PANDANGAN AL-QUR’AN TERHADAP PRAKTEK KOLUSI DAN NEPOTISME
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana ( S-1 ) Dalam Ilmu Ushuludin
Oleh : ANA QONITA NIM : 4103009
FAKULTAS USHULUDIN INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2010
PENGESAHAN Skripsi Saudara Ana Qonita No. Induk 4103009 telah dimunaqosyahkan oleh Dewan
Penguji
Skripsi
Fakultas
Ushuluddin Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal: 28 Juni 2010 dan telah diterima serta disyahkan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Ushuluddin jurusan Tafsir Hadits (TH).
Ketua Sidang
Drs. H. Adnan, M. Ag NIP. 19650515 199303 1 003 Pembimbing I,
Penguji I,
Moh. Masrur, M.Ag NIP. 19720809 200003 1 003
Mundhir, M.Ag NIP:19710507 199503 1 001
Pembimbing II,
Penguji II,
(Moh. Masrur, M.Ag) NIP. 19720809 200003 1 00
Hasyim Muhammad, M.Ag NIP:19720315 199703 1 002
Sekretaris Sidang,
Dr. A. Hasan Asy'ari Ulama'i, M.Ag
MOTTO
{ } { } “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orangorang yang melampaui batas.” (Qs. Al-Mukminun : 5 – 7)1
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubah dan menyukai orangorang yang menyucikan diri”. (Qs. Al-Baqarah : 222) 2
1 2
Mahmud Yunus, Tarjamah al-Qur an al-Karim, Bandung PT. al-Ma’aif, 1990, cet-ix, h. 526 Ibid., h. 26
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 14 Juli 2010
Ana Qonita 4103009
ABSTRAKSI Penelitian ini dilatarbekangi oleh adanya beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang persoalan Kolusi dan Nepotisme. Namun selama ini ayatayat tersebut kurang mendapat tempat dalam aspek sebagai dasar hukum maupun dalam lingkup penelitian. Oleh sebab itu perlu adanya penelitian yang berkaitan dengan tafsiran ayat-ayat Kolusi dan Nepotisme. Fokus permasalahan adalah : 1. bagaimana pandangan Al-Qur’an terhadap praktek Kolusi dan Nepotisme?. 2. bagaimana dampak praktek Kolusi dan Nepotisme bagi kehidupan masyarakat? Penelitian ini bersifat kepustakaan (Library research) atau penelitian literatur murni. Data-data yang terkait dengan studi ini dikumpulkan melalui studi pustaka. Mengingat studi ini tentang pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dengan telaah dan analisis penafsiran terhadap kitab-kitab tafsir, maka secara metodologi penafsiran ini dalam kategori penelitian exploratif, artinya memahami ayat-ayat Al-Qur;an yang terkait dangan masalah praktek Kolusi dan Nepotisme dengan menggali penafsiran berbagai mufasir dalam berbagai karya tafsir. Hasil penelitian ini mufassir berpendapat bahwa tindakan Kolusi dan Nepotisme adalah wujud dari ketiadaan keadilan. Mereka berpendapat bahwa keadilan, kebajikan, ketaqwaan dan kebenaran adalah salah satu kesatuan yang tetap harus ditegakkan tidak boleh mengalahkan yang lainnya, meskipun pada akhirnya akan menimbulkan mudarat bagi dirinya, karena hak Allah SWT harus lebih diutamakan dari pada hak makhluk. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan dapat menjadi informasi pengetahuan, masukkan serta sumbangsih pemikiran bagi mahasiswa, serta semua pihak yang membutuhkan dilingkungan Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang.
Ma’mun Effendi
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………………… I HALAMAN NOTA PEMBIMBING ……………………………………………... II HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………….. III HALAMAN DEKLARASI ……………………………………………………….. IV HALAMAN MOTTO …………………………………………………………….. V HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………….. VI HALAMAN ABSTRAK …………………………………………………………. VII HALAMAN KATA PENGANTAR ………………………...…………………… VIII DAFTAR ISI ……………………………………………………………………... IX BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang …………………………………………………. 1 B. Rumusan Masalah …………………………………………........ 6 C. Tujuan dan Manfaat Penulisan Skripsi ……………………........ 6 D. Telaah Pustaka …………………………………………………. 7 E. Metode Penulisan Skripsi ……………………………………… 8 F. Sistematika Penulisan Skripsi ………………………………….. 11
BAB II
GAMBARAN UMUM DAN PANDANGAN ISLAM TENTANG KOLUSI DAN NEPOTISME A. Pengertian Kolusi dan Nepotisme ……………………………… 13 B. Praktek Kolusi dan Nepotisme …………………………………. 15 C. Upaya Pemberantasan Kolusi dan Nepotisme………………...... 21 C.1. Lembaga Negara…………………………………………… C.2. Organisasi Massa ………………………………………….. 28 D. Pandangan Islam Tentang Kolusi dan Nepotisme …………........ 29
BAB III
AYAT-AYAT AL-QURAN TENTANG PRAKTEK KOLUSI DAN NEPOTISME A. Term-term Ayat-ayat AL-Quran Tentang Kolusi dan Nepotisme………………………………………………… B. Penafsiran Ayat-ayat Al-Quran Tentang Kolusi dan Nepotisme …………………………………………………
BAB IV
ANALISIS A. Pandangan Al-Quran Tentang Praktek Kolusi dan Nepotisme ………………………………………………… B. Dampak Praktek Kolusi dan Nepotisme bagi Masyarakat …… 42
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ……………………………………………..……. B. Saran-Saran …………………………………………………… C. Penutup ……………………………………………………….. DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam merupakan way of life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan akhirat kelak.3 Syaratnya, segala aturan yang ada di dalamnya harus dijalankan. Adapun dasar agama Islam, adalah AlQur’an. Al-Qur’an yang telah diwahyukan kepada Rasul-Nya berguna untuk diajarkan kepada manusia. Ia adalah rahmat, hidayah, dan petunjuk bagi manusia. Allah SWT, menurunkan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, tetapi akan lebih tepat dinyatakan bahwa ia adalah petunjuk bagi kehidupan umat manusia, petunjuk yang menuntun manusia ke arah jalan yang lurus, yaitu dalam konteks perjuangan menyeluruh antara yang baik dan yang buruk.4 Al-Qur’an akan selalu menjadi obyek kajian yang selalu mengundang perhatian dan pemikiran para pemerhatinya. Hal ini bukan disebabkan oleh semata posisinya sebagai skriptur yang transeden, melainkan juga karena muatan nilainya yang tak pernah kekal di makan zaman dan usang di makan ruang, shalih likulli zaman wa makan. Karena itu, tak heran jika selalu dijadikan referensi utama untuk mengabsahkan perilaku menjustifikasi tindakan
perorangan
maupun
kolektif,
melandasi
berbagai
aspirasi,
memelihara berbagai harapan dan juga memperkukuh identitas kolektivitas. Posisi signifikan itulah yang membuat Al-Qur’an tidak saja sebagai pusat wacana keislaman yang mendorong umat Islam untuk melakukan interprestasi dan pengembangan makna ayat-ayat-Nya (gerak sentrifugal), tapi juga menjadikannya sebagai referensi utama dalam hidup (gerak sentripetal). Karena itu, semenjak pewahyuannya hingga sekarang, Al-Qur’an menjadi 3
Muhammad Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur an, Bandung, Mizan, 1996, cet. XII,
hlm. 33 4
Thomas Ballentin E. Irving, Al-Qur an Tentang Akhlaq dan Segala Amal Ibadah Kita, Terj. Khursid Ahmad & Muhammad Munazir Ahasan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 14-15
2
produser budaya yang telah banyak memberikan kontribusi terhadap peradaban umat Islam dalam kurun waktu 14 abad lebih. Zaman telah banyak mengambil perubahan seiring dengan perubahan peradaban serta tingkah laku manusia karena derasnya arus modernisasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan semakin berkembangnya pola pikir manusia jelas mempunyai dampak tersendiri bagi kehidupan manusia, baik dari sisi baik maupun sisi buruk. Jika kita memandang sisi baik modernisasi jelas sangat dirasakan oleh setiap manusia, tetapi apabila kita melihat sisi buruk yang mengakibatkan suatu modernisasi maka tidak semua dapat merasakannya misalnya saat ini mungkin banyak sekali menemukan perbuatan-perbuatan manusia yang telah digariskan oleh sang pencipta yaitu Allah SWT. Kejahatan, penipuan, korupsi, nepotisme dan yang lain-lain semakin merajalela, ketentraman dan kedamaian semakin terkikis dan pada akhirnya hilang sama sekali. Zaman mulai menunjukkan tanda-tanda kehancuran, mengapa itu semua bisa terjadi? karena setiap manusia saat ini sudah tidak bisa membedakan mana yang halal dan mana yang haram, semua sama.5 Sebelum melihat masalah Kolusi dan Nepotisme sebagai suatu implikasi dari sikap hidup lebih besar pasak dari pada tiang, nampaknya menghinggapi
masyarakat
Indonesia
baik
secara
Nasional,
dalam
pembangunan Nasional maupun yang lebih mikro lagi, dalam kegiatan perusahaan dan kegiatan perorangan. Masyarakat Indonesia baru harus dapat keluar dari sikap ini dengan membuang KKN dalam membangun masyarakat Indonesia secara lebih menyeluruh, lebih terbuka, lebih demokratis dan lebih mandiri. Kalau basis untuk menentukan kesalahan ini adalah kerugian negara atau masyarakat dari tindakan yang dilakukan pejabat dan yang terkait, maka yang paling penting dari ketiga unsur dalam KKN adalah perbuatan korupsi.
5
Dr. Ahmad Shiddiq, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, Terj. Imam Ghazali, Surabaya, Putra Pelajar, 2002, Cet. I, hlm. 277
3
Ketiganya memang dapat bergandengan, sering yang satu menyebabkan yang lain atau memperburuk yang lain. Akan tetapi kalau yang menjadi dasar kesalahan adalah terjadinya kerugian negara, maka pusat perhatian harus pada tindakan atau perbuatan korupsi tersebut, untuk menentukan siapa yang melakukannya dan apa sanksi yang harus dibebankan terhadap kesalahan tersebut. Kalau kita memusatkan perhatian pada pemberantasan korupsi, maka masalahnya akan lebih jelas dan operasionalisasinya dapat menjadi lebih nyata. Apakan hal ini bergandengan dengan Kolusi dan Nepotisme, bisa diteliti lebih lanjut. Bahkan kalau korupsi ini terjadi dalam rangka suatu Kolusi dan Nepotisme, maka pembuktian siapa yang terlibat dalam korupsi akan menyangkut jaringan Kolusi dan Nepotismenya dan penyidikannya dapat langsung menjaring mereka itu semua tetapi yang menjadi fokus jelas, tindakan korupsi, tindakan melanggar hukum yang merugikan Negara menurut suatu definisi yang pasti. Seperti halnya Pengertian Kolusi dari bahasa Arab adalah:
Kerjasama secara diam-diam untuk maksud tidak terpuji Sedangkan pengertian lain tentang istilah “nepotisme” dari Bahasa Arab adalah:
”Tindakan mementingkan atau menguntungkan sanak saudara atau teman-teman sendiri, terutama dalam pemerintahan walaupun dia tidak pandai 6 Pada dasarnya adanya hubungan keluarga antara pejabat satu dengan yang lain atau antara pejabat dan pengusaha, tidak secara otomatis menunjukkan adanya Kolusi atau Nepotisme yang ingin kita hilangkan itu. 6
340.
Drs. Sulchan Yasin, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya: Amanah, 1997, hlm.
4
Nepotisme dan Kolusi ini tidak hanya harus terbukti ada, akan tetapi untuk dikategorikan dalam tindakan yang tidak di kehendaki hal tersebut harus juga di ukur dengan kriteria adanya pelanggaran ketentuan hukum, misalnya perbuatan tersebut telah merugikan negara atau masyarakat, sebagaimana dalam kasus korupsi. Jika kita ingin memusatkan perhatian pada penanggulan masalah Kolusi, Nepotisme dengan mengusulkan perlunya kejelasan konsep atau kriteria dari masing-masing tindakan dalam Kolusi, Nepotisme dan memusatkan penanganannya pada masalah yang lebih jelas, dan lebih pokok, yaitu korupsi. Dengan cara ini diharapkan program penanganan masalah Kolusi, Nepotisme akan lebih terarah dan memberikan hasil yang setahap demi setahap dapat dipergunakan untuk dijadikan basis bagi penanganan seterusnya sampai tuntas. Dalam kebanyakan pemberi suatu surat referensi sebagai suatu jaminan mengenai kualifikasi seseorang untuk menempati suatu posisi adalah di terima secara umum.yang di harapkan adalah tidak terjadi penyalahgunaan surat referensi tersebut, jangan sampai surat ini aspal, jangan sampai referensi ini tidak sesuai dengan kenyataannya, ini yang tidak boleh di salahgunakan. Istilah kata belece adalah untuk penyalahgunaan kebiasaan adanya referensi ini. Yang jelas agar ada kepastian ketentuannya harus jelas mana yang boleh mana yang tidak, untuk menentukan apakah terjadi suatu pelanggaran terhadap ketentuan oleh seseorang dan apakah sanksi terhadap pelanggaran tersebut? dalam hal adanya tindakan korupsi ketentuannya telah jelas, sedangkan bagaimana dengan Kolusi dan Nepotisme? Mengingat kenyataan tersebut, yang harus dilakukan adalah menyusun ketentuan untuk melarang adanya Kolusi dan Nepotisme. Akan tetapi ini hanya menyangkut ketentuan untuk masa depan yang harus di perhatikan. Sedangkan kita melihat bahwa praktek Kolusi dan Nepotisme dalam era Orde Baru ini memang sangat mencolok. Karena itu emosi masyarakat meluap untuk bisa membubarkan praktek-praktek ini dan menindak para pelakunya. Ini adalah perasaan semua orang kecuali yang mempraktekkan.
5
Untuk melacak kedudukan hukum kolusi dalam khazanah hukum Islam bisa ditelusuri melalui konsep saraqah (pencurian) risywah (suap), khiyanat (pengkhianatan), dan al-qasysy (penipuan). Bahasa moral dan kemanusiaan yang sarat dengan etika dan perilaku hukum itu secara jelas terkandung dalam Al-Qur'an dan as-Sunnah, melalui keduanya para ahli hukum Islam menggali dan mengembangkan berbagai teori sampai pelembagaannya dalam pranata masyarakat Islam. 7 Kalau kita lacak dalam posisi yang netral, sebenarnya Nepotisme (mengambil kesempatan terhadap suatu keadaan, posisi atau jabatan berdasarkan hubungan kekerabatannya) tidak selalu mempunyai konotasi makna yang negatif. Tapi justru dalam keadaan-keadaan tertentu Islam sangat menganjurkan untuk melakukan suatu tindakan yang memprioritaskan kepada orang-orang yang ada hubungannya dengan kekerabatan (keluarga dan sahabat dekat) dengan kita.8 Melihat fenomena diatas penulis sangat tertarik untuk meneliti ayatayat kolusi, nepotisme dalam pandangan al-Qur’an. Yang berkaitan dengan pemahaman ayat-ayat kolusi, nepotisme kemudian penulis fokuskan kepada pemahaman ayat-ayat al-Qur’an tentang praktek kolusi dan nepotisme secara kontekstual untuk mengambil pesan moral yang ada di dalamnya. Atas pertimbangan dan alasan di atas mengilhami penulis untuk menyusun skripsi ini dengan judul : PANDANGAN AL-QUR’AN TERHADAP PRAKTEK KOLUSI DAN NEPOTISME.
B. Pokok Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan di atas, maka pokok masalah yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimana pandangan Al-Qur'an terhadap praktek kolusi dan nepotisme? 7
Prof. Dr. Hj. Aisyah Girindra, dkk, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2003, Cet, I, hlm. 112-113 8
Ibid, hlm. 120-121
6
2. Bagaimana dampak praktek kolusi dan nepotisme bagi kehidupan masyarakat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sejalan dengan rumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan penyusunan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui pandangan Al-Qur'an terhadap praktek kolusi dan nepotisme. 2. Untuk mengetahui bagaimana dampak praktek kolusi dan nepotisme bagi kehidupan masyarakat. Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara lain sebagai berikut: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada peminat studi tafsir tentang pandangan Al-Qur'an terhadap praktek kolusi dan nepotisme. 2. Menambah khazanah keilmuan dalam bidang pemikiran Islam dan tafsir Al-Qur'an di Fakultas Ushuluddin.
D. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka ini dimaksudkan sebagai salah satu kebutuhan ilmiah yang berguna untuk memberikan kejelasan dan batasan pemahaman tentang informasi yang digunakan melalui khazanah pustaka, terutama yang berkaitan dengan tema yang dibahas. Pertama, Ahmad Shiddiq Terj. Imam Al-Ghazali, Benang Tipis antara Halal dan Haram, Pustaka Pelajar, Surabaya, 2002. Buku yang berisi tentang perbuatan-perbuatan manusia yang telah digariskan oleh Allah dan tandatanda kehancuran yang disebabkan oleh manusia, begitu juga apakah setiap manusia saat ini sudah tidak bias membedakan mana yang halal dan mana yang semaunya sama.
7
Kedua, Aisyah Gerinda, Bahaya Makanan bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, Al-Mawardi Prima, Jakarta, 2003. Buku yang berisi tentang kedudukan hukum Kolusi dan Nepotisme dalam khazanah Islam dan menganjurkan untuk melakukan suatu tindakan yang memprioritaskan kepada orang-orang yang ada hubungannya dengan kekerabatan. Ketiga, Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998. Di sini dia berupaya untuk membangun teori psikologi Islam berdasarkan pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang manusia dibangun berdasarkan metode tafsir, tematik terhadap istilah Al-Qur’an dalam menjelaskan manusia. Konsep-konsep manusia itu, selanjutnya dianalisis dengan metode analisis pemaknaan untuk menemukan elemen-elemen manusia berupa : Struktur Psikis Manusia, Struktur Motivasi dan Struktur Fungsi Psikis. Selain buku-buku diatas, banyak lagi buku-buku atau kitab baik literature Arab maupun Indonesia, yang membahas, tentang praktek Kolusi dan Nepotisme secara lebih detail dan lebih komprehensif. Tapi sejauh ini, penulis melihat bahwa kajian tentang praktek Kolusi dan Nepotisme dilihat dari pandangan Al-Qur'an belum pernah dilakukan oleh para akademisi melalui karya berbentuk buku. Padahal, bila dilihat dari keutuhan substansi ajaran Islam, masalah tersebut merupakan mata rantai dari komponen pengetahuan dan wawasan keagamaan, yang jika tidak dipahami dengan jelas oleh umat Islam akan berdampak pada ketidaktahuan pemahaman atas masalah yang lain. Seperti, kemungkinan terjadinya pemahaman secara verbal daam memahami tauhid, tanpa dilandasi pengetahuan bagaimana proses eksistensi ketauhidan Allah yang terjadi sebelum kita di lahirkan.
E. Metode Penelitian Penelitian mengenai pandangan Al-Qur’an terhadap praktek Kolusi dan Nepotisme, ini merupakan penelitian kualitatif, penelitian ini bukanlah
8
penelitian lapangan. Sebaliknya penelitian ini merupakan penelitian literatur murni atau penelitian kepustakaan (Library Research).9 1. Sumber Data Sebagaimana kita ketahui bahwa penelitian ini adalah termasuk kepustakaan (library research) yang berisi buku-buku sebagai bahan bacaan dan bahasan dikaitkan dengan penggunaannya dalam kegiatan penulisan dan penyusunan skripsi ini digunakan sumber data primer dan sumber data sekunder. a. Sumber Data Primer Adapun bahan bacaan yang penulis jadikan sebagai sumber data primer adalah Tafsir Al-Azhar. Salah satunya adalah surat Ali Imran ayat 161.
4’¯ûuqè? §NèO 4 ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# tPöqtƒ ¨@xî $yJÎ/ ÏNù'tƒ ö@è=øótƒ `tBur 4 ¨@äótƒ br& @cÓÉ
Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta, 1998, hlm. 8 10
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, Jakarta: Panjimas, 1982, hlm. 179-182.
9
dalam kategori penelitian exploratif, artinya memahami ayat-ayat AlQur'an yang terkait dengan masalah praktek kolusi dan nepotisme dengan menggali penafsiran berbagai mufasir dalam berbagai karya tafsir.11
2. Pengumpulan Data Pengumpulan
data
dilakukan
dengan
menggunakan
teknik
pengumpulan data kepustakaan atau studi pustaka, yaitu pengumpulan dari berbagai buku, kitab dan karya ilmiah yang relevan dengan tema pembahasan diatas, yaitu Kolusi dan Nepotisme. Dalam hal ini penulis menggunakan metode tematik. Yang dimaksud dengan metode tematik ialah membahas ayat-ayat Al-Qur'an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua ayat yang berkaitan, di himpun. Kemudian di kaji secara mendalam dan tuntas dari berbagai aspek yang terkait dengannya, seperti asbab al-nuzul, kosa kata, dan sebagainya. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta di dukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat di pertanggungjawabkan secara ilmiah, baik argumen yang berasal dari Al-Qur'an, Hadits, maupun pemikiran rasional. 12 Dalam penerapan metode ini, ada beberapa langkah yang harus di tempuh oleh munfasir. Antara lain sebagaimana diungkapkan oleh AlFarmawi berikut ini: a. Menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan judul tersebut sesuai dengan kronologi urutan turunnya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya ayat yang
mansukhah, dan
sebagainya. 11
Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm.
41 12
Dr. Nasruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur an, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998, Cet, I, hlm. 151
10
b. Menelusuri latar belakang turun (asbab nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun (kalau ada). c. Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosa kata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu. Kemudian mengkajinya dari semua aspek yang berkaitan dengannya, seperti bahasa, budaya, sejarah, munasabat, pemakaian kata ganti (dhamir), dan sebagainya. d. Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer. e. Semua itu dikaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar, serta didukung oleh fakta (kalau ada), dan argumen-argumen dari AlQur'an, Hadits atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan. Artinya, mufasir selalu berusaha menghindarkan diri dari pemikiran-pemikiran yang subjektif. Hal itu di mungkinkan bila ia membiarkan Al-Qur'an membicarakan suatu kasus tanpa di intervensi oleh pihak-pihak lain diluar Al-Qur'an, termasuk penafsir sendiri. 13 Akan tetapi di dalam penerapan cara kerja metode tafsir tematik (maudhu i) tersebut tidak selalu harus memenuhi keseluruhan tahapan-tahapan yang telah di tetapkan. Bisa jadi satu atau tahapan tidak bisa di lakukan secara sempurna. Hal tersebut merupakan keterbatasan yang ada pada diri penulis. 3. Analisis Data Setelah semua data terkumpul maka penulis menganalisisnya menggunakan metode-metode berikut: a. Analisis Isi (Content Analisys)
13
Ibid, hlm. 152-153
11
Analisis ini adalah sebuah analisis yang berdasarkan fakta dan data-data yang menjadi isi atau materi satu buku (kitab-kitab).14 b. Metode Analisis Kritis Metode analisis kritis adalah merupakan metode diskripsi yang di sertai dengan analisis yang bersifat kritis. Fokus penelitian analisis kritis mendiskripsikan, membahas dan mengkritik gagasan yang selanjutnya di konfirmasikan dengan gagasan primer yang lain dalam upaya melakukan studi yang berupa perbandingan, hubungan dan pengembangan model. 15 Adapun langkah-langkah dalam metode analisis kritis adalah sebagai berikut: Langkah pertama, mendiskripsikan gagasan primer tersebut, yang menjadi objek penelitian. Langkah kedua, membahas gagasan primer tersebut yang pada hakikatnya memberikan penafsiran penelitian terhadap gagasan yang telah dideskripsikan. Langkah ketiga, langkah melakukan kritik terhadap gagasan primer yang telah di tafsirkan tersebut. Tujuan kritik dalam metode analisis kritis adalah mengumpulkan kelebihan dan kekurangan dari suatu gagasan primer. Langkah keempat, melakukan studi analitik yakni studi terhadap serangkaian gagasan primer dalam bentuk perbandingan, hubungan, pengembangan model rasional, dan penelitian historis. Langkah kelima, menyimpulkan hasil penelitian.16
F. Sistematika Penulisan Skripsi 14
Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarasin, 1996,
15
Op. Cit, hlm. 153
16
Ibid. hlm. 45-46
hlm. 94
12
Agar diperoleh hasil pembahasan yang sistematis dan utuh, maka skripsi disusun dengan sebagai berikut: BAB I
Pendahuluan, yang berisi Latar Belakang Masalah, Pokok Masalah, Tujuan Penelitian, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, serta Sistematika Penelitian.
BAB II
Membicarakan Gambaran Umum dan Pandangan Islam tentang Kolusi dan Nepotisme, sebagai landasan teori penelitian ini mencakup: A. Pengertian Kolusi dan Nepotisme, B. Memberantas Kolusi dan Nepotisme, C. Upaya
Pemberantasan Kolusi dan Nepotisme,
C.1.
Lembaga Negara, C.2. Organisasi Masa dan D. Pandangan Islam tentang Kolusi dan Nepotisme BAB III. Membicarakan Pandangan Al-Qur'an terhadap Praktek Kolusi dan Nepotisme dan Penafsirannya yang mencakup ayat-ayat praktek tentang Kolusi dan Nepotisme. BAB IV
Analisis yang membahas bagaimana pandangan Al-Qur'an terhadap praktek Kolusi, Nepotisme dan bagaimana dampak praktek Kolusi, Nepotisme bagi kehidupan Masyarakat.
BAB V.
Merupakan akhir dari pembahasan dalam skripsi ini yang berisi tentang kesimpulan, saran-saran dan penutup.
13
BAB II GAMBARAN UMUM DAN PANDANGAN ISLAM TENTANG KOLUSI DAN NEPOTISME A. Pengertian Kolusi dan Nepotisme Pada bab ini akan dibahas antara apa yang di maksud kolusi dan nepotisme. Yang di maksud kolusi dalam kamus besar adalah kerja sama secara diam-diam untuk maksud tidak terpuji. Tindakan kolusi biasanya tidak terlepas dari budaya suap-menyuap (risywah) yang sudah sangat kita kenal di lingkungan budaya birokrasi dan telah memasuki sistem jaringan yang amat luas dalam masyarakat umum.17 Sedangkan pengertian kolusi dalam undangundang adalah permufakatan secara melawan hukum antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan pihak lain, masyarakat, atau negara.18 Kolusi merupakan penyakit sosial yang menggerogoti sendi-sendi bangsa dan merusak tatanan hidup bernegara. Kolusi adalah perbuatan untuk mencari keuntungan pribadi atau golongan untuk merugikan negara.19 Sedangkan yang di maksud nepotisme dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah tindakan atau menguntungkan sanak saudara atau temanteman sendiri, terutama dalam pemerintahan walaupun dia tidak kompeten. Walau kita lacak dalam posisi yang netral, sebenarnya nepotisme (mengambil kesempatan terhadap suatu keadaan, posisi atau jabatan berdasarkan hubungan kekerabatan) tidak selalu mempunyai konotasi makna yang negatif. Sedangkan pengertian nepotisme dalam Islam adalah menganjurkan untuk mendahulukan pemberian atau mementingkan sanak saudara atau teman 17
Thabib al-Asyhar, Bahaya Makanan bagi Kesehatan Jasmani dan Rohani, Jakarta, PT. Al-Mawardi, 2003, cet.. I, hlm. 116 18
Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundangan-Undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Fokus Media, 2008, Cet, I, hlm. 122 19
hlm. 1
Abu Fida Abdul Rafi, Terapi Penyakit Korupsi, Jakarta, Penerbit Republik, 2006, Cet. I
14
sendiri, terutama dalam hal sedekah, infak dan zakat yang betul-betul membutuhkan dan mendesak. 20 Ada pula pengertian Nepotisme dalam Undang-Undang adalah setiap perbuatan
penyelenggaraan
negara
secara
melawan
hukum
yang
menguntungkan kepentingan keluarganya atau kroninya diatas kepentingan masyarakat, negara dan bangsa.21 Yang menjadi persoalan adalah jika tindakan nepotisme dikaitkan pemberian posisi atau jabatan tertentu kepada orang yang mempunyai kekerabatan dengan seorang pelakunya tanpa memperdulikan unsur-unsur sebagai berikut : Pertama, unsur keahlian atau kemampuan yang dimiliki, kalau nepotisme dilakukan dengan tidak memperdulikan kualitas, maka pelakunya bisa dikategori sebagai orang yang dzalim dan dapat merusak tatanan kehidupan, baik keluarga, masyarakat, negara, maupun agama. Kedua, unsur kejujuran dalam menjalankan amanat, Jika nepotisme dijalankan dengan cara yang tidak dibenarkan dalam suatu peraturan atau hukum tertentu, seperti menutup kesempatan kepada orang lain yang samasama mempunyai hak, maka ia termasuk kelompok yang bisa dikategorikan sebagai orang yang tidak jujur dan khianat terhadap amanat.22 Kalau kita amati apa yang berlangsung sekarang ini, orang menggabung tindak pidana atau pelanggaran ketentuan ini menjadi satu istilah menjadi yaitu Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN). Ketiga hal ini seolah-olah telah menjadi satu kata, akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan masalahnya sendiri menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan secara operasional menyulitkan. Istilah Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dianggap dipahami semua orang, tetapi begitu dibahas mendalam, ternyata orang mempunyai konsep atau definisi yang berbeda satu dengan yang lain. Kejelasan konsep atau 20
op. cit, hlm. 121
21
Ibid., hlm. 122
22
Ibid., hlm. 122-124
15
definisi sangat penting, akan tetapi ini baru langkah berikutnya. Memang tanpa kejelasan ini gerakan menghapus Korupsi Kolusi Nepotisme hanya mendasarkan diri pada emosi bagi yang menuntun dan bagi yang menangani. Penanggulangan masalah Koruspsi Kolusi Nepotisme sampai sekarang atas dasar kedekatan seseorang dengan penguasa, ini tidak menyelesaikan masalah bahkan membuat masalah baru. Tanpa adanyan kejelasan atau definisi dari masing-masing unsur Korupsi Kolusi Nepotisme, tanpa adanya program menyeluruh apa yang akan dilakukan. Tindakan yang sporadis hanya menumbuhkan kecurigaankecurigaan yang tidak perlu. Karena itu, dalam keadan masih kokohnya kredibilitas aparat penegak hukum, penanganan Korupsi Kolusi Nepotisme harus didasarkan atas konsep yang jelas dan didefinisakan dengan kriteria atau batasan-batasannya. B. Praktek Kolusi dan Nepotisme di Indonesia Pada akhir 1990-an, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme menjadi kata kunci yang menunjukan penyakit rezim Orde Baru Presiden Soeharto. KKN tersebut bergulir hingga pada tahun 2000, posisi indek persepsi Korupsi di Indonesia ketika itu dinyatakan berada pada peringkat 85 dari 89 Negara oleh Transparancy Internacional, dengan nilai 1,7 sebagai mana diketahui bahwa angka terbaik adalah angka 10. Kekuasaan memungkinkan praktik Neopotisme dan Kolusi: keputusan atau kebijakan yang memihak sebagai balasan atas jasa yang di berikan, pemberian jabatan politik sebagai hadiah untuk individu atau kelompok yang disukai, pembuatan kebijakan yang ditujukan untuk memperoleh kekayaan pribadi atau pengaruh. Hasil dari praktik Kolusi dan Nepotisme ada 2 : Pertama, ia menimbulkan suatu pemerintahan yang memerintah berdasarkan kepentingan-kepentingan yang sempit dan memihak dengan mengorbankan kepentingan lainnya. Kedua, ia menumbuhkan sinisme dalam masyarakat yang akan menghalangi pemerintahan yang baik. Mekanisme yang menanamkan pertanggungjawaban pada publik dan transparansi dapat mengurangi praktik Kolusi dan Nepotisme. Setelah
16
pemilihan umum di Afrika Selatan, untuk pertama kalinya di negara tersebut, sebuah aturan perilaku dimunculkan yang membatasi kelakuan yang berkaitan dengan penerimaan hadiah dan imbalan, sehingga mengurangi resiko yang korup.23 Contoh kasus praktek Kolusi dan Nepotisme adalah kasus Akbar Tanjung dengan dakwaan Kolusi dan Nepotisme penggelapan dana nonneraca bulog Rp 40 Milyar. Bukti yang sangat kuat terhadap tindak pidana Kolusi dan Nepotisme itu adalah pengembalian dana Rp 40 milyar oleh terdakwa Winfried Simatupang kepada penyidik. Vonis bebas Akbar Tanjung terjadi ditengah persiapan pembentukan pengadilan khusus korupsi (KPK) yang akan mengkhususkan diri dalam pemerikasaan perkara Kolusi dan Nepotisme dengan puncak pemeriksaan di Mahkamah Agung.. Membahas pemeriksaan kasus Akbar Tanjung tidak bisa ditilik hanya dari sudut hukum semata karena kasus itu sendiri syarat muatan politis sebagai kosekuensi logis posisi Akbar Tanjung sebagai ketua DPR dan ketua umum partai Golkar. Kekuatan politik Akbar Tanjung juga dapat dilihat dari kegagalan pembentukan pansus Bulloggate II.24 Di Era Orde Baru, sejumlah proses peradilan kasus korupsi sampai ditingkat Mahkamah Agung memberi gambaran rapuhnya indenpedensi peradilan dan bayang-bayang praktik Kolusi antara hakim dan petugas pengadilan dengan pencari keadilan ataupun terdakwa. Kasus yang dapat merepresentasi kasus Kolusi antara pihak berperkara adalah GMS. Ironisnya, Adi Andojo dicopot dari jabatan ketua muda pidana umum karena dinilai telah mencemarkan Mahkamah Agung dengan laporan temuan Kolusinya itu kepada publik. Contoh lain dari rentannya Mahkamah Agung dari tekanan politik adalah gagalnya persidangan kasus penggelapan dana 7 yayasan pimpinan mantan 23
Drs. Suyitno, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, Jakarta : CV. Muliasari, 2005, Cet,. I. hlm.
20 24
Kompas, Jihad Melawan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2005, Cet. I. hlm. 177-178
17
Presiden Seoharto. Pemeriksaan kasus dana yayasan tersebut terpaksa dihentikan
setelah kejaksaan gagal
menghadirkan Soeharto
kemuka
pengadilan dengan alasan terdakwa mengalami sakit gangguan otak permanen. Kegagalan mengadili Soeharto seolah telah diskenariokan karena kejaksaan tidak bersungguh-sungguh membawa secara paksa yang bersangkutan ke pengadilan. Fakta itu sangat kontras, misalnya peradilan AM Fatwa dalam perkara Tanjung Priok yang di paksa hadir ke ruang sidang sekalipun dia itu dalam keadaan sakit. Sebagai penutup kiranya perlu refisi kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi agar tidak ditempatkan sebagai sub bordinasi Mahkamah Agung, melainkan sebagai pengadilan khusus yang sejajar Mahkamah Agung sebagaimana sandikan bayan (Pengadilan Anti Korupsi) di Filipina.25 Keterlibatan faktor kekuasan yang menjadi saran efektif dalam praktik Kolusi dan Nepotisme politik mengindikasikan bahwa faktor pemimpin menjadi faktor determinan timbulnya praktik Kolusi dan Nepotisme dengan berbagai jenis dan gradasinya, seperti dikemukakan oleh Munawar Fuad Noeh bahwa dalam konteks pemberantasan Kolusi dan Nepotisme, diperlukan seorang pemimpin pemerintahan yang punya kemauan keras dan didukung aparat yang berwawasan dan jujur, pemberantasan korupsi bisa gagal apabila pemimpin tertinggi tidak memberikan dukungan penuh.26 Meluasnya praktik Kolusi dan Nepotisme dalam berbagai sendi pemerintahan telah mengganggu roda pemerintahan dan melahirkan kerugian yang sangat besar terhadap keuangan dan perekonomian negara, melihat kerugian yang ditimbulkan maka Kolusi dan Nepotisme dapat dikategorikan sebagai regilatory offencesatau delik yang menghalangi bahkan merampas hasil upaya pemerintah dalam mensejahterakan rakyatnya.27 25
Ibid, hlm. 181
26
Dr. Artija Al-Kautsar, SH. L.L.M., Korupsi Politik di Negara Indonesia, Yogyakarta: FH UII Press, 2008, Cet. I, hlm. 346. 27
Kompas, op.cit, hlm. 95
18
Praktik Kolusi dan Nepotisme di Indonesia sudah menjadi suatu kebiasaan
yang dilakukan sejak zaman kerajaan di mana masyarakatnya
selalu memberikan upeti kepada pejabat baik berupa uang maupun hasil kebunnya. Hal ini dimaksudkan sebagai tanda loyalitas serta ada juga untuk mengambil hati pejabat dan menjalin hubungan dengan pejabat saat itu. Sehingga apabila mereka menghadapi suatu permasalahan mereka akan meminta bantuan kepada pejabat tersebut sebagai suatu imbalan dari pemberian tersebut. Kondisi ini terus berlangsung lama dan sampai saat ini terus dipraktekkan hampir di seluruh aspek kehidupan baik di sekolah, perekrutan pegawai, dalam praktik pelanggaran lalu lintas, pada legislatif, eksekutif, yudikatif, dan dunia usaha. Kolusi dan Nepotisme sudah mengakar serta membudaya pada masyarakat Indonesia misalnya, apabila seorang pejabat tinggi atau seorang menteri datang ke daerah, seluruh keperluannya diurus oleh daerah bahkan menteri atau pejabat tersebut masih dibekali dengan oleholeh yang biasanya adalah ciri khas dari daerah tersebut.28 Parahnya praktik Kolusi dan Nepotisme di Indonesia dapat dilihat dari tingginya tingkat kebocoran dana pembangunan pada tahun 1989-1993 yang menurut Soemitro Djoyohadi Kusumo mencapai sebesar 30% atau 45% menurut versi World Bank. .Pantas saja Indonesia secara berturut-turut dari tahun 1995-2000 masuk dalam sepuluh besar sebagai negara paling korup di dunia menurut versi Transparecy Internasional (TI) posisi yang kemudian diketahui sukses dipertahankan negara ini pada lima tahun berikutnya, tahun 2001-2005 secara berturut-turut pula. Meluasnya praktik Kolusi dan Nepotisme telah melahirkan kerugian yang sang besar terhadap keuangan dan perekonomian negara, sedemikian besarnya uang negara yang diambil sehingga Kolusi dan Nepotisme sudah merupakan perampasan sebagian besar hak-hak ekonomi dan sosial rakyat
28
hlm. 10
M. Akil Mochtar, SH. MH, Memberantas Korupsi, Jakarta Q-Communication, 2006,
19
oleh sebagian individu atau kelompok dalam masyarakat karena itu paradigma pemberantasan Kolusi dan Nepotisme di Indonesia sudah seharusnya dilihat dari perspektif pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama. Hak ekosob (ekonomi, sosial, budaya). Sebab, perbuatan Kolusi dan Nepotisme telah merugakan dan mengancam kehidupan orang banyak. Karena kondisinya yang sudah luar biasa parah, maka pamberantasan tindakan Kolusi dan Nepotisme butuh cara yang luar biasa pula. Pemberantasan Kolusi dan Nepotisme juga harus dilakukan dengan cara khusus, salah satunya dengan menerapkan sistem pembalikan beban pembuktian yang telah berhasil diselenggarakan di berbagai negara yaitu: Inggris, Malaysia, dan Singapura. Dalam sistem ini pembuktian dibebankan kepada terdakwa, terdakwa sudah dianggap terbukti Kolusi dan Nepotisme kecuali jika ia mampu membuktikan dirinya tidak melakukan Kolusi dan Nepotisme.29 Praktik kejahatan Kolusi dan Nepotisme pada dasarnya merupakan masalah sensitif bagi masyarakat yang bersangkutan, karena menyangkut nasib masa kini dan masa depan kehidupan bersama. Fenomena Kolusi dan Nepotisme ini menunjukkan bahwa hal itu muncul di sekitar kekuasaankekuasan yang tanpa nilai menjadi penyebab timbulnya kolusi dan Nepotisme. Politik tanpa nilai di sini, berarti tidak sesuai dengan etika dan moral yang ada, dalam hal ini ditunjukkan dalam praktik Kolusi dan Nepotisme.30 Praktik-praktik yang tidak jelas dan penuh tanda tanya semacam itu sebenarnya perlu direspon secara moral oleh masyarakat, supaya tidak menjadi beban moral masyararat dan menurunkan wibawa hukum, begitu pula praktik perbuatan lain yang perlu mendapat fasilitas milik negara diluar dinas. Sedikit banyak akibat dari perbuatan ini, negara akan menderita kerugian. Dalam era reformai, praktik Kolusi dan Nepotisme tetap marak di Indonesia. Slogan reformasi sebenarnya juga menyangkut pemberantasan KKN. Dengan mengutip George Horance Lorimer tahun 1879-1937, yang 29
Ibid., hlm. 95
30
Ibid., hlm. 104-105
20
mengatakan: Sungguh baik untuk memiliki dan hal-hal bisa dibeli dengan uang. Akan tetapi, sungguh baik pula untuk memeriksa dan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan kehilangan hal-hal yang tidak bisa dibeli dengan uang.’ Dalam era globalisasi terjadinya fenomina baru dalam praktik Kolusi dan Nepotisme yaitu dimana suatu negara menyuap negara lain atau pejabat biadab Internasional. Praktik suap menyuap antar negara ini terjadi karena pelaksanaan kekuasaan yang begitu besar dan ada pihak yang sanggup melakukan kontrol, kendatipun banyak rakyat yang menyuap dan negara rakyat yang disuap itu tidak setuju praktek Kolusi tersebut. Dalam hal ini juga terkait dengan munculnya Kolusi dan Nepotisme yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga Internasional. Sikap Bank Dunia yang tidak memberi respon dan tidak menjatuhkan sanksi terhadap praktik Kolusi dan Nepotisme di negara yang diberi pinjaman merupakan salah satu faktor munculnya Kolusi dan Nepotisme.31 C. Upaya Pemberantasan Kolusi dan Nepotisme 1. Lembaga Negara a. Indonesia Kolusi dan Nepotisme merupakan salah satu penyakit masyarakat, sama dengan jenis kejahatan lain seperti pencurian yang sudah ada sejak manusia ada di muka bumi ini. Akan tetapi, masalah utama yang dihadapi di negara ini adalah Korupsi. Korupsi meningkat seiring dengan kemajuan, kemakmuran dan teknologi. Pengalaman memperlihatkan semakin maju pembangunan suatu bangsa semakin meningkat pula kebutuhan hidup dan mendorong orang untuk melakukan berbagai kejahatan termasuk Korupsi. Kenyataan empiris di Indonesia di mana pembangunan ekonomi semakin hebat sampai pertumbuhan ekonomi mencapai 7 % setahun tetapi Korupsi meningkat juga dan semakin meluas hingga akhirnya menimbulkan 31
Dr. Artijo Al-Kautsar, op.cit, hlm. 199-200
21
bencana krisis moneter yang berkepanjangan dan ekonomi Indonesia terpuruk hingga saat ini. Kolusi dan Nepotisme di Indonesia pada level baik legislatif, eksekutif,
yudikatif,
swasta,
bahkan
di
dunia
pendidikan.
Mengherankan jika Indonesia terus-menerus memegang rekor sebagai negara terkorup di Asia setelah Vietnam dan bahkan masuk sepuluh besar di dunia. Menurut PERC (Political And Economic Risk Consultance), kondisi mengindikasikan bahwa tidak ada perbaikan mendasar dalam permasalahan Korupsi Kolusi Nepotisme di Indonesia. 32 Upaya pemberantasan Kolusi dan Nepotisme di Indonesia sudah di mulai sejak tahun 1950-an. Kejaksaan Agung di bawah pimpinan Jaksa Agung Soeprapto sudah melakukan berbagai tindakan pemberantasan
Kolusi dan Nepotisme
yang
berakhir
dengan
penuntutan terhadap beberapa orang menteri. Akan tetapi tuntutan masyarakat sudah semakin keras untuk memberantas Kolusi dan Nepotisme yang di pimpin Kolonel Zulkifli dan Kolonel Kawilarang, pada saat itu beberapa tokoh berhasil di tangkap dan di adili. Di era 1960-an berdasarkan hukum darurat (SB) muncul kembali tim pemberantasan Kolusi dan Nepotisme yang di pimpin Jenderal Ahmad Haris Nasution dan sekretaris Kolonel Muktiyo. Akan tetapi tim ini terpaksa di bubarkan mengingat politik era Orde Lama. Era
tahun
1970-an
pemerintah
Orde
Baru
membentuk
tim
pemberantasan Kolusi dan Nepotisme, namun juga tidak berjalan efektif. Ini disebabkan terlalu besarnya campur tangan kekuasaan terhadap
proses
pemeriksaan
yang
sedang
dilakukan
tim
pemberantasan korupsi. Beranjak dari uraian di atas dapatlah di simpulkan bahwa perkembangan Korupsi di Indonesia selama 50 tahun terakhir ini menunjukkan kondisi yang sangat memprihatinkan meskipun sudah 32
Ibid, hlm. 387
22
ada upaya-upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan. Korupsi Kolusi Nepotisme bukan semakin
berkurang
malah semakin
bertambah baik kuantitas maupun kualitasnya. Jika kita ingin memusatkan perhatian pada penanggulangan masalah Kolusi dan Nepotisme dengan mengusulkan perlunya kejelasan konsep atau kriteria dari masing-masing tindakan Kolusi dan Nepotisme, dan memusatkan penanganannya pada masalah yang lebih jelas dan lebih pokok yaitu korupsi. Dengan cara ini diharapkan penanganan masalah Kolusi dan Nepotisme akan lebih terarah dan memberikan hasil yang setahap demi setahap dapat dipergunakan untuk di jadikan basis bagi penanganan seterusnya sampai tuntas. b. Negara Lain Di dunia ini tidak ada satu pun negara yang bebas dari perbuatan Kolusi dan Nepotisme. Sebab Kolusi dan Nepotisme merupakan bagian yang tidak terlepaskan dalam sejarah perkembangan peradaban manusia dan termasuk jenis kejahatan yang tertua termasuk korupsi. Tetapi kita dapat membedakan perbuatan Kolusi dan Nepotisme antara satu negara dengan negara-negara yang lainnya, dari intensitas dan modus operandinya yang sangat tergantung kualitas masyarakat,adat istiadat dan sistem penegakan hukum disuatu negara. Kolusi dan Nepotisme sering dipandang oleh masyarakat sebagai perbuatan yang ditentang dan dikutuk, dicaci maki, serta digambarkan sebagai perbuatan tidak bermoral dan berkaitan dengan keserakahan,
dan
ketamakan
sekelompok
masyarakat
dengan
menggunakan harta negara serta melawan hukum. Penyalahgunaan jabatan serta perbuatan lain yang dipandang sebagai hambatan dan gangguan dalam membangun negara. Usaha untuk memberantas Kolusi dan Nepotisme sudah menjadi masalah global bukan lagi nasional atau regional. Gejala Kolusi dan Nepotisme ada pada setiap negara, terutama negara yang sedang membangun sudah hampir menjadi conditio sine quo non. Ada
23
usaha terutama desakan rakyat agar Kolusi dan Nepotisme diberantas habis sehingga jika perlu digunakan hukum darurat, seperti pidana yang berat, sistem pembalikan pembuktian, pembebasan penanganan Kolusi dan Nepotisme dari instansi pemerintah kepada suatu badan independen yang terjamin kredibilitasnya dan integritasnya. Beranjak dari uraian di atas maka usaha ke arah pemberantasan Kolusi dan Nepotisme jelas merupakan suatu persoalan yang rumit dan komplek sehingga sulit untuk cepat diatasi. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya peraturan perundang-undangan yang ada di setiap negara, ternyata kolusi dan nepotisme masih saja sering terjadi. Upaya untuk dapat melaksanakan pemberantasan Kolusi dan Nepotisme secara efektif dan efisien, salah satunya adalah melalui penerapan sistem pembalikan beban pembuktian dan pembuktian suatu badan atau lembaga khusus yang independen dalam rangka pemberantasan tindak pidana Kolusi dan Nepotisme. Hal ini juga dilakukan oleh Negara lain : 1) HONGKONG Masalah Kolusi dan Nepotisme yang sangat meluas di Hongkong terutama era 1960 dan 1970 tidak terlepas dari masalah Narkotika.Pada saat itu Hongkong merupakan tempat transit para pengedar Narkotika yang berkolusi dengan aparat Kepolisian yang pada umumnya dipegang oleh orang-orang Inggris .Selain berkolusi dengan pengedar narkotika ,Polisi Hongkong juga menjadi God Father tempat perjudian dan pelacuran,serta melakukan Kolusi dan Nepotisme terkait pelanggaran lalu lintas.33 Pada tahun 1972 di Hongkong dibentuk Anti Coruption Office yang merupakan bagian anti Kolusi dan Nepotisme di Kepolisian Hongkong, akan tetapi badan ini tidak efektif dan Kolusi Nepotisme masih tetap merajalela. 33
M. Akil Mochtar, SH. MH., op. cit., hlm. 44.
24
Kolusi dan Nepotisme yang meluas dan menjalar ke seluruh sektor kehidupan masyarakat serta melembaga di Kepolisian ini membuat kaum intelektual dan generasi muda
masyarakat
Hongkong merasa prihatin. Karena itu pada tanggal 17 Oktober 1973 dicanangkan pembentukan Independend Commision Against Coruption (ICAC) untuk memerangi kolusi dan nepotisme,yaitu dengan dibentuk badan khusus anti Kolusi dan Nepotisme.
2) AUSTRALIA Pada awal sejarahnya 200 tahun yang lalu, pemerintah Australia di dominasi oleh Militer. Australia merupakan tempat pembuangan penjahat kelas kakap yang pemerintahan berjalan sangat korup.Namun saat ini Australia merupakan salah satu negara yang cukup bersih dari Kolusi dan Nepotisme juga dari Korupsi. Kondisi ini diperkuat dengan dibentuknya komisi anti Korupsi yang memegang teguh asas Kejujuran, Netralitas, dan pejabat publik yang berkualitas.34 Independent
Commision
Agains
Corruption
(ICAC)
merupakan lembaga independen untuk memberantas Korupsi Di Astralia Khusunnya negara Bagian New South Wales,negara bagian ini memiliki komisi anti korupsi yang lengkap, independen serta berjalan efektif. ICAC dibentuk berdasarkan Undang-Undang ICAC tahun 1988 nomor 35 dan beroperasi sejak tanggal 13 maret. Pembantukan ICAC didasari sebuah keputusan politik dari pemerintah yang berkuasa serta mendapat dukungan dari oposisi untuk meminimalisir Korupsi di New South Wales melalui investigasi, pencegahan dan pendidikan. 3) MALAYSIA 34
Ibid., hlm. 49.
25
Sebagai negara modern Malaysia pada awalnya juga terkena wabah Kolusi dan Nepotisme juga Korupsi,dimana sisasisa sistem feodal masih melekat didalamnya,yaitu kebiasaan memberi upeti sebagai salah satu penyebabnya, namun hal ini tidak barlangsung terus menerus karena dengan budaya yang kuat dalam kehidupan masyarakat malaysia serta pengaruh Islam yang sangat dominan menjadi salah satu sebab berkurangnya Kolusi dan Nepotisme. Untuk memberantas Kolusi dan Nepotisme Malaysia mempunyai tiga Undang-Undang Anti Kolusi dan Nepotisme yaitu;35 a) Prevention of coruption Act atau Undang-Undang pencegahan Kolusi dan Nepotisme no.57. b) Emergency (Essential power) ordonance nomor 22 tahun 1970. c) Anti Coruption Act 1982 (Act 271). Tetapi melalui tiga Undang-Undang ini masih ada juga celah-celah untuk terjadinya Kolusi dan Nepotisme sehingga akhirnya di bawah kantor Perdana Menteri Malaysia di dirikan Badan Anti Korupsi Malaysia yang dikenal dengan sebutan Badan Pencegah Rusuah (BPR) Kedudukan BPR sangat kuat karena didukung oleh legimitasi yang kuat dalam figur pemimpinnya yang dapat dilihat dalam praktik pemilihan ketua BPR melalui dua tahapan pemilihan.Yakni, pertama; calon ketua diusulkan oleh Perdana Menteri, dan kedua; setelah disetujui baru dilantik oleh Sri Paduka Baginda yang dipertuan Agung. 4) SINGAPURA Hasil survey Transparency Internasional dan PERC tehadap negara-negara di Asia menunjukkan bahwa Singapura yang 35
Ibid., hlm. 52.
26
penduduknya tak lebih dari 4 juta jiwa,dalam lima
tahun
belakangan ini menempatkan diri sebagai negara paling barsih di Asia. Hal ini juga berdampak positif ditingkat internasional dimana Singapura selalu menempatkan diri dalam posisi sepuluh negara yang terbaik dalam pelayanan masyarakat.36 Namun demikian untuk memperoleh predikat ini tidaklah mudah
dan
membutuhkanperjalanan
sangat
panjang,karena
keadaannya juga sama dengan negara-negara lain didunia dimana sesungguhnya Singapura pada awalnya juga tidak terhindar dari maraknya kegiatnan kolusi dan nepotisme yang dimulai pada akhir 1940-an. Pada saat itu perkembangan Kolusi, Nepotisme juga korupsi sangat pesat.penduduk Singapura yang mayoritas Cina tidak bisa dipisahkan dari budaya masyarakatnya yang suka memberikan hadiah. Maraknya perjudian makin menambah pesatnya Kolusi, Nepotisme juga Korupsi, karena para bandar judi yang
meminta
perlindungan
dari Polisi
mau
tidak
mau
mengeluarkan uang suap untuk keamanan lahan perjudiannya. Perdana Menteri Singapura menyadari betul akan perlunya badan atau lembaga yag terpisah dari Kepolisian, juga menyadari bahwa untuk memulainya gerkan anti Kolusi dan Nepotisme teus dimulai dengan adanya Politicial Will pemerintah. Sebab apabila strategi
pemberantasan
Kolusi
dan
Nepotisme
hanya
mengandalkan kekuasaan badan atau lembaga dan dukugan masyarkat, tanpa adanya dukungan dari pemerintah maka hasilnya kurang efektif. Ternyata stategi yang di lakukan ini membawa hasil karena hal ini didukung dangan dibentuknya Undang-Undang Anti Kolusi dan Nepotisme, dan didukung penuh oleh masyarakat selain itu 36
Ibid., hlm. 54-55.
27
pecegahan kolusi dab nepotisme juga dilakukan melalui pengkajian praktik-praktik dilapangan yang dilakukan oleh CPIB, karena bukan tidak mugkin kousi dan nepotisme juga terjadi di luar aparat penegak hukum yang tidak adil.37 5) THAILAND Sesudah kudeta militer yang menggulingkan kerajaan absolut tahun 1932 oleh militer, maka sampai tahun 1970 Thailand berada dalam dalam kekuasaan militer dan baru pada tahun 1973 Thailand
kembali
pada
dunia
demokrasi.
Selanjutnya
pembangunan di thailand berjalan dengan upaya kerja keras untuk memberantas Kolusi, Nepotisme juga Korupsi yang merajalela sejak militer berkuasa. Sebelum tahun 1975, penyidikan pemberantasan Kolusi dan Nepotisme dilakukan oleh penegak hukum biasa seperti polisi dan pengawasan dilakukan dibadan itu sendiri.hukum yang diterapkan adalah hukam pidana biasa dan peraturan kepegawaian ditambah beberapa delik berkaitan dengan penegakan hukum Kolusi dan Nepotisme. Pemerintah Thailand bertekad untuk memberantas kolusi, nepotisme juga korupsi, dan dituangkan dalam konstitusi Thailand 1974, pasal 66 : negara harus mengorganisasikan sistem efisien pada pekerjaan pelayanan pemerintah dan pekerjaan lain dari negara dan harus mengambil segala langkah untuk mencegah dan pemberantasan pencarian keuntungan dengan jalan Kolusi, Nepotisme dan juga Korupsi.38 2. Organisasi Massa Salah satu peran masyarakat dalam memberantas Kolusi dan Nepotisme adalah dibentuknya kegiatan masyarakat seperti Lembaga 37
Ibid., hlm. 56.
38
Ibid., hlm. 58-59.
28
Swadaya Masyarakat (LSM). Istilah LSM muncul di Indonesia pada akhir tahun 1970-an. Istilah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan pengganti istilah organisasi non-pemerintah (OR NOB). Lemabaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah organiosasi atau lembaga yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warga Negara Republik Indonesia secara sukarela atas kehendak sendiri dan berminat di bidang kegiatan tertentu yang di tetapkan oleh organisasi atau lembaga sebagai wujud partisipasi masyarakat yang menitik berat kepada pengabdian swadaya (Instruksi Mendagri No 8 tahun 1990 tentang pembinaan LSM). Operasionalisasi peran masyarakat ini juga dapat direpresentasikan dalam bentuk kegiatan Lembaga Swadaya Masyarakat dengan berbagai corak organisasi watch, pemantau, transparansi, atau nama lain sejenisnya. Sebagai konsekuensi dimungkuinkannya peran masyarakat ini, perlu di atur tentang jaminan perlindungan bagi saksi dan pelapor. Tanpa adanya jaminan perlindungan bagi saksi atau pelapor, maka tidak akan ada partisipasi optimal dari masyarakat. Peran serta masyaralkat dalam penyelenggaraan negara telah di atur dalam bentuk Peraturan Pemerintah No 68 Tahun 1999. ketentuan ini sebagai manifestasi dari pasal 9 ayat 3 UU No 28 tahun 1999 tenatang Penyelengaraan Negara yang Bersih Bebas Korupsi Kolusi, Nepotisme (KKN). Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara untuk mewujudkan negara yang bersih dilaksanakan dalam bentuk : a. Hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi mengenai penyelenggaraan negara. b. Hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dar penyelenggara negara. c. Hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab terhadap kebijakan penyelenggara negara. d. Hak memperoleh perlindungan hukum. Peran masyarakat sangat di perlukan, karena ketika upaya penanggulangan kolusi, nepotisme tidak berhasil, pada umumnya ada satu
29
unsur yang tidak ada yaitu peran masyarakat. Sehubungan dengan hal tersebut Jeremy Pope (2003: 59) mengemukakan bahwa: Sikap rakyat banyak menerima kolusi dan nepotisme sebagai fakta kehidupan dan rasa putus asa, inilah yang harus di benahi. Sebagian besar warga masyarakat berkepentingan dengan sistem integritas yang efektif. Betapa pemecahan bagi kolusi dan nepotisme ada di dalam masyarakat itu sendiri. Upaya apapun yang dilakukan untuk mengembangkan anti kolusi dan nepotisme tetapi tanpa melibatkan masyarakat, akan sia-sia karena tidak memanfaatkan salah satu alat yang berpotensi yaitu masyararakat. (Jeremy Pope (2003: 59). D. Pandangan Islam Tentang Kolusi dan Nepotisme Yang dimaksud dengan Kolusi di sini ialah persengkolongan antara dua pihak untuk suatu perbuatan melanggar hukum dan merugikan orang lain. Umpamanya seorang pejabat yang berwenang memutuskan pemenang sebuah tender bersepakat dengan salah seorang Pengaju tender
agar tendernya yang
dimenangkan, maka kesepakatan itu disebut “kolusi”. Begitu juga hakim di pengadilan yang berkolusi dengan pihak-pihak yang berperkara, agar perkaranya dimenangkan. Dalam bahasa agamanya, kolusi bisa disebut dengan “risywah” tetapi dalam bahasa politiknya, kolusi sering disebut “almahsubiyah”, dan istilah “Nepotisme” biasa dipakai untuk menerangkan praktek dalam kekuasaan umum yang mendahulukan kepentingan keluarga dekat untuk mendapatkan suatu kesempatan. Dalam bahasa arabnya dipakai dengan istilah “al-Muhabah”. Dalam pandangan Islam, suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli untuk bidang yang ditawarkan. Adapun jika yang diserahi tugas itu adalah kerabat dekat dari orang yang memberi tugas, bukanlah menjadi persoalan. Yang terpentin apakah orang tersebut memenuhi persyaratan atau tidak. Jadi prinsip yang ditanamkan dalam Islam adalah kompetensi seseorang atas sesuatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan. Kalaupun sekiranya pemangku jabatan adalah keluarga dari orang menunjuk, selama orang tersebut berkompeten berhak dan tidak ada pihak-pihak yang merasa dizhalimi, maka hal itu tidak akan menjadi persoalan. Jika kita memegang prinsip “kekerabatan” sebagai landasan, dalam arti setiap ada hubungan kekerabatan seseorang dengan
30
pejabat yang menunjuk maka itu sudah merupakan Nepotisme yang terlarang, secara rasional barangkali sikap ini kurang obyektifnya. Hanya gara-gara hubungan kerabat, seseorang tidak berhak mendapatkan haknya, padahal ia berkompeten dalam urusan itu, tentu sikap seperti ini berlebihan yang tidak pada tempatnya. Jadi dalam pandangan Islam, Nepotisme tidak selamanya tercela. Yang dilarang adalah menempatkan keluarga yang tidak punya keahlian dalam suatu posisi karena didasari oleh adanya hubungan kekeluargaan atau punya kapasitas, tetapi masih ada orang yang lebih berhak untuk jabatan itu, namun yang didahulukan adalah keluarganya. Ini juga Nepotisme yang tercela, karena ada orang lain yang dizhalimi, tidak mendapatkan haknya.39 ÉAºuqøBr& ô`ÏiB $Z)ƒÌ•sù (#qè=à2ù'tGÏ9 ÏQ$¤6çtø:$# ’n<Î) !$ygÎ/ (#qä9ô‰è?ur È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ Nä3oY÷•t/ Nä3s9ºuqøBr& (#þqè=ä.ù's? wur ÇÊÑÑÈ tbqßJn=÷ès? óOçFRr&ur ÉOøOM}$$Î/ Ĩ$¨Y9$# Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu Mengetahui.
) .
:
:
(
Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan orang yang disuap dalam hukum. Dalam riwayat lain: dari Tsauban ra berkata: Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap, orang yang disuap, dan orang yang menyebabkan adanya suap menyuap . (H.R. Tarmidzi dan Ghoirihi).
39
http://daudrasyid.com. index.php? option=com/ diakses pada tanggal 20/01/2010.
31
BAB III AYAT-AYAT AL-QUR’AN TENTANG PRAKTEK KOLUSI DAN NEPOTISME A. Term-term Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Kolusi dan Nepotisme Untuk melacak kedudukan hukum kolusi, Nepotisme dalam khazanah Islam bisa ditelusuri melalui konsep saraqah (pencurian), risywah (suap), khiyanat (pengkhianatan), al-qasysy (penipuan). Bahasa moral dan kemanusiaan yang sarat dengan etika dan perilaku hukum itu secara jelas terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, melalui keduanya para ahli hukum Islam menggali dan mengembangkan berbagai teori sampai pelembagaannya dalam pranata masyarakat Islam. 40 B. Penafsiran Ayat-ayat Al-Qur’an tentang Kolusi dan Nepotisme 1. Kolusi Kata kolusi berasal dari bahasa Inggris, yaitu Collution; artinya kerjasama rahasia untuk maksud tidak terpuji, persekongkolan. 41 Indikasi adanya tindakan kolusi adalah terjadinya proses tindakan tawar menawar kepentingan demi keuntungan, kerja sama tersembunyi dan penuh materi, manipulasi prosedur birokrasi, pemaksaan keputusan atau kebijakan secara struktural. Memberikan bantuan atau dalam bentuk kerjasama saling menguntungkan yang dilakukan dengan cara yanhg bertentangan dengan ketentuan dan peraturan adalah termsuk perbuatan dosa yang dimungkinkan dapat menimbulkan rasa ketidakpuasan atau bahkan permusuhan. Perbuatan demikian dilarang oleh Islam sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang berbunyi:
4 Èbºurô‰ãèø9$#ur ÉOøOM}$# ’n?tã (#qçRur$yès? Ÿwur “Dan janganlah tolong menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.” QS Al-Maidah ayat (2)42 Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan sebagai berikut:
40
Kamus Lengkap; Inggris-Indonesia Indonesia-Inggris; edisi Smart, Penerbit Arkola; Surabaya; Pengarang Priyo Darmanto – Puji Wiyoto; tanpa tahun; halaman 62. 41
Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, halaman 514.
42
Al-Qur an Dan Terjemahannya, Departemen Agama, Penerbit PT Bumi Restu, Halaman 157.
32
“Dan mereka dicegah untuk tolong menolong pada perbuatan bathil dan tolong menolong pada bermacam dosa dan berbagai perbuatan haram”. Kolusi sering dilakukan dengan suap-menyuap untuk lancarnya maksud dan tujuan. Jika hal yang demikian terjadi, perbuatan itu termasuk tindakan risywah. Rasulullah bersabda:
Terjadinya kolusi cenderung untuk memperoeh keuntungan dengan cara-cara licik, menyuap piahk lain agar dengan diajak kerjasama secara rahasia suap menyuap atau risywah merupakan gejala penyakit sosial yang muncul subur bersamaan dengan pemerintah yang korup, menghalalkan segala cara. Islam secara tersirat telah menerangkan larangan tentang melakukan perbuatan bathil, sebagaimana firman Allah berikut: Surat Ali Imron ayat 161
<§øÿtR ‘@à2 4’¯ûuqè? §NèO 4 ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# tPöqtƒ ¨@xî $yJÎ/ ÏNù'tƒ ö@è=øótƒ `tBur 4 ¨@äótƒ br& @cÓÉ
33
didapat si fulan diserahkan pula kepadanya, untuk dimiliki sendiri tetapi yang terlebih dahulu hendaknya semua dijadikan hak Baitul Maal. Maka orang yang bersikap curang main ghalul itu dipandang sebagai orang yang berkhianat. Menurut riwayat yang disampaikan oleh Abu DAud, AtTirmidzi, Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas bahwa ayat ini asbabul nuzul karena ketika terjadi peperangan Badar setelah harta rampasan dikumpulkan, ternyata hilang sehelai Khathifah, yaitu sehelai selendang bulu (wol) berwarna merah yang bisa dipergunakan penutup kepala pada musim dingin. Maka ada yang berkata : “Mungkin Rasulullah SAW sendiri yang mengambil untuk beliau.” Orang ini berkata tidaklah dengan maksud menuduh atau memburukkan. Melainkan merasa bahwa jika beliau yang mengambil, itu adalah hak beliau. Tetapi riwayat ini didhaifkan oleh setengah ahli tafsir. Sebab riwayat Ibnu Abbas ini mengenai perang Uhud. Tetapi menurut riwayat yang dikuatkan oleh Al-Kalby dan Muqatil, memang sebab turun ayat ini ialah pada saat perang Uhud ketika pemanah-pemanah yang dipandang bersalah, Karena meninggalkan posnya itu menyangka, bahwa harta rampasan (ghanimah) tidak akan dibagikan kepada mereka, sebagaimana di perang Badar. Apalagi mereka merasa bersalah. Dan mendengar perkataan itu, berkatah Rasulullah SAW: “Apakah kamu sangka kami berbuat curang dan tidak akan membaginya kepada kamu?” karena itu turunlah ayat itu. Riwayat lain lagi, ialah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Adh-Dhahhak, bahwa Rasulullah SAW mengirimkan beberapa orang pengintai kepada suatu daerah musuh. Kemudian daerah itu diperangi dan dikalahkan serta harta rampasan itu dibagi-bagi. Lalu ada diantara mereka yang menyangka, bahwa mereka tidak akan daapt pembagian. Kemudian setelah mereka datang ternyata bagian mereka ada disediakan, maka turunlah ayat ini untuk menegur persangkaan mereka yang buruk itu, dan ditegaskan pula bahwa Nabi tidaklah akan berbuat curnag dengan pembagian harta rampasan dan sekali-kali tidaklah Nabi akan menyembunyikan sesuatu untuk kepentingan diri Beliau sendiri. Ayat ini dapat kita ambil saripatinya untuk menjadi I’tibar bagi kita, jika kita mendapat kesempatan menduduki tempat yang mulia seperti kedudukan Nabi ketika itu, yang menjadi kepala perang atau kepala pemerintahan, bahwa jika ada kekayaan Negara, janganlah dicurangi dan janganlah berbuat korupsi dengan harta Negara. Pada masa pemerintahan Umar bin Khathab sahabat rasul yang terkenal, Abu Hurairah telah diangkat menjadi pemungut zakat. Setelah berhasil memungut zakat itu, beliaupun kembali ke Madinah dan menyerahkan Khalifah untuk dimasukan ke Baitul
34
Maal. Setorannya baik, tanggung jawabnya selesai, tidak ada yang mencurigakan. Tetapi ditangannya ada satu barang yang tidak diserahkan. Khalifah bertanya: Anna laka hadzal ( ini dari mana engkau dapat). Lalu Abu Hurairah menjawab, bahwa barang tersebut adalah hadiah dari salah seorang pembayar zakat untuk dirinya sendiri. Dengan tegas Khalifah memerintahkan supaya barang itu pun diserahkan, karena kalau bukan dia diutus untuk memungut zakat , tidak adalah ada sebab baginya menerima hadiah itu. Kejadian itu di atas menunjukkan bahwa korupsi, kolusi itu dilarang.43 Surat Al-Anfal ayat 27
ÇËÐÈ tbqßJn=÷ès? öNçFRr&ur öNä3ÏG»oY»tBr& (#þqçRqèƒrBur tAqß™§•9$#ur ©!$# (#qçRqèƒrB Ÿw (#qãZtB#uä z`ƒÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.(Q.S. Al-Anfal ayat 27) Dalam suatu riawayt. Dari hadits Jabir bahwasanya Abu Sufyan yang pada masa itu memimpin perlawanan kaum Quraisy terhadap Rasulullah SAW, pada suatu hari telah keluar dari Makkah hendak memerangi Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah segera menerima berita itu, lalu beliau bersiap. Maka seorang dari kalangan Muslim sendiri segera dengan sembunyi-sembunyi mengirim surat kepada Abu Sufyan mengatakan bahwa Rasulullah SAW telah mengirim surat kepada Abu Sufyan mengatakan bahwa Rasulullah telah tahu maksudmu, sebab itu hendaklah engkau bersiap-siap dengan berawas. Tetapi ada lagi riwayat lain, yang dibawakan oleh Abdullah bin Qatadah dan Az-Zuhri dan Al-Kalbi dan As-Suddi dan Ikrimah, bahwa ada seorang penduduk Anshar di Madinah bernama Abu Lubabah. Dia telah lama mengikat janji setia dengan Bani Quraizhah yang sesudah Rasulullah SAW mengusir seluruh Bani Nadhir dari Madinah, dan sesudah itu Nabi pun menghadap Bani Quraizhah, yang dikepung oleh Al- Ahzab (sekutu). Setelah mereka dikepung beberapa lama sehingga tidak berdaya lagi, mereka dipersilahkan turun dari benteng mereka untuk menerima hukum keputusan dari Sa’adbin Mu’az dan Sa’ad ini dahulupun, sebeleum mereka untuk mengkhianati janji mereka dengan Nabi itu, telah mengikat janji persetiaan pula dengan Bani Quraizhah itu. Tetapi secara sembunyi-sembunyi Abu Lubabah tersebut telah 43
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz IV, Jakarta, Panjimas, 1982, hlm. 179-182
35
member isyarat kepada Bani Quraizhah supaya jangan diterima tawaran itu, sambil menggesengkan tangannya kepada lehernya sendiri berarti bahwa hukum yang akan dijatuhkan Sa’ad bin Mu’az kelak tidak lain memotong leher mereka. Karean perbuatan Abu Lubabah yangf demikian itu turunlah ayat ini. Maka ayat ini adalah teguran keras kepada Abu Lubabah, sebab dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya. Dia telah membuka rahasia kepada Yahudi Bani Quraizhah itu seketika mereka disuruh saja turun dari benteng pertahanan yang tidak akan dapat lagi mereka pertahanka itu. Mengapa dia larang mereka turun? Mengapa dia membuka rahasia bahwa hukuman Sa’ad kelak ialah potong leher? Setelah ayat ini turun, terasalah oleh Abu Lubabah sesal yang sangat karena membuka rahasia itu, goyang rasanya bumi ini dia pijakan, sebab Allah sendiri telah menuduhnya berkhianat, membuka rahasia. Dari riwayat yang dibawakan oleh Abd bin Humaid dari alkalbi, bahwa Abu Lubabah itu diutus Nabi kepada Bani Quraizhah, sebab dia selama ini adalah sahabat baik dari persekutuan Yahudi tersebut. diriwayatkan pula bahwa diapun menitipkan harta benda dan anak-anaknya pada Bani Quraizhah. Maka setelah bertemu dengan pemuka-pemuka Yahudi itu, dia sampaikanlah usulan Nabi supaya mereka turun dari benteng dan menyerah kepada keputusan hukum Sa’ad bin Mu’az. Lalu pemuka Yahudi itu bertanya, kalau mereka mau turun, apa kira-kira hukumannya yang akan dijatuhkan Sa’ad kepada mereka. Lalu dengan tidak pikir panjang Abu Lubahah membawa tangannya ke lehernya, mengisyaratkan akan dipotong leher semua. Kelancangan inilah yang ditegur oleh ayat ini. Ini memang suatu kelancangan, ataupun satu pengkhianatan. Abu Lubabah telah bertindak lancang berkata demikian, karena dia merasa kasihan kepada Bani Quraizhah, ataupun mempertakuttakuti, padahal kita tahu setelah membaca riwayat penghukuman Bani Quraizhah tiu sampai kepada saat itu Nabi sendiri pun belum tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan oleh Sa’ad bin Mu’az kepada mereka. Tersebut dalam riwayat bahwa Rasulullah SAW setelah ayat ini turun segera memanggil isteri Abu Lubabah, lalu bertanya : “Apakah Abu Lubabah tetap mengerjakan puasa, dan sembahyang dan adakah dia mandi junub setelah setubuh? Isterinya menjawab: Dia puasa, sembahyang dan mandi junub, bahkan cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Nabi sampai bertanya demikian, tandanya beliau syak ragu atas keimanannya, sehingga ditanyai isterinya tentang kehidupan sehari-hari, apakah dia betul-betul Islam atau Islam Munafiq. Isterinya menjawab dengan pasti bahwa dia puasa, dia sembahyang kalau habis setubuh dia tetap mandu junub. Menandakan amal keislamannya baik. Tetapi dia telah berbuat
36
perbuatan yang khianat, lancang, dan membuka rahasia, yaitu perbuatan orang munafiq. Meskipun dia bukan seorang munafiq, tetapi kelamcangannya menyebabkan dia berkhianat. Sebab kitapun mendapat kesan, bahwa walaupun orang telah tunggat-tunggit sembahyang, puasa senin-kamis, taat beribadat, belumlah yang demikian dapat dijamin kebersihannya, kalau dia tidak setia memegang amanat. Abu Lubabah telah menambah dengan kehendak sendiri suatu hal yang dipercayakan kepada dia, padahal dia utusan. Menjadi peringatan kepada kita ummat Muhammad SAW buat selanjutnya. Kekuatan ibadah wajib kita sejalan dengan kesetiaan dan keteguhan memegang kedisiplinan. Perbuatan Abu Lubabah dapat menimbulkan tindakan kolusi, kerja sama dengan pihak lain. 2. Nepotisme Kata Nepotisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu nepotism artinya pemberian jabatan yang berat sebelah karena hanya saudarasaudar saja yang diangkat.44 Adapun menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nepotisme diartikan dengan dua pengertian, yaitu: 1. Kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama di jabatan, rangkat di lingkungan pemerintahan. 2. Tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang pemerintahan.45 Nepotisme menurut JW. Schoorl adalah praktek seorang pegawai negeri yang mengangkat seorang atau lebih dari keluarga (dekatnya) menjadi pegawai pemerintah atau member perlakuan yang istimewa kepada mereka dengan maksud untuk menjunjung nama keluarga, menambah penghasilan keluarga, atau membantu menegakkan suatu organisasi politik, sedang ia seharusnya mengabdi pada kepentingan umum.46 44
Kamus Inggris-indonesia, penerbit Praduga Paramita, Djakarta, karangan E. Pino. T. Wittermans, tahun 1971, cetakan ke-9, halaman 269. 45
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Penerbit Balai Pustaka, Edisi Kedua, Cetakan ketiga, tahun 1994, halaman 287. 46
JW. Schoorl, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang, Penerbit Gramedia, Jakarta, Tahun 1980, halaman 175
37
Sedang menurut UU Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 5, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggaraan Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan / atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan Negara.47 Apakah suatu kebijakan atau tindakan termasuk dalam kategori nepotisme atau tidak? Hal tersebut memerlukan suatu ukuran atau criteria yang tegas. Islam memberikan petunjuk mengenai pemilihan dan pengangkatan seseorang untuk menjabat suatu kedudukan atau dasar pertimbangan kapabilitas ( kemampuan) dan rasa tanggung jawab), profesionalitas (keahlian), dan moralitas (akhlaqul karimah). Jadi, seorang keluarga dekat dapat saja diangkat untuk jabatan tertentu, jika ia mempunyai kemampuan dan keahlian serta akhlak yang terpuji di matas masyarakat. Nepotisme yang memenuhi criteria, profesionalitasdan moralitas tidak dilarang dalam Islam. Hal ini dilakukan oleh Nabi Musa, mengangkat saudara kandungnya Nabi Harun untuk mendampingi dalam mengemban risalah kenabian, sebagaimana diabadikan di dalam AlQur’an surat Thoha ayat 29-34 dan Surat Al_Qashash ayat 34.
Nabi Musa memiliki pertimbangan terhadap saudaranya Nabi Harun karena Nabi Harun lebih fasih lisannya. Karena itu selain kapabilitas, profesionalitas dan moralitas juga memiliki integritas pribadi dan kredibilitas yang tinggi. Secara spesifik Al-Qur’an memang tidak menyebutkan tindakan kolusi dan nepotisme, akan tetapi secara umum telah disinggung sebagaimana ayat-ayat Al-Qur’an dibawah ini: Surat Al-Baqarah ayat 188
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hakim yang bersumber dari Said bin Jubair, asbabul nuzul ayat 188 surat AlBaqarah ini berkenaan dengan Imra’ul Qais berselisih dengan Abdan bin Asyma al-Hadhrami soal sengketa tanah. Imra’ul Qais berusaha untuk mendapatkan tanah itu menjadi miliknya dengan bersumpah didepan hakim. Ayat ini sebagai peringatan kepada orang-orang yang merampas hak orang dengan cara yang bathil. Islam melarang umatnya dalam mencari harta benda dengan cara-cara yang curang dan licik, seperti perampok, pemalsuan dan 47
UU Nomor 28 Tahun 1999
38
reklame yang beraroma membohongi public, menyimpan barang untuk dijual setelah harga mahal, riba dan usaha-usaha yang syubhat karena makan harta diantara manusia dengan cara bathil adalah perbuatan dosa. Mencari anugrah (rizqi) Allah di bumi adalah suatu keharusan, namun harus dalam koridor ketentuan islam, seperti jual beli dan lailain. Surat Al-Maidah ayat 8
öNà6¨ZtBÌ•ôftƒ Ÿwur ( ÅÝó¡É)ø9$$Î/ uä!#y‰pkà- ¬! šúüÏBº§qs% (#qçRqä. (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$# $pkš‰r'¯»tƒ BQöqs% ãb$t«oYx© $yJÎ/ 7Ž•Î6yz ©!$# žcÎ) 4 ©!$# (#qà)¨?$#ur ( 3“uqø)-G=Ï9 Ü>t•ø%r& uqèd (#qä9ωôã$# 4 (#qä9ω÷ès? žwr& #’n?tã ÇÑÈ šcqè=yJ÷ès? Artinya : Hai orang-orang yang beriman hendaknya kamu jadi orangorang yang selalu menegakkan (kebenaran ) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yangkamu kerjakan. (Q.S. Al-Maidah: 8) Wahai orang-orang yang beriman Hendaklah kamu menjadi yang lurus karena Allah . Kalimat Qawwamin dari kata Qiyam, yang artinya tegak lurus. Berjiwa besar karena bertauhid. Tidak ada tempat merundukkan diri melainkan Allah. Sikap lemahlembut tetapi teguh dalam memegang kebenaran. Kata orang sekarang: “Berpribadi”. Bukan lemah lunglai direbah-rebahkan angina kemana hendak dibawanya, lemah pendirian dan mudah ditawar. Bukan begitu orang mukmin. Wajahnya yang sekurangkurangnya lima kali sehari semalam menghadap Tuhan, yang tegak berdiri ketika mulai sembayang, yang rukuk hanya kepada Allah dan sujud hanya kepada Allah, tidaklah mudah direbahkan oleh orang lain. Tidak termuram terhuyung-huyung kerena ditimpa musibah, tidak pula melambung laksana balon ketika masih berisi angin ketika mendapat keuntung, sehabis angin mengerucut turun. Menjadi saksi dengan adil . Kalau seorang mukmin diminta kesaksiannya dalam suatu hal atau perkara, hendaklah dia memberikan kesaksian yang sebenarnya saja, yakni yang adil. Tidak membolak-balik karena pengaruh sayang atau benci, karena lawan atau kawan, karena yang dihadapi akan diberikan kesaksian tentang kaya, lalu segan karena kayanya. Atau miskin, lalu kasihan karena kemiskinannya. Katakana apa yang engkau tahu dalam hal
39
itu, katakana yang sebenarnya, walaupun kesaksian itu menguntungkan orang yang tidak engkau senangi atau merugikan orang yang engkau senangi. Dan janganlah menimbulkan benci kepadamu penghalangan dari satu kaum, bahwa kamu tidak akan adil . Misalnya orang yang akan engkau berikan kesaksianmu atasnya itu, maka janganlah kebencianmu itu menyebabkan kamu memberikan kesaksian dusta untuk melepaskan sakit hatimu kepadanya, sehingga kamu tidak berlaku adil lagi. Kebenaran yang ada dipihak dia, jangan dikhianati Karena rasa bencimu. Karena kebenaran akan kekal dan ras benci adalah perasaan bukan asli dalam jiwa, itu adalah hawa dan nafsu yang satu waktu akan mereda teduh. Berlaku adillah itulah yang akan melebih-dekatkan kamu kepada taqwa. Keadilan adlah pintu yang dekat kepada taqwa, sedangkan bendi adalah membawa jauh dari Tuhan. Apabila kamu telah dapat menegakkan keadilan, jiwamu sendiri akan merasakan kemenangan yang tiada taranya, dan akan membawa martabatmu naik di sisi manusia dan di sisi Allah. Dan taqwalah kepada Allah. Peliharalah hubungan baik dengan Tuhan, supaya lebih dekat kepada Tuhan. Sesungguhnya Allah amat mengetahui apa pun yang kamu kerjakan . Jiwa manusia dibawah pengawasan Tuhan, adakah dia setia memegang keadilan atau tidak. Jika masyarakat Islam telah diberi Allah karunia kekuasaan, mengatur pemerintah, adakah dia adil atau tidak. Surat An-Nisa ayat 58
br& Ĩ$¨Z9$# tû÷üt/ OçFôJs3ym #sŒÎ)ur $ygÎ=÷dr& #’n<Î) ÏM»uZ»tBF{$# (#r–Šxsè? br& öNä.ã•ãBù'tƒ ©!$# ¨bÎ) * (#qßJä3øtrB ÇÎÑÈ #ZŽ•ÅÁt/ $Jè‹Ïÿxœ tb%x. ©!$# ¨bÎ) 3 ÿ¾ÏmÎ/ /ä3ÝàÏètƒ $-KÏèÏR ©!$# ¨bÎ) 4 ÉAô‰yèø9$$Î/ Artinya : Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaikbaiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa setelah Fathul Makkah Rosulullah Saw memanggil Utsman bin Thalhah untuk meminta kunci Ka’bah ketika Utsman dating menghadap, Nabi
40
meyerahkan kunci itu, berdirilah Abbas dan berkata : Ya Rasulullah, demi Allah, serahkan kunci itu kepadaku untuk saya rangkap jabatan tersebut dengan jabatan Siqoyah (urusan pengairan). Utsman menarik kembali tangannya. Maka bersabdalah Rasulullah SAW, berikanlah kunci itu kepadaku wahai Utsman. Utsman berkata inilah dia, amanat dari Allah. Maka berdirilah Rasulullah SAW membuka Ka’bah dan terus keluar untuk thawaf di Baitullah. Turunlah jibril membawa perintah supaya kunci itu diserahkan kembali kepada Utsman. Rasulullah SAW melaksanakan perintah tersebut sambil membaca ayat diatas. (HR. Ibnu Marduwah dari Al-Kalby dari Abi Sholeh yang bersumber dari Ibnu Abbas). Pada riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini berkenaan dengan Utsman bin Thalhah. Ketika itu Rasulullah SAW mengambil kunci Ka’bah dari padanya pada saat Fathul Makkah. Dengan kunci itu Rasulullah SAW masuk Ka’bah. Disaat keluar dari Ka’bah beliau membaca ayat ini, kemudian Beliau memanggil Utsman untuk menyerahkan kembali kunci itu. Menurut Umar bin Khathab kenyataan ayat ini turun didalam Ka’bah, karena pada waktu itu Rasulullah keluar dari Ka’bah, membaca ayat itu, dan ia bersumpah bahwa sebelumnya belum pernah mendengar ayat itu. (diriwayatkan oleh Syu’bah di dalam tafsirnya dari Hajaj yang bersumber dari Ibnu Juraj). Dari penegasan ayat diatas bahwa amanat yang telah dipikul oleh seseorang, maka ia harus menjaga amanat itu dengan sebaik-baiknya. Kemampuan memelihara amanat tidak serta merta dialihkan kepada siapapun, tetapi dalam harus melalui proses yang telah dibuktikan kemampuannya. Dalam sejarah Islam, Khalifah yang sangat terkenal dan disegani adalah Umar bin Khathab. Ketika Beliau ditikam dan luka parah, karena sakitnya seperti sudah sulit disembuhkan, Beliau mengumpulkan sahahbatsahabatnya untuk membicarakan figur pengganti Beliau. Kemudian muncul usulan agar Abdullah bin Umar dijadikan pengganti Beliau, karena Abdullah bin Umar orang shalih, ahli ibadah, dan amanah. Ternyata Abdullah bin Umar menolak bahkan Abdullah hanya diberi hak untuk mendengarkan saja tanpa boleh untuk bicara. Abdullah bin Umar diberi hak untuk sebagai seorang anak yang taat dan patuh kepada orang tuanya. Dari peristiwa ini, nepotisme sebisa mungkin untuk dihindari.
41
BAB IV ANALISIS A. Pandangan Al-Qur’an Terhadap Praktek Kolusi Dan Nepotisme Allah SWT berfirman dalam surat Hud ayat 6, bahwa tidak satu binatang melata pun di bumi ini yang tidak dijamin rezekinya oleh Allah. Ini artinya binatang yang pernah mendapat kesempatan hidup pasti pernah mendapatkan rezeki dari Allah. Perintah agama kepada kita dalam soal rezeki adalah adanya ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan rezeki yang halal. Dengan arti, apa yang menjadi rezeki bagi kita sekaligus adalah milik kita. Sesuatu yang menjadi milik yang syah bagi seseorang atau suatu lembaga, tidak berubah menjadi milik orang atau lembaga lain, kecuali dengan melalui thuruq masru ah (cara-cara yang dibenarka oleh agama). 48 Harta yang diperoleh seseorang dengan jalan yang tidak benar, misalnya uang hasil mencuri, riba, korupsi dan lain-lain, adalah haram. Selama berstatus haram, maka harta tersebut tidak bisa digunakan karena bukan miliknya. Dia berkewajiban mengembalikan kepada pemilik yang sah. Ironisnya, pemeluk agama banyak yang sudah tidak peduli pada halal dan haram. Buktinya tidak sedikit dari mereka yang berani melakukan kolusi dan nepotisme dan tindak kejahatan lainnya. Kata kolusi dan nepotisme juga korupsi menjadi kata yang sangat banyak diucapkan orang di negeri ini. Kolusi dan nepotisme adalah pengkhianatan terhadap amanah (kepercayaan) dengan mengambil atau menerima barang, uang, atau manfaat yang merugikan publik secara moral dan material. Kolusi dan nepotisme bisa disebut sebagai pencurian tingkat elit, karena hanya bisa dilakukan oleh orang yang sedang mendapat kepercayaan dalam berbagai levelnya.
48
. P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Korupsi di Negeri Kaum Beragama, Jakarta: Kementerian Partnership, 2004, hlm. 167-168
42
Menjadi koruptor tidak gampang, karena salah satu pra syaratnya adalah adanya amanah yang dipercayakan kepadanya yang ternyata salah alamat. Orang yang memikul amanah yang kemudian menjadi koruptor itu adakalanya pada awalnya amanah (jujur) tapi kemudian berubah menjadi pengkhianat, yang jelas koruptor itu dalam banyak hal merupakan produk sistem yang rusak. Sebab ada dugaan keras, bahkan keyakinan, bahwa maraknya kolusi dan nepotisme juga korupsi di negara ini adalah cerminan dari rusaknya masyarakat kita, khususnya dibidang akhlak dan moralitas, sehingga orang jujur disini menjadi makhluk langka.49 Kolusi sebenarnya berasal dari bahasa latin collution yang artinya penyuapan atau corumpere yang artinya merusak, kolusi adalah tindak kejahatan penyelewengan dana, wewenang, amanat, dan sebagainya untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan kelompoknya yang dapat merugikan negara maupun pihak lain.50 Syari’at Islam bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia, yakni apa yang disebut sebagai maqashidush syari ah. Diantara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifdzul mal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Perbuatan kolusi dapat dilihat dari berbagai segi: Pertama, perbuatan korupsi merupakan perbuatan curang dan penipuan yang berpotensi merugikan keuangan negara dan kepentingan publik. Hal ini ada relevansinya dengan kandungan surat Ali Imran (3): 161. Kedua, perbuatan kolusi dan nepotisme
berupa
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang untuk
memperkaya diri sendiri maupun orang lain merupakan pengkhianatan terhadap amanat dan sumpah jabatan. Mengkhianati amanat adalah perbuatan dosa dan salah satu karakter munafik yang dibenci oleh Allah SWT, sehingga hukumnya haram. (al-Anfal, 8: 27; dan an-Nisa’,4: 58). Ketiga, perbuatan 49
. Ibid, hlm.170
50
. Ibid. hlm. 171
43
kolusi dan nepotisme untuk memperkaya diri dan orang lain atas harta negara adalah perbuatan dzalim, karena kekayaan negara adalah harta publik yang berasal dari jerih payah masyarakat termasuk kaum miskin dan rakyat kecil. Perbuatan dzalim ini patut mendapat adzab yang pedih.(Az-Zukhruf 43: 65). Keempat, termasuk kategori korupsi adalah kolusi dan nepotisme dengan memberikan fasilitas negara kepada seseorang yang tidak berhak karena dealdeal tertentu, seperti menerima suap (pemberian) dari pihak yang diuntungkannya tersebut. 51 Tindak pidana kolusi dan nepotisme berkaitan erat dengan proses pentasarupan yang dilakukan oleh seseorang yang mendapat amanat dalam suatu jabatan. Dalam hal ini ada relevansinya dengan kaidah: (Pentasarupan imam (pemimpin) terhadap rakyat haruslah didasarkan atas kemaslahatan) (As-Suyuthi, Al-Asybah wanNadhoir: 83) dan juga dengan kaidah: (setiap orang yang bertasaruf untuk kepentingan orang lain, dia berkewajiban untuk mentasarupkannya berdasarkan kemaslahatan) (as-Subky, Al-Asybah wan-Nadhoir I: 310). Dengan demikian pula tindak pidana kolusi dan nepotisme ini ada hubungannya dengan kaidah:
(sesuatu yang diharamkan
di dalam memperolehnya, diharamkan pula untuk diberikan kepada pihak lain). (As-Suyuthi, Al-Asybah wan-Nadhoir: 102). Harta dan lain-lain yang diperoleh dari hasil kolusi dan nepotisme juga haram untuk ditasyarufkan dalam berbagai hal termasuk dalam “amal salih”. Berdasarkan uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa tindak pidana kolusi dan nepotisme dikategorikan sebagai tindakan pengkhianatan terhadap amanat dan juga merupakan perbuatan dzalim. Secara totalitas kolusi dan nepotisme dapat dikategorikan sebagai ma’syiat, namun tidak ada ketentuan dari syari’ tentang bentuk sanksinya di dunia.
51
. Ibid, hlm.176
44
Untuk melacak kedudukan hukum korupsi dan kolusi dalam khazanah hukum Islam bisa ditelusuri melalui konsep saraqah (pencurian), risywah (suap), khiyanat (pengkhianatan), gasysy (penipuan). Bahasa moral dan kemanusiaan yang sarat dengan etika dan perilaku hukum itu secara jelas terkandung dalam Al-Qur’an dan As-sunnah melalui keduanya para ahli Hukum Islam menggali dan mengembangkan berbagai teori sampai pelembagaannya dalam pranata masyarakat Islam. 52 Secara teoritis, kedudukan korupsi sebagai inti tindakan yang biasanya didukung oleh tindakan kolusi dan nepotisme merupakan tindakan kriminal (jinayah atau jarimah). Asas legalitas hukum Islam tentang korupsi sangat jelas dan tegas. Tindakan kolusi mengandung delik pencurian (saraqah) karena mengambil hak atau harta suatu lembaga atau orang lain dengan cara yang tidak sah. Hal ini sangatlah bertentangan dengan peringatan Allah dalam Al-Qur’an yang melarang perbuatan ini. Adapun hukuman bagi seorang koruptor (pencuri) ditetapkan oleh Al-Qur’an dengan hukum potong tangan (walaupun ada perbedaan pendapat antara ulama fikih berkaitan dengan penafsiran implementasi qatha’a (potong tangan).53 Tindakan kolusi dan nepotisme yang hakekatnya delik pencurian memang harus diberikan hukuman yang setimpal sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya. Tindakan kolusi dan nepotisme mungkin tidak bisa disamakan dengan tindakan pencurian biasa, karena kolusi dan nepotisme biasanya dilakukan oleh orang yang mempunyai akses kekuasaan dalam semua tingkatan. Dampak yang ditimbulkannya begitu dahsyat, khususnya koruptor dari pejabat atau birokrat yang mempunyai akses kekuasaan yang sangat besar.
52
. Tobib Al-Asyhar, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta: PT. Al-Mawardi Prima, 2003, hlm. 112-113 53
. Ibid, hlm.115
45
Tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme biasanya tidak terlepas dari budaya suap-menyuap (risywah) yang sudah sangat kita kenal dilingkungan budaya birokrasi, dan telah merasuki sistem jaringan yang amat luas dalam masyarakat umum. Menurut pandangan Yusuf Qardhawi, bahwa tindakan penyuapan merupakan suatu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan penyuapan, terutama bagi seorang Hakim yang disuap, patut dijuluki sebagai penjahat yang sangat keji. Perbuatannya merupakan kezaliman yang sangat destruktif, baik secara moral sosial maupun ekonomi. Oleh karenanya, hukum Islam memposisikan tindakan korupsi (dan kolusi juga nepotisme) sebagai bentuk kegiatan kriminal dalam segala bentuknya. Pelaku korupsi (kolusi dan nepotisme yang ujung-ujungnya meraup harta yang bukan miliknya dengan cara yang tidak syah) dalam konteks hukum Islam dapat disebut sebagai pencuri, penyuap, pengkhianat dan penipu, yang karena itu harus diberi hukuman yang setimpal sesuai dampak sosial yang ditimbulkannya dan haram bagi para pelakunya untuk masuk surga.54 B. Dampak Praktek Kolusi dan Nepotisme Bagi Kehidupan Masyarakat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia sudah sedemikian menghujam dan menukik sampai wilayah terendah dalam struktur pemerintahan
kita.
Upaya
pemberantasannya
pun
telah
diupayakan
sedemikian lama. Pada 1960, misalnya dengan dikeluarkannya Perpu No. 24/1960 yang kemudian oleh UU No. 1/1961 dinyatakan sebagai undangundang dengan nama undang-undang tentang pengusutan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana korupsi.
54
. Ibid, hlm.116
46
Dari titik itulah, kemudian melahirkan UU No. 3/1971 tentang pemberantasan tindak korupsi. Hasilnya juga sangat memprihatinkan, bahkan negeri kita dalam deretan nomor tiga negara korup.55 Pada masa awal reformasi baru bergulir, rakyat pernah memiliki mimpi-mimpi indah. Rakyat bermimpi, bahwa pada suatu saat nanti akan lahir sebuah tatanan kenegaraan yang bersih dan berwibawa. Para pemimpinnya dihargai rakyat, rakyat mematuhi segala peraturan yang ada. Ada rasa saling asah, asuh dan asih sesama warga bangsa. Tidak ada pemborosan dan kebocoran yang berlebih-lebihan kalau toh ada, masih dalam batas kewajaran dan kelaziman. Namun apa yang terjadi? Mimpi-mimpi indah itu berubah menjadi mimpi-mimpi buruk. Dimana wakil rakyat yang sebenarnya bisa mengontrol roda pemerintahan, justru semakin tidak bisa dikontrol. Masalah pengeluran dana bukan hanya terjadi kebocoran, tetapi yang terjadi adalah kebanjiran, harapan terciptanya kondisi pemerintahan yang bersih dan berwibawa justru sebaliknya kotor dan memalukan. Mimpi-mimpi indah rakyat ini, paralel dengan mimpi-mimpi indah yang pernah dimiliki oleh para aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa dan orang-orang yang peduli dengan nasib rakyat pada saat berhasil menggulirkan isu-isu besar di awal reformasi. Mimpi-mimpi indah para aktivis sosial ini, juga berhasil seperti mimpi-mimpi rakyat. Realitas yang diperoleh, justru sebaliknya, dimana mereka tidak lagi menemui birokrasi yang bersih, legislatif yang berwibawa karena kekritisan dan komitmennya untuk mengontrol eksekutif. Mereka kini disuguhi dengan kondisi sebaliknya, yakni budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang semakin menggila. Efektivitas penegakan hukum yang semakin tidak ada, jual beli jabatan, putusan peradilan dan barter kebijakan dengan uang terjadi disemua lini kekuasaan dan akhirnya, mereka tidak berdaya untuk melakukan sesuatu untuk memenuhi mimpi-
55
. Dwi Saputra. dkk, Tiada Ruang Tanpa Korupsi, Semarang : Basmala Mutiara Grafika, 2004, hlm. 99
47
mimpi indahnya. Kini partai politik sudah diramaikan dengan perekrutan para calon legislatif. 56 Sudah menjadi kelaziman, kalau kegiatan tersebut diwarnai dengan kasak-kusuk, sodok sana-sini, bahkan ada yang berani tawar-menawar harga kursi, kursi jadi dan kursi tidak jadi. Antar caleg juga sudah melakukan kontrak-kontrak politik, kompensasi apa yang akan diberikan dari caleg yang jadi anggota terhadap caleg yang tidak jadi anggota dewan. Masalah hubungan famili, kedekatan pribadi dengan top partai, hubungan santri-kyai, dan lainlain, menjadi sisi penentu untuk lolos menjadi caleg juga ramai diperbincangkan. Masih banyak lagi dampak praktik kolusi dan nepotisme lain bagi masyarakat. Praktek kejahatan kolusi dan nepotisme pada dasarnya merupakan masalah sensitif bagi masyarakat yang bersangkutan, karena menyangkut nasib masa kini dan masa depan kehidupan bersama. Fenomena kolusi dan nepotisme ini menunjukkan bahwa hal itu muncul disekitar kekuasaankekuasaan yang tanpa nilai menjadi penyebab timbulnya kolusi dan nepotisme politik, tanpa nilai. Di sini berarti tidak sesuai dengan etika dan moral yang ada.57 Praktek-praktek perbuatan yang tidak jelas dan penuh tanda tanya semacam itu sebenarnya perlu direspon secara moral oleh masyarakat, supaya tidak menjadi beban moral masyarakat dan menurunkan wibawa hukum begitu pula praktek perbuatan lain yang perlu mendapat fasilitas milik negara di luar dinas. Sedikit banyak akibar dari perbuatan ini, negara akan menderta kerugian. Kejahatan kolusi dan nepotisme secara langsung maupun tidak langsung merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yang pada saat yang sama, upaya pemberantasan kolusi dan nepotisme tidak realistis jika tanpa mengkut sertakan partisipasi masyarakat dalam pasal 41 UU No. 31 56 57
. Ibid, hlm.165
. Dr. Artidjo al-Kautsar, SH.LLM, Korupsi Politik di Negara Modern, Yogyakarta : FH UII Press. 2008, hlm. 199
48
tahun 1999 tentang pemberantasan kolusi dan maysarakat untuk memberikan kontribusi peran sosial dalam pemberantasan kolusi dan nepotisme. Operasionalisasi peran masyarakat ini juga dapat direpresentasikan dalam bentuk kegiatan LSM dengan berbagai corak organisasi seperti pemantauan, transparansi atau nama lain sejenisnya. Sebagai konsekuensi dimungkinkannya peran masyarakat ini, perlu diatur tentang jaminan perlindungan bagi saksi dan pelapor, maka tidak akan ada partisipasi optimal dari masyarakat. Kehadiran LSM dalam sebuah masyarakat merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak. Hal itu karena bagaimana pun juga, kapasitas pemerintah terbatas, tidak semua kebutuhan warga masyarakat dipenuhi oleh pemerintah. Kegiatan pelayanan tidak jarang akan lebih efisien dan efektif kalau dilakukan oleh masyarakat. Paparan diatas menunjukkan bahwa mencakup praktek kolusi dan nepotisme disuatu pemerintahan cenderung diakibatkan oleh suasana pemerintahan yang korup, pemerintahan yang sudah meninggalakan nilai-nilai moralitas. Budaya malu telah lenyap. Keyakinan adanya pembalasan terhadap segala perilaku keimanan mulai diragukan. Segala akibat aktifitas diukur dengan materi. Terapi terhadap gejala penyakit sosial yang demikian menurut pandangan islam karena lemahnya keimanan dan keyakinan akan kebenaran ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi pedoman umat islam. Oleh karena itu perlu adanya upaya peningkatan keimanan bagi seluruh komponen bangsa juga yang harus ditegakkan adalah adanya supremasi hukum.
49
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berbagai penjelasan mengenai Kolusi dan Nepotisme pada bab sebelumnya dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Kolusi terdiri dari dua unsur utama, yaitu adanya persekongkolan dan salah satu yang melakukannya adalah aparat pemerintahan. Oleh karena itu, dalam pandangan Al-Qur’an Kolusi tidak dapat di benarkan,karena, tindakan tersebut merupakan bentuk dari saling tolong menolong dalam dosa dan pelanggaran yang tidak dapat dibenarkan,dan pelakunya tidak akan dapat mencapai derajat ketaqwaan karena tindakannya tersebut. Sedangkan tindakan Nepotisme tidak diperbolehkan menurut AlQur’an,karena tindakan tersebut merupakan salah satu bentuk ketidak adilan, baik terhadap dirinya,kerabatnya,apalagi terhadap rakyat. Hal tersebut
disebabkan
karena
tindakan
Nepotisme
tersebut
tidak
menempatkan seseorang sesuai kapasitasnya. Mufassir berpendapat bahwa tindakan Kolusi dan Nepotisme adalah wujud dari ketiadaan keadilan. Mereka berpendapat bahwa keadilan, kebajikan,ketaqwaan dan kebenaran adalah salah satu kesatuan yang
tetap
harus
ditegakkan
tidak
boleh
mengalahkan
yang
lainnya,meskipun pada akhirnya akan menimbulkan mudarat bagi dirinya,karena hak Allah SWT harus lebih diutamakan dari pada hak makhluk. Seorang muslim hendaknya berusaha keras menjauhi praktek risywah dalam hidupnya, ini adalah prinsip yang hendaknya kita pegang teguh mengingat janji Rosul SAW bagi pelaku risywah itu. Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawy, bahwa tindakan penyuapan merupakan satu tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Tindakan penyuapan terutama bagi seorang hakim yang disuap, patut dijuluki
50
sebagai penjahat yang sangat keji perbuatannya merupakan kezaliman yang sangat destruktif baik secara moral social maupun ekonomi Bila kita membahas masalah Kolusi dalam tinjauan hokum syara’, maka kita dapat temukan beberapa nash yang secara langsung dan tegas berbicara tentang masalah Kolusi ini, diantaranya Firman Allah SWT.
(#qè=à2ù'tGÏ9 ÏQ$¤6çtø:$# ’n<Î) !$ygÎ/ (#qä9ô‰è?ur È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ Nä3oY÷•t/ Nä3s9ºuqøBr& (#þqè=ä.ù's? wur ÇÊÑÑÈ tbqßJn=÷ès? óOçFRr&ur ÉOøOM}$$Î/ Ĩ$¨Y9$# ÉAºuqøBr& ô`ÏiB $Z)ƒÌ•sù Dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim dengan tujuan memakan harta orang lain dengan cara yang tidak sah, pada hal kamu mengetahuinya. Dalam ayat diatas, praktik bersekongkol antara pihak yang berperkara dengan penguasa dan hakim dengan tujuan untuk memakan harta orang lain dengan cara yang berdosa adalah perbuatan terlarang dan di haramkan. Disamping itu,kita juga dapat menemukan Hadist Rasul SAW yang secara tegas berbicara tentang Kolusi yaitu :
(
)
Rasulullah SAW “ melaknat orang yang memberikan uang sogok (risywah) penerima sogok dan perantara keduanya Dalam pandangan Islam, suatu jabatan harus dipegang oleh orang yang berkompeten, ahli untuk bidang yang ditawarkan. Adapun prinsip yang ditanamkan dalam Islam adalah soal kompetensi seseorang atas suatu jabatan, bukan ada tidaknya hubungan kekerabatan. Jika kita memegang prinsip “kekerabatan” sebagai landasan dalam arti setiap ada hubungan kekerabatan sesorang dengan pejabat yang menunjuk maka itu sudah merupakan Nepotisne yang terlarang, secara rasional barang kali sikap ini kurang obyektif. Dalam pandangan Islam, Nepotisme tidak selamanya tercela. Yang dilarang adalah menempatkan
51
keluarga yang tidak punya keahlian dalam suatu posisi tetapi dilandasi oleh adanya hubungan kekeluargaan 2. Dampak terjadinya praktek kolusi dan nepotisme bagi masyarakat adalah : a. Munculnya paham materialisme Dengan munculnya paham materialisme dalam kehidupan masyarakat maka dapat menimbulkan cara berpikir yang hanya memandang kebendaan atau materi, sehingga segala sesuatu akan diukur dengan materi. b. Moral dan akhlak yang rendah Rendahnya moral dan akhlak masyarakat akan menimbulkan pandangan hidup yang hanya mementingkan keduniawian saja, sehingga munculah hedonisme. Akhlak yang rendah akan menurunkan tingkat rasa malu pada individu, sehingga jika ia mengambil uang atau hak dari orang lain, maka ia akan merasa biasa-biasa saja seolah tidak pernah melakukan pelanggaran. c. Nafsu keserakahan Rasa keserakahan akan menimbulkan rasa yang tidak akan kunjung puas untuk memiliki suatu benda maupun materi dalam bentuk uang. Dengan keserakahan pula dapat membutakan mata hati seseorang, sehingga bisa saja memperoleh rejeki dengan cara yang tidak halal. B. Saran-Saran Setelah penulis menyelesaikan proses penulisan skripsi ini, penulis berusaha memberikan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi pembaca, penulis berharap untuk tidak mengklaim suatu penafsiran tanpa kita ketahui lebih dahulu tafsir tersebut secara mendalam. 2. Sebelum mengkaji suatu ayat meneliti dulu corak penafsirannya, sehingga nantinya tidak terjebak setelah mengerjakan persoalan yang diangkat dari tafsir tersebut.
52
C. Penutup Puji syukur penulis senantiasa panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat dan petunjuk yang telah diberikan, sehingga penyusunan skripsi yang sederhana ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak. Namun demikian harapan penulis ialah semoga hasil penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya.
53
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahannya, Departemen Agama RI Jakarta, Edisi Terbaru, revisi tahun 2004, Penerbit CV Al-Waah. Tafsirul Qur anil Adzim, Al-hafidz Imaduddin Abi Fida’i, Ismail bin Katsir Al Quraisyi Ad Damasqy, penerbit Thoha Putra, Semarang, Indonesia. Tafsir Al-Azhar, Prof. Dr. Hamka, Penerbit PT Pustaka Panji Mas, Jakarta, Edisi Baru, Cetakan Februari 2007. Asbabul Nuzul, K.H. Qomaruddin Saleh, H.A.A. Dahlan, Dr. M.D. Dahlan Cetakan ke-6, penerbit CV Diponegoro, Bandung, Tahun 1985. Thomas Balletin E. Irving, Al-Qur an Tentang Akhlaq dan Segala Amal Ibadah Kita, Terjemahan Khursid Ahmad dan Muhammad Munazir Ahasan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1996. Dr. Ahmad Shiddiq, Benang Tipis Antara Halal dan Haram, terjemahan Imam Ghazali, Surabaya, Putra Pelajar, 2002, cetakan I. Dr. Subhan Yasin, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya, Amamah, 1997. Prof. Dr. Hj. Aisyiah Girindra, dkk, Bahaya Makanan Haram Bagi Kesehatan Jasmani dan Kesucian Rohani, Jakarta, Al-Mawardi Prima, 2003, Cetakan I. Abu Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, Shahih Bukhari. Prof. Dr. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta, Rineka Cipta, 1998. Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004 Dr Nasrudin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998, Cetakan I Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta, Rika Smasim, 1996. Thabib Al-Asyhar, Bahaya Makanan bagi Kesehatan Jasmani dan Rohani, Jakarta, PT Al-Mawardi, 2003, Cetakan I. Tim Redaksi Fokus Media, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Fokus Media, 2008, Cetakan I.
54
Abu Fida Abdul Rafi, Terapi Penyakit Korupsi, Jakarta, Penerbit Republik, 2006, Cetakan I. Drs. Suyitno, , Jakarta, CV Muhasari, 2005, Cetakan I. Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Dr. Artija Al-Kautsar, S.H. L.L.M, Korupsi Politik di Negara Indonesia, Yogykarta, FH UII Press, 2008, cetakan I. M. Akil Muchtar, S.H, M.H, Memberantas Korupsi di Jakarta, Q.communication, 2006. P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), Korupsi di Negeri Kaum Beragama, Jakarta, Kementrian Partnetship, 2004. Dwi Saputra dkk, Tiada Ruang Tanpa Korupsi, Semarang, Basmala Mutiara Grafika, 2004. Prof. Dr. Hj. Huzaimah Tahido Yanggo, M.A; Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, Penerbit Angkasa, Bandung, Cetakan I, 2005. Kompas, Jihad Melawan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. http://daudrasyid.com/index.php)option.com/diakses pada tanggal 20/01/2010