Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
PASAR UANG BERDASARKAN PRINSIP SYARIAH Oleh: Luqman Hakim Penulis adalah Dosen IAIN Pontianak
ABSTRACT In the field of banking, money market is a means of interbank transactions that lack or excess liquidity. In the money market, the application still uses interest as a means of profit making. However, currently there is money market based on the principles of the Sharia, and it has got the National Shariah Board (DSN) fatwa legality No. 37 on the interbank money market with its syariah principles as a solution for both parties. However this fatwa still needs to be examined and re-evaluated to see if the fatwa really covers all the problems occurred in the interbank money market.
Keyword: Money market, DSN fatwa.
A.
Pendahuluan
Memang Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin, agama yang membawa rahmat bagi semesta alam, bagi semua umat tanpa dibatasi oleh ruang maupun waktu. Ajarannya yang mencakup semua aspek kehidupan tidak terkecuali ekonomi, dalam perkembangannya saat ini dirasakan semakin kompleks, terlebih dengan fenomena ekonomi yang berkembang dengan berbagai istilah dan jenis transaksi ekonomi/keuangan baru, seperti masalah transaksi bursa efek, valuta asing, pasar uang dan lain sebagainya. Berkembang pesatnya kegiatan ekonomi diikuti pula dengan berkembangnya lembaga keuangan (bank) baik yang konvensional maupun yang menggunakan prinsip syariah, dan dalam dunia perbankan sering kali menggunakan fasilitas pasar uang dalam kegiatan operasionalnya, karena dalam keadaan tertentu terkadang bank dapat mengalami kelebihan ataupun kekurangan likuiditas dalam jangka pendek yaitu kurang dari satu tahun. Bila terjadi kelebihan maka bank melakukan penempatan kelebihan likuiditas, sehingga bank memperoleh keuntungan. Dan sebaliknya bila bank mengalami kekurangan likuiditas maka bank memerlukan sarana untuk menutupi [1]
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
kekurangan likuiditas dalam rangka pembiayaan sehingga kegiatan operasional bank dapat berjalan dengan baik. Untuk itulah diperlukan jasa lembaga keuangan (bank) yang dapat berlaku adil. Namun terkadang dalam aplikasinya bank berlaku tidak adil dengan mengambil keuntungan atau bunga yang berlebihan kepada pihak yang kekurangan dana maupun sebaliknya. Sehingga dalam hal pasar uang antarbank ini Dewan Syariah Nasional kemudian mengeluarkan fatwa No. 37 tentang pasar uang antarbank dengan prinsip syariah sebagai solusi bagi kedua belah pihak. Akan tetapi fatwa ini masih perlu ditelaah dan dikaji ulang, hal ini untuk melihat apakah fatwa tersebut sudah benar-benar mengcover semua permasalahan yang terjadi di pasar uang antarbank.
B.
Pembahasan a. Sekilas Tentang Pasar Uang Pasar Uang (money market) adalah mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka pendek, yaitu dana berjangka waktu kurang dari satu tahun. Kegiatan di pasar uang ini terjadi karena ada dua pihak, pihak pertama yang kekurangan dana yang sifatnya jangka pendek, pihak kedua memiliki kelebihan dana dalam waktu jangka pendek juga. Mereka itu dipertemukan di dalam pasar uang, sehingga unit yang kekurangan memperoleh dana yang dibutuhkan, sedang unit yang kelebihan memperoleh penghasilan atas uang yang berlebih tersebut (Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, 1992: 24). Pengertian pasar uang dalam teori ekonomi bukanlah suatu tempat (fisik) orang berjualan dan menjajakan barang dagangannya. Pasar diartikan secara lebih luas dan abstrak, namun tetap mencakup pasar dalam pengertian sehari-hari, yaitu pertemuan antara permintaan dan penawaran (Boediono, 2001: 1). Apabila permintaan bertemu penawaran di pasar, maka akan terjadi transaksi.Transaksi merupakan kesepakatan antara apa yang diinginkan pembeli dan apa yang diinginkan penjual. Dalam transaksi seperti itu kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai dua hal, yaitu harga dan volume dari apa yang ditransaksikan. Dalam hal pasar uang yang ditransaksikan adalah hak untuk menggunakan uang dalam jangka waktu tertentu. Jadi di pasar tersebut terjadi transaksi pinjammeminjam dana, yang selanjutnya menimbulkan hutang-piutang (Boediono, 2001: 1-2). Adapun barang yang ditransaksikan dalam pasar ini adalah secarik kertas berupa surat hutang atau janji untuk membayar sejumlah uang tertentu pada waktu tertentu pula (Antonio, 2001: 183). Tujuan pasar uang adalah untuk memberikan alternatif, baik bagi lembaga keuangan bank maupun bukan bank, untuk memperoleh sumber dana atau menanamkan dananya (Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, 1992: 24). [2]
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
b. Mekanisme Pasar Uang Mekanisme pasar uang hanya dapat berfungsi dengan baik apabila dipenuhi beberapa syarat sebagai berikut (Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen, 1992: 24): 1. Cukup banyak instrumen sebagai pengganti uang yang dapat diperdagangkan. Uang yang diperdagangkan harus mempunyai bentuk (instrument) tertentu, antara lain: Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang (SBPU), sertifikat deposito, dan call money. 2. Ada lembaga keuangan yang bersedia menjadi pencipta pasar (market maker), lembaga inilah yang akan menyimpan instrumen-instrumen pasar uang dan akan menjualnya kepada unit yang mempunyai kelebihan dana jangka pendek, atau membelinya dari unit yang kekurangan dana jangka pendek. Di Indonesia fungsi ini dijalankan oleh Ficorinvest yang sering disebut security house. 3. Prasarana komunikasi yang memadai. 4. Informasi keuangan yang dapat dipercaya, yaitu data keuangan perusahaan yang mengeluarkan SBPU, agar setiap peminat dapat membuat penelitian mengenai keadaan perusahaan. Penjelasan mekanisme tersebut sebagai berikut: Pertama, mekanisme Call money; bisa diperdagangkan secara langsung antarbank, dan biasanya dilakukan melalui telepon. Hal ini dilakukan karena kebutuhan liquiditas bank biasanya mendesak, baik karena kekurangan dalam kliring maupun untuk memenuhi kebutuhan kewajiban likuiditas. Kedua, sedangkan SBI dan SBPU harus diperdagangkan melaui security house (Ficorinvest) sebagai perantara antara pemilik dan pemakai, melalui jual beli surat-surat berharga dengan mekanisme; BI menjual SBI kepada Ficorinvest, barulah kemudian kepada lembaga-lembaga keuangan. Ketiga, mekanisme untuk SBPU; nasabah, baik badan usaha maupun perorangan mengeluarkan surat aksep atau wesel untuk mendapatkan dana dari bank atau lembaga keuangan non-bank, kemudian surat-surat berharga ini diperjualbelikan oleh bank atau lembaga keuangan non-bank melalui security house yang akan memperjualbelikan dengan BI (Wijaya dan Hadiwigeno, 1999: 393394). c. Pandangan Islam Terhadap Uang Islam memandang uang hanyalah sebagai alat tukar, bukan sebagai komoditas atau barang dagangan. Maka motif permintaan terhadap uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demad for transaction), bukan untuk spekulasi atau trading. Islam tidak mengenal spekulasi (money demand for speculation). Karena pada hakikatnya uang adalah milik Allah SWT yang [3]
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
diamanahkan kepada kita untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat. Dalam pandangan Islam uang adalah flow concept, karenanya harus selalu berputar dalam perekonomian, sebab semakin cepat uang itu berputar dalam perekonomian, akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan akan semakin baik perekonomian (Antonio, 2001: 185). d. Perbedaan Mendasar Pasar Uang Konvensional dan Pasar Uang Berprinsip Syariah Pada dasarnya pasar uang syariah dan pasar uang konvensional memiliki beberapa fungsi yang sama, diantaranya sebagai pengatur likuiditas. Jika bank memiliki kelebihan likuiditas ia dapat menggunakan instrumen pasar uang untuk menginvestasikan dananya, dan apabila kekurangan likuiditas ia dapat menerbitkan instrumen yang dapat dijual untuk mendapatkan dana tunai. Ada perbedaan mendasar diantara keduanya yaitu: pertama, pada mekanisme penerbitan dan kedua, pada sifat instrumen itu sendiri. Pada pasar uang konvensional instrumen yang diterbitkan adalah instrumen hutang yang dijual dengan diskon dan didasarkan atas perhitungan bunga; sedangkan pasar uang syariah lebih kompleks dan mendekati mekanisme pasar modal. e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Tentang Pasar Uang Berdasarkan Prinsip Syariah Latar belakang dikeluarkannya fatwa Dewan Syariah Nasional No: 37/DSNMUI/X/2002, tentang pasar uang antarbank berdasar prinsip syariah adalah atas pertimbangan sebagai berikut (Tim Penulis Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, 2003: 238): 1. Bahwa bank syariah dapat mengalami kekurangan likuiditas disebabkan oleh perbedaan jangka waktu antara penerimaan dan penanaman dana atau kelebihan likuiditas yang dapat terjadi karena dana yang terhimpun belum dapat disalurkan kepada pihak yang memerlukan; 2. Bahwa dalam rangka peningkatan efisiensi pengelolaan dana, bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah memerlukan adanya pasar uang antarbank; 3. Bahwa untuk memenuhi keperluan itu, maka dipandang perlu penetapan fatwa tentang pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah. Diantara keputusan fatwa Dewan Syariah Nasional No: 37/DSN-MUI/X/2002, tentang pasar uang antarbank berdasar prinsip syariah adalah sebagai berikut (Tim Penulis Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, 2003: 243-244):
[4]
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
Pertama, Ketentuan Umum: 1. Pasar uang antarbank yang tidak dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbanak yang berdasarkan bunga. 2. Pasar uang antarbank yang dibenarkan menurut syariah yaitu pasar uang antarbank yang berdasarkan prinsip-prinsip syariah. 3. Pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah adalah kegiatan transaksi keuangan jangka pendek antarpeserta pasar berdasarkan prinsip-prinsip syariah. 4. Peserta pasar uang sebagaimana tersebut dalam butir 3 adalah: 1). Bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana. 2). Bank konvensional hanya sabagai pemilik dana. Kedua, Ketentuan Khusus: 1. Akad yang dapat digunakan dalam pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah adalah: mudharabah (muqadharah)/Qiradh; musyarakah; qard; wadi'ah; al-Sharaf. 2. Pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang (sebagaimana tersebut dalam butir 1) menggunakan akad-akad syariah yang digunakan dan hanya boleh dipindahtangankan sekali. f. Dalil yang Digunakan oleh Dewan Syariah Nasional dalam Menetapkan Fatwa tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah (Tim Penulis Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia, 2003: 240-242). 1. Firman Allah QS. Al-Maidah (5): 1 "Hai orang-orang yang beriman tunaikanlah akad-akad itu…" 2. Firman Allah QS. Al-Baqarah (2): 275 "Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba" 3. Hadits Nabi riwayat Tirmidzi dari 'Amr bin 'Auf "Kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat yang mereka buat kecuali syarat mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram" 4. Hadits Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, an-Nasa'i, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari abu Hurairah "Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar" 5. Hadits Nabi riwayat Ibnu Majah dari 'Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari Ibnu 'Abbas dan riwayat Imam Malik dari Yahya "Tidak boleh membahayakan orang lain dan menolak bahaya dengan bahaya" [5]
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
6.
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
Kaidah Fiqh:
"Pada dasarnya segala sesuatu dalam muamalah boleh dilakukan sampai ada dalil yang menharamkannya" "Segala mudharat (bahaya) harus dihindarkan sedapat mungkin" "Segala madharat (bahaya) harus dihilangkan"
C.
Analisa Terhadap Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pasar Uang Antarbank Berdasarkan Prinsip Syariah
Jika ditinjau dari segi perumusan sercara umum fatwa ini diawali dengan mengemukakan pertimbangan-pertimbangan dikeluarkannya fatwa, diikuti dengan kutipan dalil-dalil baik yang mengacu pada al-Qur'an, Hadits, maupun kaidah fiqh dan terakhir adalah keputusan. Semestinya dalam perumusannya perlu dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian dan maksud dari pasar uang antarbank yang dimaksudkan dalam fatwa ini. Sehingga pengertian pasar uang yang dimaksud menjadi jelas dan tidak menimbulkan salah pengertian. Paling tidak semestinya dijelaskan dalam lampiran. Dari segi pertimbangan-pertimbangan yang dikemukakan dalam fatwa ini ada tiga poin (sebagaimana telah disebutkan di depan), semestinya melihat juga pada realitas perjanjian-perjanjian antara pihak pemilik dana dan pihak yang membutuhkan dana, sebab dalam kegiatan pasar uang seringkali terjadi perjanjian pembelian kembali (purchase agreement) dana dari si penjual semula, termasuk jaminan pembelian kembali jika dijanjikan oleh si penjual sendiri. Adapun dari dalil-dalil yang dikemukakan oleh fatwa ini secara umum terdiri dari dalil-dalil al-Qur’an yang tidak diragukan lagi kebenarannya. Fatwa ini juga menggunakan dalil-dalil dari hadits yang berkaitan dengan transaksi-transaksi dalam pasar uang, kemudian merujuk pula pada kaidah-kaidah fiqh yangcukup memadai dan sudah dikenal secara umum, serta dilengkapi dengan ijma’ atau kesepakatan ulama mengenai hal tersebut. Namun dalil-dalil yang dikemukakan pada umumnya sama dengan dalil-dalil yang digunakan untuk memfatwakan masalah jual beli valuta asing, bursa saham dan lain sebagainya Dari segi keputusan-keputusan yang tertuang dalam dalam fatwa tersebut disebutkan bahwa pasar uang antarbank yang dibenarkan adalah yang tidak menggunakan bunga, dan akad-akad yang dianjurkan adalah mudharabah, musyarakah, qard, wadiah, maupun sharf, dan kepemilikan atas instrumen pasar hanya dapat dipindahtangankan satu kali saja. Namun dalam realitanya akad akad yang sering digunakan adalah mudharabah dan wadi’ah. Sedangkan untuk akad-akad seperti qard dan sharf jarang digunakan. Hal ini terjadi karena pada bank syariah instrumen yang [6]
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
disediakan dalam pasar uang ini berupa IMA (Sertifikat Investasi Mudharabah Antarbank), SBPU (Surat Berharga Pasar Uang) Mudharabah dan SWBI (Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia). Sedangkan mengenai instrumen apa yang dipakai dalam pasar uang berprinsip syariah, di dalam fatwa itu juga tidak diberikan penjelasan bagaimana mekanismenya jika dilakukan dalam pasar uang. Namun dalam Islam, sebuah instrumen merupakan perwakilan dari kepemilikan atau harta. Oleh karena itu instrumen dapat diperjualbelikan jika terdapat asset atau transaksi yang mendasarinya. Ada dua metode dalam penerbitan instrumen oleh bank syariah, pertama, satu prinsip untuk berbagai transaksi. Prinsip yang digunakan adalah bagi hasil (mudharabah/musyarakah) untuk berbagai transaksi, seperti jual-beli, sewa, dan lain-lain; kedua, satu prinsip untuk satu transaksi. Metode ini menyerupai fund dalam pasar modal. Adapun dalam prinsip bagi hasil (mudharabah/musyarakah) mengakibatkan kepemilikan usaha pada sisi pemilik dana, ketika aset-aset bank syariah disekuritisasi dan instrumennya dijual ke pasar, maka pembeli instrument tersebut menjadi pemilik modal baru yang menggantikan pemilik modal yang lama. Aset-aset tersebut apabila dikumpulkan akan menjadi harta gabungan (mal musytarak) yang bisa didenominasi dalam bentuk pecahan dan dijual kepada pembeli. Penetapan harga dari instrument tersebut mengikuti hukum Islam, artinya; harga instrumen bisa dinegosiasikan antara penjual dan pembeli, sehingga dapat menyebabkan naik turunnya harga harga instrumen tersebut. Instrumen-instrumen ini pun bisa menjadi alternatif investasi bagi bank syariah di Indonesia, terutama ketika mengalami kelebihan likuiditas. Asumsi perbankan konvensional yang menggunakan hutang sebagai instrumen masih melekat di dunia perbankan. Terlebih dalam UU No. 7 Tahun 1992 sebagaimana disempurnakan oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang perbankan, bank umum(termasuk bank syariah) hanya dibolehkan melakukan pembelian instrument investasi dalam bentuk pendapatan tetap (fixed income). Sementara itu, melalui transaksi pasar uang antarbank syariah, semua bank umum tak terkecuali syariah bisa menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat Investasi Antarbank (IMA) yang diterbitkan bank syariah yang mengalami kesulitan likuiditas. Dengan membeli IMA, pengembalian investasi atau pinjaman akan dibayarkan ketika IMA jatuh tempo. Jadi bank yang membeli profit sharing pembagian hasil dan bukannya bunga (Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, 2001: 276). Intinya dalam pasar uang berprinsip syariah instrumen yang diperjualbelikan adalah pada tahap pertama (first level scuritization), instrumen ini akan menjadi instrumen derivatif apabila disekuritisasi kembali (second level securitization) yang disepakati oleh para ulama untuk tidak diperjualbelikan.
[7]
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
Perlu menjadi catatan dalam pasar uang ini, bahwa dalam Islam, yang dibolehkan adalah penjualan bukti kepemilikan, bukan jual-beli sertifikat atas bukti kepemilikan. Karena sertifikat itu itu hanya mewakili harta yang dimiliki, namun karena bank syariah hanya berada pada sekuritas tahap pertama, maka ia tidak akan mengalami percepatan kuantitas moneter (monetary enchanment) di atas kuantitas di sektor riil. Walaupun dalam fatwa ini masalah pasar uang berdasar prinsip syariah dengan berbagai akad yang diperbolehkan seakan-akan telah menjadi salah satu solusi dalam transaksi pasar uang, namun dalam masalah pasar uang ini muncul kembali permasalahan, yaitu dalam hal perjanjian pembelian kembali(repurchase agreement). Sebab dalam hal ini terdapat kontroversi di kalangan ulama tentang perjanjian pembelian kembali (repurchase agreement). Karena transaksi pasar uang syariah menggunakan perjanjian tersebut ketika melakukan penjualan, artinya; penjual akan membeli kembali asset yang ia jual dalam jangka waktu tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah jaminan pembelian kembali (redemption guarantee) jika dijanjikan oleh si penjual sendiri. Mayoritas ulama tidak memperkenankan perjanjian bersyarat ini. Hanya sebagian kecil dari mazhab Hanafi yang membolehkannya dengan nama bai'al wafa. Maka untuk mensiasati ini bank penerbit menugaskan perusahaan lain untuk menjadi pembeli atas instrument yang diterbitkannya. Adapun implikasi dari adanya fatwa Dewan Syariah Nasional No:37 adalah, bahwa karena dalam pasar uang antarbank berdasarkan prinsip syariah tidak dibenarkan mengunakan bunga, maka bisa diganti dengan menggunakan alternatif akad-akad lain seperti:29 Pertama: Mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik,shahib al-maal) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Kedua: Musyarakah, yaitu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk usaha tertentu, dimana masing-masing pihak menberikan kontribusi dana (modal) dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Ketiga: al-Qardh, yaitu suatu aqad pembiayaan kepada nasabah tertentu dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana yang diterimanya kepada lembaga keuangan syariah pada waktu yang telah disepakati oleh lembaga keuangan syariah dan nasabah Keempat: Wadiah (titipan uang, barang dan surat-surat berharga), yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagaimana halnya kebiasaan).Kelima: al-Sharf (jual beli valuta asing).
[8]
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
D.
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
Kesimpulan
Dari berbagai uraian dan telaah fatwa tersebut di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pasar uang antarbank dengan prinsip syariah merupakan kegiatan transaksi keuangan (tabpa bunga) dalam waktu jangka pendek antarpeserta pasar (bank syariah sebagai pemilik atau penerima dana dan bank konvensional hanya sebgai pemilik dana), dengan pemindahan kepemilikan instrumen pasar uang tersebut hanya satu kali saja. Pasar uang yang dibolehkan hanya pasar uang yang tidak menggunakan sistem bunga, hal ini untuk menghindari dari riba nasi’ah karena kerugian (bahaya) dari bunga itu lebih besar daripada keuntungan (mashlahah) nya. Selain itu karena dalam Islam melarang adanya jual-beli uang sebagai komoditi atau spekulasi. Dewan Syariah Nasional semestinya mengembangkan konsep kebijakan dan prosedur kegiatan pasar uang dengan lebih terinci, sehingga pihak yang melakukan transaksi tersebut dapat sesuai dengan prinsip-prinsip norma syariah yang ditetapkan. Namun bagaimanapun juga fatwa Dewan Syariah Nasional No: 37/DSN-MUI/X/2002 dapat digunakan sebgai solusi bagi pihak-pihak (bank) yang melakukan transaksi di pasar uang dengan memberikan alternatif akad-akad mudharabah (muqaradhah), Musyarakah, Qard, Wadiah, maupun al-Sharf.
DAFTAR PUSTAKA
Boediono, Ekonomi Mikro, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi, No. 5, Cet. 11, Yogyakarta: BPFE, 2001. Cecep Maskanul Hakim (Peneliti Biro Perbankan Syariah BI/Staf Pengajar STEI Tazkia), Mengenal Pasar Uang Syariah, dalam Republika….. Depag RI., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989. Ensiklopedi Ekonomi, Bisnis dan Manajemen (jilid 2), Jakarta: PT. Cipta Adi Pustaka, 1992. Faried Wijaya dan Soetatwo Hadiwigeno, Lembaga-lembaga Keuangan dan Bank, Perkembangan, Teori, dan Kebijakan, Edisi 2, Yogyakarta: BPFE, 1999. [9]
Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies
Volume 4 Nomor 1 Maret 2014
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Diskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta: EKONISIA, 2003. Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah, Dari Teori ke Praktik, Yogyakarta: EKONOSIA, 2003. Tim Penulis Dewan Syariah Nasional-MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasioal, Edisi 2, Jakarta: Kerjasama DSN-MUI&BI, 2003. Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, Jakarta: Djambatan, 2001.
[ 10 ]