1 PANCASILA, UUD 45, OTONOMI DAERAH DAN KEBEBASAN BERAGAMA. Jakob Tobing1 Pengantar. Dengan 17.000 pulau-pulaunya, Indonesia adalah negara kepulauan terbesar didunia. Negeri ini adalah negara dengan penduduk terbesar ke-4 di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Indonesia adalah juga negara yang paling banyak memiliki suku bangsa, bahasa, dan dialek. Perlu juga dicatat bahwa semua agama besar di dunia ada di Indonesia dan jumlah pemeluk agama Islam di Indonesia dibandingkan dengan di negara manapun adalah juga yang terbesar didunia. Kemudian, sejak awal abad ke-21, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia setelah India dan Amerika Serikat. Namun Indonesia yang amat majemuk itu justru bersatu dalam satu kebangsaan Indonesia dan berdiam dalam satu wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Itulah buah perjuangan pergerakan kebangsaan Indonesia yang dipimpin oleh para Bapak dan Ibu Bangsa (The Founding Fathers) yang mampu memahami nilai-nilai kebersamaan yang hidup dari masa ke masa ditengah-tengah masyarakat majemuk kita yang kemudian oleh Bung Karno diberi nama Pancasila. Kebangsaan Indonesia telah terbentuk melampaui sentimen premordial kesukuan, atau keagamaan, ataupun kedaerahan. Kita telah dipersatukan oleh sebuah gagasan masa depan yang berderajat tinggi. Oleh kesadaran hakekat kemanusiaan yang luhur. Dengan latar belakang amat beragam, namun memiliki satu kehendak bersama untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan dalam kebersamaan, kita telah menemukan identitas kita sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Nilai-nilai kebersamaan itu telah menjadi roh (Geist) eksistensi bangsa. Tanpa berpegang teguh kepada nilai-nilai Pancasila itu, tidak mungkin persatuan dan kesatuan bangsa yang amat majemuk ini akan bertahan, baik dimasa lalu maupun pada masa mendatang. Nilai-nilai bersama itulah yang telah menjadi perekat kita, disadari atau tidak, yang menghindarkan bangsa yang amat majemuk baik suku, agama, ras, adat-istiadat, maupun teritori dari perpecahan sewaktu menghadapi tekanan agresi kolonial Belanda, pemberontakan DII/TII dan PKI, gerakan separatis RMS, GAM dan OPM, maupun perang saudara PRRI/Permesta. Bersama-sama sebagai sebuah keutuhan, nilai-nilai Pancasila itu telah terbukti merupakan kekuatan konvergen yang amat kuat, memayungi, merangkum dan mempersatukan kita, mengalahkan potensi divergensi dan perpecahan yang juga terkandung di dalam setiap unsur keragaman kita. Negara Kesatuan Republik Indonesia. Roh kebangsaan yang menyemangati hati setiap insan Indonesia telah menyebabkan setiap kita menghayati bahwa setiap jengkal tanah di negeri ini adalah tanah-air saya. Seluruh wilayah negeri ini adalah satu, satu kesatuan (unitary), bukan sesuatu yang dipersatukan (united). Sedemikian, karena yang terlebih dahulu ada dalam kesadaran identitas kebangsaan kita adalah negara Indonesia ketimbang provinsi, kabupaten dan sebagainya.
1
Presiden Institut Leimena, Jakarta, 2008 - sekarang; Duta Besar R.I. untuk Republik Korea, Seoul, 2004 – 2008; Ketua PAH I BP-MPR, Amandemen UUD 45, 1999-2004; Ketua Panitia Pemilihan Indonesia/Anggota KPU, 1999 (1999 - 2002).
2 Pada masa perjuangan merebut kemerdekaan, setiap pejuang, darimanapun ia berasal, ia berjuang untuk Indonesia merdeka, untuk keseluruhan negeri, bukan untuk sebagiannya. Demikian pula pada masa perang mempertahankan kemerdekaan. Yang dipertahankan oleh pejuang di Sumatera, di Kalimantan, Di Sulawesi, di Bali, di Jawa, dan dimanapun juga, adalah kemerdekaan Indonesia, bukan kemerdekaan pulaunya. Demikian pula mobilitas horisontal pegawai negeri , angggota TNI dan POLRI, yang diikuti kalangan swasta, bergerak melampaui batas-batas provinsi dan kabupaten turut memperkuat rajutan kebhinekaan kita dalam kesatuan bangsa. Persoalan menjadi lain manakala mulai terasa ada yang kurang sreg dalam perkembangan negara. Tahun demi tahun kemajuan negeri ini mulai dirasa semakin tidak adil. Kurangnya pengalaman mengelola negara, tidak meratanya sumber-sumber kemajuan - termasuk sumber daya manusia dan sumber daya alam, terbatasnya kemampuan modal pembangunan dibanding yang diperlukan, dan sebagainya, telah menimbulkan kesenjangan antar daerah yang dekat dengan Pusat kekuasaan dengan daerah-daerah yang jauh. Mulai ada yang merasa dianak-tirikan. Kesempatan berkarir “anak daerah” tertutup oleh para pendatang dari daerah lain yang mempunyai latar belakang pendidikan yang lebih baik. Ada yang merasa kekayaan didaerahnya telah dikuras untuk kepentingan Pusat sementara daerahnya diabaikan. Bahkan ada yag merasa kekhasan daerahnya mulai dilenyapkan dan diharuskan sama-seragam dengan daerah lain. Hakekat kebangsaan Indonesia, bhinneka tunggal ika, terasa telah dicederai. Yang selalu diutamakan dan ditekankan adalah persatuan dan kesatuan. Keragaman diabaikan, tidak dihargai, bahkan sering dicurigai. Jika ada yang menyuarakan kepelbagaian maka jawabannya adalah tekanan kekuatan dan kekerasan. Sentralisasi kekuasaan amat terasa. Segala sesuatunya tergantung Pusat. Dalam bahasa yang menyakitkan, mulai ada yang merasa dirinya telah terperangkap masuk kedalam negara kesatuan dan kemudian tidak berdaya, tidak bisa keluar lagi. Tetapi ditengah kekecewaan dan kemarahan itu sebenarnya jiwa dan semangat kebangsaan Indonesia yang bertanah-air satu, Indonesia, tidak pernah pupus. Yang dituntut sebenarnya adalah agar didalam negara kesatuan itu ada keadilan dan kebersamaan. Menghargai bhinneka tunggal ika. Agar terjadi kemajuan pembangunan nusantara yang berimbang. Pemberontakan PRRI/Permesta misalnya, bukanlah pemberontakan untuk mendirikan negara baru. Pemberontakan itu, yang telah memakan ribuan korban nyawa dan kerusakan lain yang amat besar, adalah pemberontakan “setengah hati” untuk memaksa perubahan kebijakan mengelola daerah-daerah dalam bingkai negara kesatuan. Bahkan gerakan RMS, GAM dan OPM-pun masih mengandung tuntutan koreksi hubungan daerah dan Pusat dalam bingkai NKRI dalam perjuangan mereka. Lain halnya dengan pemberontakan DI/TII dengan NII-nya, PKI dengan impian negara komunisnya. Mereka bertitik tolak dari konsep kebangsaan yang sama sekali lain. Akhirnya, rasa kecewa itu berubah menjadi aspirasi dan tuntutan untuk memperbaiki hubungan Pusat dengan daerah dan antar-daerah yang tumbuh dan terus berkembang. Konsep otonomi daerah sebagai cara struktural guna mengurangi dan menghilangkan kesenjangan kemajuan pembangunan di daerah-daerah diyakini akan dapat mengatasi masalah mulai didesakkan. Semakin lama semakin kuat dan tuntutan otonomi daerah telah menjadi bagian dari tuntutan reformasi dan demokratisasi tahun 1990-an. Daerah ingin diberikan kewenangan untuk mengurus dirinya sendiri, sesuai dengan kekhasannya masing-masing, untuk memacu pembangunan daerah.
3 Otonomi daerah dan UUD 45. Pada masa proses amandemen UUD 45, topik otonomi daerah juga menjadi topik bahasan yang mendalam. Ada tanggung jawab moril untuk mencari jawaban atas rasa tidak adil dan ketidak-puasan yang dirasakan oleh (sebagian) daerah. Bahkan ada sebagian anggota MPR yang mewacanakan merubah bentuk negara kesatuan menjadi negara serikat sebagai jawaban terhadap persoalan ketimpangan Pusat dan daerah. Paling tidak mereka mewacanakan aspirasi itu agar tersalur kedalam forum resmi, walaupun ide itu segera pudar. Secara aklamasi anggota MPR tetap mempertahankan bentuk negara kesatuan dan memutuskan untuk memakai cara pemberian otonomi kepada daerah guna mempercepat penyelesaian ketimpangan yang terjadi. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000 otonomi daerah menjadi ketentuan UUD 45. Apabila pada UUD 45 yang lama prinsip otonomi itu diterima selektif dan hanya tercantum dalam Penjelasan maka dalam amandemen UUD 45 asas otonomi diterakan dalam Pasal 18 dan diberikan kepada setiap daerah. Maksud diberikannya otonomi daerah itu adalah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Sistim otonomi akan mendekatkan dan karena itu meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap masyarakat. Potensi masyarakat dan daerah akan lebih dapat direalisasikan. Daerah akan semakin berpeluang untuk mencari peluang penanaman modal didaerahnya. Demikian pula peran masyarakat dalam pembangunan akan lebih nyata dan sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing. Di samping itu, kekhasan daerah akan berkembang memberikan sumbangan kepada kekayaan budaya Nusantara. UUD 45 menegaskan bahwa otonomi daerah adalah pendelegasian sebagian kewenangan negara melalui undang-undang kepada pemerintahan daerah untuk mengelola daerah bersama dengan tugas pembantuan dan tugas de-konsentrasi dan selaras dengan kekhususan dan keragaman daerah. Kewenangan otonomi daerah tidak berasal dari daerah itu sendiri tetapi merupakan bagian dari kedaulatan nasional yang didelegasikan kembali kepada daerah melalui undang-undang. Pasal 18 ayat (1) dengan tegas mengatakan bahwa daerah provinsi adalah bagian integral dari negara kesatuan dan daerah kabupaten dan kota adalah bagian integral daripada provinsi dan masing-masing daerah itu mengatur sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Dengan demikian susunan hierarkis Pusat dan Daerah tetap eksis dan bentuk pelaksanaan asas otonomi di daerah tidak harus seragam. Selama 10 tahun terakhir pelaksanaan otonomi daerah telah memperlihatkan hasil-hasil yang pada umumnya positif. Misalnya, daerah-daerah seolah berpacu untuk mengembangkan daerahnya masing-masing. Pusat-pusat pertumbuhan baru bermunculan. Peningkatan kreativitas dan inisiatif dalam pemerintahan terjadi. Denyut gerak ekonomi bertambah cepat. Potensi sumber daya alam semakin cepat direalisasikan dan dimanfaatkan. Sumber daya manusia di daerah semakin berkembang. Masyarakat semakin pro-aktif terlibat dalam kegiatan pembangunan. Kesenian dan kebudayaan daerah mulai terlihat bangkit. Perasaaan diabaikan mulai surut. Tetapi kita juga mengalami dampak negatif akibat pelaksanaan asas otonomi yang tidak selaras dengan UUD dan dengan jiwa kebangsaan Indonesia. Gejala daerahisme mulai muncul. Ada sentimen untuk membatasi kesempatan kerja dan usaha hanya untuk “putera daerah”. Jabatan pimpinan juga tidak boleh diisi oleh “pendatang”. Berbagai peraturan daerah yang bernuansa sempit, kedaerahan dan juga diskriminatif, seperti perda ekonomi yang tidak sejalan dengan undang-undang, perda syariah, dan sebagainya bermunculan.
4 “Line of command and coordination” juga terganggu. Hubungan antara Gubernur dengan Bupati/Walikota sering tidak mulus. Kalau didramatisasikan seolah negara kesatuan Indonesia telah terurai kedalam 300-an daerah tingkat II yang otonom. Kebebasan beragama. Sila pertama Pancasila adalah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Sila ini amat penting, karena merupakan salah satu nilai dan sekaligus kualitas yang memberi pedoman dalam perjalanan pertumbuhan bangsa. Sila ini menegaskan bahwa nilai yang secara sadar dikembangkan bagi bangsa ini adalah nilai yang menghargai moral, etika dan spiritualitas. Ia tidak boleh diartikan dalam keterikatan pada salah satu agama dan juga tidak merujuk pada agama(-agama) tertentu. Pada dasarnya sila ini tidak mengenal agama (-agama) resmi karena yang menjadi pokok adalah pengakuan keberadaan Tuhan yang Maha Esa. Dalam penghayatan seperti itu, sepanjang sejarah Nusantara toleransi antar pemeluk berbagai agama, Hindu, Budha, kepercayaan setempat, telah hidup berdampingan, saling menghormati dan bahkan dapat bekerja-sama. Dalam hubungan itulah kebebasan beragama merupakan salah satu pilar yang mendukung sasanti bhinneka tunggal ika. Tanpa itu kekuatan persatuan Indonesia yang masyarakatnya amat majemuk ini akan langsung rapuh. UUD 45 sangat kuat menegaskan bahwa negara wajib menghormati kekebasan beragama. Pasal 28D ayat (1), Pasal 28E ayat 1 dan (2), Pasal 28H ayat (1), Pasal 28I ayat (1), (2) dan (5), Pasal 29 ayat (2), memberikan jangkar perlindungan hukum yang adil dan tidak diskriminatif atas hak beragama. UUD 45 menegaskan bahwa dalam keadaan apapun, hak beragama, tidak dapat dikurangi (non-derogable right). UUD 45 pasal 28I ayat (4) menegaskan bahwa penegakan hak-hak asasi itu adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. UUD 45 juga mengingatkan bahwa untuk menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini perlu diatur agar masyarakat kita yang amat majemuk ini disatu pihak terhindar dari kesewenang-wenangan dari mereka yang kuat dan agar dalam menjalankan kebebasannya setiap pihak harus mengendalikan diri untuk tidak menyulut konflik. Pembatasan mana secara tegas dinyatakan oleh Pasal 28J ayat (2)UUD 45 harus menuruti tata cara yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam hubungan itu pula, maka setiap bentuk pembatasan hak asasi hanya boleh diatur oleh undangundang, tidak bisa oleh peraturan lain, seperti peraturan pemerintah (PP), keppres, SKB, Perda, dan lainlainnya. Apa yang terjadi sekarang ini, meningkatnya intoleransi hidup beragama, maraknya kesenang-wenangan terhadap kaum Ahmadiyah, pengrusakan dan/atau menghalangi secara tidak sah pembangunan rumah ibadah, serta tidak tanggap dan lambannya pemerintah bertindak, adalah keadaan yang serius yang perlu disikapi dengan kuat. Ini akan menjadi awal dari keroposnya salah satu pilar utama kebangsaan kita yang bhinneka tunggal ika dan permulaan runtuhnya bangunan negara kesatuan Republik Indonesia. Apa yang harus dilakukan. Hal-hal yang positif yang telah dicapai melalui asas otonomi daerah perlu dipertahankan dan ditingkatkan. Hal-hal yang negatif perlu diidentifikasikan lebih cermat untuk dihilangkan. Pada dasarnya capaian-capaian itu perlu dicermati dengan kaidah-kaidah yang bersumber dari nilai dasar Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 45 dan ukuran struktural dari pasal dan ayat UUD 45.
5 Ketentuan Pasal 2 ayat (3) yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum perlu nyata menjadi pegangan dalam menyusun ketentuan peraturan perundangan yang menyangkut pemerintahan daerah. Pasal 1 ayat (3) itu mengandung arti antara lain bahwa UUD 45 adalah hukum tertinggi yang harus dijadikan acuan dan ditaati oleh setiap peraturan perundangan, termasuk peraturan daerah. Pasal 18 UUD 45, khususnya ayat (6) yang berbunyi : “Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”, hendaknya tidak ditafsirkan terlepas dari ketentuan Psal 1 ayat (3) UUD 45 tersebut dan segala ketentuan yang diatur di dalam Pasal 18, 18A, dan 18B, bahkan dengan seluruh isi UUD 45. Oleh karena itu segala peraturan perundangan dan kebijakan yang : - menyebabkan terganggunya keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia, - melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa, - merusak kerukunan dan toleransi agama, adat-istiadat dan budaya, - mengganggu kesatuan ekonomi nasional, - tidak menghargai kekhasan dan keragaman daerah, harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Selanjutnya diperlukan mekanisme agar supaya semua peraturan perundangan dan kebijakan dapat terbentuk sesuai dengan prinsip negara hukum, yaitu semua peraturan perundangan harus sesuai dan tidak menyimpang dengan UUD 45 yang terdiri atas Pembukaan dan Pasal serta ayat itu. Untuk itu UU no. 10 tahun 2004 tentang tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah perlu disempurnakan. Revisi terhadap UU no 10/2004 diperlukan agar tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan dapat mencegah terbentuknya peraturan yang tidak sesuai dengan UUD 45. Selain itu agar terdapat ketentuan yang efektif untuk membatalkan peraturan perundangan yang menyimpang yang ada dan pernah terbentuk. Revisi terhadap UU no. 32/2004 diperlukan agar terpelihara keutuhan “line of command and coordination” didalam penyelenggaraan pemerintahan Pusat dan daerah secara vertikal dan horisontal. Perlu juga dinyatakan bahwa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di daerah mengikuti proses dan ketentuan undang-undang yang khusus (lex specialis) mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan. Disamping itu perlu selalu diusahakan kerjasama lintas keragaman kita, lintas agama, suku, dan sebagainya, untuk mengatasi masalah kemanusiaan bersama, kemiskinan, ketidak-adilan, keterbelakangan, diskriminasi, dan sebagainya, karena kebersamaan seperti ini akan merupakan rajutan yang kuat mempersatukan bangsa yang amat majemuk ini.