BEDAH BUKU
PANGGUNG BELAKANG DUNIA KAUM PELACUR: Spritualisme Yang Mendua Widi Muryono*)
Judul Buku
: Agama Pelacur, Dramaturgi Transendental Penulis : Prof. Dr. Nur Syam, M.Si Pengantar : Prof. Dr. HM. Ridwan Nasir, M.A Tahun Terbit : Oktober 2010 Penerbit : LkiS bekerja sama dengan IAIN Sunan Ampel Press Jumlah Halaman : 199 + xvii
Profesi pelacur merupakan profesi yang penuh dengan stigma negatif dan identik dengan konstruksi sosial yang buruk serta seringkali dikategorisasi sebagai sampah masyarakat. Pelacur kental dengan penistaan, bahkan teror kultural dan struktural. Ragam “tuduhan” menghakimi pelaku profesi ini, dari struktur norma sosial hingga dogma agama, menghujatnya. Bagi agama, pelacur adalah identik dengan hitam, dosa dan neraka. Dunia pelacuran dibaca dengan cara hitam-putih, haram-halal, dosa-pahala, dan pelacur adalah termasuk yang paling hina dari kategorisasi pertama, hitam, haram dan dosa. Sementara bagi norma sosial, pelacur dikategorisasikan sebagai perilaku menyimpang, instabilitas sosial, dan boleh jadi merupakan konstruksi realitas sosial terburuk jika dijajarkan dengan problem sosial lain semisal korupsi, pelacur tetap lebih buruk. Membaca pelacur dalam perspektif dogmatis sebagai “pembangkang” kehendak Tuhan, adalah benar. Tidak ada agama manapun yang menghendaki umatnya terjerembab dalam belenggu pelacuran. Islam menghadiahkan dosa dan ancaman yang begitu ngeri dan seperti tidak ada bandingannya. )
Penulis adalah mahasiswa STAIN Kudus.
PANGGUNG BELAKANG DUNIA KAUM PELACUR (Widi Muryono)
Sama halnya, manusia dalam konstruk budaya, ekonomi, politik, tidak menghendaki pelacuran sebagai bagian dari realitas sosial. Ingatan kolektif tentang norma dan dogma agama sangat membantu dan bahkan memaksa masyarakat untuk menentukan sikap kolektif pada praktik prostitusi. Namun, kesadaran masyarakat tentang profesi ini, belum merupakan kesadaran yang tulus dan bersungguh-sungguh. Pelacur sebagai profesi sebenarnya menjadi perwajahan sesungguhnya atas kegagalan pergulatan politik, ekonomi, budaya dan moral di dalam masyarakat. Kegagalan menyemai pendidikan karakter, atau kelangkaan lapangan pekerjaan yang terus mengundang pengangguran. .Pelacur adalah orang-orang yang terisisih dari pergulatan kuasa—ekonomi, politik, budaya bahkan agama—sehingga mengalami kemalangan nasib, dalam bahasa kaum agamawan, kesesatan. Mereka termarginalkan, setelah gagal merayakan kehidupan yang mapan dalam lindungan sistim politik, ekonomi bahkan dominasi dogma agama. Kegagalan membangun kemapanan ekonomi karena sengkarutnya sistim ketenagakerjaan, kegagalan mendapatkan pencerahan karena eksklusivitas elit dan kelompok beragama, membuat mereka tersudut dari ruang kreatifnya, yang seharusnya menuntunnya menjadi tenaga kerja kreatifproduktif, berpenghasilan layak, menjadi umat religius yang merayakan keberagamaan dan menjadi bagian dari komunitas sosial yang terus dapat menikmati romantisme kohesi sosial. Para pelacur itu gagal—lebih tepatnya dibiarkan gagal—dan tidak berkesempatan menjadi bagian dari ruang sosio-religiusnya. Artinya, para pelacur adalah korban atas kegagalan konstruksi politik yang belum mampu mengejawentahkan pesan holistik pancasila, dari sila ketuhanan hingga keadilan sosial yang sakral itu. Menjadi pelacur adalah bukan pilihan. Ia justru mimpi terburuk yang, alam sadar politik-ekonomi kita, memaksa tragedi ini muncul dan terus mewabah. Hampir keseluruhan kajian tentang pelacuran menunjukkan bahwa kecnederungan menjadi pelacur adalah “pilihan” terakhir yang disertai keterpaksaan, selebihnya penyesalan. Bahkan, tidak menutup kemungkinan, sebagian besar dari pelaku itu adalah korban yang secara tidak sadar karena dijebak, dipaksa, oleh kekuatan tertentu, sementar mereka tidak memiliki keberdayaan untuk keluar dari lembah hitam itu, karena hampir tidak ada “kekuatan” yang bersungguh-
135
136
PALASTRèN: Vol. 4, No. 1, Juni 2011
sungguh membantunya menemukan jalan keluar. Komunitas religius sibuk menciptakan doktrin dan menghujamkan stigma, aparat negara riuh menggelar operasi secara berkala, sementara pemangku kebijakan riuh berdebat menerbitkan undangundangnya.
Pelacur dalam Kekalahan Cara Pandang Dunia prlacuran menghadirkan dualisme cara pandang masyarakat. Di satu sisi, mereka yang, sengaja atau terpaksa, terlibat dalam kelam dunia ini dihujat dan dibuat “tereksklusi” dari pergumulan masyarakat secara politik, budaya, bahkan spiritual. Di sisi lain, selalu ada pihak yang mengakui keberadaannya secara potensial. Ada saja mereka yang merindukan kehadiran pelacur sebagai sasaran untuk menikmatinya, selebihnya, selalu ada kekuatan politik yang menghendakinya tetap survive untuk suksesi ambisi kapitalisme, persekongkolan pemilik modal dan pemegang tampuk kuasa. Keberadaan rumah bordil kelas “bintang lima” yang terus ramai pengunjung menjadi bukti. Ini menandakan, ada “restu” tersembunyi, untuk tetap membuat praktik pelacuran itu menjadi bagian dari “multikulturalisme”. Di tengah riuh dualisme cara pandang dan sikap itu, muncul cara pandang kritis-progresif-emansipatoris, membaca pelacuran secara jernih, menyibak sisa-sisa religiusitas para pelacur yang terbungkam, Prof Nur Syam menyumbangkan cara pandang baru untuk membangun sikap arif terhadap pelacur. Kegelisahannya atas “penerimaan” masyarakat terhadap eksistensi pelacur, terutama komunitas religius, yang cenderung dogmatis, menghadirkan fakta baru, tentang spiritualitas yang juga menjadi mimpi para pelacur itu, sama besar seperti mimpi masyarakat religius tentang surga, pahala dan restu Tuhan. Ketelatenan dan jerih penelitiannya itu tersaji dalam bukunya “Agama Pelacur, Dramaturgi Transendental” dimana ia menemukan sisa-sisa spiritualitas pelacur yang dibeberkannya dalam buku setebal 199+xvii ini.
Konstruksi Eksistensial Dunia Pelacur Awal bincangan buku ini mengajak pembaca untuk memetik kesadaran kritis, bagaimana pelacuran adalah bukan
PANGGUNG BELAKANG DUNIA KAUM PELACUR (Widi Muryono)
merupakan realitas yang “tiba-tiba”. Pelacuran adalah buah pergulatan politik, ekonomi dan budaya yang timpang. Pertama, secara politik, ada kehendak terselubung yang seperti ingin membuat pelacuran tetap menjadi warna dari dinamika dan ketimpangan sosial. Kebungkaman hasrat politik membuat pelacuran terus tumbuh dan membesar, mencari korban baru dan terus menodai martabat para pelaku yang sebenarnya tidak pernah bermimpi jadi pelacur. Gairah politik kita baru sampai pada keberanian untuk terus mencoba bermain “kucingkucingan”, mengerahkan aparat di tempat-tempat remang, menggelandang pelacur jalanan yang tidak seberapa populasinya. Perlakuan aparat yang mengatasnamakan penertiban pelacur tidak lebih dari upaya yang bercanda, kamuflase dan cenderung menampilkan perilaku destruktif yang kian memarginalkan kaum pelacur. Sementara, lokalisasi kelas kakap dibiarkan tetap beroperasi, bahkan kalau perlu mendapat perlindungan aparat. Kegagalan penegak hukum tersebut, membuat leluasa pemilik modal penyedia jasa wisata seksual itu lebih memiliki “taring”. Trafficking (kejahatan perdagangan manusia) yang dipandang sebagai extraordinary crime masih saja terjadi, baik di dalam negeri maupun antar negara. Ini menunjukkan sengkarutnya sistim ketenagakerjaan dan kependudukan. Lalu lintas perdagangan perempuan dari dan ke Indonesia, menunjukkan kelengahan para aparatur publik di Indonesia. Kasus ini sama atau bahkan lebih buruk kasus penganiayaan TKI yang menikam itu. Kedua, secara ekonomi, para pelacur itu adalah kaum yang “tereklusi” dari jaminan kehidupan layak yang diamanatkan pancasila, dianaktirikan. Tidak tersedianya lapangan pekerjaan secara merata, distribusi kekuasaan yang tidak adil dan terarah, melahirkan kemiskinan yang terus menikam. Desakan kebutuhan yang tidak berbanding lurus dengan ketersediaan lapangan kerja, membuat pilihan-pilihan konyol selalu muncul, di antaranya adalah menjual harga diri. Pertimbangan moral bahkan spiritual sekalipun, tidak cukup kuat membendung keputusasaan mereka, yang memang telah tersisih dari ruang kemapanan yang seharusnya dijamin negaranya. Menjadi pelacur, pilihan yang sedemikian menakutkan, hitam dan nista, seakan-akan menjadi biasa, putih dan bukan merupakan persoalan. Ini karena mereka terpaksa, atau lebih tepatnya dipaksa oleh situasi. Dengan menjadi pramunikmat, perempuan yang tersingkir dari perayaan ekonomi ini dapat meraup sesuap
137
138
PALASTRèN: Vol. 4, No. 1, Juni 2011
nasi, untuk dirinya dan untuk semua anggota keluarga yang menjadi tanggungannya. Prof. Nur Syam memberikan deskripsi secara detil, bagaimana para pelacur itu berjuang mendapatkan peser demi peser rupiah dari tubuhnya. Kalkulasi pendapatan tiap pelacur di lokalisasi Dolly, Moroseneng dan Wonokromo, yang menjadi informannya, bahkan ia paparkan dengan rinci. Deskripsi data pendapatan yang dipaparkan itu selain merupakan data yang unik, juga memberikan tafsir reflektif-spekulatif, bahwa penghasilan dari menjual diri lebih menjanjikan, bahkan jauh lebih layak dari standar Upah Minimum Regional (UMR) kebanyakan daerah. Ketiga, kecenderungan budaya yang secara tidak langsung mewariskan tradisi pelacuran sebagai bagian dari dinamika sosial. Sekadar memberikan bandingan, bagaimana buku ini jauh menerawang praktik “selir” dalam tradisi rajaraja kuno. Selir, meski melalui aspek legal-formal dalam adat lokal dan tradisi agama, namun pesan yang timbul lebih merupakan sebuah realitas sosio-historis yang mentradisikan keserakahan hasrat seksual. Sedikit atau banyak, rekam sejarah ini memberikan dampak psikososial pada cara pandang seksual masyarakat kekinian. Ini yang kemudian menyita banyak energi dan ruang perdebatan ihwal poligami. Barangkali setali tiga uang pula dengan semangat Islam yang berkehendak kuat untuk menghapuskan sistim perbudakan, yang di dalamnya berkelindan praktik prostitusi (terlepas dari dominasi dogma fikih yang membenarkan “pemilikan” sepenuhnya atas budak—termasuk untuk keperluan seksual), namun semangat penghapusan perbudakan begitu tampak nyata, yang artinya, semangat untuk menihilkan praktik prostitusi secara bebas dan serakah menjadi salah satu misi risalah islamiyah. Ini terbukti dari, bagaimana Islam mengampanyekan untuk tidak mendekati zina, mufakat—sebagian--ulama fikih untuk melarang kawin mut’ah dan sebagainya. Sadar atau tidak, praktik prostitusi semi-legal dalam kerangka warisan budaya ikut mewarnai pergulatan pelacuran dewasa ini. Ketercerabutan membaca sejarah akan sangat mungkin menghadirkan kecelakaan cara pandang terhadap praktik seksual. Ini terbukti, bagaimana para majikan Arab hingga saat ini, masih gemar memperlakukan pembantu rumah tangga (TKI) secara amoral, karena terikat dengan nalar mitologi perbudakan masa lalu.
PANGGUNG BELAKANG DUNIA KAUM PELACUR (Widi Muryono)
Pelacur Juga Merindukan Tuhan Praktik pelacuran adalah sebuah keterpurukan peradaban dengan perempuan sebagai korban utamanya. Perempuan dan potensi seksualitasnya cenderung mengalami eksploitasi dari jejaring kuasa dan relasi gender yang timpang. Ketimpangan relasi gender sebagaimana terjadi dalam kultur komunitas pelacur ini merupakan realitas yang lebih tragis dari konstruksi patriarkhi yang merenggut kemanusiaan permpuan. Pelacuran tidak saja merenggut kemanusiaannya, tapi telah sedemikian sadis, menihilkan segala potensi aktual yang dimiliki perempuan; harga diri, harapan hidup, kemapanan bakan spiritualitasnya pun dikebiri. Boleh orang menduga, mereka telah kehilangan segalanya; kehormatan, masa depan yang normal, keselamatan jiwa, namun tidak dengan spiritualitas. Para pelacur tidak serta merta kehilangan Tuhan. Sebagian dari mereka tetap bersemangat untuk kembali dan terus mempertahankan atau berusaha menemukan Tuhan, selain karena Tuhan memang selalu menyertai hambanya. Ketika semua komunitas sosial tidak mengakui, mendiskeditkan, mengutuk, para pelacur itu hanya punya satu ruang mengadu, Tuhan. Di saat semua kuasa dalam konstruksi sosial menyudutkan dan membuangnya, ada kuasa lain—yang jauh lebih besar—yang terus meliputinya dan dapat menerima kehadirannya sewaktu-waktu, tempat mendengarkan keluh kesahnya, menjadi peneguh saat mengalami keputusasaan, dan menjadi sandaran harap untuk sebuah keajabian; kehidupan yang lebih baik. Inilah kuasa Tuhan yang ada masih tersisa dalam imajinasi spiritual para pelacur. Tuhan dalam imajinasi pelacur tentu bukan Tuhan yang telah mengalami “institusionalisasi” seperti sering diungkapkan dalam tradisi komunitas religius. Tuhan dalam konstruksi imajinasi pelacur adalah sangat personal; penuh ampun, belas kasih dan memandang apa adanya. Tuhan yang membuat kaum agamawan tidak lagi dapat memonopoli sebagai pemilik tunggal. Tuhan yang selalu dekat, bahkan berada di urat nadi, bagi siapapun yang menginginkan kehadiran-Nya, termasuk pelacur. Kendati pelacur secara formal telah melanggar kehendak Tuhan, namun hakikat kemanusiaannya tetap membutuhkan dzat yang objektif, yang dapat memandang kehidupan pelacur secara utuh dan apa adanya. Tuhan dalam imajinasi kaum
139
140
PALASTRèN: Vol. 4, No. 1, Juni 2011
pelacur, seperti dikisahkan buku ini, menjadi ruang reflektif untuk menerjemahkan kembali religiusitas dan keberagamaan. Menyitir apa yang menjadi iman Rudolf Otto, tentang pergolakan tremendum dan fascians. Manusia sebagaimana pergolakan jiwa yang dialami pelacur memandang Tuhan dengan perasaan takut, namun juga tertarik. Takut karena ia berada dalam realitas terburuk yang bersimpang jalan dengan kehendak Tuhan, menjalani profesi nista dan pendosa sebagaimana dalam bahasa agama. Tertarik karena hanya Tuhan tempat berteduh yang tidak pandang bulu, tempat mengharap ampun dan petunjuk untuk bangkit dan keluar dari lembah hitam pelacuran yang keji itu. Konteks pergolakan jiwa ini tercermin dari narasi unik tentang perilaku pelacur yang gemar mengeluarkan sedekah, rajin mengikuti pengajian, atau sekadar dalam ungkapan terdalam tentang penyesalan, harapan-harapan para pelacur yang terekam dalam buku ini. Begitu Nur Syam memotret dunia pelacuran, ia menemukan banyak hal tentang sisa hasrat spiritual yang tragis.
Pelacur dan Spiritualitas Seks Lintas Agama Buku ini, di luar kapasitasnya memberikan data deskriptifanalitis, juga meneguhkan bagaimana konsepsi seksualitas dalam kerangka agama-agama dan budaya. Bagaimana agama memberikan “campur tangan” yang beragam tingkat dominasinya. Agama semitis; Islam, Nasrani, memberikan deskripsi seksual dalam ruang kitab suci secara mendetil dan dalam kapasitas yang dapat dibilang cukup kaya. Islam bahkan mengatur, bagaimana aturan legal-formal seksualitas dalam bab pernikahan, menutup aurat dan sebagainya. Islam memberikan “aturan” yang cukup keras dan terinci secara detil soal seksualitas. Seks dalam Islam adalah persoalan urgen sekaligus krusial. Ia dekat dengan dualisme masa depan ekskatologis, antara surga dan neraka. Kosmologi Islam memberikan gambaran, bagaimana penciptaan manusia sedemikian detil dan rumit, secara gamblang dituturkan dalam kitab suci. Al Qur’an menggunakan penjabaran simbolis untuk menjelaskan konsepsi seksual dalam kerangka tema kosmologis, bagaimana manusia diciptakan dari nuthfah (air mani), menjadi gumpalan darah, gumpalan daging, ditiupkan ruh, dan seterusnya.
PANGGUNG BELAKANG DUNIA KAUM PELACUR (Widi Muryono)
Sementara agama duniawi dari Timur, seperti Buddha, Hindu, memberikan ruang seksualitas pada konstruk agama, tersibak dari narasi simbolis relief patung yang menghiasi candicandi mereka. Seksualitas telah menjadi bincangan hangat nan serius, sehingga tempat suci sekalipun memberikan ekspresi seksual, setidak-tidaknya bagi mereka. Pada dasarnya, agama-agama, baik semitis maupun duniawi, mengakui seksualitas sebagai bagian dari ruang kreatif kehidupan umatnya. Bahkan, agama tertentu, Islam, menghendaki seksualitas sebagai salah satu dari sederet aktifitas kreatif penghambaan umatnya. Kita menilik bagaimana seksualitas (yang absah dan legal melalui pernikahan) dikategorikan sebagai ibadah. Nabi bahkan menganjurkan umatnya untuk memperbanyak keturunan, agar kelak dapat dibanggakan di antara umat nabinabi yang lain. Ekspresi agama ini kemudian ditangkap dalam sederet khazanah intelektual muslim, berusaha menghadirkan ruang yang akomodatif untuk membincang hangat seksualitas dalam kerangka dogma agama. Kitab Qurrotul Uyun misalnya adalah sedikit dari kitab yang populer dan digemari umat Islam dalam mengaji seksualitas, terutama oleh kalangan pesantren. Kitab-kitab ini menjadi tali sambung semangat pendidikan seks dalam pergumulan masyarakat muslim, kalangan pesantren utamanya meski masih menampakkan nalar patriarkhalnya. Seksualitas dalam kerangka agama adalah persoalan yang penting, krusial dan mendesak. Bincangan seputar seks tidak pernah berhenti sampai pada satu titik mufakat. Ia terus berkembang, menemukan pandangan baru, termasuk berkembang dalam kerangka memberikan ruang bagi eksistensi seks ilegal, pelacuran. Satu sisi, pelacuran menjadi sasaran dogmatis, masyarakat religius muslim tidak menghendaki pelacuran tetap menjadi realitas lingkungan mereka. Mereka bersemangat untuk menolak, kendati yang mereka lakukan kebanyakan baru sampai pada produktifitas doktrin. Di sisi lain, muncul gagasan dekonstruktif, yang justeru menghendaki pelacuran diorganisir secara mapan, di antaranya dengan mengukuhkan keberadaan lokalisasi, sehingga tidak mengundang persebaran pelacur secama masif, agar para pelacur tidak berkeliaran di tengah pergumulan masyarakat, yang justru berpeluang semakin memperluas praktik pelacuran. Gagasan ini pernah menjadi kontroversi hebat, sesaat setelah diungkap oleh salah satu tokoh ulama’ Indonesia, KH. M Sahal Mahfudh.
141
142
PALASTRèN: Vol. 4, No. 1, Juni 2011
Darmaturgi Transendental di Balik Panggung Pelacur Pelacur adalah bagian kecil dari komunitas sosial, dan, seperti komunitas lainnya, yang menghendaki kewajaran hidup, citra baik, pandangan yang jernih, baik dalam ruang stuktur sosial, budaya dan agama. Pelacur tetap merindukan hidup normal seperti kebanyakan orang, yang, kebetulan beruntung nasibnya dan tidak mengalami sendu lara menjadi seorang pelacur. Pelacur sebagaimana kebanyakan orang, juga ingin patuh pada hukum, adat masyarakat, konsesus-konsesus sosial dan kehendak Tuhan. Hanya saja, Tuhan di mata mereka barangkali agak berbeda dengan kebanyakan orang berimajinasi dan menilai Tuhan. Mereka tidak sibuk mengkonstitusionalkan Tuhan dalam simbol-simbol aturan formal agama. secara simbolis, boleh dibilang mereka seperti menentang Tuhan. Namun jauh di relung batin, mereka tetap merindukan Tuhan, dan sesekali tetap ingin bersua, merayakan spiritualitas yang hening-sendu, saat mereka dirundung derita, keputusasaan. Mereka ingin memiliki Tuhan seutuhnya. Dan suatu saat kelak ia akan berusaha untuk kembali pada Tuhan dengan belajar menjadi suci dan saleh. Pelacur masih memiliki hasrat religius, meski sangat tersembunyi dan tinggal sisa-sisa puing. Begitulah ringkasan yang saya bahasakan sendiri, bagaimana Nur Syam melakukan “pembelaan” pada komunitas pelacur, terutama untuk urusan hasrat spiritualitas yang sangat personal itu. Penelitiannya yang begitu telaten dan menyimpan kisah unik nan konyol, membongkar fakta dan informasiinformasi yang sebelumnya terbungkam begitu dalam. Ia menemukan spiritualitas yang bersemangat dalam imajinasi para pelacur. Ia mencatat dengan begitu detil, bagaimana percakapan hangat dengan pelacur-pelacur itu. Dan, di situlah terbongkar hasrat spiritual yang masih kokoh dipegangi para pelacur itu. Ekspresi “kemenduaan” gejolak, antara tremendum dan fascians sangat kentara dari ungkapan-ungkapan lepas mereka. Satu sisi mereka takut pada Tuhan karena telah sedemikian jauh “terpaksa” menyesatkan diri dari jalan Tuhan, mereka takut pada dosa, neraka, kematian yang tragis, takut. Jauh lebih takut ketimbang perasaan malu dicerca masyarakat “suci” di luar komunitasnya, jauh lebih takut ketimbang sekadar dikejarkejar aparat, digelandang dan didenda. Mereka, menyimpan kengerian yang dahsyat, membayangkan neraka yang begitu ngeri, membayangkan murka Tuhan, sementara mereka masih
PANGGUNG BELAKANG DUNIA KAUM PELACUR (Widi Muryono)
terus berada dalam dunia yang tidak disukai Tuhan. Di sisi lain, mereka juga tertarik dan berharap dengan berimajinasi tentang ampunan, kemahapengampunan Tuhan yang sangat luas dan tak terbatas. Mereka ingin segera sampai pada samudera pengampunan itu, dan hidup normal laiknya komunitas religius lain, namun desakan hidup memaksa mereka untuk tetap berdiri terpaku di tempat, dan terus menjajakkan apa yang Tuhan melarangnya untuk dijual. Mereka ingin mengentaskan diri, tapi “takdir” belum menghendaki mereka. Mereka hanya bungkam dalam gairah spiritual yang menggebu, sembari terus menyelami dunia hitam. Begitu Darmaturgi Transendental dalam proyek penelitian Nur Syam bekerja secara operatif dan menghasilkan informasiinformasi yang terpendam. Dramaturgi yang dipinjamnya dari Erving Goffman bertolak dari asumsi-asumsi bahwa realitas selalu memilik kemenduaan, antara yang front stage (panggung depan) dan back stage (panggung belakang). Panggung depan adalah bagaimana lakon drama harus diperankan secara totalitas. Ada peran-peran yang niscaya dilakoni untuk suksesi sebuah tujuan tertentu. Sementara panggung belakang adalah ruang kehidupan yang sesungguhnya, ruang personal yang tidak dipertontonkan pada audien. Panggung belakang adalah ruang terjadinya apa yang sebenarnya, dan apa yang diinginkan oleh para lakon. Panggung belakang adalah the reality dan bukan the show. Panggung depan dan panggung belakang ini terjadi dalam tiap realitas sosial maupun personal. Setiap ekspresi memiliki dimensi panggung depan yang diperlihatkan, dan memiliki ekspresi murni di panggung belakang. Dramaturgi inilah yang kemudian menemukan dua ekspresi itu dalam konstruk kehidupan pelacur. Panggung depan dalam dunia pelacuran adalah menjual sensualitas dengan penampilan sensual serta transaksi dan rayuan yang menggoda. Dunia panggung depan pelacur adalah profesionalitas, daya jual. Tidak peduli berapa dosa yang mereka tumpuk, jika sehari melayani belasan orang, omset mereka lumayan. Begitu cara hidup dan ekspresi pelacur ketika di ruang panggung depan. Namun ketika mereka berada di panggung belakang. Sensualitas, gairah seks, kenikmatan dan kepuasan, uang, semuanya tidak ada. Yang ada—dan ditemukan dalam penelitian
143
144
PALASTRèN: Vol. 4, No. 1, Juni 2011
Nur Syam ini—adalah justeru ekspresi yang sebenarnya mewakili hasrat dan karakter mereka sesungguhnya. Bagaimana mereka mengekspresikan ketakutannya pada Tuhan, sekaligus ketertarikannya. “Jangan ngomongin soal malaikat lagi ah Mas, saya takut...” begitu kira-kira ekspresi ketakutan yang mencekam. “Saya bisa baca al Qur’an Mas...(h.155)”, disambung “suatu saat saya ingin berhenti dari pekerjaan ini, saya di sini paling sampai satu tahun...(h.157)”. Begitu ekspresi ketakutan mereka pada Tuhannya. Begitu pula ekspresi dan penerimaan mereka pada Tuhan, mereka tetap bercita-cita, suatu saat berkesempatan dengan bebas dapat menemukan Tuhan. Ekspresi lain juga tersibak dari keterlibatan mereka dalam berbagai ritus keagamaan. Ada juga di antara mereka yang gemar mengikuti pengajian, seperti segerombol pelacur di komplek lokalisasi Bangunsari, Surabaya. Cerita penulis, mereka berjalan berbondong-bondong menuju satu majlis pengajian, masuk, menyodorkan kartu identitas peserta anggota pengajian dan memasukkan beberapa lembar uang ribuan ke dalam kotak (h. 172). Lewat cerita ini, Nur Syam seperti ingin menjelaskan, bagaimana dunia belakang panggung para pelacur itu sesungguhnya menghendaki Tuhan. Terbukti mereka bersemangat mengikuti pengajian. Meskipun, selalu ada saja pandangan, tudingan, apa yang dilakukan para pelacur dengan pengajian-pengajian itu adalah tidak lebih dari kamuflase. Bukan hanya itu, dunia belakang mereka sebenarnya juga penuh dengan sendu penyesalan menjadi pelacur. Mereka hanya bisa menyesal sembari berharap cemas, kelak suatu saat— yang tak tentu—mereka akan punya keajaiban untuk dapat keluar dari lembah hitam itu. Mereka merasa sudah mejadi orang kotor (h. 167), mereka merasa apa yang menimpa mereka adalah sudah menjadi surata takdir (h.163). Mereka percaya, Tuhan punya rencana yang sistematis dan sangat rahasia, untuk mereka. Dalam keyakinan ini, mereka tetap berharap dan berkeyakinan untuk berubah, membuka lembaran baru (h.145147). Mereka mempunyai ekspresi religius, yang meski dalam serba keterbatasan dan sangat sederhana. Ekspresi religius ini juga nampak dari cara mereka menjadikan bulan Ramadan sebagai bulan untuk turut serta merayakan spiritualitas, meski mereka terkadang tetap dalam aktifitasnya. Bayangkan, merka berpuasa, sementara malam harinya tetap melayani pelanggan, namun mentok hanya sampai jam dua pagi, karena setelah jam
PANGGUNG BELAKANG DUNIA KAUM PELACUR (Widi Muryono)
itu, mereka harus bersiap-siap untuk makan sahur. “Yang jelas puasaku penuh, ditambah tadarus. Insyaallah dalam satu bulan aku bisa bertobat atas apa yang telah kualakukan saat ini” begitu, Wiwid, salah seorang informan, pelacur asal Jember, mengungkapkan kisah dirinya dengan begitu polos(h. 161). Kebanyakan pelacur sadar untuk menghormati bulan Ramadan dengan tidak menerima tamu. Bahkan ada sebagian yang pulang kampung lebih awal. Saat Ramadan mereka berada di kampung halaman. Keputusan ini selain karena dilarang pemerintah, juga karena mereka ingin menghormati bulan suci Ramadan. Ada juga yang pada malam tertentu, malam Jum’at, misalnya, tidak melayani tamu, karena ingin menghormati malam Jum’at yang merupakan malam sakral bagi umat muslim. Data ini mampu mendeskripsikan dunia belakang panggung yaitu dunia transenden kaum pelacur. Nur Syam berhasil menjelaskan dan menyadarkan pihak lain tentang puing sisa hasrat spiritual yang dimiliki para pelacur. Mereka juga menghendaki Tuhan menjadi miliknya dengan takut, tapi sekaligus juga tertarik.
Ruang Pemberdayaan untuk Pelacur Di samping berkepentingan untuk menjabarkan secara deskriptif dunia transeden kam pelacur, Nur Syam juga ingin menjelaskan kepada publik, seperti di awal-awal kajian buku ini, bagaimana pelacuran adalah bukan sekadar persoalan dekadensi moral semata, namun sarat dengan sengkarut dan ketimpangan sistim ekonomi, sosial dan budaya, bahkan agama. Selain itu, ketimpangan ini tidak sekadar menunjukkan adanya pola relasi gender yang timpang, kelompok sosial yang identik dengan umpatan, cacian dan kutukan, namun lebih dari itu, mereka memiliki dimensi kemanusiaa dan, dimensi religius yang tampak di panggung belakang itu. Dimensi humanisreligius ini perlu diperhatikan dengan empati dan simpati yang bersungguh-sungguh, agar kita tidak terjebak dan ikut-ikutan mengutuk mereka saja, tapi mampu memberi ruang kreatif untuk membantu mereka menyelamatkan diri dari kubangan nista itu. Begitu yang dilakukan Somaly Mam, atau Sumaryati. Somaly Mam mendapatkan penghargaan Internasional Woman
145
146
PALASTRèN: Vol. 4, No. 1, Juni 2011
Of The Year. Ia adalah seorang mantan pelacur, memperjuangkan nasib pelacur, membebaskan para perempuan pelacur dari rumah bordil di Asia Tenggara. “Somaly Mam adalah inspirasi bagi para perempuan di seluruh dunia karena mampu mengatasi ketakutan akan kekerasan di masa kecilnya, dan telah membaktikan hidupnya untuk menyelamatkan gadis-gadis lainnya yang bernasib sama dengannya” demikian kata editor in Cheif majalah Glamour Cindi Leive. Sama heroiknya dengan aktifis pelacur lokal, Sri Sumaryati yang juga mantan pelacur. Ia mendedikasikan diri untuk berjuang memberi kesadaran keselamatan jiwa para pelacur. Ia yang juga mantan pelacur mengerti betul, bagaimana kebanyakan pelacur jalanan begitu abai dengan kesehatannya. Ia tak pernah putus harapan untuk terus membagikan kondom kepada pelacur jalanan seperti di Wonokromo, Kremil dan tempat lainnya. Ia terus bergelut dengan perjuangan untuk melakukan penyadaran pada pelacur, kendati ia terus dicemooh banyak orang. Ia sadar, bagaimana mahalnya ia mendapat pencerahan. Ia merasa harus berterimakasih dan membagi pencerahan itu pada temanteman sejawatnya, yang sebenarnya juga menghendaki segera menyudahi cerita kelam itu, dan bergegas membuka lembaran hidup baru. Begitu sepenggal pesan yang nampaknya juga ingin disampaikan Nur Syam. Ia barangkali terinspirasi dengan nalar juang para perempuan sederhana yang mantan pelacur itu. Bagaimana mereka begitu bersemangat untuk membuat pencerahan-pencerahan. Nur Syam seperti ingin berkata lantang, “jangan cuma bisa membuat doktrin, memberi stigma dan mengutuk, jangan cuma bisa merasa sok suci sendiri, seharusnya kita peduli dan berupaya membuat mereka menjadi suci kembali”. Buku yang ditulis Nur Syam ini begitu unik, selain karena data yang disajikan terasa emiknya, metodologi dan kerangka teori yang operatif, sehingga ia mampu menjelaskan kepada publik, bagaimana sebenarnya pelacur mencari-cari Tuhan dalam kebingungan, mengidamkan ada keajaiban yang akan memberi mereka syafa’at. Yang terakhir ini, tentang keajaiban dan syafaat, adalah yang belum disajikan dalam buku Nur Syam ini. Maklumlah, karena Nur Syam menulis dalam kapasitasnya sebagai peneliti etnografi, yang katanya, hanya bertugas untuk
PANGGUNG BELAKANG DUNIA KAUM PELACUR (Widi Muryono)
mejabarkan hasil riset, menjelaskan apa yang terjadi dan tidak berkewajiban untuk berargumen tetang apa yang seharusnya terjadi. Begitulah keterbatasan kebanyakan peneliti sosiologi, antropologi yang memilih menjadi penutur kisah yang baik. Namun, setidaknya penelitian Nur Syam yang unik itu menjadi “starting point” untuk merencanakan banyak hal untuk mendekati kaum pelacur dengan lebih akrab dan “mesra”. Pengungkapan belakang panggun yang dibeberkan Nur Syam ini cukup memberi kontribusi, setidaknya untuk mengurangi stigma negatif para pelacur tentang spirit religiositas yang menggelora. Dengan demikian, Nur Syam telah memberikan optik lain dalam memotret citra kaum pelacur. Hanya saja, kaum pelacur tidak cukup dengan diungkap identitas “back stage”, belakang panggungnya. Pelacur sebenarnya tidak lebih butuh citra. Mereka tidak terlalu mementingkan apakah saya dipandang baik atau buruk, toh mereka sudah tahu kalau kebanyakan orang memandangnya buruk, dan mereka paling tahu dirinya sendiri, kalau mereka masih punya hasrat kebaikan. Pelacur tidak terlalu butuh itu, seperti apa yang disajikan Nur Syam. Yang dibutuhkan pelacur adalah uluran tangan untuk menolong mereka keluar dari kubangan yang teramat dalam itu. Dalam situasi inilah, nalar kritis sekaligus nalar juang para peneliti lain sebenarnya menghadapi tantangan. Mereka tidak sepatutnya berpangku tangan, atau sekadar bangga dengan apa yang dikatakan Nur Syam, bahwa pelacur juga masih ingin punya Tuhan. Informasi ini memang membanggakan. Kita patut bahagia mendengar para pelacur itu masih mencari Tuhan, meski dalam suasana yang dilematis, takut dan tertarik, kebingungan yang hebat. Peneliti dirindukan kehadirannya untuk mengatasi kebingungan ini. Bagaimana mereka membawa bingkisan keajaiban untuk menolong para pelacur itu. Nampaknya, setelah apa yang dilakukan Nur Syam dan sederet nama peneliti lain dalam ragam tipologi kajian; pertama, perspektif agama dan moralitas seperti karya HusseinMuhammad (2006) Nasaruddin Umar (2003) Muhammad Al Fayyadl (2006) Faqihuddin Abdul Qodir, dan lainnya. Kedua, perspektif gender dan kebudayaan, seperti: Moh Yasir Alimi (2004), Sri Suhandjati dan Ridi Sofwan (2001). Ketiga, perspektif gender dan konstruksi sosial, seperti; Ad. Donggo (2005) Endah Sulistyowati (2007), dan
147
148
PALASTRèN: Vol. 4, No. 1, Juni 2011
sebagainya. Sederet kerja penelitian ini cenderung melakukan kerja penelitian deskriptif, yang baru sampai berusaha untuk menjelaskan, bagaimana dunia pelacuran, pasang-surutnya, keruh-terangnya. Begitu penelitian-penelitian ini belum memberikan sumbangsih pada komunitas pelacur secara nyata. Malah lebih terkesan “eksploitatif”, penelitian yang ada lebih cenderung melakukan “pencurian” data dari para pelacur yang tidak tahu-menahu itu. Para peneliti ini berutang budi pada pelacur, mereka mendapatkan sambutan hangat nan mesra untuk melakukan penggalian data, sementara tidak ada yang mereka berikan pada pelacur itu kecuali sedikit. Kebutuhan pelacur yang utama, adalah bagaimana mereka ingin mengentaskan diri. Di sinilah proyeksi strategis penelitian berbasis “empowering” dirindukan. Penelitian yang tidak sekadar bertujuan memenuhi hasrat intelektual pemerhati gender, terlebih khusus masalah pelacuran, melainkan penelitian yang lebih memfokuskan diri pada upaya untuk membuat para pelacur itu menjadi berdaya. Barangkali pendekatan Partcipation Ative Research (PAR) relevan untuk ikhtiyar itu, dengan sedikitbanyak komodifikasi yang mengarah pada strategi pemberdayaan komunitas pelacur. Sungguh, para pelacur itu merindukan “utusan Tuhan” untuk menolong dan mengentaskan mereka. Relawan dan peneliti adalah orang yang punya tuntutan moral untuk menjadi “utusan Tuhan” itu. Para pelacur itu sudah merindukan, sejak lama, dan untuk seterusnya. Karena itu fenomena pelacur tak cukup hanya dilihat secara hitam putih, tetapi penting juga dipandang sebagai realitas kemanusian yang tak terlepas dari struktur sosial, sehingga ruang pemberdayaan juga perlu dibuka luas untuk mereka agar kembali kembali kepada jalan etik atas agama yang dianutnya.***