BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar belakang masalah Pada 7 Juli 2012 penulis menyaksikan pertunjukan gamelan1 dengan tajuk “17th
Yogyakarta Gamelan Festival”. Pertunjukan itu diadakan di Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjosoemantri yang berada di kompleks Universitas Gadjah Mada, Bulaksumur, Yogyakarta. Sekelompok anak kecil dengan nama panggung Srawung Gamelan menjadi penampil pertama pertunjukan malam itu. Anak dengan tubuh paling besar -atau kita bisa menyebutnya sebagai; “Sang Komandan”- marah saat teman-temannya tidak kompak bermain. Kemarahan Sang Komandan terhenti saat seorang laki-laki muncul dari sisi kanan panggung dan berkata; “Hush, Lé, Lé2.. Dengarkan baik-baik. Orang yang main gamelan itu tidak boleh marah. Memberitahu orang lain itu harus pelan-pelan”. Kata-kata tersebut mengingatkan penulis pada kata-kata Haviland (1985). Haviland mengatakan bahwa seni terutama musik berfungsi membantu manusia menerangkan, memahami, dan menikmati hidup serta memiliki fungsi sosial untuk mengungkapkan nilai-nilai penting seperti pengalaman hidup yang disebarluaskan dalam sebuah kelompok. Dengan demikian kelompoknya menjadi bersatu dan barangkali ada perasaan bahwa pengalaman mereka, apapun pengalaman itu, mempunyai bentuk dan makna3. Laki-laki dewasa itu memperkenalkan dirinya
1
Gamelan merupakan sebutan bagi ragam instrument perkusi (alat musik pukul) berbahan logam. Gamelan biasanya dimainkan dalam bentuk ansambel musik dan kesatuan ansambel itu sebenarnya disebut karawitan. Orang-orang pada umumnya tetap menyebut kesatuan ansambel tersebut sebagai gamelan. Penulis mengetahui perbedaan pandangan ini dari seorang key informan di lapangan penelitian. Dalam studi-studi etnomusikologi, asal mula instrument gamelan berasal dari Yaman, Hadramauth. Referensi yang bagus untuk hal ini, baca; Bouvier, Hélène. 2002. Lèbur!: Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 2 “Lé”; panggilan yang biasanya diperuntukkan kepada anak laki-laki dalam budaya Jawa. Sedangkan untuk anak perempuan, biasanya; “Ndhuk”. Kedua istilah tersebut bahkan sempat dialamatkan oleh nenek dan kakek kepada penulis dan kakak perempuan ketika kami masih kecil. 3 Havilland, William A. 1985. Antropologi edisi ke-empat jilid 2 (terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga. Hlm. 237243.
1
sebagai pengasuh kelompok Srawung Gamelan. Katanya, ia membentuk dan membimbing kelompok Srawung Gamelan dengan harapan bahwa gamelan dapat menjadi sebuah media pendidikan karakter bagi anak-anak, juga sebuah bangsa. Ia memupuk sebuah karakter yang ditanamkannya melalui proses belajar sekaligus menghayati gamelan kepada anak-anak didiknya. Perkataannya membuat penulis berasumsi bahwa dari setiap proses pembelajaran gamelan, setiap anak didiknya serta merta menghayati proses nggamel (bermain gamelan) dan mendapatkan nilai-nilai tertentu dari proses itu. Nilai-nilai itu, dalam banyak wacana populer di media massa kerapkali disebut “adiluhung”. Sementara, “adiluhung” kerapkali diidentikkan dengan; pesan-pesan moral, nilai-nilai kehidupan, dan nilai-nilai sosial yang terus-menerus diabdikan bagi sesama. Mungkin pula, setiap peserta didik dalam pembelajaran di sanggar manapun juga menghayati prosesnya, khusyu‟ terintegrasi dengan nilai-nilai “adiluhung” itu. Tapi, apakah hal itu benar-benar terjadi? Jauh setelahnya, pada 4 April 2015 penulis menonton latihan wayang4 dan gamelan di sebuah sanggar bernama Rasa Tunggal. Orang-orang yang terlibat pada malam itu terdiri dari seorang dhalang5, seorang sindhen6 perempuan, satu pemain gendèr, satu pemain seperangkat gong, dua pemain bonang, satu pemain kenong, tiga pemain saron, satu pemain gambang, satu
4
Wayang; secara umum menunjuk pada pertunjukan drama, peran-perannya manusia atau boneka wayang. Pada pengertian sempit, menunjuk pada pertunjukan bayangan memakai boneka wayang dua dimensi yang sebagian besar ceritanya berdasarkan pada epik Ramayana dan Mahabharata. Ramayana adalah epik bertema percintaan dan suka-duka Rama dan istrinya, Sinta. Sedangkan Mahabharata merupakan epik India yang dikenalkan dan ditulis kembali oleh pujang-pujangga Jawa pada zaman Jawa-Hindu. Tema epik adalah pertikaian antara dua kelompok saudara sepupu, Kurawa dan Pandawa. Wayang berbahan kulit dianggap sebagai wayang yang paling tua. Mengenai deskripsi tersebut, lihat; Sumarsam. 2003. Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Deskripsi ini disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Lihat bagian glosarium pada hlm. 350 dan 352. 5 Dhalang; Sebutan bagi orang yang mengendalikan wayang. 6 Sindhen; Vokalis (penyanyi) yang menyanyikan lagu dalam sajian gamelan. Menurut pengalaman penulis, biasanya sindhen berjenis kelamin perempuan. Tetapi ada juga sindhen laki-laki.
2
pemain slentem, satu pemain demung, dan satu pemain kendhang7. Setelah permainan dimulai, sebagian pemain gamelan berhenti, sebagian lainnya masih bermain. Sindhen melantunkan tembang8, disertai dengan nyanyian sebagian pemain yang menghentikan permainan. Para pemain gamelan yang sedang tidak bermain ini, ikut menyanyi sembari menepuk-nepuk tangan dengan pola yang berbeda pada masing-masing orang. Lambat-laun, penulis merasa tertarik dan larut juga dalam irama permainan mereka. Penulis berhasil menemukan dan mencerna tiga pola, tetapi ada satu pola dengan ketukan rumit dibandingkan tiga pola lainnya yang sulit untuk dibaca. Sangat menarik, dan menyenangkan andaikata ada seorang saja memainkan polyrythym9 seperti itu, apalagi jika penulis yang melakukannya.
7
Gendèr; instrument yang terdiri dari bilah-bilah metal ditegangkan dengan tali di atas bumbung-bumbung resonator. Gendér ini dimainkan dengan tabuh berbentuk bulat (dilingkari lapisan kain) dengan tangkai pendek. Gong; Istilah yang berasal dari bunyi ketika instrument tersebut dimainkan. Kata gong khususnya menunjuk kepada gong gantung berposisi vertikal, berukuran besar atau sedang, ditabuh di tengah-tengah bundarannya (pencu) dengan tabuh bundar berlapis kain. Bonang; Satu set 10-14 gong-gong kecil berposisi horizontal yang disusun dalam dua deretan, diletakkan di atas tali yang direntangkan pada bingkai kayu. Bentuknya sama seperti gong, tetapi dengan ukuran yang lebih kecil. Kenong; Satu set instrument jenis gong berposisi horizontal, ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu. Ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bonang, tetapi lebih kecil dibandingkan dengan gong. Saron; Istilah umum untuk instrumen-instrumen berbentuk bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu oktaf atau satu oktaf dan satu nada) ditumpangkan pada bingkai kayu yang juga berfungsi sebagai resonator. Ditabuh dengan tabuh yang terbuat dari kayu. Gambang; instrumen dibuat dari bilah-bilah kayu dibingkai pada rangka kayu penopangnya. Berbilah 17-20, mencakup wilayah 2 oktaf. Gambang ditabuh dengan tabuh berbentuk bundar bertangkai panjang. Slenthem; menurut konstruksi, slenthem termasuk kategori gendér. Tetapi slenthem memiliki bilah sebanyak bilah saron. Oktafnya paling rendah di antara jenis saron. Demung; Saron berukuran besar dan beroktaf tengah (nada tidak terlalu rendah, juga tidak terlalu tinggi). Kendhang; berbentuk mirip tabung dengan dua sisi berbahan kulit di masing-masing ujungnya. Satu sisi berdiameter lebih besar dibandingkan sisi lain. Kencang-kendur sisinya diatur dengan tali dari kulit atauu rotan ditata dalam bentuk “Y”. Kendhang diletakkan pada posisi horizontal dan dimainkan dengan telapak tangan dan jari. Kendhang berfungsi menentukan irama dan tempo (menjaga keajegan tempo, menuntun peralihan ke tempo yang cepat atau lambat, dan menghentikan tabuhan gendhing (lagu)). Selain untuk wayang, kendhang juga digunakan untuk mengiringi tari-tarian. Mengenai deskripsi instrumen-instrumen ini, bersumber dari; Sumarsam. 2003. Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Deskripsi ini disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Lihat hlm. 333; appendix instrumen-instrumen gamelan. 8 Tembang; nyanyian dalam gamelan yang menggunakan syair dari naskah-naskah yang disusun pada zaman dahulu di keraton. Periksa; Santosa. 2011. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarta: ISI Press Surakarta. Lihat hlm. 207 dalam Glosarium. 9 Polyrhythm: Karakteristik permainan perkusi independen. Satu orang menggunakan tiga atau empat anggota tubuh, melibatkan kedua tangan dan kedua kaki, tetapi masing-masing anggota tubuh itu memainkan pola ketukan yang berbeda.
3
Walaupun tidak ikut bermain, seorang laki-laki di sebelah kanan penulis ikut bernyanyi. Kedua tangan dan ujung-ujung jarinya bergerak menepuk paha dan lutut, kepala dan lehernya bergerak-gerak, anggota-anggota tubuhnya mengikuti irama permainan. Ketika pemain gamelan yang bermain meningkatkan dinamika permainannya sampai volume semakin keras, sebagian pemain gamelan yang semula tidak bermain mengambil ancang-ancang, kemudian kembali memainkan instrumennya masing-masing melengkapi permainan keseluruhan. Setelah itu, hampir semua pemain gamelan berhenti bermain, kecuali pemain gendér. Pemain gendèr terus memainkan instrumennya, baik ketika sebagian atau semua rekanrekannya berhenti bermain. Ia mengiringi sindhen yang nyindhen10, juga dhalang yang ndhalang (memainkan wayang). Selama dhalang dan pemain gendér bermain, rekan-rekan lainnya melakukan beragam hal. Seorang laki-laki di samping kiri penulis, misalnya. Ia tidak ikut dalam permainan gamelan dan wayang. Ia sibuk mengoperasikan tab11 dan handphone android12. Teman-teman di sekelilingnya ikut melihat apa yang ia lakukan dengan tab itu. Mereka berbincang, namun tidak dapat dengan mudah penulis menangkap isi perbincangan karena suara mereka beradu dengan suara gendèr dan dhalang yang menarasikan adegan wayang dan sesekali nembang (melantunkan tembang). Di luar pintu, tidak jauh di dekat penulis, seorang pemain bonang menyalakan pemantik, kemudian merokok dan berbincang dengan tiga orang lain yang hanya menonton wayang. Pemain seperangkat gong hanya diam tenggelam di balik seperangkat
10
Menyanyikan lagu dalam sajian gamelan. Tab; Singkatan dari tablet. Istilah untuk perangkat yang kinerjanya menyerupai komputer, tetapi bersifat nirkabel. Bentuknya relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan laptop atau komputer, juga tipis. Tablet berfungsi untuk browsing internet, mengirim-menerima e-mail, interaksi social networking seperti Facebook atau BBM (Blackberry Messenger), bermain game online/ offline, membaca file dengan format “pdf”, mengirim-menerima SMS (Short Message Service, sama seperti telepon genggam pada umunya), memotret gambar dan merekam video. Sebagian besar aplikasi dalam tablet diaplikasikan dengan teknologi wireless. Untuk deskripsi mengenai tablet yang lebih lengkap, contohnya dapat dilihat pada; http://tablet-bb.blogspot.co.id/2014/01/pengertiantablet-dan-fungsinya.html. 12 Handphone Android; telepon genggam yang fungsi serta pengoperasiannya secara umum tidak jauh berbeda dengan tablet. 11
4
gongnya, entah memperhatikan apa, mungkin menunggu giliran. Beragam hal yang penulis saksikan itu menimbulkan kesan bahwa mereka “terpisah” untuk sementara dengan instrumennya masing-masing. Snack dan teh hangat diberikan kepada siapapun yang ada di sanggar, termasuk penulis. Kedua macam suguhan itu dihantarkan oleh seseorang yang masuk ke sanggar melalui ruang keluarga. Satu atau dua pemain instrumen menawarkan penulis untuk menambah ketika teh habis, dua kali. Penulis kemudian bertanya-tanya di dalam hati. Apa sebenarnya yang mereka dapatkan dari bermain gamelan dan ndhalang ini?13 Bagaimana mereka memaknai keterlibatan mereka dalam aktivitas tersebut? Ketertarikan bertambah. Thesis ini menekankan pada praktek integrasi atau perolehan nilai dari aktivitas karawitan sebagai media penunjang pertunjukan wayang. Oleh karena itulah, selain membicarakan tentang perolehan nilai dari karawitan, thesis ini juga membicarakan pengaplikasiannya secara utuh sebagai media penunjang pertunjukan wayang. Penulis belum tahu dengan jelas apakah waktu seperti itu aktivitas mereka dapat dikatakan sebagai sekadar latihan atau bukan. Bagi penulis, yang terlihat pada waktu itu adalah benturan antara asumsi yang berasal dari penulis sendiri bahwa latihan gamelan dijalankan dengan khusyu‟, dengan hadirnya hal-hal yang berasal dari luar rasa khusyu‟ itu. Kata cucu dari pemilik sanggar, hal-hal yang terjadi berada di luar asumsi penulis tidak terjadi ketika mereka mementaskannya saat tanggapan (live) di depan khalayak di luar sanggar.
13
Ndhalang; istilah yang biasanya digunakan untuk menyebut aktivitas memainkan wayang. Berasal dari kata dhalang yang artinya pemain wayang. Sedangkan aktivitas bermain gamelan, penulis diberitahu oleh seorang informan, bahwa gamelan adalah materialnya, sementara karawitan adalah aktivitas melantunkan tembang oleh beberapa penyanyi vokal yang disebut sindhen, dilengkapi dengan aktivitas memainkan keseluruhan material gamelan bersama pemain lain secara berkelompok. Ini seperti orkes keroncong, atau orkes musik klasik. Dengan kata lain, karawitan adalah aktivitas grup musik ansamble dilengkapi dengan unsur vokal. Dalam wacana populer, biasanya orang awam bahkan tidak menyebut “karawitan”, melainkan sekadar “gamelan”, atau “nggamel”.
5
Senin 20 April 2015, penulis kembali ke sanggar. Rupanya malam itu adalah malam Selasa Kliwon, hari wafatnya Pawirodini, pendiri Paguyuban Rasa Mulya 14 sekaligus ayah dari pemilik sanggar yang sekarang. Sebelum meninggal, Pawirodini berwasiat kepada anak-anaknya, untuk menggelar wayangan dan gamelan semalam suntuk pasca ia meninggal. Pagelaran itu diadakan setiap Selasa Kliwon, yaitu pada hari ia wafat15. Tujuannya adalah memperingati wafatnya Pawirodini. Pemain yang terlibat berjumlah 20 orang, sudah termasuk tiga orang sindhen, dan seorang pemain rebab16. Para pemain mengenakan surjan17 berwarna hijau tosca, blangkon18, dan jarik19. Semuanya, mengenakan busana adat Jawa. Mereka berasal dari SMKI (Sekolah Menengah Kesenian Indonesia). Marjuki -pengelola sanggar, anak kedua Pawirodini-, mengatakan kepada penulis bahwa kelompok pagelaran kali ini berbeda hanya karena sebuah kepentingan. Dhalang dari kelompok SMKI adalah seorang guru yang meminjam sanggar sebagai “ruang” ujian praktek bagi murid-muridnya khusus malam itu. Marjuki mengizinkan, toh keberadaan kelompok itu membantunya menggelar wayangan dan karawitan semalam suntuk memperingati hari ayahnya wafat. Tetapi di hari “penting” itu, penulis menemukan gejala yang sama dengan apa yang penulis saksikan pada malam 4 April 2015. Banyak yang sibuk dengan handphone-nya, tab-nya, merokok, mengobrol, dan memotret dhalang menggunakan handphone saat dhalang memainkan wayang. Bahkan, pada suatu kesempatan, penulis melihat seorang penabuh bonang melempari teman yang berada cukup jauh di depannya dengan sebuah remasan kertas. Si teman menoleh ke 14
Penulis akan menjelaskan hal ini lebih jauh di dalam BAB II. Per-35 hari, katakanlah; per-bulan dalam sistem penanggalan Jawa. 16 Rebab; Instrumen kawat gesek dengan dua kawat ditegangkan pada selajur kayu dengan badan berbentuk hati ditutup dengan membran (kulit tipis) yang terbuat dari kulit sapi. Deskripsi mengenai instrumen ini, lihat; Sumarsam. 2003. Gamelan: Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Deskripsi ini disesuaikan dengan kebutuhan penulis. Lihat hlm. 340; appendix instrumen-instrumen gamelan. 17 Surjan; busana tradisional untuk laki-laki dalam budaya Jawa. 18 Blangkon; penutup kepala seperti topi untuk laki-laki dalam budaya Jawa. Biasanya dipasangkan dengan surjan. 19 Jarik; Seperti sarung, juga merupakan bagian dari busana tradisional Jawa. Jarik juga untuk perempuan, tetapi dengan model yang berbeda. Biasanya jarik dipasangkan dengan blangkon dan surjan. 15
6
belakang. Si pelempar bersikap seolah-olah ia tidak melakukan apapun, pura-pura seakan tidak terjadi apa-apa dan melihat ke arah dhalang. Ketika si teman kembali melihat ke depan, si pelempar kembali melemparkan remasan kertas sekali lagi. Si teman hanya diam saja sembari tersenyum dan tetap melihat ke depan, sementara si pelempar tertawa kecil di tempatnya, cekikikan. Gejala-gejala yang telah penulis saksikan tersebut ternyata berbeda dengan asumsi penulis bahwa setiap peserta menghayati kandungan nilai-nilai yang dikatakan “adiluhung”, terintegrasi setiap waktu secara penuh dalam latihan kesenian, dalam konteks ini; nggamel dan ndhalang. Kendati kelompok tersebut bukanlah kelompok yang menjadi informan penulis, tetapi peristiwa itu memperlihatkan bahwa dalam waktu yang penting, belum tentu siapapun yang terlibat menjalaninya dengan penuh perhatian. Sementara, sebagian orang dalam kelompok yang berlatih karawitan dan dhalang setiap hari Sabtu malam di sanggar Rasa Tunggal sesekali “mangkir” pada saat-saat tertentu di waktu latihan, sebagaimana yang telah penulis paparkan. Kedua peristiwa itu seolah-olah memperlihatkan hal yang sama; “kemangkiran”. Barangkali ada beragam hal yang melatarbelakangi bagaimana peristiwa itu bisa terjadi. Lantas, sekali lagi, apa yang didapatkan oleh setiap orang yang terlibat dalam aktivitas ndhalang dan karawitan di sanggar Rasa Tunggal? Selain gejala yang penulis saksikan di lapangan tersebut, Rasa Tunggal memiliki ceritanya sendiri. Jauh sebelum Rasa Tunggal terbentuk, ada sebuah paguyuban (perkumpulan), bernama Rasa Mulya. Paguyuban itu dibentuk oleh seorang PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang kemudian menjadi abdi dalem kraton Yogyakarta, bernama Pawirodini, bergelar Cerma Puspita bersama teman-teman sesama dhalang dan beberapa saudara dalam keluarganya. Pawirodini membagi apa yang ia pelajari selama bertugas sebagai abdi dalem di kraton Yogyakarta seperti; ke-tata Jawa-an, pelajaran bahasa-aksara Jawa, nembang, nggamel (bermain gamelan) atau karawitan,
7
dan ndhalang (memainkan wayang), kepada lingkungan terdekatnya. Kepada penulis, Marjuki mengatakan bahwa Paguyuban Rasa Mulya dibentuk untuk melestarikan budaya Jawa. Pada tahun 2012, Pawirodini wafat. Sebagai anak laki-laki tertua Pawirodini, Marjuki dan Marjuni berinisiatif memisahkan aktivitas belajar ndhalang dan karawitan dari Rasa Mulya, kemudian meletakkan aktivitas tersebut ke dalam satu wadah khusus yang ia beri nama Rasa Tunggal. Katanya, ia ingin lebih berkonsentrasi mengembangkan aktivitas ndhalang dan karawitan. Terkait dengan upaya pelestarian, agar suatu bentuk budaya dapat hidup, maka aktivitas dalam sanggar juga dibuat untuk dapat tetap hidup. Apalagi, gamelan dan wayang katanya- mengandung nilai-nilai “adiluhung” sehingga patut dilestarikan. Bagaimana kelangsungan hidup tersebut diupayakan, tidak dapat terlepas dari peranan para aktor atau agen yang terlibat di dalamnya. 1.2. Rumusan permasalahan Dari latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis menyusun sebuah rumusan permasalahan sebagai berikut; 1. Asumsi penulis bahwa setiap pemain menghayati kandungan nilai-nilai yang dikatakan “adiluhung” setiap waktu secara penuh dalam aktivitas sanggar ternyata berbeda dengan apa yang penulis saksikan di lapangan. Apa yang sebenarnya didapatkan oleh orang-orang yang terlibat ketika melakukan aktivitas karawitan dan ndhalang di sanggar Rasa Tunggal ? 2. Rasa Tunggal adalah sanggar karawitan dan pedhalangan. Tujuan Marjuki sebagai ketua sanggar, katanya, adalah melestarikan budaya Jawa melalui aktivitas karawitan dan pedhalangan tersebut. Penulis melihat upaya pelestarian sebagai sebuah praktik yang berlangsung secara terus-menerus dengan tujuan menjaga sebuah praktik sosial agar dapat
8
tetap berjalan. Dalam proses tersebut, Marjuki sebagai seorang agen/aktor tidak mungkin menjalankannya sendirian. Tentu saja ada agen/aktor lain yang memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak langsung sehingga memungkinkan praktik tersebut terjadi. Para agen/aktor tersebut memiliki latar belakang beserta kepentingannya masing-masing. Latar belakang dan kepentingan-kepentingan tersebutlah yang menentukan logika proses sosial dalam sanggar Rasa Tunggal serta bagaimana proses tersebut berjalan. Bagaimana praktik tersebut berproses? 1.3. Tujuan Penulisan Karya penulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dipaparkan pada rumusan masalah di atas, yaitu; 1. Menjawab pertanyaan mengenai apa saja yang didapatkan oleh orang-orang yang terlibat dalam aktivitas nggamel dan ndhalang di Rasa Tunggal, itu berarti juga menelisik bagaimana mereka memaknai keterlibatan mereka dalam proses interaksi musikal tersebut. 2. Menjawab bagaimana praktik sosial di sanggar Rasa Tunggal dapat berjalan, itu berarti juga menjawab bagaimana latar belakang informan terkait mempengaruhi praktik sosial. 1.4.
Ruang Lingkup Proses observasi dilakukan sejak 16 Maret 2015 hingga kini. Meskipun demikian,
memaparkan perkembangan aktivitas Rasa Tunggal tidak serta merta dapat dilepaskan dari latar belakang terbentuknya sanggar tersebut. Lapangan penelitian terfokus pada sanggar Rasa Tunggal yang terletak di kampung Celeban, sebagai bagian dari program “Kampung Wisata Tahunan” di Yogyakarta, karena lapangan penelitian itu dekat dengan keseharian penulis. Penelitian juga dilakukan di luar aktivitas yang berlangsung di dalam sanggar, pada saat subjek
9
penelitian sedang memiliki waktu luang, meskipun pada waktu-waktu tertentu penulis melihatlihat kemudian memperoleh kesempatan untuk menggali data saat informan tertentu sedang melakukan rutinitas yang berhubungan dengan mata pencahariannya. Sesuai dengan tujuan penelitian, subjek penelitian terfokus pada para agen/aktor yang terlibat dalam proses interaksi musikal, serta proses-proses yang terjadi di luarnya, seperti; siasat-siasat para elite dalam mempertahankan kelangsungan sanggar, juga pertemuan beragam latar belakang dan kepentingan para elite beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya. Orangorang yang terlibat berasal dari beragam latar belakang, tetapi penulis memilih 6 informan, dilihat dari posisi penting mereka dalam aktivitas interaksi musikal, keterkaitan mereka dengan gejala-gejala yang membuat penulis tertarik untuk menulis thesis ini (seperti; gejala “kemangkiran” mereka dalam aktivitas interaksi musikal di sanggar), juga seberapa lama mereka terlibat dalam aktivitas di dalam sanggar. 1.5.
Kerangka pemikiran Dalam bayangan penulis, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat sebagai pusat dari
kebudayaan Jawa di Yogyakarta adalah sebuah lingkungan yang tidak bisa dengan mudah dimasuki oleh kalangan rakyat jelata, yang sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengan keluarga keraton, maupun hubungan darah dengan para abdi dalem-nya secara turun-temurun. Bahkan, asal muasal tentang abdi dalem-pun, penulis tidak tahu. Dengan kata lain, Keraton lekat dengan citra yang elit. Tetapi, berdasarkan apa yang dikatakan oleh informan penulis sehubungan dengan penulisan thesis ini, seorang PNS dapat menjadi abdi dalem dengan cara mendaftar. Pada perkembangannya, nilai-nilai yang diperoleh abdi dalem dari dalam keraton dibawa keluar dan disebarkan, dengan alasan melestarikan budaya Jawa.
10
Oleh karena nilai-nilai dari budaya “pusat” tersebar di kalangan rakyat jelata yang tidak memiliki hubungan dengan keraton, maka dapat diasumsikan nilai-nilai tersebut terintegrasi pada setiap orang yang terlibat, dalam thesis ini melalui kesenian wayang dan karawitan. Haviland (1985), mengatakan bahwa seni terutama musik berfungsi membantu manusia menerangkan, memahami, dan menikmati hidup serta memiliki fungsi sosial untuk mengungkapkan nilai-nilai penting seperti pengalaman hidup yang disebarluaskan dalam sebuah kelompok. Dengan demikian kelompoknya menjadi bersatu dan barangkali ada perasaan bahwa pengalaman mereka, apapun pengalaman itu, mempunyai bentuk dan makna20. Dalam banyak artikel di media massa, termasuk media massa digital, wayang sebagai contoh budaya Jawa kerapkali diartikulasikan sebagai budaya yang adiluhung, artinya; budaya dengan konsep yang mengandung pesan-pesan moral, nilai-nilai kehidupan, dan nilai-nilai sosial yang terus-menerus harus diabdikan bagi sesama21. Soetarno (1995) mengatakan bahwa dalam wayang kita tidak berhadapan dengan teori-teori umum, melainkan dengan model-model tentang hidup dan kelakuan manusia. Pada hakekatnya pewayangan mengandung konsepsi yang digunakan sebagai pedoman sikap dan perbuatan dari kelompok sosial tertentu. Konsepsikonsepsi itu tersusun menjadi sistem nilai budaya yang tersirat dalam pewayangan. Sikap pandangan terhadap hakekat hidup, asal dan tujuan hidup, hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan lingkungannya, dan hubungan manusia antar manusia 22. Tetapi apakah benar melalui aktivitas ndhalang (memainkan wayang) dan karawitan nilai-nilai tersebut dapat diperoleh dan terintegrasi ke dalam diri setiap orang yang menjadi pelibat (pelaku),
20
Havilland, William A. 1985. Antropologi edisi ke-empat jilid 2 (terjemahan). Jakarta: Penerbit Erlangga. Hlm. 237243. 21 http://unnes.ac.id/berita/wayang-mengandung-nilai-adiluhung/ 22 Soetarno. 1995. Ruwatan di daerah Surakarta. Surakarta: CV, Cendrawasih. Lihat hlm. 1-2.
11
mengetahui peristiwa “kemangkiran” sebagaimana yang penulis paparkan dalam latar belakang, terjadi? Fredrik Barth (1969:16), via Liep (2001)
mengatakan bahwa integrasi tidak dapat
diterima begitu saja dalam budaya. Integrasi terjadi ketika manusia mempertukarkan nilai-nilai melintasi batas-batas dan secara bertahap membangun kesesuaian23. Dalam proses pertukaran nilai tersebut tampak bahwa setiap informan sebagai pelibat memiliki penafsiran yang berbeda atas apa yang mereka lakukan, dan oleh karenanya, mereka alami. Orang-orang dapat terlibat dalam realitas yang sama, namun interpretasi mereka atas realitas tersebut pasti berbeda. Jadi, pengalaman pribadi merupakan hal yang bersifat khusus dan subjektif. Ini terjadi karena manusia dibentuk atas disposisi mental dan fisik yang berbeda. Untuk memahami nilai-nilai yang mereka dapatkan dan bagaimana mereka menafsirkannya dari keterlibatan tersebut diperlukan suatu pendekatan meneliti seni dalam Antropologi, yaitu fenomenologi pragmatik, sebagaimana yang ditawarkan oleh Simatupang (2013). Simatupang (2013) mengatakan; “Fenomenologi pragmatik erat kaitannya dengan dunia seni karena memusatkan perhatian pada penyelidikan tentang pengalaman ketubuhan. Titik tolak pemikirannya ada pada pendapat bahwa pertautan antara manusia dengan dunia pertamatama diawali dan diperantarai oleh tubuhnya, bukan melalui pikiran. Tubuh adalah media tak tergantikan untuk mengalami dan berinteraksi dengan dunia material, dunia sosial, maupun dunia mental-spiritual”. Kemudian, Simatupang menekankan bahwa; mengalami tidak pernah hanya berhenti pada tertangkapnya rangsangan oleh organ pengindra belaka. “Mengalami” senantiasa mengalir menuju pada kesadaran yang menubuh (embodied cognition), yang mengikutsertakan proses mental mengingat, memikirkan, dan membayangkan. Oleh karenanya, mengalami secara 23
Liep, John. 2001. Locating Cultural Creativity. Pluto Press.
12
utuh selalu juga berarti menafsirkan (interpreting), yang dipengaruhi oleh faktor-faktor individual maupun budayawi”. Manusia cenderung hanya menggunakan hal-hal yang berkaitan dengan pengalamannya sendiri sebagai media ekspresi24. Jika kita amati makna adiluhung di atas, terkesan bahwa nilai-nilai adiluhung yang dibawa wayang adalah nilai-nilai yang mengandung gagasan tentang beragam hal yang bermutu, luhur,
dan
persepsi-persepsi
lain
tentang
keindahan.
mempersepsikan keindahan sama dengan estetika.
Pandangan
umum
kerapkali
Tetapi, apakah estetika itu? Simatupang
mengatakan; “Istilah estetika (aesthetic) yang dipakai dalam dunia seni sebenarnya memiliki akar kata yang sama dengan anastesi di kalangan medis, yaitu kata aesthesis dalam bahasa Yunani yang berarti rasa, persepsi manusia atas pengalaman. Di dalamnya tidak hanya terkandung persepsi manusia atas keindahan, melainkan rasa dalam pengertian seluas-luasnya, termasuk rasa sakit, kemuakan, kegusaran, jijik, gairah, dan lain sebagainya. Segala macam rasa tersebut merupakan tanggapan manusia yang diperoleh lewat indera penglihat, peraba, pencium, pencecap, dan pendengarnya. Estetika, dengan demikian, merupakan tanggapan manusia atas pengalaman ketubuhannya”. Estetika, katanya, merupakan interaksi antara manusia dengan gejala-gejala (estetis) yang dialaminya25. Jadi, nilai-nilai yang melekat pada konsep adiluhung sesuai dengan asumsi penulis dan sesuai dengan pandangan kebanyakan di media massa, belum tentu sama dengan nilai-nilai yang diperoleh oleh subjek yang terlibat dalam aktivitas bermain karawitan dan ndhalang. Di situlah makna-makna keterlibatan subjek dalam aktivitasnya dibingkai ulang.
24
SImatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jalasutra. Lihat hlm. 75. 25 SImatupang, Lono. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni-Budaya. Yogyakarta: Jalasutra. Lihat hlm. 78.
13
Liep (2001) menekankan bahwa pengkajian seni dalam Antropologi musti dilihat dengan sangat mikro. Ia menyarankan untuk melihat aktivitas berskala kecil dalam kehidupan sehari-hari yang dilihat secara berkelanjutan dan terkonsentrasi pada satu tempat atau periode. Mengetahui hal-hal sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dalam penelitian ini, pemaknaan orang-orang yang terlibat dalam praktik kebudayaan perlu dilihat dalam lingkup yang sangat mikro, atau dalam persepsi penulis; kontekstual. Meskipun masih cukup umum, pandangan-pandangan yang dijabarkan di atas masih dapat kita pegang, namun kita lihat secara lebih mikro lagi dengan pandangan Santosa (2011) yang disebut sebagai komunikasi musikal. Persepsi komunikasi musikal Santosa ternyata relevan dengan pandangan-pandangan di atas, tetapi dengan metode serta penjabaran yang lebih jelas. Dalam penelitiannya tentang makna pertunjukan wayang bagi komunitas desa, Santosa (2011), mempertanyakan; “Apakah ada aspek-aspek pertunjukan yang memperkuat pandangan penonton dalam kehidupan bermasyarakat?”26. Untuk menjawabnya, ia berusaha menjawab pertanyaan; “Apakah ada aspek-aspek pertunjukan yang membuat penonton bertahan semalam suntuk?”, seolah-olah ada sesuatu, misalnya; pesan-pesan atau nilai-nilai yang berusaha disampaikan kepada penonton melalui pertunjukan wayang dan karawitan sebagai medium atau perantaranya27. Pesan-pesan dan nilai-nilai tersebut kemudian menjadi refleksi bagi penonton dalam kehidupan bermasyarakat, sama dengan persepsi pelatih gamelan mengenai fungsi gamelan terhadap perkembangan kepribadian anak-anak atau pemainnya dalam kehidupan berbangsa, sebagaimana yang telah penulis paparkan dalam bagian pendahuluan. Ragam pesan
26
Lihat; Santosa. 2011. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarta: ISI Press Surakarta. Periksa hlm. 5. 27 Lihat; Santosa. 2011. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarta: ISI Press Surakarta. Periksa hlm. 4.
14
atau nilai inilah yang membuat penonton betah menonton karena mereka membutuhkannya sebagai refleksi. Menurutnya, dalam pertunjukan wayang dan gamelan terdapat proses pengiriman dan penerimaan pesan antara dhalang, pengrawit dengan penonton. Pesan yang dimaksud di sini ialah nilai-nilai dari pertunjukan wayang dan gamelan yang dimaknai oleh penonton, kemudian menjadi refleksi atas kehidupan sehari-hari mereka. Baginya, komunikasi tidak hanya terjadi dalam ranah sosial yang bersifat diskursif, tetapi juga terjadi dalam ranah estetik28. Proses tersebut berlangsung secara searah, karena penonton tidak memiliki kompetensi untuk melakukan hal sebaliknya kepada dhalang dan para pengrawit. Santosa berpegang pada prinsip dasar komunikasi, bahwa sesuatu memenuhi syarat disebut sebagai proses komunikasi apabila terdapat dua pihak yang berperan sebagai pengirim (komunikator) dan penerima (komunikan) pesan, serta adanya pesan yang tersampaikan. Komunikasi tidaklah harus bersifat diskursif sebagaimana pandangan umum bahwa komunikasi harus dilakukan secara timbalbalik29. Dalam proses-proses itu, sebagai contoh, Santosa menemukan gejala dimana seorang penonton mengangguk-angguk ketika mendengar alunan lagu pesindhen30, atau mengadakan asosiasi atas apa yang mereka saksikan seperti mengekspresikan perasaannya dengan berkata; “nganyut-nganyut” (terbuai arus sungai) saat mendengarkan permainan gamelan. Perasaan tersebut membuat mereka merasa mrinding atau takut terhadap kekuatan alam dan Tuhan31.
28
Lihat; Santosa. Periksa hlm. 29. 29 Lihat; Santosa. Periksa hlm. 29. 30 Lihat; Santosa. Periksa hlm. 43. 31 Lihat; Santosa. Periksa hlm. 92.
2011. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarta: ISI Press Surakarta. 2011. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarta: ISI Press Surakarta. 2011. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarta: ISI Press Surakarta. 2011. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarta: ISI Press Surakarta.
15
Santosa menekankan, penelitian sejenis ini mempunyai karakter bahwa substansi materinya berada di dalam ruang penuh nilai, bukan dalam ranah hampa makna32. Menurutnya, kontekslah yang membantu terjadinya pesan33. Setali tiga uang, penulis menemukan di lapangan bahwa konteks-konteks memang menentukan bagaimana pandangan para informan (pelibat) atas aktivitas mereka, terbentuk. Meskipun penulis mengkaji aktivitas ndhalang dan karawitan terlebih sebatas dalam konteks latihan, tetapi penulis sepakat dengan pemikiran Santosa yang mengkajinya dalam konteks live bahwa; untuk mengkaji bagaimana para penggiat yang terlibat dalam aktivitas ndhalang dan karawitan memaknai pengalaman mereka, peneliti semestinya mempertimbangkan konteks-konteks yang menyertai proses pemaknaan tersebut. Konteks, itulah pointnya. Selain proses komunikasi yang berlangsung searah, penulis juga menemukan komunikasi yang berlangsung dua arah. Tetapi komunikasi dua arah itu hanya berfungsi sebatas tanda antara dhalang dengan pengrawit maupun antara sesama pengrawit sebagai kerjasama permainan musikal semata. Peralihan tempo, penanda ketukan, atau penanda nada, misalnya. Proses komunikasi dua arah itu terjadi terutama pada dhalang, pemain gendèr, dan pemain kendhang. Pemain gendèr terkadang juga sempat menghentikan permainannya, dan sesekali memberi tanda dengan jari-jarinya kepada pemain kenong agar memukul nada sesuai dengan jumlah jari yang ia sodorkan. Namun, menurut Santosa pesan searah tidak dapat terejawantahkan hanya dengan menonton pertunjukan sekali saja -atau dalam konteks pembicaraan kita; menjadi pelibat wayang dan karawitan- dan justru membutuhkan proses yang tidak sebentar, dengan terlibat
32
Lihat; Santosa. 2011. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarta: ISI Press Surakarta. Periksa hlm. 16. 33 Lihat; Santosa. 2011. Komunikasi Seni: Aplikasi dalam Pertunjukan Gamelan. Surakarta: ISI Press Surakarta. Periksa hlm. 31.
16
dalam pertunjukan-pertunjukan wayang dan karawitan yang lain. Proses penerimaan pesan dan nilai-nilai juga disebutnya sebagai proses terbentuknya pesan, dan hal tersebut juga dipengaruhi oleh aspek-aspek lain yang secara tidak sadar mempengaruhi bagaimana orang-orang yang terlibat menerima sekaligus menafsirkannya. Jadi, ada negosiasi nilai-nilai lama dengan nilainilai baru dalam proses terbentuknya pesan. Sependapat dengan Simatupang (2013), Santosa memandang bahwa pengalaman atau penubuhan merupakan hasil dari negosiasi atas pengalaman atau nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru. Oleh karena pemaknaan-pemaknaan atas nilai-nilai tersebut menjadi bagian dari penubuhan, maka dengan serta-merta hal itu menjadi kebiasaan mereka, sehubungan dengan kajian thesis ini; kebiasaan atau kebutuhan untuk memuaskan hasrat mereka atas seni karawitan dan pedhalangan. Supaya kebutuhan akan hasrat tersebut dapat terpenuhi, mereka akan mencari ruang atau tempat untuk mengekspresikan dan memenuhinya. Pun, supaya pemenuhan kebutuhan akan hasrat tersebut dapat terus terpenuhi, maka mereka berupaya agar ruang tersebut juga dapat terus hidup. Aktivitas karawitan dan ndhalang tidak hanya menyangkut proses mempelajari saja, tetapi juga proses bagaimana aktivitas tersebut dapat bertahan. Material-material yang ada di dalam sanggar karawitan dan wayang Rasa Tunggal, sebagaimana yang penulis ketahui, adalah barang yang mahal, dan membutuhkan biaya perawatan yang tidak sedikit 34. Sanggarpun juga memiliki inisiatif-inisiatif tertentu dalam mengembangkan eksistensinya. Apalagi, pengembangan itu sesuai dengan visi sanggar: melestarikan budaya Jawa melalui karawitan dan pedhalangan. Melestarikan budaya Jawa melalui karawitan dan pedhalangan, berarti melestarikan atau mempertahankan kelangsungan sanggarnya. Namun dalam praktik sanggar Rasa Tunggal 34
Penulis diberitahu, harga seperangkat gamelan berbahan kuningan adalah Rp. 210.000.000. sedangkan harga satu paket kelas tertentu dari wayang berharga Rp. 30.000.000 atau Rp. 50.000.000. Jika seperangkat gamelan diketahui sebagai milik pribadi, lantas, dari mana mereka mendapatkan dana sebesar itu untuk pembelian wayang? Inilah yang awalnya membuat penulis penasaran. Tetapi pada akhirnya, pertanyaan ini terjawab. Jawabannya dapat dilihat pada bab 4.
17
mengupayakan hal tersebut, penulis menemukan gejala pertemuan kepentingan antara pelibat yang satu dengan yang lain, disertai dengan latar belakang dan “power” yang mereka miliki dalam memposisikan diri mereka di sanggar. Upaya itu dapat dilihat sebagai praktik sosial. Ketika apa yang terjadi di dalam Rasa Tunggal dilihat sebagai praktik sosial, maka penulis mengkaji dengan membaginya menjadi beberapa bagian bagaikan memotong sebuah kue tart. “Teori Praktik” Bourdieu menjadi mata pisaunya. Dalam persepsi Bourdieu, praktik sosial dibangun atas tiga hal; habitus (persepsi kognitif yang menubuh), capital (modal/ sumber daya yang dimiliki), dan field (ranah) atau lebih dikenal dengan rumus; (habitus x capital) + field = praktik. Penulis membacanya sebagai; habitus disertai penggunaan capital (modal) yang dituangkan dalam ranah (ruang untuk ekspresi diri), dimana proses itu merupakan sebuah praktik sosial, atau menentukan bagaimana praktik sosial dapat berlangsung. Untuk mempermudah dari mana harus berawal, penulis menjabarkannya dimulai dari field. Metode ini relevan dengan gambaran-gambaran umum cara pengkajian gejala terkait sebagaimana yang dijabarkan oleh, misalnya; Liep atau Simatupang di atas. Konsep Field mempermudah penulis menentukan sebatas apa ruang lingkup yang harus dikaji. Ruang lingkup itu adalah sanggar Rasa Tunggal dengan para pelibat (orang-orang yang terlibat atau bisa pula disebut agen) di dalamnya. Field merupakan suatu bentuk metafora, Bourdieu mengemukakan field sebagai suatu „wilayah sosial‟ yang di dalamnya terdapat perjuangan atau manuver untuk memperebutkan sumber atau pertaruhan dan akses terbatas serta eksklusif. Bourdieu berpendapat bahwa; “A field may be defined as network, or a configuration, of objective relations between position. These positions objectively defined, in their existence and in the determinations they impose upon their occupants, agents or institutions, by their present and potential situation in the structure of the distribution of species of power (or capital) whose possesions commands acess to the specific profits that are stake in the field, as weel as by their
18
objective relation to other positions (domination, subordination, homology, etc) (Bourdieu dan Wacquant, 1992 : 97)35.
Field kemudian bisa diartikan sebuah mikrokosmos lingkup sosial yang memiliki aturan permainan tersendiri dengan mempertaruhkan hal-hal yang khas dan capital yang khas pula (Martini, 2003 : 42)36. Kenyataan di lapangan memperlihatkan kepada penulis bahwa untuk mengkaji persoalan ini, field harus dibagi menjadi dua. Pertama; sanggar Rasa Tunggal sebagai field utama, dan Kedua; Masa kanak-kanak dalam keluarga sebagai sub-field, field yang cukup penting tetapi tidak akan terlalu banyak dibahas sebagaimana penulis membahas field utama. Field lama memperlihatkan kepada penulis bagaimana para informan memperoleh dan membentuk habitus beserta capital-capital mereka. Setelah penulis mengetahui Field, penulis melihat orang-orang yang terlibat di dalamnya. Sebutlah orang-orang yang terlibat sebagai pelibat atau agen. Para pelibat tersebut adalah beberapa
informan terpilih, dilihat dari statusnya sebagai elite dalam sanggar, posisi vital dan intensitas kehadirannya dalam aktivitas interaksi musikal karawitan dan pedhalangan di sanggar, serta hubungannya dengan gejala-gejala yang membuat penulis tertarik melakukan penelitian ini. Layaknya tumbuh-kembang Rasa Tunggal yang tidak terlepas dari latar belakang upaya konstruksi dalam pengembangan Yogyakarta, keterlibatan para informan dalam sanggar Rasa Tunggal sebagai ranahnya juga tidak dapat dipisahkan dari kisah-kisah yang melatarbelakangi pilihan mereka untuk bermuara pada seni karawitan dan pedhalangan. Kisah-kisah tersebutlah yang memberikan penulis beragam informasi; tidak hanya habitus, tetapi juga capital-capital yang mereka miliki.
35
Via; Hendra. “Habitus” menurut Pemikiran Pierre Bourdieu dalam Tinjauan Filsafat Kebudayaan. Universitas Gadjah Mada. 2011. (Thesis). 36 Idem.
19
Habitus dipahami sebagai; Habitus adalah struktur internalisasi atau serangkaian struktur (berasal dari struktur luar yang sudah ada sebelumnya) yang menentukan bagaimana individu bertindak dan bereaksi terhadap pelayanan dunia (Thompson, 1991: xii; Throop dan Murphy, 2002 : 186). Habitus merupakan hasil keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu (Haryatmoko, 2003: 10). Habitus memberikan pelbagai kemungkinan kepada seseorang untuk dapat memahami pelbagai situasi sosial yang berbeda dengan yang pernah dialaminya. Habitus merupakan peninggalan-peninggalan aktif dari pengalaman individu di masa lalu yang berfungsi di masa kini, secara bertahap membentuk persepsi, pikiran, serta tindakan, dan dengan demikian secara bertahap membentuk praktik sosial secara rutin. Habitus merupakan struktur intern yang selalu dalam proses restrukturisasi. Jadi praktik-praktik dan representasi agen tidak sepenuhnya deterministik (pelaku bisa memilih), namun juga tidak sepenuhnya bebas (karena pilihannya ditentukan oleh habitus, sementara habitus adalah ruang dimana persepsi kognitif direproduksi. Persepsi-persepsi itu dipengaruhi oleh persepsi-persepsi yang datang dari luar). (Haryatmoko, 2003: 11)37
Konsep habitus sebagaimana yang dijabarkan di atas ternyata mengandung prinsip yang tidak jauh berbeda dengan prinsip pembentukan pesan dalam komunikasi musikal yang disodorkan oleh Santosa. Di dalam kedua konsep itu terjadi pembentukan pengalaman atau persepsi kognitif dengan menegosiasikan nilai-nilai lama dengan nilai-nilai baru. Santosa memang tidak memberikan istilah khusus untuk menyebut nilai-nilai lama dan baru itu. Sedangkan Bourdieu menyebut keseluruhan pengertian serangkaian persepsi kognitif yang terbentuk melalui negosiasi nilai-nilai lama dan baru sebagai habitus. Di dalam habitus, terdapat nilai-nilai lama yang nyaris statis sifatnya. Nilai-nilai itu disebut oleh Bourdieu sebagai; doxa. “ … kebanyakan orang, seringkali menerima dunia sosial apa adanya: mereka tidak memikirkannya, karena mereka tidak harus melakukannya. Dimana-mana, Bourdieu menyebutnya sebagai doxa (logika kepercayaan) atau „pengalaman doxis‟… Hiruk-pikuk kehidupan sosial tidak akan mungkin terjadi kecuali hal ini sering diterima sebagaimana adanya. Kita tidak menghabiskan waktu kita dengan mempertanyakan makna kehidupan karena kita tidak mampu melakukannya dan perangkat sosial yang tersedia tidak memungkinkan kita melakukannya”38 37
Via; Hendra. “Habitus” menurut Pemikiran Pierre Bourdieu dalam Tinjauan Filsafat Kebudayaan. Universitas Gadjah Mada. 2011. (Thesis) 38 Jenkins, Richard. 2004. Membaca Pikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Kreasi Wacana. Periksa hlm. 100-101. Apa yang dipaparkan oleh Jenkins merupakan penafsirannya atas pemikiran Bourdieu; “Kesamaan struktur objektif dan struktur yang terinternalisasi yang memerlukan ilusi pemahaman segera, karakteristik pengalaman praksis dari jagat yang tak asing lagi, dan yang pada saat yang sama tidak memasukkan di dalam pengalaman tersebut segala
20
Berdasarkan kutipan di atas, penulis menafsirkan doxa sebagai penanda kondisi dimana seorang individu menerima segala hal yang melekat pada diri mereka apa adanya tanpa mempertanyakan hal tersebut lebih lanjut. Kurang adanya kesadaran atas posisi diri mereka sebagai subjek, serta situasi perangkat sosial membuat mereka tidak melampaui kondisi doxanya. Para informan dalam thesis ini pada awalnya pernah berada dalam situasi doxa. Pada perkembangannya, mereka mampu melampaui doxa masing-masing sehingga membentuk habitus, dan mendapatkan capital-nya masing-masing. Di sini, habitus juga dapat diartikan sebagai cara pelibat menerima kemudian memanfaatkan nilai-nilai atau persepsinya atas dunia beserta bagaimana mereka mengelola capital-capital-nya. Bourdieu menggunakan istilah capital (modal) sebagai padanan metafora dari istilah capital dalam ekonomi, yaitu segala sesuatu yang dapat diputar atau dikembangbiakkan dalam rangka mendapatkan keuntungan. Konsep “capital” meskipun merupakan kajian ilmu ekonomi, namun Bourdieu memakainya karena “capital” dianggap mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan; 1) Capital terakumulasi melalui investasi; 2) Capital bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; 3) Capital dapat memberikan keuntungan sesuai kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya (Haryatmoko, 2003: 11). Capital yang dimaksud Bourdieu terdiri atas social capital (termasuk modal sosial; ialah hubungan-hubungan dan jaringan hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan reproduksi-reproduksi kedudukan sosial), cultural capital (termasuk modal budaya; ialah ijazah, pengetahuan yang sudah diperoleh, kode-kode budaya, cara berbicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul, dan sebagainya yang berperan di dalam penentuan dan reproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Sehingga bisa dikatakan modal budaya sama dengan pendidikan), dan symbolic capital (modal simbolik tidak lepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuatan fisik dan ekonomi berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Modal simbolik bisa berupa kantor yang luas di daerah mahal, mobil dengan supirnya, namun bisa juga petunjuk-petunjuk yang tidak mencolok mata yang menunjukkan status tinggi pemiliknya: misalnya gelar pendidikan yang dicantumkan di kartu nama, cara bagaimana membuat tamu menanti, cara mengafirmasi otoritasnya. Bahasa juga merupakan bagian dari modal simbolik). (Haryatmoko, 2003: 12)39
Capital-capital tersebut, penulis temukan melekat pada masing-masing informan, digunakannya bahkan secara tidak sadar (karena sifat habitus sendiri), serta benar-benar
pertanyaan sebagai satu kemungkinan yang melekat padanya”. Pemaparan Bourdieu ini dapat dilihat pada; Bourdieu, Pierre. 1990. The Logic of Practice. Cambridge: Polity. 39 Idem.
21
“ampuh” bekerja dalam field Rasa Tunggal. Demikianlah, setiap informan memiliki hasrat dan habitus yang terbentuk, berupaya untuk mengekspresikan hasrat itu dalam sebuah field dimana field itu terdiri dari para pelibat lain dengan habitus yang cenderung serupa. Dalam field mereka memiliki kepentingan yang sama dengan persepsi beserta cara yang berbeda, dan oleh karena perbedaan itulah, terjadi negosiasi atau penyesuaian dalam mencapai kepentingannya masingmasing. Dalam negosiasi dan penyesuaian itu, bahkan secara tidak sadar mereka menggunakan capital-capital-nya untuk saling melengkapi, melakukan pertukaran “kamu mendapatkan sebagian milikku, ditukar dengan sebagian milikmu”, atau bahkan; “Aku memiliki „ini‟, mana bisa kamu melawanku?”. Keseluruhan dari proses ini, disebut Bourdieu sebagai; “PRAKTIK”. Dalam konteks praktik dalam Rasa Tunggal sebagai field thesis ini, secara esensial juga terjadi sifat dari gejala reproduksi sosial. Saptari dan Holzner (1997), mengemukakan bahwa secara harafiah reproduksi diartikan sebagai menggantikan apa yang telah habis atau hilang untuk kelestarian sistem atau struktur sosial yang bersangkutan. Reproduksi tidak hanya menyangkut kegiatan yang terjadi di dalam rumah tangga (melahirkan), tetapi juga dalam masyarakat, misalnya kegiatan-kegiatan yang menjamin kelestarian struktur sosial seperti upacara siklus hidup atau kegiatan sosial dalam komunitas. Selanjutnya, yang dimaksud dengan reproduksi sosial, yaitu proses ketika hubungan produksi dan struktur sosial terus direproduksi dan dilestarikan40. Reproduksi sosial dalam konteks Rasa Tunggal dapat dilihat pada gejala kebiasaan pewarisan peran dengan jalan pewarisan capital, meskipun pewarisan peran tersebut belum sampai meletakkan agen yang baru secara penuh ke dalam struktur praktik sosial di dalamnya. Di dalam prosesnya, terdapat gejala pewarisan capital, termasuk pewarisan capital antar generasi sedarah. Dalam konteks Rasa Tunggal, suatu saat pewarisan capital tersebut bisa jadi beralih 40
Mudjijono. 2005. Sarkem: Reproduksi Sosial Pelacuran. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
22
rupa menjadi pewarisan peran. Inilah maksud penulis bahwa pewarisan peran dalam Rasa Tunggal belum sampai meletakkan agen yang baru secara penuh ke dalam struktur praktik sosial di dalamnya. Persepsi reproduksi sosial yang esensial ini mampu melengkapi konsep praktik sosial milik Bourdieu, dan berhubungan dengan pernyataan visi upaya pelestarian sanggar Rasa Tunggal. 1.6.
Metode penelitian Proses penelitian meliputi pemilihan tema, pemilihan sumber informasi, observasi
partisipasi dalam lapangan, pemilihan informan, proses analisis untuk menjawab rumusan permasalahan, dan ditutup dengan kesimpulan. Mula-mula penulis mengumpulkan data hanya dengan cara berbincang biasa, terlibat dengan informan dalam aktivitas di sanggar. Pada perkembangannya penulis menerapkan metode wawancara, karena tidak semua informan memiliki waktu yang cukup, dan karena rentang waktu setiap penelitian lapangan berjarak kurang lebih sepekan. Di antara 6 informan yang dipilih, ada dua informan yang sudah tidak terlalu sibuk mencari nafkah, dan empat lainnya masih mencari nafkah dengan pola yang ajeg. Dua informan yang sudah tidak terlalu sibuk mencari nafkah satu diantaranya memang sama sekali tidak memiliki kegiatan lain selain terkadang memanfaatkan ilmu memainkan wayang untuk kesenangan dan memperoleh penghasilan. Sementara informan lainnya; mengelola sawah, berternak kambing, ndhalang, dan ia memperoleh penghasilan dari aktivitas tersebut. Adapun informan yang mencari nafkah dengan pola yang ajeg, mereka memiliki rutinitas yang jelas dalam pekerjaannya. Misal; ada seorang informan bernama Dwi yang menjadi seorang pramusaji di rumah makan masakan Padang dalam kesehariannya dari pagi hingga pkl. 21.00, atau; Wiyarna yang menjual soto mulai dari pkl. 07.00 hingga 14.00 setiap pekan. Latar belakang historis Rasa Tunggal yang tidak dapat
23
dilepaskan dari keberadaan Rasa Mulya cukup diperoleh dari orang Rasa Tunggal sendiri, yang juga mengetahui latar belakang historis Rasa Mulya. Selain melakukan wawancara di luar aktivitas keseharian mereka, penulis juga mengambil kesempatan melakukannya pada saat salah satu dari mereka bersedia meluangkan waktu. Informan tersebut bernama Wiyarna, yang bersedia dimintai keterangan di sela-sela ia tidak mempersiapkan soto untuk pelanggan. Penulis juga memiliki kiat tersendiri dalam proses pengumpulan data, selain melakukan wawancara secara langsung dengan informan terkait. Misal; saat penulis sedang berbincang dengan informan bernama Dwi, penulis acapkali mencuricuri kesempatan untuk mengalihkan topik pembicaraan ke perihal yang berhubungan dengan informan lain, kemudian menyentuh inti perihal mengenai informan tersebut. Contoh lainnya, saat penulis merasa kesulitan mendapatkan keterangan dari informan bernama Wiyarna, penulis bertanya kepada kakak sepupu Wiyarna yang juga berdagang di tempat yang tidak terlalu jauh dari lokasi Wiyarna berdagang, tetapi tidak dapat dijangkau oleh penglihatan Wiyarna. Darinya, penulis mendapatkan informasi yang sebelumnya tidak dengan jelas diberikan oleh Wiyarna, sehubungan dengan penghasilan dari berdagang soto yang diperoleh Wiyarna. Penulis justru memperoleh informasi tambahan selain informasi utama yang ingin penulis dapatkan. Kecocokan data mengenai istri dan jumlah anak Wiyarna, misalnya. Atau; kebenaran mengenai kegiatan ndhalang sekaligus penghasilan yang diperoleh Wiyarna dari aktivitas tersebut. Metode-metode penggalian data seperti itu terbukti cukup ampuh, dan dalam persepsi serta pengalaman penulis, inilah yang semestinya juga dilatih oleh para pembelajar Antropologi dalam memperoleh data lapangan. Sama saja dengan mengaplikasikan konsep social capital dalam teori Praktik Bourdieu dengan memanfaatkan social capital milik penulis, dimana penulis memiliki
24
jaringan sosial dengan orang-orang di sekitar informan yang dapat membantu penulis mendapatkan informasi-informasi yang sebelumnya sulit diperoleh. Selain berinteraksi dengan subjek penelitian, penulis juga berupaya mendapatkan data melalui studi literatur dari berbagai macam sumber, termasuk internet. Pertanyaan dalam rumusan permasalahan dijawab dengan analisis sesuai dengan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan. 1.7.
Sistematika Penyajian Thesis ini akan dibagi menjadi 5 bagian. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang, rumusan permasalahan, tujuan penulisan, ruang lingkup, kerangka pemikiran, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Pada bab II dipaparkan latar belakang historis keberadaan sanggar Rasa Tunggal. Profil para informan, beserta latar belakang keterlibatan mereka dalam aktivitas kesenian khususnya dengan Rasa Tunggal juga akan dipaparkan dalam bagian ini. Selain latar belakang keterlibatan, juga dijabarkan bagaimana para pelibat memperoleh capital-capital dan bagaimana habitus-nya terbentuk. Bab III dipaparkan tentang apa saja yang diperoleh para informan dalam aktivitas karawitan dan ndhalang di sanggar Rasa Tunggal serta bagaimana para informan memaknai proses keterlibatannya dalam aktivitas tersebut. Bab IV dipaparkan tentang siasat-siasat orang-orang yang terlibat dan berkepentingan dalam sanggar Rasa Tunggal mempertahankan kelangsungan sanggar dan melestarikan budaya Jawa melalui aktivitas karawitan dan ndhalang. Pada bagian ini penulis juga akan menjabarkan tentang bagaimana latar belakang seperti capital-capital dan habitus yang dimiliki para informan mempengaruhi proses praktik sosial itu.
25
Bab V berisi kesimpulan yang didapatkan dari keseluruhan bagian setelah penulis memaparkan sekaligus menganalisis bagian-bagian sebelumnya sesuai dengan kerangka pemikiran.
26