UCAPAN TERIMA KASIH Sesanti angayu bagia, atas asung kertha waranugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, disertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar doktor (Dr.) pada Program Pendidikan Doktor (S3) Kajian Budaya Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Terwujudnya disertasi ini atas dorongan, bimbingan, bantuan dan kerja sama berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis menyampaikan penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U. selaku promotor dengan penuh perhatian, semangat, bimbingan dan saran dalam menyelesaikan disertasi ini. Terima kasih yang sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. selaku Ko-promotor I dan Bapak Dr. Putu Sukardja, M. Si. selaku Ko-promotor II yang telah meluangkan waktunya dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Doktor di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang saat ini dijabat oleh Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Doktor pada program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Doktor. Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Dra. Anak Agung Ayu Rai Wahyuni, M.Si Ketua Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dan teman-teman staf pengajar di Program Studi Ilmu Sejarah atas motivasinya dalam menyelesaikan program Doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sahabat Dr. Nyoman Wijaya, M. Hum. atas segala bantuan yang diberikan dalam proses penyelesaian desertasi ini. Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ketua Program S 3 Kajian Budaya Prof. Dr. A.A.B. Wirawan, S.U. dan Sekretaris S 3 Kajian Budaya Dr. Putu Sukarja, M.Si serta seluruh staf pengajar v
pada Program S3 Kajian Budaya Universitas Udayana, atas pemberian fasilitas pendidikan dan bimbingannya sejak awal proses kuliah. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para pegawai/staf Program S3 Kajian Budaya atas segala bantuan fasilitas dan informasi yang sangat berharga dalam menyelesaikan studi ini. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada tim penguji disertasi ini, yaitu Prof. Dr. A. A. Bagus Wirawan, S.U. , Prof. Dr. I Wayan Ardika, M.A. , Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A. , Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S. Prof. Dr. I Wayan Cika, M. S. Dr. Putu Sukardja, M. Si., Dr. Ni Made Wiasti, M. Hum., Dr, I Ketut Setiawan, M. Hum., yang telah memberikan masukan, kritik dan saran bagi proses penyempurnaan disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional RI di Jakarta yang sejak tahun awal kuliah (2005/2006) berkenan menyediakan dana BPPS serta dana Hibah Penelitian Mahasiswa Doktor tahun 2010 untuk studi di Program Pendidikan Doktor (S3) kajian Budaya Universitas Udayana. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua guru-guru dan para dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan telah membentuk kepribadian penulis, yaitu guru-guru
di Sekolah Dasar
1 Peguyangan, Sekolah Menengah Pertama
Dwijendra Denpasar, Sekolah Pendidikan Guru Negeri Denpasar, para dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Program Doktor S 3 Kajian Budaya Universitas Udayana, Secara khusus
penulis menyampaikan juga penghargaan dan terima kasih
setulus-tulusnya kepada para narasumber atau informan, antara lain
Ni Made Sri
Sutharmi, Ketut Tresnawati Bulan, S.H. , Ni Nengah Rasmini, Yuhal Wahidah, Siti Ulfah, Ni Ketut Mertiasih, Sekretaris DPRD Kabupaten Jembrana beserta staf dan informan lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Kepada Agus. Sri Lestari, dan Ariani penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan yang kalian berikan dalam penyelesaian disertasi ini. Ucapan terima kasih penulis panjatkan kepada mendiang Ibunda (Ni Ketut Adnyadi), mendiang Ayahnda ( I Made Sarbayasa), mendiang Nenek (Ni Wayan Rineh) dan mendiang Kakek (I Made Rantim) dan keluarga besar Ibunda di Banjar Batur
vi
Peguyangan, yang telah mengasuh dan membesarkan penulis, dalam memberikan dasardasar berpikir logis dan suasana demokratis, sehingga tercipta lahan yang baik untuk berkembangnya kreativitas. Kepada kakak dan adik-adik penulis, Ni Wayan Suyatri, I Ketut Sarjana, S.H., Dr. Ni Wayan Sartini, M. Hum., dan I Made Sutarmaja juga diucapkan terima kasih banyak atas dorongan dan selalu mengingatkan agar penulis segera menyelesaikan studi. Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada istri tercinta Dra. Ni Made Arditi beserta seluruh keluarga besar di Banjar Negari Singapadu Gianyar serta kedua ananda tersayang Ni Wayan Rainy Priadarsini S., SS.,M.Hub.Int dan I Made Adhi Permana S.,ST dengan penuh pengertian memberikan dukungan moril untuk penulisan disertasi ini. Semoga Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian disertasi ini. Mengingat keterbatasan pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis, karya ini tentu masih banyak memiliki kelemahan yang harus diperbaiki. Namun, dalam kesederhanaan disertasi ini semoga masih dapat memberikan manfaat dalam menambah khasanah perkembangan ilmu pengetahuan (cultural studies) di Indonesia.
Denpasar,
Agustus 2016 Penulis
vii
ABSTRAK Sejak era reformasi persaingan untuk memperebutkan posisi sebagai anggota legislatif lebih terbuka. Pada Pemilu Tahun 2009 keterwakilan perempuan di Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana sudah mencapai 20%, walaupun belum memenuhi target 30 % namun upaya kaum perempuan berjuang untuk memperebutkan posisi sebagai anggota legislatif patut dihargai sebagai upaya mempercepat kesetaraan gender dalam bidang politik. Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskrisikan 1) Bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan di Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana. 2) Faktorfaktor yang berpengaruh terhadap pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana 3) Implikasi dan makna pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana. Dengan menggunakan teori kritis dan metode deskriptif kualitatif penelitian dilakukan di DPRD Kabupaten Jembrana. Data diperoleh dengan observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini pertama, ada ketidaksesuaian antara modal budaya yang dimiliki oleh perempuan dengan ranah politik yang mereka pilih sehingga mereka belum mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Kedua, pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti politik, budaya, sosial, ekonomi dan globalisasi. Ketiga, implikasi dari pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif dapat dijelaskan melalui analisis teori-teori feminis kontemporer, seperti analisis feminisme kultural, analisis fenomenologis dan eksistensial, dan analisis institusional. Dengan bantuan analisis teori-teori feminis tersebut dapat dipahami bahwa para legislator perempuan di Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana belum mampu memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender bagi masyarakat Jembrana; sedangkan makna yang tampak adalah makna partisipasi, kesetaraan, dan harga diri. Simpulan penelitian, kaum perempuan sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan politik di lembaga legislatif, namun dalam kenyataannya perjuangan yang dilakukan masih jauh kalah daripada politikus laki-laki. Hal ini berhubungan dengan habitus kolektif perempuan yang terbentuk melalui interaksi mereka dengan struktur objektif masyarakat Bali yang dapat dilihat dalam realitas sosial politik, budaya, sosial ekonomi, realitas globalisasi. Posisi perempuan sebagai kelompok minoritas dan imperior di lembaga legislatif berimplikasi terhadap belum berhasilnya perjuangan mereka untuk mencapai kesetaraan gender bagi masyarakat Jembrana. Temuan penting penelitian, pertama, keberhasilan perempuan duduk di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana yang telah mencapai angka 20 persen ditentukan oleh kesempatan untuk mengisi kuota dan pengaruh orang-orang terdekat seperti suami. Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender dalam kancah legislatif merupakan pseudo gender, gender yang semu. Kedua, keterbatasan modal (ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik) berimplikasi kepada jabatan atau kedudukan yang diperoleh di berbagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jembrana. viii
Ketiga, penilaian anggota masyarakat biasa terhadap legislator perempuan ditentukan berdasarkan sumbangan yang diberikan, sedangkan tokoh masyarakat menilai berdasarkan kinerja. Kata kunci: pergulatan politik, legislatif, reformasi, kesetaraan gender, modal budaya
ix
ABSTRACT Since the reform era, competition in legislative elections has become more open. In the 2009 regional election, women representation in the Regional Representative Council of Jembrana Regency reached 20%. Despite the fact that it did not reach the target of 30%, the efforts made by woman candidates to compete in the legislative election should be taken into account as an attempt to accelerate gender equality in politics. The aims of this study are to understand and describe: 1) the forms of women’s political struggles in the Regional Representative Council of Jembrana Regency; 2) factors that influence women’s political struggles in the Regional Representative Council of Jembrana; and 3) implications and meaning of women’s political struggles in the Regional Representative Council of Jembrana. Using critical theory and the descriptive-qualitative method, this research was conducted in the Regional Representative Council of Jembrana Regency. The data in this study were obtained through observations and in-depth interviews. The results of this study are: first, there is an incompatibility between the cultural capital possessed by the women and the political arena which they have chosen, causing them to be unable to carry out their tasks and functions optimally. Second, the women’s political struggles in the Regional Representative Council of Jembrana are influenced by various factors such as politic, cultural, social, economic, and globalization factors. Third, the implications of the Balinese women’s political struggles in the legislative body can be explained by the analyses of contemporary feminist theories such as cultural feminism analysis, phenomenological and existential analysis, and institutional analysis. With the help of the analyses of feminist theories, it was found out that female legislators in Jembrana Regency have not been able to fight for gender equality and justice for the people of Jembrana; meanwhile the meanings perceived are participation, equality and dignity. The conclusions of this research are that the women have been trying to do a variety of political struggles in the legislative body, but in reality their struggles have not been able to outweigh the power of male politicians. This is related to women’s collective habitus formed through their interactions with the objective structure of Balinese people which can be seen in socio-political, cultural, and socio-economic, and globalization reality. The women’s position as a minority and inferior group in the legislative body results in their inability to achieve gender equality for the people of Jembrana. The key findings of the study, first, the success of women to reach 20% position in Regional Representative Council in Jembrana is determined by the support of their closest people, especially husband, even it will open more opportunities to get the target of 30%. The struggling process to achieve gender equality in the legislative arena is a
x
pseudo gender. Second, the lack of capital (economic, social, cultural, and symbolic) has implications to get position in different working unit in Legislative Council in Jembrana. Third, the assessment given by local community to the women legislator is based on the donations given, while community leaders asses based on performances. Keywords: political struggles, legislative, reform, gender equality, cultural capital
xi
RINGKASAN PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF KABUPATEN JEMBRANA PADA ERA REFORMASI Perkembangan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif kabupaten/kota di Bali hasil pemilu tahun 2009 memperlihatkan
fenomena menarik khususnya di
Kabupaten Jembrana. Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
Kabupaten
Jembrana mengalami peningkatan yang paling tinggi dibandingkan dengan kabupaten lain yakni dari dua orang perempuan hasil pemilu tahun 2004 menjadi enam orang pada hasil pemilu tahun 2009. Persentase perempuan yang duduk dalam lembaga legislatif Kabupaten Jembrana sudah mencapai 20 persen, persentase yang cukup tinggi dibandingkan dengan kabupaten kota yang lainnya di Bali. Representasi perempuan di legislatif Kabupaten Jembrana paling tinggi dibandingkan dengan kabupaten kota lainnya di Bali walaupun belum mencapai 30 %. Mereka
sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara internal maupun
eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, namun dalam kenyataannya perjuangan yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang dibebankan kepada mereka, sesuai dengan aspirasi konstuennya, tetap saja peran politik yang dapat mereka mainkan masih jauh kalah daripada politisi laki-laki. Dengan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian melalui tiga pertanyaan sebagai berikut: (1) bagaimana bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan
di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana pada era reformasi? (2) faktor-faktor apa yang mempengaruhi pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana? dan (3) apa implikasi dan makna pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana terhadap perjuangan kesetaraan gender? Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif dengan pendekatan interdisipliner sebagai salah satu ciri kajian budaya. Lokasi penelitian di Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data dilakukan melalui metode deskriptif kualitatif dan interpretatif dengan menggunakan konsep dan teori. Konsep
xii
pergulatan yakni suatu proses interaksi yang masih dan akan terus terjadi antara perempuan dan dunia politik. Dalam proses ini terjadi suatu model yang dalam kajian budaya disebut dengan kontestasi, resistensi, dan konvergensi (M. Nurkhoiron, 2005: 50). Sedangkan teori-teori yang digunakan adalah teori konstruktivisme generatif, teori wacana relasi kuasa dan pengetahuan, teori hegemoni, dan teori posfeminisme. Ada tiga hasil penelitian disertasi ini. Pertama, adanya hubungan antara habitus kolektif perempuan dalam masyarakat dengan posisinya sebagai kelompok minoritas dalam lembaga DPRD Kabupaten Jembrana. Ada ketidaksesuaian antara modal yang dimiliki oleh perempuan dengan ranah politik yang mereka pilih dalam praktik sosial politik di lembaga legislatif. Oleh karena itu sekalipun sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara internal maupun eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, namun dalam kenyataannya dibandingkan dengan anggota DPRD lakilaki partisipasi mereka jauh lebih rendah sehingga belum mampu menjalankan fungsinya secara optimal terutama yang menyangkut kedudukan dan fungsi perempuan dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Keterbatasan modal budaya, ekonomi, sosial dan simbolik yang dimiliki berpengaruh terhadap posisi jabatan strategis yang berhasil diperoleh di lembaga legislatif. Hasil penelitian yang kedua, belum optimalnya peranan anggota DPRD perempuan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor penyebab itu ditemukan dalam habitus kolektif perempuan Bali yang terbentuk melalui interaksi mereka dengan struktur obyektif masyarakat Bali yang dapat dilihat dari realitas sosial politik, realitas budaya, realitas sosial ekonomi, dan realitas globalisasi. Melalui realitas tersebut dapat dipahami bahwa habitus kolektif perempuan menjadi salah satu penghambat bagi para legislator perempuan untuk menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat. Realitas yang dimaksud di antaranya adalah pertama, faktor politik, secara internal ada tiga penyebab mengapa kaum perempuan enggan terjun dalam bidang politik yakni a) politik adalah bidang kaum laki-laki yang identik dengan kekerasan sehingga tidak cocok bagi kaum perempuan; b) kaum perempuan kurang maksimal memanfaatkan potensi dirinya untuk aktif dalam bidang politik bahkan ada kecenderungan kaum perempuan lebih banyak bergelut dalam urusan domestik; c) kaum perempuan kurang percaya diri, sehingga
xiii
secara mental kurang siap untuk memangku jabatan-jabatan politis yang menentukan kehidupan masyarakat. Kedua, faktor budaya. Perjuangan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam berbagai bidang kehidupan khususnya dalam bidang politik telah dilakukan sejak lama. Namun demikian isu gender dalam bidang politik masih tampak dalam kehidupan masyarakat yang berimplikasi terhadap peranan kaum perempuan jauh lebih rendah dari kaum laki-laki dalam bidang politik. Hal ini tidak lepas dari pengaruh ideologi patriarki yaitu suatu paham yang memberikan kekuasaan kepada laki-laki. Di Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilinial merupakan lahan yang subur bagi berkembangnya ideologi patriarki yang menempatkan kedudukan lakilaki jauh lebih tinggi dan penting dari kaum perempuan sehingga terjadi hubungan yang sub-ordinatif. Di samping itu dalam realitas kehidupan, perempuan menjalankan peran ganda, yakni peran reproduktif dan peran produktif. Peran ganda inilah merupakan salah satu kendala dalam melaksanakan tugas-tugasnya sebagai anggota dewan. Dari segi kapital budaya khususnya pendidikan, tingkat pendidikan anggota legislatif perempuan rata-rata tamatan SMA sederajat, hanya satu S-1, dan satu orang tamatan D-3. Secara umum tingkat pendidikan seseorang akan menentukan kualifikasi dalam menjalankan profesi di bidangnya. Ketiga, faktor sosial ekonomi. Perubahan orientasi politik
masyarakat
Indonesia khususnya di Bali memperlihatkan kecenderungan ke arah pragmatis yang menjadikan modal ekonomi memegang peranan sentral dalam perebutan kekuasaan. Hal ini disebabkan oleh globalisasi yang telah merasuk ke dalam berbagai sektor kehidupan khususnya dalam kehidupan politik. Para pelaku politik dituntut untuk bertindak lebih rasional dalam berhadapan dengan masyarakat yang sudah semakin kritis dan memandang arena politik sebagai tempat untuk memperoleh keuntungan. Arena politik disamakan dengan pasar; ada yang berperan sebagai produsen dan ada pula yang berperan sebagai konsumen. Para kontestan politik merupakan produsen politik dituntut untuk menghasilkan produk-produk yang menarik bagi konsumen dalam hal ini masyarakat pemilih. Transaksi antara produsen dan konsumen dalam kancah politik inilah yang menimbulkan pasar politik.
xiv
Keempat, faktor globalisasi. Globalisasi membawa berbagai macam pengaruh, seperti ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada era komunikasi sebagian besar masyarakat sangat tergantung kepada teknologi satelit dan teknologi komputer. Teknologi komputer merupakan kebutuhan utama dalam upaya menjaga peningkatan volume kecepatan dan jarak untuk memperoleh sumber-sumber informasi yang diperlukan. Menurut Sennett (2006) seperti dikutip oleh Haryatmoko (2010: 254) revolusi teknologi informasi melahirkan logika waktu pendek. Media elektronik dan komputer memungkinkan informasi dan pertukarannya dalam waktu singkat dan cepat seperti kecepatan cahaya. Tersedianya informasi secara instan mengakibatkan masyarakat tidak lagi toleran terhadap kelambatan dan penantian yang lama. Logika waktu pendek menjadi prinsip kehidupan, artinya untuk bisa bersaing dan bertahan hidup prinsip pengorganisasian kerja harus menekankan pada tepat waktu, ringkas, luwes dan menguntungkan. Pada era globalisasi perkembangan teknologi pengelolaan tubuh dan teknologi domestik membawa implikasi terhadap kondisi ekonomi kaum perempuan khususnya di Bali. Kedua jenis teknologi tersebut sangat kuat pengaruhnya bagi kehidupan kaum perempuan. Teknologi lain yang juga menarik perhatian kaum perempuan adalah teknologi sektor domestik, seperti kemajuan dalam bidang teknologi alat-alat rumah tangga dan peralatan dapur. Penggunaan berbagai peralatan rumah tangga/dapur yang serba modern di satu sisi dapat memberikan kenyamanan, kenikmatan, keindahan, kemoderenan atau sebagai status simbul sosial sehingga kaum perempuan menjadi betah tinggal di rumah. Namun, di sisi lain kaum perempuan dituntut untuk mengeluarkan banyak waktu dan tenaga untuk merawat dan menjaga barang-barang perlengkapan rumah tangganya. Berdasarkan kenyataan yang telah diungkapkan di atas sesungguhnya kaum perempuan telah mengalami dominasi dan hegemoni berganda yang melibatkan lakilaki, media massa/pasar yang dikendalikan oleh negara-negara kapitalis global yang menawarkan berbagai produk kebutuhan, baik berupa alat-alat dan barang kecantikan serta alat-alat rumah tangga yang serba modern. Kaum perempuan mengeluarkan banyak uang untuk membeli aneka ragam barang yang dapat mendatangkan kenikmatan sehingga basis ekonominya menjadi lemah. Basis ekonomi yang lemah akan
xv
menyulitkan kaum perempuan untuk dapat bersaing dalam dunia politik praktis yang membutuhkan dukungan kapital ekonomi yang besar. Hasil penelitian yang ketiga adalah implikasi pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana dalam perspektif gender dapat dijelaskan melalui analisis teori-teori feminis kontemporer, seperti analisis feminisme kultural, analisis fenomenologis dan eksistensial, dan analisis institusional. Dengan bantuan analisis teori-teori feminis tersebut dapat dipahami bahwa para legislator perempuan di Lembaga Legislatif Kabupaten Jembrana belum mampu memperjuangkan kesetaraan dan keadilan gender bagi masyarakat Jembrana. Sedangkan makna yang dapat dipetik dari pergulatan politik perempuan Bali di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana adalah makna partisipasi dan mobilisasi, makna kesetaraan, dan makna harga diri. Kesimpulan penelitian, pertama, kaum perempuan sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana, baik secara internal maupun eksternal, namun dalam kenyataannya perjuangan yang dilakukan
untuk
mencapai tujuan-tujuan politik yang dibebankan kepada mereka, sesuai dengan aspirasi konstuennya, masih jauh kalah daripada politisi laki-laki. Kedua, adanya hubungan antara habitus kolektif perempuan dalam masyarakat dengan posisinya sebagai kelompok minoritas di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana. Habitus kolektif perempuan
yang terbentuk melalui interaksi mereka dengan struktur objektif
masyarakat Bali dapat dilihat dalam realitas sosial politik, budaya, sosial ekonomi, realitas globalisasi. Ketiga, posisi perempuan sebagai kelompok minoritas dan imperior di hadapan legislator laki-laki di Kabupaten Jembrana berimplikasi terhadap belum berhasilnya perjuangan mereka untuk mencapai kesetaraan gender. Temuan penting penelitian adalah pertama, perjuangan kaum perempuan di Kabupaten Jembrana untuk memperebutkan kursi di lembaga legislatif pada pemilu tahun 2009 telah berhasil menempatkan enam orang wakil dari berbagai partai politik, dua orang dari Partai Demokrat, satu orang dari Partai Persatuan Pembangunan, satu orang dari Partai Kebangkitan Bangsa, dan satu orang dari Partai Indonesia Baru, satu orang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hal ini menunjukkan jumlah peningkatan yang cukup signifikan dan telah mencapai angka 20 persen. Tiga partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai
xvi
Indonesia Baru hanya diwakili oleh perempuan, artinya perempuan berhasil menyingkirkan calon legislatif laki-laki. Keberhasilan enam orang perempuan menduduki kursi di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana tidak semata-mata ditentukan oleh kapabilitas yang dimiliki, namun lebih banyak ditentukan oleh kesempatan yang terbuka bagi kaum perempuan untuk mengisi kuota yang dibutuhkan oleh Partai Politik; pengaruh orang-orang terdekat, di antaranya pengaruh dari suami. Berdasarkan hasil penelitian anggota legislatif perempuan diperoleh data yang suaminya mantan kepala desa dua orang, istri pengusaha satu orang, istri anggota Komisi Pemilihan Umum satu orang, dan istri pejabat di Pemda Kabupaten Jembrana satu orang. Hal ini juga memberi pengaruh yang cukup signifikan terhadap keberhasilan anggota legislatif perempuan untuk melenggang ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jembrana. Modal simbolik, seperti prestise, status, dan otoritas, jabatan, gelar, status tinggi, nama besar keluarga yang dimiliki oleh sang suami mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk mengantarkan keterpilihan istri-istrinya menjadi anggota legislatif. Perjuangan untuk mencapai kesetaraan gender dalam kancah legislatif merupakan pseudo gender, gender yang semu atau gender palsu. Temuan kedua, keterbatasan modal seperti modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik yang dimiliki oleh anggota legislatif perempuan di Kabupaten Jembrana mempengaruhi pergulatan politiknya di lembaga legislatif untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya. Dari sisi ekonomi secara umum dalam sistem kekeluargaan di Bali modal ekonomi lebih dominan dikuasai oleh laki-laki, tanpa bantuan modal ekonomi dari suami sulit bagi perempuan untuk bertarung dalam hajatan pemilihan umum legislatif. Modal sosial yang dimiliki juga sangat terbatas seperti pengalaman berorganisasi yang pernah dilakukan sangat terbatas, baik pengalaman dalam bidang organisasi sosial kemasyarakatan maupun dalam bidang politik. Demikian juga halnya dengan modal budaya dan modal simbolik, sebagian besar legislator perempuan di Kabupaten Jembrana jebolan Sekolah Menengah Atas, satu lulusan D-3 dan satu orang tamatan S-1. Keterbatasan modal yang dikuasai oleh kaum perempuan yang duduk dalam lembaga legislatif di Kabupaten Jembrana berimplikasi kepada jabatan atau kedudukan yang diperoleh di berbagai alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten Jembrana. Tidak ada seorang pun anggota legislatif perempuan yang
xvii
berhasil merebut posisi strategis seperti ketua, wakil ketua baik di fraksi maupun di alat kelengkapan dewan bahkan alat kelengkapan dewan seperti Badan Anggaran, Badan Kehormatan tidak ada satu pun anggota legislatif perempuan yang menempati posisi tersebut. Demikian juga di dalam
anggota Komisi, dari tiga komisi yang ada
perempuan lebih banyak berada di Komisi A yakni berjumlah empat orang, Komisi B ada dua orang; sedangkan Komisi C yang membidangi masalah pembangunan tidak ada anggota perempuan. Penempatan jabatan strategis di dalam kelengkapan dewan merupakan hak partai politik melalui fraksi yang ada di lembaga legislatif. Kader-kader partai politik yang memegang jabatan strategis di partai politik yang berhasil menjadi anggota legislatif akan menempati jabatan strategis terutama jabatan yang dipandang sebagai jabatan “basah” yang tujuannya untuk menggalang dana bagi partai. Temuan ketiga, penilaian masyarakat terhadap kinerja anggota legislatif khususnya legislator perempuan dapat dipilah menjadi dua, yakni penilaian anggota masyarakat biasa dan dari tokoh-tokoh masyarakat. Anggota masyarakat menilai anggota legislatif perempuan telah memperjuangkan konstituennya karena dilihat dari bantuan yang diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat, sedangkan tokoh masyarakat menilai keberhasilan anggota legislatif perempuan dari kinerjanya terutama keberhasilannya dalam menemukan permasalahan yang ada di masyarakat dan ikut menawarkan alternatif pemecahannya. Hal ini masih jarang dilakukan sehingga intensitas hubungan antara anggota dewan dengan konstituennya belum berjalan maksimal. Berdasarkan simpulan di atas ada beberapa saran yang disampaikan. Pertama, pemerintah, partai politik, lembaga swadaya masyarakat dan perguruan tinggi hendaknya bekerja sama menyusun program-program yang responsif gender dan memberikan pendidikan politik yang memadai untuk memberdayakan kaum perempuan dalam berbagai sektor kehidupan khususnya dalam bidang politik. Kedua, DPRD harus menciptakan kondisi yang kondusif agar masyarakat merasa terpanggil untuk menyalurkan aspirasinya melalui berbagai media yang ada. Selama ini masih terkesan bahwa masyarakat khususnya dari kalangan perempuan enggan untuk menyampaikan aspirasinya karena masih terbatasnya media yang ada sebagai arena untuk berkomunikasi dengan para wakilnya khususnya anggota DPRD perempuan. Oleh
xviii
karena itulah untuk meningkatkan partisipasi masyarakat menyampaikan asiprasi maka anggota DPRD perempuan perlu melakukan 1) forum-forum dialog dengan Lembaga Swadaya Masyarakat yang peduli terhadap permasalahan perempuan. LSM ini biasanya sangat memahami kondisi dan permasalahan perempuan yang ada di wilayahnya. Dari dialog tersebut akan menghasilkan masukan dan aspirasi masyarakat yang sesungguhnya. Jangan menganggap LSM sebagai pengganggu kemapanan atau sebagai musuh, jadikan LSM sebagai mitra kerja. 2) Anggota DPRD hendaknya selalu mentradisikan dengar pendapat, setiap kebijakan atau keputusan yang akan dikeluarkan terlebih dahulu harus melakukan hearing dengan masyarakat atau konstituennya sehingga keputusan atau kebijakan yang dikeluarkan tidak mendapat tentangan atau resistensi dari masyarakat. 3) Sebagai wakil rakyat, anggota DPRD tidak boleh menjauh dengan rakyat, sebaliknya mereka harus selalu dekat dengan rakyat. Anggota DPRD harus sadar bahwa dia merupakan wakil rakyat, oleh karena itu harus selalu memperjuangkan aspirasi masyarakat. Partisipasi masyarakat harus didukung dan dikembangkan dengan demikian akan terwujud demokrasi di tingkat lokal. Ketiga, anggota DPRD perempuan hendaknya bersikap asertif, artinya bersikap tegas, sopan dalam mengungkapkan pikiran, perasaan, dan pendapatnya. Kepribadian yang asertif adalah kepribadian yang tanggap dan peka dalam menjawab realitas kekinian. Perempuan yang tidak tanggap akan mengalami kendala dalam berkompetisi. Sikap asertif didukung oleh enam hal, yakni berani, berlatih bertanya dan berpendapat, mencari dan mengolah informasi, tanggung jawab, empati, dan analisis diri.
xix
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM……………………………………………….......
ii
HALAMAN PERSETUJUAN………………………………………………
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI...............................................................
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH...…………………………………………….....
vi
ABSTRAK...……………………………………………………………..........
ix
ABSTRACT......................................................................................................
xi
RINGKASAN DISERTASI.……………………………………………......
xiii
DAFTAR ISI………………………………………………………………...
xxi
DAFTAR TABEL......................................................................................
xxvi
DAFTAR GAMBAR..................................................................................
xxvii
DAFTAR SINGKATAN.............................................................................
xviii
GLOSARIUM...............................................................................................
xxix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
xxxii
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................
1
1.1 Latar Belakang……………………………………………
1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………
12
1.3 Tujuan Penelitian………………………………………….
13
1.3.1 Tujuan Umum ………………………………….
13
1.3.2 Tujuan Khusus ………………………………….
14
1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………
14
xx
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN……………………………………………
16
2.1 Kajian Pustaka…………………………………………………....
16
2.2 Konsep………………………………………………………
32
2.2.1 Pergulatan Politik………………………………….
33
2.2.2 Perempuan …...……………………………………
35
2.2.3 Lembaga Legislatif………………………………..
37
2.2.4 Era Reformasi……………………………………..
37
2.3 Landasan Teori…………………………………………….
40
2.3.1 Teori Strukturalisme Generatif……………………
41
2.3.2 Teori Wacana Relasi Kuasa dan Pengetahuan……
46
2.3.3 Teori Posfeminisme………………………………..
48
2.3.4 Teori Hegemoni……………………………………
54
2.4 Model Penelitian……………………………………………
58
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………
63
3.1 Rancangan Penelitian……………………………………….
63
3.2 Lokasi Penelitian…………………………………….............
66
3.3 Jenis dan Sumber Data………………………………………
67
3.4 Teknik Penentuan Informan………………………………...
68
3.5 Instrumen Penelitian………………………………………...
69
3.6 Teknik Pengumpulan Data…………………………..............
70
3.7 Teknik Analisis Data………………………………………..
71
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data………………………
72
BAB IV GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN.....................
74
4.1 Kondisi Geografis.…………………………..............................
74
xxi
4.2 Kondisi Penduduk......................................................................
81
4.3 Kondisi Sosial Politik Masyarakat.............................................
84
4.4 Pergulatan Perempuan Bali Dalam Sejarah.................................
89
BAB V BENTUK-BENTUK PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN DI DPRD KABUPATEN JEMBRANA............................................
103
5.1 Rezim Wacana Dalam Sejarah Politik Indonesia.......................
106
5.1.1 Kedudukan Kaum Perempuan Dalam Fraksi……………....
116
5.1.2 Posisi Pimpinan Sebagai Jabatan Strategis..............................
122
5.1.3 Kedudukan Legislator Perempuan Dalam Badan Musyawarah..
126
5.1.4 Kedudukan Perempuan Dalam Komisi………………….......
128
5.1.4.1 Komisi A...............................................................................
130
5.1.4.2 Komisi B...............................................................................
142
5.1.4.3 Komisi C...............................................................................
147
5.1.5 Kedudukan Perempuan Dalam Badan Legislasi Daerah.........
152
5.1.6 Kedudukan Perempuan Dalam Badan Anggaran....................
164
5.1.7 Kedudukan Perempuan Dalam Badan Kehormatan................
169
5.1.8 Kedudukan Perempuan Dalam Panitia Khusus......................
174
5.2 Pergulatan Politik Perempuan Di Luar Lembaga Legislatif.....
177
5.2.1 Reses Sebagai Instrumen Relasi Anggota Dewan dengan Konstituen...........................................................................
179
5.2.1.1 Bidang Infrastruktur............................................................
182
5.2.1.2 Bidang Sosial Budaya..........................................................
188
5.2.1.3 Bantuan Sosial.....................................................................
192
5.2.1.4 Bidang Kesehatan.................................................................
193
5.2.1.5 Bidang Administrasi Kependudukan...................................
196
xxii
5.2.1.6 Bidang Pertanian dan Peternakan.........................................
198
5.2.1.7 Bidang Pendidikan................................................................
200
5.2.2 Kunjungan Kerja Dalam Daerah dan Luar Daerah.....................
207
5.2.3 Konsultasi/Koordinasi sebagai Upaya Meningkatkan Kinerja DPRD..........................................................................
211
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF KABUPATEN JEMBRANA...............................................................
215
6.1 Habitus Kolektif Perempuan Bali ……….......................................
216
6.2 Faktor Struktur Objektif……………………………………..........
218
6.2.1 Realitas Sosial Politik ………………………………………….
221
6.2.2 Realitas Budaya.…………………………………………….......
244
6.2.3 Realitas Sosial Ekonomi..............................................................
254
6.2.4 Realitas Globalisasi.....................................................................
261
BAB VII IMPLIKASI DAN MAKNA PERGULATAN POLITIK PEREMPUAN DI LEMBAGA LEGISLATIF BAGI PERGERAKAN KESETARAAN GENDER DI KABUPATEN JEMBRANA......
266
7.1 Implikasi Pergulatan Politik Perempuan Terhadap Pergerakan Kesetaraan Gender di Kabupaten Jembrana...............................
267
7.1.1 Dalam Bidang Sosial........................................... ……………..
268
7.1.2 Dalam Bidang Politik........................................... ….................
275
7.1.3 Dalam Bidang Ekonomi........................................... ….............
281
7.2 Makna Pergulatan Politik Perempuan pada Lembaga Legislatif dalam Perspektif Gender…………………....................
296
7.2.1 Makna Partisipasi dan Mobilisasi.............................................
298
xxiii
7.2.2 Makna Kesetaraan....................................................................
306
7.2.3 Makna Harga Diri....................................................................
324
BAB VIII PENUTUP …………………………………….......................
335
8.1 Simpulan.......................................................................... ……....
335
8.2 Temuan Penelitian..........................................................................
337
8.3 Saran................................................................................ ….…...
340
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..…..
343
LAMPIRAN………………………………………………………...….…
357
xxiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Proporsi Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota Berdasarkan Jenis Kelamin Hasil Pemilu Tahun 1999, 2004, dan 2009……………..7 Tabel 4.1 Jumlah Kecamatan, Desa, dan Kelurahan di Kabupaten Jembrana……………………………………………………………….76 Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Kabupaten Jembrana diperinci Per-Kecamatan…82 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Kabupaten Jembrana Berdasarkan Agama……..83 Tabel 4.4 Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2009 di Kabupaten Jembrana…85 Tabel 5.1 Fraksi-Fraksi di DPRD Kabupaten Jembrana Periode 2009-2014…118
xxv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Peta Pulau Bali………….………………………………………74 Gambar 4.2 Peta Kabupaten Jembrana……………………………………....75
xxvi
DAFTAR SINGKATAN
ABRI
: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
APBD
: Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
BDL
: Bali Darma Laksana
BK
: Badan Kehormatan
DPRD
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
DPR
: Dewan Perwakilan Rakyat
DPR-GR
: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong
IPU
: International Parlemet Union
KPU
: Komisi Pemilihan Umum
LKP
Lembaga Kursus dan Pelatihan
MVS
: Meisjes Vervolgschool
NVS
: Normaal Vervolgschool
PBB
: Perserikatan Bangsa Bangsa
PBS
: Putri Bali Sadar
PGGD
: Persatoean Goeroe-Goeroe Denpasar
PKS
: Partai Keadilan Sejahtera
PWI
: Persatuan Perempuan Indonesia
RIS
: Rebublik Indonesia Serikat
SKPD
: Satuan Kerja Perangkat Daerah
UU
: Undang-Undang.
xxvii
GLOSARIUM
alangkahi karang hulu
: perkawinan perempuan dari triwangsa dengan golongan jaba
amada-mada sang ratu
: menyamai raja
asumundung
: perkawinan perempuan dari golongan brahmana dan ksatriya dengan laki-laki golongan di bawahnya
awig-awig
: aturan tertulis di Desa Adat
ayahan muani
: pekerjaan untuk laki-laki
ayahan luh
: pekerjaan untuk perempuan
banjar
: organisasi sosial tradisional orang Bali
belengih
: cengeng, sering menangis
beli
: sebutan untuk kakak laki-laki dalam masyarakat Bali
dadia
:pengelompokan masyarakat berdasarkan keturunan, nama pura keluarga yang masih ada hubungan keluarga.
huwelijks recht
: adat perkawinan
luh
: sebutan untuk perempuan Bali
luh luwih
: perempuan sempurna
karya
: upacara suci umat Hindu.
krama istri
: warga desa adat perempuan
kawitan
: asal-usul keturunan suatu kelompok masyarakat
luh pawakan tanah mancak
: perempuan dilambangkan sebagai tanah : berhias
madarma swaka
: berkunjung untuk mendapat dukungan secara santun
xxviii
madana punia
: menyumbang dengan suka rela
manak
: melahirkan anak
manak salah
: perempuan yang melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuan
masimakrama
: silahturahmi
memanesi
: menimbulkan kekacauan
mepadik
: dipinang
muani pawakan bibit
: laki-laki dilambangkan sebagai penghasil benih
ngalih pangkat
: mencari jabatan
pradana
: hubungan kekeluargaan dari garis keturunan Perempuan
prebekel
:jabatan setingkat kepala desa
purusa
: Hubungan kekeluargaan dari garis keturunan lakilaki
puri
: pusat kerajaan, tempat tinggal raja dan keluarganya
pura
: tempat suci bagi umat Hindu
pemelastian
: upacara pembersihan bagi umat Hindu
pengempon
: kelompok warga yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan tugas-tugas di suatu pura.
pusung tagel
: sanggul rambut perempuan Bali
putrika
: proses perubahan status seorang perempuan menjadi laki-laki
sangkepan
: pertemuan warga masyarakat di Bali
schoolopziener
: pengawas sekolah
xxix
seka
: organisasi sosial yang bergerak dalam lapangan kehidupan tertentu
sentana
: anak/keturunan
setra
: kuburan
soroh
: kelompok-kelompok warga berdasarkan keturunan
subak
: organisasi pengairan dalam bidang pertanian di Bali
swanita
: telur perempuan
tatadan
: bekal hidup dari orang tua kepada anak perempuan
tempek
: kelompok masyarakat berdasarkan wilayah tempat Tinggal dalam suatu banjar.
triwangsa
: sebutan untuk tiga golongan brahmana, ksatriya, wesia
tunggalan sanggah
: satu kuil keluarga
xxx
DAFTAR LAMPIRAN
1. Daftar Informan…………………………………………….
357
2. Daftar Pertanyaan…………………………………………..
360
xxxi
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Secara normatif saat ini sesungguhnya tidak ada perbedaan perlakuan berdasarkan jenis kelamin bagi setiap warga negara untuk berperan dalam kancah politik. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada dan berbagai kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah tidak membedakan akses antara laki-laki dan perempuan untuk berperan dalam bidang politik. UndangUndang Dasar 1945 (pasal 27) memberikan kedudukan yang sama bagi setiap warga negara Indonesia di hadapan hukum dan pemerintahan, memberikan hak yang sama atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, serta tanggung jawab yang sama pula dalam usaha pembelaan negara, tanpa membedakan antara warga negara laki-laki dan perempuan. Pada tahun 1952 Indonesia meratifikasi Konvensi PBB mengenai hak politik perempuan ( UN Convention on Political Rights of Women) melalui UU No. 68 Tahun 1968. Undang-undang ini memberikan perempuan untuk memilih dan dipilih dalam lembaga legislatif negara. Ratifikasi Pemerintah Republik Indonesia atas Konvensi PBB tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Woman) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984, menunjukkan komitmen yang kuat dari Pemerintah RI untuk menghapus segala pembedaan perlakuan antara kaum laki-laki dan kaum
1
perempuan. Pengesahan terhadap Konvensi Wanita mengandung makna bahwa negara Indonesia mengakui adanya diskriminasi, mengutuk diskriminasi, negara bersepakat menghapus diskriminasi dengan segala cara yang tepat tanpa ditunda-tunda, dan aparat negara dari pusat sampai daerah dituntut untuk ikut bertanggungjawab dalam usaha menghapus diskriminasi (Ariani, 2005). Menurut pasal 1 Konvensi Wanita pengertian diskriminasi terhadap wanita sebagai berikut: Diskriminasi terhadap wanita berarti setiap pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apa pun lainnya oleh wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Dalam
upaya
untuk
menghapus
diskriminasi
terhadap
perempuan
pemerintah Republik Indonesia menerbitkan dua peraturan penting yang dapat digunakan dalam mengkaji hak-hak perempuan. Pertama, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Berkaitan dengan hak asasi perempuan dalam bidang profesi pasal 49 ayat 1 menyatakan bahwa wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan. Kedua, instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender yang isinya Presiden menginstruksikan kepada para Menteri, kepada Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Bupati/Walikota, untuk mengarusutamaan gender ke dalam semua proses pembangunan nasional. Tujuan pengarusutamaan
2
gender adalah menarik permasalahan perempuan ke dalam arus utama pembangunan bangsa dan masyarakat sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan laki-laki (Pusat Kajian Wanita dan Gender, 2004: x). Untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam bidang politik praktis, pemerintah telah mengeluarkan berbagai produk perundang-undangan. Dalam undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Undangundang No. 2 tahun 2008 tentang Partai Politik (Parpol), kuota keterlibatan perempuan dalam dunia politik adalah sebesar 30 persen, terutama untuk duduk di dalam parlemen. Dalam Pasal 8 Butir d UU No. 10 tahun 2008, bahkan disebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan parpol tingkat pusat merupakan salah satu persyaratan parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu. Dalam Pasal 53 UU disebutkan bahwa daftar bakal calon peserta pemilu juga harus memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan (Undang-Undang No. 10 Tahun 2008: 8, 31). Ketetapan atas UU tersebut di atas sudah ada sejak awal tahun 2004 lalu, yang didasarkan UU No 12 tahun 2003 tentang Pemilu, yang secara khusus termaktub di pasal 65 ayat 1 tertulis Tata Cara Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pada ayat 1 disebutkan setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Pada ayat 2, setiap Partai Politik Peserta Pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-
3
banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap Daerah Pemilihan. Pada ayat 3, dinyatakan, pengajuan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan calon anggota DPR disampaikan kepada KPU; calon anggota DPRD Provinsi disampaikan kepada KPU Provinsi yang bersangkutan; dan calon anggota DPRD Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Menanggapi undang-undang tersebut, Guru besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Wayan P. Windia mengatakan, bahwa perempuan dalam kehidupan sehari-hari selama ini sudah terbiasa bergelut dengan dunia politik, tanpa mengenyampingkan perannya dalam kehidupan keluarga maupun Desa Adat. Hal itu terkait dengan ketentuan undang-undang telah memberikan ruang kepada mereka untuk terjun dalam dunia politik, yang selama ini didominasi para pria. Dalam ketentuan undang-undang itu disebutkan, setiap partai politik yang bertarung dalam pemilu harus menyediakan kuota 30 persen untuk perempuan sebagai calon legislatif (caleg). Peluang tersebut di atas mulai dimanfaatkan secara maksimal, bahkan terkesan parpol "memaksa" perempuan Bali untuk ikut dalam pertarungan merebut kursi di DPRD kabupaten/kota, provinsi maupun DPR-RI (AntaraNews.com/ diakses 9 Oktober 2015). Sekalipun ada kesan “dipaksa,” namun dengan adanya peluang tersebut di atas, beberapa tahun ke depan kaum perempuan akan bisa menduduki jabatan strategis bukan hanya dalam sektor swasta, tetapi juga di bidang politik, pemerintah. Hal itu disebabkan karena mereka memiliki keunggulan antara lain
4
berupa penampilan, kemampuan intelektual, komunikasi serta keaktifan dalam organisasi kemasyarakatan. Ditambah lagi dengan latar belakang pendidikan perguruan tinggi, dan kesadaran tentang etos kerja yang kuat, maka modal perempuan untuk bersaing di pentas politik menjadi semakin kuat. Dengan demikian, pada akhirnya mereka akan bisa duduk sejajar dengan kaum laki-laki dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat (AntaraNews.com/ diakses
9
Oktober 2015). Wayan P. Windia mendasari pendapatnya itu dengan pengalaman dan kenyataan selama ini, bahwa perempuan sanggup melakoni semua bidang pekerjaan yang produktif secara profesional. Sekali pun pada kenyataan pada periode sebelumnya (pemilu 2004), kuota tersebut belum terpenuhi, namun mereka tidaklah gagal pada Pemilu-Pemilu sebelumnya.
Berbeda dengan
kondisi sebelumnya, pada Pemilu 2009 sekitar 28 caleg perempuan lintas parpol berhasil menembus kursi wakil rakyat, 4 orang di antaranya ke DPRD Bali dan 24 orang di DPRD Kabupaten/kota (AntaraNews.com/ diakses 9 Oktober 2015). Keempat perempuan yang lolos ke kursi DPRD Bali hasil Pemilu 2009 tersebut adalah, satu, Hening Puspita Rini dari PDIP daerah pemilihan Kabupaten Bangli; dua, Tutik Kusuma Wardhani (Partai Demokrat) daerah pemilihan Kabupaten Buleleng; tiga, Ni Made Sumiati (PDIP) daerah pemilihan Kabupaten Karangsem; empat, dan Utami Dewi Suryadi (Partai Demokrat) daerah pemilihan kota Denpasar. Mengingat jumlahnya hanya empat orang, seperti dikatakan oleh
Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI)
5
Provinsi Bali Dewa Ayu Sri Wigunawati, kuota untuk perempuan di DPRD itu hanya tercapai 7,5%. (AntaraNews.com/ diakses 9 Oktober 2015). Sekalipun belum mencapai kuota, namun jumlah tersebut menunjukkan adanya peningkatan partisipasi perempuan Bali dalam politik, sebab pada pemilu 1999, tidak ada satu pun yang duduk sebagai anggota DPRD Provinsi Bali. Akan tetapi jika dibandingkan dengan tiga kali pemilu sebelumnya (1997, 1992, dan 1987), terjadi kemerosotan, sebab pada periode tersebut anggota perempuan dalam DPRD Provinsi Bali, masing-masing mencapai lima orang. Akan tetapi masih seimbang dengan anggota perempuan DPRD Bali hasil 1982. Jumlah ini 50% lebih tinggi dari hasil pemilu tahun 1977 dan 1971, yang hanya menghasilkan dua orang anggota perempuan dalam DPRD Bali ( DPRD Provinsi Bali, KPU Provinsi Bali). Fenomena tersebut di atas sangat menarik jika ditinjau dari sudut pandang Cultural Studies. Daya tariknya
terletak pada masih relatif besarnya
peran habitus kolektif masyarakat Bali, bahwa tujuan hidup perempuan adalah hidup berkeluarga, mendampingi suami dan membesarkan anak-anak. Sekalipun demikian, diwakili oleh Wayan P. Windia, kaum laki-laki masih memberikan harapan dan bahkan sanjungan terhadap kemampuan perempuan Bali dalam dunia politik. Akan tetapi fakta sejarah menunjukkan, sanjungan dan harapan tersebut tidak mencapai sasaran karena salah seorang dari anggota perempuan DPRD Bali tersebut, Hening Puspita Rini, terbukti secara sah melakukan korupsi,
sehingga
dikenakan
hukuman
(Antaranews.com diakses 9 Oktober 2014).
6
penjara
selama
1,5
tahun
Salah satu tolok ukur yang sering digunakan untuk mengukur partisipasi laki-laki dan perempuan dalam perumusan kebijakan publik adalah keterlibatan laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. Sekalipun belum ada publikasi mengenai data kuantitatif partisipasi laki-laki dan perempuan dalam proses penjaringan dan pencalonan anggota legislatif di Provinsi Bali, namun hasil dari proses politik tersebut dapat diketahui dari proporsi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten/Kota dan Provinsi Bali berdasarkan jenis kelamin hasil Pemilu 1999, 2004 dan 2009 seperti terlihat dalam tabel di bawah ini. Tabel 1.1 Proporsi Anggota DPRD di Provinsi, Kabupaten/Kota Berdasarkan JenisKelamin Hasil Pemilu 1999, 2004 dan 2009 (persen)
KABUPATE N/ KOTA/
HASIL PEMILU 1999
HASIL PEMILU 2004
HASIL PEMILU 2009
L
P
JML
L
P
JML
L
P
JML
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
(%)
PROVINSI BULELENG
44 (97,78)
1(2,22)
45 (100,00)
43 (95,56)
2 (4,44)
45 (100,00)
41 (91,11)
4 (8,89)
45 (100,00)
JEMBRANA
30 (100,00)
0 (0)
30 (100,00)
28 (93,33)
2 (6,67)
30 (100,00)
24 (80,00)
6 (20,00)
30 (100,00)
TABANAN
35 (100,00)
0 (0)
35 (100,00)
38 (95,00)
2 (5,00)
40 (100,00)
38 (95,00)
2 (5,00)
40 (100,00)
BADUNG
33 (94,29)
2 (5,71)
35 (100,00)
39 (97,50)
1 (2,50)
40 (100,00)
39 (97,50)
1 (2,5)
40 (100,00)
DENPASAR
40 (100,00)
0 (0)
40 (100,00)
42 (93,33)
3 (6,67)
45 (100,00)
44 (97,78)
1 (2,22)
45 (100,00)
GIANYAR
35 (100,00)
0 (0)
35 (100,00)
39 (97,50)
1 (2,50)
40 (100,00)
37 (92,50)
3 (7,50)
40 (100,00)
BANGLI
25 (100,00)
0 (0)
25 (100,00)
28 (93,33)
2 (6,67)
30 (100,00)
37 (92,50)
3 (7,50)
40 (100,00)
KLUNGKUN G
22 (91,67)
2 (8,33)
24 (100,00)
25 (100,00)
0 (0)
25 (100,00)
22 (88,00)
3 (12,00)
25 (100,00)
34 (97,15)
1 (2,85)
35 (100,00)
33 (94,28)
2 (5,72)
35 (100,00)
38 (95,00)
2 (5,00)
40 (100,00)
55 (100,00)
0 (0)
55 (100,00)
51 (92,72)
4 (7,28)
55 (100,00)
51 (92,72)
4 (7,28)
55 (100,00)
353 (98,32)
6 (1,68)
359 (100,00)
366 (95,06)
19 (4,94)
385 (100,00)
372 (93,00)
28 (7,00)
400 (100,00)
KARANGAS EM BALI JUMLAH
Sumber: Bali dalam Angka,2003; KPU Provinsi Bali,2004: KPU Provinsi Bali 2009
7
Data yang tercatat pada dokumen Bali dalam Angka (2003), KPU Provinsi Bali (2004), dan KPU Provinsi Bali (2009) menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan dalam keanggotaan DPRD hasil dari tiga tersebut
Pemilu
jauh lebih sedikit daripada laki-laki. Hasil Pemilu 1999 secara
keseluruhan dominasi laki-laki dalam keanggotaan DPRD sangat menonjol, dari 359 jumlah anggota DPRD di seluruh Bali hanya 6 orang anggota DPRD perempuan, bahkan pada sebagian besar kabupaten/kota (Jembrana, Tabanan, Denpasar, Gianyar dan Bangli) sama sekali tidak ada anggota DPRD perempuan; demikian juga keanggotaan DPRD Provinsi Bali. Ketimpangan gender yang terjadi dalam hasil Pemilu 1999 sangat tinggi dengan perbandingan 98,32 % anggota dewan laki-laki dan 1,68 % anggota dewan perempuan. Pada hasil Pemilu 2004 walaupun telah terjadi peningkatan partisipasi perempuan dalam keanggotaan legislatif, secara keseluruhan ketimpangan gender masih sangat tajam. Dari 385 jumlah anggota DPRD kabupaten/kota/provinsi hanya terdapat 19 orang anggota perempuan, artinya ketimpangan gender juga masih sangat tinggi dengan perbandingan 95,06 % anggota dewan laki-laki dan 4,94 % anggota dewan perempuan. Dalam menghadapi pemilu 2009 berbagai kelompok masyarakat yang peduli terhadap politik perempuan berupaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam legislatif. Hal ini tercermin dalam perubahan yang terjadi dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu. Dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu dan Undang-Undang No. 2
8
tahun 2008 tentang partai politik telah mengakomodasi masukan reformatif dari masyarakat sipil untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif. Dalam undang-undang partai politik terdapat perubahan mendasar dari undang-undang sebelumnya, seperti syarat pembentukan partai politik menyertakan 30% keterwakilan perempuan; kepengurusan partai politik menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan; partai politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender. Dalam Undang-Undang pemilu terdapat ketentuan yang memberi peluang kepada perempuan, seperti daftar calon legislatif yang diajukan oleh partai politik memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan; dalam daftar bakal calon, setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurangkurangnya 1 (satu) bakal calon perempuan; KPU akan mengumumkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar calon sementara partai politik di media massa. Ketentuan yang telah disebutkan di atas memberikan harapan baru kepada perempuan untuk meningkatkan keterwakilannya di lembaga legislatif. Harapan untuk meningkatkan keterwakilan secara signifikan dalam lembaga legislatif provinsi maupun kabupaten/kota di Bali menjadi buyar dengan keluarnya Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Desember 2008 yang menetapkan bahwa pemilihan anggota legislatif ditentukan oleh suara terbanyak dalam satu daerah pemilihan. Hasil pemilu 2009 menunjukkan terjadi peningkatan jumlah keterwakilan perempuan walaupun jauh dari harapan yang ideal yakni 30%. Perempuan baru dapat merebut 28 kursi dari 400 kursi yang
9
tersedia di lembaga legislatif provinsi dan kabupaten/kota seluruh Bali, artinya keterwakilan
perempuan
baru
mencapai
7%,
sedangkan
laki-lakinya
menempatkan wakilnya sebanyak 372 orang atau 93 %. Dilihat dari sudut pandang Cultural Studies, uraian tersebut di atas memperlihatkan adanya dominasi laki-laki dalam kesertaan perempuan di dunia politik, yang oleh Pierre Bourdieu disebut sebagai kekerasan simbolis atau kekerasan yang tidak kasat mata. Akan tetapi, perempuan yang merupakan korban
dari
kekerasan
simbolis
tersebut
tidak
pernah
melihat
atau
merasakannya, bahkan justru dianggap sebagai sesuatu yang alamiah dan wajar. Hal itu sejalan dengan ketika perempuan menganggap tinggal di rumah untuk mengurus anak –anak dan rumah tangga sebagai sesuatu yang sudah semestinya (Haryatmoko. 2003: 12). Sementara pada diri perempuan Bali, selain hal yang disebutkan di atas, mereka juga mengalami kekerasan simbolis melalui modus organisasi sosial (struktur kelas sosial dan lembaga-lembaga) yang mengontrol kaum perempuan dan menempatkannya sebagai subordinasi laki-laki dalam setiap lini kehidupan, termasuk pula di dalamnya praktik keagamaan, terutama tradisi-tradisi, hukum (awig-awig atauran desa adat), sistem kekeluargaan (perkawinan dan perwarisan), dan media (norma-norma ketaksetaraan yang tersusun rapi dalam lontar-lontar) (Nyoman Wijaya, 2004: 54-67). Pada umumnya hubungan sosiokultural antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Bali memperlihatkan hubungan yang subordinatif, artinya kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki. Hal ini merupakan dampak
10
dari ideologi patriarki yang mengutamakan laki-laki dalam segala lini kehidupan ( Shiva dan Mies, 2005). Ideologi patriarki tidak saja menempatkan perempuan sebagai kelas bawah dalam struktur sosial masyarakat Bali nanum juga menempatkan laki-laki sebagai penguasa dalam rumah tangga. Hal ini tercermin dalam kedudukan laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Posisi laki-laki sebagai kelas atas sangat terkait dengan pelabelan yang diberikan kepada laki-laki sebagai mahluk yang aktif/kreatif, rasional/pikiran, dan makluk budaya. Sebaliknya perempuan adalah pasif, emisional, dan makluk alamiah/natural. Gagasan perempuan memiliki karakteristik emosional tercermin dalam istilah luh yang artinya air mata. Menurut budaya Bali perempuan adalah luh, belengih, cengeng atau emosional sehingga tidak layak sebagai pemimpin, sedangkan lakilaki memiliki karaskteristik aktif, kreatif, rasional, dan pecipta budaya sehingga sangat cocok sebagai pemimpin (Atmadja, 2008: 6). Hubungan gender yang telah diuraikan di atas memperlihatkan laki-laki menjadi pemilik kuasa yang menentukan arah wacana pengetahuan masyarakat. Hubungan laki-laki dan perempuan dikonstruksi berdasarkan hubungan dominasi-subordinasi, sehingga memberikan laki-laki peluang untuk mengontrol perempuan, baik yang menyangkut dirinya sendiri, kelembagaan, simbolik, maupun yang berkaitan dengan materi. Bentuk relasi ini bekerja dalam sistem sosial sehingga melahirkan identitas gender yang membedakan laki-laki dan perempuan (Foucault, 2000). Adanya dominasi laki-laki tersebut akhirnya mempengaruhi kinerja perempuan dalam politik seperti yang terlihat di DPRD Jembrana. Persentase
11
keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana belum
memenuhi kuota 30 %. Partisipasi laki-laki tampak masih begitu kuat. Apabila dicermati perkembangan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif kabupaten/kota di Bali hasil pemilu tahun 2009 ada fenomena menarik khususnya di Kabupaten Jembrana. Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana mengalami peningkatan yang paling tinggi
dibandingkan dengan kabupaten lain yakni dari 2 orang perempuan hasil pemilu tahun 2004 menjadi 6 orang hasil pemilu tahun 2009. Enam orang yang berhasil menduduki kursi legislatif berasal dari berbagai partai politik yaitu Yuhal Waidah dari Partai Persatuan Pembangunan, Ni Ketut Mertiasih dari Partai Indonesia Baru, Siti Ulfa dari Partai Kebangkitan Bangsa, Ni Made Sri Sutharmi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Ketut Tresnawiti Bulan dan Ni Nengah Rasmini dari Partai Demokrat. Tiga partai politik, yakni Partai Persatuan Pembangunan, Partai Indonesia Baru, dan Partai Kebangkitan Bangsa hanya diwakili oleh perempuan, artinya perempuan berhasil mengalahkan calon laki-laki.
Persentase perempuan yang duduk dalam lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana
sudah mencapai 20%, persentase yang cukup tinggi
dibandingkan dengan kabupaten kota yang lainnya di Bali. Representasi perempuan di legislatif Kabupaten Jembrana paling tinggi dibandingkan dengan kabupaten kota lainnya di Bali walaupun belum mencapai 30%. Mereka
sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara
internal maupun eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, namun dalam kenyataannya perjuangan yang keras untuk mencapai tujuan-tujuan
12
politik yang dibebankan kepada mereka, sesuai dengan aspirasi konstuennya, tetap saja peran politik yang dapat mereka mainkan masih jauh kalah daripada politikus laki-laki. Pergulatan bukanlah suatu konsep yang sudah dimengerti (baku) dalam dunia akademik, sehingga bisa dijelaskan dalam berbagai cara. Oleh karena dalam studi ini, dengan mengacu pada pendapat tim peneliti Yayasan Interseksi, pergulatan diartikan suatu proses interaksi yang masih dan akan terus terjadi antara perempuan dan dunia politik. Dalam proses ini muncul suatu model yang dalam Cultural Studies disebut dengan kontestasi, resistensi, dan konvergensi (M. Nurkhoiron, 2005 : 50). 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan tersebut di atas memperlihat adanya hubungan saling terkait antara habitus kolektif perempuan dalam masyarakat dengan posisinya sebagai kelompok minoritas dalam lembaga DPRD Kabupaten Jembrana. Ada ketidaksesuaian antara modal budaya yang dimiliki oleh perempuan dengan ranah politik yang mereka pilih dalam praktik sosial politik di lembaga legislatif. Sekalipun sudah berusaha melakukan berbagai pergulatan, baik secara internal maupun eksternal, di dalam maupun di luar gedung DPRD, dalam kenyataannya partisipasi mereka jauh lebih rendah dari pada anggota DPRD laki-laki sehingga belum mampu menjalankan
fungsinya secara optimal, terutama yang
menyangkut kedudukan dan fungsi perempuan dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam masyarakat. Akan tetapi hal ini baru merupakan simpulan sementara. Agar dapat
menjadi sebuah simpulan, maka perlu
dilakukan penelitian melalui tiga pertanyaan sebagai berikut:
13
4. Bagaimana bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana pada era reformasi ? 5. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana pada era Reformasi ? 6. Apa implikasi dan makna pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana terhadap perjuangan kesetaraan gender ?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian dalam studi ini dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. 1.3.1 Tujuan umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memahami pergulatan perempuan dalam dunia politik khususnya dalam lembaga legislatif di Kabupaten Jembrana. Dalam pergulatan tersebut, sekalipun persentase keterwakilan perempuan di lembaga legislatif
Kabupaten Jembrana belum memenuhi kuota 30%
harapan masyarakat cukup besar terutama
namun
dalam menentukan berbagai kebijakan
yang mempunyai implikasi terhadap peningkatan kualitas kehidupan masyarakat khususnya bagi kaum perempuan.
1.3.2 Tujuan Khusus Di samping tujuan umum seperti yang telah diungkapkan di atas, penelitian ini juga mempunyai tujuan khusus yaitu:
14
1. Menjelaskan bentuk-bentuk pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana pada era reformasi. 2. Mengungkapkan dan mendeskripsikan secara mendalam faktor-faktor
yang
mempengaruhi pergulatan politik perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana pada era reformasi. 3. Menjelaskan implikasi dan makna pergulatan politik yang dilakukan oleh perempuan di lembaga legislatif Kabupaten Jembrana pada era reformasi. 1.4 Manfaat Penelitian Setiap penelitian tentu mempunyai harapan yang jelas dan terarah, sehingga hasil yang diperoleh dari penelitian itu akan bermanfaat baik secara teoritis maupun secara praktis. Hasil penelitian tentang aktivitas perempuan dalam dunia politik diharapkan akan bermanfaat: 1) Manfaat teoretis; yakni
menambah khasanah pengetahuan tentang
perempuan khususnya di Bali yang selama ini belum mendapat perhatian yang memadai dari para peneliti khususnya dalam bidang ilmu sosial budaya. 2) Manfaat praktis; yakni dengan memahami pergulatan perempuan dalam dunia politik khususnya dalam lembaga legislatif, akan dapat digunakan oleh lembaga pemerintah dan instansi terkait untuk menyusun suatu strategi yang lebih baik bagi perjuangan kaum perempuan di masa yang akan datang.
15