PANCASILA : Falsafah Kepemimpinan Bangsa Indonesia Oleh : Agus Triantara
Tak ada makhluk yang terlahir di muka bumi ini tanpa ruh yang menyertai. Pancasila adalah ruh/jiwa (NKRI) itu sekaligus sebagai suluh (obor) di tengah gelapnya kehidupan semesta.
Cukup lama dan bertahun-tahun saya gelisah memahami makna kepemimpinan. Menjelang masa kuliah berakhir di Fakultas Ekonomi Manajemen, justru kegelisahan itu semakin menggelitik hati dan pikiran. “Benarkah teori kepemimpinan dari berbagai pakar yang saya pelajari selama ini adalah makna yang sesungguhnya ?” Setelah waktu berlalu hampir 20 tahun, saya baru menemukan alternatif cara mamahami makna kepemimpinan. Dalam pemikiran ini saya mencoba menjelaskan bahwa kepemimpinan itu dapat dipahami sebagai : a) sebuah konsep/sistem nilai, b) sebuah proses maupun c) sebuah output. Secara konseptual, terdapat 5 unsur sistem kepemimpinan utama : 1) visi organisasi, 2) desain perilaku organisasi (nilai dan norma serta etika dan estetika budaya), 3) pelaku kepemimpinan (pemimpin dan yang dipimpin – sebagai sumber daya sosial), 4) lokasi tempat dimana sistem, proses dan output kepemimpinan itu terjadi sekaligus sebagai asset yang dapat diolah menjadi sumberdaya ekonomi. Pembangunan1 nasional, dapat kiranya dijadikan sebagai wujud proses kepemimpinan yang nyata dan mudah kita analisa. Unsur pertama, bahwa visi bangsa Indonesia sudah nyata tercantum dalam falsafah hidup bangsa : PANCASILA. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia (Sila ke-5 Pancasila), adalah visi bangsa Indonesia yang paripurna. Visi inilah yang memiliki daya magis
1
Dalam sambutan Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 6 Juni 1985, Presiden Soeharto menjelaskan tentang makna pembangunan. Presiden mengatakan bahwa pembangunan harus memiliki tiga persyaratan agar keseimbangan lingkungan tetap terjaga. Ketiga syarat tersebut adalah : 1) memiliki kemampuan melihat pembangunan dalam hubungannya antara sektor satu dengan sektor lainnya. Setiap kegiatan tidak berdiri sendiri, tetapi kait mengkait dengan kegiatan lain. Kemudian 2) pembangunan juga harus mampu membuka peran serta masyarakat, sehingga terangsang turut serta dan memperoleh manfaat dari pembangunan yang bersangkutan. Syarat 3) adalah memiliki pandangan ke depan dan menyadari pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang berkesinambungan dalam kurun waktu jangka panjang. (Majalah Asri, 1985)
sehingga berbagai kepentingan dan ego kultural dan primordial dari ribuan suku bangsa di wilayah Nusantara dapat dipersatukan. Unsur kedua, bahwa desain perilaku (nilai dan norma, etika dan estetika budaya) bangsa Indonesia adalah UUD 1945. Undang-undang Dasar 1945 terdiri dari 2 komponen, yaitu Pembukaan di mana falsafah hidup bangsa, yaitu Pancasila tercantum di dalamnya. Dan Batang Tubuh, di mana seluruh garis besar etika dan estetika dalam mengelola rumah tangga negara dan bangsa sudah digariskan oleh para pendiri bangsa. Unsur ketiga, bahwa pelaku dalam sistem kepemimpinan, terdiri dari pemimpin dan yang dipimpin. Keduanya memiliki hubungan yang saling membutuhkan dan saling menyempurnakan. Keduanya sejajar dan sama pentingnya, sama fungsinya yaitu sebagai elemen dari harmoni kehidupan. Keduanya bak kutub kehidupan yang tak bisa dipisahkan. “Para pemimpin”2, gendernya yin/jamal (feminin, pasif, menerima indah dalam pelayanan), “yang dipimpin” gendernya adalah yang/jalal (maskulin, aktif, memberi, agung dalam kepribadian). Pemimpin ibarat ibu jari tangan kiri dan kanan kita. Dan yang dipimpin ibarat 4 jari tangan kiri dan kanan kita. Keduanya akan menghasilkan genggaman yang kuat dan sempurna (tao/kamal), manakala yang/jalal dipertemukan dengan yin/jamal untuk suatu tujuan yang sama. Tatkala “tuhan” kecil berfirman, “kun”3 (jadilah genggaman kuat), “fa yakun” (maka jadilah genggaman yang kuat). “Pembangunan Nasional” sebagai wujud proses kepemimpinan, sering disalahkaprahkan. Kita terlalu asyik dengan paradigma bahwa presiden adalah pemimpin bangsa4 Indonesia, presiden adalah pemimpin negara5. Tanpa dipilah dan dipilih. Oleh karenanya pemilu dianggap sebagai hajad bangsa yang paling menentukan terhadap kejayaan negara ke depan. Kita lalai memilah siapa pemimpin
2
Konsepsi “pemimpin” dalam hal ini berbeda dengan konsepsi/persepsi pemimpin feodalistik yang serba dilayani segala keinginannya. Seseorang dipilih menjadi pemimpin dalam ranah kepemimpinan demokratik, secara protokoler memang dilayani oleh abdi/abdi pribadinya (sekretaris, sopir pribadi, ajudan dan pembantu-pembantunya). Akan tetapi pada esensinya, dia (pemimpin) itu adalah abdi dan pelayan terhadap masyarakat yang memberikan mandat untuk mememenuhi kepentingannya dalam urusan kemasyarakatan atau kenegaraan.
3
Dalam bahasa Arab, ”kun” terdiri dari 2 huruf : kaf dan nun. Kaf mewakili kata kamil (kesempurnaan), dan nun mewakili kata nur mewakili kata nur (cahaya). Artinya penciptaan terwujud dari cahaya yang sempurna (Muh. Wahyu Nafis, dalam bukunya berjudul 9 Jalan untuk Cerdas Emosi dan Cerdas Spiritual, 2006).
4
Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan/atau sejarah. Mereka umumnya dianggap memiliki asalusul keturunan yang sama. Konsep bahwa semua manusia dibagi menjadi kelompok-kelompok bangsa ini merupakan salah satu doktrin paling berpengaruh dalam sejarah. Doktrin ini merupakan doktrin etika dan filsafat, dan merupakan awal dari ideologi nasionalisme. (http://id.wikipedia.org/wiki/Bangsa)
5
Negara adalah suatu wilayah di permukaan bumi yang kekuasaannya baik politik, militer, ekonomi, sosial maupun budayanya diatur oleh pemerintahan yang berada di wilayah tersebut. (http://id.wikipedia.org/wiki/Negara)
bangsa dan siapa pula pemimpin negara. Dampak dari salah kaprah ini, adalah adanya subyektifitas masyarakat dalam meyakini sosok pemimpin negara sekaligus pemimpin bangsa. Kita terperangkap pada politik selera. Rasionalitas tidak berfungsi dengan sempurna. Akibatnya adalah gagalnya bangsa Indonesia membangun semangat persatuan dan kesatuan6. Kita terjebak pada fatamorgana kepemimpinan. Berbeda selera dalam kepemimpinan negara, berarti berbeda pula dalam kepemimpinan bangsa. Sehingga masyarakat pun kehilangan nakoda dalam berbangsa. Lebih dari 237 juta penduduk bak buih di lautan yang terombangambing oleh gelombang lautan. Sungguh, bila kita menengok sejarah bangsa, para leluhur bangsa kita sangat cerdas dan bijaksana. Sebelum mereka mendeklarasikan Indonesia Merdeka, pada tanggal 17 Agustus 1945, mereka telah merumuskan “sosok (imajiner) pemimpin sejati bangsa”7 yang selama ini telah berhasil menyatukan jiwa-jiwa dari jutaan anak bangsa, dari ribuan suku bangsa di wilayah Nusantara. Pemimpin bangsa yang di masa itu telah menjadi matahari bangsa, dengan memancarkan cahayanya di siang hari dan menyebarkankan kehangatannya di malam hari. Sehingga seluruh anak negeri terinspirasi dan termotivasi (dengan mempertaruhkan seluruh jiwa dan raga) untuk mewujudkan mimpi menjadi bangsa yang mandiri. Bangsa yang merdeka, bangsa yang berdaulat ! Unsur keempat, aspek pembangunan yang paling nyata adalah lokasi tempat di mana masyarakat beraktivitas dengan potensi ekonomi yang terkandung di dalamnya. Anggaran negara Indonesia yang diterima dari berbagai pemasukan negara, statusnya adalah milik bangsa yang dikelola oleh negara ! Pemerintah Indonesia yang diselenggarakan (diadakan) oleh pemilik negara (rakyat – sebagai negara republik), dimaksudkan untuk mengelola agar tercapai tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia, yaitu : negara yang adil, makmur, bahagia dan sejahtera ! Dalam kegiatan pembangunan, perencanaan macam apapun tak akan bermakna tanpa diiringi dengan ketersediaan dana pembangunan atau yang kita kenal dengan istilah anggaran pembangunan. Pada skala nasional, kita mengenal
6
7
Indonesia berhasil membangun semangat persatuan dan kesatuan dalam arti sosial-politik. Akan tetapi belum dalam arti ekonomi dan hukum. Keduanya saling berkelindan sehingga tercipta kasta-kasta baru dalam masyarakat Indonesia seiring dengan melebarnya kesenjangan ekonomi dan praktek hukum. a) Pancasila diusulkan oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945, di hadapan BPUPKI. b) Piagam Jakarta adalah hasil kompromi tentang dasar negara Indonesia yang dirumuskan oleh Panitia Sembilan dan disetujui pada tanggal 22 Juni 1945 antara pihak Islam dan kaum kebangsaan (nasionalis). Panitia Sembilan merupakan panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. c) Pada saat penyusunan UUD pada Sidang Kedua BPUPKI, Piagam Jakarta dijadikan Muqaddimah (preamble). Selanjutnya pada pengesahan UUD 45 18 Agustus 1945 oleh PPKI, istilah Muqaddimah diubah menjadi Pembukaan UUD setelah butir pertama (Pancasila) diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. (http://id.wikipedia.org/wiki/Piagam Jakarta)
APBN8, dan pada skala daerah kita mengenal APBD provinsi maupun kabupaten serta APBDes di tingkat desa. Pentingnya anggaran pembangunan dalam setiap perencanaan pembangunan, maka struktur penganggaran dari sebuah pembangunan akan mencerminkan spirit politik pembangunan yang sesungguhnya. Diteropong dari perspektif religi-spiritual, bahwa setiap getaran yang hadir di muka bumi ini senantiasa mengemban amanah yang sangat mulia. Bahwa setiap eksistensi yang lahir di muka bumi, tentu memiliki fungsi. Tuhan tak akan menciptakan suatu makhluk bumi tanpa mempersiapkan rejeki. Demikian pula besarnya penduduk bumi di seluruh wilayah negeri ini, tentu sudah bersama rejeki yang mengiringi. Oleh karenanya menjadi sebuah tragedi ekonomi tatkala energi bangsa (anggaran negara : APBN / APBD / APBDes), yang seharusnya mengalir, menggulir dan mencair menyapa takdir, justru dipasung dalam keranjang ambisi dan dikerangkeng dalam bejana keangkuhan birokrasi, bahkan tak sedikit yang tersimpan di bilik-bilik korupsi milik petinggi negeri. Sebagai ilustrasi, besarnya APBN Indonesia hanya sekitar 20% dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Ironisnya PDB Indonesia sebagai kekuatan ekonomi nasional, distribusinya sangat tidak merata dan hanya dikuasai oleh sekelompok kecil masyarakat Indonesia. Belajar dari perjalanan panjang pembangunan bangsa ini, saya dapat mengilustrasikan bahwa sistem kepemimpinan bangsa dan negara Indonesia sebagaimana gambar di bawah ini.
8
Kekuatan ekonomi suatu Negara dapat diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dari suatu sumber ilmiah, disebutkan bahwa APBN Indonesia hanya 20% dari PDB nasional. Artinya 80% PDB Indonesia di luar kontrol negara sehingga distribusinya pun sangat tidak merata.
Gambar - : Visualisasi “Tata Surya” Indonesia Raya
PANCA SILA Peme rintah
Ma syara kat Swasta : Yayasan, PT, Kop UUD 1945
Pancasila adalah visi bangsa9. Nilai-nilai Pancasila lah yang mempersatukan mimpi seluruh anak bangsa ketika bangsa ini akan hadir di dunia dalam biduk raksasa bernama NKRI. Pancasila adalah sebuah utopia bangsa laksana surga yang harus digapai pula dengan ikhtiar kerja dan do’a. Dengan seluruh daya cita, rasa, karsa dan daya cipta seluruh anak bangsa. Di dalam Pancasila itu terdapat mimpi bangsa, terdapat pula petunjuk jalan yang membimbing bangsa ini mencapai ke sana. Pancasila disamping sebagai sumber inspirasi, juga sebagai sumber energi dan motivasi membangun negeri. Tak ada makhluk yang terlahir di muka bumi ini tanpa ruh yang menyertai. Pancasila adalah ruh (NKRI) itu sekaligus sebagai suluh (obor) di tengah gelapnya kehidupan semesta. Ruh adalah energi yang akan menghidupi seluruh penduduk yang tinggal di bumi. Panas dan cahayanya yang hadir setiap hari, akan memotivasi dan menginspirasi seluruh rakyat berimajinasi, berkreasi dan berinovasi. Sehingga tak pernah lelah melakukan aksi manggapai mimpi. Karena panas dan cahaya inilah (unsur yang - api) sebagai belahan jiwa penduduk bumi (unsur yin – tanah, air dan udara). Inikah yang namanya HARMONI KEHIDUPAN yang hakiki ? Bilamana panas dan cahaya matahari “Pancasila” ini dihambat, dihalangi, dan DIKORUPSI10, maka penduduk bumi akan mati tak berarti. Metabolisme 9
Kapan bangsa Indonesia lahir ? Argumen saya adalah saat ikrar Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Saat diikrarkannya “Satu Bangsa, yaitu : BANGSA INDONESIA”. Saya semakin mantab dengan argumentasi ini ketika dalam sebuah artikel di koran, Syafi’i Ma’arif juga memiliki pemikiran yang demikian.
10
Budaya KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme), telah tumbuh subur di Indonesia dan merambah ke setiap sudut kehidupan. Perilaku KKN ini dipicu oleh lemahnya rasa cinta anak bangsa (masyarakat, aparat, swasta) terhadap bangsa dan negaranya. Kepentingan diri, keluarga, kelompok telah ditempatkan di atas kepentingan negara.
peradaban bangsa tak lagi serasi, karena gaung keperkasaannya akan larut termakan oleh gelap dan sunyi. Di negeri ini, kini telah terbebas dari kaum penjajah yang jahatnya tak terperi. Akan tetapi peran itu justru diambil alih oleh para petinggi negeri yang tidak punya visi, tak memahami eksistensi dan jati diri, pandai bersilat lidah dan membangun kolusi. Bersama para pedagang bermata jalang, banyak diantara mereka berpesta dan mabuk bukan kepalang. Pengalaman pahit selama Orde Baru, pengelolaan anggaran negara selama masa kekuasaannya, adalah : 79,9% dikelola oleh pemerintah pusat, 8% provinsi, 12 oleh pemerintah kabupaten dan hanya 0,01% dikelola oleh masyarakat11. Bagaimana mungkin bangsa ini bisa berdaya dan berkembang menjangkau peradaban : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia ? Otonomi daerah, adalah salah satu produk terpenting dari reformasi 1998. Dan esensi dari semangat otonomi daerah, adalah mendekatkan kembali rakyat Indonesia kepada “pemimpin rakyat yang sesungguhnya”, yang sesuai fitrah/kodrat kelahiran bangsa dan negara ini dilahirkan. Siapa pemimpin rakyat sesungguhnya ? Dalam berbagai diskusi, belum pernah saya temukan suatu pandangan yang menyatakan bahwa : pemimpin itu bukan sosok manusia, melainkan nilai ! Semua paradigma, teori, maupun pendapat yang saya temui selama ini selalu menyatakan bahwa pemimpin adalah sosok manusia. Sehingga ada pertanyaan teoritis : “pemimpin itu dilahirkan atau diciptakan ?”. Dalam “rumah agung” kita : Pancasila, sangat jelas bahwa para pendiri bangsa ini telah meletakkan landasan bangunan bangsa dan menetapkan sebuah wasiat : Kerakyatan yang dipimpin oleh HIKMAT KEBIJAKSANAAN dalam permusyawaratan/perwakilan. Saya menafsirkan bahwa pemimpin sejati12 di NKRI ini tidak lain dan tidak bukan adalah : HIKMAT KEBIJAKSANAAN (yang berhasil diperoleh) dalam permusyawaratan / perwakilan. Bukan hikmat keserakahan, kemunafikan, dan keangkaramurkaan ! Bukan pula si A, bukan si B, bukan pula si C ! Artinya apa ? Dalam perjalanan sejarah bangsa, terutama sejak Orde Baru berkuasa, pemerintah dan swasta (termasuk dalam kelompok ini sebagian masyarakat yang menjelma menjadi “pembeli keputusan” pejabat negara), telah berkolaborasi menjadi nebula (kabut antar bintang) bangsa yang menghalangi pancaran cahaya matahari menembus “bumi”. Bila diilustrasikan dalam gambar di atas, posisi planet pemerintah, swasta dan bumi berada hampir sempurna dalam satu garis lurus. 11 12
Sumber data dari Ditjen PMD, Depdagri. Dalam konteks duniawi. Karena kalau bicara yang jauh lebih hakiki, pemimpin atas segala pemimpinpemimpin sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa.
Hasil keputusan bersama yang diperoleh dalam setiap musyawarah/mufakat yang dilaksanakan oleh rakyat maupun wakil-wakil rakyat lah, yang harus menjadi rujukan, panutan, pimpinan, koridor, norma setiap gerak dan langkah rakyat Indonesia. Demokrasi khas Indonesia (musyawarah/mufakat) sebagai media / mekanisme/proses politik bangsa menjadi sebuah keniscayaan yang harus dijalankan. Rakyat Indonesia menerima siapapun presiden terpilih melalui pemilu, karena di bawah sadar rakyat Indonesia telah bicara, hasil dari musyawarah itulah yang harus kita kita terima dan kita hormati. Suka atau tidak suka ! Kalaupun rakyat memerlukan dan memilih sosok pemimpin 13, sebenarnya kehadiran mereka bukan untuk mengganti posisi “pemimpin sejati” melainkan hanya diperlukan untuk menjabarkan makna atas nilai-nilai kepemimpinan itu. Sehingga mimpi itu menjadi begitu nyata. Sebaliknya mereka adalah abdi yang berarti alat (sebuah organisasi), agar organisasi itu dapat beroperasi dan berfungsi. Mereka (ketua/pemimpin yang terpilih dalam musyawarah/mufakat) semata-mata adalah pengemban amanah dari pemimpin rakyat yang sesungguhnya, yang wujudnya abstrak dan imajiner. Kehadiran Rasul dan para nabi di bumi pun, demikian pula esensinya. Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW hanyalah sebagai wasilah (perantara) yang dipilih oleh Sang Pencipta. Sehingga komunikasi antara Sang Khaliq dengan ciptaan-Nya menjadi lebih rasional sesuai dengan hukum-hukum nalar yang Dia cipta. Para Nabi dan Rasul itu laksana satelit, laksana bulan yang memantulkan gelombang energi maupun gelombang cahaya cinta yang berupa firman-firman-Nya setahap demi setahap sesuai konteks kehidupan manusia secara sempurna, tanpa unsur manipulasi apalagi unsur korupsi dan manipulasi. Ketika Rasulullah SAW wafat (salah satu contoh saja), nilai-nilai kepribadian beliau sebagai karakter Qur’ani menjelma menjadi sunah Rasul yang kemudian menjadi rujukan formal umat Islam di samping rujukan primer (utama) : Al Qur’an ! Lantas pemimpin umat Islam itu sosok (manusia) apa sosok imajiner (nilainilai luhur) kehidupan yang bersumber dari Sang Pencipta jagad raya ? Esensi otonomi daerah sebenarnya adalah demokrasitisasi. Tujuan umum otonomi daerah untuk mendekatkan abdi kepada rakyat Indonesia sehingga dapat meningkatkan kualitas keadilan dan kesejahteraan. Sedangkan tujuan khusus dari kebijakan otonomi daerah adalah : pertama, meningkatkan keterlibatan serta partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan maupun
13
Dalam konsep ini, mengakui bahwa pada kenyataannya jenis “pemimpin” itu ada 2 : a) pemimpin pasif berupa nilai-nilai luhur, abadi. Dan pemimpin jenis yang lain adalah b) pemimpin aktif berupa sosok manusia yang bertugas untuk menghidupkan dan menjabarkan nilai-nilai luhur itu menjadi sesuatu yang nyata dan berguna.
implementasinya sehingga terwujud pemerintahan lokal yang bersih, efisien, transparan, responsif, dan akuntabel. Kedua, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat akan urgensi keterlibatan mereka dalam proses pemerintahan lokal yang kontributif terhadap tegaknya pemerintahan nasional yang kokoh dan legitimate. Ketiga, memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih para pemimpin mereka secara demokratis. Keempat, membangun saling percaya antar masyarakat di satu pihak, dan antara masyarakat dengan pemerintah di pihak lain14 Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah dapat dijabarkan melalui desentralisasi dalam 3 bidang : bidang pemerintahan, bidang pembangunan dan bidang keuangan. Pemberdayaan Masyarakat15, sebuah pendekatan pembangunan partisipatif yang dilandasi oleh semangat otonomisasi dan desentralisasi. Dalam gambar di atas, sangat tampak sekali bahwa pemerintah, swasta, dan masyarakat adalah planet yang berbeda dengan garis orbitnya yang berbeda pula. Planet pemerintah, planet swasta, dan planet masyarakat semuanya adalah kosmos, keteraturan ! Masingmasing memiliki nilai etika dan estetika yang berbeda. Masing-masing juga memiliki sistem dan proses kepemimpinan yang berbeda. Masing-masing hidup dalam bingkai etika dan estetika (budaya planet) yang tidak sama. Mereka hanya sama dalam satu hal : sama-sama planet dari Pancasila sebagai matahari bangsa, sumber inspirasi bangsa, sumber energi dan motivasi bangsa. Gender (perangai) Pancasila adalah yang, dan planet-planet itu yin. Ketiganya (pemerintah, masyarakat dan swasta) sangat bergantung pada Sang Surya. Dalam hubungannya ke dalam negara, Presiden Indonesia adalah pemimpin pemerintahan, yang artinya kepala tertinggi bagi para aparat (lembaga pemerintah Indonesia), tetapi bukan pemimpin rakyat ! Namun dalam hubungan ke luar dengan negara lain di dunia, Presiden menurut undang-undang adalah pemimpin negara, duta atau wakil seluruh komponen bangsa Indonesia yang punya otoritas untuk bicara dengan penduduk dunia. Karena rakyat adalah tuan, majikan yang harus mereka (presiden dan aparat) layani. Para aparat akan semakin berdaya dalam melayani masyarakat, manakala 14
Dikutip dari buku : Memperkuat Kapasitas Desa dalam Membangun Otonomi, Naskah Akademik dan Legal Drafting, IRE Yogyakarta kerjasama dengan Ford Foundation, 2004.
15
Disebutkan dalam Kebijakan Strategis Pemberdayaan Masyarakat Tahun 2001 – 2004, Direktorat Kerjasama Pembangunan Sektoral dan Daerah, Bappenas : a.
Visi Pemberdayaan Masyarakat : terwujudnya masyarakat perdesaan Indonesia yang mandiri dalam aspek ekonomi, sosial, politik, dan budaya serta dijamin oleh kepastian hukum.
b.
Misi Pemberdayaan Masyarakat : mewujudkan masyarakat yang berdaya, mampu mendayagunakan dan berbagi sumberdaya di sekelilingnya untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan budaya.
seluruh rejeki16 rakyat dan bangsa yang mereka kelola, mereka salurkan, mereka pantulkan kembali kepada pihak-pihak yang berhak menerimanya tanpa mengkorupsi dan mengisolasinya. Laksana bulan memantulkan cahaya matahari dengan ketulusan cintanya yang abadi. Sehingga biar malam pun terasa indah, damai dan berseri. Perilaku aparat pemerintah yang tidak mampu melayani rakyat dengan keindahannya, dengan ketulusan cintanya, dengan jiwa fitrah (yin : feminin, pasif, menerima, dan indah dalam pelayanan) adalah aparat yang tidak paham terhadap jati diri (kosmis) nya. Dalam berbangsa, lembaga pemerintah harus mendedikasikan seluruh pengabdiannya kepada Sang Surya, Pancasila17. Seluruh amanah yang mereka terima, harus dipertanggung jawabkan kepadanya. Pembelanjaan anggaran negara harus diorientasikan dalam mewujudkan kehendak Sang Surya : Keadilan Sosial ! Demikian pula direktur suatu perusahaan negara maupun swasta, perusahaan besar maupun kecil, mereka adalah pemimpin terhadap karyawan / bawahannya, tetapi bukan pemimpin masyarakat. Masyarakat (konsumen) atas produk dan jasa mereka adalah raja yang harus dilayani, sebagaimana pemerintah melayani rakyatnya. Para karyawan secara kolektif akan memberikan pelayanan yang profesional terhadap konsumen, manakala Sang Direktur / Pimpinan Perusahaan mampu memantulkan kembali “cahaya ilmu” dan “hidayah cinta” yang selalu dipancarkan Sang Matahari Bangsa kepada para bawahannya. Dalam hubungannya dengan bangsa, pihak swasta tak ubahnya warga negara Indonesia yang memiliki jiwa fitrah (perangai) yang : : maskulin, aktif, memberi, agung dalam kepribadian. Pengabdiannya bukan kepada pemerintah sebagai penyelenggara negara, tetapi kepada pemimpin bangsa yang sesungguhnya : PANCASILA ! Motivasi para pengusaha membayar pajak, seharusnya bukan karena perintah negara, atau takut masuk penjara, melainkan kewajiban sebagai warga negara yang cinta kepada bangsanya. Kalau ada pengusaha yang enggan membayar pajak, memperlakukan semena-mena dan eksploitatif terhadap karyawan, masa bodoh terhadap dampak lingkungan, sesungguhnya mereka sedang berkhianat kepada bangsanya. Lantas, “Apa kata dunia ???” Masyarakat/rakyat memiliki pemimpin-pemimpin sendiri yang (idealnya) selalu hadir di kala suka dan duka, laksana matahari yang selalu hadir setiap hari. Baik dengan cahaya panasnya di siang hari maupun dengan kehangatannya di malam hari. Partai-partai politik, yayasan, paguyuban, kelompok pengajian, kelompok persekutuan, kelompok arisan, organisasi sosial kemasyarakatan, dsb, 16
Makna kiasan dari “rejeki”16 adalah anggaran pembangunan : APBN, APBD, APB Desa yang seharusnya diorientasikan untuk membangun peradaban bangsa : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
17
Saya bicara dalam konteks system. Jangan disalah artikan dengan makna aqidah.
adalah wujud nyata bagaimana masyarakat mengorganisir aspirasinya menjadi planet tersendiri dan mandiri. Masyarakat memberdayakan dirinya, dan memilih pemimpinnya. Sudahkah para wakil rakyat tokoh-tokoh politik (partai), tokoh-tokoh masyarakat (tomas), tokoh-tokoh agama (tomag), petinggi organisasi sosial dsb, telah memposisikan dirinya sebagai pemimpin rakyat ? Atau hanya mengeksploitasi masyarakat untuk menggapai ambisi, gengsi, materi dan harga diri ? Agus Triantara, SE Mantan Konsultan Nasional PNPM Mandiri Perdesaan Kementrian Dalam Negeri