PANDANGAN MAQASHID ASY SYARIAH TERHADAP PERDAGANGAN YANG DILARANG ISLAM Oleh : Chaidir Nasution Abstrak Islam sebagai ajarandan pedoman hidup bersifat komprehensif (sempurna) karena bersumber dari Wahyu Tuhan (Allah). Ajarannya tidak saja bersifat vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan/Hablu min Allah), tapi juga bersifat horizontal (hubungan sesama manusia dan lingkungan/Hablu min An Naas). Bagian dari ajaran yang bersifat horizontal adalah ketentuan/garis yang ditetapkan Islam tentangperdagangan, ada yang dibolehkan sekaligus ada yang dilarang. Ditetapkannya syari’at (ajaran) oleh Allah memiliki tujuan yang mulia untuk hidup dan kehidupan manusia secara universal, para ahli menyebutnya dengan Maqashid Asy Syariah. Kata Kunci : Islam, perdagangan, maqashid, manusia A. Pendahuluan Perdagangan merupakan suatu aktifitas ekonomi masyarakat dalam mendistribusikan dan memasarkan produk barang ataupun jasa, guna memenuhi hajat/kebutuhan hidup manusia. Aktifitas perdagangan, dalam Islam termasuk lingkup muamalah. Artinya, aktifitas yang juga harus tunduk pada ketentuan nash/dalil (Al-Qur’an dan Hadits), sebab muamalah merupakan bagian dari ajaran Islamyang mengatur tata hubungan antar sesama manusia –Hablu Min An Naas Ketentuan Islam dalam bidang muamalah sangat berbeda dengan yang digariskan Islam dalam hal akidah dan ibadah –Hablu Min Allah, yang sifatnya ajeg (tetap/tidakberubah), konstan (terus menerus/sepanjang masa), bahkan teknis artinya ditetapkan tata cara dalam pelaksanaannya. Sementara dalam bidang muamalah hanya diatur hal – hal prinsip saja, sedang teknis pelaksanaannya tidak diatur, artinya diselaraskan pada tuntuan perkembangan budaya manusia. Hal ini dapat dipahami, karena karakter dasar manusia adalah dinamis, sehingga ketika aspek muamalah diatur sampai hal yang bersifat teknis sebagaimana akidah dan ibadah, maka dapat dipastikan muamalah Islam akan ketinggalan zaman (out of date) di tengah kehidupan yang dinamis. Dengan hanya ditetapkannya prinsip–prinsip dasar dalam aspek muamalah, maka terbuka peluang di masyarakat untuk berinovasi mengembangkan model/bentuk bentuk muamalah –termasuk perdagangan, sesuai dengan kemajuan zaman. Hal ini bukan berarti bebas tanpa koridor hukum. Dalam konteks inilah tulisan ini disajikan untuk memaparkan bentuk (model)
Penulis adalah Tenaga Pengajar pada Fakultas Syari’ah IAIN Raden Intan Lampung.
ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014
114
perdagangan yang dilarang dalam Islam, dan dalam pandangan maqashid syariah (tujuan ditetapkannya hukum) kenapa dilarang. B. Prinsip Dasar dalam Muamalah Perdagangan baik objeknya barang (benda) atau jasa yang dalam muamalah disebut dengan muamalah al maliyyah wa al maadiyyah, secara teknis tidak diatur tata cara pelaksanaanya, tapi hanya prinsip dasarnya saja yang ditetapkan sebagaimana pada aktifitas muamalah lainnya. Di antara prinsip dasar muamalah antara lain adalah : 1. Hukum Dasar / Pokok Muamalah adalah mubah (boleh), sepanjang tidak ada nash (dalil) yang melarangnya. Prinsip tersebut sejalan dengan kaidah fiqih yang mengatakan :182 ْﯿﺎءاﻻﺑﺎﺣﺔﺣﺘﻰ ﯾﺪ ّل اﻟ ّﺪ ﻟﯿْﻞ ﻋﻠﻰ ا ﻟﺘّﺤْ ﺮ ﯾْﻢ ْ ْاﻻﺻْ ﻞ ﻓﻰ ْاﻻﺷ Artinya : Hukum asal (pokok) atas sesuatu adalah mubahsampai ada nash (dalil) yang menunjukan atas keharamannya. Kaidah tersebut masih sangat mutlak sifatnya, sehingga perlu diberi batasan (qayid). Oleh karenanya, kata Al Asyya’ oleh Nasrun Haroen 183 dipertegas dalam lingkup Al Muamalah. Atas dasar kaidah tersebut maka dinamika dalam konteks muamalah merupakan suatu keniscayaan, termasuk bidang perdagangan akan berkembang baik obyek, cara maupun bentuk usahanya dari waktu ke waktu sesuai dengan trend zaman. Dan tidak menutup kemungkinan, aktifitas perdagangan mengabaikan ketentuan–ketentuan Hukum Islam (syarie) yang seharusnya menjadi acuan. 2. Aktifitas dan Objek Muamalah Harus Bernilai Secara Syarie, Bukan Secara Subyektif dan atau Ekonomis Prinsip kedua ini memberikan batasan akan keleluasaan dalam bermuamalah (baca : perdagangan). Bernilai secara syarie tentunya meliputi objek, cara maupun bentuk usaha perdagangannya. Nilai syarie menjadi ukuran, apakah suatu aktifitas perdagangan dapat dibenarkan apa tidak, sebab kebenaran syarie memberikan kepastian hukum dan mendatangkan kebaikan (maslahah) bagi kehidupan manusia. Prinsip maslahah dapat membenarkan atau membatalkan segala tindakan manusia guna mencapai tujuansyarie, yaitu memelihara agama (akidah), jiwa (kehidupan), akal harta dan keturunan.184
3.
Perdagangan yang Dilarang Islam
182
42.
Asjurmi A. Rahman, Qaidah – Qaidah Fiqih, (Jakarta : Bulan Bintang, 1976), Cet. h.
183
Nasrun Haroen, Perdagangan Saham di Bursa Efek Tinjauan Hukum Islam (Jakarta : Yayasan Kalimah, 2000), Cet. 1, h. 4. 184 Mandani, Fiqih Ekonomi Syariah (Jakarta : Kencana, 2012), cet. 1 h. 10.
ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014
115
Perdagangan bagian dari muamalah yang prinsip dasarnya adalah boleh. Namun perdagangan bisa menjadi terlarang, jika akan menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan (manusia). Perubahan status hukum atas sesuatu dalam Islam bisa saja terjadi, jika didukung oleh illat (motif ditetapkannya hukum) hukum yang kuat. Abd. Wahhab Khallaf185, perubahan status hukum atas sesuatu dari dilarang menjadi boleh dan sebaliknya dapat terjadi bila didukung illat hukum. Illat hukum dapat berfungsi sebagai penguat terjadinya perbuatan hukum, selain juga sebagai manat alhukm (hubungan hukum), sebab dan tanda hukum. Dari sisi akad suatu aktifitas perdagangan dipandang sah (boleh), tapi bisa menjadi tidak sah (dilarang) ketika objeknya sesuatu yang secara syarie tidak bernilai, perdagangan manusia (human traffic) misalnya atau perdagangan yang objeknya bangkai, darah, daging babi, daging anjing, minuman keras dan lainya yang dilarang nash, atau dari sisi objek sah (boleh), tapi sisi akadnya tidak mencerminkan kesepakatan/kerelaan kedua belah pihak yang berakad, maka perdagangan tersebut tidak dibenarkan (dilarang). Sebagai contoh, seorang petani yang tebelit hutang dipaksa menjual hasil pertaniannya pada orang yang menghutangi (si berpiutang) dengan harga murah (di bawah standar harga pasar). Hal tersebut berarti perdagangan dengan objek sah namun akadnya tidak atas dasar kesepakatan/kerelaan si pemilik barang (petani). Perdagangan seperti ini tidak dibenarkan (dilarang) dalam Islam, sejalan dengan Firman-Nya : ﻟﻘ ْﺪ ﺧﻠﻘْﻨﺎ ْاﻻﻧْﺴﺎ ن ﻓﻰ اﺣْ ﺴﻦ ﺗﻘْﻮ ﯾْﻢ Artinya : Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sempurna (sebaik-baiknya). (95:4) ا ﻧﻤﺎ ﺣﺮ م ﻋﻠﯿﻜﻢ ا ﻟﻤﯿﺘﺔ واﻟﺪ م و ﻟﺤﻢ ا ﻟﺤﻨﺰ ﯾﺮوﻣﺎاھﻞ ﻟﻐﯿﺮ ﷲ ﺑﮫ Artinya : Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu bangkai, darah yang mengalir, daging babi dan semua yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. (16 : 115) ﯾﺎ اﯾﮭﺎ اﻟﺬﯾﻦ اﻣﻨﻮاﻻﺗﺎءﻛﻠﻮاﻣﻮ اﻟﻜﻢ ﺑﯿﻨﻜﻢ ﺑﺎ ﻟﺒﺎطﻞ اﻻاﻧﺘﻜﻮن ﺗﺠﺎرةﻋﻦ ﺗﺮ اض ﻣﻨﻚ Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan perniagaan yang berlangsung suka sama suka di antara kamu. (4 : 29)
185
Abd. Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Alih Bahasa Moh. Zukri, dsb (Semarang : Dina Utama, 1994), cet. 1, h. 85.
ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014
116
Hamzah Ya’cub186, transaksi perdagangan tidak dibolehkan (dilarang/haram) jika masuk dalam kategori : a. Jenis barang atau zatnya dilarang, b. Jenis usaha atau objek dagangnya dilarang, c. Cara dagang (transaksi/akadnya dilarang). Selain faktor-faktor yang terkait langsung (intern) dengan perdagangan yang dapat sebagai penyebab dilarangnya suatu perdagangan, juga ada faktorfaktor lain (extern) yang menjadikan suatu perdagangan dilarang, yaitu seperti : a. Adanya unsur gharar (samar/ketidakpastian). Seperti, kalau hasil bumi/pertanian belum saatnya dipanen; Sesuatu yang tidak kasat mata (kandungan dalam perut hewan). b. Adanya unsur tadlis (menyembunyikan cacat/curang). Tindakan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang dijunjung etika (norma) Islam. Tadlis dapat saja berkenaan dengan kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan barang/objek perdagangan.187Tadlis dalam hal kuantitas, berupa kecurangan dalam jumlah, ukuran, timbangan/tonase dan sebagainya.Dalam hal kualitas, tadlis dapat berupa menyembunyikan cacat barang atau memalsukan merk, dan tadlis berkenaan dengan harga dapat berupa perdagangan yang tidak sesuai dengan harga aktual di pasar, sedang tadlis dari segi waktu penyerahan bisa saja pihakyang menerima order pekerjaan pada dasarnya dari awal order diterima/kontrak disepakati yang bersangkutan sudah memperkirakan tidak akan mampu menyelesaikan order tepat waktu sesuai akad kontrak. c. Perdagangan yang melanggar prinsip tidak saling mencelakakan (la tadhlimuna wa la tudhlamun). Wujud dari pelanggaran atas prinsip ini dapat berupa : 1) Rekayasa pasar, tidak seimbangnya antara supply dan demand. Merupakan hukum ekonomi bahwa antara supply (persedian/stock barang) dan demand (permintaan/penawaran) berbanding sejajar, artinya harga barang akan stabil mana kala antara permintaan dengan persediaan seimbang. Sebaliknya, ketika persediaan barang melebihi/melimpah dari permintaan/penawaran barang tinggi, sementara persediaan terbatas, maka harga barang akan melambung tinggi. Bagi pedagang yang menguasai modal dan komoditas kebutuhan pasar dengan orientasi mengejar keuntungan semata dan tidak memiliki rasa tanggung jawab sosial, maka peluang memainkan pasar merupakan keniscayaan baginya. Praktek monopoli/penimbunan barang (ihtikar) misalnya, sehingga harga bergejolak dan menimbulkan kemudaratandalam masyarakat. Dilarangnya tindakan monopoli dalam Islam justru karena 186
Hamzah Ya’cub, Kode Etik Dagang Menurut Islam, (Bandung : Diponegoro, 1994), cet. 1, h. 111. 187 Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Jakarta : Tnp, 2001), cet. 1. h. 35
ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014
117
terjadinya kemudaratan bagi masyarakat sebagai illat hukumnya.188 Dan kemudaratan tersebut tidak diinginkan Islam sebagaimana FirmanNya : ﻣﺎﯾﺮﯾﺪﷲ ﻟﯿﺠﻌﻞ ﻋﻠﯿﻜﻢ ﻣﻦ ﺣﺮج Artinya : Allah tidak menginginkan kesulitan apapun bagi kamu. (5 : 6) Dalam hadits yang diriwayatkan Ibnu Majah dari Abi Hurairah, Rasullah saw mengatakan : ﻣﻦ اﺣﺘﻜﺮ ﺣﻜﺮةﯾﺮﯾﺪ ان ﯾﻌﻠﻰ ﺑﮭﺎ ﻋﻠﻰ ا ﻟﻤﺴﻠﻤﯿﻦ ﻓﮭﻮ ﺧﺎ طﺊ Artinya : Siapa yang melakukan penimbunan barang dengan tujuan merusak harga pasar, sehingga harga naik secara tajam, maka ia telah berbuat salah.189 atau riba nasiah (keuntungan yang diperoleh dari hutang piutang, atau jual beli berjangka/kredit yang berbeda dengan harga tunai). Banyak ayat yang mencela riba, antara lain : واﺣﻞ ﷲ اﻟﺒﯿﻊ وﺣﺮم اﻟﺮﺑﻮا Artinya : Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (2 : 275) ﯾﻤﺤﻖ ﷲ اﻟﺮﺑﻮاوﯾﺮﺑﻰ اﻟﺼﺪﻗﺖ Artinya : Allah menghapuskan berkah harta riba, dan menyuburkan harta sedekah. (2 : 276) Perdagangan yang sarat dengan riba dapat dicontohkan jasa penukaran uang (money changer), pecahan Rp 100.000,- dengan total jumlah Rp 10.000.000,- ditukar dengan pecahan Rp 50.000,- sejumlah Rp 9.950.000,-. Jasa penukaran memperoleh Rp 50.000,- dari penukaran dengan mata uang yang sama (Rupiah) dengan tanpa ada imbangannya atau tidak tamasul, maka uang yang diperoleh jasa penukaran Rp 50.000,- tersebut termasuk riba. Islam melarang dan mencela riba, antara lain karena riba pada dasarnya tindakan memakan harta orang lain tanpa jerih payah dan resiko, kemudahan yang diperoleh rentenir (orang yang membungakan uang) di atas penderitaan dan kesedihan orang lain, selain itu riba merusak semangat 188
Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), Cet. 2., h. 158 189 Nasrun Haroen, Op. Cit, h. 161
ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014
118
manusia untuk gigih bekerja mencari uang dengan cara wajar. Seluruh agama samawi mengecam dan mengharamkan riba190. Perdagangan sebagai aktifitas ekonomi tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Kebutuhan dan peningkatan ekonomi masyarakat akan terpenuhi dan membaik, mana kala dunia perdagangan berjalan baik dengan mengedepankan prinsip tidak saling mencelakakan.Oleh karenanya, Islam hanya melarang aktifitas perdagangan yang sarat dengan riba. Masih banyak aktifitas perdagangan yang mengedepankan prinsip keadilan dan tidak saling mendzalimi, karenanya mendapat pembenaran (boleh) secara syarie. Hal ini sejalan dengan ungkapan : اذا ﺣﺼﻞ ﺿﺮرﻣﻦ ﻓﺮ د ﻣﻦ اﻓﺮاداﻟﻤﺒﺎح ﯾﻤﻨﻊ ذاﻟﻚ اﻟﻔﺮ Artinya : Apabila terjadi bahaya (kerusakan) akibat bagian di antara satuansatuan yang mubah, maka satuan itu saja yang dilarang.191 C. Pandangan Maqashid Asy Syariah Dimaksudkan dengan maqashid asy syariah adalah tujuan yang hendak dicapai/diwujudkan dari ditetapkannya syariat bagi manusia. Sedang syariat itu sendiri adalah seperangkat ajaran wahyu disebut juga dengan dinul Islam. Dengan kata lain, apa sasaran yang ingin dituju/diwujudkan dengan ditetapkannya syariat. Terkait dengan tujuan ditetapkannya syariat (Islam), Imam Ghazali dan Ibnu Al-Qayyim sebagaimana yang dikutip Umer Chapra192 mengatakan : - Tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki (Imam Ghazali). - Basis syariat adalah hikmah dan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan ini terletak pada keadilan sempurna, rahmat, kesejahteraan dan hikmah. Apa saja yang membuat keadilan menjadi aniaya, rahmat menjadi kekerasan, kemudahan menjadi kesulitan dan hikmah menjadi kebodohan, maka hal itu tidak ada kaitannya dengan syariat (Ibnu Al-Qayyim). Umer Chapra sendiri menyebutkan bahwa tujuan syariat mengandung semua yang diperlukan manusia untuk merealisasikan falah dan hayatan
190
Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih Bahasa Zainal Arifin, (Bangil : Al-Izzah, 2001), h. 223 191 Abdurrahman Maliki, Politik Ekonomi Islam, Alih Bahasa Ibnu Sholah, (Bangil: AlIzzah, 2001), h. 223. 192 Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta : Gema Insani, 2000), Cet. 1, h. 1.
ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014
119
thayyibah (pen.: kebahagiaan dan kehidupan yang baik/berkualitas) dalam batasbatas syariat.193 Berangkat dari maqashid asy syariah (selanjutnya digunakan istilah maqashid), artikel ini ingin melihat kenapa Islam melarang beberapa jenis perdagangan yang telah penulis paparkan terdahulu, apa rahasia jenis-jenis perdagangan tertentu dilarang Islam dari sisi maqashid.Memahami maqashid yang pada intinya untuk mewujudkan kesejahteraan manusia melalui perlindungan keimanan (agama), kehidupan (jiwa), akal, keturunan dan harta benda manusia, maka dapat dipahami mengapa Islam melarang jenis-jenis perdagangan tertentu. Terhadap perdagangan yang dilarang karena jenis barang atau zatnya (objek) diharamkan, dapat dimengerti bahwa Allah menginginkan agar kehidupan dan jiwa manusia terhindar dari hal-hal yang tidak bernilai/bermanfaat secara syarie. Sebab hal-hal yang diharamkan Allah untuk manusia akan menimbulkan kemudharatan yang dapat merusak jiwa (kehidupan) dan akal manusia yang pada akhirnya akan merusak keimanannya (agama), sebagaimana Firman Allah (QS. 16 : 115) terdahulu. M. Quraish Shihab194 mengatakan bahwa hal-hal yang diharamkan Allah (makanan dan minuman) jika dikonsumsi akan berpengaruh pada sikap mental yang bersangkutan, budi pekertinya akan jelek. Selain dari sisi objek Islam melarang jenis-jenis perdagangan tertentu, Islam juga melarang perdagangan yang cara (seperti gharar, tadlis) dan akadnya melanggar prinsip tidak saling mencelakakan. Dari sisi maqashid hal ini dapat dipahami bahwa perdagangan pada prinsipnya adalah aktifitas ekonomi yang tidak dapat dilepaskan dari akar keimanan seseorang (Muslim), sehingga orientasinya bukan sekedar meraih/mengejar materi (keuntungan) dengan menghalalkan segala macam cara. Tapi perdagangan sebagai aktifitas ekonomi pada hakikatnya sarat dengan muatan ibadah. Melalui perdaganganlah kebutuhan masyarakat luas (berbagai komoditas) terdistribusi, sampai pada yang membutuhkannya.Larangan Islam terhadap model-model perdagangan seperti di atas dimaksudkan juga agar seseorang terhindar dari tindak kejahatan sosial dalam bidang ekonomi. D. Penutup Dari paparan di atas, sebagai akhir dari artikel ini dapat disimpulkan bahwa : 1. Boleh atau tidaknya (dilarang) suatu perdagangan dalam Islam, tidak saja dilihat asas legalitas transaksinya (akad), tapi selain dari sisi nilai (syarie) objeknya, juga cara dilangsungkannya perdagangan. 2. Dari sisi maqashid, dilarangnya jenis-jenis perdagangan tertentu, tidak lain untuk melindungi kehidupan dan kesejahteraan manusia dan masyarakat secara luas.
193 194
Ibid, h. 7 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1999), Cet. XIX, h.
189
ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014
120
DAFTAR PUSTAKA
A. Rahman, Asjmuni, Qaidah-Qaidah Fiqih, Jakarta : Bulan Bintang, 1976. Azwar Karim, Adi Warman, Sejarah Pemikiran EkonomiIslam, Jakarta : Tnp, 2001. Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta : Gema Insani, 2000. Haroen, Nasrun, Fiqh Muamalah, Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007. --------------------, Perdagangan Saham di Bursa Efek Tinjauan Hukum Islam, Jakarta : Yayasan Kalimah, 2000. Khallaf, A. Wahhab, Ilmu Ushul Figh, Alih Bahasa Muh. Zuhri, dkk., Semarang : Dina Utama, 1994. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta : Kencana, 2012. Qardhawi, Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Alih Bahasa Ibnu Sholah, Bangil : Al-Izzah, 2001. Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1999. Ya’kub, Hamzah, Kode Etik Dagang Menurut Islam, Bandung : Diponegoro, 1994.
ASAS, Vol.6, No.2, Juli 2014
121