bagian X
Proses Pembuatan Undang-undang Migas
P
ada awal tahun 1990-an, semangat globalisasi yang ditandai dengan dunia tanpa sekat ekonomi, melanda dunia termasuk Indonesia. Tema globalisasi di samping kemandirian bangsa adalah tema yang diajukan oleh Menteri Ginandjar pada 1992 untuk melihat potensi pegawai jabatan Eselon II. Ginandjar memandang isu ini penting karena dua tahun kemudian yaitu pada tahun 1994 Indonesia menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Pacific Economy Cooperation (APEC) di Bogor. Bagi rakyat Indonesia, KTT APEC yang diselenggarakan di Istana Bogor tersebut lebih mereka ingat karena seluruh kepala negara yang hadir mengenakan baju batik. Deklarasi Bogor yang merupakan hasil dari KTT APEC tersebut menyatakan tekad bersama untuk menciptakan perdagangan dan investasi serta pembangunan ekonomi di kawasan Asia Pasifik yang lebih bebas dan terbuka berlandaskan pada prinsip General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) dan World Trade Organization (WTO) paling lambat tahun 2020. Deklarasi Bogor memberikan penekanan pada penolakan atas pembentukan blok perdagangan yang bersifat inward looking. Rachmat masih ingat tentang isu yang berkembang saat itu, bahwa Indonesia |
123
|
Proses Pembuatan Undang-undang Migas Pertam
a | Rachmat Sudibjo
merupakan satu dari sedikit negara, antara lain Kuba dan Albania, yang masih menerapkan monopoli pasar BBM. Setahun kemudian Menteri I.B. Sudjana, yang menggantikan Ginandjar, meminta agar segera disiapkan Undang-undang Migas yang sesuai dengan jiwa dan semangat Deklarasi Bogor dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi tahun 2020. Umar Said selaku Sekjen saat itu membentuk Tim Persiapan Undangundang Migas dan menunjuk Rachmat sebagai Ketua Tim Pelaksana. “Sebenarnya timbul pertanyaan pada diri saya kenapa Sekjen menunjuk saya selaku Direktur EP untuk menyiapkan perubahan Undang-undang Migas?” Namun Rachmat juga memahami bahwa membuat Undangundang migas yang relatif komplek juga membutuhkan pengetahuan teknis dan struktur industri yang jelas. Sedangkan peran hukum di sini adalah bagaimana melihat filosofi, hierarki dan keterkaitan dengan peraturan perUndang-undangan yang berlaku. Sebagai Direktur EP Migas, sebenarnya tugas terkait dengan regulasi ini bukan merupakan pekerjaan yang pertama kali dia lakukan. Pada tahun 1993, Rachmat pernah menyiapkan dan menyusun Peraturan Pemerintah (PP) tentang kegiatan hulu migas, bersamaan dengan PP tentang kegiatan hilir migas yang disiapkan oleh Direktorat Pengolahan Migas. Dia memang sempat heran saat mengetahui bahwa selama kurang lebih 30 tahun belum ada peraturan pelaksanaan yang menjabarkan Undangundang Migas 1960 dan Undang-undang Pertamina 1971 secara lebih rinci. Pada satu kesempatan, pernah hal ini ditanyakan kepada Wiyarso, Staf Ahli Menteri yang sebelumnya lama menjabat sebagai Dirjen Migas. ”Buat apa? Tanpa aturan pelaksanaan saja Undang-undang tersebut sudah berjalan dengan baik. Dengan banyak aturan pelaksanaan mungkin malah bisa banyak menimbulkan masalah,” jawabnya enteng. “Memang banyak putusan yang diambil didasarkan pada diskresi pejabat, tapi asalkan pejabat berani mempertanggungjawabkan tidak ada masalah.” Namun bagaimanapun hal ini tidak bisa dibiarkan terus berlangsung. Apalagi pada Undang-undang Pertambangan Migas 1960 ada juga beberapa pasal yang mengamanatkan dibuatnya PP sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal-pasal tersebut. Saat hal ini disampaikan kepada Pertamina, mereka menentang ide tersebut. Pandangan Pertamina |
124
|
kurang lebih sama dengan apa yang dikemukakan oleh Wiyarso.
Gambar 45. Rapat Kerja Departemen Pertambangan dan Energi di Istana Merdeka 1994
Bagi Rachmat, pengalaman menyusun PP tersebut sangat berharga. Banyak praktik yang sudah lama dilakukan di kegiatan hulu migas yang tidak memiliki dasar aturan formal yang diadopsi dalam draft PP. Pertamina dapat menerima draft PP kegiatan hulu migas tersebut untuk diteruskan menjadi PP, sedangkan PP kegiatan hilir migas yang terkait dengan pengolahan, distribusi dan niaga BBM gagal diteruskan karena ditolak Pertamina. Reaksi penolakan Pertamina terhadap rencana disusunnya Undangundang Migas yang baru, jauh lebih keras dibanding penolakan mereka terhadap usulan PP melengkapi Undang-undang Pertambangan Migas yang lama. Apalagi setelah disampaikan bahwa dalam Undang-undang Migas yang baru status Pertamina akan diubah menjadi PT Persero. “Memangnya Pertamina disamakan dengan PT Pasar Raya?” cetus Faisal Abda’oe, Direktur Utama Pertamina saat itu. Memang banyak elite Pertamina, terutama dari kegiatan hulu yang keberatan atas kehadiran Undang-undang Migas yang baru. Tidak saja pada saat pembahasan di DPR, tapi bahkan jauh setelah Undang-undang Migas tersebut diberlakukan. |
125
|
Proses Pembuatan Undang-undang Migas Pertam
a | Rachmat Sudibjo
Karena penolakan Pertamina ini, pembahasan Rancangan Undangundang (RUU) Migas menjadi sangat alot dan berkepanjangan. Dimulai dari masa jabatan Menteri I.B. Sujana (1996-1997), dilanjutkan oleh Kuntoro Mangkusubroto yang berakhir dengan penolakan oleh DPR (1998-1999), dilanjutkan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono (pertengahan 1999-2000) dan diakhiri pada masa jabatan Purnomo Yusgiantoro pada tahun 2001 karena RUU tersebut berhasil digolkan menjadi Undang-undang. Perumusan RUU ini juga melewati beberapa masa kepresidenan, mulai dari masa Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan terakhir Megawati yang menandatangani Undang-undang Migas tersebut. Rachmat sendiri terlibat mulai dari persiapan penyusunan RUU tersebut pada tahun 1995 saat menjabat Direktur EP Migas hingga menjadi Dirjen Migas saat Undang-undang Migas diterbitkan pada tahun 2001, kecuali pada saat dia menjabat Sekretaris DKPP (1997-1998). Pada awal penyusunan RUU Migas, isu yang mengemuka adalah dibukanya kegiatan usaha hilir migas sesuai dengan semangat Deklarasi Bogor waktu itu. Sedangkan pada kegiatan hulu migas diperdebatkan tentang peran Pertamina sebagai pemegang manajemen operasi PSC. Sebagaimana diceritakan Rachmat, dibawah Undang-undang yang berlaku saat itu, Pertamina terbebani oleh dua hal. Di sektor hulu, akibat krisis Pertamina pada tahun 1975, Kuasa Pertambangan (KP) Pertamina dalam melakukan pengawasan terhadap PSC dikurangi. Sebelumnya, sebagai pemegang KP, Pertamina menerima langsung semua penerimaan migas bagian negara, termasuk yang berasal dari PSC. Semenjak krisis Pertamina, berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 12/1975 seluruh penerimaan bagian negara dari PSC tersebut langsung masuk ke kas negara. Sebagai kompensasi, Pertamina memperoleh fee manajemen sebesar 2% (setelah pajak) dari penerimaan tersebut. Di lain pihak, pada kegiatan hilir pemerintah memberlakukan sistem cost and fee dimana Pertamina memperoleh fee pengolahan dan distribusi BBM masing-masing sebesar USD 0.20 per barel. Secara bergurau, Prof. Kho Kian Ho, Ketua Kelompok III DKPP yang juga dosen ITB, berkomentar: “Pertamina ini ibaratnya seperti tukang jahit. Baik mesin jahit, kain, dan benang semuanya dari pemerintah. Dia sendiri hanya menerima |
126
|
upah jahit.” Tidak banyak yang menyadari akan nasib Pertamina saat itu, termasuk kebanyakan karyawan Pertamina sendiri. Sebagian besar penerimaan Pertamina berasal dari upah. Di sektor hulu Pertamina menerima upah manajemen pengawasan PSC, sementara di sektor hilir menerima upah kerja dari pengolahan dan distribusi BBM. Sedangkan penerimaan usaha sendiri yang bukan upah adalah produksi minyak Pertamina dari own-operation yang relatif kecil, sekitar 5% dari total produksi minyak Indonesia sebesar 1,3 juta barel per hari. Sedangkan dari kegiatan hilir Pertamina menerima hasil penjualan non-BBM yang besarnya tidak lebih dari seperlima dari penerimaan BBM yang dikelola. “Inilah kondisi internal Pertamina saat itu yang tidak banyak dilihat oleh pihak luar. Kondisi ini diperberat dengan sering terlambatnya pembayaran penggantian biaya operasi dan fee pengadaan BBM Pertamina oleh Departemen Keuangan. Seringkali pihak manajemen Pertamina terpaksa mengalihkan sebagian anggaran kegiatan hulu Pertamina agar dapat dipakai menalangi biaya pengadaan BBM. Ini tentu sangat mengganggu kinerja Pertamina. Walaupun di mata masyarakat Pertamina terlihat besar dan kokoh, namun sebenarnya lebih mirip dengan Perusahaan Jawatan yang memperoleh upah dari pemerintah,” ungkap Rachmat. Pada saat pembahasan RUU Migas, keberadaan Inpres No. 12/1975 yang membatasi KP Pertamina sesuai Undang-undang Pertamina, sudah berlangsung selama 20 tahun. Tentu Inpres ini, yang notabene hierarkinya berada di bawah Undang-undang tidak dapat diberlakukan secara terus menerus. Namun Inpres ini tidak mungkin dicabut tanpa merubah Undang-undang yang berlaku karena mekanisme penerimaan negara akan kembali kepada sistem yang lama, yaitu masuk melalui Pertamina. Masalah ini sekaligus dapat dipecahkan dengan memasukkan semangat dari Inpres ini ke dalam rumusan RUU Migas yang baru. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, diputuskan bahwa Pertamina tidak lagi berusaha berdasarkan upah, baik itu upah dari pengelolaan PSC maupun dari pengadaan BBM. Pertamina harus menjadi perusahaan bisnis yang riil dan lebih mandiri, yaitu sebagai PT Persero dengan harapan ke depan Pertamina akan menjadi world class company.
|
127
|
Proses Pembuatan Undang-undang Migas Pertam
a | Rachmat Sudibjo
Sebagai PT Persero, Pertamina tidak lagi berperan sebagai pengelola PSC. Kalaupun bekerja sama dengan pihak lain Pertamina harus membentuk joint-venture atau joint-operation dan bukan sebagai pengawas. Sebagai konsekuensi dari pembatasan ini, TAC yang diterapkan di wilayah own-operation Pertamina tidak lagi diperbolehkan kecuali yang sedang berjalan hingga berakhirnya masa kontrak. Banyak kalangan berpandangan bahwa Pertamina selama ini lebih berat perannya sebagai wasit dibanding sebagai pemain. Dengan dipisahkannya peran ‘wasit’, yaitu sebagai pengawas PSC, diharapkan Pertamina dapat lebih berkonsentrasi pada peningkatan produksi own-operation sehingga sebagai pemain yang berpengalaman di lapangan diharapkan Pertamina dapat mengembangkan sayap di luar wilayah operasi sendiri maupun ke luar negeri. Di hilir, pemerintah tidak lagi sekedar memberi ‘upah jahit’ kepada Pertamina, tapi memberikan kompensasi pengadaan BBM sesuai harga pasar. Selisih dari harga pasar dengan harga yang ditetapkan pemerintah merupakan subsidi yang diberikan pemerintah kepada konsumen. Dengan demikian, diharapkan Pertamina akan berusaha untuk melakukan efisiensi semaksimal mungkin agar biaya produksi dapat ditekan serendah mungkin di bawah harga pasar agar dapat memperoleh laba yang optimal. Situasi ini tentu berlainan bila dibanding dengan sistem cost and fee yang berlaku waktu itu karena berapa pun biaya operasi yang dikeluarkan Pertamina selalu diganti pemerintah, di samping fee yang diperoleh dari pengadaan BBM.
Gambar 46. Sidang dengan Komisi VIII DPR-RI Tahun 2000
|
128
|
Terdapat perubahan yang mendasar dalam RUU yang diusulkan, yaitu pemerintah langsung bertindak sebagai KP yang mencakup kegiatan usaha hulu. Kegiatan usaha hilir migas tidak lagi tercakup dalam KP dengan rezim fiskal dan perizinan yang diberlakukan sama seperti halnya pada kegiatan industri lainnya. Di bidang hulu migas, pemerintah membentuk Badan Pelaksana, yang kemudian disebut BP Migas untuk menggantikan peran Pertamina sebagai pemegang manajemen operasi PSC sedangkan di bidang hilir dibentuk Badan Pengatur, kemudian disebut BPH Migas, khusus untuk menangani transportasi gas melalui pipa karena bersifat monopoli alamiah. Fungsi Badan Pengatur ini kemudian ditambah dengan pengaturan masalah penyediaan BBM tertentu selama BBM tersebut masih disubsidi. Proses pembahasan Undang-undang tersebut mendapatkan tantangan dari berbagai kalangan termasuk sebagian anggota DPR sehingga berkepanjangan. Pada masa Kuntoro Mangkusubroto, kalangan DPR sempat menolak RUU tersebut terutama karena ada klausul bentuk kontrak yang diperbolehkan selain PSC. RUU tersebut kemudian dihidupkan kembali setelah terjadi krisis moneter tahun 1998. Krisis ekonomi tersebut dengan cepat berkembang menjadi krisis sosial dan krisis politik yang melumpuhkan hampir seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Kondisi ini menyulut gelombang reformasi dan semangat anti korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang marak waktu itu yang dianggap sebagai penyebab timbulnya krisis. Di tengah semangat reformasi tersebut, Pertamina mendapat sorotan tajam atas banyaknya proyek KKN yang melemahkan Pertamina. Masyarakat menilai bahwa korupsi di tubuh Pertamina telah sedemikian parah sehingga membutuhkan restrukturisasi yang mendasar. Sekalipun Pertamina memegang monopoli atas kegiatan industri migas, struktur keuangan Pertamina tidak pernah menjadi kuat. Sementara itu pada tataran nasional aspirasi masyarakat terhadap perombakan mendasar di bidang sosial-politik-ekonomi dilaksanakan melalui sidang MPR yang menghasilkan Tap MPR No. IV/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999-2004 serta Program Pembangunan Nasional (Propenas) 2000-2004. Dalam proses pembahasan RUU Migas yang terus berlanjut, semangat yang |
129
|
Proses Pembuatan Undang-undang Migas Pertam
a | Rachmat Sudibjo
tertuang dalam Tap MPR dan Propenas tersebut dijadikan sebagai azas dan tujuan Undang-undang Migas, termasuk semangat menghapuskan subsidi BBM dan menggantikannya dengan sistem subsidi langsung kepada golongan masyarakat tertentu. Pada tataran daerah semangat reformasi diwujudkan dengan menguatnya otonomi daerah yang tidak dapat dibendung lagi. Dan semangat otonomi daerah ini mau tidak mau harus dimasukkan di dalam RUU Migas melalui bentuk partisipasi yang lebih aktif dari daerah penghasil. Dengan dilatarbelakangi oleh semangat reformasi di bidang migas, akhirnya semua fraksi di Komisi VIII DPRRI, antara lain PDIP, Partai Golkar, Partai Keadilan, PAN, PPP, PBB dan PKB menyetujui RUU Migas disahkan menjadi Undang-undang Migas No. 22 tahun 2001, kecuali Fraksi Demokrasi Kasih Bangsa, partai kecil berbasis keagamaan (kristen) sebagai satu-satunya fraksi yang menolak UU Migas. Walaupun demikian Undang-undang Migas yang baru ini masih mendapat tantangan terutama dari kelompok yang menentang RUU Migas sebelumnya. Melalui Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) kelompok ini mengajukan beberapa kali judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tujuan agar Undang-undang Migas dicabut dengan alasan inkonstitusional. Tuduhan yang gencar dilancarkan adalah bahwa Undang-undang Migas ini merupakan pesanan International Monetary Fund (IMF) yang waktu itu diminta pemerintah untuk membantu menanggulangi krisis moneter. Kelompok penentang itu lupa bahwa Undang-undang Migas sudah lama disusun dan diperdebatkan secara intensif selama lebih dari lima tahun pasca Sidang APEC di Bogor tahun 1994 dan tidak mungkin dalam waktu seketika dapat diubah oleh IMF dan dimanipulasi sesuai kehendak mereka. Rachmat mengemukakan bahwa pembahasan Undang-undang Migas dilaksanakan melalui sidang-sidang yang berjenjang, yaitu mulai dari sidang pleno Komisi (yang dihadiri Menteri), sidang Teknis (dihadiri Eselon I), sampai sidang Tim Kecil dan Tim Perumus yang membahas aspek hukum yang sangat detail termasuk istilah-istilah sampai dengan titik komanya. Pihak yang ingin membatalkan Undang-undang Migas itu seharusnya juga membaca kembali Tap MPR No. IV tahun 1999 yang pimpinan waktu itu antara lain |
130
|
Amien Rais dan Kwik Kian Gie untuk mengingat suasana kebatinan dan perombakan yang dituntut oleh gerakan reformasi waktu itu . Hal lain yang ditentang adalah keberadaan BP Migas sebagai pengganti peran Pertamina selaku pemegang manajemen operasi dari PSC. Mereka mempermasalahkan status BP Migas yang bukan BUMN, karena mereka beranggapan bahwa pemegang manajemen operasi PSC harus berbentuk BUMN dan kalau tidak berarti bertentangan dengan konstitusi. Menurut penafsiran mereka, di dalam UUD 1945, pengertian dikuasai oleh negara dalam Pasal 33 harus dilakukan oleh BUMN. Menurut Rachmat mereka mencampuradukkan peran perusahaan negara yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 44 tahun 1960 seolah-olah bagian yang tak terpisahkan dari UUD 1945. Menanggapi tuntutan LSM ini, MK memberikan pengertian tentang apa yang dimaksud dengan ‘dikuasai oleh negara’ dari Pasal 33 UUD 1945 dan menolak interpretasi LSM tentang hal itu melalui Putusan MK No. 002/PUU-I/2003 tahun 2003. Rachmat pun menunjukkan bahwa di sektor lain tidak ada satu pun yang menerapkan apa yang diinterpretasikan oleh LSM tersebut. Apabila benar bahwa pengertian dikuasai oleh negara harus dilakukan hanya oleh BUMN, tidak mungkin sektor lain tidak melaksanakan amanat UUD 1945. Sebenarnya ada preseden hukum terkait dengan pelaksana mining right dari Pemerintah yang diterapkan secara khusus di Timor Gap, waktu Timor Timur masih menjadi bagian dari NKRI. Pemerintah RI bersama Australia waktu itu membentuk Joint Authority yang mengelola kegiatan hulu migas di daerah tersebut. Fakta bahwa pengelolaan hulu migas antara pemerintah dengan pihak kontraktor (PSC) harus bersifat B-to-B terbantahkan baik oleh pihak Indonesia maupun pihak Australia. Dalam Putusan MK tersebut ada beberapa pasal atau ayat yang dibatalkan, salah satunya adalah adalah kata ‘maksimum’ pada frasa ‘maksimum 25%’ pada kewajiban memasok kebutuhan domestik, DMO. Sebenarnya kata maksimum tersebut bersifat sangat teknis karena pelaksanaannya yang dilakukan secara bulanan dan telah berlaku sejak sistem Kontrak Karya tahun 1960 sampai pada masa PSC hingga RUU tersebut dibahas. Tiba-tiba persyaratan yang sudah berlaku selama 40 tahun itu dinyatakan inkonstitusional oleh MK. Barangkali ada benarnya |
131
|
Proses Pembuatan Undang-undang Migas Pertam
a | Rachmat Sudibjo
apa yang dikatakan Wiyarso waktu itu bahwa tidak perlu ada peraturan pelaksanaan yang bersifat detail dan teknis, terlebih-lebih pada tataran Undang-undang. Kita semua memang harus tunduk pada putusan MK, tapi anehnya Putusan MK pada masa pimpinan Jimly Assidiqi yang dikatakan final dan mengikat itu masih bisa diubah oleh Putusan MK No. 36/PUUX/2012 pada masa pimpinan Mahfud MD, dimana salah satu hakim anggotanya terjerat masalah hukum yang berat. Yang mengundang tanda tanya besar adalah bahwa putusan pembubaran BP Migas tidak disertai dengan pemberian masa transisi. “Pihak MK mungkin tidak mengerti dimensi operasi migas yang sedemikian besar sehingga dengan entengnya membubarkan BP Migas tanpa memberikan masa transisi sedikit pun. Ada sekitar 200 PSC yang beroperasi baik yang masih dalam tahap eksplorasi maupun sudah berproduksi yang berada dibawah pengelolaan BP Migas. Apabila pemerintah tidak bertindak cepat waktu itu, tidak akan ada satu pun PSC yang berani melanjutkan operasi tanpa ada Badan yang memberikan persetujuan lifting maupun biaya operasi yang mereka keluarkan. Sebagaimana disampaikan oleh Rachmat bahwa pada saat Sidang Komisi VIII, yang waktu itu membidangi subsektor migas, bentuk Badan Pelaksana ini cukup ramai dibahas. Waktu itu ada tiga alternatif bentuk BUMN yang dibahas yaitu Persero, Perusahaan Umum (Perum) atau Perusahaan Jawatan (Perjan). Persero adalah BUMN yang 100& berorientasi pada profit. Perum adalah BUMN yang 70% berorientasi pada profit dan 30% berfungsi sosial. Perjan adalah BUMN yang 30% berorientasi pada profit, sedangkan 70% berfungsi sosial. Dari kebijakan pemerintah yang berkembang waktu itu bentuk Perjan maupun Perum secara berangsur-angsur fungsi sosialnya dikurangi dan banyak yang dikonversi menjadi Persero. Namun mengingat fungsi dari Badan Pelaksana yang lebih bersifat pengendalian dan bukan pelaksana operasional yang berorientasi pada profit, Badan Pelaksana dipandang tidak cocok untuk dijadikan Persero. Demikian juga dengan bentuk Perum dan Perjan, karena yang sudah adapun jumlahnya dikurangi dan dikonversi menjadi Persero. Karena itulah mengapa pemerintah dan |
132
|
DPR waku itu sepakat untuk memberi bentuk Badan Pelaksana sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan karena sifatnya yang strategis, bertanggung jawab kepada Presiden.
Gambar 47 Sidang dengan Komisi VIII DPR-RI Tahun 2001
Pada kegiatan usaha hulu migas, sesuai dengan struktur yang diatur Undang-undang Migas No. 22/2001, istilah ‘dikuasi negara’ dari Pasal 33 ayat 3 mengandung arti bahwa seluruh kekayaan alam berupa sumber daya migas dimiliki negara (mineral right). Selanjutnya KP, yang sebelumnya berada di tangan perusahaan negara (Pertamina), dipegang oleh pemerintah (mining right). Badan usaha baik itu nasional maupun asing tidak mempunyai kedua hak tersebut kecuali hak untuk memperoleh keuntungan dari kegiatan usahanya (economic right) selaku kontraktor pemerintah. KP (mining right) dari pemerintah ini dilakukan melalui Badan Pelaksana yang dibentuk khusus untuk itu. Dengan demikian, pemerintah selaku pemegang mining right mempunyai kekuasaan penuh terhadap pengelolaan sumber daya migas, dari mulai melakukan pengelolaan sumber daya dan cadangan migas, menawarkan wilayah kerja serta menetapkan persyaratan kontrak kerja sama dengan pihak kontraktor. Kontrak Kerja Sama (KKS) ini dapat berbentuk PSC ataupun bentuk lain yang dianggap menguntungkan negara. Badan Pelaksana (BP Migas), sesuai namanya, bertindak selaku pelaksana dan pemegang manajemen operasi KKS/PSC. BP Migas dipimpin oleh seorang Kepala |
133
|
Proses Pembuatan Undang-undang Migas Pertam
a | Rachmat Sudibjo
yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Kepala BP Migas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, dan pengangkatannya melalui rekomendasi dari DPR. Dengan struktur seperti itu sungguh mengherankan bahwa keberadaan BP Migas dinyatakan inkonstitusional dan adanya tuduhan bahwa dibawah Undang-undang Migas No. 22/2001, kekayaan migas dikuasai oleh asing. Selain Badan Pelaksana yang berwenang terhadap pengawasan KKS/ PSC, di hilir migas dibentuk Badan Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Migas (BPH Migas). Badan yang bersifat independen ini mempunyai tugas pokok untuk mengatur transportasi dan distribusi gas melalui pipa yang bersifat monopoli alamiah. Di bawah Undang-undang Migas siapa pun boleh membangun pipa dengan syarat bahwa dia harus mau diatur untuk melakukan open access. Artinya, perusahaan yang membangun dan memiliki pipa gas tersebut tidak boleh melarang siapapun untuk lewat selama kapasitasnya ada. ”Jadi kalau kapasitas masih ada, perusahaan lain boleh memakai pipa miliknya asalkan mereka membayar tarif toll (toll fee) yang ditetapkan oleh BPH Migas. Penetapan tarif toll ini dilakukan dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak baik itu dari kalangan pemilik pipa, produsen, konsumen, transporter maupun dari pemerintah,” Rachmat menjelaskan. Dengan cara tersebut, ke depan akan terbuka kesempatan berusaha bagi kalangan bisnis yang lebih luas. Rachmat memberikan contoh peluang bisnis bagi perusahaan broker yang tidak mempunyai sumber gas maupun pipa transmisi, tetapi mempunyai jaringan hubungan konsumen yang luas. Selain itu, BPH Migas juga mempunyai kewenangan mengawasi penyaluran BBM bersubsidi ke konsumen dan masyarakat selama BBM masih disubsidi oleh pemerintah. Dibanding dengan BP Migas yang bersifat eksekutif, BPH Migas berbentuk Komite yang jumlah anggotanya harus ganjil supaya dihasilkan keputusan apabila harus dilakukan voting. Karena harus bersifat independen, Ketua BPH Migas diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan pengangkatannya harus mendapat persetujuan DPR. Sementara itu Ditjen Migas tetap mempunyai wewenang yang lebih luas pada kegiatan usaha hilir lainnya seperti pemberian izin dan pengawasan
|
134
|
terhadap kegiatan pengolahan, tranportasi, distribusi, dan niaga (non subsidi) BBM. Di bawah Undang-undang Migas yang baru, kegitan hilir migas tidak lagi termasuk dalam KP yang terintegrasi dari hulu sampai hilir. Izin yang diberikan pun dibagi menjadi beberapa golongan yaitu izin pengolahan, izin pengangkutan, izin penimbunan (storage) dan izin niaga migas. Dengan demikian bisnis terkait dengan sektor hilir migas akan semakin bergairah dan diharapkan lebih banyak perusahaan yang berinvestasi sesuai dengan minat dan tingkat kemampuan mereka. Ada satu lagi tuduhan yang cukup mendasar bahwa Undang-undang Migas ini menyatakan Pertamina akan dipecah-pecah dan di’bonsai’kan. Mereka yang anti Undang-undang Migas berprasangka ataupun untuk menjadikan itu sebagai alasan bahwa dipecahnya industri hilir menjadi beberapa kegiatan atau dipisahkannya kegiatan hulu dan hilir akan mengkerdilkan Pertamina, di samping isu bahwa industri migas dikuasai oleh asing. Kenyataan yang terjadi pada Pertamina adalah sebaliknya. Di bawah Undang-undang Migas No. 22/2001 posisi Pertamina bertambah kuat. Rachmat mengetahui betul kondisi Pertamina saat dia menjadi Sekretaris DKPP. Pada saat pasca Undang-undang Migas walaupun produksi minyak nasional menurun namun sebaliknya produksi minyak Pertamina naik tajam dari sekitar 50-60 ribu barel per hari saat ini mendekati 200 ribu barel per hari. Bahkan Pertamina sudah mulai go international walaupun masih dalam tahap awal. Subsisdi BBM tidak lagi membuat Pertamina menanggung beban karena kecilnya fee yang diberikan pemerintah. Oleh pemerintah minyak mentah yang digunakan sebagai pasokan kilang Pertamina diganti sesuai dengan harga pasar Mean of Plants Singapore (MOPS) dan masih ditambah untuk ongkos distribusi dan transportasi, yang secara finansiil disebut sebagai faktor “alpha”. Anggaran kegiatan hulu tidak lagi terganggu oleh kebutuhan pembiayaan untuk kegiatan hilir. Dengan demikian, saat ini keuangan Pertamina sangat sehat. Sebagai Persero, kebutuhan modal pun dapat dengan lebih leluasa diperoleh Pertamina. “Hasilnya bisa dilihat sekarang. Apakah Pertamina menjadi lebih besar atau lebih kecil? Apa betul Pertamina dibonsaikan? Itu mestinya dilihat secara proporsional,” komentar Rachmat.” Pernah dalam satu debat Rachmat mengemukakan |
135
|
Proses Pembuatan Undang-undang Migas Pertam
a | Rachmat Sudibjo
argumentasinya. ”Ada yang berprasangka bahwa UU Migas ini ingin mengebiri Pertamina. Tapi yang sebenarnya terjadi adalah bahwa peraturan perUndang-undangan yang berlaku saat ini seperti sebuah sangkar ‘emas’ yang membatasi ruang gerak Pertamina. Pemerintah berkeinginan mengambil sangkar itu agar Pertamina bisa lebih leluasa bergerak, tapi elite Pertamina melihat ‘emas’nya yang diambil dan ingin agar sangkar tersebut tetap berada pada tempatnya yang semula,” Rachmat mengakhiri ulasannya.
|
136
|