Yunita et al./ Multilevel Analysis on the Bio-psychosocial
Multilevel Analysis on the Bio-psychosocial and Environment Factors Affecting the Risk of Pneumonia in Infants Astri Yunita1), Bhisma Murti2), Yulia Lanti Retno Dewi2) 1) School
of Public Health, Sebelas Maret University, Surakarta of Medicine, Sebelas Maret University, Surakarta
2) Faculty
ABSTRACT Background: Pneumonia is an illness of the main causes of pain and death in toddler in the world. The incidence of pneumonia in Indonesia has increased, from 2007 about 2.1% and in 2013 about 2.7%. Pneumonia in toddler in Indonesia is an issue that is important to do the actions of prevention and control of pneumonia. This study was aimed to investigate the factors biopsychosocial to the risk of pneumonia in toddlers. Subject and Methods: This was an analytical observational study with case control design, carried out on 2 August to 16 September 2016. A total of 140 subjects in Banjarnegara, Central Java, were selected by fixed disease sampling. The dependent was pneumonia in infants. The independent variables were exposure to CO, H2S, family income, maternal education, household smoke exposure, sanitary home, chain-smoking family activity, anxiety. The data was collected by using a questionnaire, check list and recording and analyzed by using Logistic regression. Results: There was influence of exposure of CO (OR = 1.46; 95% CI = 0.17 to 21; p = 0.970), H2S (OR = 0.53; 95% CI = 0.98 to 2.92; p = 0.412), family income (OR = 1.90; 95% CI = 0.78 to 4.65; p= 0.365), maternal education (OR = 1.75; CI = 0.72 to 4.25; p= 0.474), household smoke exposure (OR = 5.63; CI = 2.27 to 13.95; p = 0.001), home sanitation (OR = 6.23; 95% CI = 2.61 to 14.84; p = 0.001), smoking activity (OR = 3.19; 95% CI = 1.33 to 7.66; p = 0.020) and the incidence of pneumonia toddlers. There was the influence of anxiety to pneumonia in toddler (OR = 16; 96% CI = 6.87 to 37.75; p < 0.001). There was the influence of contextual conditions to pneumonia in toddler (ICC = 36.97%; role of thumb 5 to 8% likelihood ratio p = 0.008; 95% CI = 0.45 to 8.17). Conclusion: There is the influence of exposure to CO, H2S, family income, maternal education, household smoke exposure, home sanitation, smoking activity. There is the influence of anxiety of pneumonia in toddler. The condition has influence contextual variations toddler pneumonia incident, so it is noteworthy. Keywords: bio-psychosocial, environmental factor, pneumonia toddlers Correspondence: Astri Yunita School of Public Health, Sebelas Maret University
[email protected] +6285641797995
1
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 1-12
LATAR BELAKANG Masa balita adalah periode pertumbuhan dan perkembangan anak yang penting diperhatikan. Pada masa pertumbuhan anak mengalami penurunan, sedangkan perkembangan motorik kasar dan motorik halus mulai mengalami kemajuan (Depkes, 2006). Kelompok balita merupakan usia yang rawan terhadap kebutuhan gizi dan penyakit. WHO (2010) menjelaskan bahwa pneumonia adalah penyakit infeksi yang menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Pneumonia adalah infeksi ringan paruparu (alveoli) yang disebabkan jamur, virus, bakteri, pajanan bahan kimia dan pengaruh tidak langsung dari penyakit lain, sehingga pneumonia digolongkan pada penyakit yang bersifat akut (Kemenkes RI, 2011). Kematian setiap tahun pada anak sebagai akibat pneumonia adalah 1,6 juta atau 14%, menjadi nomor 4 setelah campak 1%, AIDS 2% dan malaria 8% (WHO, 2010). Pneumonia termasuk ancaman yang serius untuk negara maju maupun negara berkembang. Negara yang difokuskan pada kejadian pneumonia setiap tahun diantaranya India (43 juta), China (21 juta), Pakistan (10 juta), Pakistan (10 juta) dan 6 juta di Bangladesh, Indonesia dan Nigeria (WHO, 2008). Kejadian pneumonia mengalami pengingkatan pada tahun 2007 (2,1%) menjadi (2,7%) pada tahun 2013, menjadi urutan kedua penyebab kematian di Indonesia setelah diare. Provinsi Jawa Tengah memiliki peningkatan kejadian pneumonia tahun 2012 (24,74%) ke tahun 2013 (25,85%). Kabupaten Banjarnegara adalah kabupaten dengan penderita 2
pneumonia balita banyak dan mengalami peningkatan, tahun 2013 (7.555 penderita); tahun 2014 (7.532 penderita) dan ditangani sebesar 45.5%; tahun 2015 (10.059 penderita) dan ditangani sebesar 46.6%. Kecamatan Batur merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Banjarnegara yang memiliki posisi wilayah berada di tempat yang paling tinggi dibandingkan kecamatan lainnya yaitu 2.065 mdpl. Kecamatan Batur memiliki dua puskesmas yaitu Puskesmas Batur 1 dan Puskesmas Batur 2 yang memiliki angka kejadian pneumonia tinggi di Kabupaten Banjarnegara. Angka kejadian tahun 2014 adalah 349 balita menderita pneumonia dan mengalami peningkatan tahun 2015 adalah 687 balita menderita pneumonia. Kondisi lingkungan di sekitar Kecamatan Batur ada beberapa yang terpapar CO2, SO2, H2S dan CO tinggi dan ada juga yang rendah. Pengukuran untuk menentukan titik-titik gas dengan konsentrasi tinggi dan rendah sudah dilakukan oleh Badan Geologi-Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, yang bertujuan untuk memberikan informasi terhadap kondisi warga sekitar (Supriyati, 2007). Kondisi lingkungan yang buruk serta pengaturan rumah seperti pencahayaan yang kurang (termasuk cahaya ultraviolet), ventilasi rumah yang kurang, lembabnya kondisi ruangan, ruangan hunian yang terlalu padat dan paparan dari asap rumah tangga dalam rumah seperti penggunaan kayu bakar untuk memasak di dapur merupakan salah satu penyebab kejadian pneumonia pada balita (Ezzati dan Kammen, 2001).
Yunita et al./ Multilevel Analysis on the Bio-psychosocial
Faktor perilaku kesehatan berisiko terhadap penyakit menular, seperti perilaku hidup bersih dan sehat yang ada di Kabupaten Banjarnegara terutama di Kecamatan Batur masih rendah, yaitu di Puskesmas Batur 1 jumlah peserta yang melakukan PHBS hanya 48,5%. John Bordon menjelaskan segitiga epidemiologi (host, agent dan environment), yang berhubungan dengan penumonia seperti riwayat berat badan lahir rendah (BBLR), pemberian ASI yang kurang memadai, status imunisasi, sanitasi rumah, polusi udara di dalam dan luar rumah serta defisiensi vitamin A (Hananto, 2004 dan Rudan, 2008). Upaya pencegahan dalam pemberantasan pneumonia pada balita telah dilakukan pemerintah Indonesia melalui pemberian imunisasi (Difteri Pertusis Tetanus dan campak) dan non imunisasi (pemberian ASI eksklusif, pemberian nutrisi yang baik, perbaikan lingkungan hidup, sikap hidup bersih dan sehat serta menghindari pajanan asap rokok dan asap dapur (Misnadiarly, 2008). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan pneumonia pada balita di Indonesia merupakan masalah penting untuk dilakukan tindakan pengendalian penumonia dari berbagai faktor dengan mempertimbangkan level mikro dan level makro, yang mempertimbangkan kondisi di lingkungan sekitar penderita. H.L. Bloom menjelaskan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh pelayanan kesehatan, individu, gaya hidup dan lingkungan. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh paparan CO2, SO2, CO dan H2S, paparan asap rumah tangga dalam rumah, sanitasi rumah, pendapatan keluarga, pendidikan ibu dan aktivitas merokok keluarga terhadap
risiko kejadian pneumonia pada balita dengan pendekatan analisis multilevel. METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan pendekatan case control. Waktu pelaksanaan pada 1 Agustus-14 September 2016 di Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, Indonesia. Variabel dalam penelitian adalah paparan CO, H2S, pendapatan keluarga, pendidikan ibu paparan asap rumah tangga, sanitasi rumah, aktivitas merokok keluarga, kecemasan balita dan pneumonia balita. Populasi sasaran penelitian adalah balita di wilayah Kabupaten Banjarnegara. Populasi sumber (populasi terjangkau) penelitian adalah balita di wilayah Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara. Sampel sebanyak 140 subjek dipilih secara fix disease sampling, dengan perbandingan 1:1 antara kelompok berpenyakit (kasus) dan tidak berpenyakit (kontrol). Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner, checklist dan rekam medis. Data dianalisis menggunakan Analisis Regresi Logistik dengan Pendekatan Multilevel menggunakan program Stata 13. HASIL PENELITIAN 1. Karakteristik subjek penelitian Hasil karakteristik subjek penelitian pada tabel 1 menunjukkan bahwa dari 140 subjek penelitian memiliki distribusi yang berbeda-beda. Deskripsi variabel penelitian dijelaskan berdasarkan karakteristik, kriteria, frekuensi dan persentase (%). 3
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 1-12
Perbandingan subjek penelitian yang penumonia dan tidak pneumonia seimbang yaitu 50%:50%. Sebagian besar subjek penelitian tidak terpapar CO2 (0 ppm) yaitu 140 subjek penelitian (100%), tidak terpapar SO2 (0 ppm) yaitu 140 subjek penelitian (100%), terpapar CO rendah (0.1-50 ppm) yaitu 125 subjek penelitian (89.3%), terpapar H2S rendah (0.1-20 ppm) yaitu 116 subjek penelitian (82.9%), terpapar asap rumah tangga dalam rumah yaitu 77 subjek penelitian
(55%), memiliki sanitasi rumah baik yaitu 73 subjek penelitian (52.1%), memiliki pendapatan keluarga kurang dari UMR (Rp 1.265.000,00) yaitu 80 subjek penelitian (57.1%), ibu tidak bekerja yaitu 75 subjek penelitian (53.6%), ibu memiliki pendidikan dasar (rendah) yaitu 85 subjek penelitian (60.7%), memiliki keluarga yang merokok yaitu 89 subjek penelitian (63.6%) dan sebagian besar balita merasa cemas saat mengalami pneumonia yaitu 79 subjek penelitian (56.4%).
Tabel 1. Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik Umur Balita Umur Ibu
Kriteria 2 bulan - < 5 tahun < 20 tahun 20 – 35 tahun > 35 tahun Pendidikan Pendidikan Dasar Pendidikan Lanjutan Pekerjaan Buruh Tani Petani Wiraswasta / Dagang Buruh Pabrik / Industri Tidak Bekerja Sumber : Data Diolah, 2016
Frekuensi 140 13 125 2 85 55 33 3 2 27 75
Persentase (%) 100 9.28 89.28 1.44 60.72 39.28 23.58 2.14 1.42 19.29 53.57
2. Analisis Bivariat Tabel 2. Hasil Analisis Bivariat No 1 2 3 4 5 6 7
4
Variabel Independen
OR
p
Paparan CO Paparan H2S Paparan Asap Rumah Tangga Sanitasi Rumah Pendapatan Keluarga Pendidikan Ibu Aktivitas Merokok Sumber : Data Primer, 2016
1.16 1.00 3.98
0.785 1.00 <0.001
4.47 3.33 1.94 2.57
<0.001 0.001 0.057 0.008
CI (95%) Batas Atas Batas Bawah 0.39 3.39 0.41 2.40 1.96 8.07 2.19 1.65 0.97 1.26
9.10 6.72 3.87 5.25
Yunita et al./ Multilevel Analysis on the Bio-psychosocial
Variabel dalam penelitian yaitu status pneumonia balita, paparan CO2, paparan SO2, paparan H2S, paparan CO, paparan asap rumah tangga dalam rumah, sanitasi rumah, pendapatan keluarga, pendidikan ibu, aktivitas merokok keluarga dan tingkat kecemasan balita. Metode yang digunakan adalah uji chi-square.
3. Analisis Multivariat Regresi Logistik dengan Pendekatan Multilevel Pengaruh secara multivariat menjelaskan tentang pengaruh faktor biopsikososial dan lingkungan dengan kejadian pneumonia pada balita.
Tabel 3. Hasil Analisis Regresi Logistik dengan Pendekatan Multilevel Faktor Biopsikososial dan Lingkungan terhadap Risiko Kejadian Pneumonia pada Balita CI(95%) Variabel Independen OR p Batas Batas Bawah Atas Fixed Effect Paparan CO 1.46 0.17 12.13 0.970 Paparan H2S 0.53 0.98 2.92 0.412 Paparan Asap Rumah Tangga 5.63 2.27 13.95 <0.001 dalam Rumah Sanitasi Rumah 6.23 2.61 14.84 <0.001 Pendapatan Keluarga 1.90 0.78 4.65 0.365 Pendidikan Ibu 1.75 0.72 4.25 0.474 Aktivitas Merokok Keluarga 3.19 1.33 7.66 0.020 Random Effect Wilayah RT Var (konstanta) 1.92 0.45 8.17 Kesesuaian Model ICC (Intraclass Correlation) 36.97% Likelihood Ratio Test p = 0.008 Sumber : Data Primer, 2016
Pada tabel 3 ditunjukkan ICC = 36.97%, indikator tersebut menunjukkan bahwa kondisi wilayah masing-masing RT memiliki pengaruh kontekstual terhadap variasi terjadinya pneumonia balita sebesar 36.97%. Angka tersebut lebih besar dari angka patokan role of thumb 58%, maka pengaruh kontekstual kondisi wilayah RT tersebut yang ditunjukkan dari analisis multilevel memang penting untuk diperhatikan. Pada tabel tersebut juga ditunjukkan likelihood ratio = 0.008 artinya terdapat perbedaan secara
statistik yang signifikan antara model tanpa memperhitungkan pengaruh kontekstual dan model yang memperhitungkan pengaruh kontekstual. Dalam hal ini kondisi wilayah masingmasing RT. PEMBAHASAN 1. Pengaruh Paparan CO dan H2S dengan Kejadian Pneumonia pada Balita
5
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 1-12
Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang tinggal di lingkungan terkena paparan CO dan H2S cenderung memiliki risiko lebih besar terkena pneumonia dibandingkan balita yang tinggal di lingkungan yang tidak terpapar CO dan H2S. Paparan CO2 dan SO2 yang hasilnya tidak ada paparan sama sekali di tempat tinggal balita. Hal ini menunjukkan tidak terdapat pengaruh H2S, namun terdapat pengaruh paparan CO dengan kejadian pneumonia balita dan tidak signifikan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Soemirat S.J (2015), yang menjelaskan bahwa kondisi rumah yang buruk dapat mengganggu kesehatan tubuh, diakibatkan karena oksigen di dalam udara yang kurang, sedangkan karbondioksida bertambah. Faktor yang dapat meningkatkan risiko pneumonia seperti karakteristik balita, kondisi perumahan, sumber pencemaran udara dalam ruang dan luar ruang (polusi), serta kepadatan hunian. Gas beracun seperti Karbonmonoksida (CO) bisa menimbulkan efek asfiksi dimana mengikat hemoglobin (COHb) yang menyebabkan terganggunya aliran oksigen di dalam tubuh, karena terlalu banyaknya jumlah karbondioksida. Paparan CO2, SO2, CO dan H2S yang ada di sekitar rumah memiliki angka di bawah batas normal dengan jarak aman 1000 meter dari kawah, bahkan untuk CO2 dan SO2 tidak ada yang tersebar di sekitar rumah penduduk, hanya berada di sekitar kawah sebagai proses kejadian alam. Sedangkan, untuk CO dan H2S juga tergolong di bawah batas normal sehingga tidak berpengaruh cepat terhadap kesehatan. Paparan CO2, SO2, CO dan H2S tidak begitu tinggi tersebar karena apabila terik matahari sudah muncul CO2, SO2, CO 6
dan H2S akan terurai oleh sinar matahari, sehingga tidak memiliki efek untuk kesehatan (Surip, 2016). Kawah timbang adalah salah satu kawah di Dieng yang memiliki konsentrasi paparan CO2 tinggi sebesar 1.8% volume atau 18.000 ppm, kadar H2S sebesar 0.6 ppm dan SO2 sebesar 0.2 ppm. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh paparan CO dan H2S dengan kejadian pneumonia pada balita. Dengan demikian hasil sesuai dengan penelitian terdahulu dan teori yang ada. 2. Pengaruh Paparan Asap Rumah Tangga dalam Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang tinggal di rumah yang terpapar asap rumah tangga dalam rumah cenderung memiliki risiko lima kali lebih besar terkena pneumonia dibandingkan balita yang tinggal di rumah yang tidak terpapar asap rumah tangga dalam rumah. Paparan asap rumah tangga dalam rumah dapat berasal dari penggunaan kayu bakar saat memasak. Hasil penelitian sesuai dengan penelitian yang dilakukan di Birmingham (Inggris) menyebutkan bahwa peningkatan risiko pneumonia dapat berasal dari paparan asap pembakaran bahan bakar, serta ada beberapa bukti bahwa penggunaan kompor dapat mengurangi paparan asap. Penelitian Maskey et al. (2012) di Nepal menyebutkan sekitar 87% rumah tangga menggunakan bahan bakar biomassa padat sebagai sumber utama bahan bakar, terdapat sejumlah 1.284 terkena ISPA dan pneumonia. Penelitian Pribadi (2008), rumah yang menggunakan jenis bahan bakar
Yunita et al./ Multilevel Analysis on the Bio-psychosocial
kayu saat memasak memiliki nilai OR 6,8 kali meningkatkan risiko kejadian pneumonia balita. Menurut Depkes (2012), pencemaran udara dalam ruang seperti penggunaan anti nyamuk bakar, bahan bakar untuk memasak dan keberadaan perokok dapat meningkatkan risiko kejadian pneumonia pada balita. Kecamatan Batur adalah daerah dengan kondisi suhu lingkungan yang dingin dan rata-rata keluarga di daerah Dieng memiliki kebiasaan memasak menggunakan kompor dan juga kayu bakar. Selain itu, kebiasaan menggunakan tungku arang untuk menghangatkan suhu rumah, biasa dilakukan di malam hari dengan bersenda gurau bersama keluarga. Hal ini tentunya meningkatkan paparan udara terhadap kondisi tubuh, terutama balita yang memiliki kondisi tubuh rentan. Arang ataupun kayu bakar yang mengandung karbonmonoksida, gas organik, particulate matter dan nitritoksida, dapat meningkatkan gangguan kesehatan pada tubuh, seperti gangguan pernapasan. Ada tujuh butir pertanyaan untuk mengetahui pengaruh paparan asap dalam rumah tangga terhadap kejadian pneumonia pada balita, yang memiliki angka paling tinggi adalah butir enam tentang pencahayaan di dapur, hal ini sesuai dengan kondisi sanitasi rumah yang banyak tergolong tidak sehat. Pencahayaan yang kurang di area dapur mengakibatkan perkembangan bibit penyakit. Jawaban butir pertama yaitu tidak terdapatnya ventilasi di dapur, yang memiliki jawaban “ya” cukup banyak. Hal ini tentunya meningkatkan risiko gangguan pernapasan, dengan kurangnya ventilasi pertukaran udaranya terganggu.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh paparan asap rumah tangga kejadian pneumonia pada balita. Dengan demikian hasil sesuai dengan penelitian terdahulu dan teori yang ada. 3. Pengaruh Sanitasi Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan sanitasi rumah buruk cenderung memiliki risiko enam kali lebih besar terkena pneumonia dibandingkan balita yang tinggal di rumah dengan sanitasi rumah baik. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Pribadi (2008), yang menjelaskan bahwa lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mendukung terjadinya penularan penyakit dan gangguan kesehatan, seperti pneumonia. Faktor risiko lingkungan fisik dalam penelitian ini memiliki nilai OR 7,4 kali meningkatkan risiko kejadian pneumonia. Pemerintah telah menetapkan peraturan tentang syarat kesehatan perumahan yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829/ MENKES/ SK/ VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Berdasarkan penelitian Azhar dan Perwitasari (2013), kondisi lingkungan fisik rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan perilaku penggunaan bahan bakar dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit seperti TB, katarak dan pneumonia. Proporsi rumah di Indonesia yang memenuhi persyaratan rumah sehat masih rendah, yaitu 24,9%. Berdasarkan AHPHA (American Public Health Association) menyarankan untuk menggunakan ventilasi sebagai upaya mengurangi timbulnya pencemaran 7
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 1-12
udara yang terjadi di dalam (indoor air pollution) maupun di luar rumah. Terdapat 13 butir pernyataan untuk mengetahui kondisi sanitasi rumah penduduk, dengan hasil terbanyak adalah butir 5 dan butir 12 yang menunjukkan bahwa di jendela rumah terdapat benda yang menghalangi aliran udara dan ruang tempat tidur dihuni dua orang atau lebih. Adanya benda yang menghalangi aliran udara menyebabkan berkurangnya kadar oksigen, bertambahnya kadar karbondioksida, adanya bau pengap, suhu udara ruangan naik dan menyebabkan bertambahnya kelembaban udara. Penggunaan kamar lebih dari dua orang meningkatkan risiko terkena pneumonia 1,8 kali lebih besar. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh sanitasi rumah kejadian pneumonia pada balita. Dengan demikian hasil sesuai dengan penelitian terdahulu dan teori yang ada. 4. Pengaruh Pendapatan Keluarga dengan Kejadian Pneumonia pada Balita Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh dan tidak signifikan antara pendapatan keluarga dengan kejadian pneumonia balita. Balita yang tinggal dengan keluarga berpendapatan rendah memiliki risiko dua kali lebih besar mengalami pneumonia daripada balita yang tinggal dengan keluarga berpendapatan tinggi. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Becker et al (2006) yang menyimpulkan bahwa status sosial ekonomi tidak berhubungan dengan kejadian pneumonia. Penelitian yang dilakukan Kosai et al (2015) juga menyatakan bahwa ada hubungan signifikan antara status sosial ekonomi
8
dengan peningkatan risiko pneumonia balita. Pada penelitian ini sebagian besar responden tidak bekerja, yaitu sebagai ibu rumah tangga, dan sebagian lainnya bekerja sebagai buruh tani dan buruh pabrik, sehingga pekerjaan dan pendapatan merupakan kesatuan utuh untuk menunjang daya beli keluarga. Persyaratan rumah sehat tentunya tidak harus dipenuhi dengan harga yang mahal, sebagai contoh untuk membentuk rumah yang aman dan nyaman penggunaan dinding tembok yang dingin bisa diganti dengan penggunaan kayu dan ditunjang dengan aktivitas rajin membuka jendela dan membersihkan rumah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pendapatan keluarga kejadian pneumonia pada balita. Dengan demikian hasil sesuai dengan penelitian terdahulu dan teori yang ada. 5. Pengaruh Pendidikan Ibu dengan Kejadian Pneumonia pada Balita Hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh dan tidak signifikan anatara tingkat pendidikan ibu dengan kejadian pneumonia balita. Balita yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan dasar atau rendah memiliki risiko 1.75 kali lebih besar mengalami pneumonia daripada balita yang memiliki ibu dengan tingkat pendidikan lanjutan atau tinggi. Hasil penelitian Herman (2002) menjelaskan bahwa pendidikan tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian pneumonia dengan hasil OR 1,1. Ditinjau dari latar belakang pendidikan di Kecamatan Batur dengan total 140 subjek, 65 diantaranya berpendidikan tinggi, dan sisanya
Yunita et al./ Multilevel Analysis on the Bio-psychosocial
berpendidikan rendah. Hal ini tidak menimbulkan kesenjangan yang terlalu jauh untuk masalah pendidikan. Pengetahuan seseorang merupakan hasil dari pendidikan yang tidak hanya didapatkan dari pendidikan formal saja, namun pendidikan non formal dapat juga meningkatkan pengetahuan masyarakat. Latar belakang seseorang dapat mempengaruhi sikap dan perilaku berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Pendidikan kesehatan untuk pencegahan pneumonia balita merupakan salah satu upaya untuk pencegahan pneumonia balita. Pendidikan kesehatan pada hakikatnya adalah suatu kegiatan atau usaha menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu dapat memperoleh pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun non formal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pendidikan ibu kejadian pneumonia pada balita. Dengan demikian hasil sesuai dengan penelitian terdahulu dan teori yang ada. 6. Pengaruh Aktivitas Merokok Keluarga dengan Kejadian Pneumonia pada Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang tinggal dengan keluarga merokok cenderung memiliki risiko tiga kali lebih besar terkena pneumonia dibandingkan balita tinggal dengan keluarga yang tidak merokok. Lingkungan makro yang dapat mempengaruhi
kesehatan balita dapat dipengaruhi oleh penyakit dan perilaku ibu seperti perilaku merokok ibu sebagai perokok aktif, sehingga balita dapat terpapar asap rokok (perokok). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian di Perancis dan Duta (2009) di India yang menyatakan bukti kuat bahwa polusi udara dalam ruangan salah satunya berasal dari asap rokok yang mengandung partikel ultrafine yang mengakibatkan ISPA pada balita. Penelitian lain yang menunjukkan adanya hubungan signifikan antara merokok dengan pneumonia balita yaitu dalam penelitian Gertudris (2012) dengan nilai p 0,03 dengan nilai OR 1,8. pasif). Bahan toksik dan karsinogenik yang ada dalam asap rokok memilik efek yang sama pada perokok aktif maupun pasif. Asap rokok mengakibatkan efek iritasi saluran napas karena sulfurdioksida, amonia dan formaldehid (Hidayat et al, 2012). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh aktivitas merokok keluarga kejadian pneumonia pada balita. Dengan demikian hasil sesuai dengan penelitian terdahulu dan teori yang ada. 7. Pengaruh Pneumonia pada Balita dengan Tingkat Kecemasan Balita Hasil penelitian menunjukkan bahwa balita yang mengalami pneumonia memiliki tingkat kecemasan tinggi dibandingkan dengan balita yang tidak mengalami pneumonia. Balita dengan pneumonia memiliki risiko 16 kali lebih besar mengalami kecemasan daripada balita yang tidak mengalami pneumonia. Sesuai dengan pernyataan Agustinus (2015), menyatakan bahwa apabila napas sesak, jantung bergerak lebih cepat, mulut 9
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 1-12
kering dan telapak tangan berkeringat maka akan menimbulkan reaksi kecemasan. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh pneumonia pada balita dengan tingkat kecemasan balita. Dengan demikian hasil sesuai dengan penelitian terdahulu dan teori yang ada. 8. Pengaruh Kondisi RT terhadap Kejadian Pneumonia Balita Hasil analisis multilevel ditunjukkan ICC = 36.97%, indikator tersebut menunjukkan bahwa kondisi wilayah masingmasing RT memiliki pengaruh kontekstual terhadap variasi terjadinya pneumonia balita sebesar 36.97%. Teori Gordon dalam buku Candra, (2007) interaksi antara bakteri (agent), manusia (host) dan lingkungan (environment), lingkungan yang ada di luar individu (host) memegang peranan penting dalam peningkatan penyakit pneumonia pada balita. Berdasarkan penemuan di lapangan, bahwa wilayah RT mempengaruhi kejadian pneumonia pada balita. Hal ini disebabkan kondisi pemukiman per RT yang berbeda, ada beberapa RT yang jarak rumah satu dengan yang lainnya luas, sehingga aliran udara ke tiap rumah lebih bagus daripada RT yang memiliki jarak rumah sempit dan padat penduduk, dimana terkadang pencahayaan untuk melewati jendela sering tertutup oleh rumah yang lain. Selain itu, pencegahan terhadap penyakit yang dilakukan per RT berbedabeda, pada RT yang warganya sadar akan kesehatan biasanya akan mempengaruhi rumah sekitarnya untuk sama-sama peduli akan kesehatan. Warga yang berada di lingkungan dengan kesadaran akan kesehatan kurang cenderung warga 10
sekitarnya ikut-ikutan dan tidak sadar akan perilaku negatifnya. KESIMPULAN Ada pengaruh paparan CO, H2S, pendapatan keluarga, pendidikan ibu paparan asap rumah tangga, sanitasi rumah, aktivitas merokok keluarga. Ada pengaruh pneumonia balita terhadap kecemasan balita. Kondisi masing-masing RT memiliki pengaruh kontekstual terhadap variasi kejadian pneumonia balita, sehingga perlu diperhatikan. DAFTAR PUSTAKA Agustinus. (2015). Phobia. Surabaya: Rama Press Institut. Anwar A, Dharmayanti I. (2014). Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional. 8(8). Azhar K, Perwitasari D. (2013). Kondisi Fisik Rumah dan Perilaku dengan Prevalensi Paru di Provinsi DKI Jakarta, Banten dan Sulawesi Utara. Media Litbangkes. 23(4). Becker S, Fonseca BF, Yglesias CS. (2006). Husbands and Wives Reports of Women’s Decision Making Power in Western Guatemala and Their Effect on Preventive Health Behaviors. Social Science and Medicine. 62 (9). Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Jakarta: Modul 1-7. Duta, Biswas. (2009). Risk Factors of Acute Respiratory Infections in Underfives of Urban Slum Community. Ezzati M, Kammen DM. (2001). Quanti
Yunita et al./ Multilevel Analysis on the Bio-psychosocial
fying The Effects of Exposure to Indoor Air Pollution From Biomass Combustion on Acute Respiratory Infections in Developing Countries. Journal of Environmental Health Perspectives. 109(5). Gertudris T. (2012). Hubungan Antara Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal dengan Kejadian ISPA pada Balita di Sekitar Pabrik Semen PT Indocement, Citereup (Tesis). Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hananto M. (2004). Analisis Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Empat Provinsi di Indonesia (Tesis). Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Herman. (2002). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia pada Anak Balita. Jakarta: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Hidayat S, Yunus F, Susanto AD. (2012). Pengaruh Polusi Udara dalam Ruangan terhadap Paru. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 39(1). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Badan Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pengendalian Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kosai H, Tamaki R, Saito M, Tohma K, Alday PP, Tan AG, Inobaya MT. (2015). Incidence and Risk Factors of Childhood Pneumonia-Like Episodes in Biliran Island, Philippines-A Com-
munity-Based Study. Journal Plos One.10(5). Maskey AP, Day JN, Tuan PQ, Thwaites GE, Campbell JI, Zimmermen M, Farrar JJ et al. (2006). Salmonella Enterica Serovar Paratyphi A and S. Enterica Serovar Thypi Cause Indistinguishable Clinical Syndromes in Kathmandu, Nepal. Oxford UK. Journal of Infectious Disease. 42 (9). Misnadiarly. (2008). Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumonia Pada Anak, Orang Dewasa dan Usia Lanjut. Jakarta: Pustaka Obor. Pribadi S. (2008). Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah dan Perilaku yang Berhubungan dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Kabupaten Pontianak. Jurnal Kesehatan Lingkungan:Universitas Diponegoro. Prietsch SOM, Fischer GB, Cesar JA, Lempek BS, Barbosa JrLV, Zogbi L, Cardoso OC et al. (2008). Acute Lower Respiratory Illness in Underfive Children in Rio Grande Brazil : Prevalence and Risk Factors. Journal of Brazil. 24(6). Rudan I, Pinto CB, Biloglav Z, Mulholland K, Campbell H. (2008). Epidemiology and Etiology of Childhood Pneumonia. Bulletin World Health Organization. 86(5). Soemirat SJ. (2015). Mortality and Morbidity as Related to Air Polution. A Paper. University of Minnoseto. Supriyati DA. (2007). Sebaran dan Bahaya CO2 di Kompleks Vulkanik Dieng. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian.
11
Journal of Epidemiology and Public Health (2016), 1(1): 1-12
WHO. (2008). Manajemen Terpadu Balita Sakit. Jakarta: Depkes RI.
12
WHO. (2010). The Global Burden Disease. Jakarta: Depkes Republik Indonesia.