PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA HAMIL DI LUAR NIKAH (Studi Putusan Pengadilan Agama Boyolali No.886/Pdt.G/2010/PA.Bi) SKRIPSI Diajukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh ASTUTI NUR HALIMAH 212 08 019 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2012
i
ii
i
iii
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA Jl. Nakula Sadewa VA No. 09 Kode Pos 50721 Salatiga Website : www.stainsalatiga.ac.id e-mail :
[email protected]
Drs. Mubasirun, M.Ag DOSEN STAIN SALATIGA NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 Eksemplar Hal : Naskah Skripsi Saudara Astuti Nur Halimah Assalamu’alaikum Wr. Wb Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini kami kirimkan naskah skripsi saudara : Nama : Astuti Nur Halimah NIM : 22108019 Jurusan / Progdi : Syari‟ah S1 – AHWAL AL SYAKHSHIYYAH Judul : PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA HAMIL DI LUAR NIKAH (Studi Putusan Pengadilan Agama Boyolali No. 0886/Pdt.G/2010/PA.Bi) Dengan ini kami mohon skripsi saudara tersebut diatas supaya segera dimunaqosyahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamu’alaikum Wr.Wb. Salatiga, 28 Juni 2012 Pembimbing
Drs. Mubasirun, M.Ag NIP 19590202 199003 1 001
ii
iv
iii
v
KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) SALATIGA Jl. Nakula Sadewa VA No. 09 telp. ( 0298 ) 3419400,323706 Fax 323433 Kode Pos 50721 Salatiga Website : www.stainsalatiga.ac.id e-mail :
[email protected]
DEKLARASI Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau pernah diterbitkan dalam skripsi-skripsi sebelumnya. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan. Apabila di kemudian hari ternyata terdapat materi atau pikiran-pikiran orang lain di luar referensi yang penulis cantumkan, maka penulis sanggup mempertanggungjawabkan kembali keaslian skripsi ini di hadapan sidang munaqosyah skripsi. Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 04 Agustus 2012 Penulis
Astuti Nur Halimah NIM 21208019
iv
vi
MOTTO
“Hidup bagaikan air mengalir yang akan terus berjalan mengikuti arus air, ada saatnya arus air itu mengalir pelan dan ada saatnya arus air itu mengalir deras dan ada pula saatnya arus air itu mengikuti celah lubanglubang yang ada”
“Bagaimana orang tua bersikap kepada anaknya maka begitulah anaknya akan bersikap kepada orangtuanya”
v
vii
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan untuk: 1. Ayahanda Sumarno yang selalu mendukung anaknya untuk selalu belajar dan terus belajar sampai akhir hayat. 2. Ibunda Sudarsi yang selalu memberikan do‟anya untukku. 3. Suamiku tercinta Mas Mustakim, yang rela berkorban demi cita-cita isterinya. 4. Kakakku Ida Mardiana Nur Arif, S.E, yang selalu memberikan semangat untuk maju. 5. Adikku Adin, yang selalu memberikan dukungannya. 6. Seluruh keluarga besar mertua yang selalu memberikan do‟a dan dukungannya. 7. Saudara-saudara ipar yang selalu memberikan dukungannya. 8. Keponakan-keponakan yang lucu yang selalu memberikan inspirasi Seluruh keluarga besar penulis yang berbahagia.
vi
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji Syukur Kehadirat Allah SWT yang tidak henti-hentinya melimpahkan Rahmat dan Anugerah-Nya dan Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, sebagai suri tauladan yang baik bagi kita umatnya. Dengan Rahmat Allah SWT penulis dapat menyelesaikan tugas ini sebagai skripsi dan atas bantuan banyak pihak yang telah mendukung serta memberikan sumbang sih saran dan kritik. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini sebagai Skripsi pada Program Studi Al-ahwal Al-syakhshiyyah yang berjudul PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA HAMIL DI LUAR NIKAH (Studi Putusan Pengadilan Agama Boyolali No. 0886/Pdt.G/2010/Pa.Bi) dan penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu: 1.
Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga yang kami hormati
2.
Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag. selaku dosen pembimbing
3.
Bapak Illya Muhsin,M.Si. selaku ketua program studi
4.
Ibu Dra.Hj.A.Muliany Hasyim,S.H.,M.H.,S.H. selaku ketua Pengadilan Agama Boyolali yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian di Pengadilan Agama Boyolali
5.
Bapak Drs.Romadhon,S.H. selaku hakim pembimbing
vii
ix
6.
Bapak dan Ibu seluruh pegawai Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga
7.
Bapak dan Ibu seluruh pegawai Pengadilan Agama Boyolali Penulis tidak dapat memberikan balasan atas kebaikan jasa-jasa bapak dan
ibu, kecuali sebuah do‟a semoga Allah SWT berkenan memberikan balasan yang berlipat ganda. Amin. Dalam menyusun skripsi ini pengetahuan penulis belum sempurna, sehingga dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam penulisan maupun materinya, oleh sebab itu demi sempurnanya skripsi ini penulis mengharapkan kritik dan saran dari seluruh pembaca atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih.
Salatiga, 04 Agustus 2012 Penulis
Astuti Nur Halimah NIM 21208019
viii
x
ABSTRAK Halimah, Astuti Nur. 2012. PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA HAMIL DI LUAR NIKAH(Studi Putusan Pengadilan Agama Boyolali No. 0886/Pdt.G/2010/PA.Bi). Skripsi Jurusan Syari’ah. Progdi Ahwal Al Sakhshiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Pembimbing: Drs. Mubasirun, M.Ag Kata Kunci
: Pembatalan Perkawinan, Hamil, Di luar Nikah
Perkawinan merupakan suatu hal yang bersifat religius dan tidak boleh dipermainkan. Perkawinan tidak hanya mengikat hubungan satu laki-laki dengan satu perempuan, tetapi mengikat semua keluarga besar yang ada dalam nasab keluarga. Perkawinan juga tidak hanya menyangkut hubungan antara manusia dengan manusia (hablun min annaas), melainkan melibatkan hubungan antara manusia dengan Allah SWT (hablun min Allah), sehingga perkawinan tidak mudah dibatalkan namun pada kenyataannya perkawinan dapat diajukan pembatalan ke pengadilan. Untuk mengetahui permasalahan tersebut maka peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan metode yuridis sosiologis. Tahapan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah menentukan tema, mengumpulkan informasi, menentukan lokasi penelitian dan mengumpulkan data serta menganalisis data. Melalui putusan ini dihasilkan suatu kesimpulan bahwa dalam perkara pembatalan perkawinan Nomor 0886/Pdt.G/2010/PA.Bi telah terjadi hal yang dapat dijadikan alasan untuk dilakukannya pembatalan perkawinan, karena telah terjadi penipuan yang dilakukan oleh termohon terhadap pemohon mengenai status dirinya sehingga mengkibatkan adanya salah sangka pihak suami (pemohon) terhadap isteri (termohon) yang disengaja oleh isteri dengan tidak memberitahukan keadaan yang sebenarnya kepada suaminya bahwa ia telah hamil sebelum menikah. Hal ini sesuai dengan maksud dari undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal 27 ayat (2).
ix
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i HALAMAN NOTA PEMBIMBING .......................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii HALAMAN DEKLARASI ......................................................................... iv HALAMAN MOTTO ................................................................................. v HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................. vi KATA PENGANTAR ................................................................................. vii ABSTRAK................................................................................................... ix DAFTAR ISI ............................................................................................... x BAB I
: PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A.
Latar Belakang ........................................................................... 1
B.
Fokus Penelitian ......................................................................... 3
C.
Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
D.
Kegunaan Penelitian ................................................................... 4
E.
Penegasan Istilah ........................................................................ 4
F.
Metode Penelitian ....................................................................... 6
G.
Sistematika Penulisan ................................................................. 10
BAB II : TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN ............... 13 A.
Perkawinan Menurut Hukum Islam ............................................. 13 1. Pengertian perkawinan ........................................................... 13 2. Syarat dan rukun perkawinan ................................................. .. 14 x
xii
3. Hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan. ........................ .. 17 B.
Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam ............................ 21 1. Pengertian perkawinan ........................................................... 21 2. Syarat dan rukun perkawinan ................................................. 21 3. Hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan. ........................ 22
C.
Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan .................................................................... 24 1. Pengertian perkawinan ........................................................... 24 2. Syarat dan rukun perkawinan ................................................. 25 3. Hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan. ........................ 26
BAB III : PENGADILAN
AGAMA
BOYOLALI
DAN
KASUS
PEMBATALAN PERKAWINAN ........................................... 26 A.
Gambaran umum tentang Pengadilan Agama Boyolali ................ 28 1. Profil Pengadilan Agama Boyolali ......................................... 28 2. Sejarah Pengadilan Agama Boyolali ....................................... 29 3. Kewenangan Pengadilan Agama Boyolali .............................. 36 4. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Boyolali .................... 41 5. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Boyolali ............ 42
B.
Prosedur beracara di Pengadilan Agama Boyolali .......................
C.
Kasus Pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Boyolali....
D.
Putusan
Pengadilan
Agama
Boyolali
No.
0886/Pdt.G/2010/Pa.Bi tentang Pembatalan Perkawinan Karena Hamil Di Luar Nikah .................................................................. xi
xiii
BAB IV : DASAR
DAN
PERTIMBANGAN
MENETAPKAN
PEMBATALAN
HAKIM
DALAM
PERKAWINAN
KARENA HAMIL DI LUAR NIKAH .................................... A.
Analisis
Putusan
Pengadilan
Agama
Boyolali
No.0886/Pdt.G/2010/Pa.Bi Tentang Pembatalan Perkawinan Karena Hamil Di Luar Nikah ...................................................... B.
Analisis
dasar dan pertimbangan hakim dalam menetapkan
putusan terhadap pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah........................................................................................... BAB V
: PENUTUP .................................................................................
A.
Kesimpulan ................................................................................
B.
Saran .........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami isteri yang dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syariat Islam. (Chafidh dan Asrori, 2008:88). Perkawinan merupakan seruan agama yang harus dijalankan oleh manusia bagi yang mampu untuk berkeluarga. Selain sunatullah yang telah digariskan ketentuannya, perkawinan juga dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih terarah, tenteram, dan bahagia. Perkawinan sebagai perantara untuk menyatukan dua hati yang berbeda, memberikan kasih sayang, perhatian dan kepedulian antara laki-laki dan Perempuan. (BP4, 2011:1). Perkawinan merupakan ibadah karena dengan perkawinan dilakukan untuk menyempurnakan separoh agama sebagaimana Rasulullah SAW. Bersabda: “Disaat seseorang telah menikah berarti ia telah menyempurnakan separoh agamanya”. Perkawinan
mempunyai tujuan untuk memperoleh
ketenangan hidup, untuk menjaga kehormatan, untuk menjaga pandangan mata dan untuk mendapat keturunan. (BP4, 2011:1). Istilah pambatalan nikah tidak dikenal dalam Islam akan tetapi hukum Islam hanya mengenal fasakh nikah yang mempunyai arti batal. (Mahsun, 2005:6). Pembatalan perkawinan tidak seharusnya dilaksanakan karena
1
2
pembatalan perkawinan sama dengan perceraian dimana memisahkan ikatan perkawinan yang telah sah menurut agama dan negara. Sebagaimana Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah dalam buku tarjamah Sunan Abu Dawud jilid III, halaman 87, yang berbunyi:
“Sesungguhnya perkara yang halal yang amat dibenci Allah adalah talak.” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah). Tidak seharusnya suatu perkawinan itu dibatalkan karena suatu perkawinan merupakan suatu hal yang bersifat religius dan tidak boleh dipermainkan. Dalam suatu perkawinan tidak hanya mengikat hubungan satu laki-laki dengan satu perempuan, melainkan mengikat semua keluarga besar yang ada dalam nasab keluarga. Perkawinan yang terjadi tidak hanya hubungan antara manusia dengan manusia (hablu min annas), melainkan melibatkan hubungan antara manusia dengan Allah SWT (hablu min Allah), sehingga perkawinan tidak mudah dibatalkan. Namun pada kenyataannya perkawinan dapat diajukan pembatalan ke Pengadilan. Dengan adanya pengajuan pembatalan ini mempengaruhi hakikat dari perkawinan. Dimana seseorang menganggap bahwa perkawinan dapat dengan mudah dibatalkan, hal ini tentu menjadikan suatu pertentangan dengan makna perkawinan yang ada.
3
B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat menimbulkan suatu pertanyaan yang disini penulis akan mencoba menelusuri jawabannya. Pertanyaan tersebut sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pembatalan perkawinan ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974? 2. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam terhadap pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah? 3. Bagaimanakah pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah sebagaimana termuat dalam putusan Pengadilan Agama Boyolali No. 0886/Pdt.G/2010/PA.Bi? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang diuraikan diatas, maka tujuan penulis dalam penyusunan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui tentang pembatalan perkawinan berdasarkan undangundang perkawinan No.1 Tahun 1974. 2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah. 3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam memberikan putusan terhadap pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah sebagaimana termuat
dalam
putusan
0886/Pdt.G/2010/PA.Bi.
Pengadilan
Agama
Boyolali
No.
4
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah: 1. Kegunaan Teoritis a. Menambah pengetahuan penulis di bidang hukum Islam khususnya yang menyangkut perkawinan. b. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan baru yang belum banyak diketahui. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai bahan referensi bagi siapa saja yang membutuhkannya. b. Hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya
penyelesaian
permasalahan-permasalahan
hukum
Islam
kontemporer. c. Sebagai bahan pertimbangan dalam perbaikan pelaksanaan hukum perkawinan. d. Memberikan masukan kepada masyarakat luar untuk lebih mendalami lagi arti perkawinan sesuai agama Islam.
E. Penegasan Istilah Agar tidak menimbulkan salah pemahaman terhadap judul penelitian ini, maka perlu kiranya penulis untuk menegaskan istilah tersebut: 1. Perkawinan Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan untuk memenuhi tujuan hidup berumah tangga sebagai suami
5
isteri yang dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan oleh syariat Islam. (Chafidh dan Asrori, 2008:88). 2. Pembatalan Nikah Istilah pambatalan nikah tidak dikenal dalam Islam akan tetapi hukum Islam hanya mengenal fasakh nikah yang mempunyai arti batal. (Mahsun, 2005:6) 3. Nikah Nikah menurut bahasa: al-jam’u dan al-dhamu yang artinya kumpul. Makna nikah atau zawaj bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Juga bisa diartikan (wath’u al-zaujah) bermakna meyetubuhi isteri. Makna nikah adalah akad atau ikatan, karena dalam proses pernikahan terdapat ijab (pernyataan penyerahan dari pihak perempuan) dan Kabul (pernyataan penerimaan dari pihak lelaki). (Tihami dan Sahrani, 2009:7). Nikah menurut syarakh: nikah adalah akad serah terima antara lakilaki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk sebuah bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera. (Tihami dan Sahrani, 2009:8). 4. Wanita Wanita adalah (orang) perempuan (lebih halus). Kaum, kaum putri. (Khalim , 2005:4). 5. Hamil Hamil adalah orang yang mengandung. (Khalim, 2005:4).
6
6. Pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah Pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah merupakan batalnya suatu perkawinan dikarenakan adanya keadaan mengandung atau hamil oleh pihak perempuan sebelum terjadinya perkawinan.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Dalam
penelitian
ini
pendekatan
yang
digunakan
adalah
pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif yaitu rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah, baik dari sudut pandangan teoritis maupun praktis. (Nawawi dan Hadari, 1992:208). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dalam penelitian ini, peneliti melakukan penelitian langsung terhadap nara sumber yang dibutuhkan dalam penelitian dan tidak dengan penyebaran angket. Berangkat dari judul dan permasalahan yang mendasari penelitian, maka penelitian ini termasuk jenis penelitian yuridis sosiologis yaitu suatu penelitian yang didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan fenomena atau kejadian yang terjadi di lapangan. (Soekanto, 2001: 26) 2. Kehadiran Peneliti Peneliti bertindak sebagai instrument sekaligus pengumpulan data yang mana penulis langsung datang dan mewancarai salah satu hakim Pengadilan Agama Boyolali yang telah membatalkan perkawinan berdasarkan
Putusan
Pengadilan
Agama
Boyolali
7
No.0886/Pdt.G/2010/Pa.Bi Tentang Pembatalan Perkawinan Karena Hamil Di Luar Nikah. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pengadilan Agama Boyolali yang beralamat di Jl.Pandanaran Nomor 167 Telp. (0276) 321014 Fax. (0276) 321599 http: // www.pa-boyolali.go.id email:
[email protected]. Boyolali 57311, Jawa Tengah, Indonesia. 4. Sumber Data Yang menjadi sumber data dalam penulisan ini ada dua sumber, yaitu : a. Sumber Primer Sumber Primer adalah sumber-sumber dasar yang merupakan bukti atau saksi utama dari suatu kejadian. (Nazir,t.t:58). Dalam penelitian ini sumber primer yang digunakan adalah hakim dan putusan. b. Sumber sekunder Sumber sekunder adalah data yang materinya tidak langsung mengenai masalah yang diungkapkan. (Sofwan, 2011:11). Pada umumnya terdiri dari data penunjang, di antaranya adalah buku-buku yang mengulas masalah perkawinan, buku-buku yang mengulas masalah pembatalan nikah, buku-buku yang mengulas masalah perceraian dan suatu lembaga pemerintahan yaitu Pengadilan Agama Boyolali. 4. Prosedur Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: a. Studi kepustakaan (library reasearch)
8
Teknik pengumpulan data dengan menggunakan studi kepustakaan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan pustaka, baik yang berupa buku-buku literatur dokumen-dokumen (arsip kegiatan, kertas kerja dan lain sebagainya). (Nazir,t.t:111). b. Wawancara (interview) Wawancara adalah proses percakapan dengan maksud untuk mengonstruksi mengenai orang, kejadian, kegiatan, organisasi, motivasi, perasaan, dan sebagainya yang dilakukan dua pihak yaitu pewawancara (interview) yang mengajukan pertanyaan dengan orang yang diwawancarai (interviewee). Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang populer, karena itu banyak digunakan (Bungin, 2011:155). Namun disini penulis lebih memfokuskan lagi pada wawancara mendalam yaitu suatu cara mengumpulkan data atau informasi dengan cara langsung bertatap muka dengan informan, dengan maksud mendapatkan gambaran lengkap tentang topik yang diteliti. Wawancara mendalam dilakukan secara intensif dan berulangulang. (Bungin, 2011:156). c. Pengamatan (observasi) Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja dan sistematis mengenai fenomena sosial dan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. Tujuan pengamatan adalah terutama, membuat catatan atau deskriptif mengenai perilaku dan kenyataan, serta memahami perilaku tersebut. (Nawawi, 1990:100).
9
d. Dokumentasi Yaitu usaha untuk mendapatkan data dengan mengambil dokumendokumen, catatan-catatan dan arsip-arsip dari berbagai kegiatan. Teknik dokumenter ini akan penulis gunakan untuk memperoleh data tentang putusan Pengadilan. (Nawawi, 1990:133). 5. Analisis Data Data hasil penelitian yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif. Analisis data dilakukan setiap saat pengumpulan data di lapangan secara berkesinambungan. Diawali dengan proses klarifikasi data agar tercapai konsistensi, dilanjutkan dengan langkah abstraksi-abstraksi teoritis terhadap informasi lapangan, dengan mempertimbangkan menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sangat memungkinkan dianggap mendasar dan universal. Gambaran atau informasi tentang peristiwa atas objek yang dikaji tetap mempertimbangkan derajad koherensi internal, masuk akal, dan berhubungan dengan peristiwa faktual dan realistik. Dengan cara melakukan komparasi hasil temuan observasi dan pendalaman makna, diperoleh suatu analisis data yang terus-menerus secara simultan sepanjang proses penelitian. (Bungin, 2011:154). Metode berpikir yang digunakan dalam menganalisis adalah berdasarkan pada dasar-dasar yang bersifat umum kemudian meneliti persoalan-persoalan yang bersifat khusus. Dari analisis tersebut kemudian ditarik, kesimpulan yang pada hakikatnya merupakan jawaban atas permasalahan. (Nawawi dan Hadari, 1992:213).
10
6. Pengecekan Keabsahan Data Dilakukan pengechekkan sumber data terhadap sumber data yang lain. Dengan demikian data atau informasi tentang suatu keadaan atau aspek tertentu yang sama, dapat dibanding-bandingkan. Usaha itu akan memungkinkan data yang terhimpun dapat lebih dipercaya kebenarannya. (Nawawi dan Hadari, 1992:211). 7. Tahap-tahap Penelitian Tahapan penelitian yang penulis lakukan adalah: menentukan atau memilih tema penelitian, pencarian informasi, penentuan lokasi penelitian yang akan ditelitin pencarian dan pengumpulan sumber-sumber datan serta menganalisisi data yang telah diperoleh berkaitan dengan masalah yang penulis teliti dan bahas. I.
Sistematika Penulisan Dalam melakukan menyelesaikan penelitian ini, maka penulis mencoba memberikan gambaran seluruh penelitian dengan sistematika penulisan, yakni: BAB I
: PENDAHULUAN Terdiri atas Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Telaah Pustaka, Kerangka Teori, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan.
11
BAB II
: TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN Pembahasan tentang tinjauan umum mengenai perkawinan meliputi: bagian pertama, yaitu perkawinan menurut hukum Islam, yang terdiri dari: pengertian perkawinan, syarat dan rukun perkawinan serta hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan. bagian kedua, yaitu perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri dari: pengertian perkawinan, syarat dan rukun perkawinan serta hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan. Bagian ketiga, yaitu perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang terdiri dari: pengertian perkawinan, syarat dan rukun perkawinan serta hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan.
BAB III
: PENGADILAN AGAMA BOYOLALI DAN KASUS PEMBATALAN PERKAWINAN Dalam bab ini membahas mengenai: bagian pertama, Gambaran umum tentang Pengadilan Agama Boyolali, yang meliputi: Profil Pengadilan Agama Boyolali, Sejarah Pengadilan Agama Boyolali, Kewenangan Pengadilan Agama Boyolali, Struktur Organisasi Pengadilan Agama Boyolali, Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Boyolali, bagian kedua, Prosedur beracara di Pengadilan Agama Boyolali, bagian ketiga, Kasus Pembatalan
12
perkawinan di Pengadilan Agama Boyolali, bagian ke empat,
Putusan
Pengadilan
No.0886/Pdt.G/2010/Pa.Bi
Agama
Tentang
Boyolali Pembatalan
Perkawinan Karena Hamil Di Luar Nikah. BAB IV
: DASAR DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PELAKSANAAN
PUTUSAN
TERHADAP
PEMBATALAN
PERKAWINAN
KARENA HAMIL DI LUAR NIKAH Dalam bab ini membahas mengenai: bagian pertama, analisis
Putusan
Pengadilan
No.0886/Pdt.G/2010/Pa.Bi
Agama
tentang
Boyolali pembatalan
perkawinan karena hamil di luar nikah. Bagian kedua, analisis dasar dan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah. BAB V
: PENUTUP Dalam penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERKAWINAN
A. Perkawinan Menurut Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Secara etimologis, perkawinan adalah pencampuran, penyelarasan, atau ikatan. Adapun secara terminologis para fukaha sepakat bahwa perkawinan dan pernikahan itu sama. Maksud dari keduanya adalah suatu akad demi kenikmatan secara sengaja atau suatu akad yang memberi keluasan pada setiap laki-laki dan perempuan untuk saling menikmati sepanjang hidupnya, sesuai dengan ketentuan syariat. (Mathlub, 2005:3). Perkawinan merupakan cara yang dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk melakukan hubungan seksual secara sah antara lakilaki dan perempuan untuk mempertahankan keterunannya. (Chafid dan Asrori, 2008:88). Sebagaimana Hadist Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam buku Sunan Ibnu Majah, halaman 592 tentang bab nikah yang berbunyi:
(اَلنًِكَاحُ مِهْ سُنًَتِى فَمَهْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنًَتِى فَلَيْسَ مَنًِى ) رواه ابه ماجو Artinya: Perkawinan adalah sunahku, barang siapa yang tidak melaksanakan sunahku, maka bukanlah termasuk bagian golonganku. (H.R. Ibnu Majah). Menurut sebagian fukaha pengertian perkawinan dapat dibedakan menjadi 2, yaitu: pertama, pengertian perkawinan dilihat dari segi
13
14
kebolehan hukumnya: Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu segi saja, yaitu kebolehan hukum, dalam hubungan antara seorang laki-laki dengan seorang wanita yang semula dilarang menjadi dibolehkan. Kedua, pengertian perkawinan dilihat dari segi akibat hukumnya, Dari pengertian yang kedua ini perkawinan mengandung aspek akibat hukum melangsungkan perkawinan, seperti saling mendapat hak dan kewajiban serta bertujuan mengadakan pergaulan yang dilandasi tolongmenolong. Tegasnya
perkawinan
adalah
akad
atau
perikatan
yang
menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang didirikan Allah SWT. (Depag, 1985:49). 2. Syarat dan Rukun Perkawinan Menurut syariat Islam, setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur, yaitu: rukun dan syarat. Rukun adalah unsur pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum dan syarat adalah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Apabila kedua unsur ini tidak dipenuhi maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum. Demikian pula untuk sahnya suatu perkawinan harus dipenuhi rukun dan syarat. Rukun nikah terdiri dari:
15
a.
Calon mempelai laki-laki dan perempuan Calon mempelai laki-laki dan perempuan biasanya hadir dalam upacara pernikahan. Calon mempelai perempuan selalu ada dalam upacara tersebut, tetapi calon mempelai laki-laki, mungkin karena sesuatu keadaan, dapat mewakilkan kepada orang lain dalam ijab kabul. (Saleh, 2008:300).
b.
Wali dari calon mempelai perempuan Wali yang menjadi rukun nikah adalah wali nasab, yaitu wali yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai perempuan. Dalam keadaan luar biasa, wali nasab dapat digantikan oleh wali hakim, yaitu petugas pencatat nikah jika wali nasab tersebut tidak ada atau tidak ditemukan. Demikian pula, jika wali nasab tidak mau tau tidak bersedia menikahkan calon mempelai perempuan, maka wali hakimlah yang bertindak untuk menikahkannya.
c.
Dua orang saksi (laki-laki) Saksi dalam perkawinan harus terdiri dari dua orang yang memenuhi syarat. Perkawinan yang tidak dihadiri saksi, walaupun rukun (1), (2), dan (3) sudah dipenuhi, menurut pendapat umum adalah tidak sah.
d.
Ijab dan kabul Tentang pelaksanaan ijab kabul atau akad, perkawinan harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan kabul. Menurut pengertian hukum perkawinan, ijab adalah penegasan kehendak untuk mengikatkan diri
16
dalam ikatan perkawinan dari (wali) pihak perempuan kepada calon mempelai laki-laki. Kabul adalah penegasan untuk menerima ikatan perkawinan tersebut, yang diucapkan oleh mempelai laki-laki. Penegasan penerimaan itu harus diucapkan oleh mempelai laki-laki langsung sesudah ucapan penegasan penawaran yang dilakukan oleh wali pihak mempelai perempuan. Tidak boleh ada tenggang waktu yang mengesankan adanya keraguan. (Saleh, 2008:300). Syarat nikah ada dua, yaitu syarat nikah untuk calon mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan. Dimana syarat nikah untuk calon mempelai laki-laki, sebagai berikut: a.
Beragama Islam
b.
Terang prianya (bukan banci)
c.
Tidak dipaksa
d.
Tidak beristeri empat orang
e.
Bukan mahram calon isteri
f.
Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu
g.
Mengetahui calon isteri tidak haram dinikahinya
h.
Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah
Dan syarat nikah untuk calon mempelai perempuan, sebagai berikut: a.
Beragama Islam
b.
Terang wanitanya (bukan banci)
c.
Telah memberi izin kepada wali untuk menikahkannya
17
d.
Tidak bersuami dan tidak dalam iddah
e.
Bukan mahram calon suami
f.
Belum pernah dili‟an (sumpah li‟an) oleh calon suami
g.
Terang orangnya
h.
Tidak sedang dalam ihram haji atau umrah. (BKM, 1992:22).
3. Hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan Fasakh berarti pembatalan perkawinan. Hal ini terjadi akibat pertengkaran antara suami isteri yang tidak mungkin didamaikan. Dalam istilah Al-Qur‟an hal ini disebut Syiqaq. (Saleh, 2008:324). Sebagaimana dalam firman Allah Surat An-Nisa ayat 35:
Artinya: dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Departemen Agama R.I,
2011:124) Fasakh atau pembatalan perkawinan terjadi ketika: a) Akad nikah diketahui bahwa di antara calon suami dan isteri punya hubungan atau nasab atau sepersusuan b) Ketika mereka nikah keduanya masih kecil c) Walaupun ketika akad nikah berlangsung wajar, tetapi ada suatu saat diketahui adanya penipuan, baik dari segi mas kawin maupun dari pihak yang melangsungkan perkawinan
18
d) Setelah akad nikah, salah satu pihak murtad dan tidak mau kembali kepada Islam e) Salah satu pihak mengalami cacat fisik, yang tidak memungkinkan untuk melakukan hubungn suami-isteri f) Kehidupan ekonomi keluarga krisis, sedangkan istteri tidak sabar menunggu pulihnya kembali. Fasakh pada dasarnya merupakan bentuk perceraian yang di lakukan oleh Hakim atas permintaan suami atau isteri. Namun, ada juga fasakh yang terjadi secara otomatis, yaitu jika kemudian diketahui di antara suami-isteri itu punya hubungan nasab atau sepersusuan. (Saleh, 2008:325). Bentuk perkawinan yang dibatalkan Islam, yaitu: a.
Pergundikan Pergundikan selama dilakukan secara tersembunyi, masyarakat menganggap tidak apa-apa, tetapi kalau dilakukan terang-terangan dianggap tercela. Perkawinan semacam ini tersebut dalam firman Allah:
...ن ٍ ت ا َخْدَ ا ِ وَآل مُتًَخِذَا Dan bukan perempuan-perempuan yang
mengambil upah
(gundik). b.
Tukar menukar isteri Seorang laki-laki mengatakan kepada temannya: Ambillah isteriku dan kuambil isterimu dengan kutambah sekian.
19
Daruthny meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah dengan sanad yang sangat lemah menerangkan bahwa „Aisyah menyebutkan bentuk perkawinan lain, selain dari dua macam tersebut di atas. Katanya: perkawinan di zaman Jahiliyah itu ada empat macam: Pertama, perkawinan pinang, yaitu seorang laki-laki meminang melalui seseorang laki-laki yang menjadi wali atas anak perempuannya sendiri, lalu ia berikan maharnya, kemudian menikahinya. Kedua, perkawinan pinjam, yaitu seorang suami berkata kepada isterinya sesudah ia bersih dari haidnya: ”Pergilah kepada polan untuk berkumpul dengannya”. Sedang suaminya sendiri berpisah darinya sampai ternyata isterinya hamil. Sesudah ternyata hamil, suaminya dapat pula mengumpulinya, jika ia suka. Perkawinan seperti ini dilakukan untuk mendapatkan keturunan yang pandai. Perkawinan ini disebut “mencari keturunan yang baik (bibit unggul)”. Ketiga, sejumlah laki-laki (di bawah 10 orang) secara bersamasama mengumpuli seorang perempuan, yaitu jika nantinya ia hamil dan melahirkan setelah berlalu berapa malam ia kirimkan anak itu kepada salah seorang diantara mereka, dan ia tidak dapat menolaknya, sampai nanti mereka berkumpul di rumah wanita tersebut, dan wanita itu lalu berkata kepada mereka: ”kalian telah tahu masalahnya saya telah melahirkan anak ini adalah anakmu,” ia sebut nama laki-laki yang ia cintai, lalu anaknya ini dinisbatkan kepadanya. Dan laki-laki yang disebutnya itu tidak dapat menolaknya. Keempat, perempuan-perempuan yang tidak menolak untuk digauli oleh banyak laki-laki, yaitu mereka ini
20
disebut wanita tuna susila. Di depan rumah-rumah mereka dipasang bendera. Siapa yang mau boleh masuk. Bila salah seorang diantaranya ada yang hamil, semua laki-laki yang pernah datang padanya berkumpul dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti anak siapa dia, lalu diberikanlah kepada laki-laki yang serupa dengannya dan tidak boleh menolak. Sesudah Nabi Muhammad SAW menjadi Rasul, semua bentuk perkawinan tersebut dihapuskan, kecuali kawin pinang saja. Perkawinan yang masih tetap dilaksanakan oleh Islam ini hanya sah, bilamana rukunrukunnya, seperti ijab kabul dan kehadiran para saksi dipenuhi. Dengan terpenuhinya rukun-rukunnya, maka akad yang menghalalkan suami isteri hidup bersenang-senang sebagaimana ditentukan Islam menjadi sah. Dan selanjutnya masing-masing isteri punya tanggung jawab dan hak-hak yang lazim. (Sabiq, 1980:9). Dalam hukum Islam juga dikenal dengan adanya larangan perkawinan. Adapun larangan tersebut yaitu seorang laki-laki dilarang menikah dengan seorang perempuan dalam arti jika terjadi hal tersebut, maka nikahnya batal apabila: karena adanya hubungan mahram antara laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh: kerabat dekat, hubungan sesusuan, hubungan persemendaan, tidak terpenuhinya rukun nikah, terjadinya murtad bagi yang beragama Islam. (Depag, 2005:17).
21
B. Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Sebagaimana disebutkan pada bab II tentang dasar-dasar perkawinan
dalam
Kompilasi
Hukum
Islam
tentang
pengertian
perkawinan, yaitu sebagai berikut: Pasal 2 Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Pasal 3 Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Pasal 4 Perkawinan adalah sah, apabila dilakukkan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
2. Syarat dan Rukun Perkawinan Adapun syarat dan rukun perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tertera dalam bab IV tentang rukun dan syarat perkawinan, bagian kesatu, sebagai berikut: Pasal 14 Untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. Calon suami; b. Calon isteri; c. Wali Nikah; d. Dua orang saksi dan; e. Ijab dan Kabul; Bagian kedua tentang calon mempelai Pasal 15 (1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang N0. 1
22
(2)
(1) (2)
(1)
(2)
3.
tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) UU No. 1 Tahun 1974. Pasal 16 Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai, Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Pasal 17 Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Peencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah. Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan. Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti. Pasal 18 Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.
Hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan Adapun tentang batalnya perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada bab XI tentang batalnya perkawinan, yaitu: Pasal 70 Perkawinan batal apabila: a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj‟i; b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili‟annya; c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba‟da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya; d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai sederajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No. 1 Tahun 1974, yaitu:
23
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas, 2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya. 3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri, 4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesususan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya. Pasal 71 Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila: a. Seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama; b. Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud, c. Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah suami lain; d. Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974; e. Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak; f. Perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan. Pasal 72 (1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau bersalah sangka itu menyadari keadannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami atau isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 73 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang;
24
d. Para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67. Pasal 74 (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan. (2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Pasal 75 Keputusan Pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap: a. Perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad; b. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber‟itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pasal 76 Batalnya perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya. C. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan 1. Pengertian Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada bab I tentang dasar perkawinan,
menyebutkan pengertian
perkawinan, sebagai berikut: Pasal 1 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
25
2. Syarat dan Rukun Perkawinan Dalam Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya menyebutkan syarat-syarat perkawinan tanpa menyebutkan adanya rukun perkawinan. Adapun syarat-syarat perkawinan tersebut, seperti yang tercantum dalam bab II tentang syarat-syarat perkawinan, sebagai berikut:
1) 2)
3)
4)
5)
6)
1)
2)
Pasal 6 Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan, lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4), pasal ini atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 7 Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (Sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
26
3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6). Pasal 8 Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; b. Berhubungan darah, dalam garis keturunan menyamping yang antar saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi atau paman susuan; e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang; f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pasal 9 Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal tersebut pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 10 Apabila suami atau isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Pasal 11 1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. 2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintahan lebih lanjut. Pasal 12 Tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. 3. Hal-hal yang dapat membatalkan perkawinan Perkawinan dapat dibatalkan apabila setelah berlangsung akad nikah, diketahui adanya larangan menurut hukum ataupun peraturan Perundang-undangan tentang perkawinan.
27
Dalam
Undang-Undang
Nomor.
1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan, pada bab IV tentang batalnya perkawinan, disebutkan bahwa: Pasal 22 Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal 23 Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undangundang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pasal 24 Barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini. Pasal 25 Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Pasal 26 1) Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh dua orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa suami atau isteri. 2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Pasal 27 1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
28
2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. 3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Pasal 28 1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. 2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap: a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. Suami atau isteri yang bertindak dengan i‟tikad baik kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu; c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan i‟tikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB III PENGADILAN AGAMA BOYOLALI DAN KASUS PEMBATALAN PERKAWINAN
A. Gambaran umum tentang Pengadilan Agama Boyolali 1.
Profil Pengadilan Agama Boyolali
Pengadilan Agama Boyolali yang beralamat di Jl.Pandanaran Nomor 167 Telp. (0276) 321014 Fax. (0276) 321599 http: // www.paboyolali.go.id email:
[email protected]. Boyolali 57311, Jawa Tengah, Indonesia. Secara Geografis Kabupaten Boyolali berada di bagian tenggara lereng gunung Merapi atau secara administrasi (kewilayahan ) Pengadilan Agama Boyolali berbatasan sebagai berikut :
29
30
a. Sebelah Barat
:Kabupaten Magelang
b. Sebelah Utara
:Kabupaten Semarang dan Purwodadi
c. Sebelah Timur
:Kabupaten Sukoharjo, Karanganyar, Sragen
d. Sebelah Selatan
:Kabupaten Klaten dan Sukoharjo.
Dengan luas wilayah 1.015 Km letak geografis dan secara astronomis Pengadilan Agama Boyolali terletak pada titik koordinat : a. 70 28‟ Lintang Selatan b. 1070 48‟ Bujur Timur (http://www.pa-boyolali.go.id/index.php/profil-pa-boyolali). 2. Sejarah Pengadilan Agama Boyolali Peradilan agama adalah proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam kepada orang Islam yang mencari keadilan di Pengadilan Agama dan Peradilan Tinggi Agama, dalam sistem peradilan nasional di Indonesia. Selain itu, peradilan umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman dalam Negara Republik Indonesia. Lembaga peradilan dimaksud, mempunyai kedudukan yang sama, sederajat dengan kewenangan yang berbeda. Sebagai lembaga peradilan, Peradilan Agama mempunyai bentuk yang sederhana, yaitu berupa tahkim, yang artinya: suatu lembaga penyelesaian sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan oleh para ahli Agama Islam.
31
Rancangan Undang-undang Peradilan Agama disahkan tanggal 29 Desember 1989 oleh Presiden Republik Indonesia menjadi Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diundangkan pada tanggal yang sama oleh Menteri Sekretaris Negara dan dimuat dalam Lembaran Negara Nomor 49 Tahun 1989. Pengesahan Undang-Undang Peradilan Agama merupakan peristiwa penting yang bukan hanya pembangunan perangkat hukum nasional, melainkan juga bagi umat Islam Indonesia. Sebabnya adalah Peradilan Agama menjadi lebih mantap kedudukannya sebagai salah satu badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri di Indonesia; menegakkan hukum Islam bagi pencari keadilan, utamanya bagi mereka yang beragama Islam berkenaan dengan perkara keperdataan di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, dan sedekah. Undang-Undang Peradilan Agama yang telah disahkan dan diundangkan itu terdiri atas 7 bab, 108 pasal dengan sistematika dan garisgaris besar isinya, sebagai berikut: Bab I tentang ketentuan Umum. Hal ini mengatur diantaranya: Peradilan Agama adalah peradilan bagi orangorang yang beragama Islam, terdiri atas (a) Pengadilan Agama Pengadilan tingkat Pertama dan (b) Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat
banding.
Kedua-duanya
merupakan
pelaksana
kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara
perdata
dimaksud,
Pengadilan
Agama
berkedudukan
di
Kotamadya atau di Ibu kota Kabupaten, sedangkan Pengadilan Tinggi
32
Agama berkedudukan di Ibu kota provinsi. Kedua-duanya berpuncak pada Mahkamah Agung, dibawah pimpinan Ketua Muda Mahkamah Agung dibidang
Lingkungan
Peradilan
Agama.
Pembinaan
organisasi,
administrasi dan keuangannya seperti halnya dengan badan peradilan lain, dilakukan oleh Departemen Teknis, yaitu Departemen Agama yang dipimpin Oleh Menteri Agama. Bab II sampai Bab III mengatur susunan dan kekuasaan Peradilan Agama, diantaranya disebutkan bahwa bagian pertama atau bagian umum menyebut susunan Pengadilan Agama yang terdiri atas pimpinan, yaitu seorang ketua dan seorang wakil ketua, hakim anggota, panitera, sekretaris dan juru sita. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri atas pimpinan, yaitu seorang ketua dan seorang wakil ketua, hakim tinggi. Bab IV mengatur hukum acara Peradilan Agama, Bab V mengatur tentang ketentuan- ketentuan lain, Bab VI mengatur tentang ketentuan peralihan, Bab VII tentang penutup (sekarang ada Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama). (Ali, 2006:93). Masa sebelum tahun 1882, sebelum Islam datang ke Indonesia, di Indonesia telah ada dua macam Peradilan yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Padu.
Peradilan Perdata mengurus perkara-perkara yang
menjadi urusan raja, sedang Peradilan Padu mengurusi perkara-perkara yang bukan menjadi urusan raja. (Djalil, 2006:32).
33
Dilihat dari segi materi hukumnya, Peradilan Perdata bersumber pada hukum Hindu, sedangkan Peradilan Padu berdasarkan pada hukum Indonesia asli. Kedua pengadilan tersebut juga berbeda lingkungan kekuasaannya. Aturan-aturan Hukum Perdata bersumber pada kitab hukum, sehingga menjadi hukum tertulis sedangkan hukum padu bersumber pada hukum kebiasaan dalam praktek sehari-hari, sehingga merupakan hukum tidak tertulis. (Djalil, 2006:33). Periode berikutnya disebut periode tauliah dari Imam, yaitu suatu masa dimana seorang hakim diangkat oleh Imam atau Sultan. Dimana hakim tersebut disebut Wali al-amr. Periode ini dimulai ketika Islam datang dan diterima oleh raja-raja seperti pada kerajaan Mataram. Pada periode ini hampir di semua Swapraja Islam, jabatan keagamaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan jabatan pemerintahan umum. Misalnya ditingkat desa ada jabatan kaum, amil, modin, kaim (sekarang disebut kepala desa, carik, bayan dan kaur). Kemudian di tingkat kecamatan ada Penghulu dan Naib. Sementara di tingkat kabupaten ada Penghulu seda. Pada pusat Kerajaan Mataram, dilingkungan kerajaan terdapat Kanjeng Penghulu atau Penghulu Agung yang berfungsi sebagai Hakim pada Mejelis Pengadilan Agama saat itu. (Sy, 2005:13). Dengan demikian pada saat itu pola masyarakat Kerajaan Mataram telah ada Majelis Agama yang bertugas menyelesaikan sengketa antar umat Islam di bidang tertentu dan peranan Hakim dipegang oleh seorang
34
Penghulu, baik Penghulu Kabupeten (untuk tingkat Kabupaten) dan Penghulu Agung (untuk tingkat Kerajaan). Masa penjajahan Belanda, secara yuridis formal, Peradilan Agama sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa dan Madura) pada tanggal 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan keputusan raja Belanda (Konninklijk Besluit), yakni Raja Willem III Pada tanggal 19 Januari 1882 Nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad Nomor 152. Di mana ditetapkan satu peraturan tentang Peradilan Agama dengan nama “Piesterraden”untuk Jawa dan Madura. Badan peradilan ini yang kemudian lazim disebut dengan Raad agama dan terakhir dengan Pengadilan Agama. Keputusan raja Belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 yang dimuat dalam Staatsblad 1882 Nomor 152, sehingga tanggal kelahiran Peradilan Agama di Indonesia adalah tanggal 1 Agustus 1882. (Djalil, 2006:50). Kemudian berdasarkan Staatsblad 1937 Nomor 116 Pasal 2a ayat (1) yang berlaku tanggal 1 April 1937, maka kompetensi Peradilan Agama menjadi lebih sempit, sehingga hanya terbatas dalam bidang-bidang: a. Persilisihan antara suami isteri yang beragama Islam. b. Perkara-perkara tentang nikah, talak, rujuk dan perceraian antara orang-orang yang beragama Islam yang memerlukan perantaraan Hakim Agama (Islam). c. Memberi putusan perceraian.
35
d. Menyatakan bahwa syarat untuk jatuhnya talak yang digantungkan (taklik talak) sudah ada. e. Perkara mahar (mas kawin ), sudah termasuk mut‟ah. f. Perkara tentang keperluan kehidupan suami isteri yang wajib diadakan oleh suami. (Djalil, 2006:58). Masa Penjajahan Jepang Pada masa ini, Pengadilan Agama tetap dipertahankan berdasarkan Paraturan Peralihan Pasal 4 Undang-Undang Bala Tentara Jepang (Osamu Saire) tanggal 7 Maret 1942 Nomor 1 yang menyatakan bahwa Pengadilan Agama masuk dalam Departemen Kehakiman (Shihobu) dari Gunseilanbu (nama kabinet waktu itu) dan disebut degan istilah Sooriyo Hooin (Pengadilan Agama dalam istilah Jepang). (Djalil, 2006:60). Pada masa ini melalui proses penelusuran sejarah dapat diketahui administrasi dari Pengadilan Agama seperti Ketua, Mejelis dan karyawan yang membantu dalam proses persidangan. Masa kemerdekaan (1945-1949). Dalam rentang waktu 4 tahun sejak proklamasi kemerdekaan RI, ada tiga hal yang dapat diungkapkan yang terkait langsung dengan keberadaan Peradilan Agama di Indonesia. Pertama, berkaitan dengan penyerahan kepada kementerian agama, kedua, lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 tentang pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. ketiga, lahirnya Undang-Undang Nomor 19 tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Badan Kehakiman (Zuhriah, 2009:101).
dan Kejaksaan.
36
Selanjutnya pada tahun 1949, ketua Pengadilan Agama Boyolali dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1955 adalah Ky.Djamaluddin. Kantor Pengadilan Agama Boyolali pada awalnya menempati gedung Departemen Agama yang terletak di Jalan Pandanaran No 67 Boyolali. Perkara yang ditangani oleh Pengadilan Agama Boyolali masih sedikit karena masih banyak perceraian (Cerai Talak) yang dijatuhkan oleh suami tidak dilakukan di muka persidangan Pengadilan Agama Boyolali, namun setelah lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berlaku secara efektif, dan sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 maka tugas-tugas Pengadilan Agama menjadi semakin bertambah, perkara-perkara perkawinan diatur dengan jelas, sehingga volume perkara yang diterima di Pengadilan Agama Boyolali meningkat. Pada tahun 1976-1980 Pengadilan Agama Boyolali dipimpin oleh Drs. Ahmad Slamet. Pada tahun-tahun tersebut telah memiliki gedung tersendiri seluas 348 m², yang terletak di Jl. Printis Kemerdekaan Boyolali, dibangun diatas tanah seluas 546 m² dari Pemerintah Daerah Kabupaten Boyolali atau tanah hak milik Negara dengan status hak pakai sebagaimana dalam seftifikat Hak Pakai Nomor : 12 tahun 1987. Pada bulan Juni 2004, Pasca satu atap pengadilan dibawah lembaga Mahkamah Agung, lembaga Peradilan Agama mengalami kemajuan yang signifikan, saat itu yang menjabat Ketua Pengadilan Agama Boyolali
37
Drs.H.Syadzali Musthofa,SH (Tahun 2003-2007), Mahkamah Agung Republik Indonesia terus berupaya untuk meningkatkan citra Peradilan yang lebih berwibawa dan bermartabat, baik dari segi sarana dan prasarana maupun kualitas sumber daya manusia (SDM). Berdasarkan Surat Kepala Badan Urusan Administrasi MA-RI Nomor 42/BUA-PLSKEP/XII/2006, tanggal 12 Desember 2006 kemudian ditindak lanjuti dengan penandatanganan Berita Acara Serah Terima Gedung lama Pengadilan Negeri Boyolali yang terletak di Jalan Pandanaran No. 167 Boyolali kepada Pengadilan Agama Boyolali pada tanggal 19 September 2007. Dan Tahun 2007 melalui DIPA PTA Jawa Tengah gedung lama Pengadilan Negeri Boyolali tersebut direnovasi dan selesai pada bulan Desember 2007 saat itu yang menjabat Ketua Pengadilan Agama Boyolali adalah Drs.H.Noor Salim, SH., MH. Dan secara resmi Pengadilan Agama Boyolali berkantor digedung tersebut sejak bulan Pebruari 2008 sampai sekarang. (http://www.pa-boyolali.go.id/index.php/sejarah-paboyolali). 3. Kewenangan Pengadilan Agama Boyolali Kewenangan peradilan dapat di bedakan menjadi dua, yaitu kewenangan absolut (absolute competentie) dan kewenangan relatif (relative competentie). Kewenangan absolut
adalah kewenangan pengadilan untuk
mengadili berdasarkan materi hukum (hukum materiil). Kekuasaan absolut Peradilan Agama disebut dalam Pasal 49 Undang-Undang No. 7 Tahun
38
1989 tentang Peradilan Agama yang telah diamandemen dengan UndangUndang No. 3 Tahun 2006 dengan perubahan kedua Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, yang berbunyi: Pasal 49 Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. b. c. d. e. f. g. h. i.
Perkawinan; Kewarisan, wasiat hibah wakaf zakat infak sedekah, dan ekonomi syariah
Kewenangan dan kekuasaan di bidang perkawinan, adalah hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan antara lain: a. izin beristeri lebih dari seorang (Pasal 3 Ayat 2) b. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat (Pasal 6 Ayat 5 c. dispensasi kawin (Pasal 7 Ayat 2) d. pencegahan perkawinan (Pasal 17 Ayat 1) e. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah (Pasal 21 Ayat 3) f. gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau istri (Pasal 34 Ayat 3) g. perceraian karena talak (Pasal 39)
39
h. gugatan perceraian (Pasal 40 Ayat 1) i.
penyelesaian harta bersama (Pasal 37)
j.
ibu dapat memikul biaya penghidupan anak bila bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya (Pasal 41 sub b)
k. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri (Pasal 41 sub c) l.
putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak (Pasal 44 Ayat 2)
m. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua (Pasal 49 Ayat 1) n. pencabutan kekuasaan wali (Pasal 53 Ayat 2) o. penunjukan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan Agama dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut (Pasal 53 Ayat 2) p. menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukkan wali oleh orang tuanya; q. pembebanan
kewajiban
kerugian
terhadap
wali
yang
telah
menyebabkan kerugian atas anak yang ada di bawah kekuasaannya (Pasal 54) r. penetapan asal usul anak (Pasal 55 Ayat 2) s. keputusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur (Pasal 60 Ayat 3)
40
t. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dijalankan menurut peraturan yang lain (Pasal 64) u. bidang kewarisan yang menjadi tugas dan wewenang Peradilan Agama disebutkan dalam Pasal 49 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagai berikut: 1) penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris 2) penentuan mengenai harta peninggalan 3) penentuan masing-masing ahli waris 4) melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut Kewenangan absolut Mahkamah Syar‟iyah dan Mahkamah Syar‟iyah Provinsi adalah Kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Tertinggi Agama, ditambah dengan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah syiar Islam yang ditetapkan dalam Qanun. Kewenangan lain tersebut dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam kerangka sistem peradilan nasional. (Sy, 2005:11). Kewenangan relatif adalah kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah. Kewenangan relatif Pengadilan Agama sesuai dengan tempat dan kedudukannya. Pengadilan Agama berkedudukan di kota atau
41
kabupaten. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi. (Sy, 2005:11). Dalam rangka menentukan kompetensi relatif setiap Pengadilan Agama dasar hukumnya adalah berpedoman pada ketentuan UndangUndang Hukum Acara Perdata. Dalam Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 menjelaskan bahwa acara berlakunya pada lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada lingkungan Peradilan Umum. Oleh karena itu, landasan untuk menentukan kewenangan relatif Pengadilan Agama merujuk pada ketentuan Pasal 118 HIR. Atau Pasal 142 R.Bg.jo Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. Penentuan kompetensi relatif ini bertitik tolak dari aturan yang menetapkan ke Pengadilan Agama mana gugatan memenuhi syarat formal. Pasal 118 ayat (1) HIR. Menganut asas bahwa yang berwenang adalah pengadilan tempat kediaman tergugat. Asas ini dalam bahasa latin disebut ”actor sequiter forum rei”. Namun ada beberapa pengecualian, yaitu tercantum dalam Pasal 118 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4), yaitu: a. apabila tergugat lebih dari satu, maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman salah seorang dari tergugat b. apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, maka gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat tinggal penggugat
42
c. apabila gugatan mengenai benda tidak bergerak, maka gugatan diajukan kepada pengadilan di wilayah hukum
di mana barang
tersebut terletak d. apabila ada tempat tinggal yang dipilih dengan suatu akad, maka gugatan dapat diajukan kepada pengadilan tempat tinggal yang dipilih dalam akta tersebut. Tentang kompetensi relatif perkara cerai talak dan cerai gugat dapat dijelaskan sebagai berikut: untuk kedua istilah ini, biasanya di dalam perkara peradilan disebut dengan permohonan talak dan gugat cerai. Untuk permohonan talak tersebut cerai talak, diajukan oleh pihak suami sedang untuk gugat cerai, istilah ini dibalik menjadi cerai gugat, diajukan oleh pihak isteri. (Zuhriah, 2009:200). 4. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Boyolali
43
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Boyolali
(http://www.pa-boyolali.go.id/index.php/struktur). 5. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan Agama Boyolali
44
Peradilan Agama sebagai salah satu dari lingkungan lembaga peradilan di Mahkamah Agung memiliki beberapa tugas, sebagai berikut:
a. Tugas yustisial merupakan tugas pokok, inti dari tugas ini adalah menegakkan hukum dan keadilan. Realisasi pelaksanaan tugasnya dalam bentuk mengadili apabila terjadi sengketa, pelanggaran hukum atau perbedaan kepentingan antara sesama warga masyarakat (perseorangan atau badan hukum). b. Tugas non yustisial merupakan tugas yang diemban oleh Pengadilan Agama yang tidak terkait dengan teknis litigasi di Pengadilan Agama. Adapun contoh mengenai tugas yang sifatnya non yustisial antara lain: 1) Memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada lembaga yang memerlukannya (atas permintaan yang bersangkutan). 2) Memberi pertolongan kepada masyarakat Islam yang memerlukan pertolongan atau bantuan hukum dalam pembagian harta peninggalan (warisan) di luar sengketa. Produknya bukan putusan sehingga tidak mengikat bagi masyarakat (ahli waris) yang memintanya. (Anshori, 2007:67).
Untuk melaksanakan tugas pokok, Pengadilan Agama mempunyai fungsi sebagai berikut : a. Memberikan pelayanan Teknis Yustisial dan Bidang Kepaniteraan.
45
b. Memberikan pelayanan di bidang administrasi perkara Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali serta Administrasi Peradilan lainnya. c. Memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat hukum Islam pada instansi Pemerintah di daerah hukumnya. d. Memberikan pelayanan administrasi umum (Umum, Kepegawaian dan Keuangan). e. Melakukan tugas-tugas lain, seperti penyuluhan hukum, Hisab Rukyat, Pelayanan Publik, Pelayanan Penelitian atau Riset, dan lain sebagainya. (Laporan tahunan Pengadilan Agama Boyolali, 2011: 5). Peta Yuridiksi Pengadilan Agama Boyolali
46
Wilayah yuridiksi Pengadilan Agama Boyolali Kabupaten Boyolali terletak pada arah selatan dari Kota Semarang dengan jarak tempuh sepanjang 70 Km, yang terdiri dari 12 kecamatan dan 150 desa. Adapun data wilayah hukum Pengadilan Agama Boyolali yang terdiri dari 19 kecamatan terdiri 261 Desa dan 3 Kelurahan terdapat pada lampiran.
B. Prosedur beracara di Pengadilan Agama Boyolali Adapun tata cara berperkara di Pengadilan Agama Boyolali adalah sebagai berikut: 1. Pihak berperkara datang ke Pengadilan Agama dengan membawa surat gugatan atau permohonan. 2. Pihak berperkara menghadap petugas meja pertama dan menyerahkan surat gugatan atau permohonan, minimal 2 (dua) rangkap. Untuk surat gugatan ditambah sejumlah tergugat. 3. Petugas pertama (dapat) memberikan penjelasan yang dianggap perlu berkenaan dengan perkara yang diajukan dan menaksir panjar biaya perkara yang kemudian ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Besarnya panjar biaya perkara diperkirakan harus telah mencukupi untuk menyelesaikan perkara tersebut didasarkan pada pasal 182 ayat (1) HIR atau pasal 90 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
47
Catatan: a. Bagi yang tidak mampu dapat diijinkan berperkara secara prodeo (cuma-cuma).
Ketidakmampuan
tersebut
dibuktikan
dengan
melampirkan surat keterangan dari Lurah atau Kepala Desa setempat yang dilegalisir oleh camat. b. Bagi yang tidak mampu maka panjar biaya ditaksir Rp. 0.00 dan ditulis dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Didasarkan pasal 237245 HIR. c. Dalam tingkat pertama, para pihak yang tidak mampu atau berperkara secara prodeo. Perkara secara prodeo ini ditulis dalam surat gugatan atau permohonan disebutkan alasan penggugat atau pemohon untuk berperkara secara prodeo dan dalam petitumnya. 4. Petugas Meja Pertama menyerahkan kembali surat gugatan atau permohonan kepada pihak berperkara disertai dengan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dalam rangkap 3 (tiga). 5. Pihak berperkara menyerahkan kepada pemegang kas (KASIR) surat gugatan atau permohonan tersebut dan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). 6. Pemegang kas menandatangani Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) membubuhkan nomor urut perkara dan tanggal penerimaan dalam Surat Kuasa untuk membayar (SKUM) dan dalam surat gugatan atau permohonan.
48
7. Pemegang kas menyerahkan asli Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) kepada pihak berperkara sebagai dasar penyetoran panjar biaya perkara ke bank. 8. Pihak berperkara datang ke loket layanan bank dan mengisi slip penyerotan panjar biaya perkara. Pengisian data dalam slip bank tersebut sesuai degan Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM). Seperti nomor urut dan besarnya biaya penyetoran. Kemudian pihak berperkara menyerahkan slip bank yang telah diisi dan menyetorkan uang sebesar yang tertera dalam slip bank tersebut. 9. Setelah pihak berperkara menerima slip yang telah validasi dari petugas layanan bank. Pihak berperkara menunjukkan slip bank tersebut dan menyerahkan Surat Kuasa Untuk Mebayar (SKUM) kepada pemegang kas. 10. Pemegang kas setelah meneliti slip bank kemudian menyerahkan kepada pihak berpekara. Pemegang kas kemudian memberi tanda dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) dan menyerahkan kembali kepada pihak berperkara asli dan tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) serta surat gugatan atau permohonan yang bersangkutan. 11. Pihak berperkara menyerahkan kepada meja kedua surat gugatan atau permohonan sebanyak jumlah tergugat ditambah (2) rangkap serta tindasan pertama Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM) 12. Petugas Meja Kedua mendaftar atau mencatat surat gugatan atau permohonan dalam register bersangkutan serta memberi nomor register
49
pada surat gugatan atau permohonan tersebut yang diambil dari nomor pendaftaran yang diberikan oleh pemegang kas. 13. Petugas Meja Kedua menyerahkan Kembali 1 (satu) rangkap surat gugatan atau permohonan yang telah register kepada pihak berperkara. 14. Pendaftaran selesai 15. Pihak-pihak yang berperkara akan dipanggil jurusita pengganti untuk menghadap ke persidangan setelah ditetapkan Susunan Hakim (PMH) dan hari
sidang
pemeriksaan
perkaranya
(PHS).
(Http://www.Pa-
boyolali.Go.Id/index.Php/proses-perkara).
C. Kasus Pembatalan perkawinan di Pengadilan Agama Boyolali Pasal 22 UU No. 1/1974 menyatakan bahwa perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Namun demikian, perkawinan yang tidak memenuhi syarat tidak dengan sendirinya menjadi batal, melainkan harus diputuskan oleh Pengadilan Pasal 37 PP No. 9/1975 menegaskan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan. Hal ini mengingat bahwa pembatalan suatu perkawinan dapat membawa akibat yang jauh lebih baik terhadap suami isteri maupun
terhadap keluarga. Maka
ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindarkan terjadinya pembatalan suatu perkawinan oleh instansi di luar Pengadilan. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian. Hal-hal yang
50
berhubungan dengan pengadilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 sampai 35 PP No. 9/1975, yaitu tentang tata cara penyelesaian gugatan perceraian (Pasal 38 PP No. 9/1975). Tata cara penyelesaian pembatalan perkawinan dilakukan sebagai berikut: 1. Hanya pengadilan yang berwenang menetapkan batalnya perkawinan. a. Batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan (Pasal 37 PP No. 9/1975). b. Instansi pemerintah atau lembaga lain di luar Pengadilan atau siapapun juga tidak berwenang untuk menyatakan batalnya suatu perkawinan. 2. Gugatan pembatalan perkawinan Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan balum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk, jaksa dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. 3. Gugatan pembatalan perkawinan harus memuat: a. Identitas para pihak dalam perkara. b. Posita yang memuat alasan-alasan pembatalan perkawinan. c. Petitum.
51
Suami dan isteri yang perkawinannya menjadi objek sengketa pembatalan perkawinan, maka berkedudukan sebagai Tergugat I dan Tergugat II, kecuali jika ia sendiri menjadi penggugat. 4. Alasan-alasan pembatalan perkawinan ialah sebagaimana diatur dalam Pasal 70, 71 dan 72 Kompilasi Hukum Islam, sebagai berikut: Perkawinan batal apabila: a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai 4 (empat) orang isteri, meskipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam „iddah talak raj‟i. b. Seseorang menikahi bekas isterinya yang telah dili‟annya. c. Seseorang menikahi bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‟da dhukul dari pria tersebut dan telah habis masa iddahnya. d. Perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda atau sesusuan sampai derajat
tertentu yang
menghalangi sahnya perkawinan menurut Pasal 8 UU No. 9/1974, yaitu: 1) Berhubungan darah dalam keturunan lurus ke atas dan ke bawah. 2) Berhubungan darah dalam keturunan menyamping yaitu antara saudara dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
52
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri. 4) Berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan dan bibi atau paman sesusuan. e. Isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya. Suatu Perkawinan dapat dibatalkan apabila: 1) Seorang suami melakukan poligami tanpa ijin Pengadilan Agama. 2) Perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud. 3) Perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah suami lain. 4) Perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang No. 1/1974. 5) Perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak. 6) Perkawinan dilaksanakan dengan paksaan. 7) Seorang
suami atau
isteri dapat
mengajukan pembatalan
perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 8) Seorang
suami atau
isteri dapat
mengajukan pembatalan
perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
53
9) Apabila ancaman telah berbunyi, atau yang bersalahsangka itu telah menyadari keadaannya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah ia masih hidup sebagai suami isteri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan pembatalan, maka haknya gugur. 5. Kewenangan relatif Pengadilan Agama a. Gugatan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat: di mana perkawinan dilangsungkan, di tempat tinggal kedua suami isteri, di tempat tinggal suami, atau di tempat tinggal isteri b. Yang paling tepat ialah diajukan kepada Pengadilan Agama di mana perkawinan dilangsungkan, atau ditempat tinggal suami dan isteri tersebut (Yurisprudensi). 6. Pemanggilan Tatacara pemanggilan sama seperti pemanggilan dalam perkara cerai gugat. 7. Pemeriksaan Tatacara pemeriksaan sama seperti pemeriksaan dalam perkara cerai gugat. 8. Upaya damai Upaya perdamaian sama seperti dalam perkara cerai gugat.
54
9. Pembuktian Pembuktian dilakukan menurut hukum pembuktian dalam hukum acara khusus, sama dengan pembuktian dalam perceraian. 10. Putusan hakim a. Pengadilan agama setelah memeriksa pembatalan perkawinan dan berkesimpulan bahwa perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat perkawinan yang berakibat batalnya perkawinan, maka Pengadilan Agama menjatuhkan “Putusan” yang isinya “menetapkan perkawinan batal demi hukum” atau “membatalkan perkawinan tersebut”. b. Terhadap putusan tersebut dapat dimintakan banding atau kasasi. 11. Biaya perkara Biaya perkara dibebankan kepada penggugat. 12. Berlakunya putusan hakim Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum tetap dan berlaku sejak berlangsungnya perkawinan (pasal 28 ayat (1) UU No. 1/1974). 13. Salinan putusan sebagai bukti Sebagai bukti batalnya perkawinan, para pihak dapat meminta salinan putusan yang telah diberi catatan bahwa putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
55
14. Pengiriman salinan putusan Pengiriman salinan putusan pembatalan perkawinan, dilakukan sama seperti dalam perkara cerai gugat. ( Arto, 1998:231). Kasus di Pengadilan Agama Boyolali hanya terdapat satu perkara pembatalan perkawinan yang disebabkan karena hamil di luar nikah. Adapun perkara pembatalan perkawinan yang lain disebabkan karena adanya paksaan dari orang tua dan adanya pemalsuan data serta ada pula yang karena umur pihak suami atau isteri yang belum mencapai batas yang dibolehkan yaitu batas yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dimana untuk perempuan batas minimal 16 tahun dan untuk laki-laki batas minimalnya adalah 19 tahun. Adapun dengan alasan lain dalam pembatalan perkawinan diantaranya karena suami tidak mampu memberi nafkah secara batin.
D. Putusan Pengadilan Agama Boyolali No. 0886/Pdt.G/2010/PA.Bi Tentang Pembatalan Perkawinan Karena Hamil Di Luar Nikah Pengadilan Agama Boyolali yang memeriksa dan mengadili perkara perdata pada tingkat Pertama telah menjatuhkan putusan perkara Pembatalan Nikah yang diajukan Oleh: D bin W S
56
Umur 34 tahun, Pekerjaan Tani, Agama Islam, bertempat tinggal di Dukuh Kidul Sendang Rt. 02 Rw. 01, Desa Bangsalan, Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali, selanjutnya disebut sebagai PEMOHON. MELAWAN
S binti S M Umur 29 tahun, Pekerjaan Buruh Pabrik, Agama Islam, bertempat tinggal di Dukuh Nepen Rt. 03 Rw. 02 Desa Nepen Kecamatan Teras Kabupaten Boyolali, selanjutnya disebut sebagai TERMOHON. Pengadilan Agama tersebut Setelah membaca semua surat yang bersangkutan Setelah mendengar dan memperhatikan alat-alat bukti Pemohon dan Termohon TENTANG DUDUK PERKARANYA Menimbang, bahwa pemohon telah mengajukan permohonannya bertanggal 6 September 2010 yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Agama Boyolali pada tanggal 6 September 2010, dalam register perkara Nomor: 886/Pdt.G/2010/PA.Bi. adalah sebagai berikut:
57
1. Bahwa,
tanggal
08
Agustus
2010,
Pemohon dan Termohon
melangsungkan pernikahan yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan
Agama
Kecamatan
Teras,
Kabupaten
Boyolali
sebagaimana dalam kutipan Akta Nikah Nomor: 265/10/VIII/2010 tanggal 08 Agustus 2010. 2. Bahwa, pada saat pernikahan berlangsung di rumah orang tua Termohon, Pemohon tidak diberi tahu tentang keadaan Termohon oleh keluarga Termohon maupun Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama
Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali. 3. Bahwa, setelah pernikahan tersebut Pemohon dan Termohon pernah bertempat tinggal bersama selama 2 hari di rumah pribadi Pemohon namun pada saat itu Pemohon mau mengajak hubungan layaknya suami isteri ternyata Termohon dalam keadaan sudah hamil 5 bulanan. 4. Bahwa, setelah Pemohon mengetahui Termohon hamil kemudian sore harinya Pemohon mengembalikan Termohon kepada orang tua Termohon. 5. Bahwa oleh karena itu, pernikahan antara Pemohon dan Termohon telah melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, karena Termohon sebelum menikah dengan Pemohon sudah melakukan hubungan layaknya suami isteri dengan orang lain sampai Termohon hamil. 6. Pemohon sanggup membayar seluruh biaya yang timbul akibat perkara ini;
58
Berdasarkan alas an atau dalil-dalil diatas, Pemohon mohon agar Ketua Pengadilan Agama Boyolali cq. Majelis Hakim segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan amarnya berbunyi: 1. Mengabulkan Permohonan Termohon. 2. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Pemohon D bin W S dengan termohon S binti S M yang dilangsungkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali pada tanggal 08 Agustus 2010. 3. Menetapkan biaya perkara menurut hukum. 4. Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya. Menimbang, bahwa pada hari-hari sidang yang ditetapkan, Pemohon hadir sendiri menghadap dipersidangan, sedangkan Termohon tidak hadir menghadap atau menyuruh orang lain menghadap sebagai wakilnya meskipun Pengadilan telah memanggilnya dengan cara resmi dan patut dan ketidak hadirannya tersebut tidak disebabkan oleh sesuatu halangan yang sah. Menimbang, bahwa majelis Hakim telah menasehati Pemohon agar dapat berdamai dan rukun kembali dengan Termohon akan tetapi tidak berhasil. Menimbang,
bahwa
pemeriksaan
perkara
dilanjutkan
dengan
membacakan surat permohonan pemohon, terhadap hal tersebut Pemohon menyatakan tetap pada permohonannya dan tidak mengadakan perubahan atau tambahan.
59
Menimbang, bahwa dalam meneguhkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan alat-alat bukti berupa: 1.
Surat 1.1. Fotocopy Kartu Tanda Penduduk Nomor : 3309072812770001 (kode P.1). 1.2. Fotocopy Duplikat Kutipan Akta Nikah Nomor : 265/10/VIII/2010 (kode P.2).
2.
Saksi-saksi dibawah sumpah adalah: 2.1. H bin Y S, Menerangkan sebagai berikut: -
Bahwa, saksi mengaku kenal dengan Pemohon dan Termohon karena saksi adalah ipar Pemohon.
-
Bahwa, Pemohon dan Termohon adalah suami isteri, telah pernah hidup rukun selama beberapa hari dan belum dikarunia anak.
-
Bahwa, sepengetahuan saksi Termohon telah hamil dengan orang orang lain sebelum menikah dengan Pemohon, hal ini saksi ketahui dari Pengakuan Termohon sendiri dan waktu mau menikah Pemohon dan saksi juga tidak mengetahui kalau termohon telah hamil dengan lelaki lain dan saksi sendiri yang melamar Termohon.
-
Bahwa, setelah menikah Termohon tidak mau diajak kerumah orang tua Pemohon, karena ketahuan hamil sebelum menikah dengan Pemohon.
60
-
Bahwa, saksi telah pernah menasehati Pemohon, namun Pemohon tetap ingin membatalkan Perkawinannya dengan Termohon, karena merasa ditipu oleh Termohon.
2.2. S bin J, Menerangkan sebagai berikut: -
Bahwa, saksi adalah saudara sepupu Pemohon, jadi mengenal Pemohon dan termohon.
-
Bahwa, Pemohon dan Termohon adalah suami isteri, telah pernah hidup rukun selama beberapa hari dan belum dikarunia anak.
-
Bahwa, sepengetahuan saksi Termohon telah hamil dengan orang orang lain sebelum menikah dengan Pemohon, hal ini saksi ketahui dari Pengakuan Termohon sendiri dan waktu mau menikah Pemohon dan dan saksi juga tidak mengetahui kalau termohon telah hamil dengan lelaki lain dan saksi sendiri yang melamar Termohon.
-
Bahwa, setelah menikah Termohon tidak mau diajak kerumah orang tua Pemohon, karena ketahuan hamil sebelum menikah dengan Pemohon.
-
Bahwa, saksi telah pernah menasehati Pemohon, namun Pemohon tetap ingin membatalkan Perkawinannya dengan Termohon, karena merasa ditipu oleh Termohon.
Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi tersebut, Pemohon membenarkan dan tidak menyatakan bantahan dan keberatannya, kemudian
61
dalam kesimpulannya menyatakan tidak akan mengajukan hal-hal lain atau sesuatu apapun juga dan mohon putusan. Menimbang, bahwa untuk singkatnya maka semua berita acara pemeriksaan perkara
ini harus dianggap telah termasuk dan merupakan
bagian tidak terpisahkan dari putusan ini. TENTANG HUKUMNYA Menimbang, bahwa majelis Hakim telah menasehati Pemohon agar dapat berdamai dan rukun kembali dengan Termohon akan tetapi tidak berhasil karena Pemohon tetap berkehendak bercerai dengan Termohon. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana telah diuraikan dalam pertimbangan tentang duduk perkaranya. Menimbang, bahwa dari dalil-dalil Permohonan Pemohon dapat disimpulkan bahwa pemohon membatalkan perkawinannya dengan Termohon karena merasa ditipu oleh Termohon, dimana Termohon telah hamil dengan orang lain sebelum menikah dengan Pemohon. Menimbang, bahwa terhadap dalil-dalil permohonan Pemohon tersebut, Termohon tidak membantah atau membenarkannya, karena Termohon tidak pernah hadir atau menyuruh orang lain hadir menghadap sebagai wakilnya, meskipun pengadilan telah memanggilnya dengan resmi dan patut sebagaimana telah dibacakan dipersidangan. Dan tidak hadirnya itu ternyata tidak disebabkan oleh sesuatu halangan yang sah menurut hukum, oleh
62
karenanya majelis harus mengkwalifisir Termohon telah mengakui kebenaran dalili-dalil Permohonan Pemohon serta telah mengorbankan hak-hak keperdataannya, sehingga putusan ini dapat dijatuhkan dengan tanpa hadirnya Termohon. Menimbang, bahwa yang menjadi pokok masalah dalam perkara ini adalah apakah benar pemohon telah ditipu dalam perkawinannya dengan Termohon yang hamil sebelum menikah dengannya? Menimbang, bahwa meskipun Termohon tidak pernah hadir, oleh karena perkara ini perkara khusus mengenai perkawinan dalam hal perceraian, maka untuk mengetahui permohonan tersebut bersandar dan beralasan hukum majelis tetap akan menilai alat-alat bukti Pemohon yang berupa surat kode P.1 dan P.2 dan saksi-saksi yang bernama H dan S. Menimbang, bahwa bukti surat kode P.2 yang bermaterai cukup setelah diteliti ternyata cocok sesuai dengan aslinya yang isinya mengenai telah terjadinya perkawinan Pemohon dengan Termohon, sehingga demikian harus dikwalifisir bahwa Pemohon dengan Termohon telah terjalin dalam suatu hubungan hukum sebagai suami isteri yang sah. Menimbang bahwa surat kode P.1 cocok sesuai dengan aslinya serta bermaterai cukup, terhadap surat tersebut majelis mengkwalifisir bahwa surat tersebut merupakan bukti autentik bahwa Pemohon berdomisili pada yuridiksi Pengadilan Agama Boyolali.
63
Menimbang, bahwa selanjutnya kedua saksi tersebut ternyata telah memenuhi syarat formil yang ditetapkan oleh hukum dan keterangannya sesuai dengan apa yang dilihat dan didengar serta saling bersesuaian antara yang satu dengan yang lainnya antara lain adalah: -
Bahwa, Pemohon dan Termohon adalah suami isteri
-
Bahwa, keduanya telah sempat hidup rukun dan belum dikarunia anak.
-
Bahwa, Termohon telah menipu Pemohon, bahwa Termohon hamil dulu dengan lelaki lain sebelum menikah
dengan Pemohon hal tersebut
dinyatakan sendiri oleh Termohon dihadapan keluarga Pemohon. -
Bahwa, saksi telah menasehati keduanya akan tetapi tidak berhasil. Menimbang,
bahwa
apabila
dalil-dalil
permohonan
Pemohon
dihubungkan dengan alat bukti yang diajukan serta hasil pemeriksaan dipersidangan, majelis telah menemukan fakta-fakta sebagai berikut: -
Bahwa, Pemohon dan Termohon telah terikat dalam hubungan hukum sebagai suami isteri yang sah telah pernah hidup rukun.
-
Bahwa, dalam perkawinan Pemohon dan Termohon telah terjadi penipuan yang dilakukan oleh Termohon yang hamil duluan dengan lelaki lain dengan tidak memberitahukan kepada Pemohon. Menimbang,
bahwa setelah majelis menemukan fakta-fakta dalam
perkara ini, selanjutnya majelis akan mempertimbangkan petitum petitum Pemohon. Menimbang, bahwa terlebih dahulu majelis mempertimbangkan legalitas Pemohon dalam mengajukan permohonan ini bahwa untuk mengajukan suatu
64
perkara adalah suatu keniscayaan adanya sandaran hukum (legal standing), sebagaimana fakta yang telah ditemukan oleh majelis, bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah sehingga demikian majelis harus menyatakan bahwa Pemohon berkualitas sebagai Pemohon karena sandaran hukum melekat pada Pemohon. Hal ini telah sesuai dengan maksud dari: -
Pasal 23 (b) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (tentang Perkawinan) jo
-
Pasal 73 (b) Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 (tentang Kompilasi Hukum Islam) Menimbang, bahwa petitum kedua tentang agar perkawinan Pemohon
dan Termohon dibatalkan, sebagaimana fakta yang telah ditemukan oleh majelis bahwa dalam perkawinan Pemohon dan Termohon telah terjadi penipuan dimana Termohon telah hamil dengan lelaki lain dan hal tersebut tidak diberitahukan Termohon kepada Pemohon, dari fakta tersebut majelis menyatakan bahwa Termohon telah dengan sengaja menyembunyikan keadaan dirinya yang sesungguhnya telah hamil dengan lelaki lain, sebelum menikah dengan Pemohon, keadaan yang demikian menjadikan perkawinan yang seharusnya dilandasi dengan saling mempercayai menjadi hambar, sehingga tujuan rumah tangga yang seharusnya sakinah, mawaddah dan rahmah tidak terwujud keberadaannya dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon dibatalkan telah berdasar dan sesuai dengan maksud dari: -
Pasal 23 (b) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 (tentang Perkawinan) jo
65
-
Pasal 73 (b) Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 (tentang Kompilasi Hukum Islam)
Selanjutnya majelis akan berpendapat dalam amar putusan ini. Menimbang, selanjutnya
bahwa
majelis
berdasarkan
harus
pertimbangan
menyatakan
bahwa
tersebut
Buku
Akta
diatas, Nikah
265/10/VIII/2010 tanggal 08 Agustus 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali atas nama Pemohon dan Termohon dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Menimbang, bahwa terhadap petitum ketiga tentang biaya perkara berdasarkan pasal 89 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dengan perubahan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 dan Undangundang RI Nomor 50 tahun 2009 (tentang Peradilan Agama), biaya perkara dibebankan kepada Pemohon. Menimbang, bahwa untuk petitum pertama, oleh karena Pemohon dapat membuktikan kebenaran dalil-dalil permohonannya dengan alat-alat bukti yang diajukan, majelis selanjutnya mengabulkan permohonan Pemohon dengan verstek, sebagaimana dimaksud pasal 125 HIR. Memperhatikan segala ketetapan hukum dan peraturan perundang perundang lainnya yang berhubungan dengan perkara ini. MENGADILI 1. Menyatakan Termohon yang telah dipanggil dengan secara resmi dan patut untuk menghadap di persidangan tidak hadir 2. Mengabulkan permohonan pemohon dengan verstek
66
3. Membatalkan perkawinan Pemohon (D bin W S dengan Termohon S binti S M) yang dilangsungkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali pada tanggal 08 Agustus 2010. 4. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya Perkara Sebesar Rp. 271.000,- (dua ratus tujuh puluh satu ribu rupiah) Demikianlah diputuskan berdasarkan hasil musyawarah majelis pada hari Selasa tanggal 30 Nopember 2010 Masehi bertepatan dengan tanggal 23 Dzulhijjah 1431 Hijriyah, oleh Drs. ACHMAD HARUN SHOFA, SH Sebagai Hakim Ketua, Drs. ROMADHON, S dan Dra. AINA AINI ISWATI HUSNAH masing-masing sebagai Hakim Anggota, dibantu oleh WIWIK DWI HARYANI, SH sebagai Panitera Pengganti, putusan nama diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dengan dihadiri Pemohon tanpa hadirnya Termohon. (Putusan Pengadilan Agama Boyolali, 2010).
BAB IV DASAR DAN PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENETAPKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKSANAAN PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA HAMIL DI LUAR NIKAH
A. Analisis Putusan Pengadilan Agama Boyolali No. 0886/Pdt.G/2010/PA.Bi Tentang Pembatalan Perkawinan Karena Hamil Di Luar Nikah Sebelum dijatuhkannya putusan pembatalan nikah, hakim terlebih dahulu harus mengetahui tentang perkaranya dengan membaca semua suratsurat yang bersangkutan dengan masalah pembatalan nikah ini. Kemudian menasehati Pemohon agar dapat berdamai. Adapun dalam hal penasehatan, hakim melaksanakan upaya perdamaian atau mediasi yang wajib dilakukan sebelum diadakannya persidangan lanjutan. Dalam mediasi ini, hakim berusaha untuk meyatukan agar suami-isteri ini dapat berkumpul kembali membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Namun, pada kenyataannya pihak suami tidak mau lagi hidup bersama dengan isterinya dalam ikatan rumah tangga dan pihak isteri menerima. Maka, hakim memutuskan bahwa mediasi yang dilakukan telah gagal sehingga perlu adanya lanjutan persidangan dalam masalah ini. Kemudian persidangan dilanjutkan, dalam persidangan ini hakim telah melihat permohonan yang telah diajukan pihak pemohon dan surat-surat jawaban yang diajukan oleh termohon, maka hakim kemudian memeriksa perkara. Dalam pemeriksaan perkara harus berdasarkan pembuktian, dengan
67
68
tujuan untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan atau untuk memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang sah. Adapun pengertian dari pembuktian adalah segala sesuatu atau alat bukti yang dapat menampakkan kebenaran di sidang peradilan dalam suatu perkara. (Mardani, 2009:106). Dimana dalam pembuktian ini hakim mendengar dan melihat serta memperhatikan alat-alat bukti yang diajukan pemohon dan termohon. Adapun alat buktinya berupa: a. Surat-surat yang terdiri dari: fotocopy Kartu Tanda Penduduk Nomor :3309072812770001 (kode P.1) dan
fotocopy Duplikat Kutipan Akta
Nikah Nomor :265/10/VIII/2010 (kode P.2). b. Saksi-saksi dari pemohon. Dimana saksi tidak boleh satu karena dalam pembuktian mempunyai azas unus testis nullus testis, yaitu satu alat bukti bukanlah alat bukti, maka seorang saksi bukanlah saksi. (Mardani, 2009: 111). c. Pengakuan dari pihak termohon. Dilihat dari segi pelaksanannya, dimana pengakuan termohon yang dilakukan dihadapan keluarganya.. Maka, pengakuannya ini dinamakan pemgakuan di luar siding, yaitu keterangan yang diberikan salah satu pihak dalam suatu perkara perdata di luar persidangan untuk membenarkan pernyataan-pernyataan lawannya.
69
Setelah Pengadilan Agama memeriksa perkara maka ia harus mengadili atau memberikan putusan. Dimana putusan merupakan keputusan pengadilan atas perkara gugatan berdasarkan adanya suatu sengketa atau perselisihan, dalam arti putusan merupakan produk pengadilan dalam perkara-perkara contentiosa, yaitu produk pengadilan yang sesungguhnya. Disebut juga jurisdictio contentiosa, yaitu karena adanya dua pihak yang berlawanan dalam perkara. (Mardani, 2009:118). Dalam putusan ini, bahwa benar hakim mengabulkan permohonan pemohon untuk membatalkan perkawinan antara pemohon dengan termohon, adapun
dikabulkannya
permohonan
termohon
dengan
berdasarkan
pertimbangan bahwa untuk menghilangkan madharatnya dan mengedepankan manfaatnya. Karena perkawinan yang dilakukan antara pemohon dan termohon telah mengandung unsur penipuan, dimana pihak isteri telah hamil dengan orang lain sebelum melaksanakan perkawinan dengan suaminya. Hal ini sesuai dengan maksud Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 27, yang berbunyi: 4) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. 5) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.
70
6) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Dan lebih tepatnya yaitu sesuai dengan Pasal 27 ayat (2) tentang adanya salah sangka mengenai diri isteri, semula yang suami mengira bahwa isterinya sebelum menikah dalam keadaan gadis tetapi setelah diketahui ternyata isteri telah hamil sebelum diadakannya perkawinan dan lebih-lebih hamilnya isteri dikarenakan orang lain, bukan suaminya sendiri. Berdasrkan Undang-undang putusan yang dikeluarkan hakim dalam perkara pembatalan perkawinan ini sudah benar. Putusan ini berdasarkan pada Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 23, yang berbunyi: Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu: e. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri; f. Suami atau isteri; g. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; h. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Putusan ini juga berdasarkan pada Inpres RI Nomor 1 tahun 1991 (tentang Kompilasi Hukum Islam) Pasal 73 (b), yang berbunyi, “yang dapat
71
mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: (b)
Suami atau
isteri”. Dilihat dari putusan yang dikeluarkan oleh hakim dalam perkara ini, putusan ini termasuk putusan konstitutif, yaitu putusan yang menciptakan keadaan hukum baru yang sah menurut hukum yang sebelumnya memang belum terjadi keadaan hukum tersebut. (Mardani, 2009:120). Majelis hakim dalam mengeluarkan putusan telah mencakup azas keadilan dan azas musyawarah. Dimana azas keadilan itu sendiri dapat dilihat dari amar putusannya, yang berbunyi: 5. Mengabulkan Permohonan Termohon. 6. Menetapkan, membatalkan perkawinan antara Pemohon D bin W S dengan termohon S binti S M yang dilangsungkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali pada tanggal 08 Agustus 2010. 7. Menetapkan biaya perkara menurut hukum. 8. Atau menjatuhkan putusan lain yang seadil-adilnya. Dan azas musyawarah dapat dilihat dari mediasi yang dilaksanakan oleh majelis hakim.
72
B. Analisis dasar dan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap pelaksanaan pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah Setelah penulis mencermati dari hasil wawancara kepada salah satu hakim dalam perkara pembatalan perkawinan ini, dimana hakim tersebut berkedudukan sebagai hakim anggota dalam perkara pembatalan perkawinan ini. Penulis dapat menuturkan sedikit banyak dari apa yang majelis hakim jadikan dasar dan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap pelaksanaan pembatalan perkawinan ini. Adapun dasar dan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap pelaksanaan pembatalan perkawinan ini, sebagai berikut: 1. Bahwa terlebih dahulu majelis mempertimbangkan legalitas Pemohon dalam mengajukan permohonan ini bahwa untuk mengajukan suatu perkara adalah suatu keniscayaan adanya sandaran hukum (legal standing), sebagaimana fakta yang telah ditemukan oleh majelis, bahwa Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah sehingga demikian majelis harus menyatakan bahwa Pemohon berkualitas sebagai Pemohon karena sandaran hukum melekat pada Pemohon. 2. Bahwa majelis Hakim telah menasehati Pemohon agar dapat berdamai dan rukun kembali dengan Termohon akan tetapi tidak berhasil karena Pemohon tetap berkehendak bercerai dengan Termohon. 3. Bahwa dalam meneguhkan dalil-dalil permohonannya, Pemohon telah mengajukan alat-alat bukti berupa: surat-surat dan saksi-saksi.
73
4. Bahwa petitum kedua tentang agar perkawinan Pemohon dan Termohon dibatalkan, sebagaimana fakta yang telah ditemukan oleh majelis bahwa dalam perkawinan Pemohon dan Termohon telah terjadi penipuan dimana Termohon telah hamil dengan lelaki lain dan hal tersebut tidak diberitahukan Termohon kepada Pemohon 5. Bahwa pernikahan antara Pemohon dan Termohon telah melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 27 ayat (2) karena Termohon sebelum menikah dengan Pemohon sudah melakukan hubungan layaknya suami isteri dengan orang lain sampai Termohon hamil. 6. Bahwa mengenai waktu pengajuan perkara, telah sesuai dengan maksud pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dimana pengajuan perkara itu belum melampaui batas waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang tersebut. 7. Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, selanjutnya majelis harus menyatakan bahwa Buku Akta Nikah 265/10/VIII/2010 tanggal 08 Agustus 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali atas nama Pemohon dan Termohon dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Hakim dalam melaksanakan tugasnya dalam memutus perkara mendasarkan putusannya pada hukum. Hukum yang berlaku yang dijadikan dasar adalah peraturan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Putusan itu terkadang didasarkan atas putusan pengadilan atasannya. Jika
74
hakim tidak dapat menemukan hukumnya dalam peraturan-peraturan hukum atau yurisprudensi untuk dijadikan dasar
putusannya,
maka
hakim
membentukya sendiri terlepas dari putusan-putusan pengadilan yang pernah dijadikan putusan mengenai perkara yang sejenis. Hakim menetapkan sendiri hukumnya. (Mertokusumo, 1983:3). Berdasarkan dasar dan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap pelaksanaan pembatalan perkawinan tersebut. Penulis akan memberikan penjelasan dari hal-hal tersebut. Dimana menurut hemat penulis bahwa memang benar adanya pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan lebih tepatnya lagi pada pasal 27 ayat (2), dimana pihak isteri tidak memberitahukan keadaan yang sebenarnya dari dirinya bahwa ia telah hamil dengan orang lain sebelum melaksanakan perkawinan. Kemudian
hakim
memberikan kesimpulannya
bahwa
ia
dapat
mengetahui fakta bahwa pihak termohon hamil sebelum melaksanakan perkawinan dari hasil pembuktian, yang mana diketahui dari apa yang disampaikan dari para saksi dan pengakuan dari pihak termohon. Yang sebenarnya wanita hamil di luar perkawinan dapat melaksanakan perkawinan. Namun, dalam hal ini, majelis hakim justru membatalkan perkawinan sebab dalam perkara ini telah ada unsur penipuan sehingga menyebabkan adanya salah sangka dari pihak suami terhadap isteri. Dalam hal untuk mengetahui apakah pemohon berkualitas sebagai pemohon, majelis hakim dapat menemukan faktanya berdasarkan dari
75
pembuktian dalam persidangan. Bahwa telah diketahui pemohon dan termohon memang telah melaksanakan perkawinan, dengan melihat bukti yang ada, berupa Buku Akta Nikah atas nama pemohon dan termohon. Dalam pelaksanan perdamaian atau mediasi hakim telah berupaya mendamaikan kedua belah pihak. Namun, tidak ada kesepakatan untuk terus menjalankan kehidupan rumah tangga secara bersama, karena jika hidup bersama tidak akan menjadi lebih baik, dan lebih baiknya adalah berpisah. Maka diambil jalan keluar untuk tetap melaksanakan pembatalan perkawinan. Hal ini dilaksanakan untuk menghilangkan madharatnya dan lebih mengedepankan manfaanya. Fakta-fakta lain yang dapat majelis hakim gunakan untuk menentukan putusan, yaitu setelah majelis hakim mendengarkan keterangan saksi-saksi. Kemudian majelis hakim mengkwalifisir keterangan saksi-saksi yang mana saja yang dapat dijadikan pertimbangan majelis hakim. Tindakan
yang
dilakukan majelis hakim dengan menghadirkan dua orang saksi sudah sesuai prosedur. Dimana syarat saksinya, yaitu dua orang saksi, beragama Islam dan tahu benar tentang permasalahannya. Setelah dikeluarkannya putusan pembatalan perkawinan, maka Buku Akta Nikah yang dimiliki oleh pihak pemohon dan termohon menjadi tidak inkracht (berkekuatan hukum) lagi. Sehingga harus diganti dengan kutipan akta cerai. Namun, dalam hal ini, karena perkawinan yang dilaksanakan belum lebih dari 6 (enam) bulan, maka tidak disebut dalam putusan sebagai perceraian melainkan disebut pembatalan perkawinan. Mengenai jangka
76
waktu ini dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 27 ayat (3), yang berbunyi: “Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.” Dalam hal pokok pada dasar dan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap pelaksanaan pembatalan perkawinan ini, semua langkah-langkah yang dilakukan oleh pihak majelis hakim telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dari uraian yang telah penulis bahas pada bab-bab sebelumnya pada skripsi ini yang berjudul PEMBATALAN PERKAWINAN KARENA HAMIL DI LUAR NIKAH (Studi Putusan Pengadilan Agama Boyolali No. 0886/Pdt.G/2010/PA.Bi) dan penelitian yang penulis lakukan penulis dapat memberikan kesimpulan, sebagai berikut: 1. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disebutkan pada bab IV tentang batalnya perkawinan, pasal 22, yaitu: perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memnuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan dan pada pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Maka menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan dapat dibatalkan karena telah sesuai dengan ketentuan yang ada dalam undang-undang tersebut. 2. Ditinjau dari hukum Islam pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah ini dapat di batalkan karena dalam hal ini, perkawinan itu lebih banyak madharatnya daripada manfaatnya yang berakibat tidak baik untuk semua pihak dan terdapatnya unsur penipuan sehingga menyebabkan 77
78
adanya salah sangka dari perkawinan oleh pihak suami terhadap pihak isteri. Maka, perkawinan ini tidak sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Agama Islam di dalam Al-Qur‟an maupun Sunah Rasul serta dalam Kompilasi Hukum Islam, sehingga perkawinan ini dapat dibatalkan karena tidak memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan dalam Kompilasi
Hukum Islam pada bab XI tentang batalnya perkawinan. 3. Pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap pembatalan perkawinan karena hamil di luar nikah sebagaimana termuat dalam putusan Pengadilan Agama Boyolali No. 0886/Pdt.G/2010/PA.Bi, sebagai berikut: a. Mempertimbangkan
legalitas
Pemohon
dalam
mengajukan
permohonan. b. Telah menasehati Pemohon agar dapat berdamai dan rukun kembali dengan Termohon akan tetapi tidak berhasil. c. Pemohon telah mengajukan alat-alat bukti. d. Telah terjadi penipuan dimana Termohon telah hamil dengan lelaki lain dan hal tersebut tidak diberitahukan Termohon kepada Pemohon. e. Pernikahan antara Pemohon dan Termohon telah melanggar ketentuan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Pasal 27 ayat (2) f. Bahwa mengenai waktu pengajuan perkara, telah sesuai dengan maksud pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dimana pengajuan perkara itu belum melampaui batas waktu yang ditentukan dalam Undang-Undang tersebut.
79
g. Buku Akta Nikah 265/10/VIII/2010 tanggal 08 Agustus 2010 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan Teras, Kabupaten Boyolali atas nama Pemohon dan Termohon dinyatakan tidak berkekuatan hukum. Dengan melihat dasar dan pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan terhadap pelaksanaan pembatalan perkawinan di atas dan dengan penelitian yang telah penulis laksanakan terhadap penelusurannya sebagaimana yang di bahas pada bab IV, maka dapat disimpulkan bahwa semua langkah-langkah yang dilakukan oleh pihak majelis hakim tersebut telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam serta Hukum Islam.
B. Saran Adapun saran penulis dalam masalah pembatalan perkawinan ini, sebagai berikut: 1. Untuk Pengadilan Agama Boyolali: a. Untuk lebih mengupayakan suatu proses mediasi agar berhasil. b. Lebih hati-hati dan lebih teliti dalam menerima perkara. 2. Untuk masyarakat a. Alangkah baiknya kita dalam melangkah ke jenjang yang lebih serius yaitu suatu perkawinan sebaiknya terlebih dahulu mempersiapkan semuanya, baik persiapan mental maupun persiapan fisik.
80
b. Sebaiknya sebelum mengikat janji suci perkawinan terlebih dahulu pihak perempuan dan pihak laki-laki saling mengenal dan saling terbuka satu sama lain tentang kehidupan masing-masing (ta‟aruf). c. Tidaklah sepatutnya seorang suami menolak keadaan isteri apabila memang suami telah siap lahir dan batin untuk menikahi isterinya, maka seharusnya suami mampu menerima apa adanya situasi dan kondisi isteri. d. Sebaiknya seorang perempuan mampu menjaga martabat sebagai seorang perempuan dengan menjaga kehormatan yang palig berharga dalam kehidupan ini. e. Orang tua harus menjadi suri tauladan pertama terhadap anak-anaknya dalam melangkah di kehidupan ini. Maka orang tua harus berperan aktif dalam memberi nasehat-nasehat dan meperhatikan pergaulan anak-anaknya. f. Sebagai umat Islam alangkah baiknya kita selalu senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT, agar kita selalu diberi petunjuk untuk tetap berjalan di jalan yang benar dan di ridhoi Allah SWT. Amin Ya Rabbal „alamin.
81
DAFTAR PUSTAKA Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Anshori, Abdul Ghofur. 2007. Peradilan Agama Di Indonesia, Pasca UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 (Sejarah, Kedudukan, dan Kewenangan), Yogyakarta: UII Press Yogyakarta (anggota IKAPI) Arifin, Bey dan A. Syinqithy Djamaluddin. 1992. Tarjamah Sunan Abu Dawud Jilid III, Semarang: CV. Asy Syifa‟ Arto, Mukti.t.t. Praktek Perkara Perdata, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat. 1992/1993. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah (PPN), Jakarta Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4). 2009. Buku Panduan Keluarga Muslim, Semarang Bungin, Burhan. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Chafidh, Afnan M. dan A. Ma‟ruf Asrori. 2008. Tradisi Islami, Panduan Prosesi Kelahiran-Perkawinan-Kematian, Surabaya: Khalista Departemen Agama RI. 1985/1985. Ilmu Fiqh Jilid II, Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI. 2005. Membina Keluarga Sakinah, Ditjen Bitmas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Direktorat Urusan Agama Islam Departemen Agama RI. 2011. Al-Quran dan Terjemahnya, Bandung: Diponegoro Djalil, A. Basiq. 2006. Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group Fajar, Em Zul dan Ratu Aprilia Senja. 2005. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher Khalim. 2005. Menikahi Wanita Hamil Dalam Perspektif Hukum Islam. Skripsi. Salatiga. Jurusan Syariah
82
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Inpres Nomor 1 Tahun 1991/ Departemen Agama RI. 2001. Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Laporan Tahunan Pengadilan Agama Boyolali, 2011. Mahsun. 2005. Pembatalan Nikah Karena Menggunakan Wali Hakim. Skripsi, Salatiga: Jurusan Syariah Majah, Sunan Ibnu. t.t. Sunan Ibnu Majah. Semarang: Toha Putra Semarang, hal. 592 Mardani, Dr. 2009. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syar’iyah, Jakarta: Sinar Grafika Mathlub, Abdul Majid Mahmud. 2005. Panduan Hukum Keluarga Sakinah, Solo: Era Intermedia Mertokusumo, Sudikno. 1983. Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya Di Indonesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Yogyakarta: Liberty Nawawi, Hadari dan H.M. Martini Hadari. 1992. Instrumen Penelitian Bidang Sosial, Gadjah Yogyakarta: Mada University Press Nawawi, Hadari. 1990. Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Nazir, Moh, t.t. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia Proyek Peningkatan Sarana Keagamaan Islam Zakat dan Wakaf .1996/1997. Pedoman Pegawai Pencatat Nikah dan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, tkp Putusan Pengadilan Agama Boyolali Nomor 0886, 2010. Sabiq, Sayyid. 1980. Fikih Sunah 6, Bandung: PT Al Ma‟arif Saleh, H.E. Hassan. 2008. Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UII Press
83
Sofwan. 2001. Ideologi Tafsir Ahmadiyah (Kajian Wacana Kritis Atas Al-Qur’an dengan Terjemahan dan Tafsir Singka ) Skripsi, Surakarta. Jurusan Ushuludin Sy, Musthofa. 2005. Kepaniteraan Peradilan Agama, Jakarta: Prenada Media Tihami, dan Sahrani. 2009. Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Zuhriah, Erfaniah. t.t. Peradilan Agama Di Indonesia (Sejarah Pemikiran dan Realita), Yogyakarta: UIN-Malang Press (Anggota IKAPI) (http://www.pa-boyolali.go.id/index.php/profil-pa-boyolali): Profil Pengadilan Agama Boyolali (http://www.pa-boyolali.go.id/index.php/struktur): Struktur Organisasi Pengadilan Agama Boyolali (Http://www.Pa-boyolali.Go.Id/index.Php/proses-perkara):Proses Berperkara di Pengadilan Agama Boyolali
84
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Astuti Nur Halimah
Tempat/tanggal lahir : Boyolali, 14 November 1986 Jenis Kelamin
: Perempuan
Warga Negara
: Indonesia
Agama
: Islam
Alamat
: Klimas Rt 02/ Rw IV, Kelurahan Sendang, Kecamatan Karanggede,
Kabupaten
Boyolali,
Jawa
Tengah,
Indonesia No Hp
: 081387610226
Riwayat Pendidikan : MI Klimas masuk tahun 1992 lulus tahun 1998 SLTP Muhammadiyah 8 Karanggede masuk tahun 1998 lulus tahun 2001 SMA N 1 Karanggede masuk tahun 2001 lulus tahun 2004 STAIN Salatiga masuk tahun 2008 Lulus tahun 2012 Nama Ayah
: Sumarno
Pekerjaan
: Pegawai Negeri Sipil
Nama Ibu
: Sudarsi
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Nama Suami
: Mustakim
Pekerjaan
: Swasta
Demikian daftar riwayat hidup ini yang penulis buat dengan sebenar-benarnya. Salatiga, 04 Agustus 2012 Penulis
Astuti Nur Halimah NIM 21208019