1
PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN DESA WISATA DI INDONESIA Oleh: Ni Ketut Arismayanti ABSTRACT Village constitutions should be used as the initial momentum to organize and explore the potential of the village, as well as the planned construction of the ideal in each village in Indonesia. In the development of rural tourism of each village should have a characteristic unique potential tourism which distinguishes one village to another, so that the resulting product does not travel to compete with each other, but complementary. Green tourism as part of ecotourism, alternative tourism, the development certainly gives a different color than the development of other types of tourism. Green tourism development should take into consideration the development of tourism products that have high ecological value with a market share of special interest which have high levels of awareness and high loyalty. Likewise, the use of green products in the tourism lead to environmentally friendly products and at the same time made resource utilization efficiency and renewable energy. In the development of green tourism of course there are principles that must exist and be pursued on an ongoing basis. Tourist destinations which are used as a tourist attraction to the natural need and have the focus of environmental conservation. Direction of the development of tourism with the concept of green tourism should have a holistic planning by considering various aspects. The purpose of such development is done in order to minimize negative impacts by doing tourism development in an area. Development of tourism facilities in a tourist area with the concept of green tourism by building environmental awareness is high, not only by the local people as the host, but also by the tourists who visit. Environmental awareness will ensure sustainability and environmental sustainability for the future. Keywords: village constitution, tourism development, green tourism. PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara kepulauan yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta di antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia merupakan negara yang luas dan besar terbentang dari Sabang hingga Merauke. Masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat dan memiliki bahasa daerah masingmasing serta ciri khas budaya yang kaya dan unik. Indonesia memiliki potensi alam yang sangat besar dan luar biasa pada masing-masing propinsi, kabupaten maupun desanya. Masing-masing propinsi, kabupaten maupun desa di Indonesia memiliki ciri khas budaya dan adat istiadat yang unik dan menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia. Saat ini desa merupakan bagian terdepan dalam wilayah dan sistem kenegaraan kita, maka peranan desa tidak saja penting tetapi sangat strategis dalam pembangunan bangsa serta keutuhan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pola pembangunan lama yang terpusat di perkotaan telah digantikan dengan pola pembangunan di desa. Oleh karena itu, percepatan dan pemerataan pembangunan di seluruh perdesaan menjadi suatu hal yang diharapkan. Pola pembangunan yang terpusat di perkotaan menyisakan banyak persoalan. Sektor ekonomi yang berkembang di perkotaan menyebabkan terjadinya kesenjangan yang signifikan antara desa dengan kota. Hal tersebut memicu terjadinya urbanisasi dengan berbagai permasalahan kompleksnya, baik di desa maupun di kota.
2
ARAH KEBIJAKAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN DESA Pemerintah saat ini telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa beserta seluruh Peraturan Pelaksanaan dan Penjabarannya yang implementasinya akan dimulai pada Tahun 2015. Sejarah hubungan negara dan desa diawali dengan diterbitkannya UndangUndang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa. Kemudian setelah 20 tahun, diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah yang menempatkan desa dalam bingkai otonomi daerah. Selanjutnya terbit Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Pada akhirnya pada tahun 2014 muncul kebijakan baru yang mengatur desa secara khusus, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang Desa disahkan pada 18 Desember 2013 dan menjadi lembaran negara Nomor 6 Tahun 2014 pada 15 Januari 2014. Undang-Undang Desa menjadi titik balik pengaturan desa di Indonesia. Undang-Undang Desa menempatkan desa sesuai amanat konstitusi dengan mengacu pada pasal 18 B ayat 2 dan Pasal 18 ayat 7. Undang-Undang Desa membentuk tatanan desa sebagai self-governing community (desa) dan local self-government (daerah). Tatanan tersebut diharapkan mampu mengakomodasi kesatuan masyarakat hukum adat yang menjadi dasar keragaman NKRI. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tersebut, maka telah digelontorkannya sejumlah dana untuk pembangunan desa. Filosofi dari adanya dana desa adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan desa melalui peningkatan pelayanan publik di desa, memajukan perekonomian desa, mengatasi kesenjangan pembangunan antar desa, serta memperkuat masyarakat desa sebagai subjek dari pembangunan. Jumlah alokasi anggaran yang langsung ke desa ditetapkan 10% dari dan di luar dana transfer daerah. Hal lain yang dipertimbangkan adalah jumlah penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan kesulitan geografi. Guna memajukan desa, diperkirakan setiap desa akan mendapatkan dana sekitar 14 miliar berdasarkan perhitungkan dalam penjelasan Undang-Undang Desa, yaitu 10% dari dan transfer daerah menurut Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk perangkat desa sebesar 59,2 triliun ditambah dengan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) sekitar 10 persen yang akan dibagi ke 72 ribu desa se-Indonesia. Desa merupakan entitas penting dalam NKRI. Berdasarkan Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 yang menganut asas pengaturan desa sebagai berikut: 1) Recognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul. 2) Subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa. 3) Kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerjasama dengan prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat desa dan unsur masyarakat desa dalam membangun desa. 4) Keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang berlaku di masyarakat desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 5) Kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu kesatuan keluarga besar masyarakat desa. 6) Kegotong-royongan, yaitu kebiasaan saling tolong menolong untuk membangun desa.
3
7) Musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan masyarakat desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang berkepentingan. 8) Demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat desa atau dengan persetujuan masyarakat desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin. 9) Partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan. 10) Kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran. 11) Kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat desa unuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi kebutuhannya dengan kemampuan sendiri. 12) Pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa. 13) Keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi, terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan desa. Menguatkan desa dan masyarakat desa serta pengembangan pusat-pusat pertumbuhan di perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-kota dan perdesaan berkelanjutan, melalui: 1) Pemenuhan SPM sesuai dengan kondisi geografis Desa. 2) Penanggulangan kemiskinan dan pengembangan usaha ekonomi masyarakat Desa. 3) Pembangunan Sumber Daya Manusia, meningkatkan keberdayaan, dan modal sosial budaya masyarakat desa. 4) Penguatan pemerintahan desa dan lembaga kemasyarakatan desa. 5) Pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup berkelanjutan, serta penataan ruang kawasan perdesaan. 6) Pengembangan ekonomi kawasan perdesaan untuk mendorong keterkaitan desa-kota. Adapun tujuan arah kebijakan pemerintah tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa, dengan mendorong pembangunan desa-desa mandiri dan berkelanjutan yang memiliki ketahanan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Sasaran strategi dari implementasi perundang-undangan tersebut adalah: 1) Berkurangnya jumlah desa tertinggal sedikitnya 5.000 desa atau meningkatnya jumlah desa mandiri sedikitnya 2.000 desa. 2) Prioritas penggunaan dana desa untuk pembangunan desa dialokasikan untuk mencapai tujuan pembangunan desa, yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan, melalui: pemenuhan kebutuhan dasar; pembangunan sarana dan prasarana desa; pengembangan potensi ekonomi lokal; dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan secara berkelanjutan. 3) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam pemenuhan kebutuhan dasar, meliputi: pengembangan pos kesehatan desa dan polindes; pengelolaan dan pembinaan posyandu; dan pembinaan dan pengelolaan pendidikan anak usia dini. 4) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam pembangunan sapra desa dan pengembangan potensi ekonomi lokal untuk mendukung target pembangunan sektor unggulan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20152019 dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahunnya, yang diprioritaskan untuk:
4
mendukung kedaulatan pangan; mendukung kedaulatan energi; mendukung pembangunan kemaritiman dan kelautan; dan; mendukung pariwisata dan industri. 5) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam pembangunan sapras desa didasarkan atas kondisi dan potensi desa, sejalan dengan pencapaian target RPJM Desa dan RKP Desa setiap tahunnya, yang diantaranya dapat meliputi: Pembangunan dan pemeliharaan jalan desa; pembangunan dan pemeliharaan jalan usaha tani; pembangunan dan pemeliharaan embung desa; pembangunan energi baru dan terbarukan; pembangunan dan pemeliharaan sanitasi lingkungan; pembangunan dan pengelolaan air bersih berskala desa; pembangunan dan pemeliharaan irigasi tersier; pembangunan dan pemeliharaan serta pengelolaan saluran untuk budidaya perikanan; dan pengembangan sarana dan prasarana produksi di desa. 6) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam pengembangan potensi ekonomi lokal didasarkan atas kondisi dan potensi desa, sejalan dengan pencapaian target RPJM Desa dan RKP Desa setiap tahunnya, yang diantaranya dapat meliputi: pendirian dan pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes); pembangunan dan pengelolaan pasar desa dan kios desa; pembangunan dan pengelolaan tempat pelelangan ikan milik desa; pembangunan dan pengelolaan keramba jaring apung dan bagan ikan; pembangunan dan pengelolaan lumbung pangan desa; pembuatan pupuk dan pakan organik untuk pertanian pertanian dan perikanan; pengembangan benih lokal; pengembangan ternak secara kolektif; pembangunan dan pengelolaan energi mandiri; pembangunan dan pengelolaan tambatan perahu; pengelolaan padang gembala; Pengembangan Desa Wisata; pengembangan teknologi tepat guna pengolahan hasil dan sehat; dukungan terhadap kegiatan desa dan masyarakat pengelolaan hutan desa dan hutan kemasyarakatan; dan peningkatan kapasitas kelompok masyarakat. Penigkatan kapasitas kelompok masyarakat dapat dilakukan melalui: Kelompok Usaha Ekonomi Produktif; Kelompok Perempuan; Kelompok Tani; Kelompok Masyarakat Miskin; Kelompok Nelayan; Kelompok Pengrajin; Kelompok Pemerhati Dan Perlindungan Anak; Kelompok Pemuda; dan kelompok lain sesuai kondisi desa. 7) Prioritas penggunaan dana desa sebagaimana dimaksud dalam Pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan secara berkelanjutan, didasarkan atas kondisi dan potensi desa, sejalan dengan pencapaian target RPJM Desa dan RKP Desa setiap tahunnya, yang diantaranya dapat meliputi: Komoditas Tambang Mineral bukan logam (Zirkon, Kaolin, Zeolit, Bentonit, Silika / Pasir Kuarsa, Kalsit / Batu Kapur / Gamping, Felspar; dan Intan); Komoditas Tambang Batuan (Onik, Opal, Giok, Agat, Topas, Perlit, Toseki, Batu sabak, Marmer, Granit, Kalsedon, Rijang, asper, Krisopras, Garnet, dan potensi komoditas tambang batuan lainnya); Rumput Laut; Hutan Milik Desa; dan pengelolaan sampah.
PENGEMBANGAN DESA WISATA MELALUI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA Pengertian pariwisata dikemukakan oleh beberapa para ahli, yaitu Herman V. Schulalard (1910) dalam Yoeti (1996), seorang ahli Ekonomi Bangsa Austria menyatakan “Tourism is the sum of operations, mainly of an economic nature, which directly related to the entry, stay and movement of foreigner inside certain country, city or region” (Kepariwisataan adalah sejumlah kegiatan, terutama yang ada kaitannya dengan kegiatan perekonomian yang secara langsung berhubungan
5
dengan masuknya, adanya pendiaman dan bergeraknya orang-orang asing keluar masuk suatu kota, daerah atau Negara). Sedangkan E. Guyer Freuler (dalam Yoeti, 1996) menyatakan “Pariwisata dalam artian modern adalah merupakan phenomena dari jaman sekarang yang didasarkan atas kebutuhan akan kesehatan dan pergantian hawa, penilaian yang sadar dan menumbuhkan (cinta) terhadap keindahan alam dan pada khususnya disebabkan oleh bertambahnya pergaulan berbagai bangsa dan kelas masyarakat manusia sebagai hasil daripada perkembangan perniagaan, industri, perdagangan serta penyempurnaan daripada alat-alat pengangkutan”. Menurut Prof. Hunzieker dan Prof. K. Krapt (1942) dalam Yoeti (1996):“Tourism is the totally of the relationship and phenomena arising from the travel and stay of strangers (Ortsfremde), provide the stay does not imply the establishment of a permanent resident” (Kepariwisataan adalah keseluruhan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh perjalanan dan pendiaman orang-orang asing serta penyediaan tempat tinggal sementara, asalkan pendiaman itu tidak tinggal menetap dan tidak memperoleh penghasilan dari aktivitas yang bersifat sementara itu). Soekadijo (1997) menyatakan “Pariwisata merupakan gejala yang kompleks dalam masyarakat, didalamnya terdapat hotel, objek wisata, souvenir, pramuwisata, angkutan wisata, biro perjalanan wisata, rumah makan dan banyak lainnya. Disamping itu pula terdapat wisatawan dengan berbagai tingkah lakunya”. Menurut WTO (1999), yang dimaksud dengan pariwisata adalah kegiatan manusia yang melakukan perjalanan ke dan tinggal di daerah tujuan di luar lingkungan kesehariannya. Sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan dijelaskan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara. Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pengembangan pariwisata. Pembangunan kepariwisataan diarahkan untuk mewujudkan prinsip pembangunan sesuai dengan sila kelima Pancasila dan sejalan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang dalam pertimbangannya menyatakan, bahwa pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pemberdayaan masyarakat merupakan alat untuk memastikan pembangunan kepariwisataan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar destinasi pariwisata. Dengan pariwisata, masyarakat diharapkan mendapatkan manfaat yang sebesar-besarnya dari aktivitas pariwisata yang terdapat di daerahnya. Desa wisata merupakan suatu wilayah pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, dilihat dari segi kehidupan sosial dan budayanya, adat-istiadat kesehariannya, arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa, serta mempunyai potensi untuk dikembangkan berbagai komponen kepariwisataan, misalnya atraksi, makanan minuman, cinderamata, dan kebutuhan wisata lainnya. Pengertian desa wisata dikemukakan oleh Inskeep (1999:166) menyebutkan bahwa Village Tourism is where small groups of tourist stay in or near traditional, often remote villages and learn about village life and the local environment (wisata pedesaan dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau dekat dengan suasana
6
tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat). Pengembangan suatu desa wisata harus direncanakan secara hati -hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Pada prinsipnya dalam pengembangan desa wisata yang dilakukan, hendaknya memperhatikan aspek-aspek sebagai berikut: 1) Pengembangan fasilitas-fasilitas wisata dalam skala kecil beserta pelayanan di dalam atau dekat dengan desa. Pengembangan fasilitas skala kecil dari segi permodalam lebih dapat dijangkau oleh masyarakat lokal, demikian juga pelayanan tersedia langsung disediakan di desa tersebut. 2) Fasilitas-fasilitas dan pelayanan tersebut dimiliki dan dikerjakan oleh penduduk desa, salah satu bisa dengan bekerjasama atau dimiliki oleh individu masyarakat desa. 3) Pengembangan desa wisata didasarkan pada salah satu “sifat” budaya tradisional yang dekat dengan alam dengan pengembangan desa sebagai pusat pelayanan bagi wisatawan yang mengunjungi atraksi tersebut. Pariwisata dengan dominasi produk berupa jasa guna memenuhi kebutuhan dan keinginan wisatawan menimbulkan multiflier effect atau aktivitas berantai. Hal tersebut sangat menguntungkan berbagai usaha terkait maupun tidak terkait karena dengan adanya peningkatan permintaan akan suatu produk, akan memicu meningkatkan aktivitas ekonomi, meningkatkan peluang usaha, meningkatkan kewirausahaan, yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Nilai penting pengembangan wisata pedesaan atau desa wisata dalam kerangka pemberdayaan masyarakat, yaitu: 1) Kegiatan pariwisata akan meningkatkan permintaan fasilitas kepariwisataan (akomodasi/penginapan, makanan/minuman, dan sebagainya), sehingga mendorong perlunya pengembangan dan peningkatan fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata tersebut. 2) Kegiatan pariwisata akan meningkatkan tambahan pendapatan bagi usaha ekonomi setempat dan bentuk usaha jasa lainnya (misal seni kerajinan, pertunjukan, penyewaan kendaraan, dan sebagainya) 3) Meningkatkan konsumsi terhadap produk lokal (misal sayuran dan buah-buahan, seni kerajinan, makanan khas, dan sebagainya), sehingga akan mendorong kelangsungan usaha yang berbasis tradisi dan kelokalan. 4) Mendorong pemberdayaan tenaga kerja setempat (misal pemandu wisata, karyawan hotel dan rumah makan, pengrajin, seni pertunjukan, dan sebagainya). 5) Meningkatkan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai tradisi dan budaya lokal serta keunikan lingkungan alam yang dimilikinya. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan pariwisata yang tidak melibatkan masyarakat sering menyebabkan adanya rasa terpinggirkan di antara masyarakat setempat. Akibat lebih jauh adalah adanya konfrontasi antara masyarakat lokal dengan kalangan industri, yang pada akhirnya mengancam keberlanjutan pembangunan pariwisata itu sendiri. Untuk bisa meningkatkan partisipasi masyarakat, maka sangat diperlukan agar program-program pembangunan atau inovasi-inovasi yang dikembangkan mengandung unsur-unsur:
7
1) Memberikan keuntungan secara relatif, terjangkau secara ekonomi dan secara ekonomis dianggap biaya yang dikeluarkan lebih kecil dari hasil yang diperoleh (relative advantage). 2) Unsur-unsur dari inovasi dianggap tidak bertentangan dengan nilai -nilai dan kepercayaan setempat (compatibility). 3) Gagasan dan praktek baru yang dikomunikasikan dapat dengan mudah dipahami dan dipraktekkan (complexity and practicability). 4) Unsur inovasi tersebut mudah diobservasi hasilnya lewat demontrasi atau praktek peragaan (observability). Partisipasi masyarakat merupakan suatu keharusan di dalam setiap pembangunan, agar pembangunan tersebut dapat berkelanjutan. Hal ini khususnya benar pada pembangunan yang multidimensi. Woodly (dalam Pitana, 2006) menyatakan bahwa “Local people participation is a prerequisite for sustainable tourism”. Dalam konsep pemberdayaan terdapat tiga komponen yang harus ada, yaitu: 1) Enabling setting, yaitu memperkuat situasi kondisi ditingkat lokal menjadi baik, sehingga masyarakat lokal bisa berkreativitas. 2) Empowering local community, artinya setelah local setting tersebut disiapkan, masyarakat lokal harus ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya, sehingga mampu memanfatkan setting dengan baik. Hal ini antara lain dilakukan dengan melalui pendidikan, pelatihan, dan berbagai bentuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) lainnya. 3) Socio-political support, yaitu diperlukan adanya dukungan sosial, dukungan politik, networking, dan sebagainya. Meskipun mengakui bahwa terdapat hal positif pada pembangunan skala besar, dan ada juga beberapa kelemahan dalam pembangunan skala kecil. Namun banyak ahli yang menyarankan agar pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata skala kecil. Karena hanya pada skala kecil partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan. Korten (1987) mengatakan bahwa pendekatan teknokratik-sentralistik cenderung melupakan konsep dasar pembangunan, yaitu sebagai usaha meningkatkan kualitas hidup manusia, dan lebih sering merugikan masyarakat lokal. Masyarakat lokal sering mengalami marginalisasi yang mengakibatkan kualitas hidupnya justru menurun setelah adanya pembangunan. Atas dasar itulah Korten (1987 dalam Pitana, 1999) dan beberapa ahli lain menekankan pentingnya membalik paradigma yang sentralistik menjadi pembangunan yang mulai dari bawah (bottom-up planning). Pembangunan sebagai "social learning" dan pembangunan harus dari belakang (putting the last first). Pariwisata kerakyatan (community based tourism) merupakan konsep pariwisata alternatif sebagai antisipasi terhadap pariwisata konvensional. Pariwisata alternatif (alternative tourism) mempunyai pengertian ganda, disatu sisi dianggap sebagai salah satu bentuk kepariwisataan yang ditimbulkan sebagai reaksi terhadap dampak-dampak negatif dari pengembangan dan perkembangan pariwisata konvensional. Di sisi lain, dianggap sebagai bentuk kepariwisataan yang berbeda (yang merupakan alternatif) dari pariwisata konvensional untuk menunjang kelestarian lingkungan (Kodyat,1997). Pariwisata alternatif memiliki karakteristik, yaitu: berskala kecil, perkembangannya lambat dan terkontrol, perkembangannya dikontrol oleh masyarakat lokal, meminimalkan dampak negatif, dan tidak merusak lingkungan.
8
Pariwisata alternatif terkait dengan pembangunan berkelanjutan yang mencakup usaha untuk mempertahankan integritas dan diversifikasi ekologis, memenuhi kebutuhan dasar manusia, terbukanya pilihan bagi generasi yang akan datang, pengurangan ketidakadilan, dan peningkatan penentuan nasib sendiri bagi masyarakat setempat. Dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya mempertemukan kebutuhan masyarakat generasi yang akan datang. Dalam kaitannya dengan pariwisata, maka istilah pembangunan pariwisata berkelanjutan sering dikaitkan dengan pariwisata alternatif. Konsep pariwisata kerakyatan telah diaplikasikan dalam bentuk desa wisata di Bali, seperti; Desa Wisata Sebatu, Jatiluwih, dan Penglipuran sebagai proyek percontohan. Kemudian dilanjutkan dengan penelitian awal terhadap desa-desa di Bali lainnya yang mempunyai keunikan untuk dijadikan Desa Wisata. Di masing-masing desa yang diteliti menunjukan keanekaragaman potensi, sehingga akan terlihat bentuk Desa Wisata dengan basis yang berbeda dan bervariasi. Solusi lain untuk merealisasikan konsep pariwisata kerakyatan adalah dengan merencanakan wisata pedesaan, artinya desa-desa yang potensial dipromosikan untuk kunjungan wisata dengan berbagai aktivitas keasliannya. Dengan demikian masyarakat akan merasakan pemerataan hasil dari pariwisata dan akan dapat menggugah masyarakat untuk membuka usaha pariwisata, sehingga pendapatan meningkat dan berkurangnya kecemburuan sosial dalam masyarakat. Sebaliknya, pariwisata kerakyatan justru ingin menyeimbangkan (harmonis) antara sumberdaya, masyarakat, dan wisatawan. Dalam hal ini masyarakat lokal sebagai pelaku utama (actor) pembangunan pariwisata kerakyatan, karena yang paling tahu potensi wilayahnya atau karakter dan kemampun unsur-unsur yang ada dalam desa termasuk indigenous knowledge yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga pembangunan yang akan direncanakan sesuai keinginan masyarakat lokal: dari, oleh, dan untuk rakyat. Tolak ukur pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan adalah terciptanya hubungan yang harmonis antara masyarakat lokal, sumber daya alam/budaya, dan wisatawan. Hal ini dapat dilihat dari (Natori, 2001): 1) Adanya peningkatan antusiasme pembangunan masyarakat melalui pembentukan suatu wadah organisasi untuk menampung segala aspirasi masyarakat, melalui sistem kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat lokal. 2) Adanya keberlanjutan lingkungan fisik yang ada di masyarakat, caranya adalah melalui konservasi, promosi dan menciptakan tujuan hidup yang harmonis antara Sumber Daya Alam, Sumber Daya Budaya, dan Sumber Daya Manusia. Penemuan kembali potensi Sumber Daya Alam, dan Sumber Daya Budaya. 3) Adanya keberlanjutan ekonomi melalui pemerataan dan keadilan dalam menikmati hasilhasil pembangunan. 4) Membangun sistem yang menguntungkan masyarakat, seperti sistem informasi yang dapat digunakan bersama-sama. 5) Menjaga kepuasan wisatawan melalui pelayanan yang lebih baik, pengadaan informasi yang efektif, efisien, tepat guna serta mengutamakan kenyamanan bagi wisatawan. Kemudian hubungan antara komponen pembangunan pariwisata berbasis kerakyatan seperti tersebut di atas digambarkan pada Gambar 1.
9
Gambar 1. Pembangunan Pariwisata Berbasis Kerakyatan
Sumber Daya
Masyarakat Lokal
Wisatawan
Sumber: Natori, 2001. Bentuk-bentuk pengembangan pariwisata kerakyatan dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu: (1) swadaya (sepenuhnya dari masyarakat); (2) Kemitraan (melalui pengusaha besar/kecil atau sistem bapak angkat); dan (3) pendampingan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau pihak perguruan tinggi selama masyarakat dianggap belum mampu untuk mandiri, namun apabila mereka sudah dianggap mampu mandiri, maka secara pelan-pelan ditinggalkan oleh pendamping (Depbudpar, 2000 dalam Ardika, 2003). Untuk mencapai pariwisata kerakyatan yang berkelanjutan dilakukan dengan berbagai pendekatan sistem yang utuh dan terpadu, bersifat interdisipliner, participctory, dan holistik antara komponen terkait. Menurut Dirjen Pembangunan Desa, wilayah pedesaan memiliki ciriciri; (1) perbandingan tanah dan manusia (man land ratio) yang besar; (2) lapangan kerja agraris; (3) hubungan penduduk yang akrab; dan (4) sifat yang menurut tradisi (tradisional). Akar budaya desa ditunjukkan oleh adanya ciri-ciri kebersamaan, kekeluargaan, dan kegotong-royongan, sehingga pengembangan pedesaan sebagai daya tarik wisata biasanya menggunakan sumber daya yang ada, seperti lahan, budaya, masyarakat dan alam. Pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang dikelola mengacu pertumbuhan kualitatif maksudnya adalah meningkatan kesejahtraan, perekonomian, dan kesehatan masyarakat. Peningkatan kualitas hidup dapat dicapai dengan meminimalkan dampak negatif Sumber Daya Alam yang tidak dapat diperbaharui. Oleh karena itu, ada lima hal yang harus diperhatikan yaitu; (1) pertumbuhan ekonomi yang sehat; (2) kesejaheraan masyarakat lokal; (3) tidak merubah struktur alam, dan melindungi sumber daya alam; (4) kebudayaan masyarakat yang tumbuh secara sehat; (5) memaksimalkan kepuasan wisatawan dengan memberikan pelayanan yang baik karena wisatawan ekowisata pada umumnya mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan. PARIWISATA HIJAU SEBAGAI ALTERNATIF PENGEMBANGAN DESA WISATA Pada awalnya pariwisata dipandang dan dipuji sebagai industri bebas polusi. Berbeda halnya dengan industri manufaktur, pertambangan, pengolahan kayu, garmen, dan lainnya yang cenderung menimbulkan polusi. Sejak tahun 70-an, anggapan itu mulai diragukan karena
10
pariwisata dengan berbagai aktivitas ikutannya mempunyai dampak negatif yang sangat besar terhadap lingkungan fisik, tinggalan arkeologi, kebudayaan, baik yang tangible maupun intangible. Meskipun demikian, Pembangunan Nasional tetap mengarahkan pariwisata sebagai sektor andalan yang mampu menggerakkan kegiatan ekonomi, termasuk kegiatan sektor lainnya yang terkait, sehingga mampu memperluas lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, pendapatan daerah, serta pendapatan negara, dan penerimaan devisa. Bentuk pariwisata yang selama ini dikenal adalah pariwisata modern yang dipelopori oleh Thomas Cook yang sudah berlangsung kurang lebih satu setengah abad, sering juga disebut pariwisata konvensional atau pariwisata massal, karena perjalanan wisata dilakukan dalam jumlah besar melalui Tour Operator. Dampak positif dari pariwisata massal ini memang besar, terutama di bidang ekonomi, namun dampak negatifnya juga sangat banyak, terutama terhadap kerusakan lingkungan dan degradasi sosial budaya. Untuk mengantipasi dampak negatifnya, maka dicetuskanlah model pariwisata alternatif yaitu "Alternative tourism is a process which promotes a just form, of travel between members of different communities. It seeks to achieve mutual understanding, solidarity and equality among participants" (Kodyat,1997). Salah satu bentuk pariwisata alternatif adalah ecotourism yang sering diidentikkan dengan nature tourism. Ekowisata (ecotourism) atau wisata ekologis adalah jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan yang berkaitan erat dengan prinsip konservasi. Maksudnya, melalui aktivitas yang berkaitan dengan alam, wisatawan diajak melihat alam dari dekat, menikmati keaslian alam dan lingkungannya, sehingga membuat mereka tergugah untuk mencintai alam. Semuanya itu sering disebut dengan istilah Back to Nature. Berbeda dengan pariwisata masal, dalam penyelenggaraan ekowisata tidak menuntut tersedianya fasilitas akomodasi yang modern yang dilengkapi peralatan yang serba mewah atau bangunan artifisial yang berlebihan. Ekowisata mempunyai pengertian suatu perjalanan wisata ke daerah yang masih alami. Meskipun perjalanan ini bersifat berpetualang, namun wisatawan dapat menikmatinya. Ekowisata selalu menjaga kualitas, keutuhan dan kelestarian alam, serta budaya dengan menjamin keberpihakan kepada masyarakat. Pada hakekatnya ekowisata yang melestarikan dan memanfaatkan alam dan budaya masyarakat, jauh lebih ketat dibanding dengan hanya keberlanjutan. Pembangunan ekowisata berwawasan lingkungan jauh lebih terjamin hasilnya dalam melestarikan alam dibandingkan dengan hanya keberlanjutan pembangunan. Sebab ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik, dan psikologis wisatawan. Bahkan dalam berbagai aspek ekowisata merupakan bentuk wisata yang mengarah ke metatourism. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual filosofi. Aspek ekowisata tidak akan mengenal kejenuhan pasar. Apabila seluruh prisip dilaksanakan, maka ekowisata menjamin pembangunan yang ecological friendly dari pembangunan berbasis kerakyatan (commnnity based). Definisi ecotourism pertama kali diperkenalkan oleh Hector Ceballos dan Lascurain (1987) dan kemudian disempurnakan oleh The Ecotourism Society (1993) dengan mendefinisikan ecotourism sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Ecotourism sesungguhnya adalah suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan lingkungan, ekonomi, dan sosial. The Ecotourism Society (Wood, 1999) menyebutkan ada delapan prinsip dalam ecotourism, yaitu:
11
1. Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap alam dan budaya, pencegahan dan penanggulangan disesuaikan dengan sifat dan karakter alam dan budaya setempat. 2. Pendidikan konservasi lingkungan. Mendidik wisatawan dan masyarakat setempat akan pentingnya arti konservasi. Proses pendidikan ini dapat dilakukan langsung di alam. 3. Pendapatan langsung untuk kawasan. Mengatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan manajemen pengelola kawasan pelestarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan. Retribusi dan conservation tax dapat dipergunakan secara langsung untuk membina, melestarikan dan meningkatkan kualitas kawasan pelestarian alam. 4. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan. Masyarakat diajak dalam merencanakan pengembangan ekowisata. Demikian pula di dalam pengawasan, peran masyarakat diharapkan ikut secara aktif 5. Penghasilan masyarakat. Keuntungan secara nyata terhadap ekonomi masyarakat dari kegiatan ekowisata mendorong masyarakat menjaga kelestarian kawasan alam. 6. Menjaga keharmonisan dengan alam. Semua upaya pengembangan termasuk pengembangan fasilitas dan utilitas harus tetap menjaga keharmonisan dengan alam. Apabila ada upaya disharmonize dengan alam akan merusak produk wisata ekologis ini. Hindarkan sejauh mungkin penggunaan minyak, mengkonservasi flora dan fauna serta menjaga keaslian budaya masyarakat. 7. Daya dukung lingkungan. Pada umumnya lingkungan alam mempunyai daya dukung yang lebih rendah dengan daya dukung kawasan buatan. Meskipun mungkin permintaan sangat banyak, tetapi daya dukunglah yang membatasi. 8. Peluang penghasilan pada porsi yang besar terhadap negara. Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata, maka devisa dan belanja wisatawan didorong sebesar-besarnya dinikmati oleh negara atau negara bagian atau pemerintah daerah setempat. Pada dasarnya, ekowisata dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam dan lingkungan, memelihara keaslian seni dan budaya, adat-istiadat, kebiasaan hidup (the way of life), menciptakan ketenangan, kesunyian, memelihara flora dan fauna serta terpeliharanya lingkungan hidup sehingga tercipta keseimbangan antara kehidupan manusia dengan alam sekitarnya. Dalam ekowisata ada empat unsur penting, yaitu unsur pro-aktif (keterlibatan wisatawan), kepedulian terhadap pelestarian lingkungan hidup, keterlibatan penduduk lokal dan unsur pendidikan. Sedangkan kebijakan tentang pengembangan ekowisata dapat dilihat dari ruang kepentingan nasional yang telah dituangkan ke dalam beberapa peraturan perundangundangan salah satunya adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di Zona Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Alam. Pariwisata hijau (green tourism) merupakan salah satu bentuk ekowisata yang menitikberatkan pada wisata yang berkelanjutan atau artinya tidak mengakibatkan kerusakan di lokasi wisata dan cagar budaya yang sedang dikunjungi (ramah lingkungan). Beberapa aktivitas yang dilakukan diantaranya adalah kegiatan hiking (gerak jalan dan mendaki), trekking, birding atau birdwatching (pengamatan burung), snorkeling, dan diving. UNWTO menyatakan “Green Tourism is environmentally sustainable travel to destinations where the flora, fauna, and cultural heritage are the primary attractions and where environmental impacts are minimized” (pariwisata hijau adalah perjalanan pada destinasi dengan lingkungan berkelanjutan dimana
12
flora, fauna dan warisan budaya merupakan atraksi utama dan adanya dampak lingkungan yang minimal). Dikemukakan juga “Green tourism refers to tourism activities that can be maintained or sustained, indefinitely in their social, economic, cultural and environmental contexts: sustainable tourism …“ (pariwisata hijau berkenaan pada aktivitas pariwisata yang dapat menjaga dan meneruskan, menyangkut konteks sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan). Perbedaan mendasar antara pariwisata konvensional (mass tourism) dengan pariwisata hijau (green tourism) antara lain dapat dilihat pada tabel berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Mass Tourism Uncontrolled Unplanned Short-term Price-conscious Growth-oriented Large groups of tourists Imported lifestyles Build to peak capacity Loss of the historic
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Green Tourism Controlled Planned Long-term Value-conscious Managed, controlled development Moderate to small tourist groups Local lifestyles More moderate development plans Preserve the historic
Pariwisata konvensional (mass tourism) memiliki kecenderungan sulit untuk dikendalikan pertumbuhannya, tidak memiliki perencanaan dan cenderung tumbuh sporadis. Dengan adanya jumlah wisatawan yang banyak datang berkunjung, wisatawan dapat mempengaruhi budaya lokal untuk ikut budaya wisatawan. Masyarakat kemudian berperilaku seperti perilaku turis di daerahnya sendiri. Karakteristik wisatawan yang datang cenderung kurang tertarik dengan sejarah dan kurang tertarik untuk mendalami budaya lokal. Berbeda dengan pengembangan pariwisata hijau (green tourism) yang dalam pengembangan skala kecil, sehingga dampakdampak yang ditimbulkan dapat dikendalikan dan terencana. Karakteristik wisatawan yang lebih banyak berkunjung secara individu maupun kelompok kecil dan konsen dengan kecintaan budaya lokal, apresiasi terhadap kearifan lokal, konservasi lingkungan. Pariwisata hijau (green tourism) merupakan istilah yang dipergunakan untuk praktek pariwisata berkelanjutan yang secara substantif di dalamnya tercakup berkelanjutan secara lingkungan, ekonomi, dan sosial budaya (Azam dan Sarker, 2011). Lebih lanjut menurut Ringbeck et al (2010) menyatakan pariwisata hijau haruslah menerapkan empat pilar, yaitu: 1) 2) 3) 4)
Mengurangi emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan kepariwisataan yang dilakukan. Konservasi keanekaragaman hayati. Manajemen pengelolaan sampah dan limbah yang baik. Menjaga ketersediaan secara berkelanjutan sumber daya air.
Pada prinsipnya keempat pilar pariwisata hijau tersebut dapat diimplementasikan jika di dukung oleh faktor-faktor: regulasi dan tata kelola yang baik, partisipasi semua pemangku kepentingan, ketersediaan modal dan pembiayaan, pengembangan kapasitas dan pendidikan, pemasaran dan hubungan masyarakat yang baik. Selain itu, mengacu pada kriteria yang disampaikan oleh Green Tourism Bussiness Scheme, skema sertifikasi pariwisata terkemuka berkelanjutan di Inggris, yaitu menyangkut:
13
1) Wajib artinya sesuai dengan undang-undang lingkungan dan komitmen untuk perbaikan terus-menerus dalam kinerja lingkungan. 2) Manajemen dan Pemasaran artinya menunjukkan pengelolaan lingkungan yang baik, termasuk kesadaran staf, pelatihan spesialis, pemantauan, dan pencatatan. 3) Keterlibatan sosial dan komunikasi tindakan lingkungan kepada pelanggan melalui berbagai tindakan. Misalnya kebijakan hijau, promosi usaha lingkungan di website, pendidikan, dan masyarakat dan proyek-proyek sosial. 4) Energi artinya adanya efisiensi pencahayaan, pemanasan dan alat, isolasi dan penggunaan energi terbarukan. 5) Efisiensi air, misalnya pemeliharaan yang baik, pemakaian peralatan yang efisiensi, pemanfaatan air hujan, serta menggunakan pembersih eco labeling. 6) Pembelian barang dan jasa yang ramah lingkungan. Misalnya produk yang terbuat dari bahan daur ulang, penggunaan dan promosi makanan dan minuman lokal. 7) Meminimalisasi limbah artinya mengurangi dan mendaur ulang. 8) Transportasi umum yang bertujuan untuk meminimalkan pengunjung penggunaan mobil pribadi dengan mempromosikan layanan transportasi umum lokal dan nasional, menyediakan penyewaan, berjalan lokal dan bersepeda, dan penggunaan bahan bakar alternatif. 9) Alam dan warisan budaya yang bertujuan untuk meningkatkan keanekaragaman hayati. 10) Inovasi artinya tindakan praktik yang baik dan terbaik untuk meningkatkan keberlanjutan bisnis. REFLEKSI Dengan adanya Undang-Undang Desa sebaiknya dijadikan momentum awal untuk menata dan menggali potensi desa, serta merencanakan pembangunan yang ideal pada masing-masing desa di Indonesia. Dalam pengembangan desa wisata tentu masing-masing desa harus memiliki ciri khas potensi kepariwisataan yang unik yang membedakan satu desa dengan desa lainnya, sehingga produk wisata yang dihasilkan tidak untuk saling menyaingi, namun melengkapi. Pariwisata hijau sebagai salah bagian dari ekowisata, pariwisata alternatif, dalam pengembangannya tentu memberikan warna yang berbeda dibandingkan pengembangan jenis pariwisata lainnya. Pengembangan pariwisata hijau harus mempertimbangkan pengembangan produk wisata yang memiliki nilai ekologi yang tinggi dengan pangsa pasar special interest yang memiliki tingkat kesadaran dan loyalitas yang tinggi. Demikian juga penggunaan produk dalam pariwisata hijau mengarah pada produk ramah lingkungan serta dalam waktu bersamaan dilakukan efisiensi pemanfaatan sumber daya dan energi terbarukan. Dalam pengembangan pariwisata hijau tentu terdapat prinsip-prinsip yang harus ada dan diupayakan secara terus-menerus. Tujuan-tujuan wisata yang dijadikan daya tarik wisata harus ke tempat yang alami dan memiliki fokus konservasi lingkungan. Arah pengembangan pariwisata dengan konsep pariwisata hijau harus memiliki perencanaan yang holistik dengan memperhatikan berbagai aspek. Tujuan dari pengembangan seperti itu dilakukan untuk dapat meminimalisir dampak negatif dengan dilakukannya pengembangan pariwisata pada suatu daerah. Pembangunan sarana kepariwisataan pada suatu kawasan wisata dengan konsep pariwisata hijau dengan membangun kesadaran lingkungan yang tinggi, tidak hanya dilakukan oleh masyarakat lokal selaku tuan rumah (host), tapi juga oleh wisatawan yang berkunjung (guest). Kesadaran lingkungan akan menjamin kelestarian dan keberlanjutan lingkungan untuk
14
masa yang akan datang. Idealnya suatu pembangunan pariwisata adalah bermanfaat sebesar-besarnya demi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan dan kearifan lokal yang ada dan berkembang menjadi daya tarik wisata sepatutnya mendapatkan manfaat dengan keberadaan dan berkembangnya pariwisata di daerahnya. Manfaat ekonomi yang dapat dikembangkan dengan konsep pariwisata hijau tidak hanya sekedar menyediakan pekerjaan untuk masyarakat lokal, namun lebih dari itu masyarakat dibentuk pola pikirnya dan diberdayakan dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan hingga evaluasi. Manfaat ekonomi dialokasikan dengan meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mandiri, berdaya dan berhasil guna. Masyarakat lokal juga diharapkan kreatif dalam menggali potensi dan kearifan lokal yang ada di daerahnya, sehingga muncul ciri khas yang mampu membedakan satu desa wisata dengan desa wisata lainnya. Manfaat ekonomi lainnya adalah adanya dana yang mampu dihasilkan ataupun disisihkan pada aktivitas pariwisata untuk konservasi. Pengembangan pariwisata hijau diharapkan masyarakat menghargai dan mencintai budaya yang dimilikinya, demikian juga dengan wisatawan yang datang berkunjung untuk mampu menghormati budaya lokal masyarakat. Segala dampak yang ditimbulkan dari pariwisata, dengan konsep pariwisata hijau diharapkan mampu mengolah dampak negatif, baik dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, maupun lingkungan. Sebagai contoh pengelolaan sampah yang ditimbulkan dari aktivitas pariwisata harus dapat dikelola dengan baik, sehingga tidak merusak lingkungan. Pengembangan pariwisata hijau diharapkan menjadi solusi terbaik untuk terjaganya sumber daya yang digunakan agar tetap berkelanjutan, seperti sumber daya air, sumber daya alam, maupun sumber daya budaya. Konsep pariwisata hijau juga harus mampu menjadi solusi konservasi lingkungan pada suatu destinasi wisata. DAFTAR PUSTAKA Anonim. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. _______. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengelolaan Alam di Zona Pemanfaatan Kawasan Pelestarian Alam. _______. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. _______. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa. _______. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan. _______. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Ardika, I Wayan. 2003. Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Refleksi dan Harapan di Tengah Perkembangan Global. Denpasar: Universitas Udayana. Azam, Mehdi dan Tapan Sarker. 2011. Green Tourism in The Context of Climate Change Towards Sustainable Economic Development in The South Asian Region. Journal of Enviromental Management and Tourism. Vol 2(3), pp.6-15. Biro Pusat Statistik (BPS). 2004. Produk Domestik Regional Bruto Propinsi Bali Tahun 19992003. Biro Pusat Statistik Propinsi Bali. Cooper, Chris and Stephen Jackson. 1997. Destination Life Cycle: The Isle of Man Case Study. Dalam the Earthscan Reader in Sustainable Tourism. United Kingdom: Earthscan Publications Limited. Wood, Megan Epler. 1999. Ecotourism, Principles, Practises and Policies for Sustainability. UNEO and TIES Publication.
15
Inskeep, Edward. 1991. Tourism Plannning “An Integrated and Sustainable Development Approach”. New York: Van Nostrand Reinhold. Kodyat, H. 1997. “Hakekat dan Perkembangan Wisata Alternatif”. Dalam Prosiding Pelatihan dan Lokakarya Perencanaan Pariwisata Berkelanjutan, ed. Myra P. Gunawan. Bandung: Penerbit ITB. Korten, David. 1987. Community Management. New Delhi: Kumarian Press. Natori, Nasahiko (ed). 2001. A Guide Book for Tourism Based Community Development. Publisher APTE. Pitana, I Gde. 1999. Pelangi Pariwisata Bali. Denpasar: Bali Post. -----------------. 2006. Kepariwisataan Bali Dalam Wacana Otonomi Daerah. Jakarta: Puslitbang Kepariwisataan. Ringbeck, Jurgen, Amira El-Adawi, and Amit Gautam. 2010. Green Tourism: a Road Map for Transformation. Booz & Company. Soekadijo, R.G. 1997. Anatomi Pariwisata (Memahami Pariwisata Sebagai Systemic Linkage). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Yoeti, Oka A. 1996. Pengantar Pariwisata. Edisi Revisi. Bandung: Angkasa.