PANDANGAN DUNIA PENGARANG DALAM NOVEL TUHAN IZINKAN AKU MENJADI PELACUR KARYA MUHIDIN M. DAHLAN Arlan Ibrahim Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Anggota Penulis: Dr. Sance A. Lamusu, M.Hum Hj. Sitti Rachmi Masie, S.Pd., M.Pd
ABSTRAK Ibrahim Arlan. 2013. Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan. Skripsi, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I Dr. Sance Lamusu, M.Hum., dan Pembimbing II Sitti Rachmi Masie, S.Pd., M.Pd. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran pandangan dunia pengarang dalam novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Data penelitian berupa kutipan novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur. Teknik yang digunakan teknik baca dan catat, (1) membaca novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur, (2) mencatat kutipan-kutipan novel berupa penokohan tokoh utama, latar sosial pengarang, latar belakang penciptaan novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan terdapat pandangan dunia pengarang, yaitu (1) setiap manusia pasti memiliki kesalahan (2) masalah lingkungan telah menjerumuskan tokoh aku ke lembah pelacuran, hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh kondisi sosial terhadap pembentukan perilaku seseorang (3) novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur merupakan bentuk kesadaran pengarang terhadap kehidupan para pelacur yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, dan masyarakat. Kata Kunci: Pandangan Dunia, Pengarang, Novel
PENDAHULUAN Pemikiran pengarang yang menggelitik bisa mendatangkan penilaian negatif terhadap pengarang. Pengarang akan dituduh gila, kafir, bahkan dituduh merusak tatanan kepercayaan suatu kelompok masyarakat. Di samping itu
1
pemikiran ini juga akan menentukan baik-buruknya karya sastra di mata masyarakat pembacanya, dengan kata lain, penilaian negatif terhadap pemikiran pengarang sama saja menilai karyanya kurang baik. Misalnya Nietzsche, pengarang yang menunjukkan garis hubungan dengan pemikirannya. Dia memberi perhatian yang utuh terhadap nasib manusia, tanpa rasa takut mengumumkan Tuhan telah mati. Pemikirannya ini membuahkan kritik dari masyarakat, ada yang mengatakan Nietzsche gila dan tidak beragama. Padahal alasan dia mengatakan demikian ternyata diilhami oleh kecintaannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang ditunjukkan dalam penyebab tragis kegilaannya, karena merasa terharu ketika melihat seekor binatang dipecut oleh sang sais kereta tanpa ampun. Kekerasan kepada binatang saja telah menggerakkan hatinya, apalagi kekejaman yang dilakukan kepada manusia, keharuan itu menjadikan ia hilang kesadaran, (Sahidah, 2007: 5). Penilaian negatif terhadap pengarang dan karyanya memang tidak bisa dipungkiri, tetapi yang perlu diketahui, penilaian negatif semacam ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, kurangnya pemahaman pembaca tentang unsur-unsur karya sastra itu. Kedua, adanya pengabaian latar sosial pengarangnya. Ketiga, adanya pengabaian latar belakang penciptaan karya itu atau alasan pencipataan sebuah karya sastra. Keempat, adanya pengabaian pandangan dunia pengarang. Kelima, adanya pengabaian pesan-pesan pengarang yang tersirat. Pengarang yang mendapatkan penilaian negatif, contohnya Muhidin M. Dahlan sebagai pengarang novel Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur. Muhidin banyak menggambarkan kehidupan sosial dalam karyanya. Gambaran sosial yang ia kemukakan seolah-olah orang tidak tahu bahwa itu kenyataan yang terjadi. Hal ini terbukti dengan adanya ocehan dan tuduhan yang tidak baik padanya. Semua karya-karyanya dinilai sampah dan tidak berbobot atau tidak layak untuk dibaca. Bahkan dengan lahirnya novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur mengantarkan dia pada tuduhan sebagai penulis kafir (Dahlan, 2010: 255-261). Kenyataan ini menggambarkan bahwa Muhidin tidak sepenuhnya diterima di masyarakat. Semua karyanya dianggap tidak bisa memberikan manfaat. Namun
2
sebagai penulis yang bijak tidak melakukan perlawanan, setiap hujatan yang dilontarkan dijawab dengan sederhana. Kalau disadari lebih jauh, Muhidin hanyalah jembatan yang menghubungkan antara fakta sosial dan karya sastra, yang dituliskannya adalah fakta yang difiksikan, dengan fakta sosial ini, adakalanya pembaca dibiarkan mencari sendiri amanat yang disampaikan dalam karya itu. Pengarang cukup menuliskan saja. Meskipun demikian, tetap ada prinsip yang diselipkannya ke dalam karyanya. Prinsip yang berawal dari kesadaran yang tidak dimiliki oleh semua orang. Kesadaran yang hanya Muhidin sendiri yang tahu. Berbekal pengalamannya, Muhidin mencoba mengangkat fenomena seorang wanita muslim yang menurutnya patut dijadikan sebuah pelajaran. Kisah ini diangkat ke dalam sebuah novel yang berjudul Tuhan Izinkan Aku menjadi pelacur. Novel yang cukup melahirkan kontroversi di masyarakat pembaca. Novel yang mengundang banyak perdebatan di acara bedah buku. Akibatnya novel ini tidak mendapat sambutan baik dari masyarakat pembaca. Padahal sebuah karya sastra diciptakan tidak lepas dari nilai hiburan dan tentunya bermanfaat. Selain bisa menghibur juga ada pelajaran yang terkandung di dalamnya. Hanya saja kejelian mengambil hikmah di balik kisah yang diceritakan itu yang kurang. Mungkin saja Muhidin menyembunyikan pelajaran di dalam karyanya. Tidak serta merta dia langsung menuliskan hikmah yang bisa dipetik. Dibiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri. Berdasarkan hal itu, perlu dipahami bahwa Muhidin M. Dahlan menghadirkan sebuah novel Tuhan Izinkan Aku menjadi pelacur diharapkan dapat menghibur dan bermanfaat bagi pembacanya. Setidaknya kisah yang diceritakan dalam novel ini menjadi sebuah renungan bagi pembaca. Namun kenyataannya. Novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur mendapat penilaian negatif dari masyarakat pembaca, bahkan sebahagian orang melarang novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur diedarkan.
METODE PENELITIAN
3
Metode yang digunakan adalah metode deskriptif analisis. Ratna (2011:53) berpendapat bahwa metode deskriptif analisis dilakukan
dengan cara
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Penggunaan metode ini tujuannya untuk mendeskripsikan pandangan dunia pengarang ditinjau dari penokohan tokoh utama, latar sosial pengarang novel, dan latar belakang penciptaan novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pandangan Dunia Pengarang Ditinjau dari Penokohan Tokoh Utama Novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan Tokoh merupakan media pengarang dalam menyampaikan pemikiran atau gagasannya. Menurut Nurgiyantoro (2010:167-168) tokoh cerita seolah-olah hanya sebagai corong penyampai pesan, atau bahkan mungkin merupakan refleksi pikiran, sikap, pendirian, dan keinginan-keinginan pengarang. Begitu halnya dalam novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur, tokoh “Aku” hanya sebagai corong pengarang dalam meyampaikan pemikirannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penokohan tokoh “Aku” (Nidah Kirani) menggambarkan pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia tersebut dapat dideskripsikan bahwa seorang wanita muslim harus mempunyai identitas diri. Identitas tersebut yaitu melaksanakan salat, puasa, zakat dan terutama menutup auratnya. Selain itu, seorang muslim juga harus berhati-hati dengan lingkungan, sebab lingkungan sangat berpengaruh terhadap perilaku setiap muslim. Misalnya di lingkungan organisasi yang tentunya banyak teman. Kalau berteman dengan orang baik, maka akan terpercik kebaikan. Kalau berteman dengan orang perilakunya tidak baik, juga akan terpercik hal yang tidak baik pula. Jika hal ini diperhatikan oleh setiap muslim, kemungkinan kekecewaan yang melahirkan dosa seperti yang dialami tokoh ‘Aku’ Nidah Kirani akan jauh dari setiap muslim terutama kepada wanita muslim. Kemudian, dalam soal agama tidak semua hal bisa dicerna dengan nalar, tapi ada hal-hal yang harus dimaknai
4
dengan hati. Kalau bernalar disertai dengan hati, maka sifat manusia yang fanatik terhadap satu ajaran bisa diminimalisir, sebab fanatik akan melahirkan kebencian, dan kebencian adalah sifat yang akan menjerumuskan manusia ke lembah kehinaan. Meskipun kita menyadari bahwa tidak ada manusia yang suci, namun ada juga manusia yang menjaga kehormatan mereka dan sulit untuk terjerumus ke dunia yang bagi mereka mendatangkan kehinaan. Bagi Muhidin, Negara Indonesia adalah negara miskin bagi mereka yang tidak ada tempat tinggal dan bagi mereka yang kelaparan. Dikatakan negara miskin karena masih banyak rakyat peminta-minta dan perempuan yang rela melacurkan diri demi
kelangsungan hidup mereka. Masyarakat yang kaya
semakin kaya, terlalu malu melihat ke bawah, terlalu enggan memberi. Oleh karena itu untuk menghindari hal ini, keluarga adalah lingkungan yang paling penting untuk menumbuhkan pendidikan, terutama pendidikan agama yang baik, agar anak bisa tahu memberi dan tahu menghormati orang lain. Di samping itu, setiap manusia punya masalah, untuk menghadapi semua masalah hidup perlu adanya ketenangan pikiran, dan ketenangan jiwa. Ketenangan ini bisa diraih hanya dengan cara beragama. Beragama bukan hanya sekadar mempunyai, tapi melaksanakan aturan-aturan yang ada dalam agama itu, dengan agama yang baik, seorang manusia akan bisa merenungi diri sendiri. Ada nilai yang ingin diperjuangkan Muhidin, yaitu nilai introspeksi diri, atau bercermin diri. Hal ini beliau katakan ketika diwawancarai Edy Zaqeus (2006:5) tentang nilai yang diperjuangkan Muhidin. Muhidin mengatakan bahwa saya ingin menilai dan mengadili diri sendiri secara jujur dan terbuka. Lebih lanjut Muhidin sampaikan bahwa dalam tubuh umat Islam itu sendiri masalah bertumpuk-tumpuk dan boroknya juga banyak. Sejarah umat ini pun adalah sejarah yang dikobarkan dengan darah. Mengerikan sekali. Bahkan sisa-sisanya masih terlihat dengan banyaknya para penenteng pedang di pinggir-pinggir jalan. Selain itu, Muhidin juga menyampaikan bahwa Islam sebagai agama tidak hanya menekankan ibadah ritual yang bersifat individual, ia justru lebih berkonsentrasi pada transformasi sosial. Karenanya, sebuah ritus personal dan ajaran spiritual dalam Islam tidak akan pernah bisa dipisahkan dari konteks keduniaan dan kemanusiaan.
5
Hal ini menunjukkan pemikiran Muhidin bahwa setiap insan harusnya berkaca diri, pernah melakukan kesalahan baik disengaja maupun tidak disengaja, olehnya sebagai manusia yang tidak pernah luput dari dosa, hendaknya berlaku bijak terhadap orang lain yang bersalah. Bertindak memaafkan orang lain, dan tidak menghakimi manusia lain yang kelihatan melakukan dosa. Hal yang perlu ditanamkan dalam setiap individu adalah sikap saling memahami, saling mengharagai, dan saling menghormati dan menghilangkan sikap yang suka menghujat dan menyalahkan orang lain. Pandangan Dunia Pengarang Ditinjau dari Latar Sosial Pengarang Novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan Penulis yang memengaruhi arti dari struktur sastra, dipengaruhi oleh kondisi masyarakat yang menghidupi penulis. Oleh karena itu, sastra yang diciptakan penulis hakikatnya merupakan hasil usaha manusia untuk mencapai keseimbangan yang lebih baik dalam hubungan dengan dunia di sekitarnya (Goldmann, 1981: 40). Bagi Goldmann, struktur karya sastra menghidupi dan dihidupi oleh faktor genetiknya, yakni penulis sebagai subjek kolektif dalam suatu masyarakat. Struktur sastra itu distrukturasikan oleh penulis sebagai genetis yang tidak lepas dari budaya, sejarah, dan sosial masyarakat yang menghidupinya, dan di sisi lain struktur karya sastra juga berperan dalam mempengaruhi kehidupan masyarakat. Olehnya itu untuk mengetahui pandangan dunia pengarang, maka latar sosial penulis atau pengarang juga dikaji sebagai unsur penunjang dalam mengungkap pemikirannya. Berdasarkan analisis latar sosial pengarang dengan cara menghubungkan latar sosialnya dengan novelnya, dapat dideskripsikan bahwa Muhidin kuliah di Yogyakarta, sehingga wajar kalau Muhidin serba tahu ketika bercerita tentang Yogyakarta sebagai latar tempat dalam novelnya Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur. Muhidin juga seorang mahasiswa yang aktif di forum-forum kajian mahasiswa. Adapun pondok yang dia ceritakan itu, oleh karena Muhidin pernah kuliah di IAIN Sunan Kalijaga selama satu tahun. Dan pondok pesantren dalam novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur ini adalah nama samaran dari IAIN Sunan Kalijaga sebagai tempat belajar Muhidin pada tahun 2000 sampai 2001. 6
Di samping itu, Muhidin juga sosok yang suka mengkritik, sosok yang suka menanyakan hal-hal yang menurutnya tidak jelas arahnya, sosok yang sosialis, yang memperhatikan kehidupan sosial orang lain, peduli dengan kehidupan mereka orang miskin. Dia suka berbagi ilmu dengan siapa pun, berbagi pengetahuan dengan siapa saja. Kepribadian Muhidin yang tidak suka dengan kehidupan invidualistik, seperti kehidupan para pejabat yang sibuk memperkaya diri, tapi melupakan rakyat jelata. Dia mengidam-idamkan kehidupan sufi, kehidupan orang yang bisa mengartikan hidup. Ia suka mengkritik mereka yang kelihatan suci di hadapan masyarakatnya. Padahal menyembunyikan segudang dosa. Selain itu, Muhidin juga sosok yang optimis, berjiwa sosial tinggi, dia suka menyinggung orang yang tahunya hanya salat tapi sedikitpun tidak melirik mereka, para pengemis, dan pengamen. Muhidin adalah orang punya ideologi, dengan ideologi yang dimilikinya, membuatnya harus menilai orang lain, misalnya tidak suka dengan para hero Islam yang menyebarkan siar Islam dengan cara menakut-nakuti dengan siksaan, dan api neraka. Dia juga tidak menyukai pengkotak-kotakan kelas sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Kelompok masyarakat yang bertopeng baik, padahal kenyataannya juga melakukan kesalahan. Selain itu, Muhidin adalah orang cerdas, sehingganya tidak mudah menerima ajaran atau konsep yang menurutnya tidak masuk akal. Kecerdasannya itu, membuatnya berperilaku bijaksana, bebas dari menghakimi orang lain, juga sosok yang penuh kasih sayang kepada para pendosa (para pelacur). Baginya setiap insan punya alasan ketika melakukan sesuatu. Muhidin juga manusia biasa beragama Islam, berkeyakinan dan bertuhan. Namun orangnya juga liberal dalam berpikir. Baginya mempersoalkan Tuhan adalah hal yang menarik untuk diperbincangkan. Olehnya itu, kalau sedang membaca novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur, seolah Muhidin mengundang pembaca berdiskusi, beradu pemikiran, pendapat. Dia mempersoalkan Tuhan dan pelacur dalam novelnya ini. Pemikirannya ini, kalau dimaknai secara mendalam Tuhan yang dimaksud Muhidin bukanlah Tuhan yang secara bahasa dipahami adalah zat yang disembah
7
manusia, tetapi oleh Muhidin Tuhan yang dimaksud adalah Tuhan sejarah. Tuhan yang merealitas, Tuhan yang hidup dalam tafsiran dan alam pikiran manusia. Tuhan yang berdarah, Tuhan yang melahirkan tikai, perang, sengketa yang tak ada putus-putusnya, (Dahlan, 2010:13), atau
bisa dikatakan sekelompok manusia
yang berperilaku seperti Tuhan. Perilaku itu misalnya menghakimi, mengutuk dan mengecam pelacur masuk ke dalam neraka, sedangkan kata pelacur adalah simbol sekelompok orang yang selalu dianggap kotor, hina, dan pendosa yang akan masuk neraka, oleh mereka yang dekat dengan Tuhan. Kalau dipahami secara mendalam, Muhidin hanya mengajak kelas sosial orang taat untuk berpikir bahwa menilai mereka sebagai pelacur, jangan menilainya dari sudut agama, cobalah menilainya dari sudut sosial, sehingga yang lahir adalah rasa empati, bukan rasa kebencian. Berangkat dari kepribadian Muhidin yang suka membaca, aktif di organisasi, suka mengkritik, suka berdiskusi, berjiwa sosial, semua itu menunjangnya dalam menciptakan novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur. Selain itu lingkungan organisasi, kampus dan pesantren telah memberi pengaruh yang sangat besar terhadap perilaku dan cara berpikir Muhidin, juga kebiasaannya yang suka membaca dan berdiskusi telah mengambil peran dalam caranya mengungkapkan ide atau gagasan. Oleh sebab itu, dapat diketahui bahwa cara berpikir seseorang tergantung dengan lingkungan dan kebiasaannya. Kalau dihubungkan dengan tokoh utama dalam novel Tuhan izinkan Aku menjadi Pelacur, sebenarnya Muhidin mengatakan bahwa seseorang menjadi pelacur bukan karena keinginannya, tetapi karena kondisi sosial baik itu lingkungan, organisasi, keluarga dan masyarakat telah memengaruhi mereka, sehingga terjerumus dalam kehidupan yang fatal alias pelacuran. Pandangan Dunia Pengarang Dilihat dari Latar Belakang Penciptaan Novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur Karya Muhidin M. Dahlan Menurut Kutha Ratna, (2011: 123) secara definitif strukturalisme genetik memberikan perhatian terhadap asal-usul karya. Asal usul karya yang dimaksud adalah latar belakang penciptaan novel atau yang menjadi titik tolok pengarang menciptakan novel. Novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur merupakan
8
bentuk sindiran pengarang kepada mereka pembela Tuhan, yang menganggap tempat pelacuran adalah tempat paling kotor. Pembela Tuhan yang dimaksud adalah
mereka
para
hero
Islam
yang
bersorban,
ormas-ormas
yang
mengatasnamakan Tuhan untuk mengusik makhluk Tuhan yang jalang, yang kotor, yang hina. Tetapi tidak bisa memberikan solusi bagi mereka pelacur untuk keluar dari dunia yang penuh kemalangan itu. Mereka pembela Tuhan hanya sibuk beribadah seperti salat, puasa, tapi malas mengulurkan tangan untuk membantu mereka yang tidak mampu. Kehadiran novel Tuhan, Izinkan Aku Menjadi Pelacur, juga bentuk kritikan kepada pemerintah, para wakil rakyat yang hanya sibuk memperkaya diri, sibuk membangun istana-istana mewah, tapi melupakan rakyat jelata, melupakan mereka yang susah mencari makan, melupakan mereka yang tidak punya tempat tinggal. Para pejabat hanya bisa bersembunyi di balik kehormatan kursinya, dianggap terhormat oleh rakyatnya, tapi menyimpan kebusukan. Bisa diketahui seolah pengarang ingin mengatakan bahwa inilah mereka para wakil rakyat yang terhormat, yang tidak luput dari salah dan dosa, yang mungkin sama busuknya dengan para pelacur. Kalau para pelacur adalah asusila, tidak diterima di kalangan masyarakat, hal itu pula seharusnya yang dilakukan kepada mereka lelaki hidung belang. Tidaklah beda antara pelacur dan mereka yang membayarnya. Di sisi lain, gambaran kritikan pengarang terhadap mereka yang punya ideologi seperti agama, dengan ideologi biasanya seseorang akan berani menilai orang lain salah, menilai orang lain kafir, serta membatasi dirinya dengan orang lain, karena menganggap diri benar, dengan ideologi pula bisa menganggap orang lain kotor, juga bisa menghina, menghujat kelompok lain. Novel Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan adalah sindiran pengarang kepada masyarakat yang memarginalkan para pelacur. Seolah hidup yang baik hanyalah milik mereka, padahal para pelacur juga makhluk Tuhan sama dengan mereka. Seharusnya masyarakat yang baik adalah masyarakat yang membantu para pelacur keluar dari kehidupan yang malang itu, mengayomi mereka, menasihati mereka dengan cara yang baik.
9
Di samping itu, novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan ini, sebuah bentuk renungan Muhidin, bahwa manusia dilahirkan mempunyai dua potensi. Potensi kebaikan dan keburukkan. Hanya lingkunganlah yang akan mewarnainya dengan baik atau buruk. Olehnya itu sebagai manusia yang lemah, alangkah indahnya saling mengingatkan dengan cara yang baik, dengan cara yang arif, bukan dengan anarkis dan marah-marah. Hidup dengan ideologi yang tidak jelas, atau beragama yang hanya ikutikutan sama dengan manusia yang munafik, kemudian merasa benar, merasa suci dari yang lain, tapi tidak menyadari betapa banyak kebusukan dalam dirinya. Manusia yang tidak tahu arti hidup, tidak tahu tujuan hidup yang sebenarnya. Manusia yang tidak sadar dia harus berbuat apa, mau kemana, dan dilahirkan untuk apa. Kalau manusia tidak tahu hal ini, maka manusia menjadi makhluk yang munafik, makhluk yang lemah, makhluk yang gila akan harga diri, jabatan, pangkat, dan kehormatan. Kemudian ketika sudah punya jabatan, status sosial yang lebih tinggi sengaja merendahkan golongan yang lain. Selanjutnya menjadi manusia yang materialistik, hidup hanya untuk memperoleh harta semata, menghalalkan segala cara, saling menjatuhkan, saling berebut kekuasaan untuk mendapatkan kemapanan. Mereka tidak menyadari bahwa bukan itu tujuan hidup yang sebenarnya. Di sisi lain, novel Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan, bentuk sindiran kepada masyarakat yang bertopeng susila, yang telah membuat permusuhan dengan para pekerja malam (para pelacur). Masyarakat yang tidak menerima para asusila, bahkan mencaci mereka. Masyarakat semacam ini adalah masyarakat yang tidak bijaksana, yang tidak memahami alasan pelacur terlibat dalam kehidupan yang tidak disukainya itu. Padahal para pelacur juga mengakui adanya Tuhan, dan menyesali nasib dirinya. Novel ini juga bentuk sindiran kepada umat Islam yang menerima ajaran agama tanpa mengerti manfaat ajaran itu, tidak tahu eksistensi ibadah, tidak tahu esensi ibadah, yang mereka tahu ibadah hanyalah perintah. Kisah tokoh “Aku” Nidah Kirani ini sama persis dengan kisah yang ditulis Anand Krishna, yang berjudul Surat Al-Fatihah bagi Orang Modern, (1999:64-
10
65). Suatu hari para pemuka agama, para tokoh masyarakat, menjatuhkan hukuman atas seorang wanita yang dianggap berzina, walaupun wanita itu sebetulnya pelacur. Hukuman yang dijatuhkan kepadanya tidak main-main: rajam atau hukuman mati, dengan cara dilempari batu sampai ia menghembuskan napasnya yang terakhir. Tidak hanya para pemuka agama dan tokoh masyarakat, tetapi anak-anak kecil---mereka yang tidak tahu “dosa” itu apa, “pelacuran” dan “zina” itu apa--turut ambil bagian dalam aksi pembunuhan seorang wanita yang dianggap “tuna susila” oleh masyarakat yang menganggap dirinya “cukup susila”. Tubuh wanita itu sudah berlumuran darah, ia menjerit kesakitan. Tiba-tiba dari salah satu sudut jalan muncul sosok seorang pria---kurus, tinggi, berjubah putih. Ia mendekati wanita malang yang sedang dilempari batu itu, ia mengangkat wanita itu, memeluknya. Mata-Nya merah, bibir-Nya gemetaran, namun suaraNya berapi-api---bagaikan susara petir ditengah hari: “Kalian sedang melempari batu---kalian yang ingin membunuh wanita ini---kenapa kalian ingin membunuh dia? Karena ia seorang pelacur? Karena ia melacurkan badannya? Apakah kalian lebih baik dari dia? Kalian telah melacurkan jiwa kalian, roh kalian. Kalian semua munafik. Adakah satu pun di antara kalian yang belum pernah melacurkan jiwanya, rohnya? Kalau ada, biarkan dia yang melemparkan batu pertama. Kalian semua kotor, tidak bersih. Kalian tidak berhak menghukum wanita ini.” Kata orang, ia yang melindungi wanita malang itu adalah Nabi Isa. Kisah yang diceritakan di atas adalah fenomena yang terjadi di masyarakat. Fenomena semacam ini merupakan bahan mentah pengarang untuk bisa menciptakan karyanya, sebab sebuah karya adalah hasil perasaan, pengamatan, dan kejelian pengarang terhadap fenomena yang menurut pengarang bisa diangkat ke dalam sebuah karya sastra. Menururt Fananie (2002:111) karya sastra merupakan refleksi kehidupan nyata. Refleksi ini terwujud berkat tiruan dan gabungan imajinasi pengarang terhadap realitas kehidupan atau realitas alam. Novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan, merupakan salah satu hasil refleksi dari fenomena di atas. Fenomena yang kurang sekali orang ketahui. Muhidin sebagai masyarakat yang mempunyai kesadaran,
11
terinspirasi menciptakan novelnya berdasarkan peristiwa yang terjadi di masyarakat. Peristiwa ini kemudian diolah Muhidin menjadi sebuah pencerahan bagi pembaca karyanya. Pencerahan yang telah dibubuhi dengan pemikiran dan akan membentuk pandangan dunia pengarang. Pandangan dunia menurut Goldmann (1977: 17) adalah sesuatu yang komprehensif dan menyeluruh yang berwujud ide-ide, gagasan-gagasan, aspirasiaspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anatarindividu dan anggota satu kelompok sosial tertentu dan mempertentangkan dengan kelompok sosial lain. Sesuai teori yang dikemukakan ini, dalam novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur, Muhidin mempertentangkan dua kelompok sosial, yakni kelompok sosial pembela Tuhan (taat) dan kelompok sosial pendosa (pelacur). Kedua kelompok sosial ini, tidak akur dalam tatanan kehidupan masyarakat. Kelompok sosial taat, menganggap pelacur adalah kelompok yang melanggar moralitas agama, sedangkan kelompok sosial pendosa menganggap kelompok sosial taat adalah musuh bagi mereka. Dalam posisi ini, Muhidin mencoba hadir sebagai kelompok sosial pendosa. Hal ini ditandai dengan tokoh “aku” sebagai perwujudan Muhidin selalu membuka topeng-topeng kebusukan para kelompok sosial orang baik. Dalam hal ini, Muhidin mencoba untuk memberitahukan kepada kelompok sosial orang taat bahwa setiap manusia memiliki dua potensi, yaitu potensi kebaikan dan potensi keburukan, sehingga bijaklah terhadap orang lain ketika orang lain melakukan dosa dan salah. Kalau ada yang melakukan kesalahan seharusnya dirangkul bukan untuk dihujat atau dicela. Kalau ada yang melakukan dosa terlebih dahulu yang dilihat adalah penyebabnya, sehingga rasa yang akan timbul adalah rasa iba bukan kebencian. Di sisi lain, ada tiga hal yang ingin disampaikan Muhidin, pertama, dalam kehidupan seharusnya banyak-banyaklah menilai kesalahan diri sendiri daripada menilai kesalahan orang lain. Kedua, dalam kehidupan juga diperlukan nalar untuk memikirkan baik-tidaknya sesuatu bagi diri sendiri. Ketiga, dalam kehidupan perlu diperhatikan lingkungan dan orang yang diajak berteman.
12
Seseorang menjadi baik kalau lingkungannya (keluarga, masyarakat, organisasi, dan pendidikan) juga baik. Terkait dengan hasil penelitian ini, maka dirumuskan tiga point penting, yaitu (1) setiap manusia memiliki dua potensi, yaitu potensi kebaikan dan potensi keburukan. Kedua potensi ini menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk yang tidak luput dari salah dan dosa, sebagai manusia yang tidak luput dari dosa seharusnya banyak mengintrospeksi diri sendiri, (2) masalah lingkungan telah menjerumuskan tokoh aku ke lembah pelacuran, hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh kondisi sosial terhadap pembentukan perilaku seseorang, (3) novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan merupakan bentuk kesadaran pengarang terhadap kondisi sosial yakni kehidupan para pelacur yang kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah, dan masyarakat, tetapi malah diusik karena dianggap merusak tatanan kehidupan. PENUTUP Simpulan (1)Melalui penokohan tokoh utama dalam novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan, sebenarnya pengarang menyampaikan nilai introspeksi diri. Nilai ini dimaksudkan untuk mengoreksi atau membenahi diri sendiri, agar terciptanya sikap saling menghormati dan menghargai antarsesama. (2) melalui latar sosial pengarang novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan, sebenarnya pengarang menyampaikan bahwa kondisi sosial itu akan memengaruhi tingkah laku seseorang sampai ke titik fatalisme kehidupan. Oleh karena itu, harus kuat iman dan keyakinan pada aturan agama dalam mengarungi kehidupan. (3) Berdasarkan latar belakang penciptaan novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur karya Muhidin M. Dahlan, sebenarnya pengarang menyampaikan kritik sosial terhadap pemerintah, organisasi-organisasi tertentu, berkaitan dengan perlunya membangun tatanan kehidupan dan aktivitas sosial yang bermoral dan bermartabat. Saran
13
Masih banyak hal-hal menarik yang perlu diteliti oleh peneliti-peneliti selanjutnya, khususnya mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang tertarik mengkaji novel. Oleh sebab itu, diharapkan ada penelitian selanjutnya yang meneliti dari sudut pandang lain, agar pemaknaan terhadap novel Tuhan Izinkan Aku menjadi Pelacur ini semakin sempurna. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Suluk Sunyi Penulis Sufi. Artikel rePublik Sastra (Online), (http://publiksastra.net/2012/01/muhidin-m-dahlan-suluk-sunyi-penulissufi-1/”\1”ixzzlqi7saMu0”, diakses tanggal 5 Juni 2013). Dahlan, Muhidin M. 2010. Tuhan, Izinkan Aku menjadi Pelacur: Memoar Luka Seorang Muslimah. Yogyakarta: ScriPtaManent Fananie, Zainuddin. 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Goldmann, Lucien. 1977. Towards a Sociology of the Novel. London: Tavistock Publication Limited. --------------. 1981. Method in the Sociology of Literatura. England: Basil Blackwell Publisher Kutha-Ratna, Nyoman. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Sahidah, Ahmad. 2007. Di Balik Buku - Pengarang dan Karyanya, Antara Azyumardi Azra dan Dewi Lestari, (Online), (http://groups.yahoo.com/group/buku-islam/message/4334, diakses tanggal 1 juni 2013). Zaqeus, Edy. 2006. (Online), (http://en.wordpress.com/about-these-ads/, di akses tanggal 1 Juli 2013).
14