Panduan Bagi Para Praktisi Tentang Buruh Migran: Mengajukan Gugatan Perdata di Singapuradan dari Luar Negeri Edisi Kedua Disusun dan Diedit oleh Douglas MACLEAN Direktur Eksekutif Charmaine YAP Misa MITSUGI Sanjana JAYARAMAN Stephanie TEH Pro Bono Research Fellows Justice Without Borders Sheila HAYRE Dosen Senior National University of Singapore Fakultas Hukum Dengan Tambahan Studi dan Makalah oleh LIM Wei Zhen NGUYEN Vu Lan Pro Bono Research Fellows Justice Without Borders Terjemahan didonasikan oleh Tifa Foundation Editor Terjemahan Clarissa WONG Felix Valianto HALIMAWAN Dipublikasi oleh Justice Without Borders Bekerjasama dengan National University of Singapore, Fakultas Hukum, Pro Bono Group
© May 2016 Dokumen Asli Dipublikasikan dalam Bahasa Inggris
Hak cipta dilindungi UU. Dilarang mereproduksi sebagian atau seluruh isi dari buku ini ke dalam berbagai format melalui cara elektronis maupun mekanistermasuk sistem penyimpanan dan sistem penemuan kembali informasi tanpa izin secara tertulis dari pihak Justice Without Borders.
PERNYATAAN BEBAS DARI TANGGUNG JAWAB
Panduan ini berisi informasi umum secara singkat tentang tentang undang-undang, yang disusun oleh para relawan pengacara dengan Justice Without Borders (JWB) dan dapat digunakan terhitung mulai bulan Mei 2016. Informasi ini disediakan oleh JWB sebagai layanan publik. Meskipun panduan ini berasal dari sumber yang terpercaya dan akurat, namun JWB tidak memberikan jaminan atas keakuratan informasi. JWB dan perwakilannya juga tidak bertanggung jawab jika terdapat kesalahan atau kelalaian terhadap informasi yang diberikan. Informasi yang diberikan bukan merupakan analisis yang definitif dari subjek permasalahan, dan hendaknya dilakukan konsultasi hukum secara profesional terlebih dahulu sebelum mengambil satu tindakan. Pandangan yang diberikan oleh para kontributor tidak dengan sendirinya mewakili pandangan dari pihak JWB. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memastikan bahwa informasi yang terkandung dalam buku panduan ini akurat, namun pihak kontributor, tim editorial, JWB, dan Kelompok Pro Bono dari National University of Singapore menyatakan diri terlepas dari semua kewajiban dan tanggung jawab atas setiap kesalahan atau kelalaian yang terjadi dalam publikasi ini dan dalam setiap perkara atau konsekuensi apapun, yang dilakukan oleh setiap pihak yang menjadikan sandaran, baik secara keseluruhan maupun sebagian terhadap semua atau sebagian isi dari publikasi ini.
UCAPAN TERIMA KASIH
Panduan ini tidak akan tersusun tanpa adanya masukan dari para pengacara ahli, profesor, dan penyedia layanan langsung di lapangan. Dalam urutan abjad, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada Celine DERMINE, Alexis DUECKER, Jacqueline FIELD, Jennifer GOEDHUYS, Priscilla GOH, Profesor GOH Yihan, June LIM, Profesor Jaclyn NEO, NG Bin Hong, Matthew SAW, Jolovan WHAM, Ronald WONG, dan pihak-pihak lainnya yang tidak dapat kami sebutkan namanya satupersatu. Kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada organisasi yang mendukung hak buruhmigran di Singapura - Humanitarian Organisation for Migration Economics (HOME), Transient Workers Count Too (TWC2), dan HealthServe sebagai lembaga atas kesediaannya untuk berbagi informasi dan pengalaman dalam penyediaan layanan langsung, dan kami berharap untuk terus mendukung peran kerja mereka sebagai mitra. Akhirnya, kami juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Fakultas Hukum National University of Singapore (NUS), dan Kelompok Mahasiswa Hukum Pro Bono dari National University of Singapore, yang tanpa jerih payah mereka, panduan ini tidak akan tersusun. Mereka adalah para mitra yang luar biasa, dan para mahasiswa mereka telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan sebagai mitra penelitian Pro Bono di JWB.
KATA PENGANTAR Buruh migran merupakan salah satu kalangan pendatang internasional yang paling umum di kawasan tersebut. Namun, dari semua upaya yang dilakukan oleh masyarakat sipil, pemerintah nasional, dan organisasi internasional untuk meningkatkan kondisi migrasi dan kondisi kerja mereka, akses terhadap keadilan masih tetap menjadi gagasan di dalam negeri yang mengecewakan, hanya terbatas pada yurisdiksi yang secara kebetulan mereka berada di dalamnya. Panduan ini bertujuan untuk mengatasi adanya kesenjangan yang mencolok dalam penyediaan layanan di Singapura, salah satu negara tujuan paling populer bagi para buruh migran dari seluruh kawasan Asia. Dengan menyusun panduan tentang pilihan langkah hukum yang tersedia bagi mereka yang tidak bisa tetap tinggal di Singapura untuk mengajukan klaim mereka, kami berusaha mempermudah para advokat untuk membantu korban eksploitasi tenaga kerja atau perdagangan manusia dalam mencari kompensasi yang adil dari para pelaku, bahkan setelah mereka kembali ke negara asal. Kami juga berharap bahwa adanya pertambahan kasus perdata akan mengirim pesan kepada para pemberi kerja dan broker licik, yang sayangnya ada di setiap negara, sehingga mereka tidak bisa lagi menggunakan alasan kepulangan buruh migran untuk mengelakkan hukum Singapura dan menghindari tanggung jawab. Catatan tentang pengguna: Panduan ini dirancang bagi para pengacara Singapura, penyedia layanan langsung Singapura, serta pengacara pendamping dan entitas di negara asal klien. Bagi para pengacara yang baru pertama kali menangani masalah buruh migran, panduan ini memberikan gambaran tentang masalah hukum yang umumnya dihadapi buruh migran dalam pekerjaan mereka. Bagi para penyedia layanan langsung Singapura, panduan ini dapat berfungsi sebagai instrumen penjajakan, yang dapat membantu paralegal dan staf lainnya dalam mengidentifikasi apakah ada potensi klaim sebelum melakukan konsultasi hukum dengan pengacara. Akhirnya, pengacara dan penyedia layanan di negara asal klien dapat menggunakan panduan ini untuk melakukan penilaian awal tentang kemungkinan klaim yang berbasis di Singapura, dan mempertimbangkan pro dan kontra atas upaya untuk mengajukan langkah hukum dari luar negeri. Akhirnya, panduan ini masih merupakan upaya yang sedang berjalan. Banyak permasalahan yang telah kita upayakan untuk ditangani, melibatkan pertanyaanpertanyaan baru tentang hukum yang masih belum mendapatkan jawaban dari pengadilan. Hambatan logistik yang terkait dengan litigasi pro bono lintas-batas juga masih belum sepenuhnya dipahami. Oleh karena itu, kami dengan senang hati akan menyambut umpan balik anda tentang bagaimana kualitas dokumen ini dapat kita tingkatkan. Silakan kirim masukan anda melalui e-mail ke kami pada alamat di bawah ini. Douglas MacLean Direktur Eksekutif Justice Without Borders
[email protected]
PENGENALAN TERHADAP EDISI KEDUA
Kami dengan senang hati mengeluarkan edisi kedua dari Panduan Bagi Para Praktisi Tentang Buruh Migran: Mengajukan Gugatam Perdata di Singapura dan dari Luar Negeri. Pembaharuan ini ditujukan untuk penyesuaian terhadap perubahan hukum yang relevan dan memperbaiki ketidakakuratan yang telah diberitahukan oleh beberapa pembaca kepada kami. Beberapa tambahan yang terdapat dalam Panduan termasuk: 1. Detail baru tentang prosedur untuk mengajukan gugatan perdata. Panduan ini kini telah mencakup proses yang disederhanakan untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Magistrate (Magistrate’s Court) (yakni, untuk nilai di bawah $60.000), efektif tanggal 1 November 2014. Mengingat nilai gugatan dari buruh migran sering kali di bawah jumlah ini, proses yang baru dapat membantu akses terhadap keadilan bagi pihak yang mengajukan gugatan, menyediakan jalur yang lebih murah dan cepat untuk mendapatkan putusan. Keistimewaan dari proses tersebut mencakup pertukaran dokumen di muka, pengawasan awal oleh pengadilan, dan penekanan pada mediasi dan penyelesaian. 2. Perluasan bagian tentang kepailitan dan proses pembubaran. Dalam sengketa buruh migran, kerja keras mungkin baru benar-benar dimulai setelah klien mendapatkan putusan yang menguntungkan. Ketika terdakwa adalah perusahaan yang sudah tidak berjalan, buruh migran akan menemui kesulitan untuk mendapatkan jumlah uang yang seharusnya diterima. Panduan ini kini berisi informasi lebih terkait bagaimana buruh migran dan konsultannya dapat memulai proses kepailitan dan pembubaran, baik terhadap perorangan atau entitas perusahaan, dan bagaimana untuk berpartisipasi dalam proses yang sudah berlangsung. 3. Pencantuman persyaratan baru terhadap pemberi kerja untuk menyediakan dan memelihara catatan hubungan kerja yang penting, efektif tanggal 1 April 2016. Panduan ini mencakup persyaratan baru terhadap pemberi kerja untuk menyediakan bagi para karyawanmereka dokumen hubungan kerja tertentu (slip pembayaran mendetail, dll.) dan memelihara catatan–catatan ini untuk periode waktu tertentu. Mengingat salah satu hambatan utama dalam litigasi buruh migran adalah sering kali kurangnya dokumentasi, persyaratan baru ini memiliki potensi untuk memastikan bukti substantif tersedia dalam gugatan upah yang belum dibayar. 4. Kenaikan limit berdasarkan Work Injury Compensation Act. Edisi kedua ini mencakup batasan moneter yang baru, berlaku terhadap gugatan yang timbul setelah tanggal 1 Januari 2016, untuk pengeluaran medis, kelumpuhan permanen, dan kematian berdasarkan Work Injury Compensation Act.
Mohon juga untuk mencatat bahwa Edisi Kedua menggunakan kata pengganti “dia” sebagai kata ganti umum untuk mengacu kepada baik laki – laki maupun perempuan. Hasil karya ini terus memperoleh manfaat dari masukan yang diberikan oleh lembaga hukum dan nirlaba yang menangani gugatan buruh migran setiap hari, dan kerja keras dari para pengacara dan rekan hukum kami. Kami sangat berterimakasih kepada Rekan Hukum Probono kami, Joshua CHIA, Hui Xin CHIANG, Moses LEE, Natasha SIM, dan Xenia YAU, atas ketajaman mata dan kerja mereka yang baik dalam Edisi Kedua ini. Laporan atas ketidakakuratan dan ide–ide untuk pembaharuan yang akan datang sangat diharapkan, dan dapat dikirimkan kepada kami di
[email protected].
DAFTAR ISI
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA .......................... 2 1.
PENDAHULUAN ................................................................................................................... 2
2.
SEJARAH SINGKAT SINGAPURA UNTUK WARGA DARI LUAR SINGAPURA ............. 2 I.
Keajaiban Singapura ................................................................................................. 2
II.
Migrasi awal ke Singapura dan demografi Singapura saat ini ............................. 3
III.
Tenaga kerja asing, termasuk buruh migran .......................................................... 4
IV. Identitas warga Singapura saat ini .......................................................................... 6 3.
MENJALIN HUBUNGAN KERJA DENGAN BURUH MIGRAN: SEJUMLAH RINTANGAN ....................................................................................................................... 8 I.
Catatan tentang pekerja rumah tangga asing ........................................................ 8
II.
Retribusi bulanan dibandingkan uang jaminansekali bayar .............................. 10
III.
A.
Retribusi .................................................................................................. 10
B.
Uang jaminan .......................................................................................... 10
Hukum secara teori versus hukum dalam praktek: realitas menyakitkan yang dihadapi buruhmigran di Singapura ..................................................................... 11
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA .............................................................................................................................................. 17 1.
PENDAHULUAN ................................................................................................................. 17 I.
2.
Gambaran umum ..................................................................................................... 17
MASALAH MENDASAR KETENAGAKERJAAN DAN SENGKETA GAJI ....................... 18 I.
Masalah mendasar ketenagakerjaan ..................................................................... 18 A.
Proses rekrutmen .................................................................................... 19
B.
Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan .................................................. 19
C.
Perhitungan gaji yang yang harus dibayarkan ........................................ 26
Gaji yang dibayar = ................................................................................................................... 30 Jumlah hari aktual dimana pekerja telah bekerja pada bulan tersebut ............................... 30 II.
III.
Contoh umum sengketa gaji .................................................................................. 34 A.
Jika terdapat ketentuan yang jelas tentang gaji ...................................... 34
B.
Jika tidak ada ketentuan yang jelas tentang gaji ..................................... 34
Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 35 A.
Mengklaim utang yang terkait dengan kontrak berdasarkan perjanjian tertulis ...................................................................................................... 36
B.
Menerapkan janji secara lisan yang dibuat oleh pemberi kerja .............. 38
C.
Pembatalan kontrak................................................................................. 48
D.
Menerapkan kontrak yangditandatangani di luar negeri ......................... 49
i
3.
E.
Menerapkan kontrak kerja dari pekerja yang tidak memiliki izin kerja yang sah ........................................................................................................... 51
F.
Menyikapi masalah ketentuan yang tidak jelas dan bertentangan – mengidentifikasi ketentuan kontrak yang dapat diberlakukan ................ 54
PEMBAYARAN ILEGAL DAN PEMOTONGAN GAJI ....................................................... 55 I.
Gambaran umum ..................................................................................................... 55 A.
Pemotongan gaji secara tidak resmi oleh pemberi kerja ........................ 56
B.
Pemotongan gaji secara tidak resmi oleh agen tenaga kerja ................. 57
II.
Contoh umum pemotongan gaji ilegal .................................................................. 58
III.
Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 59 A.
4.
PERMASALAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA YANG TIDAK TERKAIT DENGAN GAJI 60 I.
II.
5.
Klaim atas pemotongan gaji klien secara tidak resmi ............................. 59
Gambaran umum ..................................................................................................... 60 A.
Kondisi dalam pekerjaan yang tidak terkait dengan gaji ......................... 60
B.
Pekerjaan yang ternyata tidak ada .......................................................... 61
Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 61 A.
Menerapkan ketentuan tersirat yang mengatur kondisi pekerjaan yang tidak terkait dengan gaji .......................................................................... 61
B.
Mengupayakan ganti rugi atas pengeluaran biaya yang dilakukan karena janji pekerjaan yang palsu ....................................................................... 62
KECELAKAAN YANG TERJADI DI TEMPAT KERJA ...................................................... 62 I.
Gambaran umum ..................................................................................................... 62
II.
Perbedaan antara klaim WICA dan klaim berdasarkan common law (tort of negligence)............................................................................................................... 63
III.
A.
Batasan waktu ......................................................................................... 63
B.
Jumlah yang kemungkinan diberikan ...................................................... 63
C.
Perbedaan dalam ketentuan pembuktian ............................................... 63
D.
Kebutuhan konseling ............................................................................... 63
UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA, Workplace Injury Compensation Act) ....................................................................................... 65 i.
Apakah kecelakaan yang terjadi di tempat kerja itu? .............................. 65
IV. Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 66
6.
A.
Mengajukan klaim berdasarkan Work Injury Compensation Act (WICA) 66
B.
Jenis cedera apa yang tercakup dalam WICA? ...................................... 66
C.
Mengajukan klaim pada common law berdasarkan tort of negligence ... 70
KEKERASAN FISIK DAN CEDERA LAINNYA YANG TIDAK TERKAIT DENGAN PEKERJAAN .................................................................................................................... 73 I.
Gambaran umum ..................................................................................................... 73
II.
Penyelesaian dan ketentuan .................................................................................. 73
ii
A.
Tindakan penganiayaan .......................................................................... 73
7.
KESIMPULAN ..................................................................................................................... 75
8.
ANALISA Black letter law DAN CASE LAW ..................................................................... 76 I.
Pendahuluan ............................................................................................................ 76
II.
Action for contractual debt .................................................................................... 76
III.
Economic duress .................................................................................................... 76
IV. Employment Act (Cap 90, 2009 Rev Ed Sing) ....................................................... 78 V.
Employment Agencies Act (Cap 92, 2012 Rev Ed Sing) ..................................... 92
VI. Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing) .............. 93 VII. Fraudulent misrepresentation................................................................................ 94 VIII. Illegality of contract ................................................................................................ 95 IX. Misrepresentation ................................................................................................. 100 X.
Oral promises ........................................................................................................ 106
XI. Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing) .......................................................... 109 XII. Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) .......................... 112 XIII. Workplace Safety and Health Act (Cap 354A, 2009 Rev Ed Sing) .................... 113 XIV. Tort.......................................................................................................................... 114
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN ............................................. 122 1.
2.
3.
PENDAHULUAN ............................................................................................................... 122 I.
Gambaran umum ................................................................................................... 122
II.
Buruh migran di Singapura – sebagai pemegang kartu izin kerja ................... 125
GAMBARAN UMUM DARI JALUR PENYELESAIAN YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN 125 I.
Melakukan negosiasi dengan pemberi kerja ...................................................... 126
II.
Mengajukan gugatan melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) ......... 127
III.
Mengajukan gugatan ke pengadilan perdata Singapura ................................... 128
PILIHAN HUKUM YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN DI SINGAPURA ............ 131 I.
Pendahuluan .......................................................................................................... 131
II.
Kesulitan untuk tetap tinggal di Singapura ........................................................ 131
III.
A.
Permasalahan imigrasi .......................................................................... 131
B.
Kartu pas khusus untuk tinggal sementara ........................................... 133
C.
Keterbatasan dalam memiliki kartu pas khusus .................................... 133
D.
Skema Pekerjaan Sementara (TJS, Temporary Job Scheme) ............. 134
E.
Pembatalan/berakhirnya masa berlaku izin kerja ................................. 135
Menggunakan jalur Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) .......................... 136 A.
Klaim berdasarkan UU Ketenagakerjaan (EA) ...................................... 137
B.
Klaim berdasarkan UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA) ......................................................................................... 139
iii
C.
Catatan tambahan ................................................................................. 140
IV. Memulai gugatan perdata ketika klien berada di Singapura ............................. 141
4.
A.
Mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Magistrate atau Pengadilan Negeri .................................................................................................... 142
B.
Security for costs ................................................................................... 148
C.
Mengajukan gugatan perdata ke Small Claims Tribunal (SCT) ............ 149
D.
Biaya proses hukum yang dikeluarkan.................................................. 151
E.
Batasan Waktu ...................................................................................... 154
PILIHAN HUKUM YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN DI NEGARA ASAL MEREKA 154 I.
Pendahuluan .......................................................................................................... 154
II.
Penerapan putusan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) atau pengadilan perdata ketika klien berada di luar negeri ...................................... 155
II.
A.
Beberapa catatan awal .......................................................................... 156
B.
Garnishee proceedings ......................................................................... 157
C.
Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS, Writ of Seizure and Sale) ............................................................................................................... 162
D.
Proses Insolvensi .................................................................................. 166
E.
Surat Kuasa (POA, Power of Attorney) ................................................. 171
F.
Pendekatan hukum yang lunak (Soft Law) dari Kemenaker – memasukkan pemberi kerja ke dalam daftar hitam .............................. 171
Memulai gugatan perdata atas nama klien di luar negeri ................................. 172 A.
Pilihan pengadilan ................................................................................. 172
B.
Kehadiran di pengadilan Singapura – berbagai cara untuk menyajikan bukti ....................................................................................................... 172
5.
KESIMPULAN ................................................................................................................... 178
6.
ANALISIS Black letter law DAN Case law ...................................................................... 178 I.
Pendahuluan .......................................................................................................... 178
II.
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing) ...................................................... 179
III.
Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing) ....................................................... 183
IV. Conveyancing and Law of Property Act (Cap 61, 1994 Rev Ed Sing) .............. 186 V.
Criminal Procedure Code (Cap 68, 2012 Rev Ed Sing) ...................................... 187
VI. Employment Act (Cap 91, 2009 Rev Ed Sing) ..................................................... 190 VII. Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing) ............ 193 VIII. Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing) .......................................................... 195 IX. Immigration Regulations (Cap 133, Reg 1, 1998 Rev Ed Sing) ......................... 200 X.
Limitations Act (Cap 163, 1996 Rev Ed Sing) ..................................................... 201
XI. Rules of Court (Cap 322, R 5, 2006 Rev Ed Sing)............................................... 204 XII. State Courts Act (Cap 321, 2007 Rev Ed Sing) ................................................... 222
iv
XIII. Supreme Court of Judicature Act (Cap 322, 2007 Rev Ed Sing) ...................... 222 XIV. Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) .......................... 223
BAB 4: MENCARI MITRA KERJA LOKAL ...................................................................... 231 1.
MENCARI MITRA KERJA KETIKA KLIEN MENINGGALKAN SINGAPURA ................ 231
2.
TANTANGAN UTAMA PADA PENDAMPINGAN HUKUM DARI JARAK JAUH ........... 232 I.
Tantangan telekomunikasi ................................................................................... 232
II.
Hambatan bahasa .................................................................................................. 232
III.
Perbedaan budaya dan kurangnya pemahaman tentang proses hukum ........ 233
IV. Waktu dan ketersediaan ....................................................................................... 233 3.
4.
BAGAIMANA MITRA KERJA LOKAL DAPAT MENDUKUNG PENDAMPINGAN JARAK JAUH 233 I.
Keuntungan memiliki mitra kerja lokal ............................................................... 233
II.
Praktisi hukum, paralegal dan non-hukum sebagai mitra kerja lokal ............. 234
MEMPERSIAPKAN PENDAMPINGAN JARAK JAUH .................................................... 234 I.
II.
5.
Bagi klien yang belum meninggalkan Singapura .............................................. 234 A.
Mengumpulkan kontak informasi yang relevan di tujuan klien .............. 235
B.
Menjelaskan dan menyediakan salinan tertulis dari tahap selanjutnya dan keseluruhan proses litigasi. Cantumkan langkah selanjutnya dan jadwalkan waktu untuk berbicara setelah klien telah kembali ke negara asal. ....................................................................................................... 235
C.
Prosedur lengkap yang memerlukan kehadiran klien ........................... 235
Bagi klien yang sedang atau telah meninggalkan Singapura .......................... 236 A.
Klien di Singapura yang harus segera kembali ..................................... 236
B.
Calon klien yang melakukan kontak pertama dengan Pengacara Singapura dari luar Singapura ............................................................... 237
CARA MENCARI MITRA KERJA LOKAL DI NEGARA ASAL KLIEN ............................ 237 I.
Asosiasi advokatnasional .................................................................................... 238
II.
Fakultas hukum (klinik hukum) ............................................................................ 238
III.
Organisasi masyarakat dan organisasi non-pemerintahan .............................. 239
IV. Institusi keagamaan yang relevan ....................................................................... 239 V. 6.
Organisasi internasional ...................................................................................... 240
MEMBANGUN KEMITRAAN DENGAN ORGANISASI PENGHUBUNG ........................ 242 I.
Menyaring mitra kerja potensial .......................................................................... 242 A.
Bagaimana reputasi mitra kerja? ........................................................... 242
B.
Apakah organisasi mitra kerja memiliki kemampuan bahasa yang memadai? .............................................................................................. 243
C.
Apakah terdapat kapasitas yang memadai untuk mendampingi pengacara? ............................................................................................ 243
II.
Membuat perjanjian resmi dengan mitra kerja ................................................... 243
III.
Menjaga hubungan dengan klien......................................................................... 243
v
IV. Mengumpulkan bukti dan mengambil deposisi (deposition) ........................... 244
7.
A.
Menjelaskan perbedaan penting dalam metode pengumpulan bukti .... 244
B.
Mengurus kehadiran dari jarak jauh di pengadilan Singapura .............. 244
PRAKTISI DARI NEGARA ASAL YANG MENCARI BANTUAN HUKUM DI SINGAPURA ................................................................................................................... 245 I.
Skema bantuan hukum di Singapura .................................................................. 246
II.
LSM yang relevan .................................................................................................. 246
III.
Organisasi keagamaan ......................................................................................... 246
IV. Kedutaan besar di Singapura ............................................................................... 247 8.
MELAKUKAN PENILAIAN atas TUNTUTAN KLIEN ....................................................... 247 I.
Seberapa banyak yang dapat diklaim oleh klien? ............................................. 247
II.
Menghitung biaya .................................................................................................. 247
III.
Melakukan penilaian atas bukti yang tersedia dan hambatan prosedural untuk mengajukan klaim ................................................................................................. 248
IV. Membayar biaya jaminan keamanan bagi pengadilan ...................................... 248 V.
Melakukan penilaian atas kepentingan klien dalam pengajuan klaim ............. 249
VI. Kesimpulan ............................................................................................................ 249
vi
Bab 1:
Pengenalan Terhadap Buruh Migran di Singapura oleh Sheila Hayre, National University of Singapore
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA 1.
PENDAHULUAN 1.1.
2.
I.
Bab ini memberikan gambaran umum tentang buruh migran di Singapura untuk membantu para pengacara agar dapat bekerja lebih efektif dengan klien buruh migran. Mula-mula akan dijelaskan tentang konteks sejarah, sosial, dan politik yang dihadapi buruh migran ketika mereka datang ke Singapura untuk bekerja. Kemudian akan diberikan sejumlah informasi latar belakang dan kerangka lintas-budaya agar dapat bekerja secara efektif dengan buruh migran ebagai klien. Bagian 2 akan membahas tentang kenaikan pesat perekonomian Singapura sejak kemerdekaan negara tersebut hampir lima puluh tahun yang lalu, dan ketergantungannya pada pekerja asing terampil dan tidak terampil untuk mengisi pertumbuhan tersebut. Bagian 3 akan memperkenalkan sejumlah konsep dasar yang diperlukan untuk memahami konteks buruh migran di Singapura, termasuk status unik dari pekerja rumah tangga asing; uang jaminan keamanan dibandingkan dengan sistem retribusi; dannonportabilitas dari Izin Kerja. Bab ini ditutup dengan tutorial tentang teknik untuk melakukan advokasi lintas-budaya ketika menjalin hubungan kerja dengan buruh migran.
SEJARAH SINGKAT SINGAPURA UNTUK WARGA DARI LUAR SINGAPURA Keajaiban Singapura 2.1.
Singapura adalah kota negara yang padat penduduk, sebuah pulau kecil seluas 604 kilometer persegi yang terletak di ujung wilayah selatan Malaysia.1 Populasinya sekitar 5,4 juta, dengan jumlah warga asing yang bukan penduduk sebesar lebih dari 1,5 juta serta penduduk tetap sebesar kurang lebihsetengah juta, yang mencakup hampir 39% populasi Singapura.2
2.2.
Bagi mereka yang tidak begitu faham dengansejarah Singapura, negara-kota tersebut memperoleh kemerdekaan dari Malaysia pada tahun 1965. Pada saat itu, Singapura sepertinya menghadapi masa depan ekonomi yang suram. Namun, hanya dalam beberapa dekade, Singapura telah membangun kembali identitas negara mereka sendiri, dengan melakukan perubahan besar di bidang politik dan ekonomi, melakukan transformasi dari negara berkembang menjadi salah satu negara terkaya di dunia. “Di bawah Lee Kuan Yew, Perdana Menteri Singapura selama periode tahun 1959 sampai 1990, negara tersebut mengalami perkembangan dan tumbuh makmur sebagai pusat industri ringan dan teknologi tinggi, ”dengan kondisi ekonomi yang bercirikan “efisiensi pemerintah,
1
Population and Land Area, Yearbook of Statistics Singapore, Januari 2014.
2
Eugene KB Tan, “Managing Female Foreign Domestic Workers in Singapore: Economic Pragmatism, Coercive Legal
Regulation, or Human Rights?” (2010) 43 Israel Law Review 99 at 103.
2
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
infrastruktur yang luar biasa, korupsi yang minimal, dan tenaga kerja terampil.”3 Hingga saat ini, Singapura bisa dikatakan sebagai negara terkaya di Asia Tenggara. Sebagian besar kemakmuran ini dapat dikaitkan dengan keberadaan warga negara asing dan tenaga kerja asing. II.
Migrasi awal ke Singapura dan demografi Singapura saat ini 2.3.
Pada awal tahun 1819, Singapura berkembang menjadi “pusat komersial kegiatan maritim” dimana para pedagang Inggris, Cina, India, Arab, dan Melayu berdatangan untuk melakukan transaksi perdagangan.4 “Sejak awal, Singapura menarik para pendatang dari seluruh dunia: Orang-orang dari keturunan Arab, Armenia, Bugis, Cina, Eropa, India, Jawa,dan Melayu.”5 Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika mulai tahun 1891, “Populasi Pulau Singapura terdiri dari 67 persen keturunan Cina, 20 persen Melayu dan 9 persen India.”6
2.4.
Saat ini, mayoritas warga Singapura adalah keturunan Cina (sekitar 77%), sedangkan keturunan Melayu sekitar 14%, sekitar 7,6% adalah keturunan India,dan sekitar1 %persen sisanya sebagian besar terdiri atas para pekerja dari Eurasia dan negara-negara barat.7 Meskipun demikian, Singapura saat ini adalah masyarakat multikultural dimana negara secara aktif mendorong interaksi rasial yang harmoni dan terintegrasi.8 Meskipun bahasa Inggris merupakan bahasa utama di Singapura, pemerintah mengakui empat bahasa resmi untuk mempromosikan persatuan nasional dan identitas nasional, yang mencakup
3
Malaysia and Singapore, (London, UK: Penguin 2010) pada halaman 45.
4
Kwa Chong Guan, Derek Heng, & Tan Tai Yong, Singapore: A 700-Year History: From Early Emporium to World City
(Singapore: National Archives of Singapore, 2009), pada halaman 79-82. 5
Chris Lydgate, Lee’s Law: How Singapore Crushes Dissent, (Melbourne: Scribe Publications, 2003), pada halaman
11. 6
Ibid. (kutipandihapus).
7
Malaysia and Singapore (London, UK: Penguin 2010) pada halaman 199. Lihat secara umum Saw Swee-Hock, The
Population of Singapore, 3d ed (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 2012), pada halaman 55-79.Orangorang Singapura keturunan Cina cukup beragam dan berbicara bahasa Hokkien, Teochew, Kanton, Hainan, Hakka, dan lainnya. Sebagai perbandingan, sebagian besar orang Singapura keturunan India datang dari India Utara dan berbicara bahasa Tamil. Lihat, contohnya, Bilver Singh, Politics and Governance in Singapore: An Introduction, 2d ed (Singapore: McGraw-Hill Education, 2012), halaman 115-16 8
“Sejak kerusuhan rasial di tahuan 1960-an, masyarakat telah jauh lebih rukun, dengan pemerintah melakukan segala
upaya untuk menjaga kerukunan tersebut.” Malaysia and Singapore (London, UK: Penguin 2010) halaman 199; lihat juga Bilver Singh, Politics and Governance in Singapore: An Introduction, 2d ed (Singapore: McGraw-Hill Education, 2012), halaman 126 (“Ketika Singapura memperoleh kemerdekaan di tahun 1965, pemerintah PAP menerapkan demokrasi budaya sebagai prinsip dasar dari negara baru tersebut. Pemerintah menyadari bahwa sulit untuk menumbuhkembangkan identitas dan budaya Singapura yang sama karena semua komunitas rasial memiliki identitas, bahasa dan budaya yang berbeda.Karena nilai-nilai etnis yang berbeda tidak dapat dihilangkan hanya untuk sebuah identitas nasional yang homogen, pemerintah memanfaatkan sebuah strategi untuk mengakomodasi karakteristik yang unik dari setiap kelompok etnis dengan membangun di atas kekuatan keberagaman etnis untuk mempertahankan stabilitas sosial dan nasional; pemerintah akan mempertahankan bangsa tersebut sebagai bangsa yang multiras, multikultural, multibahasa, dan multiagama.”)
3
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
bahasa Melayu, Cina Mandarin, dan Tamil. Banyak orang Singapura yang berkomunikasi dengan salah satu dari tiga bahasa tersebut selain bahasa Inggris. Agama juga dapat dipraktekkan secara bebas, dan banyak sekali ragam agama yang ada di Singapura.9 III.
Tenaga kerja asing, termasuk buruh migran 2.5.
Mengingat kebutuhan, Singapura terus menjadi negara bagi warga negara asing. “Karena tingkat fertilitas yang selalu rendah sejak tahun 1975, Singapura telah melonggarkankebijakan imigrasi mereka dalam rangka menarik warga negara asing untuk berkontribusi terhadap pemeliharaan ekspansi ekonomi pada tingkat tinggi dan terhadap pertumbuhan penduduk ketika mereka menjadi penduduk tetap, dan kemudian menjadi warga negara tetap […]”10 Kontribusi dari para imigran dan para buruh migran terhadap ekonomi Singapura tidak bisa dipungkiri: pada 1990-an, pekerja asing memberikan kontribusi sebesar 3,2 persen terhadap tingkat pertumbuhan PDB tahunan yang mencapai 7,8%.”11
2.6.
Dengan demikian, karena pertumbuhan ekonomi yang sangat cepat, tingkat kelahiran yang menurun, dan populasi yang semakin menua, Singapura terpaksa banyak bergantung pada “sejumlah tenaga kerja asing yang senantiasa bergantian dan terkendali” untuk melengkapi tenaga kerja lokal. Sejak Singapura mulai mengimpor pekerja asing pada tahun 1960, persentase populasi warga asing telah tumbuh secara stabil..Rekrutmen dilakukan secara selektif; pada tahun-tahun awal, rekrutmen tersebut hanya terbatas untuk warga Malaysia. Sejak awal tahun 1980-an, Singapura telah mencari pekerja asing dari luar Malaysia, dimana mereka menerima pekerja tidak terampil yang sebagian besar berasal dari negara-negara Asia lainnya. Pada akhir tahun 1980-an, negara Singapura memulai apa yang disebut sebagai‘kebijakan imigrasi yang inovatif, menggunakan kombinasi dari mekanisme harga dan kuota pekerjaan untuk mengatur arus masuk pekerja agar sesuai dengan kondisi pasar tenaga kerja domestik.’[...] [Pada tahun 2007,] diperkirakan 80% dari seluruh pekerja asing berada dalam kategori tenaga kerja tidak terampil.12
2.7.
9
Dengan demikian, “pemerintah Singapura telah membangun sebuah sistem secara hati-hati dimana berbagai jenis pekerjaan yang diberikan kepada buruh migran disesuaikan dengan kualifikasi mereka dan gaji bulanan mereka... Pemerintah juga telah menetapkan kebijakan yang berbeda pada saat merekrut orang asing yang berbakat[...] dan pekerja asing.”13 Ada tiga jenis pekerjaan yang
Pemeluk Budha terdiri dari 33,3%; Islam 14,7%; Kristen 18,3%; Tao 10,9%; Hindu 5,1%; dan sisa pemeluk lainnya
kurang dari 1%. Malaysia and Singapore (London, UK: Penguin 2010) pada halaman 45. 10
Theresa W. Devasahayam, “Placement and/or protection? Singapore’s labour policies and practices for temporary
women migrant workers,” (2010) 15:1 J Asia Pac Economy 45, pada halaman 47. 11
Ibid.
12
Ibid.
13
Ravi Chandran, “Management of Foreign Employees: A Singapore Perspective” (2008) 22 J Imm Asylum & Nat’lity L
350-357, 350.
4
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
ditawarkan: Kartu E Pass bagi mereka yang memiliki kualifikasi profesional dengan gaji tetap minimal $3.300;14 Kartu S-Pass bagi para pekerja terampil tingkat menengah dengan gaji tetap bulanan minimal $2.200; dan terakhir izin kerja bagi para pekerja berketrampilan rendah atau pekerja semi terampil.15 2.8.
Sistem kartu kerja pass Singapura bergantung pada perbedaan yang tajam antara “tenaga profesional asing”yang terampil dan “pekerja asing” yang kurang terampil atau tidak terampil atau “pekerja lepas”atau “buruh migran”(yang selanjutnya disebut “buruh migran”).16 “Tenaga profesional asing”mengacu pada pekerjaan atau pemegang kartuS-Pass yang memiliki kualifikasi profesional atau gelar spesialis; mereka bekerja dalam struktur yang lebih tinggi dari ekonomi Singapura dan berhak mengajukan permohonan nuntuk menjadi penduduk tetap. “Buruh migran” merujuk pada pekerja asing semi-terampil atau tidak terampil yang memperoleh Izin Kerja jangka pendek untuk melakukan pekerjaan – terutama dalam sektor jasa industri, konstruksi, dan dalam negeri – yang dihindari sebagian besar warga Singapura karena “kotor, berbahaya, dan tidak terhormat.” Mayoritas buruh migran ini berasal dari Republik Rakyat Cina, Indonesia, India, Bangladesh, Pakistan, Myanmar, Sri Lanka, Filipina, dan Thailand, sebagai bagian dari perjanjian bilateral antara Singapura dan negaranegara tersebut.17
2.9.
Advokat buruh migran telah mengkritisi sistem kartu Pass di Singapura sebagai lebih mengutamakan pertumbuhan ekonomi daripada perlindungan tempat kerja: “Singapura adalah negara yang sangat neo-liberal, yang telah mencapai perkembangan pesat melalui kebijakan pemerintahan yang kuat yang lebih mendahulukan kepentingan bisnis dan modal daripada tenaga kerja, terutamatenaga kerja asing[…]”18 “Sejak awal tahun 1980-an, alasan yang telah mendasari kebijakan ketenagakerjaan Singapura adalah memaksimalkan manfaat ekonomi sekaligus meminimalkan biaya sosial dan ekonomi, pola pikir yang telah lama diadopsi oleh negara terhadap pekerja asing.”19 Namun demikian, meskipun baru-baru ini terjadi peningkatan kekhawatiran yang berlebihan terhadap orang asing (xenophobia) di kalangan para pemilih Singapura pada pemilu tahun 2011, pemerintah telah “menunjukkan keseriusan yang lebih besar dalam menangani isu-isu buruh migran,” terutama yang
14
Seluruh mata uang dollar yang tercantum dalam bab ini adalah dollar Singapura kecuali jika disebutkan lain.
15
Lihat Ministry of Manpower, Foreign Manpower: Passes & Visas, online: Ministry of
Manpower
. [MOM, Passes & Visas]. 16
Cheah Wui Ling, “Migrant Workers as Citizens within the ASEAN Landscape: International Law and the Singapore
Experiment,” (2009) 1 Chinese J of Int’l L, 205–231. 17
Brenda S. A. Yeoh, “Singapore: Hungry for Foreign Workers at All Skill Levels,” Migration Policy Institute (Washington
D.C.: Migration Immigration Source, 2007) di: . 18
Sallie Yea, AKM Moshin, & Debbie Fordyce, A Thousand and One Days: Stories of Hardship from South Asian
Migran Workers in Singapore, pada halaman 5 (Singapore: Banglar Kantha Publications 2014) (hereinafter “1001 Days”). 19
Lihat Devasahayam, supra note 10 pada halaman 46.
5
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
berkenaan dengan perlindungan terhadap pekerja rumah tangga.20 Contohnya, terhitung bulan Januari 2013, berkat Kampanye Libur Sehari (Day Off Campaign) yang digalang oleh LSM yang bergerak di bidang buruh migran dan hak-hak kaum perempuan, semua pekerja rumah tangga asing (foreign domestic workers, FDWs) yang baru dikontrak akhirnya diberikan hak libur satu hari per minggu, meskipun masih banyak buruh migran yang masih berjuang untuk memperolehmanfaat dari keberadaan hak ini.21 Baru-baru ini, pemerintah telah mengusulkan Small Claims Employment Tribunal (pengadilan dengan pemeriksaan cepat atas tuntutan yang nilai gugatannya kecil) yang memutuskan perkara klaim yang diajukan oleh buruh migran.22 IV.
Identitas warga Singapura saat ini 2.10.
20
Meskipun menjadi bangsa para imigran, Singapura umumnya tidak menunjukkan identitas yang kuat dengan keberadaan para buruh migran ditengah-tengah mereka. ”Singapura yang dulu dan sekarang tetap merupakan masyarakat imigran. Kebijakan imigrasinya sangat dipengaruhi oleh rasa [ketidak] amanan dan kerentanan ekonomi.23 Dikelilingi oleh negara-negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam seperti Malaysia dan Indonesia, Singapura adalah satu-satunya negara dengan penduduk mayoritas dari kalangan etnis Cina di Asia Tenggara. Paradoksnya, kemakmuran dan pemerintahan yang kuat telah [...] memperburuk rasa tidak aman terhadap tetangganya.”24 Tidak
Ibid. Devasahayam mengutip berbagai perbaikan dalam UU yang ditujukan untuk melindungi PRTA, termasuk:
mendorong namun tidak mewajibkan standarisasi kontrak; memberikan satu hari libur; denda yang keras atas pelecehan dan perlakuan buruk; raising the minimum age limit and formal educational level of applicants; checks on employers and mad agencies; altered repatriation and employment procedures; requiring employers to pay for full medical care and a safe environment; etc. Ibid. di 51-55. 21
Lihat Jolovan Wham, “Still Struggling for a Weekly Day Off,” online: Workfair Singapore:
(mengutip Amelia Tan, The Straits Times, diterbitkan pada tanggal 24 Januari 2013). 22
Lihat Tan Chuan-Jin, “A Great Workforce, a Great Workplace - Working as One for a Better Singapore,” (keynote
address by Acting Minister for Manpower delivered at the MOM Workplan Seminar 2014, 24 April 2014), di: http://www.mom.gov.sg/newsroom/Pages/SpeechesDetail.aspx?listid=474>. 23
Baru-baru ini Singapura telah memberantas imigrasi ilegal. Negara ini terhubung dengan semenanjung Malaysia yang
dijembatani oleh regulasi ketat. Tidak adanya batas daratan dengan negara tetangga membuat penyelundupan yang tidak terdeteksi menjadi sulit, bahkan jika dilakukan melalui perairan. Karena pengendalian imigrasi di perbatasan yang ketat, hampir separuh imigrasi ilegal di Singapura yang ada saat ini terjadi ketika pengunjung masuk ke Singapura dengan menggunakan kartu izin kunjungan yang melebihi masa izin tinggal (overstay), atau ketika pekerja asing yang masuk menggunakan kartu izin kerja yang valid tetap tinggal di Singapura bahkan setelah kartu pass mereka kadaluwarsa atau telah dibatalkan. Migrasi ilegal ke Singapura akan dihukum keras, dan imigran ilegal terancam hukuman penjara maupun hukuman cambuk, sedangkan pemberi kerja yang mempekerjakan imigran ilegal menghadapi ancaman penjara, denda dan kemungkinan hukuman cambuk. 24
Eugene KB Tan, “Managing Female Foreign Domestic Workers in Singapore: Economic Pragmatism, Coercive Legal
Regulation, or Human Rights?” (2010) 43 Israel Law Review 99 pada halaman 103.
6
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
mengherankan, perubahan mengesankan yang telah terjadi selama beberapa dekade terakhir telah mempengaruhi sikap mereka terhadap para buruh migran. 2.11.
Meskipun negara tersebut memiliki sejarah yang berwarna sebagai sebuah pulau yangdihuni oleh para buruh migran dan pelaut yang berpengalaman,25 sebagian besar warga Singapura saat ini tidak mengidentifikasikan negara mereka sebagai negara imigran, walaupun setiap tahun mereka merayakan keragaman etnis mereka pada perayaan Hari Nasional. Meskipun banyak warga Singapura keturunan Cina dan India memiliki nenek moyang yang datang ke pulau tersebut sebagai saudagar, pedagang, rentenir, dan pekerja buruh, namun sebagian besar tidak berhubungan —apalagi berinteraksi — dengan para tenaga kerjaasing saat ini, bahkan mereka yang dulunyaberasal dari Cina, India, dan Malaysia.
2.12.
Tentu saja, ada faktor-faktor lain yang lebih mendasar yang mempengaruhi sikap wargaSingapura terhadap para pekerja asing: Untuk menampung lebih dari satu juta pekerja asing dengan baik ke negara tersebut, pemerintah telah menekankan bahwa keseimbangan etnis pada umumnya dapat dijaga dengan membawa masuk pekerja dan kaum pendatang dari Cina dan India secara proporsional. Meskipun demikian, perbedaan kebangsaan dan budaya antara warga Singapura dan warga negara asing telah mengakibatkan ketegangan sosial. Adanya sentimen tentang perbedaan budaya telah berlangsung bersama dengan pandangan murni tentang wargaasing di Singapura yang sudah padat penduduk sehingga mendorong persepsi di kalangan masyarakat bahwa warga Singapura sedang terdesak dari pekerjaan, sekolah, angkutan umum [,] dan lingkungan sekitar lainnya.26
2.13.
25
Salah satu masalah utama adalah bagaimana dan dimana untuk menampung dan “menjaga” populasi buruh migran yang terus tumbuh, karena harga perumahan sudah begitu tinggi di kalangan penduduk pribumi. Hal ini menimbulkan perdebatan yang kontroversial di Singapura, dan upaya untuk menjaga populasi buruh migran secara terpisah dan tidak terlihat belum sepenuhnya berhasil.27
Kwa Chong Guan, Derek Heng, & Tan Tai Yong, Singapore: A 700-Year History: From Early Emporium to World City
(Singapore: National Archives of Singapore, 2009), pada halaman 79-82. 26
Bilver Singh, Politics and Governance in Singapore: An Introduction, 2d ed (Singapore: McGraw-Hill Education,
2012), pada halaman 115-16 (kutipan dihapus). Kritikus Chris Lydgate mendeskripsikan mentalitas terkepung yang dimiliki Singapura: “Pada tanggal 9 Agustus 1965, Singapura menyatakan dirinya sebagai republik yang berdiri sendiri. Melalui penyataan sejarah, koloni Inggris terdahulu telah menjadi… Pulau kecil padat penduduk yang didonminasi oleh orang Cina, dikelilingi oleh raksasa yang bermusuhan, sebuah ibukota yang bergantung dari semenanjung Melayu… Menurut Menteri untuk Informasi dan Seni (Minister of Information and Arts) George Yeo: “Kesuksesan kami merupakan hasil dari kecemasan dan kecemasan tidak pernah dikurangi oleh kesuksesan.” Lihat Lydgate, supra note 5 pada halaman 11. Kecemasan ini yang mendorong para pemilih pada pemilihan umum di tahun 2011 untuk memberikan tekanan kepada pemerintah untuk membatasi akses untuk mendapatkan izin tinggal tetap dan kewarganegaraan. 27
Terutama, pada tahun 2012, pemerintah mulai memberlakukan persyaratan wisuda bagi semua mahasiswa hukum
yang mewajibkan mereka melakukan kerja pro bono minimal dua puluh empat jam selama menempuh kuliah. Lihat . Sejumlah mahasiswa hukum— mereka yang telah makmur karena
7
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
3.
MENJALIN HUBUNGAN KERJA DENGAN BURUH MIGRAN: SEJUMLAH RINTANGAN 3.1.
I.
Sebelum membahas teknik khusus untuk melakukan advokasi lintas-budaya ketika menjalin kerja dengan para buruh migran, pada bagian ini akan diperkenalkan sejumlah konsep latar belakang yang penting untuk memahami keadaan buruh migran di Singapura. Hal ini mencakup status unik dari pekerja rumah tangga asing, uang jaminan keamanan pemerintah dibandingkan dengan sistem retribusi, dan izin kerja yang tidak portabel.
Catatan tentang pekerja rumah tangga asing 3.2.
Kebanyakan warga Singapura menyebut para pekerja rumah tangga asing sebagai “pembantu”, “pelayan”, atau “bibi”. Sangat berbeda dengan sebutan terhormat “amah yang berseragam hitam putih” pada beberapa dekade lalu yang berasal dari Cina Selatan,28 sebagian besar pekerja rumah tangga asing di Singapura saat ini berasal dari Filipina dan Indonesia, “dengan sejumlah kecil dari Sri Lanka, Myanmar, dan India [,]" serta baru-baru ini, Kamboja. Terima kasih ditujukan terutama kepada PRT, yang telah merawat kalangan muda dan tua Singapura, dengan jumlah yang luar biasa sebesar 72% dari kaum perempuan Singapura saat ini bekerja diluar rumah.29
3.3.
Panduan ini akan menggunakan istilah yang lebih formal “pekerja rumah tangga asing” (yang selanjutnya disebut “PRTA”) sebagai pengakuan atas fakta bahwa kalangan perempuan ini adalah pekerja sehingga bisa dibilang layak untuk memperoleh hak-hak dan perlindungan sebagaimana yang diberikan kepada para pekerja lainnya berdasarkan hukum, meskipun dalam hal ini mereka hanya bekerja dalam lingkup domestik, di rumah, dan hanya melakukan “pekerjaan rumah tangga,”yang secara tradisional tidakdipandang sebagai pekerjaan yang
transformasi Singapura dan jaminan keuangan yang telah menyebabkan kemakmuran bagi mereka dan keluarga mereka — saat ini ingin melakukan lebih banyak hal, yang dapat diberikan kepada masyarakat dan, terutama, terhadap kelompok yang tidak memperoleh manfaat yang setara dari keajaiban ekonomi Singapura. Buruh migran yang berpenghasilan rendah telah memperoleh manfaat dari situasi ini. Desakan untuk melakukan lebih banyak pekerjaan pro bono telah menyebabkan mahasiswa hukum ikut merasakan sejumlah permasalahan yang dialami para buruh migran secara langsung —permasalahan yang kebanyakan tersembunyi akibat adanya pemisahan para pekerja secara fisik dan sosial di negara kota. Kebanyakan mahasiswa merasa terkejut dan khawatir ketika mereka mengetahui sejumlah kesulitan yang dihadapi oleh para pekerja ini —seperti gaji yang tidak dibayar, kondisi kerja yang membahayakan, pemulangan paksa, dll. — serta bertambahnya jumlah mahasiswa yang telah memilih melibatkan diri mereka dalam upaya untuk memperbaiki kesusahan para buruh migran di Singapura. 28
Ooi Keat Gin, “Domestic Servants Par Excellence: The Black and White Amahs of Malaysia and Singapore with
Special Reference to Penang” (1992), 65:2 Journal of the Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society 69. 29
Lihat contohnya Tan, supra note 24.
8
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
nyata.30 PRTA sebenarnya memang diminta untuk “tinggal” di rumah bersama dengan pemberi kerja mereka.31 3.4.
Sedikit sekali undang-undang tentang ketenagakerjaan Singapura yang berlaku untuk PRTA. Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas mengecualikan pekerja rumah tangga, bersama dengan kategori tertentu pekerja lainnya, mengecualikan mereka dari undang-undang tentang upah, persyaratan kontrak, kondisi kerja, cuti sakit dan liburan, serta kompensasi pekerja, dll.32 Sebagaimanayang dijelaskan oleh Eugene Tan: “Kebiasaan yang mengasosiasikan PRTA dengan lingkup domestik – yang didukung oleh persepsi tentang privasi, harmoni, kewajiban dan tanggung jawab keluarga– menghalangi pekerja tersebut terhadap akses penuh atas berbagai hak, karena rumah tidak dianggap sebagai tempat yang sesuai untuk mengatur hubungan antara pemberi kerja-karyawan yang sangat berbasis hak.”33
3.5.
Karena didominasi kaum perempuan, PRTA harus menghadapi batasan-batasan hukum secara khusus yang tidak dihadapi oleh pekerja asing lainnya. Pertama, mereka diwajibkan untuk menjalani pemeriksaan medis untuk memastikan mereka tidak terkena penyakit menular dan berkehamilan setiap enam bulan. Seorang PRTA yang tidak dapat memenuhi syarat pemeriksaan ini akan menghadapi sanksi pemulangan dengan segera.34 Melahirkan bayi di Singapura merupakan pelanggaran terhadap peraturan izin kerja. Selain itu, semua pekerja asing berketerampilan rendah yang memegang izin kerja – termasuk namun tidak terbatas pada PRTA– harus mengikuti “kebijakan pembatasan perkawinan Singapura, ”yang melarang pernikahan dengan warga negara Singapura atau Penduduk Tetap (Permanent Resident) di Singapura atau di luar Singapura, baik saat memiliki izin kerjaatau setelah izin kerja kedaluwarsa atau dihentikan.35 Pembatasan perkawinan ini tidak berlaku bagi pekerjaan atau pemegang KartuSPass, yang memiliki kualifikasi profesional atau keahlian khusus dan mereka, seperti yang baru disebutkan di atas, juga diperbolehkan untuk mengajukan permohonan menjadi penduduk tetap.36
3.6.
Tidak ada undang-undang yang mengatur upah minimum di Singapura. Pada umumnya, gaji PRTA berkisar dari $400 sampai $700 perbulan. Namun, gaji masih belum diatur dan sebenarnya bisa kurang dari $400 perbulan, terutama bagi PRTA yang kurang fasih berbahasa Inggris, yang kurang berpengetahuan, dan PRTA yang kurang tegas terhadap pemberi kerja mereka.
30
Lihat Tan, supra note 24 pada halaman 108.
31
Ibid.
32
Employment Act, Ch 91, Statutes of the Republic of Singapore (edisi revisi 2009).
33
Tan, supra note 24 pada halaman 108.
34
Ibid pada halaman 112.
35
Ibid pada halaman 112.
36
Lihat
application-process.aspx>.
9
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
II.
37
Retribusi bulanan dibandingkan uang jaminansekali bayar 3.7.
Bagi semua pekerja asing, penting untuk membedakan antara retribusi bulanan dan uang jaminan satu kali. Singkatnya, retribusi adalah pajak bulanan yang dikenakan oleh pemerintah Singapura terhadap tenaga kerja asing, sedangkan uang jaminan pemerintah adalah seperti uang deposit, yang akan hangus jika mereka, atau pekerja mereka, tidak memenuhi beberapa persyaratan tertentu.
A.
Retribusi
3.8.
Setiap pemberi kerja harus membayar retribusi bulanan untuk setiap pekerja asing yang diupah. Pembayaran ini pada dasarnya merupakan pajak pemerintah yang bertujuan untuk mendorong pemberi kerja agar tidak mempekerjakan karyawan asing atas karyawan lokal. Tercatat, jumlah retribusi yang dikenakan untuk mengupahi pekerja tidak terampil secara substansial lebih tinggi daripada pekerja asing professional (hingga $400 dibandingkan hanya $80 perbulan).37 Dalam kasus PRTA contohnya, pemberi kerja umumnya harus membayar retribusi sebesar $265 perbulan kepada pemerintah;38 beberapa pemberi kerja tercatat membayar pekerja mereka sendiri hanya $300 atau $400 per bulan. LSM yang bergerak di bidang buruh migran berpendapat bahwa tingginya tingkat retribusi – yang semuanya disetor secara langsung ke kas negara – secara substansial meningkatkan biaya untuk mengupah pekerja asing pada sektor pekerjaan-pekerjaan yang penduduk setempat tidak bersedia melakukannya. Hal ini menciptakan peluang bagi para pemberi kerjauntuk mengenakan biaya tambahan kepadapara pekerja dalam bentuk praktek eksploitasi pemotongan biaya.39
B.
Uang jaminan
3.9.
Sejak tahun 1986, semua pemberi kerja dari pemegang izin kerja non-Malaysia harus mengirimkan uang jaminan, saat ini sebesar S$5.000.00 per pekerja.40 Uang jaminan tersebut akan hangus jika pemberi kerja dianggap tidak mampu memastikan bahwa pekerjanya telah memenuhi persyaratan pekerjaan. Sebagai contoh, uang jaminan bisa hangus jika pemberi kerja tidak membayar biaya pemulangan pekerja atau keperluan lainnya atau, dalam teori, jika pemberi kerja tidak membayar gaji pekerja dan biaya pengobatan atau tidak memberikan
Para advokat dari LSM di bidang buruh migran telah memberikan argumen secara lebih umum bahwa mengenakan
retribusi lebih tinggi terhadap pekerja yang bergaji lebih rendah sepertinya bertentangan dengan harapan pada umumnya mengingat hampir semua warga Singapura dengan usia dewasa menginginkan pekerjaan profesional yang memerlukan keahlian dan pada umumnya menolak pekerjaan kasar, tanpa memperhatikan gaji. Lihat secara umum Devasahayam, supra note 10 pada halaman 49. 38
Lihat
apply/Pages/default.aspx#levy>. 39
Selain retribusi, pemerintah Singapura menerapkan kuota yang ketat pada sektor tertentu yang mempekerjakan
pekerja migran. Lihat . 40
Lihat Devasahayam, supra note 10 pada halaman 49.
10
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
akomodasi yang “layak”. Advokat LSM seperti Alex Au dari TWC2 (“Transient Workers Count Too”) berpendapat bahwa uang jaminan telah menciptakan sebuah sistem pengambilan kebijakan pribadi dimana pemberi kerja, yang tidak ingin kehilangan uang jaminan mereka, terpaksa harus memantau keberadaan karyawan mereka, “menyimpan” paspor dan dokumen identifikasi para pekerja mereka, dan bahkan terpaksa menggunakan perusahaan repatriasi untuk mencari dan memindahkan karyawan dengan paksa jika mereka menghilang. Pengambilan kebijakan ini bisa sangat mengerikan pada kasus PRTA, dimana pemberi kerja dapat mencegah mereka untuk memperoleh hari libur atau meninggalkan rumah tanpa ditemani karena rasa takut bahwa pekerja tersebut “mungkin berada di perusahaan yang buruk atau terlibat dalam kegiatan yang dapat melanggar persyaratan yang terkait dengan izin kerja, seperti menjadi hamil.41 Menurut para pengkritik kebijakan, keberadan uang jaminan tersebut meningkatkan peluang pemberi kerja untuk “menggunakan kekuasaan mereka hingga terjadinya tindakan yang sewenang-wenang.”42 3.10.
III.
Sayangnya bagi para buruh migran, meskipun jaminan dikenakan pada pemberi kerja (misalnya untuk membayar pekerja), Departemen Tenaga Kerja (Ministry of Manpower) tidak menggunakan jumlah uang jaminan yang hangus tersebut untuk memberikan ganti rugi bagi pekerja atas tuntutan terkait pekerjaan yang sah yang mereka ajukan terhadap pemberi kerja mereka, seperti gaji yang tidak dibayar, meskipun LSM telah menghimbauuntuk memperlakukannya.
Hukum secara teori versus hukum dalam praktek: realitas menyakitkan yang dihadapi buruhmigran di Singapura “Ketakutan atas hilangnya pekerjaan adalah dilema yang dihadapi oleh setiap pekerja yang ingin mengajukan pengaduanterhadap seorang pemberi kerja.”43 3.11.
Bagi mereka pemegang izin kerja yang menghadapi eksploitasi keuangan atau bahkan penderitaan fisik, untuk berbicara terus terang dapat menimbulkan resiko yang besar, sehingga sebagian besar dari mereka memilih untuk tetap diam.44 Hambatan terbesar seseorang untuk berbicara terus terang adalah hampir tidak mungkin adanya pengalihan pemberi kerja selagi tetap mempertahankan izin kerjanya. “Sistem izin kerja yang tidakfleksibel telah membatasi mobilitas kerja dan memungkinkan para pemberi kerjauntuk memutuskan hubungan kerjanya begitu saja yang membuat pekerja berada dalam kondisi yangdirugikan dan tidak
41
Ibid.
42
Ibid.
43
H.O.M.E. & TWC2, “Justice Delayed, Justice Denied: The Experiences of Migrant Workers in Singapore: 2010
Report” pada halaman 9 online: < http://twc2.org.sg/2010/12/15/justice-delayed-justice-denied/> (selanjutnya disebut dengan “Justice Delayed”). 44
Ketika pertama kali mereka mendengar cerita para buruh migran yang mentolelir pencurian gaji yang berulang
dansistematis — terutama dalam kasus PRTA, bahkan terkadang mengalami kekerasan fisik dan batin — tentu saja mahasiswa hukum mempertanyakan mengapa masih ada orang rasional yang mentolelir tindakan tersebut. Sebenarnya, pertanyaan yang lebih baik adalah dalam situasi mendesak yang dihadapi banyak buruh migran mengapa tidak ada orang rasional yang pernah mengungkapkan perkara ini, mengingat pentingnya permasalahan.
11
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
mampu melakukan tawar-menawar untuk memperoleh kondisi kerja yang lebih baik.”45 Jika pemberi kerja memutuskan untuk mengakhiri hubungan kerja dengan alasan apapun, pemberi kerja dapat secara sepihak membatalkan izin kerja dari seorang pekerja, terkadang dapat berlangsung cepat hanya dalam waktu satu hari,46 dan pekerja akan dipaksa untuk kembali ke negara asalnya. Hanya dalam kasus-kasus khusus tertentu Kementerian Tenaga Kerja Singapura (“Kemenaker”) mengizinkan pekerja dengan klaim yang sahuntuk memintapergantian pemberi kerja47 (Untuk keterangan lebih lanjut, lihat Bagian Kemenaker tentang “Program Kerja Sementara” di bawah pada 3.18). 3.12.
Secara umum, “para pekerja yang ingin berganti pemberi kerja harus kembali ke negara asal mereka sebelum mengajukanaplikasi baru untuk melamar pekerjaan di Singapura. Namun, hal ini merupakan pilihan yang terlalu mahal bagi kebanyakan pekerja, karena berarti mereka harus membayar biaya tambahan perekrutan atau “biaya agen” lagi.”48 Untuk sampai ke Singapura, kebanyakan pekerja harus membayar biaya yang sangat tinggi yang dibebankan oleh pihak agen dan perantara. Banyak diantara mereka yang harus menjual satu-satunya aset atau barang berharga mereka —termasuk tanah, rumah, atau perhiasan milik keluarga — atau mengambil utang yang besar, dari kerabat, bank dan rentenir untuk membayar biaya ini.49 Misalnya, banyak orang Bangladesh yang membayar S$8.000 atau lebih, untuk datang ke Singapura. Kondisi ini akan memerlukan waktu lebih dari 95 bulan (hampir 8 tahun) bagi seorangpekerja dariBangladesh sebagai pekerja pada pabrik garmen dengan upah minimum sebesar$85 perbulan utanguntuk melunasi utang tersebut.50
45
Lihat Justice Delayed, supra note 43 pada halaman 1.
46
Ibid.
47
Kecuali dalam kasus yang sangat terbatas, buruh migran tidak dapat mengalihkan izin kerjanya kepada buruh
lainnya. Hanya dalam kasus khusus tertentu Kemenaker mengizinkan buruh dengan alasan yang sah untuk mengajukan pergantian pemberi kerja. Jika hubungan kerja dihentikan, PRTA hanya diberikan waktu satu Minggu untuk mencari pemberi kerja lain atau menghadapi pemulangan, dan bahkan perpindahan tersebut memerlukan persetujuan dari pemberi kerja mereka sebelumnya. Ibid. 48
Ibid. Pada halaman 9. Pemutusan kontrak secara dini adalah kerugian yang sangat besar bagi buruh migran. Saat ini,
sistem migrasi internasional bagi pekerja bergaji rendah kebanyakan dikendalikan oleh perusahaan swasta dan individu di sepanjang perbatasan internasional. Sifat industri yang transnasional merupakan tantangan utama bagi pemerintah. Bisnis yang terkait dalam migrasi tenaga kerja menghasilkan keuntungan dengan mengenakan biayaataslayanan yang diberikan seperti pelatihan kerja dan penempatan kerja. Biaya ini kebanyakan diambil dari para buruh migran. Ibid. 49
Lihat Justice Delayed, supra note 43 pada halaman 9-10.
50
Ibid. “Secara rata-rata, biaya yang dibayarkan kepada agen sebesar minimal sepuluh bulan potensi gaji buruh migran
di Singapura.” Ibid. “Industri ini memiliki sifat buruk atas praktek yang tidak etis dan pelanggaran hak asasi manusia, dengan kritik terkeras yang menyamakannya dengan tindak perbudakan. Sistem yang ada saat ini mengambil keuntungan dari imigran yang berasal dari negara-negara yang secara ekonomi kurang berkembang dimana migrasi menjadi perkera yang penting bagi banyak orang untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Sebagaimana di negara tujuan lainnya, perekrutan buruh migran di Singapura didominasi oleh perusahaan swasta. Seorang buruh migran yang bekerja di Singapura mengeluarkan ribuan dollar biaya yang biasanya dibayarkan kepada agen tenaga kerja. … Biaya
12
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
3.13.
Selain itu, banyak buruh migran yang memilih untuk “tidak menggunakan hak mereka yang tertera dalam kontrak kerja karena takut akan menyulitkan diri mereka dan memperoleh ‘tanda hitam’ dalam ‘laporan kartu kerja’ mereka di Singapura,”51 yang bisa mempersulit mereka untuk kembali bekerja di Singapura pada masa yang akan datang. “Kemudahan yang sedemikian membuat pemberi kerja dapat memutuskan hubungan kerja dan membatalkan izin kerja dari pekerjanya membuat para pekerja rentan terhadap pemecatan yang tidak adil. Karena mengetahui bahwa para buruh migran menggantungkan mata pencahariannyakepada mereka, beberapa pemberi kerja menyalahgunakan kekuasaan ini dengan tujuan untuk mencegah para buruh migran melakukan pengaduan.”52 Mengingat kondisi ini, banyak pekerja yang paham atas situasi tersebut yang menunggu sampai izin kerja mereka sudah berakhir sebelum mengajukan klaim terhadap pemberi kerja mereka, bahkan jika mereka tahu bahwa klaim yang tidak segera dilakukan akan menimbulkan kecurigaan dan jumlah total ganti rugiyang mereka ajukan kemungkinan akan terbatas akibat tidak segera mengajukanklaim mereka pada waktu yang semestinya.
3.14.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para pekerja yang berada dalam situasi ini merasa bahwa mereka tidak bisa mengeluh ketika mereka tiba di Singapura dan mereka mendapati bahwa kenyataan yang dihadapi ternyata berbeda dari apa yang pernah dijanjikan: beberapa diantara merekatidak mendapatkan upah sebagaimana yang dijanjikan; sebagian lagi harus melakukan pembayaran kembali kepada pemberi kerja mereka; dan sebagian lainnya mengalamipemotongan gaji yang besar sebagai biaya akomodasi di bawah standard yang dulunya dijanjikan gratis. Tidak mengherankan jika banyak pekerja yang mencari bantuan untuk satu masalah yang akhirnya mengungkapkanadanya pelanggaran hukum ketenagakerjaan lain yang telah mereka alami. Misalnya, banyak sekali pekerja yang mencari bantuan dari LSM lokal Singapura setelah mengalami penderitaan akibatkecelakaan yang terkait dengan pekerjaan, hanya untuk mengungkapkan bahwa mereka belum mendapatkan gaji penuh mereka selama berbulan-bulan, atau pemberi kerja mereka telah secara rutin melanggar hukum dengan melakukan pemotongan terhadap gaji mereka.
3.15.
Kejadian di Singapura dimana pekerja terpaksa pulang lebih awal karena cedera atau karena pemutusan hubungan kerja yang tidak adil (hanya karena mereka mengajukan keluhan) seringkalimengenaskan. Setelah bekerja selama beberapa bulan, ada di antara merekayang pulang ke Indonesia dengan memiliki utang. Oleh itu, kondisi uangan mereka ternyata menjadi lebih buruk dibandingkan kondisi mereka sebelum datang ke Singapura.53
ini berbeda untuk tiap kebangsaan dan pekerjaan yang berbeda dan telah mengalami perubahan seiring dengan waktu.” Ibid pada halaman 9. 51
Lihat Devasahayam, supra note 10 pada halaman 52.
52
Lihat Justice Delayed, supra note 43 pada halaman 9.
53
Tentu saja, remitansi yang dikirim ke negara asal sebagai akibat dari kondisi ekonomi migran Singapura memberikan
manfaat pada berbagai negara di wilayah tersebut: Filipina sendiri menerima sekitar S$300 juta selama triwulan pertama tahun 2013 saja. Lihat misalnya; . Yang
13
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
3.16.
Keterbatasan darikartu pass khusus.54 Ketika pekerja memutuskan untuk mengajukan klaim terhadap pemberi kerja mereka sesuai dengan proses pengadilan ketenagakerjaan Kemenaker, izin kerja mereka dibatalkan, dan Kementerian tersebut menerbitkan Kartu Pass Khusus, yang membenarkan mereka untuk tetap tinggal di Singapura — tetapi tidak untuk bekerja — sampai kasus mereka diselesaikan. Para advokat berpendapat bahwa system Kartu Pass Khusus tersebut telah memojokkan para pekerja, membuat mereka harus memilih antara mengejar mata pencaharian mereka atau mengejar tuntutan hukum mereka: Memastikan agar para pekerja memperoleh keadilan dan kompensasi adalah proses yang sulit dan berlarut-larut... Proses penantian yang panjang dan tidak pasti... telah memberikan dampak yang merusak terhadap sisi kesehatan ekonomi, emosional dan fisik dari para pekerja akibat adanyapembatasan terhadap pekerjaan... Para buruh migran bisa mengalami penderitaan selama berbulan-bulan di Singapura dengan memegang jenis visa ini yang mana dapat berlangsung hingga bertahuntahun, yang membuat mereka menjadi contoh kasus pendatang ‘sementara secara permanen’. Sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu buruh migran tentang hal ini, “Singapura ibaratnyaseperti sebuah penjara bagi kami[.]”… Sepertinya bukan hanya pemberi kerja saja yang menghukum para pekerja yang berani memperjuangkan hakhak mereka, tetapi ternyatapihak otoritasvisa dari Kartu Pass Khusus semakin membuat mereka lebih terpuruk. Banyak pekerja laki-laki yang memegang Kartu Pass Khusus... yang mengalami penderitaan secara sosial dan emosional selama mereka memegang Kartu Pass Khusus dalam periode yang panjang dan tidak ada kepastian.55
3.17.
Tentu saja, banyak diantara para pekerja ini — tanpa makanan, perumahan, dan pekerjaan — yang kemudianmulai bekerja secara ilegal. Tanpa pembatasan pekerjaan dan gaji yang dikenakan oleh izin kerja mereka, para pekerja ini bisa mendapatkan berbagai pekerjaan dan seringkali bisa memperoleh penghasilan hingga $80 perhari, dibandingkan dengan $30 perhari atau kurang dari yang mereka terima ketika bekerja secara sah. Namun, mereka memiliki risiko terkenatuntutan pidana dan klaim tentang pekerjaan mereka terlepas. Banyak diantara mereka yang hidup dalam ketakutan apabila tertangkap, tetapi mereka merasa bahwa mereka tidak punya pilihan, setelah dibiarkan dalam kondisi tanpa
paling menyedihkan adalah cerita dari pekerja konstruksi asal Bangladesh yang kembali ke rumah dengan keadaan cedera permanen dan masih memiliki utangutang ribuan dolar kepada pemberi pinjaman uang lokal. Ia mengakui bawa sebelum ia datang, ia telah mendengar cerita-cerita tentang cedera dan utang yang melilit dari teman sebangsanya yang telah kembali ke rumah dari Singapura, tetapi ia menolak untuk mendengarkan. Lebih parah, ia yakin bahwa saat ia menceritakan ceritanya kepada teman sebangsanya, mereka juga akan menolak untuk mendengarkan – janji akan kesuksesan di Singapura terlalu menggiurkan untuk dilewatkan. 54
Lihat One Thousand and One Days, supra note 18 pada halaman 5.
55
Ibid.
14
BAB 1: PENGENALAN TERHADAP BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
sarana untuk mendukung diri mereka sendiri dan keluarga mereka.56 Masalah menjadi semakin rumit, mereka yang memilih untuk mengikuti sidang administratif di Kemenaker sering menghadapi kesaksian yang bertentangan tidak hanya dari pemberi kerja yang menyalahkan mereka saja, tetapi juga dari sesama kalangan rekan pekerja mereka, banyak diantara mereka yang memberi kesaksian palsu atas nama pemberi kerja mereka akibat rasa takut yang beralasan jika mereka harus kehilangan pekerjaan mereka sendiri. 3.18.
56
Skema pekerjaan sementara. Satu titik terang dalam perkara ini adalah adanyaSkema PekerjaanSementara (TJS, Temporary Job Scheme) yangmasih relatif baru. Kemenaker mengeluarkan izin kerja yang dapat diperbarui enam bulan sekali ini kepada para pekerja yang membantu pihak berwenangdalam melakukan investigasi sebagai saksi bagi jaksa penuntut.57 Sayangnya, TJS melakukan pengecualian terhadap pekerja tertentu: “para pekerja yang mengajukan klaim tunggakan gaji dan klaim kompensasi akibat cedera di tempat kerja tidak memenuhi syarat untuk mencari pekerjaan melalui TJS.”58 Selanjutnya, banyak pekerja yang mengalami kesulitan untuk memperoleh pekerjaan yang memenuhi syarat berdasarkansejumlah peraturandan perundangan yang diberlakukan oleh otoritas TJS.59
Amelia Tan, “Workers find illegal jobs though informal network,” The Straits Times (25 November 2013) di:
. 57
Lihat Justice Delayed, supra note 43 pada halaman 29.
58
Ibid.
59
Ibid.
15
Bab 2:
Masalah Hukum Yang Umum Terjadi Dan Penyelesaian Yang Ada
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA 1. I.
PENDAHULUAN Gambaran umum 1.1. Bab ini menyoroti masalah umum yang dihadapi oleh buruh migran dan menjabarkan substansi penyebab gugatan perdata yang ada. Tujuannya adalah untuk membantu para praktisi dalam mengevaluasi kasus yang dihadapi klien dalam mengidentifikasi klaim yang layak, mempertimbangkan unsur-unsur hukum, persyaratan pembuktian, beban pembuktian, dan mencari jalan keluar. 1.2. Bagian 2 mengkaji berbagai pilihan yang tersedia bagi para buruh migran dalam menghadapi masalah gaji yang tidak terbayar. Dalam tiga sub-bagian, akan dijabarkan tentang masalah perekrutan dan pekerjaan, termasuk undangundang yang terkait dengan undang-undang tentang ketenagakerjaan — terutama UU Ketenagakerjaan (EA, Employment Act) dan UU Ketenagakerjaan bagiTenaga Kerja Asing (EFMA, Employment of Foreign Manpower Act); sengketa gaji pada umumnya, yang dapat dibagi menjadi pembayaran gaji di bawah nilai yang telah disepakati dan sengketa atas jumlah gaji yang harus dibayar; serta penyelesaian hukum yang tersedia. 1.3. Masalah umum lainyang dihadapi para buruh migran adalah pembayaran ilegal dan pemotongan gaji oleh pemberi kerja atau agen tenaga kerja. Bagian 3 menyoroti berbagai bentuk pembayaran illegal dan pemotongan gaji yang harus dicermati oleh para praktisi, serta dasar tuntutan yang dapat dilakukan terhadap pemberi kerja atau agen tenaga kerja untuk memperoleh kembali jumlah uang tersebut. 1.4. Bagian 4 membahas dua masalah umum lain tentang perjanjian kerja yang tidak terkait dengan gaji: pelanggaran kondisi kerja yang tidak terkait dengan gaji dan janji pekerjaan yang ternyata tidak ada. Yang pertama memfokuskan pada kewajiban hukum dari pemberi kerjauntuk menanggung biaya perawatan dan pemeliharaan pekerja, sertauntuk memastikan adanya standar minimum tentang makanan dan akomodasi. 1.5. Selain permasalahan tentang gaji dan kontrak, beberapa pekerja mengalami kesulitan untuk mengajukan klaim kompensasi atas cedera yang terjadi di tempat kerja. Bagian 5 memaparkan dan membandingkan dua jalur utama dimana seorang pekerja yang cedera dapat mengajukan klaim atas cedera yang terjadi di tempat kerja — berdasarkan perundang-undangan (WICA) atau melalui tort of negligence (perbuatan ceroboh yang melanggar hukum) pada common law (peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada keputusan hakim dan adat-istiadat).
17
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
1.6. Pekerja juga dapat mengalami cedera di luar tempat kerja. Bagian 6 menyoroti klaim perdata yang tersedia bagi korban kekerasan fisik yang dilakukan oleh pemberi kerja mereka. 1.7. Bagian akhir terdiri dari perundang-undangan dan kasus terkait yang disebutkan dalam bab ini.
2.
MASALAH MENDASAR KETENAGAKERJAAN DAN SENGKETA GAJI 2.1. Bagian ini membahas persoalan mendasar ketenagakerjaan, sengketa gaji yang pada umumnya dialami buruh migran, dan solusi hukum yang tersedia. 2.2. Sebagai catatan awal, Singapura tidak memiliki standar upah minimum (tetapi badan tripartite merumuskan pedoman tentang upah).1 Hal ini berarti bahwa gaji karyawan, pada prinsipnya, tergantung pada hasil negosiasi antara pihak karyawan dan pemberi kerja. Namun dalam prakteknya, ketidakseimbangan kekuasaan antara pihak pemberi kerja dan karyawan berarti bahwa karyawan jarang dilibatkan dalam penentuanbesaran gaji. 2.3. Gaji yang tidak terbayarkan dapat mencakup kurangnya pembayaran atau tidak ada pembayaran sama sekali dari gaji yang disepakati. Klaim sederhana atas utang kontrak dapat melibatkan sengketa-sengketa fakta seperti saat pihak pemberi kerja mempertanyakan jumlah jam lembur yang dilakukan klien dan menolak untuk membayar kekurangan secara penuh. 2.4. Situasi yang lebih kompleks muncul jika masa berlakunya kontrak menjadi sengketa. Organisasi dari sektor buruh berupah rendah, pekerja berketerampilan rendah sering kali serampangan dan informal. Selama proses rekrutmen, migrasi, dan ketenagakerjaan, pihak agen tenaga kerja serta pemberi kerja dapat membuat gambarandan janji-janji yang tidak sesuai atau bahkan bertentangan.
I.
Masalah mendasar ketenagakerjaan 2.5. Sub-Bagian ini membahas A) masalah gaji yang mungkin timbul saat proses rekrutmen, B) Bagian utama dari perundang-undangan yang terkait dengan UU ketenagakerjaan-EA dan EFMA, dan C) rumusan untuk menghitung gaji yang dibayarkan kepada klien.
1
Terhitung sejak September 2014, pemberi kerja harus tunduk pada berbagai persyaratan izin sesuai dengan aturan
perizinan yang ditetapkan pemerintah dimana disyaratkan upah sebesar S$1000 di tingkat awal untuk petugas kebersihan. Namun demikian, peraturan ini hanya berlaku untuk “tenaga kerja yang bermukim di negara tersebut”. Pidato Ministry of Finance, “Speech By Mr Tharman Shanmugaratnam, Deputy Prime Minister & Minister for Finance, At The e2i Best Sourcing Symposium” (8 Januari) online: MOF Newsroom .
18
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
A.
Proses rekrutmen 2.6. Perekrutan buruh migran di Singapura didominasi oleh perusahaan swasta. 2 Untuk mendapatkan pekerjaan di Singapura, calon pekerja biasanya akan menghubungi agen pengerah tenaga kerja ketika masih berada di negara asal mereka. Agen ini seringkali membuat pernyataan atau janji-janji tentang peluang tawaran atau syarat dan kondisi kerja di negara penerima. Ketika calon pekerja telah sepakat untuk menerima pekerjaan yang diselenggarakan oleh agen tenaga kerja dinegara asal, tidak semua kesepakatan antara pihak agen dan calon pekerja yang tercatat secara tertulis dan kebanyakan masih sepenuhnya berupa kesepakatan lisan. 2.7. Buruh migran yang akan bekerja di Singapura seringkali membayar ribuan dolar untuk biaya penempatan. Tiga jenis umum dari biaya penempatan adalah: 1) 2) 3)
Biaya agen di negara asal; Biaya pusat pelatihan di negara asal; dan Biaya agen di negara penerima.
2.8. Wawancara yang dilakukan oleh Transient Workers Count Too (TWC2) mengungkapkan bahwa jumlah uang ini secara kebanyakan diperoleh dengan menjual asset properti, serta pinjaman dari kerabat, bank, dan/atau rentenir.3 selanjutnya, wawancara TWC2 ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, biaya yang dibayarkan kepada agen berjumlah setidaknya sebesar potensi pendapatan buruh migran selama sepuluh bulan. Biaya ini dapat bervariasi tergantung dari jenis kebangsaan dan pekerjaan, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. B.
Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan 2.9. Terlepas dari prinsipcommon law tentang kontrak perjanjian, kontrak kerja mengacu pada UU ketenagakerjaan4 (EA) dan UU ketenagakerjaan bagi tenaga kerja asing5 (EFMA). i.UU Ketenagakerjaan (EA) 2.10. EA adalah undang-undang ketenagakerjaan yang utama di Singapura, yang menentukan persyaratan dan kondisi kerja minimum. Untuk klien yang masuk dalam ruang lingkup dari EA, undang-undang menyediakan dua jalan bagi penyelesaian: 1)
2
Mengajukan klaim terhadap Komisioner Tenaga Kerja (Labour
Humanitarian Organisation for Migration Economics (H.O.M.E.) & Transient Workers Count Too (TWC2), Justice
Delayed, Justice Denied: The Experiences of Migrant Workers in Singapore, (Singapore: H.O.M.E. & TWC2, 2010), online: Transient Workers Count Too at 10 [HOME & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied]. 3
Ibid.
4
Employment Act (Cap 91, 2009 Rev Ed Sing) [EA]. Lihat Bab 2, Bagian 8.IV. untuk naskah teks UU tersebut.
5
Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing) [EFMA] Lihat Bab 2, Bagian 8.VI untuk naskah
teks UU tersebut.
19
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
2)
Commissioner) (yakni “Jalur Kementerian Tenaga Kerja” (“Ministry of Manpower Route“)); atau Mengajukan gugatan perdata melalui pengadilan 6 (yakni “Jalur perdata”).
2.11. Jika pemberi kerja melanggar hak yang diberikan oleh Undang-undang atau yang secara khusus diberikan oleh kontrak kerja, karyawan berhak untuk melakukan gugatan perdata atas pelanggaran kewajiban.7 Jalur perdata terbuka untuk klien selama proses dengan Komisioner Buruh (Labour Commissioner) tidak dilembagakan, atau, jika dilembagakan, belum berlanjut ke pengambilan keputusan berdasarkan UU;8 Lihat Bab 3, Bagian 3, untuk proses dari dua jalur tersebut. 2.12. Dalam hal kondisi pekerjaan, Bagian III dari EA (UU ketenagakerjaan) mengatur persyaratan tentang pembayaran gaji, dan Bagian IV menetapkan tentang pembayaran lembur dan kerja pada hari libur. Sebuah dasar atas kewajiban baru untuk menyimpan catatan pembayaran gaji dan hubungan kerja berdasarkan EA 2.13. Sejak tanggal 1 April 2016, perubahan terhadap EA mewajibkan pemberi kerja untuk menyediakan slip gaji yang terperinci9 dan ketentuan-ketentuan kerja penting10 untuk seluruh pekerja mereka sebagaimana yang diatur dalam EA. 2.14. Slip gaji yang terperinci dapat dikeluarkan dalam bentuk cetakan atau softcopy dan harus diberikan bersamaan dengan pembayaran gaji kepada pekerja atau dalam waktu 3 hari kerja setelah pembayaran dan harus dikeluarkan paling sedikit satu kali selama sebulan. Slip gaji ini harus memuat detil terkait pembayaran gaji pokok dari pekerja, pengurangan, dan jam kerja lembur. Para pekerja juga diharuskan untuk menyimpan catatan dari setiap slip gaji yang telah dikeluarkan selama dua tahun terakhir. Untuk mantan pekerja, catatan atas slip gaji selama dua tahun terakhir harus disumpan selama satu tahun setelah pekerja yang bersangkutan meninggalkan pekerjaannya. 2.15. Ketentuan-ketentuan kerja utama harus diberikan kepada para pekerja sebagaimana yang diatur didalam EA yang baru saja dipekerjakan pada atau setelah tanggal 1 April 2016 dan dipekerjakan untuk jangka waktu yang terus menerus selama 14 hari atau lebih. Ketentuan-ketentuan kerja utama ini harus dikeluarkan dalam bentuk cetakan atau softcopy dan harus memuat ketentuan sebagai berikut, kecuali ketentuan – ketentuan tersebut tidak berlaku: 1) 2) 3)
6
Nama dari pemberi kerja dan pekerja; Jabatan pekerjaan serta tugas dan tanggung jawab utama; Tanggal mulai pekerjaan;
Ravi Chandran, LexisNexis Annotated Statutes of Singapore Employment Act (Singapore: LexisNexis 2009) di 183
[Chandran, Annotated EA]. 7
Ibid di 188.
8
EA, supra note 4 di s 132.
9
EA Bagian 96. Harap mengacu Bab 2, Bagian 8.IV untuk ketentuan hukumnya.
10
EA Bagian 95A. Harap mengacu Bab 2, Bagian 8.IV untuk ketentuan hukumnya.
20
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14)
Durasi pekerjaan (apabila pekerja terikat dengan perjanjian kerja tetap); Pengaturan kerja, antara lain jam kerja harian, jumlah hari kerja setiap minggu, dan hari libur; Periode pembayaran gaji, yakni, pada tanggal berapa pembayaran dilaksanakan; Gaji pokok per periode pembayaran gaji Tunjangan tetap dan potongan per periode pembayaran gaji Pembayaran uang lembur; Komponen terkait gaji lainnya antara lain bonus dan insentif; Hak untuk cuti; Manfaat kesehatan; Masa percobaan; dan Periode pemberitahuan.
2.16. Kewajiban ini yang ditujukan kepada pemberi kerja untuk menjaga informasi terkait akan membantu para pekerja dalam membuktikan gugatan potensial atas tidak dibayarkannya gaji atau pelanggaran ketentuan kerja. Pemberi kerja yang gagal untuk memenuhi kewajiban ini dapat dikenakan sanksi administratif.11 Siapakah yang dianggap sebagai karyawan dalam UU Ketenagakerjaan (EA) 2.17. Berdasarkan EA, ‘karyawan’ (employee) adalah seseorang yang telah menandatangani atau bekerja berdasarkan kontrak kerja dengan seorang pemberi kerja, kecuali:12 1) 2) 3)
Awak kapal; Pekerja rumah tangga; dan Kalangan profesional, manajer dan eksekutif berpenghasilan lebih dari $4.500 per bulan.13
(PME)
yang
2.18. EA membuat sub-kategori “karyawan” untuk tujuan Bagian IV dari EA, yang memberikan upah minimum yang menjadi haknya. Bagian IV dari EA berlaku hanya untuk kategori karyawan yang ditetapkan dalam EA berikut ini: 1)
2)
11
Seluruh karyawan yang berada dalam ruang lingkup EA (selain pekerja manual (workmen) dan PME) yang berpenghasilan tidak lebih dari $2.500 per bulan (tidak termasuk upah lembur, bonus, gaji tahunan tambahan, dan tunjangan produktifitas); dan Seluruh“pekerja manual”(workmen) yang berpenghasilan tidak lebih dari $4.500 (tidak termasuk upah lembur, bonus, gaji tahunan tambahan, dan
EA Bagian 126A dan 126B, Harap mengacu Bab 2, Bagian 8.IV untuk ketentuan hukumnya. Jumlah dari sanksi
administratif yang dapat dikenakan terdapat dalam Lampiran Peraturan Ketenagakerjaan 2016 (Sanksi Administratif). Kementerian Tenaga Kerja telah memberitahukan bawha pemberi kerja akan diberikan satu tahun masa tenggang sejak 1 April 2016 untuk mengikuti ketentuan – ketentuan ini sebelum adanya pengenaan sanksi administratif, harap mengacu kepada pengumuman Kementerian Tenaga Kerja di . 12
Ibid, s 2(1).
13
Pengecualian ada pada Bagian IV, dimana semua PME tidak dianggap sebagai karyawan, Ibid, s 2(2).
21
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
tunjangan produktifitas).14 2.19. “Pekerja manual” didefinisikan oleh EA sebagai:15 1) 2)
3)
4)
Seseorang, baik terampil maupun tidak terampil, yang mengerjakan pekerjaan manual; Seseorang, selain staf administrasi yang dipekerjakan di bagian operasional atau perawatan kendaraan yang digerakkan secara mekanis yang membawa penumpang, untuk persewaan atau tujuan komersial; Seseorang yang dipekerjakan untuk melakukan pengawasan terhadap pekerja dan melakukan pekerjaan manual, dengan catatan waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan manual lebih dari separuh total waktu kerja dalam periode gaji; atau Seseorang yang disebutkan dalam Lampiran Utama (First Schedule) dari EA, yaitu petugas kebersihan; pekerja konstruksi; pekerja manual; operator dan perakit mesin; pekerja pengolahan logam dan perawatan mesin; masinis kereta, sopir bus, sopir truk, dan sopir van; inspektur kereta dan bus; serta seluruh pekerja yang dipekerjakan berdasarkan piece rate (satuan kerja yang dihasilkan) di tempat kerja.16
2.20. Tabel di bawah menjelaskan batasan dari ruang lingkup EA. Tabel 1: Ruang Lingkup dari UU Ketenagakerjaan (EA)
Pekerja manual
14
Ibid, s 35.
15
Ibid, s 2(1).
16
Ibid, First Schedule.
Bagian IIIPembayaran gaji
Bagian IV- Hari istirahat, jam kerja dan ketentuan kerja lainnya
Bagian X- Hak cuti liburan dan sakit
✓
Hanya berlaku jika gaji tidak melebihi $4.500
✓
22
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Bukan pekerja manual (workmen) (misalnya staf administrasi, sales)
✓
Hanya berlaku jika gaji tidak melebihi $2.500
✓
Kalangan profesional, manajer dan eksekutif (PME)
Hanya berlaku jika gaji tidak melebihi $4.500
✗
Hanya berlaku jika gaji tidak melebihi $4.500
2.21. Alasan yang diberikan untuk pengecualian awak kapal dari cakupan EA adalah karena memiliki sifat pekerjaan yang menuntut jam kerja yang lebih panjang dari jam kerja maksimum sebagaimana yang disebutkan yaitu 8 jam per hari.17 Perhatikan bahwa definisi dari “awak kapal” telah dijelaskan dengan mengecualikan individu yang pekerjaannya tidak berbasis di laut, seperti mereka di daratan yang melakukan pekerjaan di kapal, termasuk pilot, kuli pelabuhan, dan sejumlah orang yang dipekerjakan sementara di kapal selama berlabuh di pelabuhan.18 2.22. Begitu juga, alasan pengecualian pekerja rumah tangga adalah karena sifat pekerjaannya agak berbeda dari pekerjaan normal, yang membuat sulit untuk melakukan pengaturan atas persyaratan pekerjaan.19 Oleh karena itu, pengelolaan ketenagakerjaan dari pekerja rumah tangga asing diatur berdasarkan EFMA. ii. UU Ketenagakerjaan bagi Tenaga Kerja Asing (EFMA) 2.23. EFMA menyebutkan tanggung jawab dan kewajiban dari pemberi kerja terhadap buruh migran. EFMA tidak memberikan hak langsung atas gugatan perdata terhadap para pekerja ini. Namun, EFMA menetapkan kewajiban kepada pemberi kerja. EFMA mencakup seluruh “karyawan asing”, yang meliputi seluruh orang asing, selain mereka yang berwiraswasta sendiri, yang mencari atau ditawari pekerjaan di Singapura. 20 Hal ini mencakup pekerja rumah tangga asing (PRTA) yang dikecualikan dari perlindungan di bawah EA. 2.24. Peraturan penggunaan Tenaga Kerja Asing (Izin Kerja) tahun 2012 melengkapi
17
Parliamentary Debates Singapore: Official Report, vol 27 di col 651 (31 Juli 1968).
18
EA, supra note 4, s 2(1).
19
Parliamentary Debates Singapore: Official Report, vol 85 at col 998 (18 November 2008) [Parliamentary Debates vol
85]. 20
EFMA, supra note 5 di s 2. Lihat Bab 2, Bagian 8.VI untuk naskah teks UU tersebut.
23
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
EFMA dan menetapkan persyaratan pekerjaan bagi buruh migran yang terkait dengan keperluan, perawatan dan kesejahteraan mereka sebelum, selama, dan setelah periode kerja mereka. Peraturan terbagi antara persyaratan kerja bagi pekerja rumah tangga dan seluruh pekerja lainnya. Bagian I dan II dari Lampiran Empat (the Fourth Schedule) terkait dengan persyaratan kerja dari pekerja rumah tangga, sedangkan Bagian III dan IV terkait dengan persyaratan kerja dari pekerja selain pekerja rumah tangga. 2.25. Pelanggaran dari EFMA diperlakukan sebagai pelanggaran administratif atau tindak pidana. Pertanyaan tentang apakah seorang buruh migran dapat mengajukan tuntutan terhadap pemberi kerja mereka atas pelanggaran kewajiban sebagaimana ketentuan dalam EFMA masih belum teruji di pengadian Singapura. Namun, terdapat satu potensi argumen bahwa ketentuan dalam EFMA terdiri dari persyaratan yang hendaknya dicantumkan dalam peraturan pada kontrak kerja, yang memungkinkan terjadinya gugatan atas pelanggaran kontrak jika pemberi kerja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam EFMA. Argumen ini sesuai dengan keinginan parlemen yang menghendaki EFMA agar memberikan perlindungan mendasar terhadap buruh migran yang rentan.21 EFMA juga dapat menganggap kontrak tertentu ilegal. 2.26. Para pekerja juga seringkali dikenakan biaya untuk pelatihan kerja wajib yang diselenggarakan di pusat pelatihan di negera asal mereka dan/atau di Singapura. Tabel 2: Rentang komisi untuk agen yang dibayarkan oleh para pekerja India, Bangladesh dan China
Kebangsaan
Komisi untuk agen di negara asal
India
$6.00022 – $7.000
Bangladesh
$8.000 – $10.000
Cina
$3.000 - $7.000 bagi pekerja konstruksi. $8.000 hingga $10.000 bagi pekerja pada sektor layanan,
2.27. Selain komisi yang dibayarkan kepada agen di negara asal mereka, sejumlah buruh migran juga diminta untuk membayar biaya komisi pada saat kedatangan mereka kepada agen di Singapura. Menurut peraturan tentang agen pengerah
21
Parliamentary Debates vol 85, supra note 19.
22
Semua angka dolar yang tercantum dalam bab ini merujuk pada dolar Singapura kecuali dinyatakan lain.
24
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
tenaga kerja tahun 2011,23 agen tenaga kerja hanya diperbolehkan mengenakan biaya penempatan sebesar satu bulan gaji per tahun kontrak kerja atau per masa berlakunya Izin Kerja, tergantung pada masa yang paling pendek, dan diperlakukan batas atas sebanyak dua bulan gaji. 24 Dalam prakteknya, biaya penempatan yang dibayarkan kepada agen setempat dapat bervariasi antara $3.000 – $8.000 bagi selain pekerja rumah tangga,25 sedangkan biaya penempatan bagi pekerja rumah tangga rata-rata $1.900, yang setara dengan sekitar empat bulan gaji. 26 2.28. Setelah agen mempertemukan pekerja dengan pemberi kerja di Singapura, pemberi kerja harus mengajukan permohonan Izin Kerja atau kartu S-Pass27 untuk pekerja tersebut sebelum mempekerjakannya. Setelah menerima permohonan tersebut, Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) akan mengeluarkan persetujuan prinsip (IPA, In-Principle Approval) yang menetapkan nama pemberi kerja, gaji bulanan pekerja, dan setiap tunjangan atau potongan yang berlaku.28 2.29. IPA adalah dokumen administratif yang dikeluarkan oleh Kemenaker, berdasarkan permohonan dari pemberi kerja atau agen, dan tentu saja bukan merupakan kontrak kerja29 Meskipun pekerja dapat mengetahui persyaratan dan kondisi dari IPA, karena seharusnya mereka memperoleh salinannya dalam bahasa ibunya, namun dokumen tersebut hanya sebagai bukti kontrak antara pemberi kerja dan pekerja, tetapi dokumen tersebut bukan kontrak kerja. 2.30. Begitu mereka sampai di Singapura, pekerja dapat menandatangani atau tidak menandatangani kontrak baru dengan pemberi kerja. Jika tidak ada kontrak baru, IPA merupakan salah satu bukti bahwa terdapat perjanjian antara pihak pekerja dan pemberi kerja mereka. 2.31. Proses yang rumit dari penempatan kerja lintas-batas ini dapat menyebabkan adanya permasalahan dalam mengidentifikasikan perjanjian yang dapat diterapkan dan menunjukkan persyaratan khusus dari perjanjian. Kemungkinan yang ada mencakup:
23
Employment Agencies Rules 2011 (S 172/2011 Sing) [Employment Agencies Rules].
24
Ibid di s 12(1)(a).
25
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 26.
26
Amelia Tan, “10 maid agencies face temporary ban”, The Straits Times (13 April 2013) online: The Straits Times
. 27
Lihat Bab 3, Bagian 1.10 tentang Izin Kerja yang biasanya dipegang pekerja asing.
28
Lihat secara umum Singapore, Ministry of Manpower, Work Permit- Before you apply, (Singapore: Ministry of
Manpower, 2012), online: Ministry of Manpower . 29
Winsor Homes Ltd. v St. John's MunicIpal Council 20 Nfld. & P.E.I.R. 361; 53 APR 361 (1978); Halsbury's Laws of
England, Volume 22, 5th ed (Singapore: LexisNexis, 2012) di 191 ("Ini berarti bahwa, prima facie, tidak ada kontrak yang menyimpulkan secara jelas perlunya kesepakatan selanjutnya [...] Jika para pihak telah mencapai kesepakatan secara prinsip saja, mungkin dapat disimpulkan bahwa mereka belum selesai mencapai kesepakatan, misalnya: jika mereka membuat kesepakatan yang tergantung pada rincian atau tergantung pada kontrak; atau jika terdapat begitu banyak hal penting yang dibiarkan tidak pasti yang membuat perjanjian mereka tidak lengkap" di para 268).
25
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
1) 2) 3)
Perjanjian ganda dengan syarat dan kondisi yang berbeda dalam hal gaji; Pekerja menandatangani kontrak tanpa mengetahui syarat serta kondisi yang tertera; dan Kontrak tidak berlaku karena ilegal, karena pekerja tidak memiliki izin kerja yang masih berlaku.
2.32. Pada tingkat bukti, cara informal yakni sifat pengaturan pekerjaan yang tidak tertulis dan ketimpangan kekuasaan antara pemberi kerja dan pekerja berartidokumentasi tersebut seringkali kurang lengkap atau dapat dipalsukan dengan mudah oleh pemberi kerja. C.
Perhitungan gaji yang yang harus dibayarkan 2.33. Perhitungan gaji didasarkan pada EA, EFMA dan aturan utama dari kontrak. Referensi gaji dalam Bagian ini mencakup i. gaji pokok, ii. gaji lembur, iii. cuti istirahat berbayar, iv. cuti sakit berbayar, v. cuti tahunan berbayar, vi. ciburan berbayar, serta persyaratan dan kondisi kontrak lainnya yang terkait dengan gaji. 2.34. Gaji seorang pekerja bisa dihitung dengan basis bulanan, harian, jam-jaman atau untuk tiap item pekerjaan (misalnya pembayaran untuk tiap pekerjaan yang diselesaikan). Perhitungan tingkat gaji kotor dan gaji pokok bagi pekerja tergantung dari apakah mereka dibayar berbasis bulanan atau untuk item pekerjaan, dan apakah mereka bekerja secara reguler atau secara bergilir.
i.
Perhitungan gaji yang yang harus dibayarkan untuk kerja lembur 2.35. Pemberi kerja diwajibkan untuk membayar pekerja sebagaimana yang tercakup dalam Bagian IV dari EA untuk kerja lembur.30 Upah kerja lembur yang harus dibayarkan kepada pekerja non manual ditentukan berdasarkan batas gaji pokok bulanan sebesar $2.250.31 2.36. Seorang pekerja berhak untuk memperoleh gaji lembur jika mereka, atas permintaan pemberi kerja, bekerja lebih dari 8 jam sehari,32 atau lebih dari 44 jam dalam satu minggu.33 Kerja lembur harus dibayar minimal sebesar 1,5 kali
30
Untuk karyawan yang tercakup dalam Bagian IV dari EA, Lihat Bagian 2.17-2.19.
31
EA, supra note 4, Fourth Schedule.
32
Ibid, s 38(4). Jika disepakati sesuai kontrak kerja bahwa pekerja diwajibkan untuk bekerja kurang dari 8 jam dalam
satu hari atau lebih dalam seminggu, atau diwajibkan bekerja tidak lebih dari 5 hari dalam seminggu, batas jam kerja sebesar 8 jam sehari dapat dilampaui. Namun demikian, pekerja tidak boleh bekerja lebih dari 9 jam per hari atau 44 jam dalam seminggu, EA, supra note 4, s 38(1). Dalam situasi seperti ini, yaitu jika diminta oleh pemberi kerja untuk bekerja lebih dari 9 jam per hari atau lebih dari 44 jam seminggu, maka pekerja tersebut berhak atas uang lembur. 33
Ibid. Jika disepakati dalam kontrak kerja bahwa pekerja diharuskan bekerja kurang dari 44 jam setiap minggu
berselang, maka batas waktu 44 jam dalam seminggu dapat dilampaui dalam selang minggu berikutnya. Namun demikian, pekerja tidak boleh bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu atau lebih dari 88 jam dalam jangka waktu 2 minggu secara terus-menerus. Dalam situasi seperti ini, pekerja berhak atas uang lembur jika diminta oleh pemberi
26
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
besar gaji pokok pekerja per jam.34 Rumus untuk menghitung gaji lembur adalah sebagai berikut: Tabel 3: Rumus untuk menghitung upah lembur 35 Untuk pekerja manual yang dipekerjakan berdasarkan gaji bulanan: 1,5 x jumlah jam kerja lembur
X
(12 x gaji pokok bulanan) (52 minggu x 44 jam)
Untuk pekerja non-manual yang memiliki gaji pokok bulanan kurang dari $2.250:
1,5 x jumlah jam kerja lembur
X
(12 x gaji pokok bulanan) (52 minggu x 44 jam)
Untuk pekerja non-manual yang memiliki gaji pokok bulanan $2.250 atau lebih:
1,5 x jumlah jam kerja lembur
(12 x $2.250)36 X (52 minggu x 44 jam)
kerja untuk bekerja lebih dari 48 jam dalam seminggu, atau lebih dari 88 jam dalam jangka waktu 2 minggu secara terus-menerus. 34
Ibid. Untuk tarif dasar upah pekerja per jam untuk menghitung pembayaran uang lembur lihat EA, supra note 4 Fourth
Schedule. 35
Diadopsi dari Tripartite Alliance for Fair & Progressive Employment Practices,Guide on Employment Laws for
Employers, online: Tripartite Alliance for Fair & Progressive Employment Practices [TAFEP Guide]. 36
EA, supra note 4, Fourth Schedule. Tarif uang lembur yang harus dibayarkan kepada pekerja non-manual dibatasi
pada gaji pokok bulanan sebesar $2250, sehingga harus dihitung berdasarkan angka tersebut.
27
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Tabel 4: Contoh Perhitungan Gaji Lembur (pekerja manual)37 Jenispekerja
Gaji
Rumus untuk menghitung gaji pokok per jam
Perhitungangaji pokok per jam
Jumlah jam kerja lembur
Gaji lembur
Bulanan
$800 per bulan
12 x gaji pokok bulanan
12 x $800
2 jam
$4,20 x 1,5 x 2 jam
52 x 44 52 x 44
= $12,60
= $4,20
Harian
$20 per hari
Gaji pokok harian Jumlah jam kerja dalam satu hari
37
TAFEP Guide, supra note 35.
28
$20
2 jam
8
$2,50 x 1,5 x 2 jam
= $2,50
= $7,50
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Tabel 5: Contoh Perhitungan Gaji Lembur (Pekerja non-manual)38 Jenispekerja
Gaji
Rumus untuk menghitung gaji pokok per jam
Perhitun gangaji pokok per jam
Jumlah jam kerja lembur
Gaji lembur
Bulanan
$1600 per bulan
12 x gaji pokok bulanan
12 x $1.600
4 jam
$8,40 x 1,5 x 4 jam
52 x 44
52 x 44
= $50,40
= $8,40
Bulanan
$2250 per bulan
12 x gaji pokok bulanan
12 x $2.250
52 x 44
52 x 44
2 jam
$11,80 x 1,5 x 2 jam = $35,40
= $11,80
Bulanan
$2400 per bulan
12 x $225039
12 x $2.250
2 jam
$11,80 x 1,5 x 2 jam
52 x 44 52 x 44
= $35,40
= $11,80
ii.
Perhitungan gaji yang harus dibayarkan untuk kerja sebulan yang tidak penuh 2.37. Gaji yang harus dibayarkan kepada pekerja bulanan untuk kerja sebulan yang tidak penuhdihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:40
38
Ibid.
39
EA, supra note 4, Fourth Schedule. Angka uang lembur yang harus dibayarkan kepada pekerja non-manual dibatasi
pada gaji pokok bulanan sebesar $2250, sehingga harus dihitung berdasarkan angka tersebut. 40
Ibid, s 20A(1).
29
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Gaji kotor bulanan Gaji yang dibayar = X Jumlah hari kerja pada bulan tersebut
Jumlah hari aktual dimana pekerja telah bekerja pada bulan tersebut
2.38. Gaji kotor bulanan mengacu pada jumlah uang, termasuk tunjangan yang harus dibayarkan kepada pekerja karena telah bekerja selama satu bulan, tetapi tidak mencakup: 1) 2) 3) 4)
Gaji tambahan melalui upah lembur, pemberian bonus, atau upah tahunan tambahan; Jumlah yang dibayarkan kepada pekerja sebagai penggantian biaya atas pengeluaran tertentu yang dibelanjakan selama bekerja; Pemberian insentif produktifitas; dan Tunjangan perjalanan, makanan, atau perumahan.41
2.39. Jumlah hari kerja dalam bulan tersebut tidak mencakup hari istirahat dan hari libur tetapi mencakup hari libur umum.42 2.40. Jumlah hari aktual dimana karyawan bekerja pada bulan tersebut mencakup hari libur umum, cuti rawat inap berbayar, atau cuti tahunan bagi yang berhak.43 2.41. Hari kerja selama lebih dari 5 jam dianggap sebagai satu hari kerja, sedangkan hari kerja selama 5 jam atau kurang dianggap sebagai setengah hari kerja.44 iii.
Perhitungan gaji yang harus dibayarkan atas pekerjaan yang dilakukan pada hari istirahat 2.42. Pekerja yang tercakup dalam Bagian IV dari EA45 berhak untuk beristirahat sehari penuh tiap minggu tanpa upah.46 Tarif upah akan lebih tinggi jika pekerjaan dilakukan pada hari istirahat. 2.43. Jumlah upah yang dibayarkan tergantung pada durasi kerja dan apakah permintaan kerja datang dari pekerja atau dari pemberi kerja. Besaran upah lembur yang harus dibayarkan kepada pekerja non-manual ditentukan berdasarkan batas gaji pokok bulanan sebesar $2.250.47
41
Ibid, s 2(1).
42
TAFEP Guide, supra note 35.
43
Ibid.
44
EA, supra note 4, s 20A(2).
45
Untuk karyawan yang tercakup dalam Bagian IV dari EA, Lihat Bagian 2.13 - 2.19.
46
Ibid, s 36.
47
Ibid, Fourth Schedule.
30
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Tabel 6: Rumus untuk menghitung pembayaran atas pekerjaan yang dilakukan pada hari istirahat48 Durasi kerja
Tidak lebih dari setengah jam kerja normal dalam sehari
Lebih dari setengah, tetapi tidak melebihi jam kerja normal dalam sehari
Lebih dari jam kerja normal dalam sehari 1. Satu hari gaji pokok; dan
Pekerja bekerja pada hari istirahat atas permintaan sendiri
Setengah hari gaji pokok
Satu hari gaji pokok
2. Upah lembur minimal 1,5 kali upah pokok per jam x Jumlah jam kerja lembur yang dilakukan 1. Dua hari gaji pokok; dan
Pekerja bekerja pada hari istirahat atas permintaan pemberi kerja
Satu hari gaji pokok
Dua hari gaji pokok
2. Upah lembur minimal 1,5 kali upah pokok per jam x Jumlah jam kerja lembur yang dilakukan
iv.
Hak cuti sakit berbayar 2.44. Bagian ini mencakup hak cuti sakit berbayar secara umum berdasarkan EA. Hak cuti ini harus dibedakan dari tunjangan cuti medisyang dapat diklaim berdasarkan UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA, Workplace Injury Compensation Act)49 yang dikhususkan untuk tunjangan cuti medis yang terkait dengan kecelakaan di tempatkerja. Untuk menghitung gaji
48
Diadopsi dari TAFEP Guide, supra note 35; EA, supra note 4, s 37.
49
Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) [WICA].
31
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
yang harus dibayarkan pada klien yang menjalani cuti medis yang terkait dengan kecelakaan di tempat kerja, lihat Bab 2, Bagian 5, Tabel 14. 2.45. Seluruh karyawan yang termasuk dalam EA berhak atas cuti sakit berbayar jika mereka memenuhi persyaratan berikut: 1) 2)
3)
Telah bekerja dengan pemberi kerja mereka setidaknya selama 3 bulan;50 Telah memperoleh surat keterangan medis dari dokter perusahaan. Jika tidak ada dokter perusahaan, karyawandapat memperoleh surat keterangan medis dari dokter pemerintah; 51 dan Telah menginformasikan kepada pemberi kerja tentang cuti sakit dalam 48 jam.52 Jumlah hari cuti sakit berbayar yang menjadi hak pekerja tergantung pada berapa lama mereka telah bekerja:
Tabel 7: Jumlah hari dari hak cuti sakit berbayar53 Jumlah bulan telah bekerja
Cuti sakit rawat jalan berbayar (hari kerja)
Cuti rawat inap berbayar (hari kerja)54
3 bulan
5
15
4 bulan
8
30
5 bulan
11
45
6 bulan ke atas
14
60
2.46. Jika karyawan telah bekerja setidaknya selama tiga bulan, pemberi kerja secara hukum wajib menanggung biaya pemeriksaan kesehatan, misalnya biaya konsultasi dokter. Untuk biaya medis lainnya seperti obat-obatan, pengobatan atau rawat inap, pemberi kerja wajib menanggung biaya tersebut tergantung pada tunjangan kesehatan yang disediakan dalam kontrak kerja karyawan.55 v.
Hak cuti hari libur berbayar 2.47. Karyawan berhak atas cuti hari libur berbayar berdasarkan tarif gaji kotor
50
Ibid, s 89(2).
51
Ibid, s 89(1), s 89(2). Kunjungi www.mom.gov.sg untuk daftar rumah sakit umum yang disetujui.
52
Ibid, s 89(4).
53
Diadopsi dari TAFEP Guide, supra note 35; EA, supra note 4, s 89(1), 89(2).
54
Hal ini meliputi semua cuti sakit rawat jalan, jika diambil.
55
TAFEP Guide, supra note 35.
32
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
mereka apabila satu dari sekian hari yang ditentukan dalam UU tentang hari libur (Holidays Act)56 jatuh pada waktu mereka dipekerjakan.57 Jika hari libur jatuh pada hari istirahat, hari kerja berikutnya setelah hari istirahat merupakan hari libur berbayar.58 2.48. Seorang pekerja yang diminta oleh pemberi kerjanya untuk bekerja pada hari libur umum tertentu berhak atas tambahan satu hari gaji berdasarkan tarif gaji pokok untuk satu hari kerjaselain tarif gaji kotoruntuk hari tersebut. 59 vi.
Hak cuti tahunan berbayar 2.49. Karyawan yang tercakup dalam Bagian IV dari EA berhak atas cuti tahunan berbayar jika mereka telah bekerja setidaknya selama tiga bulan. 60 2.50. Hak cuti tahunan diberikan berdasarkan kesepakatan antara pihak pekerja dan pemberi kerja. Namun, hak cuti tahunan tersebut tidak boleh kurang dari yang telah ditetapkan oleh EA sebagai berikut: Tabel 8: Jumlah hari dari hak cuti tahunan berbayar61 Tahun dari jasa yang berkesinambungan
Jumlah hari cuti
Pertama
7
Kedua
8
Ketiga
9
Keempat
10
Kelima
11
Keenam
12
Ketujuh
13
Kedelapan dan seterusnya
14
2.51. Karyawan yang telah bekerja selama lebih dari 3 bulan, tetapi kurang dari satu tahun berhak atas cuti tahunan dalam proporsi jumlah bulan yang telah dijalani
56
Hari libur nasional di Singapura adalah Tahun Baru, Tahun Baru Cina (dua hari), Hari Raya Idul Fitri, Hari Raya Idul
Adha, Jumat Agung, Hari Buruh, Hari Raya Waisak, Hari Kemerdekaan, Hari Raya Diwali, dan Hari Natal, Holidays Act (Cap 126, 2006 Rev Ed Sing), The Schedule. 57
EA, supra note 4, s 88(1).
58
Ibid.
59
Ibid, s 88(4).
60
Ibid, s 43. Untuk pekerja yang tercakup dalam Bagian IV dari EA, lihat Bagian 2.13 - 2.19.
61
Diambil dari TAFEP Guide, supra note 35; EA, supra note 4, s 43(1).
33
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
dalam tahun tersebut.62 II.
Contoh umum sengketa gaji 2.52. Sengketa tentang gaji biasanya masuk ke dalam salah satu dari dua kategori: A. jika besaran gaji yang telah disepakati disengketakan dan tujuannya adalah sekedar untuk mengklaim utang yang belum dibayar, atau B. jika besaran gaji disengketakan karena adanya berbagai persyaratan pembayaran yang tidak jelas. A.
Jika terdapat ketentuan yang jelas tentang gaji
2.53. Jika terdapat persyaratan kontrak secara tertulis atau lisan tentang besaran gaji yang tidak disengketakan, perhatian harus dipusatkan kepada masalah faktual yang menunjukkan bahwa sejumlah besaran gaji tersebut tidak dibayarkan kepada klien oleh pemberi kerja. Di bawah ini adalah contoh-contoh situasi dimana persyaratan kontrak yang jelas dapat ditemukan: i. Kontrak tertulis 2.54. Seorang pekerja menandatangani kontrak dengan seorang pemberi kerja. Pekerja tersebut memahami seluruh ketentuan dalam kontrak, yang sesuai dengan gaji yang ditetapkan dalam IPA. Pemberi kerja tidak mampu membayar gaji pegawainya secara penuh selama beberapa bulan. Pemberi kerja menunda pembayaran penuhgaji yang tertunggak yang menjadi hak pekerja hingga perusahan tersebut tutup. Pekerja tersebut tidak lagi dipekerjakan, dan ada sejumlah tunggakan gaji yang belum terbayarkan. Namun tidak ada praktek penggunaan tanda terima pada saat pembayaran gaji, dan pekerja tersebut mengalami kesulitan untuk menunjukkan bahwa mereka belum dibayar penuh selama beberapa bulan. ii. Kontrak lisan 2.55. Secara lisan, pekerja dijanjikan gaji yang lebih tinggi daripada yang tertera dalam IPA. Pemberi kerja secara rutin membayar mereka dengan gaji yang lebih tinggi, yang mana juga tercatat dalam slip pembayaran. Gaji pekerja tertunda pembayarannya selama beberapa bulan. Akhirnya, perusahaan tutup. Pekerja tersebut tidak lagi dipekerjakan, tunggakan gaji selama beberapa bulan belum dibayarkan. B.
Jika tidak ada ketentuan yang jelas tentang gaji
2.56. Jika terdapat banyak ketentuan yang membingungkan tentang gaji, masalah utama adalah mengidentifikasi ketentuan yang dapat diterapkan.
62
EA, supra note 4, s 43(2). Dalam menghitung proporsi hak cuti tahunan, angka yang kurang dari sehari harus
diabaikan, sementara angka yang mencapai separuh atau lebih harus dianggap sebagai satu hari, EA, supra note 4, s 43(3).
34
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
2.57. Berbagai ketentuan kontrak tentang gaji dapat timbul selama proses rekrutmen sebagaimana dijelaskan di atas dalam Bab 2, Bagian 2.II.B. Untuk mengidentifikasi ketentuan kontrak yang dapat diterapkan bergantung pada kondisi dimana perjanjian ingin dicapai, sifat dari perjanjian, isi dari ketentuan kontrak, dan dan perilaku para pihak selanjutnya. Di bawah ini adalah beberapa contoh dari kondisi dimana perjanjian ganda yang mungkin timbul dan kondisi dimana perjanjian tertulis dapat diperoleh: i.
Perjanjian ganda yang dilakukan dengan pihak yang berbeda mengandung ketentuan yang berbeda tentang gaji
2.58. Pekerja menandatangani kontrak dengan seorang agen di negara asal mereka. Kontrak tersebut menyebutkan bahwa gaji pekerja tersebut sebesar $X. IPA mereka juga menyebutkan bahwa mereka akan dibayar gaji pokok sebesar $X. Ketika tiba di Singapura, pemberi kerja atau agen tenaga kerja membuat pekerja tersebut menandatangani kontrak yang menyebutkan bahwa mereka akan dibayar dengan gaji pokok sebesar $Y, yang lebih rendah dari $X. ii.
Pekerja menandatangani kontrak tanpa memahami arti dari ketentuan-ketentuan yang ada
2.59. IPA dari pekerja menyediakan gaji pokok sebesar $X. Ketika tiba di Singapura, pemberi kerjaB membuat mereka menandatangani kontrak dalam bahasa inggris, yang tidak dapat dibaca oleh pekerja. Kontrak tersebut menyatakan bahwa pekerja akan dibayar dengan gaji pokok sebesar $Y, yang lebih rendah dari $X sebagaimana yang disebutkan dalam IPA. 2.60. IPA dari pekerja menyediakan gaji pokok sebesar $X. Ketika tiba di Singapura, pihak pemberi kerja memaksa mereka untuk menandatangani selembar kertas kosong. Kemudian, pemberi kerja mengisi kertas tersebut dengan kontrak yang menyatakan bahwa gaji pokok mereka adalah $Y, yang lebih rendah dari $X sebagaimana yang tertera dalam IPA. 2.61. IPA dari pekerja menyebutkan gaji pokok sebesar $X. Ketika tiba di Singapura, pihak pemberi kerja memaksa mereka untuk menandatangani kontrak yang dilipat sedemikian rupa sehingga mereka tidak dapat membaca ketentuan yang ada dalam kontrak. Kontrak tersebut menyatakan bahwa pekerja akan dibayar dengan gaji pokok sebesar $Y, yang lebih rendah dari $X sebagaimana tercantum dalam IPA. III.
Penyelesaian dan ketentuan 2.62. Berbagai macam situasi fakta yang terkait dengan perjanjian tentang gaji mungkin dapat timbul. Tujuan dari masing-masing klien dapat berbeda – satu klien mungkin ingin menerapkan kontrak yang ditandatangani di Singapura yang menjanjikan gaji lebih besar daripada IPA mereka, sedangkan yang lain ingin membatalkan kontrak yang ditandatangani di Singapura dan ingin menerapkan kontrak yang ditandatangani di negara asal. 2.63. Bagian ini menjabarkan berbagai tujuan yang ingin dicapai oleh klien serta berbagai macam tuntutan yang dapat dilayangkan untuk memperoleh capaian tersebut. Kemungkinan tujuan klien yang tercakup dalam bagian ini adalah:
35
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
A. ,mengklaim utang yang terkait dengan kontrak berdasarkan kontrak tertulis; B. menuntut penerapan janji lisan; C. membatalkan kontrak; D. menuntut diberlakukannya kontrak yang ditandatangani di luar negeri; E. menuntut diberlakukannya kontrak kerja dari pekerja yang tidak memiliki surat izin kerja yang sah; dan F. mengidentifikasi ketentuan yang kurang jelas dan/atau saling bertentangan yang dapat diterapkan. Masing-masing Bagian mencakup definisi hukum, elemen klaim, dan evaluasi potensi efektivitas klaim dalam konteks buruh migran. A. Mengklaim utang yang terkait dengan kontrak berdasarkan perjanjian tertulis 2.64. Jika terdapat kontrak tertulis yang jelas, klien dapat mengklaim sejumlah uang yang belum terbayarkan berdasarkan perjanjian tertulis. 2.65. Kesulitan yang kemungkinan timbul adalah dalam membuktikan gaji yang belum terbayarkan. Slip gaji atau pernyataan bank biasanya digunakan sebagai bukti pembayaran. Namun, catatan seperti itu dapat dengan mudah dipalsukan oleh pemberi kerja yang curang. i.
Mengajukan tuntutan atas utang berdasarkan perjanjian tertulis Definisi 2.66. Jika kontrak menyatakan tentang pemberian sejumlah uang sebagai pembayaran bagi pihak lain yang melakukan jasa, maka pihak yang melakukan jasa berhak atas uang tersebut setelah selesai melakukan jasanya. Jika pihak yang membayar gagal melakukannya, penyelesaian bagi pihak yang melakukan jasa adalah tuntutan utang untuk memperoleh sejumlah uang sesuai dengan kontrak. 2.67. Jika ketentuan dalam kontrak menyebutkan porsi pembayaran untuk tiap tahap kinerja (misalnya kontrak tersebut dapat terbagi) pihak yang mengajukan klaim dapat menuntut atas tiap Bagian harga kontrak tersebut pada saat pekerjaan terkait telah terselesaikan.63 Pekerja biasanya memiliki kontrak yang dapat terbagi seperti kontrak gaji bulanan, per jam, atau per item pekerjaan.64 Elemen 2.68. Pertama, klien harus membuktikan keberadaan ketentuan dalam kontrak yang menyatakan besaran kontrak gaji mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan menunjukkan kontrak tertulis. Jika tidak ada kontrak tertulis, lihat Bagian 2.III.B Pada bab ini tentang perjanjian lisan. 2.69. Kemudian,
klien
harus
membuktikan
bahwa
terdapat
utang
dengan
63
MP-Bilt Pte Ltd v Oey Widarto [1999] 1 SLR(R) 908 [55]; [1999] SGHC 70 [MP-Bilt].
64
EA menganggap perjanjian kerja sebagai sesuatu yang dapat terjadi secara terpisah sebagaimana terlihat dari rumus
untuk menghitung gaji. Berdasarkan EA, pekerja yang digaji secara bulanan dapat mengklaim gaji yang belum terbayar berdasarkan jumlah hari kerja aktual yang telah dikerjakan serta gaji untuk separuh hari pada saat mereka bekerja 5 jam atau kurang, dimana jangka waktu tersebut adalah kurang dari satu bulan, EA, supra note 4 di s 20As. Uang lembur dihitung per jam tanpa memandang dasar yang digunakan untuk menentukan tarif upah klien, EA, supra note 4 di s 37.
36
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
memberikan dokumentasi untuk menunjukkan bahwa mereka telah bekerja selama sejumlah jam kerja sehingga mereka mengklaim pembayaran, seperti laporan jam kerja klien. Sayangnya, para pekerja seringkali tidak memiliki akses terhadap dokumentasi mereka sendiri karena biasanya dipegang oleh pemberi kerja mereka. Pemberi kerja yang curang kemungkinan juga dapat memalsukan dokumen. 2.70. Alternatif terbaik berikutnya adalah dengan menyediakan catatan pribadi klien atas jumlah jam kerja yang telah dijalani. Jika klien masih dipekerjakan, mereka disarankan untuk menyimpan catatan mereka tentang jumlah jam kerja yang telah dijalani. Dokumen asli diperlukan (misalnya bukan hasil foto copy atau print-out). 2.71. Klien kemudian harus memberikan pernyataan bahwa gaji mereka belum dibayar selama sejumlah jam kerja yang telah dijalani. 2.72. Beban pembuktian (burden of proof) kemudian berpindah ke pemberi kerja untuk membuktikan pembayaran telah dibuat sebagai pembelaan terhadap klaim klien atas tuntutan utang, dimana pertimbangan dilakukan atas bentukjasa yang telah diberikan pekerja. Begitu utang terbukti ada, maka akan terus dianggap sebagai utang kecuali pembayaran atau penyelesaian dapat dibuktikan atau ditentukan oleh kondisi yang menunjukkan kemungkinan besar pembayaran telah terjadi.65 2.73. Jika pemberi kerja mampu menunjukkan tanda terima atau slip gaji, hal ini tidak berarti telah ada bukti kuat bahwa pembayaran telah dibuat. Masih ada kemungkinan pembayaran belum dilaksanakan sepenuhnya.66 fakta yang dapat menyangkal keterangan pemberi kerjatergantung pada masing-masing kasusnya. Evaluasi atas tuntutan terhadap utang 2.74. Bahkan jika klien menjaga agar kontrak tetap berjalan 67 dengan tetap bekerja meskipun pemberi kerja senantiasa melanggar kontrak dengan melakukan pembayaran gaji yang lebih rendah, klien dapat memperoleh kembali tiap kekurangan pembayaran gaji yang telah terakumulasi sebagai utang yang belum terbayarkan setelah melakukan pekerjaan. Klien tidak diwajibkan untuk mengurangi klaim atas utang tersebut.68 Namun, harus diperjelas bahwa berlanjutnya jasa klien merupakan penegasan atas kontrak dengan besaran gaji yang telah disepakati sebelumnya, dan bukan konfirmasi atas besaran gaji yang lebih rendah sebagai revisi ketentuan dari kontrak. 2.75. Mengajukan klaim atas utang yang terkait dengan kontrak terbuka bagi semua pekerja sepanjang mereka memiliki kontrak hukum tentang jasa dengan pemberi kerja. Untuk penerapan kontrak ilegal, lihat Bagian 2.III.E.
65
Young v Queensland Trustees Limited [1956] HCA 51. Lihat Bab 2, Bagian 8.II untuk ringkasan kasus.
66
Ibid.
67
MP-Bilt, supra note 63 di [57].
68
Ibid di [20].
37
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
B. Menerapkan janji secara lisan yang dibuat oleh pemberi kerja 2.76. Klien mungkin berkeinginan untuk menerapkan janji lisan yang dibuat oleh pemberi kerja mereka. Hal ini dapat terjadi jika pemberi kerja menjanjikan klien secara lisan gaji yang lebih besar daripada yang dinyatakan dalam IPA, dimana tidak ada satupun perjanjian tertulis yang tersedia; atau jika pemberi kerja membuat janji lisan di luar kontrak tertulis, seperti pemberian bonus. Alternatif lainnya, klien mungkin berkeinginan untuk melakukan tuntutan atas kerugian yang ditimbulkandari misrepresentation (pernyataan yang keliru) yang dilakukan oleh pemberi kerja. Tantangan dalam kedua kasus tersebut terletak dalam pembuktian keberadaan dari janji lisan. i.
Mengajukan tuntutan atas utang yang berdasarkan kriteria bahwa janji lisan yang dibuat oleh pemberi kerja adalah ketentuan lisan dari kontrak
2.77. Karyawan dapat meminta kembali utang yang terkait kontrak dengan mengklaim bahwa janji lisan adalah ketentuan oral dari kontrak, ataukontrak yang sebagian tertulis, sebagian dalam bentuk lisan. 2.78. EA mengakui kontrak lisan dari jasa, baik secara eksplisit maupun implisit. 69 pengadilan juga mengakui kontrak pemberian jasa yang sebagian dalam bentuk lisan dan sebagian dalam bentuk tertulis. 70 Elemen 2.79. Untuk mengajukan tuntutan atas utang yang didasarkan pada janji lisan, penggugat harus menunjukkan bahwa 1) pernyataan tersebut merupakan penekanan tentang ketentuan khusus dari kontrak dan 2) pernyataan tersebut besar kemungkinan akan menjadi ketentuan yang disertakan ke dalam kontrak.71 Kedua elemen ini akan didiskusikan secararinci di bawah ini. 2.80. Menyertakan bukti yang tidak tertulis, janji lisan ke dalam bukti adalah memungkinkan, sepanjang tidak semua ketentuan telah dituliskan ke dalam kontrak. Hal ini dikenal sebagai aturan “bukti bebas bersyarat”, dan dilindungi dalam UU tentang bukti.72 Namun, beberapa kontrak mencakup ketentuan yang menyatakan bahwa ketentuan tertulis mencakup keseluruhan kontrak (yang dikenal sebagai pasal “perjanjian keseluruhan”). Dalam kasus yang demikian, menjadi jauh lebih sulit untuk mengakui ketentuan lisan tambahan. 2.81. Kesaksian yang dilakukan oleh pemberi kerja dan pekerja dianggap mencukupi untuk membuktikan bahwa ketentuan lisan tentang gaji memang ada. Dalam
69
EA, supra note 4 di s 2(1). Lihat Bab 2, Bagian 8.IV untuk naskah teks UU tersebut.
70
Carmichael v National Power Plc, [1999] ICR 1226 [Carmichael]. Lihat Bab 2, Bagian 8.IV untuk ringkasan kasus.
71
Andrew B.L. Phang dan Goh Yihan, Contract Law in Singapore, (Singapore: Kluwer Law International, 2012) di para
1009, para 1012 [Phang dan Goh, Contract Law in Singapore]. 72
Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed), ss 93-100. Lihat juga also Zurich Insurance (Singapore) Pte Ltd v B-Gold
Interior Design & Construction Pte Ltd [2008] 3 SLR(R) 1029 and Sembcorp Marine Ltd v PPL Holdings Pte Ltd [2013] 4 SLR 193. Lihat Bab 2, Bagian 8.XI untuk ringkasan kasus.
38
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
kasus sebelumnya, pencarian ketentuan lisan telah dibuat berdasarkan kesaksian yang diberikan oleh seorang direktur eksekutif 73 dan seorang manajer.74 2.82. Ketentuan lisan juga dapat ditunjukkan oleh tindakan berikutnya. Hal ini tidak perlu bergantung terhadap ingatan pembicaraan secara jelasnya. Jika kedua pihak sepakat tentang apa yang mereka pahami sebagai kewajiban yang saling menguntungkan, bukti ini barangkali dapat dipertimbangkan. 75 saling memahami persetujuan lisan dapat tersirat dari proses penanganan, seperti pola pembayaran dari sejumlah uang yang dijanjikan selama suatu periode waktu. Dalam satu kasus, kontrak kerja dapat ditunjukkan dari tindakan tergugat berikutnya yang mengizinkan penggugat untuk bekerja di tempat kerjanya dan membayar gaji penggugat selama dua bulan. 76 Membedakan ketentuan yang eksplisit dari pernyataan 2.83. Bahkan jika apa yang dijanjikan oleh pemberi kerja dapat ditetapkan dengan jelas, tidak berarti bahwa hal tersebut telah disertakan ke dalam kontrak. Keterangan yang dibuat selama negosiasi bisa jadi hanya sebatas pernyataan saja, atau barangkali termasuk ketentuan kontrak yang mengikat secara hukum. 2.84. Ketentuan adalah janji dimana pemberi kerja memegang tanggung jawab yang terkait dengan kontrak, sedangkan pernyataan adalah keterangan yang semata-mata menegaskan kebenaran fakta di masa lalu maupun sekarang, dan mendorong seseorang agar membuat perjanjian. Pernyataan, jika benar pada saat itu, tidak mengikat pihak pemberi pernyataan secara hukum dan mereka dapat menarik kembali pernyataan mereka.77 2.85. Ada sejumlah faktor yang dapat membantu membedakan antara ketentuan dan pernyataan, termasuk a) keinginan objektif para pihak; b) tahapan transaksi pada saat pernyataan penting dibuat; c) melakukan ketentuan kontrak secara tertulis; dan d) pengetahuan khusus yang dimiliki pemberi kerja tentang pekerjaan tersebut. a)
Keinginan para pihak sebagaimana yang ditentukan secara objektif
2.86. Sekedar menyatakan bahwa fakta memang benar adanya tanpa janji (atau “jaminan”) atas kebenarannya adalah pernyataan saja. Pemberi kerja harus berniat memberikan jaminan mereka tentang kebenaran fakta.78 2.87. Jika pernyataan yang dibuat selama pembuatan kontrak dengan tujuan untuk mendorong klien agar menadatangani kontrak, terdapat alasan prima facie
73
Melaka Farm Resorts (M) Sdn Bhd v Hong Wei Seng, [2004] 6 MLJ 506 di [13] [Melaka Farm Resorts]. Lihat Bab 2,
Bagian 8.IV untuk ringkasan kasus. 74
Ibid.
75
Carmichael, supra note 70.
76
Melaka Farm Resorts, supra note 73.
77
Kleinwort Benson Ltd v Malaysia Mining Corporation BHD [1989] 1 WLR 379. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk
ringkasan kasus. 78
Oscar Chess Ltd v Williams [1957] 1 All ER 325. Lihat Bab 2, Bagian 8.XI untuk ringkasan kasus.
39
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
(memadai pada kesan pertama) untuk menyimpulkan bahwa pernyataan ditujukan sebagai jaminan, misalnya bahwa pemberi kerja berniat memberikan jaminan tentang kebenaran fakta.79 2.88. Pemberi kerja dapat menyangkal kesimpulan ini jika mereka dapat menunjukkan bahwa pihak mereka tidak bersalah dalam membuat pernyataan mengingat mereka berada dalam kondisi yang tidak masuk akal untuk terikat dengan pernyataan tersebut karena mereka tidak berada dalam posisi untuk mencari kebenaran.80 b)
Tahapan transaksi pada saat pernyataan penting dibuat
2.89. Pernyataan tersebut harus direncanakan sebagai ketentuan dari kontrak dan tidak hanya sebagai selingan saja pada tahap awal negosiasi. 2.90. Jika pernyataan tersebut dibuat mendekati proses pembuatan kontrak, kemungkinan besar pernyataan tersebut dianggap sebagai ketentuan dalam kontrak.81 c)
Melakukan ketentuan kontrak secara tertulis
2.91. Pertimbangan perlu dilakukan jika pernyataan lisan diikuti dengan melakukan ketentuan secara tertulis. 2.92. Jika para pihak menghendaki kontrak tersebut sebagai setengah tertulis, setengah lisan, pernyataan tersebut kemungkinan merupakan jaminan lisan terhadap kontrak tertulis,82 misalnya terdapat jaminan lisan yang merupakan bagian dari keseluruhan kontrak. Oleh karena itu, pernyataan lisan dapat dipertimbangkan sebagai ketentuan lisan dari kontrak, daripada pernyataan eksternal terhadap kontrak. d)
Pengetahuan khusus dari pemberi kerja
2.93. Jika terdapat informasi yang tidak berimbang, (misalnya salah satu pihak tahu lebih banyak daripada pihak lainnya) pengadilan cenderung menyalahkan pihak yang memiliki pengetahuan khusus, yang berada dalam posisi yang lebih baik untuk menemukan kebenaran.83 hampir semua pemberi kerja selalu memiliki pengetahuan yang lebih banyak tentang kondisi ketenagakerjaan daripada karyawan. 2.94. Begitu ketentuan lisan dapat dibuktikan, klien dapat mengklaim utang yang terkait dengan kontrak berdasarkan ketentuan tersebut.Silakan mengacu ke Bagian 2.III.A.i. yang membahas tentang melakukan tuntutan atas utang.
79
Dick Bentley Productions v Harold Smith Motors [1965] 2 All ER 65 [Dick Bentley]. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk
ringkasan kasus. 80
Ibid.
81
Bannerman v White [1861] 10 CBNS 844. Lihat Bab 2, Bagian 8.XI untuk ringkasan kasus.
82
Birch v Paramount Estates Ltd [1956] 167 Estates Gazette 396. Lihat Bab 2, Bagian 8.XI untuk ringkasan kasus.
83
Dick Bentley, supra note 79.
40
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Evaluasi untuk tuntutan terhadap utang dalam ketentuan lisan: 2.95. Ketentuan lisan akan lebih mudah dibuktikan jika terdapat bukti seperti slip gaji dari pembayaran atau rekaman percakapan sebelumnya. 2.96. Bahkan jika klien menjaga kontrak tetap berjalan 84 dengan melanjutkan bekerja meskipun pemberi kerja terus melakukan pelanggaran kontrak dengan pembayaran yang lebih rendah, klien dapat memperoleh kembali akumulasi tiap kekurangan pembayaran sebagai utang yang belum terbayarkan setelah melakukan pekerjaan. Klien tidak memiliki kewajiban untuk mengurangi klaim atas utang tersebut.85 2.97. Aturan ini hanya akan membantu klien untuk memperoleh kembali tiap kekurangan pembayaran atas pekerjaan yang telah dilakukan. Jika penggugat ingin mengklaim pembayaran mendatang di muka, mereka harus menerima pembatalan kontrak dan menuntut ganti kerugian, sehingga mereka dihadapkan pada aturan terkait upaya mitigasi (mengurangi) kerugian yang dialami. 2.98. Pengajuan klaim atas utang yang terkait dengan kontrak terbuka bagi semua pekerja selama mereka memiliki kontrak kerja yang sah dengan seorang pemberi kerja. Untuk penerapan kontrak ilegal, lihat Bagian 2.III.E. ii.
Melakukan tuntutan atas kerugian akibat misrepresentation (penyajian fakta yang keliru) yang dilakukan oleh pemberi kerja Definisi
2.99. Tuntutan atas misrepresentation barangkali lebih tepat jika pernyataan lisan bukan merupakan ketentuan kontrak, tetapi pernyataan tentang fakta masa lalu atau fakta yang ada yang secara material mendorong klien agar menandatangani kontrak kerja. Elemen 2.100. Untuk menetapkan misrepresentation, sejumlah elemen berikut harus ditemukan 1) pernyataan tentang fakta yang dibuat oleh salah satu pihak yang menandatangani kontrak kepada pihak lainnya; 2) pernyataan tersebut ternyata palsu; dan 3) pernyataan tersebut secara material telah mendorong pihak yang tidak bersalah menandatangani kontrak. 1)
Pernyataan tentang fakta yang dibuat oleh salah satu pihak yang menandatangi kontrak kepada pihak lainnya
2.101. Hanya pernyataan tentang fakta yang bisa menjadi operative misrepresentation (pernyataan operatif yang keliru). Pernyataan tentang fakta harus dibedakan dengan pernyataan tentang keinginan, pernyataan tentang opini, yang dijelaskan di bawah ini, begitu juga sales puffs (iklan yang berlebihan tentang
84
MP-Bilt, supra note 63 di [57].
85
Ibid di [20].
41
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
kualitas produk atau jasa).86 Beberapa faktor terkait yang menentukan apa yang dianggap sebagai pernyataan tentang fakta mencakup: pengetahuan para pihak yang menandatangani kontrak, posisi relatif dari para pihak yang menandatangani kontrak, kata-kata yang digunakan, dan hakikat permasalahan dalam kontrak. Membedakan pernyataan tentang fakta dengan pernyataaan tentang opini 2.102. Pernyataan tentang opini adalah pertimbangan subyektif yang tidak menyatakan kebenaran permasalahan. Pernyataan ini tidak dapat dipersalahkan meskipun jika opini tersebut ternyata tidak akurat. 87 2.103. Misalnya, pernyataan yang dibuat oleh agen dimana menurut pandangan mereka sendiri, pihak pemberi kerja tersebut adalah seseorang yang baik, hanyalah ungkapan opini saja, jika agen tersebut jujur. 2.104. Perkecualian adalah jika ada ketimpangan pengetahuan yang membuat pengadilan akan menyiratkan pernyataan faktual yang masuk akal untuk opini yang demikian.88 2.105. Jika agen membuat pernyataan yang sama seperti di atas, meskipun mengetahui bahwa pemberi kerja tidak dapat membayar gaji karyawan mereka selama beberapa bulan, pernyataan agen tersebut kemungkinan dapat dituntut berdasarkan kenyataan bahwa agen secara tersirat menyatakan bahwa dia mengetahui fakta yang mendukung opininya. Membedakan pernyataan tentang fakta dengan pernyataan tentang itikad 2.106. Pernyataan tentang fakta mengacu pada fakta masa lalu atau fakta yang ada, sedangkan pernyataan tentang itikad atau prediksi mengacu pada kelakuan di masa mendatang dan biasanya tidak dapat dituntut sebagai misrepresentation. 2.107. Pemberi kerja mungkin menyatakan bahwa akan ada kerja lembur untuk karyawan setiap minggu. Pernyataan ini hanyalah prediksi dari pekerjaan yang ada, dan tidak menjamin adanya kerja lembur bagi karyawan. 2.108. Namun, pernyataan tentang keinginan bisa merupakan janji, dan jika pernyataan tersebut menjadi ketentuan kontrak, ketidakmampuan pemberi kerja untuk melaksanakannya dapat dianggap sebagai pelanggaran. Lihat Bagian 2.III.B.i. tentang pengajuan gugatan atas utang berdasarkan ketentuan lisan dari kontrak. 2.109. Yang tertera dalam pernyataan tentang keinginan adalah pernyataan tentang fakta yang secara tersirat mewakili pemikiran pemberi kerja. Jika pemberi kerja telah menunjukkan secara salah (misalnya berbohong tentang) itikad dia pada saat pernyataan dibuat, maka terdapat pernyataan yang salah dari fakta yang ada, yang dapat dikategorikan sebagai misrepresentation dan oleh karena itu
86
Deutsche Bank AG v Chang Tse Wen [2012] SGHC 248 [Deutsche Bank]. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan
kasus. 87
Bisset v Wilkinson [1927] AC 177 NZ Privy Council. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
88
Smith v Land & House Property Corporation [1884] 28 Ch D 7. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
42
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
dapat digugat.89 2) Pernyataan tersebut ternyata palsu 2.110. Pada umumnya, pasti terdapat pernyataan tentang fakta yang salah yang merupakan pernyataan keliru yang operatif. Separuh kebenaran merupakan misrepresentation 2.111. Pernyataan yang benar, tetapi mengabaikan fakta material sehingga menciptakan kesan yang salah yang menyesatkan klien dapat menjadi operatif misrepresentation (pernyataan keliru yang operatif).90 Kewajiban yang berkelanjutan untuk mengoreksi pernyataan ketika kondisi berubah 2.112. Ada kewajiban yang berkelanjutan untuk mengoreksi pernyataan jika kondisi mengalami perubahan yang akan membuat pernyataan salah. Tidak melakukan apa-apa dapat dianggap sebagai operatif misrepresentationapabila kewajiban untuk mengungkapkan atau mengoreksi timbul.91 Misrepresentation dapat ditelusuri melalui perilaku 2.113. Misrepresentation secara tersirat dapat disimpulkan dari perilaku pemberi kerja.92 Pencegahan fakta misrepresentation
material
secara
sengaja
dapat
dianggap
sebagai
2.114. Meskipun tidak melakukan apa-apa pada umumnya tidak dapat dianggap sebagai operatif misrepresentation (pernyataan keliru yang operatif) jika tidak ada kewajiban untuk mengungkapkan, tidak melakukan apa-apa dapat dikategorikan sebagai misrpresentationjika terdapat upaya secara aktif untuk merahasiakan fakta-fakta penting yang jika diungkapkan akan membuat pernyataan menjadi tidak benar.93 3) Dorongan material 2.115. Setiap pernyataan yang palsu dari pemberi kerja secara material telah mendorong karyawan untuk menandatangani kontrak. Pernyataan tersebut seharusnya tidak menjadi satu-satunya dorongan; dorongan seharusnya relevan dengan kontrak. 2.116. Terdapat dorongan jika klien:
89
Deutsche Bank, supra note 86; Edgington v Fitzmaurice [1885] 29 Ch D 459. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan
kasus. 90
Dimmock v Hallett [1866] 2 Ch App 21. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
91
With v O’Flanaghan [1936] Ch 575. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
92
Spice Girls Ltd v Aprilla World Service BV [2002] EMLR 27. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus.
93
Trans-World (Aluminium) Ltd v Cornelder China (Singapore) [2003] 3 SLR 501. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk
ringkasan kasus.
43
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
a) b) c) d)
Sadar atas pernyataan tersebut; Tidak tahu bahwa pernyataan tersebut tidak benar; Mengacu pada pernyataan;94 dan Tidak memiliki dasar yang yang masuk akal untuk meragukankeakuratan dari pernyataaan. Fakta bahwa klien seharusnya dapat melakukan verifikasi atas keakuratan dari pernyataan bukan hal yang fatal terhadap klaim.95
Penyelesaian 2.117. Dua penyelesaian yang tersedia jika pernyataan yang keliru telah terbukti: 1) 2)
Klien dapat membatalkan kontrak sebagai akibat dari pernyataan yang keliru. Karyawan dapat menuntut ganti rugi berdasarkan dorongan untuk menandatangani kontrak akibat pernyataan yang keliru.
2.118. Terdapat beberapa jenis pernyataan yang keliru dan didiskusikan di bawah ini. Diantaranya adalah: 1) fraudulent misrepresentation (pernyataan yang keliru karena kecurangan); 2) negligent misrepresentation (pernyataan yang keliru karena kelalaian); 3) tindakan hukum tertulis atas pernyataan yang keliru karena kelalaian; dan 4) penyataan keliru yang tidak bersalah. Penyelesaian tersedia bagi klien tergantung pada jenis penyataan keliru yang ditemukan. 1) Misrepresentation: fraudulent misrepresentation Definisi 2.119. Fraudulent misrepresentation (pernyataan yang keliru karena kecurangan), atau kesalahan karena melakukan penipuan, berdasarkan tort law adalah penyebab timbulnya tuntutan hukum. 2.120. Fraudulent misrepresentation adalah “membuat pernyataan palsu secara sengaja dengan tujuan agar klien bertindak berdasarkan hal tersebut sehingga mereka melakukannya dan mengakibatkan kerugian.”96 Elemen 2.121. Pernyataan palsu seharusnya dibuat dengan sadar; a) Tanpa keyakinan atas kebenarannya; atau b) Tanpa mempedulikan apakah hal tersebut benar atau salah.97
94
Holmes v Jones (1907) 4 CLR 1692; Leow Chin Hua v Ng Poh Buan [2005] SGHC 39. Lihat Bab 2, Bagian 8.X untuk
ringkasan kasus. 95
Redgrave v Hurd [1881] 20 Ch D 1; Jurong Town Corporation v Wishing Star Ltd [2005] 3 SLR 283 SGCA. Lihat Bab
2, Bagian 8.X untuk ringkasan kasus tentang Redgrave v Hurd. 96
KEA Holdings Pte Ltd v Gan Boon Hock, [2000] 2 SLR(R) 333.
97
Derry v Peek [1889] 14 App Cas 337. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII untuk ringkasan kasus.
44
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Penyelesaian 2.122. Ada dua penyelesaian yang tersedia bagi klien: a) membatalkan kontrak dan meminta uang yang dibayarkan berdasarkan pernyataan yang keliru; dan b) mengklaim seluruh kerugian yang diakibatkan oleh pernyataan yang keliru. a)
Penyelesaian untuk fraudulent misrepresentation: membatalkan kontrak dan memulihkan reliance interest
2.123. Pembatalan kontrak menganggap seakan-akan perjanjian tersebut tidak pernah ada, dengan penyelesaian yang ditujukan untuk mengembalikan secara finansial posisi para pihak pada posisi sebelum kontrak. 2.124. Kontrak yang dibatalkan dalam konteks ini adalah kontrak kerja antara pihak pemberi kerja dan klien. Jumlah uang yang akan dikembalikan seharusnya dibayar berdasarkan pada kebergantungan (reliance) terhadap misrepresentation yang telah dibuat. Oleh karena itu, apa yang dapat diperoleh kembali tergantung pada waktu dimana misrepresentationtersebut dibuat oleh pemberi kerja terhadap klien. 2.125. Jika pemberi kerja menghubungi klien secara langsung ketika mereka masih berada di negara asal dan membuat misrepresentation pada saat itu, klien dapat memperoleh kembali biaya berikut:
Biaya pemusatan latihan; Biaya transportasi; dan Biaya lainnya yang dibayarkan kepada pemberi kerja atau Kemenaker pada saat tiba di Singapura.
2.126. Namun, kasus yang lebih sering terjadi adalah mula-mula klien menghubungi agen pengerah jasa tenaga kerja di negara asal mereka, bukan secara langsung menghubungi pemberi kerja. Dalam situasi ini, masih menjadi perdebatan apakah pemberi kerja masih bertanggung jawab atas pernyataan yang keliru karena curang sebabadanya hubungan prinsip antara pihak agen tenaga kerja dan pemberi kerja. 2.127. Agensi adalah hubungan yang timbul jika seseorang (agen) bertindak untuk pihak lain (prinsipal). Melalui tindakan agen, prinsipal dan pihak ketiga dapat membuat hubungan kontraktual. Agen tersebut memiliki kekuatan yang sedemikian karena prinsipal telah memberikan wewenangnya kepada agen untuk melakukan tindakan yang diperlukan dan agen telah menyepakatinya. 2.128. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa agen tenaga kerja adalah agen yang bertindak antara klien (pihak ketiga) dan pemberi kerja (prinsipal). 2.129. Oleh karena itu, jika agen bertindak dalam wewenang pemberi kerja, pemberi kerja dapat dianggap bertanggung jawab atas setiap pernyataan keliru yang dibuat oleh agen tenaga kerja. Jika demikian, selain biaya yang tersebut di atas, pemberi kerja juga bertanggung jawab atas biaya agen, yang dibayarkan berdasarkan pernyataan palsu yang dibuat oleh agen tenaga kerja yang berada dalam wewenang pemberi kerja. Sebagai catatan bahwa pada saat publikasi, argumen hukum ini masih belum diujicobakan dalam konteks ini di pengadilan Singapura. Jadi, litigasi strategis akan diperlukan untuk menentukan apakah hal ini merupakan garis argumen yang dapat dipertahankan di pengadilan.
45
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
2.130. Jika tidak ada hubungan prinsipal-agen yang dapat ditetapkan antara agen tenaga kerja dan pemberi kerja, atau agen tersebut bertindak di luar wewenang pemberi kerja, pemberi kerjatidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas pernyataan keliru yang dibuat oleh agen tenaga kerja. Klaim terhadap pernyataan yang keliru karena kecurangan dapat dilakukan terhadap agen tenaga kerja secara langsung. Dalam kasus yang demikian, kesalahan agensi harus dibuktikan.98 Alternatif lainnya, klien dapat melakukan klaim atas pelanggaran janji yang dilakukan oleh agen tenaga kerja yang bertindak dalam wewenang pemberi kerja. 2.131. Dalam kasus tersebut, klaim klien terhadap pemberi kerja akan terbatas pada pernyataan keliru yang dibuat oleh pemberi kerja itu sendiri ketika klien berada di Singapura. Tiap biaya yang dikeluarkan di negara asal menjadi tidak bisa diperoleh kembali di Singapura (meskipun ada kemungkinan dapat diperoleh kembali di negara asal klien). Klien hanya dapat melakukan klaim atas sejumlah uang yang telah dibayarkan setelah pernyataan yang keliru dari pemberi kerja. 2.132. Untuk membatalkan kontrak, klien harus secara jelas dan tegas mengkomunikasikan keputusan mereka untuk membatalkan kontrak kepada pemberi kerja. Komunikasi tentang pembatalan kontrak dapat dilakukan secara eksplisit atau implisit, dan melalui tindakan, tetapi jika memungkinkan, pekerja harus berusaha untuk membawa bukti dari pembicaraan dengan:
Rekaman suara pembicaraan; atau Video pembicaraan tersebut; dan Memastikan salah satu pihak menyebutkan nama dan identifikasi mereka. Batas pembatalan
2.133. Batasan terhadap pembatalan kontrak adalah: i.
Klien mengiyakan (misalnya memberikan persetujuan terhadap) kontrak setelah menyadari adanya kepalsuan dari pernyataan yang keliru; Adanya ketidakmungkinan atas ganti rugi; atau Jika hak untuk membatalkan tidak digunakan dalam rentang waktu yang memungkinkan.
ii. iii.
2.134. Jadi, ketika klien mencari bantuan hukum, tindakan untuk membatalkan kontrak harus dilakukan sesegera mungkin setelah menemukan bahwa pemberi kerja telah menyalahi ketentuan ketenagakerjaan. Jika klien menjalani kontrak dengan bekerja meskipun memahami tentang adanya pernyataan yang keliru dari pemberi kerja, tindakannya dapat dianggap sebagai suatu kesepakatan atas kontrak, misalnya menyetujui kontrak meskipun terdapat pernyataan yang keliru. b)
Penyelesaian terhadap fraudulent misrepresentation: Klien dapat mengklaim seluruh kerugian yang diakibatkan dari misrepresentation
2.135. Kerugian atas fraudulent misrepresentationdapat diklaim meskipun kontrak
98
MP-Bilt, supra note 63 di [21].
46
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
tersebut dibatalkan.99 2.136. Pemberian ganti rugi akibat fraudulent misrepresentationditujukan untuk menempatkan penggugat berada dalam posisi dimana jika pelanggaran hukum tidak dilakukan. Klien dapat memperoleh kembali kerugian yang seharusnya dapat mereka hindari jika pihak pemberi kerja berlaku jujur, termasuk kerugian langsung dan yang diakibatkannya 100 sebagai dampak dari 101 misrepresentation. Hal ini mencakup seluruh kerugian yang diakibatkan secara langsung dari klien yang menandatangani kontrak berdasarkan fraudulent misrepresentation, tanpa menghiraukan apakah kerugian yang sedemikian dapat diperkirakan.102 2)
Misrepresentation: misrepresentation
tuntutan
hukum
atas
negligent
2.137. UU tentang Misrepresentation (Misrepresentation Act) melengkapi negligent misrepresentation (pernyataan yang keliru karena kelalaian) yang berada di bawah tort law. Elemen 2.138. Klien harus membuktikan bahwa: a)Mereka menandatangani kontrak akibat misrepresentation; dan b)Mereka mengalami kerugian sebagai akibatnya. 2.139. Setelah memenuhi elemen-elemen ini, agen atau pemberi kerja akan menanggung beban untuk membuktikan bahwa mereka mempunyai alasan yang masuk akal untuk meyakini, dan benar-benar meyakini hingga saat kontrak dibuat, bahwa pernyataan mereka adalah benar.103 Penyelesaian 2.140. Untuk tindakan yang melanggar hukum, klaim ini memberikan hak kepada penggugat atas tingkat kerugian yang sama sebagaimana fraudulent misrepresentation.104 Tidak seperti kerugian akibat pelanggaran hukum yang disebabkan oleh kecerobohan, klaim yang berada di bawah Misrepresentation Act tidak dibatasi oleh apakah kerugian tersebut dapat diperkirakan oleh
99
Phang dan Goh, Contract Law in Singapore, supra note 71 di para 510.
100
Kerugian langsung adalah kerugian yang secara langsung sebagai akibat dari pelanggaran perjanjian, sedangkan
consequential remedies (konsekuensi upaya penyelesaian yang timbul) adalah kerugian dimana para pihak kemungkinan telah menganggap bahwa hal itu terjadi sebagai akibat dari pelanggaran tersebut. Contohnya, kerugian langsung karena keterlambatan kontraktor dalam menyelesaikan proyek yang melanggar kontrak adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelesaikan proyek tersebut, sedangkankonsekuensi kerugian yang muncul adalah kerugian dalam pendapatan usaha karena lambatnya penyelesaian proyek. 101
Wishing Star Ltd v Jurong Town Corp [2008] 2 SLR(R) 909 [21] – [26].
102
Ibid, di [28].
103
Misrepresentation Act (Cap 390, 1994 Rev Ed Sing), s 2(1).
104
Ibid.
47
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
pemberi kerja atau agen. 2.141. Pemutusan kontrak dapat dikabulkan dengan kebijaksanaan pengadilan (court’s discretion) dan tergantung pada batasan yang tercantum dalam paragraf 2.129. 3)
Misrepresentation: innocent misrepresentation
2.142. Jika misrepresentation dibuat tanpa kesalahan yang masuk dalam kategori fraudulent misrepresentationataunegligent misrepresentation, pengadilan memiliki keleluasaan untuk mengizinkan agar kontrak tersebut diputuskan atau memberikan ganti rugi akibat dari pemutusan tersebut.105 Evaluasi untuk melakukan tuntutan atas misrepresentation 2.143. Misrepresentation akan berguna jika pernyataan yang dibuat terlalu samar untuk dianggap sebagai ketentuan kontrak yang dapat diterapkan. 2.144. Tindakan atas misrepresentation dapat dilakukan jika bukti dari pernyataan aktual oleh pemberi kerja tersedia, seperti rekaman dari percakapan aktual. Hal ini memerlukan bukti dari pernyataan aktual yang dibuat, yang lebih sulit untuk ditunjukkan daripada ketentuan lisan yang dapat tersirat dari kebiasaan perilaku yang konsisten. 2.145. Penyelesaian dari pemutusan kontrak dapat terhambat jika jangka waktu yang masuk akal telah terlewati dan ada perilaku yang dapat diambil sebagai persetujuan atas kontrak. C. Pembatalan kontrak 2.146. Pekerja kemungkinan dipaksa untuk menandatangani kontrak baru dengan ketentuan yang kurang menggembirakan setelah tiba di Singapura. Klien mungkin berkeinginan untuk membatalkan kontrak yang dilakukan dalam kondisi terpaksa untuk menerapkan kontrak yang lebih menguntungkan yang telah ditandatangani sebelumnya. i. Pembatalan kontrak yang dibuat berdasarkan tekanan ekonomi 2.147. Pemaksaan adalah faktor yang membuat kontrak dapat dibatalkan. Tekanan ekonomi adalah bentuk pemaksaan yang paling umum yang dilakukan terhadap buruh migran. 2.148. Tekanan ekonomi terjadi paling sering dalam bentuk modifikasi kontrak unilateral, dimana pemberi kerja mengancam akan melanggar kontrak yang ada kecuali klien sepakat untuk melakukan perubahan kontrak dengan menerima pembayaran yang lebih kecil daripada apa yang dijanjikan sebelumnya. Elemen 2.149. Terdapat dua elemen yang dibutuhkan untuk membuktikan adanya tekanan
105
Ibid, s 2(2).
48
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
ekonomi:106 1)
2)
Ancaman atau permintaan yang menyertai ancaman yang dibuat oleh pemberi kerja dilakukan dengan cara yang sedemikian rupa sehingga tekanan tersebut dianggap melawan hukum; Klien terpengaruh oleh ancaman tersebut sehingga tindakan mereka dilakukan secara terpaksa.107
2.150. Jika pemberi kerja mengancam akan melanggar kontrak kerja, bukti atas ketidakjujuran dapat menjadi faktor penting dalam menyimpulkan adanya tekanan yang bersifat melawan hukum.108 Ancaman yang lebih ditujukan untuk memanfaatkan posisi tawar klien yang lemah daripada memecahkan masalah finansial atau masalah lainnya dari pemberi kerja adalah salah satu bentuk itikad buruk.109 2.151. Meskipun demikian, ancaman pemberi kerja yang sah menurut hukum untuk memutuskan kontrak sesuai dengan EA bisa saja menjadi tidak sah dan dianggap ‘lawful act duress’(tindak pemaksaan yang sah secara hukum) jika: 1) 2) 3) 4)
Ancaman melibatkan penyalahgunaan proses hukum; Permintaan tidak dibuat dengan niat baik; Permintaan dipandang tidak masuk akal; atau Ancaman dianggap sebagai perbuatan yang tidak bermoral.110
2.152. Namun, pengadilan-pengadilan di Singapura berhati-hati dalam menyatakan suatu tindak pemaksaan yang sah secara hukum sebagai perbuatan yang melawan hukum. Jika ancaman pemutusan kontrak sendiri adalah sah, tindakan tersebut akan relatif jarang dianggap sebagai tidak sah sehingga dapat digolongkan sebagai bentuk pemaksaan.111 2.153. Pilihan untuk membatalkan kontrak tergantung pada batasan yang ada terhadap pemutusan kontrak. Lihat Bagian 2.133. D. Menerapkan kontrak yangditandatangani di luar negeri 2.154. Pekerja dapat menandatangani kontrak di negara asal mereka. Kontrak ini bisa dengan pemberi kerja atau agen tenaga kerja di Singapura, yang menetapkan beberapa ketentuan pekerjaan tertentu yang ingin diterapkan oleh klien. 2.155. Permasalahan utama adalah apakah Singapura mempunyai yurisdiksi untuk menerapkan kontrak yang ditandatangani di luar negeri. Dua konsep pokok
106
Phang and Goh, Contract Law in Singapore, supra note 71 di para 562.
107
Huyton SA v Peter Cremer GmbH & Co [1998] EWHC 1208 (Comm).
108
Nicholas Seddon, Cheshire & Fifoot’s Law of Contract/ Cheshire & Fifoot’s Law of Contract, 9th ed (Chatswood,
N.S.W: LexisNexis Butterworths, 2008) di 708. 109
A.S. Burrows, The Law of Restitution, 2nded (UK: Butterworths, 2002) di 233.
110
4 faktor ini diaplikasikan oleh Pengadilan Tinggi SingapurapadaTam Tak Chuen v Khairul bin Abdul Rahman and
Others [2009] 2 SLR 240; [2008] SGHC 242. Lihat Bab 2, Bagian 8.IV untuk ringkasan kasus. 111
E C Investment Holding Pte Ltd v Ridout Residence Pte Ltd and another (Orion Oil Limited and another, Interveners)
[2010] SGHC 270 di [48]-[59].
49
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
yang mendasari penentuan yurisdiksi dalam sengketa lintas-batas adalah: 1)
2)
Harus ada hubungan-hubungan hukum yang mengaitkan antara kasus tersebut atau tergugat (dalam hal ini, pemberi kerja) dan Singapura agar keberadaan yurisdiksi dapat tercipta; dan Singapura harus menjadi tempatatau forum yang paling tepat untuk sengketa tersebut, dengan mempertimbangkan tingkat hubungan hukum antara kasus tersebut dan Singapura, dibandingkan dengan tingkat keterkaitan yang mungkin ada antara kasus tersebut dan negaranegara lainnya.112
2.156. Yurisdiksi pengadilan ditentukan olehproper law of the contract(hukum yang berlaku adalah yang banyak memiliki hubungan hukum dengan kontrak). Ada tiga cara dalam menentukan proper law of the contract: 1)
Jika para pihak yang menandatangani kontrak telah memilih dengan jelas yurisdiksi untuk mengatur kontrak, hal itu akan menjadi proper law yang subjektif, kecuali jika pilihan tidak dibuat dengan iktikad yang baik.113 Pengeculian tersebut diartikan secara sempit. Pilihan pada sistem hukum yang tidak ada hubungan hukum, bukan dengan sendirinya dianggap sebagai sesuatu yang melanggar.
2)
Jika para pihak tidak membuat pilihan yang jelas, pengadilan dapat membuat pilihan sesuai dengan kontrak tersebut serta kondisi yang ada pada saat pembuatan kontrak.
3)
Jika pengadilan tidak menemukan adanya pilihan dari para pihak sesuai dengan poin 1) dan 2), makasistem hukum yang dianggap tepat untuk diberlakukan adalah hukum dari suatu negara atau sistem hukum yang memiliki hubungan paling dekat dan paling nyata dengan transaksi dan para pihak tersebut, yaitu proper law yang obyektif.114
2.157. Proper law pada poin 3) di atas ditentukan berdasarkan analisa yang lazimnya digunakan untuk fakta objektif dalam pendekatan common law untuk menentukan keinginan objektif dari para pihak. Keinginan subjektif para pihak dalam hal ini tidak relevan. i. Menerapkan pilihan dari kesepakatan pengadilan 2.158. Kontrak dapat memasukkan pasal tentang pilihan pengadilan (choice of court) yang menjadi dasar untuk menetapkan Singapura sebagai wilayah yurisdiksi. Kesepakatan tentang pilihan yang dibuat pengadilan ini mempunyai dua fungsi yang berbeda, yaitu sebagai kesepakatan yurisdiksi secara non-eksklusif atau eksklusif.
112
Yeo Tiong Min, Ch. 06 The Conflict of Laws, online: SingaporeLaw.sg di para
6.2.1 [Yeo, The Conflict of Laws]. 113
Peh Teck Quee v Bayerische Landesbank Girozentrale [2000] 1 SLR 148, [1999] SGCA 79 [Peh].
114
Yeo, The Conflict of Laws, supra note 112 di para 6.3.8.
50
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
1) Kesepakatan yurisdiksi non-eksklusif. 2.159. Para pihak dapat mencapai kesepakatan untuk tunduk pada yurisdiksi pengadilan Singapura. Jika pasal tentang yurisdiksi non-eksklusif menetapkan wilayah yurisdiksi yang lain, maka sifat dari kesepakatan tersebut tidak mencegah untuk dimulainya tindakan hukum di Singapura. 115 2) Kesepakatan yurisdiksi eksklusif. 2.160. Apabila tercantum pasal yang sah tentang pilihan pengadilan di dalam kontrak, maka pengadilan sebagai langkah awal akan memberlakukan pasal tersebut sebagai upaya untuk menegakkan kontrak.116 2.161. Jika Singapura adalah wilayah yurisdiksi yang telah ditetapkan, maka pemberi kerja atau agen harus membuktikan adanya alasan kuat kenapa mereka diperbolehkan untuk melakukan pelanggaran kontrak dan mencegah dimulainya proses persidangan di Singapura. Sebaliknya, apabila tidak ada ketetapan bahwa Singapura menjadi wilayah yurisdiksi, maka klien harus mempunyai alasan kuat kenapa klien diperbolehkan untuk menuntut terjadinya wanprestasi.117 2.162. Apabila pemberi kerja atau agen sepakat bahwa pengadilan Singapura mempunyai yurisdiksi untuk menangani kasus sengketa, maka pengadilan Singapura akan mempunyai yurisdiksi atas dasar bahwa para pihak sepakat untuk tunduk pada yurisdiksi pengadilan Singapura. 118 2.163. Apabila yurisdiksi local dari pengadilan telah ditetapkan, klien dapat memulai proses memperkarakan tuntutannya. Proses ini akan berbeda tergantung sifat dari hubungan klien dengan pihak yang satunya di dalam kontrak. Jika kontrak ditandatangani bersama dengan pemberi kerja, klien dapat mengajukan tuntutan atas utang sesuai dengan ketentuan dalam kontrak tersebut. Jika kontrak ditandatangani bersama dengan agen pengerah tenaga kerja, maka yang dapat dituntut adalah kerugian akibat terjadinya wanprestasi. E. Menerapkan kontrak kerja dari pekerja yang tidak memiliki izin kerja yang sah 2.164. Kontrak yang melanggar EFMA akan menjadi kontrak ilegal yang pada umumnya akan diperlakukan sebagai tidak sah dan tidak dapat diterapkan karena berada dalam kategori ilegal.119 Begitu kontrak dipastikan oleh pengadilan secara jelas atau secara tersirat melanggar UU, maka tidak akan ada pemulihan hak dalam bentuk apapun, terlepas dari kesalahan apapun yang
115
Ibid di para 6.2.13.
116
Halsbury's Laws of Singapore, Volume 6(2), (Singapore: LexisNexis, 2014) di para 75.119.
117
Yeo, The Conflict of Laws, supra note 112 di para 6.2.13.
118
Supreme Court of Judicature Act (Cap 322, 2007 Rev Ed Sing), s 16(1)(b) [SJCA] dan Rules of Court (Cap 322, R 5,
2014 Rev Ed Sing), 0 10 r 3 [RC] jika metode penetapan yurisdiksi ditentukan dalam kontrak, dan SJCA, s 16(1)(a)(ii) dan RC o 11 r1(d)(IV) jika tidak diberikan metode penetapan yurisdiksi dalam kontrak. 119
Asiawerks Global Investment Group Pte Ltd v Ismail Bin Syed Ahmad [2004] 1 SLR 234 di para 45. Lihat Bab 2,
Bagian 8.V Untuk ringkasan kasus.
51
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
mungkin dilakukan para pihak.120 Perlindungan hak minimum sesuai dengan EA juga tidak berlaku jika kontrak dinyatakan tidak sah.121 2.165. Klien mungkin saja tertipu untuk menandatangani kontrak illegal, dimana pemberi kerja melakukan kecurangan dalam hal izin kerja atau secara tidak sah menempatkan klien di perusahaan atau lokasi kerja lain. 2.166. Skenario yang umum terjadi melibatkan pemberi kerja yang terus mempekerjakan tenaga kerja asing meskipun setelah izin kerja mereka telah dicabut. Mempekerjakan tenaga asing tanpa izin kerja yang sah adalah suatu pelanggaran di bawah EFMA.122 2.167. Bentuk perbuatan melawan hukum lainnya adalah penipuan dalam menyebutkan atau memberi informasi tentang gaji pekerja. Melalui cara penipuan ini, pemberi kerja lebih memilih untuk mengurus kartu kerja S-Pass untuk pekerja daripada izin kerja yang seharusnya menjadi dokumen yang lebih tepat dipunyai pekerja. Hal ini karena kartu S-Pass mensyaratkan gaji minimum yang lebih tinggi dibanding izin kerja, dan pemberi kerja dapat memberi pernyataan palsu tentang gaji sehingga memenuhi ambang batas gaji tersebut, kemudian mengurangi sebagian dari gaji pekerja setiap bulan. Memberikan informasi yang salah merupakan pelanggaran berdasarkan EFMA.123 Klien akan berada dalam golongan ini, terutama jika pemberi kerja mereka telah dinyatakan bersalah melakukan penipuan dengan memberikan informasi salah tentang gaji pekerja. 2.168. Pemberi kerja dapat memanfaatkan situasi seperti ini dan mengaku terjadinya hal yang melawan hukum sebagai bentuk pembelaan terhadap tuntutan klien untuk melakukan pembayaran. 2.169. Namun demikian, dalam perkara pidana Pengadilan Tinggi memutuskan agar pemberi kerja membayar ganti rugi kepada pembantu rumah tangga asing untuk masa kerja tanpa adanya izin kerja yang sah. Pada saat itu, pekerja asing tersebut tidak menyadari jika izin kerjanya dicabut, sehingga dinyatakan tidak bersalah atas pelanggaran apapun.124 2.170. Putusan pengadilan ini menunjukkan bahwa tidak bersalahnya klien tersebut merupakan faktor penentu dari ditegakkannya kontrak di pengadilan perdata. 125 Meskipun belum teruji, dapat dikatakan bahwa kontrak kerja yang mana pekerja telah ditempatkan secara illegal atau yang mana informasi salah tentang gaji telah diberikan dengan sendirinya bukan sesuatu yang illegal. Sebaliknya, suatu kontrak menjadi ilegal karena dilaksanakan secara tidak sah atau untuk tujuan yang ilegal. Berdasarkan common law, jika kontrak itu sendiri tidak dilarang oleh UU, maka pihak yang tidak bersalah yang tidak mengetahui atau tidak
120
Phang and Goh, Contract Law in Singapore, supra note 71 di para 854, citing Sinnathamby Rajespathy v Lim Chong
Seng [2002] 2 SLR(R) 608. 121
Chandran, Annotated EA, supra note 6 di 29.
122
EFMA, supra note 5, s 5(1).
123
Ibid, s 22(1)(d).
124
Public Prosecutor v Donohue Enilia [2005] 1 SLR 220. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII Untuk ringkasan kasus.
125
Chandran, Annotated EA, supra note 6 di 29.
52
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
menyetujui hal yang tidak sah tersebut masih dapat memulihkan haknya sesuai dengan kontrak. 2.171. Tiga prinsip berikut ini berlaku pada ketidakabsahan kontrak:126 1) 2)
3)
Jika kontrak dilarang oleh UU, secara eksplisit maupun implisit, atau bertentangan dengan kebijakan publik, maka kontrak dianggap batal. Jika pada saat kontrak dibuat, ada keinginan untuk melaksanakan kontrak dengan cara yang melawan hukum, maka kontrak tidak dapat diberlakukan oleh pihak yang mempunyai niat yang sedemikian. Penggugat tidak dapat memulihkan haknya sesuai kontrak, jika untuk membuktikan klaimnya, penggugat harus mengandalkan perbuatannya sendiri yang tidak sah – terlepas dari ketidakbersalahan atau ketidaktahuannya.
2.172. Prinsip-prinsip ini dapat lebih menyulitkan klien yang tidak mempunyai izin kerja yang sah untuk mengajukan tuntutan. Kontrak dapat dianggap sebagai kontrak kerja untuk pekerja asing tanpa izin kerja, sehingga kontrak menjadi tidak sah dalam pembuatannya. Selain itu, klien harus mengandalkan pada perbuatan tidak sahnya (yaitu bekerja tanpa izin kerja yang resmi) untuk memperkarakan tuntutannya. 2.173. Berikut ini menyajikan rincian tentang dua tuntutan alternatif yang dapat diajukan klien tanpa harus bersandar pada kontrak ilegal tersebut. Hal-hal di bawah ini adalah pelanggaran terhadap kontrak kolateral (collateral contract), atau adanya ganti kerugian atas manfaat yang telah diterima oleh pemberi kerja dan karena itu telah memperkaya pemberi kerja secara tidak adil. i. Menuntut kerugian karena pelanggaran collateral contract 2.174. Pemberi kerja yang tidak mengurus iIzin kerja resmi untuk klien telah ingkar janji (baik itu dinyatakan secara eksplisit atau implisit) untuk mendapatkan izin kerja yang seharusnya untuk pekerjanya. Janji ini merupakan suatu collateral contract. Klien menandatangani kontrak kerja dengan pemberi kerja atas dasar percaya bahwa pemberi kerja telah mengurus (atau mengurus) izin kerja yang diperlukan. Karena janji tersebut diingkari, maka klien dapat menuntut kerugian, biasanya untuk biaya yang dikeluarkan agar klien tersedia untuk bekerja. Berbagai pengeluaran ini dapat meliputi: biaya agen, biaya transportasi, biaya pelatihan dan ongkos lainnya yang dibayarkan kepada pemberi kerja atau Kemenaker. 2.175. Pekerja yang tertipu untuk mau bekerja tanpa izin kerja resmi dan kemudian melakukan kesalahan di bawah EFMA dapat berusaha untuk mendapatkan ganti rugi. Pekerja harus membuktikan terjadinya penipuan, atau wanprestasi oleh pemberi kerja, dan pekerja tidak dinyatakan bersalah atas kelalaian ketika menandatangani kontrak atau bekerja sesuai dengan ketentuan dalam kontrak.127 Selain itu, jika pada suatu ketika klien menyadari akan hal yang ilegal tersebut namun tetap saja bekerja, klien mungkin tidak dapat menuntut ganti
126
Ting Siew May v Boon Lay Choo [2014] 3 SLR 609. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII Untuk ringkasan kasus.
127
Strongman (1945) Ltd v Sincock, [1955] 2 QB 525. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII untuk ringkasan kasus.
53
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
rugi. ii. Menuntut ganti rugi atas manfaat yang secara tidak adil telah memperkaya pemberi kerja 2.176. Pada akhirnya, pekerja dapat memperjuangkan ganti rugi terhadap manfaat yang telah diberikan kepada pemberi kerja sesuai kontrak. Dengan kata lain, jika pemberi kerja mengambil manfaat dari kerja yang dilakukan pekerja, maka pekerja dapat mengklaim besaran nilai dari manfaat tersebut. Beban pembuktian terletak pada pekerja untuk membuktikan bahwa pemberi kerja telah diperkaya secara tidak adil diatas penderitaan pekerja. Ganti rugi yang akan diberikan sebesar jumlah yang wajar untuk jasa yang diberikan, yaitu quantum meruit. Elemen 2.177. Dua kondisi yang membuat suatu tuntutan ganti rugi dikabulkan: 1) 2)
Kesalahan klien harus lebih sedikit dari kesalahan yang dilakukan pemberi kerja;128 dan Klien telah menolak kontrak ilegal secara tepat waktu.129
2.178. Situasi dimana klien akan dianggap mempunyai kesalahan yang lebih kecil atas perbuatan melanggar hukum adalah ketika klien: 1) 2) 3)
Berada di bawah tekanan untuk menandatangani kontrak; Tidak menyadari tentang perkara yang melawan hukum tersebut karena kesalahan atau misrepresentation; atau Tergolong dalam kelompok orang yang dilindungi UU. 130
2.179. Klien harus menolak kontrak sebelum tujuan atau pelaksanaan ilegal dari kontrak telah tercapai secara substansial. Penolakan harus bersifat sukarela. F. Menyikapi masalah ketentuan yang tidak jelas dan bertentangan – mengidentifikasi ketentuan kontrak yang dapat diberlakukan 2.180. Kontrak kerja untuk buruh migran seringkali mengandung ketentuan yang tidak jelas atau bertentangan. Selain itu, tidak semua ketentuan kontrak adalah sah secara hukum, dan bahkan dapat bertentangan dengan ketentuan di dalam EA. Dua aturan berikut ini dapat membantu untuk mengidentifikasi ketentuan yang dapat diberlakukan dalam situasi seperti demikian: 1) ketentuan yang kurang menguntungkan dari EA adalah ilegal; dan 2) penafsiran ketentuan terhadap pembuat kontrak. i. Menjadikan suatu ketentuan ilegal apabila kurang menguntungkan dibanding EA 2.181. Apabila pekerja tercakup dalam EA, maka setiap ketentuan dari kontrak kerja
128
Mohamed v Alaga [2000] 1 WLR 1815. Lihat Bab 2, Bagian 8.VIII untuk ringkasan kasus.
129
Tribe v Tribe [1996] Ch 107 (UKCA).
130
Kirriri Cotton Co Ltd v Dewani [1960] AC 192 (Uganda PC).
54
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
yang kurang menguntungkan bagi pekerja tersebut dibanding ketentuan yang relevan yang ditetapkan EA adalah ilegal, batal dan tidak berlaku, paling tidak sebatas hal tersebut kurang menguntungkan.131 2.182. Apabila berbagai ketentuan mengatur bidang kerja yang sama, maka setiap ketentuan yang tidak menguntungkan dibanding ketentuan yang disebutkan dalam EA tidak dapat diberlakukan, sedangkan ketentuan yang lebih menguntungkan dianggap dapat diberlakukan. Untuk ketentuan yang dapat ditafsirkan secara berbeda, hanya penafsiran yang sesuai dengan standard minimum EA yang dapat diberlakukan. Pekerja kemudian dapat menuntut ganti rugi berdasarkan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut. 132 2.183. Apabila semua ketentuan, atau seluruh penafsiran yang memungkinkan dari ketentuan, kurang menguntungkan1 dibanding EA, maka ketentuan yang terkandung dalam EA menjadi ketentuan yang akan diberlakukan.133 ii. Menafsirkan ketentuan terhadap pembuat kontrak 2.184. Apabila terdapat dua penafsiran yang masuk akal dari ketentuan dalam kontrak, pengadilan akan menggunakan penafsiran yang kurang menguntungkan untuk pembuat kontrak. Meskipun pemberi kerja tidak selalu menyusun kontraknya sendiri, pemberi kerja adalah pihak yang menyediakan kontrak kerja tersebut, sehingga lebih cenderung dianggap sebagai pembuat kontrak.
3.
PEMBAYARAN ILEGAL DAN PEMOTONGAN GAJI I.
Gambaran umum 3.1.
Juga dikenal sebagai “suap,” pembayaran ilegal dan pemotongan gaji mengacu pada sejumlah uang yang diberikan oleh buruh migran kepada pemberi kerja atau agen tenaga kerja setempat yang tidak direstui oleh EA atau EFMA.
3.2.
Pemotongan gaji ini dapat terjadi dalam beberapa bentuk sebagaimana yang dijelaskan secara rinci pada Bagian 3.II di bawah.
3.3.
Banyak pekerja yang tidak menyadari bahwa pemotongan tertentu terhadap gaji mereka adalah ilegal sehingga tidak menyadari perlunya untuk mendokumentasikan atau bahkan menyebutkan pemotongan yang diambil dari gaji mereka. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanyakan klien dengan pertanyaan yang tepat untuk mengungkapkan pemotongan gaji ilegal yang mungkin telah dibuat. Pertanyaan tersebut mencakup:
131
EA, supra note 4, s 8.
132
Monteverde Darvin Cynthia v VGO Corp Ltd [2014] 2 SLR 1; [2013] SGHC 280 [Monteverde] di [12]. Lihat Bab 2,
Bagian 8.V untuk ring kasan kasus. 133
Ibid.
55
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Apakah pemberi kerja anda melakukan pemotongan ‘uang simpanan/deposit’ dari gaji anda setiap bulan, yang mereka janjikan akan dikembalikan ketika terjadi pemutusan izin kerja anda? Apakah pemberi kerja anda melakukan pemotongan ‘uang perpanjangan’ dari gaji anda untuk perpanjangan izin kerja anda?
3.4.
Membuktikan bahwa pemotongan terhadap gaji klien secara ilegal telah dilakukan oleh pemberi kerja kemungkinan akan sangat sulit. Seringkali tidak ada bukti tertulis atas pembayaran tersebut. Lihat Bagian 3.II di bawah untuk contoh-contoh taktik yang digunakan oleh pemberi kerja untuk menyembunyikan bukti dari pemotongan secara ilegal. Ada juga pemberi kerja yang menerima suap dengan melakukan pemotongan gaji dan menamakannya sebagai potongan resmi dari gaji.134
3.5.
Kemungkinan ada juga kesulitan dalam menetapkan bukti biaya penempatan yang berlebihan yang dibayarkan kepada agen tenaga kerja setempat. 135 Sudah menjadi kebiasaan agen tenaga kerja untuk tidak memberikan tanda terima kepada pekerja atas pembayaran yang dibuat. Permintaan pekerja atas tanda terima atau kontrak seringkali ditolak. Agen tenaga kerja kemungkinan juga mengancam bahwa para pekerja tidak akan ditawari pekerjaan jika mereka mereka bersikukuh agar transaksi mereka didokumentasikan. Bahkan jika diberikan tanda terima, tidak ada identitas yang tertera seperti nama agensi atau nama orang yang memberikan tanda terima untuk menunjukkan bahwa tanda terima tersebut dikeluarkan oleh agen tenaga kerja.136
A. Pemotongan gaji secara tidak resmi oleh pemberi kerja 3.6.
Pemberi kerja tidak diizinkan untuk melakukan pemotongan gaji selain pemotongan yang diizinkan oleh EA. Pemotongan gaji berikut diizinkan oleh EA: 1) 2)
3) 4)
Karena tidak masuk kerja; Untuk kerugian atau kehilangan barang atau uang yang dipercayakan kepada karyawan, dimana kerugian atau kehilangan tersebut secara langsung disebabkan oleh kecerobohan atau kelalainnya. Jumlah yang dipotong tidak boleh melebihi 25% dari satu bulan gaji dan pemotongan hanya dapat dilakukan setelah menetapkan bahwa kehilangan atau kerugian yang terjadi akibat kecerobohan atau kelalaian karyawan; Untuk biaya makan aktual yang disediakan oleh pemberi kerja atas permintaan karyawan; Untuk biaya akomodasi atau fasilitas dan layanan yang disediakan oleh pemberi kerja dimana karyawan telah menerimanya. Jumlah yang dipotong untuk biaya akomodasi, fasilitas dan layanan tidak boleh melebihi 25% dari satu bulan gaji;
134
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 23.
135
Pada tahun 2009 H.O.M.E. menyaksikan 23 pekerja China telah membayar uang kepada agen setempat di
Singapura tetapi tidak dapat menuntut kembali dana ini karena mereka tidak memiliki bukti apapun dalam bentuk tanda terima atau kontrak, Ibid di 26. 136
Ibid.
56
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
5)
6)
7) 3.7.
Jumlah maksimum pemotongan yang terkait dengan salah satu periode pembayaran gaji adalah 50% dari gaji karyawan tetapi hal ini tidak mencakup pemotongan yang dilakukan untuk: 1) 2) 3)
3.8.
Untuk pembayaran pinjaman, utang atau penyesuaian dari kelebihan pembayaran gaji. Jumlah yang dipotong tidak boleh melebihi 25% dari satu bulan gaji dalam kasus pemotongan untuk pembayaran pinjaman dan utang; Untuk kontribusi bagi skema pensiun atau dana hari depan atau skema pendanaan lainnya atas permintaan karyawan dalam bentuk tertulis. Namun, skema pendanaan ini harus ditetapkan secara sah agar memberikan manfaat bagi karyawan dan disetujui oleh Komisioner Ketenagakerjaan; dan Untuk pembayaran koperasi yang terdaftar dengan persetujuan tertulis dari karyawan.137
Absen dari pekerjaan; Penyelesaian pinjaman/utang; dan Pembayaran atas persetujuan karyawan, untuk mendaftar sebagai anggota koperasi yang terkait dengan biaya pendaftaran, cicilan utang, bunga dan cicilan lain yang harus dibayar.138
Termasuk pelanggaran juga di bawah EMA bagi pemberi kerja yang menerima pembayaran dari pekerja sebagai faktor yang menentukan pekerjaan mereka139 atau memperoleh kembali biaya yang terkait dengan pekerjaan seperti pungutan pajak bagi pekerja asing yang seharusnya ditanggung pemberi kerja.140
B. Pemotongan gaji secara tidak resmi oleh agen tenaga kerja 3.9.
Biaya agensi yang dibayarkan ke agen yang melebihi batas yang ditentukan dalam Employment Agencies Act (EAA)141 juga merupakan bentuk pembayaran ilegal.
3.10.
Berdasarkan EAA, biaya penempatan tidak boleh melebihi satu bulan gaji untuk tiap tahun dari: 1) Periode berlakunya izin kerja klien; atau 2) Periode kontrak kerja, tergantung mana yang lebih singkat.142
3.11.
Biaya penempatanmaksimum dibatasi sebesar2 bulan gaji.143
137
EA, supra note 4, s 27; TAFEP Guide, supra note 35.
138
Ibid, s 32(1).
139
EFMA, supra note 5, di s 22A. Lihat Bab 2, Bagian 8.VI untuk naskah teks UU tersebut.
140
Ibid, di s 25(4)(a) dan (b).
141
Employment Agencies Act (Cap 92, 2012 Rev Ed Sing).
142
Employment Agencies Rules, supra note 23.
143
Ibid.
57
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
II.
Contoh umum pemotongan gaji ilegal 3.12.
Tiga jenis pemotongan gaji ilegal yang umum dijelaskan dalam tiga contoh di bawah ini: 1) pemotongan uang deposit; 2) pemotongan untuk biaya perpanjangan izin kerja; dan 3) pemotongan untuk biaya akomodasi. Daftar ini bukan daftar yang lengkap, pemotongan gaji ilegal dapat terjadi dalam berbagai bentuk lainnya, seperti pemotongan gaji atas kerusakan peralatan yang melampaui biaya barang yang sesungguhnya.
3.13.
Contoh keempat menunjukkan sejumlah taktik yang mungkin digunakan oleh pemberi kerja untuk menyembunyikan pemotongan ilegal yang diambildari gaji klien. 1) ‘Tabungan’ atau uang deposit
3.14.
Pemberi kerja melakukan pemotongan sebesar $X dari gaji mereka setiap akhir bulan, dengan menerangkan bahwa mereka membantu pekerja untuk mengumpulkan uang yang akan mereka terima ketika mereka kembali ke negara asal mereka. Pekerja menyaksikan pemberi kerja mengembalikan uang ‘tabungan’ pekerja lainnya sebelum meninggalkan Singapura sehingga mereka mempercayai pemberi kerja. Namun, di kemudian hari terjadi sengketa antara pekerja dengan pemberi kerja mereka dan pemberi kerja tersebut memutuskan hubungan kerjanya. Pemberi kerja kemudian mengklaim bahwa uang ‘tabungan’ pekerja dijadikan denda karena mereka telah melanggar kontrak. 2) Uang untuk perpanjangan
3.15.
Izin kerja karyawan telah mendekati kadaluwarsa. Pemberi kerja memberitahukan kepada mereka bahwa mereka harus membayar $X jika mereka ingin memperbarui izin kerja mereka. Pekerja setuju, dan $X dipotong dari gaji mereka selama tiga bulan. 3) Akomodasi
3.16.
IPA pekerja menyatakan bahwa tidak ada pemotongan gaji yang akan dilakukan untuk biaya akomodasi. Namun, $X dipotong dari gaji mereka setiap bulan, yang menurut pemberi kerja adalah untuk biaya sewa ruang asrama. 4) Pemotongan tidak didokumentasikan
3.17.
Pemberi kerja membayar para pekerja dengan uang kontan. $X dipotong dari gaji mereka setiap bulan. Ketika pekerja menerima gaji mereka, mereka menandatangani slip gaji dimana pemberi kerja mencatat bahwa mereka telah menerima gaji sebesar jumlah gaji yang belum dipotong.
3.18.
Selain itu, gaji pekerja dibayarkan melalui transfer bank. $X dipotong dari gaji mereka setiap bulan. Setelah pekerja menerima gaji mereka, pemberi kerja menemani mereka ke ATM untuk mengambil uang sebesar $X untuk dikembalikan kepada pemberi kerja.
58
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
III. Penyelesaian dan ketentuan A. Klaim atas pemotongan gaji klien secara tidak resmi 3.19.
Klien dapat mengajukan klaim atas pemotongan gaji tidak resmi atau pembayaran ilegal dari pemberi kerja mereka atau agen tenaga kerja. i.
3.20.
Mengajukan tuntutan atas utang mengingat ketentuan yang kurang menguntungkan daripada yang ditetapkan oleh UU Ketenagakerjaan (EA, Employment Act) adalah ilegal dan batal
Tidak ada pemotongan selain yang diizinkan berdasarkan ketentuan dalam EA yang dianggap legal.144 Ketentuan yang mengizinkan pemberi kerja untuk melakukan pemotongan tidak resmi akan dianggap ilegal dan batal.145 Oleh karena itu, jumlah uang yang dipotong berdasarkan ketentuan tersebut secara kontraktual menjadi hak klien. Elemen
3.21.
Mula-mula klien harus membuktikan ketentuan dalam kontrak yang yang membuktikan pembayaran atau pemotongan uang tersebut adalah ilegal. Hal ini dapat dilakukan dengan menunjukkan kontrak tertulis. Jika persyaratan tersebut tidak terdokumentasikan, bukti dari tindakan yang konsisten atas pemotongan atau pembayaran yang demikian tersebut dapat dijadikan bukti dari perjanjian lisan.
3.22.
Apakah terdapat kontrak tertulis atau untuk membuktikan bahwa perjanjian lisan telah tercapai, klien harus menunjukkan bahwa pemotongan tersebut telah dilakukan terhadap gaji mereka. Bukti yang dapat dikumpulkan untuk mendukung klaim yang demikian mencakup slip gaji dan catatan bank yang menunjukkan telah terjadi penarikan sejumlah tertentu uang secara yang konsisten setiap bulan, yang menunjukkan bahwa pemberi kerja telah memaksa klien untuk mengembalikan sebagian dari gajinya.
3.23.
Begitu klien dapat membuktikan adanya pemotongan ini, akan diperkirakan bahwa sejumlah uang telah dikumpulkan sebagai pertimbangan untuk memperoleh pekerjaan, misalnya suap pekerjaan. Beban kemudian berpindah kepada pemberi kerja untuk menangkis perkiraan tersebut dengan menunjukkan bahwa terdapat tujuan yang sah dalam melakukan pemotongan atau pengumpulan uang dari klien.146
144
EA, supra note 4, s 26.
145
Ibid, s 8.
146
EFMA, supra note 5, s 22A.
59
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
ii.
Menuntut kembali atas biaya berlebihan yang dikenakan oleh agen tenaga kerja
3.24.
Pekerja dapat mengajukan komplain pada Small Claims Tribunal (SCT) untuk meminta pembayaran kembali atas biaya agensi mereka. Lihat Bab 3, Bagian 3.IV.C untuk proses pengajuan klaim pada SCT.
3.25.
Pekerja harus menyimpan tanda terima dan kontrak dari agen tenaga kerja. Harus ada sejumlah bentuk identitas yang menunjukkan bahwa tanda terima tersebut dikeluarkan oleh agen tenaga kerja yang bersangkutan, seperti nama agen atau nama orang yang mengeluarkan tanda terima.147 Evaluasi
3.26.
Pekerja dapat mengalami kesulitan untuk mengesahkan izin tinggal mereka ketika mengajukan klaim pada SCT karena Kemenaker tidak mengeluarkan Kartu Pass Khusus148 kepada pekerja yang mengajukan klaim terhadap agen atas biaya yang dibayarkan kepada mereka. Proses pengambilan keputusan SCT memerlukan waktu satu bulan atau lebih.149
4.
PERMASALAHAN DALAM PERJANJIAN KERJA YANG TIDAK TERKAIT DENGAN GAJI
I.
Gambaran umum 4.1.
A.
Bagian ini akan membahas dua kategori utama tentang permasalan dalam perjanjian kerja yang tidak terkait dengan gaji: pelanggaran kondisi pekerjaan yang tidak terkait dengan gaji dan janji tentang pekerjaan oleh pihak pemberi kerja atau agen tenaga kerja yang ternyata tidak ada.
Kondisi dalam pekerjaan yang tidak terkait dengan gaji 4.2.
Pemberi kerja disyaratkan oleh hukum untuk menanggung biaya pemeliharaan dan perawatan pekerja asing yang mereka kontrak. “Pemeliharaan” dan “perawatan”150 tidak didefiniskan dalam hukum Singapura, tetapi mencakup penyediaan makanan dan perawatan medis yang memadai. Pemberi kerjajuga
147
Lihat secara umum H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 26.
148
Ibid.
149
Ibid.
150
Lihat misalnya The Employment of Foreign Manpower (Work Passes) Regulations 2012 (S 569/2012 Sing), Fourth
Schedule Part I para 1.
60
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
disyaratkan untuk menjamin bahwa pekerja asing memiliki “akomodasi yang layak”.151 Kewajiban ini berlangsung untuk rentang waktu sebelum, selama, dan setelah pekerjaan, sepanjang pekerja masih tinggal di Singapura. 4.3.
Kenyataannya, sebagian besar pemberi kerja hanya menyediakan subsidi akomodasi dan makanan jika biaya ini dapat dipotong dari gaji bulanan pekerja, karena hal ini dianggap sebagai sebagai pemotongan resmi berdasarkan EA. Namun, pekerja yang menunggu klaim atas cedera yang terkait dengan pekerjaan atau penyelesaian atas tunggakan gaji dilarang untuk bekerja, dan banyak diantaranya yang dipaksa untuk mencari tempat bernaung dan makanan mereka sendiri.152
B. Pekerjaan yang ternyata tidak ada 4.4.
Beberapa pemberi kerja membangun shell or partial-sham business (bisnis yang sebagianmerupakan tipuan dan bisa ilegal) untuk memancing pekerja asing datang ke Singapura dengan janji pekerjaan palsu. Setelah mengumpulkan sejumlah uang yang banyak dari pekerja-pekerja ini, mereka tidak mengajukan izin kerja yang memadai dan membiarkan para pekerja untuk mencari pekerjaan mereka sendiri di Singapura dan menjaga diri mereka sendiri.
II. Penyelesaian dan ketentuan A.
Menerapkan ketentuan tersirat yang mengatur kondisi pekerjaan yang tidak terkait dengan gaji i.
Mengajukan klaim atas pelanggaran ketentuan kontrak yang tersirat dalam perundang-undangan
4.5.
Masih belum teruji apakah ketentuan dalam EFMA memberikan hak untuk melakukan gugatan perdata. Ketentuan dalam EFMA secara teori dapat diperlakukan sebagai ketentuan undang-undang yang tersirat terhadap kontrak kerja, yang mendorong dasar tuntutan atas pelanggaran kontrak jika dilanggar.
4.6.
Pasca pekerjaan, pemberi kerja masih terus bertanggungjawab atas biaya pemeliharaan dan perawatan dari pekerja asing yang masih tinggal di Singapura yang sedang menunggu penyelesaian dan pembayaran dari klaim terhadap tunggakan gaji berdasarkan EA, atau kompensasi atas cedera yang terkait dengan pekerjaan berdasarkan WICA. Pemberi kerja juga harus menjamin bahwa pekerja tersebut memperoleh akomodasi yang layak. 153
4.7.
Jadi, jika pemberi kerja telah melanggar tiap kondisi ini, dapat diperdebatkan bahwa klien dapat mengajukan klaim terhadap pemberi kerja atas seluruh biaya
151
Lihat misalnya Fourth Schedule Part I para 4, Fourth Schedule Part III para 2.
152
Lihat secara umum H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 30.
153
Lihat supra note 150, Fourth Schedule, Bagian III, para. 16.
61
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
yang terkait dengan pemeliharaan dan perawatan serta perumahan hingga pemulangan kembali setelah penyelesaian klaim EA atau WICA. Perlu dicatat bahwa pada saat publikasi ini, argumen hukum ini belum pernah diupayakan dalam konteks ini pada pengadilan di Singapura. Jadi, litigasi strategis akan diperlukan untuk menentukan apakah hal ini merupakan argumen yang dapat diteruskan. B.
Mengupayakan ganti rugi atas pengeluaran biaya yang dilakukan karena janji pekerjaan yang palsu i.
Mengajukan klaim atas misrepresentation yang dibuat oleh pemberi kerja atau agen tenaga kerja
4.8.
Lihat Bagian 2.III.B.ii tentang klaim atas misrepresentation.
4.9.
Representation palsu dalam kasus ini adalah bahwa pekerjaan di Singapura ada untuk klien. Representation ini pasti telah dibuat oleh pemberi kerja atau agen di negara asal pekerja, yang mendorong mereka untuk menandatangani kontrak kerja dan kontrak penempatan kerja. Kerugian yang dapat diklaim oleh karena itu mencakup: biaya agen, biaya pelatihan, biaya transportasi, dan sejumlah uang yang telah dibayarkan kepada pemberi kerja atau Kemenaker.
4.10.
Kemungkinan komplikasi yang timbul adalah jika klien memililih untuk mencari pekerjaan dengan perusahaan lain setelah mengetahui bahwa pekerjaan yang dijanjikan tersebut tidak ada. Skenario yang umum terjadi adalah bahwa pemberi kerja sepakat untuk menjaga agar izin kerja pekerja tetap berlaku sebagai gantinya maka pekerja mencari pekerjaan dengan perusahaan lainnya. Karena izin kerja terikat untuk satu pemberi kerja tertentu, praktek ini adalah ilegal, baik bagi pekerja maupun pemberi kerja.154
5.
KECELAKAAN YANG TERJADI DI TEMPAT KERJA
I.
Gambaran umum 5.1.
Selain permasalahan gaji dan permasalahan yang terkait dengan kontrak, klaim kompensasi atas kecelakaan yang terjadi di tempat kerja merupakan permasalahan hukum lainnya yang sering dihadapi pekerja asing. Pemberi kerja dapat menolak untuk mengakui bahwa cedera tersebut telah terjadi di tempat kerja atau menolak untuk membayar biaya pengobatan dan kompensasi lainnya yang terkait dengan cedera.
5.2.
Ada dua jalur utama, seorang pekerja yang cedera dapat mengajukan klaim atas cedera yang terjadi di tempat kerja: 1)
154
Perundangan - Workplace Injury Compensation Act (WICA)
Lihat EFMA, supra note 5, ss 22B - 23. Lihat Bagian 8.VI untuk naskah teks UU tersebut.
62
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
2) 5.3.
II.
Common law (Tort of negligence)
Karyawan harus memilih salah satu dari jalur ini dan hanya dapat memperoleh kompensasi dari satu jalur. Perbedaan utama tertera di bawah ini.
Perbedaan antara klaim WICA dan klaim berdasarkan common law (tort of negligence) A. 5.4.
B. 5.5.
C. 5.6.
Batasan waktu Karyawan memiliki batas waktu satu tahun dari tanggal terjadinya kecelakaan untuk mengajukan klaim berdasarkan WICA, sementara itu karyawan tersebut memiliki batas waktu enam tahun untuk mengajukan klaim berdasarkan common law. Jika karyawan pada awalnya mengajukan klaim berdasarkan common law, karyawan dapat berpindah ke WICA tetapi hal tersebut hanya dapat dilakukan jika berada dalam batas waktu satu tahun. Jumlah yang kemungkinan diberikan Jika karyawan mengajukan klaim common law, jumlah kompensasi yang diberikan kemungkinan lebih besar daripada jika mengajukan klaim WICA. Hal ini dapat terjadi karena WICA menetapkan batasan kompensasi untuk cedera, yang berarti bahwa pemberian kompensasi tidak dapat melebihi jumlah tertentu. Perbedaan dalam ketentuan pembuktian Untuk mengajukan kerugian berdasarkan common law, karyawan harus menunjukkan bahwa: 1) Pemberi kerja tidak dapat menyediakan tempat kerja yang aman; 2) Pemberi kerja melanggar kewajiban yang disyaratkan oleh hukum; atau 3) Cedera tersebut disebabkan oleh kecerobohan pemberi kerja.
5.7.
D. 5.8.
Sebaliknya, kompensasi dapat dibayarkan tanpa didasarkan pada kesalahan berdasarkan WICA. Sepanjang seorang karyawan mengalami cedera yang diperoleh selama menjalankan pekerjaannya, karyawan dapat mengkalim kompensasi atas cedera yang terkait dengan pekerjaan. Tidak diperlukan pembuktian bahwa pemberi kerja ceroboh atau langkah-langkah yang memadai tidak dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan. Sepanjang karyawan tidak bersalah (misalnya menjadi pihak penyerang dalam suatu perkelahian), karyawan dapat mengklaim kompensasi. Kebutuhan konseling Karyawan tidak perlu menyewa pengacara jika dia ingin mengajukan klaim berdasarkan WICA.
63
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Tabel 9: Perbedaan antara klaim dalam common law dan WICA
Common law
WICA
Kesalahan
Perlu membuktikan bahwapemberi kerja/pihak ke-3 melakukan kesalahan
Tidak perlu membuktikan bahwapemberi kerja melakukan kesalahan. Hanya perlu menunjukkan bahwa cedera terjadi karena pekerjaan
Batasan waktu
Tiga tahun (cedera pribadi)
Satu tahun
Peruntukan kelompok orang yang disediakan
Tersedia bagi semua
Buruh migran kecuali pekerja rumah tangga asing
Waktu yang dilibatkan
Proses pengadilan lebih lambat dari WICA
Proses yang singkat, lebih singkat waktu yang diperlukan
Jumlah kompensasi
Kemungkinan lebihKompensasi tidak dibatasi tetapi jumlah kerugian harus diputuskan di persidangan
Kemungkinan kurangKompensasi didasarkan pada rumus tetap dan dibatasi
Kebutuhan representasi hukum
Sangat direkomendasikan
Tidak diperlukan
Aturan tentang Pembuktian
Terikat olehAturan tentang Pembuktian
Prosedurtidak terikat olehAturan tentang Pembuktian. Rumor kemungkinan dapat diterima
64
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
III.
UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA, Workplace Injury Compensation Act) 5.9.
Pekerja rumah tangga tidak tercakup dalam WSHA atau WICA.155
5.10.
WICA menyediakan karyawan yang cedera dengan alternatif berbiaya rendah dan relatif cepat daripada common law untuk menyelesaikan klaim atas kompensasi. Tidak diperlukan bukti kesalahan atau kecerobohan, tetapi jumlah kompensasi dihitung berdasarkan pada rumus tetap 156 dan tergantung pada batasan tertinggi.
5.11.
Berdasarkan WICA, seluruh pemberi kerja diwajibkan untuk memberi asuransi kompensasi kecelakaan kerja yang memadai untuk seluruh pekerja yang dipekerjakan untuk:157 1) 2)
5.12.
Kerja manual, tanpa memandang tingkat besaran gaji, dan Kerja non-manual dengan penghasilan $1.600 atau kurang sebulan.
Kegagalan untuk melaksanakannya merupakan pelanggaran yang dapat dihukum dengan denda maksimum sebesar $10.000 dan/atau penjara hingga 12 bulan. Mengelola asuransi yang tidak memadai (misalnya dengan mempekerjakan sepuluh tenaga manual tetapi hanya melakukan pembelian asuransi untuk delapan orang pekerja saja) juga merupakan pelanggaran. i. Apakah kecelakaan yang terjadi di tempat kerja itu?
5.13.
Untuk mengajukan klaim berdasarkan WICA, karyawan hanya perlu membuktikan bahwa dia mengalami cedera dalam kecelakaan yang terjadi di tempat kerja atau menderita penyakit akibat pekerjaannya. Penyakit yang terkait dengan pekerjaan mencakup tiap penyakit yang disebabkan oleh paparan terhadap bahan kimia dan biologis di tempat kerja. Situasi ketika seorang karyawan melakukan perjalanan dari tempat kerjanya di dalam kendaraan perusahaan juga dicakup oleh WICA.158
5.14.
Bagian-Bagian
berikut ini
akan membahas
penyelesaian
155
WICA, supra note 49. Lihat Bab 2, Bagian 8.XII untuk naskah teks UU tersebut.
156
Ministry of Manpower, “What can be claimed under WICA?”, online: Ministry of Manpower
yang ada
[MOM What can be claimed?]. 157
WICA, supra note 49, s 23(1). Lihat Bab 2, Bagian 8.XII untuk naskah teks UU. Berdasarkan the Work Injury
Compensation (Waiver from Insurance Requirement) Notification 2008 S 171/2008, kewajiban untuk memiliki asuransi berdasarkan WICA s 23(1) dikesampingkan sehubungan dengan Pemerintah, pemberi kerja dari seluruh pekerja dengan pendapatan perbulan lebih dari $1.600 dan yang dipekerjakan selain sebagai “pekerja manual ". 158
Berita TWC2 News, “Bergantung dengan kursi roda, pekerja tidak memilik pilihan untuk mengajukan klaim” (8
November 2012), online: Transient Workers Count Too. [TWC2 News, “Confined to wheelchair for months, worker had no good advice how to make a claim”] .
65
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
berdasarkan WSHA dan WICA. IV.
Penyelesaian dan ketentuan
A.
Mengajukan klaim berdasarkan Work Injury Compensation Act (WICA) i. Siapa yang memenuhi syarat untuk mengajukan klaim WICA? 5.15.
Kelompok orang berikut ini tidak tercakup dalam skema WICA:159 1) Personel berseragam (Angkatan Bersenjata Singapura, Polisi, Pertahanan Sipil, Biro Narkotika Pusat, dan Sipir Penjara); 2) Pekerja mandiri / kontraktor independen; dan 3) Pekerja rumah tangga (penekanan akan ditambahkan).
5.16.
B.
Seluruh karyawan lainnya dapat mengajukan klaim melalui WICA. Jika kematian diakibatkan oleh cedera tersebut, keluarga dari karyawan yang meninggal atau yang menjadi tanggungannya dapat mengajukan klaim.160
Jenis cedera apa yang tercakup dalam WICA? 5.17.
Semua jenis cedera dapat memenuhi syarat untuk memperoleh kompensasi sepanjang hal itu terjadi selama menjalankan pekerjaannya. i. Apa yang dapat diklaim berdasarkan WICA?
5.18.
Secara umum, berikut ini adalah beberapa pengeluaran yang diakibatkan oleh cedera yang dapat diklaim dari pemberi kerja: a) biaya medis, yang mencakup tetapi tidak terbatas pada, biaya konsultasi medis, biaya rawat inap, pengobatan dan operasi,tangan atau kaki buatan dan peralatan operasi; b) tunjangan cuti medis; dan c) lump sum untuk kelumpuhan permanen atau kematian. a) Biaya medis
5.19.
Biaya-biaya ini dapat dibayarkan oleh pemberi kerja; 1) Hingga batas tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang;161 2) Sepanjang proses pengobatan dipandang “perlu”162 oleh dokter resmi Singapura.
Biaya – biaya medis termasuk biaya sehubungan dengan transportasi darurat untuk medis; biaya untuk laporan medis yang diwajibkan untuk klaim WICA; biaya untuk
159
WICA, supra note 49, Fourth Schedule. Lihat Bab 2, Bagian 8.XII untuk naskah teks UU tersebut.
160
WICA, supra note 49, s 6(1). Lihat Bab 2, Bagian 8.XII untuk naskah teks UU tersebut.
161
WICA supra note 49, Third Schedule, para 5(1).
162
WICA, supra note 49, s 14(2).
66
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
fisioterapi, terapi sehubungan dengan pekerjaan dan terapi bicara; manajemen kasus; biaya untuk psikoterapi untuk post-traumatic disorder, evaluasi untuk kapasitas fungsional, penilaian tempat kerja, atau hal-hal yang diperlukan untuk rehabilitasi dan memungkinkan pekerja yang cedera untuk kembali bekerja; dan biaya untuk obat-obatan, anggota badan buatan dan peralatan bedah. 163 Tabel 10: Batasan tentang klaim atas biaya pengobatan
Batasan
Biaya pengo batan
Kecelakaan terjadisebelum1 Jan 2016164 (dalam S$) $30.000 untuk setiap kecelakaan atau biaya pengobatan yang diterima selama satu tahun setelah kecelakaan, atau yang mana yang lebih sedikit
Maksimum
Kecelakaan terjadipada dan setelah 1 Jan 2016 (dalam S$)
$36.000 setiap kecelakaan atau biaya pengobatan yang diterima selama satu tahun setelah kecelakaan, atau yang mana yang lebih sedikit
b) Tunjangan cuti medis165 Tabel 11: Cuti medis berbayar
Gaji penuh
Cuti medis
Cuti rawat inap
Hingga 14 hari
Hingga 60 hari
163
WICA, supra note 49, Third Schedule, para 5(2).
164
Limit ini berlaku untuk kecelakaan yang terjadi setelah 1 Jun 2012 dan sebelum 1 Jan 2016.
165
Lihat WICA, supra note 49, s 2(1) untuk definisi dari “pendapatan” dan s 8 untuk penghitungan dari “pendapatan
bulanan” .jumlah dari pekerja yang dapat melakukan klaim tidak berdasarkan dari gaji tetapnya, melainkan berdasarkan Rata-rata Pendapatan Bulanannya (Average Monthly Earnings atau AME). Umumnya, ini merupakan rata-rata pendapatan selama 12 bulan terakhir sebelum kecelakaan (termasuk gaji lembur, tapi tidak termasuk tunjangan untuk transportasi serta penggantian dan bukan hari kerja, contohnya hari istirahat, hari libiur nasional).
67
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
⅔ gaji
Hari ke-15 dan seterusnya, hingga satu tahun dari kecelakaan
Hari ke-60 dan seterusnya, hingga satu tahun dari kecelakaan
c) Kelumpuhan permanen (PI, Permanent Incapacity)166 Tabel 12: Batasan tentang klaim PI
Limits
Kecelakaan terjadi sebelum1 Jan 2016167 (dalam S$)
Kecelakaan terjadipada dan setelah1 Jan 2016 (dalam S$)
Lumpuh permanen
Minimum
$73.000 dikalikan dengan % hilangnya kapasitas penghasilan
$88.000 dikalikan dengan % kapasitas penghasilan
Lumpuh permanen
Maksimum
$218.000 dikalikan dengan % hilangnya kapasitas penghasilan dan tambahan 25% kompensasi yang dibayarkan untuk pekerja dengan kelumpuhan total permanen
$262.000 dikalikan dengan % hilangnya kapasitas penghasilan dan tambahan 25% kompensasi yang dibayarkan untuk pekerja dengan kelumpuhan total permanen
166
WICA supra note 49. Third Schedule, para 2.
167
Supra note 164.
68
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
d) Kematian168 Tabel 13: Batasan tentang klaim permanen atas kematian
Batasan
Kecelakaan terjadi sebelum1 Jan 2016 (dalam S$)
Kecelakaan terjadipada dan setelah 1 Jan 2012 (dalam S$)
Kematian
Minimum
$57.000
$69.000
Kematian
Maksimum
$170.000
$204.000
e) Perhitungan mandiri dari kompensasi yang dapat diklaim Tabel 14: Perhitungan kompensasi yang dapat diklaim
Kompensasi yang dapat dibayarkan
[penghasilan bulanan karyawan] x [faktor pengali] X [% kerugian dari kapasitas penghasilan]169
5.20.
Jika penghitungan kompensasi masuk dalam kisaran sebagaimana disebutkan dalam Tabel 12 (sebagai contoh, kisaran untuk kecelakaan yang terjadi setelah 1 Januari 2016 dengan PI% sejumlah 10% akan menjadi $8.800 - $26.200), pekerja yang bersangkutan kemungkinan besar memperoleh jumlah penuh. Akan tetapi, jika penghitungan kompensasi di bawah nilai minimum, pekerja yang bersangkutan kemungkinan mendapatkan jumlah minimum dan jika di atas kisaran tersebut, maka pekerja yang bersangkutan kemungkinan mendapatkan jumlah maksimum.
5.21.
Penambahan sebesar 25% dari kompensasi akan diberikan jika karyawan tersebut mengalami kelumpuhan total secara permanen. Yang terakhir, karyawan juga dapat mengklaim tunjangan cuti medis yang belum diterimanya untuk tahun lalu
5.22.
Kalkulator online (WIC Self-Assessment Tool) tersedia pada situs resmi
168
WICA, supra note 49, Third Schedule, para 1.
169
Disini, batas maksimumnya adalah $218.000 x [% kehilangan kapasitas pendapatan]. Batas minimumnya adalah
$73.000 x [% kehilangan kapasitas penghasilan].
69
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Kemenaker.170 ii. Pemberitahuan Klaim dan Bukti yang diperlukan 5.23.
Jika dimungkinkan, pemberitahuan atas kecelakaan harus diberikan kepada pemberi kerja sesegera mungkin setelah kecelakaan terjadi. Sebagai tambahan, klain untuk kompensasi yang diatur didalam WICA harus dibuat dalam satu tahun sejak terjadi kecelakaan yang menyebabkan terjadinya cedera, atau dalam hal kematian, dalam waktu satu tahun sejak tanggal kematian.171
5.24.
Secara umum, karyawan harus: 1) Memperoleh foto/video, testimoni saksiuntuk menunjukkan bahwa hal itu adalah cedera yang terjadi di tempat kerja 2) Menyimpan fotocopy Surat Keterangan Dokter dan memberikan aslinya kepada pemberi kerja untuk mengklaim tunjangan cuti medis. Pemberi kerja harus membayarnya paling lambat pada hari pembayaran berikutnya.172 3) Menyimpan fotocopy dari semua tagihan medis yang terkait dengan cedera dan memberikan aslinya kepada kepada pemberi kerja, yang akan membayarnya secara langsung kepada klinik/rumah sakit. Jika pekerja telah membayarnya, pemberi kerja harus menggantinya kepada pekerja.
C.
Mengajukan klaim pada common law berdasarkan tort of negligence 5.25.
170
Beberapa masalah yang umum dihadapi oleh karyawan ketika pertama kalinya mereka mengajukan klaim berdasarkan WICA adalah mereka harus menunjukkan bahwa cedera mereka adalah cedera yang terjadi di tempat kerja. Hal ini kemungkinan akan sulit karena pihak pemberi kerja kemungkinan dapat menyangkal bahwa cedera tersebut terjadi ketika bekerja. Dalam kondisi yang demikian, klaim dapat gugur jika pihak karyawan tidak menunjukkan bukti yang mendukung, seperti foto, video, atau kesaksian rekan kerja. Selain itu, meskipun klaim berdasarkan WICA tidak dapat dilakukan jika pihak karyawan yang menyebabkan kecelakaan, karyawan tersebut masih dapat mengajukan klaim berdasarkan tort pada common law.173
http://www.mom.gov.sg Work Injury Compensation Act (WICA) online: Ministry of Manpower
[WICA Calculator]. 171
Lihat, WICA, supra note 49, s 11(1).
172
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 2 di 30.
173
Dalam kasus yang demikian, contributory negligenceberperan sebagai pembelaan parsial untuk mengurangi klaim
kerugian yang dilakukan penggugat, lihat Gary Chan Kok Yew, The Law of Torts in Singapore (Singapore: Academy Publishing, 2011) di 297. Namun, klien masih dapat memperoleh beberapa bentuk kerugian dibandingkan pada WICA dimana klaim penggugat akan dilarang.
70
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
i.
5.26.
Apa yang dapat diklaim berdasarkan common law jika kecerobohan berhasil dibuktikan?
Kerugian berdasarkan common law akan mencakup kompensasi atas rasa sakit dan penderitaan, hilangnya gaji, biaya medis dan hilangnya penghasilan di masa mendatang. Elemen
174
5.27.
Pihak penggugat harus membuktikan bahwa pihak pihak tergugat memiliki kewajiban untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan (duty of care). Hal ini dilakukan secara mudah dengan konsep non-delegable duty174 (kewajiban yang tidak dapat didelegasikan) dan statutory duties (kewajiban untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan undang-undang) sebagaimana didefinisikan dalam perundang-undangan.175 Pemberi kerja berutang kepada karyawan duty of care (DOC) yang tidak dapat didelegasikan untuk memastikan keamanan pribadi karyawan di tempat kerja (bahkan jika terkadang dikirim untuk bekerja di tempat lain, dsb.) 176 DOC yang tidak dapat didelegasikanyang tidak dapat didelegasikandapat timbul dari perundangundangan juga.177 Namun, saat ini masih belum jelas apakah pelanggaran kewajiban sebagaimana yang didefinisikan dalam WSHA dapat mendorong hak masyarakat untuk melakukan tuntutan. Tidak ada common law DOC secara otomatis jika terdapat statutory duty,tetapi keberadaan statutory duty dapat mendorong untuk menemukan common law DOC.178 Masih tidak jelas apakah keuntungan yang diperoleh jika menggunakancommon law breach of a statutory DOC. Namun, kemungkinan manfaat yang diperoleh dapat mencakup kerugian yang jauh lebih besar berdasarkancommon law atau batasan waktunya lebih lama.
5.28.
Pihak penggugat harus membuktikan bahwa pihak tergugat melakukan pelanggaran kewajiban dengan ketidakmampuan untuk memenuhi standar perilaku yang disyaratkan.
5.29.
Pihak penggugat harus menentukan hubungan sebab akibat antara kecelakaan di tempat kerja yang mengakibatkan terjadinya cedera.
5.30.
Pihak penggugat harus membuktikan bahwa dia benar-benar mengalami
Chandran a/l Subbiah v Dockers Marine Pte Ltd, [2010] 1 SLR 786; [2009] SGCA 58 [Chandran] di [2]. Lihat Bab 2,
Bagian 8.XIV untuk rangkuman kasus. 175
Lihat misalnya Workplace Safety and Health Act (Cap 354A, 2009 Rev Ed Sing) s 12, s 14 [WSHA].
176
Chandran, supra note 174.
177
Oberoi Imperial Hotel v Tan Kiah Eng [1992] 1 SLR 380, [1992] SGCA 1 [Oberoi] di [25]-[26].
178
Jurong Primewide Pte Ltd v Moh Seng Cranes Pte Ltd and others [2014] 2 SLR 360; [2014] SGCA 6 [Jurong] at [36]-
[37]. Lihat Bab 2, Bagian 8.XIV untuk ringkasan kasus.
71
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
cedera. 5.31.
Pemberi kerja memiliki kewajiban untuk memberikan perhatian yang memadai dalam menyediakan, diantaranya, lingkungan kerja dan peralatan kerja yang aman yang digunakan oleh karyawannya serta menjaganya agar berada dalam kondisi yang memadai.179 Bukti yang diperlukan
5.32.
Penggugat harus membuktikan bahwa tergugat melakukan pelanggaran kewajiban dengan ketidakmpuan untuk memenuhi standar perilaku yang disyaratkan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajukan saksi, menyerahkan foto dan video dari tempat kerja sebelum dan setelah terjadinya kecelakaan.
5.33.
Penggugat harus menentukan hubungan sebab akibat antara kecelakaan yang mengakibatkan cedera dan bahwa mereka berada di tempat kerja pada saat terjadinya cedera. Catatan pergantianshift pekerja, slip gaji, kesaksian dari rekan kerja dapat digunakan untuk mendukung klaim ini.
5.34.
Penggugat harus membuktikan bahwa mereka benar-benar mengalami cedera. Penggugat dapat menggunakan catatan medis untuk membuktikan bahwa mereka mengalami cedera. Beban pembuktian
5.35.
179
Karyawan harus membuktikan kasusprima facie (memadai pada kesan pertama) berdasarkan prinsip keseimbangan probabilitas(on the balance of probalilities). Hal ini berarti bahwa karyawan mula-mula harus menyatakan fakta bahwa, jika benar, akan mengajukan klaim atas kelalaian. Pemberi kerja/tergugat kemudian memiliki beban untuk membuktikan bahwa mereka telah melakukan langkah-langkah pencegahan yang memadai. Beban hukum masih tetap bersama penggugat tetapi beban pembuktian bergeser kepada tergugat begitu penggugat telah membuktikan adanya kelalaian berdasarkan prinsip keseimbangan probabilitas (on a balance of probalilities).180
Kasus dari Araveanthan and another v Nippon Pigment (S) Pte Ltd [1992] SGHC 20 [Araveanthan], menyoroti
kewajiban ini untuk melakukan perawatan secara memadai. Meskipun legislasi yang dijadikan acuan dalam kasus ini adalah UU tentang Pabrik (Factories Act), yang sekarang digantikan oleh WSHA, apakah kewajiban yang ditetapkan dalam WSHA bersifat mutlak dan apakah kewajiban tersebut mendorong hak pribadi untuk melakukan tuntutan masih menjadi pernyataan yang belum terjawab dan perlu dilakukan litigasi. Masih belumjelas juga apakah yurisprudensiyang dibuat Factories Actberlaku terhadap WSHA. Salah satu pandangan yang ada adalah karena hampir semua Bagian WSHA mirip dengan Factories Act, paling tidak beberapa kasus belakangan dapat diterapkan terhadap kasus sebelumnya. Di sisi lainnya, Factories Act dicabut dan digantikan dengan WSHA. Jika terdapat itikad untuk melanjutkan yurisprudensi sebelumnya, dapat dikatakan bahwa Factories Actseharusnya tidak digantikan tetapi sebaiknya dilakukan perubahan. Lihat Bab 2, Bagian 8.XIV untuk rangkuman kasus. 180
Loh Tek Hua v Tey Joo Soon and Another, [2006] SGDC 225 [Loh Tek Hua]. Untuk rangkuman kasus, lihat Bab 2,
Bagian 8.XIV untuk ringkasan kasus.
72
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
ii. Potensi penggunaan WSHA untuk memperkuat kelalaian 5.36.
Meskipun masih merupakan teori hukum, pelanggaran pemberi kerja terhadap WSHA kemungkinan relevan dalam menguatkan adanya kelalaian pemberi kerja. Seluruh tempat kerja kecuali tempat kerja yang melibatkan pekerja rumah tangga tercakup dalam WSHA. Ketika karyawanmengajukan klaim berdasarkan WICA ataucommon law, bukti sehubungan dengan adanyapelanggaran terhadap WSJA oleh pemberi kerja dapat dijadikan sebagai pendukung klaim atas kelalaian tersebut dan untuk mendukung argument tambahan bahwa pemberi kerja telah lalai.
5.37.
Perusahaan dan karyawan yang tercakup dalam WSHA harus melakukan langkah yang dapat dilaksanakan untuk memastikan tempat kerja mereka aman. Hal ini mencakup manajemen resiko yang memadai atau mengambil tindakan untuk mengidentifikasi dan mengelola resiko yang ada dalam satu tempat kerja sedemikian rupa untuk mencegah kecelakaan yang terkait dengan pekerjaan. Berdasarkan WSHA, pertanggungjawaban ditentukan bagi sejumlah orang.181
6.
KEKERASAN FISIK DAN CEDERA LAINNYA YANG TIDAK TERKAIT DENGAN PEKERJAAN
I.
Gambaran umum 6.1.
Klaim ini biasanya diajukan oleh pekerja rumah tangga terhadap pemberi kerja mereka. Meskipun hampir semua kasus kekerasan membuat pihak pemberi kerja secara pidana bertanggungjawab atas penyerangan dan penganiayaan, pihak korban dapat juga mengajukan klaim perdata untuk memperoleh kompensasi atas kerugian. Klaim yang paling relevan biasanya adalah penganiayaan karena melibatkan penderitaan yang sesungguhnya dari kontak/kekerasan fisik pada tubuh penggugat.
II. Penyelesaian dan ketentuan A. Tindakan penganiayaan i. Elemen 6.2.
181
Penganiayaan didefinisikan sebagai tindakan yang secara sengaja dan langsung menyebabkan kontak terhadap tubuh pihak penggugat tanpa adanya
WSHA, supra note 175. Some of these duties are laid out in Part IV of the WSHA, Part IV Lihat Bab 2, Bagian 8.XIII
untuk naskah teks UU tersebut.
73
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
alasan atau justifikasi yang sah menurut hukum.182 1) Kontak langsung 6.3.
Beberapa contoh dari tindakan yang dapat menyebabkan kontak langsung adalah menampar, meninju dan menggoncang. Contoh lainnya mencakup menjambak rambut korban atau atau menuangkan minyak panas ke atas tubuh. 2) Alasan atau justifikasi yang sah
6.4.
Alasan yang sah secara hukum adalah pembelaan yang dapat dilakukan oleh pihak tergugat di persidangan. Tanggungjawab/beban ada pada pihak tergugat sehingga meskipun mereka mengakui telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum, mereka memiliki alasan secara hukum mengapa mereka melakukannya, sehingga tidak dapat dinyatakan bersalah. 3) Itikad
6.5.
Penggugat harus membuktikan itikad dari pihak tergugat.183 Dalam beberapa kasus, pihak tergugat harus memahami akan adanya konsekuensi dari campur tangan. Niat dapat berubah menjadi penganiayaan (misalnya seseorang mengayunkan tangannya untuk memukul seseorang namun meleset dan mengenai orang lain, dia tetap bertanggungjawab atas terjadinya penganiayaan tersebut). Kealpaan(omission) dapat merupakan penggunaan kekerasan.184 Tidak ada gunanya untuk menunjukkan sikap permusuhan, 185 dan persyaratannya masih tetap untuk membuktikan itikad.
6.6.
Selain hal-hal diatas, pihak penggugat harus membuktikan yang berikut ini: a) Siapa orang yang menyebabkan cedera tersebut? b) Jenis cedera yang disebabkan? 4) Faktor yang memberatkan atau faktor yang meringankan
182
6.7.
Faktor-faktor yang memberatkan adalah setiap kondisi relevan, yang didukung oleh bukti yang ditunjukkan selama persidangan yang membuat hukuman terberat adalah hal yang tepat. Hakim akan memeriksa faktor-faktor tersebut dan akan berkontribusi terhadap jumlah ganti rugi serta prosedur putusan.
6.8.
Bebarapa contoh mencakup pemukulan Bagian tubuh yang rentan, penyalahgunaan kekuasaan, tidak adanya penyesalan atas tindakan yang
Amutha Valli d/o Krishnan v Titular Superior of the Redemptorist Fathers in Singapore and others [2009] 2 SLR
1091, [2009] SGHC 35 [Amutha] at [71]. 183
Letang v Cooper [1965] QB 232 [Letang].
184
Fagan v Commissioner of Metropolitan Police [1969] 1 QB 439 [Fagan].
185
Wilson v Pringle [1986] 2 All ER 440 [Wilson].
74
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
telah dilakukan dan pola kekerasan yang sistematis.186 6.9.
Faktor-faktor yang meringankan adalah tiap bukti yang ditunjukkan tentang karakter pihak tergugat atau kondisi yang melatarbelakangi tindak pidana tersebut, yang menyebabkan hakim mempertimbangkan untuk memberikan putusan yang lebih ringan.
6.10.
Beberapa contoh mencakup umur pihak tergugat pada saat terjadinya tindak pidana, apakah pihak tergugat berperan sebagai pembantu dalam tindak pidana tersebut dan partisipasinya relatif kecil, apakah pihak tergugat bertindak dalam tekanan ekstrim atau berada di bawah dominasi kuat dari orang lain. ii. Bukti yang diperlukan
6.11.
7.
Untuk membuktikan bahwa ada tindakan yang secara sengaja dan secara langsung menyebabkan terjadinya kontak terhadap tubuh penggugat tanpa adanya alasan atau justifikasi yang sah secara hukum, penggugat dapat memanfaatkan saksi, laporan medis, panggilan telepon, video, tanda fisik yang membekas. Pemeriksaan klinis juga berguna untuk membuktikan bahwa pihak terdakwamemang benar-benar telah menyebabkan korban mengalami cedera.
KESIMPULAN 7.1.
Bagian ini menyimpulkan masalah hukum yang umumnya dihadapi buruh migran dan penyelesaian hukum yang tersedia. Ada lima masalah umum yang teridentifikasi: 1) 2) 3) 4) 5)
186
Gaji yang tidak terbayarkan Pembayaran dan pemotongan gaji secara ilegal Permasalahan non-gaji dalam perjanjian kerja Cedera yang terjadi di tempat kerja Kekerasan fisik dan cedera lainnya yang tidak terkait dengan pekerjaan
7.2.
Penting sekali untuk diperhatikan perbedaan antara pengajuan klaim berdasarkan common law dibandingkan dengan UU. Beberapa perbedaan utama, seperti hambatan waktu, beban pembuktian dan evidentiary requirement (persyaratan kelengkapan bukti) berakibat secara langsung pada kelayakan dari beberapa tuntutan. Meskipun beberapa penyelesaian telah dicoba dan diujikan, penyelesaian lainnya saat ini akan memerlukan proses litigasi untuk menentukan apakah hal tersebut dapat diterapkan dan berjalan efektif. Yang paling penting, para praktisi harus mengevaluasi kasus yang dihadapi (dalam hal bukti, dsb) dan menentukan cause of action mana yang paling layak.
7.3.
Setelah berurusan dengan substansi wilayah hukum yang terkait dengan buruh migran pada Bab 2, Bab 3 akan menjelaskan pemeriksaan secara
ADF v Public Prosecutor and another appeal [2010] 1 SLR 874, [2009] SGCA 57 [78], [85].
75
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
mendalam terhadap prosedur hukum yang terkait dalam pengumpulan causes of action bagi buruh migran.
8.
ANALISA BLACK LETTER LAW DAN CASE LAW I.
Pendahuluan
8.1.
Banyak referensi dari berbagai perundangan dan kasus yang dibuat dalam Bab 2. Diatur sesuai dengan urutan abjad, Bagian ini merupakan kompilasi dari porsi yang relevan dari perundangan yang tersebut di atas serta masingmasing kasus hukum untuk memberikan penjelasan yang lebih baik tentang interpretasi hukum. Case law (hukum yang didasarkan atas keputusan hakim sebelumnya) dan statutory law (peraturan perundang-undangan yang tertulis) tetap dalam bahasa Inggris untuk menjaga keakuratannya.
II. Action for contractual debt
Young v Queensland Trustees Limited [1956] HCA 51
Holding
The debtor must allege and prove payment by way of discharge as a defence to an action for indebtedness in respect of an executed consideration. A debt once proved to have existed, is presumed to continue unless payment, or some other discharge, be either proved, or established by circumstances.
III. Economic duress
Huyton SA v Peter Cremer GmbH & Co [1998] EWHC 1208 (Comm)
Holding
“The minimum basic should be the “but for” test: The illegitimate pressure must have […] actually caused the making of the agreement, in the sense that it would not otherwise have been made either at all or, at least, in the terms in which it was made. In that sense, the pressure must have been decisive or clinching.”
76
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Tam Tak Chuen v Khairul bin Abdul Rahman and Others [2009] 2 SLR 240; [2008] SGHC 242 Holding
[50]: The four categories of circumstances that indicate when a threat of lawful action that is not unlawful is illegitimate are: o where the threat is an abuse of legal process; o where the demand is not made bona fide; o
where the demand is unreasonable; and
o
where the threat is considered unconscionable in light of all the circumstances.
Although the threat made by the defendant was lawful, he acted with a collateral motive and the presence of that motive made the threat illegitimate. [54]: [Upon discovering the situation that Dr Tam had repeatedly lied to him about his relationship with Ms Chew], “Dr Khairul was perfectly entitled to take all legal steps available to him to terminate the relationship, and to minimise the loss that he himself would suffer from such a termination. He was not however entitled to take advantage of the situation and unfairly profit from it.” [55]: “It is material that once Dr Khairul’s suspicions had been confirmed, he did not do anything for a period of three months. During that period, he discussed the situation with others and took legal advice. By the time he called Dr Tam and Dr Ashraff to the meeting on 4 March 2007, he had had the transfer documents and the Liability Transfer Agreement prepared and ready for execution. His actions that evening had therefore been very carefully orchestrated.” [57]: “On the balance of probabilities, the evidence establishes that not only did Dr Khairul want to end his partnership with the plaintiff but that he also wanted to take over the plaintiff’s shares at an undervalue. […] For Dr Khairul to bring the business relationship to an end, it rEeally was not necessary for him to say that unless one of them bought out the other, he would proceed with a compulsory winding up and present the necessary evidence. I am satisfied that in making that threat, although it was a threat of a lawful action, Dr Khairul was acting with a collateral motive and the presence of that motive made the threat illegitimate.”
His threat was also illegitimate on the basis that the demands were unreasonable. [58]: “As I have held, the true value of the plaintiff’s shares in the J Companies was far more than the $50,000 that Dr Khairul
77
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
offered Dr Tam for those shares […] As the demands made by Dr Khairul in respect of the consideration for the transfer of all the plaintiff’s shares in all the companies were unreasonable, his threat was illegitimate on this basis as well.”
IV. Employment Act (Cap 90, 2009 Rev Ed Sing) Section 2. Interpretation (1) In this Act, unless the context otherwise requires — “basic rate of pay” means the total amount of money (including wage adjustments and increments) to which an employee is entitled under his contract of service either for working for a period of time, that is, for one hour, one day, one week, one month or for such other period as may be stated or implied in his contract of service, or for each completed piece or task of work but does not include — (a) additional payments by way of overtime payments; (b) additional payments by way of bonus payments or annual wage supplements; (c) any sum paid to the employee to reimburse him for special expenses incurred by him in the course of his employment; (d) productivity incentive payments; and (e) any allowance however described; “contract of service” means any agreement, whether in writing or oral, express or implied, whereby one person agrees to employ another as an employee and that other agrees to serve his employer as an employee and includes an apprenticeship contract or agreement;
Acme Canning Corporation Ltd v Lee Kim Seng [1977] 1 MLJ 252 Holding
A term of an oral contract of service is an express condition of the contract: “It is clear from the evidence that although there was no written contract of service there was a well-defined and wellunderstood oral contract of service between the parties, and express condition does not necessarily mean written. It is only in contrast to implied.”
Summary
This was an appeal against the decision of the Labour Officer,
78
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
of facts
Butterworth who awarded a sum of $2,865.11 as overtime wages and double wages for working on rest days. The respondent was employed as a foreman in the factory and had agreed to work as a monthly rated employee under the terms and conditions which provided no limit in hours in return for such benefits as housing allowance, bonus and incentive payments.
Carmicheal v National Power Plc [1999] ICR 1226 Holding
Employment contracts may be partly written, partly oral contracts. “Putting the matter at its lowest, I think that it was open to the industrial tribunal to find, as a fact, that the parties did not intend the letters to be the sole record of their agreement but intended that it should be contained partly in the letters, partly in oral exchanges at the interviews or elsewhere and partly left to evolve by conduct as time went on. This would not be untypical of agreements by which people are engaged to do work, whether as employees or otherwise.”
Where a contract is intended to be partly written, partly oral, oral terms may be implied by subsequent conduct, such as evidence showing mutual understanding of obligations. Memory of the precise conversation is not necessary. “In the case of a contract which is based partly upon oral exchanges and conduct, a party may have a clear understanding of what was agreed without necessarily being able to remember the precise conversation or action which gave rise to that belief.” “The evidence of a party as to what terms he understood to have been agreed is some evidence tending to show that those terms, in an objective sense, were agreed. [...] when both parties are agreed about what they understood their mutual obligations (or lack of them) to be, it is a strong thing to exclude their evidence from consideration.”
79
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Melaka Farm Resorts (M) Sdn Bhd v Hong Wei Seng [2004] 6 MLJ 506 Holding
Contracts of service may be formed orally. [13]: “A contract of service may be orally entered into, as in here, where the defendant’s executive director testified that the plaintiff’s monthly salary was RM2,000.”
A contract of service may be implied by the conduct of the parties. [14]: “Further, a contract of service may also be implied by the conduct of the parties, as e.g. in the instant appeal, where the defendant has allowed the plaintiff to work in the defendant’s place of employment and a sum of RM4,000 has been paid by the defendant to the plaintiff as salary for two months viz September and October 2001.”
The burden of proof is on the employer to prove that the employee’s salary has been paid. The employer failed to discharge the burden in failing to produce documentation of payments in the form of payment vouchers, pay slips, cheques etc. [18]: “The burden is on the defendant as the employer to prove this fact. If at all the defendant has paid the arrears of salary, the defendant being a company incorporated under the Companies Act 1965 would certainly have documented the payments in the form of payment vouchers, pay slips, cheques [...] The fact that the defendant has failed to produce the documents evidencing such payments clearly shows on a balance of probabilities that the defendant has failed to discharge the burden of proof.”
Summary of facts
The appellant (‘the defendant’) had orally agreed to employ the respondent (‘the plaintiff’) as its general manager in absence of a written contract of employment. The plaintiff later resigned and claimed for RM18,000 as arrears for his salary from November 2001 to July 2002, to which the defendant disputed. The director of labour found for the plaintiff but reduced his claim to RM16,000 on the ground that he had worked for only two days in the last month. Dissatisfied, the defendant appealed against the director’s decision. The issues before the court were whether an employment contract existed between the parties and whether defendant should pay the arrears in question.
“domestic worker” means any house, stable or garden servant or motor car driver, employed in or in connection with the domestic services of any private premises “employee” means a person who has entered into or works under a contract of service with an employer and includes a workman, and any officer or employee of the Government included in a
80
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
category, class or description of such officers or employees declared by the President to be employees for the purposes of this Act or any provision thereof, but does not include — (a) any seafarer (b) any domestic worker; (c) subject to subsection (2), any person employed in a managerial or an executive position; and (d) any person belonging to any other class of persons whom the Minister may, from time to time by notification in the Gazette, declare not to be employees for the purposes of this Act;
Asiawerks Global Investment Group Pte Ltd [2004] 1 SLR(R) 234 Holding
The contract of employment for a foreigner without the necessary employment pass will be an illegal contract and cannot be enforced. [45]: “The second defendant could not have been an employee of the plaintiff as that would have been a contravention of the Immigration Act and the Employment of Foreign Workers Act. If a contract of employment did exist, it could not be enforced because it would be an illegal contract. The defence of illegality could be raised notwithstanding the refusal of leave to amend the Defence in the course of trial to include such a defence.”
Analysis
Professor Chandran suggests that if the contract rendered illegal by the employee not having the required work permits, the EA is unlikely to be applicable.187 The logic is likely that applicability of the EA is tied to the validity of the contract. If the contract is rendered void because of an illegality, the EA cannot apply.
“employer” means any person who employs another person under a contract of service and includes — (a) the Government in respect of such categories, classes or descriptions of officers or employees of the Government as from time to time are declared by the President to be employees for the purposes of this Act; (b) any statutory authority;
187
Chandran, Annfotated EA, supra note 6 at 29.
81
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
(c) the duly authorised agent or manager of the employer; and (d) the person who owns or is carrying on or for the time being responsible for the management of the profession, business, trade or work in which the employee is engaged; “gross rate of pay” means the total amount of money including allowances to which an employee is entitled under his contract of service either for working for a period of time, that is, for one hour, one day, one week, one month or for such other period as may be stated or implied in his contract of service, or for each completed piece or task of work but does not include — (a) additional payments by way of overtime payments; (b) additional payments by way of bonus payments or annual wage supplements; (c) any sum paid to the employee to reimburse him for special expenses incurred by him in the course of his employment; (d) productivity incentive payments; and (e) travelling, food or housing allowances; “hours of work” means the time during which an employee is at the disposal of the employer and is not free to dispose of his own time and movements exclusIive of any intervals allowed for rest and meals; “overtime” means the number of hours worked in any one day or in any one week in excess of the limits specified in Part IV; “salary” means all remuneration including allowances payable to an employee in respect of work done under his contract of service, but does not include — (a) the value of any house accommodation, supply of electricity, water, medical attendance, or other amenity, or of any service excluded by general or special order of the Minister published in the Gazette; (b) any contribution paid by the employer on his own account to any pension fund or provident fund; (c) any travelling allowance or the value of any travelling concession; (d) any sum paid to the employee to reimburse him for special expenses incurred by him in the course of his employment; (e) any gratuity payable on discharge or retirement; and (f) any retrenchment benefit payable on retrenchment; “seafarer” means any person, including the master, who is employed or engaged or works in any capacity on board a ship, but does not include — (a) a pilot; (b) a port worker; (c) a person temporarily employed on the ship during the period it is in port; and (d) a person who is employed or engaged or works in any capacity on board a harbour craft or pleasure craft licensed under regulations made under section 41 of the Maritime and Port Authority of Singapore Act (Cap. 170A), when the harbour craft or pleasure craft
82
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
is used within a port declared by the Minister under section 3 of that Act; “workman” means — (a) any person, skilled or unskilled, who has entered into a contract of service with an employer in pursuance of which he is engaged in manual labour, including any artisan or apprentice, but excluding any seafarer or domestic worker; (b) any person, other than clerical staff, employed in the operation or maintenance of mechanically propelled vehicles used for the transport of passengers for hire or for commercial purposes; (c) any person employed partly for manual labour and partly for the purpose of supervising in person any workman in and throughout the performance of his work: Provided that when any person is employed by any one employer partly as a workman and partly in some other capacity or capacities, that person shall be deemed to be a workman unless it can be established that the time during which that workman has been required to work as a workman in any one salary period as defined in Part III has on no occasion amounted to or exceeded one-half of the total time during which that person has been required to work in such salary period; (d) any person specified in the First Schedule; (e) any person whom the Minister may, by notification in the Gazette, declare to be a workman for the purposes of this Act. (2) Any person who is employed in a managerial or an executive position and is in receipt of a salary not exceeding $4,500 a month (excluding overtime payments, bonus payments, annual wage supplements, productivity incentive payments and any allowance however described), or such other amount as may be prescribed in substitution by the Minister, shall be regarded as an employee for the purposes of this Act except the provisions in Part IV.
Section 8. Illegal terms of service Every term of a contract of service which provides a condition of service which is less favourable to an employee than any of the conditions of service prescribed by this Act shall be illegal, null and void to the extent that it is so less favourable.
Acme Canning Corporation Ltd v Lee Kim Seng [1977] 1 MLJ 252 Holding
Where an employee agrees to accept other benefits under a scheme of service in lieu of overtime pay, the doctrine of election applies to bar them from claiming for overtime pay later. “According to respondent`s own evidence he agreed to work as a monthly-rated employee under the terms and conditions which included without limit in hours in return for such benefits as housing allowance, food allowance, bonus and incentive
83
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
payments. Having agreed to accept these benefits under a scheme of service instead of overtime benefits which he would have received otherwise, he cannot now come to court and complain that he is entitled to receive overtime benefits. This is not a case where an employee who by virtue of his inability to obtain other employment or other schemes of service has been forced to work overtime. The type of work which the respondent did, according to his own evidence, involved long periods of standing by doing nothing, i.e, the actual work he had to do was of much shorter period than 8 hours. It was the nature of the work which persuaded him to continue under the terms and conditions of his service. He himself has said that he made no protest, no complaint, nor did he want to alter his terms of service.” Analysis
Professor Chandran suggests that s8 may be subject to the doctrine of election. Acme can be reconciled with Monteverde in that following Monteverde it is still possible for employees to come to an arrangement where they elect to be paid a higher fixed monthly salary in lieu of overtime salary, merely that there cannot be a contractual obligation to work more than 44 hours per week. Monteverde is also distinguishable from Acme Canning in that it is not clear that she was offered higher salary as a benefit in lieu of overtime payment, whereas in Acme Canning he was explicitly offered a choice of working as a monthly-rated employee with other benefits in lieu of overtime salary, or as an hourly-rated employee.
Monteverde Darvin Cynthia v VGO Corp Ltd 188 [2013] SGHC 280 Holding
188
[10]: On correct interpretation of the contract, $1900 is the basic
Monteverde dapat didamaikan dengan Acme karena berdasarkanputusan di Montverde, masih dimungkinkan bagi
para pekerja untuk mencapai suatu pengaturan di mana mereka dapat memilih untuk mendapatkan gaji bulanan tetap yang lebih tinggi sebagai pengganti bayaran lembur mereka. Oleh karena itu, Montverde hanya berarti pernyataan bahwa tidak diperkenankan adanya kewajiban kontrak untuk bekerja lebih dari 44 jam dalam setiap minggunya. Monteverde juga dapat dibedakan dari Acme Canning karena dalam Monteverde, tidak jelas apakah pekerja ditawarkan kenaikan gaji sebagai pengganti bayaran lembur. Sedangkan disisi lain, dalam Acme Canning, pekerja yang bersangkutan secara eksplisit ditawarkan pilihan untuk bekerja sebagai pekerja bulanan dengan manfaat lain sebagai pengganti bayaran lembur, atau sebagai pekerja per jam.
84
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
rate of pay, excluding any overtime payment.
Summary of facts
o
Appellant’s contract expressly disclaimed the concept of additional payment for overtime hours worked, stating that the Appellant was “hired for job completion and not for number of hours worked”
o
The contract does not provide for a fixed number of hours to be worked but purportedly imposes an obligation on the part of the Appellant to work a maximum of 60 hours per week. If she had been required to work fewer than 60 hours a week, it would still be obliged to pay her a monthly salary of $1900.
[12]: Even if the contract required the Appellant to work a fixed number of 60 hours a week rather than expressing a maximum, finding would remain the same. Such a clause would be rendered illegal, null and void to the extent that it is less so favourable. Thus, that particular clause would be treated as one which only imposed an obligation to work no more than 44 hours a week, but the contractual obligation to pay her a monthly salary of $1900 would remain unchanged, and accordingly constitute her monthly basic rate of pay.
The Appellant brought a claim against her former employer, the Respondent, for overtime pay during the period of her employment. The Appellant was employed by the Respondent as a senior boutique associate. It was not disputed that her last drawn monthly basic salary was $1,900 and that she worked 60 hours per week. She ceased her employment with the Respondent when her work pass was cancelled. She then lodged a claim with the Commissioner for overtime pay for the period from the date of commencement of her employment to the date of termination of her employment. Commissioner found that as the Appellant had agreed to work 60 hours a week at a monthly basic salary of $1900, it was reasonable to presume that the parties had agreed for the Respondent to pay a single rate for all hours of work, including the hours worked in excess of 44 hours a week. Thus the respondent had to pay an additional 0.5 times the hourly basic rate for the overtime hours. The issue was whether the Commissioner had erred in accepting that payments for the overtime hours were already included in the Appellant’s basic salary of $1900 except for the increase of 50% i.e. 1.5 times the hourly basic rate of pay.
Section 20. Fixation of salary period (1) An employer may fix periods, which for the purpose of this Act shall be called salary periods, in respect of which salary earned shall be payable.
85
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
(2) No salary period shall exceed one month. (3) In the absence of a salary period so fixed, the salary period shall be deemed to be one month.
Section 20A. Computation of salary for incomplete month’s work (1) If a monthly-rated employee has not completed a whole month of service because — (a) (b) (c) (d)
he commenced employment after the first day of the month; his employment was terminated before the end of the month; he took leave of absence without pay for one or more days of the month; or he took leave of absence to perform his national service under the Enlistment Act (Cap. 93), (e) the salary due to him for that month shall be calculated in accordance with the following formula: Monthly gross rate of pay
x
Number of days on which the employee is required to work in that month
Number of days the employee actually worked in that month
(2) In calculating the number of days actually worked by an employee in a month under subsection (1), any day on which an employee is required to work for 5 hours or less under his contract of service shall be regarded as half a day.
Section 26. No unauthorised deductions to be made No deduction shall be made by an employer from the salary of an employee, unless the deduction is authorised by or under any provision of this Act or is required to be made — (a) by order of a court or other authority competent to make such order; (b) pursuant to a declaration made by the Comptroller of Income Tax under section 57 of the Income Tax Act (Cap. 134), the Comptroller of Property Tax under section 38 of the Property Tax Act (Cap. 254) or the Comptroller of Goods and Services Tax under section 79 of the Goods and Services Tax Act (Cap. 117A) that the employer is an agent for recovery of income tax, property tax or goods and services tax (as the case may be) payable by the employee; or (c) pursuant to a direction given by the Comptroller of Income Tax under section 91 of the Income Tax Act.
Section 27. Authorised deductions (1) The following deductions may be made from the salary of an employee: (a) deductions for absence from work; (b) deductions for damage to or loss of goods expressly entrusted to an employee for custody or for loss of money for which an employee is required to account, where the damage or loss is directly attributable to his neglect or default;
86
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
(c) deductions for the actual cost of meals supplied by the employer at the request of the employee; (d) deductions for house accommodation supplied by the employer; (e) deductions for such amenities and services supplied by the employer as the Commissioner may authorise; (f) deductions for recovery of advances or loans or for adjustment of over-payments of salary; (g) [Deleted by Act 26 of 2013 wef 01/04/2014] (h) deductions of contributions payable by an employer on behalf of an employee under and in accordance with the provisions of the Central Provident Fund Act (Cap. 36); (i) deductions made at the request of the employee for the purpose of a superannuation scheme or provident fund or any other scheme which is lawfully established for the benefit of the employee and is approved by the Commissioner; (j) deductions made with the written consent of the employee and paid by the employer to any cooperative society registered under any written law for the time being in force in respect of subscriptions, entrance fees, instalments of loans, interest and other dues payable by the employee to such society; and (k) any other deductions which may be approved from time to time by the Minister. (2) For the purposes of subsection (1)(e), “services” does not include the supply of tools and raw materials required for the purposes of employment.
Section 29. Deductions for damages or loss (1) A deduction under section 27(1)(b) shall not exceed the amount of the damages or loss caused to the employer by the neglect or default of the employee and except with the permission of the Commissioner shall in no case exceed one-quarter (or such other proportion prescribed in substitution by the Minister) of one month’s wages and shall not be made until the employee has been given an opportunity of showing cause against the deduction.
Section 30. Deductions for accommodation, amenity and service (1) A deduction under section 27(1)(d) or (e) shall not be made from the salary of an employee unless the house accommodation, amenity or service has been accepted by him, as a term of employment or otherwise. (2) Any deduction under section 27(1)(d) or (e) shall not exceed an amount equivalent to the value of the house accommodation, amenity or service supplied, and the total amount of all deductions under section 27(1)(d) and (e) made from the salary of the employee by his employer in any one salary period shall in no case exceed one-quarter (or such other proportion prescribed in substitution by the Minister) of the salary payable to the employee in respect of that period. (3) In the case of a deduction under section 27(1)(e), the deduction shall be subject to such conditions as the Commissioner may impose.
87
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Section 32. Deductions not to exceed 50% of salary (1) The total amount of all deductions made from the salary of an employee by an employer in any one salary period, other than deductions under section 27(1)(a), (f) or (j), shall not exceed 50% (or such other percentage prescribed in substitution by the Minister) of the salary payable to the employee in respect of that period. (2) Subsection (1) shall not apply to deductions made from the last salary due to an employee on termination of his contract of service or on completion of his contract of service.
Section 35. Application of this Part to certain workmen and other employees The provisions of this Part shall apply — (a) to workmen who are in receipt of a salary not exceeding $4,500 a month (excluding overtime payments, bonus payments, annual wage supplements, productivity incentive payments and any allowance however described) or such other amount as may be prescribed by the Minister; and (b) to employees (other than workmen) who are in receipt of a salary not exceeding $2,000 a month (excluding overtime payments, bonus payments, annual wage supplements, productivity incentive payments and any allowance however described) or such other amount as may be prescribed by the Minister. The provisions of this Part shall apply — (a) to workmen who are in receipt of a salary not exceeding $4,500 a month (excluding overtime payments, bonus payments, annual wage supplements, productivity incentive payments and any allowance however described) or such other amount as may be prescribed by the Minister; and (b) to employees (other than workmen) who are in receipt of a salary not exceeding $2,500 a month (excluding overtime payments, bonus payments, annual wage supplements, productivity incentive payments and any allowance however described) or such other amount as may be prescribed by the Minister.
Section 36. Rest day (1) Every employee shall be allowed in each week a rest day without pay of one whole day which shall be Sunday or such other day as may be determined from time to time by the employer. (2) The employer may substitute any continuous period of 30 hours as a rest day for an employee engaged in shift work. (3) Where in any week a continuous period of 30 hours commencing at any time before 6 p.m. on a Sunday is substituted as a rest day for an employee engaged in shift work, such rest day shall be deemed to have been granted within the week notwithstanding that the period of 30 hours ends after the week.
Section 37. Work on rest day (1) Subject to section 38(2) or 40(2A), no employee shall be compelled to work on a rest day unless he is engaged in work which by reason of its nature requires to be carried on continuously
88
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
by a succession of shifts. (1A) In the event of any dispute, the Commissioner shall have power to decide whether or not an employee is engaged in work which by reason of its nature requires to be carried on continuously by a succession of shifts. (2) An employee who at his own request works for an employer on a rest day shall be paid for that day — (a) if the period of work does not exceed half his normal hours of work, a sum at the basic rate of pay for half a day’s work; (b) if the period of work is more than half but does not exceed his normal hours of work, a sum at the basic rate of pay for one day’s work; or (c) if the period of work exceeds his normal hours of work for one day — (i) a sum at the basic rate of pay for one day’s work; and (ii) a sum at the rate of not less than one and a half times his hourly basic rate of pay for each hour or part thereof that the period of work exceeds his normal hours of work for one day. (3) An employee who at the request of his employer works on a rest day shall be paid for that day — (a) if the period of work does not exceed half his normal hours of work, a sum at the basic rate of pay for one day’s work; (b) if the period of work is more than half but does not exceed his normal hours of work, a sum at the basic rate of pay for 2 days’ work; or (c) if the period of work exceeds his normal hours of work for one day — (i) a sum at the basic rate of pay for 2 days’ work; and (ii) a sum at the rate of not less than one and a half times his hourly basic rate of pay for each hour or part thereof that the period of work exceeds his normal hours of work for one day. (3A) In this section — (a) “normal hours of work” means the number of hours of work (not exceeding the limits applicable to an employee under section 38 or 40, as the case may be) that is agreed between an employer and an employee to be the usual hours of work per day; or in the absence of any such agreement, shall be deemed to be 8 hours a day; and (b) an employee’s “hourly basic rate of pay” is to be calculated in the same manner as for the purpose of calculating payment due to an employee under section 38 for working overtime.
Section 38. Hours of work (1) Except as hereinafter provided, an employee shall not be required under his contract of service to work — (a) more than 6 consecutive hours without a period of leisure; (b) more than 8 hours in one day or more than 44 hours in one week: Provided that — (i)
an employee who is engaged in work which must be carried on continuously may be required to work for 8 consecutive hours inclusive of a period or periods of not less than 45 minutes in the aggregate during which he shall have the opportunity to have a meal;
89
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
(ii)
where, by agreement under the contract of service between the employee and the employer, the number of hours of work on one or more days of the week is less than 8, the limit of 8 hours in one day may be exceeded on the remaining days of the week, but so that no employee shall be required to work for more than 9 hours in one day or 44 hours in one week; where, by agreement under the contract of service between the employee and the employer, the number of days on which the employee is required to work in a week is not more than 5 days, the limit of 8 hours in one day may be exceeded but so that no employee shall be required to work more than 9 hours in one day or 44 hours in one week; and where, by agreement under the contract of service between the employee and the employer, the number of hours of work in every alternate week is less than 44, the limit of 44 hours in one week may be exceeded in the other week, but so that no employee shall be required to work for more than 48 hours in one week or for more than 88 hours in any continuous period of 2 weeks.
(iii)
(iv)
(2) An employee may be required by his employer to exceed the limit of hours prescribed in subsection (1) and to work on a rest day, in the case of — (i) (ii) (iii) (iv) (v) (vi)
accident, actual or threatened; work, the performance of which is essential to the life of the community; work essential for defence or security; urgent work to be done to machinery or plant; an interruption of work which it was impossible to foresee; or work to be performed by employees in any industrial undertaking essential to the economy of Singapore or any of the essential services as defined under Part III of the Criminal Law (Temporary Provisions) Act (Cap. 67).
(4) If an employee at the request of the employer works — (a) more than 8 hours in one day except as provided in paragraphs (ii) and (III) of the proviso to subsection (1), or more than 9 hours in one day in any case specified in those paragraphs; or (b) more than 44 hours in one week except as provided in paragraph (IV) of the proviso to subsection (1), or more than 48 hours in any one week or more than 88 hours in any continuous period of 2 weeks in any case specified in that paragraph, he shall be paid for such extra work at the rate of not less than one and a half times his hourly basic rate of pay irrespective of the basis on which his rate of pay is fixed. (5) An employee shall not be permitted to work overtime for more than 72 hours a month. (6) For the purpose of calculating under subsection (4) the payment due for overtime to an employee referred to in the first column of the Fourth Schedule, the employee’s hourly basic rate of pay shall be determined in accordance with the second column of the Fourth Schedule. [Act 26 of 2013 wef 01/04/2014] (8) Except in the circumstances described in subsection (2)(a), (b), (c), (d) and (e), no employee shall under any circumstances work for more than 12 hours in any one day.
Section 40. Shift workers, etc. (1) Notwithstanding section 38(1), an employee who is engaged under his contract of service in regular shift work or who has otherwise consented in writing to work in accordance with the hours
90
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
of work specified in this section may be required to work more than 6 consecutive hours, more than 8 hours in any one day or more than 44 hours in any one week but the average number of hours worked over any continuous period of 3 weeks shall not exceed 44 hours per week. (2) No consent given by an employee under this section shall be valid unless this section and section 38 have been explained to the employee and the employee has been informed of the times at which the hours of work begin and end, the number of working days in each week and the weekly rest day. (2A) An employee to whom this section applies may be required by his employer to exceed the limit of hours prescribed in subsection (1) and to work on a rest day, in the case of — (a) accident, actual or threatened; (b) work, the performance of which is essential to the life of the community; (c) work essential for defence or security; (d) urgent work to be done to machinery or plant; (e) an interruption of work which it was impossible to foresee; or (f) work to be performed by employees in any industrial undertaking essential to the economy of Singapore or any of the essential services as defined under Part III of the Criminal Law (Temporary Provisions) Act (Cap. 67). (3) Except in the circumstances described in subsection (2A)(a), (b), (c), (d) and (e), no employee to whom this section applies shall under any circumstances work for more than 12 hours in any one day. (4) Section 38(4) shall not apply to any employee to whom this section applies, but any such employee who at the request of his employer works more than an average of 44 hours per week over any continuous period of 3 weeks shall be paid for such extra work in accordance with section 38(4). FOURTH SCHEDULE EMPLOYEE’S HOURLY BASIC RATE OF PAY FOR CALCULATION OF PAYMENT DUE FOR OVERTIME First column
Second column
Type of employee
Calculation of hourly basic rate of pay
1. A workman employed on a monthly rate of pay
12 x Monthly basic rate of pay ___________________________ 52 x 44
2. A non-workman whose monthly basic rate of pay is less than $2,250
12 x Monthly basic rate of pay ___________________________ 52 x 44
3. A non-workman whose monthly basic rate of pay is $2,250 or more
12 x $2250 ___________________________ 52 x 44
91
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
4. A workman employed on piece rates
The total weekly pay at the basic rate of pay received divided by the total number of hours worked in the week
5. A non-workman employed on piece rates
The total weekly pay at the basic rate of pay received divided by the total number of hours worked in the week, or the hourly basic rate of pay of an employee specified in this column for item 3, whichever is the lower
6. A workman employed on an hourly rate of pay
Actual hourly basic rate of pay
7. A non-workman employed on an hourly rate of pay
Actual hourly basic rate of pay, or the hourly basic rate of pay of an employee specified in this column for item 3, whichever is the lower
8. A workman employed on a daily rate of pay
Daily basic rate of pay divided by the number of working hours per day
9. A non-workman employed on a daily rate of pay
Daily basic rate of pay divided by the number of working hours per day, or the hourly basic rate of pay of an employee specified in this column for item 3, whichever is the lower
V. Employment Agencies Act (Cap 92, 2012 Rev Ed Sing) Employment Agencies Rules 2011 12.—(1) For the purposes of sections 14 and 23(1) of the Act and subject to paragraph (2), the fees that a licensee may charge or receive from an applicant for employment, whether directly or indirectly, for emplacing the applicant for employment with an employer on or after 1st April 2011 shall not exceed — (a) where the applicant for employment is a foreign employee, one month’s salary for each year of — (i) the period of validity of the foreign employee’s work pass; or (ii) the period of the contract of employment, whichever is the shorter, to be pro-rated according to the total relevant period, subject to a maximum of 2 months’ salary of the employee; (2) The reference to fees in paragraph (1) shall not include a reference to any fee charged or received by a licensee in respect of costs incurred by or on behalf of an applicant for employment outside Singapore. (3) For the purposes of section 14 of the Act, a licensee may charge and receive any form of fees, remuneration, profit or compensation from any applicant for workers or any employer.
92
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
(4) The licensee shall, as soon as practicable after receiving any fee, whether directly or indirectly, from an applicant for employment, issue a written receipt for the fee accompanied by an itemised list of components of the fee to the applicant for employment. VI. Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing) Section 22A. Restrictions on receipt, etc., of moneys in connection with employment of foreign employee (1) No person shall deduct from any salary payable to a foreign employee, or demand or receive, directly or indirectly and whether in Singapore or elsewhere, from a foreign employee any sum or other benefit — (a) as consideration or as a condition for the employment of the foreign employee, whether by that person or any other person; (b) as consideration or as a condition for the continued employment of the foreign employee, whether by that person or any other person; or (c) as a financial guarantee related, in any way, to the employment of the foreign employee, whether by that person or any other person. (2) Any person who contravenes subsection (1) shall be guilty of an offence and shall be liable on conviction to a fine not exceeding $30,000 or to imprisonment for a term not exceeding 2 years or to both. (3) Any person who deducts from any salary payable to a foreign employee, or demands or receives, directly or indirectly and whether in Singapore or elsewhere, from a foreign employee any sum or other benefit, not being — (a) the whole or part of any fee, cost, levy, penalty, charge or amount that the employer of the foreign employee shall bear and be liable to pay under section 25(6); (b) the whole or part of any fee or deduction prescribed as recoverable from the foreign employee under section 25(6)(a); (c) where sections 26 to 32 of the Employment Act (Cap. 91) apply to the foreign employee, the whole or part of any deduction from the salary of the foreign employee authorised to be made under those sections; (d) where sections 26 to 32 of the Employment Act do not apply to the foreign employee, the whole or part of any deduction from the salary of the foreign employee made in accordance with the terms of the employment of the foreign employee; or (e) the whole or part of any fee, remuneration, profit or compensation that a licensee under the Employment Agencies Act (Cap. 92) may lawfully charge the foreign employee and receive under that Act, shall be presumed, until the contrary is proved, to have done so as consideration for the employment of the foreign employee. [Act 24 of 2012 wef 09/11/2012]
93
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
VII. Fraudulent misrepresentation
Derry v Peek [1889] 14 App Cas 337 Holding
Summary of facts
“In an action for deceit, […] it is not enough to establish misrepresentation alone; it is conceded on all hands that something more must be proved to cast liability”.
“First, in order to sustain an action of deceit, there must be proof of fraud, and nothing short of that will suffice.”
“Secondly, fraud is proved when it is [shown] that a false representation has been made (1) knowingly, or (2) without belief in its truth, or (3) recklessly, careless whether it be true or false. Although I have treated the second and third as distinct cases, I think the third is but an instance of the second, for one who makes a statement under such circumstances can have no real belief in the truth of what he states.”
“To prevent a false statement being fraudulent, there must, I think, always be an honest belief in its truth. And this probably covers the whole ground, for one who knowingly alleges that which is false, has obviously no such honest belief.”
“Thirdly, if fraud be proved, the motive of the person guilty of it is immaterial. It matters not that there was no intention to cheat or injure the person to whom the statement was made.”
“In my opinion making a false statement through want of care falls far short of, and is a very different thing from, fraud, and the same may be said of a false representation honestly believed though on insufficient grounds.”
There were obviously present reasons which had led the defendants to make the untrue statement, and they “honestly believed what they stated to be a true and fair representation of the facts”.
The defendant were directors of a tramway company who issued prospectus stating that the company had the right to use steam power instead of horses. Under the terms of the relevant Act, the consent of the Board of Trade was required and they had not acquired this right yet. The plaintiff subscribed for shares in the company on the strength of this prospectus. The consent was subsequently refused and the company wound up The plaintiff sued the defendant for deceit.
94
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
VIII. Illegality of contract
Archbolds (Freightage) Ltd v Spanglett Ltd [1961] QBD 374 Holding
Summary of facts
179: “The effect of illegality upon a contract may be threefold. If at the time of making the contract there is an intent to perform it in an unlawful way, the contract, although it remains alive, is unenforceable at the suit of the party having that intent; if the intent is held in common, it is not enforceable at .”
179-180: “Another effect of illegality is to prevent a plaintiff from recovering under a contract if in order to prove his rights under it he has to rely upon his own illegal act; he may not do that even though he can show that at the time of making the contract he had no intent to break the law and that at the time of performance he did not know that what he was doing was illegal.”
180: “The third effect of illegality is to avoid the contract ab initio and that arises if the making of the contract is expressly or impliedly prohibited by statute or is otherwise contrary to public policy.”
“The defendants were furniture manufacturers in London and owned a number of vans with "C" licences under the Road and Rail Traffic Act, 1933, which enabled them to carry their own goods, but did not allow them to carry for reward the goods of others. The plaintiffs were carriers with offices in London and Leeds, and their vehicles had "A" licences under the Act, which enabled them to carry the goods of others for reward. The plaintiffs' London office, as a result of a telephone conversation with some unidentified person from the defendants' office, believed that the defendants' vehicle had "A" licences, and employed the defendants to carry a part of a load for them on the defendants' van which was taking some of their (the defendants') furniture from London to Leeds. The defendants' driver, having delivered those goods, spoke on the telephone to the traffic manager of the plaintiffs' office at Leeds to see if he could obtain a load for his empty van from Leeds to London, and said that he had just carried goods from the plaintiffs' London office to Leeds. The traffic manager replied that he had a load, which was in fact 200 cases of whisky, but he made no inquiries from the driver as to whether he had an "A" licence. The defendants' van was duly loaded with the whisky, which was stolen on the way to the London docks owing to the driver's negligence. On a claim by the plaintiffs for damages for the loss of the whisky, the defendants pleaded the illegality of the contract, in that their van did not
95
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
have an "A" licence as required by the Act of 1933.”
Mohamed v Alaga [2000] 1 WLR 1815 Holding
1824: [Citing St. John Shipping Corporation v Joseph Rank Ltd [1957] 1 Q.B. 267 at 283] “The second principle is that the court will not enforce a contract which is expressly or impliedly prohibited by statute. If the contract is of this class it does not matter what the intent of the parties is; if the statute prohibits the contract, it is unenforceable whether the parties meant to break the law or not. A significant distinction between the two classes is this. In the former class you have only to look and see what acts the statute prohibits; it does not matter whether or not it prohibits a contract; if a contract is deliberately made to do a prohibited act, that contract will be unenforceable. In the latter class, you have to consider not what acts the statute prohibits, but what contracts it prohibits; but you are not concerned at all with the intent of the parties; if the parties enter into a prohibited contract, that contract is unenforceable.”
1825: “[E]ven if the alleged agreement is discarded as illegal and unenforceable, and without making any reference to that agreement at all, the plaintiff is entitled to be paid a reasonable sum for professional services rendered by him to the defendant on behalf of the defendant's clients, the surrounding circumstances being such as to show that such services were not rendered gratuitously.”
1825: “[T]he plaintiff is not seeking to recover any part of the consideration payable under the unlawful contract, but simply a reasonable reward for professional services rendered. I accept that as an accurate description of what on this limited basis the plaintiff is, in truth, seeking. It is furthermore in my judgment relevant that the parties are not in a situation in which their blameworthiness is equal. The defendant is a solicitors' firm and bound by the rules. It should reasonably be assumed to know what the rules are and to comply with them. If, in truth, it made the agreement as alleged, then it would seem very probable that it acted in knowing disregard of professional rules binding upon it. By contrast the plaintiff, on the assumption made (which I have no difficulty in accepting), was ignorant that there was any reason why the defendant should not make the agreement which he says was made. In other commercial fields, after all, such agreements are common […] On that limited basis I would for my part allow the appeal and reinstate the action to the extent of permitting the plaintiff to pursue a
96
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
quantum meruit claim for reasonable remuneration for professional services rendered.” Summary of facts
Solicitors contracted with a translator for translation services and introduction of clients to the firm; they would pay translator a share of their fees contrary to legislation. The translator sued for monies owing under the contract; the solicitors claimed the agreement was illegal.
Strongman (1945) Ltd v Sincock [1955] 2 QB 525 Holding
526: “The builders could not recover the price under the contract, since the contract was illegal as being absolutely prohibited by the regulations.”
526: “The assurance given by the architect amounted to a warranty or collateral contract that he would obtain the supplementary licences or stop the work if he could not obtain them.”
535: “[T]here was a warranty, or (putting it more accurately) a promise by the architect that he would get supplementary licences, or that if he failed to get them he would stop the work. The builders say the on the faith of that promise they did the work, and as the promise was broken they can recover damages in respect of it.”
526: “That unless the builders had themselves been morally to blame or culpably negligent they might recover damages in a civil action for breach of warranty (and similarly for fraud), since they had been led to commit the criminal offence which was absolutely prohibited by the promise or representation of the architect.”
526: “That these builders had not been culpably negligent in themselves failing to obtain licences or ascertaining that they had been obtained, since, as between architect and builder, the primary obligation to obtain licences was by universal practice admitted to be on the architect, and that duty was not displaced in the present case by the fact that the architect was also the building owner. The builders were accordingly entitled to damages.”
537: “When a builder is doing work for a lay owner - if I may so describe him - the primary obligation is on the builder to see that there is a licence. He ought not simply to rely on the word of the lay owner. He ought to inspect the licence himself. If he does not do so, it is his own fault if he finds himself landed in
97
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
an illegality. But in this case there was not a lay owner. The owner was the architect, and he himself said in evidence: "I agree that where there is an architect it is the universal practice for the architect and not the builder to get the licence." No fault, it seems to me, can, in these circumstances, be attributed to the builder” Summary of facts
An architect owner contracted with builders to supply materials and carry out work at his premises, and promised orally that he would obtain all the licences necessary at that date under regulation 56A of the Defence (General) Regulations, 1939. Work considerably in excess of the licences granted was carried out. The builders sought a claim for the balance of the price over the licensed amount, or alternatively, damages for a similar amount for breach of the warranty to obtain the licenses.
PP v Donohue Enilia [2005] 1 SLR 220 Holding
Summary of facts
[51] – [53]: There was no basis not to grant compensation for the period where there was no valid work permit as there was no evidence suggesting that the maid had been aware of the revocation of her work permit.
The respondent was the employer of a foreign maid. The maid's work permit was revoked when the respondent defaulted on the payment of the maid levy, but the respondent continued to engage the services of the maid. Throughout the period of employment, the respondent did not pay the maid any salary. The maid eventually reported the respondent to the police. The respondent pleaded guilty in the magistrate's court to a charge under s 5(1) of the Employment of Foreign Workers Act (Cap 91A, 1997 Rev Ed) ("the EFWA") for employing a foreign worker without a valid work permit and to a charge under s 22(1)(a) of the EFWA for failing to comply with the conditions of the work permit to pay the foreign worker a salary. The trial judge, however, refused the Prosecution's application for a compensation order to be made for the unpaid salaries owed by the respondent. The Prosecution appealed against the refusal to grant a compensation order.
Analysis
Professor Chandran suggests that the employee’s innocence of the illegality may be a factor in determining the whether the EA can apply
98
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
to the contract. However, it is notable that Donohue Enilia is a case about criminal compensation. As mentioned above, the applicability of the EA is likely tied to the enforceability of the contract. Innocence of the employee is thus likely to be relevant as a consideration in common law rules on illegality of contract.
Ting Siew May v Boon Lay Choo [2014] 3 SLR 609 Holding
Summary of facts
[66]: [Where] a contract is entered into with the object of committing an illegal act, the general approach that the courts should undertake is to examine the relevant policy considerations underlying the illegality principle so as to produce a proportionate response to the illegality in each case. [70]: This process requires the court to consider a number of general factors including: o whether allowing the claim would undermine the purpose of the prohibiting rule; o the nature and gravity of the illegality; o the remoteness or centrality of the illegality to the contract; o the object, intent and conduct of the parties; and o the consequences of denying the claim. [126]: [The reliance principle] is usually invoked only by a contracting party seeking to recover (on a restitutionary basis) what it had transferred to the other party, pursuant to the (illegal) contract.
There was a property cooling measure that reduced the size of the loan that the property buyers were eligible to receive, from an 80% loanto-value ratio to 60%. The buyers obtained an option to purchase a property after the loan was effective. The loan was backdated to circumvent the amended regulation. The seller refused to honour the option on the grounds of illegality of the contract. The Court of Appeal found that the contract was unenforceable at common law, as it was entered into with the object of contravening a written law.
99
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
IX. Misrepresentation
Bisset v Wilkinson [1927] AC 177 NZ Privy Council Holding
Summary of facts
The purchaser unable to set aside contract, because the statement was not a statement of fact, but a statement of opinion which was honestly held which was not actionable.
There was no imbalance in knowledge as both parties were in the same position as they were both aware that the land had never been used for sheep farming. Neither were experts in the trade of farming sheep as well.
The plaintiff purchased a piece of farm land to use as a sheep farm. He asked the seller of the farm how many sheep the land would hold. The seller had not used it as a sheep farm but estimated that it would carry 2,000 sheep. In reliance of this statement the claimant purchased the land. The estimate turned out to be wrong and the claimant brought an action for misrepresentation, seeking to rescind the contract.
Deutsche Bank AG v Chang Tse Wen [2012] SGHC 248 Holding
[93]: “For a statement to constitute an actionable misrepresentation, it must be a statement of a present fact. This would exclude statements as to future intention, predictions, statements of opinion or belief, sales puffs, exaggerations and statements of law.”
[93]: [Citing Bestland Development Pte Ltd v Thasin Development Pte Ltd [1991] SGHC 27] “A distinction ought to be drawn between a representation of an existing fact and a promise to do something in the future. Furthermore, mere praise by a man of his own goods or undertaking is a matter of puffing and pushing and does not amount to representation. However, a statement of opinion may in certain circumstances involve a statement of fact.”
[95]: “However, a finding that the statements in question were statements as to future intention rather than statements of present fact is not necessarily fatal to a misrepresentation claim.”
100
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Summary of facts
[96]: “Statements as to future facts may therefore be recharacterised as statements implying (i) that the maker of the statement honestly believed that the event would happen in the future; or (ii) that the maker of the statement had reasonable grounds for making such an assertion.”
[97]: “The main difficulty in trying to found an action for misrepresentation on statements of future intention is an evidential one. The representee must prove, on a balance of probabilities, the maker’s lack of honest belief in the statement.”
The plaintiff sued the defendant for repayment of $1.79m USD outstanding from his private wealth management account. The defendant counterclaimed for damages arising from actionable misrepresentation, fraudulent misrepresentation, breach of duty of care, breach of fiduciary duty, resulting in losses of some $49m USD due to the plaintiff’s mismanagement of his private wealth management account.
Dimmock v Hallett [1866] 2 Ch App 21 Holding
Summary of facts
There was a half-truth which amounted to a “misrepresentation calculated materially to mislead a purchaser”.
The defendant was a seller of a farm, and had told the plaintiff, the purchaser, that all farms on the land were fully let. However, he did not inform the plaintiff that the tenants had given notice to quit. The plaintiff bought the land, thinking that tenants would stay. The tenants left, and the plaintiff sued the defendant for misrepresentation.
Edgington v Fitzmaurice [1885] 29 Ch D 459 Holding
“A misstatement of the intention of the defendant in doing a particular act may be a misstatement of fact, and if the plaintiff was misled by it, an action of deceit may be founded on it.”
“Where a plaintiff has been induced both by his own mistake
101
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
and by a material misstatement by the defendant to do an act by which he receives injury, the defendant may be made liable in an action for deceit.” Summary of facts
“The directors of a company issued a prospectus inviting subscriptions for debentures, and stating that the objects of the issue of debentures were to complete alterations in the buildings of the company, to purchase horses and vans, and to develop the trade of the company. The real object of the loan was to enable the directors to pay off pressing liabilities. The Plaintiff advanced money on some of the debentures under the erroneous belief that the prospectus offered a charge upon the property of the company, and stated in his evidence that he would not have advanced his money but for such belief, but that he also relied upon the statements contained in the prospectus. The company became insolvent.”
Holmes v Jones (1907) 4 CLR 1692 Holding
Summary of facts
The defendant is not entitled to rely on the original misrepresentation as it did not induce him to enter into the contract. He had relied on his own information gathered from his inspection to enter into the contract.
There is a rebuttable inference of reliance. For this inference to arise, the claimant has to prove that the statement would have induced a reasonable person to enter the contract.
If it can be shown that the claimant relied on his own independently acquired information and not upon the misrepresentation, the element of inducement would be lacking and it would not amount to an operative misrepresentation.
The plaintiff tried to sell land to the defendant, but had made false representations as to the number of livestock on it. The defendant was informed of the falsity of the statement and refused to enter into the contract, but negotiated another deal on a different basis a few months after inspecting the grounds. The defendant later argued that the original misrepresentation had induced him to enter the contract that was signed a few months later after his inspection.
102
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Leow Chin Hua v Ng Poh Buan [2005] SGHC 39 Holding
Summary of facts
[13]: “Admittedly, a party who has had the opportunity to inspect documents but does not do so is not necessarily deprived of the right to assert that he was deceived by a false representation: see Redgrave v Hurd (1881) 20 Ch D 1. However, it is quite clear that if a party conducts his own investigation and does not rely on the misrepresentation, it can no longer be said that the false statement had an effect on him: see Attwood v Small (1838) 6 Cl & Fin 232; 7 ER 684.”
The defendant represented to the plaintiff that the business had a turnover of $800,000 and made a profit of $200,000 a year. Before the plaintiff entered into a joint venture with the defendant, the plaintiff checked the accounts and thought it was worth his while to enter into a joint venture with the defendant. The plaintiff then invested in the business, which subsequently started to lose money. The plaintiff then claimed that the defendant had misrepresented him and sought to rescind the contract.
Redgrave v Hurd [1881] 20 Ch D 1 Holding
Summary of facts
2: “[T]hat where one person induces another to enter into an agreement with him by a material representation which is untrue, it is no defence to an action to rescind the contract that the person to whom the representation was made had the means of discovering, and might, with reasonable diligence, have discovered, that it was untrue.”
2: “[I]t is no defence in such an action that the Defendant made a cursory and incomplete inquiry into the facts, for that if a material representation is made to him he must be taken to have entered into the contract on the faith of it, and in order to take away his right to have the contract rescinded if it is untrue, it must be [shown] either that he had knowledge of facts which [showed] it to be untrue, or that he stated in terms, or [showed] clearly by his conduct, that he did not rely on the representation.”
The plaintiff, a solicitor, wanted to sell his business. He told the defendant, a buyer, that his business brought in £300/year, and brought
103
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
the accounts of his business to D. The defendant only took a cursory look and declined to look further. Had he done so, he would have noticed that the business only brought in £200/year The contract was concluded, but the defendant later found out and refused to perform. The plaintiff sued for specific performance, while the defendant sought to rescind the contract.
Smith v Land & House Property Corporation [1884] 28 Ch D 7 Holding
Summary of facts
Court rejected vendor’s argument on the basis that his statement was held to contain an implicit assertion that he knew of no facts which would lead to the conclusion that the tenant was actually not a “most desirable tenant”.
“In a case where the facts are equally well known to both parties, what one of them says to the other is frequently nothing but an expression of opinion. Such a statement is, in a sense, a statement of fact about the condition of the man’s own mind. Nevertheless, this is an irrelevant fact, for it is of no consequence what the opinion is.”
“But if the facts are not equally known to both sides, then a statement of opinion by the one who knows the facts best involves very often a statement of material fact, for he impliedly states that he knows facts which justify his opinion.”
The plaintiff purchased a hotel. The seller described a tenant to be a “most desirable tenant”. This was despite the seller’s knowledge that the tenant was in arrears and on the verge of bankruptcy, and the rent which he had paid was only paid under the threat of legal action. The plaintiff bought the property and the tenant defaulted on payments. The plaintiff sued the seller for misrepresentation.
Spice Girls Ltd v Aprilla World Service BV [2002] EMLR 27 Holding
The defendant was liable for misrepresentation by conduct that
104
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
the group would stay intact.
Summary of facts
The representation that no one was going to leave the group was necessarily implicit in the conduct of the Spice Girls. Although AWS had accepted the risk that one of the girls may leave after the contract was concluded, it did not accept the risk that one of them had already decided to leave prior to contract formation.
The defendant, the Spice Girls, entered into a contract with the plaintiff, in which the plaintiff would sponsor the defendant’s concert tour in return for promotional work to be carried out by the defendant. Before the contract was concluded, the members of the Spice Girls all knew that one of them had the intention to leave the group, but nobody informed the plaintiff of this, and went ahead with a photoshoot with all members present, organised just before the contract was concluded. The plaintiff then sued for misrepresentation after the member left (as this would reduce the sponsorship appeal of the Spice Girls with a missing member), claiming that they were induced into entering the contract. The defendant claimed that a clause in the contract had already allocated the risk of one of the members leaving the group to AWS.
Trans-World (Aluminium) Ltd v Cornelder China (Singapore) [2003] 3 SLR 501 Holding
The claim for misrepresentation was dismissed. There is no general duty for full disclosure.
[66], [68], [126] and [130]: “Misrepresentation by silence required more than mere silence. There ought to be a wilful suppression of material and important facts. Thus where silence was alleged to constitute misleading conduct, the proper approach was to assess silence as a circumstance like any other act or statement and in the context in which it occurred.”
[132] to [136]: “There was no duty of care owed by the defendants as there was no voluntary assumption of responsibility here. There was no obligation to speak in the context of negotiations for an ordinary commercial contract. While S had chosen to answer questions posed to him, he was not asked nor did he undertake to provide information on title or adverse claims.”
105
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Summary of facts
“The plaintiffs entered into a contract with M for the purchase of cargo in China. The cargo was in the custody of the defendant warehousemen and collateral managers. The plaintiffs alleged that the defendants' employee, S, had represented to them that the cargo carried no risk as to title and delivery. However, the cargo was already the subject of an injunction and subsequently, in litigation in the Chinese courts, it was held that M did not have good title to the cargo. The plaintiffs commenced an action against the defendants for misrepresentation, whether fraudulent, innocent or negligent.”
With v O’Flanaghan [1936] Ch 575
Holding
Summary of facts
The defendant was under an obligation to disclose this change of circumstances to the plaintiff because (1) there was a continuing representation, and (2) the defendant had a duty to communicate the fundamental change of circumstances to the plaintiff.
The plaintiff purchased a medical practice from the defendant. The plaintiff was induced to buy the practice by the defendant's statement that the practice took £2,000 per annum. This statement was true at the time the negotiations for the sale of the practice began. However, by time the sale was completed the practice was virtually worthless due to the ill-health of the medical practitioner. The defendant had failed to disclose this fact to the plaintiff.
X. Oral promises
Bannerman v White [1861] 10 CBNS 844 Holding
Where a statement was made close to the transaction it is more likely to be a term. The two-day interval between making the statement and forming the contract was sufficiently close to render the statement a term.
The undertaking given by plaintiff was relied upon by the defendant to agree to purchase. It was the term upon which the defendant contracted and would be contrary to the defendant’s intention (which was known to plaintiff) should the contract
106
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
remain valid if sulphur was used. Summary of facts
The plaintiff agreed by contract to purchase some hops to be used for making beer. He asked the seller if the hops had been treated with sulphur and told him if they had he wouldn't buy them as he would not be able to use them for making beer if they had. The defendant assured him that the hops had not been treated with sulphur. In fact they had been treated with sulphur.
Birch v Paramount Estates Ltd [1956] 167 Estates Gazette 396 Holding
Analysis
An oral warranty collateral to the contract was found because parties intended for the contract to be partly written, partly oral.
Comparing this case with Oscar Chess, in both cases, the statement as not reduced to writing, but the outcomes were different. The two cases can be distinguished by whether the parties intended for the contract to be partly written, partly oral, or wholly written.
Dick Bentley Productions v Harold Smith Motors [1965] 2 All ER 65 Holding
Summary of facts
The statement was a term, not a representation.
If a representation is made in the course of dealings for a contract for the very purpose of inducing the client to enter into the contract, there is prima facie ground for inferring that the representation was intended as a warranty.
The maker of the representation can rebut this inference if they can show that they were innocent of fault in making it in that it would not be reasonable in the circumstances for them to be bound by it because they were not in a position to find out the truth.
The defendant told the plaintiff that the car had been fitted with replacement engine and gearbox, and that it had since done only 20,000 miles (the mileage shown on the odometer). The plaintiff bought
107
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
car, and found it to be unsatisfactory. The trial judge held mileage statement to be untrue though not dishonest, and awarded the plaintiff damages for breach of warranty (taken to mean a binding promise in the ordinary sense). The defendant appealed.
Kleinwort Benson Ltd v Malaysia Mining Corporation BHD [1989] 1 WLR 379 Holding
Summary of facts
The defendant’s letter of comfort was simply a representation of fact which did not amount to a contract promise. Hence, they were not legally bound to the letter of comfort.
The plaintiff agreed to make a £10 million credit facility available to a subsidiary company of the defendant. The defendant refused to act as guarantors, but gave the plaintiff a letter of comfort stating that “it is our policy to ensure that the business of [the subsidiary company] is at all times in a position to meet its liabilities to you under the above arrangements”. The subsidiary company later ceased to trade after the collapse of the market at a time when its indebtedness to the plaintiff was £10 million. The defendant refused to honour their undertaking in their letter of comfort.
Oscar Chess Ltd v Williams [1957] 1 All ER 325 Holding
An affirmation without warranty is only a representation; a warranty required to make up a term.
“When the seller states a fact which is or should be within his own knowledge and of which the buyer is ignorant, intending that the buyer should act on it and he does so, it is easy to infer a warranty.”
“If, however, the seller, when he states a fact, makes it clear that he has no knowledge of his own but has got his information elsewhere, and is merely passing it on, it is not so easy to imply
108
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
a warranty.”
Summary of facts
“If the seller says: ‘I believe the car is a 1948 Morris. Here is the registration book to prove it’, there is clearly no warranty. It is a statement of belief, not a contractual promise. If however, the seller says: ‘I guarantee that it is a 1948 Morris. This is borne out by the registration book, but you need not rely solely on that. I give you my own guarantee that it is’, there is clearly a warranty. The seller is making himself contractually responsible, even though the registration book is wrong.”
The defendant sold the plaintiff a car which was actually a 1939 model. The registration book showed that it was first registered in 1948. The defendant honestly believed the car to be a 1948 model and showed the salesman for the plaintiff the registration book. The salesman also believed it was a 1948. The purchase price of £290 was calculated on this basis. If the plaintiff had known it to be a 1939 model, they would have paid only £175 for it. The plaintiff claimed £115 as damages for breach of warranty. Trial judge held assumption that car was 1948 model was fundamental and gave judgment for the plaintiff. The defendant appealed.
XI. Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing) Parole Evidence Rule Section 93. Evidence of terms of contracts, grants and other dispositions of property reduced to form of document When the terms of a contract or of a grant or of any other disposition of property have been reduced by or by consent of the parties to the form of a document, and in all cases in which any matter is required by law to be reduced to the form of a document, no evidence shall be given in proof of the terms of such contract, grant or other disposition of property or of such matter except the document itself, or secondary evidence of its contents in cases in which secondary evidence is admissible under the provisions of this Act. Section 94. Exclusion of evidence of oral agreement When the terms of any such contract, grant or other disposition of property, or any matter required by law to be reduced to the form of a document, have been proved according to section 93, no evidence of any oral agreement or statement shall be admitted as between the parties to any such instrument or their representatives in interest for the purpose of contradicting, varying, adding to, or subtracting from its terms subject to the following provisions: (a) any fact may be proved which would invalidate any document or which would entitle any person to any decree or order relating thereto; such as fraud, intimidation, illegality, want of due execution, want of capacity in any contracting party, the fact that it is wrongly dated, want or failure of consideration, or mistake in fact or law; (b) the existence of any separate oral agreement, as to any matter on which a document is silent and which is not inconsistent with its terms, may be proved; in considering whether or not this
109
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
proviso applies, the court shall have regard to the degree of formality of the document; (c) the existence of any separate oral agreement constituting a condition precedent to the attaching of any obligation under any such contract, grant or disposition of property, may be proved; (d) the existence of any distinct subsequent oral agreement, to rescind or modify any such contract, grant or disposition of property, may be proved except in cases in which such contract, grant or disposition of property is by law required to be in writing, or has been registered according to the law in force for the time being as to the registration of documents; (e) any usage or custom by which incidents not expressly mentioned in any contract are usually annexed to contracts of that description may be proved; except that the annexing of such incident would not be repugnant to or inconsistent with the express terms of the contract; (f) any fact may be proved which shows in what manner the language of a document is related to existing facts.
Zurich Insurance (Singapore) Pte Ltd v B-Gold Interior Design & Construction Pte Ltd [2008] 3 SLR(R) 1029 Holding
The main features of the approach to determining the admissibility of extrinsic evidence to affect written contracts are as follows (at [132]):
A court should take into account the essence and attributes of the document being examined. The court ought to be more reluctant to allow extrinsic evidence to affect standard form contracts and commercial documents. If parties intended to embody their entire agreement in a written contract, no extrinsic evidence is admissible to contradict, vary, add to or subtract from its term under ss 93 and 94 of the Evidence Act. Extrinsic evidence is admissible under proviso (f) to s 94 to aid in the interpretation of written words. Ambiguity is not a prerequisite for the admissibility of extrinsic evidence. The extrinsic evidence in question is admissible so long as it is relevant, reasonably available to all the contract parties and relates to a clear or obvious context. There should be no absolute or rigid prohibition against evidence of previous negotiations or subsequent conduct, although this will require more extensive scrutiny by the court in the future. Declarations of subjective intention remain inadmissible except for the purpose of giving meaning to terms which have been determined to be latently ambiguous. Extrinsic evidence may lead to possible alternative interpretations of written words. A court may give effect to these alternative interpretations, bearing in mind s 94 of the Evidence Act. The normal canons of interpretation apply in conjunction with the relevant provisions of the Evidence Act (ss
110
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Summary of facts
95-100). Extrinsic evidence should only be used to explain and illuminate the written words, and not to contradict or vary them. Where the court concludes that the parties have used the wrong words, rectification may be a more appropriate remedy.
Facts of the case are not particularly relevant to our manual.
Sembcorp Marine Ltd v PPL Holdings Pte Ltd [2013] 4 SLR 193 Holding
[65]: There are four clear propositions of the contextual approach to contractual interpretation. First, the admissibility of extrinsic evidence generally is governed by rules of evidence and not by the rules of contractual interpretation. Second, the rules governing the admissibility of extrinsic evidence in Singapore are to be found first in the EA, then in the common law. Third, the general admissibility of extrinsic evidence under s 94(f) of the EA must be read together with the exclusionary provisions of the EA, in particular, ss 95 and 96. Fourth, extrinsic evidence of surrounding circumstances is generally admissible under s 94(f). However, it was and properly remains the position that extrinsic evidence in the form of parol evidence of the drafter's intentions is generally inadmissible unless it can in some way be brought within the exceptions in ss 97 to 100. [73]: To buttress the evidentiary qualifications to the contextual approach to the construction of a contract, the imposition of four requirements of civil procedure are essential: First, parties who contend that the factual matrix is relevant to the construction of the contract must plead with specificity each fact of the factual matrix that they wish to rely on in support of their construction of the contract. Second, the factual circumstances in which the facts were known to both or all the relevant parties must also be pleaded with sufficient particularity. Third, parties should in their pleadings specify the effect which such facts will have on their contended construction. Fourth, the obligation of parties to disclose evidence
111
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
would be limited by the extent to which the evidence is relevant to the facts pleaded. Summary of facts
Facts of the case are not particularly relevant to our manual.
XII. Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) Section 6. Persons entitled to compensation (1) Compensation under this Act shall be payable to or for the benefit of the employee or, where death results from the injury, to the deceased employee’s estate or to or for the benefit of his dependants as provided by this Act. (2) Where a dependant dies before a claim under this Act is determined by the Commissioner, the legal personal representative of the dependant shall have no right to payment of compensation, and the amount of compensation shall be calculated and apportioned as if that dependant had died before the employee. (3) Where a deceased employee has no dependant, the compensation shall be paid into a fund to be known as the Workers’ Fund which shall be established, maintained and applied in accordance with regulations made under this Act and the person managing the Fund shall be entitled to claim the compensation.
Section 23. Compulsory insurance against employer’s liability (1) Every employer shall insure and maintain insurance under one or more approved policies with an insurer within the meaning of the Insurance Act (Cap. 142) against all liabilities which he may incur under the provisions of this Act in respect of any employee employed by him unless the Minister, by notification in the Gazette, waives the requirement of such insurance in relation to any employer. (2) The Minister may, from time to time, prescribe the minimum amounts for which an employer shall insure himself in respect of any of his liabilities under this Act. (3) For the avoidance of doubt, an employer shall be liable to pay any liability that he may incur under this Act in excess of the insurance limits that the Minister may prescribe under subsection (2). (4) In this section, “approved policy” means a policy of insurance not subject to any conditions, exclusions or exceptions prohibited by regulations made under this Act. (5) Any conditions, exclusions or exceptions imposed in a policy of insurance by any insurer which are prohibited by regulations made under this Act shall not absolve the insurer from any liability under the policy which the insurer may incur under the provisions of this Act.
112
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
FOURTH SCHEDULE CLASSES OF PERSONS NOT COVERED 1. Any member of the Singapore Armed Forces. 2. Any officer of the Singapore Police Force, the Singapore Civil Defence Force, the Central Narcotics Bureau or the Singapore Prisons Service. 3. A domestic worker, being any person employed in or in connection with the domestic services of any private premises.
XIII. Workplace Safety and Health Act (Cap 354A, 2009 Rev Ed Sing) Section 12. Duties of employers (1) It shall be the duty of every employer to take, so far as is reasonably practicable, such measures as are necessary to ensure the safety and health of his employees at work. (2) It shall be the duty of every employer to take, so far as is reasonably practicable, such measures as are necessary to ensure the safety and health of persons (not being his employees) who may be affected by any undertaking carried on by him in the workplace. (3) For the purposes of subsection (1), the measures necessary to ensure the safety and health of persons at work include — (a) providing and maintaining for those persons a work environment which is safe, without risk to health, and adequate as regards facilities and arrangements for their welfare at work; (b) ensuring that adequate safety measures are taken in respect of any machinery, equipment, plant, article or process used by those persons; (c) ensuring that those persons are not exposed to hazards arising out of the arrangement, disposal, manipulation, organisation, processing, storage, transport, working or use of things — (i) in their workplace; or (ii) near their workplace and under the control of the employer; (d) developing and implementing procedures for dealing with emergencies that may arise while those persons are at work; and (e) ensuring that those persons at work have adequate instruction, information, training and supervision as is necessary for them to perform their work. (4) Every employer shall, where required by the regulations, give to persons (not being his employees) the prescribed information about such aspects of the way in which he conducts his undertaking as might affect their safety or health while those persons are at his workplace.
Section 14. Duties of principals (1) Subject to subsection (2), it shall be the duty of every principal to take, so far as is reasonably practicable, such measures as are necessary to ensure the safety and health of — (a) any contractor engaged by the principal when at work;
113
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
(b) any direct or indirect subcontractor engaged by such contractor when at work; and (c) any employee employed by such contractor or subcontractor when at work. (2) The duty imposed on the principal in subsection (1) shall only apply where the contractor, subcontractor or employee referred to in that subsection is working under the direction of the principal as to the manner in which the work is carried out. (3) It shall be the duty of every principal to take, so far as is reasonably practicable, such measures as are necessary to ensure the safety and halth of persons (other than a person referred to in subsection (1)(a), (b) or (c) working under the principal’s direction) who may be affected by any undertaking carried on by him in the workplace. (4) For the purposes of subsection (1), the measures necessary to ensure the safety and health of persons at work include — (a) providing and maintaining for those persons a work environment which is safe, without risk to health, and adequate as regards facilities and arrangements for their welfare at work; (b) ensuring that adequate safety measures are taken in respect of any machinery, equipment, plant, article or process used by those persons; (c) ensuring that those persons are not exposed to hazards arising out of the arrangement, disposal, manipulation, organisation, processing, storage, transport, working or use of things — (i) in their workplace; or (ii) near their workplace and under the control of the principal; (d) developing and implementing procedures for dealing with emergencies that may arise while those persons are at work; and (e) ensuring that those persons at work have adequate instruction, information, training and supervision as is necessary for them to perform their work. (5) Every principal shall, where required by the regulations, give to persons (other than a person referred to in subsection (1)(a), (b) or (c) working under the principal’s direction) the prescribed information about such aspects of the way in which he conducts his undertaking as might affect their safety or health while those persons are at his workplace. XIV. Tort
Chandran a/l Subbiah v Dockers Marine Pte Ltd [2010] 1 SLR 786 Holding
Employer owes employee non-delegable DOC for employee’s personal safety at work place (even when temporarily sent to work on someone else’s ship etc)
DOC found to be owed, irrespective of who had been careless (important in showing that even if the job was sub-contracted out, the main employer can still be held responsible),
[17]: “A distinctive feature of an employer’s duty of care to his
114
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
employees for their safety is that it is personal and therefore non-delegable. This means that the employer cannot escape liability simply by baldly asserting that another party was negligent and responsible for the employee’s injury.” Summary of facts
“The appellant worked for the respondent as a stevedore. On 18 October 2005, the appellant was instructed by the respondent to move cargo containers on board a vessel, the Tasman Mariner ("the vessel"). Prior to the commencement of work no safety inspection or safety briefing was carried out by the respondent's supervisor; neither was any safety equipment supplied to the appellant even though he was required to work from heights. During the course of his engagement on board the vessel, a ladder ("the defective ladder") on which the appellant was standing suddenly detached from the hull of the vessel. This caused the appellant to fall about 10m into a hatch of the vessel. Resulting thereto, he sustained severe injuries. Consequently, the appellant started proceedings to recover damages from the respondent.”
Oberoi Imperial Hotel v Tan Kiah Eng [1992] 1 SLR 380, [1992] SGCA 1 Holding
Summary of facts
Employer owed employee non-delegable duty under statute.
[25]: “[W]e were of the view that [the employers] were clearly in breach of their absolute duty under s 22 of [Factories Act (Cap 104, 1985 Rev Ed) which provides: (1) Every dangerous part of any machinery […] shall be securely fenced […]”
[26]: “The removal of …safety feature clearly put the [employers] in breach of their s 22 duty.”
“The respondent Tan was employed by the appellant hotel Oberoi as a laundry operator. Her hand was seriously injured while operating the laundry press which had been altered. Tan sued Oberoi for damages for the injuries suffered, alleging that the injuries were caused by an unsafe system. The alteration to the laundry press was alleged to be in breach of Oberoi’s common law duties as employers. Alternatively, Tan alleged that Oberoi breached their statutory duties imposed by the equivalent of the present ss 20 to 22 of the Factories Act (Cap 104) (‘the Act’). Oberoi denied Tan’s allegations, the appellants and alleged that Tan was contributorily negligent and in breach of her statutory duty under the present ss 80 and 81 of the Act. The defence of volenti non fit injuria was also pleaded. The trial judge found Oberoi wholly liable and they appealed, arguing that the trial judge erred in rejecting their argument that Tan was contributorily negligent.”
115
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Jurong Primewide Pte Ltd v Moh Seng Cranes Pte Ltd and others [2014] 2 SLR 360; [2014] SGCA 6189 Holding
Summary of facts
[2]: “The parties' operational activities were embraced by the regulatory framework installed by the Workplace Safety and Health Act (Cap 354A, 2009 Rev Ed) ("WSHA") and the relevant regulations (collectively, "the WSH Regime"). In this regard, there was no common law tort of careless performance of a statutory duty. The mere presence of a statutory duty did not automatically give rise to a concomitant common law duty of care. Rather, the presence of a statutory duty would fall within the rubric of the existing analysis for negligence: at [36] and[37].”
[6]: ”Industry standards should be taken into account in assessing the standard of care. The industry standard provided by the Singapore Standard SS 536 2008 Code of Practice ("the Code") was applicable here. So were the stipulations under WSHA: at [43].”
The second quotation gives guidance on how to assess standard of care once DOC is established.
“The appellant, Jurong Primewide Pte Ltd ("JPW") was the main contractor of a development at a worksite. The third respondent, MA Builders Pte Ltd ("MA") had various subcontracts with JPW to carry out structural, architectural and external works on the worksite. The second respondent, Hup Hin Transport Co Pte Ltd ("Hup Hin"), had a rental agreement with JPW to supply cranes to the worksite ("crane supply contract"), and a hiring contract with Moh Seng Cranes Pte. Ltd. ("Moh Seng"), to hire Moh Seng's mobile cranes whenever required. MA made a request to JPW for a mobile crane to lift some steel rebars. In turn JPW requested Hup Hin to deliver a mobile crane to the worksite the next day. As Hup Hin did not have any cranes immediately available for hire, Hup Hin hired one from Moh Seng. The next day, one Lian Lam Hoe ("Lian"), Moh Seng's employee, drove the crane to the worksite. Upon arrival, he was directed by the lifting supervisor employed by MA ("Lifting Supervisor"), to park the crane at a designated location at the worksite. Lian raised concerns that the designated location would be unable to bear the weight of the crane. The Lifting Supervisor assured Lian that the ground comprised of hard flooring which could safely support the crane's weight. Lian continued to harbour concerns and
189
NB: This is not a case where the migrant worker was a plaintiff or defendant.
116
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
conveyed this to JPW's Safety Officer. After conferring with the Lifting Supervisor, JPW's Safety Officer reassured Lian that the ground was safe. Lian then deployed the crane in accordance with the Lifting Supervisor's instructions. During the lifting operation, part of the crane collapsed into a concealed man-hole, causing the crane to topple over. The High Court judge ("the Judge") held that the Lifting Supervisor was JPW's representative and that JPW was wholly liable in negligence to Moh Seng for the damaged crane. The Judge also held that no contributory negligence was attributable to Moh Seng and MA. Finally, the Judge dismissed JPW's contractual claim for an indemnity against both Hup Hin and MA. As regards the claim against Hup Hin, the Judge held that the legal basis of the relationship between JPW, Hup Hin and Moh Seng was a tripartite oral contract between the parties ("oral contract"). The crane supply contract, which contained an indemnity clause, was not incorporated into the oral contract. JPW's claim against MA for breach of the subcontracts also failed. The Judge construed "wilful default" in the indemnity clause to refer to JPW's failure to take reasonable care. Given his earlier finding of negligence on JPW's part, JPW could not claim an indemnity against MA. JPW appealed against the entirety of the Judge's decision.”
Loh Tek Hua v Tey Joo Soon and Another [2006] SGDC 225 Holding
Claim for damages as a result of injuries arising from a traffic accident.
“It is trite law that the legal burden, or the burden of proving a fact to the requisite standard of proof, always remains with the party who seeks to prove that fact. The evidential burden, or the burden of adducing evidence to meet the standard of proof or to prevent the opposing party from meeting the standard of proof, may be on either party, depending on the circumstances of the case. Jeffrey Pinsler illustrates the point of the shifting of the evidential burden clearly in Evidence, Advocacy and the Litigation Process (2nd Edition) at page 240:
[11]: “Unlike the legal burden, the evidential burden can shift throughout the trial. Put another way, the state of the evidence can shift so that at one moment the prosecution’s case is strong enough to satisfy the standard of proof (proof beyond a reasonable doubt) and at another, it is not. In the former situation, the evidential burden shifts to the accused in the sense that if he does not adduce evidence to bring the prosecution’s case below the standard of proof (ie by creating
117
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
a reasonable doubt), he would lose. As a matter of practice, the court does not consider the incidence of the evidential burden at different moments in the proceedings. The crucial time for this purpose is at the end of the prosecution’s case. He must discharge the evidential burden by then in order for the accused to be called upon to enter his defence […] The same principles apply to the facts in issue which need to be proved by a plaintiff and a defendant in civil proceedings.”
Summary of facts
[12]: “Applying the above principles to the case before me, the legal burden was on the plaintiff to prove negligence on the part of the 1st and/or 2nd defendant, as was pleaded in the statement of claim. The evidential burden would be initially on the plaintiff to establish such negligence on a balance of probabilities. If he achieved this, the burden would shift to the defendant to try at least to equalise the probabilities.”
[14]: “In the present case, similarly, there was a prima facie case of negligence against both the defendants or either of them, and it was for each defendant to displace it.”
[2]-[4]: “The circumstances surrounding the accident which occurred on 23 September 2003 at about 8:30 pm at the junction of Admiralty Road West and Woodlands Avenue 8 were straightforward. The weather was clear, the roads were dry and the traffic was light. The 1st defendant was riding a motorcycle along Admiralty Road West. The plaintiff was his pillion rider. The 2nd defendant was the owner and driver of a car which was travelling along Admiralty Road West in the opposite direction. At the T-junction of Admiralty Road West and Woodlands Avenue 8, a signal-controlled junction, as the motorcycle was making a right turn into Woodlands Avenue 8, a collision took place between the motorcycle and the car. The car hit the left side of the motorcycle. As a result of the impact, both the plaintiff and the 1stdefendant fell from the motorcycle. According to the 2 nd defendant, the plaintiff landed on the roof of his car and fell onto the rear windscreen. The 1st defendant landed on his front windscreen before falling to the ground. In his statement of claim, the plaintiff alleged negligence on the part of the 1st defendant and/or 2nddefendant. The respective defendants blamed each other for the accident. Both claimed to have the right of way when the accident occurred. What was pertinent was that in their pleadings, neither defendant blamed the plaintiff, who was a pillion rider, in any way for the accident. I highlighted this fact as it was a factor I took into account in my findings later in this judgment.” (The facts of how the plaintiff proved the accident are not very relevant and important to migran worker claims.)
118
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Amus bin Pangkong v Jurong Shipyard Ltd and another [2000] 1 SLR(R) 839; [2000] SGHC 67 [Amus] Holding
Summary of facts
Held, allowing the appeal. [7]: “The burden of proving what was reasonably practicable in relation to s 33(3) lay not on the person injured but on the person responsible for maintaining the safety of the workplace.”
“The appellant worker was employed by the second respondents (“the employers”) to carry out blastering work in a tank of a vessel at the shipyard of the first respondents (“shipyard owners”). The shipyard owners subcontracted the blastering work to the employers. The worker accidentally fell to the bottom of the tank and when his coworkers discovered him, he was not wearing a safety belt. However, an insurance adjuster for the shipyard owner’s insurers recorded a statement where the worker admitted wearing a safety belt. At trial, the worker disputed the contents of the statement and that the signature on it was his. A co-worker testified that there was no safety equipment available on the day of the accident and that any safety equipment had been given long before that day. The worker claimed damages for personal injuries suffered as a result of the negligence of the shipyard owners and/or the employers, a breach of their duties as occupiers of the vessel and a breach of their statutory duties under the Factories Act (Cap 104, 1998 Rev Ed) (“the Act”). The district judge dismissed all the worker’s claims. On appeal the worker argued that the district judge erred in: (1) finding that he had on a safety belt consequently erred in concluding that the employers were not in breach of their duty to provide the worker with a safety belt; (2) confining the duty to the commencement of the blastering work as the duty to provide a safe system of work was continuous; (3) finding that the employers’ failure to supervise the workers was not the proximate cause of the worker’s injuries; (4) finding that the first respondents were not occupiers of the tank in the vessel; (5) finding that the employers were not liable to the worker as occupiers; and (6) concluding that there was no breach of s 33(3) and 33(7) of the Act by either of the respondents. Section 33(3) of the Act provided that there should be safe access and egress from any place or work and s 33(7) provided, among other things, that a secure foothold and handhold be provided for a person who had to work at a height of more than 3 metres.”
119
BAB 2: MASALAH HUKUM YANG UMUM TERJADI DAN PENYELESAIAN YANG ADA
Araveanthan and another v Nippon Pigment (S) Pte Ltd [1992] SGHC 20 Holding
Summary of facts
The wording of s 24 of the Factories Act (Cap 104, 1985 Rev Ed) indicated that the duties were absolute in the sense that once it was proved that the safeguards and machinery were not maintained or kept in position as required, the first plaintiff did not need to prove any lack of care on the part of the factory owner.
“The first plaintiff, an infant, sued the defendant by his father and next friend for damages in respect of personal injuries he suffered during an industrial accident in the defendant's factory. The first plaintiff argued that the accident was caused by the defendant's negligence and/or breach of statutory duty. The first plaintiff had been employed by the defendant as a machine operator. The first plaintiff operated a plastic injection moulding machine. The machine had a gate guard which acted as an automatic safety device. When the gate guard was open, the moving mould should have remained stationary. At the time of the accident, the gate guard was open and the first plaintiff was removing a plate from the machine. Instead of remaining stationary, the moving mould closed on the first plaintiff's right hand. As a result of the accident, the first plaintiff's right index, middle and ring fingers had to be completely amputated. He was assessed to have 70% permanent incapacity for the purposes of estimating workmen's compensation.”
120
Bab 3:
Prosedur Untuk Mencari Penyelesaian
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN 1.
PENDAHULUAN
I.
Gambaran umum
1
1.1.
Berbagai prosedur yang dikemukakan dalam bab ini terutama berlaku untuk pekerja dengan izin kerja, atau kartu pas khusus1 yang mengizinkan mereka untuk dapat tinggal di Singapura. Namun demikian, buruh migran yang mempunyai kartu S-pass dan ingin mengajukan gugatan di pengadilan Singapura juga dapat mengacu pada bagian-bagian tertentu yang menjelaskan tentang proses pengajuan gugatan perdata baik dari dalam Singapura atau dari luar negeri.
1.2.
Tergantung pada keabsahan izin kerja, berbagai kemungkinan jalur prosedural akan dikemukakan pada bagian-bagian berikut ini:
1.3.
Bagian 2 menyajikan gambaran umum dan pengenalan singkat terhadap berbagai jalur penyelesaian yang tersedia bagi buruh migran, termasuk negosiasi dengan pemberi kerja, melakukan pendekatan pada Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan mengajukan gugatan perdata.
1.4.
Bagian 3 mengkaji berbagai jalur hukum yang tersedia bagi buruh migran yang masih berada di Singapura, apakah melalui izin kerja yang masih berlaku, atau dalam hal izin kerja sudah kadaluwarsa atau dibatalkan, kartu pas khusus untuk buruh migran.Dengan pengecualian Pekerja Rumah Tangga Asing (PRT Asing), klaim yang diajukan buruh migran dapat dibawa ke Kemenaker. 2 Buruh migran dapat menjalani proses mediasi opsional, dan selanjutnya memutuskan untuk membawa kasusnya ke Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di bawah Kemenaker, dimana ia dapat memperoleh keputusan yang dikeluarkan oleh Asisten Komisioner untuk Ketenagakerjaan (ACL, Assistant Commissioners for Labour).3 Selain itu, buruh migran juga dapat mengajukan gugatan perdata di
“Kartu pas khusus” adalah kartu pas yang dikeluarkan atas wewenang petugas imigrasi, atau petugas Kemenaker,
berdasarkan wewenang petugas imigrasi berdasarkan pasal 15 dari Peraturan Imigrasi. Dengan kartu pas ini, pemilik kartu dapat memasuki atau tetap tinggal di Singapura selama jangka waktu yang tidak melebihi satu bulan. Lihat Immigration Regulations (Cap 133, Reg 1, 1998 Rev Ed Sing), reg 15. Lihat Bagian 6.IX untuk naskah teks UU tersebut. 2
Perlu dicatat bahwa karena PRT Asing tidak tercakup dalam UU Ketenagakerjaan (EA, Employment Act) dan UU
tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA, Work Injury Compensation Act), berbagai prosedur Kemenaker yang dibahas dalam manual ini tidak berlaku untuk PRT Asing. Namun demikian, mereka masih dapat mengambil jalur perdata dan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri, Pengadilan Magistrate atau Small Claims Tribunal (SCT). Lihat Employment Act (Cap 91, 2009 Rev Ed Sing), s 2 [EA]; Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) Fourth Schedule [WICA]. Lihat Bagian 6.VII dan Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut. 3
Di pihak ACL, para direksi dan sejumlah jaksa penuntut (prosecuting officers) mengambil peran quasi-judicial dalam
melakukan adjudikasi sengketa yang terkait dengan klaim berdasarkan UU tersebut. Lihat WICA, supra Chapter 2 note 49, s 2A; MOM, Divisions and Statutory Boards: Legal Services Department, online: Ministry of Manpower .
122
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Pengadilan Negeri, Pengadilan Magistrate atau SCT (Small Claims Tribunal, suatu pengadilan yang menyelesaikan sengketa dengan nilai gugatan kecil). 4 1.5.
Bagian 4 menjelaskan tentang berbagai jalur hukum yang tersedia ketika buruh migran tidak lagi mempunyai izin kerja yang masih berlaku sehingga harus kembali ke negara asalnya. Bagi mereka yang telah kembali ke negara asalnya, keputusan dari Kemenaker yang sudah dikeluarkan dapat diberlakukan melalui permohonan atas Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS, Writ of Seizure and Sale) atau persidangan Garnishee.5 Selain itu, pekerja tersebut dapat berusaha untuk mengajukan tuntutan perdata dari negara asalnya melalui pengacara yang berlisensi Singapura.6
1.6.
Bagian 5 menyajikan rangkuman yang konklusif dari bab ini.
1.7.
Bagian 6 terdiri dari perundangan dan kasus hukum terkait yang menjadi sumber rujukanbab ini.
4
Perlu dicatat bahwa jalur SCT agak terbatas. Lihat Bagian 3.IV.C.
5
Lihat Bagian 4.II.B.
6
Lihat Bagian 4.II.
123
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Bagan 1: Gambaran umum opsi hukum yang tersedia bagi buruh migran Pilihan Hukum yang Tersedia untuk Buruh Migran
Buruh Migran di Negara Asal
Buruh Migran di Singapura
Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker)
Gugatan Perdata (diajukan secara domestik)
Gugatan Perdata (diajukan secara terpisah)
Putusan
Putusan
Mediasi *pilihan
Pengadilan Buruh Kemenaker
Jika putusan dianggap tidak sesuai, dimungkinkan untuk diajukan ke Pengadilan Tinggi
Putusan
Jika putusan tidak dijalankan
Pelaksanaan putusan Dijalakan
Perintah Sitaan (Garnishee Order)
Surat Perintah Sitaan dan Penjualan (Writ of Seizure and Sale)
124
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
II. Buruh migran di Singapura – sebagai pemegang kartu izin kerja 1.8.
Ada berbagai jalur hukum yang tersedia bagi buruh migran yang ingin mengajukan tuntutan hukum, mulai dari mengajukan gugatan kepada Kemenaker ketika masih berada di Singapura, hingga mengajukan gugatan perdata dari luar Singapura setelah kembali ke negara asal. Jalur hukum yang tersedia bagi pekerja tergantung pada seberapa lama mereka masih bisa tinggal di Singapura, yang pada gilirannya tergantung pada apakah klien memegang kartu izin kerja yang masih berlaku.
1.9.
Agar dapat bekerja di Singapura, semua non-penduduk Singapura harus memiliki izin kerja yang masih berlaku. Pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga asing yang tidak memiliki izin kerja dapat dituntut berdasarkan UU Ketenagakerjaan bagi Tenaga Kerja Asing (EFMA, Employment of Foreign Manpower Act).7
1.10.
2.
•
Kartu Pas Kerja bagi mereka yang memperoleh gaji bulanan tetap minimal sebesar $3.300 dan mempunyai kualifikasi profesional;9
•
Kartu S-Pass untuk pekerja dengan tingkat ketrampilan menengah yang memperoleh gaji bulanan minimal sebesar $2.200;
•
Izin kerja untuk pekerja dengan tingkat ketrampilan rendah atau kurang memadai.
1.11.
Berbagai jalur yang tersedia dan dikemukakan dalam panduan ini sebagian besar hanya berlaku bagi pekerja yang memegang izin kerja atau, kartu pas khusus jika masa berlaku izin kerja telah berakhir atau telah dibatalkan. Hal ini tidak berarti bahwa pekerja dengan kartu S-Pass tidak mempunyai jalur hukum lain. Pekerja dengan kartu S-Pass masih dapat mengajukan tuntutan melalui jalur perdata.
1.12.
Bagian berikut ini menjelaskan lebih lanjut tentang berbagai kesulitan yang dihadapi buruh migran ketika mengajukan tuntutan di Singapura dan mengkaji berbagai proses pengajuan tuntutan di Singapura melalui jalur Kemenaker dan jalur gugatan perdata.
GAMBARAN UMUM DARI JALUR PENYELESAIAN YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN 2.1.
7
Secara singkat, izin erja yang biasanya dimiliki tenaga kerja asing adalah: 8
Terdapat tiga cara utama dimana buruh migran (klien) dapat mengajukan klaim terhadap pemberi kerjanya: melakukan negosiasi secara langsung dengan pemberi kerja; melalui Kemenaker, serta mengajukan gugatan di pengadilan perdata. Ketiga cara ini akan dijelaskan masinng-masing di Bagian I, II dan III.
Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing), s 5 [EFMA]. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah
teks UU tersebut. 8
Ministry of Manpower, Foreign Manpower Passes & Visas, online: Ministry of Manpower
[MOM, Passes & Visas]. 9
Seluruh angka dalam dolar yang tercantum dalam bab ini adalah dolar Singapura, kecuali disebutkan lain.
125
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
I.
10
Melakukan negosiasi dengan pemberi kerja 2.2.
Pengacara dapat membantu dan mewakili klien dalam menegosiasikan penyelesaian sengketa dengan pemberi kerja sebelum mengajukan tuntutan melalui Kemenaker atau pengadilan perdata. Perundingan seperti ini sangat berbeda dengan negosiasi yang dilakukan melalui jalur Kemenaker (akan dibahas di bawah). Sayangnya, buruh migran yang masih bekerja mempunyai posisi tawar yang lemah karena pemberi kerja dapat memutuskan hubungan kerja dan izin kerja buruh migran tersebut tanpa mengalami banyak kesulitan sehingga pekerja dapat dipulangkan ke negara asal10 mereka dalam jangka waktu tujuh hari.11 Buruh migran kemungkinan juga enggan melakukan negosiasi karena khawatir akan terjadi pembalasan,12 perlakuan buruk dan pelecehan terhadap mereka maupun anggota keluarga mereka di negara asal mereka oleh agen dari pemberi kerja tersebut,13 meskipun rasa takut ini dapat meluas hingga pada semua upaya penyelesaian yang ada. Pemberi kerja juga mungkin berpikir bahwa mereka dapat menunggu sampai masa izin kerja buruh migran tersebut berakhir, yang membuat buruh migran tidak dapat mengajukan klaim di Singapura, sehingga memaksa mereka untuk melakukannya dari luar Singapura.
2.3.
Oleh karena itu penting bagi para praktisi14 untuk mengingatkan pemberi kerja bahwa bagaimanapun juga klien dapat menuntut melalui jalur Kemenaker, dan klien juga masih dapat mengajukan klaim meskipun telah kembali ke negara asalnya. Hal ini mungkin dapat memperkuat posisi tawar klien karena pemberi kerja akan memahami bahwa mereka tidak dapat begitu saja menghentikan izin kerja pekerja mereka dan memulangkan pekerja mereka tanpa takut akan adanya tuntutan hukum.
2.4.
Meskipun klien telah kembali ke daerah asalnya, para praktisi masih dapat
Lihat Bagian 3.II; TWC2 News, “Our Stand: Work permit holders should be free to change employers and stay longer”
(17 October 2013), online: Transient Workers Count Too . [TWC2 News, “Our Stand: Work permit holders”]. 11
Pemberi kerja harus mengurus pemulangan pekerja dalam waktu tujuh hari. Pekerja buruh akan dihadapkan pada
konsekuensi yang serius, seperti denda, jika masih tetap berada di Singapura lewat batasan waktu tersebut. Lihat Kemennaker, Foreign Manpower: Passes & Visas, Work Permit (Foreign Worker) – Cancellation & Renewal, online: . [MOM, Cancellation & Renewal]. 12
Telah terjadi kasus pemulangan paksa, kadangkala sebelum waktunya, yang dibantu oleh perusahaan repatriasi.
Lihat Jolovan Wham, “Repartriation [sic] Companies – Manpower Minister’s response belittles the efforts of migran workers” (30 November 2011), online: The Online Citizen [Wham, “Repartriation Companies – Manpower Minister’s response”]; Wham, “TOC Expose: Repatriation companies” (14 Januari 2009), online: The Online Citizen ; Joyce Wong, “Gripped by two repatriation agents, Monjor is taken to airport” (30 Maret 2014), online: Transient Workers Count Too . 13
Telah terjadi kasus penahanan ilegal dan pemukulan. Lihat Au Waipang, “Crime and ambivalence” (17 November
2011), online: Yawning Bread ; Farah, “Foreign worker told: ‘if we kill you there won’t be any witness’” (25 Juli 2012), online: Transient Workers Count Too . 14
Panduan ini menggunakan istilah “praktisi” dalam pengertian paling luas yang mengacu untuk semua bidang profesi
yang bekerja dengan dan atas nama buruh migran, termasuk pengacara, petugas penanganan kasus, pekerja sosial, aktivis, advokat yang tidak terlatih dalam bidang hukum (non-legally trained advocates), dsb.
126
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
berhubungan dengan klien mereka, dan membantu mereka dalam mengajukan gugatan perdata dari jarak jauh. Dalam hal ini, praktisi harus memperoleh kontak informasi secara detail dari klien. Lihat Bab 4 untuk informasi lebih lanjut, namun informasi yang paling penting mencakup: Nama lengkap; Alamat rumah dan kode pos; Alamat email (jika ada); Nomor telepon; dan Kontak anggota keluarga terdekat. 2.5.
Apabila negosiasi dengan pemberi kerja berhasil dilakukan, catatan tertulis yang jelas dan akurat dari perjanjian tersebut harus dicetak, ditandatangani dan dibubuhi tanggal oleh kedua belah pihak (dan sebaiknya ada saksi). Jika negosiasi ditolak atau tidak berhasil, klien dapat mengajukan gugatan mereka ke Kemenaker, atau bahkan dapat memulai proses gugatan perdata di Singapura atau dari negara asal mereka. Dalam situasi seperti ini, pemberi kerja sebaiknya diperingatkan terlebih dahulu bahwa kegagalan dalam melakukan negosiasi dapat mengakibatkan hasil yang lebih menguntungkan untuk klien karena Kemenaker akan melihat kasus klien tersebut secara lebih positif apabila proses negosiasi telah diupayakan.15 Catatan tertulis dari proses negosiasi yang telah diupayakan akan bermanfaat untuk membuktikan kepada Kemenaker bahwa klien sudah mengupayakan untuk untuk menyelesaikan sengketa dengan iktikad baik.
II. Mengajukan gugatan melalui Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker)
15
2.6.
Kemenaker memiliki sejumlah mekanisme untuk menyelesaikan beragam permasalahan hukum yang dihadapi buruh migran dan yang terkait dengan pekerjaan mereka.
2.7.
Kecuali PRT Asing,16 buruh migran yang mengalami kecelakaan di tempat kerja dapat mengklaim ganti rugi berdasarkan UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA, Work Injury Compensation Act).17 Mereka yang mengalami masalah dalam pekerjaannya, seperti upah yang tidak dibayar, dapat melakukan tuntutan berdasarkan UU Ketenagakerjaan (EA, Employment Act). Tuntutan lainnya yang melibatkan agen pengerah jasa tenaga kerja dapat diajukan melalui
Kemenaker dapat melihat kasus klien secara lebih positif apabila klien telah mengupayakan negosiasi namun ditolak
oleh pemberi kerja. Begitu juga untuk gugatan perdata, sesuai dengan Rules of Court (aturan-aturan yang berkenaan dengan pengadilan), dalam menggunakan keleluasaannya yang terkait dengan biaya, pengadilan dapat mempertimbangkan “tingkah laku para pihak yang terkait dengan upaya penyelesaian perkara atau masalah melalui mediasi maupun cara penyelesaian sengketa lainnya.” Oleh karena itu, kemungkinan akan ada perintah pengeluaran biaya (adverse costs orders) yang merugikan pihak pemberi kerja jika upaya negosiasi ditolak. Lihat Rules of Court (Cap 322, R 5, 2006 Rev Ed Sing), o 59 r 5(c) [Rules of Court]. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut. 16
Bab 2, supra note 49.
17
WICA, supra Chapter 2 note 49. s 3(1). Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
127
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Employment Agencies Act (EAA).18 Untuk para buruh migran yang telah ditempatkan atau dipekerjakan secara ilegal, dapat melaporkan kepada Kemenaker tentang adanya pelanggaran terhadap peraturan ketenagakerjaan berdasarkan EFMA. Namun demikian, buruh migran dapat dikenai sanksi jika ikut terlibat dalam kegiatan ilegal kecuali mereka dapat membuktikan bahwa mereka tidak menyadari telah melakukan perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Dengan demikian, praktisi harus mengkaji kasus klien secara seksama sebelum mengajukan tuntutan kepada Kemenaker. 2.8.
Melalui prosedur komplain ini, buruh migran dapat memperoleh keputusan yang mempunyai kekuatan hukum. Perlu dicatat bahwa keputusan Kemenaker biasanya berujung pada penyelesaian secara keuangan, misalnya ganti rugi dan kompensasi, daripada injunctive remedy (penyelesaian dalam bentuk perintah pengadilan yang mewajibkan salah satu pihak untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu). Prosedur pengajuan klaim yang umumnya dilakukan oleh buruh migran ini akan dibahas secara rinci pada Bagian 3.
III. Mengajukan gugatan ke pengadilan perdata Singapura 2.9.
Buruh migran memiliki opsi untuk tidak mengambil jalur Kemenaker tetapi mengajukan gugatan ke pengadilan perdata. Tuntutan seperti ini beragam, mulai dari common law claims (klaim yang dilakukan menurut peraturan perundangundangan yang didasarkan pada keputusan hakim dan adat-istiadat) seperti kelalaian, hingga statutory claims (klaim berdasarkan peraturan perundangundangan yang tertulis) seperti EA dan WICA. Sebelum memperkenalkan berbagai jenis pengadilan dimana gugatan perdata dapat dilakukan, pengenalan singkat tentang sistem peradilan Singapura akan sangat membantu.
2.10.
Sistem peradilan Singapura terdiri dari dua tingkatan – Pengadilan Negara (State Court) dan Mahkamah Agung (Supreme Court).
2.11.
Pengadilan Negara (State Court) mencakup tiga pengadilan yang menangani tuntutan perdata:19
18
Pengadilan Negeri (District Court) yang menangani gugatan dengan nilai sengketa tidak melebihi $250.000;20
Kemenaker biasanya mengarahkan buruh migran tersebut ke Small Claims Tribunal untuk mengajukan gugatan
mereka. Namun demikian, Kemenaker tidak mengeluarkan kartu pas khusus untuk gugatan yang terkait dengan agen pengerah jasa tenaga kerja sehingga menyulitkan buruh migran untuk tetap berada di Singapura agar dapat mengikuti proses gugatan jika Izin Kerja mereka dibatalkan atau habis masa berlakunya. Lihat H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied: The Experiences of Migran Workers in Singapore (2010) di 26, online: Transient Workers Count Too . [H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied]. 19
Civil Justice Division, Processes & Procedures: Going to Court on Civil Matters, online:
. 20
“Nilai yang disengketakan” adalah jumlah klaim yang diupayakan oleh pihak penuntut, yaitu klien, melalui
gugatannya.
128
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
2.12.
21
Pengadilan Magistrate (Magistrate’s Court) yang menangani gugatan dengan nilai sengketa tidak melebihi $60.000; dan
Small Claims Tribunal (SCT) menangani gugatan yang nilainya tidak lebih dari $10.000 (atau hingga $20.000 jika para pihak yang bersengketa sepakat) yang timbul dari sengketa yang terkait dengan perjanjian penjualan barang, penyediaan layanan, atau perbuatan melanggar hukum, dimana terjadi kerusakan pada harta milik. Kerusakan harta millik ini tidak mencakup kerusakan yang disebabkan oleh kecelakaan sebagai akibat dari atau yang terkait dengan penggunaan kendaraan bermotor.
Mahkamah Agung (Supreme Court) terdiri dari Pengadilan Tinggi (High Court) dan Pengadilan Banding(Court of Appeal):
Pengadilan Tinggi yang menangani gugatan perdata dengan nilai sengketa lebih dari $250.000;21 dan
Court of Appeal yang menangani banding kasus yang berasal dari Pengadilan Tinggi.22
2.13.
Para pihak dapat mengajukan banding terhadap keputusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negara, baik yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri atau Magistrate ke Pengadilan Tinggi.23 Dari Pengadilan Tinggi, para pihak dapat mengajukan banding ke Court of Appeal kecuali gugatan tersebut tidak diperbolehkan untuk naik banding lagi berdasarkan UU yang berlaku. 24
2.14.
Klaim yang diajukan buruh migran umumnya tidak lebih dari $250.000 sehingga tuntutan mereka seharusnya dibawa ke Pengadilan Negeri, Pengadilan Magistrate atau jika sesuai, ke SCT. Penjelasan lebih lanjut tentang cara melakukan pengajuan gugatan perdata di Singapura dan dari luar negeri dapat diperoleh masing-masing pada Bagian 3 dan Bagian 4 di bawah ini.
The Law Society of Singapore, You & the Law: Singapore Court System¸ online: The Law Society
. 22
Ibid.
23
Ibid.
24
Ibid.
129
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Bagan 2: Gambaran umum Sistem Peradilan di Singapura
Sistem Pengadilan Singapura
Supreme Court
State Courts
Pengadilan Negeri (District Court)
Pengadilan Magistrate (Magistrate’s Court)
Gugatan Perdata dimana jumlah yang dipermasalahkan kurang dari $250.000
Gugatan Perdata dimana jumlah yang dipermasalahkan kurang dari $60.000
Gugatan Kecil Tribunal (Small Claims Tribunal*)
Lainnya
Gugatan Perdata dimana jumlah yang dipermasalahkan kurang dari $10.000
Family Court Juvenile Court Bail Court Criminal Courts Coroner’s Court Community Court Centralised Sentencing Court Filter Court Mentions Court Night Courts Neighbourhood Court Traffic Court
Ketika parah pihak sepakat, gugatan perdata yang dipermasalahkan kurang dari than $20.000 dapat diterima
Permohonan banding
130
Pengadilan tinggi (High Court)
Court of Appeal
Gugatan Perdata dimana jumlah yang dipermasalahkan lebih dari $250.000
Gugatan Perdata yang dimohonkan banding dari Pengadilan tinggi (High Court)
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
3.
PILIHAN HUKUM YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN DI SINGAPURA
I.
Pendahuluan 3.1.
Buruh migran yang memasuki Singapura memegang izin kerja yang biasanya berlaku hingga dua tahun.25 Dengan demikian, klien mempunyai jangka waktu yang terbatas jika harus melalui Kemenaker atau memulai gugatan perdata untuk menyelesaikan sengketa dengan pemberi kerja mereka atau dengan agen pengerah tenaga kerja di Singapura (seperti sengketa yang terkait dengan upah, kurangnya kompensasi terhadap kecelakaan di tempat kerja, dsb.). Jika kartu pas khusus tidak dimiliki, izin kerja yang sudah habis masa berlakunya akan menghambat proses persidangan yang dikehendaki buruh migran, baik yang ditangani oleh Kemenaker maupun pengadilan perdata.
3.2.
Bagian 3 selanjutnya dibagi seperti berikut: Bagian II menjelaskan situasi yang dihadapi buruh migran yang berusaha untuk tetap tinggal di Singapura untuk menyelesaikan proses hukum mereka. Bagian III menerangkan tentang berbagai jalur di Kemenaker yang tersedia untuk buruh migran. Bagian IV menjelaskan proses untuk memulai gugatan perdata di Singapura.
II. Kesulitan untuk tetap tinggal di Singapura 3.3.
Buruh migran umumnya menghadapi berbagai kesulitan untuk mengajukan klaim ketika mereka masih berada di Singapura karena mereka harus pergi ketika izin kerja mereka habis masa berlakunya atau dibatalkan, kecuali jika mereka dapat memperoleh kartu pas khusus. Namun, meskipun kartu pas khusus mengizinkan buruh migran untuk tetap berada di Singapura, kartu pas juga memberlakukan beberapa batasan, yang paling utama adalah mereka tidak diperbolehkan bekerja. Suatu skema telah diperkenalkan yang memungkinkan buruh migran memperoleh pekerjaan untuk sementara waktu, tetapi tetap saja ada sejumlah pekerja yang tidak terjangkau oleh skema pekerjaan sementara (TJS, Temporary Job Scheme) tersebut. Hal ini akan dijelaskan di Bagian A hingga E di bawah.
A.
Permasalahan imigrasi
3.4.
Pada umumnya, buruh migran merasa ragu untuk mengajukan klaim ketika masih dipekerjakan karena takut kehilangan pekerjaan mereka dan izin kerja mereka dibatalkan oleh pemberi kerja mereka atau oleh Kemenaker.26 Tanpa izin kerja, buruh migran tidak dapat tinggal atau bekerja di Singapura secara sah.27 Buruh migran yang mempunyai izin kerja terikat pada pemberi kerja
25
Kemenaker, Cancellation & Renewal, supra note 11.
26
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 9.
27
EFMA, supra note 7, s 5. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
131
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
mereka karena pemberi kerja harus membayar uang jaminan kepada Kemenaker sebagai jaminan pemulangan pekerja ketika izin kerja telah berakhir masa berlakunya atau dibatalkan.28 Berdasarkan sistem ini, kecuali buruh migran diharuskan untuk meninggalkan Singapura dan kembali ke daerah asalnya, sebelum mereka memperoleh izin kerja dan pemberi kerja baru. 29 Oleh karena itu, buruh migran sangat tergantung pada pemberi kerja mereka agar dapat mempertahankan pekerjaan dan izin kerja mereka. Mereka beresiko kehilangan mata pencaharian dan status hukum untuk dapat bekerja di Singapura jika mereka mengajukan gugatan terhadap pemberi kerja melalui Kemenaker. 3.5.
Selain itu, pemberi kerja dapat melakukan pemulangan pekerja secara paksa.Hal ini sayangnya merupakan praktek yang sering terjadi. 30 Dengan tidak adanya ketentuan yang jelas untuk melakukan pemutusan perjanjian kerja, EA menetapkan jangka waktu minimum untuk pemberitahuan pemutusan kerja baik oleh pekerja maupun pemberi kerja.31 Jangka waktu ini hanya berkisar antara satu minggu hingga empat minggu (semakin singkat pekerja tersebut dipekerjakan, semakin singkat juga jangka waktu pemberitahuan)32 Pemberi kerja juga mempunyai kekuasaan untuk membatalkan izin kerja dari pekerja tersebut secara sepihak hanya dengan mengikuti prosedur online yang sederhana tanpa perlu membuktikan bahwa pemberitahuan pemutusan kerja telah dilakukan sesuai dengan EA.33
3.6.
Berbagai kerentanan ini seringkali memaksa buruh migran menunggu hingga berakhirnya kontrak kerja mereka untuk mengajukan gugatan, biasanya setelah dua tahun.34 Hal ini mengakibatkan berbagai masalah berikut:
3.7.
28
Hanya memiliki waktu yang singkat untuk menjalani proses gugatan mereka sebelum harus kembali ke negara asal.
Klaim yang diajukan berdasarkan EA atau ganti rugi untuk pekerja berdasarkan WICA dibatasi waktu selama satu tahun.35
Namun demikian, sebagian dari masalah-masalah ini dapat dihindari jika buruh migran dapat memperoleh kartu pas khusus setelah izin kerja mereka telah habis masa berlakunya atau dibatalkan.
Kemennaker, Foreign Manpower: Work Permit (Foreign Worker) – Security Bond, online: Ministry of Manpower
. 29
TWC2 News, “Our Stand: Work permit holders”, supra note 10.
30
Wham, “Repartriation [sic] Companies – Manpower Minister’s response”, supra note 12.
31
EA, supra note 2, s 10. Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut.
32
Ibid.
33
Izin kerja dapat dibatalkan melalui proses online yang sederhana. Lihat Kemenaker, Cancellation & Renewal, supra
note 11, “Step-by-Step Guide on Cancellation of a Foreign Worker's Work Permit”; Kemenaker, Statistics & Publications: “How do I cancel my foreign worker’s work pass?”, online: Ministry of Manpower . 34
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 9.
35
Lihat Bagian 3.21 dan 3.27.
132
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
B.
Kartu pas khusus untuk tinggal sementara
3.8.
Berdasarkan peraturan imigrasi, buruh migran dapat diberikan “kartu pas khusus” yang memungkinkan mereka untuk tetap berada di Singapura sambil menunggu pemrosesan atau adjudikasi dari gugatan mereka. 36 Kartu pas ini dikeluarkan sesuai kebijaksanaan Kemenaker, berdasarkan pada apakah Kementerian “menilai bahwa pekerja mempunyai alasan yang sah agar tetap berada di Singapura untuk menyelesaikan sengketa atau klaim terhadap pemberi kerja atau untuk menjalani pengobatan medis dan menyelesaikan proses ganti rugi atas kecelakaan di tempat kerja.”37 Kartu pas khusus hanya dapat dikeluarkan untuk jangka waktu yang tidak lebih dari satu bulan. Pas khusus ini biasanya hanya diperpanjang apabila Kemenaker memutuskan untuk menyelidiki pemberi kerja yang bersangkutan, serta memperbolehkan pekerja untuk tetap berada di Singapura secara sah sampai proses penyelidikan selesai.38
C.
Keterbatasan dalam memiliki kartu pas khusus
3.9.
Terdapat sejumlah kesulitan untuk memperoleh pas khusus, termasuk:
Kemenaker akan hanya mengeluarkan pas khusus untuk pekerja yang mengajukan klaim kompensasi gaji atau kompensasi yang terkait dengan kecelakaan di tempat kerja dan klaim serupa yang diperkenankan lainnya yang ditimbulkan secara langsung oleh pekerjaan mereka yang sah di Singapura;
Pekerja yang mengajukan gugatan masalah lainnya, seperti meminta kembali biaya yang telah dibayarkan ke agen, biasanya tidak akan diberikan pas khusus; 39 dan
Pekerja yang menggugat agen pengerah tenaga kerja umumnya akan diarahkan oleh Kemenaker ke SCT atau pengadilan perdata lainnya untuk mengajukan gugatan mereka.40
3.10.
Hal yang lebih penting lagi adalah bahwa tanpa adanya pas khusus yang dapat membuat mereka tetap tinggal di Singapura secara sah, buruh migran mempunyai waktu yang sangat terbatas41 untuk menyelesaikan klaim mereka pada sistem peradilan yang ada.
3.11.
Buruh migran yang memegang pas khusus masih dihadapkan pada sejumlah
36
Immigration Regulations, supra note 1, reg 15. Lihat Bagian 6.IX untuk naskah teks UU tersebut.
37
Kemennaker, Newsroom, Press Replies Detail, “Who’s required to stay for cases: MOM”, online: Ministry of
Manpower . 38
Debbie Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too” (28 September 2005), online:
Transient Workers Count Too [Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too”]; MOM, “Who’s required to stay for cases: MOM”, Ibid. 39
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 26.
40
Ibid.
41
Supra note 11, buruh migran hanya memiliki waktu maksimal tujuh hari sebelum mereka harus meninggalkan
Singapura dan kembali ke negara asal mereka.
133
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
masalah. Meskipun pengajuan klaim melalui Kemenaker pada umumnya sekarang dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari setahun,42 buruh migran mungkin kesulitan untuk mendapatkan akomodasi43 selama menunggu kasus tersebut selesai dan menghadapi kesulitan keuangan karena mereka tidak diperbolehkan bekerja tanpa dispensasi khusus berdasarkan Skema Pekerjaan Sementera (TJS, Temporary Job Scheme) yang dibahas di bawah ini.44 Jika buruh migran memperoleh pekerjaan ilegal, ia dapat diberi peringatan, atau dikenakan denda atau hukuman penjara45 yang biasanya mengakibatkan pemulangan dan penolakan gugatan mereka oleh Kemenaker.46 D.
Skema Pekerjaan Sementara (TJS, Temporary Job Scheme)
3.12.
Beberapa pemegang pas khusus47 dapat memenuhi syarat untuk mengakses Skema Pekerjaan Sementara (TJS, Temporary Job Scheme) sesuai dengan kebijaksanaan Kemenaker, yang membantu pekerja dalam mencari pekerjaan yang bergaji sambil mereka membantu Kemenaker dalam proses penyelidikan atau bertindak sebagai saksi dalam penuntutan. Dibawah TJS, buruh migran dengan pas khusus “dipasangkan” dengan calon pemberi kerja melalui pusat penyimpanan data. Begitu terjadi kecocokan, calon pemberi kerja dapat mengajukan permohonan izin kerja kepada Kemenaker bagi pekerja tersebut. Kemenaker kemudian mengeluarkan izin kerja untuk pekerja tersebut selama 6 bulan.48 Kemenaker mempunyai keleluasaan untuk memperpanjang izin kerja tersebut.49
3.13.
Namun demikian, TJS belum tentu merupakan solusi terbaik bagi buruh migran – proses untuk mendapatkan pekerjaan sangat lambat 50 dan tidak ada jaminan pekerja akan memperoleh pekerjaan51 karena ketersediaan pekerjaan tergantung pada kondisi pasar dan jumlah pemberi kerja yang mengikuti TJS.52 Pada kenyataannya, hanya sedikit pemberi kerja yang menyadari adanya skema ini. Selain itu, pemberi kerja yang mengetahui tentang TJS mungkin enggan
42
Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too”, supra note 38.
43
TWC2 News, “Our Stand: Housing workers who are on special passes” (17 October 2013), online: Transient Workers
Count Too . 44
Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too”, supra note 38.
45
EFMA, supra note 7, s 5(7). Lihat Bagian 6.VIII di bawah.
46
Fordyce, “MOM tough on worker, lets employer run rings around laws” (2 January 2013), online: Transient Workers
Count Too . 47
Perlu dicatat bahwa tidak semua pekerja yang memperoleh Pas Khusus akan memenuhi persyaratan TJS, seperti
pekerja yang mengajukan klaim gaji atau kompensasi atas kecelakaan di tempat kerja. Pekerja yang membantu proses penyelidikan dapat mencakup penyelidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pemberi kerja. Lihat H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 29. 48
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 29
49
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 29.
50
Alex Au, “Amin and his abusive employers” (13 September 2012), online: Transient Workers Count Too
. 51
Fordyce, “The perfect job” (3 February 2012), online: Transient Workers Count Too .
52
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 29.
134
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
untuk mempekerjakan buruh migran tersebut sebab mereka dianggap sebagai “pembuat masalah” karena telah mengajukan gugatan melalui Kemenaker.53 Sebagai akibatnya, jenis pekerjaan yang tersedia melalui TJS54 sangat terbatas dengan upah rendah dan kemungkinan kondisi kerja yang tidak layak. 55 Selain itu, urusan akomodasi dan makanan tidak selalu disediakan oleh pemberi kerja.56 Oleh karena itu, TJS tidak efektif dalam meringankan beban finansial buruh migran ketika menunggu gugatan mereka diproses di Singapura. E. 3.14.
53
Pembatalan/berakhirnya masa berlaku izin kerja Apabila izin kerja buruh migran telah habis masa berlakukanya atau telah dibatalkan oleh pemberi kerja sebelum waktunya, buruh migran tidak diperbolehkan untuk tetap tinggal secara sah di Singapura kecuali Kemenaker mengeluarkan pas khusus.57 Kemenaker memberikan pas khusus untuk gugatan yang diajukan melalui Kemenaker, tetapi tidak mengeluarkan pas khusus untuk buruh migran yang mengajukan gugatan perdata. 58 Jika buruh migran ingin mengajukan klaim namun tidak dapat tetap berada di Singapura karena tidak mempunyai izin kerja yang masih berlaku atau pas khusus, mereka harus kembali ke negara asal dan hanya dapat mengajukan klaim dari jarak jauh. Bagian 4 membahas berbagai alternatif jalur hukum yang tersedia ketika buruh migran telah kembali ke negara asal mereka.
Au, “Made to stand in the corner like children” (26 July 2013), online: Transient Workers Count Too
. 54
Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too”, supra note 38.
55
Nguyen Minh Quan, “Frustrating time as Badal waits for ministry to look into salary deductions” (18 June 2014),
online: Transient Workers Count Too . 56
Au, “Made to stand in the corner like children”, supra note 53.
57
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 26.
58
Ibid.
135
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Bagan 3: Gambaran umum berbagai jalur hukum yang tersedia bagi buruh migran untuk mengajukan gugatan di Singapura
Buruh migran di Singapura
Pulang ke negara asal
memegang
Izin Kerja yang Masih Berlaku
Mencari penyelesaian dari luar
Izin Kerja daluwarsa atau dibatalkan Tetap di Singapura
Pas khusus
Lihat Bagian 4 di bawah Gugatan Perdata
Kementerian Ketenagakerjaan (Ministry of Manpower)
Hanya tersedia untuk gugatan melalui Kemenaker
III. Menggunakan jalur Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) 3.15.
59
Mengajukan gugatan perdata di sistem peradilan Singapura bisa merupakan proses yang memakan banyak biaya dan berkepanjangan. Sebagai alternatifnya, buruh migran dapat menyelesaikan kasus mereka melalui mekanisme yang tersedia dari Kemenaker. Jalur Kemenaker hanya tersedia bagi buruh migran yang secara fisik berada di Singapura; 59 dan memegang izin kerja
Ketika mengajukan gugatan atau klaim berdasarkan EA, Kemenaker dapat mewajibkan pekerja untuk menghadiri
pertemuan yang dijadwalkan bersama petugas dari Kemenaker dan bekas pemberi kerja dari pekerja tersebut. Jika pekerja tidak menghadiri pertemuan yang telah dijadwalkan tersebut, kasus yang dilaporkan kepada Kemenaker tidak akan diproses dan diverifikasi. Lihat Kemenaker, Employment Standards Online (ESOL), online: Ministry of Manpower ; Ketika mengajukan klaim berdasarkan WICA, klien diminta untuk menghadiri pertemuan pra persidangan apabila pemberitahuan telah diberikan.
136
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
atau pas khusus yang sah. Segmen ini membahas secara rinci dua bentuk gugatan yang paling sering diajukan oleh buruh migran,60 perlu dicatat bahwa PRTA tidak dapat mengajukan kedua gugatan ini. 61 3.16.
Suatu gugatan melalui jalur Kemenaker biasanya dapat diselesaikan kurang dari setahun.62 Namun demikian, apabila buruh migran diharuskan meninggalkan negara atau memutuskan untuk meninggalkan negara, upaya penyelesaian melalui jalur Kemenaker tidak akan berlanjut.
3.17.
Jika klien hendak mengajukan gugatan yang terkait dengan pekerjaan mereka, seperti masalah gaji, seharusnya mereka melakukannya berdasarkan EA. Jika klien mengalami cedera yang terkait dengan pekerjaan, gugatan dapat diajukan berdasarkan WICA. Lihat Bab 2 untuk permasalahan substantif dari setiap klaim tersebut. Perlu dicatat bahwa kedua jalur ini tidak tersedia bagi PRTA. 63
A. 3.18.
Klaim berdasarkan UU Ketenagakerjaan (EA) EA mencakup para pekerja yang berada dibawah kontrak kerja dengan pemberi kerja. UU ini tidak mencakup pekerja rumah tangga dan kategori pekerja tertentu lainnya.64 Gugatan atas pelanggaran berdasarkan EA ditangani oleh Divisi Hubungan Kerja dan Tempat Kerja (LRWD, Labour Relations and Workplaces Division) yang berada di bawah Kemenaker. Untuk melengkapi berbagai pertimbangan substantif yang disebutkan pada Bab 2, Bagian ini akan
Ketidakhadiran klien pada pertemuan pra persidangan ini akan merugikan pekerja yang bersangkutan. Lihat WICA, supra note 2, s 25B dan s 25C. Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut. 60
Selain itu, jika klien mengajukan klaim terhadap agen pengerah tenaga kerja, hal ini dapat dilakukan berdasarkan
Employment Agencies Act (EAA). Perlu dicatat bahwa Kemenaker tidak mengizinkan buruh migran yang mengajukan klaim yang terkait dengan biaya agen untuk memiliki pas khusus apabila Izin Kerjanya dihentikan. Lihat Employment Agencies Act (Cap 92, 2012 rev Ed Sing); Employment Agencies Rules 2011 (Cap 92). Klien juga dapat melaporkan berbagai masalah seperti pekerjaan ilegal, penempatan ilegal dan membuat pernyataan palsu kepada Kemenaker, karena hal ini melanggar Employment of Foreign Manpower Act (EFMA). Penting untuk dicatat bahwa buruh migran tidak diizinkan untuk mengajukan klaim gaji atas penempatan illegal, yang terjadi ketika pemberi kerja mempekerjakannya pada sektor atau perusahaan lain yang tidak tertera pada Izin Kerjanya. Hal ini untuk mencegah pekerja terus bekerja secara ilegal pada pekerjaan atau perusahaan lainnya tanpa melaporkan kepada Kemenaker. Lihat EFMA, supra note 7. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut. 61
PRT secara eksplisit tidak tercakup dalam klaim EA atau WICA. Pertama, PRT secara eksplisit tidak tercantum dalam
definisi “karyawan” pada Bagian 2 dari EA, sehingga mereka tidak tercakup oleh EA. Kedua, “kategori orang yang tidak tercakup” pada Fourth Schedule (lampiran keempat) dari WICA juga tidak mencantumkan “pekerja rumah tangga, yaitu seseorang yang dipekerjakan atau terkait dengan jasa rumah tangga dalam lingkungan atau wilayah pribadi” pada ketentuan tentang ganti rugi untuk kecelakaan di tempat kerja dan penyakit yang terkait dengan pekerjaan. Lihat EA, supra note 2, s 2. Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut; WICA, supra note 2, Fourth Schedule; Lihat di atas, supra note 2. Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut. 62
Fordyce, “Nabbing immigration offenders affects special pass holders too”, supra note 38.
63
Supra note 2. Lihat juga supra note 60.
64
Supra note 2. Lihat juga supra note 60. Lihat juga Kemenaker, Employment Practices, The Employment Act: Who it
covers, online: Ministry of Manpower . Lihat juga Bab 2, Bagian 2.53 – 2.57.
137
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
berfokus pada proses pengajuan klaim berdasarkan EA melalui jalur Kemenaker. i.
Batasan waktu untuk Ketenagakerjaan (EA)
mengajukan
klaim
berdasarkan
UU
3.19.
Terdapat dua batasan waktu yang membatasi upaya pengajuan klaim melalui EA.
3.20.
Pertama, untuk proses mediasi maupun proses Labour Court (Pengadilan Perburuhan atau Pengadilan Industrial) yang berada di bawah Kemenaker, buruh migran harus melaporkan kasusnya kepada Kemenaker dalam waktu 6 bulan terhitung dari tanggal pemutusan kerja.65 Misalnya, jika kontrak kerja dihentikan pada tanggal 1 Januari 2014, maka klaim harus diajukan selambatlambatnya tanggal 30 Juni 2014.
3.21.
Kedua, berdasarkan EA, Kemenaker hanya berwenang untuk menyelidiki kasus yang terjadi kurang dari satu tahun dari tanggal pengajuan gugatan.66 Hal ini berlaku untuk mediasi sukarela67 dan adjudikasi berdasarkan Labour Court yang berada di bawah Kemenaker.68 Oleh karena itu, jika buruh migran menunggu untuk mengajukan klaim gaji hingga akhir masa dari dua tahun kontrak kerja karena takut akan ada tindakan balasan, klaim atas tunggakan gaji dari tahun pertama masa kerja tidak akan dilayani.69
3.22.
Sebagai alternatif, buruh migran yang ingin menyelesaikan sengketa yang tercakup dalam EA dapat memilih untuk mengajukan gugatan pada pengadilan perdata. Ketika mengajukan gugatan perdata, klien tidak terbatas oleh batas waktu satu tahun tetapi oleh batas waktu enam tahun.70 ii.
3.23.
Proses pengajuan klaim melalui UU Ketenagakerjaan (EA)71
Buruh migran dapat mengajukan gugatan berdasarkan EA melalui portal Standar Pekerjaan Online (ESOL, Employment Standards Online).72 Setelah pengajuan klaim, baik prosedur mediasi atau pengadilan ketenagakerjaan akan
65
EA, supra note 2, s 115(2). Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut.
66
Ibid.
67
Lihat juga Kemennaker, Services & Forms, Employment Standards Online (ESOL), online: Ministry of Manpower
. 68
EA, supra note 2, s 115(2). Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut.
69
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 14.
70
Sebagaimana diatur berdasarkan EAs 122, batasan waktu sesuai EA s 115, wewenang Komisioner untuk menyelidiki
keluhan, tidak berlaku untuk gugatan perdata karena “tidak ada satupun pada Bagian ini akan membatasi atau mempengaruhi yurisdiksi pengadilan manapun”. Lihat EA, supra note 2, s 122; EA, supra note 2, s 115(2). Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut. 71
EA, supra note 2, s 119. Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut.
72
Untuk mengajukan klaim di bawah EA, Kemenaker telah menyiapkan portal yang disebut Standar Pekerjaan Online
(Employment Standards Online, ESOL). Lihat Kemenaker, Services & Forms, Employment Standards Online (ESOL) for Individual Users, online: Ministry of Manpower .
138
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
dilaksanakan, Perlu dicatat bahwa baik untuk mediasi maupun proses Labour Court yang dijelaskan di bawah, kedua belah pihak harus hadir dan tidak boleh diwakili oleh pengacara.73 Namun demikian, karena pemberi kerja secara teknis adalah suatu badan usaha, badan usaha tersebut dapat mengirim petugas selain atasan langsung dari pekerja atau direktur utama perusahaan. 1) Mediasi 3.24.
Setelah klaim diajukan, LRWD akan mengkaji klaim tersebut dan petugas penasehat dapat melakukan sesi mediasi secara sukarela, tanpa biaya, untuk pekerja dan pemberi kerja. Sebagai alternatif, klien dapat memilih untuk mengajukan klaim secara langsung kepada Labour Court yang berada di bawah Kemenaker. 2)
Adjudikasi oleh Pengadilan Ketenagakerjaan (Labour Court) yang berada di bawah Kemenaker
3.25.
Pasca mediasi, jika salah satu atau kedua belah pihak tidak puas dengan hasil proses mediasi, mereka dapat mengajukan proses adjudikasi oleh Labour Courtyang berada di bawah Kemenaker.74 Biaya pengajuan untuk persidangan adalah $3. Kedua belah pihak mengemukakan persoalan mereka sebelum Asisten Komisioner untuk Tenaga Kerja (ACL, Assistant Commissioner for Labour) mengeluarkan keputusan.75
B.
Klaim berdasarkan UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA)
3.26.
WICA memberikan kompensasi kepada pekerja apabila mengalami cedera atau mengidap penyakit selama masa kerja di Singapura.76 Lihat Bab 2 untuk penjelasan mengenai UU tersebut. 77 Bagian ini akan membahas proses pengajuan klaim berdasarkan WICA. i.
3.27.
73
Batasan waktu untuk mengajukan klaim berdasarkan UU tentang Kompensasi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA)
Bagi mereka yang ingin mengklaim ganti rugi, diberlakukan batasan waktu selama satu tahun, mulai dari tanggal terjadinya kecelakaan yang menyebabkan cedera atau tanggal kematian. 78
Aris Chan, “Hired on Sufferance, China’s Migran Workers in Singapore” (2011) China Labour Bulletin Research
Reports di 44; Meskipun pengacara tidak diperlukan, mereka dapat mewakili klien dalam mengajukan klaim WICA. 74
Perlu dicatat bahwa istilah “Labour Court” dan “Labour Tribunal” dapat dipakai secara bergantian dalam naskah ini.
Karena saat ini sepertinya Labour Court lebih sering digunakan, istilah Labour Court akan dipakai seterusnya. 75
Perlu dicatat bahwa ACL belum tentu terlatih secara hukum.
76
WICA, supra note 2, s 3(1). Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
77
Lihat Bab 2, Bagian 5.
78
WICA, supra note 2, s 11. Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
139
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
ii.
3.28.
Proses pengajuan klaim terbagi menjadi lima langkah:79 1) 2) 3) 4) 5)
C.
Melaporkan kejadian; Mengajukan klaim; Pemeriksaan medis; Penerimaan Kemenaker atas hasil pemeriksaan; dan Penyelesaian sengketa
Catatan tambahan i.
79
Proses pengajuan klaim melalui UU tentang Kompens2asi atas Kecelakaan di Tempat Kerja (WICA)
Klaim atas kecelakaan di tempat kerja: membandingkan klaim berdasarkan WICA & gugatan perdata
3.29.
Selain mengajukan klaim melalui jalur WICA, klien juga dapat mengajukan gugatan perdata untuk kompensasi berdasarkan common law. Kedua jalur menyelesaikan kasus yang terkait dengan kecelakaan di tempat kerja berbeda dalam dua aspek.
3.30.
Pertama, besar kompensasi berdasarkan gugatan perdata tidak dibatasi, tidak seperti halnya klaim WICA.80 Namun demikian, lebih sulit untuk menetapkan pertanggungjawaban pemberi kerja dalam gugatan perdata karena pihak penggugat harus dapat membuktikan bahwa pemberi kerja adalah pihak yang bersalah.
3.31.
Kedua, pekerja hanya diperbolehkan untuk menggunakan satu jalur. Oleh karena itu, jika pekerja telah menjalani proses penyelesaian klaim di pengadilan perdata, maka mereka tidak diperbolehkan untuk mengakses jalur WICA dan sebaliknya.81 Namun demikian, pekerja dapat meneruskan gugatan perdatanya sepanjang ia telah menarik klaim WICA yang telah diajukan sebelum ACL mengeluarkan perintah.82 Begitu juga, pekerja yang menarik klaimnya dari
Kemenaker, Workplace Safety & Health, Work Injury Compensation, I am the employee, online: Ministry of Manpower
. 80
Bab 2 Bagian 5 untuk batas tertinggi yang sesuai dengan hukum.
81
WICA, supra note 2, s 33. Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
82
Yang Dan v Xian De Lai Shanghai Cuisine Pte Ltd [2010] SGHC 346. [2011] 2 SLR 379. Hakim memutuskan bahwa
jika pertemuan pra persidangan diselenggarakan dan kesepakatan telah tercapai untuk menyelesaikan segala masalah selama persidangan, maka Komisioner akan mengeluarkan Perintah Penyelesaian (Settlement Order). Begitu Settlement Order telah dibuat, buruh migran yang bersangkutan kehilangan haknya untuk menarik klaim WICA dan tidak boleh mengajukan gugatan perdata. Jika pekerja tidak setuju atas penyelesaian semua masalah pada saat pertemuan pra persidangan, maka pekerja masih berhak untuk menarik diri. Namun demikian, setelah klaim WICA maju ke persidangan dan jika Komisioner telah mengeluarkan Perintah Pasca Persidangan, maka telah terlambat bagi pekerja untuk menarik klaim WICA atau untuk mengajukan gugatan perdata. Namun demikian, pekerja dapat
140
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
pengadilan perdata sebelum keputusan dikeluarkan dapat melanjutkan dengan klaim WICA sepanjang masih berada dalam batasan waktu satu tahun dari tanggal kecelakaan.83 3.32.
Perbedaan antara pengajuan klaim WICA dan gugatan perdata yang disebutkan di sini masih belum menyeluruh. Perbandingan yang lebih rinci antara klaim WICA dan gugatan perdata disajikan pada Bab 2, Bagian 5. ii.
Batasan kompensasi: membandingkan EA & WICA
3.33.
Berdasarkan EA, jumlah ganti rugi yang dapat diterima pekerja sangat beragam, tergantung pada jumlah upah atau gaji yang disengketakan.84
3.34.
Namun berdasarkan WICA, kompensasi dihitung berdasarkan jenis cedera, dan dibatasi pada jumlah tertentu.85 Tabel selengkapnya tentang batasan ganti rugi diberikan pada Bab 2 Bagian 5.IV.A, Tabel 10 sampai dengan Tabel 13.
3.35.
Perbedaan antara pengajuan klaim berdasarkan WICA dan EA dapat dirangkum secara singkat pada tabel di bawah: Tabel 15: Perbandingan antara klaim berdasarkan WICA dan EA Klaim berdasarkan WICA Ganti rugi dibatasi Jumlah ganti rugi tergantung pada jenis cedera yang dialami
Klaim berdasarkan EA Ganti rugi berbeda berdasarkan jumlah yang ingin diklaim buruh migran
IV. Memulai gugatan perdata ketika klien berada di Singapura 3.36.
Buruh migran yang ingin mengajukan gugatan perdata ketika masih di Singapura harus memiliki izin kerja yang masih berlaku atau mempunyai status tinggal lainnya yang sah karena Kemenaker tidak akan mengeluarkan pas tinggal khusus untuk buruh migran yang mengajukan klaim di pengadilan perdata.86
mengajukan gugatan perdata sepanjang klaim WICA dibatalkan sebelum ACL mengeluarkan perintah Lihat Bagian 6.XIV untuk ringkasan kasus. 83
Kemennaker, Work Injury Compensation Act: Frequently Asked Questions, online: Ministry of Manpower
[MOM, WICA: FAQ]. 84
Lihat Bab 2 Bagian 2.I.C untuk rinciannya.
85
Lihat Bab 2 Bagian 5.II untuk perbandingan pengajuan klaim melalui WICA vs pelanggaran hukum dalam hukum
perdata. Lihat juga Kemenaker, WICA: FAQ, supra note 83. Lihat juga http://www.mom.gov.sg/legislation/occupationalsafety-health/Pages/work-injury-compensation-act-faqs.aspx - sthash.DTx0wVES.dpuf. 86
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 9.
141
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Apabila izin kerja telah berakhir masa berlakunya atau telah dibatalkan, dan pekerja tidak mempunyai izin tinggal lain yang sah, maka mereka terpaksa harus mengajukan tuntutan dari luar Singapura. Hal ini dibahas pada Bagian 4 di bawah. 3.37.
Tergantung pada jumlah yang dituntut, klien dapat memutuskan untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Magistrate atau Pengadilan Negeri, yang telah dijelaskan di Bagian A, atau di Small Claims Tribunal, sebagaimana yang dibahas di Bagian C. Bagian D memaparkan tentang biaya yang mungkin timbul dari pengajuan gugatan perdata.
A.
Mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Magistrate atau Pengadilan Negeri
3.38.
Pengadilan Magistrate menangani gugatan dimana jumlah sengketa tidak lebih dari $60.000.87 Kebanyakan buruh migran kemungkinan akan mengajukan klaim di pengadilan ini. Untuk nilai sengketa yang lebih besar, Pengadilan Negeri menangani tuntutan dimana nilai yang disengketakan tidak melebihi $250.000.88 Lihat Bagan 4 di bawah untuk panduan visual tentang proses pengajuan gugatan perdata. i. Proses untuk memulai gugatan perdata89
3.39.
Klien memulai tindakan perdata dengan mengajukan dokumen sesuai dengan prosedur untuk memulai gugatan berdasarkan Writ of Summons (Surat Panggilan) atau originating summons (panggilan awal).90 Proses hukum dimana kemungkinan ada perselisihan fakta yang substansial dimulai dengan Writ (perintah tertulis yang dikeluarkan peradilan agar melakukan tindakan sesuatu).91 Dengan demikian, kebanyakan tuntutan perdata atas perbuatan melanggar hukum dan kontrak dimulai melalui Writ.92 Suatu tuntutan hukum hanya akan dimulai melalui panggilan awal apabila disyaratkan oleh UU atau apabila ada perselisihan yang terkait dengan masalah hukum dimana kecil kemungkinan adanya perselisihan fakta yang substansial.93 Klien lebih
87
Supra note 19.
88
Para pihak juga dapat menyepakati secara tertulis untuk membawa kasus mereka ke Pengadilan Negeri, meskipun
jumlah yang disengketakan melebihi $250.000. Jika penggugat membatasi klaimnya hanya sebesar $250.000, Pengadilan Negeri juga dapat menangani kasus tersebut. 89
Untuk informasi lebih lanjut tentang berbagai proses hukum perdata, lihat Cavinder Bull SC, Yarni Loi & Jeffrey
Pinsler, “Laws of Singapore: Overview- Ch. 02 Civil Procedure”, online: Singapore Law [Bull, Loi & Pinsler, “Laws of Singapore: Civil Procedure”]. 90
Ibid.
91
Rules of Court, supra note 15, o 5 r 2. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
92
Bull, Loi & Pinsler, “Laws of Singapore: Civil Procedure”, supra note 89.
93
Rules of Court, supra note 15, o 5 r 3. Penjelasan dapat dilihat pada Ibid. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU
tersebut.
142
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
cenderung memulai gugatan perdata melalui Writ. 3.40.
Permohonan atas writ diajukan di Pengadilan Negeri atau Pengadilan Magistrate oleh pekerja yang melakukan gugatan (penggugat) dan secara langsung diserahkan94 kepada pemberi kerja atau pihak terkait dimana tuntutan tersebut ditujukan (tergugat). Bentuk penyerahan secara langsung (personal service) seperti ini umumnya diperlukan selama proses litigasi. Writ harus didukung dengan pernyataan klaim (yang akan mencantumkan fakta material yang mendukung klaim). Atau, jika sebuah Writ tidak didukung dengan pernyataan klaim, sebuah pernyataan singkat mengenai sifat klaim yang dibuat atau bantuan atau penyelesaian yang dicari harus disertakan.95
3.41.
Jika klaim dipertentangkan: Setelah diberikan Writ of Summon (surat panggilan), jika tergugat ingin mempertentangkan klaim klien, tergugat harus memberitahukan pihak Pengadilan dan klien tentang keinginannya tersebut melalui kehadiran (“appearance”).96 Appearance disini bukan berarti appearance secara fisik, tetapi berupa memorandum of appearance (dalam bentuk dokumen) yang diajukan dan diserahkan melalui eLitigation. Tergugat harus mengajukan memorandum of appearance ke Pengadilan dalam waktu delapan hari setelah tergugat menerima Writ of Summons (surat panggilan).97
3.42.
Putusan karena tidak membuat memorandum of appearance: Jika tergugat tidak menyerahkan memorandum of appearance dalam waktu yang telah ditetapkan pada surat panggilan (writ), pengadilan dapat mengeluarkan putusan terhadap pihak tergugat. Putusan ini dapat berupa keputusan akhir (final judgment) atau putusan sela (interlocutory judgment), tergantung pada sifat dari tuntutan tersebut. Namun jika ada pengajuan dari pihak terkait, pengadilan dapat mengesampingkan atau mengubah putusan tersebut sepanjang memenuhi keadilan. Apabila, Writtersebut tidak didukung dengan pernyataan klaim, pernyataan klaim harus diserahkan dalam waktu 14 hari setelah terdakwa
Rules of Court, supra note 15, o 62; Lihat juga Sing, The Supreme Court Practice Directions, (2013) Bagian III s 33, online: Supreme Court of Singapore . [Sing, The Supreme Court Practice Directions]. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut. 94
Personal Service (layanan langsung) dapat dilakukan oleh pengacara (solicitor) atau asisten pengacara. Juru sita
pengadilan (court process server) tidak ditugaskan untuk memberikan layanan langsung dari proses dan dokumen yang terkait dengan tuntutan kecuali jika ada alasan khusus. Oleh karena itu, pengacara harus memberitahukan Kantor Pencatatan Hukum (Legal Registry) dari Mahkamah Agung tentang pencatatannya, dan setiap perubahan daripadanya, terkait dengan asisten pengacara yang telah diberi wewenang oleh pengacara untuk melakukan layanan langsung (personal service) dari proses dan dokumen dengan mengisi Formulir 5 pada Lampiran A dari Arahan Praktek (Practice Directions). Asisten pengacara tidak memerlukan otorisasi dari Kantor Pencatatan Hukum (Registrar) untuk dapat memberikan layanan langsung (personal service) atas proses dan dokumen persidangan. 95
Rules of Court, supra note 15 o 6 r 2. See Section 6.XI untuk naskah teks UU.
96
Rules of Court, supra note 15, o 12 r 1; Jeffrey Pinsler, “Legal Systems In Asean – Singapore Chapter 4 – Legal
Procedure (Civil)” di 2, online: ASEAN Law Association . [Pinsler, “Legal Procedure (Civil)”]. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut. 97
Ibid di 3.
143
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
melakukan appearence.98 3.43.
Jika ada pembelaan dan tuntutan balik: Dalam waktu 14 hari sejak tanggal diserahkannya Writ of Summons (surat panggilan), pihak tergugat harus mengajukan pembelaan di Pengadilan dan juga mengirimkan salinan pembelaan tersebut ke alamat klien atau alamat kantor pengacara klien tersebut.
3.44.
Jika tergugat menyatakan bahwa dirinya mempunyai klaim atau berhak atas keringanan atau penyelesaian terhadap penggugat, tergugat dapat melakukan tuntutan balik dalam tuntutan yang sama dengan yang dilakukan oleh klien. Hal ini disebut sebagai pembelaan dan tuntutan balik.
3.45.
Penggugat dapat memberikan jawaban (dan pembelaan atas tuntutan balik) kepada tergugat dalam waktu 14 hari setelah pembelaan (dan tuntutan balik) diserahkan kepada penggugat.
3.46.
Putusan yang dibuat Karena Tidak Ada Pembelaan: Jika tergugat telah diberikan Writ of Summons (surat panggilan) dan melakukan appearance, tetapi tidak melakukan pembelaan atas gugatan atau bagian manapun dari gugatan atau tidak mengajukan pembelaan, maka penggugat dapat memohon Pengadilan untuk mengeluarkan putusan terhadap tergugat. Putusan ini dapat berupa keputusan akhir (final judgment) atau putusan sela (interlocutory judgment), tergantung pada sifat dari tuntutan tersebut. Namun jika ada pengajuan dari pihak terkait, pengadilan dapat mengesampingkan atau mengubah putusan tersebut sepanjang memenuhi keadilan. ii.
Informasi dasar terkait prosedur untuk pemeriksaan atas gugatan perdata
3.47.
Jika sebuah klaim ditentang oleh penggugat, klaim tersebut akan diproses untuk diadili di Pengadilan Magistrate atau Pengadilan Negeri (District Court). Bagian ini merupakan informasi dasar yang singkat dari tahapan utama dalam kasus perdata.
3.48.
Panggilan untuk Arahan 99: Ini digunakan untuk menetapkan langkah berikut yang perlu untuk diambil agar para pihak dapat secara efektif mempersiapkan persidangan. Pengadilan akan memutuskan dan memberikan arahan sehubungan dengan pengajuan dan penukaran afidavit, jumlah saksi yang harus dipenuhi oleh setiap pihak, dan jumlah hari persidangan yang diperlukan. Panggilan untuk pengarahan biasanya dilakukan pada saat sudah mendekati pembacaan gugatan (ini terjadi 14 hari setelah adanya penyerahan pembelaan dari penguggat atau jawaban, dan/atau pembelaan atas klaim balik) atau setelah permohonan untuk ringkasan putusan telah selesai.
3.49.
Permohonan Interlocutory: Sebelum gugatan perdata masuk ke persidangan, biasanya gugatan terkait akan melalui beberapa tahapan dan para pihak
98
Rules of Court, supra note 15, o 18 r1. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
99
Rules of Court, supra note 15, o 25 r1. Lihat Bgian 6.XI untuk naskah UU.
144
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
diwajibkan untuk memenuhi beberapa persyaratan yang terdapat dalam Rules of Court. Selama masa pra-persidangan, adalah lazim bagi setiap pihak untuk menyampaikan permohonan interculotory sebagai persiapan lebih lanjut dalam suatu kasus. Permohonan interlocutory yang biasanya diajukan dalam kasus perdata termasuk:
Permohonan untuk ringkasan putusan100: dimana penguggat dapat mengajukan harhas tidak adanya pembelaan yang nyata untuk menggugat klaimnya. Permohonan untuk menghilangkan bagian101: dimana salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk mengilangkan seluruh atau beberapa bagian dari gugatan pihak lain, seperti halnya pernyataan klaim dan pembelaan. Terdakwa dapat menggunakan cara ini untuk menghilangkan seluruh pernyataan klaim (yakni seluruh kasus perdata), jika pihaknya meyakini bahwa klaim tersebut tidak berdasari (unmetorious). Permohonan terhadap pihak lain untuk memberikan penjelasan lebih lanjut dan lebih baik atas dokumen-dokumen yang telah diajukan102 atau perubahan terhadap berbagai macam dokumen yang telah diajukan.103 Permohonan untuk pencarian dokumen104: melalui proses ini, pengadilan dapat memerintahkan para pihak untuk mengungkapkan kepada satu sama lain dokumen-dokumen yang berada dalam kepemilikan atau penguasaan mereka yang berkaitan dengan perihal yang dipersengketakan diantara mereka.
3.50.
Pendaftaran: Setelah berbagai hal dalam pra-persidangan dan permohonan interlocutory telah ditangani (termasuk persyaratan untuk mencari dan mengungkapkan seluruh dokumen dan bukti lainnya yang diandalkan dalam persidangan), para pihak perlu membuat sebuah permohonan untuk mendaftarkan kasus tersebut di persidangan, 105 Hal ini merupakan langkah yang perlu diambi oleh salah satu pihak (biasanya oleh penguggat) sebelum kasus tersebut dapat dilanjutkan ke pengadilan.
3.51.
Persidangan dan pasca persidangan: Pada saat persidangan para pihak akan memberikan pandangan mereka masing elum kasus okumen yang nya, mengemukakan bukti-bukti terkait, dan memanggil saksi – saksi untuk mendukung kasus mereka. Pada akhir masa persidangan, pengadilan akan memberikan putusannya terhadap kasus tersebut. Pengadilan dapat segera memberikan putusan atau dapat menunda kasus dan memberitahukan kepada para pihak dikemudian hari agar hadir di pengadilan untuk pembacaan putusan. Dalam kasus-kasus tertentu, misalnya klaim atas cedera pribadi, penutupan persidangan mungkin tidak akan menyelesaikan klaim dengan sepenuhnya. Pengadilan dapat memberikan putusan terhadap permasalahan tanggung jawab
100
Rules of Court, supra note 15, o 14. Lihat Bagian 6.XI untuk naskan UU.
101
Rules of Court, supra note 15, o 18 r19. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
102
Rules of Court, supra note 15, o 18 r12. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
103
Rules of Court, supra note 15, o 20 r 1 sampai 12. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
104
Rules of Court, supra note 15, o 24. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
105
Detail atas persyaratan dan prosedur untuk pendaftaran kasus untuk pengadilan dapat dlihat pada Rules of Court,
supra note 15, o 34. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
145
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
namun tanpa memberikan putusan terkait dengan jumlah kerugian yang harus dibayarkan kepada penggugat yang menang. Dalam kasus ini, jumlah dari kerugian yang akan diberikan akan didinilai oleh panitera dalam persidangan tertutup di tahap berikutnya.106 iii. Proses yang lebih sederhana untuk persidangan gugatan perdata 107 3.52.
Apabila klaim dibawa ke Pengadilan Magistrate, maka proses perdata yang lebih sederhana akan berlaku terhadap klaim tersebut. Untuk klaim di Pengadilan Negeri (District Court), para pihak dapat memilih untuk mengikuti prosedur yang lebih sederhana.108 Akan tetapi, aturan ini tidak berlaku untuk gugatan dalam kecelakaan kendaraan tanpa cedera atau gugatan atas cedera pribadi. 109 Sehingga, apabila beberapa bagian dari klaim mencakup cedera yang terjadi di tempat kerja berdasarkan perbuatan melanggar hukum atas kelalaian (tort of negligence) atau penyiksaan fisik dan cedera lain yang tidak disebabkan oleh pekerjaan, maka proses yang lebih sederhana tidak dapat diterapkan dalam klaim tersebut.
3.53.
Fokus dari prosedur yang lebih sederhana ini adalah memfasilitasi penyelesaian sengketa yang lebih cepat, Mengingat bahwa fokus dari hal ini adalah penyelesaian yang lebih cepat, proses yang lebih sederhana umumnya akan lebih dipilih daripada prosedur yang normal untuk kasus perdata. Fitur utama dari proses yang lebih sederhana ini adalah sebagai berikut:
3.54.
Pengungkapan Di Awal: Para pihak diwajibkan untuk menyerahkan dan menyediakan dafrar dari dokumen terkait dengan gugatan mereka (yaitu pernyataan atas klaim, pembelaan dan jawaban). Salinan dari dokumen yang ada didalam daftar tersebut harus sudah dilengkapi dalam waktu 7 hari setelah permintaan secara tertulis.110 Jika permintaan tertulis untuk salinan dari setiap dokumen yang terdapat dalam daftar dokumen pihak yang lain tidak dipenuhi dalam waktu 7 hari setelah permintaan, maka pihak yang membuat permintaan tersebut dapat mengajukan permohonan untuk pembuatan. 111
3.55.
Pengecualian Terhadap Permohonan Interlocutory Tertentu: Permohonan Interlocutory untuk ringkasanputusan, pencarian serta pemeriksaan dokumen dan permohonan untuk pemeriksaan tidak tersedia dalam proses yang lebih sederhana.112
3.56.
Case Management Conference (CMC): Setelah pembelaan diajukan, pengadilan akan mengajukan CMC untuk keperluan membantu para pihak
106
Rules of Court, supra note 15, o 37. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
107
Rules of Court, supra note 15, o 108. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
108
Rules of Court, supra note 15, o 108 r1(2). Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
109
Rules of Court, supra note 15, o 108 r 3(8). Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
110
Rules of Court, supra note 15, o 108 r 3. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
111
Rules of Court, supra note 15, o 108 r 4. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU
112
Rules of Court, supra note 15, o 108 r 4. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
146
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
dalam mengelola kasus mereka sejak tahap awal proses.113 CMC biasanya akan diadakan dalam waktu 50 hari setelah pembelaan diajukan dan pemberitahuan untuk menghadiri CMC akan diberikan kurang lebih 21 hari sebelum CMC. 114 Pada saat CMC, pengadilan akan membantu para pihak mengidentifikasi dan mempersempit permasalahan, menangangi permasalahan interculotory terkait dan mendiskusikan kelanjutan dari pengelolaan kasus. Para pengacara yang mewakili para pihak harus hadir pada saat CMC dan pengadilan dapat meminta para pengacara yang mewakili suatu pihak menghadiri CMC. 3.57.
Tujuh hari sebelum CMC, para pihak diwajibkan untuk mengajukan melalui eLitigation: (i) sebuah formulir yang memuat daftar permasalahan yang disengketakan dan daftar dari saksi-saksi yang akan dipanggil,115 termasuk juga (ii) ’C, para pihak116 Formulir ini mewajibkan para pihak untuk mempertimbangkan berbagai macam opsi alternatif penyelesaian sengketa untuk menyelesaikan klaim, termasuk mediasi, evaluasi netral dan arbitrase.
3.58.
Pada saat CMC, pengadilan dapat mengelola kasus dengan mendorong agar para pihak bekerja sama, membantu para pihak untuk mengidentifikasi dan mempersempit permasalahan, mendorong para pihak untuk melakukan negosiasi untuk menyelesaikan permasalahannya, mengunakan prosedur alternatif penyelesaian sengketa atau bahkan menyelesaikan kasus. Pengadilan juga akan memberikan arahan unutk memastikan bahwa kasus berjalan dengan cepat, termasuk menetapkan jangka waktu untuk kasus tersebut. 117
3.59.
Persidangan yang Lebih Sederhana: Apabila hal ini berlanjut ke persidangan, pengadilan dapat memberikan arahan agar dilakukan persidangan yang lebih sederhana. Persidangan yang lebih sederhana akan dilakukan dalam jangka waktu yang dialokasikan untuk pemeriksaan (10 menit), pemeriksaan silang (60 menit), dan pemeriksaan ulang (10 menit) untuk masing-masing saksi; dan penyampaian penutupan (30 menit).118
113
Rules of Court, supra note 15, o 108 r 4. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU
114
The State Courts Practice Directions, (2016) part III s 20(3) online: State Courts of Singapore <
https://www.statecourts.gov.sg/Lawyer/Documents/EPD/WebHelp_15Feb/index.htm>. 115
The State Courts Practice Directions, Ibid., Form 3 of Appendix A.
116
The State Courts Practice Directions, Ibid., Form 7 of Appendix A.
117
The State Courts Practice Directions, Ibid., Part III s 20(11).
118
Rules of Court, supra note 15, o 108 r 5. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah UU.
147
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Bagan 4: Proses yang lazim dalam pengajuan gugatan perdata di Singapura
Penggugat mengajukan Writ of Summons atau Originating Summons dan menyampaikannya kepada Tergugat
Tergugat membuat Memorandum of Appearance dalam 8 hari
Penggugat mengajukan Jawabannya (dan Klaim balik jika ada), dan memberikannya kepada Tergugat dalam 14 hari
Jika Tergugat gagal melakukan appearance,
hal tidak ada Pembelaan
Tergugat menyerahkan jawabannya kepada Penggugat (dan pembelaan terhadap Klaim balik), dalam 14 hari
B. 3.60.
Tergugat dapat meminta keputusan yang menentang Tergugatdan memperoleh Putusan atas dasar kegagalan untuk menagjukan Pembelaan
Penggugat dapat memohon Putusan kepada Pengadilan terhadap Tergugat dan memperoleh Putusan atas dasar kegagalan Pembelaan
Keputusan
Dapat berupa putusan akhir atau putusan sela (interlocutory judgment), tergantung pada sifat gugatan.
Security for costs Klien yang kembali ke negara asalnya atau yang mengajukan gugatan perdata dari luar Singapura beresiko untuk mendapatkan perintah pengadilan yang mengharuskan klien membayar uang jaminan untuk biaya hukum pemberi kerjanya. Pemberi kerja harus mengajukan permohonan kepada pengadilan
148
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
agar mengeluarkan perintah untuk membayar biaya jaminan, 119 dan harus membuktikan bahwa kasus tersebut masuk dalam kategori kasus yang memungkinkan pengadilan untuk memutuskan apakah adil untuk mengharuskan pekerja membayar uang jaminan.120 Pengadilan akan mempertimbangkan seluruh keadaan dari kasus sebelum membuat keputusan, termasuk apakah suatu perintah pengadilan akan mencegah penggugat dari benar-benar mengajukan gugatan. Namun demikian, klien dapat mengajukan banding atas keputusan yang memerintahkan untuk membayar uang jaminan. 121 C. 3.61.
i.
Mengajukan gugatan perdata ke Small Claims Tribunal (SCT)122 Small Claims Tribunal (SCT) mengadili setiap gugatan yang tidak melebihi $10.000 (atau hingga $20.000 jika ada kesepakatan antara kedua belah pihak yang bersengketa) yang timbul dari adanya perselisihan yang terkait dengan kontrak penjualan barang, penyediaan jasa, atau perbuatan melawan hukum, dimana terjadi kerusakan pada harta milik.123 Meskipun biaya pengajuan klaim melalui SCT lebih terjangkau, ada sejumlah keterbatasan yang menghalangi buruh migran dari upaya untuk memanfaatkan jalur ini. Keterbatasan jenis gugatan yang dapat ditangani Small Claims Tribunal
3.62.
SCT tidak dapat mengadili gugatan yang terkait dengan pekerjaan atau perbuatan melawan hukum.124 Namun, SCT dapat menangani gugatan yang timbul dari kontrak untuk penyediaan jasa. 125 Dalam konteks buruh migran, SCT dapat menangani gugatan tentang kegagalanagen pengerah jasa tenaga kerja untuk menjamin pekerjaan yang sah bagi buruh migran, atau gugatan terhadap agen pengerah tenaga kerja yang mengenakan biaya agen yang tidak sesuai dengan EA.
3.63.
Pengacara tidak diperbolehkan untuk mewakili pihak manapun dalam persidangan di SCT. Kecuali SCT memutuskan bahwa tuntutan tersebut mengganggu atau mengada-ada karena menghabiskan biaya maupun waktu, biaya tidak dibebankan kepada pihak yang memenangkan perkara. Terdapat
119
Rules of Court, supra note 15, o 23. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
120
Unsur paling relevan dalam konteks ini adalah Rules of Court, supra note 15, o 23, r 1(1)(a) “(1) Where, on the
application of a defendant to an action or other proceeding in the Court, it appears to the Court — (a) that the plaintiff is ordinarily resident out of the jurisdiction;...then, if, having regard to all the circumstances of the case, the Court thinks it just to do so, it may order the plaintiff to give such security for the defendant’s costs of the action or other proceeding as it thinks just”. 121
Pada saat penulisan (September 2014), tidak ada kasus hukum yang memadai untuk menjelaskan keadaan dimana
pengadilan akan mendukung peninjauan kembali terhadap pemohonan pemberi kerja atas biaya jaminan keamanan. 122
Secara umum lihat The State Courts of Singapore, Civil Justice Division, Small Claims Tribunal, online: The State
Courts of Singapore . 123
Perbuatan melawan hukum tidak mencakup kerugian yang dialami dalam kecelakaan akibat dari atau yang terkait
dengan penggunaan kendaraan bermotor; supra note 19. 124
Small Claims Tribunal, “Checklist”, online: The State Courts of Singapore .
125
Ibid.
149
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
batas waktu selama satu tahun untuk mengajukan klaim ke SCT. Jika insiden tersebut terjadi lebih dari satu tahun yang lalu, SCT tidak dapat menangani tuntutan tersebut. ii. 3.64.
Untuk mengajukan tuntutan ke SCT, penggugat dapat mendatangi SCT secara langsung atau melalui faks.126 Klien harus menyiapkan beberapa hal berikut ini:127
Formulir Gugatan asli yang diisi lengkap dan benar, mudah dibaca dan ditandatangani; 3 salinan Formulir Gugatan asli yang di atas; 128 1 salinan dari masing-masing dokumen pendukung lainnya;129 Jika Tergugat adalah suatu perusahaan, salinan asli dari pencarian Informasi Cepat terkini tentang [Profil Bisnis] dari Tergugat130 tidak boleh diperoleh lebih awal dari satu bulan sejak tanggal pengajuan tuntutan; dan Salinan dokumen identifikasi penggugat, atau jika praktisi melakukan pengajuan gugatan atas nama penggugat maka harus dicantumkan juga salinan dokumen identifikasi praktisi tersebut.
126
Proses pengajuan gugatan ke Small Claims Tribunal (SCT)
3.65.
Jika dokumen ditulis dalam bahasa selain bahasa Inggris,terjemahan resmi dari dokumen tersebut juga harus disediakan. Suatu tanggal akan ditetapkan dimana para pihak diminta hadir dalam suatu forum konsultasi dalam waktu 10 hingga 14 hari setelah pendaftaran.131
3.66.
Jika gugatan telah diajukan, SCT mengharuskan para pihak untuk terlebih dahulu menghadiri forum konsultasi dimana Registrar (Pencatat) atau Assistant
Jika mengajukan klaim melalui faks, nomor faks pada saat proses percetakan adalah +65 6536-4478 atau +65 6435-
5994. 127
The State Courts of Singapore, Civil Justice Division, Small Claims Tribunal, Processes & Procedure, Lodging a
Claim, online: The State Courts of Singapore . [SCT, Lodging a Claim]. 128
Jika klien menyatakan dalam Ringkasan Formulir Gugatan bahwa klien mengacu pada dokumen yang terlampir
maka dokumen terlampir tersebut juga harus dibuat salinannya. Perlu dicatat bahwa berkas Formulir Gugatan dan dokumen terlampir pada “Ringkasan Formulir Gugatan tersebut akan diteruskan ke pihak lainnya oleh Majelis SCT. 129
Jika klien mengirim dokumen melalui faks dan jumlah halaman dari dokumen pendukung tersebut melebihi tiga
halaman, jangan mengirimkan dokumen pendukung tersebut melalui faks. Sebagai gantinya, bawa dokumen aslinya serta satu salinannya untuk diserahkan kepada Registrar atau Asisten Registrar yang hadir pada forum konsultasi. 130
Pencarian Informasi Cepat tentang [Profil Bisnis] dapat dibeli dari e-kios layanan mandiri yang terletak dalam ruang
tunggu pengadilan SCT. Sebagai alternatif, pencarian informasi cepat tentang [Profil Bisnis] dapat dibeli secara online di situs web Otoritas Peraturan Akuntansi dan Korporasi (Accounting and Corporate Regulatory Authority, ACRA) yang disebut BizFile di <www.bizfile.gov.sg> (> Purchase of Information > Instant Information > Business Profile) atau penyedia layanan terakreditasi ACRA lainnya. Penyedia layanan terdekat adalah Crimsonlogic Pte Ltd . 131
SCT akan menyampaikan surat gugatan kepada pihak Tergugat melalui pos. Sebagai alternatif, klien dapat juga
menyerahkan sendiri dokumen tersebut secara langsung kepada pihak Tergugat. Dalam melakukan penyerahan dokumen ini, suatu pernyataan tertulis mengenai penyerahan ini harus diberikan pada saat konsultasi.
150
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Registrar dari SCT akan berupaya untuk melakukan mediasi proses penyelesaian.132 Konsultasi selanjutnya dapat dilakukan atas kebijaksanaan Registrar atau Assistant Registrar.133 3.67.
Jika tidak tercapai penyelesaian, tanggal persidangan akan ditetapkan bagi para pihak untuk menghadiri persidangan di hadapan seorang Juri (Referee).134 Sidang ini umumnya ditentukan dalam waktu 7 hingga 10 hari sejak konsultasi.135 Para pihak masih dapat berupaya untuk menyelesaikan masalah diantara mereka sebelum tanggal konsultasi. Jika tercapai penyelesaian, dan jika klien ingin mencabut gugatan,136 klien harus menyatakan keinginan tersebut secara tertulis kepada SCT dan menarik gugatan tersebut. Para pihak juga harus memberitahu SCT secara tertulis mengenai penyelesaian tersebut. 137
Bagan 5: Proses pengajuan gugatan kepada SCT
Mengajukan gugatan
Konsultasi
Jika mediasi gagal
Persidangan
D. 3.68.
132
Biaya proses hukum yang dikeluarkan Apabila memilih untuk mengajukan gugatan hukum, klien diharuskan membayar
Small Claims Tribunal, “General Reference BOOKLET [sic]” at 8, online: The State Courts of Singapore
. [General Reference Booklet]. 133
Ibid di 9.
134
Ibid di 10.
135
Untuk informasi selanjutnya lihat The State Courts of Singapore, “Civil Justice Division: Small Claims Tribunal- A
General Overview of Filing a Claim at the Small Claims Tribunals”, online: The State Courts of Singapore . 136
General Reference Booklet, supra note 132 di 11.
137
SCT, Lodging a Claim, supra note 127.
151
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
biaya yang seringkali tidak terjangkau bagi mereka. Biaya tersebut mencakup ongkos, beban, pembayaran, pengeluaran dan upah. 138 Hal ini menghalangi buruh migran dari mengakses bantuan hukum sehingga banyak yang pada akhirnya memilih untuk kembali ke negara asalnya tanpa mengajukan gugatan.139 Hal ini juga membuat pencarian bantuan hukum tidak efektif karena klien terkena beban biaya yang membuat mereka terjerat utang yang semakin banyak setelah proses persidangan. 140 Oleh karena itu, praktisi atau pengacara buruh migran harus meminimalkan biaya yang harus dikeluarkan oleh klien mereka. i. 3.69.
Buruh migran tidak memenuhi syarat untuk memperoleh bantuan hukum dalam proses gugatan perdata karena bentuk bantuan hukum seperti ini hanya tersedia bagi warga negara Singapura dan penduduk tetap di Singapura. 141 Tanpa layanan pro bono dari pengacara, buruh migran umumnya tidak mempunyai dana bagi biaya sewa pengacara untuk menangani tuntutan yang diajukan. 142 ii.
3.70.
138
Tidak memenuhi syarat untuk menerima bantuan hukum
Biaya yang harus dibayarkan ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Magistrate
Biaya pengadilan telah diatur dalam sejumlah UU dan harus dibayar pada berbagai tahapan proses persidangan perdata. Biaya dibayarkan secara terpisah sesuai jasa yang diberikan, misalnya penyegelan dokumen, pengadaan salinan dokumen dan penggunaan pengadilan untuk persidangan. 143 Biaya sidang biasanya dibayar pada saat perkara disidangkan, yaitu ketika para pihak siap untuk menjalani proses persidangan. 144 Berbagai biaya ini umumnya dibayar oleh pihak penggugat atau pihak yang mengajukan permohonan penetapan
Rules of Court, o 59 r (1), supra note 15, Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut; Masalah biaya dalam
proses litigasi dijelaskan sebagai berikut: A successful party would ordinarily be entitled to claim costs from his opponent (i.e. party and party costs); and both parties would have to pay the bills of their respective lawyers (i.e. solicitor and client costs). Lihat Pinsler, Principles of Civil Procedure (Singapore: Academy Publishing, 2013) pada Bab 26. 139
Berdasarkan pada penelitian lapangan yang ekstensif, banyak buruh migran yang memilih untuk kembali ke negara
asal dengan hanya sedikit jumlah uang yang belum dibayarkan kepada mereka. Bahkan, beberapa diantaranya meninggalkan negara tersebut tanpa ada kompensasi sama sekali. 140
Fordyce, “Widespread but unnecessary reliance on lawyers” (14 July 2013), online: TWC2 < http://twc2.org.sg>.
141
Legal Aid Bureau, Eligibility, “Do I qualify for legal aid?”, online: Legal Aid Bureau .
142
Sulit bagi seorang buruh migran untuk berperan sebagai litigant-in-person (tanpa diwakili pengacara di persidangan),
terutama karena hambatan bahasa dan kurangnya pemahaman atas hak-hak hukum mereka. 143
Supreme Court of Singapore, “Civil Proceedings: Commencement of an Action - Court Fees and Hearing Fees”,
online: Supreme Court of Singapore [Civil Proceedings, Court Fees and Hearing Fees]. 144
Ibid.
152
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
tanggal persidangan.145 3.71.
Pengadilan di Singapura menganut prinsip “biaya mengikuti kejadian” (costs follow the event) yang berarti bahwa biaya suatu tuntutan hukum biasanya dibebankan kepada pihak pemenang.146 Hal ini merupakan halangan yang besar bagi buruh migran dalam memulai gugatan perdata karena mereka mungkin tidak bersedia untuk mengambil resiko kalah dalam berperkara dan malah berakhir dengan utang yang lebih banyak. Biaya yang dijatuhkan rata-rata setidaknya mencapai $1.000.147 iii.
3.72.
Biaya yang harus dibayarkan ke Small Claims Tribunal
Penggugat harus membayar biaya pengajuan perkara untuk mengajukan gugatan ke SCT.148
Tabel 16: Biaya yang harus dibayarkan ke SCT 149 Tidak melebihi $5.000
Gugatan konsumen
$10
Gugatan non- $50 konsumen (misalnya, klaim terhadap agen pengerah tenaga kerja)
3.73.
Diatas $5.000 tetapi tidak melebihi $10.000
Diatas $10.000 tetapi tidak melebihi $20.000
$20
1% dari klaim
jumlah
$100
3% dari klaim
jumlah
Jika klien telah mengajukan permohonan untuk mengajukan gugatan ke SCT melalui faks, pembayaran harus dilakukan tujuh hari sejak tanggal penerimaan permohonan, kegagalan melakukan pembayaran membuat gugatan dianggap
145
Ibid.
146
Pinsler, “Legal Procedure (Civil)”, supra note 96, di 8.
147
Wawancara dengan June Lim, Senior Associate, Fortis Law Corporation dan pengacara lainnya.
148
The State Courts of Singapore, Civil Justice Division, Small Claims Tribunal, Filing Fees, online: The State Courts of
Singapore . 149
SCT, Lodging a Claim, supra note 127.
153
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
telah dicabut.150 E. 3.74.
Batasan Waktu Gugatan yang diajukan sesuai dengan tort law atau contract law didasarkan pada batas waktu selama enam tahun sejak tanggal terjadinya penyebab tuntutan hukum.151 Perbuatan melawan hukum yang melibatkan cedera pribadi dikenakan batas waktu tiga tahun.
4.
PILIHAN HUKUM YANG TERSEDIA BAGI BURUH MIGRAN DI NEGARA ASAL MEREKA
I.
Pendahuluan 4.1.
Banyak buruh migran kembali ke negara asalnya sebelum dapat mengajukan tuntutan ke Kemenaker atau mengajukan gugatan perdata di Singapura. Jika klien harus kembali ke negara asal mereka setelah menyelesaikan proses pengajuan tuntutan melalui jalur Kemenaker, klien masih dapat menerapkan keputusan yang dikeluarkan Kemenaker dari negara asal mereka. Untuk melaksanakan keputusan Kemenaker, klien dapat mengajukan permohonan untuk Writ of Seizure and Sale (WSS) atau Garnishee Proceeding (proses perolehan pembayaran dari pihak ketiga). Masalah ini dijabarkan pada Bagian II di bawah.
4.2.
Bagi mereka yang tidak mengajukan gugatan atau memperoleh keputusan lewat jalur Kemenaker, maka dapat berupaya untuk mengajukan gugatan perdata jarak jauh dari negara asal mereka. Proses untuk melakukan hal ini akan dijelaskan pada Bagian II di bawah.
150
Ibid.
151
Limitations Act (Cap 163, 1996 Rev Ed Sing), s 6(1)(a) [Limitations Act].
154
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Bagan 6: Gambaran umum dari berbagai jalur hukum yang tersedia bagi buruh migran yang mengajukan gugatan atau penerapan keputusan dari luar negeri
Buruh Migran di Singapura
Dengan keputusan MOM ATAU Dengan keputusan Pengadilan
Tanpa keputusan MOM DAN Tanpa Keputusan Pengadilan
Buruh Migran di Negara Asal Laksanakan keputusan MOM atau Mahkamah
Mulai Gugatan Perdata dari luar
Gunakan
Writ of Seizure
Garnishee Proceedings
II. Penerapan putusan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) atau pengadilan perdata ketika klien berada di luar negeri 4.3.
152
Setelah memperoleh Putusan atau Perintah untuk pembayaran uang (misalnya pembayaran upah), maka klien dapat memohon untuk memberlakukan keputusan melalui Garnishee proceeding atau Writ of Seizure and Sale (WSS)152 atau
Rules of Court, supra note 15, o 45 r 1. See Section 6.XI for the text of the law.
155
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
dengan melaksanakan proses insolvensi. Bagian B, C, dan D menjelaskan tentang proses pengajuan permohonan untuk Garnishee proceeding, WSS, dan melaksanakan proses insolvensi. Klien dapat memberi kuasa kepada pengacaranya agar dapat menjalankan Garnishee order dan WSS atas namanya atau melaksanakan proses insolvensi. Hal ini dimungkinkan walaupun klien berada di luar negeri. Bagian F akan menjelaskan mengenai Surat Kuasa (Power of Attorney atau POA), dimana klien dapat memberikan kepada LSM, untuk memastikan bahwa uang dan barang-barang yang dikumpulkan oleh LSM melalu Kemenaker (atau dengan cara eksekusi lain) dapat dengan selamat dikembalikan kepada mereka di negara asal mereka. Part F kemudian secara singkat membahas tentang kemungkinan menggunakan pendekatan “soft law” (hukum yang lunak) melalui Kemenaker. A.
Beberapa catatan awal i.
4.4.
Catatan tentang Ketenagakerjaan
akhir
dari
keputusan
Kementerian
Pertama, sangat penting untuk menentukan apakah putusan Kemenaker masih terbuka untuk ditentang pemberi kerja, yang akan menghambat atau menunda pelaksanaan keputusan oleh buruh migran. Putusan Kemenaker dapat diajukan banding ke Pengadilan Tinggi,153 meskipun dihadapkan pada batasan waktu tertentu. Sehubungan dengan gugatan yang didasarkan pada EA, siapapun yang tidak puas dengan keputusan Kemenaker “dalam waktu 14 hari setelah adanya keputusan atau perintah, dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi154 terhadap keputusan atau perintah tersebut.” 155 Begitu juga dengan gugatan yang didasarkan pada WICA, salah satu pihak dapat “mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi yang akan mengeluarkan keputusan final.” 156 Namun demikian, tidak semua putusan dapat diajukan banding: “tidak ada banding yang dapat muncul dari perintah apapun kecuali ada argumen hukum yang substansial (substantial question law) pada banding tersebut dan nilai yang disengketakan tidak kurang dari $1,000.”157
153
Rules of Court, supra note 15, o 55. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
154
Pengadilan Tinggi menangani kasus pidana maupun kasus perdata sebagai pengadilan tingkat pertama. Pengadilan
Tinggi juga menangani banding terhadap putusan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Magistrate untuk perkara perdata dan pidana, serta membuat keputusan tentang argumen hukum (points of law) pada kasus-kasus khusus yang diajukan oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Magistrate. Selain itu, Pengadilan Tinggi memiliki yurisdiksi pengawasan dan penelahaan (supervisory dan revisionary jurisdiction) atas seluruh pengadilan di tingkat yang lebih rendah (subordinate court) untuk perkara perdata dan pidana. Supreme Court of Singapore, “About Us: Our Courts”, online: Supreme Court of Singapore . 155
EA, supra note 2, s 117(1); Namun demikian, penelitian lapangan yang ekstensif menunjukkan bahwa 14 hari
sepertinya bukan batas waktu yang ketat yang pada prakteknya harus benar-benar dipatuhi Lihat Bagian 6.VII untuk naskah teks UU tersebut. 156
WICA, supra note 2, s 29(1). Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut.
157
Ibid, s 29(2A); Perlunya argumen atau pertanyaan hukum yang substansial (substantial question of law) berarti
bahwa “tidak cukup untuk hanya adanya pertanyaan hukum atau bahwa pengadilan memandang bahwa penafsiran
156
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
ii. 4.5.
B. 4.6.
Catatan tentang batasan waktu
Tidak ada batasan waktu untuk memanfaatkan Garnishee proceedings atau WSS.158 Namun seiring dengan berjalannya waktu, pemberi kerja yang culas kemungkinkan dapat melikuidasi aset badan usahanya atau menyatakan dirinya pailit. Apabila aset terlikuidasi maka jalan untuk memperoleh keputusan semakin tertutup bagi penggugat. Hal ini dikarenakan proses kepailitan memberikan kesempatan bagi pihak kreditor lainnya untuk dapat memperoleh pembayaran sebelum penggugat, sehingga perusahaan berpotensi kehilangan semua aset begitu tuntutan dari penggugat diberikan prioritas. Garnishee proceedings Jika klien telah memperoleh putusan dari Kemenaker, misalnya putusan bahwa pemberi kerja harus membayar upah yang belum dibayarkan dan terutang pada klien, namun pemberi kerja tidak membayarnya, maka klien dapat mengajukan permohonan atas garnishee order dari Pengadilan Negeri atau Pengadilan
yang berbeda dari fakta-fakta seharusnya dapat dibuat” (Kee Yau Chong v S H Interdeco Pte Ltd [2014] 1 SLR 189). Dalam Pang Chew Kim v Wartsila Singapore Pte Ltd [2012] 1 SLR 15 [Pang Chew Kim] at [19], Tay Yong Kwang J melihat bahwa berbagai kekeliruan hukum (errors of law) berikut ini relevan untuk upaya banding sesuai dengan s 29(2A): “... salah penafsiran UU atau produk hukum lainnya atau peraturan common law; menanyakan pada diri sendiri dan memberikan jawaban yang salah, melakukan berbagai pertimbangan yang tidak relevan atau gagal melakukan berbagai pertimbangan yang relevan ketika bermaksud menerapkan hukum terhadap fakta-fakta; menyerahkan bukti yang tidak dapat diterima atau menolak bukti yang dapat diterima dan relevan; menggunakan kebijaksanaan (discretion) atas dasar prinsip-prinsip hukum yang salah; memberi alasan yang menunjukkan pertimbangan hukum yang keliru atau tidak memadai untuk memenuhi kewajiban dalam memberikan alasan, dan menyesatkan diri sendiri dalam hal beban pembuktian.” Namun lihat Pang Chew Kim at [20]; sebaliknya, temuan fakta dapat diajukan banding hanya jika temuan tersebut adalah temuan yang “tidak ada seorangpun yang bertindak secara hukum dan menjalankan sesuai dengan UU yang relevan, dapat dijadikan dasar untuk mengajukan banding". Lihat Bagian 6.XIV untuk naskah teks UU tersebut. 158
Sementara Limitation Act, supra note 151, s 6(3) menentukan batas waktu untuk tindakan yang bertujuan untuk
menegakkan putusan, Desert Palace Inc v Poh Soon Kiat [2009] SGCA 60 [Desert Palace] menjelaskan bahwa s 6(3) harus ditafsirkan secara terbatas “untuk mengecualikan surat perintah eksekusi putusan dan seluruh cara penegakan putusan lainnya seperti Garnishee proceedings…yang mana Limitation Act tidak menetapkan batasan waktu apapun”. Dalam hal ini, pengadilan mencatat bahwa dalam case law ada perbedaan antara “tindakan” atas putusan dan “eksekusi” dari putusan, dan kemudian mengemukakan berbagai alasan kebijakan yang mendukung adanya perbedaan tersebut. Lihat Bagian 6.X untuk naskah teks UU tersebut. Namun demikian, terkait WSS, sesuai dengan Rules of Court, supra note 15, o 46 r 2, WSS untuk menegakkan putusan atau perintah tidak dapat dikeluarkan tanpa persetujuan pengadilan jika “6 tahun atau lebih telah berlalu sejak tanggal putusan atau perintah”. Daripada menggolongkan ini sebagai batasan waktu, pengadilan di Desert Palace, Ibid, melihat persyaratan untuk meminta persetujuan pengadilan “lebih sebagai langkah prosedural dan pemantauan daripada langkah wajib yang substantif untuk menghentikan pelaksanaan putusan begitu enam tahun atau lebih telah berlalu”. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
157
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Magistrate.159 i.
Apakah garnishee proceeding itu?
4.7.
“Garnishee order absolute” (perintah pembayaran utang kepada pihak ketiga secara mutlak) adalah perintah pengadilan yang ditujukan kepada pihak garnishee (biasanya pihak ketiga yang memegang sebagian dari aset debitur atau bank) yang mengharuskan mereka untuk membayar kepada klien, yang dalam hal ini sebagai Judgment Creditor, atas sejumlah uang dimana pihak pemberi kerja, yang dalam hal ini sebagai Judgment Debtor, masih berhutang kepada klien.160
4.8.
Berikut ini adalah suatu gambaran hipotetis: Muneeb merupakan seorang buruh migran yang berasal dari India. Pemberi kerja Muneeb, yaitu Mr. Wang, tidak membayar gaji Muneeb meskipun Kemenaker, melalui Labour Court telah mengeluarkan putusan untuk melakukan pembayaran tersebut. Muneeb dapat mulai mengajukan gugatan terhadap Mr. Wang untuk memperjuangkan pembayaran gaji tersebut. Muneeb membawa perkaranya ke pengadilan dan memperoleh garnishee order untuk mendapatkan uang yang disimpan oleh Mr. Wang di bank. Dalam hal ini, Muneeb adalah judgment creditor karena Mr. Wang memiliki pinjaman padanya, sedangkan Mr. Wang merupakan judgment debtor karena berhutang pada Muneeb, dan bank bertindak sebagai Garnishee, yaitu bank tersebut diharuskan untuk menyerahkan uang Mr. Wang ke Muneeb.161 ii.
4.9.
Proses pengajuan permohonan
Garnishee order tidak dapat ditegakkan kecuali dijadikan mutlak, misalnya menjadi lengkap. Agar garnishee order menjadi mutlak, dua komponen utama berikut harus terpenuhi: 1)
Pertama, Judgment Creditor harus mengajukan permohonan Garnishee order, yang dapat diajukan sebagai Surat Panggilan Pengadilan (Summons in Chamber)162 yang bersifat ex parte (yaitu di mana hanya salah satu pihak
159
Rules of Court, supra note 15, o 45 r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
160
The Subordinate Courts of Singapore, Garnishee Proceedings (1999) di 1, online: LawNet
[Subordinate Courts, Garnishee Proceedings]. 161
Raffles Group Law Practice, “Someone owes you money”, online: Raffles Group Law Practice
. 162
Surat Panggilan Pengadilan yang bersifat ex parte (mutlak satu pihak) meliputi:
Permohonan untuk menentukan tanggal kembali bagi semua pihak yang berkepentingan untuk hadir di pengadilan. Permohonan agar dilampirkan pernyataan yang terkait dengan seluruh hutang yang harus dibayar atau hutang yang terakumulasi dari garnishes kepada judgment debtor. Pernyataan bahwa jumlah yang terikat tersebut dibatasi pada jumlah tetap tertentu. Jumlah ini biasanya terdiri dari jumlah yang telah diputuskan, biaya bunga pasca putusan dan biaya pengajuan permohonon perintah garnishee itu sendiri. Lihat Subordinate Courts, Garnishee Proceedings, supra note 160.
158
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
yang hadir di pengadilan) dan didukung oleh afidavit;163 dan 2)
163
Kedua, garnishee order harus diserahkan ke pihak garnishee dan Judgment Debtor secara langsung paling tidak tujuh hari sebelum tanggal pengembalian.164
4.10.
Jika garnishee tidak membantahgarnishee order tersebut,165 maka garnishee orderakan dijadikan absolut.166
4.11.
Begitu garnishee order telah dikeluarkan, suatu draf perintah pengadilan harus disusun dan diajukan ke pengadilan. 167 Setelah menerima draf tersebut, pengacara dari judgment creditor harus menyerahkan dua salinan dari perintah final tersebut.168 Tanggal kembali untuk menghadiri sidang permohonan garnishee order absolute kemudian akan disebutkan di surat perintah tersebut. Saat ini, pengadilan menentukan hari sidangnya sekitar empat minggu sejak dikeluarkannya garnishee order.169
Afidavit meliputi:
Mengidentifikasi putusan yang akan diberlakukan. Menyebutkan sisa jumlah yang belum terbayar. Menyebutkan bahwa sesuai dengan apa yang diketahui dan diyakini klien, pihak garnishee berada di dalam yurisdiksi dan berhutang kepada judgment debtor. Dengan demikian, sumber informasi atau dasar keyakinannya harus disebutkan. Ibid. 164
Hal ini akan menetapkan Surat Panggilan Pengadilan (Summons in Chamber) yang bersifat ex parte. Ibid.
165
Terdapat tiga situasi dimana Garnishee order dapat dipertentangkan:
1. Jika garnishee tidak memegang uang sama sekali: Judgment creditor harus hadir dan meminta agar perintah tersebut dibatalkan. 2. Jika Garnishee menyatakan keberatan terhadap suatu perintah: Dalam situasi ini, pengadilan secara langsung dapat memutuskan mengenai masalah ini. Jika terdapat masalah yang terkait fakta, pengadilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan agar masalah tersebut diperkarakan, apakah itu di depan Hakim atau Registrar. Pengadilan akan memberikan segala arahan yang diperlukan untuk proses persidangan tersebut, termasuk menentukan permasalahan yang akan disidangkan. Arahan pengadilan tersebut biasanya sesuai dengan Formulir 101 dari Rules of Court, dengan melakukan penyesuaian yang diperlukan. Jika dalam afidavit terdapat bukti yang bertentangan sebagaimana yang diberikan oleh garnishee dan judgment creditor, maka permasalahan tersebut akan disidangkan dan tidak diputuskan secara langsung. 3. Apabila ada tuntutan dari Pihak Ketiga: Garnishee mempunyai kewajiban untuk memberitahu pengadilan mengenai tuntutan atau gadai atas uang yang diketahui oleh garnishee. Jika ada tuntutan yang demikian dari pihak ketiga atas utang yang diupayakan agar dibayar melalui garnishee order, maka pengadilan dapat memerintahkan agar orang tersebut hadir di persidangan dan segera menyelesaikan masalahnya, atau menangani masalah tersebut dengan cara yang sama untuk kasus dimana garnishee menyatakan keberatan atas perintah mutlak yang telah dikeluarkan. Ibid. 166
Rules of Court, supra note 15, o 49. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
167
Subordinate Courts, Garnishee Proceedings, supra note 160.
168
Ibid.
169
Ibid.
159
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Bagan 7: Proses pengajuan permohonan Garnishee Order
Klien harus mengajukan:
Langkah 1:
a) Ex parte Summons in Chamber (2 salinan) b) Afidavit (1 salinan)
Klien mengajukan permohonan untuk Garnishee Order
Langkah 2: Garnishee Order harus diberikan kepada Garnishee dan pemberi kerja secara langsung
Garnishee Order harus diserahkan maksimum 7 hari sebelum tanggal kepulangan
Jika Garnishee tidak menentang Garnishee Order
Garnishee Order dapat ditentang dalam cara berikut:
Garnishee Order mutlak
Garnishee tidak memiliki uang Garnishee keberatan atas Garnishee Order Terdapat orang ketiga yang juga telah meletakkan gugatan atas uang milik Garnishee
Langkah 3: Serahkan draft perintah pengadilan kepada pengadilan Summons in Chamber
Langkah 4: Ajukan dua Salinan final order
Hadiri sidang pengadilan
Tanggal sidang akan tertulis dalam perintah final
160
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
4.12.
Perlu dicata tbahwa apabila klien tidak berada di Singapura, klien harus membuat surat keterangan dari Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore) yang memberi persetujuan170 untuk pembayaran, apakah itu tanpa syarat atau dengan syarat yang telah dipenuhi. 171 iii.
4.13.
Biaya permohonan garnishee order
Apabila perintah mutlak telah dibuat, Rules of Court menetapkan jumlah biaya yang harus dibayarkan.172 Hanya setelah membayar biaya yang ditanggung judgment creditor dan garnishee maka jumlah yang dituntut akan digunakan untuk menutup jumlah utang yang telah diputuskan pengadilan.173 Hal ini berarti bahwa jumlah uang yang dituntut melalui garnishee order tersebut pertama-tama harus digunakan untuk membayar biaya permohonan garnishee order sebelum dipakai untuk membayar klien sejumlah uang yang belum dibayar oleh pihak yang satunya.
Bagan 8: Biaya permohonan garnishee order dan pelunasan utang yang harus dibayarkan kepada buruh migran
Sudah mendapatkan Garnishee Order Absolut
4.14.
Jumlah uang yang diperoleh berdasarkan garnishee Biaya Pemohonan Garnishee
Jumlah sisa uang untuk membayar utang yang harus dibayar kepada pekerja
Dalam semua keadaan lainnya, biaya pengadilan tergantung pada kebijaksanaan pengadilan. Apabila tidak ada utang yang telah jatuh tempo atau bertambah dari garnishee, maka order nisi (perintah bersyarat atau penetapan sementara), yaitu perintah yang dijadikan mutlak berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat tertentu, biasanya dikeluarkan tanpa ketentuan yang terkait dengan biaya. 174 Oleh karena itu, klien harus menanggung biaya dari permohonan garnisheeorder. Namun, pengadilan mempunyai diskresi yang luas ketika memutuskan penanggungan biaya. Pengadilan dapat meminta judgment debtor untuk menanggung biaya garnishee proceeding jika dianggap tepat.
170
Exchange Control Act (Cap 99, 2000 Rev Ed Sing).
171
Rules of Court, supra note 15, o47 r 7. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
172
Rules of Court, supra note 15, o 59, Lamipran 2, Bagian III, item 4. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU
tersebut. 173
Rules of Court, supra note 15, o 49 r 10, o 59, Lampiran 2, Bagian III, item 4(a)). Lihat Bagian 6.XII untuk naskah
teks UU tersebut. 174
Subordinate Courts, Garnishee Proceedings, supra note 160.
161
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
4.15.
Di bawah ini adalah lanjutan dari gambaran hipotetis sebelumnya di 4.8: Mr. Wang berhutang $3,000 kepada Muneeb untuk gaji yang belum dibayar. Ketika Muneeb telah memperoleh garnishee order, uang bisa diperoleh dari Garnishee (dalam kasus ini adalah pihak bank). Namun demikian, pada bank hanya terdapat sejumlah $2,500 dari uang Mr. Wang. Uang senilai $2,500 tersebut pertama-tama akan dipakai untuk membayar biaya permohonan garnishee order. Setelah melunasi biaya tersebut, sisa uang dapat digunakan untuk melunasi utang Mr. Wang pada Muneeb. Perlu dicatat bahwa ketidakmampuan untuk menyelesaikan utang tidak berarti sisa utang akan terhapus. Dalam hal ini, Muneeb dapat mencoba cara lain untuk memperoleh kembali sisa utang tersebut. iv.
4.16.
C. 4.17.
Upaya hukum melalui garnishee proceeding mempunyai sejumlah keterbatasan:
Garnishee tidak mungkin diperintahkan apabila garnishee tidak berada dalam wilayah yurisdiksi;175
Berdasarkan hukum yang ada, upah atau gaji judgment debtor dikecualikan dari perintah garnishee;176 dan
Garnishee proceeding tidak menjamin bahwa klien akan menerima kompensasi penuh. Seperti yang digambarkan pada hipotetis di atas, jika jumlah utang garnishee kepada judgment debtor lebih sedikit dari utang judgment debtor kepada judgment creditor, maka garnisheeorder dapat terpenuhi tanpa perlu melunasi seluruh utang yang harus dibayarkan.
Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS, Writ of Seizure and Sale) Cara lain untuk menegakkan putusan yang dikeluarkan Kemenaker adalah dengan memperoleh Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan atau Writ of Seizure and Sale (WSS).177 i.
4.18.
Keterbatasan garnishee proceeding
Apakah Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS) itu?
Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS) adalah perintah pengadilan yang memberi wewenang kepada juru sita atau bailiff (petugas pengadilan) untuk
175
Rules of Court, supra note 15, o 49 r 1(1). Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
176
Supreme Court of Judicature Act (Cap 322, 2007 Rev Ed Sing), s 13(c). Lihat juga Susan Leong, “Attachment of
Salaries and Wages in Singapore — Recent Developments” (2004), online: Law Gazette ; Pinsler, “Section 13 of the Supreme Court of Judicature Act and Enforcement against the Judgment Debtor’s Earnings” (2004)16 SAcLJ 27; American Express Bank Ltd v Abdul Manaff bin Ahmad [2003] 4 SLR 780. 177
Rules of Court, supra note 15, o 45 r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
162
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
menyita harta kekayaan bergerak178 milik judgment debtor.179 Dalam konteks ini, debitur umumnya adalah pemberi kerja dari klien. Juru sita kemudian mengurus pelelangan harta sitaan tersebut dan hasil penjualannya akan digunakan untuk melunasi judgment debt (setelah mengurangi biaya eksekusi dan ongkos juru sita).180 ii.
178
Proses permohonan181
4.19.
Langkah 1: Jika klien mempunyai seorang pengacara, maka pengacara tersebut harus mengisi formulir elektronik yang sudah disediakan online melalui eLitigation (dengan asumsi pengacara tersebut berlangganan eLitigation182). Hal ini hanya dapat dilakukan pengacara jika klien tidak berada di Singapura. Jika klien tidak mempunyai pengacara, atau pengacara tidak berlangganan eLitigation, mereka juga dapat mengisi formulir dalam bentuk hardcopy yang tersedia di Biro Layanan.183
4.20.
Langkah 2: Juru sita, yaitu seorang petugas pengadilan, akan memberitahukan penggugat, dalam hal ini klien, dengan Surat Penunjukan (Appointment Letter) yang dikirim melalui pos atau faks (jika diberi nomor faks) tentang tanggal eksekusi.184 Jika klien, pengacaranya, atau penerima kuasa dari klien yang memiliki surat kuasa tidak menerima Surat Penunjukan dari Divisi Juru Sita dalam waktu tiga minggu setelah pengajuan atau penyerahan dokumen, mereka dapat menghubungi Divisi Juru Sita.185
4.21.
Langkah 3: Penggugat, dalam hal ini klien, dapat memberi kuasa kepada seorang perwakilan untuk hadir mewakilinya melalui surat kuasa jika klien tidak dapat menghadiri pada hari yang telah dijadwalkan (misalnya jika mereka telah kembali ke negara asal).186
4.22.
Penggugat atau perwakilan yang telah dikuasakan harus menyerahkan kepada Juru Sita yang ditugaskan untuk menangani kasus (sebagaimana yang
Misalnya harta kekayaan milik judgment creditor: Jika pemberi kerja dari klien memilik sebuah restoran, maka meja,
kursi, piring dan bahkan gedungnya sendiri dapat disita oleh juru sita untuk kemudian dilakukan pelelangan. 179
Juru sita berwenang sesuai dengan State Courts Act (Cap 321, 2007 Rev Ed Sing), s 15 & s 16 untuk menangani
proses pelaksanaannya. Juru sita, sesuai dengan kekuasaan yang diberikan kepadanya berdasarkan State Courts Act, s 16 dapat memasuki rumah milik judgment debtor atau lokasi pihak ketiga untuk menjalankan semua Surat Perintah Eksekusi dan Perintah Pengadilan. The State Courts of Singapore, “Civil Justice Division- Baliffs Section”, online: The State Courts of Singapore https://app.statecourts.gov.sg/ [Civil Justice Division - Bailiff’s Section]. 180
Ibid.
181
Rules of Court, supra note 15, o 47. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
182
Untuk panduan langkah demi langkah dalam mengisi formulir secara elektronik, lihat “Writ of Seizure and Sale”,
online: eLitigation . 183
eLitigation, “About Service Bureau”, online: eLitigation
184
Rules of Court, supra note 15, o 47. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
185
State Courts Bailiff Section, no. telepon +65 64355871.
186
Rules of Court, supra note 15, o 47. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
163
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
disebutkan dalam Surat Penunjukan) hal-hal berikut ini:
4.23.
•
Surat Penunjukan (dikeluarkan oleh Juru Sita);
•
Tanda terima resmi untuk membuktikan bahwa uang deposit sebesar $300 atau sejumlah yang diminta Juru Sita, telah dibayarkan ke Divisi Keuangan dari Pengadilan Negara; dan
•
Surat kuasa dan jaminan (indemnity) yang telah ditandatangani oleh penggugat;
Perlu dicatat bahwa jika penggugat atau perwakilannya tidak hadir pada hari penyitaan yang ditentukan, mereka harus mengajukan ulang permohonan untuk tanggal penyitaan yang baru.187 iii.
4.24.
Biaya
Biaya yang biasanya timbul dari proses WSS disajikan pada Tabel di bawah. Tabel 17: Biaya proses WSS188
4.25.
Dokumen
Pengadilan Negeri
Pengadilan Magistrate
Small Claims Tribunal
WSS
$270
$155
$60
Pelaksanaan , Deklarasi dan Ganti Rugi
$10
$10
$10
Perintah Pengadilan
-
-
$10
Total:
$280
$165
$80
Perlu dicatat bahwa biaya di atas tidak termasuk biaya eLitigation untuk pemrosesan permohonan secara elektronik dan penanganan manual. Uang tidak dapat dikembalikan jika pekerja memutuskan untuk menghentikan WSS.189 Apabila pengadilan menemukan kesalahan administrasi/ketatausahaan, akan
187
Ibid.
188
The State Courts of Singapore, “Civil Justice Division: Processes & Procedures- Enforcement of Judgments or
Orders by Writ of Seizure and Sale”, online: The State Courts of Singapore [State Courts of Singapore, “Enforcing Judgments or Orders by WSS”]. 189
Lihat Civil Justice Division, Processes & Procedures: Enforcement of Judgment or Orders by Writ of Seizure and
Sale, online: .
164
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
dikenakan biaya penolakan. 4.26.
4.27.
Biaya tambahan yang timbul dalam proses WSS mencakup:190 •
Biaya kehadiran juru sita sebesar $50 per jam atau bagian darinya akan dibayarkan ketika menangani WSS;
•
Barang milik judgment debtor akan dikenakan komisi Pengadilan setelah disita. Jumlah minimum uang komisi adalah $50;
•
Tambahan komisi pengadilan akan dikenakan begitu harta sitaan telah terjual. Jumlah minimum komisi adalah $100;
•
Jika nilai dari barang sitaan tersebut diperkirakan sebesar $2,000 atau kurang, biaya juru lelang paling tidak sebesar $150. Jika nilai barang sitaan diperkirakan lebih dari $2,000, biaya juru lelang paling tidak sebesar $800;
•
Biaya Locksmith; dan
•
Biaya penilaian.
Perlu dicatat bahwa biaya yang telah dikeluarkan dapat diklaim dari debitur jika eksekusi berhasil dan hasil penjualan cukup untuk menutupi judgment debt dan biaya WSS.191 Jika hasil penjualan lelang tidak mencukupi untuk menutupi biaya eksekusi juru sita, sisa biaya yang belum dibayar akan dikurangi dari uang deposit kreditor. iv.
Keterbatasan Surat Perintah Penyitaan dan Penjualan (WSS)
4.28.
Tingginya biaya permohonan WSS merupakan hambatan bagi banyak buruh migran yang telah mengalami kesulitan finansial. Meskipun biaya yang dikeluarkan dapat dikembalikan melalui pelaksanaan surat perintah, sulit bagi mereka untuk memperoleh uang untuk memulai proses WSS.
4.29.
Perlu dicatat bahwa tidak ada jaminan WSS akan berhasil dilaksanakan.192 Menerapkan surat perintah menjadi sesuatu yang tidak mungkin jika perusahaan tidak memiliki aset yang memadai (misalnya ketika perusahaan sudah bangkrut atau dalam kesulitan finansial). Sayangnya, perusahaan yang licik dan tidak bermoral dapat mengalihkan asetnya dalam penawaran untuk menghindar dari kewajiban membayar pekerja atau dari keputusan yang telah diberlakukan terhadapnya. Pada akhirnya, pekerja akan kembali ke negara asal mereka tanpa ada hasil, atau dengan hanya sebagian kecil saja dari apa yang seharusnya dibayarkan kepada mereka, meskipun telah mendapatkan perintah pengadilan dan menghabiskan begitu banyak biaya untuk proses tersebut dengan harapan pemberi kerja akan membayar utangnya untuk mencegah asetnya dilelang. 193
190
Ibid.
191
Ibid.
192
State Courts of Singapore, “Enforcing Judgments or Orders by WSS”, supra note 188.
193
H.O.M.E. & TWC2, Justice Delayed, Justice Denied, supra note 18 di 15.
165
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
D.
i.
Proses Insolvensi
4.30.
Metode lain untuk melaksanakan putusan adalah dengan melaksanakan proses insolvensi terhadap pemberi kerja. Jika pemberi kerja adalah orang perorangan, proses kepailitan dapat dilaksanakan. Jika pemberi kerja adalah perusahaan, proses pembubaran dapat dilaksanakan.
4.31.
Baik proses kepailitan atau pembubaran adalah proses yang secara “kolektif” dilakukan terhadap debitur, yang berarti bahwa ketika proses insolvensi telah berhasil, seorang administrator akan ditunjuk untuk menyita aset dari debitur dan mendistribusikannya kepada kreditor dari para debitur, termasuk klien.
Proses permohonan – Kepailitan 4.32.
Guna mengajukan proses kepailitan, utang kepada klien harus berjumlah lebih dari $10.000194 dan utang ini harus sudah dilikuidasi dan dapat dibayarkan secepatnya.195 Jika utang kepada klien berjumlah kurang dari ini, ia tetap dapat mengajukan proses kepailitan melalui permohonan yang diajukan bersama-sama dengan kreditor lainnya, dimana jumlah keseluruhannya menjadi lebih dari $10.000.
4.33.
Walaupun kriteria di atas telah dipenuhi, Pengadilan tidak akan membuat keputusan kepailitan terhadap debitur, kecuali debitur menunjukkan bahwa ia tidak dapat membayar utang-utangnya. Gambaran umum terkait dengan langkahlangkah yang dapat dilakukan untuk melakukan hal ini adalah sebagai berikut:
194
Langkah 1: Membuat permintaan berdasarkan undang-undang atas debitur bahwa debitur memiliki waktu 21 hari untuk melunasi utang. 196 Jika klien telah melaksanakan proses Garnishee atau WSS, langkah ini dapat dilewati.197 Langkah 2: Jika debitur belum memenuhi permintaan berdasarkan undang-undang, mengajukan permohonan kepailitan yang harus dilengkapi dengan afidavit.198 Permohonan kepailitan dan avidavit pendukung harus diserahkan kepada debitur.199 Langkah 3: Memenuhi berbagai macam persyaratan sebelum persidangan untuk permohonan kepailitan.200
Mohon untuk dicatat bahwa jumlah ini dalam waktu dekat akan dinaikkan menjadi $15.000, ketika ketentuan dalam
Bankruptcy (Amendment) Act tahun 2015 diberlakukan. Mohon untuk dicek apakah angka batas ini telah diubah. 195
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 61(1). Lihat Bagian 6.II for untuk naskah teks UU tersebut.
196
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 62(a). Lihat Bagian 6.II untuk naksah teks UU tersebut. Bentuk
permintaan berdasarkan undang-undangdapat dilihat di Formulir 1 dari Bankruptcy Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing)]. 197
Hal ini dikarenakan gagal dipenuhinya proses eksekusi seperti proses Garnishee atau WSS yang merupakah bentuk
lain yang membuktikan ketidakmampuan pembayaran utang. Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 62(b). Lihat Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut. 198
Bankruptcy Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), Rules 99, 100 dan Formulir 2.
199
Bankruptcy Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), Rules 109.
200
Pada umumnya, dokumen-dokumen berikut ini harus diserahkan:
166
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
4.34.
Langkah 4: Menghadiri persidangan kepailitan, dimana pengadilan akan memutuskan apakah akan membuat putusan kepailitan terhadap debitur atau tidak. Jika, terdapat beberapa kriteria yang telah dipenuhi, pengadilan dapat menunda persidangan untuk merujuk hal tersebut kepada Official Assignee agar Official Assignee dapat menentukan apakah debitur memenuhi syarat untuk skema pembayaran utang.
Jika putusan kepailitan dibuat terhadap debitur, maka Official Assignee biasanya akan ditunjuk sebagai trustee dalam kepailitan. Akan tetapi, permohonan dapat dibuat untuk menunjuk orang pribadi sebagai trustee dalam kepailitan.201 Trustee ini yang akan mengelola proses administrasi dari kepailitan, yang termasuk menyita harta benda dari debitur dan mendistribusikannya kepada kreditor.
ii. Proses permohonan – Pembubaran 4.35.
Agar berhasil melaksanakan proses pembubaran, klien harus menunjukkan bahwa perusahaan terkait tidak mampu membayar utangnya.202 Gambaran umum mengenai bagaimana hal ini dapat dilaksanakan adalah sebagai berikut:
Langkah 1: Membuat permintaan berdasarkan undang-undang terhadap debitur. Permintaan tersebut harus berjumlah lebih dari $10.000 dan harus memberikan jangka waktu selama 21 hari bagi perusahaan yang bersangkutan untuk membayar utangnya. 203 Jika klien telah memenuhi proses Garnishee atau WSS makan langkah ini dapat dilewati.204 Langkah 2: Mengajukan permohonan pembubaran, yang harus didukung dengan afidavit.205 Permohonan pembubaran harus diserahkan kepada debitur.206 Langkah 3: Hadir di hadapan Panitera (Registrar) untuk menyatakan bahwa berbagai persyaratan pra-persidangan atas permohonan pembubaran telah dipenuhi.207
Afidavit untuk pengajuan permohonan kepailitan: Afidavit untuk pengajuanpermintaan berdasarkan undang-undang; Afidavitatas kegagalan pemenuhan yakni, untuk memastikan apakah debitur belum membayar utang antara pengajuan permohonan kepailitan dan persidangan kepailitan; Pembayaran uang deposit sebesar $1.600 kepada Official Assignee. 201
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 33. Lihat Bagian 6.II untuk naskah teks UU tersebut.
202
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 61(1). Lihat Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut.
203
Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 254(2)(a). Lihat Bagian 6.III untuk teks naskah UU tersebut.
204
Hal ini dikarenakan gagal dipenuhinya proses eksekusi seperti proses Garnishee atau WSS yang merupakah bentuk
lain yang membuktikan ketidakmampuan pembayaran utang. Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 62(b). Lihat Bagian 6.II Iuntuk teks naskah UU tersebut. 205
Companies (Winding Up) Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), rules 24 dan 25.
206
Companies (Winding Up) Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), rule 26.
207
Companies (Winding Up) Rules (R1, 2006 Rev Ed Sing), rule 32. Secara umum persyaratan pra-persidangan
adalah: permohonan pembubaran telah sah dipublikasikan dalam Gazette dan diiklankan; afidavit yang mendukung permohonan pembubaran telah diajukan;
167
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
4.36.
Langkah 4: Menghadiri persidangan pembubaran, dimana pengadilan akan menentukan untuk membubarkan perusahaan atau tidak.
Apabila putusan pembubaran dijatuhkan kepada perusahaan, pengadilan akan menunjuk likuidator atau Official Receiver untuk bertindak sebagai likuidator. Likuidator akan mengelola proses administrasi pembubaran, yang termasuk menyita aset dari perusahaan dan mendistribusikannya keapada kreditor. Umumnya, jika tidak ada likuidator yang ditetapkan pada saat persidangan pembubaran, pengadilan akan menunjuk Official Receiver sebagai likuidator.
iii. Biaya – biaya 4.37.
Biaya – biaya yang biasanya dikeluarkan dalam proses insolvensi terdapat didalam tabel dibawah ini: Tabel 18: Estimasi biaya proses insolvensi Jenis
Kepailitan
Pembubaran
Estimasi biaya permohonan dan biaya pengajuan
$400
$600
Uang deposit untuk Official Assignee / Official Receiver
$1.600
$5.200
Estimasi: Biaya publikasi
-
$5.000
Jumlah:
$2.000
$10.800
iv. Distribusi dalam proses insolvensi dan Prioritas kepada klaim pekerja dalam proses ini 4.38.
Distribusi atas utang tanpa jaminan: Mengingat proses insolvensi bersifat kolektif, debitur atau aset perusahaan akan didistribusikan ‘pari passu’ atau secara proporsional kepada seluruh kreditor tanpa jaminan. Sebagai contoh, ini berarti jika nilai dari klaim kreditor adalah 10% dari total utang tanpa jaminan yang biasa, ia akan menerima 10% dari aset yang didistribusikan.
affidavit penyerahan telah diajukan; Persetujuan secara tertulis atas likuidator yang telah disetujui (jika ada) yang ditunjuk oleh pemohon telah didapatkan dan diajukan; dan Pembayaran uang deposit sebesar $5.200 kepada Official Receiver.
168
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
4.39.
Utang preferen: Akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, beberapa utang diberikan prioritas preferen dalam proses insolvensi. 208 Hal ini berarti aset yang didapatkan akan digunakan untuk membayar kreditor preferen terlebih dahulu, sebelum dilakukan pembayaran kepada kreditor tanpa jaminan dan kreditor dengan jaminan tertentu209. Beberapa jenis klaim klien pada umumnya yang mungkin adalah kreditor preferen termasuk:
Biaya-biaya dan pengeluaran-pengeluaran atas permohonan kepailitan atau pembubaran (berlaku apabila itu diajukan oleh klien); upah atau gaji yang terutang kepada pekerja dan pembayaran ex gratia dan manfaat penghematan, sampai dengan batas sebesar $12.500; jumlah yang harus dibayar terkait klaim kompensasi atas cidera kerja berdasarkan Work Injury Compensation Act; and remunerasi pengganti cuti libur.
4.40.
Kecuali jika mayoritas dari utang klien adalah utang preferen, klaimnya terkadang dapat mendapatkan proporsi yang kecil dari jumlah utang debitur atau perusahaan. Dengan demikian, ia akan menerima rata-rata proporsi yang kecil dari aset debitur atau perusahaan yang tersedia untuk kreditor tanpa jaminan. Ketika digabungkan dengan biaya tinggi atau uang deposit yang diperlukan dalam proses permohonan insolvensi, maka proses ini hanya dapat dipertimbangkan sebagai jalan terakhir bagi debitur non-preferen saja.210
4.41.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa walaupun jumlah biaya untuk menyelesaikan proses insolvensi mungkin tinggi, memulai langkah pertama, yakni mengajukan permintaan berdasarkan undang-undang kepada pemberi kerja, tidak menimbulkan biaya yang signifikan. Perlu dipertimbangkan untuk menyatakan maksud untuk memulai proses insolvensi melalui surat permintaan berdasarkan undang-undang, karena adanya konsekuensi yang cukup berat yang mungkin timbul dari kepailitan atau pembubaran yang dapat memaksa beberapa pemberi kerja untuk membayar klaim terutang yang dimiliki klien, atau paling tidak untuk menandatangani penyelesaian melalui negosiasi.
v. Ketika pemberi kerja dihadapkan dengan proses insolvesi atau telah diputuskan pailit atau dibubarkan 4.42.
208
Proses insolvensi dapat dilakukan oleh setiap kreditor. Oleh karena itu adalah hal yang lazim bagi klien untuk menghadapi pemberi kerja yang tengah menghadapi proses ini, atau telah diputuskan pailit atau bubar. Jika hal ini terjadi, terdapat beberapa implikasi terhadap klaim yang dilakukan oleh klien.
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 90 and Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 328. Lihat
Bagian 6.II and 6.III untuk teks naskah UU tersebut. 209
Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 328(5). Dalam situasi tertentu, klaim pekerja dapat juga diberikan
status prioritas terhadap kreditor dengan jaminan dalan proses non-insilvensi, lihat Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 226, EA, s 33. 210
Dalam kasus tertentu, beberapa klaim klien tidak dapat diberikan status preferen. Sebagai contoh, klaim
berdasarkan perrbuatan melawan hukum berupa kelalaian yang biasanya dinggap sebagai klaim tanpa jaminan.
169
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
211
4.43.
Apabila klien mengajukan klaim sebelum individu tersebut dinyatakan pailit atau perusahaan dibubarkan, terdapat kemungkinan bahwa pengadilan akan menahan (yakni, menangguhkan) klaim klien. 211 Sehingga, apabila klien telah melaksanakan proses Garnishee atau WSS, ia tidak akan berhak untuk mendapatkan manfaat dari proses ini, kecuali mereka telah menyelesaikannya sebelum tanggal dari putusan kepailitan212 atau tanggal permohonan pembubaran diajukan213 sesuai dengan keadaannya.
4.44.
Setelah seorang individu dinyatakan pailit atau perusahaan telah dibubarkan, klien tidak dapat lagi mengupayakan tuntutan hukum apa pun untuk memperoleh kembali uang yang belum dibayarkan sebelum terjadi pailit 214 atau pembubaran.215 Untuk dapat mengetahui apakah individu yang bersangkutan pailit atau perusahaan tersebut telah dibubarkan, penelusuran sehubungan dengan insolvensi perlu dilakukan. Terdapat beberapa penyedia jasa yang menawarkan penelusuran terkait, salah satunya dapat ditemukan di website Kementrian Hukum (Ministry of Law).216
4.45.
Namun demikian klien dapat mengajukan formulir Bukti Utang kepada trustee dalam kepailitan atau likuidator. Jika Official Assignee bertindak sebagai trustee atau Official Receiver bertindak sebagai likuidator, hal ini dapat dilakukan secara elektronik217 dengan biaya sebesar $5.218 Klien diharuskan untuk mengajukan formulir Bukti Utang (Proof of Debt form)219 meskipun ia merupakan salah satu pemohon dalam proses kepailitan atau pembubaran, karena klien tidak akan berhak untuk pendistribusian dari harta insolvensi kecuali bukti utang telah diajukan.
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 74 and Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 258. Lihat
Bagian 6.II and 6.III untuk teks naskah UU tersebut. 212
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 105. Lihat B Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut.
213
Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 260. Lihat Bagian 6.III untuk teks naskah UU tersebut.
214
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 76(1)(c)(ii). Lihat Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut.
215
Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing), s 90 and Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing), s 262(3). Lihat
Bagian 6.II untuk teks naskah UU tersebut. 216
Lihat Ministry of Law, Insolvency Office E-services online portal
217
Lihat Ministry of Law, Insolvency Office E-services online portal < https://www.mlaw.gov.sg/eservices/io/> untuk
menyerahkan formulir secara elektronik. 218
Bankruptcy: Ministry of Law, “Bankruptcy - Information for Creditors”, online: Insolvency Office
. Winding up: Ministry of Law, “Information for Creditors”, , online: Insolvency Office 219
Bentuk formulir dapat ditemukan di: Bankruptcy: Ministry of Law,
online Winding up: Ministry of Law, online
170
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
E.
220
Surat Kuasa (POA, Power of Attorney)
4.46.
Surat Kuasa (POA, Power of Attorney) adalah suatu “instrumen yang dibuat oleh seseorang yang memberikan kepercayaan pada seseorang lainnya untuk bertindak atas nama dirinya.”220 Pihak yang membuat Surat Kuasa, dalam hal ini adalah klien, disebut “donor” atau pemberi, sedangkan pihak yang menerima kuasa untuk bertindak atas nama donor disebut “done” atau penerima. 221 Surat Kuasa222 tersebut dapat disimpankan di Mahkamah Agung.223
4.47.
Surat Kuasa dapat memberikan berbagai wewenang kepada pengacara dari klien, mulai dari wewenang untuk membuat keputusan kecil hingga semua keputusan yang terkait dengan kasus. Penting bagi klien untuk membahas dengan pengacaranya tentang berbagai wewenang yang ingin diberikan sebelum klien membuat suatu keputusan.
4.48.
Surat pengikatan yang komprehensif sudah dapat dianggap cukup bagi pengacara untuk bertindak untuk dan atas nama klien mereka. Akan tetapi, sebuah surat kuasa dapat berguna bagi LSM yang mungkin membutuhkannya untuk mengambil barang atau uang dari Kemenaker atas nama klien mereka. Contohnya, ketika Kemenaker tidak memilik alamat terdaftar dari pekerja, Kemenaker akan mengirimkan uang kepada LSM, seperti halnya HOME, TWC2, HealthServe atau yang lainnya.
F.
Pendekatan hukum yang lunak (Soft Law) dari Kemenaker – memasukkan pemberi kerja ke dalam daftar hitam
4.49.
Kemenaker berwenang untuk melarang (biasanya disebut sebagai memasukkan ke dalam daftar hitam) terhadap pemberi kerja ketika melakukan pelanggaran hukum.224 Perusahaan yang terkena larangan ini “tidak akan diperbolehkan untuk mengajukan permohonan izin kerja bagi pekerja asing baru serta memperpanjang izin kerja dari pekerja asing mereka yang sudah ada.”225 Hal ini dapat berdampak pada kegiatan operasional perusahaan, dan pendekatan hukum yang lunak (soft law) tersebut sangat efektif untuk mendorong kepatuhan hukum dari pihak pemberi kerja. Meskipun pelarangan tidak menyebabkan adanya kompensasi, ancaman dari buruh migran dia akan menghubungi Kemenaker tentang penjatuhan larangan dapat menjadi alat negosiasi yang berguna untuk memperoleh penyelesaian yang menguntungkan dari pemberi kerja.
Supreme Court of Singapore, “Civil Proceedings: Other Civil Proceedings and Processes- Power of Attorney”, online:
Supreme Court of Singapore . 221
Ibid.
222
Conveyancing and Law of Property Act (Cap 61, 1994 Rev Ed Sing), s 48. Lihat Bagian 6.IV untuk naskah teks UU
tersebut. 223
Rules of Court, supra note 15, o 60 r 6. Lihat Bagian 6.XI untuk naskah teks UU tersebut.
224
Ministry of Manpower, “Work Permit- before you apply”, online: Ministy of Manpower
. 225
Ibid.
171
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
4.50.
Salah satu kasus yang berhasil mendorong kepatuhan hukum adalah kasus dari Ms Leng:226
4.51.
Ms Leng adalah seorang pegawai di perusahaan wisata yang mempunyai tunggakan gaji yang belum dibayarkan oleh bekas pemberi kerjanya, dan beliau telah memperoleh surat perintah dari Labour Court untuk pembayaran utang tersebut. Bekas pemberi kerjanya bersikeras tidak mau membayar, namun ketika Kemenaker menjatuhkan pelarangan atas perusahaan dan direksinya, bekas pemberi kerja tersebut “akhirnya menyadari keseriusan masalahnya jika tidak mematuhi perintah pengadilan tersebut, dan kemudian dengan segera membayar uang tunggakan secara penuh kepada Ms Leng”.
II. Memulai gugatan perdata atas nama klien di luar negeri 4.52.
A.
Klien yang sudah meninggalkan Singapura masih dapat menunjukkan bukti, dan mengajukan gugatan kasusnya di pengadilan Singapura dengan bantuan pengacara Singapura. Klien dapat memilih untuk pergi ke Singapura, atau sebagai alternatif, dapat menyerahkan bukti melalui cara lain seperti deposition (pernyataan saksi secara tertulis) atau konferensi video. Pilihan pengadilan
4.53.
Praktisi hukum dapat mengajukan klaim dari klien mereka ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Magistrate, tergantung dari nilai yang disengketakan, yaitu nilai sengketa dimana klien berupaya untuk mengklaimnya. 227
B.
Kehadiran di pengadilan Singapura – berbagai cara untuk menyajikan bukti
4.54.
Rules of Court menetapkan adanya konsekuensi yang berat bagi pihak yang tidak hadir di persidangan tertentu.228 Hakim dapat memulai sidang tanpa kehadiran pihak yang bersengketa, langsung menjatuhkan summary judgment (putusan pengadilan tanpa melalui persidangan), atau menolak tuntutan. 229 Namun demikian, “kehadiran” tidak harus selalu berarti kehadiran secara langsung. i. Kehadiran secara fisik dari luar negeri
4.55.
226
Klien hampir selalu dapat memilih untuk pergi ke Singapura. Meskipun klien harus membayar dulu biaya perjalanan di muka, kasus hukum baru-baru ini menunjukkan bahwa klien dapat menuntut kembali, paling tidak sebagian biaya
Lihat misalnya. Anna Yap, “When The Going Gets Tough”, Challenge (July-August 2009) 5, online: Challenge
. 227
Lihat supra note 19.
228
Rules of Court, supra note 15, o 35 r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
229
Lihat Lin Tsang Kit and Another v Chng Thiam Kwee [2005] SGHC 10 dimana tuntutan penggugat kedua ditolak
karena tidak hadir untuk memberi kesaksian di persidangan. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
172
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
tersebut jika memenangkan perkara.230 Biaya ini termasuk biaya perjalanan dan bahkan termasuk biaya perjalanan di dalam negara asal (misalnya jika pekerja tinggal di suatu tempat yang jauh dari kota yang mempunyai bandara). 231 Berdasarkan case law yang ada,232 biaya yang dibebankan tergantung pada kebijaksanaan pengadilan233 yang berdasarkan pada asas kewajaran. 234 Prinsip ini bersifat luas dan mengharuskan penggugat untuk menunjukkan bahwa biaya yang dikeluarkan masih dalam batas kewajaran dan memang dipandang perlu, dan bahwa biaya tersebut “proporsional”235 dan sesuai dengan “seluruh konteks dari kasus tersebut.”236 ii. 4.56.
Sehubungan dengan afidavit, aturan umum yang berlaku adalah bahwa “pada sidang pengadilan kasus yang dimulai oleh surat perintah, bukti utama (evidencein-chief) dari saksi diberikan melalui afidavit (pernyataan tertulis di bawah sumpah).”237 Kecuali pihak lawan dan pengadilan sepakat untuk menerima bukti tanpa perlu pemeriksaan silang (cross-examination), bukti utama dalam afidavitoleh saksi yang tidak hadir tidak diperbolehkan kecuali atas persetujuan pengadilan (the leave of the court).238 iii.
4.57.
Penyerahan afidavit
Konferensi Video
Jika klien secara fisik tidak dapat menghadiri persidangan di Singapura, klien juga dapat mengajukan permohonan untuk hadir melalui konferensi video. 239 1) Biaya konferensi video
4.58.
230
Biaya pemakaian fasilitas konferensi video untuk memberikan kesaksian dapat
Lihat Lam Hwa Engineering & Trading Pte Ltd v Yang Qiang [2014] SGCA 3 [Lam Hwa Engineering]. Lihat Bagian
6.XII untuk naskah teks UU tersebut. 231
Ibid, dimana biaya transportasi darat sebesar $95 yang dikeluarkan di Cina untuk melakukan perjalanan pulang-pergi
ke bandara dapat diberi penggantian. 232
Ibid.
233
Rules of Court, supra note 15, o 59 r 1(1); “in the discretion of the Court, and the Court shall have full power to
determine by whom and to what extent the costs are to be paid” atau “sesuai kebijaksanaan Pengadian dan Pengadilan mempunyai kekuasaan penuh untuk menentukan siapa yang menanggung biaya dan seberapa banyak”. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut. 234
Rules of Court, supra note 15, o 59 r 27(2); “there shall be allowed a reasonable amount in respect of all costs
reasonably incurred” (“diperbolehkan dalam jumlah yang wajar terkait semua biaya yang lazim dikeluarkan”). Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut. 235
Lam Hwa Engineering, supra note 230 di [21] dan Lin Jian Wei and another v Lim Eng Hock Peter [2011] 3 SLR
1052 [Lin Jian Wei] di [78]. Lihat Bagian 6.XII untuk ringkasan kasus. 236
Lin Jian Wei, ibid, di [56]. Lihat Bagian 6.XII untuk ringkasan kasus.
237
Rules of Court, supra note 15, o 38 r 2(1). Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
238
Rules of Court, supra note 15, o 38 r 2(1). Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
239
Lihat Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing), s 62A(1) [Evidence Act]. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU
tersebut.
173
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
menjadi hambatan bagi kebanyakan buruh migran. Klien harus membayar biaya atas penggunaan teknologi pengadilan dan fasilitas video konferensi, baik di Singapura maupun di negara asalnya. 4.59.
Biaya yang harus dibayarkan di Singapura ditunjukkan pada Tabel berikut ini. Tabel 19: Biaya konferensi video240
4.60.
4.61.
Pemesanan pengadilan TIK (technology court):
$50 per hari
Pemesanan fasilitas pengadilan TIK:
$1.000 per hari
konferensi
video
dari
Selain itu, klien harus membayar biaya konferensi video lainnya yang timbul di negara dimana saksi hadir secara fisik (contohnya, klien harus menanggung biaya konferensi video dari lokasi tersebut). Masih belum jelas apakah penggugat yang memenangkan perkara berhak mendapatkan kembali biaya fasilitas konferensi video tersebut. 2) Ketentuan yang memperbolehkan penggunaan konferensi video
4.62.
240
Sebagai aturan umum, keterangan saksi seharusnya diberikan secara langsung dan di pengadilan terbuka,241 dan “diberlakukan berdasarkan UU tentang Aturan dan Bukti (Rules and the Evidence Act), serta hukum tertulis lainnya yang terkait dengan bukti”.242 Namun demikian, UU tentang Bukti menetapkan bahwa “seseorang, dengan persetujuan pengadilan, dapat memberikan kesaksian melalui tautan siaran video secara langsung atau siaran langsung televisi dalam setiap persidangan, selain persidangan perkara pidana”.243 Masalah hukumnya adalah apakah buruh migran, atas persetujuan pengadilan, dapat memberikan kesaksian melalui konferensi video, sehingga tidak perlu secara fisik di Singapura.
Lihat Supreme Court of Singapore, “Technology Courts Booking”, online: Supreme Court of Singapore
. 241
Sonica Industries v Fu Yu Manufacturing Ltd [1999] SGCA 63 [Sonica] at [8]. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks
UU tersebut. 242
Rules of Court, supra note 15, o 38 r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk teks naskah UU tersebut.
243
Evidence Act, supra note 239, yang memperbolehkan konferensi video untuk saksi yang secara fisik berada di luar
Singapura, diperbolehkan untuk sidang non-pidana tapi dilarang dalam sidang pidana; c.f. Kim Gwang Seok v Public Prosecutor [2012] 4 SLR 821; [2012] SGCA 51 di [24], [27] – [29], dimana Court of Appeal secara jelas menyatakan bahwa Criminal Procedure Code (Cap 68, 2012 Rev Ed Sing) s 281 tidak boleh diterapkan untuk memperbolehkan saksi yang secara fisik berada di luar Singapura untuk memberikan kesaksian melalui tautan video untuk persidangan pidana di Singapura. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
174
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
4.63.
Pengadilan Singapura telah menetapkan tiga tahap untuk menentukan apakah kehadiran melalui konferensi video244 diperbolehkan.
4.64.
Tahap 1: Pertama, permohonan persetujuan harus masuk ke dalam salah satu dari empat dasar persyaratan. Terkait dengan buruh migran yang sudah kembali ke negara asalnya, satu dasar persyaratan memperbolehkan penggunaan konferensi video jika saksi berada di luar Singapura. 245
4.65.
Tahap 2: Pengadilan kemudian harus mempertimbangkan apakah persetujuan akan diberikan, melaluipertimbangan dari tiga faktor berikut ini.246 1) 2) 3)
4.66.
244
Alasan mengapa saksi tidak dapat memberi kesaksian di Singapura; Fasilitas administrasi dan teknis serta pengaturan di tempat dimana saksi akan memberikan kesaksian; dan Apakah ada salah satu pihak dalam persidangan yang akan dirugikan secara tidak adil.
Faktor-faktor ini belum menyeluruh. Faktor-faktor dipertimbangkanoleh pengadilan Singapura termasuk:
lain
yang
ikut
•
Seberapa penting bukti yang ada: apabila bukti tidak begitu penting terhadap masalah utama di persidangan, suatu perintah yang menyetujui konferensi video biasanya tidak akan dibenarkan.247
•
“Keamanan dan kerahasiaan persidangan:” apabila pengadilan tidak dapat memastikan keamanan dan kerahasiaan dari persidangan yang dilakukan melalui konferensi video, pengadilan kemungkinan akan melarang penggunaan konferensi video.248
Kasus Sonica, supra note 241, adalah otoritas hukum utama tentang prinsip-prinsip yang mengatur tentang
persetujuan pengadilan untuk konferensi video. Dalam kasus Sonica, penggugat mengklaim telah menandatangani kontrak dengan tergugat, yang kemudian dilanggar oleh tergugat, sehingga terjadi kerugian dan kemungkinan adanya kewajiban hukum atas pihak ketiga. Penggugat mengajukan permohonan secara lisan sesuai dengan Evidence Act, supra note 239, s 62A untuk konferensi video bagi dua saksi dengan alasan bahwa mereka tidak dapat datang ke Singapura untuk memberikan kesaksian lisan di persidangan. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskh teks UU tersebut. 245
Lihat Evidence Act, supra note 239, s 62A(1)(c). Empat persyaratan tersebut adalah: (a) saksi berusia dibawah 16
tahun; (b) adanya kesepakatan yang jelas antara para pihak dalam persidangan bahwa bukti atau kesaksian dapat diberikan dengan cara demikian; (c) saksi berada di luar Singapura; atau (d) pengadilan merasa puas bahwa telah berlaku bijaksana demi kepentingan menegakkan keadilan apabila memutuskan untuk memperbolehkan konferensi video. (adanya tambahan penekanan). Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut. 246
Evidence Act, supra note 239, s 62A(2). Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
247
Lihat Sonica, supra note 241 di [19]. Permintaan penggugat untuk saksi kedua dalam memberi kesaksian melalui
konferensi video telah ditolak karena kesaksian yang akan diberikan hanya terkait kredibilitas para saksi. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut. 248
Lihat IB v Comptroller of Income Tax [2005] SGDC 50, di [42]. Jika banding diajukan terhadap Comptroller atas
Pemberitahuan Ketetapan Pajak Penghasilan untuk pajak yang harus dibayar, pihak yang mengajukan banding (appellant) meminta untuk memberi kesaksian lewat tautan video dari Xian, Cina. Pengadilan memandang tidak adanya langkah yang memadai untuk menjaga “keamanan dan kerahasiaan persidangan jika dilakukan melalui tautan video di
175
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
•
Apakah orang yang memberi kesaksian merupakan salah satu pihak dalam persidangan, atau yang akan memberikan keterangan sebagai saksi: Permohonan untuk mengadakan konferensi video dapat diajukan untuk dua jenis saksi – seseorang yang merupakan salah satu pihak dalam persidangan dan seseorang yang bukan salah satu pihak dalam persidangan.
4.67.
Dalam kasus dimana saksi bukan salah satu pihak dalam persidangan dan berada dalam yurisdiksi yang terpisah, saksi tersebut tidak perlu memberi kesaksian di pengadilan. Oleh karena itu, pengadilan lebih memahami akan perlunya konferensi video.249 Sebaliknya, apabila saksi merupakan salah satu pihak dalam persidangan, pengadilan cenderung tidak mengizinkan penggunaan konferensi video, meskipun hal ini belum menjadi ketentuan pasti.250 Kasus litigasi selanjutnya diperlukan untuk menguji kesediaan pengadilan dalam mengizinkan klien atau buruh migran untuk hadir dari jarak jauh.
4.68.
Tahap 3: Akhirnya, mengacu pada s 62A(5), pengadilan “seharusnya tidak mengeluarkan perintah berdasarkan bagian ini [...] jika melakukan hal tersebut tidak sejalan dengan kewajiban pengadilan untuk memastikan bahwa proses persidangan berjalan adil bagi para pihak dalam persidangan.” 251 Pengadilan akan mempertimbangkan apakah dan seberapa jauh mengabulkan atau menolak konferensi video akan merugikan masing-masing pihak.252
4.69.
Masalah tentang ketidakadilan adalah “pertimbangan yang mengesampingkan pertimbangan lainnya pada aplikasi semacam ini.”253
lokasi pribadi yang diajukan oleh appellant” sebagai alasan untuk melarang diadakannya konferensi video. Lihat Bagian 6.VIII untuk ringkasan kasus. 249
Lihat Sonica, supra note 241, di [12]. Permintaan penggugat untuk menghadirkan saksi pertama untuk memberi
kesaksian melalui konferensi video dikabulkan. Pengadilan memandang bahwa pihak penggugat tidak berkuasa atas Mr Kawamura dan telah melakukan upaya yang diperlukan untuk menghadirkan Mr Kawamura di Singapura meskipun tidak berhasil. Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut. 250
Berdasarkan s 62A(2), pengadilan harus mempertimbangkan semua hal lainnya yang terkait dengan kasus. Lihat
juga Peters Roger May v Pinder Lillian Gek Lian [2006] 2 SLR(R) 381, di [27]: “jika ada alasan yang memadai mengapa kehadiran fisik dari saksi asing tidak dapat dilakukan, pengadilan seharusnya lebih memilih untuk memperbolehkan kesaksian melalui tautan video sebagai ganti aturan umum yang mensyaratkan kesaksian secara fisik. Alasan yang memadai seharusnya didasarkan pada persyaratan yang relatif ringan dan seharusnya dinilai secara liberal dan pragmatis.”Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut. 251
Evidence Act, supra note 239, s 62A(5). Lihat Bagian 6.VIII untuk naskah teks UU tersebut.
252
Lihat Sonica, supra note 241, di [15]. Pengadilan menimbang antara kerugian yang akan dialami pihak tergugat jika
konferensi video diperbolehkan untuk menghadirkan saksi pertama dengan kerugian bagi pihak penggugat jika konferensi video ditolak. Pengadilan tidak menemukan adanya kerugian bagi pihak tergugat karena tergugat tidak akan terkejut dengan kesaksian yang akan diberikan, tidak ada keberatan bahwa kesaksian yang diberikan akan rumit dan sangat teknis, serta fasilitas yang digunakan memungkinkan untuk dilakukannya pemeriksaan silang. Sebaliknya, jika penggugat tidak memperoleh persetujuan, penggugat tidak dapat menyajikan bukti yang sangat penting untuk tuntutan intinya. Lihat Bagian 6.VIII untuk ringkasan kasus. 253
Ibid.
176
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
4.70.
Pada akhirnya, meskipun keputusan untuk mengizinkan penggunaan konferensi video mengikuti tiga tahapan sebagaimana yang diuraikan di atas, keputusan tersebut menyangkut upaya Pengadilan untuk menyeimbangkan berbagai faktor yang saling bertentangan dalam kasus ini. iv.
254
Pembuktian melalui Deposisi (Deposition)
4.71.
Dalam kondisi khusus, apabila klien tidak dapat memberi kesaksian secara langsung di persidangan, pembuktian melalui proses deposisi (pernyataan saksi secara tertulis) masih memungkinkan. Hal ini melibatkan pemeriksaan orang tersebut di hadapan petugas peradilan dalam persidangan resmi. Selama proses pemeriksaan, isi pokok dari kesaksian dicatat dalam bentuk deposition, yang kemudian diserahkan kepada bagian pendaftaran (registry) untuk digunakan sebagai bukti di persidangan.254
4.72.
Pemeriksaan tersebut dilakukan sesuai perintah pengadilan dan dilakukan di bawah sumpah di hadapan Hakim, Pencatat (Registrar), atau beberapa orang lainnya, di tempat yang ditentukan oleh pengadilan. 255
4.73.
Klien di luar wilayah yurisdiksi dapat meminta pengacara untuk mengeluarkan surat permohonan kepada lembaga peradilan di negara dimana klien akan memberikan kesaksian.256 Sebagai alternatif, permohonan dapat diajukan kepada pemeriksa khusus yang diangkat pengadilan Singapura untuk mengambil kesaksian orang di luar negeri, dengan persetujuan pemerintah negara tersebut.257 Permohonan yang demikian hanya dapat dilakukan oleh Pengadilan Negara (State Courts).258 Klien harus menanggung biaya pemeriksaan (termasuk honor pemeriksa dan biaya lokal yang timbul di wilayah yurisdiksi luar negeri). 259
Lihat Jeffrey Pinsler, Civil Practice in Singapore and Malaysia (Lexis: 1996) di 578 (Lexis); “o 39 mengatur prosedur
pembuktian melalui deposition (pernyataan saksi secara tertulis). O 39 harus dibaca bersamaan dengan ketentuan penting di o 38; yaitu, aturan 9 dari perintah tersebut menyebutkan bahwa bukti tidak boleh diberikan melalui deposition, kecuali jika deposition tersebut diterima berdasarkan perintah pengadilan berdasarkan O 39, r 1, dan 'apakah pihak yang berlawanan dimana pembuktian tersebut diberikan memberi persetujuan, atau telah terbukti dan diterima pengadilan bahwa saksi sudah meninggal, atau berada di luar yurisdiksi pengadilan, atau tidak dapat menghadiri persidangan karena sakit atau kondisi uzur lainnya. Selain itu, pihak yang berniat untuk menggunakan deposition sebagai bukti di pengadilan harus memberitahukan tentang keinginan tersebut dalam ‘jangka waktu yang pantas’ sebelum persidangan. Berkenaan dengan masalah keaslian (authenticity), deposition yang ‘diakui ditandatangani oleh pihak yang membuatnya akan dapat diterima sebagai bukti tanpa bukti bahwa tandatangan yang dibubuhi adalah tandatangan orang tersebut'.” 255
Rules of Court, supra note 15, o 39, r 1. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
256
Ibid, o 39, r 3. Lihat Bagian 6.XII untuk naskah teks UU tersebut.
257
Ibid, o 39, r 2.
258
Ibid, o 39, r 2(3).
259
Ibid, o 39, r 14.
177
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
5.
6.
KESIMPULAN 5.1.
Bagi buruh migran yang harus kembali ke negara asal, situasi yang ideal adalah untuk memperoleh penyelesaian sengketa dan mengambil pembayaran sebelum pulang ke negara asal.
5.2.
Namun demikian, apabila negosiasi gagal atau tidak dapat dilaksanakan, berbagai jalur hukum masih tersedia bahkan bagi mereka yang tidak bisa tetap tinggal di Singapura. Jalur mana yang sebaiknya diambil buruh migran tergantung dari sejumlah hal seperti biaya, batas waktu untuk mengajukan klaim, bukti yang diperlukan dan yang paling penting adalah jangka waktu yang diperbolehkan bagi mereka untuk tetap tinggal di Singapura agar dapat menyelesaikan klaim mereka.
5.3.
Bagi mereka yang harus kembali ke negara asal sebelum klaim mereka terselesaikan, jalur Kemenaker hanya terbuka jika mereka dapat menyelesaikan berbagai prosedur sebelum meninggalkan Singapura. Klien tidak perlu tetap tinggal di Singapura untuk menunggu putusan, sehingga pengacara dapat mengambil jumlah apapun yang ditetapkan atau disepakati melalui prosedur Kemenaker setelah klien kembali ke negara asal.
5.4.
Bagi semua klien lainnya, pengajuan klaim di pengadilan perdata secara teknis memungkinkan, baik klien yang masih berada di Singapura ataupun yang sudah kembali ke negara asal.
5.5.
Klien yang telah kembali atau yang akan kembali ke negara asal harus menandatangani surat kuasa yang memberikan kepada praktisi atau pengacara wewenang untuk menyelesaikan penegakan atau persidangan hukum di Singapura atas nama klien.
5.6.
Setelah melakukan analisis atas statutory law (perundangan yang tertulis) dan case law (perundangan yang didasarkan atas keputusan hakim sebelumnya), Bab 4 akan menjelaskan tentang berbagai tantangan dalam mewakili klien yang tinggal di luar negeri, dan sejumlah cara yang memungkinkan untuk mencari mitra kerja lokal yang dapat diajak kerjasama.
ANALISIS BLACK LETTER LAW DAN CASE LAW I.
Pendahuluan
6.1.
Terdapat banyak referensi dari berbagai perundangan dan kasus yang dibuat dalam Bab 3. Diatur sesuai dengan urutan abjad, bagian ini merupakan kompilasi dari porsi yang relevan dari perundangan yang tersebut di atas serta masingmasing kasus hukum untuk memberikan penjelasan yang lebih baik tentang interpretasi hukum. Case law (hukum yang didasarkan atas keputusan hakim sebelumnya)dan statutory law (peraturan perundang-undangan yang tertulis)
178
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
tetap dalam bahasa Inggris untuk menjaga keakuratannya II. Bankruptcy Act (Cap 20, 2009 Rev Ed Sing) Section 33. Appointment of person other than Official Assignee as trustee in bankruptcy (1) The court may — (a) on making a bankruptcy order; and (b) on the application of the creditor who applied for the bankruptcy order, appoint a person other than the Official Assignee to be the trustee of the bankrupt’s estate
Section 61. Grounds of bankruptcy application (1) No bankruptcy application shall be made to the court in respect of any debt or debts unless at the time the application is made — (a) the amount of the debt, or the aggregate amount of the debts, is not less than $10,000; (b) the debt or each of the debts is for a liquidated sum payable to the applicant creditor immediately; (c) the debtor is unable to pay the debt or each of the debts; and (d) where the debt or each of the debts is incurred outside Singapore, such debt is payable by the debtor to the applicant creditor by virtue of a judgment or an award which is enforceable by execution in Singapore.
Section 62. Presumption of inability to pay debts For the purposes of a creditor’s bankruptcy application, a debtor shall, until he proves to the contrary, be presumed to be unable to pay any debt within the meaning of section 61(1)(c) if the debt is immediately payable and — (a) (i) the applicant creditor to whom the debt is owed has served on him in the prescribed manner, a statutory demand; (ii) at least 21 days have elapsed since the statutory demand was served; and (iii) the debtor has neither complied with it nor applied to the court to set it aside; (b) execution issued against him in respect of a judgment debt owed to the applicant creditor has been returned unsatisfied in whole or in part; (c) he has departed from or remained outside Singapore with the intention of defeating, delaying or obstructing a creditor in the recovery of the debt; or (d) the Official Assignee has — (i) issued a certificate of inapplicability of a debt repayment scheme under section 56L;
179
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
(ii) issued a certificate of failure of a debt repayment scheme under section 56M(1); or (iii) revoked a certificate of completion of a debt repayment scheme under section 56O(1), in respect of the debtor within 90 days immediately preceding the date on which the bankruptcy application is made, and the applicant creditor had proved the debt under that debt repayment scheme.
Section 74. Power to stay proceedings against person or property of debtor (1) Any court may by order, at any time after the making of a bankruptcy application, stay any action, execution or other legal process against the person or property of the debtor. (2) Where an order is made under subsection (1) staying any action or proceedings or staying proceedings generally, the order may be served by sending a copy thereof, under the seal of the court, by prepaid registered post to the address for service of the plaintiff or other party prosecuting such proceedings.
Section 76. Effect of bankruptcy order (1) On the making of a bankruptcy order — (a) the property of the bankrupt shall — (i) vest in the Official Assignee without any further conveyance, assignment or transfer; and (ii) become divisible among his creditors; (b) the Official Assignee shall be constituted receiver of the bankrupt’s property; and (c) unless otherwise provided by this Act — (i) no creditor to whom the bankrupt is indebted in respect of any debt provable in bankruptcy shall have any remedy against the person or property of the bankrupt in respect of that debt; and (ii) no action or proceedings shall be proceeded with or commenced against the bankrupt in respect of that debt, except by leave of the court and in accordance with such terms as the court may impose. (2) Where a bankruptcy order is made against a firm, the order shall operate as if it were a bankruptcy order made against each of the persons who, at the time of the order, is a partner in the firm. (3) This section shall not affect the right of any secured creditor to realise or otherwise deal with his security in the same manner as he would have been entitled to realise or deal with it if this section had not been enacted. (4) Notwithstanding subsection (3) and section 94, no secured creditor shall be entitled to any interest in respect of his debt after the making of a bankruptcy order if he does not realise his security within 6 months from the date of the bankruptcy order or such further period as the Official Assignee may determine.
180
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Section 90. Priority of debts (1) Subject to this Act, in the distribution of the property of a bankrupt, there shall be paid in priority to all other debts — (a) firstly, the costs and expenses of administration or otherwise incurred by the Official Assignee and the costs of the applicant for the bankruptcy order (whether taxed or agreed) and the costs and expenses properly incurred by a nominee in respect of the administration of any voluntary arrangement under Part V; (b) secondly, subject to subsection (2), all wages or salary (whether or not earned wholly or in part by way of commission) including any amount payable by way of allowance or reimbursement under any contract of employment or award or agreement regulating the conditions of employment of any employee; (c) thirdly, subject to subsection (2), the amount due to an employee as a retrenchment benefit or an ex gratia payment under any contract of employment or award or agreement that regulates the conditions of employment, whether such amount becomes payable before, on or after the date of the bankruptcy order; (d) fourthly, all amounts due in respect of any work injury compensation under the Work Injury Compensation Act (Cap. 354) accrued before, on or after the date of the bankruptcy order; (e) fifthly, all amounts due in respect of contributions payable during the 12 months immediately before, on or after the date of the bankruptcy order by the bankrupt as the employer of any person under any written law relating to employees’ superannuation or provident funds or under any scheme of superannuation which is an approved scheme under the Income Tax Act (Cap. 134); (f) sixthly, all remuneration payable to any employee in respect of vacation leave, or in the case of his death, to any other person in his right, accrued in respect of any period before, on or after the date of the bankruptcy order; (g) seventhly, the amount of all taxes assessed and any goods and services tax due under any written law before the date of the bankruptcy order or assessed at any time before the time fixed for the proving of debts has expired; and (h) eighthly, all premiums (including interest and penalties for late payment) and other sums payable in respect of the bankrupt’s insurance cover under the MediShield Life Scheme referred to in section 3 of the MediShield Life Scheme Act 2015 before the time fixed for the proving of debts has expired. (2) The amount payable under subsection (1)(b) and (c) shall not exceed an amount that is equivalent to 5 months’ salary whether for time or piecework in respect of services rendered by any employee to the bankrupt or $7,500, whichever is the lesser. (3) The Minister may, by order published in the Gazette, amend subsection (2) by varying the amount specified in that subsection as the maximum amount payable under subsection (1)(b) and (c). (4) For the purposes of subsection (1)(b) and (c) — “employee” means a person who has entered into or works under a contract of service with the bankrupt and includes a subcontractor of labour;
181
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
“wages or salary” includes — (a) all arrears of money due to a subcontractor of labour; (b) any amount payable to an employee on account of wages or salary during a period of notice of termination of employment or in lieu of notice of such termination, as the case may be, whether such amount becomes payable before, on or after the date of the bankruptcy order; and (c) any amount payable to an employee, on termination of his employment, as a gratuity under any contract of employment, or under any award or agreement that regulates the conditions of his employment, whether such amount becomes payable before, on or after the date of the bankruptcy order. (5) For the purposes of subsection (1)(c) — “ex gratia payment” means the amount payable to an employee on the bankruptcy of his employer or on the termination of his service by his employer on the ground of redundancy or by reason of any re-organisation of the employer, profession, business, trade or work, and “the amount payable to an employee” for these purposes means the amount stipulated in any contract of employment, award or agreement, as the case may be; “retrenchment benefit” means the amount payable to an employee on the bankruptcy of his employer, on the termination of his service by his employer on the ground of redundancy or by reason of any re-organisation of the employer, profession, business, trade or work, and “the amount payable to an employee” for these purposes means the amount stipulated in any contract of employment, award or agreement, as the case may be, or if no amount is stipulated therein, such amount as is stipulated by the Commissioner for Labour. (6) The debts in each class specified in subsection (1) shall rank in the order therein specified but debts of the same class shall rank equally between themselves, and shall be paid in full, unless the property of the bankrupt is insufficient to meet them, in which case they shall abate in equal proportions between themselves. (7) Where any payment has been made to any employee of the bankrupt on account of wages, salary or vacation leave out of money advanced by a person for that purpose, the person by whom the money was advanced shall, in a bankruptcy, have a right of priority in respect of the money so advanced and paid, up to the amount by which the sum in respect of which the employee would have been entitled to priority in the bankruptcy has been diminished by reason of the payment, and shall have the same right of priority in respect of that amount as the employee would have had if the payment had not been made. (8) Where any creditor has given any indemnity or made any payment of moneys by virtue of which any asset of the bankrupt has been recovered, protected or preserved, the court may make such order as it thinks just with respect to the distribution of such asset with a view to giving that creditor an advantage over other creditors in consideration of the risks run by him in so doing. (9) Where an interim receiver has been appointed under section 73 before the making of the bankruptcy order, the date of the appointment shall, for the purposes of this section, be deemed to be the date of the bankruptcy order.
Section 105. Restriction of rights of creditor under execution or attachment (1) Where the creditor of a bankrupt has issued execution against the goods or lands of the bankrupt or has attached any debt due or property belonging to him, the creditor shall not be
182
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
entitled to retain the benefit of the execution or attachment against the Official Assignee unless he has completed the execution or attachment before the date of the bankruptcy order, except that — (a) a person who purchases in good faith under a sale by the Sheriff any goods of a bankrupt on which an execution has been levied shall in all cases acquire a good title to them against the Official Assignee; and (b) the rights conferred by this subsection on the Official Assignee may be set aside by the court in favour of the creditor to such extent and subject to such terms as the court may think fit. (2) For the purposes of this Act — (a) an execution against goods is completed by seizure and sale; (b) an attachment of a debt is completed by receipt of the debt; and (c) an execution against land or any interest therein is completed by registering under any written law relating to the registration of land a writ of seizure and sale attaching the interest of the bankrupt in the land described therein. III. Companies Act (Cap 50, 2006 Rev Ed Sing) Section 254. Circumstances in which company may be wound up by Court (2) A company shall be deemed to be unable to pay its debts if — (a) a creditor by assignment or otherwise to whom the company is indebted in a sum exceeding $10,000 then due has served on the company by leaving at the registered office a demand under his hand or under the hand of his agent thereunto lawfully authorised requiring the company to pay the sum so due, and the company has for 3 weeks thereafter neglected to pay the sum or to secure or compound for it to the reasonable satisfaction of the creditor; (b) execution or other process issued on a judgment, decree or order of any court in favour of a creditor of the company is returned unsatisfied in whole or in part; or (c) it is proved to the satisfaction of the Court that the company is unable to pay its debts; and in determining whether a company is unable to pay its debts the Court shall take into account the contingent and prospective liabilities of the company.
Section 258. Power to stay or restrain proceedings against company At any time after the making of a winding up application and before a winding up order has been made, the company or any creditor or contributory may, where any action or proceeding against the company is pending, apply to the Court to stay or restrain further proceedings in the action or proceeding, and the Court may stay or restrain the proceedings accordingly on such terms as it thinks fit.
Section 260. Avoidance of certain attachments, etc. Any attachment, sequestration, distress or execution put in force against the estate or effects of
183
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
the company after the commencement of the winding up by the Court shall be void.
Section 262. Actions stayed on winding up order (3) When a winding up order has been made or a provisional liquidator has been appointed, no action or proceeding shall be proceeded with or commenced against the company except — (a) by leave of the Court; and (b) in accordance with such terms as the Court imposes.
Section 328. Priorities (1) Subject to the provisions of this Act, in a winding up there shall be paid in priority to all other unsecured debts — (a) firstly, the costs and expenses of the winding up including the taxed costs of the applicant for the winding up order payable under section 256, the remuneration of the liquidator and the costs of any audit carried out pursuant to section 317; (b) secondly, subject to subsection (2), all wages or salary (whether or not earned wholly or in part by way of commission) including any amount payable by way of allowance or reimbursement under any contract of employment or award or agreement regulating conditions of employment of any employee; (c) thirdly, subject to subsection (2), the amount due to an employee as a retrenchment benefit or ex gratia payment under any contract of employment or award or agreement that regulates conditions of employment whether such amount becomes payable before, on or after the commencement of the winding up; (d) fourthly, all amounts due in respect of work injury compensation under the Work Injury Compensation Act (Cap. 354) accrued before, on or after the commencement of the winding up; (e) fifthly, all amounts due in respect of contributions payable during the 12 months next before, on or after the commencement of the winding up by the company as the employer of any person under any written law relating to employees’ superannuation or provident funds or under any scheme of superannuation which is an approved scheme under the law relating to income tax; (f) sixthly, all remuneration payable to any employee in respect of vacation leave, or in the case of his death to any other person in his right, accrued in respect of any period before, on or after the commencement of the winding up; and (g) seventhly, the amount of all tax assessed and all goods and services tax due under any written law before the commencement of the winding up or assessed at any time before the time fixed for the proving of debts has expired. (2) The amount payable under subsection (1)(b) and (c) shall not exceed such amount as may be prescribed by the Minister by order published in the Gazette. (2B) For the purposes of — (a) subsection (1)(b) and (c) —
184
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
“employee” means a person who has entered into or works under a contract of service with an employer and includes a subcontractor of labour; “wages or salary” shall be deemed to include — (i) all arrears of money due to a subcontractor of labour; (ii) any amount payable to an employee on account of wages or salary during a period of notice of termination of employment or in lieu of notice of such termination, as the case may be, whether such amount becomes payable before, on or after the commencement of the winding up; and (iii) any amount payable to an employee, on termination of his employment, as a gratuity under any contract of employment, or under any award or agreement that regulates conditions of employment whether such amount becomes payable before, on or after the commencement of the winding up; (b) subsection (1)(c) — “ex gratia payment” means the amount payable to an employee on the winding up of a company or on the termination of his service by his employer on the ground of redundancy or by reason of any re-organisation of the employer, profession, business, trade or work, and “the amount payable to an employee” for these purposes means the amount stipulated in any contract of employment, award or agreement, as the case may be; “retrenchment benefit” means the amount payable to an employee on the winding up of a company or on the termination of his service by his employer on the ground of redundancy or by reason of any re-organisation of the employer, profession, business, trade or work, and “the amount payable to an employee” for these purposes means the amount stipulated in any contract of employment, award or agreement, as the case may be, or if no amount is stipulated therein, such amount as is stipulated by the Commissioner for Labour. (3) The debts in each class, specified in subsection (1), shall rank in the order therein specified but as between debts of the same class shall rank equally between themselves, and shall be paid in full, unless the property of the company is insufficient to meet them, in which case they shall abate in equal proportions between themselves. (4) Where any payment has been made to any employee of the company on account of wages, salary or vacation leave out of money advanced by a person for that purpose, the person by whom the money was advanced shall, in a winding up, have a right of priority in respect of the money so advanced and paid, up to the amount by which the sum in respect of which the employee would have been entitled to priority in the winding up has been diminished by reason of the payment, and shall have the same right of priority in respect of that amount as the employee would have had if the payment had not been made. (5) So far as the assets of the company available for payment of general creditors are insufficient to meet any preferential debts specified in subsection (1)(a), (b), (c), (e) and (f) and any amount payable in priority by virtue of subsection (4), those debts shall have priority over the claims of the holders of debentures under any floating charge created by the company (which charge, as created, was a floating charge), and shall be paid accordingly out of any property comprised in or subject to that charge. (6) Where the company is under a contract of insurance (entered into before the commencement of the winding up) insured against liability to third parties, then if any such liability is incurred by
185
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
the company (either before or after the commencement of the winding up) and an amount in respect of that liability is or has been received by the company or the liquidator from the insurer the amount shall, after deducting any expenses of or incidental to getting in such amount, be paid by the liquidator to the third party in respect of whom the liability was incurred to the extent necessary to discharge that liability or any part of that liability remaining undischarged in priority to all payments in respect of the debts referred to in subsection (1). (7) If the liability of the insurer to the company is less than the liability of the company to the third party, nothing in subsection (6) shall limit the rights of the third party in respect of the balance. (8) Subsections (6) and (7) shall have effect notwithstanding any agreement to the contrary entered into after 29th December 1967. (9) Notwithstanding anything in subsection (1) — (a) paragraph (d) of that subsection shall not apply in relation to the winding up of a company in any case where the company is being wound up voluntarily merely for the purpose of reconstruction or of amalgamation with another company and the right to the compensation has on the reconstruction or amalgamation been preserved to the person entitled thereto, or where the company has entered into a contract with an insurer in respect of any liability under any law relating to work injury compensation; and (b) where a company has given security for the payment or repayment of any amount to which paragraph (g) of that subsection relates, that paragraph shall apply only in relation to the balance of any such amount remaining due after deducting therefrom the net amount realised from such security. (10) Where in any winding up assets have been recovered under an indemnity for costs of litigation given by certain creditors, or have been protected or preserved by the payment of moneys or the giving of indemnity by creditors, or where expenses in relation to which a creditor has indemnified a liquidator have been recovered, the Court may make such order as it thinks just with respect to the distribution of those assets and the amount of those expenses so recovered with a view to giving those creditors an advantage over others in consideration of the risks run by them in so doing. IV. Conveyancing and Law of Property Act (Cap 61, 1994 Rev Ed Sing) Section 48. Deposit of power of attorney (1) (a) An instrument creating a power of attorney, its execution being verified by affidavit, statutory declaration, notarial certificate or other sufficient evidence, or a true copy of the instrument duly compared therewith and marked by the Registrar, Deputy Registrar or Assistant Registrar of the Supreme Court with the words “true copy”, or, if the instrument is registered in Malaysia, an office copy thereof, may be deposited in the Registry of the Supreme Court. (b) For the purposes of this section, a photographic reproduction of any such instrument made in such manner and of such dimensions as may be prescribed by general rule shall be deemed to be a true copy of the instrument. (c) The affidavit or declaration, if any, verifying the execution of any instrument creating a power of attorney, or, where an office or true copy of such an instrument is deposited, an office or true copy of that affidavit or declaration, shall be deposited with the instrument
186
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
or copy of the instrument, and paragraphs (a) and (b) shall apply, mutatis mutandis, to such office or true copy. (2) In the case of any instrument creating a power of attorney in a foreign language being so deposited, there shall be deposited therewith a translation thereof, certified by a sworn interpreter of the court, or if there is no interpreter attached to the court sworn to interpret in the language in which the instrument is written, the translation shall be verified by a statutory declaration of some person qualified to translate it. (3) A separate file of instruments so deposited shall be kept, and any person may search that file and inspect every instrument so deposited, and an office copy thereof, and if in a foreign language, of the translation thereof, shall be delivered out to him on request. (4) A copy of an instrument so deposited may be presented at the Registry, and may be stamped or marked as an office copy, and when so stamped or marked shall become and be an office copy. (5) An office copy of an instrument so deposited shall without further proof be sufficient evidence of the contents of the instrument and of the deposit thereof in the Registry. (6) If the instrument so deposited is in a foreign language, an office copy of the translation deposited with the instrument shall without further proof be admissible in evidence as a correct translation of the original document. (7) The fees to be taken in the Registry shall be fixed by the Chief Justice. (8) If any such instrument so deposited at any time thereafter has been or is revoked, the Registrar of the Supreme Court, on being satisfied by affidavit or statutory declaration or otherwise that the instrument has been revoked, shall endorse thereon a certificate stating that it has been revoked and the date thereof, and thereupon the instrument shall be deemed to have been duly revoked as from the date of that certificate. (9) Nothing in this section shall be deemed to affect or invalidate a revocation of any such instrument where no certificate is made or any earlier revocation thereof. (10) Any reference in subsections (2), (3), (4), (5), (6), (8) and (9) to an instrument shall be deemed to include a reference to a true or office copy of the instrument deposited in accordance with subsection (1). (11) Any reference in section 8 or any written law to a power of attorney deposited, filed or registered under or in the manner provided by this section includes a reference to a lasting power of attorney registered under the Mental Capacity Act 2008. V. Criminal Procedure Code (Cap 68, 2012 Rev Ed Sing) Section 281. Evidence through video or television links (1) Notwithstanding any provision of this Code or of any other written law, but subject to the provisions of this section, the court may allow the evidence of a person in Singapore (except the accused) to be given through a live video or live television link in any trial, inquiry, appeal or other proceedings if — (a) the witness is below the age of 16 years; (b) the offence charged is an offence specified in subsection (2);
187
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
(c) the court is satisfied that it is in the interests of justice to do so; or (d) the Minister certifies that it is in the public interest to do so. (2) The offences for the purposes of subsection (1)(b) are — (a) an offence that involves an assault on or injury or a threat of injury to persons, including an offence under sections 319 to 338 of the Penal Code (Cap. 224); (b) an offence under Part II of the Children and Young Persons Act (Cap. 38) (relating to protection of children and young persons); (c) an offence under sections 354 to 358 and sections 375 to 377B of the Penal Code; (d) an offence under Part XI of the Women’s Charter (Cap. 353) (relating to offences against women and girls); and (e) any other offence that the Minister may, after consulting the Chief Justice, prescribe. (3) Notwithstanding any provision of this Code or of any other written law, the court may order an accused to appear before it through a live video or live television link while in remand in Singapore in proceedings for any of the following matters: (a) an application for bail or release on personal bond at any time after an accused is first produced before a Magistrate pursuant to Article 9(4) of the Constitution; (b) an extension of the remand of an accused under section 238; and (c) any other matters that the Minister may, after consulting the Chief Justice, prescribe. (4) Notwithstanding any provision of this Code or of any other written law but subject to subsection (5), an accused who is not a juvenile may appear before the court through a live video or live television link while in remand in Singapore in proceedings for an application for remand or for bail or for release on personal bond when he is first produced before a Magistrate pursuant to Article 9(4) of the Constitution. (5) A court may, if it considers it necessary, either on its own motion or on the application of an accused, require an accused to be produced in person before it in proceedings referred to in subsection (4). (6) In exercising its powers under subsection (1), (3) or (4), the court may make an order on all or any of the following matters: (a) the persons who may be present at the place with the witness; (b) that a person be kept away from the place while the witness is giving evidence; (c) the persons in the courtroom who must be able to be heatd, or seen and heard, by the witness and by the persons with the witness; (d) the persons in the courtroom who must not be able to be heard, or seen and heard, by the witness and by the persons with the witness; (e) the persons in the courtroom who must be able to see and hear the witness and the persons with the witness; (f) the stages in the proceedings during which a specified part of the order is to apply; (g) the method of operation of the live video or live television link system including compliance with such minimum technical standards as may be determined by the Chief
188
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Justice; (h) any other order that the court considers necessary in the interests of justice. (7) The court may revoke, suspend or vary an order made under this section if — (a) the live video or live television link system stops working and it would cause unreasonable delay to wait until a working system becomes available; (b) it is necessary for the court to do so to comply with its duty to ensure fairness in the proceedings; (c) it is necessary for the court to do so in order that the witness can identify a person or a thing or so that the witness can participate in or view a demonstration or an experiment; (d) it is necessary for the court to do so because part of the proceedings is being heard outside a courtroom; or (e) there has been a material change in the circumstances after the court has made the order. (8) The court must not make an order under this section, or include a particular provision in such an order, if to do so would be inconsistent with its duty to ensure that the proceedings are conducted fairly to all parties. (9) An order made under this section does not cease to apply merely because the person in respect of whom it was made reaches the age of 16 years before the proceedings in which it was made are finally concluded. (10) When a witness gives evidence in proceedings through a live video or live television link, the evidence is to be regarded for the purposes of sections 193, 194, 195, 196, 205 and 209 of the Penal Code as having been given in those proceedings. (11) If a witness gives evidence in accordance with this section, for the purposes of this Code and the Evidence Act (Cap. 97), he is regarded as giving evidence in the presence of the court and the accused, as the case may be. (12) In subsections (6), (10) and (11), a reference to “witness” includes a reference to an accused who appears before a court through a live video or live television link under subsection (3) or (4). (13) The Chief Justice may make such rules as appear to him to be necessary or expedient to give effect to this section and for prescribing anything that may be prescribed under this section.
Kim Gwang Seok v Public Prosecutor [2012] 4 SLR 821; [2012] SGCA 51 Holding
●
[24]: “Parliament clearly intended that s 364A [of the Criminal Procedure Code] should not be applied to allow witnesses who were physically outside Singapore to give evidence via video link for criminal proceedings in Singapore because of the potential problem of foreign witnesses giving false evidence to exonerate accused persons, particularly in cases involving drug offences, which was exactly the situation in the present case.”
189
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Summary of facts
●
Furthermore, it seemed that the norm was that witnesses had to be physically present in court to give evidence, as a matter of both practice and law. The provisions in the CPC were based on the assumption that the entire trial process, which included the goving of evidence by witnesses, was to be physically conducted in a courtroom. The manner in which s 364A [of the Criminal Procedure Code] itself was framed reinforced this point: s 364A [of the Criminal Procedure Code] provided a sole and exceptional avenue for allowing a witness to give evidence in a criminal proceeding while physically outside of the court through video link, as could be inferred from the presence of the words "[n]otwithstanding any other provision of this Act or the Evidence Act" at the beginning of s 364A [of the Criminal Procedure Code] at [27 and [28]
●
As far as adduction of evidence by video link was concerned, Parliament clearly intended that criminal proceedings were to be treated differently from civil proceedings. Section 62A of the Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed) expressly permitted witnesses to give evidence from abroad via video link for civil proceedings in Singapore. For criminal proceedings, the witnesses who were giving evidence via video link had to be present in Singapore even though they need not be physically present in court before the judge.
The appellant was a Korean national who was charged for an offence under the Misuse of Drugs Act (Cap 185, 2008 Rev Ed) of engaging in a conspiracy to export drugs from Singapore to Australia. He filed a criminal motion seeking leave from the High Court to allow five Korean nationals to testify for him at his impending trial via video link from Korea, with a view towards establishing his defence to the charge.
VI. Employment Act (Cap 91, 2009 Rev Ed Sing) Section 2. Interpretation (1) In this Act, unless the context otherwise requires — … “employee” means a person who has entered into or works under a contract ofservice with an employer and includes a workman, and any officer or employee of the Government included in a category, class or description of such officers or employees declared by the President to be employees for the purposes of this Act or any provision thereof, but does not include — (a) any seafarer; (b) any domestic worker; (c) subject to subsection (2), any person employed in a managerial or an executive position; and (d) any person belonging to any other class of persons whom the Minister may, from time to time by notification in the Gazette, declare not to be employees for the purposes of this Act;
190
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Section 3. Appointment of officers (1) The Minister may appoint an officer to be styled the Commissioner for Labour (referred to in this Act as the Commissioner) and also one or more officers to be styled Deputy Commissioner for Labour, Principal Assistant Commissioner for Labour or Assistant Commissioner for Labour, who, subject to such limitations as may be prescribed, may perform all duties imposed and exercise all powers conferred on the Commissioner by this Act, and every duty so performed and power so exercised shall be deemed to have been duly performed and exercised for the purposes of this Act. (2) The Minister may appoint such number of inspecting officers and other officers as he may consider necessary or expedient for the purposes of this Act.
Section 10. Notice of termination of contract (1) Either party to a contract of service may at any time give to the other party notice of his intention to terminate the contract of service. (2) The length of such notice shall be the same for both employer and employee and shall be determined by any provision made for the notice in the terms of the contract of service, or, in the absence of such provision, shall be in accordance with subsection (3). (3) The notice to terminate the service of a person who is employed under a contract of service shall be not less than — (a) one day’s notice if he has been so employed for less than 26 weeks; (b) one week’s notice if he has been so employed for 26 weeks or more but less than 2 years; (c) 2 weeks’ notice if he has been so employed for 2 years or more but less than 5 years; and (d) 4 weeks’ notice if he has been so employed for 5 years or more. (4) This section shall not be taken to prevent either party from waiving his right to notice on any occasion. (5) Such notice shall be written and may be given at any time, and the day on which the notice is given shall be included in the period of the notice.
Section 115. Commissioner’s power to inquire into complaints (1) Subject to this section, the Commissioner may inquire into and decide any dispute between an employee and his employer or any person liable under the provisions of this Act to pay any salary due to the employee where the dispute arises out of any term in the contract of service between the employee and his employer or out of any of the provisions of this Act, and in pursuance of that decision may make an order in the prescribed form for the payment by either party of such sum of money as he considers just without limitation of the amount thereof. (2) The Commissioner shall not inquire into any dispute in respect of matters arising earlier than one year from the date of lodging a claim under section 119 or the termination of the contract of service of or by the person claiming under that section: Provided that the person claiming in respect of matters arising out of or as the result of a
191
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
termination of a contract of service has lodged a claim under section 119 within 6 months of the termination of the contract of service. (3) The powers of the Commissioner under subsection (1) shall include the power to hear and decide, in accordance with the procedure laid down in this Part, any claim by a subcontractor for labour against a contractor or subcontractor for any sum which the subcontractor for labour claims to be due to him in respect of any labour provided by him under his contract with the contractor or subcontractor and to make such consequential orders as may be necessary to give effect to his decision. (3A) Where the employee is employed in a managerial or an executive position, an order for the payment of money under subsection (1) shall not exceed $20,000. (3B) Subject to subsection (3C), any order made by the Commissioner under subsection (1) in the absence of a party concerned or affected by the order may be set aside or varied by the Commissioner, on the application of that party, on such terms as the Commissioner thinks just. (3C) An application to set aside or vary an order made by the Commissioner referred to in subsection (3B) shall be made no later than 14 days after the date of the order. (4) In this section, “employer” includes the transferor and the transferee of an undertaking or part thereof referred to in section 18A.
Section 117. Right of appeal (1) Where any person interested is dissatisfied with the decision or order of the Commissioner, he may, within 14 days after the decision or order, appeal to the High Court from the decision or order. (2) The procedure governing any such appeal to the High Court shall be as provided for in the Rules of Court.
Section 119. Procedure for making and hearing claims (1) The mode of procedure for the making and hearing of claims shall be as follows: (a) the person claiming shall lodge a memorandum at the office of the Commissioner, specifying shortly the subject-matter of the claim and the remedy sought to be obtained, or he may make his claim in person to the Commissioner who shall immediately reduce it or cause it to be reduced in writing; (b) upon receipt of the memorandum or verbal claim and of the registration fee payable by the person in accordance with the rates specified in the Second Schedule, the Commissioner shall summon in writing the party against whom the claim is made, giving reasonable notice to him of the nature of the claim and the time and place at which the claim will be inquired into, and he shall also notify or summon all persons whose interests may appear to him likely to be affected by the proceedings; (c) the Commissioner may also summon such witnesses as either party may wish to call; (d) if the party against whom a claim is made wishes to make a counterclaim against the party claiming, he shall notify the Commissioner and the other party in writing of the nature and amount of the counterclaim not less than 3 days before the date of the inquiry; (e) at any time between the issuing of summons and the hearing of the claim, the
192
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Commissioner may hold or cause to be held a preliminary inquiry at which the party claiming and the party against whom the claim is made shall be present after having been notified in writing of the inquiry; (f) at the preliminary inquiry the parties may amend or withdraw the whole claim or portion thereof, make a counterclaim or reach a settlement in respect of the claim; (g) if a settlement is effected at a preliminary inquiry in respect of a claim or portion thereof, the Commissioner shall make an order recording the terms of the settlement and that order shall have effect as if it were an order made under paragraph (h); (h) at the time and place appointed the parties shall attend and state their case before the Commissioner and may call evidence, and the Commissioner, having heard on oath or affirmation the statements and evidence and any other evidence which he may consider necessary, shall give his decision and make such order in the prescribed form as may be necessary for giving effect to the decision; (i) if any person interested has been duly summoned by the Commissioner to attend at the inquiry and makes default in so doing, the Commissioner may hear the claim and make his decision in the absence of that person notwithstanding that the interest of that person may be prejudicially affected by his decision; (j) the Commissioner shall keep a case book, in which he shall enter notes of the evidence taken and the decisions arrived at in each case hEead before him and shall authenticate them by attaching his signature thereto, and the record in the case book shall be sufficient evidence of the giving of any decision, or of the making of any order, and of the terms thereof; and any person interested in a dispute, decision or order, shall be entitled to a copy of the record upon payment of the prescribed fee. (2) In hearing claims or conducting proceedings under this Part, the Commissioner — (a) shall not be bound to act in a formal manner or in accordance with the Evidence Act (Cap. 97) but may inform himself on any matters in such manner as he thinks just; and (b) shall act according to equity, good conscience and the merits of the case without regard to technicalities. (3) All proceedings before the Commissioner shall be held in private.
Section 122. Jurisdiction of courts not affected Nothing in this Part shall limit or affect the jurisdiction of any court. VII. Employment of Foreign Manpower Act (Cap 91A, 2009 Rev Ed Sing) Section 5. Prohibition of employment of foreign employee without work pass (1) No person shall employ a foreign employee unless the foreign employee has a valid work pass. (2) No foreign employee shall be in the employment of an employer without a valid work pass. (3) No person shall employ a foreign employee otherwise than in accordance with the conditions of the foreign employee’s work pass.
193
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
(4) In any proceedings for an offence under subsection (1), it shall not be a defence for a defendant to prove that he did not know that the employee was a foreign national unless the defendant further proves that he had exercised due diligence to ascertain the nationality of the employee. (5) For the purpose of subsection (4), a defendant shall not be deemed to have exercised due diligence unless he had checked the passport, document of identity or other travel document of the employee. (6) Any person who contravenes subsection (1) shall be guilty of an offence and shall — (a) be liable on conviction to a fine of not less than $5,000 and not more than $30,000 or to imprisonment for a term not exceeding 12 months or to both; and (b) on a second or subsequent conviction — (i) in the case of an individual, be punished with a fine of not less than $10,000 and not more than $30,000 and with imprisonment for a term of not less than one month and not more than 12 months; or (ii) in any other case, be punished with a fine of not less than $20,000 and not more than $60,000. (6A) [Deleted by Act 24 of 2012 wef 09/11/2012] (7) Any person who contravenes subsection (2) shall be guilty of an offence and shall be liable on conviction to a fine not exceeding $20,000 or to imprisonment for a term not exceeding 2 years or to both. (7A) Any person who contravenes subsection (3) shall be guilty of an offence and shall be liable on conviction to a fine not exceeding $10,000. (8) For the purposes of this section — (a) [Deleted by Act 24 of 2012 wef 09/11/2012] (b) for the avoidance of doubt, where a person has been convicted of an offence under subsection (6), and he has on a previous occasion been convicted for contravening section 5(1) of the Employment of Foreign Workers Act (Cap. 91A, 1997 Ed.) in force immediately before 1st July 2007, the first-mentioned conviction shall be considered a second or subsequent conviction under subsection (6); and (c) all convictions against the same person for the contravention of subsection (1) at one and the same trial shall be deemed to be one conviction.
Section 22B. Proscribed manpower-related practices (1) Any person who — (a) obtains a work pass for a foreign employee for a trade or business that does not exist, that is not in operation or that does not require the employment of such a foreign employee; and (b) fails to employ the foreign employee, shall be guilty of an offence and shall on conviction be punished with imprisonment for a term of not less than 6 months and not more than 2 years and shall also be liable to a fine not exceeding
194
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
$6,000.
Section 23. Abetment of offences (1) Any person who abets the commission of an offence under this Act shall be guilty of the offence and shall be liable on conviction to be punished with the punishment provided for that offence. VIII. Evidence Act (Cap 97, 1997 Rev Ed Sing) Section 23. Admissions in civil cases when relevant (1) In civil cases, no admission is relevant if it is made — (a) upon an express condition that evidence of it is not to be given; or (b) upon circumstances from which the court can infer that the parties agreed together that evidence of it should not be given. (2) Nothing in subsection (1) shall be taken — (a) to exempt any advocate or solicitor from giving evidence of any matter of which he may be compelled to give evidence under section 128; or (b) to exempt any legal counsel in an entity from giving evidence of any matter of which he may be compelled to give evidence under section 128A.
Section 62A. Evidence through live video or live television links (1) Notwithstanding any other provision of this Act, a person may, with leave of the court, give evidence through a live video or live television link in any proceedings, other than proceedings in a criminal matter, if — (a) the witness is below the age of 16 years; (b) it is expressly agreed between the parties to the proceedings that evidence may be so given; (c) the witness is outside Singapore; or (d) the court is satisfied that it is expedient in the interests of justice to do so. (2) In considering whether to grant leave for a witness outside Singapore to give evidence by live video or live television link under this section, the court shall have regard to all the circumstances of the case including the following: (a) the reasons for the witness being unable to give evidence in Singapore; (b) the administrative and technical facilities and arrangements made at the place where the witness is to give his evidence; and (c) whether any party to the proceedings would be unfairly prejudiced. (3) The court may, in granting leave under subsection (1), make an order on all or any of the following matters:
195
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
(a) the persons who may be present at the place where the witness is giving evidence; (b) that a person be excluded from the place while the witness is giving evidence; (c) the persons in the courtroom who must be able to be heard, or seen and heard, by the witness and by the persons with the witness; (d) the persons in the courtroom who must not be able to be heard, or seen and heard, by the witness and by the persons with the witness; (e) the persons in the courtroom who must be able to see and hear the witness and the persons with the witness; (f) the stages in the proceedings during which a specified part of the order is to have effect; (g) the method of operation of the live video or live television link system including compliance with such minimum technical standards as may be determined by the Chief Justice; and (h) any other order the court considers necessary in the interests of justice. (4) The court may revoke, suspend or vary an order made under this section if — (a) the live video or live television link system stops working and it would cause unreasonable delay to wait until a working system becomes available; (b) it is necessary for the court to do so to comply with its duty to ensure that the proceedings are conducted fairly to the parties thereto; (c) it is necessary for the court to do so, so that the witness can identify a person or a thing or so that the witness can participate in or view a demonstration or an experiment; (d) it is necessary for the court to do so because part of the proceedings is being heard outside a courtroom; or (e) there has been a material change in the circumstances after the court has made an order. (5) The court shall not make an order under this section, or include a particular provision in such an order, if to do so would be inconsistent with the court’s duty to ensure that the proceedings are conducted fairly to the parties to the proceedings. (6) An order made under this section shall not cease to have effect merely because the person in respect of whom it was made attains the age of 16 years before the proceedings in which it was made are finally determined. (7) Evidence given by a witness, whether in Singapore or elsewhere, through a live video or live television link by virtue of this section shall be deemed for the purposes of sections 193, 194, 195, 196, 205 and 209 of the Penal Code (Cap. 224) as having been given in the proceedings in which it is given. (8) Where a witness gives evidence in accordance with this section, he shall, for the purposes of this Act, be deemed to be giving evidence in the presence of the court. (9) The Rules Committee constituted under the Supreme Court of Judicature Act (Cap. 322) may make such rules as appears to it to be necessary or expedient for the purpose of giving effect to this section and for prescribing anything which may be prescribed under this section.
196
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
IB v Comptroller of Income Tax [2005] SGDC 50 Holding
In considering whether to grant leave under s 62A(2) [of the Evidence Act] the Board considered measures to safeguard the security and confidentiality of the proceedings being conducted via video conferencing to private premises nominated by the Appellant. [42] “The Appellant’s subsequent application for leave at the last minute before the hearing to give evidence by video-link from Xian, China was opposed by the respondent on the grounds that they would be unfairly prejudiced. For evidence through live video-link, the applicant must satisfy the conditions in s 62A of the Evidence Act. Some of the circumstances that the Board should consider whether or not to grant leave in this case are laid out in s 62A(2) of the Evidence Act. After hearing the parties’ submissions, the Board refused to grant leave to the Appellant’s application on these reasons as well as the absence of any adequate measure to safeguard the security and confidentiality of the proceedings being conducted via video-link to private premises nominated by the Appellant.”
Summary of facts
Facts of the case not particularly relevant to this context
Peters Roger May v Pinder Lillian Gek Lian [2006] 2 SLR 381 Holding
Held that the ready availability and accessibility of video conferencing coupled with its relative affordability has diminished the significance of the physical convenience of a witness as a yardstick in assessing the appropriateness of a forum. [26]: “The easy and ready availability of video link nowadays warrants an altogether different, more measured and pragmatic re-assessment of the need for the physical presence of foreign witnesses in stay proceedings. Geographical proximity and physical convenience are no longer compelling factors nudging a decision on forum non conveniens towards the most “witness convenient” jurisdiction from the viewpoint of physical access. Historically, the availability and convenience of witnesses was a relevant factor as it had a bearing on the costs of preparing and/or presenting a case and, most crucially, in ensuring that all the relevant evidence was adduced before the adjudicating court. The advent of technology however has fortunately engendered affordable
197
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
costs of video-linked evidence with unprecedented clarity and life-like verisimilitude, so that the importance of this last factor recedes very much into the background both in terms of relevance and importance. In other words, the availability and accessibility of video links coupled with its relative affordability have diminished the significance of the “physical convenience” of witnesses as a yardstick in assessing the appropriateness of a forum.”
The threshold to granting leave for video conferencing ought to be relatively low. [27]: “The respondent has not advanced any arguments, cogent or otherwise, why adducing evidence by video link in this case would be in any way inconvenient, unsuitable or prejudicial. If sufficient reason is given why the actual physical presence of foreign witnesses cannot be effected, a court should lean in favour of permitting video-linked evidence in lieu of the normal rule of physical testimony. Sufficient reason ought to be a relatively low threshold to overcome and should be assessed with aliberal and pragmatic latitude. If a witness is not normally resident within a jurisdiction that may itself afford a sufficient reason with a view to minimising costs. On the other hand, if for instance the evidence of an important foreign witness cannot be voluntarily obtained by video link, this could tip the balance in favour of heeaing the matter in the foreign jurisdiction where the witness resides so the witness can be compelled to give evidence there. Even then, the importance of that witness personally gIiving evidence as a factor may not be critical if deposition taking is available. The relative gravity of this factor must invariably be weighed and measured against the nature and relevance of the proposed evidence.”
Summary of facts
The parts of the case that are relevant pertain to forum non conveniens and its relationship with video conferencing. The respondent requested for a stay of proceedings, arguing that England (as opposed to Singapore) was the more appropriate forum for the determination of the proceedings, one reason being the convenience of witnesses.
Sonica Industries v Fu Yu Manufacturing Ltd [1999] SGCA 63 Holding
There are four grounds for an application for leave under s 62A(1) of the Evidence Act. Further the court must have regard to all the circumstances of the case, including the three nonexhaustive factors in s 62A(2) of the Evidence Act. Finally, the court will consider the overriding question of unfair prejudice under s 62A(5)of the Evidence Act.
198
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
[10]: “In this case, the application was made on the ground that the two witnesses were outside Singapore and were unable to come to Singapore to give oral evidence. Thus, para (c) of s 62A(1) was satisfied. That, of course, was not the end of the matter. The court must have regard to all the circumstances of the case, including the three particular circumstances described in sub-s (2) of s 62A of the Act.” [15]: “The question of unfair prejudice is an overriding consideration in such an application. Subsection (5) of s 62A of the Act provides expressly that the court is not to make an order under that section, or to include a particular provision in such an order, if to do so would be inconsistent with the court’s duty to ensure that the proceedings are conducted fairly to the parties to the proceedings.”
With regard to Mr Kawamura, the plaintiff’s request for video conferencing was granted. First, in considering all circumstances of the case pursuant to s 62A(2) of the Evidence Act, the court noted that the plaintiffs had no control over Mr Kawamura and had made the necessary attempts to secure his presence in Singapore without any success. Second, regarding the issue of prejudice, the court balanced the prejudice to the defendants if videoconferencing were granted against prejudice to the plaintiffs if video-conferencing were denied. [12]: “The fact remained that MrKawamura had always been located overseas, and in particular in California. To come to Singapore to give evidence for the plaintiffs at the trial, Mr Kawamura had to make a special arrangement for the purpose. It must be remembered that Mr Kawamura was not in any way obliged to give evidence on behalf of the plaintiffs. Indeed, Mr Kawamura is an employee of Kanematsu, and according to the plaintiffs, Kanematsu has made a claim against the plaintiffs and is therefore in some degree of contention with them. Clearly, the plaintiffs have no control over Mr Kawamura and can only rely on his willingness to help them. In all the circumstances, we were of the view that the plaintiffs had made the necessary attempts to secure Mr Kawamura’s presence in Singapore for the purpose of the trial but without any success.” [16]: “In this case, we can see no prejudice to the defendants by an order allowing Mr Kawamura to give evidence via live video or television link. The plaintiffs have identified the particular facts and issues which could be proved by Mr Kawamura’s testimony. A statement of the evidence of Mr Kawamura had already been furnished to the defendants. The defendants would not be taken by surprise by the evidence that is intended to be led. There was also no objection that the evidence of Mr Kawamura would be very complicated or technical. The video or television link facilities would still allow the defendants’ counsel to cross-examine Mr Kawamura on his evidence.”
199
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
[17]: “On the other hand, if the plaintiffs were refused leave to use the video or television link facilities, they would be unable to adduce critical evidence pertaining to the resale contract alleged to have been made with Kanematsu, as well as evidence on how Kanematsu came to cancel their orders with the plaintiffs. Apparently, the alleged contract for the resale was not otherwise evidenced by any purchase order, due to Kanematsu’s standard procedure. Mr Kawamura would be in a position to give relevant evidence on this point. We agreed with the plaintiffs that Mr Kawamura’s evidence on the resale contract was material in the main action. Leave should be given for such evidence to be adduced via video link, as no prejudice is thereby caused to the defendants.”
With regard to Mr Lee, the plaintiff’s request for video conferencing was rejected as his evidence related merely to the credibility of the witness. [19]: “As for the other witness, Mr Paul Lee, his evidence related solely to the alleged improper threat alleged to have been uttered to Mr Kawamura by the defendants’ officers. This evidence was not material to the issues in the main action and related merely to the credibility of Mr Kawamura and the defendants’ witnesses. At best, this evidence was only peripheral to the main issues in the trial, and we did not think that it justified an order allowing Mr Paul Lee to give evidence by live video or television link.”
Summary of facts
The plaintiff claimed to have entered into a contract with the defendant which was subsequently breached by the defendant, resulting in a loss of profits and possible legal liability to a third party. The plaintiff made an oral application pursuant to s 62A of the Evidence Act for leave to allow video-conferencing for two witnesses, Mr Kawamura and Mr Lee, on grounds that they were unable to come to Singapore to give oral evidence at trial.
IX. Immigration Regulations (Cap 133, Reg 1, 1998 Rev Ed Sing) Regulation 2. Definitions “Controller” includes — (a) an immigration officer or other person authorised by the Controller to act generally on his behalf under these Regulations; and (b) where the Controller authorises an immigration officer or other person to act on his behalf for the purpose of one or more but not all of these Regulations, for the purposes of such regulation, the immigration officer or other person so authorised;
200
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Regulation 15. Special pass (1) A special pass, other than a special pass issued under section 6A 260 of the Act, may be issued by the Controller to any person if the Controller considers the issue of such a pass desirable — (a) in order to afford an opportunity of making enquiry for the purpose of determining whether that person is entitled to an entry permit or is otherwise entitled to enter Singapore under the provisions of the Act or of these Regulations or whether that person is a prohibited immigran; (b) in order to afford that person a reasonable opportunity of prosecuting an appeal under the provisions of the Act against any decision of the Controller; or (c) for any other special reason. (2) A special pass shall entitle the holder thereof to enter Singapore or remain therein for such period, not exceeding one month, as may be stated in the pass except that the Controller may from time to time extend the period of the pass, and in special circumstances, the period of such extension may exceed one month. (3) [Deleted by S 393/2008] (4) A special pass may at any time be cancelled by the Controller except that the Controller shall not cancel a pass issued under paragraph (1)(b) otherwise than for breach of any condition imposed in respect thereof until the appeal, in respect of which the pass has been issued, has been determined. (5) Where a special pass is to be issued, the applicant shall, if so required, furnish to the Controller 2 recent photographs of himself.
X. Limitations Act (Cap 163, 1996 Rev Ed Sing) Section 6. Limitation of actions of contract and tort and certain other actions (1) Subject to this Act, the following actions shall not be brought after the expiration of 6 years from the date on which the cause of action accrued: (a) actions founded on a contract or on tort; (b) actions to enforce a recognizance; (c) actions to enforce an award; (d) actions to recover any sum recoverable by virtue of any written law other than a penalty or forfeiture or sum by way of penalty or forfeiture. (2) An action for an account shall not be brought in respect of any matter which arose more than 6 years before the commencement of the action. (3) An action upon any judgment shall not be brought after the expiration of 12 years from the
260
Immigration Regulations, supra note 1, s 6A. Lihat Bagian 6.IX untuk naskah UU tersebut.
201
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
date on which the judgment became enforceable and no arrears of interest in respect of any judgment debt shall be recovered after the expiration of 6 years from the date on which the interest became due.
Desert Palace Inc v Poh Soon Kia [2009] SGCA 60 Holding
Held that s 6(3) of the Limitation Act does not prescribe any time bar for garnishee proceedings or a writ of seizure. In this regard, the court noted that a distinction has been drawn in case law between an “action” upon a judgment and an “execution” of a judgment, and highlighted policy reasons supporting such a distinction. [60]: “In Ridgeway Motors (Isleworth) Ltd v ALTS Ltd [2005] 2 All ER 304, a judgment creditor presented a winding-up petition based on a judgment that was more than six years old. The judgment debtors’ attempt to strike out the winding up petition on the basis that it was statute-barred after the expiration of six years from the date on which the judgment became enforceable was dismissed. It was held that “an action upon a judgment” had the special or technical mEeaning of a “fresh action” brought upon a judgment in order to obtain a second judgment, which could be executed. Insolvency proceedings, whether personal or corporate, did not fall within the scope of that special meaning and it was not open to the court to interpret the expression “action upon a judgment” in s 24 (1) of the 1980 Act in the sense indicated by the extended definition of “action” in s 38(1) which stated, inter alia, that “[i]n this Act, unless the context otherwise requires, ‘action’ includes any proceeding in a court of law, including an ecclesiastical court”. Mummery LJ in the English Court of Appeal said (at [31]): There is, in my opinion, much to be said for the submission of Mr Anthony Mann QC (as he then was) appearing as counsel for the plaintiff judgment creditors in Lowsley’s case [1999] 1 ACT 329 at 333: There are good policy reasons for distinguishing between action and execution. Limitation statutes are intended to prevent stale claims, to relieve a potential defendant of the uncertainty of a potential claim against [him] and to remove the injustice of increasing difficulties of proof as time goes by. These considerations do not apply to execution. If it is unfair to have a judgment debt outstanding with interest running at a high rate, the debtor has the remedy of paying the debt or taking out his own bankruptcy if he cannot pay it” [63]: “In the LA, unless the context otherwise requires, an “action” also includes a suit or any other proceedings in a court. Basically, there are two ways of enforcing a judgment: by execution and by action. However, a writ of execution does not come within s 6 (3) of the LA, a stand that I would take in reliance on the authorities above. The Court of Appeal in Tan Kim Seng v Ibrahim Victor Adam [2004] 1 SLR(R) 181 at [29] also observed that there was a distinction between “execution” and “an action upon any judgment” and referred to Halsbury’s Laws of England vol 28 (Butterworths, 4th Ed Reissue, 1997) at para 916: [A]n action upon a judgment applies only to the enforcement of judgments by suing on them and does not apply to the issue of executions upon judgments for which the leave of the court is required, after six years
202
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
have elapsed, by RSC Ord 46 r 2(1)(a); in matters of limitation the right to sue on a judgment has always been regarded as quite distinct from the right to issue execution under it, but the court will not give leave to issue execution when the right of action is barred.” [64] “As such, the law of limitation of actions would not affect the rules in relation to execution (and would also not apply to applications to levy execution for that matter). If it did, then an argument could be made that O 46 r 2 which subjected the writ of execution to enforce a judgment or order to the leave of the court where six years or more had lapsed since the date of the judgment or order could be in conflict with s 6(3) of the LA which allowed 12 years for bringing an action upon any judgment as of right under the statute. Further, the fact that the court could theoretically grant leave to the plaintiff to issue a writ of execution to enforce a judgment even after more than 12 years had elapsed would appear to contradict the time bar set out in s 6(3) of the LA, if that section was intended to apply to enforcement of a judgment by way of a writ of execution. If a matter was time-barred under the LA, a court would not have the power or the discretion to extend time beyond the time bar by granting leave. [65]: “The policy reasons for distinguishing between “action” and “execution” as set out by Mummery LJ (see [60] above), and the reasons why the considerations of potential defendants being subjected to the uncertainty of stale claims and the injustice of increasing difficulties of proof with time did not apply to the procedural steps needed for execution on a judgment already obtained (as opposed to that of a fresh substantive action upon a judgment) made much sense to me. They also explained the rationale for the absence of a time bar for the procedural enforcement of a judgment like the writ of execution or other modes of enforcement; and why a case of a fresh action on a judgment to obtain another substantive judgment must be treated differently and be made subject to a time bar. If a limitation period were to exist for execution of a judgment, then a clever judgment debtor can simply avoid payment of the judgment debt by hiding his assets well and keeping them out of reach of the judgment creditor as long as possible by using the international financial and banking systems and setting up shell companies or trusts in overseas jurisdictions to hold and hide his assets. The existence of a time bar for procedural execution may incentivise a judgment debtor to frustrate the judgment creditor’s search for his assets until the execution on the judgment against him is time-barred. Passage of time should not on principle be allowed to morph into an instrument to extinguish a judgment debt and make a mockery of the execution process on a judgment of the court.” [66]: “Public policy and the interests of justice should instead lean in favour of the position that it is for the judgment debtor to seek out the judgment creditor and settle the judgment creditor’s judgment debt expeditiously. There is no good reason why the court should favour cat and mouse games that are usually played out when judgment debtors use all possible means to delay and if possible evade enforcement or execution. The court ought not to favour those who have no qualms about flouting orders of court to pay on judgment debts.” [67]: “A time bar for procedural execution of a judgment would have the inadvertent and unintended effect of encouraging such cat-and-mouse
203
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
games. The resources of both the court and the judgment creditor are often expended unnecessarily whereby the judgment creditor has to search far and wide for the assets of the judgment debtor, take up numerous court enforcement measures and try to execute on the judgment that he has obtained, probably with much effort and costs on his part already. It would not make sense to make it more difficult for the judgment creditor to obtain the fruits of the judgment he has obtained by imposing a time bar for procedural execution on judgments in the LA. A judgment debtor ought to recognise the authority of the order of the court directing that he, the judgment debtor, pays the judgment creditor. By not paying, it is the judgment debtor who is breaching the order of the court for him to pay. It is important to note that a judgment is no longer a claim but an order of court to be obeyed by the judgment debtor after the claim has been adjudicated by the court in favour of the judgment creditor. The judgment creditor as the winning party tries to ensure that the judgment as an order of the court is respected and obeyed by the losing party (and is not rendered a paper judgment to be treated with scorn and disdain). Hence, for good public policy reasons, the court should lean in favour of assisting the winning party rather than the losing party. This in my view is a good reason to interpret “action upon any judgment” in s 6(3) of the LA restrictively to exclude a writ of execution on a judgment and all other modes of enforcement like garnishee proceedings, charging orders and insolvency proceedings, for which the LA does not prescribe any time bar, and accordingly, a judgment obtained is never “dead” because procedural execution on it always remains possible.” Summary of facts
Facts of the case not particularly relevant to this context.
XI. Rules of Court (Cap 322, R 5, 2006 Rev Ed Sing) Interpretation (O. 59, r. 1) (1) In this Order — “costs” includes fees, charges, disbursements, expenses and remuneration;
Order 23. Security for costs Security for costs of action, etc. (O. 23, r.1) (1) Where, on the application of a defendant to an action or other proceeding in the Court, it appears to the Court — (a) that the plaintiff is ordinarily resident out of the jurisdiction; (b) that the plaintiff (not being a plaintiff who is suing in a representative capacity) is a nominal plaintiff who is suing for the benefit of some other person and that there is reason to believe that he will be unable to pay the costs of the defendant if ordered to do so;
204
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
(c) subject to paragraph (2), that the plaintiff’s address is not stated in the writ or other originating process or is incorrectly stated therein; or (d) that the plaintiff has changed his address during the course of the proceedings with a view to evading the consequences of the litigation, then, if, having regard to all the circumstances of the case, the Court thinks it just to do so, it may order the plaintiff to give such security for the defendant’s costs of the action or other proceeding as it thinks just. (2) The Court shall not require a plaintiff to give security by reason only of paragraph (1) (c) if he satisfies the Court that the failure to state his address or the mis-statement thereof was made innocently and without intention to deceive. (3) Where, on the application of a defendant to an action or other proceeding in the Court, it appears to the Court — (a) that a party, who is not a party to the action or proceeding (referred to hereinafter as a ‘‘non-party’’), has assigned the right to the claim to the plaintiff with a view to avoiding his liability for costs; or (b) that the non-party has contributed or agreed to contribute to the plaintiff’s costs in return for a share of any money or property which the plaintiff may recover in the action or proceeding, and the non-party is a person against whom a costs order may be made, then, if, having regard to all the circumstances of the case, the Court thinks it just to do so, it may order the non-party to give such security for the defendant’s costs of the action or other proceeding as the Court thinks just. (4) An application for an order under paragraph (3) shall be made by summons, which must be served on the non-party personally and on every party to the proceedings. (5) A copy of the supporting affidavit shall be served with the summons on every person on whom the summons is required to be served. (6) The references in paragraphs (1), (2) and (3) to a plaintiff and a defendant shall be construed as references to the person (howsoever described on the record) who is in the position of plaintiff or defendant, as the case may be, in the proceeding in question, including a proceeding on a counterclaim.
Manner of giving security (O. 23, r. 2) Where an order is made requiring any party to give security for costs, the security shall be given in such manner, at such time, and on such terms (if any), as the Court may direct.
Saving for written law (O. 23, r. 3) This Order is without prejudice to the provisions of any written law which empowers the Court to require security to be given for the costs of any proceedings. Order 35. Proceedings at Trial Failure to appear by both parties or one of them (O. 35, r. 1) (1) If, when the trial of an action is called on, neither party appears, the Judge may dismiss the action or make any other order as he thinks fit.
205
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
(2) If, when the trial of an action is called on, one party does not appear, the Judge may proceed with the trial of the action or any counterclaim in the absence of that party, or may without trial give judgment or dismiss the action, or make any other order as he thinks fit.
Lin Tsang Kit and Another v Chng Thiam Kwee [2005] SGHC 10 Holding
The second plaintiff’s claim was dismissed under O 35 r. 1 of the Rules of Court because his “written testimony would have no probative value whatsoever, as the contents and his veracity could not be tested under cross examination.” [30]: “I had made it clear from the outset to counsel for the plaintiffs that if the second plaintiff did not testify, I would have no alternative but to dismiss his claim. His written testimony would have no probatIive value whatsoever, as the contents and his veracity could not be tested under cross-examination. Accordingly, as the second plaintiff failed to testify despite my warning his counsel of the consequences thereof, I am dismissing his claim pursuant to O 35 r 1(1) of the Rules of Court (Cap 322, R 5, 2004 Rev Ed).”
Summary of facts
Case involving a claim by two plaintiffs against a defendant Singapore businessman for breach of trust by selling trust shares without accounting to them for the sales proceeds. Alternatively, it was argued that the court should find that a trust was created between the plaintiffs and the defendant’s company, with the defendant as managing director acting dishonestly in assisting the company’s breach of trust. According to the plaintiff’s counsel, the second plaintiff had applied to court to give his evidence by way of video conferencing due to his advanced and medical condition but his application was denied. The second plaintiff did not appear to testify at trial.
Order 38. Evidence in General General rule: Witnesses to be examined (O. 38, r. 1) Subject to these Rules and the Evidence Act (Chapter 97), and any other written law relating to evidence, any fact required to be proved at the trial of any action begun by writ by the evidence of witnesses shall be proved by the examination of the witnesses in open Court. Depositions when receivable in evidence at trial (O. 38, r. 9) (1) No deposition taken in any cause or matter shall be received in evidence at the trial of the cause or matter unless — (a) the deposition was taken in pursuance of an order under Order 39, Rule 1; and (b) either the party against whom the evidence is offered consents or it is proved to the satisfaction of the Court that the deponent is dead, or beyond the jurisdiction of the Court
206
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
or unable from sickness or other infirmity to attend the trial. (2) A party intending to use any deposition in evidence at the trial of a cause or matter must, at a reasonable time before the trial, give notice of his intention to do so to the other party. (3) A deposition purporting to be signed by the person before whom it was taken shall be receivable in evidence without proof of the signature being the signature of that person.
Order 39. Evidence by Deposition: Examiners of the court Power to order depositions to be taken (O. 39, r. 1) (1) The Court may, in any cause or matter where it appears necessary for the purposes of justice, make an order in Form 73 for the examination on oath before a Judge or the Registrar or some other person, at any place, of any person. (2) An order under paragraph (1) may be made on such terms (including, in particular, terms as to the giving of discovery before the examination takes place) as the Court thinks fit.
Where person to be examined is out of jurisdiction (O. 39, r. 2) (1) Where the person in relation to whom an order under Rule 1 is required is out of the jurisdiction, an application may be made — (a) for an order in Form 74 under that Rule for the issue of a letter of request to the judicial authorities of the country in which that person is to take, or cause to be taken, the evidence of that person; or (b) if the government of that country allows a person in that country to be examined before a person appointed by the Court, for an order in Form 75 under that Rule appointing a special examiner to take the evidence of that person in that country. (2) An application may be made for the appointment as special examiner of a Singapore consul in the country in which the evidence is to be taken or his deputy — (a) if there subsists with respect to that country a Civil Procedure Convention providing for the taking of the evidence of any person in that country for the assistance of proceedings in the High Court; or (b) with the consent of the Minister. (3) An application under this Rule can only be made in the High Court even if the proceedings are commenced in the Subordinate Courts. Order for payment of examiner’s fees (O. 39, r. 14) (1) If the fees and expenses due to an examiner are not paid, he may report that fact to the Court, and the Court may make an order against the party, on whose application the order for examination was made, to pay the examiner the fees and expenses due to him in respect of the examination. (2) An order under this Rule shall not prejudice any determination on the taxation of costs or otherwise as to the party by whom the costs of the examination are ultimately to be borne.
207
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Order 45. Enforcement of Judgment and Orders Enforcement of judgment, etc., for payment of money (O. 45, r. 1) (1) Subject to these Rules and section 43 of the Subordinate Courts Act (Chapter 321) where applicable, a judgment or order for the payment of money, not being a judgment or order for the payment of money into Court, may be enforced by one or more of the following means: (a) writ of seizure and sale; (b) garnishee proceedings; (c) the appointment of a receiver; (d) in a case in which Rule 5 applies, an order of committal. (2) Subject to these Rules, a judgment or order for the payment of money into Court may be enforced by one or more of the following means: (a) the appointment of a receiver; (b) in a case in which Rule 5 applies, an order of committal. (3) Paragraphs (1) and (2) are without prejudice to any other remedy available to enforce such a judgment or order as is therein mentioned or to the power of a Court under the Debtors Act (Chapter 73) to commit to prison a person who makes default in paying money adjudged or ordered to be paid by him, or to any written law relating to bankruptcy or the winding up of companies. (4) In this Order, references to any writ shall be construed as including references to any further writ in aid of the first mentioned writ.
Order 46. Writ of Execution: General When leave to issue any writ of execution is necessary (O. 46, r. 2) (1) A writ of execution to enforce a judgment or order may not issue without the leave of the Court in the following cases: (a) where 6 years or more have lapsed since the date of the judgment or order;
Desert Palace Inc v Poh Soon Kia [2009] SGCA 60 Holding
While the court determined that there are no time bars for the execution of judgments, it nevertheless noted that with regard to writ of seizures, pursuant to O 46 r 2 of the Rules of Court, they may not be issued without the leave of court where “6 years or more have lapsed since the date of the judgment or order”. [68]: “I recognise the existence of O 46 r 2 where a writ of execution (which includes a writ of seizure and sale, a writ of possession and a writ of delivery) to enforce a domestic
208
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
judgment or order may not be issued without the permission of the court where six years or more has elapsed but this does not mean that a time bar of six years has thereby been created. A statutory limitation must be created by way of an Act of Parliament as in the Limitation Act, and not in some subsidiary legislation (e.g., in the Rules of Court) since a time bar has the effect of taking away a substantive right, i.e., enforcement of a domestic judgment by way of a writ of execution. I further note that O 46 is limited in its scope and it applies only to a writ of execution but not other forms of enforcement on a judgment. Although there is no time bar, the court should nevertheless, for good administration of justice, monitor enforcement of its judgments by way of a writ of execution if more than six years had elapsed, which I believe is the rationale for O 46. Order 46 r 2 balances the need to allow time for unhindered execution on a judgment by the judgment creditor and the need to see that the judgment creditor does not sit on his hands and make no real effort to search for the assets of the judgment debtor and use the appropriate enforcement measures to satisfy his judgment debt. The requirement for the court’s discretionary leave as prescribed under O46 is more a procedural and monitoring measure than a substantive mandatory measure to extinguish execution on a judgment the moment six years or more has elapsed since the date of the judgment. In any event, if such a substantive mandatory measure amounting to a statutory time bar was intended, then it should more appropriately be made by amending the LA than by inserting it as a rule within the Rules of Court.” Summary of facts
Facts of the case not particularly relevant to this context.
Order 47. Writ of Seizure and Sale Power to stay execution by writ of seizure and sale (O. 47, r. 1) (1) Where a judgment is given or an order made for the payment by any person of money, and the Court is satisfied, on an application made at the time of the judgment or order, or at any time thereafter, by the judgment debtor or other party liable to execution — (a) that there are special circumstances which render it inexpedient to enforce the judgment or order; or (b) that the applicant is unable from any cause to pay the money, then, notwithstanding anything in Rule 2 or 3, the Court may by order stay the execution of the judgment or order by writ of seizure and sale either absolutely or for such period and subject to such conditions as the Court thinks fit. (2) An application under this Rule, if not made at the time the judgment is given or order made, must be made by summons and may be so made notwithstanding that the party liable to execution did not enter an appearance in the action.
209
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Separate writs to enforce payment of costs, etc. (O. 47, r. 2) (1) Where only the payment of money, together with costs to be taxed, is adjudged or ordered, then, if when the money becomes payable under the judgment or order the costs have not been taxed, the party entitled to enforce that judgment or order may issue a writ of seizure and sale to enforce the judgment or order and, not less than 8 days after the issue of that writ, he may issue a second writ to enforce payment of the taxed costs. (2) A party entitled to enforce a judgment or order for the delivery of possession of any property (other than money) may, if he so elects, issue a separate writ of seizure and sale to enforce payment of any damages or costs awarded to him by that judgment or order.
Where landlord claims arrears of rent of premises where property seized (O. 47, r. 3) (1) Where the landlord or any other person entitled to receive the rent of the premises in which any movable property has been seized by the Sheriff has any claims for arrears of rent of those premises, he may apply to the Court, at any time before the sale of such property, for a writ of distress for recovery of such arrears of rent. (2) When a writ of distress has been issued the provisions of section 20 of the Distress Act (Chapter 84) shall apply. (3) Unless a writ of distress is issued for the recovery of such arrears of rent, the property seized by the Sheriff shall be deemed not to be liable to be seized under a writ of distress and to be free from all claims in respect of rent and may be dealt with accordingly and the landlord or other person entitled to receive rent as aforesaid shall have no claim in respect of the property or to the proceeds of sale or any part thereof.
Immovable property (O. 47, r. 4) (1) Where the property to be seized consists of immovable property or any interest therein, the following provisions shall apply: (a) seizure shall be effected by registering under any written law relating to the immovable property a writ of seizure and sale in Form 83 (which for the purpose of this Rule and Rule 5 shall be called the order) attaching the interest of the judgment debtor in the immovable property described therein and, upon registration, such interest shall be deemed to be seized by the Sheriff; (b) an application for an order under this Rule may be made by ex parte by summons; (c) the application must be supported by an affidavit — (i) identifying the judgment or order to be enforced; (ii) stating the name of the judgment debtor in respect of whose immovable property or interest an order is sought; (III) stating the amount remaining unpaid under the judgment or order at the time of application; (IV) specifying the immovable property or the interest therein in respect of which an order is sought; and (v) stating that to the best of the information or belief of the deponent, the immovable
210
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
property or interest in question is the judgment debtor’s and stating the sources of the deponent’s information or the grounds for his belief; (d) as many copies of the order as the case may require shall be issued to the judgment creditor in order that he may present the order, in compliance with the provisions of any written law relating to such immovable property, for registration at the Registry of Deeds or the Land Titles Registry, as the case may be, of the Singapore Land Authority; (e) after registering the order, the judgment creditor must — (i) file a Request for direction to the Sheriff in Form 95 and a direction to the Sheriff in Form 96; and (ii) upon compliance with sub-paragraph (i), the Sheriff must serve a copy of the order and the notice of seizure in Form 97 on the judgment debtor forthwith and, if the judgment debtor cannot be found, must affix a copy thereof to some conspicuous part of the immovable property seized; (f) subject to sub-paragraph (g), any order made under this Rule shall, unless registered under any written law relating to such immovable property, remain in force for 6 months from the date thereof; (g) upon the application of any judgment creditor on whose application an order has been made, the Court, if it thinks just, may from time to time by order extend the period of 6 months referred to in sub-paragraph (f) for any period not exceeding 6 months, and the provisions of sub-paragraphs (d) and (e) shall apply to such order; and (h) the Court may at any time, on sufficient cause being shown, order that property seized under this Rule shall be released. (2) Order 46, Rule 6 (1) and (2), shall not apply to the order made under paragraph (1).
Sale of immovable property (O. 47, r. 5) Sale of immovable property, or any interest therein, shall be subject to the following conditions: (a) there shall be no sale until the expiration of 30 days from the date of registration of the order under Rule 4(1)(a); (b) the particulars and conditions of sale shall be settled by the Sheriff or his solicitor; (c) the judgment debtor may apply by summons to the Court for postponement of the sale in order that he may raise the amount leviable under the order by mortgage or lease, or sale of a portion only, of the immovable property seized, or by sale of any other property of the judgment debtor, or otherwise, and the Court, if satisfied that there is reasonable ground to believe that the said amount may be raised in any such manner, may postpone the sale for such period and on such terms as are just; (d) the judgment creditor may apply to the Court for the appointment of a receiver of the rents and profits, or a receiver and a manager of the immovable property, in lieu of sale thereof, and on such application, the Court may appoint such receiver or receiver and manager, and give all necessary directions in respect of such rents and profits or immovable property; (e) where the interest of the judgment debtor in any immovable property, seized and sold
211
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
under the order, includes a right to the immediate possession thereof, the Sheriff shall put the purchaser in possession; (f) pending the execution or endorsement of any deed or document which is ordinarily lawfully required to give effect to any sale by the Sheriff, the Court may by order appoint the Sheriff to receive any rents and profits due to the purchaser in respect of the property sold; and (g) the Sheriff may at any time apply to the Court for directions with respect to the immovable property or any interest therein seized under the order and may, or, if the Court so directs, must give notice of the application to the judgment creditor, the judgment debtor and any other party interested in the property.
Securities (O. 47, r. 6) (1) Where the property to be seized consists of any Government stock, or any stock of any company or corporation registered or incorporated under any written law, including any such stock standing in the name of the Accountant-General, to which the judgment debtor is beneficially entitled, seizure thereof must be made by a notice in Form 98, signed by the Sheriff, attaching such stock. (2) The notice must be addressed — (a) in the case of Government stock, to the Accountant-General; (b) in the case of stock listed on the Stock Exchange of Singapore Ltd. and held under a central depository system, to the depository for the time being and the company or corporation concerned; (c) in the case of other stock, to the company or corporation concerned; and (d) in the case of stock standing in the name of the Accountant-General, to the Accountant-General, and together with a copy of the writ of seizure and sale must be served by the Sheriff by any mode of service as he thinks fit. (3) A copy of the notice must at the same time be sent to the judgment debtor at his address for service. (4) On receipt of such notice, the judgment debtor must hand over to the Sheriff at his office any indicia of title in his possession relating to such stock, or where any such indicia of title are not in his possession, must notify the Sheriff in writing of the name and address of the person having possession thereof. (5) The Sheriff must further send a copy of the notice to any person, other than the judgment debtor, in whose possession he has reason to believe any such indicia of title to be. (6) After the receipt of any notice sent under paragraph (2), and unless the notice is withdrawn, no transfer of the stock or any interest therein, as the case may be, shall be registered or effected unless the transfer be executed or directed by the Sheriff, and any such transfer or direction by the Sheriff shall have the same effect as if the registered holder or beneficial owner of such stock had executed the transfer, and shall be dealt with accordingly. (7) All interest or dividends becoming due and payable or benefits accruing after receipt of such notice, and until withdrawal thereof or transfer or direction by the Sheriff as above mentioned,
212
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
must be paid or transmitted to the Sheriff. (8) Any notice served under paragraph (2) may be withdrawn by notice in writing to that effect signed by the Sheriff and served to the person and in the manner provided by paragraph (2). (9) In this Order, ‘‘Government stock’’ means any stock issued by the Government or any funds of or annuity granted by the Government and ‘‘stock’’ includes shares, debentures, debenture stock and stock options. (10) The Court, on the application of the judgment debtor or any other person interested in the stock seized under this Rule, may at any time, on sufficient cause being shown, order that the stock or any part thereof be released.
Sale of securities (O. 47, r. 7) (1) Stock seized under Rule 6 may be sold through the agency of a broker. (2) If the indicia of title are not in the possession of the Sheriff, he may apply to the Court for such directions as may be necessary to give effect to the sale.
* O. 47, r. 8 was deleted.
Withdrawal and suspension of writ (O. 47, r. 9) (1) Where any execution creditor requests the Sheriff to withdraw the seizure, he shall be deemed to have abandoned the execution, and the Sheriff shall mark the writ of seizure and sale as withdrawn by request of the execution creditor: Provided that where the request is made in consequence of a claim having been made in interpleader proceedings, the execution shall be deemed to be abandoned in respect only of the property so claimed. (2) A writ of seizure and sale which has been withdrawn under this Rule shall not be re-issued but the execution creditor may apply by summons supported by affidavit stating the grounds of the application for a fresh writ of seizure and sale to be issued, and such writ shall take priority according to its date of issue.
Order 49. Garnishee Proceedings Attachment of debt due to judgment debtor (O. 49, r. 1) (1) Where a person (referred to in these Rules as the judgment creditor) has obtained a judgment or order for the payment by some other person (referred to in these Rules as the judgment debtor) of money, not being a judgment or order for the payment of money into Court, and any other person within the jurisdiction (referred to in this Order as the garnishee) is indebted to the judgment debtor, the Court may, subject to the provisions of this Order and of any written law, order the garnishee to pay the judgment creditor the amount of any debt due or accruing due to the judgment debtor from the garnishee, or so much thereof as is sufficient to satisfy that judgment or order and the costs of the garnishee proceedings. (2) An order in Form 101 under this Rule shall in the first instance be an order to show cause, specifying the time and place for further consideration of the matter, and in the meantime attaching such debt as is mentioned in paragraph (1), or so much thereof as may be specified in
213
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
the order, to answer the judgment or order mentioned in that paragraph and the costs of the garnishee proceedings. (3) In this Order, ‘‘any debt due or accruing due’’ includes a current or deposit account with a bank or other financial institution, whether or not the deposit has matured and notwithstanding any restriction as to the mode of withdrawal.
Application for order (O. 49, r. 2) An application for an order under Rule 1 must be made by ex parte summons supported by an affidavit in Form 102 — (a) identifying the judgment or order to be enforced and stating the amount remaining unpaid under it at the time of the application; and (b) stating that to the best of the information or belief of the deponent the garnishee (naming him) is within the jurisdiction and is indebted to the judgment debtor and stating the sources of the deponent’s information or the grounds for his belief.
Service and effect of order to show cause (O. 49, r. 3) (1) An order under Rule 1 to show cause must, at least 7 days before the time appointed thereby for the further consideration of the matter, be served — (a) on the garnishee personally; and (b) unless the Court otherwise directs, on the judgment debtor. (2) Such an order shall bind in the hands of the garnishee as from the service of the order on him any debt specified in the order or so much thereof as may be so specified.
No appearance or dispute of liability by garnishee (O. 49, r. 4) (1) Where on the further consideration of the matter the garnishee does not attend or does not dispute the debt due or claimed to be due from him to the judgment debtor, the Court may, subject to Rule 7, make a final order261 in one of the forms in Form 103 under Rule 1 against the garnishee. (2) A final order262 under Rule 1 against the garnishee may be enforced in the same manner as any other order for the payment of money.
Dispute of liability by garnishee (O. 49, r. 5) Where on the further consideration of the matter the garnishee disputes liability to pay the debt due or claimed to be due from him to the judgment debtor, the Court may summarily determine the question at issue or order in Form 104 that any question necessary for determining the liability
261
Formerly known as an “order absolute.”
262
Formerly known as an “order absolute.”
214
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
of the garnishee be tried in any manner in which any question or issue in an action may be tried. Claims of third persons (O. 49, r. 6) (1) If in garnishee proceedings it is brought to the notice of the Court that some person other than the judgment debtor is or claims to be entitled to the debt sought to be attached or has or claims to have a charge or lien upon it, the Court may order that person to attend before the Court and state the nature of the claim with particulars thereof. (2) After hearing any person who attends before the Court in compliance with an order under paragraph (1), the Court may summarily determine the questions at issue between the claimants or make such other order as it thinks just, including an order that any question or issue necessary for determining the validity of the claim of such other person as is mentioned in paragraph (1) be tried in such manner as is mentioned in Rule 5.
Judgment creditor resident outside scheduled territories (O. 49, r. 7) (1) The Court shall not make an order under Rule 1 requiring the garnishee to pay any sum to or for the credit of any judgment creditor resident outside the scheduled territories unless that creditor produces a certificate that the Monetary Authority of Singapore has given permission under the Exchange Control Act (Chapter 99), for the payment unconditionally or on conditions which have been complied with. (2) If it appears to the Court that payment by the garnishee to the judgment creditor will contravene any provision of the Exchange Control Act, it may order the garnishee to pay into Court the amount due to the judgment creditor and the costs of the garnishee proceedings after deduction of his own costs, if the Court so orders.
Discharge of garnishee (O. 49, r. 8) Any payment made by a garnishee in compliance with a final order 263 under this Order, and any execution levied against him in pursuance of such an order, shall be a valid discharge of his liability to the judgment debtor to the extent of the amount paid or levied notwithstanding that the garnishee proceedings are subsequently set aside or the judgment or order from which they arose reversed.
Money in Court (O. 49, r. 9) (1) Where money is standing to the credit of the judgment debtor in Court, the judgment creditor shall not be entitled to take garnishee proceedings in respect of that money but may apply to the Court by summons for an order that the money or so much thereof as is sufficient to satisfy the judgment or order sought to be enforced and the costs of the application be paid to the judgment creditor. (2) On issuing a summons under this Rule the applicant must produce the summons at the office of the Accountant-General and leave a copy at that office, and the money to which the application relates shall not be paid out of Court until after the determination of the application. If the
263
Formerly known as an “order absolute.”
215
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
application is dismissed, the applicant must give notice of that fact to the Accountant-General. (3) Unless the Court otherwise directs, the summons must be served on the judgment debtor at least 7 days before the day named therein for the hearing of it. (4) Subject to Order 70, Rule 24, the Court hearing an application under this Rule may make such order with respect to the money in Court as it thinks just.
Costs (O. 49, r. 10) The costs of any application for an order under Rule 1 or 9, and of any proceedings arising therefrom or incidental thereto, shall, unless the Court otherwise directs, be retained by the judgment creditor out of the money recovered by him under the order and in priority to the judgment debt.
Order 55. Appeals to High Court from court, tribunal or person Application (O. 55, r. 1) (1) Subject to paragraphs (2) and (4), this Order shall apply to every appeal which under any written law lies to the High Court from any court, tribunal or person. (2) This Order shall not apply to an appeal from a Subordinate Court constituted under the Subordinate Courts Act264 (Chapter 321) or any application by case stated. (3) Rules 2 to 7 shall, in relation to an appeal to which the Order applies, have effect subject to any provision made in relation to that appeal by any other provision of these Rules or under any written law. (4) In this Order, references to a tribunal shall be construed as references to any tribunal constituted under any written law other than any of the ordinary courts of law.
Order 59. Costs Interpretation (O. 59, r. 1) (2) In this Order — “costs” includes fees, charges, disbursements, expenses and remuneration;
Special matters to be taken into account in exercising discretion (O. 59, r. 5) The Court in exercising its discretion as to costs shall, to such extent, if any, as may be appropriate in the circumstances, take into account any payment of money into Court and the amount of such payment and the conduct of all the parties, including conduct before, as well as during, the proceedings, and in particular the extent to which the parties followed any relevant pre-action protocol or practice direction for the time being issued by the Registrar.
264
Note the Subordinate Courts have since been renamed as the State Courts.
216
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
When a party may sign judgment for costs without an order (O. 59, r. 10) (1) Where — (a) a plaintiff by notice in writing and without leave either wholly discontinues his action against any defendant or withdraws any particular claim made by him therein against any defendant; or (b) an action, a cause or matter is deemed discontinued, the defendant may, unless the Court otherwise orders, tax his costs of the action, cause or matter and if the taxed costs are not paid within 4 days after taxation, may sign judgment for them. The reference to a defendant in this paragraph shall be construed as a reference to the person (howsoever described) who is in the position of defendant in the proceeding in question, including a proceeding on a counterclaim. (2) If a plaintiff accepts money paid into Court in satisfaction of the cause of action, or all the causes of action, in respect of which he claims, or if he accepts a sum or sums paid in respect of one or more specified causes of action and gives notice that he abandons the others, then subject to paragraph (4), he may, after 4 days from payment out and unless the Court otherwise orders, tax his costs incurred to the time of receipt of the notice of payment into Court and 48 hours after taxation may sign judgment for his taxed costs. (3) Where a plaintiff in an action for libel or slander against several defendants sued jointly accepts money paid into Court by one of the defendants, he may, subject to paragraph (4), tax his costs and sign judgment for them against that defendant in accordance with paragraph (2). (4) Where money paid into Court in an action is accepted by the plaintiff after the trial or hearing has begun, the plaintiff shall not be entitled to tax his costs under paragraph (2) or (3). (5) When an appeal is deemed to have been withdrawn under Order 55D or Order 57 — (a) the respondent may tax his costs of and incidental to the appeal, and, if the taxed costs are not paid within 4 days after taxation, may sign judgment for them; and (b) any sum of money lodged in Court as security for the costs of the appeal shall be paid out to the respondent towards satisfaction of the judgment for taxed costs without an order of the Court and the balance, if any, shall be paid to the appellant. Basis of taxation (O. 59, r. 27) (1) Subject to the other provisions of these Rules, the amount of costs which any party shall be entitled to recover is the amount allowed after taxation on the standard basis where — (a) an order is made that the costs of one party to proceedings be paid by another party to those proceedings; (b) an order is made for the payment of costs out of any fund; or (c) no order for costs is required, unless it appears to the Court to be appropriate to order costs to be taxed on the indemnity basis. (2) On a taxation of costs on the standard basis, there shall be allowed a reasonable amount in respect of all costs reasonably incurred and any doubts which the Registrar may have as to whether the costs were reasonably incurred or were reasonable in amount shall be resolved in favour of the paying party; and in these Rules, the term ‘‘the standard basis’’, in relation to the
217
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
taxation of costs, shall be construed accordingly. (3) On a taxation on the indemnity basis, all costs shall be allowed except in so far as they are of an unreasonable amount or have been unreasonably incurred and any doubts which the Registrar may have as to whether the costs were reasonably incurred or were reasonable in amount shall be resolved in favour of the receiving party; and in these Rules, the term ‘‘the indemnity basis’’, in relation to the taxation of costs, shall be construed accordingly. (4) Where the Court makes an order for costs without indicating the basis of taxation or an order that costs be taxed on any basis other than the standard basis or the indemnity basis, the costs shall be taxed on the standard basis. (5) Notwithstanding paragraphs (1) to (4), if any action is brought in the High Court, which would have been within the jurisdiction of a Subordinate Court, the plaintiff shall not be entitled to any more costs than he would have been entitled to if the proceedings had been brought in a Subordinate Court, unless in any such action a Judge certifies that there was sufficient reason for bringing the action in the High Court.
Lam Hwa Engineering & Trading Pte Ltd v Yang Qiang [2014] 2 SLR 191 [2014] SGCA 3 Holding
Held that the travel expenses incurred by the respondent were both reasonable and reasonably incurred. The quantum of these expenses was proportionate when considered on an item by item basis as well as in the aggregate, [22]. An assessment of costs requires consideration to be given to all facts and circumstances. [33] “The issue of costs is fundamentally a matter of assessment based on the entire myriad of relevant facts and circumstances. It is not, and can never be, a precise science. To lay down a general rule that costs must be mathematically and precisely pegged to the final apportionment of liability, would fail to ensure justice in each case. It is for this reason that the legal framework in O 59 of the ROC as interpreted by this court in Lin Jian Wei requires due consideration to be given to all the relevant facts and circumstances.”
Summary of facts
The respondent, a Chinese foreign worker employed by the appellant, was injured in the course of his work in July 2010. He commenced an action against the appellant in February 2011 seeking compensation. In the meantime, as the respondent was unable to work and maintain his Singapore work pass, he returned to China. Sometime in July 2011, he flew back to Singapore for the purpose of attending and giving evidence at the trial. On 25 July 2011, which was the very first day of the trial, the parties reached a settlement. The appellant agreed to bear 80% liability. Final judgment was entered against the appellant for damages of $75,000, and costs and disbursements to be agreed or taxed. The parties later agreed on the costs due to the respondent but they were unable to agree on the disbursements. The appellant took issue with the respondent’s claim for travel expenses of $1,208. Out of this, a sum of $1,113 was for the respondent’s return air tickets for travel between
218
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
Shanghai and Singapore and the remainder of $95 was for land transport expenses incurred in China to travel to and from the airport. The appellant did not dispute that the itemised amounts were reasonable. The appellant’s case was that it was not obliged to pay these expenses as a matter of legal principle. The respondent eventually filed an application for the taxation of the disbursements.
Lin Jian Wei and another v Lim Eng Hock Peter [2011] SGCA 29 [2011] 3 SLR 1052 Holding
By O 59 r 27(2) and para 1(2) of Appendix 1, costs are in the discretion of the court. However this discretion is not unfettered [56] “in assessing whether costs incurred are reasonable, it needs to be shown that the costs incurred were not just reasonable and necessary for the disposal of the matter, but also, in the entire context of that matter, proportionately incurred”
Clarified that proportionality should be considered both on an item by item basis and on a global basis [78] “The approach that should be adopted in taxation is that the Court should first assess the relative complexity of the matter, the work supposedly done against what was reasonably required in the prevailing circumstances, the reasonableness and proportionality of the amounts claimed on an item by item basis and thereafter, assess the proportionality of the resulting aggregate costs. In this exercise, all the Appendix 1 considerations are relevant. In the general scheme of things, no single consideration ordinarily ought to take precedence. In every matter, this calls for careful judgment by reference to existing precedents and guidelines. A taxing officer should consider the complexity of the issues of fact and law which arose in the matter against the backdrop of the statements as to the amount of time spent by the solicitors and also the seniority of the counsel involved in order to determine whether the costs claimed for the amount of time spent is reasonable and proportionate. […]”
Summary of facts
Facts of the case are not particularly relevant to our manual.
Miscellaneous (Appendix 2, Part III.) [from Rules of Court, O 55] 3. Where a plaintiff or defendant signs judgment for costs under Rule 10, there shall be allowed
219
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
the following costs, in addition to disbursements:
Costs to be allowed
Costs of judgment
High Court
District Court
$300
$300
Magistrate’s Court $200
4. Where upon the application of any person who has obtained a judgment or order against a debtor for the recovery or payment of money, a garnishee order is made under Order 49, Rule 1 against a garnishee attaching debts due or accruing due from him to the debtor, there shall be allowed the following costs, in addition to disbursements: (a) to the garnishee, to be deducted by him from any debt owing by him as aforesaid before payments to the applicant —
If no affidavit used High Court $150
If affidavit used
District Court
Magistrate’s Court
High Court
District Court
Magistrate’s Court
$150
$150
$300
$300
$300
(b) to the applicant, to be retained, unless the Court otherwise orders, out of the money recovered by him under the garnishee order and in priority to the amount of the debt owing to him under the judgment or order — Costs to be allowed High Court
District Court
Magistrate’s Court
$750
$750
$600
Order 60. The Registry Filing of instruments creating powers of attorney (O. 60, r. 6) (1) An instrument creating a power of attorney which is presented for deposit in the Registry of the Supreme Court under — (a) section 27 of the Trustees Act (Chapter 337); or (b) section 48 of the Conveyancing and Law of Property Act (Chapter 61), shall not be deposited therein unless the execution of the instrument has been verified in accordance
220
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
with Rule 7 and the instrument is accompanied — (i) except where Rule 7 (b) applies, by the affidavit, declaration, certificate or other evidence by which the execution was verified; (ii) in the case of an instrument presented for filing under section 27 of the Trustees Act (Chapter 337), by the statutory declaration required by subsection (4) of that section. (2) Without prejudice to section 48 of the Conveyancing and Law of Property Act (Chapter 61), a certified copy of an instrument creating a power of attorney which is presented for deposit in the Registry of the Supreme Court under that section shall not be deposited therein unless — (a) the execution of the instrument has been verified in accordance with Rule 7; (b) the signature of the person who verified the copy is sufficiently verified; and (c) except where Rule 7 (b) applies and subject to paragraph (3), the copy is accompanied by the affidavit, declaration, certificate or other evidence by which the execution was verified. (3) If the affidavit, declaration, certificate or other evidence verifying the execution of the instrument is so bound up with or attached to the instrument that they cannot conveniently be separated, it shall be sufficient for the purpose of paragraph (2) to produce and show to the proper officer in the Registry the original affidavit, declaration, certificate or other evidence and to file a certified or office copy thereof.
Verification of execution of power of attorney (O. 60, r. 7) The execution of such an instrument or statutory declaration as is referred to in Rule 6 (1) may be verified — (a) by an affidavit or statutory declaration sworn or made by the attesting witness or some other person in whose presence the instrument was executed, or, if no such person is available, by some impartial person who knows the signature of the donor of the power of attorney created by the instrument; (b) if the instrument was attested by a Commissioner for Oaths, by the signature of the Commissioner as attesting witness; or (c) by such other evidence as, in the opinion of the Registrar is sufficient.
Inspection, etc., of powers of attorney (O. 60, r. 8) (1) An index shall be kept in the Registry of the Supreme Court of all instruments and certified copies to which Rule 6 relates deposited in the said Registry and of the names of the donors of the powers of attorney created by such instruments. (2) Any person shall, on payment of the prescribed fee, be entitled — (a) to search the index; (b) to inspect any document filed or deposited in the Registry in accordance with Rule 6; and (c) to be supplied with an office copy of such document; and a copy of any such document
221
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
may be presented at the Registry to be marked as an office copy
XII. State Courts Act (Cap 321, 2007 Rev Ed Sing) Section 15. Powers and duties of certain State Court officers The bailiffs and process servers shall — (a)execute all writs, summonses, warrants, orders, notices and other mandatory processes of the State Courts given to them;(b) make a return of the same together with the manner of the execution thereof to the court from which the process issued; and (c) arrest and receive all such persons and property as are committed to the custody of the State Courts.
Section 15A. Solicitor, etc., authorised to act as bailiff (1) Subject to such directions as may be given by the Presiding Judge of the State Courts, the registrar may authorise a solicitor or a person employed by a solicitor to exercise the powers and perform the duties of a bailiff during such period or on such occasion as the registrar thinks fit and subject to such terms and conditions as the registrar may determine. (2) Section 68(2) shall apply to a solicitor or person authorised under subsection (1) as it applies to an officer of a State Court.
Section 16. Special powers of bailiffs The bailiffs in executing any writ of seizure and sale or any other writ of execution or of distress may effect an entry into any building, and for that purpose, if necessary, may break open any outer or inner door or window of the building or any receptacle therein, using such force as is reasonably necessary to effect an entry.
XIII. Supreme Court of Judicature Act (Cap 322, 2007 Rev Ed Sing) Section 13. Writs of execution A judgment of the High Court for the payment of money to any person or into court may be enforced by a writ, to be called a writ of seizure and sale, under which all the property, movable or immovable, of whatever description, of a judgment debtor may be seized, except — (a) the wearing apparel and bedding of the judgment debtor or his family, and the tools and implements of his trade, when the value of such apparel, bedding, tools and implements does not exceed $1,000; (b) tools of artisans, and, where the judgment debtor is an agriculturist, his implements of husbandry and such animals and seed-grain or produce as may in the opinion of the court be necessary to enable him to earn his livelihood as such;
222
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
(c) the wages or salary of the judgment debtor; (d) any pension, gratuity or allowance granted by the Government; and (e) the share of the judgment debtor in a partnership, as to which the judgment creditor is entitled to proceed to obtain a charge under any provision of any written law relating to partnership.
American Express Bank Ltd v Abdul Manaff bin Ahmad [2003] 4 SLR 780 Holding
Summary of facts
The court decided that s 13(c) of the SCJA is applicable to the garnishee process, and therefore, wages and salaries cannot be garnished.
Appeals against the High Court decision that the wages or salaries of judgment debtors may be garnished.
XIV. Work Injury Compensation Act (Cap 354, 2009 Rev Ed Sing) Section 2A. Appointment of Assistant Commissioners, investigation officers and authorised persons (1) The Commissioner may appoint such number of public officers as Assistant Commissioners (Work Injury Compensation) and investigation officers and such persons as authorised persons, as may be necessary to assist the Commissioner in the administration of this Act. (2) The Commissioner may delegate the exercise of all or any of the powers conferred or duties imposed upon him by this Act (except the power of delegation conferred by this subsection) to any Assistant Commissioner, investigation officer or authorised person, subject to such conditions or limitations as the Commissioner may specify. Section 3. Employer’s liability for compensation (1) If in any employment personal injury by accident arising out of and in the course of the employment is caused to an employee, his employer shall be liable to pay compensation in accordance with the provisions of this Act. (2) An accident happening to an employee while he is, with the express or implied permission of his employer, travelling as a passenger by any means of transport to or from his place of work shall be deemed to arise out of and in the course of his employment if at the time of the accident the means of transport is being operated by or on behalf of his employer or by some other person by whom it is operated in pursuance of arrangements made with his employer and is not being operated in the ordinary course of a public transport service. (3) An accident happening to an employee in or about any premises at which he is for the time being employed for the purposes of his employer’s trade or business shall be deemed to arise out of and in the course of his employment if it happens while he is taking steps, on an actual or supposed emergency at those premises, to rescue or protect persons who are, or are thought to
223
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
be or possibly to be injured or imperilled, or to avert or minimise damage or loss to property. (4) An accident happening to an employee shall be deemed to arise out of and in the course of his employment notwithstanding that he was at the time of the accident acting in contravention of any written law or other regulations applicable to his employment, or of any orders given by or on behalf of his employer, or that he was acting without instructions from his employer, if — (a) the accident would have been deemed so to have arisen had such act not been done in contravention as aforesaid or without instructions from his employer, as the case may be; and (b) such act was done for the purposes of and in connection with the employer’s trade or business. (5) An employer shall not be liable to pay compensation in respect of — (a) any injury to an employee resulting from an accident if it is proved that the injury to the employee is directly attributable to the employee having been at the time thereof under the influence of alcohol or a drug not prescribed by a medical practitioner; (b) any incapacity or death resulting from a deliberate self-injury or the deliberate aggravation of an accidental injury; or (c) any injury to an employee suffered in a fight or an attempted assault on one or more persons unless — (i) the employee did not assault or attempt to assault any other person in the fight or attempted assault, or did assault any such person in the exercise of the right of private defence in accordance with sections 97 to 106 of the Penal Code (Cap. 224); or (ii) the employee was, at the time when the injury was received, breaking up or preventing the fight or assault, or in the course of safeguarding life or any property of any person or maintaining law and order, under any instruction or with the consent (whether express or implied) of his employer or a principal referred to in section 17. (5A) In this section, “drug” means — (a) controlled drug within the meaning of the Misuse of Drugs Act (Cap. 185); or (b) a prescription only drug specified for the purposes of section 29 of the Medicines Act (Cap. 176) that is not prescribed by a medical practitioner for the employee’s consumption or use. (6) For the purposes of this Act, an accident arising in the course of an employee’s employment shall be deemed, in the absence of evidence to the contrary, to have arisen out of that employment.
Section 11. Notice and claim (1) Except as provided in this section, proceedings for the recovery of compensation for an injury under this Act shall not be maintainable unless — (a) notice of the accident has been given to the employer by or on behalf of the employee as soon as practicable after the happening thereof;
224
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
(b) a claim for compensation with respect to that accident has been made within one year from the happening of the accident causing the injury, or, in the case of death, within one year from the date of the death; and (c) the claim has been made in such form and manner as the Commissioner may determine. (2) No notice to the employer shall be necessary where a fatal accident has occurred. (3) The want of or any defect or inaccuracy in a notice shall not be a bar to the maintenance of proceedings if — (a) the employer is proved to have had knowledge of the accident from any other source at or about the time of the accident; or (b) it is found in the proceedings for settling the claim that the employer is not, or would not be, if a notice or an amended notice were then given and the hearing postponed, prejudiced in his defence by the want, defect or inaccuracy, or that such want, defect or inaccuracy was occasioned by mistake, absence from Singapore or other reasonable cause. (4) Subject to subsection (4A), the making of a claim after the lapse of the period specified in subsection (1) shall not be a bar to the maintenance of proceedings if it is found that the delay was occasioned by mistake, absence from Singapore or other reasonable cause. (4A) The making of a claim after the lapse of the period specified in subsection (1) shall be a bar to the maintenance of proceedings in respect of an accident if it is found that the delay was occasioned by the claimant having instituted an action for damages in any court for compensation with respect to that accident if — (a) the accident occurs on or after the date of commencement of the Work Injury Compensation (Amendment) Act 2011 (referred to in this subsection as the appointed day); or (b) the accident occurred before the appointed day, and the claim is made after the expiry of the period of 12 months beginning on the appointed day. (4B) For the purposes of subsections (4) and (4A), it is immaterial whether there were any previous claims made in respect of that accident. (5) Notice to the employer (or, if there is more than one employer, to one of such employers) in respect of an injury may be given either in writing or orally or to the foreman or other person under whose supervision the employee was employed, or to any person designated for the purpose by the employer, and shall state in ordinary language the cause of the injury and the date on which and the place at which the accident happened. (6) The notice if in writing may be given by delivering the notice at, or sending it by registered post addressed to, the residence or place of business of the person to whom it is to be given.
Section 29. Appeal from decision of Commissioner (1) Subject to section 24(3B), any person aggrieved by any order of the Commissioner made under this Act may appeal to the High Court whose decision shall be final. (2) The procedure governing any such appeal to the High Court shall be as provided for in the Rules of Court.
225
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
(2A) No appeal shall lie against any order unless a substantial question of law is involved in the appeal and the amount in dispute is not less than $1,000. (3) Notwithstanding any appeal under this section, the employer shall deposit with the Commissioner the amount of compensation ordered by the Commissioner under section 25A, 25B, 25C or 25D within 21 days from the date of the Commissioner’s decision, and the deposit shall be held by the Commissioner pending the outcome of the appeal.
Kee Yau Chong v S H Interdeco Pte Ltd [2014] 1 SLR 189 Holding
●With regard to s 29(2A) of WICA, the court noted that the requirement of a substantial question of law means that it is “not enough for there to be a mere question of law or that the Court takes the view that a different interpretation of the facts could have been drawn”. [15]: “As can be seen, it is necessary (but insufficient) for there to be a "substantial question of law" before an appeal against an order made by the learned Assistant Commissioner will avail itself to "any person aggrieved" by such order. In deciding whether the requirements for an appeal against an order made by the learned Assistant Commissioner have been met, it is not enough for there to be a mere question of law or that the Court takes the view that a different interpretation of the facts could have been drawn. Only a substantial question of law will suffice.”
Summary of facts
Appeal against the labour court’s dismissal of the claimant’s claim on the grounds that no “accident” had taken place within the meaning of WICA.
Pang Chew Kim v Wartsila Singapore Pte Ltd [2012] 1 SLR 15 Holding
With regard to s 29(2A) of WICA, the court noted the range of errors of law that may provide grounds for appeal. [19]: “In determining the range of errors of law that may provide grounds for appeal under s 29(2A), the courts have accepted the full range of errors of law listed in Halsbury's Laws of England vol 1(1) (Butterworths, 4th Ed Reissue, 1989) at para 70:... misinterpretation of a statute or any other legal document or a rule of common law; asking oneself and answering the wrong question, taking irrelevant considerations into account or failing to take relevant considerations into account when purporting to apply the law to the facts; admitting inadmissible evidence or rejecting admissible and relevant evidence; exercising a discretion on the basis of incorrect legal principles;
226
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
giving reasons which disclose faulty legal reasoning or which are inadequate to fulfil an express duty to give reasons, and misdirecting oneself as to the burden of proof.” [21]: “While the court will not generally disturb findings of facts unless they are such that "no person acting judicially and properly instructed as to the relevant law could have come to the determination upon appeal" (Karuppiah at [13]), there is no similar rule precluding courts from assessing the robustness of inferences drawn from the facts as found by the Commissioner.” Summary of facts
Appeal against the labour court judgment on the interpretation of s3 of WICA.
Section 33. Limitation of employee’s right of action (1) Nothing in this Act shall be deemed to confer any right to compensation on an employee in respect of any injury if he has instituted an action for damages in respect of that injury in any court against his employer or if he has recovered damages in respect of that injury in any court from his employer. (2) Subject to subsections (2A) and (2B), no action for damages shall be maintainable in any court by an employee against his employer in respect of any injury by accident arising out of and in the course of employment — (a) if he has a claim for compensation for that injury under the provisions of this Act and does not withdraw his claim within a period of 28 days after the service of the notice of assessment of compensation in respect of that claim; (b) if he and his employer have agreed or are deemed to have agreed to the notice of assessment under section 24(2)(a) for that injury; or (c) if he has recovered damages in respect of the injury in any court from any other person. (2A) Where — (a) a claim for compensation under this Act is made for an employee’s injury by accident arising out of and in the course of the employment; (b) there is no objection by the employee to the notice of assessment of compensation in respect of that claim; (c) the compensation ordered by the Commissioner thereafter in respect of that claim is of a lesser amount than that stated in that notice of assessment of compensation in respect of that claim; (d) within a period of 28 days after the making of the order, the employee notifies the Commissioner and the employer in writing that he does not accept the compensation so ordered, and has not received or retained any part of such compensation earlier paid (if any) by the employer; and (e) no appeal under section 29 is made against the order, the employee may institute an action in any court against his employer for damages in respect of that injury and any
227
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
order made by the Commissioner in respect of that injury shall be void. (2B) Where — (a) the Commissioner assesses or makes an order that no compensation shall be payable for a claim for compensation for an employee’s injury by accident arising out of and in the course of employment because — (i) the injury did not arise out of and in the course of the employee’s employment; or (ii) the injured person is not an employee within the meaning of this Act; or (b) an appeal to the High Court under section 29 from an order made by the Commissioner has failed because of any reason mentioned in paragraph (a)(i) or (ii), the employee may institute an action in any court to recover damages independently of this Act for injury caused by that accident. (3) If an action is brought within the time specified in section 11 in any court to recover damages independently of this Act for injury caused by any accident and it is determined in the action or on appeal that the injury is one for which the employer is not liable but that he would have been liable to pay compensation under the provisions of this Act, the action shall be dismissed; but the court shall, if the employee so chooses, proceed to assess the compensation and may deduct therefrom all or any part of the costs which, in its judgment, have been caused by the employee instituting the action instead of proceeding under this Act. (4) In any proceedings under subsection (3) when the court assesses the compensation, it shall give a certificate of the compensation it has awarded and the direction it has given, if any, as to the deduction of costs and such certificate shall have the same effect as a judgment of the court.
Yang Dan v Xian De Lai Shanghai Cuisine Pte Ltd [2010] SGHC 346. [2011] 2 SLR 379. Holding
●
Appeal should be allowed because the respondent did not withdraw his Compensation Claim before the order of 7 May 2008 was made.
●
The correct interpretation of s 33(2)(a) WCA is that a workman may proceed with a General Law Claim even after the Commissioner has assessed that zero compensation is payable on his Compensation Claim provided that he first withdraws his Compensation Claim (emphasis added). [57]: “(a) Under s 24(3) WCA, the Commissioner’s assessment becomes a Deemed Order if there is no objection thereto within two weeks of the service of the notice of assessment. Section 25(1) WCA refers to a period of 14 days to do so which is the same as the twoweek period. Once there is a Deemed Order, it is then, in my view, too late for the workman to withdraw his Compensation Claim. In this regard, while the District Judge said that the consequence of a failure to object within the relevant time frame is that the workman loses his right to a hearing and cannot appeal (see Yang Dan at [32]) it is
228
BAB 3: PROSEDUR UNTUK MENCARI PENYELESAIAN
important to bear in mind that a further consequence of a failure to object within the relevant time frame is that the assessment becomes a Deemed Order.” “b) If however there is an objection to the assessment within the relevant time frame, the assessment does not become a Deemed Order. The workman’s right to withdraw his Compensation Claim and proceed with a General Law Claim continues for the time being even if he was not the one who had objected to the assessment.”
●
However, once an order has been made on the Compensation Claim, the “workman” may no longer withdraw his Compensation Claim to pursue a General Law Claim. [57]: “(c) If there is a pre-hearing conference and an agreement is reached to settle all matters for earing in that conference, the Commissioner may record a Settlement Order. At that point, the workman will lose his right to withdraw his Compensation Claim and proceed with a General Law Claim.” “(d) If the workman does not agree to a settlement of all matters at the pre-hearing conference, the workman’s right to withdraw continues for the time being. However, after the Compensation Claim proceeds to a hearing and the Commissioner makes a Post-hearing Order, it will be too late for the workman to withdraw his Compensation Claim or to proceed with a General Law Claim.”
Summary of facts
Appeal against the interpretation of s 33(2), s 33(2A) and s 33(2B) of WICA. The respondent, Yang Dan, having previously received an assessment of zero incapacity in his WICA Claim, subsequently attempted to make a General Law Claim.
FOURTH SCHEDULE [from WICA] Classes of persons not covered
1. Any member of the Singapore Armed Forces. 2. Any officer of the Singapore Police Force, the Singapore Civil Defence Force, the Central Narcotics Bureau or the Singapore Prisons Service. 3. A domestic worker, being any person employed in or in connection with the domestic services of any private premises.
229
Bab 4:
Mencari Mitra Kerja Lokal oleh Douglas MacLean, Justice Without Borders
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
BAB 4: MENCARI MITRA KERJA LOKAL 1.
1
MENCARI MITRA SINGAPURA
KERJA
KETIKA
KLIEN
MENINGGALKAN
1.1.
Bab ini menjelaskan tentang masalah logistik dan tantangan yang dihadapi dalam mencari dan bekerjasama dengan mitra kerja lokal di Singapura. Mitra kerja sangat dibutuhkan untuk memastikan klien dapat menyelesaikan klaim yang diajukan di Singapura.
1.2.
Dengan demikian, bab ini dibagi menjadi delapan bagian. Bagian 1 memberikan gambaran ringkas tentang pentingnya mencari mitra kerja lokal, Bagian 2 menjelaskan tentang berbagai tantangan besar dalam memberikan pendampingan hukum dari jarak jauh, Bagian 3 membahas mengenai bagaimana mitra kerja lokal dapat membantu sehubungan dengan pendampingan jarak jauh, Bagian 4 mendiskusikan persiapan-persiapan yang diperlukan sehubungan dengan pendampingan jarak jauh, Bagian 5 membahas bagaimana untuk mencari mitra kerja di negara asal klien, Bagian 6 memperkenalkan tentang seluk-beluk dan pertimbangan dalam membangun kerjasama dengan entitas lain, Bagian 7 membahas bagaimana praktisi di daerah asal klien dapat mencoba untuk mendapatkan bantuan hukum di Singapura, dan Bagian 8 mengakhiri bab ini dengan gambaran umum mengenai bagaimana para praktisi bisa menilai kelayakan tuntutan klien untuk diajukan dari jarak jauh.
1.3.
Mengajukan tuntutan hukum dari luar negeri merupakan perkara yang sulit. Meskipun hukum yang berlaku di Singapura memungkinkan klien untuk mengajukan gugatan dari jarak jauh, berbagai hambatan logistik seringkali menjadi tantangan yang berat bagi pengacara maupun klien. Hal ini terutama berlaku untuk buruh migran, yang umumnya harus bergantung pada pendampingan hukum secara pro bono, seringkali sibuk dalam upaya mencari pekerjaan, kemungkinan tidak fasih dalam bahasa yang dipakai pengacaranya dan kemungkinan tinggal di daerah terpencil dimana sarana telekomunikasi yang dapat diandalkan masih jarang.
1.4.
Pengacara lokal, organisasi penyedia jasa langsung 1, atau individu lain, atau organisasi yang dapat berperan sebagai perantara yang dapat diandalkan atau mitra kerja bagi pengacara Singapura di dalam komunitas klien dapat membantu menghadapi beberapa penghalang ini. Bab ini mendiskusikan bagaimana mitra kerja lokal dapat memenuhi kebutuhan spesifik dari pengacara Singapura selama masa litigasi, bagaimana untuk mencari mitra kerja dan pertimbanganpertimbangan hukum dalam bermitra dengan individu atau entitas lain.
1.5.
Bagi para pembaca di negara asal klien yang yakin bahwa klien mereka mempunyai tuntutan hukum yang dapat diajukan di Singapura, lihat Bagian 5
Organisasi penyedia jasa langsung pada umumnya adalah organisasi masyarakat yang menyediakan layanan sosial
secara langsung kepada populasi klien. Ini dapat mencakup konsultasi hukum, perawatan medis, konseling, pelatihan pekerjaan dan jasa lainnya.
231
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
tentang metode untuk mencari bantuan hukum di Singapura.
2.
TANTANGAN UTAMA PADA PENDAMPINGAN HUKUM DARI JARAK JAUH 2.1.
I.
Tantangan telekomunikasi 2.2.
II.
Sayangnya, upaya untuk tetap berkomunikasi dengan klien setelah kembali ke negara asal merupakan tantangan yang sangat berat. Telekomunikasi melalui internet seperti Skype seringkali tidak dapat diandalkan dan menyebabkan frustasi apabila panggilan telepon berulang kali tidak tersambung. Panggilan telepon dapat berbiaya tinggi, dan apabila klien tinggal di wilayah terpencil, sarana telekomunikasi dalam keadaan buruk atau bahkan tidak ada sama sekali. Klien juga mungkin berpindah-pindah di negara mereka sendiri atau mengganti nomor telepon, sehingga memperumit upaya untuk tetap berkomunikasi. Masalah berubahnya nomor telepon sering terjadi di antara klien Indonesia karena biaya yang murah untuk mendapatkan nomor telepon baru di Indonesia.
Hambatan bahasa 2.3.
2
Penyedia jasa dan pengacara pro bono di Singapura melaporkan bahwa klien yang telah mengalami eksploitasi tenaga kerja atau bahkan perdagangan manusia cenderung tidak dapat mengajukan tuntutan jika mereka meyakini bahwa mereka tidak bisa tetap tinggal di Singapura dalam jangka waktu yang cukup lama untuk menyelesaikan tuntutan mereka. Sebagaimana dijelaskan di Bab 3,2 tidak ada status tinggal yang sah bagi mereka yang ingin memperjuangkan ganti rugi untuk perkara perdata terhadap pemberi kerja mereka atau terhadap agen di Singapura. Alternatif yang tersedia adalah melalui proses penyelesian sengketa dan adjudikasi dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker). Berbagai proses ini dapat memakan waktu berbulan-bulan dan selama itu pihak klien mungkin saja tetap menganggur. Dihadapkan dengan berbagai tekanan finansial, klien lebih cenderung akan menerima penyelesaian yang tidak adil atau tidak menjalani prosedur pengaduan sama sekali. Bagi mereka yang mencoba untuk mengajukan tuntutan hukum setelah pulang ke negara asal, maka hambatan logistik yang paling sederhana pun sudah cukup untuk menghentikan tuntutan hukum tersebut. Berikut ini adalah empat masalah yang paling sering dihadapi pengacara dan klien dalam proses pendampingan hukum dari jarak jauh.
Ketidakfasihan dalam bahasa Inggris dapat menyulitkan komunikasi dan sekali lagi menyebabkan rasa frustrasi. Kesalahan komunikasi dapat mengakibatkan klien melewatkan tenggat waktu penting, memberikan materi yang salah atau menjadi bingung tentang posisi tuntutan mereka dan/atau sifat dari keputusan yang harus mereka buat sebagai klien. Klien juga dapat salah paham tentang
Lihat Bab 3 Bagian 3.IV.
232
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
peluang mereka untuk berhasil atau seberapa cepat proses dapat diselesaikan, sehingga menjadi tidak sabar atau bahkan tidak mempercayai pengacara mereka. Ditambah dengan tanggungjawab dan tantangan lain dalam kehidupan pribadi mereka, rasa frustasi ini dapat mendorong klien untuk menghentikan tuntutan. III.
Perbedaan budaya dan kurangnya pemahaman tentang proses hukum 2.4.
IV.
Waktu dan ketersediaan 2.5.
3.
I.
Sejumlah besar klien cenderung tidak mempunyai banyak pengalaman sebelumnya dengan sistem hukum, atau mungkin pernah mengalami pengalaman buruk. Sistem hukum di negara asal mereka mungkin berbeda dan/atau rentan terhadap korupsi, sehingga muncul juga rasa tidak percaya terhadap sistem hukum Singapura. Seperti kebanyakan non-pengacara, klien pada umumnya juga tidak tahu tentang berbagai proses yang terlibat dalam mengajukan tuntutan dan melaksanakan putusan, apalagi memahami mengenai waktu yang diperlukan untuk menjalani berbagai proses tersebut. Diperparah dengan hambatan bahasa, klien mungkin tidak sepenuhnya memahami proses hukum, sehingga menyebabkan frustrasi ketika proses tersebut tidak memberikan hasil yang diharapkan.
Akhirnya, apabila klien kembali ke negara asalnya, kemungkinan mereka memilki jadwal yang tidak teratur, sehingga mengatur pertemuan secara rutin menjadi suatu tantangan. Jika temu janji sering terlewatkan, pengacara Singapura terpaksa menghabiskan waktu dan sumberdaya untuk melakukan tindak lanjut dengan klien melalui telepon dan email.
BAGAIMANA MITRA KERJA PENDAMPINGAN JARAK JAUH
LOKAL
DAPAT
MENDUKUNG
3.1.
Mitra kerja lokal yang dapat baik dapat membantu menangani banyak beban sehubungan dengan manajemen kasus yang tidak siap untuk ditangani oleh klien. Mitra kerja seringkali adalah merupakan penyedia langsung layanan, pengacara pro bono atau klinik hukum Universitas di tempat domisili klien. SubBagian berikut menjelaskan keuntungannya memiliki mitra kerja lokal serta berbagai jenis mitra kerja yang pada umumnya tersedia.
3.2.
Bagi mereka yang memiliki klien dari Indonesia, Fillipina atau Thailand, mohon untuk menghubungi Justice Without Borders untuk konsultasi gratis dalam mencari mitra kerja di negara-negara ini.
Keuntungan memiliki mitra kerja lokal 3.3.
Komunikasi tatap muka secara langsung sangatlah penting bagi banyak klien, dan mitra kerja lokal memberikan kesempatan secara langsung ini. Klien juga lebih mudah untuk mempercayai seseorang yang mereka temui secara 233
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
langsung, yang berbicara bahasamereka, dan yang mengerti budaya mereka. Bagi pengacara Singapura, mitra kerja lokal tidak hanya dapat menyediakan alih bahasa sehubungan dengan bahasa klien, tetapi juga dapat menjelaskan dengan cara yang lebih mudah dimengerti and sesuai dengan budaya klien. Yang terutama, mitra kerja lokal dapat bekerja sesuai dengan jadwal klien, serta menindaklanjuti lebih lanjut dengan mereka secara langsung sebagaimana diperlukan. 3.4.
II.
Selanjutnya, mitra kerja lokal kemungkinan besar memiliki pengertian yang lebih mendalam sehubungan dengan prinsip hukum secara umum, serta permasalahan spesifik tertentu sehubungan dengan buruh migran. Pengacara Singapura akan menjelaskan permasalahan hukum dan logistik yang unik sehubungan dengan sistem hukum di Singapura, namun, landasan yang lebih spesifik akan membuat komunikasi lebih mudah. Akhirnya, mitra kerja lokal berada dalam posisi yang lebih baik untuk mengumpulkan bukti-bukti yang diperlukan beserta kesaksian, serta dapat membantu mengatur teleconference sebagaimana diperlukan.
Praktisi hukum, paralegal dan non-hukum sebagai mitra kerja lokal 3.5.
Walaupun pada umumnya seorang pengacara berlisensi Singapura diperlukan untuk memenuhi kebutuhan hukum klien di dalam Singapura, dukungan dari negara asal klien tidak selalu membutuhkan bantuan dari pengacara berlisensi. Walaupun pengacara setempat tentu dapat menyediakan bantuan yang berharga, kebutuhan dari pengacara Singapura dapat dipenuhi dengan menggunakan jasa paralegal (misalnya pekerja kasus dengan latar belakang hukum) atau bahkan mitra kerja non-hukum yang telah menjalani pelatihan.
3.6.
Patut dicatat bahwa setiap negara memiliki ketentuan lisensi yang berbeda sehubungan dengan pelaksanaan kegiatan yang berhubungan dengan hukum. Panduan ini memfokuskan pada penyelesaian dalam yurisdiksi Singapura yang berarti bahwa kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di negara asal klien pada umumnya tidak akan berkaitan dengan proses hukum di Singapura. Namun, para praktisi harus memastikan bahwa kegiatan-kegiatan tersebut, misalnyapengumpulan bukti dan pengambilan deposisi tidak memerlukan lisensi khusus di negara asal klien. Akhirnya, jika klien memutuskan untuk menggugat agen pengerah kerja lokal atau perantara di negara asal mereka, pengacara berlisensi setempat akan diperlukan.
4.
MEMPERSIAPKAN PENDAMPINGAN JARAK JAUH
I.
Bagi klien yang belum meninggalkan Singapura 4.1.
Para pengacara harus mengerjakan persiapan kasus dengan semaksimal mungkin sebelum keberangkatan klien. Walaupun setiap kasus akan melibatkan tugas yang berbeda, pengacara sebaiknya berusaha untuk menyelesaikan halhal berikut yang disebutkan di bawah ini sebelum klien meninggalkan Singapura.
234
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
A. Mengumpulkan kontak informasi yang relevan di tujuan klien 4.2.
Praktisi harus memperoleh sebanyak mungkin informasi yang dimungkinkan dari klien untuk memastikan bahwa mereka akan terus memiliki kontak. Informasi tersebut dapat mencakup: 1) 2) 3) 4) 5)
Nomor telepon seluler lokal Alamat email Alamat fisik berikutnya Alamat dan nomor telepon dari anggota keluarga Pemberitahuan akan setiap rencana untuk pindah baik di dalam negara asal maupun rencana migrasi berikutnya 6) Informasi kontak di Singapura sebagai cadangan
B. Menjelaskan dan menyediakan salinan tertulis dari tahap selanjutnya dan keseluruhan proses litigasi. Cantumkan langkah selanjutnya dan jadwalkan waktu untuk berbicara setelah klien telah kembali ke negara asal. 4.3.
Konsultasi secara penuh sebelum keberangkatan klien sangatlah penting dalam mempersiapkan klien bersangkutan akan tantangan yang akan timbul sehubungan dengan pendampingan jarak jauh. Praktisi harus menjelaskan sepenuhnya akan proses negosiasi atau litigasi pada saat bersangkutan. Apabila dimungkinkan, salinantertulis dari informasi yang sama harus disediakan dalam bahasa Inggris dan bahasa ibu dari klien. Dokumen-dokumen ini juga akan menjadi penting bagi para mitra di negara asal klien, serta mempersiapkan mereka dari awal, untuk memuluskan proses pembangunan hubungan kerja yang baik. Akhirnya, klien harus memiliki pengertian yang konkrit akan apa yang harus mereka lakukan ketika mereka kembali pulang, walaupun jika hal tersebut hanya dalam bentuk menghubungi pengacara mereka untuk penindak lanjutan. Walaupun klien mungkin membutuhkan fleksibilitas dalam menjadwalkan pertemuan pertama mereka setelah kembali, menjadwalkan tanggal dan waktu penindaklanjutan akan membantu mempertahankan momentum serta menjaga klien tetap terlibat dalam kasus.
C. Prosedur lengkap yang memerlukan kehadiran klien 4.4.
Jika penyelesaian melalui jalur Kemenaker menjadi tidak tersedia dengan klien meninggalkan Singapura, klaim perdata hanya memerlukan kehadiran klien berdasarkan persyaratan tertentu. Tabel berikut menggambarkan secara umum jumlah minimal dari tugas yang harus dikerjakan untuk dapat secara sukses melanjutkan (atau menunda) kasus setelah keberangkatan klien dari Singapura. Untuk ketentuan lengkap mengenai proses perdata, mohon lihat Bab 3. Dengan catatan bahwa di semua kasus, klien harus menandatangani surat pengikatan yang memberikan kuasa kepada pengacara untuk mencapai apapun langkah selanjutnya yang diperlukan setelah kepulangan klien.
235
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
Tabel 20: Prosedur penyelesaian hukum dan persiapan yang diperlukan ketika klien berada di Singapura Tipe prosedur
II.
Tugas yang perlu dilakukan ketika di Singapura
Prosedur adjudikasi Kemenaker
Klien harus berada di Singapura sampai adjudikasi selesai atau sampai penyelesaian tercapai. Mediasi atau adjudikasi tidak dapat dilanjutkan setelah klien meninggalkan Singapura.
Klaim kecelakaan kerja berdasarkan WICA
Klien pada umumnya harus mendapatkan sertifikat medis dari rumah sakit Singapura yang berlisensi.3
Klaim perdata – Kontrak, perbuatan melawan hukum atau Employment Act, dll
Tidak ada. Namun, semua bukti yang relevan yang dipegang oleh klien harus dikumpulkan, dikopi (satu salinan untuk klien) dan didokumentasikan. Harap dicatat bahwa klien hanya dapat mengikuti klaim Kemenaker atau klaim perdata, tida keduanya. Lihat Bab 3.
Menegakkan keputusan
Tidak ada.
Bagi klien yang sedang atau telah meninggalkan Singapura 4.5.
Klien yang tidak dapat terus berada di Singapura terbagi dalam beberapa kategori namun secara bersama-sama, mereka memiliki kebutuhan yang sama sebagaimana dijelaskan di bawah ini. Jenis klien berdasarkan kategori ini termasuk: klien yang harus segera meninggalkan Singapura and mereka yang menghubungi pengacara Singapura pertama kalinya dari luar negeri.
A. Klien di Singapura yang harus segera kembali 4.6.
3
Klien tertentu dapat dipaksa untuk meninggalkan Singapura sebelum praktisi dapat menyelesaikan baik adjudikasi Kemenaker, klaim WICA ataupun klaim perdata, sebagaimana dijelaskan pada Tabel sebelumnya. Membangun dan mempertahankan kontak sangatlah penting untuk melanjutkan pendampingan, dan praktisi harus bekerja dengan cepat untuk menginformasikan kepada klien akan langkah selanjutnya dan untuk mengatur pertemuan rutin. Walaupun klien bertanggungjawab untuk mempertahankan kontak, pengacara juga harus memahami akan tantangan yang dihadapi oleh klien dalam melakukan hal tersebut. Langkah selanjutnya yang lengkap serta penjadwalan pembicaraan di tahap awal akan menyediakan baik struktur dan momentum bagi keduanya, klien
Lihat Bab 2 Bagian III
236
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
dan pengacara.
B. Calon klien yang melakukan kontak pertama dengan Pengacara Singapura dari luar Singapura
5.
4.7.
Dalam kasus tertentu, kontak awal oleh pengacara dapat dilakukan setelah pekerja telah kembali ke negara asalnya. Walaupun jarang pada saat ini, namun terdapat organisasi penyedia jasa langsung di Indonesia, Filipina dan negara lainnya yangtengah bekerjasama dengan pihak lain di negara tuan rumah seperti Singapura untuk membangun jalur komunikasi sehingga para pekerja yang memiliki klaim hukum dapat mencoba untuk mencari penyelesaian hukum di negara tuan rumah bahkan setelah mereka kembali pulang.
4.8.
Pada umumnya, pengacara Singapura pertama kali akan dihubungi oleh organisasi penyedia jasa langsung atau lembaga bantuan hukum di negara asal klien. Organisasi ini dapat bertindak hanya sebagai agen rujukan atau menjadi mitra kerja pengacara dalam mengajukan kasus. Praktisi harus sebelumnya mengkonfirmasi apakah organisasi tersebut memiliki kapasitas dan kemauan untuk melanjutkan perannya sebagai pengantara dengan klien terkait, apabila pengacara setuju untuk mengambil kasus tersebut.
4.9.
Dalam kasus dimana calon klien melakukan kontak dengan praktisi Singapura melalui organisasi lokal, praktisi harus terlebih dahulu menilai sejauhmana organisasi tersebut bersedia untuk melanjutkan perannya sebagai perantara. Para pengacara harus siap untuk menjelaskan secara lengkap akan apa yang diharapkan dari organisasi mitra kerja untuk dilakukan dalam jangka waktu dekat, dan untuk memberikan gambaran akan durasi dan tingkap dukungan yang diperlukan apabila litigasi perdata berlanjut.
CARA MENCARI MITRA KERJA LOKAL DI NEGARA ASAL KLIEN 5.1.
Bagian ini menjelaskan beberapa organisasi di negara asal klien yang dapat didekati oleh pengacara di Singapura untuk dijadikan mitra kerja dan perantara setelah klien pulang. Daftar berikut tidak dibuat dalam urutan tertentu; keuntungan dan kekurangan dalam bekerja dengan setiap grup akan didalami.
5.2.
Harap dicatat bahwa mitra kerja yang paling sesuai akan bervariasi dari lokasi ke lokasi. Bahkan mungkin merupakan hal yang baik untuk mendekati beberapa dari entitas yang disebutkan di bawah ini sebelum dapat mengidentifikasi mitra kerja yang sesuai. Para pengacara sebaiknya menginvestigasi entitas mana yang sepertinya paling sesuai, dilihat dari posisi geografis klien sejak kembali dan menghubungi organisasi tersebut terlebih dahulu.
5.3.
Mencari mitra kerja di negara asal klien dapat menjadi salah satu langkah yang paling menantang dalam pendampingan. Klien yang pindah ke daerah urban yang besar kemungkinan besar akan memiliki beberapa pilihan, sedangkan klien yang pindah ke daerah yang lebih terpencil mungkin tidak akan memiliki pilihan dan harus menerima perantara yang agak jauh di kota yang lebih besar. Dimana memungkinkan, klien harus didorong untuk mencari mitra kerja yang sesuai 237
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
karena hubungan dengan mitra kerja lokal adalah sama pentingnya dengan hubungan antara mitra kerja dan praktisi. 5.4.
Dalam banyak kasus, kontak pertama dari praktisi di negara asal klien mungkin berujung pada rujukan, baik di dalam kota yang sama dimana klien tinggal atau dekat dengan dimana klien tinggal. Organisasi internasional dan nasional di negara asal klien mungkin dalam membantu dalam mencari mitra kerja yang cocok di dalam jaringan profesional mereka sendiri.
5.5.
Mereka yang mencari mitra kerja di Indonesia, Filipina, atau Thailand dapat menghubungi Justice Without Borders untuk konsultasi gratis dalam mencari mitra kerja.
5.6.
Bagi praktisi yang tidak memiliki kontak di negara asal klien, beberapa entitas di bawah ini dapat bertindak sebagai titik kontak pertama yang produktif:
I. Asosiasi advokatnasional 5.7.
Asosiasi-asosiasi ini kemungkinan besar memiliki direktoriterbesar sehubungan dengan mitra kerja hukum di negara bersangkutan. Namun, jasa pro bono di dalam organisasi advokat mungkin minimum ataupun tidak ada dikarenakan banyak pengacara yang menolak untuk mengambi kasus tanpa kompensasi. Kekurangan krusial lainnya dalam mencari pengacara lokal adalah mereka cukup sulit untuk disaring. Asosiasi advokat umumnya meliputi pengacara yang mendampingi kepentingan pekerja dan mereka yang melayani pemberi kerja dan perantara. Tanpa kemampuan untuk secara wajar memeriksa pengacara, praktisi menghadapi risiko bekerjasama dengan mitra kerja lokal yang dapat secara aktif bertentangan dengan kepentingan klien. Dengan demikian, adalah penting untuk memperoleh rujukan dari sumber yang terpercaya untuk setiap pengacara yang dihubungi melalui asosiasi advokat nasional.
5.8.
Direktori pro bono dapat menjadi alternatif yang aman, namun tidak semua asosiasi advokat menyimpan daftar tersebut. Ketika mereka memiliki daftar tersebut, praktisi perlu untuk mencari dan menyaring pengacara yang berdomisili dekat dengan klien dan yang menyatakan ketertarikannya dalam mendampingi kasus bersangkutan.
II. Fakultas hukum (klinik hukum) 5.9.
Banyak Universitas di negara asal yang sekarang memiliki klinik pro bono atau dengan biaya hukum yang terjangkau untuk melayani komunitas lokal.
5.10.
Kelebihan utama dalam bekerja dengan mitra kerja fakultas hukum adalah mahasiwa hukum pada umumnya memiliki pengertian yang lebih baik akan bahasa Inggris, atau setidaknya dalam bahasa Inggris secara tertulis, serta antusias untuk membantu. Ketika kllien kembali ke komunitas lokal, mereka mungkin lebih mempercayai untuk bekerja dengan fakultas dan mahasiwa yang berasal dari komunitas setempat juga. Harap dicatat bahwa para mahasiswa mungkin membutuhkan pelatihan tambahan dan pengawasan, jadi adalah vital 238
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
untuk memastikan bahwa staf klinik yang mengawasi sudah diberitahukan dengan baik dan mengerti lingkup kerja serta detail dari pekerjaan. 5.11.
Kekurangan utama adalah klinik hukum yang fokus pada buruh migran cukup jarang dan di negara tertentu, bahkan akademisi hukum yang familiar dengan migrasi tenaga kerja cukup susah untuk ditemui. Dengan demikian, disarankan untuk menghubungi fakultas hukum terdekat dari klien untuk mempelajari apakah ada anggota staf yang bersedia untuk membantu (dan membawa mahasiswa sukarelawan selama proses) atau yang dapat membantu memberikan rujukan kepada seseorang yang dapat bertindak sebagai perantara.
III. Organisasi masyarakat dan organisasi non-pemerintahan 5.12.
Kebanyakan mitra kerja adalah organisasi penyedia layanan langsung. Mereka dapat dibagi menjadi organisasi bantuan hukum lokal, organisasi dengan paralegal (misalnya pekerja kasus yang terlatih namun bukan merupakan pengacara berlisensi), dan organisasi tanpa staf paralegal. Walaupun ketiga jenis organisasi ini dapat menyediakan bantuan yang cukup, pengacara Singapuraakan perlu untuk mendiskusikan secara keseluruhan ruang lingkup kemitraan yang diperlukan untuk memastikan bahwa organisasi tersebut memiliki kapasitas cukup untuk menjalankan baik dari segi aspek teknis maupun non teknis dari kasus bersangkutan.
5.13.
Selain itu, organisasi-organisasi ini harus diperiksa untuk memastikan bahwa mereka adalah entitas yang dikenal, terutama di dalam bidang dimana mereka bekerja. Walaupun dukungan dari organisasi internasional pada umumnya adalah merupakan indikator yang baik dari kredibilitas, organisasi yang kecil yang telah diverifikasi oleh organisasi non-pemerintahan (LSM) tingkat nasional atau entitas lainnya dapat menjadi cukup. Praktisi yang melayani klien yang berdomisili di daerah terpencil mungkin akan memiliki pilihan terbatas dan mungkin perlu untuk menyesuaikan harapan mereka. Namun demikian, ketika sebuah organisasi tidak dikenal atau ada kecurigaan bahwa organisasi tersebut tidak dapat diandalkan, atau terlihat mencurigakan, pengacara harus memilih organisasi yang lebih dapat diandalkan walaupun lebih jauh dari kllien.
IV. Institusi keagamaan yang relevan 5.14.
Di banyak negara, institusi keagamaan adalah merupakan organisasi komunitas utama di daerah bersangkutan. Jika klien merasa nyaman dengan sebuah institusi agama, praktisi patut mempertimbangkan mencari dan menyaring mitra kerja tersebut. Suatu keuntungan utama dari mitra kerja seperti ini adalah, klien dari agama tersebut akan lebih mempercayai dan bekerjasama dengan orangorang terkait berbasiskan persaudaraan agama, bahkan jika mereka tidak secara personal mengenal gereja, masjidmaupun kuil tersebut.
5.15.
Beberapa pertimbangan timbul dalam mendekati organisasi keagamaan sebagai mitra kerja. Pertama dan yang terutama, agama mayoritas belum tentu monolitik. Budaya, etnik, divisi sektor antara berbagai agama utama akan membutuhkan 239
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
pengacara untuk menentukan Bagian khusus dari agama tersebut dimana kliennya bergabung. Ketika ragu, berkonsultasilah dengan penyedia jasa lokal atau ahli lainnya. Para ahli ini dapat saja merekomendasikan untuk tidak bekerjasama dengan institusi keagamaan di negara asal klien terutama sehubungan dengan pertimbangan apakah institusi tersebut cukup terstruktur untuk menyediakan jenis jasa perantaraan yang diperlukan. 5.16.
Kedua, dimana organisasi di negara asal klien tersebut terlihat sebagai kesempatan terbaik untuk mencari mitra kerja yang sesuai, pengacara dapat menanyakan lebih lanjut dengan organisasi agama berbasis di Singapura yang melayani etnik dan sekte yang sama dengan dimana klien berasal. Sekali lagi, kehati-hatian harus dijalankan untuk memastikan bahwa pengacara mendekata organisasi yang sesuai. Sebuah organisasi India Muslim kemungkinan besar tidak memiliki hubungan yang bermanfaat dengan organisasi Muslim di Jawa Tengah, misalnya.
5.17.
Akhirnya bahkan setelah perkenalan telah dilakukan, kehati-hatian masih harus terus dijalankan untuk memastikan bahwa mitra kerja lokal ini sepenuhnya mendukung buruh migran dan tidak memiliki benturan kepentingan mealui ikatan dengan agen ketenagakerjaan atau perantara di daerah bersangkutan. Dalam level praktis, tidak semua mitra kerja akan memiliki pekerja kasus sebagai staf, sengan demikian penilaian kapasitas juga merupakan langkah yang krusial.
V. Organisasi internasional 5.18.
Organisasi pemerintahan dan non-pemerintahan dengan kantor lokal di negara asal klien pada umumnya memiliki jaringan yang memadai dengan mitra kerja lokal. Pengenalan dari organisasi-organisasi ini akan menghemat waktu dalam proses verifikasi, dan dengan demikian entitas lokal tersebut kemungkinan besar dikenal dan lebih terpercaya. Akan tetapi, praktisi juga didorong untuk melakukan verifikasi untuk melihat kecukupan kapasitas yang dimiliki dari organisasi yang bersangkutan..
A. Organisasi pemerintahan internasional 5.19.
Tiga organisasi pemerintahan yang paling terlibat dalam isu buruh migran dan yang berkemungkinan besar memiliki akses kepada calon mitra kerja lokal: International Labour Organisation (ILO), International Organisation for Migration (IOM) dan beberapa cabang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Harap dicatat bahwa kehadiran organisasi-organisasi ini di setiap negara berbeda secara signifikan dan ukuran dari kantor lokal serta misi khusus terhadap negara tersebut akan memiliki efek yang besar terkait dengan bantuan yang dapat mereka sediakan dalam menemukan mitra kerja lokal. Walaupun praktisi sepatutnya tidak berharap akan kemitraan langsung dengan organisasiorganisasi ini, adalah pantas untuk ditanyakan apakah mereka memiliki pekerja kasus untuk mendampingi, terutama dimama klien menemukan kantor yang dekat dengan mereka. Ketiga organisasi diatas memiliki tujuan misi yang mencakup mendukung akses yang lebih besar terhadap keadilan bagi buruh migran. Tujuan klien akan kompensasi yang adil akan searah dengan misi mereka dan organisasi-organisasi ini mungkin akan bersedia untuk membantu dalam menemukan mitra kerja dimana dimungkinkan. 240
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
i. ILO 5.20.
ILO mungkin merupakan yang paling terlibat secara langsung dalam isu migrasi tenaga kerja secara regional. Akses terhadap keadilan seringkali merupakan prioritas misi, dan organisasi telah bermitra dengan pemerintah maupun serikat kerja lokal untuk mendirikan pusat buruh migran lokal. Praktisi harus memeriksa program yang dibangun oleh ILO di negara asal klien untuk menentukan apakah program tersebut berada di dekat lokasi klien. Dimana tidak, maka konsultasi melalui telepon dengan staf ILO dapat membantu mengidentifikasi mitra kerja yang dapat diandalkan dan dekat dengan klien. ii. IOM
5.21.
IOM seringkali mendampingi korban perdagangan manusia dan eksploitasi dalam memastikan migrasi yang aman dan reintegrasi ke dalam komunitasnya. Mereka yang menggunakan jalur resmi IOM kemungkinan besar akan menerima bantuan langsung dari IOM. Kantor ini mungkin memiliki staf atau sukarelawan yang terlatih untuk bermitra dengan praktisi. Namun, pengacara harus siap untuk menanyakan staf IOM mengenai rujukan kepada mitra kerja lokal, jika kapasitas mereka terbatas. iii. PBB – UNDP dan UN Women
5.22.
Organ PBB yang paling relevan adalah UNDP dan dimana klien adalah wanita, UN Women. Sampai pada pencetakan panduan ini, UNDP memiliki kepentingan dalam mengakses keadilan bagi buruh migran, terutama (walaupun tidak secara eksklusif) untuk wanita, sedangkan UN Women berfungsi untuk memajukan hakhak wanita, termasuk buruh migran. Harap dicatat bahwa setiap agensi memiliki keberadaan yang terpisah dan bervariasi dalam ukuran, di negara asal klien, dengan prioritas yang berbeda di setiap negara. Karena organisasi-organisasi ini seringkal memiliki kontrak dengan Universitas setempat dan LSM untuk menjalankan misi mereka, UNDP dan UN Women adalah titik kontak utama yang baik untuk rujukan kepada agensi yang dapat diandalkan.
B. Firma hukum internasional dengan keberadaan di Singapura dan negara asal 5.23.
Firma hukum internasional mungkin bersedia mendampingi secara pro bono jika mereka memiliki kantor di negara asal klien. Untuk firma hukum, kesempatan untuk mendampingi klien dapat membantu firma hukum tersebut untu memenuhi kewajiban pro bono yang mana telah mereka sepakati, atau membantu menciptakan kisah yang positif akan keterlibatan dengan komunitas di negara asal klien. Harap dicatat bahwa banyak firma hukum internasional yang tidak memiliki program pro bono secara keseluruhan; mereka akan mengatur kegiatan pro bono pada level nasional, terutama di negara-negara yang memerlukan firma hukum tersebut untuk bermitra dengan entitas lokal. Dengan demikian, firma hukum yang mendukung kasus buruh migran di Singapura mungkin tidak menyediakan bantuan yang sama di luar negeri.
5.24.
Seperti sebelumnya disarankan, penyaringan yangsesuai akan sebuah firma hukum adalah penting, terutama dimana kantor di negara asal merupakan kantor yang terpisah yang mengadakan kemitraan dengan firma hukum internasional. Perantara tenaga kerja lokal yang menyediakan pemberi kerja di Singapura 241
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
menyewa pengacara mereka sendiri, dan adalah kritis untuk mengkonfirmasi bahwa firma hukum yang terlibat di negara asal tidak memiliki benturan kepentingan. 5.25.
Apabila firma tersebut terbukti sesuai, patut diingat bahwa firma hukum merupakan mitra kerja yang kuat yang dapat ditemukan oleh praktisi. Pengetahuan lokal, pengalaman dengan llitigasi antar yurisdiksi dan kapasitas yang memadai, termasuk potensi untuk mendampingi melalui pendampingan jarak jauh melalui peralatan telekomunikasi dari firma bersangkutan, adalah beberapa keuntungan unik yang dapat disediakan oleh firma hukum.
C. Kedutaan Singapura di negara asal klien 5.26.
6.
MEMBANGUN KEMITRAAN DENGAN ORGANISASI PENGHUBUNG 6.1.
I.
Kedutaan Singapura mungkin memiliki daftar firma hukum lokal dan pengacara yang mereka rekomendasikan kepada warga negara yang menghadapi masalah hukum ketika berada di luar negeri. Namun, kecil kemungkinan bahwa entitas ini menyediakan pendampingan secara pro bono.
Organisasi yang berpotensi untuk menjadi mitra praktisi lokal biasanya mempunyai kemampuan yang relatif terbatas. Memberikan mereka pemahaman yang jelas tentang komitmen yang dapat dilakukan, dapat membuat mereka menyatakan komitmen atau membantu mencarikan mitra kerja lokal dengan kemampuan yang memadai untuk membantu. Berikut adalah penjelasan mengenai proses penyaringan, diikuti dengan berbagai kegiatan umum yang perlu dilaksanakan oleh mitra organisasi.
Menyaring mitra kerja potensial 6.2.
Sebelum membangun hubungan, praktisi harus menyaring calon mitra kerja untuk memastikan bukan hanya bahwa mereka dapat dipercaya, melainkan juga memiliki kapasitas untuk memenuhi kebutuhan klien dan praktisi. Beberapa hal di bawah ini berlaku bagi baik organisasi maupun pengacara individual pro bono yang mungkin bermitra dengan praktisi.
A.
Bagaimana reputasi mitra kerja?
6.3.
Beberapa riset latar belakang dapat mencukupi untuk menentukan apakah calon mitra kerja bersangkutan, dapat dipercaya. Ini merupakan pertimbangan utama di beberapa negara asal, dimana status LSM organisasi dapat digunakan untuk menghindari tanggung jawab pajak sehubungan dengan kegiatan komersil. Kemungkinan terburuk, organisasi tersebut mungkin memiliki hubungan dengan agen ketenagakerjaan yang tidak bertanggungjawab atau bahkan perdagangan manusia. Dimana informasi akan mitra kerja potensial tidak ada, praktisi harus menghubungi entitas yang terpercaya di negara asal klien untuk mengkonfirmasi bahwa mitra kerja potensial tersebut dapat dipercaya. International Labour Office (ILO), International Organisation for Migration (IOM) atau PBB, khususnya UN Development Program (UNDP) atau UN Women, adalah tempat yang sesuai untuk mulai, karena staf mereka seringkali berpengetahuan akan organisasi 242
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
lokal.
II.
B.
Apakah organisasi mitra kerja memiliki kemampuan bahasa yang memadai?
6.4.
Selain berbicara bahasa yang dimengerti oleh pengacara, praktisi harus mengkonfirmasi bahwa organisasi memiliki staf yang berbicara Bahasa klien atau dialeknya. Hal ini khususnya penting ketika bahasa ibu klien adalah bukan bahasa nasional di negara asal.
C.
Apakah terdapat kapasitas yang memadai untuk mendampingi pengacara?
6.5.
Organisasi-organisasi dan pengacara pro bono seringkali telah berkapasitas. Walaupun mereka bersedia membantu, penilaian yang jujur akan apakah mereka memiliki waktu dan sumber daya untuk mendampingi merupakan hal yang penting, terutama dimana tenggat waktu terlibat. Praktisi harus berhati-hati dalam menentukan komitmen waktu, potensi jangka waktu dari kasus dan isu logistik yang perlu dihadapi agar kedua belah pihak memilii pengertian akan orang, waktu dan sumber daya finansial yang diperluan sehubungan dengan kasus. Dimana mitra kerja potensial tidak memiliki kapasitas tersebut, entitas ini dapat tetap membantu dalam merekomendasikan mitra kerja yang sesuai.
Membuat perjanjian resmi dengan mitra kerja 6.6.
III.
Organisasi layanan langsung dan organisasi bantuan lainnya pada umumnya terikat dengan kewajiban untuk menjaga kerahasiaan klien sebagaimana diwajibkan untuk pengacara Singapura. Dengan demikian, praktisi perlu menyusun suatu nota kesepahaman yang mengesahkan kerjasama, pemBagian informasi rahasia klien, dan prosedur untuk mentransfer uang yang diambil di Singapura. Klien harus mengesahkan perjanjian ini setelah mendapatkan informasi sepenuhnya tentang perjanjian tersebut. Perjanjian harus ditulis dalam bahasa yang dimengerti oleh para pihak, meskipun hal ini kemungkinan sulit untuk dilakukan mengingat adanya keterbatasan sumberdaya.
Menjaga hubungan dengan klien 6.7.
Tugas mitra kerja di negara asal yang paling penting adalah memastikan bahwa klien tetap dapat dihubungi oleh pengacara mereka di Singapura. Meskipun mitra kerja tidak dapat menjamin agar klien tetap memperjuangkan kasusnya seandainya klien memutuskan tidak ingin lagi meneruskan kasusnya, hubungan dengan klien sangat penting untuk memastikan agar klien tetap percaya dan terlibat dalam proses.
6.8.
Menjaga hubungan seringkali hanya memerlukan percakapan melalui telepon secara berkala, atau jika memungkinkan, pertemuan secara langsung antara mitra lokal dan klien. Mitra kerja yang berada di daerah asal klien dapat dengan lebih mudah melakukan hal ini, sementara klien yang tinggal di wilayah yang lebih terpencil kemungkinan bergantung pada organisasi yang berpusat di kotakota yang lebih besar. Mengatur jadwal rutin untuk memantau keadaan, 243
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
meskipun tidak ada informasi terbaru, sangat penting tidak hanya untuk tetap menjalin komunikasi dengan klien, tetapi juga untuk membangun hubungan antara klien dan mitra kerja. 6.9.
Terakhir, klien yang merupakan buruh migran, kemungkinan juga mempunyai mobilitas tinggi. Baik praktisi maupun mitra organisasi harus siap jika klien berpindah tempat beberapa kali selama kasusnya berjalan, termasuk kemungkinan pindah ke negara lain. Klien seperti ini sangat sulit untuk tetap menjalin komunikasi. Bagi klien yang berpindah-pindah di dalam negara mereka sendiri, praktisi dan mitra kerja harus siap untuk mencari organisasi di lokasi klien yang baru yang dapat berfungsi sebagai penghubung baru.
Mengumpulkan bukti dan mengambil deposisi (deposition)
IV.
6.10.
A.
Menjelaskan perbedaan penting dalam metode pengumpulan bukti 6.11.
B.
Meskipun kebanyakan bukti untuk tuntutan hukum yang dibahas dalam panduan ini berada di Singapura, klien mungkin saja membawa pulang buku rekening bank mereka, catatan pembayaran atau informasi lainnya yang penting untuk penanganan kasus. Apabila bukti yang terkait dengan perantara atau pemberi kerja yang terjadi sebelum keberangkatan klien diperlukan untuk penanganan kasus, mitra organisasi kemungkinan perlu mengumpulkan informasi tersebut, baik itu dari klien, agen pengerah tenaga kerja atau lembaga pemerintah setempat. Praktisi harus menentukan informasi apa saja yang diperlukan dan memastikan bahwa mitra organisasi memahami dengan jelas tentang apa yang diperlukan, bagaimana mengumpulkan informasi tersebut dan batas waktu yang ditentukan oleh pengadilan.
Sistem hukum seringkali mempunyai syarat berbeda tentang bagaimana bukti dicatat dan disajikan. Terdapat berbagai perbedaan, mulai dari persyaratan yang terkait dengan tingkat rincian yang diperlukan untuk membuktikan keaslian (authenticity), hingga format dokumen. Praktisi Singapura harus memberikan instruksi yang jelas kepada mitra kerja, dan jika memungkinkan, memberikan formulir yang sudah dalam format baku untuk memastikan bahwa bukti yang dikumpulkan dapat diterima di pengadilan Singapura. Jika hal ini tidak dilakukan, maka banyak waktu dan tenaga akan disia-siakan, sehingga menyebabkan rasa frustrasi bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, praktisi harus siap menghadapi penundaan dan kesalahan dalam pengumpulan bukti dengan mitra kerja yang baru. Mitra organisasi mungkin tidak sepenuhnya memahami tentang bentuk rincian yang diperlukan untuk formulir Singapura, dan hanya mengandalkan pada cara yang berlaku di negara mereka sendiri ketika menjalankan tugasnya.
Mengurus kehadiran dari jarak jauh di pengadilan Singapura 6.12.
Klien yang mengajukan tuntutan hukum kemungkinan perlu hadir di pengadilan. Dalam beberapa kasus, klien dapat melakukannya dari jarak jauh melalui
244
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
konferensi video.4 6.13.
Pada saat panduan ini dicetak, persyaratan minimum untuk peralatan konferensi atau lokasi yang dapat diterima masih belum ada untuk kasus yang melibatkan buruh migran. Pertemuan melalui Skype dengan koneksi internet yang kuat mungkin dapat diterima. Namun demikian, karena pengadilan harus memastikan bahwa lokasinya “aman”,5 pengadilan dapat membatasi bentuk sarana telekomunikasi yang digunakan.
6.14.
Oleh karena itu, pengacara dan mitra kerjanya harus siap untuk mencarikan fasilitas yang memenuhi persyaratan pengadilan. Penyusun panduan ini berharap lokasi berikut ini kemungkinan lebih dapat diterima:
6.15.
7.
Universitas yang dilengkapi dengan peralatan telekomunikasi yang profesional Fasilitas Perserikatan Bangsa-Bangsa Fasilitas yang dikelola pemerintah Fasilitas kedutaan besar Kantor lembaga hukum internasional Studio televisi
Perlu dicatat bahwa penggunaan berbagai fasilitas ini memerlukan biaya. Para praktisi dan mitra kerjanya perlu melakukan negosiasi dengan pemilik fasilitas tersebut untuk memperoleh pengurangan biaya atau pemakaian tanpa biaya. Bagi klien di Indonesia, Filipina atau Thailand, silakan menghubungi Justice Without Borders jika memerlukan bantuan untuk mencari lokasi fasilitas seperti di atas.
PRAKTISI DARI NEGARA ASAL YANG MENCARI BANTUAN HUKUM DI SINGAPURA 7.1.
Bagi entitas di negara asal klien yang meyakini bahwa klien mereka mempunyai klaim yang layak diajukan di Singapura, membangun hubungan kerja dengan LSM Singapura, entitas keagamaan atau kedutaan besar negara asal klien di Singapura dapat menjadi cara yang efektif untuk mendapatkan bantuan hukum. Bagian ini mula-mula mengemukakan berbagai pertanyaan yang membantu menilai kelayakan tuntutan klien sebelum memperkenalkan berbagai opsi untuk memperoleh bantuan hukum.
7.2.
Untuk menentukan apakah klien anda mempunyai tuntutan yang layak diajukan di Singapura, silakan lihat Bab 2 terlebih dahulu tentang berbagai mekanisme penyelesaian. Jika anda meyakini bahwa klien anda mempunyai tuntutan yang layak untuk diajukan, silakan menghubungi Justice Without Borders untuk melakukan konsultasi tanpa biaya.
4
Lihat Bab 3, Bagian 4.II.B mengenai informasi tentang persyaratan hukum untuk kehadiran dari jarak jauh.
5
Ibid.
245
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
I.
Skema bantuan hukum di Singapura 7.3.
II.
LSM yang relevan 7.4.
III.
LSM Singapura lebih memahami hukum yang berlaku dan mungkin dapat membantu dalam menentukan lebih lanjut apakah kasus yang akan ditangani layak untuk diajukan. Namun demikian, tidak ada LSM yang relevan di Singapura yang memiliki staf hukum sendiri. Dengan demikian, organisasi seperti ini mungkin dapat membantu untuk mencari pengacara pro bono yang bersedia menangani perkara tersebut:
H.O.M.E. [Indonesia, Filipina, Cina dan lainnya]–Organisasi ini menangani pekerja rumah tangga maupun buruh di berbagai sektor lainnya. Organisasi ini merupakan salah satu penyedia layanan langsung yang terbesar di Singapura.
Transient Workers Count Too (TWC2) [Bangladesh, India, Indonesia, Filipina dan lainnya] – Memfokuskan diri pada upaya advokasi dan sebagian layanan langsung, organisasi ini paling berpengalaman dalam membantu klien dengan klaim yang dilakukan melalui sistem penyelesaian sengketa dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker).
HealthServe [Cina] – Organisasi ini bekerja terutama dengan menangani klien di industri konstruksi. Organisasi ini mempunyai staf paralegal untuk membantu mereka yang mempunyai keperluan bantuan hukum. Organisasi keagamaan 7.5.
6
Saat ini, skema bantuan hukum di Singapura tidak menawarkan bantuan hukum kepada mereka yang telah meninggalkan wilayah yurisdiksi Singapura. Komunitas Hukum Singapura (Law Society of Singapore) mengelola kantor pro bono yang kemungkinan dapat memberikan bantuan untuk kasus spesifik melalui Skema Rujukan Pro Bono Ad Hoc, tetapi pencarian Komunitas Hukum Singapura terbatas pada pengacara yang bersedia untuk membantu kasus secara pro bono.6
Singapura adalah negara multi-etnis yang memiliki perwakilan dari hampir semua agama utama, termasuk Hindu, Islam, Kristen, dan agama lainnya. Para pembaca sebaiknya melakukan konsultasi dengan organisasi terkait di negara mereka sendiri tentang apakah lembaga tersebut memiliki hubungan dengan organisasi afiliasi di Singapura.
Lihat Law Society of Singapore Pro Bono Services Office, http://probono.lawsociety.org.sg atau hubungi kantor di +65
6534-1564, [email protected].
246
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
IV.
Kedutaan besar di Singapura 7.6.
8.
MELAKUKAN PENILAIAN ATAS TUNTUTAN KLIEN 8.1.
I.
Pekerja sosial yang menangani kasus individu (caseworker) di negara asal klien harus mempertimbangkan sejumlah pertanyaan berikut ini dalam melakukanpenilaian terhadap potensi tuntutan klien. Yang paling penting adalah pertanyaan sehubungan dengan jumlah uang yang akan diklaim, jumlah bukti yang tersedia, dan komitmen klien untuk tetap menjalin hubungan dengan pengacara mereka dan mengupayakan gugatan.
Seberapa banyak yang dapat diklaim oleh klien? 8.2.
II.
Hampir semua negara di wilayah tersebut memiliki kedutaan besar di Singapura. Beberapa dianta memiliki staf atase tenaga kerja, yang ditugaskan membantu buruh migran dari negara mereka dalam menyelesaikan permasalahan hukum dan permasalahan lainnya yang dihadapi di Singapura. Perlu dicatat bahwa kapasitas untuk memberikan bantuan kepada pekerja akan bervariasi antar kedutaan besar dan harus diingat bahwa staf kedutaan tidak berwenang untuk memberikan bantuan hukum di Singapura. Namun, kedutaan besar biasanya memiliki daftar pengacara setempat yang kemungkinan dapat membantu klien. Para pengacara ini biasanya tidak bekerja secara pro bono. Akan tetapi, kemungkinan mereka mau melakukannya dalam kondisi tertentu atau jika tidak dapat memberikan rujukan ke pengacara pro bono. Perlu dicatat bahwa sebagaimana kasus yang terjadi di negara-negara lainnya, pengacara pro bono di Singapura seringkali bekerja berdasarkan kapasitas yang ada dan kemungkinan besar akan memprioritaskan buruh migran yang berada di Singapura.
Klien harus mengajukan klaim dalam jumlah uang yang cukup besar untuk mengatasi biaya pendampingan hukum dari jarak jauh. Bahkan meskipun pengacara Singapura memberikan layanan tanpa biaya, klien seringkali harus membayar biaya pengadilan. Biaya-biaya ini dapat diperoleh kembali jika klien memenangkan perkaranya, tetapi biaya yang harus dibayarkan di muka cukup mahal. Klien yang memiliki bukti putusan pengadilan Singapura atau penyelesaian merupakan kandidat yang baik untuk memperoleh bantuan probono karena pengacara Singapura hanya perlu mengupayakan pelaksanaan putusan. Untuk seluruh kasus lainnya, tuntutan minimal sebesar S$10.000 diperlukan sebagai justifikasi atas waktu dan biaya yang dilibatkan.
Menghitung biaya 8.3.
Mereka yang mengajukan klaim gaji yang tidak dibayar, penipuan kontrak, atau pembayaran ilegal harus menghitung apa yang mereka yakini seharusnya menjadi hak mereka, berdasarkan bukti tertulis atau lisan. Penyedia layanan harus melakukan pengecekan jumlah ini dibandingkan dengan bukti yang dimiliki klien. Jika klien mengklaim bahwa pemberi kerja menjanjikan secara lisan sejumlah gaji tertentu atau persyaratan lainnya, bukti pembayaran atau 247
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
setidaknya jumlah jam kerja yang telah dilalui akan sangat penting dalam memperkuat klaim tersebut.
III.
IV.
8.4.
Bagi mereka yang mengalami cedera dalam kecelakaan kerja, silakan mengacu ke Bab 2 untuk kemungkinan kompensasi berdasarkan skema kompensasi pekerja Singapura (WICA) dan persyaratan untuk mengajukan klaim.7 Mereka yang tidak dapat mengajukan klaim berdasarkan skema ini masih dapat mencari ganti rugi melalui litigasi perdata. Namun, biaya yang dibutuhkan bisa sangat bervariasi. Penyedia layanan seharusnya menggunakan jumlah yang ditetapkan dalam WICA sebagai dasar. Tagihan medis yang dapat mendukung penyebab kerugian akan sangat membantu. Jika kurang yakin, direkomendasikan untuk melakukan konsultasi dengan salah satu entitas Singapura yang dijelaskan di atas.
8.5.
Bagi mereka yang mengajukan klaim atas kerugian lainnya, termasuk penganiayaan, pemukulan, atau kekerasan seksual, hendaknya juga menghubungi salah satu entitas Singapura di bawah untuk memperoleh bantuan.
Melakukan penilaian atas bukti yang tersedia dan hambatan prosedural untuk mengajukan klaim 8.6.
Silakan lihat Bab 2 dan 3 untuk informasi tentang pembuktian yang diperlukan bagi tiap-tiap klaim. Pembuktian dapat berupa dokumen resmi, rekaman yang disimpan secara pribadi oleh klien, rekaman telepon atau email, atau kesaksian dari klien, rekan kerja, dan/atau saksi lainnya. Klaim yang secara keseluruhan didasarkan pada pembuktian lisan kemungkinan akan sangat sulit untuk diajukan jika klien tidak berada di Singapura.
8.7.
Batasan waktu seringkali menjadi halangan terbesar yang akan dihadapi mereka yang telah kembali ke negara asalnya dalam mengajukan klaim. Silakan memperhatikan batasan waktu pada Bab 3. Selain itu, kejadian yang telah lama terjadi di masa lalu akan semakin sulit untuk diajukan. Rekaman kemungkinan besar telah hilang atau mengalami kerusakan, para saksi kemungkinan telah pindah atau menghilang, dan ingatan klien sendiri kemungkinan bisa salah. Secara umum, semakin baru kejadian yang dialami klien, semakin mudah untuk mengajukan tuntutan.
Membayar biaya jaminan keamanan bagi pengadilan 8.8.
7
Pihak tergugat yang berkewarganegaraan Singapura dapat mengajukan klaim dan meminta pengadilan agar memerintahkan penggugat di luar negeri untuk membayar deposit jaminan keamanan bagi pengadilan dan biaya hukum. Nilai ini dapat berkisar di atas S$10.000. Secara teoritis masih memungkinkan untuk mengajukan alasan ketidakwajaran dan meyakinkan pengadilan untuk mengabaikan deposit jaminan keamanan, meskipun standar atau ketentuan
Lihat Bab 2 Bagian 5.III.
248
BAB 4: MENCARI MITRA LOKAL
yang dapat diterapkan pengadilan untuk mengevaluasi permohonan atas pengabaian tuntutan tersebutmasih belum jelas pada saat publikasi (Oktober 2014). V.
VI.
Melakukan penilaian atas kepentingan klien dalam pengajuan klaim 8.9.
Klien seringkali tidak menyadari waktu dan upaya yang terlibat dalam pengajuan tuntutan, terutama ketika tuntutan tersebut dilakukan dari jarak jauh. Para praktisi hendaknya menginformasikan klien bahwa komunikasi secara reguler akan sangat diperlukan, dan bahwa klaim dapat memakan waktu enam bulan hingga dua atau tiga tahun sebelum kasusnya diputuskan. Namun, dengan membagi proses ke dalam langkah yang lebih kecil dan lebih mudah dikelola, para praktisi dapat memberikan informasi tentang kemajuan perkara meskipun ada kemungkinan bahwa klien kemungkinan tidak dapat memperolehnya pada akhirnya.
8.10.
Akhirnya, klien harus menyadari seluruh kemungkinan, mulai dari memperoleh penyelesaian secara relatif cepat hingga kasus yang berlanjut hingga persidangan maupun banding. Pada saat yang sama, para praktisi hendaknya menginformasikan klien bahwa mereka tidak perlu langsung membuat komitmen atas waktu yang sedemikian lama terhadap kasus tersebut. Jika penilaian awal menunjukkan bahwa klien memiliki klaim yang layak, para praktisi hendaknya mulai menawarkan untuk melakukan investigasi atas nama klien. Tindakan yang menindaklanjuti klaim yang potensial akan sangat membantu klien, membuat mereka merasa bahwa ada pihak lain yang bekerja atas nama mereka. Hal ini dapat berkontribusi terhadap pemulihan dari eksploitasi, tanpa memandang apakah pada akhirnya mereka dapat memperoleh kembali. Dalam beberapa keadaan, negosiasi awal dengan pihak pemberi kerja dapat membawa pada penyelesaian yang memuaskan klien. Karena pemberi kerja yang licik biasanya mengandalkan pada kepergian klien untuk menghentikan adanya komplain hukum, keberadaan pengacara yang mewakili klien di luar negeri dapat meyakinkan pihak pemberi kerja untuk menyelesaikan kasusnya untuk menghindari tuntutan hukum selanjutnya yang memusingkan.
Kesimpulan 8.11.
Kemitraan yang efektif antara para praktisi di Indonesia dan Singapura dapat membuat upaya untuk memperoleh kompensasi atas gaji yang tidak dibayar atau cedera yang diderita menjadi suatu hal yang memungkinkan. Meskipun hambatan hukum dan hambatan prosedural memang sangat nyata, masalah non-hukum tentang menjaga hubungan dengan klien merupakan permasalahan yang paling penting untuk ditangani dalam membuat litigasi antar negara menjadi kenyataan bagi buruh migran. Organisasi layanan masyarakat dengan klien yang kembali dari Singapura dapat menghubungi Justice Without Borders untuk melakukan konsultasi secara cuma-cuma. JWB akan melakukan pembaruan panduan ini sesuai dengan perkembangan pada ruang lingkup litigasi probono lintas batas, agar dapat menyediakan pengetahuan tambahan tentang pencarian dan penggalangan kerjasama dengan mitra di luar negeri.
249