PALATABILITAS DAGING BABI HUTAN YANG DIMASAK DENGAN WADAH PEMASAKAN BERBEDA (Palatability of Meat Boar Cooked with Different Containers Cooking) John E. G. Rompis1, dan Sylvia Komansilan1 dan Jola J. M. R. Londok1 1Fakultas
PeternakanUnsrat, Jl. Kampus Unsrat Kleak, Manado, 95115 Email korespondensi:
[email protected]
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat penerimaan konsumen terhadap masakan daging babi hutan yang dimasak dengan cara pemasakan berbeda. Penelitian dilakukan mengikuti rancangan acak lengkap dengan 3 perlakuan wadah pemasakan yaitu bambu, wajan dan “belanga tanah” serta ulangan sebanyak 35 sesuai dengan banyaknya panelis. Pengambilan data palatabilitas menggunakan uji organoleptik dengan skor 1 sampai 5. Hasil uji, ditabulasi dengan mentransformasikannya dari skala hedonik menjadi numerik. Dilanjutkan dengan ANOVA dan uji wilayah berganda Duncan. Panelis berjumlah 35 orang dengan klasifikasi setengah terlatih. Variabel dalam pengujian palatabilitas adalah warna, aroma, keempukkan dan citarasa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan wadah pemasakan mempengaruhi karakteristik palatabilitas yang diamati dari segi keempukan, untuk peubah lainnya tidak berbeda nyata, namun secara umum dapat diterima oleh panelis. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa pemasakan daging babi hutan menggunakan wadah bambu, wajan dan “belanga tanah” menghasilkan palatabilitas yang sama kecuali keempukan yang lebih rendah pada wajan dibanding bambu dan belanga tanah. Kata Kunci :Daging babi hutan, Palatabilitas, Wadah pemasakan. PENDAHULUAN Masyarakat Minahasa sebagian besar gemar mengkonsumsi masakan tradisional daging babi hutan (Weichart, 2004). Masakan daging babi hutan merupakan salah satu masakan khas Minahasa yang perlu dikembangkan sebagai salah satu komoditas andalan daerah, sekaligus merupakan salah satu cara diversifikasi pangan asal hewan. Seiring dengan perkembangkan pembangunan nasional, maka pembangunan iptek di bidang teknologi hasil ternak perlu dikembangkan. Salah satunya adalah mengangkat potensi masakan tradisional daerah Minahasa yang pada gilirannya mampu menunjang ketahanan pangan. Masyarakat Minahasa lebih menyukai daging babi hutan karena secara umum memiliki perlemakan yang lebih sedikit dibandingkan dengan babi domestik. Salah satu ukuran yang digunakan untuk menilai produksi ternak/hewan potong lainnya adalah persentase karkas. Persentase karkas babi hutan sebesar 74.47% (Tobing, 2012). Reksowardojo (1995) memberikan informasi kandungan nutrisi daging babi hutan segar sebagai berikut: 70.98% air, 20.79% protein, 0.89% lemak, 20.24% Ca dan 0.21% P. Pemasakan daging babi hutan biasanya menggunakan beberapa bumbu dapur tradisional (rempah). Bumbu tersebut berupa cabai rawit (Capsicum fretescens), daun
234
bawang (Allium fistulosum L.), kemangi (Ocimum basilicum L.), sereh (Andropogon nardus L), jahe (Zingiber officinale Rosc.) dan daun jeruk suangi (Citrus medica) (Rompisdkk., 2013). Secara tradisional di Minahasa Utara, tanaman rempah seperti jeruk suangi, rimpang jahe, pangkal akar Sereh, masing-masing digunakan sebagai obat penyakit lever, diabetes dan sakit perut (Sangidkk., 2008). Weichart (2004) mengatakan bahwa ciri khas makanan Minahasa adalah penggunaan cabai rawit dalam jumlah banyak. Kandou (2009) mengatakan bahwa umumnya masakan Minahasa terasa pedas karena menggunakan cabai rawit (“rica”). Bumbu/rempahberfungsi juga sebagai antioksidan (Mulyani et al., 1998), bahan pengawet alami dan dapat mencegah beberapa jenis penyakit diantaranya hiperkolesterolemia. Menurut Kandou (2009), cabai rawit mempunyai efek baik sebagai antikoagulan dan fibrinolitik untuk kesehatan jantung. Jahe merangsang pelepasan hormon adrenalin dan memperbesar pembuluh darah, sehingga darah mengalir lancar dan meringankan kerja pompa jantung. Pada pemasakan daging babi hutan, sebelum dicampurkan bumbu diolah terlebih dahulu. Pengolahan dapat dilakukan dengan cara dihaluskan/digiling menggunakan blender dan bentuk kasar, yaitu dengan cara diiris-iris menjadi potongan rempah yang lebih kecil ukurannya. Beberapa metode yang dapat digunakan dalam pemasakan suatu bahan makanan antara lain pemanggangan, perebusan, pengukusan dan penggorengan. Dalam memasak suatu bahan pangan mentah menjadi suatu masakan pada umumnya menggunakan beberapa wadah pemasakan misalnya wajan, panci atau pun kukusan. Selain bentuk bumbu, cara masak tradisional masyarakat Minahasa pun berbeda-beda. Ada yang memasak menggunakan wadah bambu atau wajan dengan sumber panas berasal dari kayu bakar. Adapun penggunaan kayu bakar dimaksudkan untuk memberi rasa asap (smoky flavor) pada masakan. Sifat enak dan sifat-sifat lain yang berkaitan dengan selera manusia adalah sifat-sifat inderawi yang selalu melekat pada barang yang menjadi kebutuhan manusia, terlebih bahan pangan (Soekarto dan Hubeis, 1992). Informasi mengenai wadah pemasakan yang digunakan secara tradisional dalam pemasakan daging babi hutan dapat membuka wawasan bagi perkembangan makanan tradisional Minahasa dalam hubungannya dengan pengetahuan di bidang teknologi hasil ternak atau pun teknologi pengolahan bahan pangan asal hewan. Selain itu pula tersedianya data sekaligus informasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengolahan makanan tradisional Minahasa yang dapat menjadi komoditas andalan dan kebanggaan daerah, sekaligus meningkatkan daya konsumsi hasil penelitian bagi masyarakat Indonesia yang pada gilirannya mampu menunjang ketahanan pangan di daerah. MATERI DAN METODE Bahan Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini yaitu daging segar babi hutan bagian paha (ham) dari babi hutan yang berumur kira-kira 12 bulan. Daging segar babi hutan digunakan sebanyak 15 kg dan dibeli dari salah satu pasar tradisional di Minahasa. Bumbu-bumbu yang digunakan yaitu cabairawit (Capsicum fretescens), daunbawang(Allium fistulosum L.), kemangi (Ocimum basilicum L.), sereh (Andropogon nardus L), jahe (Zingiber officinale Rosc.) dan daun jeruk suangi (Citrus medica).
235
Alat Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua bagian yaitu untuk pengolahan masakan berupa talenan, pisau, timbangan, baskom, dan blender. Untuk wadah pemasakan menggunakan wadah sesuai hasil penelitian tahap pertama. Alat-alat yang dipakai untuk pengujian inderawi/organoleptik yaitu lembar format uji, balpoin, wadah sampel, tusuk gigi, tissue, air mineral dan buah mentimun sebagai penetral. Panelis Panelis untuk pengujian palatabilitas sebanyak 35 orang, dengan kualifikasi setengah terlatih yang diambil dari dosen program studi teknologi hasil ternak. Pada pengujian ini panelis dianggap sebagai ulangan. Panelis dimintakan untuk memberikan penilaian terhadap contoh uji (sampel yang disajikan) kemudian menuliskan kesannya pada lembaran format uji. Metode penelitian Penelitian tahap kedua ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan wadah pemasakan yaitu bambu, wajan dan “belang atanah” serta ulangan masing-masing sebanyak 35 sesuai dengan banyaknya panelis (Kusriningrum, 2008). Variabel yang diamati adalah warna, aroma, citarasa dan keempukkan. Pengambilan data palatabilitas dilakukan dengan metode pengujian organoleptik yang menggunakan skala hedonik dengan skor 1 (sangat tidak menarik/sangat tidak suka/sangat tidak empuk/sangat tidak enak) sampai skor 5 (sangat menarik/sangat suka/sangat empuk/sangat enak). Skor tersebut sama pada setiap variabel yangdiamati (Soekarto dan Hubeis, 1992). Hasil uji hedonik ditabulasi dalam bentuk tabel dengan cara mentransformasikannya menggunakan skala hedonik menjadi skala numerik. Setelah itu dilanjutkan dengan menggunakan ANOVA dan pengujian lebih lanjut menggunakan uji wilayah berganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh wadah pemasakan terhadap palatabilitas daging babi hutan Pengaruh wadah pemasakan terhadap palatabilitas daging babi hutan disajikan dalam Tabel 1. Warna masakan daging babi hutan. Hasil pengamatan untuk warna masakan daging babi hutan dalam Tabel 1. memperlihatkan pada kisaran 3.6-3.9 yang artinya tingkat penilaian panelis berada pada netral sampai menarik. Hasil analisa sidik ragam (Anova) ternyata perlakuan wadah pemasakan tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap warna masakan daging babi hutan. Daging babi hutan agak gelap, serta bumbu-bumbu yang menutupi permukaan dari daging tersebut yang memberi kesan tidak berbedanya warna oleh panelis. Babi hutan bergerak aktif karena tidak dikandangkan terutama saat mencari makan. Otot yang mempunyai aktivitas fisik yang banyak biasanya diikuti oleh kandungan myoglobin yang tinggi sehingga daging atau otot berwarna lebih merah (Tobing, 2012).
236
Tabel 1.Palatabilitas daging babi hutan yang dimasak dengan wadah pemasakan yang berbeda. Parameter
Bambu 3,9 4,0 3,9a 4,13
Warna Aroma Keempukan Citarasa Keterangan:
Perlakuan Wajan 3,7 3,8 3,3b 3,6
Belangatanah 3,6 3,6 4,0a 3,7
abHuruf
yang berbeda mengikuti nilai rataan pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata (p<0,05) skor 1 skor 2 Skor 3 Skor 4 skor 5
= (sangat tidak menarik/sangat tidak suka/sangat tidak empuk/sangat tidak enak) = (tidak menarik/tidak suka/tidak empuk/tidak enak). = netral = (menarik/suka/empuk/enak). = (sangat menarik/sangat suka/sangat empuk/sangat enak).
Aroma masakan daging babi hutan. Hasil pengamatan untuk aroma masakan daging babi hutan dalam Tabel 1 memperlihatkan pada kisaran 3.6-4.0 yang artinya tingkat penilaian panelis berada pada netral sampai suka. Untuk perlakuan yang menggunakan wadah bambu (4.0) ternyata lebih disukai aromanya dibandingkan dengan perlakuan menggunakan wadah wajan (3.8) juga mendekati disukai dibandingkan menggunakan belanga tanah (3.6) yang penilaiannya netral. Hasil analisa sidik ragam (Anova) ternyata perlakuan menggunakan wadah pemasakan berbeda tidak memberikan hasil yang nyata untuk aroma daging babi hutan. Walangitandkk (2000) mengatakan bahwa rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu dapat menutupi/menghindari aroma bahan asal. Keempukan masakan daging babi hutan. Hasil penilaian untuk keempukan masakan daging babi hutan menggunakan wadah pemasakan yang berbeda berada pada kisaran 3.3-4.0, yang artinya penilaian oleh panelis berada pada tingkat netral sampai empuk. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan hasil berbeda sangat nyata (P<0.01) untuk ketiga wadah perlakuan yang digunakan.Hasil analisa lebih lanjut dengan menggunakan uji Duncan ternyata perlakuan belanga tanah dan bambu memberikan pengaruh berbeda sangat nyata terhadap wadah pemasakan wajan. Hal ini disebabkan oleh cara pemasakan wadah bambu dan belanga tanah yang tertutup dari pada wadah wajan yang terbuka. Citarasa masakan daging babi hutan.Tabel 1 memperlihatkan penilaian citarasa masakan daging babi hutan menggunakan wadah pemasakan yang berbeda yaitu beradapada kisaran 3.6-4.13, yang artinya penilaian oleh panelis berada pada tingkat netral sampai enak. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan perbedaan yangtidak nyata (P>0.01) untuk ketiga wadah perlakuan yang digunakan. Dominasi bumbu yang melekat pada masakan babi hutan mengakibatkan tidak berbedanya penilaian panelis. KESIMPULAN Pemasakan daging babi hutan menggunakan wadah bambu, wajan dan “belanga tanah” menghasilkan palatabilitas yang sama kecuali keempukan yang lebih rendah pada wajan dibanding bambu dan belangatanah.
237
DAFTAR PUSTAKA Kandou, G.D. 2009. Makanan etnik Minahasa dan kejadian penyakit jantung coroner. Kesmas. JurnalKesehatanMasyarakatNasional, 4 (1):42-48. Kusriningrum, R. S. 2008. Perancangan Percobaan. Airlangga University Press. Surabaya. Mulyani, I., N.L.P. Nienaber, and S. Fardiaz. 1998. Kajian aktivitas antioksidan berbagai bumbu tradisional olahan industri. J. Ilmu dan Teknologi Pangan 3 (1):1-12. Reksowardojo, D.H. 1995. Studi kemampuan reproduksi dan produksi babi rusa (Babyrousa babyrussa celebensis Deniger) melalui upaya budidaya. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor. Rompis, J.E.G., S. Komansilan, dan J.J.M.R. Londok. 2013. Efektivitas bentuk pengolahan bumbu dan cara pemasakan daging terhadap karakteristik fisikokimia dan palatabilitas. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitian Universitas Sam Ratulangi. Manado. Sangi,
M., M.R.J. Runtuwene, H.E.I. Simbala, and V.M.A. Makang. 2008. Analisisfitokimiatumbuhan obatdi Kabupaten Minahasa Utara. Chem. Prog. 1 (1):47-53.
Soekarto, S.T., and M. Hubeis. 1992. Petunjuk Leboratorium Metode Penelitian Inderawi. PAU Pangan dan Gizi, IPB. Bogor. Tobing, S.W.L. 2012. Perbandingan kualitas karkas dan daging antara babi peliharaan dengan babi hutan. Artikel. Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang. Walangitan, A. J. V., M. S. Y. Lumingkewas, N. P. Kumolontang, A. M. Salmon, A. Mamesah, and M. Yetty. 2000. Pembuatan bumbu inti masakan Minahasa. Laporan penelitian Balai Perindustrian. Manado. Weichart G. 2004. Identitas Minahasa: sebuah praktik kuliner. J. Antropologi Indonesia 28 (74):59-80.
238