PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP SEMAKIN HILANG DI KEHIDUPAN BERBANGSA
Dosen Pengampu : Abidarin Rosidi, Dr, M.Ma.
Nama NPM Kelompok
: Muhammad Ade Rifki Kurniawan : 11.11.5546 :F
PENDIDIKAN PANCASILA JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2011
1
PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP SEMAKIN HILANG DI KEHIDUPAN BERBANGSA Oleh : Muhammad Ade Rifki Kurinawan 11.11.5546 ABSTRAK Tujuan pembuatan makalah ini untuk melihat perkembangan jaman dan budaya membuat Pancasila sebagai pedoman hidup Berbangsa semakin hilang dalam peradaban. Dalam pembuatan makalah ini menggunakan pendekatan secara Historis, Sosiologis dan Yuridis pada Pancasila. Subyek penelitian ini mengacu pada perkembangan zaman dan kultur budaya masyarakat dalam kehidupan berbangsa. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teknik observasi dan teknik dokumentasi . Hasil dari pembuatan makalah ini bisa menjadikan tolok ukur sejauh mana masyarakat berpedoman hidup pada Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Yaitu peranan Pancasila dalam kehidupan berbangsa sudah semakin menghilang dengan masuknya kultur budaya barat yang menggantikan kultur budaya Indonesia sebagai bangsa timur, dan melihat dari kepentingan umum yang mencakup masyarakat luas dikesampikan untuk memenuhi kepentingan hidup individu atau kelompok tertentu untuk memperoleh keuntungan. Serta dapat dilihat pada sistem pemerintahan yang sudah tidak memihak kepada rakyat yang dalam hal ini bertolak belakang pada Pancasila. Kata kunci
: Pancasila, Pedoman, Penerapan, Kepentingan
2
KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulillah kami haturkan kepada Allah SWT, karena atas ridho-Nya penulis dapat
menyelesaikan penulisan makalah dengan judul
“PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP SEMAKIN HILANG DI KEHIDUPAN BERBANGSA” Pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas akhir pada program studi Pendidikan Pancasila jurusan Teknik Informatika STMIK AMIKOM Yogyakarta. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih atas bantuan sumbangsih dan saran yang telah diberikan kepada penulis sampai selesainya penulisan makalah ini. Semoga dalam pembuatan makalah ini dapat bermanfaat sebagai bahan belajar bagi penulis dan pembaca. Penulis,
Muhammad Ade Rifki
3
DAFTAR ISI
KATA HALAMAN JUDUL
i
ABSTRAK
ii
PENGANTAR
ii
DAFTAR ISI
iv
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG
1
B. RUMUSAN MASALAH
2
C. PENDEKATAN 1. Pendekatan Historis
2
2. Pendekatan Sosiologis
6
3. Pendekatan Yuridis
8
BAB II PEMBAHASAN A. Hakikat Pancasila sebagai Pandangan Hidup
10
B. Hakikat Pancasila sebagai Dasar Negara
11
C. Bagaimana orang Indonesia tidak lagi peduli dengan Pancasila
12
D. Apakah sebagai Pengikat Pancasila Masih Diandalkan
21
E. Upaya Menjaga Nilai-Nilai Luhur Pancasila
26
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
28
DAFTAR PUSTAKA
29
4
PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN HIDUP SEMAKIN HILANG DI KEHIDUPAN BERBANGSA BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Di jaman yang penuh dengan persaingan ini makna Pancasila seolaholah terlupakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Padahal sejarah perumusannya melalui proses yang sangat panjang oleh para pendiri negara ini. Pengorbanan tersebut akan sia-sia apabila kita tidak menjalankan amanat para pendiri negara yaitu pancasila yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alenia ke-4. Pancasila merupakan rangkaian kesatuan dan kebulatan yang tidak terpisahkan karena setiap sila dalam pancasila mengandung empat sila lainnya dan kedudukan dari masing-masing sila tersebut tidak dapat ditukar tempatnya atau dipindah-pindahkan. Hal ini sesuai dengan susunan sila yang bersifat sistematis-hierarkis, yang berarti bahwa kelima sila pancasila itu menunjukkan suatu rangkaian urutan-urutan yang bertingkat-tingkat, dimana tiap-tiap sila mempunyai tempatnya sendiri di dalam rangkaian susunan kesatuan itu sehingga tidak dapat dipindahkan. Bagi bangsa Indonesia hakikat yang sesungguhnya dari pancasila adalah sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai dasar negara. Kedua pengertian tersebut sudah selayaknya kita fahami akan hakikatnya. Selain dari pengertian tersebut, pancasila memiliki beberapa sebutan berbeda, seperti : 1) Pancasila sebagai jiwa bangsa, 2) Pancasila sebagai kepribadian bangsa, 3) Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum dll. Walaupun begitu, banyaknya sebutan untuk Pancasila bukanlah merupakan suatu kesalahan atau pelanggaran melainkan dapat dijadikan sebagai suatu kekayaan akan makna dari Pancasila bagi bangsa Indonesia. Karena hal yang terpenting adalah perbedaan penyebutan itu tidak mengaburkan hakikat pancasila yang sesungguhnya yaitu sebagai dasar negara. Tetapi pengertian pancasila tidak dapat ditafsirkan oleh sembarang
5
orang karena akan dapat mengaturkan maknanya dan pada akhirnya merongrong dasar negara. Untuk itu kita sebagai generasi penerus, sudah merupakan kewajiban bersama untuk senantiasa menjaga kelestarian nilai-nilai pancasila sehingga apa yang pernah terjadi di masa lalu tidak akan teredam di masa yang akan datang.
B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Hakikat pancasila sebagai pandangan hidup. 2. Hakikat pancasila sebagai dasar negara. 3. Bagaimana bisa orang Indonesia tidak lagi peduli dengan dasar Indonesia (Pancasila)? 4. Ke depan apakah sebagai pengikat Pancasila masih bisa diandalkan? 5. Bagaimana cara yang harus di lakukan untuk menanamkan pemahaman itu?
C. PENDEKATAN PANCASILA 1. Pendekatan secara Historis Pembahasan historis Pancasila dibatasi pada tinjauan terhadap perkembangan rumusan Pancasila sejak tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan keluarnya Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968. Pembatasan ini didasarkan pada dua pengandaian, yakni: a. Tentang dasar negara Indonesia merdeka baru dimulai pada tanggal 29 Mei 1945, saat dilaksanakan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); b. Sesudah Instruksi Presiden No.12 Tahun 1968 tersebut, kerancuan pendapat tentang rumusan Pancasila dapat dianggap tidak ada lagi. Permasalahan Pancasila yang masih terasa mengganjal adalah tentang penghayatan dan pengamalannya saja. Hal ini tampaknya belum terselesaikan oleh berbagai peraturan operasional tentangnya. Dalam hal
6
ini,
pencabutan
Ketetapan
MPR
No.II/MPR/1978
(Ekaprasetia
Pancakarsa) tampaknya juga belum diikuti upaya penghayatan dan pengamalan Pancasila secara lebih „alamiah‟. Tentu kita menyadari juga bahwa upaya pelestarian dan pewarisan Pancasila tidak serta merta mengikuti Hukum Mendel. Tinjauan historis Pancasila dalam kurun waktu tersebut kiranya cukup untuk memperoleh gambaran yang memadai tentang proses dan dinamika Pancasila hingga menjadi Pancasila otentik. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa dalam membahas Pancasila, kita terikat pada rumusan Pancasila yang otentik dan pola hubungan sila-silanya yang selalu merupakan satu kebulatan yang utuh. Dan berikut adalah proses dan dinamika Pancasila dari awal sampai keputusan Presiden : a. Sidang BPUPKI – 29 Mei 1945 dan 1 Juni 1945 Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin telah menyampaikan pertama tentang dasar negara Indonesia merdeka sebagai berikut: 1) Peri Kebangsaan; 2) Peri Kemanusiaan;
3)
Peri
Ketuhanan;
4)
Peri
Kerakyatan;
5)
Kesejahteraan Rakyat. Ketika itu ia tidak memberikan nama terhadap lima azas yang diusulkannya sebagai dasar negara. Pada tanggal 1 Juni 1945, dalam sidang yang sama, Ir. Soekarno juga mengusulkan lima dasar negara sebagai berikut: 1) Kebangsaan Indonesia; 2) Internasionalisme; 3) Mufakat atau Demokrasi;
4)
Kesejahteraan
Sosial;
5)
Ketuhanan
Yang
Berkebudayaan. Dan dalam pidato yang disambut gegap gempita itu, ia mengatakan: “… saja namakan ini dengan petundjuk seorang teman kita – ahli bahasa, namanja ialah Pantja Sila …” (Anjar Any, 1982:26).
7
b. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Rumusan lima dasar negara (Pancasila) tersebut kemudian dikembangkan oleh “Panitia 9” yang lazim disebut demikian karena beranggotakan sembilan orang tokoh nasional, yakni para wakil dari golongan Islam dan Nasionalisme. Mereka adalah: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosoejoso, Abdulkahar Muzakir, H.A. Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. Wachid Hasjim, Mr. Muhammad Yamin. Rumusan sistematis dasar negara oleh “Panitia 9” itu tercantum dalam suatu naskah Mukadimah yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta”, yaitu: 1) KeTuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemelukpemelukknya; 2) Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; 5) Mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, “Piagam Jakarta” diterima sebagai rancangan Mukadimah hukum dasar (konstitusi) Negara Republik Indonesia. Rancangan tersebut – khususnya sistematika dasar negara (Pancasila) – pada tanggal 18 Agustus disempurnakan dan disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menjadi: 1) Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3) Persatuan Indonesia; 4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan; 5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia; sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
8
c. Konstitusi RIS (1949) dan UUD Sementara (1950) Dalam kedua konstitusi yang pernah menggantikan UUD 1945 tersebut, Pancasila dirumuskan secara „lebih singkat‟ menjadi: 1) Pengakuan Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Perikemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan; 5) Keadilan sosial. Sementara
itu
di
kalangan
masyarakat
pun
terjadi
kecenderungan menyingkat rumusan Pancasila dengan alasan praktis/ pragmatis atau untuk lebih mengingatnya dengan variasi sebagai berikut: 1) Ketuhanan; 2) Kemanusiaan; 3) Kebangsaan; 4) Kerakyatan atau Kedaulatan Rakyat; 5) Keadilan sosial. Keanekaragaman rumusan dan atau sistematika Pancasila itu bahkan tetap berlangsung sesudah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang secara implisit tentu mengandung pula pengertian bahwa rumusan Pancasila harus sesuai dengan yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. d. Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 Rumusan yang beraneka ragam itu selain membuktikan bahwa jiwa Pancasila tetap terkandung dalam setiap konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia, juga memungkinkan terjadinya penafsiran individual yang membahayakan kelestariannya sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Menyadari bahaya tersebut, pada tanggal 13 April 1968, pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden RI No.12 Tahun 1968 yang menyeragamkan tata urutan Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
9
2. Pendekatan secara Sosiologis Pancasila merupakan dasar pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pancasila pun harus diwariskan kepada generasi muda bangsa Indonesia berikutnya melalui pendidikan. Setiap bangsa memiliki kepedulian kepada pewarisan budaya luhur bangsanya. Oleh karena itu, perlu ada upaya pewarisan budaya penting tersebut melalui pendidikan Pancasila yang dilaksanakan dalam pendidikan formal (sekolah). Sebagai dasar negara, Pancasila mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis. Seluruh tatanan hidup bernegara yang bertentangan dengan Pancasila sebagai kaidah yuridis-konstitusional pada dasarnya tidak berlaku dan harus dicabut. Dengan demikian penetapan Pancasila sebagai dasar falsafah negara berarti bahwa moral bangsa telah menjadi moral negara (Dipoyudo: 1984). Hal ini berarti bahwa moral Pancasila telah menjadi sumber tertib negara dan sumber tertib hukumnya, serta jiwa seluruh kegiatan negara dalam segala bidang kehidupan (A. T. Soegito, dkk, 2009: 6). Pelaksanaan Pancasila pada masa reformasi cenderung meredup dan tidak adanya istilah penggunaan Pancasila sebagai propoganda praktik penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini terjadi lebih dikarenakan oleh adanya globalisasi yang melanda Indonesia dewasa ini. Masyarakat terbius akan kenikmatan hedonisme yang dibawa oleh paham baru yang masuk sehingga lupa dari mana, di mana, dan untuk siapa sebenarnya mereka hidup. Seakan-akan mereka melupakan bangsanya sendiri yang dibangun dengan semangat juang yang gigih dan tanpa memandang perbedaan. Dalam perkembangan masyarakat yang secara kultur, masyarakat lebih cenderung menggunakan Pancasila sebagai dasar pembentukan dan penggunakan setiap kegiatan yang mereka lakukan. Peran Pancasila dalam hal ini sebenarnya adalah untuk menciptakan masyarakat “kerakyatan”, artinya masyarakat Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat mempunyai kedudukan dan hak yang sama. Dalam menggunakan hakhaknya selalu memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan negara dan masyarakat. Karena mempunyai kedudukan, hak serta kewajiban
10
harus seimbang dan tidak memihak ataupun memaksakan kehendak kepada orang lain. Dalam pokok-pokok kerakyatan, masyarakat dituntut untuk saling menghargai dan hidup bersama dalam lingkungan yang saling membaur dan bisa membentuk sebuah kepercayaan (trust) sebagai modal untuk membangun bangsa yang berjiwa besar dan bermoral sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila. Pancasila disebut sebagai identitas bangsa dimana Pancasila mampu memberikan satu pertanda atau ciri khas yang melekat dalam tubuh masyarakat. Hal ini yang mendorong bagaimana statement masyarakat mengenai nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut. Sebagai contoh nilai keadilan yang bermakna sangat luas dan tidak memihak terhadap satu golongan ataupun individu tertentu. Unsur pembentukan Pancasila berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Sejarah Indonesia membuktikan bahwa nilai luhur bangsa yang tercipta merupakan sebuah kekayaan yang dimiliki dan tidak bisa tertandingi. Di Indonesia tidak pernah putus-putusnya orang percaya kepada Tuhan, hal tersebut terbukti dengan adanya tempat peribadatan yang dianggap suci, kitap suci dari berbagai
ajaran
agamanya, upacara
keagamaan,
pendidikan
keagamaan, dan lain-lain merupakan salah satu wujud nilai luhur dari Pancasila khususnya sila ke-1. Bangsa Indonesia yang dikenal ramah tamah, sopan santun, lemah lembut terhadap sesama mampu memberikan sumbangan terhadap pelaksanaan Pancasila, hal ini terbukti dengan adanya pondok-pondok atau padepokan yang dibangun mencerminkan kebersamaan dan sifat manusia yang beradab. Pandangan hidup masyarakat yang terdiri dari kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur tersebut adalah suatu wawasan yang menyeluruh terhadap kehidupan itu sendiri. Pandangan hidup berfungsi sebagai kerangka acuan baik untuk menata kehidupan diri pribadi maupun dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat serta alam sekitarnya. Dalam
praktik
kehidupan
bernegara,
berbangsa
dan
bermasyarakat, secara mendasar (grounded, dogmatc) dimensi kultur seyogyanya mendahului dua dimensi lainnya, karena di dalam dimensi
11
budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan (Solly Lubis: 2003). Masyarakat Indonesia sekarang ini tidak hanya mendambakan adanya penegakan peraturan hukum, akan tetapi masalah yang muncul ke permukaan adalah apakah masih ada keadilan dalam penegakan hukum tersebut. Hukum berdiri diatas ideologi Pancasila yang berperan sebagai pengatur dan pondasi norma masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
3. Pendekatan secara Yuridis-Konstitusional Meskipun nama “Pancasila” tidak secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 sebagai dasar negara, tetapi pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945 itu secara jelas disebutkan bahwa dasar negara Indonesia adalah keseluruhan nilai yang dikandung Pancasila. Dengan demikian tepatlah pernyataan Darji Darmodihardjo pada tahun 1984 bahwa secara yuridis-konstitusional, “Pancasila adalah Dasar Negara yang dipergunakan sebagai dasar mengatur dan menyelenggarakan pemerintahan negara. Mengingat bahwa Pancasila adalah Dasar Negara, maka mengamalkan dan mengamankan Pancasila sebagai Dasar Negara mempunyai sifat imperatif/memaksa, artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk/taat kepadanya. Siapa saja yang melanggar Pancasila sebagai Dasar Negara, ia harus ditindak menurut hukum, yakni hukum yang berlaku di Negara Indonesia.” Pernyataan tersebut sesuai dengan posisi Pancasila sebagai sumber tertinggi tertib hukum atau sumber dari segala sumber hukum. Dengan demikian, segala hukum di Indonesia harus bersumber pada Pancasila, sehingga dalam konteks sebagai negara yang berdasarkan hukum (Rechtsstaat), Negara dan Pemerintah Indonesia „tunduk‟ kepada Pancasila sebagai „kekuasaan‟ tertinggi.
12
Dalam kedudukan tersebut, Pancasila juga menjadi pedoman untuk menafsirkan UUD 1945 dan atau penjabarannya melalui peraturanperaturan operasional lain di bawahnya, termasuk kebijaksanaankebijaksanaan dan tindakan-tindakan pemerintah di bidang pembangunan, dengan peran serta aktif seluruh warga negara. Oleh karena itu dapatlah dimengerti bahwa seluruh undangundang, peraturan-peraturan operasional dan atau hukum lain yang mengikutinya bukan hanya tidak boleh bertentangan dengan Pancasila, sebagaimana dimaksudkan oleh Kirdi Dipoyudo (1979:107): “tetapi sejauh mungkin juga selaras dengan Pancasila dan dijiwai olehnya”. Sedemikian rupa sehingga seluruh hukum itu merupakan jaminan terhadap penjabaran, pelaksanaan, penerapan Pancasila. Demikianlah tinjauan historis dan yuridis-konstitusional secara singkat yang memberikan pengertian bahwa Pancasila yang otentik (resmi/ sah) adalah Pancasila sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Pelaksanaan dan pengamanannya sebagai dasar negara bersifat imperatif/memaksa, karena pelanggaran terhadapnya dapat dikenai tindakan berdasarkan hukum positif yang pada dasarnya merupakan jaminan penjabaran, pelaksanaan dan penerapan Pancasila. Pemilihan Pancasila sebagai dasar negara oleh the founding fathers Republik Indonesia patut disyukuri oleh segenap rakyat Indonesia karena ia bersumber pada nilai-nilai budaya dan pandangan hidup bangsa Indonesia sendiri atau yang dengan terminologi von Savigny disebut sebagai jiwa bangsa (volkgeist). Namun hal itu tidak akan berarti apa-apa bila Pancasila tidak dilaksanakan dalam keseharian hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedemikian rupa dengan meletakkan Pancasila secara proporsional sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilainilai budaya bangsa dan pandangan hidup bangsa.
13
BAB II PEMBAHASAN A. Hakikat Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Setiap bangsa di dunia yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup. Dengan pandangan hidup inilah suatu bangsa akan memandang persoalan yang dihadapinya sehingga dapat memecahkannya secara tepat. Tanpa memiliki pandangan hidup, suatu bangsa akan merasa terombang-ambing dalam menghadapi persoalan yang timbul, baik persoalan masyarakatnya sendiri maupun persoalan dunia. Menurut Padmo Wahjono: “Pandangan hidup adalah sebagai suatu prinsip atau asas yang mendasari segala jawaban terhadap pertanyaan dasar, untuk apa seseorang itu hidup”. Jadi berdasarkan pengertian tersebut, dalam pandangan hidup bangsa terkandung konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan, terkandung pula dasar pikiran terdalam dan gagasan mengenai wujud kehidupan yang dianggap baik. Pancasila sebagai pandangan hidup sering juga disebut way of life, pegangan hidup, pedoman hidup, pandangan dunia atau petunjuk hidup. Walaupun ada banyak istilah mengenai pengertian pandangan hidup tetapi pada dasarnya memiliki makna yang sama. Lebih lanjut Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dipergunakan sebagai petunjuk dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia baik dari segi sikap maupun prilaku haruslah selalu dijiwai oleh nilai-nilai luhur pancasila. Hal ini sangat penting karena dengan menerapkan nilai-nilai luhur pancasila dalam kehidupan sehari-hari maka tata kehidupan yang harmonis diantara masyarakat Indonesia dapat terwujud. Untuk dapat mewujudkan semua itu maka masyarakat Indonesia tidak bisa hidup sendiri, mereka harus tetap mengadakan hubungan dengan masyarakat lain. Dengan begitu masingmasing pandangan hidup dapat beradaftasi artinya pandangan hidup perorangan/individu dapat beradaptasi dengan pandangan hidup kelompok
14
karena pada dasarnya pancasila mengakui adanya kehidupan individu maupun kehidupan kelompok.
B. Hakikat Pancasila Sebagai Dasar Negara Setiap negara di dunia ini mempunyai dasar negara yang dijadikan landasan dalam menyelenggarakan pemerintah negara. Seperti Indonesia, Pancasila dijadikan sebagai dasar negara atau ideologi negara untuk mengatur penyelenggaraan negara. Hal tersebut sesuai dengan bunyi pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 yang berbunyi :
“Maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu UUD Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada........dst”. Dengan demikian kedudukan pancasila sebagai dasar negara termaktub secara yuridis konstitusional dalam pembukaan UUD 1945, yang merupakan cita-cita hukum dan norma hukum yang menguasai hukum dasar negara RI dan dituangkan dalam pasal-pasal UUD 1945 dan diatur dalam peraturan perundangan. Selain bersifat yuridis konstitusional, pancasila juga bersifat yuridis ketatanegaraan yang artinya pancasila sebagai dasar negara, pada hakikatnya adalah sebagai sumber dari segala sumber hukum. Artinya segala peraturan perundangan secara material harus berdasar dan bersumber pada pancasila. Apabila ada peraturan (termasuk di dalamnya UUD 1945) yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur pancasila, maka sudah sepatutnya peraturan tersebut dicabut. Berdasarkan uaraian tersebut pancasila sebagai dasar negara mempunyai sifat imperatif atau memaksa, artinya mengikat dan memaksa setiap warga negara untuk tunduk kepada pancasila dan bagi siapa saja yang melakukan pelanggaran harus ditindak sesuai hukum yang berlaku di Indonesia
serta
bagi
pelanggar
dikenakan
sanksi-sanksi
hukum.
Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam pancasila memiliki sifat obyektifsubyektif. Sifat subyektif maksudnya pancasila merupakan hasil perenungan dan pemikiran bangsa Indonesia, sedangkan bersifat obyektif artinya nilai
15
pancasila sesuai dengan kenyataan dan bersifat universal yang diterima oleh bangsa-bangsa beradab. Oleh karena memiliki nilai obyektif-universal dan diyakini kebenarannya oleh seluruh bangsa Indonesia maka pancasila selalu dipertahankan sebagai dasar negara. Jadi berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pancasila sebagai dasar negara memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga cita-cita para pendiri bangsa Indonesi dapat terwujud. Istilah Pancasila selalu berkumandang pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan HM Soeharto. Apa saja selalu dikaitkan dengan Pancasila. Begitu pula dengan Undang-Undang Dasar 1945 selalu dibicarakan. Pancasila dan UUD 1945 menjadi dua istilah sangat popular, bahkan selalu menjadi slogan Orde Baru. Sama halnya dengan Pancasila, istilah UUD 1945 juga selalu ditekankan oleh para elit Orde Baru. Mereka kala itu selalu menyebut-nyebut UUD 1945, terlebih ketika hendak menyusun atau membuat berbagai peraturan dan perundang-undangan. Pidato para pejabat selalu mengaitkannya kepada konstitusi tersebut. Tak pelak lagi, Pak Harto sebagai Presiden, mandataris MPR (Majelis
Permusyawaratan
Rakyat)
merupakan
tokoh
utama
dalam
mensosialisasikan Pancasila dan UUD 1945. Boleh disebut, Pak Hartolah yang secara tegas menyatakan bahwa pedoman, pegangan, landasan, acuan utama kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945. “Kita harus melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,” ucap Pak Harto dalam tiap kesempatan.
C. Bagaimana orang Indonesia tidak lagi peduli dengan Pancasila Pada masa Orde Baru menginginkan pemerintahan yang ditandai dengan keinginan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Penanaman nilai-nilai Pancasila pada masa Orde Baru dilakukan secara indoktrinatif dan birokratis. Akibatnya, bukan nilai-nilai Pancasila yang meresap ke dalam kehidupan masyakat, tetapi kemunafikan yang
16
tumbuh subur dalam masyarakat. Sebab setiap ungkapan para pemimpin mengenai nilai-nilai kehidupan tidak disertai dengan keteladanan serta tindakan yang nyata sehingga Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur bangsa dan merupakan landasan filosofi untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, bagi rakyat hanyalah omong kosong yang tidak mempunyai makna apapun. Lebih-lebih pendidikan Pancasila dan UUD 45 yang dilakukan
melalui
metode
indoktrinasi
dan
unilateral,
yang
tidak
memungkinkan terjadinya perbedaan pendapat, semakin mempertumpul pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai Pancasila. Cara melakukan pendidikan semacam itu, terutama bagi generasi muda, berakibat fatal. Pancasila yang berisi nilai-nilai luhur, setelah dikemas dalam pendidikan yang disebut penataran P4 atau PMP ( Pendidikan Moral Pancasila), atau nama sejenisnya, ternyata justru mematikan hati nurani generasi muda terhadap makna dari nilai luhur Pancasila tersebut. Hal itu terutama disebabkan oleh karena pendidikan yang doktriner tidak disertai dengan keteladanan yang benar. Mereka yang setiap hari berpidato dengan selalu mengucapkan kata-kata keramat: Pancasila dan UUD 45, tetapi dalam kenyataannya masyarakat tahu bahwa kelakuan mereka jauh dari apa yang mereka katakan. Perilaku itu justru semakin membuat persepsi yang buruk bagi para pemimpin serta meredupnya Pancasila sebagai landasan hidup bernegara, karena masyarakat menilai bahwa aturan dan norma hanya untuk orang lain (rakyat) tetapi bukan atau tidak berlaku bagi para pemimpin. Selain itu Pancasila digunakan sebagai asas tunggal bago organisasi masyarakat maupun organisasi politik (Djohermansyah Djohan: 2007). Karena Orde Baru tidak mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah pemerintahan sebelumnya, akhirnya kekuasaan otoritarian Orde Baru pada akhir 1998-an runtuh oleh kekuatan masyarakat. Hal itu memberikan peluang bagi bangsa Indonesia untuk membenahi dirinya, terutama bagaimana belajar lagi dari sejarah agar Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara benar-benar diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari (Djohermansyah Djohan: 2007). Berakhirnya kekuasaan Orde Baru menandai adanya Pemerintahan Reformasi yang diharapkan mampu
17
memberikan koreksi
dan perubahan terhadap penyimpangan dalam
mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam praktik bermasyarakat dan bernegara yang dilakukan pada masa Orde Baru. Namun dalam praktik pada masa reformasi yang terjadi adalah tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan fundamentalism. Hal inilah yang menandai bahwa pada masa itulah masyarakat Indonesia sedang mengalami krisis identitas bangsa. Modal sosial (social capital) bisa dikatakan sebagai kelompok individu atau grup yang digunakan untuk merealisasi kepentingan manusia. Kalau mau didefinisikan sebagai satu kata maka trust (kepercayaan) adalah kata yang bisa mempresentasikan kondisi tersebut (Konioko dan Woller, 1999). Sedangkan James Coleman sebagaimana yang dikutip oleh Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social and Creation of Prosperity (1995) mendefinisikan modal sosial sebagai kemampuan masyarakat bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok organisasi. Trust (kepercayaan) sangat diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat, hal ini dikarenakan kepercayaan bersifat fundamental. Bahkan dapat dikatakan kualitas relasi sosial terletak pada sejauh mana nilai fundamental itu mendapat perhatian. Ketika sebuah nilai kepercayaan itu hilang maka yang timbul adalah perpecahan yang sifatnya mendarah daging. Sangat jelas bahwa kepercayaan menyentuh sendi kehidupan yang paling mendasar dari sisi kemanusiaan baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial. Sebagai bahan analisis yang menjadikan kepercayaan itu merupakan sebuah faktor utama dari pelaksanaan Pancasila, sebut saja 4 (empat) pilar kehidupan berbangsa. Antara lain Pancasila, UUD NRI 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhineka Tunggal Ika. Empat pilar tersebut ibaratkan sebuah kepercayaan untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang rukun dan tanpa adanya sebuah keganjalan seperti konflik dan sebagainya. Namun sebuah fenomena dan kelangsungan dari perjalanan reformasi memberikan ruang bagi para masyarakat yang tidak mengerti akan hal tersebut, sehingga disini rawan terjadinya konflik di dalam masyarakat itu sendiri.
18
Konflik yang sering terjadi di Indonesia merupakan konflik yang sebagian besar disebabkan karena krisis moral dan tidak bisa mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi Pancasila. Era globalisasi yang sedang melanda masyarakat dunia, cenderung melebur semua identitas menjadi satu, yaitu tatanan dunia baru. Masyarakat Indonesia ditantang untuk makin memperkokoh jatidirinya. Bangsa Indonesia pun dihadapkan pada problem krisis identitas, atau upaya pengaburan (eliminasi) identitas. Hal ini didukung dengan fakta sering dijumpai masyarakat Indonesia yang dari segi perilaku sama sekali tidak menampakkan identitas mereka sebagai masyarakat Indonesia. Padahal bangsa ini mempunyai identitas yang jelas, yang berbeda dengan kapitalis dan fundamentalis, yaitu Pancasila. Krisis identitas yang mulai tergerus itulah yang menyebabkan banyaknya perbedaan diantara golongan dan berdampak timbulnya konflik ataupun permusuhan. “Bangsa Indonesia krisis identitas. Pluralisme yang menjadi alasan berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia), terancam,” ucap Gus Dur, selanjutnya beliau menjelaskan sejarah Indonesia sejak abad ke-18 telah menunjukkan kultur bangsa dan semangat yang berkobar, antara lain adanya konflik yang berbau SARA dan lain sebagainya. Meskipun demikian bangsa Indonesia pada tataran selanjutnya masih banyak terjadi konflik yang berbau SARA, seperti konflik yang terjadi antara Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Ahmadiyah. Konflik tersebut menjadi konflik yang struktural, artinya konflik tersebut berlanjut dan dengan adanya tindakan nyata dari kedua belah pihak untuk saling memenangkan argumen mereka. Menurut MUI, pemerintah kurang tegas dalam menangani masalah tersebut sehingga menimbulkan masalah baru yang bersifat struktural dan berkelanjutan. Faktor yang mendorong krisis identitas dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara terdiri dari dua faktor yang mendasar, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang terjadi karena adanya kegiatan-kegiatan didalam sub sistem tersebut, yaitu ketika masa Orde Baru Pancasila dijadikan sebagai supported regime dan pada masa sekarang menjadi favourable dalam kekuasaan. Selain itu lengsernya kekuasaan Soeharto yang menandakan jatuhnya Orde Baru
19
sebagai bentuk kekuasaan yang otoritarian. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor pendorong krisis identitas dari luar substansi, salah satunya yaitu setelah kehancuran Perang Dingin (1947-1991) antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat sehingga memperkuat pertahanan keamanan di Amerika Serikat, sehingga Amerika Serikat disebut sebagai polisi dunia. Namun pengakuat sebagai polisi dunia pada negara Amerika Serikat tidak bisa dilakukan, hal tersebut dikarenakan jika Amerika Serikat menjadi polisi dunia maka Amerika Serikat berhak dan berkewajiban untuk melindungi semua negara di dunia ini. Adanya faktor-faktor tersebut Indonesia tidak lepas dari dampaknya yaitu adanya krisis identitas bangsa, dimana pahampaham yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Ketika itu, banyak paham yang masuk seperti globalisasi dan fundamentalis. Adanya krisis identitas bangsa yang terjadi selama beberapa dekade menyebabkan mentalitas
bangsa menjadi
tergerus dan
menurunnya
kepercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Ketika krisis kepercayaan itu terjadi, pada masa kini masyarakat hanya menjadikan Pancasila sebagai “buah bibir” saja tanpa bisa menghayati dan mengamalkannya secara utuh. Munculnya paham fundamentalis dan kapitalis sebagai kenyataan akan hal tersebut. Sebagai contoh adalah kasus korupsi ditengah-tengah masyarakat. Kecenderungan tindak korupsi tersebut hanya memihak dan menguntungkan satu pihak saja, sedangkan masyarakat sebagai korban dari korupsi tersebut. Adanya tindak pidana korupsi disebabkan karena lemahnya moral individu, di samping itu, lemahnya penegakan hukum dalam menindaklanjuti tindak pidana korupsi yang semakin merajalela. Perspektif ke depan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum berdasarkan UUD 1945 yang memiliki dasar negara Pancasila, sehingga diperlukan kajian tentang konsepsi sistem hukum di Indonesia. Hal ini dengan tegas dinyatakan pada Pembukaan UUD 1945 alenia IV dan pada Pasal 2 UU No. 10 Tahun 2004 disebutkan bahwa Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, kedudukan Pancasila sebagai norma hukum tertinggi yang dalam tata hukum global disebut ground norm atau staat fundamental norm mengingat sesuai
20
kenyataan sejarah (legal history) selama 60 tahun tidak goyah sebagai ideologi dan dasar negara hukum di Indonesia. Berdasarkan tesis Hans Kelsen, kedudukan Pancasila dalam UUD 1945 berada pada tingkat tertinggi (Ilham Bisri: 2005). Hal ini berarti bahwa Pancasila harus diletakkan sebagai kaidah dasar yang mempunyai arti sebagai sumber dari segala sumber hukum serta menjadi dasar bagi berlakunya UUD 1945. Penyimpangan dan implementasi dari sistem hukum yang berlapis seperti dijelaskan pada gambar di atas adalah ketidakkonsistenan dalam interaksi dan penerapan dari pasal tersebut yang dapat menjadi akar masalah korupsi di Indonesia. Perbuatan korupsi telah digolongkan sebagai kejahatan internasional karena telah ditetapkan melalui Konvensi Internasional (Atmasasmita, 2004: 40). Praktik penegakan hukum dan peradilan yang timpang dengan rasa keadilan masyarakat sebagai wujud terkikisnya nilai Pancasila yang berperan sebagai modal sosial bangsa, contoh vonis bebas korupsi atau SP3 (Surat Perintah Pemberhentian Penyidikan) lebih banyak di tingkat penyidikan dibandingkan kasus-kasus pencurian ayam bahkan sering kali korban penganiayaan yang dihakimi oleh masa. Kondisi seperti ini sangat bertentangan sengan rasa keadilan sebagai salah satu nilai ideologi yang terkandung dalam Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan peran Dalam kurun waktu 5 tahun (2004-2008) Dirtipikor dan WCC, Bareskrim Polri mampu menangani kasus tindak pidana korupsi sebanyak 1.824 kasus, dan mampu diselesaikan sekitar 39,6% dan menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 9.986.129.025.963,66. Penyebab tindak korupsi tersebut jika di lihat dari aspek sosial politik sangat berkaitan dengan masalah kekuasaan yang diperoleh dengan aktivitas kegiatan dalam kepentingan politik. Ini menunjukkan adanya nilai ideologi Pancasila sudah tidak dihiraukan lagi dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebagai modal sosial, tentunya Pancasila memberikan nilai tersendiri, artinya Pancasila mempunyai nilai dan peran implementasinya dalam penyelenggaraan negara. Ketika kepercayaan (trust) masyarakat mulai meredam terhadap nilai dan makna Pancasila, maka disitulah titik awal dari munculnya krisis identitas yang
21
menyebabkan seseorang melakukan segala cara untuk mendapatkan dan mempertahanlan kekuasaan dengan tidak menghiraukan lagi nilai-nilai ideologi yang terkandung dalam Pancasila itu. Selain krisis identitas yang bersifat moralitas dan kekuasaan, muncul kasus fundamentalis agama dalam hal tindak pidana korupsi. Faktor pendidikan dikalangan keagamaan menjadi sangat penting dan strategis dalam membangun moral, mental, dan karakter bangsa yang peka dan anti korupsi. Fundamentalisme Agama sebagai akibat Lemahnya Pengamalan Nilai Ideologi Pancasila Agama merupakan pondasi hidup setiap manusia, tanpa adanya agama manusia tidak bisa berpikir secara naluri dan tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Indonesia merupakan negara yang meyakini keberadaan agama sebagai hal tersebut, ada 6 keyakinan yang terdapat di Indonesia dan masing-masing keyakinan mempunyai dasar ataupun pedoman sesuai dengan keyakinannya. Pancasila khususnya Sila ke1 menyebutkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sudah jelas dan tidak diragukan lagi, setiap manusia pasti mempunyai Tuhan dan percaya bahwa Tuhan itu ada. Keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat yang berbeda kepercayaan merupakan wujud nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dalam bentuk keharmonisan, kebersamaan, ketentraman, dan sebagainya. Perbedaan keyakinan yang terdapat di dalam masyarakat itu merupakan multikulturalisme bangsa Indonesia. Namun, tidak jarang hal tersebut justru mendorong berbagai keributan/kerusuhan. Substansi kerusuhan tersebut sangat sempit dan kecil, tapi bisa juga menjadi kerusuhan berskala besar dan sulit untuk menemukan jalan tengahnya, dan bahkan bisa membawa nama masing-masing kelompok tersebut dalam ranah konflik yang bersifat SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan). Dalam perjalanannya, mengingat begitu kuatnya penekanan tentang pentingnya Pancasila dan UUD 1945 masa Orde Baru, banyak orang merasa bosan, jenuh atau bahkan menjadi antipati. Terlebih lagi memang upaya mensosialisasikan dasar Negara dan konstitusi tersebut oleh elit Orde Baru kala itu seolah tidak ada jemu-jemunya, bahkan cenderung seolah seperti
22
tidak ada kata henti. Kesan pemaksaan sering dijadikan alasan untuk menolak Pancasila. Sementara, banyak pula yang melihat berbagai prilaku, tindakan atau perbuatan, baik oleh pejabat maupun anggota masyarakat, dinilai menyimpang jauh dari nilai-nilai Pancasila yang disosialisasikan dan dilestarikan itu. Buruk Rupa Cermin Dibelah, Lantas apakah dengan kita melengserkan Pancasila dan UUD 1945, kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kini menjadi jauh lebih baik dibandingkan masa Orde Baru, Apakah berbagai krisis ekonomi, krisis multi dimensi sebagaimana terjadi pada penghujung masa Orde Baru sudah teratasi? Tentu jawabannya tidak dapat dinyatakan secara hitam putih. Hal yang pasti, permasalahan yang dihadapi masa sekarang tampaknya tidak banyak beranjak jauh, terutama yang dirasakan oleh rakyat kalangan menengah ke bawah. Sementara untuk di kalangan sebagian elit secara pribadi-pribadi, kelompok atau golongan tentu saja menilai banyak jauh meningkat pada kondisi saat ini. Terlebih bila kita memang total melupakan Pancasila dan UUD 1945. Dari kondisi saat ini yang dinilai masih gonjang ganjing itulah, sementara pihak melihat ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan kita. Mereka melihat kita selama ini ternyata ibarat “buruk rupa cermin dibelah.” Maksudnya, wajah kita yang buruk tapi malah yang kita rusak adalah cermin, alat bagi kita untuk dapat melihat siapa kita. Kenyataan tersebut membuat ada penilaian yang menyebutkan kita kini dalam kondisi memprihatinkan. Rakyat Indonesia mengalami degradasi wawasan nasional bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan dasar Negara Pancasila, sebagai sistem ideology nasional karenanya, elit reformasi mulai pusat sampai daerah mempraktekkan budaya kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme. Jadi, rakyat dan bangsa Indonesia mengalami erosi jati diri nasional. Kalau kita melihat masalah Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Ketiganya terlihat sepakat bahwa saat ini kita sudah melenceng atua bahkan cenderung sudah mengabaikan penerapan substansi dari konstitusi dan ideologi Negara sebagaimana yang diamanatkan oleh para founding father, bapak bangsa. Penyelenggaraan kehidupan bermasyarkaat,
23
berbangsa dan bernegara saat ini tidak lagi memakai acuan UUD 1945 dan Pancasila. Masa Orde Baru sudah memulai menanamkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pikiran kita. Selanjutnya sudah pula terus diucap-ucapkan dan banyak pula dicoba diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dasar Negara dan konstitusi warisan founding fathers itu tidak disosialisasikan dalam waktu singkat tapi makan waktu cukup lama, lewat proses dialog yang panjang. Lewat musyawarah mufakat yang tidak langsung begitu saja disetujui. Bayangkan, penerimaan Pancasila sebagia satu-satunya asas buat organisasi sosial politik dan kemasyarakatan baru disepakati pada Sidang Umum MPR 1983, sekitar 15 tahun setelah Orde Baru. Itu pun tidak langsung diterapkan karena dibuat dulu undang-undangnya. Sementara sampai berakhirnya Orde Baru, sebenarnya upaya sosialisasi dan pelestariannya masih terus dilakukan. Sungguh sayang, euphoria reformasi telah membuat kita lupa, mana yang harus tetap dipertahankan dan mana yang harus dibuang. Kita terlalu emosional sehingga semua produk Orde Baru dianggap keliru. Padahal yang keliru adalah dalam tararan operasional yang memang dimungkinkan dapat saja belum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Bukankah hal ini sangat naïf jika kita seharusnya mau menjunjung tinggi warisan para founding father. Untuk bisa melihat Pancasila sebagai lebih jernih kita perlu melihat sejarah awalnya Pancasila. Pancasila adalah sebuah istilah yang diciptakan Bung Karno dalam pidatonya di siding BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, sehingga dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Sedikit dari kita yang masih mengingat bahwa Pancasila versi Bung Karno di BPUPKI berbeda dengan Pancasila yang kita kenal sekarang.
24
D. Ke depan apakah sebagai pengikat Pancasila masih bisa diandalkan Tergantung bagaimana orang Indonesia menanggapinya sekarang. Secara jujur sangat mengkhawatirkan. Orang sekarang malas berbicara soal Pancasila. Mungkin hanya segelintir Universitas atau bahkan Jurusan Pancasila saja yang mendalami dan mempelajari Pancasila. Sebagai warga negara, justru hal seperti itu sangat mengkhawatirkan. Tidak ada sebuah negara yang tidak tegak di atas sebuah ideologi. Selonggar apa pun pengertian ideologi itu. Amerika punya ideologi, ideologi demokrasi. Kita punya apa? Angkatan pergerakan nasional sudah memberikannya kepada kita, yakni Pancasila. Sayangnya, dalam upaya penerapannya, Pancasila selalu ditawarkan dalam bahasa cuci otak. Dipaksakan dengan cara indoktrinasi. Dunia berkembang dan berubah dengan sangat cepat, dan perubahan yang terjadi itu ikut mewarnai kehidupan bangsa kita secara fundamental. Ada beberapa penulis buku yang melalui konsep-konsepnya telah berhasil memotret realitas zaman yang sedang kita jalani ini. Di antaranya adalah Rowan Gibson (1997) yang menyatakan bahwa: “The road stop here”. Masa di depan kita nanti akan sangat lain dari masa lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu. “New time call for new”: organizations, dengan tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi yang berbeda, dengan ciri efisiensi yang tinggi. “Where do we go next”; dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap organisasi-termasuk organisasi negara-perlu merumuskan dengan tepat arah yang ingin dituju. Peter Senge (1994) mengemukakan bahwa ke depan terjadi perubahan dari detail complexity menjadi dynamic complexity yang membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan-perubahan terjadi sangat mendadak dan tidak menentu. Rossabeth Moss Kanter (1994) juga menyatakan bahwa masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan, dan karenanya setiap pelakunya, termasuk pelaku bisnis dan politik dituntut memiliki 4 C, yaitu concept, competence, connection, danconfidence.
25
Kesadaran Berbangsa Sebenarnya, proses reformasi selama enam tahun belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan kita dalam era reformasi ini masih kurang dimanfaatkan. Bahkan dalam proses reformasi-selain sejumlah keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik-juga muncul ekses berupa melemahnya kesadaran hidup berbangsa. Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum semua warga bangsa kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses demokratisasi yang sedang berlangsung ini memiliki koridor, yaitu untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI, yang menganut ideologi negara Pancasila yang membina keberagaman, dan memantapkan kesetaraan. Oleh karenanya, tidak semua hal dapat dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi. Mahasiswa Tak Minati Pancasila Melemahnya kekuatan Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa juga terjadi kepada kelompok mahasiswa. Kaum muda yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan Pancasila. Mengutip survei yang dilakukan aktivis gerakan nasionalis pada 2006, sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup. Hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
26
Penelitian itu dilakukan di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya. Perguruan-perguruan tinggi tersebut selama ini dikenal sebagai basis gerakan politik di Indonesia. Survei tersebut menunjukkan kondisi riil di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia. Kondisi ini menunjukkan semakin rendahnya semangat nasionalisme di kalangan generasi penerus bangsa. "Banyak generasi muda yang lupa isi harfiah Pancasila. Apalagi mengerti Pancasila secara maknawi? Pasca bergulirnya gerakan reformasi, Pancasila dilalaikan oleh banyak pihak. Pancasila tidak lagi menjadi acuan dalam kehidupan politik dan tak lagi digunakan sebagai kerangka penyelesaian masalah nasional. Bahkan, banyak orang bersikap sinis dan takut ditertawakan jika berbicara tentang Pancasila. Pancasila tak lagi menjadi acuan, baik dalam pengambilan keputusan maupun penyusunan perundang-undangan. Jarang pula masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa direfleksikan atau dipertanyakan kembali dalam kerangka dasar negara, Pancasila. Masalah itu, antara lain terlihat dalam meningkatnya jumlah penduduk miskin dan penganggur, kesehatan dan pendidikan bagi rakyat miskin, konflik etnis dan antarumat beragama, serta meluasnya sikap ekstrem dan fundamentalis. Itu semua jauh dari Pancasila.Kebebasan yang diperoleh melalui reformasi, lanjutnya, dipahami dalam kerangka logika konsumerisme dan tumbuhnya sikap tak peduli akan nilai empati, compassion, cinta kasih, solidaritas, dan nilai kemanusiaan yang menjembatani privat dengan publik. Terkait dengan hal itu, kata Sastrapratedja, Pendidikan Pancasila perlu diperhatikan kembali. Pascareformasi, Pendidikan Pancasila menjadi kurang penting dalam lembaga pendidikan. Hal itu bisa jadi merupakan akibat atau ekses Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang selama Orde Baru sangat ditekankan. Pendidikan Pancasila harus ditumbuhkan lagi menjadi bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan dengan cara yang menarik.Maftuh Basyuni juga mengajak semua pihak untuk menegaskan komitmen pada Pancasila. Beberapa langkah yang bisa dikategorikan sebagai pengamalan Pancasila adalah memperbaiki kualitas
27
keberagaman masyarakat secara berimbang, memperbaiki kualitas ketahanan keluarga, dan memperbaiki persaudaraan antarsesama kelompok. Secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida menilai, Kebangkitan Nasional telah berusia satu abad, tetapi hingga saat ini belum ada pemimpin yang mampu membangkitkan rakyat dari kemelaratan, kebodohan, dan ketertinggalan. Pemimpin seperti ini yang dibutuhkan Indonesia ke depan. Soalnya, situasi yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda dengan 100 tahun lalu. Sekarang tidak lagi butuh pemimpin yang mempersatukan kelompok etnik, raja seperti 100 tahun lalu, karena terorganisir dalam negara. Yang dihadapi rakyat sekarang adalah ketiadaan pemimpin yang bisa membuat mereka bangkit dari kemelaratan, kebodohan, ketertinggalan saat ini masih banyak warga Indonesia yang belum menikmati listrik, akses jalan dan transportasi dari satu tempat ke tempat lain, bahkan mati karena kelaparan. Indonesia juga membutuhkan pemimpin yang mau bersungguh-sungguh memperjuangkan apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi nasional dan dasar negara Republik Indonesia sudah final. Karena itu Presiden Yudhoyono mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menghidupkan, mengamalkan dan memegang teguh Pancasila sebagai dasar negara. "Memang, kita tidak ingin Pancasila dan UUD 1945 disakralkan karena tidak perlu disakralkan. Namun pemikiran untuk mengganti Pancasila dengan idelogi dan dasar negara lain atau pun mengubah Pembukaan UUD 1945 yang merupakah ruh dan jiwa konstitusi kita, tentulah tidak akan kita berikan tempat dalam kehidupan bernegara. Dikatakan ada empat pilar utama yang menjadi nilai dan consensus dasar yang menopang tegaknya Republik Indonesia selama ini yakni : 1. Pancasila 2. UUD 1945 3. Negara Kesatuan Republik Indonesia dan prinsip 4. Bhineka Tunggal Ika
28
Sepanjang perjalanan sejarah bangsa kita, selalu ada saja ujian terhadap pilar-pilar utama kehidupan bernegara. Dalam era globalisasi dan transformasi nasional dewasa ini, kembali kita menghadapi tantangan empat pilar utama itu. Terhadap rongrongan itu, pertama-tama kita harus menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa sudah final, Pancasila tetap harus dite- gakan sebagai falsafah bangsa, pandangan hidup bangsa (way of life) serta perangkat pemersatu bangsa. Pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR RI No XVIII/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang sekaligus secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Pembukaan UUD 1945 juga harus dipertahankan karena memuat cita-cita, tujuan nasional, dan dasar negara. Selain itu NKRI juga sudah final dan tidak dapat diganggu gugat. Keutuhan dan kedaulatannya tidak dapat dikompromikan. Penegakannya dapat dilakukan dengan berbagai cara yang mengedepankan pendekatan keadilan dan kesejahteraan. Di tengah-tengah keragaman bangsa kita yang majemuk, lanjutnya, slogan Bhineka Tunggal Ika harus terus diaktualisasikan, sebagai keniscayaan kehidupan bangsa yang beragam suku, agama, bahasa dan budaya. Untuk itu, dia mengajak untuk bersatu dan bertekad bulat guna mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa. Demokrasi Pada bagian lain Presiden Yudhoyono mengemukakan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini bertumbuh mekar. Tantangannya bagaimana menggunakan kebebasan itu secara tepat, bermanfaat, penuh tanggung jawab, dan disertai akhlak yang baik. Marilah kita abdikan demokrasi dan kebebasan ini untuk mengatasi permasalahan dan membangun kesejahteraan rakyat
29
E. Upaya Menjaga Nilai-nilai Luhur Pancasila Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila merupakan suatu cerminan dari kehidupan masyarakat Indonesia (nenek moyang kita) dan secara tetap telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Untuk itu kita sebagai generasi penerus bangsa harus mampu menjaga nilai – nilai tersebut. Untuk dapat hal tersebut maka perlu adanya berbagai upaya yang didukung oleh seluruh masyarakat Indonesia. Upaya-uapaya tersebut antara lain : 1. Melalui dunia pendidikan, dengan menambahkan mata pelajaran khusus pancasila pada setiap satuan pendidikan bahkan sampai ke perguruan tinggi 2. Lebih memasyarakatkan pancasila. 3. Menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari 4. Memberikan sanksi kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran terhadap pancasila. 5. Menolak dengan tegas faham-faham yang bertentangan dengan pancasila. Demikianlah beberapa upaya yang dapat kita lakukan untuk menjaga nilai-nilai luhur pancasila sehingga masyarakat yang aman dan sejahtera dapat terwujud.
30
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Pancasila sebagai ideologi negara yanng telah direncanakan oleh para pendiri bangsa, pada era Orde Baru sampai masuknya era Reformasi sekarang ini belum begitu terwujud dengan apa yang diinginkan. Hal ini terlihat dari bagaimana cara pemerintah maupun masyarakat Indonesia dalam memahami dan melaksanakan pancasila sebagai pedoman hidup maupun sebagai landasan hukum tertinggi. Bahkan pada jaman sekarang ini Pancasilan seolah telah terlupakan oleh bangsa Indonesia baik itu sebagai Pedoman hidup maupun landasan hukum berbangsa Indonesia. Dan apa yang terjadi dalam negara ini tidak lain adalah akibat dari terlupakannya nilai arti yang terkandung dalam Pancasila dan bangsa ini tidak lagi menanamkan Budaya Berpancasila sebagai ideologi.
B. SARAN Kita sebagai bangsa yang besar yang telah dari setengah abad mengaku merdeka hendaklah berbenah dan kembali pada jati diri bangsa yang berpedoman pada Pancasila. Lebih memahami nilai dari kandungan Pancasila dan melaksanakannya dengan kesadaran dan keikhlasan hidup berbagsa, sebagai bangsa yang besar. Untuk memwujudkan negara yang maju disegani negara lain dengan berpegang teguh pada Pancasila.
31
DAFTAR PUSTAKA Budiyanto. 2004. Kewarganegaraan untuk SMA Kelas X. Jakarta: Erlangga. Dardji Darmodiharjo, dkk. (1981). Santi Aji Pancasila. Surabaya : Usaha Nasional Dhont, Frank, dkk. 2010. Pancasila’s Contemporary Appeal: Re-legitimizing Indonesia’s Founding Ethos. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press. Douglas, Stephen. 1974. Student Activism in Indonesia. Boston: The Litle, Brown and Company. Fukuyama, Francis. 1995. Trust, The Social Virtues and The Creation of Prosperity. New York: Free Press. Ir. Soekarno. 2006. Filsafat Pancasila menurut Bung Karno (Penyunting: Floriberta Aning). Yogyakarta: Media Pressindo. Koentjaraningrat.1980.Manusia dan Kebudayaan Indonesia.Jakarta: PT. Gramedia. Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila Edisi Reformasi. Yogyakarta: Paradigma. Nopirin. 1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pancoran Tujuh. Notonagoro.1980. Beberapa Hal Mengenai Falsafah Pancasila, Cet. 9. Jakarta: Pantjoran Tujuh.p S, Ubed Abdilah. 2002. Politik Identitas Etnis. Magelang: Indonesiatera. Salam, H. Burhanuddin, 1998. Filsafat Pancasilaisme. Jakarta: Rineka Cipta Soegito, A. T, dkk. 2009. Pendidikan Pancasila. Semarang: Pusat Pengembangan MKU-MKDK Unnes. Suwarno, P. J. 1993. Pancasila Budaya Bangsa Indonesia. Yogyakarta: Kanisius. Rahma, Srijanti A dan Purwanto S. K. 2008. Etika Berwarga Negara: Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi. Jakarta: Salemba Empat. Winataputra, Udin. S. dkk. (2008). Materi dan Pembelajaran PKN SD. Jakarta: Universitas Terbuka
32