PAJANAN ASAP ROKOK KRETEK PADA TIKUS PUTIH SEBAGAI MODEL UNTUK MANUSIA: Perhatian Khusus pada Perubahan Histopatologi dan Ultrastruktur Saluran Napas
Eddy Widodo
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SURAT PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya berjudul “Pajanan Asap Rokok Kretek Pada Tikus Putih Sebagai Model Untuk Manusia: Perhatian Khusus Pada Perubahan Histopatologi dan Ultrastruktur Saluran Napas“ adalah benar-benar karya asli saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan atau tiruan dari tulisan siapapun serta belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Bogor, November 2006
Eddy Widodo NIM B161030081
ABSTRAK EDDY WIDODO. Pajanan Asap Rokok Kretek Pada Tikus Putih Sebagai Model Untuk Manusia: Perhatian Khusus Pada Perubahan Histopatologi dan Ultrastruktur Saluran Napas. Dibimbing oleh BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, SRI ESTUNINGSIH, DEWI RATIH AGUNGPRIYONO, dan ROBERT UTJI. Asap rokok telah terbukti dapat menyebabkan berbagai gangguan pada saluran napas. Rokok kretek lebih berbahaya daripada rokok putih, karena kandungan tar, nikotin, dan karbon monoksida di dalamnya lebih tinggi daripada rokok biasa. Konsumsi rokok kretek di Indonesia mencapai 88%. Telah banyak dilakukan penelitian menggunakan rokok putih, namun efek rokok kretek terhadap saluran napas belum pernah diteliti. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan histopatologi dan ultrastruktur saluran napas tikus putih galur Sprague-Dawley akibat pajanan asap rokok kretek. Penelitian dilakukan pada 20 ekor tikus yang telah diadaptasikan selama 2 minggu, setelah itu dipajankan asap rokok selama 6 minggu. Rokok kretek yang digunakan dalam penelitian adalah rokok tanpa filter yang banyak dikonsumsi di Indonesia. Setelah itu dilakukan nekropsi, organ saluran napasnya diperiksa di bawah mikroskop cahaya dan mikroskop elektron, serta kadar glutation peroksidase diperiksa untuk melihat kadar antioksidan. Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan histopatologis dari sistem pernapasan yang diperiksa. Pada saluran napas terdapat peningkatan jumlah sel epitel yang bermakna dengan uji statistik Anova pada perlakuan dibandingkan dengan kontrol, di daerah sinus, bronkhus, dan bronkhiolus. Untuk jumlah sel goblet, terjadi peningkatan secra numerik pada kelompok pajanan. Tinggi epitel pada kelompok perlakuan menunjukkan peningkatan dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan antar jenis kelamin tidak berbeda secara statistik. Pada jaringan parenkim paru kelompok perlakuan terjadi peningkatan kejadian pneumonia interstitialis akibat asap rokok, yang menunjukkan perbedaan nyata menggunakan uji statistik Kruskal-Wallis. Kejadian pneumonia interstitialis didukung oleh peningkatan jumlah pneumosit tipe II dan makrofag serta terdapat infiltrasi sel limfositik. Pemeriksaan kadar glutation peroksidase dalam darah juga menunjukkan perbedaan bermakna, yaitu pada kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pajanan. Terdapat perbedaan signifikan kadar glutation peroksidase antar jenis kelamin, pada jantan lebih tinggi daripada betina. Pertambahan bobot badan pada kelompok pajanan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Dari pemeriksaan ultrastruktur, pada pneumosit tipe I terjadi perubahan membran sel menjadi tidak rata dan bergelombang, serta ditemukan pembengkakan inti sel. Pada pneumosit tipe II terlihat badan lamelar mengalami dilatasi dan penurunan densitas yang lebih signifikan pada tikus betina. Mitokondria pneumosit II mengalami dilatasi krista sehingga matriks mitokondria tampak terang, hal ini diduga akibat gangguan proses pembentukan ATP. Pada makrofag terlihat inti sel mengalami kondensasi kromatid di daerah tepi inti sel. Makrofag banyak mengandung lipid dan partikel asap rokok. Pada sel Clara kelompok pajanan didapatkan jumlah granul yang lebih sedikit. Kata kunci: rokok kretek, histopatologi, ultrastruktur saluran napas
ABSTRACT EDDY WIDODO. Clove Cigarette Smoke Exposure on White Rat as A Human Model: Special Emphasis on Histopathology and Ultrastructure of Respiratory Tract. Under the supervision of BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, SRI ESTUNINGSIH, DEWI RATIH AGUNGPRIYONO, and ROBERT UTJI. Cigarette smoke has been proven to cause various disturbances on the respiratory tract. Clove cigarette is far more dangerous than common cigarette, since the tar, nicotine, and carbon monoxide content in clove cigarette is significantly higher than the usual cigarette. In Indonesia, clove cigarette smokers reach 88% of all cigarette consumption. Extensive studies have been done utilizing common (“white”) cigarette, however the effect of clove cigarette to the respiratory tract have never been studied so far. The aim of this research is to study the change of histopathology and ultrastructure of the respiratory tract in Sprague-Dawley white rats due to clove cigarette smoke exposure. The study was done on 20 Sprague-Dawley rats previously undergoing 2-week adaptation and 6-week exposure to clove cigarette smoke. The clove cigarette being used in the study was the unfiltered and most-consumed label in Indonesia. The necropsy was done and the respiratory tract was examined, using light microscope and transmission electron microscope. The glutathione peroxides level was also measured to recognize the antioxidant level. Result of this study shows considerable histopathologic changes on the respiratory tract. Based on Anova statistical test, the amount of respiratory tract epithelial cells on the group exposed to clove cigarette smoke were significantly higher than the control group. The amount of goblet cells in exposed group was also higher. The height of epithelial cells in exposed group was higher compared to the control group. There were various degrees of interstitial pneumonia found within smoke-exposed rats due to cigarette smoke, shown by specific score. Using Kruskal-Wallis statistical test we concluded that there were increased pneumonia score due to smoke exposure compared to control group. The presence of interstitial pneumonia was proved by the increase of type II pneumocyte, macrophage, and presence of lymphocytic cell infiltration. The glutathione peroxidase (GPx) level was significantly higher in the control group compared to the group exposed to clove cigarette smoke. The blood glutathione peroxides level of the male smoke-exposed rats were also significantly higher than female. Body weight in the group exposed to smoke showed less elevation compared to the control group. On ultrastructure examination, the cell membrane of type I pneumocyte becomes irregular and wavy, while the nuclear was swollen. The lamellar bodies of type II pneumocyte were dilated and showed decrease of density. The lesions were found to be more significant in the female group compared to male group. The mitochondrial crest of type II pneumocyte was dilated and the mitochondrial matrix looks brighter. There were perinuclear chromatin condensation of the macrophage, with increased lipid granules and cigarette smoke particles in the cytoplasm. Clara cell of the exposed group showed less granules compared to the control group. Keywords: clove cigarette, histopathology, ultrastructure of respiratory tract
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apa pun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.
PAJANAN ASAP ROKOK KRETEK PADA TIKUS PUTIH SEBAGAI MODEL UNTUK MANUSIA: Perhatian Khusus pada Perubahan Histopatologi dan Ultrastruktur Saluran Napas
Eddy Widodo B 161030081
DISERTASI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar DOKTOR pada PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
Judul Disertasi
:
Nama
PAJANAN ASAP ROKOK KRETEK PADA TIKUS PUTIH SEBAGAI MODEL UNTUK MANUSIA: Perhatian Khusus pada Perubahan Histopatologi dan Ultrastruktur Saluran Napas : Eddy Widodo
NRP
: B 161030081
Program Studi
: Sains Veteriner
Menyetujui: Komisi Pembimbing
drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD Ketua
Dr. drh. Sri Estuningsih, MSi. Anggota
drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD Anggota
Prof. Dr. dr. Robert Utji, SpMK Anggota
Ketua Program Studi Sains Veteriner
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
drh. Bambang Pontjo P, MS, PhD
Prof. Dr. Ir. Khairil Notodiputro, MSc
Tanggal Ujian: 21 Desember 2006
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah yang Maha Kuasa atas rahmat dan karuniaNya sehingga akhirnya saya dapat menyelesaikan disertasi ini. Judul disertasi ini adalah ”Pajanan Asap Rokok Kretek Pada Tikus Putih Sebagai Model Untuk Manusia: Perhatian Khusus Pada Perubahan Histopatologi dan Ultrastruktur Saluran Napas.“ Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah berperan sehingga saya dapat menempuh pendidikan doktor sampai tersusunnya disertasi ini. Kepada yang terhormat Prof. Dr. Ir. Achmad Anshori Mattjik, MSc selaku Rektor Institut Pertanian Bogor, Dr. Drh. H. Heru Setijanto Dekan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MSc Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor saat ini, dan Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas izin dan kesempatan yang diberikan kepada saya untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan doktor pada Program Sains Veteriner di Institut Pertanian Bogor. Rasa terima kasih yang sebesar-besarnya saya ucapkan kepada drh. Agus Setiyono, MS, PhD, Kepala Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, beserta seluruh staf pengajar yang telah memberi kesempatan bagi saya untuk belajar di bagian ini, serta telah mendidik, membimbing, dan memberi dorongan selama saya mengikuti pendidikan. Rasa hormat dan terima kasih yang tak terhingga saya ucapkan kepada drh. Hernomoadi Huminto, MVS sebagai Kepala Bagian Patologi Institut Pertanian Bogor periode sebelumnya atas kesediaan beliau menerima saya, serta dorongan dan bimbingan selama saya mengikuti pendidikan ini. Kepada drh. Ekowati Handharyani, MS, PhD, saya ucapkan terima kasih atas rekomendasi dan dukungan yang telah diberikan sehingga saya dapat mengikuti pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor. Kepada drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD sebagai Ketua Program Studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor selama saya mengikuti pendidikan di bagian ini, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya atas semua perhatian, bimbingan, dorongan, dan petunjuk-petunjuk yang telah diberikan selama ini.
Terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS, PhD; DR. drh. Sri Estuningsih, MSi; dan drh. Dewi Ratih Agungpriyono, PhD dari Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor; serta Prof. DR. dr. Robert Utji, SpMK dari Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia atas segala bimbingan, dorongan, dan petunjuk-petunjuk Beliau mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga tersusunnya laporan penelitian ini. Kepada seluruh staf pengajar Program Studi Sains Veteriner Institut Pertanian Bogor, saya ucapkan terima kasih atas segala bimbingan dan petunjuk-petunjuknya dalam menjalani pendidikan doktor. Rasa terima kasih sebesar-besarnya juga saya sampaikan kepada Dr. Nurjati Chairani Siregar, SpPA(K), PhD dari Lembaga Eijkman beserta stafnya Sdri. Luluk Yunaini, SSi atas bantuannya dalam pemeriksaan mikroskop elektron. Kepada Ir. Etih Sudarnika, MSi, staf pengajar epidemiologi bagian Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner FKH IPB yang telah banyak membantu saya dalam analisa statistik, saya ucapkan terima kasih atas pengarahan serta bantuannya dalam pengolahan hasil penelitian ini. Kepada yang terhormat Direktur Utama Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita Dr. Sri Kusumo Amdani, SpA, MSc. dan Direktur sebelumnya Dr. Trijatmo Rachimhadi, SpOG, serta para wakil direktur yang telah memperkenankan saya menjalankan pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor, saya menyampaikan terima kasih. Kepada teman sejawat Staf Medis Fungsional Anak di RSAB Harapan Kita, saya ucapkan terima kasih atas semua bantuan dan dorongan sejawat selama saya mengikuti pendidikan di IPB. Kepada Drs. Todung Tampubolon dan Drs. Syahrul dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia serta yang telah membantu dalam pemeriksaan kandungan asap rokok, dan Ibu Sukeni yang telah membantu dalam pengadaan hewan coba, saya ucapkan terima kasih. Banyak pihak baik instansi, kelompok, maupun perseorangan yang telah memberi dukungan dan bantuan dalam pendidikan saya ini, yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Kepada mereka semua saya menyampaikan penghargaan dengan tulus dan terima kasih.
Terima kasih yang tak terhingga saya haturkan kepada almarhum ayah dan bunda serta bapak dan ibu mertua yang saya cintai, atas bimbingan dan doa restu sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan selama ini. Kepada istriku tercinta Dr. Grace Widodo, SpKK dan anak-anakku tersayang Dr. Ariani Dewi Widodo, Wishnu Aditya Widodo, S.Ked, dan Arini Astasari Widodo, saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga atas bantuan, dorongan, kesabaran, dan pengorbanan yang telah diberikan selama saya mengikuti pendidikan. Sekali lagi saya sampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam pendidikan. Semoga Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang memberikan pahala dari amal kebaikan Saudara sekalian, dan senantiasa melimpahkan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua.
Bogor, November 2006
Eddy Widodo
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kudus pada tanggal 14 November 1952 sebagai anak dari pasangan Bapak Yunus dan Ibu Sumiyati. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, lulus tahun 1979. Penulis kemudian bertugas sebagai dokter Puskesmas di propinsi Nusa Tenggara Timur selama 4 tahun. Tahun 1982 penulis menerima penghargaan sebagai Dokter Puskesmas Teladan Nasional. Setelah itu melanjutkan pendidikan dokter spesialis anak dan lulus pada tahun 1986 dari Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Tahun 1987 mulai bekerja sebagai dokter spesialis anak di RSAB Harapan Kita Kelompok Kerja Respirologi Anak. Tahun 1993 penulis mengikuti pendidikan respirologi lanjutan di Thoracic Medicine, Royal Children Hospital University of Melbourne, Australia. Penulis kemudian diangkat sebagai Ketua Unit Kerja Pulmonologi Anak IDAI Jaya tahun 1999-2005. Saat ini penulis bekerja sebagai dosen luar biasa S2 untuk pendidikan dokter spesialis anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan dosen S1 untuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia program Internasional. Tahun 2002 penulis dikukuhkan sebagai dokter spesialis anak konsultan di bidang pulmonologi anak. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Sains Veteriner, Institut Pertanian Bogor, diperoleh pada tahun 2003.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL......................................................................................................1 DAFTAR GAMBAR .................................................................................................2 DAFTAR LAMPIRAN..............................................................................................3 PENDAHULUAN Latar Belakang ...............................................................................................4 Identifikasi Masalah.......................................................................................6 Tujuan Penelitian ...........................................................................................6 Manfaat Penelitian .........................................................................................6 Hipotesa .........................................................................................................6 TINJAUAN PUSTAKA Perkembangan Rokok Kretek ........................................................................7 Kandungan Rokok Kretek..............................................................................8 Asap dan Akibat Pemaparan Asap Rokok Kretek .........................................8 Biologi Tikus .................................................................................................9 Anatomi dan Fisiologi Saluran Respirasi ......................................................9 Toksikopatologi Saluran Pernapasan.............................................................12 Toksisitas Partikel..........................................................................................15 Toksisitas Gas ................................................................................................16 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian........................................................................18 Materi Penelitian............................................................................................18 Alat Penelitian................................................................................................18 Metode Kerja .................................................................................................27 Analisis dan Interpretasi Data........................................................................35 HASIL DAN PEMBAHASAN Histopatologi Sinus Hidung...........................................................................36 Histopatologi Trakhea....................................................................................38 Histopatologi Bronkhus .................................................................................40 Histopatologi Bronkhiolus .............................................................................43 Histopatologi Alveolar Paru ..........................................................................44
Histopatologi Interstitial Paru ........................................................................47 Kadar Serum Glutation Peroksidase (GPx) ...................................................49 Pengamatan Pertambahan Bobot Badan ........................................................49 Hasil Pemeriksaan Ultrastruktur ....................................................................51 RANGKUMAN.........................................................................................................64 KESIMPULAN..........................................................................................................65 SARAN ......................................................................................................................66 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................67 LAMPIRAN...............................................................................................................72
1
DAFTAR TABEL
Nomor
Tabel
Halaman
1
Rerata tinggi epitel, jumlah sel epitel dan sel goblet serta rasionya pada
36
sinus hidung per satuan 1000 µm panjang mukosa 2
Rerata tinggi epitel, jumlah sel epitel dan sel goblet serta rasionya pada
38
trakhea per satuan 1000 µm panjang mukosa 3
Rerata tinggi epitel, jumlah sel epitel dan sel goblet serta rasionya pada
40
bronkhus per satuan 1000 µm panjang mukosa 4
Rerata tinggi epitel, jumlah sel epitel dan sel goblet serta rasionya pada
43
bronkhiolus per satuan 1000 µm panjang mukosa 5
Rerata jumlah makrofag alveolaris, pneumosit tipe I dan tipe II pada
45
10 (=n) LP seluas 1,6 x 1,3 μm2 6
Rerata skoring reaksi jaringan interstitium paru pada 10 (=n) LP
47
masing-masing seluas 1,6 x 1,3 μm2 7
Rerata pemeriksaan kadar serum GPx pada kelompok kontrol dan
49
pajanan dari sampel darah intrakardial 8
Rerata bobot badan tikus percobaan sebelum dan sesudah diberi pajanan asap rokok kretek 8 batang perhari selama 6 minggu
50
2
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Judul Gambar
Halaman
1
Rangkaian smoking chamber dan air pump
19
2
Conditioning chamber
20
3
Smoking machine
21
4
Mikroskop binokular
22
5
Video mikrometer
23
6
Ultramicrotome dengan diamond knife
24
7
Transmission electron microscope
25
8
Laminary flow
26
9
Pengasapan rokok kretek pada kelompok pajanan
29
10
Pemotongan sediaan sinus hidung
31
11
(A) Nekropsi dan (B) Sampel jaringan trakhea, bronkhus, dan paru
31
12
Histopatologi sinus hidung
37
13
Histopatologi trakhea
39
14
Histopatologi bronkhus
41
15
Histopatologi bronkhiolus
44
16
Histopatologi alveolar paru
46
17
Histopatologi interstitial paru
48
18
Grafik pengamatan pertambahan bobot badan tikus percobaan
51
19
Surfaktan mempertahankan tegangan permukaan alveolus
53
20
Lapisan Air-Blood barrier pada dinding alveolar tikus betina
56
21
Lapisan Air-Blood barrier pada dinding alveolar tikus jantan
57
22
Pneumosit tipe II pada tikus betina
58
23
Pneumosit tipe II pada tikus jantan
59
24
Mitokondria pneumosit tipe II
60
25
Sel Clara
61
26
Makrofag tikus betina
62
27
Makrofag tikus jantan
63
3
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Jadwal penelitian....................................................................................................72 2. Komposisi pakan tikus...........................................................................................73 3. Metode Pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Schiff ...........................................74 4. Metode Pewarnaan Hematoxylin-Eosin.................................................................76 6. Perhitungan statistik pemeriksaan sinus hidung ....................................................77 7. Perhitungan statistik pemeriksaan trakhea.............................................................80 8. Perhitungan statistik pemeriksaan bronkhus..........................................................83 9. Perhitungan statistik pemeriksaan bronkhiolus .....................................................86 10. Perhitungan statistik pemeriksaan semi thin paru................................................89 11. Perhitungan statistik pemeriksaan GPx ...............................................................92 12. Alur penanganan sampel enzim glutation peroksidase (GPx) .............................93
4
PENDAHULUAN Latar belakang Dalam era dunia modern saat ini, merokok merupakan gaya hidup yang banyak dianut oleh masyarakat. Usaha kampanye anti rokok telah lama dilakukan dengan gencar, termasuk kenaikan cukai rokok, namun jumlah perokok terus saja bertambah dan sulit untuk dicegah (American Thoracic Society 1996). Global Youth Tobacco Survey yang diadakan oleh World Health Organization (WHO) tahun 2000 menyebutkan sekitar 20% murid SLTP di Jakarta adalah perokok. Mereka ini adalah anak-anak yang sejak dini telah terpapar asap yang dapat merugikan kesehatannya. Saat ini sekitar 30 persen penduduk Indonesia adalah perokok, sedangkan berdasarkan jenis kelamin sekitar 60 persen laki-laki dan 5 persen wanita Indonesia merokok (WHO Global Youth Tobacco Survey 2000). Data WHO tahun 2002 juga menyebutkan bahwa Indonesia menduduki urutan kelima dalam konsumsi rokok dunia. Setiap tahunnya dikonsumsi sekitar 215 miliar batang, Kalau dihitung setiap batang sekitar Rp 500,- berarti Rp 107 triliun setiap tahun atau sekitar Rp 200 juta setiap menitnya. Dari jumlah ini, berdasarkan penelitian yang dilakukan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) tentang Proyeksi Konsumsi Rokok Nasional (PKRN) tahun 1999, rokok kretek menguasai pasar dengan perbandingan konsumsi rokok kretek dengan rokok putih (cigarette) adalah 88% : 12%. Asap rokok dalam lingkungan terdiri dari asap arus utama (mainstream smoke) dan asap arus samping (sidestream smoke). Asap arus utama dihisap dan dikeluarkan oleh perokok sedangkan asap arus samping dihasilkan dari ujung rokok diantara kedua hisapan. Dalam ruangan, dimana terdapat orang merokok, maka asap yang dihasilkan terbanyak dari asap arus samping, yang akan mengganggu lebih banyak pada orang yang bukan perokok yang berada dalam ruangan tersebut (Kritz et al. 1995). Seorang yang tidak merokok mendapat asap arus samping tidak hanya di tempat kerja, kendaraan umum, tetapi juga di rumah. Jika dalam keluarga ada seorang yang merokok, maka anggota keluarganya akan mendapat efek buruk dari asap rokok tersebut. Maka perlu dilakukan pencegahan agar tidak terkena asap arus samping baik di rumah maupun di tempat umum, dalam upaya meningkatkan sumber daya manusia terutama pada anak dan
5 generasi muda (Kritz et al. 1995). Departemen Kesehatan secara makro perlu membuat kebijakan yang bersifat nasional, komprehensif dan konsisten dalam menangani masalah rokok. Sedangkan secara mikro ditujukan pada perorangan, misalnya seorang dokter sebaiknya tidak merokok sehingga dapat menganjurkan pasiennya berhenti merokok. Meskipun akibat samping dari rokok telah banyak dibicarakan dan disebarluaskan antara lain terhadap fertilitas (Florek 1999), impotensi, dan kelainan jantung, namun perlu diketahui lebih mendalam pengaruh rokok kretek terhadap saluran napas. Maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai akibat langsung asap rokok terhadap saluran napas, sebab asap rokok merupakan alergen hirupan. Sebagai alergen hirupan, asap rokok dapat menyebabkan kerusakan mukosa saluran napas sehingga menimbulkan udema, inflamasi, hiperreaktivitas, dan sekresi saluran napas secara belebihan. Ukuran partikel asap rokok sangat kecil (0,1-1 mikrometer) jika dibandingkan dengan partikelpartikel inhalan lainnya. Karena itu, partikel asap rokok tidak dapat difilter dengan baik dan akhirnya masuk ke dalam organ pernapasan (Hashim 2005). Asap rokok mengandung 4000 bahan kimia dan berhubungan dengan banyak penyakit pada tubuh manusia, mulai dari janin sampai usia lanjut. Dalam satu batang rokok terdapat bahan-bahan: Aseton (penghapus cat kuku), m-toluidin (bahan pembuat cat), Amoniak (bahan pembersih lantai), Butan (bahan bakar korek api), Kadmium (bahan baterai), Naftalen (kapur barus) (Vanwye 1993). Rokok kretek lebih berbahaya daripada rokok putih, karena kandungan tar dan nikotin dalam rokok kretek lebih tinggi. Selain itu rokok kretek dibuat dengan bahan baku cengkeh yang mengandung zat anestetik. Adanya kandungan zat ini mampu menurunkan panas yang dirasakan saat mengisap asap rokok, sehingga perokok bisa mengisap lebih lama dan lebih dalam (Hanusz 2000). Melihat begitu besarnya konsumsi rokok kretek dibandingkan dengan rokok putih di Indonesia, serta mengingat besarnya bahaya yang mungkin ditimbulkannya pada saluran napas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai rokok kretek. Sepanjang pengetahuan kami, penelitian mengenai dampak rokok kretek terhadap saluran pernapasan belum pernah dilakukan selama ini. Berdasarkan hal tersebut, maka kami mengadakan penelitian secara khusus mengenai pengaruh pajanan asap rokok kretek terhadap saluran pernapasan. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat mengenai
6 perubahan pada saluran napas, maka dilakukan pemeriksaan histopatologi dan ultrastruktur sel. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kemajuan pengetahuan dalam bidang medis sehingga dapat dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat. Identifikasi Masalah Pengaruh buruk asap rokok telah umum diketahui oleh masyarakat, para praktisi kesehatan, serta para perokok sendiri. Namun sebenarnya dari segi ilmiah medis belum diketahui secara pasti pengaruh dan perubahan pada saluran napas yang disebabkan oleh rokok kretek, sebagai produk yang dikonsumsi oleh sebagian besar perokok dari berbagai kalangan dan strata sosial ekonomi di Indonesia. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan histopatologi dan ultrastruktur saluran napas dan paru tikus putih galur Sprague-Dawley akibat pajanan asap rokok kretek sebagai model untuk manusia. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna di bidang medis dan penanggulangan masalah akibat rokok kretek pada saluran napas, serta memberikan rekomendasi pada pemerintah dan masyarakat. Hipotesa Terdapat perubahan histopatologi dan ultrastruktur saluran napas tikus putih galur Sprague-Dawley akibat pajanan asap rokok kretek.
7
TINJAUAN PUSTAKA
Saat ini di seluruh dunia diperkirakan terdapat sebanyak 1,26 miliar perokok, lebih dari 200 juta di antaranya adalah wanita. Bahkan setiap tahun tidak kurang dari 700 juta anak-anak terpapar asap rokok dan menjadi perokok pasif. Kebiasaan merokok kini merupakan penyebab kematian 10 persen penduduk dunia. Artinya, satu dari sepuluh penghuni bumi kita meninggal akibat asap rokok. Pada 2030, bahkan mungkin lebih cepat dari itu, satu dari enam manusia akan meninggal akibat kebiasaan merokoknya (WHO 2005). Angka kekerapan merokok di Indonesia juga tinggi yaitu 60%-70% pada laki-laki di perkotaan dan 80%-90% pada laki-laki di pedesaan. Perkembangan rokok kretek Industri rokok kretek di Indonesia diperkirakan berkembang pada tahun 1870 sampai 1880-an. Bentuk-bentuk rokok pada masa itu tidak seperti sekarang, kretek dengan klobot merupakan kretek paling umum digunakan orang. Pada zaman Jepang atau tahun 1940-an beberapa merek rokok yang terkenal antara lain Kooa dan Mizuho, kemudian ada juga yang agak murah yaitu merek Semangat dengan tembakau yang konon bercampur dengan daun sawo yang dikeringkan (Hanusz 2000). Perusahaan rokok kretek pertama di Indonesia adalah perusahaan rokok Mari Kangen di Solo, yang kemudian disusul oleh perusahaan rokok Sampoerna di Surabaya. Pada awal abad XX banyak perusahaan rokok kretek beroperasi di Kudus. Salah satu perusahaan yang terkenal adalah perusahaan rokok cap Bal Tiga yang dikelola oleh raja rokok Nitisemito. Sejak 1928 terjadilah perubahan penting dalam industri rokok kretek di Kudus, yaitu meluasnya wilayah industri menuju distrik Kudus, Tenggeles, Cendono, dan beberapa wilayah lain di Jawa (Hanusz 2000). Pertengahan abad XX distribusi rokok kretek mulai menyebar ke luar pulau Jawa. Selain itu, orang juga mengenal jenis rokok sigaret kretek (papier sigaretten), rokok kretek yang dibuat dengan menggunakan alat pelinting dan bahan pembungkus dari kertas (Onghokham 1987).
8 Kandungan rokok kretek Rokok kretek mengandung campuran tembakau dan 30% hingga 40% bunga cengkeh kering. Kandungan tar, nikotin dan karbon monoksida rokok kretek lebih tinggi daripada rokok putih. Rokok kretek mempunyai kadar nikotin dan tar 2-3 kali lebih besar dari rokok putih. Setiap batang rokok kretek menghasilkan 34 - 65 mg tar, 1,9 - 2,6 mg nikotina dan 18 - 28 mg karbonmonoksida (Hashim 2005). Cengkeh (bunga cengkeh) sebagai bahan campuran dalam rokok kretek ternyata mengandung zat aktif eugenol berkadar tinggi, yaitu 82-87 persen. Kandungan ini setara dengan 120 - 130 mg eugenol bagi setiap 1 gram bunga cengkeh kering. Rokok kretek yang beredar di pasaran saat ini mengandung zat aktif eugenol hingga 12,92 miligram per batang, dan diperkirakan sebanyak 7 mg eugenol dihisap masuk ketika merokok. Eugenol memberi efek toksik pada sistem saraf pusat/ memberi kesan khayal dan menyebabkan karies yang spesifik pada gigi (Cattaneo 2000; Soetiarto 2002). Rokok kretek mengandung sejumlah bahan reaktif molekuler kimia termasuk reaktif oksigen dan zat radikal (Church dan Pryor 1991). Asap dan akibat pemaparan asap rokok kretek Asap rokok merupakan aerosol heterogen dari pembakaran tembakau, komponen dalam rokok serta pembungkusnya. Setiap batang rokok mengandung banyak bahan kimia diantaranya adalah : nikotin, karbon monoksida, dan tar yang bersifat karsinogenik dan radikal bebas, seperti radikal nitric oxide ( -NO, -NO2 ) dll. Radikal bebas merupakan oksidan yang dapat berdampak negatif antara lain mengganggu integritas sel dan dapat bereaksi dengan komponen sel, yaitu: komponen struktural, merusak protein (termasuk enzim) dan DNA, yang akhirnya akan terjadi kerusakan sel (Christyaningsih 2003). Nikotin dalam rokok yang dihasilkan dari asap arus utama (mainstream) adalah 4 – 6 kali lipat daripada asap arus samping (sidestream) (Susanna 2003). Zat yang dianggap karsinogenik dalam asap rokok ialah persenyawaan hidrokarbon aromatik polisiklik (zat ter) dan kelainan yang ditimbulkan berupa hiperplasia sel basal, metaplasia sel skuamosa atau karsinoma pada epitel bronkhus (Kurniawan 2002).
9 Dengan menggunakan gas kromatografi spektrometri, dalam asap rokok kretek ditemukan adanya lima bahan/senyawa kimia yang tidak ditemukan pada asap rokok putih. Senyawa kimia tersebut adalah: eugenol, acetyl eugenol, B-caryophyllene, xhumulene dan caryophllene epoksida (Hashim 2005). Biologi tikus Tikus memiliki berbagai galur yang merupakan hasil pembiakan sesama jenis atau persilangan. Galur yang sering digunakan untuk penelitian adalah galur Wistar, Long-Evans dan Sprague-Dawley. Sprague-Dawley merupakan salah satu galur yang dikembangkan di Winconsin pada tahun 1925 oleh R.W. Dawley untuk pembibitan komersial. Galur Sprague-Dawley memiliki panjang leher yang sedang, sementara panjang tubuhnya bisa sama panjang atau lebih pendek dari ekor. Bobot badan tikus jantan pada umur 12 minggu dapat mencapai 200 gram, sedangkan tikus betina hanya mencapai 150 gram. Untuk penelitian kesehatan umumnya dan gizi khususnya, tikus putih telah dikenal sebagai model hewan percobaan yang baik (Gelfand 2002). Sebagai alasan antara lain karena mudah ditangani, dapat diperoleh dalam jumlah besar, dan memberi hasil nilai ulangan yang dapat dipercaya (Aminah 2004). Anatomi dan fisiologi saluran respirasi Fungsi sistem respirasi ialah terjadinya pertukaran gas (oksigen dan karbondioksida) antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Penyalur udara (rongga hidung, nasofaring, larings, trakhea, bronkhus, bronkhiolus) berfungsi menyalurkan udara pernapasan dari dan ke daerah pertukaran udara dalam paru-paru, mengatur kelembaban udara, menjaga suhu tubuh dan kandungan air dengan menyadap dari udara selama respirasi dan menyaring partikel asing udara pernapasan karena penyalur udara memiliki selaput mukosiliaris sebagai alat pertahanan (Dellmann dan Brown 1992). Saluran pernapasan dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu saluran pernapasan bagian atas (upper respiratory tract) yang meliputi rongga hidung sampai larings, dan saluran pernapasan bawah (lower respiratory tract) yaitu trakhea, bronkhus, bronkhiolus dan paru-paru (Vanwye 1993).
10 Anatomi dan fisiologi Saluran Napas Atas Anatomi dan fisiologi Rongga Hidung Rongga hidung telah diketahui sebagai organ target yang penting untuk toksisitas akibat zat kimia melalui paparan inhalasi. Epitel rongga hidung terdiri dari populasi sel yang heterogen dan masing-masing memiliki karakteristik morfologi, fisiologi, dan biokimia yang khas, yang dapat menjadi faktor penting dalam menentukan kerentanan terhadap zat kimia inhalan (Alford 2005). Epitel pipih vestibulum dan rongga hidung anterior diduga banyak mengalami kontak dengan zat dalam konsentrasi yang hampir sama dengan lingkungan, karena lokasinya yang relatif terpapar. Namun, daerah ini ternyata cukup resisten terhadap kerusakan akibat zat kimia, karena lesi jarang ditemukan pada lokasi ini. Lesi akut diantaranya adalah erosi atau ulserasi dengan maupun tanpa inflamasi. Lesi subakut salah satunya adalah hiperplasia dengan maupun tanpa hiperkeratosis (Herbert et al. 1999).17 Anatomi dan fisiologi Saluran Napas Bawah Anatomi dan fisiologi Trakhea Trakhea merupakan penyalur udara yang terletak antara laring dengan bronkhus, berbentuk buluh yang semifleksibel dan semikolaps, terdapat di bagian ventral leher, terbentang mulai laring sampai rongga dada. Secara histologi, trakhea terdiri dari beberapa lapis, yaitu lapis mukosa (epitel silindris banyak baris bersilia dan lamina propria), lapis submukosa (daerah ujung kelenjar), cincin tulang rawan, lapisan otot (Musculus transversus trachealis), dan adventisia (Dellmann dan Brown 1992). Anatomi dan fisiologi Bronkhus Secara histologi, struktur bronkhus mirip dengan trakhea. Bronkhus dilapisi epitel silindris banyak baris, terutama terdiri dari sel-sel yang mampu bersekresi, sel bersilia dan sel basal. Secara proporsional jumlah sel bronkhus lebih sedikit dibanding trakhea (Dellmann dan Brown 1992).
11 Anatomi dan fisiologi Bronkhiolus Bagian distal saluran udara intrapulmonar adalah bronkhiolus. Bronkhiolus terdiri dari epitel (epitel silindris banyak baris), otot polos, sedikit jaringan ikat dan tidak memiliki tulang rawan (Dellmann dan Brown 1992). Anatomi dan fisiologi Paru Paru-paru dapat dibagi menjadi sistem penyalur udara intrapulmonar, parenkim/sistem respirasi, dan pleura. Sistem penyalur udara intrapulmonar (bronkhus dan bronkhiolus), menempati sekitar 6% dari paru-paru. Parenkim (sistem respirasi atau daerah pertukaran gas, terdiri dari duktus alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli) mencakup 85% dari seluruh paru-paru. Paru-paru dibalut oleh jaringan ikat dan sel-sel mesotel membentuk pleura viseral. Pleura, pembuluh darah, syaraf dan bronkhiolus menempati sekitar 9%−10% dari total paru-paru. Pada paru-paru yang menggembung, (parenkim menempati 85%), terdapat 70% rongga udara dan 30% merupakan jaringan tempat pertukaran gas yang mengelilingi rongga udara. Jaringan ini mencakup epitel, beberapa jaringan ikat, arteriola dan venula, serta jalinan kapiler paru-paru (Irvin 2003). Tempat terjadinya pertukaran gas disebut barier darah−udara (air-blood barrier), yang merupakan permukaan luas dengan jalinan kapiler di satu sisi dan udara pada sisi lain. Pertukaran gas umumnya terjadi pada kedua belah sisi septa jaringan yang memisahkan alveolus / septa interalveolaris. Saluran udara dalam parenkim diatur dalam unit asinus / unit respiratori terminalis merupakan unit fungsional dari daerah pertukaran gas (Vanwye 1993). Perbandingan respons paru terhadap zat toksik pada beberapa spesies serta pengertian terhadap mekanisme respon spesies yang berbeda-beda dapat memberikan manfaat yang penting dalam menerapkan hasil penelitian tersebut pada manusia (Herbert et al. 1999).
12 Toksikopatologi Saluran Pernapasan Toksikopatologi Rongga Hidung Rongga hidung telah diketahui sebagai organ target yang penting untuk toksisitas akibat zat kimia dan perubahan karsinogenik. Berbagai jenis zat kimia yang diberikan pada mencit melalui paparan inhalasi, dan juga melalui jalur paparan lain yang frekuensinya lebih sedikit, menginduksi perubahan pada hidung. Letak epitel pada permukaan rongga hidung dan senantiasa berkontak dengan aliran udara, sehingga merupakan target utama kerusakan akibat zat toksik. Karakteristik, beratnya, dan distribusi kerusakan dapat berperan dalam beberapa keadaan seperti deposisi regional, jaringan spesifik jaringan lokal, kerentanan seluler, atau yang lebih sering adalah kombinasi faktor-faktor tersebut. Ambilan nasal dan deposisi regional zat kimia yang diinhalasi diatur oleh sifat fisika dan kimianya, konsentrasi lingkungan sekitar dan durasi paparan, adanya kontaminan lain, besarnya metabolisme nasal lokal, serta aliran udara, darah, dan mukus melalui rongga nasal (Herbert et al. 1999). Lesi yang diinduksi zat kimia dapat ditemukan sepanjang jalur inspirasi utama rongga nasal, terutama pada vestibulum nasal, bagian proksimal dari meatus lateral dan meatus media, serta pada meatus media dorsalis. Pola distribusi yang khas ini berkaitan dengan aliran udara, dan sebagian menyebabkan penurunan gradien keparahan rostral – kaudal lesi nasal setelah inhalasi oleh banyak iritan. Proses inflamasi yang terjadi pada mukosa saluran napas ini tetap bertahan meskipun orang tersebut telah berhenti merokok selama satu tahun atau lebih (Turato et al. 1995). Selain aliran udara, pola distribusi lesi epitel akibat iritan inhalasi menunjukkan bahwa kerentanan seluler merupakan determinan yang penting dalam patogenesis lesi spesifik ini. Epitel rongga hidung terdiri dari populasi sel yang heterogen dan masing-masing memiliki karakteristik morfologi, fisiologi, dan biokimia yang khas, yang dapat menjadi faktor penting dalam menentukan kerentanan terhadap zat kimia inhalan. Kerentanan sel lokal mungkin terkait dengan metabolisme yang spesifik bagi tiap sel, seperti yang dimiliki oleh epitel olfaktorius yang mengandung enzim sitokrom P 450 dalam jumlah besar, yang dianggap penting untuk metabolisme dan detoksifikasi zat toksik inhalasi (Henning 1994).
13 Lesi yang diinduksi zat kimia terbagi dalam satu kategori atau lebih: degenerasi dan nekrosis, inflamasi, regenerasi / pemulihan, adaptasi, dan proliferasi yang mencakup neoplasia. Tanpa memandang mekanisme toksisitas atau tipe sel yang terkena, dalam keadaan normal runutan kejadian terjadi secara spesifik. Degenerasi dan nekrosis umummya diikuti oleh inflamasi, regenerasi, dan proliferasi sel untuk memperbaiki epitel yang rusak. Proliferasi yang berlebihan dapat menyebabkan hiperplasi epitel yang terkadang berlebihan dan dapat merupakan faktor risiko karsinogenesis. Respon adaptasi seperti metaplasia epitel pipih dan hiperplasia epitel traktus respiratorius pada mukosa olfaktorius dapat terjadi akibat paparan konsentrasi rendah dalam waktu lama. Proses pemulihan berjalan secara kontinu dan dengan demikian dapat terjadi beberapa tahap morfologik (Herbert et al. 1999). Epitel pipih vestibulum dan rongga hidung anterior diduga banyak mengalami kontak dengan zat dalam konsentrasi yang hampir sama dengan lingkungan, karena lokasinya yang relatif terpapar. Namun, daerah ini ternyata cukup resisten terhadap kerusakan akibat zat kimia, karena lesi jarang ditemukan pada lokasi ini. Lesi akut diantaranya adalah erosi atau ulserasi dengan maupun tanpa inflamasi. Lesi subakut salah satunya adalah hiperplasia dengan maupun tanpa hiperkeratosis. Neoplasia dapat terjadi akibat hiperplasia berkepanjangan (Mellins 2006). Epitel transisional, respiratorik, dan olfaktori lebih sensitif terhadap kerusakan akibat zat kimia. Bergantung pada sifat kimia dan konsentrasinya, dapat terjadi inflamasi, degenerasi, erosi, ulserasi, hiperplasia, metaplasia, dan atrofi. Secara umum berat lesi yang ditemukan berkisar antara ringan hingga sedang, jarang memberikan efek samping yang berat pada hewan. Namun demikian, beberapa zat kimia dapat menginduksi lesi degeneratif berat dan lesi nekrotik dalam rongga hidung tikus. Neoplasma akibat induksi zat kimia sangat jarang ditemukan pada rongga hidung (Herbert et al. 1999). Toksikopatologi Trakhea Lesi akibat induksi zat kimia lebih jarang ditemukan pada trakhea jika dibandingkan dengan rongga hidung maupun laring. Hiperplasia dan metaplasia sel skuamosa epitel merupakan lesi yang paling sering ditemukan. Metaplasia sel skuamosa,
14 inflamasi supuratif, dan fibrosis submukosa dapat ditemukan pada tikus B6C3F1 yang terpapar pada uap formaldehid selama lebih dari 13 minggu (Herbert et al. 1999). Toksikopatologi Bronkhus dan Bronkhiolus Bronkhus ekstrapulmoner, bronkhus intrapulmoner, dan bronkhiolus dilapisi oleh epitel. Saluran napas yang lebih besar tersusun oleh sel epitel silinder, terutama jenis Sel Clara (tidak bersilia) dan sel bersilia, serta sebagian sel neuroendokrin (Gould et al. 1983). Sel yang mengandung mukus dan sel sikat (brush cells) jarang ditemukan pada bronkhus dan bronkhiolus tikus. Sel pensekresi mukus tipe granula kecil paling sering ditemukan setinggi bifurkasi trakhea dan bronkhus primer. Diduga bahwa sebagian besar mukus pada trakhea tikus berasal dari daerah karina dan bronkhus ekstrapulmoner primer. Tidak ditemukan sel goblet pada paru tikus yang sehat. Pada bronkhus yang lebih kecil dan bronkhiolus jenis epitel berubah dari silinder menjadi kuboid tinggi atau kuboid gepeng. Tipe sel predominan pada saluran napas yang lebih kecil ini adalah Sel Clara, yang dapat ditemukan pada setiap bagian saluran napas tikus mulai laring hingga bronkhiolus terminal, dan merupakan 50-60% bagian saluran napas (Dixon et al. 1999). Sel Clara mensekresi zat yang disebut Clara cell secretory protein (CCSP). Penelitian Chen et al. (2001) yang didukung pula oleh Hayashida et al. (2000) menemukan bahwa tikus yang mengalami defisiensi CCSP lebih rentan terhadap polutan inhalasi dan sistemik, aeroantigen, dan mikroorganisme. Paparan asap rokok dapat menyebabkan nekrosis pada epitel bronkhus dan bronkhiolus dengan peningkatan vaskularisasi dan edema, serta terbentuknya membran tebal yang dapat menyebabkan obstruksi sebagian pada saluran napas besar maupun kecil. Pada beberapa kasus terjadi bronkhiolitis dan bronkhopneumonia, serta edema interstisial dan alveolar. Pada alveolus juga ditemukan materi karbon (Mellins 2006). Toksikopatologi Paru Bahan kimia yang memberikan efek toksik pada paru terdapat dalam bentuk inhalasi partikel, gas, dan aerosol yang menimbulkan efek secara berbeda pada parekim paru, serta zat yang diberikan secara sistemik dan kemudian mencapai paru melalui
15 sirkulasi (March 1999). Sel pneumosit mengandung enzim yang mampu melakukan degradasi maupun aktivasi metabolik terhadap zat kimia yang toksik. Dalam paru, volume permukaan sel alveolar tipe I yang luas menyebabkan sel ini sensitif terhadap kerusakan oksidatif oleh berbagai zat kimia. Sel pneumosit tipe II merupakan progenitor sel tipe I, dan umumnya proliferasi sel ini ditemukan setelah inhalasi oksidan yang bersifat merusak paru (Dixon et al. 1999). Dalam evaluasi toksisitas zat kimia lingkungan, penting untuk diingat bahwa terdapat berbagai perbedaan antara tikus dan mencit, serta dalam beberapa kasus respon toksisitasnya juga berbeda. Mencit kurang sensitif dibandingkan tikus terhadap beberapa partikel yang diinhalasi misalnya bedak talk, tapi jauh lebih sensitif terhadap zat kimia seperti butylated hydroxytoluene (Dixon et al. 1999). Toksisitas Partikel Sebagian besar toksikan partikel yang terinhalasi ditentukan oleh lokasi deposisinya pada paru. Untuk partikel yang sangat kecil, umumnya kurang dari 1 nm, yang terutama terdeposisi akibat difusi, ukuran partikel merupakan faktor utama dalam menentukan tempat deposisi. Bentuk dan densitas merupakan faktor yang lebih penting untuk partikel yang lebih besar. Diameter aerodinamik, termasuk gerakan aerodinamik dan densitas partikel ditentukan oleh impaksi dan sedimentasi. Diameter aerodinamik memberikan perbandingan unit – densitas partikel, tanpa dipengaruhi oleh ukuran, bentuk, dan densitas (Henning 1994). Partikel dideposit dalam paru sebagai akibat dari proses intersepsi (penting untuk asbestos), impaksi, sedimentasi, dan difusi (Barnes et al. 2003). Partikel dengan diameter aerodinamik antara 5 – 30 nm terutama dideposit di nasofaring dan percabangan saluran napas atas, akibat kecepatan udara yang lebih tinggi pada daerah-daerah tersebut. Partikel dengan diameter aerodinamik 1 – 5 nm terutama dideposit di regio bronkial akibat sedimentasi, sedangkan partikel kurang dari 1 nm yang mencapai alveoli terutama dideposit oleh proses difusi (Dixon et al. 1999). Partikel yang dideposit di epitel bersilia pada saluran napas dibersihkan oleh aparatus mukosilier, sedangkan partikel yang mencapai alveolus difagositosis oleh makrofag alveolus dan kemudian dibersihkan oleh aparatus mukosilier atau oleh drainase
16 limfatik pada interstisium paru. Dengan demikian, untuk sebagian besar partikel, interstisium dan kelenjar getah bening regional merupakan lokasi penting tempat akumulasi partikel (Aoshiba 2001). Pemeriksaan paru secara umum dan berat paru pada nekropsi memberikan data penting bagi ahli patologi. Peningkatan berat paru disebabkan oleh infiltrat radang dari agen sitotoksik, atau tergantung pada toksisitas relatif, hiperplasia, dan hipertrofi sel tipe II. Pada zat yang statis seperti bedak talk, peningkatan berat paru disebabkan oleh akumulasi partikel yang terinhalasi dalam jumlah banyak. Hal ini terutama penting pada saat kapasitas clearance paru telah terlewati. Respons karsinogenik dalam paru yang mengalami akumulasi zat uji secara masif biasanya dianggap kurang relevan dengan ekstrapolasi akibat konsentrasi rendah (Dixon et al. 1999). Toksisitas Gas Gas toksik diserap oleh jaringan traktus respiratorius pada setiap tempat, termasuk hidung. Uptake ini ditentukan oleh konsentrasi gas yang diinhalasi dan laju difusi. Kelarutan dalam air merupakan determinan utama toksisitas relatif gas tersebut. Toksikan yang mudah larut dalam air akan mudah larut dalam mukus saluran pernapasan atas dan terdeposisi di sana. Sementara toksikan yang sulit larut dalam air akan lebih banyak terdeposisi dalam saluran pernapasan bawah. Mukosa yang melapisi saluran napas memiliki efek protektif yang besar dengan detoksifikasi banyak gas reaktif seperti ozone. Oksidan kuat dapat bereaksi secara langsung dengan epitel saluran napas dan menyebabkan nekrosis (Neil et al. 2003). Gas yang kurang reaktif, seperti nikel karbonil, dapat berdifusi melalui epitel tanpa menyebabkan kerusakan yang berarti dan menyebabkan nekrosis sel endotel kapiler. Zat kimia yang bersifat larut dan sangat reaktif seperti metil isosianat menyebabkan nekrosis epitel hidung, trakhea, dan saluran napas. Nekrosis dan ulserasi epitel menyebabkan eksudasi fibrinosa dalam saluran napas, yang selanjutnya akan menyebabkan fibrosis (Coggins 1998). Gas yang tidak terlalu reaktif, yakni antara lain ozone dan nitrogen dioksida, menyebabkan lesi terutama pada regio sentraasiner paru. Lokasi kerusakan diyakini akibat hilangnya lapisan mukosa pada regio sentraasiner. Paparan terhadap ozon pada 0.5 sampai 1.0 ppm menyebabkan akumulasi makrofag yang
17 khas pada regio sentraasiner paru mencit. Secara histologik, epitelium duktus alveolaris dan alveoli yang berdekatan, yang pada keadaan normal pipih, tergantikan oleh epitel kuboid tidak bersilia dan terkadang bersilia, mirip dengan epitel bronkhiolus terminalis. Perubahan ini didiagnosis sebagai alveolar / bronkhiolar metaplasia. Tidak diketahui apakah hal ini menggambarkan perubahan metaplastik sel tipe I, atau apakah menggambarkan migrasi sel bronkhiolus terminalis ke alveoli sentraasiner akibat destruksi sel tipe I setelah paparan ozon berulang (Komoti et al. 2001). Pemeriksaan ultrastruktur menggambarkan hilangnya silia dan menggepengnya permukaan apikal Sel Clara di bronkhiolus terminalis. Sel Clara di bronkhiolus adalah target utama paparan asap rokok. (Andersson et al. 2000). Penting untuk dicatat bahwa paparan kronik ozon akan meningkatkan adenoma dan karsinoma bronkhiolar / alveolar pada mencit, sedangkan hal ini tidak ditemukan pada tikus (Dixon et al. 1999).
18
BAHAN DAN METODE 1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteran Hewan IPB, selama delapan bulan sejak September 2005 sampai Mei 2006. 2. Materi penelitian a. Hewan coba Penelitian ini bersifat eksperimental menggunakan hewan coba sebagai model. Hewan model adalah tikus putih Rattus rattus galur Sprague-Dawley. Sebanyak 20 ekor tikus diperoleh dari Badan POM RI, 10 ekor jantan dan 10 ekor betina, berumur sekitar 8 – 12 minggu dengan berat rata-rata berkisar 150 gram. Setiap tikus dipelihara dalam kandang-kandang terpisah secara soliter, diberi pakan standar yang dibuat di Balai Penelitian Ternak (BPT) dengan formulasi seperti terlampir dalam Lampiran 1. b. Rokok Rokok yang digunakan adalah rokok kretek yang menurut survey adalah rokok kretek yang paling banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia dengan kandungan nikotin 2,76 mg/batang, tar 45,77 mg/batang, eugenol 14,70 mg/batang, CO 2,70% atau 16.66 mg/batang yang merupakan hasil pengujian dari Pusat Pengujian Obat dan Makanan Nasional Jakarta. 3. Alat penelitian Smoking chamber ukuran 40x30x20 cm3 ; air pump ; conditioning chamber; smoking machine ; mikroskop binokular ; video mikrometer ; diamond knife ; microtome dan ultramicrotome ; dissecting kit ; automatic tissue processor ; paraffin embedding console ; staining jar ; kandang hewan coba dan perlengkapannya
19 Keterangan : 1. Smoking chamber adalah ruang khusus berbentuk kotak terbuat dari plastik tembus pandang berukuran 40x30x20 cm3 yang memungkinkan pengamatan perilaku tikus selama paparan asap rokok (Gambar 3). Kompartemen ini dirancang khusus agar dapat menampung asap rokok yang dialirkan melalui pipa plastik dengan bantuan kompresor khusus yang dirancang untuk keperluan ini. Terdapat dua pipa atau kabel plastik yang terpasang ke dalam kompartemen ini, satu buah untuk mengalirkan asap rokok, satu buah lagi untuk mengalirkan oksigen. 2. Air pump berbentuk pompa kompresor yang dihubungkan dengan alat untuk membakar rokok yang terdiri dari pipa plastik transparan dan tempat untuk rokok yang akan dibakar untuk menghasilkan asap.
A
B
Gambar 1. Rangkaian smoking chamber dan air pump untuk percobaan pengasapan rokok kretek. A: Air Pump ; B: Smoking Chamber. Asap rokok dihisap menggunakan Air Pump dan dialirkan ke dalam Smoking Chamber.
20
3. Conditioning chamber adalah alat yang digunakan untuk mengkondisikan rokok kretek yang akan diperiksa pada suhu dan kelembaban tertentu, supaya keadaan rokok menjadi seragam. Conditioning chamber yang digunakan adalah Vötsch tipe FC0018. Seluruh (240 batang) rokok kretek yang akan digunakan dalam penelitian dikeluarkan dari bungkusnya, kemudian ditempatkan selama 2 (dua) hari pada suhu 22°C dan kelembaban 60%.
Gambar 2. Conditioning chamber, digunakan untuk menyeragamkan kondisi kelembaban rokok kretek.
21 4. Smoking machine adalah alat yang digunakan untuk mengukur kadar nikotin, tar, eugenol, dan CO dalam rokok kretek yang akan dipakai dalam penelitian. Smoking machine yang digunakan adalah merk Bruswald Tipe RM20H.
Gambar 3. Smoking machine, digunakan untuk mengukur kadar nikotin, tar, eugenol, dan CO dalam rokok kretek
22
5. Mikroskop binokular digunakan untuk memeriksa jumlah dan tinggi epitel, jumlah sel goblet pada preparat dengan pewarnaan HE, Alcian Blue-Periodic Acid Schiff, dan jumlah pneumosit tipe I, II, dan makrofag pada preparat semi-thin.
Gambar 4. Mikroskop binokular, digunakan untuk memeriksa preparat HE, AB-PAS, dan semi-thin.
23
6. Video Mikrometer digunakan untuk mengukur jumlah epitel, tinggi epitel, dan jumlah sel goblet pada mukosa sepanjang 1000 µm.
Gambar 5. Video mikrometer digunakan untuk mengukur jumlah epitel, tinggi epitel, dan jumlah sel goblet pada mukosa sepanjang 1000 µm.
24 7. Ultramicrotome digunakan untuk membuat irisan preparat transmission electron microscope (TEM) dengan menggunakan Diamond Knife
Gambar 6. Ultramicrotome dengan diamond knife. Alat ini digunakan untuk membuat irisan preparat semi thin dan ultrathin untuk pemeriksaan preparat menggunakan transmission electron microscope (TEM).
25 8. Transmission electron microscope (TEM) merk Jeol JM 1010 digunakan untuk melihat ultrastruktur sel paru pada hewan percobaan, yang meliputi: Air-Blood Barrier, Pneumosit tipe I dan II, Mitokondria, Sel Clara, dan Makrofag.
Gambar 7. Transmission electron microscope. Alat ini digunakan untuk melihat ultrastruktur sel paru pada hewan percobaan
26 9. Laminary Flow digunakan untuk melindungi peneliti terhadap zat kimia berbahaya yang digunakan dalam pembuatan preparat mikroskop elektron.
Gambar 8. Laminary flow. Alat ini digunakan untuk melindungi peneliti terhadap zat kimia berbahaya Bahan penelitian lain: Korek api, obat bius (eter, ketalar) dan bahan pelarut Natrium Klorida 0.9% (NaCl fisiologis steril), alkohol 70 %, akuades, kapas, tissue penyerap, jarum suntik, alat seksio untuk nekropsi (skalpel, gunting, pinset, jarum fiksator, kaca pembesar, styrofoam, alumunium foil), larutan fiksatif Buffer Neutral Formalin (BNF) 10%, pewarna Hematoxylin-Eosin, Alcian Blue-Periodic Acid Schiff, Toluidine Blue.
27 4. Metode kerja a. Persiapan pakan dan adaptasi tikus dalam kandang Sebelum percobaan dilakukan, semua tikus diadaptasi selama dua minggu. Setibanya di kandang, dua puluh ekor tikus yang digunakan dalam penelitian ini dimasukkan dalam kandang modifikasi berbentuk kotak terbuat dari plastik dengan bedding kawat ram. Kandang modifikasi ditutup dengan kawat di bagian atas. Satu kandang hanya berisi satu ekor tikus. Pergantian dan pencucian kandang modifikasi dilakukan setiap hari dengan memberikan alas kertas buram sebanyak tiga lembar untuk setiap kandang. Pakan diberikan sesuai dengan tingkat kebutuhan tiap ekor tikus, yang diukur dengan cara menimbang pakan yang dapat dihabiskan oleh tikus tersebut. Setiap pagi hari sisa pakan tikus ditimbang kemudian tikus diberi pakan baru. Hal ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pajanan asap rokok terhadap nafsu makan tikus. Pakan tikus dibuat dalam bentuk pelet dengan komposisi: jagung 73,943%, bungkil 14,505%, dedak 6,8%, kapur 1,5%, tepung tulang 1,263%, minyak 1%, metionin 0,362%, lisin 0,31%, garam 0,213%, vitamin+mineral mix 0,106%. Bahan – bahan tersebut dicampur dan diaduk rata, kemudian dicetak menjadi pakan berbentuk pellet. Setelah proses pencetakan pakan berbentuk pellet selesai, pellet harus dijemur supaya bentuk pellet tidak hancur. Pakan dibuat di Balai Penelitian Ternak (BPT) Ciawi dan diberikan ad libitum selama percobaan. Untuk mencegah terjadinya perubahan non spesifik pada alat pernapasan, diberikan antibiotika per oral golongan clarythromycin dengan dosis 7,5 mg/kgBB 2 kali sehari selama 10 hari. Tempat minum menggunakan botol minuman suplemen (yang tutup botolnya dilubangi). Tempat minum diletakkan di bagian atas kandang dalam posisi terbalik (terdapat pengait dari kawat untuk menahan botol agar tidak jatuh). Pemberian minum dari air mineral komersil dilakukan 2-3 hari sekali sebanyak 150 ml. Air minum diberikan ad libitum.
28 b. Pajanan pengasapan rokok kretek pada tikus Pajanan asap rokok kretek pada tikus dilakukan setiap hari. Satu batang rokok sejak awal dinyalakan hingga habis memerlukan waktu 10-12 menit. Pemberian asap rokok kretek dilakukan dengan dosis 8 batang setiap hari pada pagi hari, lama paparan 10-12 menit tiap batang, selama 5 hari per minggu. Tahapan pemajanan asap rokok dilakukan dengan terlebih dahulu mempersiapkan peralatan yang digunakan dalam pemajanan ini. Smoking chamber memiliki dua lubang penghubung di bagian depan, satu lubang untuk dihubungkan dengan pump, dan yang satu lagi digunakan untuk menghubungkan smoking chamber dengan tabung oksigen. Smoking chamber juga memiliki dua lubang di belakangnya sebagai ventilasi / memungkinkan pertukaran udara. Sebanyak 8 batang rokok kretek dipersiapkan setiap harinya untuk pemajanan asap rokok. Setelah semua peralatan disiapkan termasuk korek api, maka tikus dari kandang modifikasi dipindahkan ke dalam smoking chamber. Kelima tikus tersebut dimasukkan bersamaan dalam smoking chamber melalui lubang di bagian atas smoking chamber, kemudian ditutup kembali. (Terdapat dua buah penutup smoking chamber yang ada di bagian atas sehingga keluar masuknya tikus hanya dapat dilakukan dari smoking chamber bagian atas). Satu batang rokok kretek dipasang pada pipa yang dihubungkan dengan pump. Rokok kretek yang telah dipasang tadi dibakar menggunakan korek api dan pump dinyalakan, sehingga asap rokok masuk ke dalam smoking chamber. Tabung oksigen dibuka pada posisi 0,5 untuk mangalirkan oksigen ke dalam smoking chamber. Stopwatch / penghitung waktu dipasang untuk mengetahui waktu yang digunakan untuk menghabiskan satu batang rokok kretek. Smoking chamber akan terisi asap rokok, apabila smoking chamber telah terisi banyak asap rokok maka pump harus diberhentikan dengan menghentikan arus listrik pada pump (mencabut dari stop kontak). Setelah asap rokok pada smoking chamber berkurang atau hilang, maka pump dinyalakan kembali (hubungkan dengan stop kontak). Kegiatan ini dapat berulang 5 – 7 kali dalam pemaparan satu batang rokok. Abu rokok / sisa pembakaran yang menempel pada batang rokok yang sedang dibakar, harus dibersihkan. Selama proses pemaparan asap rokok, perilaku tikus dapat diamati dalam smoking chamber. Setelah satu batang rokok hanya tersisa ± 1,5 – 2 cm, maka pump dimatikan demikian
29 pula tabung oksigen harus dimatikan dengan memutar knop ke arah 0. Stopwatch dimatikan, sehingga diperoleh waktu yang digunakan untuk pembakaran satu batang rokok. Sisa batang rokok yang terdapat pada pipa diambil dan dibuang. Setelah dua menit dan keadaan smoking chamber bersih dari asap rokok, pasang rokok ke-2 pada pipa yang sama dengan rokok ke-1.
Gambar 9. Pengasapan rokok kretek pada kelompok pajanan Kemudian dilakukan tahapan yang sama seperti pada rokok ke-1. Kegiatan tersebut dilanjutkan dengan tahapan yang sama, untuk rokok ke-2 hingga rokok ke-8. Setelah kelompok pajanan selesai diberi pemaparan asap rokok kretek sebanyak 8 batang, tikus-tikus tersebut dikembalikan ke kandang modifikasi. Setelah semua tikus kelompok pajanan mendapat pemaparan asap rokok kretek, seluruh peralatan yang digunakan dibersihkan dan disimpan untuk pemaparan selanjutnya. Pemaparan asap rokok dilakukan selama 5 hari dalam seminggu. c. Penimbangan bobot badan Bobot badan tikus ditimbang pada awal penelitian dan kemudian secara reguler satu minggu sekali sampai pada akhir penelitian.
30
d. Euthanasia Euthanasia diawali dengan pemberian anestetikum ether perinhalasi dalam wadah gelas tertutup, yakni suatu anaerobic jar berisi kapas yang telah diberi eter. Beberapa menit kemudian setelah tikus terlihat lemah, dilanjutkan dengan pemberian Ketalar® 10% (Ketamine HCl) dalam Natrium Klorida 0.9%. Anestesi Ketalar® diberikan secara injeksi intramuscular (pada otot semi tendinosa) dosis 0,1 cc/ 100 gram bobot badan dengan disposable syringe 1 cc. e. Pengambilan sampel darah Sampel darah diambil secara intrakardium sebanyak 2 cc untuk pemeriksaan serum GPx (glutathione peroxydase) untuk setiap sampel. (Lihat Lampiran 12). f. Nekropsi dan sampling jaringan Setelah tikus dieuthanasi, tikus diletakkan diatas styrofoam yang sudah dilapisi alumunium foil, bagian tangan dan kaki tikus difiksasi menggunakan jarum pentul, dan tubuh tikus dibasahi menggunakan kapas yang sudah diberi alkohol. Nekropsi dilakukan dengan membuka lapisan kulit, fascia, rongga abdomen, dan rongga thoraks. Dilakukan sayatan ke arah atas untuk membuka saluran pernapasan bawah dan paru. Saluran pernapasan atas yang berada dalam tulang kepala diperoleh dengan menggergaji tulang kranium bagian anterior secara longitudinal. Pemotongan organ dapat dilakukan di atas talenan. Organ respirasi berupa trakhea, bronkhus, bronkhiolus, dan paru diambil, dibilas dengan aquades, kemudian disimpan dalam larutan fiksasi buffer netral formalin 10% dengan volume ½−¾ dari volume total botol spesimen. Pada bagian atas botol diberi kain kasa untuk memfiksasi bagian paru yang mengapung. Setiap botol spesimen diberi kode tanggal nekropsi, kode tikus, kode lain seperti kontrol dan pajanan. Spesimen disimpan dalam larutan fiksatif minimum 2x24 jam supaya proses fiksasi berlangsung sempurna. Bagian tengah lobus diafragmaticus paru kiri diiris kecil-kecil dengan ukuran 1 x 1 mm3, disimpan dalam larutan fiksasi glutaraldehyde 4% dingin untuk pembuatan sediaan elektron mikroskop.
Pengamatan
keadaan
makroskopis
dilakukan
selama
nekropsi
31 berlangsung dengan bantuan kaca pembesar untuk pengamatan lesi makroskopik. Lokasi pengambilan sampel jaringan sinus dilakukan dengan pemotongan menggunakan gergaji. Lokasi yang diamati adalah lokasi 2 (daerah hidung depan) dan lokasi 4 (daerah hidung belakang) seperti tampak pada Gambar 10.
. 1
2
3 4
Gambar 10. Pemotongan sediaan sinus hidung.
T T T
B B
# #
# #
P
# #
# # P
# #
P
A
B
Gambar 11. (A) Nekropsi dan (B) Sampel jaringan trakhea, bronkhus, dan paru T = Trakhea, P = Paru, B = Bronkhus, # = Lokasi pengambilan sampel
32 g. Pembuatan sediaan histopatologi Setiap sampel organ diiris tipis / trimming dengan ukuran ± 0,5 cm. Setiap bagian saluran pernapasan (sinus hidung) dan setiap lobus paru (lobus apikalis kiri dan kanan, lobus medialis kiri dan kanan, lobus diafragmatikus kiri dan kanan, serta lobus assesorius) dimasukkan ke dalam cassette yang berbeda. Organ tersebut kemudian dimasukkan dalam automatic tissue processor otomatis dengan tujuan menghilangkan kandungan air dalam jaringan/sampel. Dalam alat tersebut secara otomatis jaringan akan didehidrasi dengan alkohol bertingkat (alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol 100%), setelah itu jaringan dimasukkan dalam xylol untuk melarutkan alkohol yang terdapat dalam jaringan/sampel agar mudah terjadi infiltrasi oleh parafin. Embedding merupakan proses penanaman jaringan ke dalam blok parafin yang kemudian disimpan dalam refrigerator (4−6ºC). Setiap blok parafin yang berisi jaringan/sampel diiris menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-4 μm. Potongan jaringan yang sangat tipis diletakkan diatas permukaan air hangat supaya jaringan tidak mengerut, dan diletakkan diatas gelas objek untuk diinkubasi selama ± 24 jam supaya jaringan melekat di atas gelas objek. Khusus jaringan sinus hidung yang berada diantara tulang kepala, dilakukan proses dekalsifikasi menggunakan Asam Formic 10% hingga tulang menjadi lunak dan diproses bersama jaringan lainnya. Dalam pembuatan preparat histopatologi, pewarnaan yang dilakukan adalah pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Schiff (ABPAS) (Lihat Lampiran 3) dan hematoxylin-eosin (HE) (Lihat Lampiran 4). Beberapa potong jaringan paru diproses hingga tercetak di dalam resin, kemudian diiris menggunakan ultra-mikrotom dengan pisau khusus (diamond knife) setebal 200 nm (metode semi thin) dan diwarnai dengan toluidine blue. h. Pengamatan Histopatologis Pengamatan histopatologi dilakukan dengan menggunakan mikroskop dan video mikrometer. Pengamatan dilakukan terhadap: (1) Perhitungan jumlah dan tinggi epitel bersilia, serta perhitungan rasio sel epitelia bersilia dengan sel goblet. Pengamatan dilakukan pada 10 (=n) lapang pandang (LP) masing-masing pada
33 mukosa sepanjang 1000 μm dari jaringan sinus hidung, trakhea, bronkhus, dan bronkhiolus ; (2) Penilaian reaksi jaringan interstitium paru pada 10 (=n) LP masingmasing seluas 1,6x1,3 μm2. Analisis respon jaringan dinilai secara kualitatif dan kemudian dilakukan skoring terhadap perubahan tersebut sehingga memungkinkan dilakukan analisis kuantitatif statistika. Penilaian skor 1, 2, 3, dan 4 diberikan jika dalam LP terdapat 25%, 50%, 75% dan 100% jaringan paru mengalami pneumonia interstitialis ; (3) Penghitungan jumlah sel makrofag alveolaris serta pneumosit tipe I dan II pada 10 (=n) LP, masing-masing seluas 1,6x1,3 μm2. Pembuatan preparat semi-thin 1. Sampel dalam blok resin dipotong menggunakan ultramicrotome dengan pisau khusus (diamond knife) hingga ketebalan 200 nm 2. Hasil potongan semi thin diletakkan di atas objek glass yang telah ditetesi akuades steril 3. Air pada potongan dibiarkan menguap (proses ini dapat dibantu menggunakan hot plate yang dipasang tidak terlalu panas, agar tidak terbentuk gelembung udara di bawah helaian resin). 4. Setelah kering, potongan semi-thin kemudian ditetesi dengan pewarnaan toluidine blue 1%, kemudian cairan pewarnanya dibiarkan menguap. 5. Hasil potongan ditutup dengan coverglass dan diamati menggunakan mikroskop cahaya. Pemeriksaan Ultrastruktur Jaringan Dilakukan pemeriksaan ultrastruktur paru-paru tikus tanpa pajanan (kontrol) dan dengan pajanan asap rokok dengan menggunakan Transmission Electron Microscope (TEM) Jeol JM 1010.
34 Pembuatan Preparat untuk Pemeriksaan Ultrastruktur
Fiksasi Jaringan yang berukuran 1x1x1 mm3 direndam ke dalam larutan campuran glutaraldehyde, buffer cacodylate 0,1 M dengan pH 7,4 dan 3% sukrosa selama 24 jam. Pencucian jaringan dilakukan dengan menggunakan buffer cacodylate 0,1 M dengan pH 7,4 selama 15 menit sebanyak 3 kali. Setelah fiksasi dilakukan, jaringan dimasukkan ke dalam larutan osmium tetroksida dan K3Fe(CN)6 selama dua jam. Kemudian jaringan dicuci kembali dengan menggunakan buffer cacodylate selama 15 menit sebanyak 2 kali. Semua tahapan fiksasi dilakukan pada suhu 4°C dan dalam kondisi teragitasi.
Dehidrasi dan Infiltrasi Dehidrasi dilakukan dengan menggunakan larutan etanol secara bertingkat dari konsentrasi 10% sampai dengan absolut. Lama jaringan dalam larutan etanol berkisar antara 10 menit hingga 30 menit. Proses dehidrasi berjalan dalam kondisi teragitasi dan pada suhu 4°C. Proses infiltrasi menggunakan perbandingan larutan etanol absolute dan propylene oxide secara bertingkat hingga hanya menggunakan larutan propylene murni. Infiltrasi dilakukan dalam kondisi teragitasi dan pada suhu ruang selama 30 menit untuk setiap tahapannya.
Embedding Larutan yang digunakan dalam proses embedding adalah campuran Spurr. Sebelum jaringan direndam dengan menggunakan spurr terlebih dahulu direndam dalam campuran larutan propylene okside dengan spurr secara bertahap selama 30 menit per tahapannya. Dalam proses embedding diupayakan agar tidak terdapat gelembung udara karena dapat mengganggu proses selanjutnya (pemotongan blok) sehingga pada tahap jaringan direndam pada spurr dilakukan dalam kondisi tervakum selama satu malam. Proses polimerisasi spurr hingga menghasilkan blok dilakukan dalam inkubator vakum selama 16-18 jam pada suhu 70°C.
35 Pemotongan Blok Sampel Blok sampel yang telah dibuat di trimming agar mendapatkan daerah jaringan yang diinginkan dengan ukuran kecil (sekitar 1x1 mm). Daerah jaringan berbentuk trapesium untuk memudahkan dalam proses pengumpulan potongan. Diusahakan jaringan yang diinginkan berada di tengah daerah trapesium agar pada saat pengamatan di mikroskop elektron daerah yang dikehendaki dapat terlihat secara keseluruhan. Tebal potongan agar dapat diobservasi di bawah mikroskop elektron berkisar antara 50-60 nm. Proses pemotongan menggunakan glass knife yaitu pisau yang terbuat dari kaca. Untuk mendapatkan potongan yang tipis digunakan diamond knife. Hasil potongan dengan ukuran tipis dikumpulkan dan diletakkan pada permukaan grid yang dilapisi oleh larutan 0,5% formvar (Sigma) dalam chloroform. Kemudian dilakukan pewarnaan menggunakan uranil asetat dan lead sitrat. Setelah proses pewarnaan, grid yang telah tertempel oleh jaringan siap untuk diamati di mikroskop elektron transmisi (Bozzola 1991). 5. Analisis dan Interpretasi Data Seluruh kegiatan penelitian dicatat secara rinci dan sistematis, kemudian seluruh data kuantitatif yang didapat dianalisis secara statistik. Untuk perhitungan statistik tinggi epitel, jumlah epitel, dan jumlah sel goblet pada sinus hidung, trakhea, bronkhus, dan bronkhiolus menggunakan uji statistik Anova, sedangkan perhitungan untuk pneumonia interstitialis digunakan uji statistic non parametrik Kruskal-Wallis.
36
HASIL DAN PEMBAHASAN Untuk melihat perubahan seluler maupun jaringan akibat paparan asap rokok, dilakukan pemeriksaan histopatologi menggunakan mikroskop cahaya dan video mikrometer. Perubahan parameter yang diamati meliputi jumlah dan tinggi sel epitel, jumlah sel goblet, jumlah pneumosit tipe I dan II, jumlah sel makrofag alveolaris, reaksi jaringan interstitial paru, penambahan bobot badan, dan kadar serum GPx disajikan pada Tabel 1 hingga Tabel 8. HISTOPATOLOGI SINUS HIDUNG Pada sinus hidung dilakukan pemeriksaan jumlah dan tinggi sel epitel, jumlah sel goblet, serta dihitung rasio jumlah sel epitel terhadap sel goblet. Hasil pemeriksaan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Rerata tinggi epitel, jumlah sel epitel dan sel goblet serta rasionya pada sinus hidung per satuan 1000 µm panjang mukosa PAJANAN
Tinggi Epitel (μm) RERATA* ab
SEM
Jumlah Epitel RERATA* b
SEM
Jumlah Sel Goblet RERATA* a
SEM
Rasio Sel Epitel : Sel Goblet
Kontrol-jantan 3.62 0.4131 11.38 0.3839 4.68 0.7473 2:1 Pajanan-jantan 4.35a 0.1405 13.08a 0.3308 5.88a 0.3121 2:1 b ab a Kontrol-betina 2.99 0.1155 11.6 0.5874 3.74 0.8727 3:1 Pajanan-betina 3.96a 0.2619 12.92a 0.5928 4.52a 0.731 3: 1 * Superscript huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna pada p<0.05. SEM= Standard Error of Mean. SD= Standar Deviasi. n= Jumlah sampel. SEM = SD / √ n.
Dari Tabel 1 dapat dilihat jumlah sel epitel pada kelompok yang diberi pajanan asap lebih tinggi daripada kontrol, khususnya pada hewan jantan (P<0.05), sedangkan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0.05). Jumlah sel goblet tidak menunjukkan perbedaan nyata (P>0.05), walaupun terdapat kecenderungan meningkat secara numerik pada semua pemajanan dan jenis kelamin. Epitel pada kelompok pajanan cenderung lebih tinggi dibanding kelompok kontrol, khususnya pada hewan betina berbeda nyata (P<0.05), sedangkan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan (P>0.05).
37
TR
E
E
4 μm
4 μm
A
B
G
G
4 μm C
4 μm D
Gambar 12. Histopatologi sinus hidung dengan pewarnaan AB-PAS. A. Kontrol jantan, B. Pajanan jantan, C. Kontrol betina, D. Pajanan betina. E = Epitel; TR = Tulang Rawan; G = Sel Goblet. Tampak adanya hipertrofi, hiperplasi, dan jumlah Sel Goblet yang meningkat pada kelompok pajanan. Penambahan jumlah sel dinamakan hiperplasia, sementara penambahan tinggi epitel atau pembesaran ukuran sel dinamakan hipertrofi (Cheville 1999). Hiperplasia pada kelompok pajanan disebabkan iritasi toksik oleh bahan aktif dalam asap rokok. Hiperplasia dan hipertrofi sel merupakan mekanisme adaptasi untuk membentuk barier protektif terhadap agen penyebab kerusakan sel (Czekaj et al. 2002 ; Vanwye 1993). Pada sinus hidung dapat diinterpretasikan bahwa sel epitel bersilia pada kelompok tikus jantan dan betina yang diberi pemajanan mengalami hiperplasia dan hipertrofi dibanding
38 kelompok kontrol, sementara sel goblet menunjukkan kecenderungan peningkatan secara numerik. Reaksi sel goblet menjadi perhatian khusus karena dapat menimbulkan obstruksi saluran napas dengan menyebabkan oklusi lumen melalui pembentukan sumbatan mukus (mucous plugs) pada bagian perifer saluran napas dan produksi mukusnya dapat mengganggu tegangan permukaan pada saluran napas sehingga menyebabkan saluran napas perifer tidak stabil dan cenderung kolaps atau menutup (Saetta 2000).
HISTOPATOLOGI TRAKHEA Pada daerah trakhea dilakukan pemeriksaan jumlah dan tinggi sel epitel, jumlah sel goblet, serta dihitung rasio jumlah sel epitel terhadap sel goblet. Hasil pemeriksaan disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Rerata tinggi epitel, jumlah sel epitel dan sel goblet serta rasionya pada trakhea per satuan 1000 µm panjang mukosa PAJANAN
Tinggi Epitel (μm) RERATA*
SEM
a
Jumlah Epitel RERATA* a
SEM
Jumlah Sel Goblet RERATA* a
SEM
Rasio Sel Epitel : Sel Goblet
Kontrol-jantan 5.28 0.4143 25.38 0.9526 3.22 0.1241 8:1 Pajanan-jantan 4.44ab 0.1713 24.58a 1.941 3.34a 0.6683 13 : 1 Kontrol-betina 3.94b 0.5028 20.5a 1.5585 1.9a 0.4427 11 : 1 Pajanan-betina 4.45ab 0.4563 24.38a 2.254 2.02a 0.5324 12 : 1 * Superscript huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna pada p<0.05. SEM= Standard Error of Mean. SD= Standar Deviasi. n= Jumlah sampel. SEM = SD / √ n.
Dari Tabel 2 dapat diinterpretasikan bahwa sel epitel trakhea bersilia pada kelompok pajanan betina mengalami hiperplasia dan hipertrofi dibanding kelompok kontrol, sementara pada kelompok pajanan jantan mengalami hal sebaliknya walaupun secara statistik tidak signifikan (P>0.05). Hiperplasia dan hipertrofi epitel bersilia pada kelompok pajanan betina disebabkan oleh rangsangan bahan aktif dalam asap rokok. Pada kelompok pajanan jantan terjadi hipoplasia sel epitel. Hipoplasia terjadi akibat beberapa proses yang mengenai genom sel, diantaranya proses degenerasi sehingga terjadi kelambatan pembelahan sel epitel atau akibat berkurangnya sel epitel karena kematian sel (Czekaj et al. 2002).
39
E SR E
4 μm
4 μm
A
B
TR TR
E
E
4 μm C
4 μm D
Gambar 13. Histopatologi trakhea dengan pewarnaan AB-PAS. A. Kontrol jantan, B. Pajanan jantan, C. Kontrol betina, D. Pajanan betina. E = epitel; TR = tulang rawan; SR = sel radang. Tampak hipoplasi pada kelompok pajanan jantan serta hiperplasia dan hipertrofi epitel bersilia pada kelompok pajanan betina. Kelompok kontrol jantan menunjukkan rasio sel epitel terhadap sel goblet yang lebih tinggi (8 : 1) dibandingkan dengan kelompok betina kontrol (11 : 1). Pemaparan asap rokok pada tikus jantan dan betina menghasilkan respon yang berbeda. Walaupun kedua kelompok tikus menunjukan respon penurunan rasio sel epitel terhadap sel goblet, namun tampak bahwa kelompok tikus betina lebih sensitif. Kelompok pajanan betina mengalami penurunan dibandingkan dengan kontrol yaitu 12 : 1, dan kelompok pajanan jantan juga mengalami penurunan dengan nilai perbandingan 13 : 1.
40 Persentase letak sel radang pada trakhea kelompok pajanan asap rokok kretek mengalami peningkatan persentase letak sel radang interepitel dibandingkan dengan kontrol. Ditemukannya sel radang pada daerah interepitel merupakan respons tubuh terhadap adanya partikel asing. Sherwood (2004) menyatakan bahwa inflamasi timbul sebagai mekanisme pertahanan tubuh dari zat asing akibat perubahan kimia pada sel maupun jaringan. Tujuan dari proses inflamasi adalah menghilangkan atau meminimalkan efek dari iritan atau partikel yang menyebabkan kerusakan pada sel atau jaringan. Respon tubuh untuk meminimalkan efek iritan antara lain berupa akumulasi cairan atau sel radang pada daerah yang teriritasi atau luka, kemudian dapat melarutkan, melokalisasi, atau merusak zat iritan, dan juga dapat melakukan fagositosis dan menginduksi pergantian sel pada jaringan.
HISTOPATOLOGI BRONKHUS Pada daerah bronkhus dilakukan pemeriksaan jumlah dan tinggi sel epitel, jumlah sel goblet, serta dihitung rasio jumlah sel epitel terhadap sel goblet. Hasil pemeriksaan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Rerata tinggi epitel, jumlah sel epitel dan sel goblet serta rasionya pada bronkhus per satuan 1000 µm panjang mukosa PAJANAN
Tinggi Epitel (μm) RERATA*
SEM
Jumlah Epitel RERATA*
SEM
Jumlah Sel Goblet RERATA*
SEM
Rasio Sel Epitel : Sel Goblet
Kontrol-jantan 4.96a 0.6196 18.98bc 0.5739 3.6a 0.8385 a ab a Pajanan-jantan 4.52 0.2723 21.2 1.187 5.2 0.5119 Kontrol-betina 4.29a 0.5335 18.08c 1.0495 3.58a 0.6127 a a a Pajanan-betina 5.03 0.6691 22.18 1.0428 4.42 0.5987 * Superscript huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna pada p<0.05. SEM= Standard Error of Mean. SD= Standar Deviasi. n= Jumlah sampel. SEM = SD / √ n.
5:1 4:1 5:1 5:1
Tabel 3 menunjukkan perbedaan nyata pada jumlah epitel (hiperplasi) antara kelompok pajanan jantan dengan kontrolnya dan pajanan betina dengan kontrolnya pada P<0,05. Meskipun demikian tidak ada perbedaan nyata antara kelompok pajanan jantan dan betina. Tikus betina kemungkinan memiliki respon yang lebih lambat dibandingkan tikus jantan. Respon sel pada umumnya terjadi hipertrofi lebih dahulu sebagai akibat hadirnya iritansia, baru kemudian terjadi pemendekan atau atrofi. Terjadi peningkatan
41 jumlah sel goblet secara numerik pada kelompok pajanan dibandingkan dengan kontrol, meskipun tidak bermakna secara statistik. Penelitian dengan rokok putih oleh Saetta et al. (2000) menemukan gangguan obstruksi aliran udara akibat jumlah sel goblet pada epitel saluran napas meningkat secara signifikan.
G
G
E
E
4 μm
4 μm
A
B
G
E
G E
4 μm C
4 μm D
Gambar 14. Histopatologi bronkhus dengan pewarnaan AB-PAS. A. Kontrol jantan, B. Pajanan jantan, C. Kontrol betina, D. Pajanan betina. E = epitel; G = sel goblet. Tampak adanya hiperplasi, hipertrofi, dan peningkatan jumlah sel goblet pada kelompok pajanan. Selama ventilasi, udara mengalir keluar masuk saluran napas. Otot pernapasan bekerja untuk mengatasi elastisitas paru, untuk membuat aliran udara melawan resistensi gesekan antara molekul udara dan dinding saluran napas, dan juga melawan resistensi
42 dari jaringan. Inersia yang ditimbulkan oleh udara dan jaringan juga dapat diatasi. Pada kondisi istirahat normal, pengaruh faktor ini sangat kecil. Pada hewan yang bernapas dengan tenang, kerja pernapasan terutama ditujukan untuk mengatasi elastisitas paru. Saat frekuensi pernapasan meningkat, energi yang diberikan untuk mengatasi resistensi gesekan akan meningkat. Maka obstruksi saluran napas merupakan penyebab utama peningkatan energi yang dikeluarkan untuk menghasilkan ventilasi yang mencukupi. Resistensi saluran napas terhadap aliran udara berbanding lurus dengan panjang (l) dan sifat fisik udara yang mengalir (k), serta berbanding terbalik dengan radius (r) menurut rumus R = 8 l/r2. Nilai k dan l konstan, setidaknya pada keadaan non-eksperimental, sedangkan r dapat berubah-ubah dalam berbagai keadaan. Adanya subobstruksi dapat memberikan konsekuensi yang dramatis pada fungsi paru, terutama pada resistensi total paru, karena apabila r berubah menjadi setengahnya, resistensi akan menjadi enam belas kali lipat. Terlebih lagi, beberapa jenis proses obstruksi yang terlokalisasi dapat menyebabkan aliran yang turbulen, sehingga menyebabkan resistensi semakin besar (Art dan Lekeux 2004).
43 HISTOPATOLOGI BRONKHIOLUS Pada daerah bronkhiolus dilakukan pemeriksaan jumlah dan tinggi sel epitel, jumlah sel goblet, serta dihitung rasio jumlah sel epitel terhadap sel goblet. Hasil pemeriksaan tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Rerata tinggi epitel, jumlah sel epitel dan sel goblet, serta rasionya pada bronkhiolus per satuan 1000 µm panjang mukosa PAJANAN
Tinggi Epitel (μm) RERATA*
SEM
Jumlah Epitel RERATA*
SEM
Jumlah Sel Goblet RERATA*
SEM
Rasio Sel Epitel : Sel Goblet
Kontrol-jantan 3.02ab 0.5789 19.26ab 1.5449 3.22a 0.1241 6:1 a a a Pajanan-jantan 4.55 0.4704 22.7 1.9026 3.34 0.6683 8:1 Kontrol-betina 2.54b 0.4311 16.36b 0.8635 1.9a 0.4427 7:1 ab ab a Pajanan-betina 3.3 0.5692 20.46 1.6148 2.02 0.5324 10 : 1 * Superscript huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna pada p<0.05. SEM= Standard Error of Mean. SD= Standar Deviasi. n= Jumlah sampel. SEM = SD / √ n.
Tabel 4 menunjukkan sel epitel bronkhiolus pada kelompok pajanan tikus jantan dan betina mengalami hiperplasia dan hipertrofi dibanding kelompok kontrol. Rasio sel epitel dan sel goblet juga meningkat walau tidak bermakna secara statistik. Tidak ditemukan perbedaan reaksi seluler jaringan antara kelompok pajanan tikus jantan dan betina. Asap rokok terbukti menyebabkan peningkatan produksi sel goblet pada tikus (Takeyama et al. 2001). Sel Goblet merupakan sel yang mampu menghasilkan sekresi sulfated acid glycoprotein atau mucin yang berfungsi sebagai pelindung dari agen/zat asing yang ikut terbawa masuk dalam system respirasi saat bernapas. Selain itu sel Goblet merupakan sel individu diantara sel epitel yang merupakan kelenjar eksokrin uniseluler yang menghasilkan sekresi mucin. Hiperplasia sel goblet pada bronkhiolus dapat bersifat fatal, karena saluran brokhiolus yang kecil dapat tersumbat total seperti pada chronic obstructive pulmonary disease (COPD) akibat proliferasi sel goblet oleh asap rokok (Maestrelli et al. 2001). Lumen dapat mengalami obstruksi parsial oleh sekresi yang berlebihan: kondisi ini sering terjadi dan seringkali berkaitan dengan produksi mukus berlebih, atau dengan gangguan pengeluaran mukus saat terjadi gangguan pada sistem mukosilier, atau dengan adanya materi purulen dalam infeksi bakteri. Dalam frekuensi
44 yang lebih jarang, obstruksi disebabkan oleh edema pulmonal, aspirasi cairan atau benda asing, adanya darah pada hemoragia pulmonal akibat olah raga, atau sekresi yang tertinggal setelah operasi. (Art dan Lekeux 2004).
E
G
G E 4 μm A
4 μm B
G G
E
4 μm C
4 μm D
Gambar 15. Histopatologi bronkhiolus dengan pewarnaan AB-PAS. A. Kontrol jantan, B. Pajanan jantan, C. Kontrol betina, D. Pajanan betina, E. Epitel, G. Sel Goblet. Tampak adanya hiperplasi, hipertrofi, dan peningkatan jumlah sel goblet pada kelompok pajanan.
HISTOPATOLOGI ALVEOLAR PARU Jaringan paru diproses hingga tercetak di dalam resin, kemudian diiris menggunakan ultra-mikrotom dengan pisau khusus (diamond knife) setebal 200 nm dan
45 diwarnai dengan toluidine blue. Diperiksa jumlah makrofag, pneumosit tipe I, dan pneumosit tipe II. Hasil pemeriksaan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil rerata penghitungan jumlah makrofag alveolaris, II pada 10 (=n) LP seluas 1,6 x 1,3 μm2 Jumlah makrofag Tipe I Pajanan RERATA SEM RERATA b Kontrol-jantan 2.56 0.10 6.69a Pajanan-jantan 4.38a 0.18 3.02c Kontrol-betina 2.44b 0.05 5.01b a Pajanan-betina 3.99 0.25 3.09c
pneumosit tipe I dan tipe SEM 0.88 0.23 0.36 0.17
Tipe II RERATA SEM b 6.26 0.66 11.39a 0.67 b 7.63 1.31 a 12.43 0.67
* Superscript huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna pada p<0.05. SEM= Standard Error of Mean. SD= Standar Deviasi. n= Jumlah sampel. SEM = SD / √ n.
Dari Tabel 5 terlihat perbedaan nyata antara kelompok kontrol dan pajanan baik jantan maupun betina dalam hal kenaikan jumlah makrofag, penurunan jumlah pneumosit tipe I, dan kenaikan jumlah pneumosit tipe II (P<0.05). Peningkatan jumlah makrofag alveolaris pada kelompok pajanan sejalan dengan penelitian Lumsden et al. (1984) ; Saetta et al. (1997) ; Amin et al. (2003) ; dan Woodruff et al. (2005) yang menemukan bahwa produksi sputum kronik pada perokok mengakibatkan peningkatan infiltrasi neutrofil dan makrofag. Epitel permukaan dinding alveolus terdiri dari dua tipe sel utama, yaitu pneumosit tipe I dan II. Pneumosit tipe I adalah sel yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas (oksigen dan karbondioksida) dalam alveolus. Sel ini adalah sel pipih dengan inti yang gepeng, dengan permukaan yang terbentang meliputi area yang sangat luas. Sel tipe ini rentan terhadap paparan zat toksik yang termasuk asap rokok, dan tidak memiliki kemampuan replikasi. Oleh karena itu dari penelitian diperoleh hasil yang sesuai dengan karakter ini. Pada kelompok pajanan ditemukan penurunan jumlah pneumosit tipe I. Pneumosit tipe II berbentuk lebih bulat dan memiliki sitoplasma vesikuler yang khas. Pada tingkat ultrastruktur, pneumosit tipe II memiliki mikrovili apikal pendek berbentuk kubah yang berdiri ke arah lumen alveolus. Inti sel pneumosit tipe II terletak di tengah. Kekhasan sel ini adalah adanya badan lamelar yang berisi surfaktan (Selim et al., 2004). Sel tipe II memiliki kemampuan bereplikasi, karena itu paparan zat toksik akan menyebabkan sel tipe ini berusaha mempertahankan diri dengan replikasi, serta akan
46 menggantikan sel tipe I yang rusak atau mati (Bills and Christie 1980 ; Herbert and Leininger 1999). Burkitt et al. (1999) menyatakan bahwa beberapa jenis sel pneumosit tipe II merupakan sel prekursor (stem cell) untuk sel pneumosit tipe I dan proliferasi merupakan respons yang normal terjadi akibat adanya kerusakan dinding alveolus akibat nikotin. Hasil penelitian Selim et al. (2004) menunjukkan bahwa proliferasi sel pneumosit tipe II dapat dianggap sebagai tanda perbaikan epitel yang telah rusak.
Pn1 Pn2
M 2 µm
2 µm
A
B
Pn2 M
Pn1
M Pn2 Pn1
2 µm
C
2 µm
D
Gambar 16. Histopatologi alveolar paru dengan metode Semi-thin dan pewarnaan Toluidin Blue. A. Kontrol jantan, B. Pajanan jantan, C. Kontrol betina, D. Pajanan betina.. Pn1: Pneumosit tipe I, Pn2: Pneumosit tipe II, M: Makrofag. Pada kelompok pajanan terlihat jumlah Pneumosit tipe II dan Makrofag meningkat, sedangkan Pneumosit tipe I menurun.
47 HISTOPATOLOGI INTERSTITIAL PARU Reaksi jaringan interstitium yang ditemukan adalah penebalan jaringan interstitium oleh sel radang limfositik, disebut pneumonia interstitialis. Pada kelompok kontrol, reaksi jaringan interstitium biasa ditemukan akibat paparan kontaminan tidak spesifik dari lingkungan yang tidak steril. Hasil rerata skoring reaksi jaringan interstitium paru disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rerata skoring reaksi jaringan interstitium paru pada 10 (=n) LP masing-masing seluas 1,6 x 1,3 μm2 Pajanan Rata-rata urutan (mean rank)* Kontrol-jantan 5.6ª Pajanan-jantan 14.5b Kontrol-betina 6.9ª Pajanan-betina 15.0b * Superscript huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna pada p<0.05.
Hasil uji Kruskal-Wallis nilai skoring reaksi jaringan interstitium paru pada 10 (=n) LP masing-masing seluas 1,6 x 1,3 μm2 menunjukkan peningkatan signifikan (P<0.05) reaksi jaringan interstitialis pada kelompok pajanan. Penebalan jaringan interstitial paru terjadi akibat proliferasi pneumosit tipe II dan makrofag serta terjadi infiltrasi sel limfositik di jaringan tersebut, sejalan dengan penelitian Amin et al. (2003) dan Czekaj et al. (2002). Reaksi interstitial paru sebenarnya umum ditemukan pada tikus percobaan yang bukan SPF (Specific Pathogen Free), sehingga jarang sekali dijumpai nilai skoring 0 pada tikus kontrol. Tetapi peningkatan nilai skoring pneumonia interstitialis pada kelompok pajanan menunjukkan adanya peningkatan sensitivitas paru terhadap asap rokok. Perubahan serupa dilaporkan oleh Tong (1973) yang melakukan penelitian efek rokok pada hamster dan tikus putih jenis Sprague - Dawley.
48
A
4 μm Kontrol
A
A
4 μm Grade 1
4 μm Grade 2
A A
4 μm Grade 3
4 μm Grade 4
Gambar 17. Histopatologi interstitial paru dengan pewarnaan Hematoxylin-Eosin. A = alveolus. Pada kontrol terlihat dinding alveolus terdiri dari satu lapis epitel. Terdapat infiltrasi limfosit sebanyak 25% pada Grade 1, 50% pada Grade 2, 75%, Grade 3, dan 100% pada Grade 4.
49
KADAR SERUM GLUTATION PEROKSIDASE (GPx) Untuk melawan bahaya radikal bebas, tubuh memiliki enzim glutation peroksidase (GPx). GPx mampu menangkap dan menghentikan pembentukan radikal bebas. Semakin banyak radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh, GPx akan lebih banyak dipakai sehingga kadarnya dalam darah akan menurun. Oleh karena itu, pengukuran kadar GPx merupakan salah satu parameter terbaik untuk mengetahui kadar radikal bebas yang masuk dalam tubuh (Sherwood 2004). Hasil pemeriksaan kadar serum GPx pada tikus penelitian ini disajikan pada tabel 7. Tabel 7. Rerata kadar serum GPx pada kelompok kontrol dan pajanan intrakardial Kadar Serum GPx Pajanan RERATA* Kontrol-jantan 764.04a Pajanan-jantan 689.80b Kontrol-betina 631.20b Pajanan-betina 566.26c
dari sampel darah SEM 29.83 11.92 18.72 17.75
* Superscript huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang bermakna pada p<0.05
Hasil pemeriksaan menunjukkan kelompok pajanan jantan dan betina memiliki kadar serum GPx yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (P<0.05). Kadar antioksidan kelompok pajanan betina lebih rendah daripada jantan, menunjukkan bahwa hewan betina lebih sensitif terhadap pajanan asap rokok. Morrison et al. (1999) meneliti efek akut dan kronik merokok terhadap permeabilitas epitel, inflamasi, dan stres oksidan pada saluran napas perokok. Hasil penelitian menunjukkan efek akut berupa peningkatan permeabilitas epitel dan peningkatan jumlah neutrofil pada saluran napas perokok, disertai peningkatan stres oksidatif. PENGAMATAN PERTAMBAHAN BOBOT BADAN Sebagai parameter pemeriksaan gejala klinis maka dilakukan penimbangan bobot badan tikus percobaan pada awal penelitian dan satu kali setiap minggu. Hasil penimbangan bobot badan disajikan dalam Tabel 8.
50
Tabel 8. Rerata bobot badan tikus percobaan sebelum dan sesudah diberi pajanan asap rokok kretek 8 batang perhari selama 6 minggu Bobot badan (gram) Kontrol Jantan Pajanan Jantan Kontrol Betina Pajanan Betina
Minggu ke 3 4
0
1
2
5
6
7
152.76
160.46
202.44
234.02
249.38
258.54
265.64
296.46
154
159.47
189.95
191.62
204.5
214.48
235.47
243.88
134.64
139.66
169.02
182.48
193.3
203.74
217.36
222.24
141.28
151.72
173.93
178.92
185.28
196.12
211.13
210.12
Dari grafik dan hasil analisis ragam (ANOVA) tampak bahwa pertambahan bobot badan pada minggu ke-1 dan ke-2 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Pada minggu ke-3, tampak bahwa mencit jantan yang tidak diberi perlakuan (kontrol) memiliki bobot yang paling tinggi dibandingkan yang lainnya, adapun ketiga perlakuan yang lainnya, memiliki rataan bobot badan yang sama. Minggu ke-4 dan ke-5, pertambahan bobot badan pada seluruh perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Minggu ke-6 dan ke-7, tampak adanya perbedaan pertambahan bobot badan (Δ) yang bermakna antara tikus jantan dan betina, yaitu tikus jantan menunjukkan pertambahan bobot badan yang lebih tinggi dari pada betina baik pada kelompok yang diberi perlakuan asap maupun kontrol. Bobot badan tikus percobaan sebelum dan sesudah diberi paparan asap rokok kretek menunjukkan perbedaan. Bobot badan kelompok pajanan cenderung lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol baik jantan maupun betina. Perbedaan cukup mencolok terjadi pada kelompok tikus jantan. Penelitian dengan rokok putih oleh Chen et al. (2006) menunjukkan paparan selama 4 minggu menyebabkan anoreksia ringan yang berpengaruh pada bobot badan. Hal ini disebabkan paparan asap rokok menyebabkan penurunan enzim Neuropeptide Y Axis pada hipotalamus yang secara umum mengganggu sistem fisiologis tubuh dalam metabolisme.
51
Grafik Pengamatan Pertambahan Bobot Badan
Bobot Badan
350 300 250 200 Δt
150 100 50 0 1
2
3
4
5
6
7
8
Minggu Kontrol ♂
Perlakuan ♂
Kontrol ♀
Perlakuan ♀
Gambar 18. Grafik pengamatan pertambahan bobot badan tikus percobaan
HASIL PEMERIKSAAN ULTRASTRUKTUR Pemeriksaan ultrastruktur dilakukan pada jaringan parenkim paru meliputi komponen dinding alveolar yaitu pneumosit I dan pneumosit II, sel Clara, lapisan airblood barrier, dan alveolar makrofag. Pengamatan ultrastruktur pada lapisan air-blood barrier dari kelompok tikus yang mendapat pajanan asap rokok menunjukkan dinding alveolar yang dilapisi oleh pneumosit I mengalami perubahan pada membran sel dan pembengkakan inti sel. Membran sel pneumosit I terlihat tidak lurus atau licin melainkan bergelombang atau tidak rata (gambar 20 dan 21). Jika dibandingkan dengan pneumosit tipe I pada tikus betina, pada tikus jantan sel pneumosit tipe I terlihat lebih iregular tetapi tidak telihat adanya kerusakan yang berarti pada membran sel. Pengamatan ultrastruktur pada pneumosit tipe II tikus kontrol memperlihatkan badan-badan lamelar dengan densitas tinggi pada sitoplasmanya. Badan lamelar adalah badan yang disekresi oleh pneumosit tipe II ke dalam lumen alveolus. Pajanan asap rokok
52 menyebabkan badan lamelar pneumosit tipe II membengkak dan kehilangan densitasnya. Jika dibandingkan dengan badan lamelar pada tikus jantan kelompok pajanan maka densitas badan lamelar pada tikus betina kelompok pajanan terlihat densitasnya lebih rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa dilatasi badan lamelar pada tikus betina kelompok pajanan lebih parah dibandingkan dengan tikus jantan kelompok pajanan (Gambar 22 dan 23). Badan lamelar adalah suatu organel unik bagian dari sel pneumosit tipe II yang mengandung lapisan fosfolipid, mukopolisakarida, Surfactant Protein A-BC-D yang disintesis oleh sel Pneumosit tipe II. Mulugeta et al. (2002) dalam penelitiannya menemukan bahwa pada keadaan gagal nafas di mana terjadi penurunan kadar O2 dan peningkatan kadar CO2, terdapat pengurangan jumlah dan destruksi badan lamelar. Perubahan pada pneumosit II merupakan perubahan yang mengarah pada nekrosa. Adanya kerusakan mitokondria menyebabkan kematian sel. Gangguan pada pneumosit II berkaitan erat dengan perubahan surfaktan paru, yang mengganggu fungsi air-blood barrier (Stripp 2002). Pada penelitian ini juga didapatkan adanya penurunan jumlah pneumosit I dan proliferasi dari pneumosit tipe II yang akan dapat mengganggu fungsi air-blood barrier karena pneumosit tipe I adalah sel yang bertanggung jawab untuk pertukaran gas (oksigen dan karbondioksida) dalam alveolus. Pajanan asap rokok menyebabkan destruksi pneumosit I dan II. Selain itu terjadi denaturasi surfaktan yang berfungsi mempertahankan tegangan permukaan alveolus sehingga dengan tidak adanya surfaktan maka alveolus cenderung kolaps. Pajanan asap rokok juga menyebabkan penumpukan eksudat dan edema pada alveolus, serta dalam jangka panjang menyebabkan dinding alveolus menjadi fibrotik dan rusak. Semua faktor ini akan mengakibatkan remodeling struktur alveolus dan fibrosis, sehingga alveolus tampak ireguler (De Souza et al. 2003). Surfaktan adalah suatu substansi yang kompleks, yang mengandung fosfolipid dan sejumlah apoprotein. Surfaktan dihasilkan oleh sel pneumosit tipe II, dan melapisi alveolus dan bronkhiolus respiratorius. Surfaktan menurunkan tegangan permukaan paru, sehingga berperan dalam compliance paru dan menstabilkan alveolus. Hukum Laplace menyatakan bahwa tekanan pada suatu struktur berbentuk sferis yang memiliki tegangan permukaan, seperti halnya alveolus, berbanding terbalik dengan radius sferis tersebut (P=4T/r untuk sferis dengan dua permukaan cairan-gas seperti gelembung sabun, dan
53 P=2T/r untuk sferis dengan satu permukaan cairan-gas seperti halnya alveolus. P = tekanan, T = tegangan permukaan, r = radius atau jari-jari). Oleh karena itu dalam keadaan kekurangan surfaktan, tegangan permukaan alveolus tidak dapat dipertahankan dan akan terlihat iregular. (Johns Hopkins School of Medicine Interactive Respiratory Physiology, 1995).
Gambar 19. Surfaktan mempertahankan tegangan permukaan alveolus (Sumber: Johns Hopkins School of Medicine 1995) Perubahan ultrastruktur juga terlihat pada organel mitokondria pada pneumosit tipe II dari tikus kelompok pajanan. Mitokondria pneumosit tipe II dari tikus kelompok pajanan terlihat mengalami peluasan atau dilatasi krista sehingga densitas matriks mitokondria menurun (Gambar 24). Mitokondria berperan pada proses pembentukan ATP sel. Jika dilihat dari kerusakan ultrastruktur mitokondria kemungkinan proses pembentukan ATP pada mitokondria terganggu sehingga menyebabkan berkurangnya produksi energi pada sel (Koolman dan Röhm 2000). Adanya radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan struktur mitokondria.
54 Ahmad et al. (2001) menemukan bahwa paparan radikal bebas menyebabkan mitokondria paru, jantung, dan otak membesar, serta menyebabkan gangguan pada fungsi membran mitokondria, bahkan sampai terjadi ruptur. Pada penelitian ini didapatkan jumlah granul pada kelompok pajanan lebih sedikit dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sel Clara merupakan sel sekretorik terbanyak di saluran nafas distal pada mamalia, dan tidak bersilia. Jumlahnya yang terbanyak terdapat dalam bronkhiolus. Salah satu fungsi utama sel Clara adalah untuk melindungi epitel bronkhiolus dengan cara mensekresikan Clara Cell Secretory Protein (CCSP) dan sebagian komponen surfaktan paru. Sel ini juga berfungsi untuk detoksifikasi zat yang berbahaya yang diinhalasi ke dalam paru. (Stripp et al. 2002) Polutan inhalasi seperti ozon, obat kolinergik, berbagai mikroorganisme atau produknya, serta asap rokok dapat menyebabkan degranulasi dan berkurangnya atau pecahnya granul. Sekresi sel Clara dipengaruhi oleh berbagai penyakit kronis seperti asma, merokok, dan COPD. Pada penelitian ini kami mendapatkan bahwa jumlah granul pada kelompok pajanan lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol (lihat gambar 25), yang sesuai dengan penelitian Pinkerton (1995). Witschi et al (1998) dan Stripp et al. (2002). pada penelitian yang berbeda menemukan bahwa pada perokok pasif terjadi penurunan jumlah granul sel Clara. Pengamatan ultrastruktur dari alveolar makrofag menunjukkan bagian sitoplasma dari makrofag tikus kelompok pajanan berisi banyak globula lipid dan debris yang diduga berasal dari partikel asap rokok. Globula lipid yang terlihat merupakan bentuk material surfaktan yang difagosit oleh makrofag. Selain itu terjadi perubahan pada sitoplasma, dan inti sel makrofag tikus kelompok pajanan mengalami kondensasi kromatid di daerah tepi inti sel. Jika dibandingkan pada tikus betina yang terpajan, lipid dan debris yang terdapat pada makrofag tikus jantan lebih sedikit (Gambar 26 dan 27). Kondensasi kromatin pada makrofag merupakan bagian dari proses apoptosis. Apoptosis ditandai dengan pengkerutan sel, kondensasi kromatin, dan fragmentasi DNA internukleosom. Proses apoptosis dapat muncul secara spontan maupun sebagai respon terhadap rangsangan spesifik (heat stress, radiasi, steroid, oxidative stress). Stres oksidatif adalah suatu gangguan keseimbangan antara oksidan dan antioksidan yang menyebabkan rusaknya sel potensial. Kejadian ini berkaitan dengan proses biologi dan
55 patologi (inflamasi, karsinogenesis, dll). Moodie et al. (2004) menemukan adanya perubahan transkripsi gen akibat kondensasi kromatin setelah pajanan asap rokok.
56
A E
Pn 1
C
Er
B Pn1
E
* Er
Pn1
C
Gambar 20. Lapisan air-blood barrier pada dinding alveolar dengan pewarnaan Lead Nitrat dan Uranil Asetat. pada tikus betina kontrol (A) dan pajanan (B). Terlihat ultrastruktur dari membran sel Pneumosit tipe I pada tikus betina kontrol tampak rata dan halus sedangkan dengan pajanan asap rokok sel membran sel Pneumosit tipe 1 terlihat tidak rata dan bergelombang (Æ) dan pembengkakan pada inti sel (*). E: Endotel, C: Kapiler, Er: Eritrosit, Pn1: Pneumosit tipe 1
57
A
Pn1
E
Er
C
Pn1
B
*
Pn1
E
Er
Gambar 21. Lapisan air-blood barrier pada dinding alveolar. pada tikus jantan kontrol (A) dan pajanan (B). Terlihat ultrastruktur dari membran sel pneumosit tipe I pada tikus kontrol tampak rata dan halus sedangkan dengan pajanan asap rokok sel membran sel pneumosit tipe 1 terlihat tidak rata dan bergelombang (Æ) dan pembengkakan pada inti sel (*). Jika dibandingkan dengan pneumosit tipe I pada tikus betina, pada tikus jantan sel pneumosit tipe I terlihat lebih irregular tetapi tidak telihat adanya kerusakan pada membran sel. Pembesaran 15.000x. E: Endotel, C: Kapiler, Er: Eritrosit, Pn1: Pneumosit tipe I
58
A
Pn2 L N
B L
N
L
Gambar 22. Pneumosit tipe II tikus betina kontrol (A) dan pajanan (B). Terlihat badan lamelar pada pajanan mengalami dilatasi atau pembengkakan, hal ini terlihat dengan berkurangnya densitas badan lamelar pada pajanan dibandingkan dengan kontrol. Pembesaran 6000x. Pn2: Pneumosit tipe II, N: Inti sel, L: Badan Lamelar
59
L L
N
m
L
Pn2 N L
Gambar 23. Pneumosit tipe II tikus jantan kontrol (A) dan pajanan (B). Terlihat badan lamelar pada pajanan mengalami dilatasi atau pembengkakan, hal ini terlihat dengan berkurangnya densitas badan lamelar pada pajanan dibandingkan dengan kontrol. Jika dibandingkan dengan tikus betina, densitas badan lamelar pada jantan lebih pekat, berarti dilatasi badan lamelar pada tikus betina lebih parah dibandingkan dengan jantan. Pembesaran 6000x. Pn2: pneumosit tipe II, N: inti sel, L: badan lamelar, m: mitokondria
60
A
B
Gambar 24.
Mitokondria Pneumosit tipe II pada kontrol (A) dan pajanan (B). Mitokondria kontrol terlihat kristanya tersusun dengan rapi sedangkan pada pajanan terjadi pelebaran/dilatasi krista dan matriks pada mitokondria tampak terang. N: Inti sel, m: mitokondria, mv: mikrovili, L: badan lamelar. Pembesaran 12.000x (A) dan 6000x (B).
61 g CC CC mv
g mv
N
N
MB
N
A
E CC
g mv
N N N
MB
B
Gambar 25. Ultrastruktur sel Clara pada bronkhiolus tikus (A) kontrol dan (B) pajanan. Jumlah granul pada kelompok pajanan lebih sedikit dibandingkan kelompok kontrol. Pembesaran 1500x. CC: sel Clara, g: granul, N: nukleus, MB: membran basalis, mv: mikrovili .
62
A
N Nu
B
g
g N
g
Gambar 26. Makrofag tikus betina kontrol (A) dan pajanan (B). Terlihat inti sel (N) makrofag pada pajanan mengalami kondensasi kromatid di daerah tepi inti sel (Æ). Makrofag pada tikus yang telah diberi asap rokok mengandung lipid dan banyak terdapat partikel-partikel asap rokok. Selain itu tampak globule (g) yang merupakan bentuk material surfaktan yang difagosit oleh makrofag. Pembesaran 6000x.
63
A
N
B
N N
g g
Gambar 27. Makrofag tikus jantan kontrol (A) dan pajanan (B). Makrofag pada tikus pajanan mengandung banyak lipid dan terdapat partikel-partikel asap rokok. Selain itu tampak juga globule (g) yang merupakan bentuk material surfaktan yang difagosit oleh makrofag. Jika dibandingkan pada tikus betina yang terpajan maka lipid dan debris yang terdapat pada makrofag tikus jantan lebih sedikit. Pembesaran 6000x. N: inti sel.
64
RANGKUMAN
Pajanan asap rokok kretek 8 batang perhari selama 6 minggu menyebabkan terjadinya perubahan histopatologi dan ultrastruktur pada organ sistem pernapasan. Kelainan tersebut berupa : 1. Hiperplasia dan hipertrofi sel epitel pada daerah sinus, bronkhus, dan bronkhiolus. 2. Kecenderungan peningkatan jumlah sel goblet secara numerik. 3. Peningkatan jumlah makrofag alveolaris dan pneumosit tipe II, sementara pneumosit tipe I mengalami penurunan. 4. Penurunan kadar serum glutation peroksidase (GPx) pada kelompok pajanan jantan dan betina. 5. Penurunan pertambahan bobot badan. 6. Pada pneumosit tipe I terjadi perubahan membran sel menjadi tidak rata dan bergelombang, serta ditemukan pembengkakan inti sel. 7. Pada pneumosit tipe II terlihat badan lamelar mengalami dilatasi dan berkurangnya densitas yang lebih signifikan pada tikus betina. Mitokondria pneumosit II mengalami pelebaran/dilatasi krista dan matriks mitokondria tampak terang, hal ini akibat gangguan proses pembentukan ATP. 8. Pada makrofag terlihat inti sel mengalami kondensasi kromatid di daerah tepi inti sel. Makrofag banyak mengandung lipid dan partikel asap rokok. Tampak globule yang merupakan bentuk material surfaktan yang difagosit oleh makrofag. Lipid dan debris pada tikus jantan lebih sedikit dibandingkan tikus betina. 9. Pada Sel Clara terdapat penurunan jumlah granul penghasil Clara Cell Secretory Protein pada kelompok pajanan.
65
KESIMPULAN
1. Pajanan asap rokok menimbulkan perubahan histopatologi dan ultrastruktur saluran napas (hipotesis diterima). 2. Pajanan asap rokok menimbulkan penyempitan saluran napas 3. Pajanan asap rokok menyebabkan turunnya tegangan permukaan alveolus akibat berkurangnya produksi surfaktan, sehingga fungsi air-blood barrier menurun. 4. Perubahan yang terjadi pada ultrastruktur pneumosit tipe I, pneumosit tipe II, dan sel Clara mengarah pada kematian sel.
66
Saran 1. Bagi pemerintah: a. Larangan merokok di tempat umum diperluas jangkauannya, misalnya di terminal bus, kendaraan umum, kantor pemerintahan dsb. b. Membatasi iklan rokok yang dapat mempengaruhi gaya hidup masyarakat c. Melarang penjualan rokok di dekat sekolah, terutama SD dan SMP d. Membuat klinik berhenti merokok, termasuk hotline service 2. Bagi praktisi kesehatan: menghimbau orang tua dari anak yang mempunyai masalah saluran pernapasan agar tidak merokok saat bersama keluarga. 3. Bagi peneliti: a. Membuat penelitian lebih mendalam mengenai pengaruh rokok kretek terhadap organ vital lain seperti otak, jantung, ginjal, dan sebagainya b. Meneliti lebih mendalam kecenderungan terjadinya kanker akibat asap rokok. c. Menganalisa reaksi jaringan dengan pelacakan bahan metabolit tubuh sehingga dapat dipelajari perilaku perubahan sel dalam organ paru d. Meneliti kemungkinan penggunaan antioksidan atau pemanfaatan tanaman herba untuk memperbaiki kondisi paru yang rusak akibat merokok, sehingga dapat digunakan oleh perokok dan masyarakat.
67
DAFTAR PUSTAKA Ahmad S, White CW, Chang LY, Schneider BK, Allen CB. Glutamine protects mitochondrial structure and function in oxygen toxicity. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2001;280:L779-91. American Thoracic Society. 1996. Cigarette Smoking and Health. Am J Respir Crit Care Med. 153:861-5 Amin K, Ekberg-Jansson A, Löfdahl C-G, Venge P. 2003. Relationship between inflammatory cells and structural changes in the lungs of asymptomatic and never smokers: a biopsy study. Thorax. 58:135-42. Aminah R. Pengembangan Model Kesehatan Koloni Tikus dan Mencit Percobaan Ditinjau dari Aspek Hematologis, Parasitologis, dan Histologis. Center for Research and Development of Disease Control, 2004. Andersson O, Cassel TN, Sköld CM, et al. Clara Cell Secretory Protein – Levels in BAL Fluid After Smoking Cessation. Chest 2000;118:180-2. Aoshiba K, Tamaoki J, and Nagai A. 2001. Acute Cigarette Smoke Exposure Induces Apoptosis of Alveolar Macrophages. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol. 281:1392-401. Art T, Lekeux P. Physiopathology of obstructive respiratory disorders. In: Dunlop R, Malbert CH (eds.) Veterinary Patophysiology. Iowa: Blackwell Publishing Professional, 2004. Barnes PJ, Shapiro SD, Pauwels RA. Chronic obstructive pulmonary disease: molecular and cellular mechanisms. Eur Respir J 2003;22:672-88. Bills RF, Christie BR. 1980. The experimental pathology of oxidant and air pollutant inhalation. Int. Rev. Exp. Pathol. 21: 195-293 Bozzola JJ, Russell LD. Electron Microscopy Principles and Techniques for Biologists. Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers, 1991. Burkitt HG, Young B, Heath JW, Wheater’s functional histology: a text and color atlas. 3rd edition. Churchill Livingstone, 1993 Cattaneo V, Cetta G et al. Volatile Components of Cigarette Smoke: Effect of Acrolein and Acetaldehyde on Human Gingival Fibroblasts In Vitro. Journal of Periodontology. 2000; 71(3):425-32 Chen H, Hansen MJ, Jones JE, Vlahos R, Bozonovski S, Anderson GP, Morris MJ. Cigarette Smoke Exposure Reprograms the Hypothalamic Neuropeptide Y Axis
68 to Promote Weight Loss. 2006. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine. 173:1248-54. Chen LC, Zhang Z, Myers AC, Huang SK. Cutting edge: altered pulmonary eosinophilic inflammation in mice deficient for Clara cell secretory 10-kDa protein. J Immunol. 2001:167;3025-8. Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. 7th ed. Philadelphia: Saunders-Elsevier, 2006 Cheville N. 1999. Introduction to Veterinary Pathology. Second edition. Iowa State University Press, Ames. P: 235 – 253. Christyaningsih J. Pengaruh Suplementasi Vitamin E dan C terhadap Aktivitas Enzim Super Oxide Dismutase (SOD) dalam Eritrosit Tikus yang Terpapar Asap Rokok Kretek. Thesis. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, 22 Oktober 2003. Church DF, Pryor W. 1991. The oxidative stress placed on the lung by cigarette smoke. In The Lung (Crystal RG, West JB, et al., Eds.), pp. 1975–9. Raven Press, New York. Coggins CR.1998. A Review of Chronic Inhalation Studies with Mainstream Cigarette Smoke in Rats and mice. Toxicol Pathol. 26:307-14,315. Czekaj P, Palasz A, Lebda-Wyborny T, Nowaczyk-Dura G, Karczewska W, Florek E, Kaminski M. 2002. Morphological changes in lungs, placenta, liver and kidneys of pregnant rats exposed to cigarette smoke. Int Arch Occup. Environ Health. 75 Suppl: S27-35. De Souza AB, dos Santos FB, Negri EM, Zin WA, Rocco PRM. Lung tissue remodeling in the acute respiratory distress syndrome. J Pneumologia 2003;29(4):1024-30. Dellmann and Brown. 1992. Buku Teks Histologi Veteriner, Penerjemah Hartono dari Textbook of Veterinary Histology. Jakarta: UI Press. Dixon D, Herbert RA, Sills RC, Boorman GA. Lungs, Pleura, and Mediastinum in: Maronpot RR, Boorman GA, Gaul BW. Pathology of the Mouse Reference and Atlas. Illinois: Cache River Press, 1999. Florek E, Marszalek A. An experimental study of the influences of tobacco smoke on fertility and reproduction. Hum Exp Toxicol. 1999 Apr; 18(4):272-8 Gelfand EW. Pro: Mice Are a Good Model of Human Airway Disease. Am J Respir Crit Care Med. 2002 Jul 1; 166(1):5-6; discussion 7-8. Gould VE, Linnoila RI, Memoli VA, Warren WH. Biology of disease: Neuroendocrine components of the bronchopulmonary tract: Hyperplasias, dysplasias, and neoplasms. Lab Invest 1983;49:519-37.
69 Hanusz M. 2000. Kretek – The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes. 1st Ed. Equinox Publishing (Asia) Pte. Ltd. Jakarta. Hashim NH. Kesan Buruk Akibat Hisap Rokok Kretek. Pusat Racun Negara, USM Malaysia. Diakses pada tanggal 28 Juli 2005 dari: http://www.prn2.usm.my/ mainsite/bulletin/racun/1996/kretek.html Hayashida S, Harrod KS, Whitsett JA. Regulation and function of CCSP during pulmonary Pseudomonas aeruginosa infection in vivo. Am J Physiol 2000:279;L924-30. Henning R, Trevor D. Lung trauma: Toxic Inhalation & ARDS In : Taussiq, LM, Landau, LI : Pediatric Respiratory Medicine, 1st ed, pp 376-404, St. Louis, Mosby, 1994. Herbert RA, Leininger JR. 1999. Nose, Larynx, and Trachea In: Pathology of the Mouse Reference and Atlas. Maronpot RR, Boorman GA, Gaul BW (eds.). Illinois: Cache River Press. Irvin CG, Bates JHT. Measuring the lung function in the mouse: the challenge. Respir Res. 2003; 4(1):4. Johns Hopkins School of Medicine Interactive Respiratory Physiology, 1995 Komoti M, Inoue H, Matsumoto K, et al. PAF mediates cigarette smoke-induced goblet cell metaplasia in guinea pigs airways. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2001;280: L436-41. Koolman J, Röhm KH. Atlas Berwarna dan Teks Biokimia. Jakarta: Penerbit Hipokrates, 2000. h 194-5. Kritz H, Schmid P, Sinzinger H. 1995. Passive smoking and cardiovascular risk. Arch Intern Med. 155(18): 1942-8. Review. Kurniawan AN. 2002. Patologi Lingkungan dan Penyakit Lingkungan dalam : Pringgoutomo, S., Himawan, S., Tjarta, A. Eds. Buku Ajar Patologi. 1st ed. Sagung Seto, Jakarta : 293-8 Lumsden AB, McLean A, Lamb D. Goblet and Clara cells of human distal airways: evidence for smoking induced changes in their numbers. Thorax 1984;39:844-9. Maestrelli P, Saetta M, Mapp CE, Fabbri LM. 2001. Remodeling in response to infection and injury – Airway inflammation and hypersecretion of mucus in smoking subjects with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 164:S76-80. March TH, Kolar LM, Barr EB, Finch GL, Menache MG, Nikua KJ. 1999. Enhanced Pulmonary Epithelial Replication and Axial airway Mucosubstance changes in
70 F344 rats Exposed short-term to Mainstream Cigarette Smoke. Toxicol and Applied Pharmacol. 161:171-79. Mellins RB. Lung Injury from Hydrocarbon aspiration and smoke inhalation. In: Chernick V, Boat TF, Wilmott RW, Bush A. Kendig’s Disorders of the Respiratory Tract in Children. 7th ed. Philadelphia: Saunders-Elsevier, 2006 p 653-60. Moodie FM et al. Oxidative stress and cigarette smoke alter chromatin remodeling but differentially regulate NF-КB activation and proinflammatory cytokine release in alveolar epithelial cells. The FASEB Journal 2004;18:1897-9. Morrison D, Rahman I, Lannan S, MacNee W. 1999. Epithelial permeability, inflammation, and oxidant stress in the air spaces of smokers. Am J Respir Crit Care Med. 159:473-9. Mulugeta S et al. Identification of LBM180, a Lamellar Body Limiting Membrane Protein of Alveolar Type II Cells, as the ABC Transporter Protein ABCA3. J Biol Chem 2002;277(25):22147-55. Neil RH, Heguy A, Harvey BG, Timothy PO. 2003. Variability of Antioxidant-Related Gebe Expression in the Airway Epithelium of Cigarette Smokers. Am J Respir Cell Mol Biol. 29:331-43. Onghokham, Budiman A. Rokok Kretek – Lintasan Sejarah dan Artinya Bagi Pembangunan Bangsa dan Negara. 1987. p 114. Pinkerton K. Passive Smoking and Clara Cell Development in the Lungs. http://www.trdrp.org/research/PageGrant. Diakses tanggal 3 November 2006. Saetta M, Turato G, Facchini FM, Corbino L, Lucchini RE, Casoni G, et al. 1997. Inflammatory cells in the bronchial glands of smokers with chronic bronchitis. Am J Respir Crit Care Med. 156:1633-9. Saetta M, Turato G, Baraldo S, Zanin A, Braccioni F, Mapp CE, et al. 2000. Goblet cell hyperplasia and epithelial inflammation in peripheral airways of smokers with both symptoms of chronic bronchitis and chronic airflow limitation. Am J Respir Crit Care Med.161:1016-21. Selim ME, Ibrahim IAE. The efficacy of melatonin in ameliorating the deleterious effects caused by nicotine in the pulmonary tissue of rats. Egypt J Med Lab Sci 2004;13:2. Sherwood L. 2004. Human Physiology from cells to systems. 4th ed. Belmont CA: Thomson Brooks/Cole. 10:379-81. Soetiarto F. Analisis Karies Spesifik yang Berhubungan dengan Rokok Kretek. Disertasi. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 29 Januari 2002.
71 Stripp BR, Reynolds SD, Boe IM, et al. Clara Cell Secretory Protein Deficiency Alters Clara Cell Secretory Apparatus and the Protein Composition of Airway Lining Fluid. American Journal of Respiratory Cell and Molecular Biology 2002;27:1708. Susanna D. 2003. Penentuan Kadar Nikotin dalam Asap Rokok. Jurnal Ekologi Kesehatan. 2(2). Takeyama K, Jung B, Shim JJ, Burgel PB, Dao-Pick T, Ueki IF, et al. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2001;280:L165-72. The Bobby L. Alford Department of Otorhinolaryngology and Communicative Sciences. Baylor College of Medicine Core Curriculum Syllabus. Review of Anatomy: Nose and Paranasal Sinuses. Diakses pada tanggal 28 Juli 2005 dari: http://www.bcm.edu/oto/studs/anat/nose.html. Tong HS. 1973. Subchronic Exposure of Rats and Hamsters to Cigarette Smoke - a Probe for Compound 111 Treated Cigarette Smoke Inhalation Studieshttp://tobaccodocuments.org/product_design/01675402-5432.html diakses tanggal 14 Juni 2006 Turato G, Di Stefano A, Maestrelli P, Mapp CE, Ruggieri MP, Roggeri A, et al. Am J Respir Crit Care Med 1995;152:1262-7. Vanwye, JE. 1993. Passive smoking. In Pediatric Respiratory Disease. 1st ed, L Hilman, BC (ed.) Philadelphia, WB Saunders. pp 794-806. Witschi HP, Joad JP, Pinkerton KE. The toxicology of environmental tobacco smoke. Annual Review of Pharmacology and Toxicology 1997;37:29-52 Woodruff PG, Koth LL, Yang YH, Rodriguez MW, Favoreto S, Dolganov GM, et al. 2005. A distinctive alveolar macrophage activation state induced by cigarette smoking. Am J Respir Crit Care Med.172:1383-92. World Health Organization. 2000. Global Youth Tobacco Survey 2000. WHO Bulletin.78(7): 868–76. World Health Organization. One in Five School Children Smoke in Developing Countries. Press Release No. 51, 14 August 2000. Diakses pada tanggal 30 Juli 2005 dari: http://www.who.int/inf-pr-2000/en/pr2000-51.html
72
LAMPIRAN
Lampiran 1. Jadwal penelitian
Tabel 9. Jadwal kegiatan penelitian Waktu (Minggu ke-) Kegiatan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Persiapan pakan dan Adaptasi tikus dalam kandang (2 minggu)
√
√
-
-
-
-
-
-
-
Pemajanan asap rokok kretek pada tikus, dengan pembagian: Kelompok Pajanan (P): Pajanan Jantan (PJ) 1-5 Pajanan Betina (PB) 1-5 (Dosis 8 batang per hari)
-
-
√
√
√
√
√
√
-
-
-
-
-
-
-
-
-
√
Tahap trimming, embedding, pewarnaan (2 minggu)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Tahap pengamatan histopatologi (6 bulan)
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kelompok Kontrol (K): Kontrol Jantan (KJ) 1-5 Kontrol Betina (KB) 1-5 Tidak dilakukan pemaparan Nekropsi tikus dilakukan pada kelompok kontrol dan pajanan (2 minggu)
73 Lampiran 2. Komposisi pakan tikus Tabel 10. Komposisi pakan tikus No.
Bahan
Persentase
1
Jagung
73,943
2
Bungkil
14, 505
3
Dedak
6,8
4
Kapur
1,5
5
Tepung tulang
1,263
6
Minyak
1,0
7
Methionin
0,362
8
Lisin
0,31
9
Garam
0,213
10
Vitamin + mineral mix
0,106
74 Lampiran 3. Metode Pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Schiff Metode Pewarnaan Alcian Blue-Periodic Acid Schiff: 1. Perendaman gelas objek dalam xylol I selama 2 menit (deparafinasi) 2. Perendaman dalam xylol II selama 2 menit (deparafinasi) 3. Pembilasan dengan air mengalir 4. Pembilasan dengan aquades 5. Perendaman dalam larutan asam asetat glacial (CH3COOH) 3% selama 3−5 menit 6. Perendaman dalam pewarna 1% Alcian Blue 8 GX dalam 3% CH3COOH (pH 2,5) selama 15−30 menit. 7. Pembilasan dengan larutan asam asetat glacial (CH3COOH) 3% selama 1−5 menit 8. Pembilasan dengan air mengalir 9. Pembilasan dengan aquades 10. Pembilasan dengan air mengalir 11. Perendaman dalam asam asetat 1% selama 5 menit 12. Pembilasan dengan aquades 13. Tahap oksidasi kedalam Perodic Acid 1% selama 5−10 menit 14. Pencucian dengan aquades sebanyak 3 kali, dalam waktu 5 menit untuk satu kali pembilasan 15. Masukkan kedalam Schiff reagen 16. Pembilasan dengan air sulfite sebanyak 3 kali dengan campuran larutan: a. 10% Sodium bisulfite (NaHSO3) sebanyak 10 ml b. 1 N HCl sebanyak 10 ml c. Aquadestilata sebanyak 200 ml ATAU a. 10% Sodium bisulfite (NaHSO3) sebanyak 18 ml b. 1 N HCl sebanyak 15 ml d. Aquadestilata sebanyak 300 ml e. Hematoxyllin Mayer 30 detik 17. Pembilasan dengan air mengalir selama 10−15 menit 18. Pembilasan dengan aquades
75 19. Perendaman dalam alkohol 95% selama 10 detik 20. Perendaman dalam alkohol absolut I selama 1 menit 21. Pencelupan dalam alkohol absolut II selama 2 menit 22. Pencelupan dalam xylol I selama 1 menit 23. Pencelupan dalam xylol II selama 2 menit 24. Setelah proses pewarnaan selesai, kemudian preparat ditutup dengan cover glass dan diberi label. 25. Hasil: Ab (+) berwarna biru, PAS (+) berwarna merah magenta. Pewarnaan ini bertujuan untuk melihat struktur organ/sampel, sel goblet dan jenis-jenis sel radang yang hanya jelas terlihat dengan pewarnaan AB-PAS.
76 Lampiran 4. Metode Pewarnaan Hematoxylin-Eosin Metode Pewarnaan Hematoxylin-Eosin WAKTU 1. Xylol I
2’
2. Xylol II
2’
3. Alkohol Absolut
2’
4. Alkohol 95%
2’
5. Alkohol 80%
1’
6. Cuci dalam air keran
1’
7. Mayer’s Hematoksilin
8’
8. Cuci dalam air keran
30’’
9. Lithin Karbonat
15’’-30’’
10. Cuci dalam air keran
2’
11. Eosin
2’-3’
12. Cuci dalam air keran
2’
13. Alkohol 95%
10x celupan
14. Alkohol absolut I
10x celupan
15. Alkohol absolut II
2’
16. Xylol I
1’
17. Xylol II
2’
18. Tutup dengan cover glass
TAHAPAN Deparafinisasi
Rehidrasi
Dehidrasi Clearing
77 Lampiran 6. Perhitungan statistik pemeriksaan sinus hidung SINUS HIDUNG Dependent Variable: JUMLAH EPITEL Source DF Pr > F Model 3 Error 16 Corrected Total 19 Source F TREAT 0.0070 SEX TREAT*SEX 0.7022
Sum of Squares
Mean Square F Value
11.58550000 19.06400000 30.64950000
DF
Anova SS
1
11.40050000
1
3.86183333 1.19150000
Mean Square F Value 11.40050000
0.00450000 0.18050000
1
SD 1.05245744 1.01543641
SEX betina jantan
SD 1.42532647 1.17194046
Mean 12.2600000 12.2300000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 13.0000 10 asap B 11.4900 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 12.2600 10 betina A 12.2300 10 jantan COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
0.0499
Pr >
9.57
0.00450000 0.00 0.9518 0.18050000 0.15
TREAT N Mean Kontrol 10 11.4900000 asap 10 13.0000000 N 10 10
3.24
Mean 11.6000000 11.3800000 12.9200000 13.0800000
SD 1.31339255 0.85848704 1.32551877 0.73959448
Duncan Grouping Mean N COND A 13.0800 5 asap jantan A 12.9200 5 asap betina B A 11.6000 5 Kontrol betina
78 B
11.3800
5 Kontrol jantan
Dependent Variable: JUMLAH SEL GOBLET SINUS HIDUNG Source DF Pr > F Model 3 Error 16 Corrected Total 19 Source F TREAT 0.1756 SEX TREAT*SEX 0.7676
Sum of Squares 11.73350000 39.03600000 50.76950000
DF
Anova SS
1
4.90050000
1
6.61250000 0.22050000
1
Mean Square F Value 3.91116667 2.43975000
4.90050000
SEX betina jantan
SD 1.74613860 1.36284017
Duncan Grouping Mean N TREAT A 5.2000 10 asap A 4.2100 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 5.2800 10 jantan A 4.1300 10 betina COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 3.74000000 4.68000000 4.52000000 5.88000000
Pr >
2.01
6.61250000 2.71 0.1192 0.22050000 0.09 SD 1.78291272 1.38483854
Mean 4.13000000 5.28000000
0.2279
Mean Square F Value
TREAT N Mean Kontrol 10 4.21000000 asap 10 5.20000000 N 10 10
1.60
SD 1.95140975 1.67092789 1.63462534 0.69785385
Duncan Grouping Mean N COND A 5.8800 5 asap jantan A 4.6800 5 Kontrol jantan A 4.5200 5 asap betina A 3.7400 5 Kontrol betina
79 Dependent Variable: TINGGI EPITEL SINUS HIDUNG Source DF Pr > F Model 3 Error 16 Corrected Total 19 Source F TREAT 0.0049 SEX TREAT*SEX 0.6518
Sum of Squares 4.98500000 5.44700000 10.43200000
DF
Anova SS
1
3.61250000
1 1
1.30050000 0.07200000
TREAT N Mean Kontrol 10 3.30500000 asap 10 4.15500000
Mean Square F Value 1.66166667 0.34043750
3.61250000
Mean 2.99000000 3.62000000 3.96000000 4.35000000
Pr >
10.61
1.30050000 3.82 0.0683 0.07200000 0.21 SD 0.72051293 0.48844993
Duncan Grouping Mean N SEX A 3.9850 10 jantan A 3.4750 10 betina N 5 5 5 5
0.0135
Mean Square F Value
Level of -----------TEPITEL4---------SEX N Mean SD betina 10 3.47500000 0.66593710 jantan 10 3.98500000 0.75573731 Duncan Grouping Mean N TREAT A 4.1550 10 asap B 3.3050 10 Kontrol
COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
4.88
SD 0.25836021 0.92371532 0.58566202 0.31424513
Duncan Grouping Mean N COND A 4.3500 5 asap jantan A 3.9600 5 asap betina B A 3.6200 5 Kontrol jantan B 2.9900 5 Kontrol betina
80 Lampiran 7. Perhitungan statistik pemeriksaan trakhea Dependent Variable: JUMLAH EPITEL TRAKHEA Source DF Model 3 Error 16 Corrected Total 19 Source TREAT SEX TREAT*SEX
Sum of Squares 71.49400000 243.68400000 315.17800000
Mean Square F Value Pr > F 23.83133333 1.56 0.2368 15.23025000
Anova SS 11.85800000 32.25800000 27.37800000
Mean Square F Value Pr > F 11.85800000 0.78 0.3906 32.25800000 2.12 0.1649 27.37800000 1.80 0.1987
DF 1 1 1
TREAT N Mean Kontrol 10 22.9400000 asap 10 24.4800000
SD 3.74557517 4.43541305
SEX betina jantan
SD 4.56829655 3.25057260
N 10 10
Mean 22.4400000 24.9800000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 24.480 10 asap A 22.940 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 24.980 10 jantan A 22.440 10 betina COND
N
Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
5 5 5 5
Mean 20.5000000 25.3800000 24.3800000 24.5800000
SD 3.48496772 2.13002347 5.04003968 4.34016129
Duncan Grouping Mean N COND A 25.380 5 Kontrol jantan A 24.580 5 asap jantan A 24.380 5 asap betina A 20.500 5 Kontrol betina Dependent Variable: SEL GOBLET TRAKHEA Source DF Sum of Squares Model 3 8.78400000 Error 16 18.82800000 Corrected Total 19 27.61200000
Mean Square F Value Pr > F 2.92800000 2.49 0.0976 1.17675000
Source TREAT SEX TREAT*SEX
Mean Square 0.07200000 8.71200000 0.00000000
DF 1 1 1
Anova SS 0.07200000 8.71200000 0.00000000
F Value Pr > F 0.06 0.8078 7.40 0.0151 0.00 1.0000
81 TREAT N Mean Kontrol 10 2.56000000 asap 10 2.68000000
SD 0.97661547 1.45128296
SEX betina jantan
SD 1.03408575 1.01521755
N 10 10
Mean 1.96000000 3.28000000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 2.6800 10 asap A 2.5600 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 3.2800 10 jantan B 1.9600 10 betina COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 1.90000000 3.22000000 2.02000000 3.34000000
SD 0.98994949 0.27748874 1.19037809 1.49432259
Duncan Grouping Mean N COND A 3.3400 5 asap jantan A 3.2200 5 Kontrol jantan A 2.0200 5 asap betina A 1.9000 5 Kontrol betina Dependent Variable: TINGGI EPITEL TRAKHEA Source DF Model 3 Error 16 Corrected Total 19 Source TREAT SEX TREAT*SEX
DF 1 1 1
Sum of Squares 4.62537500 13.24200000 17.86737500
Mean Square F Value Pr > F 1.54179167 1.86 0.1766 0.82762500
Anova SS 0.13612500 2.21112500 2.27812500
Mean Square F Value Pr > F 0.13612500 0.16 0.6904 2.21112500 2.67 0.1217 2.27812500 2.75 0.1166
TREAT N Mean Kontrol 10 4.61000000 asap 10 4.44500000
SD 1.20087931 0.72665520
SEX N Mean SD betina 10 4.19500000 1.04733790 jantan 10 4.86000000 0.80166493 Duncan Grouping Mean N TREAT A 4.6100 10 Kontrol A 4.4450 10 asap Duncan Grouping Mean N SEX A 4.8600 10 jantan A 4.1950 10 betina COND
N
Mean
SD
82 Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
5 5 5 5
3.94000000 5.28000000 4.45000000 4.44000000
1.12438872 0.92641783 1.02041658 0.38307963
Duncan Grouping Mean N COND A 5.2800 5 Kontrol jantan B A 4.4500 5 asap betina B A 4.4400 5 asap jantan
B
3.9400
5 Kontrol betina
83 Lampiran 8. Perhitungan statistik pemeriksaan bronkhus Dependent Variable: JUMLAH EPITEL BRONKHUS Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 54.35400000 18.11800000 3.69 0.0342 Error 16 78.54400000 4.90900000 Corrected Total 19 132.89800000 Source TREAT SEX TREAT*SEX
DF 1 1
Anova SS 49.92800000 0.00800000 4.41800000
1
Mean Square F Value Pr > F 49.92800000 10.17 0.0057 0.00800000 0.00 0.9683 4.41800000 0.90 0.3569
TREAT N Mean Kontrol 10 18.5300000 asap 10 21.6900000
SD 1.84514378 2.41129288
SEX betina jantan
SD 3.08762764 2.28738084
N 10 10
Mean 20.1300000 20.0900000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 21.6900 10 asap B 18.5300 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 20.1300 10 betina A 20.0900 10 jantan COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 18.0800000 18.9800000 22.1800000 21.2000000
SD 2.34669981 1.28335498 2.33173755 2.65424189
Duncan Grouping Mean N COND A 22.180 5 asap betina B A 21.200 5 asap jantan B C 18.980 5 Kontrol jantan C 18.080 5 Kontrol betina Dependent Variable: JUMLAH SEL GOBLET BRONKHUS Source DF Model 3 Error 16 Corrected Total 19 Source TREAT SEX TREAT*SEX
DF 1 1 1
Sum of Squares 8.96400000 33.97600000 42.94000000
Mean Square F Value Pr > F 2.98800000 1.41 0.2772 2.12350000
Anova SS 7.44200000 0.80000000 0.72200000
Mean Square F Value Pr > F 7.44200000 3.50 0.0796 0.80000000 0.38 0.5480 0.72200000 0.34 0.5680
84 TREAT N Mean Kontrol 10 3.59000000 asap 10 4.81000000
SD 1.54808125 1.24405252
SEX N Mean SD betina 10 4.00000000 1.35154233 jantan 10 4.40000000 1.68983891 Duncan Grouping Mean N TREAT A 4.8100 10 asap A 3.5900 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 4.4000 10 jantan A 4.0000 10 betina Level of COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
-----------GOBLET1----------N Mean SD 5 3.58000000 1.37003650 5 3.60000000 1.87483333 5 4.42000000 1.33865604 5 5.20000000 1.14455231
Duncan Grouping Mean N COND A 5.2000 5 asap jantan A 4.4200 5 asap betina A 3.6000 5 Kontrol jantan A 3.5800 5 Kontrol betina Dependent Variable: TINGGI EPITEL BRONKHUS Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Pr > F Model 3 1.88500000 0.62833333 0.42 0.7396 Error 16 23.80500000 1.48781250 Corrected Total 19 25.69000000 Source TREAT SEX TREAT*SEX
DF 1 1
Anova SS 0.11250000 0.03200000 1.74050000
1
Mean Square F Value Pr > F 0.11250000 0.08 0.7869 0.03200000 0.02 0.8852 1.74050000 1.17 0.2955
TREAT N Mean Kontrol 10 4.62500000 asap 10 4.77500000
SD 1.26891248 1.10986736
SEX betina jantan
SD 1.33391654 1.03515968
N 10 10
Mean 4.66000000 4.74000000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 4.7750 10 asap A 4.6250 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 4.7400 10 jantan A 4.6600 10 betina
85 COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 4.29000000 4.96000000 5.03000000 4.52000000
SD 1.19289564 1.38536999 1.49607821 0.60889244
Duncan Grouping Mean N COND A 5.0300 5 asap betina A 4.9600 5 Kontrol jantan A 4.5200 5 asap jantan
A
4.2900
5 Kontrol betina
86 Lampiran 9. Perhitungan statistik pemeriksaan bronkhiolus Dependent Variable: JUMLAH EPITEL BRONKHIOLUS Source DF Model 3 Error 16 Corrected Total 19 Source TREAT SEX TREAT*SEX
Sum of Squares 104.63350000 187.19600000 291.82950000
DF 1 1
Anova SS 71.06450000 33.02450000 0.54450000
1
Mean Square F Value Pr > F 34.87783333 2.98 0.0626 11.69975000 Mean Square F Value Pr > F 71.06450000 6.07 0.0254 33.02450000 2.82 0.1124 0.54450000 0.05 0.8319
TREAT N Mean Kontrol 10 17.8100000 asap 10 21.5800000
SD 3.04902535 3.90293337
SEX betina jantan
SD 3.48152266 4.07861632
N 10 10
Mean 18.4100000 20.9800000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 21.580 10 asap B 17.810 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 20.980 10 jantan A 18.410 10 betina COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 16.3600000 19.2600000 20.4600000 22.7000000
SD 1.93080294 3.45441746 3.61081708 4.25440948
Duncan Grouping Mean N COND A 22.700 5 asap jantan B A 20.460 5 asap betina B A 19.260 5 Kontrol jantan B 16.360 5 Kontrol betina Dependent Variable: JUMLAH SEL GOBLET BRONKHIOLUS Source DF Model 3 Error 16 Corrected Total 19 Source TREAT SEX TREAT*SEX
DF 1 1 1
Sum of Squares 8.78400000 18.82800000 27.61200000
Mean Square F Value Pr > F 2.92800000 2.49 0.0976 1.17675000
Anova SS 0.07200000 8.71200000 0.00000000
Mean Square F Value Pr > F 0.07200000 0.06 0.8078 8.71200000 7.40 0.0151 0.00000000 0.00 1.0000
87 TREAT N Mean Kontrol 10 2.56000000 asap 10 2.68000000
SD 0.97661547 1.45128296
SEX betina jantan
SD 1.03408575 1.01521755
N 10 10
Mean 1.96000000 3.28000000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 2.6800 10 asap A 2.5600 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 3.2800 10 jantan B 1.9600 10 betina COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 1.90000000 3.22000000 2.02000000 3.34000000
SD 0.98994949 0.27748874 1.19037809 1.49432259
Duncan Grouping Mean N COND A 3.3400 5 asap jantan A 3.2200 5 Kontrol jantan A 2.0200 5 asap betina A 1.9000 5 Kontrol betina Dependent Variable: TINGGI EPITEL BRONKHIOLUS Source DF Model 3 Error 16 Corrected Total 19 Source TREAT SEX TREAT*SEX
Sum of Squares 11.03737500 21.32500000 32.36237500
DF 1 1
Anova SS 6.55512500 3.74112500 0.74112500
1
Mean Square F Value Pr > F 3.67912500 2.76 0.0762 1.33281250 Mean Square F Value Pr > F 6.55512500 4.92 0.0414 3.74112500 2.81 0.1133 0.74112500 0.56 0.4667
TREAT N Mean Kontrol 10 2.78000000 asap 10 3.92500000
SD 1.10534057 1.28284623
SEX betina jantan
SD 1.13729699 1.37356996
N 10 10
Mean 2.92000000 3.78500000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 3.9250 10 asap B 2.7800 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 3.7850 10 jantan A 2.9200 10 betina
88 COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 2.54000000 3.02000000 3.30000000 4.55000000
SD 0.96397614 1.29450763 1.27279221 1.05178420
Duncan Grouping Mean N COND A 4.5500 5 asap jantan B A 3.3000 5 asap betina B A 3.0200 5 Kontrol jantan B 2.5400 5 Kontrol betina
89 Lampiran 10. Perhitungan statistik pemeriksaan semi thin paru
Dependent Variable: TYPE1 Source DF Sum of Squares Model 3 46.12837500 Error 16 19.68900000 Corrected Total 19 65.81737500
Mean Square F Value Pr > F 15.37612500 12.50 0.0002 1.23056250
Source TREAT SEX TREAT*SEX
Mean Square F Value Pr > F 39.06012500 31.74 0.0001 3.24012500 2.63 0.1242 3.82812500 3.11 0.0969
DF 1 1
Anova SS 39.06012500 3.24012500 3.82812500
1
TREAT N Mean Kontrol 10 5.85000000 asap 10 3.05500000
SD 1.67066188 0.42651690
SEX betina jantan
SD 1.17544318 2.36037309
N 10 10
Mean 4.05000000 4.85500000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 5.8500 10 Kontrol B 3.0550 10 asap Duncan Grouping Mean N SEX A 4.8550 10 jantan A 4.0500 10 betina COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 5.01000000 6.69000000 3.09000000 3.02000000
SD 0.81117199 1.96417922 0.38307963 0.50941143
Duncan Grouping Mean N COND A 6.6900 5 Kontrol jantan B 5.0100 5 Kontrol betina C 3.0900 5 asap betina C 3.0200 5 asap jantan
90 Dependent Variable: TYPE2 Source DF Sum of Squares Model 3 130.65237500 Error 16 60.87000000 Corrected Total 19 191.52237500
Mean Square F Value Pr > F 43.55079167 11.45 0.0003 3.80437500
Source TREAT SEX TREAT*SEX
Mean Square F Value Pr > F 123.25612500 32.40 0.0001 7.26012500 1.91 0.1861 0.13612500 0.04 0.8523
DF 1 1
Anova SS 123.25612500 7.26012500 0.13612500
1
TREAT N Mean Kontrol 10 6.9450000 asap 10 11.9100000
SD 2.30222718 1.51158489
SEX betina jantan
SD 3.34549448 3.04651440
N 10 10
Mean 10.0300000 8.8250000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 11.9100 10 asap B 6.9450 10 Kontrol Duncan Grouping Mean N SEX A 10.0300 10 betina A 8.8250 10 jantan COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 7.6300000 6.2600000 12.4300000 11.3900000
SD 2.92395280 1.48425065 1.49440624 1.49390428
Duncan Grouping Mean N COND A 12.430 5 asap betina A 11.390 5 asap jantan B 7.630 5 Kontrol betina B 6.260 5 Kontrol jantan
91 Dependent Variable: MAKROFAG Source DF Sum of Squares Model 3 0.29637500 Error 16 4.12500000 Corrected Total 19 4.42137500
Mean Square F Value Pr > F 0.09879167 0.38 0.7665 0.25781250
Source TREAT SEX TREAT*SEX
Mean Square F Value Pr > F 0.23112500 0.90 0.3578 0.01012500 0.04 0.8454 0.05512500 0.21 0.6500
DF 1 1 1
Anova SS 0.23112500 0.01012500 0.05512500
Level of -----------MAKROFAG---------TREAT N Mean SD Kontrol 10 2.40000000 0.38078866 asap 10 2.18500000 0.56620079 Level of -----------MAKROFAG---------SEX N Mean SD betina 10 2.31500000 0.60738511 jantan 10 2.27000000 0.34816982 Duncan Grouping Mean N TREAT A 2.4000 10 Kontrol A 2.1850 10 asap Duncan Grouping Mean N SEX A 2.3150 10 betina A 2.2700 10 jantan Level of COND
-----------MAKROFAG---------N Mean SD
Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
5 5 5 5
2.37000000 2.43000000 2.26000000 2.11000000
0.36674242 0.43531598 0.82945765 0.13874437
Duncan Grouping Mean N COND A 2.4300 5 Kontrol jantan A 2.3700 5 Kontrol betina A 2.2600 5 asap betina A 2.1100 5 asap jantan
92 Lampiran 11. Perhitungan statistik pemeriksaan GPx
Dependent Variable: GPX
Source DF Pr > F Model 3 0.0001 Error 16 Corrected Total 19 Source F TREAT 0.0038 SEX 0.0001 TREAT*SEX 0.8243
Sum of Squares 106485.33350000
35495.11116667
33954.24400000 140439.57750000
2122.14025000
DF
Anova SS
1
24213.84050000
1
Mean Square F Value
Mean Square F Value 24213.84050000
82163.38050000 1
82163.38050000
108.11250000
108.11250000
TREAT N Mean Kontrol 10 697.620000 asap 10 628.030000
SD 87.5140344 72.4932035
SEX betina jantan
SD 51.4846914 61.8422150
N 10 10
Mean 598.730000 726.920000
Duncan Grouping Mean N TREAT A 697.62 10 Kontrol B 628.03 10 asap Duncan Grouping Mean N SEX A 726.92 10 jantan B 598.73 10 betina COND Kontrol betina Kontrol jantan asap betina asap jantan
N 5 5 5 5
Mean 631.200000 764.040000 566.260000 689.800000
16.73
SD 41.8685443 66.7088675 39.6898980 26.6500469
Duncan Grouping Mean N COND A 764.04 5 Kontrol jantan B 689.80 5 asap jantan B 631.20 5 Kontrol betina C 566.26 5 asap betina
Pr >
11.41 38.72 0.05
93 Lampiran 12. Alur penanganan sampel enzim glutation peroksidase (GPx)
ALUR PENANGANAN SAMPEL PEMERIKSAAN GPX
TIKUS
Pengambilan Spesimen
• •
Darah 3 cc diambil dalam 1 tabung EDTA (ungu) Beri identitas pada tabung: no. pasien, nama, tanggal pengambilan, jenis pemeriksaan
• •
• •
Bolak-balik perlahan-lahan kurang lebih 10 kali hingga homogen Tidak boleh terlalu kencang!
Sampel dipindahkan ke dalam 2 sample cup @ 1,5 ml darah EDTA Diberi identitas pada tabung: no. pasien, nama, tanggal pengambilan, jenis pemeriksaan
Simpan pada suhu 2-8°C
Sampel dikirim ke: Laboratorium Klinik Prodia Bagian UKO Penelitian Jl. Kramat Raya No. 53 Jakarta Pusat Telp. 021-3906709