukup (59,8%). Berdasarkan hal tersebut maka penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara perilaku kesehatan dengan kejadian scabies sehingga hasil penelitian ini dapat dikatakan sejalan dengan penelitian diatas KESIMPULAN Tingkat pengetahuan, mitos, uang saku berhubungan tidak langsung terhadap kejadian scabies melalui 26
perilaku sehat, diperoleh nilai koefisien jalur antara pengetahuan dengan mitos bernilai negatif yaitu sebesar -1.88 dengan nilai p adalah <0.001 koefisien jalur antara pengetahuan dengan perilaku sehat bernilai positif yaitu sebesar 1.68 dengan nilai p adalah 0.016, koefisien jalur antara mitos dengan perilaku kesehatan bernilai negatif yaitu sebesar – 2.39 dengan nilai p adalah 0.038, koefisien jalur antara uang saku dengan perilaku kesehatan bernilai positif yaitu sebesar 2.00 dengan nilai p adalah 0.026, koefisien jalur antara perilaku kesehatan dengan scabies bernilai negatif yaitu sebesar – 3.43 dengan nilai (p) adalah < 0.001. DAFTAR PUSTAKA Anisa F. (2013). Hubungan Hygiene Perorangan dan Sanitasi Lingkungan terhadap Kejadian Scabies pada Santri di Pondok Pesantren Rudhotul. Skripsi, Fakultas Kesehatan. Andayani LS. (2005). Perilaku Santri dalam Upaya Pencegahan Penyakit Scabies di Pondok Pesantren Ulumul Qur’an Stabat. Info Kesehatan Masyarakat. 9(3). Ariza L. (2012). Investigation of a Scabies Outbreak in Kindergarten in Constance Germany. Europe Journal Clin Microbial Infect Dis. (10): 10071096. Audhah. (2012). Faktor Risiko Scabies pada Siswa Pondok Pesantren. Kajian di Pondok Pesantren Darul Hijrah, Kelurahan Cindai Alus, Kecamatan Martapura, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan. 4(1): 14–22.
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 22-29
Azizah I. (2011). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu Pemulung tentang Personal Hygiene dengan Kejadian Scabies pada Balita di Tempat Pembuangan Akhir Kota Semarang. Dinamika Kebidanan. 1: 1-5. Baur B. (2013). The Pattern of Dermatological Disorders among Patients Attending the Skin O.P.D of A Tertiary Care Hospital in Kolkata, India. Journal of Dental and Medical Sciences. 3: 1-6. Chowsidow O. 2006. Scabies. The New England Journal of Medicine. 35: 1-16. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2007). Pedoman Penyelenggaraan dan Pembinaan Pos Kesehatan Pesantren. Dhofier. (1994). Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai: LP3ES. Dinas Kesehatan Lumajang. (2013). PHBS 5 tatanan dan pondok pesantren. Di unduh dari : http://dinkeslumajang.or.id/phb s-5-tatanan-dan-pondokpesantren/ Djuanda A. (2006). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Friedman. (2004). Keperawatan Keluarga. Jakarta:EGC Gilmore SJ. (2011). Control Strategies for Endemic Childhood Scabies. Golant AK, Levitt JO. (2012). Scabies: a Review of Diagnosis and Management Based on Mite Biology. Pediatr Rev Jan. 33(1):e1-e12. doi: 10. Handajani. (2007). Hubungan Antara Praktik Kebersihan Diri dengan Kejadian Scabies di Pondok
Pesantren Nihayatul Amal Waled Kabupaten Cirebon. diunduh dari. http://fkm.undip.ac.id/data/ind ex.php?action=4&idx=3264. Handoko R. (2007). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 122 – 125. Handoko R. (2009). Scabies. Dalam: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. 122-125. Harahap. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Hipokrates. Heukelbach J. (2005). Epidemiology and Morbidity of Scabies and Pediculosis Capitis in ResourcePoor Communities in Brazil. British Journal of Dermatology. 153: 150–156. Kabulrachman. (1992). Pengaruh Lingkungan dan Pencemaran Terhadap Penyakit Kulit. Majalah Kedokteran Indonesia. 42 (5):273 – 277. Kementrian Agama. (2012). Analisis dan Interpretasi Data pada Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah (Madin), Taman Pendidikan Qur’an(TPQ) Tahun Pelajaran 2011-2012. 68–106. Available at: http://pendis.kemenag.go.id/file /dokumen/pontrenanalisis.pdf. Kline K. (2013). Neglected Tropical Diseases of Oceania: Review of Their Prevalence, Distribution, and Opportunities for Control. Plos Neglected Tropical Diseases. 7: 17-55. Kartono. (2006). Perilaku Manusia. ISBN. Jakarta. Kurniawati Debi. (2004). Hubungan antara Kebersihan Pribadi dan Kontak Perseorangan dengan 27
Nanda et al./Students with Scabies Disease Kejadian Scabies pada Anak SD yang Berobat di Puskesmas Gemuh 1 Kecamatan Gemuh, Kabupaten Kendal. Universitas Muhammadiyah Semarang; Skripsi, Semarang. Kuspriyanto. (2013). Pengaruh Sanitasi Lingkungan dan Perilaku Sehat Santri terhadap Kejadian Scabies di Pondok Pesantren Kabupaten Pasuruan Jawa Timur. Jurnal Ilmiah UNS. 11:21. Linda A. (2010). Praktik Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Peserta Pendidikan Anak Usia Dini. Jakarta Utara: Universitas Muhammadiyah. Mariana. (2010). Hubungan Perilaku Personal Hygiene Dengan Kejadian Scabies pada Santri Aliyah Pondok Pesantren Albadriah Sundak Desa Rarang Kecamatan Terara Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. STIKES Aisyiyah. Yogyakarta Masruroh. (2014). Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan Kejadian Scabies pada Santriwati Pondok Pesantren Assalafiyyah Mlangi Nogotirto Sleman. Naskah Publikasi STIKES Aisysah Yogyakarta. Ma’rufi I. (2005). Faktor Sanitasi Lingkungan yang Berperan terhadap Prevalensi Penyakit Scabies Studi pada Santri di Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2: 11 – 18. Murti B. (2013). Desain dan Ukuran Sampel Untuk Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif di Bidang Kesehatan. Yogyakarta: Gajah Mada University Pres.
28
Noor. (2008). Epidemiologi Penyakit Menular. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta Notoadmojo S. (2003). Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Onayem O. (2005). Prevalence of Different Skin Conditions in an Outpatients’ Setting in NorthWestern Nigeria. International Journal Of Dermatology. 44: 7– 11. Rahmawati R. (2010). Hubungan antara Faktor Pengetahuan dan Perilaku dengan Kejadian Scabies di Pondok Pesantren AlMuayyad Surakarta. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Surakarta. Rahim A. (2006). Faktor yang Berubungan dengan Terjadinya Penyakit Scabies pada Anak ditempat Pengungsian Waipotih Kabupaten Buru, Provinsi Maluku. Universitas Airlangga. Thesis. Surabaya. Ratnasari. (2014). Prevalensi Scabies dan Faktor-Faktor yang Berhubungan di Pesantren X , Jakarta Timur. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2(1). Rohmawati R. (2010). Hubungan antara Faktor Pengetahuan dan Perilaku dengan Kejadian Scabies pada Santri di Pondok Pesantren Al-Muayyad Surakarta. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Setyowati. (2014). Hubungan Pengetahuan Santriwati tentang Penyakit Scabies dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Scabies di Pondok Pesantren Gaster. 11 (2).
Nanda et al./Students with Scabies Disease Siswono. (2008). Pedoman Umum Program Pemberantasan Penyakit Lingkungan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Soetjiningsih. (2004). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. Sungkar S. (1997). Scabies. Majalah Kedokteran Indonesia 47 (01): 33-42. Sungkar. (1992). Cara Pemeriksaan Kerokan Kulit Untuk Menegakkan Diagnosis Scabies, Medika. 7: 60 – 62. Ummul H. (2011). Faktor -Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
22
Scabies di Pondok Pesantren Darul Huffadh di Wilayah Kerja Puskesmas Kajuara Kabupaten Bone. Jurnal Media Kedokteran. 2(4): 1-6. Wijayanti Y. (2006). Hubungan Sanitasi Lingkungan dan Higiene Perorangan dengan Penyakit Scabies di Desa Genting Kecamatan Jambu, Kabupaten Semarang (Skripi). Semarang. Zayyid M. (2010). Prevalence of Scabies and Head Lice among Children in a Welfare Home in Pulau Pinang, Malaysia. Tropical Biomedicine. 27: 442–446.