MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 51
3.1.1.4 Kroncong dari tahun 1930-an sampai 1942
Mulai sekitar tahun 1925, dan semakin pesat lagi pada awal tahun 1930-an, kron cong berubah setahap demi setahap. Lagu-lagu kroncong menjadi lebih bersifat indivi dual, lebih mudah dibedakan, serta syair dan pantunnya juga mulai tetap atau dibakukan. Maksudnya, setiap kali Kron cong X dinyanyikan oleh siapapun, maka susunan pantun/ syair dan kupletnya menjadi serupa. Perubahan-perubahan ini menunjukkan unsur profesionalisasi kroncong, karena pada umumnya orang biasa, Gbr. 3.9: Miss Herlaut (Aer Laoet), bintang atau penyanyi amatir, menja kroncong dari Solo tahun 1920-an di tidak mampu lagi menghapalkan sekian banyak melodi dan susunan teks baku. Dengan dukungan gramofon dan piringan hitam (dan juga, dari 1933, dukungan radio; lihat di bawah), dalam periode ini kron cong menjadi musik populer yang paling digemari di Indonesia, terutama di perkotaan. Kroncong mulai lepas dari teater Stambul menjadi jenis lagu yang terdengar di mana-mana. Teater Stambul sendiri berubah bentuk menjadi “tonil” atau “opera”, seperti Orion-nya Miss Riboet yang disebut tadi, atau Opera Dardanella, dengan Sri Panggungnya Miss Dja (= Dewi Dja) dan penulis drama Andjar Asmara (nama asli: Abisin Abas). Selain kroncong, musik dan “extra turn” dalam teater baru ini terbuka untuk lagulagu populer dari Barat, dan juga dari India, Arab, Tiongkok, atau budaya Melayu, sesuai dengan cerita. �������������������������� Para bintang kroncong dan bintang teater sering trampil dalam menyanyi dan menari dalam beberapa gaya. Salah satu bintang kroncong yang muncul pada akhir tahun
52 | MUSIK POPULER
1920-an adalah S. [Said] Abdullah, seorang peranakan Arab yang lahir di Jatiwangi, Cirebon dan kemudian tinggal di Surabaya. ���� Dia menjadi terkenal lewat piringan hitam merk His Master’s Voice mulai tahun 1929 dan terus direkam selama dekade berikutnya. (Beliau meninggal dunia pada tahun 1941.) Pada masa awal karirnya, dia dikenal sebagai penyanyi kroncong dengan ensambel kroncong standar. Tetapi sejak tahun 1935, S. Abdullah menjadi sangat populer karena membawa lagu kroncong (dengan struktur kroncong asli) dengan gaya musik populer Barat—kroncong tango, kroncong rumba, kroncong foxtrot, kroncong blues, dan sebagainya. Instrumentasinya mendekati dance-band atau swingband Barat dan tidak lagi terbatas pada instrumentasi ensambel kroncong. Langgam kroncong
Pada paruh kedua tahun 1930-an ada dua perkembangan pen ting dalam dunia kroncong. Yang satu adalah munculnya lagulagu S. Abdullah yang baru saja disebut, yang menyusun lagu kroncong asli dalam gaya Barat. Yang kedua adalah kebalikannya, lagu-lagu dengan struktur lagu Barat (bukan struktur kron cong asli) dimainkan dengan gaya dan instrumentasi kroncong, terutama memasukkan permainan cak-cuk dan selo kendang. Struktur baru ini (berarti baru di Indonesia) kelak disebut langgam kroncong, sekalipun pada tahun 1930-an belum disebut seperti itu. Lagu “Bengawan Solo” yang sangat terkenal—diciptakan tahun 1940 oleh Gesang Martohartono—merupakan salah satu contoh langgam kroncong. Di bawah ini adalah salah satu pola akor untuk langgam kroncong:
I* I I I I V V I
I I I I I V V I
I IV IV I I II II V
V I I I I V V I
*vokal biasanya mulai sesudah akor ini
VCD 1
Gesang
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 53
Langgam Keroncong Getaran Jiwa
Se-te-lah
nan
sen-ja
ki-lau-an
E ngkaulah
Nan je- li- ta
tam-pak
mengi-kat
A-
ku
R a-
yu- an i- r a- ma
J i- wa meng-
Untuk ja- di
me-nan-
ge- tar
hi-bur -an
ber - ti- r ai-kan
menghi-as
membayang di
ji- wa- ku
ti ji- wa menggetar
ha- ti
menghampi- r i
ha- ti- ku
a- lam maya-
pa- da
pe- lu-puk mata- ku
nan ber hasr at
me-nyinta
menca- r i a-
r in- du
mes-r a
din-da
ka-sih nan ku cin-ta
di ma-sa ‘ ku
du- ka
Sebenarnya banyak susunan akor yang terdapat pada langgam kroncong. Untuk mengerti apa yang khas di dalamnya, cobalah perhatikan dalam susunan di atas, bahwa baris 1, 2, dan 4 mempunyai susunan akor yang sama16 (berbeda dengan susunan akor untuk kroncong asli). Kalau susunan ini disebut susunan A dan susunan yang terdapat pada baris 3 disebut susunan B, maka 16 Sebagaimana dalam kroncong asli (lihat catatan kaki 12), susunan akor I I I I bisa diberi variasi, misalnya, untuk langgam, I I IV-V I. Baris 4 berbeda sedikit dari baris 1 dan 2, hanya karena akor V dipertahankan dari baris 3 sampai permulaan baris 4. Tetapi pada dasarnya susunan akor sama pada baris 1, 2, dan 4.
54 | MUSIK POPULER
struktur lagu langgam kroncong adalah AABA (sedangkan struktur kroncong asli adalah ABCC, cukup berbeda bukan!). Nah, ba nyak langgam kroncong mempunyai struktur AABA. Dan struktur AABA ini adalah struktur yang sangat umum pula untuk lagu populer Barat, termasuk lagu-lagu populer pada tahun 1930-an. Dengan munculnya bentuk baru ini, popularitas kroncong asli mulai memudar. Kebanyakan lagu yang diciptakan sesudah 1938 dan dimainkan dalam gaya kroncong adalah langgam kroncong, bukan kroncong asli.17 Sekarang, di abad ke-21 ini, hanya tersisa satu atau dua lagu kroncong asli yang masih terdengar. Kroncong sekarang tidak lagi berperan sebagai suatu bentuk komposisi yang produktif, melainkan sebagai suatu gaya aransemen dengan ciri khas permainan cak-cuk dan selo kendang.
Gbr 3.10: Kroncong Tugu dari Jakarta Utara, akhir-akhir ini
3.1.2 Musik Populer Selain Kroncong
Kroncong memang jenis musik populer yang dominan di Indonesia sebelum merdeka, paling tidak antara 1915 dan 1935. 17 Sekali lagi, harus dijelaskan bahwa “asli” di sini tidak berarti sesuatu yang lebih baik dari yang bukan “asli.” Kami menggunakan “kroncong asli” sebagai nama bentuk atau pola, bukan untuk mengatakan bahwa kroncong dengan bentuk itu lebih penting atau lebih patut dihargai daripada langgam kroncong.
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 55
Tetapi banyak jenis lain yang perlu disebut. Dan juga ada satu perkembangan teknologi yang belum dibicarakan, namun sangat penting dalam riwayat musik populer di Indonesia, yaitu: Radio
Siaran radio mulai dikenal di Hindia Belanda sejak perte ngahan tahun 1920-an. Pada mulanya, siarannya hanya ditujukan pada orang kaya di Batavia, terutama orang Belanda. Musik yang disiarkan hampir seluruhnya musik Barat. Siaran musik Indonesia—yang ketika itu disebut “siaran ketimuran”—baru mulai pada tahun 1933, pertama kali di Batavia, kemudian di Yogyakarta dan Surakarta, lalu Bandung, Semarang, dan Surabaya. Semuanya disiarkan oleh perkumpulan dan perhimpunan radio swasta, yang biasanya meminta iuran dari pendengarnya. ����� Pada tahun 1934, pemerintah kolonial mendirikan radio sendiri, yaitu NIROM (Nederlands-Indische Radio Omroep). Radio ini menyiarkan dua program sekaligus, program Barat dan program Ketimur an. Pada awalnya, siaran NIROM hanya diterima dengan baik di Jawa. Tetapi kemudian setelah diperkuat dengan alat siaran (zender) khusus, siaran itu dapat didengar sampai ke Sumatera dan pulau-pulau lain. Pada mulanya, hampir 100% siaran radio diisi dari piringan hitam, tetapi makin lama makin banyak siaran “live”: siaran kron cong dan lagu populer dalam bahasa Melayu/Indonesia; siaran gamelan Jawa, wayang kulit Jawa, ketoprak, wayang golek Sunda, tembang Sunda, musik yang-khim, lagu dalam bahasa Arab, dan berbagai macam musik dari Sumatera. Sekalipun radio dimulai sebagai hiburan untuk orang kaya saja, namun pada akhir tahun 1930-an siarannya juga mulai dikenal di kalangan kelas mene ngah, walaupun “tustel” radio masih tetap mahal. Bergandengan dengan gramofon, radio menjadi alat yang sangat penting dalam menyebarluaskan lagu dan artis baru kepada audiens di seluruh Indonesia (terutama di perkotaan). Jenis-jenis musik populer (selain kroncong)
Hawaiian. Musik Hawaiian, yang umumnya (di luar Hawaii) dinyanyikan dalam bahasa Inggris, mulai populer di Indonesia
56 | MUSIK POPULER
pada awal tahun 1930-an. Karena instrumennya dekat sekali de ngan instrumen kroncong—yang penting harus ditambah dengan gitar Hawaiian—maka grup kroncong seringkali bisa memainkan musik Hawaiian juga. Beberapa grup Hawaiian yang terkenal lewat radio dan piringan hitam adalah:
Hawaiian Orkest The Silver Strings Modern Krontjongclub Hawaiian Serenaders Hawaiian Orkest Sweet Java Islanders Hawaiian Tapian Na Uli The Hawaiian Syncopaters
Gbr: 3.11: The Hawaiian Little Boys
Musik populer Barat. Selain lagu kroncong yang di-tangokan atau di-rumba-kan, para penyanyi bintang seperti Miss Riboet atau S. Abdullah juga menyanyikan lagu-lagu gaya Barat yang bukan kroncong: tango, rumba, foxtrot, blues, dan sebagainya. Lagunya diambil dari piringan hitam impor, atau diciptakan baru; syairnya dalam bahasa Indonesia atau kadang-kadang dalam bahasa Inggris —ataupun dalam bahasa Arab! (Misalnya, S. Albar dari Surabaya merekam “Guliman,” sebuah rumba dengan “mo dern Arabic vocal,” pada tahun 1937.) Suatu hal yang perlu disadari adalah bahwa penggemar musik populer waktu itu—baik kron cong dan Hawaiian maupun lagu Barat dan musik populer lainnya— kebanyakan bukan kaum remaja melainkan kaum dewasa. Dominasi audiens remaja dan dewasa muda dalam musik populer merupakan fenomena dunia yang baru mulai pada pertengahan tahun 1950-an—kira-kira 1955 ke atas.
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 57
Jazz. Pada tahun-tahun 1920-an dan 1930-an musik jazz sering dimainkan di Batavia, umumnya untuk mengiringi dansa. Kebanyakan pemainnya adalah orang Indo (Belanda-Indonesia), tetapi ada juga pemain Belanda tulen, Peranakan Tionghoa, dan Pribumi. Jazz band yang terkenal, antara lain, adalah:
The Swimming Bath Orchestra [yang bermain di gedung kolam renang] Brown’s Sugar Babies The Silver Kings Batavia Syncopators
Gbr 3.12: The Silver Kings Orchestra, jazz band di Batavia tahun 1930-an
Pada tahun 1930-an, jazz dan dansmuziek disiarkan “live” lewat radio beberapa kali dalam setiap minggu, tetapi tidak direkam pada piringan hitam. (Hanya satu piringan saja—berisi dua lagu—yang pernah direkam dengan jazz dari Batavia: Ma [= Ma, He’s Making Eyes at Me] dan Dinah, oleh The Silver Kings Orchestra, diterbitkan Januari 1936.) Mengapa ada banyak jazz yang dimainkan dan disiarkan, tetapi tidak direkam? Barangkali karena para konsumen yang ingin beli piringan hitam jazz, lebih suka mencari rekaman versi “asli” dari Amerika atau Eropa daripada buatan lokal. Di sinilah kita melihat sebuah contoh fenomena yang sering ditemukan dalam musik populer: ada versi “asli” atau definitive, yang datang dari jauh (biasanya lewat rekaman) dan bergengsi tinggi, sementara versi “tiruan” lokal kurang diminati.
58 | MUSIK POPULER
Gbr 3.13: Grup jazz band perempuan (Indonesia -Tionghoa) di Kudus, 1933
Satu hal lagi mengenai jazz tahun 1930-an: jazz dan dansmuziek tidak hanya terdapat di Batavia saja. Ada jazz di beberapa kota besar lain, termasuk di Kutai di Kalimantan Timur, di mana ada jazz band yang dipimpin oleh Sultan Kutai sendiri! Sultan Kutai bermain biola di dalamnya; sedangkan adik dan putera nya bermain saxophone. Dan dari tahun 1920 hingga 1924, Wage Rudolf Soepratman (komponis lagu kebangsaan Indonesia Raya) memainkan biola dalam Black and White Jazz Band di Makassar. Instrumentasi band ini lebih dekat pada kroncong daripada jazz band (yang biasanya memakai saxophone, trumpet, klarinet, dan lain sebagainya). Dalam band Soepratman terdapat dua biola, gitar, ukulele, mandolin, dan drum set Barat, dengan tulisan “Black and White Jazz Band” pada bass drum. ��������������������������� (Jadi band itu pasti bukan orkes kroncong, walau mungkin bisa main kroncong juga.) Orkes Gambus dan Orkes Harmonium. Harmonium adalah sejenis keyboard kecil dengan suara mirip akordeon, masuk ke Indonesia dari musik India dan Melayu. Orkes harmonium—de ngan inti biola, harmonium, gendang Melayu, dan vokal—adalah suatu ensambel kecil yang dimainkan untuk mengiringi nyanyian dalam bahasa Melayu atau bahasa Arab, pada dekade 1920 dan 1930-an. Sebuah gambus sering ditambahkan ke dalam ensambel. (Istilah gambus di Indonesia dipakai untuk menamakan beberapa lut petik yang diduga berasal dari Timur Tengah, termasuk ’ud Arab.) Istilah orkes gambus bisa dipakai untuk orkes harmonium
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 59
dengan gambus, tetapi lebih sering dipakai untuk suatu ensambel lebih besar yang menambahkan beberapa alat lain lagi. Misalnya, pada tahun 1930-an Sech Albar memimpin sebuah “orkes gambus modern” yang terdiri dari dua biola, selo, string bass, flute, klarinet, saxofon, dua gitar, mandolin, harmonium, dan ’ud. Pada umumnya, nyanyian dengan orkes gambus menggunakan bahasa Arab, atau kadang-kadang bahasa Melayu. Ragam lagunya antara lain, tango, rumba, dan kasidah. Beberapa orkes gambus yang banyak direkam dan disiarkan pada tahun 1930-an adalah: The Young Arabian Orchestra (dari Surabaya, dengan penyanyi Mohamad Albar) Gamboes S.T.S. Wihdatoessjoebban (dari Padang, dengan penyanyi Hadji Ramli dari Suliki) Gamboes-Orkest NIROM Ketimoeran (dari Surabaya, dipimpin oleh Sech Albar)
Musik populer dalam bahasa daerah. Kebanyakan lagu-lagu populer sebelum merdeka dinyanyikan dalam bahasa Melayu (Indonesia); tetapi ada juga dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Lagu-lagu dalam ketiga bahasa ini tidak bersifat kedaerahan. Menjelang akhir dasawarsa 1930-an muncul siaran dan rekaman piringan hitam musik populer yang dinyanyikan dalam bahasa daerah. Anehnya, kebanyakan dalam lima bahasa saja, yakni bahasa Batak Toba, Karo, Aceh, Makassar, dan Sunda. Kami belum bisa menjelaskan mengapa belum ada dalam bahasa lain, seperti Jawa, Minang, Banjar, atau Bugis, misalnya. (Langgam Jawa memang menggunakan bahasa Jawa, tetapi musik itu baru muncul pada tahun 1950-an.) Lagu-lagu yang direkam (mulai 1937) dalam bahasa Toba, Karo, dan Aceh adalah lagu ciptaan baru dan aransemen lagu rakyat (“folksong”)18 yang menggunakan tangga nada, instrumentasi, dan idiom-idiom (gaya) musik Barat. Pada ������������������������ label piringannya, � ����������������������������������������������������������������������� Sebenarnya, belum jelas “lagu rakyat” atau “folksong” ini berasal dari mana. Apakah untuk “folksong Batak” lagunya dipinjam dari musik gondang? Apakah dari lagu untuk teater rakyat Toba (“Opera Batak”) yang populer pada tahun 1920-an dan 1930-an? Ciptaan baru dengan ciri-ciri yang terasa dekat dengan rakyat? ������������������������������ Dan dari mana “folksong Aceh”?
18
60 | MUSIK POPULER
disebut wals, tango, foxtrot, hymn [=lagu gereja], lagu, duet, trio, dan folksong. Berbeda dengan lagu-lagu yang direkam (1938-1940) dalam bahasa Makassar. Semua lagu ini direkam oleh penyanyi, komponis, sekaligus aransir Hoo Eng Djie (1906-1962), seorang peranakan Tionghoa dari Makassar. Rekamannya menggabungkan beberapa alat Barat (misalnya, trumpet dan klarinet) dengan alat lokal (gambus, rebana) dan menggunakan tangga nada Barat, tetapi lagu dan gayanya agak dekat dengan musik lokal Makassar. Lain lagi dengan lagu-lagu Sunda. Yang kami bicarakan di sini sebagai musik populer Sunda pada tahun 1930-an adalah suatu perkembangan dari musik tradisional Sunda, yaitu tembang. Tembang merupakan nyanyian yang diiringi oleh beberapa kacapi (siter). Pada tahun 1920-an, terjadi suatu perubahan struktural dalam pertunjukan tembang. Biasanya beberapa tembang akan di nyanyikan berturut-turut; kemudian muncul kebiasaan untuk menutup rangkaian tembang itu dengan suatu lagu yang lebih ringan. Lagu penutup ini disebut panambih atau lagu ekstra. (Masih ingat dengan “extra turn” pada teater stambul?) Panambih atau ekstra ini sangat digemari masyarakat, dan di toko piringan hitam lagu panambih lebih populer daripada tembang sendiri, sehingga keba nyakan rekaman yang ada pada tahun 1930-an bukan tembang melainkan panambih. Dari segi instrumentasi, tangga nada, dan idiom permainan, musiknya 100% Sunda. Begitupun, panambih harus dianggap sebagai musik populer Sunda karena penyanyinya ada yang menjadi bintang. Selain itu panambih baru sering diciptakan untuk memenuhi tuntutan penggemar. Penyanyi Sunda yang menjadi bintang karena panambih, di antaranya Nji Moersih, Nji Resna, Neng Ito (dari Bandung), Nji Mene (dari Garut), Nji Mas Saodah, dan seorang pria yang terkenal sebagai penyanyi jenaka, Menir Moeda (Holil). Fenomena lagu panambih—musik populer dengan gaya tradisional—akan kita lihat lagi pada saat kita membicarakan jaipongan (dari Sunda). 3.2 ZAMAN JEPANG DAN ZAMAN REVOLUSI
Walaupun kroncong asli mulai mundur sesudah munculnya langgam kroncong, kroncong asli masih dinyanyikan selama za-
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 61
man Jepang (1942-1945) dan zaman Revolusi (1945-1949). Malah, kedua jenis kroncong itu merupakan musik populer yang dominan di Indonesia selama dasawarsa 1940-an. Salah satu alasan adalah karena pemerintahan Jepang, yang menduduki Indonesia dari 1942 sampai 1945, melarang musik Barat, terutama yang dari Amerika dan Inggris (musuhnya Jepang dalam Perang Dunia Ke dua, 1939-1945). Musik kroncong jelas lolos dari larangan tersebut, begitu pula musik Hawaiian (barangkali karena Hawaii belum menjadi negara bagian Amerika Serikat saat itu). Akan tetapi jazz, dansmuziek, dan lagu-lagu populer dari Barat lainnya tidak boleh dimainkan, disiarkan lewat radio, atau dijual sebagai piringan hitam. Bagi pemain dan komponis kroncong, larangan ini membuat saingannya seperti menghilang. Pada zaman Jepang, semangat untuk membangun Indonesia merdeka juga meningkat. Beberapa lagu perjuangan yang kemu dian menjadi terkenal pada zaman Revolusi—misalnya, Maju Tak Gentar, Sorak-sorak Bergembira, dan Tanah Tumpah Darahku, semuanya oleh Cornel Simandjuntak (1920-1946)—diciptakan antara tahun 1942 dan 1945. Selama Revolusi, banyak lagu baru diciptakan dan menjadi populer lewat radio dan panggung teater. (Sesudah tahun 1941, produksi piringan hitam baru terhenti, oleh karena kekacauan perdagangan internasional selama Perang Dunia Kedua. Di �������� Indonesia, produksi itu kembali lagi pada awal tahun 1950-an.) Tentu saja, lagu yang bukan ciptaan baru dinyanyikan juga. ����������� Menurut J. 19 A. Dungga dan Liberty Manik, ada empat golongan lagu yang terdengar pada era Revolusi Indonesia, yaitu: • Lagu mars – misalnya: Halo Halo Bandung (cipt. Ismail Marzuki), Dari Barat Sampai ke Timur (R. Surarjo), Indonesia Merdeka (Cornel Simandjuntak), Dwi Warna (Hs. Mutahar). • Lagu tenang yang bersifat “hymne perjuangan”– misalnya: Bagimu Negri (Kusbini), Syukur (Hs. Mutahar), Tanah Tumpah Darahku (Cornel Simandjuntak), Tanah Airku (Iskak). • Lagu percintaan – Gugur Bunga (Ismail Marzuki), Karangan 19 “Sekitar lagu2 Indonesia dalam revolusi,” dalam J. A. Dungga dan L. Manik, Musik di Indonesia dan beberapa persoalannja, djilid I (Jakarta: Balai Pustaka, 1952), hlm. 54-68.
62 | MUSIK POPULER
Bunga dari Selatan (Ismail Marzuki), Rela (Dede Saienan), dan banyak lagi. Menurut Dungga dan Manik, “golongan lagulagu ini banyak dinyanyikan dalam segala lapisan masyarakat dan selama revolusi menjadi bagian terbesar dari materi siar an-siaran radio dan pertunjukan-pertunjukan sandiwara yang merupakan nyanyian”. Catatan: ������������������������������������ kebanyakan lagu percintaan ini berbentuk langgam kroncong. • Lagu sindiran – misalnya Ibu Aku Tak Sudi Tukang Catu, dan Sepanjang Malioboro.
Kr. Irama Revolusi
I- ra- ma re-vo- lu- si ber-
Mem-
ge-ma
be- la
ke- a- di-
lan Ne-
Re- vo-
nan a-gung ser-ta ja- ya
Vi-ve- re ve-ri ko-lo- so
Ma-ju terus
mundur
di- ka-
b’di-ri
di- atas
ga- ra
lu- si In- do- ne-
gu- mi
bang- sa
ka-ki sen- di- ri
sia
se-dunia
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 63
3.3 Tahun 1950-an
Sesudah Revolusi usai dan kemerdekaan Indonesia diakui di seluruh dunia, banyak perubahan terjadi dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, termasuk dalam musik populer. Kroncong. Kroncong pada masa ini agak berubah suasana. Pada tahun 1930-an dan sebelumnya, kroncong merupakan musik hiburan semata, salah satu musik yang up-to-date. Tetapi dalam era Indonesia baru, sesudah revolusi, kroncong terasa berasal dari zaman dulu: zaman perjuangan, zaman pahlawan, ataupun sebelumnya, era kolonial. Bukan lagi sebagai hiburan ringan—sekarang dianggap ada bobot, ada sejarah, ada nuansa yang serius. Penggemarnya juga semakin dewasa. Seiring dengan perubahan suasana ini, tempo kroncong sekali lagi diperlambat. Jika pada pertengahan tahun 1920-an telah diperlambat menjadi kira-kira separuh tempo, sekarang diperlambat separuh lagi (seperempat tempo dibanding tempo pada tahun 1910-an). Melodinya menjadi lebih rumit lagi, dan permainan iringannya (cak-cuk, selo, gitar) dirangkap (di-dobel) untuk mengisi selasela yang semakin dibuka dengan perlambatan tempo. Langgam Jawa. Nama ini mengungkapkan dua dari tiga unsur khas dari jenis musiknya: dinyanyikan dalam bahasa Jawa, dan bentuk lagunya sering AABA (langgam standar), sekalipun ada bentuk-bentuk lain juga. Barangkali unsur ketigalah yang pa ling menonjol untuk pendengar, yaitu langgam Jawa umumnya menggunakan tangga nada yang mirip dengan tangga nada pelog dalam karawitan Jawa. (“Mirip” karena tidak pakai tangga nada pelog sebagaimana pelog sebenarnya pada gamelan; melainkan memilih-milih nada dari tangga nada Barat, supaya kedengaran menyerupai pelog.) Ketiga unsur inilah diterapkan pada ensambel standar untuk kroncong—biola, suling, cak-cuk, gitar, selo (dimainkan dengan gaya kendhangan Jawa). (Kadang-kadang string bass dan/atau kendhang Jawa ditambahkan.) Permainan ensambelnya jelas meniru susunan gamelan Jawa, atau lebih tepat susun an siteran. Siteran adalah suatu ensambel yang membawakan gen dhing gamelan dengan siter (alat dawai petik) sebagai instrumen yang paling menonjol.
64 | MUSIK POPULER
Langgam Jawa diperkirakan muncul sebelum tahun 1950an, dan berkembang pesat kira-kira sesudah tahun 1955. Ada dua nama yang selalu dikaitkan dengan jenis ini: Andjar Any (lahir di Ponorogo, 1936), yang katanya menciptakan lebih dari 2000 lagu, kebanyakan langgam Jawa; dan Waldjinah (lahir di Solo, 1943), penyanyi terkenal dan spesialis langgam Jawa. Dalam kata pengan tar dalam sebuah biografi Andjar Any, Waldjinah mengakui bahwa dia pernah merekam sekitar 1800 lagu, dan separuhnya adalah ciptaan Andjar Any. Lgm. Jw. Wuyung
A
A
B
La- ra- ne
la- ra
Ma-ngan ra
do- yan
VCD 1
neng ngo-mah bi-
ngung
Mung ku-du
we- ruh
wo-ding a-
ti
dhuh ke su- ma a- yu
A- pa ra
tre- nyuh
sa- wa-ngen i-
ki
a- wak-ku sing ku- ru
Kla-
mu- dha
le- ga- na- na
nggonkunan
pa- ri
di- men ma- ri
nggonku la- ra a-
su- ma
pa- ra kra- sa
ja- nur
pa- ring u- sa- da
Wi-
A
ra je- nak do- lan
pa
ting
ti
a- pa pa-nen te- ga
a-dhuhnya
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 65
Gbr 3.14: Eny Kusrini (kiri), Darsih Kesowo, dan Waldjinah (kanan). Waldjinah adalah penyanyi terkenal dan spesialis langgam Jawa
Lagu daerah. Munculnya lagu daerah dalam bahasa Batak Toba, Karo, dan Aceh pada akhir tahun 1930-an telah disinggung sebelumnya. Fenomena itu menjadi umum pada tahun 1950-an. Di banyak tempat di Indonesia, beberapa komponis menciptakan lagu baru atau membuat aransemen lagu yang sudah ada, dengan syair dalam bahasa lokal. Lagu-lagu ini menggunakan tangga nada, sistem harmoni, dan instrumentasi Barat, tetapi karena berasal dari daerah dan bersyair lokal, lalu dibanggakan sebagai “lagu daerah” atau “lagu rakyat.” Lagu rakyat/lagu daerah seper ti ini perlu dibedakan dari lagu “tradisional.” Lagu daerah jarang diambil langsung dari kesenian tradisional (kecuali kadangkadang permainan kanak-kanak), karena musik tradisional pada umumnya sulit disesuaikan dengan instrumen, tangga nada, dan idiom musik Barat. Sebagai contoh, boleh dibilang tidak ada den dang saluang Minangkabau, atau gendhing karawitan Jawa dan Bali, atau gondang Batak Toba, atau lagu kacapi Bugis, atau lagu karungut suku Ngaju di Kalimantan Tengah, atau lagu wor Biak, yang diaransir menjadi lagu daerah. Ini karena musiknya sangat jauh dari idiom musik Barat dan musik populer. Oleh sebab itu,
66 | MUSIK POPULER
kebanyakan lagu daerah merupakan ciptaan baru atau aransemen yang secara musikal lebih dominan Baratnya daripada kedaerah annya. Meskipun ��������������������������������������������������� demikian, dalam perkembangannya, kadangkadang lagu daerah semacam ini dimainkan pada alat dan ensambel tradisional. Dari sekian banyak komponis lagu daerah pada tahun 1950an, kami hanya sempat menyebut beberapa saja: Nahum Situ morang dan S. Dis (Toba); Djaga Depari (Karo); Taralamsa Saragih (Simalungun); Sofyan Naan dan Asbon (Minang); R. C. Hardja soebrata (Jawa); Borra Daeng Ngirate, Baharuddin Mandjia, Sjamsulbachri, dan Arsyad Basir (Sulawesi Selatan); A. Zaini dan A. Ardiansjah (Banjarmasin).
WALDJINAH Lahir di Solo tahun 1945, mulai aktif menyanyikan lagu-lagu langgam Jawa dan kroncong sejak usia 12 tahun ketika dia memenangkan lomba Ratu Kebon Kacang. Kemudian, lagu ciptaan Andjar Any, Yen Ing Tawang Ono Lintang, melambungkan namanya di tahun 1960-an. Kemudian ia bergabung di RRI Solo sebagai pegawai honorer, meskipun kemudian memutuskan untuk menjadi penyayi profesional melalui kegiatan pertunjukan dan mengikuti perlombaan. Pada tahun 1965 saat sedang hamil dia memenangkan lomba Bintang Radio. Ketika pemberian hadiah yang dilakukan oleh Presiden Soekarno, dia dipesan agar anaknya nanti diberi nama Bintang, dan dia memegang amanah itu. Sepanjang perkembangan karirnya yang setia pada musik dia sangat digemari. Ratusan lagu-lagunya pernah direkam dalam berbagai media. Pada tahun 2002 dia menerima Anugerah Seni.
MUSIK POPULER DI INDONESIA SEBELUM 1960 | 67
Munculnya audiens remaja. Juga disinggung di atas, bahwa pada tahun 1950-an, terutama sesudah 1955, terjadi suatu perubah an yang sangat penting dalam musik populer, dan sebenarnya dalam segala bentuk hiburan, di mana golongan remaja mulai muncul menggeser golongan dewasa usia 25-40 tahun sebagai konsumen utama. Fenomena ini mulai di Amerika, kemudian merambat ke mana-mana, termasuk Indonesia. Musik populer Amerika, yang pernah dilarang pada zaman Jepang, sudah tidak dilarang lagi. Di situlah orang Indonesia melihat bahwa sasaran hiburan populer di Barat mulai ditujukan kepada kawula remaja. Rekaman dari band-band remaja (atau yang mentargetkan remaja) dari Amerika menjadi hangat di Indonesia, dan artis Indonesia mulai ikut terpengaruh. Perkembangan inilah yang akhirnya memicu Presiden Soekarno, yang menginginkan Indonesia membangun “kebudayaan nasional”, mengecam remaja Indonesia dan musik populer Barat, inilah kutipan pernyataannya: Kenapa engkau pemuda dan pemudi tidak memperkem bangkan kebudayaan nasional? Kenapa engkau tidak melindungi kebudayaan nasional? Kenapa engkau lebih cinta kepada cha-chacha, rock ‘n roll dan lagu-lagu ngak-ngik-ngok?20 Akibat sikap Presiden Soekarno ini, lagu-lagu Diah Iskandar (“Connie Francis Indonesia”), Koes Bersaudara, dan beberapa penyanyi dan band lain dilarang untuk disiarkan di Radio Republik Indonesia. Perkembangan berikutnya, yang juga menyangkut Koes Bersaudara, akan diceritakan dalam bab (4.2.8).
“Amanat Presiden Soekarno pada Peringatan hari Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1959 di Surabaya.” Sebenarnya pidato ini mengutip sebuah pidato Soekarno dua bulan sebelumnya, pidato yang disebut “Manifesto Politik” (17 Agustus 1959). Bedanya, pada pidato tanggal 17 Agustus, Soekarno menyebut musik rock-’n-roll dan cha-cha-cha sebagai musik ngak-ngik-ngèk. Entah kenapa, ngak-ngik-ngok, versi kedua dari istilah yang mengesankan itu, yang menjadi populer. 20
68 | MUSIK POPULER
HARRY ROESLI Lahir di Bandung tahun 1951 dengan nama lengkap Djauhar Zaharsjah Fachruddin Roesli Ia belajar musik secara formal di LPKJ Jakarta dan Rotterdam Conseratorium, setelah berhenti dari Jurusan Teknik penerbangan ITB. Dia merupakan sosok yang sangat unik dalam sejarah perkembangan musik di Indonesia. Dia mempopulerkan alat musik perkusi dalam jumlah besar, menerapkan gaya vokal baru dalam vokal grup, menampilkan teater musik bergaya opera musik rock Ken Arok, menggarap komposisi musik elektronik dan multimedia, menggabungkan gamelan Sunda dengan musik rock, menyertakan kritik sosial pada teks lagu-lagunya dan aktif dalam gerakan pembinaan pemusik jalanan. Di samping menjadi dosen di Universitas Pendidikan Indonesia (sebelumnya IKIP Bandung), dia juga aktif di Musik Perkusi Bandung dan Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB). Dia wafat tahun 2004 karena komplikasi beberapa penyakit.