Kritik Sastra: Analisis Moral dan Filosofi dalam Novel TUHAN IJINKAN AKU MENJADI PELACUR: Memoar Luka Seorang Muslimah Muhidin M. Dahlan Novel ini memuat protes pada realitas sosial yang sarat pada kemunafikan. Di sini, diceritakan pergulatan seorang perempuan dengan idealisme tinggi, namun akhirnya menemukan kemunafikan yang luar biasa dalam pertemuannya dengan berbagai orang yang selama ini mengatasnamakan agama, akhlak, dan idealisme. Nidah Kirani, cewek asli Gunungkidul sebagai tokoh utama digambarkan sebagai muslimin yang taat, tubuhnya tertutup jubah dan jilbab besar. Hampir semua waktunya dihabiskan untuk shalat, baca Al Quran, dan berzikir. Tapi di tengah jalan ia diterpa badai kekecewaan. Nidah Kirani merasa apa yang selama ini menjadi obsesinya, dan sedang ia perjuangkan melalui komunitas jamaah, mengalami jalan buntu. Perjalanan sucinya sebagai juru dakwah demi tersemainya tetumbuhan syariat seolah berada dalam lorong panjang yang remang. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia yang diidealkannya bisa mengantarkannya ber-Islam secara kaffah, ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang dia ajukan dijawab dengan dogma yang tertutup. Mereka tidak mampu mengakomodasi secara dialogis pandangan kritisnya. Kegelisahan filosofisnya ikhwal Tuhan, agama, makna hidup, dan perjuangan politik untuk menegakkan Daulah Islamiyah, yang kerap ia sodorkan lewat berbagai tanya selalu disambut dengan doktrin jamaah yang kaku dan membelenggu. Bagi Nidah, dogmatisme jamaah telah memberangus nalar kritis sekaligus keimanannya. Alhasil, musnah sudah obsesinya untuk berislam secara kaffah melalui Jamaah. Kesadarannya memberontak ketika banyak hal yang ditemuinya saling bertentangan. Dalam kekecewaannya, Nidah berkelana. Berpetualang dari satu organisasi ke organisasi lain. Setelah keluar dari jamaah, Nidah bertemu seorang aktivis mahasiswa berhaluan kiri, kolega lama yang pernah menjadi teman diskusinya di kampus tempat ia menimba ilmu. Kepadanya ia meminta “suaka batin” atas kegundahannya. Ia bertutur keluh, juga kekecewaannya terhadap
1
jamaah, hingga keputusannya untuk melarikan diri yang penuh risiko. Kepada sang aktivis kiri itu pula ia banyak berdiskusi ihwal pergerakan politik mahasiswa. Dan, perasaan kecewa terhadap jamaah sedikit terobati dengan hadirnya sosok aktivis mahasiswa sosialis yang terlihat tangguh dan heroik itu. Selang beberapa hari berlindung di naungan aktivis kiri itu, harkat dan martabatnya sebagai perempuan suci ternodai oleh hasrat-birahi aktivis kiri itu. Sejak saat itu, diatas segala kecewa yang melandanya, dia mulai berontak pada "Tuhan"nya dengan caranya. Mulai mencoba merokok, mencicipi narkoba, sampai akhirnya berpetualang pada satu pria ke pria lainnya. Dan pertahanan diri yang lemah mendorongnya untuk memenuhi hasrat nafsu manusiawinya, bercinta, dan bersetubuh dengan dalih pemberontakan. Hal ini yang menjungkir balikkan lagi keyakinan dan kepercayaannya. Karena ternyata tampang lahiriah tidak menjamin watak asli seseorang, terbukti dengan semua pria yang telah menidurinya adalah orang yang jika dipandang mata adalah orang-orang terhormat. Yang memiliki tampang ustadz, menidurinya, yang seniman menidurinya, bahkan yang aktivis pun menidurinya. Dalam suasana hati yang luluh lantak, kepercayaannya pada laki-laki, perkawinan,dan cinta pun menjadi nihil. Dan dengan perasaan marah, kecewa, dia berusaha untuk bangkit dan tak mau kalah. Maka dicarinya pembenaran-pembenaran yang dapat menguatkan hatinya. Hingga dia pun dapat berdiri tegak, mengangkat dagu, dan menantang dunia, tuhan, dan realitas. Nidah menasbihkan diri untuk melacurkan diri. Sebagai bentuk pemberontakannya pada Tuhan terkasihnya. Sepeti yang tertuang dalam petikan dibawah ini. “Biarlah aku hidup dalam gelimang api-dosa, sebab terkadang dosa yang dihikmati, seorang manusia bisa belajar dewasa”
Analisis
2
Novel diatas ibarat sebuah lensa yang merekam babak perjalanan hidup perempuan Muslimah yang beralur dramatis, juga tragis. kisahnya sebagai juru dakwah harus berujung pada pilihan untuk melacurkan moralitas tersebabkan oleh rasa kecewa. Buku ini menyibak drama pemberontakan seorang manusia terhadap narasi-narasi agung yang dinilai sakral: Tuhan, institusi agama, moralitas, keadilan gender, dan hegemoni partiarkhisme. Nidah Kirani, Muslimah yang ingin menjalankan ajaran agama secara kaffah. Hingga ia memilih jalan dakwah menegakkan hukum Tuhan di bumi pertiwi. Demi cita-cita itu, ia melibatkan diri secara total dalam aktivisme Islam politik. Sebuah jamaah dengan cita-cita luhur mendirikan Daulah Islamiyah di Indonesia. Namun, perlahan dia mulai menyadari bahwa perjalanan sucinya sebagai juru dakwah demi tersemainya tetumbuhan syariat seolah berada dalam lorong panjang yang remang. Organisasi garis keras yang mencita-citakan tegaknya syariat Islam di Indonesia yang diidealkannya bisa mengantarkannya ber-Islam secara kaffah, ternyata malah merampas nalar kritis sekaligus imannya. Setiap tanya yang dia ajukan dijawab dengan dogma yang tertutup. Mereka tidak mampu mengakomodasi secara dialogis pandangan kritisnya. Kegelisahan filosofisnya ikhwal Tuhan, agama, makna hidup, dan perjuangan politik untuk menegakkan Daulah Islamiyah, yang kerap ia sodorkan lewat berbagai tanya, selalu disambut dengan doktrin jamaah yang kaku dan membelenggu. Bagi Nidah, dogmatisme jamaah telah memberangus nalar kritis sekaligus keimanannya. Buah kekecewaan itu lantas ia petik dengan gundah. Nidah Kirani berusaha “kabur” dari perkumpulan agama yang dianggapnya suci itu. Hingga akhirnya ia terjebak dalam keremangan pencarian makna hidupnya, berpetualang mencari esensi dan makna hidup. Jika dianalisis secara seksama, apa yang terjadi pada diri sang tokoh Nidah Kirani, sebenarnya lebih didasarkan pada amalan-amalan agama yang lebih dianggap sebagai rangkaian ritual. Memang, sebuah kebiasaan yang dilakukan berulang-ulang pada akhirnya akan menimbulkan kerinduan untuk memperdalam agama. Kerinduan itu mengantarnya pada seorang teman diskusi yang fasih mengutipkan dan menjelaskan ayat untuk menjawab keingintahuannya. Karena memang konsep kehidupan beragama si tokoh adalah sebatas ritual, maka awalnya
3
dia tak benar-benar kritis untuk menyadari bahwa ayat-ayat dan hadis-hadis itu kerap kali “diputarbalikkan” untuk membenarkan tujuan organisasi garis keras tempat si teman diskusi itu bergabung. Tak heran jika akhirnya Kirani pun bergabung dengan organisasi itu, dan ketika ternyata dia mulai menyadari bahwa preview awal yang dia dapatkan lebih indah dari warna aslinya (setelah ia menjalani bersama organisasi tersebut), ia berniat untuk keluar dari organisasi, dan masuk ke organisasi lain yang menurutnya kala itu juga cocok dengan esensi islam sebenarnya. Alur cerita diatas sangat kuat untuk menggambarkan bagaimana dalam sebuah organisasi, dimana lapisan bawah seolah hanya terdiri dari orang-orang yang hanya bermodalkan kepercayaan, bukan pemahaman, sehingga begitu mudahnya mereka dimanipulasi oleh lapisan atas yang notabenenya lebih mengetahui. Dan karena mereka percaya, mereka dengan rela hati mengikuti semua perintah yang diberikan tanpa mau, atau bahkan tidak mampu mengkritisi sebab dan tujuannya. Barangkali inilah yang menjadi ikhwal kekecewaan seorang Nidah Kirani terhadap organisasi-organisasi yang pernah ia geluti dan perjuangkan. Apa yang dilakukan oleh Nidah Kirani dengan pergulatan batin yang penuh dengan kecewa, bisa dikatakan wajar, dan masuk akal. Bukankah ketika seseorang mendapatkan bahwa apa yang diharapkannya hanyalah sebuah ilusi, maka dia akan menjadi sangat kecewa, dan konsekuensinya adalah melakukan perubahan yang drastis. Karena bagaimanapun manusia selalu membutuhkan pegangan dalam keadaan seperti ini, jika suatu titik membuatnya kecewa, maka secara instinctive dia akan “lari” ke titik yang berlawanan. Dengan kata lain, Nidah Kirani tengah berada dalam situasi anomie (gejala ketidakseimbangan psikologis yang dapat melahirkan perilaku menyimpang dalam berbagai manifestasi sehingga cenderung berperilaku tanpa arah dan apatis). Ia tak lagi punya pegangan hidup. Nilai-nilai agama yang pernah dia anggap suci dan mulia kini meredup dan terlihat samar-samar di matanya. Ia merasa tak melihat setitik pun “cahaya” yang menerangi perjalanan hidupnya. Dan Tuhan, yang selama ini jadi pangkalan peraduan terakhirnya, seolah tak mau membahas takdir hidupnya
4
yang nyinyir. Karena menurutnya, tuhan pun seolah tidak peduli dengan kondisi dan keadaannya (setelah mengalami kekecewaan dari organisasi-organisasi, dan karena seorang yang katanya “aktivis” telah merenggut kesuciannya). Oleh karena itu, bagi Nidah, setelah semua peristiwa yang ia alami, tak ada alasan untuk mengabdi kepada Tuhan. Tak ada alasan untuk sebuah penyerahan yang absurd. Karena Tuhan pun, tak mau peduli dengan segala kekecewaan dan keluh-kesahnya. Kekecewaan seorang Nidah Kirani bisa dikatakan sebagai bentuk kekecewaannya terhadap Esensi tuhan dan ketuhanan. Sepertinya, kita juga perlu menengok landasan filosofis ketuhanan yang juga berada dalam novel ini. Dimana dalam novel ini juga menyiratkan tentang “Deutch ubers all” dari Erich Fromm, tentang Tuhan alam dan Tuhan sejarah. Tuhan alam adalah Tuhan yang berada di tempat yang siapa pun tak bisa menjangkaunya atau bahkan kau dan aku sama sekali belum pernah memikirkannya. Sementara “Tuhan Sejarah” adalah Tuhan yang menyata, Tuhan yang merealitas, Tuhan yang hidup dalam tafsiran dan alam pikiran manusia”. konsep Erich tentang Tuhan alam, jika yang dimaksud itu ialah Allah yang “laisa kamislihi syaiun, wa huwa ‘ala kulli syaiin qadir” (Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya, dan Dia maha kuasa atas segala sesuatu), maka tidak akan memungkinkan terjadi pertanyaan, ”Tuhan itu seperti apa dan dimana”. Tetapi penyebutan Tuhan alam itu salah, sebab alam itu makhluk atau ciptaan, sedangkan Tuhan itu yang menciptakan makhluk atau alam (Khalik). Sementara di sisi lain, konsepsi tentang Tuhan pada kebanyakan agama dan memang sebagainya merealitas. Tetapi ingatlah bahwa ada konsep tentang Tuhan yang tidak merealitas, melainkan hanya tafsirannya saja yang merealitas objektif dan menyejarah. Dalam ajaran Islam, ada keyakinan prinsip bahwa, ”karena kita tidak tau apa pun tentang Allah, atau Allah itu tidak mungkin dipahami oleh manusia, maka Allah mengabarkan diri-Nya sendiri kepada manusia”. Jadi di dalam ajaran Islam, ada konsep tentang Tuhan oleh Tuhan yang diwahyukan kepada manusia melalui perantaran Rosul-Nya. Interpretasi tentang konsep Tuhan inilah menyejarah sesuai dengan tingkat pemahaman akal manusia yang tergantung skala spasi temporalnya pada konteks sejarah, budaya dan kemanusiaan. Walau memang, terkadang substansi kemanusiaan bertubrukan dengan performa sosial
5
yang akhirnya menyebabkan berkurangnya pemahaman dan kepercayaan seseorang akan tuhannya. Seperti yang dialami Nidah Kirani. Satu hal yang juga tidak bisa dipungkiri bahwa semua agama mempunyai doktrin keimanan formal yang bisa dikatakan mengikat. Seorang Nidah misalnya, jelas sangat terlihat dari penampilan fisik, seluruh term dan kosakata yang digunakan adalah Islam, namun Nidah Kirani sangat berani dalam melawan iman formal yang sebelumnya sangat ia junjung tinggi. Kekecewaannya menbawa dirinya terjebak dalam dunia yang penuh nista. Seks bebas menjadi kebiasan dan bahkan kebutuhan baru. Karena di mata Nidah, seks bebas yang dia gumuli bukan sekadar pelampiasan kekecewaan, apalagi penyimpangan moral. Seks bebas ala Nidah merupakan pemberontakan dan penyangkalan eksistensial atas nama kuasa manusia, kuasa seorang perempuan bernama Nidah Kirani untuk melawan otoritas ketuhanan dan institusi agama-moralitas yang kerap disakralkan, padahal sejatinya menyimpan banyak paradoks. Penyangkalan eksistensial itu tampak jelas sekali dalam ungkapannya: “Tuhan, lihat, lihat…! Lihatlah pemberontakanku, Tuhan! Teruskanlah, laki-laki, biar semuanya tuntas. Teruskan, biar Tuhan menyaksikan sendiri. Teruskan, wahai laki-laki”, selorohnya saat bercinta dengan seorang aktivis kiri. Petualangan seksual sebagai buah pemberontakan terhadap otoritas keagamaan itu mengantarkan Nidah Kirani pada sebuah kesadaran eksistensial. Baginya, seks bebas yang dia lakoni adalah bentuk penundukan atas kuasa laki-laki yang kerap berlindung di balik superioritas partiarkhisme. Lihat saja gumannya saat menghadapi rayuan seorang aktivis mahasiswa Islam: “… Akan kubongkar dan kululuhkan harga diri lelaki ini. Ah, lelaki, ia kelihatan tegar ketika masih berpakaian. Tapi ketika pakaiannya lepas, terkuak juga kelemahannya, ketololannya. Ternyata, setelah bermain seks, seorang lelaki tidak sekuat seperti apa yang didugakan oleh dunia. Ia tak ubahnya lelaki cengeng yang terus merengek dan meminta untuk menjilati tubuh perempuan, tubuhku. Dan aku beraksi menyempurnakan kehancurannya.” Perilaku seks bebas dengan latar pelacuran moralitas menjadi pilihan hidup perempuan Muslimah yang pernah merindukan dan merasakan teduhnya naungan
6
agama. Pilihan untuk melacurkan moralitas akan terus ia “perjuangkan” terutama terhadap siapa pun yang merasa sok beragama, karena menurutnya semuanya berada dalam kemunafikan. Secara kasat mata, Novel ini memang menghadirkan sesuatu secara negatif, tapi bagi pembaca yang bijaksana akan banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik. Tentang idealisme, pergulatan batin, akhlak, dan pencarian esensi diri dan makna hidup. Dan tentu, pembaca juga harus pandai-pandai mengambil celah-celah positif yang tersirat dalam novel berjudul “Tuhan, Ijinkan aku menjadi Pelacur” ini.
7