PANDANGAN ISLAM MENGENAI ILMU, PROFESIONALISME DAN ETIKA PROFESI Binti Muliati
[email protected] Abstrak Dalam artikel ini Binti Muliati mencoba mengelaborasi keterkaitan antara ilmu, dan profesionalisme ilmiyah di satu pihak, serta etika profesi di pihak lain. Dia berpendapat bahwa pengembangan ilmu pengetahuan itu merupakan suatu rangkaian kegiatan yang berkait dengan semangat profesionalisme yang tinggi. Namun, kedua hal tersebut seyogyanya dilandasi dengan ketaqwaan, khususnya landasan moral ya ng merupakan pengarah dan pengendali kemajuan ilmu dan teknologi.
A. Pendahuluan Perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap evolutif. Sejarah perkembangan ilmu pada umumnya mengacu pada periodisasi Barat yang membaginya ke dalam periode Yunani, Pertengahan, Renaissans, Modern dan Kontemporer. Setiap periode menampilkan cirri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Periode Yunani dipandang sebagai era kebangkitan pemikiran manusia dalam meruntuhkan corak mitologis yang menjadi karakteristik jaman sebelumnya. Periode pertengahan dipandang sebagau jaman kejayaan agama karena filsafat (termasuk berbagai cabang keilmuan) mengabdi kepada agama (khususnya Dewan Gereja). Periode Renaissans merupakan masa kebangkitan kembali aktivitas ilmiah atau kebebasan dari belenggu agama. Periode modern dipandang sebagai jaman keemasan rasionalistik atau pendewaan terhadap akal pikiran manusia. Periode kontemporer mengandung berbagai karakteristik, terutama penemuan-penemuan yang mengagumkan dalam bidang teknologi transportasi, komunikasi, medis dan lain sebagainya. Penemuan demi penemuan yang dilakukan oleh manusia hingga jaman sekarang ini sesungguhnya tidaklah terpusat di satu tempat atau wilayah tertentu, terlebih di Barat semata. Namun, penemuan-penemuan itu menyebar dari Babylonia, Mesir, Cina, India, Irak, Yunani, hingga kedaratan Eropa. Hal ini membuktikan bahwa manusia selalu dihadapkan pada tantangan alam, situasi dan kondisi yang memacu daya kreativitasnya. Kalau pada masa sekarang kita melihat bahwa Eropa merupakan sentral atau gudang ilmu pengetahuan, maka dalam perkembangan ilmu terbukti bahwa sumbangsih Dunia Timur bagi kemajuan ilmu pengetahuan hingga sekarang ini sangatlah besar. Banyak penemuan yang terjadi di
Dunia Timur yang baru dikembangkan belakangan di Dunia Barat. Dunia Barat sendiri mengakui peran ilmuwan Muslim, seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan Ar-Razi.1 Namun, perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani.2 Kesemuanya itu merupakan rangkaian panjang sejarah peradaban umat manusia, yang dengan kemampuan akal pikirnya selalu melangkah maju. Salah satu dorongan untk membuat manusia melangkah kea rah kemajuan tersebut adalah rasa inin tahu (curiosity). Kendatipun demikian derap langkah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat begitu saja terlepas dari semangat profesionalisme dan etika profesi yang memadai, sebab ilmu yang berkembang tanpa landasan etik dikhawatirkan akan mengancam peradaban umat manusia itu sendiri. B. Pembahasan 1. Pengertian Ilmu Istilah ilmu dalam pengertian klasik dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab-akibat atau asal usul. Istilah pengetahuan (knowledge) biasanya dilawankan dengan pengertian opini, sedang istilah sebab (cause) diambil dari kata Yunani “aitia”, yakni prinsip pertama.3 Setiap aktivitas ilmiah tentu bertolak dari konsep, karena konsep merupakan sebuah struktur pemikiran. Sontag4 menyatakan bahwa setiap pembentukan konsep selalu terkait dengan empat komponen yaitu kenyataan (reality), teori (theory), kata-kata (words), dan pemikiran (thought). Kenyataan ini hanya akan merupakan sebuah misteri manakala tidak diungkapkan ke dalam bahasa. Teori merupakan tingkat pengertian tentang sesuatu yang sudah teruji, sehingga dapat dipakai sebagai titik tolak bagi pemahaman hal lain. Kata-kata merupakan cerminan ide-ide yang sudah diverbalisasikan. Pemikiran merupakan produk akal manusia yang diekspresikan kedalam bahasa. Kesemuanya itu akan membentuk pengertian pada diri manusia, pengertian ini dinamakan konsep sebagai basis utama dari ilmu pengetahuan. Ilmu merupakan suatu bentuk aktivitas yang melibatkan manusia dalam upaya memahami realitas. Ilmu adalah suatu kegiatan untuk memperoleh kebenaran tentang sesuatu berdasarkan metode-metode ilmiah tertentu. Daoed Joesoef5 menunjukkan bahwa pengertian ilmu mengacu pada tiga hal, yaitu: produk-produk, proses dan masyarakat. Ilmu pengetahuan sebagai produk 1
Brouwer, Latar Belakang Pemikiran Ba rat (Bandung: Penenrbit Alumni, 1982), 6. Slamet-Iman-Santoso, Sejarah Perkembangan Ilmu Peng etahuan (Jakarta: Sastra Hudaya, 1977), 2. 3 Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy (New Jersey: Adams Littlefield, 1979), 196. 4 Frederich Sontagg, The Element of Philosophy (New York: Charles Schribner’s Son, 1984), 141. 5 Daoed Joesoef, “Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan,” dalam Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu (Yogyakarta: B.P. Kedaulatan Rakyat, 1987), 22-26. 2
berarti bahwa pengetahuan itu telah diketahui dan diakui kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Pengetahuan ilmiah dalam hal ini terbatas pada kenyataan-kenyataan yang mengandung kemungkinan untuk disepakati dan terbuka untuk diteliti, diuji dan dibantah oleh seseorang. Ilmu pengetahuan sebagai proses berarti bahwa kegiatan kemasyarakatan dilakukan demi penemuan dan pemahaman dunia alami sebagaimana adanya, bukan sebagaimana yang kita kehendaki. Metode ilmiah yang khas dipakai dalam proses ini adalah analisis-rasional, objektif, sejauh mungkin “impersonal” dari masalah-masalah yang didasarkan pada percobaan dan data yang dapat diamati. Ilmu pengetahuan sebagai masyarakat artinya dunia pergaulan yang tindaktanduknya, perilaku dan sikap serta tutur katanya diatur oleh empat ketentuan (imperative), yaitu universalisme, komunalisme, tanpa pamrih (disinterestedness) dan skeptisisme yang teratur. Suatu kegiatan dikatakan ilmiah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: Pertama, kegiatan ilmiah itu memiliki objek tertentu yang dijadikan pokok bahasan (objek material). Di samping pokok bahasan (objek material), juga memiliki objek formal atau cara pandang terhadap pokok bahasan tersebut. Perbedaan yang paling tegas antara bidang ilmu yang satu dengan yang lain lebih banyak terlihat pada objek formalnya. Kedua, kegiatan itu bersifat sistematis, artinya antara bagian yang satu dengan yang lain terkondisikan untuk saling berkaitan atau berhubungan dalam membentuk kesatuan pengertian. Ketiga, kegiatan itu memiliki metode tertentu, artinya cara-cara dalam memperoleh kebenaran dilakukan melalui langkah-langkah metodis yang telah digariskan sesuai dengan bidang keilmuannya. Metode ilmiah dipandang dari segi sifatnya dapat dibedakan ke dalam dua kelompok besar, yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kualitatif adalah cara memahami suatu objek melalui pemahaman (understanding) dan penghayatan (verstehen), sehingga kita dapat memperoleh kebenaran terhadap objek yang dikaji. Pada umumnya, metode kualitatif ini berlaku bagi ilmu-ilmu sosial dan Humaniora. Metode kuantitatif adalah cara memahami suatu objek melalui penelitianpenelitian yang terukur (measurable), terhitung (calculable), baik melalui statistik maupun eksperimentasi. Pada umumnya metode kuantitatif ini berlaku bagi ilmu-ilmu eksakta. Metode ilmiah ini dipandang dari segi proses pengembangannya dapat dibedakan menjadi metode kepustakaan dan metode lapangan. Metode kepustakaan diterapkan pada model-model penelitian konseptual. Metode lapangan lebih banyak diterapkan pada model penelitian kontekstual atau mencari korelasi antara dua atau lebih variable.
Keempat, kegiatan ilmiah harus dapat dipertanggungjawabkan secara umum (universal), artinya bahwa hasil penelitian atau kegiatan ilmiah tadi harus siap untuk dipertanggungjawabkan atau diuji kembali untuk memperkuat validitasnya (keabsahannya). 2. Tujuan dan Manfaat Ilmu Kegiatan ilmu lebih terarah pada keahlian khusus yang bersifat terbatas. Tujuannya adalah untuk memaparkan dunia, sehingga dapat ditafsirkan dengan istilah-istilah yang pasti atau matematis, dan bila mungkin kemudian mengadakan control secara mekanis. Tujuan ilmu adalah pemaparan (description), peramalan (prediction), eksperimentasi (experimentation) dan pengendalian (control). Di samping tujuan-tujuan tersebut, maka ilmu juga mengandung beberapa manfaat. Pertama, ilmu merupakan sarana bagi manusia untuk bertindak kritis rasional, sehingga suatu pengetahuan yang semula diterima begitu saja akan dianalisis secara kritis dan dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Kedua, kegiatan ilmu yang bersifat aplikatif berupa tehnologi merupakan upaya manusia untuk memperoleh kemudahan. Misalnya, tehnologi informasi mempermudah manusia berkomunikasi, tehnologi pesawat terbang mempermudah manusia untuk melakukan perjalanan. Ketiga, ilmu mempertebal rasa percaya diri (self confidence) pada manusia, karena wawasan piker manusia semakin teruji (test ability) dan terjadi peningkatan kualitas. Keempat, ilmu menjadikan manusia terus menerus berada dalam kehidupan yang dinamis, karena berbagai hasil temuan ilmiah menimbulkan tantangan lebih lanjut. 3. Hubungan antara Ilmu dan Al-Qur’an Al-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasul Muhammad SAW. Ayat-ayat yang termaktub dalam al-Qur’an biasa juga dinakam kitabiya, sedangkan ayat-ayat Allah yang terbentang di alam semesta dinamakan ayatayat kawniya. Beberapa ulama menganggap bahwa tugas menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an terletak di pundak mufassirun (ahli tafsir), sedangkan tugas menafsirkan ayat-ayat kawniya terletak di tangan ilmuwan. Namun, perbedaan tugas yang demikian itu tidaklah bersifat mutlak, karena ada ahli tafsir yang tergolong ilmuwan (misalnya, Muhammad ‘Abduh, Muhammad Rashid Ridha, dan HAMKA). Sebaliknya ada pula ilmuwan yang mempelajari al-Qur’an sehingga mampu melakukan penafsiran yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang dimilikinya sesuai dengan ayat-ayat dalam Al-Qur’an (misalnya, Prof. Baiquni). Adanya titik singgung antara al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan telah disadari oleh para ulama. Namun, tidak banyak yang mampu menjelaskan secara gambling bagaimana persisnya hubungan atau ketertarikan antara al-Qur’an
dengan ilmu pengetahuan. Ada yang menganggap bahwa segala macam dalil ilmu pengetahuan terkandung dalam al-Qur’an. Sebaliknya, ada pula sebagian yang menolak pernyataan itu dengan mengatakan bahwa masing-masing berdiri sendiri. Al-qur’an khusus mengatur kehidupan beragama, sedangkan ilmu pengetahuan meruapakan aktivitas ilmiah. Ada pula yang memadukan kedua pandangan di atas dengan mengatakan bahwa ayat-ayat al-Qur’an merupakan sinyalemen Allah yang harus dipahami oleh manusia yang berakal (terutama para ilmuwan) untuk mengembangkan aktivitas ilmiah sesuai dengan bidang disiplin ilmunya. Hubungan erat antara al-Qur’an dengan ilmu tidak disanggah oleh kebanyakan ulama. Namun, ilmu disini bukan dimaksudan pembhasan murni tentang ilmu pengetahuan sebagaimana dipahami dalam dunia akademik. AlQur’an juga tidak dapat dikatakan sebagai sebuah buku ilmiah, karena karya ilmiah merupakan produk akal piker manusia, sedangkan al-Qur’an adalah firman Allah. Banyaknya kata ‘ilm (ilmu pengetahuan) disebutkan dalam alQur’an pada intinya sebagai suatu bentuk perintah agar manusia mau belajar, membaca, menulis dan menggunakan akal piker yang telah dikaruniakan Allah kepadanya. Setiap manusia dikaruniai akal piker yang berbeda-beda, dan hanya mereka yang mau menggunakan akal pikirnya itulah yang mampu menangkap sinyal Allah. Ayat yang mendorong agar manusia mau menggunakan nalar dan akal piker dan mengembangkan ilmu pengetahuan berjumlah kurang lebih 750 buah, seperti tafakkarun, ta’qilun, dan ulu al-albab. Al-qur’an mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu pengetahuan sebagaimana firman Allah yang artinya: “Allah akan meninggalkan beberapa derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu di antara kamu” (QS. Al-Mujadalah: 11). Al-Qur’an sebagai pendorong atau penggugah proses berpikir ilmiah, karena mengundang orang untuk belajar memahami ayat-ayat Allah (kitabiyya maupun kawniya), terutama misteri penciptaan alam semesta. Hal ini termaktub dalam QS. Ali ‘Imran: 190: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang merupakan tanda-tanda bagi orang yang berpikir. Yakni orangorang yang senantiasa mengingat Allah, baik ketika sedang berdiri, duduk bahkan di saat sedang berbaring dan merenungkan penciptaan langit dan bumi itu seraya mereka berkata:”Maha suci Engkau ya Allah dan tidaklah Engkau ciptakan ini semua sia-sia”. Manusia berusaha menggerakkan akal pikirnya untuk memahami misteri alam semesta. Namun, seringkali hasil pemikiran itu merugikan umat manusia sendiri, karena keingkaran para ilmuwan. Mereka (ilmuwan) menganggap bahwa temuan itu menunjukkan kekuasaan manusia atas alam semesta. Mereka
lalai bahwa akal piker itu sendiri merupakan perangkat yang dikaruniakan Allah atas manusia untuk memahami ciptaan-ciptaan-Nya. Akal, dari kata aqala dalam pengertian di sini bukan mengacu pada otak, melainkan mengacu pada proses bekerjanya otak, yaitu daya berpikir yang terdapat dalam diri manusia, sehingga melalui daya itu manusia memperoleh pengetahuan. Beberapa kata lain yang mengandung arti berpikir terdapat dalam al-Qur’an, seperti tadabbur (merenungkan), nazra (melihat secara abstrak), tafakkur (berpikir). Ayat-ayat yang mengandung kata-kata tersebut mengandung perintah agar manusia menggunakan akal dan daya pikirnya. Penggunaan akal dalam pemikiran barat berbeda dengan penggunaan akal dalam pengertian Islam. Pemikiran Barat yang menempatkan akal sebagai wahana memperoleh kebenaran dinamakan rasionalisme. Ciri rasionalisme terletak pada proses berpikir abstrak yang mementingkan dalil-dalil umum atau deduksi. Lawannya adalah empirisme, yakni menempatkan peranan pengalaman dalam memperoleh kebenaran. Ciri empirisme terletak pada proses berpikir kongkrit atau temuan-temuan kasus-kasus kongkrit untuk mendapatkan suatu kesimpulan (contoh Teori Gravitasi Newton, Archimedes). Baik rasionalisme maupun empirisme mengandung kelemahan. Rasionalisme memang menghasilkan kebenaran yang mutlak, namun hanya merupakan pengulangan (misalnya lingkaran bulat). Empirisme yang menekankan pada indera memang dapat diharapkan menghasilkan temuan baru, namun kebenarannya tidak bersifat mutlak. Imam al-Ghazali bahkan tidak mempercayai indera untuk memperoleh suatu kebenaran. Dalam al-Munqidh min al-Dalal Ghazali mengatakan sebagai berikut: “Bagaimana kita dapat mempercayai panca indra dimana mata merupakan indra terkuat, sedangkan bila indra mata memandang kepada bintang, ia melihatnya kecil bagaikan mata uang, padahal alat peneropong bintang membuktikan bahwa bintang itu ada yang lebih besar daripada bumi”.6 Pemikiran Islam merupakan gabungan antara rasio dan pengalaman, bahkan masih ditambahkan dengan pertimbangan qalbu (hati nurani) sebagai sarana pengambilan keputusan. Proses pemikiran dalam Islam paling tidak mengandung 3 komponen, yaitu akal pikir, pengalaman dan hati nurani. Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh ketiga komponen tersebut akan dapat dikendalikan bagi kesejahteraan umat manusia, karena hati nurani merupakan daya pertimbangan yang bersifat praktis. 4. Profesionalisme dan Perkembangan Ilmu dalam Visi Islam Di saat Eropa pada zaman pertengahan lebih berkutat pada masalah-masalah keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penerjemahan besar 6
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 1992), 45.
besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya. Peradaban dunia Islam, terutama pada masa Bani Umayyah telah menemukan suatu cara pengamatan astronomi pada abad 7 Masehi, 8 abad sebelum Galileo Galilei dan Copernicus. Sedangkan kebudayaan Islam yang menaklukkan Persia pada abad 8 Masehi telah mendirikan sekolah kedokteran dan stronomi di Jundishapur. Pada zaman keemasan kebudayaan Islam, dilakukan penerjemahan berbagai karya Yunani, dan bahkan Khalifah alMakmun telah mendirikan Rumah Kebijaksanaan (House of Wisdom) pada a bad 8 Masehi. Sumbangan sarjana Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang, yaitu: 1. Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskannya sedemikian rupa, sehingga dapat dikenal dunia Barat seperti sekarang ini. 2. Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu bumi dan ilmu tumbuh-tumbuhan. 3. Menegaskan system desimal dan dasar-dasar aljabar. Pada zaman abad tengah, ketika manusia Eropa berada dalam masa tidur panjang akibat pengaruh dogma-dogma agama, maka kebudayaan Islam di zaman dinasti Abbasiyah berada pada puncak keemasannya. Ali Kettani sebagaimana dikutip Rizal Muntasyir 7 menengarai kemajuan umat Islam pada masa itu lantaran didukung oleh semangat sebagai berikut: (1) Universalism (2) Tolerance (3) International character of the market (4) Respect for science and scientist (5) The Islamic nature of both the ends and means of science Universalisme berarti pengembangan iptek mengatasi sekat-sekat kesukuan, kebangsaan bahkan keagamaan. Toleransi artinya sikap tenggang rasa dalam pengembangan Iptek dimaksudkan untuk membuka cakrawala dikalangan para ilmuwan, sehingga perbedaan pendapat dipandang sebagai pemacu kearah kemajuan, bukan sebagai penghalang. Di zaman dinasti Abbasiyah perpustakaan Dar al-Hikmah membuka pintu terhadap para ilmuwan non muslim untuk memanfaatkan dan mempelajari berbagai literatur yang ada di dalamnya. Pemasaran terhadap hasil-hasil Iptek merupakan suatu wahana untuk menjamin kontinyuitas aktivitas ilmiah itu sendiri, karena itu pasar yang bersifat internasional sangatlah dibutuhkan. Penghargaan yang tinggi terhadap 7
Rizal Muntasyir, Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Diktat Kuliah pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 1999), 79.
penemuan, artinya setiap temuan dihargai secara layak dan memadai sebagai hasil jerih payah atau usaha seseorang atau sekeklompok orang. Akhirnya, sarana dan tujuan Iptek haruslah terkait dengan nilai-nilai agama, artinya setiap kegiatan ilmiah tidak boleh bebas nilai, apalagi nilai agama. Sebab ilmuwan yang melepaskan diri dari nilai-nilai agama akan terperangkap pada arogansi intelektual, dan menjadikan perkembangan Iptek yang dipersonalisasi dan dehumanisasi. Di sinilah pentingnya agama sebagai pengendali atau control terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Profesionalitas seorang ilmuwan tidak akan ada artinya manakala dilepaskan dari nilai-nilai keagamaan. Sebab profesionalitas akan berhadapan langsung dengan dunia kongkrit yang membutuhkan daya pertimbangan cepat untuk memutuskan tindakan mana yang akan diambil. Profesionalisme adalah suatu bentuk keahlian khusus yang dipakai manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Profesionalisme dalam arti yang lebih luas dimaksudkan sebagai upaya manusia untuk meningkatkan keahlian disiplin ilmunya masing-masing, sehingga orang yang bersangkutan mempunyai wawasan berpikir yang lebih mendalam tentang bidang ilmu yang dikuasainya. Profesionalisme dewasa ini menjadi lebih berkembang lantaran spesialisasi ilmu yang semakin maju. Sehingga acapkali terjadi pengkaplingan dunia keilmuan. Bidang ilmu yang satu tidak mengenal bidang ilmu yang lain. Di sinilah diperlukan kode etik professional, yang tujuan utamanya adalah melindungi masyarakat dan mengendalikan profesi ilmu masing -masing. Kode etik professional pada umumnya mengacu pada fungsi dan tugas sang ilmuwan yang dikaitkan dengan kepentingan umat manusia. Di sini para ilmuwan harus mampu menemptakan dirinya sebagai seorang ilmuwan di satu pihak, sekaligus sebagai pelayan kemanusiaan di pihak lain.
5. Etika Profesi menurut Islam Ada dua pendapat berbeda yang menjelaskan hubungan antara ilmu dengan agama. Pendapat pertama mengatakan bahwa ilmu itu bebas nilai dan objektif, artinya ilmu merupakan suatu aktivitas penalaran yang sepenuhnya netral dan objektif, tidak dipengaruhi oleh keadaan psikis, social budaya dan agama. Pendapat semacam ini dinamakan positivistic dan biasanya dianut oleh positivisme yang sangat menekankan pada sikap ilmiah yang ketat, jelas dan pasti. Tokohnya antara lain August Comte. Pendapat kedua mengatakan bahwa ilmu itu tiak bebas bahkan tidak boleh menjadi bebas nilai. Aktivitas ilmiah
senantiasa terkait dengan keadaan psikis, sosio-budaya dan agama. Alasannya karena orang makin lama, makin sadar akan peranan pola-pola kebudayaan dan agama pada perilaku pengamatan dan cara berpikir manusia. Ilmu merupakan hasil structural dari pengamatan dan penalaran manusiawi dan refleksinya berubah sesuai dengan struktur dasar sebuah kebudayaan dan agama yang dianut. Pendapat kedua ini didukung oleh firman Allah yang berbunyi sebagai berikut: ”yarfa’illaahu alladhina amanu minkum wa alladhina utu al-ilma darajatin” (Allah mengangkat tinggi derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan). Ini berarti ilmu pengetahuan harus terkait dengan masalah keimanan atau kepercayaan kepada Allah, bahkan komponen iman diletakkan didepan atau sebelum ilmu pengetahuan. Dengan demikian, keimanan merupakan sumber nilai bagi kehidupan seorang muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Al-Qur’an dalam pandangan Malik bin Nabi sebagaimana disitir oleh Quraish Shihab8 lebih merupakan dorongan bagi kondisi psikologis dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, pengembangan ilmu dalam pandangan Islam hendaklah dilandasi oleh akhlaqul karimah, sehingga tidak terjadi penyimpangan. Sebab maju mundurnya ilmu itu sangat tergantung pada perilaku manusia (ilmuwan). Di sinilah munculnya berbagai pandangan tentang perlunya proses islamisasi ilmu pengetahuan. Artinya Islam berperang bagi filter perkembangan ilmu dan teknologi. 6. Hubungan antara Ilmu dan Profesi Etika sebagai salah satu cabang filsafat praksis yang menentukan baik atau buruknya suatu tindakan. Dalam hal ini, ada tiga pendapat yang berbeda mengenai hubungan antara ilmu dan etika. Pendapat pertama mengatakan bahwa ilmu merupakan suatu system yang jalin menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat berarti atau tidaknya (meaningfull or meaningless) dapat ditentukan. Ilmu dipandang semata-mata aktivitas ilmiah, logis, sahih dan berbicara tentang fakta semata. Jadi bukan tugas ilmu berbicara mengenai hal seharusnya. Prinsip yang berlaku di sini adalah science for science. Pendapat kedua mengatakan bahwa etika memang dapat berperan dalam tingkah laku ilmuwan (pada bidang penyelidikan, putusan-putusan mengenai baik tidaaknya penyingkapan hasil-hasil dan petunjuk mengenai penerapan ilmu). Akan tetapi tidak dapat berpengaruh pada ilmu itu sendiri. Memang ada tanggung jawab pada diri ilmuwan, namun dalam struktur logis ilmu itu sendiri 8
Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 109.
tidak ada petunjuk-petunjuk untuk putusan-putusan yang secara etis dipertanggungjawabkan. Etika baru mulai pada saat ilmu itu berhenti. Pendapat ketiga mengatakan bahwa aktivitas ilmiah tidak dapat dilepaskan begitu saja dari aspek-aspek kemanusiaan, sebab tujuan utama ilmu adalah untuk mencapai tujuan yang lebih hakiki, yakni kebahagiaan umat manusia. Prinsip yang berlaku di sini adalah science for mankind, ilmu pengetahuan ditujukan bagi kemanusiaan.
C. Penutup Pada akhirnya dapatlah disimpulkan bahwa pengembangan ilmu pengetahuan itu merupakan suatu rangkaian kegiatan yang berkait dengan semangat profesionalisme yang tinggi. Sebab semangat profesionalisme merupakan pemacu kea rah kemajuan bidang ilmu, sekaligus peningkatan kualitas sumber daya manusia. Namun, kedua hal tersebut seyogyanya dilandasi pula dengan ketaqwaan, khususnya landasan moral merupakan pengarah dan pengendali bagi kemajuan ilmu dan teknologi. Di satu pihak, Islam memacu perkembangan ilmu, di pihak lain Islam mengendalikan kemajuan ilmu dan tehnologi itu agar tidak terjerumus ke dalam suatu bentuk pengkultusan ilmu atau pendewaan akal manusia yang ber sifat terbatas. Uraian di atas juga menampakkan adanya hubungan yang erat antara alQur’an dengan ilmu pengetahuan. Hubungan itu terletak pada dorongan al-Qur’an sendiri bukanlah kitab ilmiyah, sebab hal itu berarti merendahkan derajat Allah. Ilmu pengetahuan adalah produk akal piker manusia, sedangkan al-Qur’an adalah wahyu Allah. Memang sangat mungkin terjadi titik temu antara Wahyu Allah dengan hasil pemikiran manusia, sebab akal piker manusia itu sendiri sesungguhnya merupakan ayat-ayat Allah (tanda-tanda kebesaran Allah) yang terdapat dalam diri manusia. Bahkan akal itu sendiri merupakan salah satu bentuk hidayah Allah kepada manusia. Pembahasan mengenai hubungan antara Al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan bukannya terletak pada kandungan ilmiah (seperti: adanya teori gravitasi, relativitas, dll) dalam al-Qur’an, melainkan pada semangat ayat-ayat dalam alQur’an yang mendorong perkembangan ilmu atau sisi “social psychology” (psikologi sosial). Malik bin Nabi mengatakan bahwa kemajuan ilmu bukan hanya terbatas pada temuan teori-teori atau paradigm ilmiah, melainkan juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan social yang mempunyai pengaruh negative atau positif, sehingga dapat menghambat atau mendorongnya lebih jauh. Ayat-ayat dalam alQur’an tidak ada yang bertentangan dengan semangat ilmiah, yakni rasa ingin tahu
(curiosity) yang sangat besar sebagai prasyarat utama bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Kebenaran ilmiah selalu diuji ulang (diverivikasi) sehingga tidak bersifat mutlak dan berlaku sementara sebelum muncul kebenaran lainnya. Berbeda halnya dengan kebenaran al-Qur’an yang bersifat mutlak dan berlaku sepanjang masa. Allah sendiri menjamin kebenaran dan kemurnia Al-Qur’an dalam firmanNya: “ Sesungguhnya Aku yang menurunkan al-Qur’an dan Aku pula yang akan menjaganya”. Jaminan Allah harus diyakini kesahihannya lebih daripada jaminan ilmuwan atas kebenaran yang didasarkan atas fenomena alam semesta beserta isinya.
DAFTAR PUSTAKA
Brouwer, Latar Belakang Pemikiran Barat, (Bandung: Penenrbit Alumni, 1982). Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (New Jersey: Adams Littlefield, 1979). Daoed Joesoef, “Pancasila, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan,” dalam Pancasila sebagai Orientasi Pengembangan Ilmu, (Yogyakarta: B.P. Kedaulatan Rakyat, 1987). Frederich Sontagg, The Element of Philosophy, (New York: Charles Schribner’s Son, 1984) Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992). Rizal Muntasyir, Pengantar Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Diktat Kuliah pada Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, 1999). Slamet-Iman-Santoso, Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Sastra Hudaya, 1977).