PANDANGAN FILOSOFIS MANUSIA : PERSPERTIF ISLAM UPAYA AWAL MENGIDENTIFIKASI MANUSIA DARI SUDUT PSIKOLOGI ISLAMI Oleh Mujidin Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta Abstraksi Syarat suatu aliran atau Madzhab Psikologi, setidaknya harus memenuhi criteria bahwa aliran itu mempunyai pandangan filosofis yang khas tentang manusia, ada konsep dasar tentang model dan mekanisme kepribadian, ada tujuan dan metode serta terapi khas dari aliran itu serta apa sumbangan aliran itu bagi psikologi dan masyarakat pada umumnya. Islam, apabila digali secara cermat dan mendalam memenuhi kriteria di atas, oleh karenanya dalam Islam ada atau bisa disebut sebagai aliran tersendiri yaitu aliran Psikologi Islami. Namun kesimpulan tersebut harus mendapat legitimasi yang Ilmiah, dan karenanya para psikolog Muslim atau setidaknya psikolog yang berada di lembaga atau fakultas Psikologi yang di bawah naungan Lembaga Islam ditantang untuk meneliti dan menuiskannya Tulisan singkat ini mencoba menggali pandangan Islam tentang filsafat manusia . Islam sebagai ajaran maupun secara filosofis mempunyai pandangan yang khas tentang manusia, yang berbeda dengan pandangan dari aliran filsafat maupun psikologi. Perbedaan yang sangat menonjol adalah pandangan Islam tentang asal dan unsur penciptaan manusia yang berasal dari tanah ( min Thin) dan Ruh (NYA). Pusat kendali manusia menurut Islam bukan pada akal apalagi inderanya , tapi manusia harus dikendalikan oleh ruhiahnya. Dan beberapa perbedaan lainnya yang bisa disimak di uraikan di bawah ini, walau tentu hanya garis besar. Kata Kunci : pandangan filosoifs manusia dan Islam
Abstract This brief article tries to search Islam opinion about philosophy of mankind. Islam as teaching and also philosophically has opinion. That is typical about man, is differing from opinion from philosophy stream and also psychology. A real uppermost difference is Islam opinion regarding source and element of creation a man is coming from soil;land;ground (min Thin) and Ruhiyah. Center of a man control according to Islam is not at mind more than anything else, but man must be controlled by its ruhiah. And some other differences will be corrected and elaborated hereunder, although of course only outline. Keyword : philosophic of man and Islam
\ 102[ [
HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
Pendahuluan Maududi (dalam Rahardjo 1987) menyatakan dalam tulisannya yang berjudul The Meaning of the Quran, bahwa tema sentral pembicaran Alquran adalah manusia. Dengan demikian pokok pembicaraan Alquran adalah manusia itu sendiri.. Baharudin (2004) menyatakan bahwa sebenrnya di al-Qur’an kaya sekali istilah-istilah yang apabila dikaji mirip dengan teminologi psikologi. Allah swt. melalui wahyu-Nya menjelaskan kepada manusia tentang diri manusia dan dunianya. Namun manusia-bahkan seorang pemikir muslim sekalipun-kerapkali dalam berbagai zaman lebih banyak membicarakan soal-soal lain tetang sesuatu di luar dirinya (dari ekonomi-teknik sampai tentang fisika jagad raya) Mereka begitu paham seluk beluk dan anatomi serta mekanismenya (mekanisme kerja alam semesta misalnya) sampai lupa atau tidak pernah memikirkan dan merenungkan tentang diri, kedudukan dan misi yang diemban dirinya di dunia ini. Atau kadang manusia terjebak pada melihat dirinya hanya dengan satu misi, tugas hidup dan satu dimensi penglihatan (hanya sebagai makhluk ekonomis, politik ataupun hanya makhluk teknologi saja, dan lain-lain). Inilah yang oleh Moeljarto (1986) disebut dengan proses unidimensionalisasi manusia. Manusia dalam hidupnya hanya memakai satu cara pandang saja dan oleh karenanya hanya peka dengan rangsanganrangsangan yang sesuai dengan fokus perhatiannya. Padahal sebagaimana dirasakan dan dialami manusia adalah multidimensi dan unimultiplek (satu dengan banyak komplek/ unsur ada didalamnya). Kita sudah seharusnya jangan memakai satu dimensi, dan kita seharusnya berpikir dan memikirkan tentang luar diri setelah kita merenung dan berpikir tentang dirinya (Q.S. 51: 21). Dalam konteks yang luas Gandhi (dalam Raharjo ‘ 1987) dalam bukunya My Religion menulis bahwa orang Barat telah Pandangan Filosofis Manusia........ (Mujidin)
berhasil mencapi prestasi besar bagi orang lain (non-Barat), namun demikian menurutnya manusia Barat tidak mampu melakukan refleksi terhadap dirinya sendiri dan hal ini cukup untuk mengungkapkan kegagalan yang mencolok dari peradaban modern Barat. Dengan nada yang mirip Nasr ( 1990) menyatakan bahwa hanya ada satu kenyataan di dunia ini yaitu pengetahuan tentang diri sendiri. Orang yang memiliki pengetahuan tentang dirinya ini akan mengetahui Tuhan beserta makhluk- makhlukNya. Orang yang tidak memiliki pengetahuan ini (tentang dirinya) tidak memiliki pengetahuan juga. Dekadensi humanistik pada zaman modern ini adalah karena manusia telah kehilangan pengetahuan langsung tentang diri dan keakuan yang senantiasa dimilikinya, karena ia bergantung pada pengetahuan eksternal yang tak langsung berhubungan dengan dirinya, yaitu pengetahuan yang hendak dicarinya diluar dirinya. Pencarian Kemanusiaan Manusia Pertanyaan Socrates yang sederhana tetapi sampai sekarang-bisa jadi-paling sulit jawabannya adalah : “Siapakah saya?” Pergulatan dan pencarian esensi kemanusiaan ini menelorkan suatu istilah yang sudah ada sejak dulu tetapi belakangan paling populer dan bagi masyarakat “Barat” sekarang menjadi semacam “Agama bar u” yaitu istilah “humanisme”. Walaupun kata yang dipakai satu, yaitu sama-sama humanisme, namun ternyata banyak menelorkan berbagai aliran. Hal ini terjadi karena cara pandang dan kepentingan serta epistemologinya yang berbeda. Syari’ati (dalam Hadimulyo, 1987) membedakan empat kategori humanisme, yaitu: pertama, Humanisme menurut pengertian Liberalisme Barat, kedua, humanisme menurut pengertian Marxisme, ketiga, humanisme Eksistensialis, dan keempat, humanisme Agama. \ 103[ [
Liberalisme Barat menganggap bahwa humanisme yang dikenal selama ini merupakan prinsip-prinsip filsafat moral dan kultural yang secara bersambung telah berkembang sejak zaman Yunani Kuno. Humanisme Barat berawal dari perspektif mitologis Yunani Kuno yang memandang bahwa manusia selalu dalam perlawanan dan bersaing dengan dewa-dewa. Dewa-dewa merupakan kekuatan antihuman, dengan kekuasaan tiraninya selalu berusaha membelenggu kebebasan, kemerdekaan dan kedaulatan manusia. Menurut mitos Yunani kuno kekuasaan dewa-dewa tercermin dalam kekautan alam, seperti laut, sungai, gunung merapi, hujan, gempa bumi, badai dan semacamnya. Pada pokoknya pertarungan dewa-dewa dengan manusia adalah kenyataan adanya pertentangan antara dominasi alam dan kemampuan manusia. Untuk menunjukkan superiritasnya, manusia berusaha menguasai alam, tidak mengakui kekuasaan para dewa dan berjuang untuk sampai kepada pandangan antroposentris yang universal. Pandangan antroposentris yang seperti ini akhirnya cenderung mengarah pada pandangan hidup yang mendunia, yang pada akhirnya sampai kematerialisme. Humanisme Marxisme tidak jauh berbeda dengan pengertian humanisme liberal Barat. Bedanya, ia merupakan reaksi dari kekuasaan gereja yang begitu kuat berkuasa pada waktu itu. Perbedaan lain ialah untuk mencapai tingkat harkat kemanusiaan yang tinggi menurut liberalisme, manusia harus bebas berpikir, melakukan penelitian ilmiah, kegiatan intelektual dan ekonomi produksi. Sedangkan menur ut Marxisme, justru kemanusiaan akan tercapai dengan kepemimpinan yang diktator, ideologi tunggal, keseragaman yang monoton, organisasi tunggal dan menolak kebebasan. Masyarakat manusia tanpa kelas sosial adalah cita ideal humanisme Marxisme. Hak-hak individu yang begitu dihor mati oleh Liberalisme, sebaliknya menurut Marxisme dihapuskan melebur ke \ 104[ [
dalam hak-hak bersama. Kutub pandangan ini menimbulkan pertentangan yang hebat, sehingga muncul antara lain apa yang disebut eksistensialisme. Humanisme Eksistensialisme berpandangan bahwa kebebasan dan penguasaan manusia atas alam mencapai suatu titik sehingga cenderung mengakibatkan hancurnya kemanusiaan. Hidup manusia akhirnya terperangkap pada hasil penguasaan alam dan ilmu serta teknologi yang dihasilkannya. Manusia dilihat hanya sebagai salah satu faktor produksi, sementara ia terjebak pada sistem yang tidak manusiawi, manusia menjadi budak mesin dari hasil ciptaannya sendiri. Disinilah tokoh-tokoh Eksistensialis meneriakkan jeritan mereka, agar manusia menyadari eksistensi dirinya sendiri sebagai manusia, bukan hanya robot yang dikendalikan oleh sistem yang membelenggu kebebasan manusia. Sedangkan Humanisme Agama lebih menitikberatkan pandangannya pada falsafah penciptaan. Manusia diciptakan oleh Tuhan dan oleh karenanya ia mempunyai hubungan yang unik dengan Tuhannya. Manusia dari perspektif religius ini dapat juga dibedakan antara yang menganggap ketinggian harkat dan nilai manusia, di samping ada yang mencerminkan kerendahan manusia. Ternyata pencarian yang paling intens sekalipun tentang dirinya bagi manusia tidak melahirkan konsep yang cukup komprehensif dan universal. Liberalisme Barat ternyata pencariannya terjebak menjadi pemuja ilmu dan teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiaan tereduksi, kemudian terperangkap pada jaringan sistem rasionalitas teknologis yang sangat tidak human. Marxisme membawa mereka pada kehampaan spiritual kemanusiaan manusia yang pada akhirnya mereka kehilangan visi keilahiannya. Tidak terlalu jauh juga hasil pencarian Humanisme Eksistensialis, melahirkan manusia bingung, ahli berpikir HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
LIBERAL BARAT
MARXISME
HUMANISME
-
Mitos/Dongeng Yunani Kuno Manusia Versus Dewa Manusia Menguasai Alam Cenderung ke Materialisme Bebas Berpkir Penelitian Ilmiah Intelektual Ekonomi produksi
-
Rekasi atas Kapitalisme Reaksi terhadap Gereja Ateis Masyarakat tanpa kelas Menolak kebebasan Doktator Proletariat Ideologi Tunggal Keseragaman monoton Organisasi Tunggal
EKSISTEN SIALISME
- Bebas memilih - Mencipta dan membangun realitas - Reaksi Kapitalis - Reaksi Gereja
AGAMA
- Filsafat penciptaan - Penciptaan manusia - Hubungan yang unik antara mannusia dan Sang Pencipta
Gambar 1. Manusia dari perspektif religius
yang gila karena akhirnya mereka juga meniadakan adanya Tuhannya. Kesemua mereka mengalami “kebingungan”, karena mereka tidak meamaki “huda-Allah”. Kendatipun manusia adalah makhluk yang satu-satunya diberi kesadaran tentang diri dan alamnya, tetapi untuk memikirkan tentang diri yang paling esensi tidak akan sampai menghasilkan yang terbaik dan teresmpurna kecuali pencarian kita berdasarkan infromasi tentang manusia dari pencipta kita yaitu Allah sw. lewat Alquran.
Pandangan Filosofis Manusia........ (Mujidin)
Manusia Mahluk Perspektif Islam
Serba
Dimensi:
Tidak ada makhluk didunia ini yang selengkap dan sesempurna yang dimiliki manusia (Q.S 17:70; 95:4) dalam unsur, kapasistas ataupun kelengkapannya. Setidaknya dalam dimensi-dimensi berikut : 1. Fisikalitas dan Mentalitas Manusia “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati (berasal) dari tanah (Q.S. 23: 12)
\ 105[ [
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari sari pati air yang hina (mani). Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan kegalam (tubuh) manusia, Ruh (ciptaan)-Nya …(Q.S. 32: 7-9). Al Ghazali mengutarakan teori tentang penciptaan manusia berdasarkan ayat tersebut di atas. Pembentukan, menurut Al Ghazali, merupakan suatu proses yang timbul di dalam materi yang cocok untuk menerima ruh. Materi itulah yang merupakan sati pati tanah (yang melalui proses yang unik pada tubuh manusia menjadi air mani). Ketika terjadi pertemuan antara badan dan ruh, maka terbentuklah suatu bentuk baru yang disebut manusia. Dengan peniupan nutfah oleh cahaya ruh (Allah) ke dalam banda, maka terjadilah penghidupan. Dalam Islam, menurut Al Ghazali (dalam Mudzasie, 1987), juga Haeri ( 2004) segala sesuatu yang ada di dalam diri manusia dari seleranya yang terendah sampai tujuan yang tertinggi masing-masing mempunyai tempat dan tujuan. Sifat-sifat tersebut selalu diingatkan dengan dua bisikan hati:
mendapatkan kepuasan diri tanpa menghiraukan perkembangan pribadi yang utuh (nafsu), atau mendapatkan kebahagiaan dengan memperhatikan keselarasan pribadi. Dengan bahasa dan cara mengurai yang sedikit berbeda, Syaria’ati ( 1995) mengemukakan teori tentang penciptaan manusia dari titik tolak yang sama, yakni bahwa manusia pada dasarnya diciptakan dari dua unsur yang berbeda, yaitu ruh Tuhan dan tanah (Shalshal kal fakhar = lumpur) (Q.S. 55 : 14). Makna simbolis dari pengertian di atas, menurut Ali Syari’ati adalah bahwa manusia itu mempunyai dua dimensi, dimensi ketuhanan dan dimensi kerendahan atau kehinaan, sedang makhluk lain hanya mempunyai satu dimensi. Dalam pengertian simbolik tanah/lumpur menunjuk pada kerendahan (dibawah dan diinjak), kehinaan, keburukan, tidak berarti, stagnan dan mati. Sedang dimensi Rabbani adalah tinggi, suci dan mengajak manusia cenderung untuk mendekatkan diri kepada-Nya, guna mencapai ruh Tuhan (sifat kerabbaniyahan) (Q.S. 3: 79). Karena hakikat kejadian manusia pada satu saat dapat mencapai derajat yang
MANUSIA
TANAH (MINTHIN)
RUH TUHAN
KEBEBASAN BERKEHENDAK
SESUATUYANG TINGGI SESUATUYANG SUCI SELALU MENUJU KEKEBAIKAN FITROH
\ 106[ [
SESUATU YANG DIBAWAH,KOTOR, KONGKRIT MENGAJAK KE KEJELEKAN
HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
tinggi, tetapi pada saat lain dapat saja meluncur ke dalam derajat kerendahan dan kehinaan yang sangat dalam dan paling rendah. (Q.S. 95: 5). Skema dibawah ini mempermudah pemahaman kita : 2. Individualitas dan Sosialitas Manusia Berbeda dengan paham liberal, yang memberi kesempatan yang sebesarbesarnya kepada individu, dan kurang mengindahkan kehidupan sosial. Berbeda pula dengan sistem sosialis-komunis, dimana individu kurang diberi kesempatan berkembang dan lebih mementingkan serta menonjolkan kehidupan bersama, Islam memberi kesempatan berkembang yang sama kepada dua aspek itu (individu dan sosial/kemasyarakatan). Islam memberi hak sepenuhnya kepada individualitas manusia, apa yang dikerjakannya adalah merupakan tanggung jawab sepenuhnya diri mereka sendiri (Q.S. 41:46), barang siapa yang berbuat dosa/salah, maka dosanya akan
kembali kedirinya dan tidaklah seseorang akan memikul dosa orang lain (Q.S. 6:164, dan barang siapa berbuat baik maka kebaikannya untuk diri sendiri (Q.S. 10: 26-27), tak boleh hanya karena ikutikutan (Q.S. 17: 36). Setan yang kita ikuti (karena kita mengikuti hawa nafsu atau mengikuti perbuatan setan) di akhirat nanti pun dia cuci tangan (sedikitpun setan tak mau bertanggung jawab, perkataan setan kelak diakhirat : “….Kami telah menyesatkan mereka sebagaimana kemi sendiri sesat, kami menyatakan berlepas diri dari mereka…” (Q.S.28: 63). Kita nanti akan datang menghadap Tuhan sendiri-sendiri (Q.S. 19: 80, maka… takutlah pada suatu hari yang pada hari itu seorang bapak tak dapat menolong anaknya dan sebaliknya (Q.S.31: 33). Dalam hidupnya, manusia memerlukan berbagai macam kebutuhan yang harus dipenuhi, dan pemenuhan terhadap berbagai macam kebutuhan itu
MASYARAKAT
POLA QOBIL (PENGUASA)
Pemilik Qorun
Raja Fir’aun
Arisokrasi Hamam/Balaan
POLA HABIL (DIKUASAI)
Rakyat
Tuhan
Agama Kemakmuran Mutraf
Kekuasaan Mala
-
Arketisme Rahib
Dominasi Eksploitasi Tipu daya Hormat
- Peraturan Milaiknya = peraturan milik rakyat - Harta milik Allah = eraturan milik rakyat - Ka’bah = Bait al-atiq = Baitullah
Gambar : Dialektika Historik cerita Qabil dan Habil
Pandangan Filosofis Manusia........ (Mujidin)
\ 107[ [
ternyata tidak dapat dipenuhi secara individu, oleh karenanya diperlukan kerjasama dan pembagian kerja di antara manusia untuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan perkataan lain eksistensi manusia hanya bisa terwujud karena dibantu dan saling melengkapi dengan keberadaan orang lain, atau dengan demikian eksistensi hanya mungkin melalui hidup bermasyarakat, jadi mau tidak mau masyarakat manusia itu terbentuk. Namun karena perbedaan cara pandang tentang diri dan kehidupan berbeda pula corak serta bentuk masyarakat. Ali Syari’ati membedakannya berdasarkan dialektika historik yang terdapat dalam Alquran surat 5 ayat 27 yaitu tentang cerita Qobil dan Habil 3. Manusia sebagai Hamba Sekaligus Khalifah di Muka Bumi Dalam Alquran manusia di samping disebut dengan kata insan, disebut juga dengan kata basyari. Insan dipakai untuk menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, sedang basyar dipakai untuk menunjuk pada dimensi alamiahnya, yang menjadi ciri pokok manusia pada umumnya, yaitu makan, minum dan mati (Musa Asy’ari, 1992: 21). Pengertian keduanya merupakan suatu kesatuan makna, manusia disebut manusia karena kesatuan akal dengan tindakannya. Karena fungsinya manusia sebagai insan yang menunjuk pada kualitas pemikiran dan kesadaran, maka manusia sebagai khalifah (pemimpin) segala makhluk di muka bumi, yang mendapat mandat untuk memakmurkan dan memakai segala fasilitas yang ada dibumi dan karena perannya pula ia menerima pelajaran dair Allah tentang apa yang belum ia ketahui (Q.S. 96: 4-5), keterangan yang logis (Q.S. 55: 3-4). Pemakaian kata basyar, mempunyai hubungan logis\ 108[ [
fungsional dengan kata ‘abd (hamba). Basyar disini dipahami dalam pengertian manusia dalam bangun struktur tubuhnya (fisik), dan secara fisik manusia tunduk dan patuh pada dorongan kekuatan alamiahnya; tubuh manusia terbatas dan mengikuti hukum-hukum yang pasti : lahir, tumbuh berkembang dan mati. 4. Kekini-Realitasan dan Transendentalitas Manusia Manusia sebagai basyar seperti diterangkan di atas memang terbatas pada ruang dan waktu, hidup dan mati, makan dan minum sama seperti makhluk hidup lainnya, dia terkena hukum alam (sunatullah), dan hidupnya dibatasi oleh ruang fisis. Tetapi manusia berbeda dengan makhluk lainnya. Manusia diberi indera, inteligensia dan intuitif (hati) (Q.S. 32: 9). Dengan inderanya manusia menangkap data-data empirik (yang bisa dilihat oleh indera manusia) dan menemukan sebuah kebenaran sensual. Dengan intelegensi yang paling tinggi diantara makhluk-Nya yaitu dengan penalaran akalnya (tampilan fisis-ada otak), manusia menemukan kebenaran logis. Yang paling penting dengan tiupan ruh-Nya yang dalam tampilan fisis diwakili oleh hati manusia, manusia (bisa) menemukan kebenaran spiritual/ transedental. Sebagaimana dikemukakan oleh Noeng Muhadjir (1994 : 48) bahwa : “Kebenaran menawarkan strtifikasi kebenaran menjadi empat, yaitu : kebenaran sensual, kebenaran logik, kebenaran transedental. Meskipun tampil empat strata kebenaran, tetapi secara folosofik kita mengakui kebenaran itu tung gal, dalam tampilan multifaset. Suatu kebenaran mungkin saja tampil menonjol pada strata sensualnya, atau lebih jauh lagi pada strata etiknya dan seterusnya. Tiga kebenaran yang pertama kami sebut sebagai kebenaran insaniah, karena HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
Sebagaimana telah diutarakan pada sub bagian di atas bahwa dalam diri manusia ada unsur tanah, sekaligus ada Ruh (ciptaan) Allah, yang menjadikan dalam diri manusia ada kecenderungan fasiq (membawa kerusakan, kehancuran dan kehinaan) dan ada
kecenderungan taqwa (Q.S.91: 8-10; Q.S. 16: 36; Q.S. 42: 7). Dan oleh karenanya Allah swt. memberi dan memuat dua buah jalan untuk manusia (Q.S. 90: 10), yakni jalan kebaikan yang digambarkan dalam Alquran sebagai jalan yang mendaki lagi sukar (Q.S. 90:11-12) dan karenanya sedikit orang yang secara konsisten mengikutinya. Sedang jalan yang buruk, walaupun membawa kesengsaraan, banyak menarik hati manusia (Q.S. 5: 100), maka banyak orang yang mengikutinya. Namun pilihan mana yang akan ditempuh oleh manusia, adalah benar-benar hak mutlak manusia, Allah swt memberi kebebasan sebebas-bebasnya manusia untuk menentukan pilihannya, sama sekali tak ada paksaan dalam Alquran seperti yang tercantum dalam surat 2 ayat 256 (Laa ikraha fiddin), dan secara eksplisit disebutkan juga : “Dan katakanlah, bahwa kebenaran itu datangnya dari Allah swt., barang siapa yang ingin beriman hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin kafir biarlah kafir. Ada freedom of choice (kebebasan memilih) yang mutlak dalam diri manusia. Manusia dengan peralatan yang diberikan Allah swt kepadanya (dari kecanggihan indera sampai transparannya kalbu menangkap data yang tidak bisa ditangkap oleh otak), bisa sampai pada dataran (maqom) melebihi derajat malaikat, tetapi apabila alat yang super canggih itu (kalbu) tidak dipakai, akan terjungkal menjadi makhluk yang paling hina (Q.S. 95: 4-5) walaupun ia pandai dalam menemukan kebenaran 1,2, dan 3. Manusia tipe ini tetap disebut sebagai manusia bodoh (Q.S. 6: 111), bahkan diumpamakan seperti binatang yang paling hina (Q.S. 8: 22, 55; Q.S. 7: 179; Q.S. 2: 171). Kelengkapan alat manusia untuk berimpit dengan sifat-sifat kerobbabian Tuhan (Q.S. 3: 79), dikembangkan secara baik oleh para sufi, sampai Al Hallak menyatakan Anaalhaqqu. Baik Haeri (2004) maupun Wilcox(006) berpendapat bahwa dikalangan ahli sufi, pengetahuan Tuhan yang langsung
Pandangan Filosofis Manusia........ (Mujidin)
\ 109[ [
memang produk budaya manusia. Sedang kebenaran yang keempat kami sebut sebagai kebenaran Ilahiah (kebenaran Qauliyah). Pembuktian kebenaran 1,2 dan 3 (kebenaran insaniah) bisa dibuktikan didunia ini lewat metode dan pendekatanpendekatan yang banyak kita kenal dalam dunia ilmu pengetahuan, misalnya dengan eksperimen, verifikasi dan metode berpikir logis-ilmiah, dan oleh karenanya kebenarannya langsung dibuktikan di dunia ini, makanya bersifat duniawiah. Sedangkan kebenaran yang keempat pembuktiannya kelak diakhirat (walaupun tanda-tandanya sudah diberitahu Allah swt. lewat Alquran). Kebenaran pertama (sensual) oleh Alquran disebut ‘Ainul Yaqin (‘Ain = mata) (Q.S. 102: 7), sedang kebenaran kedua disebut ‘Ilmul Yaqin (Q.S. 102: 5), bukankah cara pikir yang sistematis menghasilkan ilmu pengetahuan, sedang kebenaran yang keempat oleh Alquran disebut Haqqul Yaqin (Q.S. 102: 8, 22: 46). Kalbu inilah perangkat canggih (bukan otak) yang akan dapat merasakan dan membuktikan kebenaran diakhirat nanti (Q.S. 50: 22). Adapun unsur lainnya yang dimiliki oleh manusia yaitu anggota badan dan otak adalah saksi nanti di akhirat (Q.S. 36: 65). Dan inilah hakikat paling esensi bahwa manusia adalah makhluk yang mendunia sekaligus makhluk akhirat. Tabel dibawah mudah-mudahan bisa membantu meringkas uraian singkat di atas. Hubungan Antardimensi dan Tugas-tugas Manusia
merasuk kedalam diri manusia inilah yang pernah ditawarkan Tuhan kepada langit, bumi dan gunung, tetapi ternyata semuanya tidak sanggup untuk mengembannya (Q.S. 33: 72), kecuali manusia, karena padanya juga ada unsur lahuut, yakni ruh Tuhan. Keberadaannya yang mempertemukan Tuhan dengan ruh manusia dalam hati seorang sufi. Apabila tajalli jatuh disebuah gunung ditengah padang, maka dia akan hancur seperti bulu domba beterbangan (Q.S. 59: 21). Tetapi perlu dijelaskan disini bahwa yang menyatu dengan sufi bukanlah zat Tuhan, melainkan aktualisasi dari sifat dan laku atau af ’al-Nya. Yang mutlak tak bisa dibawa ke pemunculan-pemunculan atau tamsilan-tamsilan, seperti orang yang melihat refleksi matahari di dalam air, tidak bisa ia menyatkan dirinya telah melihat hakikat matahari. Manusia yang tidak mengembangkan kemanusiaannya oleh Al-quran bahkan disebut sebagai kayu yang tersandar (Q.S. 63: 4). Tanaman yang telah ditunai (Q.S. 21:15), mereka lebih rendah dari binatang ternak sekalipun (Q.S. 7: 179).. Ibnu Khaldun ( dalam Taufiq, 2006). Karenanya membagi manusia dalam tiga jenis. 1. Manusia yang perilakunya lebih mengacu pada sisi logis dan sistem inderawinya. Jenis manusia seperti ini adalah jenis manusia kebanyakan. 2. jenis manusia kedua adalah jenis manusia yang perilkunya tidak mengacu pada instrumen tubuh, atau ia melebihi batas logis hingga ia bisa mengetahui banyak hal yang tidak terbatas. Hal ini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang tertentu yang mempunyai ilmu laduni atau pengetahuan yang didapatkan langsung dari Tuhan. 3, Jenis manusia yang ketiga, adalah manusia yang mampu melepaskan sisi manusia secara global. Fisik dan ruhnya disejajarkan dengan malaikat, di puncak tertinggi kesadaran. Oleh karena itu Al-quran juga mengutarakan bahwa, orang yang memilih jalan yang baik maka perbuatan yang paling \ 110[ [
sedikit pun tak akan disia-siakan Allah dan dia berhak mendapat surga. Sebaliknya telah disediakan bagi barangsiapa yang menempuh jalan keburukan api neraka yang gejolaknya mengepung mereka, dan jika mereka meminta minuman akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih (Q.S. 18:29-31). Sudah seharusnya dengan pilihan dan konsekuensi dari penentuan pilihan itu, manusia akan memilih untuk menyebarkan kebaikan, memerangi kemungkaran (Q.S. 3:104) agar tercipta suatu dunia yang damai, tentram yang dalam konotasi Alquran dengan istilah Baldatun Toyyibatun warobbun ghoffur (Q.S. 34:15). Apabila yang menang dan berkuasa adalah golongan yang membawa panji-panji kemungkaran, maka akan kacaulah dunia ini (Q.S. 8: 73), mereka menjadikan keburukan sebagai suatu kebaikan dan kebaikan dianggapnya sebagai keburukan (Q.S. 9: 67), mereka menganggap perbuatan jelek sebagai perbuatan baik (Q.S. 18: 104). Suasana seperti ini kadang disebut dengan suasana dimana tuntunan (agama Islam) sebagai tontonan, dan tontonan malah dianggap sebagai tuntunan. Karena itulah Allah swt hanya mempusakakan bumi ini kepada hamba-hamba-Nya yang saleh (Q.S. 21: 105; Q.S. 10: 73). Maknanya adalah, bahwa ketinggian budi pekerti itu (Ruh Tuhan) harus dimenangkan, jangan memenangkan hawa nafsu yang rendah (unsur tanah dalam diri manusia). Dalam pergulatan kemanusiaan juga kita harus menciptakan pribadi yang tinggi kualitasnya sekaligus pribadi yang mempunyai kapasitas sosial yang memadai: “… Mereka (orang-orang Ansor)s mencintai orang yang berhijrah (Muhajirin) kepada mereka. Mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka, dan mereka mengutamakan orang Muhajirin atas diri mereka, walaupun mereka memerlukan apa yang mereka berikan itu.” (Q.S. 59: 9). Sedangkan kita, sistem kapitalisme semakin berhasiil, berarti juga semakin individual. HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
(Antara Orang Sehat Mental dengan Sakit Mentalnya). Yang membedakan sesorang sehat atau tidak, batasnya dibedakan oleh syahadah. Hanya Allah yang menjadi rabb, pelindung dan tempat ikatan mental dan jiwa satu-satunya. Pernyataan ini kita kenal dengan kalimat tauhid “La Ilaha Illallah”, yaitu sebuah ikrar yang mempunyai pengertian yang sangat luas dan mendalam. Mengandung tauhid yang jelas dan tegas, yaitu konsepsi mengesakan Allah dengan segala dimensi keesaan-Nya, Rububiyatullah, Mulkiyatullah dan Illahiyatullah. Dibagian bawah ini kita coba jelaskan secara ringkas hakikat serta dampak syahadatin dalam kehidupan insan seorang muslim. a. Hakikat dan Dampak Dua Kalimat
Syahadat Ikrar “La Ilaha Illallah” dan “Muhammad Rasulullah” bila dipahami secara benar tentu akan memberikan dampak positif kepada setiap muslim yang antara lain dapat diukur dari dua sikap yang dilahirkan, yaitu cinta dan rida. Dia harus memberikan cinta yang pertama dan utama sekali kepada Allah swt kemudian kepada Rasulullah saw dan jihad fi sabilillah (Q.S. 2: 165; Q.S 9: 24). Dia harus menempatkan cinta kepada anak-anak, pasangan hidup, saudara-saudara, ketur unan-keturunan, harta benda, pangkat dan sebagainya kepada Allah dan Rasul-Nya. Bila tidak, cintanya akan ambruk, jatuh tak bernilai, dan dia sendiri akan mendapatkan sanksi dari Allah (Q.S. 9: 24). Disamping itu, dia harus rida dengan segala keputusan dan aturan Allah dan Rasul-Nya, ridha lahir bathin, tanpa sedikitpun ada rasa tidak puas dihatinya (Q.S. 4: 65). Cinta dan rida itu diwujudkan dengan taat kepada Allah dan RasulNya (Q.S.3:31 dan Q.S 4: 64, 65, 80). Taat kepada Allah danRasulNya hanya dapat direalisasikan secara benar dengan mematuhi semua ajaran Islam, sebagai satu-satunya agama yang benar dan diridai oleh Allah swt.s (Q.S. 3: 19,83). Dalam beragama Islam, Rasulullah saw., harus ditempatkan sebagai contoh tauladan (Q.S. 33: 21), Allah sebagai sumber segala sesuatu, menugaskan Rasulullah saw untuk memenangkan agama Islam dari semua agama yang ada. Beliau dibekali dengan huda dan dienul haq (Q.S. 9:33; Q.S. 48: 28; dan Q.S. 61:9). Sebagai dampak dari syahadatain, tiga unsur pokok yang dimiliki manusia (hati, akal dan jasad) akan mendapat shigbhah (celupan) Allah (Q.S. 2:138).
Pandangan Filosofis Manusia........ (Mujidin)
\ 111[ [
Konsep Kesehatan Jiwa/Mental Menurut Alquran Salah satu konsep yang utama dalam Islam kaitannya dengan pembentukan kepribadian manusia adalah konsep tauhid. Tauhid adalah konsep sentral kaitannya dengan eksistensi manusia. Manusia sehat dalam konsep Islam adalah apabila manusia tersebut mempunyai aqidah (konsep teosentris) yang shoheh. Dan karena manusia yang sakit adalah manusia yang salah dalam fondasi kepribadiannya,karena tauhidnya bengkok. Karenanya dalam Alquran tidak dikenal istilah psikoneurosis, apabila psikosis. Psikoneurosis (umpama) yang kita banyak kenal sekarang adalah hanya efek saja dari sebuah pribadi/ jiwa yang tidak benar cara bersandarnya atau bertauhidnya. Dalam alquran malah banyak kita kenal isitilah kafir, munafik dan fasiq sebagai sebuah bentuk kelainan perilaku (tauhid). Boleh jadi orang itu sehat sekali secara fisik-inderawi dan cerdas-rasional berpikirnya, namun apabila pekak kalbunya, mati hatinya, ini adalah salah satu bentuk orang yang tidak sehat jiwanya. Syahadat Sebagai Batas Pembeda
Dari batas pembeda itu kita kenal dua golongan besar yaitu : 1). Golongan orang yang beriman, yang dilihat dari intensitas keberimanannya diberkan lagi dalam : a). Muslim (Q.S. 49:14; Q.S. 2: 131) b). Mukmin (Q.S. 49: 15; Q.S. 8: 24) c) Muhsin (Q.S. 2: 112; Q.S. 4: 125) d). Muhlisin (Q.S. 15: 40; 16: 99-100; 17: 62-64) e). Muttaqien (Q.S. 19: 85,97’; Q.S. 21: 48) 2). Golongan yang tak beriman (musyrik yang menyekutukan Allah swt), yang menurut intensitas ketidakberimanannya kepada Allah swt dapat kita bedakan dalam beberapa tingkatan yaitu : a). Fasiq (Percaya pada-Nya tetapi tidak mau diatur dengan Alquran) (Q.S. 5: 47.59; Q.S. 9: 24; Q.S. 2:99). b). Munafik (Perkataan-lisannya beriman kepadaNya dan bisa jadi kadang melakukan perbuatan seorang muslim misalkan salat, tetapi hatinya tak beriman padaNya) (Q.S. 2: 8-20; Q.S. 63: 1-5, dll). c). Kafir (orang yang ingkar kepadaNya) (Q.S. 2: 6-7; Q.S. 4: 136, dll). d). Musyrik (orang yang menyekutukan Allah swt) (Q.S. 2:105; Q.S. 4:48, 116; Q.S. 5:72 dll). Bentuk psikosis yang ada pada seorang musyrikin atau kafir dengan psikoneurosisnya atau kafir dengan psikosisnya yang kita lukiskan dalam tulisan ini belum tentu dalam bentuk gila yang kita kenal seperti sekarang. Tetapi yang kita maksud adalah dia mempunyai perilaku gila dengan mau membunuh seenaknya orangorang yang menyebarkan kebenaran (Q.S. 22: 40; Q.S. Q.S. 8:30; Q.S. 27: 56), \ 112[ [
walaupun orang yang menyebarkan kebenaran (muslim) itu sama sekali tidak menyerang mereka. Inilah hakikat psikosis yang sebenarnya dan lebih berbahaya. Begitu pula beberapa penjelasan penyakit jiwa menurut dimensi Alquran. Namun dalam kenyataanya makna terdalam dari agama tidak ditemukan . Rakhmat (2003) menyatakan bahwa agama adalah suatu kenyataan terdekat sekaligus misteri terjauh. Misteri karena agama kadang memotivasi kekerasan tanpa belas, namun juga mengilhami pencarian ilmu tertinggi. Namun hanya orang-orang yang bertauhid dan beragama yang sampai hakekat saja yang bisa menemukan misteri agama. Maka Syahmuharnis dkk.(2006) menyatakan hanya dengan kesadaran tauhid ( kesadaran transendental) manusia bisa menjadi manusia yang unggul dan berakhlak mulia. Ini berarti bahwa orang yang tidak memakai kesadaran tauhidnya dan hanya kesadaran akal atau bahkan kesadaran inderawinya , manusia akan jatuh derajatnya melebihi binatang (Q.S. 7 : 179). Kesimpulan Uraian secara lengkap dan ilmiah tentang perilaku menyimpang atau mental perilaku menyimpang atau mental yang tak sehat dari dimensi Alquran, dalam makalah ini masih belum dikembangkan secara panjang lebar, hanya sedikit disinggung secara garis besar dan oleh karenanya perlu diterangkan secara rinci dalam tulisan lain. Begitu juga tentang dimensi-dimensi manusia yang diterangkan di atas hanya diuraikan yang pokok dan itupun diuraikan secara garis besar. Kecenderungan positif dan negatif menausia yang diturunkan dalam tulisan ini pun belum mencerminkan derivasi dari uraian tentang dimensi itu, oleh karena itu tulisan ini jauh dari sempurna, tetapi bagaimanapun penulis berharap tulisan ini bisa bermanfaat bagi pembaca. HUMANITAS Vol. 3 No. 2 Agustus 2006
Daftar Pustaka Baharudin, (2004). Paradigma Psikologi Islami : Studi tentang Elemen Psikologi dari Qur’an: Yogyakarta: Pustka Pelajar Basaroedin, S. (1994). Kepribadian Seorang Muslim dan tolok Ukur Perkembangannya Sejalan dengan Pertumbuhan Umurnya: Sebuah Perspektif Tasauf Islam. Makalah dalam Simposium Psikologi Islami, UMS Surakarta. Bastaman, H.D. (1994). “Dimensi Spriritual dalam Teori Psikologi Kontemporer” (Logoterapi Victor E. Frankl). Dalam Jur nal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul Qur’an. No.4 Vol. V tahun 1994. Jakarta: LSAF dan ICMI.
Muhadjir, N. (1994). Metodologi Penelitian Psikologi Islami: dari Filsafat Ilmu sampai Metodologi Penelitian. Makalah dalam Simposium Nasional Psikologi Islami, UMS Surakarta. Mutahhari, M. (1986). Perspektif Alquran tentang Manusia dan Agama. Bandung: Mizan. Nawawi, R.S. Dkk. (2000). Metodologi Psikologi Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Rahardjo, M.D. (Ed). (1987). Insan Kamil, Konsepsi Manusia menurut Islam. Jakarta: Grafiti pers. Rakhmat, J. (2003). Psikologi Agama , sebuah Pengantar. Bandung Mizan
Departemen Agama Republik Indonesia. (1989). Alquran dan Terjemahannya. Surabaya: Mahkota.
Syahmuharnis dan Sidharta. H (2006). TQ : Trancendental Quotient – Kecerdasan Diri Terbaik . Jakarta Repuplika Press.
Hadimulyo. (1987). “Manusia Dalam Perspektif Humanisme Agama: Pandangan Ali Syari’ati. Dalam Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut Islam (Rahardjo, M. Dawam (ED)). Jakarta: Grafiti pers.
Taufiq, M.I. (2006) . Panduan Lengkap dan Praktis: Psikologi Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Haeri, S. F. (2004). Jelalah Diri: Panduan Psikologi Spiritual membangun Kepribadian. (penj : Leinavar) Jakarta : Serambi Ilmu Semesta
Wilcox, L. (2006). Personality- Psychotherapy : Perbandingan dan praktek Bimbingan Konseling Psikoterapi kepribadian Barat dengan Sufi. (Penerj: Kumalahadi P) Yogyakarta : IRGiSOD
Mudatsir, A. (1987). “Makhluk Pencari Kebenaran: Pandangan AlGhazali tentang Manusia.” Dalam Insan Kamil Konsepso Manusia menurut Islam (Rahardjo, M. Dawam)). Jakarta: Grafiti pers.
Tjokrowinoto, M. (1986). Alternatif Perencanaan Sosial Budaya. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Wilcox, L. (2003). Ilmu Jiwa berjumpa Tasawuf: sebuah Upaya Spiritualisasi Psikologi. (Penerj : IG Harimurti Bagoesoka ) Jakarta : Penerbit Serambi Ilmu Semesta
Muhadjir, N. (1994). “Pembidangan Ilmu Agama Islam Pendekatan Teosentrime Humanistik”. Dalam Majalah Suara Muhammadiyah. No:09/79/1994. Yogyakarta: Yayasan Badan Penerbit Pers. Pandangan Filosofis Manusia........ (Mujidin)
\ 113[ [