•
.
.- ~
-. .
,
-
1
Assalaamu'alaikum warokhmatullahi wabarokatuh, Yang saya hormati, - Bapak Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indones.ia. - Bapak Pimpinan dan Anggota Muspida Propinsi Jawa Barat. - Bapak-bapak Pimpinan Dewan Pen~awas dan Pen gurus Yayasan Unpar. - Bapak Rektor Unpar . - Bapak-bapak Guru Besar. - Rekan-rekan teman sejawat dan segenap civitas akademika Unpar serta para hadirin yang mulia. Lima tahun yang lalu, yakni bulan September 1983, atas permintaan' Bapak Prof. R. Soebekti SH, saya telah menyampaikan oras i dies yang ber judul "Pasang Surut Otonomi Daerah" ; suatu ulasan umum menurut perbandingan sejarah IniQgenai kebijaksanaan desentralisasi dan medebewind. ) Pada kesempatan ini saya mendapat kehormatan lagi untuk mengemukakan catatan mengenai titik berat otonomi daerah pada Daerah Tingkat II.
35;2",
-i!3
~
~
Titik berat otonomi daerah.
Masalah lnl akan menarik bagi peminatnya bila dibahas sejarah pemikirannya t erutama sejak pengertian rumah tangga daerah dididkusikan para ahli berkenaan
tj-At~;g-SY~f~~di;~-Pa;;ng Surut Otonomi Daerah , Bina Cipta, Bandung, 1985
p Uuiv
'1
c.• J 1. \ • ..B. A ••rDt U 1'1
'1
n
•
z dengan perubahan Grondwet Nederland pada pertengahan abad XIX. yang kemudian bersambung dengan politik desentralisasi di Hindia Belanda al.al abad XX. Akan tetapi hal itu tidak mungkin diuraikan dalam forum ini mengingat terbatasnya waktu. Maka yang akan saya ketengahkan adalah tanggapan terhadap dasar pemikiran beberapa pokok rumusan dalam UU No. 5 tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya. Hadirin yang terhormat. Berbicara tentang titik berat otonomi daerah • saya awali dengan mencari pengertian yang tepat tentang titik berat. agar dapat memahami makna yang terkandung dalam pasal 11 UU tersebut yang menyatakan bahwa " ti tik berat oton omi daerah diletakkan pada lIaerah Tingkat II dan pelak sanaannya akan di atur dengan peraturan pe.merintah".
Mengapa harus dicari? Karena dalam pasalnya maupun dalam penjelasannya tidak ada penjelasan arti titik berat otonomi daerah itu; yang ada hanyalah maksud akan diletakkannya titik berat itu. Purwadarminta menerangkan arti titik berat itu sebagai "sesuatu hal yang terpenting Z[terutama) atau yang SaJJgEIt dipentingkan (di utamakan)" . Kiranya makna yang tersirat dalam perkataan . titik berat tersebut . menurut hemat saya mengandung perbandingan dan menjadi pilihan terakhir; dalam hal 1m perbandingan aniar'a Daerah Tingkat I dengan Daerah Tingkat II. pilihannya 2) W. J. S. Poerwadarminta. Kamus UmWlI Bahasa Indonesia.
PN B"lai Pusta)
3
apakah di Tingkat I atau di Tingl
sedangkan penjelasannya berbunyi : " Jadi pada flalrekatn.va Otonomi Paerafl itu 1ebifl merupakBJJ kewajiball dari pada flak, ....... .. ..
Dalarn rnenafsirkan ketentuan hukurn, jika rurnusan arti rnenurut pasal berb eda dengan rWlIusan rnenurut . penjelasannya maka rurnusan yang dianggap mengikat adalah rurnusan rnenurut pasalnya.
4
Walaupun demikian, penj elasan umum yang menegaskan bahwa otonomi daerah itu lebih merupakan kewajiban daripada hak,merujuk pada latar belakang perumusan secara mendasar. Penjelasan itu nampaknya lebih sering dijadikan dasar bagi perumusan keb ijaksanaan pelaksanaannya, yang pada gilirannya otonomi daerah itu l ebih merupakan deretan kewajiban dari pada pencerminan upaya kemandirian atau menuju kemandirian . Jawaban Pemerintah terhadap pemandangan fraksi-f r aksi dalam DPR menegaskan bahwa :
umum
"ada1ah 1ebih tepat bagi kita un tuk mendasarkan di r i pada 1andasan i dii1 Pancasila, 1andasan k ons t i t usion a1 {/n dang-undang Oasar 1945 dan 1andasan s t r ategis Garis-garis Bes ar Ha1 uan Hegar a dari pada berbagai s arjana yang satu s ama l ai n tidElk s ama".
Me rujuk pad a l andasan i diil Pancasi l a i t u, saya mer asa te r panggil untuk merenungkan makna yang terkandung dalanl Pancasila i tu, ialah hidup dan kehidupan yang selaras, serasi dan seimbang dalam segala hal . Dalam dasar-dasar pengorganisasian pemerintah-pun hal ini tidak terkecuali bahwa keselarasan, keserasian dan keseimbangan i t u mutlak diperlukan. Jadi rumusan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar tindakan pemerintah perl u menunjukkkan keseimbangan pelbagai kepentingan, termasuk kepentingan antara daerah yang sal u dengan yang lainnya sehingga tercapai pemerataan pelayanan dan pemb i naan serta juga keseimbangan kepenti ngan antara pemb eri hak dan kewajiban dengan penerima hak dan kewa jiban it u. Maka persoalannya apakah sudah t epat bahwa otonomi dae rah it u l ebih merupakan kewaj i ban daripada hak .
5
Rumusan demikian r asanya tidak s epenuhnya cocok dengan as as keselarasan, keseras ian terutams keseimbangan. Dalam impl ement as inys banyak sekali kewajiban yang diberikan kepada Pemerintah Dae rah Otonom ol eh Pemerintah Pusat yang tidak seimbang dengan kemampuan aparatur peme rintah daerah ' untuk memikul dan menjalankannya. Contohnya beberapa tahun yang sHam ke tika berl i mpah dana, t e rj adi terus menerus SIAP/ SIAPDA (Sisa Anggaran Pembangunan/ Sisa Anggaran Pembangunan Daerah ) s ehingga menjadi i s yu nasional. Sistem itu sekarang telah dirubah, disesuaikan dengan kemampuan nyata pe lbagai pihak yang terlibat. Itu berarti dan menunjukkan bahwa aparatur belum mampu melaksanakan fungsinya sebagai kewajiban menurut prosedur yang berliku-liku. Mengapa demikian oleh karens aturan pelaksanaannya sangat kaku dan "jelimet". Yang demikian itu telah menyebabkan menyempitnya ruang gerak aparatur Pemerintah Daerah untuk mengembangkan prakarsa, untuk menyesuaikan instruksi dan arahan atasan dengan situasi dan kondisi dae rah, .karena harus serba seragam meskipun kondisi objekti f nya beraneka ragam. Situasi demikian juga menjurus kepada pembentukan 'sikap sementara pejabat di daerah untuk selalu menunggu r estu, menengadahkan tangan kepada yang berwenang di atas, mengajukan usulan-usulan yang sebanyak-banyakanya t e tapi apabila dikabulkan ternyata tidak dapat di laksanakannya karena kemauan tidak seimbang dengan kemampuan yang nyata. Sering ){ita den gar ungkapan bahwa Pemerintah Daerah yang mengaku dirinya berotonomi itu pada kenyataannya untuk me lakukan kewajiban dan wewenangnya itu hanya menunggu dana dari Pusal, Pandangan ini hanya melihat setengah dari permasalahannya atau salah satu akibatnya, bukan sebab- sebabnya dan hubungan kausalitasnya. Kalau
r J
)
'
DA.;J
1. G
"
6
d"e rah kekurangan dana, malla salah satu sebabnya karena Gumber dana yan g ada di Daerah dan dapat d iga li / dimanfaatkan oleh Daerah itu, kenyataannya dHma»,, :i 01 eb Pemerintah Pusat. Alasan Pemerintah Pusat yang dapat di t erima adalah untuk mengusahakan peme l'ataan , me n gingat kekayaan, pote nsi tiap- tiap daerah di Indones ia ti.dak sama . Tetapi menj a di kurang bijaksana apabi] a dael"ah yan g mempunyai pote nsi dan kesanggupan serta kemamp uan untuk me ngga;i dan memanfaatkannya tidak dibed pel uan g, tidak dipereaya, tidak diberikan kewe na ngan untuk itu. Dan ada daerah yang me njadi kurang perhaLian untuk memelihara sumber potensial itu dan kurang minat buet · me n gembangkan prakarsa menggalang pel'anse l"t.aj partisipas i masyarakat. Pada masa jayanya MIGAS, Pemerintah Pusat menempuh kebijak,;anaall memberikan dropping uang kepada Daerah dengan pe lbagai status dan maeam- maeam j enis bantuan d:iser t ai i nstruksi yang ketat dan rinei tentang rosedur penggunaannya. Yang sangat me nonjol juga adalah jiwanya yang 1ma; un tuk me nyeragamkan pelbagai hal, sehingga menimbu l kan ben t ura n di dae rah yang situasi dan iw ndi s inyo ti dak sesuai dengan pola pengarahan, instr uks i pusat dan prosedurnya, karena di satu pihak llaerah ingifl meme nuhi keinginan nyata di daerahnya dan ingin taat ke pada ins truksi, akan tetapi kondisi dan 8i t.uBo; i kurang atau tidak memungk innya. Akibatnya per-t.anggungjawaban pe l aksanaannya menjadi setengah di bual'-bllat, al"tif i sial demi memenuhi. formalitas, padaha 1 tujuarJ yang sebe narnya tidak t e rcapai. Ualam prakLek tidal, jarang terjadi us ul penyesuaian clengan J,ebut llhan clan konclisi di daerah dijawab denga n sikap yang sanksionist i11, yait u bila tidak mau pel's;" menerima clan melaksanakan apa yang
7
diinsxruksikan, diarahkan dan ditetapkan, maka dana akrut ditarik dbl. diberikan ke daerah lain.
itu
Sikap sementara pejabat pus at yang demikian bersumber pada suatu anggapan bahwa pemerintah daerah adalah hanya bawahan dari pemerintah pusat. Hal 1n1 adalah benar dalam rangka dekonsentrasi, tetapi tidak tepatdalam rangka desentralisasi territorial, pember ian otonomi kepada badan pemerintah yang terdiri dari wakilwakil rakyat di daerah (bandingkan dengan Penjelasan UUD 1945 ). Persepsi bahwa otonomi itu lebih merupakan kewajiban daripada hak, membuktikan sekali lagi bahwa otonomi yang tidak konsisten dengan asas keseimbangan dan semangat kekEHuargaan yang diperintahkan UUD 1945, yang didasari falsaf~ . . Pancasila, masih harus dibenahi . Hadirin yang terhormat, Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah untuk memungkinkan daerah yang bersangkutan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap . masyarakat dan pelaksanaan pembangunan. Untuk melaksanakan tujuan tersebut maka kepada daerah perlu diberikan kewenangankewenangan untuk melaksanakan berbagai urusan pemerintahan sebagai urusan rumah tangganya. Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan, maka UU No. 5 tahun 1974 meletakkan titik berat otonomi pada Daerah Tingkat II, dengan pertimbangan bahwa Daerah Tingkat 11lah yang lebih langsung berhubungan dengan masyarakat, sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasi masyarakat tersebut; demikian penjelasanpenjelasan UU tersebut.
8
Penjelasan itu baru menerangkan maksud dan pertimbangannya, tetapi belum menjelaskan pengertian pokoknya. Menurut anggapan saya, titik berat otonomi daerah itu mengandung arti : "jumiah atau besaran h ak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab urusan-urusan pemerintahan yang diserahkan oieh pemerintah pusat kepada pe.merintah daerah yang menjadi l S l rumah tangga daerah, diutamakan bagi Daerah Tingkat If'.
Anggapan ini saya simpulkan dari jawaban Pemerintah kepada DPR tanggal 13 Juni 1974 yang antera lain berbunyi: "Konsekwensi dari pada peietakan titik berat otonomi pada Daerah Tingkat II berarti akan semakin banyak urusan-urusan yang harus diserahkBlJ pada Daerah Tingkat II sebagai urusan rumah tangganya"
Mengapa titik berat otonomi daerah itu perlu diletakkan pada Daerah Tingkat II, kiranya selain berdasarkan pertimbangan tehnis penyelenggaraan pemerintahan seperti dikemukakan diatas, yaitu bahwa Daerah Tingkat II l eb:ih langsung berhubungan dengan masyarakat, menu rut hemat saya ada pertimbangan dan strategi lain dalam menegakkan Negara Kesatuan. Kalau dikaji lebih dalam, akan timbul pertanyaan lain. Jika pertimbangannya adalah jarak antara aparatur pelayanan pemerintah daerah dengan masyarakat yang harus dilayaninya, mengapa tidak ditetapkan pada tingkat Desa yang juga berotonomi. Atau mengapa tidak pada tingkatan Kecamatan yang juga mempunyai fungsi pelayanan terhadap masyarakat, meskipun Kecamatan bukan daerah otonorn ?
9
Jawaban atas pertanyaan ini menurut anggapan saya strateginya bukan hanya dikaitkan pada fungsi dan peranan sebagai pe 1ayan masyarakat saja, akan tetapi konsisten dengan kebijaksanaan umum y~___ be~s~ber pengalarnan --5eJ8T:ah dan -- kepada_ asas efisiensi serta peal]DoangailPOHtik. - ~ - - Penga1arnan sejarah berarti akar otonomi di negara kita adanya di daerah yang bukan pada tingkat yang kirakira sarna dengan tingkat provinsi sekarang [Bandingkan dengan p endap~y-pendapat c. van Vo11enhoven (1924), Bung Hatta (1946)J _ Pert imbangan efisiensi erat kaitannya dengan kondisi umum masyarakat dan pemerintahan sebagai ke1anjutan dari penolakan pemerintah terhadap usu1 partai politik da1arn DPR mengenai adanya tiga tingkatan daerah otonom yaitu Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III. Kebijaksanaan untuk tidak -membentuk daerah otonom Tingkat III bersifat rea1istik, be1ajar dari penga1arnn sejarah dimana perwujudan otonomi Daerah Tingkat II-pun be1um ter1aksana dengan baik, 1a1u timbu1 masa1ah pembentukan dan pembinaan Daerah Tingkat III seperti pada masa ber1akunya UU No.1 tahun 1957. Be1um tuntasnya pemikiran perombakan sistem pemerintahan yang berkaitan dengan persekutuan
3)
Randingkan dengan pendapat Slarnet Muljana, Menuju Puncak Kemegahan, PN Ba1ai Pustaka,1965,ha1.7l,dst; C. van Vo11enhoven, Staatsrechts overzee, Leiden, 1924 hal. 1, dan Sujarnto, Otonomi Daerah, Gha1ia Indonesia, 1984, hal. 120 dst.
1
10 masyarakat hukum yaitu Desa, Negeri, Marga dan yang setingkat dengan itu, memerlukan waktu persiapan agar apa yang diinstruksikan oleh pasal 18 UUD 1945, Desa dan sebagainya itu tetap dihormati kedudukannya dengan mengingat hak-hak asal-usulnya yang mempunyai susunan asli dan dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Kebijaksanaan pembentuk UU s e jak tahun 1974 memang l ebih tegas untuk tidak membentuk tiga tingkat daerah otonom dan unt.uk meletakkan tl tik berat otonomi daerah itu. Bung Ratta da1am tu1isannya ten tang· I1emokrasi dim Otonomi (27 April 1957) berpendapat, apabila susunan otonomi ter1a1u banyak 1apisannya, maka kekuasaan mengurus ter1a1u banyak tersangkut di a tas dan sediki t yang ke bawah. Sebe1um . itupun Bung Ratta pernah menyatakan bahwa dengan menitikberatkan otonomi pada Kabupaten, maka Kabupaten dapat memimpin perkembangan otonomi desa berangsur-angsur sampai juga di desa tercapai "mengurus ruma!i) tanggan.va sendiri" di da1am arti yang sebenarnya.
Pertimbangan berikutnya adalah pertimbangan politik. Baik UUD 1945 dengan penjelasannya maupun Ketetapan-ketetapan MPH mengandung pokok pikiran untuk menjaga tetap tegaknya Negara Kesatuan. Kesatuan sebagai bentuk Negara, republik sebagai bentuk pemerintahan, bagaikan wadah yang harus menampung isi kebhinekaan Indonesia yang dijalin dengan persatuan yang hidup dan penghidupannya didasari hukum, yang
4}----------------------Muhammad Hatta, Lampau
dan Datang, Jambatan, 1956 hal. 26.
11
berarti segenap penyelenggara negara mendasarkan segala tindakannya atas hukum dan tidak berdasarkan ~ekuasaan belaka. Bertolak dari kesadaran itu, pembentuk mJ berkehendak melaksanakan usaha- usaha pembentukan UU dan peraturan pelaksanaannya serta melaksanakan kegiatankegiatan apapun dalam rangka kenegaraan harus tetap dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal itu ditegaskan dengan perombakan sifat otonomi daerah dari yang seluas-luasnya menjadi otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab serta membatasi tingkatannya dan menegaskan pengutamaannya pada Daerah TiDgkat II. Implikasi dari kebijaksanaan itu merupakan pengejawantahan politik nasional untuk mencegah timbulnya daerah yang bersi fat "staat" menurut penjelasan pasal 18 UUD 1945. Dengan perkataan lain, merupakan wujud kewaspadaan, dan bersifat preventif. .lika demikian timbul pertanyaan, apa hubungannya dengan dua pokok kebijaksanaan tadi yaitu : 1. Mengganti asas atau sifat otonomi daerah yang seluasluasnya. 2. Titik berat otoDominya diletakkan pada Daerah 'Tingkat II. Jawaban hal itu dapat digali dari pengalaman sejarah ketika asas dan sifat otonomi daerah yang seluas- luasnya baru dipraktekkan pada tahun 1950- 1959 dibawah naungan UUDS-1950, dimana gejolak pemerintah daerah otonom diakui memiliki hak-hak yang luas termasuk ' "membela diri" dalam menghadapi Pemerintah Pus at dengan menggunakan pasal-pasal UU tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 1957, terutama pasal 33 yang
12 memperbolehkan daerah mengajukan protes berbentuk mosi, petisi dan sebagainya kepada daerah diatasnya atau kepada Pemerintah Pusat . Keadaan yang demikian dihubungkan dengan perkembangan kekuatan daerah tertentu yang berpotensi besar bila ditambah dengan kelonggaran menurut hukum, dapat menjadikan daerah otonom menjadi bersifat "staat" juga apabila komponennya yang potensial tersedia. Potensi geografi dan demografi demikian yang berupa luas wi layah , jum1ah pendudu]< dan tingkat kecerdasaannya, kekayaan alam dan sumber daya lainnya, totalitasnnya ada pada tingkat suatu daerah seperti propinsi. Ini dapat dikuatirkan menimbu1kan ancaman atau gangguan terhadap Negara Kesatuan dan Persatuan jika tidak diwaspadai oleh semua pihak melalui pengaturan kebijaksanaan negara, termasuk da1am pengorganisasian pemerintah daerah otonom. Sebaliknya, kekuatiran itu tidak demikian adanya jika otonomi daerah titik beratnya di1etakkan pada Daerah Tingkat II yang teritorialnya sam dengan wilayah Kabupaten sekarang at au 1ebih keci1 dari itu . Pendeknya kemungkinan Daerah Tingkat II /Kabupaten untuk menjadi daerah otonom yang bersifat. "staat" itu sangat keci1, apalagi dengan restriksi-restriksi seperti termuat dalam UU No.5 tahun 1974 yang demikian ketat. Sebenarnya kemungkinan seperti tahun 1957-1959 menurut hemat saya sangat keci 1, oleh karena kita te1ah memi1iki satu-satunya asas kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yaitu Pancasi1a. Berbeda dengan ketika itu asas kehidupan berpolitik masih pluralistik, infra s truktur poli t ik dengan banyaknya part.ai poli t ik s ukar untuk mengkokohkan persatuan dan kesatuan. Hasi1-hasil pembangunan di bidang IPOLEKSOSBUD
13 HANKAM dan· Agama te1ah memperkuat kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, meskipun kesadaran hukum masih perlu dipupuk dan ditingkatkan. Persoalannya sekarang, bagaimana merealisasi titik berat otonomi daerah pada tingkat II itu. Sepanjang saya ketahui, langkah yang telah diambil oleh Pimpinan Departemen Da1am Negeri adalah mengadakan penelitian s ecara nasional yang dilakukan oleh beberapa universitas sejak tahun 1980 . Hasil- hasil penelitian telah beberapa kali diseminarkan untuk kemudian disusun menjadi suatu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai dimaksud dalam pasal 11 ayat (2) UU No. 5 tahun 1974. Sebagai praktisi yang dilibatkan da1am kegiatan pembahasan penelitian itu, saya mendambakan sekali hasil akhir penetapan kebijaksanaan pemerintah itu. Dalam hubungan 1n1 saya pun telah mendapat kehormatan untuk memaparkan pendapat ketika dengar (publi c hearing) pendapat di Komisi II DPR- RI pada tanggal 27 November 1986. Sumbangan pikiran yang pernah saya sampaikan pada waktu den gar pendapat dan pada pertemuan- pertemuan formal dalam 1ingkungan Departemen Dalam Negeri, sampai sekarang ini masih berlaku. Sambi1 menunggu dikeluarkannya PP termaksud, sebaiknya oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dan Pemerintah Daerah Tingkat II dilakukan persiapanpersiapan. Persiapan awal bertitik tolak dari perbedaan kondisi dan kemampuan daerah yang berbeda-beda, maka reali.sasi penambahan wewenang tentang urusan-urusan pcmerint.ahan, tidak perlu serempak dan serba seragam untuk seluruh Nusantara, melainkan daerah demi dae rah berdasarkan pertimbangan kemampuan nyata dan asas efisiensi dan efektifitasnya.
,
I
I
14 Disamping penelitian yang secara umum telah dilakukan, perlu diadakan pengecekan secara khusus tentang kesiapan dan kemampuan daerah sebagai berikut. 1. Menelaah isi, susunan dan bentuk Pola Dasar Pembangunan Daerah jangka panjang yang menggambarkan potensi daerah secara benar dan jelas; kebijaksanaan umum untuk memanfaatkan sumber daya; skala prioritas penanganan kendala-kendala dan cara- carn mengat asinya, yang secara keseluruhan juga menggambarkan rencana kegiatan daerah mengenai tataruang dan lingkungan hidup sebagai bagian yang ti dak terpisahkan dari kebijaksanaan nasional. 2. Menelaah isi, susunan dan bentuk serta sistematika atau urutan prioritas yang harus dilaksanakan dalam lima tahun, yang menggambarkan pula perincian sumbers umber pembiayaan pelbagai kegiatan itu, baik yang berupa investasi pemer intah maupun investasi swasta dalam rangka meraih partisipasi masyarakat. 3. Membandingkan APBD dari tahun ke tahun s ed ikitnya setiap lima tahun sekali. Telaahannya meliputi : a. Proses penyusun an Rancangan APBD terutama konsistens inya dengan Repelita; b. PenentUaD skala prioritas programnya; penelaahan proses penyusunan anggaran dan programnya akan memberi gambaran tentang tertib kerjanya aparatur Pemerintah Daerah yang bersangkutan. c. Kebijaksanaan yang menggambarkan Wawasan Nasional yang hendak diterapkan di daerahnya.
57-B~~di~gka;-de~ga;-p~~dapat Katz dan Kahn, The Psychology of Organization, Macmillan, New York, 1966, dan pendapat Humes, Samuel and Eileen Martin, The Structure of Local Government thorught the World, Martin Nijher, The Hague, 1961.
-
•
15 d. Program· peningkatan kemampuan Aparatur Pemerintah Daerah untuk menjawab tantangan zaman yang akan ternyata lebih cepat dibandin~ dengan kesiapan menghadapinya; e. Program operasional dan cara-cara pengendalian program yang baik yang menyangkut tugas dan dana Pendapatan Asli Daerah sendiri maupun t ugas dan dana dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Oaerah Atasan, seperti ganjaran, subsidi, sumbangan,dana dan lainnya. yang f. Partisipasi masyarakat serta kegiatan termasuk peningkatan nilai ekonomik potensi atau harta benda milik Pemel"intah Daerah. 4. Memperhatikan perhitungan Anggaran yang mengenai a. Waktu penetapannya, apakah tepat atau terlambat; b. Pandangan-pandangan berupa penilaian atas realisasi program yang dimuat dalam APBD tahun yang telah dilaksanakan; termasuk penting pula adalah proses pembahasan dalam DPRD yang dapat memberikan gambaran nyata pihak eksekutif dan prakarsa serta sikap, kualitas serta tanggung jawab para anggota DPRD sebagai wakil-wakil rakyat yang harus bicara secara terbuk.a . Memang itulah maksudnya undang-undang bahwa pembahasan APBD dan pedli tungan APBD harus dalam sidang terbuka, dilarang dalam sidang tertutup. 5. Memperhatikan laporan hasil-hasil pemeriksaan yang di lalmkan sepanjang tahun, secara berkala atau hasil inspeksi dan pemeriksaan mendadak oleh pejabat atasan yang berwenang. . 6. Dun yang ti dal, kurang penting adalah pandangan atau tanggapan masyarakat melalui media masa, atas segi posit if dan sep;i negatif dari kegiatan atau
16
kelalaian, penyimpangan aparatur Pemerintah Daerah. Laporan dan ulasan pers merupakan sumber bahan yang penting bagi penilaian terhadap kegiatan badan publik di tengah- tengah masyarakat dan pejabatnya. Demikian langkah awal yang saya anjurkan sambil menanti keluarnya Peraturan Pemerintah untuk mengidentifikasi permasalahan dan mengukur tingkat kemampuan pemerintah Daerah Tingkat II agar asas otonomi yang nyata dinamis dan bertanggungjawab dilaksanakan dalam mempertimbangkan keseimbangan antara kemauan', kemungkinan dan kemampuan mengembannya. Langkah lanjutan yang perlu dipertimbangkan untuk ditempuh dalam rangka menyiapkan diri untuk meletakkan titik berat otonomi daerah pada tingkat II adalah sebagai berikut: 1 . Gariskan kebijaksanaan Pemerintah supaya Pemerintah Daerah Tingkat I mulai memilih urusan pemerintahan yang selama ini ada pada Daerah Tingkat I, apa saja yang sudah harus diserahkan kepada Daerah Tingkat II berdnsarkan hasil pengukuran kemampuan menurut proses pada langkah awal diatas. 2. Tingkatkan kemampuan aparatur Pemerintah Daerah Tingkat II dengan bantmm De;""i·tcmen Dalam Negeri atau Departemen tehnis/sektoral serta Pemerintah Daerah Tingkat I, jika perlu dengan menyebarkan tenaga trampil dengan segala kemudahannya agar apabila ",ewenang urusan pemerintahan diserahkan, tidak terjadi kemandegan disebabkan ol eh tenaganya belum siap, organisasinya belum mantap dan sebagninya. 3. Serahkan berangsur-angsur wewenang urusan itu kepada Daerah yang sudah diperhitungkan akan mampu membuktikan kesiapan dan tanggungj awabnya . Wewenang
..
17 wewenang yang diserahkan sebaiknya wewenang yang menjadi daya dorong bagi keberhasi1an urusan-urusan 1ainnya. Sudah dengan sendirinya penyerahan wewenang itu harus dengan wewenang mengga1i dananya, sumber pembiayaan dan tenaga-tenaga pe1aksananya dengan pengaturan yang tertib dan tegas. 4. Tetapkan jadwa1 waktu sebagai aneer-aneer supaya da1am perja1anan pe1aksanaannya se1a1u dapat diadakan pengeeekan tahap kegiatannya. Idea1nya Pemerintah Daerah Tingkat II harus sudah siap menerima penambahan/pengembangan urusan tertentu yang strategis dari Pemerintah Daerah Tingkat I sebe1um berakhirnya Pe1ita V. 5. Pemerintah Daerah Tingkat I memantapkan mekanisme pembinaan kepada Daerah Tingkat II agar urusan-urusan yang diserahkan kepada Daerah Tingkat II tidak menurunkan produktivitas dan kua1itas pe1ayanan, me1ainkan menambah gairah danpe1uang bagi aparatur pemerintah dan organisasi masyarakat setempat da1am berkiprah meningkatkan prakarsa pembangunan . Apabi1a 1angkah-1angkah yang saya sebutkan itu ditempuh oleh Pemerintah Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, besar kemungkinan Pemerintah Pusat akan 1ebih melnpereayai Pemerintah Daerah. Itu akan berarti pengembangan otonomi Daerah Tingkat II akan berja1an dengan tertib dan terarah kepada keberhasi1an. Harapan untuk tereiptanya suasana kepemerintaban yang serasi, se1aras dan seimbang da1am hubungan pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerab akan terwujud dan maksud me1etakkan titik berat otonomi pada Daerah Tingkat II dalam menegakkan Negara Kesatuan dan Persatuan ber1andaskan UUD 1945, benar-benar ter1aksana.
18
Akhirnya saya menyampaikan banyak terima kasih perhatian para hadirin sekalian.
atas
Bandung, 15 September 1988
:
J
352.