Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
Pandecta http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/pandecta
Perlindungan Korban Kekerasan Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Agung Sulistiyo Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Tanjung Pinang Batam, Indonesia
Info Artikel
Abstrak
Sejarah Artikel: Diterima April 2012 Disetujui Mei 2012 Dipublikasikan Juli 2012
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk dan penyebab perdagangan manusia (perempuan) dan kebijakan yang dapat meminimalisir kekerasan kejahatan perdagangan manusia (perempuan) serta upaya-upaya penanggulangannya. Metode penelitian ini adalah yuridis-sosiologis dengan pendekatan kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan terdapat bentuk-bentuk kekerasan yaitu kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan mental, melalui ciri-ciri dipukul, disiram air alkohol, diancam dan lain-lain. Dan penyebabnya ditipu, dijanjikan pekerjaan, pendidikan rendah. Kebijakan Undang-undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang perlu penanganan yang optimal untuk membuktikan bentuk kekerasan yang dialami korban, 3 pola penanganan pembuktian yaitu : pemeriksaan yang berasal dari penanganan tim forensik, pemeriksaan yang berasal dari penanganan tim kepolisian, pemeriksaan yang berasal dari penaganan tim psikolog. Kesimpulkan yang diperoleh adalah bentuk kekerasan dalam perdagangan manusia (perempuan) meliputi :kekerasan seksual, kekerasan fisik, kekerasan mental. Penyebabnya, faktor internal dan faktor eksternal. Implementasi Undang-undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagang Orang, pembuktian bentuk kekerasan melalui beberapa pola penanganan : pemeriksaan forensik, pemeriksaan kepolisian, pemeriksaan psikologi.
Keywords: Crime Trafficking In Persons; Victims Of Violence; Criminal Law System.
Abstract The purpose of this research is to know the forms and causes of human trafficking (women) and policies that can minimize the violent crime of human trafficking (women) and penanggulangannya efforts. The method of this research is the juridical sociological approach-qualitative. Data collection methods used i.e. study librarianship and interviews. The research results obtained pointed out there were other forms of violence, sexual violence, physical abuse, mental abuse, through distinctive struck, watered alcohol water, threatened and others. And the cause is tricked, promised jobs, education is low. The policy of law No. 21 of 2007 About the eradication of criminal acts of Trafficking need to prove the optimal handling of forms of violence experienced by victims, 3 pattern of proof, namely: handling the checks came from forensic team, handling the checks came from the team of police handling, proofing that comes from penaganan the team psychologist. Kesimpulkan obtained is a form of violence in human trafficking (women) include: sexual violence, physical violence, mental violence. The cause, internal factors and external factors. The implementation of law No. 21 of 2007 About the eradication of criminal acts of Perdagang people, through some form of proof of violent handling patterns: forensic examination, inspection, examination of police psychology. Alamat korespondensi: E-mail:
[email protected]
© 2012 Universitas Negeri Semarang ISSN 1907-8919
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
1. Pendahuluan Konferensi Perempuan Sedunia ke-4 di Beijing tahun 1995, Sekjen PBB menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan termasuk di dalamnya perdagangan manusia (perempuan dan anak), merupakan gejala universal(Marhaeni, 2005). Oleh karena itu, justru karena keuniversalannya itu, kekerasan tersebut harus dikutuk secara universal pula. Amerika Serikat pada tahun 2000 mengeluarkan The Trafficking Victims Act of 2000 yang pada tahun 2001 ini telah berhasil menjerat pelaku pornografi anak melalui internet dengan pelaku utama Thomas Reedy dan Janice Reedy. Hal ini melibatkan 144 pelaku di 37 negara bagian AS dan lima pelaku di Rusia dan Indonesia. perdagangan manusia (perempuan) untuk tujuan seksual didukung oleh teknologi canggih seperti sarana transportasi, komunikasi, tempat transaksi yang rapi, dan terlibatnya aparat birokrasi(Abdurrohman H,2010). Di Indonesia perdagangan anak yang sangat menonjol terdapat di daerah perbatasan dengan negara tetangga, khusunya daerah yang berbatasan dengan Singapura dan Malasyia, seperti Riau (Batam dan sekitarnya), Medan, dan Kalimantan Barat. Selain itu, perdagangan anak dan perempuan juga banyak dijumpai di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Bahkan, di kota-kota kecil pun, praktik tersebut dijumpai terkait dengan pariwisata. (PSKF-Universitas Gajahmada, 2005) Perdagangan manusia (perempuan) untuk tujuan seksual di Semarang, Kendal, dan Temanggung, merupakan fenomena sosial yang cukup memprihatinkan karena para korban dalam kondisi ditekan, selalu berada dalam pengawasan germo atau bodyguard, dan dibuat selalu mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap para actor perdagangan anak perempuan(Haris AS,2009). Pada umunya, mereka hanya mendapatkan penghasilan yang kecil dari tarif melayani konsumen. (Brown, 2005). Berdasarkan uraian diatas, permasalahan yang dirumuskan adalah: bagaimana bentuk dan penyebab kekerasan yang dialami korban perdagangan manusia; bagaimanakah kebijakan yang meminimalisir
kekerasan perdagangan manusia (perempuan); dan bagaimanakah upayaupaya penanggulangannya ?.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Pendekatan yuridis-sosiologis ini dilakukan berdasarkan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, baik tindakan yang dilakukan oleh manusia di lingkungan masyarakat, maupun pelaksanaan hukum oleh lembaga-lembaga sosial (Sunggono, 2006). Analisis Yuridis Sosiologis Kejahatan Perdagangan Manusia Yaitu menganalisis kejahatan itu muncul kemudian ditinjau dari segi Yuridis dan Sosiologis sebagai penjelasan problematik yang dicarikan pemecahannya. Menurut Lofland dan Lofland (1984) Sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lainlain. Sumber data digali dari sumber data sekunder, yaitu dari dokumen-dokumen resmi (baik dokumen hukum seperti peraturan dan keputusan hukum, maupun dokumen birokrasi), dan dokumen lain yang berasal dari hasil penelitian atau survey. Sumber data primer diperoleh dari informan dan responden utama (yang ditentukan secara purposive), adalah para petani, aparat birokrat pemerintah, dan pejabat hukum. Karena kedalaman dan “keunikan” informasi merupakan tuntutan utama dalam analisis, maka penentuan informan dan responden dilakukan dengan mengacu kebutuhan informasi. Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview), pengamatan dan dokumentasi. Pengamatan atau obervasi adalah studi yang disengaja dan sistematis tentang gejala-gejala sosial dan gejala-gejala psikis dengan jalan pengamatan dan pencatatan(Ashshofa, 2004). Pengujian keabsahan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik trigulasi yang berarti pemeriksaan keabsahan data dilakukan dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk sesuatu keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Analisis data 157
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
dilakukan ,pertama pengumpulan data, setelah data terkumpul kemudian direduksi dengan memiliki hal-hal yang pokok yang sesuai dengan fokus penelitian.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan a. Bentuk-Bentuk Perdagangan Manusia
Salah satu aspek perbudakan modern yang memprihatinkan adalah dijadikannya kehidupan manusia sebagai komoditi perdagangan, penempatan nilai moneter pada kehidupan seorang wanita, pria, atau anak-anak(Suhardin, 2008). Baik di rumah pelacuran atau di kamp.perbudakan sebuah harga diberikan atas kebebasan seorang korban. Organisasi dan individu yang mencoba untuk menyelamatkan para korban terkadang harus memilih membeli kebebasan perempuan. Dengan membayar tebusan hasil segera diperoleh. Seorang korban dibebaskan dari ikatan perbudakan. Namun, implikasi praktek ini menjadi semakin rumit. Jika para korban dibebaskan dari sebuah rumah pelacuran oleh suatu organisasi atau individu, pelaku perdagangan, dengan menggunakan pendapatan hasil penjualan, dapat menemukan korbankorban baru untuk memberikan pelayanan yang sama. Sulit untuk menetapkan apakah terjadi pengurangan jumlah korban atau tidak. Dalam banyak peristiwa, perbudakan dapat terus berlanjut tanpa hukuman apapun kepada para pelaku. Apakah Korban Manusia dan Sosial akibat Perdagangan Manusia (Trafficking)? Para korban perdagangan manusia (Trafficking) mengalami banyak hal yang mengerikan. Luka fisik dan psikologis, termasuk penyakit dan pertumbuhan yang terhambat, seringkali meninggalkan pengaruh permanen yang mengasingkan para korban dari keluarga dari masyarakat mereka. Para korban perdagangan manusia (Trafficking) seringkali kehilangan kesempatan penting mereka untuk mengalami perkembangan sosial, moral, dan spiritrual. Dalam banyak kasus eksploitasi pada korban perdagangan manusia (Trafficking) terus meningkat, 158
korban yang diperjualbelikan dari satu kerja paksa dapat terus diperlakukan dengan kejam ditempat lain. Sebagai contoh “ Tina, seorang anak berusia belasan tahun dari desa pedalaman Indonesia, berhutang ratusan dollar untuk selama empat bulan mengikuti pelatihan pembantu rumah tangga dan tinggal selama lebih dari empat bulan di sebuah pusat tenaga kerja Indonesia. Dari sana, Tina, seperti kebanyakkan gadis Indonesia lainnya, diangkut ke Malasyia dengan keyakinan akan bekerja sebagai pembantu rumah tangga bagi pasangan Malasyia. Dipaksa untuk bekerja hingga 15 jam sehari dalam bisnis keluarga dimana ia tidur di lantai, Tina diberitahu bahwa gajinya akan ditahan hingga ia menyelesaikan dua tahun kontraknya. Setelah berkali-kali diperlakukan dengan kejam secara fisik, ia mencari tempat perlindungan di penampungan korban milik LSM Malasyia, Tina telah melaporkan kasusnya kepada polisi dan dia telah diberi perpanjangan visa imigrasi supaya dapat melanjutkan kasusnya melawan majikannya di Malasyia (Sumber data LRCKJHAM Semarang). Para korban yang dipaksa dalam perbudakan seks seringkali dibius dengan obat-obatan dan menderita kekerasan yang luar biasa. Para korban yang diperjualbelikan untuk eksploitasi seksual menderita cedera fisik dan emosional akibat kegiatan seksual yang belum waktunya, diperlukan dengan kasar, dan menderita penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks termasuk HIV/AIDS. Beberapa korban menderita cedera permanen pada organ reproduksi mereka. Selain itu, korban biasanya diperdagangkan di lokasi yang terampasnya hak-hak mereka malah membuat banyak korban yang dijebak terus bekerja sambil berharap akhirnya mendapatkan kebebasan. Hal ini pernah dialami oleh perempuan asal Temanggung yang bernama Siti (TKW Malasyia). “Nama saya Siti, pada tahun 2005 tepatnya pada bulan Desember, ia pernah bekerja di Malasyia sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW). Selama bekerja saya sering dilecehkan dan bahkan diperkosa. Oleh PT. Sure Multi Pertiwi, saya dikirim ke Malasyia menjadi pembantu rumah
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
Tabel 1. Bentuk-Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan di Jawa Tengah No. 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7.
8.
9.
10.
Jenis Kekerasan
Asal Daerah
Pelaku
Jumlah Korban (Usia)
• Beban kerja berat • Diperlakukan tidak manusiawi • Disiksa • Tidak digaji
Kabupaten Semarang
Majikan di Malaysia
1 orang (49)
• • • •
Kabupaten Magelang
Majikan di Malaysia
1 orang (20)
• Disiksa • Diperkosa • Depresi
Kabupaten Kendal
Majikan di Malaysia
1 orang
• Diperkosa sampai hamil • Dipaksa aborsi
Kabupaten Boyolali
Majikan di Malaysia
1 orang (26)
• Diperkosa • depresi
Kabupaten Boyolali
Majikan di Malaysia
1 orang
Kabupaten Banyumas
PJTKI El Karian Makmur Sentosa
1 orang (18)
Tidak digaji Disiksa selama 3 tahun Tidak diberi makan Lumpuh
• Pemalsuan identitas • Korban depresi • Korban meninggal akibat minum racun serangga • Dianiaya • Diperkosa • Pemalsuan dokumen
Blora
Majikan di Malaysia dan PJTKI
1 orang (19)
• • • •
Paspor ditahan Tidak digaji Diperlakukan kasar Disiksa
Kabupaten Banyumas
Majikan di Abu Dhabi
1 orang (40)
• • • •
Tidak digaji Dipukuli Makan sehari 1 kali Korban depresi
Demak
Majikan di Malaysia
1 orang (23)
Kabupaten Kendal
PJTKI Zamzam Perwira Pengandom
1 orang (23)
• Korban Meninggal Di Hongkong Diduga Karena Jantung
Sumber: (Divisi Monitoring LRC-KJHAM Semarang)
159
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
tangga. Dirumah itu, terdapat adik majikan bernama Muhammad. Setelah berulangulang ada pelecehan seksual, tidak lama lagi saya diperkosa dengan penyikasaan dan pemaksaan, dan setelah kembali dia tidak mau lagi bekerja sebagai TKW hanya makan hati, karena penderitaannya lebih menakutkan dari pada di Negara kita” (7 juli 2006) Melayani konsumen secara sodomi, merupakan salah satu bentuk kekerasan yang ditakutkan para korban, karena kelainan pelanggan yang hanya memikirkan kepuasannya saja, dan tidak merasakan sakitnya korban, apalagi itu dibooking secara full time. Menurut mereka, berhubungan seks dengan cara sodomi merupakan suatu penyiksaan. Hubungan seks secara erat, bisa dialami oleh semua korban di lokalisasi kota Semarang (Sunan Kuning), kecuali dengan bodyguardnya. Mereka beranggapan, bahwa berhubungan seks dengan cara itu merupakan suatu yang wajar. Oleh karena itu, mereka tidak pernah menolak apabila konsumen memintannya secara oral seks. Padahal konsumen belum tentu bersih dari berbagai virus, termasuk didalamnya virus HIV/AIDS yang sangat membahayakan bagi kesehatan korban. Beberapa kasus dibawah ini dapat menjadi sample/contoh dari gambaran Kekerasan dan Penyebab korban dalam bergeraknya sindikat Perdagangan Manusia (Trafficking) : Lokasi korban dibagi 3 (tiga) tempat di Jawa Tengah yaitu : 1. Peristiwa 1: Sy (48 tahun) Berasal dari sebuah kota di Palembang, setelah mengalami tekanan dan berbagai kesulitan hidup, dia mencoba mencari nasib hidup yang nantinya bisa mengubahnya menjadi lebih baik. Dia kemudian merantau dengan kawannya di luar Palembang, salah satunya yang ada di Propinsi Jawa Tengah.Di pinggir-pinggir jalan yang setiap harinya diwarnai dengan kupu-kupu malam, bahkan tentang pebisnis eksploitasi seks berlangsung besar-besaran sebelum tahun 1995. Kondisi yang semacam itulah, maka salah satu tempat lokalisasi, tepatnya di kota pinggiran Semarang atau sering disebut sebagai Sunan Kuning adalah 160
salah satu bentuk penanggulangan keresahan masyarakat dan bahkan dengan dalil alasan melancong ke negara lain yang dibawa oleh seorang germo Internasional atau sekarang disebut sebagai Trafficker. Pekerja seks sering melapor bahwa sebelum ada pengorganisasian secara terstruktur, hanya Ketua RT/RW, banyak ditemukan keluhan dan laporan dari PSK, misalnya tentang pemaksaan oleh germo(trafficker), pelanggan, yang sering terjadi penipuan dari mereka. Maka dari itu, dengan system yang sekarang ini pengorganisasian dan kerjasama dengan pemerintah kota Semarang akan diubah menjadi Resosialisasi yang nantinya disana bersifat pembinaan dan pembekalan agar pekerja seks komersial status harkat dan mertabatnya, tidak menjadi ketimpangan khususnya Gender. Magelang yang menjadikan suatu pengalaman antar pulau, sehingga disana bertemu dengan suaminya yang kebetulan senasib dan sedang mencari pekerjaan karena terus menerus dalam himpitan penderitaan. Dalam keputus asaan mereka kemudian memulai bisnis haram tersebut. Awalnya mengajak tetangganya di Palembang dengan berbagai macam janji busuk yang diutarakan, bahkan korban itu percaya saja dan kemudian mengikuti perintahnya mulai dari penampungan sampai dengan perekrutan. Secara implisit sebenarnya ada kesadaran bahwa pekerjaan ataupun aktivitas yang dijalani bertentangan dengan nilai ajaran agama, tetapi dia berapologi dengan menfitnahnya, yaitu sebagai berikut : “Saya mengabdi menjadi seorang germo atau trafficker bukan karena keinginan sendiri. Saya dihimpit oleh keterbatasan ekonomi keluarga sehingga saya merantau di Jawa Tengah, tepatnya di kota Magelang, dan disana saya bertemu dengan seorang laki-laki yang sekarang menjadi suami saya, yang pada akhirnya saya menjadi seorang germo, karena pengalaman antar daerah yang secara perkembangannya bisa mempengaruhi kehidupan sebagai seorang germo” 2. Peristiwa 2: Sh (20 tahun). Pekerjaan sebagai Pekerja Seks Komersial, ekonomi yang telah menjerat
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
semangat untuk hidup atau keputusasaan sehingga dengan kondisi itu dengan dibimbangi oleh tekanan batiniah membuat gadis cantik asal Jawa Timur itu nekat mau ditawar bekerja dengan seorang germo. Dibawah ini adalah cerita seorang pemberani: “ Kehidupan seringkali membuat buta akan harga diri kita. Bagaimana tidak, ekonomi yang sulit atau pengetahuan yang rendah, kesedihan yang setiap hari dirasakan kami, dan ketidaktahuan disana nantinya bekerja apa, tetapi yang jelas jauh dari dugaan pekerjaan yang diperoleh sebagai PSK. Pada waktu malam hari, saya datang dari Jawa Timur, yang kemudian mencari alamat kompleks lokalisasi di Semarang, setelah beberapa lama mencari dan saya pun sudah kehabisan ongkos untuk menemukan tujuan tersebut, kemudian saya meminta seorang sopir taksi untuk mengantar saya ke tempat lokalisasi tersebut. Karena saya sudah kehabisan ongkos, dan tidak mampu membayar ongkos taksi tersebut, yang akhirnya sopir taksi tersebut tidak mau tahu, atau sudah muak. Maka sopir taksi tersebut meminta saya untuk tidur bersama, kemudian saya pun menolak dan bahkan saya pun melawan permintaan tersebut, tetapi karena sopir taksi tersebut terus-terusan memaksa dengan sebuah ancaman, saya pun akhirnya pasrah dan saya akhirnya mendapatkan kebringasan dari sopir taksi tersebut, saya juga mendapatkan kekerasan fisik dan juga kekerasaan seksual “. 3. Peristiwa 3 : Nk (30 tahun). Pekerjaan awal menjadi seorang Tenaga Kerja Wanita di Singapura. Banyak kejadian yang memaksanya melihat ketidakpedulian dengan kedudukan seorang wanita dimana mulai dari ucapan yang menyakitkan sampai kekerasan seksual, yang telah dirasakan dalam bebrbagai bentuk perekrutan sampai penemapatan. Tidak lama bekerja sebagai TKW di Singapura, kemudian menjadi Pekerja Seks Komersial. Dibawah ini adalah lika-liku kehidupan seoarng pemberani: “ Kenapa saya bisa bekerja seperti ini, awal mula saya tidak tahu pekerjaan apa yang nantinya didapat dari perusahaaan PJTKI tersebut, dan saya juga tidak tahu kalau
ternyata PJTKI tersebut illegal, karena dipikiran saya hanya dipenuhi dengan kecemasan dan penderitaan batin, dan tidak sempat menjangkau langkah yang lurus dan baik untuk masa depan. Sebelum diberangkatkan ke Singapura, dipenampungan banyak teman-teman seprofesi saya yang kebanyakan berasal dari luar Jawa. Dipenampungan mereka dipaksa untuk mengikuti perintah petugas PJTKI, bahkan saya tahu bahwa para gadis-gadis itu akan di perdagangkan atau dipekerjakan sebagai budak seks. Pengalaman saya setelah ditempatkan dalam rumah majikan, ada beberapa ketidak nyamanan yang saya dapatkan, sehingga sedikit-sedikit saya dimarahi sampai pada akhirnya saya pun tidak tahan atas perlakuan majikan saya, dan sampai pada saat ini saya tidak mau bekerja di luar negeri lagi” 4. Kendal ( Korban ) Peristiwa 1 :Rh (32 Tahun). Korban yang suatu hari berkunjung ke rumah buliknya di Kendal dan di sana dia bertemu dengan sponsor yang sedang menawari kerja pada Bulik si korban tersebut (Rh) untuk menawarkan pekerjaan di Malasyia. Korban pun tertarik dan bersedia bekerja di Malsyia karena merasa percaya dengan tawaran dari Bulik korban yang mengatakan bahwa ada lowongan untuk 6(enam) orang perempuan untuk bekerja sebagai pelayan restoran dengan gaji RM 380 perbulan. Tetapi setelah si korban meminta persetujuan ke orang tuanya, orang tuannya pun tidak setuju. Tetapi karena si korban memaksa akhirnya orang tuanya menyetujuinya. Kemudian si korban pun diantar Buliknya ke rumah sponsor tersebut, tanpa ditanya apa-apa korban langsung dibawa ke Semarang, tanpa membawa dokumen atau kartu identitas apapun. Saat korban bertannya syarat yang harus dibawannya, pihak sponsor hanya menjawab yang penting adalah diri korban saja. Korabn di bawa ke Semarang bersama 3 CTKW lain, salah satunmya masih saudara korban sendiri. Sesampai di Semarang, korban tinggal di penampungan PT (korban tidak ingat nama dan alamatnya). Di penampungan tersebut terdapat 10 CTKW lain. Penampungan 161
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
tersebut berbentuk rumah biasa dan berada di sekitar perumahan warga. Kemudia CTKW tersebut diberikan penjelasan oleh salah satu orang PT tersebut, bahwa selama bekerja di Malasyia itu enak, pekerjaan tidak berat, gajinya besar, ada kebebasan untuk jalanjalan, kebebasan untuk menhubungi keluarga di rumah. Keesokan harinya korban dan 10 CTKW lainnya diantar oleh salah satu orang dari PT tersebut naik bis jurusan Medan dan lansung ditinggal pulang. Oleh pihak sponsor sudah dijanjikan, kalau nanti ada orang lain yang menanyakan tujuan mereka, para CTKW ini diminta untuk menjawab akan bekerja di Restoran di Medan. Sesampai di Medan, para CTKW dijemput oleh seorang laki-laki (orang dari PT). Kemudian korban pun dibawa ke PT. Dwipa Haritama. Di PT tersebut, korban berada di penampungan dengan sekitar 100 orang CTKW lain. Setelah korban selesai melakukan Medical Cek dan membuat paspor, lagi-lagi tanpa membawa dokumen apapun tetapi identitas yang ditulis dalam paspor benar identitas asli korban. Korban pun ditawari oleh pemilik PT untuk bekerja PL sebagai pembantui rumah tangga di rumah milik PT. Korban pun bersedia karena daripada hanya menunggu di penampungan juga sambil mencari tambahan uang. Korban bekerja dengan upah 100 ribu perbulan, korab pun kerasin/betah karena jam kerjanya cukup longgar dan perlakuan pemilik PT terhadapnya juga baik. Korban bekerja selama 2,5 bulan sambil menunggu pergi ke Malasyia. Setelah hampir 3 bulan bekerja di PT tersebut, akhirnya korban bersama CTKW lainnya diberangkatkan ke Malayia menggunakan kapal ferry tanpa ditemani oleh orang dari PT. Sesampai di Malasyia, korban dijemput oleh agent, korban diberi informasi tentang majikan dan kondisi kerja tapi hanya diberitahu sebagai pelayan di restoran saja dengan gaji RM 350 per bulan. Keesokan harinya korban lansung bekerja di restoran milik majikan tersebut. Baru beberapa hari kemudian perlakuan majikan mulai berubah, korgban disuru memasak didapur, memcuci piring sampai mengepel dan melayani pelanggan restoran karena korban bekerja seorang diri. Sebenarnya korban tidak 162
bekerja sendiri ada 12 karyawan lainnya yang bekerja, tetapi para karyawan lainnya silih berganti kabur dari restoran tersebut, tetapi korban tetap saja betah bekerja di situ, karena korban harus menyelesaikan kotrak kerjanya dan dianggap berhasil oleh keluarganya walaupun harus menderita bekerja di Malasyia. Tidak hanya di restoran, korban juga harus bekerja sebagai PRT di rumah majikan. Korban bekerja dari jam 5 pagi sampai jam 3 keesokan harinya dan hampir tidak ada waktu istirahat untuknya, makan yang tidak teratur atau kadang tidak diberi makan, tidak boleh keluar rumah atau menjalin relasi/komunikasi dengan orang lain. Selama bekerja 13 bulan korban belum pernah dibayar oleh majikan tersebut, dengan alas an akan dibayar penuh setelah kontrak kerja selesai. Jadi selama bekerja di rumah majikan tersebut, korban tidak diberi uang sepeser pun, korban hanya membawa uang sebesar RM 1.670 pemberian dari agent yang masih disimpan oleh korban sampai pulang karena selama berada di rumah majikan segala keperluan korban sudah disediakan oleh majikan. Sekitar jam 00.00 saat korban masih bekerja di restoran (restoran sebenarnya tutup jam. 9 malam tapi korban bekerja mengepel, mencuci, memasak untuk keesokan harinya samapi sekitar jam 1 (satu) dini hari) dan korban pun melarikan diri bersama temannya kerumah agent tersebut dengan menggunakan taksi. Setelah sampai disana agent menjajikan akan membawa pulang ke kampungnya dengan dalih akan mengambil uang gaji dari majikan tersebut. Selama hamper 5 bulan korban diminta bekerja di rumah agent tersebut dan dibayar EM 1.670. setelah beberapa lama agent tidak kunjung menepati janjinya, korban malah dibawa oleh agen ke kantor kedubed RI. Agent berdalih bahwa maslah gaji dari majikan yang belum terbayar akan diurus oleh keduataan dan setelah sampai didepan pintu gerbang keduataan, korban ditinggal sendiri. Korban tinggal di kedubes selama 6 bulan, tanpa aktifitas. Korban di Jakarta 12 hari, untuk mendapatkan pemulihan dari IOM (Internasional Organization for Migration) di RS. POLRI. Baru kemudian
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
dirujuk ke LRC-KJHAM untuk reintergrasi korban ke keluarganya. 5. Temanggung ( Korban ) Persitiwa 1 : Sh (26 tahun). ”Tepatnya pada bulan Maret 2005, seorang sponsor datang kerumah saya menawarkan pekerjaan di PRT Malasyia dengan iming-iming gaji sebesar 450 RM/ bulan. Karena masalah ekonomi yang sedang saya hadapi, dan orang tua yang terlilit hutang, serta untuk biaya ujian adik saya, akhirnya saya pun tertarik. Akhirnya saya dan sponsor berangkat ke Jakarta dan ditampung di PT. Elkarim Jakarta Barat selama 28 hari. Kemudia saya juga dipekerjakan sebagai PRT disebuah rumah tangga selama 1(satu) bulan dengan gaji 100 ribu rupiah. Kemudian saya dijemput agen untuk diberangkatkan ke Malasyia. Selama di Malasyia saya ditampung dirumah agen selama 2(dua) hari, baru kemudian langsung diantarkan ketempat majikan. Disana ternyata saya harus mengurus 6(enam) orang, saya juga bekerja di tiga tempat (rumah tersebut dan 3(tiga) took yang dimiliki oleh majikan, yaitu 2(dua) took merupakan rumah makan dan 1(satu) lagi merupakan toko baju). Saya bekerja dari jam 5 pagi dan baru diperbolehkan istirahat/tidur jam 2 pagi. Tenyata saya dipekerjakan dalam kondisi yang buruk, bahkan saya pun sering digoda oleh majikan laki-laki saya, dan pernah semapat ingin diperkosa. Akhirnya setelah kejadian tersebut saya memutuskan untuk kabur (setelah bekerja selama 3 bulan). Saya kemudian melaporkan kejadian yang saya alami ke kantor polisi, dari kantor polisi tersebut saya diantarkan ke KBRI dan saat di KBRI majikan dan agen dipanggil oleh pihak KBRI untuk meminta saya agar saya mau bekerja. Namun saya menolak, karena takut dengan perlakuan suami majikan tersebut, tapi majikan tersebut tidak percaya pada apa yang saya katakana. Dan saat itu juga saya diberi uang 500 RM dan saya ditampung selama 2 (dua) bulan di KBRI dan pada bulan April 2006 saya sampai di Indonesia atas bantuan IOM (Organisasi Pemulangan Para TKI)” Bentuk-bentuk kekerasan yang dialami
korban perdagangan manusia (perempuan) adalah sebagai berikut : Pertama, Kekerasan seksual :Kekerasan seksual adalah paksaan terhadap korban untuk melakukan kegiatan seksual yang melanggar hukum, eksploitasi terhadap korban ke dalam pelacuran, dan segala pelanggaran seksual yang dilakukan oleh seorang majikan(Widyastuti R,2011). Kekerasan seksual dapat meliputi menyentuh dengan maksud kepuasan seksual dapat meliputi menyetuh orang dewasa, hubungan seksual dengan perempuan, exhibisionism dan melakukan hubungan seks yang tidak sesuai dengan perkembangannya (Syaefudin M,2008)Selama ini kekerasan seksual dilakukan terhadap korban perdagangan manusia (perempuan) di Semarang, Kendal, Temanggung adalah pemaksaan dalam melakukan seks, padahal penjual sedang berhalangan(haid), yang tidak mau tahu maka harus melayani pada hari itu juga. Kekerasan seksual yang alami oleh para korban perdagangan manusia (perempuan) juga mengalami kekerasan seks yang lain, misalnya sodomi, oral seks.Mereka sangat takut dengan tindakan kekerasan seksual tersebut, karena merupakan penyikasaan yang luar biasa bagi korban, apalagi dilakukan berulang-berulang. Banyak perempuan yang selama penyiksaan berlangsung, juga ada peristiwa pelecehan seksual bahkan kekerasan seksual(Riris A,2008). Kedua, Kekerasan fisik :Kekerasan fisik terhadap para korban perdagangan manusia (perempuan) di Semarang, Kendal, Temanggung dilakukan berbagai macam wujud hasil kekerasan fisik meski dari penampungan, pemasaran sampai tahap pelayanan seksual dengan pelaku yang berbeda-beda. Pada tahap perekrutan, kekerasan fisik belum dilakukan oleh para pelaku perdagangan manusia.Kekerasan fisik yang dilakukan terhadap korban hampir semuanya serupa yaitu dipukul, ditarik rambutnya, disiram air alkohol, disundut puntung rokok, dan bentuk kekerasan fisik lainnya. Hanya korban yang belum tahu akan perekrutannya kurang lebih dua sampai empat bulan belum apa-apa sudah menerima bentuk kekerasan fisik. 163
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
Kekerasan fisik terhadap perempuan jelas ujung-ujungnya adalah kekerasan seks di dalam masa inisiasi dan ketika berada dalam budak seks maka perempuan tersebut menjalani bentuk kekerasan fisik terlebih dahulu sebelum melakukan acara seks, berbagai macam bentuk kekerasan fisik juga dialami di penampungan, di rumah germo, mucikari. Penganiayaan ini demi meningkatkan pelayanan bagi pelanggan kalau tidak, maka bisnis instan itu kehilangan sumber penghasilan busuknya. Reaksi korban terhadap kekerasan yang menimpa dirinya beragam; diam, mengikuti perkataannya atau pasrah menghindar dari konflik dan menangis. Reaksi korban yang diam terhadap kekerasan masih dalam bentuk nasehat yang pedas, artinya belum dikatakan terlalu sakit, biasanya dilakukan oleh germo ataupun bisa teman sendiri. Dalam melayani konsumen mereka juga selalu dipantau oleh bodyguard, diantara mereka korban diawasai ketat maka secara bentuk simbol kata mereka melakukan perintah dari bodyguard. Ketika korban itu berteriak diluar tata perintahnya, maka konsumen telah melakukan kekerasan terhadap korban. Konsumen kadang-kadang tidak hanya berhenti sampai pada tindakan kekerasan pisik terhadap korban, bahkan sampai tidak membayar tarif booking yang telah disetujui(Djasmani, 2011). Hal ini terjadi karena konsumen tidak mempunyai uang sebanyak tarif yang telah disepakati, karena sudah dipergunakan untuk membeli minuman keras. Dalam menghadapi hal demikian korban sudah tidak berdaya lagi kecuali marah dan kadang-kadang menangis(Priyono, 2011). Namun, konsumen yang berbuat demikian akhirnya dikenai tindakan oleh bodyguard. Apabila terjadi hal demikian, terjadilah kekacauan dan rusaklah situasi tersebut. Keempat, Kekerasan mental :Kekerasan mental atau kadang-kadang dikenal sebagai emotional abuse adalah tindakan yang membuat seseorang sedih, marah, kecewa, jengkel, dan takut yang membuat seorang individu sakit atau terganggu perasaanya atau merasa tidak enak (feel uncomfortable) (Wulandari, 2011). Kekerasan mental tidak melukai fisik, tetapi membuat perasaan 164
seseorang terluka atau marah. Indikator umum untuk mengetahui kekerasan mental adalah adanya wajah murung, sedih, marah, kecewa, atau perilaku yang kadang-kadang tidak wajar(Islamiyati, 2010).
b. Penyebab Korban Perdagangan Manusia
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998, menyebabkan bertambahnya penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Korban perdagangan manusia (perempuan) secara umum berasal dari keluarga kurang mampu, karena itulah pada kehidupannya terhimpit oleh tekanan ekonomi, sehingga membutakan mereka dalam melangkah kejalan yang wajar. Kebutuhan dalam merubah nasibnya yaitu bekerja yang belum jelas sesuai yang diharapkan, melalui prinsip ‘nekat” membuat mereka pasrah dalam pekerjaannya yang diderap, didalam keluarga sendiri yang pada umunya masih membutuhkan perlindungan dan kasih sayang orang tua serta bersekolah justru ikut memikirkan bagaimana kesulitan ekonomi orang tua dapat teratasi, minimal dengan cara meringankan beban orang tua, maka dari itu sebagian besar dari korban secara otomatis karena alasan pekerjaan, hal itu dilakukan karena desakkan ekonomi keluarga sehingga mereka berusaha ikut mengambil peran dalam mencukupi kebutuhan orang tua, tetapi justru akhirnya terjerat perdagangan manusia (perempuan). Dari hasil penelitian bahwa korban perdagangan manusia (perempuan) dapat disebabkan oleh faktor personality (internal) dan faktor lingkungan (eksternal). Kedua faktor tersebut merupakan faktor tunggal dan faktor dua yang saling melengkapi. Rangkuman data penelitian di Semarang, Kendal, Temanggung. Adapun faktor internal itu meliputi :a.perasaan ingin tahu dan coba-coba, b. aspirasi matrialisme yang tinggi,c. pribadi yang belum masak dan pngetahuan seks yang terbatas. Faktor eksternal yang merupakan penyebab terjadinya perdagangan manusia (perempuan) adalah sebagai berikut: (1). Ditipu Karena akan diperjanjikan memperoleh pekerjaan maka sebagai TKI berpeluang besar
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
untuk diperdagangkan sebagai pekerja seks. Tapi biasanya jaringan sindikat perdagangan ini sifatnya internasional karena memilki sumber terorganisasi yang terencanA; (2). Kepuasan para pengguna jasa pelacur mempunyai semacam kepercayaan bahwa berhubungan seks, yang nantinya dapat dianggap sebagai obat kuat, obat awet muda, dan mendatangkan hokkie (keberuntungan) tertentu; (3). Dipaksa dengan kekerasan. Ini lebih condongnya anarki secara terangterangan, beban psikologis lebih membekas, lapisan yang lebih biadab yaitu di tampilkan pada Korban dengan secara paksa mereka mengikuti perintah yang tidak sesuai dengan perkembangan pada umunya mereka, sedangkan perempuan kebanyakkan sebagai budak seks dalam gerakan pagar besi, mucikari, germo, majikan, dan lainlain; (4). Kemiskinan Struktural. Kasus ini dapat dijumpai pada kasus seorang korban gelandangan yang melahirkan anak jalanan, yang pada nantinya akan menjadi pelacur; (5). Jeratan hutang dan kebutuhan ekonomi. Salah satu sebab keputus asaan usaha karena jalan buntu yang sering didapat maka mencari dan terus mencari mendapatkan solusi tak hampir pikir panjang ada peluang yang diberikan seorang yang berniat sebagai obyek kejahatan perdagangan manusia (Trafficking); (6). Tingkat Pendidikan Rendah. Dengan rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi keluarga, maka mereka tidak mempunyai akses informasi yang memutus tentang berbagai hal, seperti informasi ketenagakerjaan daerah lain dan berbagai tindak kejahatan termasuk didalammnya perdagangan manusia (Trafficking),orang yang tidak mempunyai akses dibidang ekonomi dan informasi dikatakan rendah di bidang ekonomi dan informasi(Farida, 2011). Orang yang rendah informasi mempunyai kecenderungan mudah dipengaruhi. Orang yang mudah dipengaruhi inilah yang dikenal sebagai rendah secara mental. Ada banyak faktor lain yang menjadi penyebab korban sampai bisa terjerat dalam sindikat perdagangan manusia (perempuan). Faktorfaktor tersebut sangat kompleks, misalnya pertama, masalah penipuan yang berkedok sebagai Perusahaan Jasa Pengiriman TKI,
kedua penipuan yang berkedok mencarikan pekerjaan atau menolong frustasi seseorang, ketiga disharmonis keluarga dan keempat, karena terjerat himpitan ekonomi dan hutang.
c. Kebijakan yang Mampu Meminimalisir Kekerasan Perdagangan Manusia
Dalam KUHP terdapat beberapa pasal yang dahulu mengatur dan terkait dengan kekerasan dalam perdagangan manusia,antara lain : Kekerasan terhadap Korban (1) Pasal 285 : Melarang tindakan perkosaan terhadap wanita (syarat dakwaan): tindakan penetrasi penis-vagina secara paksa); (2). Pasal 287 : (1) Melarang persetubuhan dengan wanita (bukan istri) yang berusia di bawah 15 tahun.(2)Perkara menjadi delik, kecuali usia korban di bawah 12 tahun; (3). Pasal 290: 2e) Melarang pemaksaan perbuatan cabul terhadap anak berusia di bawah 15 tahun. 3e) Melarang tindakan membujuk anak di bawah usia 15 tahun untuk melakukan tindakan cabul atau melakukan hubungan seksual dengan orang lain; (4). Pasal 293: (1) Melarang perbuatan cabul terhadap orang yang belum dewasa dengan cara membujuknya, dengan menawarkan balas jasa berupa uang atau lainnya, atau menggunakan pengaruh dari hubungan yang ada dengan korban, atau dengan cara penipuan (5). Pasal 294: (1) Melarang dilakukannya perbuatan cabul terhadap orang yang belum dewasa oleh orang tua atau walinya (6). Pasal 351: (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama 5 tahun.( 3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan penjara 7 tahun; (7). Pasal 338 : Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 tahun. Pelacuran : (1) Pasal 296 :Melarang tindakan mengambil keuntungan dengan cara membantu perbuatan cabul; (2). Pasal 506 :Melarang tindakan sebagai mucikari, mengambil keuntungan dari pelacuran wanita. Perdagangan Manusia : (1) Pasal 297: Melarang perdagangan perempuan 165
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
dan laki-laki yang belum dewasa; (2). Pasal 263: (1) Melarang tindakan pemalsuan suratsurat atau sertifikat; (3) Pasal 277 : (1) Melarang tindakan menyembunyikan identitas seseorang yang sebenarnya. Penemuan-penemuan Tindak Pidana yang dilakukan Pelaku/Traffcker lebih dari 1 (satu) kasus, sebagai contoh :Kejahatan yang telah dilakukan : By Trafficker: Penipuan: Pasal 328 KUHP :Tahap Perekrutan; Pemaksaan: Pasal 286 KUHP, Tahap Perekrutan; Penculikan: Pasal 333 KUHP Tahap Perekrutan; Penganiayaan : Pasal 351 KUHP Tahap Penampungan;Pemaksaan: Pasal 286 KUHP Tahap: penempatan/pemaksaan Penganiayaan : Pasal 351 KUHP :Proses Pelayanan/bekerja;Pengancaman : Pasal 315 KUHP Proses Pelayanan/bekerja. Undang undang No 21 Tahun 2007 Tentang Pemberatasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan landasan Yuridis untuk memberantas tindak pidana perdagangan manusia. Beberapa pasal yang terkandung di dalamnya dapat dilihat sebagai berikut : Pasal 1 Undang-Undang ini yang dimaksud dengan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi. Pasal 7, penganiayaan mengakibatkan korban menderita, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya dan membahayakan jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman pidananya 5 tahun penjara. Pasal 12,Pencabulan dan Pemerkosaan : ”Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatnkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan 166
orang, mempekerjakan korban tindak perdagangan orang untuk meneruskan praktek eksploitasi, atau mengambil hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan pidana 15 tahun penjara. Pasal 7 ayat 2, Pembunuhan :Tindak pidana perdagangan orang mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana paling singkat 5 tahun penjara dan paling lama penjara seumur hidup.
d. Upaya-Upaya Penanggulangan yang dapat dilakukan
1. One Stop Crisis Centre Semenjak krisis ekonomi dan keadaan politik yang tidak menentu di Negara Indonesia, kekerasan terhadap perempuan dalam perdagangan manusia semakin meningkat di masyarakat. Sebenarnya kekerasan terhadap perempuan dalam perdagangan manusia sudah terjadi sejak dahulu kala dengan bentuk kekerasan seksual dan puncaknya yaitu peristiwa kerusuhan yang terjadi pada bulan Mei 1998 yang lalu. Sejak itu masyarakat memperoleh informasi yang lebih luas baik di media massa cetak maupun elektronik mengenai kekerasan terhadap perempuan. Tentu saja, diantara banyaknya informasi yang disuguhkan, masih tetap saja ada pihak-pihak yang belum menganggap tindak kekerasan terhadap perempuan sebagai bentuk kejahatan terhadap manusia. Padahal sudah ketahui bahwa tindak kekerasan termasuk pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya perlu adanya peranan perempuan di segala bidang Pembangunan Nasional dengan memperhatikan perlindungan hakhak perempuan. Perlindungan terhadap hak perempuan merupakan usaha untuk menciptakan persamaan hak dalam menunjang Pembangunan Nasional serta mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia. Dalam Pasal 3 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan dinyatakan bahwa kaum perempuan berhak memperoleh perlindungan hak azasi manusia dan kebebasan azasi yang sama dalam politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidangbidang lainnya. Hak-hak tersebut antara
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
lain : a. Hak atas kehidupan; b. Hak atas persamaan; c. Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi; d. Hak atas perlindungan yang sama di muka bumi; e. Hak untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi; f. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan fisik maupun psikis yang sebaik-baiknya. Kekerasan terhadap perempuan dapat menghasilkan korban-korban dengan tingkat keseriusan kekerasan yang bervariasi. Oleh karena itu berbagai aspek perlu diperhatikan dan dilaksanakan secara terpadu dalam upaya melakukan rehabilitasi fisik, psikis dan sosial korban. Demikian pula tindakan dokumentasi bukti adanya kekerasan pada korban harus segera mungkin dilakukan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku tanpa melupakan hak-hak asasi korban dan saksi. Saat ini penaganan para korban kekerasan terhadap perempuan masih dilakukan dengan tidak terarah dan bersifat apa adanya, belum gender sensitive dan belum komprehensif menangani korban sebagai manusia seutuhnya, sehingga acapkali justru merupakan ”secondary violence” bagi si korban. Oleh karena itu disepakati oleh kelompok medis peduli kekerasan dan hak asasi manusia di lingkungan RSCM bersamasama dengan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Komisi Nasional Perempuan, berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat dan Polisi Wanita RI untuk mendirikan Pusat Krisis Terpadu (One Stop Crisis Centre = OSCC). 2. Tersedianya Rumah Aman : Kendala di lapangan yang sangat penting dalam penanganan kekerasan terhadap perempuan adalah tidak tersedianya Rumah Aman (Shelter) yang memadai untuk menampung perempuan korban kekerasan. Rumah aman adalah tempat tinggal sementara bagi perempuan korban kekerasan, yang akan memberikan perlindungan, kesejahteraan dan pertolongan agar korban terhindar dari kekerasan serta mampu menyelesaikan masalahnya. Dari hasil penelitian ditemukan pada saat mengalami kekerasan korban berada jauh atau dibawa jauh dari rumahnya atau sedang merantau atau dalam perjalanan jauh. Dalam kasus-kasus kekerasan yang dialami korban terancam keselamatannya
justru di rumahnya sendiri atau di lingkungan tempat tinggalnya, sehingga tidak bisa pulang dan memerlukan rumah aman.Rumah sakit, Lembaga bantuan atau Kantor Polisi sebagai instansi pertama penerima korban kekerasan tidak mungkin menahan/melindungi korban terlalu lama karena biasanya di tempattempat tersebut tidak tersedia fasilitas rumah aman yang dapat menampung melindungi serta merawat korban lebih lama. Menurut keterangan korban yang penulis wawancarai di rumah sakit biasanya korban bisa mendapatkan rawat inap hanya sampai ia mampu berjalan, di kantor polisi hanya selama jam kerja atau sampai berita acara pemeriksaan saksi korban selesai dan di lembaga-lembaga bantuan hanya dapat ditampung oleh lembaga tersebut. Dengan demikian rumah aman merupakan subsistem dari sistem penanganan kekerasan terhadap perempuan yang luas yang melibatkan berbagai sub-sistem lainnya. Apabila salah satu sub-sistem gagal berfungsi, maka kinerja sub-sistem yang lain akan terganggu atau bahkan sub-sistem lain tersebut akan mencoba mengganti fungsinya. Makin banyak sub-sistem yang tidak berfungsi makin banyak upaya mengambil alih fungsi sehingga seluruh sistem akan dikerjakan oleh sub-sistem yang terkuat. Akhirnya akan timbul keadaan disfungsi sistem atau gagal karena sebenarnya seluruh sub-sistem masing-masing mempunyai peran yang saling mengontrol satu dengan yang lain. Rumah aman bagi perempuan korban kekerasan bukanlah sekedar tempat menginap atu tempat kos. Perempuan korban kekerasan yang memerlukan rumah aman, terutama perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya mengalami kekerasan menahun atau melalui proses traumatik yang lama, dan mengalami teror yang makin lama makin meningkat, baik secara fisik ataupun psikis bahkan biasanya tumpang tindih. Korban seperti itu akan sangat tidak berdaya. Oleh karena itu sebuah Rumah Aman harus mempunyai Visi dan Misis yang jelas-jelas mempunyai keperpihakan terhadap perempuan, tidak menyalahkan korban dan harus selalu mencoba mengerti tentang korban. 167
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
Sebuah Rumah Aman harus selalu menyediakan beberapa fasilitas penting, antara lain kamar tidur, kamar makan, kamar keluarga, kamar mandi, dapur, tempat cuci, ruang konseling, ruang terapi dan vokasi serta kalau memungkinkan, disediakan pula saran olah raga. Semua itu dilengkapi dengan peralatan rumah tangga yang cukup dan baik. Sebagai rujukan harus tersedia juga tenaga dokter, psikiater, psikolog, pekerja sosial, dan tenaga-tenaga lain yang dapat membantu meanmbah kemampuan dan ketrampilan korban. Sesuai visi dan misi nya maka para tenaga rujukan tersebut haruslah mempunyai keberpihakan kepada perempuan yang tinggi pula. Rumah Aman harus dikelola oleh orang-orang profesional, mempunyai tekad pengabdian, komitmen, konsisten, kemampuan bekerja sama dan stamina yang tinggi. Harus ada ibu asrama yang dapat mengawasi rumah aman selama 24 jam. Ibu asrama dapat dibantu oleh beberapa tenaga yang lain, tetapi harus diatur sedemikian rupa agar para penghuni rumah amn dapat mengurusi diri mereka sendiri dan tidak minta dilayani. Ibu asrama haruslah seorang profesional, berjiwa pemimpin yang demokratis dan berpengalaman menangani orang-orang bermasalah, penuh empati, berdisiplin dan penuh kasih, ia harus mampu mengelola kegiatan-kegiatan pemberdayaan, membangkitkan semangat dan percaya diri para korban. Rumah Aman harus benar-benar aman sehingga keamanan lingkungan rumah harus benar-benar terjaga. Dibuat aturanaturan yang jelas mengenai penerimaan tamu. Semua korban harus menandatangani kesepakantan mengenai semua aturan yang berlaku di rumah aman yang harus ditaaatinya. 3. Media Massa Dalam dunia modern, lebih-lebih lagi ketika telah memasuki era globalisasi yang sangat dipengaruhi oleh informasi tidak ada suatu persoalan kehidupan anak manusia di kolong langit ini, yang lepas dari sentuhan pers, baik cetak maupun elektronik. Koran, majalah selebaran, pamplet, televisi, dan internet merupakan media pers yang patut dijadikan jaringan kerja untuk memberi 168
informasi tentang berbagai upaya menangani tindak pidana kekerasan dalam kejahatan perdagangan manusia terhadap perempuan, RPK yang telah didirikan atau terwujud pada polres-polres di suatu wilayah. Belum banyak dketahui oleh masyarakat luas. Selama ini yang banyak disiarkan oleh media cetak maupun media elektronik hanya tindak kekerasannya saja. Upaya penangulangannya, boleh dikatakan lepas dari pantauan media massa. Disinilah RPK dituntut harus mampu menggelar secara obyektif kepada media. Setiap kasus yang masuk tentu saja dengan catatan atau batasan yang kongkrit, sehingga publikasi pers, supel dalam berdialog, dan tegas dalam memberikan keterangan tetapi tidak boros bicara sehingga berita yang disiarkan pers kepada masyarakat lebih mengarah kepada penyelesaian dan bersifat merangsang masyarakat untuk kerjasama dalam menangani kasus tindak kekerasan dalam perdagangan manusia terhadap perempuan.
4. Simpulan Bentuk kekerasan perdagangan manusia (perempuan) meliputi: Kekerasan seksual; Kekerasan fisik; dan Kekerasan mental. Peyebab perdagangan manusia (perempuan)disebabkan oleh faktor internal meliputi : perasaan ingin coba-coba, aspirasi matrialisme yang tinggi, kebutuhan afeksi yang tinggi, dan pribadi yang belum masak dan pegetahuan seks yang terbatas.Sedangkan faktor eksternal meliputi : ditipu, kepuasan, dipaksa dengan kekerasan, kemiskinan struktural, jeratan hutang dan kebutuhan ekonomi, tingkat pendidikan rendah. Kebijakan yang dapat menjawab kekerasan perdagangan manusia adalah dengan implemetasi Undang-undang No 21 Tahun 2007 (Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang) yang berhubungan dengan kekerasan perdagangan manusia (perempuan). Beberapa pola penanganan yang dilakukan untuk membuktikan adanya kekerasan, yaitu Pemeriksaan Forensik, Pemeriksaan Kepolisian, Pemeriksaan Psikologi. Upayaupaya penanggulangannya :One Stop Crisis Center. Memberikan pelayanan terpadu
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012
kepada perempuan yang menjadi korban kekerasan perdagangan manusia.Tersedianya Rumah Aman. Pengelolaan kegiatan-kegitan pemberdayaan perempuan.Dukungan Media Massa. Menyedikan berbagai informasi tentang bahaya kekerasan perdagangan manusia (perempuan).
Ucapan Terima Kasih
Pada kesempatan ini dengan ketulusan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada:Prof. Dr. H. Sudijono Sastroatmodjo, M.Si, Rektor Universitas Negeri Semarang;Drs. Sartono Sahlan, M.H, Dekan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang;Dr. Indah Sri Utari, SH. M.Hum, Dosen pembimbing I ;Ubaidillah Kamal, S.Pd, Dosen pembimbing II ;Rodiyah, S.Pd, SH. M.Si, Dosen penguji.Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan karunia-Nya atas kebaikan yang telah diberikan.
Daftar Pustaka Abdurrachman, H. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai Implementasi Hak-Hak Korban.JURNAL HUKUM Fakultas Hukum UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA .No.3 Volume 17. Bulan Juli 2010 Arief, B.N. 1999. Hukum Pidana II. Badan Penyediaan Bahan Kuliah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Semarang. Astuti, T.M.P. 2005. Makalah Trafficking TKW di Malasyia antara Ada dan Tiada. Dosen Jurusan Sosiologi Antropologi Universitas Negeri Semarang. Badan Pelayanan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Jawa Tengah(BP2TKI), 2004. Bunga Rampai Penempatan TKI ke Luar Negeri Jawa Tengah Periode tahun 2004. penerbit: BP2TKI Propinsi Jawa Tengah. Berliani, H. 1999. Perilaku Seksual Pekerja Migran. Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Yogyakarta Brown, L. Iriyanto, S. dkk. 2005. Sex Slaves : The Trafficking in Asia 2000. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Djasmani, H.Y. Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial Dalam Praktek Berhukum di Indonesia, Vol 40, No 1 (2011).Masalah-Masalah Hukum Ford Foundation, PSKF-Universitas Gajahmada 2005. Perdagangan Anak Perempuan. Laporan Penelitian Yogyakarta. Haris, A. 2005. Gelombang Migrasi dan Jaringan Perdagangan Manusia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hull, T.H., Sulistyaningsih, E. dan Jones, G.W.
1997. Pelacuran di Indonesia: Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Kerjasama Pustaka Sinar Harapan dengan The Ford Foundation. Jones, S. 2000. Making Money off Migrants: The Indonesia Exodus to Malaysia. Center for Asia Pacific Social Transformation Studies University of Wollongong. Hongkong. Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah. 2006. Data korban 2004 Trafficking. Semarang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang N0. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. LCR-KJHAM. 2006. Data Korban Trafficking. Semarang. Mansour, F. 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Moleong, JL. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. IKIP Jakarta : Jakarta Muhajir, D.T. 2001. Menggugat Budaya Patriaki. Kerjasama Pusat Peralihan Kependudukan Universitas Gajahmada dengan Found Foundation. Priyono, J. Intervensi Kemanusiaan Dalam Perspektif Pemikiran Kosmopolit. Vol 40, No 3 (2011) .Masalah-Masalah Hukum Retnaningrum, D.H. Incest Sebagai Bnetuk Manifesttasi Kekerasan Terhadap Perempuan. Jurnal Dinamika Hukum Vol 8 No.1 Januari 2008 Riris A. Keterlibatan Perempuan Dalam Penyususnan Produk Hukum Daerah Di Kabupaten Banyumas.Jurnal Dinamika Hukum Vol 8 No.1 Januari 2008 Suhardin, Y. Tinjauan Yuridis Mengenai Perdagangan Orang Dari Perspektif Hak Asasi Manusia. Jurnal Ilmu Hukum.Vol 20, No 3 (2008). Sumarlin, W. dan Setyowati, L. 1999. Pelecehan Tenaga Kerja Perempuan. Yogyakarta: PPk-UGM. Suyanto. 2002. Perdagangan Anak dan Perempuan: Kekerasan Seksual dan Gagasan Kebijakan. Yogyakarta: PPK UGM.Tamagola, Thamrin A. 2000. Restu Sosial Budaya dalam Kekerasan terhadap Perempuan, dalam Nur Iman (ed.), Negara dan Kekerasan terhadap Perempuan. Jakarta: Kerjasama Jurnal Perempuan dan The Ford Foundation. Syaefudin. M. Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dalam Proses Gugat Cerai. Jurnal Dinamika Hukum Vol 8 No.1 Januari 2008 Tenaganita. 1998. Report Seminar on Trafficking in Women: A Growing Fenomenon in Malaysia. Kuala Lumpur. Tukiran, dkk. (ed.). 2002. Mobilitas Penduduk Indonesia: Tinjauan Lintas Disiplin. Yogyakarta: PPK-UGM Kerjasama dengan The Ford Foundation. Warapsari, LBPP Derap. 2000. Pengetahuan Praktis Tentang Perlindungan Terhadap Perempuan Korban Kekerasan. Jakarta. Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. Widyastuti, A.R. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dari Perspektif Hak Asasi Manusia,Vol 40, No 1 (2011),Masalah-Masalah Hukum Wulandari, L. Mediasi Penal Sebagai Upaya Alternatif Penanganan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 169
Pandecta. Volume 7. Nomor 2. Juli 2012 Vol 40, No 4 (2011).Masalah-Masalah Hukum Wuruk, H. 2000. Kota Lama Warisan Budaya Yang
170
Terlupakan.