KASUS-KASUS ALIRAN/PAHAM KEAGAMAAN AKTUAL DI INDONESIA
Editor H. Ahmad Syafi€i Mufid
DEPARTEMEN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN 2009
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
PENGANTAR EDITOR
Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kasus-Kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual di Indonesia Cet. 1.— Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2009 xii + 288 hlm; 15 x 21 cm. ISBN : 978-602-8739-02-3
Hak cipta pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, Agustus 2009
Tim Peneliti Keagamaan Kasus-Kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual di Indonesia Editor : Drs. H. Ahmad Syafi’i Mufid, MA, APU Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta
Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang Dan Diklat Departemen Agama RI Gedung Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal Komplek Taman Mini Indonesia Indah Telp./Fax. (021) 87790189 Jakarta Dicetak oleh CV. PRASASTI
Alhamdulillah, hasil penelitian dan kajian tentang Kasuskasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual di Indonesia Tahun Anggaran 2006 yang mencakup berbagai pemahaman, dan gerakan keagamaan telah dapat disajikan dalam sebuah buku. Kajian ini mencakup wilayah diskursus keagamaan yang luas, dan beranekawarna bagaikan bianglala. Ada sajian membahas tentang kelompok Salafi dan non-Salafi di Lombok Barat Nusa Tenggara Barat, Perguruan Silat Mahesa Kurung di Bogor, Penggagalan Peresmian Masjid Jam’iyyatul Islamiyyah di Padang, Fahmina Institute di Cirebon, Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) di Bandung, Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII) di Medan, Penegakan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan PERDA Bernuansa Syari’at di Bulukumba Sulawesi Selatan. Laporan ini disajikan dalam bentuk buku bertujuan pertama untuk memperkenalkan informasi dan latar belakang munculnya kasus, tokoh, ajaran dan luas pengaruh aliran/paham dan gerakan keagamaan dan respon dari masyarakat. Kedua hasil penelitian diharapakan dapat dijadikan dasar pemahaman tentang bagaimana individu dan kelompok keagamaan memberikan respon keagamaan terhadap perubahan sosial dan budaya serta lingkungan. Ketiga, informasi ini sangat penting bagi pimpinan Departemen Agama dalam menangani dan membina berbagai paham, aliran dan gerakan keagamaan yang berkembang di beberapa daerah di Indonesia. Manfaatnya, tentu saja dapat menjadi pelajaran bagi hidup bersama dengan perbedaan pemahaman keagamaan (toleransi) antarsesama warga bangsa. Informasi berkaitan dengan kasus-kasus yang ditampilkan masih bersifat permulaan. Meskipun demikian, melalui pembacaan yang kritis, kita mengetahui bahwa ajaran agama senantiasa mempengaruhi masyarakat pemeluknya di satu sisi, dan pada sisi yang lain, ajaran agama senantiasa ditafsirkan sesuai dengan
iii
tuntutan kebutuhan penganutnya. Beberapa kecenderungan yang membuktikan proposisi tersebut adalah, muncul dan berkembang paham Salafi. Kehadirannya, mengisyaratkan respon terhadap ketidak-fungsionalnya ajaran atau paham tradisional (Salafiyyah) dalam menjawab masalah kontemporer. Bagi kelompok ini Salafi atau Islam Tekstual merupakan pilihan satu-satunya dan menafikan pandangan keIslaman lainnya. Eksklusifitas semacam ini melahirkan konflik di berbagai tempat. Kehadiran Fahmina, Ijabi atau Jamaah Islamiyah juga sebagai respon terhadap realitas sosial yang menggejala di wilayah yang bersangkutan. Kalau Ijabi muncul di perkotaan dan pusat-pusat pendidikan tinggi, sedangkan Fahmina memiliki basis dukungan kalangan pesantren, sedangkan Jamaah Islamiyah berupaya mendekatkan pemaknaan Islam secara kontekstual, semuanya ingin memberikan sumbangan kepada masyarakat dalam keagamaan, kemasyarakatan dan peradaban. Begitu pula dengan Gereja Kemenangan Iman Indonesia pada awalnya adalah pandangan dan gerakan menggugat tradisi. Ketika pandangan dan gerakan keagamaan tersebut berhadap dengan komunitas keagamaan yang terlebih dahulu eksis, maka yang terjadi adalah penolakan bahkan pertentangan. Hal-hal yang demikian adalah natural dalam kehidupan sosial. Respon masyarakat terhadap realitas sosial di Indonesia ternyata tidak terbatas pada pengembangan wacana keagamaan seperti dikembangkan oleh IJABI dan Fahmina atau pengembangan paham-paham transnasional dan lokal, tetapi juga dalam formalisasi ajaran agama dalam tata sosial, kultural dan pemerintahan sebagaimana penerapan Syari€at Islam di Bulukumba dan Nangro Aceh Darusalam. Fenomena itu juga dapat dibaca sebagai eksperimen dan harapan untuk meraih masa depan yang lebih baik. Masalah selalu muncul dalam kaitan dengan diskursus keagamaan adalah bila eksklusifitas lebih menonjol ketimbang inklusifitas, pemaknaan gagasan dan gerakan akan dilihat sebagai sesuatu yang berada Ådi luar‚ kita. Pada bentuk dan sikap pertama pasti melahirkan penolakan dan perlawanan, sedangkan pola yang kedua, yakni inklusifitas, tentu akan mendorong partisipasi dan dialog yang konstruktif.
iv
Pesan yang ingin disampaikan melalui editorial ini adalah bagimana kita dapat membaca laporan ini sebagai sebuah karya yang memberikan gambaran tentang upaya para tokoh, pemimpin dan penganut paham keagamaan yang ada di Indonesia dalam merespon realitas sosial dan kebudayaan. Memang banyak informasi yang masih elementer, namun untuk kepentingan pemahaman awal karya ini patut dipertimbangkan untuk dibaca, didiskusikan dan akhirnya disikapi secara apa adanya. Akhirnya, kami mengharapkan kepada para pembaca dapat memberikan kritik, saran dan masukan untuk penyelenggaraan kajian yang lebih mendalam dan berkesinambungan berkaitan dengan tumbuhkembang paham, aliran dan gerakan keagamaan di Indonesia. Semoga bermanfaat, Amin.
Jakarta, Agustus 2009 Editor
Ahmad Syafi’i Mufid
v
KATA SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT DEPARTEMEN AGAMA RI
Beberapa tahun belakangan, Indonesia dikejutkan oleh banyak kasus keagamaan. Beberapa di antaranya berkaitan dengan pemahaman keagamaan dan lainnya bercorak gerakan keagamaan. Buku Kasus-kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual di Indonesia yang ada di hadapan pembaca merupakan hasil tela’ah atas kasuskasus yang berkembang sekitar tahun 2006. Bagi peminat sejarah, muncul dan berkembangnya paham dan gerakan keagamaan berkaitan dengan pemberontakan kaum petani pada abad XIX dan awal abad XX. Gerakan-gerakan, misianik, revivalis, maupun sektarian tumbuh subur di Jawa pada masa itu mendorong perlawanan terhadap tatanan kolonial yang mulai rapuh (lihat Sartono Kartodirdjo, Protest Movement in Rural Java, Kuala Lumpur, Oxford University Press 1973). Kasus Salafi di Lombok Barat, NTB, Jamiatul Islamiyah, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Gereja Kemenangan Iman Indonesia, Fahmina Institute merupakan fenomena dinamika pemahaman dan gerakan keagamaan. Begitu juga dengan perguruan silat Mahesa Kurung yang dapat digolongkan sebagai gerakan nativistic, menghidupkan kembali warisan kebudayaan masa lalu. Sementara pelaksanaan Syariat Islam di NAD dan Perda keagamaan di Bulukumba dapat dikatakan sebagai kritik terhadap hukum dan penerapannya di Indonesia. Revitalisasi pemahaman dan gerakan keagamaan seperti ini dapat dibandingkan baik secara sinkronik yaitu membandingkan pemahaman dan gerakan keagamaan dalam kurun waktu yang sama dengan kawasan lain, Pakistan dan Mesir misalnya. Perbandingan fenomena sekarang dengan masa lalu
vi
vii
(diakronik) juga sangat berarti bagi pemahaman terhadap realita keagamaan pada umumnya. Terlepas dari keterbatasan yang ada, buku ini dapat memberikan informasi dinamika keagamaan di era reformasi. Tidak saja aliran atau paham yang memiliki induk aliran-aliran yang digolongkan menyimpang juga menggejala pada satu dasawarsa terakhir ini. Oleh karena itu, buku ini dapat dijadikan informasi awal untuk menyimak perkembangan dan perubahan lingkup keagamaan di Indonesia setelah masa Orde Baru. Buku ini bukan hanya polemik tetapi pemahaman tentang realita pemahaman dan gerakan keagamaan yang ada di Indonesia. Pembaca dari berbagai kalangan akan memperoleh manfaat dan pemahaman tentang dinamika umat beragama dalam menjawab perubahan sosial yang terus berlangsung. Oleh karena itu saya menyambut baik penerbitan buku ini, semoga bermanfaat. Jakarta, Agustus 2009 Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI,
Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar NIP. 19481020 196612 1 001
KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena dengan hidayah dan rahmat-Nya, laporan hasil penelitian tentang Kasus-kasus Aliran/Paham Keagamaan Aktual di Indonesia Tahun Anggaran 2009 dapat diterbitkan dalam bentuk buku. Upaya penulisan kembali hasil penelitian Kasus-kasus Keagamaan merupakan salah satu bentuk akuntabilitas kinerja Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, agar masyarakat Indonesia menjadi mengerti apa sesungguhnya yang sedang terjadi di dalam masyarakat beragama. Dinamika pemikiran dan gerakan keagamaan adalah sebuah keniscayaan. Masyarakat perlu mengerti mengapa kasuskasus keagamaan terjadi dan sikap seperti apa yang perlu diambil oleh warga masyarakat yang bersangkutan. Buku ini juga menjadi ”berarti” bagi pemerintah khususnya Departemen Agama dan lembaga pemerintah terkait penanganan kasus-kasus keagamaan. Pola terjadinya kasus keagamaan seperti dipaparkan melalui buku ini juga dapat diambil manfaat oleh para peneliti berikutnya dalam studi-studi dan analisis lanjutan. Tentu saja buku ini tidak akan pernah terbit jika tidak ada hasil penelitian. Laporan penelitian juga kami edit ulang agar tingkat keterbacaannya dan kekurangannya dapat diperbaiki. Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada editor H. Ahmad Syafi’i Mufid dan segenap tim peneliti. Kegiatan penelitian dan penerbitan buku seperti ini tidak akan pernah ada tanpa dukungan dan kebijakan Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama, kepada
viii
ix
DAFTAR ISI
Prof. Dr. H. M. Atho Mudzhar, untuk itu semua kami ucapkan terima kasih. Akhirnya, dengan mohon petunjuk dan hidayah-Nya, semoga karya ini dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya untuk semua.
Jakarta, Agustus 2009 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416198903 1 005
x
Halaman PENGANTAR EDITOR .......................................................
iii
KATA SAMBUTAN ..............................................................
vii
KATA PENGANTAR ............................................................
ix
DAFTAR ISI ..........................................................................
xi
KASUS-KASUS ALIRAN/PAHAM AKTUAL DI INDONESIA
KEAGAMAAN
1.
Kelompok Salafi di Kabupaten Lombok Barat .............. Oleh : Drs. H. Nuhrison M. Nuh, APU
1
2.
Perguruan Mahesa Kurung di Jawa Barat ..................... Oleh : Drs. Wakhid Sugiyarto, M.Si
43
3.
Jam’iyatul Islamiyah di Kota Padang ............................. Oleh : Dra. Hj. Kustini, M.Si
77
4.
Pemikiran Fahmina Institut di Kota Cirebon ................ Oleh : Drs. H. Muchit A. Karim, M.Pd, APU
123
5.
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) di Jawa Barat ..................................................................................... 157 Oleh : Drs. Wakhid Sugiyarto, Msi
6.
Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII) di Kota Medan ............................................................................... Oleh : Drs. H. Bashori A. Hakim, M.Si
199
7.
Pelaksanaan Syariat Islam di Kota Banda Aceh ............ Oleh : Drs. H. Ahsanul Khalikin
221
8.
Perda Keagamaan di Kabupaten Bulukumba ............... Oleh : H. Muhammad Adlin Sila, S.Ag, MA
253
xi
KELOMPOK SALAFI DI KABUPATEN LOMBOK BARAT Oleh : Drs. H. Nuhrison M. Nuh, APU
xii
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
A
gama besar yang berkembang di Indonesia telah mengalami dinamika yang cukup fenomenal baik dalam aspek ideologi, ritual, intelektual, eksperensial maupun dalam gerakan sosialnya disebabkan karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal antara lain disebabkan karena adanya perbedaan penafsiran terhadap pokok-pokok ajaran agama, paradigma pemikiran yang dipergunakan dalam menafsirkan, penekanan pengamalan agama secara ekslusif yang hanya mengakui paham mereka saja yang benar, sedangkan paham lainnya dianggap kafir dan sesat. Sedangkan faktor eksternal adalah pengaruh pemikiran dari luar seperti pemikiran yang dianggap liberal atau literal dalam memahami teks-teks agama, maupun cara merespon terhadap realitas kehidupan yang berkembang dewasa ini. Dinamika sebuah pemahaman dan gerakan keagamaan seringkali bersinggungan antara satu dengan yang lain. Ada kecenderungan untuk bekerjasama, atau persaingan bahkan tidak jarang yang kemudian dari persaingan yang tidak sehat tersebut menjurus menjadi konflik. Pertentangan penganut paham keagamaan di Indonesia bukan sesuatu yang baru, karena telah terjadi sejak awal kedatangan Islam di negeri ini. Dalam karya sastra klasik misalnya, di Jawa, terdapat pertentangan antara penganut paham wujudiyah yang dikembangkan oleh syaikh Siti Jenar berhadapan dengan para wali lainnya yang menekankan laku syari€ah. Di Sumatera, Aceh, juga terjadi hal yang sama antara Syaikh Nuruddin Ar Raniri versus Syaikh Hamzah Fansuri. Pada abad ke XIX pertentangan antara kelompok Paderi (Wahabi) dengan kelompok tradisional malah berkembang menjadi perang yang berkepanjangan dan melibatkan pemerintah colonial Belanda. Pada
3
abad ke-XX kehadiran paham modernis juga direspon negatif. Konflik terjadi di beberapa tempat di Jawa, dan juga wilayah yang lain1. Di Kabupaten Lombok Barat Propinsi Nusa Tenggara Barat, belum lama ini muncul kelompok Salafi yang menyebarkan paham keagamaan berdasarkan atas Al Qur’an, Sunnah dan Salaf as saleh2 . Kehadiran kelompok ini dituduh sebagai aliran keagamaan baru yang tidak sesuai dengan paham yang dianut oleh masyarakat setempat. Kehadirannya tidak dikehendaki masyarakat setempat karena dianggap menyesatkan. Tidak ada dialog, penduduk setempat yang tidak sepakat dengan kehadiran kelompok baru ini kemudian melakukan tindakan anarkis dengan melakukan pengrusakan masjid kelompok Salafi. Para penganjur dan pengikut Salafi diperingatkan dan diancam akan diusir dari kampung halamannya jika tetap mengajarkan paham tersebut. Sebagaimana diberitakan oleh harian Kompas tanggal 18 Juni 2006 dengan judul “Dua JamaÅah Salafi Minta Perlindungan‚. Jamaah Salafi meminta perlindungan kepada aparat Kepolisian Resort Lombok Barat, NTB, karena warga menolak acara pengajian yang diadakan oleh Jama’ah Salafi di Dusun Beroro Desa Jembatan Kembar Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat.” Harian Koran Tempo tanggal 6 April 2006 juga melaporkan ratusan warga kembali merusak fasilitas Pondok Pesantren Ihya’-as-sunnah di lingkungan Dusun Repok Gapuk, Desa Sekotong Tengah, Kecamatan Sekotong, Kabupaten Lombok Barat, NTB. Alasannya pesantren ini dianggap meresahkan warga, karena membawa ajaran Salafi yang bertentangan dengan ajaran Islam.” Kasus-kasus sejenis seringkali muncul di masyarakat. Meskipun secara sederhana dapat diduga bahwa pertentangan dalam masyarakat tersebut disebabkan oleh perbedaan paham, tetapi dalam realitas perbedaan paham tersebut hanyalah sebagaian 1 Lihat Ahmad Syafi€i Mufid. Tangklukan, Abangan dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa, Jakarta, Obor, 2006. 2 Tentang paham Salafi dan gerakannya, lihat antara lain. Jamhari dan Jajang Jahrani. Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press. 2006
4
dari sebab pertentangan. Masih banyak sebab lain yang diduga mempengaruhi terjadinya kasus pertentangan dalam masyarakat. Untuk kepentingan informasi dan sekaligus antisipasi kejadian yang sama agar tidak menjadi lebih besar dan mengganggu kerukunan intern maupun antarumat beragama, Puslitbang Kehidupan Keagamaan memandang perlu melakukan penelitian untuk mengetahui lebih mendalam mengapa kasus-kasus semacam ini masih saja terjadi. Siapa dan bagaimana kelompok Salafi melakukan diseminasi paham terhadap warga masyarakat yang telah menganut paham keagamaan tertentu (Syafi’iyah). Bagaimana respon masyarakat dan mengapa kekerasan menjadi cara untuk melakukan penyelesaian pertentangan. B.
Masalah Penelitian
Sejalan dengan latar belakang di atas, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: 1. Apa yang melatarbelakangi lahirnya kelompok Salafi di Lombok Barat; 2. Siapa tokoh pendiri dan bagaimana riwayat hidupnya; 3. Bagaimana kronologi munculnya keresahan dan penanganannya; 4. Paham atau ajaran keagamaan Salafi seperti apa yang dikembangkan; 5. Bagaimana respon pemerintah, pemuka agama dan masyarakat terhadap eksistensi paham/aliran Salafi di Lombok Barat. C.
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali, memahami dan mengolah informasi berkaitan dengan kelompok Salafi di Lombok Barat Nusa Tenggara Barat untuk menjawab beberapa pertanyaan dan masalah penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa rekomendasi kepada pimpinan Departemen Agama dalam rangka memeliharan kerukunan hidup
5
intern umat Islam dan sekaligus peningkatan pemahaman dan pengamalan agama sebagaimana seharusnya. D.
Kerangka Teoritis
Paham keagamaan lahir setelah pendiri atau pembawanya meninggal. Islam adalah agama yang sempurna, dan diridhai oleh Allah (Q.S.4: 3), namun setelah nabi wafat umat mengalami keterbelahan. Sebagian menganggap nabi telah memberikan penunjukan (wasiat) kepada siapa kepemimpinan pasca Rasulullah diserahkan. Di sisi lain, muncul pandangan bahwa Nabi tidak meninggalkan wasiat kepemimpinan. Deprivasi3 merupakan cikal bakal lahirnya pemahaman dan gerakan sosial baru. Imam Tholkhah dan Abdul Azis yang menjelaskan bahwa konsep deprivasi Glock dan Stark sangat relevan untuk menjelaskan munculnya berbagai gerakan keagamaan di Indonesia4. Konsep deprivasi dalam konteks Islam sangat relevan, terutama mengenai kasus-kasus keagamaan di Indonesia, meskipun bukan satu-satunya yang menjadi motivasi bagi tumbuh dan berkembangnya aliran keagamaan baru. Kelahiran suatu aliran keagamaan baru diilhami oleh tradisi kebebasan dalam memahami agama yang telah diajarkan oleh al-Qur’an.5. Imam Tholkhah dan Abdul Azis, membuat generalisasi yang sama, terutama terhadap kehadiran gerakan kontemporer. Menurut keduanya asal usul gerakan tersebut, setidaknya bersumber dari empat faktor laten. Pertama, pandangan tentang pemurnian agama yang tidak hanya terbatas kepada praktik keagamaan, melainkan juga pemurnian atas sumber agama itu sendiri, yakni penolakan atas 3 Secara harfiyah deprivasi berarti pencabutan atau kehilangan (hak). Dalam sosiologi istilah ini mengacu pada kehilangan keyakinan, nilai-nilai lama karena tergurus oleh nilai-nilai baru (editor) 4
Abdul Azis, Varian-varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Diva Pustaka, Jakarta, 2004,
5
Ibid, hal. 6 – 7.
sumber selain Al Qur’an. Kedua, dorongan untuk mendobrak kemapanan paham keagamaan mainstream yang berkaitan dengan kebebasan setiap muslim untuk menjadi pemimpin bagi dirinya dalam memahami ajaran Islam dan tidak terikat kepada taklid buta dalam bentuk apapun. Ketiga pandangan tentang sistem kemasyarakatan yang diidealisasikan, seperti kepemimpinan tunggal di bawah seorang Amir, atau sistem ummah wahidah (satu ummat). Keempat, sikap terhadap pengaruh Barat seperti modernisme, sekulerisme, kapitalisme, dan lain-lain. Dalam hal ini Islam ditempatkan sebagai alternatif yang mengungguli paham atau ideologi tersebut6. Konsep deprivasi yang diajukan Glock and Stark tampaknya masih relevan dalam konteks kasus di Indonesia. Meskipun demikian deprivasi bukan satu-satunya prive mover bagi tumbuh kembangnya paham/aliran dan gerakan keagamaan baru. Tradisi kebebasan memahami agama yang dibangun Al Qur’an sendiri, sebagaimana diungkapkan Ahmad Amin, memberi andil besar bagi kelahiran sebuah aliran baru. Oleh sebab itu, deprivasi harus ditempatkan dalam konteks yang menyeluruh mengenai kelahiran suatu aliran keagamaan yang kemudian tumbuh menjadi aliran keagamaan baru. Konteks tersebut meliputi: perubahan sosial yang dialami individu-individu. Deprivasi yang mereka rasakan bersama melalui proses interaksi sosial antar mereka; absennya lembaga yang mereka pandang mampu mengatasi deprivasi; tumbuhnya harapan-harapan baru yang diberikan oleh ajaran keagamaan baru untuk mengatasi deprivasi; munculnya pemimpin yang mampu menyediakan lembaga baru guna mewujudkan harapan-harapan baru dan membimbing individu-individu tersebut ke arah perilaku kolektif (collective behaviour); serta transformasi perilaku kolektif menjadi
hal. 5
6
6
Ibid, hal 7.
7
keyakinan umum (generalized belief) yang dituntun oleh simbolsimbol keagamaan.7 Konteks yang menyeluruh mengenai kelahiran aliran keagamaan itu meliputi perubahan sosial yang dialami oleh individu-individu, yaitu ketidakseimbangan antara realitas implementasi ajaran agama itu sendiri dengan harapan yang dicitacitakan. Dalam kondisi seperti itu, organisasi keagamaan yang sudah melembaga tidak mampu mengatasi kesenjangan, sehingga muncul ketidakpuasan yang dirasakan secara masal oleh publik pendukungnya. Oleh karena itu ketika muncul lembaga baru, pemimpin baru, program baru, fasion yang berbeda dan mampu memberi harapan guna mewujudkan tercapainya cita-cita bersama itu, maka lembaga baru itupun segera mendapat pengakuan secara massal. Apalagi jika lembaga baru itu mampu melakukan transformasi secara baik hingga pada akhirnya proses pengakuan itu menjadi lebih cepat. Lembaga itu akan berkembang menjadi organisasi yang mampu menyaingi lembaga yang telah ada. Transformasi di atas menjadi sebuah cara dalam perjuangan mendefinisikan realitas karena perbedaannya dengan lembagalembaga yang ada sebelumnya yang lebih mapan. Lahan yang dijadikan medan perjuangan yang efektif berperan dalam proses pergulatan tafsir keagamaan yang berbeda dengan mainstream yang dinilai lebih argumentatif. Dalam pergulatan mendefinisikan realitas itu, sosok pemimpin menjadi sangat penting untuk mencapai keberhasilan yang diinginkan oleh para pendukungnya dan adanya keyakinan umum yang diberikan oleh para pemimpinnya. Hal itu untuk mengikat anggota dalam bentuk wujud gerakan, doktrin, mitos dan cara-cara pencapaian tujuan akan sangat menentukan bagaimana posisi lembaga baru itu dalam suatu sistem perubahan sosial. Bagi mereka yang mampu meyakinkan, baik secara argumentatif dalam tauhid, muaÅamalah dan sebagainya serta model dan cita-cita yang mampu memberikan harapan terwujudnya cita7
8
cita sosial maupun keagamaan untuk mempertahankan lembaga itu dalam perjalanan sejarah. Namun bagi mereka yang gagal dalam menterjemahkan kemauan dari para pendukungnya, maka secara pelan-pelan akan ditinggalkan oleh pendukungnya. Dalam pengalaman Islam, pakar sejarah, Ahmad Amin mengajukan perspektif yang berbeda dengan kedua pakar di atas, maka faktor laten yang menyebabkan kelahiran suatu gerakan keagamaan baru sebagaimana dijelaskan oleh Imam Tholkhah dan Abdul Azis menjadi sangat relevan. Menurut Ahmad Amin, timbulnya aliran-aliran dalam Islam disebabkan oleh dua faktor, yaitu internal dan eksternal. Faktor internal tersebut diantaranya: 1.
Al Qur’an selain mengandung seruan ke-Esa-an Allah (Tauhid) dan Nubuwat, juga mengandung perdebatan terhadap berbagai kepercayaan dan agama yang telah ada.
2.
Perkembangan pola berfikir. Para tokoh agama cenderung ke arah filsafat, mempertanyakan berbagai hal ihwal keagamaan yang mereka anut secara kritis. Keyakinan agama yang samarsamar digali tafsirnya.
3.
Setelah Nabi wafat, timbul perbedaan pandangan politik mengenai khilafah dengan warna agama, sehingga mengambil bentuk perbedaan aliran.
Adapun sebab eksternal yang mendorong timbulnya aliranaliran keagamaan antara lain: 1. Pemeluk Islam baru masih membawa tradisi lama mereka ke dalam kehidupan beragama. 2. Aliran-aliran dalam Islam yang dipelopori oleh Mu’tazilah, berusaha mengembangkan ajaran dengan kritis, dialog dan debat. Akibatnya mengundang aliran-aliran lain untuk
Ibid, hal 8.
9
melakukan hal yang sama dan membakukan ajaran masingmasing.8
untuk eksis dan berperan); (4) ideologi (kepentingan untuk mempertahankan dan mengembangkan suatu pandangan hidup).
Mengenai gerakan keagamaan, dikenal sedikitnya ada tiga jenis gerakan keagamaan (religious movements) yaitu endogenous religious movement, exogenous religious movement, dan generative religous movement. Dalam gerakan keagamaan tipe pertama (endogenous religious movement) perubahan yang terjadi menyangkut sistem kepercayaan, sistem simbol, sistem ritus, pengamalan dan organisasi keagamaan. Perubahan yang terjadi dalam aspek-aspek ini telah menimbulkan perubahan penting dalam sejarah agamaagama di dunia. Dalam agama Kristen perubahan ini melahirkan sekte-sekte baru dalam suatu komunitas yang satu sama lain boleh jadi saling mendekat atau saling menjauh.9
Manakala kepentingan-kepentingan ini terjamin dan tidak terganggu, maka organisasi keagamaan itu boleh dikatakan eksis dalam equilibrium atau harmoni dengan lingkungannya. Sebaliknya, ketika sebagian atau seluruh kepentingan-kepentingan itu terganggu, maka kepemimpinan organisasi-organisasi keagamaan akan bereaksi terhadap lingkungannya itu untuk menjamin dan meningkatkan diperolehnya kembali kepentingan-kepentingan tersebut. Dalam gerakan seperti itu para pemimpin organisasi keagamaan tersebut biasanya menjustifikasi gerakannya itu dengan nilai-nilai transedental dari ajaran agama yang dianutnya. Bahkan tujuan gerakannya itu terkadang disebut sebagai bagian dari kehendak wahyu Tuhan.11
Perubahan endogenous religious movement ini dalam bidang teologi dapat menimbulkan perubahan bentuk sacred canopy yang dipercaya sebelumnya, baik dalam sitem cosmogeny, anthropogeny maupun system teodicy. Setelah perubahan itu boleh jadi wilayah yang dicakup oleh the sacred canopy itu semakin meluas atau menyempit, atau bentuk sacred canopy itu berubah, atau bertambah atau berkurang dekorasinya.10 Adapun gerakan keagamaan yang bersifat external (exogenous religious movement) biasanya merupakan reaksi dari organisasiorganisasi keagamaan terhadap lingkungan sekitarnya yang berubah. Para ahli sosiologi mengatakan bahwa keberadaan organisasi-organisasi keagamaan dalam masyarakat itu sedikitnya mempunyai empat kepentingan; (1) survival (mempertahankan hidup); (2) economic (kepentingan ekonomi); (3) status (kepentingan 8
Ibid, hal 5-7. Ibid, hal 8-9 10 Yang dimaksud dengan Cosmogeny, yaitu riwayat tentang bagaimana dan mengapa dunia ini diciptakan oleh Tuhan. Anthropogeny yaitu cerita tentang proses kejadian manusia dan bagaimana mereka memikirkan tentang diri mereka, sedangkan yang dimaksud dengan Theodicy adalah penjelasan agama menyangkut masalah kehadiran malaikat, makhluk-makhluk halus dan kematian di dunia, dan perhatian tentang tradisi-tradisi keagamaan. Lihat Lester R. Kurtz, Gods in The Global Village, the Worlds Religion in Sociological Perspective, 1995, Pine Forge Press, California, hal 52 -57. 9
10
Sedangkan generative religious movement tipe ketiga ditandai oleh kesengajaan upaya untuk melahirkan agama baru di luar agama-agama yang ada. Mula-mula mungkin agama baru yang diperkenalkan itu merupakan bagian dari tradisi agama yang ada atau tradisi lokal yang ada, atau campuran keduanya. Tradisi agama yang ada itu boleh jadi diimport dari agama lain dan tradisi lokal yang ada itupun telah berumur lama, sehingga tidak pernah dipandang berpotensi mengkristal berdiri sendiri. Lama-kelamaan didorong oleh lingkungan sosial, politik, cultural yang ada, tradisi itu mengkristal menjadi suatu tradisi yang berdiri sendiri yang kemudian dipercaya sebagai agama yang berdiri sendiri.12 Selain hal-hal yang dikemukakan di atas, ada satu konsep lagi yang perlu diperhatikan yaitu elective affinities. Konsep ini merujuk kepada kenyataan bahwa seringkali sesuatu agama itu mempunyai hubungan kedekatan dengan sesuatu budaya, struktur sosial, atau kelompok sosial atau kelompok etnik tertentu. Di Indonesia terdapat pula hubungan elective affinity antara agama dengan daerah 11 12
Ibid, hal 9-10. Ibid, hal 10.
11
tertentu atau etnik tertentu. Secara teoritik hubungan itu dapat dipisahkan sehingga peran–peran seseorang dalam masyarakat juga dapat dipisahkan dalam statusnya sebagai pemeluk agama tertentu atau sebagai anggota etnik tertentu atau sebagai anggota kelas sosial ekonomi tertentu atau sebagai kelas pekerja tertentu. Di dalam kenyataannya pemisahan peran itu tidak mudah dilakukan bahkan terkadang mudah sekali terkacaukan. Sebagai akibatnya maka interaksi, konflik atau consensus dari berbagai pengelompokan sosial itu sedikit banyak, cepat atau lambat mempengaruhi interaksi, konflik atau konsensus antara komunitas-komunitas keagamaan yang ada.13 Perkembangan salafi di Lombok Barat NTB dapat dilihat sebagai perubahan internal ( Ahmad Amin ), sedangkan respon kelompok Salafiyah terkait dengan elective Affinties, yakni Islam Lombok yang telah eksis mengahadapi perubahan yang mengakibatkan disorganisasi dan disintegrasi. E. Metodologi 1.
Bentuk studi Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksploratif/kualitatif dalam bentuk studi kasus. Peneliti merupakan instrument utama yang bergantung pada kemampuannya dalam menjalin hubungan baik dengan subjek yang diteliti. Interaksi antara peneliti dengan yang diteliti diusahakan berlangsung secara alamiah, tidak menonjol, tidak dipaksakan.14 Dalam memahami data yang ditemui di lapangan, peneliti lebih bertumpu pada pendekatan fenomenologis yang berusaha memahami subjek dari sudut pandang mereka sendiri, memaknai berbagai fenomena sebagaimana dipahami dan dimaknai oleh para pelaku.15
2. Jenis data yang dihimpun a. Asal dan makna nama paham Salafi; b. Faktor penyebab munculnya konflik; c. Titik yang menjadi konflik (ajaran/ perbedaan tradisi keagamaan); d. Tokoh dan riwayat hidup pendiri paham Salafi; e. Sejarah ringkas keberadaan paham Salafi; f. Paham dan ajaran yang dianggap berbeda dengan kelompok lainnya; g. Struktur organisasi/Kepemimpinan; h. Respon Pemuka Agama dan Masyarakat terhadap ajaran keagamaan yang dikembangkan; i. Aktivitas kelompok baik ritual maupun sosial. 3.
Teknik pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi yaitu kajian pustaka, wawancara mendalam serta pengamatan lapangan. Kajian pustaka dilakukan baik sebelum maupun sesudah pengumpulan data lapangan. Kajian pustaka ditekankan pada usaha mengenal kasus yang hendak diteliti dan merumuskan permasalahan penelitian serta menentukan fokus penelitian. Sedangkan kajian pustaka dilakukan setelah penelitian adalah untuk menganalisis dokumen-dokumen yang dimiliki oleh pimpinan dan anggota kelompok paham tersebut pada temuan lapangan. Wawancara dilakukan dengan para tokoh dan para pengikutnya, pemuka agama setempat, tokoh masyarakat, masyarakat sekitar, Kepala Desa/Lurah, KUA, Camat dan Kepala Kandepag. Pengamatan dilakukan berkaitan dengan aktivitas sehari-hari penganut paham Salafi dan interaksi antara pengikut dan bukan pengikutnya.
13
Ibid, hal 11. Lexy.J. Moleong, 1999, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya. 15 Robert Bogdan & Steven Taylor, 1992, Introduction to Qualitative Reserach Methode: A Phenomenological Approach to the Social Science, Alih Bahasa Arief Furchan, Surabaya, Usaha Nasional. 14
12
13
BAB II GAMBARAN UMUM KABUPATEN LOMBOK BARAT
A. Geografi dan Demografi abupaten Lombok Barat merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Luas wilayahnya adalah 1.672,15 km2.. Sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dan sebelah selatan dengan terdapat Samudra Indonesia, sebelah barat dibatasi oleh Selat Lombok dan Kota Mataram dan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Lombok Timur. Secara administratif Kabupaten Lombok Barat terdiri dari 15 kecamatan dengan 121 desa/kelurahan dan 937 dusun. Jumlah penduduk pada tahun 2005 tercatat sebanyak 743.484 jiwa dengan 223.527 KK, yang terdiri 359.506 (48%) laki-laki dan 383.978 (52%) perempuan. Penyebaran penduduk merata di seluruh pelosok hingga pingiran hutan dan pantai. Jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan Narmada dan Gunungsari, sedangkan yang paling sedikit terdapat di Kecamatan Pemenang.
K
B. Keadaan Pendidikan, Ekonomi dan Sosial Lingkungan sosial yang berkaitan dengan dunia pendidikan bertujuan untuk meningkatkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, budi pekerti, ketrampilan dan semangat kebangsaan, sehingga dapat melahirkan sumberdaya manusia yang mampu membangun diri dan bangsanya cukup tersedia. Sarana pendidikan baik negeri maupun swasta yang ada di Kabupaten Lombok Barat adalah: TK 93 buah, SD 450 buah, SLB 2 buah, SLTP 47 buah, SMA 24 buah, dan SMK 9 buah. (Lombok Barat Dalam Angka 2005). Mata pencaharian penduduk sebagian besar berada pada sektor pertanian,
14
perkebunan/kehutanan, dan sub-sektor perikanan/kelautan. Sebagian kecil di bidang jasa, kerajinan dan pertambangan. Kehidupan perekonomian masyarakat Kabupaten Lombok Barat tergolong pra-sejahtera. Pelabuhan penyeberangan ke Pulau Bali berada di Kecamatan Lembar dirasakan dapat menopang perekonomian di sektor perikanan/kelautan dan jasa. Masyarakat Lombok Barat merupakan penduduk pribumi keturunan asli dengan budaya Sasak. Mayoritas penduduk beragama Islam. Ajaran, nilai-nilai dan kebiasaan yang mengacu pada kebudayaan Islam dapat menjadi ikatan dan interaksi sosial mereka sangat kental. Nilai-nilai Islam menjadi unsur pemersatu dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari, sehingga potensi tersebut dirasakan sangat menguntungkan untuk merajut kehidupan sosial dan menjaga kerukunan umat. C.
Kehidupan Keagamaan
Berdasarkan data dari Biro Pusat Statistik (Kabupaten Lombok Barat Dalam Angka 2005) jumlah penduduk menurut pemeluk agama adalah sebagai berikut : Agama
Pemeluk
Prosentase
Islam
679.206
92 %
Kristen Katholik Hindu Budha
306 59 50.260 8.626
0,04 % 0,00 8% 6,8 % 1,17 %
Rumah Ibadah
Jumlah
Masjid Mushola
834 510
Gereja
-
Pura Wihara
124 25
Dari gambaran di atas diketahui bahwa mayoritas penduduk Kabupaten Lombok Barat beragama Islam dengan jumlah banyaknya masjid dan mushola. Sebaliknya sampai saat ini umat Kristen dan Katholik di Kabupaten Lombok Barat belum memiliki
15
sarana gereja sehingga mereka pergi ke Kota Mataram untuk melaksanakan ritual keagamaan. Nilai-nilai agama dan norma sosial adalah satu kesatuan yang kuat, yang berfungsi untuk mengatur kehidupan beragama di masyarakat. Latar belakang suku Sasak sangat kental dengan budaya dan adat yang menjadikan kondisi kehidupan yang harmonis dan kehidupan spiritualnya diwarnai oleh nilai-nilai lokal. Di Kabupaten Lombok Barat banyak dijumpai tokoh agama sekaligus tokoh adat. Jika dia pernah mukim di Arab selama 9 tahun akan mendapat predikat Tuan Guru Haji (TGH). Aktivitas keagamaan seperti ceramah agama, pondok pesantren, pengajian, tahlil dan yasinan, dan berbagai acara selamatan (maulidan, Isra’ Mi’raj dan ruwahan) dilaksanakan secara besar-besaran.
BAB III TEMUAN PENELITIAN DAN ANALISA
A.
Sekilas tentang Sejarah dan Ajaran Salafi.16
D
alam Ensiklopedi Islam dan Ensiklopedi Tematis Dunia Islam dijelaskan bahwa gerakan pemikiran Islam Salafiyah adalah gerakan pemikiran yang berusaha menghidupkan kembali atau memurnikan ajaran Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah seperti yang diamalkan oleh para Salaf (umat terdahulu). Tujuannya adalah agar umat Islam kembali kepada dua sumber utama Islam, yakni kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berlandaskan pada dua sumber ajaran tersebut. Selain itu juga memurnikan ajaran Islam agar tidak bercampur dengan kepercayaan-kepercayaan lama yang menyesatkan dan terbebas dari ajaran tasawuf, seperti mengkultuskan para ulama, kegiatan memuja kuburan para wali atau tokoh agama tertentu.17
Gerakan Salafi pada awalnya disebut dengan gerakan tajdid (pembaharuan), ishlah (perbaikan), dan gerakan reformasi. Doktrin awal dari gerakan pemikiran Salafiyah ini adalah pandangan bahwa pintu ijtihad tetap terbuka sepanjang masa dengan penuh kehatihatian. Gerakan ini mengharamkan taklid buta dan menyerukan agar perdebatan theologis dihindarkan. Aliran ini mengkritik 16 Kaum Salafiyah di Timur Tengah bukan satu kelompok saja, tetapi ada empat kelompok, yaitu: pertama; Salafiyun, kelompok Salafiyah politik, lebih menekankan pada persoalan-persoalan politik dari pada masalah akidah; kedua Salafiyun Al-Baniyun, yang mengikuti Syaikh Al-Muhaddis Nasiruddin AlAlbani, mereka memerangi fanatisme mazhab fikih, dan menolak taklid, sekalipun oleh kalangan awam; ketiga, Salafiyun Al-Jamiyun (Salafiyun yang beringas), kelompok ini gemar menyalahkan dan menyerang semua ulama maupun da€i yang bertentangan dengan mereka. Tak ada figur yang selamat dari serangan kelompok ini, baik klasik maupun modern. Salafiyun pengikut Syekh AbdurrahmanAbdul Khalik di Kuwait; keempat, Salafiyun pengikut Syekh Bin Bazz dan Syekh ‚Usaimin di Saudi Arabia. Kedua kelompok terakhir ini belum berbentuk organisasi yang rapi. 17 Imam Tholkhah, Gerakan Islam Salafiyah di Indonesia, Jurnal Edukasi, Volume 1, Nomor 3, Juli-September 2003, hal 33.
16
17
penggunaan logika dalam memahami theologi Islam dan menawarkan metodologi yang digunakan oleh ulama Salaf, para sahabat dan tabi’in. Konsep yang mereka sodorkan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang cenderung harfiyah, tekstual. Pada abad ke 12 Hijriah, pemikiran Salafiyah ini mengkristal dalam sebuah gerakan yang dinamakan gerakan Wahabi, yang dipelopori oleh Muhammad Abdul Wahab (1703-1787 M) yang memiliki misi memurnikan ajaran Islam, mengajak kembali kepada ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW, sebagaimana yang diamalkan oleh generasi awal Islam18. Menurut Abou El-Fadl, Gerakan Salafi dan Gerakan Wahabi memiliki kesamaan.19 Muhammad bin Abdul Wahab berusaha membersihkan Islam dari unsur-unsur yang merusak agama. Dia menerapkan literalisme ketat, menjadikan teks sebagai satu-satunya sumber otoritas yang syah dan menampilkan permusuhan ekstrim kepada intelektualisme, mistisisme, dan semua perbedaan paham yang ada dalam Islam. Menurut doktrin Wahabi, penting artinya kembali pada kemurnian, kesederhanaan, dan kelurusan Islam yang sepenuhnya diperoleh dengan menerapkan perintah Nabi secara harfiah dan dengan ketaatan penuh terhadap praktik ritual yang benar. Wahabi menolak semua upaya untuk menafsirkan hukum Allah secara historis dan kontekstual karena dapat menimbulkan multi tafsir ketika seiring dengan perkembangan zaman. Wahabi menganggap sebagian besar sejarah umat Islam merupakan unsur perusak Islam dari kemurniannya. Wahabi juga mendefinisikan ortodoksi secara sempit dan sangat tidak toleran terhadap semua kepercayaan adat (lokal) yang bertentangan dengan 20 kepercayaannya .
18 Imam Tholkhah, Ibid, hal.34. Lihat juga Jamhari dan Jajang Jahroni (Ed); Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. vi. 19 Khaled Abou El-Fadl, Toleransi Islam: Cita dan Fakta (Bandung, Arsy, 2004). 20 M.Imdadun Rahmat; Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia (Jakarta, Erlangga, 2005), hal. 66-67.
18
Pada awal abad ke-20 Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridhlo adalah tokoh gerakan Salaf yang berorientasi liberal. Untuk merespon modernisasi, menurut ketiga tokoh ini kaum muslimin harus kembali pada ajaran Islam AlQur’an dan Sunah serta mengaitkan diri dengan penafsiran teks. Selanjutnya yang menjadi penggerak utama gerakan Salafiyah adalah Muhamad Rasyid Ridhlo (pendiri majalah Al-Manar, penulis tafsir Al-Manar, serta berbagai buku reformis lainnya) yang banyak diwarnai oleh gurunya Muhammad Abduh. Abduh dinilai sangat terbuka dengan pemikiran Barat. Hal tersebut menjadikan Rasyid Ridhlo tidak terlalu dilirik oleh Salafiyun Modern. Mereka tidak memanfaatkan aliran pembaharuan Rasyid Ridhlo sebagaimana mestinya. Padahal, ia adalah pemimpin sejati dari aliran Salafiyah yang tercerahkan21. Pada awal 1970-an Paham Wahabi berhasil mengubah Salafi dari theologi yang berorientasi modernis liberal, menjadi theologis literalis, puritan, dan konservatif. Harga minyak yang naik tajam pada 1975, menjadikan Arab Saudi memiliki andil besar terhadap tersebarnya Aliran Wahabi yang diwarnai oleh pemikiran Salafi.22. B.
Gerakan Salafi di Indonesia
Di Indonesia, ide-ide gerakan pemikiran Salafiyah berkembang sejak era kolonial Belanda. Salah satu gerakan pemikiran Salafi awal di Indonesia terdapat di Minangkabau. Gerakan ini dipelopori oleh Tuanku Nan Tuo, tokoh kaum Paderi dari Koto Tuo Ampek Angkek Candung (1784-1803 M). Seperti halnya gerakan Wahabi di Saudi Arabia, kelompok ini juga melakukan kritik terhadap kehidupan keagamaan setempat. Akhirnya terjadilah pertempuran kaum Paderi dengan kaum tradisi yang melibatkan Belanda. Perang ini dinamakan dengan Perang 21 Yusuf Qardhawi, Kebangkitan Gerakan Islam: Dari Transisi Menuju Kematangan; (Terj.) Abdullah Hakam Syah dan Ainul Abied Syah, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2003), hal. 236. Dikutip dari M.Imdadun Rahmat, op. cit, hal. 68. 22 M.Imdadun Rahmat, ibid.
19
Paderi. Sumber kepustakaan menjelaskan bahwa gerakan Paderi ini dipengaruhi oleh gerakan keagamaan Wahabi (1703-1792 M) yang waktu itu cukup mempengaruhi para jama’ah haji dari ranah Minang yang belajar ke Makkah.23 Gerakan pemikiran Salafi di Indonesia mengalami perkembangan seirama dengan munculnya tokoh-tokoh gerakan pemikiran Salafi di Timur Tengah (Mesir) seperti Syeikh Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897M), Muhammad Abduh (1849-1905), dan Rasyid Ridhlo (1865-1935). Para tokoh pembaharuan Mesir ini, di samping mengajak umat Islam “kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW”, juga mengajak umat Islam agar meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk mencapai kemajuan, menghilangkan kebodohan dan mengatasi keterbelakangan. Orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji di Makkah kemudian bermukim untuk belajar Agama Islam. Setelah pulang secara individu atau melalui organisasi melakukan gerakan pembaharuan Islam mengikuti aliran Salafi.24 Di Indonesia muncul organisasi-organisasi yang bercorak Salafi Modern seperti: Muhammadiyah (1912), Sarikat Islam (1912), Al-Irsyad (1914), Jong Islamiten Bond (1925-1942), Persatuan Islam (1923) dan Partai Islam Indonesia (1938). Upaya-upaya yang dilakukan oleh para tokoh gerakan keagamaan tersebut adalah mengajak umat Islam meninggalkan praktek-praktek keagamaan yang bernuansa bidÅah, khurafat, taklid dan mendorong mereka melakukan ijtihad.25 Kehadiran gerakan pemikiran Salafiyah bukan tidak menimbulkan pertentangan. Di mana-mana, baik di Timur Tengah maupun di Indonesia, gerakan pemikiran Salafi berbenturan dengan kelompok Islam tradisionalis. Di Minangkabau, gerakan pemikiran Salafi ditentang oleh Kaum Tua. Kaum Tua mempertahankan 23
Imam Tholkhah, op. cit, hal. 35. Imam Tholkhah, ibid. 25 Ibid, hal. 36. 24
20
pemahaman agama sesuai dengan tradisi yang sudah berjalan, sedangkan Kaum Muda terus mengembangkan pembaharuan pemikiran. Demikian juga penganut Muhammadiyah dan Persis mendapat tantangan dari umat Islam tradisionalis. C.
Kronologi Munculnya Konflik
Menurut Imdadun Rahmat persentuhan awal para aktivis Gerakan Salafi di Indonesia dengan pemikiran Salafi terjadi pada tahun 1980-an bersamaan dengan dibukanya Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) di Jakarta. Lembaga yang kemudian berganti nama menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) ini memberikan sarana bagi mereka untuk mengenal dan mendalami pemikiran-pemikiran para ulama Salafi. LIPIA adalah cabang dari Universitas Muhammad Ibnu Saud di Riyadh Saudi Arabia, sebagai cabang ketiga di Indonesia yang dibuka pada awal tahun 1980. Pembukaan cabang baru ini terkait dengan gerakan penyebaran ajaran Wahabi ke seluruh dunia Islam. LIPIA telah menghasilkan ribuan alumni, yang umumnya berorientasi Wahabi Salafi dengan berbagai variannya. Sebagian menjadi aktivis Partai Keadilan dan sebagian lain menjadi dai beraliran Salafi. Penyebaran dakwah Salafi sampai di Kabupaten Lombok Barat, di mana di daerah ini terdapat banyak pondok pesantren. Tokoh Dakwah Salafi di daerah ini adalah Akhmad Khumaidi dan Mukti Ali. Akhmad Khumaidi pernah mondok di Pondok Pesantren Islahudin selama 9 tahun dari tahun 1964-1975. Setelah menyelesaikan pendidikan, Khumaidi mengajar di sebuah madrasah di Kecamatan Kediri Lombok Barat. Pada tahun 1978 ia melaksanakan umrah dan tidak kembali ke Indonesia, tapi bermukim di Mekkah selama 8 tahun dari tahun 1978-1986. Pada tahun 1986 sampai dengan 2004 dia mengajar di Mushalla Nurul Yaqin (Tarbiyah), sebuah mushalla milik seorang tuan guru di Desa Gelogor, Kecamatan Kediri. Kemudian pada tahun 2004 ia berangkat ke Jakarta untuk belajar di LIPIA Jakarta.
21
Sepulang dari Jakarta pada tahun 2005 dia mulai membina masyarakat setempat dengan mengajarkan paham Salafi. Dalam dakwahnya dia banyak menyalahkan paham yang telah dianut oleh mayoritas masyarakat setempat. Diantaranya shalat tarawih hanya 8 rakaat bukan 20 rakaat, tidak melakukan zikir jahar (suara keraskeras), melarang melakukan perayaan Maulid besar-besaran, karena dianggap pemborosan dan mengakibatkan kemiskinan. Dia melarang kegiatan upacara nelung26, mituh27, nyiwak28, yang diadakan untuk orang yang meninggal dunia, dan memakan makanan yang disediakan pada acara itu haram hukumnya. Hukum mengirim bacaan zikir dan tahlil kepada orang yang meninggal dunia pahalanya tidak sampai kepada yang meninggal, karena alamatnya tidak jelas. Menurut Ustadz Khumaidi yang dimaksud dengan zikir itu adalah membaca Al-Qur’an dan nasehat agama. Membaca zikir cukup sirri (tidak nampak), dengan membaca ”La ilaha illa Allah”, karena kalau dilakukan dengan jahar (terang-terangan) akan tidak teratur, seperti yang dilakukan oleh kelompok tarekat. Menurutnya zikir dan do’a dilakukan secara perorangan, sebab maksud setiap orang itu berbeda-beda. Kalau untuk kepentingan umum, maka do’a boleh dilakukan secara bersama-sama. Perayaan Maulid merupakan suatu aktivitas keagamaan baru, yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para sahabat yang disebut dengan bid’ah. Ustadz Khumaidi mendirikan majelis taklim yang diberi nama As-Sunnah di sebuah mushalla yang merupakan peninggalan ayahnya yang juga seorang tokoh agama di Desa Gelogor. Menurutnya, para pengikutnya sekarang ini berjumlah 270 orang, terdiri atas 137 orang laki-laki dan 133 orang perempuan. Ciri khas dari kelompok Salafi antara lain berpakaian berwarna putih, peci putih, baju panjang, dan memelihara jenggot. Sumber hukum yang 26 27 28
dijadikan rujukan adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan i’jma ulama. Kitab yang dibaca antara lain Riyadush Shalihin, Bulughul Maram dan kitab-kitab aqidah. Ulama Salafi antara lain Syafi’i, Abu Hanifah dan Ibnu Taimiyah. Menurut Khumaidi hukum yang dipakai oleh ulama tersebut adalah sunnah, itu yang disebut Salafi. Dakwah yang disampaikan ustadz Khumaidi berhasil menarik minat masyarakat, sehingga pengikutnya terus bertambah dan menyebar ke beberapa daerah, seperti di Kecamatan Lembar dan Kecamatan Sekotong Tengah. Hal ini nampaknya menimbulkan kerisauan di kalangan Tuan Guru. Maklum, para pengikut itu merupakan aset bagi Tuan Guru jika ditinjau dari segi sosial keagamaan, politik dan ekonomi. Maka muncullah berbagai konflik berupa pelarangan-pelarangan melakukan kegiatan, sampai dengan perusakan terhadap bangunan pondok pesantren. Konflik bermula dari pelarangan terhadap ustadz Khumaidi berkhutbah di masjid desa Gelogor dan kegiatan pengajian yang diadakan di rumahnya oleh masyarakat sekitarnya. Kemudian konflik menyebar hingga ke Kecamatan Sekotong Tengah dengan terjadinya perusakan pondok pesantren, pelarangan shalat Jum’at di masjid milik kelompok tersebut di Kecamatan Lembar, dan pembubaran pengajian di Dusun Beroro Desa Jembatan Kembar. Kekerasan terjadi di Dusun Kebun Talo Desa Labuhan Tereng Kecamatan Lembar Kabupaten Lombok Barat yaitu perusakan terhadap mushalla milik kelompok Salafi karena dakwahnya dianggap menyinggung kelompok lainnya. Untuk memecahkan masalah tersebut diadakanlah pertemuan di KUA Kecamatan Lembar pada tanggal 28 Juli 2005 yang dihadiri oleh para tokoh agama dan tokoh masyarakat Kebon Talo Desa Labuan Tereng yang terdiri dari TGH Badrun, Ustadz Munawar Khalil, Abdul Hafidz, H.Taufik Azhari (Kades) dan Abdul Karim (Ketua Remas). Untuk mengatasi konflik tersebut diambil kesepakatan-kesepakatan, yaitu:
nelung adalah upacara tiga hari setelah kematian mituh adalah upacara tujuh hari setelah kematian nyiwak adalah upacara sembilan hari setelah kematian
22
23
1. Pengajian yang dilaksanakan di Mushalla Fakhriah Amin Mertak, Mushalla Darussalam Langitan di Ponpes Al-Hamid di RT Tibu Timuk boleh berjalan dengan materi yang telah ada, namun harus dipimpin oleh TGH/Ustadz). Sedangkan TGH/Ustadz yang berasal dari luar (daerah/kecamatan lain) harus diistirahatkan; 2. Membentuk pembina bagi masing-masing kelompok pengajian; 3. Pengajian utama diadakan di masjid yang dihadiri semua jama’ah Dusun Kebon Talo yang materi dan gurunya ditentukan dengan musyawarah. Akibat konflik itu, pada tanggal 19 Agustus 2005 kelompok Salafi di Dusun Kebon Talo Utara mendirikan shalat Jum’at sendiri yang dihadiri oleh 55 orang bertempat di mushalla Fakhriyah Amin. Pelaksanaan shalat Jum’at tersebut dilakukan karena kelompok Salafi/Wahabi merasa kecewa terhadap masyarakat Kebon Talo yang tidak menerima kehadiran mereka. Kegiatan kelompok Salafi diprotes oleh masyarakat dengan meminta Camat Lembar untuk memberikan keputusan apakah kegiatan tersebut diizinkan atau tidak. Untuk menyelesaikan kasus tersebut diadakan musyawarah yang hasilnya: Ketua MUI, Kepala Kandepag Lombok Barat dan Camat dan aparat lainnya akan turun ke lapangan untuk mengecek situasi dan kondisi sebagai bahan pertimbangan dan rekomendasi kepada Bupati Lombok Barat. Hasilnya, kegiatan shalat Jum’at di mushalla Fakhryiah Amin dihentikan sementara. Shalat Jum’at dilaksanakan setelah ada pertimbangan dari Kepala Desa, Camat, MUI dan Kandepag Kabupaten Lombok Barat dan mendapat izin dari Bupati. Pada tanggal 23 Agustus 2005 Ustadz Munawar Khalil selaku pengurus Mushalla Fakhriyah Amin, mengirim surat kepada Bupati agar memberikan izin mendirikan shalat Jum’at dengan alasan: jama’ah telah memenuhi syarat secara syarÅy dan kondisi Kamtibmas stabil dan terjamin. Menyikapi keinginan kelompok Salafi untuk mendirikan shalat Jum’at, pengurus BPD Desa Labuan Tereng mengadakan musyawarah dan jajak pendapat peserta yang hadir.
24
Yang menolak pendirian shalat Jum’at beralasan agar masyarakat tidak terpecah belah sehingga dikhawatirkan akan terjadi gesekan antara kedua belah pihak. Tidak menutup kemungkinan masyarakat Dusun Kebon Talo Utara yang lain akan mendirikan Jum’atan di tempat yang lain dengan pertimbangan terlalu dekat jarak masjid induk dengan mushalla Fakhriyah Amin. Sedangkan pihak yang mau mendirikan Jum’atan beralasan merasa dilecehkan. Pada tanggal 5 September 2005 Camat Lembar mengirim surat kepada Abdul Fatah pengurus mushalla Fakhriyah Amin, yang isinya menghentikan pelaksanaan shalat Jum’at sebelum mendapatkan izin dari Bupati Lombok Barat. Selanjutnya pada tanggal 21 September 2005 Camat Lembar mengirim laporan kepada Bupati Lombok Barat yang isinya antara lain: 1. Mendukung alasan-alasan yang dikemukakan oleh sebagian masyarakat Kebon Talo, karena selain itu jarak masjid Baitul Amin Dusun Kebon Talo masih bisa menampung jama’ah walaupun masyarakat berdomisili terpencar. 2. Dikhawatirkan terjadi benturan/gesekan pada saat melaksanakan ibadah maupun kegiatan-kegiatan keagamaan. 3. Meminta jama’ah mushalla Fakhriah Amin tidak melaksanakan shalat Jum’at sebelum mendapat izin dari Bupati. 4. Meminta Bupati untuk secepatnya membuat keputusan. Secara diam-diam kelompok Salafi tetap melakukan kegiatannya. Pemerintah terlambat memberikan keputusan. Terlihat riak-riak kecil dalam masyarakat, maka pada tanggal 6 Januari 2006 KUA Kecamatan Lembar mengingatkan jama’ah pengajian mushola Fakhriyah Amin agar patuh pada hasil musyawarah tanggal 28 Juli 2005. Pada tanggal 22 April 2006 jam 22.30 WITA terjadi pengrusakan/pembobolan tembok mushola jama’ah Fakhriah Amin. Untuk mengatasi peristiwa tersebut dilakukan rapat Muspika, Kepala Desa dan Ketua/anggota BPD Desa Labuan Tereng dengan
25
membuat keputusan-keputusan: memecat Kadus Kebon Talo dan Ketua BPD karena merupakan pengurus mushalla Fakhriyah Amin. Kemudian pada tanggal 29 April 2006 Camat bersama anggota Muspika Kecamatan Lembar mengadakan pertemuan dengan Kades Labuan Tereng, Kadus Kebon Talo, kegiatan kelompok jama’ah mushalla Fakhriyah Amin dihentikan dan kembali bergabung dengan masyarakat lainnya yang dipusatkan di masjid Baitul Amin Dusun Kebon Talo, dan Camat kembali meminta Bupati untuk segera membuat keputusan terhadap tuntutan itu. D.
Respon Pejabat Pemerintah dan Masyarakat Terhadap Gerakan Salafi
1. Tanggapan Pejabat Pemerintah a. Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi NTB Kepala Kanwil Departemen Agama Provinsi NTB berpendapat bahwa sebenarnya ajaran yang disampaikan oleh kelompok Salafi tidak tergolong sesat, dan termasuk masalah khilafiyah. Perbedaan tersebut tak ubahnya terjadi antara paham Muhammadiyah dan NU ketika kedua organisasi ini baru berdiri. Hanya yang disayangkan mereka bersifat eksklusif dan cenderung menyalahkan kelompok lain. Sedangkan bagi kelompok non-Salafi ajaran ini dianggap sesat, karena berbeda dengan ajaran yang mereka peroleh dari Tuan Guru. Perseteruan ini juga disebabkan bukan hanya faktor ajaran, tetapi juga berkaitan dengan masalah politik. Kelompok Salafi umumnya dikenal sebagai pendukung Partai Keadilan Sejahtera, sedangkan masyarakat umumnya pendukung Golkar dan PPP. Menurut penuturan Lalu Suhaimy, kakanwil Depag NTB, di Gelogor, Lombok Barat ustadz Khumaidi mengajarkan paham keagamaan yang ajarannya sama dengan ajaran Muhammadiyah, yang sering disebut orang dengan
pengajian atau gerakan salafi yang mendasarkan ajarannya pada teks-teks suci dan dimaknai secara harfiah. Di luar itu dianggap bidÅah. Masyarakat Desa Gelogor dan Jembatan Kembar di Lombok Barat adalah pengikut mainstream Muhammadiyah yang pengamalan keagamaannya mirip dengan Wahabi tidak ada masalah. Kaum Salafi sebagai pendatang baru menimbulkan masalah karena saat ceramah mengatakan di berbagai pengajian umum, bahwa dzikir jahar, dan talqin adalah sia-sia, bidÅah dan masuk neraka. Permasalahannya adalah kelompok ini secara terang-terangan menunjuk orang lain berbuat bidÅah dan sesat. Sedangkan amalan yang dipandang bidÅah itu merupakan amalan yang diajarkan oleh para Tuan Guru dan diamalkan bersama pendukungnya. Masyarakat berpendapat pengajian setelah shalat adalah bidÅah, karena itu tidak lazim dan meresahkan masyarakat Yang benar setelah shalat adalah dzikir, wirid dan berdo’a. Masyarakat tidak setuju dengan pengajian setelah shalat,.29 b. Kasubbag TU Kandepag Lombok Barat Supriadi, Kasubbag TU Kandepag Lombok Barat menuturkan bahwa aktivitas gerakan Salafi di Lombok Barat ada di 4 desa yang berada di 3 kecamatan. Keempat desa itu adalah Desa Gelogor (Kecamatan Kediri), Desa Kebon Talo dan Desa Labuhan Tereng (Kecamatan Lembar), dan Desa Sesele (Kecamatan Gunung Sahari). Sudah ada perjanjian antara masyarakat yang berselisih. Namun aksi anarkis berupa perusakan pesantren masih terjadi di Kecamatan Sekotong Tengah pada hari Sabtu 30 September 2006. Masyarakat tidak menyukai kebiasaan kelompok Salafi yang selalu mencela budaya masyarakat Sasak dengan menuduhnya sesat (dlolalah).
29
26
Diolah dari wawancara dengan Drs. H. Lalu Suhaimy Asmi 29 September 2006
27
Kelompok Salafi tidak mau tahu tentang sejarah masuknya agama Islam ke Lombok yang dibawa oleh Sunan Prapen. Dalam menyebarkan Islam, Sunan Prapen memanfaatkan unsur budaya masyarakat setempat agar Islam dapat diterima mereka, seperti melaksanakan Maulidan. Kaum Salafi hanya menilai maulidan adalah aktivitas yang menelan biaya sangat besar dan dianggap perbuatan sia-sia. Hampir setiap keluarga memotong sapi dan berpesta adat dengan berbagai kegiatan. Orang berfikir bila tidak dapat memotong sapi saat maulidan merupakan sebuah kehinaan dan aib keluarga. Pada acara Maulid itu Sunan Prapen mengajarkan dengan membaca barzanji, lalu menyediakan hidangan di masjid. Aktivitas ini hingga kini telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Lombok. Kebiasaan tersebut selalu ditentang oleh kaum salafi dengan mengatakan kegiatan tersebut adalah budaya orang Bali yang harus ditinggalkan. Inilah pemicu konflik itu. Substansi dan sikap kelompok Salafi sama dengan dakwah Muhammadiyah di Lombok. Yang membedakan adalah dakwah di kalangan Muhammadiyah dalam memberantas budaya pemborosan tidak dilakukan dengan keras, menelanjangi kelemahan adat di depan umum (pengajian umum). Budaya ruwah misalnya, anggota Muhammadiyah masih mau mengikuti tradisi ini. Mereka mengundang orang-orang ke rumah untuk tasyakuran. Sementara itu, kelompok Salafi selalu menegur bahwa tradisi tersebut bidÅah yang sesat dan masuk neraka. Kelompok Salafi ini juga sering mengatakan bahwa dzikir bersama (tahlil) adalah bidÅah yang dosanya lebih besar dari pada berzina dengan ibunya30.
30
28
Diolah dari wawancara dengan Supriadi, 28 September 2006
c.
Kepala KUA Kecamatan Lembar M. Abu Arif Aini, S.Ag, Kepala KUA Kecamatan Lembar mengatakan dahulu Muhammadiyah berdakwah dikenal keras, tetapi sekarang telah berubah dan menjadi lebih moderat. Para pendukung Muhammadiyah tidak berubah menjadi sempalan. Desa Kebon Talo dan Desa Labuhan Tereng, Kecamatan Lembar komunitas penduduknya sekitar 400 KK, terdapat 50 % pendukung Salafi dan 50 % pendukung non-salafi. Konflik terjadi karena munculnya gesekan akibat perbedaan penafsiran antar dua kelompok terhadap masalahmasalah khilafiah. Kelompok Salafi kurang memiliki kearifan lokal dan menerjemahkan ajaran Islam (secara tekstual), sementara non-Salafi mengikuti penafsiran ulama-ulama terdahulu yang sangat arif terhadap budaya lokal. Gesekan antar dua komunitas pendukung ajaran agama akhirnya meledak dalam bentuk kerusuhan yang terjadi pada bulan Juli 2004, ketika komunitas pengajian salaf penganjur Wahabi mengajarkan materi ibadah mahdoh, berbeda dengan kebiasaan masyarakat Lombok. Pengajian kelompok salafi sebenarnya sudah berjalan selama 10 tahun dan tidak pernah terjadi apa-apa, meskipun kelompok Salafi dalam pengajian umum selalu mencela tradisi. Laporan masyarakat ke KUA mengenai pengajian Salafi antara lain bahwa kebiasaan umat Islam yang tidak tertulis secara tekstual di dalam kitab (Al Qur’an atau hadist) adalah menyimpang. Pada tahun 2004 di Desa Kebon Talo, Kecamatan Lembar, ada pengajian 2 kelompok (salafi dan non-salafi) yang waktunya bersamaan sama-sama menggunakan pengeras suara. Keduanya saling menyerang kemudian menimbulkan keributan. Pada tanggal 28 Juli 2004 tokoh agama dua belah pihak dipanggil KUA, masing-masing 2 orang tokoh masyarakat, bersama kepala desa dan 2 remaja masjid. Dalam pertemuan dibuat kesepakatan menyelesaikan
29
masalah. Salah satu pihak merasa dirugikan. Dengan terpaksa ditanda tangani kesepakatan-kesepakatan itu yang antara lain: pertama, mengembalikan pendukung Salafi dan non-Salafi dikembalikan ke koordinator semula; kedua pengajian yang mendatangkan ustad dari luar untuk sementara dihindari; ketiga untuk menyambung komunikasi diadakan pengajian di masjid dengan ustad-ustad dan kitab-kitab yang disepakati bersama. Setelah 3 minggu dari kejadian itu, bulan Agustus 2004 pihak non-Salafi melaporkan tentang adanya kegiatan sholat Jum’at di mushola yang dilakukan oleh kelompok Salafi yang jaraknya tidak lebih dari 100 meter dari masjid Jami’, padahal demikian itu sudah berjalan bertahun-tahun. Laporan itupun ditanggapi oleh Kepala KUA dan Camat Lembar dan meminta agar kelompok Salafi tidak melanjutkan shalat Jum’at. Di bawah tekanan pejabat pemerintah, semula kelompok Salafi menyetujuinya. Tapi ternyata tetap mengadakan kegiatan shalat Jum’at. Kepala KUA pun terjun ke lapangan. Pada bulan Mei 2006 masyarakat meminta Muspika, KUA, dan BPD sebagai fasilitator untuk dilakukan musyawarah. Hasilnya adalah agar kelompok Salafi menghentikan aktivitasnya dan tidak mengadakan sholat Jum’atan sendiri. Tekanan itu tidak dituruti oleh kelompok Salafi. Akhirnya pada bulan Januari-Pebruari 2006 terjadi perusakan Madrasah di Sekotong oleh kelompok non-Salafi. Kasus-kasus lain juga terjadi di Desa Kebon Talo, Desa Beloro, Desa Jembatan Kembar. K.H. Ahmad Khumaidi dan Ustad Mukti Ali samasama alumni dari Arab Saudi merupakan tokoh Salafi, memiliki kelompok pengajian di beberapa desa yang aktifitas kegiatannya dibubarkan oleh masyarakat namun tidak terjadi pengrusakan. Di desanya Gelogor Kecamatan Kediri kegiatannya juga digrebeg, karena isi ajaranya melarang
kegiatan maulidan dan ruwahan, sehingga masyarakat protes. Massa yang menyerang berbagai pengajian Salafi dikoordinir secara rapi, sehingga masyarakat yang diserang sering tidak mengenal para penyerang. Di wilayah Kecamatan Kediri terdapat banyak pesantren, ulama dan kyai. Pada dasarnya beberapa penyerangan mengindikasikan perebutan jama€ah sebagai sumber ekonomi, politik dan pengaruh. Kitab yang digunakan kelompok Salafi bersumber sama dari Duratun Nasikin, Riyadus Salikin, dan kitab-kitab lainnya, sehingga sangat tergantung pada kearifan dan metode dakwah dalam menafsirkan ciri-ciri Syafi’i atau Hanafi (Hambali ? editor).31 d. Kepala Kandepag Lombok Barat
Kepala Kandepag Lombok Barat Drs. H. Sya€ban menuturkan kelompok salafi sehabis shalat Jum€at selalu mengadakan pengajian yang diikuti oleh banyak orang. Kebiasaan pengajian ba€da shalat Jum€at tidak disukai oleh masyarakat Dusun Beroro. Hal ini sering dimanfaatkan oleh elit politik desa mereka. Salah satu contoh jika salah satu calon kades kalah, tidak jarang kemudian mengerahkan massa untuk menggagalkan hasil Pilkades. Kelompok non-Salafi biasanya dengan jargon jika si Fulan menang, maka masyarakat di desa ini akan dijadikan Salafi dan adat akan dihancurkan. Cara-cara ini masih efektif, karena memang pada umumnya masyarakat desa masih tradisional dalam memahami agama maupun cara berfikirnya. Berdasarkan kajian Kepala KUA dengan LSM agama, ternyata Kelompok Salafi mengangkat kembali masalahmasalah yang dahulu pernah diperdebatkan oleh kalangan 31
30
Diolah dari wawancara dengan M.Abu Arif Aini, S.Ag , 29 September 2006
31
Muhammadiyah dan NU sebagai pemicu. Hal ini karena sebelumnya perbedaan antara kalangan Muhammadiyah dan NU sudah selesai dan saling menghormati. Karena itu meskipun ada perbedaan paham mereka dapat hidup rukun. Di Desa Beloro salah satu pemicunya mantan Kadus menyalonkan diri menjadi Kadus tetapi kalah, tidak lama berselang ada pemilihan calon Kades. Dalam pemilihan kepala desa salah satu jagonya adalah Zainuddin mantan Kadus yang kalah dalam pemilihan Kadus sebelumnya. Dalam pilkades itu Zainuddin yang kebetulan pendukung Salafi juga kalah, sehingga timbul masalah yang berkepanjangan, meskipun Zainuddin tidak dapat berbuat apa-apa atas kekalahannya. Tetapi para pendukungnya selalu mencari kesempatan untuk menghalang-halangi jalannya pemerintahan desa dengan membuat masyarakat tidak tenang dan mempertentangkan secara terus menerus masalah khilafiyah. Kebetulan, persoalan agama merupakan persoalan yang diminati masyarakat bahkan sangat antusias. Di Kebon Talo berdiri Pondok Al-Hamidi yang bukan Salafi di mana masyarakatnya 50% pendukung Salafi dan 50% bukan Salafi. Dalam pesantren itu terjadi persoalan keluarga, karena ada beberapa anggota keluarga pesantren yang menjadi juru dakwah Salafi. Prosesnya menjadi persoalan politik, persaingan keluarga dan perebutan pengaruh antar keluarga. Para tokoh Salafi diantaranya Abdul Fatah (sekarang ke Arab Saudi), dan Ustad Munawar (Pengurus DDII), Ust. Sati, Ahmad Humaidi, Mukti Ali, dan lain-lain semuanya alumni Pondok Nurul Hakim, Kecamatan Kediri. Isu yang berkembang di masyarakat adalah bahwa masjid hanya boleh diisi oleh pendukung Salafi. Orang lain tidak boleh masuk ke masjid itu karena dianggap najis. Masih banyak isu yang tidak jelas kebenarannya, padahal kelompok Salafi tidak pernah menajiskan orang lain. Usaha preventif
telah dilakukan untuk menghindari konflik horizontal. Pengajian atau dakwah kelompok Salafi sering dilakukan di Masjid Raya Lombok yang kemudian juga menjadi pusat aktivitas mereka. Mereka mendata secara rapi orang-orang yang menjadi pendukung Salafi, kemudian dikirim dan dilaporkan kepada lembaga yang di Arab Saudi. Berdasarkan laporan tersebut mereka mendapatkan dana pembinaan yang tidak sedikit.32 e.
Anggota Seksi Tramtib Kecamatan Lembar Lalu Mulyadi, anggota Seksi Tramtib Kecamatan Lembar menuturkan bahwa pada tahun 2005, pengajian Salafi di Desa Kebon Talo dihentikan oleh masyarakat, karena menggunakan pengeras suara dan saling debat di pinggir jalan. Setelah pengajian dihentikan, kelompok Salafi mendirikan shalat Jum’at sendiri. Namun kegiatan ini juga dihentikan masyarakat dengan alasan demi stabilitas keamanan. Pihak Kecamatan Lembar tidak pernah melarang paham-paham keagamaan, tetapi demi keamanan siapa pun boleh mengembangkan pahamnya sepanjang masih ada silaturahmi. Oleh karena itu kegiatan pengajian, secara umum oleh pemerintah tidak melarang, tetapi pemerintah memiliki tugas untuk menjaga dan mendamaikan serta mengamankan setiap aktifitas masyarakat termasuk pengajian.
Faktor terjadinya konflik diantaranya adalah rendahnya tingkat pendidikan dan SDM masyarakat. Juga karena letak mereka di daerah terpencil sehingga tidak jarang menyebabkan perbedaan pemahaman fikhiyah, yang minoritas dianggap mengganggu mayoritas. Kondisi di lapangan baik yang pro maupun kontra tidak saling mengancam, tetapi terjadinya konflik 32
32
Diolah dari wawancara dengan Drs. H. Sya€ban , 29 September 2006
33
sering kali secara mendadak (spontan) antara pendukung sebuah paham dengan mereka yang menolaknya. Menurut Akmanullah, Kabid Penamas dan Pekapontren Kanwil Departemen Agama Provinsi NTB masalah khilafiyah di NTB tidak jauh berbeda dengan pandangan dan sikap imam di Masjidil Haram yang terus menerus membicarakan khilafiah/bid’ah. Persoalannya adalah, paham Wahabi di NTB yang dikembangkan oleh kelompok Salafi menurut masyarakat awam tidak sesuai dengan kultur setempat. Mereka tidak suka terhadap Wahabisme karena budaya ini pasti akan membenturkan kelompok-kelompok yang ada disebabkan masalah yang tidak mendasar. Sebagai contoh terdapat beberapa kegiatan yang selama ini diajarkan oleh alim ulama kepada masyarakat Lombok dan dibid’ahkan33 oleh kelompok Salafi: 1) Bid’ah yang berkaitan dengan teknis ibadah ? membaca niat dengan dilafalkan dianggap bid’ah sehingga, semua kegiatan ibadah bid’ah; ? membaca basmallah dilafalkan dalam surat Al Fatihah waktu sholat; ? membaca syayidina Muhammmad pada waktu takhiyat; ? membaca salam dengan menyempurnakan hingga wabarakatuh; ? membaca wirid setelah shalat fardu; ? membaca wirid menggunakan tasbih; ? membaca do’a qunut dalam shalat subuh; ? shalat sunah setelah shalat witir; ? shalat tarawih 23 atau 11 rakaat.
2) Bid’ah dalam ibadah: ? adzan 2 kali dalam shalat Jum’at; ? khatib shalat Jum’at memakai tongkat; ? tawasul dalam do’a; ? membaca dzikir secara berjama’ah; ? majelis tahlil; ? memperingati Maulid Nabi Muhammad saw; ? Peringatan Isra’ Mi’raj; Pada dasarnya masyarakat belum siap dengan perbedaan. Karena wacana yang mendekonstruksi pemahaman lama maka akan ada pembelaan dan perlawanan. Apalagi kalau ada pandangan bahwa ulama terdahulu dianggap salah semua dalam mengajarkan agama kepada masyarakat, maka struktur kebudayaan masyarakat setempat mengalami kontraksi yang akhirnya menimbulkan konflik. 3) Bid’ah dalam masalah-masalah lain: ? pembacaan talqin pada waktu penguburan jenazah; ? menyirami kuburan dengan miyak dan kembang; ? peringatan 1 hari, 3 hari, 7 hari, 9 hari dan 40 hari,; ? pembacaan tahlil dan do’a untuk yang orang meninggal; ? membaca Al Qur’an mendoakan yang meninggal; ? ziarah Qubur. Topik yang menyentuh khilafiyah sering diangkat oleh ustad-ustad yang baru menjadi juru dakwah. Masalah khilafiyah kalau disampaikan kepada yang sepaham atau kepada ustad-ustad dan basis masyarakat terdidik niscaya tidak akan menimbulkan masalah. Namun jika disampaikan kepada masyarakat awam akan menimbulkan masalah.34
33
Kelompok Salafi/Wahabi setiap mengawali pengajian dengan menyitir sebuah hadis yang berbunyi ƒ kullu bid€atin dhalalah wa qulli dhalaalatin fin naar” . Pemahaman sederhananya adalah peribadatan yang dilakukan oleh kelompok non Salafi adalah bid€ah dan itu artinya neraka.
34
34
Diolah dari wawancara dengan Akmanullah, 29 September 2006
35
2. Tanggapan Tokoh Masyarakat
1) H. Mukhtar Menurut H. Mukhtar (Guru Agama di SMAN 2 Warga Desa Gelogor Kediri) masyarakat sebenarnya bersatu asal tidak ada yang memprovokasi. Para tokoh agama tidak mampu mengendalikan para pendukungnya berlomba-lomba dalam pembangunan masjid yang baru dengan biaya yang besar. Seiring dengan pembangunan masjid baru juga muncul pemahaman baru. Perbedaan dalam memahami teks agama adalah realitas yang mestinya harus diterima oleh semua pihak, termasuk para tokoh agama. Tetapi ketika seorang tokoh agama memandang tidak ada kebenaran lain, kecuali kebenaran yang mereka bawa, maka dia sudah seperti Tuhan sehingga merasa berhak menghakimi siapa saja yang tidak disenangi.35 Inilah masalah yang sering terjadi di Lombok dan Nusa Tenggara Barat pada umumnya. 2) Tuan Guru Haji Badrun Tuan Guru Haji Badrun bersahabat dengan Ustadz Ahmad Khumadi (Pimpinan Yayasan Pondok Pesantren Al Hamidy Desa Kebon Talo Kecamatan Lembar) sejak masih di pondok pesantren, dan setelah lulus sama-sama berdakwah. Namun sekarang dia, Ahmad Khumaidi, menyampaikan dakwah terlalu keras, padahal masyarakat awam belum siap untuk menerima materi dakwahnya dengan cara demikian. Selama ini masyarakat tidak pernah mendengar pengajian dengan bahasa atau kata-kata aneh dari Tuan Guru. Masalah khilafiyah diangkat kembali dengan suara lantang dan keras. Akhirnya anggota masyarakat yang satu
35
36
menghasut anggota masyarakat yang lain, sehingga terprovokasi yang berbau hasutan dan berbuat anarkis. Ketika pengajian oleh kelompok Salafi berlangsung, biasanya para murid-murid Tuan Guru mengikuti ceramah pengajian tersebut, kemudian menyampaikan ke Tuan Guru. Sebaliknya Tuan Guru sendiri terkadang kurang tabbayun, secara tidak langsung memprovokasi para pendukungnya. Masyarakat awam menjadi bingung, karena sikap para Tuan Guru yang memiliki ambisi tega menghancurkan yang lain. Cara dakwah kelompok Salafi keliru karena mengenyampingkan masalah keamanan. Sebaliknya, metode dakwah dengan santun dan menghargai budaya masyarakat merupakan langkah baik. Budaya yang tidak sesuai dengan ajaran agama niscaya akan hilang dengan sendiri, jangan malah dicemooh dan dicela. Kegiatan kelompok Salafi memang nampak semakin solid. Inilah diantara faktor penyebab timbulnya kecemburuan sosial, terutama terhadap para Tuan Guru. Kelompok Salafi tidak henti-hentinya mengkritisi aktivitas masyarakat awam. Kejadian Kebon Talo berawal di mana mantan Kadus yang ikut kegiatan pengajian Salafi. Para ustadznya mengkritik masalah peringatan Maulid Nabi yang disamakan dengan persembahan sesaji ke Pura, dzikir besar dan kecil, dan lain-lain. Keikutsertaan mantan Kadus (pada waktu masih menjabat) itu pada kegiatan Salafi menimbulkan protes masyarakat dan menuntutnya agar mundur dan dipecat. Namun Kadus itu tidak menggubris tuntutan warganya. Akhirnya masyarakat melakukan demonstrasi menuntut agar Kadus turun jabatan. Anggota BPD yang ikut Jamaah Salafi harus turun. Selain itu kegiatan pengajian Salafi sementara harus diberhentikan. Akhirnya Kadus yang baru pun terpilih pada masa jabatan 2006-2011.
Diolah dari wawancara dengan H.Muhtar, 30 September 2006
37
Kesepakatan-kesepakatan masyarakat awam seringkali tidak masuk akal, karena faktor rendahnya pendidikan mereka. Tuan Guru H. Badrun mengusulkan kepada MUI dan Departemen Agama agar duduk bersama menyelesaikan masalah. 3) Ismail Darwan Kejadian di Desa Jembatan Kembar menurut Ismail Darwan (Kadus Beroro, Desa Jembatan Kembar Kecamatan Lembar) tidak seperti yang disiarkan TV swasta (SCTV) yang hanya menurunkan potongan berita gambar pengrusakan pondok pesantren itu. Kejadian yang sebenarnya adalah pengajian ba’da sholat Jum’at yang mendatangkan ustadz dari luar dilakukan oleh kelompok Salafi, dibubarkan oleh masyarakat. Sebelumnya antara kelompok Salafi dan nonSalafi sudah ada masalah-masalah kecil yang dapat menyebabkan masyarakat dusun terpecah. Agar tidak timbul masalah yang tidak diinginkan, maka masyarakat mengharapkan pengajian yang mendatangkan penceramah dan jamaah dari luar daerah harus dihentikan/ditutup. Namun harapan itu tidak terwujud, bahkan pengajian itu tetap berlanjut. Kemudian terjadilah demonstrasi masyarakat menuntut dibubarkannya pengajian di Dusun Beroro itu. 4) Ismail Bangunan madrasah yang dirobohkan di Kecamatan Sekotong Tengah menurut Ismail (Pengurus MTs, SDIT dan RA Ihyaussunah Kecamatan Sekotong Tengah) berdiri di tengah lingkungan minus secara ekonomi. Pesantren ini memiliki 3 lokal bangunan masing-masing berukuran 7 x 15. Kerugian yang diderita diperkirakan mencapai Rp 250 juta.
(MTs, SDIT dan RA) yang sudah berlangsung 3 tahun. Jumlah murid sekitar 60 orang yang berasal dari beberapa daerah. Rata-rata mereka berasal dari keluarga yang tidak mampu. Maka mereka pun dibebaskan dari membayar SPP, bahkan mendapat baju, buku, pulpen dan lain-lain. Alasan perusakan oleh massa itu adalah para pengurusnya tidak melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Ditambah lagi mereka mengajarkan paham Salafi.
5) Ustadz Munawar Menurut Ustadz Munawar, Ustadz yang tinggal di Dusun Kebon Talo Utara Desa Labuhan Tereng, secara yuridis formal menuntut adanya fatwa tentang keberadaan salafi. Harapannya fatwa MUI bisa menjelaskan kepada masyarakat bahwa keberadaan salafi menyimpang atau tidak, selama ini selalu menunggu keputusan MUI yang belum kunjung turun. Perlu upaya mensosialisasikan secepatnya agar dapat mengkondisikan situasi masyarakat untuk menghindarkan kekecewaan mereka. Selama ini kelompok salafi mentaati peraturan dan tidak melawan. Prinsipnya kelompok salafi di Dusun Kebon Talo Utara keberatan jika kegiatan pengajian mereka dilarang tanpa ada batasan waktu yang jelas. Ancaman dari PAM Swakarsa Desa Kelet dirasakan mengancam keselamatan mereka, maka mereka meminta perlindungan kepada pihak polisi.
Untuk memperbaiki pesantren yang rusak itu, pengurus memperoleh dana bantuan rehab mutu dari ADB sebesar 150 juta baru dipakai 50 juta untuk kegiatan madrasah
38
39
ceramah tidak boleh memakai pengeras suara sehingga tidak didengar oleh orang lain.
BAB IV PENUTUP
A.
MUI harus mengambil peran sebagai penengah, bukan memihak kepada kelompok tertentu. MUI memberikan informasi dan penyuluhan dengan fatwanya bahwa ajaran yang dikembangkan kelompok Salafi tidak sesat.
3.
Pejabat Departemen Agama hendaknya bertindak sebagai penengah/mediator kedua belah pihak yang berkonflik, tidak memihak kepada salah satu kelompok. Tidak memihak pada salah satunya dan menghimbau masyarakat untuk saling menghormati.
Kesimpulan
S
etelah melakukan kajian, baik melalui studi di lapangan maupun studi literatur, maka dapat diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
1. Faktor penyebab konflik antara kelompok Salafi dan Non-Salafi adalah karena adanya dakwah yang bersifat eksklusif dan menyalahkan paham orang lain. Dan juga karena kurangnya sikap menghargai perbedaan pendapat. 2.
Konflik ini terus berlanjut karena Bupati tidak berani membuat keputusan. Bila memenuhi tuntutan masyarakat dikuatirkan dianggap melanggar HAM, sedangkan apabila memberikan izin kepada kelompok Salafi dikuatirkan menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.
3.
Solusi yang dibuat oleh Camat dan kepala KUA, terlalu memihak pada kelompok tertentu, sehingga tidak dapat memuaskan semua pihak.
4.
Menurut beberapa tokoh masyarakat dan agama dari segi ajaran menganggap ajaran yang dikembangkan Salafi tidak sesat, tetapi merupakan masalah khilafiah.
B.
Saran-saran
1.
Sebaiknya Bupati segera membuat keputusan yang melindungi dan memberikan kenyamanan kepada setiap kelompok mengadakan aktifitasnya tanpa menimbulkan ekses-ekses negatif dengan menentukan persyaratan yang harus dipenuhi: seperti tidak boleh menyalahkan paham orang lain dan
40
2.
41
DAFTAR PUSTAKA Abdul Azis, Varian-arian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Diva Pustaka, Jakarta, 2004 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta Khaled Abou El Fadl, Toleransi Islam: Cita dan Fakta, Arsy, Bandung, 2004. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung 1999 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah ke Indonesia, Erlangga, Jakarta, 2005. Mufid, Ahmad Syafi’i, Tangklukan, Abangan dan Tarekat: Kebangkitan Agama di Jawa. Jakarta, Obor, 2006. Robert Bog dan dan Steven Taylor, Introduction to Qualitative Research Methode: A Phenomenological Approach to The Social Science, Alih Bahasa Arief Furchan, Usaha Nasional, Surabaya, 1992.
42
PERGURUAN MAHESA KURUNG DI JAWA BARAT Oleh : Drs. Wakhid Sugiyarto, M.Si
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
A
gama Islam di Indonesia mengalami perkembangan sangat signifikan (santrinisasi) dan fenomenal baik dalam ideologis, ritual, intelektual, ekspresi maupun gerakan sosialnya sejak awal abad 20 lalu ditandai berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan. Pendirian Persyarikatan Muhammadiyah itu didorong oleh realitas umat Islam kala itu yang tenggelam dalam budaya sesat, taqlid, bid’ah dan churafat (TBC) yang merusak tatanan asli Islam. Gerakan ini mendapat raksi keras dari kelompok tradisional yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah, pendiri Nahdhatul Ulama (Kebangkitan Ulama)1. Kelahiran Muhammadiyah menimbulkan perdebatan sengit dengan kaum tradisional hampir di seluruh pelosok tanah air, kecuali di Sumatra Barat. Perbedaan terkadang diikuti dengan perebutan masjid berkaitan dengan khilafiah dalam memahami dan mentafsirkan nash al-Qur’an dan al-Hadits. Perdebatan itu kemudian berbuntut saling menyesatkan dan mengejek. Dalam beberapa kurun waktu keadaan tersebut tidak juga menyadarkan dua kelompok itu untuk mencari titik temu dalam sebuah kesepakatan. Sejalan dengan perkembangan waktu, Muhammadiyah kemudian melakukan definisi ulang terhadap realitas dari identitas kultural agar keberadaannya tidak dimusuhi. Pelan tapi pasti, usaha Muhammadiyah tersebut berhasil memaksa kaum tradisionalis untuk menerima kehadirannya sebagai organisasi sosial keagamaan di Indonesia. Muhammadiyah menjadi arus utama (mainstream) yang 1 Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, LP3ES, Jakarta, hal. 5-6.
45
kokoh dan sebagai pelopor di antara kelompok-kelompok keagamaan dalam kategori penganut paham modernis seperti; Persis, SI, Al-Irsyad, LDII, dan DDII. Stigma awal terhadap kaum modernis adalah kurang arif terhadap tradisi. Sementara kelompok lainnya, kaum tradisional, mempertahankan mati-matian ketradisionalannya dengan mengagungkan tradisi berupa ritual yang tidak dikenal di kalangan modernis2. Nahdlatul Ulama sebagai kelompok terdepan tradisional mendapat dukungan luas secara ideologis maupun secara organisatoris dari Nahdlatul Wathan, Al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, Persatuan Tarbiyah Al Islamiyah (PERTI) dan Persatuan Umat Islam. Kemudian diikuti oleh kalangan santri pedesaan, atau masyarakat kota yang mengikuti cara berfikir madzhab Syafi’iyah. Persaingan dan pertentangan antara dua arus utama organisasi dan gerakan Islam tersebut ternyata tidak hanya terjadi dalam lingkup politik, keagamaan, sosial, pendidikan dan sebagainya, tetapi memasuki dunia persilatan. Hampir seluruh organisasi keagamaan yang ada di Indonesia memiliki satuan keamanan atau kelaskaran (bela diri/sayap militer/barisan muda) untuk menjaga kelangsungan, baik dari kalangan modernis maupun tradisional. Seni beladiri tersebut di samping sebagai wahana pendisiplinan diri, olah raga, meningkatkan rasa percaya diri, ajang silaturahmi, juga menjadi pengawal dari organisasi induknya. Biasanya muncul dalam berbagai even seperti Munas, Muswil, Muktamar dan unjuk rasa yang dilakukan oleh organisasi induknya. Peran mereka menjadi SATGAS keamanan kegiatan organisasi induk tersebut. Muhammadiyah misalnya, memiliki satuan pemuda beladiri yang disebut Tapak Suci Putra Muhammadiyah, LDII memiliki
2 Ibid, hal. 7-8. Lihat pula bukunya Siradjuddin Abbass, Empa Puluh Masalah Agama. Dalam buku ini terlihat begitu kerasnya perdebatan persoalan-persoalan agama yang dipersoalkan oleh kalangan modernis. Penulis membaca dalam buku itu, tidak ada satupun argumentasi Siradjuddin Abas, yang bersandarkan al-Qur€an dan hadits sahih atau hasan, kecuali berlandaskan hadits dha€ib dan logika pengarang buku yang dikutifnya.
46
satuan pemuda bela diri Putra Asad, SI memiliki pasukan beladiri Winongo. Setelah SI pecah menjadi SI Putih dan SI Merah. Winongo pecah dengan munculnya SH Teratai.3 Kalangan NU memiliki Pagar Nusa (NU), Pagar Bumi (Bela diri Ponpes Darul alMa’wa/Condromowo, Sidomulyo, Ngawi), Bunga Islam, Kembang Setaman, Mahesa Kurung dan sebagainya. Di samping itu banyak pula perguruan silat yang tidak menunjukkan afiliasinya terhadap agama apapun dan dari kelompok organisasi social keagamaan manapun, seperti; Satria Nusantara, LEMKARI, Injukkan, Taekwondo, Merpati Putih, Garuda Hitam, Sekar Sore, Kembang Sore dan sebagainya. Secara hipotesis, munculnya berbagai perguruan silat atau bela diri itu dapat dianalogikan dengan kemunculan berbagai gerakan keagamaan di tanah air. Apakah munculnya Perguruan Silat Mahesa Kurung di Bogor yang akhir-akhir ini mencuat dalam opini dan pemberitaan juga termasuk dalam analogi di atas? Setelah dilakukan kajian mendalam, di luar jurus-jurus fisik yang dimiliki oleh Perguruan Silat Mahesa Kurung, model yang dimiliki perguruan tersebut dapat dikategorikan ke dalam kelompok arus utama model bela diri tradisional. Perguruan Silat Mahesa Kurung menjadi fokus kajian ini karena; pertama, eksistensi Mahesa Kurung yang menjadi berita sensasi di tingkat Nasional pada April dan Mei 2006; kedua, fatwa MUI Kota Bogor tentang eksistensi perguruan Mahesa Kurung dan ketiga, hasil kajian awal oleh peneliti senior Puslitbang Kehidupan Keagamaan sebagai tindak lanjut terhadap kajian sebelumnya. Kajian sebelumnya mengungkapkan bahwa Mahesa Kurung sebagai gerakan keagamaan sempalan yang menyimpang dari Islam dan harus diteliti secara mendalam. Indikasi demikian dianggap beralasan, karena; pertama, unsur kebohongan publik yaitu
3 Ahmad Sutarto, Winongo dalam Lintasan Sejarah Perjuangan Bangsa, tp, 1995, hal 10. SH Teratai pada mulanya adalah milik SI Merah yang lebih dekat dengan Islam abangan. Sampai hari ini Teratai dominan di pedesaan Karesidenan Madiun, Kediri dan beberapa kabupaten di Jawa Tengah)
47
menerima wangsit/ilham yang dibukukan dalam 8 buku pegangan bagi anggota Mahesa Kurung yang disebut dengan Risalah alMukarromah; kedua, melakukan praktek perdukunan; ketiga, mengajarkan mistisisme yang menjurus kepada perbuatan syirik; keempat, aliran tersebut sudah dilaporkan kepada polisi, tetapi tidak mendapat tanggapan; dan kelima, mengajarkan aliran sesat menyesatkan4. Berangkat dari hal tersebut, maka dilakukanlah kajian lapangan untuk mendalami eksistensi Perguruan Silat Mahesa Kurung di Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat.
bahan penyusunan rekomendasi untuk para pejabat di lingkungan Departemen Agama dalam menangani kasus-kasus keagamaan dalam rangka pembinaan kehidupan beragama dan pemeliharaan kerukunan masyarakat.
Tujuan dari kegiatan penelitian ini adalah menggali informasi selengkap-lengkapnya seputar Perguruan Mahesa Kurung untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil dari penelitian ini menjadi
D. Penjelasan Teori Gerakan Dalam latar belakang pemikiran atau masalah, secara sepintas dipaparkan bahwa deprivasi adalah sebagai cikal bakal munculnya gerakan sosial baru. Imam Tholkhah dan Abdul Azis memperjelas konsep deprivasi Glock dan Stark berkaitan dengan munculnya gerakan keagamaan. Menurutnya, asal usul gerakan keagamaan itu pada dasarnya merupakan aliran keagamaan dengan ajaran, tokoh dan kelembagaan sendiri yang bersumber pada empat faktor laten. Pertama, pandangan tentang pemurnian agama yang tidak terbatas kepada praktek keagamaan, melainkan juga pemurnian sumber agama yakni penolakan sumber selain al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua, dorongan untuk mendobrak kemapanan paham keagamaan mainstream, khususnya berkaitan dengan kebebasan setiap muslim menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dalam memahami ajaran Islam dan tidak terikat kepada “struktur taqlid”. Ketiga, pandangan tentang sistem kemasyarakatan yang diidealisasikan, seperti kepemimpinan tunggal di bawah seorang Amir, atau sistem ummah wahidah (satu umat). Keempat, sikap terhadap pengaruh Barat dalam bentuk berbagai paham atau aliran seperti modernisme, sekularisme, kapitalisme, dan seterusnya. Dalam hal ini, Islam ditempatkan sebagai alternatif yang mengungguli ideologi-ideologi tersebut5. Dalam konteks ke-Islaman, konsep deprivasi ini sangat relevan, terutama pada kasus-kasus di Indonesia meskipun bukan satu-satunya yang menjadi motivasi bagi tumbuhkembangnya aliran keagamaan baru. Deprivasi ditempatkan dalam konteks menyeluruh
4 Surat Nahar Nahrawi kepada Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan dan memo Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan kepada Kabid I untuk membuat surat kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama yang dilampiri surat Nahar Nahrawi. Kemudian pemilihan topik dalam pembahasan Desain Operasional Penelitian tentang Kasus-Kasus Aliran Paham Keagamaan Aktual di Indonesia, Perguruan Mahesa Kurung menjadi salah satu yang dipilih untuk diteliti secara mendalam.
5 Abdul Azis, Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Diva Pustaka, Jakarta, 2004, hal. 5
B. Permasalahan Penelitian Masalah dalam penelitian ini adalah tumbuh-kembangannya paham atau aliran keagamaan di dalam masyarakat. Masalah tersebut kemudian dirumuskan dalam beberapa pertanyaan berikut; 1. 2. 3. 4. 5.
Apa yang melatarbelakangi berdirinya Perguruan Mahesa Kurung; Siapa tokoh dan riwayat hidup pendiri Perguruan Mahesa Kurung; Ajaran apa saja yang dikembangkan oleh pimpinan Perguruan Mahesa Kurung; Bagaimana respon pemuka agama dan masyarakat terhadap ajaran dan eksistensi Perguruan Mahesa Kurung; Bagaimana kronologi munculnya fatwa sesat MUI Bogor terhadap eksistensi Perguruan Mahesa Kurung.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
48
49
mengenai kelahiran suatu aliran keagamaan, lalu tumbuh menjadi aliran keagamaan baru6.
bagi mereka yang gagal dalam menterjemahkan kemauan para pendukung, maka secara pelan-pelan akan ditinggalkan.
Konteks menyeluruh mengenai kelahiran aliran keagamaan itu meliputi perubahan sosial yang dialami tiap individu, yaitu ketidakseimbangan antara realitas implementasi ajaran agama itu sendiri dengan harapan yang dicita-citakan. Organisasi induk dipandang tidak mampu mengakomodasi harapan mereka, maka muncul ketidakpuasan secara massal oleh pendukungnya. Ketika muncul lembaga, pemimpin, program, fashion yang berbeda dan mampu memberi harapan, lembaga baru itupun segera mendapat pengakuan secara massal. Apalagi jika lembaga baru tersebut secara realistis mampu melakukan transformasi secara baik kepada para pendukungnya, maka proses pengakuan itu kian lebih cepat dan berkembang menjadi organisasi yang mampu menyaingi lembaga yang telah ada.
Dalam dunia persilatan, juga terjadi deprivasi itu dalam bentuk fisik yang lain. Namun secara substansial pada hakekatnya terdapat kesamaan. Pengalaman panjang pemimpin utama Perguruan Mahesa Kurung dalam rimba persilatan, mengilhaminya untuk mendirikan lembaga persilatan baru yang berbeda dengan perguruan silat lain. Para eksponen Perguruan Silat Mahesa Kurung itu juga terlibat dalam pendefinisian realitas yang ada untuk mendapatkan pengakuan yang wajar dari publik. Dalam pengembaraannya dalam rimba persilatan sebelum mendirikan Perguruan Mahesa Kurung, jurus-jurus yang mereka pelajari tidak berkaitan dengan dasar-dasar dari ajaran-ajaran agama Islam, semata-mata jurus-jurus fisik saja. Kemudian mereka merasakan hasilnya kurang maksimal karena para eksponen pendiri Perguruan Silat Mahesa Kurung memanfaatkannya untuk kepentingan Islamisasi. Kemudian jurus-jurus yang bersifat fisik tersebut dilengkapi dengan Asma€ul Husna untuk memaksimalkan hasil. Pendefinisian perguruan silat ini rupanya berhasil meyakinkan para pendukungnya sehingga berkembang ke seluruh dunia.
Transformasi itu sendiri menjadi sebuah cara dalam perjuangan dalam pendefinisian realitas itu dikarenakan oleh adanya perbedaan dengan lembaga-lembaga yang sudah mapan yang ada sebelumnya. Lahan yang dijadikan medan perjuangan itupun berperan dalam proses pergulatan tafsir keagamaan yang dipandang lebih argumentatif. Dalam pergulatan pendefinisian realitas itu, sosok pemimpin menjadi sangat penting demi mencapai keberhasilan yang diinginkan. Dengan didukung oleh keyakinan umum yang diberikan oleh para pemimpin dalam mengikat anggota dalam wujud gerakan, doktrin, mitos dan cara-cara pencapaian tujuan akan sangat menentukan bagaimana posisi lembaga baru itu dalam sistem perubahan sosial. Bagi mereka yang mampu meyakinkan, baik secara argumentatif dalam tauhid, mua’amalah dan sebagainya serta model dan cita-cita yang mampu memberikan harapan terwujudnya cita-cita sosial maupun keagamaan akan mempertahankan lembaga itu dalam perjalanan sejarahnya. Namun
6 Ibid,
50
hal. 6 - 7
Penggunaan Asma€ul Husna, atau ayat-ayat Qur€an dalam dunia persilatan, baik untuk memperkuat jurus-jurus fisik maupun untuk pengobatan memicu reaksi dari kalangan lain yang tidak sepaham. Pertarungan antara dua kelompok ini tidak terelakkan, ketika dua kelompok ini dihadapkan secara frontal satu dengan lainnya dalam satu forum maupun media massa. Penafsiran monopolis dari kalangan yang secara agama adalah tekstual, dilawan oleh mereka yang kontekstual, karena mereka merasakan terdapat hasil dari penafsiran kontekstual itu dalam berbagai sisi kehidupan, termasuk dunia persilatan. Perguruan Silat Mahesa Kurung pun, berhasil menempatkan diri sebagai lembaga yang kuat, baik secara definitif maupun secara publik. Usaha-usaha dari kelompok lain yang hendak melumpuhkan gerakan Perguruan Silat Mahesa Kurung ini nampaknya akan menemui hambatan, karena
51
Mahesa Kurung ini mendapatkan dukungan dari berbagai kelompok keagamaan tradisional di Kota Bogor, Jawa Barat, bahkan di Indonesia. Pada umumnya mereka memiliki pengalaman emosi keagamaan, geneologis maupun ideologis yang sama.
E Metodologi Penelitian 1.
Bentuk Studi Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksploratif kualitatif terbatas 7 dalam bentuk studi kasus (khusus Perguruan Mahesa Kurung). Dalam penelitian ini, sebagaimana paradigma penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian dalam menjalin hubungan baik dengan subyek yang diteliti. Dalam memahami data di lapangan, peneliti tidak memiliki pretensi apapun terhadap eksistensi Perguruan Mahesa Kurung. Oleh karena itu peneliti tidak menilai apakah Perguruan Mahesa Kurung sesat atau tidak, melainkan memahami subyek dari sudut pandang pelaku (eksponen yang ada di Perguruan Mahesa Kurung maupun kelompok yang memandang sesat). Begitu pula dalam memaknai fenomena yang ada di dalamnya8.
2.
Agama Kota Bogor, MUI Kabupaten Bogor, Pemuka Agama di Bogor, pengikut perguruan Mahesa Kurung dan masyarakat sekitar.
D. Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini tersusun dalam sebuah sistematika yang dibagi menjadi beberapa bab; pada bab pertama menjelaskan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, penjelasan teori gerakan, metodologi penelitian dan sistematika penelitian. Bab kedua menjelaskan temuan lapangan yang meliputi, latar belakang berdirinya, tokoh dan riwayat hidup pendiri, kronologi munculnya fatwa sesat MUI Bogor, serta respon pemuka agama dan masyarakat terhadap eksistensi Perguruan Silat Mahesa Kurung. Laporan ini ditutup dengan bab tiga yang menjelaskan tentang kesimpulan dan saran yang diberikan oleh peneliti ini berkaitan dengan eksistensi Perguruan Silat Mahesa Kurung, Bogor.
Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan melalui kajian pustaka, wawancara dan pengamatan lapangan (triangulasi). Kajian pustaka dilakukan sebelum dan sesudah penelitian lapangan. Sebelum ke lapangan, kajian pustaka ditekankan pada usaha untuk lebih mengenal kasus perguruan Mahesa Kurung yang sensasional melalui internet, merumuskan masalah sebagaimana telah ditentukan oleh desain operasional serta memilih fokus dalam mengekplorasi eksistensi perguruan Mahesa Kurung. Wawancara dilakukan dengan Kepala Kantor Departemen
7 Eksplorasi kualitatif terbatas, karena persyaratan sebagai penelitian dengan pendekatan kualitatif belum sepenuhnya terpenuhi persyaratannya. 8 Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999.
52
53
BAB II PERGURUAN MAHESA KURUNG
A. Sejarah Berdirinya
P
erguruan Mahesa Kurung adalah sebuah organisasi beladiri yang berdiri tahun 1986 di Bandung. Pada tahun 1995 pindah ke Bogor, beralamatkan di jalan Wijaya Kusuma Raya No. 74 Komplek Perumahan Yasmin (sebuah komplek perumahan mewah) di Kecamatan Bogor Barat Kota Bogor. Penggunaan nama Mahesa Kurung adalah karena keinginan pendirinya untuk mempertahankan budaya silat Sunda yang sudah ada sejak jaman dahulu. Mahesa dalam bahasa Jawa kuno adalah sebutan dari kerbau (sapi), merupakan sebutan dari satuan pengaman dari Kerajaan Tarumanegara. Sementara itu Kurung menurutnya merupakan istilah dari kemampuan dan kedigdayaan dari para pengawal kerajaan tersebut. Jadi Mahesa Kurung berarti pengawal raja yang mempunyai kemampuan kedigdayaan dan supranatural tinggi9. Abah MK, sebutan kebanggaan pemimpin tertinggi Mahesa Kurung, menjelaskan bahwa sebenarnya seluruh raja Jawa adalah keturunan dari raja-raja dari Taruma Negara. Dalam sejarah disebutkan, bahwa Tarumanegara adalah raja tertua di Jawa sebelum Kerajaan Kalingga. Dari Taruma Negara pindah ke Mataram Hindu Kuno, kemudian ke Jawa Timur (Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singasari, Majapahit), Demak dan Cirebon, Pajang, Banten, Giri Kedaton, Kasunanan Surakarta, dan terakhir Mangkunegaran dan Mataram Islam. Perguruan Mahesa Kurung yang mengajarkan seni beladiri sebagai hasil peninggalan pengawal raja-raja Taruma Negara merasa memiliki tanggungjawab untuk
9 Wawancara
54
melestarikannya. Sebab jurus-jurus yang diajarkan secara turuntemurun dari zaman dahulu hingga kini tidak kalah dengan berbagai jurus persilatan yang ada di tanah air sekarang. Seiring dengan perubahan zaman, yaitu dengan munculnya gerakan Islamisasi dan santrinisasi di seantero Nusantara, maka jurus-jurus fisik yang dahulu didukung oleh ilmu kedigdayaan versi Hindu dirubah dengan versi Islam. Salah satu pelopornya adalah Abah MK. Dasar-dasar jurus-jurus fisik bela diri yang diajarkan sebenarnya sederhana terhimpun dalam 12 jurus. Namun kembangankembangannya cukup banyak dan bisa dikembangkan sendiri oleh para pendekarnya. Saat ini perguruan Mahesa Kurung mengklaim memiliki anggota sebanyak 23 juta orang tersebar di seluruh dunia. Dalam struktur organisasi, Mahesa Kurung memiliki 921 cabang dan 4.790 ranting perguruan. Sementara di Kabupaten dan Kota Bogor, perguruan Mahesa Kurung memiliki sekitar 9.000 anggota. Seluruh anggotanya beragama Islam. Memang pada awalnya banyak di antara mereka yang non-muslim, tetapi setelah melakukan konsultasi spiritual dengan Abah MK dengan menjalani ritual penyembuhan berbagai penyakit serta manfaat jurus-jurus bela dirinya, akhirnya mereka masuk Islam. B. Tokoh Pendiri Perguruan Mahesa Kurung didirikan oleh Al-Mukarram As-Sayyid Al- Habib Faridh Al-Attros Al Kindhy yang dikenal dengan sebutan Abah MK. Abah MK lahir di Jakarta pada tahun 1961 berdarah campuran Sunda, Kalimantan dan Timur Tengah (Hadhramaut). Abah MK menamatkan SD, SMP, SMU dan S1-nya di Jakarta. Semasa sekolah, Abah MK pernah mengikuti berbagai perguruan silat di Jakarta, dan Bandung. Kemudian mendirikan “Perguruan Silat Mahesa Kurung” di Kota Kembang Bandung. Abah MK yang saat ini memiliki satu isteri dan tiga anak, kemudian memindahkan pusat Perguruan Mahesa Kurung ke Bogor pada
dengan Abah Mahesa Kurung, Oktober 2006
55
tahun 1995. Di sela-sela kesibukannya sebagai guru besar perguruan Mahesa Kurung, Abah MK sempat menyelesaikan S2 dan S3 di Baghdad Irak. Tidak jelas tahun berapa studinya tersebut diselesaikan10. Sebagai orang yang dihormati oleh jutaan anggotanya, Abah MK selain sebagai guru besar Mahesa Kurung juga seorang pebisnis ulung. Beliau menjadi komisaris dari 5 perusahaan besar di Kabupaten dan Kota Bogor yang bergerak di bidang ekspor-impor, kontraktor, advertising, garmen dan distributor/suplier. Di samping itu juga memimpin tiga buah yayasan yang bergerak di bidang sosial, seperti penyembuhan narkoba, santunan anak yatim dan sebagainya11. Dari ketiga yayasan itu, perguruan Mahesa Kurung dapat mengumpulkan dana yang besar dan menjadi modal mengelola yayasan, menggerakkan organisasi bela dirinya, dan memenuhi kehidupan mewahnya. Abah MK memiliki lima buah rumah di kompleks Yasmin itu. Satu buah untuk rumah pribadinya, tiga buah untuk yayasan, dan 1 buah untuk kantor pusat perguruan Mahesa Kurung. Rumah khusus pribadinya terdiri dari tiga lantai dan terdapat tidak kurang dari delapan kamar mewah. Dalam rumah terdapat berbagai aksesoris mewah, mulai patung macan dan kijang sepanjang 1,5 meter dan tinggi 60 cm yang terbuat dari porselin. Segala jenis piagam yang tergantung di hampir seluruh dinding dalam rumah tersebut, juga mebel mewah hingga relief dinding, patung liberty, perpustakaan, berbagai jenis tasbih, gambar-gambar para tokoh sufi, foto-foto keluarga, foto-foto bersama para jenderal dan tokoh keagamaan Indonesia tertentu serta foto-foto pertunjukkan bela diri dari anggota perguruan Mahesa Kurung semua terpajang lengkap. Di garasi mobil terdapat tiga mobilnya yaitu, BMW, Mercy dan Kijang Innova. Halaman rumahnya cukup luas, sekitar 200 meter, yang dipenuhi taman, lengkap dengan kolam ikan dan patung
seorang anak kecil. Rumah Abah MK ini juga memiliki gapura yang dijaga oleh Satpam yang dibayar tiap bulan oleh Abah MK. Seluruh dinding luar rumahnya dicat warna biru cerah. Cat yang digunakan tergolong berkwalitas tinggi dan mahal harganya. Di setiap puncak rumahnya terdapat hiasan simbol para raja (topi raja). Rumah pribadi Abah MK tergolong rumah paling mewah di antara rumah di komplek Yasmin itu. Sejak kecil saat menyelesaikan sekolah formal, Abah MK sudah serius mempelajari ilmu kasyaf (batin) dan mengikuti berbagai jenis seni bela diri di Jakarta. Para anggota keluarganya merupakan pendukung awal dari perguruan Mahesa Kurung ini. Kemudian murid-murid berduyun-duyun datang dari luar anggota keluarga. Perguruan Mahesa Kurung akhirnya berkembang dan didatangi beribu-ribu orang dari segala penjuru untuk belajar bela diri itu. Pada mulanya, perguruan itu tidak memiliki nama karena merupakan kombinasi dari berbagai jurus silat dari berbagai jenis kelompok bela diri yang pernah diikutinya. Meskipun demikian, Abah MK, tidak puas dengan kondisi ini. Mulailah Abah MK melakukan perjalanan spiritual, melakukan kontemplasi dan sering shalat malam memohon petunjuk dari Allah. Pada suatu malam, Abah MK mendapat wangsit agar memelihara jurus-jurus silat peninggalan para pengawal raja kerajaan Taruma Negara yang banyak menggunakan doa’a-do’a Hindu. Dalam wangsit itu juga dijelaskan, bahwa jurus-jurus itu akan menjadi lebih hebat jika disucikan dengan ayat-ayat al-Qur’an, wirid, dzikir sirri dan Asma’ul Husna12. Penerimaan wangsit melalui mimpi itu terjadi setelah beberapa kali dia melakukan shalat malam. Nampaknya hal inilah yang menjadi salah satu awal tuduhan dari MUI Kabupaten Bogor dan sebagai kajian pendahuluan dari Nahar Nahrawi, peneliti senior Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama13. 12 Ibid
hal, 8 dan wawancara dengan Abah MK, Oktober 2006 Lihat surat Muh. Nahar Nahrawi kepada Kapuslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbsang Departemen Agama dalam Kasus Mahesa Kurung di Bogor: Sebuah Kajian Awal, Mei 2006 dan lampirannya. 13
10 Ibid, 11 Ibid,
56
hal. 13-14 hal. 15
57
Dalam wangsit itu juga diperlihatkan dengan jelas bagaimana jurus-jurus yang dimiliki oleh para pengawal raja Taruma Negara tersebut. Abah MK sudah terbiasa dengan berbagai jurus persilatan dari berbagai jenis perguruan silat, sehingga dengan mudah ia mengingat jurus-jurus yang berasal dari wangsit itu. Seluruh jurus ada bacaan-bacaan khusus dari ayat-ayat suci alQur’an atau Asma’ul Husna. Tidak semua jurus menggunakan Asma’ul Husna yang sama. Menurutnya, setiap Asma’ul Husna memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Baginya yang paling penting adalah jurus itu sesuai dengan bacaan Asma’ul Husna dengan menyesuaikannya kapan harus digunakan. Dalam dunia persilatan, pertarungan dunia persilatan harus memiliki etika. Tidak semua peristiwa ditanggapi dengan jurus yang sama. Apalagi jika ingin menggunakan jurus pamungkas bila ingin segera menyelesaikan pertarungan dengan cepat14. Penggunaan Asma’ul Husna yang dijadikan bacaan seperti mantra oleh Perguruan Silat Mahesa Kurung inilah yang dituding menyimpang dan menyelewengkan ajaran Islam. Mereka yang tidak setuju dengan hal ini, menuduh sebagai perbuatan khurafat karena menjadikan ayat-ayat al-Qur’an untuk mendapatkan kekuatan jurus silat atau pengobatan15. Namun menurut Abah MK, al-Qur’an tidak hanya dipelajari isinya secara tekstual, namun lebih dari itu al-Qur’an memiliki multi fungsi, misalnya; berfungsi penenang hati bagi yang sering membacanya, menjadi obat serta menjadi pedoman hidup. Dengan al-Qur’an, seseorang dapat mengetahui rahasia kekuasaan Ilahi dengan izin-Nya. Dengan demikian al-Qur’an tidak dipandang sempit, hanya dipelajari secara tekstual dan dilaksanakan pula dhohirnya saja, namun harus dipelajari secara menyeluruh meliputi 14 Wawancara
dengan Abah MK., Oktober 2006 15 Lihat hasil Tim Investigasi MUI Kabupaten Bogor, Hasil Telaah terhadap Risalah alMukarrammah I
58
makna tersembunyi yang terkandung di dalamnya. Hal ini mengingat turunnya ayat tidak semata-mata hanya untuk menanggapi masalah secara fisik manusia. Al-Qur’an memiliki makna seluas langit dan bumi, sebagaimana dijelaskan oleh Allah sendiri bahwa ilmu Allah itu luas. Ilmu-Nya tidak akan pernah habis bila ditulis dengan menghabiskan tinta seluas lautan dan pohonpohon menjadi penanya. Oleh karena itu, al-Qur’an harus menjadi petunjuk awal dalam menyelesaikan semua urusan kehidupan, baik itu urusan fisik maupun metafisik. Al-Qur’an dapat digunakan untuk mengusir syetan (jin dan manusia) jahat, bahkan untuk memanggil syetanpun juga bisa jika itu yang dikehendaki oleh Allah16. Abah MK mulai populer setelah mendapat saran dari Dewan Guru Senior, Dewan Guru Yunior dan anggota perguruan pada tahun 1997 dengan membuat tulisan di berbagai media cetak di sela-sela kesibukannya sebagai guru besar (tidak dijelaskan media cetak apa dan kapan). Dewan Guru Senior yang dipimpn Ir. Lisman Sumardjani, MBA menjelaskan bahwa ajaran Abah MK dalam bentuk selebaran atau bulletin terkumpul dan dibukukan menjadilah Risalah al-Mukarromah I. Rencananya, buku itu akan diterbitkan setelah diedit dan direvisi. Namun, rencana tersebut belum terealisasi karena risalah itu sudah berada di tangan MUI Kabupaten Bogor dan telah dipublikasikan secara luas. Publikasi itu menggemparkan dan meresahkan masyarakat17. C. Doktrin Keagamaan Mahesa Kurung merupakan organisasi beladiri atau sebuah perguruan silat yang mengajarkan jurus-jurus silat secara fisik dan 16 Wawancara
dengan Abah MK, Oktober 2006 Diolah dari wawancara dengan Endang dan Lisman Sumardjani, Oktober 2006, dan lihat pula bulletin yang diterbitkan sejak 2001 yang berisi banyak persoalan-persoalan dalam agama Islam, terutama mengenai hal-hal keajaiban-keajaiban ayat-ayat al-Qur€an dan hijab hikmahnya bagi manusia. Yang diterbitkan oleh Center for Islamic Spiritualism Studies (CISS), Bogor. Bulletin ini kemudian dikumpulkan oleh Endang diurutkan dan dirapikan yang disebutlah Risalah al-Mukarrammah yang menggemparkan dunia sosial keagamaan itu. 17
59
dijadikan sebagai sarana syi’ar dakwah Islam. Hal ini tentu saja menjadikan Mahesa Kurung memiliki pemahaman keagamaan tertentu. Dasar keyakinan mereka adalah bahwa gerakan atau jurusjurus silat itu tidak akan pernah berarti banyak jika tidak dijiwai dengan Asma’ul Husna. Perguruan Mahesa Kurung ini menurut pengakuan para eksponen pimpinannya telah meng-Islamkan beribu-ribu orang yang sebelumnya menjadi non-muslim. Oleh karena itu, jika seseorang sudah menjadi anggota Perguruan Mahesa Kurung, maka dia bersumpah setia atas nama Allah, setia pada semua ajaran Perguruan Mahesa Kurung yang tidak bertentangan dengan ajaran agama Islam18. Dari proses wawancara yang cukup panjang dengan beberapa eksponen Perguruan Mahesa Kurung, terungkap bahwa pemahaman keagamaan yang dianutnya adalah pemahaman keagamaan mainstream tradisional. Pada saat shalat subuh selalu diikuti dengan do’a qunut, kemudian berdo’a dengan menggunakan wasilah, menyukai pengiriman hadiah tahlil kepada orang yang sudah mati, sangat menyukai amalan-amalan bacaan Asma’ul Husna di setiap kesempatan, menyukai marhabanan dan manakiban, menyukai hizb dan dalail. Shalat terawih dilakukan sebanyak 23 rakaat, adzan Jum’at dikumandangkan sebanyak dua kali dan sebagainya. Mereka menziarahi makam para wali dan para tokoh agama, mencium tangan orang yang dianggap lebih dihormati dan sebagainya. Semua jenis dan tatacara beramal dalam berbagai hal tersebut jelas merupakan ciri dari pemahaman keagamaan tradisional sebagaimana lazimnya orang-orang yang berada dalam komunitas Nahdhatul Ulama (NU). Kedekatannya dengan pemahaman dan pengamalan agama sebagaimana NU ini dinyatakan sendiri oleh Abah MK dan eksponen Perguruan Mahesa Kurung. Menurutnya mereka sangat dekat dengan Kyai-Kyai NU di Bogor Jawa Barat. Mereka memiliki 18 Diolah dari wawanvara dengan Abah MK Oktober 2006 dan lihat pula lembar Sumpah Perguruan.
60
hubungan dekat dengan KH Hasyim Muzadi, Ketua PBNU. Mereka tidak cocok dengan pemahaman Islam modernis, apalagi pemahaman kalangan liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla dan Komunitas Utan Kayu. Pendidikan yang diterapkan kepada anakanak mereka adalah pendidikan keagamaan tradisional NU. D. Pro dan Kontra Mahesa Kurung 1.
Mahesa Kurung yang Sensasional Perguruan silat Mahesa Kurung adalah sebuah organisasi beladiri yang berada di kompleks perumahan mewah Yasmin Bogor yang mengajarkan jurus-jurus silat seperti pada umumnya perguruan silat. Mahesa Kurung mengamalkan Asma’ul Husna pada setiap jurusnya. Berita tentang kesesatan Perguruan Mahesa Kurung muncul sejak lama melalui situs internet yang cenderung menguraikan keburukan Mahesa Kurung sebagai aliran sesat yang diungkapkan dengan bahasa yang penuh emosional. Kalau dicermati secara obyektif lebih cenderung mengandung unsur kepentingan jangka pendek penulisnya. Berita yang tersebut disertai dengan berita gambar berbagai aktifitas dan atraksi para anggota Mahesa Kurung dan foto-foto bintang film dimana oleh pihak Mahesa Kurung dipandang sebagai hal yang naif. Mahesa Kurung mencuat setelah surat kabar “Radar Bogor” menurunkan beritanya pada tanggal 3 Maret 2006 tentang kesesatan Mahesa Kurung. Gatra pada tanggal 7 Juli 2003 juga menginformasikan seluk beluk Mahesa Kurung, namun tidak mengulas kesesatannya. Pada tanggal 6 Mei 2006, Gatra menurunkan berita tentang Mahesa Kurung. Habib Abdurrahman Assegaf merespon dengan segera berita yang dipublikasikan oleh Radar Bogor itu. Dia adalah salah seorang Habib yang ikut memimpin penghancuran pusat pendidikan Ahmadiyah di Parung Bogor. Assegaf menemui Abah MK dan mendiskusikan masalah-masalah keagamaan yang ada dalam
61
Risalah al-Mukarromah itu yang kemudian diangkat oleh harian Radar Bogor itu. Dari diskusi itu, kemudian Assegaf melaporkannya kepada MUI Kabupaten Bogor dengan membawa kopian Kitab Ar-Risalah al-Mukarromah. MUI pun segara membentuk tim investigasi dengan berbekal laporan Assegaf tersebut. 2.
Investigasi MUI Kabupaten Bogor dan Tanggapan Perguruan Mahesa Kurung a. Hasil Investigasi MUI Kabupaten Bogor MUI Kabupaten Bogor dengan tim investigasi yang dibentuknya menelaah buku Ar-Risalah al-Mukarromah yang terbagi menjadi 8 judul itu. Abah MK pada awalnya tidak tahu menahu hal tersebut. Menurut penuturan sekretaris pribadinya yang bernama Endang, Risalah al-Mukarromah adalah kumpulan bulletin sejak tahun 2001 yang kemudian dibukukan menjadi sebuah buku dengan judul Ar-Risalah al-Mukarromah I setebal 717 halaman19. Dari delapan judul itu terdapat delapan persoalan yang dikonfrontir dengan Abah MK. Pertama, masalah transliterasi Arab ke Indonesia menurut MUI dianggap tidak sesuai dengan ketentuan penulisan. Bagi MUI, kesalahan transliterasi Arab ke Indonesia akan menimbulkan kesalahan arti dan ini tidak dapat dimaafkan, karena menyesatkan para pembacanya. Sementara itu pihak perguruan Mahesa Kurung telah mengakui kekhilafan itu, karena memang tidak memiliki acuan sebagaimana yang dimiliki oleh penerbit buku-buku Islam. Pihak Mahesa Kurung pun siap untuk merevisi kesalahan-kesalahan transliterasi itu20. Kesalahan transliterasi tersebut menurut mereka bukan merupakan kesalahan 19 Wawancara
dengan Endang, Sekretaris Pribadi Abah MK, Oktober 2006. Wawancara dengan Abah MK dan Endang, Oktober 2006 dan lihat pula pengakuan Abah MK dihadapan para Ulama yang tergabung dalam PC NU Kota Bogor dan surat PCNU Kota Bogor kepada MUI Kabupaten Bogor. 20
62
Perguruan Silat Mahesa Kurung, karena hampir seluruh penerbit yang ada di Indonesia pernah mengalami kesalahan cetak. Seperti contohnya Departemen Agama yang mengeluarkan SK bersama, Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1994, pernah melakukan kesalahan transliterasi bahkan hingga naik cetak. Namun, dari kesalahan transliterasi tersebut tidak membuat Departemen Agama atau Diknas menjadi sesat. Kedua, nama-nama Nabi dan Rasul yang wajib diketahui. Bagi MUI, jumlah Nabi dan Rasul yang wajib diketahui adalah 25 orang dan jelas urutannya. Dalam Kitab ar-Risalah alMukarromah, nama Nabi dan Rasul yang lazim diketahui umat Islam hilang tiga nama (Hud, Luth dan Ilyasa), tetapi muncul nama baru (Sist, Khidir dan Dzulqarnain). MUI mempersoalkan referensi tiga nama Nabi tersebut. Kesalahan penyebutan Nabi maupun ruang lingkup historisnya itu diakui oleh Mahesa Kurung memang mengandung kekeliruan. Oleh karena itu, pihaknya siap memperbaiki sesuai dengan yang sudah menjadi pengetahuan umum umat Islam. Kesalahan pengetahuan sejarah seperti ini, sebenarnya bukan masalah besar yang harus dihukum sesat, karena berkaitan dengan ilmu pengetahuan, bukan suatu amalan dari ajaran Islam. Bahkan, banyak Kyai atau Ulama’ saat ini masih mempercayai keberadaan Nabi Khidir masih hidup hingga kini; Ketiga, Tentang para Nabi dan Rasul, isteri dan usia. Dalam buku itu dijelaskan, misalnya Nabi Nuh isterinya berjumlah 41 orang dan usianya 600 tahun, Nabi Muhammad isterinya 41 orang dan usianya 70 tahun. MUI pun mempertanyakan masalah ini. Pihak Mahesa Kurung menyatakan siap memperbaiki dan mengembalikannya sesuai dengan pengetahuan umat Islam, Keempat, dalam Ar-Risalah al-Mukarromah halaman 100 disebutkan Abu Jahal masih hidup saat penaklukan Kota
63
Mekah, sementara menurut MUI Abu Jahal telah tewas dalam perang Badar;
menyembah patung, pohon besar, atau memotong kambing di tempat-tempat keramat dan sebagainya;
Kelima, dalam ar-Risalah al-Mukarromah disebutkan bahwa seluruh huruf hijaiyah dan surat-surat al-Qur’an memiliki Khadamul Ghoiby (penjaga huruf) (halaman 120-122). MUI meminta bukti kepada Abah MK dan referensinya. Keyakinan yang berbau khurafat banyak ditemui di masyarakat, apalagi di kalangan Nahdiyin yang sering kali tidak dapat dibuktikan dengan menyebutkan referensinya. Buku-buku mujarabat yang banyak berisikan tentang khasiat ayat-ayat al-Qur’an tidak pernah mendapat fatwa sesat, namun beredar luas di kalangan umat Islam;
Kedelapan, mengenai referensi Ghoibul Haqq yang akan muncul setelah 7.777 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. MUI mempersoalkan hal tersebut tidak jelas ujung pangkalnya. Pendapat seperti ini secara ilmiah tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan pembuktian. Keyakinan yang berbau gugon tuhon (tahayul) ini menghinggapi masyarakat muslim, terutama kalangan masyarakat arus bawah.
Keenam, dalam Ar-Risalah al-Mukarromah disebutkan “Hanya dengan bambu kuning dan Kitab falaqiyah, anda dijamin menjadi seorang peramal ulung yang ampuh dalam bertuah dan tidak pernah meleset, serta tidak ada sesuatu pun yang dapat bersembunyi dari anda (halaman 282-622). Hal ini dipandang MUI sebagai praktek perdukunan, padahal perdukunan itu haram dalam Islam. Mengajarkan ilmu utuk menjadi peramal yang dapat mengetahui segala yang gaib sehingga menganggap tidak ada yang tersembunyi karena dengan bantuan jin Ketujuh, pada halaman 326 dijabarkan bahwa syirik adalah masalah hati dan perasaan, hanya Allah Yang Maha Tahu. Oleh karena itu jangan mudah memvonis seseorang berbuat syirik, karena kalau salah dapat dikategorikan ke dalam perbuatan fitnah. MUI memandang bahwa syirik bukan sekedar urusan hati akan tetapi mencakup hati, perkataan dan perbuatan. Menuduh orang atau kelompok sebagai musyrik tentu saja kurang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini mengingat bahwa memang yang tahu hati manusia itu syirik atau tidak hanya Allah. Sedangkan manusia hanya menangkap gejala, kecuali secara telanjang dapat dilihat melakukan perbuatan syirik. Syirik yang nampak, seperti; seseorang sedang
64
Setelah mengkaji delapan masalah yang dianggap sebagai masalah besar, maka MUI Kabupaten Bogor menilai merupakan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan. Menurut MUI, berdasarkan hasil investigasi terhadap delapan masalah itu menetapkan bahwa perguruan Mahesa Kurung AlMukarromah adalah sesat dan menyesatkan. Setelah fatwa itu, MUI menghimbau Abah MK dan Lisman Sumardjani, beberapa hal, yaitu: pertama, agar menyadari bahwa bagaimanapun tuntunan yang ada dalam buku itu tidak dapat diterima oleh umat Islam; kedua, segera bertaubat dan menarik semua buku dan bulletin itu dari pasaran karena sesat dan menyesatkan; ketiga, agar seluruh anggota di manapun berada untuk meninggalkan syirik; keempat, segera menghentikan setiap pemikiran, gagasan, tulisan dan tindakan yang menjurus kepada syirik, khurafat, kufur dan murtad. b. Tanggapan Perguruan Mahesa Kurung Hasil investigasi itu kemudian dijadikan dasar oleh MUI untuk mengeluarkan fatwa sesat perguruan Mahesa Kurung Al-Mukarromah, melalui surat dengan nomor 02/X/KHF/MUI-KABUPATEN/III/06 tertanggal 13 Maret 2006. Fatwa itu menggegerkan masyarakat Kota Bogor. Pada bulan Maret hingga April 2006, media elektronik Jakarta pun meliputnya. Pihak perguruan kaget dengan hal ini, karena
65
merasa bukan sebagai organisasi keagamaan, apalagi keluar fatwa sesat. Endang, Sekretaris Pribadi Abah MK menuturkan: “Fatwa MUI itu mengada-ngada dan menggelikan. Pertama, bagaimana mungkin MUI Kabupaten Bogor dapat mengeluarkan fatwa sesat, sementara mereka belum melakukan klarifikasi kepada kami; Kedua, fatwa itu sendiri salah alamat, karena kami bukan organisasi dan aliran keagamaan baru; Ketiga, perguruan tidak mengajarkan detailnya masalah agama, melainkan hanya mengajarkan jurus-jurus dari perguruan bela diri Mahesa Kurung. Kalau mau belajar bela diri silahkan datang, tetapi kalau belajar agama saya tunjukkan di mana harus belajar agama (pesantren atau ustadz yang mereka kenal). Dalam jurus-jurus bela diri itu kemudian diperkuat dengan lafal-lafal Asma€ul Husna dan ayat-ayat lain yang sesuai dengan tujuannya. Tidak ada yang aneh, karena banyak perguruan bela diri yang mempraktekkan cara dan metode ini. Keempat, Perguruan Mahesa Kurung berusaha membersihkan diri dari syirik karena syirik itu merupakan dosa yang tidak terampuni. Boleh percaya boleh tidak, penggunaan al-Qur€an sebagai dasar dan penguat dari semua jurus silat yang ada akan jelas lebih Islami dibandingkan misalnya dengan Debus dari Banten. Jadi kami ini bukan aliran keagamaan, tetapi merupakan aliran bela diri, meskipun dengan sebutan aliran juga kurang tepat. Hal tersebut karena jurus dan dasar al-Qur€an yang digunakan sangat lazim dilakukan oleh berbagai perguruan silat di berbagai tempat di Indonesia, lebih-lebih di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bagi kami fatwa tersebut tidak masuk akal. Menurut kami, MUI melakukan kedhaliman, menebar fitnah dan kebencian. Mereka tidak sadar sedang diadu domba oleh orang-orang tertentu, yang tidak senang umat Islam itu kuat. Mereka tidak merasa bahwa mereka sedang melakukan praktek saling menjegal sesama pengawal Islam. Kalau dalam buku itu ada yang salah, kenapa tidak melakukan klarifikasi terlebih dahulu”21.
membahas masalah yang dipersoalkan itu dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Kepala Kantor Departemen Agama Kota dan Kabupaten Bogor sebagai fasilitatornya. Pertemuan dilakukan pada tanggal 2 April 2006 di kantor Polwil Bogor. Pertemuan ini adalah pertemuan lanjutan dari pertemuan tanggal 22 Maret 2006 di Masjid Raya Bogor yang tidak menghasilkan rumusan apapun. Hal ini terjadi karena pihak MUI mengerahkan umat Islam dalam pertemuan itu dan fatwa sesat sudah dijatuhkan tanggal 13 Maret 2006. Dalam pertemuan di Kantor Polwil Bogor juga tidak menghasilkan rumusan apapun, karena MUI Kota Bogor mengerahkan umat Islam mengepung Polwil Bogor. Bapak Saeroji, sebagai fasilitator merasa heran melihat situasi ramai di luar ruang pertemuan. Berikut penuturannya: “Saya dan Kantor Departemen Agama Kabupaten Bogor memfasilitasi pertemuan itu agar kedua belah pihak dapat melakukan klarifikasi (tabayyun) sebagaimana diajarkan oleh Islam. Tetapi pihak MUI ternyata sudah menjatuhkan fatwa sesat dan menyesatkan terhadap Perguruan Mahesa Kurung pada tanggal 13 Maret 2006 dan saya menerima tembusannya pada tanggal 22 Maret 2006 pada saat mau berangkat ke Masjid Raya Bogor. Dalam perjalanan, saya sudah merasa ada yang tidak beres. Ternyata benar, di Masjid Raya telah berkumpul ratusan orang, sehingga pertemuan gagal dilakukan karena pihak perguruan melihat gelagat tidak sehat dari orang-orang yang dikerahkan oleh MUI Kabupaten Bogor itu. Hal ini terulang lagi ketika akan dilakukan pertemuan di Polwil Bogor. Di Kantor Polwil itu sudah berkumpul ratusan orang. Akhirnya pertemuan berubah menjadi penghakiman terhadap Perguruan Mahesa Kurung, dan saya kebingungan, bagaimana bisa begini. Perguruan Mahesa Kurung tidak melakukan reaksi apapun dan meninggalkan ruangan bersama Kombes Pol Drs. Sukrawardi Dahlan ke ruang Kombes. Pertemuan itu pun gagal dan masa dibubarkan”22.
Upaya klarifikasi sebenarnya telah dilakukan, dengan harapan MUI dan Abah MK dan jajarannya duduk bersama
22 Wawancara 21 Wawancara
66
dengan Endang, Sekretaris pribadi Abah MK.
dengan Saeroji, Kepala Kantor Departemen Agama Kota Bogor,
Oktober
2006
67
3. Tanggapan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Sebelum keluar fatwa sesat dan menyesatkan dari MUI Kabupaten Bogor itu, MUI Pusat belum menerima informasi detail mengenai profil Perguruan Mahesa Kurung. Informasi yang sampai kepada MUI adalah pengaduan masyarakat muslim Kota Bogor perihal Perguruan Mahesa Kurung. Pihak MUI Pusat mendapatkan salinan fatwa MUI Kabupaten Bogor, hasil telaah Ar-Risalah al-Mukarromah I dan hasil investigasi MUI Kabupaten Bogor. Menurut penelusuran penulis, tidak terdapat informasi perihal pernah diadakannya pertemuan antara MUI Kabupaten Bogor dengan pihak Abah MK. Sementara itu MUI Pusat melakukan telaah terhadap Ar-Risalah alMukarromah I dan mendatangi Abah MK di rumahnya, kemudian mendiskusikan Ar-Risalah al-Mukarromah I dengan para abdinya. Mereka melaksanakan shalat berjama’ah. Temuan MUI Pusat dari hasil pertemuan itu diantaranya, Pertama, MUI Pusat menemukan kesalahan dalam buku Ar-Risalah al-Mukarromah I, baik bersifat teknis penulisan maupun substansinya, sehingga perlu perbaikan; Kedua, MUI Pusat meminta kepada Mahesa Kurung untuk tidak menulis buku-buku keagamaan, bulletin dan sebagainya tanpa rujukan yang shahih; Ketiga, MUI Pusat menghimbau kepada seluruh jajaran perguruan mulai pimpinan sampai anggota, selain mempelajari bela diri juga memperdalam ilmu agama agar agamanya benar23. Kepada Pimpinan MUI Kabupaten Bogor, MUI Pusat menyampaikan himbauan, diantaranya agar; pertama memperhatikan prosedur dan mekanisme yang telah ditetapkan MUI Pusat; kedua, bila substansi masalah berkaitan dengan kehidupan sosial kemasyarakatan, hendaknya melakukan tabayyun dan klarifikasi; ketiga, penetapan fatwa yang berdampak luas
23 Draft Rekomendasi Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang penyelesaian perguruan Mahesa Kurung.
68
hendaknya dikonsultasikan dengan MUI Pusat terlebih dahulu; keempat, dalam menetapkan fatwa disertai dengan dalil yang shahih. Gejala munculnya fatwa sesat sendiri sebenarnya sudah dirasakan cukup lama oleh pimpinan perguruan, karena sebelum itu beredar selebaran gelap yang mendeskreditkan perguruan Mahesa Kurung Al-Mukarromah. Pimpinan Mahesa Kurung pun menugaskan anak buahnya untuk menelusuri asal-usul selebaran gelap itu. Hasil penelusuran tim dari perguruan itu menyimpulkan bahwa yang membuat dan menyebarkannya adalah mantan anggota perguruan sendiri, berinisial Har dan isterinya, padahal dia adalah orang kawakan di perguruan serta sangat dihormati oleh anggota perguruan, bahkan oleh orang-orang dekat Abah MK. Har sendiri adalah mantan orang dekat Abah MK. Har melakukan perbuatan yang dinilai memalukan perguruan hingga berulang sebanyak 12 kali, akhirnya Abah MK memecatnya. Pada saat ini sedang terjadi pertarungan hukum yang sengit antara perguruan Mahesa Kurung dengan MUI Kabupaten Bogor, karena pihak perguruan melakukan somasi kepada MUI Kabupaten Bogor. Karena tidak mendapat respon sampai batas waktu yang ditentukan, akhirnya pihak perguruan melaporkan kepada pihak berwajib. Pada saat ini sedang dalam proses di Pengadilan Kabupaten Bogor. Perguruan pun menunjuk kuasa hukumnya, yaitu Ujang Suja’i & Associates dengan menyampaikan gugatan kepada MUI Kota Bogor secara material sebesar Rp 5 miliar dan immaterial sebesar Rp 500 milyar, terkecuali MUI bersedia mencabut fatwa dan meminta maaf kepada perguruan 24. E. Respon Pengurus NU Cabang Kota Bogor Berbagai ragam tanggapan masyarakat terhadap munculnya fatwa sesat dan menyesatkan oleh MUI Kabupaten Bogor. Pengurus 24 Ujang Suja€i Tojiri, SH, MH dan Rachmat Imron Hidayat, SH, Berkas Somasi kepada Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bogor, 13 April 2006.
69
Cabang NU Kota Bogor misalnya, menanggapi fatwa MUI Kabupaten Bogor tidak bersih dari kepentingan kelompok tertentu. Pimpinan Cabang NU Kota Bogor merasa prihatin dengan fatwa sesat dan menyesatkan itu. Menurutnya kondisi sosial masyarakat muslim saat ini sedang dilanda banyak cobaan, fitnah, dengan perilaku manusia yang rendah melebihi binatang. Tambahnya lagi, ujian itu datangnya dari ulama yang semestinya menjadi panutan dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi kaum muslimin. Bagaimana mungkin mengatasi masalah baru dengan memunculkan masalah baru. Dia mengibaratkan bila hendak meluruskan sesuatu yang bengkok dengan kebodohan, maka akan melahirkan buruk sangka, ghurur (tipu daya), ihtiqar (penghinaan) dan merasa benar sendiri. Yang muncul adalah demi kepentingan golongan dan kedudukan pribadi dilakukan dengan cara memukul kelompok lain yang tidak sepaham25. Dalam suratnya kepada Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bogor, Pengurus Cabang NU Kota Bogor menyatakan “Bila mendengar berita kurang baik, mohon tidak tergesa-gesa mempercayai dan menyimpulkannya, karena bisa jadi berita itu tidak benar. Kemudian bila ingin menyelesaikannya atau mengatasinya, maka haruslah melakukan mawas diri agar bersih dari berbagai kepentingan jangka pendek. Dan yang paling penting adalah menggali informasi itu dari sumbernya dan melakukan penyelesaian masalah sesuai dengan syari€at yang santun, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah. Jadi bila ingin memperbaiki yang salah harus dengan cara yang baik dan benar, sehingga tidak menimbulkan masalah dan fitnah lebih besar. Obyek sudah menjadi korban namun tidak ada yang bertanggungjawab”. Pimpinan Cabang NU Kota Bogor meminta dalam mengeluarkan fatwa harus merujuk kepada petunjuk yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia Pusat. Dalam pedoman menentukan fatwa, bahasa yang digunakan harus mencerminkan bahasanya para ulama, halus, indah dan santun. Memberi nasehat 25 Pengurus
70
Cabang Nahdlatul Ulama Kota Bogor, 21 April 2006
kepada pihak lain haruslah menggunakan bahasa yang baik, dan bersih dari kepentingan kelompok. Fatwa yang menggunakan bahasa emosional mencerminkan ketidakarifan penyusun fatwa itu. Para Pengurus Cabang NU Kota Bogor juga menyatakan bahwa MUI Kabupaten Bogor berkali-kali telah melakukan shilaturrahim dengan Abah MK, namun semuanya baik-baik saja tidak nampak tanda bahwa perguruan Mahesa Kurung itu sesat dan menyesatkan. Para pengurus NU Cabang Kota Bogor menyampaikan beberapa hal, yaitu; pertama, Mahesa Kurung merupakan sebuah organisasi perguruan silat, bukan aliran suatu paham dari agama tertentu; Kedua, Faridhal Attros al-Kindi sangat terbuka menjawab semua pertanyaan serta mengakui kekhilafan, kesalahan dan kekurangan yang ada, baik manajemen organisasi maupun kitab ar-Risalah al-Mukaramah I yang dipermasalahkan banyak orang itu; Ketiga, Fardhal Attros al-Kindi, bersedia melakukan perbaikan dan penyempurnaan di segala bidang, karena sebaik-baik manusia adalah yang mau mengakui kekurangan dan kesalahannya, lalu memperbaikinya. Dalam ar-Risalah alMukarramah memang ada kesalahan penulisan dan kesalahan sejarah. Pihak Perguruan Mahesa Kurung mengakui hal tersebut dan bersedia untuk melakukan perbaikan. Mengenai isi Risalah alMukarromah I pada halaman 382 – 622 yang dinilai oleh MUI Kabupaten Bogor mengandung unsur perdukunan, adalah amalan yang suka diwiridkan oleh sebagian Kyai di Indonesia bahkan dunia.26
F. Respon Paguyuban Masyarakat Robabil (Rombongan Ababil) Kota Bogor Pemuka Paguyuban Masyarakat Robabil (Rombongan Ababil) yang berpusat di Lelongok Empang Bogor, yang beranggotakan 40 Kyai pesantren di Sukabumi dan Jabotabek mengatakan bahwa 26 Pengurus
Cabang Nahdlatul Ulama Kota Bogor, 21 April 2006
71
perguruan Mahesa Kurung tidak sesat. Pernyataan dibuat tanggal tanggal 7 April 2006 dan ditanda tangani oleh 40 Kyai tersebut. Dalam salah satu pernyataannya yang diwakili oleh KH. Nu’man Istichori mengatakan: “Kesalahan huruf dan sejarah adalah biasa, bukan merupakan kesalahan yang prinsipil yang membuatnya sesat dan menyesatkan serta tidak mengakibatkan kekufuran. Jadi tidak perlu dipersoalkan. Namun, jika Abah MK mengamalkan wirid, dzikir, tawassul dan penggunaan Asma’ul Husna dalam bela diri dianggap kafir, maka sama saja dengan mengkafirkan saya, sebab saya mengamalkannya. Ketika saya bertanya kepada Abah MK, yaitu bagaimana pada saat ditanya MUI mengenai hal-hal yang dipersoalkan, dia menjawab: “Saya tidak tahu harus bilang apa, dipanggil saja tidak, ketemu tidak, apalagi kenal juga tidak. Saya sendiri tahu kalau saya dan anggota MK di vonis sesat itu dari Surat Kabar. Anehnya mereka baru menanyakan isi buku ini pada 18 Maret 2006, ketika vonis sesat sudah jatuh. Saya menganggap perbuatan MUI itu merupakan persekongkolan jahat yang sudah direncanakan sebelumnya. Bukankah QS An Nahl ayat 125 mengatakan: “Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang telah mengetahui mengenai siapa yang tersesat dijalan-Nya”. Jika kita simak makna ayat tersebut, maka MUI Kabupaten Bogor telah bertindak seperti Tuhan. Jadi sebenarnya bisa jadi MUI Bogor sendirilah yang sesat dan yang meresahkan umat Islam”.27 Sementara itu pengurus NU Cabang Kota Bogor, menjelaskan sebagai berikut: “Kami prihatin dengan kondisi umat Islam yang sedang penuh cobaan, ujian, fitnah dan akhlak manusia telah begitu rendah lebih dari binatang. Dalam kondisi seperti ini, apa yang akan kita lakukan? Apakah kitapun akan masuk jurang yang sama? Membiarkan yang sakit tambah parah, membiarkan yang lemah menjadi tambah kepayahan, membiarkan yang salah menjadi tambah rusak, membiarkan yang sesat menjadi lebih sesat, mengatasi masalah dengan masalah, meluruskan yang sesat dengan kebodohan sehingga buruk sangka, gurur bahkan ihtiqar, egois pribadi, kepentingan golongan dan kedudukan dijadikan alat menghukum dan
menindas lawan. Sedangkan Rasulullah telah bersabda: ÅKetika kita berselisih, berbeda paham atau pendapat, segeralah lihat hati dan jiwa kita, sehatkah atau sakitkah‚. Ini sangat penting untuk melihat perbedaan itu. Apalagi ketika mendengar berita kurang baik, jangan tergesa-gesa percaya dan menyimpulkannya, karena bisa jadi berita itu tidak benar”28. KH. TB. Bahrum Zaman Pimpinan Ponpes Al Umm Bogor, menyayangkan akan keberadaan Perguruan Mahesa Kurung. Dia mengatakan: “Masalah ini tidak nyambung, dan MUI Kabupaten Bogor tetap memfatwakan sesat. Sebab Tim yang dikatakan sebagai Tim Investigasi itu didominasi ulama-ulama anti qunut, anti tahlil, anti manakiban, anti marabanan, anti talqin, anti tawassul anti hizb dan dalail. Jadi tidak saling berkait. Seharusnya mereka bersikap toleran terhadap masalah khilafiyah. Sebab salah satu tugas ulama adalah membuat umat ini tenang, bukan malah menjadi resah. Kalau ada masalah, seharusnya didiskusikan bersama, tidak usah melibatkan massa. Karena hal itu sangat berbahaya yang menyebabkan bisa saling menghancurkan demi mempertahankan suatu keyakinan. Orang lain tertawa dan tepuk tangan”29. Bapak Saeroji sebagai Kepala Kantor Departemen Agama ketika bersama-sama melakukan dialog dan wawancara seputar masalah Mahesa Kurung berpendapat secara teknis MUI Kabupaten Bogor salah, karena tidak melakukan klarifikasi kepada Abah MK. Jika hal ini dilakukan, niscaya tidak akan terjadi peristiwa demikian. Pada saat ini MUI kesulitan menghadapi gugatan di Pengadilan Cibinong. Karena ternyata gugatan itu tidak main-main hingga dalam proses putusan. Jika MUI tidak suka dengan ajaran-ajarannya, maka sesungguhnya tabayyun lebih baik untuk dilakukan MUI30. Di kalangan pesantren Salaf di Jawa, pengajaran jurus-jurus silat dengan menggunakan bacaan wirid, dzikir, puasa wishal (7 hari 7 malam berturut-turut), puasa sunah 40 hari, membaca Asma’ul Husna dan berbagai jenis model sesuai dengan kreatifitas Kyainya, 28 Wawancara 29 Wawancara
27
72
Wawancara dengan KH. Nu€man Istichori, Oktober 2006
30 Wawancara
dengan H.M. Yusuf Sy, Rois Syuriah PC. NU Kota Bogor, Oktober 2006. dengan KH. TB. Bahrum Zaman, Oktober 2006. dengan Saeroji, Oktober 2006
73
merupakan hal biasa. Mereka tidak dikatakan sebagai sesat dan menyesatkan. Prinsipnya bukan untuk satu tujuan kemungkaran, namun untuk tuntunan hidup. Fatwa sesat MUI Kabupaten Bogor terhadap perguruan Mahesa Kurung dinilai lebih bermuatan politis dari pada pemurnian agama. Menurut HM. Yusuf Sy, MUI Kabupaten Bogor saat ini didominasi oleh kelompok tekstual.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
D
engan mencermati paparan di atas dapat disimpulkan bahwa munculnya perguruan silat yang dipimpin Abah MK adalah karena ketidakpuasan Abah MK terhadap berbagai jenis persilatan yang pernah diikutinya di Jakarta. Hal ini sama halnya dengan munculnya gerakan-gerakan keagamaan yang sudah lama ada, baik di kalangan tradisionalis maupun modernis. Perguruan silat yang menggunakan metode pengayaan wirid, dzikir siri, puasa, Asma€ul Husna, benda-benda keramat dan sebagainya ditengarai sebagai bagian dari tradisi kalangan arus utama tradisional di Jawa. Di kalangan modernis hal demikian juga terjadi meskipun secara teknis berbeda. Fatwa sesat terhadap perguruan Mahesa Kurung dipertanyakan kemurniaanya, terdapat unsur kepentingan-kepentingan kelompok yang sedang mendominasi MUI Kabupaten Bogor. Masalah keagamaan yang sebenarnya bukan pada aliran, paham atau gerakan bela diri Mahesa Kurung tetapi pada keluarnya fatwa MUI Kabupaten Bogor. Diskursus keagamaan tidak dapat berlangsung dengan wajar karena terdapat pemaksaan dan dukungan fisik terhadap kepentingan untuk memenangkan sebuah kepentingan. Di sini sekali lagi terdapat kecendrungan menguatnya paham puritan atau Salafi dalam diskursus keagamaan tradisional. B. Saran Kepada semua pihak, baik tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh politik maupun tokoh pemuda, hendaknya tidak mudah membuat kesimpulan terhadap masalah-masalah yang
74
75
belum jelas kebenarannya. Kesimpulan yang salah karena data-data yang salah dapat megakibatkan putusan yang salah dan meresahkan masyarakat sebagaimana terjadi pada fatwa sesat Mahesa Kurung yang dikeluarkan oleh MUI Kabupaten Bogor.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Azis, Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Diva Pustaka, Jakarta, 2004. Ahmad Sutarto, Winongo dalam Lintasan Sejarah Perjuangan Bangsa, 1995. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, LP3ES, Jakarta, tt. Endang, Sekilas Biografi Guru Besar Perguruan Mahesa Kurung AlMukarromah, yayasan Air Kehidupan, 2000. Lexy
J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999.
Siradjuddin Abbass, Empa Puluh Masalah Agama, tt. Wakhid Sugiyarto, Respon terhadap Aliran Sempalan Islam dan Hindu Tamil Medan, 2006, tidak diterbitkan.
76
JAM’IYATUL ISLAMIYAH DI KOTA PADANG Oleh : Dra. Hj. Kustini, M.Si
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
S
alah satu faktor yang sering muncul dalam kerangka hubungan antar umat beragama adalah masalah pendirian rumah ibadat. Kehadiran sebuah rumah ibadat baru sering mengganggu hubungan antar umat beragama sehingga kerap kali memicu konflik. Penyebabnya karena lokasinya berada di tengah komunitas yang mayoritas telah menjadi penganut agama lain. Rumah ibadat bukan hanya dipandang sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan keagamaan semata, namun merupakan simbol keberadaan suatu kelompok agama. Permasalahan menjadi rumit ketika rumah ibadat tersebut oleh pihak lain dipandang tidak sekedar memenuhi kebutuhan jama’ah, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama kepada komunitas lain yang telah memeluk suatu agama. (Lihat: Pidato Menteri Agama RI pada Kursus Singkat Angkatan XIV Lemhanas RI Tanggal 29 Mei 2006). Hasil kajian Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama tentang masalah rumah ibadat antara lain menyimpulkan bahwa gangguan hubungan antar umat beragama akibat persoalan rumah ibadat biasanya terjadi karena kurangnya komunikasi antara pihakpihak yang hendak mendirikan rumah ibadat dengan umat dan pemuka agama di sekitar lokasi pendirian rumah ibadat itu(Lihat Naskah Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 tahun 2006). Penyebab lainnya adalah karena ketidakjelasan aturan tentang pendirian rumah ibadat. Sebagaimana diketahui SKB Nomor 1 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya,
79
dalam beberapa hal dianggap tidak memberi kejelasan tentang syarat dan prosedur pendirian rumah ibadat. Akibatnya implementasi di berbagai daerah menjadi bervariasi. Di samping itu tidak ada standar pelayanan terukur untuk merespon permohonan pendirian rumah ibadah. Hal-hal di atas seringkali menjadi penghambat dalam proses permohonan izin rumah ibadah. Oleh karena itu sebagian pihak berpendapat bahwa keberadaan SKB No. 1 Tahun 1969 menghambat pendirian rumah ibadat. Realitasnya, SKB Nomor 1 Tahun 1969 tidak menghalangi berdirinya rumah ibadat baru. Data menunjukkan bahwa selama lebih dari dua dasawarsa setelah SKB berlaku, rumah ibadat dari setiap kelompok agama bertambah. Lihat tabel berikut: Tabel 1. Perbandingan Jumlah Rumah Ibadat di Indonesia Tahun 1997 dan 2004 Rumah Ibadat Agama Islam Kristen Katholik Hindu Buddha Jumlah/Rata-rata
Tahun 1997 392.044 18.977 4.934 4.247 1.523 421.725
2004 643.834 43.909 12.473 24.431 7.129 731.776
% Kenaikan 64,22 131,38 152,80 475,24 368,09 238,35
Sumber: Naskah Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006.
Mencermati berbagai permasalahan terkait dengan rumah ibadat, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri membentuk satu tim untuk membahas penyempurnaan SKB Nomor 1 Tahun 1969. Proses penyempurnaan dilakukan dengan melibatkan anggota tetap dari Majelis-Majelis Agama masing-masing 2 (dua) orang. Hasil kajian tersebut dirumuskan dalam bentuk Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala
80
Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan, dan Pendirian Rumah Ibadat. Salah satu substansi dari PBM tersebut adalah pedoman tentang pendirian rumah ibadat. Kasus terganggunya hubungan umat beragama karena pendirian rumah ibadat kembali terjadi di wilayah Sumatera Barat, tepatnya di Kota Padang. Peristiwa itu terjadi dua hari menjelang peresmian masjid yang diberi nama Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah. Padahal peresmian masjid tersebut sudah dipersiapkan jauh hari dan akan dibuka secara resmi oleh Gubernur Sumatera Barat. Dilihat dari segi fisik, bangunan itu cukup megah yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai Islam dengan adat setempat. Menarik untuk diamati mengapa peresmian masjid di wilayah yang berfalsafah adat basandi syara, syara basandi kitabullah tersebut ditentang oleh umat Islam sendiri. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan penelitian dirumuskan ke dalam beberapa pertanyaan berikut: Bagaimana kronologi proses pembangunan masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah? Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya konflik terkait rencana peresmian rumah ibadat itu? Bagaimana respon pemerintah daerah maupun masyarakat terhadap konflik tersebut? Bagaimana respon Jam€iyyatul Islamiyah dalam menanggapi kasus pembangunan masjid tersebut? C. Tujuan dan Kegunaan Sejalan dengan permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk: Mengetahui dan menggambarkan kronologi proses pembangunan masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah; Mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi terjadinya konflik terkait rencana peresmian rumah ibadat itu; Mengetahui respon pemerintah daerah maupun masyarakat
81
terhadap konflik tersebut; dan Mengetahui respon Jam’iyyatul Islamiyah dalam menanggapi kasus penggagalan peresmian masjid tersebut. Sebagai sebuah penelitian kebijakan, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh berbagai pihak dalam menghadapi masalah kehidupan keagamaan khususnya terkait dengan kasus pendirian rumah ibadat. Berbagai pihak dimaksud antara lain: 1.
Jajaran Departemen Agama di daerah; baik di Kanwil Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat maupun Kantor Departemen Agama Kota Padang. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam membina lembaga keagamaan serta evaluasi terhadap implementasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006;
2.
Departemen Dalam Negeri; khususnya Kesatuan Bangsa dan Politik baik di pusat maupun daerah. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembinaan lembagalembaga sosial berdasarkan agama sehingga aktivitasnya tidak menyimpang dari penanaman nilai-nilai kebangsaan;
3.
Pemerintah Daerah; khususnya Pemerintah Kota Padang, hendaknya dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai acuan dan pertimbangan dalam rangka penyesuaian prosedur pendirian rumah ibadat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006
4.
Majelis Agama dan organisasi keagamaan; khususnya yang bercirikan Islam, diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat mengambil manfaat untuk menjalin komunikasi dan dialog dengan sesama organisasi keagamaan tanpa ada prasangka yang menyudutkan, namun dapat bersikap tabayyun dengan penuh bijaksana;
82
5.
Jam’iyyatul Islamiyah; hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi untuk terus melakukan dialog dan sosialisasi terhadap berbagai permasalahan khususnya terkait dengan penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama dari kalangan jam’iyah yang sering mendapat tanggapan negatif dari masyarakat luas.
D. Metodologi Penelitian dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan strategi studi kasus. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik triangulasi yaitu kajian dokumen, wawancara mendalam, maupun observasi lapangan. Informan kunci terdiri atas Pengurus DPD Jam’iyyatul Islamiyah Propinsi Sumatera Barat, Pengurus DPP Jam’iyyatul Islamiyah di Jakarta, pejabat Departemen Agama di Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat maupun Kantor Wilayah Departemen Agama Kota Padang, Pimpinan Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Barat, pengurus masjid dan masyarakat di sekitar lokasi kejadian. Dokumen tentang Jam’iyyatul Islamiyah dan peristiwa penggagalan peresmian masjid diperoleh dari pengurus DPD Jam’iyyatul Islamiyah Propinsi Sumatera Barat maupun dari DPP Pusat di Jakarta. Dokumen tersebut secara khusus berkaitan dengan kejadian penggagalan, juga dokumen-dokumen lama yang merespon keberadaan Jam’iyyatul Islamiyah, baik yang mendukung atau yang menolak. Dokumen terkini tentang Jam’iyyatul Islamiyah diperoleh dari DPP Jam’iyyatul Islamiyah di Jakarta, antara lain tentang momentum silaturrahim di Kabupaten Kerinci yang merupakan acara rutin warga Jam’iyyatul Islamiyah setiap Idul Adha, berkunjung ke masjid dan makam K.H.A. Karim Djamak di Kebupaten Kerinci Propinsi Jambi. Lokasi penelitian adalah di Kota Padang. Sedangkan waktunya adalah pada awal bulan Desember 2006 dengan pertimbangan pada saat itu konflik mulai mereda, sehingga berbagai pihak -khususnya para informan- dapat berpikir lebih jernih dan
83
obyektif dalam memberikan informasi. Namun, karena peristiwa tersebut belum belangsung lama (sekitar dua bulan sebelum penelitian ini) diharapkan rentetan kejadian dan penyebabpenyebabnya masih terekam baik oleh masyarakat. E. Gambaran Umum Kota Padang Kota Padang mengingatkan kita pada banyak hal; pertama, masyarakat Minangkabau yang memiliki karakteristik khusus baik dari segi penampilan fisik maupun budaya; kedua, system kekerabatan yang menganut sistem matrilineal; ketiga, masyarakat Padang yang identik dengan Islam; keempat, kemampuan masyarakat Minang, termasuk di dalamnya masyarakat Minang di Padang dalam mengekspresikan ide-idenya dalam bentuk tulisan (roman); kelima, masyarakat yang memiliki semangat merantau. Kota Padang adalah salah satu kota tertua di pantai barat Lautan Hindia. Menurut sumber sejarah, sekitar abad 17 Kota Padang dihuni oleh para nelayan, petani garam dan pedagang. Ketika itu Padang belum begitu penting, karena arus perdagangan orang Minang mengarah ke pantai timur melalui sungai-sungai besar. Namun sejak Selat Malaka tidak lagi aman dari persaingan dengan bangsa Asing serta banyaknya peperangan dan pembajakan, maka arus perdagangan berpindah ke pantai barat Pulau Sumatera. Luas wilayah Kota Padang pada mulanya adalah 33 km2, terdiri atas 3 kecamatan yaitu Kecamatan Padang Barat, Padang Selatan dan Padang Timur. Ketiga kecamatan itu terbagi atas 13 buah kampung. Melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 dan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1980 yang dikeluarkan tanggal 21 Maret 1980, wilayah Kota Padang menjadi 694,96 km2 yang terdiri dari 11 kecamatan dan 193 kelurahan. Sejak otonomi daerah pada tanggal 1 Januari 2001, wilayah administratif Kota Padang dibagi menjadi 11 kecamatan dan 103 kelurahan.
besar wilayah Kota Padang yaitu sekitar 51,01% adalah hutan lindung. Bangunan dan pekarangan seluas 62,88 km2 atau 9,05 persen. Sementara itu, lahan yang digunakan sawah seluas 52,55 km2 atau 7,52%. Selain daratan, Kota Padang memiliki 19 pulau. Nama lima pulau dengan urutan terluas adalah Pulau Bintangur (56,78ha), Sikuai (48,12 ha), Toran (33,67 ha), Bindalang (27,06 ha), dan Pulau Pisang 26,19 ha). (Padang Dalam Angka; 2004: 3). Menurut Umar Yunus (1997: 250 – 251) desa adat pada masyarakat Minangkabau disebut nagari merupakan daerah kediaman utama dan pusat sebuah desa. Nagari biasanya ditentukan oleh adanya sebuah masjid, sebuah balai adat dan pasar. Ketiga bagian penting tersebut terletak di suatu tempat sebagai pusat kehidupan sebuah desa. Ada juga taratak yang merupakan wilayah hutan dan ladang. Taratak dapat diartikan sebagai daerah terpencil dari pusat nagari yang berpencar di sudut-sudut yang agak jauh dari nagari . Sejak empat atau lima abad silam, nagari telah memiliki otonomi penuh. Semua anggota masyarakat mempunyai kekuasaan untuk mengatur persoalan-persoalan yang timbul. Mereka tidak mengenal kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat mengatur kehidupannya kecuali Tuhan. Bila orang Minangkabau pernah mempunyai raja, maka raja itu sebatas sebagai pemimpin formal yang diberi penghargaan dan penghormatan dalam batas-batas tertentu saja. Di dalam nagari, setiap penduduk merupakan majikan bagi dirinya sendiri.1 . Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, dalam pandangan Gusti Asnan (2006) telah meluluhlantakkan keberadaan nagari. Pemerintah Daerah Sumatera Barat tidak punya pilihan lain selain melaksanakan Undang-Undang tersebut. Seluruh pejabat Pemerintah Daerah di Sumatera Barat dan 1
Dari 11 kecamatan yang ada di Kota Padang, Kecamatan Koto Tangah merupakan wilayah terluas mencapai 232,25 km2. Sebagian
84
Harsja W. Bachtiar (1984) menggunakan kata negeri bukan nagari untuk menyebut kesatuan masyarakat Minangkabau. Untuk konsistensi penulisan, maka penulis tetap menggunakan kata nagari bukan negeri.
85
masyarakat luas menyambut Undang-Undang tersebut dengan sangat hati-hati, paling tidak karena 2 (dua) hal; pertama, Nagari merupakan lembaga sosial politik yang telah membudaya di Sumatera Barat (kecuali Mentawai). Setiap upaya untuk mengubah atau menghilangkan keberadaan nagari selalu mengalami kegagalan seperti yang pernah terjadi tahun 1946 dan awal tahun 1950-an; kedua, masyarakat memandang bahwa pembentukan pemerintahan desa adalah penghapusan nagari, sama artinya penghapusan kesatuan hukum adat sekaligus menghilangkan identitas masyarakat Minangkabau. Kekhawatiran masyarakat Minangkabau dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa cukup beralasan. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 menimbulkan setidaknya 4 (empat) persoalan (Gusti Asnan; 2006: 267 – 268): Desa tidak mempunyai kekayaan sendiri untuk dijadikan sumber daya penerimaan dan pendapatan desa yang memadai, sehingga sulit untk menyelenggarakan urusan rumah tangga desa; Fasilitas sarana dan prasarana untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan pemerintahan desa belum siap sehingga relatif singkat dan terbatas; Pandangan masyarakat terhadap Kepala Desa dipandang merendahkan, sehingga sulit mencari orang yang mau menjadi Kepala Desa dan aparat desa; Persatuan dan kesatuan nagari menjadi terpecah. Setiap desa ingin memiliki masjid atau pasar sendiri sehingga menyebabkan masjid nagari menjadi lengang dan sering timbul perkelahian memperebutkan hasil pasar. Secara statistik, angka pemeluk agama setiap kecamatan di Kota Padang dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 2.
Jumlah Penganut Agama di Kota Padang 2004
Kecamatan
Bungus T Kabung
86
Islam
22.634
Katholik
9
Kristen
71
Hindu
0
Budha
3
Jumlah
22.717
Lubuk Kilangan
39. 628
0
72
0
0
39.700
Lubuk Begalung
94.482
488
561
7
1
95.539
Padang Selatan
51.192
3.900
1.959
4
1.723
58.780
Padang Timur
80.206
244
911
41
25
81.427
Padang Barat
42.523
5.477
1.277
919
8.224
58.420
Padang Utara
70.985
82
140
22
27
71.256
Nanggalo
53.747
308
400
9
52
54.516
Kuranji
107.928
19
82
0
0
108.029
Pauh
49.133
0
24
1
5
49.163
Koto Tangah
143.556
247
1.318
0
72
145.193
Jumlah
756.014
10.774
6.815
1.003
10.134
784.740
Sumber: Padang Dalam Angka 2004
Tabel berikut adalah jumlah Kecamatan di Kota Padang Tahun 2005:
rumah
ibadat
menurut
Tabel 3. Jumlah rumah ibadat di Kota Padang Tahun 2005 Kecamatan
Mesjid
Mushola
Gereja Kath Krst
Pura
Vihara
Bungus T Kabung
13
70
-
-
-
-
Lubuk Kilangan
25
78
-
-
-
-
Lubuk Begalung
61
94
-
-
-
-
Padang Selatan
35
66
-
4
-
1
aPa Padang Timur
54
76
-
1
-
-
Padang Barat
40
39
4
-
-
1
87
Padang Utara
49
62
-
-
-
-
Nanggalo
34
44
-
-
-
-
Kuranji
60
177
-
-
-
-
Pauh
35
104
-
-
-
-
Koto Tangah
112
195
-
-
-
-
Padang 2005
518
1.005
4
5
-
2
2004
488
1.095
2
7
-
2
2003
459
569
5
4
-
1
2002
451
774
5
4
-
1
2001
448
716
5
4
-
1
Sumber: Padang Dalam Angka 2005
Data kependudukan di atas menunjukkan bahwa pemeluk Islam di wilayah ini sangat dominan dilihat dari sisi kuantitatif. Oleh karena itu kalau ada seorang Minangkabau yang tidak menganut agama Islam, maka hal itu merupakan suatu keganjilan meskipun muslim sebagai mayoritas secara nominal (Umar Yunus, 1997: 261). Nilai-nilai Islam tercermin dalam petuah adat basandi sara, sara basandi kitabullah. Surau sebagai tempat ibadah menjadi salah satu ciri komunitas masyarakat Islam Minangkabau. Jika anak laki-laki tidak mau nginap di surau, orang tua dianggap gagal dalam mendidik.
88
BAB II JAM€IYYATUL ISLAMIYAH
A. Sejarah Berdirinya Jam€iyyatul Islamiyah
J
am’iyyatul Islamiyah terdaftar sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan bertaraf nasional. Data pada Direktorat Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa sampai dengan bulan Juli 1994 tercatat 738 (tujuh ratus tiga puluh delapan) organisasi kemasyarakatan bertaraf nasional yang keberadaannya telah memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1986 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1986.2 Jam’iyyatul Islamiyah merupakan organisasi kemasyarakatan nomor urut ke 20 (dua puluh) dari 298 ormas berdasarkan agama. Jam’iyyatul Islamiyah didirikan pada hari Jum’at tanggal 12 Maret 1971, bertepatan dengan 14 Muharram 1391 H, oleh Buya K.H.A. Karim Djamak di Sungai Penuh Kabupaten Kerinci. Secara hukum, lahirnya Jam’iyyatul Islamiyah ditandai oleh pelaksanaan 2
Organisasi Kemasyarakatan yang berjumlah 738 tersebut diklasifikasikan ke dalam 5 (lima) kategori berdasarkan kesamaan, yaitu kategori kegiatan (95 organisasi), profesi (183 organisasi), fungsi (119 organisasi), agama (298 organisasi), dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (43 organisasi). (Lihal Lampiran I Memorandum Jam€iyyatul Islamiyah & Penggagalan Peresmian Penggunaan Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah Jl. Proklamasi 55 – 57 Padang; 2004). Namun pada Direktori Organisasi Kemasyarakatan yang diterbitkan Ditjen Kesatuan Bangsa dan Politik tahun 2005, nama organisasi Jam€iyyatul Islamiyah tidak terdaftar. Hal itu terjadi karena berbagai ormas yang tidak melapor kembali. Setiap ada pergantian pengurus atau pindah alamat, setiap ormas yang telah terdaftar harus melapor sehingga data bisa terus diperbaharui (Wawancara dengan Drs. Denty Ierdan, MM. Kasubdit Fasilitasi Organisasi Keagamaan dan LSM, Direktorat Fasilitasi Organisasi Politik dan Kemasyarakatan Departemen Dalam Negeri 3 Januari 2007).
89
Muktamar I Jam’iyyatul Islamiyah tanggal 17 Agustus 1986 di Sungai Penuh Kerinci. Muktamar tersebut berhasil merumuskan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART). Merespon berbagai perkembangan, AD/ART telah beberapa kali disesuaikan. AD/ART yang sekarang digunakan merupakan hasil rumusan Muktamar Luar Biasa Jam’iyyatul Islamiyah yang dilaksanakan di Bekasi tanggal 19 Oktober 2006. Jam’iyyatul Islamiyah sangat lekat dengan nama tokoh pendirinya, yaitu Buya K.H.A. Karim Djamak. Tokoh pendiri lain, tetapi namanya tidak setenar K.H.A. Karim Djamak, adalah Mayor Min Harafat dari Sekber Golkar. Berikut ini adalah profil singkat tentang Buya K.H.A. Karim Djamak. Buya Karim Djamak lahir di tengah-tengah keluarga yang taat beragama. Ia tidak pernah bersekolah formal, tetapi selama sekitar 14 tahun pernah belajar agama Islam pada madrasah di Dusun Mendapo Rawang Maliki, Air Besar, Koto Teluk Sungai Penuh Kerinci Propinsi Jambi. Buya K.H.A. Karim Djamak mendapat pendidikan keagamaan dari orang-orang terdekat di lingkungan keluarganya. Mereka antara lain H. Maktib (Hakim zaman Belanda), H. Moh. Thaib (kakek, bapak dari ibunya), K.H. Kari Ahmad (kakek paman kandung dari ibu), dan Tengku Mohammad Jum’at, ayahandanya yang juga termasuk ulama di Desa Tanjung Rawang. Buya K.H.A. Karim Djamak sejak usia 7 tahun telah belajar ilmu fiqih, tauhid dan tasawuf. Pada usia 20 tahun Buya K.H.A. Karim Djamak dipercaya memegang jabatan sebagai pemangku adat dengan gelar: Timo Daharo Tunggak Nagari Mandopo Rawang Kuto Teluk Tiang Agama Sakti Alam Kerinci. Dalam usahanya membina dan mengembangkan Jam’iyyatul Islamiyah, K.H.A. Karim Djamak banyak memperoleh rintangan, caci maki bahkan fitnah dari berbagai kalangan seperti tuduhan sebagai dukun, dan penyebar ajaran sesat. Bahkan beliau pernah
90
dituduh melakukan tindakan a-moral, menggauli istri almarhum Alamsyah yang bernama Harino. Alamsyah adalah mantan ketua Urwatul Wutsqo. Namun tuduhan itu dibantah oleh Harino sendiri melalui surat pernyataan yang dibuatnya tanggal 8 Mei 1999 yang juga diketahui dan ditandatangani oleh anaknya, yaitu Hidayat Alamsyah (Danramil Kecamatan Air Hangat), serta Kepala Desa Koto Lanang Kecamatan Air Hangat. K.H.A. Karim Djamak meninggal dunia pada tanggal 28 April 1996 di RS Pelni Jakarta dalam usia 90 tahun. Menanggapi berbagai tuduhan tersebut, K.H.A. Karim Djamak mengundang K.H. Tohir Widjaja yang saat itu menjabat Ketua Umum Majelis Dakwah Islamiyah Pusat, K.H. Moh. Tarmoedji sebagai Ketua DPP Golkar di Jakarta, mendapatkan dukungan moral. Kedua tokoh Golkar ini akhirnya diberikan kehormatan sebagai penasehat serta pelindung Jam’iyyatul Islamiyah. DPP Jam’iyyatul Islamiyah juga mengundang Bapak Prof. Ibrahim Husen, LML selaku Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jam’iyyatul Islamiyah meminta bantuan beliau untuk meneliti keberadaan warga dan ajaran Jam’iyyatul Islamiyah di beberapa daerah, antara lain di Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Barat dan Kabupaten Kerinci. Setelah dipandang tidak ada yang menyimpang dari ajaran Islam, Prof. Ibrahim Husen, LML bergabung dengan Jam’iyyatul Islamiyah dan pada tanggal 3 Juni 1994 beliau dikukuhkan sebagai pelindung Jam’iyyatul Islamiyah. Dalam membina warganya, Jam’iyyatul Islamiyah tidak mendokumentasikan ajaran-ajaranya melalui sebuah buku, atau dokumen lainnya, melainkan lebih mengandalkan ajaran lisan yang disampaikan para pengurus, para penceramah atau tokohtokohnya.3 Oleh karena itu, setelah beberapa sesepuh atau tokoh
3 Dalam Memorandum Jam€iyyatul Islamiyah dan Penggagalan Peresmian Penggunaan Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah (2006: 22) dinyatakan bahwa: Buya K.H.A. Karim Djamak tidak pernah mengarang
91
pendiri meninggal, Jam’iyyatul Islamiyah merasa sangat kehilangan sumber pengetahuan. Mereka yang telah meninggal antara lain K.H.A. Karim Djamak, K.H. Tohir Wijaya, K.H. Moh. Tarmizi dan K.H. Amir Usman. Untuk menggantikan para tokoh tersebut, Jam’iyyatul Islamiyah mengundang para cendekiawan khususnya ahli agama untuk memberikan pengetahuan kepada seluruh warga Jam’iyyatul Islamiyah. Mereka antara lain: (1) Prof. Dr. H. Azhar Arsyad MA, Rektor UIN Alauddin Makasar; (2) Prof. DR. H. Ahmad Sewang seorang ahli sejarah; Prof. DR. Mohammad Amin MA, ahli hadits. Untuk memperkuat bidang organisasi, Jam’iyyatul Islamiyah mengundang DR. Ir. Azwar Anas Datuk Rajo Sulaeman dan Prof. Sri Edi Swasoso sebagai Penasehat Kehormatan.
Islamiyah masa bakti 2003 – 2008 dapat dilihat pada Surat Keputusan DPP Jam’iyyatul Islamiyah Nomor Kep-201/DPPJmI/XII/2006 tentang Perubahan dan Penambahan Antar Waktu Komposisi dan Personalia DPP Jam’iyyatul Islamiyah Masa Bakti 2003–2008. Surat Keputusan tersebut juga mengesahkan perubahan dan penambahan antar waktu komposisi dan personalia DPP Jam’iyyatul Islamiyah Masa Bakti 2003 – 2008. Susunan selengkapnya dari kepengursan DPP Jam’iyyatul Islamiyah adalah sebagai berikut:
B. Struktur Organisasi dan Kepengurusan Salah satu kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah organisasi kemasyarakatan tingkat nasional adalah organisasi tersebut memiliki struktur berjenjang dan keberadaannya sekurangkurangnya setengah jumlah propinsi di seluruh Indonesia.4 Dari 33 propinsi yang ada, Saat ini Jam’iyyatul Islamiyah telah memiliki cabang di 23 propinsi.5 Susunan Pengurus DPP Jam’iyyatul
atau membuat buku atau sejenis lainnya untuk dijadikan buku pegangan bagi Jam€iyyatul Islamiyah selain Al Qur€an dan Sunnah/Hadits. 4
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 1986 tentang Ruang Lingkup, Tata Cara Pemberitahuan Kepada Pemerintah serta Papan Nama, BAB I Ruang Lingkup Organisasi Kemasyarakatan, Pasal 2: Organisasi kemasyarakatan yang mempunyai ruang lingkup nasional adalah organisasi yang mempunyai tujuan dan program yang bersifat nasional serta kegiatannya menjangkau kepentingan nasional berwawasan Nusantara: di samping merupakan organisasi yang strukturnya berjenjang dan keberadaannya sekurang-kurangnya setengah jumlah propinsi seluruh Indonesia. 5 Masih ada 10 propinsi yang belum memiliki DPD Jam€iyyatul Islamiyah yaitu: Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Irian Jaya Barat dan Propinsi Papua. Wilayah-wilayah tersebut berada di wilayah Indonesia bagian barat dan bagian timur. Hal ini bisa dipahami karena lahirnya Jam€iyyatul
92
Islamiyah adalah di Sumatera atau wilayah Indonesia bagian barat yang secara perlahan berkembang ke wilayah-wilayah lainnya.
93
PERUBAHAN ANTAR WAKTU KOMPOSISI DAN PERSONALIA DEWAN PIMPINAN PUSAT JAM’IYYATUL ISLAMIYAH MASA BAKTI 2003 – 2008 PER-1 DESEMBER 2006 Penasehat Kehormatan Dewan Penasehat
: Letjen TNI (Purn.) Ir. H. Azwar Anas
Ketua
: H. Sofyan Sastra Atmadja
Wakil Ketua
: Drs. H.M. Arief Warga Dalem
Anggota
: Ir. H. Azhari Warga Dalem, M. Sc. H. Widjaja Sugarda, SH. Drs. H. Achmad Maulana Sulaiman, M. Sc. H. Asri Rose, SH. H. Syarifuddin Datau.
PENGURUS HARIAN Ketua Umum Ketua I Ketua II Sekretaris Jenderal Wakil I Sekjen Wakil II Sekjen Bendahara Wakil I Bendahara Wakil II Bendahara
: Dr. H. Aswin Rose : Ir. H. Sutadi Soeparlan, MSc. : Ir. H. Maulana Ibrahim, MBA. : DR. H. Syaikhu Usman : H. R. M. Ridwan Tarmizi : Ir. H. Ari Permadi, MLA : Dra. Hj. Yunita Hiryudani Arief, AK. : Hj. Nyta S. Julia, SE. : Ir. Hj. Vera Sandriaty Kinan
DEPARTEMEN-DEPARTEMEN Departemen Dakwah Ketua Wakil Ketua Anggota
94
: Drs. H. Efendi Piliang : H. Muali Muchtar : H.Amir Wachid, BSc.
Departemen Organisasi Ketua Wakil Ketua Anggota
: Drs. H. M. Arief Bidjaksana, AK. : H. Harsya Denny Suryo, MSc. : Ir. H. Andra Aditiyawarman W.D. MSc H. Budi Fitriadi, ST., MM Leily Akmalia Ali, ST
Departemen Hubungan Masyarakat dan Protokol Ketua : H. Alex Kumara Wakil Ketua : Dhoya Satyabima Sugrada, SE., MM Anggota : H. Djunaidi Tohir Hj. Elsya Evina Noor H. Fredy Ali H. Rinaldo Yulianto Noor, SE Kasman Kiyai Departemen Pelatihan Ketua Wakil Ketua Anggota
: Drs. H. Ahmad Adri, AK. MBA. : Alex Iskandar Munaf, MBA. : Hening Pandji Irawan, SE. Emir Maulana Madransyah, SE. H. Wisnu Bernandi, SE.
Departemen Pemeliharaan Dan Pengawasan Harta Kekayaan (Aset) Ketua : Drs. H. Supono Suparlan, MM. Wakil Ketua : Drs. H. Tridjoko Subandrio Anggota : H. Harmon Kahar Hj. Tissa Anastasia Munaf H. Dendy Fahrizal Noor, SE. Datin Nina Priscilla Avrianty, BBA Departemen Penelitian Dan Pengembangan Ketua : Dra. Hj. Fatmawati Yazid, MSi. Wakil Ketua : Dr. Hj. Midi Haryani, SpKK. Anggota : H. Ali Yahya, SE. Dra. Hj. Tri Mulyati Ir. H. Adnan Alamsyah Sulaiman
95
Departemen Pembinaan Pemuda Ketua : Kombes (Pol.) Drs. H. Faisal Ramadnus Wakil Ketua : H. Jimmy Djauhari Anggota : Hj. Marina Datau, SE. H. M. Reza Arfiansyah, S.Sos. Irfan Rumaini, ST. Departemen Wanita Ketua : Dra. Hj. Adawiyah Kesuma Wakil Ketua : Hj. Latifah Faisal Anggota : Hj. Mona Vera ANK. Dra. Hj. Lucy Susana Hj. Kesuma Mutiara Dewi, S.Sos. Departemen Kesehatan Ketua Wakil Ketua
BIDANG-BIDANG : Bidang Pembangunan Koordinator Anggota Bidang Hukum Koordinator Anggota
: Dr. H. Bobby Natanel Nelwan, SpOT. : Dr. Marly Susanti, SpOG. Hj. Shanti Ellya Noor Hj. Ria Anasri Sangkuriani H. Azhari, S.Si
: Ir. H. Ari Permadi, MLA : Hj. Mitha Hikmayudi : Hj. Nini Nuraini Halim, SH. : Dra. Hj. Lientje Siswadi H. Kristio Pramadi, SH. Hj. Reiny Wati Pandjaitan
Sebagai sebuah ormas, Jam’iyyatul Islamiyah memiliki AD/ART setelah beberapa kali mengalami penyesuaian. AD/ART yang ada saat ini merupakan hasil Muktamar Luar Biasa Jam’iyyatul Islamiyah yang dilaksanakan di Bekasi tanggal 19 Oktober 2006. Perubahan tersebut kemudian dikukuhkan oleh Notaris dan PPAT Ferdian, S.H. dalam bentuk Akta Pernyataan Keputusan Muktamar Luar Biasa Nomor 36 tentang Perubahan Anggaran Dasar Organisasi Jam’iyyatul Islamiyah, dan Nomor 37 tentang Pernyataan Keputusan Muktamar Luar Biasa Nomor 36 tentang
Perubahan Anggaran Rumah Tangga yang keduanya ditetapkan di Jakarta tanggal 22 November 2006. Struktur organisasi Jam’iyyatul Islamiyah terdiri atas: (1) Organisasi Tingkat Pusat yang dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Pusat berkedudukan di Jakarta; (2) Organisasi Tingkat Propinsi oleh Dewan Pimpinan Daerah Tingkat Propinsi; (3) Organisasi Tingkat Kota/Kabupaten yang dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Daerah Tingkat Kota/ Kabupaten; (4) Organisasi Tingkat Kecamatan yang dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Cabang; dan (5) Organisasi Tingkat Desa/Kelurahan yang dilaksanakan oleh Dewan Pimpinan Ranting. Sesuai namanya yaitu Organisasi Pengajian Jam’iyyatul Islamiyah, maka kegiatan organisasi ini bergerak dalam bidang pengajian, bersifat non-politis dan terbuka. Dengan demikian, Jam’iyyatul Islamiyah menempatkan diri sebagai organisasi yang berfungsi untuk wadah pembinaan dan pengembangan usaha dakwah Islamiyah (lihat Pasal 3 dan 4 Anggaran Dasar Organisasi Pengajian Jam’iyyatul Islamiyah). Dalam rangka memenuhi kewajiban menjaga persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, organisasi ini secara jelas menyatakan berazas Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan secara eksplisit menyebutkan Al Qur’an dan Sunnah/Hadits sebagai landasannya. Dengan demikian, setidaknya ada 2 (dua) tujuan pembentukan organisasi ini, yaitu: (1) Meningkatkan keimanan dan ketakwaan umat Islam kepada Allah; (2) membangun manusia Indonesia seutuhnya yang adil dan makmur, lahir maupun batin. Untuk mencapai tujuan tersebut, Jam’iyyatul Islamiyah melaksanakan beberapa usaha, yaitu dakwah dan pendidikan, kegiatan sosial, serta mendirikan masjid, musholla dan balai pengajian, (lihat Pasal 3, 4, 5, 6 ,7 dan 8 Anggaran Dasar Organisasi Pengajian Jam’iyyatul Islamiyah). C. Ajaran dan Dugaan Adanya Penyimpangan
96
97
Dalam perjalanan dan pertumbuhannya, Jam’iyyatul Islamiyah banyak menerima kritik, baik yang ditujukan kepada pribadi K.H.A. Karim Djamak maupun terhadap ajaran-ajarannya. Larangan terhadap ajaran Jam’iyyatul Islamiyah dapat dilihat dalam dokumen berikut:
1.
Pengarahan Direktur Jenderal Sosial Politik Departemen Dalam Negeri pada Musyawarah Daerah Jam’iyyatul Islamiyah Daerah Tingkat I Sumatera Barat, Tanggal 7 Februari;
2.
Surat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor: B-13/MENKO/KESRA/V/1995 tertanggal 30 Mei 1994 yang ditujukan kepada Menteri Agama RI. Isi surat tersebut antara lain: setelah membaca dan meneliti Kesimpulan dan Pendapat dari Tim Sub-Direktorat Pakem Kejaksaan Agung RI disampaikan bahwa tidak ada bukti kuat bahwa Buya K.H.A Karim Djamak telah mengajarkan hal-hal yang menyimpang dari Al Qur’an dan Hadits. Di akhir surat Menko Kesra mengharapkan agar Menteri Agama mengambil langkah arif dengan melakukan dialog dengan DPP Jam’iyyatul Islamiyah, Prof. DR. K.H. Ibrahim Hosen selaku Pelindung Jam’iyyatul Islamiyah, K.H. A. Thohir Widjaya selaku Penasehat Jam’iyyatul Islamiyah serta Buya K.H.A. Karim Djamak; Surat pernyataan permohonan maaf dari Darussamin Dt. Pangka Sinaro tertanggal 9 Agustus 1993 yang ditujukan kepada Ketua DPD Jam’iyyatul Islamiyah Propinsi Sumatera Barat. Dalam surat tersebut Darusamin menyatakan menyesali perbuatannya telah menyusun, memperbanyak dan mengedarkan buku yang berisi ajaran Jam’iyyatul Islamiyah, tanpa sepengetahuan Buya K.H.A. Karim Djamak.
1.
Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Nomor: KEP-B.92/J.3.3/11/1981 tentang Larangan Ajaran Jam’iyyatul Islamiyah yang dikarang K.H.A. Karim Djamak Diperbanyak/Dikembangkan oleh Darussamin Datuk Pangka Sinaro.
2.
Sikap Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Barat terhadap Organisasi Al Jam’iyyatul Islamiyah antara lain menyatakan: Organisasi Al Jam’iyyatul Islamiyah yang ada di Propinsi Sumatera Barat sebagian ajarannya sesat lagi menyesatkan dan karenanya kami tidak dapat mengakui keberadaannya serta mendukung SK Kejati Sumbar yang melarang kegiatan organisasi ini semenjak tahun 1981.
3.
Surat Majelis Ulama Indonesia Dati I Jambi Nomor A114/MUI/JBI/VII/1994 tanggal 19 Juli 1994 ditujukan kepada Dewan Pimpinan MUI di Jakarta. Dalam surat itu disebutkan bahwa MUI Dati I Jambi memeriksa atau menginterogasi K.H.A. Karim Djamak. Hasilnya antara lain K.H.A. Karim Djamak mengaku sebagai guru pengajian Urwatul Watsqo yang pernah dilarang oleh pihak berwajib. Ketika dilakukan interogasi beliau disodori Al Qur’an, tetapi ternyata dia tidak mampu membaca Al Qur’an dengan baik.
Dari berbagai dokumen tersebut terlihat bahwa ajaran Jam’iyyatul Islamiyah dari waktu ke waktu selalu diperdebatkan di masyarakat.
3.
Di samping pendapat-pendapat yang mempertanyakan perilaku maupun ajaran yang dikembangkan K.H.A. Karim Djamak, tidak sedikit pula yang menyatakan Jam’iyyatul Islamiyah adalah organisasi yang legal. Kalaupun ada hal-hal yang kurang baik, maka beberapa pihak menyarankan untuk memberikan pembinaan. Lihat dokumen berikut:
98
99
BAB III PENGGAGALAN PERESMIAN MASJID
A. Kronologi Pembangunan Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah
J
am’iyyatul Islamiyah telah berdiri lebih dari 35 tahun. Dengan berdirinya Dewan Pimpinan Daerah di 23 propinsi menunjukkan bahwa organisasi ini telah berkembang pesat. Di beberapa propinsi telah didirikan masjid-masjid Jam’iyyatul Islamiyah yang diresmikan oleh tokoh-tokoh nasional, antara lain: 1. Masjid Ar-Ridlo Baiti Jamak Islamiyah yang terletak di Jl. Al Husna Cikunir Jakarta yang diresmikan tanggal 17 Juni 2000 oleh Ketua MPR RI saat itu yaitu Bapak Prof. DR. H. Amin Rais. 2. Masjid Baiturrahim Baiti Jamak Islamiyah di Batam yang diresmikan tanggal 28 Maret 2003 oleh Bapak H. Taufiq Kiemas. 3. Masjid Baiti Jamak Islamiyah di Gorontalo yang diresmikan pada tanggal 3 Mei 2002 oleh Gubernur Gorontalo Ir. H. Fadel Muhammad. 4. Masjid Baitul Atiq Baiti Jamak Islamiyah Jl. Dr. Wahidin Nomor 1 Palembang, diresmikan tanggal 28 Januari 2005 oleh Wakil Gubernur Sumatera Selatan Dr. H. Mahyuddin, MS. Sp.Og. Sebagaimana tercantum dalam Anggaran Dasar, bahwa salah satu usaha yang dilaksanakan Jam’iyyatul Islamiyah adalah mendirikan masjid, musholla dan balai pengajian (lihat Anggaran Dasar Jam’iyyatul Islamiyah Pasal 8). Secara khusus bertujuan bahwa Jam’iyyatul Islamiyah tidak berhenti membangun masjid di lokasi-lokasi yang dianggap perlu. Masjid dipersembahkan untuk masyarakat luas, karena mendirikan masjid berarti mengajak umat Islam untuk melaksanakan salat. Salat merupakan tiang agama. Oleh karena itu barang siapa yang mengerjakan salat berarti mendirikan
100
agama. Amal perbuatan yang pertama kali dihisab oleh Allah pada hari kiamat adalah salat. Bila salatnya baik maka amalnya baik, demikian juga sebaliknya. Batas antara orang Islam dengan orang kafir adalah salat. Barang siapa yang mengerjakan salat dia muslim, dan yang tidak mengerjakan salat adalah kafir. Jadi bukan bangsanya, bukan orangnya, tetapi amalannya (Memorandum Jam’iyyatul Islamiyah dan Penggagalan Peresmian Penggunaan Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah Jl. Proklamasi Padang, 2006 halaman 4). Padang merupakan salah satu kota yang dipilih oleh Jam’iyyatul Islamiyah untuk mendirikan masjid yang diberi nama Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah yang beralamat di Jalan Proklamasi 55 – 57 Padang. Masjid didirikan di sebuah tanah milik keluarga besar Rose. Sudah sejak lama di atas tanah itu berdiri rumah keluarga Rose. Secara hukum, bangunan rumah tersebut legal karena memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang dikeluarkan oleh Dinas Perizinan dan Pengawasan Pembangunan Kota Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Padang dengan nomor 314/DP3K-IMB/1992 atas nama Amihar Rose. Dalam IMB dinyatakan bahwa izin diberikan kepada Sdr. Amihar Rose alamat di Jl. Proklamasi 55 Padang untuk mendirikan tambahan bangunan tingkat. Tanggal 11 Agustus 2005 Hj. Enny Rose mengajukan surat permohonan kepada Pemerintah Walikota Padang tentang Izin Mendirikan Bangunan tambahan keperluan tempat tinggal. Maka pada tanggal 15 Agustus 2005 terbit juga Keputusan Walikota Padang Nomor 632/IMB/ TT/Lt.2/PS.02/2005 yang isinya antara lain: Memberikan Izin kepada Hj. Enny Rose, alamat Jl, Proklamasi Nomor 55 Kel. Alang Laweh Kecamatan Padang Selatan untuk Izin Mendirikan Bangunan Tambahan Keperluan Tempat Tinggal . Tanggal 25 Pebruari 2006 keluarga besar Rose mengadakan rapat anggota kaum almarhumah Fatimah antara lain memutuskan: ”bangunan yang ada saat ini semaksimal mungkin digunakan untuk
101
pemersatu seluruh kaum dan masyarakat sekitarnya. Bila diizinkan oleh Pemda, akan dibangun sarana ibadah”. Surat hasil keputusan tersebut ditandatangani oleh H. Asri Rose sebagai Mamak Kepala Waris. Proses pengalihan dari rumah tempat tinggal menjadi masjid telah disetujui oleh Walikota Padang melalui Keputusan Walikota Padang Nomor 152 Tahun 2006 tentang Pengukuhan Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah Buya KH Abdul Karim Djamak Kelurahan Alang Laweh Kecamatan Padang Selatan. Proses perizinan tersebut dijelaskan Fauzi Bahar Walikota Padang sebagai berikut: ”Semula memang pemilik bangunan itu mengajukan izin untuk sebuah rumah tinggal, bukan untuk pembangunan masjid. Akan tetapi dalam waktu bersamaan designnya berubah menjadi masjid. Karena pengalihan dari rumah tinggal menjadi masjid memiliki manfaat yang lebih besar, maka Pemerintah Kota Padang memberi izin untuk meneruskan pembangunan dengan pengukuhan pembangunannya melalui Surat Keputusan Walikota Nomor 152 Tahun 2006. Bangunan masjid pun selesai dan peresmian segera tiba. Pemerintah kota pun merasa lega karena pada saat bersamaan kita sedang menggalakkan kehidupan Islami, Qur’ani dan Imani bagi seluruh warga Kota Padang. Bahkan waktu itu bertepatan dengan awal Ramadhan di mana masjid amat diperlukan untuk menyemarakkan syiar Islam” (Fauzi Bahar; 2006). Dibanding dengan masjid-masjid lainnya, Masjid Baitul Izza terlihat sangat megah. Menurut beberapa sumber, biaya pembangunan masjid tersebut tidak kurang dari 4 (empat) miliar rupiah. Jika dilihat sepintas dari luar, bangunan tersebut tidak mirip dengan masjid, tetapi lebih mirip sebuah rumah megah dengan atap ciri khas rumah Minang. Tetapi ketika masuk, khususnya di lantai 2, maka dengan jelas bahwa bangunan adalah tempat salat berjamaah dengan beberapa ciri seperti tempat imam atau lukisan kaligrafi di sekeliling dinding. Sementara lantai satu didesain untuk sebuah ruang tamu atau ruang pertemuan. Di bagian belakang ada sekitar
102
enam kamar berjejer lengkap dengan kamar mandi. Secara keseluruhan, kondisi ruangan sangat bersih dan tertata. Untuk mengawali penggunaan masjid tersebut, Pengurus Jam’iyyatul Islamiyah Propinsi Sumatera Barat merencanakan peresmiannya oleh salah seorang pejabat. Semula dijadwalkan Menteri Agama yang akan membuka. Tetapi karena khawatir akan adanya demonstrasi mahasiswa IAIN, maka beberapa pihak, khususnya Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat menyarankan agar Menteri Agama untuk sementara waktu tidak ke Padang. Kemudian Pimpinan Jam’iyyatul Islamiyah meminta Gubernur untuk membuka dan akhirnya setuju. Pada surat undangan ditulis bahwa peresmian Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah Buya K.H.A. Karim Djamak akan dilaksanakan Selasa tanggal 19 September 2006 oleh Gubernur Sumatera Barat H. Gamawan Fauzi, SH. MM. Surat Undangan ditandatangani oleh Ketua Umum Jam’iyyatul Islamiyah Dr. H. Aswin Rose dan Sekjen Dr. H. Syaikhu Usman. Di bagian bawah undangan tercatat: Turut mengundang yaitu Walikota Padang Drs. H. Fauzi Bahar, M.Si dan Penasehat Kehormatan Jam’iyyatul Islamiyah Letjen (Purn) DR. Ir. H. Azwar Anas Dt. R. Sulaiman. Undangan untuk anggota Jam’iyyatul Islamiyah di seluruh Indonesia sudah disebar. Tetapi dua hari menjelang peresmian, sejumlah umat Islam mengadakan demonstrasi di sekitar masjid menolak peresmian masjid tersebut. Sebagian demonstran adalah masyarakat sekitar termasuk jamaah dari masjid terdekat. Akibatnya, peresmianpun gagal. Ketika demonstrasi terjadi, beredar selebaran yang menyatakan bahwa pemilik masjid tersebut merupakan pengikut dari aliran sesat Jam’iyyatul Islamiyah. Membaca selebaran itu, masyarakat semakin “beringas’ dan kemudian mendesak Walikota Padang untuk mencabut surat izin tersebut dan membongkar bangunannya.
103
B. Gugatan Umat Islam terhadap Walikota Padang Sebagian besar umat Islam berpendapat bahwa rencana peresmian itu dilakukan karena ada izin pengukuhan masjid dari Walikota Padang. Dalam demonstrasi itu masyarakat Islam mendesak Walikota agar mencabut surat keputusan tersebut. Umat Islam kemudian mengadakan rapat yang dihadiri tidak kurang dari 50 (lima puluh) orang dari berbagai ormas maupun tokoh masyarakat mengatas namakan ”Umat Islam Sumatera Barat”, tertuang dalam sebuah surat tertanggal 10 Oktober 2006 yang ditujukan kepada Ketua dan Anggota DPRD Kota Padang. Pada tanggal yang sama, kelompok Umat Islam Sumatera Barat juga mengirim surat kepada Walikota Padang perihal Pencabutan SK Walikota Padang Nomor 152 Tahun 2006. Dalam surat yang ditujukan kepada Ketua dan Anggota DPR antara lain tertulis: .....kami memohon bantuan kepada DPRD Kota Padang untuk melakukan fungsi kontrol kepada Badan Eksekutif yaitu Walikota Padang karena telah melakukan ’pembohongan publik’ dalam hal ini tidak menepati janjinya. Serta kami juga memohon kerjasama dari DPRD Kota Padang untuk mendesak Walikota Padang agar segera memenuhi janjinya. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa ajaran Jam’iyyatul Islamiyah sudah secara nyata dinyatakan SESAT melalui Fatwa MUI Sumatera Barat. Demikian juga hasil rapat BAKOR PAKEM pada bulan September 2006 menyatakan dengan tegas bahwa ajaran Jam’iyyatul Islamiyah sesat dan dilarang (Surat Umat Islam Sumatera Barat kepada Ketua dan Anggota DPRD Kota Padang tertanggal 10 Oktober 2006). Dalam surat yang ditujukan kepada Walikota Padang, ’Umat Islam Sumatera Barat’ mengajukan tuntutan serupa antara lain dianggap telah melakukan pembohongan publik: Untuk itu kami memberikan waktu kepada Bapak Walikota Padang agar dalam waktu maksimal 1 (satu) minggu dari tanggal surat ini,
104
segera merealisasikan janjinya untuk mencabut SK Walikota Padang Nomor 152 Tahun 2006 tentang Pengukuhan Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah Jl. Proklamasi Nomor 55 Kelurahan Alang Laweh Kecamatan Padang Selatan. Jika dalam waktu yang telah ditentukan Bapak Walikota tidak menepati janjinya, maka kami akan mengambil tindakan dan akan mengambil sikap mosi tidak percaya kepada Pak Walikota karena telah melakukan tindakan pembohongan publik (Surat Umat Islam Sumatera Barat kepada Walikota Padang tanggal 10 Oktober 2006). Menanggapi surat tersebut, dalam kesempatan Dengar Pendapat dengan DPRD Kota Padang, Walikota Padang menjelaskan bahwa Walikota tidak mungkin mengambil keputusan sebelum ada pembicaraan antara Jam’iyyatul Islamiyah dengan MUI Sumbar karena yang berhak menyatakan sesat atau tidak adalah Majelis Ulama Indonesia. Di samping itu, alasan lain, menurut Walikota, adalah bahasa surat dari Umat Islam Sumatera Barat yang dinilainya kurang sopan karena memberikan deadline satu minggu yang dianggapnya pemaksaaan. Setelah dikomunikasikan dengan pembuat surat, akhirnya mereka memperbaiki surat itu dengan bahasa yang lebih santun. Dengan berbagai pertimbangan dan dalam rangka menjaga perdamaian, Walikota Padang kemudian mengeluarkan Surat Keputusan Walikota Padang Nomor 250 Tahun 2006 tanggal 13 Oktober 2006 tentang Pencabutan Keputusan tentang Pengukuhan Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah. C. Faktor Penyebab Penggagalan Peresmian Masjid Dari berbagai informasi yang berhasil dihimpun, setidaknya ada 3 (tiga) penyebab terjadinya protes yang mengakibatkan batalnya peresmian masjid tersebut, yaitu (1) Faktor intern konflik anggota keluarga; (2) Pengeluaran Surat Izin Pengukuhan Masjid yang tidak sesuai dengan prosedur; (3) Adanya dugaan tentang ajaran sesat yang dianut oleh jamaah masjid tersebut.
105
Konflik keluarga yang menjadi salah satu penyebab masyarakat melakukan demonstrasi diungkapkan oleh salah seorang Pengurus DPD Propinsi Sumatera Barat: ”Tanah tempat masjid didirikan merupakan tanah wakaf yang semula didirikan rumah yang kemudian digunakan untuk tempat ibadah. Rencana pembangunan masjid ini sudah disetujui oleh para ahli waris. Kami sudah mengirim surat kepada pengurus dua masjid terdekat untuk meminta izin akan adanya rencana pembangunan masjid. Tetapi tidak ada jawaban. Sementara salah satu keluarga Rose yang kebetulan jadi pengurus masjid Al Mukminun (terletak sekitar 400 meter dari Masjid Baitul Izza) kurang setuju dengan pembangunan masjid yang rencananya juga akan dilengkapi dengan balai kesehatan. Disini memang ada unsur konflik keluarga yaitu tidak adanya kesepakatan terhadap rencana pembangunan masjid dan balai kesehatan. Hal ini dapat dimaklumi karena dia sebagai dokter sehingga muncul kekhawatiran akan tersaingi. Ketidakpuasan itulah yang menginspirasinya mempengaruhi jamaah masjid Al Mukminun dan masyarakat untuk menentang peresmian masjid Baitul Izza (Wawancara dengan Dr. H. Azis Jamal, M. Sc. Kepala Rumah Tangga Masjid Jam’iyyatul Islamiyah Propinsi Sumatera Barat, tanggal 5 Desember 2006).6 Masalah konflik keluarga nampaknya menjadi salah satu alasan penolakan peresmian itu. Sekelompok masyarakat menganggap bahwa pendirian masjid tersebut tidak memenuhi prosedur yang telah ditetapkan, sebab seharusnya ada persetujuan dari masyarakat sekitar. Simak ungkapan salah seorang pengurus masjid Al Munawaroh: ”Mereka (maksudnya pengurus Jam’iyyatul Islamiyah, peneliti.) telah melakukan kebohongan kepada publik. Awalnya mereka 6 Pernyataan adanya konflik antar anggota keluarga, yaitu ketidaksetujuan penggunaan harta warisan untuk digunakan sebagai masjid, juga diungkapkan oleh Dr. Aswin Rose Ketua DPP Jam€iyyatul Islamiyah dalam wawancara dengan peneliti di tempat kediamannya di Jakarta tanggal 15 Desember 2006.
106
membangun rumah. Tetapi ternyata dibuat masjid. Biaya untuk membangun masjid itu sekitar 4,5 milyar. Saya heran mengapa uang sebanyak itu dibangun untuk masjid, padahal 300 meter dari masjid itu ada masjid Al Munawarroh. Kalau mereka berniat baik, berikan saja dana itu untuk memperbaiki masjid ini. Atau gunakan saja dana itu untuk membina anak jalanan. Itu lebih berarti. Mereka memang pernah mengirim surat kepada pengurus masjid Al Munawarroh agar diizinkan untuk mendirikan masjid. Dalam surat balasan, kami sampaikan bahwa agar pengurus Jam’iyyatul Islamiyah berkonsultasi dengan pihak-pihak yang berwenang memberikan izin pendirian rumah ibadat (Wawancara dengan Dodi Effendi, M. Pd tanggal 8 Desember 2006) 7. Tentang tidak adanya surat izin pendirian masjid yang menurut kelompok masyarakat merupakan salah satu penyebab timbulnya penolakan dibantah oleh pengurus masjid Baitul Izza Baiti Jamak. Mereka mengatakan bahwa rencana pendirian masjid itu telah memperoleh surat izin dari Walikota Padang melalui Keputusan Walikota Padang Nomor 152 Tahun 2006 tentang Pengukuhan Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah Buya K.H. Abdul Karim Djamak Kelurahan Alang Laweh Kecamatan Padang Selatan. Salah satu butir keputusan tersebut adalah: “Mengukuhkan masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah Buya K.H. Abdul Karim Djamak Jl. Proklamasi Nomor 55 Kelurahan Alang Laweh Kecamatan Padang Selatan, sebagai tempat sarana ibadah dan pembangunan kehidupan beragama di Kota Padang”. Dengan terbitnya Surat Keputusan Walikota Padang ternyata tidak menyurutkan rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap keberadaan masjid Baitul Izza Baiti Jamak. Bahkan sebagian 7
Surat mohon persetujuan mendirikan tempat ibadat (masjid) disampaikan tanggal 23 Maret 2006 kepada Pengurus Masjid Al-Munawwarah Terandam Padang. Surat tersebut ditandatangani oleh H. Asri Rose, SH atas nama Mamak Kepala Waris/Ketua Pembangunan. Balasan dari Pengurus Masjid Al-Munawwarah disampaikan melalui surat Nomor 31/B/M-AT/IV/2006 tertanggal 5 April 2006 perihal Pendirian Rumah Ibadat.
107
Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, peneliti) disebutkan salah satu syarat permohonan pendirian rumah ibadat adalah rekomendasi dari Departemen Agama. Di samping itu ada hal lain yang membuat masyarakat merasa tidak puas. Awalnya, izin yang dimiliki adalah untuk rumah tinggal, kemudian berubah menjadi masjid. Mereka ingin meresmikan masjid itu secara besarbesaran. Menteri Agama dijadwalkan membuka. Tetapi karena sedang ada masalah di IAIN Imam Bonjol, saya menyarankan ke Menteri Agama untuk tidak ke Padang dulu. Kemudian mereka meminta Gubernur Sumatera Barat untuk membuka. Tetapi Gubernur agak ragu karena organisasi Jam’iyatul Islamiyyah ini pernah dilarang oleh Kejaksanaan Tinggi Sumatera Barat pada tahun 1985. (Wawancara dengan Drs. H. Darwas Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat, tanggal 7 Desember 2006).
menuduh bahwa terbitnya surat keputusan tersebut tidak melalui prosedur yang sebenarnya tetapi lebih karena adanya kedekatan antara para pengurus Jam’iyyatul Islamiyah dengan beberapa pejabat termasuk pejabat di lingkungan Kota Padang. Terkait dengan tidak lengkapnya dokumen akta resmi pendirian rumah ibadat tersebut, Kepala Kantor Departemen Agama Kota Padang menjelaskan: ”Pembangunan Masjid Baitul Izza Baiti Islamiyah tidak ada rekomendasi dari Departemen Agama. Ini jelas melanggar Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. Bab IV Pendirian Rumah Ibadat Pasal 14. Memang betul bahwa izin pendirian rumah ibadat tersebut dikeluarkan oleh Bupati/Walikota. Tetapi, sebelum keluar surat izin tersebut harus ada rekomendasi dari Departemen Agama dan FKUB. Kemungkinan besar permohonan surat izin mendirikan masjid disampaikan langsung kepada Walikota. Tetapi semestinya staf penelaah. (Bagian Sosial dan Kesbangpol) memberikan pertimbangan dan konsultasi dulu dengan Kantor Departemen Agama Kota Padang. Namun kenyataannya tidak”. 8 Masalah perizinan yang berujung pada penolakan masyarakat terhadap peresmian masjid itu, diungkapkan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Barat sebagai berikut: ”Surat izin mendirikan masjid tersebut memang cacat hukum karena diantaranya tidak ada persetujuan dari masyarakat sekitar dan tidak ada rekomendasi dari Kantor Departemen Agama. Padahal dalam peraturan (maksudnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan
Masalah izin rumah ibadat yang tidak sesuai dengan prosedur bukanlah hal yang baru terjadi. Beberapa hasil kajian Puslitbang Kehidupan Keagamaan menunjukkan bahwa pendirian rumah ibadat atau penggunaan bangunan yang bukan rumah ibadat untuk beribadat sering menjadi salah satu sebab terganggunya hubungan antar umat beragama.9 Oleh karena itu diduga kuat ada faktor lain yang menyebabkan penolakan masyarakat terhadap penggunaan rumah ibadat itu. Faktor tersebut adalah adanya dugaan dari beberapa kelompok masyarakat bahwa pemilik dan pengguna bangunan rumah ibadat itu mengajarkan aliran sesat. Dalam sejarah perkembangan Jam’iyyatul Islamiyah, dugaan tersebut bukanlah peristiwa yang baru. Hal itu dapat dilihat pada beberapa dokumen: 1.
8
Disampaikan oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kota Padang Drs.H. Syamsul Bahri pada Rapat Konsultasi dengan Komisi D/Kesra DPRD Kota Padang di Press Room DPRD Kota Padang, Kamis tanggal 12 Oktober 2006 (Lihat Padang Ekspres, Oktober 2006). Pernyataan senada disampaikan Kepala Kantor Departemen Agama Kota Padang ketika wawancara dengan peneliti di ruang kerjanya tanggal 7 Desember 2006.
108
Surat Keputusan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Nomor: KEP-B.92/J.3.3/11/1981 tanggal 30 Nopember 1981 tentang Larangan terhadap buku Ajaran Jam’iyyatul Islamiyah
9 Lihat Hasil Penelitian tentang Riset Aksi Pengembangan Wadah Kerukunan dan Ketahanan Masyarakat Lokal Tahun 2002 – 2004.
109
yang dikarang oleh K.H.A. Karim Djamak, kemudian diperbanyak dan dikembangkan oleh Darussamin Datuk Pangka Sinaro. 2.
3.
110
Surat Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Nomor B-200/J.3/11/1985 tertanggal 27 Nopember 1985 Perihal Keterangan Lanjut Press Release Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat tentang Pengajian Jam’iyyatul Islamiyah. Lampiran Surat Keputusan tersebut menetapkan dua hal: (1) Melarang pengembangan dan penyebaran Ajaran Jam’iyyatul Islamiyah berdasarkan Buku Keluarga Besar Jam’iyyatul Islamiyah yang dikembangkan oleh Darussamin Datuk Pangka Sinaro; (2) Mewajibkan kepada pihak yang masih menyimpan atau memiliki Buku Keluarga Besar Jam’iyyatul Islamiyah yang dikembangkan oleh Darussamin Datuk Pangka Sinaro untuk diserahkan kepada Kejaksaan Negeri setempat. Dengan demikian Keputusan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat bukanlah melarang pengajian Jam’iyyatul Islamiyah yang diasuh Buya K.H.A. Karim Djamak, melainkan Jam’iyyatul Islamiyah berdasarkan buku yang ditulis oleh Darussamin Datuk Pangka Sinaro. Keputusan Kepala Kejaksaan Negeri Sungai Penuh Nomor: KEP-02/0.5.12/Dsb.1/11/1995 tanggal 17 Nopember 1995 tentang Larangan Terhadap Ajaran dan Kegiatan Jam’iyyatul Islamiyah yang dikembangkan oleh K.H.A. Karim Djamak. Dalam konsideran ”Menimbang” dijelaskan bahwa K.H.A. Karim Djamak mengajarkan beberapa hal menyimpang dari ajaran Islam antara lain: a. Muhammad ada dua yaitu: (1) Muhammad bin Abdullah yang telah meninggal dan ada kuburannya; (2) Muhammad Abdi Rasulullah yang bukan laki-laki dan bukan perempuan, tidak binasa; b. Ketika salat harus menghadirkan diri seolah-olah berada di Baitullah dan Allah beserta Rasul berada dalam Ka’bah;
c.
Manusia tidak berasal dari Allah tetapi karena pada ibu dan bapak terdapat Nur Muhammad maka pertemuan keduanya itu terjadilah anak; d. Dalam beribadah diperlukan wasilah yaitu Muhammad Abdi Rasulullah. Kalau tidak ada wasilah tidak ada yang menjadi saksi. Melihat hal demikian, maka Kejaksaan Negeri Sungai Penuh melarang ajaran dan kegiatan Jam’iyyatul Islamiyah. 4.
Majelis Ulama Indonesia Daerah Tingkat I Sumatera Barat pada tanggal 15 Juni 1995 mengeluarkan sikap tentang keberadaan Organisasi Jam’iyyatul Islamiyah di Sumatera Barat tertuang dalam surat Nomor I.52/MUI-SB/VI/1995 yang menyatakan: organisasi Jam’iyyatul Islamiyah yang berada di Propinsi Sumatera Barat, sebagian ajarannya sesat dan menyesatkan. Oleh karena itu kami tidak mengakui keberadaannya dan mendukung SK Kejati Sumatera Barat yang melarang kegiatan organisasi ini sejak tahun 1981. Berbagai keputusan tentang penyimpangan ajaran yang dikembangkan oleh K.H.A. Karim Djamak kemudian muncul kembali pada saat akan dilaksanakannya peresmian masjid tersebut. Beberapa media massa yang terbit di Padang dengan gencar menurunkan berita terkait dengan keberadaan Jam’iyyatul Islamiyah.10
10 Tulisan tersebut antara lain: Tragedi Alang Laweh oleh Isa Kurniawan Direktur Eksekutif LSM LAPAN (Haluan, Jum€at, 29 September 2006); Jam€iyyatul Islamiyah. Tetap Dilarang (Padang Ekspres, Jum€at, 29 September 2006); Fatwa MUI Soal JMI Sudah Jelas. Gusrizal: Izin Masjid Harus Dicabut (Singgalang, 13 Oktober 2006); Fatwa MUI Sumbar: Ajaran Jam€iyyatul Islamiyah Sesat (Haluan 13 September 2006).
111
menyampaikan kepada masyarakat bahwa MUI sudah mengakui ajarannya” (Wawancara dengan Gusrizal Gazahar Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Sumatera Barat, tanggal 7 Desember 2006)11.
BAB IV PRO DAN KONTRA TERHADAP JAM€IYYATUL ISLAMIYAH
MUI juga mendesak agar Walikota Padang tidak ragu untuk mencabut izin Masjid Baitul Izza. MUI menilai Walikota Padang tidak memiliki sikap yang tegas. Dalam menghadapi para demonstran yang menuntut Walikota mencabut putusannya, Walikota berjanji akan segera mencabutnya. MUI memandang Walikota Padang tidak menepati janjinya karena belum mencabut surat izin itu dengan alasan menunggu fatwa MUI.
A. Respon Masyarakat Dan Pemerintah
R
eaksi masyarakat terhadap keberadaan Jam’iyyatul Islamiyah dan khususnya kegagalan peresmian masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah dapat dilihat dari pendapat beberapa pihak:
1.
Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Barat Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Barat tetap berpegang pada Pernyataan Sikap terhadap Keberadaan Jam’iyyatul Islamiyah yang dikeluarkan tahun 1995 bahwa ajaran Jam’iyyatul Islamiyah menyesatkan. Jika Pernyataan Sikap tersebut menyebutkan: sebagian ajaran Jam’iyyatul Islamiyah sesat dan menyesatkan, maka MUI Propinsi Sumatera Barat menegaskan kembali bahwa tidak hanya sebagian tetapi keseluruhan dari ajaran Jam’iyyatul Islamiyah itu menyesatkan. “Kami tidak membuat fatwa baru tentang Jam’iyyatul Islamiyah, tetapi hanya mengukuhkan apa yang telah diputuskan MUI Propinsi Sumatera Barat tahun 1994. Jika sebelumnya ditegaskan bahwa ajaran yang menyesatkan adalah yang dikembangkan oleh Darusamin Datuk Pangka Sinaro, maka kami tidak lagi membedakan antara ajaran yang dikembangkan oleh Darusamin dengan yang dikembangkan oleh Karim Djamak. Terkait dengan masjid tersebut, kami telah mengundang pengurus Jam’iyyatul Islamiyah dan secara tegas kami nyatakan sikap ini. Mereka (maksudnya anggota Jam’iyyatul Islamiyah; peneliti) diam saja. Dalam beberapa kesempatan, mereka selalu mengatakan minta diarahkan dan dibina oleh MUI. Tapi bagi kami itu hanyalah semacam siasat. Sebab kalau mereka pernah berdialog dengan MUI, mereka akan
112
2.
Dosen IAIN Imam Bonjol Padang DR. Duski Samad, dosen IAIN Imam Bonjol Padang pada tahun 1997 melakukan penelitian tentang Jam’iyyatul Islamiyah dan mewawancarai salah seorang yang ”simpatik” pada Karim Djamak, yaitu Ir. Azwar Anas. Menurut Duski Samad, Jam’iyyatul Islamiyah kini hadir dalam bentuk organisasi yang kokoh yang didukung oleh sumber daya manusia yang berpotensi, yaitu mantan pejabat, pejabat, pengusaha maupun para profesional. Kehadirannya menimbulkan berbagai polemik dan unjuk rasa masyarakat Alang Laweh dan ormas Islam lainnya. Terkait kasus Masjid Baitul Izza, menurut Duski Samad, Jam’iyyatul Islamiyah tidak mengindahkan prosedur pendirian rumah ibadah dan dianggap sebagai tindakan keliru, maka menimbulkan kecurigaan terhadap banyak hal yang disembunyikan. DR. Duski Samad mengutip hasil wawancara dengan Dr. Aziz, pengurus Jam’iyyatul Islamiyah tentang beberapa ayat AlQur’an dan pengertiannya sebagai berikut: (1) Yang dimaksud 11
Pernyataan bahwa keseluruhan ajaran Jam€iyyatul Islamiyah sesat juga diungkapkan Gusrizal dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi D, DPRD Padang tanggal 12 Oktober 2006 (Lihat Singgalang, 13 Oktober 2006).
113
dengan gaib dalam surat Al Baqarah ayat 2 adalah yang ada dalam dada kita, yaitu hati, tempat berdirinya nur Muhammad. Nur Muhammad itulah yang sebenarnya diri. Ini harus selalu diingat dan disadari terus agar kita selalu bersama Tuhan. (2) Yang dimaksud dengan maqam Ibrahim sebagai tempat salat seperti yang terdapat dalam Surat Al Baqarah: 125 adalah tempat salat itu di hati. Hatilah yang salat, mengingat Allah. (3) Q.S. Al Baqarah: 150. Yang dimaksud dengan palingkan wajahmu ke arahnya, bukanlah ka’bah di Mekkah tetapi ka’bah yang ada di setiap hati manusia. Menurut DR. Duski Samad, pernyataan DR. Aziz tentang pengertian ayat-ayat di atas, jika merujuk pada tafsir standar dan terjemahan yang diterbitkan Departemen Agama RI sangat jauh berbeda. 3.
Pengurus Masjid Al Munawarroh, Mahasiswa S3 Universitas Negeri Padang). Pengurus Masjid Al-Munawaroh Dodi Efendi, M. Pd., yang juga Mahasiswa Program S-3 Universitas Negeri Padang mengungkapkan tentang keberadaan Jam’iyyatul Islamiyah dalam wawancara berikut. ”Kami pengurus Masjid Al Munawaroh pernah mengadakan rapat menjelang peresmian masjid tersebut. Dalam rapat dibahas adanya tuduhan kesesatan ajaran Jam’iyyatul Islamiyah, misalnya naik haji ke Kerinci, ketika salat harus menghadap gambar atau foto Karim Djamak, atau ketika membaca Allahu Akbar dalam sholat harus ditambah kata Uwo yaitu panggilan kehormatan untuk Karim Djamak. Tetapi saya sendiri tidak bisa membuktikan kebenaran tuduhan itu karena tidak pernah melakukan penelitian secara mendalam. Terkait dengan masjid, memang seharusnya tidak didirikan masjid karena tidak digunakan untuk masyarakat setempat, dan di sini sudah ada dua masjid yang berdekatan” (Wawancara tanggal 8 Desember 2006).
114
4.
Walikota Padang Ketika terjadi demonstrasi, Walikota Padang menjadi salah satu sasaran karena telah menerbitkan Surat Keputusan Pengukuhan Masjid Baitul Izza yang kemudian digunakan oleh Jam’iyyatul Islamiyah untuk mengukuhkan keberadaan masjid tersebut. Menanggapi tuntutan para demonstran dan tuntutan Majelis Ulama Indonesia, akhirnya Walikota mencabut surat keputusan tersebut. Bagi Walikota, ia menghadapi kondisi yang sangat dilematis. “Menyikapi protes dan desakan masyarakat, saya sebagai Walikota Padang harus mengambil sikap. Kalau tidak, khawatir terjadi pertumpahan darah dan kerusuhan sosial yang besar. Pemilik masjid terus melunak dan berpikiran lebih jernih. Dengan sukarela mereka menyerahkan masjid itu sepenuhnya untuk kepentingan Pemerintah Kota Padang. Pemerintah Kota Padang diberi kewenangan dan hak penuh untuk mengubah nama masjid itu dan menggunakannya untuk berbagai kepentingan syiar Islam di Padang. Saya pun berada di simpang jalan. Solusi yang amat dilematis akhirnya saya ambil yaitu dengan mencabut Surat Keputusan Walikota tentang Pengukuhan Masjid Baitul Izza Baiti Jamak. Sekarang semua sudah selesai, masjid itu sudah dipulangkan kepada empunya untuk rumah tinggal. Di satu sisi Kota Padang kembali aman. Tetapi di sisi lain jelas kita rugi karena masjdi itu akhirnya tidak bisa dimanfaatkan. Semua ini saya pulangkan kembali kepada warga Kota Padang tercinta”. (Fauzi Bahar, Walikota Padang. Keputusan Dilematis Pencabutan SK Masjid BIBJ Itu Harus Diambil, dalam Haluan, Fokus Minggu, Minggu 29 Oktober 2006).
B. Respon Jam€iyyatul Islamiyah. Bagi warga Jam’iyyatul Islamiyah, demonstrasi di luar dugaan mereka. Sebagai sebuah organisasi yang mapan, mereka merasa telah menempuh jalur yang benar. Surat izin penyelenggaraan sudah dipegang, demikian pula izin dari Dinas Perhubungan mengenai
115
penggunaan sebagian badan jalan untuk acara pembukaan tersebut sudah ada. Demikian juga, permohonan surat izin masjid ke Walikota Padang telah dikeluarkan. Ketika demonstrasi terjadi, mereka bersikap diam dan tidak melakukan perlawanan. Sikap itu dianggap lebih bijak untuk menenangkan keadaan walau mereka memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melawan. €Kalau kami mau, kami bisa melawan dengan kekerasan. Pada saat itu jamaah kami sudah berdatangan dari berbagai daerah dan mereka adalah orang-orang terpilih. Tetapi menahan nafsu bagi kami jauh lebih penting. Yang kami harapkan saat itu adalah kami diberi kesempatan untuk bertemu dengan anggota kami yang sudah berdatangan dari berbagai daerah dan menjelaskan kepada seluruh anggota bahwa acara peresmian masjid sementara ditunda. Namun demikian hal tersebut tidak bisa kami lakukan. (Wawancara dengan Dr. Aswin Rose, Ketua DPP Jam’iyyatul Islamiyah, tanggal 15 Desember 2006). Menyikapi Keputusan Walikota Padang tentang Pencabutan Surat Keputusan Penggunaan Masjid Baitul Izza, pada tanggal 16 Oktober 2006 DPP Jam’iyyatul Islamiyah mengirim surat kepada Walikota Padang antara lain berbunyi: 1.
2.
116
Bahwa kami seluruh warga Jam’iyyatul Islamiyah di seluruh Indonesia dengan ini menyatakan dengan kesungguhan dan dengan hati ikhlas menerima keputusan sebagaimana tertera dalam SK Walikota berkaitan dengan masjid tersebut. Bahwa pembangunan masjid ini dilaksanakan dengan niat yang tulus karena Allah melalui swadana. Dengan niat yang ikhlas pula kami peruntukkan kepada umat Islam di Sumatera Barat, khususnya Kota Padang. Namun, karena adanya hal-hal yang menyebabkan peresmian masjid itu ditunda, maka tidak ada yang dapat kami lakukan selain menyerahkan seluruhnya kepada Allah dan RasulNya.
3.
Bahwa dengan mempertimbangkan ha-hal di atas, maka dengan ikhlas pula kami mengembalikan masjid tersebut kepada pemilik aslinya yang berhak untuk menempatinya sebagai tempat tinggal.
Sikap warga Jam’iyyatul Islamiyah dinilai oleh Walikota Padang sebagai sikap yang bijak didasari oleh pikiran jernih. Lebih lanjut Walikota Padang mengakui bahwa pimpinan Jam’iyyatul Islamiyah memohon kepada Walikota agar masjid itu tidak dicabut izinnya dan tidak dibongkar. Mereka menyerahkan bangunan itu untuk keperluan Pemerintah Kota Padang. Dengan berbagai pertimbangan, Walikota tetap mencabut surat keterangan tentang pengukuhan masjid. Mengenai tuduhan sebagai aliran sesat yang ditujukan kepada pengikut Jam’iyyatul Islamiyah, dalam surat yang dialamatkan kepada Walikota Padang tanggal 16 Oktober 2006, pengurus Jam’iyyatul Islamiyah menyatakan selalu menunggu semua pihak agar memahami dan mengerti bahwa keputusan Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat Nomor Kep-B.92/J.3.3/11/1981 tertanggal 30 November 1981 ditujukan kepada ajaran yang dikembangkan Darusamin Datuk Pangka Sinaro dan tidak ada hubungan dan tidak dapat disamakan dengan ajaran yang dikembangkan Buya K.H.A. Karim Djamak. Bilamana ajaran atau praktek-praktek amalan agama yang dilakukan warga Jam’iyyatul Islamiyah saat ini dianggap tidak sesuai atau menyimpang dari ajaran Islam, maka dalam berbagai kesempatan pimpinan Jam’iyyatul Islamiyah bersedia untuk menerima bimbingan atau berdialog dengan Majelis Ulama Indonesia. Mereka membenarkan tuduhan bahwa sebagian dari warga Jam’iyyatul Islamiyah bukanlah orang yang secara khusus
117
belajar agama. Oleh dibimbing.12
karena itulah mereka bersedia untuk
Usaha Jam’iyyatul Islamiyah untuk menjelaskan ke berbagai pihak tentang perbedaan antara ajaran yang dikembangkan oleh Darusamin dengan ajaran Buya K.H.A. Karim Djamak, merupakan proses yang telah berlangsung lama. Untuk memperkuat usaha itu, Jam’iyyatul Islamiyah memiliki banyak dokumen tertulis antara lain: 1.
2.
Surat Kawat Menteri Dalam Negeri tertanggal 29 Desember 1986 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Propinsi Sumatera Utara dan Sumatera Barat serta ditujukan kepada Kadit Sospol Medan dan Padang. Isi surat kawat tersebut antara lain: bahwa organisasi Jam’iyyatul Islamiyah dianggap tidak ada masalah. Organisasi tersebut perlu dibina dan jika ada issue negatif seyogyanya diselesaikan secara situasional. Mengenai rencana penyelenggaraan Musyawarah Daerah, Ditjen Sospol tidak keberatan, kebijaksanaan diserahkan kepada di daerah. Surat Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Nomor: B-13/MENKO/KESRA/V/1995 tertanggal 30 Mei 1994 yang ditujukan kepada Menteri Agama RI. Isi surat tersebut antara lain: setelah membaca dan meneliti kesimpulan dan pendapat dari Team Sub-Direktorat Pakem Kejaksaan Agung RI, disampaikan bahwa tidak ada bukti yang kuat yang menyatakan bahwa Buya K.H.A Karim Djamak mengajarkan hal-hal menyimpang dari Al Qur’an dan Hadits. Di akhir surat, Menko
Kesra mengharapkan agar Menteri Agama mengambil langkah arif dan mengadakan dialog dengan DPP Jam’iyyatul Islamiyah, Prof. DR. K.H. Ibrahim Hosen selaku Pelindung Jam’iyyatul Islamiyah, K.H. A. Thohir Widjaya selaku Penasehat Jam’iyyatul Islamiyah serta Buya K.H.A. Karim Djamak; 3.
Surat pernyataan permohonan maaf dari Darusamin Dt. Pangka Sinaro tertanggal 9 Agustus 1993 yang ditujukan kepada Ketua DPD Jam’iyyatul Islamiyah Propinsi Sumatera Barat. Dalam surat tersebut Darusamin menyatakan menyesali perbuatannya telah menyusun, memperbanyak dan mengedarkan buku yang berisi ajaran Jam’iyyatul Islamiyah, tanpa sepengetahuan Buya K.H.A. karim Djamak;
4.
Surat pernyataan 20 Kepala Desa di Kecamatan Sungai Penuh Kabupaten Kerinci yang menyatakan bahwa kegiatan Jam’iyyatul Islamiyah berupa ceramah agama dan pengajian dirasa tidak meresahkan masyarakat.
Dari berbagai dokumen tersebut, tuduhan adanya ajaran sesat yang dikembangkan oleh Jam’iyyatul Islamiyah tampaknya harus dikaji lebih mendalam lagi.
12
Ketika warga Jam€iyyatul Islamiyah menyatakan bersedia untuk dibimbing, kemudian dikonfirmasikan kepada MUI Propinsi Sumatera Barat, MUI menanggapi sikap itu hanya siasat agar mereka merasa ada yang melindungi. Demikian juga sikap diam yang diambil waga Jam€iyyatul Islamiyah ketika terjadi demonstrasi, dipahami oleh MUI sebagai pengakuan bersalah dari Jam€iyyatul Islamiyah (Wawancara dengan Gusrizal Gazahar Ketua Komisi Fatwa MUI Propinsi Sumatera Barat, tanggal 7 Desember 2006).
118
119
pejabat di lingkungan Kanwil Departemen Agama maupun Kantor Departemen Agama Kota Padang melihat penyebab permasalahan adalah karena terkait dengan belum (tidak) sesuainya prosedur perizinan pembangunan rumah ibadat. Bagi Pemerintah Kota Padang, penerbitan Surat Keputusan Walikota tentang pengukuhan masjid didasari keinginan untuk mendayagunakan bangunan bagi kepentingan umat Islam.
BAB V PENUTUP
D
ari uraian singkat di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Jam’iyyatul Islamiyah adalah organisasi sosial keagamaan yang terus mengembangkan dirinya menjadi organisasi yang solid. Kegiatan utamanya adalah melakukan pengajian dan mengembangkan syiar Islam melalui pendirian masjid. Saat ini Jam’iyyatul Islamiyah memiliki pengikut dari berbagai kelompok masyarakat termasuk pejabat, intelektual maupun tokoh-tokoh nasional. Dalam perkembangannya, Jam’iyyatul Islamiyah mendapat banyak tantangan karena diduga mengajarkan aliran sesat.
2.
Kasus penggagalan peresmian Masjid Baitul Izza Baiti Jamak Islamiyah di Kota Padang terjadi paling tidak karena tiga faktor yaitu konflik internal keluarga, prosedur pendirian masjid yang belum sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 serta dugaan adanya ajaran sesat yang dikembangkan oleh warga Jam’iyyatul Islamiyah. Dari ketiga faktor tersebut, faktor terakhir merupakan faktor utama terjadinya penolakan masyarakat terhadap kehadiran masjid tersebut.
3.
120
Majelis Ulama Indonesia Propinsi Sumatera Barat menanggapi peristiwa penggagalan peresmian masjid sebagai wujud keberatan umat Islam karena ajaran sesat yang dikembangkan Jam’iyyatul Islamiyah. MUI tidak lagi membedakan ajaran Jam’iyyatul Islamiyah yang bersumber dari buku Darusamin Datuk Pangka Sinaro, tetapi keseluruhan ajaran Jam’iyyatul Islamiyah dianggap menyebarkan aliran sesat. Sementara
4.
Warga Jam’iyyatul Islamiyah menerima segala keputusan Walikota Padang yang telah mencabut surat keputusan pengukuhan masjid dan menyerahkan bangunan masjid kepada Pemerintah Kota Padang untuk kepentingan umat Islam. Hal itu didasari keinginan tulus untuk membina hubungan baik dengan semua pihak. Berkenaan dengan tuduhan adanya ajaran sesat, Jam’iyyatul Islamiyah berpegang teguh pada keputusan MUI Propinsi Sumatera Barat bahwa yang dilarang adalah ajaran yang dikembangkan oleh Darussamin datuk Pangka Sinaro, bukan yang diajarkan oleh Buya K.H. A. Karim Djamak.
Dari kesimpulan di atas, merekomendasikan 4 (empat) hal:
kajian
ini
setidaknya
1.
Masyarakat luas khususnya organisasi keagamaan Islam hendaknya menanggapi keberadaan Jam’iyyatul Islamiyah secara lebih obyektif, tidak hanya berkaca pada peristiwa yang terjadi di masa lalu, namun lebih melihat prospek ke depan yaitu sumbangan Jam’iyyatul Islamiyah bagi pembinaan umat Islam. Kesediaan anggota Jam’iyyatul Islamiyah untuk terus dibimbing dan diarahkan dalam hal pemahaman dan praktek agama, sebaiknya dilihat sebagai upaya dari Jam’iyyatul Islamiyah untuk terus memperbaiki diri;
2.
Kantor Departemen Agama Kota Padang hendaknya terus melakukan sosialisasi dan memantau proses perizinan rumah ibadat dengan berpedoman kepada Keputusan Bersama Menteri
121
Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006. 3.
Bagi Jam’iyyatul Islamiyah sebaiknya selalu berinteraksi dengan berbagai pihak sehingga menghilangkan kesan eksklusif. Dalam usaha membangun masjid, Jam’iyyatul Islamiyah hendaknya berkomunikasi dengan masyarakat sekitar dan mengikuti peraturan yang ada.
4.
Terkait dengan dugaan penyimpangan ajaran Jam’iyyatul Islamiyah dari Al Qur’an dan Hadits, hendaknya Jam’iyyatul Islamiyah mengintensifkan sosialisasi ajaran-ajarannya baik melalui ceramah di berbagai media maupun penerbitan (buku, majalah) yang menjelaskan tentang ajaran Jam’iyyatul Islamiyah.
PEMIKIRAN FAHMINA INSTITUT DI KOTA CIREBON Oleh : Drs. H. Muchit A. Karim, M.Pd, APU
122
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah esucian agama tercermin pada ajarannya yang dianggap sakral oleh para pengikutnya. Setiap penganut agama berupaya mengaktualisasikan ajaran agamanya sebagai acuan normatif dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun kelompok sebagai manifestasi dari ketaqwaan kepada Tuhan yang Maha Esa.
K
Penduduk Indonesia yang majemuk terdiri dari beragam etnis, sistem nilai sosial budaya, pendidikan dan keyakinan keagamaan, memungkinkan terjadi berbagai perbedaan persepsi, interpretasi atau ekspresi keagamaan. Bahkan di kalangan mereka yang berasal dari dan menjadi penganut agama yang sama. Benda-benda atau perilaku keagamaan tertentu yang dipandang sakral oleh suatu kelompok agama, mungkin dianggap sebagai benda atau perilaku yang biasa-biasa saja oleh kelompok agama yang lain. Perbedaan intepretasi dan ekspresi keagamaan tersebut, dalam kondisi dan tingkat tertentu dapat menimbulkan adanya aliran-aliran keagamaan. Interpretasi atau ekspresi keagamaan dapat ditimbulkan oleh seseorang atau kelompok orang yang dalam aktualisasinya cenderung mengambil bentuk gerakan keagamaan. Pada satu sisi, perbedaan paham keagamaan dapat memperkaya kemajemukan budaya bangsa, namun di sisi lain perbedaan dan keberagaman keagamaan dapat menjadi faktor pemicu terjadinya konflik sosio religius, baik konflik eksternal maupun internal biasa yang disebut dengan kasus keagamaan aktual seperti kasus pemikiran keagamaan Fahmina Institute di Kota Cirebon.
125
Dalam rangka memahami informasi mengenai perkembangan pemikiran keagamaan Fahmina Institute di Kota Cirebon secara komprehensif perlu dilakukan kajian secara sistematik dan mendalam. B. Masalah Yang menjadi permasalahan dalam kajian ini adalah bagaimana sesungguhnya pemikiran atau aliran/paham keagamaan yang dikembangkan oleh Fahmina Institute dan bagaimana respon masyarakat serta pemerintah setempat terhadap paham ini. C. Tujuan Penelitian Melalui kajian ini ingin diperoleh gambaran lebih jelas tentang aliran Fahmina Institute di Kota Cirebon serta berbagai respon yang dilakukan pihak-pihak terkait. Tujuan kajian ini meliputi hal-hal sebagai berikut: 1. Mengumpulkan informasi tentang masalah-masalah pemikiran keagamaan Fahmina Institute, latar belakang kelahiran, tokoh pendiri atau penggaras, keorganisasian, kepengurusan, keanggotaan, aktifitas dan paham keagamaan yang dikembangkan. 2. Respon masyarakat terhadap pemikiran dan aktifitas organisasi Fahmina Institute. 3. Solusi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait.
E. Metodologi Penelitian 1.
Pendekatan dan Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan berbagai informasi berkaitan dengan Fahmina Institute. Informasi tersebut diperoleh melalui wawancara mendalam kepada para infoman baik dari kalangan aktifis Fahmina maupun non aktifis. Selain itu, pengamatan juga dilakukan untuk mengumpulkan informasi berkaitan dengan aktifitas atau kejadian-kejadian yang berlangsung pada saat penelitian terkait dengan Fahmina. Lebih lanjut, pendekatan yang sering disebut kualitatif diuraikan dalam alinia berikut Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan dokumen, wawancara terhadap beberapa orang tokoh, dan anggota Fahmina Institute, tokoh-tokoh agama, serta beberapa pimpinan instansi pemerintah yang terkait dalam pembinaan dan pelayanan masyarakat. Analisis data dilakukan dengan cara mengambil tema-tema yang sama dari informasi yang dikumpulkan . Tema tersebut dihubungkan satu dengan yang lain sehingga membentuk proposisi, tentu saja membandingkan dan mewacanakan pemikiran tokoh merupakan teknik analisis yang dipilih.
D. Kegunaan Hasil Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna dan menjadi masukan berharga bagi pihak-pihak berwenang dalam menentukan kebijakan. Selain itu diharapkan dapat dijadikan informasi awal bagi mereka yang berminat untuk melakukan studi secara lebih mendalam.
126
127
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Geografi, Kependudukan dan Pemerintahan
C
irebon terbagi menjadi dua daerah administrasi, Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon. Kota Cirebon terletak di bagian Timur Provinsi Jawa Barat pada jalur Pantura. Secara geografis terletak pada posisi 108o-50’BT dan 6o-70’LS. Luas wilayahnya ± 3,735 ha, terdiri dari lima kecamatan yang terbagi menjadi 22 kelurahan. Wilayah Kota Cirebon memiliki iklim tropis dengan suhu udara 24oC-33oC dan rata-rata 28oC. Kelembaban udara bulanan berkisar 48%-93% dengan kelembaban tertinggi pada bulan Januari-Maret dan terendah pada bulan Juni-Agustus. Curah hujan rata-rata pertahun adalah 2.751 mm dengan jumlah hari pertahun 121 hari. Sebagian wilayah merupakan dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0-40%, dimana lereng meningkat di bagian selatan, wilayah datar dengan kemiringan 0-3% berada di bagian pantai, secara berangsur merupakan daerah berkarakteristik, dan daerah dengan kemiringan 25-40% merupakan daerah pinggiran. B. Kebijakan Pembangunan Kota Penduduk Kota Cirebon berharap pendidikan akan lebih baik dan lebih maju yang ditangani langsung oleh Walikota. Namun pada kenyataannya kebijakan yang diberikan pada sektor pendidikan tidak memiliki urgensi maupun signifikansi yang menonjol. Ketika mencuat persoalan anak-anak yang drop out, tidak nampak kebijakan yang nyata. Pada tahun 2004 walikota pernah mencanangkan Dompet Peduli Pendidikan (DPP), dipublikasikan bekerja sama dengan Harian Lokal Radar. Tercatat orang yang
128
paling besar pemberian sumbangannya adalah walikota. Terakhir, sekitar bulan September 2003, tercatat dana dari masyarakat lebih dari 60 juta rupiah. Bahkan ada pembicaraan diantara anggota dewan, beberapa pengusaha dipungut dana 50 juta per-orang. Tetapi bagaimana kebijakan penyaluran dana tersebut, tidak ada publikasi. Masyarakat kecewa. Pengusahapun menggerutu, karena pada tahun berikutnya mereka tetap dipungut dengan alasan untuk dan pendidikan.1 Di bidang pembangunan kota, Pemda lebih berorientasi pada pengembangan perdagangan, dunia usaha dan jasa. Ini terlihat pada visi dan misi Kota Cirebon yang dicanangkan masa kepemimpinan walikota. Bisa jadi pendidikan diartikan terbatas sebagai bisnis jasa pendidikan daripada sebagai hak rakyat untuk memperoleh pendidikan. Secara konsep, kebijakan-kebijakan daerah memang mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2002 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Kota Cirebon 2000-2004, dan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2002 tentang Program Pembangunan Daerah Kota Cirebon 2002-2004, mengenai visi, misi dan program prioritas. Disebutkan Visi Kota Cirebon, adalah “Kota Cirebon menjadi Kota Perdagangan dan Jasa yang Maju pada tahun 2005”. Dalam penjelasan formalnya, pemerintah Kota Cirebon tidak hanya memfokuskan pembangunan daerah pada persoalan bisnis semata. Pembangunan mal-mal di Kota Cirebon berkembang meskipun ditentang banyak pihak terutama para budayawan, karena merusak situs dan cagar budaya. Ruang publikpun semakin sempit tanpa ada rancangan alternatif yang jelas. Sebagian besar penduduk Kota Cirebon beragama Islam, tapi di dalam kehidupan keagamaan, juga terdapat non-muslim. Masyarakat muslim Kota Cirebon patuh melaksanakan kewajiban salat lima waktu, menjalankan puasa, menunaikan ibadah haji ke tanah suci. Masyarakat Kota Cirebon gemar pergi ke makam-makam 1
Faqihuddin Abdul Kodir, Op.cit, hal. 31
129
suci sebagai tanda haul atau menyampaikan permohonan dan restu sebelum mengadakan sesuatu usaha, pesta atau perlawatan. Kepercayaan kepada ceritera-ceritera mite dan ajaran-ajaran agama sering diliputi oleh kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan gaib. Upacara-upacara yang berhubungan dengan salah satu fase lingkaran hidup, atau yang berhubungan dengan haul, atau mendirikan rumah, menanam padi, yang mengandung banyak unsur-unsur bukan Islam, masih sering dilakukan.2 C. Lembaga Fahmina a. Nama lembaga Lembaga ini diberi nama Fahmina, menurut pendirinya mengandung makna : 1) Nama Fahmina diambil dari bahasa Arab dari kata fahmun yang berarti pemahaman, nalar, dan perspektif dan kata na (nahnu) yang berarti kita. Dengan demikian, “Fahmina” bisa berarti pemahaman kita, nalar kita, atau perspektif kita, baik tentang teks keagamaan maupun tentang realitas sosial. Nama ini sengaja diambil untuk menggugah sebuah kesadaran bahwa apa yang dianggap sebagai kebenaran, dalam tataran antropologis, sebenarnya adalah baru sebatas pemahaman tentang kebenaran. Oleh karena itu, tidak selayaknya memaksa kehendak kepada orang lain untuk meyakini kebenaran yang dianut. 2) Fahmina adalah sebuah pengakuan bahwa kebenaran dan kebaikan bisa ada pada komunitas dan kelompok manapun. Fahmina juga bisa berarti perspektif atau cara pandang terhadap realitas masyarakat Indonesia, yang pada umumnya berada pada posisi marjinal, lemah, dan tidak banyak dilibatkan dalam proses perumusan 2
130
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indoensia, Jembatan Jakarta, h. 315.
kebijakan publik. Nama “Fahmina” (yang dalam bahasa Arab tertulis dengan harakat kasrah, padahal secara tata bahasa mestinya fahmuna, dengan harakat di atas dan bulat dlammah), sengaja dipilih sebagai penegasan jati diri bahwa Fahmina berasal dan berada untuk memberdayakan masyarakat yang berada pada lapisan bawah (grassroot society), baik secara sosial, politik, maupun gender.3 b.
Sejarah berdirinya Fahmina-Institute didirikan sebagai lembaga nirlaba dan non-pemerintah yang bergerak pada wilayah kajian agama, sosial dan penguatan masyarakat. Bersifat terbuka, dengan keanggotaan lintas etnis, ideologis dan geografis. Pendirian lembaga ini berawal dari pergumulan anak-anak muda pesantren Kota Cirebon, yang memunculkan kesadaran berbagai pihak untuk mengembangkan tradisi intelektual dan etos sosial pesantren. Pembentukan JILLI (Jaringan Informasi untuk Layanan Lektur Islam) di Kota Cirebon pada akhir 1999, dan Bildung, digagas sebagai basis transformasi intelektual pesantren untuk penguatan sosial, melalui kajian karya-karya ulama klasik. JILLI, Bildung maupun forum-forum yang bermunculan saat itu merupakan wadah yang cair, terbuka dan tidak mengikat siapapun. Seiring dengan perkembangan sosial politik, baik di tingkat nasional maupun di tingkat Kota Cirebon sendiri, dipandang perlu mendirikan lembaga untuk mengelola agenda-agenda pengembangan wacana dan tradisi intelektual, penguatan masyarakat, dan pendidikan agenagen perubahan sosial. Berangkat dari itu semua, pada bulan November 2000 Fahmina didirikan oleh Affandi Mochtar, Marzuki Wahid, Husein Muhammad dan
3 Affandi Muchtar, Dustur Fahmina Institute, ditetapkan pada tanggal 20 Juni 2004 di Kuningan Jawa Barat.
131
Faqihuddin Abdul Kodir. Pada bulan Pebruari 2001 kemudian disosialisasikan ke publik dan didaftarkan pada Akta Notaris Idris Abas, SH, No. 01 tanggal 03 Januari 2003 dengan nama Lembaga Fahmina yang berkedudukan di Kota Cirebon.4 c.
Latar Belakang Pendiri 1) KH. Husein Muhammad Dia dikenal luas sebagai Kyai gender ini lahir di Kota Cirebon pada tanggal 9 Mei 1953 dari pasangan Kyai Haji Muhammad Asyrofuddin dan Ummu Salma Syathori. Suami dari Nihayah Fuad Amin ini dikarunia lima orang anak, Hilya Auliya (lahir: 1991), Layali Hilwa (lahir 1992), Muhamamd Fayya Mumtaz (lahir 1994), Najla Hammadah (lahir: 2002) Fazla Muhammad (lahir: 2003). Menempuh pendidikan dasar tahun 1966 lalu SLTPN I Arjawinangun (1969). Kemudian menempuh pendidikan pesantren di Lirboyo Kediri sampai tahun 1973. Pendidikan tinggi ditempuh di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta (1980). Terakhir pernah mengenyam pendidikan di Dirasah Khassah, Al-Azhar Kairo, Mesir tahun 1983. Aktif sebagai peserta dan juga sebagai nara sumber dalam berbagai pelatihan, lokakarya dan seminar, baik nasional maupun internasional. Sehari-hari aktif di berbagai kegiatan dan organisasi sosial; pondok pesantren, masjid, ormas NU, persaudaraan haji, partai politik (PKB), yayasan pendidikan dan sosial dan sejumlah NGO, terutama Rahima, Puan Amal Hayati dan Fahmina. Aktif menulis di media lokal dan nasional dan di forum-forum internasional.
4 Satori, Manager Operasional Sekjen Fahmina, Profil Fahmina Institute, Cirebon Jawa Barat Indonesia, Website: www.Fahmina. 029
132
2) Affandi Mochtar Lahir di Kota Cirebon, 12 Pebruari 1964, adalah seseorang yang penuh inisiatif dan inspiratif. Bukan sesuatu yang kebetulan kalau ia mengambil peran dalam pendirian dan pengembangan Fahmina. Dalam pandangan hidupnya, ‘merubah’ bersama-sama orang lain adalah tugas penting manusia. Affandi menempuh salah satu tahap dalam proses pendidikannya di McGill University Kanada memiliki pergaulan cukup luas, baik lokal, nasional dan internasional. Meskipun, ia menyadari seluas-luas pergaulan seseorang tetap saja ia hanya mengisi salah satu sudut kecil dalam ruang dan waktu yang tak terbatas pembatasnya. Pada 1987 ia memulai tugasnya sebagai tenaga pengajar di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kota Cirebon. Sebagai akademisi, ia aktif menulis dan meneliti. Mulai tahun 2000, ia mengemban tugas di Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Departemen Agama RI yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan programprogram kerjasama perguruan tinggi. Ia menangani sejumlah program kerjasama internasional. Terakhir ia terlibat dalam penanganan kerjasama dengan Canadian International Development Agency (CIDA), Indonesia – Australia Institute, Indonesia-Australia Spesialized Training Program (IASTP), Indonesia-Netherlands in Islamic Studies (INIS), dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk pengembangan Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia juga terlibat dalam misi-misi teknis ke beberapa negara seperti Belanda, Mesir, Jerman, Australia, Sudan, dan Iran. Di luar konsentrasinya di Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, ia tetap menekuni minatnya dalam pengembangan masyarakat. Sejak tahun 2002, ia berperan
133
dalam pengembangan program kesehatan reproduksi remaja (Adolescent Reproductive Health) dalam skema South-South Collaboration antara Lembaga Kesehatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU) dengan beberapa lembaga di Malaysia, Thailand, dan India dengan sponsor dari European Commission. Dalam lingkup yang lebih konkrit, ia kini sedang mengembangkan satu program pelatihan enterpreunership bagi masyarakat berbasis pesantren. Melalui lembaga pendidikan Al-Biruni yang bermarkas di lingkungann pesantren Babakan Ciwaringin Kota Cirebon, ia ingin mewujudkan ambisinya untuk mengembangkan kemandirian ekonomi masyarakat. 3) Marzuki Wahid Lahir di Kota Cirebon, 20 Agustus 1971. Setelah menamatkan Madrasah Ibtidaiyah Assunniyyah (1983) di Losari Kota Cirebon, ia nyantri di PP Rawdlatut Thalibin Babakan Ciwaringin Kota Cirebon sambil menyelesaikan MTsN (1986) di lingkungan Pesantren. Melanjutkan nyantri di KH. Ali Maksum PP Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta hingga menyelesaikan sekolah di MAN I (1989) dan program Sarjana (S1) Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga (1995). Studi Strata 2 (S2) ditempuh di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1998); dan sekarang tengah menyelesaikan program Doktor (S3) pada Program Pascarjana IAIN yang sama. Sejak tahun 1998 menjadi Dosen Fakultas Syariah di IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dan Kepala Seksi Penelitian dan Pengkajian Ilmiah, Direktorat Peguruan Tinggi Islam Departemen Agama RI, sejak tahun 2001 hingga sekarang. Selama menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, pernah menjadi ketua umum Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) Syari’ah dan aktif di Kelompok Mahasiswa Pro-Demokrasi (KMPD). Di organisasi ekstra kampus, ia
134
aktif di gerakan PMII Cabang DI Yogyakarta dan Forum Komunikasi Generasi Muda Nahdlatul Ulama (FKGMNU). Kini aktif di PP LAKPESDAM-NU Jakarta, Klub pengajian Bildung Kota Cirebon dan staf peneliti pada Institute for Culture and Religion Studies (INCReS) Bandung. Buku yang pernah dieditnya adalah Pesantren Masa Depan: Wacana Transformasi dan Pemberdayaan Pesantren, (Bandung Pustaka Hidayah, 1998), Geger di Republik NU (Jakarta: Kompas-Lakpesdam NU, 1999), Dinamika NU: Perjalanan Sosial NU dari Muktamar Cipasung (1995) ke Muktamar Kediri (1999) (Jakarta Kompas-Lakspesdam NU, 1999) Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: Rosdakarya-INCReS, 2000). Kontributor, Tubuh, Eskualitas, dan Kedaulatan Perempuan; Bunga Rampai Ulama Muda, (Yogyakarta : LKIS-Rahima, 2001) 4) Faqihuddin Abdul Kodir Suami dari Mimin Mu’minah dan ayah dari Shiya Silmi Hasif dan Isyqie bin-Nabiy, lahir di Kota Cirebon tahun 1971. Menempuh pendidikan dasar di Madrasah Ibtida’iyyah Wathoniyyah Gintunglor-Susukan-Kota Cirebon (1983), lalu memasuki pendidikan pesantren di Daar Al Tauhid Arjawinangun Kota Cirebon asuhan Syaikh Abdurrahman Ibn Ubaidillah Syathori dan KH. Husein Muhammad (1983-1989). Menyelesaikan Sarjana dari Islamic Call College Libya-Cabang Damaskus (1995), Sarjana dari Fakultas Syari’ah Universitas Damaskus-Syiria (1996), Diploma Hukum Pidana dan Perdata Islam dari Universitas Khortoum-Cabang Damaskus-Syiria (1997), Master Fiqh, Ushul Fiqh dari Fakultas Ilmu Wahyu Universitas Islam International-Kuala Lumpur Malaysia (1999). Sepulang ke Indonesia (tahun 2000), bergabung dengan Rahima-Jakarta sebagai staff peneliti (mulai 2000) dan Redaktur Tamu
135
Majalah Swara Rahima (2001-2002), bergabung dengan Forum Kajian Kitab Kuning (FK3)-Ciganjur bersama Ibu Sinta Nuriyah (mulai 2001), dosen Hadits Ahkam di STAIN Kota Cirebon (mulai 2001), Sekretaris Eksekuktif (2001-2002), Direktur Eksekutif (2002-2004), lalu Sekjen di FahminaInstitute Kota Cirebon (mulai 2004) d.
Visi, Misi, Nilai dan Tujuan 1. Visi Visi perjuangan Fahmina-Institute adalah terwujudnya masyarakat sipil yang kritis dalam berfikir, terbuka dalam bersikap, berdaya dalam martabat, dan berkeadilan dalam tatanan kehidupannya. Dengan keadilan, setiap orang akan berdaya dan memiliki kesempatan untuk menjadi kuat, baik secara politik, sosial maupun budaya. 2.
Misi Misi Fahmina-Institute adalah: mengembangkan dan menyebarluaskan wacana keagamaan kritis, memfasilitasi keberdayaan dan melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas. Yang dimaksud dengan wacana keagamaan kritis adalah wacana reflektif keagamaan terhadap pengalaman hidup keterpurukan, kebodohan, kemiskinan dan ketertindasan, yang dijadikan dasar dalam memahami kembali pemahaman keagamaan dan merumuskan pemahaman yang transformatif untuk ditawarkan kepada masyarakat, dan direfleksikan kembali menjadi pemahaman alternatif agar bisa menjadi motor penggerak transformasi untuk mewujudkan keadilan sosial. Sedangkan masyarakat tertindas dalam konteks ini adalah kelompok atau anggota masyarakat yang mengalami kekerasan, ketidak-adilan, pembedaan
136
(diskriminasi), dan peminggiran (marjinalisasi) baik secara struktural maupun kultutral. 3.
Nilai-Nilai Nilai-nilai yang menjadi landasan pengelolaan lembaga adalah: kejujuran dan keterbukaan, konsistensi dan kemandirian, keragaman dan kebersamaan, kesetaraan dan keadilan gender. a). Kejujuran adalah komitmen untuk mengikatkan diri pada visi transformasi sosial, kapanpun, dimanapun, dan dengan siapapun. Keterbukaan adalah kesiapan diri untuk berubah ke arah yang lebih baik dan terbuka terhadap segala hal untuk perubahan tersebut. b). Konsistensi adalah komitmen untuk menghormati segala upaya perubahan kearah yang lebih baik, bisa berupa kesepakatan, keputusan maupun aturan. Kemandirian adalah kemampuan untuk mengembangkan pertanggungjawaban diri secara jujur, memaksimalkan potensi diri, dan mengembangkan kreatifitas untuk memutus ketergantungan terhadap kekuatan lain. c). Keragaman adalah penghargaan dan pengakuan baik dalam sikap, tindakan, maupun keputusan terhadap perbedaan dan ragam manusia, baik dalam hal ras, suku, kelompok, status, jenis kelamin, pandangan politik, maupun agama. Kebersamaan adalah tindakan dan perilaku yang membuat orang memiliki kesempatan untuk bisa berkembang, mampu dan kuat secara bersama, meskipun dalam keragaman dan perbedaan. d). Kesetaraan dan keadilan gender adalah komitmen keberpihakan terhadap perempuan, sebagai korban dari struktur sosial yang timpang, untuk
137
mewujudkan kehidupan yang lebih adil dan setara secara gender. 4.
5) Dewan Kebijakan menunjuk salah seorang anggotanya sebagai Sekretaris Jenderal Fahmina-institute yang menjadi pelaksana harian mempresentasikan Dewan Kebijakan 6) Masa bakti Dewan Kebijakan adalah dua tahun, dan setelah itu dapat diangkat kembali.
Tujuan Tujuan utama pendirian dan keberadaan FahminaInstitute adalah memfasilitasi tumbuhnya agen-agen transformasi sosial yang mampu membuka ruang-ruang partisipasi dan menghasilkan kajian-kajian wacana keagamaan kritis. Dengan tujuan utama ini, FahminaInstitute: a). Mengambil peranan aktif dalam mewujudkan kehidupan yang lebih adil, b). Memberikan kesempatan belajar yang lebih luas bagi upaya-upaya perbaikan dan perubahan, dan c). Mempromosikan setiap usaha, karya, sosok dan lembaga yang memiliki komitmen tinggi bagi perwujudan kehidupan yang adil, demokratis, dan berkeadaban.
b. Badan Eksekutif 1) Badan Eksekutif adalah pelaksana kebijakan yang dibuat dan ditetapkan oleh Dewan Kebijakan 2) Badan Eksekutif terdiri dari Manajer Administrasi dan keuangan, dan sejumlah Manager Program sesuai dengan kebutuhan 3) Badan Eksekutif diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Kebijakan 4) Badan Eksekutif bertanggung jawab kepada Dewan Kebijakan 5) Masa kerja Badan Eksekutif adalah satu tahun 6) Untuk hal-hal tertentu masa kerja Badan Eksekutif sesuai masa letter of agreement/akad kesepakatan yang disepakati dan setelah itu dapat diangkat kembali
5. Struktur Organisasi Fahmina-Institute memiliki tiga badan: Dewan Kebijakan, Badan Eksekutif, dan Staf Pelaksana. a.
138
Dewan Kebijakan 1) Dewan Kebijakan adalah instansi tertinggi dalam pengambilan keputusan kelembagaan 2) Dewan Kebijakan terdiri atas seorang ketua, seorang sekretaris, seorang bendahara dan maksimal empat orang anggota 3) Dewan Kebijakan beranggotakan para pendiri Fahmina Institute yang tidak menjadi badan eksetutif 4) Dewan Kebijakan melengkapi keanggotaannya sesuai dengan butir (b)
c.
Staf Pelaksana Staf pelaksana adalah Badan Eksekutif dan seluruh staf pelaksana yang bekerja untuk masa kerja tidak tertentu (staf tetap) serta untuk masa kerja tertentu (staf dengan perjanjian kerja). Dan menerima upah sebagai balas jasa atas pekerjaan yang dilaksanakan.
D. Wewenang, Kewajiban, dan Hak 1.
Dewan Kebijakan memiliki kewenangan: menetapkan dan mengubah dustur lembaga; menentukan arah kebijakan strategis lembaga; memutuskan kebijakan asset, keuangan, dan sumber
139
daya lembaga, untuk kepentingan pengembangan dan keberlangsungan lembaga; mengangkat dan memberhentikan Badan Eksekutif; mengangkat dan memberhentikan staf pelaksana atas usul Badan Eksekutif, meminta pertanggungjawaban Badan Eksekutif. Dewan Kebijakan berkewajiban : menjaga kelangsungan lembaga; membuka akses dan mencarikan alternatif untuk pengembangan kapasitas lembaga. Dewan Kebijakan berhak : Memberikan konsultasi pada pengelolaan lembaga dan pelaksanaan program; memonitor dan mengevaluasi kepada Badan Eksekutif demi kepentingan lembaga; memberikan persetujuan atau penolakan untuk bekerjasama dengan pihak lain; memperoleh kompensasi sesuai dengan peraturan yang berlaku; menggunakan fasilitas lembaga untuk kepentingan lembaga berdasarkan peraturan yang berlaku; mengangkat tenaga ahli untuk membantu pekerjaan Dewan Kebijakan. 2.
140
Badan Eksekutif mempunyai wenang: mengajukan usulan pengangkatan dan pemberhentian staf pelaksana; mengelola asset, keuangan, dan sumber daya lembaga untuk kepentingan pengembangan; meminta pertanggungjawaban staf pelaksana; mengusulkan kepada dewan kebijakan untuk melakukan kontrak kerjasama dengan pihak lain kepada Dewan Kebijakan. a. Badan Eksekutif berkewajiban: menjalankan, menaati, dan mengembangkan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan oleh Dewan Kebijakan; membina, membimbing, mengawasi, dan mengevaluasi kinerja staf pelaksana; mempertanggungjawabkan pengelolaan lembaga dan pelaksana program kepada Dewan Kebijakan; melakukan koordinasi antar manajer dalam badan eksekutif. b. Badan Eksekutif berhak : memonitor dan mengevaluasi staf pelaksana demi kepentingan lembaga; memberikan bahanbahan pertimbangan dan usulan kepada Dewan Kebijakan;
memperoleh kompensasi sesuai dengan peraturan yang berlaku; menggunakan fasilitas lembaga untuk kepentingan lembaga sesuai peraturan yang berlaku; melakukan konsultasi dengan dewan kebijakan. E. Program Kerja dan Kegiatan 1.
Program Kerja Program yang dikembangkan Fahmina-Institute diorientasikan kepada tiga wilayah sosial-intelektual, sosialbudaya dan sosial-politik. Pada periode 2005-2008, programprogram Fahmina akan difokuskan pada pengembangan perpustakan publik, penelitian peta sosial politik seluruh wilayah Kota Cirebon, pendidikan dan pendampingan masyarakat marginal, pendidikan kyai-kyai muda, pendidikan kader ulama perempuan, pendidikan Islam untuk aktivis perempuan sekuler, pusat studi ke-Cirebonan, pusat kajian kebijakan publik dengan perspektif perempuan dan penguatan kapasitas lembaga Program-program yang dikembangkan didasarkan pada beberapa acuan dasar di bawah ini : a. Mengacu pada visi dan misi b. Mendasarkan pada rekomendasi pada hasil penelitian pendahuluan (preliminary research). c. Berorientasi pada transformasi sosial melalui pengguliran issue-issue strategis dari kenyataan sosial yang digeluti oleh masyarakat. d. Mendasarkan pada argumen-argumen teologis pada khazanah intelektual dan peradaban keislaman, baik klasik maupun kontemporer e.
Memprioritaskan pada penguatan tiga ranah; yakni sosialintelektual, sosial-budaya, dan sosial-politik.
141
f.
Mengupayakan realisasi program melalui beberapa strategi berikut ini : 1) Kajian dan penelitian yang berorientasi pada perubahan struktur sosial ke arah yang lebih adil. 2) Produksi hasil-hasil kajian dan karya-karya intelektual bermazhab kritis bagi perubahan sosial 3) Pembentukan agen-agen perubahan dan komunitas intelektual kritis yang solid 4) Fasilitasi tumbuhnya kelompok-kelompok kritis strategis, dalam bentuk organisasi rakyat, aliansi-aliansi kelas menengah, institusi-institusi yang berkecimpung tata kelola, yang bergerak memperjuangkan cita keadilan sosial, demokratisasi, dan hak asasi manusia. 5) Advokasi kebijakan publik agar berpihak kepada masyarakat yang tertindas demi keadilan sosial
g. Berfokus pada masyarakat yang berorientasi pada dua sisi sekaligus 1) ke luar sesuai dengan misi lembaga. 2) ke dalam, program diorientasikan untuk memperkuat dan meningkatkan kapasitas SDM Fahmina-institute dan kaderisasi h. Untuk menunjang program di atas, Fahmina-Institute melakukan kegiatan dan usaha lain yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku. Pada tataran administrasi kelembagaan, program-program Fahmina diklasifikasi dalam dua wilayah spesifikasi yaitu: a. Pengembangan Wacana Sosial-Keagamaan Kritis b. Penguatan Otonomi Komunitas 2.
Kegiatan Fahmina Selama hampir lima tahun, Fahmina telah melakukan berbagai kegiatan dalam konteks program pengembangan wacana dan penguatan otonomi komunitas. Program-program
142
ini terlaksana bekerjasama dengan berbagai lembaga dan instansi pemerintahan : a. Kegiatan penelitian; b. Kegiatan Seminar dan Dialog Publik c. Kegiatan pendidikan dan pelatihan; Mengacu pada program-program di atas, Fahmina Institute sebagai lembaga melaksanakan pendidikan dan perubahan masyarakat dengan mendirikan perpustakaan publik sebagai wadah yang menyalurkan minat semua orang untuk mempelajari ilmu yang membebaskan dan bisa berinteraksi dengan dunia yang membangkitkan. Wadah ini diberi nama “Baitulhikmah” yang artinya rumah ilmu dan pengetahuan sebagai ingatan dan kilas balik terhadap kejayaan Islam pada masa khilafah Abbasiyah. Wadah ini mempuyai visi dan misi terbentuknya masyarakat yang secara berkesinambungan melakukan dialog perubahan dengan berbagai kearifan dan ragam peradaban. Dengan tujuan : 1. Menumbuhkembangkan budaya baca masyarakat untuk kebangkitan peradaban dan perubahan keadilan 2. Mengembangkan tradisi intelektual dan dialog berpengetahuan dalam kehidupan bermasyarakat 3. Mensosialisasikan karya-karya monumental dunia terhadap seluruh lapisan masyarakat 4. Memudahkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber pengetahuan Untuk mencapai empat tujuan di atas, pada tahun perdana ‘Baitulhikmah’ akan melakukan beberapa kegiatan : 1.
Pengembangan Perpustakaan Publik Perpustakaan ini akan diisi dengan berbagai kitab referensi berbahasa Asing (Arab, Inggris, dan yang lain), buku-buku kajian kontemporer tentang keislaman, filsafat, sosial, politik
143
dan ekonomi. Ke depan akan diupayakan agar perpustakaan ini bisa melengkapi diri untuk kepentingan studi keCirebonan. Perpustakaan akan dibuka untuk publik mulai bulan Nopember 2005, pas lima tahun kelahiran FahminaInstitute. 2.
Bulan Bedah Buku Pada setiap tanggal 1 awal bulan, setelah zuhur, di Baitulhikmah akan diadakan kegiatan bedah buku untuk buku-buku yang baru diterbitkan, dengan menghadirkan orang-orang yang berkompeten pada bidang masingmasing. Bulan bedah buku ini akan mulai diselenggarakan pada bulan Mei 2005.
3.
Pengembangan Media Alternatif Untuk memudahkan desiminasi keilmuan dan pengetahaun, akan dikembangkan media yang bisa menjembatani kebutuhan masyarakat terhadap pengetahuan dan pengamalan yang bisa membebaskan ke arah kehidupan yang adil dan sejahtera. Pengembangan ini berupa bulletin resensi buku, dialog buku, pengembangan website dan mailing list.
Pada tataran sosial intelektual dan sosial politik dapat dilihat pandangan-pandangan tokoh pendiri lembaga ini antara lain: a.
KH Husein Muhammad mengatakan: (1) Teks-teks agama tidak dapat ditafsirkan dan dipahami secara skripturalis dan statis, sehingga dalam membaca teksteks keagamaan tidak hanya menggunakan pemahaman masa lalu, namun juga nuansa kultural, struktur sosial dan logiknya. Pemahaman yang lebih tepat adalah dengan pembacaan yang sesuai dengan konteks kontemporer termasuk sisi sejarah dan logika, dan perkembangan sosial.
144
Hal yang harus terus dipegang dalam pembacaan kontemporer itu, adalah acuan pada prinsip-prinsip tauhid. Pesan-pesan tauhid yang terkandung dalam Al-Qur’an tidak diturunkan dalam kondisi hampa budaya. Menurutnya wahyu Allah diturunkan dalam sebuah budaya yang diskriminatif, seperti masalah perempuan. Hal inilah yang menjadi salah satu akar permasalahan yang membuat perempuan menderita karena adanya ketimpangan gender dalam masyarakat Indonesia. Kondisi semacam ini memperlihatkan bahwa kesulitankesulitan yang dihadapinya karena penafsiran konservatif yang tidak adil terhadap perempuan harus dilawan dengan gigih. (2) Pembelaan terhadap perempuan menurut Husain belum nampak jelas. Feminisme liberal menganggap bahwa ketertindasan perempuan karena perempuan sendiri tidak bisa bersaing dengan laki-laki maka yang harus dilakukan adalah dua cara. Cara pertama adalah melakukan pendekatan psikologis dengan cara membangkitkan kesadaran individu. Cara kedua dengan menuntut pembaharuan hukum yang tidak menguntungkan perempuan, dan mengubah hukum ini menjadi peraturan baru yang memperlakukan perempuan setara dengan lakilaki. 5 b. Faqihuddin Abdul Kadir, mengatakan : (1) Orang yang melakukan poligami telah merendahkan perempuan dan tidak memandangnya sebagaimana memandang dirinya, poligami ternyata hanya untuk kepentingan laki-laki dengan berlindung pada kepentingan5 Arif Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1981) h. 41. Dalam Islam Agama Ramah Perempuan Pembinaan Kyai Pesantren, Fahmina-Institute, hal 11
145
kepentingan sosial. Jika poligami dilakukan atas dasar demikian sebaiknya poligami tidak menggunakan dalil-dalil agama. Sebab misi agama jauh lebih mulia daripada sekedar membenarkan perasaan nafsu biologis yang berakibat derita lahir batin perempuan. Al-Qur’an dan sunah datang untuk menegaskan semangat kritik terhadap poligami. Dengan semangat kritik ini, poligami tidak bisa dijadikan pilihan perkawinan dalam Islam. Islam justru memilih monogami sebagai perkawinan ideal, yang lebih menempatkan laki-laki dan perempuan secara adil dan setara.6 (2) Dalam sebuah bukunya yang berjudul : Bukan kota wali, Relasi Rakyat – Negara dalam Kebijakan Pemerintah Kota Menyuguhkan sebuah realitas mikro bagaimana nasib rakyat yang terlantar. Bidang yang disoroti adalah pendidikan dan kesehatan yang masih meninggalkan pekerjaan rumah. Pekerja pendidikan belum optimal. Demikian pula halnya yang bergerak pada bidang kesehatan masih berhadapan dengan problem akses dan keterjangkauan layanan berkualitas. Faqih menyatakan bagaimana pendidikan dan kesehatan menjadi dasar utama keberhasilan sistem politik. Kekuasaan yang mengabaikan dua masalah tersebut berhadapan dengan: merosotnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya tingkat kompetensi daerah dan yang mencemaskan hilangnya generasi. Jawabannya adalah peran kalangan usaha menyelesaikan persoalan utama ini. (3) Perspektif kebijakan yang ditempuh pemerintah kota tidak peka gender. Hal tersebut terlihat dalam perancangan anggaran maupun perumusan kebijakan tampak bagaimana
6 Faqihuddin Abdul Kadir, 2005, Memilih Monogami Pembacaan Atas Al-Qur€an dan Hadits Nabi, Penerbit Pustaka Pesantren (Kelompok Penerbit LKIS) Yogyakarta.
146
peran dan keterlibatan perempuan yang sangat terbatas. Wajah busuk kekuasaan, yang porosnya adalah penindasan, memang kemudian tidak akan mempertimbangkan aspek gender. Sumber ketidakadilan itu yang membuat perkara kesepakatan kemudian jadi masalah. Sektor wisata hanya usaha untuk menjual potensi, bahkan berujung pada bagaimana bisnis pelacuran dan perdagangan perempuan marak. Posisi perempuan yang tersudut dan terkucil itulah, yang kemudian menjadikan kebijakan publik, tidak sensitif dan tidak peka terhadap kalangan perempuan.7 Dalam Buletin Jum’at Waraqatul Bashar yang diterbitkan Fahmina memuat tulisan tentang pluralisme, jilbab sebagai budaya Arab.8
7 Faqihuddin Abdul Kadir, Dewi Laily Purnamasari, Ipah Jakrotaunnasiyah, Obeng Nur. Rasyid, Bukan Kota Wali Relasi Rakyat-Negara Dalam Kebijakan Pemerintah Kota, Penerbit Kutub Fahimna h. XXXIV 8 Prof. Dr. Salim Badjeri, Aktivis Forum Umat Islam Cirebon, Wawancara tanggal 28 Setpember 2006 di Cirebon
147
BAB III RESPON MASYARAKAT, TOKOH AGAMA DAN POTENSI KONFLIK
A. Respon Pemicu Potensi Konflik
P
aham yang dikembangkan para tokoh Fahmina Institute memperoleh tanggapan dari berbagai kalangan. Hal itu bisa dilihat dari adanya ribuan orang yang tergabung dari berbagai organisasi kemasyarakatan (ormas) dan partai beraliran Islam yang berunjuk rasa mendukung Rancangan UndangUndang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUUAPP), Minggu 21/52005. Aksi diwarnai penyegelan kantor Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Fahmina Institute oleh sebagian masyarakat, karena LSM ini dinilai menolak RUU APP. Demonstrasi yang diikuti antara lain oleh massa dari Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI), Mujahidin, Hizbut Tahrir, GP Anshar, PKS dan lainnya itu dimulai pukul 08.00 WIB. Setelah berkumpul di lapangan Kesepuhan Kota Cirebon, massa melakukan long march menuju alun-alun Kejaksaan. Sesampainya di alun-alun Kejaksaan, dengan dikawal ratusan petugas Polresta Cirebon, massa membuat barisan hingga menutup jalan raya dan berorasi. Massa membubarkan diri dari lapangan Kejaksaan sekitar pukul 11.00. Tetapi, puluhan massa lain melanjutkan aksinya menuju Kantor LSM Fahmina yang terkenal memperjuangkan pluralisme dan gender itu, puluhan orang mulanya ingin bertemu dengan pimpinan LSM. Karena hanya ditemui stafnya, massa menyampaikan pesan untuk pimpinannya agar Fahmina ditutup. Bersamaan dengan itu, massa menempelkan poster di pintu dan dinding kantor LSM Fahmina dengan tulisan-tulisan antara lain“Fahmina dan Ford Foundation Antek Asing, Fahmina dan Ford Foundation Racun, Fahmina ditutup karena menjual ayat-ayat Allah€.
148
Budi Firmansyah, seorang peserta demonstran menyatakan LSM Fahmina disegel karena telah menolak pengesahan RUUAPP. Aksi penyegelan ini sebagai bentuk penekanan terhadap aktifitas LSM tersebut.9 Sekretaris gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Alan Pasha mengatakan memiliki sejumlah bukti keterlibatan Fahmina dalam jaringan Islam Liberal. Dengan menggunakan dana dari Asia Foundation, Fahmina melakukan kegiatan indoktrinasi sekuler kepada masyarakat. Selama ini Fahmina memperjuangkan persamaan gender yang dimulai dengan menentang Rancangan Undang-Undang Pornografi. Karena alasan itu, FUI menyegel kantor Fahmina. Husein Muhammad, Ketua Fahmina tidak merasa tertekan. Namun, teman-teman dan sesama pengurus lainnya merasa diintimidasi dengan kejadian itu. Maka mereka berencana melakukan proses hukum untuk menjamin keselamatan mereka. Ketika ditanyakan apakah Fahmina pernah mengeluarkan pernyataan menolak keberadaan Rancangan Undang-Undang AntiPornografi dan Anti-Pornoaksi, Husein menyatakan mereka sama sekali belum pernah mengeluarkan pernyataan resmi tentang RUU itu.10 Penyegelan kantor Fahmina Institute seperti yang dilaporkan oleh Tempo pada saat mengutip pernyataan Gus Dur ketika menghadiri dialog lintas agama di Gedung PKK di Jalan RE Martadinata, Purwakarta pada Selasa 22 Mei 2006. Saat itu dia mengatakan bahwa Al-Qur’an merupakan kitab suci paling porno. Pernyataan yang dilontarkan Abdurahman Wahid menjadi pembicara dalam dialog bertajuk “Pluralisme dalam Bingkai Masyarakat Mandiri”, yang diadakan Gerakan Pemuda Anshor, Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), dan organisasi kepemudaan non-Islam. Pernyataan itu oleh FUI dianggap melukai 9
Massa segel Kantor LSM Fahmina, dianggap tolak RUUAPP, Tribun Jabar Senin 22
Mei 2006 10 Koran Tempo, Lembaga Fahmina Institute Laporkan Forum Ukhuwah Islamiyah, Koran Tempo, 23 Mei 2006
149
perasaan umat Islam karena menafsirkan Al-Qur’an dengan sekehendak logika pribadi.11 Sebaliknya forum ulama setempat dari kalangan Pondok Pesantren, Garda Bangsa, Gerakan Pemuda Anshor mendesak aparat pemerintah bertindak tegas terhadap kelompok-kelompok yang dianggap melecehkan agama. B. Respon Potensi Kerukunan Saling melontarkan opini antara Forum Ukhuwah Islamiyah (FUI) Kota Cirebon dengan LSM Fahmina Institute mengundang keprihatinan banyak pihak. Salah satunya Hizbut Tahrir Indonesia. Pengurus DPD HTI Jawa Barat, Arif Rahman Hakim, Ketua HTI Kota Cirebon, Ir. Aksana Widyatmaka didampingi Humas HTI Kota Cirebon Abdullah Sukarto, SE, menyayangkan terjadinya hal tersebut. Baginya, dibalik konflik tersebut ada upaya sistematis untuk mengalihkan fokus umat dari upaya pemberantasan pornografi dan pornoaksi menjadi fokus perseteruan FUI dan Fahmina. Baik Arif, Aksana mupun Abdullah meminta masyarakat untuk tidak terjebak dalam konflik tersebut. Sebab akibatnya bisa melupakan agenda menegakkan syariat Islam dalam memberantas pornografi dan pornoaksi.
yang banyak meresahkan masyarakat. Bahkan, secara tegas H. Azis Rasyid menyatakan bahwa yang diusung kelompok Fahmina Institute berbau anti-Islam dan meresahkan masyarakat sehingga memancing kemarahan umat Islam. Azis mengakui dirinya sering bergabung dengan FUI untuk menetralisir adanya hubungan baik antar berbagai kalangan ormas Islam di Kota Cirebon. Tetapi dia menghimbau Fahmina agar jangan dengan sengaja menjelekkan umat Islam.12 Sesepuh NU Kota Cirebon yang juga pimpinan Pondok Pesantren Kempek Ayip Usman dan intelektual NU Prof. Dr. H. Maksum Muchtar menyayangkan kejadian penyegelan Fahmina. Menurut mereka, perbedaan ide-ide dapat diselesaikan dengan dialog dan diskusi, bukan dengan intimidasi kekerasan. Keduanya memandang bahwa aktivitas Fahmina dan ideidenya masih wajar, karena masing-masing memiliki perspektif sendiri-sendiri dalam mensikapi suatu masalah.13
Gerakan atau ormas Islam maupun pesantren, adalah aset umat bagi tegaknya syari’at Islam. Jika terjadi konflik terbuka antar gerakan atau ormas Islam dengan pesantren, tentu yang akan bertepuk tangan adalah kelompok sekuler dan musuh-musuh Islam. Dan jika berlarut-larut, sudah pasti banyak agenda penegakan syariat Islam menjadi terbengkalai dan yang merugi adalah umat Islam sendiri. Ada statemen menarik yang disampaikan sesepuh NU Kota Cirebon, H. Azis Rasyid tentang kiprah dan sikap aktivis Fahmina Institue. Beliau prihatin atas tindak tanduk para aktifis Fahmina 12 11
150
Ibid
13
Radar Cirebon, HTI Imbau Waspadai Pihak Ketiga, Sabtu 27 Mei 2006 Radar Cirebon, Hindari Konflik Horisontal, Senin 29 Mei 2006
151
sipil yang memiliki kepekaan untuk melakukan perubahan struktur sosial ke arah yang lebih adil. Dengan struktur yang adil, setiap orang akan berdaya dan memiliki kesempatan untuk bisa menjadi kuat, baik secara politik, sosial maupun budaya. b. Misi, mengembangkan dan menyebarluaskan wacana keagamaan kritis, memfasilitasi kebersamaan dan melakukan pemberantasan terhadap masyarakat yang tertindas. c. Landasan pengelolaan lembaga, adalah nilai-nilai kejujuran dan keterbukaan, konsistensi dan kemandirian, keragaman dan kebersamaan, kesetaraan dan keadilan gender. d. Tujuan utama, adalah memfasilitasi tumbuhnya agen-agen transformasi sosial yang mampu membuka ruang-ruang partisipasi dan menghasilkan kajian-kajian wacana keagamaan kritis.
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 1.
Fahmina Institute merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang kajian agama, sosial dan masyarakat dan bersifat terbuka dimana anggotanya terdiri atas lintas etnis, ideologis dan geografis. Pendirian ini berawal dari pergumulan anak-anak muda pesantren Kota Cirebon yang sadar untuk mengembangkan tradisi intelektual dan etos sosial pesantren. Pembentukan JILLI (Jaringan Informasi untuk Layanan Lektur Islam) di Kota Cirebon, pada akhir tahun 1999 dan Bildung digagas untuk mengembangkan sistem transformasi intelektual pesantren demi kepentingan sosial melalui kajian-kajian karya ulama klasik. Seiring dengan perkembangan sosial politik, baik di tingkat nasional maupun tingkat Kota Cirebon sendiri, dipandang perlu mendirikan lembaga yang bisa lebih efektif mengelola agenda-agenda pengembangan wacana dan tradisi intelektual, penguatan masyarakat dan pendidikan sebagai agen-agen perubahan sosial.
2.
Pada bulan November 2000 Fahmina didirikan oleh Affandi Mochtar, Harzuki Wahid, Husein Muhammad, dan Faqihuddin Abdul Kadir. Pada Februari 2001 disosialisasikan ke publik dan dida�arkan pada Akta Notaris Idris Abas, SH, No. 01 tanggal 23 Januari 2003 dengan nama Lembaga Fahmina yang berkedudukan di Kota Cirebon.
3.
Fahmina-Institute mempunyai : a. Visi terwujudnya masyarakat sipil yang kritis dalam berpikir, terbuka dalam bersikap, berdaya dalam martabat dan berkeadilan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat
152
4.
Kegiatan Fahmina-Institute diprioritaskan pada penguatan ranah, yaitu sosial-intelektual, sosial budaya dan sosial politik. Dari kegiatan-kegiatan tersebut nampak paham/pandanganpandangan komunitas ini antara lain : a.
Pemahaman terhadap teks-teks agama menurut komunitas ini tidak bisa ditafsirkan semata-mata secara skripturalis dan statis. Dengan begitu ketika membaca teks-teks keagamaan, seharusnya tidak hanya menggunakan pemahaman masa lalu tetapi juga pada nuansa-nuansa kultural, struktur sosial dan logiknya. Hal yang harus dipegang secara terus menerus dalam pembacaan kontemporer adalah acuan pada prinsip-prinsip tauhid. Pesan-pesan tauhid yang terkandung dalam Al-Qur’an tidak diturunkan dalam kondisi hampa budaya, sebaliknya diturunkan dalam sebuah kebudayaan yang sangat diskriminatif, termasuk terhadap perempuan.
b. Poligami menurut Fahmina adalah merendahkan perempuan dan tidak memandang perempuan sebagaimana
153
memandang dirinya. Sebaliknya poligami tidak menggunakan dalih-dalih agama, sebab menurutnya misi agama jauh lebih mulia daripada sekedar membenarkan nafsu biologis yang berakibat derita lahir batin perempuan. Islam datang mengkritik poligami, sehingga poligami tidak dapat dijadikan pilihan perkawinan dalam Islam. Islam justru telah memilih monogami sebagai pernikahan ideal. c.
Masih rendahnya perhatian pekerja pendidikan yang hanya bergerak pada persoalan lama, pemerataan dan kualitas. Masalah kesehatan masih berhadapan dengan problem akses dan keterjangkauan layanan berkualitas. Jika mengangkat persoalan sebaiknya pendidikan dan kesehatan dijadikan dasar utama untuk menilai sebuah sistem politik. Dua hal inilah yang menentukan kualitas sumber daya manusia. Pemerintah kota dipandang tidak peka gender dengan membatasi peran langsung perempuan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
5.
Masyarakat menilai bahwa Fahmina adalah lembaga yang mengembangkan dan menyebarkan pluralisme agama, sekularisme dan liberalisme. Melalui penerbitan bulletin Jum’at Waraqatul Basyar yang memuat isyu-isyu liberalisme.
6.
Respon masyarakat terhadap kelompok ini diklasifikasikan menjadi dua yaitu respon yang berpotensi menumbuhkan konflik dan respon yang berpotensi menumbuhkan kerukunan. a.
itu dan tidak setuju bila menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan. Seharusnya perbedaan ide diselesaikan dengan dialog dengan semangat kekeluargaan. B. Saran 1.
Perlu adanya saling pengertian dan kerjasama di kalangan pimpinan berbagai institusi, baik pemerintah maupun masyarakat di Kota Cirebon. Jangan sampai ternodai oleh provokasi dan interes kurang sehat dari beberapa oknum yang mengatasnamakan agama atau simbol kebenaran lain yang dapat mengakibatkan keonaran, penistaan atau tindakantindakan massa lainnya yang merugikan. Untuk itu perlu didorong terus menerus agar tercapai tujuan bersama, yaitu Islam sebagai “rahmatan lil-alamin”
2.
Kepada semua pihak untuk saling mengingatkan akan kebenaran ajaran Islam dalam melaksanakan dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Umat Islam harus menerus menyempurnakan pemahaman dan pengamalannya terhadap ajaran Islam. Kepada pihak-pihak yang terkait khususnya kantor Departemen Agama Kota Cirebon untuk lebih meningkatkan perannya melakukan pembinaan kerukunan intern umat beragama mengingat masih banyak orang Islam yang masih belum memahami dan mengamalkan ajaran Islamnya secara baik dan benar.
Respon yang berpotensi konflik bisa dilihat pada kasus penyegelan Kantor Fahmina di Jalan Suratno, karena informasi yang menyatakan bahwa orang-orang di Fahmina menolak Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP). Massa menyegel kantor ini karena dianggap antek asing dan Yahudi.
b. Respon yang berpotensi kerukunan beberapa tokoh menyayangkan dan merasa prihatin atas kasus penyegelan
154
155
DAFTAR KEPUSTAKAAN Affandi Muchtar, Riwayat Hidup, Profil Fahmina-Institute, Kubu Fahmina, Kuningan 20 Juni 2004 Dewi Laily Purnamasari dkk, 2006, Bukan Kota Wali, Relasi Rakyat Negara dalam Kebijakan Pemerintah Kota, Kutub Fahmina Kota Cirebon Faqihuddin Abdul Kadir, Memilih Monogami, 2006 Pembacaan Atas Al-Qur’an dan hadtis Nabi, Penerbit Pustaka Pesantren (Kelompok Penerbit LKIS Yogykarta)
IKATAN JAMAAH AHLUL BAIT INDONESIA
Husain Muhamamd, Islam Agama Ramah Perempuan Pembelaan Kiai Pesantren, Fahmina Institute LKIS Yogyakarta, 2004
DI JAWA BARAT
(IJABI) Oleh : Drs. Wakhid Sugiyarto, M.Si
156
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
K
asus-kasus keagamaan yang muncul dan dipersoalkan secara besar-besaran di kalangan umat Islam adalah sejak berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta oleh KH. Ahmad Dahlan, 18 Nopember 19121. Sejak saat itu gugatan atas pemahaman agama Islam yang bercampur dengan tradisi, takhayul, bid’ah dan khurafat terus menguat dari para pendukung Persyarikatan. Gerakan Muhammadiyah memicu tumbuhnya kesadaran akademis di kalangan intelektual muslim Indonesia. Berangkat dari tumbuhnya kesadaran itu, agama Islam yang dipeluk sebagian besar penduduk Indonesia mengalami perkembangan sangat menakjubkan. Bentuk perkembangan yang menyolok adalah meningkatnya kesalehan normatif (santrinisasi) maupun kesalehan sosial. Perubahan sosial keagamaan ini menjadi sangat fenomenal baik dalam ideologi, ritual, intelektual, ekspresi maupun gerakan sosial sejak awal abad 20 lalu. Di kalangan muslim tradisional, rupanya tidak dapat menerima wacana kritis dan gerakan dekonstruksi berbagai tradisi dengan memproduksi keyakinan baru yang berbeda dengan umumnya kaum muslimin waktu itu. Kalangan muslim tradisional yang dipelopori oleh KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Wahab Chasbullah, mendirikan Nahdhatul
1
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, LP3ES, Jakarta, hal.
84
159
Ulama (NU) di Surabaya2. NU didirikan sebagai representasi eksistensi kelompok tradisional dan produksi pemikiran dan paham tradisional.
di Indonesia, namun memiliki pengaruh sangat besar dalam berbagai bidang kehidupan, seperti bidang sosial, ekonomi, pendidikan, pemberdayaan masyarakat dan sebagainya.
Persoalan-persoalan yang digugat oleh kalangan Muhammadiyah itu akhirnya menimbulkan perdebatan sengit antar dua ormas besar di seluruh pelosok tanah air. Perbedaan itu terkadang diikuti dengan perebutan masjid, karena teknis ritual yang berbeda akibat dari perbedaan rujukan dan perbedaan penafsiran teks al-Qur’an dan al-Hadits3. Perdebatan dalam masalah khilafiyah itu menyeret keduanya hingga saling menyesatkan dan saling mengejek. Sementara itu Muhammadiyah (meminjam istilah Abdul Azis yang mendefinisikan realitas dari identitas kultural atau simbol) dengan keberadaannya tidak menimbulkan resistensi dari kalangan tradisional. Secara pelan tetapi pasti, usaha mendefinisikan realitas dan identitas kultural itu telah berhasil memaksa kaum tradisional menerima kehadirannya secara sukarela. Bahkan kemudian, Muhammadiyah menjadi mainstream tersendiri yang kokoh dan pelopor di antara kelompok-kelompok keagamaan dalam mainstream modernis.
Adapun NU sebagai kelompok tradisional atau konservatif, diikuti oleh kalangan santri pedesaan, atau orang-orang kota yang cara berfikir keagamaannya masih berdasarkan pada tradisi keagamaan tersebut. Kelompok tradisional, memiliki simpatisan yang sangat besar di Indonesia, dan memiliki potensi sangat besar jika dikelola secara baik. Harapan ini tidak mudah untuk dicapai, sebab kondisi sosio cultural pendukung tradisi ini sebagian besar masih tergolong penyandang masalah kemiskinan dan kebodohan, termasuk mereka yang juga terpinggirkan.
Pada masa berikutnya, karena deprivasi keagamaan muncullah berbagai organisasi yang berdiri belakangan dan menjadi pendukungnya. Kondisi seperti ini sama dengan kondisi yang dialami oleh kalangan tradisional4. Mainstream modernis, menurut Deliar Noer adalah kalangan terpelajar di kota-kota. Simpatisannya diperkirakan hanya sekitar 35 % dari jumlah umat Islam yang ada
2
Deliar Noer, Ibid. hal. 235 -237. Ibid, hal. 7-8. Lihat pula bukunya Siradjuddin Abbass, Empa Puluh Masalah Agama. Dalam buku ini terlihat begitu kerasnya perdebatan persoalan-persoalan agama yang dipersoalkan oleh kalangan modernis. 4 Wakhid Sugiyarto, Respon terhadap Aliran Sempalan di Indonesia: Kajian terhadap JemaÅat Ahmadiyah dan Hindu Tamil di Kota Medan, 2006, 3
160
Masyarakat yang tidak berdaya secara keagamaan ini menjadi penyangga utama bagi eksistensi lembaga kekyaian di pedesaan. Tidak mengherankan jika mereka resah dan memusuhi kelompok-kelompok baru yang berbeda. Kehadiran paham dan gerakan keagamaan baru selalu dianggap sebagai rival bahkan ancaman. Seperti munculnya Lembaga Dakwah Islam Indonesia yang memiliki metode yang mirip dalam memanfaatkan sumber daya jama’ahnya. Apapun alasannya, untuk pengembangan agama atau sabilillah, secara substansial adalah sebangun. Pada waktu mendatang, organisasi sosial keagamaan dari kedua mainstream di atas akan terus bermunculan. Tidak ada kotak lain yang tersedia. Kelompok sosial keagamaan apapun namanya, akan selalu dapat ditarik benang merahnya dengan kedua mainstream yang telah mapan itu. Beberapa organisasi sosial keagamaan modernis adalah Persis (KH. Zam-Zam, Bandung 1920)5,
5
Ibid, hal. 84.
161
Persyarikatan Ulama (KH. Abdul Halim, Majalengka 1911)6, Syarikat Islam (SDI, H. Syamanhudi, Solo 1906 dan menjadi SI 1911), Sumatra Thawalib (Haji Rasul 1919)7, LDII (KH. Nur Hasan 1948)8, DDII (M. Natsir Jakarta 1968) dan sebagainya. Sementara itu di kalangan mainstream tradisional setelah lahirnya Nahdhatul Ulama (KH. Wahab Khasbullah, Jombang 1926)9, muncul Persatuan Umat Islam (PUI) sebagai jawaban atas munculnya Persyarikatan Ulama)10, Al- Washliyah (Medan), Mathla’ul Anwar (Menes), DDI (Sulsel), Nahdhatul Waton (NW, Mataram), PERTI (Bukit Tinggi)11 dan lain sebagainya. Kedua mainstream keagamaan (modernis dan tradisional atau pembaharu dan konservatif) dilihat dari pemahaman dikategorikan sebagai firqah Ahlu Sunnah wal Jama€ah (Sunni). Dari pemahaman model ini, ada sebagian yang mengharuskan bermadzhab (NU-tradisional) dan tidak bermadzhab (Muhammadiyah –modernis). Kalangan Sunni mengklaim dirinya sebagai salah satu firqah terbesar, terbaik, terbenar, termasyhur dan terjamin masuk surga di antara 73 firqah dalam Islam. Sementara itu, 72 firqah yang lain masuk neraka12. Tidak jelas, sejak kapan semboyan masuk surga sendirian dari kalangan Sunni ini muncul, sebab kemunculanya berabad-abad setelah Nabi Muhammad (Asy’ari hidup pada 2 abad setelah kenabian).
6
Ibid. hal. 80. Ibid. hal. 95 8 Majalah Nuansa, Vol 1. V11/12/2003, khusus yang membahas Sejarah Berdirinya LDII, DPP LDII, Jakarta, 2003 9 Deliar Noer, hal 244 10 Ibid. hal. 265 11 Ibid. hal. 236 12 Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu Sunnah wal JamaÅah ?, Bina Ilmu, Surabaya, 1982, hal 23 - 26 7
162
Di kalangan Sunni di Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok keagamaan, juga ada yang mengklaim akan masuk surga sendirian, sementara yang lain masuk neraka. Di kalangan muslim Sunni modernis yang puritan memiliki pengalaman wacana akan masuk surga sendirian itu, sekaligus menunjuk yang lain masuk neraka (Islam Jama’ah dan LEMKARI pernah menuduh sesat kelompok lainnya dan masuk neraka). Kondisi ini berbeda dengan yang terjadi di kalangan tradisional. Di kalangan ini tidak ada klaim-klaim kebenaran pada tataran syari’at, karena semua ajaran boleh-boleh saja sesuai dengan selera kyainya. Di sebuah pengajian suatu desa, kyai pesantren yang sangat dihormati menyampaikan bahwa Nabi Khidzir hingga kini masih hidup bukanlah merupakan keyakinan yang dapat mengganggu ketentraman. Ayat-ayat tertentu yang dapat digunakan untuk ilmu kanuragan, bahkan banyak yang mengamalkan dan mengajarkan kepada murid-muridnya yang terpilih13. Di kalangan pengamal tarekat, dikenal tarikat yang mu€tabarah dan ghairu mu€tabarah. Tarekat yang mu€tabarah diklaim sebagai tarekat paling selamat dan paling dekat menuju surga, yang saat ini berjumlah sekitar 77 buah (yang diakui kyai NU), sementara yang ghairu mu€tabarah dianggap sebagai tarekat yang salah, sesat dan jalan dekat menuju neraka (tidak jelas jumlahnya). Di luar firqah di atas, terdapat firqah lain yang sebagian juga eksis dan berkembang di seluruh dunia. Misalnya Syi’ah banyak dianut di Iran, Irak, Turki, Libanon, Mesir, Yordania, Suriah, Pakistan, India dan juga di Indonesia. Di dalam firqah Syi’ah terdapat 13 Malah, hampir semua sayap pemuda beladiri yang tergabung dalam berbagai orgaisasi keagamaan tidak hanya memepajari jurus-jurus fisik beladiri, tetapi juga ditopang dengan do€a-do€a yang dianmbil dari al-Qur€an dan al-Hadits, atau rumusan para pendekarnya yang terdahulu atau sekarang.
163
aliran-aliran dan paham yang mengklaim kebenaran, merasa dirinya yang masuk surga dan yang lain masuk neraka. Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) dipandang sebagai pelopor Syi’ah di Indonesia, karena memiliki keyakinan dan pandangan keagamaan yang berbeda dengan yang telah mapan. Pada tahun 1990-an, banyak kalangan yang memojokkan Syi’ah sebagai firqah sesat dan harus dihalang-halangi, pertumbuhannya di Indonesia, bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah memfatwakan sesat14. MUI juga menghimbau umat Islam Indonesia mewaspadai gerakan Syi’ah dan menjauhkan diri dari buku-buku terbitan penerbit yang ditengarai sebagai pendukung Syi’ah. Salah satu perkumpulan atau organisasi yang dikaitkan dengan paham Syi’ah adalah Ikatan Jamaah Ahli Bait Indonesia (IJABI). IJABI sebenarnya berpusat di Bandung, sedangkan kantor pusatnya berada di Jakarta.15 Terlepas dari sesat atau tidaknya ajaran IJABI, kajian ini tetap menarik dilakukan untuk mencari hal-hal yang sebenarnya belum banyak diketahui oleh publik. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dari permasalahan di atas yang dijadikan kajian dalam penelitian ini adalah; 1. Apa yang melatarbelakangi berdirinya IJABI; 2. Siapa tokoh dan riwayat hidup pendiri IJABI: 3. Apa paradigma ajaran yang dikembangkan IJABI; 4. Apa kegiatan IJABI; 5. Bagaimana respon pemuka agama dan masyarakat terhadap IJABI. 14 15
164
Majelis Ulama Indinesia, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 1997 Diolah dari wawancara dengan Sutrasno
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah menggali informasi selengkap mungkin seputar Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia untuk menjawab permasalahan penelitian. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi bahan rekomendasi kepada pimpinan Departemen Agama dalam menangani kasus yang berkaitan dengan pembinaan kehidupan beragama di masyarakat, terutama kaitannya dengan eksistensi IJABI. D. Penjelasan tentang Teori Gerakan Asal usul gerakan keagamaan itu (pembaharu maupun tradisional) pada dasarnya merupakan aliran keagamaan dengan ajaran, tokoh dan kelembagaan sendiri yang bersumber setidaknya empat faktor laten. Pertama, pandangan tentang pemurnian agama yang tidak terbatas kepada praktik keagamaan, melainkan juga pemurnian atas sumber agama itu sendiri yakni penolakan atas sumber selain al-Qur’an dan al-Hadits. Kedua, dorongan untuk mendobrak kemapanan paham keagamaan mainstream, khususnya berkaitan dengan kebebasan setiap orang Islam untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri dalam memahami ajaran Islam dan tidak terikat kepada taqlid dalam bentuk apapun. Ketiga, pandangan tentang sistem kemasyarakatan yang ideal, seperti kepemimpinan tunggal di bawah seorang Amir atau Imam, atau sistem ummah wahidah (umat yang bersatu). Keempat, sikap terhadap pengaruh Barat dalam bentuk isme-isme seperti modernisme, sekulerisme, kapitalisme, dan seterusnya. Dalam hal ini Islam ditempatkan sebagai alternatif yang mengungguli ideologi-ideologi tersebut16.
16 Abdul Azis, Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Diva Pustaka, Jakarta, 2004, hal. 5
165
Dalam konteks ke-Islaman, konsep deprivasi ini sangat relevan, terutama dalam kasus Indonesia, meskipun bukan satusatunya yang menjadi motivasi bagi tumbuh dan berkembangnya
Transformasi itu sendiri secara simbolik maupun substantif, menjadi sebuah cara dalam perjuangan mendefinisikan realitas karena perbedaannya dengan lembaga-lembaga yang ada
aliran keagamaan baru. Tradisi kebebasan dalam memahami agama yang dibangun oleh al-Qur’an, memberi andil besar bagi kelahiran sebuah aliran keagamaan baru. Deprivasi dapat ditempatkan dalam konteks yang menyeluruh mengenai kelahiran suatu aliran keagamaan yang kemudian tumbuh menjadi aliran keagamaan baru17.
sebelumnya dan lebih mapan. Lahan yang dijadikan medan perjuangan yang efektif adalah melalui simbol keagamaan dan turut serta dalam proses pergulatan tafsir keagamaan yang berbeda dengan arus utama. Simbol yang digunakan dan substansi yang dipublikasikan sendiri diusahakan begitu argumentatif, sehingga sasaran transformasi hanya berkata siap dan tidak ada jawaban tidak. Dalam pergulatan mendefinisikan realitas itu, sosok pemimpin menjadi sangat penting untuk mencapai keberhasilan yang diinginkan oleh para pendukungnya. Pemimpin harus mampu meyakinan pendapat umum dan kemampuan mengikat publik untuk menjadi anggota dalam bentuk mewujudkan gerakan. Termasuk juga di dalamnya adalah, doktrin, mitos dan cara-cara pencapaian tujuan dengan argumentasi yang kuat sehingga posisi lembaga baru itu dalam suatu sistem perubahan sosial menjadi kuat. Kemampuan meyakinkan secara argumentatif di bidang tauhid, mu€amalah dan cita-cita, serta mampu memberikan harapan kepada para pendukungnya, maka lembaga baru itu akan bertahan dalam perjalanan sejarah. Bagi mereka yang gagal menterjemahkan kemauan dari para pendukungnya, maka secara pelan tetapi pasti, akan ditinggalkan oleh para pendukungnya.
Konteks yang menyeluruh mengenai kelahiran aliran keagamaan itu meliputi perubahan sosial yang dialami oleh individu-individu, yaitu ketidakseimbangan antara realitas implementasi ajaran agama itu sendiri dengan harapan yang dicitacitakan. Dalam kondisi seperti itu, organisasi keagamaan yang sudah melembaga tetapi tidak mampu mengatasi kesenjangan, mengakibatkan munculnya ketidakpuasan secara massal dari publik pendukungnya. Dapat dipahami, ketika muncul lembaga baru, pemimpin baru, program baru, fasion yang berbeda dan mampu memberi harapan guna mewujudkan tercapainya cita-cita bersama itu, maka lembaga baru segera mendapat pengakuan secara massal. Apalagi lembaga baru itu mampu melakukan transformasi pengetahuan dan pemahaman yang dibutuhkan dan akan dijadikan sebagai rujukan bagi para pendukungnya secara baik, maka proses pengakuan itu menjadi lebih cepat. Para pendukung ini biasanya dituntun dengan simbol-simbol keagamaan yang sifatnya ideologis, praktis, memukau atau menarik dan solid, akan berkembang menjadi organisasi besar yang mampu menyaingi lembaga atau organisasi yang telah ada.
17
166
Ikatan Jama€ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) pada dasarnya juga merupakan gerakan keagamaan yang berusaha menterjemahkannya realitas kehidupan keagamaan di Indonesia, baik simbol maupun subtansinya. Ahlul Bait adalah keluarga Imam Ali dan para pendukungnya atau Bani Hasyim dan para pengikutnya. Pendirian IJABI yang didasarkan salah satunya adalah ingin mengembangkan ajaran Islam dari sudut pemahaman Ahlul
Ibid, hal. 6 - 7
167
Bait. Ini dapat diterjemahkan sebagai, respon terhadap ajaran Islam yang sudah mapan selama ini karena dipandang kurang lengkap sumber rujukannya tanpa melibatkan pemahaman Ahlul Bait itu.
memahami data di lapangan, peneliti tidak memiliki pretensi apapun terhadap seputar eksistensi IJABI. Oleh karena itu peneliti tidak berpretensi apalagi menilai apakah Ikatan Jam’ah Ahlul Bait
Dapat juga diterjemahkan sebagai ketidakpuasan atas realitas keagamaan yang sudah berjalan berabad-abad sejak munculnya Khalifah Muawiyah, karena sejak saat itu Ahlul Bait tersingkir dan tertutup semua aksesnya. Kelompok pendukung Ahlul Bait atau pendukung Ali, akhirnya menjadi kelompok yang sekarang sering disebut dengan Syi’ah. Tersingkirnya keluarga Ali dari arena politik, mendorong para pengikutnya mengelompok dalam satu gerakan ideologi dan politik Syi’ah. Gerakan Syi’ah yang kemudian memfokuskan diri pada membangun tradisi intelektual yang kuat sekaligus yang memelihara hadits-hadits dari jalur Ali yang tidak banyak dikenal di kalangan Sunni. Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi hadits di kalangan Sunni, menurut pandangan ini sudah terdistorsi oleh keculasan Mu’awiyah dan keturunannya, sehingga Islam yang dipahami oleh kaum muslimin adalah khas Islamnya Mu’awiyah.
Indonesia sesat atau tidak, apakah Syi’ah atau bukan. Peneliti hanya memahami subyek dari sudut pandang para pelaku sendiri (eksponen yang ada di IJABI Bandung maupun masyarakat sekitar kantor IJABI Bandung), begitu pula dalam memaknai fenomena yang ada di dalamnya19. 2. Tehnik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan kajian pustaka, wawancara dan pengamatan lapangan untuk melihat informasi yang terkumpul dalam bingkai kritis (triangulasi). Kajian pustaka dilakukan sebelum dan sesudah penelitian lapangan. Sebelum ke lapangan, kajian pustaka ditekankan pada usaha untuk lebih mengenal IJABI yang banyak dikaitkan dengan Syi’ah itu di internet. Wawancara dilakukan dengan pejabat Kanwil Depag Jawa Barat, Kandepag Kota Bandung, MUI Kota Bandung, pemuka agama dan masyarakat di sekitar kantor IJABI.
E. Metodologi Penelitian 1. Bentuk Studi Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat eksploratif kualitatif terbatas18 dalam bentuk studi kasus (khusus Ikatan Jam’ah Ahlul Bait Indonesia). Dalam penelitian ini, sebagaimana paradigma penelitian kualitatif, pendekatan emik dipilih oleh peneliti merupakan instrumen utama dalam penelitian ini untuk mampu menjalin hubungan baik dengan subyek yang diteliti. Dalam 18 Eksplorasi kualitatif terbatas, karena persyaratan sebagai penelitian dengan pendekatan kualitatif belum sepenuhnya terpenuhi, sebagaimana dijelaskan oleh Fedyani Syaifuddin pada seminar tentang Kajian Paham Pemikiran Islam Liberal di Perkotaan, Oktober 2006.
168
19
Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung,
1999.
169
kecintaan kaum muslimin kepada Rasululullah Muhammad SAW. Kecintaan kepada Rasulullah tidak dapat dipenuhi tanpa ada kecintaan kepada Ahlul Bait atau keluarga Bani Hasyim. Kecintaan kepada Ahlul Bait ini pula yang melatarbelakangi pengambilan nama IJABI21. Kecintaan umat Islam kepada Ahlul Bait mengejawantah dalam berbagai bentuk tradisi keagamaan kaum muslimin di seluruh dunia.
BAB II TEMUAN PENELITIAN
A. Sejarah IJABI 1. Latar Belakang Lahirnya IJABI
I
katan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia yang disingkat IJABI tercatat oleh Akta Notaris di Bandung pada hari Senin, 26 Juni 2006, jam 11.10 WIB di hadapan Notaris Erny Kencanawati, SH.MH. Tokoh pendirinya adalah Dr. H. Jalaluddin Rahmat M.Sc, dan Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M.Ing. IJABI dideklarasikan di Gedung Merdeka Bandung pada 29-3-1421 H bertepatan dengan 1 Juli 2000 berdasarkan Mu’tamar Ke 1 Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia 1 Juni 2000. Gedung Merdeka biasanya hanya dikhususkan untuk acara-acara kenegaraan. Namun atas usaha Jalaluddin Rahmat, acara pendeklarasian IJABI dapat dilaksanakan di gedung ini yang dihadiri langsung oleh Gus Dur yang waktu itu masih menjabat sebagai Presiden RI. Kepengurusan IJABI periode sekarang yaitu 2004 – 2008 adalah hasil Mu’tamar Ke-2 IJABI yang diadakan di Jakarta pada tanggal 27 s/d 29 Februari 2004 mengangkat KH. Jalaluddin Rahmat M.Sc, sebagai Ketua Dewan Syura. Sedangkan Ketua Umum Tanfidziyahnya adalah Furqan Buchari dan Muhammad Neil Yasser sebagai Sekretaris Jenderal20. Pendirian Ikatan dilatarbelakangi oleh; a.
Jama’ah
Ahlul
Bait
Indonesia
Pertama, kecintaan kepada Ahlul Bait oleh kaum muslimin Indonesia apapun madzhab dan pemahaman keagamaannya. Kecintaan kepada Allah tidak dapat dilakukan tanpa melalui
20 Erny Kencanawati, SH, MH, Notaris di Kota Bandung, Akta Pendirian Organidsasi Kemasyarakatan ‚Ikatan JamaÅah Ahlul bait Indonesia (IJABI), Nomor 24 tanggal 26 Juni 2006.
170
Di kalangan muslim Jawa tradisional misalnya, kecintaan kepada Ahlul Bait diwujudkan dengan selamatan pada 1 Syura sekaligus menyambut tahun baru Islam. Dalam selamatan itu selalu tersedia bubur dengan warna putih dan warna merah sebagai simbol darah sucinya Hasan dan Husein yang syahid di Karbala. Do’a yang dibaca pun dikhususkan untuk Kanjeng Nabi Muhammad, Fatimah (Kanjeng Ratu Fatimah), Hasan dan Husein. Ada juga acara shalawatan dalam bentuk kesenian khas Jawa dan pembacaan barzanji yang menggambarkan kecintaannya kepada Nabi dan Ahlul Bait-nya. Di kalangan masyarakat Betawi tradisional, acara tradisi apapun didahului dengan tahlilan dan pembacaan barzanji, yang menunjukkan kecintaannya kepada Nabi dan Ahlul Bait-nya. Bahkan di kalangan pengamal tarekat, nama guru mursyid selalu bersambung kepada Ahlul Bait. Tetapi orang Jawa dan Betawi yang mencintai Ahlul Bait itu tidak pernah disebut sebagai pendukung Syi’ah. Di Iran, Irak, Libanon, Pakistan dan sebagainya, terutama kalangan Syi’ah, kecintaan kepada Ahlul Bait diwujudkan dalam tradisi yang menurut kalangan Sunni dipandang berlebihan. Kalangan Syi’ah ini memperingati syahidnya Hasan dan Husein dengan dramatis berupa arak-arakan atau karnaval yang diiringi prosesi menyakiti diri sendiri, memukul-mukul diri sendiri 21 DPP IJABI, Pedoman Organisasi Ikatan Jama€ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Moqadimah Anggaran Dasar Ikatan Jama;Åah Ahlul bait Indonesia (IJABI) 2004 - 2008, Bandung, 2006, hal.1 dan wawancara dengan Sutrasno, Desember 2006.
171
sampai berdarah-darah sebagai tanda berduka yang mendalam atas syahidnya Hasan dan Husein. Mirip dengan tradisi Taipushan22 yang dilakukan oleh Hindu Tamil di Kota Medan dan sekitarnya yang menampilkan pertunjukan berjalan di atas bara api, tidur di atas paku, menusuk lidah dan sebagainya. b.
Kedua, adalah ketidakrelaan para tokoh pendiri IJABI atas hilangnya satu sisi sumber ajaran kebenaran Islam yang berasal dari kalangan Ahlul Bait atau Bani Hasyim. IJABI mencoba menawarkan dan memberi warna lain dalam wacana keagamaan di Indonesia yang mayoritas berpaham Sunni. Warna yang dimaksud adalah ajaran Islam dari pemahaman Ahlul Bait, yang otentisitasnya dapat dipertanggungjawabkan secara historis, ilmiah maupun keagamaan. Dalam kajian para pendiri IJABI selama puluhan tahun, ternyata sumber-sumber wacana keagamaan dari kalangan Ahlul Bait sangat banyak dan logis, karena tradisi kritis para pendukungnya. Tradisi kritis terhadap sumber ajaran Islam ini, sangat dijunjung tinggi di kalangan Syi€ah. Tradisi yang baik ini juga diadopsi oleh IJABI sebagai cara dalam memahami agama. Penawaran nilai dan sumber otentik Islam yang lain itu adalah untuk menyeimbangkan pemahaman masyarakat antara Sunni dan Syi€ah. Dengan demikian, munculnya IJABI diharapkan dapat melengkapi sumber wacana keagamaan yang mapan di Indonesia. Dalam sejarah munculnya firqah-firqah Islam, realitanya adalah seluruh akses Ahlul Bait telah ditutup oleh rezim Mu€awiyah. Wajar jika sumber ajaran Islam dari kalangan Ahlul Bait hampir-hampir tidak populer sebagai sumber hukum Islam.
22 Lihat makalah hasil penelitian Wakhid Sugiyarto dkk, tentang Respon Masyarakat terhadap Gerakan Islam Sempalan: Kajian tentang Gerakan JemaÅah Ahmadiyah dan Hindu Tamil di Kota Medan, khususnya yang membahas tentang tradisi Thaipushan.
172
c.
Ketiga, perlakuan Mu’awiyah dan para pendukungnya sebagai penguasa waktu itu terhadap Ahlul Bait dinilai tidak layak23. Dalam sejarah Islam sendiri dijelaskan, pembunuhan dengan meracun Hasan dan pemenggalan kepala Husain di Karbala, kemudian diarak ramai-ramai ke Damaskus (Syuriah), dan keluarganya dihabisi secara kejam menjadi peristiwa paling dramatis dalam sejarah Islam. Untuk mengenang peristiwa itu berbagai tradisi muncul di berbagai belahan bumi kaum muslimin, baik itu di kalangan Sunni maupun kalangan Syi’ah. Di pedesaan pulau Jawa misalnya, hingga hari kini peringatan 1 Muharram selalu dikaitkan dengan Syuran dengan menyediakan ada bubur syuran (selamatan yang dilengkapi dengan bubur merah dan bubur putih) sebagai perlambang kesucian darah Hasan dan Husein sang cucu Nabi. Do’a-doa yang dipanjatkan oleh para pemimpin do’a dan diamini peserta begitu menyentuh kalbu dan mengharukan. Hal ini karena mereka sangat hormat kepada Hasan dan Husein sebagai cucu Nabi. Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa pada masa Mu’awiyah sebagai khalifah, ia melarang semua khatib Jum’at di seluruh negeri menyampaikan hadits yang diriwayatkan oleh Ali dan keluarga serta para sahabat dekatnya. Mu’awiyah juga membayar dan memberi kehidupan mewah bagi para ahli hadits yang bersedia menenggelamkan peran Ali dan Bani Hasyim dan membesar-besarkan peran Mu’awiyah dan Bani Umayyah dalam revolusi Muhammad SAW itu24. Abu Hurairah disinyalir mampu memproduksi sekitar 40.000 hadits bahkan ada yang mengatakan 400.000 hadits. Menurut kalangan Ahlul Bait hal itu dipertanyakan mengingat masa kenabian Muhammad sekitar 23 tahun, sementara Ali yang sejak kecil bersama Muhammad menurut mereka meriwayatkan tidak lebih dari 20 buah saja.
23
Diolah dari wawancara dengan Sutrasno, Wakil Sekjen DPP IJABI, Desember 2006 Jalaluddin Rahmat, Al-Mustafa, Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi SAW, Muthahari Press, Bandung, 2006, ha. 12 - 20l. 24
173
Padahal Ali adalah gerbang ilmu pengetahuan seperti diakui oleh semua firqah dalam Islam.
d. menjalin dan memelihara hubungan baik dengan seluruh organisasi Islam dan lembaga-lembaga kemanusiaan lainnya26.
Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban dan sebagainya dengan sangat bersusah payah membukukan hadits yang telah bercampur aduk dengan hadits-hadits palsu masa rezim Mu’awiyah. Bila diteliti secara cermat, sebenarnya masih banyak hadits yang bertentangan dengan al-Qur’an yang harus ditolak. Logika kekuasaan, dapat menjelaskan hal ini, karena penguasa yang tidak adil dapat berbuat apa saja sesuai dengan seleranya, termasuk dalam memilah-milah hadits. Ribuan hadits baru diciptakan sesuai kemauan Mu’awiyah dan para pendukungnya. d.
Keempat, IJABI mengambil berkah dari sabda Nabi SAW, “Perumpamaan Ahlul Bait seperti bahtera Nabi Nuh AS (dikala taufan dan banjir). Barang siapa menaiki bahtera itu akan selamat dan barangsiapa meninggalkannya akan tenggelam dan terhempas”. IJABI berusaha menjadi wadah untuk mengumpulkan kaum muslimin yang mencintai Ahlul Bait, apapun madzabnya. Para pendirinya juga sadar benar jika kemunculannya akan dinilai miring oleh masyarakat. Kenyataannya, tidak benar jika IJABI hanya diikuti oleh mereka yang memiliki kaitan dengan Syi’ah25.
2. Tujuan dan Usaha IJABI Tujuan didirikannya IJABI adalah a. membangun kehidupan secara berjamaah dan berimamah; b. mengenalkan dan menyebarkan ajaran Islam yang diriwayatkan melalui jalur keluarga Nabi SAW; c. pemberdayaan masyarakat ekonomi kecil dan lemah (mustadh’afin); mengembangkan kajian spiritual dan intelektual; dan
Usaha yang dilakukan IJABI adalah; a. mengadakan dan mengembangkan lembaga pendidikan, ekonomi, sosial dan dakwah; b. mengadakan dan mengembangkan perpustakaan Islam; melakukan penelitian, pengkajian keislaman dan pengabdian masyarakat; c. menerbitkan bulletin, buku-buku, majalah dan koran; d. mengadakan pendekatan-pendekatan kepada ormas-ormas Islam dan menciptakan ukhuwah Islamiyah. IJABI ini bersifat independen dan non-sektarian27. IJABI dewasa ini memiliki 19 Pengurus Wilayah (PW), 4 Kordinator Wilayah (calon PW), 49 Pengurus Daerah (PD), 98 Pengurus Cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. IJABI juga memiliki lembaga otonom seperti Fathimiyah IJABI, baik di tingkat pusat, wilayah, daerah maupun cabang. Jumlah anggota tepatnya tidak diketahui, karena tidak semua pendukung IJABI terdaftar sebagai anggota yang dibuktikan dengan kartu anggota. Tetapi anggota dan simpatisan IJABI diperkirakan sudah mencapai 300.000 orang28. B. Biografi Jalaluddin Rahmat (Pendiri IJABI) 1.
Asal Usul Keluarga
Tokoh penting dalam pendirian IJABI adalah Jalaluddin Rahmat, yang lahir di Bandung pada 29 Agustus 1949. Alumnus Fakultas Komunikasi Universitas Pajajaran ini dilahirkan dari keluarga Nahdliyin (orang-orang NU). Kakeknya memiliki 26 27
25
174
Diolah dari wawancara dengan Sutrasno, Wakil Sekjen DPP IJABI, Desember 2006
28
AD/ART IJABI Pasal 4 Ibid, pasal 5 dan 6 Pedoman organisasi IJABI, Jakarta, 2006, hal 25 – 32.
175
pesantren di puncak bukit Cicalengka dan ayahnya sendiri pernah terlibat gerakan keagamaan untuk menegakkan Syari’at Islam (DI/TII –Sutrasno). Sepeninggal ayahandanya, Kang Jalal pergi ke kota untuk belajar. Mula-mula bergabung dengan Persatuan Islam (PERSIS) dan masuk kelompok diskusinya yang disebut Rijalul Ghad, atau pemimpin masa depan. Pada saat yang sama, Kang Jalal juga menjadi aktifis Muhammadiyah dan terlibat beberapa kali dalam training Darul Arqam dan pusat perkaderan Muhammadiyah. Latar belakang dalam dua organisasi modernis ini, membawanya pada kegiatan melakukan pemberantasan terhadap takhayul, bid’ah dan khurafat (TBC) di kampungnya. Misi paling penting waktu itu adalah menegakkan Muhammadiyah dan me-Muhammadiyahkan orang lain29. 2.
Masa Pencerahan Keagamaan
Karena berlebihan, Kang Jalal bertengkar dengan pamannya yang berhaluan NU. Pada suatu ketika, pada salat Jum’at, Kang Jalal tidak melakukan salat qabliyah, sementara semua orang berdiri untuk melaksanakan salat sunnah qabliyah. Selesai salat Jum’at, Kang Jalal hampir dipukuli penduduk yang salat di masjid itu karena membawa fiqih baru. Belakangan, Kang Jalal memahami bahwa fiqih hanyalah pendapat para ulama dengan merujuk pada sumber yang sama, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Kekeliruannya adalah menganggap bahwa fiqih memiliki otoritas seperti al-Qur’an dan al-Hadits. Artinya orang menentang keduanya berarti murtad dan kafir. Tetapi kalau menentang pendapat orang tentang alQur’an dan Sunnah tidak boleh disebut sebagai kafir. Akhirnya dia berhipotesis bahwa yang mempersatukan umat Islam adalah akhlak, karena semua orang setuju dan ada rasa ukhuwah Islamiyah30.
29 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak QurÅan Menyikapi Perbedaan, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006, hal. 5. 30 Ibid, hal. 6 - 7
176
3.
Mendirikan IJABI
Latar belakang seperti inilah yang kemudian mendorong Kang Jalal untuk mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Muthahari yang kemudian dicurigai sebagai pelopor Syi’ah di Indonesia. Padahal dalam kurikulumnya justru mengajarkan semua madzhab dan tidak pernah mengajak orang untuk masuk Syi’ah. Pernyataan ini, boleh jadi berlawanan dengan realita, mengingat simbol-simbol yang dapat ditelisik di kantor IJABI maupun SMA Plus Muthahari mencerminkan nuansa Syi’ah. Di ruang kantor terpajang gambar Imam Khomeini, Imam Ali Khamenei, Muthahari, Imam Hasan dan Imam Husain. Tidak ada gambar Presiden dan Wakil Presiden RI di ruang itu, apalagi gambar tokoh nasional Indonesia lainnya. Di samping itu, buku-buku yang ada di perpustakaan dan yang dijualnya hampir seluruhnya berkaitan dengan tokoh-tokoh Syi’ah atau berbau kecintaannya pada Ahlul Bait. Oleh karena itu sangat logis, jika orang menganggapnya sebagai pelopor Syi’ah di Indonesia. Di kalangan IJABI dan SMU Muthahari, diajarkan agar semua pendukung IJABI dan murid-murid kritis menyikapi semua wacana, terutama berkaitan dengan masalah keislaman. Kekritisan dalam wacana ilmu keagamaan merupakan ciri khas Syi’ah.31 4.
Aktifitas di luar IJABI
Kang Jalal selain aktif sebagai dosen di berbagai perguruan tinggi di Bandung, ia juga mengajar di Jakarta. Salah satunya menjadi pengajar di Universitas Paramadina Jakarta. Paramadina dicurigai sebagai basis Islam Liberal di Indonesia. Di samping itu ia juga berdakwah membantu kalangan mustadh’afin. Ia membina jama’ah berbagai masjid dan masyarakat kumuh dan gelandangan di Bandung dan Jakarta. Belakangan ia mendirikan SMP Muthahari di Cicalengka, yang dikhususkan untuk anak-anak orang miskin. Obsesinya yang paling tinggi dalam pendidikan adalah berdirinya
31 Diolah dari wawancara dengan Joko Santoso yang tinggal tidak jauh dari SMU plus Muthahari, Desember 2006
177
SMP Muthahari di seluruh pelosok tanah air khusus untuk orang miskin, sehingga mereka tidak terputus pendidikannya. Meskipun gratis, namun mutu dan kualitasnya tidak kalah dengan sekolahsekolah mahal di tanah air32. 5.
Sebagai Tokoh Nasional
Kang Jalal bersama tokoh nasional yang lain seperti Gus Dur, Quraish Shihab, Dawam Rahardjo dan lain-lain memperoleh atribut sesat lewat sebuah buku berjudul Aliran-aliran Sesat. Baginya sekedar numpang beken belaka, ketika disandingkan dengan orang-orang yang yang dipandang sesat oleh kalangan muslim tertentu. Ia sangat toleran terhadap Ahmadiyah yang difatwa sesat pula oleh MUI Pusat. Bahkan Kang Jalal juga sangat toleran dengan non-muslim. Dia juga sering diundang untuk berbicara di gereja dan forum umat Kristiani. Baginya, Tuhan menciptakan berbagai agama itu dimaksudkan untuk menguji iman kaum muslimin, seberapa banyak kaum muslimin berguna untuk umat manusia, sesuai dengan keyakinan bahwa Islam itu rahmatan lil’alamin33. Pada tahun 1980-an, Jalaluddin dikenal sebagai tokoh yang memperkenalkan sistem pendidikan agama Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang secara berkala melakukan diklat dakwah bagi mahasiswa Islam di berbagai perguruan tinggi di Kota Bandung. Pada awalnya, hampir seluruh kampus di tanah air mengirimkan mahasiswanya untuk mengikuti diklat dakwah yang dilakukan oleh Kang Jalal ini. Bahkan kemudian dijadikan model pembinaan keagamaan bagi mahasiswa di beberapa perguruan tinggi terkemuka di tanah air, seperti UI, ITB, IPB, UNDIP, UGM, UNAIR, UNBRAW, ITS dan sebagainya. Hasilnya, peran mahasiswa muslim
santri semakin menguat di hampir seluruh perguruan tinggi umum dan Indonesia.34 6.
Pandangan Masyarakat Sekitar
Menurut Taufik Effendi, Kang Jalal kurang ramah, bahkan ada kesan sombong karena kurang bertegur sapa dengan tetangganya, senyum saja tidak ada. Simak pernyataannya; “Kang Jalal memang dikenal sebagai orang yang amanah, namun agak kurang mengenal orang-orang yang hidup di sekitar kantor IJABI maupun SMU-Plus Muthahari, bahkan ada kesan kurang ramah kepada tetangga. Mungkin karena ia orang sibuk, sehingga tidak ada waktu untuk bergaul dengan tetangga walau sekedar saling menyapa. Bahkan di Muthahari sendiri, Kang Jalal menampakkan gaya nepotisme dalam pengelolaan SMU-Plus Muthahari. Konon katanya, para pengelola sekolah dan gurunya terdiri dari kalangan keluarganya sendiri.”35. Kondisi ini boleh jadi sama sekali tidak disadari oleh Jalaluddin Rahmat sendiri, mengingat dalam realitasnya Kang Jalal memang orang sibuk dan bisa saja selalu serius dan tidak ada waktu, apalagi sekedar kenal dengan tetangganya. Informasi miring tentang nepotisme di IJABI, oleh masyarakat dipandang sebagai penyebab semakin kurang menariknya SMU-Plus Muthahari. C. Paradigma Ajaran IJABI Sebagai organisasi keagamaan, IJABI memiliki paradigma keagamaan sendiri, yaitu; 1.
Non-sektarian
IJABI memandang bahwa agama Islam yang berkembang sekarang ini, sumber ajaran yang dijadikan rujukan tidak komplit, 32 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak QurÅan Menyikapi Perbedaan, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006, hal 8-9. 33 Ibid, hal 9-10.
178
34 35
Diolah dari wawancara dengan Sutrasno, Desember 2006 Wawancara dengan Taufik Effendi, Desember 2006
179
sehingga berakibat pada lahirnya sikap sektarian, yang tidak moderat. Selama ini, di kalangan kaum Sunni , terdapat sumber ajaran yang tidak dijadikan rujukan, padahal keotentikannya dapat dipertanggungjawabkan baik secara historis maupun secara ilmiah, yaitu sumber ajaran dari pemahaman Ahlul Bait (pendukung keluarga Ali). Akibatnya, kaum muslimin dalam memahami agama Islam menjadi kurang lengkap, karena terbatasnya sumber ajaran. Dalam sejarah kebudayaan Islam, dapat diketahui bahwa Mu’awiyah ketika mulai berkuasa berusaha memantapkan dirinya sebagai khalifah dengan segala cara. Salah satu cara untuk mengokohkan dirinya sebagai khalifah itu adalah dengan cara mensortir hadits-hadits yang berasal dari riwayat Ali dan pendukungnya36. Hal ini berakibat pada tergusurnya semua pemahaman Islam versi Ahlul Bait. Imam Ali yang oleh berbagai firqah dalam Islam diakui sebagai gerbang ilmu pengetahuan, ternyata hanya sedikit meriwayatkan hadits versi perawi hadits dari kalangan Sunni . Penggusuran hadits-hadits dari pendukung Ali dipandang sebagai strategi pengamanan kekuasaan. Untuk melengkapi semua ajaran yang tertuang dalam hadits yang digusur oleh para pendukung Mu’awiyah itu, penawaran ulang terhadap wacana keagamaan dalam pemahaman versi Ahlul Bait, menjadi niscaya. Dengan cara ini, akhirnya dapat menciptakan keseimbangan pemahaman Islam di kalangan muslim. Bagaimanapun, agar Islam selamat dan dapat menjadi rujukan umum semua firqah, maka pemahaman Islam harus dibersihkan dari kepentingan-kepentingan politik sesaat. Oleh karena itu, budaya kritik terhadap sumber ajaran menjadi niscaya untuk membersihkan hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah bersih dari usaha-usaha jahil dari kelompok penentang Ahlul Bait atau karena ketidaktahuan kaum muslimin.
36
180
Ahmab Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986, hal 54.
Kaum Sunni menganggap kritik terhadap hadits masih tabu, sehingga sangat banyak hadis dhaif, mauquf dan maudhu’ digunakan kaum muslimin. Kitab Ihya Ulumiddin, ditengarai oleh banyak ahli hadits memuat hadits dhalif.37 Menurut Sutrasno, kunci terakhir ajaran IJABI adalah pada buku Islam dan Pluralisme: “Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan” yang ditulis sendiri oleh Jalaluddin Rahmat. Menurut Sutrasno, IJABI merupakan alat untuk mengembangkan ajaran Islam sesuai yang dipahami oleh kalangan Ahlul Bait dan buku itu sangat penting sebagai kepanjangan dari pemahaman IJABI yang akan dikembangkan38. Dalam buku itu memang terdapat tiga bagian yang temanya berbeda-beda. Pada bagian pertama berisi ajaran tentang bagaimana menyikapi agama lain yang dibahasakan sebagai pluralisme dalam Qur’an39; memahami makna agama; Yang eksklusif dan yang inklusif tentang Din dan Islam40; serta menyikapi perbedaan: Telaah ulang Skisme dalam Islam41. Bagaimana cara menyikapi agama lain yang sesuai dengan al-Qur’an, maka landasannya juga harus didasarkan kepada al-Qur’an pula. Untuk itu IJABI dalam menyikapi agama lain ini berdasarkan pada alQur’an surat al-Baqarah: 111 – 113; “Mereka berkata: Tidak masuk surga kecuali Yahudi atau Nasrani. Itulah angan-angan hampa mereka. Katakanlah: Tunjukkan buktimu, jika kalian benar; Sungguh, orang yang pasrah sepenuhnya kepada Allah sambil berbuat baik, maka baginya pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidaklah mereka berdukacita. Berkata Yahudi: Nashara tidak akan mendapatkan apa-apa. Berkata Nashara: 37
Jalaluddin Rahmat, Al-Mustafa, Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi SAW, khususnya yang membahas tentang Pengujian Tarikh Nabi dengan al-QurÅan serta Kritik Matan Hadits, Muthahari Press, Bandung, 2006 38 Diolah dari wawancara dengan Sutrasno, Desember 2006 39 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak QurÅan Menyikapi Perbedaan, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006, hal 15 - 34 40 Ibid, hal. 35 -63 41 Ibid, hal. 65 - 99
181
Yahudi tidak mendapatkan apa-apa. Padahal mereka membaca. Seperti itu juga berkata orang-orang yang tidak mengerti, seperti pembicaraan mereka. Maka Allah akan menyelesaikan pada hari kiamat apa yang mereka perselisihkan42. Ayat di atas oleh IJABI dimaknai, bahwa para dai sudah saatnya untuk tidak berusaha mengislamkan orang yang tidak Islam dengan cara-cara kuno, yaitu dengan logika kekerasan, baik lisan maupun fisik. Para da’i juga tidak pantas lagi mengatakan dan mengklaim bahwa manusia yang tidak beragama Islam seperti yang dianut oleh kaum muslimin, akan beramai-ramai masuk neraka dan hanya kaum muslimin saja yang masuk surga. Karena sikap seperti ini melanggar terhadap kewenangan Allah, sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Maidah: 105; “Wahai orang-orang yang beriman, diri kalian adalah tanggungjawab kalian. Orang yang tersesat tidak akan membahayakan kalian ketika kalian mendapat petunjuk” adalah menjadi saksi atas manusia. Para dai hanya bertugas memperkenalkan Islam kepada mereka kemudian menyerahkan segalanya kepada mereka. Urusan konversi agama tidak hanya menyangkut iman dan teori. Ini juga menyangkut hubungan sosial dan konsekuensi-konsekuensi selanjutnya. Hidayah hanya datang dari Allah, bukan dari seorang Rasul, apalagi para dai dan umat Islam lainnya43. Ayat-ayat pluralisme yang dijadikan standar oleh IJABI cukup banyak, misalnya “Apakah orang-orang “kafir” (non muslim) menerima pahala amal salehnya? Benar menurut al-Baqarah: 62 yang diulang dengan redaksi berbeda pada al-Maidah: 69 dan alHajj: 17.
42
Al-Qur€an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Tahun 1999. Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak QurÅan Menyikapi Perbedaan, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006, hal. 18 – 19, lihat pula Gamal al-Banna, alTa€addudiyyah fi al-Mujtama€ al-Islami, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Taufik Damas Lc. dengan judul Doktrin Pluralisme dalam al-Qur€an, Penerbit Menara, Bekasi 2006, hal. 38 – 40.
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian, dan beramal shaleh, mereka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati44. Gamal al-Banna berubah dari seorang ekslusif menjadi pluralis. Secara sederhana, umat beragama yang ekslusif berpendapat bahwa hanya pemeluk agamanya yang selamat dan masuk surga, akhirnya seluruh umat manusia yang berada di luar lingkungan agama kita, semuanya rama-ramai masuk neraka. Dalam bahasa Gamal al- Banna, merasa “menguasai gudang-gudang rahmat Tuhan” dan menahannya hanya untuk kelompoknya saja. Rahmat Tuhan itu meliputi bumi dan langit, tetapi kasih sayang orang eksklusif terbatas bagi orang di rumahnya sendiri. Mereka berkata “Yang akan masuk surga hanya orang Islam saja”. Sebagian lagi mengatakan, itupun tidak semua orang Islam, sebab dalam Islam itu ada 73 golongan, semua masuk neraka kecuali golonganku. Lebih lanjut, dalam golonganku sendiri, semuanya masuk neraka kecuali mereka masuk organisasi keagamaan si fulan, dan selanjutnya adalah semua masuk neraka kecuali mengikuti ajaran agama model ustadz si Fulan dan seterusnya. Dengan cara silogisme seperti ini, maka rahmat Allah yang luasnya seluas bumi dan langit menjadi nyelip di sudut surau atau mushala yang sempit dan mungkin hanya di komunitas lokal tertentu pula45. Pemahaman sempit kaum ekslusif ini sesungguhnya karena mereka memahami tentang ayat al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 85 juga tipikal khas eksklusivis, “Dan barang siapa menganut Din selain Islam, maka sekali-kali ia tidak akan diterima dan ia diakhirat termasuk orang yang merugi”46. Bertolak dari konsep din al-haqq di atas, maka din itu dapat dibedakan menjadi dua: din al-haqq, yaitu
43
182
44 45 46
Al-Qur€an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Tahun 1999 Gamal al-Banna,Opcit,, hal. 19 – 21. Ibid, Al-Qur€an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
183
Islam yang membawa ajaran dasar tauhid, akhlak dan ajaran yang berhubungan dengan aspek jiwa, akal, materi dan sosial. Dan din yang dianut orang-orang Yahudi dan Nasrani yang juga mengklaim diri sebagai pengikut din al-haqq dan golongan lainnya yang telah mengubah petunjuk-Nya dengan mereka. Mereka yang disebut terakhir secara prinsipil telah mengubah hakikat din yang benar. Oleh karena itu, Allah memberikan penegasan bahwa, siapa saja yang menganut din selain Islam akan tertolak dan mereka itu di akhirat akan digolongkan sebagai orang-orang yang merugi47. Klaim-klaim bahwa hanya agamanya saja yang selamat dan masuk surga, telah mengakibatkan munculnya sekte-sekte dan paham eklusivisme di kalangan muslim, Yahudi dan Nasrani. Ketika matahari Islam sedang naik di sebelah Timur, di Barat Kristen telah terbelah dua arus utama besar, yaitu Gereja Romawi dan Gereja Yunani. Dua gereja ini kemudian memperbesar perbedaan dan bahkan saling berlawanan dalam berbagai hal dan saling mengkafirkan satu dengan yang lainnya. Dalam Kristen kondisi seperti ini disebut dengan skisme, yang dalam perakteknya ada skisme besar dan skisme kecil yang hal itu terus terjadi dalam Kristen, sehingga bermunculan denominasi-denominasi secara terus menerus di seluruh dunia48. Kondisi ini sesungguhnya mirip dengan munculnya perpecahan di kalangan muslim, yang secara garis besar adalah karena pertikaian politik kekuasaan yang sudah tidak dapat dikompromikan. Dalam pertikaian politik itu saling memperkuat dengan legitimasi al-Qur’an dan al-Hadits, bahkan tidak segansegan menciptakan hadits palsu hanya untuk memperkuat kekuasaan. Di dunia Kristen masing-masing kelompok membangun teologinya sendiri yang berbeda, dan kondisi ini dalam batas tertentu juga terjadi di kalangan muslim. Di Kristen ada gerakan 47 Jalaluddin Rahmat, Islam dan Pluralisme: Akhlak QurÅan Menyikapi Perbedaan, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006, 34 - 36 48 ibid hal. 66-67.
184
konsili yang berusaha mempersatukan semua denominasi dan penyatuan kembali Kristen, tetapi gagal total. Di kalangan muslim ada keinginan untuk bersatu di antara kelompok-kelompok yang berbeda yang diusahakan oleh, misalnya Jamaluddin al-Afghani (tidak jelas Sunni atau Syi’ah), Syeikh Syalthut (Sunni ) dan Kasyief Githa (Syi’ah), tetapi usaha itu gagal total karena umat Islam lebih mendengarkan politisi daripada cendekiawan49. Dalam Islam, dua kelompok besar yang tidak dapat dikompromikan secara utuh adalah antara Sunni dan Syi’ah, karena persoalan-persoalan politik pada awal-awal muncul dan berkembangnya Islam. Satu pihak sedang berkuasa dan kemudian berusaha melegitimasi kekuasaannya dengan cara culas dan licik mendorong kelompok lainnya sebagai pecundang. Kelompok lain itu kemudian berusaha mempertahankan diri dan mengelompokkan diri secara solid dan kuat, bahkan juga menciptakan hadits palsu meskipun mungkin dalam jumlah terbatas. Kalangan Syi’ah kemudian, mengatakan bahwa hak imamiah adalah hak Ilahi, sementara Sunni mengatakan bahwa imamiah adalah masalah politik, maka terserah kepada umat Islam menginginkan siapa yang menjadi pemimpinnya50. Antroposentris Arabia, mendorong lahirnya usaha-usaha memperkuat kabilahnya sendiri, yang hal ini sudah terjadi sejak sebelum munculnya Islam yang dibawa Muhammad SAW. Pada masa kenabian dan khulafaurrasyidin, tidak ada kabilah yang diunggulkan atau direndahkan oleh Muhammad SAW, semua menempati posisi sesuai dengan perannya masing-masing. Tetapi pasca khulafaurrasyidin, Bani Umaiyah dalam banyak hal kemudian menyingkirkan Bani Hasyim, di mana di dalamnya ada Nabi Muhammad. Rivalitas itu terjadi terus menerus hampir satu abad pada masa kekhalifahan Bani Umaiyah. Sementara itu Ahlul Bait yang juga Bani Hasyim, tersingkir peranannya dari berbagai aspek 49 50
Ibid, hal. 68 - 70 ibid, hal 71
185
kehidupan, kecuali ke Irak dan Iran yang kemudian menekuni ilmu pengetahuan dan mempelajari semua sumber Islam secara kritis. Persoalan yang sebenarnya adalah bagaimana cara memandang perbedaan di antara para pemeluk agama Islam yang masingmasing mengklaim dirinya paling benar. Oleh karena itu semestinya umat Islam tidak mengunggulkan yang lain dan merendahkan yang lainnya, sehingga tidak memunculkan sekte-sekte yang merugikan Islam sendiri51. Pada bagian kedua, dibahas mengenai mengenal Allah: Tuhan yang disaksikan, bukan Tuhan yang didefinisikan52; menjadi manusia: konsep-konsep anthropologi dalam Qur’an53; arti turunnya manusia di bumi: ragam alienasi dan dehumanisasi54. Berperang membela Tuhan: psikologi kaum fundamentalis55; masa depan Tuhan; ihwal atheisme dan materialisme56. Dengan mengutip perkataan Jalaluddin Rumi, Jalaluddin Rahmat menjelaskan bahwa keintelektualan seseorang tidak dapat mengantarkan manusia pada Tuhan yang tak terbatas, tetapi hanya sampai pada Tuhan yang dedefinisikan. Mengetahui makna Tuhan harus dengan pengabdian, bukan dengan fikiran. Karena itu yang benar adalah mengenal Tuhan, bukan mendefinisikannya. Dengan pengetahuan, hanya mengantarkan manusia pada keraguan dan kenisbian, tetapi dengan hati dan pengabdian manusia dapat merasakan rahmat-Nya yang tak terbatas. Oleh karena itu, tidak perlu belajar tauhid kepada filosof karena akan membingungkan, yang benar adalah kepada ahli hikmah yang memiliki pengalaman spiritual57. Dan pada bagian ketiga berisi tentang menghadang kemungkaran sosial yang ditulis dari halaman 202 – 292. Dalam
51
Ibid, hal 76- 85 Ibid, hal. 104 - 115 Ibid hal 119 - 137 54 Ibdi. Hal. 141 - 159 55 Ibid, hal. 165 - 176 56 Ibid, hal. 179 - 1997 57 Ibid, hal. 104 - 108 52 53
186
deskripsi ini dapat ditarik kesimpulan bahwa perlawanan terhadap ketidakadilan memang dapat menggunakan banyak cara, tetapi tidak mesti dengan pemberontakan, terkecuali kepada pemerintahan yang memang dhalim dan melarang kebebasan menjalankan ibadah bagi umat beragama. Upaya Abu Hanifah mendukung pemberontakan adalah karena ingin menegakkan pemerintahan yang adil kepada rakyatnya. Resiko bahwa akhirnya Abu Hanifah harus dipenjara dan disiksa adalah konsekuensi sebagai seorang mujahid yang telah diketahuinya sejak sebelum mengambil keputusan mendukung pemberontakan58. Keserakahan Mu’awiyah telah mengorbankan kebenaran Islam. Oleh karena itu dengan memelihara ajaran Islam versi Ahlul Bait ini, kebenaran agama Islam yang dipahami oleh kaum muslimin akan menjadi lebih lengkap dan lebih argumentatif59. 2.
Mendahulukan Akhlak dari pada Fiqih
Akhlak merupakan puncak dari pengamalan ajaran Islam sebagai simbol ketakwaan seseorang kepada Allah SWT. Tanpa akhlak, pengamalan ajaran agama lainnya akan menjadi sia-sia. Orang dapat berbeda dan berdebat masalah fikih, tetapi hampir tidak ada yang memperdebatkan perlunya akhlak mulia bagi umat Islam. Terhadap akhlak, kaum muslimin sepakat sebagai suatu kebaikan yang harus dipelihara termasuk akhlak terhadap bukan muslim. Perbedaan adalah fitrah manusia, ikhtilaf adalah rahmat, sementara khilaf adalah dosa . Oleh karena itu perbedaan dalam menafsirkan teks suci yang berimplikasi pada lahirnya hukum dalam fikih juga harus diterima sebagai fakta. Yang penting landasan dasarnya sama yaitu Kitabullah dan Sunnah. Menentang al-Qur’an dan Sunnah adalah murtad dan kafir, tetapi tidak sepakat dengan fikih para ulama tidak boleh disalahkan secara mutlak. Setiap individu memiliki otoritas sendiri dalam memandang 58
ibid, hal. 254 - 260 Diolah dari wawancara dengan Sutrasno dan Dani di Kantor Sekretariat IJABI Bandung Kiara Condong, jl. Kampus, Desember 2006 59
187
kebenaran, sesuai dengan kemampuan dan pengetahuannya. Yang paling utama dalam “membina kerukunan hidup umat beragama” adalah mendahulukan akhlak, sementara fikih harus ditempatkan pada level kedua atau berikutnya. Tidak semestinya orang keras kepala karena memegang kebenaranya dalam fikih, karena fikih itu rumusan para ulama yang dapat dipahami secara berbeda oleh kalangan muslim sendiri60. 3.
Paradigma cinta
Ketika seluruh bangsa dilanda krisis, semua menuntut perubahan. Revolusi menjadi strategi yang terbaik untuk mempercepat perubahan itu dan reformasi dianggap terlalu lamban, sementara perut sudah tidak dapat diajak kompromi. Bila penyakit sosial sudah berurat berakar dalam tubuh bangsa, kita memerlukan bedah total dalam bentuk revolusi. Ada kerinduan untuk menyongsong revolusi dan ada kebanggaan sebagai orang revolusioner. Banyak bangsa besar lahir dari revolusi, yang selalu berdarah-darah. Tidak mengherankan jika pada saat yang sama ada ketakutan akan munculnya revolusi. Revolusi diterjemahkan dan dipahami sebagai kondisi yang menakutkan dan mengerikan karena akan banyak korban berjatuhan yang terkadang termasuk orang yang tidak tahu apa-apa. Karena itu wajar, jika seorang tokoh reformis ditawarkan sebuah revolusi, mengatakan bahwa bangsa Indonesia sudah terlalu banyak menderita selama beberapa dasawarsa ini, apa kita akan semakin membuat mereka menderita, sementara hasil revolusi juga belum tentu lebih baik. Menginginkan kondisi yang lebih baik, lebih damai dan adil adalah dambaan semua orang. Tetapi mekanisme menuju kondisi itu banyak cara yang dapat dilakukan untuk menuju mayarakat yang berubah. Cara terbaik adalah dengan paradigma cinta, dalam arti tidak menyakiti semua orang yang terlibat dalam hiruk
60
Miftah F. Rahmat, Klarifikasi Ajaran IJABI, Makalah yang disampaikan pada seminar yang diadakan oleh Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama, Januari 2006
188
pikuknya korupsi bangsa, tetapi dengan rekonsiliasi yang masuk akal. Ada pembatasan tertentu bagi para pelaku ketidakadilan agar mereka menyadari kesalahannya, bukan melakukan pembelaan habis-habisan agar selamat dari tuduhan. Semua orang harus mengandalkan nurani, karena cinta itu bermuara dalam hati dan hati adalah tempat berlabuhnya cinta. Kalbu adalah curahan rasa kasih dan sayang. Hati adalah persinggahan kapal yang diterjang ombak. Kalbu adalah naungan rasa yang diharubiru kehidupan dunia. Di dalam hati atau kalbu inilah cinta berlabuh. Tidak akan ada dua hal mengisi kalbu dalam satu saat. Jika kita mencintai sesuatu, maka hanya dialah yang ada dalam hati kita, hanya dialah yang bersemayam di dalam kalbu kita. Tidak mungkin dua cinta bersemayam dalam satu hati dalam waktu yang sama. Sebagai seorang muslim, tentu kita tidak akan memberikan pelabuhan ini, untuk sesuatu yang tidak berharga. Cinta sejati adalah yang saling bersambut. Kepada siapa akan kita curahkan cinta dan kasih? Kepada siapa akan kita relakan jiwa dan raga? Seorang muslim sejati pasti menjawab, “Allah” Tuhan seru sekalian alam. Allahlah satusatunya yang patut dicintai dan disembah61. Dalam ranah tradisi intelektual yang terbiasa kritis, ada tiga jenis revolusi yang akan mempengaruhi suatu bangsa. Pertama, revolusi sebagai transformasi masyarakat yang fundamental dan berskala luas. Inti revolusi terletak pada keluasan dan kedalaman perubahan. Revolusi menjadi lawan dari reformasi, karena reformasi tidak merubah secara luas dan mendalam, tetapi hanya aspek tertentu saja. Revolusi harus menimbulkan perubahan dalam semua aspek kehidupan, sementara reformasi hanya menyentuh sebagian saja. Kedua, revolusi yang menitikberatkan pada penggunaan kekerasan dalam perjuangan, menghancurkan yang lama dan membangun yang baru, dan seluruhnya harus berubah secara cepat dalam melakukan penyesuaian dengan sistem baru yang 61 Miftah, F. Rahmat, Cinta Illahi dan Revolusi Cinta, Bahtera: Pencerahan dan Pemberdayaan, Bidang Media dan Teknologi Informasi IJABI dan Muthahari Press, Bandung, 2006, hal. 84 – 87.
189
dikehendaki publik. Revolusi menjadi lawan dari evolusi yang menghendaki perubahan secara evolusioner, dan terkesan tidak ada perubahan apapaun kecuali sesuai dengan kehendak sosiologis belaka. Ketiga, menggabungkan kedua sistem dalam satu sisten yang dimungkinkan dapat mencapai tujuan. Oleh karena itu, perubahan harus terjadi secara cepat, tetapi tidak dengan kekerasan dan semua eksponen menyadarinya bahwa ia harus berubah paradigmanya dalam memandang aspek kehidupan. Trasformasi berjalan sangat cepat, perebutan kekuasaan terjadi secara sukarela dari mereka yang merasa gagal kepada penggantinya. Model ketiga inilah yang disebut dengan revolusi cinta62. Dalam kehidupan beragamapun, kaum muslimin harus bersedia melakukan revolusi cinta. Jangan menjual ayat-ayat Tuhan dengan harga murah, hanya karena ingin mempertahankan kemapanan. Agama harus dipandang sebagai ajaran yang mengajak manusia berubah secara cepat sesuai dengan al-Qur’an dan asSunnah, tanpa harus dilegalformalkan oleh kekuasaan. Oleh karena itu, ajaran-ajaran yang dikembangkan dilakukan secara kritis, untuk mendorong manusia secara cepat ke dalam pangkuan Ilahi. IJABI mengajarkan kekritisan ini yang mungkin secara spesifik berbeda dengan yang diajarkan oleh organisasi keagamaan lainnya. IJABI karena bertujuan mengembangkan ajaran Islam sesuai dengan jalur pamahaman dari Ahlul Bait, maka sebagian besar ajaran Islam yang dikembangkan adalah juga berdasarkan pada ajaran agama dari jalur Ahlul Bait itu. Tetapi secara khsusus, sebenarnya keinginan IJABI adalah menerima ajaran Islam dari manapun asalnya, tetapi harus dengan kritik tinggi, sehingga terhindar dari kepalsuan63. 4.
Kegiatan Ikatan JamaÅah Ahlul Bait Indonesia
62 Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, Penerbit Rosda Karya, 1999 hal 46- 57 63 Jalaluddin Rahmat, Al-Mustafa, Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi SAW, khususnya yang membahas tentang Pengujian Tarikh Nabi dengan al-QurÅan serta Kritik Matan Hadits, Muthahari Press, Bandung, 2006, hal 78 – 82 dan 91 - 93.
190
Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) sebagai organisasi kemasyarakatan memiliki program-program kegiatan yang dilaksanakan sepanjang tahun dalam bentuk program jangka panjang dan jangka pendek. Program jangka panjang dimaksud adalah peogram umum IJABI yang disusun untuk jangka waktu tertentu (4 tahun) guna memberi arah bagi penyusunan program jangka pendek yang biasanya dibuat per tahun. Program jangka panjang diarahkan pada; Memelihara, melanjutkan dan mewujudkan cita-cita, visi dan misi organisasi dengan melaksanakan kegiatan-kegiatan berbagai bidang yang dipandang mampu mewujudkan cita-cita organisasi, visi dan misi organisasi; IJABI mengacu pada nilai-nilai ajaran Islam sebagai manifestasi ajaran al-Qur’an dan al-Hadits dari jalur Ahlul Bait yang telah disepakati oleh organisasi dan menjadikannya sebagai pola dasar langkah organisasi;
Terwujudnya kehidupan organisasi yang berkualitas dan mandiri sehingga partisipasi dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat yang adil dan makmur yang dirdlai oleh Allah serta turut menjaga eksistensi bangsa di tengah interaksi bangsa-bangsa di dunia.64 Program jangka pendek bertujuan; pertama, memantapkan implementasi ajaran Islam yang diriwayatkan melalui jalur Ahlul Bait, sosialisasi organisasi IJABI, penguatan organisasi Ahlul Bait di daerah, konsolidasi organisasi dalam rangka meningkatkan profesionalisme dan mendukung partisipasi masyarakat yang utuh dan terpadu; kedua, memelihara keserasian dan konsistensi pelaksanaan semua program agar tetap merupakan bagian yang integral dari program jangka panjang. Prioritas program jangka pendeknya adalah sosialisasi organisasi IJABI, sosialisasi ajaran Islam melalui pemahaman jalur Ahlul Bait, konsolidasi komunitas 64 DPP IJABI, Garis Besar Program Kerja Nasional dan Rekomendasi IJABI, Jakarta, 2006, hal 43
191
Ahlul Bait di Indonesia dan membentuk kerjasama dengan organisasi lainnya65. Program kerja jangka pendek dibagi dalam dua bidang, yaitu bidang intern dan ekstern. Bidang intern melaksanakan program mendidik dan membina para anggota IJABI. Kemudian untuk spesifikasi kerja yang optimal, maka bidang intern dibagi menjadi departemen-departemen yang jumlahnya 13 departemen. Sebuah organisasi yang memiliki kerja besar jika jumlah departemennya saja mencapai 13 buah. Program kerja bidang ekstern melaksanakan program yang bersifat keluar atau sosialisasi segala hal berkaitan dengan IJABI dan dengan contoh perilaku yang sesuai dengan alQur’an dan al-Hadits. Misalnya; dakwah secara lisan, tulisan dan perilaku mulia dan sebagainya. Kemudian untuk spesifikasi kerja demi hasil yang optimal, bidang eksternal ini di bagi dalam tiga departemen, yaitu Dep. Organisasi, Departemen Sosial dan Mustad’afin dan Departemen Dakwah66 D. Respon Pemuka Agama dan Masyarakat 1.
Respon Kanwil Depag Jawa Barat dan Kandepag Kota Bandung
Kemunculan IJABI seolah menjadi deklarasi dan pembuktian bahwa memang IJABI adalah pelopor Syi’ah di Indonesia, meskipun dalam realitasnya jarang berbicara mengenai Syi’ah. Bagi kalangan IJABI, Syi’ah itu bukanlah firqah, tetapi madzhab (madzhab lebih kecil dari firqah, karena mazdhab merupakan bagian dari firqah). Misalnya dalam firqah Sunni ada madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Namun pada umumnya masyarakat muslim memandang Syi’ah sebagai firqah yang bersanding dengan Sunni , Mu’tazillah, Khawarij dan sebagainya.
65 66
192
Ibid, hal. 44 – 45 dan wawancara dengan Sutrasno, Ibid. hal. 47
Desember 2006
Pejabat Kanwil Departemen Agama Jawa Barat menyatakan tidak mengenal sama sekali IJABI.67 Kalau dengan Jalaluddin mereka mengenalnya, tetapi dengan IJABI hanya pernah mendengar namanya saja. Mengenai kantor IJABI, pengurusnya siapa saja, kegiatannya apa saja dan ajaran keagamaannya juga tidak mengetahui. Mereka lebih mengenal Muthahari sebagai yayasan pendidikan yang mengelola pendidikan SMU-Plus dari pada mengenal Muthahari sebagai bagian dari IJABI. Dalam pendidikan, IJABI menginduk kepada Dinas Pendidikan Nasional, bukan ke Departemen Agama. Oleh karena itu wajar jika tidak ada komunikasi yang intens antara IJABI dengan Kanwil Departemen Agama Jawa Barat dan Kantor Departemen Agama Kota Bandung. 2.
Tokoh Agama di Kiaracondong
Beberapa tokoh agama Islam yang diwawancarai di Kiaracondong mengatakan bahwa pada dasarnya ajaran yang dikembangkan oleh IJABI tidak ada masalah. Persoalannya adalah, mengapa menyatakan hanya memahami dan mengajarkan agama Islam sesuai dengan pemahaman jalur Ahlul Bait saja. Sementara, masyarakat yang tidak paham isi dari IJABI, IJABI dipandang sebagai pelopor Syi’ah di Indonesia. Mengapa pula mereka memasang gambar-gambar dari tokoh kalangan Syi’ah jika memang tidak menjadi pendukungnya. Pernyataan M. Mubarak dapat disimak dibawah ini. “Kami mengenal dengan sangat baik Kang Jalal, beliau ramah, pemahaman Islamnya mendalam, peduli pendidikan, peduli kemiskinan dan amanah. Kalau Kang Jalal ingin kaya secara materi, sudah lama ia menjadi kaya karena banyak orang mengetahui kualitas Kang Jalal yang tidak mudah dicari tandingannya di negeri ini. Kang Jalal itu mantan aktifis mahasiswa Universitas Pajajaran, lulusan luar negeri dan ahli komunikasi sehingga sangat jelas jika menjelaskan paham 67 Wawancara dengan pejabat Kanwil Departemen Agama Jawa Barat di Bandung pada bulan Desember 2006
193
keagamaan kapada para pendengar. Dia seorang dosen terbang di mana-mana dan supersibuk. Dalam kondisi seperti itu, kang jalal masih sempat memimpin SMU-Plus Muthahari dan telah mendirikan SMP Muthahari pula di Cicalengka untuk kaum miskin. Tidak banyak orang dengan kesibukan seperti dia dapat menyisihkan waktu untuk memikirkan kepentingan sosial masyarakat miskin. Sayang memang jika, IJABI merupakan pelopor Syi€ah di Indonesia, sebab MUI Pusat telah memfatwakan bahwa Syi€ah itu sesat dan sesat itu masuk neraka”68. Dari respon masyarakat seperti ini, memang IJABI dituntut untuk mampu menjelaskan dan mendefinisikan realitas dirinya secara argumentatif, sehingga tidak dipandang miring oleh kelompok organisasi lain di Indonesia. Apakah masa depan IJABI akan menjadi lebih baik, kesemuanya tergantung dari kemampuan sang tokoh, program, pendukung, pemenuhan harapan dan cita-cita para pendukungnya. Semakin baik memerankan diri sebagai pemberi harapan nyata dalam pergulatan sosial di Indonesia, maka akan semakin besar pula dukungan terhadap IJABI. Secara kultural, IJABI sudah memiliki pendukung tradisional, yaitu dari kaum muslimin pecinta Ahlul Bait yang diwujudkan dalam berbagai tradisi dan tarekat di Indonesia ini. Jika gagal memenuhi harapan pendukungnya, maka IJABI akan segera ditinggalkan para pendukungnya.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
D
ari deskripsi di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut;
IJABI adalah organisasi keagamaan baru yang mengembangkan ajaran Islam versi Ahlul Bait, karena ajaran Islam garis Sunni dipandang kurang lengkap rujukannya. Hal ini terjadi karena meninggalkan ajaran Islam jalur ahli bait, yang secara historis dan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan; 1.
2.
IJABI dapat dikategorikan sebagai pelopor Syi’ah di Indonesia, meskipun sesungguhnya IJABI mengajarkan semua firqah dan madzhab dan non sektarian;
3.
IJABI mengajak kaum muslimin untuk kritis dalam menerima ajaran Islam dari siapapun dan dari manapun untuk menghindari kepalsuan dan kesesatan;
4.
Pejabat pemerintah dan masyarakat umum belum mengenal keberadaan IJABI. Mereka hanya mengenal tokohnya, Jalaluddin Rahmat.
B. Rekomendasi 1.
68
194
Hendaknya semua pihak tidak mudah memvonis kelompok tertentu sebagai sesat menyesatkan tanpa klarifikasi yang memadai, sebab buku-buku madzhab Syi’ah, pada dasarnya argumentatif, logis dan dapat dipertanggungjawabkan secara historis dan ilmiah.
Diolah dari wawancara dengan Ahmad Mubarak, Desember 2006
195
2.
3.
Organisasi ini perlu mendaftarkan diri ke instansi pemerintah sesuai dengan Undang-undang Keormasan agar legalitas organisasi ini terjamin. Selain itu, tidak ada salahnya dalam berbagai aktivitasnya mengundang pejabat Departemen Agama agar diketahui keberadaannya oleh pemerintah dan masyarakat. IJABI tidak semestinya dikait-kaitkan dengan Syi’ah, meskipun hanya mementingkan ajaran Islam versi Ahlul Bait yang dalam realitasnya memang didukung oleh Syi’ah.
DAFTAR PERPUSTAKAAN Abdul Azis, Varian-Varian Fundamentalisme Islam di Indonesia, Diva Pustaka, Jakarta, 2004. Ahmab Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1986. Al-Qur’an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI, Tahun 1999. Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, LP3ES, Jakarta. DPP IJABI, Pedoman Organisasi Ikatan Jama;’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Moqadimah Anggaran Dasar Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) 2004 - 2008, Bandung, 2006. Gamal al-Banna, (pent. Taufik Damas), Doktrin Pluralisme dalam alQur’an, Penerbit Menara, Bekasi 2006. Jalaluddin Rahmat, Al-Mustafa, Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi SAW, Muthahari Press, Bandung, 2006. Jalaluddin Rahmat, Rekayasa Sosial: Reformasi, Revolusi atau Manusia Besar, Penerbit Rosda Karya, 1999. __________, Al-Mustafa, Pengantar Studi Kritis Tarikh Nabi SAW, khususnya yang membahas tentang Pengujian Tarikh Nabi dengan al-Qur’an serta Kritik Matan Hadits, Muthahari Press, Bandung, 2006. __________, Islam dan Pluralisme: Akhlak Qur’an Menyikapi Perbedaan, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2006. Lexy
J. Maleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1999.
Majalah Nuansa, Vol 1. V11/12/2003, Sejarah Berdirinya LDII, DPP LDII, Jakarta, 2003
196
197
Majelis Ulama Indinesia, Kumpulan Fatwa Majelis Ulama Indonesia, 1997. Miftah, F. Rahmat, Cinta Illahi dan Revolusi Cinta, Bahtera: Pencerahan dan Pemberdayaan, Bidang Media dan Teknologi Informasi IJABI dan Muthahari Press, Bandung, 2006. Umar Hasyim, Apakah Anda Termasuk Golongan Ahlu Sunnah wal Jama€ah ?, Bina Ilmu, Surabaya, 1982. Wakhid Sugiyarto, Respon terhadap Aliran Sempalan di Indonesia: Kajian terhadap Gerakan Jema€at Ahmadiyah dan Hindu Tamil di Kota Medan, 2006.
GEREJA KEMENANGAN IMAN INDONESIA
(GKII) DI KOTA MEDAN Oleh : Drs. H. Bashori A. Hakim, M.Si
198
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
A
gama-agama besar di dunia mengalami perkembangan fenomenal baik ideologi, ritual, eksperiensial maupun gerakan sosialnya. Perkembangan tersebut terjadi akibat perbedaan penafsiran terhadap pokok-pokok ajarannya sehubungan adanya perbedaan paradigma pemikiran keagamaan dan pengaruh dari luar, misalnya kencangnya arus pemikiran liberal dalam memahami teks. Dalam kehidupan beragama, perbedaan itu memunculkan berbagai macam aliran maupun paham keagamaan. Di antara aliran maupun paham keagamaan yang timbul, menurut kelompok mainstream terdapat kelompok yang bisa ditolerir, karena masih dalam kerangka ajaran pokok dan wilayah perbedaan. Namun ada pula yang dianggap telah menyimpang dari ajaran pokok yang memunculkan keresahan masyarakat. Sebagai contoh, di Malang pada tahun 2005 terdapat kelompok yang mengerjakan salat dua bahasa yang digagas dan dikembangkan oleh Yusman Roy. Akhirnya ajaran tersebut mendapat tentangan keras dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) setempat karena dianggap menghina Islam. Atas perbuatannya itu, oleh pengadilan setempat, Yusman Roy dijatuhi hukuman 5 tahun penjara. Di Banggai muncul paham Ali Taetang yang mengaku dirinya sebagai nabi. Di Parung–Bogor, Cianjur dan Kuningan muncul paham Ahmadiyah yang mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Paham ini mendapat serangan dari masyarakat setempat yang mengakibatkan beberapa masjid dan rumah dihancurkan massa. Di beberapa tempat di Jawa Barat
201
terdapat kasus penutupan beberapa gereja masyarakat.
karena meresahkan
Terlepas dari berbagai kasus keagamaan dengan ragam akibatnya tersebut di atas, di Kota Medan seorang tokoh Kristen yakni Pendeta Dr. Benyamin Munthe berhasil mengembangkan teknik pengobatan melalui pendekatan keagamaan yang dikenal dengan “kesembuhan Ilahi€. Saat ini, pengikutnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Untuk menampung pelaksanaan peribadatan ia mendirikan gereja dengan nama Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII). Selain itu dalam praktek perkawinan di gereja, ia mengajarkan kepada pengikut-pengikutnya untuk meninggalkan adat perkawinan (Karo) yang selama ini diterapkan secara turuntemurun oleh masyarakat Karo. Menurut informasi, tokoh pendiri GKII ini pernah berkata kepada saudaranya bahwa GKII paling baik (benar). Mengingat keberadaan Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII) di Kota Medan belum banyak diketahui dan menarik untuk dikaji, maka kegiatan studi kasus keagamaan di Kota Medan ini terkonsentrasikan pada gereja tersebut. B.
Permasalahan
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini meliputi halhal berikut: 1. Apa latar belakang dan bagaimana kronologi timbulnya GKII; 2. Siapa tokoh pendiri dan latar belakangnya; 3. Apa saja ajaran–ajaran yang dikembangkan dan sejauh mana jangkauan penyebarannya; 4. Bagaimana respon masyarakat/pemuka agama terhadap keberadaan GKII. C. 1.
202
Tujuan Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui: Latar belakang dan kronologi timbulnya GKII;
2. 3.
D.
Tokoh pendiri, ajaran serta keluasan pengaruhnya dalam masyarakat; Respon masyarakat atau tokoh agama terhadap keberadaan GKII.
Kegunaan
Hasil kajian ini diharapkan menjadi bahan informasi bagi Pimpinan Departemen Agama untuk dijadikan referensi penyusunan kebijakan dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat, khususnya untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama. E.
Metodologi
Kajian ini menggunakan metode kualitatif dalam bentuk kajian studi kasus dan bersifat deskriptif. Sebagai kajian yang menggunakan metode kualitatif, seperti asumsi yang dikemukakan oleh Merriam (1988), dalam kajian ini peneliti merupakan instrumen pokok dalam proses pengumpulan dan analisis data. Sedangkan data diperoleh melalui wawancara (John W. Creswell, (Ed.) Aris Budiman, et all, 2002:140). Ditinjau dari tujuan dan kegunaannya, kajian ini termasuk studi terapan (applied research). Studi dilakukan melalui pendekatan evaluatif yang bersifat normatif dengan maksud ingin memperoleh umpan-balik (feedback) suatu aktivitas, digunakan untuk meningkatkan hasil produksi (Sugiyono,2001:5) dan untuk memperoleh informasi dari umat Kristen di luar kelompok Jemaat GKII yang mengetahui dengan baik aktivitas GKII. Selanjutnya digunakan untuk meningkatkan kerukunan hidup beragama ( produk). Data dikumpulkan melalui teknik wawancara dan penelusuran literatur. Wawancara dilakukan dengan para informan terdiri atas: beberapa tokoh Kristen atau masyarakat yang
203
mengetahui keberadaan GKII, para Pejabat Pemerintah Daerah (dalam hal ini Pejabat Bimas Kristen Kantor Departemen Agama setempat), serta unsur Pimpinan/ Pengurus GKII sendiri. Secara konkret, wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang mengacu pada tujuan studi (Ida Bagoes Mantra, 2004:86). Sedangkan kajian pustaka atau dokumentasi dilakukan dengan menelusuri naskah atau dokumen terkait dengan permasalahan yang dikaji.
F.
Lokasi Kajian
Kajian ini dilaksanakan di Kota Medan Propinsi Sumatera Utara, dengan konsentrasi kajian Gereja Kemenangan Iman Indonesia yang terdapat di kota tersebut.
Data yang berhasil dikumpulkan diolah melalui tahap: editing, klasifikasi, komparasi dan selanjutnya interpretasi untuk memperoleh pengertian baru sebagai bahan penyusunan laporan hasil kajian/penelitian. Dalam proses pengolahan data terutama komparasi data, dipergunakan prinsip triangulasi, yakni menyilangkan data atau informasi yang diperoleh dari sumber data, kemudian data yang sah dipergunakan untuk mengungkap hasil kajian. Dalam penelitian kualitatif ada empat (4) macam triangulasi (Suharsimi Arikunto, 2002:16), namun karena terbatasnya waktu dan dana, maka peneliti hanya menggunakan dua (2) macam triangulasi yaitu: (1) trianggulasi data atau memperkaya data; dan (2) mengadakan pengecekan dengan peneliti/data lain. Untuk memastikan keabsahan/akurasi data, diupayakan pemeriksaan data yang didasarkan atas kriteria berikut: derajat keterpercayaan (credibility), ketergantungan (dependability), keteralihan (transferability) dan kepastian (confirmability) (Lexy J. Moleong, 2004:324). Di dalam memahami data yang diperoleh di lapangan dipergunakan pendekatan fenomenologis, dalam arti peneliti berusaha memahami subyek dari sudut pandang mereka sendiri dan memaknai berbagai fenomena sebagaimana dipahami dan dimaknai oleh para pelaku (Robert Bogdan & Steven Taylor, Alih Bhs.: Arief Furchan, 1992).
204
205
BAB II PROFIL KOTA MEDAN
K
ota Medan adalah ibukota Propinsi Sumatera Utara merupakan salah satu kota besar di Indonesia setelah Jakarta. Sebagai ibukota propinsi, Medan berpenduduk multiras dan etnis sehingga memiliki tingkat keragaman yang tinggi. Keragaman agama masyarakat mengindikasikan keragaman etnis. Keragaman etnis dan agama itu merupakan khazanah kekayaan budaya bangsa yang perlu dijaga, dilestarikan dan dikelola sedemikian rupa, sehingga tercipta rajutan persatuan yang kokoh dalam kehidupan masyarakat. Namun di sisi lain, keragaman itu berpotensi memicu konflik yang sering kita temui dalam kehidupan masyarakat. Keadaan demikian terjadi di daerah mana saja, tak terkecuali di Kota Medan. Oleh karena itu, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Medan di satu sisi kehidupan mereka yang harmonis. Namun, di sisi lain terdapat faktor-faktor yang memunculkan dis-harmoni dalam masyarakat. Ada beberapa hal yang dianggap menjadi penyebab terjadinya konflik, karena perbedaan agama dalam masyarakat, antara lain: mengenai pendirian rumah ibadat, pembentukan jemaat atau kelompok agama serta pemahaman agama yang dangkal yang terekspresikan dalam tindakan sehingga mengakibatkan umat lain tersinggung ( Jajat Burhanuddin & Subhan, 1998 ). Ada suatu mekanisme yang dimiliki dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Kota Medan sehingga dengan keragaman itu dapat meredam timbulnya konflik. Di antara mekanisme dimaksud adalah dalihan na tolu dan sistem kekerabatan
206
yang dimanifestasikan dalam bentuk marga yang menjadi perekat dalam kehidupan bermasyarakat. Mengacu pada topik kajian ini, uraian tentang gambaran umum lokasi kajian ini lebih difokuskan pada uraian mengenai gambaran umum kehidupan keagamaan di Kota Medan, terutama agama Kristen. Penduduk Kota Medan terdiri dari berbagai macam pemeluk agama. Penduduk muslim adalah mayoritas, dengan jumlah 1.046.906 jiwa. Penduduk Kristen berjumlah 247.351 jiwa, penduduk Katholik berjumlah 209.008 jiwa, penduduk Hindu berjumlah 7.393 jiwa dan beragama Buddha berjumlah 416.862 jiwa (Kantor Departemen Agama Kota Medan, 2005). Berdasarkan informasi yang digali, kebanyakan umat Kristen maupun Katholik terdiri atas etnis Batak, terutama Batak Karo. Sedangkan umat Buddha mayoritas etnis Cina. Umat Islam di Kota Medan memiliki masjid 738 buah dan mushalla 200 buah, umat Kristen memiliki gereja 578 buah, umat Katholik 53 buah, umat Hindu memiliki Kuil 40 buah, serta umat Budhha memiliki vihara 125 buah (Data Kantor Departemen Agama Kota Medan, 2005). Dilihat dari segi persebaran penduduk di Propinsi Sumatera Utara pada umumnya, Kota Medan berpenduduk paling banyak. Dari jumlah 13.063.096 jiwa penduduk Propinsi Sumatera Utara, sebanyak 2.374.939 jiwa menjadi penduduk kota Medan (Bidang Bimas Kristen, Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Utara, 2006). Keadaan demikian dapat dimengerti karena Kota Medan sebagai ibukota Propinsi yang menjadi pusat perekonomian masyarakat. Persebaran penduduk dilihat dari segi agama, mayoritas umat Kristen di Propinsi Sumatera Utara bertempat tinggal di kota Medan. Dari 4.084.205 umat Kristen di Propinsi Sumatera Utara (Data Bidang Bimas Kristen Kantor Wilayah Departemen Agama
207
Propinsi Sumatera Utara), sebanyak 247.351 jiwa menjadi penduduk Kota Medan.(Kantor Departemen Agama Kota Medan, 2005). Kehidupan keagamaan umat Kristen di Kota Medan – sebagaimana umat Kristen di daerah lain di Sumatera Utara dan di Indonesia pada umumnya- diwarnai oleh adanya denominasidenominasi atau organisasi gereja. Di kota Medan terdapat tidak kurang dari 80 buah organisasi gereja termasuk Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII). (Data Seksi Bimas Kristen Kandepag Kota Medan, 2005) dengan jumlah pendeta, penatua, guru jemaat, evagelis dan diakones masing-masing organisasi gereja secara bervariasi.
BAB III HASIL-HASIL KAJIAN
A. Sejarah Lahirnya GKII atar belakang timbulnya Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII) adalah karena pengalaman rohani pendirinya, yakni Pdt. DR. Benjamin Munthe. Menurut penuturan Pdt. Riani Silalahi (Sekretaris Gembala GKII) yang didampingi Pdt. P. Tanjung, mengisahkan bahwa pada tahun 1970-an DR. Benjamin Munthe mengalami sakit gagal ginjal dan berobat ke Rumah Sakit Cikini-Jakarta. Kala itu ditangani oleh (alm) dr. Sidabutar dokter spesialis ginjal. Dr. Sidabutar memutuskan untuk melakukan operasi. Pada saat menunggu proses operasi, Benjamin Munthe diberi kesempatan untuk berdoa. Menurut pengakuan Benyamin, pada saat ia berdoa, Kuasa Tuhan bekerja dan menyembuhkan penyakitnya secara total. Saat memasuki ruang operasi, sebelum dioperasi dr. Sidabutar melakukan cek ulang dan ternyata di luar dugaan, penyakit Benjamin Munthe sudah sembuh total sehingga operasi tidak jadi dilakukan. Pada hal ketika itu dr. Sidabutar meramalkan umur Benjamin Munthe hanya sampai 60 tahun karena penyakit itu. Ternyata Tuhan menentukan lain. Menurut pengakuan Benjamin, penyakitnya sembuh total hingga sekarang hingga usianya saat ini mencapai 65 tahun. Sementara penyakitnya itu tidak pernah kambuh berkat kemenangan karena iman.
L
Pengalaman rohani yang dialami DR. Benjamin Munthe itu selanjutnya memberikan inspirasi kepadanya untuk melakukan kegiatan sosial kepada sesama dengan melakukan praktek penyembuhan berbagai penyakit yang diderita orang-orang terutama yang tinggal di daerah pedesaan dan kurang mampu.
208
209
Setelah sembuh dari penyakitnya, DR. Benjamin Munthe memulai kegiatan sosialnya untuk masyarakat berupa pelayanan Injil di desadesa Kabupaten Deli Serdang, Langkat dan Karo. Praktek pelayanan pengobatannya itu diberi nama ÅKesembuhan Ilahi€. Atas keinginan orang-orang yang berhasil disembuhkan maupun orang-orang yang masih dalam proses penyembuhan agar diadakan ritual bersama, maka tergeraklah DR. Benjamin Munthe untuk mendirikan gereja dan diberinya nama Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII). Nama orgasnisasi gereja itu atas ide DR. Benyamin Munthe berdasarkan pada al-Kitab Satu Johanes 5 ayat 4 b: ÅInilah yang mengalahkan dunia, yaitu iman kita€. Bertitik tolak dari ayat tersebut, maka timbullah inspirasi untuk menamakan organisasi gerejanya dengan ÅGereja Kemenangan Iman Indonesia€. B. Tokoh Pendiri Sebagaimana dipaparkan di bagian terdahulu bahwa Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII) didirikan oleh Pdt. DR. Benjamin Munthe. Ia lahir di Kabanjahe tanggal 29 Nopember 1941. Latar belakang etnisnya adalah Suku Karo, dari Marga Ginting Munthe. Adapun latar belakang pendidikan, sosial dan ekonomi keluarganya berasal dari keluarga kelas menengah ke atas dan cukup berpengaruh di lingkungan masyarakat. Pendidikan terakhir diperolehnya di Amerika Serikat, di Sekolah al-Kitab DR. Moris Cerullo – Amerika Serikat. Dia merintis berdirinya Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII) berangkat dari nol. Ketika belum memiliki anggota jemaat, Pendeta Benyamin melakukan kegiatan sosial, seperti melayani orang-orang sakit di pedalaman Tanah Karo, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang dan kabupaten lain di Sumatera Utara. Dari hasil jerih payahnya ini, ia memperoleh penghargaan gelar Doktor Honoris Causa dari Amerika Serikat.
210
Keberhasilannya dalam memberikan pelayanan kepada orang-orang sakit itu tidak lepas dari dukungan secara medis dan peran aktif isterinya yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak yakni dr. Rehmana Sembiring. C. Ajaran dan Pengaruhnya Ajaran yang dikembangkan GKII pada dasarnya hampir sama dengan yang dilakukan oleh denominasi-denominasi yang lain, yaitu sama-sama berpegang kepada al-Kitab. Demikian penuturan unsur pimpinan GKII, Sekretaris Gembala GKII. Ajaran tentang keyakinan, pada prinsipnya sama saja dengan denominasi yang lain, berdasarkan Injil Sepenuh. Demikian pula ajaran tentang ibadah sama dengan denominasi yang lain. Hanya saja dalam pelaksanaan ibadatnya dilakukan untuk menyembah mencintai Tuhan, sehingga terkesan lebih suka beribadah. Begitu pula ajaran tentang moral terdapat kesamaan dengan denominasi lain. Dalam praktek-praktek tertentu seperti dalam mengaktualisasikan ajaran agama, terdapat perbedaan yaitu perbedaan interpretasi. Perbedaan yang ada tidak menyangkut ajaran prinsip, namun mengenai hal-hal atau wilayah yang memang diperbolehkan berbeda, misalnya praktek ibadah yang diwarnai budaya. Perbedaan diperbolehkan itu berkisar pada upacara keagamaan, seperti: tata cara baptisan selam, upacara perkawinan dan ajaran tentang Kesembuhan Ilahi. Dalam acara baptisan selam, dilakukan dengan cara menenggelamkan anak yang dibaptis ke air. Setelah mengaku sudah selamat dengan mengaku Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat, maka penenggelaman pun berakhir. Cara demikian sebenarnya sama seperti dilakukan oleh Gereja Kharismatik, tetapi berbeda dengan yang dilakukan HKBP, HKI, GKPI, GBKP dan lainnya.
211
Upacara perkawinan sebagai ritual dilakukan secara khusus di gereja berdasarkan Injil. Tata cara adat perkawinan Karo atau adat lainnya tidak ditinggalkan. GKII dalam upacara perkawinan meninggalkan adat pemakaian ulos dan upacara jambar. Upacara adat seperti itu dianggap warisan budaya leluhur/nenek moyang, bukan dari agama. Kesembuhan Ilahi merupakan salah satu ciri yang menonjol dalam kegiatan GKII. Para pasien yang datang untuk berobat dilakukan penyembuhan melalui perantaraan Injil dengan cara berdoa Dengan Nama Yesus Kristus, yang diistilahkan dengan Kesembuhan Ilahi. Kegiatan seperti itu hanya dilakukan oleh GKII. Pelayanan Injil di lakukan mula-mula oleh pendirinya yakni DR. Benjamin Munthe di desa-desa di berbagai kabupaten di Sumatera Utara sebagaimana telah diutarakan di atas, dibantu oleh isterinya yang secara kebetulan seorang dokter spesialis anak. Karena adanya berbagai permintaan, di Medan dilaksanakan praktek pelayanan di Jl. Hasanuddin, nomor 6 Medan, yang dalam perkembangannya menjadi pusat GKII hingga sekarang. Para pasien yang datang antara lain orang-orang asal India (beragama Hindu) dan Cina (beragama Buddha). Para pasien dilayani dengan praktek penyembuhan dengan pelayanan Injil, berdoa atas Nama Yesus Kristus (kesembuhan Ilahi) dan banyak yang berhasil memperoleh kesembuhan. Gereja yang didirikan di Jl. Hasanuddin, No. 6 Medan itu dibangun di atas tanah warisan dari orang tua isteri Benjamin Munthe. Di lokasi itu sebelumnya telah ada bangunan rumah milik mertua tersebut untuk tempat praktek dokter dan rumah tinggal di atas tanah seluas 2.000 m². Tanah dan rumah itu kemudian diwariskan untuk membangun gereja dengan dana yang sebagian diperoleh dari para jemaat. Di antara pasien terdapat golongan ekonomi lemah, anak gelandangan, orang sakit yang tak punya biaya berobat, keluarga
212
yang berantakan, korban narkoba dan sebagainya. Di antara mereka itu yang sudah sembuh ada yang menjadi pendeta, seperti Pendeta Amos Jibuan yang semula preman, sekarang menjadi Pendeta GKII di Sibolga. Pendeta Ramsudin Sinaga pada mulanya adalah tukang becak, sekarang menjadi Pendeta di Sidikalang. Para pasien datang bermula dari mendengar berita penyembuhan dengan metode Ilahi di GKII. Jadi penyembuhan di GKII bukan tidak ada unsur paksaan. Hingga kini, di Kota Medan terdapat 4 buah GKII yang tergolong besar, masing-masing terletak di Jl. Hasanuddin No.4, di Jl. TD. Pardede No. 21, di Jl. SM. Raja No.249, dan di Jl. Pancing/Willem Iskandar No.247. Selain itu ada 8 buah gereja GKII yang tergolong kecil. Jumlah jemaat GKII di Kota Medan sekitar 7.000 jemaat, menyebar di berbagai gereja GKII yang terdapat di beberapa wilayah tersebut. Dilihat dari segi pendidikan, para jemaat sebagian besar berpendidikan tingkat SLTA ke bawah. Sekitar 25% berpendidikan sarjana. Dilihat dari segi etnis, sekitar 50% jemaat berasal dari etnis Batak (Batak Karo), Simalungun, Toba dan Nias. Sisanya adalah etnis Jawa, Cina, India, Menado dan Toraja. Perkembangan anggota jemaat GKII semakin meningkat. Keadaan ini menunjukkan bahwa keberadaan GKII semakin diminati masyarakat, terutama umat Kristiani. Keikutsertaannya membantu menanggulangi permasalahan kesehatan masyarakat semakin dirasakan sebagai alternatif. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika saat ini GKII telah menyebar di 30 propinsi di seluruh Indonesia, dengan jumlah gereja sebanyak 380. Demikian seperti yang dituturkan oleh Sekteratis Gembala GKII. Untuk membantu memberikan penerangan tentang nilainilai ajaran agama sebagai pesan keagamaan, GKII telah menerbitkan antara lain brosur kecil yang disebut “Traktat Keselamatan€ untuk kalangan sendiri yang terbit secara berkala, seperti yang telah diterbitkan pada tanggal 18 Juli 1987.
213
D. Respon Para Pemuka Agama Berdasarkan penuturan berbagai kalangan intern umat Kristen yang berhasil diwawancarai, dapat dikemukakan bahwa keberadaan GKII secara umum tidak menjadi masalah bagi mereka, karena GKII melaksanakan ibadah berdasarkan al-Kitab. GKII melaksanakan praktek Kesembuhan Ilahi yang diperintahkan Tuhan. Jadi sebenarnya mereka tidak membuat paham baru dalam Kristen, tetapi hanya mempunyai ciri khas penonjolan praktek ibadah tertentu yang berbeda dengan yang lain sebagaimana yang diajarkan al-Kitab. Di dalam Markus Pasal 16 dinyatakan: “Pergilah kamu ke seluruh muka bumi€ (Ayat 15 s/d 18): “Melaksanakan amanat agung (bersaksi), membaptis yang percaya kepada Yesus, dan menyembuhkan orang sakit dengan kuasa Tuhan.€ Maka dapat dikatakan apa yang dilakukan Benjamin merupakan perintah dan Firman Tuhan. Demikian antara lain penuturan Bishop P. Zebua (Pimpinan Gereja Tuhan Indonesia) dan Pdt. S. Siagian (Sekretaris Gereja Tuhan Indonesia). Persoalan GKII yang meninggalkan adat perkawinan Karo, seperti yang dituturkan oleh salah satu pengikutnya mengatakan bahwa merekalah yang paling baik, dan Gereja Tabernakel juga demikian. Jadi itu bukan hal baru. Yang penting mereka tetap menghargai yang lain. Dari kenyataan demikian diperkirakan lambat laun banyak umat Kristen yang meninggalkan adat karena adat adalah tradisi manusia, bukan dari Tuhan.
aktifitas Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII), sementara orang tua mereka tidak menghendaki anak-anaknya terpengaruh GKII. Lambat-laun keresahan mereka hilang. Umat Kristen yang tidak seirama dengan GKII menyadari dan membiarkan adanya keragaman dalam agama mereka. Yang terpenting masih berpegang kepada al-Kitab. Terbukti dengan makin berkembangnya pengikut jemaat GKII, baik di Kota Medan maupun di berbagai daerah di Indonesia. Hal demikian kemungkinan karena perubahan sikap di kalangan umat Kristen denominasi lain (bukan GKII) terhadap GKII. Rasa kebersamaan antar sesama umat Kristen yang samasama memiliki satu al-Kitab. Juga tidak lepas dari peran Pemerintah Daerah yaitu Pejabat Kantor Departemen Agama dan para tokoh atau pimpinan agama untuk melakukan pembinaan dan peningkatan kerukunan intern maupun antar umat beragama. Pada tanggal 29 November 2006 terbentuklah Badan Kerjasama Antar Gereja (BKAG) di Kota Medan. Para pengurus terdiri atas berbagai unsur/ kelompok baik dari agama Katholik maupun Kristen. Sebelumnya telah ada BAMA, tetapi tidak melibatkan agama Katholik dan stagnan. Dengan adanya BKAG maka BAMA melebur dan menyatu dengan BKAG. Organisasi yang baru terbentuk itu diharapkan benar-benar efektif untuk meningkatkan kerukunan khususnya internal umat Kristen dan umat beragama lainnya.
Tentang interaksi para pimpinan GKII dengan kelompok lain, terlihat cukup baik. Bahkan dalam kegiatan Jaringan Doa seKota Medan yang diadakan sebulan sekali, Benjamin Munthe selalu aktif sebagai pendukung kegiatan dengan menyertakan jemaatnya. Beberapa informan lain menuturkan, memang pada mulanya keberadaan GKII yang menonjolkan ajaran mengenai pemberantasan adat perkawinan Karo, dirasa meresahkan sebagian umat Kristen. Terlebih banyak anak muda yang tertarik mengikuti
214
215
Amerika Serikat. Keberhasilannya dalam melayani penyembuhan orang sakit tidak lepas dari peran aktif isterinya yang berprofesi sebagai dokter spesialis anak, yang membantu proses penyembuhan.
BAB IV PENUTUP
3. A. Kesimpulan
B
1.
erdasarkan hasil kajian tersebut di atas dapat disimpulkan beberapa hal berikut:
Latar belakang munculnya GKII adalah pengalaman spiritual/keagamaan pendirinya yakni DR. Pdt. Benjamin Munthe pada waktu menderita penyakit gagal ginjal. Menurut keyakinannya, penyakitnya sembuh atas Kuasa Tuhan berkat doa yang dilakukannya sebelum dioperasi. Kesembuhan penyakit lantaran doa yang dilakukannya itu disebutnya sebagai kesembuhan Ilahi. Pengalaman spiritual yang dialami Pdt. Benjamin Munthe itu juga memberinya inspirasi untuk melakukan Pelayanan Injil melalui kesembuhan Ilahi dengan cara berdoa. Karena orang yang dilayani semakin banyak dan memerlukan tempat untuk melakukan kebaktian, maka didirikan gereja dengan nama Gereja Kemenangan Iman Indonesia (GKII). Pemberian nama demikian berangkat dari pengalaman spiritual Pdt. Benjamin Munthe yang meyakini kesembuhan penyakitnya dengan kemenangan iman.
2. Tokoh pendiri GKII adalah DR. Pdt. Benjamin Munthe, lahir di Kabanjahe pada tanggal 29 Nopember 1941. Ia berasal dari etnis Karo dari marga Ginting Monthe, dengan latar belakang sosial tergolong kelas menengah. Pendidikan tinggi diraihnya dari pendidikan al-Kitab DR. Moris Cerullo di Amerika Serikat. Atas keberhasilannya mengelola GKII dan aktivitas pelayayan Injil kepada masyarakat/umat Kristen, ia mendapat penghargaan berupa gelar Doctor Honoris Causa dari
216
4.
Ajaran yang dikembangkan GKII pada dasarnya sama dengan ajaran yang dilakukan umat Kristen lainnya, yang sama-sama berdasarkan al-Kitab. Ajaran dimaksud antara lain: tentang keyakinan/keimanan, ibadah/kebaktian, dan ajaran tentang moral. Namun, secara spesifik ada ciri ajaran yang ditonjolkan dan dikembangkan, yaitu: baptisan selam, perkawinan dengan meninggalkan adat Batak/Karo, serta kesembuhan Ilahi. Sampai saat ini GKII telah menjangkau hingga 30 propinsi di Indonesia, dengan jumlah gereja 380 buah. Di Kota Medan, hingga saat ini terdapat 4 buah gereja GKII yang cukup besar dan 8 gereja yang tergolong kecil. Jumlah anggota GKII di Kota Medan mencapai sekitar 7.000 jemaat. Kalangan intern pemuka Kristen pada umumnya bersikap permisif terhadap keberadaan GKII. Semula mereka merasa resah atas keberadaan GKII karena meninggalkan adat Karo (misalnya pemakaian ulos – dalam upacara perkawinan), lambat-laun mereka tidak merasa resah dan tidak mempermasalahkan. Perubahan sikap tersebut dikarenakan mereka makin memahami dan menyadari bahwa adat perkawinan (antara lain ulos) itu bukan prinsip dalam ajaran agama, melainkan merupakan adat kebiasaan yang diwarisi dari nenek moyang.
B. Rekomendasi GKII yang salah satu ciri ajarannya yaitu meniadakan adat Karo dalam upacara perkawinan, sebenarnya cukup potensial bagi
217
kemungkinan timbulnya konflik intern umat Kristen karena masih ada, sementara kalangan umat Kristen –khususnya dari kalangan etnis Karo- yang menganggap adat perkawinan –seperti ulosmerupakan adat yang warisan Batak/Karo secata turun-temurun, sehingga perlu dilestarikan. Mewaspadai kondisi demikian maka diharapkan pihak Kantor Departemen Agama setempat bekerjasama dengan para tokoh/pimpinan agama terkait menggalang persatuan di kalangan umat Kristen, diantaranya dengan memfasilitasi BKAG agar melakukan kegiatan-kegiatan memperkokoh kebersamaan di kalangan mereka.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Arikunto, Suharsimi, 2002, Prosedur Penelitian – Sauatu Pendekatan Praktek, Jakarta, PT. Rineka Cipta, Edsisi Revisi V, Cet. Keduabelas. Creswell, John W., (Ed.: Aris Budiman), 2002, Research Design, Qualitative & Quantitative Approaches, Pendekatan Kualitatif & Kuantitatif, Jakarta, KIK Press, Edisi Revisi, Cet. Kedua. Kantor Departemen Agama Kota Medan, 2005, Data Jumlah Penduduk Menurut Agama, Medan, Kandepag Kota Medan. --------------- , 2005, Medan.
Data Rumah Ibadah, Medan, Kandepag Kota
--------------- , 2005, Data Jumlah Organisasi Gereja Kota Medan, Medan, Kandepag Kota Medan, Seksi Bimas Kristen Kandepag Kota Medan. Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sumatera Utara, 2006, Data Jumlah Penduduk Menurut Agama, Medan, Bidang Bimas Kristen Kanwil Depag Propinsi Sumatera Utara. Mantra, Ida Bagus, 2004, Filsafat Studi dan Metode Studi Sosial, Yogyakarta, Pustaka Pelajar. Moleong, Lexy J., 2004, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya. Sugiyono, 2001, Metode Studi Administratif, Bandung, Alfabeta.
218
219
PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI KOTA BANDA ACEH Oleh : Drs. H. Ahsanul Khalikin
220
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ebagian orang menerima propaganda yang menyatakan bahwa hukum pidana Islam sangat sadis, kejam, melanggar hak asasi manusia, dan telah kadaluarsa. Akibatnya ketika lahir keinginan untuk menerapkan syari'at Islam, muncul perdebatan antara yang pro dan kontra.
S
Daerah Nanggroe Aceh Darussalam berusaha meyakinkan masyarakat bahwa Islam adalah rahmatan lil'alamin dalam menegakkan supremasi hukum sehingga tidak perlu ada kekhawatiran terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Islam telah menentukan pilihan dengan menempatkan manusia pada tempat yang terhormat. Undang-undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam telah menghantarkan sebuah kepastian pelaksanaan hukum di Aceh, yaitu hukum syaria’at Islam. Elit politik beretorika merencanakan terwujudnya sistem peradilan yang dapat mengadili dan menyelesaikan perkara jinayat (kriminal). Pengadilannya dinamakan dengan Mahkamah Syari’ah. Berbagai persiapan dirancang untuk mewujudkannya. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang No. 35 Tahun 1999 tentang Kekuasaan Pokok-Pokok Kehakiman, di Indonesia ada empat macam jenis Peradilan; (1). Peradilan Umum; (2). Peradilan Agama; (3). Peradilan Militer; (4). Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk lingkungan Peradilan Agama keluar Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Ada tiga jenis kewenangan yang berbeda-beda. Untuk Pulau Jawa/Madura diberi nama dengan Peradilan Agama (Raad Agama) dengan kewenangan yang sangat terbatas (Stbt, 1882 No. 116).
223
Peradilan ini bertugas menyelesaikan masalah Perkawinan. Untuk sebagian Kalimantan Selatan berdasarkan hukum Stbt 1937 No. 638 mempunyai kewenangan tertentu pula. Selebihnya tunduk di bawah Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1957 yaitu penjabaran PP No. 29 Tahun 1957 yang khusus berlaku untuk daerah Aceh. Jadi PP No. 45 Tahun 1957 itu berlaku di luar Pulau Jawa/Madura dan di luar Kalimantan Selatan. Sistem Peradilan di Aceh telah ada bersamaan dengan berlakunya syari'at Islam dalam masyarakat Aceh. Sistem peradilan adalah salah satu komponen penting dalam hukum (syari'at). Aceh pernah mencapai zaman kejayaan pada masa silam, dan salah satu tanda kemajuan itu adalah terwujudnya kepastian hukum dan peradilan. Syariat Islam adalah sistem landasan hukum. Oleh karena itu jika hendak membangun syari'at Islam berarti membangun suatu sistem hukum dengan syarat-syaratnya yang harus dipenuhi. Pada zaman Sultan lskandar Muda mahkamah menjalankan syari'at Islam dengan menerapkan suatu sistem peradilan. Ada peradilan di tingkat Gampong, Mukim, Ulee balang dan tingkat tertinggi yaitu Sultan. Keempat tingkat peradilan ini mempunyai kewenangan masing-masing. Jenis-jenis sengketa/delik tertentu hanya diselesaikan di tingkat gampong. Dan dalam hal-hal tertentu diajukan banding ke tingkat mukim, dan ulee balang. Hal-hal yang sangat spesifik saja yang dapat diajukan kasasi ke tingkat Sultan. Penyelesaian semua sengketa/delik harus melalui damai, bukan melalui sebuah keputusan. Maka hasil penyelesaian di masing-masing tingkat peradilan tidak ada istilah menang atau kalah, semua pihak harus merasa puas, bahkan masyarakat umum pun harus merasa puas. Hakim majelis pada tingkat-tingkat peradilan ini tidak permanen. Pejabat yang permanen adalah Keuchik, lmum untuk tingkat gampong, Kepala Mukim, lmum Syiek
224
untuk tingkat Kemukiman, qadhi, ulama untuk tingkat ulee balang, qadhi malikul adil dan Sultan untuk tingkat kerajaan. Pejabat-pejabat ini bertindak sebagai hakim menurut tingkat dan jenis sengketa/delik yang dihadapi. Pejabat- pejabat permanen di bidang yudikatif ini akan melengkapi majelis hakim menurut kebutuhan dan perkara yang dihadapinya. Makin rumit masalah yang dihadapi makin selektif cerdik pandai yang diundang untuk menyelesaikan masalah yang diajukan dan bertindak sebagai majelis mahkamah. Yang menarik untuk direnungkan adalah bahwa pihak yang dihukum atau kalah, tidak merasa bahwa yang bersangkutan telah dihukum atau kalah. Hal ini disebabkan. Majelis Mahkamah dapat menghantarkan pihak-pihak yang tersangkut melalui proses penyelesaian damai, bukan putusan, meskipun dalam bidang jinayat sekalipun. Justru itu tidak ada kesan dendam, iri hati dan tidak perlu pula untuk melakukan kolusi. Setelah sekian lama mengikuti peradilan umum, sebagaimana daerah lainnya. Setelah keluar UU No 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus, maka di daerah Aceh diterapkan sistem peradilan yang berdasarkan Syari’at Islam, namun setelah beberapa tahun berjalan belum diketahui bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Melihat kondisi demikian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama merasa perlu melakukan kajian dan penelitian secara sistematik dan mendalam dengan harapan dapat dijadikan bahan bagi penyempurnaan pelaksanaannya. B. Masalah Penelitian Yang menjadi fokus masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimana pengertian syariat Islam menurut masyarakat di Kota Banda Aceh?
2.
Bagaimana bentuk pelaksanaan syariat Islam di Kota Banda Aceh selama ini?
225
3.
Apa saja kebijakan pemerintah daerah Kota Banda Aceh dalam rangka penegakkan syariat Islam?
tokoh masyarakat, dan masyarakat, tetapi juga dengan tokoh-tokoh kunci (opinion leaders).
4.
Respon masyarakat terhadap pelaksanaan syariat Islam di Kota Banda Aceh; dan pengaruh/dampak dilaksanakannya syariat Islam di Kota Banda Aceh?
2.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Sedangkan tujuan dan kegunaan penelitian ingin ; 1.
Mendiskripsikan pelaksanaan Syariat Islam di Kota Banda Aceh sesuai apa yang terjadi selama ini;
2.
Sebagai bahan informasi untuk kebijakan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam rangka penyempurnaan UU dan pelaksanaannya di Nangroe Aceh Darussalam.
D. Metodologi Penelitian 1.
Jenis dan Teknik Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif yang mendeskripsikan tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Kota Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik: (1) observasi dan telaah dokumen, (2) wawancara mendalam (in dept interview) terhadap responden terpilih. Observasi dan telaah dokumen dilakukan untuk mendapatkan bukti-bukti empirik berbagai perangkat aturan dan informasi tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Kota Banda Aceh Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Sedangkan wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara dilakukan agar data yang diperoleh terarah sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. Wawancara tidak saja dilakukan kepada beberapa orang pejabat, pakar hukum Islam, tokoh adat,
226
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh. Waktu penelitian adalah pada bulan September sampai dengan Nopember 2006. 3.
Prosedur pengumpulan data
Metodologi penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif, yang mencakup; digalinya sejumlah literatur, dokumentasi yang terkait dengan Peraturan dan kebijakan tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Kota Banda Aceh, laporan kajian yang terkait, pengurus organisasi keagamaan, tokoh dan warga masyarakat setempat, pejabat pemerintah setempat, serta kenyataankenyataan aktual yang ada hubungannya dengan tujuan penelitian ini. Teknik pengumpulan data: wawancara, telaah dukumen atau study text, dan pengamatan langsung. 4.
Analisa data
Data yang terkumpul dianalisis secara induktif, sekaligus mencoba untuk dipahami memahami dengan mengkaitkan antara aspek yang satu dengan aspek lainnya guna mempertajam pembahasan. Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh pemahaman (insight) yang menyeluruh (whole) dan tuntas (exhaustive) tentang aspek-aspek yang relevan dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. 5.
Triangulasi Data
Untuk mencari kebenaran data maupun penafsirannya peneliti juga melakukan triangulasi data terhadap responden atau informan kunci. Data tersebut diperoleh melalui wawancara serta teknik pengamatan secara langsung sehingga bila terdapat kekurangsuaian, dapat sesegera mungkin dilakukan pengulangan dalam
227
pengumpulan data, atau sama sekali tidak menggunakan informasi tersebut bila diduga tidak membantu memperkaya analisis. Penelitian ini juga dilakukan melalui pendekatan: multiapproaches yaitu kesejarahan, sosiologikal, dan textual. Analisis: comparative study (antara pandangan konservatif versus liberal. Teknik pengumpulan data: wawancara, telaah dukumen atau study teks. Informan: para pakar bidang syariat Islam, dosen IAIN Banda Aceh Fak. Syariah, Kepala Mahkamah Syariah Propinsi, Kepala Dinas Syariat Propinsi, Pimpinan Wilayatul Hisbah, dan beberapa informan lainnya.
Islam itu bersifat konkrit dan konstan yang terkait dengan proses turunnya wahyu dari Allah swt melalui Rasulullah saw yang langsung menjadi jawaban atas pertanyaan yang timbul atau langsung menjadi solusi terhadap aneka persoalan yang terjadi di masa kerasulan nabi Muhammad saw. Saat itu, setiap wahyu yang mengandung norma hukum baik yang berisi kaedah larangan (muharomat), kewajiban (fardu atau wajibat), anjuran positif (sunnah), anjuran negatif (makruh), ataupun kebolehan (ibahah), dapat disebut sebagai norma hukum (al-ahkaam) yang disebut dengan Hukum Islam.
E. Definisi Konseptual
Pada hirarki makna yang kedua, pengertian Hukum Islam itu dapat dikaitkan dengan masa sepeninggal Rasulullah saw, ketika dibutuhkan usaha pengumpulan dan penulisan wahyu Ilahi itu ke dalam satu naskah.
Jika pembahasan ini dibatasi pada pengertian hukum, maka perbedaan antara istilah Syari€at Islam dengan pengertian luas hukum syari€at harus jelas. Di samping itu, pengertian tentang hukum dalam arti fiqih harus ditata karena fiqih merupakan cabang ilmu ke-Islaman yang membahas masalah syari€at. Pengertian ‘fiqh€ itu harus dikembangkan secara rinci ke dalam pengertian ‘qanun€ yang berisi kaedah yang perlu dikukuhkan oleh sistem kekuasaan umum (negara). Dengan demikian, antara aspek isi atau esensi dan bentuk hukum (qanun) itu harus dipandang sebagai sesuatu yang niscaya dalam pemahaman mengenai proses penataan kembali pengertian mengenai hukum syari€at Islam. Sehubungan dengan digunakannya istilah-istilah hukum Islam, syari€at Islam, fiqh Islam, dan qanun Islam maka penting adanya Åhirarki makna€ dalam konsep-konsep mengenai hukum Islam tersebut. Melalui pendekatan hirarki makna, kita akan mengetahui bahwa istilah-istilah yang biasa digunakan dalam hubungannya dengan terminologi hukum Islam itu, tidak saja mengandung perbedaan pengertian semantik, tetapi memang berbeda secara konseptual dan maknawi karena perkembangan sejarah. Pada hirarki pertama, pengertian tentang norma atau kaedah hukum
228
229
BAB II GAMBARAN UMUM KOTA BANDA ACEH
Sementara di seluruh Aceh, prosentasenya adalah Islam sebanyak 98,72%, Protestan sebanyak 0,98%, Katolik sebanyak 0,14%, Hindu sebanyak 0,02%, dan Budha sebanyak 0,16%. Jumlah penganut masing-masing agama pada tahun 2004 di kota Banda Aceh adalah sebagai berikut: No
A. Sekilas tentang Nanggroe Aceh Darussalam Penelitian ini dilaksanakan di Kota Banda Aceh yang merupakan ibukota Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kota Banda Aceh terbagi ke dalam sembilan kecamatan, yaitu kecamatan Meuraksa, Baiturrahman, Kuta Alam, Syiah Kuala, Banda Raya, Jaya Baru, Lueng Bata, Kuta Raja dan Ulee Kareng. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik Kota Banda Aceh, penduduk kota Banda Aceh pada tahun 2002 berjumlah 225.996 juta jiwa. Dipilihnya kota Banda Aceh sebagai tempat penelitian tentang Pelaksanaan Syariat Islam bukan saja karena kota ini merupakan ibukota Propinsi, tetapi juga didasarkan atas berbagai pertimbangan lainnya. Salah satu alasan mendasar adalah karena penduduk kota Banda Aceh terdiri dari berbagai agama yang ada di Indonesia dan kesempatan masing-masing umat beragama untuk mengamalkan agamanya terbuka dengan lebar dibandingkan dengan situasi di kota dan kabupaten lainnya di propinsi NAD. Umat beragama, baik yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha melaksanakan aktifitas keagamannya di rumah ibadah masing-masing. Di kota Banda Aceh terdapat 90 buah masjid, 4 buah Gereja Protestan, 1 buah Gereja Katolik, 1 buah Kuil, dan 4 buah Vihara. Tabel di bawah ini menggambarkan bahwa prosentase penduduk kota Banda Aceh berdasarkan kelompok agama adalah: Islam sebanyak 98,30%, Protestan sebanyak 0,45%, Katholik sebanyak 0,48%, Hindu sebanyak 0,01%, dan Budha sebanyak 0,76%.
230
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kecamatan Meuraksa Banda Raya Jaya Baru Baiturrahman Lueng Bata Kuta Alam Kutaraja Syiah Kuala Ulee Kareng Jumlah
Islam
Kristen
Katholik Hindu
Budha
28.158 17.802 21.137 32.422 15.053 46.379 18.144 26.433 15.169 220.697
-
-
-
-
276 994 63 45 1.536
260 11 998 50 99 1.308
30 245
373 1.967 133 2.473
Sumber: Departemen Agama Kota Banda Aceh
B. Implementasi Syariat Islam di NAD Landasan yuridis pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Naggroe Aceh Darussalam mengacu kepada Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus untuk Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada ayat 2 pasal 4 undang-undang nomor 44 tahun 1999 disebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan mengembangkan dan mengatur penyelenggaraan kehidupan beragama adalah mengupayakan dan membuat Kebijakan Daerah untuk mengatur kehidupan masyarakat yang sesuai dengan ajaran Islam serta meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Disamping itu, pemeluk agama lain dijamin untuk melaksanakan ibadah agamanya sesuai dengan keyakinan masing-masing”. Pada tahun 2000, pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Aceh mengeluarkan peraturan Daerah Nomor 5
231
tentang Pelaksanaan Syariat Islam di propinsi NAD sebagai penjabaran dari kedua undang-undang di atas. Menindaklanjuti amanat undang-undang dan PERDA tersebut, maka pada tahun 2001 Pemerintah Daerah mengeluarkan PERDA Nomor 33 yang berisikan tentang pembentukan Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Dinas Syariat Islam di Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Kepala Kantor Dinas ini menduduki jabatan eselon II.a. Dinas ini bertugas dan bertanggung jawab untuk mempersiapkan dan mengurusi berbagai hal yang berkaitan dengan pelaksanaan syariat Islam di propinsi ini. Salah satu kegiatan yang menonjol dari Dinas ini adalah mempersiapkan berbagai qanun (Peraturan Daerah) yang berkaitan dengan syariat Islam. Dalam PERDA Nomor 5 disebutkan bahwa pelaksanaan Syariat Islam di Aceh meliputi: aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyah/amar ma’ruf nahi munkar, baitul mal, kemasyarakatan, syiar islam, pembelaan islam, qadha, jinayat, munakahat dan mawaris. Sejak syariat Islam diberlakukan hingga penelitian ini dilaksanakan pemerintah daerah melalui Dinas Syariat Islam telah menghasilkan beberapa qanun yang kesemuanya telah disahkan oleh DPRD. Qanun-qanun tersebut adalah qanun nomor 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam, nomor 11 tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, nomor 12 tahun 2003 tentang minuman khamar dan sejenisnya, nomor 13 tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat (mesum). Untuk mengimplementasikan syariat Islam dalam kehidupan sosial maka diperlukan sebuah institusi yaitu Wilayatul Hisbah (WH) sebagai badan pengawas yang membantu polisi. WH yang dibentuk berdasarkan Qanun nomor 11 tahun 2002 selain bertugas mensosialisasikan syariat Islam dan sebagai pengawas agar masyarakat mematuhi peraturan yang ada serta membina pelaku pelanggaran agar mematuhi qanun yang telah diatur.
232
Pada tahun 2003, Dinas syariat Islam propinsi NAD mulai merekrut anggota yang bertugas sebagai WH. Karena fungsinya sebagai pengawas maka kepada anggota WH diberikan dan dilatih ilmu-ilmu dasar kepolisian sehingga mereka lebih dikenal oleh masyarakat dengan sebutan “Polisi Syariat”. Pada saat WH melakukan aktifitas lapangan seperti melakukan razia dan pembinaan, aktifitas WH ini didampingi oleh anggota kepolisian yang berasal dari Polres Banda Aceh dibawah koordinasi Kaba. Bina Mitra yang berpangkat Ajun Komisaris Polisi. Ada beberapa aspek yang layak diamati dari pelaksanaan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di kota Banda Aceh, yaitu busana muslimah dan razia yang dilakukan oleh WH. Bagi sebagian besar masyarakat, busana muslimah telah menjadi sebuah simbol identifikasi diri seorang wanita bahwa ia adalah seorang muslimah. Demikian pula halnya di Aceh para wanita banyak yang memakai busana muslimah. Terlepas dari faktor yang melatarbelakangi mereka memakai jilbab – kesadaran agama atau takut pada razia – sejak busana muslimah menjadi salah satu aturan yang tertuang dalam qanun, kuantitas wanita yang memakai busana muslimah semakin meningkat di Banda Aceh. Aktifitas WH tidak terbatas pada razia busana muslimah tetapi juga pada perilaku khalwat (mesum). Dengan dibantu oleh aparat keamanan (TNI dan Polri) WH sering melakukan razia di daerah-daerah yang sering menjadi tempat berkumpulnya muda mudi seperti tempat-tempat rekreasi. Mereka yang tertangkap sedang berkhalwat akan ditangkap dan dilepas kembali setelah menandatangai surat pernyataan tidak akan mengulangi lagi, kemudian orang tua atau wali harus menjemputnya. Demikian pula tentang penerapan qanun nomor 11 tahun 2002 pasal 7-11 tentang shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan bulan Ramadhan meskpun hal ini sudah menjadi kebiasaan masyarakat Aceh. Pada hari Jum’at, misalnya menjelang shalat jum’at aktifitas toko, kedai, dan angkutan umum harus dihentikan. Pasal ini bukan
233
hal baru, namun sebagai upaya legalitas terhadap kebiasaan yang telah dijalankan oleh orang Aceh selama ini. Aspek lainnya yang menonjol dari pelaksanaan syariat Islam adalah penulisan nama kantor, toko, dan badan usaha dengan menggunakan huruf Arab Melayu, sebagaimana yang tertuang pada qanun Nomor 11, pasal 12 tahun 2002. Akibat dari aturan tersebut seluruh nama kantor pemerintah dan sebagian besar nama toko di Banda Aceh ditulis dengan menggunakan huruf Arab Melayu. Namun karena kaidah penulisannya belum ada yang baku dan seragam, maka sering kali terjadi perbedaan penggunaan huruf antara nama satu instansi dengan instansi lain. Di Banda Aceh banyak nama toko yang pemiliknya adalah WNI keturunan Cina dan bukan beragama Islam menuliskan nama tokonya dengan menggunakan huruf Arab Melayu. Salah seorang pemilik toko WNI keturunan tersebut mengatakan bahwa “Selama ini tidak ada pemaksaan kepada kami untuk menulis nama toko dengan huruf itu. Kami tidak ada masalah dengan huruf Arab, yang penting kita bisa hidup aman”1. Menurutnya, ia belum pernah membaca SK Gubernur nomor 47 tahun 2001 dan qanun nomor 11 tahun 2002 yang berisikan tentang penulisan nama dengan huruf Arab Melayu. Ia hanya ikut-ikutan menulis karena melihat beberapa toko dan instansi pemerintah telah menulis nama bangunannya dengan huruf tersebut. Demikian pula halnya dengan toko makanan dan restoran yang pemiliknya adalah WNI keturunan Cina dan non-muslim mengatakan bahwa selama penerapan Syariat Islam di NAD hasil dagangannya tidak mengalami penurunan. Artinya, jumlah pelanggannya yang notabene adalah beragama Islam tetap datang mencari makanan ke toko milik mereka, walaupun beda agama.
1 Informan adalah seorang wanita pemilik sebuah apotik di Banda Aceh. Ia tidak ingin namanya disebutkan.
234
Ketika syariat Islam akan diberlakukan di Aceh, ada perasaan ketakutan di masyarakat Aceh, khususnya penduduk yang bukan beragama Islam. Perasaan ketakutan ini adalah wajar mengingat bahwa keyakinan agama merupakan hak asasi manusia yang paling fundamental dalam kehidupan manusia. Salah satu pertanyaan pokok yang sering dipertanyakan adalah tentang bagaimana posisi penganut non-muslim dalam penerapan syariat Islam di NAD. Selain pertanyaan di atas, juga muncul perasaan ketakutan terhadap “Syariat Islam” bahwa di Aceh akan segera diterapkan hukum qishas, potong tangan, dan rajam bagi semua orang yang melakukan tindak kejahatan. Ketakutan yang terakhir ini bukan hanya dihinggapi oleh masyarakat non-Islam tetapi juga dialami oleh penduduk yang beragama Islam. C. Kehidupan Masyarakat Non-Muslim Pemberlakuan syariat Islam di Aceh sebagai sebuah aturan hukum hanya ditujukan kepada umat Islam. Dengan kata lain, penduduk yang bukan beragama Islam tidaklah terkena dengan qanun-qanun yang telah disebutkan diatas. Hal ini disebutkan dengan jelas dalam ayat 2 Pasal 2 PERDA Nomor 5 tahun 2000 yaitu: “Keberadaan agama lain di luar agama Islam tetap diakui di daerah ini, dan pemeluknya dapat menjalankan agamanya masing-masing”. Secara umum penelitian ini menemukan bahwa penerapan syariat Islam di NAD sesuai dengan qanun-qanun yang telah tersebutkan di atas tidaklah menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan antar umat beragama di Banda Aceh. Dengan kata lain, sejak diterapkannya qanun-qanun tersebut, masyarakat yang bukan beragama Islam tidak terganggu dengan qanun-qanun tersebut2. 2
Pada tahun 2001, yayasan Ukhuwah, sebuah LSM yang bergerak di bidang kajian sosial di Banda Aceh, mengadakan lokakarya sosialisasi syariat Islam kepada tokoh dan pemuka agama non Islam di Banda Aceh. Dalam acara tersebut sebagian besar pemuka agama non Islam menyatakan tidak keberatan diberlakukan syariat Islam di Aceh, yang penting jangan diterapkan hukum cambuk dan potong tangan (wawancara dengan Direktur LSM Ukhwah.
235
Bahkan mereka turut berpartisipasi dalam rangka mensukseskan pelaksanaannya. Walaupun demikian, karena penerapan syariat Islam di Aceh mengandung unsur-unsur politis yaitu sebagai salah satu cara untuk meredam konflik Aceh yang berkepanjangan, maka Pastor Ferdinando Severi yang merupakan pemuka agama Katolik pernah berkomentar bahwa penerapan syariat Islam di Aceh bersifat memaksa, karena masyarakat tidak pernah dimintai pendapat kepada rakyat (referendum) sehingga proses demokrasi tidak terjadi didalamnya (Tabloit Suluh, edisi 16-31/8/2003). Dari perspektif yang lain, pendapat pastor Ferdinando dapat dipahami sebagai sebuah kecemasan akan terganggunya kerukunan hidup atar umat beragama yang telah terbina selama ini. Aspek lainnya yang diatur dalam qanun no. 11 tahun 2002 adalah tentang kewajiban menutup toko pada waktu salat Jum’at3. Jauh sebelum aturan tersebut dituangkan dalam bentuk qanun, para pedagang di kota Banda Aceh baik yang muslim maupun nonmuslim telah menutup toko-toko mereka menjelang tiba waktunya untuk melaksanakan salat Jum’at. Hal ini merupakan bukan hal yang baru. Seorang pedagang alat-alat mobil WNI keturunan Cina mengungkapkan bahwa ia tidak keberatan sama sekali terhadap aturan penghentian aktifitas perdagangan menjelang dan pada salat Jum’at berlangsung. Karena selama 26 tahun kebiasaan menutup toko pada waktu tersebut telah ia lakukan. Ketika peneliti bertanya apakah ia pernah membaca qanun yang mengatur hal tersebut, ia mengatakan bahwa ia belum pernah membaca aturan tentang hal itu sebagaimana yang diatur dalam qanun nomor 11 tahun 2002.
3 Dalam Pasal 8, ayat 2 qanun nomor 11 tahun 2002 disebutkan bahwa :€Setiap orang, instansi pemerintah, badan usaha dan atau/institusi masyarakat wajib menghentikan kegiatan yang dapat menghalangi atau mengganggu orang Islam melaksanakan shalat JumÅat€.
236
Sejak diberlakukannya syariat Islam, mayoritas perempuan Aceh yang telah berusia remaja dan dewasa jika hendak keluar rumah harus mengenakan penutup kepala yang disebut jilbab. Jilbab di Aceh pada masa kini dapat dipandang sebagai sebuah simbol identitas diri yang sekaligus berfungsi sebagai pembeda antara wanita Islam dengan wanita non-muslim. Dengan kata lain, jika ada perempuan telah remaja keluar rumah tidak menggunakan jilbab, maka orang yang melihatnya akan bertanya-tanya “apakah dia Islam atau non-muslim?”. Jilbab sebagai sebuah identitas diri wanita Islam di era pelaksanaan syariat Islam juga dibenarkan oleh seorang anggota WH yang sering melakukan razia jilbab. Menurutnya, anggota WH yang sedang melakukan razia jilbab harus berhati-hati ketika bertemu dengan perempuan yang tidak memakai jilbab “apakah anda beragama Islam?”. Jika ternyata wanita tersebut mengatakan bahwa dirinya bukan muslim, maka anggota WH akan minta maaf dan mempersilahkannya untuk melanjutkan perjalanan. Sebaliknya, jika wanita tersebut beragama Islam namun tidak memakai jilbab berpakaian amat ketat, maka wanita tersebut akan dicatat identitas dirinya atau dibawa ke kantor Dinas Syariat Islam untuk diberi nasehat agar mematuhi aturan Islam4. Sejak diberlakukannya Syariat Islam di Aceh, pelajar putri di sekolah negeri dan swasta dari tingkat SMP hingga SMA diharuskan memakai seragam sekolah berbusana muslimah. Beberapa Sekolah Dasar juga menerapkan aturan berbusana muslimah untuk siswa kelas IV hingga kelas VI. Namun aturan ini tidak berlaku untuk pelajar putri non-muslim. Mereka tidak diwajibkan memakai seragam busana muslimah. Salah seorang pelajar putri non-muslim yang belajar di SMA Negeri 1 Banda Aceh mengungkapkan bahwa ia tidak merasa “berbeda”, guru dan teman-temannya juga tidak
4 Wawancara dengan Muhammad Najmi, S.Ag. anggota Wilayatul Hisbah (WH) Dinas SyariÅat islam Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
237
membedakan dirinya dengan pelajar lain dalam mengikuti pelajaran dan berinteraksi sesama pelajar. Dalam hal mengontrak rumah atau membeli tanah, masyarakat non-muslim selalu menghadapi kendala. Bapak Drs. Holomoa Balau Koordinator Penyuluh Agama Katholik mengungkapkan bahwa jamaahnya sulit mendapatkan rumah sewa di Banda Aceh. Sering kali terjadi setelah proses negosiasi berlangsung dan masing-masing pihak telah sepakat. Ketika pemilik rumah atau tanah mengetahui bahwa yang membeli tanah atau menyewa rumah bukan muslim, maka kesepakatan tadi dibatalkan. Apa yang diungkapkan oleh Koordinator Penyuluh Agama Katolik tentang pengalaman hidup masyarakat non-muslim di Banda Aceh merefleksikan “kegundahan” masyarakat non-muslim tentang eksistensi mereka di Provinsi NAD sejak dimulainya penerapan syariat Islam. Sebenarnya masalah mereka disebabkan oleh kekalahan dalam kuantitas, bukan karena Aceh telah berlaku syariat Islam. Demikian pula halnya dengan jabatan untuk eselon yang lebih tinggi, sebenarnya jauh sebelum syariat Islam diterapkan, jabatan-jabatan seperti itu memang hampir tidak pernah diberikan kepada masyarakat non-muslim. Masalah-masalah yang dihadapi oleh non-muslim sebenarnya telah berlangsung lama sebelum syariat Islam diberlakukan.5 Namun karena di Propinsi NAD telah diberlakukan syariat Islam, maka pemberlakuan syariat Islam dijadikan alasan pembenaran. D. Sistem Peradilan Zaman Penjajah Penjajah Belanda berhasil memisah-memisahkan hukum di Indonesia. Hukum di pulau Jawa berbeda dengan di luar pulau 5
Sebuah pengalaman dituturkan oleh Bapak Zikri bahwa ada sebuah kavling tanah akan terjual di sebuah komplek perumahan. Namun ketika penjual mengetahui bahwa calon pembelinya bukan beragama Islam, padahal harga tanah yang ditawar oleh calon pembeli di atas harga rata-rata, maka pemilik tanah tersebut enggan menjualnya. Peristiwa ini telah berlangsung lama, tahun 1991, jauh sebelum formalisasi syariat Islam di Propinsi NAD.
238
Jawa, baik hukum acara maupun hukum materil lainnya. Alasannya terkesan dicari-cari. Kemudian Belanda membeda-bedakan jenis peradilan. Dalam satu keluarga jenis peradilannya bisa berbeda. Orang-orang yang menyatakan tunduk kepada hukum Belanda akan berhadapan dengan peradilan khusus, sedangkan orang biasa (inlander) akan berhadapan dengan peradilannya yang telah dirumuskan dalam perundang-undangan. Dalam hukum pidana Belanda berusaha menyatukannya dalam hukum materi KUHP di bawah satu jenis peradilan. Keadaan inilah yang telah menghilangkan semangat untuk menyelesaikan perkara-perkara pidana (jinayat) di tingkat gampong, mukim dan tingkat-tingkat di atasnya secara damai. E. Sistem Peradilan Zaman Kemerdekaan Usaha untuk mengembalikan suatu sistem peradilan yang sesuai dengan sistem masyarakat terus diusahakan. Pemerintah Indonesia menanggapinya dengan menetapkan direktorat pertama di bawah Departemen Agama adalah bidang pembinaan peradilan agama. Pemerintah mempersempit kewenangan mahkamah yang telah berlaku di seluruh nusantara sebelum Indonesia merdeka. Mahkamah ini tidak mampu lagi memberikan penyelesaian yang melegakan semua pihak sehingga kewenangannya dikurangi. Sekarang ini masyarakat Aceh meminta kewenangan mahkamah untuk dikembalikan. Mahkamah yang disebut dengan Mahkamah Syari'ah meminta agar semua sengketa/delik yang dilakukan oleh umat Islam diselesaikan seperti yang pernah berlaku pada zaman dahulu. Mahkamah Syari'ah bermaksud akan memberikan "kedamaian" bukan memberi putusan. Mahkamah Syari€ah di Aceh yang bermaksud menyelesaikan sengketa pidana berdasarkan Undang-Undang dan sejumlah qanun bukan kewenangan baru. Mahkamah Syari€ah/Peradilan Agama di seluruh Indonesia pernah menyelesaikan perkara jinayat. Selama ini Peradilan Agama sering menangani sengketa yang pembuktiannya
239
berada dalam bingkai hukum acara pidana. Peradilan Agama sering menangani sengketa suami-isteri yang saling pukul/aniaya. Juga masalah perceraian apakah sudah dukhul atau belum. Hal itu kemudian dibuktikan dengan visum et repertum. Kewenangan Mahkamah Syari’ah mengadili kasus jinayat bukanlah pekerjaan baru. Para hakim diberi semangat untuk memperluas wawasan untuk meningkatkan percaya diri dalam menyelesaikan perkara-perkara jinayat. Mereka tidak perlu melakukan magang di peradilan lain. Hakim pada Pengadilan Agama telah memiliki ilmu yang cukup, namun banyak yang perlu diberikan berupa ketajaman menganalisa delik pidana untuk membuktikan unsur-unsur delik yang diajukan. Sebagai contoh Undang-Undang No, I Tahun 1974 tentang kewenangan Peradilan Agama untuk menyelesaikan delik pidana. Undang-undang yang mengatur tentang perkawinan ini menyebutkan bahwa segala yang diatur dalam Undang-Undang ini akan diselesaikan oleh Peradilan Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam dalam menjalankan Otonomi Khusus bidang penegakan hukum dan syari'at Islam, mengganti nama Pengadilan Agama dengan Mahkamah Syari’ah dengan kewenangan yang luas. Keluasan ini mencakup kewenangan yang selama ini diselesaikan oleh pengadilan agama ditambah dengan bidang mu'amalat dan jinayat di kalangan umat Islam di Aceh. F. Bentuk Peraturan Hukum (Qanun) Sehubungan dengan itu, maka pengakuan dan penerimaan negara terhadap keberadaan sub-sistem hukum syari’at Islam di Indonesia, memerlukan format atau bentuk hukum tertentu yang disepakati bersama. Dalam Pasal 2 Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan PerundangUndangan, disebutkan adanya tata urutan yang mencakup UUD, Ketetapan MPR, Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, dan Peraturan Daerah. Dalam Pasal 2 ayat (7)
240
Ketetapan MPR tersebut ditegaskan bahwa Peraturan Daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya, dan menampung kondisi khusus dari daerah yang bersangkutan. Memang benar, berdasarkan prinsip Ålex superiore derogat lex infiriore€ maka secara hirarkis peraturan perundangundangan tingkat bawah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tingkatannya lebih tinggi. Namun, dalam hukum juga berlaku prinsip Ålex specialis derogat lex generalis€ yang artinya peraturan khusus dapat mengesampingkan berlakunya peraturan yang bersifat umum. Karena itu, meskipun sudah ada peraturan yang tingkatannya lebih tinggi yang mengatur suatu hal, tetapi jika misalnya kondisi khusus Daerah Istimewa Aceh menghendaki ketentuan yang khusus dan berbeda, maka kekhususan itu dapat ditampung pengaturannya dalam bentuk Peraturan Daerah. Peraturan Daerah itu sendiri untuk daerah propinsi dibuat oleh DPRD bersama Gubernur, sedangkan untuk daerah kabupaten/kota dibuat oleh DPRD setempat bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah itu termasuk di dalamnya Peraturan Desa atau yang setingkat dapat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau yang setingkat menurut tata cara pembuatan peraturan desa atau yang setingkat yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Ketentuan mengenai tata cara pembuatan Peraturan Daerah ini, seperti ditentukan dalam Pasal 6 TAP No.III/MPR/2000 tersebut lebih lanjut diatur dengan undang-undang. Akan tetapi, jiwa dan semangat kebijakan otonomi daerah itu menghendaki tumbuhnya kemandirian dan inovasi dari bawah. Sesuai dengan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, masyarakat dan pemerintah di daerah tidak perlu menunggu petunjuk, arahan ataupun peraturan-peraturan pusat. Sebelum peraturan pusat yang diperlukan itu ditetapkan, daerah diperbolehkan membuat dan menetapkan sendiri peraturan daerah menurut kebutuhan. Jika peraturan pusat telah dikeluarkan,
241
peraturan daerah itu disempurnakan sehingga tidak bertentangan dengan peraturan pusat. Artinya, semangat yang dikandung dalam kebijakan daerah seirama dengan peraturan yang disusun oleh daerah. Pemberlakuan syari€at Islam di Aceh telah ditetapkan melalui Undang-Undang yang bersifat khusus yang memungkinkan hal itu dilaksanakan segera. Karena itu, sejak berlakunya kebijakan otonomi daerah dan Undang-Undang khusus tersebut, pembentukan Peraturan Daerah yang berisi materi hukum syari€at Islam sudah dapat segera dilakukan di Aceh. Tinggal lagi tugas para pakar membantu Gubernur dan para anggota DPRD di Aceh untuk menyusun agenda perancangan yang rinci berkenaan dengan pembentukan Peraturan Daerah tersebut. Idealnya, Peraturan Daerah itu tidak lagi mengatur hukum syari€at Islam dalam judul besarnya melainkan sudah mengatur hal-hal yang rinci dan spesifik. Misalnya ada PERDA khusus berkenaan dengan sistem perbankan syari€at, ada PERDA tentang Hakam dan Arbitrase Mu€amalat, ada PERDA tentang Tijaroh, ada PERDA tentang Waqf, ada PERDA tentang Wisata Ziarah, ada PERDA tentang Sandang Pangan, dan sebagainya. Semuanya memuat substansi tentang hukum syari€at Islam itu secara konkrit. Dalam sistem hukum Islam, status peraturan daerah itu sama dengan ‘qanun’ yang merupakan pelembagaan resmi materi fiqh Islam. Demikianlah beberapa contoh yang dapat diperbincangkan berkenaan dengan upaya melakukan elaborasi terhadap pengertian kita mengenai hukum syari€at Islam yang harus dituangkan dalam bentuk Peraturan Daerah itu. Dengan demikian, di era reformasi ini terbuka peluang yang luas bagi sistem Hukum Islam untuk memperkaya khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah pembaruan dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersifat mengadopsi tradisi sistem Hukum Islam untuk dijadikan norma hukum positif dalam sistem Hukum Nasional kita. Bahkan, dapat pula dipikirkan kemungkinan
242
mengembangkan inovasi atau ijtihad-ijtihad baru di lapangan hukum yang lebih luas, misalnya di lapangan hukum pidana ataupun hukum tatanegara. Sebagaimana kita dapat mengadopsi berbagai pemikiran dan tradisi hukum barat ataupun hukum asing lainnya yang positif bagi perkembangan hukum di Indonesia, kita juga dapat mengadopsi sistem dan tradisi Hukum Islam yang didasarkan atas kesadaran iman bangsa Indonesia yang dikenal sebagai bangsa pemeluk agama Islam terbesar di dunia dewasa ini. G. Proses penegakan dan nilai universal Salah satu tugas mulia yang dipikul oleh masyarakat dan Pemda NAD, khususnya Dinas Syari€at Islam adalah memuluskan program penerapan syari€at Islam secara substantif. Beberapa alasan logis tanggung jawab yang sangat mulia tersebut; Pertama, perlu dipahami bahwa sejak pasca era Rasul dan Khulafaur Rasyidin, sampai detik ini belum ada satu pola penerapan syari€at Islam yang kaaffah (totalitas) dan dapat dijadikan cetak biru (blue print) bagi pemberlakuan syariat Islam di Aceh. Meski Arab Saudi, Iran, Sudan atau Pakistan mengaku sebagai negara yang menerapkan syari€at Islam, tapi kenyataannya ukuran totalitas tersebut masih diragukan. Substansi syari€ah yang coba ditegakkan berbeda dari satu tempat dengan tempat lainnya sesuai dengan pandangan umum yang berlaku di tempat itu. Jika NAD mengkopi ‚mentah-mentahƒ pola penegakan syari€at Islam di negara-negara tersebut, maka tentu akan timbul persoalan spesifik mengingat bahwa secara sosio-kultural negara-negara itu berbeda dengan Aceh. Karena itu, masyarakat NAD harus berangkat dari ‚nolƒ. Inilah tugas berat yang diemban seluruh masyarakat Aceh; Kedua, perkembangan zaman yang senantiasa bergerak progresif dan dinamis telah melahirkan beragam tantangan yang jumlahnya tidak sedikit. Era industri yang kemudian disusul dengan revolusi di bidang informasi dan teknologi pada akhirnya terbukti sukses menyebarkan pahampaham konstruktif maupun destruktif. Tanpa terasa duniapun menjadi kian sempit dibuatnya. Virus-virus konsumerisme,
243
hedonisme maupun materialisme serasa tidak terbendung mewabah dan merasuki pikiran manusia di berbagai pelosok dunia, termasuk di Aceh, tanah tercinta. Karena itu tidak tidak mengherankan jika anak-anak lebih kenal dengan Doraemon, Sinchan, atau Spiderman dibanding dengan Umar bin Khatab atau Ali bin Abi Thalib. Tidak perlu takjub bila anak-anak gadis lebih mengidolakan Britney Spears, Mariah Carey atau Janet Jackson daripada Khadijah Al-Kubro, ‘Aisyah atau Fatimah. Anak-anak lelaki juga lebih suka meniru gaya hidup Jamrud, Slank, Sheila on 7, Guns and Roses atau West Life, dibanding dengan meneladani sirah Rasulullah saw dan para sahabat. Contoh-contoh di atas merupakan contoh kecil, sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh lain yang bisa diangkat untuk menggambarkan betapa beratnya tugas menjalankan syari’at Islam secara sempurna (kaffah) karena hal ini berkenaan dengan proses bagaimana mengubah cara pandang dunia (world view) seseorang. Beranjak dari pemikiran tersebut maka dapat dipahami bahwa sesungguhnya implementasi syari’at Islam secara kaffah memang tidak bisa dilaksanakan dengan instan dan siap saji layaknya indomie. Terutama ketika penguasa dan pengelola badan penegakan hukum syari’ah belum menguasai secara kaffah substansi nilai Islam yang menyeluruh. Tanggung jawab mulia ini pada hakikatnya adalah sebuah proses panjang berliku-liku sehingga memerlukan waktu untuk bisa menikmati hasilnya. Parameter yang dipakai juga tidak bisa dihitung sebulan-dua bulan atau setahun-dua tahun, akan tetapi kira-kira 10 atau 15 tahun yang akan datang. Penilaian bahwa implementasi syari’at Islam di Aceh masih belum menunjukkan hasil yang signifikan –meski bisa dimaklumi dari cara pandang parsial (sepotong-sepotong) seperti telah disinggung di awal tulisan ini- adalah tidak rasional bila kita mau berpikir secara komprehensif. Namun demikian bukan berarti
244
bahwa munculnya persepsi sedemikian rupa adalah negatif dan patut dicurigai. Yang perlu dipahami adalah bahwa pemikiran tersebut merefleksikan betapa rakyat Aceh senantiasa peduli dan kritis dengan masa depan daerah mereka. Di samping itu, persepsi tersebut merupakan masukan-masukan terbaik bagi Pemerintah Daerah NAD, khususnya Dinas Syari€at Islam dalam menjalankan tugas-tugasnya. Yang penting untuk dijadikan catatan, meskipun blue print penjalanan syari€at Islam secara kaffah sulit ditemukan seperti yang telah diuraikan, bukan berarti kemudian harus pesimis untuk menerapkannya. Sebab nilai-nilai universal pasti bisa hidup dimana saja dan diterima dengan terbuka oleh semua pihak. Namun diperlukan kesadaran kolektif, semangat optimistis, keterpaduan langkah dan kerjasama yang baik antar seluruh elemen dalam masyarakat Aceh, maka implementasi Syari€at Islam secara komprehensif dapat direalisasikan. Pemegang otoritas untuk penegakan syari€ah di Aceh perlu memahami dan mengakomodasi isu-isu kontemporer yang dijunjung tinggi oleh masyarakat sedunia mulai dari Hak Asasi Manusia (HAM), penghormatan terhadap status wanita (gender), pluralisme dan sebagainya. Hal ini dirasa sangat krusial mengingat semua pihak mendambakan wajah Islam yang tersenyum (The Smiling Islam) dan rahmatan lil Åalamin, Bukan Islam eksklusif, kaku (rigid), ketinggalan zaman (out of date) atau menyeramkan. Tentu ini akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi umat Islam di seantero jagat raya, bila Aceh menjadi pelopornya. Proses qanunisasi hendaknya menjadikan kemaslahatan masyarakat banyak sebagai salah satu inspirasi pokok yang didukung dengan pemahaman komprehensif mengenai aspek sosiokultural masyarakat Aceh dan bukan hanya sekadar copy paste pemikiran-pemikiran dari para ulama muslim klasik. Mengapa? Karena pemikiran-pemikiran ijtihadi mereka –tanpa mengurangi apresiasi yang mendalam terhadap sumbangsih yang mereka
245
berikan- sudah barang tentu tidak lahir dari ruang hampa. Artinya, produk-produk ijtihadi mereka yang biasanya kita kenal dengan istilah fiqh sangat besar kemungkinannya dipengaruhi oleh kondisi sosio-kultural di mana mereka berdomisili. Dengan demikian belum tentu kesemuanya cocok untuk diakomodir atau bahkan dibakukan sebagai qanun lalu dinikmati oleh masyarakat Aceh. Maka perlu kehati-hatian dan kejernihan langkah. Perjalanan Aceh menggapai idealismenya menggapai masyarakat Islami dengan nilai-nilai universal memang tidak serta merta dapat terwujud dan diketahui hasilnya cukup membalikkan tangan, namun memerlukan proses panjang, bertahap (gradual) dan serba berliku. Inilah yang seharusnya dimaklumi dan dipahami oleh penguasa dan seluruh masyarakat Aceh. Menegakkan nilai-nilai Islami yang substansial disertai dengan pengalihan kepemilikan dan otoritas kepada masyarakat akan melahirkan pengamalan Islam yang kaffah, inklusif, kompatibel dengan nilai-nilai universal, sebuah wujud dari “The Smiling Islamƒ. Sebaliknya, jika sekedar penggunaan simbol-simbol dan jargon Islam hanya akan menguntungkan kelompok penguasa, meminggirkan, dan merusak nilai-nilai Islam yang universal tersebut. Rasulullah Saw sendiri sebagai manusia pilihan yang diutus ke dunia memerlukan proses panjang dan tidak sekali jadi. Namun dengan optimisme dan kesabaran yang tinggi di bawah bimbingan langsung Allah Swt, beliau akhirnya mampu menjalankan misi nubuwah dan tercatat dalam tinta emas sebagai orang yang paling berpengaruh dalam lintasan sejarah manusia.
246
BAB III HASIL KAJIAN PELAKSANAAN SYARI€AT ISLAM DI KOTA BANDA ACEH
A. Hasil Kajian Masyarakat Aceh identik dengan Islam, pelaksanaan syariat Islam adalah bagian dari tradisi masyarakat Aceh. Ungkapan yang menyatakan bahwa hukum dengan adat seperti zat dengan sifat sudah menjadi tradisi kehidupan sehari-hari. Syariat Islam telah menjadi bagian tradisi kehidupan sehari-hari dan orang tidak mempermasalahkan. Istilah syariat Islam ini muncul setelah ada tawaran dari pemerintah Indonesia yang mengusulkan damai di Aceh dengan solusi pelaksanaan syariat Islam. Ketika Gubernur Abdullah Puteh menerima tawaran itu, beliau mendeklarasikan bahwa Aceh akan melaksanakan syariat Islam. Setelah itu orang banyak membicarakan, meskipun sebelumnya orang sehari-hari telah melaksanakan syariat Islam. Setelah itu dibentuklah Dinas Syari€ah, di bentuk qanun, sehingga orang melihat syariat Islam telah terbentuk dalam qanun dan ditetapkan dalam syariat Islam. Masalah yang muncul yaitu ketika diterapkan hukuman cambuk pertama kali di Bireun, sempat menarik perhatian masyarakat Internasional. Para wartawan-wartawan baik dalam negeri maupun asing datang untuk menyaksikan. Penggunaan jilbab bagi perempuan sebagai salah satu yang ditekankan syariat Islam untuk menghindarkan diri dari mengumbar aurat bagi perempuan, melarang khalwat, judi dan hamar. Konsekuensi dari pemberlakukan ini mengundang pertanyaan masalah hukum dan memunculkan kesan yang melanggar syariat Islam akan diberikan
247
hukuman. Ketika dikonfrontir dengan Dinas Syariat Islam, dijelaskan bahwa di Aceh akan diterapkan syariat Islam secara keseluruhan (kaffah) sehingga pelaksanaannya bertahap. Perbedaan pelaksanaan syariat Islam sebelum dengan sesudah dideklarasikannya ada titik-titik penekanannya. Penulisan nama toko-toko atau label-label lain yang menggunakan tulisan Arab-Jawi menimbulkan kerancuan dan memunculkan kritik-kritik. Dikatakan di Aceh syariat Islam hanya simbol semata, bismillah hanya di kop surat saja tanpa ruh. Dinas Syariat Islam menjelaskan tahap demi tahap syari€at Islam akan dilaksanakan secara menyeluruh, segala aspek kehidupan masyarakat Aceh akan ditata sesuai dengan syariat Islam. Meskipun di sisi lain interpretasi pemerintah atau pembuat undang-undang terhadap syariat Islam menimbulkan perdebatan. Menurut Pegawai Dinas Syari€at itu merupakan hal yang wajar jika pembuatan qanun dan undang-undang memunculkan pro dan kontra. Yang terpenting pemerintah memiliki sikap untuk menerapkanya meskipun dalam keragaman pendapat.
hukumannya dicambuk. Sengketa-sengketa perdata, ekonomi, perbankkan sudah masuk ke Mahkamah Syari€ah, sedangkan menyangkut masalah jinayat ditentukan dalam qanun dan sudah diterapkan. Syariat Islam tidak mesti merujuk pada fiqih-fiqih klasik yang sudah ada, tapi perumus atau pembuat undang-undang harus mampu merumuskan sesuai Al-Qur€an dan Hadits, sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan keadilan hukum. Masyarakat di kampung-kampung seperti tengku-tengku, imam mereka sangat mendukung karena qanun ini untuk mencegah nahi mungkar.
Dari aspek pemahaman ada diantara tokoh-tokoh agama yang berbeda. Ada yang menginginkan dalam jalur Ahlu Sunnah Wal jamaah, ada juga yang menolak. Ada yang menginginkan satu mazhab tertentu, ada juga yang menginginkan tidak merujuk mazhab tertentu. Pada abad permulaan sedikit menimbulkan konflik. Seiring dengan perjalanan waktu, ada upaya mempertemukan ulama pesantren dengan tokoh-tokoh IAIN Ar-Raniry untuk mencari solusi. Ini terjadi saat (alm) Sofwan Idris menjadi rekor IAIN ArRaniri. Pelaksanaan syariat Islam di Banda Aceh baru sebatas mengingatkan perempuan menggunakan busana muslimah, WH mengawasi agar tidak memunculkan tindakan-tindakan a-susila, kemaksiatan dan perjudian. Kalau ditemukan pelanggaran, maka
248
249
pelaksanaannya benar-benar mendapat dukungan luas dari masyarakat.
BAB IV PENUTUP 2.
Dalam pelaksanaan hukum qanun harus tetap memperhatikan hak-hak asasi manusia. Sebab Islam menempatkan manusia dalam posisi yang sangat terhormat.
A. Kesimpulan Melihat aspek-aspek yang terdapat dalam qanun-qanun tentang penerapan syariat Islam di Kota Banda Aceh, terlihat bahwa kultur keberagamaan masyarakat masih bersifat normatif, bahkan legalistik. Keberagamaan diukur berdasarkan pada ketundukan terhadap hal-hal formal ajaran agama, sedangkan semangat ajaran agama kurang dihiraukan dan didalami. Dalam konteks pelaksanaan syariat Islam di Aceh, qanun-qanun yang telah disahkan hanya membicarakan hal-hal yang telah membumi di masyarakat Aceh. Pada tataran yang nampak, sejak diformalkannya syariat Islam di Kota Banda Aceh hingga kini tidak menimbulkan kegoncangan dalam sistim kerukunan hidup antar umat beragama. Walaupun demikian, ada yang menuding syariat Islam sebagai “alasan pembenar” atas berbagai hal yang kurang memuaskan bagi kalangan non-muslim yang tinggal di Kota Banda Aceh. Hal tersebut dikawatirkan akan mengganggu kerukunan antar umat beragama yang telah terbina, khususnya pada dataran psikologis. Oleh sebab itu banyak hal yang harus diperhitungkan dalam setiap perbincangan tentang kehidupan antar umat beragama di Kota Banda Aceh, seperti aspek budaya dan sejarah. B. Rekomendasi Setelah melakukan kajian di atas, hal berikut ini adalah rekomendasi untuk pengambilan kebijakan, diantaranya adalah: 1.
250
Dalam pembuatan qanun, sebaiknya tidak bersifat top down, tetapi berdasarkan kebutuhan masyarakat, sehingga dalam
251
DAFTAR PUSTAKA Abubakar, Alyasa’ (2003), Tanya Jawab Pelaksanaan Syariat Islam di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, Banda Aceh. Effendi, Djohan (1986), “Agama dan Pembangunan”, dalam M. Sastrapratedja, et.all, Menguak Mitos-Mitos Pembangunan, Telaah Etis & Kritis. Gramedia, Jakarta. Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) NAD, Banda Aceh. (2003) Kumpulan Undang-Undang PERDA, Qanun dan Instruksi Gubernur tentang Keistimewaan Nanggroe Aceh Darussalam Mulyosudarmo, Suwoto (1999), “Kebebasan Beragama dalam Perspektif HAM‚, dalam Komaruddin Hidayat (ed), Passing Over, Melintasi Batas Agama, PT. Gramedia Pustaka Umum dan Yayasan Waqaf Paramadina, Jakarta. Sulaiman, M. Isa (1997), Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Syamsuddin, Nazaruddin (1990), Pemberontakan Kaum Republik, Kasus Darul Islam Aceh, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta. Tambunan, R. Friest (2002), “Pelaksanaan Syariat Islam: Sebuah Refleksi Berdasarkan Pengalaman Gereja”, dalam Fairus M. Nur (ed). Syariat di wilayah Syariat, Dinas Syariat Islam NAD, Banda Aceh. UPTD – Dakwah Islamiyah Dinas Syariat Islam Propinsi NAD, Banda Aceh, (2004), Qanun Bahan Sosialisasi Pelaksanaan Syariat Islam secara Kaffah.
252
PERDA KEAGAMAAN DI KABUPATEN BULUKUMBA Oleh : H. Muhammad Adlin Sila, S.Ag, MA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah etiap yang mengaku dirinya muslim, tentu akan senang apabila umat Islam dapat menjalankan seluruh syari’at Islam dengan sebaik-baiknya. Yang menjadi persoalan apakah syariat Islam tersebut harus dilembagakan? Isu pemberlakuan Syariat Islam memang telah lama bergulir di tanah air. Di Sulawesi Selatan tuntutan pemberlakuan Syariat Islam muncul pertama kali di kota Makassar ketika diadakan Kongres Umat Islam II. Saat itu fungsionaris DPP PAN yaitu AM. Fatwa mengatakan bahwa perjuangan menuntut pemberlakuan Syariat Islam harus tetap berlangsung, namun tidak harus dengan pemaksaan atau dengan kekerasan
S
Gagasan diberlakukannya Syariat Islam di Makassar khususnya di Kabupaten Bulukumba, dipandang sangat urgen untuk direalisasikan agar kaum muslimin dalam menjalankan syari’at ajaran agamanya dengan sebaik-baiknya, seperti mengerjakan salat tepat pada waktunya. Peranan Pemerintah Daerah yaitu Bupati H. Andi Patabai Pabokori sangat besar. Dukungan organisasi keagamaan Muhammadiyah dan NU (Nahdatul Ulama) juga sangat besar. Kedua ormas besar di tanah air ini sepakat untuk mendukung komitmen Pemerintah Daerah Bulukumba.1 Kedua organisasi ini menjadi ujung tombak lahirnya €Crash ProgramÅ Pemerintah Daerah di bidang keagamaan. Salah satu wujud perjuangannya adalah menciptakan kondisi keagamaan di 1.
H.A.Patabai Pabokori €Mengenal Bulukumba Ke Gerbang Syariat IslamÅ, hal 57.
255
lingkungan keluarga yang dilandasi dengan kebersihan lahir bathin. Orang tua menjadi figur di tengah keluarga dalam meningkatkan ketaatan kepada Allah SWT. €Crash ProgramÅ Keagamaan artinya memacu pelaksanaan rencana kerja Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pembinaan, pemberdayaan dan peningkatan ketaqwaan umat Islam melalui kegiatan yang sistematis. Program ini, merupakan jawaban atas emosi religius masyarakat dan pembakuan manajemen secara sistemik, sinergik dan berkelanjutan.2 Sebagai Bupati, Andi melihat masalah dari sisi manajemen pemerintahan. Dia mulai merencanakan strategi dengan meramu fenomena religius menjadi landasan moral pembangunan di segala bidang. Dengan dukungan para Tokoh Agama dan Ormas Islam, pada tahun 1998 €Crash ProgramÅ Keagamaan Pemerintah Daerah di bidang keagamaan dicetuskan oleh Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan. Ide tersebut merupakan tonggak awal dilakukannya sebuah manajemen Pemerintahan Kabupaten Bulukumba yang tercermin dalam delapan segmen kegiatan untuk mengembangkan syiar Islam sebagai skala prioritas, yaitu; 1. Pembinaan dan pengembangan remaja masjid, 2. Pembinaan dan pengembangan Taman Kanak–Kanak Al Qur’an dan Taman Pendidikan Al Qur’an, 3. Pembinaan dan pengembangan majelis taklim, 4. Pembinaan dan pengembangnan perpustakaan masjid, 5. Pembinaan dan pengembangan hifzil Qur’an 6. Pembinaan dan pengembangan seni bernuansa Islami. 7. Pemberdayaan Zakat, Infaq dan Shadaqah. 8. Pelestarian Keluarga Sakinah, Sejahtera dan Bahagia. 3
Prioritas kegiatan keagamaan yang terbingkai dalam €Crash ProgramÅ tersebut, pada awalnya diterima oleh sebagian masyarakat sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Dalam perkembangan selanjutnya, tidak sedikit di antara kelompok masyarakat yang berpendapat program pemerintah tersebut adalah strategi kampanye Bupati dalam menghadapi para demonstran yang menggulirkan reformasi4. Keberhasilan Bupati H. Andi Patabai Pabokori membangun suasana kesejukan spiritual di tengah umat adalah komitmennya dalam membangun daerah Bulukumba kini dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.5 Majelis Taklim, yang sebelumnya diwarnai perbedaan paham, lambat laun menjadi forum ukhuwah Islamiyah untuk mengembangkan wawasan keagamaan. Kajian fiqih yang bersumber dari Kitab Kuning menjadi referensi keilmuan dalam praktek ibadah dan muamalah. Kendati demikian hal ini tidak menjadi syarat, namun pada umumnya Majelis Taklim menerimanya sebagai bahan kajian untuk pengembangan pengetahuan syari’at Islam.6 Penilaian negatif masyarakat pun berubah dengan sendirinya, setelah melihat hasil pelaksanaan PERDA ini yang ternyata banyak membawa perubahan ke arah lebih baik dari sebelumnya. Yang paling menonjol adalah keberadaan remaja masjid, baik di kota maupun di desa makin bergairah menunjukkan perannya. Mengingat para remaja adalah generasi penerus bangsa. Di tangan para remaja keberlangsungan negeri ini ditentukan. Semangat berorganisasi berkembang seiring meningkatnya pembinaan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Melalui dana bantuan rutin dari pos pembiayaan di dalam APBD Kabupaten Bulukumba, “Crash Program“ Keagamaan menjadi lekat di hati masyarakat.
4 Ibid,
hal 59 H. A. Patabai Pabokori, “Mengenal Bulukumba Ke Gerbang Syariat IslamÅ, Editor Mahrus Andi, Penerbit Karier Utama, Jl. Toddopuli Raya No. 24 Makassar, Cet. Pertama, hal. 57 6 Ibid, hal. 58 5
2 Ibid, 3 Ibid
256
hal. 58
257
Para remaja masjid itu menamakan diri mereka dengan”Jundullah” menyatakan siap berjuang menegakkan syariat Islam. Gerakan mereka ini tidak hanya meneriakkan kalimat ”Allahu Akbar” di gedung parlemen, tetapi juga turun langsung ke tempattempat maksiat, seperti kedai minuman keras. Ternyata kondisi ini membuat sibuk petugas keamanan karena aparat harus selalu siap mengantisipasi terjadinya benturan fisik yang dapat menimbulkan instabilitas di tengah masyarakat Bulukumba.7 Bupati bersama unsur Pimpinan Daerah Kabupaten Bulukumba memandang perlu segera mengakomodasi keinginan masyarakat. Langkah awal yang dilakukan Pemerintah Daerah ialah mengakumulasi idealisme keagamaan ke dalam bingkai kebijakan politik melalui Peraturan Daerah (PERDA). Pada tahun 2002 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bulukumba menetapkan PERDA Nomor 03 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Beralkohol. Satu tahun kemudian, 3 (tiga) Peraturan Daerah secara bersamaan ditetapkan. Ketiga PERDA itu adalah: 1. 2. 3.
PERDA No. 02 tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan Shadaqah, PERDA No. 05 tahun 2003 tentang Busana Muslim dan Muslimah, PERDA No. 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin.
Keluarnya PERDA ini disambut positif oleh umat Islam. Tetapi, di sisi lain memunculkan isu negatif. Hal tersebut terjadi karena negara kita bukan negara Islam. Keluarnya PERDA tersebut dianggap diskriminatif terhadap umat beragama lainnya. Sebaiknya dalam negara Pancasila itu tidak ada aturan yang hanya mengatur kelompok tertentu dalam masyarakat. Oleh sebab itu, perlu dikaji apakah PERDA tersebut mengarah pada pelaksanaan PIAGAM JAKARTA yang selalu dianggap momok bagi umat non-Islam, atau ia 7
258
Ibid, hal. 91
hanya sekedar untuk menampung kebutuhan masyarakat setempat dan tetap dalam kerangka NKRI. Melihat kenyataan ini, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama merasa perlu untuk melakukan sebuah kajian guna mengetahui sejauhmana perubahan hukum positif yang ada di Bulukumba ini ke arah hukum yang bernuansa syari’at Islam. B. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dapat dipaparkan sebagai berikut: 1. 2.
3.
Bagaimana bentuk PERDA Keagamaan bernuansa syari’at Islam dan pelaksanaannya di Kabupaten Bulukumba ? Bagaimana tanggapan berbagai pihak terhadap pelaksanaan PERDA Keagamaan yang bernuansa syari’at Islam di Kabupaten Bulukumba ? Bagaimana dampak dilaksanakannya PERDA Keagamaan bernuansa syari’at Islam di Kabupaten Bulukumba?
C. Kegunaan dan Tujuan Penelitian. Dengan mengetahui permasalahan di atas, penelitian ini ingin mendiskripsikan bentuk PERDA keagamaan dan pelaksanaannya di Kabupaten Bulukumba, mengetahui tanggapan berbagai pihak dan dampaknya dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan tujuannya adalah sebagai bahan informasi untuk pemerintah pusat maupun daerah dalam rangka memperbaiki pelaksanaannya pada masa akan datang. D. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan: multi-approaches yang mencakup kesejarahan, sosiologi dan textual. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, telaah dukumen atau studi teks. Sedangkan tehnik lainnya yaitu melakukan wawancara dengan beberapa orang pakar bidang keagamaan, yaitu
259
mantan Kepala Kandepag, Kepala Kandepag Kabupaten Bulukumba dan pejabat di jajarannya, tokoh-tokoh agama, Asisten III Pemerintah Daerah Bulukumba, Kabag Humas dan Kabag Pemberdayaan Perempuan Pemerintah Daerah Bulukumba, dan beberapa informan lainnya. E. Kerangka Konseptual. Kabupaten Bulukumba yang terletak di ujung selatan Propinsi Sulawesi Selatan, semenjak dahulu dikenal sebagai wilayah pengembangan syiar Islam. Kehadiran ulama tasawuf Khatib Bungsu,8 bergelar Dato’ Ri Tiro pada awal abad ke 17 Masehi (1605) menjadi tonggak sejarah bagi tumbuhnya syiar Islam di daerah ini. Hingga kini masyarakat Bulukumba dikenal sebagai masyarakat religius dan taat menjalankan perintah agama. Kondisi ini merupakan potensi yang sangat besar untuk dikembangkan dan menjadi landasan utama bagi proses pembangunan daerah di semua aspek kehidupan. Melihat kondisi spiritual masyarakat Bulukumba tersebut, Pemerintah Kabupaten Bulukumba meletakkannya sebagai kerangka Pembangunan Daerah di atas landasan visi “Mewujudkan Bulukumba sebagai pusat pelayanan di bagian selatan Sulawesi Selatan yang berbasis pada sumber daya lokal yang bernafaskan keagamaan”. Suasana keagamaan masyarakat Bulukumba yang terakumulasi dalam visi pembangunan mendorong i’tikad baik pemerintah daerah untuk mewujudkan cita-cita religius ke arah terciptanya kondisi kehidupan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin serta taat menjalankan perintah agama. Implementasi cita–cita dimaksud berupa €Crash ProgramÅ Keagamaan yang artinya memacu kinerja Pemerintah Daerah dalam
8 Ibid,
260
membina, memberdayakan dan meningkatkan ketakwaan umat Islam melalui penentuan kegiatan berdasarkan sistem prioritas. Dengan €Crash ProgramÅ Keagamaan itu, Pemerintah Daerah Bulukumba berupaya meramu fenomena religius masyarakat menjadi landasan moral bagi proses pembangunan di segala bidang. Atas dukungan tokoh agama, ormas Islam dan Lembaga-lembaga Keagamaan lainnya, pada tahun 1998 €Crash ProgramÅ Pemerintah Daerah di bidang keagamaan itu dicetuskan peresmiannya oleh Gubernur Propinsi Sulawesi Selatan, H. ZB. Palaguna. €Crash ProgramÅ Keagamaan tersebut memprioritaskan 8 (delapan) aspek kegiatan keagamaan, sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pembinaan dan pengembangan pemuda – remaja masjid. Pembinaan dan pengembangan Taman Kanak – Kanak Al Qur’an (TKA) dan Taman Pendidikan Al Qur’an (TPA). Pembinaan dan pengembangan majelis taklim Pembinaan dan pengembangan perpustakaan masjid Pembinaan dan pengembangan hifzil Qur’an. Pembinaan dan pengembangan seni bernuansa islami. Pemberdayaan zakat, infaq dan shadaqah. Pelestarian keluarga sakinah, sejahtera dan bahagia.
Seluruh aspek di atas dikatakan sebagai proses awal membimbing masyarakat Bulukumba menuju pembentukan sikap dan perilaku masyarakat yang sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. Untuk menunjang agar program-program tersebut dapat terlaksana dengan baik, maka Pemerintah Daerah telah berhasil menentukan empat buah PERDA, yaitu: 1. 2.
PERDA Nomor 03 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban dan Penjualan Minuman Beralkohol. PERDA No. 02 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan Shadaqah.
hal. 103
261
3. 4.
PERDA No. 05 Tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. PERDA No. 06 Tahun 2003 tentang Pandai Baca al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin.
BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH
A. Kondisi Geografis Kabupaten Bulukumba wilayahnya terletak di bagian Selatan jazirah Sulawesi yang berjarak 153 KM dari Propinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten ini terletak antara 05 2´ - 05 40´ Lintang Selatan dan 119 58´ - 120 38´ Bujur Timur. Di sebelah utara, Kabupaten Bulukumba berbatasan dengan Kabupaten Sinjai, sebelah Timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores dan sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng. Adapun luas wilayah Kabupaten Bulukumba adalah 1.154,67 Km² atau sekitar 1,85% dari luas keseluruhan wilayah Sulawesi Selatan. Secara administratif kabupaten ini membawahi 10 kecamatan dan terbagi menjadi 125 desa/kelurahan dengan perincian sebanyak 24 kelurahan dan 101 desa. Dari 10 kecamatan yang ada terdapat Kecamatan Gangkeng dan Kecamatan Bulukumba yang paling luas, masing-masing seluas 173,51 Km² dan 171,33 Km² atau kurang lebih (29,87%) dari luas Kabupaten Bulukumba. Wilayah lainnya Kecamatan Ujungbulu yang merupakan pusat Kabupaten dengan luas 14,44 Km² atau hanya sekitar 1,25%. Ketinggian wilayahnya hampir 95,35% berada pada ketinggian 0 – 1.000 M di atas permukaan laut dengan tingkat kemiringan tanah umumnya 0 – 40 derajat. Di Kabupaten Bulukumba ini terdapat 25 aliran sungai sepanjang 481,25 Km² yang dapat mengairi sawah seluas hingga 19.531 hektar, sehingga daerah ini mempunyai wilayah pertanian yang cukup luas. Curah hujannya pun cukup
262
263
tinggi, rata-rata diatas 1.000 mm per-tahun dengan rata-rata hujan 10 (sepuluh) hari perbulan.
orang murid dan 75 orang guru, sedangkan SMK swasta 1 buah dengan jumlah 231 orang murid dan 17 orang guru.
B. Kondisi Demografi, Ekonomi dan Pendidikan
C. Sejarah Singkat
Penduduk Kabupaten Bulukumba pada Tahun 2005 berjumlah 379.411 jiwa yang tersebar di sepuluh kecamatan. Dengan perbandingan komposisi penduduk laki-laki 199.473 jiwa dan penduduk perempuan 179.938 jiwa. Luas wilayah yang dihuni penduduk kepadatannya mencapai 329 orang/Km². Kecamatan yang paling padat penduduknya adalah Kecamatan Ujungbulu yaitu 2.859 orang/Km². Hal ini terjadi karena kecamatan tersebut merupakan ibukota Kabupaten Bulukumba.
Bulukumba merupakan wilayah yang sejak lama dikenal di dalam cerita legenda. Menurut mithos, nama “Bulukumba” berasal dari bahasa Bugis “Buluku dan Mupa” yang berarti “Tetap Gunung Milik Saya”. Mitos ini muncul pertama kali pada abad 17 M ketika terjadi perang saudara antara Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Di pesisir pantai yang sekarang bernama “Tana Kong Kong” utusan Raja Gowa dan Raja Bone bertemu, mereka berunding secara damai dan menetapkan batas wilayah pengaruh kerajaan masing-masing. Bongking Boki yang merupakan lereng bukit dari gunung Lumpu Buttang diklaim oleh pihak kerajaan Gowa sebagai batas wilayah kekuasaannya, mulai dari Kindang sampai ke wilayah Timur. Namun pihak kerajaan Bone tidak sependapat dan mempertahankan Bongking Boki sebagai wilayah kekuasaannya, mulai dari Barat sampai ke Selatan. Tercetuslah kalimat “Bulukumupa” pada akhirnya berubah menjadi “Bulukumba”. Sejak itulah nama Bulukumba digunakan dan hingga saat ini menjadi sebuah kabupaten. Peresmian Bulukumba menjadi kabupaten memiliki peristiwa bernilai sejarah.
Penduduk usia kerja yang berusia sepuluh tahun ke atas terdiri dari penduduk angkatan kerja dan penduduk usia bukan angkatan kerja. Yang termasuk angkatan kerja adalah mereka yang sudah bekerja atau sedang mencari pekerjaan. Yang termasuk bukan angkatan kerja adalah yang bersekolah, mengurus rumah tangga atau yang melakukan kegiatan lain. Penduduk usia kerja di Kabupaten Bulukumba pada Tahun 2005 adalah 301.762 jiwa terdiri dari 161.797 penduduk perempuan dan 139.965 penduduk laki-laki. Sedangkan tingkat pengangguran pada Tahun 2005 mencapai 5,04%. Lapangan usaha sebagian besar penduduk bekerja disektor pertanian (55.993 orang) atau 44,43% dari jumlah penduduk yang bekerja. Peningkatan partisipasi pendidikan masyarakat untuk memperoleh ilmu pengetahuan di bangku pendidikan harus didukung oleh berbagai peningkatan sarana fisik dan SDM yang memadai. Di Kabupaten Bulukumba terdapat 34 buah SMP Negeri dengan jumlah murid 10.495 murid dan 800 guru. Terdapat 10 buah SMA Negeri dengan jumlah 5.525 murid dan 337 orang guru, terdapat 3 buah SMA swasta dengan jumlah 1.056 orang murid dan 69 orang guru. SMK Negeri berjumlah 3 buah dengan jumlah 1.045
264
Produk hukum yang telah diterbitkan diawali dengan undang-undang nomor 29 tahun 1999 tentang pembentukan daerahdaerah tingkat II di Sulawesi. Pada tanggal 25 Maret 1994 dengan nara sumber Prof. Dr. H. Ahmad Mattulada (ahli sejarah dan budaya), ditetapkanlah hari jadi Kabupaten Bulukumba yaitu tanggal 4 Pebruari tahun 1960 melalui PERDA nomor 13 tahun 1994. Untuk menunjukkan simbol jati diri, Pemerintah Daerah Bulukumba mengekspresikan ke dalam lambang logo Pemerintah Daerah. Penetapan hari jadi pada tanggal itu disetujui oleh DPR dan secara resmi Bulukumba menjadi daerah tingkat II. Mengenai lambang
265
Pemerintah Daerah diatur dalam PERDA Kabupaten Bulukumba Nomor 5 tahun 1978 . Kondisi spiritual masyarakat Bulukumba sangat tinggi untuk mengemban amanah, mewujudkan persatuan dan kesatuan demi terwujudnya keselamatan dan kemaslahatan bersama, damai sentosa lahir batin, material spiritual, dunia akhirat. Semboyan yang dimiliki oleh masyarakat Bulukumba adalah “Mali Siparappi, Tallang Sipa Gowa”. Slogan pembangunannya adalah “Bulukumba Berlayar”, akronim dari kausalitas ”Bersih Lingkungan atau yang Ramah”. Sentuhan ajaran agama Islam yang dibawa oleh ulama besar dari Sumatera yang bergelar Datuk Tiro (Bulukumba), Datuk Ribandang (Makassar) dan Datuk Patimang (Luwu) telah menimbulkan kesadaran religius masyarakat hingga menimbulkan keyakinan untuk berlaku zuhud, suci lahir batin, selamat dunia dan akhirat dalam keadaan iman, Appassiu Wang (Mengesakan Allah SWT). Dengan berfalsafah pada semboyan inilah Kabupaten Bulukumba mengembangkan kiprah dirinya di berbagai sektor pembangunan.
para pendatang. Meskipun umat Islam sebagai mayoritas, namun di wilayah ini nyaris tidak pernah terjadi konflik antar umat beragama. Majelis Taklim mengadakan kegiatannya di masjid dengan berbagai kegiatan keagamaan yang pesertanya kebanyakan ibu-ibu dan bapak-bapak. Sedangkan para remaja terorganisir dalam kelompok remaja masjid. Kegiatan para remaja digalakkan untuk mengantisipasi terjerumusnya generasi muda dalam perbuatan maksiat seperti mengkomsumsi minuman keras (narkoba). Wilayah Bulukumba berada dekat dengan daerah penghasil buah Enau (Lontar) yang dapat menghasilkan dua minuman khas, yaitu minuman manis tidak mengandung beralkohol dan yang mengandung alkohol. Kaum remaja menyukai minuman jenis ini karena dijual bebas terutama di wilayah wisata pantai.
Visi Kabupaten Bulukumba adalah Mewujudkan Bulukumba sebagai pusat pelayanan di bagian Selatan Sulawesi Selatan yang bertumpu pada kekuatan lokal dan bernafaskan keagamaan. D. Kehidupan Keagamaan Mayoritas penduduk Kabupaten Bulukumba adalah muslim. Sedangkan jumlah penduduk muslim dan penganut agama lain sebagai berikut; muslim sebanyak 376.187 jiwa (99,75%), Kristen berjumlah 473 jiwa (0,12%), Katolik 214 jiwa (0,06%), Hindu 21 orang (0,01%), dan Budha 212 jiwa (0,05%). Jumlah sarana ibadah masingmasing agama adalah sebagai berikut: umat Islam terdapat 591 buah Masjid, 108 buah Langgar dan 21 buah Mushalla. Umat Kristen memiliki 2 buah Gereja. Jumlah ulama sebanyak 52 orang, Muballigh 447 orang, Penyuluh 110 orang dan Khatib 525 orang. Penduduk pribumi Bulukumba umumnya beragama Islam. Sedangkan penduduk non-muslim mereka umumnya terdiri dari
266
267
BAB III PELAKSANAAN PERDA KEAGAMAAN DI KABUPATEN BULUKUMBA
1. 2. 3. 4.
Sebelum berlakunya PERDA Nomor 3 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol, para pemakai dan penjual minuman keras merasa terancam. Minuman keras banyak dikonsumsi oleh penduduk di pantai yang dampaknya sering memicu pertengkaran atau tawuran antar preman dan antar penduduk. Demikian juga tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak-anak usia remaja sebagai akibat dari meminum minuman keras meningkat.
PERDA Nomor 3 Tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. PERDA nomor 2 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan Shadaqoh. PERDA nomor 5 Tahun 2003 tentang Busana Muslim dan Muslimah PERDA nomor 6 tahun 2003 tentang Pandai Baca Al Qur’an Bagi Siswa dan Calon Pengantin.9 Berikut ini adalah deskripsi tentang PERDA itu.
1.
Karena minuman keras, terjadilah bentrokan remaja kampung Kasimpuran dan kampung Nipa yang dibatasi oleh sebuah aliran sungai. Saat bentrok anak-anak remaja itu tidak segan-segan mempersenjatai diri dengan senjata tajam. Hal inilah yang membuat semua pihak di Bulukumba prihatin.
PERDA Nomor 3 Tahun 2002 tentang Larangan, pengawasan, penertiban, peredaran dan penjualan minuman beralkohol a.
Kondisi sebelum keluarnya PERDA 1) Miras banyak beredar di Masyarakat 2) Perbuatan kriminal meningkat sebagai dampak dari minuman keras 3) Stabilitas ketertiban dan keamanan terganggu
b.
Strategi Penegakan 1) Sosialisasi dan pendekatan persuasif 2) Melakukan tindakan tegas terhadap pelanggaran PERDA 3) Membentuk tim Buserda 4) Melakukan operasi di lapangan 5) Memberdayakan majelis–majelis taklim 6) Pemberian bantuan modal usaha untuk pengalihan profesi yang tidak bertentangan dengan Syariat Islam 7) Membuka jaringan pengaduan bagi masyarakat
c.
Kondisi Setelah Lahirnya PERDA 1) Kriminalitas menurun drastis + 80 % 2) Stabilitas ketertiban dan keamanan kondusif
Dengan hadirnya PERDA Syariat ini, menurut para penggagasnya dianggap sebagai salah satu langkah menjaga ketertiban dan keamanan dengan sendirinya menegakkan Syariat Islam. Sesuai dengan hasil pengamatan, pemberlakukan PERDA Keagamaan ini sangat besar peranannya untuk mengatasi masalah remaja yang gemar mabuk-mabukan. Mereka yang mabuk-mabukan itu meresahkan masyarakat dan mengganggu keamanan. A. Pelaksanaan PERDA Keagamaan di Kabupaten Bulukumba PERDA Keagamaan yang bernuansa Kabupaten Bulukumba ada empat, yaitu :
Syariat Islam di
9 Pemda
Kabupaten Bulukumba, ”Perda Keagamaan Kabupaten Bulukumba”, Tahun
2006
268
269
3) Telah dilakukan operasi penertiban dan pemusnahan Miras + 250.000 botol dan ballo + 15.000 liter (Hasil operasi terakhir Polres Bulukumba) 2.
3) Kesadaran wanita untuk menggunakan busana muslimah bagi karyawati Pemda Bulukumba sebanyak 6 %. b. Kondisi setelah lahirnya perda 1) Kesadaran masyarakat untuk mengenakan busana muslim, khususnya siswi SLTP, SLTA dan perguruan tinggi kurang lebih 100%. 2) Kesadaran wanita untuk menggunakan busana muslimah (jilbab) di masyarakat meningkat. 3) Kesadaran wanita untuk menggunakan busana muslimah bagi karyawati Pemda Bulukumba sebanyak 100 %.
PERDA nomor 2 Tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan Shadaqoh. a. Kondisi sebelum diberlakukannya PERDA Kesadaran Ummat Islam Bulukumba dalam menunaikan kewajiban membayar zakat, infaq dan sadaqah masih rendah. b.
c.
3.
Strategi Penegakan 1) Sosialisasi / seminar 2) Membentuk desa pelopor zakat (percontohan) 3) Pembentukan Unit Pengelola Zakat (UPZ) di masingmasing desa/kelurahan dan instansi
PERDA nomor 5 Tahun 2003 tentang Busana Muslim dan Muslimah a.
270
Kondisi setelah lahirnya PERDA 1) Kesadaran masyarakat, pegawai negeri dan pengusaha membayar zakat, infaq dan sadaqah mengalami peningkatan. 2) Telah terbentuk 12 desa pelopor zakat/desa muslim. 3) Pemberian bantuan beasiswa kepada siswa–siswi kurang mampu melalui dana Bazkab. 4) Bantuan kepada sarana peribadatan, ekonomi lemah, TPA/TKA dan madrasah.
Kondisi sebelum lahirnya perda 1) Kesadaran masyarakat untuk mengenakan busana muslim, khususnya siswi SLTP, SLTA dan perguruan tinggi kurang lebih 2 %. 2) Kesadaran wanita untuk menggunakan busana muslimah (jilbab) di masyarakat kurang lebih 5 %.
c.
4.
Strategi penegakan perda 1) Dengan memberi contoh / tauladan. 2) Sosialisasi ke Sekolah-sekolah dan masyarakat. 3) Lomba-lomba busana muslim mulai tingkat SD,SLTP, SLTA, majelis taklim dan umum. 4) Membentuk tim da’wah 5) Pemberian bantuan pakaian muslim 6) Himbauan melalui tempat pelayanan umum
PERDA No. 6 Tahun 2003 (Pemberantasan Buta Huruf Baca alQur’an) a. Latar belakang lahirnya PERDA 1) Perkembangan syariat Islam dimulai pada saat kehadiran ulama tasawuf Khatib Bungsu yang bergelar Dato Ri Tiro pada awal abad ke 17 Masehi. 2) Diperkirakan Jumlah Penduduk Bulukumba yang Buta Aksara al-Qur’an +20 % dari 360.126 jiwa (+72.252). 3) Tingkat kesadaran Masyarakat untuk mempelajari, membaca, mendalami dan mengamalkan al-Qur’an masih rendah.
271
b. Kondisi setelah lahirnya perda 1) Jumlah Buta Aksara al-Qur’an mengalami penurunan (diperkirakan + 5,5 %). 2) Tingkat Kesadaran Masyarakat dalam mempelajari, membaca, mendalami dan mengamalkan al-Qur’an meningkat (berkembangnya TPA/TKA sebanyak 648 buah, Majelis Taklim 143 buah). c. Strategi penegakan 1) Melakukan pendataan terhadap kelompok-kelompok pengajian tradisional yang dilakukan oleh masyarakat untuk dibina dalam bentuk pengajian modern. 2) Menginstruksikan pembentukan TKA/TPA (TKA usia 4 – 6 tahun, TPA usia 7 – 12 tahun) dari tingkat kabupaten sampai kecamatan, desa dan TPA orang tua. 3) Memperkuat fungsi dan peranan lembaga BKPRMI Kabupaten Bulukumba sebagai Leading Sektor Pembinaan dan Pengembangan melalui Pendataan dan pengorganisasian lembaga TPA/TKA serta mengembangkan teknik pembinaan baca tulis al-Qur’an B. Pelaksanaan Kegiatan TKA/TPA Adapun langkah-langkah yang diambil dalam menjalankan kegiatan ini adalah. 1.
2.
272
Menyediakan anggaran pembinaan TKA/TPA melalui pos APBD sejak tahun 1995 sampai sekarang (Bantuan pembinaan berupa dana pengelolaan, dana pengadaan sarana prasarana pendukung belajar dan bantuan material berupa al-Qur’an, buku metode Iqra dan toga wisuda). Komitmen Bupati menghadiri Prosesi Wisuda para santri madrasah setelah selesai menyelesaikan pembelajaran al-Qur’an dan Hadits.
3.
Mengangkat tenaga guru ngaji di seluruh TPA/TKA di wilayah Kabupaten Bulukumba (tahun 2004 dimulai dengan jumlah guru 160 orang). 4. Menjalin kerja sama dengan IAIN Alauddin Makassar melalui Program Diploma II Instruktur Baca Tulis al-Qur’an (IBTQ). 5. Memasyarakatkan al-Qur’an melalui pemberian hadiah tambahan berupa al-Qur’an kepada pemenang lomba olah raga dan seni. 6. Penunjukan organisasi LPPTKA-BKPRMI untuk mengeluarkan ijazah/sertifikat pandai baca tulis al-Qur’an (SK BKDA No. 307/VI/2004). 7. Menetapkan kebijakan mata pelajaran al-Qur’an sebagai muatan lokal di SD, SMP dan SMA dengan menambah jam pelajaran agama menjadi 4 jam setiap minggu (SK Bupati No. 306/VI/2004, tentang Pembentukan Tim Penyusun Kurikulum Muatan Lokal Mata Pelajaran al-Qur’an). 8. Bekerjasama dengan Departemen Agama Bulukumba, memprogramkan kegiatan pembinaan baca al-Qur’an bagi para calon jamaah haji. 9. Memberikan penghargaan/satya lencana kepada para pembina TPA/TKA berprestasi dan tokoh-tokoh agama. 10. Menyelenggarakan festival anak saleh (FASI) setiap tahun dan PORSENI pemuda remaja masjid yang dimulai sejak tahun 1996 sampai sekarang. 11. Menetapkan kebijakan Pemda tentang pemberlakuan persyaratan pandai baca al-Qur’an kepada : a. Calon Pegawai Negeri Sipil (SK No. 800/5701/2003). b. Calon siswa SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. c. Pegawai yang akan naik pangkat termasuk guru sebagai tenaga fungsional d. Calon mempelai/pengantin. e. Pegawai yang akan dipromosikan menduduki jabatan struktural maupun fungsional.
273
f.
12.
13.
14. 15.
16.
17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
Calon Kepala Desa, Perangkat Desa dan BPD, sesuai surat Bupati No. 240/84/PMD. g. Calon jamaah haji. Membentuk tim pemantauan pelaksanaan PERDA No. 5/2003 dan PERDA No. 6/2003 ditiap jenjang pendidikan (SK Bupati No. 308/VI/2004). Membentuk tim fasilitator kegiatan Crash Program Pemerintah Kabupaten Bulukumba Bidang Keagamaan, (SK Bupati No. Kpts. 305/VI/2004). Pembentukan tim penguji tetap bagi pejabat yang akan menduduki jabatan struktural dan fungsional. Mengeluarkan Surat Edaran Bupati kepada Kepala SekolahKepala Sekolah SLTP, SMU/SMK, tentang pelaksanaan PERDA keagamaan di sekolah-sekolah (SE. No. 378b/DP-DIK/IX/2003). Menjalin kerjasama dengan Fakultas Dakwah IAIN Alauddin Makassar Program Diploma II Jurusan Bimbingan Penyuluh Agama Islam. Melaksanakan gerakan wakaf al-Qur’an. Pemberian bantuan pakaian wisuda (toga) TPA/TKA kepada para Ketua BKPRMI Kecamatan sebanyak 2.000 pasang. Mengembangkan sekolah-sekolah Arab dan Madrasah Diniyah. Membentuk Sekolah Model Islam di tingkat TK, SD dan SLTP. Mengembangkan hifzil Qur’an di pesantren-pesantren dengan memberikan bantuan fisik dan bea siswa bagi santri. Membuat tugas Membentuk desa muslim.
PERDA yang ada di Bulukumba bukan PERDA Penegakkan Syariat Islam, tapi PERDA Keagamaan yang pada akhirnya mampu melaksanakan Syariat Islam. Konsep awalnya bermula dari Crash Program Pemerintah dalam bidang keagamaan terdiri dari 8 poin penting yaitu ; 1) Pembinaan TPA/TKA; 2) Pembinaan Majelis Taklim; 3) Pembinaan remaja masjid; 4) Pembinaan perpustakaan masjid; 5) Pembinaan tahfiz al-Qur’an; 6) Pembinaan seni yang
bernapaskan Islam; 7) Pembinaan pemberdayaan zakat, infaq dan shadaqah; 8) Pembinaan keluarga sakinah dan keluarga sejahtera10. Setelah dimasukkan dalam Crash Program maka perlu ada payung hukum yaitu PERDA pelarangan penjualan minuman keras/beralkohol yang telah ditetapkan dengan nomor 3 Tahun 2002 dan sosialisasinya di tengah-tengah masyarakat. Pelaksanaan PERDA tersebut menemui kendala yang berasal dari umat Islam itu sendiri karena sebagai penjual minuman keras sekaligus pemilik Café. Mereka membentuk sebuah aliansi dan melakukan demonstrasi. Tidak kurang dari 30 orang mereka menentang PERDA dimaksud dengan alasan karena itu merupakan sumber mata pencahariannya. Sebab menurut mereka, jika PERDA itu diberlakukan mereka akan kehilangan pekerjaan. Umat Islam dari unsur Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan KPPSI yang berpusat di Makassar sebelumnya mengadakan rapat untuk berdemonstrasi ke DPRD. Kurang lebih 3.000 orang umat Islam melakukan aksi demonstrasi mendukung diberlakukannya PERDA ini. Mereka menuntut Pemerintah Daerah Bulukumba tetap memberlakukan PERDA. Satu bulan kemudian pada tahun 2002 terbit PERDA nomor 3 tentang pelarangan penjualan minuman keras/beralkohol. Yang menggagas PERDA adalah masyarakat dari ormas-ormas keagamaan, tokoh-tokoh agama serta masyarakat yang menginginkan terwujudnya lingkungan yang kondusif, aman dan tenteram. Bupati Bulukumba cukup arif melihat keadaan ini. Dengan pendekatan persuasif dia mengundang makan bersama para penentang dan melakukan dialog. Bupati meminta mereka menyampaikan alasan penolakan dan keberatan mereka. Dalam dialog itu Bupati menyarankan mereka untuk beralih profesi, 10
Wawancara dengan Drs. Tjamiruddin (Mantan Kandepag Kab. Bulukumba & Ketua Badan Amil Zakat Bulukumba) pada hari Rabu, tanggal 6 Desember 2006
274
275
misalnya dengan menjual minuman yang tidak memabukkan atau mencari pinjaman modal berdagang komoditi dengan sistem kredit. Ternyata usulan Bupati itu mereka tanggapi dengan antusias. Larangan berlaku bagi pedagang minuman keras untuk tidak menjual minuman keras berjarak pada radius 1 Km² dari masjid, sekolah, pemukiman dan pasar. Meskipun demikian, pelanggaran atas peraturan ini tetap terjadi. Larangan itu diberlakukan, namun minuman keras bisa didapat dengan mudah ditempat lain. Untuk mengatasi hal ini, petugas keamanan memiliki peranan penting mengawal PERDA ini. Garda pengawal PERDA dibentuk oleh Pemerintah Daerah dengan nama Buserda (Buru Sergap Daerah) yang bertugas memburu pelanggar PERDA ke lokasi pelanggaran atas PERDA itu. Bupati menyediakan layanan pesan singkat (SMS) bagi masyarakat yang ingin mengadukan masalahnya. Tjamiruddin (mantan Kakandepag Bulukumba) yang menjabat sebagai pembantu Bupati mengatakan bahwa untuk melaksanakan Crash Program Keagamaan, perlu ada payung hukumnya. Payung hukum itu diresmikan pada tahun 1999. PERDA ini awalnya adalah ide yang ditampung oleh Departemen Agama kemudian disampaikan kepada Bupati. Bupati Andi Patabai menunjukkan komitmen tinggi. Melalui lembaga BKPRMI Bulukumba dia menata dan memajukan Sistem Pendidikan Dasar al-Qur’an. Hal ini semakin menarik perhatian masyarakat. Dengan kesadaran sendiri, keluarga muslim yang memiliki putra/putri usia sekolah TPA atau TKA serentak mendaftarkan anak-anak mereka di TPA atau TKA itu. Mereka termotivasi karena agama mengajarkan kaum muslimin untuk mensucikan lahir dan batin sesuai dengan perintah Rasulullah dalam Al-Hadist “Kebersihan adalah sebahagian dari iman”. Satusatunya cara untuk membersihkan batin adalah dengan membaca,
276
menelaah dan memahami al-Qur€an, kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Keseriusan dan komitmen Bupati untuk menggalakkan baca huruf al-Qur€an nampak pada saat acara wisuda para anak santri (TPA/TKA). Bupati menghadiri acara wisuda itu meskipun pada saat bersamaan ada undangan rapat dinas dengan Gubernur. Tes membaca al-Qur€an diberlakukan pada saat seleksi anakanak usia sekolah. Bagi siswa yang akan masuk Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah, selain memiliki ijazah juga harus memiliki sertifikat TPA atau TKA. Untuk jenjang SD dan SLTP ada tes membaca dan menghafal surah-surah pendek. Tim penguji adalah gabungan dari pegawai Pemda, pegawai Departemen Agama, pegawai Diknas, dan tokoh agama. Jika terjadi kecurangan dalam seleksi ini, seperti jika terdapat calon siswa yang belum bisa membaca al-Qur€an , tetapi lulus seleksi, maka kepala sekolah akan di panggil untuk dimintai pertanggungjawaban. Kepada siswa bersangkutan diberikan kesempatan selama waktu satu semester untuk belajar al-Qur€an dengan sebaik-baiknya. Bagi pasangan calon penganten yang akan melaksanakan akad nikah juga harus melewati tes baca al-Qur€an. Bila tidak bisa atau belum benar bacaannya, terutama bagi pasangan pengantin laki-laki maka akad nikahnya ditunda. Calon pengantin laki-laki pada saat akad nikah akan dilaksanakan, dia akan diuji bacaan al-Qur€an yang didengarkan oleh para hadirin. Sementara bagi calon pengantin perempuan tes bacaan al-Qur€an dilaksanakan pada saat pendaftaran. Tujuan dilakukan ujian ini adalah untuk membentuk generasi Qur'ani. Peraturan ini tidak berlaku bagi muallaf laki-laki. Tes membaca al-Qur€an juga berlaku bagi pegawai atau calon pegawai. Masyarakat yang akan menjadi pegawai atau yang akan dipromosikan jika tidak atau belum bisa baca al-Qur€an , akan ditunda pelaksanaannya sekitar tiga bulan dengan harapan agar dia
277
memiliki waktu untuk mempelajari al-Qur’an terlebih dahulu hingga bisa membaca al-Qur’an. Dampak dari pemberlakuan PERDA ini adalah bermunculan berdirinya TPA/TKA. Sebelum PERDA nomor 3 tahun 2002 tentang pemberatasan minuman keras diberlakukan, pernah terjadi dimana seorang oknum polisi mengkonsumsi minuman keras. Kejadian ini diketahui oleh masyarakat, lalu masyarakatpun melaporkannya kepada atasan di instansinya. Setelah PERDA diberlakukan kasus itu tidak berulang lagi. Hal ini mengindikasikan terjadinya kerjasama yang baik antara aparat keamanan dengan masyarakat. Pelaksanaan PERDA memang dinilai keras. Namun, melihat dampak dari diberlakukannya PERDA ini yang cenderung menunjukkan ke kondisi lebih baik, maka Pemerintah Daerah gencar mensosialisasikannya di tengah masyarakat. Penjualan dan peredaran minuman keras di Kabuapten Bulukumba memang tergolong marak dan mengkhawatirkan. Suatu ketika ditemukan seorang penjual minuman yang mengelabui pembeli dengan cara menukar isi botol coca-cola dengan bir. Hampir semua café- café di sepanjang pantai melakukan tindakan ini. Setelah diberlakukannya PERDA, café yang masih melakukan hal demikian izin usahanya akan dicabut. Namun demikian, ternyata minuman keras masih didapatkan dengan cara men-supply dari daerah lain seperti Kabupaten Banteang, Kabupaten Jenoponto, dan Kabupaten Kendang. PERDA nomor 3 Tahun 2002 dinilai efektif untuk menata kehidupan masyarakat dengan aman dan damai. Masyarakat sangat peduli dengan pelaksanaan PERDA ini, terbukti apabila masyarakat melihat pelanggaran, mereka segera melaporkannya ke aparat keamanan. Aparat keamanan akan menjaga rahasia pihak yang melapor itu dari publikasi.
anak-anak usia sekolah dari SD sampai Perguruan Tinggi. Anak perempuan wajib memakai jilbab. Peraturan ini juga berlaku bagi karyawan semua instansi, baik tingkat bawah hingga tingkat atas kecuali bagi karyawan nonmuslim. Penyanyi yang melakukan aktifitasnya di atas panggung diwajibkan mengenakan busana muslim. Suatu contoh kejadian dimana seorang biduanita naik di atas panggung tidak memakai kerudung. Bupati melihat keadaan ini, lalu Bupati naik panggung dan memakaikan kerudung padanya. Contoh kejadian lain yaitu pada saat acara pertemuan pejabat beserta isteri-isterinya. Tamu-tamu wanita semuanya berbusana muslimah kecuali salah seorang isteri pejabat (isteri pejabat baru Kodim Bulukumba) tidak memakai jilbab. Lalu pejabat itu menanyakan kepada salah seorang yang hadir, apakah ada aturannya tentang memakai busana muslim? Setelah mendapat jawaban ternyata benar, ada aturannya, dia pun menyuruh isterinya pulang untuk mengenakan busana muslimah. Contoh kasus lain dimana suatu saat Bupati mengadakan pertemuan dengan para pegawainya, lalu dia melihat ada pegawai wanita yang belum mengenakan jilbab. Lalu dia memerintahkan pembantu pribadinya untuk mengambil jilbab dari dalam mobilnya, kemudian diberikan kepada yang wanita itu. Inilah cara Bupati melaksanakan sosialisasi (jilbab) pada para karyawannya. Pelaksanaan PERDA oleh Bupati yang baru juga berlanjut dan bahkan lebih intensif. Dana yang dikucurkan pun meningkat dari tahun sebelumnya. Pada tahun Tahun 2004 anggaran masing-masing desa mencapai 140 juta yang sifatnya untuk pembangunan fisik. Namun, pada tahun anggaran 2006, alokasi dana tersebut meningkat menjadi 150 juta rupiah per-desa yang dititik beratkan pada pembinaan dan penyuluhan. Pada mulanya dilakukan pengambilan
PERDA nomor 5 Tahun 2003 mengatur tentang berbusana muslim dan muslimah. Hal ini lebih ditekankan penerapannya pada
278
279
sampel sebanyak 15 desa muslim.11 Pembinaan dan penyuluhan dilakukan pada waktu sore hari yaitu tentang pendidikan, busana, sholat berjamaah, kesehatan dan minuman keras. Respon masyarakat sangat bagus sekali. Menurut Andi Mahrus12 sebenarnya inti pengembangan nilainilai Islam di suatu daerah tergantung pada pimpinannya. Karena pemimpin memiliki otoritas dan kebijakan yang strategis dalam melaksanakan suatu peraturan. Pelaksanaan PERDA Keagamaan ini mendapat respon masyarakat di luar Bulukumba, baik dalam maupun luar negeri. Pernah tamu dari Semarang dan Sumatera Barat bahkan dari Malaysia dan Jepang datang ke Bulukumbang untuk melakukan studi banding tentang mekanisme dan proses awal terwujudnya PERDA keagamaan tersebut.
akhirnya pihak yang kontra pun bisa menerima. Bagi yang tidak setuju dengan pemberlakuan PERDA ini disebabkan sering kali karena orang-orang yang mensosialisasikannya sendiri tidak paham dengan maksud dan tujuan diberlakukannya PERDA itu. Maka, seharusnya sosialisasi itu harus dilakukan oleh orang yang mengerti dan memahaminya. Untuk mensosialisasikan keberadaan PERDA ini, telah disusun sebuah buku yang berjudul: “Mengawal Bulukumba ke Gerbang Syariat‚. Maksud dari judul buku itu adalah suatu proses berupa aturan-aturan untuk sampai ke tujuan (gerbang) yang dicitacitakan. Pemerintah Daerah Bulukumba berharap kepada semua pihak agar tidak menanggapi diberlakukannya peraturan itu sebagai upaya yang menjurus kepada diberlakukannya syariat Islam.
Dipaparkan dalam studi banding itu bahwa pada proses diberlakukannya PERDA merupakan pekerjaan yang tidak mudah. PERDA Keagamaan tidak lahir begitu saja, tapi diawali dengan lahirnya kebijakan pemerintah daerah di bidang keagamaan yang disebut dengan Crash Program Keagamaan yang tersusun dalam delapan poin yang disosialisasikan bertujuan mendekatkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Setelah masyarakat mengetahui dan menerima dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup mereka, secara pelan-pelan kemudian dikembangkan menjadi PERDA Keagamaan. Berbagai pihak baik di Bulukumba dan maupun di luar Bulukumba memandang diberlakukannya PERDA Keagamaan ini dengan tanggapan berbeda-beda, ada yang pro dan ada yang kontra. Pihak yang kontra, disebabkan karena mereka tidak paham. Setelah mengetahui dan memahami urgensi dari pemberlakuan PERDA ini, 11 Wawancara dengan Tadjuddin (Ketua Muhammadiyah Bulukumba) pada hari Kamis, 7 Desember 2006 12 Wawancara dengan Andi Mahrus (Asisten III Pemda Bulukumba) pada hari Jum‚at, tanggal 8 Desember 2006
280
281
BAB IV RESPON MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PERDA KEAGAMAAN DI KABUPATEN BULUKUMBA
Antusiasme dan kesadaran masyarakat untuk menerima dan menjalankan PERDA Keagamaan semakin membaik. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan simbol-simbol yang bernuansa keagamaan. Identitas suatu lembaga atau instansi disamping menggunakan bahasa Indonesia juga menggunakan tulisan berbahasa Arab. Seperti tulisan papan nama sekolah-sekolah, instansi pemerintahan seperti Departemen Perindustrian Kepariwisataan dan Budaya, Departemen Agama, dan instansi lainnya.
Disamping ada kelompok yang pro dengan diberlakukannya PERDA Keagamaan, ada juga yang kontra. Sebuah organisasi yang menamakan diri dengan Lembaga Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) di Jakarta menentang PERDA Keagamaan yang ada tersebut. Pemerintah Daerah Bulukumba berharap pihak yang kontra di wilayah Kabupaten Bulukumba dengan lapang dada melihat keberhasilan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Daerah ini. Bupati Kepala Daerah Bulukumba yang sekarang, belum membentuk kebijakan baru, artinya masih melanjutkan kebijakan yang dibuat oleh pendahulunya. Dalam waktu dekat, masyarakat berharap pemberlakuan ini meningkat ke wilayah yang lebih tinggi yaitu propinsi. Seperti pengembangan sebelumnya dimana pemberlakukannya dimulai dari tingkat desa, kemudian meningkat menjadi wilayah kecamatan, kemudian kabupaten.
Dari keempat PERDA yang sudah diberlakukan kemungkinan akan ada penambahan PERDA lain, seperti PERDA yang mengatur jual beli dan sistem perbankan bagi hasil (sistem Bank Syariah).
Secara perlahan-lahan PERDA itu diterima dengan baik oleh masyarakat. Ini berarti mereka mulai sadar dan mengerti akan luhurnya nilai-nilai syariat Islam. Upaya yang dilakukan oleh pelaksana lapangan adalah dengan menggalakkan peranan majelismajelis taklim13.
Masyarakat non-muslim memandang bahwa setelah diberlakukannya PERDA mereka merasa nyaman dan aman, harta benda mereka terlindungi. Maka mereka tidak melakukan protes. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Andi Mahrus dan Tjamiruddin.
Meskipun pelaksanaan PERDA dinilai menunjukkan hasil, namun bukan berarti tidak ada lagi pelanggaran-pelanggaran kriminal seperti minuman keras, perjudian, pencurian dan sebagainya. namun, jika diprosentase bilangannya kecil dibandingkan dengan sebelum diberlakukannya PERDA itu.
PERDA yang mengatur tentang zakat, infaq dan shadaqah bagi yang belum menyadari kewajiban ini perlu diberikan penjelasan dan pemahaman. Infaq bagi para pegawai bila dilaksanakan akan terkumpul dana yang dapat digunakan untuk menekan angka kemiskinan dan kebodohan. Keberhasilan pelaksanaan PERDA zakat, infaq dan shadaqah ini bergantung kepada tingkat kesadaran masyarakat.
Rasa aman dan damai dirasakan oleh semua pihak di Bulukumba. Sebagai contoh bila terjadi pertikaian, tokoh agama sangat berperan untuk mendamaikan. Dengan nasehat dan taushiah, pihak yang bertikai pun menyadari dan akhirnya damai kembali dalam suasana kekeluargaan.
282
13 Wawancara dengan K.H. Mahdy Hakmah, BA. (Ketua MUI Bulukumba) pada hari Sabtu, tanggal 9 Desember 2006
283
Saling membantu dan mendukung juga menjadi contoh dampak dari pemberlakuan PERDA ini. Kriminalitas berupa pencurian seringkali disebabkan oleh tidak adanya lapangan pekerjaan. Kemudian orang yang mampu, memberikan pekerjaan pada orang yang tidak memiliki pekerjaan sebagai mata pencarahriannya. Karena letak wilayah Bulukumba dekat dengan pantai, maka jumlah nelayan juga banyak. Salah seorang nelayan memiliki perahu tapi kondisinya tidak layak untuk berlayar mencari ikan. Perahu itu lalu diperbaiki. Setelah dirasa layak untuk melaut, perahu itupun diberikan kepada orang yang tidak punya pekerjaan itu untuk mencari ikan. Satu masalah terpecahkan. Ini satu contoh. Contoh lain adalah anak yang putus sekolah karena keterbatasan biaya. Orang kaya tak segan-segan menunjukkan kepeduliannya dengan membiayai anak tersebut hingga selesai. Hal ini dicontohkan sendiri oleh Bupati lama. Penataan desa secara fisik juga menunjukkan geliatnya. Desadesa terlihat bersih dan tertata rapi sebagai bukti kongkret jaminan mutu keberhasilan pelaksanaan pemerintahan di Bulukumba. Lomba Kebersihan di seluruh tingkat, baik desa maupun kecamatan sering kali diselenggarakan. Hal ini dapat memacu kesadaran seluruh masyarakat. Pembinaan di bidang rohani dan mental juga digalakkan dengan didukung oleh seluruh masyarakat. Masyarakat Bulukumba melalui para pemimpin dan tokohtokoh agama berharap agar pemerintah pusat memberikan payung hukum kepada PERDA ini. Mereka merasa berjalan sendiri tanpa ada dukungan dari pemerintah pusat. Menurut mereka, ada pejabat tingkat pusat yang menolak datang ke Bulukumba karena penilaian negatifnya terhadap PERDA ini. Penilaian negatifnya yaitu di Kabuapten Bulukumba hendak diberlakukan syaria€at Islam. Pandangan seperti itu menurut mereka adalah pandangan yang keliru.
BAB V ANALISIS
Isu pemberlakuan syariat Islam cukup lama berkembang di daerah ini. Tuntutan pemberlakukan syari’at Islam muncul di Makassar dalam Kongres Umat Islam II yang dilaksanakan pada tanggal 30 Desember 2001. Bahkan untuk kasus Sulawesi Selatan, fungsionaris DPP PAN, AM. Fatwa menegaskan bahwa perjuangan untuk menuntut pemberlakuan syariat Islam harus tetap berlangsung, namun tidak harus dengan pemaksaan atau kekerasan. Sebelum pemberlakuan PERDA keagamaan ini, Bupati Bulukumba Patabai Pabokori bersama dengan jajarannya berusaha dapat membuat payung hukumnya berdasarkan visi dan misi yang dimiliki oleh Kabupaten Bulukumba. Karena dengan visi itu diharapkan dapat mewujudkan masyarakat Bulukumba yang sejahtera dan berkualitas dengan memanfaatkan potensi sumber daya daerah yang berlandaskan pada moral agama dan nilai-nilai luhur budaya. Siapapun yang mengaku sebagai muslim sudah pasti bertanggung jawab atas tegaknya syariat Islam. munculnya ide €Crash ProgramÅ Keagamaan disambut antusias oleh masyarakat dan mendukungnya. Tersusunnya konsep itu berangkat dari keinginan pihak-pihak yang menginginkan Bulukumba menjadi wilayah yang aman, tentram, damai dan sejahtera bagi penduduknya maupun bagi orang luar yang berkunjung ke Bulukumba, meskipun pada prakteknya menemui banyak kendala dan tantangan. Ternyata kendala dan tantangan yang muncul berasal dari umat Islam sendiri. Ini yang dipandang sebagai tugas yang berat. Hal-hal yang melatarbelakangi lahirnya PERDA No. 6 Tahun 2003 adalah :
284
285
1.
Perkembangan syariat Islam yang dimulai sejak kehadiran ulama tasawuf Khatib Bungsu yang bergelar Dato Ri Tiro pada awal abad ke 17 masehi.
2.
Diperkirakan jumlah penduduk Bulukumba yang buta aksara alQur’an kira-kira 20% dari jumlah 360.126 jiwa .
3.
Tingkat kesadaran masyarakat untuk mempelajari, membaca, mendalami dan mengamalkan al-Qur’an masih rendah.
Kemudian kondisi setelah lahirnya PERDA No. 6 Tahun 2003 adalah sebagai berikut: 1.
Jumlah Buta Aksara (diperkirakan 5,5%).
al-Qur’an
mengalami
2.
Tingkat kesadaran masyarakat dalam mempelajari, membaca, mendalami dan mengamalkan al-Qur’an meningkat ( dengan berkembangnya TPA/TKA sebanyak 648 buah, Majelis Taklim sebanyak 143 buah ).
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan 1.
Pelaksanaan PERDA bermula dari adanya Crash Program Keagamaan Kabupaten Bulukumba.
2.
Antusias dan kesadaran masyarakat untuk menerima dan menjalankan PERDA Keagamaan sangat baik. PERDA yang dimaksud adalah PERDA Nomor 3 tahun 2002 tentang Larangan, Pengawasan, Penertiban, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol. Sebelum pemberlakuan PERDA ini sering terjadi pertikaian antar kampung akibat dari minuman keras. Kemudian PERDA No. 05 tahun 2003 tentang Berpakaian Muslim dan Muslimah. Kemudian PERDA No. 06 tahun 2003 tentang Pandai Baca al-Qur’an bagi Siswa dan Calon Pengantin, serta PERDA No. 02 tahun 2003 tentang Pengelolaan Zakat Profesi, Infaq dan Shadaqah.
3.
Sejak diberlakukan PERDA Keagamaan di Kabuapten Bulukumba hingga kini tidak ada reaksi negatif (protes) dari umat non-muslim bahkan mereka merasa lebih aman dan terjaga harta bendanya.
penurunan
Memperhatikan uraian sebagaimana diungkapkan di atas, ternyata lahirnya PERDA mempunyai dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Tetapi sebaiknya Pemerintah Daerah tidak hanya membuat PERDA yang bersifat normatif, tetapi juga membuat PERDA yang dapat menjawab kebutuhan nyata bagi masyarakat.
B. Rekomendasi
286
1.
PERDA Keagamaan tidak hanya yang bersifat normatif, tetapi juga hendaknya yang berkaitan langsung dengan masalah yang dihadapi oleh masyarakat Kabupaten Bulukumba.
2.
Perlu dilakukan sosialisasi secara terus menerus terhadap pihakpihak yang masih belum dapat menerima kehadiran PERDA yang bernuansa Syari’at Islam tersebut. Dan sebaiknya PERDA tersebut tidak dikaitkan dengan Syari’at Islam, sebab beberapa kelompok tertentu masih ”alergi” dengan kata-kata tersebut.
287
DAFTAR PUSTAKA
A. H. Patabai Pobokori, editor Mahrus Andi, €Mengenal Bulukumba ke Gerbang Syariat IslamÅ, Editor Mahrus Andi, penerbit Karier Utama, Cetakan Pertama, 2005. Bulukumba Dalam Angka tahun 2005 (BPS). Zuly Qodir, ÅSyariah Demokratik (Pemberlakuan Syariah Islam di Indonesia)Å, Pustaka Pelajar, 2004.
288